View
232
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
ANALISIS PASAR TENAGA KERJA DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN
MAHYUDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis yang berjudul: ANALISIS PASAR TENAGA KERJA DAN PERTUMBUHAN EKONOMI
DI PROVINSI SULAWESI SELATAN adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicamtumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2006 MAHYUDDIN NIM A155030021
ABSTRACT
MAHYUDDIN, Analysis of labor market and economic growth in South Sulawesi province. Under direction of BAMBANG JUANDA and HERMANTO SIREGAR South Sulawesi province has relativity high economic growth, but it also has high level of unemployment. The study generally aims to analyze sources of economic growth, including total factor productivity (TFP) and the effect toward the performance of labor market in South Sulawesi. TFP is counted by indirect accounting method. The performance of labor market is analyzed by using simultaneous equation model, while wage rigidity indicator is assessed by using an equation of error correction model (ECM). The result of analysis indicated that, from supply side, TFP has given the highest contribution toward economic growth of South Sulawesi (2.09%) and labor has given the lowest contribution (1.70%). The high contribution of TFP is mainly in industrial sector (4.20%), while contribution of TFP in agricultural sector decreased, specially, since monetary crisis, with the average contribution -1.02%. TFP in urban industrial sector significantly reduced job opportunity, while in agricultural sector and in rural industrial sector significantly supporting enlarged job opportunity. Furthermore, sources of economic growth from demand side were only investment and export significantly and consistently increased sectoral job opportunity. The wage is generally rigid, specially, in industrial sector. Key words: Labor Market, Economic Growth, TFP, Wage Rigidity
ABSTRAK
MAHYUDDIN, Analisis Pasar Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan (BAMBANG JUANDA sebagai Ketua dan HERMANTO SIREGAR sebaga Anggota Komisi Pembimbing)
Studi ini secara umum bertujuan untuk menganalisis sumber-sumber pertumbuhan ekonomi, termasuk total factor productivity (TFP) dan pengaruhnya terhadap keragaan pasar tenaga kerja di Sulawesi Selatan. TFP dihitung dengan metode indirect accounting. Keragaan pasar tenaga kerja di analisis dengan model persamaan simultan, sedangkan indikator kekakuan upah di taksir dengan menggunakan persamaan error corection model (ECM). Ditemukan bahwa, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan tidak berbasis pada sektor padat karya, pertumbuhan tenaga kerja hanya 1.70% dan pertumbuhan modal sebesar 1.87%, sementara pertumbuhah TFP 2.09%. Pertumbuhan TFP yang besar terjadi di sektor industri (4.20%), sedangkan pertumbuhan TFP di sektor pertanian merosot terutama sejak krisis ekonomi dengan pertumbuhan -1.02 %. Lebih lanjut, TFP di sektor industri perkotaan secara nyata mereduksi kesempatan kerja, sedangkan di sektor pertanian dan industri pedesaan justru mendorong perluasan kesempatan kerja. Kesempatan kerja sektoral juga dipengaruhi oleh sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi demand, namun hanya investasi dan ekspor yang secara konsisten signifikan secara positif di semua sektor, sedangkan komponen lainnya bahkan mereduksi kesempatan kerja pada sektor tertentu, terutama sektor pertanian. Upah di Sulawesi Selatan bersifat kaku, terutama di sektor industri. Key words: Pasar Tenaga Kerja, Pertumbuhan Ekonomi, TFP, Kekakuan Upah
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi,
mikrofilm, dan sebagainya
ANALISIS PASAR TENAGA KERJA DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN
MAHYUDDIN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Perdesaan (PWD)
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2006
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 2 juli 1968 di salah satu daerah pinggiran Danau Tempe, tepatnya Kecamatan Belawa, Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan. Penulis merupakan anak ke empat dari tujuh bersaudara dari ayahanda tercinta Riwu T dan ibunda tercinta Marellang. Karir pendidikan diawali pada tahun 1975 untuk jenjang pendidikan SD dan tamat pada tahun 1981. Pada tahun itu juga melanjutkan pendidikan pada jenjang SLTP di SMP Negeri Belawa dan tamat tahun 1984. Tingkat pendidikan SLTA di tamatkan pada SMA Negeri I Pare-Pare pada tahun 1987. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru di Universitas Hasanuddin, jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian dan selesai pada bulan Desember tahun 1991. Dua tahun setelah menyelesaikan pendidikan sarjana, tepatnya tahun 1994, penulis diterima sebagai staf pengajar di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian dan Kehutanan Unhas. Pada tanggal 7 September tahun 1998, penulis menikah dengan A.Anugrahwaty SP. yang juga merupakan alumni Jurusan Sosek Pertanian Unhas, dan saat ini kami telah dikaruniai dua buah hati, putra dan putri titipan Illahi yaitu Muh. Agung yang lahir pada tanggal 8 Agustus 1999 dan Nurul Izzah lahir pada tanggal 26 Mei 2001.
Pada tahun 2003, penulis mendapat beasiswa BPPS-Dikti untuk menempuh pendidikan S2 dan diterima di Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), Institut Pertanian Bogor.
Judul Tesis : Analisis Pasar Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan
Nama Mahasiswa : Mahyuddin NIM : A155 030 021 Program Studi : Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
(PWD)
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Bambang Juanda , MS Ketua
Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Prof. Isang Gonarsyah, Ph.D.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 20 Juli 2006 Tanggal Lulus : .......................
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Alla SWT, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga sebuah kristalisasi pemikiran penulis yang diwujudkan dalam bentuk tesis dengan judul ”Analisis Pasar Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan” dapat terselesaikan. Tulisan ini dapat dirampungkan, berkat kontribusi berbagai pihak. Karena itu, dengan rasa bangga dan tulus penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada bapak Dr. Ir. Bambang Juanda, MS dan bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc. sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing, yang telah mencurahkan segenap waktu, pikiran serta dengan sabar memberi arahan dan masukan bagi penulis. Ucapan terima kasih yang tak terkira pula, penulis haturkan kepada bapak Prof. Dr. Ir. H. Affendi Anwar, M.Sc, yang sejak awal perkuliahan telah banyak memberi wawasan kepada penulis dan sebagai penguji luar komisi sehingga tulisan ini dapat lebih disempurnakan. Penulis juga menghaturkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada teman-teman seperjuangan di program pascasarjana IPB angkatan 2003 PWD dan segenap warga Melati 5 terima kasih atas kebersamaannya serta dukungan morilnya selama ini Ucapan terima kasih yang tulus penulis haturkan pula kepada ibunda Marellang dan ayahanda Riwu T. yang senangtiasa berdoa dan memberikan dukungan tak terkira kepada penulis. Demikian pula kepada ibu mertua A.Cahaya Hakim dan bapak mertua almarhum Drs. Abd. Hakim, serta seluruh sanak keluarga lainnya, terima kasih atas doa, dorongan dan dukungan yang diberikan selama ini. Secara khusus ucapan terima kasih kepada istriku tercinta A.Anugrahwaty, SP dan kepada buah hatiku Muh.Agung dan Nurul Izzah, yang senangtiasa berdoa dan memberi dukungan dengan penuh kesabaran dan ketulusan selama ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini sungguh masih sangat jauh dari kesempurnaan. Karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis sangat mengharapkan keritikan dan saran konstruktif dari pembaca demi penyempurnaan tulisan ini. Akhirnya semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan saat ini maupun di masa datang dan bermanfaat bagi pembangunan daerah dan kemajuan ummat manusia pada umumnya. Amin
Bogor, Juli 2006 Penulis
MAHYUDDIN
v
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah .......................................................................... 4 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 10 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian .................................... 11
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 13
2.1. Industrialisasi dan Transformasi Struktural Ekonomi dan Tenaga Kerja. ............................................................................................... 13
2.2. Model-Model Pertumbuhan Ekonomi............................................... 16 2.2.1. Pertumbuhan Ricardian ........................................................ 17 2.2.2. Model Lewis ........................................................................ 18 2.2.3. Model Harrod-Domar .......................................................... 22 2.2.4. Model Pertumbuhan Solow .................................................. 25 2.2.5. Model Pertumbuhan Endogenous ........................................ 28
2.3. Total Factor Productivity .................................................................. 30 2.4. Pasar Tenaga Kerja ........................................................................... 31
2.4.1. Penawaran Tenaga Kerja ...................................................... 31 2.4.2. Permintaan Tenaga Kerja ..................................................... 33 2.4.3. Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja ...................................... 35 2.4.4. Pengangguran, Upah Kaku dan Distorsi Pasar Tenaga Kerja 37
2.5. Tinjauan Studi Terdahulu ................................................................. 39 2.6.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Perubahan Struktural ................ 39 2.6.2. Total Factor Productivity ...................................................... 40 2.6.3. Pasar Tenaga Kerja ............................................................... 41
BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS..................................... 43
3.1. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 43 3.2. Hipotesis ........................................................................................... 46
BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN.............................................................. 47
5.1. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................... 47 5.2. Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 47 5.3. Pengembangan Model Analisis ........................................................ 47
4.3.1. Analisa Total Factor Productivity ........................................ 48
vi
4.3.2. Analisa Keragaan Pasar Tenaga Kerja di Sulawesi Selatan . 49 4.3.3. Analisa Tingkat Kekakuan Upah sebagai Indikator Distorsi
Pasar Tenaga Kerja ............................................................... 60 4.3.4. Simulasi Kebijakan dan Dampaknya terhadap Kesempatan
kerja, pertumbuhan ekonomi dan NTB Sektoral ................ 62 4.4. Identifikasi Model Ekonometrika .................................................... 62 4.5. Metode Pendugaan ............................................................................ 65 4.6. Prosedur Pembentukan dan Penerapan Model .................................. 65 4.7. Definisi Operasional ......................................................................... 68
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................ 69
5.1. Profil Perekonomian Sulawesi Selatan.............................................. 69 5.1.1. Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan ............................. 69 5.1.2. Struktur Perekonomian Sulawesi Selatan dan Kontribusinya
dalam Perekonomian Regional dan Nasional ........................ 75 5.1.3. Ciri Perekonomian secara Spatial di Sulawesi Selatan ......... 81
5.2. Profil Ketenaga Kerjaan Sulawesi Selatan........................................ 84 5.2.1. Permintaan Tenaga Kerja Sektoral di Wilayah Perkotaan
dan Pedesaan ....................................................................... 85 5.2.2. Penawaran Tenaga Kerja Perkotaan dan Pedesaan .............. 89
5.3. Total Factor Productivity ................................................................. 91 5.4. Keragaan Pasar Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi Sul-Sel 100
5.4.1. Gambaran Umum Model Dugaan Pasar Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan ............................. 100
5.4.2. Kesempatan Kerja Sektoral di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan ............................................................................... 101
5.4.3. Upah Riil Sektoral di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan ...... 113 5.4.4. Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tambah Sektoral ............. 123 5.4.5. Produktivitas Tenaga Kerja Sektoral .................................... 127 5.4.6. Angkatan Kerja Perkotaan dan Pedesaan ............................. 130 5.4.7. Pengangguran Perkotaan dan Pedesaan ................................ 134
5.5. Analisa Kekakuan Upah dan Kelambanan Respon Permintaan Tenaga Kerja Sektoral di Sulawesi Selatan ...................................... 137
5.6. Analisa Simulasi Kebijakan Pasar Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan ............................................................... 150
BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 161
6.1. Simpulan ........................................................................................... 161 6.2. Saran-Saran ....................................................................................... 163
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 165 LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................... 169
vii
DAFTAR TABEL
1. Beberapa indikator makro pasar tenaga kerja di Sulawesi Selatan dan Indonesia Tahun 1993 – 2003 .................................................................... 5
2. Pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan PDRB per kapita Sulawesi Selatan,
kawasan timur Indonesia (KTI) dan nasional, tahun 1985-2004 ............... 72 3. Pergeseran struktur ekonomi Sulawesi Selatan dan nasional, serta
kontribusi Sulawesi Selatan dalam perekonomian regional dan nasional, tahun 1985-2004 ........................................................................................ 79
4. Kontribusi PDRB dan nilai tambah sektoral Sulawesi Selatan terhadap
PDRB dan nilai tambah sektoral Pulau Sulawesi, KTI dan nasional, tahun 1985-2004 ........................................................................................ 80
5. Indikator ekonomi kabupaten/kota di Sulawesi Selatan berdasarkan ciri
ekonomi daerah, tahun 2001-2004 ............................................................. 82 6. Pegeseran struktur dan pertumbuhan tenaga kerja dirinci menurut sektor
dan jenis kelamin di wilayah pedesaan dan perkotaan di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 ........................................................................... 87
7. Pertumbuhan jumlah penduduk, penduduk usia kerja, angkatan kerja,
bukan angkatan kerja dan migrasi masuk di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 .................................................................................................. 90
8. Perkembangan pertumbuhan tenaga kerja, modal dan TFP, menurut fase
pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan ............................. 96 9. Hasil estimasi parameter persamaan kesempatan kerja sektoral di
wilayah perkotaan Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 ............................. 104 10. Hasil estimasi parameter persamaan kesempatan kerja sektoral di
wilayah pedesaan Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 .............................. 109 11. Hasil estimasi parameter persamaan upah riil sektoral di wilayah
perkotaan Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 .......................................... 115 12. Hasil estimasi parameter persamaan upah riil sektoral di wilayah
pedesaan Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 ........................................... 120
viii
13. Hasil estimasi parameter persamaan pertumbuhan ekonomi dan nilai tambah sektoral di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 ............................. 125
14. Hasil estimasi parameter persamaan produktivitas tenaga kerja sektoral
di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 ....................................................... 129 15. Hasil estimasi parameter persamaan angkatan kerja perkotaan dan
pedesaan di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 ....................................... 132 16. Hasil estimasi parameter persamaan pengangguran perkotaan dan
pedesaan di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 ....................................... 135 17. Hasil estimasi parameter ECM persamaan respon upah riil Rata-Rata,
Upah Riil Perkotaan dan Pedesaan Terhadap Guncangan Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja di Sulawesi Selatan ........................................... 141
18. Hasil estimasi parameter ECM persamaan respon upah riil sektoral di
wilayah perkotaan dan pedesaan terhadap guncangan permintaan tenaga kerja sektoral di Sulawesi Selatan .............................................................. 144
19. Hasil estimasi parameter ECM persamaan respon kesempatan kerja
perkotaan dan pedesaan terhadap guncangan upah riil di Sulawesi Selatan ........................................................................................................ 148
20. Hasil estimasi dampak simulasi kebijakan terhadap variabel kesempatan
kerja dan nilai tambah sektoral, serta terhadap pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan ........................................................................................ 159
ix
DAFTAR GAMBAR
1. Kontribusi komponen permintaan agregat terhadap PDRB Sulawesi Selatan tahun 2003 ........................................................................................ 7
2. Pertumbuhan PDRB, investasi dan tenaga kerja di Sulawesi Selatan tahun
1994 – 2003 .................................................................................................. 8 3. Kerangka perumusan masalah pasar tenaga kerja dan pertumbuhan
ekonomi di Sulawesi Selatan ....................................................................... 9 4. Model Lewis ................................................................................................. 19 5. Model Lewis dinamis ................................................................................... 21 6. Model Harrod-Domar ................................................................................... 25 7. Model Pertumbuhan Neoklasik .................................................................... 27 8. Penentuan kurva penawaran tenaga kerja .................................................... 32 9. Penentuan kurva permintaan tenaga kerja .................................................... 34 10. Keseimbangan pasar tenaga kerja dan pengangguran ................................. 36 11. Kerangka pemikiran konseptual analisis pasar tenaga kerja dan
pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan ................................................. 44 12. Tahapan dan umpan balik dalam penelitian analisis pasar tenaga kerja dan
pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan .................................................. 67 13. Kinerja pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, kawasan timur Indonesia
(KTI) dan nasional, periode 1986-2004 ........................................................ 70 14. Perkembangan PDRB per kapita Provinsi Sulawesi Selatan, kawasan
timur Indonesia (KTI) dan nasional, periode 1986-2004 (juta Rp.) ............. 74 15. Struktur PDRB Provinsi Sulawesi Selatan, tahun 2004 ............................... 77 16. Sebaran PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/ kota di
Sulawesi Selatan menurut ciri ekonomi wilayah, tahun 2004 ...................... 83
x
17. Perkembangan pekerja, angkatan kerja, pencari kerja dan tingkat upah di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 ............................................................. 85
18. Pergeseran struktur tenaga kerja dan PDRB sektoral di Sulawesi Selatan,
tahun 1985-2004 ........................................................................................... 86 19. Perkembangan pertumbuhan tenaga kerja, modal dan TFP terhadap
pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan (analisa semua sektor) ................. 94 20. Respon dinamis rata-rata upah riil Sulawesi Selatan terhadap guncangan
permintaan tenaga kerja total ........................................................................ 142 21. Respon dinamis upah riil perkotaan terhadap guncangan permintaan
tenaga kerja perkotaan .................................................................................. 143 22. Respon dinamis upah riil pedesaan terhadap guncangan permintaan tenaga
kerja pedesaan ............................................................................................... 143 23. Respon dinamis upah riil sektor pertanian perkotaan terhadap guncangan
permintaan tenaga kerja pertanian perkotaan ............................................... 145 24. Respon dinamis upah riil sektor industri perkotaan terhadap guncangan
permintaan tenaga kerja industri perkotaan .................................................. 145 25. Respon dinamis upah riil sektor lain perkotaan terhadap guncangan
permintaan tenaga kerja sektor lain perkotaan ............................................. 146 26. Respon dinamis upah riil sektor pertanian pedesaan terhadap guncangan
permintaan tenaga kerja pertanian pedesaan ................................................ 146 27. Respon dinamis upah riil sektor industri pedesaan terhadap guncangan
permintaan tenaga kerja industri pedesaan ................................................... 146 28. Respon dinamis upah riil sektor lain pedesaan terhadap guncangan
permintaan tenaga kerja sektor lain pedesaan .............................................. 146 29. Respon dinamis kersempatan kerja perkotaan terhadap guncangan upah
riil perkotaan ................................................................................................. 149 30. Respon dinamis kersempatan kerja pedesaan terhadap guncangan upah riil
pedesaan ........................................................................................................ 149 31. Dampak peningkatan konsumsi masyarakat (CS) 25% terhadap
pertumbuhan ekonomi dan kesempatakan kerja Sulawesi Selatan ............... 152
xi
32. Dampak peningkatan investasi (INV) 25 % terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesempatakan kerja Sulawesi Selatan ..................................... 153
33. Dampak peningkatan ekxpor (Expr) 25% terhadap pertumbuhan ekonomi
dan kesempatakan kerja sektoral Sulawesi Selatan ...................................... 154 34. Dampak peningkatan impor (IMP) 25% terhadap pertumbuhan ekonomi
dan kesempatakan kerja sektoral Sulawesi Selatan ...................................... 155 35. Dampak peningkatan PAD = 25% terhadap kesempatan kerja dan
pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan ...................................................... 156 36. Dampak peningkatan total factor productivity (TFP) 2% terhadap
pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan ..................................................... 157 37. Dampak peningkatan total factor productivity pertanian (TFPP) 2%
terhadap kesempatan kerja pertanian dan nilai tambah bruto sektor pertanian di Sulawesi Selatan ....................................................................... 158
38. Dampak peningkatan total factor productivity sektor industri pengolahan
(TFPI) 2% terhadap kesempatan kerja dan nilai tambah bruto sektor industri pengolahan di Sulawesi Selatan ...................................................... 158
39. Dampak peningkatan total factor productivity sektor lain (TFPL) 2%
terhadap kesempatan kerja dan nilai tambah bruto sektor lain di Sulawesi Selatan .......................................................................................................... 158
xii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil perhitungan total factor productivity (TFP) seluruh sektor, TFP sektor pertanian, TFP sektor industri pengolahan dan TFP sektor lainnya di Sulawesi Selatan tahun 1986-2004 ........................................ 169
2. Output pendugaan parameter persamaan simultan (Two-Stage Least
Squares) pada model analisis pasar tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan ...................................................................... 173
3. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan simultan pasar
tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan ..................... 181 4. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel permintaan tenaga
kerja dan upah riil dalam persamaan error correction model (ECM) .... 206 5. Hasil uji kointegrasi persamaan autoregressive redisual dari
persamaan respon upah riil dan respon kesempatan kerja ...................... 220 6. Hasil estimasi koefisien ECM untuk persamaan respon upah riil dan
persamaan respon permintaan tenaga kerja di Sulawesi Selatan ............ 229 7. Uji root mean squared error dan uji theil inequality coeficient pada
persamaan-persamaan estimasi dalam analisa simulasi kebijakan ......... 238 8. Nilai masing-masing variabel persamaan pasar tenaga kerja dan
pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan (1985-2004) ........................... 242
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi, seringkali dikaitkan tidak hanya sebagai penciri
tingkat pendapatan yang lebih tinggi bagi suatu perekonomian atau mekanisme
yang berkelanjutan dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Tetapi juga
dikaitkan sebagai mekanisme “mujarab” untuk mendorong perluasan kesempatan
kerja guna mengatasi pengangguran, karena dengan pertumbuhan ekonomi,
berarti memberikan peluang bagi semua jenis usaha untuk menciptakan pekerjaan.
Bahkan secara eksplisit, hukum Okun1) (Okun’s law) menyebutkan bahwa
pengangguran berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi. Alasan lainnya
adalah di dasarkan pada mekanisme transformasi struktur produksi dan struktur
tenaga kerja yang menyertai pertumbuhan ekonomi, seperti yang diungkapkan
oleh Fisher (1953) dalam Juanda (2001) bahwa pertumbuhan ekonomi biasanya
disertai dengan pergeseran permintaan dari sektor primer ke sektor sekunder
kemudian ke sektor tersiar. Selanjutnya pergeseran tersebut akan diikuti oleh
pergeseran struktur produksi, melalui pergeseran kesempatan kerja dan alokasi
dana dari sektor primer ke sektor sekunder kemudian ke sektor tersier.
Akan tetapi, tampaknya pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak sertamerta
akan di ikuti oleh perluasan kesempatan kerja dan pengurangan pengangguran.
Seperti halnya yang terjadi di Sulawesi Selatan, di mana dalam dua dekade
terahkir (1986-2004), daerah ini memiliki kinerja pertumbuhan ekonomi yang
relatif tinggi yakni tumbuh rata-rata 5.88 persen per tahun. Kinerja ini melampaui
rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional dan wilayah Kawasan Timur Indonesia
(KTI) yang masing-masing tumbuh sekitar 4.70 persen dan 5.25 persen per tahun
dalam kurun waktu yang sama. Namun kenyataan lain juga menunjukkan bahwa
pengangguran di daerah ini, dari tahun ketahun menunjukkan trend peningkatan
dan semakin memprihatinkan. Bahkan pada tahun 2003, Sulawesi Selatan
1) Hukum Okun dari Arthur M.Okun (1983) menyatakan bahwa laju pengangguran (Ut)
berbanding terbalik dengan selisih laju pertumbuhan ekonomi (gt) terhadap laju pertumbuhan dalam kondisi normal (g t”), atau : Ut = -q(g t - gt”) + et di mana q adalah konstanta positif dan et adalah factor-faktor lain yang secara agregat bersifat acak dengan rataan nol. Dapat dibaca di Mankiw (2003) dan Siregar (2006)
2
memiliki skor tertinggi tingkat pengangguran di Indonesia yakni mencapai 16.97
persen (Sakernas, 2003).
Penomena “growth-unemployment puzzle” yang terjadi di Sulawesi
Selatan ini boleh jadi terkait dengan kinerja pertumbuhan ekonomi yang tidak
mampu menciptakan transformasi struktural sesuai pola normal, seperti yang
ditekankan oleh Cooper (2005) bahwa peningkatan kinerja ekonomi sangat
ditentukan oleh keberhasilan menjalankan transformasi struktural. Transformasi
struktural baru dapat dikatakan berhasil apabila kenaikan peranan industri
manufaktur dan kenaikan ekspor disertai dengan berkurangnya tenaga kerja di
sektor pertanian, karena secara sinifikan diserap oleh sektor industri manufaktur.
Bahkan menurut Siregar (2006) bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat barulah
merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan laju
pengangguran, tetapi hal itu dipandang belum cukup (not sufficient). Syarat
kecukupannya adalah peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Peningkatan kualitas yang dimaksud antara lain ialah pertumbuhan ekonomi harus
dinikmati secara merata oleh segenap produsen dan berkelanjutan (sustainable).
Menurutnya, laju pengangguran akan dapat diturunkan secara cepat apabila
pertumbuhan ekonomi dipacu pada sektor padat karya. Sektor-sektor yang
dimaksud adalah terutama sektor pertanian dalam arti luas dan industri pertanian
(agroindustri).
Tidak berhasilnya transformasi struktural seperti yang ditekankan oleh
Cooper, serta tidak terpenuhinya syarat kecukupan (sufficient condition) dari
pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, tampaknya menjadi jawaban terhadap
puzzle pertumbuhan-pengangguran di daerah ini. Hal ini terlihat dari kinerja
pertumbuhan ekonomi, di mana sektor industri manufaktur mengalami “loncatan”
pertumbuhan yang memukau, terutama pada periode awal proses industrialisasi di
Indonesia, yang diawali pada pertengahan tahun 1980 an. Pertumbuhan industri
manufaktur dalam periode 1986-2004, tumbuh rata-rata 11.11 persen pertahun,
sementara sektor pertanian yang menampung lebih dari separuh total tenaga kerja
hanya tumbuh sekitar 4.17 persen pertahun dalam periode yang sama. Sebagai
konsekuensi logis dari disvarietas pertumbuhan ini, menyebabkan terjadinya
pergeseran dalam struktur perekonomian. Kontribusi sektor industri manufaktur
3
meningkat secara signifikan dari sekitar 3.99 persen tahun 1985 menjadi sekitar
13.36 persen tahun 2004. Sedangkan kontribusi sektor pertanian mengalami
kemerosotas secara signifikan pula yakni dari 44.73 persen tahun 1985 menjadi
sekitar 33.04 persen tahun 2004.
Akan tetapi transformasi struktur ekonomi tersebut tidak diikuti oleh
transformasi struktur tenaga kerja secara seimbang. Sektor industri manufaktur
yang meningkat tajam kontribusinya dalam struktur ekonomi, memiliki
kemampuan kecil dalam menyerap tenaga kerja. Pada tahun 1985 sektor ini
tercatat hanya menampung tenaga kerja sekitar 5.18 persen dari total tenaga kerja
dan dalam kurun waktu hampir dua dekade, peranannya dalam menyerap tenaga
kerja hanya meningkat tipis yakni menjadi sekitar 5.52 persen tahun 2004.
