View
753
Download
1
Category
Preview:
DESCRIPTION
Citation preview
1/14
Masyarakat sebagai Katalis Peningkatan Integritas Perbankan Nasional melalui Konsep
Learning Organization
Daniel Doni Sundjojo
Perbankan Nasional bagai mengalami efek kejut dalam satu dekade terakhir ini. Pada era
Perbankan Nasional di masa lalu, perbankan nampak seperti benteng dengan tembok
tinggi, pintu yang tertutup rapat, serta sungai yang mengalir mengitari benteng, sehingga
sangat sulit bagi masyarakat awam untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi
sebenarnya di dalam benteng tersebut. Masyarakat dipaksa dan terpaksa percaya pada
informasi yang dikeluarkan pihak bank, yang harus ditelan mentah-mentah, bahkan tanpa
mengunyah sekalipun. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya informasi yang dapat diakses
oleh masyarakat. Saat itu, masyarakat menilai sehat atau tidak, bonafid atau tidak suatu
bank dari hal-hal yang nampak di permukaan, misalnya berapa jumlah cabang yang
tersebar di seluruh penjuru kota, baik kota besar maupun kota kecil, berapa jumlah mesin
ATM ( Anjungan Tunai Mandiri) yang dimiliki oleh bank tersebut, megah tidaknya
bangunan bank, dan sebagainya. Pada tahun 1990an, kita bisa melihat banyak sekali bank
baru bermunculan dengan cabang yang bertebaran di pelosok kota. Bank-bank baru
tersebut bermunculan dengan berbagai atribut yang meyakinkan : gedung megah, fasilitas
lengkap, jumlah cabang yang tersebar di seluruh kota, bahkan bukan tidak mungkin
menyebar di seluruh jalan besar di kota tersebut. Melalui tawaran suku bunga serta
fasilitas yang menggiurkan, tidaklah sulit bagi bank untuk merangkul masyarakat
sebagai nasabahnya. Banyak masyarakat yang tertarik karena melihat berbagai fasilitas
yang ditawarkan disertai dengan profil bank yang nampak meyakinkan, paling tidak yang
nampak dengan mata telanjang. Namun semua gambaran itu ternyata hanyalah
fatamorgana belaka, ketika tersiar berita bahwa mayoritas bank di Indonesia, di balik
kemegahannya, menyimpan potensi bankrut yang cukup besar. Ibarat penderita kanker,
banyak bank yang saat itu sudah memasuki stadium empat. Masyarakat pun bagai
terbangun dari tidurnya, sadar bahwa mereka selama ini disuguhi sinetron yang membuai
2/14
mimpi mereka. Masyarakat pun panik melihat begitu banyak bank yang mendadak harus
tutup, atau paling tidak dimerger. Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan Indonesia
menurun drastis. Banyak masyarakat yang memilih memindahkan dananya ke bank
asing, baik yang berkedudukan di Indonesia ataupun yang benar-benar beroperasi di luar
negeri. Akibatnya, rush terjadi hampir di setiap bank-bank Indonesia, mulai dari bank
kecil, bank yang sedang berkembang hingga bank yang sudah well established, semuanya
merasakan dampaknya. Pemerintah sampai turun tangan untuk menjamin dana
masyarakat yang tersimpan di bank untuk meredam kepanikan yang melanda masyarakat.
Langkah itupun tidak terlalu manjur bagi masyarakat. Tetap saja penarikan dana besar-
besaran terjadi di hampir seluruh bank.
