View
273
Download
4
Category
Preview:
Citation preview
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Teri Nasi (Stolephorus sp.)
2.1.1 Deskripsi dan Klasifikasi
Ikan teri terutama berukuran kecil dengan panjang sekitar 6-9 cm, namun
ada pula yang mempunyai ukuran relatif panjang hingga mencapai 17,5 cm. Ikan
teri mempunyai ciri ciri antara lain bentuk tubuhnya panjang (fusiform) atau
termampat samping (compressed), disamping tubuhnya terdapat selempeng putih
keperakan memanjang dari kepala sampai ekor. Gigi giginya terdapat pada
rahang, langit langit dari pelatin dan mempunyai lidah (Hoetomo et al. 1987
dalam Wahyuni 1999)
Penyebaran ikan pelagis di Indonesia merata seluruh perairan, namun ada
beberapa yang dijadikan sentra daerah penyebaran seperti ikan teri di Samudera
Hindia. Ikan teri juga ditemukan di beberapa wilayah perairan seperti di Sulawesi
Tenggara, Sumatra Barat, Selat Madura dan Perairan Lainnya. Teri nasi
merupakan jenis ikan yang hidup bergerombol hingga mencapai ribuan ekor. Ciri
morfologisnya adalah sebagai berikut: umumnya tidak berwarna atau agak
kemerahan, bentuk tubuh bulat menanjang, sepanjang tubuhnya terdapat garis
putih keperakan, memanjang dari kepala hingga ekor, sisik kecil dan tipis serta
mudah lepas, mulut agak tersayat kedalam, mencapai higga belakang mata,
rahang bawah lebih pendek dari rahang atas. Adapun sistematika dan klasifikasi
ikan teri nasi menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Malacopterygii
Famili : Clupeidae
Genus : Stolephorus
Spesies : Stolephorus sp.
5
Sebagaimana ikan teri, ikan teri nasi pun termasuk jenis ikan musiman.
Musim tangkapnya antara bulan Februari sampai Agustus. Jumlah tangkapan
tertinggi biasanya terjadi pada bulan Juli dan Agustus. Berikut ini adalah gambar
ikan teri nasi segar.
Gambar 1 Ikan teri nasi segar
2.1.2 Komposisi Kimia dan Kandungan Gizi Ikan Teri Nasi
Ikan teri nasi mengandung protein, mineral, vitamin, dan zat gizi lainnya
yang sangat bermanfaat untuk kesehatan dan kecerdasan. Protein teri nasi
mengandung beberapa macam asam amino esensial. Adanya variasi dalam
komposisi kimia maupun komposisi penyusunnya disebabkan karena faktor
biologis dan alami. Faktor biologis antara lain jenis ikan, umur dan jenis kelamin.
Faktor alami yaitu faktor luar yang tidak berasal dari ikan, yang dapat
mempengaruhi komposisi daging ikan. Golongan faktor ini terdiri atas daerah
kehidupannya, musim dan jenis makanan yang tersedia (Muchtadi dan
Sugiyono, 1989).
Komposisi kimia dari ikan teri nasi secara lengkap disajikan pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1 Komposisi kimia ikan teri nasi
Komposisi Satuan Nilai
Protein % 16,00
Lemak % 1,00
Abu % 1
Air % 30-60
Sumber: BSN (1994)
6
Bahan baku ikan teri harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan
pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat sifat
alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan.
ikan teri yang akan diolah harus dari mutu yang baik dan cocok bagi konsumen,
sekurang kurangnya sebagai berikut (SNI 01-3466-1994)
Rupa dan warna : Utuh putih, kebiruan dan cemerlang
Bau : Segar dan agak harum
Daging : Kenyal, berserat halus
Rasa : Netral agak manis
untuk mempertahankan mutu ikan teri nasi, bahan baku harus cepat diolah.
Apabila terpaksa menunggu maka ikan teri nasi harus disimpan dengan es atau air
dingin (0-5 oC), saniter dan higienis. Syarat mutu yang harus dipenuhi dapat
dilihat pada Tabel 2 (SNI 01-3461-1994).
