View
223
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PedangTajamMembab
RantaiSerangan Yang Jah(Luqman Ba Abduh, Abdulloh Al Bukhoriydan Al BashiriyArof
DiizinkanPenyebarannya
Abu AbdurrohmanYahya bin Ali Al Hajuriy
Abu FairuzAbdurrohman bin SoekojoAlIndonesiy Al Jawiy
PedangTajamMembab
RantaiSerangan Yang Jah(Luqman Ba Abduh, Abdulloh Al Bukhoriydan Al BashiriyArof
(bagiankeenam)
DiizinkanPenyebarannyaOlehAsySyaikh Al 'Allamah:
AbdurrohmanYahya bin Ali Al Hajuriy
SemogaAllohmenjagabeliau
Abu FairuzAbdurrohman bin SoekojoAlIndonesiy Al Jawiy
PedangTajamMembabat
RantaiSerangan Yang Jahat (Luqman Ba Abduh, Abdulloh Al Bukhoriydan Al BashiriyArofat)
OlehAsySyaikh Al 'Allamah:
AbdurrohmanYahya bin Ali Al Hajuriy
Abu FairuzAbdurrohman bin SoekojoAlIndonesiy Al Jawiy
1
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
PedangTajamMembabat
RantaiSerangan Yang Jahat (Luqman Ba Abduh, Abdulloh Al Bukhoriydan Al BashiriyArofat)
(bagiankelima)
DiizinkanPenyebarannyaOlehAsySyaikh Al 'Allamah:
Abu AbdurrohmanYahya bin Ali Al Hajuriy
SemogaAllohmenjagabeliau
Dengan Kata PengantarShohibulFadhilah:
AsySyaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam Al Fadhli
SemogaAllohmenjagabeliau
DitulisOleh:
Abu FairuzAbdurrohman bin Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy SemogaAllohmemaafkannya
2
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
��� هللا ا���� ا�����
Judul Asli:
"Dhorobatus Suyufil Batiroh 'Ala Salasil Hamlatil Jairoh
(Arofat Al Bashiriy, Abdulloh Al Bukhoriy dan Luqman Ba Abduh
Warotsatil Haddadiyyatil Fajiroh)"
Terjemah Bebas:
"Pedang Tajam Membabat Rantai Serangan Yang Jahat (Luqman Ba Abduh, Abdulloh Al Bukhoriy dan Al Bashiriy Arofat)"
Diizinkan Penyebarannya Oleh Asy Syaikh Al 'Allamah:
Abu Abdurrohman Yahya bin Ali Al Hajuriy
Semoga Alloh menjaga beliau
Dengan Kata Pengantar Shohibul Fadhilah:
Asy Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam Al Fadhli
Semoga Alloh menjaga beliau
Ditulis Oleh:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy
Semoga Alloh memaafkannya
3
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
��� هللا ا���� ا�����
Pengantar Bagian Keenam
وأ"�� أن إ�� إ هللا وأن ���ا ���ه ور���� ا���� �� و��� ��� ��� ا��� :و��� آ�� أ%#�� أ�$ �#�
Maka sesungguhnya dengan pertolongan Alloh semata saya bisa
menyelesaikan penerjemahan bagian keenam, sebagai akhir dari rangkaian
terjemahan risalah ini.
Insya Alloh semua ini cukup sebagai bantahan atas tuduhan batil
Luqman dan para pendahulunya. Jika masih ada syubuhat yang hendak dia
tampilkan maka kami mohon pertolongan pada Alloh untuk
menghancurkannya.
Selamat menyimak, semoga Alloh memberkahi dan memberikan taufiq-Nya
pada kita semua.
4
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Bab Duapuluh Enam: Tuduhan Mereka
Bahwasanya Asy Syaikh Yahya Terkena Aqidah
Qodariyyah
Luqman Ba Abduh berkata tentang Asy Syaikh Yahya: “Dan beberapa
aqidah Al Hajuriyyang mencocoki aqidah Qodariyyah, Asy’ariyyah dan yang
lainnya.” Barangkali itu bagian dari isyarat Abdulloh Al Bukhoriy tentang Asy
Syaikh Yahya: “… Ini adalah bagian dari sejumlah apa yang ada pada orang
itu yang berupa penyelewengan-penyelewenganaqidah dan ilmiyyah yang
buruk yang tidak dibicarakan oleh anak-anak dan bocah tauhid serta bayi-
bayi tauhid.” “… tahu tentang bencana-bencana, kehinaan-kehinaan,
kesesatan-kesesatan dan penyelewengan-penyelewengan yang ada pada
Yahya.”“Maka aku tidak tahu perkara-perkara yang orang ini terjatuh ke
dalamnya, yang mana andaikata kumpulan perkara tersebut dibagi-bagikan
kepada masing-masing individu niscaya setiap orang dari mereka akan
dihukumi sebagai mubtadi.’ Bagaimana sementara perkara-perkara tadi telah
terkumpul pada Al Hajuriy?”
Dan itu semua diambil dari apa yang ditulis oleh Arofat Al Bashiriy:
“Prinsip yang keenam: terjatuhnya Al Hajuriy ke dalam suatu pendapat dari
pendapat-pendapat Qodariyyah dan Mu’tazilah, yang mana termasuk dari
prinsip mereka adalah bahwasanya orang yang mencari kebenaran sambil
mencurahkan kemampuannya itu pastilah (د� �) dia akan mendapatkannya.
Maka Al Hajuriy menetapkan ini. Al Hajuriy berkata dalam Syarh dia
terhadap Al Wasithiyyah (142): “Apa yang terjadi pada ahli ahwa, yang
berupa sikap menabrak-nabrak, itu adalah disebabkan oleh terjadinya
kekurangan pada mereka untuk mencari kebenaran dan mencapai
kebenaran. Soalnya jika tidak demikian, barangsiapa mencari kebenaran dia
akan mendapatkannya.”
Jawab kami –dengan taufiq dari Alloh-:
Tuduhan-tuduhan yang amat keji itu tidak boleh dibiarkan. Tuduhan
Arofat ini telah dibantah oleh saudara kita Rosyid Al Jazairiy dan yang lainnya
dan mereka membongkar kebatilannya dan membeberkan buruknya ,��ظ�م �
jalan Arofat, maka semoga Alloh membalas mereka dengan kebaikan. Dan saya
mengambil faidah dari jawaban mereka, merapikannya dan menambahkan
kepadanya jawaban-jawaban yang Alloh bukakan untuk saya. Dan karunia
adalah di tangan Alloh semata.
5
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Ketahuilah bahwasanya Arofat Al Bashiriy itu telah memotong-motong
ucapan Asy Syaikh Yahya, seperti kebiasaan para hizbiyyin yang fasiq. Sekarang
marilah kita membaca ucapan Asy Syaikh Yahya � ظ��� dalam “Syarhul
Wasithiyyah,” (hal. 143): “Di dalam tafsir firman Alloh ل dan (ا��� ا���م) : ز و
sabda Nabi و��م ��� ��وم ا���وات وا�رض) : ��� � ) mereka berkata: “Maknanya
adalah bahwasanya Alloh tegak dengan diri-Nya sendiri, lalu dia menegakkan
yang lain, mengurusi yang lain, menciptakan yang lain, tidak butuh pada
sesuatu apapun. Tiada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia Sami’
(Maha Mendengar) dan Bashir (Maha Melihat). Dan sebagaimana ucapan
Syaikhul Islam � ر��� : “Sesungguhnya dugaan-dugaan yang batil itulah yang
menyebabkan sebagian orang untuk berbuat ta’wil (menyelewengkan lafazh
atau makna dari lahiriyyahnya kepada lafazh atau makna yang lemah tanpa
dalil yang menuntut itu) atau ta’thil (mengosongkan dari Alloh nama atau
shifat atau kedua-duanya, atau sebagiannya). Seandainya mereka diberi
petunjuk untuk menggabungkan antara dua perkara itu (penetapan sifat
sempurna untuk Alloh, dan mensucikan Alloh dari keserupaan dengan
makhluk), dengan firman Alloh ل ز و:
���� ��ء �� وھ� ا����� ا����
“Tiada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia Sami’ (Maha
Mendengar) dan Bashir (Maha Melihat).”
Peniadaan dan penetapan. Andaikata mereka mendapatkan taufiq niscaya
mereka selamat dari sikap menabrak-nabrak. Akan tetapi orang yang
mengikuti petunjuk kepada kebenaran, dia itu adalah orang yang mencari
kebenaran dan menelusurinya.
�ھ����اھ� ﴿� ،]17: ���[ ﴾وا�('&�ھ�"وازادھ�#" �آ
“Dan orang-orang yang mengikuti petunjuk, Alloh akan menambahinya
petunjuk dan memberikan pada mereka balasan ketaqwaan mereka.”
�ھ�"واھ"ىا��#و','" ﴿&')�� ﴾]�(�� :76[،
“Dan Alloh akan menambahi orang-orang yang mengikuti petunjuk dengan
petunjuk berikutnya.”
� إ�0 ا�/&.«�' ��6� 5#4 هللا ط ��7 ���' ��' ،»:9 8�5 ط
“Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu di
dalamnya, Alloh akan memudahkan untuknya jalan ke Jannah.”
6
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Menempuh jalan tadi lahir dan batin, itu semua dengan maksud menempuh
jalan kebenaran, jalan ilmu yang bermanfaat, Alloh akan memudahkan bagi
dirinya jalan ke Jannah, dengan hidayah dan taufiq kepada ilmu dan amal tadi.
﴿ �#< �#'"#���=�� ،]9: )�*([ ﴾إ?��('&<:&�او6���اا��
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholih Robb mereka
akan memberikan petunjuk pada mereka.”
�ھ�"ى﴿ �@�=���>�آ:&6������ر��&CD��?82: ط�[ ﴾وإ[
“Dan sesungguhnya Aku benar-benar Maha Pengampun untuk orang yang
bertobat, beriman dan beramal sholih kemudian mengikuti petunjuk.”
﴿ 9�F��&������� *إ'�&�F"وإ'�� اط ا��F<�HD��G��#ا�*اھ"?�ا���D�#��F��F?I&')�� اطJ 9��� K﴾ ],�-$.7 - 5: ا�[،
“Hanya kepada-Mu sajalah kami menyembah, dan hanya kepada-Mu sajalah
kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalan
orang-orang yang Engkau berikan nikmat kepada mereka, bukan jalan
orang-orang yang dimurkai, dan bukan pula jalan orang-orang yang
tersesat.”
Dan di dalam hadits Qudsiy:
»L< �� ب إ�� �� ا �� 9: �?��6�، و:9 أ� >L إ��� >�� � ب ذرا6��إ��� ذرا6� و:9 �� ھ و�.�� .»'��Q أ
“Barangsiapa mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, aku akan
mendekatkan diri kepadanya sehasta. Dan barangsiapa mendekatkan diri
kepada-Ku sehasta, aku akan mendekatkan diri kepadanya sedepa. Dan
barangsiapa mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya
dengan lari-lari kecil.”
Dan Alloh ta’ala berfirman:
�Rا:&"'�رھ� ﴿Sواوأ R�#&')��CHF�&��UHF� �?أوأ )&��U&��:�F��FF�KأV�?�� أ��أوذوا7 ?Wا�#�=�&�' /���&/�#&�SدW��#��X���#&F? CW��ا�Y��او��Y���' ر� ،]195: آ�#�ان[ ﴾#
“Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal
dari kalian, dari lelaki ataupun perempuan. Sebagian dari kalian adalah
bagian dari yang lain. Maka orang-orang yang berhijroh dan dikeluarkan
dari rumah-rumah mereka dan disakiti di jalan-Ku, dan berperang dan
membunuh atau dibunuh, pastilah Aku akan menghapus dari mereka
7
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
kejelekan-kejelekan mereka, dan pastilah aku akan memasukkan mereka ke
dalam Jannah-jannah yang sungai-sungai mengalir di bawahnya.”
Alloh ta'ala berfirman:
� وإن هللا ��� ا��=�&�9 &��5 �#&'"#&� ��ھ"وا 7�&R 9')�ت[وا��U&F�69/ا[
"Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari jalan Kami, pastilah
kami akan menunjuki mereka jalan-jalan keridhoan Kami. Dan sungguh Alloh
bersama orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS. Al 'Ankabut: 69).
Apa yang terjadi pada ahli ahwa, yang berupa sikap menabrak-nabrak,
itu adalah disebabkan oleh terjadinya kekurangan pada mereka untuk mencari
kebenaran dan mencapai kebenaran. Soalnya jika tidak demikian, barangsiapa
mencari kebenaran dia akan mendapatkannya.
﴿ �U��/�5I�?�6د��U< ��Y9 و' Sا"�&#/?��S"�����د�F&F?و �U���&')��?\ ﴾]�/$0 :60[.
“Dan Robb kalian berfirman: berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan
memenuhi doa kalian, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan
diri dari beribadah kepada-Ku mereka akan masuk ke Jahannam dalam
keadaan hina.”
Salman �� � �� ,dulu adalah Majusi, termasuk dari penyembah api ر
dan beliau mencari kebenaran, dan terus-menerus berpindah dari satu agama
ke agama yang lain sampai Alloh memberinya petunjuk kepada Islam dan mati
sebagai seorang Shohabiy.”
Selesai dari ucapan Syaikh kami Yahya Al Hajuriy � ظ��� .
Orang yang merenungkan ucapan Syaikh kami Yahya Al Hajuriy � ظ���
dengan jujur, ilmu dan keadilan, akan nampak sangat jelas baginya dengan
seidzin Alloh bahwasanya Syaikh kami Yahya Al Hajuriy � ظ�� menyandarkan
hidayah kepada Alloh, dan bahwasanya semuanya itu kembali kepada
kehendak Alloh. Maka oleh karena itulah beliau menukilkan ayat ini: “Dan
orang-orang yang mengikuti petunjuk, Alloh akan menambahinya petunjuk
dan memberikan pada mereka balasan ketaqwaan mereka.”
Maka Asy Syaikh menetapkan hidayah taufiq itu di tangan Alloh, dan
bahwasanya Dia memberi pahala untuk orang-orang yang bertaqwa yang
mengikuti petunjuk dengan tambahan petunjuk dan pahala yang lainnya.
8
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Demikian pula beliau menukilkan firman Alloh ta’ala: “Dan Alloh akan
menambahi orang-orang yang mengikuti petunjuk dengan petunjuk
berikutnya.”
Dan bertambah jelas dengan penukilan beliau terhadap sabda Nabi ��� ��� و��م� : “Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu
di dalamnya, Alloh akan memudahkan untuknya jalan ke Jannah.” Beliau
menisbatkan pemudahan kepada Alloh ta’ala. Dan Asy Syaikh terang-
terangan bahwasanya pemudahan dan taufiq itu di tangan Alloh, dengan
ucapan beliau: “Menempuh jalan tadi lahir dan batin, itu semua dengan
maksud menempuh jalan kebenaran, jalan ilmu yang bermanfaat, Alloh akan
memudahkan bagi dirinya jalan ke Jannah, dengan hidayah dan taufiq kepada
ilmu dan amal tadi.” Selesai.
Maka taufiq itu di tangan Alloh, Dia memberikannya pada orang yang
dikehendaki-Nya dari kalangan para hamba-Nya. Maka barangsiapa memenuhi
syarat-syarat Alloh, maka sesungguhnya Alloh tidak menyelisihi janji, bahkan
Dia memberikannya sebagaimana yang dijanjikannya sebagai karunia dari-Nya
dan pemuliaan dari-Nya, bukan karena para hamba mewajibkan itu pada Alloh.
Dan demikian pula penukilan Asy Syaikh Yahya � ظ��� terhadap firman
Alloh ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholih
Robb mereka akan memberikan petunjuk pada mereka.” Dan firman-Nya:
“Dan sesungguhnya Aku benar-benar Maha Pengampun untuk orang yang
bertobat, beriman dan beramal sholih kemudian mengikuti petunjuk.”
Maka hidayah itu di tangan Alloh, maka barangsiapa memenuhi syarat-
syaratnya, maka sesungguhnya Alloh menunaikan janji-Nya dengan
memberinya taufiq padanya sebagai pemuliaan untuknya dan karunia dari-Nya
untuknya.
Dan penukilan beliau terhadap pengakuan dan doa: “Hanya kepada-Mu
sajalah kami menyembah, dan hanya kepada-Mu sajalah kami mohon
pertolongan. Tunjukilah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang
yang Engkau berikan nikmat kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang
dimurkai, dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.” Jelas sekali
bahwasanya Asy Syaikh jauh sekali dari aqidah Mu’tazilah, karena pengakuan
dan doa ini menunjukkan penunggalan Alloh dalam tawakkal dan isti’anah.
Adapun Mu’tazilah manakala mereka mengeluarkan hidayah manusia dan jin
dan kehendak mereka dari taqdirnya Alloh, mereka tidak berdoa pada Alloh
untuk mendapatkan hidayah, dan mereka tidak memohon pertolongan pada
Alloh.
9
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Syaikhul Islam � ر��� berkata tentang keadaan orang yang merealisir
kandungan “Hanya kepada-Mu sajalah kami menyembah” maka dia
menyembah Alloh tapi tanpa beriman tada taqdir sehingga dia tidak mohon
pertolongan pada-Nya dan tidak merealisir “Dan hanya kepada-Mu sajalah
kami memohon pertolongan” : “Maka orang ini terkadang bermaksud untuk
menyembah-Nya tapi tidak memaksudkan hakikat isti’anah (mohon
pertolongan) pada-Nya, dan itu adalah keadaan Qodariyyah dari kalangan
Mu’tazilah dan yang semisal mereka yang menetapkan bahwasanya Alloh
bukanlah pencipta bagi perbuatan-perbuatan para hamba, dan bahwasanya
Alloh tidak menginginkan terjadinya kejadian-kejadian –sampai pada ucapan
beliau:- adapun orang yang Alloh beri petunjuk, maka sesungguhnya dia
merealisir firman-Nya: “Hanya kepada-Mu sajalah kami menyembah,dan
hanya kepada-Mu sajalah kami memohon pertolongan” dan mengetahui
bahwasanya setiap amalan yang tidak dikehendaki dengannya wajah Alloh dan
tidak mencocoki perintah-Nya itu tertolak. Dan setiap orang yang punya
maksud tapi tidak ditolong oleh Alloh, maka dia itu terhalangi dari tujuan-
tujuannya. Karena dirinya bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang
benar selain Alloh, maka dia menyembah Alloh dengan memurnikan agama
untuk-Nya sambil mohon pertolongan pada Alloh untuk ibadah, dalam
keadaan beriman pada penciptaan-Nya dan perintah-Nya, pada taqdir-Nya dan
syariat-Nya, maka dia mohon pertolongan pada Alloh untuk menjalankan
ketaatan pada-Nya, dan bersyukur pada Alloh atas pertolongan tadi, dan dia
mengetahui bahwasanya ibadah tadi adalah karunia dari Alloh kepadanya, dan
memohon pertolongan pada Alloh dari kejelekan dirinya sendirinya, dan dari
kejelekan-kejelekan amalannya, dan dia mengetahui bahwasanya kejelekan
yang menimpanya adalah dari dirinya sendiri, disertai dengan ilmunya
bahwasanya segala sesuatu adalah dengan taqdir dan ketetapan Alloh, dan
bahwasanya Alloh memiliki hujjah yang tandas terhadap para makhluq-Nya,
dan bahwasanya Alloh dalam penciptaan-Nya dan perintah-Nya itu memiliki
hikmah yang tandas dan rohmat yang sempurna.” (“Majmu’ul Fatawa”/16/hal.
64-65).
Kemudian Asy Syaikh Yahya � ظ��� menyebutkan beberapa dalil yang
menunjukkan pada janji Alloh bagi orang yang mengikuti jalan-Nya dalam
mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat, dan bahwasanya Alloh itu tidak
menyia-nyiakan pahala orang yang memperbagus amalan. Tidak ada di
dalamnya serpihan aqidah Mu’tazilah, dan hanya saja beliau menyebutkan
dalil-dalil harapan sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama dan para
imam � ر���م. Awal ucapan menunjukkan kepada apa yang beliau maksudkan.
Dan akhir ucapan juga menunjukkan kepada yang demikian itu. Asy Syaikh ظ���
10
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
� berkata: Apa yang terjadi pada ahli ahwa, yang berupa sikap menabrak-
nabrak, itu adalah disebabkan oleh terjadinya kekurangan pada mereka untuk
mencari kebenaran dan mencapai kebenaran. Soalnya jika tidak demikian,
barangsiapa mencari kebenaran dia akan mendapatkannya.
“Dan Robb kalian berfirman: berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan
memenuhi doa kalian, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan
diri dari beribadah kepada-Ku mereka akan masuk ke Jahannam dalam
keadaan hina.” Selesai.
Dan ucapan Asy Syaikh � ظ���: “Salman �� � �� ,dulu adalah Majusi ر
termasuk dari penyembah api, dan beliau mencari kebenaran, dan terus-
menerus berpindah dari satu agama ke agama yang lain sampai Alloh
memberinya petunjuk kepada Islam dan mati sebagai seorang Shohabiy” itu
menunjukkan tidak cukupnya sekedar mencari kebenaran, akan tetapi Alloh
itulah yang memberinya petunjuk, dan Alloh menjaga keislaman beliau
sepanjang hidup beliau sampai meninggal di atas Islam dan sebagai shohabat
semoga Alloh meridhoi beliau dan seluruh Shohabat semuanya.
Asy Syaikh � ظ���telah mengumpulkan antara dorongan untuk
melakukan sebab-sebab mendapatkan hidayah sambil berpegang pada sebab
yang terbesar yaitu Alloh, dengan berdoa kepada-Nya dan beriman
bahwasanya beliau mengabulkan doanya. Dan telah lewat penukilan beliau
untuk firman Alloh ta’ala: “Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus”. Dan ini
semua benar-benar menyelisihi jalan Mu’tazilah. Akan tetapi hizbiyyun semisal
Arofat Al Bashiriy, Abdulloh Al Bukhoriy, dan Luqman Ba Abduh tidak tahu.
