View
15
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
Bagian Ilmu Penyakit Saraf REFFERAT
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
TUBEROUS SCLEROSIS COMPLEX (TSC)
oleh:
RAKHMADI SYA’BAN NUR
NIM. 04.45396.00186.09
Pembimbing:
dr. M. LUTHFI WIDIASTONO, Sp. S.
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Pada Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2010
LEMBAR PENGESAHAN
REFFERAT
TUBEROUS SCLEROSIS COMPLEX (TSC)
Dipresentasikan pada tanggal 30 April 2010
Disusun oleh:
RAKHMADI SYA’BAN NUR
NIM. 04.45396.00186.09
Pembimbing:
dr. M. LUTHFI WIDIASTONO, Sp. S.
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberous sclerosis complex (TSC) adalah penyakit kelainan genetic yang
memiliki manifestasi klinis bermacam-macam. Penyakit ini merupakan kelainan
genetic yang sangat kompleks, dan mengenai orang-orang dengan derajat
keparahan yang bervariasi. Beberapa orang dengan TSC dapat tidak memiliki gejala
sama sekali dan dapat menjalani kehidupan sehari-hari tanpa terdiagnosis sebagai
penderita TSC, beberapa yang lain terdiagnosa karena pada anak-anak mereka
terdiagnosis sebagai penderita TSC.
TSC sendiri disebut demikian karena munculnya suatu bentukan mirip
tubercle pada otak, yang dapat menjadi kalsifikasi seiring berjalannya usia, dan
mengeras atau sklerotik. Tuberkel ini terdeteksi dengan MRI. Tuberkel-tuberkel ini
dapat terdapat pada organ-organ lain pada tubuh, antara lain kulit, mata, jantung,
ginjal, dan paru-paru.
TSC terjadi pada kelompok ras dan etnik, serta pada semua jenis kelamin.
Prevalensi pada bayi lahir hidup diperkirakan sekitar 10-16 kasus dalam 100.000
kelahiran. Penelitian tahun 1998 memperkirakan bahwa total prevalensi pada
populasi adalah sekitar 7-12 kasus dalam 100.000 jiwa, dimana lebih dari separuh
dari kasus ini tidak terdiagnosis. Perkiraan ini signifikan lebih tinggi dari penelitian
yang lebih dulu, dimana ada anggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit yang
sangat jarang ditemukan.
Biasanya pada bayi dan anak-anak, TSC teridentifikasi sebagai penyebab
epilepsy, autisme, atau gagal jantung. Pada orang-orang dewasa atau lanjut usia
dapat manifestasi sebagai gagal ginjal atau manifestasi pada pulmoner atau pada
kulit, atau pada kondisi neurologisnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Tuberous Sclerosis Complex (TSC)
Pada awalnya TSC menjadi perhatian dikalangan medis ketika para ahli
dermatologi menemukan suatu ruam yang tidak biasa pada daerah fasial (1835 dan
1850). Kasus lengkap yang dilaporkan pertama kali oleh von Recklinghausen (1862)
yang mengidentifikasi tumor pada jantung dan otak pada neonatus yang masa
hidupnya pendek. Kemudian Bourneville (1880) ditetapkan sebagai penemu
pertama penyakit ini, karena dia yang pertama kali menjabarkan karakteristik
penyakit ini, dan memberinya nama sebagai tuberous sclerosis, sehingga penyakit
ini disebut juga Bourneville’s disease. Seorang ahli neurologi bernama Vogt (1908)
memperkenalkan triad diagnostic dari TSC, yaitu epilepsy, idiocy, dan adenoma
sebaeceum (istilah lama untuk angiofibroma pada daerah fasial)
Gejala-gejala yang didapatkan terkait
dengan penyakit ini satu per satu di tambahkan
oleh temuan para ahli. Penyakit ini berhasil
dideskripsikan secara lengkap dan diterangkan
secara gambling oleh Gomez (1979). Penemuan-
penemuan dengan CT scan, MRI, maupun USG
telah membuat para dokter dapat memeriksa
organ-organ dalam pada pasien yang bertahan
hidup dan hal ini pada akhirnya mengembangkan
kemampuan untuk mendiagnosis penderita TSC.
Dua lokus genetic yang dihubungkan dengan TSC, TSC1 dan TSC2, ditemukan
pada tahun 1992 dan 1997. Hal ini memungkinkan penggunaan test genetic sebagai
penunjang diagnostic pada TSC. Fungsi protein yang dihubungkan dengan TSC1 dan
TSC2, yaitu hamartin dan tuberin, adalah sebagai kompleks pada jalur sinyal mTOR
yang mengendalikan pertumbuhan sel dan pembelahan sel. Kepentingan klinis dari
jalur ini pada terapi kanker telah merangsang penelitian lebih lanjut pada TSC.
Pada tahun 2002, pengobatan dengan rapamycin telah ditemukan efektif
dalam mengecilkan ukuran tumor pada hewan percobaan. Hal ini membawa
rapamycin sebagai obat untuk mengobati beberapa tumor yang dihubungkan
dengan TSC.
