View
2
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Seminar Nasional
Biodiversitas
Abs Masy Biodiv Indon vol. 6 | no. 1 |pp. 1-22 | Agustus 2019
ISSN: 2407-8069
Pu
nth
uk
Setu
mb
u, M
ag
ela
ng
, Ja
wa
Ten
ga
h;
foto
ole
h L
ina
Pra
mu
dit
a
Penyelenggara & Pendukung
Manuskrip terseleksi dipublikasikan pada:
diterbitkan pada
ALAMAT SEKRETARIAT
Sekretariat Masyarakat Biodiversitas Indonesia, Kantor Jurnal Biodiversitas, Jurusan Biologi, FMIPA UNS, Jl. Ir. Sutami 36A
Surakarta 57126, Jawa Tengah, Indonesia. Tel. +62-897-6655-281. Email: biodiversitas@gmail.com. Website:
biodiversitas.mipa.uns.ac.id/snmbi.html
Penyelenggara & pendukung
Manuskrip terseleksi dipublikasikan pada:
JADWAL
Seminar Nasional
Masyarakat Biodiversitas Indonesia (MBI)
Magelang, 31 Agustus 2019
PUKUL KEGIATAN PENANGGUNGJAWAB RUANG
31 Agustus 2019
07.30-08.00 Registrasi Panitia Selasar
08.00-08.40 Upacara pembukaan Rektorat Untidar R1
08.40-09.00 Foto Bersama dan Kudapan Pagi Panitia R1, Selasar
09.00-10.30 Panel I Moderator R1
Prof. Sugiyarto
Prof. Erri Noviar Megantara
10.30-12.00 Panel II Moderator R1
Prof. Erny Poedjirahajoe
Prof. Trizelia
12.00-13.00 Shalat, Makan dan Presentasi Poster Panitia Selasar
13.00-14.00 Presentasi paralel I Panitia Selasar
Kelompok 1: AO-01 s.d. AO-06 Moderator R1
Kelompok 2: BO-01 s.d. BO-06 Moderator R2
Kelompok 3: BO-07 s.d. BO-12 Moderator R3
Kelompok 4: BO-13 s.d. CO-01 Moderator R4
14.00-15.00 Presentasi paralel II
Kelompok 5: CO-02 s.d. CO-07 Moderator R1
Kelompok 6: CO-08 s.d. DO-01 Moderator R2
Kelompok 7: DO-02 s.d. EO-05 Moderator R3
Kelompok 8: EO-06 s.d. EO-12 Moderator R4
15.00-15.15 Istirahat, Sholat dan Kudapan Sore Panitia Selasar
15.15-15.30 Pengumuman presenter terbaik
Upacara penutupan & penjelasan lain
Ketua Dewan Penilai
Ketua Panitia
R1
1 September 2019
07.30- ... City tour [opsional] Panitia Selasar
DAFTAR ISI
Seminar Nasional
Masyarakat Biodiversitas Indonesia (MBI)
Magelang, 31 Agustus 2019
KODE JUDUL PENULIS HAL.
Keanekaragaman Genetik
AO-01 Keragaman pertumbuhan manglid (Manglietia glauca)
pada umur 18 bulan di Trenggalek, Jawa Timur
Sugeng Pudjiono, Mashudi,
Mudji Susanto, Dedi Setiadi
1
AO-02 Keragaman pertumbuhan beberapa provenan jati pada plot uji keturunan umur 10 tahun di Gunungkidul,
Yogyakarta
Hamdan Adma Adinugraha, Sugeng Pudjiono, Jayusman,
Mahfudz
1
AO-03 Keragaman, heritabilitas dan korelasi genetik tanaman
uji keturunan pulai darat (Alstonia angustiloba) umur
empat tahun di Wonogiri, Jawa Tengah
Mashudi, Mudji Susanto, Liliana
Baskorowati, Sugeng Pudjiono,
Dedi Setiadi, Maman Sulaeman
2
AO-04 Estimasi ukuran populasi efektif pada kebun benih klon kayu putih di Gunungkidul dan Sleman,
Yogyakarta
Noor Khomsah Kartikawati 2
AO-05 Teknik isolasi dna tanaman kepel (Stelechocarpus
burahol) dengan metode kit nucleon phytopure
Tri Suwarni Wahyudiningsih,
Erry Purnomo, Esna Dilli
Novianto, Dian Sartika
2
AO-06 Clonality and gene dynamics of sandalwood in Bejiharjo, the most disturbed landrace in Gunung
Sewu (Indonesia), during on-going fragmentation in
2012 to 2019
Aditya Kurniawan, Sapto Indrioko, Yeni WN
Ratnaningrum,
3
AP-01 Breeding strategy of Dyera lowii to improve
the productivity of jelutong gum in Central
Kalimantan
Tri Suwarni Wahyudiningsih,
Mohammad Na’iem, Sapto
Indrioko, Issirep Sumardi
3
Keanekaragaman Spesies
BO-01 Jenis dan populasi nematoda parasit pada rizosfer
tanaman tebu (Saccharum officinarum) di sentra
produksi tebu Sumatera Barat
Winarto, Novri Nelly, Della
Andini
4
BO-02 Ketahanan beberapa varietas padi lokal Sumatera
Barat terhadap virus penyebab penyakit tungro
Yenny Liswarni, Martinius,
Nurbailis
4
BO-03 Evaluasi plot konservasi ex-situ jenis-jenis tanaman
hutan umur 6 bulan di Tahura Bunder, Gunungkidil,
Yogyakarta
Lukman Hakim, Ari Fiani 4
iv
BO-04 Karakter agronomis dua varietas cabai pada pemberian
berbagai konsentrasi biopestisida minyak serai wangi
Puji Harsono, Dwiwiyati Nurul
Septariani, Widyatmani Sih
Dewi
5
BO-05 Pendugaan kepadatan dan kelimpahan Owa Jawa
(Hylobates moloch, Audebert 1798) di Cagar Alam
Gunung Simpang dan Gunung Tilu, Jawa Barat
Hafi Auliya Nurhayati, Rina
Ratnasih Purnamahati, Nurudin
5
BO-06 Keanekaragaman burung diurnal di Taman Hutan
Raya KGPAA Mangkunagoro I, Jawa Tengah
Kevin Winanda Eka Putra , Aji
Sukma Iqbal Najibulloh , Fahmi
Moch. Ansori , Agung
Sepwantoro , Agung Budiharjo,
5
BO-07 Pola persebaran Verbena brasiliensis di jalur
pendakian Ranu Pani, Gunung Semeru, Jawa Timur
Fahira Miako, Rian Setiawan,
Kirana Raditya, Christoforus Edwin Perdana Gaso,
Pristyakusuma Dwi Fajriani,
Nadya Damayanti, Jatmiko Bayu
Aji Perdana, Yusta Elvasonia
Duan, Rizka Aulia, Atus
Syahbudin
6
BO-08 Ex situ conservation of Myristicaceae in Indonesian
Botanic Gardens
Rosniati Apriani Risna 6
BO-09 Konservasi biji beberapa jenis tumbuhan berbuah di
kawasan Hutan Adat Baringin, Enrekang-Sulawesi
Selatan
Dian Latifah, Mahat Magandhi,
Aulia Hasan Widjaya
6
BO-10 Penelitian cendana (Santalum album) di Indonesia Yuliah, Liliek Haryjanto, Dwiko
Budi Permadi
7
BO-11 Karakteristik Tinospora glabra (Menispermaceae) dari
Gunung Nglanggeran, Gunungkidul, Yogyakarta
Widodo 7
BO-12 Potensi distribusi Agathis borneensis menggunakan
model Maxent
Didi Usmadi 7
BO-13 The composition of undergrowth vegetation in the
Gendol riverbank, Cangkringan Subdistrict, Sleman
District, Yogyakarta
Atus Syahbudin, Alnus Meinata,
Ridla Arifriana
8
BO-14 Distribusi capung (Odonata) di Kawasan Hutan
Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Gunung Bromo,
Karanganyar, Jawa Tengah
Sugiyarto, Ike Nurjuita
Nayasilana, Ayu Astuti
8
BO-15 Karakterisasi morfologi surian (Toona sinensis Roem)
dari populasi Jawa di plot konservasi ex-situ umur 12
tahun
Jayusman, Ari Fiani 8
BO-16 Structure and composition of vegetation and canopy
density for Javan Slow Loris (Nycticebus javanicus)
living space in forest Kemuning, Bejen Subdistrict,
Temanggung District, Central Java
Yanieta Arbiastutie, Farah Diba,
Rendy Enggar Suwandi
9
BO-17 Keanekaragaman Amfibi di Kawasan Hutan dengan
Tujuan Khusus (KHDTK) Gunung Bromo,
Karanganyar, Jawa Tengah
Nur Choiriyah Merdekawati,
Sugiyarto , Ike Nurjuita
Nayasilana
9
BP-01 Inventarisasi tumbuhan paku (Pteridophyta) di
Kawasan Pegunungan Lawu Bagian Selatan, Jawa
Tengah
Ana Sholekah Asza, Aji Sukma
Iqbal Najibulloh, Sugiyarto
9
v
Keanekaragaman Ekosistem
CO-01 Preferensi Lokasi bersarang penyu hijau berdasarkan
karaktersitik vegetasi di Taman Pesisir Pantai Penyu
Pangumbahan, Jawa Barat
Alvianto Roeseno, Ichsan
Suwandhi, Devi Nandita
Choesin
10
CO-02 Orchid and Hoya host tree preferences: new evidence
of plant diversity on the success of Wanagama
Educational Forest Rehabilitation, Yogyakarta
Atus Syahbudin, Abdul Rahman
Sidiq
10
CO-03 Effect of wildfires on vegetation in tropical peatlands Sinta Haryati Silviana, Bambang
Hero Saharjo, Sigit Sutikno
11
CO-04 Evaluasi kesesuaian habitat penyu hijau (Chelonia
mydas) di Pantai Sindangkerta, Tasikmalaya, Jawa
Barat
Agustina Kristin Handayani,
Ichsan Suwandhi, Devi Nandhita
Choesin
11
CO-05 Karakteristik Iluminasi Cahaya dan kebisingan
antropogenik di habitat peneluran penyu hijau
(Chelonia mydas) Suaka Margasatwa Sindangkerta,
Tasikmalaya, Jawa Barat
Susi Handayani, Ichsan
Suwandhi, Devi Nandita
Choesin
11
CO-06 Analisis fragmentasi hutan berdasarkan klasifikasi
tutupan lahan menggunakan Object Based Image
Analysis (OBIA) di Kawasan Koridor Gunung
Simpang, Jawa Barat
Sony Saefulloh, Rina Ratnasih
Irwanto, Nuruddin Nurudin
12
CO-07 Pemetaan kesesuaian habitat Owa Jawa (Hylobates
moloch Audebert, 1798) di Cagar Alam Gunung
Simpang dan Gunung Tilu, Jawa Barat
Selly Surya, Rina Ratnasih
Irwanto, Nuruddin Nurudin
12
CO-08 Karakteristik morfologi jamur Ceratocystis fimbriata
dan uji virulensinya pada daun Acacia mangium dan
A. auriculiformis
Nur Hidayati, Desy Puspitasari 13
CO-09 Pertumbuhan semai Acacia auriculiformis dengan
aplikasi Rhizobium dan media tanah dari bawah
tegakan A. auriculiformis
Siti Husna Nurrohmah 13
CO-10 Identifikasi kualitas air Sungai Progo Magelang
dengan indikator makrozoobentos
Ericka Darmawan, Ika
Sukmawati, Mu'asaroh, Septi
Rahmawati
13
CO-11 Makrozoobentos sebagai indikator kualitas air Sungai
Progo, Bandongan, Magelang, Jawa Tengah
Anis Magfiroh, Kurnia Hanik
Mufidah, Sari Dewi Susanti,
Rivi Nuryani, Ericka Darmawan, Ika Sukmawati
14
CO-12 Uji kualitas air berdasarkan parameter bioindikator
makrozoobentos di Sungai Bolong, Magelang, Jawa
Tengah
Setiyo Prajoko, Karunia Galih
Permadani, Faiqoh, Ivana Riqoh
14
CP-01 Komunitas burung pada beberapa tipe vegetasi di
kawasan Taman Buru Gunung Masigit-Kareumbi, Jawa Barat, Indonesia
Ruhyat Partasasmita, Reski
Akbar Mantsuur, Johan Iskandar
14
Etnobiologi dan Sosial Ekonomi
DO-01 Perubahan peraturan tentang jenis burung yang
dilindungi di Indonesia
Ign. Pramana Yuda, Yulius
Harjoseputro
15
DO-02 Ragam tumbuhan obat untuk mengatasi tumor dan
kanker dari beberapa etnis di Propinsi Bengkulu
Yuli Widiyastuti, R. Mujahid,
Usman Siswanto
15
vi
DO-03 Potensi padi lokal sumber pangan fungsional di
Kalimantan Timur
Sumarmiyati, Fitri Handayani 16
DP-01 Etnozoologi mengenai hama tanaman padi sawah dan
pengelolaannya di Desa Karangwangi, Kecamatan
Cianjur, Jawa Barat
Ruhyat Partasasmita, Budiawati
Supangkat Iskandar, Putri
Nabilatuzzahroh, Johan Iskandar
16
Biosains
EO-01 Volume of gutation and transpiration’s liquid of
Sandalwood based on different slope and crown
position in Pitu’s Village, Nglanggeran Gunung Sewu,
Indonesia
Winastuti Dwi Atamanto,
Pradana Dwi Setyawan
16
EO-02 Screening of indigenous rhizobacteria from West
Sumatra for biological control of Fusarium wilt and
promote growth rate on tomato
Yulmira Yanti, Warnita, Reflin,
Hasmiandy Hamid
17
EO-03 Antifungal activity of potential biocontrol agents of
Bacillus spp. strains for biocontrol activity against
Sclerotium rolfsii
Yulmira Yanti, Warnita, Reflin,
Hasmiandy Hamid
17
EO-04 Efektivitas media tanam dan naungan pada
perkecambahan biji dan pertumbuhan semai kempas
(Koompassia excelsa)
Winda Utami Putri, Inggit Puji
Astuti, Izu Andry Fijridiyanto
17
EO-05 Isolasi dan seleksi rizobakteri tanaman jagung yang
berpotensi sebagai entomopatogen terhadap
Spodoptera litura (Lepidoptera: Pyralidae)
Novri Nelly, U. Khairul, A.Y
Putri
18
EO-06 Effects of BA, NAA, and TDZ on in vitro
micropropagation of Musa acuminata cv. Mas Kirana
Rr Rifka Annisa, Arkan Setiaji,
Aries Bagus Sasongko
18
EO-07 Kemampuan kolonisasi cendawan Beauveria bassiana
pada tanaman cabai (Capsicum annum) dan
pengaruhnya terhadap perkembangan populasi Myzus
persicae
Trizelia, Martinius, Reflinaldon,
Yenny Liswarni, Fadly
Syahirwan Putra
18
EO-08 Sister's mountain forests: upaya pelestarian
keanekaragaman flora, fauna, etnobotani, sumber air,
budaya, dan kearifan lokal demi kesejahteraan
masyarakat pegunungan
Atus Syahbudin 19
EO-09 Pengomposan kotoran sapi dengan dekomposer
Trichoderma viride dan potensinya untuk
pengendalian penyakit layu Fusarium (Fusarium
oxysporum f.sp cubense) dan peningkatan pertumbuhan bibit pisang
Nurbailis, Reflinaldon, Nori
Rahayu
19
EO-10 Viabilitas benih campolay (Pouteria campechiana)
pada berbagai bobot dan lama penyimpanan benih
Aulia Hasan Widjaya, A.
Rahayu, Dian Latifah
19
EO-11 Pengamatan perubahan kualitas air berdasarkan faktor
abiotik di Sungai Plalar, Magelang, Jawa Tengah
Siti Nurjanah, Ani Safira, Alissa
Qotrunnada, Setiyo Prajoko,
Karunia Galih Permadani
20
EO-12 Germination of Victoria amazonica seeds in the red
and far red light
Mahat Magandhi, Dian Latifah 20
EP-01 Distribusi geografis dan potensi dampak perubahan
iklim pada Selaginella pegunungan di Jawa, Indonesia
Ahmad Dwi Setyawan, Jatna
Supriatna, Nisyawati, Ilyas
Nursamsi, Sutarno, Sugiyarto,
Prakash Pradan
20
Keterangan: A. Keanakeragaman Genetik, B. Keanekaragaman Spesies, C. Keanekaragaman Ekosistem, D. Etnobiologi
Dan Sosial Ekonomi, E. Biosains (Ilmu dan Teknologi Hayati); O. Oral, P. Poster
ABS SOC INDON BIODIV
Vol. 6, No. 1, Agustus 2019 ISSN: 2407-8069
Pages: 1-22 DOI: 10.13057/asnmbi/m060101
ABSTRAK
Seminar Nasional
Masyarakat Biodiversitas Indonesia (MBI)
Magelang, 31 Agustus 2019
Keanekaragaman Genetik
AO-01
Keragaman pertumbuhan manglid (Manglietia
glauca) pada umur 18 bulan di Trenggalek, Jawa
Timur
Sugeng Pudjiono♥, Mashudi, Mudji Susanto, Dedi
Setiadi
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15,
Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta
Manglid (Manglietia glauca Bl) merupakan salah satu
tanaman hutan asli Indonesia yang keberadaannya mulai
sulit ditemukan. Bagian utama tanaman manglid yang
diambil adalah kayunya. Kayu manglid mengkilat,
strukturnya padat, halus, ringan dan mudah dikerjakan.
Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu untuk
mengetahui pertumbuhan tanaman sebagai suatu informasi
kemampuan manglid menghasilkan kayu melalui
pertumbuhannya. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui
keragaman pertumbuhan tanaman manglid yang ditanam di
Kaki Gunung Wilis, ketinggian 700-800m dpl, Desa
Dompyong, Kecamatan Bendungan, Kabupaten
Trenggalek, Jawa Timur pada umur 18 bulan. Metode
penelitian menggunakan rancangan Incomplete Block
Design, bibit yang ditanam berasal dari 50 pohon induk
terdiri dari 6 blok dengan masing-masing 3 treeplot, jarak
tanam 4m x 2m. Sifat yang diukur tinggi total tanaman,
diameter batang tanaman dan persentase hidup manglid.
Hasil pengukuran kemudian dianalisis keragaman dan diuji
Duncan Multiple Range Test. Hasil penelitian
menunjukkan tinggi tanaman antara 103-195cm dengan
rata-rata 155cm. Diameter batang tanaman dari 0,90cm
sampai 3,53cm dengan rata-rata 1,93cm. Persentase hidup
tanaman dari 44,4-94,4% dengan rata-rata 76,4%. Hasil
analisis menunjukkan bahwa pohon induk berpengaruh
nyata terhadap tinggi total tanaman dan diameter batang
tanaman. Terdapat variasi keragaman pada sifat tinggi dari
50 pohon induk terdapat 9 kelompok perbedaan sedangkan
pada sifat diameter terdapat 7 kelompok perbedaan.
Keragaman, manglid, pertumbuhan, pohon induk, umur.
AO-02
Keragaman pertumbuhan beberapa provenan jati
pada plot uji keturunan umur 10 tahun di
Gunungkidul, Yogyakarta
Hamdan Adma Adinugraha1,♥, Sugeng Pudjiono1,
Jayusman1, Mahfudz2 1Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan
Tanaman Hutan Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta 2 Pusat Data dan Informasi Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan
Untuk melihat kinerja pertumbuhan tanaman jati (Tectona
grandis L.f) dari beberapa provenan sebaran jati dilakukan
pemapanan uji keturunan di Gunungkidul, Yogyakarta. Plot
uji keturunan jati dibangun dengan menggunakan
rancangan acak kelompok yang menguji sebanyak 120
famili yang berasal dari 8 provenan sebaran jati di
Indonesia yaitu Wakuru, Buton, Warangga, Matakidi,
Mboto, Senori, Kateri dan Tasifeto. Setiap perlakuan
menggunakan 3 treeplot yang diulang dalam 6 blok dengan
jarak tanam 2 x 6 m,. Hasil evaluasi pertumbuhan tanaman
sampai umur 10 tahun diperoleh persentase hidup sebesar
80,32%. Rata-rata tinggi pohon 9,91 m, dbh 10,33 cm,
tinggi bebas cabang 2,78 m dan taksiran volum pohon
sebesar 0,07 m3/pohon. Pertumbuhan tanaman bervariasi
secara signifikan antar provenan dengan hasil terbaik
ditunjukkan oleh 2 provenan dari Pulau Jawa yaitu Mboto
dan Senori
Jati, pertumbuhan tanaman, provenan, uji keturunan
.
♥ Penulis untuk korespondensi
ABS MASY BIODIV INDON, Magelang, 31 Agustus 2019, hal. 1-22 2
AO-03
Keragaman, heritabilitas dan korelasi genetik
tanaman uji keturunan pulai darat (Alstonia
angustiloba) umur empat tahun di Wonogiri, Jawa
Tengah
Mashudi♥, Mudji Susanto, Liliana Baskorowati, Sugeng
Pudjiono, Dedi Setiadi, Maman Sulaeman
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15,
Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta
Pulai darat (Alstonia angustiloba Miq.) merupakan jenis
lokal (local species) yang potensial untuk pengembangan
hutan rakyat. Untuk mendukung pengembangan hutan
rakyat, penyediaan benih unggul cukup penting
keberadaannya. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui
keragaman pertumbuhan, taksiran nilai heritabilitas
individu dan famili serta korelasi genetik tanaman uji
keturunan pulai darat umur 4 tahun. Rancangan Acak
Lengkap Berblok (RALB) dengan dua faktor (asal populasi
dan famili) digunakan dalam penelitian ini. Dalam
penelitian ini famili bersarang (nested) dalam asal populasi.
Faktor asal populasi terdiri dari 4 taraf, yaitu populasi
Carita-Banten, populasi Pendopo-Muara Enim, populasi
Lubuk Linggau-Musi Rawas dan populasi Solok-Sumatera
Barat. Faktor famili terdiri dari 43 famili, yaitu 15 famili
dari populasi Carita-Banten, 9 famili dari populasi
Pendopo-Muara Enim, 15 famili dari populasi Lubuk
Linggau-Musi Rawas dan 4 famili dari populasi Solok-
Sumatera Barat. Hasil analisis varians menunjukkan bahwa
pertumbuhan tinggi dan diameter batang berbeda nyata
antar populasi dan antar famili. Pertumbuhan tinggi dan
diameter batang terbaik pada tingkat famili ditempati oleh
populasi Pendopo, masing-masing sebesar 4,45 m dan 7,71
cm. Pada tingkat famili pertumbuhan tinggi terbaik
ditempati oleh 9 famili dengan kisaran sebesar 4,46-5,06 m
dan pertumbuhan diameter batang terbaik ditempati oleh 11
famili dengan kisaran sebesar 7,48-8,72 cm. Taksiran nilai
heritabilitas individu sifat tinggi sebesar 0,41 dan sifat
diameter batang sebesar 0,23. Taksiran nilai heritabilitas
famili sebesar 0,66 untuk sifat tinggi dan 0,50 untuk sifat
diameter batang. Korelasi genetik antara tinggi dengan
diameter batang sebesar 0,97.
Heritabilitas, keragaman, korelasi genetik, pulai darat
AO-04
Estimasi ukuran populasi efektif pada kebun
benih klon kayu putih di Gunungkidul dan
Sleman, Yogyakarta
Noor Khomsah Kartikawati
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan
Tanaman Hutan Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15,
Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta
Kebun benih klon merupakan kebun benih yang dibangun
dengan materi vegetatif pohon-pohon superior. Jumlah
klon yang digunakan dalam membangun kebun benih klon
sangat penting untuk memastikan besarnya keragaman
genetik dan meminimalisir kemungkinan inbreeding.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya ukuran
populasi efektif dan ukuran klon efektif di kebun benih
klon kayu putih (Melaleuca leucadendron Linn.) di
Gunungkidul dan Sleman. Penelitian dilakukan di kebun
benih klon kayu putih di Gunungkidul dan Sleman pada
saat sedang pembungaan puncak. Terdapat 30 klon pada
masing-masing kebun benih klon dengan jumlah ramet
yang bervariasi. Pengamatan dilakukan pada jumlah ramet
masing-masing klon yang berbunga, jumlah klon yang
berbunga dan jumlah bunga pada setiap ramet maupun
klon. Jumlah kapsul yang terbentuk sampai akhir
pengamatan juga dihitung. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa kinerja klon pada 2 lokasi yang berbeda tidak stabil.
Di KBK Playen Gunungkidul terdapat 2 klon yang sama
sekali tidak memproduksi bunga dan kapsul yaitu klon 14
yang berasal dari provenan Suli, Ambon dan klon no 30
yang berasal dari provenan Masarete, Buru. Sementara di
KBK Kayuputih di Sleman, kedua klon tersebut dapat
memproduksi bunga dan kapsul. Besarnya Ukuran populasi
efektif (Ne) di KBK Playen adalah Ne = 26,20, sedangkan
Nc = 20,77. Sedangkan di KBK Sleman Nc = 25,89, Ne =
24,57. Sebagai implikasi dari hasil penelitian ini adalah
benih dari KBK di Playen dapat dicampur dengan benih
dari KBK di Sleman untuk keperluan penyebaran benih
untuk penanaman skala luas. Upaya ini dapat
meningkatkan keragaman genetik dan perolehan genetik
benih dari klon-klon di KBK.
Kayu putih, kebun benih klon, keragaman genetik, ukuran
populasi efektif.
AO-05
Teknik isolasi dna tanaman kepel (Stelechocarpus
burahol) dengan metode kit nucleon phytopure
Tri Suwarni Wahyudiningsih1,♥, Erry Purnomo2, Esna
Dilli Novianto2, Dian Sartika2
1Fakultas Pertanian, Universitas Tidar. Jl. Kapten Suparman 39, Magelang
56116, Jawa Tengah 2Laboratorium Genetika dan Pemuliaan, Fakultas Biologi, Universitas
Gadjah Mada. Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Sleman 55281,
Yogyakarta
Pemanfaatan tanaman Stelechocarpus burahol (Bl.) Hook.f
& Th, aspek-aspek hortikultura, dan pemuliaan masih
belum banyak dilakukan. Berdasar status kelangkaan,
keberadaan tanaman S. burahol termasuk dalam kategori
CD (Conservation Dependent) atau tergantung aksi
konservasi. Pemanfaatan buah dan daun secara terus
menerus serta kelangkaan S. burahol menyebabkan
keragaman genetik menurun, sehingga perlu dilakukan
isolasi DNA sebagai langkah awal database diversitas
genetik. Teknik isolasi DNA tanaman dilakukan dengan
menggunakan Kit Nucleon Phytopure dan mengikuti
ABS SOC INDON BIODIV, Magelang, 31 Agustus 2019, pp. 1-22 3
protokol yang tertera pada label dengan sedikit modifikasi.
Perbandingan 2 protokol isolasi DNA genom S. burahol
dengan Kit Nucleon Phytopure standard dan Kit Nucleon
Phytopure modifikasi menunjukkan bahwa metode Kit
Nucleon Phytopure modifikasi menghasilkan whole genom
S. burahol cukup murni rerata 1,729 dan berhasil
diamplifikasi dengan PCR-ISSR dengan protokol kit PCR
My Taq Redmix (Bioline).
Conservation dependent, diversitas genetik, kit nucleon
phytopure, kit PCR My Taq Redmix, Stelechocarpus burahol
AO-06
Clonality and gene dynamics of sandalwood in
Bejiharjo, the most disturbed landrace in Gunung
Sewu (Indonesia), during on-going fragmentation
in 2012 to 2019
Aditya Kurniawan1, Sapto Indrioko2, Yeni WN
Ratnaningrum3,♥
1Department of Silviculture, Faculty of Forestry, Universitas Gadjah
Mada. Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta 2Forest Tree Improvement Laboratory, Faculty of Forestry, Universitas
Gadjah Mada. Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta 3 Forest Seed Science and Technology Laboratory, Faculty of Forestry, Universitas Gadjah Mada. Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman 55281,
Yogyakarta
Among landraces of sandalwood (Santalum album L) in
Gunung Sewu, Bejiharjo needs more attention due to
several reasons. Up to 1990’s, it undergoes on-going
fragmentation due to heavy exploitation, urban and cave-
tourism activities. Beside, Karangmojo sandals were
reported among those having high santalol. Series of study
in Bejiharjo, which was started in 2012 up to 2017,
reported extreme reduction on heterozygosity, particularly
at the seedling level, along with the increase of inbreeding.
This event might occur due to the habitat isolation and
increase of clonality level as a result of fragmentation. This
study aimed to determine the effects of on-going
fragmentation to the dynamics of clonality, effective
population size, and genetic diversity, in Bejiharjo which is
considered the most disturbing habitat in Gunung Sewu.
Result showed that both mature and flowering individuals
were reduced from 2012 to 2019, along with the reduction
of effective population size, particularly in 2019 when
there was extreme individual reduction. The more recent
year consisted of more clonalized stands, which was
indicated by the fewer distinct genotypes. The increase of
clonality by time consequently reduced the heterozygosity,
increased the selfing rate, and extremely reduce the number
of seedling recruitments. Very poor seedling recruitment
which was observed following mass flowering was
considered as a result of inbreeding depression. Six loci
(Est-1, Est-2, Est-3, Dia-1, Dia-2, and Skd-1) are
polymorphic for both parent and seedling levels at all of
observation year. Rare and missing alleles are more
apparent in the seedling level. Allele “a” in Dia-2 loci and
allele “b” in Skd-1 loci, which were considered rare in the
previous years, was missing at the seedling level in 2019.
Recent years lose more alleles. However, some gene flow
was also detected since the allele “a” in Dia-1 loci, which
was missing in previous years, is existed in 2019.
Clonality, Bejiharjo Gunung Sewu, gene dynamics, on-going
fragmentation, sandalwood
AP-01
Breeding strategy of Dyera lowii to improve
the productivity of jelutong gum in Central
Kalimantan
Tri Suwarni Wahyudiningsih1,♥, Mohammad Na’iem2,
Sapto Indrioko2, Issirep Sumardi2
1 Faculty of Agriculture, Universitas Tidar, Jl. Kapten Suparman 39,
Magelang 56116, Jawa Tengah 2 Faculty of Forestry, Universitas Gadjah Mada. Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta 3Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada. Jl. Teknika Selatan, Sekip
Utara, Sleman 55281, Yogyakarta
Dyera lowii Hook.f is an indigenous and vulnerable species
found in peat swamp forests. This study is aimed to study
the breeding strategy of D. lowii to increase the
productivity of gum in Central Kalimantan. Samples were
taken at four peat swamp forests (Hampangen, Parahangan,
Sebangau, Selat Nusa) and plantations for genetic diversity.
Electrophoresis procedures were conducted with an
isoelectric focusing polyacrylamide slab gel system.
Analysis of the first research data used POPGENE 1.3.1
programme for genetic diversity and MLTR software for
mating system. The result showed high genetic diversity
(HE=0.52). A total of 14 alleles were found among all the
analyzed population. Most allozyme variation was found
within population (93.2%). Selat Nusa population is
expected to enhance the effective management for genetic
resources conservation of this species in the future. Mating
system of D. lowii to be predominantly out-crossing
(80.1%) and the value (tm-ts=0.129) was less biparental
inbreeding, so that its supported the high genetic variation
in natural population and plantation. The component in
gum varied from any different sample location. Exploration
of plus trees D. lowii (criteria: tree age, stem diameter, gum
volume: characters bark, the physiology of the cell sap,
methods and environmental conditions tapping latex,
quality of gum) will be applied to improve the productivity
of jelutong gum through breeding programs.
Breeding strategy, genetic diversity, jelutong gum, mating
system, plus trees
ABS MASY BIODIV INDON, Magelang, 31 Agustus 2019, hal. 1-22 4
Keanekaragaman Spesies
BO-01
Jenis dan populasi nematoda parasit pada rizosfer
tanaman tebu (Saccharum officinarum) di sentra
produksi tebu Sumatera Barat
Winarto,♥, Novri Nelly, Della Andini
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas
Andalas. Kampus Unand Limau Manih, Padang 25163, Sumatera Barat
Nematoda parasit merupakan salah satu kendala dalam
peningkatan produksi tanaman tebu (Saccharum
officinarum L.). Informasi mengenai jenis dan kepadatan
populasi nematoda parasit pada tanaman tebu belum
banyak dilaporkan khususnya di Sumatera Barat. Informasi
tersebut sangat penting diketahui untuk menentukan
langkah awal pencegahan serangan nematoda parasit,
mengurangi resiko kerusakan dan kehilangan hasil akibat
nematoda pada tebu. Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui jenis-jenis nematoda parasit dan populasinya
pada rizosfer tanaman tebu. Sampel tanah diambil dari
rizosfer tanaman tebu di sentra produksi Sumatera Barat
yaitu Nagari Tigo Balai, Kecamatan Matur, Kabupaten
Agam, dan Nagari Batu Bulek, Kecamatan Lintau Buo
Utara, Kabupaten Tanah Datar. Penelitian meliputi
ekstraksi tanah dan pengamatan nematoda dilakukan di
laboratorium nematologi Jurusan Hama dan Penyakit
Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas,
Padang. Metode ekstraksi menggunakan gabungan Corong
Baermann yang dimodifikasi dan saringan tanah bertingkat.