Al Imam Ibnul Qoyyim � ر��� berkata: “Dan hakikat ucapan Qodariyyah
Majusiyyah bahwasanya Alloh ta’ala bukanlah Robb bagi perbuatan-perbuatan
para makhluk hidup, dan perbuatan mereka tidak masuk ke dalam Rububiyyah
Alloh. Bagaimana Rububiyyah-Nya mencakup perkara yang tidak masuk ke
dalam kodrat dan kehendak-Nya dan penciptaan-Nya sementara keumuman
pujian untuk-Nya itu menuntut pujian untuk-Nya dikarenakan ketaatan para
makhluk-Nya, karena Dia itulah Yang menolong mereka untuk melaksanakan
ketaatan tadi dan memberikan taufiq pada mereka untuk melaksanakan
ketaatan tadi? Dan Alloh itulah yang menghendaki (menaqdirkan) ketaatan itu
dari mereka, sebagaimana Dia berfirman di beberapa tempat dari kitab-Nya:
�ءهللا﴿Q�?أG\?ءو�Q�� ﴾و:
“Dan tidaklah kalian menghendaki kecuali dengan kehendak Alloh.”
11
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Maka Dia itu terpuji karena Dia menginginkan (keinginan yang sifatnya adalah
taqdir) ketaatan tadi kepada mereka tadi, dan menjadikan mereka
mengerjakannya, dengan taqdir-Nya dan kehendak-Nya. Maka pada
hakikatnya Dia itulah Yang terpuji karena ketaatan mereka tadi. Sementara
menurut para Qodariyyah Mu’tazilah mereka itulah yang terpuji karena
ketaatan tadi, dan hanya milik merekalah pujian karena mengerjakan ketaatan
tadi, dan bukan milik Alloh pujian atas perbuatan ketaatan tadi menurut
mereka. Dan menurut mereka bukanlah milik Alloh pujian atas pahala dan
ganjaran yang diberikan-Nya karena ketaatan tadi. Adapun yang pertama:
adalah karena ketaatan tadi adalah murni mereka sebagai pelakunya, bukan
dengan pertolongan Alloh. Adapun yang kedua: karena pahala tadi memang
wajib Alloh berikan pada mereka sebagaimana wajibnya seorang penyewa
untuk membayar gaji pegawai yang disewanya. Maka pahala tadi adalah hak
murni mereka yang wajib Alloh bayarkan pada mereka.
Dan di dalam firman Alloh: “Dan hanya kepada-Mu sajalah kami mohon
pertolongan” ada bantahan yang jelas terhadap para Qodariyyah Mu’tazilah
tadi, karena minta tolongnya mereka kepada-Nya itu hanyalah terjadi dari
sesuatu yang ada di tangan-Nya, dan di bawah qodrat dan kehendak-Nya.
Maka bagaimana orang yang di tangannya sendirilah perbuatan itu minta
tolong, sementara dia sendirilah yang mengadakannya, jika dia menghendaki
dia akan mengadakannya, dan jika dia tidak menghendaki maka dia tidak akan
mengadakannya, bagaimana dia minta tolong pada Dzat Yang perbuatan tadi
tidak ada di tangan-Nya, dan tidak masuk di dalam qodrat dan kehendak-Nya?
Dan di dalam firman-Nya: “Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus” juga ada
bantahan terhadap mereka, karena hidayah yang mutlak dan sempurna itu
mengharuskan dihasilkannya ihtida (upaya untuk menjalankan petunjuk tadi).
Andaikata hidayah tadi tidak di tangan Alloh ta’ala semata, bukannya di tangan
mereka, niscaya mereka tidak memohonnya dari-Nya. Dan hidayah itu
mengandung bimbingan, penjelasan, taufiq dan pemberian kemampuan untuk
menjalankannya, dan Alloh menjadikan mereka menjalankan petunjuk tadi.
Dan bukanlah yang mereka minta itu sekedar penjelasan dan petunjuk semata
sebagaimana yang diduga oleh Qodariyyah, karena hidayah sebatas ini semata
tidak mengharuskan orang tadi mendapatkan taufiq dan tidak
menyelamatkannya dari kehinaan. Hidayah sebatas tadi (penjelasan dan
petunjuk) juga didapatkan oleh selain mereka dari kalangan orang-orang kafir,
yang lebih menyukai kebutaan daripada taufiq, dan membeli kesesatan dengan
petunjuk.”
(selesai dari “Madarijus Salikin”/1/hal. 62-63/Al Maktabatul ‘Ashriyyah).
12
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Apa kaitan antara Qodariyyah, Majusiyyah dan Mu’tazilah?
Syaikhul Islam � ر��� berkata: “Dan barangsiapa mengakui syariat,
perintah dan larangan, kebaikan dan keburukan, tapi tidak mengakui taqdir,
dan penciptaan amalan-amalan sebagaimana itu adalah aqidah Mu’tazilah,
maka dia adalah termasuk Qodariyyah Majusiyyah yang menyerupai orang-
orang Majusiy. Dan Mu’tazilah punya banyak sekali penyerupaan dengan
orang-orang Majusiy dan Yahudiy.” (“Majmu’ul Fatawa”/16/hal. 238).
Maka jika engkau telah mengetahui ini, maka engkau harus mengetahui
bahwasanya ucapan Asy Syaikh Yahya � ظ��� : “Apa yang terjadi pada ahli
ahwa, yang berupa sikap menabrak-nabrak, itu adalah disebabkan oleh
terjadinya kekurangan pada mereka untuk mencari kebenaran dan mencapai
kebenaran. Soalnya jika tidak demikian, barangsiapa mencari kebenaran dia
akan mendapatkannya” itu tidak menyendiri (memisahkan diri) dari kehendak
Alloh, karena awal ucapan dan akhir perkataan menunjukkan sikap bernaung
dan memohon pada Alloh, disertai dengan pemenuhan syarat-syarat yang
dijadikan Alloh sebagai sebab untuk dihasilkannya akibat, yaitu taufiq dan
menepati kebenaran.
Al Imam Ibnul Qoyyim � ر��� berkata: “Maka urusan ini semuanya
adalah milik Alloh. Dan pujian itu semuanya adalah milik-Nya, dan kebaikan itu
semuanya adalah di kedua tangan-Nya. Dan tidak ada sedikitpun bersama
hamba dari dirinya sama sekali. Bahkan Alloh itulah yangmemberikan sebab-
sebabnya dan hasil-hasilnya, dan Dia yang menjadikan sebab tadi sebagai
sebab, dan Dia memberikannya kepada orang yang dikehendaki-Nya dan
menghalanginya dari orang yang dikehendaki-Nya. Jika Dia menghendaki
kebaikan untuk hamba-Nya, Dia akan memberinya taufiq untuk menghabiskan
kemampuannya dan mencurahkan kerja kerasnya untuk berharap dan takut
kepada-Nya, karena kedua perkara ini adalah bahan dasar taufiq. Maka sesuai
kadar tegaknya rasa harap dan takut kepada-Nya di dalam hati itulah
dihasilkannya taufiq.” (“Syifaul ‘Alil”/hal. 107).
Maka ucapan syaikh kami Yahya � ظ��� adalah masuk dalam bab
kecerdasan (ا� �س), yaitu upaya menjalankan sebab yang bermanfaat yang
ditunjukkan oleh Al Kitab dan As Sunnah, bukan dalam bab pemastian untuk
menepati kebenaran tanpa taufiq dari Alloh. Lebih-lebih lagi Syaikh telah
menghiasai ucapan beliau tadi dengan sikap bernaung dan memohon pada
Alloh.
Al Imam Ibnul Qoyyim � ر��� berkata: “Dan kecerdasan itu adalah
melaksanakan sebab-sebab yang Alloh ikat dengannya akibat-akibat yang
13
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
bermanfaat bagi hamba dalam kehidupan dunianya dan akhiratnya. Maka ini
membuka amalan kebaikan.” (“Zadul Ma’ad”/2/hal. 325).
Maka barangsiapa menyalahkan langkah Asy Syaikh ini, maka
sesungguhnya dirinya itulah yang bodoh terhadap syariat. Jika dia bersikeras
dengan kesesatannya maka hendaknya dia menyalahkan para imam yang
menempuh jalan yang benar ini.
Dari Hudzaifah �� � �� :yang berkata ر
��F<GVH�"ا��K"��G��و��&�����)SI?\7،ا"�F<������ ا�� اءا5�����ا��5"�7QF:�' .
“Wahai para pembaca Al Qur’an, istiqomahlah kalian, karena dengan itu
sungguh kalian telah jauh mendahului. Tapi jika kalian mulai menyimpang ke
kanan dan ke kiri sungguh kalian tersesat dengan kesesatan yang jauh.”
(riwayat Al Bukhoriy (7282)).
Maka apakah kalian berkata bahwasanya Mu’adz bin Jabal �� � �� ر
terpengaruh oleh Mu’tazilah Qodariyyah karena beliau memakai kalimat pasti
tanpa mengucapkan “insya Alloh” atau “dengan seidzin Alloh” atau yang
semisal itu?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah � ر��� di dalam kitab “Al Wasithiyyah”
yang disyaroh oleh Asy Syaikh Yahya � ظ��� berkata: “Barangsiapa
mempelajari Al Qur’an dalam rangka mencari petunjuk darinya, akan jelaslah
baginya jalan kebenaran.” (hal. 35/cet.“Darul Atsar”).
Maka apakah kalian berkata bahwasanya Syaikhul Islam � ر���
terpengaruh oleh Mu’tazilah Qodariyyah karena beliau memakai kalimat pasti
tanpa mengucapkan “insya Alloh” atau “dengan seidzin Alloh” atau yang
semisal itu?
Syaikhul Islam � ر��� tidak bermaksud memastikan bahwasanya
Barangsiapa mempelajari Al Qur’an dalam rangka mencari petunjuk darinya,
akan jelaslah baginya jalan kebenaran, sama saja dengan kehendak Alloh atau
tanpa kehendak-Nya. Hanya saja beliau memusatkan pembicaraan
bahwasanya termasuk dari sebab-sebab taufiq adalah mempelajari Al Qur’an
dalam rangka mencari petunjuk darinya, akan tetapi para mubtadi’ah menjauh
dari sebab ini sehingga mereka tersesat.
Asy Syaikh Sholih Alusy Syaikh � ظ��� berkata: “Oleh karena itulah maka
Asy Syaikh mengingatkan dirimu kepada prinsip ini dengan perkataan beliau:
“Barangsiapa mempelajari Al Qur’an dalam rangka mencari petunjuk darinya,
14
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
akan jelaslah baginya jalan kebenaran.” Sementara jalan ahli kalam dalam
menetapkan adanya Alloh itu mereka ambil dari ahli manthiq, dan bukan dari
Al Qur’an, jalan yang beraneka ragam.” (“Syarhul ‘Aqidatil Wasithiyyah”/1/hal.
385).
Asy Syaikh Sholih Al Fauzan � ظ��� berkata: “Dan barangsiapa
mempelajari Al Qur’an” yaitu: memikirkannya dan merenungkan hidayah yang
ditunjukkan olehnya, “akan jelaslah baginya jalan kebenaran.” Yaitu: jelaslah
untuknya jalan kebenaran. Dan mempelajari Al Qur’an itulah yang
menyenangkan dari pembacaannya. Alloh ta’ala berfirman:
�ب ﴿��Wأو��اا )����#�� واآ'< �ر��"��U��\ھ�&�,?I<��﴾
“Ini Adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu, kitab yang diberkahi, agar
mereka mempelajari ayat-ayat, dan agar orang-orang yang berpandangan
tajam menjadi sadar dan ingat.”
Dan Alloh ta’ala berfirman:
﴿�#��CYI<��� �F:I?آ ��� و?<"�'V7أ﴾
“Maka apakah mereka tidak mempelajari Al Qur’an? Ataukah di atas hati-
hati mereka ada penutup?”
واا���ل ﴿< ﴾أ7���"
“Apakah mereka tidak mempelajari perkataan tersebut?”
(selesai dari “Syarhul Aqidatil Wasithiyyah”/Asy Syaikh Al Fauzan/hal. 74).
Maka tidaklah dikatakan bahwasanya Asy Syaikh Al Fauzan � ظ���
mengikuti aqidah Mu’tazilah –sesuai batas pandangan dusta Al Bashiriy,
Luqman Ba Abduh dan yang lainnya- akan tetapi yang beliau maksudkan
adalah seperti yang kami sebutkan tadi.
Seperti itu pula ucapan syaikh kami Yahya � ظ��� bahwasanya kejujuran
dalam mencari dan mencurahkan perhatian dalam menelusuri kebenaran itu
adalah termasuk dari sebab datangnya taufiq, tapi para ahli ahwa kurang
dalam melakukan itu sehingga mereka tidak tertolong, sebagai hikmah dari
Alloh dan keadilan dari-Nya. Dan bukanlah ucapan beliau itu mengandung
keinginan untuk memisahkan diri dari kehendak Alloh.
15
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Adapun kedustaan Arofat –dan diikuti oleh orang-orang fasiq semisal
Abdulloh Al Bukhoriy dan Luqman Ba Abduh- terhadap Asy Syaikh Yahya: “…
pastilah (د� �) dia akan mendapatkannya.” Maka Al Hajuriy menetapkan ini.
Ketahuilah bahwasanya Asy Syaikh Yahya !"ظ��� tidak mengucapkan
(pastilah (د��) dia akan mendapatkannya.) Hanyalah orang-orang fajir dan
fasiq tadi dan yang lainnya yang membikin kedustaan atas nama beliau. Dalam
hadits Abdulloh bin Umar -semoga Alloh meridhoi keduanya- berkata: Aku
mendengar Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- bersabda:
�ل 7 ...« Y 9:ل �و�Y � ج :�_' 0� 7�� أU5&� هللا ردa. ا�_��ل �� �: 9:b:«.
"… dan barangsiapa berkata tentang seorang mukmin dengan suatu perkara
yang tidak ada pada dirinya, maka Alloh akan menjadikan dia tinggal di
dalam rodghotul khobal (perasan penduduk neraka) sampai dia keluar dari
apa yang diucapkannya." (HR. Abu Dawud (3592) dan dishohihkan Imam Al
Wadi'y -semoga Alloh merohmatinya- dalam "Ash Shohihul Musnad" (755)).
Aku tambahkan lagi: Jika kalian melewati contoh yang tersebut dalam
“Syarh Ibni Aqil” (4/hal. 295):
،)وإ*5�652345(
“Dan jika engkau istiqomah, engkau akan beruntung.”
Aku hampir yakin bahwasanya kalian tidak akan menuduh bahwa Ibnu
Aqil � ر��� terkena aqidah Mu’tazilah Qodariyyah, karena ucapan itu adalah
ucapan yang telah dikenal dan dipahami maksudnya, bahwasanya mayoritas
orang yang istiqomah di atas kebenaran akan beruntung di dunia dan akhirat,
tanpa bermaksud memastikan atau melepaskan diri dari kehendak Alloh. Al
Imam Ibnul Qoyyim � ر���berkata: “Hukum-hukum itu hanyalah untuk
perkara yang dominan dan banyak, sementara perkara yang jarang itu
dihukumi tidak ada.” (“Zadul Ma’ad”/5/hal. 378/cet. Ar Risalah).
Demikian pula ucapan Syamsud Din Al Jaujariy Asy Syafi’iy � ر���:
).إ*5�895�و-�53�-234 (
“Jika engkau berusaha menghapal dan bekerja keras, engkau akan beruntung.”
(“Syarh Syudzuridz Dzahab”/2/hal. 625).
Maka bagaimana kalian menghujat Asy syaikh Yahya � ظ���?
16
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Adapun jika berkata: (#� Jika engkau istiqomah maka“ (وإن $�$�م ( )د أن $
tidak bisa tidak, pastilah engkau akan beruntung.” Tiada keraguan bahwasanya
itu salah dan mencocoki Mu’tazilah. Akan tetapi Asy Syaikh Yahya � ظ��� tidak
mengucapkan itu. Beliau itu hanyalah menempuh jalan yang telah terkenal di
kalangan manusia dan ulama mereka.
Abbas bin Hasan � ر��� berkata: “Terus-menerus orang-orang berkata
sebagiannya pada yang lainnya –dengan fi’il mudhori’-:
�#�<�-��3ه،و-���#���،-.�2،و)<=�رز;:(5�-(.
“Konsentrasilah dengan amalanmu dan perbaguslah, serta bersemangatlah
padanya, niscaya engkau beruntung dan rizqimu banyak.”
Dan seorang ayah berkata dan menasihati anaknya:
.)-9ا�8و-�5.5@�?�رو�<2345(
“Ulang-ulanglah pelajaranmu, dan palingkan dirimu pada pelajaran-
pelajaranmu niscaya engkau sukses.”
Maksudnya adalah –dengan fi’il amr-: Konsentrasilah dengan amalanmu dan
perbaguslah, serta bersemangatlah padanya, niscaya engkau beruntung.
Ulang-ulanglah pelajaranmu, dan palingkan dirimu pada pelajaran-pelajaranmu
niscaya engkau sukses.”
(“An Nahwul Wafi”/4/hal. 367).
Adapun para pengekor hawa nafsu semisal Arofat, Luqman Ba Abduh
dan yang lainnya, dikarenakan kerasnya fitnah di dalam hati mereka, mereka
tidak kenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang munkar kecuali hawa
nafsu yang diserap. Bahkan mereka menjadikan yang ma’ruf menjadi munkar,
dan yang mungkar menjadi ma’ruf. Dari Hudzaifah �� � �� :berkata ر
�6دا�6دا«:��B��� ���5#?$���#��������6ل��=��U<����� �F&�C��K F�، 'I7?�#< �I����.�5داءU&#�C��ء،H�<.�U&#�C�U?� ھU?I���'9،وأ��6 ��� ��� �`:H�V7�C��V��H�<I �6
�وا��اWرض������دا::.&�Cرھ،��دا���Uز:/_�< أ�5د:Seاإ،وا U&: U&'Gو� و7F�7 F'G&�< �أ�:G�#اه«).�%�Cأ���144(.((
Aku mendengar Rosululloh م�و� ���� � ��� bersabda: “Fitnah-fitnah
dipaparkan kepada hati-hati bagaikan tikar sehelai demi sehelai. Hati
manapun yang menyerapnya, akan dititikkan padanya titik hitam. Dan hati
manapun yang mengingkarinya, akan dititikkan padanya titik putih. Sampai
menjadi dua macam hati: hati yang putih seperti batu yang halus, tidak
17
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
membahayakannya fitnah selama langit dan bumi masih ada. Dan yang lain
adalah hati yang hitam kelabu seperti belanga dalam kondisi terbalik, tidak
mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang mungkar kecuali apa
yang diserap dari hawa nafsunya.” (HR. Muslim (144)).
Maka Rosululloh و��م ��� � ��� menyebutkan dua jenis hati, dan cocok
untuk ahli ahwa adalah pemilik hati yang sakit yang Al Imam Ibnul Qoyyim ر���� berkata tentangnya: “Hati yang jika disodorkan padanya fitnah, dia akan
menyerapnya sebagaimana spon menyerap air. Maka dititikkanlah di dalam
hatinya titik hitam. Dan terus-menerus dia menyerap setiap fitnah yang
disodorkan padanya sehingga dia menghitam dan terbalik. Dan itulah makna
sabda beliau: “seperti belanga dalam kondisi terbalik” yaitu tertelungkup dan
terbalik. Maka jika hati itu telah menghitam dan terbalik, disodorkanlah
padanya dua penyakit itu, dua penyakit yang berbahaya yang saling
melemparkan penderitanya kepada kebinasaan. Yang pertama adalah:
keserupaan di benaknya antara perkara yang makruf dengan perkara yang
mungkar, sehingga dia tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang
munkar. Dan bisa jadi dia dikuasai oleh penyakit ini sampai dia meyakini
bahwasanya yang ma’ruf itu adalah munkar, dan yang munkar itu adalah
ma’ruf, yang sunnah itu adalah bid’ah dan bid’ah itu adalah sunnah, yang
benar adalah batil, dan yang batil adalah benar. Yang kedua adalah: dia
menguasakan hawa nafsunya terhadap apa yang dibawa oleh Rosul ��� � ��� dan dia menaati hawa nafsunya dan mengikutinya.” (“Ighotsatul وآ�� و��م
Lahfan”/hal. 12).
Maka langkah Asy Syaikh Yahya � ظ��� itu ma’ruf di kalangan para imam
berkata: “Maka banyak sekali kesalahan bani ر��� � Syaikhul Islam .ر���م �
Adam adalah disebabkan oleh kurangnya mereka dalam mencari kebenaran,
bukan karena ketidaksanggupan yang mutlak.” (“Jami’ur Rosail”/1/hal. 241).
Al Imam Ibnul Qoyyim � ر��� berkata: “Dan barangsiapa merenungkan
sejarah Nabi و��م ��� � ��� dan para Shohabat beliau dalam membikin
manusia condong mendekat pada Islam dengan berbagai jalan, jelaslah
baginya hakikat perkara ini.” (“Ahkam Ahlidz Dzimmah”/hal. 248).
Beliau � ر��� juga berkata: “… dan kedua kelompok itu keliru dalam
syariat dengan kekeliruan yang buruk dan parah. Hanyalah mereka itu terkena
bencana tadi karena kurangnya mereka dalam mengenal syariat yang Alloh
turunkan kepada Rosul-Nya dan Alloh syariatkan di antara para hamba-Nya.”
(“Ath Thuruqul Hukmiyyah”/hal. 151).
18
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Tiada seorang imampun yang menghukumi para imam tadi bahwasanya
mereka terkena paham Mu’tazilah Qodariyyah.
19
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Bab Duapuluh Tujuh: Tuduhan Mereka Bahwasanya
Asy Syaikh Yahya Terkena Aqidah Asy’ariyyah
Luqman Ba Abduh berkata tentang Asy Syaikh Yahya: “Dan beberapa
aqidah Al Hajuriyyang mencocoki aqidah Qodariyyah, Asy’ariyyah dan yang
lainnya.” Barangkali itu bagian dari ucapan Abdulloh Al Bukhoriy tentang Asy
Syaikh Yahya: “… Ini adalah bagian dari sejumlah apa yang ada pada orang
itu yang berupa penyelewengan-penyelewenganaqidah dan ilmiyyah yang
buruk yang tidak dibicarakan oleh anak-anak dan bocah tauhid serta bayi-
bayi tauhid.” “… tahu tentang bencana-bencana, kehinaan-kehinaan,
kesesatan-kesesatan dan penyelewengan-penyelewengan yang ada pada
Yahya.”“Maka aku tidak tahu perkara-perkara yang orang ini terjatuh ke
dalamnya, yang mana andaikata kumpulan perkara tersebut dibagi-bagikan
kepada masing-masing individu niscaya setiap orang dari mereka akan
dihukumi sebagai mubtadi.’ Bagaimana sementara perkara-perkara tadi telah
terkumpul pada Al Hajuriy?”
