View
233
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
ANALISIS KINERJA DAN EFISIENSI ENERGI
PROTOTIPE ALAT PENYULINGAN UNTUK
INDUSTRI KECIL MINYAK NILAM
Oleh:
FINA UZWATANIA
F 34104074
2009
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FINA UZWATANIA. F 34104074. Analisis Kinerja dan Efisiensi Energi Prototipe Alat Penyulingan untuk Industri Kecil Minyak Nilam. Dibawah bimbingan : Meika Syahbana Rusli dan Ade Iskandar. 2009.
RINGKASAN
Minyak nilam adalah salah satu komoditi minyak atsiri andalan Indonesia yang diperoleh dari tanaman nilam (Pogostemon cablin benth) dengan cara penyulingan. Minyak nilam memiliki kegunaan yang luas sebagai minyak atsiri. Sampai saat ini, minyak nilam adalah komoditi ekspor yang memiliki prospek yang baik untuk memenuhi kebutuhan dunia dalam berbagai industri seperti industri parfum, kosmetik, farmasi dan lainnya. Minyak nilam mempunyai peluang pasar dunia yang cukup besar meskipun menghadapi persaingan dan fluktuasi harga yang cukup tajam. Hal ini menuntut dilakukannya strategi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi agroindustri minyak nilam.
Proses penyulingan minyak nilam pada skala kecil yang dilakukan oleh rakyat masih menggunakan teknologi yang sederhana dan penggunaan alat yang terbuat dari bahan-bahan yang bersifat korosif. Metode penyulingan yang digunakan umumnya dengan cara uap dan air (kukus) yang berdasarkan dari pengalaman saja sehingga kurang efektif dan efisien. Untuk itu dilakukan penelitian mengenai kinerja dan efisiensi energi penyulingan minyak nilam dengan metode uap dan air dengan sistem kohobasi dan non kohobasi untuk mengetahui sistem yang akan menghasilkan efisiensi energi yang lebih baik. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kinerja prototipe peralatan yang digunakan dalam penyulingan minyak nilam dan menganalisis efisiensi energi prototipe peralatan penyulingan minyak nilam.
Penyulingan daun dan ranting nilam dengan bobot rata – rata 37,5 kg dilakukan dengan metode uap dan air (water and steam destilation) dengan sistem kohobasi dan non kohobasi selama 8 jam. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini diantaranya adalah ketel yang dilengkapi dengan tungku pembakaran, kondensor dan separator. Bahan bakar yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan bakar biomassa yaitu kayu.
Kinerja tungku pembakaran didasarkan atas beberapa parameter seperti luas permukaan pindah panas, kesempurnaan proses pembakaran kayu, dan jumlah bahan bakar. Luas permukaan pindah panas pada ketel suling adalah 1,70 m2. Kayu bakar kering yang digunakan pada penyulingan kohobasi sebanyak 143,32 kg dan pada penyulingan non kohobasi sebanyak 138,2 kg. Energi yang dihasilkan oleh kayu bakar akan digunakan untuk penguapan air di dalam ketel.
Berdasarkan hasil analisa didapatkan energi rata – rata yang digunakan untuk mengubah air menjadi uap sebesar 644,77 MJ dan energi rata – rata yang dihasilkan bahan bakar adalah 2.579,85 MJ pada penyulingan kohobasi. Maka dengan perbandingan antara energi penguapan air dengan energi bahan bakar menghasilkan efisiensi ketel suling sebesar 25 %. Pada penyulingan non kohobasi energi rata – rata yang digunakan untuk mengubah air menjadi uap sebesar 572,36
MJ dan energi rata – rata yang dihasilkan bahan bakar adalah 2.487,6 MJ menghasilkan efisiensi ketel suling sebesar 23 %.
Kinerja ketel suling dapat dinilai dari beberapa parameter seperti kepadatan bahan, laju destilat, dan penetrasi uap di dalam ketel suling. Kepadatan bahan pada penyulingan kohobasi sebesar 0,90 kg/l dan pada penyulingan non kohobasi sebesar 0,96 kg/l. Laju destilasi penyulingan kohobasi sebesar 0,74 l/jam dan pada penyulingan non kohobasi sebesar 0,63 l/jam.
Penyulingan yang dilakukan pada penelitian ini menghasilkan efisiensi kondensor sebesar 79 % untuk penyulingan kohobasi dan 99,26 % untuk penyulingan non kohobasi. Perbedaan efisiensi antara penyulingan kohobasi dan penyulingan non kohobasi dipengaruhi oleh penggunaan air pendingin. Pada penyulingan non kohobasi air pendingin dialirkan secara terus – menerus sedangkan pada penyulingan kohobasi tidak. Penyulingan kohobasi menghasilakn suhu destilat rata - rata 31,56 °C dan penyulingan non kohobasi menghasilkan suhu destilat rata - rata 30,35 °C.
Penyulingan dengan sistem kohobasi menghasilkan rendemen sebesar 2,29 % (basis kering) sedangkan pada penyulingan non kohobasi rendemen yang dihasilkan sebesar 2,2 % (basis kering). Mutu minyak nilam yang dihasilkan dengan penyulingan kohobasi dan non kohobasi memiliki nilai bobot jenis 0,9583 untuk penyulingan kohobasi dan 0,9582 untuk penyulingan non kohobasi. Nilai indeks bias 1,5075 untuk penyulingan kohobasi dan 1,5073 untuk penyulingan non kohobasi, putaran optik rata – rata (-) 64,5 untuk penyulingan kohobasi dan (-) 62,47 untuk penyulingan non kohobasi. Bilangan asam 3,18 untuk penyulingan kohobasi dan 3,19 untuk penyulingan non kohobasi serta nilai bilangan ester 8,75 untuk penyulingan kohobasi dan 5,55 untuk penyulingan non kohobasi. Seluruh minyak nilam yang dihasilkan dapat larut dengan baik dalam alkohol 90 % dengan kelarutan 1:1 sampai 1:7. Semakin lama waktu penyulingan meningkatkan nilai bobot jenis, indeks bias, putaran optik, bilangan ester dan bilangan asam. Secara keseluruhan minyak nilam hasil penyulingan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 06 – 2385 – 2006.
FINA UZWATANIA. F 34104074. Performance and Energy Efficiency Analysis of Distillation Equipments Prototype for Patchouli Oil Small Scale Industry. Supervised by : Meika Syahbana Rusli and Ade Iskandar. 2009.
SUMMARY
Patchouli oil is high value essential oil of Indonesia that is produced by the steam distillation process from patchouli plants (Pogostemon cablin benth). As an export commodity, patchouli oil is quite substantial to fulfill the world demand in perfumery, cosmetic and pharmacy industries. Patchouli oil has always been possessed an increasing world market in spite of facing hard competition and non-tariff barrier in the world trade. Therefore it needs to increase continuously the productivity and efficiency of essential-oil agroindustries. Distillation process for patchouli oil in small scale in general still represent simple technology process with equipments which are made from corrosive material. The most common method of essential oil production is water and steam distillation and conducted only based on experience so that the efficiency is usually low. Therefore this research evaluate aimed to the efficiency both kohobasi system and non kohobasi system. The objective of this research were to study and examine the performance of distillation equipment, analyze energy efficiency of distillation system prototype and analyze the quality of patchouli oil. The distillation method of 37,5 kg of patchouli plants was water and steam distillation with kohobasi system and non kohobasi system for 8 hours period. The distillation equipment to produced patchouli oil were retort with furnace, condenser and separator. This research used biomass energy such as fire woods as fuel. Furnace performance analysis based on several parameters which were surface area of heat transfer, woods burning process and the usage of fuels. The wide surface of heat transfer on retort is 1,70 m2. Distillation process with kohobasi system used dry fire woods of 143,32 kg and non kohobasi system used 138,2 kg of dry firewoods. The energy from firewoods used for boiling dan vaporize water in retort.
According to the result, in kohobasi system the energy is needed to boiling and vaporize the water into steam is 644,51 MJ and the energy from firewoods is 2.579,85 MJ. The retort efficiency at that condition is 25 %. In non kohobasi system the energy is needed to boiling and vaporize the water into steam is 572,24 MJ and the energy from the fuel is 2487,6 MJ. The retort efficiency at that condition is 22,99 %.
Retort performance bases on several parameters like bulk density, distillation rate and steam penetration. Bulk density for kohobasi system was 0,09 kg/l and 0,096 for non kohobasi system. Distillation rate for kohobasi system was 0,74 l/hour and 0,63 for non kohobasi system.
Condenser efficiency for kohobasi system is 79 % and 99,26 % for non kohobasi sytem. The difference efficiency between kohobasi sytem and non kohobasi system is influenced by cold water flows. Cold water flows continuously in non kohobasi system result in higher efficiency than in kohobasi system.
Average distillate temperature for kohobasi system was 31,56 °C and 30,35 °C for non kohobasi system.
The yield of patchouli oil for kohobasi system was 2,29 % (dry basis) and 2,2 % (dry basis) for non kohobai system. The quality of patchouli oil produced by kohobasi system and non kohobasi system is quite comparable, the oil has specific gravity 0,9583 for kohobasi system and 0,9582 for non kohobasi system. Refractive index of the oil for kohobasi system was 1,5075 and for non kohobasi system was 1,5073. Optical rotation for kohobasi system was (-) 64,5 and for non kohobasi system was (-) 62,47. The acid number for kohobasi system was 3,18 and for non kohobasi system was 3,19. Ester value for kohobasi system was 8,75 and for non kohobasi system was 5,55. Solubility in alcohol 90 % 1 : 1 until 1 : 7. The increase of distillation period results the increase of specific gravity, refractive index, optical rotation, acid value and ester value.
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul :
”Analisis Kinerja dan Efisiensi Energi Prototipe Alat Penyulingan untuk
Industri Kecil Minyak Nilam” adalah karya asli saya sendiri dengan arahan
dosen pembimbing akademik, kecuali yang jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, Januari 2009
Yang memberi pernyataan
Nama : Fina Uzwatania
NRP : F 34104074
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillahirabbil”alamin. Segala puji dan syukur bagi Allah SWT
karena atas segala rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Efisiensi Energi Prototipe Alat Penyulingan Minyak Nilam dengan
Metode Uap dan Air”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian.
Suatu kehormatan tersendiri bagi penulis, selama penelitian dan
penyusunan skripsi ini banyak mendapat arahan dan bantuan dari berbagai pihak.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M.Sc sebagai dosen pembimbing pertama
yang telah memberikan arahan dan nasehat selama penelitian dan
penulisan skripsi ini.
2. Ir. Ade Iskandar, M.Si sebagai dosen pembimbing kedua yang telah
memberikan arahan dan nasehat selama penelitian dan penulisan skripsi
ini.
3. Moch. Syamsul Arifin Zein, Ratna Dyah Mutiarani, Bhaktia Adityatama
dan Bernaseta Trias Hutami yang telah memberikan semangat, dukungan,
doa dan kasih sayang.
Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca. Saran dan
kritik yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan selanjutnya. Terima
kasih.
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Bogor, Januari 2009
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan selesainya kegiatan penelitian dan skripsi ini, tidak lupa saya
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Moch. Syamsul Arifin Zein, Ratna Dyah Mutiarani, Bhaktia Adityatama
dan Bernaseta Trias Hutami yang telah memberikan semangat, dukungan,
doa dan kasih sayang.
2. Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M.Sc sebagai dosen pembimbing pertama
yang telah memberikan arahan dan nasehat selama selama masa
perkuliahan hingga akhir penyelesaian tugas akhir.
3. Ir. Ade Iskandar, M.Si sebagai dosen pembimbing kedua yang telah
memberikan arahan dan nasehat selama penelitian dan penulisan skripsi
ini.
4. Dr. Ir. Erliza Noor sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan
untuk menyempurnakan penelitian dan penulisan skripsi ini.
5. Bapak Anom sebagai narasumber pada penyulingan rakyat di Kabupaten
Pakpak Bharat yang telah memberikan informasi yang berharga untuk
penelitian dan penulisan skripsi ini.
6. Kak Harry, Mbak Yus, Bu Rini, Bu Ega serta para laboran Departemen
Teknologi Industri Pertanian.
7. Para Teknisi di Leuwikopo atas bantuan dan kerjasamanya selama
penelitian berlangsung.
8. Irsan Supardiyono atas semua perhatian, kesabaran, ketulusan serta doa
yang selalu memberikan semangat bagi penulis.
9. Hindarsih Widyastuti dan Linda Purwaningrat untuk persahabatan yang
selalu ada saat suka maupun duka serta yang selalu memberikan dukungan
dan motivasi.
10. Rekan penelitian Ivon, Danar, mba Tuti dan Bu Ros atas kerjasama selama
penelitian dan penulisan skripsi ini.
11. Ika, Dedeh, Niken, Benk, Darto, Ardi, Kukun, Darto, Nardi, Hidea, Listya,
Bobi, Renal, Fajri, Mira, Alto, Muli, Mirsa, Tutu, Dodol, Shinta, Usuy,
Ami, Satria, Aang, Lala, Ayi, Zuni, Rey, Yuyun, Dicka, Haekal, Asif,
Nova, Erpi, Dnur atas dukungan serta kebersamaannya selama ini di lab,
sapta dan segala penjuru Fateta .
12. Seluruh teman-teman TIN 41 yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas
kebersamaannya selama ini.
13. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas segala
bantuan, saran dan dorongannya hingga skripsi ini selesai.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu saran dan kritik membangun sangat penulis harapkan sebagai
pembelajaran di masa depan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak
yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2009 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................ iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .................................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... x
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ............................................................................ 1
B. TUJUAN ................................................................................................ 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. MINYAK NILAM ................................................................................. 3
B. PENYULINGAN MINYAK ATSIRI .................................................... 5
1. Perlakuan Pendahuluan .................................................................... 5
2. Proses Penyulingan ........................................................................... 6
C. PERALATAN PENYULINGAN .......................................................... 8
1. Ketel Suling ...................................................................................... 9
2. Kondensor ........................................................................................ 10
3. Separator .......................................................................................... 11
D. KEHILANGAN ENERGI ..................................................................... 11
III. METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT .......................................................................... 13
1. Bahan .............................................................................................. 13
2. Alat ................................................................................................. 13
B. METODE PENELITIAN ..................................................................... 20
1. Persiapan Bahan .............................................................................. 20
2. Proses Penyulingan ......................................................................... 20
3. Analisa mutu minyak nilam ............................................................ 23
4. Analisis Kinerja Peralatan Penyulingan.......................................... 23
C. STUDI BANDING KINERJA ALAT .................................................. 32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. RENDEMEN MINYAK NILAM ......................................................... 33
B. KINERJA ALAT PENYULINGAN ...................................................... 36
1. Tungku Pembakaran ......................................................................... 36
2. Ketel Suling ...................................................................................... 40
3. Kondensor ........................................................................................ 44
4. Separator .......................................................................................... 47
C. EFISIENSI ENERGI ............................................................................. 50
1. Kehilangan panas ............................................................................. 50
2. Efisiensi Ketel Suling ....................................................................... 54
3. Efisiensi Kondensor ......................................................................... 56
4. Efisiensi Penyulingan ....................................................................... 58
D. ANALISA MUTU ................................................................................. 61
1. Penampakan Warna ......................................................................... 61
2. Bobot Jenis ...................................................................................... 62
3. Indeks Bias ...................................................................................... 64
4. Putaran Optik ................................................................................... 65
5. Bilangan Asam ................................................................................ 66
6. Bilangan Ester .................................................................................. 68
7. Kelarutan ......................................................................................... 69
E. PENYULINGAN RAKYAT ................................................................. 70
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN ...................................................................................... 75
B. SARAN .................................................................................................. 76
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 77
LAMPIRAN ........................................................................................................... 79
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Spesifikasi persyarataan mutu minyak nilam ........................................... 5
Tabel 2. Jumlah minyak tersuling .......................................................................... 34
Tabel 3. Perbandingan kinerja tungku pembakaran ............................................... 37
Tabel 4. Perbandingan kinerja tungku pembakaran setiap kg bahan ...................... 39
Tabel 5. Perbandingan kinerja ketel suling ............................................................. 40
Tabel 6. Perbandingan suhu rata – rata ................................................................... 46
Tabel 7. Perbandingan kinerja di separator ............................................................ 48
Tabel 8. Suhu rata – rata alat penyulingan ............................................................. 50
Tabel 9. Perbandingan kehilangan energi alat penyulingan ................................... 53
Tabel 10. Luas permukaan pindah panas alat penyulingan...................................... 54
Tabel 11. Perbandingan efisiensi ketel.................................................................... 55
Tabel 12. Perbandingan efisiensi kondensor ......................................................... 56
Tabel 13. Perbandingan mutu minyak nilam hasil penyulingan ............................ 61
Tabel 14. Kelarutan minyak nilam dalam alkohol 90 % ........................................ 69
Tabel 15. Suhu di kondensor penyulingan rakyat ................................................. 72
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Tanaman nilam ........................................................................................ 3
Gambar 2. Nilam kering dan kayu bakar .................................................................. 13
Gambar 3. Skema peralatan penyulingan minyak nilam ........................................... 14
Gambar 4. Ketel suling dengan tungku pembakaran ................................................. 15
Gambar 5. Kondensor ................................................................................................ 17
Gambar 6. Separator .................................................................................................. 18
Gambar 7. Diagram alir kegiatan penelitian ............................................................. 22
Gambar 8. Grafik profil minyak hasil penyulingan .................................................. 35
Gambar 9. Grafik laju destilat ................................................................................... 37
Gambar 10. Perbandingan suhu di kondensor pada penyulingan kohobasi ............. 44
Gambar 11. Perbandingan suhu di kondensor pada penyulingan non kohobasi ....... 45
Gambar 12. Grafik perkembangan waktu tinggal di separator ................................. 49
Gambar 13. Grafik kehilangan panas dinding ketel .................................................. 51
Gambar 14. Grafik kehilangan panas tutup ketel ...................................................... 51
Gambar 15. Grafik kehilangan panas pipa penghubung ketel dengan kondensor .... 52
Gambar 16. Grafik kehilangan panas dinding tungku ............................................... 52
Gambar 17. Neraca energi penyulingan kohobasi .................................................... 59
Gambar 18. Neraca energi penyulingan non kohobasi ............................................. 60
Gambar 19. Minyak hasil penyulingan ..................................................................... 62
Gambar 20. Grafik perbandingan nilai bobot jenis ................................................... 63
Gambar 21. Grafik perbandingan nilai indeks bias ................................................... 64
Gambar 22. Grafik perbandingan nilai putaran optik ............................................... 66
Gambar 23. Grafik perbandingan nilai bilangan asam .............................................. 67
Gambar 24. Grafik perbandingan nilai bilangan ester ............................................... 68
Gambar 25. Sketsa penyulingan rakyat .................................................................... 71
Gambar 26. Laju destilat penyulingan rakyat ........................................................... 72
Gambar 28. Grafik suhu di kondensor pada penyulingan rakyat .............................. 72
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur analisa karakterisasi minyak nilam ..................................... 80
Lampiran 2. Kehilangan panas ............................................................................... 87
Lampiran 3. Efisiensi ketel ..................................................................................... 102
Lampiran 4. Efisiensi kondensor ............................................................................ 108
Lampiran 5. Laju dan suhu ..................................................................................... 114
Lampiran 6. Kadar air dan kadar minyak ............................................................... 115
Lampiran 7. Hasil analisa mutu minyak nilam ...................................................... 120
Lampiran 8. Gambar minyak hasil penyulingan ..................................................... 123
Lampiran 9. Gambar alat penyulingan prototipe .................................................... 124
Lampiran 10. Gambar alat penyulingan rakyat ...................................................... 125
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Minyak nilam adalah salah satu komoditi minyak atsiri andalan
Indonesia yang diperoleh dari tanaman nilam dengan cara penyulingan.
Minyak nilam memiliki kegunaan yang luas sebagai minyak atsiri. Sampai
saat ini, minyak nilam adalah komoditi ekspor yang memiliki prospek
yang baik untuk memenuhi kebutuhan dunia dalam berbagai industri
seperti industri parfum, kosmetik, sabun, farmasi dan lainnya. Indonesia
merupakan pemasok minyak nilam terbesar di pasaran dunia dengan 90 %.
Ekspor minyak nilam pada tahun 2006 sebesar 1.300 ton dengan nilai US
$ 18,865 juta (BPS, 2007).
Minyak nilam sebagai komoditi ekspor mempunyai peluang pasar
dunia yang cukup besar meskipun menghadapi persaingan dan fluktuasi
harga yang cukup tajam. Hal ini menuntut dilakukannya strategi untuk
meningkatkan produktivitas dan efisiensi agroindustri minyak nilam.
Penyulingan minyak nilam di Indonesia dilakukan oleh industri kecil
(rakyat) dan industri menengah/besar. Proses penyulingan minyak nilam
pada skala kecil yang dilakukan oleh rakyat masih menggunakan teknologi
yang sederhana dan penggunaan alat yang terbuat dari bahan-bahan yang
bersifat korosif. Sentra penyulingan nilam rakyat di Indonesia diantaranya
terdapat di kabupaten Pakpak Bharat, Kuningan, Purwokerto dan lain
sebagainya.
Metode penyulingan yang digunakan umumnya digunakan pada
penyulingan rakyat adalah dengan cara uap dan air (kukus) yang
berdasarkan dari pengalaman saja sehingga kurang efektif dan efisien.
Oleh karena itu dilakukan penelitian mengenai analisis kinerja dan
efisiensi energi penyulingan minyak nilam dengan metode uap dan air
dengan sistem kohobasi dan non kohobasi untuk mengetahui sistem yang
akan menghasilkan efisiensi energi yang lebih baik serta dilakukan
perbandingan dengan penyulingan rakyat yang sudah ada. Bahan bakar
yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan bakar biomassa yaitu
kayu. Indonesia mempunyai potensi energi biomassa yang besar.
Pemanfaatan energi biomassa sudah sejak lama dilakukan dan termasuk
energi tertua yang peranannya sangat besar. Dengan meningkatnya harga
bahan bakar minyak dan gas menjadikan biomassa sebagai alternatif.
B. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Menganalisis kinerja prototipe peralatan penyulingan skala industri
kecil minyak nilam.
2. Menganalisis efisiensi energi prototipe peralatan penyulingan skala
industri kecil minyak nilam serta membandingkan efisiensi energi
penyulingan kohobasi dan non kohobasi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. MINYAK NILAM
Minyak atsiri merupakan minyak yang mudah menguap pada suhu
kamar tanpa mengalami dekomposisi, mempunyai rasa getir, berbau wangi
sesuai bau tanaman penghasilnya, umumnya larut dalam pelarut organik dan
tidak larut dalam air. Minyak atsiri dapat dihasilkan dari bagian jaringan
tanaman tertentu seperti akar, batang, kulit, bunga, buah dan biji (Ketaren,
1985).
Minyak nilam adalah minyak atsiri yang diperoleh dari tanaman nilam
(Pogostemon cablin Benth) dengan cara penyulingan. Pada tanaman nilam,
minyak atsiri terkandung dalam semua bagian tanaman seperti akar, batang
dan daun. Walaupun tidak banyak digunkan di dalam negeri, minyak nilam
merupakan salah satu komoditi minyak atsiri andalan Indonesia (Sudaryani
dan Sugiharti, 1998).
Gambar 1. Tanaman Nilam
Tanaman nilam merupakan famili Labiatae yaitu tanaman yang perdu
atau semak dengan tinggi antara 0,3 - 1,3 meter yang memiliki aroma khas
(Ketaren, 1985). Tanaman ini merupakan jenis tanaman berakar serabut,
berdaun bulat dan lonjong berwarna hijau dan berbulu di permukaan bagian
atasnya dengan batang berkayu (Sudaryani dan Sugiharti, 1989). Tanaman
nilam di kabupaten Kuningan yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 1.
Beberapa jenis nilam yang dikenal adalah Pogestemon cablin Benth
(nilam aceh), Pogestemon hortensis Benth (nilam jawa atau dikenal juga
dengan nilam sabun) dan Pogestemon heyneasus Benth (nilam kembang).
Diantara ketiga jenis nilam tersebut, nilam aceh adalah nilam yang memiliki
kadar minyak yang tinggi yakni sekitar 2,5 - 5% dan juga memiliki komposisi
minyak yang baik. Nilam jawa dikenal juga dengan nilam sabun karena
seringkali digunakan untuk proses pembuatan sabun. Kadar minyak nilam
jawa tergolong rendah yaitu sekitar 0,5 - 1,5%, selain itu komposisi
kandungan minyaknya juga tidak baik (Santoso, 1990).
Tanaman nilam yang tumbuh dan terpelihara dengan baik, sudah dapat
dipanen pada umur 6 sampai 8 bulan setelah penanaman. Pemanenan
dilakukan dengan memengkas atau memotong cabang-cabang, ranting-ranting
dan daun-daun tanaman nilam (Sudaryani dan Sugiharti, 1998).
Minyak nilam merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang dikenal
sebagai fiksatif yaitu zat yang mampu mengikat bau wangi sekaligus dapat
membentuk bau yang harmonis dalam suatu campuran. Minyak nilam
memiliki sifat-sifat antara lain sulit tercuci, sukar menguap dibandingkan
minyak atsiri lainnya, dapat larut dengan baik dalam alkohol dan mudah
dicampurkan dengan minyak atsiri lainnya. Sifat-sifat ini yang menyebabkan
minyak nilam digunakan sebagai fiksatif dalam berbagi industri wewangian,
kosmetik, sabun dan farmasi (Ketaren, 1985).
Minyak nilam dapat mengalami kerusakan yang disebabkan oleh
panas, oksigen bebas, cahaya, air serta katalisator. Oleh sebab itu, minyak
nilam harus disimpan dengan baik dalam kemasan yang baik. Kemasan
minyak nilam yang baik sebaiknya terbuat dari kaca.