2.2. Patofisologi
Secara klinis, TSC memiliki pola autosomal dominan, dengan tingkat mutasi
spontan yang tinggi. Dua lokus genetic yang berbeda bertanggung jawab pada TSC
telah teridentifikasi, yang pertama pada pita kromosom 9q34 (disebut juga TSC1)
dan yang kedua pada pita kromosom 16p13 (disebut juga TSC2)
Gen TSC2 ditemukan pada tahun 1993, dan produk proteinnya bernama
tuberin. Tuberin berfungsi sebagai activator dari GTP-ase dan diduga berfungsi
sebagai suppressor tumor. Kadar tertinggi tuberin pada manusia ditemukan pada
otak, jantung, dan ginjal. Tuberin juga terdapat pada arteriol ginjal, kulit, dan
jantung, juga pada neuron pyramidal dan sel Purkinje cerebellum. Fungsi yang
sebenarnya dari tuberin ini, terutama pada neurogenesis, masih belum jelas. Tuber
terbentuk diperkirakan ketika sel progenitor neural yang sudah bermutasi pada
matriks germinal di subependimal meningkatkan sel-sel anak yang akan
menghasilkan tuber. Tuber dapat mengalami degenerasi kistik atau kalsifikasi, atau
tampak sebagai bagian yang diperkaya kontras pada neuroimaging, namun hal ini
tidak secara langsung menghasilkan transformasi maligna.
Hamartin, produk dari TSC1, teridentifikasi pada tahun 1997 dan juga
memiliki fungsi sebagai suppressor tumor. Walaupun secara fungsi terpisah,
hamartin dan tuberin telah diketahui memiliki suatu daerah yang saling “bergulung-
gulung” yang berinteraksi satu sama lain. Hamartin dan tuberin membentuk suatu
kompleks yang menghambat kompleks protein mTOR (mammalian target of
rapamycin) melalui protein activator GTP-ase Rheb. mTOR dinamai demikian
karena kemampuannya untuk berikatan dengan obat immunosupresan Rapamycin
(sirolimus, Rapamune) sebelum fungsi sebenarnya
Media file 21: Mammalian target of rapamycin (mTOR) activates the protein S6 kinase, which enhances cell growth and protein synthesis. It, in turn, is regulated by multiple factors, including insulin, amino acids, the drugs rapamycin and its congeners (eg, RAD001), and the TSC gene products via the GTPase-activating protein Rheb
ditemukan. Fungsi lain dari mTOR adalah sebagai “tombol kendali utama”
anabolisme dan katabolisme sel, dan memiliki fungsi pengaturan yang penting
dalam pertumbuhan sel, volume sel, dan sintesis protein. mTOR juga diregulasi oleh
berbagai faktor lain termasuk insulin dan asam amino.
Fungsi produk gen TSC, hamartin dan tuberin, telah banyak diketahui
beberapa tahun terakhir. Bersama-sama, mereka membentuk kompleks suppressor
tumor, yang melalui fungsi aktivasi GTPase dari tuberin, menyebabkan GTPase kecil
disebut Ras homolog enhanced in the brain (Rheb) menjadi tahap inaktif terikat-
GDP. Rheb yang terikat GTP, tahap aktif, merupakan efektor positif pada mTOR.
Mutasi pada hamartin atau tuberin menyebabkan Rheb menjadi fase aktif,
yang menyebabkan signaling mTOR. mTOR menjadi mediator banyak efek pada
pertumbuhan sel melalui fosforilasi protein ribosom s6 kinase (s6Ks) dan repressor
faktor inisiasi sintesis protein eIF4E, 4EBPs. S6Ks bekerja meningkatkan
pertumbuhan sel dan sintesis protein, mengingat 4EBPs bekerja untuk menghambat
proses ini. mTOR berinteraksi dengan s6Ks dan 4EBPs melalui protein penghubung
bernama Raptor. Pada saat mTOR teraktivasi melalui mutasi pada hamartin atau
tuberin, hal ini akan menghasilkan lesi hamartomatosa pada otak, ginjal, jantung,
paru-paru, atau organ lain.
Rapamycin mampu meregresi angiomyolipoma pada ginjal pada hewan coba
TSC, dan efek ini nampaknya di dukung oleh interferon-gamma, yang reseptornya
ditingkatkan oleh overaktivitas mTOR. Jalur ini aktif berlebihan pada proses
keganasan manusia seperti halnya pada TSC. Penelitian ini meningkatkan
kemungkinan intervensi pengobatan pada TSC.
2.3. Pendekatan Klinis TSC
TSC, adalah penyakit multisystem, merupakan penyakit autosomal dominan
yang menyerang anak-anak dan dewasa, yang dihasilkan dari mutasi pada satu atau
dua gen, TSC1 (yang mengkode hamartin) atau TSC2 (yang mengkode tuberin). TSC
seringkali menyebabkan kelainan neurologis antara lain epilepsy, retardasi mental,
dan autism. Kelainan mayor lain yang bisa didapatkan pada TSC antara lain
angiofibroma fasial, angiomyolipoma pada ginjal, dan limfangiomyomatosis
pulmoner. TSC memiliki spectrum klinis yang sangat luas pada pasien, dan banyak
pasien memiliki tanda dan gejala yang minimal tanpa kecacatan neurologis.
Manifestasi klinis TSC memiliki bentuk yang bermacam-macam pada setiap
individu, bisa saja asimptomatis atau menimbulkan gejala minimal saja, yang dapat
didapatkan pada pemeriksaan fisik.
2.3.1. Lesi pada Ginjal
Angiomyolipoma ginjal, tumor jinak pada ginjal yang dibentuk oleh pembuluh-
pembuluh darah yang abnormal, sel otot polos imatur, dan sel-sel lemak, merupakan
tumor yang bilateral dan multiple pada setiap ginjal pada kebanyakan pasien TSC.