Sebaliknya sektor pertanian yang kontribusinya dalam struktur ekonomi menurun
tajam, namun jumlah tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya di sektor ini
tidak banyak berubah, yakni sebesar 55.01 persen pada tahun 1985 menjadi 55.04
tahun 2004. Dampaknya adalah kesenjangan produktivitas tenaga kerja antar
sektoral dan regional menjadi tidak dapat dihindari, sehingga memperburuk
kondisi ketenaga kerjaan di daerah ini, yang tergambar dari angga pengangguran
yang semakin memprihatinkan.
Pengangguran yang tinggi di daerah ini, tidak hanya disebabkan adanya
semacam “bottleneck” dalam pasar tenaga kerja yang menyertai transformasi
strukturalnya, tetapi juga diperparah oleh inflasi tinggi pada era krisis ekonomi
tahun 1998, serta dipicu oleh banyaknya “migran-eksodus” dari berbagai daerah
rawan konflik di tanah air, yang dimulai dari krisis Timur-Timur (Timor Leste)
tahun 1998, kemudian konflik Ambon dan Maluku Utara, Poso serta Papua tahun
1999-2001.
Tingkat pengangguran yang tinggi dapat menjadi beban yang berat bagi
pembangunan itu sendiri karena dapat mengganggu kestabilan sosial, ekonomi
dan politik. Banyaknya pengangguran tidak hanya menyebabkan rata-rata
pendapatan masyarakat rendah dan menimbulkan kesenjangan, tetapi juga dapat
mendorong meningkatnya angka kriminalitas tinggi. Bahkan dapat mendorong
mewabahnya ekonomi siluman (underground-economy), sehingga penerimaan
pajak pemerintah menjadi kecil. Dengan demikian pengangguran yang tinggi
4
sekaligus dapat menyebabkan terjadinya kontraksi pertumbuhan ekonomi. Karena
itu upaya mengatasi pengangguran di daerah ini dipandang merupakan sesuatu
yang urgen.
Karena itu, arah pembangunan ekonomi Sulawesi Selatan ke depan
diharapkan tidak hanya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi
saja, tapi juga harus mampu mendorong perluasan kesempatan kerja yang tinggi
pula, guna mengatasi persoalan pengangguran. Sasaran-sasaran ini, sesungguhnya
terkait erat dan saling mempengaruhi satu sama lain secara timbal balik.
Pertumbuhan ekonomi yang berbasis pada peningkatan investasi guna mendorong
perluasan kapasitas usaha dan produksi dapat mendorong perluasan kesempatan
kerja. Sebaliknya penurunan angka pengangguran yang berarti pula meningkatnya
partisipasi angkatan kerja tentunya dapat memberikan kontiribusi signifikant
dalam pertumbuhan ekonomi (output), seperti yang telah dimodelkan oleh Solow
dalam Todaro (2000) bahwa pertumbuhan output bergantung pada tiga faktor
penting yakni kuantitas dan kualitas tenaga kerja, penambahan barang modal
(physical capital) serta penyempurnaan teknologi.
Penelitian ini diarahkan untuk mengkaji sumber-sumber pertumbuhan
ekonomi Sulawesi Selatan baik dari sisi demand-nya maupun dari sisi supply-nya
termasuk kemajuan teknologi (didasarkan pada pertumbuhan total factor
productivity)2) dan dampaknya terhadap keragaan pasar tenaga kerja di daerah ini.
Dengan memadukan kedua hal tersebut, maka studi ini nantinya diharapkan dapat
memberikan arahan konstruktif dalam rangka menentukan arah kebijakan strategis
yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi dan sekaligus mampu
mendorong perluasan kesempatan kerja sehingga angka pengangguran di
Sulawesi Selatan dapat diminimalkan.
1.2. Perumusan Masalah
Secara umum pasar tenaga kerja memang selalu dipengaruhi oleh dua sisi
yakni sisi penawaran tenaga kerja (labor supply) dan sisi permintaan tenaga kerja
2). TFP (total factor productivity) adalah jumlah pertumbuhan yang tersisa (residu) setelah
dikurangkan dengan kontribusi pertumbuhan masing-masing factor produksi yang terukur (tenaga kerja dan modal) . TFP, seringkali digunakan sebagai ukuran kemajuan teknologi atau peningkatan efisiensi tenaga kerja (Mankiw, 2003)
5
(labor demand). Perubahan yang tidak seimbangan dari kedua sisi pasar tenaga
kerja tersebut, akan menghasilkan ketidak seimbangan pasar tenaga kerja pula.
Perubahan sisi penawaran tenaga kerja dipengaruhi oleh tingkat partisipasi
angkatan kerja dan migrasi, (Ruby, 2003). Sedangkan perubahan sisi permintaan
tenaga kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomi, termasuk sumber-sumber
pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Menurut Kasliwal, (1995) ketidak seimbangan
pasar tenaga kerja yang bermuara pada pengangguran merupakan pencerminan
dari terjadinya exccess supply dalam pasar tenaga kerja.
Angka pengangguran di Sulawesi Selatan meningkat dari tahun ketahun
dan semakin memprihatinkan, bahkan pada tahun 2003, daerah ini memiliki skor
tertinggi dalam tingkat pengangguran di Indonesia yakni mencapai 16.97 persen.
Peningkatan tajam angka pengangguran di daerah ini terutama terjadi pasca krisis
ekonomi tahun 1998. Berikut ini disajikan beberapa indikator makro pasar tenaga
kerja di Sulawesi Selatan.
Tabel 1. Beberapa indikator makro pasar tenaga kerja di Sulawesi Selatan dan Indonesia tahun 1993-2003
Tahun 1993 – 2003 Indikator Pasar Kerja di
Sul-Sel & Indonesia 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Sulawesi Selatan
Penduduk (juta)
Angkatan Kerja (juta)
Tenaga Kerja (juta)
Pengangguran (Ribu)
Angka Pengangguran (%)
Tenaga Kerja Men. Sektor
• Pertanian (% thd. Tot)
• Industri (% thd. Tot)
• Jasa (% thd. Tot)
7.21
2.76
2.66
100.22
3.63
57.79
9.75
32.46
7.36
3.09
2.93
160.86
5.21
61.07
10.09
28.85
7.42
2.92
2.61
310.39
10.63
53.35
9.82
36.83
7.59
3.20
3.03
167.08
5.22
57.80
10.76
31.44
7.71
3.16
3.02
138.16
4.37
50.18
11.08
38.74
7.84
3.24
3.07
170.04
5.25
55.87
9.16
34.98
7.98
3.29
3.08
213.19
6.48
55.41
8.72
35.87
7.80
3.06
2.87
376.35
6.09
55.28
8.92
35.80
7.89
3.28
2.88
335.83
10.03
56.23
8.76
35.01
7.96
3.30
2.89
405.34
12.29
57.85
8.69
33.46
8.21
3.46
2.87
586.77
16.97
59.76
8.80
31.45
Indonesia
Angka Pengangguran (%)
Tenaga Kerja Men. Sektor
• Pertanian (% thd. Tot)
• Industri (% thd. Tot)
• Jasa (% thd. Tot)
2.76
50.60
15.68
33.72
3.36
62.06
15.31
22.63
7.24
43.98
18.42
37.60
4.89
44.02
18.09
37.89
4.68
41.18
19.01
39.81
5.46
44.96
16.28
38.76
6.35
43.21
17.84
38.95
6.1
45.38
17.43
37.29
8.1
43.88
17.54
38.58
9.1
44.34
13.21
42.45
9.50
46.26
12.84
40.90
Sumber : BPS : Sakernas 1993-2003, Sulawesi Selatan dalam angka dan statistik Indonesia dalam berbaga i penerbitan
6
Berbagai faktor yang menyebabkan sehingga angka pengangguran di
Sulawesi Selatan tinggi bahkan cenderung meningkat antara lain sebagai berikut :
(1) Dalam dua dekade terkhir (1985-2004) Angkatan kerja (labor supply)
tumbuh sekitar 3.78 persen per tahun yang berarti lebih besar dari
pertumbuhan kesempatakan kerja (labor demand) dengan pertumbuhan
hanya sekitar 2.50 persen per tahun. Kesenjangan pertumbuhan yang
semakin melebar dari kedua sisi pasar tenaga kerja ini bermuarah pada
semakin tingginya angka pengangguran. Pertumbuhan yang besar pada
sisi angkatan kerja selain didorong oleh pertumbuhan populasi sekitar 1.38
persen pertahun, juga disebabkan oleh banyaknya arus migrasi masuk
terutama sejak tahun 1999. Arus migrasi ini umumnya merupakan
“migran-eksodus” yang berasal dari berbagai daerah rawan konflik di
Kawasan Timur Indonesia dimulai konflik Tim-Tim di penghujung tahun
1998, kemudian konflik Ambon, Maluku Utara, Poso, dan Papua dari
tahun 1999-2001.
(2) Sektor industri yang diharapkan menjadi leading sektor perekonomian
ternyata tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menyerap tenaga
kerja, yakni hanya sekitar 5.80 persen tahun 2003. Sementara di sisi lain
sektor pertanian dengan produktivitas tenaga kerja yang rendah, sudah
jenuh dengan surplus tenaga kerja, sehingga peluang “angkatan kerja
baru” untuk terserap dalam pasar tenaga kerja sangat tipis yang kemudian
perdampak pada pengangguran tinggi. Kesenjangan daya tampung tenaga
kerja yang disertai kesenjangan produktivitas tenaga kerja yang tajam
antara sektor industri dan sektor pertanian sekaligus menunjukkan adanya
semacam “Bottleneck” dalam pasar tenaga di Sulawesi Selatan. Sehingga
memperburuk kondisi ketenaga kerjaan dan menyebabkan semakin
tingginya angka pengangguran di daerah ini.
(3) Pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan tidak bersumber pada
fundamental ekonomi yang kuat. Sektor produksi terutama sektor industri
sangat tergantung pada impor (lihat Gambar 1, ekspor-impor total defisit).
Akibatnya sistem ekonomi rentang terhadap goncangan global seperti era
krisis ekonomi tahun 1998, sehingga berdampak pada semakin tingginya
7
pengangguran. Rapuhnya struktur perekonomian ini, tentunya juga terkait
dengan kebijakan insetif (subsidi dan protektif) selama ini, sehingga
sektor industri dalam negeri kurang kompetitif dengan dunia luar.
(4) Dari aspek sumber pertumbuhan ekonomi, khususnya dari segi permintaan
output agregat, pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan masih di
dorong oleh komponen konsumsi yang pada tahun 2003 memiliki
kontribusi sekitar 57.01 persen sedangkan investasi hanya sekitar 23.43
persen, demikian pula aspek eksternal dimana secara total ekspor- impor
masih defisit.
57.01
0.59
20.4623.07
0.365.50
(6.99)
(10.00)
-
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
Kons
.RT
Kons
. Nirla
ba
Kons.
Pem.
Pemb. M
odal
Perub
ahan
Stok
(X-M) A
ntar N
eg.
(X-M) A
ntar P
rop.
Sha
re (%
)
Gambar 1 Kontribusi komponen permintaan agregat terhadap PDRB
Sulawesi Selatan, Tahun 2003
Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh oleh konsumsi
masyarakat bukanlah pertumbuhan yang dapat mengurangi tekanan pasar
tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi yang dapat mengurangi tekanan pasar
tenaga kerja haruslah berbasiskan pada investasi yang mengarah kepada
perluasan kapasitas usaha dan produksi.
(5) Pertumbuhan perekonomian Sulawesi Selatan, dilihat dari sisi supply,
menunjukkan bahwa pertumbuhan PDRB lebih responsif terhadap
perumbuhan modal (investasi) dibandingkan terhadap pertumbuhan faktor
produksi tenaga kerja. Penomena ini tampaknya bertentangan dengan
8
“mitos” dalam perekonomian selama ini, yang menyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi akan selalu diikuti perluasan kesempatan kerja.
(5.33)
24.88
(20.61)
(30.00)
(20.00)
(10.00)
-
10.00
20.00
30.00
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
1. Pertumbuhan PDRB 2. Pertumbuhan Investasi 3. Pertumbuhan Tenaga Kerja
Per
tum
buha
n (%
)
Gambar 2 Pertumbuhan PDRB, investasi dan tenaga kerja di Sulawesi Selatan,
Tahun 1994-2003
Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh pertumbuhan modal
(investasi) yang tidak disertai pertumbuhan tenaga kerja, setidaknya menjelaskan
tiga poin utama yakni. Pertama : sektor produksi padat modal lebih berkembang
dibandingkan sektor produksi padat pekerja. Lebih berkembangnya sektor
produksi padat modal dibanding sektor yang padat pekerja, tentu tidak banyak
membantu dalam mengurangi tekanan pasar tenaga kerja. Kedua: harga relatif
dari penggunaan modal lebih murah dibandingkan penggunaan tenaga kerja, yang
berarti pula bahwa produktifitas modal lebih tinggi dibandingkan produktifitas
tenaga kerja, sehingga pengusaha cenderung menggunakan modal lebih banyak
dibanding menggunakan tenaga kerja. Rendahnya produktivitas tenaga kerja ini
menyebabkan permintaan tenaga kerja pun tidak berkembang. Ketiga:
penggunaan modal secara intensif mendorong peningkatan teknologi yang secara
umum menghemat tenaga kerja. Berikut skematis kerangka perumusan masalah.
9
Gambar 3. Kerangka perumusan masalah pasar tenaga kerja dan pertumbuh
ekonomi di Sulawesi Selatan
Berdasarkan uraian panjang diatas, maka persoalan pengangguran secara
garis besarnya terkait dengan dua permasalahan pokok, yakni permasalahan yang
berkaitan dengan pasar tenaga kerja (point 1 - 2) dan permasalahan yang berkaitan
dengan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi (point 3 – 5). Dengan mengkaji
secara dalam kedua pokok masalah trsebut, maka penelitian ini diharapkan dapat
memberi arah dalam rangka mengatasi pengangguran di Sulawesi Selatan yang
sekaligus dapat mendorong pertumbuhan ekonomi serta penyesuaian arah
industrialisasi di Indonesia pada umunya. Adapun rincian rumusan masalah yang
akan di kaji dalam studi ini adalah sebagai berikut :
Kebijakan : • Insentif : Subsidi
dan Proteksi • Menjaga inflasi dan
suku bunga rendah
Kebijakan Kompetitif Transformasi Struktural(Eko. & TK)
Kesenjangan Produktivitas dan Pengangguran
Permintaan Output Agregat
Penawaran Output Agregat
• Kons. Msy. • Kons. Pem • Investasi • Ekspor-Impor
• Tenaga Kerja. • Modal • Teknologi
Pertanian Industri Lainnya
Pasar Tenaga kerja
Produktivitas TK
Peningkatan Pertumbuhan dan pengurangan pengangguran
Kesempatan kerja
Padat modal VS Padat Pekerja
Desa Kota
Pertumbuhan Output Agregat (PDRB)
10
1. Seberapa besar kontribusi faktor produksi tenaga kerja, modal dan teknologi
terhadap pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan ?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan keragaan
pasar tenaga kerja, seperti : kesempatan kerja, angkatan kerja, pengangguran,
upah riil, migrasi tenaga kerja, dan produktifitas tenaga kerja di Sulawesi
Selatan ?
3. Apakah upah riil di Sulawesi Selatan bersifat kaku (rigid) ?
4. Bagaimana dampak perubahan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baik
dari sisi permintaan maupun dari sisi penawaran output agregat terhadap
kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan ?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis keragaan pasar
tenaga kerja dan kaitannya dengan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi di
Provinsi Sulawesi Selatan. Secara khusus penelitian ini diarahkan untuk
menjawab beberapa tujuan sebagai berikut :
1. Menghitung total factor productivity (TFP) di Sulawesi Selatan, TFP sektor
pertanian, TFP sektor industri dan TFP sektor lainnya di Sulawesi Selatan.
2. Menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan
keragaan pasar tenaga kerja di Sulawesi Selatan yang meliputi angkatan kerja,
kesempatan kerja, pengangguran, dan upah riil, migrasi tenaga kerja dan
produktivitas tenaga kerja.
3. Menganalisis indikator tingkat kekakuan upah riil sektoral di wilayah
pedesaan dan di wilayah perkotaan Sulawesi Selatan.
4. Menganalisis dampak perubahan : konsumsi rumah tangga, konsumsi
pemerintah, investasi, perubahan ekspor, impot, pendapatan asli daerah
(PAD), dan kemajuan teknologi terhadap kesempatan kerja dan pertumbuhan
ekonomi Sulawesi Selatan.
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini terdiri dari tiga point utama
yakni sebagai berikut :
(1) Dari segi pengembangan ilmu : studi ini akan menggunakan pendekatan
makro dan mikro ekonomi dalam menkaji mengenai pasar tenaga kerja dan
11
pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan. Dari aspek model analisis, studi
ini akan menggunakan pemodelan ekonometrika dalam bentuk persamaan
simultan. Dalam model tersebut sumber-sumber pertumbuhan baik dari sisi
permintaan agregat maupun dari sisi penawarannya diinterna lisasikan dalam
pemodelan pasar tenaga kerja. Dengan demikian studi ini diharapkan dapat
memperkaya kajian ketenaga kerjaan di Indonesia pada umumnya
(2) Dari segi informasi: dapat dijadikan bahan informasi yang dapat
menjelaskan keragaan pasar tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi di
Sulawesi Selatan serta berbagai hambatan pembangunan dalam rangka
memacu pertumbuhan ekonomi dan mengatasi pengangguran di Sulawesi
Selatan. Studi ini sekaligus dapat dijadikan acuan untuk penitian
selanjutnya.
(3) Dari segi terapan: dapat menjadi bahan pertimbangan bagi penentu
kebijakan untuk merumuskan langkah strategis dalam rangka
menanggulangi pengangguran, dan pemulihan ekonomi serta penyesuaian
arah pergeseran struktural (industrialisasi) di Sulawesi Selatan khususnya
dan Indonesia pada umumnya.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Ruang lingkup analisis dalam penelitian ini adalah skala regional.
Penelitian ini menggunakan model ekonometrika. Dalam mengkaji model, tenaga
kerja didisagregasi berdasarkan wilayah kota dan desa serta didisagregasi menurut
klasifikasi tiga sektor, yaitu sektor pertanian, industri pengolahan dan sektor
lainnya. Sektor pertanian yang dimaksudkan adalah pertanian dalam arti luas yang
meliputi sub sektor tanaman pangan, perikanan, peternakan, perkebunan dan
kehutanan. Sektor industri pengolahan mencakup industri pengolahan tampa
migas. Sektor lainnya mencakup, sektor bangunan termasuk pertambangan dan
penggalian, listrik, gas, dan air bersih, pengangkutan dan komunikasi,
perdagangan, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, administrasi pemerintah
dan pertahanan, serta jasa-jasa lainnya.
Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini adalah: Model analisa
ekonometrika hanya menggunakan indikator- indikator makro seperti nilai tambah
12
bruto sektoral, investasi, upah riil, inflasi dan PDRB. Jenis migrasi yang dianalisis
adalah migrasi masuk kabupaten/kota yang diagregasi pada tingkat Provinsi di
Sulawesi Selatan. Data tenaga kerja seperti kesempatan kerja, angkatan kerja dan
pengangguran yang dianalisis adalah data berdasarkan hasil Sakernas (BPS, tahun
1985 - 2004). Selain itu, penelitian ini memiliki keterbatasan dalam kajian mikro,
sehingga perilaku dari berbagai komponen pelaku pasar tenaga kerja tidak dapat
dikaji secara mendalam.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Industrialisasi dan Transformasi Struktur Ekonomi dan Tenaga Kerja
Pembahasan yang sistematis mengenai perubahan struktur produksi dan
struktur kesempatan kerja yang menyertai pertumbuhan ekonomi di mulai oleh
Fisher (1935) yang mengatakan bahwa, pertumbuhan ekonomi biasanya disertai
dengan pergeseran permintaan dari sektor primer ke sektor sekunder dan akhirnya
bergeser lagi ke sektor tersier. Pergeseran tersebut akan mengakibatkan terjadinya
perubahan dalam struktur produksi yang sesuai dengan pergeseran dalam
permintaannya, yaitu melalui pergeseran dalam kesempatan kerja dan alokasi
dana dari sektor primer, ke sektor sekunder dan akhirnya ke sektor tersier. Hal
serupa juga terungkap dari hasil studi Kuznets, bahwa peran industri di negara-
negara maju secara umum sudah melebihi 30 persen dari produk nasional. Proses
pertumbuhan industri itu disertai oleh penyerapan 35 persen dari angkatan kerja.
Sedangkan angkatan kerja yang masih tergantung di sektor pertanian hanya
meliputi 5 hingga 10 persen.
Guna menguji ke absahan hipotesis Fisher tersebut, Noor (1991) meneliti
mengenai perubahan struktur produksi yang menyertai pertumbuhan ekonomi di
Indonesia. Noor, mengkaji perubahan yang terjadi antara daerah provinsi dengan
menggunakan model yang pernah digunakan Chanary dan Syrquin (1975) ketika
mereka melakukan penelitian di sejumlah negara berkembang mengenai
pergeseran struktur ekonominya selama kurun waktu 1950-1970. Model tersebut
diduga dengan multiple regression analysis. Noor, menyimpulkan bahwa hanya
sebagian daerah Provinsi di Indonesia yang menerima hipotesis Fisher, yaitu
terdapat hubungan yang negatif antara pergeseran sektor primer dengan
pertumbuhan pendapatan nasional atau pendapatan perkapita, (Juanda, 2001).
Tampaknya pergeseran struktur ekonomi dan struktur tenaga kerja yang
menyertai proses industrialisasi di Indonesia menunjukkan trend berbeda dengan
pergeseran ala Fisher dan Kuznets. Transformasi struktural yang tejadi di
Indonesia ditunjukkan trend peningkatan yang tajam kontribusi sektor industri
dalam struktur ekonomi nasional, tetapi tidak disertai peningkatan yang signifikan
dalam struktur tenaga kerja nasional. Pada tahun 1980 sektor industri pengolahan
14
memberikan kontribusi sebesar 11.6 persen meningkat menjadi 26.1 persen tahun
2003, atau secara total kelompok industri (termasuk sektor pertambangan dan
bangunan) memberikan kontribusi sekitar 41.3 persen, akan tetapi penyerapan
tenaga kerjanya yang pada tahun 1980 sebesar 12.1 persen hanya meningkat tipis
yakni kurang dari 20 persen pada periode sebelum krisis ekonomi, bahkan pada
tahun 2003 hanya menyerap sekitar 12.8 persen. Sementara sektor pertanian pada
tahun yang sama (2003) dengan kontribusi sekitar 15.8 persen dalam PDB harus
menampun tenaga kerja sekitar 46.3 persen dalam strktur tenaga kerja nasional.
Gambaran dari transformasi struktural yang menyertai proses industrialisasi di
Indnesia, secara implisit memperlihatkan ketimpangan dalam kehidupan sosial
ekonomi masyarakat, jika dibiarkan akan semakin memperbesar kesenjangan.
Selain itu, Margono (2005) menyebutkan bahwa perubahan struktural yang
berlangsung di Indonesia memperlihatkan ketidakmatangan transformasi, karena
prosesnya terlalu dipercepat sehingga menyebabkan sektor industri nasional tidak
berkembang dengan baik. Perkembangan industri banyak dilakukan melalui
proteksi-proteksi oleh pemerintah terhadap sektor industri. Menurutnya, walaupun
perkembangan sektor industri, yang dipacu oleh kebijakan pemerintah, cukup
tinggi, namun bukan bersumber dari fundamental perekonomian yang kuat. Sektor
tersebut sangat tergantung pada impor, khususnya barang modal, input antara, dan
bahan baku, demikian pula terlalu tergantung kepada kapital dan teknologi dari
luar, akibanyanya sangat rentang terhadap perubahan ekonomi global yang
berubah secara dinamik.
Aziz (1990) pernah mengkaji perubahan struktural dalam perekonomian
Indonesia di masa lalu dengan menggunakan pendekatan yang di dasarkan pada
perubahan struktural menurut 3 jenis proses, yaitu proses alokasi, akumulasi serta
demograsi dan distribusi; selain itu juga diperhitungkan masalah penyusutan
sumberdaya alam. Namun analisa kuantitatif yang digunakan untuk mengamati
proses perubahan tiap peubah hanya melalui dimensi waktu sehingga perkiraan
perubahan struktural di masa depan hanya merupakan hasil dari pendekatan model
proyeksi, bukan model perencanaan.
Mengenai kaitan pertumbuhan ekonomi dengan ketenaga kerjaan di
Indonesia, Ninasapti (2005) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang
15
tinggi di Indonesia pada periode 1990-1996 menghasilkan tambahan lapangan
kerja yang tidak jauh berbeda dengan pada saat pertumbuhan ekonomi rendah
dalam periode 2000-2002. Temuan ini menurutnya berbeda dengan berbagai
pernyataan yang merupakan ”mitos” dalam perekonomian bahwa jika
pertumbuhan ekonomi cukup tinggi maka akan terjadi penciptaan lapangan kerja
yang tinggi pula. Menurutnya sumber pertumbuhan pekerja akan sangat
tergantung kepada jenis usaha yang dikembangkan. Pengembangan sektor usaha
padat modal akan mengakibatkan penyerapan pekerja yang lebih kecil daripada
pengembangan sektor usaha yang padat karya, walaupun dari sisi pertumbuhan
PDB akan lebih tinggi.
Selanjutnya Ikhsan (2005) menunjukkan bahwa berdasarkan pada analisis
I-O dan seri pendapatan nasional, secara jelas menunjukkan adanya penurunan
dalam pangsa industri padat karya. Pangsa industri padat karya mengalami
penurunan dari 16.9 persen pada tahun 1995 menjadi 13.4 persen pada tahun
2000. Diantara industri padat karya tersebut penurunan terbesar terjadi pada
industri tekstil dan pakaian jadi yang menurun dari 4.2 persen menjadi 2.8 persen
pada tahun 2000. Sebaliknya pangsa industri permesinan mengalami peningkatan
dari 16.0 persen (1995) menjadi 20.8 persen (2000). Pertanyaan yang harus
dijawab, menurut Ikhsan, adalah apakah trend ini memang merefleksikan pola
normal dalam perubahan struktural atau sebaliknya mencerminkan distorsi dalam
pasar faktor produksi atau pasar output yang kemudian menimbulkan disalokasi
sumberdaya. Jika yang terakhir terjadi, maka gejala akselerasi pertumbuhan yang
sudah mulai ini tidak akan berumur panjang dan dalam waktu tidak begitu lama
akan terjadi perlambata laju pertumbuhan ekonomi dan kemudian mendorong
proses ”deindustrialisasi” di Indonesia.
