View
219
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tumbuhnya era digital turut serta ditandai dengan munculnya berbagai teknologi
yang turut berperan mempermudah kehidupan manusia dan menimbulkan perubahan
yang signifikan dalam sistem sosial di masyarakat.
Kebutuhan untuk mengabadikan sebuah moment dalam sebuah media digital
bernama kamera nampaknya sudah menjadi kelaziman sekaligus kebutuhan bagi
seseorang. Kesempurnaan untuk mengabadikan berbagai moment berharga menjadi
dambaan setiap pengguna kamera.
Celah kebutuhan inilah yang kemudian dimanfaatkan produsen untuk
mentransformasi ide kamera digital sebagai sarana yang mempermudah pekerjaan
khususnya para fotografer profesional. Fotografer profesional memiliki makna
pekerja di bidang foto, yang berarti orang atau individu yang mengantungkan hidup
atau dengan kata lain pekerjaannya berada dalam lingkup fotografi.
Inovasi khususnya di bidang teknologi juga terjadi pada perangkat rekam atau
kamera. Di era fotografi film, cermin itu wajib hadir sebab hanya itulah
“komunikasi” antara dunia nyata dan mata fotografer. Di dunia fotografi digital,
cermin itu tidak diperlukan lagi karena sensor kamera (pengganti film) bisa langsung
mengirimkan imaji kepada fotografer baik ke layar LCD maupun ke viewfinder
elektronik.
Produk kamera DSLR (Digital Single Lens Reflector) sebagai salah satu inovasi
yang dirasa mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Bahkan menurut Investor Daily
Indonesia (2012), pengguna kamera DSLR di Indonesia tumbuh pesat, pada bulan
Oktober tahun 2012 penjualan DSLR merk Canon dengan berbagai seri EOS
mencapai 60 juta unit, kemudian melesat pada tahun 2014 dengan angka penjualan
70 juta unit.
Sejarah kamera yang pada awal tahun 1990 booming dengan sistem analognya,
berkembang menjadi sistem digital pada awal tahun 2000. Era analog semakin
tergeser dengan industrialisasi produk kamera dari produsen ternama seperti Canon
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
maupun Nikon dari Jepang. Memasuki satu dekade terakhir atau era tahun 2010
hingga saat ini puluhan seri kamera digital telah diluncurkan.
Kamera digital DSLR sampai saat ini dianggap mampu memenuhi kebutuhan
fotografer profesional dalam menjalankan tugas fotografinya. Kamera ini adalah
perkembangan jenis kamera paling mutakhir dan masih digunakan sebagai alat
rekam yang mumpuni dalam perkembangan kebutuhan dunia digital saat ini.
Keutamaan dari kamera ini adalah adanya memori penyimpanan dalam bentuk
digital yang terbuat dari unsur kimia. Data digital mudah dipindahkan dan bisa
memuat banyak foto.
Dari artikel yang berjudul Sejarah Perkembangan Kamera Digital (diakses dari
http://www.fotografi.tp.ac.id/article/sejarah-perkembangan-kamera-digital.html)
perkembangan kamera digital tidak terlepas dari pengembangan video tape recorder
(VTR), yakni sebuah teknologi merekam gambar pada televisi. Pada tahun 1951,
untuk kali pertama, Bing Crosby Laboratorium membuat versi awal dari VTR. Alat
tersebut berfungsi untuk mengambil gambar dari kamera televisi, kemudian
mengkonversi gambar tersebut menjadi suatu impuls listrik (digital) dan
menyimpannya ke dalam tape magnetis. Kemudian pada tahun 1956, Charles P.
Ginsburg dan Ampex Corporation menyempurnakan VTR dengan meluncurkan versi
VR1000 dan umum dipakai oleh industri televisi. Maka dari sanalah, antara kamera
video dengan kamera digital memiliki kesamaan dalam penggunaan CCD (Charged
Couple Device) untuk mengatur warna dan intensitas cahaya. Sejak saat itulah, era
kamera digital telah dimulai dan berkembang secara pesat.
Pada tahun 1981, dimana Sony memperkenalkan kamera elektronik komersil
pertama mereka yang disebut Mavica. Adapun cara kerja dari kamera digital pertama
ini yakni gambar yang direkam ke mini disc kemudian dimasukkan ke dalam video
reader yang terhubung ke monitor atau televisi warna. Walaupun Mavica belum
dapat dikatakan kamera digital, itu sebenarnya merupakan modifikasi kamera video
yang mengambil foto secara spontan. Sementara itu, sejak pertengahan tahun 1970-
an, Kodak Company memiliki beberapa penemuan tentang solid-state atau kejernihan
untuk sensor gambar, yaitu mengubah cahaya ke gambar digital untuk penggunaan
pada tingkat profesional dan konsumen rumah tangga. Dilanjutkan tahun 1986,
Kodak untuk pertama kalinya di dunia mengenalkan sensor megapixel. Sensor ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
mampu merekam 1,4 juta pixel yang dapat menghasilkan 5x7 inci foto digital cetak
berkualitas baik pada saat itu. Setahun kemudian (1987), Kodak pun merilis tujuh
produk lainnya untuk merekam, menyimpan, memanipulasi, transmisi elektronik,
serta untuk mencetak gambar atau objek.
Pada tahun 1990, Kodak mengembangkan sistem foto CD dan mengusulkan
pertama kalinya di seluruh dunia untuk menetapkan standar warna digital dalam
lingkungan komputer dan peripheral komputer. Pada tahun 1991, Kodak merilis
pertama kalinya untuk para profesional, suatu sistem dalam pemotretan yaitu Digital
Camera System (DCS) yang bertujuan untuk foto jurnalistik. Kamera tersebut adalah
Nikon F-3 yang dilengkapi dengan sensor 1.3 Megapixels.
Sedangkan kamera digital yang pertama untuk tingkat konsumen pasar yang
bekerja dengan komputer rumah melalui USB (Unit serial Bus) adalah kamera
QuickTake 100 Aplle yang diluncurkan pada 17 Februari 1994, kemudian kamera
Kodak DC40 pada tanggal 28 Maret 1995, dilanjutkan dengan Casio QV-11 dengan
monitor LCD pada akhir 1995, dan Sony Cyber-Shot Digital Still Camera di tahun
1996.
Dipihak lain, Hewlett-Packard (HP) adalah perusahaan pertama dalam hal
membuat warna di produk mereka yaitu Inkjet Printer, sehingga melengkapi sistem
pewarnaan untuk gambar yang dicetak dari kamera digital. Maka dimulailah
perubahan kamera digital dengan bentuk yang baru. Kamera digital seperti kamera
konvesional, tersedia model Point-And-Shoot dan lensa refleks tunggal digital atau
Digital Single Lens Reflector (DSLR). Point-and-Shoot Camera adalah kamera kecil,
murah, dan mudah digunakan, karena kamera tersebut hanya berisi lensa dan built-in
flash. Untuk mendapatkan bingkai gambar, kamera tersebut memiliki Liquid Crystal
Display (LCD) berbasis viewfinder.
Adapun keuntungan dan kerugian dari model Point-And-Shoot adalah, kamera
tersebut dirancang agar memudahkan dalam penggunaan. Walaupun model ini masih
memiliki keterbatasan, yaitu penggunaan kontrol atas kamera. Beberapa kamera ada
yang mengatur fokus dan eksposure secara otomatis. Sementara jenis DSLR adalah
kamera dengan model kebalikan dari Point-and-shoot camera. Kamera DSLR
memiliki optical viewfinders, removable lens, external flash, dan kemampuan untuk
fokus serta kemampuan untuk menyesuaikan eksposur secara manual bila
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
diperlukan. Hal ini merupakan pengganti langsung dari kamera yang menggunakan
negatif film berbasis model lensa refleks tunggal atau Single Lens Reflex (SLR) yang
digunakan kebanyakan orang waktu dulu.
Ada sebuah contoh menarik bagaimana pentingnya inovasi teknologi dalam
perkembangan dunia jurnalistik khususnya media cetak. Fred S. Parrish (2002 : 4-10)
menyebutkan harian Arizona Daily Star adalah sebuah koran yang memiliki sirkulasi
lebih dari 100.000 eksemplar tiap harinya. Dimiliki oleh Pulitzer Publishing Co.
Berdiri pada tahun 1877, harian ini berlokasi di Tucson, wilayah yang rata-rata
adalah gurun yang berdekatan dengan perbatasan negara Meksiko.
Harian Arizona Daily Star merupakan koran yang terbit tujuh hari dalam
seminggu yang mengambil isu seputar perkembangan pemerintahan, dan isu imigran.
Koran ini memiliki idealisme yang tinggi dalam hal penggunaan media foto sebagai
nilai tambah yang besar dalam media mereka. Mereka percaya melalui penyajian
foto yang apik pembaca akan terpuaskan dengan sajian berita mereka.
Menyadari akan pentingnya konten foto sebagai pendukung pemberitaan, maka
fotografer harian ini dituntut menyajikan foto jurnalis yang baik dan memenuhi
kaidah jurnalistik. Foto yang disajikan diwajibkan memberi pemahaman lebih pada
pembaca tentang isu yang tengah dihadapi.
Setidaknya ada delapan fotografer tetap, ditambah fotografer freelance yang
bekerja pada media ini. Dalam sehari mereka diwajibkan mengerjakan dua sampai
tiga isu untuk disajikan dalam berbagai karya fotografi.
Melalui media kamera analog fotografer harus bekerja lintas tempat dan waktu
dalam sehari, ditambah mereka harus menyisakan cukup waktu untuk mengolah film
negatif menjadi jajaran film positif, bergelut dengan proses seleksi foto di ruang
gelap, bermain dengan zat kimia dan dilanjutkan proses memotong dan menyeleksi
ratusan deret negatif film menjadi beberapa buah foto yang layak untuk masuk
proses pre-cetak.
Panjangnya proses produksi dan sempitnya waktu deadline membuat media ini
beralih menggunakan kamera digital pada dekade tahun 1990-an, seri Nikon
NC2000e dipilih untuk memenuhi kebutuhan akan efisiensi waktu dan tenaga.
Perubahan dari analog menjadi digital membuat perusahaan merubah pula sistem
transmisi data dari bentuk hard file (negatif film) menjadi bentuk soft file (file foto).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Sistem internet pun digunakan sebagai alat penghubung (transmisi) dan alat
penyebaran foto dari fotografer menuju editor foto mereka. Hal ini semakin
memberikan kemudahan ketika fotografer harus pergi ke luar kota untuk penugasan,
Machintos Powerbook akan menjamin foto mereka terkirim cepat menuju meja
redaksi. Selain itu kamera digital mampu memenuhi kebutuhan media ini dalam
menangkap momen foto yang cepat dan membutuhkan kualitas baik.
Pada akhirnya saat ini kita perlu menandai kemajuan industri media Arizona
Daily Star ketika mereka memunculkan fasilitas Daily Star’s Online dimana langkah
ini merupakan terobosan bagi industri media dan kemajuan dunia fotografi digital
yang berjalan beriringan dengan kemajuan teknologi. Daily Star’s Online
memberikan jasa berbayar bagi mereka yang ingin mengunduh atau membaca koran
secara online. Bagi fotografer hal ini membuat mereka lebih cepat menyajikan karya
mereka bagi pembaca sehingga aktualitas berita lebih terjamin. Lebih banyak foto
yang bisa mereka bagi melalui media online daripada memikirkan halaman koran
yang terbatas.
Digitalisasi atau proses perubahan dari sistem analog menjadi sistem digital
sering juga disebut sebagai komputerisasi, turut berperan mendorong masyarakat
mengikuti arus perubahan dan turut dalam penggunaan mekanisme digital. Sebagai
sebuah perubahan yang bersifat masif, tentunya masyarakat dihadapkan pada pilihan
untuk belajar atau tetinggal dalam perkembangan teknologi ini.
Peneliti melihat perubahan teknologi dari sistem analog menjadi digital turut
“memaksa” seorang mempelajari inovasi baru yang ditawarkan kepada mereka.
Sebagai contoh perlu adanya penyesuaian baru dengan mengenal perangkat dan
tombol operasional sebuah kamera digital yang berbeda dari kamera analog.
Kemudian muncul lagi perbedaan dari segi olah gambar sampai transmisi gambar,
semuanya merupakan hal baru yang berbeda dari sistem analog sebelumnya.
Dalam dunia fotografi digital, istilah digitalisasi terdiri atas dua proses penting,
yakni proses pengambilan gambar dan proses pengolahan gambar setelah gambar
diambil. Proses digital mampu memotong proses ruang gelap dimana fotografer
harus bergulat dengan bahan kimia demi menghasilkan sebuah gambar pilihan.
Proses digital memudahkan fotografer dalam memenuhi tuntutan deadline
perusahaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Rogers (1983 : 135) memberikan definisi sebagai berikut :
“technology is a design for instrumental action that reduces the uncertainty in the cause-effect relationships involved in achieving a desired outcome. A technology usually has hardware and software components. Our definition implies some need or problem.” Rogers (1983 : 135) mendefinisikan sebuah teknologi biasanya berupa perangkat
keras dan lunak.
“The tool has (1) a material aspect (the equipment, products, etc.), and (2) a
software aspect, consisting of knowledge, skills, procedures, and/or principles
that are an information base for the tool.”
Rogers (1983 : 135), digitalisasi adalah sebuah produk inovasi, sedangkan
inovasi merupakan ide, gagasan, atau konsep yang diterima sebagai sesuatu yang
baru oleh masyarakat atau unit penerima yang lain.
“The innovation-development process consists of all of the decisions, activities, and their impacts that occur from recognition of a need or problem, through research, development, and commercialization of an innovation, through diffusion and adoption of the innovation by users, to its consequences.” Berbagai perubahan yang terjadi akibat pergeseran sistem dari analog menjadi
digital merupakan hal yang menarik untuk diteliti. Berbagai faktor yang
mempengaruhi seorang fotografer profesional, dalam proses difusi inovasi teknologi
kamera analog menjadi digital, inilah yang menurut peneliti dianggap sebagai proses
perubahan masif dalam dunia fotografi. Perubahan dari proses pengambilan gambar
hingga proses pengolahan gambar semua mengalami perkembangan yang luar biasa.
Dalam ranah ilmu komunikasi, peneliti melihat fenomena difusi inovasi kamera
jenis DSLR ini sebagai sebuah hal yang menarik. Bagaimana sesuatu yang dianggap
baru (inovasi) dapat diterima oleh khalayak menjadi alat untuk problem solving
dalam kehidupan sehari-hari. Peneliti ingin melihat bagaimana peran individu dalam
proses penerimaan dan penyebaran (difusi) sebuah informasi tentang ide baru
(inovasi).
Teori difusi inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi
disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu
kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Hal tersebut sejalan dengan
pengertian difusi dari Rogers (1983), yaitu “as the process by which an innovation is
communicated through certain channels over time among the members of a social
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
system.” Lebih jauh dijelaskan bahwa difusi adalah suatu bentuk komunikasi yang
bersifat khusus berkaitan dengan penyebaranan pesan-pesan yang berupa gagasan
baru, atau dalam istilah Rogers, difusi menyangkut “which is the spread of a new
idea from its source of invention or creation to its ultimate users or adopters.”
Difusi inovasi dijelaskan oleh Rogers (1983) sebagai proses keputusan terhadap
inovasi adalah proses bagaimana seorang individu (atau unit pembuat keputusan lain)
melalui tahapan pertama dari pengetahuan mengenai inovasi, untuk menciptakan
sebuah sikap terhadap inovasi tersebut, kepada keputusan untuk menerima atau
menolak.
Studi lain yang dilakukan oleh Marijke van der Veen (2010 : 4), dalam jurnal
Agricultural innovation: invention and adoption or change and adaptation?
Menguatkan pendapat Rogers (1983) mengenai definisi difusi inovasi bahwa :
“Rogers, in his textbook Diffusion of Innovations (2003: 169), draws on these aspects to categorize the stages an individual may pass through during the adoption process – knowledge, persuasion, decision, implementation and confirmation – and he stresses the nature of communication channels and the importance of certain individuals: opinion leaders who exert influence from within, and change agents who represent specialists from outside.” Salah satu unsur berhasilnya sebuah inovasi adalah keberadaan seorang opinion
leader seperti dijelaskan oleh Tina Gouws and George Peter van Rheede van
Oudtshoorn (2011 : 238), dalam jurnal yang berjudul Correlation between brand
longevity and the diffusion of innovations theory :
“Rogers (1983, p. 27) identifies an opinion leader as someone who is able to influence other individuals’ attitudes or overt behaviour informally in a desired way with relative frequency. Opinion leadership is earned and maintained by the individuals’ technical competence, social accessibility and conformity to the system’s norms.” Dari kedua penelitian yang telah dilakukan oleh pakar tersebut menekankan
faktor-faktor yang mempengaruhi sebuah difusi inovasi bisa menjadi solusi atas
permasalahan yang muncul. Faktor-faktor tersebut antara lain, faktor sosial,
ekonomi, dan sosial psikologis individu.
Dalam ranah ilmu komunikasi peneliti ingin melihat pada proses terjadinya
difusi itu sendiri. Bagaimana sebuah ide atau gagasan baru, yakni informasi
mengenai kamera digital jenis DSLR diadopsi oleh komunikator untuk diterima dan
disebarkan ke dalam lingkup sistem sosial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Menunjuk pada pengertian informasi dijelaskan dalam jurnal About Information
Concept, Its Essence, and Role In Social and Technical System oleh Fedorov (2007 :
84) dilihat dari segi bahasa bahwasanya informasi berasal dari bahasa latin,
informatio yang berarti penyelidikan (penelitian), penjelasan, dan penjabaran.
Persepsi keseharian yang beupa pesan dan data tertentu. Informasi juga bisa berarti
sebuah temuan, berita, data, dan seperangkat pengetahuan.
Dijelaskan pula oleh Bell’s and Shenon’s (2007 : 86) bahwasanya informasi
adalah :
1. Pesan yang melekat pada kontrol : kesatuan sinyal yang bersifat dan
karakteristik sintatis, semantik, dan pragmatis
2. Transmisi, refleksi dari berbagai macam objek dan proses (dari benda
hidup maupun mati)
3. Data mengenai individu, objek, fakta, kejadian, fenomena, dan proses yang
menghiraukan bentuk presentasinya.
Dapat disimpulkan melalui informasi kita dapat memahami refleksi dari proses,
fenomena atau kejadian tertentu baik dari sebuah objek benda maupun makhluk
hidup dalam dunia fisik tanpa memperhatikan refleksi bentuk, siapa yang membawa
dan posisinya dalam waktu dan space tertentu. Informasi menjadi hal penting karena
mampu membantu meraih tujuan tertentu.
Komunikasi menjadi titik penting dalam proses difusi, karena esensi dari proses
penyampaian ide / gagasan itu berawal dari bagaimana sebuah pesan diciptakan oleh
komunikator (message production) untuk selanjutnya ditransmikan (message
dissemination) melalui saluran komunikasi dan dapat diterima oleh komunikan
(message reception)
Pada dekade tahun 1970-an, muncul sebuah teori mengenai konstruksi pesan
(constructivist theory) yang dikembangkan oleh Jesse Delia dan sarjana komunikasi
lain pada masa itu. Teori ini merupakan gagasan paling logis untuk menjelaskan
luasnya jangkauan teori produksi pesan.
Dalam ranah penelitian ini peneliti melihat difusi inovasi yang diawali dengan
proses penyebaran pesan. Seorang inovator dalam melakukan proses difusi ini
mempunyai peran untuk menciptakan pesan yang disalurkan melalui media tertentu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
maupun melalui interaksi komunikasi interpersonal untuk selanjutnya ditransmisikan
kepada target yang ingin dituju.
Pada tingkatan dibawahnya, seorang early adopter adalah target utama dari
seorang inovator dalam proses difusi inovasi. Seorang early adopter dianggap
mempunyai posisi strategis dalam lingkup sistem sosial. Dalam proses difusi ide
baru, seorang early adopter menerima pesan (message reception) dari inovator untuk
selanjutnya melakukan proses penyebaran bagi tingkatan di bawahnya. Dirinya
dianggap memiliki power menyebarkan pesan sama seperti inovator dimana pesan
ini akan disampaikan lewat interaksi komunikasi interpersonal maupun media
tertentu yang mereka gunakan. Pada akhirnya pesan ini yang mempengaruhi orang
lain akan terpaan sebuah inovasi.
Dalam proses difusi inovasi, tingkatan ketiga yakni, early majority merupakan
tingkatan penerima pesan (message receptor) dari seorang early adopter. Pada tahap
ini, seorang early majority memiliki fungsi untuk menerima pesan dan menyebarkan
pada sistem sosial di bawahnya, seorang early majority cenderung lama menerima
pesan dibanding dua tingkat diatasnya.
Pada tingkatan keempat, yakni seorang late adopter, dimana tingkatan ini
bersifat pasif menerima pesan (message reception) dari tiga tingkatan diatasnya.
Seorang late adopter dalam menerima sebuah inovasi sangat mempertimbangkan
tingkat kemampuan ekonomi dan desakan kebutuhan untuk memperluas jaringan.
Dirinya akan mengadopsi sebuah inovasi ketika hampir seluruh anggota dalam
sistem sosialnya sudah menggunakan inovasi tersebut dan dirasa aman untuk
memakainya.
Tingkatan terakhir, yakni laggard , merupakan penerima pasif yang berpegang
teguh pada tata cara tradisional dan sangat berpengaruh pada agen perubahan yang
dekat dengan mereka.
Berdasarkan paparan teori di atas, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana
penyebaran dan penerimaan ide baru, yang dalam hal ini merupakan informasi
mengenai teknologi kamera DSLR di kalangan fotografer profesional di Kota Solo
dan Yogyakarta.
Dalam melakukan penelitian mengenai proses difusi inovasi ini, peneliti
menggunakan pendekatan penelitian komunikasi kualitatif. Menurut Pawito (2007 :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
35), penelitian komunikasi kualitatif, biasanya tidak dimaksudkan untuk memberikan
penjelasan-penjelasan (explanations), mengontrol gejala-gejala komunikasi atau
mengemukakan prediksi-prediksi, tetapi lebih dimaksudkan untuk mengemukakan
gambaran dan/atau pemahaman (understanding) mengenai bagaimana dan mengapa
suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi.
Menurut Pawito (2007 : 83), metodologi meliputi cara pandang dan prinsip
berpikir mengenai gejala yang diteliti, pendekatan yang digunakan, prosedur ilmiah
(metode) yang ditempuh, termasuk dalam mengumpulkan data, analisis data dan
penarikan kesimpulan. Metode adalah cara paling utama yang digunakan untuk
mencapai tujuan penelitian. Pada penelitian ini penulis ingin menggambarkan suatu
realitas, maka jenis penelitian yang paling tepat adalah jenis kualitatif dengan metode
studi kasus.
Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif studi kasus untuk
mendapatkan uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang
individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau suatu
situasi sosial. Peneliti studi kasus berupaya menelaah sebanyak mungkin data
mengenai subjek yang diteliti, mereka sering menggunakan berbagai metode :
wawancara (riwayat hidup), pengamatan, penelaahan dokumen, (hasil) survei, dan
data apapun untuk menguraikan suatu kasus secara terinci.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah yang di ungkapkan pada latar belakang, maka
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana karakter individu dilihat dari peran masing-masing individu sebagai
inovator, early adopter, early majority, dan late majority di dalam proses difusi
inovasi ?
2. Bagaimana peran individu dalam proses difusi inovasi informasi kamera DSLR
dilihat dari dua sisi, sebagai komunikator (message dissemiination) dan menjadi
seorang komunikan (message reception) ?
C. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan dan menganalisis karakter individu dilihat dari peran masing-
masing individu sebagai inovator, early adopter, early majority, dan late
majority di dalam proses difusi inovasi.
3. Mendeskripsikan dan menganalisis peran individu dalam proses difusi inovasi
kamera DSLR dilihat dari dua sisi, sebagai komunikator (message
dissemiination) dan menjadi seorang komunikan (message reception).
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi ilmu komunikasi, penelitian diharapkan dapat memberikan referensi bagi
pembangunan body of knowledge teori komunikasi yang tengah berkembang.
2. Bagi pembaca, diharapkan mampu memberikan manfaat praktis untuk
menentukan saluran komunikasi yang efektif dalam proses difusi sebuah inovasi.
3. Bagi peneliti lain sebagai bahan acuan untuk melakukan penelitian lanjutan.
Mengingat masih banyaknya lubang dari teori difusi inovasi yang masih bisa
digali melalui penelitian lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
Untuk memahami bagaimana sebuah proses difusi inovasi dapat berjalan dalam
sistem sosial khususnya dalam lingkungan fotografer profesional di Kota Solo dan
Yogyakarta, peneliti akan mendeskripsikan beberapa aspek yang berperan penting
dalam berhasilnya proses penciptaan dan penerimaan pesan tersebut.
I. Komunikasi
Peneliti melihat kajian penelitian ini sebagai sebuah fenomena komunikasi,
untuk itu perlu adanya definisi komunikasi secara luas dan menyeluruh. Definisi
komunikasi perlu dijelaskan di awal karena definisi mengenai komunikasi masih
bersifat tentatif dan belum menemukan satu definisi yang disepakati bersama.
Dalam beberapa dekade perumusan mengenai definisi komunikasi sangat
berlimpah pun dengan perubahan mengenai definisi tersebut ikut mengalami
perubahan secara terus menerus. Mungkin salah satu titik temu dalam memahami
komunikasi adalah komunikasi merupakan sebuah proses. Proses merupakan
sesuatu yang dinamis dan tidak bisa dikekang.
David Berlo (lihat, Miller 2005 : 5) mengemukakan sebuah ide mengenai
definisi proses sebagai sebuah kejadian atau hubungan yang bersifat dinamis dan
terjadi secara terus menerus, selalu berubah, dan berkelanjutan. Proses tidak
memiliki awal maupun akhir, tidak statis, melihat komunikasi sebagai proses
interaksi dimana satu orang mempengaruhi orang lain.
Seorang profesor komunikasi dari Michigan Tech University, Jennifer Slack
menyadari betapa sulitnya mencari pehaman tunggal mengenai makna dari
komunikasi tersebut, dalam buku A first look at communication theory, karya Em
Griffin (2012 : 6), mengungkapkan bahwa :
“there is no single, absolute essence of communication that adequately explains the phenomena we study. Such a definition does not exist; neither is it merely awaiting the next brightest communication scholar to nail it down once and for all.”
12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Penjelasan tersebut menunjukan betapa kompleks dan tentatif nya ilmu
komunikasi. Dimana sulit mencari sebuah definisi yang bisa mencakup pemikiran
beberapa ahli untuk meramunya menjadi sebuah konsep yang disepakati. Namun,
dalam bukunya tersebut, Em Griffin (2012 : 6) mencoba memberikan sebuah
pengertian sederhana mengenai definisi komunikasi.
Communication is the relational process of creating and interpreting
messages that elicit a response.
Dari satu kalimat tersebut diatas dapat diambil arti bahwa komunikasi
merupakan proses yang saling berhubungan dalam hal menciptakan pesan dan
meng-interpretasikan pesan tersebut yang pada akhirnya menghasilkan sebuah
respon.
John Fiske (2012), dalam bukunya Introduction to Communication Studies:
Second Edition juga melihat ilmu komunikasi sebagai sebuah multidisiplin ilmu,
dirinya mencoba menarik kesimpulan lewat beberapa asumsi dari pemahamannya
tersebut.
Dari beberapa asumsi yang ditekankan, Fiske (2012) menekankan dua pokok
atau esensi dari ilmu komunikasi, yakni komunikasi sebuah proses transmisi
pesan antara seorang komunikator dan komunikan, sedangkan pokok yang kedua
dia melihat komunikasi lebih kompleks communication as the production and
exchange of meaning atau komunikasi adalah proses produksi dan pertukaran
makna. Pokok kedua menekankan bagaimana pesan atau teks bisa dipahami dan
menghasilkan interaksi antar manusia.
Pendapat lain muncul dari Stephen W. Little John (2010), dalam bukunya
Theories of Human Communication : Tenth Edition, menjelaskan bagaimana
sebuah komunikasi tidak bisa dijabarkan dalam sebuah pengertian single namun
harus dijelaskan menurut “teori mana yang rasa cocok untuk anda” sepenuhnya
diserahkan pada bagaimana kita mampu memahami komunikasi sebagai sebuah
teori.
Dari pendapat beberapa ahli tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa
proses komunikasi memiliki beberapa aspek penting yang ada di dalamnya.
Disebutkan oleh Em Griffin (2012 : 6-7) tentang aspek-aspek penting
komunikasi dilihat dari beberapa konsep yakni :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
a. Message (pesan)
Message atau pesan adalah salah satu aspek inti dalam proses komunikasi.
Profesor Ilmu Komunikasi dari University of Colorado, Robert T. Craig
menyebut bahwasanya komunikasi meliputi berbicara dan menulis, menulis
dan membaca, menampilkan dan menyaksikan, atau secara umum melakukan
apapun yang melibatkan “pesan”dalam berbagai media dan situasi.
Dalam ranah komunikasi, pesan sering diidentikan dengan teks, yakni
seperangkat rekaman pesan yang dapat dianalisa oleh orang lain, sebagai
contoh buku, film, foto, atau contoh rekaman pidato maupun siaran pesan lewat
televisi.
b. Creation of Message (penciptaan pesan)
Pada proses ini seseorang akan melakukan proses menyusun, membentuk,
merangkai, mengadopsi, dan memilih pesan mana yang akan dia sampaikan
pada orang lain.
c. Interpretation of Message (interpretasi pesan)
Messages do not interpret themselves. Pesan tidak akan mengintrepretasikan
dirinya sendiri. Words don’t mean things, people mean things Kata tidak
berarti sesuatu, orang lah yang memberi arti kepadanya.
Dari dua kalimat di atas dapat dikatakan bahwa interpretasi pesan merupakan
dua hubungan kausal antara seorang komunikator dengan komunikannya.
Herbert Blumer (lihat, Griffin 2012 : 55) mengenai fase ini disebut dengan
“Humans act toward people or things on the basis of the meanings they assign
to those people or things.”
Manusia berperilaku untuk menghadapi orang lain atau sesuatu berdasar makna
yang mereka tetapkan untuk orang atau hal tersebut. Kata dan simbol lain terbuka
atas berbagai interpretasi yang disematkan kepadanya.
Komunikasi merupakan simbolik, karena itu kita tidak memiliki akses untuk
mengetahui pikiran atau maksud seseorang, apa yang kita mampu adalah
mengintepretasikan pemikiran atau perasaan seseorang lewat pemahaman
simbolik tersebut. Kita menciptakan simbol untuk memahami makna-makna
tertentu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Griffin (2012 : 8) membagi dua bentuk komunikasi sebagai sebuah proses yang
saling mempengaruhi. Keduanya dijabarkan sebagai berikut :
a. Relational Process (proses yang saling berhubungan)
Komunikasi adalah sebuah proses, komunikasi bersifat sangat dinamis dan
tidak pernah sama. Celeste Condit, seorang ahli retorika, menyebutkan bahwa
komunikasi cenderung melihat pada proses dibandingkan konten di dalamnya.
Komunikasi disebut sebagai proses yang saling berhubungan dikarenakan
komunikasi bukan hanya menunjukan hubungan antara manusia satu dengan
lainnya namun, juga melihat pada efek yang muncul yang mampu
mempengaruhi hubungan antara manusia tersebut.
b. Message That Elicit of Response (pesan yang menimbulkan respon)
Pada tahapan ini akan disinggung mengenai bagaimana sebuah pesan akan
menimbulkan respon / tindakan bagi penerimanya. Respon ini terkait
bagaimana sebuah pesan mampu memberikan reaksi baik kognitif, emosional,
sampai pada perilaku penerimanya.
Dikutip oleh Julia T. Wood (2011 : 16) dalam bukunya, Communication
Mosaic mengutip pernyataan dari Pinker, et al. bahwa ada dua tingkatan dalam
memahami makna tersebut yakni, content level yang bermakna tingkatan isi dari
makna yang bersifat literal (harfiah) dan tingkatan kedua adalah relationship level
of meaning yang menunjukan hubungan antar komunikator yang terlibat.
II. Proses Komunikasi
Proses komunikasi secara singkat menjelaskan bagaimana komunikasi terjadi,
siapa dan apa saja yang terlibat dalam proses tersebut. Beberapa ahli telah
menunjukan beberapa model proses komunikasi untuk memudahkan para sarjana
komunikasi memahami rangkaian proses tersebut.
Proses komunikasi secara linear dikenalkan oleh Laswell (1948) dimana
komunikasi sebagai proses satu arah, dimana seseorang berusaha mempengaruhi
orang lain, atau sering disebut dengan model transmisi komunikasi.
Pada tahun 1949, Shannon dan Weaver (lihat, Wood 2011 : 16)
menyempurnakan gagasan dari Laswell dengan menambahkan konsep noise
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
(gangguan). Gangguan adalah segala sesuatu yang menginterfensi makna
komunikasi yang sebenarnya.
Message Message
Signal Received signal
Information
Sender Message Receiver Gambar 2.1 The Linear Model of Communication
Kritik mengenai pola komunikasi tersebut dikemukakan oleh Gronbeck (lihat,
Wood 2011 : 17), The major shortcoming of the early models was that they
portrayed communication as flowing in only one direction, from a sender to a
receiver.
Ketika komunikasi dipandang sebagai sebuah proses dimana seorang
komunikator mengirimkan pesan pada komunikan, komunikasi tersebut bersifat
linear, karena seorang komunikan hanya pasif menerima pesan dari seorang
komunikator.
Berbeda dengan konsep terdahulu, Wilbur Schramm (lihat, Wood 2011 : 17)
memunculkan konsep feedback yakni sebuah respon atas pesan bisa berupa respon
verbal maupun non verbal. Wilbur Schramm menambahkan bahwa semakin
banyak perangkat pengalaman yang dimiliki komunikator untuk menyampaikan
dan menginterpretasikan pesan, maka semakin baik pemahaman yang akan terjadi
satu sama lain.
source Receiver Transmitter Destination
Noise source
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Field of experience Field of experience
Message
Encoder Decoder
Source Receiver
Decoder Encoder
Feedback
Gambar 2.2 The Interactive Model of Communication
III. Level Komunikasi
Beberapa ahli mengelompokan komunikasi dalam berbagai tingkatan sesuai
dengan keterlibatan individu dalam proses tersebut. Diungkapkan oleh Julia T.
Wood dalam Communication Mosaics (2011 : 34-36) tingkatan (level)
komunikasi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Komunikasi Intrapersonal
Komunikasi dengan diri sendiri atau self talk merupakan proses kognitif
bagaimana seorang individu melakukan komunikasi dengan dirinya sendiri.
Komunikasi intrapersonal mampu membantu individu dalam merumuskan pola
komunikasi yang tepat serta hasil yang dia inginkan dalam rangka
berkomunikasi dengan individu yang lebih luas (komunikasi organisasi).
2. Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal secara harfiah diartikan sebagai komunikasi antar
individu. Semakin banyak personal yang kita libatkan dalam sebuah
komunikasi maka proses komunikasi menjadi semakin interpersonal.
Komunikasi disebut sebagai interpersonal ketika terjadi proses interaksi secara
interaktif antar individu dalam rangka memberikan pengaruh satu sama lain,
umumnya untuk menjaga sebuah hubungan. Komunikasi interpersonal harus
melibatkan individu secara interaktif, bukan monolog individu harus terlibat
dalam interaksi maupun memberikan reaksi dalam sebuah interaksi
interpersonal. Komunikasi interpersonal memiliki peranan penting dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
menjaga sebuah hubungan, komunikasi interpersonal menciptakan reaksi
mendengar dan merespon, memberi dan menerima pesan untuk menciptakan
keharmonisan dalam interaksi melalui interpretasi pesan verbal maupun non
verbal.
3. Group Communication
Komunikasi dalam sebuah grup terjadi ketika beberapa individu berinteraksi
dalam sebuah kelompok kecil. Sebagai makhluk sosial, individu harus bekerja
secara kolektif dalam sebuah kelompok atau tim. Grup kecil ini atau small-
group communication adalah sebuah bentuk transaksi pesan verbal dan non
verbal antara tiga atau sekitar lima belas orang atau lebih yang memiliki
kesamaan tujuan, memiliki rasa memiliki dalam sebuah grup dan
mempengaruhi satu sama lain. Individu yang tergabung dalam sebuah grup
memiliki beberapa kecenderungan yakni berusaha mencapai tujuan tertentu
lewat interaksi antar individu di dalamnya. Individu dalam sebuah grup sangat
berpotensial mempengaruhi tindakan dan respon anggota grup lainnya.
4. Public Communication
Komunikasi publik terjadi ketika pembicara (komunikator) melakukan proses
transmisi pesan pada orang lain untuk memberikan informasi, membujuk atau
menghibur. Retorika adalah salah satu bentuk komunikasi publik dimana
retorika merupakan proses menemukan makna tertentu dalam melakukan
persuasi pada situasi tertentu. Seorang pembicara yang bagus mampu
memahami cara berkomunikasi mereka dan bagaimana mereka berinteraksi
dengan audiens.
5. Komunikasi Organisasi
Komunikasi organisasi berkembang menjadi sebuah media pertukaran pesan
dalam organisasi untuk meningkatkan kinerja, kepemimpinan, hingga proses
pengambilan keputusan. Komunikasi organisasi melihat bagaimana hubungan
antara atasan dan bawahan dalam sebuah organisasi, tentang bagaimana
pimpinan mampu menjaga hubungan untuk meningkatkan mutu organisasi.
Komunikasi menjadi penting ketika dalam sebuah organisasi yang terdiri atas
berbagai ras dan kategori yang berbeda berkumpul, menjadi tantangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
tersebdiri bagi seorang komunikator untuk memahami keberagaman gaya
komunikasi dalam sebuah organisasi.
6. Komunikasi Massa
Komunikasi massa, adalah sebuah proses dimana individu, grup atau
masyarakat, atau organisasi yang lebih luas (besar) menciptakan pesan dan
mentransmisikannya kepada masyarakat luas, anonymous, dan audiens yang
terdiri atas beragam tipe. Tipe komunikator dalam komunikasi massa biasanya
merupakan komunikator profesional atau organisasi khusus dengan budget
besar. Sifat pesannya massal dan bermacam tipe. Feedback dalam komunikasi
massa secara umum tidak langsung dan terlambat. Perkembangan teknologi
baru, baik televisi maupun internet memberikan kemudahan penyebaran pesan
secara masif.
Komunikasi massa menurut Littlejohn (2010 : 304) adalah proses dimana
organisasi media memproduksi dan mentransmisikan pesan kepada publik yang
lebih luas dan proses bagaimana pesan tersebut dicari, digunakan, dan
dipahami, dan mempengaruhi audiens.
Dalam menggambarkan komunikasi massa ini, Liitle John (2010)
menggambarkan sebuah model organisasi. Sarjana komunikasi menyadari
“dua wajah” komunikasi massa, satu wajah menghadap sosial budaya dan satu
wajah menghadap media sebagai institusi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
(2) Institutional Links (3) Personal Links
(Marxist theory) (Network and Diffusion Theory)
SOCIETAL
STRUCTURES AND AUDIENCES (1) Media Content
and Structure
CULTURE
(Innis and Mc Luhan)
(Semiotics)
(4) Cultural Outcome (5) Individual Outcome
(Functional Theory) (Effects Research)
(Cultivation Theory) (Agenda Setting)
(Spiral of Silence) (Uses and Gratification)
(Dependency Theory)
Gambar 2.3 An Organizing Model
Dari diagram diatas, dapat dilihat pengaruh media ke audiens merupakan
pemetaan teori-teori penggunaan media yang mempengaruhi khalayak. Dari
pemetaan terlihat teori difusi inovasi menjelaskan pengaruh media di mikro
level adalah pengaruh isi media ke khalayak. Isi media kepada khalayak bukan
melihat efek, namun lebih pada individu yang mengalami pengaruh media.
Difusi inovasi melihat pada peran-peran individu yang terlibat di dalamnya.