Diperkirakan insiden angiomyolipoma pada TSC sekitar 55 – 75%. Angiomyolipoma
dapat terdeteksi pada USG, CT scan, atau MRI. Karena tumor ini terdiri atas
vaskulatur abnormal dan seringkali adanya aneurisma, komplikasi berupa
perdarahan yang membahayakan juwa merupakan hal yang penting, khususnya bagi
tumor yang berukuran 3 cm atau lebih. Reseksi bedah biasanya dihindari untuk
menjaga fungsi ginjal. Angiomyolipoma yang berdiameter 3-4 cm biasanya sukses
diterapi melalui tindakan embolisasi.
Selain angiomyolipoma, lesi epithelial ginjal seperti kista epithelium, penyakit
ginjal polikistik, dan karsinoma ginjal, dapat berkembang pula pada pasien TSC.
Kista epithelial bisa asimptomatis dan lebih sering dihubungkan dengan hipertensi
dan gagal ginjal daripada angiomyolipoma. Di sisi lain, 2-3% pasien TSC memiliki
delesi pada gen TSC2 dan pada suatu gen yang bertanggung jawab terhadap
terjadinya penyakit ginjal polikistik autosomal dominan pada kromosom 16p13,
yang menghasilkan fenotip penyakit ginjal polikistik yang dapat dideteksi pada bayi
atau masa awal anak, yang dapat menjadi insufisiensi renal pada masa remaja atau
awal usia 20an.
Insiden karsinoma ginjal keseluruhan pada pasien TSC adalah sama dengan
insiden pada populasi pada umumnya, namun biasanya kanker ini terdeteksi pada
usia lebih dini pada pasien TSC. Pada suatu penelitian diketahui onset karsinoma ini
pada pasien TSC adalah pada usia 28 tahun, 25 tahun lebih muda daripada populasi
umum. Gambaran yang tidak umum pada karsinoma ginjal pada pasien TSC adalah
heterogenitas pada patologinya. Clear-cell, papillary, dan subtype chromophobe
carcinoma telah dilaporkan pada pasien dengan TSC.
2.3.2. Manifestasi Pulmoner
Limfangiomyomatosis, atau disebut juga limfangioleiomyomatosis, biasanya
menyerang wanita dan ditandai dengan proliferasi abnormal sel otot polos
pulmoner yang tersebar luas dan perubahan kistik pada parenkim paru.
Limfangiomyomatosis biasanya terdiagnosis pada usia dewasa awal dan awalnya
bermanifestasi sebagai dispneu atau pneumothoraks. Bukti radiologis menunjukkan
bawha limfangiomyomatosis terjadi pada 26-39% pasien wanita TSC, kebanyakan
dari wanita ini asimtomatis.
2.3.3. Manifestasi neurologis
Manifestasi neurologis TSC antara lain epilepsy, gangguan kognitif, dan
abnormalitas tingkah laku, seperti autisme, berkaitan secara erat dengan
terbentuknya tuber pada korteks serebri, yang terdapat pada lebih dari 80% pasien
TSC. Tuber adalah struktur abnormal pada korteks serebri yang secara histologist
ditandai dengan menghilangnya 6 lapisan pada korteks dan neuron dismorfik,
astrosit yang besar, dan jenis sel unik yang disebut sel raksasa (giant cell). Tuber
dapat ditemukan pada janin pada usai kandungan mulai dari 20 minggu. Lesi ini
menetap selama kehidupan namun tidak menjadi ganas. Tuber ini dapat mengalami
kalsifikasi atau degenerasi kistik.
Epilepsy merupakan manifestasi klinik yang paling sering ditemukan pada
TSC. Epilepsy terjadi pada lebih dari 70-80% pasien dengan TSC, dan hampir semua
tipe kejang (parsial sederhana, parsial kompleks, dan kejang umum tonik-klonik)
telah dilaporkan. Kejang biasanya refrakter terhadap pengobatan, walau dengan
politerapi obat antiepilepsi. Pasien-pasien yang sudah kejang refrakter seperti ini
membutuhkan intervensi bedah. Pada kebanyakan kasus, focus kejang pada otak
berlokasi pada tuber korteks, dan telah umum dipercayai bahwa tuber merupakan
focus epileptikus pada pasien TSC. Kejang yang tidak sembuh-sembuh biasanya
teratasi dengan reseksi tuber pada otak.
Spasme infantile, sindroma epileptikus yang sangat merusak dan sering
dihubungkan dengan retardasi mental berat dan prognosis neurologis yang buruk,
terjadi pada 20-30% bayi dengan TSC. Pengobatan dengan vigibatrin, yang berupa
inhibitor -aminobutyric acid transaminase, dapat bermanfaat pada beberapa bayi
ini. Bagaimana hubungan antara spasme infantile dengan deficit kognitif masih
belum diketahui pasti. Risiko dan derajat gangguan kecerdasan berhubungan
dengan rentang waktu antara inisiasi terapi sampai berhentinya spasme, serta
kemampuan untuk mengendalikan kejang setelah spasme infantile, yang
menunjukkan kecenderungan bahwa beratnya kejang berperan penting dalam
derajat deficit neurologis nantinya. Penelitian klinis telah menemukan bahwa
semakin banyak tuber (lebih dari tujuh) pada pasien TSC dihubungkan dengan
perkembangan spasme infantile dan epilepsy yang resisten pengobatan, di sisi lain,
jumlah tuber merupakan faktor risiko independen terhadap kecacatan kognitif.
Sekitar 10% pasien TSC, pertumbuhan tumor giant-cell pada subependim
dapat menyebabkan obstruksi aliran CSF (cerebrospinal fluid), hidrosefalus,
peningkatan tekanan intracranial, dan bahkan kematian. Lesi ini terbentuk dari
astrosit proliferative dan giant-cell, namun tidak menjadi tumor glia yang ganas.
