View
247
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
ANALISIS INDUSTRI PAKAIAN JADI (GARMEN) DI INDONESIA
(Pendekatan Structure-Conduct-Performance)
OLEH RYAN FEBRIYANTI
H14102071
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKUTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
RYAN FEBRIYANTI. Analisis Industri Pakaian Jadi (Garmen) di Indonesia (Pendekatan Structure-Conduct-Performance) (dibimbing oleh BUNGARAN SARAGIH).
Industri pakaian jadi merupakan industri yang bersifat padat karya dan memiliki kontribusi yang cukup tinggi pada nilai ekspor TPT di Indonesia. Namun terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh industri pakaian jadi pada saat ini, antara lain mengenai penyelundupan produk pakaian jadi dari China dengan harga murah serta masalah restrukturisasi permesinan. Hal ini tentu mengakibatkan ketatnya persaingan yang terjadi pada industri pakaian jadi di Indonesia. Ketatnya persaingan dapat mempengaruhi bentuk struktur pasar, perilaku dan kinerja perusahaan-perusahaan pakaian jadi di Indonesia.
Tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisa struktur, perilaku dan kinerja industri pakaian jadi di Indonesia (2) menganalisa pengaruh struktur dan faktor-faktor lainnya terhadap kinerja industri pakaian jadi di Indonesia. Untuk menganalisa struktur pasar, perilaku dan kinerja dari industri pakaian jadi di Indonesia dilakukan analisis deskriptif, sedangkan untuk membahas pengaruh struktur dan faktor-faktor lainnya terhadap kinerja dilakukan analisis regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least Squared (OLS), dengan menggunakan software E-views 4.1.
Hasil penelitian menunjukkan industri pakaian jadi di Indonesia termasuk ke dalam tipe pasar persaingan monopolistik dimana pasar ini bersifat banyak penjual dan pembeli, produk yang heterogen, serta hambatan untuk masuk dan keluar dari pasar yang rendah. Perilaku-perilaku yang terdapat pada industri pakaian jadi antara lain adalah perilaku dalam menentukan harga berdasarkan pada jenis bahan, inovasi produk pada desain dan warna, promosi produk melalui contact buyer (menghubungi pembeli), pola distribusi yang cenderung ekspor, adanya integrasi vertikal pada industri ini serta perilaku sourcing atau tindakan untuk mencari bahan baku. Kinerja industri pakaian jadi di Indonesia sudah relatif baik dengan menerima margin keuntungan atas biaya langsung (PCM) yang cukup rendah dengan rata-rata sebesar 24,93 persen dan tingkat efisiensi-X yang cukup tinggi sebesar 60,27 persen.
Berdasar pada hasil regresi yang telah dianalisis dapat diketahui pengaruh struktur dan faktor-faktor lainnya terhadap kinerja. Variabel CR4 yang mewakili struktur pasar berpengaruh secara signifikan dan negatif terhadap kinerja (PCM). Karena tingginya tingkat persaingan yang terdapat pada industri pakaian jadi di Indonesia akan semakin mengurangi keuntungan yang diterima. Faktor lainnya yang diwakili oleh variabel Growth berpengaruh secara signifikan terhadap PCM. Sementara variabel krisis (dummy) tidak berpengaruh terhadap PCM. Variabel efisiensi-X dan Produktivitas berpengaruh secara signifikan terhadap PCM. Oleh karena itu jika terjadi peningkatan terhadap ketiga variabel yang signifikan
tersebut maka kinerja dari industri pakaian jadi di Indonesia juga akan mengalami peningkatan.
Berdasar pada hasil penelitian ini dapat dibuat saran untuk penelitian selanjutnya, yaitu agar meneliti industri-industri lain yang tergabung dalam industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia. Sehingga dapat diketahui bagaimana bentuk struktur pasar, perilaku dan kinerja yang terdapat pada industri lainnya sebagai bagian dari industri TPT di Indonesia.
ANALISIS INDUSTRI PAKAIAN JADI (GARMEN) DI INDONESIA
(Pendekatan Structure-Conduct-Performance)
Oleh
RYAN FEBRIYANTI H14102071
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKUTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama Mahasiswa : Ryan Febriyanti
Nomor Registrasi Pokok : H14102071
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Analisis Industri Pakaian Jadi
(Garmen) di Indonesia
(Pendekatan Structure-Conduct-Performance)
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec. NIP. 130 350 045
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi.
Dr. Ir.Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU HASIL KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2006
Ryan Febriyanti H14102071
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Ryan Febriyanti lahir pada tanggal 1 Februari 1985 di
Jakarta, Ibukota negara Republik Indonesia. Penulis adalah anak pertama dari
empat bersaudara, dari pasangan Mufrizal Ramadhani dan Sri Nurdiaty. Jenjang
pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan. Penulis menamatkan sekolah dasar
pada SDN 07 Pagi Jakarta Timur, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 252
Jakarta Timur dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis diterima
di SMUN 81 Jakarta dan lulus pada tahun 2002.
Pada tahun 2002 penulis meninggalkan Ibukota Jakarta tercinta untuk
melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB)
menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan
mengembangkan pola pikir, sehingga menjadi sumber daya yang berguna bagi
pembangunan Ibukota Jakarta pada khususnya dan kota-kota lain pada umumnya.
Penulis masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program
Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan
Manajemen.
Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif pada organisasi Hipotesa dan
menjabat sebagai bendahara. Keikutsertaan penulis pada organisasi ini telah
memberikan banyak manfaat dan pengalaman.
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI.................................................................................................... i
DAFTAR TABEL............................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... vi
I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah .................................................................................. 5
1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 8
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 9
2.1. Pengertian Industri .................................................................................... 9
2.2. Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja ...................................................... 10
2.3. Pengertian Industri TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) .............................. 12
2.4. Struktur Pasar ............................................................................................ 14
2.4.1 Pangsa Pasar..................................................................................... 17
2.4.2 Konsentrasi....................................................................................... 17
2.4.3 Hambatan Untuk Masuk .................................................................. 18
2.4.4. Pasar Persaingan Monopolistik ....................................................... 19
2.5. Perilaku Pasar............................................................................................ 20
2.5.1. Kerjasama dan Kolusi ..................................................................... 21
2.5.2. Integrasi Vertikal, Konglomerasi dan Merger ................................ 22
2.5.3. Diferensiasi Produk......................................................................... 23
2.6. Kinerja Pasar ............................................................................................. 24
2.7. Penelitian Terdahulu ................................................................................. 26
2.8. Kerangka Pemikiran.................................................................................. 29
2.9. Hipotesis.................................................................................................... 30
ii
III. METODOLOGI PENELITIAN................................................................. 32
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 32
3.2. Jenis dan Sumber Data .............................................................................. 32
3.3. Metode Analisis ........................................................................................ 33
3.3.1. Struktur Pasar .................................................................................. 34
3.3.2. Perilaku Pasar.................................................................................. 36
3.3.3. Kinerja Pasar ................................................................................... 38
3.3.4. Hubungan Struktur dan Faktor Lainnya dengan kinerja ................. 39
3.3.5. Uji Statistika dan Ekonometrika ..................................................... 45
IV. GAMBARAN INDUSTRI PAKAIAN JADI DI INDONESIA................ 50
4.1. Sejarah Pertumbuhan Industri Pakaian Jadi (Garmen) ............................. 50
4.2. Periode Pada Industri Pakaian Jadi ........................................................... 52
4.2.1. Periode Sebelum Krisis ................................................................... 52
4.2.2. Periode Krisis .................................................................................. 54
4.2.3. Periode Pasca Krisis........................................................................ 56
4.3. Struktur Biaya Industri Pakaian Jadi Indonesia ........................................ 59
V. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................... 60
5.1. Struktur Pasar ............................................................................................ 60
5.1.1. Pangsa Pasar.................................................................................... 61
5.1.2. Konsentrasi...................................................................................... 62
5.1.3. Hambatan Masuk ............................................................................ 63
5.2. Perilaku Pasar............................................................................................ 64
5.2.1. Strategi Harga dan Produk ............................................................. 64
5.2.2. Strategi Promosi ............................................................................. 66
5.2.3. Strategi Distribusi........................................................................... 66
5.2.4. Integrasi Vertikal............................................................................ 67
5.2.5. Perilaku Lainnya yang Terkait dengan Industri Pakaian Jadi di Indonesia .................................................................................... 68
5.3. Kinerja Pasar ............................................................................................. 70
5.4. Hubungan Struktur dan Faktor Lainnya dengan Kinerja .......................... 71
V. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................... 83
iii
6.1. Kesimpulan ............................................................................................... 83
6.2. Saran.......................................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 86
LAMPIRAN..................................................................................................... 88
iv
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1. Tabel Profil Industri Pakaian Jadi ............................................................. 2
2.1. Tabel Ciri-ciri Tipe Pasar.......................................................................... 15
4.1. Tabel Utilitas Produksi Industri Pakaian Jadi ........................................... 54
4.2. Tabel Ekspor dan Impor Industri Pakaian Jadi ......................................... 58
5.1. Hasil Dugaan Awal Persamaan PCM Pada Industri Pakaian jadi Indonesia ........................................................ 72
5.2. Matriks Korelasi Antar Variabel Eksogen Tahap Awal ........................... 74
5.3. Hasil Dugaan Persamaan PCM Pada Industri Pakaian Jadi Indonesia ..... 75
5.4. Matriks Korelasi Antar Variabel Eksogen ................................................ 76
v
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2.1. Hubungan Struktur-Perilaku-Kinerja ........................................................ 11
2.2. Bagan Kerangka Pemikiran ...................................................................... 30
4.1. Nilai Ekspor Industri yang Terdapat Pada Industri TPT Nasional ........... 57
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Nama-Nama Perusahaan Garmen Berskala Besar ....................................... 88
2. Struktur Biaya Industri Pakaian Jadi Indonesia ........................................... 89
3. CR4 Industri Pakaian Jadi Indonesia ........................................................... 90
4. Nilai Minimum Efficiency Scale (MES) Industri Pakaian Jadi Indonesia(1983-2003)................................................ 91
5. Price-Cost-Margin Industri Pakaian Jadi Indonesia (1983-2003) ............... 92
6. Nilai Efisiensi-X Industri Pakaian Jadi Indonesia (1983-2003) .................. 93
7. Growth Industri Pakaian Jadi Indonesia (1983-2003) ................................. 94
8. Produktivitas Industri Pakaian Jadi Indonesia (1983-2003) ........................ 95
9. Hasil Estimasi Output Regresi Dan Uji Ekonometrika................................ 96
10. Uji Multikolinearitas .................................................................................. 97
11. Hasil Estimasi Output Regresi Dan Uji Ekonometrika Tahap 1................ 98
12. Uji Multikolinearitas Tahap 1 .................................................................... 99
13. Hasil Output Minitab Tahap 1 ................................................................... 100
14. Hasil Estimasi Output Regresi Dan Uji Ekonometrika Tahap 2................ 101
15. Hasil Estimasi Output Regresi Dan Uji Ekonometrika Tahap 3................ 102
16. Hasil Estimasi Output Regresi Dan Uji Ekonometrika Tahap 4................ 103
17. Barang Hasil Produksi Industri Pakaian Jadi (Garmen) ............................ 104
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) berperan cukup penting bagi
banyak negara dalam memulai proses industrialisasi. Bagi Indonesia, TPT yang
semula hanya merupakan produksi substitusi impor saat ini telah berubah menjadi
komoditi ekspor andalan. Menurut ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API),
Benny Sutrisno, ekspor industri TPT Indonesia pada tahun 2005 mencapai US$
7,5 Miliar dan diproyeksikan untuk tahun 2006 ini mencapai US$ 8,35 Miliar
(Kompas, 2006).
Menurut API, TPT Indonesia juga memiliki daya saing yang relatif baik di
pasar internasional. Hal ini disebabkan Indonesia memiliki industri pertekstilan
yang lengkap dari hulu ke hilir, yakni dari produk serat (fibers), produk
benang/pemintalan (spinning), pertenunan (weaving), rajutan (knitting), pakaian
jadi (garment), dan produk tekstil lainnya (other textile). Indonesia memiliki
industri pemintalan (spinning) yang besar di kawasan Asia dan Oceania.
Demikian pula dengan industri pertenunan yang produksinya kedua terbesar
setelah Cina, serta industri pakaian jadi yang dikenal di dunia internasional.
Sampai saat ini Indonesia menjadi negara pengekspor ke-11 terbesar di dunia
dengan pangsa pasar 3,15 persen dari total pasar tekstil dunia sebesar US$ 194,7
Miliar pada tahun 2004. Untuk ekspor pakaian jadi, Indonesia menempati urutan
kesembilan dengan pangsa pasar sebesar 4,45 persen dari total nilai pasar tekstil
dunia sebesar US$ 258,1 Miliar (Kompas, 2006).
2
Pada industri TPT ini, salah satu sub sektor yang cukup menjadi pusat
perhatian adalah sub sektor industri pakaian jadi atau garmen. Hal tersebut
dikarenakan industri pakaian jadi merupakan sub-sektor industri hilir dengan sifat
padat karya. Selain itu, sub sektor ini memiliki kontribusi yang cukup tinggi pada
nilai ekspor TPT di Indonesia. Seperti yang sudah terangkum dalam tabel 1.1,
pada tahun 2004 industri pakaian jadi mengalami peningkatan kapasitas produksi
dan produksi riil yang masing-masing sebesar 12,88 persen dan 12,14 persen
dibandingkan tahun 2003. Pada tahun 2004 terjadi penurunan volume ekspor
sebesar 2,84 persen dibanding tahun sebelumnya. Namun karena rata-rata unit
price produk pakaian jadi pada tahun tersebut meningkat 13,17 persen, maka
secara keseluruhan terjadi peningkatan nilai ekspor sebesar 9,94 persen.
Tabel 1.1. Tabel Profil Industri Pakaian Jadi
Tahun Deskripsi Unit 2002 2003 2004 2005
Perusahaan Unit 849 855 861 n/aInvestasi Kapital Milyar Rp 2.913 2.958 n/a n/aMesin Unit 285.136 290.838 n/a n/aTenaga Kerja Pekerja 350.901 352.457 353.590 n/aKapasitas Produksi ‘000 Ton 591 590 666 n/a
Value Milyar Rp 52.085 54.637 55.887 48.545Produksi Volume ‘000 Ton 462 461 517 383Value Juta US$ 3.805 3.926 4.289 4.899Ekspor Volume ‘000 Ton 328 332 324 367
Sumber: API, 2005
Namun terdapat beberapa permasalahan yang harus dihadapi oleh industri
pakaian jadi pada saat ini. Impor produk pakaian jadi ilegal atau penyelundupan
merupakan isu utama yang bahkan tidak saja harus dihadapi oleh industri pakaian
jadi tetapi juga merupakan isu utama yang harus dihadapi oleh industri tekstil dan
3
produk tekstil (TPT) nasional. Penyelundupan yang terjadi lebih dikarenakan
banyaknya produk-produk pakaian jadi dengan harga murah yang berasal dari
Cina memenuhi pasar pakaian jadi didunia. Sehingga banyak dari pengusaha yang
melihat peluang tersebut memasukkan produk-produk pakaian jadi dari Cina ke
Indonesia dengan berbagai cara.
Menurut Sekretaris Eksekutif BPN API, Ernovian G. Ismy, data
penyelundupan TPT selama tahun 2004 meningkat. Ini berdasarkan total
konsumsi nasional sebanyak 881.904 ton, tetapi total penjualan produsen TPT
lokal hanya sebanyak 634.000 ton. Artinya terdapat selisih angka sebanyak
247.904 ton, atau TPT ilegal mengambil porsi TPT domestik sebesar 20 persen
(Bisnis Indonesia, 2006).
Sekretaris Eksekutif BPN API, Ernovian G. Ismy, menjelaskan
keberadaan produk TPT ilegal tersebut semakin mengganggu produk lokal,
terutama kategori produk pakaian jadi yang dihasilkan oleh industri menengah-
kecil. Peranan industri pakaian jadi menengah-kecil dan rumahan, imbuhnya,
sangat besar menyerap output industri pertenunan (weaving) dan perajutan
(knitting). Jika pasar industri pakaian jadi menengah-kecil dan rumahan
mengalami gangguan, maka hal ini juga akan menggganggu industri di sektor
hulu pertenunan dan perajutan, bahkan produsen serat (Bisnis Indonesia, 2006).
Dari data penjualan TPT domestik, diketahui bahwa industri pakaian jadi
menengah-kecil dan rumahan punya peran sentral dalam rantai pola distribusi,
khususnya sebagai pembeli utama produk kain domestik. Dari total output produk
kain tahun 2004 sebanyak 131 juta ton, sebanyak 39,4 persen diserap oleh industri
4
pakaian jadi menengah-kecil dan rumahan, sementara 42,6 persen diserap oleh
industri pakaian jadi besar dan sisanya diekspor (Bisnis Indonesia, 2006).
Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah di dalam menghadapi
permasalahan penyelundupan yang tengah dialami oleh industri TPT adalah
dengan diterbitkannya Surat Keputusan (SK) oleh Menperindag No.
276/MPP/Kep/4/2003 tentang Varifikasi atau Penelusuran Teknis Impor Tekstil
dan Produk Tekstil (TPT). SK tersebut bertujuan untuk mengantisipasi kegiatan
penyelundupan yang masih marak terjadi di Indonesia, meningkatkan upaya
perlindungan konsumen dari dampak negatif importasi tekstil dan produk tekstil
dan meningkatkan iklim usaha yang kondusif. Kebijakan tersebut diharapkan
dapat mengurangi tingkat penyelundupan yang semakin marak terjadi dan
memberikan berbagai dampak positif lainnya bagi industri pakaian jadi di
Indonesia.
Masalah lain yang juga dialami oleh industri pakaian jadi Indonesia adalah
masalah restrukturisasi mesin. Industri pakaian jadi memiliki mesin berusia lebih
dari 10 tahun sebanyak 31.997 unit. Industri pakaian jadi sebagai bagian dari
industri TPT termasuk ke dalam industri yang beresiko tinggi, hal ini membuat
perbankan nasional sangat berhati-hati dalam menyalurkan kredit mereka kepada
industri pakaian jadi (Sinar Harapan, 2006).
Standar operasional bank menerapkan aturan pengajuan kredit harus
dianalisis melalui 5C, yakni pertama, Carracter guna menunjukkan track record
debitur; kedua, Capital untuk mengetahui kemampuan finansial mengembalikan
kredit; ketiga, Condition of Economy yakni prospek bisnis berkaitan dengan
5
situasi sekarang dan dimasa mendatang; keempat, Capacity adalah kemampuan
meningkatan usahanya dalam memenuhi kewajiban kepada bank; dan kelima,
Collateral untuk mengetahui jaminan debitur terhadap kemungkinan risiko yang
timbul. Dari kelima analisis tersebut, industri TPT paling tidak memenuhi syarat
Capacity. Sektor ini dinilai tidak mampu meningkatkan kemampuan usahanya
yang diduga disebabkan oleh masalah manajerial yang masih kurang baik
sehingga kinerjanya tidak kompetitif. Hal ini juga dialami oleh industri pakaian
jadi nasional sebagai bagian dari industri TPT (Sinar Harapan, 2006).
Pada sisi lain, pihak perbankan membantah tidak menyalurkan kredit
kepada sektor TPT. Bank tetap bersedia menyalurkan kredit kepada industri TPT
guna mendorong industri TPT agar dapat menyelesaikan masalah yang kini
tengah dihadapi oleh industri tersebut. Namun, hal tersebut dilakukan perbankan
secara selektif dan melihat perkembangan dari sektor-sektor TPT, termasuk di
dalamnya industri pakaian jadi. Jika restrukturisasi permesinan dapat segera
dilakukan, maka produsen-produsen pakaian jadi nasional tentu akan dapat
bersaing dengan produsen-produsen lainnya yang berasal dari luar negeri.
Berdasarkan pada situasi yang tengah dihadapi oleh industri pakaian jadi saat ini,
maka penelitian mengenai industri pakaian jadi ini dirasakan cukup menarik bagi
peneliti untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.
1.2. Perumusan Masalah
Industri pakaian jadi merupakan industri padat karya yang dapat
memperkerjakan jutaan pekerja. Selain itu, investasi yang terdapat pada industri
6
ini memiliki nilai yang sangat besar. Investasi yang terdapat pada industri pakaian
jadi sebagai bagian dari industri TPT pada tahun 2003 jumlahnya hampir
mencapai US$ 3 Miliar dengan tenaga kerja langsung sebanyak 360.000 orang
dan tenaga kerja tidak langsung 700.000 orang (Sinar Harapan, 2006).
Industri pakaian jadi sebagai penyumbang ekspor terbesar dari seluruh
ekspor TPT pada saat ini tengah menghadapi berbagai tantangan antara lain
perubahan permintaan pasar yang semakin cepat. Seiring dengan percepatan
perkembangan fashion dunia yang tidak hanya mengandalkan musim tetapi trend
mode, menyebabkan pesanan untuk pakaian jadi pun cepat berubah. Kemampuan
industri pakaian jadi untuk berkompetisi tidak hanya di pasar global tetapi juga di
pasar domestik sangatlah tergantung pada keseriusan semua pihak sehingga
industri ini dapat terus berkembang.
Kondisi lainnya yang saat ini juga dihadapi oleh industri pakaian jadi
Indonesia adalah produk-produk pakaian jadi dari Cina yang semakin memenuhi
pasar domestik, baik yang legal maupun ilegal. Data API menunjukkan total
pertumbuhan impor pakaian jadi Cina yg tercatat resmi, belum termasuk ilegal,
dalam lima tahun terakhir, tahun 2004 mencapai 380 persen (Kompas, 2006).