Sejak kejadian tersebut, masyarakat nampak trauma dengan Perbankan Nasional, disertai
kemudahan masyarakat untuk berinteraksi dengan bank asing, membuat masyarakat
semakin apatis dengan bank-bank Nasional. Jarang sekali masyarakat bersedia
menanamkan dananya dalam bentuk deposito ataupun investasi jangka panjang di bank-
bank Nasional. Apalagi disertai dengan semakin kritisnya masyarakat serta ditunjang dari
peran teknologi informasi yang semakin mencengkeram sendi-sendi kehidupan manusia,
membuat masyarakat dibanjiri beragam informasi, bahkan secara real time mengenai
segala sesuatu mengenai Perbankan Nasional. Fenomena tersebut membuat masyarakat
semakin peka dan sensitif dalam menyikapi informasi yang berkaitan dengan Perbankan
Nasional. Perbankan tidak lagi dapat memposisikan diri mereka sebagai benteng. Ketika
arus informasi mengalir tanpa batas, disertai dengan peran globalisasi yang membuat
seluruh kejadian di dunia ini bagai terkena efek resonansi, dimana kejadian yang terjadi
di belahan bumi manapun, baik di Amerika Serikat, Jepang, Rusia, Singapura, Nigeria,
Brazil, Inggris, Perancis, serta negara manapun di dunia ini, sedikit banyak akan
memberikan dampak, baik secara langsung maupun tidak langsung bagi Indonesia.
Ketika Alan Greenspan, Kepala The Fed, Bank Sentral Amerika, menaikkan suku bunga,
dampaknya langsung terasa bagi Perbankan Nasional. Begitu juga ketika Alan Greenspan
digantikan Ben Bernanke, seorang professor dari Princeton University, efeknya memaksa
Perbankan Nasional berbenah menyikapi berbagai kebijakan baru The Fed pasca
pensiunnya Greenspan. Ketika Yen Jepang melemah, Perbankan Nasional juga terkena
imbasnya. Di satu sisi, masyarakat, yang semakin kritis dengan daya analisis yang tajam,
3/14
menjadi semakin haus informasi. Mereka malahap semua informasi yang dengan begitu
mudahnya tersaji di depannya, baik melalui koran, internet, televisi, baik televisi lokal
maupun internasional yang dapat diakses masyarakat melalui TV kabel ataupun parabola,
serta berbagai media cetak maupun elektronik lainnya. Masyarakat sudah mereposisi
dirinya dari kambing congek yang mudah dibodohi menjadi seorang analis yang kaya
informasi dan memiliki bargaining power tinggi untuk memilih bank atas dasar informasi
yang didapatnya. Bank, dituntut tidak hanya mengiming-imingi masyarakat dengan
kemegahan yang dimilikinya, namun lebih pada kinerja serta valuenya. Bank, dituntut
untuk memberikan informasi sedetail dan setransparan mungkin mengenai kondisi aktual
bank tersebut. Itupun, masyarakat seringkali masih melakukan cross check terhadap
informasi yang diterima dari bank. Masyarakat menjadi semakin peka atas berbagai
informasi, rumor serta berbagai data yang menurutnya relevan.
Dengan adanya perilaku masyarakat yang seperti itu, serta ditunjang dari lingkungan
bisnis perbankan yang pada dasarnya uncontrollable dan unpredictable, dimana
perubahan sekecil apapun, yang terjadi di manapun di dunia ini, sedikit banyak, langsung
maupun tidak langsung, akan berdampak pada Perbankan Nasional, serta semakin
kompetitifnya tingkat persaingan antar bank, membuat bank dituntut untuk senantiasa
learning, mereview segala sesuatu yang terjadi di lingkungan bisnis. Bank dituntut untuk
mempelajari apa yang dibutuhkan masyarakat, dan bagaimana perilaku masyarakat, baik
yang sudah menjadi nasabah maupun yang belum. Saat ini, tidak ada jaminan bahwa
masyarakat yang sudah menjadi nasabah suatu bank, tidak akan memindahkan dananya
ke bank lain. Untuk itu, perbankan harus mampu menjadi lembaga yang benar-benar
proaktif dalam menyikapi segala sesuatu yang terjadi di lingkungan bisnisnya.