Itu semua diambil dari apa yang ditulis oleh Arofat Al Bashiriy: “Prinsip
keenam: Al Hajuriy menganggap bagus bait syair di dalam “As Safariniyyah”
yang berjalan di atas madzhab Asya’iroh yang mana si penyair di situ
membolehkan Alloh untuk menyiksa para hamba tanpa dosa. Al Hajuriy
berkata dalam “As Safariniyyah” (hal. 152): si penyair berkata:
�ز �����0 أن(Rب ا��رى و)F' #ى R م R Gو h?ذ �: �a 9:(
“Dan boleh bagi Al Maula untuk menyiksa para makhluk tanpa ada dosa
ataupun kejahatan yang berlangsung.”
Lebih bagus dari bait ini adalah ucapan Ath Thohawiy ��ر � dalam
matan “Ath Thohawiyyah”: “Alloh memberikan petunjuk pada orang yang
dikehendaki-Nya, menjaga, dan memberikan keselamatan, sebagai karunia,
… dan jika Dia merohmati mereka maka itu dengan karunia-Nya dan
kedermawanan-Nya.”
Maka jawaban kami –dengan taufiq dari Alloh- adalah sebagai berikut,
dengan metode yang sama dengan metode yang terdahulu dalam menjawab:
Sesungguhnya Arofat memotong-motong ucapan Asy Syaikh Yahya ظ���� sesuai dengan hawa nafsunya.
20
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Syaikh kami Yahya � ظ��� berkata dalam syarh beliau terhadap kalimat
syair tadi: “Lebih bagus dari bait ini adalah ucapan Ath Thohawiy � ��ر
dalam matan “Ath Thohawiyyah”: “Alloh memberikan petunjuk pada orang
yang dikehendaki-Nya, menjaga, dan memberikan keselamatan, sebagai
karunia, dan menyesatkan orang yang dikehendaki-Nya, dan menelantar,
dan menguji sebagai bentuk keadilan. Dan mereka semua berbolak-balik di
dalam kehendak-Nya, di antara karunia-Nya dan keadilan-Nya.”Selesai (dari
ucapan Ath Thohawiy).
Alloh ta’ala berfirman:
﴿ 'G �ن�I����ھ�FC'� �F�I�﴾ ]ء���?W23: ا[،
“Dia tidak ditanya terhadap apa yang dikerjakan-Nya, dan mereka itu yang
ditanya.”
Dan Alloh subhanahu wa ta’ala Maha Pemaaf dan Maha Dermawan. Alloh
subhanah berfirman:
﴿ VH7G��و#����&U�أ>"او" I&��U&� ز��#�� �ء �#�F�U��رQ�&�� .]21: ا�&�ر[ ﴾�,
“Dan andaikata bukan karena karunia Alloh dan rohmat-Nya kepada kalian
niscaya tiada yang suci dari kalian seorangpun selamanya. Akan tetapi Alloh
mensucikan orang yang Dia kehendaki.”
Maka karunia adalah milik Alloh ta’ala –sebelum dan sesudahnya-, maka
andaikata Alloh menyiksa para hamba semuanya, tidaklah Dia zholim
terhadap mereka. Dan jika Dia merohmati mereka, maka itu dengan karunia-
Nya dan kedermawanan-Nya.”
Selesai dari “Al Minnatul Ilahiyyah Bi Syarhil ‘Aqidatis Safariniyyah”/hal. 152-
153/cet. Darul Kitab Was Sunnah).
Arofat dan para pewarisnya menduga bahwasanya Asy Syaikh Yahya
dengan ucapan beliau: “(أ��ن) Lebih bagus dari bait ini adalah ucapan Ath
Thohawiy � ��ر…” bahwasanya beliau berkeyakinan bahwasanya ucapan As
Safariniy itu bagus.
Maka ketahuilah bahwasanya fi’l tafdhil (dengan wazan أ-,ل) terkadang
memang menunjukkan persekutuan dalam asal makna disertai dengan adanya
nilai tambah untuk salah satu pihak, sebagaimana diketahui bersama. Tapi
terkadang juga menunjukkan pada asal makna pada salah satu pihak tanpa
yang lainnya. Dan ini juga dikenal Al Qur’an dan As Sunnah. Alloh ta’ala
berfirman:
21
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
﴿ J4 أ���&� اوأ ���: �S)X:�'.&/��<� .]24: ا�.�;$ن[ ﴾=
“Para penduduk Jannah pada hari itu lebih baik tempat menetapnya, dan
lebih bagus tempat istirahatnya.”
Al Imam As Sa’diy � ر��� berkata: “Yaitu: tempat menetap mereka di
Jannah dan istirahat mereka yaitu qoilulah (istirahat siang), itulah tempat
menetap yang bermanfaat, dan istirahat yang sempurna, karena mencakup
kesempurnaan yang tidak dicampuri oleh kekeruhan, berbeda dengan
penduduk Neraka, karena sesungguhnya Jahannam itu adalah tempat menetap
dan istirahat yang paling buruk. Dan ini masuk dari bab penggunaan af’al
tafdhil dalam perkara yang pihak yang lain tidak punya sifat dari itu sedikitpun,
karena tiada kebaikan pada tempat istirahat dan menetap bagi penduduk
Neraka. Seperti firman Alloh ta’ala:
�ن آ��#﴿Q'� أ:�_﴾.
“Apakah Alloh yang lebih baik ataukah sesuatu yang mereka persekutukan?”
Selesai dari “Taisirul Karimir Rohman” (hal. 580).
Adapun berdasarkan cara pandang ahli ahwa semisal Arofat Al Bashiriy
dan Luqman Ba Abduh: tempat tinggal penduduk Neraka ada kebaikannya,
tempat istirahat mereka bagus, dan bahwasanya berhala-berhala musyrikun
itu ada kebaikan pada mereka.
Dan semisal itu pula firman Alloh ta’ala:
﴿ "&6.<���U�)&: Q��UX�?j#�Y#��ا #&F�&�#����k�و�6"ا دةوا�_&�ز'����#&��FR�#��F�Ha� 4�� �وأF�K&��اءا��?�U: QUX�وI��a﴾ ]ة�E$60: ا�[.
"Katakanlah: maukah kuberitahukan pada kalian perkara yang lebih jelek
balasannya dari itu di sisi Alloh? Yaitu orang yang dilaknat oleh Alloh,
dimurkai oleh-Nya, dan Dia menjadikan sebagian dari mereka sebagai
monyet-monyet dan babi-babi serta penyembah thoghut. Mereka itulah
yang lebih jelek kedudukannya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus."
Ayat ini berdasarkan cara pandang ahli ahwa semisal Arofat Al Bashiriy
dan Luqman Ba Abduh menunjukkan bahwasanya: keadaan Rosululloh � ��� ��� و��م dan para Shohabat م�� � �� itu buruk, hanya saja kondisi Yahudi ر
lebih buruk lagi daripada kondiri mereka. Dan makna ini buruk sekali, akan
tetapi kebanyakan ahli ahwa itu berbicara tanpa memikirkan sejauh mana
22
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
bahaya ucapan mereka, dengan sebab kezholiman mereka terhadap
Ahlussunnah. Makna yang benar adalah apa yang dikatakan oleh para imam
.ر���م �
Al Imam Ibnu Katsir � ر��� berkata dalam ayat ini: “Dan ini masuk dalam
bab mempergunakan af’al tafdhil dalam perkara yang pihak lainnya tidak
bersekutu dalam perkara tadi, seperti firman-Nya: “Para penduduk Jannah
pada hari itu lebih baik tempat menetapnya, dan lebih bagus tempat
istirahatnya.” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/3/hal. 144).
Contohnya lagi juga adalah: firman Alloh ta’ala:
�����ى﴿< Yة[ ﴾ا6"��اھ�أ�E$8: ا�[.
“Dan berbuat adillah sesungguhnya dia itu lebih dekat kepada ketaqwaan.”
Al Imam Ibnu Katsir � ر��� berkata: “Karena itulah Alloh berfirman:
“Dan berbuat adillah sesungguhnya dia itu lebih dekat kepada ketaqwaan.”
Yaitu: keadilan kalian itu lebih dekat kepada ketaqwaan daripada jika
meninggalkan keadlilan. Fi’ilnya menunjukkan pada mashdar yang mana
dhomir kembali kepadanya, sebagaimana yang semisal dengan itu dari Al
Qur’an dan yang lainnya, sebagaimana dalam firman-Nya:
﴿ �U� اھ�أز�FRر���رFR�ا7U����?28: ا��4ر[ ﴾ وإ [.
“Dan jika dikatakan pada kalian kembalilah, maka kembalilah kalian, yang
demikian itu lebih suci untuk kalian.”
Dan firman-Nya: “dia itu lebih dekat kepada ketaqwaan.” Masuk dalam bab
penggunaan af’al tafdhil dalam posisi yang tidak ada pada sisi yang lain
sedikitpun dari sifat tadi, seperti firman-Nya: “Para penduduk Jannah pada
hari itu lebih baik tempat menetapnya, dan lebih bagus tempat
istirahatnya.” Dan seperti ucapan sebagian Shohabiyyat pada Umar: :Engkau
lebih bengis dan lebih keras daripada Rosululloh و��م ��� � ��� . (“Tafsirul
Qur’anil ‘Azhim”/3/hal. 62).
Ayat ini berdasarkan cara pandang ahli ahwa semisal Arofat Al Bashiriy
dan Luqman Ba Abduh menunjukkan bahwasanya: kezholiman itu dekat pada
ketaqwaan, hanya saja keadilan itu lebih dekat pada ketaqwaan daripada
kezholiman. Dan makna ini buruk sekali dan batil.
Dan semisal dengan itu firman Alloh ta’ala:
أ:V ا�����ا��&�?,'&.ا�=� ﴿�Sو� 6&"ر>�U�ا>�_��=�� ������Y��وا���? �ةا�"﴾ ]F�>46: ا�[.
23
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Dan amalan yang
lestari yang sholih itu lebih baik pahalanya di sisi Robbmu dan lebih baik
harapannya.”
Al Imam Asy Syaukaniy � ر��� berkata: “Yaitu: bahwasanya amalan-
amalan sholihah ini untuk pelakunya harapannya lebih utama daripada apa
yang diharapkan oleh pemilik harta dan anak-anak, karena mereka dengan
amal sholih tadi mendapatkan di akhirat lebih utama daripada apa yang
diharapkan oleh orang-orang kaya di dunia. Dan tidak ada di dalam perhiasan
dunia kebaikan sehingga akhirat diutamakan di atasnya, akan tetapi
pengutamaan ini berjalan di atas pola firman Alloh ta’ala: “Para penduduk
Jannah pada hari itu lebih baik tempat menetapnya.” (“Fathul Qodir”/4/hal.
396).
Dan semisal dengannya adalah firman Alloh ta’ala:
﴿ ��C:���?I� I:��� ��� �&Iو�� �F� �C���I#>"ا���/"أ5G ﴾],��5108: ا�[.
“Janganlah engkau sholat di dalamnya (masjid dhiror) selamanya. Masjid
yang dibangun di atas asas ketaqwaan sejak awal harinya itu lebih berhak
untuk engkau sholat di dalamnya.”
Masjid dhiror itu tidak punya hak untuk ditegakkan sholat di situ. Akan
ayat ini memakai pola bahasa yang ma’ruf (telah dikenal). Atau dia itu memang
berjalan di atas bab af’al tafdhil, akan tetapi dinilai dari sudut pandang orang
yang membangun masjid itu, karena dia berkeyakinan bahwa masjidnya
berhak juga untuk ditegakkan sholat di situ, walaupun sebenarnya dia itu batil.
Al Imam Al Qurthubiy � ر��� berkata: “Dan kata “ahaqq” (lebih benar
atau lebih berhak) itu adalah af’al dari “haq” (benar/berhak). Dan af’al itu tidak
masuk kecuali di antara dua perkara yang berserikat, salah satunya punya
kelebihan daripada yang lainnya di dalam makna yang mereka berdua
berserikat di dalamnya. Maka masjid Dhiror sekalipun batil, tak punya
kebenaran di dalamnya, tapi keduanya berserikat di dalam kebenaran dari sisi
keyakinan orang yang membangunnya, atau dari sisi keyakinan orang yang
mengira bahwasanya sholat di dalamnya itu boleh karena dia itu tetap masjid
juga. Akan tetapi salah satu keyakinan tadi itu batil secara hakikatnya di sisi
Alloh, dan yang lainnya benar lahiriyyah dan bathiniyyah. Dan semisal ini
adalah firman Alloh ta’ala: “Para penduduk Jannah pada hari itu lebih baik
tempat menetapnya, dan lebih bagus tempat istirahatnya.” Dan telah
diketahui bahwasanya kebaikan itu dijauhkan dari neraka, akan tetapi berjalan
di atas keyakinan setiap kelompok bahwasanya kelompoknya itu di atas
24
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
kebaikan, dan bahwasanya tempat kembalinya itu juga baik, karena setiap
kelompok bangga dengan apa yang ada pada diri mereka.” (“Al Jami’ Li
Ahkamil Qur’an”/8/hal. 261).
Dan contoh lain yang masuk dalam pembahasan kita adalah: hadits Anas
�� � �� ��� و��م yang berkata: Rosululloh ر � ��� bersabda:
��5اھ��و«��#��\�`I#��5ر�#���?�U&:�#��G\�='Gء ����=�?�U&�?��'n��Fط"R�#�C&U&�@V@�&�#��� >F"أ?I?�(ھCU���CFR �?I&�#��\�`رأ�&���C ���?I?�U&:«.
“Ada tiga perkara yang barangsiapa perkara tadi ada padanya, dia akan
mendapatkan citarasa keimanan: orang yang mencintai seseorang, tidaklah
dia mencintainya kecuali karena Alloh. Dan barangsiapa Alloh dan Rosul-Nya
lebih dia cintai daripada keduanya. Dan barangsiapa lebih senang untuk
dilemparkan ke dalam api daripada kembali kepada kekufuran setelah Alloh
menyelamatkannya darinya.” (HR. Muslim (43) dengan lafazh ini. Asalnya dari
riwayat Al Bukhoriy (16)).
Al Imam Ibnu Rojab � ر��� berkata: “Adapun apa yang dituntut oleh
lafazh hadits bahwasanya perkara tadi (dilemparkan ke dalam api) dia sukai
karena perkara yang lain (agar tidak kembali kepada kekufuran). Maka yang
pertama: ini tidak harus terjadi –berdasarkan pendapat ahli Kufah yang tidak
memandang bahwasanya af’al tafdhil itu selalu mengharuskan adanya
perserikatan-. Maka bisa saja menurut mereka dikatakan: “Es itu lebih dingin
daripada api.” Adapun menurut pendapat ahli Bashroh, telah berdatangan
nash-nash yang banyak dari Al Kitab dan As Sunnah yang tidak mungkin adanya
perserikatan di dalam kalimat tadi. Dan mereka menta’wilkan af’al dengan fa’il.
Maka demikian pula kalimat tadi dita’wilkan di sini.” (“Fathul Bari”/Ibnu
Rojab/1/hal. 29).
Dan termasuk darinya adalah hadits:
�ل ' «Rل ر�< ��ب هللا :� �7 �ن :9 � ط �� ��ب هللا، :� �7 L��� � ط�ن � وط�Q، و� ط هللا أو@o، وإ?�� ا�G�ء �9� o �ء هللا أHY ،ط � .p��ط4، وإن �ن :< �#7
o� ).�� �$KE, رIJ هللا ��4$) 1504(و���� ) 2168(أ�C%� ا��H$ري . (»أ6
“Ada apa orang-orang membikin syarat-syarat yang tidak ada di dalam
Kitabulloh? Syarat apapun yang tidak ada di dalam Kitabulloh maka dia itu
batil, sekalipun seratus syarat. Keputusan Alloh itu lebih benar, dan syarat
Alloh itu lebih kuat, dan hanyalah wala itu bagi orang yang memerdekakan.”
(HR. Al Bukhoriy (2168) dan Muslim (1504) dari Aisyah "�� � �� .(ر
25
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Al Qodhiy Badruddin Al ‘Ainiy � ر��� berkata: “Sabda beliau:
“Keputusan Alloh itu lebih benar” yaitu: hukum Alloh lebih berhak untuk
diikuti daripada syarat-syarat yang menyelisihinya. Sabda beliau: “dan syarat
Alloh itu lebih kuat” yaitu: dengan mengikuti batasan-batasannya yang Alloh
tetapkan. Dan di sini af’al tafdhil bukan pada babnya, karena tiada perserikatan
antara kebenaran dan kebatilan. Dan sering af’al datang bukan untuk sebagai
perbandingan.” (“Umdatul Qori”/20/hal. 59).
Dan ini telah ma’ruf di ucapan orang-orang Arob sebagaimana kalian
lihat. Dan termasuk di antaranya adalah hadits Abu Usaid As Sa’idiy ر�� � �� :
...�::;$��ا. :;$�M؟أ-�ر)49�4ا:/6$��ا��$NH3$ء��������#���$?�B��� ھ9ار��.M�$;:?6"أ$*Q548
:�94�).�%�Cريأ$H� )).)2007و���� 5637 (($�
“… maka mereka berkata pada wanita itu: “Tahukah engkau siapa ini?” Dia
menjawab: “Tidak.” Mereka berkata: “Ini adalah Rosululloh و��م ��� � ���,
datang untuk melamarmu.” Dia berkata: “Saya lebih celaka daripada untuk
mendapatkan itu.” (HR. Al Bukhoriy (5637) dan Muslim (2007) dari Aisyah ��ر"�� �).
Ibnu Hajar � ر��� berkata: “Ucapannya: Dia berkata: “Saya lebih celaka
daripada untuk mendapatkan itu.” Bukanlah af’al tafdhil di sini sesuai
lahiriyyahnya, tapi maksudnya adalah penetapan kecelakaan untuk wanita itu
karena luput darinya pernikahan dengan Rosululloh و��م ��� � ���.” (“Fathul
Bari”/10/hal. 99).
Dalil-dalil tentang pola ini banyak sekali, dan orang yang pintar cukup
dengan sedikit isyarat.
Kesimpulan: bahwasanya pola ini banyak dipakai dan telah terkenal dari
ucapan orang Arob, dikenal oleh orang-orang Arob dan yang lainnya juga yang
mempelajari bahasa Arob. Hanya saja ahlul ahwa terhalangi dari taufiq dengan
sebab hawa nafsu mereka.
Kemudian sesungguhnya Asy Syaikh Yahya � ظ��� telah membantah As
Safariniy, dan menyebutkan sebagian dalil-dalil yang menunjukkan batilnya
ucapan Asya’iroh dalam bab ini –yaitu bolehnya Alloh untuk menyiksa para
hamba tanpa karena suatu dosa-.
Syaikh kami Yahya � ر��� berkata: “Dan telah berlalu penyebutan hadits
qudsiy:
26
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
����ا«q� V7 �: =: �U&��#��F/C��C& �F��q���: �6�د'\?�=�'«.
“Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharomkan terhadap diri-Ku
kezholiman, lalu Aku menjadikannya harom di antara kalian, maka
janganlah kalian saling menzholimi.”
Maka Alloh memerintahkan untuk berbuat keadilan dan menolong
kebenaran. Alloh ta’ala berfirman:
﴿ ?I?���F'و#��� 9����� ،]25: ا��4ر[ ﴾#�ا�=�
“Dan mereka mengetahui bahwasanya Alloh itulah Yang Mahabenar dan
Maha Menjelaskan.”
Dan Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
��ن ﴿ n�ا�"F��< :I�#��� ،]90: ا���4[﴾ إ?
“Sesungguhnya Alloh memerintahkan untuk berbuat adil dan kebaikan.”
Dan Alloh ��",$رك و"($ berfirman:
﴿0< Yا)?��6"��او��C���Yم[ ﴾وإذا$#*S152: ا[،
“Dan jika kalian berkata maka adillah, sekalipun dari sanak kerabat.”
Dan Alloh 0ه ل -� berfirman:
ا:�& ﴿ �Y?�ا�ا�('&<:&�ا��أ'#'#�� r���� .]8: ا�$�Eة[﴾ Q#"اء>
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian para penegak persaksian
dengan keadilan karena Alloh.”
Maka Alloh ��",$و ��"�(� mensucikan diri-Nya dari menyiksa orang yang tidak
berhak disiksa. Dan dalil-dalil tentang itu banyak, di antaranya adalah: dalil
yang datang dalam “Shohihain” dari Mu’adz bin Jabal �� � �� bahwasanya ر
Nabi و��م ��� � ��� bersabda:
» o`و ،�X�� �< ا� Q' Gوه و"�F' د أن��F�هللا 0�6 ا o` 0�6 د��F�ا G 9: ب)F' G هللا أن�X�� �< ا� Q'«.
“Hak Alloh terhadap para hamba adalah mereka menyembah-Nya dan tidak
menyekutukan sesuatu apapun dengan-Nya. Dan hak para hamba terhadap
Alloh adalah Dia tidak menyiksa orang yang tidak menyekutukan sesuatu
apapun dengan-Nya.” [HR. Al Bukhoriy (2856) dan Muslim (30)].
27
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Dan ini adalah hak yang Alloh jadikan terhadap diri-Nya sendiri sebagai
karunia untuk mereka. Alloh ta’ala berfirman:
�أ>"ا﴿#�C&'"��_�&#Rر�&#�?\C#��5�ر#����F�&:�#�G����#�ر5&:�aV< G23: ا��3[ ﴾إ[.
“Hanya saja itu adalah penyampaian dari Alloh dan risalah-Nya. Dan
barangsiapa durhaka pada Alloh dan Rosul-Nya, maka sungguh dia akan
mendapatkan api Jahannam, mereka kekal di dalamnya selamanya.”
Dan Alloh ��"�(� berfirman:
�: ���? 9�&:b��4 ا��5 �a ������9 �� ا�#"ى و' �: "F< 9: �5ل �oY ا�Q' 9:و﴿ �&#R ���?0 و��� .و5�ءت :�� ا﴾
“Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan
ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.”(QS. An Nisa: 115).
Alloh ta’ala berfirman:
﴿s� ھ" �&�D�اھ�#F���& ���KI&:��ھ�اءھI?�F��'��?I��6�CU��ا��/�����?\7﴾ ]TB6ا� :50[،
"Maka jika mereka tidak memenuhi seruanmu maka ketahuilah bahwasanya
mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih
sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari
Alloh?" (QS. Al Qoshshoh 50).