Identifikasi didasarkan pada bentuk spesifik, anterior dan
posterior. Hasil penelitian mendapatkan 6 genus nematoda
parasit yaitu Trichodorus, Hemicycliophora, Xiphinema,
Meilodogyne, Aphelenchoides, dan Helycotylenchus.
Populasi nematoda parasit rata-rata 2.005 individu/cm3.
Jenis, populasi, nematoda parasit, tebu
BO-02
Ketahanan beberapa varietas padi lokal Sumatera
Barat terhadap virus penyebab penyakit tungro
Yenny Liswarni,♥, Martinius, Nurbailis
Jurusan Hama dan penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas
Andalas. Kampus Unand Limau Manih, Padang 25163, Sumatera Barat
Penyakit tungro merupakan salah satu kendala dalam
peningkatan produksi padi nasional dan ancaman bagi
ketahanan pangan yang berkelanjutan. Penggunaan varietas
tahan merupakan komponen pengendalian penyakit tungro
yang ramah lingkungan serta diterima oleh petani karena
tidak memerlukan biaya tambahan. Varietas padi lokal
Sumatera Barat belum diketahui ketahanannya terhadap
virus penyebab penyaki tungro. Tujuan penelitian adalah
untuk mengetahui ketahanan varietas padi lokal Sumetera
Barat terhadap virus penyebab penyakit tungro. Penelitian
menggunakan wereng hijau sebagai vektor virus diambil
dari daerah endemik padi terserang virus tungro yaitu dari
daerah Lintau, Tanah Datar, Sumatera Barat dan
perbanyakan dilakukan pada padi varietas Batang Sungkai.
Varietas padi yang diuji yaitu Cisokan, Anak Daro,
Junjuang, Cantik Manis, Batang Sungkai, PB 42,
Saganggam Panuah, Caredek Merah dan Kuruak Kusuik
ditanam dalam ember plastik di rumah kaca. Penularan
virus dengan menggunakan wereng sebanyak 4 ekor per
tanaman dan disungkup dengan kain kasa. Hasil penelitian
menunjukklan bahwa varietas Batang Sungkai rentan
terhadap virus tungro sedangkan varietas Anak Daro,
Cisokan, Cantik Manis, Seganggam panuah, Jumjuang,
Kuruak Kusuik, Caredek Merah dan PB 42 agak tahan
terhadap virus tungro.
Ketahanan, padi, varietas lokal, penyakit tungro
BO-03
Evaluasi plot konservasi ex-situ jenis-jenis
tanaman hutan umur 6 bulan di Tahura Bunder,
Gunungkidil, Yogyakarta
Lukman Hakim♥, Ari Fiani
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15,
Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta
Pembangunan plot konservasi ex-situ jenis-jenis tanaman
hutan di Tahura Bunder, Gunung Kidul, Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) dilakukan pada bulan Januari 2019.
Salah satu tujuan dari pembangunan plot konservasi ini
adalah untuk melestarian jenis-jenis tanaman hutan yang
terancam punah dan sekaligus sebagai sumber benih yang
dapat digunakan masyarakat di masa yang akan datang.
Pada plot konservasi ex-situ ditanam 18 jenis tanaman
dengan desain masing-masing jenis sebanyak 36 individu
yang ditanam dalam dua jalur. Masing-masing jalur bemuat
18 tanaman, dengan jarak tanam 5x5 m2. Kegiatan
pengukuran/evaluasi pada tahun 2019 dilakukan dua kali
yaitu pada umur enam bulan setelah penanaman pada bulan
Juni dan umur 12 bulan pad bulan Desember 2019.
Parameter pengukuran hanya survival rate dari masing-
masing jenis untuk mengetahui daya hidup sebagai indikasi
kemampuan jenis untuk beradaptasi pada kondisi
lingkungan diluar habitat aslinya apabila jenis tersebut
akan dikembangkan. Hasil pengukuran menunjukan angka
rata-rata 18 jenis tanaman sebesar 70,22%. Daya hidup
tertinggi adalah jenis segawe (Adenanthera pavonina)
sebesar 97% dan paling rendah jenis kluwak (Pangium
edule) sebesar 19%. Berdasarkan pengamatan di lapangan
serta data pengukuran, kematian tanaman pada umur enam
bulan dikarenakan beberapa hal seperti ketidakcocokan
jenis di lingkungan yang extrim (solum tanah yang tipis
dan berbatu serta curah hujan per tahun yang sedikit). Oleh
karena itu, beberapa kegiatan pemeliharaan tanaman yang
perlu dilakukan adalah penyiangan, pendangiran,
ABS SOC INDON BIODIV, Magelang, 31 Agustus 2019, pp. 1-22 5
pemupukan tanaman dan penyiraman di waktu musim
kemarau.
Plot konservasi ex-situ, tanaman hutan, survival rate
BO-04
Karakter agronomis dua varietas cabai pada
pemberian berbagai konsentrasi biopestisida
minyak serai wangi
Puji Harsono♥, Dwiwiyati Nurul Septariani,
Widyatmani Sih Dewi
Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A
Surakarta 57 126, Central Java, Indonesia
Serai wangi (Cymbogon nardus L.) mengandung minyak
atsiri dengan salah satu bahan aktifnya berupa sitronela
(36%), aromanya tidak disukai beberapa jenis serangga
sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan hama
tanaman. Kelebihan biopestisida berbasis minyak atsiri
adalah aktivitas biologinya berspektrum luas, tidak toksik
untuk manusia, bekerja secara sistemik, mudah
terdegradasi sehingga lebih aman bagi kesehatan
dibandingkan pestisida kimiawi. Aphid menyerang daun
cabai terutama pada daun muda dan pucuk, selain itu juga
menyerang batang yang lunak mengambil nutrisi yang ada
didalam batang. Selain itu, cairan daun yang hilang karena
dihisap aphid mengakibatkan daun melengkung ke atas,
keriting keriput, atau memelintir, daun berbintik-bintik,
daun menguning, layu, dan rontok, pertumbuhan
terhambat, tanaman menjadi kerdil, tunas dan percabangan
tidak berkembang, tanaman gagal berbunga, sehingga
produktivitas/hasil panen sangat rendah. Cabai varietas
Pilar dan Hot Beauty mempunyai daun lebih lebar
dibandingkan dengan varietas lain, dua varietas tersebut
rentan terhadap serangan aphid terutama pada musim
kemarau. Percobaan menggunakan rancangan acak terpisah
ulangan tiga kali, petak utama varietas cavai dan anak
petak konsentrasi biopestisida serai wangi. Tujuan
percobaan untuk menentukan konsentrasi optimum
biopestisida serai wangi terhadap karakter agronomis
pendukung produksi dua varietas cabai. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa konsentrasi biopestisida serai wangi 4
mL per liter mempercepat saat berbunga, menghasil-kan
jumlah cabang dikotom dan bobot buah tertinggi. Varietas
Hot beauty menunjukkan karakter agronomis lebih baik
daripada varietas Pilar.
Biopestisida, cabai, serai wangi
BO-05
Pendugaan kepadatan dan kelimpahan Owa Jawa
(Hylobates moloch, Audebert 1798) di Cagar Alam
Gunung Simpang dan Gunung Tilu, Jawa Barat
Hafi Auliya Nurhayati♥, Rina Ratnasih Purnamahati,
Nurudin
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. Jl.
Ganesha No. 10, Bandung 40132, Jawa Barat
Owa Jawa (Hylobates moloch, Audebert 1798) merupakan
primata endemik Jawa Barat dan Jawa Tengah yang
keberadaannya semakin terancam punah akibat penurunan
luas habitat dan perburuan liar. Cagar Alam Gunung
Simpang (CAG Simpang) dan Cagar Alam Gunung Tilu
(CAG Tilu) merupakan kawasan prioritas konservasi Owa
Jawa di Indonesia. Data populasi Owa Jawa di kedua lokasi
penting untuk diketahui sebagai dasar penentuan upaya
konservasi Owa Jawa. Namun, data terkini yang tersedia
untuk CAG Simpang dan CAG Tilu merupakan hasil survei
yang telah lama dilakukan, yaitu pada tahun 2008, sehingga
dalam upaya konservasi Owa Jawa, data terbaru sangat
diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk menduga
kepadatan dan kelimpahan populasi Owa Jawa di CAG
Simpang dan CAG Tilu, sehingga didapatkan data terbaru
yang diperlukan untuk mendukung konservasi habitat Owa
Jawa. Wawancara pendahuluan dan pengolahan data
sekunder digunakan untuk penentuan lokasi jalur survei.
Data primer dikumpulkan dengan menggunakan metode
line transect sepanjang ±2 kilometer yang ditentukan
berdasarkan Purposive Random Sampling dengan jumlah
jalur di CAG Simpang dan CAG Tilu masing-masing
sembilan. Kepadatan diperoleh melalui analisis perangkat
lunak Distance 7.2, kemudian diekstrapolasi berdasarkan
luas representatif habitat sehingga menghasilkan
kelimpahan. Berdasarkan lima kali perjumpaan, dapat
diduga bahwa CAG Simpang memiliki kepadatan Owa
Jawa sebesar 0,555 kelompok/km2 dan kelimpahan sebesar
49 kelompok, sementara CAG Tilu memiliki kepadatan
Owa Jawa sebesar 3,268 kelompok/km2 dan kelimpahan 93
kelompok.
Endemik, konservasi, Owa Jawa, populasi
BO-06
Keanekaragaman burung diurnal di Taman
Hutan Raya KGPAA Mangkunagoro I, Jawa
Tengah
Kevin Winanda Eka Putra 1,♥, Aji Sukma Iqbal
Najibulloh 2, Fahmi Moch. Ansori 3, Agung Sepwantoro 4, Agung Budiharjo5,♥♥ 1 Kelompok Studi Kepak Sayap, Program Studi Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57 126, Jawa Tengah 2 Kelompok Studi Biodiversitas, Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret. Jl.
Ir. Sutami 36A Surakarta 57126, Jawa Tengah, Indonesia. 3 Kelompok Studi Enviro, Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami
36A Surakarta 57126, Jawa Tengah, Indonesia. 4 Taman Hutan Raya (Tahura) KGPAA Mangkunagoro I. Dusun Sukuh, Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar 57793, Jawa Tengah, Indonesia. 5 Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126,
Jawa Tengah, Indonesia
ABS MASY BIODIV INDON, Magelang, 31 Agustus 2019, hal. 1-22 6
Taman Hutan Raya (Tahura) KGPAA Mangkunagoro I
merupakan Tahura yang terletak di lereng barat Gunung
Lawu, tepatnya di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso,
Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Kawasan ini
memiliki potensi keanekaragaman hayati salah satunya
burung. Burung adalah kelompok hewan tingkat tinggi
yang memiliki jumlah spesies yang tinggi dibandingkan
kelompok hewan yang lain dan tersebar hampir di semua
kondisi lingkungan bumi. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengetahui keanekaragaman spesies burung diurnal yang
ada di kawasan Tahura KGPAA Mangkunagoro I yang
dilakukan pada bulan Januari-Februari 2019. Metode yang
digunakan pada adalah metode jelajah (line transect)
dengan mendata spesies burung dan menghitung jumlah
individu dalam jalur yang telah ditentukan. Analisis data
yang digunakan adalah deskriptif dengan menggunakan
indeks keanekaragaman, indeks kemerataan, dan indeks
dominansi. Hasil pengambilan data tiap jalur kemudian
diuji dengan PAST untuk membandingkan
keanekaragaman tiap jalur. Hasil yang didapat adalah 51
spesies burung dalam 25 famili dengan indeks
keanekaragaman seluruh kawasan 3,533; indeks
kemerataan 0,898; indeks dominansi 0,060; dan indeks
kekayaan jenis 8,902 yang berarti termasuk dalam tingkat
keanekaragaman spesies yang tinggi. Spesies burung yang
ditemukan ada lima yang dilindungi berdasarkan Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 106 Tahun
2018 antara lain Elang Jawa (Nisaetus bartelsi), Elang-ular
Bido (Spilornis cheela), Alap-alap Kawah (Falco
peregrinus), Takur Tohtor (Psilopogon armillaris) dan
Betet Biasa (Psittacula alexandri).
Burung diurnal, keanekaragaman, Tahura KGPAA
Mangkunagoro I
BO-07
Pola persebaran Verbena brasiliensis di jalur
pendakian Ranu Pani, Gunung Semeru, Jawa
Timur
Fahira Miako♥, Rian Setiawan, Kirana Raditya,
Christoforus Edwin Perdana Gaso, Pristyakusuma Dwi
Fajriani, Nadya Damayanti, Jatmiko Bayu Aji Perdana,
Yusta Elvasonia Duan, Rizka Aulia, Atus Syahbudin♥♥
Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Jl. Agro No.1,
Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS)
memiliki keunikan ekosistem dan keanekaragaman hayati
yang tinggi. Salah satunya terletak pada Kawasan Oro-Oro
Ombo yaitu dengan adanya spesies Verbena brasiliensis.
Keunikan spesies tersebut menjadi salah satu daya tarik
bagi pengunjung, khususnya pada morfologinya berupa
mahkota bunga berwarna ungu. V. brasiliensis merupakan
tumbuhan asing yang bersifat invasif. Tumbuhan invasif
memiliki sifat penyebaran yang cepat, sehingga berpotensi
dalam mengancam keanekaragaman hayati dalam
mengurangi sumberdaya genetik di Gunung Semeru. Hal
inilah yang menjadi perhatian khusus agar keberadaannya
tidak merugikan ekosistem dan komponen lainnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis pola
persebaran V. brasiliensis di Jalur Pendakian Ranu Pani,
Gunung Semeru, Jawa Timur. Data penelitian diperoleh
dengan metode systematic sampling. Pengambilan data
dilakukan pada setiap kenaikan 100 m.dpl dengan membuat
garis transek sepanjang 100 m. Pada setiap garis transek
tersebut dibagi menjadi 4 bagian, dan dibuat Petak Ukur
(PU) berukuran 2x2 m2. Informasi yang diambil berupa
kelerengan, sketsa tutupan lahan, persenan tutupan lahan,
dan keterangan kondisi lingkungan sebagai data
pendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa V.
brasiliensis yang ditemukan di Jalur Pendakian Ranu Pani,
Gunung Semeru memiliki pola persebaran mengelompok.
Adapun pola persebaran tumbuhan tersebut dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu faktor lingkungan, faktor
kelerengan, dan faktor ketinggian berdasarkan hasil
pengamatan di lapangan.
Gunung Semeru, pola persebaran, tumbuhan invasif,
Verbena brasiliensis
BO-08
Ex situ conservation of Myristicaceae in
Indonesian Botanic Gardens
Rosniati Apriani Risna
Research Center for Plant Conservation and Botanic Gardens, Indonesian Institute of Sciences (Bogor Botanic Gardens). Jl. Ir. H. Juanda 13 Bogor,
West Java 16122, Indonesia
There are 521 Indonesian plant species categorized as
threatened under IUCN Red List. Nutmeg family or
Myristicaeae contributes 13.7% on the list, the highest
percentage after Dipterocarps (36.8%). Regarding this
family’s importance, numbers of threatened species, as
well as implementing the Global Strategy for Plant
Conservation in conserving threatened plants,
Myristicaceae has to be prioritized to conserve in ex situ
collection such botanic gardens. Two species out of 52
threatened Myristicaeae species have been conserved in
Indonesian Botanic Gardens (Knema hookeriana and
Myristica teysmannii). Population studies, collection and
inventory from its natural habitat, propagation for
population reinforcement, and legal protection are some
conservation effort to be done for this tropical family.
Conservation, Global Strategy for Plant Conservation, IUCN
Red List, Myristicaeae
BO-09
Konservasi biji beberapa jenis tumbuhan berbuah
di kawasan Hutan Adat Baringin, Enrekang-
Sulawesi Selatan
Dian Latifah♥, Mahat Magandhi, Aulia Hasan Widjaya
ABS SOC INDON BIODIV, Magelang, 31 Agustus 2019, pp. 1-22 7
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya (Kebun Raya Bogor), Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jl. Ir. H. Juanda No. 13 Bogor 16122, Jawa
Barat
Keanekaragaman tumbuhan di Indonesia terutama di
Sulawesi Selatan menurun signifikan saat ini. Beberapa
faktor penyebabnya adalah berbagai tekanan perubahan
pada populasi tumbuhan di hutan untuk memenuhi
kebutuhan manusia serta populasi manusia yang terus
meningkat, konversi lahan yang dapat mengarah kepada
kerusakan habitat, perubahan iklim, invasi tanaman eksotis
dan pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan secara tidak
berkesinambungan. Salah satu upaya mengurangi
penurunan sumber daya hayati yaitu dengan melakukan
konservasi secara ex situ berupa eksplorasi biji untuk
memperoleh sebanyak-banyaknya keragaman genetik.
Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Adat Baringin,
Kabupaten Enrenkang, Sulawesi Selatan pada bulan
Agustus 2017. Penelitian ini bertujuan untuk
mengkonservasi spesies berupa spesimen biji, serta untuk
memperoleh data mikroklimat habitat jenis target untuk
diaplikasikan dalam pengembangan metode
perkecambahannya sebagai upaya peningkatan kualitas
koleksi biji yang disimpan. Pada penelitian ini diperoleh
koleksi biji sebanyak 22 nomor koleksi yang berasal dari
15 famili dan 20 marga. Beberapa diantaranya Arcangelisia
flava, Mucuna sloanei, Mussaenda frondosa, Dioscorea
hispida, Begonia comestabilis, Canthium monstrosum, dan
Psychotria viridis. Biji-biji tersebut berkarakter sifat
simpan ortodok.
Bank biji, konservasi biji, kebun raya
BO-10
Penelitian cendana (Santalum album) di Indonesia
Yuliah♥, Liliek Haryjanto, Dwiko Budi Permadi
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan
Tanaman Hutan Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15,
Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta
Cendana (Santalum album Linn.) merupakan tumbuhan asli
Indonesia yang tumbuh alami terutama di Nusa Tenggara
Timur dan memiliki nilai ekonomi tinggi karena
menghasilkan santalol yang berkualitas. Maraknya
ekploitasi dan kegagalan penanaman menyebabkan
semakin sulitnya cendana dijumpai. Untuk menjawab
permasalahan penyelamatan dan pengelolaan hutan
cendana di Indonesia harus didukung data dan informasi
menyeluruh dari seluruh aspek yang terkait. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui status terkini dari
penelitian cendana yang telah dilakukan di Indonesia.
Metode yang digunakan melalui studi literature dari dari
berbagai artikel terpilih. Aspek penelitian yang diamati
dibedakan menjadi (i) silvikultur, (ii) hama dan penyakit,
(iii) kandungan minyak, (iv) genetika, dan (v) sosial,
ekonomi dan kebijakan. Hasil penelitian menunjukkan
penelitian cendana telah banyak dilakukan di Indonesia,
tetapi aplikasi hasil-hasil penelitian oleh para pihak masih
menghadapi banyak tantangan. Beberapa aspek penelitian
yang masih harus dilakukan adalah perbanyakan vegetatif,
persilangan, permudaan alam maupun aspek ekonomi.
Tanaman cendana di Yogyakarta dapat menjadi alternatif
sumber benih untuk pengembangan cendana di Indonesia
karena keragamannya relatif lebih tinggi daripada cendana
di Nusa Tenggara Timur. Dibutuhkan master plan restorasi
dan konservasi tanaman cendana dengan mengadopsi
penelitian terkait dan melibatkan para pihak, yaitu:
pemerintah pusat, daerah, akademisi, peneliti dan pelaku
pasar (swasta).
Cendana, literature, pelestarian, pengelolaan, Santalum
album
BO-11
Karakteristik Tinospora glabra (Menispermaceae)
dari Gunung Nglanggeran, Gunungkidul,
Yogyakarta
Widodo
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Jl. Marsda Adisucipto No 1 Yogyakarta 55281, Indonesia
Tinospora glabra terdapat hampir merata di kawasan
Gunung Nglanggeran, Gunungkidul, Yogyakarta. Penulis
mengidentifikasi tumbuhan ini berdasarkan pada literatur
dan spesimen herbarium. Penelitian dilakukan
menggunakan metode eksplorasi dan kunjungan periodik,
pengamatan morfologi disertai koleksi herbarium kering.
Informasi mengenai T. glabra di internet dan literatur
sangat sedikit. Nama species ini telah mengalami beberapa
perubahan dan terdapat sinonim dan basionim yang
menimbulkan ketidakjelasan. Melalui pencocokan
herbarium MNHN (Muséum National d'Histoire Naturelle,
Paris) diperoleh bahwa specimen T. glabra dari Gunung
Nglanggeran sesuai dengan herbarium tersebut. Tulisan ini
memaparkan ciri-ciri T. glabra dari Gunung Nglanggeran,
terutama morfologi daun, batang, bunga dan buah.
Gunung Nglanggeran, Menispermaceae, Tinospora glabra
BO-12
Potensi distribusi Agathis borneensis
menggunakan model Maxent
Didi Usmadi
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya (Kebun Raya Bogor), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jl. Ir. H. Juanda No. 13 Bogor 16122, Jawa
Barat
Status konservasi Agathis borneensis Warb. tergolong
terancam (endangered) dalam daftar merah IUCN. Prediksi
distribusi A. borneensis sangat penting dilakukan dalam
rangka konservasi dan monitoring spesies tersebut di
habitat alaminya. Penelitian ini bertujuan untuk
memprediksi distribusi dan identifikasi faktor lingkungan
yang membatasi kehadiran A. borneensis. Data kehadiran
ABS MASY BIODIV INDON, Magelang, 31 Agustus 2019, hal. 1-22 8
A. borneensis diambil di lokasi ditemukannya jenis
tersebut. Variabel lingkungan yang dianalisis yaitu faktor
geofisik (elevasi, kelerengan dan arah lereng), faktor iklim
(curah hujan, suhu udara dan intensitas penyinaran), faktor
vegetasi (tutupan lahan), dan faktor edafis (jenis tanah).
Analisis kesesuaian habitat menggunakan model distribusi
spesies Maxent versi 3.4.1. Model Maxent dapat
memprediksi distribusi A. borneensis dengan baik dan
dapat digunakan untuk menentukan area prioritas untuk
konservasi jenis tersebut. Faktor lingkungan yang paling
berpengaruh terhadap kehadiran A. borneensis adalah
kelerengan lahan.
Konservasi, spesies langka, pemodelan ekologi
BO-13
The composition of undergrowth vegetation in the
Gendol riverbank, Cangkringan Subdistrict,
Sleman District, Yogyakarta
Atus Syahbudin1,♥, Alnus Meinata1, Ridla Arifriana2 1Forestry Study Program, Faculty of Forestry, Universitas Gadjah Mada.
Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta 2Forest Management Study Pogram, Veterinary and Biotechnology Department,, Vocational School, Universitas Gadjah Mada. Jl. Yacaranda
Sekip II, Sleman 55281, Yogyakarta.
Gendol river is one of the rivers affected by pyroclastic
blast from Mount Merapi eruption in 2010. This river flows
through several villages, such as Glagaharjo, Kepuharjo,
Wukirsari, and Argomulyo in Sleman District, Yogyakarta.
On this river bank, vegetation has grown naturally post
eruption of Mount Merapi and is continues to change.
Some vegetation was also planted by the community. This
study aims to find out the composition of the undergrowth
vegetation on the Gendol river bank in Cangkringan
Subdistrict. The data was obtained systematically by
making 10 sample plots of 5 m x 5 m and 2 m x 2 m size,
on each side of the bank. A total of 68 species were
recorded in this study which consisted of 29 trees species in
seedlings and saplings stage, 34 species of herbs and
shrubs, and 6 species of grasses. The dominant among the
non-tree species are Chromolaena odorata (L.) R.M.King
& H.Rob. with an IVI of 43.78%, Alternanthera brasiliana
(L.) Kuntze with IVI of 16.6% and Asystasia gangetica (L.)
T. Anderson with IVI of 15.78%. Saplings are dominated
by Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes
with IVI of 32.81%, followed by Leucaena leucocephala
(Lam.) De Wit (IVI-24.41%) and Melia azedarach (IVI-
14.28%).
Merapi species, seedlings, Gendol River Banks, understorey
BO-14
Distribusi capung (Odonata) di Kawasan Hutan
Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Gunung
Bromo, Karanganyar, Jawa Tengah
Sugiyarto♥, Ike Nurjuita Nayasilana, Ayu Astuti
Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126, Jawa
Tengah
Capung merupakan salah satu komponen keanekaragaman
hayati yang dapat dijadikan sebagai indikator dalam
penilaian kualitas perairan. Beberapa jenis capung
menempati habitat yang spesifik, namun adapula yang
hidup di hampir keselurahan tipe habitat. KHDTK Gunung
Bromo, Karanganyar, Jawa Tengah merupakan salah satu
potret habitat ditemukannya capung. Sejak April 2018,
kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan pendidikan,
penelitian dan pelatihan bagi Universitas Sebelas Maret.
Namun, informasi terbaru terkait potensi kawasan tersebut
masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan informasi terkini mengenai
distribusi capung di KHDTK Gunung Bromo. Penelitian ini
dilakukan selama 2 minggu pada rentang bulan Juli-
Agustus 2019. Pengambilan data dilakukan di sepanjang
sungai Bamban dan dibagi menjadi dua stasiun
pengamatan. Stasiun pertama berupa sungai yang di
sekelilingnya merupakan hutan campuran, sedangkan
stasiun kedua berupa sungai yang di sekelilingnya
merupakan hutan pinus. Pada masing-masing stasiun
pengamatan dibuat transek sepanjang 600 meter. Data yang
diambil berupa jenis dan jumlah capung yang dijumpai
selama pengamatan. Hasil pengamatan menunjukkan
terdapat 23 jenis capung. Sebanyak 20 jenis capung
dijumpai di stasiun pertama, dan 13 jenis dijumpai di
stasiun kedua. Pada penelitian ini, ditemukan pula capung
endemik jawa yaitu Rhinocypha fenestrata dan capung
endemik Jawa-Bali yaitu Paragomphus reinwardtii yang
hanya dapat dijumpai di stasiun kedua.
Capung, hutan pinus, hutan campuran, KHDTK Gunung
Bromo
BO-15
Karakterisasi morfologi surian (Toona sinensis
Roem) dari populasi Jawa di plot konservasi ex-
situ umur 12 tahun
Jayusman♥, Ari Fiani
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan
Tanaman Hutan Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15,
Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta
Penelitian bertujuan untuk mempelajari dan
mengkarakterisasi sifat morfologi tanaman surian (Toona
sinensis Roem) di Plot Konservasi ex-situ serta
mempelajari keragaman antar populasi berdasarkan sifat-
sifat morfologi. Sebanyak 15 populasi surian yang berasal
dari Jawa Barat (5 populasi), Jawa Tengah (8 populasi) dan
Jawa Timur (2 populasi) ditanam pada plot konservasi ex-
situ dengan umur 12 tahun. Karakterisasi menggunakan
acuan IPGRI dan variabel pengamatan meliputi sifat
morfologi tinggi total dan tinggi bebas cabang, kanopi
tanaman, bentuk percabangan, bentuk daun, kelurusan
ABS SOC INDON BIODIV, Magelang, 31 Agustus 2019, pp. 1-22 9
batang dan kulit batang. Data yang diperoleh disajikan
secara deskriptif. Pengelompokkan antar populasi
dilakukan dengan analisis cluster yang hasilnya
ditampilkan dalam bentuk dendrogram. Keragaman
morfologi pertumbuhan dari 15 populasi surian
menunjukkan tinggi total tanaman antara 9,5-16,2 m, tinggi
bebas cabang 4,5-11,2 m, diameter kanopi antara 1,5-2,8
cm, diameter batang antara 24,1-35,3 cm, bentuk
percabangan cenderung kurang horizontal, kelurusan
batang cenderung memiliki skor 1-2, bentuk daun bergerigi
dan bentuk permukaan kulit cenderung batang beralur.
Berdasarkan kemiripan sifat-sifat morfologi pada berbagai
tingkat kemiripan mulai dari 70%, 80% dan 90%, terdapat
pengelompokan yang cenderung diisi oleh lintas populasi
yang berasal dari tiga asal provinsi sumber materi genetik.
Upaya mencari karakter morfologi yang mampu menjadi
penciri utama populasi perlu dikembangkan pada penilitian
berikutnya untuk memudahkan upaya karakterisai populasi
dan pemanfaatanya untuk mendukung kegiatan seleksi
pada program pemuliaan tanaman surian.
Cluster, karakterisasi, konservasi ex-situ, populasi, Toona
sinensis
BO-16
Structure and composition of vegetation and
canopy density for Javan Slow Loris (Nycticebus
javanicus) living space in forest Kemuning, Bejen
Subdistrict, Temanggung District, Central Java
Yanieta Arbiastutie1,♥, Farah Diba1, Rendy Enggar
Suwandi2
1 Fakultas Kehutanan, Universitas Tanjungpura Jl.Prof.Hadari
Nawawi,Bansir Laut, Pontianak78121, Kalimantan Barat 2 Cikalan RT 02, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul 55184, Yogyakarta
Massive land exploitation in the forest area on the island of
Java has resulted in forest areas with good canopy structure
variations that remain only in the form of small
unconnected patches. One of the wildlife affected by the
fragmentation and loss of the forests of Java is the Javan
Slow Loris (Nycticebus javanicus). Further impacts on
habitat fragmentation cause Javan Slow Loris to adapt to
the surrounding environment. The main step in the
conservation of Javan Slow Loris is the thirst for the known
structure and composition of the composing canopy layer
vegetation in the kemuning forest, so that the management
of the area can support the conservation of Javan Slow
Loris species. The method used is vegetation analysis with
nested sampling and SAVI analysis through SPOT-6 type
satellite images to determine the structure and composition
of the vegetation and canopy density. The composition of
the Kemuning Forest as a Javan Slow Loris growth space is
dominated by species that can provide food for Javan Slow
Loris, such as the kemuning (Murraya paniculata), antap
(Sterculia subpeltata), fig (Ficus fistulosa), beringin (Ficus
benjamina), petai (Parkia speciosa), ara (Ficus fistulosa),
bayan tree (Ficus benjamina), jackfruit (Artocarpus
heterophyllus) and matoa (Pometia pinnata), these plants
not only provide space but also provide food options for
Javan Slow Loris.
Canopy density, Javan Slow Loris, Kemuning Forest,
vegetation structure and composition
BO-17
Keanekaragaman Amfibi di Kawasan Hutan
dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Gunung
Bromo, Karanganyar, Jawa Tengah
Nur Choiriyah Merdekawati♥, Sugiyarto♥ ♥, Ike
Nurjuita Nayasilana
Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126, Jawa
Tengah
Amfibi merupakan hewan yang membutuhkan air dalam
melangsungkan hidupnya. Kawasan Hutan dengan Tujuan
Khusus (KHDTK) Gunung Bromo, Karanganyar, Jawa
Tengah merupakan salah satu habitat yang mendukung
keberadaan amfibi dengan adanya Sungai Bamban yang
membentang di sepanjang kawasan. Penelitian dilakukan
untuk mengetahui jenis Amfibi yang ada di KHDTK
Gunung Bromo. Pengambilan data dilakukan pada tahun
2015, 2017, dan 2019 menggunakan metode VES. Secara
keseluruhan dijumpai 8 jenis anura yaitu, Duttaphrynus
melanostictus, Ingerophrynus biporcatus, Phrynoidis
aspera, Fejervarya limnocharis, Fejervarya cancrivora,
Occidozyga sumatrana, Chalcorana chalconota, dan
Polypedates leucomystax. Nilai indeks keanekaragaman
Shannon-Wiener adalah 1,53 yang menunjukkan bahwa
keanekaragaman di kawasan tersebut sedang, sedangkan
nilai indeks kemerataannya adalah 0,75 yang menunjukkan
bahwa populasi tidak merata.
Amfibi, keanekaragaman, KHDTK Gunung Bromo
BP-01
Inventarisasi tumbuhan paku (Pteridophyta) di
Kawasan Pegunungan Lawu Bagian Selatan, Jawa
Tengah
Ana Sholekah Asza1♥, Aji Sukma Iqbal Najibulloh1,
Sugiyarto2♥♥ 1Kelompok Studi Biodiversitas, Program Studi Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126, Jawa Tengah, Indonesia 2Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126,
Jawa Tengah, Indonesia
Keanekaragaman jenis hayati di Indonesia sangat tinggi,
salah satunya adalah tumbuhan paku yang tersebar di
seluruh hutan Indonesia terutama pada wilayah
pegunungan. Gunung Lawu, Jawa berada pada wilayah
peralihan yang membentuk karakteristik lingkungan khas
dan sesuai sebagai habitat tumbuhan paku. Tumbuhan paku
ABS MASY BIODIV INDON, Magelang, 31 Agustus 2019, hal. 1-22 10
memegang peranan dan fungsi yang sangat penting baik
dalam fungsi ekologis maupun kebutuhan manusia.