Masyarakat, saat ini bukan saja merupakan konsumen Perbankan Nasional, namun juga
katalis dalam meningkatkan integritas Perbankan Nasional. Masyarakat berperan sebagai
partner of change bagi perbankan nasional. Banyak sekali produk, kebijakan maupun
strategi bank yang bersumber dari masyarakat. Perbankan Nasional, dituntut untuk
berubah sebagai konsekuensi dari dinamika lingkungan bisnis perbankan yang
dikomandoi oleh masyarakat, untuk responsif dan adaptif terhadap perubahan, sekecil
apapun yang terjadi di lingkungan bisnis. Bank – bank yang tidak mampu meningkatkan
4/14
kompetensinya, tidak mampu untuk menjadi learning organization, pelan namun pasti,
tergilas roda persaingan bisnis.
Peran Bank Indonesia sendiri, sebagai Bank Sentral bagi Perbankan Nasional semakin
menonjol. Kalau selama ini masyarakat menilai peran Bank Indonesia sebagai
penyeimbang apabila terjadi sesuatu yang buruk, telah berubah. Bank Indonesia, dituntut
untuk tidak hanya melakukan mekanisme perbaikan : ada suatu kejadian yang berdampak
buruk bagi Perbankan Nasional, lalu Bank Indonesia melakukan intervensi untuk
memperbaiki akibat dari dampak buruk tersebut. Namun, lebih dari pada itu, Bank
Indonesia dituntut untuk mampu mereview, menganalisis dan memprediksi berbagai
kejadian di dunia ini yang sekiranya akan membawa dampak bagi Perbankan Indonesia
serta melakukan langkah-langkah adaptif dan responsif terhadap fenomena tersebut. Hal
ini memacu Bank Indonesia untuk meningkatkan komunikasinya dengan masyarakat.
Saat ini, upaya Bank Indonesia untuk berkomunikasi dengan masyarakat sudah banyak
mengalami kemajuan dibandingkan dengan tahun 1990an. Sebagai ukuran yang
termudah, kita bisa melihat iklan-iklan layanan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Pada tahun 1990an sangat jarang Bank Indonesia memasang iklan yang tujuannya
berkomunikasi dengan masyarakat. Hal ini merupakan cerminan dari upaya Bank
Indonesia sebagai Bank Sentral untuk membuka diri dan melepas simpul-simpul
komunikasi dan arus informasi yang sempat kusut di masa lalu.
Kehadiran masyarakat yang semakin ”pintar” inilah yang menjadi titik balik bagi
peningkatan integritas perbankan nasional. Dengan adanya masyarakat yang semakin
memposisikan diri sebagai raja yang menuntut untuk mendapatkan pelayanan sesuai yang
dia inginkan dan butuhkan, menuntut setiap insan perbankan senantiasa learning,
meningkatkan kompetensi, mereview lingkungan bisnis perbankan sehingga berimplikasi
pada integritas lembaga perbankan itu sendiri. Perbankan yang selama ini terkesan
eksklusif dan tertutup dari dunia luar, lambat laun mulai open minded, responsif dan
adaptif terhadap dunia luar. Peran masyarakat telah menjadi katalis dalam transformasi
perbankan dalam upayanya memenuhi tuntutan masyarakat dan lingkungan bisnis. Saat
ini, perbankan sudah mulai berbenah untuk senantiasa learning. Banyak perbankan
mengadopsi konsep learning organization agar memiliki sustainable competitive
advantage dalam menghadapi lingkungan bisnis yang uncontrollable dan unpredictable.
5/14
Dalam situasi yang makin kompetitif dewasa ini, dimana lingkungan bisnis selalu
berubah secara cepat dan radikal, bahkan dalam hitungan sepersekian detik, sampai ada
pameo yang mengatakan bahwa “ satu satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu
sendiri “ sebuah organisasi, termasuk bank, dituntut memiliki mental untuk belajar, dan
menciptakan learning climate dalam organsisasinya.