Tabel 2 Syarat mutu ikan teri nasi (Stolephorus sp.) setengah kering
Jenis Uji Satuan Persyaratan
Mutu
a. Organoleptik
-Organoleptik, Min
-Kapang
7
Tidak Nampak
b. Mikrobiologi
-ALT, maks
-Escherichia coli
-Salmonella*
-Staphylococcus aureus
koagulasi positif, maks
-Vibrio cholerae*
Koloni/gram
APM/gram
per 25 gram
Koloni/gram
per 25 gram
2 x 105
<3
Negatif
100
Negatif
c. Kimia
-Air
-Abu tak larut dalam
asam, maks
-Garam, maks
-Timah, maks
-Timbal, maks
-Arsen, maks
-Raksa, maks
-Seng, maks
-Tembaga, maks
% bobot/bobot
% bobot/bobot
% bobot/bobot
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
30-60
1
15
40
0,5
1,0
0,5
100,0
20,0
d. Fisika
Bobot bersih
Sesuai label
*) Bila diperlukan
7
2.1.3 Proses Penangan dan Pengolahan Ikan Teri Nasi (Stolephorus sp.)
Setengah Kering (SNI 01-3471-1994)
Penanganan dan pengolahan ikan teri nasi setengah kering adalah semua
kegiatan yang menghasilkan produk akhir yang berupa ikan teri nasi setengah
kering. Tahap produksi ini meliputi proses sortasi awal, pencucian, perendaman,
perebusan, pengeringan, sortasi akhir, pengemasan dan pelabelan.
a. Sortasi awal
Ikan teri nasi dari nelayan dimasukkan kedalam wadah berinsulasi atau
tong plastik, secepat mungkin dilakukan sortasi jenis dan mutunya.
Kemudian ditimbang dan dicuci dengan air dingin atau air laut untuk
mengilangkan kotoran.
b. Pencucian
Pencucian ulang atau pembilasan dilakukan dengan menggunakan air
dingin dan bersih untuk menghilangkan air laut atau menurunkan kadar
garam.
c. Perendaman
Sebelum dilakukan perebusan ikan teri nasi setengah kering direndam
dalam air es selama kurang lebih 10 menit.
d. Perebusan
Tahapan selanjutnya adalah tahap perebusan. Dalam proses perebusan air
yang digunakan untuk perebusan ditambah garam sebanyak 3-4% dari
volume air yang direbus. Setelah air perebusan mendidih, dimasukkan ikan
teri ke dalam perebusan selama 3-5 menit sambil dilakukan pengadukan
untuk meratakan panas dan menghilangkan busa pada keranjang perebusan.
Setelah diangkat, ikan teri nasi ditiriskan (diangin-anginkan ) sampai tiris.
e. Pengeringan
Pengeringan dapat dilakukan dengan cara penjemuran diatas para para,
sejenis alat yang terbuat dari bambu atau dengan cara lain yang sesuai
sampai setengah kering dan dilanjutkan dengan pengangin-anginan.
8
f. Sortasi akhir
Tahap sortasi ini dilakukan dengan tujuan menghilangan kotoran yang
masih menempel, kemudian sortasi jenis mutu dan ukuran teri yang
diinginkan.
g. Pengemasan
Bahan pengemas untuk ikan teri nasi setengah kering harus cukup kuat,
tahan perlakuan fisik, mempunyai permeabilitas yang rendah terhadap air
uap air, gas bau, tidak mudah ditembus minyak dan lemak, tidak boleh
melekat pada produk dan tidak boleh menulari produk. Pembungkus harus
terbuat dari bahan yang baik dan memenuhi persyaratan bagi produk,
metode pengolahan dan pemasarannya. Teknis pengemasan produk harus
dikemas dengan cepat, cermat, secara saniter dan higienis. Pengemasan
harus dilakukan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya penularan
dan kontaminasi dari luar terhadap produk akhir.
h. Pelabelan
Setiap produk perikanan yang diolah untuk diperdagangkan harus diberi
label dengan benar dan mudah dibaca, yang memberi keterangan untuk:
Jenis produk olahan
Berat bersih produk
Bila ada beberapa bahan tambahan lain harus diberi keterangan bahan
tersebut
Nama dan alamat unit pengolahan, serta negara dimana produk
tersebut dibuat
Tanggal, bulan, tahun saat produk tersebut dihasilkan (kode produksi)
Khusus untuk produk yang dikonsumsi didalam negeri harus
mencantumkan nomor pendaftaran pada Departemen Kesehatan RI.