Produk-produk tersebut diperjualbelikan dengan harga yang jauh lebih
murah dibandingkan dengan produk-produk dari dalam negeri, hal ini tentu saja
sangat merugikan produsen pakaian jadi nasional. Selain murah, produk dari Cina
juga memiliki keunggulan dalam desain. Sebagai contoh, setelan baju tidur (anak
perempuan) dari Cina dijual seharga Rp 350.000 per kodi (20 pasang atau Rp
17.500 per pasang). Harga untuk produk lokal yang sejenis adalah lebih dari Rp
7
400.000 per kodi atau Rp 20.000 per pasang. Setelan pakaian anak-anak yang
terdiri dari celana, rompi, dan kaus diperdagangkan hanya Rp 40.000 per pasang.
Sementara itu celana untuk anak-anak buatan dalam negeri dijual dengan harga
Rp 30.000 per potong (Kompas, 2006).
Masalah restrukturisasi permesinan pada industri pakaian jadi juga
merupakan sebuah hambatan dalam meningkatkan produktivitas dalam industri
ini. Sebagian besar mesin tergolong tua, buatan tahun 1970-an, dengan tingkat
efisiensi yang rendah. Data API menyebutkan bahwa pada industri pakaian jadi
terdapat sekitar 81 persen mesin tua yang memerlukan adanya peremajaan
(Kompas, 2006).
Berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh industri pakaian jadi serta
semakin meningkatnya jumlah perusahaan-perusahaan pakaian jadi di Indonesia,
mengakibatkan ketatnya persaingan yang terjadi pada industri ini. Hal ini tentu
mempengaruhi bentuk struktur pasar dari industri industri pakaian jadi di
Indonesia. Selanjutnya untuk dapat terus bertahan dalam persaingan yang semakin
ketat, perusahaan-perusahaan tersebut melakukan beberapa perilaku. Kinerja dari
industri pakaian jadi pada akhirnya yang menentukan apakah perusahaan-
perusahaan yang berada dalam industri tersebut sudah termasuk perusahaan-
perusahaan yang sudah dikelola dengan baik.
Dari berbagai hal yang telah diuraikan maka permasalahan yang akan
dibahas pada penelitian ini, yaitu :
1) Bagaimana struktur, perilaku, dan kinerja dari industri pakaian jadi di
Indonesia?
8
2) Bagaimana pengaruh struktur (CR4) dan faktor-faktor lainnya (Growth,
Produktivitas, dan Dummy) terhadap kinerja (PCM) industri pakaian jadi di
Indonesia?
I.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang ada maka penelitian ini
bertujuan untuk:
1) Menganalisa struktur, perilaku dan kinerja industri pakaian jadi di Indonesia,
2) Menganalisa pengaruh struktur (CR4) dan faktor-faktor lainnya (Growth,
Produktivitas, dan Dummy) terhadap kinerja (PCM) industri pakaian jadi di
Indonesia.
I.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai:
1) Gambaran yang lebih jelas mengenai industri pakaian jadi di Indonesia.
2) Bahan rujukan bagi pembaca dan informasi untuk penelitian selanjutnya.
3) Sarana pembelajaran bagi penulis dalam memahami industri pakaian jadi dan
dalam menerapkan ilmu yang telah didapatkan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Dalam memahami dan menganalisis perihal hubungan struktur, perilaku
dan kinerja pasar akan diperlukan pengetahuan tentang teori dalam ekonomi
industri. Ekonomi industri merupakan suatu keahlian khusus dalam ilmu ekonomi
yang membantu menjelaskan mengapa pasar perlu diorganisir dan bagaimana
pengorganisasiannya mempengaruhi cara kerja pasar industri. Ekonomi industri
menelaah struktur pasar dan perusahaan yang secara relatif lebih menekankan
pada studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi struktur pasar, perilaku
dan kinerja pasar (Jaya, 2001).
2.1. Pengertian Industri
Industri adalah kumpulan dari perusahaan-perusahaan yang menghasilkan
barang-barang yang homogen, atau barang-barang yang mempunyai sifat saling
mengganti yang erat (Hasibuan, 1993). Sedangkan menurut Dumairy (1995)
istilah industri mempunyai dua arti. Pertama, industri dapat berarti himpunan
perusahaan-perusahaan sejenis. Dalam konteks ini sebutan industri tekstil,
misalnya, berarti himpunan atau kelompok perusahaan penghasil tekstil. Kedua,
industri dapat pula merujuk ke suatu sektor ekonomi yang di dalamnya terdapat
kegiatan produktif yang mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi
atau barang jadi.
Sementara itu, industri berbeda dengan perusahaan, sebab perusahaan
menurut Badan Pusat Statistik (2002) merupakan suatu satuan usaha yang
melakukan kegiatan ekonomi dengan tujuan menghasilkan dan atau menjual
10
barang atau jasa. Perusahaan tersebut terletak atau menempati lokasi tersendiri
dan bersifat menetap, mempunyai aktivitas dan catatan administrasi yang dapat
dipisahkan dari kegiatan lain serta ada seorang atau lebih yang bertanggung jawab
penuh atas resiko usaha serta dapat menjamin kelangsungan usaha tersebut baik
sebagai pemilik atau pimpinan ataupun sebagai pekerja.
2.2. Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja
Model Struktur-Perilaku-Kinerja (Structure-Conduct-Performance), pada
awalnya menggunakan kesimpulan dari analisis mikroekonomi untuk membahas
organisasi industri. Dalam paradigma Struktur-Perilaku-Kinerja, suatu industri
sangat bergantung kepada perilaku pembeli dan penjual, dimana perilaku ini
bergantung kepada struktur pasar sedangkan struktur pasar pada gilirannya
bergantung kepada kondisi-kondisi dasar atau awal seperti teknologi dan
permintaan terhadap suatu produk. Hubungan yang sesungguhnya, bagaimanapun
tidak pernah dijelaskan secara detail (Carlton, D.W., et al., 2000).
Hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja ditunjukkan dalam gambar
2.1 dimana struktur pasar dianggap mempengaruhi perilaku melalui tingkah laku
perusahaan-perusahaan yang beroperasi dalam industri dan pada akhirnya akan
mempengaruhi kinerjanya dalam hubungan satu arah atau satu jalur. Sejalan
dengan perkembangan studi ekonomi industri maka hubungan antara ketiga
variabel semakin kompleks, bukan lagi hanya hubungan satu arah tetapi juga
hubungan dua arah (hubungan sebab akibat). Namun sebagian besar analisis
11
hubungan sebab akibat dimulai secara terarah dari struktur yang akhirnya
mempengaruhi perilaku dan atau kinerja.
Sumber: Jaya, 2001
Gambar 2.1 Hubungan Struktur-Perilaku-Kinerja
Dalam penelitian-penelitian empiris pada umumnya tingkah laku
perusahaan seringkali diabaikan. Pengujian hipotesa dengan pola hubungannya
seperti di atas selalu terbentur variabel tingkah laku yang sulit diukur dan
Kondisi pasar Permintaan Penawaran Elastisitas harga Elastisitas harga Tingkat pertumbuhan Teknologi Bentuk pemasaran Daya tahan produk Metode pembelian Bahan mentah Elastisitas silang dan elastisitas subtitusi Kebijakan pemerintah
Struktur (Structure) Struktur biaya Integrasi vertikal Difereniasi produk Skala ekonomi Hambatan masuk (barriers to entry) Struktur biaya Diversifikasi
Perilaku (Conduct) Strategi harga Tingkat kerjasama Iklan Riset dan inovasi Strategi produk
Kinerja (Performance) Efisiensi Pemeratan Kemajuan teknologi Pertumbuhan Full employment
12
dijabarkan sehingga sulit untuk mendapatkan hasil pengujian yang berarti untuk
hubungan antara struktur dan perilaku. Oleh karena itu, perkiraan atas kinerja
industri dapat diketahui melalui unsur-unsur yang dimasukkan sebagai variabel
bebas.
Pengujian hipotesa pola hubungan struktur dan kinerja dapat dilakukan
dengan menggunakan salah satu indikator tertentu dari struktur pasar seperti
tingkat konsentrasi penjual dan menggunakan PCM sebagai indikator kinerja.
Tetapi akan lebih baik bila memasukkan unsur-unsur struktur pasar yang lain
dalam pengujian.
2.3. Pengertian Industri TPT (Tekstil dan Produk Tekstil)
Tekstil merupakan hasil dari proses pertenunan atau perajutan benang
yang hasilnya akan berbentuk tekstil lembaran, tenunan dan rajutan. Produk tekstil
adalah hasil proses lanjutan dari tekstil lembaran yang produknya antara lain
berupa pakaian jadi untuk keperluan individu (Hartanto, NS dan Watanabe, 1993).
Industri tekstil dan industri produk tekstil memiliki pengertian yang
terpisah menurut API (2005), industri tekstil merupakan gabungan dari industri
pembuatan serat, pemintalan, pertenunan, pencelupan dan penyempurnaan kain.
Sementara industri produk tekstil adalah industri yang mencakupi industri pakaian
jadi atau garmen dan industri produk tekstil lainnya. Sehingga industri tekstil dan
produk tekstil (TPT) merupakan industri yang mencakup mulai dari industri serat
hingga industri produk tekstil lainnya.
13
Secara teknis, struktur industri TPT nasional dibagi menjadi tiga subsektor
(Djafrie dalam Yulaekha, 2005), yaitu :
1. Sektor hulu (upstream)
Industri sektor hulu adalah industri pembuat serat (fibre) dan pemintal
(spinning), seperti serat kapas, serat sintetik, serat selulosa dan bahan baku serat
sintetik. Pada umumnya sifat yang dimiliki oleh industri pada sektor hulu adalah
padat modal, full-automatic, berskala besar, output tenaga kerja besar dan jumlah
tenaga kerja sedikit.
2. Sektor menengah (midstream)
Sektor ini meliputi industri yang bergerak pada bidang pemintalan
(spinning), pertenunan (weaving) dan pencelupan atau penyempurnaan
(dyeing/finishing). Pada umumnya sifat yang dimiliki oleh sektor menengah
adalah semi padat modal dan teknologi yang digunakan telah berkembang serta
penyerapan tenaga kerjanya lebih besar dari sektor hulu.
3. Sektor hilir (downstream)
Industri yang terdapat pada sektor hilir adalah industri pakaian jadi
(garment). Industri pakaian jadi ini merupakan industri yang mengolah bahan kain
menjadi produk akhir berupa pakaian jadi yang siap dikonsumsi. Sifat industrinya
yang padat karya, mengindikasikan bahwa sektor ini adalah sektor yang paling
banyak menyerap tenaga kerja. Pembeda pada sektor-sektor ini adalah pada
jumlah tenaga kerjanya, yaitu sebagian besar dari tenaga kerjanya adalah wanita.
14
2.4. Struktur Pasar
Istilah struktur pasar (market structure) mengacu pada semua aspek
(feature) yang dapat mempengaruhi perilaku dan kinerja perusahaan di suatu
pasar, misalnya, jumlah perusahaan di pasar, atau jenis produk yang mereka jual
(Lipsey, et al., 1996). Untuk menyederhanakan analisis struktur pasar, para ahli
ekonomi memusatkan perhatian pada empat struktur pasar teoritis yang
mencakupi sebagian besar keadaan aktual. Struktur ini dinamakan persaingan
sempurna, monopoli, persaingan monopolistik, dan oligopoli.
Perbedaan struktur pasar yang ada dapat terjadi karena (Legowo, 1996) :
1. Adanya perbedaan dalam tingkat konsentrasi antara penjual dengan pembeli
yang diukur dari jumlah penjual dan pembeli yang termasuk dalam pasar
tersebut.
2. Tingkat mobilitas sumberdaya, dapat diketahui melalui kemudahan produk
perusahaan untuk masuk ke dalam pasar atau ada hambatan masuk dalam
industri (barriers to entry).
3. Sifat-sifat produk yang ditawarkan, homogen atau heterogen.
4. Kemampuan perusahaan dalam menguasai atau memproduksi sendiri bahan-
bahan (input) untuk produksi serta kemampuan dalam menguasai saluran
distribusi dari produk yang dihasilkan (integrasi vertikal).
5. Tingkat kekuatan perusahaan dalam menguasai sejumlah pasar dari produk
yang dihasilkan yang telah didiferensiasi.
6. Tingkat pengetahuan dari pelaku ekonomi (perusahaan, pemasok, konsumen)
terhadap harga dan biaya produksi.
15
Ciri-ciri dan tipe pasar suatu industri dapat diketahui sebagai berikut :
Tabel 2.1. Ciri-ciri Tipe Pasar
Ciri-ciri Monopoli Perusahaan Dominan
Oligopoli Persaingan Monopolistik
Persaingan Murni
Kondisi utama
Memiliki 100 persen pangsa pasar
Menguasai 50 persen sampai dengan 100 persen pangsa pasar tanpa pesaing kuat
Gabungan beberapa perusahaan terkemuka yang pangsa pasarnya 60 persen sampai dengan 100 persen
Banyak pesaing yang efektif dan tidak satu pun memiliki lebih dari 10 persen pangsa pasar
Lebih dari 50 pesaing yang tidak satupun memiliki pangsa pasar yang berarti
Indeks Hirschman-Herfindhal (HHI)
HHI = 10.000
2.500<HHI<10.000
1.000<HHI<2.500
100<HHI< 1000
HHI<100
Jumlah Produsen
Satu Banyak Sedikit Banyak Sangat Banyak
Entry/Exit barrier
Sangat tinggi
Tinggi Tinggi Rendah Sangat rendah
Tipe produk Heterogen Heterogen Homogen/ Heterogen
Heterogen Homogen
Kekuasaan menentukan
Sangat besar
Relatif Relatif Sedikit Tidak ada
Persaingan selain harga
Tidak ada Besar Besar Besar Tidak ada
Informasi Sangat terbatas
Cukup terbuka
Terbatas Cukup terbuka
Terbuka
Profit Berlebih Berlebih Agak berlebih
Normal Normal
Efisiensi Kurang baik
Kurang baik
Kurang baik
Cukup baik Baik
Sumber: diolah dari berbagai sumber.
Pasar monopoli terdiri dari satu produsen yang menguasai pangsa pasar
keseluruhan atau sebesar 100 persen dan memiliki hambatan masuk pasar yang
sangat tinggi karena produsen yang menguasai pasar akan berusaha keras agar
tidak ada pesaing pada pasar yang dipimpinnya. Pada struktur pasar yang
16
dipimpin oleh perusahaan dominan, pelaku usaha terdiri dari beberapa perusahaan
namun hanya ada satu pelaku usaha yang terlihat mendominasi pasar. Hambatan
untuk masuk pasar ini cukup tinggi namun biasanya informasi pasarnya cukup
terbuka.
Pada pasar oligopoli terdapat beberapa pelaku usaha yang memimpin pasar
dengan pangsa pasar gabungannya sebesar 60 persen sampai dengan 100 persen.
Hambatan masuknya cukup tinggi dan informasi yang diterima terbatas. Para
oligopolis juga bertindak sebagai monopolis terutama jika mereka melakukan
kerjasama sehingga efisiensinya menjadi kurang baik.
Pasar monopolistik terdiri dari banyak produsen dimana banyak pesaing
yang efektif dan tidak ada satu pun yang memiliki pangsa pasar diatas 10 persen.
Para produsen menjual produknya dengan karakteristik yang berbeda-beda dan
dapat menjualnya dengan harga yang diinginkan. Hambatan masuk dan
informasinya cukup terbuka sehingga tingkat persaingannya tinggi dan
efisiensinya cukup baik. Sementara pasar persaingan murni setiap produsen tidak
memiliki pangsa pasar yang berarti. Dengan hambatan masuk yang rendah dan
informasi yang terbuka maka para pesaing potensial dapat mudah memasuki
pasar. Struktur pasar merupakan suatu pokok bahasan yang kompleks, dengan
sejumlah konsep yang terpadu serta dibutuhkan banyak data untuk
mengevaluasinya (Jaya, 2001).
17
2.4.1. Pangsa Pasar
Pangsa pasar dapat juga diartikan sebagai persentase perusahaan dari total
pendapatan industri yang dapat diukur dari 0 persen hingga 100 persen. Pangsa
pasar yang besar biasanya menandakan kekuatan pasar yang besar, sebaliknya
pangsa pasar perusahaan yang kecil berarti perusahaan tidak mampu bersaing
dalam tekanan persaingan.
Peranan pangsa pasar, seperti halnya elemen struktur pasar lainnya, adalah
sebagai sumber keuntungan bagi perusahaan. Hipotesa umum mengatakan adanya
hubungan antara tiap pangsa pasar perusahaan dengan tingkat keuntungannya
(Jaya,2001).
2.4.2. Konsentrasi
Konsentrasi merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaan-
perusahaan oligopolis di mana mereka menyadari adanya suatu ketergantungan
(Jaya, 2001). Kelompok perusahaan ini terdiri dari 2 sampai 8 perusahaan.
Kombinasi pangsa pasar mereka membentuk suatu tingkat pemusatan dalam
pasar.
Alat yang digunakan untuk mengukur konsentrasi perusahaan dalam
penelitian ini adalah Concentration Ratio (CR4), yaitu alat ukur paling sederhana
untuk mengukur tingkat konsentrasi dari perusahaan-perusahaan yang memiliki
pangsa pasar terbesar. CR4 dirumuskan:
Total jumlah penjualan 4 perusahaan terbesar CR4 = (2.1) Total penjualan industri
18
Nilai CR4 yang dihasilkan antara nol sampai satu. Semakin besar nilai
CR4 yang dihasilkan maka struktur pasar semakin monopoli, sebaliknya jika
nilainya semakin kecil (mendekati nol) maka persaingannya sempurna (Jaya,
2001). Rasio konsentrasi yang standar memerlukan data mengenai ukuran pasar
secara keseluruhan dan ukuran perusahaan-perusahaan yang memimpin pasar.
Pengukuran ini lebih jelas daripada pengukuran yang lain dan mempunyai
pengertian yang lebih mantap.
2.4.3. Hambatan Untuk Masuk
Menurut Jaya (2001) ada beberapa hal umum mengenai hambatan
memasuki suatu pasar yang harus dipahami. Pertama, hambatan-hambatan timbul
dalam kondisi pasar yang mendasar, tidak hanya dalam bentuk perangkat yang
legal ataupun dalam bentuk kondisi-kondisi yang berubah dengan cepat.
Kedua, hambatan dibagi dalam tingkatan mulai dari tanpa hambatan sama
sekali (“bebas masuk”), hambatan rendah, sedang sampai tingkatan tinggi di mana
tidak ada lagi jalan masuk. Ketiga, hambatan merupakan sesuatu yang kompleks.
Peranan hambatan untuk masuk suatu pasar masih diperdebatkan.
Hal lain yang dapat dijadikan faktor hambatan masuk adalah dengan
pengukuran Minimum Efficiency Scale (MES). Pesaing baru tidak akan masuk
kecuali yakin akan memperoleh keuntungan setelah masuk dalam pasar. Jika MES
relatif besar terhadap pasar maka perusahaan baru tidak akan dapat membuka
pabrik yang beroperasi secara efisien tanpa meningkatkan output industri.
19
Perusahaan yang memasuki pasar dengan kondisi di bawah MES tidak akan
sanggup bersaing dengan perusahaan yang telah ada di pasar.
Beberapa ukuran yang dapat dijadikan proksi bagi MES yaitu output dari
pabrik terbesar, ukuran rata-rata dari seluruh pabrik yang berada pada kelas
distributor tinggi dan ukuran rata-rata dari beberapa pabrik yang terbesar yang
menguasai 50 persen output industri.
2.4.4. Pasar Persaingan Monopolistik
Persaingan monopolistik adalah suatu jenis pasar yang mempunyai sifat-
sifat sebagai berikut (Jaya, 2001):
1) Banyak perusahaan dan pembeli
Pasar terdiri dari sejumlah besar perusahaan dan pembeli yang bertindak
secara bebas.
2) Produk yang dibedakan
Produk-produk yang ditawarkan oleh perusahaan yang bersaing memiliki
perbedaan dalam satu atau lebih hal antara satu produk dengan yang lainnya.
Perbedaan-perbedaan ini mungkin dalam hal fisiknya yaitu yang meliputi
penampilan atau perbedaan-perbedaan yang diciptakan melalui iklan dan promosi
penjualan.
3) Pasar yang bebas dimasuki dan ditinggalkan
Pasar yang tidak memiliki hambatan-hambatan untuk dimasuki (barriers to
entry) oleh perusahaan-perusahaan baru atau hambatan-hambatan bagi
perusahaan-perusahaan yang sudah ada di dalam pasar tersebut untuk ke luar.
20
4) Dalam jangka pendek akan menghasilkan laba diatas normal
Dalam jangka panjang laba diatas normal akan menyebabkan perusahaan-
perusahaan baru memasuki pasar, yang kemudian akan mengakibatkan turunnya
volume penjualan pada tingkat harga yang berlaku. Proses masuknya perusahaan-
perusahaan baru akan berlangsung sampai laba lebih yang diperoleh sebelumnya
tidak ada lagi. Posisi laba yang normal dari perusahaan untuk jangka panjang
adalah sama dengan posisi keseimbangan jangka panjang perusahaan tersebut
dalam persaingan sempurna.
Akan tetapi persaingan monopolistik akan menghasilkan kinerja pasar
yang kurang efisien bila dibandingkan dengan persaingan sempurna. Khususnya
bagi perusahaan monopolistik yang bersaing untuk memproduksi tingkat output
yang lebih rendah dan menjual output tersebut dengan haga yang lebih tinggi
dibndingkan dengan harga-harga output perusahaan yang bersaing secara
sempurna.