Alloh subhanah wata'ala berfirman:
﴿ ���7 9��5�C��:����'"#'V#����ا#<���#���aاأزا�aزا﴾ ]FB5: ا�[.
“Maka manakala mereka menyimpang, Alloh simpangkan hati-hati mereka.
Dan Alloh tidak memberikan petunjuk pada kaum yang fasiq.”
Maka ini menunjukkan bahwasanya Alloh ل ز و tidak menyiksa kecuali
orang yang berhak mendapatkan siksaan.”
Selesai ucapan Asy Syaikh Yahya � ظ��� dalam “Al Minnatul Ilahiyyah Bi Syarhil
‘Aqidatis Safariniyyah” (hal. 152-154/cet. Darul Kitab Was Sunnah).
28
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Ini adalah dalil yang jelas bahwasanya Asy Syaikh Yahya � ظ���
membantah ucapan As Safariniy � ر��� yang mengandung ucapan Asy’ariyyah.
Akan tetapi beliau membantah As Safarini dengan adab yang indah karena Al
‘Allamah As Safariniy � ر��� adalah sunniy salafiy, hanya saja jarang sekali
orang yang selamat dari pengaruh Asy’ariyyah di berbagai zaman.
Dan dalil-dalil yang dipaparkan oleh Asy Syaikh Yahya � ظ��� adalah janji
bagi pelaku kebaikan, ancaman terhadap pelaku kejelekan, dan penjelasan
bahwasanya Alloh telah mewajibkan terhadap diri-Nya sendiri rohmat, dan
mengharomkan diri-Nya sendiri untuk berbuat zholim, maka Dia tidak
membolehkan diri-Nya untuk menyiksa seorang hamba tanpa suatu dosa. Ini
semua adalah bantahan terhadap Asya’iroh, bukan seperti yang disangka oleh
Arofat Al Bashiriy dan para pewarisnya bahwasanya Asy Syaikh Yahya � ظ���
berdalilkan dengan dalil-dalil Asya’iroh. Arofat Al Bashiriy memotong-motong
kalimat-kalimat Asy Syaikh Yahya � ظ��� , jauh sekali dari kejujuran dan
keadilan.
Adapun ucapan dia terhadap Asy Syaikh Yahya � ظ�� : “Kemudian dia
menambah basah tanah liat ketika mencocoki si penyair dalam ucapannya:
4�/� ��F�#&:���U7 #،لI�'V#�FC&F#?W
“Maka segala apapun yang datang dari-Nya ta’ala adalah bagus, karena Dia
tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan-Nya.”
Lalu dia - Asy Syaikh Yahya � ظ�� – berkata: maknanya adalah: bahwasanya
segala apapun yang datang dari Alloh ta’ala adalah bagus, karena Dia tidak
ditanya tentang apa yang dikerjakan-Nya.”
Berbeda dengan Ibnu Utsaimin yang mengetahui tempat terselisihan Sunniy
dengan Asy’ariy. Beliau telah mengingkari bait ini semuanya. Dan sebelum
beliau adalah para imam dakwah sebagaimana dalam komentar-komentar
mereka terhadap As Safariniyyah.”
Maka jawaban kami –dengan taufiq dari Alloh semata- adalah:
Ucapan Al Imam Ibnu Utsaimin � ر��� tentang itu secara keseluruhan
tertulis di kitab “Syarhul ‘Aqidatis Safariniyyah” (hal. 266-268/cet. Dar Ibnil
Jauziy). Beliau berbicara dengan bagus dan memberikan faidah.
Akan tetapi apakah orang yang tidak menempuh metode beliau itu
berhak untuk dihinakan dan dicerca sebagaimana yang dikerjakan oleh Arofat
Al Hizbiy terhadap Asy Syaikh Yahya � ظ���?
29
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Adapun ucapan Arofat: “Dan sebelum beliau adalah para imam dakwah
sebagaimana dalam komentar-komentar mereka terhadap As Safariniyyah.”
Kami katakan –dengan taufiq dari Alloh-:
Bahkan syarh Asy Syaikh Yahya dan bantahan beliau terhadap As
Safariniy � ر��� itu lebih bagus dan lebih jelas daripada syarh dan bantahan
Asy Syaikh Al Allamah Muhammad bin Abdil Aziz bin Mani’ � ظ���. Apakah
engkau mengatakan bahwasanya Asy Syaikh Al Allamah Muhammad bin Abdil
Aziz bin Mani’ � ظ��� tidak mengetahui tempat perselisihan sunniy-asy’ariy?
Rujuklah dengan jujur dan adil dalam kitab “Jami’ Syuruhil ‘Aqidatis
Safariniyyah” (hal. 383-384/cet. Daru Ibnil Haitsam).
Adapun Asy Syaikh Al Allamah Abdurrohman bin Muhammad bin Qosim
beliau mendatangkan bantahan yang kuat terhadap ucapan As Safariniy ر��� �
Dan boleh bagi Al Maula untuk menyiksa para makhluk tanpa ada“ : ر��� �
dosa ataupun kejahatan yang berlangsung.”Semoga Alloh membalas beliau
dengan kebaikan. Adapun syarh beliau terhadap ucapan As Safariniy � ر��� :
“Maka segala apapun yang datang dari-Nya ta’ala adalah bagus, karena Dia
tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan-Nya.” Alur beliau dekat sekali
dengan alur Asy Syaikh Yahya � ظ���. Apakah engkau mengatakan
bahwasanya Asy Syaikh Al Allamah Abdurrohman bin Muhammad bin Qosim
tidak mengetahui tempat perselisihan sunniy-asy’ariy? Rujuklah dengan ر��� �
jujur dan adil dalam kitab “Jami’ Syuruhil ‘Aqidatis Safariniyyah” (hal. 388-
389/cet. Daru Ibnil Haitsam).
Adapun Asy Syaikh Al Allamah Sholih Al Fauzan � ظ��� beliau terang-
terangan menyatakan bahwasanya ucapan As Safariniy � ر��� : “Dan boleh
bagi Al Maula untuk menyiksa para makhluk tanpa ada dosa ataupun
kejahatan yang berlangsung”adalah berjalan di atas madzhab Asya’iroh. Maka
semoga Alloh membalas beliau dengan kebaikan. Dan barangsiapa
merenungkan syarh Asy Syaikh Yahya � ظ��� terhadap ucapan As Safariniy
��� �ر tersebut, dia akan mendapati dengan taufiq dari Alloh bahwasanya Asy
Syaikh Yahya � ظ��� telah mendatangkan dalil-dalil yang banyak untuk
membantah As Safariniy itu, lebih banyak daripada pendalilan yang
didatangkan oleh Asy Syaikh Al Fauzan. Maka kenapa Arofat bergaya buta
terhadap kebaikan itu?
Adapun syarh Asy Syaikh Al Fauzan � ظ��� terhadap ucapan As Safariniy
,Maka segala apapun yang datang dari-Nya ta’ala adalah bagus“ : ر��� �
karena Dia tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan-Nya” maka di dalamnya
30
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
ada bantahan yang bagus terhadap ucapan As Safariniy � ر���itu. Maka
semoga Alloh membalas beliau dengan kebaikan.
Rujuklah semuanya dengan jujur dan adil dalam kitab “Jami’ Syuruhil
‘Aqidatis Safariniyyah” (hal. 428-430/cet. Daru Ibnil Haitsam).
Inilah jawabanku, jawaban orang yang berusaha tetap pada objektivitas,
keadilan dan kejujuran, jauh dari fanatisme insya Alloh, dan hanya dengan
pertolongan Alloh saja kita mendapatkan taufiq.
Dan ucapan Asy Syaikh Yahya � ظ��� : “Maknanya adalah: bahwasanya
segala apapun yang datang dari Alloh ta’ala adalah bagus, karena Dia tidak
ditanya tentang apa yang dikerjakan-Nya.” Itu adalah ucapan yang benar,
karena semua perbuatan Alloh adalah bagus.
Syaikhul Islam � ر��� berkata: “Robb kita ��",$و ��"�(� telah meliputi
segala sesuatu dengan ilmu, qodrat-Nya, hukum-Nya, dan mencakup segala
sesuatu dengan rohmat-Nya dan ilmu-Nya, maka tiada satu dzarrohpun di
langit dan bumi, dan tiada satu maknapun kecuali dia itu sebagai saksi bagi
Alloh ta’ala akan kesempurnaan ilmu-Nya dan rohmat-Nya, dan kesempurnaan
qodrat dan hikmah-Nya. Dan tidaklah Dia menciptakan makhluk dengan sia-sia,
dan tidak pula melakukan sesuatu sekedar untuk bermain-main. Bahkan Dialah
Al Hakim (Yang meletakkan segalanya tepat pada tempatnya) dalam perbuatan
dan perkataan-Nya ��",$و ��"�(� , kemudian sebagian dari hikmah-Nya ada yang
diperlihatkan-Nya pada sebagian makhluk-Nya, dan sebagiannya dikhususkan
untuk diri-Nya sendiri ��"�(� ilmunya.” (“Majmu’ul Fatawa”/8/hal. 197).
Al Imam Ibnul Qoyyim � ر��� berkata: “Dan Dia ��"�(� sebagaimana
tersifati dengan seluruh kesempurnaan, maka Dia tersucikan dari setiap
kekurangan dan cacat. Maka sebagaimana Dia tersifati pada setiap perbuatan-
Nya dengan setiap pujian, hikmah dan tujuan yang terpuji, maka Dia juga
tersucikan dalam perbuatan-Nya itu dari setiap aib, kezholiman dan
keburukan. Dan dengan ini Dia berhak untuk dipuji pada setiap keadaan, dan
terpuji pada perkara yang tidak disukai sebagaimana Dia terpuji pada perkara
yang disukai.” (“Ash Showa’iqul Mursalah”/2/hal. 316).
Maka ucapan Asy Syaikh Yahya itu benar, bahwasanya perbuatan Alloh
itu bagus semuanya, hanya saja Asy Syaikh � ظ��� –demikian pula sebagian
ulama زاھم � �1را – tidak membahas didatangkannya huruf Fa (ـ-) yang
dilakukan oleh As Safariniy � ر��� untuk menunjukkan benarnya aqidah
Asy’ariyyah bahwasanya Alloh boleh saja menyiksa para hamba-Nya tanpa
dosa apapun. Akan tetapi Asy Syaikh Yahya � ظ��� secara umum telah
31
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
membantah ucapan Asya’iroh tadi dalam bab tersebut, maka beliau
mencukupkan diri dengan itu.
Kesimpulan: jalan para ulama Sunnah dalam mensyaroh dan
membantah bait syair tadi bermacam-macam, sebagiannya lebih baik daripada
yang lain, dan masing-masing mendatangkan faidah-faidah dalam mengajari
umat, menolong kebenaran, dan menghantam kebatilan-kebatilan
semampunya. Dan ini adalah sifat manusia. Dan semangat para ahli ahwa
untuk memvonis bahwa Asy Syaikh Yahya � ظ��� terkena Asy’ariyyah gagal.
���#وأ? ﴿ 9�&p� .]U'"#'V﴾ ]F��(: 52�"ا�_
“Dan bahwasanya Alloh tidak memberi petunjuk pada tipu daya para
pengkhianat.”
Adapun ucapan Arofat al fasiq: “Dan perkataan Al Hajuriy dalam As
Safariniyyah hal. 153: “Maka Alloh و����� ����� mensucikan diri-Nya dari
menyiksa orang yang tidak berhak disiksa…” Lalu dia mendatangkan
sekumpulan dalil-dalil. Aku –Arofat- katakana: barangsiapa mengira
bahwasanya ucapan tadi bisa memberikan syafaat untuk Al Hajuriy, maka dia
itu bodoh, tidak mengetahui tempat perselisihan antara kita dengan
Asya’iroh. Maka ini adalah ucapan yang dikatakan oleh para Asya’iroh.
Sesungguhnya perselisihan antara kita dengan mereka adalah pada bolehnya
penyiksaan tadi, bukan pada terjadinya penyiksaan tadi. Oleh karena itulah
maka Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah � ��ر dalam Minhajus Sunnah (3/90)
berkata: “Sesungguhnya perselisihan mereka adalah pada masalah bolehnya
penyiksaan tadi, bukan pada terjadinya penyiksaan tadi.”.”
Kami –dengan taufiq dari Alloh semata- menjawab:“Bahwasanya
Asya’iroh dan seluruh Qodariyyah Jabriyyah meyakini bahwasanya Alloh ta’ala
mustahil secara dzat-Nya untuk berbuat zholim. Adapun Ahlussunnah mereka
meyakini bahwasanya Alloh mampu untuk berbuat itu, akan tetapi Dia
mengharomkan diri-Nya berbuat zholim, dan mensucikan diri-Nya. Hadits yang
disebutkan oleh Syaikh kami Yahya � ظ��� : hadits qudsiy:
����ا«q� V7 �: =: �U&��#��F/C��C& �F��q���: �6�د'\?�=�'«.
“Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharomkan terhadap diri-Ku
kezholiman, lalu Aku menjadikannya harom di antara kalian, maka
janganlah kalian saling menzholimi.” Adalah dalil Ahlussunnah untuk
membantah Asya’iroh. Dan Alloh ta’ala itu terpuji dari segala sisi, di antaranya
adalah Dia itu terpuji karena dia meninggalkan kezholiman padahal Dia mampu
32
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
untuk berbuat itu. Adapun Asya’iroh maka mereka itu merampas pujian dari
Alloh dalam sisi ini tanpa mereka sadari, karena sesuatu yang mustahil berbuat
zholim secara dzatnya, dia tidak terpuji dengan sebab itu. Maka tidaklah dia
terpuji atas sesuatu yang dia secara dzatnya mustahil untuk berbuat itu.
Syaikhul Islam � ر��� berkata: “Dan perkara yang tidak mungkin ada
qodrat (kemampuan) di situ, tidak pantas dia dipuji karena dia tidak
menginginkannya. Tapi hanyalah yang terpuji itu jika dia meninggalkan
perbuatan-perbuatan dalam keadaan dia sanggup mengerjakannya. Maka
dengan ini diketahuilah bahwasanya Alloh itu punya kesanggupan untuk
mengerjakan perbuatan yang Dia mensucikan diri dari perbuatan tadi seperti
kezholiman dan yang lainnya, bahwasanya Dia tidak melakukan kezholiman.
Dan dengan itu menjadi sahlah firman-Nya: “sesungguhnya Aku
mengharomkan terhadap diri-Ku kezholiman,” dan bahwasanya tahrim
(pengharoman) adalah pelarangan, dan itu tidak boleh untuk perkara yang
mustahil secara dzatnya. Maka tidak pantas untuk dikatakan: (Aku
mengharomkan atas diri-Ku atau Aku melarang diri-Ku untuk menciptakan
sesuatu yang semisal dengan diri-Ku), atau menjadikan para makhluk sebagai
pencipta, yang perkara-perkara mustahil yang lain.” (“Majmu’ul
Fatawa”/18/hal. 144).
Al Imam Ibnul Qoyyim � ر��� berkata: “Adapun Qodariyyah Jabriyyah
maka definisi kezholiman menurut mereka adalah sesuatu yang tidak punya
hakikat. Bahkan itu adalah sesuatu yang mustahil secara dzatnya, yang tidak
masuk ke dalam kemampuan Alloh. Maka Ar Robb ta’ala tidak mampu
menurut mereka untuk melakukan sesuatu yang mereka namakan sebagai
kezholiman sampai dikatakan: “Meninggalkan kezholiman, dan mengerjakan
keadilan.” –sampai pada ucapan beliau:- dan berdasarkan ucapan mereka,
maka Alloh itu tidak terpuji karena meninggalkan kezholiman, karena sesuatu
itu tidak dipuji karena meninggalkan sesuatu yang memang mustahil secara
dzatnya. Dan tiada faidahnya firman-Nya: “sesungguhnya Aku mengharomkan
terhadap diri-Ku kezholiman,” atau mereka mengira maknanya adalah:
“Sesungguhnya aku mengharomkan terhadap diriku melakukan perkara yang
tidak masuk ke dalam kesanggupan-Ku.” Yaitu perkara-perkara yang mustahil.
Dan tiada faidahnya firman-Nya:
﴿��HھGو���q7�_'V7﴾
“Maka dia tidak takut terzholimi ataupun dikurangi haknya.”
Karena setiap orang itu tidak takut terhadap perkara yang memang mustahil
secara dzatnya untuk terjadi. Dan tiada faidahnya pada firman-Nya:
33
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
�د﴿�F��� ،﴾و:�ا��#� '"ظ��
“Dan Alloh tidak menginginkan kezholiman kepada para hamba-Nya.”
Dan juga pada firman-Nya:
﴿"��F��:Vq<� ،﴾و:�أ?
“Dan Aku tidak menzholimi para hamba.”
Maka berlakunya hukum-Nya pada para hamba-Nya adalah dengan kekuasaan-
Nya, dan keadilan-Nya pada mereka adalah dengan pujian-Nya. Dan Dia ��"�(�
hanya milik-Nya sajalah kekuasaan dan pujian, dan Dia Maha mampu atas
segala sesuatu.”
(selesai dari “Syifaul ‘Alil”/hal. 511-512/cet. Darul Hadits).
Dan demikian pula ucapan syaikh kami Yahya � �4ظ�� : Alloh subhanah
wata'ala berfirman:
﴿ ���7 9��5�C��:����'"#'V#����ا#<���#���aاأزا�aزا﴾ ]FB5: ا�[.
“Maka manakala mereka menyimpang, Alloh simpangkan hati-hati mereka.
Dan Alloh tidak memberikan petunjuk pada kaum yang fasiq.”
Maka ini menunjukkan bahwasanya Alloh ل ز و tidak menyiksa kecuali
orang yang berhak mendapatkan siksaan.” Selesai.
Ini adalah keyakinan Ahlussunnah, berbeda dengan Asya’iroh, karena
hukuman terhadap orang yang zholim dengan menjadikan dia itu sesat dan
menyimpang adalah bagian dari keadilan Alloh, sebagaimana pahala orang
sholih dengan memberikan taufiq kepadanya dan meluruskanya adalah karunia
dari Alloh, dan bahwasanya Dia itu Al Hakim, meletakkan segalanya tepat pada
tempatnya yang sesuai untuknya. Dan ini berbeda dengan Asya’iroh,
pengingkar hikmah, yang mengatakan bolehnya Alloh menyiksa orang sholih
tanpa dosa apapun, dan memberikan pahala pada penjahat tanpa dia berbuat
kebaikan apapun.
Al Imam Ibnul Qoyyim � ر��� berkata: “Seluruh ketetepan-Nya adalah
adil untuk para hamba-Nya karena Dia meletakkan untuknya pada tempatnya
yang tidak bagus pada tempat yang lain, karena Dia meletakkan hukuman dan
meletakkan ketetapan dengan sebabnya dan dengan perkara yang memang
mengharuskan itu di tempat itu, karena sesungguhnya Alloh ��"�(�
sebagaimana Dia membalas dengan hukuman, maka sungguh Dia juga
34
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
menghukum dengan taqdir dosa itu sendiri, sehingga jadilah hukuman yang
berupa terjadinya dosa itu adalah hukuman terhadap dosa yang sebelumnya
karena sesungguhnya dosa itu sebagiannya menyeret sebagian yang lain. Dan
dosa yang sebelumnya adalah hukuman bagi lalainya hati terhadap Robbnya,
dan berpalingnya dia dari Robbnya. Sementara kelalaian dan keberpalingan
tadi ada pada asal cetakan dan pertumbuhan. Barangsiapa Alloh menginginkan
untuk menyempurnakan dia Alloh memusatkan konsentrasi hati orang itu
pada-Nya, menariknya kepada-Nya, Dia memberinya ilham untuk lurus, dan
memberikan padanya sebab-sebab kebaikan. Tapi barangsiapa tidak diinginkan
oleh-Nya untuk menyempurnakan, Dia meninggalkannya bergelimang dengan
tabiatnya dan membiarkan antara dirinya dengan nafsunya karena dia tidak
pantas untuk mendapatkan penyempurnaan, dan bukanlah tempat dia itu
pantas dan menerima kebaikan untuk diletakkan di situ. Dan di sini puncak dari
ilmu para hamba tentang taqdir.
Adapun bahwasanya Alloh ta’ala menjadikan orang yang ini bagus dan
diberinya dengan apa yang pantas untuknya, sementara orang yang itu tidak
bagus, dan mengghalanginya dari perkara yang tidak pantas untuknya, maka
yang demikian itu merupakan keharusan dari Rububiyyah-Nya, Uluhiyyah-Nya,
ilmu-Nya dan hikmah-Nya, karena sesungguhnya Dia ��"�(� adalah pencipta
perkara-perkara dan lawan-lawannya. Dan ini adalah tuntutan dari
kesempurnaan-Nya dan kejelasan nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya
sebagaimana telah lewat penetapannya.
Maksudnya adalah: bahwasanya Alloh itu adalah Dzat Yang paling adil
dalam ketetapan-Nya dengan sebab, dan ketetapan-Nya dengan akibat-Nya.
Maka tidaklah Dia menetapkan pada hamba-Nya dengan suatu taqdir kecuali
dia itu terjadi pada tempatnya yang memang tidak pantas untuknya perkara
yang lain, karena Alloh itulah Hakim Yang Adil Yang Mahakaya Yang
Mahaterpuji.”
(“Syifaul ‘Alil”/hal. 512-513/cet. Darul Hadits).
Maka perbedaan antara keyakinan Asya’iroh dan keyakinan Ahlussunnah
dalam masalah keadilan Alloh adalah jelas: Asya’iroh berkeyakinan
bahwasanya penyiksaan tanpa dosa itu adalah keadilan, demikian pula
mengerjakan seluruh perkara yang mungkin adalah keadilan juga bagi Alloh.
Dan melakukan perkara yang mustahil adalah kezholiman.
Adapun Ahlussunnah, maka mereka meyakini bahwasanya Alloh mampu
berbuat apapun, akan tetapi Dia telah mewajibkan terhadap diri-Nya sendiri
keadilan, hikmah, dan mengharomkan atas diri-Nya kecurangan dan
35
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
kezholiman serta kesia-siaan. Maka tidak muncul dari diri-Nya kecuali keadilan,
keutamaan, dan hikmah, Dia memberikan pahala pada yang berhak
mendapatkannya karena telah memenuhi syarat-syarat-Nya, sebagai karunia
dari-Nya, dan menghukum orang yang berhak mendapatkannya karena
melanggar larangan-larangan-Nya, sebagai keadilan dari-Nya. Dia telah
mewajibkan diri-Nya untuk meletakkan semuanya pada tempatnya. Dengan itu
dan sebab-sebab yang lainlah seluruh yang di langit dan di bumi memuji-Nya.