IV. Difusi Inovasi
Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat proses difusi inovasi sebagai
proses bagaimana sebuah inovasi mengalami proses difusi sampai akhirnya bisa
diaplikasi kan oleh beberapa adopter. Proses difusi dilihat sebagai bentuk
komunikasi khusus yang dilakukan oleh seorang komunikator melalui beberapa
saluran komunikasi untuk dapat diterima oleh komunikator. Ada dua bahasan
pokok dalam penelitian ini, yakni bagaimana sebuah pesan disebarkan (message
dissemination) dan bagaimana sebuah pesan diterima / diintepretasikan (message
reception). Ada pula dua peranan individu yang ingin dilihat peneliti di dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
penelitian ini, yakni bagaimana peran seorang individu / organisasi menjadi
seorang komunikator dalam penyebaran pesan (message dissemination) dan
bagaimana peran individu ketika dia menjadi seorang komunikan yang menerima
pesan (message reception).
Sebelum membahas kedua pokok proses komunikasi tersebut, peneliti ingin
membahas beberapa aspek pokok bahasan dalam proses difusi inovasi tersebut.
Apakah yang dimaksud difusi inovasi itu ? Rogers (1983 : 5)
“Diffusion is the process by which an innovation is communicated through certain channels over time among the members of a social system. It is a special type of communication, in that the messages are. concerned with new ideas. Communication is a process in which participants create and share information with one another in order to reach a mutual understanding. (Rogers and Kincaid, 1981).”
Rogers (1983 : 163) menyebut proses difusi inovasi sebagai tindakan
mengkomunikasikan sebuah pesan atau ide mengenai sebuah hal baru (inovasi)
untuk dapat digunakan sebagai alat menyelesaikan problem atau masalah yang
sudah ada.
‘The innovation-decision process is the process through which an individual (or other decision-making unit) passes from first knowledge of an innovation, to forming an attitude toward the innovation, to a decision to adopt or reject, to implementation of the new idea, and to confirmation of this decision.” “This process consists of a series of actions and choices over time through which an individual or an organization evaluates a new idea and decides whether or not to incorporate the new idea into ongoing practice. This behavior consists essentially of dealing with the uncertainty that is inherently involved in deciding about a new alternative to those previously in existence.”
Rogers (1983 : 11), menyebut setidaknya ada empat elemen pokok dalam
proses difusi inovasi, yakni :
1. The Innovation (Inovasi)
Inovasi adalah gagasan, ide, praktek, atau objek yang diterima sebagai
sesuatu yang baru oleh seorang individu atau unit adopter lainnya. Sifat
“baru”dari inovasi ini sangat tergantung pada reaksi individu atas inovasi
tersebut. Sesuatu dikatakan baru bisa diungkapkan melalui terminologi
pengetahuan, persuasi, atau keputusan untuk mengadopsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Karakter sebuah inovasi menurut Rogers (1983 : 213-232) harus
memiliki beberapa syarat yang mempengaruhi penerimaan oleh seorang
individu terhadap inovasi yakni sebagai berikut :
a. Relative Advantage (Kegunaan Relatif)
Adalah sebuah tingkatan dimana inovasi diterima sebagai sesuatu yang
lebih baik untuk menggantikan sebuah ide. Tingkat relatifitas ini bisa
diukur melalui faktor ekonomi, kepuasan, dan kecocokan dalam
menggunakan sebuah inovasi. Makin tinggi sebuah keuntungan relatif
dari inovasi, maka makin cepat pula sebuah adopsi akan terjadi.
b. Compatibility (Kecocokan)
Adalah sebuah tingkatan dimana sebuah inovasi diterima karena
konsisten dengan nilai-nilai yang sudah ada, pengalaman masa lalu, dan
kebutuhan oleh adopter potensial.
c. Complexity (Kompleksitas/Kerumitan)
Adalah sebuah tingkatan dimana sebuah inovasi dilihat dari sisi kesulitan
untuk memahami dan menggunakannya. Beberapa inovasi sudah siap
untuk dipahami oleh beberapa anggota sistem sosial : anggota yang lain
mungkin merasa rumit dan lambat dalam mengadopsi.
d. Trialability (Percobaan)
Adalah tingkatan dimana sebuah inovasi dapat di eksperimen dengan
batasan dasar. Sebuah inovasi atau ide baru yang bisa dicoba dalam
rencana instalasi akan lebih cepat diadopsi dibanding sebuah ide baru
yang tidak bisa dicoba.
e. Observability (Observatif)
Adalah sebuah tingkatan dimana hasil dari sebuah inovasi dapat dilihat
oleh orang lain. Makin mudah sebuah hasil inovasi diamati oleh
seseorang, maka inovasi tersebut akan mudah untuk diadopsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
2. Communication Channels (Saluran Komunikasi)
Difusi adalah bentuk komunikasi khusus dimana informasi yang ditukar
berkenaan dengan sebuah ide baru. Esensi dari proses difusi ini adalah
pertukaran informasi dimana seorang individu mengkomunikasikan ide baru
kepada individu lain. Sedangkan saluran komunikasi merupakan sarana atau
alat dimana pesan / ide baru disampaikan kepada orang lain.
Ada dua saluran menurut Rogers (1983 : 17) yang lazim digunakan,
yakni mass media channels dan interpersonal channels. Mass media adalah
segala sesuatu yang digunakan sebagai sarana transmisi pesan, meliputi
radio, televisi, koran, dan lainnya yang memungkinkan sumber untuk
mencakup beberapa audiens. Di sisi lain, saluran interpersonal lebih efektif
untuk membujuk seorang mengadopsi ide baru, khususnya jika channel
interpersonal tersebut menghubungkan dua atau lebih individu yang
berdekatan.
3. Time (Waktu)
Rogers (1983 : 20) variabel waktu dalam proses difusi ini meliputi :
a. Pada proses keputusan difusi inovasi, dimana individu melewati proses
pengetahuan pertama dari sebuah inovasi meliputi, penerimaan atau
penolakan.
b. Pada kemampuan inovasi oleh individu dan unit adopter lain, dimana
relativitas secara cepat atau lambat sebuah inovasi dapat diterima
dibanding individu lain dalam sistem.
c. Tingkatan adopsi dalam sebuah sistem, biasanya periode waktu diukur
sebagai jumlah anggota dari sistem sosial yang mengadopsi sebuah
inovasi.
4. A Social System (Sistem Sosial)
Sistem sosial adalah seperangkat unit yang saling berkomitmen dalam
rangka kerjasama untuk menyelesaikan masalah dan meraih tujuan tertentu.
Sebuah sistem sosial yang ada dalam masyarakat ikut menentukan apakah
sebuah inovasi dapat ditransmisikan dengan baik. Sistem sosial memberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
batasan atas sebuah difusi yang terjadi dalam masyarakat, sistem sosial
seperti norma, pendapat opinion leader, tipe difusi yang terjadi, konsekuensi
dari difusi itu sendiri memegang peranan penting (Rogers 1983 : 20).
Gambar 2.4 A paradigm of variables determining the rate of adoption of innovations
Dari gambar diatas Rogers (1983) menjelaskan beberapa elemen yang mampu
mempengaruhi tingkat kecepatan adopsi sebuah inovasi. Cepat atau tidaknya
sebuah inovasi bisa diadopsi oleh adopter setidaknya bisaa ditinjau dari sifat
inovasi itu sendiri, tipe keputusan pengambilan keputusan, saluran komunikasi
yang dipergunakan, sifat sistem sosial dalam masyarakat, dan usaha dari agen
perubah untuk melakukan usaha promosi.
Menurut Littlejohn dan Foss (2010 : 380), disebutkan kunci dari teori difusi
inovasi adalah :
1. Adanya Change agents, yakni orang-orang yang berinisiatif atas sebuah
inovasi, mengambil peran besar sebagai sumber informasi dari sebuah
inovasi.
2. Persepsi adopter mengenai pentingnya sebuah inovasi untuk disebarkan.
3. Proses adopsi, yang secara khusus dimulai melalui kontak komunikasi
interpersonal dalam jaringan yang mempengaruhi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Rogers (1983 : 135-149), dalam bukunya Diffusion of Innovations,
menyatakan bahwa sebuah inovasi bisa mengalami proses difusi, setelah melalui
beberapa tahapan, yakni :
1. Kesadaran Akan Adanya Masalah atau Kebutuhan
Salah satu cara dimana proses inovasi berkembang adalah dimana
muncul kesadaran mengenai adanya problem atau masalah yang
mendorong adanya penelitian dan pengembangan yang didesain untuk
menciptakan sebuah inovasi yang mampu memecahkan
problem/masalah. Dalam beberapa kasus, seorang peneliti mungkin akan
menghadapi masalah dan menciptakan penelitian untuk menemukan
solusi).
2. Penelitian Dasar dan Penerapan
Seringkali dalam berbagai penelitian, inovasi memiliki sinonim dengan
teknologi, dimana kedua hal ini memiliki kesamaan, yakni :
“Technology is a design for instrumental action that reduces the uncertainty in the cause-effect relationships involved in achieving a desired outcome. A technology usually has hardware and software components.”
“Our definition implies some need or problem. The tool has (1) a material aspect (the equipment, products, etc.), and (2) a software aspect, consisting of knowledge, skills, procedures, and/or principles that are an information base for the tool.”
3. Pengembangan
Pengembangan dari inovasi adalah proses meletakan sebuah gagasan
baru dalam sebuah bentuk yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan
audiens / adopter potensial.
4. Komersialisasi
Inovasi sering dihasilkan melalu berbagai aktivitas penelitian; mereka
biasanya dihasilkan dalam sebuah paket yang siap diadopsi langsung oleh
pemakai. Karena seperti halnya pengemasan dari hasil penelitian sebuah
inovasi yang biasanya dikerjakan oleh perusahaan swasta, tingkatan ini
dalam proses pengembangan teknologi biasa disebut “komersialisasi”.
Komersialisasi adalah, produksi, manufaktur, pengemasan, marketing
dan distribusi produk yang membungkus sebuah inovasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
5. Difusi dan Adopsi
Proses ini adalah saat yang paling sulit dalam rangkaian pengembangan
inovasi dimana produsen menentukan sebuah produk inovasi akan
disebarkan dan diadopsi kepada audiens luas.
Pada tahap ini adaptor akan menentukan apakah sebuah ide atau gagasan
baru bisa diterima atau ditolak oleh adaptor.
Titik yang sangat penting dalam proses pengembangan inovasi adalah
keputusan untuk memulai men-difusi inovasi kepada adaptor potensial.
Pada titik ini sistem penelitian/pengembangan/komersialisasi harus
berhubungan dengan agen-agen difusi yang akan mengkomunikasikan
inovasi kepada pengguna.)
Dikutip dari jurnal karya Ozaki dan Mark (2010 : 321) yang berjudul
Adopting Consuming and dikemukakan bahwasanya :
“Consumers make decisions to adopt innovations for a variety of
reasons that can be socially influenced or personal.”
6. Konsekuensi
Fase final dalam proses pengembangan inovasi ini adalah konsekuensi
dari inovasi itu sendiri. Pada tingkatan ini masalah asli/kebutuhan yang
meliputi seluruh proses baik yang dapat diselesaikan atau belum
diselesaikan oleh inovasi. Seringkali masalah baru/kebutuhan mungkin
disebabkan oleh inovasi sehingga putaran inovasi baru akan diciptakan).
Unsur-unsur dalam difusi inovasi menunjukan bagaimana kompleksnya
proses difusi sebagai bentuk komunikasi khusus. Untuk memahami lebih
mengerucut kepada proses komunikasi tersebut, peneliti mencoba menguraikan
bagaimana proses difusi inovasi terjadi dalam sebuah sistem sosial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Proses Difusi Inovasi
Rogers (1983 : 163) melihat difusi inovasi sebagai proses dimana individu
melewati proses pertama dari pengetahuan mengenai inovasi. Proses ini terjadi
atas beberapa seri tindakan dan pemilihan berulang dimana seorang individu
ataupun mengevaluasi munculnya ide baru untuk selanjutnya menentukan apakah
bekerjasama menerima inovasi atau tidak untuk selanjutnya bisa dikerjakan
melalui praktek berkelanjutan.
Gambaran tentang beberapa tahapan dalam proses pengambilan keputusan
dalam difusi inovasi dijelaskan sebagai berikut (Rogers 1983 : 164-185) :
a. Knowledge
Pada tahapan ini, individu atau unit pengambilan keputusan lain merasakan
terpaan inovasi yang ada dan mencapai pemahaman bagaimana inovasi
tersebut berfungsi.
Pada fase ini sesorang akan mempertimbangkan kebutuhan dan perhatian
terhadap sebuah inovasi. Dengan kata lain seseorang akan sadar terhadap
kebutuhan dan mulai mencari informasi yang mengurangi keraguan terhadap
sebuah inovasi melalui proses pencarian informasi. Ketika kebutuhan akan
sebuah inovasi semakin tinggi, akan terjadi proses pencarian informasi yang
dilakukan oleh individu. Tipe pencarian informasi pada tahapan ini dapat
dijabarkan menjadi, software information, yang terdapat pada inovasi itu
sendiri dan mampu mengurangi ketidakpastian tentang hubungan sebab dan
akibat yang terlibat dalam rangka meraih hasil yang kita inginkan (seperti
menyadari adanya kebutuhan dan masalah individu), how-to knowledge yang
terdiri atas penggunaan informasi penting untuk menggunakan inovasi
dengan benar. Ketika seorang individu tidak mendapat informasi memadai
pada tahapan ini, maka mereka akan menolak atau tidak meneruskan sebuah
inovasi. Principles knowledge terdiri atas informasi yang berkenaan dengan
fungsi dasar yang menjadi pokok bagaimana sebuah inovasi bekerja.
Kebanyakan, seorang change agents akan berkonsentrasi pada usaha untuk
menciptakan pengetahuan dalam tahapan awareness atau penciptaan
kesadaran individu, meskipun tujuan ini bisa dicapai lebih efisien pada
beberapa tahapan sistem masyarakat melalui saluran media massa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Secara umum dapat dirangkum sebagai berikut :
Generalization 5-1: Earlier knowers of an innovation have more education
than later knowers.
Generalization 5-2: Earlier knowers of an innovation have higher social
status than later knowers.
Generalization 5-3: Earlier knowers of an innovation have more exposure to
mass media channels of communication than later knowers.
Generalization 5-4: Earlier knowers of an innovation have more exposure to
interpersonal channels of communication than later knowers.
Generalization 5-5: Earlier knowers of an innovation have more change
agent contact than later knowers.
Generalization 5-6: Earlier knowers of an innovation have more social
participation than later knowers.
Generalization 5-7: Earlier knowers of an innovation are more cosmopolite
than later knowers.
b. Persuasion Stage (Tahapan Persuasi)
Tahapan ini menunjukan bagaimana seorang individu bersikap setelah
melalui tahapan pertama dalam pengetahuan. Seorang individu akan terlibat
lebih secara psikologis kepada inovasi tersebut: mereka akan aktif mencari
informasi mengenai sebuah ide baru, dimana mereka mencari informasi,
pesan apa yang mereka terima, dan bagaimana mereka menginterpretasikan
pesan tersebut.
Pada tahapan persuasi yang erat hubungannya dengan proses pengambilan
keputusan, seorang individu akan aktif mencari beberapa tipe informasi,
yakni : innovation-evaluation information yang mana untuk mengurangi
ketidakpastian tentang konsekuensi yang diharapkan pada sebuah ide baru
(inovasi). Tipe informasi ini didapat dengan mudah melalui evaluasi ilmiah
mengenai inovasi, biasanya bersifat subjektif berasal dari orang terdekat yang
telah menggunakan ide tersebut dan sangat meyakinkan. A preventive
innovation adalah ide baru yang diadopsi individu dalam rangka menghindari
peristiwa yang tidak diinginkan terjadi di masa depan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
c. Decision Stage (Tahapan Keputusan)
Tahapan pengambilan keputusan terjadi ketika seorang individu atau unit
pengambilan keputusan lain terlibat dalam aktivitas yang bertujuan untuk
memilih atau menolak sebuah inovasi. Adopsi adalah keputusan untuk
menggunakan secarap penuh sebuah inovasi jalan tindakaan terbaik.
Rejection adalah penolakan dalam menggunakan sebuah inovasi.
Rogers (1983 : 29) mengemukakan terdapat tiga bentuk pengambilan
keputusan mengadopsi sebuah inovasi, yakni :
1. Optional innovation-decisions terjadi ketika individu dalam sistem sosial
memutuskan untuk mengadopsi sebuah inovasi karena keputusan yang
merdeka dari dirinya sendiri terlepas dari anggota lain dalam sistem
sosial. Meskipun dalam pengambilan keputusannya mereka dipengaruhi
oleh norma sosial dan pengaruh komunikasi interpersonal.
2. Collective innovation-decisions adalah pilihan untuk mengadopsi atau
menolak inovasi yang dibuat secara konsesus diantara anggota dari sistem
sosial. Semua anggota unit dari sistem sosial biasanya akan patuh
terhadap keputusan dari sistem ketika melakukan adopsi.
3. Authority innovation-decisions adalah keputusan untuk mengadopsi
ataupun menolak sebuah inovasi ketika keputusan mengadopsi muncul
dari anggota sistem sosial yang memiliki kekuatan, status, ataupun
kemampuan secara teknis. Secara simpel anggota individu akan
mengikuti keputusan adopsi.
Pada tahapan pengambilan keputusan, penting bagi seorang inovator untuk
menghasilkan relative advantage bagi calon adopter yang ingin mereka tuju
karena tidak ada satu inovasi yang mampu diadopsi tanpa melalui proses trial
atas inovasi tersebut. Ketika relative advantage dirasakan seorang adopter
maka akan mendorong mereka pada proses adopsi inovasi secara menyeluruh.
Metode pemberian sampel gratis pada seorang adopter dirasa mampu
mempercepat adopsi produk.
Penggunaan agen perubahan bisa mempercepat proses inovasi untuk beberapa
individu dengan memberikan sponsor untuk melakukan demonstrasi ide baru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
pada sistem sosial, dan ada bukti bahwa strategi demonstrasi bisa cukup
efektif, khususnya jika demonstrator adalah seorang opinion leader).
Saat tahapan pengambilan keputusan berlangsung, beberapa inovasi atau ide
baru sering menggunakan seorang change agents / opinion leader untuk
menggantikan individu-individu dalam sebuah sistem sosial. Melalui
percobaan lewat ichange agents / opinion leader inilah akan memunculkan
keterwakilan dalam sebuah sistem yang luas. Karena seorang change agents
sering dicari untuk mempercepat proses difusi kepada khalayak luas
mengenai sebuah ide baru dalam sistem sosial. Biasanya teknik yang dipilih
melalui cara demonstrasi produk.
d. Implementation Stage (Tahapan Implementasi)
Disebut implementasi ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan
lain melakukan penggunaan pada sebuah inovasi atau ide baru tersebut.
Implementasi merupakan bentuk perubahan meliputi perilaku dari adopter
saat melakukan penggunaan inovasi. Tahapan implementasi akan berakhir
secara alami, namun biasanya ketika inovasi sudah tidak umum dan dianggap
tidak sesuai dengan proses operasional yang dialami individu.
e. Confirmation Stage (Tahapan Konfirmasi)
Proses difusi inovasi menganggap proses implementasi sebagai tahapan akhir,
namun pada beberapa kasus seorang individu atau unit pengambil keputusan
lain mencoba mencari informasi dalam rangka menguatkan keyakinan mereka
atas penggunaan sebuah inovasi atau ide baru. Pada tahap ini seseorang
berusaha meninggalkan informasi yang bisa meningkatkan ketidakyakinan
mereka atas inovasi yang mereka gunakan.
Ketidakcocokan atau dissonance muncul ketika ada ketidaknyamanan
seorang individu secara umum akan merubah pengetahuan, sikap, dan
tindakan mereka. Individu akan tertarik mencari informasi baru tentang ide
baru lain demi memuaskan kebutuhan mereka. Pada tahap lanjut, individu
akan mengalami discontinuance atau menghentikan penggunaan sebuah
inovasi demi mencari ide baru lain yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Gambar 2.5 Proses Tahapan Difusi Inovasi
Peran Individu Berdasar Tingkat Inovasi dan Kategori Adopter
Difusi inovasi sebagai proses komunikasi menekankan pada pentingnya
individu sebagai komunikator (pengirim) dan komunikan (penerima) pesan.
Namun, dalam sebuah sistem sosial tidak sepenuhnya inovasi atau ide baru dapat
diterima oleh kelompok masyarakat di dalamnya.
Tidak semua individu dalam sistem sosial mengadopsi sebuah inovasi dalam
waktu yang bersamaan. Mereka cenderung melakukan adopsi pada sekuen waktu
tertentu dan bisa dikelompokan dalam beberapa tipe adopter (Rogers 1983 : 241).
Individu pada masing-masing kategori berperan dalam proses difusi kepada
kategori di bawahnya, begitu seterusnya. Penggunaan saluran komunikasi seperti
media massa dan komunikasi interpersonal merupakan sarana transmisi pesan
untuk mencapai tingkatan adopsi pesan.
Berdasarkan pendapat Rogers (1983) idealnya terdapat lima tipe ideal adopter
dalam proses difusi inovasi, yakni sebagai berikut :
1. Innovator : Venturesome
Seorang inovator adalah pribadi yang suka berpetualang, mencoba hal-hal
baru, dan mempunyai obsesi mengenai suatu hal baru. Sifatnya ini
membuatnya berada pada lingkaran hubungan sosial kosmopolitan, jauh dari
lingkup putaran lokal (local circle). Seorang innovator harus memiliki
finansial yang kuat terkait beberapa proses pengembangan pengetahuan ide
baru yang akan dilakukan. Mereka harus bergelut dengan ketidakpastian
mengenai kapan inovasi yang mereka ciptakan akan diadopsi oleh adopter.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Jadi, inovator memegang peranan sebagai gatekeeping mengenai ide baru
dalam sistem sosial (Rogers 1983 : 248).
Disebutkan oleh Barbara Wejnert (2002 : 302) dalam jurnal yang berjudul
Integrating Models of Diffusion of Innovations : A Conceptual Framework,
kategori inovator memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut :
Enam karakter dari variabel pelaku yang nampak untuk mengatur adopsi
inovasi adalah :
1. Status sosial dari inovator
2. Tingkat pemahaman terhadap inovasi
3. Karakter status
4. Karakter sosial ekonomi
5. Posisi relatif dalam jaringan sosial
6. Karakter personal yang berhubungan dengan variabel kultur yang
memodifikasi karakter personal dari pelaku di level populasi.
2. Early Adopter : Respectable
Early adopter lebih terintegrasi dengan sistem lokal dibandingkan seorang
inovator. Pada kategori ini seorang individu harus mempunyai peranan yang
paling besar menjadi seorang opinion leader di dalam kebanyakan sistem
sosial. early adopter sering mencari informasi dan hal-hal terkait dengan
sebuah inovasi, karena sifatnya inilah seorang change agents sering
menunjuknya sebagai misionaris lokal untuk menyebarkan proses difusi.
Karena kedekatannya dengan inovasi ini, menjadikannya sebagai model
contoh bagi masyarakat lain, dirinya sangat dihormati dalam lingkup sistem
sosial. jadi, peran seorang early adopter adalah mengurangi ketidakpastian
mengenai sebuah inovasi untuk dapat diadopsi, perannya menyampaikan
evaluasi subjektif mengenai inovasi kepada rekan terdekatnya melalui
saluran interpersonal (Rogers 198 : 249).
3. Early Majority : Deliberate
Seorang early majority mengadopsi ide baru sesaat sebelum rata-rata
anggota sistem sosial melakukan adopsi serupa. Individu pada tahap ini
sering berinteraksi dengan peers tapi jarang memegang posisi pemimpin.
Early majority mendapatkan posisi unik di antara early majority dan late
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
adopter membuat mereka menjadi link penghubung yang penting dalam
proses difusi. Mereka menjadi penghubung antar fase dalam prses difusi.
Periode pengambilan keputusan difusi pada proses ini cenderung lambat
dibanding seorang early adopter (Rogers 1983 : 249).
4. Late Majority : Skeptical
Individu pada tahap ini cenderung melakukan adopsi sebuah ide baru ketika
mayoritas anggota dalam sistem sosial telah melakukan adopsi terlebih
dahulu. Tindakan adopsi yang lambat biasanya didasari atas kebutuhan
ekonomi dan keinginan menjawab tekanan sosial. mereka tidak akan
mengadopsi sampai sebagian besar individu melakukan adopsi terlebih
dahulu. Sistem norma sering berperan menciptakan sikap skeptis ini,
peranan seorang peers sangat tinggi dalam memberikan motivasi untuk
melakukan sebuah adopsi inovasi (Rogers 1983 : 250).
5. Laggards : Traditional
Laggards merupakan kategori terakhir dalam fase adopsi. Mereka sama
sekali tidak memiliki seorang opinion leader, sifatnya cenderung diluar
sistem sosial dan terisolir. Keputusan untuk melakukan difusi sering diambil
setelah mengamati penggunaan ide baru melalui generasi sebelumnya dan
mereka cenderung berinteraksi dengan sesama kaum tradisional. Kategori ini
melambatkan proses difusi karena sifatnya yang sangat tradisional dan sulit
menerima masukan (Rogers 1983 : 250).
V. Saluran Komunikasi Dalam Proses Difusi inovasi
Dalam penelitian ini, peneliti menekankan proses komunikasi sebagai kajian
utama penelitian. Dalam proses difusi inovasi, saluran komunikasi memegang
peran penting dalam proses penyebaran ide baru. Pada bahasan sebelumnya telah
disebutkan bahwa inti dalam proses difusi adalah bagaimana sebuah ide baru
mampu diterima dan diadopsi oleh kategori tertentu dalam masyarakat. Ada
beberapa unsur yang berperan dalam proses komunikasi tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Kategori Saluran Komunikasi
Sebelum memahami proses difusi inovasi melalui saluran komunikasi
perluadanya pemahaman mengenai unsur source dan channel. Source atau sumber
adalah individu atau organisasi yang menciptakan pesan. Sedangkan channel
adalah sarana yang digunakan untuk menyebarkan pesan pada penerima (receiver)
(Rogers, 1983 : 198).
Rogers (1983 : 19-20) mengemukakan bahwasanya proses komunikasi yang
efektif akan tercipta ketika dua individu yang terlibat adalah homophily.
Homophily adalah tingkatan dimana individu yang berinteraksi dalam sistem
sosial memiliki kesamaan atribut tertentu seperti pendidikan, kepercayaam, status
sosial dan lainnya. Ketika mereka berbagi makna kesamaan bahasa, personal, dan
karakter sosial, efek komunikasi akan menjadi besar dalam hal pencapaian
pengetahuan, perubahan sikap, dan perubahan perilaku yang lain.
Ada dua saluran menurut Rogers (1983 : 17) yang lazim digunakan, yakni
mass media channels dan interpersonal channels. Mass media adalah segala
sesuatu yang digunakan sebagai sarana transmisi pesan, meliputi radio, televisi,
koran, dan lainnya yang memungkinkan sumber untuk mencakup beberapa
audiens. Di sisi lain, saluran interpersonal lebih efektif untuk membujuk seorang
mengadopsi ide baru, khususnya jika channel interpersonal tersebut
menghubungkan dua atau lebih individu yang berdekatan.
Mass media channel (Rogers 1983 : 198) diartikan sebagai proses transmisi
pesan yang melibatkan media massa luas seperti, radio, televisi, koran, dan
lainnya. Media massa mampu :
a. Menjangkau massa secara luas dengan cepat
b. Menciptakan pengetahuan dan menyebarkan informasi
c. Membangun perubahan sikap yang terjadi dengan lemah
Saluran komunikasi melalui media massa dirasa mampu menjangkau target
audiens secara luas, namun dari efek perubahan perilaku, saluran komunikasi
interpersonal memiliki cakupan yang lebih efektif.
Dalam jurnal yang berjudul The Messenger is the Medium oleh Valente dan
Myers (2010 : 254), dikemukakan bahwasanya :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
“Scholars have argued that mass media are effective at disseminating
information but that interpersonal communication is necessary for
behavior changes to occur.”
Saluran komunikasi melalui media massa menemui hambatan karena
kompleksnya audiens. Jaringan dan koneksi antar individu tidak bisa diprediksi.
Untuk itu saluran komunikasi individu melalui komunikasi interpersonal dirasa
mampu menjangkau jaringan sosial tersebut.
Sedangkan saluran interpesonal dianggap mampu memberikan pengaruh yang
kuat. Saluran komunikasi interpersonal meliputi penyampaian pesan melalui
proses tatap muka antar dua individu atau lebih.
Proses komunikasi interpersonal menurut Rogers (1983 : 198) mampu untuk :
a. Menyediakan pertukaran informasi dua arah. Karakteristik komunikasi
interpersonal mampu mengatasi batasan / penghalang sosial-psikologis
atas terpaan selektif, persepsi, dan ingatan.
b. Mengajak individu untuk membentuk atau merubah sikap dengan kuat.
Ada beberapa unsur di dalam sebuah komunikasi interpersonal menurut
Littlejohn dalam Encyclopedia of Communication Theory (2009 : 547) :
1. Numerical adalah berapa jumlah individu yang terlibat dalam komunikasi
interpersonal ? Pendapat klasik melihat dua orang yang terlibat sudah
dikatakan sebagai komunikasi interpersonal, namun tiga sampai lima
individu masih diklasifikasikan dalam komunikasi interpersonal.
2. Channel adalah media apa yang digunakan sebagai sarana komunikasi.
Tatap muka merupakan sarana yang lazim dalam komunikasi
interpersonal.
3. Feedback adalah kemampuan untuk memahami dan membalas pesan
(respon) kepada orang lain untuk meningkatkan komunikasi dan
membuatnya lebih interpersonal.
4. Privacy adalah interaksi, apakah interaksi yang terjadi berada di depan
banyak publik ataukah terjadi lebih intim antara dua orang saja.
5. Goal adalah tujuan yang ingin diraih dalam komunikasi. Apakah
digunakan untuk menyelesaikan tugas? Menunjukan identitas? Ataukah
menunjukan hubungan yang baik?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
6. Relationship type and stage apakah dalam komunikasi antara partisipan
sudah saling mengenal atau sudah menjalin hubungan, menentukan
tingkat dan sifat komunikasi.
7. Knowledge bagaimana komunikator dan komunikan saling mengetahui
sama lain, dan bagaimana orang lain akan bereaksi kepadanya. Apakah
seorang komunikator memiliki ekspektasi terhadap perilaku orang lain?
Makin kenal dan tahu dengan orang tersebut maka makin meudah
menebak reaksi yang akan terjadi.
8. Mutual influence makin tinggi pengaruh mutual dalam komunikasi, maka
komunikasi tersebut makin interpersonal.
Model komunikasi multi-step flow secara umum dapat diterima untuk
menjelaskan saluran komunikasi dan pola penyebaran pesan dalam proses difusi
inovasi. Model multi-step flow menyadari adanya banyak penghubung antara
media dan final receiver, model ini melihat lebih banyak kemungkinan dalam
proses penyebaran dan penerimaan pesan. Dalam proses difusi inovasi, individu
tertentu akan mendengar langsung sebuah informasi melalui media dimana
individu yang lain tidak melakukannya (Littlejohn, 2002 : 314).
Seorang inovator misalnya akan menggunakan media massa sebagai sarana
transmisi pesan langsung kepada audiens nya namun, seorang inovator juga akan
menggunakan sarana komunikasi interpersonal sebagai media transmisi pesan
kepada seorang opinion leader. Relay atau dinamisnya saluran yang digunakan
dalam multi-step flow inilah yang mampu menjelaskan kompleksnya proses
komunikasi dalam difusi inovasi.
VI. Message Dissemination & Message Reception
Difusi inovasi adalah sebuah bentuk perubahan sosial. beberapa penulis
terdahulu menyebut proses difusi sebagai sebuah bentuk proses diseminasi. Difusi
dilihat sebagai sebuah proses penyampaian ide baru yang spontan, tidak
terencana, dan menggunakan konsep diseminasi untuk sebuah proses difusi yang
terarah dan teratur. Kemudian pada akhirnya proses difusi inovasi disamakan
dengan proses diseminasi karena tidak adanya perbedaan yang mencolok. Pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
akhirnya difusi dilihat sebagai proses persebaran ide baru yang terencana dan
spontan (Rogers, 1983 : 6).
Seperti yang telah disinggung di atas, proses difusi inovasi memiliki beberapa
fase jika dilihat dari kategori adopter berdasar fase waktu (lama) adopsi sebuah
ide baru. Namun, dalam penelitian ini peneliti ingin menitikberatkan pada proses
komunikasi terkait dengan proses persebaran pesan (message dissemination) dan
penerimaan pesan (message reception). Pesan disini adalah ide baru yang akan
ditransmisikan, jadi bagaimana masing-masing kategori adapter melakukan fungsi
transmisi pesan (ide baru) hingga mengalami proses adopsi secara penuh.
Message atau pesan adalah titik fokus utama kajian dalam proses komunikasi.
Dalam ranah ilmu komunikasi kita akan dihadapkan pada pertanyaan bagaimana
menciptakan pesan yang efektif ? Karena inti dari proses komunikasi adalah
bagaimana seorang komunikator meramu pesan untuk mencapai goal dari proses
komunikasi.
Proses penciptaan dan penerimaan pesan dalam proses komunikasi seperti
dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan sekuen
yang saling berurutan satu sama lain. Melalui penelitian ini, peneliti ingin melihat
keduanya sebagai proses inti dari difusi inovasi.
A. Message Dissemination
Dalam proses penyebaran pesan ini, kategori adopter akan berperan sebagai
komunikator. Apa yang perlu dilakukan sebelum seorang menyebarkannya ?
Sebagai contoh seorang inovator yang akan melakukan persebaran pesan akan
berfikir terlebih dahulu bagaimana mereka merepresentasikan diri mereka kepada
audiens, media apa yang akan digunakan, dan pesan apa yang mampu mewakili
target audiens nya tersebut.
A.1 The Presentation of Self
Sebagai seorang komunikator yang menciptakan sebuah pesan atau
gagasan, seseorang harus tahu siapa audiens yang menjadi lawan bicaranya.
Menempatkan diri sebagai seseorang (self) pada situasi tertentu membantu
kita lebih memahami siapa komunikan kita. Menurut Erving Goffman yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
dikutip melalui Littlejohn dan Foss (2010 : 101), melihat bagaimana
komunikator menunjukan diri mereka dalam sebuah sistem sosial.
Ketika kita berada pada situasi tertentu, kita menunjukan presentasi atau
penampilan-kita harus memutuskan bagaimana posisi diri kita, apa yang
akan dilakukan dan bagaimana bertindak. Goffman melihat bahwa
seseorang harus masuk akal dalam menghadapi berbagai kejadian dalam
kehidupan sosial. Tindakan ini dimulai dengan bagaimana kita
mendefinisikan situasi.
Frame Analysis dalam diri individu menentukan bagaimana seorang
individu mengorganisasi dan memahami perilaku mereka pada berbagai
situasi. Frames membantu kita mengidentifikasi dan memahami sebuah
kejadian, memberi makna pada aktivitas yang tengah terjadi dalam
kehidupan.
Aktivitas komunikasi, bisa dilihat melalui konsep frame analysis. A face
engagement dan encounter terjadi dalam proses interaksi atau komunikasi.
Dalam proses face engagement baik secara verbal maupun non verbal
terdapat satu fokus perhatian dan aktivitas sejenis yang saling
menguntungkan. Keduanya membantu menciptakan definisi mutual dalam
sebuah situasi.
Goffman memberikan gambaran mengenai sebuah drama, dimana
komunikator menyajikan peran dirinya dalam sebuah pertunjukan,
menawarkan frame yang dia bawa untuk selanjutnya diterima sebagai
karakteristik oleh komunikan. Komunikator adalah presentasi dari self yang
ia miliki dan satu orang memiliki banyak self dalam dirinya tergantung
bagaimana mereka merepresentasikan dirinya dalam masyarakat.
Sebagai komunikator ada beberapa tahapan yang dilalui ketika sebuah
pesan diciptakan. Sebagai komunikator, proses pertama adalah melihat
karakter individu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
A.2 Traits and Behaviors
Littlejohn (2002 : 94-95) mengemukakan teori yangmenjelaskan
bagaimana kita sebagai individu bertindak atas kombinasi sifat dasar dan
faktor situasional. Jadi saat berkomunikasi, kita akan sangat bergantung
pada sifat kita dan situasi dimana kita berada. Tiga contoh sifat ini adalah :
a. Conversational Narcissism
Teori yang dikembangkan oleh Anita Vangelisti, Mark Knapp, dan John
Daly yang mengidentifikasikan sikap manusia yang terpikat atas dirinya
sendiri dalam percakapan. Seseorang cenderung mengangungkan dirinya
sendiri dan mengatur pola dari komunikasi yang dihadapi. Perilakunya
cenderung non verbal dan melebih-lebihkan dalam gestur, dan cenderung
kurang responsif terhadap lawan bicara.
b. Argumentativeness
Adalah kecenderungan seorang individu terlibat dalam percakapan tentang
topik kontroversial, untuk mendukung sudut pandangnya sendiri, dan
menolak kepercayaan yang berlawanan.
c. Social and Communicative Anxiety
Diungkapkan oleh James Mc Croskey teori communication apprehension
dimana seseorang cenderung tidak berkomunikasi atas dasar alasan tertentu,
bisa dilihat dari tingkat ketakutan mereka untuk berkomunikasi. Semakin
tinggi tingkat ketakutan, maka akan tercipta masalah personal, seperti
ketidaknyamanan dan menghindari komunikasi. CA sangat erat
hubungannnya dengan sisi psikologis seseorang, bisa dilihat dari ekspresi
seperti malu, dan detak jantung, perilaku nyata seperti menghindar dan
melindungi diri sendiri, maupun sisi kognitif seperti self-focus ataupun
berfikiran buruk.
Tahapan seorang komunikator dalam menyebarkan sebuah pesan akan
diimbangi dengan bagaimana sebuah pesan atau gagasan baru ditransmisikan
melalui berbagai saluran komunikasi (media choice). Everett M. Rogers
memberikan beberapa asumsi mengenai tingkatan penggunaan saluran
komunikasi dalam proses difusi tersebut (Rogers, 1983 : 200).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
1. Asumsi 1 : Mass media relatif lebih penting pada fase pengetahuan dan
saluran komunikasi interpersonal lebih penting pada fase persuasi
Sill (1958) menemukan bahwa jika menginginkan daya serap terhadap adopsi
bisa tinggi, maka diperlukan penggunaan saluran komunikasi dengan waktu
ideal dan secara berkelanjutan, bergantian antara penggunaan saluran media
massa kemudian saluran interpersonal.
Pada fase pengetahuan mengenai inovasi, penggunaan media massa
memberikan perhatian / awareness, menuju grup, dan pada akhirnya menuju
masing-masing individu. Daya dorong pengetahuan terhadap inovasi
diciptakan oleh media massa untuk kemudian saluran interpersonal berperan
menggerakan individu pada fase persuasi.
2. Asumsi 2 : Saluran kosmopolitan relatif lebih penting pada fase pengetahuan
(knowledge), dan saluran lokal (localite) relatif lebih penting pada fase
persuasi pada proses keputusan-difusi inovasi
Cosmpolite communication channel atau secara harfiah saluran komunikasi
kosmpolitan, adalah mereka yang berasal dari luar sistem sosial yang tengah
diinvestigasi : saluran lain mengenai ide baru yang mencakup individu-
individu dari sumber di dalam sistem sosial mereka. Saluran interpersonal
masuk ke dalam lokal maupun kosmopolitan, sedangkan mas media
keseluruhan merupakan kosmopolitan.
3. Asumsi 3 : Saluran media massa relatif lebih penting dibanding saluran
interpersonal untuk adopter tingkat awal dibanding adopter tingkat akhir.
Pada saat ini inovator hanyalah satu-satunya tingkatan dalam sistem difusi
yang mengadopsi sebuah ide baru sehingga tidak ada seorang pun dalam
sistem yang berpengalaman dengan inovasi. Seorang late adopter tidak perlu
berhubungan langsung dengan media massa, dirinya lekat dengan saluran
interpersonal pada sistem sosial. Early adopter membutuhkan informasi
karena sifatnya yang suka berpetualang mencari informasi, untuk itu stimulus
dari media massa cukup untuk menggerakan mereka. Sedangkan late adopter
membutuhkan pengaruh yang kuat dan cepat, seperti jaringan interpersonal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
4. Asumsi 4 : Saluran kosmopolitan relatif lebih penting dibanding saluran
lokal untuk early adopter dibanding late adopter.