Tumor giant-cell subependim dapat diperkirakan dengan adanya nodul
subependim, yang berupa hamartoma asimtomatis yang mengalami protrusi dari
dinding ventrikel kedua dan ketiga.
2.3.4. Lesi pada Jantung
Rhabdomyoma cardiale merupakan tumor intracavitas atau intramural yang
terdapat pada hampir 50-70% bayi dengan TSC namun menyebabkan masalah klinis
yang serius pada sebagian kecil pasien-pasien tersebut. Rhabdomyoma dapat
terdeteksi pada USG janin, dan tumor kardiak yang paling sering ditemukan in utero.
Deteksi dari rhabdomyoma dapat berguna untuk membuat diagnosis prenatal TSC.
Rhabdomyoma dihubungkan dengan gagal ginjal pada bayi, dan 47% dari pasien
rhabdomyoma juga dihubungkan dengan disritmia jantung, antara lain atrial
takikardia, ventricular takikardia, blok jantung komplit, dan sindroma Wolff-
Parkinson-White. Tidak seperti lesi lainnya pada TSC, rhabdomyoma kardiale dapat
menghilang spontan pada usia lanjut.
2.3.5. Lesi pada Kulit
Lesi kulit yang paling umum
ditemukan pada TSC adalah adenoma
sebaecum, yang seringkali muncul pada
akhir masa anak, atau awal usia remaja.
Lesi ini merupakan angiofibroma dan tidak
berhubungan dengan produksi sebum yang
berlebihan atau acne. Lesi berupa macula kemerahan dan datar tumbuh di fase awal
bisa saja disalah artikan dengan jerawat. Kemudian lesi ini menjadi eritematosa dan
bersifat papulonodular seiring dengan waktu, biasanya sangat mudah berdarah.
Angiofibroma pada wajah biasanya ditemukan pertama kali pada anak-anak dan
menunjukkan perkembangan selama masa pubertas dan remaja.
2.3.6. Lesi Okuler
Paling tidak 50% pasien memiliki abnormalitas okuler, bahkan 80% pada
beberapa penelitian. Lesi ini berupa astrositoma retinal yang cenderung mengalami
kalsifikasi sejalan dengan waktu. Lesi ini berupa lesi bulat, nodular, atau daerah
lobuler pada pemeriksaan funduskopi, dan menjadi keputihan apabila mengalami
kalsifikasi. Lesi ini cenderung asimtomatis dan tidak memerlukan tindakan.
Ketajaman penglihatan biasanya tidak terpengaruh, kecuali fovea juga telah ikut
terlibat. Daerah hipopigmentasi pada retina dan iris juga telah dilaporkan. Lesi ini
analog dengan hipomelanotik macula pada kulit.
2.3.7. Lesi pada Gigi
Cekungan pada enamel
merupakan lesi yang bisa ditemukan
pada gigi permanen pasien TSC,
biasanya dalam jumlah yang banyak
(>14). Lesi ini juga terlihat pada 30%
gigi susu pada anak-anak. Fibroma
ginggiva terjadi pada 70% orang
dewasa dengan TSC, pada 50% anak-
anak dalam peralihan gigi susu ke gigi
permanen, dan hanya 3% pada anak
yang hanya memiliki gigi susu. Hal ini
dapat menyebabkan iritasi local atau mengganggu susunan gigi geligi, dan
memerlukan reseksi bedah.
2.4.8. Lesi pada Organ Lain
a. Hamartoma dan poliposis pada gaster, intestinal, dan kolon dapat terjadi. Lesi
ini sangat jarang memberikan gejala, walaupun hamartoma pada
Media file 5: Gingival fibromas (see arrows) in a patient with tuberous sclerosis. A stain outlines dental pits and craters. Gingival hyperplasia from other causes (eg, phenytoin use) is more diffuse and usually not nodular/focal in nature.
gastrointestinal biasanya dapat terjadi perdarahan. Kehilangan darah biasanya
minimal, dan jarang menimbulkan anemia atau gejala klinis.
b. Kista pada hepar dan AMLs (hepatic, bukan renal), biasanya asimtomatis dan
tidak progressif, telah dilaporkan sebanyak 24% dari pasien dengan TSC,
khususnya dominan pada wanita (wanita : pria = 5 : 1)
c. Lesi sklerotik dan hipertrofik pada tulang dapat ditemukan secara tidak sengaja
pada gambaran radiologis atas indikasi lain. Biasanya lesi ini dapat terpalpasi,
atau dihubungkan dengan nyeri nonspesifik dan tidak jelas. Lesi osseus jarang
pula menimbulkan gejala serius dan hanya membutuhkan pengobatan
simtomatis, jika gejalanya ada. Beberapa pasien bisa mengalami skoliosis
neurogenik yang dihasilkan dari kelemahan asimetris atau aktivitas kejang yang
beruntun. Pada pasien ini membutuhkan intervensi ortopedik jika curvature
yang terbentuk berat.
d. Sejumlah kecil pasien dengan TSC dapat menderita aneurisma arterial.
Aneurisma telah dilaporkan terletak intracranial, juga pada aorta, dan arteria
axillaris.