2.1.4 Bahan Tambahan Makanan dan Peralatan (SNI 01-3471-1994)
Bahan tambahan makanan yang digunakan adalah garam. Garam
yang digunakan harus garam yang bermutu baik yang ditandai dengan
warna garam putih dan bersih (tidak tercampur dengan kotoran-
kotoran/benda asing). Peralatan yang digunakan dalam pengolahan ikan
teri nasi setengah kering secara umum terdiri atas peralatan perebusan dan
9
pengeringan. Semua peralatan dan perlengkapan yang digunakan harus
dibuat sedemikian rupa sehingga permukaannya halus dan rata, tidak
mengelupas, tidak berkarat, tidak merupakan sumber jasad renik, bebas
dari retak-retak dan mudah dibersihkan.
Proses pengolahan ikan teri nasi setengah kering dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2 Diagram alir proses pembuatan ikan teri nasi (Stolephorus sp.) setengah
kering (SNI 01-3471-1994)
Sortasi awal
Pencucian
Perendaman dalam air es (10 menit)
Perebusan (penambahan 3-4% garam)
Penirisan
Sortasi akhir
Pengemasan
Penyimpanan
Ikan Teri Nasi
Ikan Teri Nasi
Setengah Kering
10
2.2 Pengeringan
Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau
menghilangkan sebagian air dari suatu bahan padat dengan cara menguapkan
sebagian besar air dengan menggunakan energi panas, sehingga tingkat kadar air
setimbang dengan kondisi udara (atmosfer) normal atau tingkat kadar air yang
setara dengan nilai aktivitas air yang aman dari kerusakan mikrobiologis
enzimatis atau kimiawi (Muchtadi 2008). Aktivitas air adalah jumlah air bahan
yang dapat dipergunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya.
Pengeringan bertujuan untuk mempertahankan daya awet dengan cara
mengurangi aktivitas air, mengurangi berat dan volume sehingga menghemat
ruang pengangkutan, pengepakan, serta mempermudah transportasi. Pengeringan
bertujuan untuk meningkatkan nilai sensori pada suatu produk pangan, seperti
aroma yang berbeda, kerenyahan, kekenyalan, dan parameter sensori lainnya
(Berk 2009).
Menurut Toledo (1980), proses pengeringan terbagi menjadi 3 tahap. Pada
tahap awal terjadi kenaikan laju pengeringan, karena tekanan uap air di atas
permukaan bahan semakin meningkat sejalan dengan kenaikan suhu permukaan.
Proses pengeringan pada tahap ini hanya terjadi di sekitar permukaan bahan. Pada
tahap kedua laju pengeringan akan konstan karena terjadi kenaikan suhu pada
seluruh bagian bahan yang menyebabkan terjadinya pergerakan air secara difusi
dari bagian dalam bahan ke permukaan bahan dan seterusnya diuapkan. Pada
tahap ketiga, pengeringan (penguapan air) tidak hanya berlangsung melalui
permukaan bahan, tetapi mulai terjadi ke dalam bahan sampai mencapai kadar air
kesetimbangan
2.3 Pendugaan Umur Simpan dengan Metode Akselerasi
Peraturan mengenai penentuan umur simpan bahan pangan telah
dikeluarkan oleh Codex Allimentarius Commission (CAC) pada tahun 1985
tentang Food Labelling Regulation. Di Indonesia, peraturan mengenai penentuan
umur simpan bahan pangan terdapat dalam UU Pangan No. 7 tahun 1996 dan PP
No.69 tahun 1999.
11
Menurut Rahayu et al. (2003), terdapat tujuh jenis produk pangan yang
tidak wajib mencantumkan tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa, yaitu:
a. Buah dan sayuran segar termasuk kentang yang belum dikupas
b. Minuman yang mengandung alkohol lebih besar atau sama dengan 10%
(volume/volume)
c. Makanan yang diproduksi untuk dikonsumsi saat itu juga atau tidak lebih
dari 24 jam setelah diproduksi
d. Cuka
e. Garam meja
f. Gula pasir
g. Permen dan sejenisnya yang bahan bakunya hanya berupa gula ditambah
flavor atau gula yang diberi pewarna.