Mutu minyak nilam dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor
tersebut antara lain adalah jenis atau variasi tanaman nilam, umur tanaman
nilam sebelum dipanen, perlakuan pendahuluan sebelum penyulingan, alat-alat
yang digunakan, cara penyulingan, perlakuan terhadap minyak nilam setelah
penyulingan dan penyimpanan minyak. Standar mutu minyak nilam menurut
Titik Sudaryani dan Endang Sugiarti (1998), masih belum seragam di seluruh
dunia. Masing-masing negara baik penghasil maupun pengimpor menentukan
standar mutu minyak nilam sendiri. Standar minyak nilam Indonesia disusun
dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-2385-2006. Parameter mutu
minyak nilam berdasarkan berbagai standar dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Spesifikasi persyaratan mutu minyak nilam
No. Karakterisasi Satuan Standar 1. Warna
- Kuning muda - coklat kemerahan
2. Bobot jenis 25°C/25°C - 0,950 - 0,975 3. Indeks bias (nD20) - 1,507 – 1,515 4. Kelarutan dalam etanol 90 %
pada suhu 20 °C ± 3 °C - Larutan jernih atau opalensi ringan dengan perbandingan volume 1 : 10
5. Bilangan asam - Maksimal 8 6. Bilangan ester - Maksimal 20 7. Putaran optik - (-) 48° - (-) 65° 8. Patchouli alcohol (C15H26O) % Minimal 30 9. Alpha copaene (C15H24) % Maksimal 0,5 10. Kandungan besi (Fe) mg/kg Maksimal 25 Sumber : SNI 06 – 2385 – 2006
B. PENYULINGAN MINYAK ATSIRI
1. Perlakuan Pendahuluan
Hasil panen berupa nilam basah yang terdiri dari daun, ranting, dan
batang sebaiknya dijemur dibawah sinar matahari sekitar 4 jam sehari
selama 2 – 3 hari. Panjemuran daun nilam dilakukan dengan meletakkan
daun di atas gelaran tikar atau lantai semen yang bersih. Penjemuran
sebaiknya dilakukan pada lahan terbuka agar memperoleh sinar matahari
secara langsung. Daun nilam dijemur sambil diangin-anginkan dengan
ketebalan lapisan maksimal 20 cm. Lapisan daun harus dibolak-balik
sebanyak 2 – 3 kali sehari hingga diperoleh kadar air sebesar 15 %. Kadar
air yang terkandung dalam daun ini harus dipertahankan sampai proses
penyulingan berlangsung. Setelah itu, daun dan ranting dipotong /dirajang
sepanjang 10 – 15 cm yang dapat dilakukan secara manual atau
menggunakan mesin perajang (Mangun, 2002).
2. Proses Penyulingan
Penyulingan dapat didefinisikan sebagai proses pemisahan
komponen-komponen suatu campuran yang terdiri atas dua cairan atau
lebih berdasarkan perbedaan tekanan uap atau berdasarkan perbedaan titik
didih komponen-komponen senyawa tersebut. Titik didih didefinisikan
sebagai suhu pada tekanan atmosfer atau pada tekanan tertentu dimana
suatu cairan berubah menjadi uap. Suatu cairan yang terdiri dari beberapa
senyawa atau komponen maka masing-masing memiliki titik didih yang
berbeda, maka cairan tersebut memiliki kisaran titik didih. Proses
penyulingan sangat penting diketahui oleh penyuling minyak atsiri. Pada
dasarnya terdapat dua jenis penyulingan, yaitu :
• Penyulingan suatu campuran yang berwujud cairan yang tidak saling
bercampur, hingga membentuk dua fasa atau dua lapisan. Keadaan ini
terjadi pada pemisahan minyak atsiri dengan uap air yang sering
disebut juga hirdrodestilasi.
• Penyulingan suatu cairan yang tercampur sempurna hingga hanya
membentuk satu fasa. Pada keadaan ini pemisahan minyak atsiri
menjadi beberapa komponennya, sering disebut fraksinasi tanpa
menggunakan uap air (Sastrohamidjojo, 2004).
Terdapat tiga macam cara penyulingan yang dapat digunakan untuk
memperoleh minyak nilam yaitu penyulingan dengan air (water
distillation), penyulingan uap dan air (water and steam distillation) dan
penyulian uap langsung (steam distillation).
a. Penyulingan Air
Penyulingan dengan air merupakan penyulingan yang paling
sederhana dibandingkan dengan cara penyulingan yang lain.
Pengolahan dilakukan dengan memasak bahan dalam air hingga
mendidih dalam satu tangki atau ketel penyuling. Komposisi air dan
bahan yang disuling dibuat hampir berimbang, tergantung kapasitas
muat ketel. Proses penyulingan dengan cara ini membutuhkan waktu
lama karena bahan yang disuling tercampur menjadi satu dengan air
sehingga proses pergerakan uap air bergerak lambat (Mangun, 2002).
Penyulingan air mempunyai beberapa keuntungan yaitu alatnya
yang cukup praktis dan dapat mengeksraksi minyak dari bahan yang
berbentuk bubuk dan bahan yang mudah menggumpal. Selain itu
penyulingan dengan air juga mempunyai kelemahan yaitu ekstraksi
tidak dapat berlangsung sempurna walaupun dirajang dan komponen
minyak yang bertitik didih tinggi dan bersifat larut dalam air tidak
dapat menguap secara sempurna, sehingga minyak yang tersuling
mengandung komponen tidak lengkap (Guenther, 1947).
b. Penyulingan Uap dan Air
Menurut Tan (1962), penyulingan minyak atsiri untuk jenis
tanaman semak dan daun sebaiknya dilakukan dengan metode
penyulingan uap dan air (water and steam distillation). Cara
penyulingan uap dan air merupakan penyulingan dengan tekanan uap
rendah yang tidak menghasilkan uap dengan cepat sehingga
panjangnya waktu penyulingan menjadi hal yang sangat penting,
artinya hal tersebut baik jika ditinjau dari mutu dan rendemen minyak
yang dihasilkan.
Mekanisme penyulingannya yaitu bahan yang akan disuling
ditempatkan dalam ketel suling beberapa sentimeter diatas air dan
dipisahkan dengan air menggunakan saringan sehingga bahan dengan
air tidak berhubungan langsung. Penggunaan cara penyulingan uap dan
air mempunyai kelebihan tersendiri yaitu suhu yang dihasilkan tidak
terlalu panas sehingga kegosongan minyak dapat dikurangi. Namun,
tekanan uap yang dihasilkan relatif rendah sehingga belum dapat
menghasilkan minyak dengan waktu yang cepat (Mangun, 2002).
Pada penyulingan dengan uap dan air akan dihasilkan uap
dalam keadaan basah. Ketel suling harus selalu terisi oleh air, maka
uap yang dihasilkan tidak mungkin berupa uap kering, tetapi
merupakan uap jenuh atau basah. Air akan tercampur dalam uap pada
keadaan perbandingan tertentu, sehingga terbentuk suatu campuran
antara uap dan air yang disebut uap basah (Kulshrestha, 1989).
Untuk instalasi skala kecil penggunaan metode penyulingan air
dan uap lebih menguntungkan karena peralatannya lebih sederhana
dibandingkan dengan penyulingan uap. Sedangkan untuk instalansi
skala besar (skala industri) penerapan metode penyulingan uap lebih
menguntungkan, terutama untuk penyulingan minyak bertitik didih
tinggi (Guenther, 1947).
c. Penyulingan Uap
Prinsip dasar sistem penyulingan dengan uap adalah
penggunaan uap bertekanan tinggi yang dihasilkan dari ketel uap yang
letaknya terpisah dari ketel suling (Mangun, 2002). Sistem
penyulingan ini baik digunakan untuk menyuling minyak atsiri dari
biji-bijian, akar dan kayu-kayuan yang umumnya mengandung
komponen minyak yang bertitik didih tinggi.
Penyulingan dengan uap sebaiknya dimulai dengan tekanan uap
rendah kemudian secara bertahap tekanan uap dinaikkan. Jika
permulaan penyulingan dilakukan pada tekanan tinggi maka komponen
kimia dalam minyak akan mengalami dekomposisi sehingga akan
menghasilkan mutu minyak yang kurang baik. Penyulingan uap pada
suhu tinggi tidak selamanya menghasilkan minyak dengan mutu yang
lebih baik walaupun lama penyulingannya lebih singkat (Ketaren,
1985).
C. PERALATAN PENYULINGAN
Cara penyulingan dan penanganan bahan baku dapat mempengaruhi
rendemen dan mutu minyak nilam yang dihasilkan. Namun demikian bahan
yang digunakan dalam pembuatan peralatan-peralatan penyulingan juga
mempunyai peranan dalam mempengaruhi mutu minyak hasil sulingan. Hal-
hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan peralatan penyulingan adalah
logam yang digunakan untuk tempat bahan dan pipa pendingin (Harris, 1993).
Logam yang digunakan untuk bahan peralatan penyulingan harus tidak
bereaksi dengan uap air dan uap minyak. Bila bereaksi atau bersenyawa, hasil
minyak akan rusak dan tidak laku dijual. Logam yang terbukti tidak bereaksi
atau bersenyawa dengan minyak atsiri adalah baja tahan karat (stainless steel)
dan kaca tahan panas. Logam-logam lainnya seperti : alumunium, tembaga,
timah putih, besi biasa, dan seng ada yang bereaksi dengan minyak atsiri
tertentu, ada yang tidak, bergantung pada jenis minyak yang disuling (Harris,
1993). Menurut Rusli (2003), bahan konstruksi alat suling akan
mempengaruhi mutu minyak terutama dalam karakteristik warnanya.alat
penyulingan dari bahan plat besi tanpa galvanis akan menghasilkan minyak
yang berwarna gelap dan keruh karena karat.
Menurut Ketaren (1985), peralatan yang biasanya digunakan dalam
penyulingan terdiri atas : ketel uap, ketel suling, bak pendingin (kondensor)
dan labu pemisah minyak (florentine flask). Penyulingan dengan sistem uap
dan air tidak menggunakan ketel uap. Peralatan-peralatan inilah yang menjadi
salah satu faktor penentu rendemen minyak atsiri yang dihasilkan.
1. Ketel Suling
Ketel penyulingan berfungsi sebagai wadah atau bejana untuk
menempatkan bahan tanaman yang akan disuling. Dalam ketel tersebut
terdapat air atau uap yang berhubungan dengan bahan tanaman dan
menguapkan minyak atsiri yang terkandung didalamnya. Ketel suling
berbentuk silinder yang memiliki diameter yang hampir sama atau sedikit
lebih kecil dari tingginya (Sastrohamidjojo, 2004). Pada penyulingan
dengan air dan uap, sebaiknya ukuran diameter sama dengan ukuran
tingginya. Hubungan antara tinggi dan diameter ketel yang digunakan
tergantung dari sifat porositas bahan yang diolah. Ketel yang berukuran
tinggi baik untuk bahan yang bersifat kamba, sedangkan ketel yang lebih
rendah baik untuk bahan yang bersifat kompak
Ketel suling dilengkapi dengan penutup yang dapat ditutup rapat dan
saringan atau dasar semu diatas dasar ketel suling untuk penyulingan
dengan uap dan air. Pada tutup dipasang pipa untuk mengalirkan uap ke
kondensor (Ketaren, 1985).
2. Pendingin (Kondensor)
Kondensor adalah peralatan pindah panas yang digunakan untuk
mengubah uap menjadi fase cair dengan menghilangkan panas laten yang
dimiliki uap. Proses pendinginan dilakukan dengan menggunakan zat cair
yang lebih dingin yang disebut pendingin (McCabe, 1986). Kondensor
adalah alat yang berupa bak atau tabung silinder dan di dalamnya terdapat
pipa lurus atau berbentuk spiral yang berfungsi untuk menguapkan uap
menjadi bentuk cair. Kondensor terdiri atas beberapa tipe yaitu : lingkaran
(coil), segi empat, zigzag, dan banyak pipa (multitubular) (Rusli, 2003).
Menurut Bernasconi et al dalam Fatahna (2005), perpindahan
panas yang baik pada alat-alat penukar panas dapat dicapai dengan
mengatur perbedaan suhu yang besar antara bahan dan media pendingin,
laju alir yang besar dari bahan dan media pendingin, permukaan penukar
panas yang bersih dan luas permukaan perpindahan panas yang besar serta
dinding yang tipis.
Besarnya energi panas yang dapat dibebaskan oleh uap sewaktu
mengembun dapat dinyatakan sebagai berikut :
� � � � ∆���
Dimana :
Q = Energi yang dilepakan oleh uap air, (J)
U = konstanta Pindah Panas Kondensor (W/m2.°K)
A = Luas area pindah panas kondensor, (m2)
∆TLMTD = selisih suhu rataan logaritmik (°K)
Harga U tergantung dari bentuk pipa. Jika pipa berbentuk coil maka
nilai U-nya = 40. Bila berbentuk tubular maka nilai U-nya = 200 (Ketaren,
1985).
Cara pengembunan uap yang paling sempurna adalah dengan
mengalirkan air pendingin berlawanan arah dengan aliran uap minyak. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan memasukkan air pendingin dari bagian
bawah kondensor dan dikeluarkan dari bagian atas dengan demikian
destilat yang keluar benar-benar berbentuk cairan (Harris, 1993).
3. Pemisah Minyak (Separator)
Menurut Lutony dan Rahmawati (1994), penampung hasil kondensasi
adalah alat untuk menampung distilat yang keluar dari kondensor lalu
memisahkan minyak dari air suling. Jumlah air suling selalu lebih besar
dari jumlah minyak, dalam hal ini diperlukan agar air suling tersebut
terpisah dengan baik dari minyak atsiri.
Pemisahan minyak dan air dapat terjadi karena perbedaan bobot jenis.
Jika bobot jenis minyak lebih kecil dari satu, maka minyak akan berada di
atas lapisan air sedangkan apabila bobot jenis minyak lebih dari satu, maka
minyak akan berada pada bagian dasar separator. Dengan demikian perlu
direkayasa alat pemisah untuk menampung hasil minyak atsiri yang lebih
berat atau lebih ringan dari air. Pada penyulingan air serta penyulingan uap
dan air maka air suling yang telah dipisahkan dari separator dapat
dikembalikan ke dalam ketel suling untuk digunakan pada proses
berikutnya. Proses penyulingan yang berksinambungan ini disebut
kohobasi (Sastrohamidjojo, 2004).
D. KEHILANGAN ENERGI PADA PROSES PENYULINGAN
Energi dikenal dalam berbagai bentuk, beberapa diantaranya yang
dijumpai dalam bidang teknik kimia adalah : energi dalam, energi kinetik,
energi potensial, energi mekanis, dan panas. Hampir semua operasi yang
dijalankan untuk proses penyulingan melibatkan pembangkitan, penyerapan,
dan kehilangan energi dalam bentuk panas. Energi berupa panas dapat
berpindah dari dari suatu sistem ke lingkungannya atau sebaliknya. Ilmu
perpindahan panas adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang
mempelajari bagaimana energi dalam bentuk panas berpindah dari suatu zat ke
zat lain yang suhunya lebih rendah (Kamil dan Pawito, 1983). Terdapat 3 tipe
perpindahan panas yaitu konduksi, konveksi dan radiasi.
1. Konduksi
Perpindahan energi panas secara konduksi adalah perpindahan energi
panas melewati massa yang tidak bergerak. Elektron-elektron bebas dari
atom-atom benda yang dilaluinya memegang peranan penting dalam
perpindahan energi panas secara konduksi. Molekul-molekul zat yang
dilewati energi panas secara konduksi tidak berpindah, maka perpindahan
energi panas secara konduksi hanya terjadi dalam zat padat. Zat-zat yang
banyak mengandung elektron bebas mudah dialiri panas seperti tembaga,
alumunium, besi baja dan lain sebagainya (Kamil dan Pawito,1983).
2. Konveksi
Aliran energi panas secara konveksi disertai oleh perpindahan massa
zat yang dilaluinya. Perpindahan panas secara konveksi terjadi pada zat
cair dan gas. Perpindahan panas secara konveksi merupakan gabungan
antara perpindahan panas secara konduksi dan perpindahan massa. Cara
energi panas berpindah dinamakan konveksi bebas atau sering disebut juga
konveksi alami tetapi jika perpindahan panas tersebut berlangsung karena
paksaan suatu alat seperti blower, kipas, pompa dan lain sebagainya,
perpindahan energi panas tersebut dinamakan konveksi paksa (Kamil dan
Pawito, 1983).
3. Radiasi
Pancaran (radiasi) adalah perpindahan kalor melalui gelombang dari
suatu zat ke zat lain. Perpindahan kalor radiasi terjadi dengan perantara
foton dan juga gelombang elektromagnet. Apabila sejumlah energi kalor
menimpa suatu permukaan, sebagian akan dipantulkan, sebagian akan
diserap kedalam bahan dan sebagian akan menembus bahan. Setiap benda
diatas temperatur nol absolut memancarkan energi dalam bentuk radiasi.
Tingkat radiasi yang dipancarkan tergantung pada suhu benda tersebut.
Konstanta ε menggambarkan kapasitas suatu benda mengabsorbsi dan
memancarkan radiasi (Kamil dan Pawito, 1983).
III. METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT
A. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan baku
utama dan bahan pendukung. Bahan utama yang digunakan adalah
tanaman nilam (Pogostemon cablin benth, L) yang berasal dari
perkebunan nilam rakyat di Kuningan, Jawa Barat. Sedangkan bahan
pendukung yang digunakan antara lain kayu bakar sebagai sumber energi,
aquades, natrium sulfat anhidrat, alkohol 90%, indikator phenolphtalein,
KOH 0,1 N dan 0,5 N, dan HCL 0,5 N.
Gambar 2. Nilam Kering dan Kayu Bakar
B. Alat Penyulingan
Penelitian ini menggunakan sistem penyulingan uap dan air (water
and steam distillation) yang terdiri dari beberapa alat diantaranya : ketel
suling dengan tungku pembakaran, pipa kohobasi, kondensor, dan
separator. skema sistem peralatan penyulingan metode uap dan air yang
digunakan dalam penelitian ini dpat dilihat pada Gambar 3. Titik-titik
pengukuran pada alat penyulingan adalah pengukuran suhu pada dinding
ketel suling, dinding tungku, tutup ketel suling, pipa penghubung ketel
dengan kondensor, suhu destilat yang keluar dari kondensor serta suhu air
pendingin masuk dan suhu air pendingin keluar di kondensor. Pengukuran
laju destilat dan laju air pendingin dilakukan di kondensor.
Gambar 3. Skema peralatan penyulingan minyak nilam : (A) Ketel
suling, (B) Separator dan (C) kondensor
a. Ketel Suling
Ketel suling yang digunakan terbuat dari stainless steel berbentuk
silinder dengan diameter 76 cm dan tinggi 122 cm, dengan volume
keseluruhan 551,8 liter. Volume yang dapat diisikan bahan adalah
417,14 liter dan volume yang dapat diisikan air adalah 180 liter. Selain
itu ketel suling ini dilengkapi dengan tutup ketel yang dilengkapi
dengan 12 buah mur dan baut serta karet pada bagian atas ketel untuk
mencegah kebocoran saat penyulingan berlangsung. Tutup ketel
mempunyai penyangga yang disambungkan pada dinding ketel Selain
itu didalam ketel suling dipasang suatu saringan yang berada 45 cm
diatas dasar ketel suling yang berfungsi sebagai tempat untuk
meletakkan bahan yang akan disuling sehingga air yang mendidih
tidak kontak dengan bahan yang disuling. Saringan bersifat tidak
permanen sehingga bisa dilepaskan dari ketel suling untuk
mempermudah pembersihan ketel suling. Saringan terbuat dari plat
stainless steel yang berlubang, pada bagian tengah terdapat bagian
yang menjadi tumpuan untuk mengangkat rak yang terbuat dari kawat.
A
C
B
Selain itu ketel suling dilengkapi dengan water level untuk mengetahui
banyaknya air di dalam ketel.
Pipa penghubung antara ketel dan pendingin diletakkan pada
bagian samping atas dinding ketel. Peletakan pipa disamping bukan
diatas tutup ketel dimaksudkan untuk mempermudah dalam
penanganan bahan baku sehingga tutup ketel tidak perlu dilepas
terlebih dahulu jika ingin memasukkan dan mengeluarkan bahan. Pipa
yang menghubungkan ketel dan kondensor terbuat dari stainless steel
dengan panjang 2,15 m dan diameter 0.06 m. Sketsa ketel suling
dengan tungku pembakarannya dapat dilihat pada Gambar 4 dan foto
ketel suling terdapat pada Lampiran 7.
Gambar 4. Ketel suling dengan tungku pembakaran
Keterangan :
A : Cerobong E : Ketel suling
B : Tutup ketel F : Saringan
C : Pipa penghubung G : Pipa kohobasi
D : Kunci pengaman H : Pipa udara panas
I : Tungku pembakaran
b. Tungku Pembakaran
Tungku pembakaran merupakan tempat terjadinya proses
pembakaran selama penyulingan berangsung dengan menggunakan
bahan bakar biomassa yaitu kayu. Tungku ini terbuat dari plat besi
pada bagian luarnya dan dilapisi oleh batu bata pada bagian dalam
dengan ketebalan 6 cm. Diameter dalam tungku adalah 88 cm
sedangkan diameter luarnya adalah 93 cm. Pada bagian depan tungku
terdapat lubang berbentuk persegi dengan panjang 40 cm dan lebar 38
cm sebagai tempat memasukkan kayu bakar selain itu pada bagian
belakang juga terdapat lubang dengan panjang 11 cm dan lebar 31 cm.
Lubang tersebut juga berfungsi sebagai tempat keluar masuknya udara.
Tungku pembakaran dapat dilihat pada Gambar 4 dan foto tungku
pembakaran terdapat pada Lampiran 7.
c. Kondensor
Kondensor yang digunakan adalah jenis penukar panas tipe coil
berbentuk persegi panjang dengan air sebagai media pendingin.
Kondensor ini terdiri dari pipa dan bak kondensor. Pipa pada
kondensor terdiri dari 2 pipa dengan ukuran yang berbeda. Pipa
pertama mempunyai diameter 31,75 mm dengan panjang 7,05 meter
dan pipa kedua mempunyai diameter 25,4 mm dengan panjang 11,73
meter. Pipa kondensor terbuat dari stainless steel sedangkan bak
kondensor terbuat dari besi dengan volume bak kondensor 511,09 liter.
Kondensor yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 5 dan foto kondensor terdapat pada Lampiran 7.
Gambar 5. Kondensor
Keterangan :
A : Pipa Destilat D : Pipa Kondensor
B : Pipa Uap E : Pipa Air Pendingin Keluar
C : Bak Kondensor
d. Pipa Kohobasi
Alat kohobasi ini memiliki sambungan langsung dengan ketel
suling sehingga air kondensat dapat dialirkan kembali kedalam ketel
setelah dipisahkan antara minyak dan air di separator untuk
menghemat penggunaan air selama proses penyulingan. Pada
penyulingan non kohobasi air ditambahkan melalui pipa kohobasi
selama penyulingan berlangsung. Secara keseluruhan panjang alat
kohobasi yang digunakan adalah 150 cm dan diameter 2,54 cm. Selain
itu pipa kohobasi ini dilengkapi dengan kran untuk mengeluarkan air
dari dalam ketel setelah penyulingan selesai tetapi karena letaknya
tidak didasar ketel maka tidak dapat membuang semua air yang
terdapat di dalam ketel dan menyulitkan ketika akan dilakukan
pembersihan. Skema pipa kohobasi dapat dilihat pada Gambar 4 dan
foto pipa kohobasi terdapat pada Lampiran 7.
e. Separator
Separator berfungsi untuk memisahkan minyak yang dihasilkan
dari air. Prinsip kerja dari separator adalah adanya perbedaan berat
jenis antara minyak dan air sehingga keduanya dapat terpisah. Minyak
yang memiliki berat yang lebih rendah akan berada diatas sedangkan
air berada pada bagian bawah. Minyak nilam mempunyai bobot jenis
lebih kecil dibandingkan dengan bobot jenis air sehingga minyak akan
berada diatas air. Separator terbuat dari stainless steel dengan kapasitas
25 liter destilat. Sketsa separator dapat dilihat pada Gambar 6 dan foto
separator terdapat pada Lampiran 7.
Gambar 6. Separator
Keterangan :
A : Corong E : Pipa air
B : Pipa destilat F : Kran air
C : Pipa minyak
D : Kran minyak
3. Alat Ukur
Alat-alat yang digunakan dalam pengujian antara lain :
3.1 Alat Ukur Proses
a. Termometer raksa dan alkohol digunakan untuk mengukur suhu
destilat
b. Termometer digital digunakan untuk mengukur suhu air pendingin
masuk dan air pendingin keluar
c. Termometer infra red digunakan untuk mengukur suhu dinding
ketel, tutup ketel, dinding tungku, dan pipa ketel ke kondensor
d. Timbangan analitik digunakan untuk menimbang bobot minyak
nilam hasil penyulingan
e. Timbangan kapasitas 50 kg digunakan untuk menimbang bobot
nilam kering
f. Alat pengukur waktu (stopwatch)
3.2 Alat Ukur Analisa
a. Alat pengukur kadar air (aufhausher) digunakan untuk mengetahui
kadar air bahan
b. Alat pengukur kadar minyak (clavenger) digunakan untuk
mengetahui kandungan minyak dalam bahan
c. Oven digunakan untuk mengukur kadar air kayu bakar
d. Refraktometer digunakan untuk menentukan nilai indeks bias
minyak nilam hasil penyulingan
e. Polarimeter digunakan untuk menentukan nilai putaran optik
minyak nilam hasil penyulingan
f. Piknometer dgunakan untuk menentukan bobot jenis minyak nilam
hasil penyulingan
g. Peralatan gelas seperti gelas piala, erlenmeyer, buret, gelas ukur,
corong, pipet dan labu distilasi digunakan untuk analisa minyak
nilam.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu :
1. Persiapan Bahan
Bahan yang akan disuling diukur terlebih dahulu kadar air dan kadar
minyak atsiri yang terkandung didalamnya.
1.1 Pengukuran kadar air
Pengukuran kadar air dilakukan sebelum penyulingan dengan
metode Bidwell and Sterling yaitu penyuligan dengan aufhauser
menggunakan cairan yang tidak larut dalam air (toluen) untuk
mengetahui kandungan air yang terdapat dalam bahan. Prosedur kadar
air dapat dilihat pada Lampiran 1.
1.2 Pengukuran kadar minyak
Pengukuran kadar minyak dilakukan sebelum penyulingan dengan
menggunakan clavenger untuk mengetahui kandungan minyak yang
terdapat dalam bahan. Kadar minyak diukur dengan menggunakan
sistem penyulingan air dengan skala laboratorium. Prosedur kadar
minyak dapat dilihat pada Lampiran 1.
2. Proses Penyulingan
Penyulingan daun dan ranting nilam dilakukan dengan metode uap
dan air (water and steam destilation) selama 8 jam serta membandingkan
sistem kohobasi dan non kohobasi. Penyulingan kohobasi menggunakan
air pengisi ketel yang berasal dari air di separator yang telah dipisahkan
dari minyak nilam sedangkan penyulingan non kohobasi air pengisi ketel
berasal dari sumber lain. Diagram alir penelitian ini disajikan pada
Gambar 5. Selama proses penyulingan berlangsung dilakukan pengukuran-
pengukuran dengan parameter yang diuraikan dibawah ini :
2.1 Parameter yang diukur
Parameter yang akan diukur dalam proses penyulingan yaitu :
1. Lama penyulingan, ditentukan dengan melihat perolehan minyak
selama penyulingan berlangsung.