Oleh karena itu, dalam rangka pemulihan ekonomi dan upaya penyesuaian
struktural perekonomian nasional, maka strategi pembangangunan di Indonesia ke
depan, tentunya tidak lagi hanya sekedar mencapai pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, tetapi diharapkan pertumbuhan ekonomi nasional dapat berkualitas dan
berkelanjutan. Hal ini dapat dicapai apabila pertumbuhan ekonomi nasional
bersumber dari fundamental ekonomi yang kuat, sehingga dapat menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi disertai penyerapan tenaga kerja yang tinggi
16
pula. Oleh karena itu stud i ini yang akan mengkaji sumber-sumber pertumbuhan
disertai kajian aspek pasar tenaga kerja dalam rangka mendorong pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan perluasan kesempatan kerja di anggap relevan dengan
upaya proses penyesuaian struktural yang dimaksud.
2.2. Model-Model Pertumbuhan Ekonomi
Prof. Simon Kuznets, mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebaga i
“kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan
semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya; kemampuan
ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan
ideologis yang diperlukannya”. Lebih lanjut Kuznets menunjukkan enam ciri dari
pertumbuhan modern. Dari ke enam ciri tersebut dua diantaranya adalah
kuantitatif yang berhubungan dengan pertumbuhan produk nasional dan
pertumbuhan penduduk, kemudian dua yang berhubungan dengan peralihan
structural dan dua yang berkaitan dengan penyebaran internasional, (Jhingan,
1999).
Menurut Mankiw (2003) untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, para
ekonom menggunakan data produk domestic bruto (GDP), yang mengukur output
barang dan jasa total suatu negara dan pendapatan total setiap orang dalam
perekonomian. Pada bagian lain Mankiw, menyebutkan output barang dan jasa
suatu perekonomian (GDP) bergantung pada (1) jumlah input, yang disebut
factor- faktor produksi, (2) kemampuan untuk mengubah input menjadi output.
GDP yang di tentukan dari kedua factor tersebut disebutkannya sebagai sisi
penawaran dari pendapatan nasional (GDP). Selanjutnya output atau GDP dari sisi
penggunaannya terdiri dari konsumsi (C) , Investasi (I), Pembelian pemerintah
(G) dan Ekspor netto (NX). GDP dari sisi penggunaannya disebut sebagai sisi
permintaan dari pendapatan nasional.
Teori pertumbuhan ekonomi, telah diuraiakan oleh banyak ahli dengan
cara pengklasifikasian yang berbeda-beda. Rasidi, 1991 dalam Hadi (2001)
menyebutkan bahwa terdapat tiga kategori dalam perkembangan teori
pertumbuhan ekonomi. Kategori pertama, menyatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi adalah proses pertumbuhan seluruh masyarakat, tidak hanya bidang
17
ekonomi, tetapi termasuk pertumbuhan bidang sosial, politik, psikologi
masyarakat. Kategori kedua menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah
termasuk dalam teori ekonomi pembangunan, khususnya dalam mengatasi
permasalahan pembangunan ekonomi negara-negara sedang berkembang.
Sedangkan kategori ketiga disebut sebagai tori modern dalam pertumbuhan
ekonomi, yaitu termasuk ke dalam model Keynesian. Tidak seperti ke dua
kategori sebelumnya maka model keynesian bisa disebutkan sebagai murni teori
ekonomi. Sedangkan Kasliwal (1995) membagi dua kategori teori pertumbuhan
yakni (1) model pertumbuhan clasik (Classical Growth Models) dan (2) model
pertumbuhan modern (Modern Growth Models). Yang termasuk dalam model
klasik adalah pertumbuhan Ricardian (Ricardian growth) dan model Lewis (The
Lewis Model), sedangkan yang tergolong dalam teori pertumbuhan modern adalah
Model Harrod-Domar, Pertumbuhan Model Solow, Pertumbuhan endogenous.
Terlepas dari berbagai pengklasifikasian teori pertumbuhan tersebut, maka berikut
ini diuraikan beberapa model pertumbuhan sebagai berikut.
2.2.1. Pertumbuhan Ricardian
Model pertumbuhan Ricardian (Ricardian Growth) adalah model teoritis
yang menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang dikembangkan oleh David
Ricardo, Thomas Malthus, dan Adam Smith di akhir abad kedelapanbelas. Model
klasik ini mempunyai dua unsur penting, yakni : (1) Sumber daya alam dianggap
sebagai constraint utama untuk pertumbuhan. Teori ini menganggap bahwa
produktivitas marjinal tenaga kerja merosot ketika lebih banyak lahan digunakan
dalam produksi. (2) Unsur utama lainnya di dasarkan pada gagasan Malthusian
bahwa populasi meningkat secara endogen dengan output. Apabila output tumbuh,
populasi juga akan meningkat sampai rata-rata konsumsi turun pada tingkat yang
subsisten.
Implikasi utama dari model pertumbuhan klasik bahwa dari waktu ke
waktu, ekspansi output melambat karena produktivitas marjinal yang menurun
dari tenaga kerja pada lahan tertentu. Semakin banyak tenaga kerja yang
dipekerjakan, maka tambahan output (extra output) akan terus meningkat hingga
mencapai tingkat subsistensi. Akhirnya keuntungan juga tertekan, dengan
18
demikian investasi berhenti. Kondisi ini kemudian disebutkannya sebagai keadaan
stationer (stationary state), di mana garis konsumsi subsisten dan garis output
berpotongan.
Ekonomi klasik menganggap bahwa sekalipun kemajuan teknologi
berlangsung, perekonomian akan tetap mencapai keadaan stasioner (stationary
state). Dengan asumsi itu, model Ricardian mempunyai implikasi bahwa dalam
jangka panjang, konsumsi per kapita tenaga kerja akan kembali pada tingkat yang
subsisten. Ketika permintaan untuk makanan naik bersama populasi, harga pangan
akan naik secara relatif untuk harga barang-barang pabrik. Dan karena upah
subsisten harus dibelanjakan makanan, laba pabrikasi akan ditekan sampai
investasi berhenti.
Salah satu kemungkinan untuk keluar dari stagnasi klasik adalah jika
pangan dapat diimport pada suatu harga tertentu, sehingga sektor industri dapat
berkembang secara esensial. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa, pada
hakekatnya, aplikasi model Ricardian hanya untuk perekonomian tertutup, atau
bahkan lebih baik, perekonomian besar di mana pengaruh dunia dipastikan kecil.
Cara penting lainnya untuk melepaskan tingkat subsistensi dari keadaan stationary
adalah menumbuhkan produktivitas pertanian secara terus menerus pada suatu
tingkat pertumbuhan yang lebih cepat dari pertumbuhan populasi.
Menurut Kasliwal (1995) bahwa model ini menuai banyak kritik dari
banyak ahli, terutama pada asumsi Malthusian, bahwa populasi tumbuh secara
endogen dengan output. Populasi tidak secara otomatis tumbuh sebagai
konsekwensi dari pertumbuhan pendapatan. Selain itu dianggap mengabaikan
pengaruh teknologi, karena menganggap bahwa kemajuan seperti itu tidak bisa
melebihi langkah perluasan populasi pada jangka panjang.
2.2.2. Model Lewis
Menurut Kasliwal (1995) model Lewis tentang surplus tenaga kerja
dikenal sejak tahun 1950an, dan dipandang memberikan kontribusi penting dalam
pengembangan teori ekonomi pembangunan, terutama karena elaborasinya
mengenai ekonomi dua sektor (dual economy) yang terdiri (1) sektor tradisional
dan (2) sektor modern. Lewis membuat asumsi bahwa lahan yang terbatas
19
menyebabkan produk marjinal tenaga kerja pertanian menurun. Tetapi membuang
asumsi Malthusian bahwa populasi akan tumbuh secara endogen.
Model Lewis (1954) percaya bahwa sebagian besar negara-negara
berkembang memiliki banyak tenaga kerja yang setengah menganggur
(underemployed) dengan tingkat upah sekedar cukup untuk hidup (subsisten).
Tenaga kerja tersebut dapat di tempatkan untuk bekerja dalam suatu sektor baru
yang dinamis untuk menghasilkan pertumbuhan. Lewis mencatat bahwa sektor
pertanian mempunyai banyak surplus tenaga kerja seperti itu. Ketika pekerja
marginal ditransfer dari pertanian ke sektor industri yang lebih produktif, output
agregat mengalami loncatan peningkatan.
Beberapa implikasi dalam Model Lewis dapat dilihat di Gambar 4.
Gambar ini dibangun dengan memutar balik kurva tenaga kerja pertanian dan
memasang di sisi sebelah kanan kurva sektor industri. Kita dapat lihat bagaimana
tenaga kerja dipekerjakan di industri L1, dan tenaga kerja pertanian LA
menambahkan sampai kepada total angkatan kerja. Ketika industri berkembang,
upah tetap konstan sampai semua surplus tenaga kerja diserap; baru setelah itu
upah mulai naik secara keseluruhan.
Model itu menyiratkan adanya akumulasi modal yang terus menerus,
paling tidak sampai surplus tenaga kerja dihabiskan. Sepanjang tingkat upah tetap
rendah, ratio modal/tenaga kerja yang digunakan di dalam industri juga tetap
konstant. Jadi tingkat pengembalian (rate of return) atas modal tetap tinggi,
Sumber : Kasliwal, (1995)
Gambar 4. Model Lewis
20
dengan demikian memberi harapan investasi terus berlanjut. Implikasi kebijakan
yang cukup kuat dari Model Lewis adalah :
(1) Sektor industri harus di dorong khusus, mungkin merangsang ketertarikan
kapitalis asing yang ingin menginvestasikan modalnya karena adanya
tingkat upah yang rendah. Sebagai alternative pemerintah dapat melakukan
intervensi untuk merangsang (stimulate) industri domestic yang pada
awalnya dilindungi dari kompetisi import. Dengan kata lain, industri dapat
dimulai dengan industri substitusi impor (import-substituting-
industrialization).
(2) Tabungan yang tersedia untuk investasi bagi para pemodal (capitalists),
harus di dorong khusus. Rangsangan yang penting adalah menjamin suatu
tingkat keuntungan industri yang lebih tinggi dengan memastikan bahwa
upah tentu saja tetap rendah, sampai pada akhirnya semua surplus tenaga
kerja dihabiskan. Pada garis besarnya hal ini dilakukan dengan perpajakan
atau harga pangan yang murah dan mengalihaknnya ke industri.
(3) Tingkat pertumbuhan populasi (dan pertumbuhan angkatan kerja) harus
dikendalikan agar lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penyerapan tenaga
kerja (employment) yang diciptakan oleh perluasan industri. Jika tenaga
kerja (labor) tumbuh lebih cepat dari penyerapan potensi nya ke dalam
industri, penentuan titik peningkatan upah atau pengurangan pengangguran
tidak pernah dicapai.
Model Lewis dikritik karena berbagai kegagalan dalam pengalaman
pembangunan di Negara berkembang. Kenyataannya upah industri terus
meningkat bahkan sebelum banyak surplus tenaga kerja pedesaan diserap.
Sementara penciptaan lapangan kerja industri mengecewakan, tenaga kerja
migrasi dari pedesaan ke wilayah perkotaan terus berlanjut. Urbanisasi yang
berlebihan ini telah mendorong suatu permasalah baru di Negara berkembang.
Suatu kritik yang lebih serius diarahkan pada model ini adalah implikasinya yang
bias terhadap pertanian dan lebih menyokong industri. Kebijakan yang bias seperti
itu kelihatannya telah menekan pertumbuhan perekonomiana secara keseluruhan
di banyak Negara berkembang. Model Lewis, juga mengabaikan kemungkinan
21
kemajuan teknologi dalam pertanian. Lewis tidak membayankan kesuksen yang
spektakuler seperti kesuksean Revolusi Hijau.
Revolusi Hijau yang tak diduga di sekitar 1970an telah meningkatkan
produktivitas marjinal tenaga kerja pertanian seperti ditunjukkan pada Gambar-5.
Peningkatan tingkat upah ini secara independent dari aktivitas industri. Teknologi
baru secara efektif mengurangi kendala lahan yang terbatas. Model Lewis telah
mendorong suatu sikap yang pengabaian pertanian yang ramah (benign). Bahkan
yang lebih buruk adalah mendorong kebijakan yang bias terhadap pertanian
dengan mendorong perpajakan dari sektor ini dan terus mentransfer ke sektor
industri. Pelajaran baru dari revolusi hijau adalah bahwa pembangunan pertanian
itu tidak bisa diabaikan. Keadaan pertanian yang tangguh nampaknya menjadi
suatu prasyarat penting untuk pembangunan industri.
Secara historis pertumbuhan industri menunjukkan bahwa setelah dua
generasi dari pembangunan sektor ini belum secara signifikan menghabiskan
surplus tenaga kerja yang tersedia di Negara berkembang. Penduduk yang
bermigrasi ke kota seperti disiratkan oleh model Lewis, tetapi tidak semua
tertampung pada pekerjaan industri di sana. Tingkat penyerapan tenaga kerja
dalam aktivitas produksi lain tidak memadai bagi tenaga kerja yang dilepas dari
pertanian. Penyebab utamanya mungkin dari penggunaan metode teknologi yang
hemat tenaga kerja (labor saving) karena berbagai alasan. Seperti pemerintah
Gambar 5. Model Lewis Dinamis Sumber : Kasliwal, 1995
22
yang bertujuan untuk mendorong industri, mereka sering melebih- lebihkan
insentif untuk investasi. Modal yang dibuat jadi murah (artificially-cheapened)
telah merangsan perusahaan untuk menggunakan teknik padat modal yang
berlebihan. Lebih dari itu, industri tergantung pada teknologi import dari negara
maju yang pada umumnya hemat tenaga kerja dan tidak sesuai bagi negara
berkembang dengan surplus tenaga kerja.
Selain itu Model Lewis dianggap dapat memperburuk distribusi pendapatan
yang saat ini semakin dipandang sebagai suatu masalah serius untuk
pembangunan di negara berkembang. Model Lewis mengasumsikan bahwa upah
industri akan (dan perlu) tetap sedikit lebih tinggi dibanding upah subsisten di
pertanian. Perbedaan upah ini diperlukan untuk mengimbangi biaya hidup yang
lebih tinggi di perkotaan, terutama karena migrant kehilangan semua pekerjaan
penyokong yang tersedia di pedesaan. Tetapi dalam kenyataan empiris,
kesenjangan upah telah bervariasi secara dramatis dari waktu ke waktu dan pada
semua negara. Sepanjang tahun 1960an dan awal 1970an, upah industri
membumbung tinggi dalam hubungannya dengan upah pertanian pada sebagian
besar negara berkembang, sehingga kesenjangan upah dilebarkan dengan baik
sebelum full employment dicapai.
2.2.3. Model Harrod-Domar
Menurut Kasliwal (1995) bahwa Model Harrod-Domar menganggap
bahwa, lahan dan pertanian mulai kehilangan peran ekonomi utamanya setelah
pertumbuhan pertanian terdesak oleh pertumbuhan populasi secara meyakinkan.
Sejak era revolusi industri, ketika industri mengalami pertumbuhan pesat
berdasarkan akumulasi modal dibandingkan berdasarkan sumber daya alam yang
terbatas, suatu pandangan baru telah berkembang menyangkut faktor penentu
pertumbuhan ekonomi, dimana modal dianggap input yang paling significant
untuk peningkatan output. Model Harrod Domar merumuskan dua asumsi yang
krusial :
1. Produksi tergantung pada modal (Production depends on capital).
Kv
Y ∆=∆1
23
dimana =∆∆
=YK
v Incremental capital output ratio (ICOR)
2. Akumulasi modal tergantung pada pendapatan (Capital accumulation depends
on income)
Tabungan S = s . Y,
Dimana s = Kecenderungan tabungan (savings propensity)
Persamaan pertama menunjukkan bahwa pertambahan (increment) dalam
stok modal K menghasilkan suatu pertambahan output tertentu. Efektivitas modal
tercermin di dalam parameter ICOR v. Tercatat bahwa peranan tenaga kerja
tidaklah dinyatakan karena dianggap bukan sebagai kendala yang membatasi.
Persamaan yang kedua menyatakan bahwa modal itu terakumulasi melalui
tabungan domestik, yang secara sederhana merupakan fraksi (fraction) tertentu, s,
dari output. Penyederhanaan asumsi bahwa investasi dibiayai semata-mata oleh
uang tabungan domestik menyiratkan : KIS ∆== dengan mensubstitusi faktor
ini dalam persamaan pertama kita lihat bahwa
Ysyv .=∆
Jadi, Tingkat pertumbuhan GNP adalah
vs
YY
=∆
Persamaan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat tabungan, maka
semakin tinggi tingkat pertumbuhan output yang dihasilkan oleh investasi
produktif. Nilai v yang kecil berarti bahwa negara itu menggunakan modal secara
efisien.
Beberapa implikasi dari Model Harrod-Domar nampak bertentangan
dengan bukti empiris dunia nyata. Salah satunya adalah implikasinya bahwa
output harus tumbuh pada tingkat yang sama dengan modal dalam jangka
panjang. Ini terlihat dari hubungan yang konstan antara output dan modal :
KvY 1= . Ratio modal/output yang konstan menyiratkan bahwa persentase
perubahan persediaan modal dan output harus sama. Studi yang dilakukan dengan
menghitung pertumbuhan negara-negara berkembang menemukan bahwa
pertumbuhan pendapatan lebih tinggi dari pertumbuhan modal bersih ( KY ˆˆ > ).
Oleh karena itu adalah tidak benar bagi Harrod-Domar untuk berasumsi bahwa
24
peningkatan modal menjadi satu-satunya sumber, atau sumber utama,
pertumbuhan. Dengan jelas sumber pertumbuhan yang penting lainnya
digolongkan dalam parameter v, seperti pertambahan tenaga kerja produktif,
ketrampilan, peningkatan teknologi, dan lainnya.
Model Harrod-Domar yang mengasumsikan ratio K/L yang tetap, juga
dikritik sebab pertumbuhan yang disiratkannya dilihat seperti tidak stabil
pembawaannya. Ketidakstabilan ini muncul dari ketidak cocokan (mismatch)
antara tingkat pertumbuhan modal dan angkatan kerja. Tidak ada alasan bagi
tingkat pertumbuhan tenaga kerja akan sama pertumbuhan output (asumsi
pertumbuhan modern : tenaga kerja independent terhadap pertumbuhan output),
kecuali oleh kejadian yang kebetulan. Jadi pertumbuhan L harus pula berbeda
dengan pertumbuhan K, dengan demikian akan menyebabkan salah satu dari dua
hal berikut terjadi: (1) pengangguran, atau (2) perubahan dalam perbandingan
modal/tenaga kerja. Kondisi pertumbuhan yang tidak sehat seperti itu akan
menyebabkan siklus yang kronis.
Pertumbuhan model Harrod-Domar dilukiskan pada Gambar-6. Sumbu
vertikal dapat ditafsirkan sebagai output per pekerja dan sumbu horisontal sebagai
persediaan modal per pekerja : yakni ratio K/L. Fungsi produksi menunjukkan
output meningkat secara linier dengan K. Secara implisit hal ini mengasumsikan
bahwa terdapat tenaga kerja yang menganggur yang terletak di bawah titik tenaga
kerja penuh (full employment). Tingkat output yang diproduksi seperti
ditunjukkan oleh garis yang benkok OY dan tabungan yang merupakan pecahan
sisa dari output seperti itu ditunjukkan oleh garis putus-putus OS. Ini digambar
secara proporsional di bawah kurva output menurut tingkat tabungan.
Mengingat bahwa model pertumbuhan modern itu berasumsi bahwa
tenaga kerja tumbuh- secara exogenous pada suatu tingkat output n% per tahun.
Untuk pertumbuhan berimbang (balanced growth), ratio K/L harus tetap konstan,
juga pertumbuhan persediaan modal harus tidak melebihi pertumbuhan angkatan
kerja. Modal juga harus tumbuh pada tingkat yang sama dengan n, sehingga
investasi harus K = I = n K seperti ditandai oleh garis lurus I = nK, sepanjang
mana ratio K/L tetap konstan. Juga, untuk keseimbangan (equilibrium) kita harus
mempunyai tabungan yang sama dengan investasi. Pertumbuhan berimbang
25
seperti itu hanya dapat terjadi pada titik 0 atau B. Ketika 0 menandai tidak adanya
output (zero output), keseimbangan pada B juga tidak masuk akal (implausible)
karena berada di luar F. Jika tabungan berada di bawah investasi yang diperlukan,
ekonomi akan bergerak ke arah keseimbangan lain pada 0, yang tidak masuk akal.
Model Harrod-Domar menyiratkan bahwa proses pertumbuhan pasti tidak
stabil secara terus menerus (chronically), tetapi dalam pengalaman kita seperti
crises tidaklah endemik walaupun pertumbuhan tenaga kerja dan modal berjalan
pada tingkat yang sungguh berbeda.
2.2.4. Mode l Perumbuhan Solow
Model pertumbuhan neoklasikal pertama dirumuskan oleh Solow pada
tahun 1950an. Model ini menekankan bahwa banyak input dapat dengan bebas
disubstitusikan satu sama lain dalam suatu fungsi produksi untuk meningkatkan
output. Persediaan secara relatif dari faktor- faktor akan berubah bersama
pertumbuhan ekonomi yang mendorong ke arah suatu perubahan dalam harga
relatifnnya. Sebagai reaksi, produsen mensubstitusi antara berbagai input. Jadi
ratio K/L dianggap tidak konstan dalam model neoklasikal. Model neoklasikal
Solow terdiri dari unsur-unsur berikut .
),( LKFY =
Sumber : Kasliwal, 1995
Gambar 6 Model Harrod-Domar
26
Fungsi produksi menggambarkan kondisi penawaran (supply), di mana output
adalah suatu fungsi dari berbagai input. Fungsi ini mempunyai produksi marginal
(MP) yang menurun (diminishing) dari tiap faktor produksinya
0dX
,02
2
<>Fd
dXdF
di mana X mewakili masing-masing faktor K, L
Terlihat bahwa keduanya tenaga kerja dan modal dapat digunakan untuk
menghasilkan output. Jika tenaga kerja menjadi berlimpah, teknik produksi
berubah untuk menggunakan lebih banyak tenaga kerja dalam hubungan dengan
penggunaa modal. Model neoklasikal menekankan bahwa kemampuan
memsubstitusi (substitutability) faktor berlangsung dalam merespon perubahan
harga factor relatif, Pk / PL.
Model pertumbuhan neoklasikal membuat asumsi bahwa tingkat
pertumbuhan tenaga kerja L ditentukan secara exogenous. Jika persediaan modal
tumbuh pada tingkat yang lebih cepat, ratio K/L akan cenderung meningkat.
Tetapi ketika peningkatan jumlah modal yang digunakan oleh masing-masing
pekerja, produk marjinal modal akan menurun. Sebagai konsekwensinya
pertumbuhan output akan lambat, dan akumulasi modal juga akan merosot. Suatu
implikasi penting dari Model Solow adalah bahwa dengan mengabaikan tingka
tabungan, pertumbuhan output pada akhirnya akan hanya sama tingkat
pertumbuhan tenaga kerja. Pendapatan per kapita akan tetap konstan seperti akan
ratio K/L. Ini adalah suatu kondisi pertumbuhan yang mapan (steady state) di
mana K dan L tumbuh pada tingkat yang sama.
YLK ˆˆˆ ==
Gambar-7 menggambarkan elemen-elemen proses pertumbuhan itu. Sumbu datar
merupakan ratio K/L sebagai k. Pada sumbu yang lain dilukiskan bagaimana
output per kapita Y/L bereaksi dengan perubahan k. Ketika intensitas modal
meningkat, output tumbuh, tetapi pada tingkat yang semakin menurun karena
kemerosotan MPK. Pertumbuhan tabungan juga lambat, seperti ditunjukkan oleh
garis putus-putus. Garis ini ditarik di bawah output pada suatu proporsi tertentu
yang menjadi tingkat tabungan s. Garis ke tiga, yang lurus, ditarik untuk
menunjukkan kenaikan K yang diperlukan untuk menjaga ratio K/L yang konstan.
Pertumbuhan ekonomi pada akhirnya akan sampai pada titik B, di mana tingkatan
27
tabungan sama dengan tingkat investasi, kondisi ini disebutkannya sebagai
kondisi mapan (steady state). Pertumbuhan kondisi mapan (steady state) berlanjut
tanpa pengangguran baik K ataupun L karena pemakaian dari faktor ini
melakukan penyesuaian dengan lebih ketat, karena itu pertumbuhan stabil
memungkinkan dalam model Solow.
Pada pertumbuhan kondisi mapan (steady state growth), k = L sehingga
ratio K/L stabil. Ratio ini disebut teknik produksi. Penggunaan teknik berubah
sebagai respon atas perubahan endogin dalam harga faktor relatif, yang, pada
gilirannya, mencerminkan perubahan kelangkaan relatif faktor itu.
Sekalipun begitu model neoklasikal mempunyai suatu implikasi yang tidak
masuk akal (implausible): Dengan mengabaikan tingkat seving, ekonomi pada
akhirnya berada (settle) pada suatu tingkat pendapatan per kapita yang konstan.
Sehingga peningkatan tingkat tabungan hanya akan mempercepat pertumbuhan
yang bersipat sementara. Kesimpulan ini muncul karena semakin banyak
akumulasi modal, percepatan menyebabkan produksi marjinal modal yang
semakin menurun (diminishing marginal product of capital). Model Solow
menyiratkan pertumbuhan cepat hanya dalam kasus di mana persediaan modal
kecil. Sementara data empiris menunjukkan bahwa bagi negara-negara termiskin
justru memiliki pertumbuhan yang paling lambat pula.
Sumber : Kasliwal, 1995 Gambar 7. Model pertumbuhan neoklasik
28
Model Solow telah dikritik seperti tidak sesuainya bagi konteks
pembangunan karena didasarkan pada asumsi neoklasikal yang bersandar pada
efisiensi pasar. Ahli ekonomi structuralist (seperti Lance Taylor di MIT dan Hollis
Chenery di Harvard) menunjukkan berbagai kegagalan pasar yang terjadi di
negara berkembang: (1) Harga tidak melakukan penyesuaian secara bebas, dan (2)
agen ekonomi merespon secara lambat terhadap perubahan harga yang terjadi.