2.4. Diagnosis
Penggalian riwayat pasien harus
berfokus pada gejala dan tanda
spesifik yang mengarahkan kepada
TSC. Gejala-gejala umum terjadi
dengan tampilan yang bermacam-
macam selama usia kehidupan, dan hal
ini menjadi kerangka dalam
penggalian riwayat pasien pada
anamnesis.
a. Pengaruh pada jantung
berpengaruh maksimal pada masa
prenatal atau masa bayi
b. Kejang, autism, dan hambatan
pertumbuhan terjadi pada masa bayi
atau anak-anak. Kejang biasanya reaktif terhadap pengobatan, dan kebanyakan
pasien dewasa biasanya tidak lagi mengalami kejang, namun biasanya
membutuhkan obat antikonvulsi. Kebanyakan dari mereka telah diberitahu
bahwa mereka memiliki kejang demam atau sindroma epilepsy terkait umur.
c. Manifestasi pada kulit seperti macula seringkali muncul dari saat lahir namun
seringkali tidak disadari. Lesi yang lebih jelas seperti angiofibroma atau bintil-
bintil shagreen biasanya muncul pada masa anak-anak sampai awal masa
remaja.
d. Lesi pada renal dapat muncul sebagai hipertensi dan gagal ginjal pada kasus
penyakit ginjal polikistik, biasanya pada bayi atau di awal masa anak. AMLs
muncul sebagai nyeri pinggang, hematuria/perdarahan retroperitoneal, atau
massa abdomen berawal di masa kanak-kanak hingga ke masa dewasa.
e. Keterlibatan system pulmoner biasanya terjadi pada decade kedua atau ketiga,
dengan sesak nafas, pneumothoraks, atau chylothorax. Penyakit ini biasanya
misdiagnosis dengan emfisema, biasanya dengan mereka yang memiliki riwayat
merokok.
Riwayat keluarga harus memusatkan pada identifikasi salah satu atau lebih
manifestasi klinis TSC, pada keluarga yang setingkat di atas nya atau dua tingkat
diatasnya.
Criteria diagnostic untuk TSC terdiri dari criteria diagnostic mayor dan minor
seperti pada table di bawah ini. Kasus yang memenuhi criteria tersebut, dan hasil
dari uji genetic molekuler pada lokus gen TSC1 dan TSC2 merupakan diagnostik
pasti dari TSC. Dikatakan kasus TSC apabila ditemukan dua criteria mayor atau satu
criteria mayor bersama dengan dua criteria minor. Dikatakan kemungkinan TSC
apabila ditemukan masing-masing satu criteria mayor dan minor. Dan dikatakan
dicurigai kasus TSC apabila ditemukan satu criteria mayor, dan atau dua atau lebih
criteria minor.
2.4.1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium biasanya dilakukan atas indikasi klinis untuk
mengidentifikasi mutasi genetic yang berhubungan dengan penyakit ini, memonitor
pengobatan antikonvulsi, identifikasi efek samping idiosinkrasi atau efek samping
karena dosis obat, serta mengidentifikasi atau memonitor penyakit renal dan
pulmoner yang menyertainya.
Media file 1: Enhancing subependymal nodules, including a probable giant cell astrocytoma in the region of the foramen of Monro. Subependymal nodules may increase in size over time from one scan to the next, and then stabilize. This lesion had not changed with serial imaging over 2 years. The patient remains asymptomatic and is monitored closely for any deterioration.
Uji genetic molekuler sekarang sudah tersedia secara komersial di AS melalui
pusat-pusat kesehatan di sana. Salah satu pusat kesehatan bernama Athena
Diagnostics telah berkembang sedemikian rupa sehingga dapat melihat delesi yang
besar dan tipe lain dari suatu mutasi genetic, yang mana dapat mengembangkan
kemampuan diagnostic mereka. Namun hasil pemeriksaan genetic yang negative
tidak berarti mengeksklusi TSC sebagai diagnosis. Diagnosis biasanya sudah dapat
ditegakkan dengan criteria diagnosis di atas. Diagnostic genetika molekuler hanya
diperlukan pada kasus yang tidak biasa dan tidak jelas, untuk diagnostic prenatal,
dan untuk uji saring anggota keluarga pasien.
2.3.2. Pemeriksaan Radiologis
Prosedur pencitraan biasanya dilakukan, misalnya CT scan dan MRI pada otak, USG
ginjal, dan ekokardiografi.
1. CT atau MRI scan otak
a. CT atau MRI scan pada otak
dilakukan untuk mengidentifikasi SEGAs
(astrositoma sel raksasa subependim)
sebelum terjadi hidrosefalus obstruktif.
Mereka juga dapat mengidentifikasi
perluasan dan jumlah dari tuber pada
korteks serebri.
b. Biasanya CT scan dapat
menggambarkan tuber kortikal yang
terkalsifikasi, dan nodul subependimal yg
terkalsifikasi, frekuensi dari kasifikasi
tersebut meningkat sesuai dengan umur
pasien. Tuber kortikal biasanya terlihat
sebagai massa hipodense di perifer, lebih
mudah teridentifikasi dengan MRI.
c. Nodul subependim ditemukan
paling banyak di sepanjang ventrikulus lateralis. Mereka dapat tampak di
dalam ventrikulus lateralis. Nodul ini dapat Nampak jelas setelah
Axial T1-weighted MRI in a 15-year-old patient with tuberous sclerosis shows tiny
a subependymal nodule in the right lateral ventricle (arrow). Another subtle nodule is present near the left foramen of Monro.
pemberian kontras intravena. Pengayaan kontras pada daerah ini tidak
menunjukkan daerah malignan
d. Pada 10-15% pasien nodul subependim tersebut dapat berubah menjadi
astrositoma sel raksasa. Tumor ini jinak dan biasanya terjadi pada atau di
dekat foramen Monroe. Lesi ini secara khas muncul inhomogen dan
biasanya diperkaya kontras pada CT scan dengan kontras. Seringkali
mengalami kalsifikasi, dan semakin membesar
seiring berjalannya waktu, dan sering pula
menyebabkan hidrosefalus obstruktif.
e. Tuber korteks yang terlihat pada CT scan
dapat tidak spesifik jika tidak mengalami
kalsifikasi. Lesi dapat saja terlihat sebagai lesi
isodens dan pada akhirnya tidak terdeteksi.