Keberadaan tumbuhan paku masih kurang mendapat
perhatian sehingga perlu dilakukan pendataan untuk
mengetahui jenis-jenis yang ada. Tujuan penelitian ini
adalah melakukan inventarisasi tumbuhan paku pada
Kawasan Pegunungan Lawu bagian Selatan, KPH
Surakarta, BKPH Lawu Selatan. Pendataan dilakukan
dengan menjelajahi kawasan berdasarkan jalur untuk
memperoleh jenis sebanyak-banyaknya. Data yang
diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Pengambilan data dilakukan dari empat tempat, yaitu
Jogolarangan, Ndas Londo, Muncar, dan Girimanik. Dari
penelitian diperoleh 38 spesies yang berasal dari 16 famili
berbeda dengan jumlah tiga spesies paku epifit dan 35 paku
terestrial. Jenis terbanyak diperoleh lima spesies yang
berasal dari famili Pteridaceae yaitu Pteris biaurita L.,
Pteris longipinnula Wall. Ex J. Agardh, Coniogramme
intermedia Hieron, Pteris ensifomis Burm. F., dan
Selliguea enervis Ching. Terdapat satu spesies yang
memiliki status vulnerable berdasarkan IUCN yaitu
Asplenium contiguum Kaulf. Genus yang banyak
ditemukan yaitu genus Selaginella dan Nephrolepis dari
famili Selaginellaceae dan Nephrolepidaceae.
Gunung Lawu, inventarisasi, keanekaragaman, Pteridophyta
Keanekaragaman Ekosistem
CO-01
Preferensi Lokasi bersarang penyu hijau
berdasarkan karaktersitik vegetasi di Taman
Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Jawa Barat
Alvianto Roeseno1,♥, Ichsan Suwandhi1, Devi Nandita
Choesin2 1 Program Srudi Rekayasa Kehutanan, Sekolah Ilmu dan Teknologi
Hayati, Institut Teknologi Bandung, Jl. Let. Jend. Purn. Dr. (HC) Mashudi
No.1, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat 2Program Studi Biologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut
Teknologi Bandung. Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132, Jawa Barat
Penyu hijau (Chelonia mydas) merupakan reptil dengan
status konservasi terancam punah (IUCN, 2004). Pantai
Sindangkerta, Tasikmalaya dan Pantai Pangumbahan,
Sukabumi merupakan pantai peneluran penyu hijau yang
berada di pesisir selatan Jawa Barat. Dibandingkan Pantai
Pangumbahan, Pantai Sindangkerta menghadapai tekanan
cukup tinggi ditandai semakin terdesaknya pantai
mendekati jalan raya, berkurangnya vegetasi yang
berakibat pada kecenderungan penurunan jumlah penyu
hijau yang bertelur. Hal ini diduga kuat berhubungan
dengan preferensi penyu terhadap karakteristik vegetasi.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan komposisi dan
struktur vegetasi, serta preferensi penyu memilih lokasi
bertelur berdasarkan karakteristik vegetasi. Komposisi
vegetasi ditentukan melalui analisis vegetasi dengan
metode plot kuadrat, penentuan struktur hutan ditentukan
dengan diagram profil berdasarkan plot contoh 10x60m2
dan menggunakan software SeXI-FS. Preferensi peneluran
penyu ditentukan menggunakan uji ANOVA, uji Kruskal
Wallis,dan analisis regresi linier berganda menggunakan
delapan parameter vegetasi. Terdapat tiga zona vegetasi di
pantai peneluran ini yang didominasi Spinifex littoreus
pada zona gumuk pasir; Pandanus tectorius pada zona
punggung bukit; Calophyllum inophyllum pada zona
transisi hutan. Selama Januari 2018 hingga April 2019
tercatat 430 sarang di enam stasiun, dan menunjukkan
adanya perbedaan yang siginifikan (F=30,851; p-
value<0,001). Preferensi lokasi bersarang penyu hijau yaitu
kerapatan pandan (F= 3,098; p-value<0,05) dengan kisaran
6000-10000 batang/ha, lebar vegetasi (F= 4,128; p-
value<0,05) dengan kisaran 48,4-112 meter, dan dominansi
herba rambat (H= 11,636; p-value<0,05) dengan kisaran
1,38-11,49%. Karakteristik vegetasi yang memengaruhi
perilaku preferensi adalah kerapatan pohon (R=-0,733; p
value<0.05), kerapatan tajuk (R= 0,718; p value<0.05),dan
kerapatan pandan (R= 0,709; p-value<0.05).
Chelonia mydas, ekosistem pantai, kerapatan pohon,
kerapatan pandan, habitat penyu
CO-02
Orchid and Hoya host tree preferences: new
evidence of plant diversity on the success of
Wanagama Educational Forest Rehabilitation,
Yogyakarta
Atus Syahbudin1,♥, Abdul Rahman Sidiq2 1Forestry Study Program, Faculty of Forestry, Universitas Gadjah Mada.
Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta 2 Forest Management Study Program, Department of Biological and
Veterinary Technology, Vocational School, Universitas Gadjah Mada.
Sekip Unit 1, Sleman 55281, Yogyakarta
Wanagama Educational Forest (WEF), Gunungkidul,
Yogyakarta was a rehabilitated bare land since 1964. The
current WEF’s biodiversity is increasing. However, the
presence of orchids and hoya has never been reported.
Whereas its existence is an indicator of improvement in
microclimate over the past 50 years. This study aims to
determine the host tree preferences of orchids and hoya.
Data were collected from compartment 5 WEF as an early
rehabilitation compartment covering an area of 10 hectares.
All areas were explored during February-May 2018 to
conduct tree census and identification. The study
documented 28 host trees preferences of orchid and hoya.
The most host tree species is teak (Tectona grandis).
Orchid and hoya attached to the main stem (28.3%) and the
rest are in branches. Stem diameter of 20-30 cm has the
most orchid and hoya (27.5%), followed by 30-40 cm
(24.4%) and 10-20 cm (13.9%). Their existence is closely
related to stem diameter and the bark of the host tree
(estimated due to substrate conditions and microclimate).
Its presence can be a new proof that the WEF has
succeeded in leading to a successful ecosystem. The
ABS SOC INDON BIODIV, Magelang, 31 Agustus 2019, pp. 1-22 11
diversity of orchid and hoya presented in this paper will
greatly support environmental education at WEF.
Bare land, critical land, diversity, hoya, dry land orchids,
Wanagama
CO-03
Effect of wildfires on vegetation in tropical
peatlands
Sinta Haryati Silviana1,♥, Bambang Hero Saharjo2,♥♥,
Sigit Sutikno3
1 Tropical Silviculture Study Program, Graduate School, Institut Pertanian
Bogor. Jl. Lingkar Akademik, Bogor 16680, West Java, Indonesia. 2 Department of Silviculture, Faculty of Forestry, Institut Pertanian Bogor. Jl. Ulin, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, West Java, Indonesia. 3 Department of Civil Engineering, Faculty of Engineering, Universitas
Riau, Pekanbaru 28293, Riau Indonesia
Wildfires are one of the main causes of forest destruction,
disturbing forest sustainability. Wildfires are mainly caused
by human activities, such as land clearing, wood
harvesting, draining, etc. Wildfires could induce the loss of
vegetation. This study aimed to evaluate the effect of
wildfires on both vegetation biomass and necromass on
coastal peatland ecosystems in Sungai Tohor Village,
Tebing Tinggi Timur Subdistrict, Meranti Islands District,
Riau Province, Indonesia. The analysis of vegetation and
biomass composition both above and below the ground
were performed. The approach used a paired sample with 4
replications (n = 4 burnt, n=4 unburnt). The variables
observed in every research sites was analyzed using
Student-T test. Models were generated and then validated
to understand the effect of fires on vegetation biomass loss.
The results showed that there was a significant difference
between the unburned area and burned area (P <0.01).
Wildfires affected the quantity of living plants (biomass)
by comparison 2.36: 1. The quantity of dead plants
(necromass) was greater than biomass. These suggest that a
high intensity of forest fires had occurred in this sites.
Biomass, burned peatlands, fire, necromass, unburned
peatlands.
CO-04
Evaluasi kesesuaian habitat penyu hijau (Chelonia
mydas) di Pantai Sindangkerta, Tasikmalaya,
Jawa Barat
Agustina Kristin Handayani1,♥, Ichsan Suwandhi1, Devi
Nandhita Choesin2
1 Program Srudi Rekayasa Kehutanan, Sekolah Ilmu dan Teknologi
Hayati, Institut Teknologi Bandung, Jl. Let. Jend. Purn. Dr. (HC) Mashudi No.1, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat 2Program Studi Biologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut
Teknologi Bandung. Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132, Jawa Barat
Penurunan populasi penyu hijau (Chelonia mydas) di
Suaka Margasatwa (SM) Sindangkerta, Jawa Barat,
merupakan masalah kompleks yang disebabkan oleh faktor
alami dan aktivitas manusia. Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi kesesuaian habitat peneluran penyu hijau
pada enam blok di SM Sindangkerta berdasarkan kondisi
biofisik dan aktivitas manusia. Terdapat tujuh parameter
biofisik dan aktivitas manusia di SM Sindangkerta yang
diukur, yaitu (i) kemiringan pantai, (ii) lebar pantai, (iii)
suhu pasir, (iv) komposisi pasir, (v) ukuran butir pasir, (vi)
tutupan vegetasi pantai, dan (vii) tutupan struktur buatan
manusia. Analisis kesesuaian habitat dilakukan
menggunakan aplikasi ArcMap dengan metode tumpang
susun (overlay). Hasil pengukuran parameter di setiap blok
diklasifikasikan ke dalam tiga kelas kesesuaian. Setiap
parameter diberi bobot nilai berdasarkan metode regresi
linier berganda. Indeks Kesesuaian Habitat (IKH) diperoleh
dengan mengalikan bobot parameter dengan nilai
pengukuran parameter. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dari enam blok lokasi peneluran penyu, hanya satu
blok yang termasuk ke dalam kelas sesuai dengan IKH
272%, yaitu Blok Tegal Sereh. Hal ini didukung oleh
faktor tutupan struktur buatan manusia yang cenderung
rendah (hanya 1% dari 30% batas toleransi maksimum).
Enam blok termasuk kedalam kelas tidak sesuai dengan
IKH 132%-141%. Secara umum, kondisi ini terkait dengan
faktor tidak sesuainya kondisi lebar pantai dan rendahnya
tutupan vegetasi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pertimbangan untuk pengelolaan kawasan
pantai, khususnya sebagai habitat peneluran penyu hijau.
Chelonia mydas, kesesuaian habitat, peneluran penyu hijau,
struktur buatan manusia, tutupan vegetasi pantai, komposisi
pasir
CO-05
Karakteristik Iluminasi Cahaya dan kebisingan
antropogenik di habitat peneluran penyu hijau
(Chelonia mydas) Suaka Margasatwa
Sindangkerta, Tasikmalaya, Jawa Barat
Susi Handayani1,♥, Ichsan Suwandhi1, Devi Nandita
Choesin2
1 Program Srudi Rekayasa Kehutanan, Sekolah Ilmu dan Teknologi
Hayati, Institut Teknologi Bandung, Jl. Let. Jend. Purn. Dr. (HC) Mashudi No.1, Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat 2Program Studi Biologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut
Teknologi Bandung. Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132, Jawa Barat
Penyu hijau (Chelonia mydas) merupakan hewan dari kelas
reptilia laut yang melakukan peneluran di daratan pantai.
Penyu hijau mendarat di pantai tertentu sesuai
preferensinya. Preferensi penyu hijau untuk faktor suasana
terdiri dari iluminasi cahaya 0-3 lux dan tekanan suara
maksimum sebesar 39 dB. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kondisi iluminasi cahaya dan tingkat
kebisingan antropogenik pada enam blok peneluran penyu
hijau di Suaka Margasatwa Sindangkerta, Jawa Barat.
Penentuan iluminasi cahaya dilakukan dengan mengukur
ABS MASY BIODIV INDON, Magelang, 31 Agustus 2019, hal. 1-22 12
intensitas pada sumber cahaya yang menghadap ke area
peneluran kemudian dihitung dengan rumus hukum cosinus
Lambert. Tingkat kebisingan diukur pada tujuh selang
waktu pengukuran mengacu pada KEP-
48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan.
Nilai kebisingan diperoleh dalam satuan dB tanpa
pembobotan. Hasil penelitian menunjukkan nilai iluminasi
cahaya tertinggi yang sampai ke area peneluran adalah 1,58
lux dengan sumber cahaya berupa lampu penyinaran jalan
dengan sinar berwarna putih. Tekanan suara tertinggi dari
jalan raya yang sampai ke area peneluran adalah 65,35 dB
dengan peredaman sebesar-5,56 dB. Berdasarkan nilai
iluminasi cahaya, seluruh blok peneluran termasuk kategori
layak dalam rentang iluminasi 0,002-1,58 lux. Berdasarkan
tingkat kebisingan, hanya blok Panarikan yang termasuk
kategori layak dengan tingkat kebisingan 36,86 dB dan
peredaman sebesar 9,78 dB oleh vegetasi di sempadan
pantai setebal 121 m.
Antropogenik, Chelonia mydas, preferensi, sempadan pantai
CO-06
Analisis fragmentasi hutan berdasarkan
klasifikasi tutupan lahan menggunakan Object
Based Image Analysis (OBIA) di Kawasan
Koridor Gunung Simpang, Jawa Barat
Sony Saefulloh♥, Rina Ratnasih Irwanto, Nuruddin
Nurudin
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. Jl.
Ganesha No. 10, Bandung 40132, Jawa Barat
Konektivitas tinggi beserta area hutan yang kompak dan
tidak terfragmentasi merupakan kondisi koridor satwa yang
ideal. Jika terfragmentasi, konektivitas hutan akan
berkurang dan menyebabkan mobilitas satwa terganggu.
Salah satu area yang berpotensi sebagai penghubung
habitat satwa yaitu area koridor Gunung Simpang yang
menghubungkan antara Gunung Simpang dan Gunung
Tilu. Saat ini informasi tentang kondisi hutan koridor
sebagai penghubung kedua cagar alam tersebut belum
diketahui secara pasti. Penelitian ini bertujuan untuk
menentukan tingkat fragmentasi hutan dan kondisi
konektivitas hutan berdasarkan kondisi tutupan lahan di
area koridor. Tutupan lahan hasil pemetaan ditentukan
melalui klasifikasi berbasis objek (OBIA) menggunakan
aplikasi eCognition Developer. Ketepatan klasifikasi
tutupan lahan ditentukan melalui uji akurasi overall dan uji
akurasi kappa. Penentuan fragmentasi hutan dan kondisi
konektivitas hutan dianalisis menggunakan aplikasi
Fragstat 4.2. Parameter Correlation Length Index (CLI) dan
Interspersion Juxtaposition Index (IJI) digunakan untuk
menganalisis kondisi konektivitas hutan. Fragmentasi hutan
dianalisis dengan menggunakan enam parameter meliputi
jumlah fragmen (NP), kerapatan fragmen (PD), total tepi
(TE), kerapatan tepi (ED), luas fragmen rata-rata
(Area_MN) dan indeks bentuk fragmen rata-rata
(Shape_Index). Setelah itu, dilakukan pembobotan untuk
menentukan tingkat fragmentasi hutan. Hasil klasifikasi
menunjukkan terdapat tujuh tutupan lahan, yaitu hutan
(245,15 ha), area terbangun (0,56 ha), sungai (1,02 ha),
semak belukar (121,62 ha), lahan pertanian (18,15 ha),
kebun teh (2,17 ha), dan lahan terbuka (2,03 ha) dengan
tingkat akurasi overall 90,52% dan akurasi kappa 87,98%.
Konektivitas hutan memiliki kondisi fragmen yang
cenderung berkelompok (IJI=20,64%) dan memiliki jarak
keterhubungan (CLI) sebesar 503,73 m. Fragmentasi di
hutan koridor memiliki nilai NP=1293, PD=330,9
fragmen/100 ha, TE=397,44 km, ED=1017,14 m/ha,
Area_MN=0,18 ha, dan Shape_Index=1,51 yang
menujukan bahwa tingkat fragmentasi hutan tergolong
sangat tinggi.