Kegagalan pasar telah tersebar luas dan berkaitan dengan keterbatasan informasi,
eksternalitas, skala peningkatan hasil yang semakin meningkat, dan cara alokasi
yang tidak melalui pasar (non-market), yang lebih muda diterapkan. Lebih lanjut,
ketika pemerintah campurtangan, mereka sering menciptakan yang bahkan lebih
penyimpangan. Apapun sumber kegagalan pasar mereka, hal itu pasti benar
bahwa factor distorsi pasar dapat terjadi secara serius di negara berkembang.
Barangkali yang paling kritis adalah ketidak sempurnaan pasar tenaga kerja
tersebar luas di mana tenaga kerja menerima upahnya lebih besar dari upah pasar
bebasnya.
Model pertumbuhan neoklasikal juga dikritik pada penekanannya atas
keseimbangan ketika pemakaian faktor diasumsikan untuk berubah secara
perlahan dalam merespon perubahan harga faktor. Pada kenyataannya
ketakseimbangan yang dinamis mungkin jauh lebih penting. Pertumbuhan
ekonomi yang lebih masuk akal ditandai ketika proses kemajuan teknologi yang
tersentak-sentak oleh adaptasi dan penemuan. Proses ini diatur terutama sekali
oleh insentif innovator dan usahawan, yang, pada gilirannya, merupakan suatu
fungsi kendala yang melekat dalam kerangka kelembagaan masyarakat. Kemajuan
teknologi dilukiskan sebagai pergeseran yang menaik dari keseluruhan fungsi
produksi.
2.2.5. Model Pertumbuhan Endogenous
Model pertumbuhan endogen modern bertujuan untuk menghilangkan
asumsi exogen dari kemajuan teknologi. Dimana kemajuan teknologi ini di
lambangkan sebagai peningkatan produktivitas Y/L. Kasliwal (1995) menyatakan
tiga versi model yang berkaitan peningkatan produktivitas dengan alasan yang
29
berbeda: (1) spillovers, (2) difusi, dan (3) investasi sumberdaya manusia (human
capital investment)
Sebagai permulaan model Romer mengungkapkan keseluruhan kemajuan
tehnis yang terjadi disebabkan karena adanya limpahan (spillover) pengetahuan
dari peningkatan stock modal. Jadi investasi individu - atau pengeluaran riset
(research expenditures) – menghasilkan suatu eksternalitas positif sebagai
dorongan secara teknis terhadap keseluruhan perekonomian. Investasi seperti itu
menyebabkan pergeseran keluar fungsi produksi agregat. Barro dan Martin (1992)
dalam Kasliwal (1995) dengan jelas menyatakan bahwa teknologi itu tidaklah
serupa untuk semua negara-negara. Dengan Gap Teknologi yang ada suatu difusi
pengetahuan yang lambat berlangsung dari negara-negara maju kepada negara-
negara yang terkebelakang, mendorong ke arah suatu convergensi yang lambat.
Model ketiga dapat juga menghilangkan efek MPK yang semakin berkurang di
negara maju. Mankiw, Romer dan Weil (1992) membantah bahwa factor modal
manusia menyediakan dorongan secara terpisah terhadap pertumbuhan di dalam
suatu fungsi produksi. Pertumbuhan yang terjadi secara endogen seperti negara
maju cenderung untuk mengakumulasi modal manusia pada tingkat yang lebih
tinggi. Bahkan jika modal phisik bersipat mobile ke arah bidang yang
memberikan hasil lebih tinggi (produktivitas), Kurangnya modal manusia di
daerah miskin akan memuat sesuatu kecenderungan ke arah convergensi.
Margono (2005) menyebutkan bahwa model ini menekankan pentingnya
peningkatan tabungan, perubahan teknologi, peningkatan barang modal dan
investasi sumberdaya manusia. Persamaan berikut merupakan persamaan
sederhana dari model pertumbuhan endogen.
AKY =
Dalam persamaan tersebut, A mewakili factor- faktor yang mempengaruhi
teknologi, sedangkan K melambangkan modal fisik dan modal manusia. Dalam
rumusan tersebut ditekankan adanya kemungkinan bahwa investasi modal fisik
dan modal sumberdaya manusia yang dapat menciptakan eksternalitas positif dan
pengkatan produktivitas yang melampaui keuntungan pihak swasta yang
melakukan investasi itu, dan hasilnya cukup untuk mengimbangi skala penurunan
hasil.
30
2.3. Total Factor Productivity
Total factor productivity (TFP), merupakan ukuran yang sering digunakan
untuk menggambarkan kemajuan teknologi. TFP diukur secara tidak langsung
(indirect accounting), karena tidak dapat diamati langsug (Mankiw, 2000). TFP
ditunjukkan dari pertumbuhan nilai tambah setelah pertumbuhan tenaga kerja dan
capital dikeluarkan. Menurut Pressman (2004) bahwa model yang digunakan
untuk mengukur TFP di dasarkan pada fungsi produksi Cobb-Douglas:
βα KALY =
Model fungsi produksi Cobb-Douglas yang digunakan adalah
memperhitungkan dua faktor produksi terukur yakni tenga kerja (L) dan modal
(K). Nilai A pada fungsi produksi tersebut diartikan sebagai total factor
productivity (TFP). Untuk keperluan perhitungan TFP, maka dilakukan
transformasi logaritma terhadap fungsi produksi Cobb-Douglas, dengan tahapan
sebagai berikut:
βαβα11122212 KLAKLAYY −=−
11
2
1
2
1
2
1
12 −
=
−βα
KK
LL
AA
YYY
βα
=+
−
1
2
1
2
1
2
1
12 1KK
LL
AA
YYY
βα
=
1
2
1
2
1
2
1
2
KK
LL
AA
YY
+
+
=
1
2
1
2
1
2
1
2 lnlnlnlnKK
LL
AA
YY
βα
****tttt KLYA βα −−=
**** )1( tttt KLYA αα −−−=
TFPAt =*
Keterangan:
*tY = Pertumbuhan output tahun-t
*tL = Pertumbuhan tenaga kerja (labor) tahun-t
31
*tK = Pertumbuhan modal (capital) pada tahun-t
*tA = Pertumbuhan total factor productivity (TFP) tahun-t
Nilai α pada persamaan di atas menunjukkan bagian (share) tenaga kerja
dari total output atau (MPL x L)/Y, di mana MPL (produk marginal tenaga kerja)
tidak lain adalah upah riil tenaga kerja.
2.4. Pasar Tenaga Kerja
Keseimbangan pasar tenaga kerja, mencerminkan adanya kesesuaian dari
interaksi antara penawaran tenaga kerja (labor supply) dan permintaan tenaga
kerja (labor demand). Dinamika pasar tenaga kerja ditentukan perubahan-
perubahan yang terjadi pada kedua sisi dari pasar tenaga kerja tersebut. Secara
umum pasar tenaga kerja dapat dipengaruhi oleh tingkat upah, pertumbuhan
penduduk atau angkatan kerja, migrasi, inflasi, pengangguran, pendapatan
masyarakat (PDB/PDRB) dan lain sebagainya. Teori dari berbagai komponen
pasar tenaga kerja tersebut akan diuraikan satu per satu sebaga i berikut.
2.4.1. Penawaran Tenaga kerja
Menurut Ruby (2003) bahwa model dari penawaran tenaga kerja dimulai
dengan asumsi bahwa pekerja akan memilih kombinasi jam-kerja dan pendapatan
dengan tujuan untuk memaksimumkan kepuasan (utility) meraka dengan kendala
jumlah jam yang tersedia dalam sehari. Model penawaran tenaga kerja
menganggap bahwa jam bekerja adalah merupakan barang yang tidak disukai,
tetapi dengan bekerja akan memberikan pendapatan. Sedangkan jam tidak bekerja
atau yang disebut waktu luang (leisure time) meruapakan barang yang disukai.
Dengan demikian maksimisasi kepuasan akan ditentukan dari pendapatan dan
waktu luang : Maximaze U = f (pendapatan, waktu luang). Dengan menggunakan
analisa kurva indeferen (indifference curve) kita dapat menguj i efek dari
perubahan tingkat upah terhadap jumlah penawaran jam kerja, yang dilukiskan
pada gambar-8. Dimana kurva indiferen (IC) menggambarkan berbagai titik
kombinasi antara pendapatan dan waktu luang yang menghasilkan tingkat
kepuasan sama. Selanjutnya garis pendapatan (budget constraint) seperti garis
XY, menggambarkan tingkat pendapatan berdasarkan jumlah jam bekerja dalam
32
sehari. Semakin banyak jam bekerja (semakin kecil waktu senggang) yang
digunakan maka semakin tinggi pendapatan. Kepuasan maksimal terjadi apabila
kurva indeferen bersentuhan dengan garis pendapatan. Kombina optimal tersebut
akan berubah apabila tingkat upah mengalami perubahan, seperti ditunjukkan
bahwa peningkatan upah merubah slop dari garis anggaran menjadi X’Y, sehingga
kombinasi optimal berubah dari titik R ke titik T, yang mencerminakan perubahan
jam kerja yang ditawarkan.
Gambar 8-a. Peningkatan upah (Efek substitusi lebih kuat)
Gambar 8-b Kurva penawaran tenaga terja
Sumber : Ruby, 2003. Gambar 8 Penentuan kurva penawaran tenaga kerja
Menurut Bellente dan Jacson (1990) besarnya waktu yang disediakan atau
dialokasikan untuk bekerja merupakan fungsi tingkat upah tertentu. Setelah
mencapai tingkat upah tertentu pertambahan upah justru akan mengurangi waktu
yang disediakan untuk bekerja, penomena ini akan menghasilkan apa yang disebut
backward-bending supply curve, atau kurva penawaran yang berbelok. Kasliwal
(1995) mengatakan phenomena tersebut banyak terjadi terutama pada kelompok
perempuan dari keluarga kaya, sementara sesungguhnya mereka tergolong dalam
angkatan kerja (labor force), sehingga tentu memiliki relevansi dengan
pembangunan.
Tenaga Kerja (Jam)
R
T $12
$10
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Tingkat Upah (W)
SLabor
Jam Kerja lebih banyak Waktu (Jam)
Waktu Senggan lebih banyak
Y
X
X’
T
R
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Pendapatan (L x W)
IC1
IC0
$196 $160 $120 80
33
Pengaruh tingkat upah terhadap penawaran tenaga kerja sesungguhnya
ditentukan oleh dua kekuatan yang saling berlawanan yakni pengaruh efek
pendapatan (income effect) dan efek substitusi (substitution effect). Apabila efek
pendapatan yang positif terhadap tingkat upah lebih kecil dari kekuatan efek
substitusi yang negatif, maka efek total akan menjadi negatif yang berarti bahwa
pekerja akan mengurangi konsumsi waktu luang (leisure) dan menambah waktu
jam kerjanya sehingga kurva penawaran akan memiliki kemiringan positif
(upward sloping). Sebaliknya jika efek total positif maka akan terjadi “bacward-
bending” pada kurva penawaran tenaga kerja yang berarti bahwa pekerja justru
akan mengurangi jam kerjanya dengan peningkatan upah (McConnell dan Brue,
1995). Selanjutnya Ruby (2003) mengatakan bahwa dalam analisa agregat,
penawaran tenaga kerja, selain ditentukan oleh tingkat upah, juga sangat
dipengaruhi oleh perubahan populasi, tingat partisipasi angkatan kerja
(demographic changes) dan arus immigrasi (immigration flows).
2.4.2. Permintaan Tenaga Kerja
Permintaan tenaga kerja di dasarkan dari permintaan produsen
(pengusaha) terhadap input tenaga kerja sebagai salah satu input dalam proses
produksi. Produsen mempekerjakan seseorang dalam rangka untuk membantu
memproduksi barang atau jasa untuk dijual kepada konsumen. Apabila
permintaan konsumen terhadap barang atau jasa yang diproduksi meningkat,
maka, pengusaha terdorong untuk meningkatkan produksinya melalui
penambahan input, termasuk input tenaga kerja, selama manfaat dari penambahan
produksi tersebut lebih tinggi dari tambahan biaya karena penambahan input.
Dengan kata lain, pertambahan permintaan pengusaha terhadap tenaga kerja,
tergantung dari pertambahan permintaan konsumen dari barang dan jasa yang
dihasilkannya. Oleh karena itu permintaan tenaga kerja merupakan permintaan
turunan (derived demand) dari permintaan konsumen. Hal ini mengindikasikan
bahwa kekuatan permintaan untuk tenaga kerja akan tergantung pada : (1) tingkat
produktifitas tenaga kerja dalam membantu menghasilkan barang atau jasa, dan
(2) nilai pasar dari barang atau jasa tersebut. (Swastika dan Kuastiari, 2000).
34
Menurut Ruby (2003), bahwa permintaan tenaga kerja di turunkan dari
fungsi produksi yang merupakan fungsi dari tenaga kerja (L) dan modal (K).
Fungsi produksinya adalah sebagai berikut :
TP (Y) = f(L,K)
Dimana : TP = Produksi total (output)
L = Tenaga kerja
K = Modal
Dengan asumsi bahwa pengusaha senangtiasa ingin memaksimumkan
pendapatannya, maka dalam jangka pendek, produksi optimal (profit maximizing)
terjadi pada saat produktivitas marginal tenaga kerja (MPL) sama dengan ratio
upah (wt) terhadap harga produk (wt/Px) atau kondisi dimana nilai produk
marginal tenaga kerja (VMPL) = wt. Upah (wt) tidak lain adalah jumlah tambahan
biaya yang diperlukan untuk mempekerjakan tambahan seorang pekerja. Apabila
MPL lebih besar dari wt/Px, maka perusahaan akan menambah permintaan tenaga
kerjanya. Secara umum, dalam jangka pendek permintaan tenaga kerja
berkorelasi negatif dengan tingkat upah (wt). Akan tetapi terdapat hubungan
positif antara harga produk (Px) dengan permintaan tenaga kerja jangka pendek,
karena kurva MPL (kurva permintaan tenaga kerja), akan bergeser keluar
(outwards) jika harga output menjadi lebih mahal (Borjas, 1996).
Sumber : Ruby, 2003. Gambar 9. Penentuan kurva permintaan tenaga terja
Dalam jangka panjang, semua faktor produksi akan mengalami perubahan.
Penentuan faktor produksi mana yang digunakan di dasarkan pada daya substitusi
L2
d
0 L1
b PW
Tingkat Upah Riil (W/P)
MPL = D (L)
MPL*= D*
Y2
Output (Y)
d
L2 0
Y1
L1
Produksi optimal yg baru b
Profit1
Labor (L)
Profit2
Y=f(L,K)
Y=f*(L,K)
35
(marginal rate of technical substitution) dari faktor produksi tersebut. Perusahaan
akan meningkatkan penggunaan tenaga kerja jika tenaga kerja relatif lebih murah
dibandingkan dengan modal. Dikatakan tenaga kerja lebih murah secara relatif
dibandingkan modal, jika produktivitas tenaga kerja lebih tinggi dari produktivitas
modal. Menurut Ruby (2003) bahwa peningkatan produktifitas tenaga kerja ini
dapat disebabkan oleh penambahan kemajuan teknologi atau penambahan modal
per tenaga kerja. Peningkatan produktifitas ini akan menyebabkan bergesernya
fungsi produksi ke atas (output per tenaga kerja lebih tinggi) dan menggeser
keluar kurva MPL, yang mencirikan permintaan tenaga kerja bertambah. Atau
dengan kata lain peningkatan produktivitas tenaga kerja, bukan hanya
meningkatkan output, tetapi juga mendorong perluasan kesempatan kerja.
2.4.3. Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja
Keseimbangan pasar tenaga kerja adalah kondisi yang menggambarkan
adanya kesesuaian antara permintaan dan penawaran tenaga kerja. Kesesuaian
tersebut bukan hanya dalam jumlah dan tingkat upah, tetapi juga implisit di
dalamnya mengenai berbagai karakteristik tenaga kerja yang dibutuhkan pasar,
seperti keterampilan, pendidikan dan lain- lain. Dalam kondisi dimana mekanisme
pasar dapat bekerja secara sempurna, tidak ada satu atau beberapa konsumen
maupun produsen yang memiliki kekuatan yang cukukp untuk memaksakan
kehendaknya guna mempengaruhi harga-harga input dan harga output barang dan
jasa, sehingga tingkat penyerapan tenaga kerja dan tingkat upah di tentukan secara
bersamaan oleh segenap harga output dan faktor- faktor produksi dalam suatu
perekonomian melalui perimbangan kekuatan-kekuatan permintaan dan
penawaran.
Kondisi keseimbangan dalam pasar tenaga kerja, memiliki makna yang
sangat berarti dalam suatu perekonomian, karena kondisi tersebut mencirikan
tidak adanya faktor produksi tenaga kerja yang menganggur atau yang sering
disebut sebagai kondisi full employment. Akan tetapi pengangguran senangtiasa
wujud dalam perekonomian, hal mengindikasikan bahwa pasar tenaga kerja sulit
untuk mencapai keseimbangan atau terjadi kegagalan pasar tenaga kerja.
Kegagalan pasar tenaga kerja menuju titik keseimbangan ditentukan oleh banyak
36
faktor. Diantaranya karena sektor-sektor produksi memiliki daya serap
(permintaan) tenaga kerja yang rendah, sementara penawaran tenaga kerja
bertambah terus karena adanya pertambahan angkatan kerja dan migrasi. Faktor
lain penyebab kegagalan pasar tenaga kerja adalah tidak singkronnya spesifikasi
tenaga kerja yang diinginkan oleh pengusaha dengan karakteristik tenaga kerja
yang tersedia, seperti perbedaan keterampilan, pendidikan, pengalaman dan lain-
lain. Selain itu faktor informasi yang tidak sempurna juga memberikan kontribusi
yang signifkan terhadap kegagalan pasar tenaga kerja. Kondisi keseimbangan
pasar tenaga kerja ditunjukkan pada titik equilibrum pada gambar 10.
Sumber : Nicholson, 1998 dan Kasliwal 1995. Gambar 10. Keseimbangan pasar tenaga kerja dan pengangguran Pada gambar 10 memperlihatkan keseimbangan pasar tenaga kerja tercapai
pada jumlah tenaga kerja yang akan ditawarkan oleh individu sama dengan
besarnya yang diminta oleh pengusaha yaitu pada tingka upah W0. Pada tingkat
upah yang lebih tinggi (W2) penawaran tenaga kerja lebih tinggi dari jumlah yang
diminta. Perbedaan dari jumlah penawaran dan permintaan tenaga kerja ini
merupakan kelompok tenaga kerja yang mencari kerja (menganggur) dari
angkatan kerja (L), selebihnya adalah kelompok tenaga kerja yang terserap dalam
pasar tenaga kerja (employment). Semakin besar angka pengangguran, maka
semakin ketat persaingan diantara mereka untuk memperebutkan lowongan kerja
yang tersedia sehingga dapat mendorong upah akan turun ke arah titik
L 0 L0
Employment Unemployment
E = W0 Kondisi keseimbangan
Tingkat Upah
SL
Excess Supply W2
MPL = DL
Penyerapan Tenaga Kerja
W1
37
keseimbangan. Penomena dimana banyaknya pencari kerja bersedia bekerja walau
dengan tingkat upah yang rendah akan mendorong semakin banyaknya disquised
unemployment.
2.4.4. Pengangguran, Upah Kaku dan Distorsi Pasar Tenaga Kerja
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa keseimbangan pasar
tenaga kerja mengacu pada kondisi yang menggambarkan adanya kesesuaian
antara permintaan dan penawaran tenaga kerja, yang berarti pula bahwa tidak
terdapat pengangguran dalam perekonomian, karena setiap tenaga kerja yang
kehilangan pekerjaan dengan segera mendapatkan pekerjaan baru. Akan tetapi
Menurut Mankiw (2003) pada kenyataannya para pekerja mempunyai preferensi
dan kemampuan yang berbeda dan pekerjaan memerlukan spesifikasi keahlian
yang berda serta upah yang berbeda. Selain itu, karena adanya informasi tentang
calon karyawan dan lowongan kerja yang tidak sempurna, dan mobilitas geografis
pekerja tidak instant, sehingga calon karyawan dalam mencari pekerjaan yang
tepat membutuhkan waktu dan usaha dan hal ini tentu mengurangi tingkat
penemuan pekerjaan. Karena setiap calon karyawan membutuhkan waktu untuk
mencari pekerjaan, maka pengangguran pasti selalu terjadi. Pengangguran yang
disebabkan oleh waktu yang dibutuhkan orang untuk mencari pekerjaan di sebut
sebagai pengangguran friksional.
Lebih lanjut Mankiw (2003) menjelaskan bahwa pengangguran friksional
selalu terjadi pada perekonomian yang selalu berubah. Ketika terjadi perubahan
pada komponen permintaan masyarakat akan berdampak pada perubahan struktur
produksi (pergeseran sektoral) pula sehingga juga mempengaruhi permintaan
tenaga kerja. Pergeseran sektoral ini mencirikan bahwa ada sektor produksi lama
yang mengalami kemunduran dan kebangkrutan, tetapi ada pula sektor produksi
baru yang muncul dan berkembang. Dalam kondisi seperti itu, maka selalu ada
pemutusan hubungan kerja dan ada pula lowongan kerja baru, karena informasi
tidak sempurna sehingga pencari kerja selalu membutuhkan waktu untuk
menemukan pekerjaan yang sesuai, karena itu pengangguran friksional selalu
terjadi.
38
Alasan kedua untuk pengangguran menurut Mankiw (2003) adalah karena
kekakuan upah (wage rigidity) yakni gagalnya upah melakukan penyesuaian
sampai penawaran tenaga kerja sama dengan permintaannya. Upah tidak selalu
fleksibel menyeimbangkan penawaran dan permintaan tenaga kerja, kadang-
kadang upah riil tertahan di atas tingkat kliring-pasar. Ketika upah riil di atas
tingkat yang menyeimbangkan penawaran dan permintaan, jumlah tenaga kerja
yang ditawarkan melebih jumlah yang diminta sehingga terjadi pengangguran.
Hal senada juga diungkapkan oleh ahli ekonomi structuralist (seperti
Taylor dan Chenery) ketika mengkritik teori pertumbuhan Solow yang
mengatakan bahwa ketidak sempurnaan pasar tenaga kerja terjadi secara kritis di
negara berkembang yang ditunjukkan bahwa tenaga kerja menerima upahnya
lebih besar dari upah pasar bebasnya (Kasliwal, 1995), atau dengan kata lain
pwPM L /< (upah riil lebih tinggi dari produksi marginal tenaga kerja). Menurut
Taylor dan Chenery, bahwa kegagalan pasar yang terjadi di negara berkembang
ini berkaitan dengan: (1) Harga (upah) tidak melakukan penyesuaian secara bebas,
dan (2) agen ekonomi merespon secara lambat terhadap perubahan harga (upah)
yang terjadi. Dengan demikian pandangan ini sudah sejalan dengan pendapat
Mankiw tentang kekakuan upah (wage rigidity) atau gagalnya upah melakukan
penyesuaian ke arah keseimbangan pasar ketika terjadi shock (perubahan) pada
sisi permintaan maupun pada sisi penawaran tenaga kerja.
Menurut Kasliwal (1995) bahwa kegagalan pasar yang telah tersebar luas
berkaitan dengan keterbatasan informasi, eksternalitas, skala peningkatan hasil
yang semakin meningkat, dan cara alokasi yang tidak melalui pasar (non-market),
yang lebih muda diterapkan. Lebih lanjut, ketika pemerintah campurtangan,
mereka sering menciptakan yang bahkan lebih penyimpangan. Karena itu distorsi
pasar dapat terjadi secara serius di negara berkembang. Sedangkan menurut
Mankiw (2003) bahwa hal yang menyebabkan kekakuan upah adalah undang-
undang upah minimum, kekuatan monopoli serikat pekerja dan efisiensi upah.
Karena itu semakin kuat faktor-faktor tersebut berpengaruh maka tentu upah
semakin kakuh dan agen ekonomi semakin lamban merespon perubahan upah,
yang berarti pula semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh upah untuk
melakukan penyesuaian, demikian pula semakin lama waktu yang dibutuhkan
39
oleh agen ekonomi untuk merespon perubahan upah. Dengan demikian lamanya
waktu yang dibutuhkan oleh upah untuk melakukan penyesuaian serta waktu yang
dibutuhkan agen ekonomi untuk merespon perubahan upah dapat dijadikan
indikator tingkat distorsi pasar tenaga kerja.
2.5. Tinjauan Studi Terdahulu
2.5.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Perubahan Struktural
Juanda (2001) dalam studinya mengenai pertumbuhan ekonomi dan
pegeseran struktural dalam industrialisasi di Indonesia dengan pendekatan model
dual-economy. Dalam studi tersebut menggunakan pemodelan
makroekonometrika. Beberapa kesimpulan dari studi tersebut, khususnya yang
berkaitan ketenaga kerjaan dan perubahan struktural adalah sebagai berikut (1)
bahwa pasar tenaga kerja di Indonesia menyerupai supply-side determined
employment, suatu karakteristik yang biasa ditemukan di negara-negara
berkembang. Pertumbuhan angkatan kerja dan pertumbuhan tenaga kerja
menyerupai pola trend yang sangat mirip karena surplus tenaga kerja diserap ke
dalam pekerjaan ”pengganti sementara”. Sangat sedikit pencari kerja yang mampu
bertahan menganggur meskipun untuk periode waktu sebentar saja sehingga
banyak yang menerima pekerjaan yang produktifitasnya rendah. Menurutnya
dinamika pasar kerja ini menunjukkan bahwa masalah sumberdaya manusia di
Indonesia adalah bukan penciptaan kesempatan kerja per se, tapi penciptaan
pekerjaan yang lebih produktif. (2) Dugaan koefisien model makroekonometrika
yang digunakan mengindikasikan bahwa fenomena surplus tenaga kerja terjadi di
sektor pertanian, dan pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan tidak hanya
dengan meningkatkan input agregat tetapi juga dengan realokasi tenaga kerja dari
sektor pertanian ke sektor non-pertanian.
Studi ini merekomendasikan bahwa jalan keluar untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi yang diiringi perbaikan pergeseran struktural sehingga
terjadi pemerataan hasil-hasil pembangunan ekonomi, adalah pembanguna
agroindustri, karena agroindustri sangat berpotensi dapat dikembangkan untuk
menarik sektor pertanian ke dalam proses industrialisasi karena beberapa aspek
yang menguntungkan bagi sektor ini, yaitu penyerapan tenaga kerja, pasar untuk
40
komoditi-komoditi pertanian, kemampuan ekspor, dan relatif sedikit komponen
bahan baku impornya.