2.5. Perilaku Pasar
Perilaku pasar merupakan tindakan dan kegiatan yang dilakukan
perusahaan-perusahaan dalam kapasitasnya sebagai produsen atau penjual dan
pembeli barang dan jasa. Beberapa elemen yang menentukan perilaku pasar
(Legowo, 1996):
1. Tujuan perusahaan (Firm Objectives). Contohnya: Laba, target pertumbuhan
perusahaan dan lainnya.
21
2. Cara berkompetisi yang dilakukan perusahaan untuk mencapai tujuannya,
terutama dalam kebijakan menentukan harga, besarnya produksi, adanya
diferensiasi produk yang dihasilkan.
3. Pengaturan perilaku perusahaan. Seberapa jauh diperkenankannya adanya
persaingan antara perusahaan-perusahaan dalam pasar. Kemungkinan
terjadinya koordinasi di antara perusahaan dalam menentukan harga dan
melakukan kolusi secara terang-terangan (kartel) atau secara diam-diam (price
leadership).
Perilaku perusahaan menjadi subjek analisis yang menarik hanya jika
persaingan yang terjadi tidak sempurna, akan berbeda jika yang terjadi pasar
persaingan sempurna. Pada pasar persaingan tidak sempurna, ada insentif bagi
perusahaan untuk melakukan promosi, mengamati tindakan pesaing, melakukan
kolusi atau kerjasama, atau berusaha menghalangi masuknya perusahaan baru
(Jaya, 2001).
2.5.1. Kerjasama dan Kolusi
Kerjasama yang dapat bertahan lama akan memberikan keuntungan lebih
banyak bagi kelompok perusahaan yang melakukan kerjasama tersebut. Hal itu
dikarenakan dengan adanya kerjasama maka kelompok perusahaan dapat
menaikkan harga. Kerjasama yang dapat bertahan lama akan menjadikan kolusi
berjalan dengan sangat efektif. Semakin sempurnanya kerjasama diantara
perusahaan-perusahaan tersebut, pasar akan semakin menyerupai pasar monopoli
(Shepperd, 1990).
22
Kondisi-kondisi yang mendorong adanya kolusi antara lain adalah
konsentrasi dan kelangkaan, biaya, kondisi permintaan, “titik pusat”, persaingan
bukan harga dan informasi. Ada beberapa macam kolusi yang dilakukan oleh
perusahaan dalam suatu industri. Kategori-kategori utamanya adalah kartel,
pengawasan terhadap masuknya perusahaan baru dan daerah pasar, persetujuan
penetapan harga, dan kolusi terselubung (Jaya, 2001).
2.5.2. Integrasi Vertikal, Konglomerasi Dan Merger
Merger adalah suatu penggabungan (kombinasi) dua atau lebih perusahaan
yang kemudian diberi nama (yang hidup) salah satu dari perusahaan yang
bergabung itu. Merger biasanya dilakukan atas dasar pengujian bersama yang
bertujuan meningkatkan efisiensi karena diharapkan ada pengaruh sinergis
(Legowo, 1996).
Terdapat tiga tipe merger:
1. Merger Horizontal adalah merger antara perusahaan-perusahaan dalam pasar
yang sama (pesaing dalam pasar). Contoh: pabrik semen A merger dengan
pabrik semen B, dll.
2. Merger Vertikal adalah merger perusahaan-perusahaan antara kolom
perusahaan (kolom dari industri hulu ke hilir). Contoh: pabrik tepung terigu
merger dengan pabrik mie instan, dll.
3. Merger Konglomerat adalah merger antara perusahaan-perusahaan yang tidak
ada hubungannya dalam pasar baik vertikal maupun horizontal. Tujuannya
23
untuk melakukan diversifikasi kegiatan dan menyebar resiko. Contoh: bank
merger dengan perusahaan otomotif, dll.
Integrasi vertikal adalah penggabungan perusahaan-perusahaan yang
mempunyai kelanjutan proses produksi. Jenis integrasi juga dapat dibagi menjadi
dua, yaitu integrasi ke hulu (up stream) dan integrasi ke hilir (down stream). Jadi,
integrasi dapat terjadi antara perusahaan-perusahaan yang mempunyai proses
produksi yang berkelanjutan, baik di hulu maupun di hilir (Hasibuan, 1993).
Selanjutnya, istilah konglomerat, yang artinya tidak lebih dari perkumpulan atau
pengelompokan memilki sebutan yang lebih umum yaitu merger konglomerat.
2.5.3. Diferensiasi Produk
Persaingan akan berjalan dengan sempurna apabila pembeli dapat
membandingkan barang yang satu dengan barang yang lainnya. Bila barang-
barang didiferensiasi maka persaingan menjadi tidak efektif. Perbandingan produk
yang satu dengan yang lainnya menjadi sulit dilakukan karena memang berbeda.
Pembeli menjadi tertarik pada suatu produk tertentu.
Suatu perusahaan tidak dapat bertahan hidup tanpa menciptakan produk
baru. Produk yang sebelumnya dihasilkan akan menjadi semakin dewasa dan pada
suatu saat nanti akan mengalami penurunan sehingga layak digantikan. Oleh
karena itu sebuah produk memiliki siklus yang dapat dibagi menjadi empat fase,
yaitu perkenalan (introduction), pertumbuhan (growth), kedewasaan (maturity)
dan penurunan (decline) (Jaya, 2001).
24
Perilaku pasar menggambarkan tindakan-tindakan perusahaan sebagai
akibat dari struktur pasar yang dihadapinya. Perilaku pada penelitian ini dapat
dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu : perilaku dalam startegi harga, strategi
produk, strategi promosi, dan strategi distribusi. Selain keempat jenis perilaku
tersebut, penelitian ini juga akan membahas perilaku lainnya yang terkait dengan
industri pakaian jadi di Indonesia.
2.6. Kinerja Pasar
Kinerja pasar adalah hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan
perilaku industri (Hasibuan, 1993). Elemen-elemen yang terdapat di dalam kinerja
pasar adalah (Legowo,1996):
1. Efisiensi dalam produksi. Kemampuan berproduksi dengan efisien.
2. Efisiensi dalam penyaluran. Kemampuan mendistribusikan hasil produksi
dengan biaya yang rendah (efisien).
3. Efisiensi dalam mengalokasikan sumber daya sehingga harga yang dikenakan
kepada pembeli bisa rendah sesuai dengan rendahnya biaya produksi termasuk
keuntungan yang normal bagi produsen.
4. Kemampuan memanfaatkan kemajuan teknologi, sehingga dapat diperoleh
biaya produksi yang rendah dan teknik distribusi yang lebih tepat.
5. Kinerja berupa mutu, harga dan jumlah (variasi produk) yang sesuai dan bisa
memuaskan konsumen (masyarakat).
Kinerja dalam kaitannya dengan ekonomi memiliki banyak aspek namun
biasanya dipusatkan pada tiga aspek pokok yaitu efisiensi, kemajuan teknologi
25
dan keseimbangan dalam industri (Jaya, 2001). Efisiensi mempunyai dua bagian
utama, yaitu efisensi internal dan efisiensi alokasi.
Tingkat efisiensi internal menggambarkan perusahaan yang dikelola
dengan baik. Efisiensi ini diukur dengan perbandingan nilai tambah dan nilai
input setiap perusahaan. Sedangkan efisiensi alokasi menggambarkan alokasi
sumber daya ekonomi sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi perbaikan dalam
berproduksi yang dapat menaikkan nilai output.
Kemajuan teknologi dan tindakan inovasi merupakan suatu bentuk upaya
terus-menerus untuk melakukan tindakan-tindakan yang memberikan dorongan
kemajuan. Sementara keseimbangan dalam industri dilihat dalam pemenuhan
kebutuhan dan keinginan untuk memenuhi harapan-harapan serta penghargaan
yang nyata dan bernilai.
Kinerja juga dapat dilihat dari pola keuntungan yang didapat perusahaan-
perusahaan dalam industri. Pola keuntungan ini dapat digambarkan oleh Price-
Cost-Margin (PCM). Penggunaan PCM sebagai variabel kinerja pertama kali
digunakan oleh Collins dan Preston pada tahun 1968. PCM dapat diperoleh
dengan membagi selisih antara nilai tambah dikurangi upah yang harus
dibayarkan terhadap nilai pengiriman (Jaya, 2001).
Nilai tambah adalah nilai pengiriman dikurangi nilai material, persediaan
dan tempat penyimpanan, bahan bakar, tenaga listrik dan kontrak kerja. Upah
yang harus dibayarkan merupakan total pengeluaran perusahaan untuk membayar
tenaga kerja. Sedangkan nilai barang yang dihasilkan adalah bagian dari nilai
output perusahaan yang menunjukan jumlah total dari hasil produksi. Analisis
26
tentang hubungan stuktur dan kinerja pasar akan berusaha menunjukan adanya
pengaruh antara variabel-variabel struktur pasar terhadap keuntungan yang
diproksi dengan PCM. Tingkat PCM yang tinggi hanya dapat tercipta jika terdapat
monopoly power atau rasio konsentrasi yang tinggi.
2.7. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai Struktur-Perilaku-Kinerja dari suatu industri telah
dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Meskipun begitu penelitian-
penelitian tersebut meneliti industri yang berbeda-beda dan penelitian ini juga
meneliti industri yang berbeda pula dengan penelitian sebelumnya. Dua
diantaranya adalah penelitian dengan judul “Analisis Structure-Conduct-
Performance industri ban di Indonesia” yang telah dilakukan oleh Delima (2005)
kemudian mengenai industri susu dengan judul “Analisis Struktur-Perilaku-
Kinerja Industri Susu Di Indonesia” yang telah dilakukan oleh Andiani (2006).
Hasil penelitian Delima (2005) menunjukkan bahwa struktur pasar industri
ban di Indonesia adalah termasuk ke dalam tipe pasar oligopoli ketat dimana pasar
ini terbentuk dikarenakan penggabungan pangsa pasar dari empat perusahaan
besar yang menghasilkan pangsa pasar sebesar 60 persen sampai dengan 100
persen.
Perilaku dari industri ban Indonesia berdasarkan pada hasil penelitian
Delima (2005) antara lain menunjukkan adanya strategi dalam harga berupa
adanya kesepakatan harga yang terjadi dalam pasar yang dilakukan oleh asosiasi
produsen ban di Indonesia, pengembangan feature produk dengan cara
27
memodifikasi karakteristik fisik produk, mengembangkan kualitas yang sesuai
dengan SNI, dan menambah model serta ukuran, perilaku promosi yang dilakukan
oleh industri ban Indonesia melalui media massa baik cetak maupun media
elektronik. Perilaku pengalihan dari pasar domestik ke pasar ekspor ketika pasar
domestik mengalami kelesuan adalah strategi distribusi yang dilakukan oleh
produsen ban Indonesia.
Dari segi kinerja, industri ban di Indonesia menerima margin keuntungan
atas biaya langsung (PCM) sebesar 17,41 persen selama tahun 1985 sampai
dengan tahun 2003. Diduga kasus yang terjadi pada industri ban di Indonesia
adalah penurunan konsentrasi rasio disebabkan karena pertambahan jumlah
perusahaan pada industri mampu meningkatkan persaingan. Pertambahan jumlah
perusahaan (yang relatif cukup besar) pada industri yang bersangkutan, selain
menekan konsentrasi rasio juga mampu menciptakan andil pendapatan yang besar.
Sehingga secara keseluruhan pendapatan industri yang bersangkutan mengalami
peningkatan pertumbuhan. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan
yang ada pada industri merupakan perusahaan-perusahaan yang besar dan
mempunyai daya saing yang tinggi.
Penelitian selanjutnya mengenai industri susu dengan judul “Analisis
Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Susu Di Indonesia” telah dilakukan oleh
Andiani (2006). Hasil dari penelitian dengan menggunakan data dari tahun 1983
sampai dengan tahun 2003 tersebut menunjukkan bahwa industri susu di
Indonesia memiliki struktur pasar oligopoli ketat. Hal ini berdasarkan pada cukup
28
tingginya tingkat konsentrasi dari industri susu di Indonesia, dengan nilai rata-rata
CR4 sebesar 73,79 persen.
Perilaku yang terdapat pada industri susu di Indonesia berdasarkan pada
hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya strategi harga dan
produk serta strategi promosi. Dalam melakukan penetapan harga, umumnya
perusahaan susu melakukan pengamatan tingkat harga yang ditetapkan pesaing
dengan asumsi harga yang ditetapkan semua pesaing adalah harga yang tinggi.
Strategi produk yang dilakukan oleh produsen susu adalah melakukan inovasi
melalui produk dan merek dengan memproduksi susu sesuai dengan jenis.
Terdapat tiga jenis susu yang diklasifikasikan lagi sesuai dengan umur konsumen.
Pemberian merek dagang pada setiap kemasan yang menarik akan menjadi
perhatian konsumen dalam memilih produk untuk dikonsumsi. Sementara itu,
strategi promosi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan susu adalah melalui
promosi berbentuk merek, promosi berdasarkan industri atau pasar dan promosi
secara politik.
Kinerja dari industri susu di Indonesia menunjukkan hasil bahwa nilai
efisiensi-X dan nilai margin keuntungan atas biaya langsung (PCM) yang cukup
tinggi. Rata-rata efisiensi-X pada industri ini mencapai 66,99 persen. Sementara
itu nilai rata-rata PCM pada industri susu mencapai 43,28 persen.
Struktur pasar oligopoli ketat memiliki efisiensi yang kurang baik dan
keuntungan yang agak berlebih. Meskipun begitu, kebijakan yang dibuat oleh
produsen dari masing-masing industri dapat mengantisipasi kelemahan yang
terjadi sebagai dampak dari bentuk struktur pasar. Untuk industri susu, produsen
29
dalam industri ini menjaga keseimbangan antara penawaran produksi dan
permintaannya yang bertujuan untuk menghindari dari kerugian perusahaan.
Sehingga meskipun memiliki struktur pasar yang sama dengan industri ban,
industri susu memiliki kinerja yang lebih baik.
2.8. Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka pemikiran untuk menganalisis berjalannya suatu proses
pasar perlu diketahui bahwa ada hubungan antara struktur (structure), perilaku
(conduct) dan kinerja (performance) dari industri tersebut. Ketiga unsur tersebut
saling berinteraksi, struktur pasar akan mempengaruhi perilaku dan kinerja dari
pasar tersebut. Sebaliknya, perilaku pasar dapat mempengaruhi struktur dan
kinerja pasar. Demikian pula kinerja pasar dapat mempengaruhi struktur dan
perilaku pasar.
Pada penelitian ini terlebih dahulu akan menganalisa struktur pasar dan
perilaku industri, kemudian untuk selanjutnya menganalisa kinerja industri.
Tujuannya adalah untuk menganalisa apakah terdapat suatu kesesuaian hubungan
yang tercipta antara struktur dengan perilaku pada industri pakaian jadi di
Indonesia dimana kesesuaian maupun ketidaksesuaiannya dapat mempengaruhi
kinerja dari industri pakaian jadi di Indonesia.
Konsumen atau masyarakat mengharapkan adanya kinerja pasar yang bisa
memberikan kesejahteraan kepada mereka antara lain dapat memperoleh barang
dan jasa dengan harga murah, mutu baik, jumlah yang cukup, cepat diperoleh dan
lain-lainnya. Untuk bisa mendapatkan hal tersebut, maka perlu dilakukan kinerja
30
yang efisien. Semua ini bisa diperoleh jika perilaku industri serta struktur
pasarnya mendukung kinerja industri yang bisa mencapai tujuan yang dimaksud.
Selain struktur pasar (CR4), variabel efisiensi-X (XEff) dan produktivitas
(Prod), penelitian ini juga akan membahas faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja (PCM) dari industri pakaian jadi di Indonesia diantaranya adalah
pertumbuhan output industri (Growth) dan dummy yang berguna untuk
membedakan periode sebelum dan sesudah krisis.
Gambar 2.2. Bagan Kerangka Pemikiran
2.9. Hipotesis
Berdasarkan keadaan industri pakaian jadi atau garmen di Indonesia dan
teori-teori yang mendasari penelitian ini maka hipotesis yang diajukan adalah:
1. Pendugaan terhadap struktur, perilaku dan kinerja industri pakaian jadi di
Indonesia yaitu:
Struktur Pasar Kinerja
Faktor-faktor Lainnya: 1. Growth 2. Produktivitas 3. Dummy atau
Krisis
Industri Pakaian Jadi di
Indonesia Perilaku
31
a. Struktur pasar industri pakaian jadi di Indonesia diduga merupakan
struktur pasar yang bersifat persaingan monopolistik.
b. Perilaku yang dimiliki oleh industri pakaian jadi di Indonesia diduga
merupakan perilaku yang terkait dengan harga, produk, promosi dan
distribusi produk, serta perilaku-perilaku lainnya yang pada umumnya
terdapat di dalam suatu industri karena dipengaruhi oleh struktur pasar.
c. Diduga kinerja industri pakaian jadi di Indonesia memiliki tingkat
efisiensi-X dan tingkat keuntungan yang diperoleh cukup rendah. Hal ini
dikarenakan banyaknya perusahaan yang terdapat dalam industri pakaian
jadi dan tingginya persaingan yang terjadi.
2. Mengenai analisis pengaruh struktur dan faktor-faktor lainnya terhadap kinerja
diduga struktur pasar (CR4) berpengaruh positif terhadap kinerja (PCM).
Variabel lain (Growth, Xeff, Prod) diduga berpengaruh positif terhadap
kinerja (PCM). Sedangkan variabel dummy atau krisis diduga berpengaruh
negatif terhadap kinerja (PCM).
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan cara mengumpulkan data sekunder yang
berasal dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Badan Pusat Statistik,
Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan yang semuanya berlokasi
di Jakarta. Penelitian ini berlangsung pada bulan Januari - Juni 2006.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diambil dari data-data yang telah diolah pada instansi-instansi terkait yaitu API,
BPS dan Departemen perindustrian. Pengumpulan data juga diperoleh dari studi
kepustakaan serta literatur yang relevan dengan penelitian ini. Data tersebut
berasal dari perpustakaan pusat Institut Pertanian Bogor, perpustakaan Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, dan dengan mengambil data-data dari laporan-
laporan industri melalui internet. Unit analisa yang digunakan pada penelitian ini
adalah industri garmen di Indonesia dan tidak menggunakan unit analisa berupa
pemilihan perusahaan. Sehingga tidak diperlukan penjelasan mengenai penentuan
sampel dalam penelitian ini.
Data yang digunakan untuk analisis SCP secara deskriptif adalah data dari
tahun 1983 sampai 2003. Data statistik yang diestimasi merupakan data time
series dari tahun 1983 sampai 2003 dan diolah dengan menggunakan software
EViews. 4.1. Data statisitk yang diperoleh harus disesuaikan dalam bentuk riil
33
agar dapat menunjukkan keadaan yang sebenarnya pada saat ini dengan cara
membagi data nominal dengan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB)
kemudian dikalikan dengan 100.
Nilainominal Nilairiil = X 100 (3.1) IHPB
IHPB adalah angka indeks yang menggambarkan besarnya perubahan
harga perdagangan besar atau harga grosir dari komoditas-komoditas yng
diperdagangkan di suatu negara atau daerah. Komoditas tersebut merupakan
produksi dalam negeri yang dipasarkan di dalam negeri, diekspor, atau diimpor
(Badan Pusat Statisitk, 2003). IHPB yang digunakan pada penelitian ini adalah
IHPB Indonesia dengan tahun dasar 1993 (1993 = 100) yang diperoleh dari BPS.
3.3. Metode Analisis
Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan memberikan gambaran
dari hasil penelitian maupun secara kuantitatif dengan melihat pengaruh variabel-
variabel yang saling berhubungan. Pada awal pembahasan mengenai struktur
pasar, perilaku dan kinerja dari industri pakaian jadi di Indonesia akan dianalisis
dengan menggunakan metode deskriptif, sedangkan untuk membahas hubungan
struktur dan faktor-faktor lainnya dengan kinerja digunakan metode kuantitatif.
Statistik deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan pengumpulan
dan penyajian yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus
data sehingga memberikan informasi yang berguna (Walpole, 1995). Proses
deskripsi data pada dasarnya meliputi upaya penelusuran dan pengungkapan
34
informasi yang relevan yang terkandung dalam data dan penyajian hasilnya dalam
bentuk yang lebih ringkas dan sederhana, sehingga pada akhirnya mengarah pada
keperluan adanya penjelasan dan penafsiran. Statistik kuantitatif digunakan dalam
menentukan hubungan antara struktur dan faktor-faktor lainnya dengan kinerja
pada industri pakaian jadi di Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan untuk melihat kondisi Industri pakaian
jadi (garmen) di Indonesia adalah pendekatan SCP (Structure-Conduct-
Performance) dengan penjelasan sebagai berikut :
3.3.1. Struktur Pasar (Market Structure)
a. Pangsa Pasar
Setiap perusahaan memiliki pangsa pasarnya sendiri yang berkisar antara 0
persen hingga 100 persen dari total penjualan seluruh pasar. Menurut literatur
Neo-Klasik landasan posisi pasar perusahaan adalah pangsa pasar yang diraihnya.
Pangsa pasar menggambarkan keuntungan yang diperoleh perusahaan dari hasil
penjualannya.
si msi = X 100% (3.2) stot
Keterangan:
msi = pangsa pasar perusahaan i (%),
si = penjualan perusahaan i,
stot = penjualan total seluruh perusahaan.
35
b. Konsentrasi Industri
Tingkat konsentrasi industri merupakan suatu variabel yang dapat diukur.