Al Imam Ibnul Qoyyim � ر��� berkata tentang Asya’iroh: “Dan mereka
memegang pendapat ini dengan konsekuensi-konsekuensi yang batil, seperti
ucapan mereka: “Sesungguhnya Alloh ta’ala boleh bagi-Nya untuk menyiksa
para Nabi-Nya, para Rosul-Nya, para malaikat-Nya, para wali-Nya, dan orang-
orang yang taat pada-Nya, dan mengekalkan mereka di dalam siksaan yang
pedih, dan memuliakan para musuh-Nya dari kalangan orang-orang kafir,
musyrikin, setan, dan mengkhususkan mereka dengan jannah-Nya dan
kemuliaan-Nya. Dan kedua perkara ini adalah keadilan dan boleh untuk-Nya” –
sampai pada ucapan beliau:- “Dan mereka juga komitmen bahwasanya boleh
bagi Alloh untuk menyiksa para bayi yang tidak punya dosa sama sekali itu, dan
mengekalkan mereka ke dalam Jahim. Dan terkadang mereka berpendapat
bahwasanya itu terjadi.” (“Miftah daris Sa’adah”/2/hal. 107).
Adapun Ahlussunnah berkata bahwasanya keadilan itu adalah:
meletakkan sesuatu pada tempatnya, memuliakan orang yang mulia, dan
menghinakan orang yang jahat.
Al Imam Ibnul Qoyyim � ر��� berkata menukilkan ucapan Ahlussunnah:
“Yang benar, yang ditunjukkan oleh nash-nash adalah: bahwasanya kezholiman
yang Alloh haromkan terhadap diri-Nya sendiri dan Dia mensucikan diri-Nya
dari kezholiman tadi secara perbuatan dan keinginan, adalah apa yang
ditafsirkan oleh Salaful Ummah dan para imamnya, yaitu: Alloh tidak
memikulkan pada seseorang kejelekan orang lain, dan tidak menyiksanya
dengan dosa yang tidak dikerjakannya dan tidak diupayakannya. Dan juga tidak
mengurangi kebaikannya. Maka dia tidak diberi pahala dengan kebaikannya
tadi atau sebagiannya, jika kebaikannya itu diiringi atau dikenai perkara yang
menuntut pembatalan kebaikan tadi atau yang menuntut qishosh bagi orang
yang terzholimi. Inilah kezholiman yang Alloh tiadakan rasa takut dari para
hamba-Nya dengan firman-Nya:
﴿��HھGو���q7�_'VC&:b:ت،وھ��=�����&���F�&:و﴾
“Dan barangsiapa mengamalkan amalan sholih dalam keadaan dia mukmin,
maka dia tidak takut terzholimi ataupun dikurangi haknya.”
36
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Para salaf dan ahli tafsir berkata: “Dia tidak takut akan dipikulkan
kepadanya kejelekan orang lain, dan juga dikuranginya kebaikannya yang
dipikulnya. Maka inilah makna kezholiman yang bisa dipahami oleh akal dan
makna tidak takutnya dia.” (“Miftah Daris Sa’adah”/2/hal. 107).
Maka kebenaran itu bersama Ahlussunnah. Syaikhul Islam � ر���
berkata: “Dan telah diketahui bahwasanya Alloh ��"�(� itu adalah Hakim Yang
Adil, tidak meletakkan perkara-perkara kecuali pada tempat-tempatnya.
Meletakkannya bukan pada tempatnya itu tidak mustahil secara dzatnya,
bahkan dia itu mungkin, akan tetapi Alloh tidak melakukannya, karena Dia
tidak menginginkannya, bahkan Dia membencinya dan tidak menyukainya,
karena Dia telah mengharomkan itu atas diri-Nya.” (“Majmu’ul
Fatawa”/18/hal. 145).
Al Imam Ibnul Qoyyim � ر��� berkata: “Maka meninggalkan kezholiman
itulah yang namanya keadilan, bukannya keadilan itu adalah mengerjakan
setiap perbuatan yang mungkin dilakukan. Dan berdasarkan inilah tegaknya
hisab, dan diletakkannya timbangan-timbangan keadilan, dan ditimbangnya
kebaikan dan kejelekan, dan derajat-derajat yang tinggi bertingkat-tingkat bagi
pemiliknya, juga lapisan-lapisan yang rendah itu bertingkat-tingkat bagi
pemiliknya. Alloh ta’ala berfirman:
��(رة﴿�����q'V#��� ﴾إ?
“Sesungguhnya Alloh tidak menzholimi keukuran dzarrohpun.”
Yaitu: tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan, sekalipun
seukuran dzarroh. Maka ini menunjukkan bahwasanya penyia-nyiaannya dan
tidak dibalasnya kebaikan itu padahal tidak ada faktor yang membatalkannya
merupakan suatu kezholiman yang Alloh meninggikan diri dari perbuatan itu.
Dan telah diketahui bahwasanya Alloh mampu untuk tidak membalas
kebaikan, tapi Alloh mensucikan diri itu karena kesempurnaan keadilannya dan
hikmah-Nya. Dan ayat ini sama sekali tidak mengandung makna yang bisa
dipahami selain itu.
Dan Alloh ta’ala:
﴿"��F��:Vq�U<ر��و:#��F7ء�5I&:�#�C&�7�=�����F&:﴾
“Barangsiapa beramal sholih, maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan
barangsiapa berbuat jelek, maka akan menimpa dirinya sendiri, dan Aku
tidak menzholimi para hamba.”
37
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Yaitu: tidak menghukum hamba tanpa dirinya berbuat jelek, dan Dia tidak
menghalanginya mendapatkan pahala dari kebaikannya. Dan telah diketahui
bahwasanya itu semua mampu dikerjakan oleh Alloh ta’ala.”
(“Miftah Daris Sa’adah”/2/hal. 108).
Kesimpulannya: Alloh itu mampu untuk berbuat zholim sebagaimana Dia
mampu untuk berbuat adil, bahkan Dia mampu terhadap segala sesuatu. Akan
tetapi Dia meninggikan Diri dan mensucikan Diri dari menzholimi seorangpun.
Dan meninggalkan kezholiman yang dimampui itulah yang namanya keadilan
yang Alloh mensifati diri-Nya dengan itu. Dan inilah makna ucapan Asy Syaikh
Yahya ظ��� � : “Maka Alloh و����� ����� mensucikan diri-Nya dari menyiksa
orang yang tidak berhak disiksa.”Alloh mensucikan diri-Nya dari melakukan
sesuatu yang buruk yang mungkin yang dimampui, bukan dari sesuatu yang
mustahil terjadi. Maka ucapan Asy Syaikh Yahya � ظ��� adalah ucapan sunniiy
salafiy, dan dalil-dalil yang beliau datangkan adalah dalil-dalil Ahlussunnah,
akan tetapi Arofat memang sesuai dengan ucapan dirinya sendiri: “bodoh,
tidak mengetahui tempat perselisihan antara kita dengan Asya’iroh.”
Al Imam Ibnul Qoyyim � ر��� berkata: “Dan bahwasanya dia tidak
berhak kecuali apa yang diusahakannya, dan bahwasanya inilah keadilan yang
Alloh mensucikan diri-Nya dari menyelisihinya.
�W`,ا>���"أ>��:&�`�6�دو@��دوا�(﴿:������U��F7�SI�?I:�Y��&:>')�G�Yو '&�&�F"ھ��:�ا��#��د�F��� ﴾'"ظ��
“Dan orang yang beriman itu berkata: Wahai kaumku, sungguh aku takut
kalian akan tertimpa seperti hari Ahzab, seperti adzab yang menimpa kaum
Nuh, Ad, Tsamud dan orang-orang yang setelah mereka. Dan Alloh tidak
menginginkan kezholiman kepada para hamba-Nya.”
Dia menjelaskan bahwasanya hukuman ini bukanlah kezholiman dari Alloh
kepada para hamba, akan tetapi itu adalah karena dosa-dosa mereka dan
mereka berhak mendapatkannya. Dan telah diketahui bahwasanya perkara
yang mustahil, yang tidak mungkin terjadi, dan tidak ada di bawah qodrat sama
sekali itu tidak pantas dzat tadi tipuji dengannya, karena dia tidak
menginginkannya dan tidak melakukannya. Dan tidak dipuji berdasarkan yang
demikian itu. Dan hanyalah ada pujian dengan sebab meninggalkan perbuatan-
perbuatan yang dirinya memang mampu mengerjakannya tapi sengaja
membersihkan diri dari perbuatan macam itu, karena kesempurnaannya,
ketidakbutuhannya dan keterpujian dirinya. Dan berdasarkan ini sempurnalah
ucapan Alloh:
38
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
�6�د'«�'��C& �F��q���: =�?\«.
“Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharomkan terhadap diri-Ku
kezholiman,”
Dan nash-nash yang senada dengan itu.”
(selesai dari “Miftah Daris Sa’adah”/2/hal. 108).
Adapun perkataan Asy Syaikh Yahya � ظ��� :Alloh ta’ala berfirman:
�'�FC�ھ��I���ن ﴿ �F�I�'G﴾ ]ء���?W23: ا[،
“Dia tidak ditanya terhadap apa yang dikerjakan-Nya, dan mereka itu yang
ditanya.”
Itu bukan untuk memperkuat Asya’iroh, karena itu adalah Kalamulloh, dan
Kalamulloh itu tidak menolong kecuali kebenaran, bukan untuk memperkuat
kebatilan, akan tetapi maknanya adalah: bahwasanya Alloh itu dikarenakan
kesempurnaan keadilan-Nya, hikmah-Nya, dan keutamaan kedermawanan-
Nya, tidaklah Dia melakukan kecuali perbuatan yang sesuatu pada tempatnya
dan indah dan terpuji, tanpa ada kecacatan di dalamnya dari sisi manapun,
memberikan pahala pada orang yang berbuat kebaikan, menghukum orang
yang berbuat kejelekan. Maka Dia tidak ditanya terhadap apa yang dikerjakan-
Nya, berbeda dengan keadaan para hamba.
Maka barangsiapa merenungkan perkataan Asy Syaikh Yahya � ظ���
dalam syaroh tersebut, tahulah dia bahwasanya beliau telah mendatangkan
makna yang benar untuk ayat tersebut, dan jadilah itu bantahan terhadap
Asya’iroh pengingkar hikmah.
Syaikhul Islam � ر��� berkata: “Dan Dia Yang Mahasuci adalah Pencipta
segala sesuatu, Robb dan Penguasa bagi segalanya, dan Dia dalam apa yang
diciptakan-Nya punya hikmah yang mendalam, nikmat yang tercurah, dan
rohmat yang umum dan khusus. Dan Dia tidak ditanya terhadap apa yang
dikerjakan-Nya, dan mereka itu yang ditanya. Bukan karena sekedar
kemampuan dan pemaksaan-Nya, tapi karena kesempurnaan ilmu-Nya,
kemampuan-Nya, rohmat-Nya, dan hikmah-Nya. Maka sungguh Dia ��",$و ��"�(�
Hakim Yang Paling sempurna hikmah-Nya, Penyayang Yang paling sempurna
kasih sayang-Nya, dan Dia lebih sayang pada para hamba-Nya daripada
seorang ibu kepada anaknya, dan Dia telah memperbagus penciptaan segala
sesuatu.” (“Majmu’ul Fatawa”/8/hal. 79).
39
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Adapun perkataan Asy Syaikh Yahya � ظ���: “Maka andaikata Alloh
menyiksa para hamba semuanya, tidaklah Dia zholim terhadap mereka. Dan
jika Dia merohmati mereka, maka itu dengan karunia-Nya dan
kedermawanan-Nya.”Ini bukanlah dalil untuk Asya’iroh jika diteliti. Dan
tidaklah penyebutan ucapan itu menunjukkan bahwasanya orang yang
menyebutkan itu adalah terpengaruh Asy’ariyyah, karena asal dari ucapan itu
adalah dari hadits Nabi و��م ��� � ��� , maknanya diselewengkan oleh
Asya’iroh.
Dan makna yang shohih adalah apa yang disebutkan oleh Al Imam Ibnul
Qoyyim � ر��� : “Andaikan Alloh menyiksa para penduduk langit-Nya dan
bumi-Nya niscaya Dia berhak berbuat itu terhadap mereka, dan mereka
memang pentas mendapatkan siksaan ketika disiksa, kareba amalan mereka
tidak cukup untuk keselamatan mereka. Sebagaimana sabda Nabi ��� � ��� : و��م
»���F�U&:ا"`I /&�&�«
“Tidak akan salah seorang dari kalian bisa diselamatkan oleh amalannya.”
Mereka bertanya: “Apakah Anda juga demikian wahai Rosululloh?”
Beliau menjawab:
»4H7�#&:.�` �#����?"�D� .»وGأ?�إGأ?�
“Akupun demikian, kecuali bahwasanya Alloh meliputiku dengan rohmat dan
karunia dari-Nya.”
Maka rohmat-Nya untuk mereka itu bukanlah bayaran dari amalan mereka
ataupun juga sebagai harga untuk amalan mereka, karena rohmat-Nya itu lebih
baik daripada amalan mereka, sebagaimana dalam hadits itu sendiri:
»�#���6I&��#�ا �_�#�#��` �?�U��#�`و��ر«
“Dan seandainya Dia merohmati mereka niscaya rohmat-Nya itu lebih baik
daripada amalan mereka,”
Yaitu: menggabungkan antara dua perkara dalam hadits ini bahwasanya Alloh
andaikata Dia menyiksa mereka niscaya Dia menyiksa mereka karena mereka
memang berhak disiksa, dan tidaklah Alloh menzholimi mereka, dan
bahwasanya Dia andaikata merohmati mereka niscaya yang demikian itu
adalah semata-mata karunia-Nya dan kedermawanan-Nya, karena rohmat-Nya
itu lebih baik daripada amalan mereka. Maka semoga sholawat dan salam
40
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Alloh tercurah pada orang yang ucapan tadi keluar dari bibirnya pertama kali,
karena sungguh beliau adalah makhluk yang paling mengenal Alloh dan hak-
Nya, dan paling mengetahui tentang-Nya, keadilan-Nya, karunia-Nya dan
hikmah-Nya, dan apa saja yang menjadi hak Dia terhadap para hamba-Nya.
Dan ketaatan para hamba semua itu tidaklah menjadi pembayaran
untuk kenikmatan Alloh pada mereka, dan tidak setara dengan kenikmatan-
Nya pada mereka. Bahkan tidak setara dengan sedikit dari kenikmatan-Nya itu.
Maka bagaimana mereka dengan amalan mereka berhak menuntut agar Alloh
menyelamatkan mereka sementara ketaatan orang yang taat itu tidak
sebanding dengan satu kenikmatan dari kenikmatan-kenikmatan Alloh pada-
Nya? Maka tersisalah seluruh kenikmatan itu menuntut dirinya untuk
bersyukur, sementara sang hamba dengan kemampuannya tidak
melaksanakan kewajiban dirinya yang menjadi hak Alloh terhadapnya? Maka
seluruh hamba-Nya itu adalah di bawah pemaafan-Nya, rohmat-Nya dan
karunia-Nya. Maka tiada seorangpun yang selamat dari mereka kecuali dengan
maaf-Nya dan ampunan-Nya, dan tiada yang berhasil mendapatkan Jannah
kecuali dengan karunia-Nya dan rohmat-Nya. Dan jika keadaan para hamba
adalah demikian, maka andaikata Dia menyiksa mereka, niscaya Dia menyiksa
mereka tanpa Dia zholim terhadap mereka. Bukan karena Dia berkuasa
terhadap mereka karena mereka adalah milik Dia, tapi karena mereka memang
berhak untuk disiksa. Dan andaikata Dia merohmati mereka pastilah yang
demikian itu adalah dengan karunia-Nya, bukan karena amalan-alaman
mereka.” (“Miftah Daris Sa’adah”/2/hal. 109).
Ini adalah bantahan yang jelas terhadap Asya’iroh, dan peletakan hadits
pada tempatnya.
41
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Bab Duapuluh Delapan: Antara Istilah “Akhrojahu”
Dan “Khorrojahu”
Arofat Al Bashiriy telah mengejek Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy � ظ��
dalam penggunaan ungkapan “Akhrojahu” (أ�ر��) dan “Khorrojahu” (ر���), di
sebagian tempat dalam kitab “Tahqiq Ishlahil Mujtama’”. Arofat berkata: “Al
Muhaddits Al ‘Allamah, kemudian datang dalam hadits berkata: “Akhrojahu
Abdurrohman bin Hasan dalam “Fathul Majid”.” Lihat pada si muhaddits ini,
muhaddits yang pintar. Dia bilang “Akhrojahu Ibnu Katsir,” “Akhrojahu Al
‘Ijluniy” Di manakah engkau belajar, wahai Muhaddits? Asy Syaikh Muqbil?
Beliau tidak di atas metode ini. Ini dia muhaddits yang benar-benar
muhaddits asli. Bacalah kitab-kitab Asy Syaikh Muqbil dalam bidang hadits,
dan bacalah kitab-kitab si bodoh ini, beda besar sekali antara orang yang
Alloh ز و�ل� jadikan kitab-kitab beliau diterima umat, dengan orang tolol
yang sok tahu.”
Dan Abdulloh Al Bukhoriy mengikuti Arofat dalam serangan yang
buruk itu dengan berkata: “Apakah kitab itu tadi adalah kitab rujukan dasa
sehingga engkau merujuk kepadanya dan engkau berkata: “Abdurrohman bin
Hasan dalam Fathul Majid”? Dia tak tahu makna takhrij.”
Mereka berdua menjadikan perkara itu sebagai tangga untuk
menghina Asy Syaikh Yahya � ظ��.
Jawaban kami –dengan upaya dan kekuatan pemberian dari Alloh-
adalah:
Dan Arofat telah dibantah oleh saudara kita yang mulia Abu Isa Ali bin
Rosyid Al ‘Afriy � ظ��� dalam risalahnya “Muhaddits Khothir”, semoga Alloh
membalas beliau dengan kebaikan. Dan saya mengambil faidah dari beliau dan
saya tambahkan dalam jawaban ini beberapa tambahan jawaban yang lain
yang Alloh bukakan untuk saya.
Maka hendaknya orang-orang yang adil mengetahui bahwasanya
perkara ini tidaklah harom ataupun makruh, lebih-lebih lagi bahwasanya
sebagian ulama telah mendahului Asy Syaikh Yahya dengan ungkapan tadi, dan
ulama yang lain tidak menjadikan hal itu sebagai sebab untuk menghina. Akan
tetapi orang-orang tadi manakala terbongkar akan banyaknya penyelewengan
manhajiyyah mereka, mereka berupaya untuk memalingkan perhatian manusia
kepada perkara lain yang mereka namakan sebagai “Kesalahan-kesalahan Al
42
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Hajuriy” dengan harapan agar orang-orang lupa akan kebatilan-kebatilan para
hizbiyyun tadi.
﴿ "�=�VY���ن ��#وF�� �F�7�D�U<ر��و:#?�7 F�C#��'>�U' .]93: ا�4�[ ﴾��
“Dan ucapkanlah: segala pujian bagi Alloh dan Dia akan memperlihatkan
pada kalian ayat-ayat-Nya sehingga kalian akan mengenalinya, dan Robbmu
tidak lalai terhadap apa yang kalian amalkan.”
�د ﴿J �����U< .]14: ا�.�3[ ﴾إ?
“Sesungguhnya Robbmu benar-benar mengawasi.”
Maka dari sisi bahasa, perbedaan antara ikhroj (ا16راج) dan takhrij
adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Ar Roghib Al Ashfahaniy (ا�$1ر�7)
:Ikhroj paling banyak untuk benda seperti“ :ر��� �
�Rن(_��U?أ(
“Bahwasanya kalian akan dikeluarkan.”
Dan Alloh ل ز و berfirman:
)o=���U���&�U< UR Sأ��(
“Sebagaimana Robbmu mengeluarkan engkau dari rumahmu dengan
benar.”
)�<��.:�����:��#�R )و?_
“Dan Kami akan mengeluarkan untuknya pada hari Kiamat sebuah kitab”
)�U�C?اأ�R Sأ(
“Keluarkanlah nyawa-nyawa kalian.”
)�U�' �Rاآ���ط�&�Sأ(
“Keluarkanlah keluarga Luth dari kampung kalian.”
Dan dikatakan dalam penciptaan yang mana itu adalah bagian dari perbuatan
Alloh ta’ala:
)�U��#:I?�k�&��UR SI#��وا(
“Dan Alloh mengeluarkan kalian dari perut-perut ibu-ibu kalian.”
43
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
)0�Q���&&:�RزواI#<�&R SI7(
“Maka Kami mengeluarkan dengannya pasangan-pasangan dari berbagai
macam tumbuhan.”
�أ��ا?�(C��_:� �R#,ر6_?(
“Kami mengeluarkan dengannya tanaman dengan warna-warna yang
berbeda.”
Sedangkan takhrij paling banyak diucapkan dalam ilmu-ilmu dan produksi.”
(“Mufrodat Ghoribil Qur’an”/hal. 145).
Dan dari segi istilah, Al Imam As Sakhowiy � ر��� berkata: “Takhrij
adalah: sang muhaddits mengeluarkan (ikhroj) hadits-hadits dari dalam juz-juz
kitab, kitab-kitab daftar riwayat para masyayikh dan kitab-kitab yang lainnya
dan memaparkan sanadnya dari riwayat-riwayat dirinya atau sebagian
syaikhnya atau teman sejawatnya atau semisal itu, membicarakannya, dan
menyebutkan rujukannya dari ulama yang meriwayatkannya dari kalangan
pengarang kitab-kitab, dewan-dewan sambil menjelaskan badal, muwafaqoh,
dan semisalnya dari istilah-istilah yang akan datang definisinya. Terkadang
istilah ini dipakai secara meluas sampai pada sekedar pengeluaran,
penyusunan dan penyebutan rujukan, serta menjadikan setiap jenis
dikelompokkan sendiri-sendiri.” (“Fathul Mughits”/As Sakhowiy/3/hal. 318/cet.
Maktabah As Sunnah).