Indeks fragmentasi hutan, konektivitas hutan, koridor satwa
CO-07
Pemetaan kesesuaian habitat Owa Jawa
(Hylobates moloch Audebert, 1798) di Cagar Alam
Gunung Simpang dan Gunung Tilu, Jawa Barat
Selly Surya♥, Rina Ratnasih Irwanto, Nuruddin
Nurudin
Program Studi Rekayasa Kehutanan, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. (Jalan Let. Jend. Purn. Dr. (HC) Mashudi 1,
Jatinangor, Sumedang 45363, Jawa Barat, Indonesia
Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Owa Jawa
Tahun 2016-2026 merupakan acuan dalam penyusunan
program konservasi Owa Jawa yang dikeluarkan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Salah satu
aksi konservasi yang direncanakan adalah perancangan
koridor habitat Owa Jawa, diantaranya adalah koridor
antara Cagar Alam Gunung Simpang (CAG Simpang) dan
Cagar Alam Gunung Tilu (CAG Tilu). Menurut SRAK,
informasi mengenai persebaran kesesuaian habitat secara
spasial diperlukan dalam perancangan koridor habitat Owa
Jawa. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan kesesuaian
habitat Owa Jawa (Hylobates moloch) beserta informasi
mengenai vegetasi di setiap kelas kesesuaian habitatnya di
CAG Simpang dan CAG Tilu. Indeks Kesesuaian Habitat
(IKH) diperoleh dengan menggunakan metode Principal
Component Analysis (PCA) yang kemudian diproyeksikan
menjadi peta kesesuaian habitat. Data yang digunakan
untuk pemodelan kesesuaian habitat adalah koordinat
perjumpaan Owa Jawa. Normalized Difference Vegetation
Index/NDVI (X1), ketinggian (X2), jarak dari sungai (X3),
jalan (X4) dan lahan budidaya (X5) dijadikan sebagai
variabel penentu kesesuaian habitat. Komposisi vegetasi
pada setiap kelas kesesuaian habitat diperoleh dari analisis
vegetasi dengan menggunakan metode kuadrat berukuran
20 x 20 m untuk pohon dan 10 x 10 m untuk tiang. Data
vegetasi digunakan untuk menghitung nilai
keanekaragaman (H’) dan nilai penting setiap jenis pohon
pada masing-masing kelas kesesuaian habitat. Hasil
pemodelan menunjukkan bahwa dengan formula IKH =
[(2,193 x X2)+(2,193 x X4)+(2,193 x X5)+(1,227 x
X1)+(1,227 x X3)], selang nilai IKH di CAGSimpang dan
ABS SOC INDON BIODIV, Magelang, 31 Agustus 2019, pp. 1-22 13
CAGTilu adalah 11,49-27,09 yang kemudian diklasifikasi
menjadi kelas kesesuaian rendah, sedang dan tinggi.
Habitat dengan kelas kesesuaian tinggi memiliki jenis
pohon yang lebih beragam (H’=2,63) dibandingkan dengan
kelas kesesuaian sedang (H’=2,53) dan rendah (H’=1,66).
Komunitas pohon yang mendominasi kelas kesesuaian
habitat rendah dan sedang sama, yaitu Schima-Castanopsis,
sedangkan pada kesesuaian habitat tinggi adalah Trema-
Castanopsis. CAGSimpang memiliki proporsi kelas
kesesuaian habitat tinggi yang lebih besar dibandingkan
dengan CAGTilu, yaitu 65,11% dari luas kawasan
CAGSimpang.
CAG Simpang, CAG Tilu, kesesuaian habitat, Owa Jawa,
PCA
CO-08
Karakteristik morfologi jamur Ceratocystis
fimbriata dan uji virulensinya pada daun Acacia
mangium dan A. auriculiformis
Nur Hidayati♥, Desy Puspitasari
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan
Tanaman Hutan Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15,
Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta
Jamur Ceratocystis sp. saat ini telah menjadi ancaman yang
cukup serius untuk tanaman kehutanan terutama pada jenis-
jenis Acacia dan Eucalyptus. Di Indonesia, Ceratocystis
diketahui menyebabkan penyakit layu tajuk pada Acacia
crassicarpa dan A. mangium. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui karakteristik morfologi jamur Ceratocystis
fimbriata secara makroskopis dan mikroskopis serta uji
virulensinya pada daun Acacia mangium dan A.
auriculiformis. Uji karakteristik menggunakan isolat jamur
C. fimbriata yang ditumbuhkan pada media Malt Extract
Agar (MEA) dan Potato Dextrose Agar (PDA) isolat CTA
169 dan CTA 170 koleksi dari PT Riau Andalan Pulp and
Paper (RAPP), Riau sedangkan uji virulensinya
menggunakan daun A. Mangium dan A. Auriculiformis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jamur C. fimbriata
yang ditumbuhkan pada media PDA mempunyai
pertumbuhan miselium yang lebih luas dan cepat daripada
yang ditumbuhkan pada media MEA dari hari pertama
sampai hari ke-14. Hifa C. fimbriata berwarna putih tanpa
adanya sekat. Klamidiospor terletak pada bagian interkalar
sedangkan pada pengamatan hari ke-7 miselium mengalami
perubahan warna menjadi putih keabu-abuan sampai hari
berikutnya. Secara mikroskopis, isolat CTA-170 yang
diamati dibawah mikroskop stereo sudah terdapat
perithecium dengan hifa ostiolar yang cukup panjang,
namun belum terdapat askosopra. Uji virulensi
menunjukkan bahwa isolat C. fimbriata yang paling virulen
terhadap kedua spesies daun akasia adalah CTA-170, di
mana jamur ini yang memiliki jumlah
askospora/perithecium lebih banyak dibandingkan CTA-
169. Gejala serangan menunjukkan mula-mula pada kulit
pulihan dekat dengan irisan sadapan terdapat bercak-bercak
mengendap. Warna bercak cepat berubah menjadi hitam
dan meluas, sehingga terjadi jalur hitam yang sejajar
dengan irisan sadapan.
Ceratocystis fimbriata, karakteristik morfologi, uji virulensi
CO-09
Pertumbuhan semai Acacia auriculiformis dengan
aplikasi Rhizobium dan media tanah dari bawah
tegakan A. auriculiformis
Siti Husna Nurrohmah
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan
Tanaman Hutan Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15,
Purwobinangun, Pakem, Sleman 55582, Yogyakarta
Acacia auriculiformis merupakan salah satu tanaman cepat
tumbuh yang termasuk anggota leguminosae yang dapat
bersimbiosis dengan bakteri rhizobium. Inokulasi legin
(rhizobium) dan penggunaan tanah dari bawah tegakan
akor diharapkan dapat memenuhi ketersediaan rhizobium
bagi semai akor.. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
pengaruh penambahan rhizobium dan penggunaan media
dari bawah tegakan akor pada pembentukan bintil akar
serta pertumbuhan semai. Hasil penelitian menunjukkan
inokulasi rhizobium dan penggunaan media dari bawah
tegakan akor maupun interaksi keduanya belum
menunjukkan pengaruh nyata pada parameter pertumbuhan
tinggi, jumlah daun dan panjang akar yang didukung tidak
ada beda nyata pula pada jumlah bintil dan diameter bintil
semai akor. Namun demikian nampak ada pengaruh nyata
pada diameter semai yang cenderung rendah dengan
peningkatan konsentrasi rhizobium bahkan perlakuan T2L5
(Kombinasi perlakuan tanah dari bawah tegakan akor dan
konsentrasi rhizobium 5 g) menunjukkan diameter
terendah. Berdasarkan hasil penelitian, perlakuan T2L5
tidak direkomendasikan digunakan karena diasumsikan
memiliki konsentrasi rhizobium terlalu tinggi sehingga
adanya kompetisi antar bakteri yang menyebabkan justru
menghambat pertumbuhan. Semai yang diberi perlakuan
T2L5 menunjukkkan kecenderungan pertumbuhan tinggi
dan panjang akar yang juga rendah.
Acacia auriculiformis, bintil akar, rhizobium, media,
pertumbuhan
CO-10
Identifikasi kualitas air Sungai Progo Magelang
dengan indikator makrozoobentos
Ericka Darmawan♥, Ika Sukmawati, Mu'asaroh, Septi
Rahmawati
Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tidar. Jl. Kapten Suparman 39, Magelang 56116,
Jawa Tengah
Sungai merupakan salah satu bentuk ekosistem yang
berperan sebagai media kehidupan organisme makro
ABS MASY BIODIV INDON, Magelang, 31 Agustus 2019, hal. 1-22 14
ataupun mikro. Namun, kualitas air sungai dapat menurun
sebagai akibat dari pencemaran. Untuk mengetahui kualitas
air, ada sejumlah parameter yang dapat digunakan. Di
antara parameter-parameter tersebut, keanekaragaman
hewan makrozoobentos dapat digunakan sebagai indikator
kualitas air sungai. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis kualitas air Sungai Progo, Magelang, Jawa
Tengah berdasarkan indikator makrozoobentos. Metode
penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif.
Penelitian ini dilakukan di sepajang hulu hingga hilir
Sungai Progo dengan lima titik stasiun, yang masing-
masingnya dilakukan pengamatan dengan lima kali
ulangan. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 25 kali
di semua stasiun pengamatan. Pengambilan sampel
makrozoobentos dilakukan menggunakan plot berukuran
30 x 40 cm2. Data yang dikumpulkan meliputi jumlah
organisme makrozoobentos di masing-masing stasiun,
hingga didapatkan Indeks kemerataan dan indeks
keanekaragaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
densitas hewan makrozoobentos yang tertinggi adalah
Tubificidae pada stasiun I. Indeks kemerataan
makrozoobentos tertinggi ada pada stasiun II sebesar
0.7558; demikian pula dengan indeks keanekaragaman
tertinggi berada pada stasiun II sebesar 1.8780. Keberadaan
Tubificidae yang melimpah dapat diinterpretasikan bahwa
Sungai Progo pada titik-titik pengamatan memiliki kualitas
air yang rendah/kotor karena Tubificidae merupakan salah
satu indikator organisme toleran. Dengan demikian,
berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk menjaga
kebersihan Sungai Progo dengan mengurangi tingkat
pencemarannya.
Kualitas air, indikator pencemaran air, makrozoobentos,
indeks kemerataan, indeks keanekaragaman
CO-11
Makrozoobentos sebagai indikator kualitas air
Sungai Progo, Bandongan, Magelang, Jawa
Tengah
Anis Magfiroh♥, Kurnia Hanik Mufidah, Sari Dewi
Susanti, Rivi Nuryani, Ericka Darmawan, Ika
Sukmawati
Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Tidar. Jl. Kapten Suparman 39, Magelang 56116,
Jawa Tengah
Sungai Progo merupakan sungai terbesar di Magelang,
Jawa Tengah dan memiliki hulu di kawasan Gunung
Sindoro. Mengingat peran penting dan strategis Sungai
Progo untuk kawasan Magelang dan sekitarnya maka
pengamatan terhadap kualitas air sungainya menjadi
penting. Salah satu cara mengetahui kualitas air sungai
adalah dengan menggunakan makrozoobentos.
Makrozoobentos dapat digunakan sebagai parameter
kualitas sungai karena hewan tersebut hidupnya relatif
diam di dasar sungai dan terpapar oleh kualitas air sungai.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kualitas air
Sungai Progo, di Bandongan, Magelang. Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif eksploratif dengan
pendekatan kuantitatif yang menggunakan metode
sampling animals population (sampling populasi hewan).
Penelitian ini di lakukan di musim kemarau pada bulan
Juni 2019. Identifikasi makrozoobentos dilakukan di
Laboratorium Terpadu IPA, FKIP Untidar, Magelang
dengan mengacu pada tabel makrobentos Wardhana
(2006). Hasil penelitian menunjukkan makrozoobentos
dominan yang ditemukan adalah Eurydice pulchra,
Parathelphura convexa, Gerris remigis dan Mniovlia
khusceli. Kualitas air Sungai Progo ditentukan berdasarkan
indeks keanekaragaman makrozoobentos. Kesimpulan
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas air
Sungai Progo termasuk dalam kategori tercemar sedang
berdasarkan indeks keanekaragaman makrobentos.
Sungai, Progo, makrozoobentos, indikator.
CO-12
Uji kualitas air berdasarkan parameter
bioindikator makrozoobentos di Sungai Bolong,
Magelang, Jawa Tengah
Setiyo Prajoko♥, Karunia Galih Permadani, Faiqoh,
Ivana Riqoh
Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tidar. Jl. Kapten Suparman 39, Magelang 56116,
Jawa Tengah
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas air
Sungai Bolong berdasarkan parameter bioindikator
makrozoobentos. Kualitas air menggunakan indeks
keanekaragaman Shannon-Wienner. Metode purposive
sampling digunakan untuk menentukan 5 stasiun
pengumpulan sampel. Pengambilan makrozoobentos
dilakukan dengan menggunakan serok dan nampan di dasar
perairan sungai. Pengambilan sampel dilakukan dengan
dua kali pengulangan. Data dianalisis menggunakan Indeks
keanekaragaman dan indeks keseragaman untuk kemudian
ditentukan kualitas air berdasarkan parameter bioindikator
tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh indeks
keanekaragaman makrozoobentos sebesar 1,895.
Berdasarkan indeks tersebut, kualitas air di Sungai Bolong
termasuk termasuk kategori sedang sampai baik.
Bioindikator, kualitas air, makrozoobentos, Sungai Bolong
CP-01
Komunitas burung pada beberapa tipe vegetasi di
kawasan Taman Buru Gunung Masigit-Kareumbi,
Jawa Barat, Indonesia
Ruhyat Partasasmita♥, Reski Akbar Mantsuur, Johan
Iskandar
Departmen Biologi, Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung Sumedang Km. 21, Jatinangor,
Sumedang 45363, Jawa Barat
ABS SOC INDON BIODIV, Magelang, 31 Agustus 2019, pp. 1-22 15
Taman Buru Gunung Masigit-Kareumbi (TBGMK)
merupakan kawasan konservasi yang terdekat dari Kota
Bandung. Kawasan tersebut memiliki banyak tipe vegetasi
sebagai penyusun habitat bagi berbagai jenis satwa liar,
termasuk komunitas burung. Tipe-tipe vegetasi penyusun
habitat satwa di antaranya tipe vegetasi hutan alam, hutan
sekunder, hutan produksi, perkebunan, dan semak.
Berbagai tipe vegetasi pada saat bersamaan berperan
sebagai habitat burung. Dengan demikian, diduga
keragaman burung sangat diperngaruhi oleh jenis-jenis
tumbuhan yang menyusun tipe vegetasi tersebut. Oleh
karena itu, tujuan penelitian untuk mengetahui struktur
komunitas dan peranannya berdasarkan pengelompokan
guild di beberapa tipe vegetasi. Penelitian menggunakan
titik hitung untuk mengetahui keanekaan jenis burung,
sedangkan pengelompokan berdasarkan guild dilakukan
dengan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kekayaan spesies TBGMK sangat besar yaitu 92 spesies
dari 34 famili. Indeks keanekaan tertinggi di tipe vegetasi
hutan produksi (3,74), sedangkan tertendah di tipe vegetasi
perkebunan (2,97). Nilai indeks keanekaan di tipe hutan
alam (2,99) tampaknya tidak berbeda secara signifikan
dengan tipe vegetasi perkebunan, namun indeks kesamaan
jenis menunjukkan yang sangat tinggi (77,8), karena semua
jenis burung yang ada di hutan tidak ditemukan di tipe
vetegasi perkebunan. Burung Streptopelia chinensis sangat
umum ditemukan dengan nilai frekuensi relatif tertinggi
(56%), sedangkan kelimpahan relatif tertinggi adalah
Pycnonotus aurigaster (4,29%). Namun, jenis burung yang
ditemukan pada tipe vegetasi tertentu dengan kelimpahan
yang sangat kecil adalah jenis kadalan kembang, sikat
bubik, empuloh jangut, celepuk reban, cicakopi melayu,
dan gemak loreng, berturut turut Fr (4%) dan Kr (0,13).
Gunung Masigit-Kareumbi, keanekeaan jenis, komposisi
jenis, struktur komunitas, guild, taman buru
Etnobiologi & Sosial Ekonomi
DO-01
Perubahan peraturan tentang jenis burung yang
dilindungi di Indonesia
Ign. Pramana Yuda♥, Yulius Harjoseputro
Fakultas Teknobiologi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Jl. Babarsari
44, Sleman 55281, Yogyakarta
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.
P.106/2018 telah merubah daftar jenis tumbuhan dan satwa
liar, yang dilindungi di Indonesia. Menurut peraturan
terbaru ini 904 jenis tumbuhan dan satwa liar dilindungi,
diantaranya 557 jenis burung. Makalah ini menyampaikan
hasil 6 seri focus group discussion (FGD) dengan staf
BKSDA di Jawa (Yogyakarta, Semarang, Surabaya,
Jakarta dan Bandung) dan Bali (Denpasar) tentang
implikasi dan kesiapan staf dengan adanya perubahan
tersebut. Hasil FGD menunjukan bahwa strategi
komunikasi (sosialisasi) perubahan kurang baik, sehingga
menimbulkan ketidaksiapan BKSDA dalam
mengimplentasikannya. FGD in juga melakukan penilaian
singkat tentang kemampuan staf KSDA dalam identifikasi
15 jenis burung (paruh bengkok, elang dan berkicau) yang
dilindungi dan masih banyak diperdagangkan. Hasilnya
menunjukan bahwa rerata 41% (±27, n=59) staff mampu
mengidentifikasi seluruh jenis burung yang diuji.