2. Bobot bahan sebelum penyulingan, penghitungan bobot bahan
dilakukan sebelum bahan disuling dan setelah bahan dikeringkan
dan dirajang.
3. Volume dan bobot minyak atsiri hasil penyulingan, volume minyak
atsiri ini diukur setelah proses penyulingan. Pengukuran volume
minyak atsiri menggunakan gelas ukur yang telah dikeringkan.
Kemudian minyak atsiri ditimbang bila telah diukur volumenya.
4. Volume air ketel awal dan akhir, pengukuran ini dilakukan dengan
mengukur volume air dalam ketel sebelum dan setelah
penyulingan.
5. Debit air pendingin, pengukuran debit air pendingin ini dilakukan
dengan cara mengisi gelas piala dengan air pendingin yang keluar
dari kondensor. Saat mengisi gelas piala dengan air pendingin,
waktu pengisian dihitung dengan menggunakan stopwatch.
6. Konsumsi air pendingin, penghitungan konsumsi air pendingin
dilakukan dengan mengalikan rata-rata debit air pendingin dengan
lama penyulingan.
7. Konsumsi bahan bakar, untuk menentukan jumlah bahan bakar
yang dipakai selama penyulingan, maka dilakukan pengukuran
sebelum dan sesudah pembakaran dilakukan.
8. Laju destilat, penghitungan laju destilat dilakukan dengan
menggunakan gelas ukur dan waktunya dihitung dengan
stopwatch.
9. Suhu, suhu yang akan diukur meliputi suhu udara lingkungan, suhu
air pendingin yang masuk ke dalam kondensor, suhu air yang
keluar dari kondensor, suhu air ketel, suhu destilat yang keluar dari
kondensor, suhu dinding luar ketel suling, suhu dinding luar tungku
pembakaran, suhu pipa penghubung ketel dengan kondensor dan
suhu tutup ketel bagian luar.
Gambar 7. Diagram Alir Kegiatan Penelitian
Na2SO4 anhidrat
Minyak Nilam Kasar
Penyaringan
Minyak Nilam
Analisa Mutu
Na2SO4 dan Air
Ampas
Analisa Kadar Minyak dan Kadar Air
Analisa Kadar Minyak dan Kadar Air
Tanaman Nilam
Pengeringan
Perajangan
Nilam Kering
Penyulingan
3. Analisa Mutu Minyak Nilam
Bila penyulingan telah selesai dilakukan, langkah selanjutnya adalah
memisahkan minyak atsiri yang dihasilkan dengan air yang tercampur.
Setelah dilakukan pemisahan, minyak atsiri dianalisis karakteristiknya
sesuai dengan SNI 06-2385-2006. Karakteristik yang dilakukan analisis
antara lain : rendemen minyak, warna, bobot jenis, indeks bias, putaran
optik, bilangan asam, bilangan ester dan kelarutan minyak atsiri dalam
etanol 90 %. Prosedur analisis terdapat dalam Lampiran 1.
4. Analisis Efisiensi Energi Peralatan Penyulingan
Analisis energi selama proses penyulingan meliputi kehilangan energi
konveksi alamiah, kehilangan energi radiasi, efisiensi energi ketel suling
dan efisiensi kondensor yaitu sebagai berikut :
1. Kehilangan Energi Konveksi Alamiah
Energi yang dihasilkan kayu bakar tidak seluruhnya digunakan
untuk penyulingan, tetapi ada sebagian panas yang hilang ke
lingkungan melalui dinding ketel suling, pipa ketel ke kondensor,
dinding tungku dan tutup ketel suling.
a. Kehilangan energi melaui dinding ketel suling
Kehilangan energi melalui dinding ketel suling dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan berikut ini :
�� � ������ � ��� ............................................................ (1)
Dimana :
Qk = Panas yang hilang melalui dinding ketel suling, kJ
h = Koefisien konveksi udara lingkungan, W/m2K
Ak = Luas permukaan dinding ketel, m2
Tok = Suhu dinding luar dinding ketel, K
Tu = Suhu udara lingkungan, K
Nilai h dapat dicari dengan persamaan :
� ��� �
�� ............................................................................ (2)
Dimana :
NNu = Angka Nusselt
k = Konduktivitas panas udara lingkungan, W/mK
Lk = Tinggi ketel suling, m
Menurut McCabe (1986), NNu pada silinder tegak dapat dicari dengan
persamaan :
��� � 0,59 ���������, ! ....................................................... (3)
Untuk jangkauan 104<NGrNPr<109, atau
��� � 0,13���������,$$$ ....................................................... (4)
Untuk jangkauan 109< NGrNPr <1012
Nilai NGr dapat dicari dengan persamaan :
��� � �% &' ( ) ∆
*' ............................................................................ (5)
Dimana :
L3 = Tinggi dinding ketel suling, m
ρ2 = Densitas udara, kg/m3
β = Koefisien ekspansi termal, 1/K
g = Percepatan gravitasi, m/s
∆T = Perbedaan suhu permukaan dinding ketel suling dan udara, K
µ2 = viskositas udara, kg/m s
Nilai NPr dapat dicari dengan persamaan :
�+, � -. /
0 ................................................................................. (6)
Dimana :
Cp = Kalor spesifik udara, Joule/kg °C
µ = Viskositas udara, kg/m s
k = Konduktifitas panas udara lingkungan, W/mK
b. Kehilangan energi melalui pipa penghubung ketel dengan
kondensor
• Bagian vertikal
Kehilangan energi panas melalui pipa vertikal penghubung ketel
dengan kondensor dapat dihitung dengan persamaan berikut ini :
�1 � �1 ���1 � ��� ........................................................... (7)
Dimana :
Qp = Panas yang hilang melalui pipa, kj
h = Koefisien konveksi udara lingkungan, W/m2K
Ap = Luas permukaan luar pipa, m2
Top = Suhu dinding luar pipa, K
Tu = suhu udara lingkungan, K
Nilai h dapat dicari dengan persamaan :
� ��� �
�23 ............................................................................ (8)
Dimana :
NNu = Angka Nusselt
k = Konduktivitas panas udara lingkungan, W/mK
Lop = Panjang pipa uap, m
Menurut McCabe (1986), NNu pada silinder tegak dapat dicari dengan
persamaan :
��� � 0,59 ���������, ! ...................................................... (9)
Untuk jangkauan 104<NGrNPr<109, atau
��� � 0,13���������,$$$ .................................................... (10)
Untuk jangkauan 109< NGrNPr <1012
Nilai NGr dapat dicari dengan persamaan :
��� � �% &' ( ) ∆
*' ...................................................................... (11)
Dimana :
L3 = Panjang pipa uap, m
ρ2 = Densitas udara, kg/m3
β = Koefisien ekspansi termal, 1/K
g = Percepatan gravitasi, m/s
∆T = Perbedaan suhu permukaan pipa dan udara, K
µ2 = viskositas udara, kg/m s
Nilai NPr dapat dicari dengan persamaan :
��� � 43 *
� ................................................................................. (12)
Dimana :
Cp = Kalor spesifik udara, Joule/kg °C
µ = Viskositas udara, kg/m s
k = Konduktifitas panas udara lingkungan, W/mK
• Bagian Horizontal
Kehilangan energi panas melalui pipa horizontal penghubung ketel
dengan kondensor dapat dihitung dengan persamaan berikut ini :
�1 � �1 ���1 � ��� ......................................................... (13)
Dimana :
Qp = Panas yang hilang melalui pipa, kj
h = Koefisien konveksi udara lingkungan, W/m2K
Ap = Luas permukaan luar pipa, m2
Top = Suhu dinding luar pipa, K
Tu = suhu udara lingkungan, K
Nilai h dapat dicari dengan persamaan :
� ��� �
�23 ......................................................................... (14)
Dimana :
NNu = Angka Nusselt
k = Konduktivitas panas udara lingkungan, W/mK
Dop = Diameter pipa uap, m
Menurut McCabe (1986), NNu pada silinder tunggal horizontal dengan
nilai NGrNPr = 104 atau lebih dapat dicari dengan persamaan :
��� � 0,53 ���������, ! ..................................................... (15)
Nilai NGr dapat dicari dengan persamaan :
�5, � 63 72 9 : ∆�
/2 ...................................................................... (16)
Dimana :
D3 = Diameter pipa uap (m)
ρ2 = Densitas udara (kg/m3)
β = Koefisien ekspansi termal (1/K)
g = Percepatan gravitasi (m/s)
∆T = Perbedaan suhu permukaan pipa dan udara (K)
µ2 = viskositas udara (kg/m s)
Nilai NPr dapat dicari dengan persamaan :
�+, � -. /
0 .................................................................................. (17)
Dimana :
Cp = Kalor spesifik udara (Joule/kg °C)
µ = Viskositas udara (kg/m s)
k = Konduktifitas panas udara lingkungan (W/mK)
c. Kehilangan energi melalui tutup ketel suling
Kehilangan energi melalui tutup ketel suling dapat dihitung dengan
persamaan berikut ini:
�; � �; ���; � ��� ................................................................... (18)
Dimana :
Qt = Panas yang hilang melalui pipa, kj
h = Koefisien konveksi udara lingkungan, W/m2K
At = Luas permukaan luar pipa, m2
Tot = Suhu dinding luar pipa, K
Tu = suhu udara lingkungan, K
Nilai h dapat dicari dengan persamaan :
� ��� �
�23 ........................................................................... (19)
Dimana :
NNu = Angka Nusselt
k = Konduktivitas panas udara lingkungan, W/mK
Dop = Diameter tutup ketel suling, m
Menurut McCabe (1986), NNu pada plat horizontal yang dipanaskan
menghadap ke atas dapat dicari dengan persamaan :
��� � 0,54 ���������, ! .................................................... (20)
Untuk jangkauan 105<NGrNPr<2x107
��� � 0,14 ���������,$$$ .................................................... (21)
Untuk jangkauan 2x107<NGrNPr<3x1010
Nilai NGr dapat dicari dengan persamaan :
�5, � 63 72 9 : ∆�
/2 .......................................................................... (22)
Dimana :
D3 = Diameter tutup ketel (m)
ρ2 = Densitas udara (kg/m3)
β = Koefisien ekspansi termal (1/K)
g = Percepatan gravitasi (m/s)
∆T = Perbedaan suhu permukaan tutup ketel dan udara (K)
µ2 = viskositas udara (kg/m s)
Nilai NPr dapat dicari dengan persamaan :
�+, � -. /
0 .................................................................................... (23)
Dimana :
Cp = Kalor spesifik udara (Joule/kg °C)
µ = Viskositas udara (kg/m s)
k = Konduktifitas panas udara lingkungan (W/mK)
d. Kehilangan energi dinding tungku
Kehilangan energi melalui tungku pembakaran dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan berikut ini :
�; � �; ���; � ��� ........................................................... (24)
Dimana :
Qd = Panas yang hilang melalui dinding ketel suling, kJ
h = Koefisien konveksi udara lingkungan, W/m2K
Ad = Luas permukaan dinding ketel, m2
Tod = Suhu dinding luar tungku, K
Tu = Suhu udara lingkungan, K
Nilai h dapat dicari dengan persamaan :
� ��� �
�= ......................................................................... (25)
Dimana :
NNu = Angka Nusselt
k = Konduktivitas panas udara lingkungan, W/mK
Ld = Tinggi tungku, m
Menurut McCabe (1986), NNu pada dinding tungku yang berbentuk
silinder dapat dicari dengan persamaan :
��� � 0,59 ���������, ! ...................................................... (26)
Untuk jangkauan 104<NGrNPr<109, atau
��� � 0,13 ���������,$$$............................................................ (27)
Untuk jangkauan 109< NGrNPr <1012
Nilai NGr dapat dicari dengan persamaan :
�5, � >3 72 9 : ∆�
/2 …................................................................... (28)
Dimana :
L3 = Tinggi dinding tungku pembakaran (m)
ρ2 = Densitas udara (kg/m3)
β = Koefisien ekspansi termal (1/K)
g = Percepatan gravitasi (m/s)
∆T = Perbedaan suhu permukaan dinding tungku dan udara (K)
µ2 = viskositas udara (kg/m s)
Nilai NPr dapat dicari dengan persamaan :
�+, � -. /
0 …............................................................................. (29)
Dimana :
Cp = Kalor spesifik udara (Joule/kg °C)
µ = Viskositas udara (kg/m s)
k = Konduktifitas panas udara lingkungan (W/mK)
2. Kehilangan Energi Radiasi
Kehilangan energi radiasi pada alat penyulingan dihitung dengan
persamaan dibawah ini.
�,?@ � A B � ��1C � �D
C� …................................................... (30) Dimana:
Q = Energi yang dipancarkan permukaan, (W)
ε = Emisivitas permukaan
σ = Konstanta Stefan-Boltzman 5.672 x 10-8 W/m2 ∆°K
A = Luas permukaan (m2)
Tp = suhu permukaan (°K)
Tl = suhu lingkungan (°K) (Zemansky,1994 )
3. Efisiensi Ketel suling
Efisiensi ketel suling dapat dihitung dengan persamaan :
EFGHGIJHG KILIM NOMGJ: � P�
PQ R 100 %..................................... (31)
Energi yang digunakan untuk menguapkan air dapat dihitung dengan
persamaan :
HmTTcpmQ uadcu ×+−×= )( ................................................... (32)
Dimana :
Qu = Energi untuk menguapkan air, kj
Cp = Panas jenis air, kj/kgoC
Td = Titik didih air, oC
Ta = Suhu air awal, oC
mu = Jumlah air yang diuapkan, lt
mc = Jumlah uap yang dihasilkan, lt
H = Panas laten penguapan, kj/kg
Energi yang dihasilkan oleh bahan bakar dapat dihitung dengan
persamaan :
UmQ tb ×= ........................................................................ (33)
Dimana :
Qb = Energi yang dihasilkan bahan bakar, kJ
mt = Jumlah pemakaian bahan bakar, kg
U = Nilai panas bahan bakar, kJ/kg
4. Efisiensi kondensor
Efisiensi kondensor dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan :
EFGHGIJHG KTJ@IJHT, � UVU�)W XYV) ZW[U�Y1 YW� 1UVZWV)WV
UVU�)W XYV) ZWDU1Y[ �Y1 YW� R 100 % .. (34)
Energi yang dilepas oleh uap dapat dihitung dengan persamaan :
� � �O?. � �.G.? …………………………………………… (35) Dimana : Q = Energi yang dilepaskan uap air (KJ)
Quap = Energi yang keluar dari ketel suling (KJ)
Qpipa = Kehilangan panas di pipa penghubung ketel dengan
kondensor (KJ)
Sedangkan energi yang diserap air pendingin adalah :
� � � � ∆��� ………………………………………….… (36)
Dimana :
Q = Energi yang dilepakan oleh uap air, (J)
U = konstanta Pindah Panas Kondensor (W/m2.°K)
A = Luas area pindah panas kondensor, (m2)
∆TLMTD = selisih suhu rataan logaritmik (°K)
C. STUDI BANDING KINERJA ALAT
Studi banding ini dilakukan setelah penelitian utama selesai dilaksanakan.
Studi banding dilakukan terhadap sistem penyulingan yang sejenis pada
tempat penyulingan rakyat minyak nilam di Kabupaten Pakpak Bharat,
Sumatera Utara. Hal-hal yang dibandingkan antara lain kapasitas, rendemen,
dan kinerja alat prototipe dengan penyulingan rakyat. Data-data penyulingan
rakyat diperoleh berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan sumber
yang berkaitan dengan penyulingan rakyat di kabupaten Pakpak Bharat.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. RENDEMEN MINYAK NILAM
Rendemen penyulingan minyak nilam merupakan perbandingan antara
bobot minyak nilam yang diperoleh dengan bobot bahan baku nilam
digunakan. Rendemen yang dihasilkan dengan penyulingan kohobasi
menghasilkan rendemen sebesar 2,29 % (basis kering) sedangkan rendemen
yang dihasilkan penyulingan non kohobasi sebesar 2,2 % (basis kering).
Rendemen yang dihasilkan penyulingan kohobasi lebih tinggi dibandingkan
dengan penyulingan non kohobasi. Hal tersebut dapat disebabkan karena pada
air kohobasi masih terdapat minyak yang tersisa dan teruapkan kembali ketika
masuk ke dalam ketel suling sehingga dapat meningkatkan rendemen.
Semakin besarnya nyala api maka kecepatan penyulingan bertambah besar
sehingga jumlah uap air yang berkontak dengan bahan akan lebih besar dan
memungkinkan penguapan minyak yang lebih banyak. Besarnya nyala api
dapat diketahui dari laju destilat selama penyulingan berlangsung.
penyulingan kohobasi memiliki laju destilat yang lebih besar dibandingkan
dengan penyulingan non kohobasi.
Rendemen hasil penyulingan lebih rendah dibandingkan dengan rendemen
hasil pengujian kadar minyak atsiri menggunakan clavenger. Perbedaan ini
dapat dikarenakan perbandingan antara daun dan batang yang berbeda karena
pengambilan bahan untuk penyulingan dilakukan secara acak dan
kemungkinan masih adanya minyak yang tertinggal pada bahan yang disuling.
Hal tersebut terbukti dengan masih terdapatnya minyak nilam pada ampas
hasil penyulingan dengan pengukuran kadar minyak menggunakan clavenger.
Pada penelitian Panjaitan (1993), penyulingan minyak nilam dengan
metode uap dan air selama 4 jam menghasilkan rendemen sebesar 1,72 % -
1,95 % (basis kering). Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa pada
penyulingan dengan metode uap dan air lama penyulingan berpengaruh
terhadap rendemen yang dihasilkan. Semakin lama waktu penyulingan maka
semakin tinggi rendemen yang dihasilkan dan semakin besar penguapan fraksi
minyak yang bertitik didih tinggi. Sedangkan penyulingan nilam dengan
metode uap (Steam Distillation) pada penelitian Widiahtuti (2009)
menghasilkan rendemen yang lebih tinggi yaitu 2,55 % (basis kering) selama
6 jam. Penyulingan dengan uap dapat menghasilkan rendemen yang lebih
tinggi dan dengan waktu yang lebih singkat. Hal tersebut disebabkan karena
pada penyulingan dengan uap digunakan tekanan secara bertahap dari tekanan
yang rendah hingga tekanan lebih besar dari 1 atm sehingga uap akan
berpenetrasi ke dalam bahan lebih efektif dan menghasilkan rendemen yang
lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat.
Tabel 2. Jumlah minyak tersuling
Jam ke - Jumlah Minyak (gram) Penyulingan
Kohobasi Penyulingan
Non Kohobasi 1 436.95 404.20
2 132.38 142.74
3 59.57 72.28
4 45.44 54.45
5 23.32 42.73
6 22.08 29.48
7 36.57 32.10
8 19.79 15.11
Total 776.07 793.08
Pengukuran minyak yang tersuling dilakukan setiap satu jam sekali dari
jam pertama penyulingan hingga jam kedelapan. Jumlah minyak tersuling
setiap jam dapat dilihat pada Tabel 2. Pada awal penylingan minyak yang
tersuling cukup tinggi yaitu 436,95 gram pada penyulingan kohobasi dan
404,2 gram pada penyulingan non kohobasi. Pada jam-jam berikutnya jumlah
minyak semakin menurun hingga pada akhir penyulingan diperoleh total
minyak untuk penyulingan kohobasi sebanyak 776,07 gram dan pada
penyulingan non kohobasi 793,08 gram. Laju penyulingan merupakan jumlah
minyak yang tersuling selama periode waktu tertentu. Pengukuran bobot
minyak nilam tersuling dilakukan setiap satu jam sekali. Pada awal
penyulingan laju minyak yang tersuling sangat tinggi selanjutnya menurun
dengan semakin lamanya waktu penyulingan. Hal tersebut dapat dilihat pada
Gambar 8.
Gambar 8. Grafik profil minyak hasil penyulingan
Jumlah minyak tersuling pada jam pertama mencapai 50% dari total
minyak yang diperoleh selama penyulingan. Tingginya laju penyulingan pada
waktu-waktu awal karena pada tahap awal penyulingan minyak di sekitar
permukaan nilam yang akan tersuling. Selain itu pada tahap awal penyulingan,
minyak yang mempunyai titik didih rendah akan tersuling lebih dahulu serta
dapat pula disebabkan karena besarnya jumah minyak yang bertitik didih
rendah. Selanjutnya laju penyulingan akan menurun secara tajam, karena laju
difusi minyak dari bagian dalam semakin sulit dan juga karena jumlah minyak
yang tersedia di dalam bahan semakin kecil dan minyak dengan bobot molekul
yang tinggi lebih sulit diperoleh. Dengan demikian semakin lama waktu
penyulingan maka jumlah minyak nilam yang dihasilkan semakin sedikit baik
pada penyulingan kohobasi maupun non kohobasi.
B. KINERJA ALAT PENYULINGAN
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
1 2 3 4 5 6 7 8
Bo
bo
t m
iny
ak
(g
ram
)
Jam ke-
Kohobasi
Non Kohobasi
Penyulingan minyak atsiri pada penelitian ini menggunakan bahan baku
nilam kering dengan kadar air berkisar antara 8 – 10 % dan kadar minyak
berkisar antara 2,37 – 2,87 % (Basis Kering). Menurut Ketaren (1985) kadar
air yang diharapkan untuk memperolah minyak nilam dengan rendemen yang
tinggi dan proses penyulingan yang efektif berkisar antara 12 – 15 %.
Rendahnya kadar air pada penyulingan ini dikarenakan tanaman nilam telah
mengalami penyimpanan selama 1 – 4 minggu. Alat penyulingan pada
penelitian ini meliputi tungku pembakaran, ketel suling, kondensor dan
separator. Kinerja alat penyulingan ditentukan berdasarkan kondisi proses
selama penyulingan berlangsung. Hal tersebut yang nantinya akan
menentukan efisiensi energi pada sistem penyulingan yaitu efisiensi ketel dan
efisiensi kondensor.
1. Tungku Pembakaran
Tungku pembakaran merupakan tempat terjadinya proses
pembakaran bahan bakar. Bahan bakar yang digunakan pada penyulingan
ini adalah kayu bakar. Proses pembakaran adalah salah satu tahapan
terpenting karena memberikan suplai energi yang dibutuhkan untuk
menghasilkan uap air selama penyulingan berlangsung. Energi yang
dihasilkan oleh kayu bakar akan digunakan untuk menguapkan air yang
terdapat dalam ketel dengan pemanasan langsung karena tungku
pembakaran langsung berhubungan dengan ketel suling. Permukaan
pemanasan terdapat pada bagian dasar ketel, ketel bagian samping yang
menyatu dengan tungku pembakaran dan 3 buah pipa yang terdapat di
dalam ketel suling untuk memperluas permukaan pemanasan. Total luas
permukaan pemanasan adalah 1,70 m2. Sehingga diharapkan tidak
membutuhkan waktu yang lama untuk menguapkan air. Rata-rata waktu
yang dibutuhkan untuk menghasilkan destilat adalah 45 menit. Pada
kenyataannya luas permukaan pindah panas pada ketel suling tidak dapat
dimanfaatkan seluruhnya karena kurangnya aliran udara panas yang
menuju 3 buah pipa yang terdapat di ketel suling. Hal tersebut disebabkan
karena lubang yang berfungsi sebagai tempat masuknya udara panas
terhalang oleh dinding batu bata pada tungku pembakaran. Sehingga
proses pindah panas hanya terjadi pada bagian dasar ketel suling.
Tabel 3. Perbandingan kinerja tungku pembakaran
No. Keterangan Penyulingan Kohobasi
Penyulingan Non Kohobasi
1. Jumlah rata-rata kayu (Kg) 186,7 158,15
2. Kadar air kayu rata-rata (%) 22,91 12,5
3. Jumlah rata-rata kayu kering (Kg) 143,32 138,2
4. Energi total yang dihasilkan kayu (MJ) 2579,85 2487,6
5. Jumlah air yang diuapkan (L) 237,54 213,53
6. Energi penguapan air (MJ) 644,77 572,46
7. Lama waktu penyulingan (Jam) 8 8
Pemanfaatan kayu atau biomassa sebagai sumber energi
merupakan salah satu usaha mencari pengganti sumber daya fosil yang
jumlahnya semakin menipis dengan harga yang semakin mahal. Energi
panas yang dilepaskan pada proses pembakaran diukur sebagai nilai kalor.
Menurut Achmadi (1990), nilai rata-rata kalor kayu sebesar 18.000 KJ
setiap kg kayu kering mutlak. Nilai kalor aktual dari kayu tergantung pada
kadar air dan kandungan abu. Umumnya kandungan abu yang rendah
membuat kayu dapat menghasilkan pembakaran yang baik. Penelitian ini
menggunakan berbagai macam jenis kayu sehingga digunakan nilai rata-
rata kalor kayu kering mutlak dengan mengoreksi kadar air kayu.
Energi yang dihasilkan selama proses pembakaran dipengaruhi
pula oleh ketersediaan oksigen. Sempurna atau tidaknya proses
pembakaran yang berlangsung sangat tergantung adanya oksigen. Tungku
yang digunakan pada penelitian ini tidak menggunakan blower dalam
membantu sirkulasi udara. Blower hanya digunakan pada awal
pembakaran untuk memudahkan penyalaan api. Oleh karena itu sirkulasi
udara berjalan secara alamiah masuk dan keluar melalui lubang pada
bagian depan dan belakang tungku. Besar atau kecilnya api yang
dihasilkan selama proses pembakaran akan mempengaruhi proses
penguapan air. Semakin besar api maka semakin banyak jumlah uap air
yang akan kontak dengan bahan dan semakin banyak minyak nilam yang
dapat di ekstrak.
Kadar air kayu yang digunakan pada penelitian ini berkisar antara
10 – 28 %. Nilai kadar air kayu sangat menentukan baik atau tidaknya
proses pembakaran dan berpengaruh terhadap nilai kalor kayu. Semakin
tinggi nilai kadar air kayu maka kayu bakar menjadi lebih sulit terbakar
dan panas yang dihasilkan tidak sebaik kayu bakar dengan kadar air yang
rendah. Selain itu dengan semakin tingginya kadar air kayu maka
kebutuhan kayu bakar selama penyulingan menjadi meningkat
dibandingkan dengan penggunaan kayu yang kering.