Al Imam Zakariyya Al Anshoriy ر� ��� berkata dalam definisi takhrij:
“Yaitu sang muhaddits mengeluarkan (ikhroj) hadits-hadits dari dalam kitab-
kitab, dan memaparkan sanadnya dari riwayat-riwayat dirinya atau syaikhnya
atau teman-teman sejawatnya.” (“Fathul Mughits”/Al Anshoriy/hal. 263/cet. Al
Maktabatul ‘Ashriyyah).
Al Imam Muslim � ر��� berkata dalam muqoddimah Shohih beliau:
“Kemudian kami insya Alloh akan mulai mentakhrij apa yang engkau minta,
dan memulai menyusunnya berdasarkan syaratnya.” (“Shohih Muslim”/hal. 4).
Asy Syaikh Al ‘Allamah Jamaluddin Al Qosimiy � ر��� berkata: “Takhrij
dalam lidah para ahli hadits punya dua makna: makna yang pertama:
periwayatan hadits dengan sanadnya. Maka dikatakan misalkan: “Khorrojahul
Bukhoriy dalam Shohih beliau.” Dan dikatakan: “Hadits ini termasuk dari takhrij
Al Bukhoriy dalam Shohih beliau.” Dan yang dimaukan adalah bahwasanya
beliau meriwayatkannya di dalam Shohih beliau secara bersanad. Maka kalimat
44
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
“Khorrojahu” di sini sama dengan kalimat “Akhrojahu.” Dan dia dipakai
dengan makna ini sejak dulu dan sekarang. Dan makna ini menurut generasi
pertengahan dan generasi akhir bercabang darinya makna yang lebih khusus
darinya, maka jadilah termasuk dari makna takhrij menurut mereka adalah:
proses seorang muhaddits mengeluarkan (ikhroj) hadits-hadits dari juz-juz
kitab, kitab-kitab daftar riwayat para masyayikh dan kitab-kitab yang lainnya
dan memaparkan sanadnya dari riwayat-riwayat dirinya atau sebagian
syaikhnya atau teman sejawatnya atau semisal itu, membicarakannya, dan
menyebutkan rujukannya dari ulama yang meriwayatkannya dari kalangan
pengarang kitab-kitab, dewan-dewan sambil menjelaskan badal, muwafaqoh,
dan semisalnya dari jenis-jenis ketinggian yang nisbi. Dan terkadang pemakaian
istilah ini diperluas pada sekedar proses ikhroj (pengeluaran). Dan jadilah
makna ini tersebar dan terkenal di kalangan generasi pertengahan dan
generasi akhir.” (“Lisanul Muhadditsin”/3/hal. 227).
Asy Syaikh Bakr Abu Zaid � ر��� berkata: “Di sana ada perbedaan antara
ikhroj (mengatakan akhrojahu) dan takhrij (mengatakan khorrojahu). Jika
engkau merujukkan hadits ke salah seorang ulama yang menyebutkan sanad
dirinya, semisal para pengarang Al Kutubus Sittah, dan Ahmad, Asy Syafi’iy dan
Malik di dalam karya tulis hadits mereka, kita berkata: “Akhrojahul Bukhoriy”
dan kita tidak mengatakan: “Khorrojahu”. Adapun orang-orang yang
merujukkan hadits kepada orang yang sebelum mereka seperti Az Zaila’iy
dalam “Nashbur Royah”, Al Hafizh Ibnu Hajar dalam “Bulughul Marom” dan “At
Talkhishul Habir” dikatakan: “Khorrojahu –huruf ro dobel- Az Zaila’iy” dan
semisal itu. Yaitu: menisbatkannya kepada orang yang mengeluarkannya
dengan sanadnya. Dan terkadang salah satu dari kedua istilah ini dipakai
pada posisi istilah yang satunya, dan ini didapatkan dari Al Murtadho dalam
“Syarhul Ihya”, Ibnul Atsir dalam “Usdul Ghobah” dan Al Hafizh Ibnu Rojab.
Dan ini menyelisihi ahli istilah. Dan sekelompok ulama mentanshih yang
demikian itu, di antaranya adalah Al Hafizh Abul Abbas Ad Dawudiy, Abun Nur
Al Manshuriy, Abul Fadhl Al Idrisiy, Syihabud Din Al Manshuriy dalam kitabnya
“Ath Tafrij Bi Ushulil Bahts Wat Takhrij”. Selesai catatan kaki ini secara ringkas
dari jawaban-jawaban tulisan tangan yang ada pada Asy Syaikh Ahmad ibnush
Shiddiq Al Ghumariy, dan darinya aku mengambilnya secara munawalah.
Dan barangsiapa melihat kitab-kitab generasi akhir, dia akan melihat
mereka tidak tidak mementingkan pembedaan antara kedua lafazh tadi. Dan
barangkali hal itu dikarenakan perkara tadi adalah termasuk perkara yang
diketahui secara praktek, sehingga tidak diketahui dan tidak ditetapkan secara
tertulis dari kalangan generasi pendahulu untuk bisa diketahui, sehingga
45
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
jadilah pembedaan kedua istilah ini hampir-hampir ditinggalkan, seperti
pembedaan antara lafazh “khilaf” dan “ikhtilaf” di kalangan ahli fiqih. “Khilaf”
itu terlarang, sementara “ikhtilaf” itu boleh. Akan tetapi jadilah pembedaan
antara kedua istilah ini tidak lagi dipentingkan di kalangan para penukil fiqh.
Dan lihatlah “Al Muwafaqot” karya Asy Syathibiy. Wallohu a’lam.”
(selesai dari kitab “Al Hiwalat”/hal. 15/Bakr Abu Zaid/cet. Darul ‘Ashimah).
Penjelasan ini cukup untuk membantah gaya sok tahu dari Arofat Al
Bashiriy dan Abdulloh Al Bukhoriy, dan bahwasanya mereka berdua itulah yang
kurang belajar dalam ilmu hadits.
Adapun penghinaan Arofat dengan ucapannya terhadap Asy Syaikh
Yahya � ظ��� : “Tolol, sok tahu, lihatlah pada si muhaddits ini, dari manakah
engkau belajar wahai muhaddits?”
Maka jawabannya kembali pada persaksian Al Imam Al Wadi’iy � ر���.
Al Imam Al Wadi'iy -rahimahulloh- berkata di muqoddimah kitab
"Ahkamul Jum'ah Wa Bida’uha": "Aku telah melihat kitab “Al Jum’ah” karya
Asy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy maka aku mendapatinya sebagai kitab yang
agung, di dalamnya ada faidah-faidah yang didapatkan dengan perjalanan
serius. Disertai dengan hukum terhadap setiap hadits dengan apa yang pantas
didapatkannya, dan pembahasan yang menyeluruh terhadap perkara-perkara
yang terkait dengan bab itu. Bagaimana tidak demikian sementara Syaikh
Yahya -hafidhahulloh- berada pada puncak kehati-hatian dalam menentukan
pilihan, taqwa, zuhud, wara', dan takut pada Alloh. Dan beliau adalah orang
yang sangat berani dalam mengemukakan kebenaran, tidak takut -karena
Alloh- akan celaan orang yang mencela. Dan beliau –semoga Alloh menjaga
beliau- mewakili diriku dalam dars-dars di Darul hadits di Dammaj, dan
menyampaikannya dengan bentuk yang terbaik yang diinginkan, …"
(muqoddimah kitab "Al Jum'ah wa Bida'uha"/ karya Syaikhuna Yahya
hafidhahulloh-).
Al Imam Al Wadi'iy -rahimahulloh- berkata di muqoddimah kitab “Ash
Shubhusy Syariq”: “Saya telah melihat risalah saudara kita yang mulia Yahya
bin Ali Al Hajuiry ��"4,$ � �4ظ��maka saya dapati beliau telah berbuat bagus dan
memberikan faidah dalam bantahannya terhadap Abdul Majid Az Zindaniy.
Maka alangkah pintarnya beliau, seorang penelusur yang melingkupi risalahnya
46
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
dengan catatan-catatan kaki faidah-faidah yang berupa aqidah, fiqih, hadits
dan tafsir. ”Benarlah Robb kita manakala berfirman:
U� 4F/' ��ا هللا��� ا�('9 آ:&�ا إن #'I'﴿﴾�?�Y 7 �
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertaqwa pada Alloh Dia
akan menjadikan untuk kalian pembeda.”
Dan berfirman:
،﴾وا���ا هللا و'�U��F هللا﴿
“Dan bertaqwalah kalian, dan Alloh akan memberikan ilmu pada kalian.”
Dan berfirman:
� ا�uu('9 آ:&�uuا ا��uu�ا uu#'أ �uu'﴿را هللا�uu? �uuU� 4uuF/'و �uu�� � �Uuu�C�9uu: 9 رbuu' ���uu5 وآ:&�uuا > .]28: ا���)�[ ��Q�ن >�﴾
“Wahaiorang-orang yang beriman, kalian bertaqwalah pada Alloh dan
berimanlah pada Rosul-Nya, niscaya Dia akan memberikan pada kalian dua
kali lipat dari rohmat-Nya dan menjadikan untuk kalian cahaya yang
dengannya kalian berjalan.”
“Maka Asy Syaikh Yahya � �4ظ��dibukakan oleh Alloh ilmu dengan sebab
beliau berpegang dengan Kitabulloh dan Sunnah Rosululloh �4 و��4م�� � ��4�
dan beliau telah selesai mentahqiq “Ishlahul Mujtama’” dan risalah-risalah
yang lain di dalamnya ada faidah-faidah yang didapatkan dengan perjalanan
serius.
﴿﴾��qF�4 اHC�ء وهللا ذو ا�Q' 9: ���b' 4 هللاH7 8�ذ
“Yang demikian itu adalah karunia Alloh yang diberikan-Nya pada orang
yang dikehendaki oleh-Nya. Dan Alloh adalah Pemilik karunia yang besar.”
Kita mohon pada Alloh agar memberikan taufiq pada kami dan dirinya
untuk melayani sunnah Rosululloh � ��4�4 و��4م��� dan membelanya, dan agar
melindungi kita dari fitnah kehidupan dan kematian, sesungguhnya Dia Mampu
atas segala sesuatu.” (masuk dalam kandungan kata pengantar terhadap kitab
“Ash Shubhusy Syariq”).
47
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Al Imam Al Wadi'iy -rahimahulloh- berkata di muqoddimah kitab “Al
Arba’unul Hisan” “Saya telah membaca beberapa tempat dari apa yang ditulis
oleh Asy Syaikh Al Fadhil Al Muhaddits Al Faqih Yahya bin Ali Al HAjuriy dalam
“Al Arba’unul Hadits yang terkait dengan berkumpul untuk makan, maka saya
dapati beliau ـ������ telah berbuat bagus dan memberikan faidah, bahkan
mendatangkan faidah yang didapatkan dengan perjalanan serius. Maka
semoga Alloh memberikan beliau balasan kebaikan. Maka semoga Alloh
memudahkan dicetaknya kitab ini agar faidahnya menyeluruh, dan agar
merealisir apa yang mendorong Asy Syaikh yang mulia ini untuk menulis kitab
tersebut. Semoga ALloh memberikan taufiq pada semuanya kepada apa yang
dicintai-Nya dan diridhoi-Nya. (Taqdim kitab “Al Arba’unal Hisan Fi Fadhlil
Ijtima’ ‘Alath Tho’am”).
Maka ilmu Asy Syaikh Yahya diakui di sisi syaikh beliau, bahkan di sisi
Fadhilatusy Syaikh Ahmad An Najmiy ر����� berkata: “Asy Syaikh yang
agung, saudara kita di jalan Alloh Yahya bin Ali Al Hajuriy telah mengirimkan
kepadaku kitabnya yang bersemangat tinggi untuk membantah Abdul Majid Az
Zindaniy, yang dengannya beliau bermaksud untuk membantah igauan-
igauannya yang ditulisnya –sampai pada ucapan beliau:- Asy Syaikh Yahya Al
Hajuriy semoga Alloh membalasnya dengan kebaikan telah membantahnya di
baris-baris ini dan yang lainnya dengan bantahan yang membungkam, dengan
dalil-dalil yang bercahaya dari Al Kitab dan sunnah yang shohih. Maka semoga
Alloh membalasnya dengan kebaikan dan memberkahinya, dan semoga Alloh
memperbanyak orang-orang semisalnya para pembela kebenaran, para
penolong tauhid, para penjaga wilayahnya,… dan Allohlah yang memberikan
taufiq.” (Muqoddimah “Ash Shubhusy Syariq” karya Syaikh Yahya -
hafizhohulloh-/hal. 7-10/Darul Atsar).
48
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Bab Duapuluh Sembilan: Kasus Bantahan Terhadap
Kaidah Al Imam Asy Syafi’iy ر`�� هللا
Dan di antara perkara yang dipakai sebagai dalil oleh Luqman
bahwasanya Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy � ظ�� terhadap para ulama
adalah: bahwasanya di antara kaidah fiqh yang disebutkan oleh Al Imam Asy
Syafi’iy dalam kitab tersebut adalah:
�ل '&,ل :&,�. ا���Fم �7 ا����ل��`Gا ��ورد 7 ��ل 7���C�5Gك ا �.
Lalu Luqman menyebutkan contoh dari sumber pendalilan kaidah tadi, lalu
dia berkata: bahwa kalau ada dalil yang tidak meminta rincian, tidak
menyebutkan rincian berarti dalil itu bersifat umum, mengenai pria, wanita,
tua, muda dan yang lainnya, sesuai dengan permasalahannya masing-masing.
Bersifat umum. Rupanya Al Hajuriy tidak setuju dengan kaidah ini, kaidah Al
Imam Asy Syafi’iy – hikayatan ‘anhu. Dia berkata: “Wa’iyadzu billah, hadzihil
qo’idah bulu ‘alaiha. Kencingi saja.” Dan Luqman menuduh Asy Syaikh Yahya
tidak membantah Al Imam Asy Syafi’iy secara ilmiyyah.
Jawaban kami –dengan taufiq dari Alloh semata-:
Saya telah menulis dalam risalah saya “Inbi’atsut Tanabbuh Bi Inkisyafi
Hizbiyyati Luqman Ba Abduh” tanggal 11 Dzil Hijjah 1429 H: “Dan Syaikhuna
Syaikh Abdulloh Al Iryany -ــ������- telah mengunjungi kami, lalu beliau
menuliskan buat Akhuna Abu Saif -Al Indonesy- ������, bahwasanya Luqman
telah menempuh jalan para hizbiyyin dalam mengambil bantuan dari senjata-
senjata para hizbiyyin pendahulu, dalam upayanya untuk “memukul”
Ahlussunnah. Atau kurang lebih demikian.
Maka wahai Luqman, seakan-akan aku teringat sebuah kisah
bahwasanya penduduk Dammaj telah selesai memakamkan jenazah di
pekuburan mereka. Ketika mereka pulang datanglah seekor binatang
menggalinya lagi lalu mengambil mayat tadi dan memakannya.” Selesai.
Nah sekarang si Luqman mengulang lagi ucapan ini sekitar tanggal 2
Jumadats Tsaniyyah 1434 H , yang menunjukkan pada kebiasaan Luqman yang
busuk: menggali kasus-kasus lama yang para Salafiyyun telah berhenti
membicarakannya, dan telah sempurna penghancurannya sehingga musnah di
bawah tanah. Ini adalah kebiasaan orang yang sangat pendendam.
49
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Sesungguhnya Sholih Al Bakriy yang fasiq –yang Luqman dengan
kelembekannya mengatakan: dia orang yang bermasalah juga- telah
memperbesar masalah tadi.
Asy Syaikh Yahya � �4ظ��telah membantah kaidah Al Imam Asy Syafi’iy
� ر���4 tadi dengan bantahan yang ilmiyyah sekali dalam kandungan kitab
beliau yang agung “Syarhul Muntaqo Li Ibnil Jarud”. Dan beberapa imam telah
mendahului beliau dalam membantah kaidah tadi.
Asy Syaikh Yahya � �4ظ�� terkadang –bahkan jarang sekali- jika melihat
kuatnya pengaruh suatu kalimat yang keliru di tengah masyarakat, beliau
melaksanakan ucapan Al Imam Asy Sya’biy � �4ر�� yang berbicara tentang
ro’yu para tabi’in dan yang setelah mereka:
�� . ���� �$��9H.��� ����$��Q4#8�U��،و�$;$��ا/����أ)�.
“Apa yang mereka ceritakan dari para Shohabat Rosululloh, maka
ambillah dia. Dan apa yang mereka ucapkan dalam masalah itu dengan
pendapat mereka, maka kencingilah pendapat mereka itu.” (“Jami’ Bayanil
Ilmi”/Ibnu Abdil Barr/no. (912)/shohih).
Yang demikian itu dikarenakan kebaikan itu adalah dengan atsar bukan
dengan ro’yu. Al Imam Muhammad bin Sirin � ر��� berkata:
�USدا��ا ��� ا $� W(�N8$*�ا )�ون أ*�� ��� ا�.
“Dulu mereka berpandangan bahwasanya mereka itu tetap ada di atas jalan
yang lurus selama mereka ada di atas atsar.”(“Jami’ Bayanil Ilmi”/Ibnu Abdil
Barr/1/hal. 783/shohih).
Al Imam Al Auza'iy -rohimahulloh- berkata:
���: �]U$ر �� ��F وإن ر/Z: ا�4$س، وإ)$ك وآراء ا��%$ل وإن ز�C/�ه �: �$��6ل
"Wajib atasmu untuk mengikuti jejak-jejak para pendahulu (Salaf) walaupun
orang-orang menolakmu. Dan hindarkan dirimu dari pendapat-pendapat para
tokoh walaupun mereka menghiasinya dengan perkataan untuk menipumu."
("Asy Syari'ah"/Al Ajurriy/hal. 67/Darul Kitabil ‘Arobiy/atsar shohih).
50
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Ungkapan Asy Syaikh Yahya tersebut bukanlah di dalam kitab “Syarhul
Muntaqo Li Ibnil Jarud”, akan tetapi ketika mengulang membahas kaidah tadi
dalam dars beliau.
Asy Syaikh Yahya � �4ظ�� telah rujuk dari ungkapan yang diarahkan pada
kaidah Al Imam Asy Syafi’iy �4ر�� � tadi, akan tetapi si fasiq Sholih Al Bakriy
tetap memperbesar masalah tadi dan pergi ke para ulama untuk merusak
hubungan persaudaraan antar ulama. Asy Syaikh Robi’ � �4�-و telah meminta
agar Asy Syaikh Yahya diam terhadap Sholih Al Bakriy, maka Asy Syaikh Yahya
lama mendiamkan perbuatan Sholih. Manakala Sholih justru bertambah
kurang ajar, terpaksa Asy Syaikh Yahya � �44ظ�� mengeluarkan bantahan
terhadap Sholih Al Bakriy.
Termasuk dari apa yang ditulis oleh Asy Syaikh Yahya � �4ظ�� dalam
bantahan tersebut adalah sebagai berikut:
“Yang kesebelas: termasuk dari keributan yang dibikin oleh orang-orang
yang diteladani oleh Al Bakriy adalah: perbincangan kami dan saudara-saudara
kami seputar kaffaroh untuk orang yang mendatangi istrinya dalam keadaan
lupa, di siang hari Romadhon, tentang hadits Abu Huroiroh riwayat Al Bukhoriy
dan Muslim. Ini adalah nash dari syarh kami terhadap hadits tersebut, dalam
kandungan kitab “Syarhul Muntaqo Li Ibnil Jarud � �4ر��”, dan ini adalah nash
pembahasan tersebut:
Pembahasan yang ketiga: jika kondisi jima’nya itu disengaja, bukan lupa. Jika
dia lupa maka dia tidak diwajibkan kaffaroh. Maka di dalam hadits itu sendiri
bahwasanya orang tadi mendatangi Nabi �44 و��44م�� � ��44� seraya berkata:
“Wahai Rosululloh, saya binasa,” dalam riwayat yang lain: “Saya terbakar. Saya
menggauli istri saya dalam keadaan saya berpuasa.”
Al Hafizh Ibnu Hajar � �4ر�� berkata: “Didalilkan dengan itu bahwasanya
dia waktu itu sengaja, karena kebinasaan dan terbakar itu adalah gaya bahasa
dari kedurhakaan yang menyebabkan kebinasaan dan terbakar. Dan jika itu
telah tetap, maka tidak ada di dalam hadits tadi hujjah terhadap wajibnya
kaffaroh terhadap orang yang lupa. Dan itu terkenal dari ucapan Malik dan
mayoritas ulama. Dan dari Ahmad dan sebagian Malikiyyah: kaffaroh itu wajib
bagi orang yang lupa. Dan mereka berpegang dengan sikap Rosululloh yang
51
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
tidak meminta penerangan pada orang tadi, sementara tidak meminta
perincian dalam posisi yang masih mengandung kemungkinan perbuatan ini
dan itu diletakkan pada posisi umum dalam pembicaraan, sebagaimana telah
terkenal. Dan jawaban untuk itu adalah: telah jelas kondisi orang tadi
dengan perkataannya “saya binasa” dan “saya terbakar” maka itu
menunjukkan bahwasanya dirinya dulu sengaja dan tahu tentang haromnya
perkara tadi.” (selesai yang diinginkan dari “Fathul Bari” (4/hal. 164) pada
hadits no. (1936)).
Saya –yaitu Asy syaikh Yahya- berkata: Yang saya yakini adalah
bahwasanya kaidah “tidak meminta perincian dalam posisi yang masih
mengandung kemungkinan perbuatan ini dan itu diletakkan pada posisi
pembicaraan” adalah batil karena syariat itu telah sempurna. Alloh ta’ala
berfirman:
���F? �U��6 L���V5م د'&�﴾﴿ا���م أU� L��� د'&U� وأ nا �U� L�Kة[ور�E$3:ا�[،
"Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, dan
Aku telah menyempurnakan untuk kalian kenikmatan-Ku dan Aku telah
meridhoi Islam sebagai agama bagi kalian."
Maka kita tidak butuh menambahi ke dalam agama ini perkara yang
tidak Alloh dan Rosul-Nya idzinkan. Alloh ta’ala berfirman:
� �� 'Iذن >� : 9' �ء � �6ا �#� :9 ا�" .]21:ا��Kرى[﴾هللا﴿أم �#� �
“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan untuk mereka
dari agama ini yang tidak diidzinkan oleh Alloh?”
Nabi و��م ��� � ��� bersabda:
»�C6 �#7 �&6 LU5 � .»و:
“Dan perkara yang Alloh diamkan darinya maka itu adalah pemaafan.”