Inovasi masuk ke dalam sistem sosial melalui sumber dari luar, yakni :
mereka yang mengadopsi pertama kali lebih bergantung pada saluran
kosmopolitan. Mereka, para early adopter, secara kebalikan bertindak sebagai
saluran interpersonal dan saluran lokal untuk adopter dibawahnya.
B. Message Reception
Proses kedua dalam kajian proses komunikasi dalam ranah difusi inovasi ini
adalah proses penerimaan pesan (message reception). Proses penerimaan pesan
adalah sekuen dari proses penciptaan pesan yang menjadi fokus dalam penelitian
ini. Proses komunikasi dalam difusi inovasi terjadi pada beberapa kategori
adopter.
Pertanyaan mendasar pada fase ini adalah bagaimana komunikan menjadi
paham, mengorganisasi, dan menggunakan informasi yang terkandung dalam
sebuah pesan.
B.1 Message Interpretation
Interpretasi adalah proses bagaimana individu paham dengan apa yang kita
(komunikator) sampaikan / paham dengan pengalaman dari komunikator. Teori
yang dikembangkan dalam fase ini adalah Attribution Theory oleh Fritz Heider.
Teori ini menjelaskan bagaimana kita faham dengan perilaku kita sendiri dan
orang lain. Ada beberapa atribut yang mendasari perilaku manusia dalam
interpretasi pesan ini yakni, situational causes (dipengaruhi oleh lingkungan),
personal effects (dipengaruhi secara personal oleh orang lain), ability
(kemampuan untuk melakukan sesuatu), desire (hasrat melakukan sesuatu),
sentiment (merasa menyukai sesuatu), belonging (merasa memiliki sesuatu),
obligation (merasa harus melakukan), dan permission (diizinkan untuk
melakukan/bertindak) (Littlejohn, 2002 : 12-122).
Persepsi kausal ditengahi oleh variabel psikologis dari dalam diri individu.
Salah satunya adalah meanings (makna). Kita akan selalu menyertakan makna
terhadap apa yang kita lihat, dan makna tersebut berperan penting atas apa yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
kita lihat. Makna ini akan membantu kita mengintegrasikan persepsi kita dan
mengorganisasi pengamatan kita menjadi pola yang membantu kita memaknai
dunia.
Kajian yang menarik dalam teori ini adalah ketika kita sadar bahwa
komunikator memiliki maksud dalam berkomunikasi dengan kita. Jika hal ini
terjadi kita akan menyadari adanya dua kemungkinan, yakni ability dan
motivation. Sedangkan hal menarik lainnya muncul ketika seseorang ought to atau
harus melakukan sesuatu, hal ini tidak memaksa, karena individu bisa melakukan
karena dia memang seharusnya melakukan, untuk itu ketika orang ingin konsisten
harus ada keseimbangan antara obligations dan values.
B.2 Information Organization
Pada bagian ini kita melihat bagaimana individu setuju dengan cara kita
mengorganisasi dan mengatur informasi dan bagaimana informasi mempengaruhi
sistem kognitif kita (Littlejohn, 2002 : 12-123).
Information-Integration Theory melihat bagaimana seseorang mengumpulkan
dan mengorganisasi informasi tentang orang lain, objek, situasi, atau ide dan
bentuk perilaku. Ada beberapa variabel penting bagaimana sebuah informasi
mampu mengubah pola perilaku kita, informasi harus memenuhi dua syarat, yakni
Valence, bagaimana sebuah informasi mendukung kepercayaan kita dan sikap
yang kita miliki, informasi memiliki “positive valence” namun, ketika sebuah
informasi tidak mendukung sikap dan kepercayaan kita informasi tersebut
mengandung “negative valence”.
Variabel selanjutnya adalah weight, ketika sebuah informasi dirasa memiliki
sebuah kebenaran maka kita akan memberikan weight atau penekanan / perhatian
yang lebih tinggi atas informasi tersebut. Namun, ketika informasi dirasa tidak
benar, tingkat penekanan akan rendah.
Sebuah sikap terdiri atas akumulasi dari informasi tentang objek, personal,
situasi, dan pengalaman. Perubahan sikap terjadi karena informasi baru
menambah sikap atau merubah salah satu pandangan mengenai weight dan
valence dari informasi lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
VII. Peran Kategori Inovasi Dalam Proses Penyebaran dan Penerimaan
Pesan
Melalui penelitian ini, peneliti ingin mendeskripsikan dan menganalisis
bagaimana masing-masing kategori adopter berperan dalam proses penyebaran
pesan (message dissemination) dan proses penerimaan pesan (message reception).
Masing-masing kategori memiliki peran dan cara (saluran) yang berbeda
dalam rangka melakukan proses difusi (transmisi) pesan melalui proses
komunikasi (communication exchange).
1. Innovator
Dalam penelitian ini, inovator adalah seorang atau instansi yang mampu
menciptakan produk / ide baru mengenai kamera digital. Peran inovator
sebagai gatekeeping menuntut mereka harus mampu memilih ide mana yang
mampu ditransmisikan dan diadopsi oleh kategori di bawahnya dengan tepat
sasaran. Untuk itulah seorang inovator harus mentransmisikan produk /
inovasi mereka dengan pemilihan pesan melalui media (saluran) komunikasi
yang tepat. Pemilihan saluran komunikasi yang tepat akan menentukan
keberhasilan proses adopsi produk mereka. Secara sistematis, dalam
kategori adopter ini seorang inovator memegang peran untuk : message
dissemination, media choice, dan penentuan target inovasi.
2. Early Adopter
Early adopter adalah kategori adopter yang berada langsung di bawah
inovator. Seorang early adopter adalah orang yang dianggap memiliki
pengaruh dalam sebuah tatanan sistem sosial. Peran seorang early adopter
sebagai opinion leader yang memiliki kekuatan dalam mempengaruhi
individu-individu lain, mampu digunakan inovator sebagai sarana
mempercepat proses difusi.
Seorang early adopter memiliki peran untuk menjadi penerima pesan dari
innovator maupun change agents yang ditunjuk innovator. Proses message
reception ini akan dilanjutkan oleh early adopter melalui saluran komunikasi
interpersonal kepada kategori di bawahnya. Pada proses terakhir ini early
adopter berperan melakukan penyebaran pesan pada kategori early majority.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Secara sistematis seorang early adopter memegang peranan untuk : message
reception, media choice, dan message dissemination.
3. Early Majority
Kategori ketiga dalam proses difusi inovasi adalah early majority, peranan
seorang early majority adalah penghubung bagi kategori adopter awal dan
kategori adopter kategori akhir. Sifat early majority sebagai adopter
memberikan jaringan dalam sistem sosial adopter.
Early majority akan melakukan proses message reception dari seorang early
adopter untuk ditransmisikan melalui saluran komunikasi interpersonal
kepada kategori di bawahnya. Secara sistematis kategori ini memberikan
peran sebagai : message reception, media choice, dan message
dissemination.
4. Late Majority
Dalam sebuah lingkup sistem sosial, individu yang masuk dalam kategori ini
adalah mereka yang melakukan adopsi setelah mayoritas individu sudah
melakukan adopsi atas ide baru tersebut. Kategori ini cenderung lambat
menerima inovasi, faktor norma sosial, ekonomi, dan kebutuhan untuk
meningkatkan jaringan yang bisa menjadi pendorongm ereka melakukan
adopsi.
Dalam kategori adopter, late majority bertindak pasif untuk menerima pesan
dari kategori di atasnya (message reception), pada tahap ini kategori adopsi
cenderung melambat setelah mencapai puncaknya. Pendekatan secara
interpersonal adalah cara paling tepat untuk melakukan pendekatan individu
pada tahap ini.
5. Laggards
Merupakan kategori terakhir yang melakukan adopsi. Sifat kategori ini
sangat tradisional. Sangat sulit untuk melakukan penetrasi ide baru terhadap
kategori ini, karena sifatnya yang terpinggirkan dan tidak memiliki opinion
leader. Adopsi pada tahap ini berlangsung bisa antar generasi sampai muncul
beberapa ide baru yang menggantikan ide yang baru saja mereka adopsi.
Pada tahap ini ide baru (inovasi) cenderung sudah berhenti dan tidak berjalan
lagi. Kategori ini hanya bertindak sebagai penerima pesan pasif (message
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
reception) dan cenderung memakan waktu sangat lama dalam adopsi ide
baru ini.
C. Fotografer Profesional
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005 : 897), kata profesional
memiliki makna segala sesuatu yang berkaitan dengan profesi, memerlukan
kepandaian khusus untuk menjalankannya dan mengharuskan adanya pembayaran
untuk melakukannya (lawan dari amatir).
Dalam konteks fotografi, seorang fotografer tidak hanya diharuskan
menguasai teknis fotografi saja namun, wajib paham akan adanya ide, gagasan,
perencanaan, pengenalan medan dan pengolahan hasil setelah eksekusi foto
(editing). Makna profesional dalam dunia fotografi atau lazim disebut pro bukan
semata-mata dinilai dari adanya penghargaan dalam bentuk uang. Fotografer
profesional adalah mereka yang dengan sungguh-sungguh mempelajari fotografi
dalam segi teknis dan memiliki perencanaan matang dalam eksekusi dan pra
produksi. Pekerjaan mereka dilakukan dengan seksama dan konsisten tidak
menutup kemungkinan pengakuan dari pihak lain bisa berupa pemberian upah
(uang).
Perdebatan mengenai definisi pro dan amatir dalam dunia fotografi memang
masih berlangsung sampai saat ini. Sebagian dari mereka yang memegang kamera
jenis DSLR tidak mau dikatakan amatir namun, dari segi eksekusi dan attitude
dalam fotografi mereka belum dikatakan profesional begitu pun sebaliknya.
Banyak pula fotografer amatir yang tidak bekerja secara profesional (dibayar)
namun, dalam segi hasil melebihi profesional.
Dalam penelitian ini, peneliti memberi batasan mengenai definisi fotografer
profesional sebagai orang dengan profesi sebagai fotografer untuk menafkahi
kehidupan mereka, atau bisa disebut fotografi profesi. Peneliti mengambil dua
sampel fotografer profesional dari dunia jurnalistik dan fotografer profesional dari
dunia non jurnalistik atau fotografer profesional komersil (wedding photography,
still life photography, dsb).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Sebuah penelitian kualitatif
melibatkan studi tentang bagaimana memakai dan mengumpulkan berbagai jenis
material empiris-studi kasus : pengalaman personal, instropeksi, kisah hidup,
wawancara, artefak, cultural texts and productions, observasional, historikal,
interaksional, visual teks- yang menjelaskan secara rutin dan problematis kejadian
dan makna dalam kehidupan individu.
Pendekatan yang dilakukan peneliti adalah menggunakan metode studi kasus
dimana metode ini cocok digunakan bila penelitian berkenaan dengan how dan why.
Yin (2002 : 13) menyebutkan bahwa studi kasus sebagai sebuah bentuk penelitian
yang mencoba menginvestigasi fenomena kontemporer dalam konteks kehidupan
nyata terutama ketika batasan antara fenomena dan konteks tidak terlalu jelas.
Studi kasus bisa berarti metode atau strategi dalam penelitian, bisa juga berarti
hasil dari suatu penelitian sebuah kasus tertentu. Studi kasus adalah suatu pendekatan
untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasi suatu kasus (case) dalam
konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak luar (Salim. 2001 : 93).
Secara praktis peneliti melihat realita yang dihadapi dalam penelitian sebagai
realitas majemuk yang tidak bisa dilihat bagaimana jawaban dari penelitian
mengenai proses penerimaan teknologi kamera DSLR sehingga perlu adanya
penggalian lebih dalam mengenai fenomena tersebut. Secara ontologis peneliti harus
tahu bagaimana tingkat keterlibatannya dalam penelitian tersebut. Peneliti terlibat
secara aktif menjalin relasi di dalam proses interaksi dengan subjek penelitiannya.
Secara aksiologis, nilai-nilai di dalam penelitian ini terdapat banyak nilai-nilai dari
peneliti yang masuk ke dalam penelitian.
Menurut Pawito (2007 : 35), penelitian komunikasi kualitatif, biasanya tidak
dimaksudkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan (explanations), mengontrol
gejala-gejala komunikasi atau mengemukakan prediksi-prediksi, tetapi lebih
dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran dan/atau pemahaman (understanding)
mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi.
46
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Menurut Mooney yang dikutip oleh Agus Salim (2001 : 95) menyebutkan
bahwasanya studi kasus dapat dilihat sebagai empat macam model pengembangan
yang terkait dengan model analisisnya, yaitu :
1. Studi kasus tunggal dengan single level analysis : studi kasus yang
menyoroti perilaku individu atau kelompok individu dengan satu masalah
penting
2. Studi kasus tunggal dengan multi level analysis : studi kasus yang
menyoroti perilaku individu atau kelompok individu dengan berbagai
tingkatan masalah penting
3. Studi kasus jamak dengan single level analysis : studi kasus yang menyoroti
perilaku kehidupan dari kelompok individu dengan satu masalah penting
4. Studi kasus jamak dengan multi level analysis : studi kasus yang menyoroti
perilaku kehidupan dari kelompok individu dengan berbagai tingkatan
masalah penting
Penulis menggunakan studi kasus tunggal dengan single case analysis, karena
melihat fenomena yang dikaji adalah sebuah kasus tunggal mengenai pola proses
persebaran dan penerimaan informasi tanpa memberikan perbandingan terhadap
kasus besar lainnya.
Metode adalah cara paling utama yang digunakan untuk mencapai tujuan
penelitian. Pada penelitian ini penulis ingin menggambarkan suatu realitas, maka
jenis penelitian yang paling tepat adalah jenis kualitatif dengan metode deskriptif.
Digunakan metode penelitian deskriptif di mana data akan lebih berbentuk kata-kata
dan gambar.
Menurut Pawito (2007 : 83), metodologi meliputi cara pandang dan prinsip
berpikir mengenai gejala yang diteliti, pendekatan yang digunakan, prosedur ilmiah
(metode) yang d1itempuh, termasuk dalam mengumpulkan data, analisis data dan
penarikan kesimpulan.
2. Lokasi dan Objek Penelitian
Lokasi penelitian dilaksanakan pada fotografer profesional dan jurnalis foto di
Kota Solo dan Yogyakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Pemilihan fotografer profesional dan jurnalis didasari asumsi dan pengamatan
peneliti bahwa dua profesi ini mengalami transisi penggunaan kamera dari analog
menjadi digital.
Kota Solo dan Yogyakarta dipilih karena di kota ini terdapat beberapa media
cetak yang cukup lama berdiri dan di dalamnya terdapat fotografer senior yang sudah
lama mengabdi. Selain itu di dua kota ini terdapat fotografer profesional lintas jaman
yang sangat berpengalaman di bidang fotografi.
3. Jenis Data
a. Data Primer
Yaitu data yang langsung diperoleh dari informan di lapangan melalui wawancara
dan observasi. Data yang diperoleh melalui wawancara berbentuk narasi
sedangkan melalui kegiatan observasi peneliti mendapatkan data dalam bentuk
narasi dan foto.
Kegiatan wawancara mendalam (in-depth interviewing) dilakukan kepada
beberapa informan untuk menggali informasi yang dibutuhkan peneliti.
Wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang bersifat terbuka dan mengarah
pada kedalaman informasi, serta dilakukan dengan cara yang tidak secara formal
terstruktur guna menggali pandangan subjek yang diteliti tentang banyak hal yang
sangat bermanfaat untuk menjadi dasar penggalian informasinya secara lebih jauh,
lengkap, dan mendalam. Wawancara dihentikan apabila data yang didapatkan
dapat memenuhi kebutuhan informasi yang diperlukan.
Observasi, yaitu pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-
gejala yang diteliti.
Peneliti turut aktif melakukan observasi pada kegiatan fotografer profesional
dalam melakukan kerja di dunia fotografi yang mereka geluti.
Hasil dari observasi ini disajikan dalam bentuk narasi dan foto yang dipergunakan
untuk memperkuat data yang diperoleh melalui wawancara.
b. Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh dengan mengutip sumber-sumber melalui dokumen-
dokumen, buku-buku, arsip-arsip, dan catatan-catatan yang berhubungan dengan
objek penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Peneliti melakukan studi dokumen/arsip mengenai sejarah kamera, dokumen/arsip
mengenai kegiatan jurnalisme dan fotografi yang dibuat melalui media kamera
analog maupun digital.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan dalam beberapa cara,
yaitu :
a. Data yang diperoleh dari wawancara. Wawancara mendalam (in-depth
interviewing) dilakukan kepada beberapa informan untuk menggali informasi
yang dibutuhkan peneliti. Wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang
bersifat terbuka dan mengarah pada kedalaman informasi, serta dilakukan
dengan cara yang tidak secara formal tersturktur guna menggali pandangan
subjek yang diteliti tentang banyak hal yang sangat bermanfaat untuk menjadi
dasar penggalian informasinya secara lebih jauh, lengkap, dan mendalam.
Wawancara dihentikan apabila data yang didapatkan dapat memenuhi
kebutuhan informasi yang diperlukan.
Penulis mengajukan pertanyaan mengenai karakteristik individu sebagai
seorang inovator, early adopter, early majority, dan late majority. Di dalam
pertanyaan mengenai karakteristik tersebut peneliti ingin menggali bagaimana
karakteristik individu pada masing-masing kategori inovasi.
Kemudian peneliti mengajukan pertanyaan mengenai bagaimana pola
komunikasi dalam menjalankan peran sebagai komunikator dan komunikan
untuk menyebarkan dan menerima informasi di dalam kategori inovasi.
Wawancara dilakukan kepada sepuluh informan yang terdiri atas satu orang
yang mewakili inovator, satu orang mewakili early adopter, empat orang
mewakili early majority, dan empat orang mewakili kategori late majority.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Tabel 3.1 Data Narasumber Penelitian
No Nama informan Usia Instansi Jabatan Masa kerja
1. Sintra Wong 33 tahun PT. Datascrip Canon Division
Division Manager Canon
Image Communication
Product
9 tahun
2. Sunaryo haryo Bayu
48 tahun PT. Aksara Solopos Fotografer Jurnalistik
18 tahun
3. Franky 34 tahun PT. Aksara Solopos Kepala Bagian Umum
6 tahun
4. Tarko Sujarno 52 tahun Jakarta Pos Kontributor Yogyakarta
Fotografer Jurnalistik
26 tahun
5. Ali Lutfi 38 tahun Jakarta Globe Kontributor Surakarta &
EPA wil. Surakarta
Fotografer Jurnalistik
15 tahun
6. Pang Hway Seng 63 tahun Bengawan Fotografi Fotografer Profesional
26 tahun
7. Agoes Rudianto 27 tahun Kontributor Kantor Berita Turki Wil.
Surakarta
Fotografer Jurnalistik
7 tahun
8. Kurniawan Arie 28 tahun Joglosemar Prima Media Fotografer Jurnalistik
4 tahun
9. Fahmi Widayat 30 tahun Freelancer Fotografer Profesional
3 tahun
10. Hasan Sakri Ghozali
28 tahun Tribun Jogja Fotografer Jurnalistik
4 tahun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Observasi menurut Slamet (2006 : 85-86) dalam buku Metode Penelitian Sosial
yaitu teknik pengumpulan data yang bersifat nonverbal. Secara umum teknik
observasi dilakukan bagi awal dari kegiatan survai yang dapat dijalankan
bersama dengan studi dokumentasi atau eksperimen.
Ada dua tipe observasi, yaitu :
1. Observasi berpartisipasi, dan
2. Observasi tidak berpartisipasi.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik observasi tidak
berpartisipasi adalah kegiatan pengumpulan data yang bersifat nonverbal
dimana peneliti tidak berperan ganda. Peneliti berperan sebagai pengamat
belaka. Dia tidak turut serta sebagai aktor yang melibatkan diri dalam suatu
kegiatan.
Peneliti turut aktif melakukan observasi pada kegiatan fotografer profesional
dalam melakukan kerja di dunia fotografi yang mereka geluti.
Peneliti mengamati karakter individu dalam kategori inovasi dan melakukan
pengamatan bagaimana pola komunikasi khususnya bagaimana persebaran dan
penerimaan informasi dalam kategori inovasi tersebut.
Hasil dari observasi ini disajikan dalam bentuk narasi yang dipergunakan untuk
memperkuat data yang diperoleh melalui wawancara.
b. Data yang berupa dokumen, teks atau karya seni yang kemudian dinarasikan
(dikonversi ke dalam bentuk narasi). Peneliti mencari data penulisan dengan
cara mencari data-data, referensi-referensi, dokumen-dokumen, literatur-
literatur, dan buku-buku sebagai acuan dalam penulisan yang berhubungan
dengan objek penelitian.
Data yang diperoleh kemudian digunakan untuk memperkuat data yang
diperoleh melalui wawancara dan observasi.
5. Teknik Cuplikan (Sampling)
Teknik cuplikan pada penulisan ini dilakukan dengan maximum variation
sampling atau pengambilan sampel variasi maksimum. Strategi pengambilan sampel
variasi maksimum dimaksudkan untuk dapat menangkap atau menggambarkan suatu
tema sentral dari studi melalui informasi yang silang menyilang dari berbagai tipe
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
responden (Slamet, 2006 : 65-66). Cara menyusun pengambilan sampel variasi
maksimum adalah sebagai berikut : peneliti memulai dengan mengambil responden
yang memiliki ciri-ciri yang berbeda.
Maksud dari penggunaan sampel variasi maksimum bukan untuk
menggeneralisasikan penemuannya, melainkan mencari informasi yang dapat
menjelaskan adanya variasi serta pola-pola umum yang bermakna dalam variasi yang
ditemukan tersebut.
Yin (2002 : 90) menyebut key informan sebagai personal yang tidak hanya
memberikan informasi langsung kepada pokok permasalahan tapi juga bisa
memberikan bukti yang menguatkan ataupun bertentangan dengan asumsi peneliti.
Selain menggunakan teknik sampel variasi maksimum, peneliti menggunakan
teknik cuplikan snowball sampling. Pawito (2007 : 93) melihat teknik cuplikan ini
untuk mengimplikasikan jumlah sampel yang semakin membersar seiring dengan
perjalanan waktu pengamatan. Peneliti berangkat dari seorang infroman untuk
mengawali pengumpulan data. Kepada informan ini peneliti menanyakan siapa lagi
berikutnya (atau siapa saja) orang yang selayaknya diwawancarai, kemudian peneliti
beralih menemui informan berikutnya sesuai yang disarankan oleh informan
pertama, dan begini seterusnya hingga peneliti merasa yakin bahwa data yang
dibutuhkan sudah didapatkan secara memadai.
Peneliti memilih informan yang memiliki kompetensi untuk menjawab
pertanyaan mengenai proses difusi inovasi teknologi yang dilakukan dilakukan oleh
fotografer profesional di kota Solo dan Yogyakarta. Informan terdiri atas jurnalis
foto dan fotografer komersil di Kota Solo dan Yogyakarta sebagai key informan dan
fotografer pemula sebagai informan wawancara.
6. Validitas Data
Guna menjamin dan mengembangkan validitas data yang akan dikumpulkan
dalam penelitian ini, teknik pengembangan validitas data menggunakan teknik
triangulasi sumber atau menurut istilah Patton (1984) juga disebut sebagai triangulasi
data.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik triangulasi data yakni
triangulasi sumber. Triangulasi menunjukan bagaimana kita mengkoleksi data dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
berbagai sumber tapi mengarah pada penguatan sebuah fakta atau fenomena yang
diteliti (Yin, 2002 : 99). Ada dua keadaan dalam tirangulasi data, yakni :
1. Ketika peneliti benar-benar melakukan triangulasi data, fakta atau kejadian
dari sebuah studi kasus akan didukung lebih dari satu sumber bukti.
2. Ketika kita melakukan triangulasi dengan teknik multiple source tapi tidak
melakukan triangulasi data, peneliti secara khusus telah melakukan analisa
pada masing-masing sumber bukti secara terpisah dan telah
membandingkan konklusi dari berbagai analisis yang berbeda - tapi tidak
melakukan triangulasi data.
Triangulasi sumber mengarahkan peneliti agar di dalam mengumpulkan data, dia
wajib menggunakan beragam sumber data yang berbeda- beda yang tersedia.
Artinya, data yang sama atau sejenis, akan lebih mantap kebenarannya bila digali
dari beberapa sumber data yang berbeda.
Guna memperoleh kemantapan data dari berbagai informasi yang diperoleh
melalui informan di lingkungan fotografer profesional di Kota Solo dan Yogyakarta,
maka peneliti menggali informasi dari sumber data yang berbeda jenisnya misalnya
dari narasumber tertentu, dari kondisi lokasi, dari catatan atau arsip (koran) dan
dokumen (foto) yang memuat data yang berkaitan dengan data yang dimaksudkan
peneliti.
7. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data pada penelitian ini menggunakan analisis yang dikemukakan
oleh Yin (2002 : 111-112) strategi yang pertama dan lebih disukai adalah mengikuti
proposisi teoritis yang memimpin studi kasus. Proposisi-proposisi tersebut
membentuk rencana pengumpulan data dan karenanya memberi prioritas pada
strategi analisis yang relevan. Proposisi teoritis membantu peneliti memfokuskan
perhatian pada data tertentu dan mengabaikan data yang lain. Proposisi teoritis
tentang hubungan-hubungan kausal – jawaban-jawaban terhadap pertanyaan
“bagaimana” dan “mengapa” – bisa sangat berguna untuk menuntun analisis studi
kasus.
Pawito (2007 : 146) mengemukakan bahwasanya analisis dalam studi kasus
dapat dilakukan dengan membandingkan (mencari persamaan atau perbedaan) yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
ada diantara unit analisis yang berbeda-beda, menghubung-hubungkan satu dengan
yang lain.
Peneliti melakukan analisis data dengan menemukan gejala pada tiap unit
analisis yang diteliti kemudian melakukan perbandingan dengan teori-teori yang
digunakan sebagai acuan untuk kemudian mengambil kesimpulan baru dari hasil
analisa tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Pergeseran Teknologi Analog Menuju Digital
Tumbuhnya era digital turut serta ditandai dengan munculnya berbagai teknologi
yang turut berperan mempermudah kehidupan manusia dan menimbulkan perubahan
yang signifikan dalam sistem sosial di masyarakat.
Kebutuhan untuk mengabadikan sebuah moment dalam sebuah media digital
bernama kamera nampaknya sudah menjadi kelaziman sekaligus kebutuhan bagi
seseorang. Kesempurnaan untuk mengabadikan berbagai moment berharga menjadi
dambaan setiap pengguna kamera.
Celah kebutuhan inilah yang kemudian dimanfaatkan produsen untuk
mentransformasi ide kamera digital sebagai sarana yang mempermudah pekerjaan
khususnya para fotografer profesional. Fotografer profesional memiliki makna
pekerja di bidang foto, yang berarti orang atau individu yang mengantungkan hidup
atau dengan kata lain pekerjaannya berada dalam lingkup fotografi.
Inovasi khususnya di bidang teknologi juga terjadi pada perangkat rekam atau
kamera. Di era fotografi film, cermin itu wajib hadir sebab hanya itulah
”komunikasi” antara dunia nyata dan mata fotografer. Di dunia fotografi digital,
cermin itu tidak diperlukan lagi karena sensor kamera (pengganti film) bisa langsung
mengirimkan imaji kepada fotografer baik ke layar LCD maupun ke viewfinder
elektronik.
Pengguna kamera digital jenis DSLR pada kelompok pengguna jurnalis dan
profesional menjadi titik fokus penelitian ini. Pengguna tersebut dipilih karena
adanya ketergantungan yang tinggi terhadap inovasi DSLR dalam lingkup dunia
kerja mereka sehari-hari.
Dalam penelitian ini peneliti mengambil sembilan sampel yang terdiri atas dua
orang dari jajaran manajerial dan tujuh orang fotografer. Tujuh fotografer tersebut
berasal dari wilayah Solo dan Yogyakarta. Lima orang sampel adalah mereka yang
bekerja sebagai fotografer jurnalis, dua orang adalah pekerja di bidang fotografi
profesional, dan dua orang adalah pihak manajemen yang berwenang untuk
mengadakan sebuah kamera di perusahaanya. Kedua kota ini dianggap mewakili
55
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
keberadaan pengguna kamera yang cukup tinggi pada dua kategori tersebut. Kota-
kota ini memiliki beberapa surat kabar lokal maupun nasional yang memiliki kantor
perwakilan serta menempatkan puluhan jurnalis di kedua kota tersebut. Para
fotografer tersebut berasal dari wilayah Solo dan Yogyakarta. Kedua kota ini
dianggap mewakili keberadaan pengguna kamera yang cukup tinggi pada dua
kategori tersebut. Kota-kota ini memiliki beberapa surat kabar lokal maupun nasional
yang memiliki kantor perwakilan serta menempatkan puluhan jurnalis di kedua kota
tersebut. Di dalam dunia profesional tidak dipungkiri keberadaan fotografer menjadi
ladang profesi jasa yang menjanjikan. Puluhan jasa fotografer profesional baik
freelance maupun perusahan bermunculan untuk menawarkan diri mengabadikan
setiap momen berharga.
A.1. Difusi Inovasi DSLR
Digitalisasi atau proses perubahan dari sistem analog menjadi sistem digital
sering juga disebut sebagai komputerisasi, turut berperan mendorong masyarakat
mengikuti arus perubahan dan turut dalam penggunaan mekanisme digital. Sebagai
sebuah perubahan yang bersifat masif, tentunya masyarakat dihadapkan pada pilihan
untuk belajar atau tetinggal dalam perkembangan teknologi ini.
Peneliti melihat perubahan teknologi dari sistem analog menjadi digital turut
“memaksa” seorang mempelajari inovasi baru yang ditawarkan kepada mereka.
Sebagai contoh perlu adanya penyesuaian baru dengan mengenal perangkat dan
tombol operasional sebuah kamera digital yang jauh berbeda dari kamera analog.
Kemudian muncul lagi perbedaan dari segi olah gambar sampai transmisi gambar,
semuanya merupakan hal baru yang berbeda dari sistem analog sebelumnya.
Dalam dunia fotografi digital, istilah digitalisasi terdiri atas dua proses penting,
yakni proses pengambilan gambar dan proses pengolahan gambar setelah gambar
diambil. Proses digital mampu memotong proses ruang gelap dimana fotografer
harus bergulat dengan bahan kimia demi menghasilkan sebuah gambar pilihan.
Proses digital memudahkan fotografer dalam memenuhi tuntutan deadline
perusahaan.
Berbagai perubahan yang terjadi akibat pergeseran sistem dari analog menjadi
digital merupakan hal yang menarik untuk diteliti. Berbagai faktor yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
mempengaruhi seorang fotografer profesional, dalam proses difusi inovasi teknologi
kamera analog menjadi digital, inilah yang menurut peneliti dianggap sebagai proses
perubahan masif dalam dunia fotografi. Perubahan dari proses pengambilan gambar
hingga proses pengolahan gambar semua mengalami perkembangan yang luar biasa.
Dalam ranah ilmu komunikasi, peneliti melihat fenomena ini melalui aspek-
aspek teori difusi inovasi. Peneliti ingin melihat bagaimana proses penerimaan dan
penyebaran (difusi) informasi mengenai kamera jenis DSLR ini sebagai sebuah hal
yang menarik. Peneliti ingin melihat bagaimana peran individu dalam proses
penerimaan dan penyebaran (difusi) informasi tentang ide baru (inovasi) kamera
DSLR di kalangan fotografer jurnalis dan profesional tersebut.
Apakah yang dimaksud difusi inovasi itu ? Rogers (1983 : 5) menyebutkan
difusi adalah proses dimana sebuah inovasi di komunikasikan melalui media tertentu
secara berulang-ulang diantara anggota sistem sosial. Difusi inovasi adalah tipe
khusus dari komunikasi, di dalamnya terdapat pesan berada. Fokus kepada ide-ide
baru. Sedangkan komunikasi adalah proses dimana partisipan menciptakan dan
membagi informasi dengan orang lain untuk mencapai pemahaman yang sama
Proses difusi inovasi adalah tindakan mengkomunikasikan sebuah pesan atau ide
mengenai sebuah hal baru (inovasi) untuk dapat digunakan sebagai alat
menyelesaikan problem atau masalah yang sudah ada.
Proses keputusan-inovasi adalah sebuah proses dimana seorang individu (atau
unit pengambil keputusan lain) mendapatkan pengetahuan pertama mengenai sebuah
inovasi, untuk membentuk sebuah sikap terhadap inovasi, sebuah keputusan untuk
mengadopsi atau menolak, untuk menerapkan sebuah ide baru, dan untuk mengakui
keputusannya.
Proses ini terdiri dari sebuah seri tindakan dan pemilihan berulang-ulang dimana
individu atau organisasi mengevaluasi sebuah ide baru dan memutuskan apakan iya
atau tidak untuk bergabung dengan ide baru tersebut untuk kemudian dipraktekan.
Perilaku ini dasarnya berhadapan dengan ketidakpastian yang ada pada sikap
menentukan pada sebuah alternatif dari inovasi yang sudah ada.
Komunikasi menjadi titik penting dalam proses difusi, karena esensi dari proses
penyampaian ide / gagasan itu berawal dari bagaimana sebuah pesan diciptakan oleh
komunikator (message production) untuk selanjutnya ditransmikan oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
komunikator (message dissemination) melalui saluran komunikasi dan dapat diterima
oleh komunikan (message reception)
Hal ini terkait bagaimana sebuah ide / pesan dalam sebuah informasi disebarkan
oleh komunikator untuk selanjutnya mengalami proses difusi hingga diterima oleh
komunikan.
Dalam ranah ilmu komunikasi peneliti ingin melihat pada proses terjadinya
difusi itu sendiri. Bagaimana sebuah ide atau gagasan baru, yakni informasi
mengenai kamera digital jenis DSLR diadopsi oleh komunikator untuk diterima dan
disebarkan ke dalam lingkup sistem sosial.
Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat proses difusi inovasi sebagai proses
bagaimana sebuah inovasi mengalami proses difusi sampai akhirnya bisa diaplikasi
kan oleh beberapa adopter. Proses difusi dilihat sebagai bentuk komunikasi khusus
yang dilakukan oleh seorang komunikator melalui beberapa saluran komunikasi
untuk dapat diterima oleh komunikator. Ada dua bahasan pokok dalam penelitian ini,
yakni bagaimana sebuah pesan disebarkan (message dissemination) dan bagaimana
sebuah pesan diterima / diintepretasikan (message reception). Ada pula dua peranan
individu yang ingin dilihat peneliti di dalam penelitian ini, yakni bagaimana peran
seorang individu / organisasi menjadi seorang komunikator dalam melakukan
persebaran pesan (message dissemination) dan bagaimana peran individu ketika dia
menjadi seorang komunikator yang menerima pesan (message reception).
B. Karakter Individu Dalam Proses Difusi Inovasi
Difusi inovasi sebagai proses komunikasi menekankan pada pentingnya individu
sebagai komunikator (penyebar) dan komunikan (penerima) pesan. Namun, dalam
sebuah sistem sosial tidak sepenuhnya inovasi atau ide baru dapat diterima oleh
kelompok masyarakat di dalamnya.
Tidak semua individu dalam sistem sosial mengadopsi sebuah inovasi dalam
waktu yang bersamaan. Mereka cenderung melakukan adopsi pada sekuen waktu
tertentu dan bisa dikelompokan dalam beberapa tipe adopter (Rogers, 1983 : 241).
Berdasarkan penelitian, terdapat empat tipe ideal adopter dalam proses difusi
inovasi. Keempat kategori individu tersebut mempunyai beberapa karakteristik yakni
sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
B.1. Innovator : Venturesome
Seorang inovator adalah pribadi yang suka berpetualang, mencoba hal-hal baru,
dan mempunyai obsesi mengenai suatu hal baru. Sifatnya ini membuatnya berada
pada lingkaran hubungan sosial kosmopolitan, jauh dari lingkup putaran lokal (local
circle). Seorang innovator harus memiliki finansial yang kuat terkait beberapa proses
pengembangan pengetahuan ide baru yang akan dilakukan. Mereka harus bergelut
dengan ketidakpastian mengenai kapan inovasi yang mereka ciptakan akan diadopsi
oleh adopter. Jadi, inovator memegang peranan sebagai gatekeeping mengenai ide
baru dalam sistem sosial (Rogers, 1983 : 248).
Dalam penelitian ini kategori inovator diwakili oleh pihak PT. Datascrip
Indonesia. PT. Datascrip merupakan distributor tunggal resmi yang menangani
distribusi berbagai inovasi teknologi yang di dalamnya memiliki salah satu divisi
yang menangani peredaran kamera merk Canon di seluruh wilayah Indonesia. Canon
Division dalam penelitian ini memiliki divisi marketing yang dijadikan sampel untuk
penelitian ini.
Subjek pada kategori ini adalah Sintra Wong, seorang Division Manager Canon
Image Communication Product PT. Datascrip di Jakarta sebagai perwakilan Canon
global untuk menangani distribusi dan penjualan semua merk dagang kamera Canon
di semua wilayah di Indonesia.Seorang inovator dalam penelitian ini mewakili
produsen utama.
Posisi seorang inovator sangat erat hubungannya dengan karakteristik mereka
dalam penyebaran informasi, keterbukaan terhadap inovasi dan akses terhadap
saluran komunikasi.
Disebutkan oleh Wejnert (2002 : 302) dalam jurnal yang berjudul Integrating
Models of Diffusion of Innovations : A Conceptual Framework, kategori inovator
memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut :
Enam karakter dari variabel pelaku yang nampak untuk mengatur adopsi inovasi
adalah :
1. Status sosial dari inovator
2. Tingkat pemahaman terhadap inovasi
3. Karakter status
4. Karakter sosial ekonomi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
5. Posisi relatif dalam jaringan sosial
6. Karakter personal yang berhubungan dengan variabel kultur yang
memodifikasi karakter personal dari pelaku di level populasi.
Individu pada kategori inovator pada penelitian ini adalah mereka yang memiliki
mobilitas tinggi, didukung oleh finansial kuat, memiliki jaringan komunikasi yang
luas dan terbuka dalam mengumpulkan informasi. Melihat karakteristik dan fungsi
seorang inovator dalam penjabaran diatas menegaskan fungsi inovator adalah mutlak
sebagai komunikator untuk sebuah produk inovasi DSLR. Keberadaan kategori ini
mutlak fungsinya sebagai penyokong keberlangsungan persebaran informasi kepada
kategori adopter potensial kamera jenis DSLR.
a. Pengetahuan Tentang Produk Tinggi
Dalam penelitian ini disebutkan oleh informan bahwa semua anggota divisi yang
dia pimpin wajib untuk terbuka atas setiap informasi yang mereka terima
mengenai sebuah produk kamera. Seorang inovator adalah komunikator bagi
produk inovasi yang akan dipasarkan kelak, untuk itulah pemahaman terhadap
informasi mengenai sebuah produk inovasi wajib dimiliki.