Kelompok elang paling mudah diidentifikasi (62% ±11);
dibandingkan burung paruh bengkok (17% ±2) dan burung
berkicau (35%±21). Hasil ini mengindikasikan perlunya
peningkatan kapasitas staf BKSDA dalam mengidentifikasi
jenis burung yang dilindungi di Indonesia
BKSDA, burung, dilindungi, identifikasi, P.106
DO-02
Ragam tumbuhan obat untuk mengatasi tumor
dan kanker dari beberapa etnis di Propinsi
Bengkulu
Yuli Widiyastuti1,♥, R. Mujahid1, Usman Siswanto2 1Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat
Tradisional Jl. Raya Lawu 11, Tawangmangu, Karanganyar 57792, Jawa Tengah 2Fakultas Pertanian Universitas Tidar, Jl. Kapten Suparman 39, Magelang
56116, Jawa Tengah
Kanker merupakan sekumpulan penyakit yang disebabkan
oleh perubahan sifat normal sel, yaitu sel menjadi lebih
agresif (tumbuh dan membelah tanpa terkendali). Kanker
menjadi salah penyakit penyebab kematian terbanyak di
dunia. Pengobatan kanker yang belum memberikan
kepuasan terhadap pasien mendorong masyarakat mencari
alternative pengobatan secara tradisional. Indonesia kaya
akan jenis-jenis tumbuhan obat yang dipercaya mampu
mengobati kanker dan tumor. Penelitian dilakukan untuk
mengetahui potensi tumbuhan obat yang digunakan dalam
pengobatan kanker dan tumor oleh pengobat tradisional
dari beberapa etnis di Propinsi Bengkulu. Penelitian
dilakukan pada pengobat tradisional di beberapa etnis di
Propinsi Bengkulu menggunakan metode survei dengan
pemilihan subyek (informan) secara purposive. Penggalian
informasi menggunakan kuesioner terbuka dan indepth
interview. Dari penelitian diperoleh sebanyak 70 jenis
tumbuhan obat dari 24 famili yang digunakan oleh
pengobat tradisional untuk pengobatan tumor dan kanker
dari 5 suku di Propinsi Bengkulu. Daun adalah bagian
tanaman yang paling banyak digunakan untuk pengobatan
kanker. Kayu singgah merupakan jenis tumbuhan obat
yang mempunyai nilai penggunaan paling tinggi di
Propinsi Bengkulu. Kanker dan tumor menjadi salah satu
dari 10 besar penyakit yang ditangani oleh pengobat
tradisional dengan menggunakan tanaman obat di Propinsi
Bengkulu. Beberapa jenis tumbuhan yang digunakan
merupakan tumbuhan jenis paku dan benalu yang tidak
memungkinkan untuk dibudidayakan, sehingga
memerlukan perhatian dalam pengelolaan panennya agar
dapat melindungi populasi tumbuhan ini di alam.
ABS MASY BIODIV INDON, Magelang, 31 Agustus 2019, hal. 1-22 16
Bengkulu, tumbuhan obat, tumor, kanker
DO-03
Potensi padi lokal sumber pangan fungsional di
Kalimantan Timur
Sumarmiyati♥, Fitri Handayani
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Jl. PM.
Noor, Sempaja, Samarinda 75119, Kalimantan Timur
Padi lokal merupakan salah satu sumber pangan yang
dibudidayakan secara turun-temurun oleh masyarakat
pedalaman di Kalimantan Timur. Keberadaan padi lokal
hampir tersebar diseluruh wilayah pedalaman di
Kalimantan Timur. Dalam proses penyebarannya selama
berpuluh-puluh tahun telah terjadi proses seleksi oleh
petani sehingga terbentuk keanekaragaman genetik yang
amat luas. Kultivar-kultivar padi lokal tersebut sebagian
besar merupakan kultivar padi beras dan kultivar padi
ketan, diantaranya berwarna putih, kekuningan, merah, dan
hitam. Padi lokal sebagai sumber utama penyediaan pangan
sebagian masyarakat di Kalimantan Timur dibudidayakan
secara existing oleh petani dengan cara sederhana
(subsisten) tanpa inovasi teknologi budidaya karena dinilai
mampu mempertahankan cita rasa keaslian padi lokal. Saat
ini padi-padi lokal tersebut banyak dimanfaatkan untuk
konsumsi, sumber benih dan bahkan dijual dalam bentuk
produk beras organik. Dalam bidang penelitian padi lokal
banyak dimanfaatkan sebagai tetua persilangan karena
memiliki keunggulan tertentu. Beberapa hasil penelitian
menunjukan bahwa padi-padi lokal mempunyai
keunggulan dalam nilai fungsionalnya yaitu fungsi
fisiologis yang bermanfaat bagi kesehatan. Upaya
pengembangan dan pelestarian dilakukan untuk menjaga
ketersediaan varietas padi lokal melalui konservasi
ditingkat petani (on farm) serta pengembangan pangsa
pasar.
Potensi, padi lokal, pangan fungsional
DP-01
Etnozoologi mengenai hama tanaman padi sawah
dan pengelolaannya di Desa Karangwangi,
Kecamatan Cianjur, Jawa Barat
Ruhyat Partasasmita1,♥, Budiawati Supangkat
Iskandar2, Putri Nabilatuzzahroh3, Johan Iskandar1 1Departmen Biologi, Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam,
Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung Sumedang Km. 21, Jatinangor,
Sumedang 45363, Jawa Barat 2Departmen Anthropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor,
Sumedang 45363, Jawa, Indonesia. 3 Program Studi Anthropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor,
Sumedang 45363, Jawa, Indonesia
Pemenuhan kebutuhan makanan pokok masyarakat
perdesaan di Desa Karangwangi, Kabupaten Cianjur, Jawa
Barat sangat mengandalkan hasil pertanian, terutama padi
sawah. Namun, pertumbuhan padi di sawah sering
mengalami gangguan hama, mulai padi ditanam sampai
dipanen, sehingga hasil panen tidak maksimal. Pada
umumnya, para petani sesuai tingkat pengetahuannya
sering melakukan usaha penanggulangan hama dengan
berbagai cara pada setiap tahap pertumbuhan padi. Oleh
karena itu, pengkajian pengetahuan petani mengenai hama
padi serta pengendaliannya pada lahan sawah perlu
dilakukan. Metode dalam penelitian ini ialah metode
kualitatif dengan pendekatan etnografi. Pengumpulan data
dilakukan dengan observasi, pengamatan terlibat, serta
wawancara dengan informan. Hasil penelitian,
menunjukkan bahwa hama yang menyerang tanaman padi
pada lahan sawah ialah gaang, keong mas, ku’uk, hama
bodas, butak, hama beureum, simeut, wereng coklat,
bebeluk, kungkang, bolokotono, lembing batu dan manuk
piit. Para petani mengetahui cara meracik pestisida nabati
dari tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitarnya untuk
menanggunangi hama yang menyerang padi. Pengetahuan
pengendalian hama diwariskan secara turun temurun dan
diperoleh juga dari kerabat-kerabatnya. Petani mempelajari
penanggulangan hama dan mengelola lahan sawahnya
dengan cara melihat, mengamati, ikut serta dari sejak anak
sehingga bisa mengelola lahan pertaniannya tersebut.
Namun, pengendalian hama dengan menggunakan pestisida
nabati, petani tidak dilakukan lagi seiring mudah untuk
mendapatkan pestisida kimia dan pupuk anorganik
Pengetahuan lokal, pengendalian hama, hama, sawah, huma
Biosains
EO-01
Volume of gutation and transpiration’s liquid of
Sandalwood based on different slope and crown
position in Pitu’s Village, Nglanggeran Gunung
Sewu, Indonesia
Winastuti Dwi Atamanto1,♥, Pradana Dwi Setyawan2
1Forest Tree Improvement Laboratory, Faculty of Forestry, Universitas
Gadjah Mada. Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta 2Department of Silviculture Faculty of Forestry, Universitas Gadjah Mada.
Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta
Santalum album Linn. is a plant that can live on degraded
land. In its physiological process, sandalwood carries out
transpiration and guttation which secretes fluid from the
leaf side or leaf edge and leaf tips. The purpose of this
study was to determine the effect of slope and crown
position on the amount of guttation and transpiration fluid
produced by sandalwood. This research was carried out in
Pitu Village, Nglanggeran, Gunungkidul, Yogyakarta.
Research analysis was carried out at the Faculty of Forestry
and the Faculty of Agriculture, Universitas Gadjah Mada,
ABS SOC INDON BIODIV, Magelang, 31 Agustus 2019, pp. 1-22 17
Yogyakarta. Quantitative and qualitative analysis of
environmental data, guttation, and transpiration data were
analyzed using SPSS program. The study was conducted in
the dry season of October 2018. The sample used was
sandalwood natural youth which was in 4 groups of tree in
4 slopes, namely 10%, 17%, 130%, and 140%. The
experiment was carried out with a split-plot, on 4 slopes of
each slope selected 5 individuals that representing the
sandalwood in that slope each individual is divided into 3
crown positions west, east and top with 5 replications.
Gutation and transpiration fluid volumes at each slope
show varying values. Sandalwood fluid volume and
transpiration are most common in slope 17% compared to 3
other slopes. fluid volume at slope 17% with a mean of
3,1684 ml in the east canopy position. While the lowest
liquid volume at slope D with an average of 0,2368 ml in
the eastern canopy position.
Gutation, sandalwood, transpiration
EO-02
Screening of indigenous rhizobacteria from West
Sumatra for biological control of Fusarium wilt
and promote growth rate on tomato
Yulmira Yanti1,♥, Warnita2, Reflin1, Hasmiandy Hamid1
1Department of Plant Protection, Faculty of Agriculture, Universitas
Andalas. Kampus Unand Limau Manih, Padang 25163, Sumatera Barat 2Department of Agronomy, Faculty of Agriculture, Universitas Andalas. Kampus Unand Limau Manih, Padang 25163, Sumatera Barat
Plant growth‐promoting rhizobacteria (PGPR) can be
potential agents for biological control of plant pathogens.
This study conducted to screen the best rhizobacteria
indigenous of West Sumatera to control Fusarium wilt
disease and promote growth rate and yields of tomato. All
the study conducted using completely randomized design
with triplications. In the present study, we screened 40
isolates of rhizobacteria indigenous from West Sumatera to
control Fusarium wilt disease and promote growth of
tomato. Soil samples of tomato collected from tomato
growing regions of West Sumatra Province, in Tanah Datar
and Agam District. Among the 40 isolates, 33 were found
to be non-pathogenic from Hypersensitive test and Used
further for assays on seeding. 12 isolates screened which
had best PGPR ability to promote growth to tomato in
seeding. The isolates then were analyzed for their ability to
colonize roots of tomato, control Fusarium oxysporum f.sp.
lycopersici and increase growth and yields in in planta
condition. On the basis of above criteria, 7 isolates were
selected for the best ability to both controls Fusarium wilt
disease and increased plant height, number of leaves,
flowering time, and yields to various extent with respect to
control under in planta conditions. Further in vitro assays
shown all strains also had ability to produce IAA with
various concentration, and all strains shown negative
activity of hemolysin which indicated that all the isolates
were not pathogenic to human. Identification of the isolates
using the 16S rRNA shown that the 7 isolates had
similarity to Bacillus thuringiensis (RY3.4.1WS), Bacillus
cereus strain HYM 88 (RY1.2.5WS), Bacillus cereus strain
APSB-03 (RY2.1.1WS), Bacterium JP60 (RY.2.12WS),
Bacillus sp. M6 RBI (RY3.1.4WS), Bacillus cereus strain
JN23 (RY4.1.1WS) and Bacillus subtilis BSn5
(RY.2.3.6WS). The properties of selected rhizobacteria
strains make them as potential agents to reduce deleterious
impact of Fusarium wilt disease and promote growth and
increase yields of tomato plants.
16S rRNA, hemolysis, IAA, rhizobacteria
EO-03
Antifungal activity of potential biocontrol agents
of Bacillus spp. strains for biocontrol activity
against Sclerotium rolfsii
Yulmira Yanti1,♥, Warnita2, Reflin1, Hasmiandy Hamid1
1Department of Plant Protection, Faculty of Agriculture, Universitas
Andalas. Kampus Unand Limau Manih, Padang 25163, Sumatera Barat 2Department of Agronomy, Faculty of Agriculture, Universitas Andalas.
Kampus Unand Limau Manih, Padang 25163, Sumatera Barat
Sclerotium rolfsii which widely distributed soil-borne plant
pathogen, causes many economically important crops
severely reduce their yield at worldwide extend, including
chili. Because the fungus survives in soil as sclerotia, it is
very difficult to control S. rolfsii using fungicides,
moreover it may also lead to environmental pollutions. Our
previous research had screened nine Bacillus spp. strains
which had ability to control R. syzigii subsp. indonesiensis
and promote growth and yield of chili. Those strains were
Bacillus cereus AGBE 1.2 TL, Bacillus toyonensis AGB E
2.1 TL, Bacillus cereus SLB E 1.1 SN, Bacillus cereus
SLB E 1.1 AP, Bacillus pseudomycoides SLB E 3.1 AP,
Bacillus cereus SLB E 1.1 BB, Bacillus cereus SLB E 2.1
BB, Bacillus thuringiensis SLB E 2.3 BB, and Bacillus
cereus SLB E 3.1 BB. Except strain Bacillus cereus SLB E
1.1 AP and Bacillus pseudomycoides SLB E 3.1 AP, the
rest of isolates could significantly inhibit mycelial growth
in dual culture on TSA medium. All seven selected isolates
showed significant inhibition in disease treatments in
glasshouse experiments.
Biocontrol, endophytic, Bacillus, Sclerotium rolfsii
EO-04
Efektivitas media tanam dan naungan pada
perkecambahan biji dan pertumbuhan semai
kempas (Koompassia excelsa)
Winda Utami Putri♥, Inggit Puji Astuti, Izu Andry
Fijridiyanto
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya (Kebun Raya Bogor), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jl. Ir. H. Juanda No. 13 Bogor 16122, Jawa
Barat
ABS MASY BIODIV INDON, Magelang, 31 Agustus 2019, hal. 1-22 18
Kempas (Koompassia excelsa (Becc.) Taub.) merupakan
salah satu jenis tumbuhan dari Leguminosae yang masuk
dalam kelompok tumbuhan dengan status Lower
Risk/Conservation Dependent berdasarkan data IUCN.
Upaya konservasi diperlukan untuk mencegah terjadinya
kelangkaan dari jenis ini. Salah satu kegiatan yang dapat
dilakukan untuk mendukung upaya konservasi jenis ini
adalah perbanyakan bibit. Penelitian ini dilakukan untuk
menganalisis efektivitas penggunaan beberapa kombinasi
media tanam dengan naungan yang berbeda bagi
perkecambahan biji dan pertumbuhan semai kempas.
Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai
penggunaan komposisi media tanam dan naungan yang
tepat bagi perbanyakan tanaman kempas sehingga mampu
mendukung upaya konservasi jenis tanaman ini.
Penanaman biji dan pengamatan pertumbuhan semai
dilakukan di Laboratorium Treub, Kebun Raya Bogor,
Jawa Barat. Biji yang digunakan pada penelitian ini berasal
dari tanaman kempas koleksi Kebun Raya Bogor. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa daya kecambah biji
mencapai 93.33±5.77% pada media tanam yang terdiri atas
arang sekam, tanah, dan kompos dengan kondisi tanpa
naungan. Biji mulai berkecambah relatif lebih cepat (dua
hari) pada perlakukan kombinasi media arang sekam,
tanah, dan kompos dan tanpa naungan. Pertumbuhan semai
yang digambarkan oleh panjang dan diameter batang
menunjukkan nilai yang relatif lebih tinggi pada
perlakukan kombinasi media arang sekam, tanah, dan
kompos dengan naungan paranet 60% dan tanpa naungan.
Kempas, konservasi, perkecambahan, semai
EO-05
Isolasi dan seleksi rizobakteri tanaman jagung
yang berpotensi sebagai entomopatogen terhadap
Spodoptera litura (Lepidoptera: Pyralidae)
Novri Nelly♥, U. Khairul, A.Y Putri
Program Studi Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Universitas Andalas.
Kampus Unand Limau Manih, Padang 25163, Sumatera Barat
Terdapat mikroorganisme yang berpotensi sebagai
entomopatogen pada rizosfer tanaman. Telah dilakukan
penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan bakteri yang
bersifat entomopatogen terhadap Spodoptera litura L.
(Lepidoptera: Pyralidae). Pengambilan sampel dilakukan
pada pertanaman jagung di Kabupaten Pasaman Barat,
Sumatera Barat. Isolasi dan seleksi rizobakteria dilakukan
dari tanah rizosfer tanaman jagung. Isolat rizobakteri hasil
isolasi dikarakterisasi berdasarkan bentuk morfologi dan
diuji kemampuannya dalam mematikan larva S. litura.