Dengan mengetahui tingkat konsentrasi maka tipe pasar yang dihadapi suatu
industri juga dapat diketahui. Penggunaan CR dalam menjelaskan struktur pasar
dilakukan agar konsisten dengan penjelasan hubungan struktur pasar pada
hubungan tersebut. CR juga digunakan dalam model untuk menggantikan Indeks
Hirschman-Herfindahl (Hd) karena dianggap lebih mewakili kondisi industri
pakaian jadi di Indonesia.
si msi = X 100% (3.3) stot
Keterangan:
CRm = rasio konsentrasi sebanyak m perusahaan (%),
msi = pangsa pasar perusahaan ke-i (%).
c. Hambatan Masuk Pasar
Hambatan masuk pasar dapat dilihat dari mudah atau tidaknya pesaing-
pesaing potensial untuk masuk ke suatu pasar. Segala sesuatu yang
memungkinkan terjadinya penurunan kesempatan atau kecepatan masuknya
pesaing baru merupakan hambatan untuk masuk. Hambatan-hambatan ini tidak
hanya dalam bentuk perangkat-perangkat yang legal tapi juga dapat terjadi secara
alami. Salah satu cara yang digunakan untuk melihat hambatan masuk adalah
dengan mengukur skala ekonomis yang didekati melalui output perusahaan yang
menguasai pasar lebih dari 50 persen. Nilai output tersebut kemudian dibagi
36
dengan output total industri. Data ini disebut sebagai Minimum Efficiency Scale
(MES),
Output perusahaan terbesar MES = (3.4) Output total
3.3.2. Perilaku Pasar (Market Conduct)
Penelitian dalam melihat bagaimana perilaku dari pelaku usaha yang
berada dalam industri pakaian jadi di Indonesia akan dilakukan dengan penjelasan
deskriptif. Pembentukan perilaku yang secara umum dipengaruhi oleh struktur
dan kinerja pasar akan dapat dilihat dari variabel-variabel struktur pasar (tingkat
konsentrasi perusahaan dan hambatan masuk ke dalam pasar) dan variabel kinerja
pasar (PCM dan efisiensi internal).
Elemen-elemen dalam perilaku pasar dari industri pakaian jadi Indonesia
dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Strategi harga dan produk
Dalam hal ini akan dilihat bagaimana strategi penetapan harga yang akan
dilakukan oleh industri pakaian jadi serta bagaimana strategi khusus dalam
menentukan produk yang akan dijual. Penetapan harga pada industri pakaian jadi
pada umumnya tergantung pada bahan baku sebagai faktor produksi.
2. Strategi promosi
Strategi promosi merupakan salah satu perilaku yang dibutuhkan oleh
produsen untuk menarik konsumen.
37
3. Strategi distribusi
Strategi distribusi juga diperlukan agar produk yang dihasilkan dapat
didistribusikan dengan baik sehingga dapat memenuhi kebutuhan konsumen.
Bentuk-bentuk perilaku lainnya dari pelaku usaha industri pakaian jadi di
Indonesia yang mungkin terjadi antara lain adalah integrasi vertikal dan Sourcing.
Hal tersebut didasarkan atas informasi yang berasal dari Asosiasi Pertekstilan
Indonesia, yang diterima oleh peneliti. Perilaku integrasi vertikal yang terjadi
pada industri pakaian jadi disebabkan karena industri pakaian jadi itu sendiri
merupakan bagian dari industri tekstil dan produk tekstil yang saling
berhubungan. Industri pakaian jadi membutuhkan industri serat dan industri
lainnya yang terdapat pada industri TPT untuk menunjang kelangsungan industri
pakaian jadi itu sendiri.
Perilaku sourcing yang terjadi pada industri pakaian jadi merupakan suatu
perilaku atau kegiatan untuk mencari bahan baku. Pembeli (buyer) dalam industri
ini terlebih dahulu akan melakukan pemesanan baju, dimana pembeli akan
menunjukkan bahan seperti apa yang diinginkannya untuk membuat baju yang
akan dipesan. Kemudian produsen pakaian jadi yang menerima pesanan akan
mencari bahan tersebut. Kegiatan pencarian bahan inilah yang dinamakan
sourcing. Informasi mengenai perilaku dari industri pakaian jadi ini diperoleh dari
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) serta penelitian kepustakaan dan informasi
dari berbagai media.
38
3.3.3. Kinerja Pasar (Market Performance)
Untuk menjelaskan kinerja suatu industri dilakukan dengan menggunakan
analisis efisiensi internal atau efisiensi-X dan Price-Cost Margin (PCM). Efisiensi
internal menunjukkan kemampuan perusahaan dalam kemampuan suatu industri
dalam menekan biaya produksi yang harus dikeluarkan. Semakin efisien suatu
perusahaan, semakin besar pula keuntungan yang akan diperoleh. Untuk
mengukur tingkat efisiensi internal adalah dengan membagi nilai tambah dengan
input industri tersebut.
nilai tambah industri XEff = (3.5) nilai input industri
Nilai tambah diperoleh dengan mengurangkan biaya input terhadap nilai
outputnya. Nilai output itu sendiri adalah nilai dari seluruh barang dan jasa atau
disebut juga sebagai produk yang dihasilkan oleh sektor-sektor produksi dengan
memanfaatkan faktor produksi yang tersedia seperti tenaga listrik yang dijual, jasa
industri, keuntungan jual beli, pertambahan stok barang jadi dan penerimaan lain.
Sementara itu nilai input memiliki pengertian yang dikelompokkan
menjadi dua yaitu :
Input antara adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk barang dan jasa
yang digunakan habis dalam proses produksi (bahan baku, bahan penolong,
jasa perbankan).
Input primer adalah biaya yang timbul sebagai akibat dari pemakaian faktor
produksi dalam suatu kegiatan ekonomi antara lain tenaga kerja, tanah, modal
39
dan kewirausahaan. Contoh : upah gaji, surplus usaha, penyusutan barang
modal, dan pajak tidak langsung netto.
Variabel yang digunakan sebagai indikator kinerja yang berikutnya adalah
proksi dari keuntungan Price-Cost Margin (PCM). PCM dinyatakan sebagai
indikator kemampuan perusahaan untuk meningkatkan harga diatas biaya
produksi. PCM diperoleh dengan membagi selisih antara nilai tambah yang
dikurangi pengeluaran upah bagi pekerja dengan nilai barang jadi (output yang
dihasilkan). Tingkat PCM yang tinggi umumnya dapat tercipta jika terdapat rasio
konsentrasi pasar yang tinggi.
P – AVC nilai tambah – upah total PCM = = (3.6) P barang yang dihasilkan
3.3.4. Hubungan Struktur dan Faktor Lainnya dengan Kinerja
Hubungan struktur suatu industri dan faktor-faktor lainnya yang dapat
mempengaruh kinerja industri tersebut dapat dilihat dengan menggunakan analisis
regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least Squared (OLS) seperti
persamaan 3.7.
Pemilihan metode OLS untuk meramalkan model disebabkan oleh
mudahnya penggunaan serta pendeskripsian hasil dari regresi. Disamping itu
metode ini juga lebih sederhana jika dibandingkan dengan metode lain. Metode
ini merupakan salah satu metode yang cukup sering digunakan para peneliti di
bidang ekonomi untuk melihat hubungan antar variabel-variabel ekonomi.
40
Variabel terikat dalam model ini adalah proksi dari keuntungan suatu
industri yaitu PCM (%). Variabel bebas yang digunakan adalah konsentrasi empat
perusahaan terbesar (CR4), pertumbuhan output (growth), effisiensi-X (XEff),
produktivitas (Prod), dan dummy untuk membedakan periode sebelum dan
sesudah krisis. Penggunaan variabel PCM sebagai proksi keuntungan telah
digunakan oleh Collins dan Preston pada tahun 1968 kemudian digunakan pula
oleh Shepherd pada tahun 1972 dan kini semakin banyak digunakan dalam
penelitian-penelitian ilmiah (Delima, 2005).
Penelitian ini menggunakan model yang pernah digunakan oleh Delima
(2005) yang juga mengacu kepada model (persamaan 3.7) yang pernah digunakan
oleh Chou (1986). Aspek perdagangan luar negeri dimasukkan sebagai faktor
yang diperkirakan mempengaruhi hubungan struktur dengan kinerja. Kemudian
Delima (2005) menggantikan beberapa variabel karena dianggap tidak sesuai
dengan kondisi industri yang ditelitinya.
PCMt = a0+a1HDt+a2MESMSt+a3GRSt+a4Pet+a5Tmt+a6Txt+a7FDIt+ut (3.7)
Keterangan:
PCM = Price-Cost Margin,
HD = Indeks Hirschman-Herfindahl,
MESMS = Pangsa pasar domestik tiap perusahaan untuk mencapai
skala efisiensi minimum,
GRS = Tingkat pertumbuhan nilai produksi industri yang
mewakili kondisi permintaan pasar,
PE = Variabel dummy yang mewakili perusahaan Negara,
41
Tm = Intensitas impor,
Tx = Intensitas ekspor,
FDI = Rasio jumlah perusahaan asing terhadap total jumlah
perusahaan yang ada,
u = Unsur gangguan,
a0 = Intercept,
a1,a2,a3,a4,a5,a6,a7 = Koefisien kemiringan parsial,
a1>0 ; a2>0 ; a3>0 ; a4>0 ; a5<0 ; a6<0 ; a7<0.
Delima (2005) menggantikan variabel Hd dengan variabel CR4 karena
dianggap lebih mewakili struktur industri yang ditelitinya. Variabel MESMS dan
FDI juga tidak digunakan karena adanya keterbatasan data. Sementara itu variabel
PE tidak digunakan pula karena sudah tidak ada lagi perusahaan yang berstatus
sebagai perusahaan negara. Variabel MES juga tidak dapat digunakan, hal ini
dikarenakan variabel ini tidak memberikan hasil terbaik pada penelitian ini.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka model yang digunakan oleh Delima
(2005) dan yang akan digunakan sebagai model acuan pada penelitian ini adalah:
PCMi=a0+a1CR4t+a2Growtht+a3Tmt+a4Txt+a5XEfft+a6Prodt+a7dummy+ut (3.8)
Keterangan: PCMi = Rasio keuntungan industri yang mencerminkan
kelebihan atas biaya langsung pada tahun ke-t (%)
CR4t = Konsentrasi empat perusahaan terbesar dalam suatu
industri pada tahun ke-t (%)
42
GRSt = Tingkat pertumbuhan nilai produksi industri yang
mewakili kondisi permintaan pasar pada tahun ke-t
(%)
Tmt = Intensitas impor tahun ke-t (%)
Txt = Intensitas ekpor tahun ke-t (%)
XEfft = Rasio efisiensi yang dinyatakan sebagai
perbandingan antara nilai tambah dan nilai input
industri pada tahun ke-t untuk mengukur efisiensi
industri (%)
Prodt = Produktivitas yang dinyatakan sebagai
perbandingan antara nilai output dan nilai input
tenaga kerja pada tahun ke-t (%)
dummy = Variabel pembeda periode sebelum dan sesudah
krisis
ut = Unsur gangguan
a0 = Intercept
a1,a2,a3,a4,a5,a6,a7 = Koefisien kemiringan parsial
a1>0 ; a2>0 ; a3<0 ; a4>0 ; a5>0 ; a6>0 ; a7<0.
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Nilai tambah - upah PCMi = x 100% (3.9) Barang yang dihasilkan
Imports Tmt = x 100% (4.0) Sales
43
Exports Txt = x 100% (4.1) Sales
Nilai tambah industri XEfft = x 100% (4.2) Barang yang dihasilkan
Nilai output Prodt = x100% (4.3) Nilai input tenaga kerja
Model yang akan digunakan pada penelitian ini dan yang telah digunakan
oleh Delima (2005), menggunakan variabel efisiensi-X. Hal ini didasarkan pada
pendapat Shepherd (Shepherd dalam Delima, 2005) yang mengatakan bahwa
kinerja merupakan fungsi dari pangsa pasar, konsentrasi, hambatan masuk,
efisiensi internal, dan kondisi eksternal. Variabel produktivitas juga digunakan
dalam model PCM pada penelitian ini. Penggunaan variabel produktivitas dalam
model PCM ini mengacu pada penelitian sebelumnya yaitu Delima (2005) dan
Andiani (2006).
Pemilihan variabel CR4 dilakukan karena variabel ini dapat mewakili
kondisi industri pakaian jadi di Indonesia. Variabel Tx dan Tm tidak dapat
digunakan dalam penelitian ini karena adanya keterbatasan data, dimana data
penjualan (sales) tidak dapat dipublikasikan oleh perusahaan-perusahaan pakaian
jadi (garmen). Selain itu, variabel Growth digunakan untuk meneliti pertumbuhan
output yang terjadi pada industri pakaian jadi di Indonesia. Berdasarkan pada
penjelasan sebelumnya maka model yang akan digunakan pada penelitian ini
adalah persamaan (4.4), atau
PCMt = a0+a1CR4t+a2Growtht+a3XEfft+a4Prodt+a5dummy+ut (4.4)
44
Keterangan: PCMt = Rasio keuntungan industri yang mencerminkan
kelebihan atas biaya langsung pada tahun ke-t (%)
CR4t = Konsentrasi empat perusahaan terbesar dalam suatu
industri pada tahun ke-t (%)
Growtht = Mencerminkan pertumbuhan output yang terjadi
pada tahun ke-t (%)
XEfft = Rasio efisiensi yang dinyatakan sebagai
perbandingan antara nilai tambah dan nilai input
industri pada tahun ke-t untuk mengukur efisiensi
industri (%)
Prodt = Produktivitas yang dinyatakan sebagai
perbandingan antara nilai output dan nilai input
tenaga kerja pada tahun ke-t (%)
dummy = Variabel pembeda periode sebelum dan sesudah
krisis
ut = Unsur gangguan
a0 = Intercept
a1,a2,a3,a4,a5 = Koefisien kemiringan parsial
a1>0 ; a2>0 ; a3>0 ; a4>0 ; a5<0.
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Nilai tambah - upah PCMt = x100% (4.5) Nilai barang yang dihasilkan
45
Output riil pada tahun ( t) – Output riil pada tahun (t-1)
Growtht = x100% (4.6) Output riil pada tahun (t-1)
Nilai tambah industri XEfft = x 100% (4.7) Nilai input industri
Nilai output Prodt = x100% (4.8) Nilai input tenaga kerja
3.3.5. Uji Statistika dan Ekonometrika
Setelah mendapatkan parameter estimasi, langkah selanjutnya adalah
melakukan pengujian terhadap parameter estimasi tersebut agar suatu model
dikatakan baik. Pengujian-pengujian tersebut yaitu uji statistik terhadap model
penduga melalui uji F dan pengujian untuk parameter-parameter regresi melalui
uji t serta melihat berapa persen variabel bebas dapat dijelaskan oleh variabel-
variabel terikatnya melalui koefisien determinasi (R-Squared). Uji ekonometrika
yang dilakukan antara lain uji autokorelasi, uji multikolinearitas, dan uji
heteroskedastisitas.
a. Uji R-Squared (R2)
Mengukur tingkat keberhasilan model regresi yang digunakan dalam
memprediksi nilai variabel terikat. Nilai R2 memiliki dua sifat yaitu memiliki
besaran positif dan besarannya adalah 0 ≤ R2 ≤ 1. Jika R2 sebesar nol maka hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antar variabel terikat dengan variabel
bebas sedangkan jika R2 sebesar satu maka terdapat kecocokan yang sempurna
antar variabel terikat dengan variabel bebas. Nilai R2 ini juga merupakan fraksi
dari variasi yang mampu dijelaskan oleh model. Selain nilai R2 terdapat pula nilai
46
Adjusted-R2. Nilai ini akan memberikan penalty atau hukuman terhadap setiap
penambahan variabel yang tidak memberikan pengaruh. Nilai adj R2 tidak akan
pernah melebihi nilai R2 bahkan dapat turun jika anda menambahkan variabel
bebas yang tidak perlu. Dan bahkan untuk model yang memiliki kecocokan yang
rendah (goodness of fit) adj R2 dapat memiliki nilai yang negatif.
b. Uji F
Pengujian ini bertujuan untuk menjelaskan kemampuan variabel secara
bersamaan dalam menjelaskan keragaman dari variabel terikat. Untuk
menjelaskan uji signifikansi masing-masing variabel bebas, maka dihipotesiskan
bahwa variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Hipotesis
ini disebut hipotesis nol.
Hipotesis :
H0 : Semua βi=0, tidak ada variabel bebas yang mempengaruhi PCM
H1 : βi ≠ 0, setidaknya ada satu variabel bebas yang mempengaruhi PCM
Kriteria Uji :
Probabilitas (F-stat) < taraf nyata tolak H0
Probabilitas (F-stat) > taraf nyata terima H0
Jika probabilitas (F-stat) < taraf nyata maka tolak H0 berarti ada minimal
satu parameter dugaan yang tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman
variabel terikat. Probabilitas (F-stat) > taraf nyata maka terima H0 berarti secara
bersama variabel bebas yang digunakan tidak bisa menjelaskan secara nyata
keragaman dari variabel terikat.
47
c. Uji t
Pengujian ini bertujuan untuk menguji secara statistik apakah koefisien
regresi dari masing-masing variabel bebas yang dipakai secara terpisah
berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel terikat.
Hipotesis :
H0 : βi = 0
H1 : βi ≠ 0 ; i = 1,2,…., k
Kriteria Uji :
Probabilitas (t-stat) < taraf nyata tolak H0
Probabilitas (t-stat) > taraf nyata terima H0
Jika H0 ditolak berarti variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel
terikat dalam model dan sebaliknya, jika H0 diterima maka variabel bebas tidak
berpengaruh terhadap variabel terikat.
d. Uji Normalitas
Uji ini dilakukan jika sampel yang digunakan kurang dari 30, karena jika
sampel lebih dari 30 maka error term akan terdistribusi secara normal. Uji ini
disebut Jarque-Bera Test. Langkah-langkah untuk melakukan uji normalitas error
term adalah :
H0 : error term terdistribusi normal
H1 : error term tidak terdistribusi normal
Jika α = 5% maka daerah kritis penolakan H0 adalah Jarque-Bera
(J-B) > χ2 df =2 atau Probability (P-Value) < α
Jika P-Value > α maka terima H0
48
e. Uji Autokorelasi
Autokorelasi merupakan gejala adanya korelasi antara serangkaian
observasi yang diurutkan menurut deret waktu (time series) (Gujarati, 1978).
Suatu model dikatakan baik apabila telah memenuhi asumsi tidak terdapat gejala
autokorelasi. Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah hasil estimasi
model tidak mengandung korelasi diantara disturbance term. Pada program E-
Views, uji autokolerasi dilakukan dengan melihat probability Obs*R-squared pada
uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM.
Kriteria uji yang digunakan:
Jika nilai probabilitas pada Obs*R-Squared > taraf nyata (α) yang digunakan,
maka persamaan tidak mengalami autokorelasi.
Jika nilai probabilitas pada Obs*R-Squared < taraf nyata (α) yang digunakan,
maka persamaan terdapat autokorelasi.
f. Uji Heteroskedastisitas
Suatu fungsi dikatakan baik apabila memenuhi asumsi homoskedastisitas
(tidak terjadi heteroskedastisitas) atau memiliki ragam error yang sama.
Heteroskedastisitas tidak merusak sifat ketakbiasan dan konsistensi dari penaksir
OLS, tetapi penaksir tadi tidak lagi efisien baik dalam sampel kecil maupun besar
(yaitu asimtotik) (Gujarati, 1978). Gejala adanya heteroskedastisitas dapat
ditunjukkan oleh probability Obs*R-squared pada uji White Heteroskedasicity.
Kriteria uji yang digunakan:
Jika nilai probabilitas pada Obs*R-Squared > taraf nyata (α) yang digunakan,
maka persamaan tidak mengalami heteroskedastisitas.
49
Jika nilai probabilitas pada Obs*R-Squared < taraf nyata (α) yang digunakan,
maka terdapat heteroskedastisitas dalam persamaan tersebut.
g. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas adalah adanya hubungan linear yang sempurna di antara
beberapa atau semua variabel penjelas dalam model regresi (Frisch dalam
Gujarati, 1978). Dalam penetapan suatu model seringkali terdapat kesulitan untuk
memisahkan pengaruh antara dua atau lebih variabel bebas dengan variabel
terikat. Uji multikolinearitas dilakukan dengan melihat koefisien korelasi antar
variabel bebas yang terdapat pada matriks korelasi. Jika terdapat koefisien
korelasi yang lebih besar dari |0.8| maka terdapat gejala multikolinearitas.
IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI PAKAIAN JADI DI INDONESIA
4.1. Sejarah Pertumbuhan Industri Pakaian Jadi (Garmen)
Industri pakaian jadi atau garmen merupakan salah satu sub sektor dalam
industri TPT di Indonesia, selain pembuatan serat, pemintalan, pertenunan dan
perajutan, serta pencelupan, pencapan dan penyempurnaan kain. Industri pakaian
jadi di Indonesia dimulai pada tahun 1969, awal Pelita I, tetapi perkembangannya
yang lebih berarti terjadi pada Pelita II. Pertumbuhan industri pakaian jadi sebagai
salah satu sub sektor dari industri TPT ditandai dengan meningkatnya penanaman
modal di bidang ini setelah mulai diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN). Peningkatan ini juga disertai dengan peningkatan
tenaga kerja yang diserap oleh industri tersebut.
Pada Pelita I kenaikan rata-rata jumlah tenaga kerja 4,1 persen per tahun
kemudian pada Pelita II naik menjadi 19 persen per tahun (Deprind, 1982).