“Tim pemasaran (marketing) yang menangani pemasaran sebuah produk kamera harus mengetahui dan memahami secara menyeluruh semua aspek Product, Pricing, Placement, Promotion, dan Personnel (5P) untuk produk yang dijualnya bahkan sebelum produk tersebut mulai dijual.” (Sintra Wong, Division Manager Canon Image Communication Product PT. Datascrip, 33 th)
“Penguasaan terhadap unsur 5P merupakan hal yang mutlak untuk meraih kesuksesan pemasaran sebuah produk, termasuk di dalamnya bagaimana mengomunikasikan / mempromosikan produk tersebut ke konsumen sebagai bagian dari unsur Promotion dalam 5P Marketing Mix di atas.” (Sintra Wong, Division Manager Canon Image Communication Product PT. Datascrip, 33 th)
b. Memiliki Dukungan Finansial Kuat
Seorang inovator harus memiliki dukungan finansial yang kuat karena bukan
perkara mudah menyebarkan sebuah informasi mengenai sebuah inovasi kepada
khalayak luas di wilayah Indonesia dengan tata geografis yang luas dan ragam
target pasar yang sangat bervariasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
“Luasnya negara Indonesia yang tersebar di berbagai pulau besar dan kecil mengharuskan kami untuk menggunakan begitu banyak media dan saluran komunikasi yang sangat beragam untuk dapat menjangkau segmen pasar yang kami bidik. Hal ini tentunya juga mengakibatkan timbulnya biaya yang tidak kecil.” (Sintra Wong, Division Manager Canon Image Communication Product PT. Datascrip, 33 th)
c. Memiliki Jaringan Informasi Yang Luas
Karakteristik seorang inovator dituntut untuk terbuka akan akses terhadap
informasi mengenai sebuah inovasi. Selain itu seorang inovator adalah orang
yang memiliki jaringan kuat dalam sebuah sistem sosial. Jaringan ini wajib
dimiliki dalam rangka memudahkan akses terhadap sebuah informasi mengenai
inovasi. Jaringan yang dimiliki oleh komunikator pada kategori ini digunakan
untuk mendapatkan informasi terkait sehingga menambah pengetahuan
komunikator mengenai sebuah inovasi.
“Sumber utama informasi produk bersumber dari pihak produsen/manufaktur/principal, sedangkan informasi produk kompetitor harus digali dari berbagai sumber yang kini semakin mudah diperoleh di ranah daring/online.” (Sintra Wong, Division Manager Canon Image Communication Product PT. Datascrip, 33 th)
d. Memiliki Power Untuk Mempengaruhi
Seorang inovator pada kategori ini memiliki kekuatan untuk menekan, kekuatan
ini digunakan untuk menekan ke dalam (perusahaan) dan menekan ke luar
(konsumen) agar mereka paham atas informasi terkait inovasi DSLR tertentu.
Hal ini terkait bagaimana individu kategori ini mengharuskan pemahaman
informasi mengenai sebuah produk.
“Kepada seluruh tim pemasaran, tim penjualan, dan tim pelayanan
pelanggan serta segmen pasar yang dibidik kelas produk DSLR
tersebut.”
(Sintra Wong, Division Manager Canon Image Communication Product
PT. Datascrip, 33 th)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
B.2. Early Adopter : Respectable
Early adopter lebih terintegrasi dengan sistem lokal dibandingkan seorang
inovator. Pada kategori ini seorang individu harus mempunyai peranan yang paling
besar menjadi seorang opinion leader di dalam kebanyakan sistem sosial. early
adopter sering mencari informasi dan hal-hal terkait dengan sebuah inovasi, karena
sifatnya inilah seorang change agents sering menunjuknya sebagai misionaris lokal
untuk menyebarkan proses difusi. Karena kedekatannya dengan inovasi ini,
menjadikannya sebagai model contoh bagi masyarakat lain, dirinya sangat dihormati
dalam lingkup sistem sosial. jadi, peran seorang early adopter adalah mengurangi
ketidakpastian mengenai sebuah inovasi untuk dapat diadopsi, perannya
menyampaikan evaluasi subjektif mengenai inovasi kepada rekan terdekatnya
melalui saluran interpersonal (Rogers, 1983 : 248).
Kategori ini diwakili oleh Franky, Kepala Bagian Umum, PT Aksara Solopos
sebagai divisi untuk menangani distribusi dan pengadaan semua kamera jenis DSLR
di lingkup pekerja media (fotografer) Solopos.
a. Terbuka Terhadap Informasi
Karakteristik seorang early adopter dituntut untuk terbuka terhadap informasi
mengenai sebuah inovasi. Tanpa adanya keterbukaan terhadap informasi,
seorang early adopter tidak akan mendapat pengetahuan mengenai informasi
sebuah produk inovasi yang akan diadopsi.
“Saya harus terbuka dengan informasi baru, semua staf saya pun
harus terbuka atas informasi yang beredar.”
(Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
“Saya harus paham secara spek teknis kamera tersebut. Sekarang ada kamera dengan fasilitas wifi dan GPS, kalau nanti mereka pakai seperti itu? Apakah itu selaras dengan kebutuhan? Kalau semisal mereka mengajukan sebuah spesifikasi kamera misal Canon 6D, kita harus cek dengan manajemen nih, apakah kebutuhan tersebut sudah mendesak atau sekedar mengikuti tren saja ?” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
b. Memiliki Jaringan Kuat
Seorang adopter pada kategori ini memiliki jaringan yang kuat untuk
mendukung proses pencarian informasi. Jaringan ini berguna bagi individu
untuk mencari informasi detail mengenai sebuah produk yang akan diadopsi.
Pencarian informasi melalui berbagai jaringan untuk mengurangi ketidakpastian
mengenai sebuah inovasi sebelum diadopsi.
Kemudian saya juga berhubungan dengan komunitas pengguna
kamera digital untuk sharing dengan mereka.
(Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
“Selain itu saya sering juga sharing lewat telepon dengan komunitas
pengguna fotografer tadi tentang fungsi dan kemudahan sebuah
kamera.”
(Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
c. Memiliki Power Untuk Mempengaruhi
Seorang early adopter adalah mereka yang memiliki power atau kekuatan untuk
mempengaruhi manajerial dalam perusahaan sekaligus menggunakan power
tersebut untuk mempengaruhi kategori penerima informasi di bawahnya.
“....Kemudian bagian manajerial, di dalamnya ada manajemen penjualan, adalah yang bertanggung jawab atas penjualan produk. Lalu kami, divisi umum adalah divisi yang menjembatani dua divisi besar tersebut.” “...Kami mengendalikan kebutuhan dua divisi tersebut, jika mereka membutuhkan kamera, mereka mengajukan ke manajemen. Dan manajemen akan memerintahkan saya melakukan cek atas kebutuhan tersebut, apakah berlebihan tidak untuk kebutuhan di lapangan.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
Pada kategori early adopter terlihat bahwa subjek penelitian pada kategori ini
menggunakan power atau kekuatan yang dimilikinya untuk menyampaikan
informasi dan memberikan pengaruh pada manajemen ke atas dan kategori
penerima adopter di bawahnya (early majority). Pada perusahaan ini komunikasi
dilakukan melalui media rapat internal untuk memberikan masukan dan
mengambil keputusan untuk mengadopsi sebuah inovasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Dari keterangan subjek tersebut menunjukan bahwa dirinya memegang peranan
vital dalam pengambilan keputusan di dalam instansi tersebut. Subjek memiliki
power untuk memberikan masukan informasi mengenai sebuah inovasi dan
melakukan pengadaan produk inovasi DSLR tertentu.
“...Jadi memang setiap pengadaan tentunya harus ada usul dari redaksi dulu, SOP perusahaan menegaskan kami tidak boleh mengadakan sesuatu tanpa ada permintaan dari divisi manapun. Pun dengan mereka, mereka tidak bisa membeli tanpa melalui saya.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th) “Kita melakukan komunikasi melalui rapat ketika ada pengajuan kamera merek tertentu dari pihak redaksi. Saya sebagai penengah. Semua disesuaikan dengan kebutuhan dari sisi kecepatan dan pengolahannya, kita cari kemudahan. Kita dari perusahaan kita akan memilih apakah kita akan menonjolkan sisi kecepatan kemudahan ataupun sisi mana saja yang ingin kita kejar.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
“Benar divisi ini sangat vital dalam pengadaan kamera khususnya. Bukan hanya pengadaan tapi proses after salesnya yang kita kerjakan disini. Jadi memang setiap pengadaan tentunya harus ada usul dari redaksi dulu, SOP perusahaan menegaskan kami tidak boleh mengadakan sesuatu tanpa ada permintaan dari divisi manapun. Pun dengan mereka, mereka tidak bisa membeli tanpa melalui saya.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
B.3. Early Majority : Deliberate
Seorang early majority mengadopsi ide baru sesaat sebelum rata-rata anggota
sistem sosial melakukan adopsi serupa. Individu pada tahap ini sering berinteraksi
dengan peers tapi jarang memegang posisi pemimpin. Early majority mendapatkan
posisi unik di antara early majority dan late adopter membuat mereka menjadi link
penghubung yang penting dalam proses difusi. Mereka menjadi penghubung antar
fase dalam prses difusi. Periode pengambilan keputusan difusi pada proses ini
cenderung lambat dibanding seorang early adopter (Rogers, 1983 : 249).
Dalam mengadopsi sebuah inovasi seorang early majority relatif lebih panjang
dibanding seorang inovator maupun seorang late adopter. Dalam penelitian ini
peneliti mengambil sampel sebanyak empat orang fotografer, tiga dari kategori
fotografer jurnalistik dan satu orang fotografer profesional. Seorang early majority
bisa ditandai dengan tingkat kecepatan seseorang mengadopsi sebuah inovasi. Dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
penelitian ini keempat sampel adalah mereka yang merupakan fotografer senior
dengan masa kerja di atas 10 tahun, yang artinya mereka sudah mengadopsi DSLR
saat pertama kali terjadi transisi dari analog menuju digital.
a. Memiliki Senioritas Dalam Proses Adopsi
Karakter seorang early majority adalah mereka cenderung mendapatkan
penghormatan dari anggota kategori di bawahnya, dan mereka memiliki
partisipasi sosial yang tinggi dalam hal berkomunikasi. Dalam dunia foto
jurnalistik maupun fotografer profesional hal ini menurut peneliti sangat
dipengaruhi oleh tingkat senioritas seorang fotografer dalam lingkup sosialnya.
Hal ini bisa dikaitkan bagaimana periode awal mereka mengadopsi teknologi ini
setelah mengalami transisi dari teknologi analog.
“Analog ke digital awal tahun 2000 , tepatnya lupa , belum langsung ke DSLR, saya Cuma pakai Fuji pocket , adanya Cuma itu, yang pakai dslr belum ada, ada tp jarang karena harganya yang mahal sekali. Jadi pertama kali pakai DSLR itu karena kantor menyediakan itu, mau ga mau harus makai itu, pertama kali sih makainya D70, merek Nikon itu. Waktu itu fotografer di Solopos masih saya, sama Yayus. Sekarang sudah empat orang.” (Sunaryo Haryo Bayu, Fotografer Senior Solopos, 48 th) “Waktu itu kita belum bayangin ada digital seperti saat ini. Ya waktu itu makai apa adanya analog aja, nyari cetak yang cepat dimana. Saya makai pertama kali sih pocket masih 2.3 MP, pertama kali mungkin di Jogja. Beberapa kejadian besar seperti jatuhnya pesawat di Bengawan Solo itu saya masih pakai poket. Kebakaran kilang minyak di Cepu juga. Susah karena beberapa kejadian malam hari, saya akal-akalin saja sensornya. DSLR saya mulai pakai tahun 2000-an awal. Dulu masih jarang yang makai DLSR, saya pertama kayanya, dapatnya juga nitip dari temen saya yang lagi pergi ke luar negeri saat itu.” (Tarko Sujarno, Jakarta Pos Kontributor Yogyakarta, 52 th)
“Pertama kali memakai teknologi digital saya menggunakan kamera compact digital Fuji saat itu, dengan kapasitas memori 8 MB saja. Dengan kualitas 2-3 MP saja saat itu. Saya mulai pegang DSLR tahun 2003.” (Ali Lutfi, Jakarta Globe dan Kontributor EPA, 38 th) “Periode tahun 2002-2004 saya transisi sudah pakai DSLR, tapi masih ndobel waktu itu, karena saya belum sepenuhnya percaya dan yakin dengan DSLR, jadi setiap motret saya selalu pakai dua kamera, satu digital satu analog. Mulai tahun 2004 saya mulai lepas sepenuhnya dari analog menggunakan digital seri D70. “ (Pang Hway Seng, Fotografer Profesional, 63 th)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
b. Terbuka Terhadap Informasi
Selain tingkat kecepatan adaptasi teknologi, kategori ini memiliki keterbukaan
terhadap informasi terkait inovasi DSLR. Individu-individu pada kelompok ini
aktif mencari informasi dari berbagai media cetak saat itu, hal ini dikarenakan
informasi mengenai internet belum seperti saat ini, saat itu gelombang informasi
melalui internet sangat terbatas dan sulit didapat. Selain itu produsen ataupun
manufaktur pada saat itu belum gencar melakukan promosi seperti saat ini
karena DSLR masuk pada kategori barang mahal yang tidak semua orang
mampu membeli dan menggunakannya.
“Saya waktu itu sempetnya belajar dari brosur, biasanya dapet dari produsen, atau pameran. Dulu brosur ini dikirim ke media-media kita. Di brosur itu terbatas informasinya, saya cuma belajar soal spesifikasi aja dari brosur itu, bukan teknis.” (Sunaryo Haryo Bayu, Fotografer Senior Solopos, 48 th)
“...Kalau informasi soal DSLR saya tanya temen-temen aja yang lain. Waktu itu saya dapat informasi soal kamera D70 itu saya baca-baca dari iklan koran aja terus titip temen yang berada di Singapore. Di Jogja (daerah) belum ada mungkin saat itu.” (Tarko Sujarno, Jakarta Pos Kontributor Yogyakarta, 52 th) “Saya mendapat informasi soal DLSR dari majalah.”
(Ali Lutfi, Jakarta Globe dan Kontributor EPA, 38 th)
“Belum ada internet saat seperti saat ini. Saya belajar dari majalah soal hasil foto dari fotografer luar negeri dari majalah itu. Dari majalah seperti Foto Asia dan Foto Media saya mendapatkan info dari media itu.” (Ali Lutfi, Jakarta Globe dan Kontributor EPA, 38 th)
Selain penggunaan media cetak sebagai sarana untuk mencari informasi, tidak
jarang saluran komunikasi interpersonal melalui forum fotografi dan rekan
sejawat menjadi pilihan untuk mendapatkan informasi mengenai DSLR yang
masih sangat terbatas.
“Saya dapat pelatihan dari Jakarta waktu itu soal kamera digital. Dari Forum Fotografi Jakarta waktu itu yang mengadakan, sekitar tahun 2003-an.” (Sunaryo Haryo Bayu, Fotografer Senior Solopos, 48 th)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
“Saya dapat informasi mengenai DSLR itu dari toko kamera, majalah dan dari temen-temen, banyak saat itu temen-temen yang pindah ke DSLR jadi saya tanya-tanya mereka.” (Pang Hway Seng, Fotografer Profesional, 63 th) “Saya banyak tanya nya ke penjual kamera nya malahan apa
kelebihan dan kekurangan kamera ini.”
(Pang Hway Seng, Fotografer Profesional, 63 th)
B.4. Late Majority : Skeptical
Individu pada tahap ini cenderung melakukan adopsi sebuah ide baru ketika
mayoritas anggota dalam sistem sosial telah melakukan adopsi terlebih dahulu.
Tindakan adopsi yang lambat biasanya didasari atas kebutuhan ekonomi dan
keinginan menjawab tekanan sosial. mereka tidak akan mengadopsi sampai sebagian
besar individu melakukan adopsi terlebih dahulu. Sistem norma sering berperan
menciptakan sikap skeptis ini, peranan seorang peers sangat tinggi dalam
memberikan motivasi untuk melakukan sebuah adopsi inovasi (Rogers, 1983 : 250).
Pada kategori ini peneliti mengambil empat sampel fotografer, tiga orang
fotografer jurnalis dan seorang merupakan fotografer profesional (dokumentasi).
Mereka adalah fotografer yang selalu menggunakan DSLR dalam menunjang kinerja
mereka sehari-hari.
a. Lambat Dalam Proses Adopsi
Karakteristik seorang late majority cenderung lambat jika dilihat melalui periode
waktu dimana mereka mulai mengadopsi kamera DSLR. Individu pada kategori
ini cenderung terlambat mengadopsi DSLR dalam proses kerjanya.
“Mulai kenal digital khususnya DSLR itu sekitar pertengahan tahun 2008. Saat itu saya antusias menerima informasi soal DSLR di tahun 2008 itu. Karena kesenangan saya di dunia fotografi.” (Kurniawan Arie, Fotografer Harian Joglosemar, 28 th)
“Saya beralih ke DSLR pada tahun 2008. Karena memang sudah
lazim pemakaian DSLR waktu itu, karena tuntutan tugas juga.”
(Agoes Rudianto, Kontributor Kantor Berita Turki, 28 th)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
“Kalau mengenal dan mulai menggunakan DSLR sendiri sekitar 5-6
tahun yang lalu (2009-2010).”
(Fahmi Widayat, Fotografer Profesional, 30 th)
“Ya awalnya sudah suka duluan dgn dunia fotografi sejak jaman SMA terus waktu kuliah ikut UKM fotografi. Belajar mengenai dasar fotografi, cuci cetak dll. Kemudian mulai rajin motret dengan kamera analog kakak tingkat dulu waktu kuliah kurang lebih setahun. Kalau tidak salah sekitar tahun 2006.” (Hasan Sakri Ghozali, Fotografer Tribun Jogja, 28 th)
b. Terbuka Pada Akses Informasi
Meskipun dipandang sebagai kategori yang skeptis dalam hal penerimaan hal
baru, individu pada kategori ini ternyata memiliki keterbukaan terhadap
informasi mengenai sebuah produk inovasi. Hal ini terlihat dari bagaimana
keaktifan mereka mencari infomasi dari berbagai media baik elektronik maupun
saluran komunikasi interpersonal.
“Saya kenal DSLR dari teman-teman, nyoba-nyoba pakai. Selain itu saya sering baca majalah Chip Foto Video saat itu saya baca-baca preview kamera lewat media itu sekitar tahun 2006 an. Kadang saya lihat dulu hasil-hasil dari fotografer Kompas atau Radar Jogja.” (Kurniawan Arie, Fotografer Harian Joglosemar, 28 th) “...Biasanya lewat internet, majalah, sekitar seminggu dua kali
mungkin. Informasi yang saya cari lebih ke dramatisasi foto, pemilihan
angle, lebih ke pemilihan foto.”
(Agoes Rudianto, Kontributor Kantor Berita Turki, 28 th)
“...Maksudnya ? kalau untuk membelinya saya dulu nanya-nanya
temen dulu cari info.”
(Fahmi Widayat, Fotografer Profesional, 30 th)
“...Saya dulu dapat referensi soal DSLR itu dari teman, dan internet.
kalau penggunaan kameranya saya dapatkan dari manual book
kamera.”
(Fahmi Widayat, Fotografer Profesional, 30 th)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
“Kalau dari internet biasanya lebih ke perbandingan harga dan detail spesifikasinya, kalau jaman itu belum ada situs yang signifikan membahas fotografi seperti sekarang ini. Dulu cuma pake google untuk mencari website toko-toko kamera untuk mengecek harga saja.” (Hasan Sakri Ghozali, Fotografer Tribun Jogja, 28 th)
C. Peran Individu Dalam Proses Difusi Inovasi
Peran individu dalam penelitian ini dibagi menjadi empat kategori inovasi.
Masing-masing kategori memiliki pola komunikasi yang berbeda-beda dalam sebuah
proses difusi inovasi. Secara garis besar ada dua pola komunikasi yang akan terlihat
yakni ketika seorang individu berperan sebagai komunikator dan komunikan.
Masing-masing kategori memiliki fungsi tersendiri untuk menyebarkan pesan
(message dissemination) dan proses penerimaan pesan (message reception) hal ini
terlihat ketika mereka melakukan fungsinya dalam menyebarkan atau menerima
informasi terkait kamera DSLR dimana informasi tersebut mampu mempengaruhi
proses adopsi sebuah inovasi. Kedua garis besar pola komunikasi pada masing-
masing kategori inovasi akan dijabarkan sebagai berikut :
C.1. Innovator
a. Inovator Sebagai Komunikator (Message Dissemination)
Seorang inovator memegang peranan penting untuk melakukan komunikasi
produk terhadap kategori di bawahnya. Mereka harus menjalankan fungsi
komunikasi untuk menyebarkan pesan (message dissemination) hingga dapat
diterima oleh kategori adopter di bawahnya. Proses ini bisa meliputi pemilihan
target pasar, alasan memilih target pasar tersebut, penggunaan saluran komunikasi
yang tepat yang tepat untuk menjangkau target pasar yang telah ditentukan.
Menentukan Target Informasi
Individu pada kategori ini memulai proses persebaran pesan dengan terlebih
dahulu menentukan siapa target persebaran informasi. Siapa saja yang akan
menerima informasi mengenai spesifikasi kamera, keunggulan kamera, dan segala
sesuatu terkait produk inovasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Dalam penelitian ini, komunikator tidak hanya berperan untuk memberikan
informasi mengenai inovasi produk kepada target pasar, namun juga kepada pihak
internal (tim marketing) untuk dapat membantu percepatan persebaran informasi
kepada target pasar. Proses persebaran informasi ditujukan kepada dua target
utama yakni ke dalam (tim pemasaran) dan keluar (target komersil).
“Kepada seluruh tim pemasaran, tim penjualan, dan tim pelayanan
pelanggan serta segmen pasar yang dibidik kelas produk DSLR
tersebut.
(Sintra Wong, Division Manager Canon Image Communication Product
PT. Datascrip, 33 th)
Dalam penelitian ini, peneliti menekankan proses komunikasi sebagai kajian
utama penelitian. Dalam proses difusi inovasi, saluran komunikasi memegang
peran penting dalam proses penyebaran ide baru. Pada bahasan sebelumnya telah
disebutkan bahwa inti dalam proses difusi adalah bagaimana sebuah ide baru
mampu diterima dan diadopsi oleh kategori tertentu dalam masyarakat. Inovator
adalah kategori yang berperan aktif untuk menyampaikan sebuah informasi
mengenai prdoduk informasi untuk diterima kategori di bawahnya.
Dalam proses penyebaran pesan ini, inovator akan berperan sebagai
komunikator. Apa yang perlu dilakukan sebelum seorang menyebarkan sebuah
pesan ? media apa yang akan digunakan ?
Sebelum memahami proses difusi inovasi melalui saluran komunikasi perlu
adanya pemahaman mengenai unsur source dan channel. Source atau sumber
adalah individu atau organisasi yang menciptakan pesan. Sedangkan channel
adalah sarana yang digunakan untuk menyebarkan pesan pada penerima (receiver)
(Rogers, 1983 : 198).
Saluran Komunikasi Dalam Proses Persebaran Pesan
Tahapan seorang komunikator dalam menyebarkan sebuah pesan akan
diimbangi dengan bagaimana sebuah pesan atau gagasan baru ditransmisikan
melalui berbagai saluran komunikasi (media choice).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Inovator menggunakan beberapa saluran komunikasi untuk menyebarkan
informasi mengenai sebuah produk. Media Above The Line dan Below The Line
untuk menunjang promosi sebuah produk kepada kategori penerima (receiver).
“Perencanaan komunikasi harus disesuaikan dengan sifat segmen pasar yang dibidik. Secara umum komunikasi harus dilakukan secara terintegrasi antara media Above The Line dan media Below The Line dengan porsi yang disesuaikan dengan sifat segmen pasar yang dibidik.” (Sintra Wong, Division Manager Canon Image Communication Product PT. Datascrip, 33 th)
Secara lebih spesifik Pemilihan saluran komunikasi yang tepat untuk
melakukan transmisi informasi ini mutlak diperlukan. Tanpa penggunaan saluran
komunikasi ini seorang inovator tidak akan mampu menjangkau segmen pasar
yang telah mereka bangun.
Mass media channel diartikan sebagai proses transmisi pesan yang melibatkan
media massa luas seperti, radio, televisi, koran, dan lainnya. Media massa mampu
(Rogers, 1983 : 17) :
a. Menjangkau massa secara luas dengan cepat
b. Menciptakan pengetahuan dan menyebarkan informasi
c. Membangun perubahan sikap yang terjadi dengan lemah
Saluran komunikasi melalui media massa dirasa mampu menjangkau target
audiens secara luas, namun dari efek perubahan perilaku, saluran komunikasi
interpersonal memiliki cakupan yang lebih efektif.
Dalam jurnal yang berjudul The Messenger is the Medium oleh Thomas
Valente dan Myers (2010, 254), dikemukakan bahwasanya :
“Scholars have argued that mass media are effective at disseminating information but that interpersonal communication is necessary for behavior changes to occur.”
Inovator dalam penelitian ini menggunakan berbagai media massa dan
pendekatan secara personal melalui komunikasi interpersonal dengan target pasar
yang telah ditentukan. Penggunaan media massa baik cetak maupun elektronik
dipilih karena alasan geografis negara Indonesia yang luas sehingga penggunaan
media secara masif mutlak dilakukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
“Kami menggunakan saluran komunikasi yang menyeluruh mulai dari media massa hingga pendekatan langsung ke personal dan komunitas. Hal ini dikarenakan jajaran produk DSLR yang kami pasarkan melingkupi kebutuhan dari berbagai segmen pasar mulai dari pengguna awam hingga para profesional.” (Sintra Wong, Division Manager Canon Image Communication Product PT. Datascrip, 33 th)
“Luasnya negara Indonesia yang tersebar di berbagai pulau besar dan kecil mengharuskan kami untuk menggunakan begitu banyak media dan saluran komunikasi yang sangat beragam untuk dapat menjangkau segmen pasar yang kami bidik. Hal ini tentunya juga mengakibatkan timbulnya biaya yang tidak kecil.” (Sintra Wong, Division Manager Canon Image Communication Product PT. Datascrip, 33 th)
Ada dua saluran menurut Rogers yang lazim digunakan, yakni mass media
channels dan interpersonal channels. Mass media adalah segala sesuatu yang
digunakan sebagai sarana transmisi pesan, meliputi radio, televisi, koran, dan
lainnya yang memungkinkan sumber untuk mencakup beberapa audiens. Di sisi
lain, saluran interpersonal lebih efektif untuk membujuk seorang mengadopsi ide
baru, khususnya jika channel interpersonal tersebut menghubungkan dua atau
lebih individu yang berdekatan (Rogers, 1983 : 17).
Saluran komunikasi melalui media massa menemui hambatan karena
kompleksnya audiens. Jaringan dan koneksi antar individu tidak bisa diprediksi.
Untuk itu saluran komunikasi individu melalui komunikasi interpersonal dirasa
mampu menjangkau jaringan sosial tersebut.
Sedangkan saluran interpesonal dianggap mampu memberikan pengaruh yang
kuat. Saluran komunikasi interpersonal meliputi penyampaian pesan melalui
proses tatap muka antar dua individu atau lebih.
Proses komunikasi interpersonal mampu untuk (Rogers, 1983 : 198) :
a. Menyediakan pertukaran informasi dua arah. Karakteristik komunikasi
interpersonal mampu mengatasi batasan / penghalang sosial-psikologis
atas terpaan selektif, persepsi, dan ingatan.
b. Mengajak individu untuk membentuk atau merubah sikap dengan kuat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Everett M. Rogers memberikan beberapa asumsi mengenai tingkatan
penggunaan saluran komunikasi dalam proses difusi tersebut (Rogers, 1983 :
200).
1. Asumsi 1 : Mass media relatif lebih penting pada fase pengetahuan dan
saluran komunikasi interpersonal lebih penting pada fase persuasi
Sill (1958) menemukan bahwa jika menginginkan daya serap terhadap adopsi
bisa tinggi, maka diperlukan penggunaan saluran komunikasi dengan waktu
ideal dan secara berkelanjutan, bergantian antara penggunaan saluran media
massa kemudian saluran interpersonal.
Pada fase pengetahuan mengenai inovasi, penggunaan media massa
memberikan perhatian / awareness, menuju grup, dan pada akhirnya menuju
masing-masing individu. Daya dorong pengetahuan terhadap inovasi
diciptakan oleh media massa untuk kemudian saluran interpersonal berperan
menggerakan individu pada fase persuasi.
2. Asumsi 2 : Saluran kosmopolitan relatif lebih penting pada fase pengetahuan
(knowledge), dan saluran lokal (localite) relatif lebih penting pada fase
persuasi pada proses keputusan-difusi inovasi
Cosmpolite communication channel atau secara harfiah saluran komunikasi
kosmpolitan, adalah mereka yang berasal dari luar sistem sosial yang tengah
diinvestigasi : saluran lain mengenai ide baru yang mencakup individu-
individu dari sumber di dalam sistem sosial mereka. Saluran interpersonal
masuk ke dalam lokal maupun kosmopolitan, sedangkan mas media
keseluruhan merupakan kosmopolitan.
Selain menggunakan berbagai media untuk sarana transmisi informasi,
komunikator pada kategori ini menggunakan sarana komunikasi interpersonal
sebagai media transmisi pesan, hal ini mengingat bahwa segmentasi pasar dari
produk ini merupakan komunitas yang membutuhkan pendekatan khusus dari
segi saluran komunikasinya. Pendekatan komunikasi interpersonal dilakukan
salah satunya melalui pendekatan kepada komunitas fotografi dengan
menggunakan endorser, karena dalam dunia fotografi sosok profesional
banyak menjadi panutan untuk mendapatkan rekomendasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
“Endorser dalam arti luas memang mutlak digunakan dalam pemasaran produk DSLR terutama yang menyasar ke segmen pasar komunitas karena sebagian besar penggemar fotografi yang terlibat dalam salah satu atau beberapa komunitas fotografi cenderung mencari informasi dan rekomendasi dari para anggota komunitas yang dianggap lebih senior dan lebih menguasai bidang ini.”
(Sintra Wong, Division Manager Canon Image Communication Product PT. Datascrip, 33 th)
Melalui pemberian informasi mengenai sebuah produk, seorang inovator secara
tidak sadar berusaha untuk “menaklukan” target pasar yang telah mereka pilih.
Dengan memberikan endorser sebagai cara mengkomunikasikan sebuah
produk inovasi, individu pada kelompok ini berusaha memberikan bagaimana
personifikasi produk mereka kepada pasar luas.
Melalui berbagai strategi komunikasi yang telah disusun salah satunya dengan
penggunaan endorser untuk menjangkau komunitas fotografi tertentu, sebenarnya
seorang komunikator ingin menunjukan bagaimana penggambaran positif
seseorang yang memakai produk mereka. Hal ini untuk menunjukan kepada
komuitas calon pengguna merek tertentu bahwa mereka mempunyai figur contoh
pengguna profesional yang berhasil dengan produk tersebut.
Dengan metode tersebut komunikasi interpersonal menjadi lebih efektif untuk
menjangkau adopter potensial yang telah ditentukan. Proses selanjutnya kita akan
melihat pada kategori penerima awal yakni kategori early adopter. Pada kategori
ini kita akan melihat dua pola komunikasi yang akan dialami individu yakni
bagaimana ketika mereka menerima pesan (message reception) dan ketika
menyebarkan pesan (message dissemination).
C.2. Early Adopter
a. Early Adopter Sebagai Komunikan (Message Reception)
Proses komunikasi dalam kategori early adopter dimulai dengan bagaimana
seorang early adopter menerima pesan (message reception). Individu pada
kategori ini menerima pesan dari inovator untuk memperkuat pengetahuan mereka
mengenai inovasi DSLR.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Dalam ranah komunikasi, pesan sering diidentikan dengan teks, yakni
seperangkat rekaman pesan yang dapat dianalisa oleh orang lain, sebagai contoh
buku, film, foto, atau contoh rekaman pidato maupun siaran pesan lewat televisi
(Griffin, 2012 : 6).
Kategori early adopter menerima rangkaian pesan dari kategori inovator
tentang sebuah inovasi. Selain inovator sebagai sumber pesan, rekanan atau
individu lain dalam sebuah sistem sosial yang memiliki kompetensi di bidang
fotografi digunakan sebagai rujukan sumber informasi. Messages do not interpret
themselves. Griffin (2012 : 6-7) menyebutkan bahwa pesan tidak akan
mengintrepretasikan dirinya sendiri. Words don’t mean things, people mean
things Kata tidak berarti sesuatu, oranglah yang memberi arti kepadanya.
Dari dua kalimat di atas dapat dikatakan bahwa interpretasi pesan merupakan
dua hubungan kausal antara seorang komunikator dengan komunikannya. Herbert
Blumer, mengenai fase ini disebut dengan “Humans act toward people or things
on the basis of the meanings they assign to those people or things” (Griffin, 2012
: 7).
Proses penerimaan pesan pada kategori ini sendiri dihubungkan dengan aspek
teori difusi inovasi dimulai dengan bagaimana seorang komunikan melakukan
proses pencarian atau pengumpulan informasi yang memiliki keterkaitan dengan
sebuah inovasi. Selanjutnya proses penerimaan pesan dihubungkan dengan aspek
teori dalam difusi inovasi, dimana sebelum suatu kategori mengadopsi sebuah
inovasi dibutuhkan beberapa fase yang harus dilewati. Dalam fase-fase tersebut
terdapat proses penerimaan pesan dari inovator kepada early adopter.
Rogers (1983 : 164-185) memberikan gambaran tentang beberapa tahapan
dalam proses pengambilan keputusan dalam difusi inovasi sebagai berikut :
1. Knowledge
Pada tahapan ini, individu atau unit pengambilan keputusan lain
merasakan terpaan inovasi yang ada dan mencapai pemahaman bagaimana
inovasi tersebut berfungsi. Tipe pencarian informasi pada tahapan ini dapat
dijabarkan menjadi, software information, yang terdapat pada inovasi itu
sendiri dan mampu mengurangi ketidakpastian tentang hubungan sebab dan
akibat yang terlibat dalam rangka meraih hasil yang kita inginkan (seperti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
menyadari adanya kebutuhan dan masalah individu), how-to knowledge yang
terdiri atas penggunaan informasi penting untuk menggunakan inovasi
dengan benar. Ketika seorang individu tidak mendapat informasi memadai
pada tahapan ini, maka mereka akan menolak atau tidak meneruskan sebuah
inovasi. Principles knowledge terdiri atas informasi yang berkenaan dengan
fungsi dasar yang menjadi pokok bagaimana sebuah inovasi bekerja.
Dalam kategori ini, seorang early adopter mulai menerima terpaan
informasi yang bersumber dari berbagai saluran komunikasi, baik melalui
media massa (internet) maupun melalui saluran komunikasi interpersonal.
Rogers (1983) menyebutkan pada fase awal seseorang menyadari
kebutuhan akan sebuah inovasi, individu tersebut akan mengalami exposure
media yang begitu kuat. Hal ini menjadikan seseorang menjadi seorang
information seeker yang aktif mencari segala informasi terkait inovasi apa
yang akan diadopsi demi mengurangi ketidakpastian terhadap inovasi.
Model komunikasi multi-step flow secara umum dapat diterima untuk
menjelaskan saluran komunikasi dan pola penyebaran pesan dalam proses
difusi inovasi. Model multi-step flow menyadari adanya banyak penghubung
antara media dan final receiver, model ini melihat lebih banyak kemungkinan
dalam proses penyebaran dan penerimaan pesan. Dalam proses difusi inovasi,
individu tertentu akan mendengar langsung sebuah informasi melalui media
dimana individu yang lain tidak melakukannya (Littlejohn, 2002 : 314).
Ada dua saluran menurut Rogers yang lazim digunakan, yakni mass
media channels dan interpersonal channels. Mass media adalah segala
sesuatu yang digunakan sebagai sarana transmisi pesan, meliputi radio,
televisi, koran, dan lainnya yang memungkinkan sumber untuk mencakup
beberapa audiens. Di sisi lain, saluran interpersonal lebih efektif untuk
membujuk seorang mengadopsi ide baru, khususnya jika channel
interpersonal tersebut menghubungkan dua atau lebih individu yang
berdekatan (Rogers, 1983 : 17).
Mass media channel diartikan sebagai proses transmisi pesan yang
melibatkan media massa luas seperti, radio, televisi, koran, dan lainnya.
Saluran komunikasi melalui media massa dirasa mampu menjangkau target
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
audiens secara luas, namun dari efek perubahan perilaku, saluran komunikasi
interpersonal memiliki cakupan yang lebih efektif.
Penggunaan media elektronik seperti internet saat ini lazim digunakan
individu pada kategori ini untuk mendapatkan referensi yang tepat mengenai
teknologi inovasi. Kemudian saluran komunikasi interpersonal menjadi
pilihan ketika informasi yang tersedia melalui media elektronik dirasa belum
mencukupi untuk meyakinkan individu dalam proses penerimaan informasi
ini.
“Saya harus mengumpulkan informasi paling banyak melalui web (internet), saya berhubungan langsung dengan pihak Canon maupun Nikon di Jakarta. Kemudian saya juga berhubungan dengan komunitas pengguna kamera digital untuk sharing dengan mereka. Ada komunitas di facebook di Kota Jakarta, misalnya yang saya gunakan rujukan untuk mencari informasi.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
“...Kalau seri terbaru saya dapatkan melalui release email dari produsen Canon dan Nikon, saya harus memahami spek-spek tersebut, kami harus tahu mendetail fungsinya, jangan sampai mereka mengajukan tanpa saya tahu tentang produk tersebut.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th) Pada proses pengumpulan informasi ini, subjek mengalami proses
pengurangan ketidakpastian dengan mendapatkan informasi yang memiliki
nilai tambah atas apa yang tengah dia cari. Jadi informasi yang didapatkan
adalah informasi yang menurutnya memiliki nilai tambah bagi pengetahuan
yang dimilikinya mengenai DSLR.
Information-Integration Theory melihat bagaimana seseorang
mengumpulkan dan mengorganisasi informasi tentang orang lain, objek,
situasi, atau ide dan bentuk perilaku (Littlejohn, 2002 : 123). Ada beberapa
variabel penting bagaimana sebuah informasi mampu mengubah pola
perilaku kita, informasi harus memenuhi dua syarat, yakni Valence,
bagaimana sebuah informasi mendukung kepercayaan kita dan sikap yang
kita miliki, informasi memiliki “positive valence” namun, ketika sebuah
informasi tidak mendukung sikap dan kepercayaan kita informasi tersebut
mengandung “negative valence” (Littlejohn, 2002 : 124).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Variabel selanjutnya adalah weight , ketika sebuah informasi dirasa
memiliki sebuah kebenaran maka kita akan memberikan weight atau
penekanan / perhatian yang lebih tinggi atas informasi tersebut. Namun,
ketika informasi dirasa tidak benar, tingkat penekanan akan rendah.
Sebuah sikap terdiri atas akumulasi dari informasi tentang objek,
personal, situasi, dan pengalaman. Perubahan sikap terjadi karena informasi
baru menambah sikap atau merubah salah satu pandangan mengenai weight
dan valence dari informasi lain.
Sedangkan saluran interpesonal dianggap mampu memberikan pengaruh
yang kuat. Saluran komunikasi interpersonal meliputi penyampaian pesan
melalui proses tatap muka antar dua individu atau lebih.
Rogers (1983 : 198) menyatakan bahwa proses komunikasi interpersonal
mampu untuk:
a. Menyediakan pertukaran informasi dua arah. Karakteristik
komunikasi interpersonal mampu mengatasi batasan / penghalang
sosial-psikologis atas terpaan selektif, persepsi, dan ingatan.
b. Mengajak individu untuk membentuk atau merubah sikap dengan
kuat.
Saluran interpersonal digunakan untuk menjalin komunikasi dengan
komunitas fotografi sebagai sarana bagi individu pada tahap ini untuk
mengumpulkan informasi tambahan.
“Kemudian saya juga berhubungan dengan komunitas
pengguna kamera digital untuk sharing dengan mereka.
(Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
“Selain itu saya sering juga sharing lewat telepon dengan
komunitas pengguna fotografer tadi tentang fungsi dan
kemudahan sebuah kamera.”
(Franky, Kepala Bagian Umum Solopos,34. th)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Rogers (1983 : 200) memberikan beberapa asumsi mengenai tingkatan
penggunaan saluran komunikasi dalam proses difusi tersebut.
1. Asumsi 1 : Mass media relatif lebih penting pada fase pengetahuan dan
saluran komunikasi interpersonal lebih penting pada fase persuasi
Sill (1958) menemukan bahwa jika menginginkan daya serap terhadap
adopsi bisa tinggi, maka diperlukan penggunaan saluran komunikasi
dengan waktu ideal dan secara berkelanjutan, bergantian antara
penggunaan saluran media massa kemudian saluran interpersonal.