2. MRI pada otak
a. MRI adalah modalitas pemeriksaan diagnostic untuk evaluasi lesi
intracranial TSC. Tuber korteks, atau
hamartoma, merupakan karakteristik lesi
yang paling banyak ditemukan; terdeteksi
dengan MRI pada 95% pasien. Tampakan
tuber korteks pada MRI berbeda-beda sesuai
dengan umur. Pada neonatus dan anak-anak
(balita), tuber korteks dan nodul
subependim bersifat hiperintens pada T1
dan hipointens pada T2. Pada remaja dan
dewasa, tuber korteks dan lesi subependim
tersebut bisa bersifat isointens atau
hipointens pada T1. Lesi tersebut
hiperintens relative disbanding substansia
grisea, sama halnya dengan substansia alba,
sedang pada fase T2, tergantung adanya
kalsifikasi atau tidak
Media file 2: Hydrocephalus from a subependymal giant cell astrocytoma in a patient with tuberous sclerosis. The patient presented with acute blindness and ataxia.
Axial T2-weighted MRI in an infant with tuberous sclerosis shows multiple low-signal-intensity subependymal and cortical tubers.
Sagittal T1-weighted MRI in an infant
with tuberous sclerosis shows multiple
hyperintense cortical and subependymal nodules.
b. Pengayaan pada lesi subkorteks dan korteks tidak biasa ditemukan, dan
terjadi kurang dari 5% kasus. Jika ada pengayaan terhadap image, hal ini
tidak mengarahkan kita pada neoplasia. Pengayaan kontras sering terlihat
pada nodul subependim, dan keduanya lebih baik digambarkan pada MRI
daripada CT scan
c. MRI menggambarkan pola yang jelas terhadap lesi pada substansia alba,
termasuk pita-pita berbentuk lurus atau radial kurvatoris, abnormalitas
berbentuk seperti baji, lesi bergumpal yang tidak spesifik, dan pita-pita
serebri berbentuk radial. Lesi pada substansia alba pada remaja dan dewasa
biasanya isointens atau hipointens pada T1 jika dibandingkan dengan
intensitas substansia alba, dan hiperintens pada T2 dibandingkan dengan
substansia alba dan grisea. Hanya sedikit ditemukan pengayaan pada lesi
dengan pemberian kontras
d. Nodul subependim terdeteksi pada 95% pasien. Astrositoma giant cell
subependim terlihat sebagai massa yang inhomogen, dan menjadi
hiperintens setelah pemberian kontras.
3. Kedokteran nuklir
a. Penilaian dengan pencitraan nuklir terhadap pasien ini tidak memiliki
peran yang begitu penting. Pada pasien denga kejang yang intractable, focus
epileptikus dapat berasal dari satu tuber saja. Pencitraan otak dengan
SPECT (single-photon emission CT, berguna selama fase ictal kejang untuk
mendeteksi hiperperfusi pada focus kejang. Informasi ini dapat bernilai
sebagai informasi untuk ahli bedah.
b. Pencitraan dengan Positron emission tomography (PET) dapat juga
membantu pada pasien dengan kejang. Pencitraan PET dengan 18-
fluorodeoxyglucose dapat melokalisasi dimana tuber berada, yang terlihat
sebagai bagian yang hipometabolik. Studi eksperimental menggunakan C-11
alpha methyl tryptophan (AMT) juga dapat berguna, tuber tersebut
berperan sebagai focus kejang muncul sebagai daerah yang hiperintens
pada pencitraan PET dengan C-11 AMT.
4. Elektroensefalografi
a. EEG harus dilakukan pada pasien dengan TSC dimana memiliki gejala
kejang. Follow up EEG pada pasien ini dilakukan apabila ada indikasi
b. Beberapa pasien dengan TSC bisa memiliki syndrome epilepsi tertentu yang
terjadi bersamaan, antara lain Sindroma West (mis : spasme infantile), atau
Sindrome Lennox-Gastaut. Jika terjadi demikian, telemetri EEG-video dapat
membantu untuk :
i. Deteksi gambaran EEG yang sindroma spesifik
ii. Melihat gambaran dan mengklasifikasikan setiap pasien dengan tipe
kejang multiple
iii. Memberikan edukasi pada orang tua pasien, bahwa serangan pada
pasien tersebut merupakan kejang yang bukan termasuk sifat kejang
pada epilepsi (khususnya kejang absens)
2.5. Diagnosis banding
1. Kejang parsial kompleks
2. Epilepsi dengan retardasi mental
3. Glioblastoma multiforme
4. Hidrosefalus
5. West’s Syndrome
6. Lennox-Gastaut’s Syndrome
2.6. Terapi
2.6.1. Terapi Obat-obatan
1. Rapamycin
Rapamycin merupakan obat imunosupresan yang tersedia di pasaran, yang
membentukk kompleks inhibitorik dengan immunophillin FKBP12, yang
berikatan pada dan menghambat kemampuan mTOR untuk memfosforilasi
substrat-substrat di bawahnya, seperti s6Ks dan 4EBPs. Penelitian pada
binatang, telah menunjukkan kemampuan rapamycine untuk pertumbuhan TSC,
dan dapat merangsang terjadinya apoptosis in vitro pada tumor ginjal model
hewan TSC. Percobaan klinis penggunaan rapamycin pada pasien
angiomyolipoma ginjal
terkait TSC pada tahun
2008 menunjukkan bahwa
hampir 50% terjadi
penurunan volume tumor
pada akhir bulan ke 12
pemberian rapamycin. Juga
terjadi peningkatan volume
ekspirasi paksa, kapasitas
vital paksa, dan volume
residual pada pasien dengan LAM pulmoner. Walaupun beberapa dari
keuntungan ini menghilang setelah penghentian terapi rapamycin, terapi ini
telah mununjukkan bahwa taget terapi rapamycin pada TSC menjadikannya
sebagai terapi yang menjanjikan di masa depan sebagai salah satu strategi terapi
dan terapi paliatif pada pasien2 ini.