Meningkatnya perdagangan pakaian jadi dunia pada tahun-tahun tersebut
memberikan prospek yang baik pada Indonesia untuk meningkatkan ekspor
pakaian jadinya. Pada tahun 1975 nilai ekspor tekstil dan pakaian jadi hanya
sebesar 0,18 persen dari nilai seluruh ekspor. Kemudian terus mengalami
peningkatan selama lima tahun ke depan. Bila dibandingkan dengan keseluruhan
nilai ekspor, maka ekspor tekstil dan pakaian jadi baru mencapai sekitar 2 persen,
dari nilai ekspor non minyak dan hanya 0,99 persen dari nilai seluruh ekspor
dalam tahun 1979.
51
Ekspor tekstil pada Pelita II meningkat 6 kali lipat sedang ekspor pakaian
jadi 10 kali lipat bila dibandingkan dengan Pelita I. meskipun demikian neraca
perdagangan tekstil Indonesia masih tetap minus yang berarti impor lebih besar
dari pada ekspor. Juga meskipun ekspor tekstil meningkat dengan pesat, ekspor
tersebut hanya merupakan sebagian kecil saja dari pada ekspor industri kita.
Tingginya nilai impor tersebut dikarenakan masih tinggi pula ketergantungan
terhadap impor bahan baku, mesin-mesin dan kimia. Meskipun begitu,
pengembangan industri-industri yang dapat menunjang pertumbuhan industri
tekstil tersebut masih cukup mempunyai prospek yang sangat baik di Indonesia.
Sejak tahun 1973 pemasaran tekstil dunia diatur atas dasar Multi Fiber
Agreement (MFA) yang merupakan perluasan dari Short Term Cotton Agreement
(STCA) yang lahir tahun 1961. MFA adalah persetujuan multilateral dalam
rangka GATT yang ditanda tangani oleh negara importir dan eksportir yang
bertujuan untuk mengatur laju pertumbuhan impor TPT disuatu negara agar tidak
membahayakan industri TPT negara pengimpor.
Sejak adanya MFA negara pengimpor TPT utama (Amerika Serikat,
Kanada, Scandinavia, dll) mengendalikan pertumbuhan impor dari negara
pemasok utama seperti Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan. Sebagai
kompensasinya mereka mencari negara pemasok baru antara lain Indonesia, dan
negara-negara lainnya yang belum terkena kuota. Sehingga dengan adanya MFA,
TPT Indonesia termasuk di dalamnya industri pakaian jadi ikut terbantu dalam
menembus pasaran ekspor.
52
Setelah Indonesia dianggap menjadi negara eksportir TPT, mulai tahun
1979 negara-negara pengimpor seperti Amerika Serikat, Swedia, MEE, Kanada
dan Norwegia mengadakan persetujuan bilateral dengan Indonesia. Isi persetujuan
tersebut antara lain berupa pembatasan volume ekspor TPT Indonesia ke negara
yang bersangkutan dalam bentuk kuota. Tingkat pertumbuhan ekspor yang
diperkenankan dibatasi maksimum hanya 3 persen hingga 7 persen dari volume
ekspor tahun sebelumnya. Hal ini tentu saja berdampak pula bagi industri pakaian
jadi yang memang merupakan bagian dari pada industri TPT Indonesia.
4.2. Periode pada Industri Pakaian Jadi
4.2.1. Periode Sebelum Krisis
Selama tahun 1985 hingga tahun 1990, industri pakaian jadi juga
berkembang sangat pesat, terutama akibat berdirinya perusahaan-perusahaan baru
dengan kapasitas besar. Sebagian dari perusahaan-perusahaan tersebut didirikan
oleh investor asing asal beberapa negara Asia seperti Taiwan, Korea Selatan,
Hongkong dan Jepang yang merelokasi pabrik pakaian jadinya ke Indonesia, baik
secara sendiri ataupun bekerjasama dengan mitra lokal. Banyak investor
merelokasikan industrinya karena di negara mereka industri tersebut tidak lagi
memiliki keunggulan komparatif disebabkan oleh mahalnya biaya tenaga kerja.
Berdasarkan nilai, 70 persen investasi pada industri pakaian jadi di Indonesia
adalah PMA, sedangkan PMDN hanya 30 persen. Hal tersebut membuktikan
bahwa Indonesia merupakan salah satu negara sasaran relokasi industri pakaian
jadi yang menarik.
53
Pada tahun 1989 jumlah industri pakaian jadi di Indonesia adalah 513
perusahaan dengan kapasitas 71,7 juta lusin per tahun. Dari segi lokasi sebagian
besar terletak di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Di kedua daerah tersebut masing-
masing terdapat 277 perusahaan dengan kapasitas 33,0 juta lusin dan 120
perusahaan dengan kapasitas 25,5 juta lusin. Menurut Asosiasi Pertekstilan
Indonesia (API), pada tahun 1991 jumlah perusahaan pakaian jadi yang tergabung
dalam asosiasi adalah 194 perusahaan dengan jumlah mesin 162.600 unit. Dengan
asumsi satu unit mesin menghasilkan 2,80 lusin per hari, maka kapasitas
seluruhnya adalah 136,6 juta lusin per tahun.
Walaupun pertumbuhan industri pakaian jadi mengalami pertumbuhan
yang sangat pesat akan tetapi perkembangan ekspor pada industri ini terhambat
oleh adanya sistem kuota. Sementara ekspor ke negara non kuota menghadapi
kendala antara lain tidak terjaminnya stabilitas permintaan dan kecilnya margin
yang diperoleh dibanding non dengan ekspor kuota. Meskipun demikian, ekspor
ke negara non kuota tetap perlu digalakkan.
Neraca perdagangan TPT Indonesia sejak tahun 1981 sampai dengan tahun
1985 menunjukkan defisit, namun mulai tahun 1985 sampai dengan tahun 1990
menunjukkan surplus. Nilai surplus untuk tahun 1990 adalah US$ 125 Juta.
Apabila dilihat per sub sektor, sumbangan devisa terbesar adalah dari ekspor
tekstil yang meliputi benang dan kain serta pakaian jadi. Rata-rata pertumbuhan
volume ekspor pakaian jadi sejak tahun 1983 sampai dengan 1990 adalah sebesar
27,75 persen per tahun. Peningkatan yang pesat terjadi pada tahun 1985 sampai
dengan tahun 1986 yaitu mencapai pertumbuhan 59,03 persen sedangkan pada
54
tahun 1986 sampai dengan tahun 1987 mengalami penurunan sebesar -3,87 persen
(Bank Bumi Daya, 1992).
4.2.2. Periode Krisis
Berdasarkan Tabel 4.1, perkembangan industri pakaian jadi mulai dari
sebelum krisis di tahun 1995 hingga periode krisis bahkan pasca krisis, terus
mengalami peningkatan jika didasarkan pada kapasitas dan produksinya. Pada
tahun 1995 kapasitas produksi sebesar 441.168 ton meningkat terus bahkan
dimasa krisis sekalipun, menjadi 572.026 ton di tahun 1999. Peningkatan
kapasitas terpasang diikuti dengan peningkatan jumlah produksi dari 402.460 ton
di tahun 1995 menjadi 543.150 ton di tahun 1999. peningkatan realisasi produksi
tersebut meningkatkan utilisasi pada tahun 1995 hingga tahun 1999 dari 91 persen
menjadi 95 persen.
Tabel 4.1. Utilisasi Produksi Industri Pakaian Jadi
Tahun Kapasitas (Ton) Produksi (Ton) Utilisasi (%) 1995 441.168 402.460 911996 469.000 427.740 911997 486.062 460.365 951998 564.900 535.034 951999 572.026 543.150 952000 573.502 554.436 972001 584.972 565.524 972002 591.231 462.343 782003 590.322 461.632 782004 666.748 516.987 78
Sumber: Departemen Perindustrian dan API, 2005
Selama periode krisis yang terjadi di Indonesia, untuk daerah jawa tengah
setidaknya hampir 50 persen tenaga kerja di industri pakaian jadi tidak bisa
55
bekerja penuh, meskipun mereka tidak sampai mengalami PHK. Bahkan tingkat
produksi yang diperoleh hanya tinggal 60 persen dari normal. Hal tersebut juga
dikarenakan seluruh produksi adalah untuk konsumsi ekspor, sehingga masih bisa
mempertahankan sekitar 300 pekerja.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh para produsen tersebut adalah dengan
mengantisipasi pasar, misalnya dengan mencari pembeli baru dan tidak hanya
berharap pada pelanggan tradisional. Selain itu, hal yang lain yang perlu
dilakukan adalah melakukan diversifikasi usaha meskipun masih dalam satu
bidang usaha. Sebagai contoh, seperti yang dilakukan oleh batik tobal, selain
berusaha meningkatkan produksi pakaian jadi, sejak awal dilakukan diversifikasi
dengan memproduksi sarung palekat. Upaya ini dilakukan sebagai cara untuk
mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja.
Sedangkan pada industri pakaian jadi untuk konsumsi domestik yang
sangat tergantung pada produksi tekstil dalam negeri, mengalami penurunan
sekitar 40 persen dari rata-rata produksi 600 potong seminggu. Penurunan ini
bahkan belum pulih benar pasca krisis moneter. Apalagi pengaruh kenaikan nilai
Rupiah tidak banyak berarti bagi kebutuhan bahan baku tekstil.
Industri pakaian jadi sebagai salah satu sub sektor dari industri TPT,
berperan penting dalam menyerap tenaga kerja dan ekspor non-migas. Sumbangan
industri pakaian jadi beserta tekstil dan sepatu dalam konfigurasi ekspor non
migas dari industri padat karya (Unskilled Labour Intensive Industry/ULI)
mencapai 86 persen, dengan nilai ekspor hampir US$ 8 Miliar. Namun, ekspor
komoditas pakaian jadi di ikuti tekstil dan sepatu terus-menerus mengalami
56
penurunan sejak tahun 1994. Dilihat dari nilai ekspor memang mengalami
kenaikan, tetapi pangsanya terhadap total ekspor ULI cenderung menurun dari
tahun ke tahun.
Ada beberapa faktor yang dituding sebagai penyebab utama menurunnya
ekspor non migas. Pertama, menurunnya permintaan di negara-negara tujuan
ekspor nonmigas dari Indonesia, yang bersamaan dengan faktor struktural
terutama meningkatnya persaingan dan menurunnya produktivitas. Kedua,
menurunnya ekspor ULI disebabkan banyaknya perusahaan yang menutup
usahanya akibat krisis ekonomi maupun kalah bersaing dengan negara-negara
pengekspor produk yang sama (Kuncoro, 2006).
4.2.3. Periode Pasca Krisis
Pada periode ini industri pakaian jadi atau garmen memiliki nilai ekspor
yang jauh lebih tinggi daripada nilai ekspor industri-industri lain yang tergabung
dalam industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia (Gambar 4.1). Nilai
ekspor dari industri pakaian jadi ditahun 2001 sebesar US$ 4.344 Juta meskipun
kemudian mengalami sedikit penurunan ditahun-tahun berikutnya, akan tetapi
nilai dari industri-industri lainnya yang tergabung pada industri TPT ini tidak ada
yang mencapai US$ 4 Juta. Hal ini mengindikasikan bahwa produk pakaian jadi
memiliki kualitas yang cukup tinggi.
57
Sumber: API, 2005 Keterangan : Tanda (*) menunjukkan data Januari-Juni
Gambar 4.1. Nilai Ekspor Industri yang Terdapat Pada Industri TPT Nasional
Namun di sisi lain, terdapat permasalahan yang sedang dihadapi oleh
industri pakaian jadi nasional sebagai bagian dari industri TPT di Indonesia.
Masalah mengenai penyelundupan saat ini dirasakan sangat merugikan industri
pakaian jadi bahkan bagi industri TPT nasional. Akibat penyelundupan tersebut,
banyak produk-produk pakaian jadi dari Cina yang memenuhi pasar dalam negeri,
sehingga hal ini merugikan para produsen pakaian jadi dalam negeri.
Menurut data dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia, impor ilegal pakaian
jadi dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 terus meningkat sebesar 281
persen dari segi volume dan 136 persen dari segi nilai barang. Disamping itu bila
diperhatikan antara volume impor dengan nilai impor dari tahun 2001 sampai
dengan tahun 2005 pada kenyataannya indikasi barang-barang yang diimpor
merupakan kualitas rendah. Oleh karena itu, apabila tidak ada perlindungan dari
pemerintah maka dapat dipastikan setengah dari jumlah pengusaha pakaian jadi
02.000.0004.000.0006.000.0008.000.000
10.000.000
2001 2002 2003 2004 2004 *) 2005 *)
Thou
sand
s
Fibers Yarn Fabric Garment Oth. Text. Prod. Total
58
menengah-kecil akan gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan produk-
produk dari Cina.
Tabel 4.2. Ekspor dan Impor Industri Pakaian Jadi
Tahun Unit Ekspor Impor Balance Kg 339.627.367 7.878.191 331.749.1761999 US$ 3.735.067.318 17.372.097 3.717.695.221Kg 364.859.727 13.257.786 351.601.9412000 US$ 4.561.846.704 25.458.645 4.536.388.059Kg 317.514.266 11.946.656 305.567.6102001 US$ 4.000.200.682 17.561.012 3.982.639.670Kg 379.905.979 11.647.343 368.258.6362002 US$ 3.805.458.457 27.635.883 3.777.822.574Kg 314.613.600 3.623.365 310.990.2352003 US$ 3.671.586.223 14.981.378 3.656.604.845Kg 305.674.310 3.205.819 302.468.4912004 US$ 4.037.110.492 27.708.497 4.009.401.995
Sumber: API, 2005
Data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menunjukkan total
pertumbuhan impor pakaian jadi dari Cina yang tercatat resmi, belum yang
termasuk ilegal, dalam lima tahun terakhir tahun 2004 mencapai 380 persen. Akan
tetapi sampai saat ini pakian jadi, termasuk industri TPT, masih menjadi sektor
ekspor non migas yang terbesar dan tempat paling fleksibel untuk menampung
luapan tenaga kerja. Berdasarkan pada tabel 4.2 mengenai ekspor dan impor pada
industri pakaian jadi, dapat diketahui bahwa kinerja ekspor terus meningkat dari
US$ 3,7 Miliar di tahun 1999 mengalami peningkatan terus hingga tahun 2001
sebesar US$ 4 Miliar. Akan tetapi penurunan sedikit terjadi pada tahun 2002 dan
2003 menjadi US$ 3,8 Miliar dan US$ 3,6 Miliar. Kemudian mengalami
peningkatan kembali pada tahun 2004 menjadi US$ 4 Miliar.
59
4.3. Struktur Biaya Industri Pakaian Jadi Indonesia
Berdasarkan pada lampiran 2 maka dapat diketahui bahwa industri pakaian
jadi merupakan industri yang mengandalkan bahan baku. Jika dirata-ratakan
hampir 70 persen biaya dari total biaya dikeluarkan untuk bahan baku dan
penolong. Hal ini menunjukkan bahwa industri pakaian jadi di Indonesia
merupakan industri yang cenderung padat modal.
Industri pakaian jadi juga merupakan industri yang padat karya karena
biaya untuk tenaga kerja yang dikeluarkan jumlahnya cukup besar. Berdasarkan
pada lampiran 2, pada tahun 2000 pengeluaran untuk tenaga kerja sebesar 12,6
persen dan proporsinya meningkat pada tahun 2001 sebesar 16,2 persen dan pada
tahun 2002 sebesar 21,4 persen. Akan tetapi terjadi penurunan pada tahun 2003
menjadi sebesar 17,6 persen, namun angka ini masih bernilai cukup besar bila
dibandingkan dengan tahun 2001 dan tahun 2000. Nilai input tenaga kerja yang
terdapat pada industri pakaian jadi jauh lebih rendah di bawah nilai output.
Berdasarkan pada hal tersebut maka dapat diperkirakan bahwa produktivitas yang
diberikan cukup tinggi.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Struktur Pasar
Pakaian merupakan salah satu dari kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh
manusia pada saat ini. Oleh karena itu permintaan terhadap pakaian jadi tidak
akan menurun atau setidaknya bersifat konstan. Barang-barang lain pada
umumnya dapat mengalami penurunan permintaan dari konsumen terhadap
barang tersebut, akan tetapi konsumen akan selalu membutuhkan pakaian
sehingga permintaan konsumen terhadap pakaian setidak-tidaknya bersifat
konstan.
Klasifikasi yang terdapat dalam industri pakaian jadi di Indonesia secara
garis besar dapat dibedakan berdasarkan pada usia, jenis kelamin konsumen, dan
pakaian yang digunakan berdasarkan pada situasi dan kondisi. Pakaian
berdasarkan pada usia, yaitu untuk anak-anak dan dewasa. Pakaian berdasarkan
pada jenis kelamin, yaitu untuk pria dan wanita. Pakaian berdasarkan pada situasi
dan kondisi, yaitu pakaian eksklusif dan pakaian biasa.
Sementara itu, klasifikasi pakaian jadi yang ditetapkan oleh Badan Pusat
Statistik (2003) lebih beragam (Lampiran 17). Beragamnya klasifikasi pakaian
jadi tersebut akan menyulitkan untuk menganalisis struktur pasar dari tiap-tiap
jenis pakaian jadi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini industri pakaian jadi di
Indonesia akan digeneralisasikan secara umum. Menurut hasil penelitian yang
telah dilakukan, struktur pasar dari industri pakaian jadi di Indonesia merupakan
struktur pasar persaingan monopolistik, dimana pasar ini bersifat banyak penjual
61
dan pembeli, produk yang heterogen, hambatan untuk masuk dan keluar dari pasar
yang rendah serta tingkat keuntungan yang normal.
5.1.1. Pangsa Pasar
Peranan pangsa pasar adalah sebagai sumber keuntungan bagi perusahaan.
Keuntungan yang diperoleh dari pangsa pasar bisa besar atau kecil dan
keuntungan ini mencerminkan kekuatan pasar atau efisiensi yang lebih baik.
Dalam industri pakaian jadi atau garmen, menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia,
perusahaan-perusahaan pakaian jadi tersebut tidak memiliki pangsa pasar lebih
dari 5 persen pada pasar domestik. Hal ini berlaku bagi semua golongan
perusahaan, baik perusahaan besar maupun kecil. Data 18 perusahaan pakaian jadi
yang tergolong besar terdapat pada lampiran 1. Untuk data pangsa pasar yang
lebih spesifik dari perusahaan-perusahaan tersebut tidak dapat dipublikasikan.
Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor utama pakaian jadi di
dunia memiliki pangsa pasar sebesar 1,7 persen pada tahun 2004 dan menduduki
peringkat nomor sembilan dengan nilai sebesar US$ 4,45 Miliar. Dimana
peringkat pertama ditempati oleh negara-negara Eropa dengan pangsa pasar
sebesar 29,0 persen dan nilai sebesar US$ 74,92 Miliar. Sementara posisi kedua
dan ketiga di tempati oleh negara Cina dan Hongkong sebagai bagian dari negara
Cina. Total nilai keseluruhan dari negara-negara pengekspor pakaian jadi di dunia
adalah sebesar US$ 258,10 Miliar (API, 2005).
Berdasarkan pada teori dan penjelasan yang telah diberikan maka dapat
disimpulkan bahwa industri pakaian jadi Indonesia termasuk pada industri yang
62
persaingannya bersifat monopolistik. Karena produk yang dihasilkan oleh industri
pakaian jadi ini adalah produk yang heterogen (Lampiran 17). Perbedaan produk
yang ditawarkan baik secara fisik atau citra mereknya maupun perbedaan yang
diciptakan melalui promosi penjualan.
5.1.2. Konsentrasi
Konsentrasi pasar yang merupakan suatu variabel dapat dihitung dengan
menggunakan beberapa metode. Pada penelitian ini metode yang digunakan
adalah perhitungan rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4). CR4
industri pakaian jadi di Indonesia dapat dilihat pada lampiran 3. Berdasarkan pada
nilai konsentrasi CR4 yang cukup kecil pada lampiran 3 maka dapat diketahui
bahwa perusahaan pakaian jadi berskala besar yang terdapat di Indonesia tidaklah
cukup dapat menguasai pasar. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata CR4 dari tahun
1983 sampai dengan tahun 2003 sebesar 16,22 persen.
CR4 mempunyai nilai yang cukup kecil dan jumlahnya berfluktuasi
dengan nilai CR4 terbesar pada tahun 1993 sebesar 41,59 persen dan nilai CR4
terkecil pada tahun 2002 sebesar 7,24 persen. Hal ini diduga sebagai dampak dari
penghapusan sistem kuota dan semakin tingginya tingkat penyelundupan produk-
produk dari Cina.
Tingkat konsentrasi industri pakaian jadi yang relatif rendah ini
menggambarkan struktur pasar yang dimiliki oleh industri pakaian jadi Indonesia
adalah struktur pasar persaingan monopolistik. Struktur pasar ini menandakan
bahwa tingkat konsentrasi yang cukup rendah, entry condition yang berukuran
63
rendah dan jenis produk yang berupa heterogen. Industri pakaian jadi atau garmen
yang memiliki struktur pasar persaingan monopolistik menunjukkan bahwa
perusahaan-perusahaan yang berada dalam industri ini telah menghasilkan kinerja
yang cukup efisien.
5.1.3. Hambatan Masuk
Sebelum dihapuskannya sistem kuota, dimana dalam perdagangan TPT
dunia yang selama ini memperkenankan adanya pembatasan impor melalui sistem
kuota, ada anggapan bahwa sistem kuota tersebut akan menghambat masuknya
produk-produk dari negara lain secara berlebihan dan dapat melindungi para
produsen dalam negeri. Selain itu, tarif bea masuk garmen atau pakaian jadi
sebesar 15-20 persen yang pada saat ini direncanakan untuk ditingkatkan menjadi
40 persen pun ditetapkan oleh pemerintah sebagai salah satu cara untuk
membatasi impor pakaian jadi atau garmen.