Berdasarkan peraturan, semua produk pangan wajib mencantumkan
tanggal kadaluarsa, kecuali tujuh jenis produk pangan tersebut. Penetapan umur
simpan dan parameter sensori sangat penting pada tahap penelitian dan
pengembangan produk pangan baru. Pada skala industri besar atau komersial,
umur simpan ditentukan berdasarkan hasil analisis di laboratorium yang
didukung hasil evaluasi distribusi di lapangan. Berkaitan dengan berkembangnya
industri pangan skala usaha kecil-menengah, dipandang perlu untuk
mengembangkan penentuan umur simpan produk sebagai bentuk jaminan
keamanan pangan. Penentuan umur simpan di tingkat industri pangan skala usaha
kecil menengah sering kali terkendala oleh faktor biaya, waktu, proses, fasilitas,
dan kurangnya pengetahuan produsen pangan (Rahayu et al. 2003)
2.4 Penurunan Mutu
Kerusakan produk pangan dapat disebabkan karena adanya serangan
mikroorganisme. Mikroorganisme penyebab kerusakan ini sangat dipengaruhi
oleh kandungan aktivitas air (aw) dalam produk tersebut. Kerusakan lain yang
dapat terjadi pada produk pangan adalah reaksi oksidasi. Laju reaksi oksidasi
sangat dipengaruhi oleh aktivitas air (aw). Enzim lipoksidase mulai mengkatalis
reaksi oksidasi pada lemak tak jenuh saat nilai aw bahan pangan sebesar 0,3, dan
laju reaksi oksidasi meningkat secara cepat seiring dengan peningkatan nilai aw
pada bahan pangan (Steel 2004). Pada produk pangan kering dengan nilai aw
12
kurang dari 0,1 oksidasi dapat terjadi dengan cepat, saat nilai aw meningkat sekitar
0,3 dapat memperlambat laju reaksi oksidasi. Saat nilai aw mengalami kenaikan
menjadi 0,55-0,85 reaksi oksidasi mengalami peningkatan kembali (Nawar 1977).
Proses oksidasi terjadi karena kontak antara oksigen dengan lemak yang
menghasilkan asam lemak, kemudian peroksida dioksidasi membentuk aldehid
dalam bentuk malonaldehid (Nawar 1977). Reaksi oksidasi akan meningkat secara
langsung jika daerah permukaan bahan pangan yang mengandung lemak terpapar
oleh udara. Pada umumnya, laju reaksi oksidasi meningkat saat suhu mengalami
peningkatan. Suhu juga mempengaruhi tingkat dan tekanan oksigen parsial. Saat
suhu meningkat, perubahan tekanan oksigen parsial memiliki pengaruh yang lebih
kecil terhadap laju reaksi karena oksigen menjadi berkurang kelarutannya dalam
lemak dan air. Jumlah, posisi, dan geometri ikatan rangkap pada asam lemak
dapat mempengaruhi laju oksidasi. Asam cis lebih mudah teroksidasi daripada
isomer trans, dan ikatan rangkap konjugasi lebih reaktif daripada ikatan rangkap
non-konjugasi. Asam lemak jenuh mengalami tingkat autooksidasi sangat rendah
pada suhu ruang, namun pada suhu yang tinggi asam lemak tersebut dapat
mengalami tingkat autooksidasi yang cukup signifikan (Nawar 1977).