Dasril (1993) dalam Juanda (2001) menganalisis sumber-sumber
pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan dan perubahan keterkaitan antar
sektor, baik dalam kebijakan subsidi impor (1971-1985) maupun orientasi ekspor
(1985-1990), dengan menggunakan Tabel Input-Output Indonesia. Dasril
menggunakan metode dekomposisi sumber pertumbuhan untuk mengukur
sumber-sumber pertumbuhan yang terdiri atas permintaan dalam negeri,
perdagangan internasional dan perubahan teknologi.
Noor (1991) meneliti mengenai perubahan struktur produksi yang
menyertai pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Noor, mengkaji perubahan yang
terjadi antara daerah provinsi dengan menggunakan model yang pernah digunakan
Chanary dan Syrquin (1975) ketika mereka melakukan penelitian di sejumlah
negara berkembang mengenai pergeseran struktur ekonominya selama kurun
waktu 1950-1970. Model tersebut diduga dengan multiple regression analysis.
Noor, menyimpulkan bahwa hanya sebagian daerah provinsi di Indonesia yang
menerima hipotesis Fisher, yaitu terdapat hubungan yang negatif antara
pergeseran sektor primer dengan pertumbuhan pendapatan nasional atau
pendapatan perkapita.
2.5.2. Total Factor Productivity
Margono (2005) dalam studinya mengenai Analisis kritis terhadap
masalah ketenaga kerjaan suatu pendekatan makro-mikro ekonomi, dimana salah
satu tujuan utamanya adalah menghitung total factor productivity (TFP)
Indonesia, TFP sektor pertanian, industri dan sektor jasa di Indonesia. Metode
yang digunakan dalam menghitung TFP adalah direct accounting. Dari hasil
perhitungan diperoleh bahwa TFP Indonesia sebesar -0.53. TFP sektor pertanian
dan industri sejak tahun 1972 – 2002 juga bertanda minus yakni masing -2.56
untuk pertanian dan -1.47 untuk industri, sedangkan TFP sektor jasa positif yakni
0.48. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kemajuan teknologi di Indonesaia
selama periode analisis tidak banyak bermakna dalam peningkatan produktivitas
dan pertumbuhan ekonomi.
41
Mathias (2004) yang mengkaji mengenai tingkat upah dan produktivitas
tenaga kerja di Provinsi DKI Jakarta. Telah menghitung TFP DKI juga dengang
menggunakan metode direct accounting yang diturunkan dari fungsi Cobb-
Douglas. Menyimpulkan bahwa TFP untuk DKI selama periode 1997-2003
bernilai sebesar -0.39. Rendahnya TFP untuk DKI pada periode tersebut
menurutnya karena dampak krisis ekonomi yang masih terus melanda DKI Jakarta
sampai dengan tahun 2003.
2.5.3. Pasar Tenaga Kerja
Sukwika (2003) yang meneliti mengenai pasar tenaga kerja dan migrasi di
Kabupaten Bogor dikaitkan dengan perubahan struktur dan perkembangan
wilayah. Analisa pasar tenaga kerja yang dilakukan dengan menggunakan
persamaan sumultan dengan disagregasi terhadap tenaga kerja terdidik dan tidak
terdidi. Studi ini kemudian melanjutkan dengan menggunakan analisa komponen
utama (Pricipal Component Analysis) dan analisa gerombol (Cluster Analysis)
untuk menduga model perwilayah struktur ekonomi. Dari hasil studi ini
disimpulkan bahwa peningkatan ankatan kerja terdidik dan tidak terdidik lebih
responsif terhadap pertumbuhan penduduk, sedangkan kesempatan kerja lebih
responsif terhadap investasi, pendapatan regional dan jumlah pengangguran, baik
di sektor pertanian maupun disektor industri. Disimpulkan pula bahwa otonomi
daerah tidak menurunkan pengangguran di Kabupaten Bogor.
Hadi (2002) mengkaji mengenai dampak kebijakan pemerintah terhadap
keragaan pasar kerja dan migrasi pada periode krisis dan sebelum krisis ekonomi
di Indonesia. Studi ini juga menggunakan persamaan simultan yang diduga
dengan menggunakan Two Stage Least Square (2SLS). Studi ini menyimpulkan
bahwa peningkatan partisipasi kerja berdasarkan tingkat pendidikan, jenis kelamin
dan wilayah responsif terhadap jumlah penduduk baik pada uasia produktif
maupun pada usia belum produktif dan tingkat partisipasi kerja, upah bukan
merupakan faktor utama yang mendorong peningkatan partisipasi angkatan kerja.
Sedangkan kesempatan kerja sektoral ditentukan oleh perubahan pendapatan
regional sektoral, program dana pembangunan. Kombinasi peningkatan Program
Dana Padat Karya, Program Dana Pembangunan, Konsumsi Kalori dan Investasi
42
Sektoral memberikan dampak paling baik terhadap keragaan pasar kerja dan
migrasi pada periode krisis dan sebelum krisis ekonomi di Indonesia.
Studi mengenai ketenaga kerjaan di Sulawesi Selatan, diteliti oleh Fudjaja
(2002). Studi ini mengkaji dinamika kesempatan kerja sektor pertanian dan
industri di Sulawesi Selatan. Model analisisnya juga menggunakan persamaan
simultan yang diduga dengan metode 2SLS. Studi ini menyimpulkan bahwa
kebijakan pemerintah dan perubahan faktor ekonomi berpengaruh terhadap
dinamika kesempatan kerja sektor pertanian dan industri di Sulawesi Selatan.
Peningkatan upah memberi dampak positif terhadap kesempatan kerja demikian
pula terhadap PDRB sektoral. Peningkatan investasi sektoral berdampak negatif
terhadap kesempatan kerja sektor indus tri, akan tetapi berdampak positif terhadap
PDRB sektoral. Sebaliknya penurunan investasi sektoral memberikan dampak
negatif terhadap PDRB sektoral, baik peningkatan maupun penurunannya tidak
memberikan pengaruh terhadap kesempatan kerja.
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Pemikiran
Dalam rangka upaya pemulihan ekonomi dari terpaan krisis ekonomi serta
upaya untuk menurunkan angka pengangguran di Indonesia pada umumnya dan di
Sulawesi Selatan khususnya yang dari tahun ke tahun semakin meningkat dan
semakin memprihatinkan, maka arah pembangunan ekonomi kedepan diharapkan
tidak hanya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tapi juga
mampu mendorong perluasan kesempatan kerja yang tinggi (menurunkan angka
pengangguran), sehingga pada akhirnya kesenjangan secara sektoral maupun
secara regional dapat di tekan.
Guna mencapai sasaran tersebut maka persoalan ketenaga kerjaan dan
pertumbuhan ekonomi harus dikaji sebagai satu kesatuan, karena keduanya terkait
erat dan mempengaruhi satu sama lain secara timbal balik. Pengaruh output atau
pertumbuhan ekonomi terhadap tenaga kerja dapat dilihat baik dari sisi
permintaan output agregat, maupun dari sisi penawarannya. Dari sisi permintaan,
perubahan konsumsi masyarakat, konsumsi pemerintah, investasi dan ekspor-
impor dapat mendorong peningkatan kesempatan kerja. Demikian pula dari sisi
penawaran agregat, Ruby (2003) menyebutkan bahwa pertambahan modal
maupun kemajuan teknologi dapat mendorong peningkatan produktifitas tenaga
kerja. Peningkatan produktivitas ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi
sekaligus menggeser kurva permintaan tenaga kerja (memperluas kesempatan
kerja).
ECM
Indirect Accounting
2SLS
Migrasi
Angkatan Kerja Regional
Upah Riil Sektoral & Regional
Pengangguran Regional
Produktivitas TK Sektoral
Kesempatan Kerja Sektoral & Regional
Pendapatan Regional Sektoral (PDRB)
Tujuan Pemb : • Pertumbuhan
ekonomi • Mengurangi
Pengangguran
Sumber Pertumbuhan : Penawaran Output Agregat
Sumber Pertumbuhan : Permintaan Output Agregat
Pasar Tenaga Kerja
P ENDKATAN ANAL I S I S
Pertumbuhan Tinggi Pengangguran Rendah
Gambar 11 Kerangka pemikiran konseptual analisa pasar tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan
= Aliran Pengaruh
= Peubah Endogen
= Peubah Eksogen
• TK • Modal • Teknologi
= Tujuan dan Pendekatan
Inflasi
Konflik KTI
Jumlah Penduduk
• Kons. Masy. • Kons. Pem. • Brng Modal • Perub. Stok • Ekspor-impor
UMR
Krisis Ekonomi
Total Factor Productivity
TPAK
Tujuan Penelitian • TFP Sul-Sel & Sektor • Kerg.Pasar TK • Indikator kekakuan
upah • Peng. FD , Tekn thp.
Output & KK
PAD, DP
Kekakuan Upah
45
Sebaliknya tenaga kerja juga mempengaruhi output. Tingginya angka
pengangguran (kesempatan kerja terbatas) dapat menyebabkan terjadinya
kontraksi pertumbuhan, bahkan Solow dalam Todaro (2000) menyebutkan bahwa
pertumbuhan output bergantung pada tiga faktor penting yakni kuantitas dan
kualitas tenaga kerja, penambahan barang modal (physical capital) serta
penyempurnaan teknologi. Untuk melihat kontribusi dari masing-masing faktor
tersebut dalam output perekonmian, maka analisis yang dapat digunakan adalah
dengan menghitung Total Factor Productivity (TFP).
Dari aspek pasar tenaga kerja, dibagian awal telah disebutkan bahwa
adanya kesenjangan produktivitas maupun tingkat upah antar sektor maupun antar
region dapat mendorong migrasi baik secara sektoral maupun secara regional,
namun aliran tenaga kerja, khususnya aliran kesektor industri-perkotaan tidak
banyak terserap. Gejala ini menunjukkan adanya sumbatan dalam pasar tenaga
kerja di Indonesia. Kegagalan pasar, seperti halnya kegagalan pasar tenaga kerja,
selalui disebabkan oleh tidak singkronnya antara penawaran dan permintaannya.
Untuk mengkaji keseimbangan pasar tenaga kerja, maka kedua sisi tersebut harus
dikaji. Penawaran tenaga kerja (angkatan kerja) secara agregat menurut Ruby
(2003) di pengaruhi oleh migrasi dan partisipasi angkatan kerja dan prtumbuhan
populasi. Selanjutnya permintaan tenaga kerja, merupakan fungsi turunan dari
permintaan output, karena itu permintaan tenaga kerja selain di pengaruhi oleh
upah, juga ditentukan oleh berbagai variabel sumber-sumber pertumbuhan output,
seperti konsumsi masyarakat, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor, impor,
termasuk kemajuan teknologi, karena teknologi juga mencirikan produktivitas
tenaga kerja.
Akan tetapi faktor- faktor tersebut tidak berdiri sendiri karena masing-
masing dipengaruhi oleh sejumlah faktor determinan pula, bahkan diantaranya
dapat saling mempengaruhi secara timbale balik.. Karena itu untuk mengkaji
keseimbangan pasar tenaga kerja ini, maka analisis yang digunakan adalah dengan
menggunakan persamaan simultan.
46
3.2. Uraian Hipotesis
Berdasarkan pada berbagai teori yang telah dijelaskan serta berbagai hasil
studi terdahulu dan pengalaman empiris, maka hipotesis yang diajukan adalah
sebagai berikut :
1. Modal dan Teknologi memberi kontribusi lebih besar terhadap pertumbuhan
ekonomi dibandingkan kontribusi tenaga kerja
2. Permintaan tenaga kerja, dipengaruhi oleh sumber-sumber pertumbuhan
ekonomi seperti konsumsi masyarakat, investasi, ekspor, impor, dan kemajuan
teknologi (TFP). Upah riil tidak berpengaruh pada permintaan tenaga kerja,
maupun pada angkatan kerja. Selanjutnya variabel seperti TPAK, Migrasi, dan
konflik horizontal di KTI berpengaruh signifikan terhadap angkatan kerja di
Sul-Sel.
3. Upah riil sektoral di Sulawesi Selatan bersifat kaku.
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Sulawesi Selatan. Lokasi penelitian ini
ditentukan secara segaja (purposive), dengan dasar bahwa kecenderungan tingkat
pengangguran di daerah ini semakin meningkat, bahkan pada tahun 2003, Provinsi
Sulawesi Selatan memiliki tingkat pengangguran paling tinggi di antara provinsi-
provinsi lainnya di Indonesia. Pertimbangan lainnya adalah, selain daerah ini
konsisten dengan ciri agrarisnya, bahkan sebagai penghasil surplus beras terbesar
di Indonesia saat ini (Majdah, 2006), daerah ini juga dianggap memiliki kemajuan
pesat dalam sektor industri dan jasa, terutama sektor perdagangan dibandingkan
dengan provinsi lainnya di Kawasan Timur Indonesia (KTI), bahkan sering
dijuluki sebagai “Pintu Gerbang KTI”, karena memang posisinya yang sangat
strategis, namun juga rentang terhadap arus migrasi. Berdasarkan alasan tersebut
maka daerah ini dianggap memiliki daya tarik tersendiri sebagai lokasi exercise
dalam menganalisis pasar tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini, data berdasakan sumbernya akan menggunakan data
sekunder tahunan yang bersifat beda kalaa (time series), periode 1985-2004. Data
tersebut dikumpulkan dari beberapa kantor seperti Kantor Biro Pusat Statistik
(BPS) pusat dan BPS Provinsi Sulawesi Selatan, Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM) Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas Pendapatan Daerah dan
beberapa instansi lainnya yang relevan dengan penelitian ini di Provinsi Sulawesi
Selatan.
4.3. Pengembangan Model Analisis
Penelitian ini menggunakan dasar-dasar teori ekonomi mikro dan makro
sebagai alat analisis utama untuk menggambarkan perilaku dan penomena
keragaan pasar tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi wilayah. Model yang
dikembangkan adalah model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan,
48
model total factor productivity (TFP) yang diturunkan dari translog fungsi
produksi Cobb-Douglas serta model error correction model (ECM).
Perhitungan total factor productivity (TFP) ditujukan untuk
menggambarkan kontribusi kemajuan teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi
Sulawesi Selatan. Persamaan simultan dimaksudkan untuk menggambarkan
keragaan pasar tenaga kerja sedangkan model ECM dimaksudkan untuk
menggambarkan indikator distorsi pasar tenaga kerja dari segi kekakuan upah
serta kelambanan pengusaha dalam merespon perubahan upah. Adapun rincian
secara spesifikasi model analisis yang dikembangkan pada masing-masing
persamaan di sajikan pada uraian berikut :
4.3.1. Analisa Total Factor Productivity (TFP)
Analisa TFP akan di disagregasi berdasarkan sektor usaha yakni sektor
pertanian, industri pengolahan dan sektor lainnya di Provinsi Sulawesi Selatan.
Metode yang digunakan untuk menghitung TFP pada studi ini adalah metode
indirect accounting, karena teknologi tidak dapat diamati secara langsung.
Menurut Pressman (2004) perhitungan TFP di dasarkan pada fungsi produksi
Cobb-Douglas. Nilai A pada fungsi produksi tersebut diartikan sebagai total
factor productivity (TFP):
βα KALY = …………………………………………………………….… (A.1)
Untuk keperluan perhitungan TFP, maka dilakukan transformasi logaritma
natural terhadap fungsi produksi Cobb-Douglas, dengan tahapan sebagai berikut:
βαβα1111 −−−− −=− tttttttt KLAKLAYY ……………………………………….. (A.2)
11111
1 −
=
−
−−−−
−βα
t
t
t
t
t
t
t
tt
KK
LL
AA
YYY
……………………………………... (A.3)
βα
=+
−
−−−−
−
1111
1 1t
t
t
t
t
t
t
tt
KK
LL
AA
YYY
……………………………………… (A.4)
βα
=
−−−− 1111 t
t
t
t
t
t
t
t
KK
LL
AA
YY
……………………………………………… (A.5)
+
+
=
−−−− 1111lnlnlnln
t
t
t
t
t
t
t
t
KK
LL
AA
YY
βα …………………………. (A.6)
49
****tttt KLYA βα −−= …………………………………………………… (A.7)
**** )1( tttt KLYA αα −−−= …………………………………………….. (A.8)
Keterangan:
*tY = Pertumbuhan output tahun-t
*tL = Pertumbuhan tenaga kerja (labor) tahun-t
*tK = Pertumbuhan modal (capital) pada tahun-t
*tA = Pertumbuhan total factor productivity (TFP) tahun-t
Nilai α pada persamaan di atas menunjukkan bagian (share) tenaga kerja
dari total output atau (MPL x L)/Y, di mana MPL (produk marginal tenaga kerja)
tidak lain adalah upah riil tenaga kerja.
4.3.2. Analisis Keragaan Pasar Tenaga kerja di Sulawesi Selatan
Analisa keragaan pasar tenaga kerja dianalisa dengan menggunakan
metode ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan. Dalam model analisis,
pasar tenaga kerja di pengaruhi oleh dua komponen utamanya yakni komponen
permintaan tenaga kerja dan komponen penawaran tenaga kerja. Ketidak
seimbangan kedua komponen ini menentukan tingkat pengangguran di Sulawesi
Selatan. Adapun struktur komponen pasar tenaga kerja serta fungsi ekonomi dari
masing-masing komponen adalah sebagai berikut :
a. Komponen permintaan tenaga kerja (kesempatan kerja): bentuk persamaan
dalam analisa ini adalah persamaan kesempatan kerja yang didisagregasi
menurut wilayah perkotaan dan pedesaan serta di disagregasi menurut sektor
produksi yang terdiri sektor pertanian, industri pengolahan dan sektor lainnya.
Fungsi ekonomi dari persamaan struktural dan persamaan identitasnya adalah
sebagai berikut :
Persamaan struktural :
Kesempatan kerja Sektor-i didisagregasi menurut wilayah perkotaan dan
pedesaan = f (upah riil sektor-i, TFP sektor-i, konsumsi masyarakat, investasi,
pengeluaran pemerintah, ekspor, impor, nilai tambah bruto sektor-i, dummy
krisis ekonomi, angkatan kerja dan variabel lag kesempatan kerja sektor-i).
50
Komponen persamaan kesempatan kerja:
§ Upah riil sektor-i (W-i) didiasagregasi menurut wilayah perkotaan
dan pedesaan = f (UMR, kesempatan kerja sektor-i, angkatan kerja,
TFP sektor-i, penanaman modal sektor-i, nilai tambah bruto sektor-i,
dan variabel lag dari upah riil sektor-i)
§ Produktivitas kerja sektor-i (PK-i) = f (upah riil sektor-i, kesempatan
kerja sektor-i, nilai tambah bruto sektor-i, total factor productivity
sektor-i, variabel lag dari produktivitas kerja sektor-i)
§ Nilai tambah bruto sektor-i (NTB-i) = f (kesempatan kerja sektor-i,
investasi sektor-i, produktivitas tenaga kerja sektor-i, variabel lag
dari nilai tambah bruto sektor-i)
Persamaan Identitas
§ Kesempatan kerja di perkotaan = Jumlah kesempatan kerja sektoral
di wilayah perkotaan
§ Kesempatan kerja di pedesaan = Jumlah kesempatan kerja sektoral
di wilayah pedesaan
§ Kesempatan kerja sektor-i = Jumlah kesempatan kerja sektor-i di
wilayah perkotaan dan pedesaan
§ Kesempatan kerja total = Jumlah kesempatan kerja di wilayah
perkotaan dan pedesaan
§ Upah riil perkotaan = Rata-rata tertimbang upah riil sektoral di
perkotaan
§ Upah riil pedesaan = Rata-rata tertimbang upah riil sektoral di
pedesaan
§ Upah riil sektor-i = Rata-rata tertimbang upah riil sektor-i di wilayah
perkotaan dan pedesaan
§ Rata-rata upah riil = Rata-rata tertimbang upah riil semua sektor di
wilayah perkotaan dan pedesaan
b. Komponen penawaran tenaga kerja (angkatan kerja). Analisis ini merupakan
persamaan agregat penawaran tenaga kerja. Fungsi ekonomi dari angkatan
kerja adalah sebagai berikut :
51
• Angkatan kerja ( )tA didisagregasi menurut wilayah perkotaan dan
pedesaan = f (upah riil rata-rata menurut wilayah, migrasi masuk, tingkat
partisipasi angkatan kerja serta variabel lag dari angkatan kerja),
Dimana :
§ Migrasi Masuk ( )tMM = f(upah riil rata-rata, kesempatan kerja total,
tingkat partisipasi kerja (TPK), dummy konflik horisontal di KTI,
dan variabel lag dari migrasi).
§ Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) didiasagregasi
berdasarkan wilayah perkotaan dan pedesaan. Persamaan TPAK
dibuat dalam bentuka persamaan identitas.
c. Komponen pengangguran: komponen ini menggambarkan besarnya exccess
supply pasar tenaga kerja dalam kondisi disequilibrium. Komponen
pengangguran dalam studi ini dibuat dalam bentuk persamaan struktural yang
didisagregasi menurut wilayah perkotaan dan pedesaan yang terdiri :
• Pengangguran = =tUk f (angkatan kerja, kesempatan kerja, migrasi,
pertumbuhan ekonomi dan variabe lag pengangguran)
Berdasarkan hubungan antar variabel yang telah dikembangkan dalam
kerangka berpikir, maupun fungsi ekonomi dari berbagai komponen pasar tenaga
kerja seperti yang telah dikembangkan di atas, maka pemodelan ekonometrika
dari masing-masing komponen pasar tenaga kerja adalah sebagai berikut :
1. Kesempatan Kerja
Persamaan permintaan tenaga kerja akan didisagregasi berdasarkan
wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan serta menurut sektor usaha yakni sektor
pertanian, sektor industri dan sektor jasa. Permintaan tenaga kerja akan di dekati
dengan ukuran tingkat kesempatan kerja yang diukur dengan jumlah penduduk
yang bekerja. Faktor determinan dari kesempatan kerja sektoral dalam studi ini
terdiri : upah riil sektoral, TFP sektoral, konsumsi masyarakat, investasi, ekspor,
impor, nilai tambah sektor, dummy krisis ekonomi, angkatan kerja serta variabel
lag dari kesempatan kerja sektoral. Persamaan ekonometrika kesempatan kerja
sektoral dibuat dalam bentuk persamaan struktural. Kesempatan kerja total dibuat
dalam bentuk persamaan identitas, di mana kesempatan kerja total merupakan
52
penjumlahan dari kesempatan kerja di wilayah perkotaan dan pedesaan. Bentuk
persamaan ekonometrika dari kesempatan kerja diformulasikan sebagai berikut :
tKPk = tttttto EXPRaGOVaINVaCSaTFPPaWPkaa 654321 ++++++
111110987 tttttt KPkaAKKaDKEaNTBPaIMPa ε++++++ − ......... (B.1)
tKIk = tttttto EXPRaGOVbINVbCSbTFPIbWIkbb 654321 ++++++
211110987 tttttt KIkbAKKbDKEbNTBIbIMPb ε++++++ − ............ (B.2)
tKLk = tttttto EXPRaGOVcINVcCScTFPLcWLkcc 654321 ++++++
311110987 tttttt KLkcAKKcDKEcNTBLcIMPc ε++++++ − ........... (B.3)
tKPd = ttttto EXPRdGOVdINVdCSdTFPPdWPddd 654321 ++++++
411110987 tttttt KPddAKDdDKEdNTBPdIMPd ε++++++ − ........ (B.4)
tKId = tttttto EXPReGOVeINVeCSeTFPIeWIdee 654321 ++++++
511110987 tttttt KIdeAKDeDKEeNTBIeIMPe ε++++++ − ............ (B.5)
tKLd = tttttto EXPRfGOVfINVfCSfTFPLfWLdff 654321 ++++++
611110987 tttttt KLdfAKDfDKEfNTBLfIMPf ε++++++ − ........ (B.6)
Keterangan :
tKPk = Kesempatan kerja sektor pertanian di wilayah perkotaan di Sulawesi Selatan pada tahun-t (orang)
tKIk = Kesempatan kerja sektor industri di wilayah perkotaan di Sulawesi Selatan pada tahun-t (orang)
tKLk = Kesempatan kerja sektor lainnya di wilayah perkotaan di Sulawesi Selatan pada tahun-t (orang)
tKPd = Kesempatan kerja sektor pertanian di wilayah pedesaan di Sulawesi Selatan pada tahun-t (orang)
tKId = Kesempatan kerja sektor industri di wilayah pedesaan di Sulawesi Selatan pada tahun-t (orang)
tKLd = Kesempatan kerja sektor lainnya di wilayah pedesaan di Sulawesi Selatan pada tahun-t (orang)
tWPk = Upah riil sektor pertanian wilayah perkotaan di Sulawesi Selatan pada tahun-t (Rupiah/bulan) : dideflasi dengan IHK (2000=100)
tWIk = Upah riil sektor industri wilayah perkotaan di Sulawesi Selatan pada tahun-t (Rupiah/bulan) : dideflasi dengan IHK (2000=100)
tWLk = Upah riil sektor lainnya wilayah perkotaan di Sulawesi Selatan pada tahun-t (Rupiah/bulan) : dideflasi dengan IHK (2000=100)
53
tWPd = Upah riil sektor pertanian wilayah pedesaan di Sulawesi Selatan pada tahun-t (Rupiah/bulan) : dideflasi dengan IHK (2000=100)
tWId = Upah riil sektor industri wilayah pedesaan di Sulawesi Selatan pada tahun-t (Rupiah/bulan) : dideflasi dengan IHK (2000=100)
tWLd = Upah riil sektor lainnya wilayah pedesaan di Sulawesi Selatan pada tahun-t (Rupiah/bulan) : dideflasi dengan IHK (2000=100)
tNTBP = Nilai tambah bruto sektor pertanian di Sulawesi Selantan pada tahun-t (juta Rupiah), menurut harga konstan (2000=100)
tNTBI = Nilai tambah bruto sektor industri di Sulawesi Selantan pada tahun-t (juta Rupiah), menurut harga konstan (2000=100)
tNTBL = Nilai tambah bruto sektor lainnya di Sulawesi Selantan pada tahun-t (juta Rupiah), menurut harga konstan (2000=100)
tTFPP = Total factor productivity sektor pertanian (%)
tTFPI = Total factor productivity sektor industri (%)
tTFPL = Total factor productivity sektor lainnya (%)
tCS = Konsumsi masyarakat pada tahun-t (juta Rupiah), menurut harga konstan (2000=100)
tINV = Pertambahan barang modal plus perubahan stock barang modal pada tahun-t (juta Rupiah), menurut harga konstan (2000=100)
tGOV = Pengeluaran pemerintah pada tahun-t (juta Rupiah), menurut harga konstan (2000=100)
tEXPR = Ekspor Sulawesi Selatan pada tahun-t (juta Rupiah), menurut harga konstan (2000=100)
tIMP = Impor Sulawesi Selatan pada tahun-t (juta Rupiah), menurut harga konstan (2000=100)
tDKE = Dummy krisis ekonomi, dimana periode krisis ekonomi dimulai pada tahun 1998 - 2001 = 1, lainnya = 0
1−tKPk = Variabel lag dari kesempatan kerja sektor pertanian wilayah perkotaan (orang).