Keberadaan perusahaan terbesar yang telah ada sebelumnya dalam suatu
industri merupakan salah satu hal yang dapat menjadi hambatan bagi pesaing
potensial untuk masuk ke dalam industri tersebut. Berdasarkan pada teori yang
telah ada, diketahui bahwa untuk dapat mempertahankan eksistensi dalam industri
pakaian jadi atau garmen di Indonesia maka para pesaing potensial harus memiliki
skala minimum efisiensi (MES) yang setara dengan yang dimiliki oleh perusahaan
terbesar. Namun pada industri pakaian jadi di Indonesia tidak terdapat adanya
perusahaan terbesar yang dapat menguasai pasar.
64
Nilai MES diperoleh dari perbandingan nilai output perusahaan-
perusahaan terbesar dengan nilai output total. Nilai MES industri pakaian jadi di
Indonesia dari tahun 1983 sampai dengan tahun 2003 dapat dilihat pada lampiran
4. Berdasarkan pada lampiran 4 dan teori yang ada maka dapat diketahui bahwa
jika pelaku baru ingin bersaing dalam industri pakaian jadi Indonesia maka
setidak-tidaknya output minimal yang harus dihasilkan adalah rata-rata sebesar
5,94 persen dari total output pakaian jadi di Indonesia.
Nilai MES yang lebih besar dari 10 persen menunjukkan hambatan masuk
yang tinggi pada suatu industri (Comanor dan Wilson dalam Alistair, 2004).
Berdasarkan pada teori yang ada, semakin besar nilai MES suatu industri maka
semakin tinggi pula hambatan masuk pada industri tersebut. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa hambatan masuk pada industri pakaian jadi Indonesia
sangatlah rendah. Oleh karena itu banyak perusahaan-perusahaan baru yang dapat
masuk ke dalam industri pakaian jadi Indonesia dengan mudah.
5.2. Perilaku Pasar
5.2.1. Strategi Harga dan Produk
Pada suatu industri, para produsen perlu memiliki strategi tertentu dalam
penetapan harga. Hal ini juga diperlukan untuk menghadapi persaingan dengan
produk-produk sejenis. Dalam industri pakaian jadi ini harga bersifat sensitif,
dimana para produsen cenderung untuk bersaing dalam menurunkan harga,
kecuali untuk produk-produk yang sudah memiliki merek terkenal dipasaran.
Selain itu, penetapan harga yang beragam juga ditetapkan berdasarkan jenis bahan
65
yang akan digunakan untuk membuat pakaian jadi tersebut. Terdapat empat jenis
bahan yang umumnya digunakan untuk membuat pakaian adalah :
1) Poliester 3) Cotton
2) Rayon 4) Campuran
Bahan campuran adalah bahan yang terbentuk dari penggabungan antara
dua jenis bahan dari ketiga bahan lainnya, seperti cotton dengan poliester, cotton
dengan rayon, dll. Strategi harga yang ditetapkan berdasarkan ke-empat jenis
bahan ini adalah penetapan harga yang paling tinggi untuk pakaian dengan jenis
bahan rayon. Untuk pakaian yang terbuat dari poliester, harga yang ditetapkan
adalah harga yang paling murah. Harga pakaian dari cotton tidak berbeda jauh
dengan harga pakaian dari poliester. Sementara untuk pakaian yang terbuat dari
bahan campuran memiliki harga yang variatif akan tetapi tidak lebih mahal dari
rayon dan tidak lebih murah dari poliester. Penetapan-penetapan harga tersebut
dengan mengasumsikan bahwa ketebalan kain yang digunakan adalah sama.
Inovasi produk yang lebih difokuskan pada desain dan warna merupakan
strategi produk dalam industri pakaian jadi atau garmen di Indonesia. Dimana,
perusahaan yang dapat mengikuti trend warna dan desain adalah perusahaan yang
akan memperoleh keuntungan lebih besar dan dapat bersaing dipasaran. Akan
tetapi untuk saat ini banyak dari perusahaan pakaian jadi atau garmen yang lebih
memilih untuk memproduksi produk sesuai pesanan luar negeri ketimbang
mengikuti atau meniru apa yang menjadi trend mode pada saat ini. Akibatnya
banyak dari perusahaan-perusahaan tersebut yang merugi dan tidak dapat bersaing
dengan produk-produk dari luar negeri.
66
5.2.2. Strategi Promosi
Strategi promosi dengan berbagai cara juga perlu dilakukan oleh produsen
untuk meningkatkan volume penjualan dan menarik pelanggan. Dari struktur
pasar yang telah dianalisis, diketahui bahwa struktur pasar industri pakaian jadi
atau garmen merupakan pasar dengan persaingan monopolistik, dimana terdapat
banyak pembeli dan penjual yang bertindak secara bebas. Sehingga dalam industri
ini bagi perusahaan-perusahaan pakaian jadi berskala kecil tidak memerlukan
adanya strategi promosi karena perusahaan-perusahaan tersebut dapat langsung
menghubungi retailer mereka masing-masing seperti Sogo departement store,
Ramayana, dll. Sementara itu bagi perusahaan-perusahaan pakaian jadi atau
garmen berskala besar strategi promosi yang umumnya dilakukan adalah
mengikuti contact buyer dan pameran di luar negeri.
5.2.3. Strategi Distribusi
Pada industri pakaian jadi atau garmen, ketika kebutuhan pasar ekspor
telah terpenuhi maka produsen akan menjual kelebihan produk yang dihasilkan ke
pasar domestik. Hal ini dikarenakan para produsen pakaian jadi atau garmen
Indonesia masih berorientasi ekspor daripada memenuhi kebutuhan pasar
domestik. Padahal pangsa pasar lokal sesungguhnya sangat besar dan potensial
untuk digarap karena menyangkut jumlah penduduk sekira 250 juta orang.
Menurut API (2005), berdasarkan pada pola distribusi suplai kain dan
garmen tahun 2004 dapat diketahui bahwa perusahaan-perusahaan garmen dan
konveksi kecil telah menyumbangkan keseluruhan produksi mereka sebesar
67
511.167 ton untuk pasar domestik. Sementara itu perusahaan-perusahaan garmen
berskala besar hanya menyumbangkan 26,08 persen dari keseluruhan produksi
mereka. Karena produk mereka sebelumnya telah dijual kepasar ekspor sebesar
73,92 persen atau 414.411 ton.
5.2.4. Integrasi Vertikal
Perusahaan-perusahaan yang termasuk ke dalam integrasi vertikal adalah
perusahaan-perusahaan yang proses produksinya lebih awal atau di bagian hulu,
dan pada tahap memproduksi ke arah atau sampai dengan barang-barang final
(hilir). Dalam hal ini perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam industri
pakaian jadi atau garmen di Indonesia mempunyai proses final atau hilir dalam
industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia.
Integrasi vertikal bermanfaat dalam industri pakaian jadi karena dapat
menjamin penyediaan masukan atau bahan baku dan saluran-saluran distribusi
yang dapat dipercaya untuk dapat mempertahankan daya saing. Dampak integrasi
vertikal yang lebih luas pada pelaksanaan pasar, pada satu sisi, dapat
meningkatkan efisiensi pasar yang lebih besar dalam penggunaan sumber daya,
atau pada sisi lain, dengan membatasi persaingan akan mengakibatkan
pengalokasian sumber daya yang kurang efisien. Hal inilah yang mendasari cukup
efisiennya kinerja dari industri pakaian jadi Indonesia.
68
5.2.5. Perilaku Lainnya yang Terkait dengan Industri Pakaian Jadi di Indonesia
Perilaku lainnya yang terdapat pada industri pakaian jadi di Indonesia
adalah tindakan Sourcing. Tindakan sourcing ini adalah suatu tindakan untuk
mencari bahan baku. Pembeli (buyer) terlebih dahulu melakukan pemesan
pakaian, dimana pembeli tersebut akan menentukan bahan apa yang
diinginkannya. Kemudian produsen pakaian jadi yang menerima pesanan akan
mencari bahan yang telah ditentukan sebelumnya.
Sebagai contoh, pada awal tahun 2005 sebelum sistem kuota dihapuskan,
pembeli (buyer) mendirikan kantor di Indonesia kemudian pembeli tersebut
mencari perusahaan-perusahaan pakaian jadi dalam negeri yang diinginkannya
untuk selanjutnya melakukan pemesanan kepada perusahaan-perusahaan tersebut.
Dari tindakan sourcing ini sebenarnya para produsen pakaian jadi Indonesia
diuntungkan sebab tidak memerlukan adanya promosi, hal ini dikarenakan para
pembeli atau buyer tersebutlah yang akan mencari dan mengajak kerjasama para
produsen pakaian jadi dalam negeri. Akan tetapi semenjak dihapuskannya sistem
kuota kegiatan sourcing ini menjadi berbalik, dimana para produsen pakaian jadi
Indonesia yang kemudian melakukan tindakan sourcing dengan cara mengikuti
pameran atau mencari para pembeli (buyer) di luar negeri.
Perilaku lainnya yang dianggap merugikan oleh para produsen pakaian
jadi di Indonesia adalah tindakan penyelundupan. Modus operandi penyelundupan
yang terjadi pada industri TPT di Indonesia, yang turut pula mempengaruhi
industri pakaian jadi sebagai bagian dari industri TPT adalah sebagai berikut:
69
a. Penyelundupan fisik secara langsung melalui pelabuhan-pelabuhan kecil yang
tidak dijaga oleh Bea Cukai pada dasarnya jumlahnya tidak terlalu banyak,
karena hanya diangkut oleh perahu-perahu kecil. Barang-barang yang
diselundupkan sebagian besar adalah TPT bekas.
b. Penyelundupan dengan menggunakan pemalsuan dokumen (under invoice
baik dalam bentuk pemalsuan volume barang dan pergeseran nomor HS)
yang biasanya dilakukan melalui transit via Singapura, dimana setelah
mendapatkan sinyal hijau dari sindikat, barang tersebut masuk melalui
pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Emas atau Tanjung Perak.
c. Penyelundupan melalui pemanfaatan fasilitas kawasan berikat (dengan alasan
akan direekspor). Setelah barang berada di kawasan berikat, barang tersebut
diselundupkan ke Daerah Pabean Indonesia lainnya.
d. Penyelundupan melalui impor borongan (container borongan). Pemasukan
barang impor yang dilegalkan oleh oknum petugas dengan membayar
sejumlah tarif tertentu tanpa pemeriksaan apapun, container bisa bebas masuk
ke Daerah Pabean Indonesia.
Dalam undang-undang No. 10/1995 tentang kepabeanan ditentukan bahwa
tindakan penyelundupan dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi yang
dikenakan sanksi administrasi, dirasakan masih belum berfungsi secara optimal
karena masih banyak pihak yang tidak konsisten terhadap kebijakan yang telah
dibuat tersebut.
70
5.3. Kinerja Pasar
Indikator yang digunakan untuk dapat menganalisis kinerja industri
pakaian jadi di Indonesia adalah melalui perolehan keuntungan dalam industri
pakaian jadi. Di dalam menganalisis kinerja industri pakaian jadi, kendala utama
yang dihadapi adalah tidak tersedianya data laba perusahaan maupun industri
pakaian jadi. Untuk mengatasi kendala tersebut maka digunakan pendekatan
Price-Cost Margin (PCM) sebagai persentase keuntungan dari kelebihan
penerimaan atas biaya langsung. Nilai PCM industri pakaian jadi Indonesia
(1983-2003) dapat dilihat pada lampiran 5.
Pada tahun 1998, industri pakaian jadi menerima marjin keuntungan
sebesar 26,12 persen. Angka ini cukup besar bagi industri pakaian jadi di
Indonesia mengingat tahun 1998 masih berada pada peiode krisis yang tengah
terjadi di Indonesia. Akan tetapi pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2001
terjadi penurunan marjin keuntungan sebesar 6 persen dari 27,98 persen menjadi
21,98 persen. Namun ditahun-tahun berikutnya terjadi peningkatan kembali.
Berdasarkan pada lampiran 5 dapat dilihat bahwa rata-rata margin keuntungan
industri pakaian jadi selama tahun 1983 sampai dengan tahun 2003 adalah sebesar
24,93 persen. Penerimaan margin keuntungan terbesar terdapat pada tahun 2002
sebesar 30,17 persen, sedangkan penerimaan margin keuntungan terendah pada
tahun 1993 sebesar 12,16 persen.
Pada lampiran 6, terdapat nilai efisiensi-X industri pakaian jadi di
Indonesia selama tahun 1983 hingga 2003. Lampiran 6 menunjukkan bahwa pada
tahun 1998 efisiensi-X dari industri pakaian jadi nilainya cukup rendah yaitu
71
sebesar 49,29 persen. Akan tetapi untuk tahun 1999 terjadi peningkatan nilai
efisiensi-X menjadi sebesar 59,39 persen. Nilai efisiensi-X terbesar terdapat pada
tahun 2002 sebesar 82,23 persen. Rata-rata efisiensi-X industri pakaian jadi dari
tahun 1983 sampai dengan tahun 2003 yaitu sebesar 60,27 persen. Berdasarkan
pada teori yang ada, efisiensi internal yang tinggi menggambarkan perusahaan
yang dikelola dengan baik, usaha yang maksimum dari para pekerja, dan
terhindarnya kejenuhan dalam pelaksanaan jalannya perusahaan.
5.4. Hubungan Struktur dan Faktor Lainnya dengan Kinerja
Pendekatan Structure-Conduct-Performance (SCP) menjelaskan bahwa
struktur pasar akan mempengaruhi profitabilitas secara positif. Kemudian hal ini
menjadi hipotesis pada analisis hubungan struktur dan profitabilitas industri
pakaian jadi di Indonesia. Struktur pasar dianalisis dengan menggunakan CR4
yang menunjukkan bahwa industri pakaian jadi termasuk ke dalam tipe pasar
persaingan monopolistik. Indikator yang digunakan dalam menganalisis kinerja
industri pakaian jadi Indonesia adalah PCM. Tingkat keuntungan perusahaan yang
sebenarnya merupakan ukuran yang baik dalam menggambarkan kinerja suatu
perusahaan tidak dapat digunakan karena adanya keterbatasan data.
Dalam menganalisis hubungan antara struktur dan kinerja ini dimasukkan
pula variabel-vaiabel bebas yang diperkirakan dapat turut mempengaruhi
keuntungan, antara lain rata-rata tingkat pertumbuhan nilai output industri
(growth), efisiensi-X (XEff), produktivitas (prod) dan dummy untuk membedakan
72
periode sebelum dan sesudah krisis. Hasil estimasi model dan uji ekonometrika
dapat dilihat pada tabel 5.1.
Tabel 5.1. Hasil Dugaan Awal Persamaan PCM pada Industri Pakaian Jadi Indonesia.
Variabel Koefisien St Error t-Statistik Probablititas
C -9,506994 6,537991 -1,454115 0,1665CR4 -0,058096 0,061785 -0,940297 0,3620GROWTH 0,048372 0,018962 2,551017 0,0222XEFF 0,377490 0,078554 4,805490 0,0002PROD 0,012372 0,002962 4,176829 0,0008DUMMY 1,341737 1,505902 0,890986 0,3870R-squared 0,783051Adjusted R-squared 0,710735S.E. of regression 1,954284
D-W stat 2,019906 F-Statistik 10,82813 Prob(F-statistic) 0,000149
Sumber: Lampiran 11 Keterangan : Menggunakan taraf nyata 5 persen
Berdasarkan pada hasil pengolahan model awal pada penelitian ini dengan
menggunakan software Eviews, dapat diketahui bahwa nilai koefisien determinasi
(R-squared) adalah sebesar 0,783051. Artinya model regresi yang menggunakan
PCM industri pakaian jadi sebagai variabel terikat mampu dijelaskan sebanyak
78,30 persen oleh variabel-variabel bebasnya secara bersamaan (CR4, growth,
efisiensi-X, produktivitas, dan dummy). Sisanya sebesar 21,69 persen dijelaskan
oleh variabel lain di luar model.
Hubungan struktur dan kinerja pada industri pakaian jadi di Indonesia
yang digambarkan oleh model pada penelitian ini harus memenuhi syarat
ekonometrika. Syarat-syarat ekonometrika yang harus dipenuhi tersebut yaitu
tidak terdapatnya gejala-gejala seperti autokorelasi, heteroskedastisitas, dan
multikolinearitas.
73
Uji pertama yang dilakukan adalah uji normalitas yang terdapat pada
lampiran 12. Berdasarkan pada lampiran 12, nilai Probability (P-Value) yang
diperoleh adalah sebesar 0,291097 lebih dari taraf nyata 5 persen, maka terima H0.
Sehingga dapat disimpulkan data yang digunakan terdistribusi normal.
Uji autokorelasi dapat dilihat pada lampiran 11. Pengujian autokorelasi
tersebut dilakukan dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey Serial Correlation
LM. Apabila nilai probability obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata (α) maka
hasil regresi tidak mengandung autokorelasi. Berdasarkan pada lampiran 11 dapat
dilihat bahwa nilai Probability (P-Value) sebesar 0,940348 lebih dari taraf nyata 5
persen, maka terima H0. sehingga dapat disimpulkan bahwa model persamaan
yang digunakan dalam penelitian ini tidak memiliki masalah autokorelasi.
Pengujian heteroskedastisitas (Lampiran 11) bertujuan untuk melihat
apakah terdapat atau tidaknya variabel pengganggu yang memiliki varian yang
sama (homoskedastisitas). Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan uji white
heteroskedasticity, dimana nilai probability obs*R-squared pada model
persamaan adalah 0,037672 yang bernilai kurang dari taraf nyata yaitu 5 persen.
Dari hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa model persamaan yang
digunakan dalam penelitian ini memiliki masalah heteroskedastisitas.
Uji multikolinearitas pada penelitian ini dilakukan dengan dua pengujian.
Pengujian yang pertama dengan menggunakan software Eviews. Dimana suatu
model diasumsikan terdapat gejala multikolinearitas jika terdapat suatu hubungan
kausalitas pada variabel-variabel bebasnya. Model persamaan regresi PCM pada
penelitian ini tidak memiliki masalah multikolinearitas, dimana semua variabel
74
yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai nilai mutlak korelasi yang tidak
lebih besar dari |0.8|.
Tabel 5.2. Matriks Korelasi Antar Variabel Eksogen Tahap Awal
PCM CR4 GROWTH XEFF PROD DUMMYPCM 1,000000 -0,407130 0,310431 0,256086 0,319444 0,373556CR4 -0,407130 1,000000 -0,176624 0,345836 -0,487863 -0,462914GROWTH 0,310431 -0,176624 1,000000 -0,087790 0,040572 -0,462795XEFF 0,256086 0,345836 -0,087790 1,000000 -0,721059 0,049177PROD 0,319444 -0,487863 0,040572 -0,721059 1,000000 0,305853DUMMY 0,373556 -0,462914 -0,462795 0,049177 0,305853 1,000000
Sumber: Lampiran 12
Pengujian yang kedua adalah dengan menggunakan software minitab.
Dimana suatu model diasumsikan terdapat masalah multikolinearitas apabila nilai
VIF (Variance Inflation Factors) pada tampilan hasil output lebih dari 10. Hasil
output minitab pada penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 13. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa nilai VIF kurang dari 10, sehingga tidak terdapat masalah
multikolinearitas pada model persamaan PCM dalam penelitian ini.
Berdasarkan pada pengujian-pengujian yang telah dilakukan dan dapat
dilihat pada tabel 5.1 dan tabel 5.2, maka dapat disimpulkan bahwa model
persamaan PCM pada penelitian ini bebas dari masalah normalitas, autokorelasi
dan multikolinearitas, namun tidak terbebas dari masalah heteroskedastisitas.
Sehingga model persamaan PCM tersebut tidak dapat menghasilkan koefisien
dugaan terbaik (BLUE).
Estimasi ulang diperlukan pada penelitian ini, karena tidak dapat
terpenuhinya salah satu syarat ekonometrika pada pengolahan data tahap pertama.
Estimasi ulang yang dilakukan adalah dengan menambahkan variabel PCM(-1)
75
dan variabel AR(1). Hasil dugaan persamaan PCM yang berasal dari estimasi
ulang yang telah dilakukan dapat dilihat pada tabel 5.3.
Tabel 5.3. Hasil Dugaan Persamaan PCM pada Industri Pakaian Jadi Indonesia
Variabel Koefisien St Error t-Statistik Probablititas C -23,60763 4,363567 -5,410167 0,0002CR4 -0,166643 0,042393 -3,930908 0,0023GROWTH 0,037651 0,014133 2,664097 0,0220XEFF 0,456346 0,053378 8,549288 0,0000PROD 0,012511 0,001989 6,288630 0,0001DUMMY -1,376205 1,069238 -1,287089 0,2245PCM(-1) 0,489386 0,089063 5,494820 0,0002AR(1) -0,710023 0,224868 -3,157512 0,0091R-squared 0,924435Adjusted R-squared 0,876347 S.E. of regression 1,334379
D-W stat 2,236158 F-Statistik 19,22417 Prob(F-statistic) 0,000024
Sumber: Lampiran 9 Keterangan: Menggunakan taraf nyata 5 persen
Syarat-syarat ekonometrika yang harus dipenuhi dari estimasi ulang ini
adalah dengan melakukan beberapa pengujian seperti pada pengolahan data
sebelumnya. Uji pertama yang dilakukan adalah uji normalitas (Lampiran 10).
Berdasarkan pada lampiran 10 dapat dilihat bahwa nilai Probability (P-Value)
sebesar 0,578129 lebih dari taraf nyata 5 persen, maka terima H0. Sehingga dapat
disimpulkan data yang digunakan terdistribusi normal.