Ada banyak sekali pandangan yang menjelaskan bagaimana proses learning berlangsung
dalam sebuah organisasi, namun dari sekian banyak pandangan tersebut, yang paling
terkenal adalah pandangan Peter Senge (1990, 3) mengenai organisasi yang menerapkan
learning : “organizations where people continually expand their capacity to create the
results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured,
where collective aspiration is set free, and where people are continually learning to see
the whole together“ dalam hal ini perlu digaris bawahi kata kata continually, yang
merujuk pada berkesinambungannya proses learning. Bahwa kita, senantiasa harus
mengembangkan kapasitas kita tanpa henti, tidak hanya saat kita gagal , namun juga pada
saat kita berhasil. Mayoritas dari kita, hanya belajar saat kita mengalami hambatan. Hal
ini diperkuat oleh pandangan Wilson ( 1999, 191 ) “ learning is a process that is never
complete. This is partly because neither human beings nor the world we inhabit are
static“ Hal inilah yang mestinya dijadikan acuan bagi organisasi dalam menerapkan
learning, dimana harus disadari, bahwa learning merupakan proses iterative, yang selalu
berulang dan tidak akan pernah selesai. Dengan adanya proses learning maka akan
meningkatkan kapabilitas dan kompetensi dari organisasi yang pada akhirnya juga
meningkatkan performance organisasi itu sehingga menjadi competitive advantage yang
tiada habisnya dari organisasi itu, hal ini merupakan syarat utama bagi organsisasi
tersebut dalam memasuki iklim kompetisi yang semakin hari semakin kompetitif.
Berbagai macam atribut proses learning, ditujukan untuk membuat anggota organisasi
menjadi “ Adult Learner “ dimana keberadaan Adult Learner ini akan meningkatkan
performa organisasi, karena bagi adult learner, learning sudah menjadi suatu kebutuhan
dan bukan kewajiban. Ada beberapa karakteristik dari adult learner dalam kaitannya
dengan proses learning adalah :
Adult learners are mature
Adult learners are experienced
6/14
Adult Learners are capable of making informed choices
Adult learner are capable of taking responsibility.
Namun untuk mendapatkan adult learner tidaklah mudah, walaupun sebuah organisasi
sudah di desain atau memiliki kondisi seperti yang dijabarkan di atas, belum tentu
seseorang menjadi adult learner, karena hal itu juga terkait dengan motivasi mereka
sertas bagaimana agar mereka memiliki motivation for learning. Untuk menjadi adult
learner, seseorang tidak dapat dipaksa, dia harus secara sukarela mau melibatkan diri
dalam proses learning untuk senantiasa meningkatkan kompetensinya, seperti yang
diperkuat oleh Wilson ( 1999, 210 ) “ Motivation for learning comes from within, and the
material on which the learning driven fastens is the whole of life, the cultural and
interpersonal relationships that form the social context.” Proses learning yang terjadi di
dalam sebuah organisasi dapat meningkatkan kapabilitas dan kompetensi dari anggota
organisasi serta organisasi itu sendiri yang pada akhirnya akan meningkatkan
performance anggota organisasi itu secara khusus dan performance organisasi itu sendiri
secara umum. Hal inilah yang akan menjadi kekuatan bagi sebuah bank untuk dapat eksis
dan memiliki competitive advantage. Saat ini, bisa dikatakan hanya bank yang memiliki
learning climate, serta anggota organisasi yang senantiasa learning saja yang mampu
bertahan. Kita dapat melihat, bank-bank yang bertahan atau bahkan meningkat
performance maupun valuenya adalah bank-bank yang mengadopsi konsep learning
organization. Mereka tak henti menciptakan produk maupun layanan yang inovatif, haus
akan informasi maupun knowledge yang berasal dari external world. Hal ini semakin
ditegaskan oleh Barney (1991, 2001), Grant (1991), Prahalad dan Hamel (1990) :
”a firm’s performance will be determined mostly by the crafting of resources into unque
competencies that in turn lead to competitive advantage.” Dalam hal ini dinyatakan
bahwa performance dari sebuah organisasi lebih ditentukan kepada keahlian dari sumber
dayanya dalam bentuk kompetensi yang unik yang akan sangat berpengaruh kepada
competitive advantage dari organisasi tersebut. Merunut dari kenyataan itu serta semakin
kompleksnya lingkungan bisnis, dimana setiap saat terjadi perubahan yang cepat dan
radikal, maka kemampuan organisasi untuk dapat memiliki keunggulan bersaing secara
berkelanjutan sangat ditentukan oleh secepat apakah sebuah organisasi belajar dan
beradaptasi terhadap perubahan tersebut, bahkan lebih cepat dari kompetisi itu sendiri.