Pengujian virulensi dengan menggunakan Rancangan Acak
lengkap (RAL) dengan perlakuan isolat rizobakteria
terpilih sebagai perlakuan terhadap S. litura dan diulang 3
kali. Pengamatan tingkat virulensi dilakukan terhadap
mortalitas larva, pupa dan imago terbentuk. Isolat bakteri
dengan tingat virulensi tinggi kemudian dikarakterisasi
sifat fisiologis yang meliputi uji gram, uji reaksi
hipersensitif, dan pewarnaan endospora. Hasil pengamatan
dan isolasi dari 74 isolat rizobakteri yang diuji diperoleh 12
isolat dengan tingkat virulensi tinggi dengan nilai
mortalitas S. litura berkisar antara 51,11-91,11%, pupa
terbentuk yaitu 0,00-8,89% dan imago terbentuk yaitu
0,00-6,67%. Hasil uji gram didapatkan sebanyak 8 isolat
Gram positif (+) dan 4 isolat Gram negatif (-). Satu isolat
menunjukkan reaksi hipersensitif yang ditandai dengan
munculnya gejala nekrotik pada tanaman uji.
Entomopathogen, rizobakteri, rizosfer, Spodoptera litura
EO-06
Effects of BA, NAA, and TDZ on in vitro
micropropagation of Musa acuminata cv. Mas
Kirana
Rr Rifka Annisa♥, Arkan Setiaji, Aries Bagus Sasongko
Laboratorium Bioteknologi, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada.
Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Sleman 55281, Yogyakarta
Somatic embryogenesis induction used as the method for
Mas Kirana Banana’s (Musa acuminata cv. Mas Kirana)
micropropagation to fill the market’s demand and supplies
good and healthy seedling. The sucker was surface
sterilized with NaOCl 5,25% for 5 minutes, then washed in
sterile distilled water (STW) before soaked in 70% ethanol
for awhile. Suckers then double washed in STW and
inoculated in Murashige & Skoog medium supplemented
with by BAP+NAA (1 mg/L:0.5 mg/L, 2 mg/L:0.5 mg/L,
and 3 mg/L:0.5 mg/L) and TDZ (0.25 mg/L, 0.5 mg/L, and
0.75 mg/L). The highest shoot formation was found in TDZ
0.25 mg/L with the average shoots formed 13.67 and a
mean height of 20 cm. TDZ induction tends to form
somatic embryos, while induction of BAP and NAA lead to
organogenesis. In anatomical observation, TDZ, BAP and
NAA affect the development of new shoots seen in scalp
development.
Musa acuminata, organogenesis, somatic embryogenesis
EO-07
Kemampuan kolonisasi cendawan Beauveria
bassiana pada tanaman cabai (Capsicum annum)
dan pengaruhnya terhadap perkembangan
populasi Myzus persicae
Trizelia♥, Martinius, Reflinaldon, Yenny Liswarni,
Fadly Syahirwan Putra
Fakultas Pertanian, Universitas Andalas. Kampus Unand Limau Manih,
Padang 25163, Sumatera Barat
Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. (Deuteromycotina:
Hyphomycetes) merupakan salah satu spesies cendawan
entomopatogen yang dapat hidup secara endofit dan
mengkolonisasi berbagai jaringan tanaman. Kolonisasi
cendawan pada jaringan tanaman sangat berpengaruh
terhadap serangan hama. Penelitian ini bertujuan untuk
ABS SOC INDON BIODIV, Magelang, 31 Agustus 2019, pp. 1-22 19
mengetahui kemampuan tiga isolat cendawan B. bassiana
dalam mengkolonisasi jaringan tanaman cabai dan
menghambat perkembangan populasi Myzus persicae. Ada
tiga isolat cendawan B. bassiana (TD312, APKo dan P114)
yang digunakan. Cendawan B. bassiana diaplikasikan
melalui perendaman benih selama 6 jam dengan
konsentrasi 108 konidia/mL. Parameter yang diamati
adalah kemampuan kolonisasi cendawan pada akar, batang
dan daun tanaman cabai serta perkembangan populasi M.
persicae, Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua
isolat mampu mengkolonisasi semua bagian tanaman (akar,
batang dan daun). Tingkat kolonisasi cendawan tertinggi
yaitu di daun dibanding batang dan akar. Isolat B. bassiana
TD312 adalah isolat terbaik dalam menekan perkembangan
populasi M. persicae.
Cendawan, endofit, cabai, Beauveria bassiana, Myzus
persicae
EO-08
Sister's mountain forests: upaya pelestarian
keanekaragaman flora, fauna, etnobotani, sumber
air, budaya, dan kearifan lokal demi
kesejahteraan masyarakat pegunungan
Atus Syahbudin
Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada.
Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman 55281, Yogyakarta
Hutan alam di pegunungan memiliki keanekaragaman flora
dan fauna yang khas. Sebagian masyarakat telah lama
memanfaatkannya sebagai sumber obat dan pemenuhan
kebutuhan rumah tangga lainnya sesuai dengan budaya dan
kearifan lokal setempat. Air yang melimpah juga berasal
dari hutan alam pegunungan. Namun seiring pembangunan
saat ini, beberapa hutan alam pegunungan mengalami
kerusakan akibat kebakaran hutan, pencurian kayu,
penggunaan lahan di bawah tegakan hutan, dan lain-lain.
Bencana alam pun terjadi. Untuk itu, pelestarian hutan
alam pegunungan diperlukan demi peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui berbagai upaya pelestarian hutan alam di
beberapa pegunungan di Pulau Jawa antara 2014-2019 dan
pentingnya perwujudan Sister's Mountain Forests (SMF)
sebagai upaya benchmarking dan kerjasama pelestarian
lintas pegunungan. Berkat hutan alam yang masih lestari di
beberapa gunung terbukti telah mampu membantu
peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya
melalui (i) pembentukan desa wisata berbasis alam
pegunungan, (ii) inisiasi homestay pegunungan, (iii)
pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro,
(iv) penyelenggaraan festival, dan upaya lainnya yang
dijelaskan di dalam paper ini. Untuk itu, SMF perlu
diwujudkan agar pengalaman baik di suatu pegunungan
dapat direplikasi di pegungan lainnya.
Flora pegunungan, jejaring pegunungan, keanekaragaman,
hutan alam, PLTS
EO-09
Pengomposan kotoran sapi dengan dekomposer
Trichoderma viride dan potensinya untuk
pengendalian penyakit layu Fusarium (Fusarium
oxysporum f.sp cubense) dan peningkatan
pertumbuhan bibit pisang
Nurbailis♥, Reflinaldon, Nori Rahayu
Program Studi Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas
Andalas. Kampus Unand Limau Manih, Padang 25163, Sumatera Barat
Kotoran sapi merupakan salah satu bahan organik yang
dapat berperan sebagai pupuk organik (kompos). Salah satu
dekomposer yang mampu mempercepat dekomposisinya
adalah jamur saprofit Trichoderma viride. Tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui lamanya waktu terbaik
pengomposan kotoran sapi menggunakan dekomposer T.
viride isolat T1sk (Tv-T1sk) dan potensi untuk
pengendalian Fusarium oxysporum f.sp cubense dan
peningkatan pertumbuhan bibit pisang. Rancangan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan delapan perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan
adalah lamanya waktu pengomposan kotoran sapi
menggunakan Tv-T1sk (0, 2, 3, 4, 5 dan 6 minggu) dan
kontrol (kotoran sapi tanpa Tv-T1sk). Parameter yang
diamati adalah kepadatan propagul Tv-T1sk pada rizosfir
pisang sebelum dan setelah tanam, tingkat serangan
penyakit layu Fusarium pada bibit pisang yang meliputi:
munculnya gejala pertama, persentase daun terserang,
intensitas kerusakan bonggol dan pertumbuhan bibit pisang
yang meliputi: tinggi dan jumlah daun . Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kepadatan propagul Tv-T1sk pada
rizosfir pisang 2 minggu setelah aplikasi terdapat
pengomposan selama 4 minggu sedangkan kepadatan
propagul 8 minggu setelah tanam terdapat pada perlakuan
pengomposan selama 5 minggu. Aplikasi kompos kotoran
sapi yang terbaik untuk penekanan penyakit layu Fusarium
dan peningkatan pertumbuhan bibit adalah pada perlakuan
pengomposan selama 5 minggu dengan efektifitas masing-
masing 59,47% dan 10,45%.
Bibit pisang,
dekomposisi, Fusarium oxysporum f.sp cubense, Kotoran
sapi, Trichoderma viride
EO-10
Viabilitas benih campolay (Pouteria campechiana)
pada berbagai bobot dan lama penyimpanan
benih
Aulia Hasan Widjaya1,♥, A. Rahayu2, Dian Latifah1 1Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya (Kebun Raya Bogor), Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jl. Ir. H. Juanda No. 13 Bogor 16122, Jawa Barat 2Universitas Djuanda Bogor. Jl. Tol Ciawi 1, Kotak Pos 35, Bogor 16720,
Jawa Barat
ABS MASY BIODIV INDON, Magelang, 31 Agustus 2019, hal. 1-22 20
Campolay (Pouteria campechiana (Kunth) Baehni) adalah
buah lokal yang sudah dibudidayakan di Jawa Barat dan
ditanam di kebun atau halaman rumah. Buah ini belum
diperdagangkan secara luas. Benih campolay bersifat
rekalsitran, tetapi mempunyai kulit biji yang keras dan
impermeabel terhadap air. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh bobot benih (B) dan lama
penyimpanan (P) terhadap viabilitas benih campolay.
Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap
Faktorial. Faktor pertama adalah lama penyimpanan (0, 2,
4, 6 MSP) dan faktor kedua adalah bobot benih (berat,
sedang, ringan). Bobot benih campolay tidak berpengaruh
terhadap semua peubah indikator viabilitas. Benih yang
disimpan lebih lama (sampai 6 MSP) menunjukkan KCP,
KSP lebih tinggi. Peubah P50, HPB dan HTB lebih cepat
pada periode simpan yang semakin lama, sedangkan daya
kecambah tidak dipengararuhi oleh periode simpan. Tidak
ada interaksi antara umur simpan benih campolay dan
bobot benih; dengan daya kecambah total 92-97%.
Campolay, daya kecambah, kecepatan, keserempakan,
Pouteria campechiana
EO-11
Pengamatan perubahan kualitas air berdasarkan
faktor abiotik di Sungai Plalar, Magelang, Jawa
Tengah
Siti Nurjanah♥, Ani Safira, Alissa Qotrunnada, Setiyo
Prajoko, Karunia Galih Permadani
Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tidar. Jl. Kapten Suparman 39, Magelang 56116,
Jawa Tengah
Sungai Plalar memiliki peranan yang sangat penting bagi
masyarakat Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah. Sungai ini
dimanfaatkan masyarakat untuk kebutuhan rumah tangga,
irigasi, dan kegiatan budidaya. Melihat pentingnya peranan
sungai Plalar tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui kualitas airnya. Tujuan penelitian ini adalah
menentukan tingkat kualitas air Sungai Plalar Tegalrejo,
Magelang berdasar parameter abiotik. Penelitian ini
menggunakan metode survai. Pengambilan sampel air di
perairan sungai dilakukan secara purposive. Sampel air
diambil pada tiga tempat masing-masing tempat diambil 3
sampel yaitu: lokasi yang arusnya deras (tempat I), sedang
(tempat II) dan tenang (tempat III). Analisis data faktor
abiotik diidentifikasi dan dihitung untuk penentuan nilai
rata-ratanya. Kualitas air di sungai Plalar ditentukan oleh:
(i) Faktor abiotik, yaitu lebar sungai, kedalaman sungai,
kecepatan arus, cuaca, suhu, pH, warna air, bau dan
kekeruhan; (ii) Dasar sungai antara lain meliputi batu,
pasir, lumpur; (iii) Faktor polusi air, adanya plastik yang
mengapung, banyaknya buih adanya minyak dan
pertumbuhan alga. Berdasarkan hasil penelitian, kualitas air
di sungai Plalar tergolong kualitas rendah. Dengan
demikian perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan
kualitas air sungai tersebut.
Kualitas air sungai, faktor abiotik, Sungai Plalar
EO-12
Germination of Victoria amazonica seeds in the red
and far red light
Mahat Magandhi♥, Dian Latifah
Research Center for Plant Conservation and Botanic Gardens, Indonesian
Institute of Sciences (Bogor Botanic Gardens). Jl. Ir. H. Juanda 13 Bogor,
West Java 16122, Indonesia
Victoria amazonica (Poepp.) J.C. Sowerby is one of the
most valuable collections of many Botanic Gardens
worldwide including Bogor Botanic Gardens. This species
belongs to Nymphaeaceae family and native to South
America; however, it has been adaptive to the climatic
condition of Bogor. Seed germination is one of the efforts
to continuously conserve this species in the Garden. The
aim of this study was to determine the effect of red and far-
red light on the V. amazonica seed germination. The
experimental design was completely randomized design.
The light treatments included red light, far red light and
dark. Each experimental unit was repeated 5 times with 10
seeds in each repetition. The results showed that the fastest
germination rate (coefficient: 0.45) was under darkness;
while the germination capacities were low between 36-
54.7% with no significant effects of the light treatments
after one year. The germination simultaneities were also
not different i.e. 0.03-0.27. The light may affect the
germination of V. amazonica seeds and the seed
characteristics of V. amazonica is low germinability with
one-year germination period. .
Germination, light, Victoria amazonica
EP-01
Distribusi geografis dan potensi dampak
perubahan iklim pada Selaginella pegunungan di
Jawa, Indonesia
Ahmad Dwi Setyawan1,2,3,♥, Jatna Supriatna3,
Nisyawati3, Ilyas Nursamsi4, Sutarno2, Sugiyarto2,
Prakash Pradan5
1Program Ilmu Lingkungan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret. Jl. Jend. Urip Sumoharjo No. 179,
Surakarta 57 128, Jawa Tengah, Indonesia. 2Program Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, -Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126, Jawa
Tengah, Indonesia 3Program Biologi Konservasi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Depok 16424, West
Java, Indonesia 4Bird Conservation Society (BICONS). Bandung 40184, West Java, Indonesia 3West Bengal Biodiversity Board, Department of Environment,
Government of West Bengal, Salt Lake, Sector-III, FD415A, Poura
Bhawan, 4th Floor, Kolkata, West Bengal, India
ABS SOC INDON BIODIV, Magelang, 31 Agustus 2019, pp. 1-22 21
Selaginella adalah tumbuhan tingkat rendah yang
membutuhkan air sebagai media fertilisasi. Pegunungan
yang lembab merupakan lingkungan yang sesuai untuk
pertumbuhan Selaginella. Di daerah tropis, pegunungan
merupakan ekosistem yang unik karena luasannya sangat
terbatas. Di Jawa hanya sekitar 7% dari luasnya (133.930
km2), terletak di pegunungan (> 1000 m dpl). Potensi
perubahan iklim di masa depan akibat pemanasan global,
dikhawatirkan dapat mempengaruhi kelestarian
Selaginella. Studi ini berupaya menggambarkan model
distribusi Selaginella pegunungan di bawah kondisi iklim
saat ini dan masa depan. Dua jenis Selaginella yang
pertumbuhannya terbatas di pegunungan, yakni S. ornata
dan S. remotifolia, dipilih untuk pemodelan. Data
keberadaan Selaginella diperoleh melalui survei lapangan
(2007-2014) di seluruh pulau Jawa, serta basis data dari
Global Biodiversity Information Facility (GBIF)
(http://www.gbif.org). Sebanyak 273 titik kehadiran spesies
diperoleh dari survei lapangan (terdiri dari 144 titik untuk
S. opaca dan 139 titik untuk S. remotifollia), serta 52 titik
kehadiran spesies diperoleh dari GBIF (terdiri dari 35 titik
untuk S. opaca dan 17 titik untuk S. remotifolia). Skenario
iklim masa depan dikumpulkan dari dataset WorldClim
(yaitu RCP 2.6, RCP 4.5, RCP 6.0, RCP 8.5; 2030, 2050,
2080; HadGEM2-CC); digunakan untuk membangun
model menggunakan perangkat lunak MaxEnt ver. 3.4.1.
Hasil pemodelan menunjukkan bahwa kesesuaian habitat
dan luas area distribusi Selaginella pegunungan mengalami
penurunan secara luas (1,8-11,4%) di masa depan, bahkan
pada area yang kesesuaian habitatnya paling tinggi, yaitu
kawasan di sekitar Gunung Sumbing, Gunung Sundoro,
dan Pegunungan Dieng, terjadi penurunan hingga 60%.
Java, pegunungan, perubahan iklim, Selaginella ornata, S.
remotifolia
Recommended