Pada penyulingan kohobasi dibutuhkan kayu bakar sebanyak 186,7
kg dengan kadar air kayu rata-rata sebesar 22,91 % sehingga kayu kering
yang digunakan selama penyulingan adalah 143,32 kg, sedangkan untuk
penyulingan non kohobasi kebutuhan kayu bakar selama penyulingan
sebanyak 158,15 kg dengan kadar air kayu sebesar 12,5 % sehingga kayu
kering yang digunakan selama penyulingan adalah 138,2 kg. Jumlah kayu
yang digunakan setiap penyulingan berbeda-beda. Hal tersebut disebabkan
penambahan jumlah kayu bakar ke dalam tungku pembakaran tergantung
pada banyaknya kayu yang masih terdapat di dalam tungku pembakaran
dan disesuaikan dengan kebutuhan kayu pada proses penyulingan. Selain
itu kayu yang digunakan pada penyulingan tidak sama dan merupakan
campuran dari berbagai macam kayu bakar.
Setiap kg kayu kering yang digunakan akan menghasilkan energi
sebesar 18 MJ, jadi energi yang dihasilkan oleh kayu bakar pada
penyulingan kohobasi sebesar 2579,85 MJ digunakan untuk menguapkan
237,54 liter air di dalam ketel dan energi yang dihasilkan kayu bakar pada
penyulingan non kohobasi sebesar 2487,6 digunakan untuk menguapkan
213,53 liter air di dalam ketel.
Nyala api yang dihasilkan pada proses pembakaran berwarna
kuning karena udara tidak dapat mengalir cukup cepat untuk membuat
kayu terbakar seluruhnya menjadi karbon dan air selain itu juga terdapat
bahan-bahan pengotor yaitu partikel-partikel karbon yang merupakan sisa
pembakaran yang tidak sempurna. Proses pembakaran dengan
menggunakan bahan bakar kayu menghasilkan nyala api yang cenderung
tidak stabil. Hal tersebut dikarenakan nyala api yang dihasilkan sangat
tergantung dengan kayu bakar yang ditambahkan selama penyulingan
berlangsung. Dengan demikian hal tersebut berpengaruh terhadap jumlah
uap air yang dihasilkan dan terlihat dari fluktuasi laju destilat setiap waktu.
Perbandingan kinerja tungku setiap kg kayu ditunjukkan oleh Tabel 4.
Tabel 4. Perbandingan kinerja tungku setiap kg bahan
No. Keterangan Penyulingan Kohobasi
Penyulingan Non Kohobasi
1. Jumlah rata-rata kayu (Kg/kg bahan) 4,98 3,95
2. Jumlah rata-rata kayu kering (Kg
kayu/kg bahan)
3,82 3,45
3. Energi total yang dihasilkan kayu
(MJ/kg bahan)
68,8 62,19
4. Jumlah air yang diuapkan (L/kg bahan) 6,33 5,34
5. Energi penguapan air (MJ/kg bahan) 17,19 14,31
Jumlah kayu bakar yang digunakan untuk setiap kg bahan pada
penyulingan kohobasi lebih besar dibandingkan dengan penyulingan non
kohobasi begitu pula dengan energi yang dihasilkan kayu bakar, jumlah air
yang diuapkan dan energi yang digunakan untuk penguapan air lebih besar
pada penyulingan kohobasi dibandingkan dengan penyulingan non
kohobasi untuk setiap kg bahan baku nilam kering yang digunakan.
Tungku pembakaran pada alat penyulingan ini tidak dilengkapi
dengan penutup sehingga seringkali pada saat proses pembakaran
berlangsung api menjalar hingga keluar tungku. Hal tersebut dapat
mengakibatkan banyaknya energi yang terbuang ke lingkungan.
Kelengkapan yang terdapat pada tungku adalah cerobong yang berfungsi
sebagai tempat keluarnya asap pembakaran tetapi pada kenyataannya
cerobong ini kurang berfungsi. Asap lebih banyak keluar dari lubang
bagian depan sehingga dapat mengganggu operator ketika akan
memasukkan kayu bakar.
2. Ketel Suling
Ketel suling yang digunakan pada penelitian ini merupakan ketel
suling dengan metode penyulingan uap dan air dimana tempat
menguapkan air menyatu dengan tempat penyulingan dan dipisahkan oleh
sebuah saringan. Ketel suling berfungsi sebagai tempat menguapkan air,
uap air mengadakan kontak dengan bahan serta untuk menguapkan minyak
nilam.
Tekanan pada ketel suling adalah 1 atm dengan suhu sekitar 100
°C. Tekanan yang rendah tentunya akan sulit untuk mengekstrak
komponen-komponen bertitik didih tinggi dalam minyak nilam. Oleh
karena itu, penyulingan di dengan metode uap dan air ini memerlukan
waktu yang lama yaitu 8 jam. Pada awal penyulingan bagian bawah bahan
mempunyai suhu tertinggi dan bagian atas mempunyai suhu terendah.
Secara bertahap suhu uap akan menjadi sama pada seluruh bahan.
Peningkatan suhu berlangsung dari bagian bawah ketel hingga ke bagian
atas. Proses peningkatan suhu ini dapat berlangsung karena adanya uap
yang mengalir melalui tumpukan bahan dan menyerahkan panas kepada
bahan yang dilalui kemudian panas tersebut akan menaikkan suhu bahan
dan menjadi sumber panas penguapan yang dibutuhkan oleh minyak.
Perbandingan kinerja ketel suling pada penyulingan kohobasi dan non
kohobasi dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Perbandingan kinerja ketel suling
No Keterangan Penyulingan Kohobasi
Penyulingan Non Kohobasi
1. Bobot bahan rata-rata (Kg) 37,5 40
2. Kepadatan bahan (Kg/L) 0,09 0,096
3. Kebutuhan air (L) 134,66 209,67
4. Laju destilat (L/jam/kg bahan) 0,74 0,63
5. Laju destilat (L/jam/kg bahan/kg kayu) 0,00516 0,00456
Minyak atsiri terdapat di dalam kelenjar minyak atau kantung-
kantung minyak. Bila bahan dibiarkan utuh, proses hidrodifusi akan
berjalan lambat jadi sebaiknya tanaman nilam dirajang terlebih dahulu
menjadi potongan-potongan kecil sepanjang 5 – 10 cm. Pada bahan yang
dirajang, sebagian minyak nilam keluar ke permukaan bahan dan akan
segera menguap oleh uap panas. Selanjutnya minyak yang keluar melalui
proses difusi. Suhu tinggi dan pergerakan uap dalam ketel penyuling akan
mempercepat proses difusi.
Pada penyulingan yang dilakukan pada penelitian ini bobot bahan
rata-rata pada penyulingan kohobasi adalah 37,5 kg dengan kerapatan
bahan 0,09 kg/liter sedangkan pada penyulingan non kohobasi bobot
bahan rata-rata sebanyak 40 kg dengan kepadatan bahan 0,096 kg/liter.
Pengisian bahan didalam ketel harus dilakukan dengan baik dan
disesuaikan dengan kapasitas ketel. Selain itu pengisian bahan harus padat
serta menyebar rata pada seluruh bagian ketel agar uap air di dalam ketel
dapat menyebar dengan merata. Jika bahan tidak merata dapat
menyebabkan adanya jalur uap (rat hole) yang dapat menurunkan
rendemen yang dihasilkan. Semakin tinggi kerapatan bahan dan pengisian
yang terlalu padat mengakibatkan uap tertahan dan sulit untuk menembus
bahan. Uap yang telah melewati bahan dalam ketel umumnya mengandung
minyak. Bila jalan uap yang mengandung minyak tersebut terhambat maka
rendemen yang diperoleh akan menurun akibat uap terkondensasi lebih
awal. Menurut penelitian Panjaitan (1993) dan Rusli dan Hasanah (1977),
dengan penyulingan metode uap dan air semakin tinggi kepadatan bahan
di dalam ketel mengakibatkan rendemen menjadi semakin rendah karena
semakin tinggi kepadatan bahan dalam ketel, maka kecepatan penyulingan
semakin rendah sehingga proses hidrodifusi berjalan lambat.
Disamping itu harus diperhatikan pula agar tumpukan bahan tidak
melewati lubang pipa uap yang menghubungkan ketel dengan kondensor
agar keseluruhan bahan dalam ketel suling dapat dilewati oleh uap
termasuk yang berada pada bagian tumpukan paling atas dan mencegah
lubang uap tersebut tertutupi oleh bahan.
Laju destilat yang dihasilkan pada penyulingan kohobasi sebesar
0,74 liter/jam/kg bahan sedangkan pada penyulingan non kohobasi sebesar
0,63 liter.jam/kg bahan. Perbedaan laju destilat pada penyulingan kohobasi
dan non kohobasi dipengaruhi oleh jumlah kayu bakar yang digunakan dan
kepadatan bahan didalam ketel.
Gambar 9. Grafik laju destilat
Gambar 9 menunjukkan bahwa laju destilat mengalami fluktuasi
setiap waktunya. Pada awal penyulingan laju destilat yang dihasilkan
cukup tinggi dan cenderung menurun dengan semakin lamanya waktu
penyulingan. Hal tersebut dapat disebabkan karena pada awal penyulingan
kayu bakar yang digunakan lebih banyak sehingga api dapat menghasilkan
api yang besar. Penggunaan api yang besar pada awal penyulingan
dilakukan untuk mempercepat proses pemanasan air sehingga semakin
singkat waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan destilat. Laju destilat
yang semakin menurun pada jam-jam berikutnya dikarenakan nyala api
yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan pada awal penyulingan.
Fluktuasi laju destilat yang dihasilkan dipengaruhi oleh penambahan kayu
bakar ke dalam tungku pembakaran. Jika kayu bakar masih tersedia cukup
banyak di dalam tungku dan pembakaran berjalan dengan baik maka laju
destilat menjadi tinggi. Sedangkan apabila pasokan kayu bakar berkurang
dan kayu bakar yang terdapat di dalam tungku tidak terbakar dengan baik
akan menyebabkan laju destilat menjadi menurun.
Selama proses penyulingan, adanya penggantian air yang telah
diuapkan sangat penting untuk menguapkan seluruh minyak atsiri yang
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
0 60 120 180 240 300 360 420 480
Laju
De
stil
at
lite
r/ja
m/k
g b
ah
an
Menit ke-
Kohobasi
Non Kohobasi
terdapat dalam bahan. Pada penyulingan dengan sistem kohobasi, air yang
ditambahakan merupakan air suling yang berasal dari separator yang telah
terpisah dari minyak nilam sedangkan pada penyulingan non kohobasi
dilakukan penambahan air dari luar. Penambahan air dari luar pada
penyulingan non kohobasi dilakukan sedikit demi sedikit secara kontinu ke
dalam ketel suling selama penyulingan berlangsung. Apabila air
ditambahkan dalam jumlah besar dalam satu waktu maka dapat
menurunkan suhu air yang sedang diuapkan di dalam ketel dan air destilat
tidak akan keluar pada beberapa waktu lamanya karena berkurangnya uap
di dalam ketel akibat penurunan suhu air ketel.
Penyulingan dengan sistem kohobasi dapat menghemat penggunaan
air dibandingkan dengan penyulingan non kohobasi karena air terus
mengalami perputaran selama penyulingan sehingga penyulingan dengan
sistem kohobasi ini akan lebih ekonomis. Pada penyulingan dengan sistem
kohobasi jumlah air ketel awal sebanyak 134,66 liter dan secara terus
menerus mengalami perputaran selama penyulingan berlangsung
sedangkan pada penyulingan non kohobasi kebutuhan air rata-rata
sebanyak 209,67 liter. Hal tersebut membuktikan bahwa penyulingan
kohobasi mampu menghemat penggunaan air hingga 35 % dibandingkan
dengan penyulingan non kohobasi. Kebutuhan air yang lebih banyak pada
penyulingan non kohobasi karena air suling yang berasal dari separator
langsung dibuang sehingga air harus selalu ditambahkan untuk mencegah
kekurangan air di dalam ketel yang dapat membahayakan. Jumlah air di
dalam ketel dapat diketahui melalui alat water level yang terpasang pada
ketel suling. Selain itu pada air suling yang berasal dari separator masih
mengandung sejumlah kecil minyak sehingga ketika dikembalikan ke
dalam ketel akan megalami penguapan kembali.
3. Kondensor
Kondensor yang digunakan pada penyulingan ini adalah kondensor
berpilin (coil condenser) berbentuk persegi panjang yang dimasukkan ke
dalam bak berisi air pendingin dengan arah aliran air pendingin
berlawanan dengan arah uap campuran air dan minyak. Air pendingin
masuk dari bagian bawah dan keluar pada bagian atas sedangkan aliran
uap sebaliknya yaitu masuk melalui pipa uap pada bagian atas dan keluar
dari bagian bawah, sehingga destilat yang keluar dari kondensor
diharapkan akan mempunyai suhu yang hampir sama dengan suhu air
pendingin masuk. Perkembangan suhu air pendingin yang keluar
kondensor selama penyulingan dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar
11.
Gambar 10. Perbandingan Suhu di Kondensor pada Penyulingan Kohobasi
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0 60 120 180 240 300 360 420 480
Su
hu
(°C
)
Menit ke-
Suhu Air Pendingin
masuk
Suhu Air Pendingin
Keluar
Suhu Destilat
Gambar 11. Perbandingan Suhu di Kondensor pada Penyulingan
Non Kohobasi
Suhu destilat sangat ditentukan oleh kemampuan kondensor dalam
mendinginkan uap yang dihasilkan dari proses penyulingan. Pengaturan
suhu destilat disesuaikan dengan laju air pendingin yang digunakan
kondensor untuk mendinginkan dan laju destilat dari ketel suling ke
kondensor. Media yang digunakan sebagai pendingin adalah air dengan
permukaan pindah panas pada kondensor sebesar 1,62 m2. Aliran air
pendingin yang lebih cepat menyebabkan pendinginan yang lebih efisien
karena mampu menyerap energi panas lebih baik.
Gambar 9 dan 10 menyajikan perkembangan suhu di kondensor
yaitu suhu air pendingin masuk, suhu air pendingin keluar dan suhu
destilat. Dari grafik tersebut dapat diketahui bahwa peningkatan suhu air
pendingin keluar diiringi pula dengan peningkatan suhu destilat. Jika suhu
air pendingin tinggi maka suhu destilat menjadi tinggi pula. Hal tersebut
disebabkan ketika suhu air pendingin keluar tinggi maka kemampuannya
untuk mendinginkan uap menjadi berkurang dan destilat yang dihasilkan
dapat terkondensasi pada suhu yang tinggi pula. Sedangkan apabila suhu
air pendingin rendah maka air pendingin tersebut dapat menyerap panas
yang dilepaskan oleh uap lebih baik sehingga akan dihasilkan suhu destilat
yang rendah. Perbedaan suhu air yang keluar kondensor pada penyulingan
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0 60 120 180 240 300 360 420 480
Su
hu
(°C
)
Menit ke-
Suhu Air Pendingin
Masuk
Suhu Air Pendingin
Keluar
Suhu Destilat
kohobasi dan non kohobasi dikarenakan perbedaan suhu air pendingin
yang masuk ke kondensor dan laju alir air pendingin yang berbeda.
Pada awal penyulingan suhu air pendingin keluar dan suhu destilat
masih rendah kemudian dengan semakin lamanya waktu penyulingan
memperlihatkan peningkatan dan penurunan suhu air pendingin dan suhu
destilat yang dipengaruhi oleh laju air pendingin dan laju destilat.
Data suhu rata-rata destilat, suhu rata-rata air pendingin masuk,
suhu rata-rata air pendingin keluar, laju destilat dan laju air pendingin
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Perbandingan suhu rata-rata
Keterangan Penyulingan
Kohobasi Penyulingan
Non Kohobasi
Suhu destilat rata-rata (oC) 31,56 30,35
Suhu air pendingin masuk rata-rata (°C) 27,35 28
Suhu air pendingin keluar rata-rata(°C) 74,7 66,32
Laju destilat rata-rata (L/jam/kg bahan) 0,74 0,63
Laju air pendingin rata-rata (L/jam) 224 199
Laju destilat dan laju air pendingin berpengaruh terhadap suhu
destilat. Hal tersebut dikarenakan jumlah masa yang melewati kondensor
dan jumlah air pendingin sangat berpengaruh terhadap energi panas yang
harus didinginkan oleh kondensor. Suhu destilat pada penyulingan
kohobasi lebih tinggi dibandingkan dengan penyulingan non kohobasi
karena pada penyulingan kohobasi laju destilatnya yang lebih tinggi dan
masih disesuaikannya laju air pendingin. Semakin besar laju destilasi
maka energi panas yang dilepas uap air akan semakin besar. Suhu destilat
dapat diatur dengan mengatur debit air pendingin, semakin besar debit air
pendingin yang masuk ke kondensor maka proses pendinginan dapat
berjalan lebih baik.
Pada penyulingan kohobasi bukaan kran air pendingin masuk
hanya dilakukan selama 4 jam 55 menit sedangkan pada penyulingan non
kohobasi selama 7 jam 45 menit. Jumlah air pendingin yang dibutuhkan
pada penyulingan kohobasi dan penyulingan non kohobasi berturut – turut
adalah sebanyak 1307,75 liter dan 2104,45 liter. Hal tersebut yang
menyebabkan suhu air pendingin keluar dan suhu destilat pada
penyulingan kohobasi menjadi lebih tinggi.
3. Separator
Minyak nilam dan air dapat memisah karena perbedaan bobot jenis
sehingga minyak yang bobot jenisnya kurang dari 1 akan berada diatas air.
Separator ini merupakan separator yang dapat digunakan untuk
memisahkan minyak dengan fraksi ringan maupun fraksi berat. Separator
berbentuk silinder yang terbuat dari stainless steel, pada bagian atasnya
semakin mengecil dan terdapat tabung kecil yang terbuat dari gelas untuk
menampung minyak dengan bobot jenis yang lebih ringan sedangkan pada
bagian bawah terdapat pula tabung kecil yang terbuat dari gelas untuk
memisahkan minyak dengan bobot jenis yang lebih besar dari satu.
Destilat yang keluar dari kondensor akan masuk ke dalam separator
melalui corong dan keluar melalui pipa destilat dengan demikian aliran
destilat dari kondensor tidak mengganggu lapisan minyak yang sudah
terbentuk pada bagian atas. Minyak nilam yang telah terpisah dari air akan
keluar melalui pipa minyak yang berada pada bagian tengah separator dan
terhubung dengan kran minyak bagian atas untuk mengeluarkan minyak.
Sedangkan air suling akan keluar melalui pipa air pada bagian samping
separator. Pada penyulingan dengan kohobasi air suling yang berasal dari
separator dikembalikan ke ketel suling untuk disuling kembali.
Menurut Ketaren (1985), air suling yang keluar dari separator masih
mengandung sejumlah kecil minyak atsiri baik dalam bentuk terlarut
maupun suspensi. Komponen yang larut dalam air sebagian besar terdiri
dari senyawa oxygenated yang mempunyai bobot jenis lebih besar dari
senyawa non-oxygenated. Warna air suling yang keruh menunjukkan
masih adanya minyak dalam air tersebut. Sedangkan pada penyulingan
non kohobasi air suling tersebut langsung dibuang. Kran pada bagian
bawah separator digunakan untuk mengeluarkan minyak fraksi berat.
Minyak nilam yang tersuling pada penelitian ini tidak mengandung fraksi
berat dengan bobot jenis lebih besar dari satu sehingga kran tersebut hanya
digunakan untuk mengeluarkan air suling terdapat dalam separator pada
saat penyulingan telah selesai. Perbandingan kinerja separator dapat dilihat
pada Tabel 7.
Tabel 7. Perbanding kinerja di separator
No. Keterangan Penyulingan Kohobasi
Penyulingan Non Kohobasi
1. Suhu destilat rata-rata (°C) 31,56 30,35
2. Waktu tinggal rata-rata (Menit) 67,2 66,42
3. Jumlah destilat (L) 237,54 213,53
4. Jumlah air (L) 236,73 212,7
5. Jumlah minyak (L) 0,81 0,83
Perbandingan antara jumlah air dengan minyak nilam dalam
destilat yang dihasilkan cukup tinggi. Jumlah volume air suling lebih besar
dibandingkan dengan jumlah minyak. Berdasarkan hasil penelitian destilat
yang dihasilkan pada penyulingan kohobasi sebanyak 237,54 liter yang
terdiri dari 236,73 liter dan minyak nilam sebanyak 0,81 liter. Pada
penyulingan non kohobasi destilat yang dihasilkan sebanyak 213,53 liter
yang terdiri dari 212,7 liter air dan 0,83 liter minyak nilam.
Pemisahan minyak nilam dengan air memerlukan perbedaan bobot
jenis yang besar. Oleh karena itu minyak yang mempunyai perbedaan
bobot jenis sedikit lebih rendah dari bobot jenis air tidak dapat langsung
terpisah pada suhu ruang. Hal tersebut dapat dihindari yaitu dengan suhu
destilat yang agak hangat karena pada suhu tersebut bobot jenis minyak
relatif turun. Tetapi tidak membiarkan suhu destilat menjadi tinggi untuk
mencegah penguapan dan kehilangan minyak. Suhu destilat yang terukur
selama penyulingan berlangsung berkisar antara 27 °C hingga 38 °C. Suhu
destilat yang rendah akan mengakibatkan minyak tidak segera terpisah dari
air tetapi membentuk suspensi atau emulsi. Hal tersebut dapat dihindari
dengan membuat suhu destilat cukup hangat sehingga proses pemisahan
minyak dengan air menjadi lebih baik.
Gambar 12. Grafik perkembangan waktu tinggal di separator
Waktu tinggal destilat di dalam separator merupakan perbandingan
antara laju destilat dengan volume separator. Volume separator yang
digunakan pada penelitian ini adalah 25 liter. Lamanya waktu tinggal
bervariasi tergantung pada laju destilat. Waktu tinggal rata-rata pada
penyulingan kohobasi adalah 67,2 menit dan pada penyulingan non
kohobasi adalah 66,42 menit. Grafik perkembangan waktu tinggal destilat
di separator dapat dilihat pada Gambar 12.
Pada awal penyulingan waktu tinggal destilat dalam separator lebih
singkat. Hal tersebut dikarenakan tingginya laju destilat pada awal
penyulingan. Oleh sebab itu minyak yang telah terpisah harus segera
dikeluarkan dari separator karena minyak yang tersuling pada awal
penyulingan cukup banyak dan untuk mencegah minyak nilam bercampur
kembali dengan air. Mendekati akhir penyulingan waktu tinggal destilat di
separator semakin lama seiring dengan semakin menurunnya laju destilat.
Semakin cepat laju destilat maka waktu tinggalnya di dalam separator
semakin singkat sedangkan semakin lambat laju destilat maka waktu
tinggalnya semakin lama. Laju destilat sebaiknya tidak mengalir terlalu
cepat, jika laju destilat tinggi maka sebaiknya separator harus cukup besar
untuk menampung destilat agar minyak dapat memisah dari air secara
sempurna sehingga minyak tidak terbawa oleh air.
0
20
40
60
80
100
120
140
0 60 120 180 240 300 360 420 480
Wa
ktu
tin
gg
al
(me
nit
)
Menit ke-
Kohobasi
Non Kohobasi
C. EFISIENSI ENERGI
1. Kehilangan Energi
Energi yang dihasilkan bahan bakar tidak seluruhnya digunakan
untuk proses penyulingan. Energi ini sebagian besar hilang ke lingkungan
secara langsung dan hilang melalui dinding tungku, dinding ketel suling,
tutup ketel suling dan pipa dari ketel ke kondensor. Kehilangan energi
yang terjadi pada proses penyulingan terdiri dari kehilangan energi karena
perpindahan energi secara konveksi alami dan perpindahan energi secara
radiasi yang terjadi pada permukaan alat penyulingan.
Selama penyulingan berlangsung dilakukan pengukuran suhu
secara periodik pada titik-titik tertentu di dinding tungku, dinding luar
ketel suling, tutup ketel dan pipa penghubung ketel dengan kondensor.
Dari data suhu rata-rata yang diperoleh dapat dilihat kecenderungan dari
suhu-suhu setiap titik sehingga didapatkan perubahan suhu setiap 30 menit
dan digunakan untuk menghitung kehilangan energi pada bagian dinding
tungku, dinding ketel, tutup ketel dan pipa penghubung ketel dengan
kondensor. Suhu rata-rata pada alat penyulingan dapat dilihat pada Tabel
8.
Tabel 8. Suhu rata-rata alat penyulingan
No. Pengukuran Suhu Suhu Rata-rata (°C) Penyulingan
Kohobasi Penyulingan
Non Kohobasi
1. Dinding Tungku 78,8 76,5
2. Dinding Ketel 60,7 63,7
3. Tutup Ketel 57,7 58,1
4. Pipa Penghubung Ketel dengan
Kondensor 54,6 54,9
Perubahan kehilangan energi setiap waktu di dinding ketel, tutup
ketel, pipa penghubung ketel dengan kondensor dan dinding tungku pada
penyulingan kohobasi dan penyulingan non kohobasi dapat dilihat pada
Gambar 13 sampai dengan Gambar 16.
Gambar 13. Kehilangan panas dinding ketel
Gambar 14. Kehilangan panas tutup ketel
0
100
200
300
400
500
600
700
800E
ne
rgi
(KJ)
Menit ke-
Konveksi Kohobasi
Radiasi Kohobasi
Konveksi Non
Kohobasi
0
20
40
60
80
100
120
140
En
erg
i (K
J)
Menit ke-
Konveksi Kohobasi
Radiasi Kohobasi
Konveksi Non
Kohobasi
Gambar 15. Kehilangan panas pipa penghubung ketel dengan kondensor
Gambar 16. Kehilangan panas dinding tungku
Grafik diatas menunjukkan kehilangan energi pada awal
penyulingan rendah kemudian meningkat dengan semakin lamanya
penyulingan dan kembali menurun pada akhir penyulingan, hal ini
disebabkan pada awal penyulingan belum sempurnanya distribusi uap
karena uap membutuhkan waktu untuk menembus bahan dan memanaskan
ketel dan secara berangsur-angsur suhu menjadi lebih tinggi dan
kehilangan panas yang lebih besar pada jam-jam berikutnya. Sedangkan
pada akhir penyulingan suplai kayu bakar sudah berkurang sehingga
0
20
40
60
80
100
120
140
En
erg
i (K
J)
Menit ke-
Konveksi kohobasi
Radiasi Kohobasi
Konveksi Non
Kohobasi
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
En
erg
i (K
J)
Menit ke-
Konveksi
Kohobasi
Radiasi Kohobasi
energi berupa panas yang dihasilkan oleh bahan bakar semakin berkurang
yang ditandai dengan penurunan suhu dan penurunan kehilangan panas.