2.5 Kriteria Kadaluarsa
Menurut Institute of Food Science and Technology (1974), umur simpan
produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga konsumsi
dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan berdasarkan karakteristik
penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Sementara itu, Floros dan
Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa umur simpan adalah waktu yang
diperlukan oleh produk pangan dalam kondisi penyimpanan tertentu untuk dapat
mencapai tingkatan degradasi mutu tertentu. Pada saat baru diproduksi, mutu
produk dianggap dalam keadaan 100%, dan akan menurun sejalan dengan
lamanya penyimpanan atau distribusi. Selama penyimpanan dan distribusi, produk
pangan akan mengalami kehilangan bobot, nilai pangan, mutu, nilai uang, daya
tumbuh, dan kepercayaan (Rahayu et al. 2003). Penggunaan indikator mutu dalam
menentukan umur simpan produk siap masak atau siap saji bergantung pada
kondisi saat percobaan penentuan umur simpan tersebut dilakukan (Kusnandar
2004). Hasil percobaan penentuan umur simpan hendaknya dapat memberikan
13
informasi tentang umur simpan pada kondisi ideal, umur simpan pada kondisi
tidak ideal, dan umur simpan pada kondisi distribusi dan penyimpanan normal dan
penggunaan oleh konsumen. Suhu normal untuk penyimpanan yaitu suhu yang
tidak menyebabkan kerusakan atau penurunan mutu produk. Suhu ekstrim atau
tidak normal akan mempercepat terjadinya penurunan mutu produk dan sering
diidentifikasi sebagai suhu pengujian umur simpan produk (Hariyadi 2004).
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan pada produk
pangan menjadi dasar dalam menentukan titik kritis umur simpan. Titik kritis
ditentukan berdasarkan faktor utama yang sangat sensitif serta dapat
menimbulkan terjadinya perubahan mutu produk selama distribusi, penyimpanan
hingga siap dikonsumsi. Faktor yang sangat berpengaruh terhadap penurunan
mutu produk pangan adalah perubahan kadar air dalam produk. Aktivitas air (aw)
berkaitan erat dengan kadar air, yang umumnya digambarkan sebagai kurva
isotermis, serta pertumbuhan bakteri, jamur dan mikroba lainnya. Makin tinggi aw
pada umumnya makin banyak bakteri yang dapat tumbuh, sementara jamur tidak
menyukai aw yang tinggi (Christian 1980). Mikroorganisme menghendaki aw
minimum agar dapat tumbuh dengan baik, yaitu untuk bakteri 0,90, kamir
0,80−0,90, dan kapang 0,60−0,70 (Winarno 1992). Prabhakar dan Amia (1978)
menyatakan pada aw yang tinggi, oksidasi lemak berlangsung lebih cepat
dibanding pada aw rendah. Kandungan air dalam bahan pangan, selain
mempengaruhi terjadinya perubahan kimia juga ikut menentukan kandungan
mikroba pada pangan. Selain kadar air, kerusakan produk pangan juga disebabkan
oleh ketengikan akibat terjadinya oksidasi atau hidrolisis komponen bahan
pangan. Tingkat kerusakan tersebut dapat diketahui melalui analisis free fatty acid
(FFA) dan tio barbituric acid (TBA). Kerusakan lemak selain menaikkan nilai
peroksida juga meningkatkan kandungan malonaldehida, suatu bentuk aldehida
yang berasal dari degradasi lemak (Deng 1978). Malonaldehida yang terkandung
pada suatu bahan pangan diukur sebagai angka TBA. Kandungan mikroba, selain
mempengaruhi mutu produk pangan juga menentukan keamanan produk tersebut
dikonsumsi. Pertumbuhan mikroba pada produk pangan dipengaruhi oleh faktor
intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik mencakup keasaman (pH), aktivitas air
(aw), equilibrium humidity (Eh), kandungan nutrisi, struktur biologis, dan
14
kandungan antimikroba. Faktor ekstrinsik meliputi suhu penyimpanan,
kelembapan relatif, serta jenis dan jumlah gas pada lingkungan (Arpah 2001).
2.6 Prinsip Pendugaan Umur Simpan
Salah satu kendala yang sering dihadapi industri pangan dalam penentuan
masa kadaluarsa produk adalah waktu. Pada prakteknya, ada lima pendekatan
yang dapat digunakan untuk menduga masa kadaluarsa, yaitu: 1) nilai pustaka
(literature value), 2) distribution turn over, 3) distribution abuse test, 4) consumer
complaints, dan 5) accelerated shelf-life testing (ASLT) (Hariyadi 2004). Nilai
pustaka sering digunakan dalam penentuan awal atau sebagai pembanding dalam
penentuan produk pangan karena keterbatasan fasilitas yang dimiliki produsen
pangan. Distribution turn over merupakan cara menentukan umur simpan produk
pangan berdasarkan informasi produk sejenis yang terdapat di pasaran.