7/14
Hal ini ditegaskan pula oleh Senge ( 1994, 11 ): “In the long run, the only sustainable
source of competitive advantage is your organization’s ability to learn faster than its
competition.” Dengan adanya proses learning maka akan meningkatkan kapabilitas dan
kompetensi organisasi yang pada akhirnya juga meningkatkan performance organisasi itu
sehingga menjadi competitive advantage yang tiada habisnya dari organisasi itu, hal ini
merupakan syarat utama bagi organsisasi tersebut dalam memasuki iklim kompetisi yang
semakin hari semakin kompetitif.
Namun, sering terjadi, bahwa learning tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kadang kita
melakukan proses learning hanya saat kita mengalami kegagalan. Apabila target
penjualan tidak terpenuhi, misalnya, seorang Direktur Marketing akan langsung
mengumpulkan stafnya, membahas dan mengevaluasi apa penyebab kegagalan tersebut ,
melakukan analisa apa yang harus dilakukan, dan strategi apa yang harus ditempuh.
Seringkali ditindak lanjuti dengan mengirim stafnya mengikuti training, baik secara tim
maupun individu. Namun saat target penjualan terpenuhi, atau bahkan melampaui, tidak
dilakukan proses yang serupa, yang terjadi mungkin hanya perayaan keberhasilan saja,
syukuran dan tumpengan. Namun tidak ada pembahasan, analisa, review mengenai
dampak yang mungkin terjadi dibalik keberhasilan tersebut. Hal ini juga yang membuat
Perbankan Nasional kembali terancam mengalami krisis seperti dimasa lalu, walau dalam
bentuk yang berbeda, dimana salah satu penyebab yang dapat memicu krisis Perbankan
Nasional kali ini adalah kredit macet. Ketika Perbankan Nasional sudah mulai mampu
mengembalikan kepercayaan masyarakat untuk mempercayakan dananya pada bank-bank
Indonesia, untuk mengambil laba yang besar, banyak bank yang jor-joran dalam
memberikan kredit konsumtif ke masyarakat. Mulai dari kartu kredit, kredit kepemilikan
kendaraan bermotor, kredit tanpa agunan, hingga kredit kepemilikan rumah, membuat
masyarakat, yang memang memiliki karakter konsumtif dan serba jalan pintas : ingin
memiliki barang, yang mestinya belum mereka perlukan, atau belum mampu mereka
wujudkan, namun dengan adanya fasilitas kredit, membuat masyarakat tergiur untuk
memiliki barang tersebut, bahkan kadang-kadang, terlalu “memaksa”. Fenomena ini
kurang disadari Perbankan Nasional. Tidak seperti bank-bank asing yang memberikan
kredit konsumtif dengan persyaratan dan proses verifikasi yang sangat ketat dan
terkontrol, bank-bank Indonesia nampak sangat mudah memberikan kredit konsumtif.