Pada dinding ketel, tutup ketel dan pipa penghubung ketel dengan
kondensor kehilangan energi secara konveksi lebih besar dibandingkan
dengan kehilangan energi radiasi sedangkan pada dinding tungku
kehilangan energi radiasi lebih besar dibandingkan dengan kehilangan
energi konveksi. Pada kehilangan panas radiasi besarnya tingkat pancaran
radiasi suatu benda dipengaruhi oleh nilai emisivitas. Nilai emisivitas
relatif suatu benda, besarnya berkisar antara 0 dan 1, benda dengan warna
hitam mutlak mempunyai nilai emisivitas 1. Tingginya kehilangan energi
radiasi pada dinding tungku disebabkan karena dinding tungku yang
terbuat dari plat besi yang dicat mempunyai nilai emisivitas yang tinggi
yaitu 0,9 sedangkan stainless steel nilai emisivitasnya berkisar antara 0,11
– 0,12 sehingga dapat dikatakan bahwa dinding tungku mampu menyerap
dan memantulkan radiasi yang lebih besar dibandingkan stailess steel.
Perbandingan kehilangan energi pada setiap bagian alat
penyulingan dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Perbandingan kehilangan energi alat penyulingan
No. Bagian Alat Jumlah Energi yang Hilang (MJ)
Kontribusi kehilagan Energi (%)
Penyulingan Kohobasi
Penyulingan Non
kohobasi
Penyulingan Kohobasi
Penyulingan Non
Kohobasi 1. Dinding
Tungku 40,6 39,8 70 67,6
2. Dinding Ketel 13,2 14,8 22,76 25,1
3. Tutup Ketel 2,1 2,2 3,6 3,7
4. Pipa
Penghubung
Ketel dengan
Kondensor
2,1 2,1 3,6 3,6
5. Total 58 58,9 100 100
Pada kehilangan panas secara konveksi dan radiasi besarnya suhu
permukaan alat penyulingan sangat berpengaruh. Semakin tinggi suhu
maka akan semakin tinggi pula kehilangan panasnya. Permukaan dinding
tungku memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu alat
penyulingan yang lainnya oleh sebab itu kehilangan panasnya lebih besar.
Tabel 10. Luas permukaan pindah panas alat penyulingan
No. Bagian alat penyulingan Luas permukaan pindah
panas (m2)
1. Tungku pembakaran 2,38
2. Dinding ketel 2,91
3. Tutup Ketel 0,54
4. Pipa penghubung ketel dengan kondensor 0,41
Selain suhu yang berpengaruh pada kehilangan panas adalah luas
permukaan. Luas permukaan pindah panas alat penyulingan dapat dilihat
pada Tabel 10. Semakin besar luas permukaan maka akan semakin besar
pula nilai kehilangan panasnya. Dinding ketel yang mempunyai luas
permukaan lebih luas dibandingkan dengan tutup ketel dan pipa
penghubung ketel dengan kondensor nilai kehilangan panasnya lebih besar
sedangkan tutup ketel dan pipa yang mempunyai luas permukaan lebih
kecil nilai kehilangan panasnya lebih kecil dibandingkan dengan dinding
ketel. Kehilangan energi dapat dikurangi dengan pemberian isolasi pada
alat penyulingan.
2. Efisiensi Ketel Suling
Efisiensi ketel suling merupakan perbandingan antara energi yang
digunakan untuk menguapkan air dalam ketel dengan energi yang
dihasilkan oleh kayu bakar dengan asumsi jumlah air yang menguap sama
dengan jumlah uap yang berkondensasi. Perbandingan efisiensi ketel
suling antara penyulingan kohobasi dan penyulingan non kohobasi
disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Perbandingan Efisiensi Ketel
Keterangan Penyulingan Kohobasi
Penyulingan Non Kohobasi
Energi penguapan air (MJ) 644,77 572,46
Energi bahan bakar (MJ) 2.579,85 2.487,6
Efisiensi (%) 25 23
Pada penyulingan kohobasi energi rata-rata yang digunakan untuk
mengubah air menjadi uap sebesar 644,77 MJ dan energi rata-rata yang
dihasilkan bahan bakar kayu selama penyulingan berlangsung adalah
2.579,85 MJ, maka dengan perbandingan antara energi penguapan air
dengan energi bahan bakar menghasilkan efisiensi ketel sebesar 25 %.
Pada penyulingan non kohobasi energi rata-rata yang digunakan untuk
mengubah air menjadi uap sebesar 572,46 MJ dan energi rata-rata yang
dihasilkan bahan bakar adalah 2.487,6 MJ sehingga menghasilkan efisiensi
ketel sebesar 23 %. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa penyulingan
dengan sistem kohobasi menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan penyulingan non kohobasi. Hal tersebut dapat
disebabkan karena suhu air pengisi ketel pada penyulingan kohobasi lebih
tinggi yaitu 31,56 °C sedangkan suhu air pengisi ketel pada penyulingan
non kohobasi lebih rendah yaitu sebesar 28,17 °C.
Pada penelitian Panjaitan (1993), efisiensi ketel suling penyulingan
minyak nilam dengan metode uap dan air sebesar 27,56 % dengan laju
penguapan air 0,6 liter/jam dan menggunakan gas LPG sebagai bahan
bakar. Sedangkan penelitian Sugiarto (1993), efisiensi ketel suling
penyulingan minyak akar wangi dengan metode uap dan air sebesar 22 %
dengan laju penguapan air 0,35 liter/jam dan menggunakan gas LPG
sebagai bahan bakar. Perhitungan efisiensi yang dilakukan Panjaitan dan
Sugiarto (1993) memperhitungkan energi yang digunakan untuk
menaikkan suhu nilam dari keadaan awal sampai suhu akhir.
Nilai efisiensi ketel suling pada penyulingan ini menunjukkan
bahwa energi yang dihasilkan kayu bakar banyak yang terbuang ke
lingkungan. Pada alat penyulingan, tungku pembakaran tidak dilengkapi
dengan tutup sehingga seringkali ketika penyulingan berlangsung api dari
dalam tungku menjalar hingga keluar. Hal tersebut mengakibatkan
banyaknya energi yang hilang. Kehilangan energi juga terjadi pada
dinding tungku sebesar 40,6 MJ pada penyulingan kohobasi dan 39,8 MJ
pada penyulingan non kohobasi, kehilangan energi pada dinding ketel
sebesar 13,2 MJ pada penyulingan kohobasi dan 14,8 MJ pada
penyulingan non kohobasi, kehilangan energi pada pipa uap 2,1 pada
penyulingan kohobasi dan non kohobasi serta kehilangan pada tutup ketel
2,1 MJ pada penyulingan kohobasi dan 2,2 MJ pada penyulingan non
kohobasi. Selain itu cerobong pada ketel suling tidak berfungsi dengan
baik sehingga asap hasil pembakaran lebih banyak yang keluar melalui
lubang bagian depan tungku dibandingkan yang keluar melalui cerobong.
Peningkatan efisiensi ketel suling dapat dilakukan dengan pemberian
isolasi pada peralatan penyulingan dan penggunaan pintu pada tungku
pembakaran untuk mengurangi kehilangan energi pada tungku.
3. Efisiensi Kondensor
Efisiensi kondensor merupakan perbandingan antara energi panas
yang diserap air pendingin dengan energi panas yang dilepaskan uap air.
Efisiensi kondensor dipengaruhi oleh luas penampang pindah panas dan
laju destilat. Selain itu koefisien pindah panas keseluruhan juga
berpengaruh terhadap efisiensi kondensor. Menurut Ketaren (1985),
koefisien pidah panas untuk kondensor jenis berpilin (coil) adalah 40
Btu/ft2 jam oF. Nilai efisiensi kondensor dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Perbandingan efisiensi kondensor
Keterangan Penyulingan Kohobasi
Penyulingan Non Kohobasi
Energi yang dilepaskan uap (MJ) 642,68 570,37
Energi yang diserap air pendingin (MJ) 502,71 566,04
Efisiensi (%) 79 99,23
Penyulingan yang dilakukan pada penelitian ini menghasilkan
efisiensi kondensor sebesar 79 % untuk penyulingan kohobasi dengan
energi yang lepaskan uap air sebesar 642,68 MJ dan energi yang diserap
air pendingin sebesar 502,71 MJ. Efisiensi kondensor pada penyulingan
non kohobasi sebesar 99,26 % dengan energi yang dilepaskan uap air
sebesar 570,37 MJ dan energi yang diserap air pendingin sebesar 566,04
MJ. Air pengisi ketel yang berupa air kohobasi maupun air non kohobasi
tidak berpengaruh terhadap efisiensi kondensor karena yang berpengaruh
terhadap efisiensi kondensor adalah laju destilat dan penggunaan air
pendingin. Air pengisi ketel hanya akan mempengaruhi energi yang
digunakan untuk menguapkan air di ketel suling.
Semakin besar laju destilat maka efisiensinya semakin rendah. Laju
destilat pada penyulingan kohobasi lebih besar dibandingkan dengan
penyulingan non kohobasi yaitu sebesar 0,74 liter/jam/kg bahan sedangkan
pada penyulingan non kohobasi sebesar 0,63 liter/jam/kg bahan. Laju
destilat yang semakin besar akan melepaskan energi panas yang semakin
besar. Energi panas dari uap air tidak dapat diserap oleh air pendingin
secara maksimal selain itu kontak antara uap dan air pendingin terjadi
lebih singkat. Kemampuan air pendingin untuk menyerap panas menurun
ketika suhu air pendingin meningkat. Selain itu air pendingin yang
digunakan pada penyulingan non kohobasi dialirkan lebih lama
dibandingkan dengan penyulingan kohobasi sehingga pada penyulingan
kohobasi kemampuan air pendingin menyerap panas lebih rendah. Energi
yang diserap air pendingin jauh lebih kecil dibandingkan dengan energi
yang dilepas oleh uap air, sehingga efisiensinya kecil.
Pada penelitian Fatahna (2005), efisiensi kondensor tipe shell and
tube penyulingan minyak nilam sebesar 94,51 % sedangkan penelitian
Sugiarto (1993) didapatkan efisiensi kondensor sebesar 97,35 %. Efisiensi
kondensor pada penyulingan minyak atsiri umumnya cukup baik karena
kondensor yang digunakan dapat mengubah uap minyak dan air menjadi
fase cair.
4. Efisiensi Energi Penyulingan
Efisiensi energi penyulingan merupakan nilai perbandingan antara
energi yang keluar dari sistem dengan energi yang masuk ke dalam sistem.
Energi yang masuk ke dalam sisitem merupakan energi yang berasal dari
bahan bakar sedangkan energi yang keluar dari sistem adalah energi yang
diserap oleh air pendingin di kondensor.
Nilai efisiensi energi penyulingan kohobasi sebesar 19,48 %
dengan energi yang berasal dari bahan bakar sebesar 2579,85 MJ dan
energi yang diserap air pendingin sebesar 502,7 MJ. Sedangkan efisiensi
penyulingan non kohobasi sebesar 22,75 % dengan energi yang dihasilkan
bahan bakar sebesar 2487,6 MJ dan energi yang diserap air pendingin
sebesar 566,04 MJ. Nilai efisiensi penyulingan tersebut menunjukkan
bahwa pada sistem penyulingan minyak nilam dengan metode uap dan air
ini energi yang dihasilkan oleh bahan bakar lebih banyak yang hilang ke
lingkungan dibandingkan dengan yang digunakan dalam proses
penyulingan. Pada penyulingan kohobasi kehilangan energi keseluruhan
sebesar 2077,15 MJ dan pada penyulingan non kohobasi kehilangan energi
keseluruhan sebesar 1921,56 MJ. Kehilangan energi tersebut merupakan
kehilangan energi di tungku pembakaran, ketel suling, tutup ketel, pipa
penghubung ketel dengan kondensor dan kondensor.
Pada penelitian Fatahna (2005), efisiensi energi penyulingan nilam
sebesar 67,87 % dan pada penelitian Sunanto (1992) efisiensi energi
penyulingan sereh wangi sebesar 45,81 %. Perbedaan efisiensi energi
penyulingan tersebut dapat disebabkan karena sistem penyulingan yang
berbeda. Penelitian yang dilakukan Fatahna (2005) dan Sunanto (1992)
menggunakan sistem penyulingan uap langsung dengan penghasil uap air
berasal dari ketel uap dan menggunakan bahan bakar yang berbeda.
Neraca energi penyulingan kohobasi dan penyulingan non kohobasi
disajikan pada Gambar 17 dan gambar 18.
Gambar 17. Neraca Energi Penyulingan Kohobasi
Ketel Suling dengan Tungku Pembakaran
ξ = 25 % Tair awal = 23,5 °C Tsteam = 100 °C Tekanan = 1 atm
Energi Kayu Bakar 2579,85 MJ
Loss Energi Ketel 1935,34 MJ
Energi Penguapan Air 644,77 MJ
Loss Energi Pipa Ketel - Kondensor 2,1 MJ
Energi yang Dilepaskan Uap 642,68 MJ
Kondensor ξ = 79 %
Tsteam = 100 °C Tdestilat = 31,56 °C
Loss Energi Kondensor 139,71 MJ
Energi yang Diserap Air Pendingin 502,7 MJ
Gambar 18. Neraca Energi Penyulingan Non Kohobasi
Ketel Suling dengan Tungku Pembakaran
ξ = 22,99 % Tair awal = 25 °C Tsteam = 100 °C Tekanan = 1 atm
Energi Kayu Bakar 2487,6 MJ
Loss Energi Ketel 1936,43 MJ
Energi Penguapan Air 572,46 MJ
Loss Energi Pipa Ketel - Kondensor 2,1 MJ
Energi yang Dilepaskan Uap 570,37 MJ
Kondensor ξ = 99,26 %
Tsteam = 100 °C Tdestilat = 30,35 °C
Loss Energi Kondensor 4,2 MJ
Energi yang Diserap Air Pendingin 566,04 MJ
D. ANALISA MUTU
Setelah proses penyulingan, dilakukan pengujian mutu terhadap
minyak nilam yang dihasilkan sesuai dengan prosedur Standar nasional
Indonesia. Parameter yang diukur antara lain bobot jenis, indeks bias, bilangan
asam, bilangan ester dan kelarutan dalam alkohol. Perbandingan mutu minyak
nilam hasil penyulingan metode kohobasi dan non kohobasi dengan spesifikasi
mutu minyak nilam berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-2385-
2006 disajikan dalam Tabel 13. Mutu minyak nilam hasil penyulingan dapat
dikatakan baik karena hasil perhitungan menunjukkan setiap parameter uji
masuk dalam SNI 06-2385-2006.
Tabel 13. Perbandingan mutu minyak nilam hasil penyulingan
No. Parameter Kohobasi Non
Kohobasi SNI 06-2385-2006
1. Penampakan warna minyak
nilam
Kuning
kecokelatan
Kuning
muda
Kuning muda-
cokelat kemerahan
2. Bobot jenis (t = 25 °C) 0,9583 0,9582 0,950 – 0,975
3. Indeks bias (nD20) 1,5075 1,5073 1,507-1,515
4. Putaran optik (-) 64,5 (-) 62,47 (-) 48° - (-) 65°
5. Bilangan asam 3,18 3,19 Maksimal 8
6. Bilangan ester 8,75 5,55 Maksimal 20
7. Kelarutan dalam etanol 90 % 1 : 7 – 1 : 1 1 : 7 – 1 : 1 Maksimal 1 : 10
1. Penampakan Warna
Parameter warna ditentukan secara visual terhadap minyak nilam
yang hasil penyulingan menurut. Pada umumnya warna minyak yang lebih
muda lebih disukai daripada warna minyak yang gelap. Gambar 18
menunjukkan minyak hasil penyulingan dengan sistem kohobasi dan non
kohobasi.
Penyulingan Kohobasi Penyulingan Non Kohobasi
Gambar 19. Minyak nilam hasil penyulingan dari kiri ke kanan minyak
jam pertama hingga jam kedelapan
Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-2385-2006 untuk warna
minyak nilam yang memenuhi syarat yaitu kuning muda sampai coklat
kemerahan. Warna kuning pada minyak nilam merupakan warna alami
pada minyak nilam. Secara visual dapat dilihat bahwa penyulingan dengan
sistem kohobasi menghasilkan minyak dengan warna yang lebih gelap
dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan dari penyulingan non-
kohobasi. Selain itu dengan semakin bertambahnya waktu penyulingan
warna minyak menjadi semakin gelap. Hal ini disebabkan adanya
perbedaan kadar dan jumlah komponen dalam minyak tersebut. Pada
penyulingan kohobasi warna yang gelap dapat dikarenakan penggunaan air
pengisi ketel secara berulang-ulang. Selain itu semakin lama waktu
penyulingan maka semakin banyak komponen fraksi berat seperti
patchouli alkohol sehingga warnanya lebih gelap.
2. Bobot Jenis
Bobot jenis
pada suhu tertentu dengan massa air pada suhu yang sama. Nilai
jenis ditentukan oleh komponen
didalam minyak nilam
Gambar 20. Grafik perbandingan nilai bobot
Pada G
hasil penelitian cenderung meningkat dengan semakin lamanya waktu
penyulingan baik pada penyulingan kohobasi maupun non kohobasi. Hal
ini disebabkan dengan semakin lamanya penyulingan maka
banyak fraksi berat yang tersuling. Semakin tinggi kadar fraksi berat dan
komponen yang ada dalam minyak maka nilai bobot jenis semakin tinggi.
Menurut Standar Nasional Indonesia nilai bobot jenis minyak nilam berada
pada rentang nilai 0,950
Minyak nilam hasil penyulingan hanya min
yang sesuai dengan standar baik pada penyulingan dengan kohobasi
maupun penyulingan non kohobasi. Minyak nilam hasil penyulingan jam
pertama lebih rendah dibandingkan dengan
nilam jam ketiga hingga jam kedelapan nilainya lebih besar dari standar.
Selain itu dapat dilihat bahwa nilai bobot jenis minyak nilam dengan
penyulingan kohobasi lebih tinggi dibandingkan dengan penyulingan non
kohobasi. Secara k
0.9
0.91
0.92
0.93
0.94
0.95
0.96
0.97
0.98
0.99
1
1.01B
ob
ot
Jen
is
Bobot jenis didefinisikan sebagai perbandingan massa suatu bahan
pada suhu tertentu dengan massa air pada suhu yang sama. Nilai
ditentukan oleh komponen-komponen kimia yang terkandung
minyak nilam.
Gambar 20. Grafik perbandingan nilai bobot jenis
Gambar 20 dapat dilihat bahwa bobot jenis minyak nilam
hasil penelitian cenderung meningkat dengan semakin lamanya waktu
penyulingan baik pada penyulingan kohobasi maupun non kohobasi. Hal
ini disebabkan dengan semakin lamanya penyulingan maka
banyak fraksi berat yang tersuling. Semakin tinggi kadar fraksi berat dan
komponen yang ada dalam minyak maka nilai bobot jenis semakin tinggi.
Menurut Standar Nasional Indonesia nilai bobot jenis minyak nilam berada
pada rentang nilai 0,950 – 0,975 pada suhu 25oC.
Minyak nilam hasil penyulingan hanya minyak pada jam kedua
yang sesuai dengan standar baik pada penyulingan dengan kohobasi
maupun penyulingan non kohobasi. Minyak nilam hasil penyulingan jam
pertama lebih rendah dibandingkan dengan standar sedangkan minyak
nilam jam ketiga hingga jam kedelapan nilainya lebih besar dari standar.
Selain itu dapat dilihat bahwa nilai bobot jenis minyak nilam dengan
penyulingan kohobasi lebih tinggi dibandingkan dengan penyulingan non
Secara keseluruhan minyak nilam yang dihasilkan dengan
Jam ke-
didefinisikan sebagai perbandingan massa suatu bahan
pada suhu tertentu dengan massa air pada suhu yang sama. Nilai bobot
komponen kimia yang terkandung
jenis
dapat dilihat bahwa bobot jenis minyak nilam
hasil penelitian cenderung meningkat dengan semakin lamanya waktu
penyulingan baik pada penyulingan kohobasi maupun non kohobasi. Hal
ini disebabkan dengan semakin lamanya penyulingan maka akan semakin
banyak fraksi berat yang tersuling. Semakin tinggi kadar fraksi berat dan
komponen yang ada dalam minyak maka nilai bobot jenis semakin tinggi.
Menurut Standar Nasional Indonesia nilai bobot jenis minyak nilam berada
k pada jam kedua
yang sesuai dengan standar baik pada penyulingan dengan kohobasi
maupun penyulingan non kohobasi. Minyak nilam hasil penyulingan jam
standar sedangkan minyak
nilam jam ketiga hingga jam kedelapan nilainya lebih besar dari standar.
Selain itu dapat dilihat bahwa nilai bobot jenis minyak nilam dengan
penyulingan kohobasi lebih tinggi dibandingkan dengan penyulingan non
eseluruhan minyak nilam yang dihasilkan dengan
Kohobasi
Non Kohobasi
penyulingan kohobasi maupun non kohobasi sesuai dengan Standar
Nasional Indonesia.
3. Indeks Bias
Nilai indeks bias minyak nilam berhubungan dengan perbandingan
komponen minyak hasil penyulingan. Indeks bias dit
rantai karbon yang menyusun suatu senyawa. Semakin panjang rantai
karbon, semakin besar kerapatannya sehingga sukar membiaskan cahaya
yang datang. Hal ini menyebabkan nilai indeks bias menjadi besar.
hubungan antara nilai indeks
lama penyulingan disajikan pada Gambar 21.
Gambar 21
Menurut Standar Nasional Indonesia nilai indeks bias minyak nilam
berada pada rentang nilai 1,507
untuk minyak nilam hasil penyulingan dengan kohobasi maupun non
kohobasi memenuhi standar. Nilai indeks bias penyulingan kohobasi
berkisar antara 1,5050
penyulingan non kohobasi berkisar antara 1,5046
20oC. Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa semakin lama waktu
penyulingan semakin meningkat pula nilai indeks bias. Hal tersebut terjadi
1.5
1.502
1.504
1.506
1.508
1.51
1.512
1.514
Ind
ek
s B
ias
penyulingan kohobasi maupun non kohobasi sesuai dengan Standar
Nasional Indonesia.
Nilai indeks bias minyak nilam berhubungan dengan perbandingan
komponen minyak hasil penyulingan. Indeks bias ditentukan oleh panjang
rantai karbon yang menyusun suatu senyawa. Semakin panjang rantai
karbon, semakin besar kerapatannya sehingga sukar membiaskan cahaya
yang datang. Hal ini menyebabkan nilai indeks bias menjadi besar.
hubungan antara nilai indeks bias minyak nilam hasil penyulingan dengan
lama penyulingan disajikan pada Gambar 21.
Gambar 21. Grafik perbandingan nilai indeks bias
Menurut Standar Nasional Indonesia nilai indeks bias minyak nilam
berada pada rentang nilai 1,507 – 1,515 pada suhu 20oC. Nilai indeks bias
untuk minyak nilam hasil penyulingan dengan kohobasi maupun non
kohobasi memenuhi standar. Nilai indeks bias penyulingan kohobasi
berkisar antara 1,5050 – 1,5120 pada suhu 20oC sedangkan
penyulingan non kohobasi berkisar antara 1,5046 – 1,5121 pada suhu
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa semakin lama waktu
penyulingan semakin meningkat pula nilai indeks bias. Hal tersebut terjadi
Jam ke-
penyulingan kohobasi maupun non kohobasi sesuai dengan Standar
Nilai indeks bias minyak nilam berhubungan dengan perbandingan
entukan oleh panjang
rantai karbon yang menyusun suatu senyawa. Semakin panjang rantai
karbon, semakin besar kerapatannya sehingga sukar membiaskan cahaya
yang datang. Hal ini menyebabkan nilai indeks bias menjadi besar. Grafik
bias minyak nilam hasil penyulingan dengan
indeks bias
Menurut Standar Nasional Indonesia nilai indeks bias minyak nilam
C. Nilai indeks bias
untuk minyak nilam hasil penyulingan dengan kohobasi maupun non
kohobasi memenuhi standar. Nilai indeks bias penyulingan kohobasi
sedangkan pada
1,5121 pada suhu
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa semakin lama waktu
penyulingan semakin meningkat pula nilai indeks bias. Hal tersebut terjadi
Kohobasi
Non Kohobasi
karena pada awal penyulingan minyak nilam mengandung fraksi ringan
dengan semakin lama penyulingan maka minyak dengan fraksi berat
semakin banyak yang tersuling. Sepeti halnya nilai bobot jenis, nilai
indeks bias dipengaruhi oleh perbandingan-perbandingan komponen-
komponen yang terkandung di dalamnya.
Besar kecilnya nilai indeks bias berhubungan dengan perbandingan
komponen-komponen dan senyawa yang terkandung di dalamnya. Indeks
bias dipegaruhi oleh panjangnya rantai karbon dan banyaknya ikatan
rangkap. Banyaknya fraksi ringan dalam minyak akan menurunkan
kerapatan minyak, sehingga indeks bias menjadi kecil. Jika kerapatan
minyak semakin kecil maka akan mudah membiaskan cahaya yang datang
sehingga nilai indeks biasnya kecil. Semakin panjang rantai karbon,
semakin besar kerapatannya dan semakin banyak minyak mengandung
senyawa dengan ikatan rangkap atau fraksi-fraksi berat, maka kerapatan
minyak akan semakin besar. Jika kerapatan minyak semakin besar, maka
akan sulit membiaskan cahaya yang datang dan akan menyebabkan nilai
indeks bias menjadi lebih besar.
4. Putaran Optik
Kisaran nilai yang ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia
(SNI) 06-2385-2006 untuk nilai putaran optik minyak nilam adalah (-) 48o
– (-) 65o. Nilai putaran optik pada minyak nilam yang dihasilkan hanya
minyak pada jam pertama dan kedua saja yang sesuai dengan standar
sedangkan untuk minyak jam ketiga sampai kedelapan tidak sesuai dengan
standar tetapi secara kseluruhan minyak nilam hasil penyulingan sesuai
dengan standar. Minyak nilam ada pula yang tidak memutar bidang
polarisasi, tetapi seluruh minyak nilam hasil penelitian ini memutar bidang
polarisasi ke arah kiri (levo rotary) dengan tanda negatif (-).
Gambar 2
Gambar
hasil penelitian
sebelah kiri disebabkan oleh adanya patchouli alkohol yang memiliki daya
optik aktif ke kiri (
semakin meningkat dengan semakin lamaya waktu pen
tersebut disebabkan karena semakin lama penyulingan maka semakin
banyak kandungan patchouli alkohol dalam minyak sehingga kemampuan
minyak untuk memutar bidang polarisasi ke kiri semakin besar.