Rapamcine dapat menembus sawar darah otak, namun tidak diketahui seluas
apa. Beberapa penelitian terakhir menunjukkan adanya regresi dari astrositoma
giant cell subependim (SEGA) sehubungan dengan terapi oral rapamycin.
2. Terapi antiepilepsi
Komplikasi utama pada TSC yang membutuhkan pengobatan jangka panjang
adalah epilepsi. Pengobatan antiepilepsi merupakan terapi tetap pada pasien
dengan TSC. Sayangnya, tidak ada satupun pengobatan medic memberikan
Media file 27: Regression of a giant cell astrocytoma after approximately 15 months oral rapamycin therapy in a 4-year-old patient with tuberous sclerosis.
perbaikan yang memuaskan pada sebagian besar pasien. Kombinasi beberapa
obat biasanya dibutuhkan.
Pilihan OAE spesifik untuk mengobati kejang pada pasien dengan TSC biasanya
didasarkan pada tipe kejang, sindrom epilepsi, system organ lain yang terlibat,
usia pasien, efek samping OAE, dan sediaan yang ada di pasaran.
Vigibatrin merupakan obat lini pertama pada anak dengan TSC dan spasme
infantile. Topiramate, lamotrigine, valproate, dan adrenocorticotropic hormone
(ACTH)/ steroid juga dapat berguna.
Pemakaian jangka panjang agen-agen dengan efek sedasi dominan, seperti
benzodiazepine atau barbiturate, pada umumnya harus dihindari. Obat-obat ini
seringkali memperburuk masalah perilaku atau kognitif pasien.
Carbamazepine, oxcarbazepine, dan fenitoin dapat menyebabkan eksaserbasi
kejang, biasanya pada anak-anak dan bayi, dan beberapa peneliti percaya bahwa
OAE tersebut, dapat mempresipitasi atau bahkan memperburuk kondisi spasme
infantile. Walaupun seringkali berguna pada remaja dan dewasa, dimana
kebanyakan dari mereka menderita kejang parsial, peringatan yang ketat harus
diberikan pada pengguna bayi dan anak-anak. Mereka tidak dapat
digunakanpada anak dengan TSC yang juga mengalami spasme infantile.
3. Penanganan Bedah
Penanganan bedah untuk kejang
pada pasien dengan TSC dapat
melibatkan reseksi kortikal fokal,
corpus callosotomy, atau stimulasi
nervus vagus.
Reseksi kortikal fokal : pada
kebayakan pasien dengan TSCm
reseksi pada tuber korteks lebih
bersifat palliative daripada
kuratif. Banyak ketakutan bahwa
setelah satu focus epileptikus
telah diambil, tuber yang lain
akan mengambil alih perannya
dalam menghasilkan kejang.
Media file 26: Mean reduction in simple and complex partial seizures in patients with tuberous sclerosis complex (TSC) who were treated with vagus nerve stimulator at the author's institution at 6 and 12 months. Overall reduction in secondarily generalized seizures was 22% at 12 months (N = 17; 10 boys, 7 girls, aged 3-12 y).
Namun \pada beberapa kasus pembedahan pada pasien epilepsi dengan TSC,
pembedahan dapat sangat berguna.
Corpus callosotomy : corpus callosotomy dapat efektif dalam mereduksi kejang
atonik dan tonik (misalnya : drop attacks) namun tidak begitu membantu dalam
tipe kejang yang lain dan disadari sebagai terapi palliative daripada kuratif.
Bebas kejang dapat terjadi setelah tindakan ini, namun cukup jarang.
Stimulasi n. vagus : pada salah satu laporan, 9 dari 10 pasien dengan TSC dan
epilepsi yang resisten pengobatan (tanpa efek samping), paling tidak mengalami
penurunan frekuensi kejang sebanyak 50% dari sebelumnya, separuhnya
bahkan berkurang sebanyak 90% atau lebih setelah diterapi dengan stimulasi
nervus vagus. Penelitian terbaru menunjukan peranan stimulasi ini pada orang
dengan TSC. Kejang parsial sederhana dan kompleks berespon lebih baik
daripada kejang parsial yang menjadi kejang umum.
SEGA membutuhkan reseksi apabila menimbulkan hidrosefalus obstruktif atau
efek massa yang signifikan. Bila reseksi gross total dapat dicapai, tingkat
rekurensi rendah. Pembedahan ini diawali dengan penempatan suatu balon
kateter angioplasty melalui lubang-lubang kecil di proksimal lesi. Balon tersebut
kemudian secara perlahan dikembangkan dalam beberapa hari untuk membuat
suatu jalur untuk pengambilan SEGA. Pada operasi tahap akhir, balon
dikempiskan kembali, kateter dikeluarkan, dan tumor direseksi.