Pada fase pengetahuan mengenai inovasi, penggunaan media massa
memberikan perhatian / awareness, menuju grup, dan pada akhirnya
menuju masing-masing individu. Daya dorong pengetahuan terhadap
inovasi diciptakan oleh media massa untuk kemudian saluran
interpersonal berperan menggerakan individu pada fase persuasi.
2. Asumsi 3 : Saluran media massa relatif lebih penting dibanding
saluran interpersonal untuk adopter tingkat awal dibanding adopter
tingkat akhir.
Pada saat ini inovator hanyalah satu-satunya tingkatan dalam sistem
difusi yang mengadopsi sebuah ide baru sehingga tidak ada seorang pun
dalam sistem yang berpengalaman dengan inovasi. Seorang late adopter
tidak perlu berhubungan langsung dengan media massa, dirinya lekat
dengan saluran interpersonal pada sistem sosial. Early adopter
membutuhkan informasi karena sifatnya yang suka berpetualang mencari
informasi, untuk itu stimulus dari media massa cukup untuk
menggerakan mereka. Sedangkan late adopter membutuhkan pengaruh
yang kuat dan cepat, seperti jaringan interpersonal.
Semua jenis informasi yang diterima individu pada tahap konowledge
pada akhirnya mempengaruhi aspek kognitif mereka terhadap teknologi
inovasi DSLR. Pada tahap penerimaan informasi ini pengetahuan mereka
akan bertambah dan menjadikan potensi adopsi sebuah teknologi menjadi
lebih cepat. Untuk selanjutnya tahap persuasi akan membawa seorang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
individu lebih dekat terhadap informasi yang mempengaruhi nilai afektif
mereka terhadap sebuah inovasi.
2. Persuasion Stage (Tahapan Persuasi)
Tahapan ini menunjukan bagaimana seorang individu bersikap setelah
melalui tahapan pertama dalam pengetahuan. Seorang individu akan terlibat
lebih secara psikologis kepada inovasi tersebut: mereka akan aktif mencari
informasi mengenai sebuah ide baru, dimana mereka mencari informasi,
pesan apa yang mereka terima, dan bagaimana mereka menginterpretasikan
pesan tersebut.
Pada tahapan persuasi yang erat hubungannya dengan proses
pengambilan keputusan, seorang individu akan aktif mencari beberapa tipe
informasi, yakni : innovation-evaluation information yang mana untuk
mengurangi ketidakpastian tentang konsekuensi yang diharapkan pada sebuah
ide baru (inovasi). Tipe informasi ini didapat dengan mudah melalui evaluasi
ilmiah mengenai inovasi, biasanya bersifat subjektif berasal dari orang
terdekat yang telah menggunakan ide tersebut dan sangat meyakinkan. A
preventive innovation adalah ide baru yang diadopsi individu dalam rangka
menghindari peristiwa yang tidak diinginkan terjadi di masa depan (Rogers,
1983 : 169).
Dalam fase persuasi keterlibatan seorang individu pada informasi yang
terkait pada pencarian mereka mengenai inovasi DSLR menjadi semakin
intens dan terarah.
Ketika informasi yang telah didapatkan adopter melalui tahap knowledge
dirasa sudah memenuhi tingkat pemahaman mengenai inovasi yang diadopsi,
pada tahap ini subjek akan melakukan komunikasi lebih intens untuk
meyakinkan dirinya mengenai penting atau tidaknya sebuah adopsi
dilakukan. Proses pencarian informasi dilanjutkan dengan intensitas
komunikasi lebih mendalam dan lebih luas demi mendukung data informasi
yang telah ia dapatkan sebelumnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
Saluran komunikasi secara interpersonal terhadap pengguna lain lebih
intens dilakukan dalam fase ini untuk memberikan keyakinan terhadap sebuah
inovasi.
“Saya harus punya data dulu, misal mereka mau
mengajukan sebuah produk saya sudah punya dulu list mulai
dari harga sampai spesifikasi sebuah produk.”
(Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
“Selain itu saya sering juga sharing lewat telepon dengan
komunitas pengguna fotografer tadi tentang fungsi dan
kemudahan sebuah kamera.”
(Franky, Kepala Bagian Umum Solopos,34. th)
“Sub dealer penjualan seperti Kota Raya saya juga melakukan hubungan dengan mereka. Kadang untuk jaga-jaga saja semisal ada kerusakan saya juga akan butuh mereka. Saya akan tanya kepada mereka dimana tempat membersihkan lensa.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
Ketika seorang adopter memilih sebuah inovasi, tentunya mereka sudah
mengalami reduksi informasi yang mengurangi ketidakpastian akan inovasi
yang akan diadopsi. Sebuah inovasi akan mudah diterima atau diadopsi jika
memenuhi beberapa unsur seperti relative advantage, compatibility,
complexity, trialability, dan observability. Dalam kategori early adopter
informasi yang diperoleh dari seorang inovator adalah informasi yang bersifat
teknis mengenai sebuah inovasi. Segala informasi yang terkait dengan
sebuah inovasi yang akan diadopsi semakin intens dicari, pada kasus ini
penggunaan saluran komunikasi interpersonal memegang peranan yang cukup
besar.
Informasi yang dicari tersebut pun sangat menekankan unsur relative
advantage (kegunaan relatif), compatibility (kecocokan) dan complexity
(kompleksitas). Pada tahapan ini seorang individu akan lebih dalam
mempelajari sisi keunggulan dan mereduksi segala informasi yang
mempengaruhi nilai positif mereka terhadap sebuah inovasi. Menurut Rogers
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
(1983 : 213-232) beberapa prasyarat harus dipenuhi sebuah inovasi sehingga
mampu mempengaruhi afektif dari komunikan pada tahap ini, yakni :
a. Relative Advantage (Kegunaan Relatif)
Adalah sebuah tingkatan dimana inovasi diterima sebagai sesuatu yang
lebih baik untuk menggantikan sebuah ide. Tingkat relatifitas ini bisa
diukur melalui faktor ekonomi, kepuasan, dan kecocokan dalam
menggunakan sebuah inovasi. Makin tinggi sebuah keuntungan relatif
dari inovasi, maka makin cepat pula sebuah adopsi akan terjadi.
Pertimbangan atas beberapa keuntungan yang ditawarkan sebuah inovasi
menjadi nilai tambah yang mempengaruhi adopter untuk mempercepat
adopsi teknologi kamera DSLR.
“Kita fokus ke DSLR karena untuk singkronisasi antara
kebutuhan cetak koran dengan plat cetak. Kalau kamera
tidak bagus maka hasil cetak pembesaran tidak bagus.”
(Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
b. Compatibility (Kecocokan)
Adalah sebuah tingkatan dimana sebuah inovasi diterima karena
konsisten dengan nilai-nilai yang sudah ada, pengalaman masa lalu, dan
kebutuhan oleh adopter potensial.
Dalam sebuah lingkup manajerial perusahaan, pengadaan sebuah
teknologi mutlak harus mempertimbangkan nilai kecocokan inovasi
dengan nilai guna teknologi di lapangan.
Individu pada kategori ini harus mempertimbangkan segala informasi
terkait dengan kecocokan antara inovasi yang akan diadopsi dengan
kebutuhan di lapangan. Sebuah inovasi yang akan diadopsi salah satunya
harus memenuhi kecocokan dengan kebutuhan perusahaan. Pentingnya
sebuah informasi yang digali oleh individu adalah menekankan
pentingnya kecocokan tersebut dengan kebutuhan perusahaan.
“...Kalau semisal mereka mengajukan sebuah spesifikasi kamera misal Canon 6D, kita harus cek dengan manajemen nih, apakah kebutuhan tersebut sudah mendesak atau sekedar mengikuti tren saja ?” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
c. Complexity (Kompleksitas/Kerumitan)
Adalah sebuah tingkatan dimana sebuah inovasi dilihat dari sisi kesulitan
untuk memahami dan menggunakannya. Beberapa inovasi sudah siap
untuk dipahami oleh beberapa anggota sistem sosial : anggota yang lain
mungkin merasa rumit dan lambat dalam mengadopsi.
Salah satu fungsi pencarian informasi pada tahap konowledge dan
persuasi adalah mengatasi tingkat kerumitan sebuah inovasi agar
nantinya adopsi sebuah inovasi bisa dilakukan dengan maksimal.
Individu pada tahap ini harus paham nilai kompleksitas sebuah inovasi
karena dengan pemahaman yang baik proses penyampaian pesan kepada
kategori internal manajerial dan adopter di bawahnya akan berjalan
dengan baik. Dengan semakin baiknya pemahaman individu terhadap
sebuah inovasi, maka tingkat kerumitan atas sebuah inovasi bisa
direduksi sehingga mempercepta proses adopsi. Segala informasi terkait
dengan tingkat kerumitan sebuah inovasi akan dicari demi memantapkan
pemahaman individu pada kategori ini.
“Saya harus paham secara spek teknis kamera tersebut. Sekarang ada kamera dengan fasilitas wifi dan GPS, kalau nanti mereka pakai seperti itu? Apakah itu selaras dengan kebutuhan?” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
d. Trialability (Percobaan)
Adalah tingkatan dimana sebuah inovasi dapat di eksperimen dengan
batasan dasar. Sebuah inovasi atau ide baru yang bisa dicoba dalam
rencana instalasi akan lebih cepat diadopsi dibanding sebuah ide baru
yang tidak bisa dicoba.
e. Observability (Observatif)
Adalah sebuah tingkatan dimana hasil dari sebuah inovasi dapat dilihat
oleh orang lain. Makin mudah sebuah hasil inovasi diamati oleh
seseorang, maka inovasi tersebut akan mudah untuk diadopsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
3. Decision Stage (Tahapan Keputusan)
Tahapan pengambilan keputusan terjadi ketika seorang individu atau unit
pengambilan keputusan lain terlibat dalam aktivitas yang bertujuan untuk
memilih atau menolak sebuah inovasi. Adopsi adalah keputusan untuk
menggunakan secarap penuh sebuah inovasi jalan tindakaan terbaik.
Rejection adalah penolakan dalam menggunakan sebuah inovasi.
Pada tahapan pengambilan keputusan, penting bagi seorang inovator
untuk menghasilkan relative advantage bagi calon adopter yang ingin mereka
tuju karena tidak ada satu inovasi yang mampu diadopsi tanpa melalui proses
trial atas inovasi tersebut. Ketika relative advantage dirasakan seorang
adopter maka akan mendorong mereka pada proses adopsi inovasi secara
menyeluruh.
Rogers (1983) menyebut keputusan adopsi pada tahapan ini sebagai
collective innovation-decisions adalah pilihan untuk mengadopsi atau
menolak inovasi yang dibuat secara konsesus diantara anggota dari sistem
sosial. Semua anggota unit dari sistem sosial biasanya akan patuh terhadap
keputusan dari sistem ketika melakukan adopsi. Keputusan yang dibuat atas
dasar power yang dimiliki oleh individu pada kategori ini sehingga harus
dipatuhi (memaksa) bagi kategori di bawahnya.
“Semua tergantung kebutuhan, apakah untuk sport, atau kebutuhan lain. Kita fokus ke DSLR karena untuk singkronisasi antara kebutuhan cetak koran dengan plat cetak. Kalau kamera tidak bagus maka hasil cetak pembesaran tidak bagus.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
Pada tahapan ini segala informasi terkait teknis dan spesifikasi kamera
haruslah sudah dipahami terkait dengan keputusan mengadopsi atau tidaknya
sebuah inovasi. Penguasaan informasi mengenai teknis dan spesifikasi
kamera DSLR tertentu menjadi hal mutlak untuk dijadikan acuan kelak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
b. Early Adopter Sebagai Komunikator (Message Dissemination)
Setelah melalui proses pencarian informasi tiba saatnya bagi individu
kategori ini untuk menyampaikan informasi yang dia peroleh sebagai bahan
pertimbangan dalam rapat bersama untuk menentukan adopsi sebuah
inovasi dalam sebuah sistem sosial.
Dalam proses penciptaan pesan ini, kategori early adopter menggunakan
power yang dimiliki untuk menyampaikan informasi sehingga menjadi
bahan pertimbangan bagi perusahaan dalam menentukan teknologi DSLR
apa yang akan diadopsi.
Tata aturan perusahaan (SOP) menunjukan bahwa individu pada kategori
ini harus “mempertahankan” pendapat yang ia peroleh atas dasar informasi
dari berbagai sumber untuk dijadikan acuan bagi pemilihan inovasi tersebut.
Seorang komunikator pada kategori early adopter akan mengalami
beberapa sekuen penciptaan pesan sebelum pesan disalurkan melalui media
tertentu. Sebagai seorang komunikator yang sebuah pesan atau gagasan,
seseorang harus tahu siapa audiens yang menjadi lawan bicaranya.
Menempatkan diri sebagai seseorang (self) pada situasi tertentu membantu
kita lebih memahami siapa komunikan kita. Menurut Ervin Goffman yang
dikutip oleh Littlejohn (2002), melihat bagaimana komunikator menunjukan
diri mereka dalam sebuah sistem sosial.
Teori “drama”yang dikemukakan Goffman menunjukan seorang individu
pada kategori ini harus rela menjadi orang lain demi mempertahankan
pendapat dan pandangan yang menurutnya benar. Segala bentuk informasi
yang dikumpulkan menjadi bahan untuk mempertahankan pendapatnya. Tak
jarang hal ini memicu friksi karena seorang early adopter harus bertindak
menjadi “orang lain” demi membela kepentingan perusahaan.
Frame Analysis dalam diri individu menentukan bagaimana seorang
individu mengorganisasi dan memahami perilaku mereka pada berbagai
situasi. Frames membantu kita mengidentifikasi dan memahami sebuah
kejadian, memberi makna pada aktivitas yang tengah terjadi dalam
kehidupan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
“...Benar divisi ini sangat vital dalam pengadaan kamera khususnya. Bukan hanya pengadaan tapi proses after sales nya yang kita kerjakan disini. Jadi memang setiap pengadaan tentunya harus ada usul dari redaksi dulu, SOP perusahaan menegaskan kami tidak boleh mengadakan sesuatu tanpa ada permintaan dari divisi manapun. Pun dengan mereka, mereka tidak bisa membeli tanpa melalui saya.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
Dalam proses penyebaran pesan dan interpretasi pesan ini terdapat fakta
pada salah satu narasumber bahwasanya dalam pengadaan kamera DSLR ini
hingga proses adopsinya kadang terjadi friksi dengan pihak early majority
dalam sebuah forum. Hal ini dikarenakan masing-masing pihak
berkomunikasi secara argumentatif sehingga sulit mendapatkan sebuah
kesepahaman.
Argumentativeness adalah kecenderungan seorang individu terlibat
dalam percakapan tentang topik kontroversial, untuk mendukung sudut
pandangnya sendiri, dan menolak kepercayaan yang berlawanan (Littlejohn,
2002 : 94).
“Friksi terjadi biasanya karena debat soal harga. Kemudian soal fungsi, apakah kalau kita beli yang canggih seperti wifi dan gps tadi akan terpakai ? apakah soal modernisasi ataukah secara fungsi ?”
(Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
“...Gengsi ataukah fungsi, biasanya seperti itu. Titik temu nanti biasanya akan dikonsultasikan dengan pihak keuangan, jadi tidak semua bisa di-acc langsung. Semua kembali kepada direksi. Kalau pihak direksi mungkin tahu tapi tidak mendalam, jadi semua dikembalikan kepada saya. Saya harus memahami teknologi yang diajukan.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
C.3. Early Majority
a. Sebagai Komunikan (Message Reception)
Proses komunikasi yang terjadi pada kategori ini adalah bagaimana anggota
dalam kategori ini menerima pesan (message reception) atau informasi mengenai
DSLR dan bagaimana mereka mentransmisikan pesan (message dissemination)
tersebut pada kategori di bawahnya.
Proses penerimaan pesan pada kategori ini sendiri dimulai dengan bagaimana
seorang komunikan melakukan proses pencarian atau pengumpulan informasi
yang memiliki keterkaitan dengan sebuah inovasi. Dalam proses penerimaan
informasi ini peneliti menghubungkan dengan aspek teori dalam difusi inovasi,
dimana sebelum suatu kategori mengadopsi sebuah inovasi dibutuhkan beberapa
fase yang harus dilewati.
Rogers (1983 : 164-185) memberikan gambaran tentang beberapa tahapan
dalam proses pengambilan keputusan dalam difusi inovasi sebagai berikut:
1. Knowledge
Pada tahapan ini, individu atau unit pengambilan keputusan lain
merasakan terpaan inovasi yang ada dan mencapai pemahaman bagaimana
inovasi tersebut berfungsi. Tipe pencarian informasi pada tahapan ini dapat
dijabarkan menjadi, software information, yang terdapat pada inovasi itu
sendiri dan mampu mengurangi ketidakpastian tentang hubungan sebab dan
akibat yang terlibat dalam rangka meraih hasil yang kita inginkan (seperti
menyadari adanya kebutuhan dan masalah individu), how-to knowledge yang
terdiri atas penggunaan informasi penting untuk menggunakan inovasi
dengan benar. Ketika seorang individu tidak mendapat informasi memadai
pada tahapan ini, maka mereka akan menolak atau tidak meneruskan sebuah
inovasi. Principles knowledge terdiri atas informasi yang berkenaan dengan
fungsi dasar yang menjadi pokok bagaimana sebuah inovasi bekerja.
Pada awal pencarian informasi mengenai keberadaan DSLR, kategori
awal pengguna ini justru mendapatkan banyak informasi dari teman ataupun
relasi mereka (saluran komunikasi interpersonal). Minimnya informasi dari
inovator saat itu mengenai produk DSLR menjadi sedikit penghalang bagi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
individu kategori ini untuk mempelajari sepsifikasi kamera DSLR ini. Hal ini
disebabkan teknologi inovasi ini pada saat itu merupakan hal langka dan
terlampau mahal untuk dimiliki.
Dalam proses difusi inovasi komunikasi menjadi titik penting bagaimana
sebuah pesan dapat dikomunikasikan. Sebelum memahami proses difusi
inovasi melalui saluran komunikasi perlua danya pemahaman mengenai unsur
source dan channel. Source atau sumber adalah individu atau organisasi yang
menciptakan pesan. Sedangkan channel adalah sarana yang digunakan untuk
menyebarkan pesan pada penerima (receiver) (Rogers, 1983 : 198).
Ada dua saluran menurut Rogers (1983 : 17) yang lazim digunakan,
yakni mass media channels dan interpersonal channels. Mass media adalah
segala sesuatu yang digunakan sebagai sarana transmisi pesan, meliputi radio,
televisi, koran, dan lainnya yang memungkinkan sumber untuk mencakup
beberapa audiens. Di sisi lain, saluran interpersonal lebih efektif untuk
membujuk seorang mengadopsi ide baru, khususnya jika channel
interpersonal tersebut menghubungkan dua atau lebih individu yang
berdekatan.
Saluran komunikasi melalui media massa dirasa mampu menjangkau
target audiens secara luas, namun dari efek perubahan perilaku, saluran
komunikasi interpersonal memiliki cakupan yang lebih efektif.
Saluran komunikasi melalui media massa menemui hambatan karena
kompleksnya audiens. Jaringan dan koneksi antar individu tidak bisa
diprediksi. Untuk itu saluran komunikasi individu melalui komunikasi
interpersonal dirasa mampu menjangkau jaringan sosial tersebut.
Sedangkan saluran interpesonal dianggap mampu memberikan pengaruh
yang kuat. Saluran komunikasi interpersonal meliputi penyampaian pesan
melalui proses tatap muka antar dua individu atau lebih.
Pada bagian ini kita melihat bagaimana individu setuju dengan cara kita
mengorganisasi dan mengatur informasi dan bagaimana informasi
mempengaruhi sistem kognitif kita (Rogers, 1983 : 123).
Littlejohn (2002 : 123) mengemukakan sebuah teori Information-
Integration Theory yang melihat bagaimana seseorang mengumpulkan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
mengorganisasi informasi tentang orang lain, objek, situasi, atau ide dan
bentuk perilaku (Littlejohn, 2002 : 123). Ada beberapa variabel penting
bagaimana sebuah informasi mampu mengubah pola perilaku kita, informasi
harus memenuhi dua syarat, yakni Valence, bagaimana sebuah informasi
mendukung kepercayaan kita dan sikap yang kita miliki, informasi memiliki
“positive valence” namun, ketika sebuah informasi tidak mendukung sikap
dan kepercayaan kita informasi tersebut mengandung “negative valence”
(Littlejohn, 2002 : 124).
Variabel selanjutnya adalah weight , ketika sebuah informasi dirasa
memiliki sebuah kebenaran maka kita akan memberikan weight atau
penekanan / perhatian yang lebih tinggi atas informasi tersebut. Namun,
ketika informasi dirasa tidak benar, tingkat penekanan akan rendah.
Sebuah sikap terdiri atas akumulasi dari informasi tentang objek,
personal, situasi, dan pengalaman. Perubahan sikap terjadi karena informasi
baru menambah sikap atau merubah salah satu pandangan mengenai weight
dan valence dari informasi lain.
Pada tahap knowledge subjek mulai melakukan proses pencarian
informasi mengenai DSLR. Hal ini terkait dengan makin mendesaknya
penggunaan DSLR karena adanya tuntutan deadline yang tidak bisa dipenuhi
dengan menggunakan kamera analog yang mereka gunakan sebelumnya.
Selain itu munculnya teknologi digital pada awal periode tahun 2000-an
membuat penggunaan analog mulai ditinggalkan. Hal ini terkait dengan
kecepatan kerja dan efisiensi dari segi harga dan hasil yang didapatkan.
Produsen film untuk kamera analog semakin sulit didapatkan, hal ini yang
membuat mereka harus memutar otak bagaimana mencari alternatif teknologi
lama mereka.
Proses penerimaan pesan (message reception) dilakukan seorang early
majority melalui kontak dengan berbagai saluran komunikasi dan sumber
informasi. Dari awal muncul inovasi teknologi DSLR mereka aktif mencari
informasi mengenai teknologi tersebut. Pada awal kemunculannya pada
periode Tahun 2000-an belum tersedia banyak informasi mengenai produk
ini. Informasi mereka dapatkan dari berbagai saluran komunikasi, melalui
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
media cetak dan saluran komunikasi interpersonal. Media elektronik seperti
internet masih sangat terbatas pada saat itu. Kebanyakan informasi diperoleh
melalui media cetak seperti koran dan majalah.
“Saya ga belajar dari media apapun. Saya ga pernah baca, teori saya abaikan. Saya waktu itu sempetnya belajar dari brosur, biasanya dapet dari produsen, atau pameran. Dulu brosur ini dikirim ke media-media kita. Di brosur itu terbatas informasinya, saya cuma belajar soal spesifikasi aja dari brosur itu, bukan teknis. Saya pertama kali ga merasakan kesulitan, penggunaannya kan mirip dengan analog. Saya dapat pelatihan dari Jakarta waktu itu soal kamera digital. Dari forum fotografi Jakarta waktu itu sekitar tahun 2003-an. Saya karena terbiasa pakai analog jadi ga kesulitan dengan kamera digital.” (Sunaryo Haryo Bayu, Fotografer Senior Solopos, 48 th)
“Pertama kali dapat info sih saya nyari-nyari sendiri. Dari kantor tidak menyediakan. Kalau informasi soal DSLR saya tanya temen-temen aja yang lain. Waktu itu saya dapat informasi soal kamera D70 itu saya baca-baca dari iklan koran aja terus titip temen yang berada di Singapore. Di Jogja (daerah) belum ada mungkin saat itu.” (Tarko Sujarno, Jakarta Pos Kontributor Yogyakarta, 52 th)
“Saya mendapat informasi soal DLSR dari majalah, jadi sebelum muncul di pasar saya sudah dapat informasi dari majalah saat itu kalau sebentar lagi akan beredar kamera DSLR. Sejak tahun 1998 saya udah dapat informasi. Belum ada internet saat seperti saat ini. Saya belajar dari majalah soal hasil foto dari fotografer luar negeri dari majalah itu. Dari majalah seperti Foto Asia dan Foto Media saya mendapatkan info dari media itu.” (Ali Lutfi, Jakarta Globe dan Kontributor EPA, 38 th) “Saya dapat informasi mengenai DSLR itu dari toko kamera, majalah dan dari temen-temen, banyak saat itu temen-temen yang pindah ke DSLR jadi saya tanya-tanya mereka. Kalau yang terakhir beli kamera ini saya banyak tanya nya ke penjual kamera nya malahan apa kelebihan dan kekurangan kamera ini. Kalau saya jadi orang tu sering nanya ke temen seperti senior saya dari Jogja. Dia yang sering pertama kali nyoba teknologi baru, jadi sering nanya ke dia.” (Pang Hway Seng, Fotografer Profesional, 63 th)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Rogers (1983 : 200) memberikan beberapa asumsi mengenai tingkatan
penggunaan saluran komunikasi dalam proses difusi tersebut.
1. Asumsi 1 : Mass media relatif lebih penting pada fase pengetahuan dan
saluran komunikasi interpersonal lebih penting pada fase persuasi
Sill (1958) menemukan bahwa jika menginginkan daya serap terhadap
adopsi bisa tinggi, maka diperlukan penggunaan saluran komunikasi
dengan waktu ideal dan secara berkelanjutan, bergantian antara
penggunaan saluran media massa kemudian saluran interpersonal.
Pada fase pengetahuan mengenai inovasi, penggunaan media massa
memberikan perhatian / awareness, menuju grup, dan pada akhirnya
menuju masing-masing individu. Daya dorong pengetahuan terhadap
inovasi diciptakan oleh media massa untuk kemudian saluran
interpersonal berperan menggerakan individu pada fase persuasi.
,sedangkan mas media keseluruhan merupakan kosmopolitan.
2. Asumsi 3 : Saluran media massa relatif lebih penting dibanding saluran
interpersonal untuk adopter tingkat awal dibanding adopter tingkat
akhir.
Pada saat ini inovator hanyalah satu-satunya tingkatan dalam sistem
difusi yang mengadopsi sebuah ide baru sehingga tidak ada seorang pun
dalam sistem yang berpengalaman dengan inovasi. Seorang late adopter
tidak perlu berhubungan langsung dengan media massa, dirinya lekat
dengan saluran interpersonal pada sistem sosial. Early adopter
membutuhkan informasi karena sifatnya yang suka berpetualang mencari
informasi, untuk itu stimulus dari media massa cukup untuk
menggerakan mereka. Sedangkan late adopter membutuhkan pengaruh
yang kuat dan cepat, seperti jaringan interpersonal.
Model komunikasi multi-step flow secara umum dapat diterima untuk
menjelaskan saluran komunikasi dan pola penyebaran pesan dalam proses
difusi inovasi. Model multi-step flow menyadari adanya banyak penghubung
antara media dan final receiver, model ini melihat lebih banyak kemungkinan
dalam proses penyebaran dan penerimaan pesan. Dalam proses difusi inovasi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
individu tertentu akan mendengar langsung sebuah informasi melalui media
dimana individu yang lain tidak melakukannya (Littlejohn, 2002 : 314).
Segala informasi yang minim melalui media tersebut menciptakan rasa
ingin tahu tentang apa saja yang bisa dihasilkan melalui teknologi DSLR ini.
Hal ini membawa mereka kepada fase selanjutnya dalam proses difusi
inovasi. Bergerak dari fase kognitif menjadi afektif.
2. Persuasion Stage (Tahapan Persuasi)
Tahapan ini menunjukan bagaimana seorang individu bersikap setelah
melalui tahapan pertama dalam pengetahuan. Seorang individu akan terlibat
lebih secara psikologis kepada inovasi tersebut: mereka akan aktif mencari
informasi mengenai sebuah ide baru, dimana mereka mencari informasi,
pesan apa yang mereka terima, dan bagaimana mereka menginterpretasikan
pesan tersebut.
Pada tahapan persuasi yang erat hubungannya dengan proses
pengambilan keputusan, seorang individu akan aktif mencari beberapa tipe
informasi, yakni : innovation-evaluation information yang mana untuk
mengurangi ketidakpastian tentang konsekuensi yang diharapkan pada sebuah
ide baru (inovasi). Tipe informasi ini didapat dengan mudah melalui evaluasi
ilmiah mengenai inovasi, biasanya bersifat subjektif berasal dari orang
terdekat yang telah menggunakan ide tersebut dan sangat meyakinkan. A
preventive innovation adalah ide baru yang diadopsi individu dalam rangka
menghindari peristiwa yang tidak diinginkan terjadi di masa depan (Rogers,
1983 : 169).
Proses pencarian informasi pada tahap ini sangat mempengaruhi sisi
afektif dibanding kognitif individu saat mendapatkannya. Inidividu pada
kategori ini akan mencari informasi yang terkait dengan segala sesuatu yang
mengurangi ketidakpastian terhadap produk inovasi yang akan diadopsi.
Karakter sebuah inovasi yang mempengaruhi penerimaan oleh seorang
individu dapat dijelaskan sebagai berikut (Rogers, 213-232) :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
a. Relative Advantage (Kegunaan Relatif)
Adalah sebuah tingkatan dimana inovasi diterima sebagai sesuatu yang
lebih baik untuk menggantikan sebuah ide. Tingkat relatifitas ini bisa
diukur melalui faktor ekonomi, kepuasan, dan kecocokan dalam
menggunakan sebuah inovasi. Makin tinggi sebuah keuntungan relatif
dari inovasi, maka makin cepat pula sebuah adopsi akan terjadi.
Pada tahapan ini hampir semua menyadari pentingnya DSLR dalam
menunjang kinerja mereka. Kamera analog sudah tidak lagi menjadi
acuan karena dirasa sudah tidak mampu memenuhi target kerja dan
terlalu rumit dalam proses produksi dan pasca produksinya. Relative
advantage yang ditawarkan oleh teknologi DSLR mendorong percepatan
adopsi teknologi ini. Kepraktisan dan kecepatan yang menjadi daya tarik
bagi sebagian fotografer khususunya di dunia jurnalistik.
“Kalo pertama makai DSLR sih ga ada kesulitan, malahan DSLR itu sangat memudahkan. Kalau kamera digital sih saya otodidak karena sering belajar dari hasil memakai analog dulu. Internet belum seperti sekarang waktu tahun 2000 itu.” (Sunaryo Haryo Bayu, Fotografer Senior Solopos, 48 th) “Kalau teknis sih hampir mirip dengan analog kok. Ga ada kesulitan. Waktu pakai film sih kurang leluasa. Tinggal pencet kalau pakai pocket atau DSLR, kepraktisan dan kecepatan. Langsung jalan aja waktu itu ga pakai belajar-belajar, karena udah familiar aja dengan analog Nikon saat itu. Hampir sama dengan kamera analog, Cuma banyak mode yang dimainkan di kamera digital. Begitu menerima saya langsung pakai, belajar di lapangan waktu itu langsung saya pakai. Tidak ada kesulitan, malah langsung terbantu saat itu.” (Tarko Sujarno, Jakarta Pos Kontributor Yogyakarta, 52 th)
b. Compatibility (Kecocokan)
Adalah sebuah tingkatan dimana sebuah inovasi diterima karena
konsisten dengan nilai-nilai yang sudah ada, pengalaman masa lalu, dan
kebutuhan oleh adopter potensial.
Beberapa temuan dari wawancara menunjukan nilai kecocokan inovasi
yang mereka coba adaptasi terbantu karena adanya pengalaman masa lalu
menggunakan analog. Jadi proses belajar individu pada tahap ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
berlangsung cepat. Kecocokan terhadap nilai kebutuhan akan produk
digital saat itu menjadikan sebagian besar narasumber menjadi tertarik
dan terdorong untuk melakukan adopsi.
“...Langsung jalan aja waktu itu ga pakai belajar-belajar, karena udah familiar aja dengan analog Nikon saat itu. Hampir sama dengan kamera analog, Cuma banyak mode yang dimainkan di kamera digital.” (Tarko Sujarno, Jakarta Pos Kontributor Yogyakarta, 52 th)
“...Kalau kamera digital sih saya otodidak karena sering
belajar dari hasil memakai analog dulu.”
(Sunaryo Haryo Bayu, Fotografer Senior Solopos, 48 th)
c. Complexity (Kompleksitas/Kerumitan)
Adalah sebuah tingkatan dimana sebuah inovasi dilihat dari sisi kesulitan
untuk memahami dan menggunakannya. Beberapa inovasi sudah siap
untuk dipahami oleh beberapa anggota sistem sosial : anggota yang lain
mungkin merasa rumit dan lambat dalam mengadopsi.
Nilai kerumitan pada teknologi digital DSLR mampu teratasi dengan
tingkat kemahiran narasumber ketika menggunakan analog. Mereka
menyebut teknologi ini tidak berbeda jauh dari sisi penggunaan dengan
kamera analog terdahulu. Hal ini membuat proses adopsi berlangsung
cepat. Bisa dikatakan pengalaman masa lalu dengan produk analog
membawa nilai tambah tersendiri yang mempermudah mereka.
Informasi mengenai kamera digital untuk mempermudah penggunaan
bukan menjadi hal yang mutlak lagi. Kesulitan yang dialami bagi
pengguna awal ini adalah proses post produksi terkait dengan editing
yang tidak secara langsung berhubungan dengan adopsi teknologi ini.
“...Langsung jalan aja waktu itu ga pakai belajar-belajar, karena udah familiar aja dengan analog Nikon saat itu. Hampir sama dengan kamera analog, Cuma banyak mode yang dimainkan di kamera digital. Begitu menerima saya langsung pakai, belajar di lapangan waktu itu langsung saya pakai. Tidak ada kesulitan, malah langsung terbantu saat itu.” (Tarko Sujarno, Jakarta Pos Kontributor Yogyakarta, 52 th)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
“Tidak ada kesulitan dalam transisi penggunaan kamera analog
ke digital. Kesulitan lebih ke post produksi nya. Masalah komputer
yang lambat pada saat itu.”
(Ali Lutfi, Jakarta Globe dan Kontributor EPA, 38 th)
“Saya ga ada kesulitan menggunakan kamera DSLR itu, kesulitannya justru pada post produksinya, bagaimana memproses di komputer itu sendiri. Hitungan hari saya belajar. Tidak lama saya belajar, dari sales nya saja saya sudah bisa mengoperasikan. Lebih susahnya ya itu bagaimana back up data nya, gimana kalo file rusak, gimana edit nya, seperti itu lah susahnya.” (Pang Hway Seng, Fotografer Profesional, 63 th)
d. Trialability (Percobaan)
Adalah tingkatan dimana sebuah inovasi dapat di eksperimen dengan
batasan dasar. Sebuah inovasi atau ide baru yang bisa dicoba dalam
rencana instalasi akan lebih cepat diadopsi dibanding sebuah ide baru
yang tidak bisa dicoba.
Meskipun informasi yang didapatkan dari berbagai media masih minim,
tingkat pengetahuan individu terhadap teknologi analog terdahulu
membantu mereka lekas beradaptasi melakukan percobaan dengan
inovasi baru. Hal ini menunjukan DSLR merupakan bentuk inovasi yang
mudah diadopsi kategori ini.
“...Begitu menerima saya langsung pakai, belajar di lapangan.
Waktu itu langsung saya pakai.”
(Tarko Sujarno, Jakarta Pos Kontributor Yogyakarta, 52 th)
“...Hitungan hari saya belajar.”
(Pang Hway Seng, Fotografer Profesional, 63 th)
e. Observability (Observatif)
Adalah sebuah tingkatan dimana hasil dari sebuah inovasi dapat dilihat
oleh orang lain. Makin mudah sebuah hasil inovasi diamati oleh
seseorang, maka inovasi tersebut akan mudah untuk diadopsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Informasi yang didapatkan melalui komunikasi interpersonal mengenai
sebuah teknologi menjadikan sebuah inovasi mutlak harus memenuhi
sarana observability dengan maksud ketika sebuah inovasi sudah
diadopsi tingkat penggunaanya pun harus mudah diamati orang lain agar
proses persebaran informasi dapat cepat berlangsung.
Pada fase ini saluran komunikasi interpersonal memberi nilai tambah
bagi persebaran informasi, artinya sebuah inovasi harus mampu di
observasi secara verbal maupun non verbal. Ketika inovasi mampu
disaksikan nilai lebih nya, maka proses adopsi akan berjalan cepat.
“...Kalau saya jadi orang tu sering nanya ke temen seperti senior
saya dari Jogja. Dia yang sering pertama kali nyoba teknologi
baru, jadi sering nanya ke dia.”
(Pang Hway Seng, Fotografer Profesional, 63 th)
3. Decision Stage (Tahapan Keputusan)
Tahapan pengambilan keputusan terjadi ketika seorang individu atau unit
pengambilan keputusan lain terlibat dalam aktivitas yang bertujuan untuk
memilih atau menolak sebuah inovasi. Adopsi adalah keputusan untuk
menggunakan secarap penuh sebuah inovasi jalan tindakaan terbaik.
Rejection adalah penolakan dalam menggunakan sebuah inovasi.
Pada tahapan ini beberapa narasumber memiliki beberapa alasan yang
menguatkan mereka untuk segera mengadopsi sebuah inovasi. Berpindah dari
sistem manual menjadi digital. Pada fase ini seorang adopter akan mengambil
keputusan apakah menerima atau menolak sebuah inovasi. Setiap keputusan
disertai alasan yang menguatkan mereka mengenai kegunaan sebuah inovasi.
Optional innovation-decisions terjadi ketika individu dalam sistem sosial
memutuskan untuk mengadopsi sebuah inovasi karena keputusan yang
merdeka dari dirinya sendiri terlepas dari anggota lain dalam sistem sosial.
Meskipun dalam pengambilan keputusannya mereka dipengaruhi oleh norma
sosial dan pengaruh komunikasi interpersonal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
“Ya karena di analog itu mahal di produksi, beli developer dan sebagainya. Sangat mahal. Kesulitan di lapangan sangat banyak dengan manual, terbatasnya jumlah roll film terutama. Kalau kita dipaksa makai analog ya kalah kita.” (Sunaryo Haryo Bayu, Fotografer Senior Solopos, 48 th)
“Waktu itu sih tuntutan keadaan, karena pocket sudah tidak bisa menuruti kecepatan kerja terutama deadline. Kamera DSLR memotong banyak proses kerja dibandingkan dengan analog.” (Tarko Sujarno, Jakarta Pos Kontributor Yogyakarta, 52 th)
“Terutama kemudahan ya, proses analog ke hasil fisik biasanya kita membutuhkan 1 jam. Efisiensi waktu, biaya, DSLR sangat memudahkan pekerjaan kita.” (Ali Lutfi, Jakarta Globe dan Kontributor EPA, 38 th) “Saya harus memakai DSLR, saya berfikiran kalau saya tidak memakai DSLR saya mati, waktu itu periode 2001-an toko kamera yang menjual film sudah bangkrut, lalu saya dapat film darimana? Dari majalah Foto Indonesia saya biasanya dapat kabar soal perkembangan dunia kamera, misal isu pailitnya Kodak, makanya saya jadi ngeri. Makanya saya terus terpaksa belajar DSLR itu.” (Pang Hway Seng, Fotografer Profesional, 63 th)
Dalam proses penciptaan dan interpretasi pesan ini terdapat fakta pada
salah satu narasumber bahwasanya dalam pengadaan kamera DSLR
pengambilan keputusan adopsi merupakan proses pertukaran informasi dan
bergantung pada keputusan seorang early adopter. Hal ini terkait hirarki
perusahaan yang mengharuskan pengadaan dan keputusan mengadopsi
teknologi DSLR tertentu merupakan hasil pertukaran informasi dengan early
adopter. Sementara pada narasumber lain pengadaan atau adopsi kamera
tidak mengalami proses seperti ini dikarenakan mereka secara sukarela
menerima kamera (disediakan oleh kantor) ataupun merupakan kepemilikan
pribadi.