Pada lampiran 9 dapat dilihat uji autokorelasi yang dilakukan melalui
perangkat E-views 4.1. Pada lampiran 9 diketahui nilai probability obs*R-squared
adalah 0,103744 yang artinya bernilai lebih besar dari taraf nyata yaitu 5 persen.
Dari hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa model persamaan yang
digunakan dalam penelitian ini tidak memiliki masalah autokorelasi.
76
Pengujian heteroskedastisitas yang terdapat pada lampiran 9 bertujuan
untuk melihat apakah terdapat atau tidaknya variabel pengganggu yang memiliki
varians yang sama (homoskedastisitas). Pengujian ini dilakukan dengan
menggunakan white heteroskedasticity, dimana nilai probability obs*R-squared
pada model persamaan adalah 0,518749 yang bernilai lebih dari taraf nyata yaitu 5
persen. Dari hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa model persamaan
yang digunakan dalam penelitian ini tidak memiliki masalah heteroskedastisitas.
Uji multikolinearitas pada estimasi ulang ini tidak perlu menggunakan
software minitab (Tabel 5.4). Dimana suatu model diasumsikan terdapat gejala
multikolinearitas jika terdapat suatu hubungan kausalitas pada variabel-variabel
bebasnya. Model persamaan regresi PCM tidak memiliki masalah
multikolinearitas, dimana semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini
mempunyai nilai mutlak korelasi yang tidak lebih besar dari |0.8|.
Tabel 5.4. Matriks Korelasi Antar Variabel Eksogen
PCM CR4 GROWTH XEFF PROD DUMMY PCM 1,000000 -0,407130 0,310431 0,256086 0,319444 0,373556CR4 -0,407130 1,000000 -0,176624 0,345836 -0,487863 -0,462914GROWTH 0,310431 -0,176624 1,000000 -0,087790 0,040572 -0,462795XEFF 0,256086 0,345836 -0,087790 1,000000 -0,721059 0,049177PROD 0,319444 -0,487863 0,040572 -0,721059 1,000000 0,305853DUMMY 0,373556 -0,462914 -0,462795 0,049177 0,305853 1,000000
Sumber: Lampiran 10
Berdasarkan pada pengujian yang telah dilakukan dan dapat dilihat pada
tabel 5.3 dan tabel 5.4 maka dapat disimpulkan bahwa model persamaan PCM
pada penelitian ini terbebas dari masalah autokorelasi, heteroskedastisitas dan
multikolinearitas sehingga menghasilkan koefisien dugaan terbaik (BLUE).
77
Berdasarkan pada hasil pengolahan model dengan menggunakan software
Eviews, didapatkan nilai koefisien determinasi (R-squared) sebesar 0,924435
Artinya model regresi yang menggunakan PCM industri pakaian jadi sebagai
variabel terikat (dependen) mampu dijelaskan sebanyak 92,44 persen oleh
variabel-variabel bebasnya (independen) secara bersamaan (CR4, growth,
efisiensi-X, produktivitas, dan dummy), sehingga dapat disimpulkan bahwa model
persamaan PCM tersebut dapat diterima. Sisanya sebesar 7,55 persen dijelaskan
oleh variabel lain di luar model.
Uji F dilakukan untuk melihat apakah variabel-variabel bebas secara
serentak berpengaruh pada variabel terikatnya. Nilai F-statistic sebesar 19,22417
dengan probability (F-statistic) sebesar 0,000024 yang lebih kecil dari taraf nyata
5 persen menjelaskan bahwa minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh
nyata terhadap variabel terikatnya, sehingga model penduga yang diajukan sudah
layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Uji t dilakukan untuk
melihat apakah masing-masing variabel bebas berpengaruh nyata terhadap
variabel terikatnya. Jika nilai probability t-statistic pada masing-masing variabel
bebas lebih kecil dari taraf nyata 5 persen, maka dapat disimpulkan bahwa
variabel bebas tersebut berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya. Hasil
pengujian yang dilakukan memperlihatkan bahwa keempat variabel bebas, yaitu
CR4, Growth, Efisiensi-X dan Produktivitas berpengaruh secara signifikan
terhadap variabel terikat nyata pada taraf 5 persen. Sementara itu variabel Dummy
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat tidak nyata pada
taraf 5 persen.
78
Setelah model pada penelitian ini melakukan uji ekonometrika dan uji
statistik maka tahap selanjutnya adalah melakukan interpretasi terhadap hasil
dugaan persamaan PCM industri pakaian jadi Indonesia (Tabel 5.3). Berdasarkan
pada analisis pengaruh struktur terhadap kinerja, didapatkan bahwa hipotesa awal
yang mengatakan bahwa pengaruh struktur terhadap profitabilitas adalah positif
tidak dapat terpenuhi pada industri pakaian jadi di Indonesia. Variabel CR4
signifikan pada pada taraf 5 persen, namun didapatkan nilai negatif pada koefisien
CR4 sebesar -0,166643. Sehingga menurut hasil regresi, setiap peningkatan
konsentrasi empat perusahaan besar sebesar 1 persen maka PCM akan berkurang
sebesar 0,166643 persen, asumsi ceteris paribus.
Fungsi dari rasio konsentrasi sejumlah perusahaan besar adalah untuk
mengukur pangsa pasar relatif dari total output industri yang
dipertanggungjawabkan oleh perusahaan-perusahaan itu. Nilai pangsa pasar dari
industri pakaian jadi yang tidak dapat dipublikasikan, menurut API tidak ada yang
melebihi 5 persen untuk pasar domestik menyebabkan rata-rata rasio konsentrasi
pada industri pakaian jadi di Indonesia memiliki nilai yang sangat rendah.
Menurut Leonard Weiss terdapat suatu hubungan yang positif antara
keuntungan dengan produk-produk berkonsentrasi tinggi. Adanya hubungan yang
positif antara keuntungan dan tingkat konsentrasi merupakan halangan masuk
yang besar bagi perusahaan baru, karena dengan keuntungan yang mereka
dapatkan, perusahaan-perusahaan yang ada pada industri itu berusaha
meningkatkan lagi konsentrasinya (Weiss dalam Jaya, 2001).
79
Sebelumnya pada penelitian ini telah dijelaskan bahwa struktur pasar dari
industri pakaian jadi di Indonesia merupakan pasar persaingan monopolistik yang
memiliki pangsa pasar, CR4 dan hambatan masuk ke dalam industri yang bernilai
rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara keuntungan dan
tingkat konsentrasi pada industri pakaian jadi di Indonesia adalah negatif. Hal
inilah yang mendasari terdapatnya nilai negatif pada koefisien variabel CR4
dalam penelitian ini.
Variabel growth berpengaruh nyata positif terhadap PCM industri pakaian
jadi di Indonesia pada taraf nyata 5 persen. Nilai koefisien growth sebesar
0,037651 dan nyata pada taraf 5 persen menunjukkan bahwa jika growth
meningkat sebesar 1 persen, maka akan meningkatkan PCM sebesar 0,037651
persen, asumsi ceteris paribus. Hubungan ini sesuai dengan teori, dimana
kenaikan pertumbuhan output industri pakaian jadi akan meningkatkan PCM
industri pakaian jadi tersebut.
Variabel efisiensi-X signifikan pada taraf 5 persen dan memiliki koefisien
sebesar 0,456346. Hal ini menunjukkan bahwa diduga setiap peningkatan
efisiensi-X sebesar 1 persen akan meningkatkan PCM sebesar 0,456346 persen,
asumsi ceteris paribus. Semakin efisien suatu perusahaan, semakin besar pula
keuntungan yang akan diperoleh. Variabel prod (produktivitas) nyata pada taraf 5
persen dan memiliki koefisiensi sebesar 0,012511. Hal ini menunjukkan bahwa
diduga setiap peningkatan produktivitas sebesar 1 persen akan meningkatkan
PCM sebesar 0,012511 persen, asumsi ceteris paribus. Hubungan-hubungan
80
tersebut sesuai dengan hipotesis dan teori dimana kenaikkan efisiensi-X dan
produktivitas akan meningkatkan proksi keuntungan industri pakaian jadi.
Nilai produktivitas dari industri pakaian jadi ini sebenarnya dapat
ditingkatkan lagi jika masalah restrukturisasi permesinan dapat segera
diselesaikan. Untuk masalah restrukturisasi permesinan pemerintah mengharapkan
perodusen pakaian jadi dapat menyelesaikannya dengan berbagai pendekatan.
Sebagai contoh, pengusaha bisa melakukan imbal beli, yaitu membeli sebuah
mesin dari produsen tekstil di luar negeri. Hasil dari industrinya itulah yang dijual
ke negara tersebut. Dengan demikian, restrukturisasi ini diharapkan dapat
menciptakan diversifikasi produk yang tidak bisa dilakukan oleh mesin-mesin tua.
Variabel dummy yang tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen
menunjukkan bahwa krisis diduga tidak berpengaruh terhadap PCM, asumsi
ceteris paribus. Karena pada saat krisis terjadi, nilai tukar rupiah terhadap dollar
mengalami depresiasi. Dimana produk pakaian jadi Indonesia di pasar luar negeri
menjadi murah, hal ini kemudian akan meningkatkan permintaan dari negara-
negara lain atas produk pakaian jadi tersebut. Sehingga ekspor pakaian jadi dari
Indonesia akan mengalami peningkatan. Keuntungan yang diperoleh dari ekspor
yang mengalami peningkatan tersebut akan digunakan untuk menutupi kerugian
yang dialami oleh industri pakaian jadi di Indonesia. Oleh karena itu, industri
pakaian jadi di Indonesia dapat bertahan di dalam menghadapi krisis.
Dalam pengolahan data pada penelitian ini juga ditambahkan dua variabel
yang berfungsi untuk mengatasi pelanggaran asumsi OLS. Kedua variabel
tersebut adalah variabel PCM(-1) dan AR(1). Variabel PCM(-1) yang signifikan
81
pada taraf 5 persen menunjukkan bahwa variabel PCM sekarang dipengaruhi
secara nyata positif terhadap PCM 1 tahun sebelumnya pada taraf nyata 5 persen.
Nilai koefisien PCM(-1) atau PCM 1 tahun sebelumnya sebesar 0,489386
menunjukkan bahwa jika PCM 1 tahun sebelumnya meningkat sebesar 1 persen,
maka diperkirakan PCM sekarang akan naik sebesar 0,489386 persen, asumsi
ceteris paribus. Pengolahan data pada penelitian ini juga menggunakan variabel
AR(1) atau Auto Regressive sebagai salah suatu cara untuk menghilangkan
masalah autokorelasi. Nilai Inverted AR roots adalah kurang dari 1 menunjukkan
nilai yang stasioner.
Pada pengolahan data tanpa menggunakan variabel PCM(-1) dan AR(1)
ditemukan pelanggaran-pelanggaran terhadap asumsi OLS yaitu pelanggaran
autokorelasi atau pelanggaran heteroskedastisitas. Pada pengolahan data tahap
yang kedua (Lampiran 14) dengan hanya menambahkan variabel PCM(-1) ke
dalam persamaan, ditemukan pelanggaran asumsi autokorelasi. Karena dalam
pengujian dengan menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM, nilai
probability obs*R-squared yang diperoleh adalah sebesar 0,011777 yang nilainya
lebih kecil dari taraf nyata 5 persen. Variabel bebas yang tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap variabel terikatnya pada taraf nyata 5 persen pada pengolahan
data tahap ini hanya variabel growth dan dummy.
Pengolahan data yang ketiga (Lampiran 15) dengan menambahkan
variabel PCM(-1) dan PCM(-2) ke dalam persamaan, kembali ditemukan adanya
pelanggaran asumsi autokorelasi. Karena dalam pengujian dengan menggunakan
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM, nilai probability obs*R-squared yang
82
diperoleh adalah sebesar 0,005477 yang nilainya lebih kecil dari taraf nyata 5
persen. Variabel growth dan dummy adalah kedua variabel bebas yang tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikatnya pada taraf nyata 5
persen pada pengolahan data yang ketiga ini.
Pengolahan data yang keempat (Lampiran 16) dengan hanya
menambahkan variabel AR(1) ke dalam persamaan, ditemukan adanya
pelanggaran asumsi heteroskedastisitas. Karena dalam pengujian dengan
menggunakan white heteroskedasticity, nilai probability obs*R-squared yang
diperoleh adalah sebesar 0,025899 yang nilainya lebih kecil dari taraf nyata 5
persen. Disamping itu ketiga variabel bebasnya, yaitu CR4, growth dan dummy,
dari kelima variabel yang digunakan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
variabel terikatnya pada taraf nyata 5 persen. Oleh karena itu pada penelitian ini
digunakan variabel PCM(-1) dan AR(1) untuk mencegah terjadinya pelanggaran
terhadap ketiga asumsi OLS tersebut.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari hasil analisis yang didapatkan pada industri pakaian jadi di Indonesia
maka diperoleh beberapa kesimpulan yaitu :
1. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan maka dapat disimpulkan jenis
struktur pasar, perilaku dan kinerja dari industri pakaian jadi di Indonesia
adalah sebagai berikut :
a. Industri pakaian jadi di Indonesia termasuk ke dalam tipe pasar persaingan
monopolistik dimana pasar ini bersifat banyak penjual dan pembeli,
produk yang heterogen, serta hambatan untuk masuk dan keluar dari pasar
yang rendah. Rata-rata CR4 dari industri pakaian jadi di Indonesia selama
tahun 1983 sampai dengan tahun 2003 adalah sebesar 16,22 persen.
b. Terdapat beberapa perilaku pada industri pakaian jadi di Indonesia.
Perilaku ini dipengaruhi oleh jenis struktur pasar yang dimiliki oleh
industri pakaian jadi Indonesia. Perilaku-perilaku tersebut antara lain
adalah perilaku dalam menentukan harga yang bervariasi berdasarkan pada
jenis bahan, melakukan inovasi produk pada desain dan warna, promosi
produk melalui contact buyer (menghubungi pembeli), pola distribusi
yang cenderung untuk ekspor, adanya integrasi vertikal pada industri ini
dan perilaku lainnya yang hanya terdapat pada industri pakaian jadi
Indonesia, yaitu perilaku sourcing atau suatu tindakan untuk mencari
bahan baku.
84
c. Dari segi kinerja, industri pakaian jadi di Indonesia menerima margin
keuntungan atas biaya langsung (PCM) selama tahun 1983 sampai dengan
tahun 2003 dengan rata-rata sebesar 24,93 persen, tingkat efisiensi-X
sebesar 60,27 persen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat PCM
yang rendah tersebut pada umumnya disebabkan oleh rendahnya rasio
konsentrasi pasar. Tingginya nilai efisiensi-X menggambarkan bahwa
suatu industri dan perusahaan sudah dikelola dengan baik.
2. Dari hasil regresi yang telah dianalisis dapat diketahui pengaruh struktur dan
faktor-faktor lainnya terhadap kinerja. Variabel CR4 yang mewakili struktur
pasar berpengaruh negatif terhadap kinerja (PCM). Karena tingginya tingkat
persaingan yang terdapat pada industri pakaian jadi di Indonesia akan semakin
mengurangi keuntungan yang diterima. Faktor lainnya yang diwakili oleh
variabel Growth, berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja (PCM).
Sementara faktor lainnya yang diwakili oleh variabel krisis (dummy) ternyata
tidak berpengaruh terhadap kinerja (PCM) dari industri pakaian jadi di
Indonesia. Variabel efisiensi-X dan Produktivitas berpengaruh secara
signifikan terhadap kinerja (PCM). Oleh karena itu, jika terjadi peningkatan
terhadap ketiga variabel yang signifikan tersebut maka kinerja dari industri
pakaian jadi di Indonesia juga akan mengalami peningkatan.
85
6.2. Saran
Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini berdasarkan hasil yang
diperoleh adalah bagi penelitian selanjutnya untuk meneliti industri-industri lain
yang tergabung dalam industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia.
Sehingga dapat diketahui bagaimana bentuk struktur pasar, perilaku dan kinerja
yang terdapat pada industri lainnya sebagai bagian dari industri TPT di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Alistair, A. 2004. Analisis Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja Pada Industri Tepung Terigu di Indonesia Pasca Penghapusan Monopoli BULOG [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Andiani, I. 2006. Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Susu di Indonesia
[skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia. 2005. The Industrial Development Plan in Facing
Trade Globalization Era. Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Jakarta. Badan Pusat Statistika. Statistika Industri Besar dan Sedang Volume I. Edisi
Tahun 1983-2003. Jakarta. Bank Bumi Daya. 1992. Industri Tekstil dan Produk Tekstil: Produksi,
Pemasaran dan Prospek. Bank Bumi Daya, Jakarta.
Bisnis Indonesia. 2005. “TPT Ilegal Ambil Pangsa Pasar Lokal 28%”. http://www.textile.web.id/news/news_detail.php?art_id=675 [30 Juni 2006].
Carlton, D.W. dan Jeffrey M. Perloff. 2000. Modern Industrial Organization. Artists Right Society, New York.
Chou, T. C. 1995. Industrial Organization in a Dichotomous Economy : The Case
of Taiwan. Brookfield: Ave bury. Delima, D.K. 2005. Analisis Structure-Conduct-Performance Industri Ban di
Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Departemen Perindustrian. 1982. Keadaan dan Perkembangan Industri Tekstil di
Indonesia Sampai Tahun 1980. Departemen Perindustrian, Jakarta. Dumairy, M.A. 1995. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga. Gujarati, D.N. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah].
Erlangga, Jakarta. Hartanto, N.S. dan Watanabe. 1993. Teknologi Tekstil. Pradnya Paramita. Jakarta
87
Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli, dan Regulasi. LP3ES, Jakarta.
Jaya, W.K. 2001. Ekonomi Industri. Edisi Kedua. Yogyakarta: BPFE. Kompas. 2005. “Produk China Mengancam Industri Lokal”.
http://groups.google.co.id/perdagangan+industri+pakaian+jadi=dbc4bc10 [ 01 Februari 2006].
Kuncoro, M. 2005. ”Industri Indonesia di Persimpangan Jalan”. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/19/Fokus/1565611.htm [14 april 2006].
Legowo. 1996. Persaingan Usaha dan Pengambilan Keputusan Manajerial. Jakarta: UI-Press.
Lipsey, R.G., et al. 1996. Penghantar Mikroekonomi Jilid 2. Edisi Ke-10.
Maulana dan Saputra [penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta. Nicholson, W. 1985. Teori Ekonomi Mikro, Prinsip Dasar dan
Pengembangannya. Deliarnov [penerjemah]. PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.
Shepherd, W.G. 1990. The Economics of Industrial Organization. Edisi Ketiga.
New Jersey: Prentice Hall. Sinar Harapan. 2004. ”Perdagangan Bebas TPT, Ancaman Sekaligus Tantangan”.
http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/industri/2004/0825/ind1.html [18 Mei 2006].
Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta. Yulaekha, S. 2005. Analisis Produktivitas Industri TPT Indonesia (Periode 1983-
2002) [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
88
Lampiran 1. Nama-nama Perusahaan Pakaian Jadi Indonesia Berskala Besar
No Perusahaan Status Jumlah Pekerja
Tahun Berdiri
Kapasitas Produksi (Dozen)
1. APAC CITRA CENTERTEX TBK., PT.
PMDN 3.000 1996 --
2. Batara Wahanamas, PT. PMDN 706 1984 240.0003. Batik Danar Hadi, PT. PMDN -- -- --4. Batik Keris, PT. PMDN 2.000 -- --5. BEHAESTEX, PT. PMDN 1.850 -- --6. Delami Garment Industries, PT. PMDN 2.500 1979 --7. Dease Garmin, PT. PMDN 1.700 1989 1.155.0008. Eratex Djaya LTD. TBK., PT. PMA 4.800 -- --9. Evershine Textile, PT. PMDN 2.200 1975 --10. Fit-U Garment, PT. PMDN 1.354 1980 --11. Great Golden Star, PT. PMDN 3.500 1977 250.00012. Great River International, PT. PMDN 11.500 -- --13. Karwel Indonesia, PT. PMDN 15.000 -- 300.00014. Muara Krakatau, PT. PMDN 2.000 2000 100.00015. Mulia Knitting Factory, PT. PMDN 1.670 1991 700.00016. Mulia Lestari, PT. PMDN 437 1967 --17. Sakhuntala Knitting Industry, PT. PMDN 250 -- 100.00018. JACOLINTEX, PT. PMDN 703 2000 120.346
Sumber : API, 2005. Keterangan : Tanda (--) menunjukkan data tidak tersedia
89
90
Lampiran 3. CR4 Industri Pakaian Jadi Indonesia
Tahun CR4 1983 26,501984 33,141985 17,021986 38,781987 14,371988 15,091989 13,381990 11,521991 7,511992 8,291993 41,591994 9,731995 15,201996 20,701997 11,351998 10,321999 10,752000 7,562001 10,462002 7,242003 10,03
Rata-rata 16,22Sumber : BPS, 1983-2003, diolah
91
Lampiran 4. Nilai Minimum Efficiency Scale (MES) Industri Pakaian Jadi Indonesia (1983-2003)
Tahun Nilai Output Perusahaan
Terbesar (Rp) Nilai Output Total
(Rp) MES (%)
1983 12.707.672 180.506.709 7,041984 31.051.316 254.518.979 12,201985 28.734.844 419.486.773 6,851986 128.316.929 566.520.657 22,651987 26.285.870 712.354.208 3,691988 57.116.836 1.096.292.432 5,211989 55.277.091 1.413.736.349 3,911990 89.866.140 2.597.287.285 3,461991 72.107.692 3.623.502.127 1,991992 107.460.784 4.572.799.333 2,351993 335.913.382 2.469.951.338 13,601994 132.522.868 4.836.601.014 2,741995 423.264.682 5.344.251.040 7,921996 646.503.357 6.624.009.807 9,761997 307.572.819 7.465.359.695 4,121998 262.229.353 8.799.642.702 2,981999 297.219.190 9.649.973.693 3,082000 216.723.553 9.718.544.980 2,232001 362.257.189 10.204.427.850 3,552002 230.326.772 10.146.553.850 2,272003 366.900.806 11.324.098.940 3,24
Rata-rata 5,94Sumber : BPS, 1983-2003, diolah. Keterangan : Tahun dasar 1993 (1993=100)
92
Lampiran 5. Price-Cost Margin Industri Pakaian Jadi Indonesia (1983-2003)
Tahun Nilai Tambah (Rp)
Pengeluaran Tenaga Kerja (Rp)
Barang yang Dihasilkan (Rp)
PCM (%)
1983 70.095.068 26.549.872 172.793.384 24,121984 106.415.069 37.792.202 242.523.647 26,961985 166.969.235 55.018.076 397.677.682 26,681986 220.842.428 70.286.655 535.940.935 26,571987 217.432.555 49.492.165 682.147.380 23,571988 389.880.049 117.157.419 1.049.967.115 24,871989 494.466.999 155.547.592 1.314.445.486 23,971990 930.497.282 317.702.656 2.484.238.741 23,591991 1.213.828.011 398.254.130 3.395.203.428 22,501992 1.476.126.995 472.877.225 4.238.060.133 21,931993 1.009.303.317 708.933.798 5.967.384.142 12,161994 1.974.049.208 710.628.498 4.262.311.382 26,121995 2.126.475.514 744.298.411 4.679.351.200 25,861996 2.564.006.548 779.361.756 5.938.954.356 26,941997 2.736.466.016 808.999.295 6.955.312.122 25,811998 2.905.228.653 606.346.925 8.195.799.489 26,121999 3.595.746.822 849.798.636 8.588.032.038 28,452000 3.604.319.054 884.919.074 8.782.384.287 27,982001 3.498.816.899 1.255.048.256 9.620.034.353 21,982002 4.578.519.274 1.516.608.738 8.749.128.660 30,172003 4.518.835.220 1.452.067.700 9.442.806.612 27,08
Rata-rata 24,93Sumber : BPS, 1983-2003, diolah. Keterangan : Tahun dasar 1993 (1993=100)
93
Lampiran 6. Nilai Efisiensi-X Industri Pakaian Jadi Indonesia (1983-2003)
Tahun Nilai Tambah (Rp) Nilai Input (Rp) Xeff (%) 1983 70.095.068 110.411.641 63,491984 106.415.069 148.103.911 71,851985 166.969.235 252.517.539 66,121986 220.842.428 345.678.229 63,891987 217.432.555 494.921.653 43,931988 389.880.049 706.412.383 55,191989 494.466.999 919.269.349 53,791990 930.497.282 1.666.790.003 55,831991 1.213.828.011 2.409.674.117 50,371992 1.476.126.995 3.096.672.339 47,671993 1.009.303.317 1.460.648.021 69,101994 1.974.049.208 2.862.551.805 68,961995 2.126.475.514 3.217.775.525 66,091996 2.564.006.548 4.060.003.259 63,151997 2.736.466.016 4.728.893.679 57,871998 2.905.228.653 5.894.414.052 49,291999 3.595.746.822 6.054.226.871 59,392000 3.604.319.054 6.114.225.924 58,952001 3.498.816.899 6.705.610.954 52,182002 4.578.519.274 5.568.034.581 82,232003 4.518.835.220 6.805.263.725 66,40
Rata-rata 60,27Sumber : BPS, 1983-2003, diolah Keterangan : Tahun dasar 1993 (1993=100)
94
Lampiran 7. Growth Industri Pakaian Jadi Indonesia (1983-2003)
Tahun Nilai Output (Rp) Growth (%) 1982 122.447.8571983 180.506.709 47,421984 254.518.979 41,001985 419.486.773 64,821986 566.520.657 35,051987 712.354.208 25,741988 1.096.292.432 53,901989 1.413.736.349 28,961990 2.597.287.285 83,721991 3.623.502.127 39,511992 4.572.799.333 26,201993 2.469.951.338 -45,991994 4.836.601.014 95,821995 5.344.251.040 10,501996 6.624.009.807 23,951997 7.465.359.695 12,701998 8.799.642.702 17,871999 9.649.973.693 9,662000 9.718.544.980 0,712001 10.204.427.850 5,002002 10.146.553.850 -0,572003 11.324.098.940 11,61
Rata-rata 27,98Sumber : BPS, 1982-2003, diolah. Keterangan : Tahun dasar 1993 (1993=100)
95
Lampiran 8. Produktivitas Industri Pakaian Jadi Indonesia (1983-2003)
Tahun Nilai Output (Rp) Nilai Input TK (Rp) Produktivitas (%) 1983 180.506.709 26.549.872 679,871984 254.518.979 37.792.202 673,461985 419.486.773 55.018.076 762,451986 566.520.657 70.286.655 806,011987 712.354.208 49.492.165 1439,321988 1.096.292.432 117.157.419 935,741989 1.413.736.349 155.547.592 908,871990 2.597.287.285 317.702.656 817,521991 3.623.502.127 398.254.130 909,841992 4.572.799.333 472.877.225 967,011993 2.469.951.338 708.933.798 348,401994 4.836.601.014 710.628.498 680,601995 5.344.251.040 744.298.411 718,021996 6.624.009.807 779.361.756 849,921997 7.465.359.695 808.999.295 922,781998 8.799.642.702 606.346.925 1451,251999 9.649.973.693 849.798.636 1135,562000 9.718.544.980 884.919.074 1098,342001 10.204.427.850 1.255.048.256 813,072002 10.146.553.850 1.516.608.738 669,022003 11.324.098.940 1.452.067.700 779,86
Rata-rata 874,61Sumber : BPS, 1983-2003, diolah. Keterangan : Tahun dasar 1993 (1993=100).
96
Lampiran 9. Hasil Estimasi Output Regresi dan Uji Ekonometrika Dependent Variable: PCM Method: Least Squares Date: 06/25/06 Time: 23:19 Sample(adjusted): 1985 2003 Included observations: 19 after adjusting endpoints Convergence achieved after 7 iterations
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -23,60763 4,363567 -5,410167 0,0002
CR4 -0,166643 0,042393 -3,930908 0,0023GROWTH 0,037651 0,014133 2,664097 0,0220
XEFF 0,456346 0,053378 8,549288 0,0000PROD 0,012511 0,001989 6,288630 0,0001
DUMMY -1,376205 1,069238 -1,287089 0,2245PCM(-1) 0,489386 0,089063 5,494820 0,0002
AR(1) -0,710023 0,224868 -3,157512 0,0091R-squared 0,924435 Mean dependent var 24,86053Adjusted R-squared 0,876347 S.D. dependent var 3,794702S.E. of regression 1,334379 Akaike info criterion 3,710371Sum squared resid 19,58624 Schwarz criterion 4,108029Log likelihood -27,24852 F-statistic 19,22417Durbin-Watson stat 2,236158 Prob(F-statistic) 0,000024Inverted AR Roots -,71
Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 1,618679 Probability 0,232063
Obs*R-squared 2,647023 Probability 0,103744
Uji Heteroskedastisitas
White Heteroskedasticity Test: F-statistic 0,726733 Probability 0,694838
Obs*R-squared 10,12982 Probability 0,518749
97
Lampiran 10. Uji multikolinearitas
PCM CR4 GROWTH XEFF PROD DUMMY PCM 1,000000 -0,407130 0,310431 0,256086 0,319444 0,373556 CR4 -0,407130 1,000000 -0,176624 0,345836 -0,487863 -0,462914
GROWTH 0,310431 -0,176624 1,000000 -0,087790 0,040572 -0,462795 XEFF 0,256086 0,345836 -0,087790 1,000000 -0,721059 0,049177 PROD 0,319444 -0,487863 0,040572 -0,721059 1,000000 0,305853
DUMMY 0,373556 -0,462914 -0,462795 0,049177 0,305853 1,000000
Uji Normalitas
0
1
2
3
4
5
6
-2 -1 0 1 2
Series: ResidualsSample 1985 2003Observations 19
Mean -2.73E-12Median 0.177550Maximum 1.771292Minimum -1.716620Std. Dev. 1.043132Skewness -0.069451Kurtosis 1.831659
Jarque-Bera 1.095915Probability 0.578129
98
Lampiran 11. Hasil Estimasi Output Regresi dan Uji Ekonometrika Tahap 1 Dependent Variable: PCM Method: Least Squares Date: 07/26/06 Time: 16:18 Sample: 1983 2003 Included observations: 21
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -9,506994 6,537991 -1,454115 0,1665
CR4 -0,058096 0,061785 -0,940297 0,3620GROWTH 0,048372 0,018962 2,551017 0,0222
XEFF 0,377490 0,078554 4,805490 0,0002PROD 0,012372 0,002962 4,176829 0,0008
DUMMY 1,341737 1,505902 0,890986 0,3870R-squared 0,783051 Mean dependent var 24,92524Adjusted R-squared 0,710735 S.D. dependent var 3,633620S.E. of regression 1,954284 Akaike info criterion 4,412882Sum squared resid 57,28841 Schwarz criterion 4,711317Log likelihood -40,33526 F-statistic 10,82813Durbin-Watson stat 2,019906 Prob(F-statistic) 0,000149 Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0,003734 Probability 0,952137
Obs*R-squared 0,005600 Probability 0,940348
Uji Heteroskedastisitas
White Heteroskedasticity Test: F-statistic 6,777128 Probability 0,002178
Obs*R-squared 17,79141 Probability 0,037672
99
Lampiran 12. Uji Multikolinearitas Tahap 1
PCM CR4 GROWTH XEFF PROD DUMMY PCM 1,000000 -0,407130 0,310431 0,256086 0,319444 0,373556 CR4 -0,407130 1,000000 -0,176624 0,345836 -0,487863 -0,462914
GROWTH 0,310431 -0,176624 1,000000 -0,087790 0,040572 -0,462795 XEFF 0,256086 0,345836 -0,087790 1,000000 -0,721059 0,049177 PROD 0,319444 -0,487863 0,040572 -0,721059 1,000000 0,305853
DUMMY 0,373556 -0,462914 -0,462795 0,049177 0,305853 1,000000
Uji Normalitas Tahap 1
0
2
4
6
8
10
12
-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3
Series: ResidualsSample 1983 2003Observations 21
Mean 9.07E-15Median 0.494322Maximum 2.544458Minimum -4.087276Std. Dev. 1.692460Skewness -0.838009Kurtosis 3.108452
Jarque-Bera 2.468200Probability 0.291097
100
Lampiran 13. Hasil Output Minitab Regression Analysis: PCM versus CR4; GROWTH; XEFF; PROD; DUMMY The regression equation is PCM = - 9,51 - 0,0581 CR4 + 0,0484 GROWTH + 0,377 XEFF + 0,0124 PROD + 1,34 DUMMY Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant -9,507 6,538 -1,45 0,167 CR4 -0,05810 0,06178 -0,94 0,362 2,1 GROWTH 0,04837 0,01896 2,55 0,022 1,8 XEFF 0,37749 0,07855 4,81 0,000 2,8 PROD 0,012372 0,002962 4,18 0,001 2,9 DUMMY 1,342 1,506 0,89 0,387 2,8 S = 1,954 R-Sq = 78,3% R-Sq(adj) = 71,1% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 5 206,776 41,355 10,83 0,000 Residual Error 15 57,288 3,819 Total 20 264,064 Source DF Seq SS CR4 1 43,770 GROWTH 1 15,507 XEFF 1 48,865 PROD 1 95,602 DUMMY 1 3,032 Unusual Observations Obs CR4 PCM Fit SE Fit Residual St Resid 11 41,6 12,160 16,247 1,593 -4,087 -3,61R R denotes an observation with a large standardized residual
101
Lampiran 14. Hasil Estimasi Output Regresi dan Uji Ekonometrika Tahap 2
Dependent Variable: PCM Method: Least Squares Date: 07/26/06 Time: 16:27 Sample(adjusted): 1984 2003 Included observations: 20 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -19,83180 6,451094 -3,074177 0,0089CR4 -0,102530 0,054603 -1,877734 0,0830
GROWTH 0,056497 0,016469 3,430512 0,0045XEFF 0,420186 0,067125 6,259715 0,0000PROD 0,011572 0,002497 4,634351 0,0005
DUMMY 0,126356 1,320494 0,095688 0,9252PCM(-1) 0,376421 0,127371 2,955301 0,0112
R-squared 0,870409 Mean dependent var 24,96550Adjusted R-squared 0,810597 S.D. dependent var 3,723207S.E. of regression 1,620356 Akaike info criterion 4,072386Sum squared resid 34,13220 Schwarz criterion 4,420892Log likelihood -33,72386 F-statistic 14,55254Durbin-Watson stat 2,885318 Prob(F-statistic) 0,000043
Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 5,574820 Probability 0,035979 Obs*R-squared 6,344099 Probability 0,011777
Uji Heteroskedastisitas
White Heteroskedasticity Test: F-statistic 2,597430 Probability 0,092894 Obs*R-squared 15,62504 Probability 0,155632
Uji Multikolinearitas
PCM CR4 GROWTH XEFF PROD DUMMY PCM 1,000000 -0,407130 0,313599 0,256086 0,319444 0,373556 CR4 -0,407130 1,000000 -0,178528 0,345836 -0,487863 -0,462914
GROWTH 0,313599 -0,178528 1,000000 -0,083574 0,039146 -0,461026 XEFF 0,256086 0,345836 -0,083574 1,000000 -0,721059 0,049177 PROD 0,319444 -0,487863 0,039146 -0,721059 1,000000 0,305853
DUMMY 0,373556 -0,462914 -0,461026 0,049177 0,305853 1,000000
102
Lampiran 15. Hasil Estimasi Output Regresi dan Uji Ekonometrika Tahap 3
Dependent Variable: PCM Method: Least Squares Date: 06/19/06 Time: 15:59 Sample(adjusted): 1985 2003 Included observations: 19 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -22,56495 11,04279 -2,043411 0,0657
CR4 -0,224038 0,074847 -2,993279 0,0122GROWTH 0,012976 0,032048 0,404895 0,6933
XEFF 0,465276 0,095046 4,895263 0,0005PROD 0,012663 0,003527 3,589856 0,0042
DUMMY -2,476615 1,946236 -1,272515 0,2294PCM(-1) 0,363062 0,201129 1,805123 0,0985PCM(-2) 0,130482 0,183428 0,711352 0,4917
R-squared 0,785441 Mean dependent var 24,86053Adjusted R-squared 0,648903 S.D. dependent var 3,794702S.E. of regression 2,248492 Akaike info criterion 4,753958Sum squared resid 55,61288 Schwarz criterion 5,151617Log likelihood -37,16260 F-statistic 5,752550Durbin-Watson stat 2,921972 Prob(F-statistic) 0,005391 Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 6,836073 Probability 0,025837
Obs*R-squared 7,714708 Probability 0,005477
Uji Heteroskedastisitas
White Heteroskedasticity Test: F-statistic 16,89946 Probability 0,002851Obs*R-squared 18,57720 Probability 0,136807
Uji Multikolinearitas
PCM CR4 GROWTH PROD XEFF DUMMY PCM 1,000000 -0,407130 -0,245985 0,319444 0,256086 0,373556 CR4 -0,407130 1,000000 0,224064 -0,487863 0,345836 -0,462914
GROWTH -0,245985 0,224064 1,000000 -0,319403 0,068643 -0,668160 PROD 0,319444 -0,487863 -0,319403 1,000000 -0,721059 0,305853 XEFF 0,256086 0,345836 0,068643 -0,721059 1,000000 0,049177
DUMMY 0,373556 -0,462914 -0,668160 0,305853 0,049177 1,000000
103
Lampiran 16. Hasil Estimasi Output Regresi dan Uji Ekonometrika Tahap 4
Dependent Variable: PCM Method: Least Squares Date: 06/27/06 Time: 21:50 Sample(adjusted): 1984 2003 Included observations: 20 after adjusting endpoints Convergence achieved after 21 iterations
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -12,52113 8,333686 -1,502471 0,1569
CR4 -0,145094 0,071300 -2,034981 0,0628GROWTH -0,012408 0,032553 -0,381173 0,7092
XEFF 0,458079 0,096437 4,750045 0,0004PROD 0,014992 0,003724 4,025867 0,0014
DUMMY -1,806095 1,865771 -0,968015 0,3507AR(1) -0,122316 0,320947 -0,381109 0,7093
R-squared 0,702524 Mean dependent var 24,96550Adjusted R-squared 0,565227 S.D. dependent var 3,723207S.E. of regression 2,454981 Akaike info criterion 4,903332Sum squared resid 78,35013 Schwarz criterion 5,251839Log likelihood -42,03332 F-statistic 5,116835Durbin-Watson stat 2,007658 Prob(F-statistic) 0,006651Inverted AR Roots -,12 Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0,319135 Probability 0,582535
Obs*R-squared 0,518113 Probability 0,471648
Uji Heteroskedastisitas
White Heteroskedasticity Test: F-statistic 19,42816 Probability 0,000034Obs*R-squared 18,91806 Probability 0,025899
Uji Multikolinearitas
PCM CR4 GROWTH XEFF PROD DUMMY PCM 1,000000 -0,407130 -0,245985 0,256086 0,319444 0,373556 CR4 -0,407130 1,000000 0,224064 0,345836 -0,487863 -0,462914
GROWTH -0,245985 0,224064 1,000000 0,068643 -0,319403 -0,668160 XEFF 0,256086 0,345836 0,068643 1,000000 -0,721059 0,049177 PROD 0,319444 -0,487863 -0,319403 -0,721059 1,000000 0,305853
DUMMY 0,373556 -0,462914 -0,668160 0,049177 0,305853 1,000000
104
Lampiran 17. Barang Hasil Produksi Industri Pakaian Jadi (Garmen)
No. Barang hasil produksi industri pakaian jadi (Garmen)
No. Barang hasil produksi industri pakaian jadi (Garmen)
1. Pakaian luar pria dari batik (dewasa/anak-anak)
30. Setelan batik wanita
2. Pakaian luar pria selain dari batik (dewasa/anak-anak)
31. Blouse batik wanita
3. Pakaian dalam pria (dewasa/anak-anak)
32. Kemeja batik wanita
4. Pakaian dalam wanita (dewasa/anak-anak)
33. Gaun motif batik wanita
5. Pakaian bayi 34. Rok dan rok terpisah batik 6. Pakaian olah raga pria/wanita
lainnya 35. Celana panjang dan pendek batik
wanita 7. Pakaian jadi lainnya 36. Daster batik 8. Jaket batik pria 37. Gaun malam batik wanita 9. Kemeja lengan panjang batik pria 38. Mantel wanita 10. Kemeja lengan pendek batik pria 39. Setelan wanita lainnya 11. Celana panjang dan pendek batik
pria 40. Jas/blazer wanita lainnya
12. Setelan pria lainnya 41. Jaket wanita lainnya 13. Jas/blazer pria lainnya 42. Baju hangat wanita lainnya 14. Jaket pria lainnya 43. Rompi wanita 15. Baju hangat pria lainnya 44. Blouse wanita 16. Rompi pria lainnya 45. Kemeja wanita 17. Jas hujan pria lainnya 46. Kebaya 18. Kemeja lengan panjang pria lainnya 47. Gaun wanita 19. Kemeja lengan pendek pria lainnya 48. Rok dan rok terpisah 20. Celana panjang dan pendek pria
lainnya 49. Celana panjang dan pendek wanita
21. Piyama pria lainnya 50. Daster lainnya 22. Jubah pria lainnya 51. Gaun malam wanita lainnya 23. Pakaian renang pria 52. Piyama wanita 24. Baju koko 53. Pakaian luar wanita lainnya 25. Pakaian luar pria lainnya 54. Pakaian dalam wanita lainnya 26. Pakaian luar wanita dari batik
(dewasa/anak-anak) 55. Pakaian renang wanita
27. Pakaian luar wanita selain dari batik (dewasa/anak-anak)
56. Pakaian training
28. Pakaian dalam pria lainnya 57. Pakaian adat (bukan kebaya) 29. Pakaian kerja khusus 58. Perlengkapan bayi lainnya
Lampiran 2. Struktur Biaya Industri Pakaian Jadi di Indonesia
Biaya 2000 2001 2002 2003 Jumlah (000 Rp) % Jumlah (000 Rp) % Jumlah (000 Rp) % Jumlah (000 Rp) % Bahan baku dan penolong 11.896.133.548 74,6 13.113.849.614 69,4 11.885.833.174 66,2 14.345.270.647 66,7Bahan bakar, tenaga listrik dan gas 207.811.723 1,3 623.263.854 3,3 560.382.312 3,1 1.002.980.786 4,6Bahan lainnya 221.473.133 1,4 - - - - - - Pemeliharaan dan jasa industri 419.283.363 2,6 - - - - - - Sewa gedung, mesin dan alat 114.272.914 0,7 182.762.502 1 193.397.960 1,1 297.387.312 1,4Jasa non industri 1 075.346.206 6,8 1.904.436.212 10,1 1.467.002.170 8,2 2.088.197.998 9,7Pengeluaran untuk tenaga kerja 2.016.730.570 12,6 3.064.827.841 16,2 3.842.328.237 21,4 3.783.943.220 17,6Total biaya 15.951.051.457 100 18.889.140.023 100 17.948.943.853 100 21.517.779.963 100Nilai output 22.148.564.012 24.919.212.827 25.706.294.198 29.509.469.443
Sumber : BPS, 2000-2003.
Recommended