Alloh ta’ala berfirman:
< ��IkSأ ��ح 7��&R �U��6 "ت U<��Y�﴾﴿و�� �F� �: 9U�اب[� و^�S5:ا[.
52
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
“Kalian tidak berdosa di dalam perkara yang kalian tidak sengaja keliru di
situ, akan tetapi kalian berdosa dalam perkara yang disengaja oleh hati-hati
kalian.”
Alloh ta’ala berfirman:
h�U� Gو﴿﴾�#��6 Gإ C? 4]م$#*S164:ا[،
“Dan setiap jiwa tidak berbuat kecuali balasannya akan menimpa dirinya
sendiri.”
Dan Nabi و��م ��� � ��� bersabda:
»��U���4�F أو �� �: �#�C?أ �< L@"` �: ���وز �� 96 أ:/� .»إن هللا
“Sesungguhnya Alloh memaafkan untukku dari umatku perkara yang
dibicarakan oleh jiwa-jiwa mereka selama belum mengerjakannya atau
mengucapkannya.”
Diriwayatkan oleh Al Bukhoriy dan Muslim dari hadits Abu Huroiroh.
Dan Nabi ا��0ة وا��0م ��� bersabda:
�ت«�&���6�ل >Wا � .»إ?�
“Hanyalah amalan-amalan itu berdasarkan niat-niat.”
Dan Nabi ا��0ة وا��0م ��� bersabda:
� هللا �� `�&. «#�� �#��F' ��7 .&�=< �9 ذ�8، 9�7 ھ�ت @� >�X���ت وا�إن هللا �h ا�=�&�ف FKإ�0 أ yFK .p��F�5 0�ت إ�&�` Q6 �� هللا �#�� �#��F7 ��:�.، وإن ھ� >#
�� .X�5 هللا �#�� �#��F7 �� هللا �� `�&.، وإن ھ� >##�� �#��F' ��7 .X��< �ة، وإن ھ .ا���)_ �W.5 ����. »وا`"ة
“Sesungguhnya Alloh mencatat kebaikan dan kejelekan, kemudian Dia
menjelaskannya. Maka barangsiapa berkeinginan untuk berbuat suatu
kebaikan tapi dia tidak mengerjakannya, Alloh mencatatnya untuknya satu
kebaikan yang sempurna. Dan jika dia berkeinginan untuk berbuat suatu
kebaikan lalu dia mengerjakannya, Alloh mencatatnya untuknya sepuluh
kebaikan sampa tujuh ratus kebaikan sampai lipatan-lipatan yang banyak.
53
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Tapi jika dia berkeinginan untuk berbuat suatu kejelekan tapi dia tidak
mengerjakannya, Alloh mencatatnya untuknya satu kebaikan. Dan jika dia
berkeinginan untuk berbuat kejelekan dan dia mengerjakannya, Alloh
mencatatnya satu kebaikan.”
Alloh ta’ala berfirman:
﴾��6 �< 8� �� �: y�� G36:ا`��اء[﴿و[،
“Dan janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tak punya ilmu
tentangnya.”
Alloh ta’ala berfirman:
9k< �� و:#&: � ظ#: z م ر>� ا�C�ا � �ا ﴿4Y إ?�Q� ا�=o وأن �D< �D��وا �@ nوا��F��ن﴾ G �� وأن �����ا 0�6 هللا :?�k�5 �< ل ,&' �� �: s� .]33:ا��Sاف[>
“Katakanlah: Hanyalah Robbku mengharomkan kekejian-kekejian yang
nampak dan yang tidak nampak, dan dosa, dan kezholiman pada orang lain
tanpa kebenaran, dan kalian menyekutakan dengan Alloh sesuatu yang Alloh
tidak menurunkan dengan itu hujjah, dan kalian mengatakan atas nama
Alloh perkara yang kalian tidak tahu.”
Dan kaidah ini dinukilkan dari Al Imam Asy Syafi’iy � ر���, dan juga telah
dinukilkan dari beliau ucapan yang menentang kaidah tadi yaitu ucapan beliau:
.»�<$), ا��$ل إذا -�Nق إ���$ ا �5$ل 8�$ھ$ �Uب ا`%$ل و�b6 ��4$ ا ��5 ل«
“Cerita tentang suatu keadaan jika masih terkena kemungkinan-kemungkinan,
dia terliputi baju globalitas yang dengan sebab itu gugurlah pendalilan.”
Kesimpulannya adalah: bahwasanya itu tadi adalah ucapan manusia dan
bukan wahyu dari Dzat Yang Penuh hikmah dan Maha Terpuji. Dan kaidah tadi
tidak punya dalil yang jelas. Al Imam Ash Shon’aniy � ر��� telah berkata dalam
“Al ‘Uddah” (1/hal. 374): “Aku tidak melihat kaidah tadi punya dalil. Dan telah
dinukilkan dari Hanafiyyah bahwasanya mereka tidak berpendapat dengan
kaidah tadi.”
Aku –Asy Syaikh Yahya- katakan: dan puncak yang aku lihat mereka
berdalilkan untuk kaidah tadi adalah kisah Ibnu Ghoilan … bahwasanya beliau
54
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
ketika masuk Islam beliau dalam keadaan punya sepuluh istri, Rosululloh ��4�
���4 و��4م � memerintahkan beliau untuk memegang empat orang dari sepuluh
istrinya tadi, dan menceraikan yang lainnya. Dan Rosul tidak menanyainya
gambaran akad nikahnya dengan mereka: apakah dia membentuk ikatan nikah
dengan mereka semua bersamaan ataukah secara berurutan satu persatu.
Maka sikap Rosululloh yang tidak meminta penerangan padanya itu
menunjukkan bahwasanya tidak ada bedanya antara apakah akad tadi
bersamaan ataukah tidak bersamaan, dan bahwasanya dia boleh untuk
mencerikan siapapun yang diinginkannya dari mereka.
Al ‘Allamah Asy Syaukaniy � �4ر�� berkata dalam “Irsyadul Fuhul” (229):
“Dan ini di dalamnya perlu diperiksa lagi karena ada kemungkinan bahwasanya
beliau �4 و��4م�� � ��4� mengetahui keadaan nikah Ibnu Ghoilan secara khusus,
maka beliau menjawab berdasarkan pengetahuan beliau.” Selesai yang
dikehendaki.
Saya –Asy Syaikh Yahya- katakan: berdalilkan dengan hadits ini hanyalah
sekedar perkiraan, tidak boleh dalil-dalil yang jelas tadi (tentang dimaafkannya
oleh yang lupa, dan bahwasanya agama telah sempurna) ditentang dengan itu.
Tidak boleh mewajibkan seseorang tanpa dalil syar’iy dan tidak boleh
membebaninya dengannya, maka renungkanlah.
Bacalah jika engkau menginginkan, pembahasan tentang kaidah ini, sumber-
sumber rujukan berikut ini:
1- "Al Bahrul Muhith" (3/hal. 148-154) karya Az Zarkasyiy
2- "Irsyadul Fuhul" (hal. 227) karya Asy Syaukaniy
3- "Al Kaukabul Munir Syarh Mukhtashorit Tahrir" (3/172-174) beliau telah
menyebutkan suatu kaidah yang menentangnya yaitu yang telah kami
sebutkan sebelum itu dari Asy Syafi’iy � ر���.
4- "Mausu’atul Qowa’idil Fiqhiyyah" (3/hal. 228) karya Abul Harits Al
Ghuzaiy
5- "Adhwaul Bayan" karya Asy Syinqithiy (5/100 dan 581) dan (6/516 dan
574).
6- "Ma’alim Ushulil Fiqh" (hal. 425) karya Al Jaizaniy
55
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Maka jika telah diketahui batilnya kaidah ini , kita kembali kepada
pembahasan inti kita tentang penetapan ulama bahwasanya orang yang lupa
tidak wajib kaffaroh.
An Nawawiy � �4ر�� berkata : "Adapun orang yang mendatangi istrinya
dalam keadaan lupa maka dia tidak batal puasanya dan tidak wajib kafarroh.
Inilah yang benar dari madzhab kami, dan dengan itu mayorita ulama berkata.
Dan dalil kami adalah bahwasanya hadits itu shohih bahwasanya orang yang
makan tapi lupa maka dia tidak batal puasanya. Dan jima’ adalah semakna
dengan lupa.
Adapun hadits-hadits yang datang tentang kaffaroh jima’ maka itu
hanyalah bagi orang yang sengaja. Oleh karena itulah berkata dalam sebagian
riwayat : "Saya binasa" dan dalam riwayat lain "Saya terbakar". Dan ini tidak
terjadi kecuali pada orang yang sengaja karena orang yang lupa itu tidak
berdosa, dengan kesepakatan ulama."
(selesai dari "Syarh Shohih Muslim"/7/hal. 233).
Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah � �4ر�� berkata: "Tentang orang yang
menggauli istrinya dalam keadaan lupa puasanya ada tiga pendapat dalam
madzhab Ahmad dan yang lainnya: yang pertama: dia tidak wajib membayar
puasa dan tidak wajib kaffaroh. Dan ini adalah pendapat Asy Syafi’iy, Abu
Hanifah dan mayoritas ulama.
Yang kedua: dia wajib membayar puasa tanpa kaffaroh, dan ini pendapat
Malik.
Yang ketiga: dia wajib dua perkara tadi. Dan ini terkenal dari Ahmad.
Pendapat yang pertama kebih kuat sebagaimana dijelaskan pada tempat
pembahasannya, karena telah tetap dengan dalil Al Kitab dan As Sunnah
bahwasanya barangsiapa melakukan perbuatan yang terlarang karena tidak
sengaja berbuat keliru atau lupa, Alloh tidak menghukumnya dengan itu. Dan
ketika itu dia seperti orang yang tidak mengerjakan perbuatan itu, sehingga dia
tidak terkena dosa. Dan barangsiapa tidak berdosa, dia tidak durhaka. Dan
orang semisal ini tidaklah batal ibadahnya."
Selesai dengan peringkasan dari ”Majmu’ul Fatawa" (25/hal. 226).
Dan dengan ini Ibnu Daqiq Al ‘Id dan Ash Shon’aniy berpendapat. Bacalah "Al
‘Uddah Hasyiyatu Ihkamil Ahkam" (3/hal. 348).
56
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Dan telah datang nash dalam masalah ini yang mendukung ucapan
jumhur: diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (8/no. 3521/Ihsan), dan Ibnu
Khuzaimah dalam "Shohih" beliau (no. 1990), dan Ad Daroquthniy dalam
"Sunan" (2/hal. 178) dari jalur Muhammad Marzuq Al Bahiliy dari Muhammad
bin Abdillah Al Anshoriy, dari Muhammad bin Amr, dari Abu Salamah, dari Abu
Huroiroh, dan diriwayatkan oleh Al Hakim (1/hal. 430) dan Al Baihaqiy dalam
"Al Kubro" (4/hal. 229), dari jalur Muhammad bin Idris Abu Hatim Al Imam, dari
Muhammad bin Abdillah Al Anshoriy, dari Muhammad bin Amr, dari Abu
Salamah, dari Abu Huroiroh bahwasanya Nabi و��م ��� � ���:
�رة«C Gو ��ء �6�HY V7 ��5��ن ?H:ر ر�#? �7 k7اھـ. »:9 أ
"Barangsiapa berbuka puasa di siang hari Romadhon dalam keadaan lupa,
maka dia tidak wajib membayar puasa dan tidak wajib kaffaroh."
Sanadnya hasan, poros edar sanadnya ada pada Muhammad bin Abdillah Al
Anshoriy sebagaimana yang engkau lihat.
Al Imam Al Baihaqiy telah menetapkan itu dengan berkata: "Menyendiri
dengan hadits ini Muhammad bin Abdillah Al Anshoriy, dari Muhammad bin
Amr, dari Abu Salamah,mereka semua tsiqot." Selesai dari "Al Kubro" (4/hal.
229).
Dan Az Zaila’iy menukilkan itu dari beliau dalam "Nashbur Royah" (2/hal.
445-446) dan dishohihkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam "Bulughul Marom"
dan Al Majd Ibnu Taimiyyah dalam "Al Muntaqo" (4/206), dan mereka
menyebutkan untuk hadits ini satu pendukung dari riwayat Abu Sa’id Al
Khudriy diriwayatkan oleh Ad Daroquthniy (2/178), beliau berkata: haddatsani
Muhammad bin Abi Bakr: haddatsana Hasyim ibnul Qosim Al Harroniy:
haddatsana Muhammad bin Salamah: ‘anil Fazariy: ‘an ‘Athiyyah: ‘an Abi Sa’id
Al Khudriy �� � �� ��� و��م yang berkata: Rosululloh ر � ��� bersabda:
�ء �6��، إن هللا أط��F و�5�ه«HY V7 ��5��ن ?H:ر »:9 أ�7 4 �#
“Barangsiapa makan di bulan Romadhon dalam keadaan lupa maka dia
tidak wajib qodho, karena sesungguhnya Alloh memberinya makan dan
minum.”
Al Fazariy adalah Muhammad bin Ubaidillah Al ‘Arzamiy, matruk. Dan
‘Athiyyah lemah.”
Aku –asy Syaikh Yahya- berkata: Al ‘Arzamiy tidak pantas dalam jajaran
pendukung. Maka perkataan Al Hafizh di “Fath” dan diikuti oleh Asy Syaukaniy
57
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
bahwasanya: “Sanadnya lemah tapi dia bisa untuk mutaba’ah,” ini menurutku
tidak benar, karena rowi yang matruk tidak boleh untuk pendukung.
Kemudian Asy Syaukaniy berkata: “Maka derajat paling rendah dari
hadits ini dengan tambahan ini menjadi hasan sehingga pantas untuk sebagai
hujjah. Dan telah dipakai sebagai hujjah di banyak masalah rowi yang lebih
rendah kekuatannya daripada dia. Dan didukung juga bahwasanya sekelompok
Shohabat telah berfatwa dengan kandungan hadits tadi tanpa ada yang
menyelisihi, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm dan yang
lainnya, di antara para Shohabat tadi adalah: Ali, Zaid bin Tsabit, Abu Huroiroh,
dan Ibnu Umar م��44 � �44� Kemudian dia itu sesuai dengan firman Alloh .ر
ta’ala:
﴾�U<��Y L�� ��< �)Sاb' 9U��6ة[﴿و� .]225:ا�
“Akan tetapi Alloh menghukum kalian disebabkan apa yang dikerjakan oleh
hati-hati kalian"
Lupa itu bukan termasuk dari apa yang dikerjakan oleh hati, dan
mayoritas ulama telah berpendapat ini dan berkata: “Barangsiapa makan
dalam keadaan lupa, puasanya tidak rusak, dia tidak wajib membayar puasa
dan tidak wajib kaffaroh." Selesai dari "Nailul Author" (4/hal. 206).
Abu Abdirrohman –Asy Syaikh Yahya- berkata: Adapun hadits Abu
Huroiroh dari jalur Al Anshoriy maka dia adalah hadits hasan sebagaimana
telah lewat. Andaikata bukan karena Al Bukhoriy dan Muslim meninggalkan
tambahan ini sehingga ada suatu pengaruh di dalam hati.
Al Anshoriy ini adalah Muhammad bin Abdillah ibnul Mutsanna bin
Abdillah bin Anas bin Malik. Ibnu Ma’in berkata tentang dia: “Tsiqoh”, Abu
Hatim berkata: “Shoduq”, dan di tempat lain berkata: “Aku tidak melihat dari
para imam kecuali Ahmad bin Hanbal, Sulaiman bin Dawud Al Hasyimiy, dan
Muhammad bin abdillah Al Anshoriy.” Maka diketahui dari biografinya
bahwasanya dia itu tsiqoh imam.
Muhammad bin Amr bin Alqomah bin Waqqosh adalah shoduq.
Abu Salamah bin Abdirrohman bin ‘Auf adalah imam.
Dan lafazh hadits ini umum mencakup setiap orang yang berbuka puasa
dalam keadaan lupa, dengan sebab jima’ atau yang lainnya. Dan bahwasanya
dia tidak wajib membayar puasa dan tidak wajib kaffaroh. Dan itu sesuai
dengan firman Alloh ta’ala:
58
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
﴾�U<��Y ت" �F� �: 9U�و �< ��IkSأ ��ح 7��&R �U��6 ،]5:ا�S^اب[﴿و��
“Kalian tidak berdosa di dalam perkara yang kalian tidak sengaja
melakukannya, akan tetapi dosa itu adalah apa yang disengaja oleh hati-
hati kalian, dan Alloh itu senantiasa Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
Dan firman-Nya ta’ala:
﴾�?IkSأو أ �� إن ?��&?)Sاb� G � .]286:ا���6ة[﴿ر>&
"Wahai Robb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau
tidak sengaja keliru."
Dan datang dalam Shohih Muslim no. (127) dari hadits Abu Huroiroh
bahwasanya Nabi و��م ��� � ��� berdoa pada Robbnya seraya berkata:
»�?IkSأو أ �� إن ?��&?)Sاb� G � ر>&
"Wahai Robb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau
tidak sengaja keliru."
Maka Alloh ‘Azza Wajalla menjawab:
L�F7 "Y«.
"Aku telah mengerjakannya."
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad beliau (2/308/540) dan Ibnu Hibban
(8/no. 3222) dari beberapa jalur dari Ja’far bin Burqon: dari Yazid ibnul
Ashomm: dari Abu Huroiroh �44� � �44� ���44 و��44م bahwasanya Nabi ر � ��44�
bersabda:
» 9uU�و �C�ا �U��6 0QSأ �: 0uQS9 أuU�و Iuk_�ا �U�u�6 0uQSأ �u:و @�uU�أu�6 0uQS��U ا�"�F�ا �U��6«
“Aku tidak mengkhawatirkan terhadap kalian kemiskinan, akan tetapi aku
mengkhawatirkan terhadap kalian berlomba-lomba memperbanyak
duniawi. Dan aku tidak mengkhawatirkan terhadap kalian kesalahan yang
tidak disengaja, akan tetapi aku mengkhawatirkan terhadap kalian
kesengajaan.”
Dan sanad hadits ini shohih.
Ja’far bin Burqon adalah Abu Abdillah Al Kilabiy itu tsiqoh dalam
riwayatnya terhadap selain Az Zuhriy. Adapun riwayatnya terhadap Az Zuhriy
itu goncang. Dinashkan tentang itu oleh Ibnu Numair. Dan riwayat beliau
59
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
terhadap Az Zuhriy dilemahkan oleh sekelompok ulama, sebagaimana dalam
biografi beliau di “Tahdzib” dan yang lainnya.
Yazid ibnul Ashomm adalah Ibnu Ukhti Maimunah bintil Harits Ummil
Mukminin. Dikatakan bahwasanya beliau melihat Rosululloh, tapi berita itu
tidak tetap. Beliau itu tsiqoh. Demikianlah dikatakan di “Taqrib”, dan memang
seperti yang dikatakan.
Dan telah tetap dari hadits Ibnu Abbas bahwasanya Nabi �4 و��4م�� � ���
bersabda:
ھ�ا �6��«U��وز �� 96 أ:�� ا�_Ik ا�&���ن و:� ا5/� .»إن هللا
“Sesungguhnya Alloh memaafkan untukku dari umatku kekeliruan yang
tidak disengaja, lupa dan perkara yang mereka dipaksa atasnya.”
Al Imam Ibnu Rojab memaparkan jalur-jalur hadits ini dalam kitab beliau
“Jami’ul Ulum Wal Hikam” hadits (39), dan bahwasanya setiap jalur tidak
kosong dari penyakit. Dan dengan gabungan jalur-jalur tadi pantas untuk
berhujjah, terutama karena dia itu punya pendukung yang sebagiannya telah
kami sebutkan:
Di antaranya adalah hadits Abu Huroiroh sebelumnya.
Dan di antaranya adalah hadits Abu Huroiroh diriwayatkan Muslim (127)
bahwasanya Nabi و��م ��� � ��� ketika berdoa pada Robbnya seraya berkata:
»�?IkSأو أ �� إن ?��&?)Sاb� G � ر>&
"Wahai Robb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau
tidak sengaja keliru."
Maka Alloh ‘Azza Wajalla menjawab:
L�F7 "Y«.
"Aku telah mengerjakannya."
Dan itu mencocoki firman Alloh ل ز و:
��ن﴾' n�< 9X�k: ���Yه و .]106:ا���4[﴿إG :9 أ
“Kecuali orang yang dipaksa dalam keadaan hatinya tenang dengan
keimanan.”
Dan Al Imam Al Bukhoriy meriwayatkan dalam “Shohih” beliau no.
(1933) dan Muslim (1155) dari hadits Abu Huroiroh �4� � �4� bahwasanya ر
Nabi و��م ��� � ��� bersabda:
60
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
7\?�� أط��F هللا و�5�ه:9 ?�� وھ« �:�J ���I7 �p4 أو � ب �7�J �«.
“Barangsiapa lupa dalam keadaan dia puasa lalu dia makan atau
minummaka hendaknya dia menyempurnakan puasanya, karena
sesungguhnya Alloh memberinya makan dan minum.”
An Nawawiy � �44ر�� berkata dalam “Syarh Muslim” (8/184): “Di
dalamnya ada dalil untuk madzhab mayoritas ulama bahwasanya orang puasa
jika makan atau menggauli istrinya dalam keadaan lupa maka dia tidak perlu
berbuka (membatalkan puasa).”
Al Khoththobiy � �44ر�� berkata: “Hampir semua ulama berpendapat
tentang gugurnya pembayaran puasa dan kaffaroh dari orang yang lupa,
kecuali Malik dan Robi’ah.” Selesai yang diinginkan dari “Ma’alimus Sunan”
(2/104).
At Tirmidziy dalam “Jami’” beliau setelah hadits no. (721) berkata: “Dan
amalan muslimin adalah berdasarkan hadits ini menurut kebanyakan ulama.”
Ibnul Arobiy berkata: “Seluruh ulama negri-negri berpegang dengan
hadits ini, yaitu: bahwasanya orang yang lupa itu tidak diwajibkan apa-apa
terhadapnya.” Selesai dari “Al ‘Uddah Hasyiyatu Ash Shon’aniy ‘Ala Ihkamil
Ahkam Li Ibnu Daqiq Al ‘Id" (2/339).
Barangkali sebagian orang yang berpendapat tentang wajibnya kaffaroh
bergaya pintar sehingga berkata: “Yang dimaksudkan adalah puasa sunnah.”