Collective innovation-decisions adalah pilihan untuk mengadopsi atau
menolak inovasi yang dibuat secara konsesus diantara anggota dari sistem
sosial. Semua anggota unit dari sistem sosial biasanya akan patuh terhadap
keputusan dari sistem ketika melakukan adopsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
“...Kalau pengadaan kamera sih kita yang ngasih saran, misal pakai merk ini hasil seperti ini, kemudahan ini. Saya sharing ke bagian umum untuk pengadaan, kita sharing dengan mereka. Kita meyakinkan mereka pentingnya penggunaan kamera digital itu seperti itu. Kalau bagian umum berorientasi harga sedangkan kita teknis. Sering terjadi crash waktu itu awal-awal penggunaan kamera digital itu. Biasanya soal pengadaan kamera itu. Biasanya karena perbedaan orientasi tadi. Kita ngasih perbandingan tu, bagaimana kalau memakai digital di Kompas atau Jawa Pos. Kadang mereka kurang bisa menerima karena alasan harganya terlalu mahal.” (Sunaryo Haryo Bayu, Fotografer Senior Solopos, 48 th)
Pada tahapan pengambilan keputusan, penting bagi seorang inovator
untuk menghasilkan relative advantage bagi calon adopter yang ingin mereka
tuju karena tidak ada satu inovasi yang mampu diadopsi tanpa melalui proses
trial atas inovasi tersebut. Ketika relative advantage dirasakan seorang
adopter maka akan mendorong mereka pada proses adopsi inovasi secara
menyeluruh.
Ketika seorang adopter memilih sebuah inovasi, tentunya mereka sudah
mengalami reduksi informasi yang mengurangi ketidakpastian akan inovasi
yang akan diadopsi. Innovasi yang baru haruslah memenuhi kelima unsur
tersebut diatas untuk memberi kemudahan adopsi ke depannya.
Segala kemudahan yang ditawarkan oleh DSLR pada waktu itu membuat
semua subjek pada penelitian ini menyatakan bahwa keputusan mereka
melakukan adopsi terhadap sebuah inovasi DSLR merupakan hal yang
mutlak dilakukan. Selama melakukan adopsi tersebut semua narasumber
tidak lagi mempermasalahkan kompleksitas tingkat kesulitan penggunaan,
semua teratasi pada saat mereka menggunakan sistem analog. Karena pada
dasarnya penggunaan kamera adalah sama saja menurut mereka.
b. Early Majority Sebagai Komunikator (Message Dissemination)
Seperti yang telah disinggung di atas, proses difusi inovasi memiliki
beberapa fase jika dilihat dari kategori adopter berdasar fase waktu (lama)
adopsi sebuah ide baru. Namun, dalam penelitian ini peneliti juga ingin
menitikberatkan pada proses komunikasi terkait dengan proses persebaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
pesan (message dissemination) dan penerimaan pesan (message reception).
Pesan disini adalah ide baru yang akan ditransmisikan, jadi bagaimana
masing-masing kategori adapter melakukan fungsi transmisi pesan (ide baru)
hingga mengalami proses adopsi secara penuh.
Message atau pesan adalah titik fokus utama kajian dalam proses
komunikasi. Dalam ranah ilmu komunikasi kita akan dihadapkan pada
pertanyaan bagaimana menciptakan pesan yang efektif ? Karena inti dari
proses komunikasi adalah bagaimana seorang komunikator meramu pesan
untuk mencapai goal dari proses komunikasi.
Dalam proses penciptaan pesan ini, kategori adopter akan berperan
sebagai komunikator. Apa yang perlu dilakukan sebelum seorang
menciptakan sebuah pesan ? Sebagai contoh seorang inovator yang akan
melakukan penciptaan pesan akan berfikir terlebih dahulu bagaimana mereka
merepresentasikan diri mereka kepada audiens, media apa yang akan
digunakan, dan pesan apa yang mampu mewakili target audiens nya tersebut.
Dalam penelitian ditemukan bahwasanya pesan yang disampaikan
seorang adopter pada kategori ini adalah proses persebaran pesan (message
dissemination) yang bertujuan bukan untuk memberikan masukan untuk
penggunaan merk tertentu dari sebuah produk inovasi. Artinya sebuah
persebaran informasi mengenai teknologi berjalan lambat pada kategori di
bawahnya. Dari segi teoritis Rogers (1983) meyebut kategori ini seharusnya
memiliki power untuk menekan kategori di bawahnya (late majority) untuk
menggunakan sebuah inovasi. Pada lingkungan yang homophily seperti inilah
seharusnya sebuah inovasi mampu di difusikan dengan baik. Namun, fakta
dilapangan yang didapatkan adalah penyampaian informasi yang non teknis
dan pengalaman kerja terkait dunia fotografi dan sangat jarang memberikan
masukan mengenai sebuah merk tertentu. Semua lebih pada presentasi
mereka di lapangan sebagai seorang fotografer (etika foto jurnalis).
Penciptaan pesan ini terjadi dalam bentuk sharing, namun intensitas
membicarakan inovasi teknologi DSLR disini sangat minim terjadi. Aktivitas
komunikasi sering dilakukan melalui media tatap muka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
“Sering saya sharing soal fotografi di PFI Solo dan memberikan pelatihan juga. Saya dalam sharing tidak pernah membicarakan merek. Paling saya bercerita soal pengalaman dari analog ke digital. Periode tahun 2000-an saat perpindahan dari analog ke digital. Saya waktu itu paling sering bercerita soal bagaimana ribetnya penggunaan kamera analog, mulai dari proses scan, olah film. Sementara digital saya tinggal copy. “... Biasanya saya sharing soal foto lewat slide show, kalau cuma tatap muka ga bisa sharing. Tapi saya ga pernah lewat media internet untuk sharing. Kalau di kantor sih cuma sharing, ga ada pelatihan antar fotografer. Kalau ke junior saya ga pernah ngajari, Cuma sharing sering. Biasanya kita ngomongin hasil, kalau secara teknis saya abaikan.” (Sunaryo Haryo Bayu, Fotografer Senior Solopos, 48 th)
Tidak jarang sharing terjadi untuk membandingkan hasil dari sebuah
merk kamera Canon dengan merek kamera Nikon. Hal ini lebih pada sharing
hasil bukan menentukan keunggulan sebuah merek di balik hasil tersebut.
“Saya jarang sih mengisi forum-forum soal kamera. Kalau sharing sih iya ada, biasanya dengan temen sendiri aja. Sharing nya biasanya macem-macem, kita bicara soal hasil dibandingkan dengan foto lain. Saya dari dulu pakai Nikon, biasanya sharing juga kalau pakai Canon itu gimana bedanya. Sering juga kalau kita sharing soal kamera itu, teknis-teknis fotografi misalnya. Terutama dengan anak-anak muda itu ya ? saya biasanya sih tanya ke mereka. Saya justru percaya dengan temen-temen muda, mereka lebih cepet menerima informasi, jadi saya lebih sering sharing dengan mereka, soal ini itu.” (Tarko Sujarno, Jakarta Pos Kontributor Yogyakarta, 52 th)
“Saya sering sharing tapi bukan masalah teknologi, karena sudah sangat lama beredar teknologi digital itu, sekarang siapa sih yang masih pakai analog ? transfer knowledge lebih pada hasil. Kalau teknis semua hampir sama antara analog dan digital. Basic nya hampir sama.” “... Kalau saya sering tatap muka untuk forum-forum, lewat
mengajar, diskusi ataupun menjadi pembicara dalam
workshop.”
(Ali Lutfi, Jakarta Globe dan Kontributor EPA, 38 th)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
“Kalau saya sekarang aktifnya di forum HSB (Himpunan Solo Bengawan), tapi jarang juga untuk sharing ke teman-teman atau junior saya. Kalau lewat forum saya lebih sering mengajarkan kepada junior untuk belajar dari manual book lebih dulu agar mereka mengenal kameranya masing-masing. Cara saya memberitahu mereka adalah dengan mereka mengoperasikan kameranya sendiri. Saya ga mau memberikan pengajaran sampai ke mendetail ke teknis nya. Saya lebih menekankan bagaimana mengoreksi hasil.” (Pang Hway Seng, Fotografer Profesional, 63 th)
Dalam penelitian ini peneliti mengajukan pertanyaan terkait bagaimana
adopter pada kategori ini melakukan proses persebaran pesan kepada kategori
adopter di bawahnya yakni kategori late majority.
Hampir seluruh subjek penelitian menunjukan menunjukan pandangan
yang sama bahwa DSLR sebagai sebuah tools semata. Tidak ada penekanan
untuk menggunakan sebuah merek atau kamera tertentu. Peneliti berasumsi
hal ini terkait rekam jejak mereka selama puluhan tahun menjalani profesi
sebagai fotografer di lapanagan. Dimana kinerja seorang fotografer lebih
dinilai pada hasil bukan alat yang mereka gunakan. Mereka tahu benar
bagaimana menyikapi sebuah perkembangan teknologi.
“Saya ga pernah ngasih saran. Cuma pernah beberapa kali ke hobiis untuk menggunakan kamera digital. Kalau ke fotojurnalis jarang, kan udah pinter semua ? Kalau ke hobiis yang temen-temen, saya lebih ke teknis, mereka lebih ke teoritis sama fanatik merek tertentu. Kalau beberapa temen-temen saya sih ada yang tanya ke saya soal kamera tertentu, kalau saya sih lebih ke hasilnya bukan teknis kameranya secara mendetail.” (Sunaryo Haryo Bayu, Fotografer Senior Solopos, 48 th)
“Kalau saya ke junior sih ga pernah kasih masukan merek-merek tertentu, karena saya beranggapan kalau kamera itu cuma alat saja, semua tergantung pribadi masing-masing fotografer itu sendiri. Dan semua kamera jaman sekarang sih sama semua teknologinya, semua tergantung kita. Saya ga pernah mendebat soal hasil merek Canon dengan Nikon, sering ngobrolin soal itu sih tapi semuanya mengalir saja. Saya ga fanatik merek-merek tertentu Cuma kebiasaan aja merek Nikon sejak awal menggunakan kamera DSLR.” (Tarko Sujarno, Jakarta Pos Kontributor Yogyakarta, 52 th)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
“Saya ga pernah kasih masukan masalah brand. Saya tidak mengharuskan memakai brand terrtentu, tinggal bagaimana kamu menghasilkan sebuah karya dengan teknologi apapun yang kita miliki. Percuma punya teknologi kalau tidak bisa memanfaatkannya.” (Ali Lutfi, Jakarta Globe dan Kontributor EPA, 38 th) “Kalau dimintai pertimbangan sih sering untuk brand-brand tertentu, tapi istilahnya saya tidak mengunggulkan spesifikasi kamera, tapi keunggulan masing-masing merek saya bisa bandingkan. Tapi kalau secara hasil tidak bisa dibedakan, sudah standar semua. Keunggulan biasanya di kecepatan saja antar satu merek dengan lainnya. “ (Pang Hway Seng, Fotografer Profesional, 63 th)
Temuan yang menarik didapatkan pada kategori ini, ketika sebuah
teknologi seharusnya mampu dikomunikasikan kepada kategori di bawahnya
melalui power dan senioritas yang dimiliki, namun kenyataanya tidak terjadi.
Merupakan hal yang tabu ketika harus membandingkan merek-merek tertentu
yang mereka gunakan. Orientasi hasil menjadi hal yang mutlak bagi semua
fotografer senior pada kategori ini. Secara teoritis apa yang dilakukan oleh
kategori kelompok ini tidak melakukan penciptaan pesan yang mengajak
kategori di bawahnya (late majority) untuk secara langsung dan terang-
terangan mengajak mereka menggunakan inovasi tertentu yang telah mereka
gunakan. Apa yang mereka sampaikan kepada junior atau rekan mereka
adalah bagaimana menggunakan kamera dengan benar bukan memilih atau
mendorong pada merek tertentu, karena bagi kategori ini teknologi hanya
sarana mencapai hasil. Pada tahap ini sebenarnya terlihat proses bagaimana
proses berbagi pengalaman antara komunikator dengan komunikan nya.
C.4. Late Majority
a. Late Majority Sebagai Komunikan (Message Reception)
Proses komunikasi yang terjadi pada kategori ini adalah bagaimana anggota
dalam kategori ini menerima pesan (message reception) atau informasi mengenai
DSLR. Pada kategori ini mereka tidak lagi mentransmisikan pesan (message
dissemination) pada kategori di bawahnya. Karena pada kategori ini mereka tidak
lagi mempunyai power untuk mempengaruhi kategori di bawahnya (Laggards).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
Proses penerimaan pesan pada kategori ini sendiri dimulai dengan bagaimana
seorang komunikan melakukan proses pencarian atau pengumpulan informasi yang
memiliki keterkaitan dengan sebuah inovasi. Informasi mengenai teknologi inovasi
bisa didapat dari berbagai saluran komunikasi yang digunakan. Dalam proses
penerimaan informasi ini peneliti menghubungkan dengan aspek teori dalam difusi
inovasi, dimana sebelum suatu kategori mengadopsi sebuah inovasi dibutuhkan
beberapa fase yang harus dilewati.
Proses penerimaan pesan (message reception) dilakukan seorang late majority
melalui berbagai saluran komunikasi. Kebanyakan dari mereka mulai menggunakan
media cetak dan elektronik seperti internet pada saat itu. Hal ini terjadi karena masa
dimana mereka menggunakan kamera DSLR untuk pertama kali, gelombang
informasi melalui internet tengah mengalami booming. Selain itu pada kategori ini
adopter menggunakan saluran komunikasi interpersonal dalam rangka
mengumpulkan informasi mengenai kamera DSLR.
Kategori senior sebelum mereka (early majority) tidak memiliki peran dalam
memberikan informasi terkait teknologi inovasi DSLR tertentu. Bisa dikatakan
subjek penelitian pada kategori ini tidak menggunakan pertimbangan dari early
majority dalam proses adopsi teknologi. Informasi lebih digali dari inovator sebagai
penyaji informasi teknis. Sedangkan kategori early majority memberikan informasi
bersifat non teknis. Karena dari sisi pencarian informasi kategori ini lebih aktif dalam
menggunakan berbagai media saluran komunikasi termasuk media elektronik melalui
internet.
Rogers (1983 : 164-185) memberikan gambaran tentang beberapa tahapan dalam
proses pengambilan keputusan dalam difusi inovasi sebagai berikut:
1. Knowledge
Pada tahapan ini, individu atau unit pengambilan keputusan lain merasakan
terpaan inovasi yang ada dan mencapai pemahaman bagaimana inovasi tersebut
berfungsi. Tipe pencarian informasi pada tahapan ini dapat dijabarkan menjadi,
software information, yang terdapat pada inovasi itu sendiri dan mampu
mengurangi ketidakpastian tentang hubungan sebab dan akibat yang terlibat
dalam rangka meraih hasil yang kita inginkan (seperti menyadari adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
kebutuhan dan masalah individu), how-to knowledge yang terdiri atas
penggunaan informasi penting untuk menggunakan inovasi dengan benar.
Ketika seorang individu tidak mendapat informasi memadai pada tahapan ini,
maka mereka akan menolak atau tidak meneruskan sebuah inovasi. Principles
knowledge terdiri atas informasi yang berkenaan dengan fungsi dasar yang
menjadi pokok bagaimana sebuah inovasi bekerja.
Pada bagian ini kita melihat bagaimana individu setuju dengan cara kita
mengorganisasi dan mengatur informasi dan bagaimana informasi
mempengaruhi sistem kognitif kita (Littlejohn, 2002 : 123).
Information-Integration Theory melihat bagaimana seseorang
mengumpulkan dan mengorganisasi informasi tentang orang lain, objek, situasi,
atau ide dan bentuk perilaku (Littlejohn, 2002 : 123). Ada beberapa variabel
penting bagaimana sebuah informasi mampu mengubah pola perilaku kita,
informasi harus memenuhi dua syarat, yakni Valence, bagaimana sebuah
informasi mendukung kepercayaan kita dan sikap yang kita miliki, informasi
memiliki “positive valence” namun, ketika sebuah informasi tidak mendukung
sikap dan kepercayaan kita informasi tersebut mengandung “negative valence”
(Littlejohn, 2002 : 123).
Variabel selanjutnya adalah weight , ketika sebuah informasi dirasa memiliki
sebuah kebenaran maka kita akan memberikan weight atau penekanan /
perhatian yang lebih tinggi atas informasi tersebut. Namun, ketika informasi
dirasa tidak benar, tingkat penekanan akan rendah.
Sebuah sikap terdiri atas akumulasi dari informasi tentang objek, personal,
situasi, dan pengalaman. Perubahan sikap terjadi karena informasi baru
menambah sikap atau merubah salah satu pandangan mengenai weight dan
valence dari informasi lain.
Dalam teori difusi inovasi, kategori ini merupakan kategori late adopter
dimana tingkat penerimaan informasi mengenai inovasi tergolong lambat.
Namun, dari sisi penggunaan teknologi untuk mendapatkan informasi, kategori
ini adalah mereka yang melek internet. Seiring dengan booming internet pada
waktu itu, maka informasi mengenai teknologi kamera DSLR mulai banyak
bermunculan disediakan oleh situs-situs tertentu di dunia maya. Selain itu media
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
cetak seperti majalah serta interaksi dengan individu lain melalui komunitas
maupun interpersonal tetap digunakan sebagai acuan mendapatkan informasi.
Informasi yang didapatkan melalui media seperti internet lebih banyak
digunakan untuk mencari tahu mengenai proses pengambilan foto yang baik,
sedangkan saluran interpersonal dijadikan pertimbangan pembelian produk
DSLR itu sendiri. Pada kategori muda ini, saluran komunikasi yang digunakan
untuk mengumpulkan materi mengenai produk inovasi sangat beragam, namun
kebanyakan tidak mencari informasi mengenai apa itu inovasi DSLR ? peneliti
melihat temuan ini sebagai hal baru dimana proses knowledge menjadi minim
dilakukan. Hal ini bisa terjadi karena sebagian besar anggota sistem sosial sudah
mengadopsi teknologi DSLR dan atau mereka telah melihat penggunaan DSLR
melalui berbagai media (komunitas foto) atau penggunaan kamera analog
sebelumnya.
“Saya kenal DSLR dari teman-teman, nyoba-nyoba pakai. Selain itu saya sering baca majalah Chip Foto Video saat itu saya baca-baca preview kamera lewat media itu sekitar tahun 2006-an. Kadang saya lihat dulu hasil-hasil dari fotografer Kompas atau Radar Jogja.” (Kurniawan Arie, Fotografer Harian Joglosemar, 28 th) “...Biasanya lewat internet, majalah, sekitar seminggu dua kali
mungkin. Informasi yang saya cari lebih ke dramatisasi foto,
pemilihan angle, lebih ke pemilihan foto. “
(Agoes Rudianto, Kontributor Kantor Berita Turki, 28 th)
“...Maksudnya ? kalau untuk membelinya saya dulu nanya-
nanya temen dulu cari info.”
(Fahmi Widayat, Fotografer Profesional, 30 th)
“...Saya dulu dapat referensi soal DSLR itu dari teman, dan
internet. kalau penggunaan kameranya saya dapatkan dari
manual book kamera.”
(Fahmi Widayat, Fotografer Profesional, 30 th)
“Kalau dari internet biasanya lebih ke perbandingan harga dan detail spesifikasinya, kalau jaman itu belum ada situs yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
signifikan membahas fotografi seperti sekarang ini. Dulu Cuma pake google untuk mencari website toko-toko kamera untuk mengecek harga saja.” (Hasan Sakri Ghozali, Fotografer Tribun Jogja, 28 th)
Ada dua saluran menurut Rogers yang lazim digunakan, yakni mass media
channels dan interpersonal channels. Mass media adalah segala sesuatu yang
digunakan sebagai sarana transmisi pesan, meliputi radio, televisi, koran, dan
lainnya yang memungkinkan sumber untuk mencakup beberapa audiens. Di sisi
lain, saluran interpersonal lebih efektif untuk membujuk seorang mengadopsi ide
baru, khususnya jika channel interpersonal tersebut menghubungkan dua atau
lebih individu yang berdekatan (Rogers, 1983 : 17).
Saluran komunikasi melalui media massa dirasa mampu menjangkau target
audiens secara luas, namun dari efek perubahan perilaku, saluran komunikasi
interpersonal memiliki cakupan yang lebih efektif.
Saluran komunikasi melalui media massa menemui hambatan karena
kompleksnya audiens. Jaringan dan koneksi antar individu tidak bisa diprediksi.
Untuk itu saluran komunikasi individu melalui komunikasi interpersonal dirasa
mampu menjangkau jaringan sosial tersebut.
Sedangkan saluran interpesonal dianggap mampu memberikan pengaruh yang
kuat. Saluran komunikasi interpersonal meliputi penyampaian pesan melalui
proses tatap muka antar dua individu atau lebih.
Rogers memberikan beberapa asumsi mengenai tingkatan penggunaan saluran
komunikasi dalam proses difusi tersebut (Rogers, 1983 : 200).
1. Asumsi 1 : Mass media relatif lebih penting pada fase pengetahuan dan
saluran komunikasi interpersonal lebih penting pada fase persuasi
Sill (1958) menemukan bahwa jika menginginkan daya serap terhadap adopsi
bisa tinggi, maka diperlukan penggunaan saluran komunikasi dengan waktu
ideal dan secara berkelanjutan, bergantian antara penggunaan saluran media
massa kemudian saluran interpersonal.
Pada fase pengetahuan mengenai inovasi, penggunaan media massa
memberikan perhatian / awareness, menuju grup, dan pada akhirnya menuju
masing-masing individu. Daya dorong pengetahuan terhadap inovasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
diciptakan oleh media massa untuk kemudian saluran interpersonal berperan
menggerakan individu pada fase persuasi.
2. Asumsi 2 : Saluran kosmopolitan relatif lebih penting pada fase pengetahuan
(knowledge), dan saluran lokal (localite) relatif lebih penting pada fase
persuasi pada proses keputusan-difusi inovasi
Cosmpolite communication channel atau secara harfiah saluran komunikasi
kosmpolitan, adalah mereka yang berasal dari luar sistem sosial yang tengah
diinvestigasi : saluran lain mengenai ide baru yang mencakup individu-
individu dari sumber di dalam sistem sosial mereka. Saluran interpersonal
masuk ke dalam lokal maupun kosmopolitan, sedangkan mas media
keseluruhan merupakan kosmopolitan.
Dalam proses difusi inovasi komunikasi menjadi titik penting bagaimana
sebuah pesan dapat dikomunikasikan. Sebelum memahami proses difusi inovasi
melalui saluran komunikasi perlu adanya pemahaman mengenai unsur source
dan channel. Source atau sumber adalah individu atau organisasi yang
menciptakan pesan. Sedangkan channel adalah sarana yang digunakan untuk
menyebarkan pesan pada penerima (receiver) (Rogers, 1983 : 198).
Littlejohn (2002 : 314) menyatakan model komunikasi multi-step flow secara
umum dapat diterima untuk menjelaskan saluran komunikasi dan pola
penyebaran pesan dalam proses difusi inovasi. Model multi-step flow menyadari
adanya banyak penghubung antara media dan final receiver, model ini melihat
lebih banyak kemungkinan dalam proses penyebaran dan penerimaan pesan.
Dalam proses difusi inovasi, individu tertentu akan mendengar langsung sebuah
informasi melalui media dimana individu yang lain tidak melakukannya.
2. Persuasion Stage (Tahapan Persuasi)
Tahapan ini menunjukan bagaimana seorang individu bersikap setelah
melalui tahapan pertama dalam pengetahuan. Seorang individu akan terlibat
lebih secara psikologis kepada inovasi tersebut: mereka akan aktif mencari
informasi mengenai sebuah ide baru, dimana mereka mencari informasi, pesan
apa yang mereka terima, dan bagaimana mereka menginterpretasikan pesan
tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
Pada tahapan ini anggota kategori ini mulai menindaklanjuti apa yang mereka
dapatkan pada fase knowledge. Informasi yang diperoleh lebih dalam mengenai
spesifikasi kamera, teknik pengambilan gambar, bahkan olah gambar. Media
yang digunakan dalam tahap ini bervariasi, mulai dari media internet sampai
dengan komunikasi interpersonal dengan rekan di lapangan.
“...Media selain itu saya belajar lewat internet misal dari fotografer.net, klinik foto kompas juga sering saya kunjungi. Keinginan saya menghasilkan foto yang baik membuat saya harus mengkonsumsi informasi soal bagaimana spesifikasi kamera dan teknis penggunaan kameranya.”
(Kurniawan Arie, Fotografer Harian Joglosemar, 28 th)
“...Selain itu untuk belajar teknis saya sering belajar lewat
teman-teman di klub foto Fotkom di Jogja.”
(Kurniawan Arie, Fotografer Harian Joglosemar, 28 th)
“Kalau saya jarang mengikuti perkembangan teknologi, kalau dituruti ga ada habisnya, kalau memperhatikan perkembangan kamera digital sih sekali dua kali, kalau diturutin sekarang bisa banyak sekali perkembangan nya, dan tentunya harga semakin mahal.” (Agoes Rudianto, Kontributor Kantor Berita Turki, 28 th)
“...Tapi kalau mempelajari teknis dan spesifikasinya saya biasa
nanya temen-temen yang sudah duluan makai mas, kadang
browsing di internet juga lewat media Facebook biasanya.”
(Fahmi Widayat, Fotografer Profesional, 30 th)
“...Kalau dari teman biasanya kita ngomongin soal merek kamera tertentu, seperti kelebihan dan kekurangannya serta memaksimalkan dana yang dimiliki untuk memiliki teknologi terbaru.” (Hasan Sakri Ghozali, Fotografer Tribun Jogja, 28 th)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
Sama seperti kategori adopter diatas mereka, pencarian informasi mengenai
DSLR dipengaruhi beberapa karakter inovasi (Rogers, 213-232) yang dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a. Relative Advantage (Kegunaan Relatif)
Adalah sebuah tingkatan dimana inovasi diterima sebagai sesuatu yang lebih
baik untuk menggantikan sebuah ide. Tingkat relatifitas ini bisa diukur
melalui faktor ekonomi, kepuasan, dan kecocokan dalam menggunakan
sebuah inovasi. Makin tinggi sebuah keuntungan relatif dari inovasi, maka
makin cepat pula sebuah adopsi akan terjadi.
Kegunaan dari DSLR yang sangat membantu memudahkan membantu
cepatnya adopsi teknologi pada kategori ini. Setelah mengumpulkan
berbagai informasi melalui berbagai saluran komunikasi. Keuntungan yang
ditawarkan oleh produk inovasi ini menjadi daya tarik untuk diadopsi. Nilai
tambah dari sisi kecepatan pengambilan gambar dan kebutuhan mengejar
deadline kerja saat itu menjadikan proses adopsi berlangsung cepat.
“Saya mulai berpindah ke digital karena kebutuhan magang saya di
Antara Foto, karena kebutuhan di lapangan yang
mengharuskan kita menggunakan DSLR.”
(Kurniawan Arie, Fotografer Harian Joglosemar, 28 th)
“Kebutuhan akan kecepatan mengejar deadline, karena wartawan dituntut untuk mengirim berita dengan cepat, praktis, hemat waktu dan saat gelombang internet yang mulai berkembang.” (Agoes Rudianto, Kontributor Kantor Berita Turki, 28 th) “Kalau dibilang berganti sih belum, karena ya itu tadi kalau walaupun presentasenya kecil tapi kalau masih ada permintaan tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan analog lagi. Gampangnya sementara ini analog untuk hobi dan DSLR untuk profesi saya kebanyakan. Jadi karena tuntutan kebutuhan saya saat ini lebih banyak menggunakan DSLR. Kamera digital lebih cepat dalam proses produksi.” (Fahmi Widayat, Fotografer Profesional, 30 th)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
b. Compatibility (Kecocokan)
Adalah sebuah tingkatan dimana sebuah inovasi diterima karena konsisten
dengan nilai-nilai yang sudah ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan
oleh adopter potensial.
Adanya kesulitan untuk tetap mengadopsi teknologi lama membuat seorang
adopter harus berpindah mengadopsi sebuah inovasi baru.
“Kemudian waktu itu karena penggunaan analog cukup rumit ribet seperti cetak indexprint dan cuci film kemudian cukup berat di di biaya produksi dan kebutuhan perlengkapan kamera analog seperti roll film semakin susah didapatkan.” (Hasan Sakri Ghozali, Fotografer Tribun Jogja, 28 th)
c. Complexity (Kompleksitas/Kerumitan)
Adalah sebuah tingkatan dimana sebuah inovasi dilihat dari sisi kesulitan
untuk memahami dan menggunakannya. Beberapa inovasi sudah siap untuk
dipahami oleh beberapa anggota sistem sosial, anggota yang lain mungkin
merasa rumit dan lambat dalam mengadopsi.
Sama dengan kategori di atas mereka, tingkat kerumitan banyak teratasi
ketika mereka merasakan proses pembelajaran melalui kamera analog
(hampir seluruh individu pada kategori ini mendapatkan pembelajaran
fotografi melalui media analog) hal ini membantu mereka cepat dalam
proses adaptasi. Selain itu informasi yang didapatkan melalui komunikasi
dengan teman profesi dan komunitas memberi masukan tambahan bagi
mereka.
“Tidak ada kesulitan, karena pengoperasiannya kan dasarnya
sama dengan kamera analog.”
(Kurniawan Arie, Fotografer Harian Joglosemar, 28 th)
“Tidak ada kesulitan mas, saat pertama kali menggunakan
DSLR.”
(Fahmi Widayat, Fotografer Profesional, 30 th)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
“Tidak mengalami kesulitan saat penggunaan. Hampir sama kok penggunaan secara teknis dengan kamera analog. Selama 1-2 hari langsung menguasai penggunaan DSLR karena prinsip memotret itu sama.” (Agoes Rudianto, Kontributor Kantor Berita Turki, 28 th) “Tidak terlalu susah karena kamera analog yang dulu saya gunakan juga dengan merk yang sama dengan kamera digital saya saat itu sehingga tidak perlu banyak penyesuaian juga. Cuma kebiasaan kamera analog kebawa ke digital soal bagaimana menghemat film. Tapi itu enaknya DSLR kita sudah ada kerja semu bisa membuat habit foto udah jadi di kamera. Tidak memerlukan banyak edit-an.” (Hasan Sakri Ghozali, Fotografer Tribun Jogja, 28 th)
“Waktu itu karena penggunaan analog cukup rumit ribet seperti cetak indexprint dan cuci film kemudian cukup berat di di biaya produksi dan kebutuhan perlengkapan kamera analog seperti roll film semakin susah didapatkan ditambah lagi kamera digital mulai beredar akhirnya memutuskan untuk membeli kamera digital saat itu.”
(Hasan Sakri Ghozali, Fotografer Tribun Jogja, 28 th)
d. Trialability (Percobaan)
Adalah tingkatan dimana sebuah inovasi dapat di eksperimen dengan
batasan dasar. Sebuah inovasi atau ide baru yang bisa dicoba dalam rencana
instalasi akan lebih cepat diadopsi dibanding sebuah ide baru yang tidak
bisa dicoba.
e. Observability (Observatif)
Adalah sebuah tingkatan dimana hasil dari sebuah inovasi dapat dilihat oleh
orang lain. Makin mudah sebuah hasil inovasi diamati oleh seseorang, maka
inovasi tersebut akan mudah untuk diadopsi.
Pada tahapan persuasi yang erat hubungannya dengan proses pengambilan
keputusan, seorang individu akan aktif mencari beberapa tipe informasi, yakni :
innovation-evaluation information yang mana untuk mengurangi ketidakpastian
tentang konsekuensi yang diharapkan pada sebuah ide baru (inovasi). Tipe
informasi ini didapat dengan mudah melalui evaluasi ilmiah mengenai inovasi,
biasanya bersifat subjektif berasal dari orang terdekat yang telah menggunakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
ide tersebut dan sangat meyakinkan. A preventive innovation adalah ide baru
yang diadopsi individu dalam rangka menghindari peristiwa yang tidak
diinginkan terjadi di masa depan (Rogers, 1983 : 169).
3. Decision Stage (Tahapan Keputusan)
Tahapan pengambilan keputusan terjadi ketika seorang individu atau unit
pengambilan keputusan lain terlibat dalam aktivitas yang bertujuan untuk
memilih atau menolak sebuah inovasi. Adopsi adalah keputusan untuk
menggunakan secarap penuh sebuah inovasi jalan tindakaan terbaik. Rejection
adalah penolakan dalam menggunakan sebuah inovasi.
Pada tahapan pengambilan keputusan, penting bagi seorang inovator untuk
menghasilkan relative advantage bagi calon adopter yang ingin mereka tuju
karena tidak ada satu inovasi yang mampu diadopsi tanpa melalui proses trial
atas inovasi tersebut. Ketika relative advantage dirasakan seorang adopter maka
akan mendorong mereka pada proses adopsi inovasi secara menyeluruh.
Ketika seorang adopter memilih sebuah inovasi, tentunya mereka sudah
mengalami reduksi informasi yang mengurangi ketidakpastian akan inovasi yang
akan diadopsi. Inovasi yang baru haruslah memenuhi kelima unsur tersebut
diatas untuk memberi kemudahan adopsi ke depannya.
Pada tahapan ini informasi teknis sudah tidak lagi diperhatikan, karena rata-
rata para adopter sudah melewati kelima karakter inovasi di atas. Beberapa
informan memiliki beberapa alasan yang menguatkan mereka untuk segera
mengadopsi sebuah inovasi. Berpindah dari sistem manual menjadi digital. Pada
fase ini seorang adopter akan mengambil keputusan apakah menerima atau
menolak sebuah inovasi. Setiap keputusan disertai alasan yang menguatkan
mereka mengenai kegunaan sebuah inovasi.
Rogers (1983 : 29) mengemukakan terdapat tiga bentuk pengambilan
keputusan mengadopsi sebuah inovasi, yakni :
1. Optional innovation-decisions terjadi ketika individu dalam sistem sosial
memutuskan untuk mengadopsi sebuah inovasi karena keputusan yang
merdeka dari dirinya sendiri terlepas dari anggota lain dalam sistem
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
sosial. Meskipun dalam pengambilan keputusannya mereka dipengaruhi
oleh norma sosial dan pengaruh komunikasi interpersonal.
2. Collective innovation-decisions adalah pilihan untuk mengadopsi atau
menolak inovasi yang dibuat secara konsesus diantara anggota dari sistem
sosial. Semua anggota unit dari sistem sosial biasanya akan patuh
terhadap keputusan dari sistem ketika melakukan adopsi.
“...karena kebutuhan di lapangan yang mengharuskan kita
menggunakan DSLR.”
(Kurniawan Arie, Fotografer Harian Joglosemar, 28 th)
“Kebutuhan akan kecepatan mengejar deadline, karena
wartawan dituntut untuk mengirim berita dengan cepat,
praktis, hemat.”
(Agoes Rudianto, Kontributor Kantor Berita Turki, 28 th)
“...Jadi karena tuntutan kebutuhan saya saat ini lebih banyak
menggunakan DSLR. Kamera digital lebih cepat dalam proses
produksi.”
(Fahmi Widayat, Fotografer Profesional, 30 th)
“Waktu itu karena penggunaan analog cukup rumit ribet seperti cetak indexprint dan cuci film kemudian cukup berat di di biaya produksi dan kebutuhan perlengkapan kamera analog seperti roll film semakin susah didapatkan ditambah lagi kamera digital mulai beredar akhirnya memutuskan untuk membeli kamera digital saat itu.” (Hasan Sakri Ghozali, Fotografer Tribun Jogja, 28 th)
Anggota kelompok ini memiliki alasan bervariasi mengenai alasan
perpindahan mereka dan mengadopsi kamera digital namun, secara garis besar
tuntutan kinerja dan cepat serta deadline menjadi alasan mereka mengadopsi
teknologi ini.
Kategori senior sebelum mereka (early majority) tidak memiliki peran dalam
memberikan informasi terkait teknologi inovasi DSLR tertentu. Bisa dikatakan
subjek penelitian pada kategori ini tidak menggunakan pertimbangan dari early
majority dalam proses adopsi teknologi. Informasi lebih digali dari inovator
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
sebagai penyaji informasi teknis. Sedangkan kategori early majority
memberikan informasi bersifat non teknis. Karena dari sisi pencarian informasi
kategori ini lebih aktif dalam menggunakan berbagai media saluran komunikasi
termasuk media elektronik melalui internet.
Proses komunikasi pada kategori ini berhenti pada proses penerimaan pesan.
Pada kategori ini peneliti melihat bahwasanya persebaran pesan yang dilakukan
oleh adopter sudah tidak memiliki power untuk mempengaruhi kategori di
bawahnya (laggards), sedangkan peneliti tidak memungkinkan untuk menemui
pengguna aktif kamera analog yang saat ini masih aktif di wilayah Solo dan
Yogyakarta.
Proses penciptaan pesan berupa sharing lebih banyak dilakukan kepada rekan
kerja mereka sesama fotografer tanpa ada penekanan atau informasi mendalam
mengenai perkembangan teknologi. Seperti halnya kategori sebelumnya bahwa
pada kategori ini proses penciptaan dan pertukaran informasi bersifat berbagi
pengalaman bukan menekankan aspek teknis. Namun, pada kategori ini
beberapa narasumber masih giat bertukar informasi mengenai teknologi DSLR,
hal ini menandakan bahwa pada kategori ini mereka lebih aktif mengikuti
perkembangan dunia kamera digital dibandingkan dengan kategori yang
memiliki power di atas mereka (early majority).
“...Untuk sharing saya sering lakukan dengan rekan-rekan sesama foto jurnalis, soal teknis , komposisi, bagaimana menangkap momen. Biasanya sering sharing nya malah dengan junior saya di lapangan. Kadang –kadang merasa pekewuh (sungkan) kalau mau sharing dengan rekan senior.” (Kurniawan Arie, Fotografer Harian Joglosemar, 28 th) “...Untuk teknologi biasanya kalau ada kamera baru yang akan keluar, kita bahas bagaimana misal hasil gambar, speed kamera, pasti itu kita bahas bareng temen-temen. Biasanya kita dapet dari internet, ataupun sosial media soal informasi itu.” (Kurniawan Arie, Fotografer Harian Joglosemar, 28 th)
“...Kadang kalau senior jarang malah ga pernah ya ngomongin kamera-kamera tertentu, mereka lebih menggunakan apa adanya. Seringnya malah sama yang muda-muda itu. Mereka lebih update dan terbuka untuk informasi.” (Kurniawan Arie, Fotografer Harian Joglosemar, 28 th)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
“...Kalau sharing lebih sering untuk tatap muka itu pun bukan ngomongin hal yang bersifat ke tools, tapi dari segi warna, lensa, kamera full frame, crop factor , tapi jarang untuk sesuatu yang bersifat teknis. Untuk saya sharing bareng-bareng ga memandang junior ataupun senior. Kadang saya juga chatting sama temen-temen fotografer yang ada di luar solo juga. Kalau biasanya saya lebih enak ngobrol sama yang seumuran dibanding junior.” (Agoes Rudianto, Kontributor Kantor Berita Turki, 28 th)
“...Iya biasanya kalau ketemu teman kerja di lapangan aja mas,
lumayan sering tapi kita ngorbrolnya paling juga sebatas soal
hasil sama teknis fotografi aja.”
(Fahmi Widayat, Fotografer Profesional, 30 th)
Bisa disimpulkan subjek penelitian pada kategori ini tidak secara langsung
menggunakan pertimbangan dari early majority dalam proses pengumpulan
informasi untuk mengadopsi teknologi. Informasi lebih digali dari inovator
sebagai penyaji informasi teknis. Sedangkan kategori early majority
memberikan informasi bersifat non teknis. Hal ini terkait dengan hasil penelitian
pada kategori early majority dimana mereka tidak melakukan proses penyebaran
informasi terkait teknis dan spesifikasi kamera tertentu namun, pesan yang
disampaikan adalah hal bersifat non teknis dalam fotografi.
Namun, kategori late adopter menjadi menarik karena pada kategori ini
individu-individu yang ada di dalamnya aktif membicarakan perkembangan
teknologi dan inovasi DSLR. Hal ini bisa dikaitkan makin mudahnya akses
kepada sumber informasi misalnya melalui media internet. Segala informasi
mengenai perkembangan teknologi DSLR tidak lagi ditransmisikan karena tidak
ada kategori laggards yang bisa ditemukan dalam penelitian ini. Hal ini
menunjukan kategori ini berisi individu yang tidak skeptis seperti apa yang
disebutkan oleh Rogers sebelumnya. Dalam kasus ini kategori late adopter berisi
kaum muda yang dinamis mengikuti proses perkembangan teknologi dan rajin
mengeksplorasi penggunaan kamera untuk mendapatkan kinerja kamera yang
maksimal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
D. Kesimpulan Analisa Penelitian Dalam Tabel
D.1. Karakteristik Individu Dalam Inovasi
Pada tabel pertama peneliti menyajikan rangkuman temuan yang didapatkan
terkait dengan karakteristik masing-masing individu dalam kategori inovasi.