5. Bilangan Asam
Sebagian besar minyak atsiri men
bebas yang terbentuk secara alami atau yang dihasilkan dari proses
oksidasi dan hidrolisa ester.
terhadap bilangan asam minyak nilam dapat dilihat pada Gambar 2
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Pu
tara
n O
pti
k
Gambar 22. Grafik perbandingan nilai putaran optik
ambar 22 menunjukkan grafik nilai putaran optik minyak nilam
enelitian setiap jam. Kecenderungan minyak nilam memutar ke
sebelah kiri disebabkan oleh adanya patchouli alkohol yang memiliki daya
optik aktif ke kiri (-) yang cukup besar. Nilai putaran otik minyak nilam
semakin meningkat dengan semakin lamaya waktu pen
tersebut disebabkan karena semakin lama penyulingan maka semakin
banyak kandungan patchouli alkohol dalam minyak sehingga kemampuan
minyak untuk memutar bidang polarisasi ke kiri semakin besar.
Bilangan Asam
Sebagian besar minyak atsiri mengandung sejumlah asam organik
bebas yang terbentuk secara alami atau yang dihasilkan dari proses
oksidasi dan hidrolisa ester. Grafik hubungan antara lama penyulingan
terhadap bilangan asam minyak nilam dapat dilihat pada Gambar 2
Jam ke-
putaran optik
nilai putaran optik minyak nilam
Kecenderungan minyak nilam memutar ke
sebelah kiri disebabkan oleh adanya patchouli alkohol yang memiliki daya
Nilai putaran otik minyak nilam
semakin meningkat dengan semakin lamaya waktu penyulingan. Hal
tersebut disebabkan karena semakin lama penyulingan maka semakin
banyak kandungan patchouli alkohol dalam minyak sehingga kemampuan
minyak untuk memutar bidang polarisasi ke kiri semakin besar.
gandung sejumlah asam organik
bebas yang terbentuk secara alami atau yang dihasilkan dari proses
hubungan antara lama penyulingan
terhadap bilangan asam minyak nilam dapat dilihat pada Gambar 23.
Kohobasi
Non Kohobasi
Gambar 23. Grafik
Nilai maksimal bilangan
8. Nilai bilangan asam minyak nilam yang dihasilkan pada penyulingan
kohobasi maupun non kohobasi pada jam pertama hingga jam kelima
masuk ke dalam standar sedangkan minyak nilam untuk jam ke enam
sampai kedelapan tidak masuk ke dalam standar. Dari
dilihat bahwa semakin lama waktu penyulingan maka semakin tinggi nilai
bilangan asamnya. Dengan semakin lamanya waktu penyulingan dapat
dilihat bahwa nilai bilangan asam minyak nilam dengan penyulingan
kohobasi lebih tinggi dibandingkan dengan pe
tersebut dapat disebabkan karena pada penyulingan dengan kohobasi
semakin banyak uap yang bersentuhan dengan minyak sehingga
kemungkinan proses hidrolisa akan lebih besar.
Selain itu apabila bahan yang digunakan telah mengalami
pengeringan dan penyimpanan yang terlalu lama, maka dapat
menyebabkan bilangan asamnya semakin tinggi karena diduga selama
bahan dikeringkan dan disimpan terjadi proses oksidasi dan hidrolisis
ester.
6. Bilangan Ester
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Bil
an
ga
n A
sam
Gambar 23. Grafik perbandingan nilai bilangan asam
Nilai maksimal bilangan asam menurut (SNI) 06-2385
Nilai bilangan asam minyak nilam yang dihasilkan pada penyulingan
kohobasi maupun non kohobasi pada jam pertama hingga jam kelima
masuk ke dalam standar sedangkan minyak nilam untuk jam ke enam
sampai kedelapan tidak masuk ke dalam standar. Dari grafik
dilihat bahwa semakin lama waktu penyulingan maka semakin tinggi nilai
bilangan asamnya. Dengan semakin lamanya waktu penyulingan dapat
dilihat bahwa nilai bilangan asam minyak nilam dengan penyulingan
kohobasi lebih tinggi dibandingkan dengan penyulingan non kohobasi. Hal
tersebut dapat disebabkan karena pada penyulingan dengan kohobasi
semakin banyak uap yang bersentuhan dengan minyak sehingga
kemungkinan proses hidrolisa akan lebih besar.
Selain itu apabila bahan yang digunakan telah mengalami
pengeringan dan penyimpanan yang terlalu lama, maka dapat
menyebabkan bilangan asamnya semakin tinggi karena diduga selama
bahan dikeringkan dan disimpan terjadi proses oksidasi dan hidrolisis
Bilangan Ester
Jam ke-
bilangan asam
2385-2006 adalah
Nilai bilangan asam minyak nilam yang dihasilkan pada penyulingan
kohobasi maupun non kohobasi pada jam pertama hingga jam kelima
masuk ke dalam standar sedangkan minyak nilam untuk jam ke enam
grafik diatas dapat
dilihat bahwa semakin lama waktu penyulingan maka semakin tinggi nilai
bilangan asamnya. Dengan semakin lamanya waktu penyulingan dapat
dilihat bahwa nilai bilangan asam minyak nilam dengan penyulingan
nyulingan non kohobasi. Hal
tersebut dapat disebabkan karena pada penyulingan dengan kohobasi
semakin banyak uap yang bersentuhan dengan minyak sehingga
Selain itu apabila bahan yang digunakan telah mengalami proses
pengeringan dan penyimpanan yang terlalu lama, maka dapat
menyebabkan bilangan asamnya semakin tinggi karena diduga selama
bahan dikeringkan dan disimpan terjadi proses oksidasi dan hidrolisis
Kohobasi
Non Kohobasi
Bilangan ester cukup penting peranannya dalam minyak atsiri,
terutama yang berkaitan dengan aroma.
ester yang ditetapkan oleh Standar Nasio
2006 adalah 20.
minyak nilam
Gambar 2
Berdasarkan
memperlihatkan kecenderungan meningkat dengan bertambahnya waktu
penyulingan. Minyak nilam yang dihasilkan dengan penyulingan non
kohobasi seluruhnya sesuai dengan standar sedangkan untuk minyak nilam
dengan penyul
melebihi standar.
Lama penyulingan mem
ester terdapat dalam fraksi berat yang menguap pada suhu tinggi. Semakin
lama penyulingan dan suhu semakin tinggi unt
berat dan bilangan ester semakin tinggi.
Komponen penentu aroma minyak adalah benzaldehid, sinnamaldehid
dan eugenol yang memilliki titik didih tinggi dan merupakan fraksi berat.
Semakin lama waktu penyulingan komponen tersebut sem
yang tersuling sehingga bilangan ester semakin tinggi.
senyawa ester dalam minyak akan semakin baik aroma minyak tersebut.
0
5
10
15
20
25
Bil
an
ga
n E
ste
r
Bilangan ester cukup penting peranannya dalam minyak atsiri,
terutama yang berkaitan dengan aroma. Besar nilai maksimal
ester yang ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI) 06
2006 adalah 20. Berikut ini adalah grafik hubungan nilai bi
minyak nilam dengan lama penyulingan.
Gambar 24. Grafik perbandingan nilai bilangan ester
Berdasarkan Gambar 24 dapat dilihat bahwa nilai bilangan ester
memperlihatkan kecenderungan meningkat dengan bertambahnya waktu
penyulingan. Minyak nilam yang dihasilkan dengan penyulingan non
kohobasi seluruhnya sesuai dengan standar sedangkan untuk minyak nilam
dengan penyulingan kohobasi pada minyak nilam jam kedelapan nilainya
melebihi standar.
Lama penyulingan mempengaruhi besarnya bilangan ester. Kandungan
ester terdapat dalam fraksi berat yang menguap pada suhu tinggi. Semakin
lama penyulingan dan suhu semakin tinggi untuk menyuling maka fraksi
berat dan bilangan ester semakin tinggi.
Komponen penentu aroma minyak adalah benzaldehid, sinnamaldehid
dan eugenol yang memilliki titik didih tinggi dan merupakan fraksi berat.
Semakin lama waktu penyulingan komponen tersebut sem
yang tersuling sehingga bilangan ester semakin tinggi. S
senyawa ester dalam minyak akan semakin baik aroma minyak tersebut.
Jam ke-
Bilangan ester cukup penting peranannya dalam minyak atsiri,
maksimal bilangan
nal Indonesia (SNI) 06-2385-
nilai bilangan ester
bilangan ester
dapat dilihat bahwa nilai bilangan ester
memperlihatkan kecenderungan meningkat dengan bertambahnya waktu
penyulingan. Minyak nilam yang dihasilkan dengan penyulingan non
kohobasi seluruhnya sesuai dengan standar sedangkan untuk minyak nilam
ingan kohobasi pada minyak nilam jam kedelapan nilainya
pengaruhi besarnya bilangan ester. Kandungan
ester terdapat dalam fraksi berat yang menguap pada suhu tinggi. Semakin
uk menyuling maka fraksi
Komponen penentu aroma minyak adalah benzaldehid, sinnamaldehid
dan eugenol yang memilliki titik didih tinggi dan merupakan fraksi berat.
Semakin lama waktu penyulingan komponen tersebut semakin banyak
Semakin banyak
senyawa ester dalam minyak akan semakin baik aroma minyak tersebut.
Kohobasi
Non Kohobasi
7. Kelarutan dalam alkohol 90 %
Minyak atsiri larut dalam alkohol dan jarang sekali larut dalam air,
oleh karena itu nilai kelarutannya diketahui dengan melarutkan dalam
alkohol 90 %. Semakin banyak jumlah alkohol yang ditambahkan maka
semakin sukar minyak tersebut larut dalam alkohol. Minyak yang banyak
mengandung komponen oxygenated hidrocarbon mudah larut dalam
alkohol dibandingkan dengan minyak yang banyak mengandung terpen.
Minyak nilam mudah larut dalam alkohol karena komponen utama
dalam minyak nilam adalah patchouli alkohol yang termasuk golongan
terpen-O. Kelarutan minyak hasil penyulingan dalam alkohol 90 % dapat
dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Kelarutan minyak nilam dalam alkohol 90 %
Jam
ke-
Kelarutan
Penyulingan
Kohobasi
Penyulingan Non
Kohobasi
1 1 : 7 1 : 7
2 1 : 1 1 : 4
3 1 : 1 1 : 1
4 1 : 1 1 : 1
5 1 : 1 1 : 1
6 1 : 1 1 : 1
7 1 : 1 1 : 1
8 1 : 1 1 : 1
9 1 : 1 1 : 1
Guenther (1947), bahwa komponen kimia yang terkandung dalam
minyak atsiri menentukan kelarutan minyak tersebut dalam etanol.
Biasanya minyak dengan kandungan oxygenated hydrocarbon tinggi akan
lebih mudah larut dalam etanol dibandingkan dengan minyak atsiri dengan
kandungan senyawa terpen tinggi. Salah satu komponen yang termasuk
dalam golongan oxygenated hydrocarbon adalah patchouli alkohol dengan
gugus fungsi -COH (alkohol), yang artinya memiliki kepolaran yang
hampir sama dengan pelarut alkohol (etanol).
Dari Tabel 14 dapat diketahui bahwa dengan semakin lamanya
waktu penyulingan akan meningkatkan kelarutan minyak nilam dalam
alkohol. Minyak nilam pada jam pertama sulit larut dengan alkohol
sedangkan pada jam berikutnya lebih mudah larut dalam alkohol. Hal
tersebut dapat disebabkan karena dengan semakin lamanya waktu
penyulingan maka akan meningkatkan kandungan patchouli alkohol dalam
minyak nilam dan senyawa-senyawa oxygenated hydrocarbon lainnya.
E. PENYULINGAN RAKYAT
Alat penyulingan yang digunakan pada penyulingan minyak nilam di
Pakpak Barat, Sumatera Utara pada umumnya masih menggunakan teknologi
yang sederhana. Metode penyulingan yang dilakukan adalah metode
penyulingan uap dan air dengan sistem non kohobasi. Pengisian air dilakukan
secara terus menerus selama proses penyulingan berlangsung dengan
memperhitungkan uap air yang keluar (biasanya dengan aliran yang sangat
kecil). Bahan baku yang digunakan adalah tanaman nilam Aceh (Pogostemon
cablin benth) yang dikeringkan selama 2 hari dengan kadar air 10 % - 14 %.
Sketsa penyulingan rakyat dapat dilihat pada Gambar 25.
Gambar 25. Sketsa Unit pengolahan Hasil (UPH) Tradisional
Keterangan :
A : Ketel air D : Kondensor
B : Ketel suling E : Separator
C : Pipa penghubung
Peralatan penyulingan yang digunakan adalah tungku, ketel air, ketel
suling, pipa uap, kondensor dan separator. Ketel air ditempatkan dibawah
tanah dan pada bagian atas ketel air terdapat pipa uap untuk mengalirkan uap
ke ketel suling yang berada diatasnya. Luas permukaan pindah panas pada
ketel air sebesar 0,78 m2 dengan rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk
menghasilkan destilat adalah 1 jam. Ketel suling dan ketel air yang digunakan
terbuat dari drum berplat besi dengan diameter 57 cm dan tinggi 87,5 cm.
Ketel yang terbuat dari besi dapat dengan mudah membentuk organologam
pada saat penyulingan, hal itu dikarenakan penyulingan membutuhkan suhu
yang tinggi. Pada suhu yang tinggi, organologam akan mudah sekali
terbentuk. Organologam pada minyak nilam dapat mempengaruhi warna
minyak kasar yang dihasilkan. Minyak nilam yang mengandung organologam
akan berwarna kecokelatan, gelap, sampai hitam pekat, hingga mutu minyak
tersebut akan menurun dan mengakibatkan harga jual minyak tersebut akan
A
D
B
E
C
turun. Kapasitas ketel suling yaitu 30 kg daun dan ranting nilam kering dengan
kepadatan bahan 0,13 kg/liter. Bahan bakar yang digunakan pada penyulingan
rakyat ini adalah kayu bakar sebanyak 2 m3.
Rata-rata laju destilat selama penyulingan berlangsung yaitu 0,9 L/jam/kg
bahan. Grafik laju destilat setiap jam dapat dilihat pada Gambar 26. Grafik
tersebut menunjukkan laju destilat yang tidak stabil. Pada jam kedua laju
destilat mengalami penurunan kemudian naik pada jam ketiga dan turun
kembali hingga akhir penyulingan. Ketidakstabilan laju detilat dapat
disebabkan karena penggunaan kayu bakar selama penyulingan. Penurunan
laju destilat dapat terjadi karena kurangnya pasokan kayu bakar.
Gambar 26. Laju destilat penyulingan rakyat
Pipa uap yang digunakan berbahan dasar alumunium dengan panjang 6
meter sampai 18 meter. Kondensor pada penyulingan rakyat ini menggunakan
pipa kondensor yang berbahan dasar alumunium dengan bak kondensor yang
digunakan berbentuk tebuka pada bagian atasnya dan dinding bak kondensor
terbuat dari papan atau tanah sepanjang 6 meter sampai 10 meter. Tipe
kondensor yang digunakan berupa kondensor dengan pipa yang panjang dan
lurus yang terendam dalam bak kondensor. Air pendingin kondensor dialirkan
secara terus menerus selama penyulingan dengan arah sama dengan aliran uap
minyak dalam pipa.
Tabel 15. Perbandingan suhu rata-rata di kondensor pada penyulingan rakyat
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1 2 3 4 5
Laju
L/j
am
/kg
ba
ha
n
Jam ke-
No. Keterangan Suhu (°C)
1. Destilat 35.8
2. Air pendingin masuk 24
3. Air pendingin keluar 44,2
Rata-rata suhu destilat selama penyulingan adalah 35,8 °C sedangkan rata-
rata suhu air pendingin keluar adalah 44,2 °C dan suhu air pendingin masuk
24 °C. Suhu destilat dan suhu air pendingin semakin meningkat dengan
semakin lamanya penyulingan. Grafik perubahan suhu destilat dan suhu air
pendingin selama proses penyulingan disajikan pada Gambar 27. Aliran
searah yang digunakan pada penyulingan rakyat mengakibatkan suhu destilat
menjadi semakin tinggi dan mencapai 39 °C pada akhir penyulingan. Hal
tersebut dapat disebabkan karena pada aliran searah tidak akan dapat membuat
suhu destilat mendekati suhu air pendingin yang masuk dan panas yang
dipindahkan akan kurang dari yang dapat dipindahkan jika alirannya
berlawanan arah.
Gambar 27. Grafik suhu di kondensor pada penyulingan rakyat
Separator yang digunakan berbentuk tabung yang terbuat dari
alumunium. Proses pemisahan minyak terjadi karena adanya perbedaan bobot
jenis kemudian minyak yang berada pada bagian atas dipisahkan secara
0
10
20
30
40
50
60
1 2 3 4 5
Su
hu
Jam ke-
Suhu destilat
Suhu air pendingin
masuk
Suhu air pendingin
keluar
manual dari air dengan menggunakan sendok sayur dan air berlebih dari
separator langsung di buang.
Rendemen minyak nilam yang dihasilkan berkisar antara 2 % - 3,3 %
selama 5 - 6 jam penyulingan. Tingginya rendemen yang dihasilkan karena
bahan baku yang digunakan yaitu 80 % daun dan 20 % ranting muda. Menurut
penelitian Purwaningrat (2008), berdasarkan bagian tanaman nilam, rendemen
paling tinggi dihasilkan oleh bagian pucuk (ruas ke- 1 sampai ruas ke- 5) dan
semakin menurun dari bagian pucuk ke bagian akar tanaman. Daun
mempunyai rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian tanaman
lainnya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Prototipe alat penyulingan pada penelitian ini belum sempurna terutama
pada bagian tungku pembakaran karena udara panas di tungku belum dapat
mengalir dengan baik. Namun demikian, prototipe alat penyulingan memiliki
kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan penyulingan rakyat. Hal tersebut
dapat dilihat pada prototipe alat penyulingan memiliki luas permukaan pindah
panas pada ketel dan kondensor yang lebih besar, kapasitas yang lebih besar
sehingga dapat menghasilkan minyak yang lebih banyak, separator yang dapat
memisahkan minyak lebih baik tanpa menggunakan alat bantu lain seperti
sendok sayur, kondensor yang dapat menghasilkan suhu destilat lebih rendah
dan mutu yang lebih baik karena menggunakan alat penyulingan yang
berbahan stainless steel.
Rendemen yang dihasilkan pada penyulingan kohobasi dan non kohobasi
tidak berbeda jauh yaitu sebesar 2,29 % (db) dan 2,2 % (db). Mutu minyak
nilam yang dihasilkan dengan penyulingan kohobasi dan non kohobasi sesuai
dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 06 – 2385 - 2006 . Bertambahnya
waktu penyulingan cenderung meningkatkan nilai bobot jenis, indeks bias,
putaran optik, bilangan ester dan bilangan asam. Seluruh minyak nilam yang
dihasilkan dapat larut dengan baik dalam alkohol 90 % dengan kelarutan 1:1
sampai 1:7.
Penyulingan kohobasi dan penyulingan non kohobasi memliki efisiensi
energi yang tidak berbeda jauh yaitu sebesar 25 % dan 23 % dikarenakan suhu
air pengisi ketel pada penyulingan kohobasi hanya sedikit lebih tinggi.
Penyulingan kohobasi memiliki kelebihan dibandingkan penyulingan non
kohobasi yaitu dapat menghemat penggunaan air hingga 35 % sehingga
penyulingan kohobasi dapat diterapkan pada daerah yang memiliki
keterbatasan air dan memiliki suhu air rendah. Efisiensi kondensor pada
penyulingan non kohobasi lebih tinggi dibandingkan dengan penyulingan non
kohobasi karena pada penyulingan non kohobasi bukaan kran air pendingin
masuk lebih lama jika dibandingkan dengan penyulingan kohobasi.
B. SARAN
1. Memanfaatkan air pendingin keluar sebagai air pengisi ketel pada
penyulingan non kohobasi sehingga dapat meningkatkan efisiensi ketel
suling
2. Memberikan pintu, meninggikan cerobong dan memperbesar ruang
pembakaran pada tungku sehingga dapat mengurangi kehilangan energi
pada tungku pembakaran dan meningkatkan efisiensi ketel suling
VI. DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, S. 1990. Kimia Kayu. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Guenther, E. 1947. Minyak Atsiri. Diterjemahkan oleh Semangat Ketaren. 1987.
Direktorat Jenderal Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Harris, Ruslan. 1993. Tanaman Minyak Atsiri. Penebar Swadaya, Jakarta. Kamil, Sulaiman dan Pawito. 1983. Termodinamika dan Perpindahan Panas.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka, Jakarta. Kulshrestha, S. K. 1989. Termodinamika Terpakai, Teknik Uap dan Panas.
Universita Indonesia (UI Press), Jakarta. Lutony, T. L dan Y. Rahmawati. 1994. Produksi dan Perdagangan Minyak Atsiri.
Penebar Swadaya, Jakarta. Mangun, Muhammad Syarifudin H. 2005. Nilam. Penebar Swadaya, Jakarta. McCabe, Warren L., Julian C. Smith dan Peter Harriot. 1986. Operasi Teknik
Kimia Jilid 1. Erlangga, Jakarta. Panjaitan, Leonard. 1993. Kajian Tahanan Gesekan Tumpukan Nilam Terhadap
Aliran Udara serta Profil Suhu Tumpukan Pada Penyulingan dengan Metoda Air dan Uap. Skripsi. FATETA-IPB, Bogor.
Perry, Robert H. 1999. Perry’s Chemical Engineer’s Handbook. The McGraw-Hill
Companies, Inc. Purwaningrat, Linda. 2008. Kajian Pengaruh Umur dan Bagian Tanaman Nilam
(Pogostemon cablin benth) yang Disuling Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Nilam yang Dihasilkan. Skripsi. FATETA-IPB, Bogor.
Rusli, S. 1974. Pengaruh Kepadatan dan Lama Penyulingan Terhadap Rendemen
dan Mutu Minyak Nilam. Pemberitaan LPTI 17 : 52 - 60. Rusli, Sofyan. 2003. Nilam, Teknologi Penyulingan dan Penanganan Minyak
Bermutu Tinggi. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Rusli, S. dan Hasanah, M. 1977. Cara Penyulingan Daun Nilam Mempengaruhi
Rendemen dan Mutu Minyaknya. Pemberitaan LPTI 24 : 1 – 7. Santoso, H. R. 1990. Bertanam Nilam Bahan Industri Wewangian. Penerbit
Kanisius, Bandung.
Sastrohamidjojo, H. 2004. Kimia Minyak Atsiri. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta. Sudaryani, T. dan Sugiharti, E. 1998. Budidaya dan Penyulingan Nilam. Penebar
Swadaya, Jakarta. Sugiharto, Jeanny. 1993. Penyulingan Akar Wangi tanpa Dikeringkan dan Akar
Wangi yang Dikeringkan dengan Penyulingan Tipe Uap dan Air. Skripsi. FATETA – IPB, Bogor.
Sunanto, Ato. 1992. Uji Performansi Alat Penyulingan Minyak Atsiri dengan
menggunakan Metode uap Langsung Pada Penyulingan Biji Lada dan Daun Sereh Wangi. Skripsi. FATETA – IPB, Bogor
Tan Hong Sieng. 1962. Minyak Atsiri. Balai Penelitian Kimia PNPR. Penerbit
Kantor dan Penyuluhan Deperinda, Bogor. Widiahtuti, Ivon. 2009. Uji Kinerja dan Efisiensi Energi Prototipe Alat-alat
Penyulingan Minyak Nilam. Skripsi. FATETA – IPB, Bogor. Yuhono, J.T dan Sintha Suhirman. 2007. Strategi Peningkatan Rendemen dan
Mutu Minyak dalam Agribisnis Nilam. Balai Penelitian Tanaman Obat Aromatik, Bogor.
Zemansky, S. 1994. Fisika untuk Universitas 1 Mekanika, Panas, Bunyi. Bina
Cipta, Jakarta.
Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakterisasi Minyak Atsiri
1. Kadar Air Kayu Bakar berdasarkan ASTM ( American Society for Testing
and Material ) D2016
Sampel kayu bakar diiris kecil-kecil dan tipis sebanyak 5 gram. Kemudian
dimasukkan ke dalam wadah alumunium foil yang telah ditimbang sebagai
pengganti cawan alumunium. Lalu bobot sampel kayu bakar dan wadah
alumunium foil ditimbang dan dicatat.
Setelah dilakukan penimbangan awal, sampel kayu bakar beserta
wadahnya dimasukkan ke dalam oven selama 5 jam pada suhu 103 °C ± 2 °C.
Lalu didinginkan selama 15 menit di dalam desikator. Kemudian ditimbang
bobot akhir secara keseluruhan. Pemanasan sampel dan wadahnya dilakukan
di dalam oven lagi selama 30 menit dan didinginkan kembali dalam desikator.
Setelah itu bobot sampel dan wadah ditimbang kembali. Prosedur tersebut
dilakukan berulang kali sampai bobot sampel dan wadah konstan.
Perhitungan kadar air kayu bakar ini dapat menggunakan rumus :
Kadar air (% b/b) = m1 - m2 x 100%
m1
Keterangan : m1 = bobot awal sampel + bobot wadah
m2 = bobot akhir sampel + bobot wadah
2. Kadar Air Nilam Kering
Prinsip :
Air dalam jaringan tanaman diekstrak dengan cairan yang saling tidak
melarut sehingga membentuk dua fasa.
Prosedur :
Metode pengukuran kadar air yang digunakan adalah Bidwell-Sterling.
Sebanyak 10 gram bahan dimasukkan ke dalam labu berukuran 500 ml, dan
ditambahkan 200 ml toluen sampai bahan terendam. Lalu labu dipasangkan
pada aufhauser yang dilengkapi dengan pendingin tegak (kondensor) dan
dididihkan selama 1 jam sampai semua air dalam bahan tersuling. Jika jumlah
air tidak bertambah lagi, maka penyulingan dihentikan. Volume air yang
tersuling dapat dibaca pada skala yang terdapat pada aufhauser.
Perhitungan :
( ) ( )( ) %100% ×=grcontohBobot
mlairvolumewbairKadar
3. Rendemen
Prinsip :
Rendemen minyak dihitung berdasarkan perbandingan antara volume
minyak yang dihasilkan dari penyulingan dengan berat bahan yang disuling
dan dinyatakan dalam satuan persen.
Perhitungan :
( ) ( )( ) %100
min%minRe ×=
grbahanbobot
gryakbobotwbyakndemen
4. Kadar Minyak
Prinsip :
Penentuan kadar minyak nilam dalam bahan dilakukan dengan menyuling
nilam kering dengan mnggunakan alat penyulingan air skala laboratorium.
Prosedur :
Sebanyak 50 gram bahan dimasukkan ke dalam labu berukuran 1 liter,
kemudian ditambahkan air sebanyak 3 – 6 kali bobot bahan (sampai seluruh
contoh terendam). Selanjutnya labu dipasangkan pada clavenger yang
dilengkapi dengan pendingin (kondensor).