Dan ini batil dari beberapa segi:
Yang pertama: ibadah sunnah itu tidak harus dibayar.
Yang kedua: bahwasanyaibadah sunnah itu tidak harus kaffaroh di dalamnya
tanpa ada keraguan pada seorangpun. Maka penyebutan yang demikian itu
tiada faidahnya.
Yang ketiga: telah terdahulu nash-nash bahwasanya barangsiapa berbuka di
siang hari Romadhon dalam keadaan lupa maka dia tidak wajib membayar
puasa dan tidak wajib kaffaroh."
Asy Syaukaniy � �4ر�� berkata: “Sebagian dari mereka mengemukakan
udzur bahwasanya itu dibawa kepada puasa sunnah, dan itu adalah udzur yang
rusak, dan pemaknaan yang tidak benar, ditolak oleh isi hadits bab ini yang
terang-terangan menyebutkan pembayaran puasa." Selesai dari "Nailul
Author" (4/207).
61
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Kesimpulannya: bahwasanya orang yang berbuka dalam keadaan lupa,
dengan jima’ atau yang lainnya dari pembatal puasa, di siang hari Romadhon,
dia tidak wajib kaffaroh, berdasarkan dalil-dalil dan ucapan ulama yang telah
kami jelaskan terdahulu. Dan telah kami jabarkan ucapan dalam masalah itu
karena ada perselisihan di dalamnya, dan karena perkara itu penting."
Selesai (selesai dari ucapan beliau di kitab “Syarhul Muntaqo Li Ibnil Jarud”).
Al Bakriy pergi berpindah-pindah dari satu ulama ke ulama yang lain
dengan makar dan tipu daya serta dendam terpendam yang dia rencanakan,
dalam keadaan aku tidak menyadarinya. Dan jika orang-orang bertanya
padaku tentangnya, aku bangkit membelanya. Dan dulu keadaan diriku
bersamanya adalah seperti dikatakan:
�f�g�$� �5�$6 �$ءك �$ ).�ي* رب �� -���ا ��)6$ و�� -�ىأ
“Ketahuilah, bisa jadi orang yang engkau panggil sebagai sahabat, andaikata
engkau melihat ucapannya ketika tidak bersamamu niscaya apa yang dia
kerjakan akan membikinmu sedih.”
Dan Al Bakriy berkata:
،)د��*$ *I�54 �� أ�I ا���� و�#�ه ا���3ري(
"Biarkan kami menyelesaikan Abul Hasan dulu, dan setelahnya adalah Al
Hajuriy."
Yang bersaksi tentang ucapan itu adalah para dai Ahlussunnah yang
mulia: Abdul Hadi Al Mathoriy, Ahmad bin Mushlih Al Mathoriy, Hamud Al
Wailiy pemilik studio Al Yaqzhoh, dan Mushthofa Mabrom.
Dan aku demi Alloh tidak peduli dengan igauan itu, akan tetapi kami
menyebutkannya agar orang-orang mengetahui pengkhianatan orang ini saja.
Bapak kita Al Allamah An Nashihul Amin Robi’ bin Hadi � �4ظ�� telah
mengirimkan surat pada kami yang maknanya: beliau ingin agar aku rujuk dari
tidak berpendapat dengan kaidah tadi. Maka aku rujuk dari ucapanku tentang
batilnya kaidah tadi, dalam rangka mendahulukan pemahaman beliau di atas
pemahamanku, dan percaya pada nasihat beliau, ilmu dan kecintaan beliau
untuk dakwah Salafiyyah, dan semangat beliau dalam menjaga dakwah ini.
Semoga Alloh membalas beliau dengan kebaikan.
Dan telah tetap dari Ibnu Mas’ud �� � �� :secara mauqufر
2��; ��/ $��� �$ رآه ا����ن ��4$ /�� ��4 هللا ��� و�$ رآه ا����ن ;
62
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
“Apa yang dipandang muslimun baik, maka dia itu di sisi Alloh juga baik. Dan
apa yang dipandang muslimun buruk, maka dia itu di sisi Alloh juga buruk.”
Dan maknanya adalah muslimun yang sempurna yang tidak memandang
kebid’ahan itu baik. Ini diucapkan oleh Syaikh kami � ر���.
Dan para ulama sunnah � ظ�4م�� yang dahulu dan yang sekarang adalah
penduduk bumi yang terbaik, paling berbakti, paling taqwa, paling pintar,
paling bersih. Ini kitab-kitabku dan kaset-kasetku. Perkara yang di situ aku
menyelisihi Kitabulloh dan Sunnah Rosul-Nya ��44�44 و��44م��� � atas dasar
pemahaman Salafush Sholih م��� maka aku rujuk dari penyelisihan itu ر�وان �
di waktu hidupku dan setelah matiku.
Berikut ini adalah surat yang aku tulis kepada kedua bapak penasihat:
Asy Syaikh Al ‘Allamah Robi’ bin Hadi dan Asy Syaikh Al ‘Allamah Ahmad An
Najmiy. Aku menyebutkannya dalam bab ini:
Kepada bapak yang agung yang diberkahi Asy Syaikh Al ‘Allamah Robi’ bin Hadi,
semoga Alloh menjaga Anda.
.ا��hم ���<� ور�, و�<$-�
:أ�$ �#�
Maka wahai Syaikh, semoga Alloh menjaga Anda. Sungguh Al Bakriy
semakin bertambah lancang terhadap Ahlussunnah, terhadap dakwah mereka
dan markiz-markiz mereka dengan kedustaan, kengawuran, cercaan yang jahat
kepada para masyayikh yang Ahlussunnah yang lain, dengan perkara-perkara
yang saya kira tidak dilakukan oleh Ba Syumail dan semisalnya terhadap
Madinah, sampai bahkan Bakriy menggambarkan para dai sunnah yang keluar
dakwah ilalloh dan mengajari manusia dia gambarkan sebagai Jama’ah Tabligh,
sampai bahkan dirinya memancangkan untuk dirinya sendiri dakwah terpisah
yang dia berjalan di atasnya, dan bahwasanya seluruh Ahlussunnah di Yaman
berjatuhan di jalan karena mereka tidak di atas ilmu ataupun pemahaman
terhadap manhaj kecuali dirinya. Dulu si Bakriy setelah wafatnya Asy Syaikh
mendorong para pelajar asing untuk pergi dari Dammaj sebelum ر���44 �
mereka dituduh sebagai hizbiyyun, karena ma’had Dammaj dikuasai oleh
hizbiyyun. Sejumlah saksi dari pelajar asing bersaksi atas ucapan si Bakriy ini.
Dan setelah itu si Bakriy menasihati orang-orang Yafi’ yang ada di markiz
ini agar mereka keluar semua walaupun harus pergi menjual bawang atau
63
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
membuka warung-warung makan. Maka orang-orang Yafi’ membenci si Bakriy
karena nasihat khianat tadi, dan karena kejahatannya yang lain.
Maka wahai Syaikh, demi Alloh, si Bakriy tidak peduli dengan nasihat
Anda ataupun juga nasihat para ulama yang lain. Dia telah dinasihati oleh Asy
Syaikh Muhammad bin AbdulWahhab � �4ظ�� tapi dia malah berkata: “Asy
Syaikh Muhammad punya kesalahan-kesalahan manhajiy, tashowwuf, dan
mensucikan tempat-tempat tertentu.”
Demikianlah kebiasaan si Bakriy. Dia dulu berkata tentang Syaikh kami
Beliau bersembunyi dari hizbiyyin tapi beliau memelihara hizbiyyun“ : ر���4 �
di ma’had beliau.”
Dan seluruh Ahlussunnah tahu bahwasanya Alloh tidaklah
menyelamatkan Sholih Al Bakriy ataupun Salafiyyun dari Yaman yang lain
kecuali dengan kerja keras Syaikh kami � �4ر�� , dan setelah itu dia justru
menentang manhaj Syaikh kami � �4ر�� sehingga jadilah kondisi dia seperti
dikatakan:
�K *�E$� :*�� 2( أ*C M.�, و;$ل ا���� ��B�� �%و;$ل ا��
“Si bintang kecil reduh itu berkata pada matahari: “Engkau tersamarkan,” dan
malam berkata pada subuh: “Warnamu terhalangi.”
Maka wahai Syaikh, demi Alloh andaikata bukan karena memuliakan
Anda dan mengambil perintah Anda, kami tidak akan diam terhadap si fajir ini.
Dan saya berpandangan tidak bolehnya mendiamkan dirinya karena dia telah
mempermainkan akal-akal orang awam dan sebagian pelajar baru, sehingga
dia menghalangi mereka dengan seluruh Ahlussunnah dan markiz-markiz
mereka dan dari mengambil faidah dari ceramah-ceramah mereka. Sungguh
dia telah mendorong sebagian orang yang terpedaya dengannya untuk
menghalangi para pelajar di markiz Dammaj dari ceramah di suatu desa di Yafi’
dan untuk mengusir orang yang keluar berdakwah ke tempat mereka. Orang-
orang tidak peduli pada gapaian tangan-tangan dan pemberontakan tadi.
Jika Anda berpandangan bahwasanya si Bakriy berhenti dari fitnahnya
dan beradab kepada para masyayikh, dan berjalan bersama saudara-
saudaranya serta bertobat pada Alloh dari kengawurannya dan bencananya
terhadap Ahlussunnah di Yaman (maka itu yang kami inginkan), jika tidak,
maka sungguh kami menilai bahwasanya penjelasan tentang kejahatan dan
64
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
fitnah dirinya dalah wajib. Dulu Abul Hasan bisa mengambil sekelompok
penuntut ilmu disebabkan karena dia didiamkan beberapa waktu sehingga
perusak akal-akal mereka. Dan Bakriy sekarang sekalipun dibenci di kalangan
seluruh Ahlussunnah, hanya saja dia berupaya seperti upaya tadi.
Inilah yang saya ingin jelaskan kepada paduka yang mulia, karena kami
menganggap Anda adalah bapak bagi kami dan bagi dakwah ini. Dan kami,
kaset-kaset kami, dan kitab-kitab kami menaati pengarahan Anda yang
diberkahi dalam bentuk nasihat, penghapusan, pemajuan dan pengakhiran.
Adapun Bakriy maka saya menjadikan Alloh sebagai saksi dan juga saya
menjadikan Anda sebagai saksi bahwasanya Bakriy itu pengkhianat penipu
terhadap para tokoh dakwah ini dan para dainya di Yaman, di bawah tabir
kecemburuan dan dakwaan-dakwaan dusta.
Ditulis oleh anak Anda:
Yahya bin Ali Al Hajuriy
18 Romadhon 1423 H
Di Darul Hadits Dammaj semoga Alloh menjaganya dan merohmati
pendirinya.
Saya telah mengirimkan satu salinan juga kepada sang bapak Asy Syaikh
Ahmad An Najmiy � ظ��� dengan nama beliau.
(selesai penukilan dari risalah “Ar Rodd ‘Alal Bakriy”/hal. 13-26/karya
Asy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy � �4ظ��/ditulis di hari-hari di bulan Syawwal
1423 H).
Dengan segala pujian bagi Alloh fitnah Sholih Al Bakriy setelah dihantami
oleh para Salafiyyun menjadi padam, mereka memboikotnya, dan mereka
menguburkan kasus yang telah paripurna itu. Tiada yang tersisa bagi Luqman
dan semisalnya kecuali mencurahkan kerja keras untuk menghidupkan kasus
yang telah menjadi bangkai lapuk itu. Dan para ahli batil itu tidak punya hujjah
untuk memukul Ahlussunnah, sehingga mereka mengantung pada segala
sesuatu yang mereka pandang pantas untuk memukul padahal gantungan itu
tadi sudah rusak. Seakan-akan mereka dalam mengikuti langkah-langkah setan
tadi terpaksa menempuh segala macam cara –sekalipun harom- untuk
mencapai tujuan rusak mereka- memukul dakwah salafiyyah.
65
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Al Imam Ibnul Qoyyim � �4ر�� berkata: “Karena sesungguhnya orang
yang terpaksa itu akan bergantung dengan segala sarana sekalipun di
dalamnya ada perkara yang dibenci.” (“Ighotsatul Lahfan”/hal. 204).
Bagaimana dia mengejek orang yang sudah bertobat dengan perkara dia
telah tobat darinya? Al Imam Abul Walid Al Bajiy � �4ر�� berkata: “Orang yang
sudah tobat dari maksiat, jika dia telah tobat dan baik tobatnya, maka tidak
pantas untuk dirinya dicela dari perkara tadi.” (“Al Muntaqo Syarhul
Muwaththo”/4/hal. 277).
Ibnu Baththol � �4ر�� berkata: Al Muhallab dan yang lainnya berkata:
“sabda: “Maka Adam mengalahkan hujjah Musa.” Yaitu: Adam mengalahkan
Musa dengan argumentasi. Al Laits bin Sa’d berkata: "Hanyalah berhujjah
dengan kisah ini adalah benar untuk Adam terhadap Musa dikarenakan Alloh
telah mengampuni kesalahan Adam dan menerima tobatnya. Maka Musa tidak
berhak untuk mengejek beliau dengan kesalahan yang telah Alloh ampuni
untuk beliau. Oleh karena itulah Adam berkata padanya: "Engkau Musa yang
diberi Alloh Tauroh, dan di dalamnya ada ilmu segala sesuatu. Maka apakah
engkau dapatkan di dalamnya bahwasanya Alloh telah menakdirkan
terhadapku maksiat tadi dan menakdirkan terhadapku tobat darinya. Dan
gugurlah dengan itu celaan dariku. Apakah engkau mencelaku sementara Alloh
tidak mencelaku?" ("Syarh Ibni Baththol ‘Ala Shohihil Bukhoriy"/5/hal. 488).
Dan Ibnu Hajar � �4ر�� berkata: “Al Qurthubiy berkata: “Hanyalah beliau
mengalahkan Musa dengan hujjah karena Musa telah mengetahui dari Tauroh
bahwasanya Alloh telah menerima tobat beliau. Maka jadilah celaan Musa
terhadap Adam atas dosa tadi menjadi suatu jenis kekasaran, sebagaimana
dikatakan: "Penyebutan kekasaran setelah terjadinya kejernihan adalah
kekasaran juga, karena bekas penyelisihan itu hilang setelah adanya pemaafan
sampai seakan-akan tidak pernah terjadi. Maka celaan dari orang yang
mencela itu tidak mendapatkan tempat." Selesai. Dan itu adalah kesimpulan
dari jawaban Al Maziriy dan yang lainnya dari kalangan ahli tahqiq, dan itulah
yang menjadi patokan." ("Fathul Bari"/11/hal. 510).
Maka kami mohon kepada Alloh agar memperlakukan Luqman Ba
Abduh, Abdulloh Al Bukhoriy, Arofat Al Bushiriy, dan yang semisal dengan
mereka dengan perlakuan yang mereka berhak mendapatkannya.
66
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Dan risalah ini tersebar dengan bahasa Arob dan Indonesia, dan doa ini –
doa orang-orang yang terzholimi- insya Alloh diaminkan oleh banyak pembaca.
Dan tidak ada tabir antara doa orang-orang yang terzholimi dengan Robbul
alamin.
Dari Nafi’:
�#4�$4� $jjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj�4� هللا IjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjJلر$jjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj; :4��/4$د?��jjB-�/�#.6$ل�$������#���$?�B��� ر���#�:»�uuHC����#?� :&�"أ�����5QF:�'
���F�����uuu����#�Sرةأ�FF���&�#?\C�#����Fا�6را�Gوھ�� �F�G�&������ذوااb�V#��� �\?��'n�` 7�/�7���#=HC�#����#�FرF���&:�#�و*�kا�4#�)��$إ�?$���Q5وإ�?$�<#�j,/6$ل:;$ل.»�ھ�Fر
:.6&"ا��#�&8:=�q6I&:b��ا�U�: =�q6أ�U�q6أ�:).�%�C2032($�9��5يأ(/���.(
Dari Ibnu Umar "4��� � �4� ���4 و��4م yang berkata: Rosululloh ر � ��4� pernah
naik mimbar, lalu beliau berseru dengan suara keras seraya bersabda: “Wahai
orang-orang yang telah masuk Islam dengan lidahnya yang imannya itu
belum sampai ke dalam hatinya, janganlah kalian menyakiti orang-orang
Islam,janganlah kalian mencerca aib mereka, dan janganlah kalian mencari-
cari aib mereka. Karena sesungguhnya barangsiapa mencari-cari aib
saudaranya muslim, maka Alloh akan mencari-cari aibnya. Sesungguhnya
barangsiapa yang Alloh cari aibnya, maka Dia akan membuka aib-aibnya
meskipun ia berada di bagian dalam rumahnya…”Nafi’ berkata: “Ibnu Umar
pada suatu hari pernah memandang ke Baitulloh atau Ka’bah lalu beliau
berkata: “Alangkah agungnya engkau, dan alangkah agungnya kehormatanmu.
Tapi seorang mukmin itu lebih agung kehormatannya daripada dirimu.” (HR. At
Tirmidziy (2032)/shohih).
Al ‘Allamah Al Mubarokfuriy � �444ر�� berkata: “janganlah kalian
mencerca aib mereka” yaitu mencerca dan membongkar aib mereka terhadap
dosa yang telah lalu, sama saja telah diketahui tobatnya ataukah belum.
Adapun mencerca aib ketika sedang berlangsung atau sudah lama tapi belum
nampak tobat dari itu, maka wajib dilakukan bagi orang yang mampu
melakukannya.” (“Tuhfatul Ahwadzi”/11/hal. 206).
Asy Syaikh Yahya telah tobat dari ungkapan yang buruk tersebut
terhadap kaidah ilmiyyah Al Imam Asy Syafi’iy � �4ر�� tersebut. Bahkan beliau
67
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
rujuk dari menyalahkan kaidah ilmiyyah Al Imam Asy Syafi’iy � �4ر�� tersebut,
padahal mayoritas ulama juga menyelisihi kaidah tadi dalam kasus tadi.
Dan Al Imam Ibnu Muflih � �4ر�� berkata: “Dan di antara hak muslim
terhadap muslim yang lain adalah: menutupi kekurangannya, mengampuni
ketergelincirannya, menyayangi anak kecil, membebaskan keterpelesetannya,
menerima udzurnya, membantah orang yang mengghibahinya, melestarikan
nasihat untuknya, menjaga kecintaannya, memelihara tanggungannya,
memenuhi undangannya, menerima hadiahnya, membalaskan hadiahnya,
mensyukuri pemberiannya, memperbagus pertolongan untuknya, menunaikan
keperluannya, mensyafaati permintaannya, mendoakan bersinnya,
mengembalikan barangnya yang hilang, loyal padanya, tidak memusuhinya,
menolongnya terhadap orang yang menzholiminya, menahannya dari berbuat
zholim, terhadap yang lain, tidak menyerahkannya pada musuhnya, tidak
menelantarkannya saat butuh pertolongan, menyukai untuknya perkara yang
dicintai untuk dirinya sendiri, membenci untuknya perkara yang dibenci untuk
dirinya sendiri. Ini disebutkan dalam kitab “Ar Ri’ayah.” (“Al Adabusy
Syar’iyyah”/hal. 188/cet. Ar Risalah).
Ini semua cukup dengan seidzin Alloh untuk mematahkan rantau para
penjahat pewaris Haddadiyyah:Luqman Ba Abduh, Abdulloh Al Bukhoriy,
Arofat Al Bushiriy, dan yang semisal dengan mereka, dan penjelasan atas
kebodohan mereka dan rusaknya manhaj mereka. Dan terus-menerusnya
mereka dalam menggunakan syubuhat para pendahulu mereka dari kalangan
Haddadiyyah menambah kejelasan pada kita bahwasanya Mar’iyyun memang
pewaris Haddadiyyah.
Risalah ini sudah cukup panjang. Sisa-sisa syubuhat insya Alloh akan
dibahas pada risalah yang lain sesuai dengan keadaan, insya Alloh.
Dan ketahuilah bahwasanya syubuhat ahli batil tidak habis-habis, karena
para setan saling bantu dalam memberikan ide. Alloh ta'ala berfirman:
Q�� �U?��ھ� إ�F� وإن أطد���/�� �#p��ن إ�0 أو�� �ط�9 ���� Q�م[�ن وإن ا�F?W121/ا[
"Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menurunkan wahyu kepada
para wali mereka untuk mendebat kalian. dan jika kalian menaati mereka
sungguh kalian itu benar-benar orang yang musyrik." (QS Al An'am 121)
68
ww
w.
as
hh
ab
ul
ha
di
ts
.w
or
dp
re
ss
.c
om
Maka jika Anda semua telah tahu bahwasanya mereka adalah para
pembawa syubuhat, dan Alloh telah membongkar untuk Anda semua sebagian
dari kebatilan sybuhat tadi, maka cukuplah itu sebagai dalil tentang wajibnya
untuk menjauhi mereka, dan jangan mencondongkan pendengaran untuk
menyimak ucapan-ucapan mereka.
Al Imam Ibnu Baththoh � �4ر�� berkata: “Maka demi Alloh wahai kaum
Muslimin, jangan sampai baik sangka salah seorang dari kalian terhadap dirinya
sendiri dan terhadap keshohihan madzhabnya yang diketahuinya membawa
dirinya untuk melakukan taruhan dengan agamanya, dengan duduk-duduk
dengan para pengekor hawa nafsu, lalu berkata: “Aku akan masuk kepadanya
untuk melakukan diskusi dengannya, atau akan kukeluarkan darinya
madzhabnya.” Karena sesungguhnya ahli hawa itu lebih besar fitnahnya
daripada dajjal. Ucapan mereka lebih lengket daripada kurap, dan lebih
membakar hati daripada gejolak api. Sungguh aku telah melihat sekelompok
orang yang dulunya melaknati ahli hawa, mencaci mereka. Lalu mereka duduk-
duduk dengan mereka untuk mengingkari mereka dan membantah mereka.
Terus-menerus berlangsung ramah-tamah di antara mereka, makar
tersembunyi, dan halusnya kekufuran tersamarkan hingga akhirnya orang-
orang tadi masuk ke madzhab ahli hawa tadi.” (“Al Ibanatul Kubro”/di bawah
no. (480)/cet. Darul Kutub wal Watsaiqil Qoumiyyah).
.وهللا -#$�� أ���، وا��� رب ا�#$���
Dammaj, 17 Jumadats Tsaniyyah 1434 H.
Recommended