1−tKIk = Variabel lag dari kesempatan kerja sektor industri wilayah perkotaan (orang).
1−tKLk = Variabel lag dari kesempatan kerja di sektor lainnya wilayah perkotaan (orang).
1−tKPd = Variabel lag dari kesempatan kerja sektor pertanian wilayah pedesaan (orang).
1−tKId = Variabel lag dari kesempatan kerja sektor industri wilayah pedesaan (orang).
1−tKLd = Variabel lag dari kesempatan kerja di sektor lainnya wilayah pedesaan (orang).
tiε = Peubah pengganggu (t = Periode ke-t, dan i = Persamaan ke-i)
54
2. Upah Riil
Persamaan eknometrika dari upah riil akan didisagregasi berdasarkan
wilayah perkotaan dan pedesaan serta didisagregasi berdasarkan sektor usaha
yakni sektor pertanian, industri pengolahan dan sektor lainnya. Dari sudut
pengusaha upah riil merupakan perbandingan upah nominal yang harus
dibayarkan ke tenaga kerja dengan harga produk yang dihasilkan. Sedangkan para
pekerja melihat upah riil sebagai daya beli dari upah nominal yang mereka terima.
Perubahan upah nominal biasanya ada korelasi dengan perubahan tingkat upah
minimum regional yang berlaku. Upah riil umumnya juga dipengaruhi oleh nilai
tambah bruto yang dapat diciptakan oleh sektor usaha, serta kondisi pasar tenaga
kerja di sektor usaha bersangkutan. Selain itu karena upah riil menggambarkan
balas jasa bagi faktor produksi tenaga kerja maka upah riil juga dipengaruhi
tingkat penggunaan faktor produksi lainnya seperti teknologi dan modal. Karena
itu secara umum dalam persamaan ekonometrik, upah riil sektoral dipengaruhi
oleh UMR, penawaran tenaga kerja, permintaan tenaga kerja, penanaman modal,
teknologi, NTB sektoral, serta variabel lag endogennya. Adapun fungsi
ekonometrika upah riil dirumuskan sebagai berikut :
tWPk = ttttt PMPgTFPPgKPkgAKkgUMRgg 543210 +++++
13176 ttt WPkgNTBPg ε+++ − ................................................. (B.7)
tWIk = ttttt PMIhTFPIhKIkhAKkhUMRhh 543210 +++++
14176 ttt WIkhNTBIh ε+++ − .................................................... (B.8)
tWLk = ttttt PMLiTFPLiKLkiAKkiUMRii 543210 +++++
15176 ttt WLkiNTBLi ε+++ − ................................................... (B.9)
tWPd = ttttt PMPjTFPPjKPdjAKdjUMRjj 543210 +++++
16176 ttt WPdjNTBPj ε+++ − ................................................. (B.10)
tWId = ttttt PMIkTFPIkKIdkAKdkUMRkk 543210 +++++
17176 ttt WIdkNTBIk ε+++ − ................................................... (B.11)
tWLd = ttttt PMLlTFPLlKLdlAKdlUMRll 543210 +++++
18176 ttt WLdlNTBLl ε+++ − .................................................. (B.12)
55
Keterangan :
tUMR = Upah minimum regional di Sul-Sel pada tahun-t (Rp/bulan)
tPMP = Penanaman modal (kredit perbankan) di sektor pertanian pada tahun-t (juta Rupiah) : dideflasi dengan IHK (2000=100)
tPMI = Penanaman modal (kredit perbankan) di sektor industri pada tahun-t (juta Rupiah) : dideflasi dengan IHK (2000=100)
tPML = Penanaman modal (kredit perbankan) di sektor lainnya pada tahun-t (juta Rupiah) : dideflasi dengan IHK (2000=100)
tAKk = Angkatan kerja di wilayah perkotaan di Sulawesi Selatan pada tahun-t (orang)
tAKd = Angkatan kerja di wilayah pedesaan di Sulawesi Selatan pada tahun-t (orang)
1−tWPk = Variabel lag dari upah riil di sektor pertanian wilayah perkotaan
1−tWIk = Variabel lag dari upah riil di sektor industri wilayah perkotaan.
1−tWLk = Variabel lag dari upah riil di sektor lainnya wilayah perkotaan.
1−tWPd = Variabel lag dari upah riil di sektor pertanian wilayah pedesaan.
1−tWId = Variabel lag dari upah riil di sektor industri wilayah pedesaan.
1−tWLd = Variabel lag dari upah riil di sektor lainnya wilayah pedesaan.
3. Nilai Tambah Bruto Sektoral
Bentuk persamaan ekonometrika dari nilai tambah bruto sektoral dalam
studi ini dipengaruhi oleh kesempatan kerja sektoral, invesatasi sektoral,
produktivitas tenaga kerja sektoral serta variabel lag dari nilai tambah bruto
sektoral. Persamaan ekonometrika dari nilai tambah sektoral akan di disagregasi
menurut kalasifikasi sektor pertanian , sektor industri dan sektor lainnya. Bentuk
persamaannya adalah sebagai berikut :
tNTBP = 25143210 ttttt NTBPmPKPmPMPmKPmm ε+++++ − ........ (B.13)
tNTBI = 26143210 ttttt NTBInPKInPMInKInn ε+++++ − ............. (B.14)
tNTBL = 27143210 ttttt NTBLoPKLoPMLoKLoo ε+++++ − ........... (B.15)
tKP = tt KPdKPk + ...................................................................... (B.16)
tKI = tt KIdKIk + ......................................................................... (B.17)
tKL = tt KLdKLk + ....................................................................... (B.18)
56
Keterangan :
tKP = Kesempatan kerja sektor pertanian di Sulawesi Selatan pada tahun-t (orang)
tKI = Kesempatan kerja sektor industri di Sulawesi Selatan pada tahun-t (orang)
tKL = Kesempatan kerja sektor lainnya di Sulawesi Selatan pada tahun-t (orang)
tPKP = Produktivitas kerja di sektor pertanian pada tahun-t (Rp/orang)
tPKI = Produktivitas kerja di sektor industri pada tahun-t (Rp/orang)
tPKL = Produktivitas kerja di sektor lainnya pada tahun-t (Rp/orang)
1−tNTBP = Variabel lag dari NTB sektor pertanian.
1−tNTBI = Variabel lag dari NTB sektor industri.
1−tNTBL = Variabel lag dari NTB sektor lainnya.
4. Pertumbuhan Ekonomi dan Komponen PDRB
Pertumbuhan ekonomi dalam studi ini diartikan sebagai perubahan relatif
(persentase) PDRB pada tahun-t dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh sumber-sumber pertumbuhan ekonomi
dari sisi supply maupun dari sisi permintaan. Karena itu persamaan pertumbuhan
ekonomi merupakan fungsi dari pertumbuhan tenaga kerja (PTK), pertumbuhan
teknologi (TFP), tingkat konsumsi masyarakat (CS), investasi (INV), pengeluaran
pemerintah (GOV), ekspor (EXPR) dan impor (IMP). Selanjutnya komponen
pengeluaran pemerintah dibuat dalam bentuk persamaan struktural yang
dipengaruhi oleh PAD dan DAU. Bentuk persamaannya adalah sebagai berikut :
tPE = ttttt GOVpINVpCSpTFPpPTKpp 543210 +++++
281876 ε++++ −ttt PEpIMPpEXPRp ............................... (B.19)
tG = 29143210 ttttt GqPDRBqDPqPADqq ε+++++ − ............... (B.20)
Keterangan :
tPE = Pertumbuhan ekonomi pada tahun-t (%)
tPAD = Pendapatan Asli Daerah Sul-Sel pada tahun-t (juta Rupiah).
tDP = Dana Perimbangan Sul-Sel pada tahun-t (juta Rupiah).
1−tPE = Variabel lag dari pertumbuhan ekonomi (%)
1−tGOV = Variabel lag dari pengeluaran pemerintah (juta Rupiah).
57
5. Produktivitas kerja
Ananta (1990), menyatakan bahwa produktivitas merupakan pengukuran
output, pengukuran ini merupakan ukuran relatif antara output dan input.
Produktivitas mengacu pada kemampuan maksimal sesorang untuk menghasilkan
produk. Produktivitas tenaga kerja diukur dari nilai tambah total yang diciptakan
suatu perekonomian dibagi dengan jumlah tenaga kerja yang bekerja untuk
menciptakan nilai tambah tersebut. Produktivitas pekerja di disagregasi
berdasarkan sektoral (pertanian, industri pengolahan dan sektor lainnya), yang
dipengaruhi oleh tingkat upah riil sektoral, kesempatan kerja sektoral, nilai
tambah bruto secara sektoral dan kemajuan teknologi sektoral. Dengan demikian
Persamaan ekonometrika dari produktivitas pekerja adalah sebagai berikut :
tPKP = 301543210 tttttt PKPrTFPPrNTBPrKPrWPrr ε++++++ − ...... (B.21)
tPKI = 311543210 tttttt PKIsTFPIsNTBIsKIsWIss ε++++++ − .... (B.22)
tPKL = 321543210 tttttt PKLtTFPLtNTBLtKLtWLtt ε++++++ − ... (B.23)
tWP = t
tttt
KPxWPdKPdxWPkKPk ∑∑ +
....................................... (B.24)
tWI = t
tttt
KIxWIdKIdxWIkKIk ∑∑ +
............................................ (B.25)
tWL = t
tttt
KLxWLdKLdxWLkKLk ∑∑ +
......................................... (B.26)
Keterangan :
tWP = Upah riil rata-rata sektor pertanian di Sulawesi Selatan pada tahun-t (Rp/bulan)
tWI = Upah riil rata-rata sektor industri di Sulawesi Selatan pada tahun-t (Rp/bulan)
tWL = Upah riil rata-rata sektor lainnya di Sulawesi Selatan pada tahun-t (Rp/bulan)
1−tPKP = Variabel Lag dari Produktivitas pekerja sektor pertanian
1−tPKI = Variabel Lag dari Produktivitas pekerja sektor industri
1−tPKJ = Variabel Lag dari Produktivitas pekerja sektor lainnya
58
6. Angkatan kerja
Analisa penawaran tenaga kerja di dekati dengan ukuran jumlah angkatan
kerja, yaitu jumlah penduduk usia lima belas tahun keatas yang bekerja dan tidak
bekerja tapi sedang mencari pekerjaan. Persamaan angkatan kerja dipengaruhi
oleh upah riil, migrasi, tingkat partisipasi angkatan kerja, penduduk usia kerja dan
peubah lag endogennya. Bentuk persamaan ekonometrika angkatan kerja adalah
sebagai berikut :
tAKk = 331543210 tttttt AKkuPUKuTPAKkuMMuWkuu ε++++++ − .. (B.27)
tAKd = 341543210 tttttt AKdvPUKvTPAKdvMMvWdvv ε++++++ − .. (B.28)
tWk = t
tttttt
KkxWLkKLkxWIkKIkxWPkKPk ∑ ∑∑ ++
......................... (B.29)
tWd = t
tttttt
KdxWLdKLdxWIdKIdxWPdKPd ∑ ∑∑ ++
........................ (B.30)
tTPAKk = %100xPUKkAKk
t
t ..................................................................... (B.31)
tTPAKd = %100xPUKdAKd
t
t ..................................................................... (B.32)
Keterangan :
tWk = Upah riil rata-rata wilayah perkotaan pada tahun-t (Rp/bulan)
tWd = Upah riil rata-rata wilayah pedesaan pada tahun-t (Rp/bulan)
tTPAKk = Tingkat partisipasi angkatan kerja di wilayah perkotaan (%)
tTPAKd = Tingkat partisipasi angkatan kerja di wilayah pedesaan (%)
tTPAK = Tingkat partisipasi angkatan kerja total (%)
tMM = Jumlah migrasi masuk di Sulawesi Selatan pada tahun-t (orang)
tPUKk = Jumlah penduduk usia kerja di wilayah perkotaan (orang)
tPUKd = Jumlah penduduk usia kerja di wilayah pedesaan (orang)
1−tAKk = lag tAKk (orang)
1−tAKd = lag tAKd (orang)
7. Migrasi
Lewis (1954), dalam Kasliwal (1995) menganggap bahwa adanya
perbedaan tingkat upah mendorong terjadinya migrasi. Sedangkan Todaro (2000)
mengatakan bahwa keputusan rumah tangga untuk bermigrasi tidak hanya
59
ditentukan oleh berapa besar upah (pendapatan) yang diterima seandainya
bermigrasi, tetapi juga dipengaruhi oleh peluang untuk mendapatkan pekerjaan di
sektor formal di perkotaan. Selain faktor ekonomi tersebut, keputusan bermigrasi
dapat disebabkan oleh faktor sosial seperti konflik horisontal di daerah asal.
Karena itu model yang dikembangkan dalam studi ini adalah model migrasi
masuk ke Sulawesi Selatan yang dipengaruhi oleh tingkat upah riil, kesempatan
kerja, dan dummy konflik horisontal di KTI serta variabel lag dari migrasi masuk.
Fungsi ekonometrika dari migrasi masuk dirumuskan sebagai berikut :
tMM = 35143210 ttttt MMwDKHwTPKwWww ε+++++ − ........... (B.33)
tW = t
tttt
KxWdKdxWkKk ∑∑ +
................................................ (B.34)
tTPK = %100xAKK
t
t ....................................................................... (B.35)
Keterangan :
tW = Upah riil rata-rata di Sulawesi Selatan pada tahun-t (Rp/bulan)
tTPK = Persentase pekerja terhadap jumlah angkatan kerja (%)
tDKH = Dummy konflik horisontal di KTI, di mana periode 1998-2001 = 1, sedangkan periode lainnya = 0
1−tMM = Variabel lag dari jumlah migrasi masuk (orang)
8. Pengangguran
Pengangguran (unemployment) merupakan bagian dari angkatan kerja
yang tidak bekerja, tapi sedang mencari pekerjaan. Pengangguran menc irikan
adanya excess supply dalam pasar tenaga kerja. Pengangguran dalam studi ini
dipengaruhi oleh jumlah angkatan kerja, kesempatan kerja dan migrasi masuk.
Bentuk persamaan ekonometrikanya adalah sebagai berikut :
tUk = 381543210 ε++++++ −ttttt UkwPEwMMwKkwAKkww ...... (B.36)
tUd = 391543210 ε++++++ −ttttt UdxPExMMxKdxAKdxx ......... (B.37)
Keterangan :
tUk = Tingkat pengangguran di wilayah perkotaan (%)
tUd = Tingkat pengangguran di wilayah pedesaan (%)
1−tUk = Variabel lag dari tingkat pengangguran di wilayah perkotaan (%)
1−tUd = Variabel lag dari tingkat pengangguran di wilayah pedesaan (%)
60
4.3.3. Tingkat Kekakuan Upah Sebagai Indikator Distorsi Pasar Tenaga
Kerja Ahli ekonomi structuralist (seperti Taylor dan Chenery) ketika mengkritik
teori pertumbuhan Solow mengatakan bahwa ketidak sempurnaan pasar tenaga
kerja terjadi secara kritis di negara berkembang yang ditunjukkan bahwa tenaga
kerja menerima upahnya lebih besar dari upah pasar bebasnya (Kasliwal, 1995),
atau dengan kata lain pwPM L /< (upah riil lebih tinggi dari produksi marginal
tenaga kerja). Menurutnya, bahwa kegagalan pasar yang terjadi di negara
berkembang ini berkaitan dengan: (1) Harga (upah) tidak melakukan penyesuaian
secara bebas, dan (2) agen ekonomi merespon secara lambat terhadap perubahan
harga (upah) yang terjadi. Hal senada yang diungkapkan oleh Mankiw (2003)
bahwa ketidak seimbangan dalam pasar tenaga kerja yang berdampak pada
pengangguran adalah kekakuan upah (wage rigidity) atau gagalnya upah
melakukan penyesuaian ke arah keseimbangan pasar ketika terjadi shock
(perubahan) pada sisi permintaan maupun pada sisi penawaran tenaga kerja.
Karena itu tingkat kekakuan upah dan atau lembatnya agen ekonomi merespon
perubahan upah dapat dijadikan indikator tingkat distorsi pasar tenaga kerja.
Studi ini menganggap bahwa semakin kakuh tingkat upah dan atau
semakin lama waktu yang dibutuhkan agen ekonomi untuk merespon perubahan
upah maka semakin tinggi tingkat distorsi pasar tenaga kerja. Untuk menguji
lamanya waktu yang dibutuhkan tingkat upah untuk melakukan penyesuaian akbat
adanya goncangan dari sisi permintaan atau penawaran tenaga kerja, demikian
pula lamanya waktu yang dibutuhkan agen ekonomi untuk merespon shock harga,
maka metode yang digunakan dalam studi ini adalah metode Error Correction
Model (ECM). Persamaan ECM dapat dituliskan sebagai berikut (Verbeek, 2000):
ttttt XYXbY εββγ +−−+∆=∆ −− )( 11011 ........................................... (C. 1)
Keterangan :
1b = Paramter jangka pendek γ = Parameter Error Correction
10 , ββ = Parameter jangka panjang
61
Parameter Error Correction )(γ dalam persamaan diatas dapat
diinterpretasikan sebagai speed of adjusment dari variabel endogen akibat adanya
shock dari variabel tertentu. Langkah- langkah diagnostik test ECM adalah
(Nuryati, 2004 dan Bafadal, 2005) :
1. Uji Unit root (non-stationary) dengan menggunakan ADF test
2. Menentukan ordo optimal VAR berdasarkan uji Likelihood Ratio (LR test)
3. Pengujian Kointegrasi, yaitu pengujian hubungan jangka panjang dengan
menggunakan Johansen test
4. Mengetahui perilaku shock suatu variabel dan peran masing-masing
guncangan terhadap variabel tertentu dengan menggunakan Impuls Respon
Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD).
Untuk menganalisis tingkat dostorsi pasar tenaga kerja berdasarkan
kerangkan analisis ECM di atas, maka jenis hubungan variabel yang dianalisis
akan dibagi berdasarkan analogi tingkat kekakuan upah dan berdasarkan
kelambanan agen ekonomi merespon tingkat upah yang dirinci sebagai berikut :
a. Tingkat kekakuan upah apabila ada shock dari angkatan kerja atau kesempatan
kerja
• ),( ttt AkKkfWk =
• ),( ttt AdKdfWd =
• )( tt KPkfWPk =
• )( tt KIkfWIk =
• )( tt KLkfWLk =
• )( tt KPdfWPd =
• )( tt KIdfWId =
• )( tt KLdfWLd =
b. Tingkat kelambanan agen ekonomi merespon upah
• )( tt WkfKk =
• )( tt WdfKd =
• )( tt WPfKP =
62
• )( tt WIfKI =
• )( tt WLfKL =
4.3.4. Simulasi Kebijakan dan Dampaknya Terhadap Pasar Tenaga Kerja, Pertumbuhan Ekonomi.
Dalam bagian ini, simulasi dilakukan dalam rangka mengetahui dampak
perubahan faktor eksternal (variabel eksogen) dari pasar tenaga kerja terhadap
terhadap komponen kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi
Selatan. Berdasarkan pada tujuan penelitian yang dikembangkan maka simulasi
yang dilakukan adalah :
(a). Peningkatan konsumsi masyarakat (25 persen), Simulasi ini memberikan
informasi mengenai dampak peningkatan konsumsi masyarakat terhadap
pertumbuhan PDRB dan kesempatan kerja sektoral
(b). Peningkatan investasi (25 persen), Simulasi ini memberikan informasi
mengenai dampak peningkatan investasi terhadap pertumbuhan PDRB
dan kesempatan kerja sektoral
(c). Peningkatan Ekspor (25 persen). Simulasi ini memberikan informasi
mengenai dampak peningkatan ekspor terhadap pertumbuhan PDRB dan
kesempatan kerja sektoral
(d). Penurunan import (25 persen). Simulasi ini memberikan informasi
mengenai dampak peningkatan impor terhadap pertumbuhan PDRB dan
kesempatan kerja sektoral
(e). Peningkatan PAD (25 persen), Simulasi ini memberikan informasi
mengenai dampak peningkatan PAD terhadap pertumbuhan PDRB dan
kesempatan kerja sektoral
(f). Kemajuan teknologi (2 persen), Simulasi ini memberikan informasi
mengenai dampak kemajuan teknologi terhadap pertumbuhan PDRB,
nilai tambah sektoral dan kesempatan kerja sektoral
4.4. Identifikasi Model Ekonometrika
Model ekonometrika yang dikembangkan dalam studi ini, khususnya
untuk mengkaji keragaan pasar tenaga kerja adalah model persamaan simultan.
Dalam persamaan simultan, jumlah persamaan sama dengan jumlah variabel
63
terikatnya atau variabel endogennya. Mengingat, setiap persamaan struktural
dalam model persamaan simultan tergantung atau dipengaruhi oleh persamaan
lainnya, karena itu apabila setiap persamaan diduga dengan menggunakan metode
OLS (mengabaikan informasi dari persamaan lainnya) maka tentu hasinya tidak
saja bias, tetapi juga tidak konsisten, dengan kata lain akan menghasilkan bias
yang disebut sebagai bias persamaan simultan (Simultaneous-equation Bias atau
Simultaneity Bias). Bias persamaan simultan seperti ini berasal dari
penyimpangan asumsi autocorelation OLS, yang menyatakan bahwa variabel-
variabel bebas dan variabel gangguan (error) seharusnya tidak tergantung satu
sama lain (Sumodiningrat, 1999).
Oleh karena penggunaan OLS menghasilkan taksiran yang bias dan tidak
konsisten terhadap persamaan simultan, maka perlu digunakan teknik statistik
yang berbeda untuk menaksir parameter-parameter strukturalnya. Metode yang
biasa digunakan untuk persamaan simultan secara garis besarnya dikelompokkan
dua kategori. Kategori pertama adalah “metode persamaan tunggal” (single
equation methods) (single equation methods) yang dikenal sebagai metode
informasi terbatas. Yang termasuk dalam kategori ini adalah (a) The Indirect
Least Squares (ILS), (b) The Methode of Instrumental Variabel (IV), (c) Two
Stage Least Squares (2SLS). Selanjutnya kategori kedua adalah “Metode Sistem”
(System methods) yang dikenal sebagai metode informasi penuh. Yang termasuk
dalam kategori ini adalah (a) Limited Information Maximum Likelihood (LIML),
(b) Three Stage Least Squares (3SLS), (c) Full Information Maximum Likelihood
(FIML). Idealnya harus digunakan “metode sistem”, karena menghasilkan taksiran
paramater yang memperhitungkan seluruh kaitan yang ada diantara variabel dalam
seluruh persamaan, akan tetapi dalam praktek jarang digunakan, karena sangat
kompleks, perhitungannya rumit dan sangat peka terhadap kesalahan spesifikasi
(Sumodiningrat, 1999).
Untuk menentukan model mana dari metode persamaan tunggal yang akan
digunakan untuk menaksir persamaan simultan, maka langkah awal yang
dilakukan adalah melakukan identifikasi persamaan. Hal ini dimaksudkan untuk
memastikan bahwa perumusan model sudah tepat secara statistik sehingga
parameternya dapat ditaksir secara unik. Jika persamaan tidak teridentifikasi,
64
berarti persamaan tidak menghasilkan nilai-nilai taksiran yang unik sehingga
persamaan-persamaan dalam model tidak bisa dibedakan dalam pengamatan
(observationally indistinguishable). Untuk menguji kondisi identifikasi setiap
persamaan dalam model persamaan simultan, maka harus memenuhi kriteria
order condition seperti yang dirumuskan berikut :
1** −≥− GKK Atau (dengan menambahkan )( *GG − pada kedua sisi :
)1()()( ** −≥−+− GKKGG
Dimana :
)( *GG − = Jumlah variabel endogen yang tidak terdapat dalam persamaan
bersangkutan
)( *KK − = Jumlah variabel eksogenyang tidak terdapat dalam persamaan
bersangkutan
)1( −G = Jumlah variabel endogen dalam model dikurangi satu
Apabila suatu persamaan dalam model tidak memenuhi kriteria order
condition seperti dirumuskan diatas, maka persamaan tersebut dalam model tidak
teridentifikasi (unidentified). Sedangkan apabila kriteria tersebut terpenuhi berarti
persamaan dalam model teridentifikasi dengan dua kemungkinan status
identifikasi yakni jika )( *KK − sama dengan )1( * −G , maka disebut model
teridentifikasi secara tepat (exactly identified). Sedangkan apabila )( *KK − lebih
besar dari )1( * −G , maka persamaan dalam model teridentifikasi secara berlebih
(overidentified)
Model persamaan simultan yang dirumuskan dalam studi ini terdiri dari 37
persamaan atau variabel endogen dengan rincian teridiri dari 25 buah persamaan
struktural dan 12 buah persamaan identitas, sedangkan variabel eksogennya terdiri
dari 38 variabel. Dengan demikian secara keseluruhan jumlah variabel yang
dianalisis dalam model ekonometrika keragaan pasar tenaga kerja adalah
sebanyak 75 variabel. Berdasarkan kriteria indentifikasi model dengan kriteria
order condition, maka setiap persamaan yang dirumuskan dalam studi ini adalah
overidentified.
65
4.5. Metode Pendugaan
Metode pendugaan yang digunkan dalam mekasir keragaan pasar tenaga
kerja di Sulawesi Selatan adalah metode Two Stage Least Squares (2SLS). Dasar
pertimbangan yang digunakan dalam memilih metode ini adalah karena dari hasil
uji identifikasi semua persamaan yang telah dirumuskan dalam keadaan
overidentified. Menurut Sumodingrat (1999) bahwa dalam kondisi ini metode ILS
tidak dapat digunakan dan disarankan menggunakan metode 2SLS karena metode
ini jauh lebih sederhana dan lebih mudah dibandingkan metode lainnya.
Pertimbangan lainnya adalah berkaitan dengan kemungkinan kesalahan dalam
perumusan model. Dengan menggunakan metode 2SLS, maka kesalahan
spesifikasi satu persamaan tidak ditransmisikan ke persamaan lainnya, bilapun
terjadi, pengaruhnya kecil. Sebaliknya penggunaan metode 3SLS, maka kesalahan
spesifikasi akan ditrasmisikan ke persamaan lainnya sehingga hasilnya dapat bias
dan lebih buruk.