8/14
Begitu mudahnya bank-bank Indonesia menerbitkan kartu kredit dengan limit yang
tinggi, kepada orang yang sebenarnya belum layak mendapatkan kartu kredit dengan limit
setinggi itu. Begitu mudahnya persetujuan kredit pemilikan rumah dari bank-bank
Indonesia, sehingga masyarakat berbondong-bondong membeli rumah, walaupun bisa
jadi dari segi kemampuan finansial, mereka belum mampu memiliki rumah seperti yang
dikreditkan. Di sektor kendaraan bermotor juga sama saja, dengan adanya kemudahan
kredit yang diberikan bank-bank Indonesia membuat masyarakat tergoda untuk membeli
mobil mewah ataupun memiliki lebih dari satu mobil, walaupun sebenarnya mereka
belum mampu untuk membeli mobil mewah dengan cc besar, atau belum memerlukan
mobil lebih dari satu. Kemudahan-kemudahan tersebut sangatlah sulit diberikan oleh
bank-bank asing yang sangat selektif dalam memilih orang yang layak untuk
mendapatkan kredit konsumtif. Dari segi omzet kredit konsumtif, bank-bank Indonesia
mungkin mendapatkan konsumen berlipat-lipat dibanding bank asing, baik secara person
maupun valuenya. Namun, apalah artinya omzet setinggi langit jika konsumen tersebut
tidak mampu membayar tagihannya, sehingga terjadilah kredit macet. Secara sederhana,
ketika omzet tinggi, namun banyak sekali tagihan yang tidak tertagih, dari mana bank
mampu membiayai operasionalnya, membayar komisi bagian penjualannya, serta
menyisihkan dana untuk pengembangannya? Sekali lagi, masyarakat memperlihatkan
perannya sebagai katalis bagi peningkatan integritas Perbankan Nasional. Di balik
banyaknya kasus kredit macet, Perbankan Nasional merasakan hikmahnya. Ketika
mereka sejenak terbuai untuk mendapatkan omzet kredit konsumtif sebesar-besarnya
tanpa mereview lingkungan bisnis, serta kemampuan masyarakat untuk membayar kredit
konsumtifnya. Ketika mereka melupakan upayanya untuk learning, mereview external
world, bersikap responsif dan adaptif, maka mereka harus membayar mahal dengan
banyaknya kredit konsumtif yang macet, sehingga membuat Perbankan Nasional
terancam gulung tikar. Namun, dibalik itu, masyarakat seolah mengingatkan Perbankan
Nasional atas keteledoran yang mereka lakukan selama ini. Sejak fenomena tersebut,
Perbankan Nasional kembali berbenah. Mulai dari proses pemberian kredit yang
diperketat, pembayaran minimum kredit diperbesar, terutama untuk sektor kartu kredit,
hingga dipertimbangkannya kebijakan baru mengenai pembatasan jumlah kartu kredit
yang dapat dimiliki oleh seseorang. Hal- hal inilah yang membuat Perbankan Nasional
9/14
seperti mendapatkan alarm peringatan atas kelalaiannya selama ini. Masyarakat berperan
dalam mengingatkan Perbankan Nasional agar senantiasa learning, bahkan saat situasi
serta kondisi Perbankan Nasional dalam keadaan yang dapat dikatakan sedang naik daun
sekalipun.
Mengapa bank-bank Indonesia relatif sering terkena masalah seperti kredit macet,
dibandingkan bank-bank asing? Hal ini sedikit banyak berhubungan dengan budaya
Indonesia. Dari profil budaya Indonesia menurut Hofstede, dimana orang Indonesia
memiliki tingkat uncertainty avoidance yang moderate low, sehingga orang Indonesia
tidak terlalu berhati hati seperti misalnya orang Perancis. Hal ini nampak dari santainya
orang Indonesia tetap berjalan jalan di Mall walaupun banyak ancaman bom, seperti
misalnya saat Tunjungan Plaza diteror bom, tetap saja banyak orang Indonesia yang
mengunjungi Tunjungan Plaza, seolah tidak terpengaruh oleh isu bom tersebut. Hal ini
tidak akan dijumpai di Perancis, dimana sebuah tempat yang diancam bom, bisa ditutup
selama beberapa saat, bahkan bisa jadi beberapa hari, sampai keadaan benar benar aman.