Penyulingan dilakukan selama 6 jam. Setelah penyulingan selesai,
dibiarkan beberapa saat supaya air dan minyak terpisah, lalu dilakukan
pengukuran volume minyak yang tersuling. Perhitungan kadar minyak adalah
sebagai berikut :
Kadar minyak (% db) = bk
v x 100%
Keterangan :
v = volume minyak atsiri (ml)
Bk = bobot contoh (1 – kadar air (% wb)
5. Penentuan Warna (SNI 06-2385-2006)
Prinsip :
Metode ini didasarkan pada pengamatan visual dengan menggunakan
indera penglihatan (mata) langsung terhadap contoh minyak nilam.
Prosedur :
Pipet 10 ml contoh minyak nilam. Masukkan ke dalam tabung reaksi dan
hindari adanya gelembung udara. Sandarkan tabung reaksi berisi contoh
minyak nilam pada kertas atau karton berwarna putih. Amati warnanya dengna
mata langsung dengan jarak pandang antara mata dan contoh ± 30 cm.
6. Bobot Jenis (SNI 06-2385-2006)
Prinsip :
Nilai bobot jenis suatu minyak atsiri dihitung berdasarkan perbandingan
antara berat minyak atsiri dengan berat air pada volume dan suhu yang sama.
Prosedur :
Piknometer dicuci dan dibersihkan, kemudian dibilas dengan etanol atau
dietil eter. Bagian dalam piknometer dikeringkan dengan arus udara kering
dan tutupnya disisipkan. Piknometer diletakkan di dalam lemari timbangan
selama 30 menit dan ditimbang (m). Piknometer diisi dengan air suling
terlebih dahulu, lalu dididihkan dan didinginkan sampai suhu 25 ºC, sambil
menghindari adanya gelembung-gelembung. Piknometer dicelupkan ke dalam
penangas air pada suhu 25 ºC ± 0,2 ºC selama 30 menit dan atur permukaan
air suling sampai garis tanda. Piknometer dibiarkan di dalam timbangan
selama 30 menit, kemudian ditimbang beratnya (m1). Setelah itu, piknometer
dikosongkan dan dicuci dengan etanol dan dietil eter, lalu dikeringkan dengan
arus udara kering. Piknometer diisi dengan contoh minyak dan hindari adanya
gelembung-gelembung udara. Piknometer dicelupkan kembali ke dalam
penangas air pada suhu 25 ºC ± 0,2 ºC selama 30 menit dan permukaan
minyak diatur sampai garis tanda. Piknometer dikeringkan dan tutupnya
disisipkan. Piknometer dibiarkan di dalam lemari timbangan selama 30 menit
dan ditimbang (m2).
Perhitungannya :
mm
mmdjenisBobot
−−
=1
22525
Keterangan :
m adalah bobot piknometer kosong
m1 adalah bobot piknometer berisi air pada suhu 25 ºC
m2 adalah bobot piknometer berisi minyak atsiri pada suhu 25 ºC
7. Indeks Bias (SNI 06-2385-2006)
Prinsip :
Jika sinar monokromatis melewati suatu media (A) ke media lain yang
lebih padat (B), maka akan terjadi perubahan kecepatan dan pembiasan sinar
tersebut mendekati garis normal atau sudut sinar datang (iA) lebih besar dari
sudut sinar bias (iB). Perbandingan sinus sudut sinar datang dengan sinus sudut
sinar bias ini disebut indeks bias.
Prosedur :
Sebelum digunakan, prisma refraktometer dibersihkan terlebih dahulu
dengan menggunakan alkohol. Contoh minyak diteteskan di atas prisma
refraktometer, prisma dirapatkan dan dibiarkan beberapa menit agar suhu
minyak merata. Sebelum ditaruh didalam alat, minyak harus berada pada suhu
yang sama dengan suhu dimana pengukuran akan dilakukan. Dengan
mengatur slide maka akan diperoleh batas terang dan gelap yang jelas dan jika
garis ini berhimpit dengan titik potong dua garis yang bersilang, maka indeks
bias telah dapat dibaca pada skala.
Perhitungan :
( )ttnnbiasIndeks tD
tD −+= 10004.01
Keterangan :
1tDn = pembacaan dilakukan pada suhu pengerjaan t1
0.0004 = faktor koreksi untuk indeks bias minyak nilam setiap derajat
8. Putaran Optik (SNI 06-2385-2006)
Prinsip :
Metode putaran optik didasarkan pada pengukuran sudut sinar terpolarisasi
yang diputar oleh contoh minyak atsiri sepanjang 10 cm.
Prosedur :
Sumber cahaya dinyalakan dan ditunggu sampai diperoleh kilauan
maksimum sebelum alat digunakan. Ditentukan titik nol pembacaan skala
dengan tabung berisi air suling pada suhu 20 ºC. Tabung polarimeter diisi
dengan cairan contoh yang bersuhu 20 ºC hingga penuh, hindari terbentuknya
gelembung udara dalam tabung. Tabung yang berisi contoh diletakkan ke
dalam alat polarimeter, baca putaran optik pada cakam skala.
Perhitungan :
Perhitungan puaran optik harus dinyatakan dalam derajat lingkar sampai
mendekati 0,01 º. Putaran optik dekstro harus diberi tanda positif (+) dan
putaran levo harus diberi tanda negatif (-). Bila tabung yang digunakan
berukuran panjang 200 mm, maka hasil pembacaan adalah separuh dari angka
yang dibaca. Bagian dari satu derajat dinyatakan dengan desimal (30 menit =
0,5 derajat; 30 detik = 0,5 menit).
9. Bilangan Asam (SNI 06-2385-2006)
Prinsip :
Jumlah miligram kalium hidroksida (KOH) yang diperlukan untuk
menetralkan asam – asam bebas yang terdapat dalam satu gram minyak nilam.
Prosedur :
Minyak ditimbang sebanyak 4 ± 0,05 gram dalam erlenmeyer 500 ml
dilarutkan dalam 5 ml etanol netral. Indikator PP ditambahkan sebanyak 5
tetes. Kemudian dititrasi dengan larutan KOH alkohol 0,1 N dalam etanol
sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda.
Perhitungan :
( )gramcontohBobot
KOHNKOHmlasamBilangan
1,56××=
10. Bilangan Ester (SNI 06-2385-2006)
Prinsip :
Penyabunan ester-ester dengan larutan alkali dan menitrasi kembali
kelebihan alkali-alkali tersebut.
Prosedur :
a. Pengujian blanko
Labu penyabuanan diisi dengan beberapa potong labu didih. Lalu
ditambahkan 5 ml etanol dan 25 ml larutan KOH 0,5 N dalam alkohol.
Kemudian labu tersebut direfluks di atas penangas air selama satu jam.
Setelah larutan dingin ditambahkan 5 tetes larutan PP kemudian
dinetralkan dengan HCL 0,5 N.
b. Pengujian contoh
Pada kondisi yang sama contoh sebanyak 4 ± 0,05 gram
dimasukkan ke dalam labu lalu ditambahkan 25 ml larutan KOH 0,5 N
dalam alkohol dan beberapa batu didih. Kemudian dipanaskan di atas
penangas air selama satu jam. Lalu larutan dibiarkan menjadi dingin.
Larutan indikator PP dalam etanol ditambahkan sebanyak 5 tetes dan
netralkan dengan HCL 0,5 N.
Perhitungan :
( )( )gramcontohBobot
HCLNabesterBilangan
1,56××−=
11. Kelarutan dalam Etanol 90 % (SNI 06-2385-2006)
Prinsip :
Kelarutan menunjukkan kemampuan dua atau lebih senyawa untuk saling
melarutkan satusama lain tanpa adanya reaksi kimia yang membentuk suatu
larutan. Suatu senyawa akan larut dalam suatu pelarut pada perbandingan
tertentu jika polaritasnya sama atau mendekati polaritas pelarut.
Prosedur :
Sebanyak 1 ml contoh minyak dimasukkan ke dalam gelas ukur 10 ml.
Kemudian ditambahkan etanol 90 % setetes demi setetes dari buret hingga
rata. Setiap penambahan 0,5 etanol 90 % dari buret dikocok hingga rata
sampai diperoleh suatu larutan yang sebening mungkinpada suhu 20oC. Setiap
penambahan etanol 90 % diamati sifat kelarutannya apakah larut jernih atau
keruh. Batas jumlah penambahan etanol sampai 10 ml.
Cara menyatakan hasil :
Kelarutan dalam x % (v/v) etanol = 1 volume dalam y volume, menjadi
keruh dalam z volume.
Lampiran 2. Kehilangan Energi
A. Dinding Ketel
1. Penyulingan 1 Kohobasi
Kehilangan energi konveksi
a. Data pada menit ke - 0
Suhu dinding luar ketel (tok) 59,17 °C
Suhu udara lingkungan rata-rata (tu) 28 °C
b. Mencari nilai h
Tf = ((tok + tu)/2)+273 316,58 K
β = (1/Tf) 0,003159 K
Lk 1,22 m
Cp (dari tabel kalor spesifik gas) 0,00001864 J/kg K
µ (dari tabel viskositas gas) 0,00001863 kg/m s
k (dari tabel konduktivitas termal gas) 0,02755 J/m2sK
ρ 1,1160 kg/m3
Menghitung NGr = ((Lk3)(gβρ2/µ2)(∆T) 6283796501
Menghitungi NPr = (Cp µ/k) 0,71
Menghitung NNu = (0,54(NGrNPr)0,25) 152,33
Menghitung nilai h = (NNu k/Lk) 3,44 J/m2sK
c. Menghitung nilai Q konveksi
Ak 2,91 m2
Q = (h Ak (Tok-Tu) × 1800 561,83 KJ
Kehilangan energi radiasi
a. Data
Konstanta Stefan Boltzmann (σ) 5,67 × 10-8 J/sm2K4
ε (dari tabel emisivitas) 0,14
b. Menghitung Q radiasi
Q = (σ ε Ak (tok4 - tu
4) × 1800 163,65 KJ
Kehilangan energi keseluruhan
Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 59,17 561,83 163,65
30 60,33 587,98 173,59 60 60,67 595,49 176,49 90 62,17 629,50 189,85
120 64,17 675,39 208,50 150 63,50 660,03 202,18 180 65,00 694,67 216,55 210 67,67 757,05 243,47 240 64,83 690,81 214,93 270 65,67 710,18 223,12 300 67,00 741,36 236,57 330 67,33 749,20 240,01 360 66,50 729,64 231,48 390 67,33 749,20 240,01 420 68,50 776,74 252,24 450 68,17 768,85 248,71 480 64,67 686,95 213,31
Total Kehilangan Panas (KJ) 11764,87 3674,64 Total Kehilangan Panas (MJ) 11,76 3,67
Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan untuk penyulingan yang
lain :
2. Penyulingan 2 Kohobasi
Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 49,50 354,53 92,78054
30 50,50 375,12 99,19373 60 57,17 517,53 147,3162 90 57,00 513,87 145,9959
120 56,33 499,27 140,7762 150 55,50 481,14 134,3891 180 59,33 565,55 165,0469 210 59,83 576,75 169,2897 240 59,17 561,83 163,6453 270 57,17 517,53 147,3162 300 58,17 539,59 155,3683 330 57,33 521,19 148,6427 360 56,00 492,00 138,2031 390 58,00 535,90 154,0107 420 56,50 502,91 142,0719 450 56,50 502,91 142,0719 480 56,67 506,56 143,3738
Total Kehilangan Panas (KJ) 8564,18 2429,492 Total Kehilangan Panas (MJ) 8,564 2,43
3. Penyulingan 3 Non Kohobasi
Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 60,17 584,23 172,15
30 61,33 610,56 182,36 60 61,17 606,79 180,89 90 63,17 652,37 199,06
120 63,50 660,03 202,18 150 64,17 675,39 208,50 180 66,17 721,84 228,11 210 67,00 741,36 236,57 240 65,67 710,18 223,12 270 66,00 717,95 226,44 300 64,83 690,81 214,93 330 64,17 675,39 208,50 360 64,50 683,09 211,70 390 64,00 671,54 206,91 420 64,33 679,24 210,10 450 64,83 690,81 214,93 480 64,67 686,95 213,31
Total Kehilangan Panas (KJ) 11458,52 3539,75 Total Kehilangan Panas (MJ) 11,46 35,4
4. Penyulingan 4 Non Kohobasi
Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 59,67 573,01 167,87
30 61,33 610,56 182,36 60 61,33 610,56 182,36 90 63,67 663,86 203,75
120 64,00 671,54 206,91 150 64,67 686,95 213,31 180 63,33 656,20 200,61 210 64,17 675,39 208,50 240 65,33 702,42 219,82 270 64,00 671,54 206,91 300 64,50 683,09 211,70 330 64,50 683,09 211,70 360 63,83 667,70 205,33 390 63,83 667,70 205,33 420 63,17 652,37 199,06 450 63,50 660,03 202,18 480 62,50 637,11 192,89
Total Kehilangan Panas (KJ) 11173,11 3420,59 Total Kehilangan Panas (MJ) 11,73 3,42
B. Tutup Ketel
1. Penyulingan 1 Kohobasi
Kehilangan energi konveksi
a. Data pada menit ke - 0
Suhu dinding luar ketel (tot) 50,67 °C
Suhu udara lingkungan rata-rata (tu) 28 °C
b. Mencari nilai h
Tf = ((tok + tu)/2)+273 312,33 K
β = (1/Tf) 0,003202 K
D 0,82 m
Cp (dari tabel kalor spesifik gas) 0,00001847 J/kg K
µ (dari tabel viskositas gas) 0,00001848 kg/m s
k (dari tabel konduktivitas termal gas) 0,02723 J/m2sK
ρ 1,0706 kg/m3
Menghitung NGr = ((D3)(gβρ2/µ2)(∆T) 1470073164
Menghitungi NPr = (Cp µ/k) 0,71
Menghitung NNu = (0,59(NGrNPr)0,25) 97,03
Menghitung nilai h = (NNu k/D) 3,22 J/m2sK
c. Menghitung nilai Q konveksi
At 0,54 m2
Q = (h At (Tot-Tu) × 1800 70,83 KJ
Kehilangan energi radiasi
a. Data
Konstanta Stefan Boltzmann (σ) 5,67 × 10-8 J/sm2K4
ε (dari tabel emisivitas) 0,12
b. Menghitung Q radiasi
Q = (σ ε At (tot4 - tu
4) × 1800 163,65 KJ
Kehilangan energi keseluruhan
Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 50,67 70,83 18,56
30 53,33 81,31 21,93 60 56,67 94,78 26,54 90 57,00 96,15 27,02
120 63,67 124,21 37,71 150 61,00 112,83 33,21 180 61,33 114,24 33,76 210 61,33 114,24 33,76 240 61,00 112,83 33,21 270 61,00 112,83 33,21 300 59,33 105,82 30,55 330 60,00 108,61 31,60 360 58,00 100,27 28,51 390 57,67 98,89 28,01 420 61,00 112,83 33,21 450 60,33 110,01 32,13 480 57,00 96,15 27,02
Total Kehilangan Panas (KJ) 1766,83 509,94 Total Kehilangan Panas (MJ) 1,77 0,51
Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan untuk penyulingan yang
lain :
2. Penyulingan 2 Kohobasi
Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 48,33 61,89 15,84
30 51,67 74,73 19,79 60 59,33 105,82 30,55 90 53,00 79,99 21,50
120 56,67 94,78 26,54 150 57,67 98,89 28,01 180 60,33 110,01 32,13 210 58,00 100,27 28,51 240 56,33 93,42 26,06 270 58,67 103,04 29,52 300 57,00 96,15 27,02 330 57,67 98,89 28,01 360 58,00 100,27 28,51 390 57,00 96,15 27,02 420 59,00 104,43 30,03 450 57,00 96,15 27,02 480 55,67 90,70 25,11
Total Kehilangan Panas (KJ) 1605,57 451,17 Total Kehilangan Panas (MJ) 1,6 0,45
3. Penyulingan 3 Non Kohobasi
Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 45,33 50,76 12,63
30 52,33 77,35 20,64 60 52,33 77,35 20,64 90 52,33 77,35 20,64
120 56,33 93,42 26,06 150 60,00 108,61 31,60 180 59,33 105,82 30,55 210 62,00 117,07 34,86 240 61,67 115,65 34,31 270 60,67 111,42 32,67 300 62,67 119,92 35,99 330 61,00 112,83 33,21 360 60,67 111,42 32,67 390 58,67 103,04 29,52 420 60,00 108,61 31,60 450 59,33 105,82 30,55 480 58,67 103,04 29,52
Total Kehilangan Panas (KJ) 1699,48 487,63 Total Kehilangan Panas (MJ) 1,7 0,49
4. Penyulingan 4 Non Kohobasi
Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 50,33 69,54 18,16
30 54,33 85,31 23,27 60 56,00 92,06 25,58 90 57,00 96,15 27,02
120 57,67 98,89 28,01 150 58,00 100,27 28,51 180 59,33 105,82 30,55 210 60,00 108,61 31,60 240 59,33 105,82 30,55 270 59,33 105,82 30,55 300 62,33 118,49 35,42 330 60,33 110,01 32,13 360 61,00 112,83 33,21 390 57,33 97,52 27,51 420 59,67 107,21 31,07 450 60,33 110,01 32,13 480 59,00 104,43 30,03
Total Kehilangan Panas (KJ) 1728,79 495,31 Total Kehilangan Panas (MJ) 1,73 0,49
C. Pipa Horizontal
1. Penyulingan 1 Kohobasi
Kehilangan energi konveksi
a. Data pada menit ke - 0
Suhu dinding luar ketel (tok) 50 °C
Suhu udara lingkungan rata-rata (tu) 28 °C
b. Mencari nilai h
Tf = ((tok + tu)/2)+273 312 K
β = (1/Tf) 0,003205 K
Dop 0,06 m
Cp (dari tabel kalor spesifik gas) 0,00001846 J/kg K
µ (dari tabel viskositas gas) 0,00001846 kg/m s
k (dari tabel konduktivitas termal gas) 0,0272 J/m2sK
ρ 1,1324 kg/m3
Menghitung NGr = ((Dop3)(gβρ2/µ2)(∆T) 562361,47
Menghitungi NPr = (Cp µ/k) 0,71
Menghitung NNu = (0,53(NGrNPr)0,25) 13,32
Menghitung nilai h = (NNu k/Dop) 6,03 J/m2sK
c. Menghitung nilai Q konveksi
Ap 0,25 m2
Q = (h Ap (Top-Tu) × 1800 59,01 KJ
Kehilangan energi radiasi
a. Data
Konstanta Stefan Boltzmann (σ) 5,67 × 10-8 J/sm2K4
ε (dari tabel emisivitas) 0,12
b. Menghitung Q radiasi
Q = (σ ε Ap (top4 - tu
4) × 1800 8,14 KJ
Kehilangan energi keseluruhan
Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 50,00 59,01 8,138865
30 51,33 63,48 8,879553 60 54,33 73,76 10,66119 90 55,67 78,42 11,50536
120 56,67 81,94 12,16007 150 57,33 84,31 12,60695 180 59,67 92,69 14,2376 210 59,00 90,28 13,76103 240 58,67 89,08 13,52597 270 59,33 91,49 13,99824 300 59,00 90,28 13,76103 330 58,33 87,89 13,29303 360 56,67 81,94 12,16007 390 58,67 89,08 13,52597 420 56,00 79,59 11,72152 450 56,33 80,77 11,93976 480 57,67 85,50 12,83353
Total Kehilangan Panas (KJ) 1399,53 208,7097 Total Kehilangan Panas (MJ) 1,4 0,21
Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan untuk penyulingan yang
lain :
2. Penyulingan 2 Kohobasi
Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 49,00 55,70 7,60
30 55,33 77,25 11,29 60 53,33 70,30 10,05 90 56,33 80,77 11,94
120 55,33 77,25 11,29 150 57,00 83,13 12,38 180 59,00 90,28 13,76 210 52,33 66,88 9,46 240 52,00 65,74 9,26 270 58,33 87,89 13,29 300 55,00 76,08 11,08 330 56,33 80,77 11,94 360 57,00 83,13 12,38 390 55,33 77,25 11,29 420 58,00 86,69 13,06 450 54,67 74,92 10,87 480 50,33 60,12 8,32
Total Kehilangan Panas (KJ) 1294,13 189,27 Total Kehilangan Panas (MJ) 1,3 0,19
3. Penyulingan 3 Non Kohobasi
Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 52,67 68,03 9,65
30 53,67 71,47 10,25 60 52,33 66,85 9,46 90 55,67 78,47 11,51
120 57,00 83,22 12,38 150 56,67 82,00 12,16 180 56,33 80,74 11,94 210 55,67 78,39 11,51 240 57,33 84,34 12,61 270 58,00 86,75 13,06 300 57,33 84,35 12,61 330 58,67 89,18 13,53 360 59,00 90,38 13,76 390 59,33 91,60 14,00 420 55,33 77,19 11,29 450 54,67 74,85 10,87 480 54,33 73,72 10,66
Total Kehilangan Panas (KJ) 1361,54 201,23 Total Kehilangan Panas (MJ) 1,37 0,2
4. Penyulingan 4 Non Kohobasi
Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 52,33 66,88 9,46
30 53,33 70,30 10,05 60 53,33 70,30 10,05 90 54,00 72,60 10,46
120 55,00 76,08 11,08 150 54,33 73,76 10,66 180 55,33 77,25 11,29 210 54,67 74,92 10,87 240 55,00 76,08 11,08 270 54,67 74,92 10,87 300 57,00 83,13 12,38 330 54,67 74,92 10,87 360 57,00 83,13 12,38 390 56,00 79,59 11,72 420 53,67 71,45 10,25 450 56,00 79,59 11,72 480 55,67 78,42 11,51
Total Kehilangan Panas (KJ) 1283,31 186,69 Total Kehilangan Panas (MJ) 1,28 0,19
D. Pipa Vertikal
1. Penyulingan 1 Kohobasi
Kehilangan energi konveksi
a. Data pada menit ke - 0
Suhu dinding luar ketel (top) 52 °C
Suhu udara lingkungan rata-rata (tu) 28 °C
b. Mencari nilai h
Tf = ((top + tu)/2)+273 313 K
β = (1/Tf) 0,003195 K
Lop 0,84 m
Cp (dari tabel kalor spesifik gas) 0,00001850 J/kg K
µ (dari tabel viskositas gas) 0,00001850 kg/m s
k (dari tabel konduktivitas termal gas) 0,02728 J/m2sK
ρ 1,1288 kg/m3
Menghitung NGr = ((Lop3)(gβρ2/µ2)(∆T) 1658090534
Menghitungi NPr = (Cp µ/k) 0,71
Menghitung NNu = (0,53(NGrNPr)0,25) 109,24
Menghitung nilai h = (NNu k/Lop) 3,55 J/m2sK
c. Menghitung nilai Q konveksi
Ap 0,16 m2
Q = (h Ap (Top-Tu) × 1800 24,26 KJ
Kehilangan energi radiasi
a. Data
Konstanta Stefan Boltzmann (σ) 5,67 × 10-8 J/sm2K4
ε (dari tabel emisivitas) 0,12
b. Menghitung Q radiasi
Q = (σ ε Ap (top4 - tu
4) × 1800 5,94 KJ
Kehilangan energi keseluruhan
Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 52 24,26 5,94
30 54,8 27,82 7,02 60 51 23,01 5,57 90 55,4 28,60 7,27
120 56,2 29,63 7,60 150 57 30,68 7,94 180 54 26,80 6,70 210 52 24,26 5,94 240 54,8 27,82 7,02 270 55,6 28,85 7,35 300 56,6 30,16 7,77 330 55 28,08 7,10 360 54,2 27,05 6,78 390 54,8 27,82 7,02 420 54,2 27,05 6,78 450 54,6 27,56 6,94 480 53 25,52 6,32
Total Kehilangan Panas (KJ) 464,99 117,08 Total Kehilangan Panas (MJ) 0,46 0,12
Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan untuk penyulingan yang
lain :
2. Penyulingan 2 Kohobasi
Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 46,8 17,92 4,16
30 48,4 19,83 4,67 60 47,4 18,63 4,35 90 50,4 22,27 5,36
120 52,6 25,02 6,16 150 53,4 26,03 6,47 180 53,6 26,29 6,55 210 53,6 26,29 6,55 240 53 25,52 6,32 270 54,4 27,31 6,86 300 53,4 26,03 6,47 330 54 26,80 6,70 360 54 26,80 6,70 390 52,6 25,02 6,16 420 53,2 25,78 6,39 450 53 25,52 6,32 480 52,6 25,02 6,16
Total Kehilangan Panas (KJ) 416,06 102,36 Total Kehilangan Panas (MJ) 0,42 0,10
3. Penyulingan 3 Non Kohobasi
Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 52 24,26 5,94
30 53 25,52 6,32 60 53,2 25,78 6,39 90 53,8 26,54 6,63
120 54,2 27,05 6,78 150 55 28,08 7,10 180 57 30,68 7,94 210 56,6 30,16 7,77 240 56,4 29,89 7,68 270 56,2 29,63 7,60 300 56,2 29,63 7,60 330 55,8 29,11 7,43 360 56,2 29,63 7,60 390 56 29,37 7,52 420 57,4 31,20 8,11 450 57 30,68 7,94 480 55,8 29,11 7,43
Total Kehilangan Panas (KJ) 486,35 123,79 Total Kehilangan Panas (MJ) 0,49 0,12
4. Penyulingan 4 Non Kohobasi
Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 49,4 21,04 5,01
30 50,2 22,03 5,29 60 52,2 24,51 6,01 90 53,2 25,78 6,39