Selanjutnya untuk menguji apakah model yang dirumuskan dalam
penelitian ini mengalami korelasi serial atau tidak, digunakan metode Breusch
Godfrey Serial Correlation Test. Uji ini mensyaratkan bahwa jika nilai probability
Obs*R-Squared lebih besar dari nilai kritis a = 0.05, maka persamaan tersebut
tidak terjadi korelasi serial. Sedangkan untuk menguji apakah peubah-peubah
penjelas secara partial berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen
pada masing-masing persamaan struktural digunakan uji statistik-t dan untuk
menguji signifikansi variabel penjelas tersebut secara bersama-sama terhadap
variabel endogen digunakan uji statistik-F.
4.6. Prosedur Pembentukan dan Penerapan Model
Model persamaan simultan keragaan pasar tenaga kerja yang dirumuskan
dalam bentuk persamaan ekonometrika, dimaksudkan sebagai perwakilan atau
abstraksi dari kondisi aktual pasar tenaga kerja di Sulawesi Selatan. Prosedur dan
penerapan model untuk melihat keragaan pasar tenaga kerja di Sulawesi Selatan
secara garis besarnya dilakukan dalam tiga tahap.
Tahap pertama merupakan tahapan identifikasi masalah kemudian
dilakukan spesifikasi dan mensarikan masalah secara lebih terperinci. Dari
66
rumusan masalah yang lebih terperinci tersebut diikuti dengan kajian pustaka dan
kajian teori-teori yang mendasarinya. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka
penyusunan kerangka model konsepsional dalam bentuk persamaan ekonomi dan
dilanjutkan penyusunan kerangka model operasional dalam bentuk persamaan
ekonometrika. Bagian akhir dari tahapan ini adalah mengumpulan data empirik
sesuai jumlah dan jenis variabel yang termuat dalam keranka analisis operasional.
Tahap kedua adalah merupakan tahapan analisis. Analisis yang
dimaksudkan adalah menaksir parameter-parameter dugaan seperti yang telah
dirumuskan dalam kerangka model operasional dan berdasarkan data empiris yang
telah dikumpulkan. Analisis pendugaan ini dilanjutkan dengan pengujian
hipotesis. Hasil pengujian hipotesis dijadikan dasar untuk meninjau kembali
model operasional yang dibangun dan atau data empirik yang dianalisis terutama
jika hasil pengujian hipotesisi ini menunjukkan kondisi yang tidak valid.
Sebaliknya jika pengujian hipotesis ini sudah menunjukkan validatas yang cukup
maka kemudian dapat dilanjutkan dengan analisa simulasi dan peramalan.
Berdasarkan hasil analisa simulasi dan peramalan model seperti yang telah
dilakukan dalam tahap kedua, maka tahap berikutnya (tahap ke tiga) adalah
menguraikan atau membahas hasil-hasil ramalan dengan mengaitkan teori- teori,
tinjauan pustaka maupun pengalaman empiris yang kemudian dilanjutkan dengan
penarikan kesimpulan dan perumusan rekomendasi kebijakan. Tahapan dan
langkah-langkah serta umpan balik dalam menaksir keragaan pasar tenaga kerja di
Sulawesi Selatan secara skematis adalah sebagai berikut :
67
Sumber : Anwar, 2001 Keterangan : A = Input -input masukan (disertai dugaan awal dari peubah eksogen) B = Model ekonometrika (sistem persamaan simultan, jumlah persamaan sesuai dengan
jumlah peubah endogen yang terdapat dalam model) C = Solusi atau jawaban (nilai ramalan dan nilai dampak dari simulasi) Gambar 12. Tahapan dan umpan balik dalam penelitian analisis pasar tenaga
kerja dan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan Guna mendapatkan model terbaik, maka pada tahap verifikasi dalam
prosedur analisa di gunakan tiga kriteria penting seperti yang di gunakan oleh
Juanda (2001) yakni (1) Asumsi error tidak terpenuhi, (2) jika pengaruh variabel
tidak signifikan dan (3) hasil pendugaan tidak sesuai hipotesis.
Penentuan masalah ekonomi tertentu secara umum
Mensarikan masalah spesifik secara lebih terperinci
Dasar teori yang melandasi pembangunan model dan
penggalian hipotesis
Telaan pustaka dan penggalian pengalaman penelitian
sebelumnya
Penyusunan kerangka model konseptual (ekonometrika teoritis)
Kerangka model operasional
Pengumpulan data empirik
Pendugaan parameter
Pengujian hipotesis (Verifikasi model)
Simulasi dan Peramalan model
Hasil-hasil peramalan dan Simulasi
Kesimpulan dan rekomendasi kebijakan
A
B
C
68
4.7. Definisi Operasional
Berbagai pengertian dan definisi operasional yang digunakan dalam
meneliti pasar tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan adalah
sebagai berikut :
1. Kesempatan kerja adalah jumlah penduduk Sulawesi Selatan yang berumur
15 tahun keatas yang melakukan pekerjaan dengan tujuan memperoleh
nafkah atau membantu memperoleh nafkah paling sedikit satu jam secara
terus menerus selama seminggu yang lalu (orang)
2. Angkatan kerja adalah jumlah penduduk Sulawesi Selatan yang berumur 15
tahun keatas yang bekerja dan tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan
(orang)
3. Pengangguran adalah jumlah penduduk Sulawesi Selatan yang berumur 15
tahun keatas yang tidak bekerja dan tidak mempunyai pekerjaan, bersedia
bekerja/menerima pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan selama
seminggu yang lalu (orang)
4. Upah riil adalah rata-rata upah/gaji yang diterima pekerja selama sebulan
yang lalu dibagi dengan indeks harga konsumen (IHK : Tahun 2000 =100)
(Rp/bulan)
5. Produktivitas tenaga kerja sektoral adalah nilai tambah bruto sektoral dibagi
dengan jumlah tenaga kerja sektoral (Rp/orang)
6. PDRB adalah produk domestik regional bruto Sulawesi Selatan menurut
penggunaannya yang terdiri dari konsumsi masyarakat, konsumsi
pemerintah, pertambahan barang modal, perubahan stok, dan ekspor yang
dikurangi impor (juta Rupiah)
7. Sektor pertanian adalah mencakup pengertian pertanian dalam arti luas yang
terdiri sub sektor tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan,
kehutanan dan perikanan
8. Sektor industri adalah sektor industri pengolahan
9. Sektor lainnya mencakup sektor pertambangan dan galian, sektor listrik, gas
dan air bersih, sektor bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, sektor
angkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
serta sektor jasa-jasa.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Profil Perekonomian Sulawesi Selatan
5.1.1. Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan
Pertumbuhan ekonomi sering diartikan sebagai kenaikan jangka panjang
dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis
barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Dengan pengertian ini, maka
pertumbuhan ekonomi, selain mencirikan berkembangnya berbagai sektor-sektor
usaha dan perluasan kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi juga mencirikan
peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum. Menurut Mankiw (2003),
bahwa para ekonom menggunakan data Produk Domestic Bruto (PDB) atau
PDRB, untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Karena data tersebut selain
mengukur jumlah output barang dan jasa total suatu daerah, juga mengukur
pendapatan total setiap orang dalam perekonomian. Karena itu, dalam tulisan ini
pertumbuhan ekonomi tidak lain adalah pertumbuhan PDRB itu sendiri.
Dengan mengamati kinerja pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan secara
runtun waktu dari tahun 1985 – 2004, tampak bahwa dalam dua dekade terakhir,
pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan sebenarnya mencatat suatu kinerja yang
tidak terlalu buruk. Selama periode ini perekonomian Sulawesi Selatan rata-rata
tumbuh sekitar 5.88 persen per tahun. Kinerja pertumbuhan ekonomi ini, lebih
tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional yang tumbuh sekitar 4.70
persen per tahun dalam periode yang sama, demikian pula lebih tinggi dari rata-
rata pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang tumbuh sekitar
5.25 persen pertahun dalam kurun waktu tersebut (Tabel 2)
70
(5.33)
(2.80)
(13.13)
(14.00)
(10.00)
(6.00)
(2.00)
2.00
6.00
10.00
14.00
PDRB Sul-Sel 5.78 7.07 10.00 6.48 6.74 9.53 7.74 7.72 7.40 8.56 8.31 4.30 (5.33) 2.83 4.89 5.11 4.10 5.25 5.20
PDRB KTI 4.69 3.78 6.74 5.45 7.56 8.13 7.62 5.77 8.50 7.99 9.37 5.25 (2.80) 1.85 4.91 4.79 3.47 3.36 3.33
PDB Nasional 4.99 4.93 5.78 7.46 7.24 6.95 6.46 6.50 7.54 8.22 7.82 4.70 (13.1 0.79 4.90 3.83 4.38 4.88 5.13
1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
STDEV (Nasional) = 4,54
STDEV (Sul-Sel) = 3,24
STDEV (KTI) = 2,78
Per
tum
buha
n (%
)
Gambar 13 Kinerja pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, kawasan timur
Indonesia (KTI) dan nasional, periode 1986-2004
Dalam sejarah panjang perjalanan proses pembangunan Sulawesi Selatan,
kinerja pertumbuhan ekonomi daerah ini, sesungguhnya juga mengalami ”pasang-
surut”, seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia. Dinamika pertumbuhan
ekonomi Sulawesi Selatan ini, dikaitkan dengan tiga periode penting yang terjadi
di Indonesia yakni (1) Periode sebelum krisi ekonomi (1986-1997). Periode ini
terkait dengan ”kebijakan industrialisasi” yang diawali pada pertengahan tahun
1980-an dengan sejumlah instrumen insentif bagi sektor industri. (2) Periode
krisis ekonomi (1998-2000), dan (3) periode pasca krisis ekonomi (2001-2004).
Bagaimana gambaran kinerja perekonomian Sulawesi Selatan pada masing-
masing periode ini, akan dijelaskan satu persatu sebagai berikut
Pada periode sebelum krisis ekonomi tahun 1986-1997, perekonomian
Sulawesi Selatan tumbuh pesat secara memukau yakni dengan tingkat
pertumbuhan rata-rata 7.47 persen pertahun. Kinerja pertumbuhan ekonomi
Sulawesi Selatan dalam periode ini bahkan lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan
ekonomi nasional yang tumbuh sekitar 6.55 persen pertahun, serta lebih tinggi
dari tingkat pertumbuhan ekonomi KTI, yang secara rata-rata tumbuh sekitar 6.74
persen pertahun. Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan yang tinggi di periode
71
ini, terutama di dorong oleh pertumbuhan sektor industri pengolahan yang
mengalami perkembangan pesat yakni tumbuh sekitar 15.22 persen pertahun.
Gambaran ini menunjukkan bahwa, strategi industrialisasi di Indonesia yang
diawali pada pertengahan tahun 1980-an, berhasil menciptakan ”loncatan”
pertumbuhan sektor industri pengolahan di Sulawesi Selatan
Periode krisis ekonomi (1998-2000), pada periode ini, walaupun
perekonomian Sulawesi Selatan mengalami guncangan hebat, sehingga tumbuh
lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi KTI, akan tetapi dibandingkan dengan
perekonomian nasional, maka perekonomian Sulawesi Selatan memiliki resistensi
yang lebih tinggi dibandingkan perekonomian nasional dari guncangan
perekonomian global. Resistensinya perekonomian Sulawesi Selatan dari
guncangan ekonomi global dibandingkan perekonomian nasional, terkait dengan
corak perekonomian Sulawesi Selatan yang masih didominasi oleh sektor
pertanian, dengan berbagai komoditi dari sektor ini terutama sub sektor
perkebunan memiliki peningkatan daya saing dalam pasaran ekspor di era ini,
sementara corak perekonomian nasional sudah bertransformasi ke dominasi sektor
industri sejak tahun tahun 1991.
Periode pasca krisis (2001-2004). Kinerja pertumbuhan ekonomi Sulawesi
Selatan pada periode ini juga memperlihatkan kinerja yang tidak buruk, karena
kinerja pertumbuhan ekonominya melampaui kinerja pertumbuhan ekonomi
nasional dan KTI yang masing-masing memiliki tingkat rata-rata pertumbuhan
sebesar 4.55 persen pertahun untuk nasional dan 3.73 persen pertahun untuk
wilayah KTI , sedangkan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan mencapai 4.91
dalam periode yang sama.
Kinerja perekonomian Sulawesi Selatan, dilihat dari aspek kestabilan
pertumbuhan--diukur berdasarkan standar deviasi pertumbuhan selama tahun
1986-2004)--, seperti terlihat pada Tabel 2, bahwa selama periode 1986-2004
pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan ternyata juga lebih stabil dibandingkan
stabilitas pertumbuhan ekonomi nasional. Akan tetapi kurang stabil bila
dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi di wilayah KTI. Gambaran
ini ditunjukkan oleh nilai standar deviasi pertumbuhan ekonomi masing-masing
72
sebesar 2.85 untuk wilayah KTI, sekitar 3.32 untuk Sulawesi Selatan dan sekitar
4.66 untuk nasional.
Dengan mencermati lebih jauh ke struktur perekonomian Sulawesi Selatan,
ternyata sektor industri pengolahan yang memiliki instabilitas paling tinggi
dibandingkan sektor lainnya, dengan standar deviasi pertumbuhan sebesar 9.00,
sementara pertumbuhan sektor pertanian memiliki standar deviasi sekitar 3.22 dan
sektora lainnya sekitar 4.34. Bahkan pertumbuhan industri pengolahan di
Sulawesi Selatan sangat tidak stabil bila dibandingkan sektor serupa secara
nasional. Indikasi ketidakstabilan pertumbuhan sektor industri pengolahan yang
tinggi ini, menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan Sulawesi Selatan
sesungguhnya senangtiasa mengalami ”pasang-surut” dari tahun ke tahun, dan hal
ini tentunya merupakan kondisi yang kurang baik bagi pengembangan iklim
investasi bagi sektor industri itu sendiri.
Tabel 2 Pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan PDRB per kapita Sulawesi Selatan, kawasan timur Indonesia (KTI) dan nasional, tahun 1985-2004
Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Perkapita (%),
Tahun 1985-2004 Sebelum krisis
(Periode Industrialisasi) Krisis
Ekonomi Pasca Krisis Rata-rata St Dev
No. Uraian
86-89 90 - 97 r* = 86-97 98-00 01-04 86-04 86-04
A. Pertumbuhan PDRB
1 PDRB Sulsel 7.33 7.54 7.47 0.80 4.91 5.88 3.32
a. Pertanian 6.28 5.73 5.91 0.88 1.39 4.17 3.22
b. Industri Manuf 22.67 11.49 15.22 1.88 5.71 11.11 9.00
c. Lainnya 6.64 8.21 7.69 0.57 7.24 6.47 4.34
2 PDRB KTI 5.17 7.52 6.74 1.32 3.73 5.25 2.85
3 PDB Nasional 5.79 6.93 6.55 (2.48) 4.55 4.70 4.66
a. Pertanian 3.02 2.81 2.88 (1.21) 3.93 2.45 2.45
b. Industri Manuf 10.03 10.99 10.67 1.32 5.02 8.00 5.79
c. Lainnya 5.62 6.75 6.37 (4.34) 4.49 4.28 5.54
B Pertumbuhan PDRB/Kapita
a. Sulawesi Selatan 7.16 5.94 6.35 (0.47) 3.91 4.76 4.49
b. KTI 1.34 3.47 2.76 0.69 2.27 2.33 2.31
c. Nasional 4.17 6.60 5.79 (3.55) 3.25 3.78 5.01
Sumber : Diolah dari PDRB provinsi-provinsi di Indonesia berbagai penerbitan, tahun 1985-2004
Tabel 2 juga menunjukkan indikator makro penting lainnya, yakni PDRB
per kapita. Indikator ini menggambarkan besarnya nilai tambah yang diciptakan
pada setiap penduduk, namun tentunya angka tersebut tidak menunjukkan tingkat
73
penerimaan secara nyata pada seluruh masyarakat di setiap daerah, karena angka
tersebut hanya merupakan nilai tambah rata-rata (output) dari semua sektor
produktif. Walaupun demikian indikator PDRB per kapita tetap menjadi indikator
makro yang penting untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat
dalam suatu perekonomian.
Dilihat dari sisi pertumbuhannya selama periode 1985 – 2004, Sulawesi
Selatan memiliki pertumbuhan PDRB per kapita yang cukup tinggi (4.76 persen
per tahun), bahkan melampaui rata-rata pertumbuhan PDRB per kapita di wilayah
KTI (2.33 persen pertahun) dan PDB perkapita nasional (3.78 persen per tahun).
Angka tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan pendapatan per kapita atau
rata-rata nilai tambah yang diciptakan setiap penduduk di Sulawesi Selatan lebih
tinggi dibandingkan pertumbuhan pendapatan perkapita masyarakat rata-rata
provinsi-provinsi di wilayah KTI, maupun rata-rata provinsi di seluruh Indonesia.
Pertumbuhan PDRB Per kapita yang tinggi, umumnya terjadi pada periode
sebelum krisis ekonomi (1985-1997). PDRB per kapita Sulawesi Selatan pada era
ini tumbuh rata-rata 6.35 persen pertahun, sedangkan wilayah KTI dan nasional
masing-masing tumbuh sekitar 2.76 persen per tahun dan 5.79 persen per tahun
dalam periode yang sama. Kinerja pertumbuhan PDRB perkapita, tampaknya
menyerupai kinerja pertumbuhan ekonomi, dimana pada periode pertumbuhan
ekonomi mengalami peningkatan tajam, maka pertumbuhan PDRB juga
meningkat tinggi, demikian pula sebaliknya. Gambaran ini sekaligus
menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu mekanisme
yang dapat melipat gandakan pendapatan perkapita, dengan kecepatan yang
berakselerasi, seperti yang dilansir dalam laporan Bank Dunia (2005).
Walaupun Sulawesi Selatan memiliki pertumbuhan PDRB per kapita yang
lebih tinggi selama dua dekade terakhir, dibandingkan rata-rata pertumbuhan
PDRB perkapita provinsi lain di wilayah KTI maupun secara nasional, namun
besarannya jauh lebih rendah dibandingkan besaran PDRB perkapita rata-rata
secara nasional, maupun secara regional di wilayah KTI.
PDRB Per kapita masyarakat Sulawesi Selatan pada tahun 2004 hanya
sekitar Rp. 4.45 juta per kapita, sementara rata-rata provinsi di KTI memiliki
PDRB per kapita sebesar Rp. 6.72 juta per kapita, bahkan secara nasional rata-rata
74
provinsi memiliki PDRB per kapita sebesar Rp. 7.67 juta per kapita. Hal ini
berarti bahwa rata-rata pendapatan perkapita masyarakat Sulawesi Selatan saat ini
hanya sekitar 58.03 persen dari rata-rata pendapatan per kapita masyarakat di
seluruh Indonesia. Angka ini sesungguhnya sudah jauh lebih bagus bila
dibandingkan kondisi pendapatan per kapita masyarakat Sulawesi Selatan pada 20
tahun yang lalu, dimana PDRB per kapita di daerah ini pada tahun 1985,
besarannya kurang dari separuh dari rata-rata PDRB per kapita provinsi lain di
Indonesia maupun rata-rata provinsi di Wilayah KTI yakni berjumlah sekitar Rp.
1.87 juta per kapita per tahun. Perkembangan PDRB per kapita pertahun di
Sulawesi Selatan, wilayah KTI dan nasional dapat dilihat pada Gambar 14.
-
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
Sulawesi Selatan 1.87 2.59 3.55 3.82 3.96 4.06 4.29 4.45
Wilayah KTI 4.36 4.79 5.43 6.14 6.31 6.41 6.62 6.72
Nasional 3.88 4.80 6.92 6.75 6.92 7.14 7.39 7.67
1985 1990 1995 2000 2001 2002 2003 2004
Nasional: r = 3,78%/Thn KTI: r = 2,33%/Thn
Sul-Sel: r = 4,76%/Thn
PD
RB
Per
kapi
ta (R
p. J
uta)
Gambar 14 Perkembangan PDRB per kapita Provinsi Sulawesi Selatan, kawasan
timur Indonesia (KTI) dan nasional, periode 1986-2004 (juta Rp.)
Akan tetapi jika diamati lebih mendalam, rendahnya PDRB per kapita
masyarakat Sulawesi Selatan dibandingkan rata-rata provinsi di KTI dan rata-rata
nasional, disebabkan oleh adanya provinsi yang memiliki PDRB per kapita yang
ekstrim, terutama daerah-daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam yang
besar sepert Kalimantan Timur, Riau, NAD, Papua dan lainnya. Secara nasional,
dari 30 provinsi yang ada saat ini, Sulawesi Selatan berada pada urutan ke 21
tingkat PDRB per kapitanya, dan secara regional, dari 14 provinsi di wilayah KTI
75
PDRB per kapita Sulawesi Selatan berada pada posisi ke delapan terbesar yang
berarti masih ada 6 provinsi lainnya di KTI yang memiliki PDRB per kapita yang
lebih rendah.
Penting untuk diingat, bahwa PDRB perkapita hanya menggambarkan
rata-rata nilai tambah sektor produktif per penduduk yang diciptakan pada suatu
wilayah dan tidak menggambarkan rata-rata pendapatan masyarakat secara riil.
Daerah-daerah yang memiliki PDRB per kapita ekstrim seperti yang telah
disebutkan, umumnya ditopang oleh sektor pertambangan dan industri minyak,
dimana sektor-sektor ini umumnya tidak banyak menyerap tenaga kerja, bahkan
sektor ini juga memiliki kebocoran wilayah (regional leakeges) yang tinggi pula.
Karena itu, tidak heran jika daerah-daerah yang memiliki PDRB per kapita
ekstrim tersebut, juga merupakan kantong-kantong kemiskinan di Indonesia.
Uraian diatas menunjukkan bahwa indikator PDRB per kapita memiliki
bias yang tinggi untuk mengukur tingkat pendapatan per kapita riil masyarakat.
Ada dua alasan utama sehingga angka PDRB per kapita tidak mencirikan sebagai
tingkat pendapatan riil masyarakat disuatu daerah (1) kepemilikan faktor- faktor
produksi yang digunakan dalam setiap sektor produktif tidak dimiliki secara
merata oleh masyarakat, bahkan sebagian pemilik faktor produksi tersebut bukan
penduduk setempat, sehingga sebahagian imbalan jasa faktor- faktor produksi
mengalir keluar atau terjadi kebocoran wilayah (regional leakages), (2) adanya
perbedaan tingkat produktifitas tenaga kerja menurut sektor. Sektor produtif
seperti pertambannga, industri migas dan perbangkan, memang mampu
menciptakan nilai tambah yang besar, tetapi tidak dapat menyerap tenaga kerja
banyak, sehingga nilai tambah yang dihasilkannya hanya dinikmati oleh
sebahagian kecil masyarakat saja. Walaupun demikian indikator PDRB per kapita,
hingga saat ini masih tetap menjadi indikator penting yang digunakan oleh banyak
kalangan untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat.
5.1.2. Struktur Perekonomian Sulawesi Selatan dan Kontribusinya dalam
Perekonomian Regional dan Nasional Seperti yang telah digambarkan pada bagian terdahulu, bahwa dalam
periode krisis ekonomi, perekonomian Sulawesi Selatan memiliki resistensi yang
lebih kuat dibadingkan perekonomian nasional. Kondisi tersebut diduga kuat
76
memiliki hubungan dengan struktur ekonomi Sulawesi Selatan yang memiliki
corak berbeda dengan struktur ekonomi nasional. Karena itu pada bagian ini akan
diuraikan bagaimana corak struktur perekonomian Sulawesi Selatan, serta
bagaiman kontribusinya terhadap perekonomian regional dan nasional.
Dari segi struktur perekonomian, Sulawesi Selatan dicirikan oleh tiga
sektor utama sebagai motor penggerak (engine power) roda perekonomian yakni
masing-masing sektor pertanian, sektor pedagangan dan sektor industri
pengolahan. Dari ke tiga sektor tersebut, tercatat hingga tahun 2004, sektor
pertanian masih mendominasi perekonomian dengan kontribusi sekitar 33.04
persen, kemudian disusul oleh sektor perdagangan dengan kontribusi sekitar 14.54
persen dan sektor industri pengolahan dengan kontribusi sekitar 13.36 persen.
Berbeda halnya dengan kondisi struktur perekonomian nasional, dimana dominasi
sektor pertanian sudah tergeser sejak awal tahun 1990an ke dominasi sektor
industri pengolahan.
Masih dominannya kontribusi sektor pertanian di Sulawesi Selatan,
dipandang sebagai salah satu kunci utama sehingga perekonomian di daerah ini
dimasa krisis lebih resisten dibandingkan kondisi perekonomian nasional.
Resistennya pertanian dari krisis global tersebut disebabkan karena sektor ini
umumnya menggunakan domestic input, sehingga tidak banyak dipengaruhi oleh
perubahan nilai tukar. Bahkan berbagai output dari sektor ini, khususnya komoditi
ekspor memiliki posisi daya saing yang semakin kuat di pasaran internasional
pada masa itu.
77
Keterangan : Diolah dari PDRB Sulawesi Selatan, tahun 2004
Pertanian33.04%
Pert & Galian9.39%
Industri Peng13.36%
Perdagangan14.54%
Angkutan7.07%
Keuangan5.90%
Jasa11.29%
Listrik, Gas & Air0.89%
Bangunan4.52%
Gambar 15 Struktur PDRB Provinsi Sulawesi Selatan, tahun 2004
Dari segi pergeseran struktural ekonomi di Sulawesi Selatan, seperti
terlihat pada Tabel 3 menunjukkan bahwa, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir,
struktur perekonomian sulawesi selatan telah bergeser secara signifikant.
Kontribusi sektor pertanian telah merosot dari 44.73 persen tahun 1985 menjadi
33.04 persen tahun 2004. Kemerosotan paling besar terjadi pada 10 tahun pertama.
Sementara sektor industri pengolahan mengalami kemajuan pesat dalam
memberikan kontribusi terhadap PDRB yakni dari 3.99 persen tahun 1985
menjadi 13.36 persen tahun 2004. Sedangkan sektor lainnya hanya mengalami
peningkatan kecil selama periode tersebut.
Corak pergeseran struktural ekonomi Sulawesi Selatan seperti yang telah
digambarkan, tampaknya berbeda dengan corak pergeseran struktural secara
nasional. Pada tingkat nasional, kemerosotan kontribusi sektor pertanian selama
20 tahun terkhir tidak setajam kemerosotannya sektor pertanian Sulawesi Selatan,
demikian pula peningkatan kontribusi sektor industri pengolahan secara nasional
tidak setajam peningkatan industri pengolahan di Sulawesi Selatan.