Hal ini berimbas pada budaya kerja di Perbankan Nasional. Bank- bank Nasional relatif
kurang berhati-hati dalam menyikapi berbagai fenomena di masyarakat. Ketika
masyarakat menurun drastis dari segi kemampuan finansialnya, Bank-bank Nasional
tidak segera melakukan langkah-langkah antisipasi dengan memperketat proses verifikasi
dalam pemberian kredit, terutama kredit konsumtif. Bahkan, bisa jadi fenomena tersebut
menurut mereka merupakan peluang besar bagi bisnis mereka. Mereka mungkin
beranggapan, ketika kemampuan finansial masyarakat menurun, logikanya masyarakat
membutuhkan kredit untuk memenuhi kebutuhannya. Mungkin dengan logika berpikir
seperti itu, bank- bank Indonesia terkesan jor- joran dalam mengucurkan kredit. Mereka
lupa menganalis kemampuan masyarakat untuk membayar hutangnya. Bisa kita lihat dari
sektor kartu kredit, yang paling mudah terlihat. Kartu kredit, yang mestinya digunakan
untuk mempermudah transaksi antara pihak pembeli atau pengguna dengan pihak penjual
ataupun penyedia jasa, berubah total menjadi alat hutang yang paling ampuh. Banyak
masyarakat yang menggunakan kartu kredit bukan sekedar untuk berbelanja, namun
justru ditarik dalam bentuk cash. Hal ini membuktikan bahwa orang itu sebenarnya
sedang butuh dana. Selain itu, dari segi pendapatan, banyak orang yang mestinya tidak
layak mendapatkan kartu kredit, namun mereka mendapatkannya, bahkan dengan limit
10/14
yang relatif tinggi. Hal inilah yang lupa diperhitungkan Perbankan Nasional. Kita bisa
melihat bagaimana hati-hati dan cermatnya bank asing dalam melakukan proses verifikasi
hingga diputuskan bahwa seseorang menurut mereka layak untuk menerima kredit.
Namun, dengan adanya masyarakat yang terbukti mampu berperan sebagai katalis
peningkatan integritas Perbankan Nasional melalui konsep Learning Organization,
membuat Perbankan Nasional sepertinya tidak mau lengah lagi. Mereka senantiasa
melakukan review terhadap external world, pengkajian, serta sharing of knowledge
diantara anggota organisasinya. Mereka melakukan ini, selain untuk menyehatkan
internal mereka, namun lebih dari itu, mereka melakukan hal tersebut untuk memuaskan
konsumennya. Proses learning yang dilakukan oleh Perbankan Nasional, membuat setiap
bank berupaya meningkatkan pelayanan kepada nasabahnya. Berbagai cara dan metode
ditempuh agar mereka mampu memberikan pelayanan terbaik bagi nasabahnya. Di sisi
lain, membuat masyarakat aman dengan performa bank yang stabil dan cenderung
meningkat integritasnya. Dengan tumbuhnya kembali rasa aman bagi masyarakat untuk
menanamkan dananya ke bank-bank Indonesia, ditunjang pelayanan yang semakin hari
semakin meningkat dan inovatif, diharapkan membuat masyarakat tidak hanya percaya,
namun juga puas dengan pelayanan dan performa Perbankan Nasional. Nasabah yang
puas, akan membuat mereka akan memberikan word of mouth positif mengenai
Perbankan Nasional kepada external world, seperti yang ditegaskan oleh Lovelock and
Wright (2002, 87) “ However, customer satisfaction is not an end in itself. First,
satisfaction is inextricably linked to customer loyalty and relationship commitment.