120 52,8 25,27 6,24 150 51,8 24,01 5,86 180 54 26,80 6,70 210 54 26,80 6,70 240 53,4 26,03 6,47 270 53,4 26,03 6,47 300 54,2 27,05 6,78 330 54,8 27,82 7,02 360 54 26,80 6,70 390 54,4 27,31 6,86 420 56,2 29,63 7,60 450 53,2 25,78 6,39 480 54 26,80 6,70
Total Kehilangan Panas (KJ) 439,48 109,23 Total Kehilangan Panas (MJ) 0,44 0,11
E. Tungku Pembakaran
1. Penyulingan 1 Kohobasi
Kehilangan energi konveksi
a. Data pada menit ke - 0
Suhu dinding luar ketel (tod) 56,33 °C
Suhu udara lingkungan rata-rata (tu) 28 °C
b. Mencari nilai h
Tf = ((tod + tu)/2)+273 315,17 K
β = (1/Tf) 0,003173 K
Ld 0,88 m
Cp (dari tabel kalor spesifik gas) 0,00001859 J/kg K
µ (dari tabel viskositas gas) 0,00001858 kg/m s
k (dari tabel konduktivitas termal gas) 0,02744 J/m2sK
ρ 1,1210 kg/m3
Menghitung NGr = ((Ld3)(gβρ2/µ2)(∆T) 2185329664
Menghitungi NPr = (Cp µ/k) 0,71
Menghitung NNu = (0,54(NGrNPr)0,25) 107,02
Menghitung nilai h = (NNu k/Ld) 3,34 J/m2sK
c. Menghitung nilai Q konveksi
Ad 2,38 m2
Q = (h Ak (Tod-Tu) × 1800 405,72 KJ
Kehilangan energi radiasi
a. Data
Konstanta Stefan Boltzmann (σ) 5,67 × 10-8 J/sm2K4
ε (dari tabel emisivitas) 0,90
b. Menghitung Q radiasi
Q = (σ ε Ad (tod4 - tu
4) × 1800 778,39 KJ
Kehilangan energi keseluruhan
Waktu Suhu rata-rata QKonveksi Q Radiasi 0 56,33 405,72 778,40
30 63,50 536,35 1010,02 60 74,17 741,88 1383,25 90 75,50 768,38 1432,40
120 77,83 815,14 1519,76 150 78,67 831,96 1551,39 180 88,33 1031,23 1935,05 210 83,67 934,10 1745,94 240 84,67 954,77 1785,84 270 86,67 996,35 1866,66 300 83,50 930,66 1739,32 330 83,67 934,10 1745,94 360 84,83 958,22 1792,52 390 84,83 958,22 1792,52 420 84,00 940,98 1759,20 450 82,00 899,82 1680,17 480 82,33 906,66 1693,25
Total Kehilangan Panas (KJ) 14544,53 27211,62082 Total Kehilangan Panas (MJ) 14,54 27,21
Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan untuk penyulingan yang
lain :
2. Penyulingan 2 Kohobasi
Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 52,00 321,88 645,49
30 66,00 571,64 1094,38 60 67,83 602,04 1157,44 90 75,50 747,75 1432,40
120 80,00 837,27 1602,47 150 80,67 848,66 1628,22 180 83,33 902,59 1732,71 210 83,83 910,45 1752,56 240 86,67 972,67 1866,66 270 82,50 887,74 1699,80 300 81,17 860,80 1647,63 330 80,83 852,57 1634,68 360 82,67 891,43 1706,37 390 80,83 854,43 1634,68 420 80,33 844,41 1615,33 450 80,17 841,43 1608,89 480 79,67 901,40 1589,64
Total Kehilangan Panas (KJ) 13649,16 26049,35 Total Kehilangan Panas (MJ) 13,65 26,05
3. Penyulingan 3 Non Kohobasi
Waktu Suhu rata-rata Q Konveksi Q Radiasi 0 63,17 579,57 998,9105
30 66,83 655,16 1122,916 60 72,33 771,54 1316,6 90 74,50 818,30 1395,486
120 74,00 807,46 1377,15 150 77,50 883,83 1507,175 180 81,17 965,10 1647,634 210 83,17 1009,95 1726,11 240 83,50 1017,46 1739,318 270 82,33 991,22 1693,25 300 81,67 976,28 1667,129 330 82,67 998,70 1706,366 360 82,00 983,74 1680,171 390 82,83 1002,45 1712,938 420 80,67 953,94 1628,221 450 81,00 961,38 1641,154 480 79,50 928,00 1583,245
Total Kehilangan Panas (KJ) 15304,08 26143,77 Total Kehilangan Panas (MJ) 15,30 26,14
4. Penyulingan 4 Non Kohobasi
Waktu Suhu rata-rata QKonveksi Q Radiasi 0 56,50 446,79 783,6135
30 65,17 620,59 1066,049 60 64,33 603,44 1037,93 90 69,50 711,16 1215,658
120 71,83 760,82 1298,605 150 75,00 829,16 1413,901 180 73,50 796,66 1358,893 210 75,50 840,04 1432,396 240 80,00 939,10 1602,466 270 79,17 920,61 1570,476 300 78,33 902,19 1538,713 330 81,17 965,10 1647,634 360 80,83 957,66 1634,683 390 80,33 946,52 1615,326 420 80,17 942,81 1608,891 450 80,50 950,23 1621,769 480 80,83 957,66 1634,683
Total Kehilangan Panas (KJ) 14090,53 24081,68643 Total Kehilangan Panas (MJ) 14,09 24,08
Lampiran 3. Efisiensi Ketel Suling
A. Penyulingan 1 Kohobasi
1. Data pada menit ke – 0
Suhu air awal 24 °C
Titik didih air 100 °C
Jumlah air ketel awal 134,66 kg
Panas jenis air pada suhu 24 °C 4,18
KJ/kg°C Panas jenis air pada suhu 100 °C 4,22
KJ/kg°C
Panas jenis air rata-rata 4,2
KJ/kg°C
Panas laten penguapan 2256 KJ/kg
2. Menghitung energi bahan bakar
Bobot kayu basah 173,2 kg
Kadar air kayu 18,45 %
Bobot kayu kering
= (173,2 – ((18,45/100)×173,2) 141,24 kg
Nilai kalor kayu bakar 18000 KJ/kg
Energi bahan bakar
Qb = (141,24 × 18000) 2542402,8 KJ
3. Menghitung energi penguapan air
Uap yang dihasilkan pada menit ke – 0 38,25 kg
Energi penguapan air
Qu0 = (134,66 × 4,2 × (100-24)) + (38,25 × 2256) 129275 KJ
Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan perhitungan
keseluruhan untuk waktu penyulingan yang selanjutnya :
4. Efisiensi ketel suling
= (716262,9/2542402,8) × 100 % 28,17 %
B. Penyulingan 2 Kohobasi
1. Data pada menit ke – 0
Suhu air awal 23 °C
Titik didih air 100 °C
Jumlah air ketel awal 134,66 kg
Panas jenis air pada suhu 23 °C 4,18
KJ/kg°C Panas jenis air pada suhu 100 °C 4,22
KJ/kg°C
Panas jenis air rata-rata 4,2
KJ/kg°C
Panas laten penguapan 2256 KJ/kg
Menit Ke- Q 0 129275 30 74040,65 60 48633,23 90 53643,6 120 41136,96 150 46293 180 43502,89 210 38007,05 240 45784,2 270 38188,13 300 31042,33 330 26128,73 360 23140,51 390 18944,59 420 21867,89 450 21197,51 480 15436,65
Total Kalor untuk menguapkan air (KJ) 716262,9
2. Menghitung energi bahan bakar
Bobot kayu basah 200,2 kg
Kadar air kayu 27,37 %
Bobot kayu kering
= (200,2 – ((27,37/100)×200,2) 145,4 kg
Nilai kalor kayu bakar 18000 KJ/kg
Energi bahan bakar
Qb = (145,4 × 18000) 2617294,68 KJ
3. Menghitung energi penguapan air
Uap yang dihasilkan pada menit ke – 0 17,78 kg
Energi penguapan air
Qu0 = (134,66 × 4,2 × (100-23)) + (17,78 × 2256) 83655,19 KJ
Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan perhitungan
keseluruhan untuk waktu penyulingan yang selanjutnya :
4. Efisiensi ketel suling
= (573045,3/2617294,68) × 100 % 21,9 %
Menit Ke- Q 0 83655,19 30 49219,77 60 57161,32 90 25900 120 19828,19 150 43829,97 180 41592,15 210 44654,74 240 30390,29 270 20266,47 300 34970,75 330 20605,47 360 19646,64 390 16054,16 420 20536,05 450 14553,62 480 30419,44
Total Kalor untuk menguapkan air (KJ) 573045,3
C. Penyulingan 3 Kohobasi
1. Data pada menit ke – 0
Suhu air awal 25 °C
Titik didih air 100 °C
Jumlah air ketel awal 134,66 kg
Panas jenis air pada suhu 25 °C 4,18
KJ/kg°C Panas jenis air pada suhu 100 °C 4,22
KJ/kg°C
Panas jenis air rata-rata 4,2
KJ/kg°C
Panas laten penguapan 2256 KJ/kg
2. Menghitung energi bahan bakar
Bobot kayu basah 167 kg
Kadar air kayu 14,55 %
Bobot kayu kering
= (167– ((14,55/100)×167) 142,7 kg
Nilai kalor kayu bakar 18000 KJ/kg
Energi bahan bakar
Qb = (142,7× 18000) 2568627 KJ
3. Menghitung energi penguapan air
Uap yang dihasilkan pada menit ke – 0 21,41 kg
Energi penguapan air
Qu0 = (134,66 × 4,2 × (100-25)) + (21,41× 2256) 90713,32 KJ
Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan perhitungan
keseluruhan untuk waktu penyulingan yang selanjutnya :
Menit Ke- Q 0 90713,32 30 64173,72 60 47595,71 90 33255,07 120 30566,68 150 24150,15 180 44396,33 210 29034,96 240 29430,92 270 26707,34 300 25733,08 330 23586,64 360 24066,19 390 28695,36 420 25501,77 450 32082,72 480 20923,98
Total Kalor untuk menguapkan air (KJ) 600613,9
4. Efisiensi ketel suling
= (600613,9/2568627) × 100 % 23,38 %
D. Penyulingan 4 Non Kohobasi
1. Data pada menit ke – 0
Suhu air awal 25 °C
Titik didih air 100 °C
Jumlah air ketel awal 134,66 kg
Panas jenis air pada suhu 25 °C 4,18
KJ/kg°C Panas jenis air pada suhu 100 °C 4,22
KJ/kg°C
Panas jenis air rata-rata 4,2
KJ/kg°C
Panas laten penguapan 2256 KJ/kg
2. Menghitung energi bahan bakar
Bobot kayu basah 149,3 kg
Kadar air kayu 10,45 %
Bobot kayu kering
= (149,3 – ((10,45/100)×149,3) 133,7 kg
Nilai kalor kayu bakar 18000 KJ/kg
Energi bahan bakar
Qb = (133,7 × 18000) 2406566,7 KJ
3. Menghitung energi penguapan air
Uap yang dihasilkan pada menit ke – 0 16,33 kg
Energi penguapan air
Qu0 = (134,66 × 4,2 × (100-25)) + (16,33 × 2256) 79252,09 KJ
Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan perhitungan
keseluruhan untuk waktu penyulingan yang selanjutnya :
4. Efisiensi ketel suling
= (544302,1/2406566,7) × 100 % 22,62 %
Menit Ke- Q 0 79252,09 30 48072,95 60 25552,29 90 40774,93 120 24744,81 150 25744,03 180 16703,05 210 17248,57 240 37004,54 270 35252,54 300 32205,35 330 28601,15 360 21672,5 390 23432,13 420 31149,23 450 33547,3 480 23344,59
Total Kalor untuk menguapkan air (KJ) 544302,1
Lampiran 4. Efisiensi Kondensor
A. Penyulingan 1 Kohobasi
1. Data
Koefisien pindah panas keseluruhan (U) 40 Btu/feet2 °C
817646,8 J/m2°C
Luas permukaan pindah panas 1,62 m2
Suhu destilat menit ke – 0 (td) 28 °C
Suhu air pendingin masuk menit ke – 0 (ta) 24 °C
Suhu air pendingin keluar menit ke – 0 (tb) 52 °C
2. Menghitung beda suhu rata-rata logaritmik (∆T LMTD)
= ((100-24)-(100-52))/ln((100-24)/(100-52)) 60,93 °C
3. Menghitung energi yang diserap air pendingin
Q = (817646,8 × 1,62 × 60,93) 40459,97 KJ
4. Menghitung efisiensi kondensor
Quap 713793,01 KJ
Efisiensi kondensor
= (513367,72/ 714072,57) × 100 % 71,89 %
Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan perhitungan
keseluruhan untuk waktu penyulingan yang selanjutnya :
B. Penyulingan 2 Kohobasi
1. Data
Koefisien pindah panas keseluruhan (U) 40
Btu/feet2 °C
817646,8 J/m2
°C
Luas permukaan pindah panas 1,62 m2
Suhu destilat menit ke – 0 (td) 27 °C
Suhu air pendingin masuk menit ke – 0 (ta) 23 °C
Suhu air pendingin keluar menit ke – 0 (tb) 66 °C
2. Menghitung beda suhu rata-rata logaritmik (∆T LMTD)
= ((100-23)-(100-66))/ln((100-23)/(100-66)) 52,6 °C
3. Menghitung energi yang diserap air pendingin
Waktu T Destilat T air masuk T air keluar ∆T LMTD Qtransfer 0 28 24 52 60,93 40459965,85
30 31 25 72 47,70 31675257,46 60 35 26 80 41,27 27406846,99 90 32 26 80 41,27 27406846,99
120 30 27 74 45,53 30230756,76 150 32 27 81 40,12 26639474,22 180 36 27 80 40,94 27181984,46 210 35 28 80 40,60 26956294,59 240 31 28 64 51,94 34487410,86 270 30 28 56 56,86 37753401,26 300 32 29 74 44,79 29744734,30 330 33 29 76 43,33 28774075,55 360 32 29 79 41,05 27255247,72 390 32 29 78 41,82 27770672,45 420 34 29 72 46,21 30686483,71 450 32 28 78 42,17 28003137,71 480 32 28 72 46,59 30935128,09
513367718,9 513367,72
Q = (817646,8 × 1,62 × 52,6) 34929,6 KJ
4. Menghitung efisiensi kondensor
Quap 571043,43 KJ
Efisiensi kondensor
= (492056,15/ 571282,4) × 100 % 86,13 %
Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan perhitungan
keseluruhan untuk waktu penyulingan yang selanjutnya :
C. Penyulingan 3 Non Kohobasi
1. Data
Koefisien pindah panas keseluruhan (U) 40
Btu/feet2 °C
817646,8 J/m2
°C
Luas permukaan pindah panas 1,62 m2
Suhu destilat menit ke – 0 (td) 28 °C
Suhu air pendingin masuk menit ke – 0 (ta) 26 °C
Waktu T Destilat T air masuk T air keluar ∆T LMTD Qtransfer 0 27 23 66 52,60 34929592,54
30 32 24 86 36,65 24336496,10 60 32 25 90 32,26 21421148,89 90 30 26 82 39,61 26303671,23
120 30 26 78 42,87 28465445,70 150 34 27 80 40,94 27181984,46 180 32 27 79 41,74 27713463,84 210 34 28 78 42,17 28003137,71 240 31 28 78 42,17 28003137,71 270 29 28 73 45,88 30465103,29 300 32 29 77 42,58 28276739,64 330 32 29 75 44,07 29263239,68 360 30 29 75 44,07 29263239,68 390 30 29 66 50,25 33367145,89 420 30 29 68 48,94 32495286,25 450 29 28 60 54,44 36150457,72 480 32 28 81 39,78 26416856,92
492056147,2 J 492056,15 KJ
Suhu air pendingin keluar menit ke – 0 (tb) 67 °C
2. Menghitung beda suhu rata-rata logaritmik (∆T LMTD)
= ((100-26)-(100-67))/ln((100-26)/(100-67)) 50,77 °C
3. Menghitung energi yang diserap air pendingin
Q = (817646,8 × 1,62 × 50,77) 33712,73 KJ
4. Menghitung efisiensi kondensor
Quap 598229,13 KJ
Efisiensi kondensor
= (594184,05/ 598453) × 100 % 99,29 %
Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan perhitungan
keseluruhan untuk waktu penyulingan yang selanjutnya :
Waktu T Destilat T air masuk T air keluar ∆T LMTD Qtransfer 0 28 26 67 50,77 33712731,05
30 38 27 79 41,74 27713463,84 60 30 28 66 50,65 33630162,29 90 30 28 68 49,33 32753676,81
120 30 28 66 50,65 33630162,29 150 30 28 63 52,57 34909336,17 180 30 28 63 52,57 34909336,17 210 32 29 63 52,17 34639646,87 240 32 29 72 46,21 30686483,71 270 30 29 48 61,01 40510548,03 300 31 29 57 55,83 37075598,63 330 30 29 56 56,43 37469183,45 360 29 28 54 58,03 38534960,63 390 30 28 68 49,33 32753676,81 420 30 28 60 54,44 36150457,72 450 30 28 55 57,45 38145745,23 480 28 28 58 55,66 36958884,96
594184054,6 J 594184,05 KJ
D. Penyulingan 4 Non Kohobasi
1. Data
Koefisien pindah panas keseluruhan (U) 40
Btu/feet2 °C
817646,8 J/m2
°C
Luas permukaan pindah panas 1,62 m2
Suhu destilat menit ke – 0 (td) 28 °C
Suhu air pendingin masuk menit ke – 0 (ta) 26 °C
Suhu air pendingin keluar menit ke – 0 (tb) 44 °C
2. Menghitung beda suhu rata-rata logaritmik (∆T LMTD)
= ((100-26)-(100-44))/ln((100-26)/(100-44)) 64,58 °C
3. Menghitung energi yang diserap air pendingin
Q = (817646,8 × 1,62 × 64,58) 42884,29 KJ
4. Menghitung efisiensi kondensor
Quap 542075,16 KJ
Efisiensi kondensor
= (537902,72/ 542283,36) × 100 % 99,19 %
Menggunakan perhitungan yang sama didapatkan perhitungan
keseluruhan untuk waktu penyulingan yang selanjutnya :
Waktu T Destilat T air Masuk T air Keluar ∆T LMTD Qtransfer 0 28 26 44 64,58 42884287,92
30 30 27 66 51,04 33892107,43 60 28 27 69 49,04 32562635,82 90 30 28 74 45,16 29988219,48
120 29 28 74 45,16 29988219,48 150 30 28 73 45,88 30465103,29 180 30 28 67 49,99 33194435,05 210 30 29 73 45,51 30219012,30 240 33 29 76 43,33 28774075,55 270 31 29 74 44,79 29744734,30 300 32 29 71 46,91 31147521,14 330 32 29 73 45,51 30219012,30 360 30 29 71 46,91 31147521,14 390 30 29 72 46,21 30686483,71 420 30 29 70 47,59 31602464,38 450 31 28 71 47,29 31398669,53 480 30 28 74 45,16 29988219,48
537902722,31 J 537902,72 KJ
Lampiran 5. Data Kadar Air dan Kadar Minyak
1. Kadar Air Nilam Kering No. Keterangan Kadar air
1. Penyulingan 1 Kohobasi 8,48 %
2. Penyulingan 2 Kohobasi 10 %
3. Penyulingan 3 Non Kohobasi 10 %
4. Penyulingan 4 Non Kohobasi 10 %
2. Kadar Minyak Nilam Kering No. Keterangan Kadar Minyak
(wb)
Kadar minyak
(db)
1. Penyulingan 1 Kohobasi 2,47 % 2,7 %
2. Penyulingan 2 Kohobasi 2,58 % 2,87 %
3. Penyulingan 3 Non
Kohobasi
2,14 % 2,38 %
4. Penyulingan 4 Non
Kohobasi
2,56 % 2,84 %
Lampiran 6. Data Suhu Destilat, Suhu Air Pendingin, Laju Destilat dan Laju Air
Pendingin
a. Penyulingan 1 Kohobasi
Waktu Suhu Destilat
(oC)
Laju destilat
(Liter/jam)
Suhu Air Pendingin
Masuk (oC)
Suhu Air Pendingin
Keluar (oC)
Laju Air Pendingin (Liter/jam)
0 28 76,5 24 52 30 31 55,38 25 72 60 35 36 26 80 90 32 43,2 26 80 105,6 120 30 31 27 74 150 150 32 37 27 81 180 36 33,88 27 80 156,86 210 35 29,66 28 80 240 31 37 28 64 520,43 270 30 29,10 28 56 524,25 300 32 23,73 29 74 517,17 330 33 20,16 29 76 360 32 18 29 79 390 32 14,52 29 78 420 34 17,55 29 72 450 32 16,63 28 78 329,05 480 32 11,58 28 72
b. Penyulingan 2 Kohobasi
Waktu Suhu Destilat
(oC)
Laju destilat
(Liter/jam)
Suhu Air Pendingin
Masuk (oC)
Suhu Air Pendingin
Keluar (oC)
Laju Air Pendingin (Liter/jam)
0 27 35,56 23 66 30 32 38,80 24 86 60 32 45,76 25 90 100,71 90 30 17,17 26 82 82,82 120 30 15,34 26 78 98,49 150 34 36,86 27 80 127,53 180 32 32,34 27 79 138,07 210 34 35,49 28 78 84,41 240 31 22,58 28 78 169,19 270 29 15,07 28 73 274,34 300 32 29,01 29 77 66,42 330 32 14,59 29 75 46,52 360 30 15,57 29 75 88,99 390 30 12,20 29 66 67,83 420 30 16,61 29 68 186,86 450 29 10,74 28 60 133,79 480 32 25,55 28 81
c. Penyulingan 3 Non Kohobasi
Waktu Suhu Destilat
(oC)
Laju destilat
(Liter/jam)
Suhu Air Pendingin
Masuk (oC)
Suhu Air Pendingin
Keluar (oC)
Laju Air Pendingin (Liter/jam)
0 28 42,82 26 67 30 38 52,76 26 79 278,22 60 30 38,12 27 66 299,35 90 30 27,17 27 68 358,83 120 30 24,98 28 66 103,79 150 30 19,2 28 63 247,38 180 30 37,42 28 63 234,42 210 32 23,34 28 63 286,99 240 32 23,81 29 72 330,75 270 30 21,63 29 48 490,75 300 31 16,93 29 57 507,88 330 30 18,88 29 56 74,06 360 29 15,47 28 54 260,55 390 30 23,54 28 68 51,97 420 30 20,48 28 60 259,45 450 30 26,29 28 55 271,87 480 28 16,25 27 58 311,77
d. Penyulingan 4 Non Kohobasi
Waktu Suhu Destilat
(oC)
Laju destilat
(Liter/jam)
Suhu Air Pendingin
Masuk (oC)
Suhu Air Pendingin
Keluar (oC)
Laju Air Pendingin (Liter/jam)
0 28 32,65 26 44 115,38 30 30 40,45 27 66 236,06 60 28 20,65 27 69 50,86 90 30 34,07 28 74 138,64 120 29 19,94 28 74 132,35 150 30 20,70 28 73 140,79 180 30 12,89 28 67 119,02 210 30 13,31 29 73 119,45 240 33 27,91 29 76 116,94 270 31 26,15 29 74 112,70 300 32 26,19 29 71 112,84 330 32 23,29 29 73 115,34 360 30 16,91 29 71 118,76 390 30 18,41 29 72 123,39 420 30 25,25 29 70 119,77 450 31 27,85 28 71 135,80 480 30 18,38 28 74 122,69
e. Penyulingan Rakyat
Jam ke-
Suhu Destilat
(oC)
Laju destilat
(Liter/jam)
Suhu Air Pendingin
Masuk (oC)
Suhu Air Pendingin
Keluar (oC) 1 32 27,27 24 37 2 35 22,5 24 42 3 36 30,51 24 46 4 37 27,69 24 47 5 39 26,47 24 49
Lampiran 7. Hasil Analisa Mutu Minyak Nilam
a. Bobot Jenis
Jam
Ke-
Penyulingan 1 Penyulingan 2 Penyulingan 3 Penyulingan 4
1 0.93545 0.9402 0.94115 0.9332
2 0.9736 0.97355 0.97515 0.95695
3 0.98445 0.9844 0.98285 0.976455
4 0.9946 0.9869 0.9874 0.98615
5 0.995 0.99455 0.9887 0.994
6 0.995 0.9955 0.9928 0.9947
7 0.99755 0.99855 0.995 0.99575
8 1.0003 0.9987 0.9956 0.9967
b. Indeks Bias
Jam
Ke-
Penyulingan 1 Penyulingan 2 Penyulingan 3 Penyulingan 4
1 1.50453 1.50556 1.50512 1.50409
2 1.50982 1.50926 1.50947 1.50753
3 1.51079 1.51076 1.51044 1.50972
4 1.5116 1.51105 1.51086 1.51074
5 1.51179 1.51195 1.51134 1.51126
6 1.51185 1.51204 1.5115 1.51174
7 1.51186 1.51204 1.51169 1.51184
8 1.51194 1.51212 1.51169 1.51208
c. Putaran Optik
Jam
Ke-
Penyulingan 1 Penyulingan 2 Penyulingan 3 Penyulingan 4
1 (-) 60.2 (-) 60.55 (-) 56.5 (-) 54.7
2 (-) 64.8 (-) 65.3 (-) 60.45 (-) 58.5
3 (-) 70.3 (-) 69.3 (-) 63.2 (-) 62.5
4 (-) 71.9 (-) 72.95 (-) 64.6 (-) 66.65
5 (-) 73 (-) 73.75 (-) 70.5 (-) 68.8
6 (-) 74.5 (-) 75.8 (-) 71.95 (-) 69
7 (-) 75 (-) 75.85 (-) 72.2 (-) 73.85
8 (-) 75.3 (-) 76.1 (-) 72 (-) 73.9
d. Bilangan Asam
Jam
Ke-
Penyulingan 1 Penyulingan 2 Penyulingan 3 Penyulingan 4
1 0.42075 1.818703 1.4025 1.82325
2 1.4025 2.518204 2.244 1.958603
3 3.927 4.616708 4.197007 3.357606
4 6.59175 6.715212 6.03075 4.7685
5 7.757037 8.394015 8.114214 6.435411
6 8.931343 11.07975 9.653117 7.134913
7 12.5597 13.29052 11.33192 8.114214
8 14.40973 13.77895 12.76275 9.982707
e. Bilangan Ester
Jam
Ke-
Penyulingan 1 Penyulingan 2 Penyulingan 3 Penyulingan 4
1 6.31125 7.71375 2.10375 3.488806
2 11.22 4.90875 7.71375 1.399002
3 9.8175 7.0125 7.71375 3.488806
4 8.415 9.093516 8.394015 9.793017
5 12.6225 9.793017 9.093516 11.89152
6 18.93375 13.29052 25.1194 11.19202
7 24.54375 13.99002 16.83 14.68953
8 23.14125 21.73875 21.68454 15.38903
f. Kelarutan
Jam
Ke-
Penyulingan 1 Penyulingan 2 Penyulingan
3
Penyulingan
4
1 1 : 7 1 : 8 1 : 7 1 : 7
2 1 : 1 1 : 1 1 : 1 1 : 4
3 1 : 1 1 : 1 1 : 1 1 : 1
4 1 : 1 1 : 1 1 : 1 1 : 1
5 1 : 1 1 : 1 1 : 1 1 : 1
6 1 : 1 1 : 1 1 : 1 1 : 1
7 1 : 1 1 : 1 1 : 1 1 : 1
8 1 : 1 1 : 1 1 : 1 1 : 1
Lampiran 8. Gambar Minyak Hasil Penyulingan
Penyulingan 1 Kohobasi Penyulingan 2 Kohobasi
Penyulingan 3 Non Kohobasi Penyulingan 4 Non Kohobasi
Recommended