Media file 23: Modified angioplasty catheter used in creation of surgical tract for astrocytoma resection. Media file 24: Catheter placed in proximity to lesion, balloon inflated Media file 25: Postoperative T2-weighted MRI in the same patient as in Image 22 showing gross total resection of giant cell astrocytoma with minimal disruption of overlying cortex
2.7. Follow Up
Pasien dengan TSC dapat mengalami kekambuhan kejang berulang dan
membutuhkan perawatan di rumah sakit.
Pasien dengan TSC dapat mengalami perdarahan dan/atau hematuria dari AML
yang besar (>4-6 cm). Hal ini terkadang sangat berbahaya dan membutuhkan
perawatan gawat darurat segera. Setelah kondisi pasien stabil, embolisasi lebih
baik dilakukan daripada reseksi pada AMLs yang sudah menyebabkan
perdarahan. Pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir membutuhkan
perawatan rumah sakit untuk hemodialisis atau manajemen hipertensi atau
gangguan elektrolit.
Pasien dengan LAM dapat membutuhkan perawatan rumah sakit karena
pneumothorax, chylothorax, atau sesak nafas. Transplantasi paru dapat
dilakukan pada penyakit paru tahap akhir.
2.8. Komplikasi
Kematian biasanya mendadak dan tidak dapat dijelaskan pada epilepsi atau
berkaitan dengan kecelakaan yang melibatkan kejang. Hidrosefalus kritis pada
pasien dengan astrositoma giant cell yang tidak terdiagnosis, aritmia jantung,
komplkasi perdarahan dari AMLs ginjal, dan rupture aneurisma arteri, juga
berperan dalam tingkat mortalitas pasien.
Trauma (khususnya pada wajah) dari kejang yang menyebabkan pasien terjatuh.
Efek samping pengobatan jangka panjang, terkait dosis, dan idiosinkratik.
2.9. Prognosis
Prognosis pasien dengan TSC tidak seburuk yang dipikirkan pada awalnya.
Jumlah tuber yang banyak, onset awal, dan kejang yang intractable, dan spasme
infantile dihubungkan (namun tidak selalu menjamin) dengan terjadinya outcome
kognitif dan tingkah laku yang buruk. Lesi jantung juga hampir selalu mengalami
regresi spontan, walaupun perlu diberikan perhatian khusus untuk beberapa waktu.
Lesi pulmoner dan renal mempengaruhi prognosis berdasarkan luas lesinya dan
derajat keparahannya.
BAB II
PENUTUP
Tuberous sclerosis atau tuberous sclerosis complex (TSC) adalah penyakit
genetk yang jarang dan multisistemik yang menyebabkan tumor jinak pada otak dan
organ vital lainnya, misalnya ginjal, jantung, mata, paru-paru, dan kulit. Kombinasi
gejala antara lain kejang, pertumbuhan terhambat, masalah tingkah laku,
abnormalitas kulit, penyakit paru dan ginjal. TSC disebabkan oleh mutasi pada salah
satu atau kedua gen, TSC1 dan TSC2, yang bertanggung jawab mengkode protein
hamartin dan tuberin. Protein ini bekerja sebagai supresor pertumbuhan tumor,
agen yang mengatur proliferasi sel dan diferensiasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Roach ES, Gomez MR, Northrup H. Tuberous sclerosis complex consensus conference: revised clinical diagnostic criteria. J Child Neurol 1998;13:624-8.
O'Callaghan FJK, Shiell AW, Osborne JP, Martyn CN (1998). Prevalence of tuberous
sclerosis estimated by capture-recapture analysis. Lancet 351 (9114): 1490 Crino P, Nathanson K, Henske E (2006). The Tuberous Sclerosis Complex. New
England Journal of Medicine 355 (13): 1345–56. doi:10.1056/NEJMra055323. PMID 17005952
Dabora SL, et al. (2001). Mutational analysis in a cohort of 224 tuberous sclerosis
patients indicates increased severity of TSC2, compared with TSC1, disease in multiple organs. American Journal of Human Genetics 68 (1): 64–80
Henske EP. (2003). Metastasis of benign tumor cells in tuberous sclerosis complex.
Genes, Chromosomes & Cancer Ridler K, et al. (2006). Neuroanatomical Correlates of Memory Deficits in Tuberous
Sclerosis Complex. Cerebral Cortex 17 (2): 261 Thiele EA. Managing epilepsy in tuberous sclerosis complex. J Child Neurol 2004;
19:6806. Mizuguchi M, Takashima S. Neuropathology of tuberous sclerosis. Brain Dev
2001;23:508-15 Paolo Curatolo (Editor) (2003). Tuberous Sclerosis Complex : From Basic Science to
Clinical Phenotypes. MacKeith Press. ISBN 1-898683-39-5. Alvarez, n. (2008, June 19). Epilepsy in Adult with Mental Retardation. Retrieved
April 10, 2010, from eMedicine - Medscape's Continuallu Updated Clinical Refference: http://emedicine.medscape.com/article/1186011-overview
Franz, D., & Thomas, C. W. (2010, April 8). Tuberous Sclerosis. Retrieved April 10,
2010, from eMedicine - Medscape's Continually Updated Clinical Refference: http://emedicine.medscape.com/article/1177711-overview
Greenspan, B., & Jordan, L. K. (2009, May 8). Tuberous Sclerosis - Radiology.
Retrieved April 10, 2010, from eMedicine - Medscape's Continually Updated Clinical Reference: http://emedicine.medscape.com/article/385549-overview
Nambi, R. (2010, January 11). Tuberous Sclerosis. Retrieved April 10, 2010, from
eMedicine - Medscape's Continually Updated Clinical Refference: http://emedicine.medscape.com/article/1112322-overview
Recommended