Second, highly satisfied (delighted) customers spread positive word of mouth. Third,
highly satisfied customers may be more forgiving.” Kenyataan ini, sedikit banyak akan
semakin meningkatkan integritas Perbankan Nasional di mata masyarakat serta
komponen lain dalam external world. Di masa mendatang, peran masyarakat akan selalu
menjadi katalis dalam meningkatkan integritas Perbankan Nasional melalui konsep
Learning Organization. Peran masyarakat yang akan menentukan bank-bank yang
mampu bertahan dan bank-bank yang tergusur karena tidak mampu atau tidak learning,
sebagai syarat suatu organisasi untuk memiliki sustainable competitive advantage dalam
lingkungan bisnis yang uncontrollable dan unpredictable. Bank - bank yang mampu
bertahan, hanyalah mereka yang melaksanakan konsep Learning Organization dengan
11/14
masyarakat sebagai katalis bagi peningkatan integritas bank tersebut, yang pada akhirnya
akan meningkatkan integritas Perbankan Nasional.
12/14
DAFTAR PUSTAKA
Argyris, C. 1994. Good Communication That Blocks Learning. Harvard Bussiness
Review on Organizational Learning. (July/Agustus) ; 87-109
Barney, J. 1991. Firm Resources and Sustained Competitive Advantage. Journal of
Management, 17, 1, 99-120.
Beckett, R., Murray, P. 2000. Learning by Auditing : a Knowledge Creating Approach.
The TQM Magazine, 12, 2, 125-36.
Desimone, R.L., J.M. Werner, and D.M.Harris. 2002. Human Resources
Development. Orlando: Harcourt Inc.
Garratt, B. 2000. The Learning Organization: Developing Democracy at Work. London:
Harper Collins Publishers.
Garvin, David.A. 2000. Learning in Action : A Guide to Putting The Learning
Organization to Work. Boston : Harvard Bussiness School Press.
Harvard Bussiness School Publishing Corporation. 2003. Managing Creativity and
Innovation. Boston: Harvard Bussiness School Press.
Hill, R. 1996. A Measure of The Learning Organization. Journal of Industrial and
Commercial Training. Volume 28 Number 1 p. 19-25.
Hlalele, R.B.T., and J.H. Buitendach. 2003. Psychological Empowerment and Job
Satissfaction of Engineers in a Petrochemical Industri. Oral presentation at the 06th
Annual Industrial Psychology Conference, Pretoria, South Africa.
13/14
Jashapara, A. 2003. Cognition, Culture and Competition : an Empirical Test of the
Learning Organization. The Learning Organization Journal. Volume 10 Number 1
p.31-50.
King, A.W., Seithaml, C.P. 2001. Competencies and Firm Performance: Examining the
Causal Ambiguity Paradox. Strategic Management Journal, 22, 1, 75-99.
Kleiman, L.S. 1997. Human Resource Management : A Tool for Competitive Advantage.
St. Paul: West Publishing Company
Kotler, P. 2003. Marketing Management. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Leonard- Barton, Dorothy. 1995. Wellsprings of Knowledge : Building and Sustaining the
Sources of Innovation. Boston: Harvard Bussiness School Press.
Lovelock, C.H., and L.K. Wright. 2002. Principles of Services Marketing and
Management. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Murray, P. 2003. Organizational Learning, Competencies, and Firm Performance :
Empirical Observations. The Learning Organization Journal. (Vol 10): Issue 5.
Schneider, S.C and Jean-Louis Barsoux. 2003. Managing Across Cultures. Edinburgh
Gate, Pearson Deucation Limited.
Senge, P.1990. The Fifth Discipline : The Art and Practice of the Learning Organization.
London: Nicholas Brealey Publishing Limited.
Senge, P. 1994. The Fifth Discipline Fieldbook. London: Nicholas Brealey Publishing
Limited.
14/14
Shelton, C.D., and J.R. Darling. 2003. From Theory to Practice :Using New Science
Concept to Create Learning Organizations. The Learning Organization Journal.
(Vol 10): Number 6.
Solomon, M.R.2004. Consumer Behavior : Buying, Having, and Being. New Jersey :
Pearson Education, Inc.
Stacey, R. D. 2000. Strategic Management and Organizational Dynamics: The
Challenge of Complexity. Harlow: Pearson Education Limited.
.
Recommended