Pendekatan ini dapat digunakan pada produk pangan yang proses pengolahannya,
komposisi bahan yang digunakan, dan aspek lain sama dengan produk sejenis di
pasaran dan telah ditentukan umur simpannya. Distribution abuse test merupakan
cara penentuan umur simpan produk berdasarkan hasil analisis produk selama
penyimpanan dan distribusi di lapangan, atau mempercepat proses penurunan
mutu dengan penyimpanan pada kondisi ekstrim (abuse test). Untuk
mempersingkat waktu, penentuan umur simpan dapat dilakukan dengan ASLT di
laboratorium. Penentuan umur simpan produk pangan berhubungan erat dengan
tahapan proses produksi seperti disajikan pada Gambar 3.
15
Gambar 3 Hubungan antara penentuan umur simpan dengan tahapan
produksi (Hariyadi 2004)
Penentuan suhu pengujian umur simpan produk berbeda-beda tergantung
jenis produksinya. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Penentuan suhu pengujian umur simpan produk
Jenis Produk Suhu Pengujian (oC) Suhu Kontrol (
oC)
Makanan dalam kaleng 25, 30, 35, 40 4
Pangan Kering 25, 30, 35, 40, 45 -18
Pangan Dingin 5, 10. 15, 20 0
Pangan Beku -5, -10, -15 <-40
Sumber: Labuza dan Schmidl (1985)
Menurut Arpah (2001) model Arrhenius dapat dilihat pada rumus berikut:
k = k0 e-Ea/RT
...................................................................................(1)
Ln k = ln k0-(Ea/RT)...........................................................................(2)
Ln k = ln k0-{(Ea/R).(1/T)}.................................................................(3)
Produk
Degradasi Jenis Pengolahan
Pengaruh struktur Perhitungan awal
Umur simpan
yang diinginkan
Bahan
Protitipe
Uji ASS Uji distribusi
Optimum
Biaya
Pasar
Kesesuaian
16
Keterangan:
k : Konstanta (laju Reaksi)
Ea : Energi aktivasi
T : Suhu mutlak (K)
R : Konstanta gas (1,986 kal/mol K)
1) Reaksi Ordo Nol
Tipe Kerusakan yang mengikuti kinetika reaksi ordo nol meliputi
perubahan kadar air, reaksi kerusakan enzimatis, oksidasi lemak, pencoklatan
enzimatis, dan non-enzimatis (Labuza 1982)
Persamaan ordo nol yaitu (Arpah 2001)
..................................................(4)
Keterangan:
dA : Perubahan parameter mutu
dt : Waktu penyimpanan
k : Konstanta (Laju Reaksi)
Jika persamaan di atas diintegrasikan, maka:
At = A0-kt.......................................................(5)
Sehingga waktu kadaluarsa akan sama dengan:
....................................................(6)
2) Reaksi Ordo Satu
Penurunan mutu yang mengikuti reaksi ordo satu antara lain ketengikan
pada minyak sayur, pertumbuhan mikroba, off flavor oleh mikroba pada daging
17
dan ikan, kerusakan vitamin, dan penurunan mutu protein (Labuza 1982).
Persamaan ordo satu yaitu (Arpah 2001):
.........................................................(7)
Keterangan
[A] : Kosentrasi A
Jika persamaan diatas di integrasikan maka:
At = A0e-kt............................................................(8)
Atau
Ln (At) = Ln (Ao)-k.t............................................(9)
Sehingga waktu kadaluarsa akan sama dengan
...............................................(10)
3) Reaksi Ordo lain
Hanya sedikit penurunan mutu makanan yang mengikuti ordo ini,
misalnya degradasi vitamin C yang mengikuti reaksi ordo dua (Haryadi et al.
2004). Contoh persamaan ordo lain yaitu (Arpah 2001):
.....................................................(11)
Jika persamaan di atas diintegrasikan maka:
....................................................(12)
Sehingga waktu kadaluwarsa akan sama dengan :
...............................................(13)
Keterangan:
t : Umur simpan
Ao : Nilai mutu awal/kosentrasi mula-mula
At : Nilai mutu awal/kosentrasi mula-mula
k : Konstanta (laju reaksi)
Recommended