No Peran Individu Karakteristik Individu
1. Innovator • Individu pada kategori ini memiliki pengetahuan tinggi
terkait produk yang akan disebarluaskan kepada target pasar
mereka. Artinya mereka diwajibkan terbuka atas informasi
apapun yang mereka dapatkan terkait dengan persebaran
produk.
• Individu pada kategori ini memiliki dukungan finansial
yang kuat terkait fungsi mereka sebagai kategori pertama
yang menyebarkan informasi kepada target pasar yang
begitu luas.
• Individu pada kategori ini memiliki jaringan informasi yang
luas, jaringan informasi terutama informan dari pihak
manufaktur untuk mendapatkan informasi produk yang
menyeluruh.
• Memiliki power untuk mempengaruhi. Kekuatan untuk
mempengaruhi dibagi atas kekuatan mempengaruhi ke
dalam, yakni kepada pihak marketing dan mempengaruhi
target pasar untuk melakukan adopsi produk inovasi
mereka.
2. Early Adopter • Individu pada kategori ini wajib terbuka atas informasi
terkait produk yang akan diadopsi sehingga mereka akan
giat mencari informasi untuk menambah pemahaman
mereka dan mengurangi segala ketidakpastian terkait
produk inovasi. Proses pencarian informasi melalui media
elektronik seperti internet hingga proses tatap muka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
Informasi yang dicari mulai dari spesifikasi kamera, harga
kamera, hingga proses after sales nya.
• Individu pada kategori ini memiliki jaringan yang kuat.
Jaringan ini digunakan untuk mendapatkan informasi
mengenai sebuah produk kamera DSLR apa yang tepat
untuk diadopsi.
• Individu pada kategori ini memiliki power untuk
mempengaruhi. Mereka mempengaruhi ke dalam yakni
pada tataran manajerial dan mempengaruhi ke bawah
kepada kategori penerima inovasi (early majority).
3. Early Majority • Individu pada kategori ini memiliki senioritas dalam proses
adopsi inovasi. Mereka cenderung melakukan proses adopsi
di saat anggota sistem sosial lainnya belum melakukan
adopsi.
• Individu pada kategori ini terbuka terhadap informasi. Pada
era dimana mereka mencari informasi mengenai DSLR,
media cetak dan media komunikasi interpersonal menjadi
dua pilihan utama.
4. Late Majority • Individu pada kategori ini cenderung lambat dalam proses
adopsi. Di saat anggota dalam sistem sosial lain sudah
melakukan adopsi, individu pada kategori ini baru
melakukan adopsi DSLR.
• Individu pada kategori ini terbuka pada informasi. Meskipun
lambat pada proses adopsi mereka terbuka pada informasi
terkait produk inovasi dan perkembangannya. Booming
media internet membantu mereka dalam proses pencarian
informasi menjadi lebih mudah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
D.2. Pola Komunikasi Individu Dalam Proses Difusi Inovasi
Pada tabel pertama peneliti menyajikan rangkuman temuan yang didapatkan
terkait dengan pola komunikasi masing-masing individu dalam kategori inovasi.
No Peran
Individu
Sebagai Komunikator Sebagai Komunikan
1. Innovator a. Individu akan melakukan
proses penentuan target
yang akan menerima
informasi mengenai produk
inovasi mereka.
Target penerima informasi
ini bisa ke dalam kepada
tim marketing dan keluar
kepada target pasar
pengguna DSLR tersebut.
b. Informasi atau pesan
mengenai produk DSLR
kepada target market
disampaikan melalui
berbagai media terutama
media cetak, elektronik, dan
media komunikasi
interpersonal. Penggunaan
media meliputi above the
line dan below the line.
c. Komunikator menggunakan
endorser untuk menjangkau
target pasar mereka para
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
pengguna DSLR yang
biasanya tergabung dalam
komunitas fotografi. Hal ini
menunjukan
“penggambaran” positif
pengguna DSLR yang
diwakili oleh endorser.
2. Early
Adopter
a. Dalam menjalankan peran
sebagai komunikator
mereka menggunakan
informasi yang telah
mereka dapatkan untuk
disebarluaskan. Individu
pada kategori ini melakukan
proses transmisi pesan ke
dalam, yakni memberi
masukan kepada
manajemen produk DSLR
mana yang akan diadopsi
dan memberi masukan ke
luar kepada kategori early
majority yang akan
menggunakannya.
b. Proses transmisi pesan akan
mengalami friksi terkait
teknologi mana yang akan
diadopsi. Hal ini
dikarenakan masing-masing
individu dari kategori early
adopter dan early majority
memiliki pertimbangan
a. Sebagai komunikan mereka
menerima pesan atau
informasi mengenai sebuah
produk DSLR dari berbagai
media komunikasi baik
elektronik melalui email,
website, dan media tatap
muka dengan komunitas
tertentu (multi-step flow).
b. Informasi yang diterima akan
dipilah mana saja informasi
yang memiliki bobot dan
mampu mengurangi
ketidakpastian mengenai
sebuah produk inovasi.
c. Proses pencarian informasi
terbagi atas proses
knowledge, persuasion, dan
decision stage. Pada masing-
masing tahap adopsi,
penggunaan saluran
komunikasi akan berbeda-
beda. Mulai dari saluran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
masing-masing. Tapi power
yang dimiliki oleh individu
pada kategori ini akan
digunakan untuk
mempengaruhi top
management perusahaan.
komunikasi massa hingga
interpersonal.
d. Dalam proses penerimaan
informasi, individu akan
memperhatikan sebuah
relative advantage,
compatibility, complexity,
trialability, dan observability
dari sebuah produk inovasi
DSLR yang akan diadopsi.
3. Early
Majority
a. Sebagai komunikator
mereka melakukan proses
penyebaran informasi
(sharing) kepada kategori
junior mereka (late
majority) melalui media
komunikasi tatap muka.
b. Informasi yang disebarkan
adalah informasi non teknis.
Bukan lagi informasi
mengenai keunggulan dan
spesifikasi kamera tertentu
yang digunakan.
c. Bisa dikatakan power yang
dimiliki oleh individu pada
kategori ini tidak digunakan
untuk mempengaruhi secara
langsung proses adopsi
inovasi.
a. Sebagai komunikan mereka
menerima pesan atau
informasi mengenai sebuah
produk DSLR dari berbagai
media komunikasi khususnya
media cetak dan tatap muka
(multi-step flow).
b. Informasi yang diterima akan
dipilah mana saja informasi
yang memiliki bobot dan
mampu untuk mengurangi
ketidakpastian mengenai
sebuah produk inovasi mana
yang akan diadopsi.
c. Proses pencarian informasi
terbagi atas proses
knowledge, persuasion, dan
decision stage. Pada masing-
masing tahap adopsi,
penggunaan saluran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
komunikasi akan berbeda-
beda. Mulai dari saluran
komunikasi massa khususnya
media cetak hingga media
komunikasi interpersonal.
d. Dalam proses penerimaan
informasi, individu akan
memperhatikan sebuah
relative advantage,
compatibility, complexity,
trialability, dan observability
dari sebuah produk inovasi
DSLR yang akan diadopsi.
Proses transisi dari kamera
analog memberikan
kemudahan tersendiri hingga
proses penerimaan informasi
yang berhubungan dengan
hal teknis sangat minim
dilakukan.
4. Late
Majority
a. Sebagai komunikator
mereka tidak lagi
memiliki power untuk
mempengaruhi kategori di
bawahnya (laggards).
b. Proses persebaran
informasi dilakukan
dengan individu pada
kategori yang sama.
c. Individu pada kategori ini
a. Sebagai komunikan mereka
aktif menerima pesan atau
informasi mengenai sebuah
produk DSLR dari berbagai
media. Media komunikasi
internet yang saat itu
booming mempermudah
proses pencarian informasi
mereka. Kategori early
majority tidak dijadikan
pertimbangan secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
lebih terbuka untuk
melakukan sharing terkait
perkembangan informasi
dan teknologi DSLR. Usia
muda dan masih dinamis
dalam dunia fotografi
menjadikan mereka aktif
mencari informasi
tersebut.
langsung dalam proses
adopsi inovasi.
b. Informasi yang diterima akan
dipilah mana saja informasi
yang memiliki bobot dan
mampu untuk mengurangi
ketidakpastian mengenai
sebuah produk inovasi mana
yang akan diadopsi.
c. Proses pencarian informasi
terbagi atas proses
knowledge, persuasion, dan
decision stage. Pada masing-
masing tahap adopsi,
penggunaan saluran
komunikasi akan berbeda-
beda. Mulai dari saluran
komunikasi massa khususnya
media cetak hingga media
komunikasi interpersonal.
d. Dalam proses penerimaan
informasi, individu akan
memperhatikan sebuah
relative advantage,
compatibility, complexity,
trialability, dan observability
dari sebuah produk inovasi
DSLR yang akan diadopsi.
Proses transisi dari kamera
analog memberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
kemudahan tersendiri hingga
proses penerimaan informasi
yang berhubungan dengan
hal teknis sangat minim
dilakukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
E. Diskusi
Proses difusi inovasi yang terjadi pada inovasi teknologi DSLR merupakan hal
yang menarik untuk dikaji. Hal ini terkait bagaimana pola komunikasi yang terjadi
pada kategori penerima inovasi DSLR tersebut. Artinya bagaimana sebuah
informasi mengenai inovasi diterima hingga diadopsi oleh individu berbeda-beda
pada masing-masing kategori. Peneliti menemukan beberapa fenomena komunikasi
selama melakukan penelitian tersebut. Fenomena disini terkait fakta di lapangan
bahwasanya pola komunikasi yang terjadi pada keempat kategori adopter tersebut
memiliki pola yang berbeda satu dengan yang lainnya. Demikian pula secara
teoritis tidak semua yang terjadi di lapangan menunjukan kesamaan dengan teori
yang digunakan, hal ini menjadi temuan yang menarik di lapangan.
Difusi inovasi merupakan salah satu teori yang bisa menjelaskan secara logis
bagaimana sebuah inovasi dapat diterima dan diadopsi oleh sejumlah individu
dalam kategori inovasi. Beberapa tahapan harus dilalui oleh seorang individu
hingga sampai pada tahap keputusan untuk menggunakan sebuah inovasi.
Hakikatnya difusi inovasi berinti pada bagaimana sebuah informasi mengenai
inovasi diterima dan diteruskan oleh individu pada sistem sosial. Jadi, komunikasi
lah yang memegang peranan penting dalam proses difusi ini. Bisa ditarik
kesimpulan bahwa semua proses difusi dari tahap knowledge hingga proses
pengambilan keputusan sebuah inovasi bermuara pada proses komunikasi itu
sendiri.
Rogers (1983) melihat sifat inovasi turut berperan dalam proses persebaran dan
adopsi sebuah inovasi. Kamera DSLR sebagai produk inovasi yang rumit
seharusnya membutuhkan waktu adopsi yang tidak cepat. Namun, pada sistem
sosial fotografer jurnalis dan profesional hal tersebut tidak terjadi. Serangkaian
pengalaman masa lalu dengan pemakaian kamera analog sangat membantu mereka
dalam proses adopsi dan mengurangi segala ketidakpastian terkait dengan
penggunaan kamera digital tersebut. Tingkat kompleksitas sebuah inovasi yang
dikemukakan Rogers (1983) bukan menjadi sebuah halangan yang memperlambat
proses adopsi pada kategori sistem sosial ini.
Pada kasus yang diteliti, ketika informasi mengenai sebuah inovasi muncul dari
seorang inovator dalam hal ini adalah sebuah kamera DSLR, peneliti melihat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
adanya perbedaan pola komunikasi antara kategori penerima inovasi. Dari sisi
pencarian informasi masing-masing kategori memiliki fungsi dan peranan masing-
masing. Mereka adalah individu yang terlibat secara langsung dan membutuhkan
sebuah inovasi DSLR, maka informasi yang mereka cari adalah segala informasi
yang memiliki bobot (weight) mengenai sebuah inovasi.
Pada kategori pertama, inovator yang disebut Rogers (1983) sebagai kategori
para petualang (venturesome) yakni orang-orang yang mmiliki jiwa untuk mencoba
hal-hal baru dengan segala resiko di dalamnya. Mereka kategori inovasi yang
bertanggung jawab atas berhasil tidaknya sebuah produk inovasi disebarkan kepada
kategori adopter. Informasi yang disebarkan oleh inovator misalnya, berisi
mengenai spesifikasi sebuah produk DSLR, informasi ini wajib diketahui dan
dipahami oleh seluruh tim marketing karena mereka lah yang bertanggung jawab
untuk persebaran informasi tersebut. Ketika sebuah informasi tidak bisa
disampaikan dengan baik melalui media yang tepat oleh komunikator maka tidak
akan tercapai influence yang diinginkan artinya sebuah produk gagal mencapai
target market. Untuk itulah komunikator pada kategori inovator haruslah mereka
yang memiliki dukungan finansial besar untuk mampu memasarkan sebuah produk
inovasi DSLR ke seluruh penjuru tanah air Indonesia. Dengan kata lain mereka
harus membeli spot iklan dan pemilihan media komunikasi yang tepat. Saluran
komunikasi interpersonal pun dilakukan untuk menjangkau target pasar mereka
yang tergabung dalam komunitas tertentu. Mereka pula individu yang harus paham
dan mampu mengatur jaringan mereka seluas mungkin dengan stakeholder yang
berkepentingan. Mereka harus menjaga jaringan tersebut untuk kepentingan difusi
sebuah produk inovasi.
Kategori early adopter yang selanjutnya menurut Rogers (1983) adalah kategori
kedua dibawah inovator dalam penerimaan inovasi. Mereka aktif dalam
penggunaan media massa baik cetak, elektronik maupun saluran komunikasi
interpersonal. Kategori early adopter sebagai pemilik kekuatan dalam hirarki
manajerial perusahaan diwajibkan paham dan mengerti mulai dari spesifikasi
produk hingga proses after sales. Untuk itulah proses pencarian informasi mutlak
dilakukan untuk mempelajari mulai dari harga, spesifikasi, hingga daya tahan
sebuah kamera. Informan dari berbagai sumber seperti distributor utama, komunitas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
fotografi hingga pengguna kamera lain menjadi referensi dalam proses pencarian
informasi.
Proses pencarian informasi semuanya dilakukan dalam rangka pencarian
informasi untuk menambah pengetahuan mereka, untuk memberikan persuasi dan
meyakinkan, mengurangi ketidakpastian dalam proses adopsi inovasi. Saluran
komunikasi yang digunakan untuk tahap knowledge hingga keputusan mengadopsi
sebuah teknologi inovasi merupakan kombinasi yang dipilih oleh individu melalui
berbagai media komunikasi.
Pada penelitian ini kategori inilah komunikator yang memiliki power menekan
kategori di bawahnya. Akan tetapi penekanan disini adalah penggunaan power
untuk memberikan masukan dari hasil pencarian mereka mengenai inovasi demi
mempertahankan pendapat mereka kepada manajer perusahaan. Perlu atau tidaknya
sebuah inovasi diadopsi dalam perusahaan. Individu kategori ini menciptakan
keputusan mengadopsi secara collective kepada kategori early majority di
bawahnya.
Kategori early majority mereka adalah individu-individu yang terdiri atas
fotografer senior yang telah puluhan tahun menggeluti dunia fotografi jurnalistik
dan fotografi profesional dalam bidang dokumentasi event. Mereka adalah orang
yang tergolong awal dalam hal mengenal dan mengadopsi inovasi DSLR. Tentunya
mereka pula yang sejak awal mencari informasi dan menggunakan informasi
tersebut sebagai referensi menggunakan sebuah produk. Dari sisi penggunaan
media, para early majority adalah kategori awal adopter yang secara teoritis
mengalami terpaan tinggi oleh media massa namun, pada kenyataannya mereka
minim dalam penggunaan media massa.
Menurut Rogers (1983) pada fase knowledge media massa memegang peranan
penting untuk menyebarkan informasi teknis terkait sebuah produk inovasi. Akan
tetapi apakah mereka adalah sosok yang aktif menggunakan media massa sebagai
referensi mereka ? Ternyata pada jaman tersebut dimana rata-rata dari mereka
mulai menemukan dan menggali informasi mengenai DSLR ini saluran komunikasi
melalui media massa belum segencar saat ini, hanya beberapa yang tahu mengenai
DSLR lewat media koran, selebihnya menggunakan relasi mereka ataupun bahkan
media brosur sebagai sarana mengumpulkan informasi. Hal ini menurut peneliti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
dikarenakan saat itu produk ini adalah sebuah produk mahal dan belum semua
orang perlu akan inovasi ini, hanya para early majority yang saat itu terdorong
untuk menggunakannya karena alasan sistem analog yang sudah tidak lagi
memungkinkan mendukung kinerja mereka.
Saluran komunikasi interpersonal menjadi rujukan bagi individu dalam kategori
ini karena minimnya informasi yang didapat melalui media massa. Dengan melihat
pengguna terdahulu dan mendapat masukan dari anggota sistem sosial lain, proses
pencarian informasi mengenai DSLR menjadi terpenuhi.
Ketika Rogers (1983) menyebut mereka sebagai kaum yang lambat mengadopsi
sebuah inovasi, pada kenyataanya mereka justru yang pertama mengadopsi dan
tidak membutuhkan waktu lama dalam proses adaptasi produk baru. Minimnya
informasi teknis yang didapat tidak membuat proses adopsi berjalan lambat.
Kompleksitas teknologi diminimalisir karena pengalaman penggunaan kamera
sistem analog terdahulu. Hakikatnya menurut mereka sama, dari sisi penggunaan
dan pengoperasiaanya. Kesulitan yang mereka rasakan pada awal adopsi justru
datang dari proses pengolahan atau post-produksi.
Sebagai komunikator sebuah informasi mengenai inovasi DSLR mereka
seharusnya berperan menyebarkan opini mengenai DSLR kepada anggota late
majority di bawah mereka. Kategori ini seharusnya menjadi opinion leader
persebaran produk dalam sistem sosial mereka. Mereka inilah yang seharusnya
menjadi target potensial dalam persebaran sebuah inovasi karena posisi mereka
dalam sebuah sistem sosial fotografer bertindak sebagai seorang senior dan banyak
dijadikan rujukan oleh anggota junior di bawahnya. Akan tetapi dalam dunia
fotografi ini pembicaraan ataupun komunikasi kepada anggota lain di bawah
mereka yang terkait tools dan spesifikasi kamera menjadi hal yang “tabu” untuk
dibicarakan. Orientasi hasil menjadi bahan pembicaraan utama, tidak peduli dari
alat apa karya itu diciptakan.
Kategori terakhir dalam proses difusi inovasi dalam penelitian ini adalah para
individu yang tergabung dalam kategori late majority. Secara bahasa mereka inilah
yang menurut Rogers (1983) termasuk “terlambat” dalam mengadopsi teknologi.
Terlambat di saat sebagian dari anggota sistem sosial dalam fotografi jurnalistik
dan profesional telah mengadopsi inovasi DSLR ini. Hal ini dilihat dari periode
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
mereka mengadopsi teknologi ini jauh dibawah para individu dari kategori early
majority. Namun, pada saat mereka mengadopsi teknologi ini, pada masa itulah
terjadi booming internet yang berarti makin banyak pula rujukan untuk mengenal
dan mencari informasi mengenai DSLR. Padahal secara teoritis mereka ini
tergolong tidak lagi mengalami terpaan media massa namun, mereka malah aktif
menggunakan media massa khususnya internet dan saluran komunikasi
interpersonal dengan komunitas dan rekan mereka untuk mencari informasi
mengenai DSLR. Masukan dari kategori senior diatas mereka (early majority) tidak
digunakan sebagai rujukan mengambil keputusan adopsi.
Ketika berperan sebagai komunikator antar individu dalam sistem sosial
fotografer, mereka justru pihak yang aktif mencari informasi perkembangan
teknologi DSLR terkini untuk didiskusikan dengan rekan mereka, hal ini yang
jarang bahkan tidak pernah dilakukan oleh senior mereka. Kemauan anggota
individu dalam kategori ini dalam mengakses informasi harusnya dibaca oleh
produsen maupun inovator untuk membidik segmen muda ini sebagai agent of
change dalam persebaran inovasi mereka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Setelah melakukan penelitian terhadap proses persebaran dan penerimaan
pesan yang ditinjau dari aspek teori difusi inovasi, peneliti mendapatkan gambaran
mengenai bagaimana proses difusi inovasi berjalan di lingkup fotografer
profesional di Kota Solo dan Yogyakarta.
Proses difusi inovasi terjadi pada beberapa kategori inovasi, dimulai dari
inovator, early adopter, early majority, dan late majority. Masing-masing kategori
memiliki tahapan tersendiri dalam melakukan adopsi sebuah inovasi serta memiliki
peran tersendiri dalam pola komunikasi terkait persebaran pesan (message
diseemination) dan penerimaan pesan (message reception).
a. Innovator
Kategori inovator pada penelitian ini diwakili pihak PT. Datascrip yang
memegang distribusi resmi merk kamera Canon di Indonesia.
Individu pada kategori ini bertugas menyebarkan informasi mengenai inovasi
kepada adopter yang menjadi target pasar mereka. Proses persebaran informasi
terkait dengan detail produk dan spesifikasi produk kepada konsumen mereka.
Karakter seorang inovator secara sosio-ekonomi adalah mereka yang didukung
kemampuan finansial besar karena upaya persebaran sebuah inovasi
membutuhkan biaya yang tinggi apalagi terkait target market pengguna DSLR
yang cukup luas.
Seorang inovator dalam penelitian ini adalah mereka yang terbuka atas
informasi, harus paham detail produk dan menggunakan jaringan yang luas
dalam rangka menggali informasi dan menyebarkan informasi tersebut.
Dalam pola komunikasinya, kategori inovator bertugas menyebarluaskan inovasi
sehingga mampu diterima oleh kategori adopter di bawahnya. Mereka hanya
melakukan fungsi persebaran pesan (message dissemination). Proses persebaran
pesan dimulai dengan penentuan target pesan. Dalam menentukan target pesan
ini terbagi atas dua target pesan yakni kepada pihak internal (tim marketing) dan
eksternal kepada calon adopter atau konsumen.
129
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
Individu pada kategori ini menggunakan berbagai media komunikasi baik cetak
maupun elektronik dan saluran komunikasi interpersonal. Melalui saluran above
the line dan below the line. Untuk melakukan pedekatan kepada komunitas
pengguna DSLR, penggunaan endorser dipakai sebagai upaya untuk
memberikan personifikasi pengguna DSLR di kalangan pengguna komunitas.
b. Early Adopter
Kategori early adopter adalah individu yang memiliki power mempengaruhi
kategori di bawah mereka. Kategori ini diwakili Kepala Bagian Umum PT
Aksara Solopos yang memiliki tanggung jawab dalam pengadaan kamera digital
dalam perusahaannya.
Individu ini wajib terbuka atas segala informasi mengenai DSLR. Selain itu
mereka adalah individu yang memiliki power atau kekuatan untuk mengadakan
produk inovasi di perusahaan mereka. Jaringan komunikasi yang dimilliki
sebagai relasi juga sangat luas sebagaia referensi mendapatkan informasi
mengenai perkembangan inovasi DSLR yang akan diadopsi. Proses difusi
inovasi dimulai pada tahap knowledge dimana seorang individu akan aktif
mencari informasi mengenai sebuah inovasi. Informasi yang mereka cari terkait
dengan apa yang memiliki nilai tambah terhadap inovasi, baik dari segi
spesifikasi maupun kualitas produk. Pada tahapan persuation mereka akan
semakin giat mencari informasi terkait inovasi lebih dalam. Individu pada
tahapan ini akan giat mencari beberapa poin penting dari inovasi, yakni terkait
dengan relative advantage (keuntungan relatif), compatibility (kecocokan),
complexity (kompleksitas), trialability (dapat dicoba), dan observability (bisa
dilihat oleh orang lain).
Pada tahapan decision atau keputusan adopsi, proses pertukaran informasi dari
early majority akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Hirarki
dalam perusahaan yang mewajibkan hal ini terjadi dalam forum diskusi. Akan
tetapi segala keputusan adopsi dan pengadaan sebuah produk inovasi tetap
berada di tangan bagian umum perusahaan.
Kategori early adopter berperan sebagai komunikator (message dissemination)
dan komunikan (message reception) dalam proses difusi inovasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
Sebagai komunikan, seorang early adopter menerima berbagai informasi terkait
inovasi DSLR dari berbagai sumber. Penggunaan media komunikasi elektronik
seperti internet melalui email, dan website dipakai untuk mencari informasi
dalam rangka mengurangi ketidakpastian terhadap sebuah inovasi. Selain itu
media komunikasi interpersonal melalui hubungan dengan berbagai komunitas
dan individu yang berkompeten terhadap inovasi DSLR juga digunakan untuk
mengumpulkan informasi.
Dalam menjalankan peran sebagai komunikator mereka menggunakan informasi
yang telah mereka dapatkan untuk disebarluaskan. Individu pada kategori ini
melakukan proses transmisi pesan ke dalam, yakni memberi masukan kepada
manajemen produk DSLR mana yang akan diadopsi dan memberi masukan ke
luar kepada kategori early majority yang akan menggunakannya.
c. Early Majority
Kategori ketiga adalah early majority. Secara harfiah kategori ini adalah
pengguna awal, terdiri atas individu yang memiliki karakteristik sebagai senior
dalam sistem sosial khususnya diantara para fotografer. Mereka adalah
pengguna awal yang mengenal dan menggunakan teknologi ini dalam
menunjang kinerja mereka.
Individu pada kategori ini juga terbuka atas informasi mengenai segala informasi
terkait perkembangan DSLR. Mereka adalah senior yang memiliki kedudukan
tinggi dalam sistem sosial fotografer. Proses pencarian dan pengumpulan
informasi pada tahapan ini dimulai dari tahap knowledge dimana segala
informasi yang memiliki nilai (valence) dan mengurangi ketidakpastian tentang
teknologi DSLR akan dikumpulkan. Pada tahapan persuation mereka akan
semakin giat mencari informasi terkait inovasi lebih dalam. Individu pada
tahapan ini akan giat mencari beberapa poin penting dari inovasi, yakni terkait
dengan relative advantage (keuntungan relatif), compatibility (kecocokan),
complexity (kompleksitas), trialability (dapat dicoba), dan observability (bisa
dilihat oleh orang lain).
Pada tahapan decision atau keputusan adopsi, proses adopsi cenderung singkat
karena sebagian besar individu pada kategori ini telah mengalami proses
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
penggunaan kamera analog yang memiliki kemiripan penggunaan dengan
kamera DSLR secara fungsi dan teknis penggunaan.
Kategori ini memiliki fungsi menerima pesan (komunikan) dan bertindak
sebagai pencipta pesan (komunikator). Sebagai komunikan mereka menerima
pesan atau informasi mengenai sebuah produk DSLR yang diciptakan kategori
innovator dari berbagai media komunikasi khususnya media cetak dan tatap
muka. Media elektronik seperti internet belum menjadi penyedia informasi
seperti saat ini.
Dalam proses penerimaan informasi, individu akan memperhatikan sebuah
relative advantage, compatibility, complexity, trialability, dan observability dari
sebuah produk inovasi DSLR yang akan diadopsi. Proses transisi dari kamera
analog memberikan kemudahan tersendiri hingga proses penerimaan informasi
yang berhubungan dengan hal teknis sangat minim dilakukan.
Ketika individu ini berperan sebagai komunikator, mereka menciptakan pesan
melalui sharing kepada kategori late majority di bawahnya. Namun, sharing
yang dilakukan tidak menyinggung mengenai spesifikasi ataupun teknis
penggunaan teknologi DSLR tertentu tapi lebih pada hal-hal non teknis seputar
pekerjaan di lapangan. Hal ini menunjukan sebenarnya pada kategori ini transfer
informasi mengenai inovasi DSLR tidak terjadi.
d. Late Majority
Kategori adopter yang terakhir adalah kategori late majority. Mereka
mengadopsi sebuah inovasi DSLR ketika sebagian besar anggota sistem sosial
telah melakukan adopsi atas inovasi.
Dilihat dari proses adopsi mereka cenderung lambat melakukan proses adopsi
inovasi. Di saat sebagian besar fotografer beralih menggunakan DSLR, mereka
baru melakukan adopsi atas inovasi tersebut. Hal ini menempatkan mereka
menjadi “junior” pada kalangan fotografer.
Meskipun lambat dalam proses adopsi, mereka adalah individu yang aktif
mencari informasi melalui berbagai saluran komunikasi, seperti media cetak dan
elektronik khususnya internet. Booming internet saat itu membantu proses
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
pencarian informasi mengenai DSLR. Hal ini membantu mereka dalam
mengumpulkan informasi secara cepat dan menyeluruh.
Proses difusi inovasi dimulai melalui tahapan knowledge, dimana individu akan
mencari segala informasi terkait DSLR dari berbagai media komunikasi seperti
majalah atau berbagai website yang menyajikan informasi mengenai spesifikasi
dan penggunaan DSLR.
Pada tahapan persuation mereka akan semakin giat mencari informasi terkait
inovasi lebih dalam.
Pada tahapan decision atau keputusan adopsi, proses adopsi cenderung singkat
karena sebagian besar individu pada kategori ini telah mengalami proses
penggunaan kamera analog yang memiliki kemiripan penggunaan dengan
kamera DSLR secara fungsi dan teknis penggunaan.
Kategori ini hanya berperan sebagai komunikan karena mereka dianggap tidak
lagi mempunyai power untuk melakukan transfer informasi kepada kategori di
bawahnya (laggards). Proses sharing yang terjadi antar anggota kelompok ini
bukan bersifat mempengaruhi penggunaan sebuah inovasi DSLR namun, lebih
pada isu perkembangan teknologi terkini.
Sebagian besar individu pada kategori ini terdiri atas individu yang aktif mencari
informasi melalui berbagai saluran komunikasi. Mereka giat mengikuti
perkembangan teknologi DSLR terkini meskipun secara teoritis mereka kategori
yang lambat menerima sebuah inovasi. Sebagai komunikan mereka menerima
pesan atau informasi mengenai sebuah produk DSLR yang diciptakan kategori
innovator dari berbagai media komunikasi khususnya media cetak dan tatap
muka. Media elektronik seperti internet belum menjadi penyedia informasi
seperti saat ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
B. IMPLIKASI
B. 1. Implikasi Teoritis
Hasil penelitian ini mempunyai implikasi teoritis terhadap kajian teori difusi
inovasi. Difusi inovasi melihat bagaimana sebuah inovasi ditransmisikan melalui
saluran komunikasi kepada anggota dalam sistem sosial. Difusi inovasi adalah
sebuah bentuk komunikasi khusus dimana anggota individu dalam kategori inovasi
(innovator, early adopter, early majority, dan late majority) menjalankan fungsi
sebagai penyebar pesan (komunikator) dan bertindak sebagai penerima pesan
(komunikan). Pola komunikasi yang terjadi pada masing-masing kategori berbeda
satu dengan yang lainnya. Motivasi untuk mengadopsi inovasi DSLR pun berbeda
antara satu dengan individu yang lainnya. Pola komunikasi menjadi titik penting
pada penelitian ini dimana peneliti melihat bagaimana individu pada masing-
masing kategori bertindak menjadi komunikator dan komunikan. Bagaimana
individu menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk mengumpulkan
informasi sehingga mempengaruhi sikap mereka untuk mengadopsi sebuah inovasi.
Berdasarkan kajian terhadap objek, penelitian ini menggambarkan karakteristik
individu pada masing-masing kategori dan bentuk-bentuk pola komunikasi pada
fotografer profesional yang terbagi atas fotografer jurnalis dan fotografer komersial.
Pola komunikasi terjadi atas bagaimana mereka menjadi seorang komunikator
(message dissemination) dan bagaimana mereka menjadi seorang komunikan
(message reception). Bagaimana mereka menciptakan pesan untuk menjangkau dan
mempengaruhi target pasar serta melihat bagaimana mereka mengumpulkan
informasi untuk mengurangi ketidakpastian mengenai sebuah inovasi sampai pada
akhirnya bisa diadopsi.
Peneliti melihat masih banyaknya lubang dari teori difusi inovasi yang masih
bisa digali lagi sebagai upaya membangun body of knowledge bagi perkembangan
teori komunikasi ke depan.
B. 2. Implikasi Metodologis
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode
studi kasus. Dalam penelitian ini peneliti menemukan keterbatasan penelitian dalam
rangka pengumpulan data. Keterbatasan dari penelitian ini adalah kesulitan peneliti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
dalam menggali data pada kategori inovator karena kesibukan narasumber
berdampak pada sulitnya mencari waktu untuk menggali data. Pada tahapan difusi
inovasi peneliti hanya mengkaji hingga proses pengambilan keputusan (decision
stage) bukan sampai pada tahapan konfirmasi sebuah inovasi.
Keterbatasan lain terkait triangulasi data dalam hal ini peneliti mengalami
kesulitan untuk menjangkau kategori early adopter pada media lain yang memiliki
kesamaan posisi dengan media cetak Solopos. Sehingga triangulasi data pada
kategori early adopter tidak dapat dilakukan. Selain itu metode studi kasus akan
lebih menarik dengan jangkauan penelitian yang lebih luas dan dengan
perbandingan kasus dengan variasi lain sehingga akan tercipta temuan baru yang
menarik untuk dikaji.
B. 3. Implikasi Praktis
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing kategori pada proses
difusi inovasi memiliki karakteristik dan pola komunikasi yang beragam. Masing-
masing individu memiliki cara tersendiri dalam proses pencarian informasi dan
berbeda pula ketika mereka harus melakukan proses transfer informasi pada
kategori di bawah mereka. Hal ini secara ekonomis sebenarnya menjadi titik
penting pada tingkatan innovator untuk melakukan pemetaan pola komunikasi agar
tercipta penyebaran produk inovasi yang lebih baik dan tepat sasaran. Kategori
innovator harus mampu menciptakan pesan yang berbeda untuk masing-masing
kategori sehingga tercipta penetrasi pesan yang merata dan informasi mengenai
produk dapat diterima dengan baik.
Bagi pembaca, penulis berharap penelitian ini mampu memberikan sedikitnya
gambaran mengenai bagaimana seharusnya sebuah difusi inovasi dilakukan,
bagaimana memilih metode yang tepat, dan bagaimana menembus kategori yang
tepat agar tercipta proses adopsi yang efektif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
C. SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti menyarankan beberapa hal, pertama
agar penelitian mengenai difusi inovasi dengan metode studi kasus akan menjadi
menarik jika mampu menjangkau tahap implementasi hingga konfirmasi, sehingga
temuan akan lebih banyak dan bervariasi. Kedua, penelitian mengenai difusi
inovasi, mengingat penelitian sejenis di Indonesia yang masih sangat terbatas.
Dengan menggunakan metode multilevel analisis yang lebih kompleks lagi,
tentunya lebih melihat kompleksitas pola komunikasi dan temuan lain yang lebih
menarik. Terakhir untuk pembaca hendaknya mampu menemukan kegunaan praktis
terkait dengan proses difusi kepada kategori adopter sehingga proses adopsi dapat
dilakukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Beebe, Steven A, Beebe, Susan I, and Ivy, Diana K. 2001. Communication Principles
For A Lifetime. Massachusetts : Abacon.
Denzin, Norman K and Lincoln, Yvonnna S. 2000. Handbook of Qualitative Research. California : Sage Publications.
Durham, Meenakshi Gigi and Kellner, Douglas M. 2001. Media and Cultural Studies KeyWorks. Massachusetts : Blackwell Publisher.
Griffin, EM. 2012. A First Look At Communication Theory : Eighth Edition. New York : McGraw-Hill.
Littejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication : Seventh Edition. Alberqurque : Wadsworth.
Littlejohn, Stephen W & Foss, Karen A. 2010. Theories of Human Communication : Tenth Edition. Illinois : Waveland Press.
---------------------------------------------------------. 2009. Encyclopedia of Communication Theory. California : SAGE Publications.
Miller, Katherine. 2005. Communication Theories : Perspectives, Processes, and Contexts. New York : Mc Graw Hill.
Parrish, Fred S. 2002. Photojournalism: An Introduction. Stamford : Wadsworth.
Pawito. 2007. Metode Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta : LKIS.
Rogers, Everett M. 1983. Diffusion of Innovations : Third Edition. New York: The Free Press.
Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Dari Denzin Guba dan Penerapannya). Yogyakarta : Tiara Wacana.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung :
Alfabeta.
Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : Sebelas Maret University Press.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Wood, Julia T. 2011. Communication Mosaics. Boston : Wadsworth.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
Yin, Robert K. 2002. Case Study Research Design and Methods : Third Edition. California : Sage Publications.
JURNAL
Fedorov, Alexandr V. 2007. About Information Concept, Its Essence, and Role In Social and Technical System dalam A Process for Developing a Common Vocabulary in the Information Security Area. Moscow : IOS Press, 2007.
Ozaki, Ritsuko and Dodgson, Mark. 2010. Adopting and Consuming Innovations dalam
Prometheus Vol. 28 No. 4 hlm 311-326. Wejnert, Barbara. 2002. Integrating Models of Diffusion of Innovations : A Conceptual
Framework, dalam annual Review of Sociology. 2002. Van Der Veen, Marijke. 2010. Agricultural innovation: invention and adoption or
change and adaptation? dalam World Archaelogy : Agricultural Innovation Vol. 42 No. 1 hlm 1-12.
Valente, Thomas W dan Myers, Raquel. 2010. The Messenger is The Medium :
Communication and Diffusion Principles in the Process of Behavior Change dalam Estudios sobre las Culturas Contemporáneas Vol. XVI No.31 hlm 249-276.
Gouws, Tina and Peter, George van Rheede. 2011. Correlation between brand longevity
and the diffusion of innovations theory dalam Journal of Public Affairs Vol. 11 No. 4 hlm 236-242.
ARTIKEL
Investor Daily Indonesia, Penjualan Canon EOS Tembus 70 Juta Unit, diakses dari http://www.investor.co.id/telecommunication/penjualan-canon-eos-tembus-70-juta-unit/78314.html, pada tanggal 23 Februari 2014 pukul 16.00 WIB.
N, Sejarah Perkembangan Kamera Digital, diakses dari
http://www.fotografi.tp.ac.id/article/sejarah-perkembangan-kamera-digital.html pada tanggal 23 Februari 2014 pukul 20.00 WIB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
Biodata
a. Nama : Sidiq Setyawan
b. Tempat, tanggal lahir : Surakarta, 24 April 1988
c. Profesi / jabatan : Wiraswasta
d. Alamat rumah : Jl. Sibela Dalam 04, Mojosongo, Solo, 57127
Telp : 0856 3755 770
Fax : -
e-mail : sidiq.setyawan@gmail.com
e. Riwayat pendidikan di Perguruan Tinggi
No. Institusi Bidang Ilmu Tahun Gelar
1. FISIP UNS Surakarta Ilmu Komunikasi 2006 S.Ikom
f. Daftar Karya Ilmiah
No. Judul Penerbit/Forum Ilmiah Tahun
1. Komunikasi Pemasaran Wisata Skripsi FISIP UNS 2011
Surakarta, 26 Februari 2015
Sidiq Setyawan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
INTERVIEW GUIDE
KATEGORI INOVATOR
Kategori Inovator dalam penelitian ini adalah pihak produsen dalam hal ini diwakili
oleh produsen kamera digital jenis DSLR merek Canon yang berada di bawah distribusi
PT Datascrip untuk melayani penjualan kamera Canon di Indonesia. Orang yang
menjadi subjek penelitian ini adalah marketer di PT Datascrip tersebut.
1. Data terkait karakteristik inovator
a. Pengetahuan tentang inovasi
• Tanyakan mengenai pengetahuan inovator mengenai karakteristik DSLR
• Tanyakan mengenai keterbukaan inovator dalam menerima sebuah
informasi mengenai inovasi
• Tanyakan mengenai status inovator dalam sistem sosial
• Tanyakan mengenai karakteristik sosial ekonomi inovator
• Tanyakan mengenai jaringan (network) seorang inovator
• Tanyakan mengenai karakteristik yang berhubungan dengan kultur
dalam masyarakat
b. Peran inovator dalam penyebaran pesan (message dissemination)
- Bagaimana strategi inovator dalam menyebarkan informasi mengenai
inovasi DSLR
• Tanyakan mengenai siapa target pasar dari inovasi tersebut
• Tanyakan alasan memilih target pasar tersebut
• Tanyakan mengenai perencanaan komunikasi dari inovator
• Tanyakan mengenai penggunaan saluran komunikasi dan apa
alasannya
• Tanyakan mengenai penggunaan media dalam rangka menjangkau
target pasar
• Tanyakan mengenai pesan yang digunakan dalam menarik minat
khalayak
o Pesan yang menyinggung masalah produk, keuntungan, dsb
o Pesan yang disusun oleh design logic
o Pesan yang berisi compatibility, triability, complexity,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
• Tanyakan mengenai kendala yang ditemui pihak produsen untuk
menyampaikan informasi kepada khalayak mengenai teknologi
DSLR ini ?
KATEGORI EARLY ADOPTER
Kategori Early Adopter dalam penelitian ini adalah pihak yang memiliki otoritas untuk
memberikan perintah atau menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk memberikan
informasi mengenai inovasi DSLR kepada golongan di bawah mereka. Pada industri
media massa, kategori ini diwakili oleh pemimpin redaksi, redaktur foto, ataupun
pimpinan perusahaan.
1. Data terkait karakteristik early adopter
a. Pengetahuan tentang inovasi
• Tanyakan mengenai pengetahuan early adopter mengenai
karakteristik DSLR
• Tanyakan mengenai keterbukaan early adopter dalam menerima
sebuah informasi mengenai inovasi
• Tanyakan mengenai status early adopter dalam sistem sosial
• Tanyakan mengenai karakteristik sosial ekonomi early adopter
• Tanyakan mengenai jaringan (network) seorang early adopter
• Tanyakan mengenai karakteristik yang berhubungan dengan kultur
dalam masyarakat.
b. Peran early adopter dalam penerimaan pesan (message reception)
- Bagaimana golongan early adopter dalam menerima informasi mengenai
inovasi DSLR
• Tanyakan alasan seorang early adopter bersedia menerima informasi
mengenai ide baru
• Tanyakan bagaimana early adopter mendapatkan / mengumpulkan
informasi mengenai inovasi DSLR
• Tanyakan melalui media apa early adopter mendapatkan informasi
mengenai informasi mengenai inovasi DSLR
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
c. Peran early adopter dalam penyebaran pesan (message dissemination)
- Bagaimana strategi early adopter dalam menyebarkan informasi
mengenai inovasi DSLR
• Tanyakan mengenai siapa target penyebaran pesan tentang inovasi
tersebut
• Tanyakan alasan memilih target pada golongan tersebut
• Tanyakan mengenai perencanaan komunikasi dari early adopter
kepada golongan di bawahnya
• Tanyakan mengenai penggunaan saluran komunikasi dan apa
alasannya
• Tanyakan mengenai penggunaan media dalam rangka menjangkau
target penyebaran informasi tersebut
• Tanyakan mengenai pesan yang digunakan dalam menarik minat
golongan di bawahnya
• Tanyakan mengenai kendala yang ditemui pihak early adopter untuk
menyampaikan informasi kepada golongan di bawah mereka
mengenai teknologi DSLR ini ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
KATEGORI EARLY MAJORITY
Kategori Early Majority dalam penelitian ini adalah pihak yang memiliki
kecenderungan menerima informasi dan menggunakan inovasi lebih awal dibanding
kategori atau golongan lain. Pada industri media massa maupun profesional, kategori ini
diwakili oleh fotografer senior dan mereka yang mengalami transisi dari kamera analog
menjadi digital.
1. Data terkait karakteristik early majority
a. Pengetahuan tentang inovasi
• Tanyakan mengenai pengetahuan early majority mengenai
karakteristik DSLR
• Tanyakan mengenai keterbukaan early majority dalam menerima
sebuah informasi mengenai inovasi
• Tanyakan mengenai status early majority dalam sistem sosial
• Tanyakan mengenai karakteristik sosial ekonomi early majority
• Tanyakan mengenai jaringan (network) seorang early majority
• Tanyakan mengenai karakteristik yang berhubungan dengan kultur
dalam masyarakat.
b. Peran early adopter dalam penerimaan pesan (message reception)
- Bagaimana golongan early majority dalam menerima informasi
mengenai inovasi DSLR
• Tanyakan alasan seorang early majority bersedia menerima informasi
mengenai ide baru
• Tanyakan bagaimana early majority mendapatkan / mengumpulkan
informasi mengenai inovasi DSLR
• Tanyakan melalui media apa early majority mendapatkan informasi
mengenai informasi mengenai inovasi DSLR
c. Peran early majority dalam penyebaran pesan (message dissemination)
- Bagaimana strategi early majority dalam menyebarkan informasi
mengenai inovasi DSLR
• Tanyakan mengenai siapa target penyebaran pesan tentang inovasi
tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
• Tanyakan alasan memilih target pada golongan tersebut
• Tanyakan mengenai perencanaan komunikasi dari early majority
kepada golongan di bawahnya
• Tanyakan mengenai penggunaan saluran komunikasi dan apa
alasannya
• Tanyakan mengenai penggunaan media dalam rangka menjangkau
target penyebaran informasi tersebut
• Tanyakan mengenai pesan yang digunakan dalam menarik minat
golongan di bawahnya
• Tanyakan mengenai kendala yang ditemui pihak early majority untuk
menyampaikan informasi kepada golongan di bawah mereka
mengenai teknologi DSLR ini ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
KATEGORI LATE MAJORITY
Kategori Early Majority dalam penelitian ini adalah pihak yang memiliki
kecenderungan menerima informasi dan menggunakan inovasi saat sebagian kategori
atau golongan lain telah menggunakannya. Pada industri media massa maupun
profesional, kategori ini diwakili oleh fotografer yang cenderung menggunakan inovasi
karena dorongan peers atau alasan meningkatkan status.
1. Data terkait karakteristik late majority
a. Pengetahuan tentang inovasi
• Tanyakan mengenai pengetahuan late majority mengenai
karakteristik DSLR
• Tanyakan mengenai keterbukaan late majority dalam menerima
sebuah informasi mengenai inovasi
• Tanyakan mengenai status late majority dalam sistem sosial
• Tanyakan mengenai karakteristik sosial ekonomi late majority
• Tanyakan mengenai jaringan (network) seorang late majority
• Tanyakan mengenai karakteristik yang berhubungan dengan kultur
dalam masyarakat.
b. Peran late majority dalam penerimaan pesan (message reception)
- Bagaimana golongan late majority dalam menerima informasi mengenai
inovasi DSLR
• Tanyakan alasan seorang late majority bersedia menerima informasi
mengenai ide baru
• Tanyakan bagaimana late majority mendapatkan / mengumpulkan
informasi mengenai inovasi DSLR
• Tanyakan melalui media apa late majority mendapatkan informasi
mengenai informasi mengenai inovasi DSLR
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
TRANSKRIP WAWANCARA
A.
Nama : Sunaryo Haryo
Usia : 48
Masa kerja : 18 tahun
Instansi Kerja : Solopos
1. Pernah merasakan menggunakan kamera analog untuk profesi Anda ?
Analog saya pakai dari Tahun 1997-2000.
2. Bagaimana awal Anda mengenal DSLR ? Bisa diceritakan ?
Analog ke digital awal tahun 2000 , tepatnya lupa , belum langsung ke DSLR,
saya Cuma pakai Fuji pocket , adanya Cuma itu, yang pakai dslr belum ada,
ada tp jarang karena harganya yang mahal sekali. Jadi pertama kali pakai
DSLR itu karena kantor menyediakan itu, mau ga mau harus makai itu, pertama
kali sih makainya D70, merek Nikon itu. Waktu itu fotografer di Solopos masih
saya, sama Yayus. Sekarang sudah empat orang.
3. Apa alasan Anda untuk memutuskan berganti ke DSLR ?
Ya karena di analog itu mahal di produksi, beli developer dan sebagainya.
Sangat mahal. Kesulitan di lapangan sangat banyak dengan manual,
terbatasnya jumlah roll film terutama. kalau kita dipaksa makai analog ya kalah
kita.
4. Saat pertama kali menggunakan DSLR, apakah Anda mengalami kesulitan ?
Kalo pertama makai dslr sih ga ada kesulitan, malahan DSLR itu sangat
memudahkan. Kalau kamera digital sih saya otodidak karena sering belajar dari
hasil memakai analog dulu. Internet belum seperti sekarang waktu tahun 2000
itu
5. Darimana Anda mendapatkan informasi mengenai kamera DSLR ? terutama
proses penggunaanya ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
Saya ga belajar dari media apapun. Saya ga pernah baca, teori saya abaikan.
Saya waktu itu sempetnya belajar dari brosur, biasanya dapet dari produsen,
atau pameran. Dulu brosur ini dikirim ke media-media kita. Di brosur itu
terbatas informasinya, saya Cuma belajar soal spesifikasi aja dari brosur itu,
bukan teknis. Saya pertama kali ga merasakan kesulitan, penggunaannya kan
mirip dengan analog. Saya dapat pelatihan dari Jakarta waktu itu soal kamera
digital. Dari forum fotografi Jakarta waktu itu sekitar tahun 2003-an. Saya
karena terbiasa pakai analog jadi ga kesulitan dengan kamera digital.
6. Bisa diceritakan bagaimana proses pengadaan kamera di tempat Anda bekerja ?
Pertama kali sih fotografer minta ke kantor karena kebutuhan juga waktu itu.
Sekitar tahun 2005 saya makai DSLR, pertama kali di Solo waktu itu. Waktu
gempa Jogja itu saya makai D70 sama D100. Karena memang memudahkan
kerja waktu itu. Penggunaan pocket udah ga bisa untuk motret cepat atau
olahraga. Kemudian Kita minta merk Canon waktu itu, karena waktu itu
perkembangan teknologi Nikon kurang cepat. Waktu Erupsi Merapi tahun 2011
saya beralih dari Nikon ke Canon. Saya sedikit mengalami kesulitan waktu
pergantian itu.
Kalau pengadaan kamera sih kita yang ngasih saran, misal pakai merk ini hasil
seperti ini, kemudahan ini. Saya sharing ke bagian umum untuk pengadaan, kita
sharing dengan mereka. Kita meyakinkan mereka pentingnya penggunaan
kamera digital itu seperti itu. Kalau bagian umum berorientasi harga sedangkan
kita teknis.
Sering terjadi crash waktu itu awal-awal penggunaan kamera digital itu.
Biasanya soal pengadaan kamera itu. Biasanya karena perbedaan orientasi
tadi. Kita ngasih perbandingan tu, bagaimana kalau memakai digital di Kompas
atau Jawa Pos. Kadang mereka kurang bisa menerima karena alasan harganya
terlalu mahal.
7. Apakah selama ini Anda sering melakukan sharing mengenai fotografi atau
mengenai teknologi DSLR ?
Sering saya sharing soal fotografi di PFI Solo dan memberikan pelatihan juga.
Saya dalam sharing tidak pernah membicarakan merek. Paling saya bercerita
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
soal pengalaman dari analog ke digital. Periode tahun 2000-an saat
perpindahan dari analog ke digital. Saya waktu itu paling sering bercerita soal
bagaimana ribetnya penggunaan kamera analog, mulai dari proses scan, olah
film. Sementara digital saya tinggal copy.
Biasanya saya sharing soal foto lewat slide show, kalau cuma tatap muka ga
bisa sharing. Tapi saya ga pernah lewat media internet untuk sharing. Kalau di
kantor sih cuma sharing, ga ada pelatihan antar fotografer. Kalau ke junior
saya ga pernah ngajari, Cuma sharing sering. Biasanya kita ngomongin hasil,
kalau secara teknis saya abaikan.
8. Apakah dalam sharing itu anda sering memberi masukan mengenai sebuah merk
DSLR ?
Saya ga pernah ngasih saran. Cuma pernah beberapa kali ke hobiis untuk
menggunakan kamera digital. Kalau ke fotojurnalis jarang, kan udah pinter
semua. Kalau ke hobiis yang temen-temen, saya lebih ke teknis, mereka lebih ke
teoritis sama fanatik merek tertentu. Kalau beberapa temen-temen saya sih ada
yang tanya ke saya soal kamera tertentu, kalau saya sih lebih ke hasilnya bukan
teknis kameranya secara mendetail.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149
B.
Nama : Franky
Usia : 34
Masa Kerja : 6 tahun
Instansi Kerja : Solopos (Surakarta)
1. Bisa diceritakan bagaimana kedudukan bagian umum di perusahaan ini ?
Kalau di Solopos sebagai sebuah perusahaan di dalamnya terdapat beberapa
divisi, secara garis besar dibagi dua bagian, ada redaksi dan manajerial,
redaksi bertugas menangani segala sesuatu yang berhubungan dengan
pemberitaan, termasuk di dalamnya bagian fotografi. Kemudian bagian
manajerial, di dalamnya ada manajemen penjualan, adalah yang bertanggung
jawab atas penjualan produk. Lalu kami, divisi umum adalah divisi yang
menjembatani dua divisi besar tersebut.
Kami mengendalikan kebutuhan dua divisi tersebut, jika mereka membutuhkan
kamera, mereka mengajukan ke manajemen. Dan manajemen akan
memerintahkan saya melakukan cek atas kebutuhan tersebut, apakah berlebihan
tidak untuk kebutuhan di lapangan.
2. Bagaimana teknis pengadaan kamera di perusahaan Anda ?
Semua tergantung kebutuhan, apakah untuk sport, atau kebutuhan lain. Kita
fokus ke DSLR karena untuk singkronisasi antara kebutuhan cetak koran
dengan plat cetak. Kalau kamera tidak bagus maka hasil cetak pembesaran
tidak bagus.
3. Apakah anda dituntut paham mengenai kamera khususnya DSLR ini ?
Saya harus paham secara spek teknis kamera tersebut. Sekarang ada kamera
dengan fasilitas wifi dan GPS, kalau nanti mereka pakai seperti itu? Apakah itu
selaras dengan kebutuhan?
Kalau semisal mereka mengajukan sebuah spesifikasi kamera misal Canon 6D,
kita harus cek dengan manajemen nih, apakah kebutuhan tersebut sudah
mendesak atau sekedar mengikuti tren saja ?
4. Bagaimana anda mendapatkan informasi mengenai DSLR ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
150
Saya harus mengumpulkan informasi paling banyak melalui web (internet), saya
berhubungan langsung dengan pihak Canon maupun Nikon di Jakarta.
Kemudian saya juga berhubungan dengan komunitas pengguna kamera digital
untuk sharing dengan mereka. Ada komunitas di facebook di Kota Jakarta,
misalnya yang saya gunakan rujukan untuk mencari informasi.
Sub dealer penjualan seperti Kota Raya saya juga melakukan hubungan dengan
mereka. Kadang untuk jaga-jaga saja semisal ada kerusakan saya juga akan
butuh mereka. Saya akan tanya kepada mereka dimana tempat membersihkan
lensa.
Temen-temen di lapangan ga mau tau misal lensa kotor, mereka akan kembali
pada saya, setelah selesai saya berikan lagi dengan mereka.
Kalau seri terbaru saya dapatkan melalui release email dari produsen Canon
dan Nikon, saya harus memahami spek-spek tersebut, kami harus tahu
mendetail fungsinya, jangan sampai mereka mengajukan tanpa saya tahu
tentang produk tersebut.
Saya harus punya data dulu, misal mereka mau mengajukan sebuah produk
saya sudah punya dulu list mulai dari harga sampai spesifikasi sebuah produk.
Selain itu saya sering juga sharing lewat telepon dengan komunitas pengguna
fotografer tadi tentang fungsi dan kemudahan sebuah kamera.
5. Bagaimana teknis pengadaan nya ?
Kita melakukan komunikasi melalui rapat ketika ada pengajuan kamera merek
tertentu dari pihak redaksi. Saya sebagai penengah. Semua disesuaikan dengan
kebutuhan dari sisi kecepatan dan pengolahannya, kita cari kemudahan. Kita
dari perusahaan kita akan memilih apakah kita akan menonjolkan sisi
kecepatan kemudahan ataupun sisi mana saja yang ingin kita kejar.
Biasanya melalui meeting internal dulu tanpa saya, mereka akan meeting
internal dengan pihak redaksi, begitu selesai ada surat masuk ke saya dan pihak
direksi akan mengumpulkan kita untuk menyesuaikan kebutuhan tersebut
dengan kebutuhan di lapangan, apakah mendesak ataukah tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
151
6. Sering ada friksi saat rapat tersebut ?
Friksi terjadi biasanya karena debat soal harga. Kemudian soal fungsi, apakah
kalau kita beli yang canggih seperti wifi dan gps tadi akan terpakai ? apakah
soal modernisasi ataukah secara fungsi ?
Gengsi ataukah fungsi, biasanya seperti itu. Titik temu nanti biasanya akan
dikonsultasikan dengan pihak keuangan, jadi tidak semua bisa di ACC
langsung. Semua kembali kepada direksi. Kalau pihak direksi mungkin tahu tapi
tidak mendalam, jadi semua dikembalikan kepada saya. Saya harus memahami
teknologi yang diajukan.
Saya harus terbuka dengan informasi baru, semua staff saya pun harus terbuka
atas informasi yang beredar.
7. Berarti divisi anda memegang peranan penting untuk pengadaan DSLR ?
Benar divisi ini sangat vital dalam pengadaan kamera khususnya. Bukan hanya
pengadaan tapi proses after salesnya yang kita kerjakan disini.
Jadi memang setiap pengadaan tentunya harus ada usul dari redaksi dulu, SOP
perusahaan menegaskan kami tidak boleh mengadakan sesuatu tanpa ada
permintaan dari divisi manapun. Pun dengan mereka, mereka tidak bisa
membeli tanpa melalui saya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
152
C.
Nama : Tarko Sujarno
Usia : 52 tahun
Masa Kerja : 26 tahun
Instansi Kerja : Jakarta Post (Yogyakarta)
1. Bagaimana awal Anda mengenal DSLR ? Bisa diceritakan ?
Waktu itu kita belum bayangin ada digital seperti saat ini. Ya waktu itu makai
apa adanya analog aja, nyari cetak yang cepat dimana.
Saya makai pertama kali sih pocket masih 2.3 MP, pertama kali mungkin di
jogja. Beberapa kejadian besar seperti jatuhnya pesawat di Bengawan Solo itu
saya masih pakai poket. Kebakaran kilang minyak di Cepu juga. Susah karena
beberapa kejadian malam hari, saya akal-akalin saja sensornya. DSLR saya
mulai pakai tahun 2000-an awal. Dulu masih jarang yang makai DLSR, saya
pertama kayanya, dapatnya juga nitip dari temen saya yang lagi pergi ke luar
negeri saat itu.
2. Apa alasan Anda untuk memutuskan berganti ke DSLR ?
Waktu itu sih tuntutan keadaan, karena poket sudah tidak bisa menuruti
kecepatan kerja terutama deadline. Kamera DSLR memotong banyak proses
kerja dibandingkan dengan analog.
3. Saat pertama kali menggunakan DSLR, apakah Anda mengalami kesulitan ?
Kalau teknis sih hampir mirip dengan analog kok. Ga ada kesulitan. Waktu
pakai film sih kurang leluasa. Tinggal pencet kalau pakai pocket atau DSLR,
kepraktisan dan kecepatan.
Langsung jalan aja waktu itu ga pakai belajar-belajar, karena udah familiar aja
dengan analog Nikon saat itu. Hampir sama dengan kamera analog, Cuma
banyak mode yang dimainkan di kamera digital.
Begitu menerima saya langsung pakai, belajar di lapangan waktu itu langsung
saya pakai. Tidak ada kesulitan, malah langsung terbantu saat itu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
153
4. Darimana Anda mendapatkan informasi mengenai kamera DSLR ? terutama
proses penggunaanya ?
Pertama kali dapat info sih saya nyari-nyari sendiri. Dari kantor tidak
menyediakan. Kalau informasi soal dslr saya tanya temen-temen aja yang lain.
Waktu itu saya dapat informasi soal kamera D70 itu saya baca-baca dari iklan
koran aja terus titip temen yang berada di Singapore. Di Jogja (daerah) belum
ada mungkin saat itu.
5. Apakah selama ini Anda sering melakukan sharing mengenai fotografi atau
mengenai teknologi DSLR ?
Saya jarang sih mengisi forum-forum soal kamera. Kalau sharing sih iya ada,
biasanya dengan temen sendiri aja. Sharing nya biasanya macem-macem, kita
bicara soal hasil dibandingkan dengan foto lain.saya dari dulu pakai Nikon
biasanya sharing juga kalau pakai Canon itu gimana bedanya. Sering juga
kalau kita sharing soal kamera itu, teknis-teknis fotografi misalnya.
Terutama dengan anak-anak muda itu ya saya biasanya sih tanya ke mereka.
Saya justru percaya dengan temen-temen muda, mereka lebih cepet menerima
informasi, jadi saya lebih sering sharing dengan mereka, soal ini itu.
6. Apakah dalam sharing itu anda sering memberi masukan mengenai sebuah merk
DSLR ?
Kalau saya ke junior sih ga pernah kasih masukan merek-merek tertentu, karena
saya beranggapan kalau kamera itu Cuma alat saja, semua tergantung pribadi
masing-masing fotografer itu sendiri. Dan semua kamera jaman sekarang sih
sama semua teknologinya, semua tergantung kita.
Saya ga pernah mendebat soal hasil merek Canon dengan Nikon, sering
ngobrolin soal itu sih tapi semuanya mengalir saja. Saya ga fanatik merek-
merek tertentu Cuma kebiasaan aja merek Nikon sejak awal menggunakan
kamera DSLR.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
154
D.
Nama : Ali Lutfi
Usia : 38 tahun
Masa kerja : 15 tahun
Instansi Kerja : Jakarta Globe dan EPA (Wilayah Surakarta)
1. Pernah merasakan menggunakan kamera analog untuk profesi Anda ?
Saya pertama kali menggunakan analog mulai tahun 1998 untuk membantu
kerja saya saat itu. Tahun 1998 – 2000 saya pakai analog.
2. Bagaimana awal Anda mengenal DSLR ? Bisa diceritakan ?
Pertama kali memakai teknologi digital saya menggunakan kamera compact
digital Fuji saat itu, dengan kapasitas memori 8 mb saja. Dengan kualitas 2-3
MP saja saat itu.
Saya pegang DSLR tahun 2003. Saya mendapat informasi soal DLSR dari
majalah, jadi sebelum muncul di pasar saya sudah dapat informasi dari majalah
saat itu kalau sebentar lagi akan beredar kamera DSLR. Sejak tahun 1998 saya
udah dapat informasi. Belum ada internet saat seperti saat ini. Saya belajar dari
majalah soal hasil foto dari fotografer luar negeri dari majalah itu. Dari
majalah seperti foto Asia dan foto Media saya mendapatkan info dari media itu.
3. Apa alasan Anda untuk memutuskan berganti ke DSLR ?
Terutama kemudahan ya, proses analog ke hasil fisik biasanya kita
membutuhkan 1 jam. Efisiensi waktu, biaya, DSLR sangat memudahkan
pekerjaan kita.
4. Saat pertama kali menggunakan DSLR, apakah Anda mengalami kesulitan ?
Tidak ada kesulitan dalam transisi penggunaan kamera analog ke digital.
Kesulitan lebih ke post produksi nya. Masalah komputer yang lambat pada saat
itu.
5. Darimana Anda mendapatkan informasi mengenai kamera DSLR ? terutama
proses penggunaanya ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
155
Saya sudah mendapatkan informasi mengenai DSLR dari internet saat itu.
Selebihnya tidak ada kesulitan karena teknisnya hampir sama kok seperti
kamera analog.
6. Bisa diceritakan bagaimana proses pengadaan kamera di tempat Anda bekerja ?
Kantor memberikan dan memilihkan fasilitas mana yang terbaik buat
fotografernya. Karena terkait dengan budgeting karena harga DSLR yang
sangat mahal saat itu.
Kita biasanya memberikan masukan saja kita butuh alat-alat seperti ini. Dan
kantor yang memberikan fasilitas itu.
7. Apakah selama ini Anda sering melakukan sharing mengenai fotografi atau
mengenai teknologi DSLR ?
Saya sering sharing tapi bukan masalah teknologi, karena sudah sangat lama
beredar teknologi digital itu, sekarang siapa sih yang masih pakai analog ?
transfer knowledge lebih pada hasil. Kalau teknis semua hampir sama antara
analog dan digital. Basic nya hampir sama.
Kalau saya sering tatap muka untuk forum-forum, lewat mengajar, diskusi
ataupun menjadi pembicara dalam workshop.
8. Apakah dalam sharing itu anda sering memberi masukan mengenai sebuah merk
DSLR ?
Saya ga pernah kasih masukan masalah brand. Saya tidak mengharuskan
memakai brand terrtentu, tinggal bagaimana kamu menghasilkan sebuah karya
dengan teknologi apapun yang kita miliki. Percuma punya teknologi kalau tidak
bisa memanfaatkannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
156
E.
Nama : Pang Hway Seng
Usia : 63
Masa Kerja : 26 tahun
Instansi Kerja : Fotografer Profesional (Surakarta)
1. Pernah merasakan menggunakan kamera analog untuk profesi Anda ?
Saya mulai jadi fotografer periode tahun 1988-an, jadi selama itu sampai tahun
2000-an awal saya masih pakai kamera film format kecil maupun besar pernah
saya gunakan.
2. Bagaimana awal Anda mengenal DSLR ? Bisa diceritakan ?
Periode tahun 2002-2004 saya transisi sudah pakai DSLR, tapi masih ndobel
waktu itu, karena saya belum sepenuhnya percaya dan yakin dengan DSLR, jadi
setiap motret saya selalu pakai dua kamera, satu digital satu analog. Mulai
tahun 2004 saya mulai lepas sepenuhnya dari analog menggunakan digital seri
d70.
3. Apa alasan Anda untuk memutuskan berganti ke DSLR ?
Saya harus memakai DSLR, saya berfikiran kalau saya tidak memakai DSLR
saya mati, waktu itu periode 2001-an toko kamera yang menjual film sudah
bangkrut, lalu saya dapat film darimana? Dari majalah Foto Indonesia saya
biasanya dapat kabar soal perkembangan dunia kamera, misal isu pailitnya
Kodak, makanya saya jadi ngeri. Makanya saya terus terpaksa belajar DSLR itu
4. Saat pertama kali menggunakan DSLR, apakah Anda mengalami kesulitan ?
Saya ga ada kesulitan menggunakan kamera DSLR itu, kesulitannya justru pada
post produksinya, bagaimana memproses di komputer itu sendiri.
Hitungan hari saya belajar. Tidak lama saya belajar, dari sales nya saja saya
sudah bisa mengoperasikan. Lebih susahnya ya itu bagaimana back up data
nya, gimana kalo file rusak, gimana edit nya, seperti itu lah susahnya.
5. Darimana Anda mendapatkan informasi mengenai kamera DSLR ? terutama
proses penggunaanya ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
157
Saya dapat informasi mengenai DSLR itu dari toko kamera, majalah dan dari
temen-temen, banyak saat itu temen-temen yang pindah ke DSLR jadi saya
tanya-tanya mereka. Kalau yang terakhir beli kamera ini saya banyak tanya nya
ke penjual kamera nya malahan apa kelebihan dan kekurangan kamera ini.
Kalau saya jadi orang tu sering nanya ke temen seperti senior saya dari Jogja.
Dia yang sering pertama kali nyoba teknologi baru, jadi sering nanya ke dia.
6. Apakah selama ini Anda sering melakukan sharing mengenai fotografi atau
mengenai teknologi DSLR ?
Kalau saya sekarang aktifnya di forum HSB (Himpunan Solo Bengawan), tapi
jarang juga untuk sharing ke teman-teman atau junior saya. Kalau lewat forum
saya lebih sering mengajarkan kepada junior untuk belajar dari manual book
lebih dulu agar mereka mengenal kameranya masing-masing. Cara saya
memberitahu mereka adalah dengan mereka mengoperasikan kameranya
sendiri. Saya ga mau memberikan pengajaran sampai ke mendetail ke teknis
nya. Saya lebih menekankan bagaimana mengoreksi hasil.
7. Apakah dalam sharing itu anda sering memberi masukan mengenai sebuah merk
DSLR ?
Kalau dimintai pertimbangan sih sering untuk brand-brand tertentu, tapi
istilahnya saya tidak mengunggulkan spesifikasi kamera, tapi keunggulan
masing-masing merk saya bisa bandingnkan. Tapi kalau secara hasil tidak bisa
dibedakan, sudah standar semua. Keunggulan biasanya di kecepatan saja antar
satu merek dengan lainnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
158
F.
Nama : Kurniawan Arie
Usia : 28 tahun
Masa Kerja : 4 Tahun
Instansi Kerja : Joglosemar (Surakarta)
1. Pernah merasakan menggunakan kamera analog untuk profesi Anda ?
Saya mengenal fotografi dari tahun 2005. Pertama menggunakan analog Nikon
FM 10.
2. Bagaimana awal Anda mengenal DSLR ? Bisa diceritakan ?
Mulai kenal digital khususnya DSLR itu sekitar pertengahan tahun 2008. Saat
itu saya antusias menerima informasi soal DSLR di tahun 2008 itu. Karena
kesenangan saya di dunia fotografi.
3. Apa alasan Anda untuk memutuskan berganti ke DSLR ?
Saya mulai berpindah ke digital karena kebutuhan magang saya di Antara Foto,
karena kebutuhan di lapangan yang mengharuskan kita menggunakan DSLR.
4. Saat pertama kali menggunakan DSLR, apakah Anda mengalami kesulitan ?
Tidak ada kesulitan, karena pengoperasiannya kan dasarnya sama dengan
kamera analog.
5. Darimana Anda mendapatkan informasi mengenai kamera DSLR ? terutama
proses penggunaanya ?
Saya kenal DSLR dari teman-teman, nyoba-nyoba pakai. Selain itu saya sering
baca majalah Chip Foto Video saat itu saya baca-baca preview kamera lewat
media itu sekitar tahun 2006 an. Kadang saya lihat dulu hasil-hasil dari
fotografer Kompas atau Radar Jogja.
Media selain itu saya belajar lewat internet misal dari fotografer.net, klinik foto
kompas juga sering saya kunjungi. Keinginan saya menghasilkan foto yang baik
membuat saya harus mengkonsumsi informasi soal bagaimana spesifikasi
kamera dan teknis penggunaan kameranya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
159
Selain itu untuk belajar teknis saya sering belajar lewat teman-teman di klub
foto Fotkom di Jogja.
6. Apakah selama ini Anda sering melakukan sharing mengenai fotografi atau
mengenai teknologi DSLR ?
Untuk sharing saya sering lakukan dengan rekan-rekan sesama foto jurnalis,
soal teknis , komposisi, bagaimana menangkap momen. Biasanya sering sharing
nya malah dengan junior saya di lapangan. Kadang –kadang merasa pekewuh
kalau mau sharing dengan rekan senior.
Untuk teknologi biasanya kalau ada kamera baru yang akan keluar, kita bahas
bagaimana misal hasil gambar, speed kamera, pasti itu kita bahas bareng
temen-temen. Biasanya kita dapet dari internet, ataupun sosial media soal
informasi itu.
Kadang kalau senior jarang malah ga pernah ya ngomongin kamera-kamera
tertentu, mereka lebih menggunakan apa adanya. Seringnya malah sama yang
muda-muda itu. Mereka lebih update dan terbuka untuk informasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
160
G.
Nama : Agoes Rudianto
Usia : 27 tahun
Masa Kerja : 7 tahun
Instansi Kerja : Kontributor Kantor Berita Turki (Surakarta)
1. Pernah merasakan menggunakan kamera analog untuk profesi Anda ?
Tahun 2007 sekitar satu tahun memakai kamera analog.
2. Bagaimana awal Anda mengenal DSLR ? Bisa diceritakan ?
Saya beralih ke DSLR pada tahun 2008. Karena memang sudah lazim
pemakaian DSLR waktu itu, karena tuntutan tugas juga
3. Apa alasan Anda untuk memutuskan berganti ke DSLR ?
Kebutuhan akan kecepatan mengejar deadline, karena wartawan dituntut untuk
mengirim berita dengan cepat, cepat, praktis, hemat waktu dan saat gelombang
internet yang mulai berkembang.
4. Saat pertama kali menggunakan DSLR, apakah Anda mengalami kesulitan ?
Tidak mengalami kesulitan saat penggunaan. Hampir sama kok penggunaan
secara teknis dengan kamera analog. Selama 1-2 hari langsung menguasai
penggunaan DSLR karena prinsip memotret itu sama.
5. Darimana Anda mendapatkan informasi mengenai kamera DSLR ? terutama
proses penggunaanya ?
Biasanya lewat internet, majalah, sekitar seminggu dua kali mungkin. Informasi
yang saya cari lebih ke dramatisasi foto, pemilihan angle, lebih ke pemilihan
foto. Kalau saya jarang mengikuti perkembangan teknologi, kalau dituruti ga
ada habisnya, kalau memperhatikan perkembangan kamera digital sih sekali
dua kali, kalau diturutin sekarang bisa banyak sekali perkembangan nya, dan
tentunya harga semakin mahal.
6. Apakah selama ini Anda sering melakukan sharing mengenai fotografi atau
mengenai teknologi DSLR ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
161
Kalau sharing lebih sering untuk tatap muka itu pun bukan ngomongin hal yang
bersifat ke tools, tapi dari segi warna, lensa, kamera full frame, crop factor ,
tapi jarang untuk sesuatu yang bersifat teknis. Untuk saya sharing bareng-
bareng ga memandang junior ataupun senior. Kadang saya juga chatting sama
temen-temen fotografer yang ada di luar solo juga.Kalau biasanya saya lebih
enak ngobrol sama yang seumuran dibanding junior.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
162
H.
Nama : Fahmi Widayat
Usia : 30 tahun
Masa Kerja : 3 tahun
Instansi : Fotografer Profesional (Yogyakarta)
1. Pernah merasakan menggunakan kamera analog untuk profesi Anda ?
Saya sampai sekarang bisa dibilang masih menggunakan dan produksi foto
dengan kamera analog mas, tapi untuk sekedar hobi. Walaupun Pernah
sesekali diminta menggunakan analog untuk kebutuhan klien tp presentasenya
kecil bisa dibilang 1 : 10, jadi belum sepenuhnya saya meninggalkan analog.
2. Bagaimana awal Anda mengenal DSLR ? Bisa diceritakan ?
Kalau mengenal dan mulai menggunakan DSLR sendiri sekitar 5-6 tahun yang
lalu.
3. Apa alasan Anda untuk memutuskan berganti ke DSLR ?
Kalau dibilang berganti sih belum, karenaya itu tadi kalau walaupun
presentasenya kecil tapi kalau masih ada permintaan tidak menutup
kemungkinan untuk menggunakan analog lagi. Gampangnya sementara ini
analog untuk hobi dan DSLR untuk profesi saya kebanyakan. Jadi karena
tuntutan kebutuhan saya saat ini lebih banyak menggunakan DSLR. Kamera
digital lebih cepat dalam proses produksi.
4. Saat pertama kali menggunakan DSLR, apakah Anda mengalami kesulitan ?
Tidak ada kesulitan mas saat pertama kali menggunakan DSLR.
5. Darimana Anda mendapatkan informasi mengenai kamera DSLR ? terutama
proses penggunaanya ?
Maksudnya ? kalau untuk membelinya saya dulu nanya-nanya temen dulu cari
info. Tapi kalau mempelajari teknis dan spesifikasinya saya biasa nanya temen-
temen yang sudah duluan makai mas, kadang browsing di internet juga lewat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
163
media Facebook biasanya. Dulu kalau ada kesulitan saya kadang baca manual
book nya dulu.
6. Apakah selama ini Anda sering melakukan sharing mengenai fotografi atau
mengenai teknologi DSLR ?
Iya biasanya kalau ketemu teman kerja di lapangan aja mas, lumayan sering
tapi kita ngorbrolnya paling juga sebatas soal hasil sama teknis fotografi aja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
164
I.
Nama : Hasan Sakri Ghozali
Usia : 28 thn
Masa Kerja : 4 tahun
Instansi Kerja : Staff Redaksi Tribun Jogja (Fotografer) (Yogyakarta)
1. Pernah merasakan menggunakan kamera analog untuk profesi Anda ?
Tidak pernah kalau untuk kebutuhan peliputan. Karena ketika mulai aktif
bekerja sudah mengalami masa digital meskipun mengalami penggunaan
analog tapi saat belajar kamera.
2. Bagaimana awal Anda mengenal DSLR ? Bisa diceritakan ?
Ya awalnya sudah suka duluan dgn dunia fotografi sejak jaman SMA terus
waktu kuliah ikut UKM fotografi. Belajar mengenai dasar fotografi, cuci cetak
dll. Kemudian mulai rajin motret dengan kamera analog kakak tingkat dulu
waktu kuliah kurang lebih setahun.
3. Apa alasan Anda untuk memutuskan berganti ke DSLR ?
Kemudian waktu itu karena penggunaan analog cukup rumit ribet seperti cetak
indexprint dan cuci film kemudian cukup berat di di biaya produksi dan
kebutuhan perlengkapan kamera analog seperti roll film semakin susah
didapatkan ditambah lagi kamera digital mulai beredar akhirnya memutuskan
untuk membeli kamera digital saat itu. Kalau tidak salah sekitar tahun 2006.
4. Saat pertama kali menggunakan DSLR, apakah Anda mengalami kesulitan ?
Tidak terlalu susah karena kamera analog yang dulu saya gunakan juga dengan
merk yang sama dengan kamera digital saya saat itu sehingga tidak perlu
banyak penyesuaian juga. Cuma kebiasaan kamera analog kebawa ke figital
soal bagaimana menghemat film. Tapi itu enaknya DSLR kita sudah ada kerja
semu bisa membuat habit foto udah jadi di kamera. Tidak memerlukan banyak
editan.
5. Darimana Anda mendapatkan informasi mengenai kamera DSLR ? terutama
proses penggunaanya ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
165
Saya dulu dapat referensi soal DSLR itu dari teman, dan internet. kalau
penggunaan kameranya saya dapatkan dari manual book kamera. Kalau dari
teman biasanya kita ngomongin soal merk kamera tertentu, seperti kelebihan
dan kekurangannya serta memaksimalkan dana yang dimiliki untuk memiliki
teknologi terbaru.
Kalau dari internet biasanya lebih ke perbandingan harga dan detail
spesifikasinya, kalau jaman itu belum ada situs yang signifikan membahas
fotografi seperti sekarang ini. Dulu Cuma pake google untuk mencari website
toko-toko kamera untuk mengecek harga saja.
6. Apakah selama ini Anda sering melakukan sharing mengenai fotografi atau
mengenai teknologi DSLR ?
Iya. Biasanya sharing ke sesama penggemar fotografi, dan teman-teman se
profesi saya. Kadang banyak yang kita share, kadang teknis sebuah foto dibuat
hingga kamera keluaran terbaru. Saling berbagi informasi tentang penggunaan
kamera terutama jika terjadi permasalahan terhadap kamera kita.
7. Apakah dalam sharing itu anda sering memberi masukan mengenai sebuah merk
DSLR ?
Kalau untuk sekarang sudah mulai tidak memikirkannya (merk). Tapi lebih pada
penggunaan dan memaksimalkan kerja kamera. Karena kalau saat ini lebih
pada adanya alat kerja yang mendukung pekerjaan. Namun juga harus
disesuaikan dengan teknologi yang mumpuni untuk tuntutan kerja kita.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Recommended