Akan tetapi secara nasional dominasi sektor pertanian telah begeser ke
dominasi sektor industri pengolahan sejak awal tahun 1990an. Sedangkan
Sulawesi Selatan meskipun sektor pertaniannya mengalami kemerosotan tajam
dalam dua dekade terakhir, namun sektor ini pada akhir periode masih tetap
78
sebagai leading sektor perekonomian. Dengan demikian perekonomian nasional
saat ini tidak lagi bercorak pertanian, tetapi sudah bercirikan industri. Sementara
perekonomian Sulawesi Selatan masih konsisten dengan ciri agrarisnya.
Selain corak pergeseran struktur ekonomi Sulawesi Selatan seperti yang
telah dijelaskan, tampaknya struktur sektor pertanian pun di daerah ini mengalami
transformasi secara internal. Seperti terlihat pada Tebel 3 bahwa meskipun
subsektor tanaman pangan memberikan kontibusi terbesar dalam penciptaan nilai
tambah pertanian secara keseluruhan yakni rata-rata diatas 50 persen pertahun,
namun kontribusi sub-sektor ini mengalami kemerosotan tajam selama dua dekade
terakhir yakni dari 60.61 persen tahun 1985 menjadi 45.48 persen tahun 2004.
Demikian pula subsektor peternakan menurun secara tajam yakni dari 11.02
persen pada awal periode menjadi 4.15 persen dia akhir periode. Dalam struktur
pertanian, tercatat subsektor subsektor perkebunan mengalami peningkatan tajam
dalam dua dekade terakhir yakni dari kontribusi 8.59 persen tahun 1985 menjadi
28.51 persen tahun 2004. Uraian ini menunjukkan bahwa transformasi internal
sektor pertanian telah bergeser dari ciri pertanian yang tradisional-subsisten
(tanaman pangan dan peternakan) ke ciri pertanian yang moderen-komersil
(perkebunan).
Meskipun secara umum pergeseran sektor pertanian secara internal dari
tanaman pangan dan peternakan yang sistemnya umumnya bersifat tradisional-
subsisten ke subsektor perkebunan yang lebih bersifat modern-komersil
(berorientasi pasar), namun jika diperhatikan secara mendalam, seperti terlihat
pada Tabel 3, tampak bahwa ketika kontribusi sektor pertanian secara keseluruhan
merosot tajam pada dekade pertama, justru kontribusi sub-sektor pertanian
tanaman pangan terhadap nilai tambah pertanian mengalami peningkatan yakni
meningkat dari 60.61 persen tahun 1985 menjadi 62.72 persen tahun 1995. Sub-
sektor tanaman pangan, juga dikenal mencetak prestasi gemilang dalam dekade ini
yakni menjadikan bangsa Indonesia sebagai negara yang berswasembada beras
sejak tahun 1984 hingga tahun 1990an.
79
Tabel 3 Pergeseran struktur ekonomi Sulawesi Selatan dan nasional, serta kontribusi Sulawesi Selatan dalam perekonomian regional dan nasional, tahun 1985-2004
Struktur PDRB Sulawesi Selatan dan PDB Nasional (%)
No. Uraian 1985 1990 1995 2000 2001 2002 2003 2004 Rata-2
A Struktur PDRB Sul-Sel
1 Pertanian 44.73 42.34 37.01 37.91 36.45 36.63 35.09 33.04 38.88
a. TBM 60.61 58.89 62.72 48.56 47.65 46.99 47.78 45.48 56.69
b. Perkebunan 8.59 12.35 12.77 26.55 26.84 26.98 27.00 28.51 16.19
c. Peternakan 11.02 9.75 4.02 3.23 3.69 3.69 3.87 4.15 6.38
d. Kehutanan 0.53 0.55 0.59 0.63 0.64 0.62 0.62 0.65 0.60
e. Perkinanan 19.24 18.47 19.89 21.03 21.17 21.72 20.72 21.22 20.13
2 Industri Peng. 3.99 8.17 11.88 12.97 13.05 12.91 13.23 13.36 10.31
3 Lainnya 51.28 49.49 51.11 49.12 50.50 50.47 51.67 53.60 50.81
a. Pert & Galian 0.83 2.17 3.51 9.22 9.29 8.58 9.05 9.39 4.34
b. Listrik, Gas & Air 1.00 1.21 1.02 0.86 0.92 0.94 0.94 0.89 1.08
c. Bangunan 3.49 3.84 5.86 4.01 4.17 4.26 4.29 4.52 4.49
d. Perdagangan 18.33 16.82 16.06 13.67 14.09 14.19 14.38 14.54 16.33
e. Angkutan 9.17 9.17 6.40 5.96 6.25 6.35 6.68 7.07 7.63
f. Keuangan, Jasa & lainnya 18.46 16.28 18.26 15.39 15.79 16.15 16.33 17.19 16.94
B. Struktur PDB Nasional
1 Pertanian 22.68 19.40 16.12 15.60 15.64 15.47 15.39 15.23 17.82
2 Industri Peng. 15.79 19.39 23.88 27.75 27.60 27.85 27.97 28.25 22.79
3 Lainny a 61.53 61.21 60.00 56.65 56.76 56.68 56.64 56.52 59.40
Sumber : Diolah dari PDRB provinsi-provinsi di Indonesia, 1985-2004 Kemerosotan tajam kontribusi sub-sektor tanaman pangan di Sulawesi
Selatan terjadi pada periode 1995-2000 yakni dari 62.72 persen tahun 1995
menjadi 48.56 persen tahun 2000. Sedangkan bagi sub-sektor perkebunan, periode
ini (1995-2000) merupakan periode “keemasan” dengan loncatan kontribusi dari
12.77 persen tahun 1995 menjadi 26.55 persen tahun 2000. Peningkatan tajam
pertumbuhan sub-sektor perkebunan ini tentu terkait dengan penigkatan daya
saing komoditi perkebunan yang berorientasi ekspor akibat turunnya nilai tukar
rupiah terhadap nilai mata uangg dollar sebagai nilai tukar perdagangan
internasional.
Karakteristik perekonomian Sulawesi Selatan seperti yang dijelaskan, baik
dari segi pertumbuhan ekonomi, maupun dari segi struktur ekonomi dan
pergeserannya, tentu memberi arti penting tidak hanya bagi pembangunan
ekonomi di Sulawesi Selatan saja, tetapi juga bagi pembangunan ekonomi
regional di pulau Sulawesi dan wilayah KTI serta bagi pembangunan ekonomi
nasional secara umum. Karena kontribusinya dalam pembangunan ekonomi
80
regional dan nasional, maka Sulawesi Selatan seringkali dijuluki sebagai salah
satu “lumbung pangan nasional” dan sebagai “pintu gerbang perdagangan”
kawasan timur Indonesia.
Peranan perekonomian Sulawesi Selatan terhadap perekonomian regional
dan nasional diukur dari kontribusi nilai tambah bruto yang diciptakan Sulawesi
Selatan terhadap total nilai tambah bruto yang diciptakan secara regional dan
nasional, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel tersebut menunjukkan
bahwa, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, total nilai tambah bruto yang
diciptakan pulau Sulawesi, rata-rata 54.08 persen dihasilkan di Sulawesi Selatan.
Selanjutnya untuk wilayah KTI, PDRB sulawesi Selatan menyumbang rata-rata
sekitar 13.34 persen dari total PDRB KTI, dan secara nasional, Sulawesi Selatan
menyumbang sekitar 2.03 persen terhadap PDB nasional.
Tabel 4 Kontribusi PDRB dan nilai tambah sektoral Sulawesi Selatan terhadap PDRB dan nilai tambah sektoral Pulau Sulawesi, KTI dan nasional, tahun 1985-2004
Kontribusi PDRB Sul-Sel Terhadap Perekonomian Regional dan Nasional (%)
No. Uraian 1985 1990 1995 2000 2001 2002 2003 2004 Rata-2
1 PDRB Sulawesi 54.72 54.92 54.82 53.76 53.86 53.68 53.68 53.44 54.08
a. Pertanian 63.80 57.94 56.39 55.95 77.46 52.89 61.38
b. Industri Manuf 62.66 63.40 64.53 64.94 66.08 66.99 63.75
c. Lainnya 47.95 49.06 50.09 49.99 42.72 51.18 48.32
2 PDRB KTI 12.18 13.25 13.62 13.14 13.18 13.26 13.50 13.75 13.34
a. Pertanian 23.72 22.13 21.77 21.80 21.16 20.48 22.16
b. Industri Manuf 9.18 7.69 7.92 8.34 8.93 9.39 8.95
c. Lainnya 11.05 11.66 11.84 11.70 12.11 12.65 11.41
3 PDB Nasional 1.78 1.89 1.99 2.21 2.24 2.23 2.24 2.24 2.03
a. Pertanian 3.57 4.20 4.97 5.38 5.22 5.29 5.11 4.87 4.64
b. Industri Manuf 0.57 1.01 0.99 1.03 1.06 1.04 1.06 1.06 0.98
c. Lainnya 1.40 1.45 1.60 1.92 1.99 1.99 2.05 2.13 1.67
Sumber : Diolah dari PDRB provinsi-provinsi di Indonesia, 1985-2004
Selanjutnya kontribusi sektor produksi Sulawesi Selatan terhadap sektor
serupa pada perekonomian regional dan nasional menunjukkan bahwa, peranan
sektor pertanian Sulawesi Selatan terhadap nilai tambah sektor serupa secara
regional dan nasional cukup signifikan. Untuk wilayah Pulau Sulawesi, dari total
nilai tambah pertanian di wilayah ini sebanyak 61.38 persen berasal dari pertanian
Sulawesi Selatan, sedangkan untuk KTI, pertanian Sulawesi Selatan memberikan
kontribusi sekitar 22.16 persen. Secara nasional, pertanian Sulawesi Selatan
81
menyumbang sekitar 4.64 persen dari total nilai tambah pertanian di Indonesia.
Gambaran ini menunjukkan bahwa peranan pertanian Sulawesi Selatan terhadap
pertanian secara regional dan nasional, lebih tinggi dibandingkan peranan provinsi
lain yang ada di Pulau Sulawesi, KTI maupun secara nasional. Hanya saja bahwa
kontribusi sektor pertanian Sulawesi Selatan di Pulau Sulawesi dan KTI dalam 10
tahun terakhir menunjukkan trend penurunan, sedangkan secara nasional, trend
penurunan tersebut terjadi baru pada lima tahun terakhir. Hal ini menunjukkan
bahwa perkembangan sektor pertanian di provinsi lain di Indonesia dalam lima
tahun terakhir lebih tinggi dibandingkan perkembangan pertanian Sulawesi
Selatan.
Sedangkan untuk sektor industri pengolahan menunjukkan bahwa, secara
nasional industri pengolahan Sulawesi Selatan memberikan kontribusi yang
sangat kecil secara nasional yakni rata-rata sekitar 0.98 persen per tahun. Akan
tetapi dalam peta ekonomi wilayah di Pulau Sulawesi dan KTI, Sulawesi selatan
memberi peran yang cukup signifikan terhadap sektor ini yakni 22.16 persen nilai
tambah industri pengolahan di KTI disumbangkan oleh industri pengolahan
Sulawesi Selatan. Bahkan untuk perekonomian Pulau Sulawesi, sektor industri
pengolahan Sulawesi Selatan memberikan kontribusi sekitar 63.75 persen.
Perkembangan peranan industri pengolahan sulawesi Selatan terhadap sektor
serupa secara regional dan nasional, juga menujukkan trend yang meningkat, hal
ini menunjukkan bahwa pertumbuhan industri pengolahan Sulawesi Selatan rata-
rata lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia.
5.1.3. Ciri Perekonomian secara Spatial di Sulawesi Selatan Walaupun secara rata-rata Sulawesi Selatan masih konsisten dengan ciri
agrarisnya, yang terlihat dari masih dominannya kontribusi sektor pertanian
terhadap total PDRB Sulawesi Selatan hingga tahun 2004, namun kondisi
demikian tidak berlaku untuk semua daerah kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.
Adanya perbedaan struktur PDRB setiap daerah disebabkan oleh beberap faktor
seperti perbedaan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusua, sumberdya
teknologi serta infrastruktur yang ada pada setiap kabupaten-kota.
82
Berdasarkan klasifikasi 3 sektor yakni pertanian, industri (industri
pengolahan, pertambangan, listrik dan bangunan) dan sektor jasa (perdagangan,
angkutan, Bank dan jasa lainnya), maka terdapat beberapa daerah, yang dalam
struktur PDRB nya tidak didominasi oleh sektor sektor pertanian yakni Pangkep,
Luwu Timur, Makassar, Pare-pare, Palopo dan Selayar. Dua daerah pertama
merupakan daerah yang bercirikan industri (utamanya industri pengolahan dan
pertambangan), sedangkan empat daerah berikutnya bercirikan sektor jasa.
Secara akumulatif daerah yang beciri industri memberikan kontribusi
terhadap perekonomian Sulawesi Selatan sebesar 14.93 persen sedangkan daerah
yang berciri pertanian, secara akumulasi dari memberi kontribusi sekitar 47.70
persen, dan daerah yang berciri jasa memberi kontribusi sekitar 30.09 persen.
Tabel 5 Indikator ekonomi kabupaten/kota di Sulawesi Selatan berdasarkan ciri ekonomi daerah, tahun 2001-2004
Struktur PDRB Kab/Kota (2004) Pertumb.
Ekonomi No. Kabupaten/ Kota Pertanian Industri Jasa
Ciri Ekonomi
Share Thdp PDRB Sul-
Sel, Thn 2004
PDRB/Kap (Rp.),
Thn 2004 Rata2 (01-04)
STDev (01-04)
1 Pangkep 18.29 64.10 17.61 4.72 7,916,742 6.09 4.8755
2 Luwu Timur 12.38 84.37 3.25
Industri (Rata2) PDRB/Kp=14.42 Jt
Pert = 8.73 % STDev = 5.33 Kontrib.=14.93
10.21 20,931,900 5.37 5.7854
3 Maros 43.75 25.14 31.10 2.29 3,720,453 3.48 1.0535
4 Wajo 42.90 17.15 39.95 4.59 5,587,557 2.63 2.0136
5 Takalar 46.76 16.32 36.92 1.75 3,519,539 4.72 1.1464
6 Barru 49.22 12.37 38.42 1.41 4,410,080 5.27 0.8105
7 Soppeng 51.03 13.76 35.21 2.33 4,947,317 4.11 1.2637
8 Sidrap 52.21 15.34 32.45 2.78 5,196,097 4.87 1.3683
9 Enrekang 53.51 10.05 36.44 1.46 4,068,954 4.89 0.7316
10 Bone 55.83 15.00 29.16 5.93 4,336,948 4.27 1.4783
11 Sinjai 61.99 6.17 31.84 2.03 4,892,870 4.82 0.6868
12 Luwu Utara 78.03 3.97 18.01 2.61 4,236,821 3.43 1.6249
13 Pinrang 66.39 9.17 24.44 4.80 6,603,831 5.15 0.7890
14 Luwu 63.32 16.77 19.91 3.15 5,031,524 6.12 0.2975
15 Bantaeng 61.10 9.46 29.44 1.40 4,172,136 4.64 0.9401
16 Bulukumba 59.48 8.81 31.71 3.26 4,127,081 3.73 0.8150
17 Jpneponto 57.10 9.17 33.73 1.83 2,900,030 3.28 0.9076
18 Tator 51.61 9.11 39.28 2.60 2,855,028 3.50 0.8279
19 Gowa 51.29 8.82 39.89
Pertanian
Rata-Rata : PDRB/Kap=4.33 Jt Pertumb = 4.28 %
STDev = 1.01 Kontribus i = 47.7%
3.47 3,228,184 4.88 0.8402
20 Pare-pare 8.19 13.49 78.32 1.35 5,936,172 4.98 1.4017
21 Makassar 1.00 33.09 65.91 26.26 11,222,816 8.30 1.4062
22 Palopo 37.89 13.00 49.12 1.64 6,293,983 8.07 2.3152
23 Selayar 41.89 13.55 44.56
Jasa Rata-rata :
PDRB/Kap=6.85 Jt Pertumb = 7.60 %
STDev = 1.43 Kontribusi =30.1% 0.85 3,956,809 3.84 0.6000
Sulawesi Selatan 5,746,545 4.92 0.5464
Sumber : PDRB Sulawesi Selatan Tahun 2001-2004
83
Berdasarkan pada Tabel 5 tampak bahwa indikator-indikator ekonomi
seperti pertumbuhan ekonomi, PDRB per kapita dan kestabilan pertumbuhan,
memiliki disvarietas yang besar berdasarkan corak ekonomi wilayah di Sulawesi
Selatan. Secara rata-rata daerah yang bercorak industri dan jasa tidak hanya
memiliki tingkat pendapatan perkapita yang tinggi, tetapi juga memiliki tingkat
pertumbuhan ekonomi yang besar dibandingkan daerah yang berciri pertanian.
Akan tetapi kedua ciri ekonomi wilayah tersebut (industri dan jasa) memiliki
pertumbuhan ekonomi yang tidak stabil, yang ditunjukkan oleh standar deviasi
pertumbuhan ekonomi yang besar selama periode 2001-2004. Untuk melihat
gambaran terperinci mengenai sebaran tingkat pendapatan per kapita dan
pertumbuhan masing-masing kabupaten/kota di Sulawesi Selatan menurut ciri
ekonomi wilayah dapat dilihat pada gambar berikut.
Palopo
Pangkep
Makassar
Wajo
Barru
Sidrap
Bone
Luwu Utara
Luwu
BulukumbaTator
Pare-pare
Selayar
Bantaeng
Jeneponto
Takalar
GowaSinjai
Maros
Soppeng
Pinrang
Enrekang
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
4.50
5.00
5.50
6.00
6.50
7.00
7.50
8.00
8.50
9.00
2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 5.50 6.00 6.50 7.00 7.50 8.00 8.50 9.00 9.50 10.00 10.50 11.00 11.50 12.00 12.50
Luwu Timur
20.93
Sul-Sel : x= 5.75 juta ; y=4.92%PDRB Per Kapita (Rp.juta)
Pertumbuhan Ekonomi (%)
Keterangan: = Ciri Pertanian; = Ciri Industri = Ciri JasaSkala Bubble : Standar deviasi Pertumbuhan Ekonomi (2001-2004)
Gambar 16 Sebaran PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/
kota di Sulawesi Selatan menurut ciri ekonomi wilayah, tahun 2004 .
Gambar diatas menunjukkan bahwa satu-satunya kabupaten yang berciri
pertanian yang berada pada kuadran pertama, atau memiliki tingkat pertumbuhan
dan tingkat PDRB per kapita lebih tinggi dari rata-rata Sulawesi Selatan adalah
Kabupaten Pinrang. Umumnya daerah yang berciri pertanian memili tingkat
84
pertumbuhan dan tingkat PDRB per kapita lebih rendah dari rata-rata Sulawesi
Selatan. Daerah-daerah yang berciri industri dan jasa berada memiliki
pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta PDRB per kapita tinggi, tetapi umumnya
memiliki tingkat pertumbuhan yang kurang stabil
Berbeda halnya jika indikator yang digunakan adalah besarnya kontribusi
masing-masing daerah terhadap penciptaan nilai tambah sektoral di Sulawesi
Selatan, maka tercatat pada tahun 2004, daerah yang memberi kontribusi terbesar
terhadap pertanian adalah Kabupaten Bone, Pinrang, Luwu Utara, Luwu dan Wajo.
Kelima kabupaten ini merupakan daerah sentra pengembangan padi di Sulawesi
Selatan. Selanjutnya lima daerah yang memberi kontribusi terbesar terhadap
sektor industri pengolahan adalah Makassar, Pangkep, Bone, Maros dan Luwu.
Sedangkan untuk sekor lainnya, tercatat lima daerah yang terbesar kontribusinya
adalah Makassar, Luwu Timur, Wajo, Bone dan Gowa (Tabel 5).
5.2. Profil Ketenaga Kerjaan di Sulawesi Selatan
Gambaran umum mengenai permintaan tenaga kerja (pekerja) dan
penawaran tenaga kerja (angkatan kerja) serta tingkat upah seperti yang
diperlihatkan pada gambar 17 menunjukkan bahwa perkembangan pekerja di
Sulawesi Selatan memiliki pola trend yang mirip dengan perkembangan angkatan
kerja. Karakteristik pasar tenaga kerja seperti ini, oleh Juanda (2001)
disebutkannya menyerupai supply-side determined employment, dimana
menurutnya merupakan karakteristik pasar tenaga kerja yang biasa ditemukan di
negara-negara berkembang. Karakteristik pasar tenaga kerja seperti ini,
menggambarkan bahwa banyak sekali pencari kerja yang tidak mampu bertahan
untuk menganggur, sehingga banyak surplus tenaga kerja yang terserap ke
pekerjaan sementara, walau dengan tingkat upah yang sangat rendah. Analogi
tersebut mengisyaratkan bahwa para pekerja di Sulawesi Selatan, banyak
diantaranya merupakan setengah pengangguran atau pengangguran tidak kentara,
dimana mereka tampaknya bekerja, tetapi sebenarnya mereka hanya memiliki jam
kerja yang sangat rendah dan dengan tingkat upah yang rendah.
85
-
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
3,000,000
3,500,000
4,000,000
1985
19
86
1987
19
88
1989
19
90
1991
19
92
1993
19
94
1995
19
96
1997
19
98
1999
20
00
2001
20
02
2003
20
04
-
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
700,000
800,000
900,000
1,000,000
Penawaran TK (Ang. Kerja) Permintaan TK (Bekerja) Mencari Kerja
Upah Nominal Upah Riil
Pertumbuhan A Kerja : 3,35%
Pertumbuhan Pekerja : 2,59%
Pertumb Upah Nominal : 15,81
Pertumb Pencari kerja : 18,92%
Pertumb Upah Riil (TH Dasar 2000) : 4,96%
Tin
gka
t U
pah
(R
p)
Jum
lah
Pek
erja
, An
gk.
Ker
a d
an P
enca
ri K
erja
(Ora
ng
)
Gambar 17 Perkembangan pekerja, angkatan kerja, pencari kerja dan tingkat
upah di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 .
Angka pengangguran terbuka (pencari kerja) di Sulawesi Selatan cukup
tinggi, bahkan pada tahun 2003, Sulawesi Selatan memiliki rekor tertinggi
penganggurannya yakni sekitar 16.97 persen dengan tingkat pertumbuhan sekitar
18.92 persen pertahun. angka pengangguran ini, tidak hanya disebabkan oleh
pertumbuhan angkatan kerja (penawaran tenaga kerja) yang lebih besar dari
pertumbuhan penyerapan tenaga kerja (permintaan tenaga kerja), tetapi juga
disebabkan oleh adanya arus migrasi, serta sistem pasar tenaga kerja yang
bersifat kakuh (rigid), dimana instrumen penyeimbang pasa tenaga kerja (upah)
bersifat kakuh dalam merespon perubahan supply tenaga kerja dan atau
permintaan tenaga kerja, demikian pula sebaliknya, dimana pelaku bisnis lamban
merespon perubahan tingkat upah.
5.2.1. Permintaan Tenaga Kerja Sektoral di Wilayah Kota dan Desa
Struktur permintaan tenaga kerja (Kesempatan kerja) di Sulawesi Selatan,
dicirikan oleh masih dominannya sektor pertanian sebagai penyerap tenaga kerja
terbesar di daerah ini. Tercatat bahwa, lebih dari separuh tenaga kerja terserap di
sektor pertanian. Sektor industri pengolahan hanya mampu menyerap sekitar 5.52
86
persen pada tahun 2004 dan lebihnya sebesar 39.44 persen terserap di sektor
lainnya.
Corak pergeseran struktural tenaga kerja sektoral di Sulawesi Selatan,
seperti diperlihatkan pada Gambar 18 menunjukkan bahwa, porsi tenaga kerja
yang bekerja di sektor pertanian, maupun di sektor industri dan sektor lainnya
relatif tidak banyak bergeser, jika dibandingkan kondisi antara tahun awal (1985)
dengan tahun akhir (2004).
Akan tetapi jika dilihat perubahan setiap periode lima tahunan, nampak,
porsi tenaga kerja sektor pertanian mengalami pertumbuhan tenaga kerja yang
cukup signifikan pada periode 1985-1990, namun sejak periode tersebut porsi
tenaga kerja di sektor ini menurun terus hingga periode akhir. Sedangkan tenaga
kerja sektor industri, meskipun secara absolut tenaga kerja sektor ini memiliki
pertumbuhan paling besar yakni rata-rata 3.04 persen pertahun. Akan tetapi secara
relatif, porsi tenaga kerja di sektor ini, relatif kecil. Peningkatan porsi tenaga kerja
di sektor industri ini terutama terjadi pada periode 1990-1995, ketika kebijakan
berpihak ke industrialisasi footloose secara besar-besaran yang dimulai di awal
tahun 1990-an (Arifin, 2004). Peningkatan tenaga kerja yang cukup siginifikan di
sektor industri ini, sebenarnya sudah mulai terlihat setelah pertengahan tahun
1980-an, bersamaan dengan kebijakan protektif bagi sektor ini mulai digulirkan.
-
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
1985 1986 1987 19
88 1989 1990 1991 1992 19
93 1994
1995 1996 1997 1998 1999 20
00 2001 2002 2003 2004
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
PDRB Pertanian PDRB Industri PDRB Sektor Lain
TK Pertanian TK Industri TK Sektor Lain
Sha
re P
DR
B (%
)
Sha
re T
K (%
)
Gambar 18 Pergeseran struktur tenaga kerja dan PDRB sektoral di Sulawesi
Selatan, tahun 1985-2004 .
87
Pola pergeseran porsi tenaga kerja sektor lainnya tampaknya, memiliki
pola yang berbading terbalik dengan pola pergeseran struktur tenaga kerja
pertanian. Ketika porsi tenaga kerja pertanian meningkat, diikuti dengan
penurunan porsi tenaga kerja sektor lainnya, demikian pula sebaliknya (Gambar
18). Gambaran ini menunjukkan bahwa mobilitas tenaga kerja antar sektor
terutama terjadi antara sektor pertanian dengan sektor lainnya. Surplus tenaga
kerja di sektor pertanian pedesaan tidak dapat terserap di sektor modern perkotaan
(industri), meskipun produktivitas tenaga kerja sektor industri meningkat sangat
cepat, sementara produktivitas tenaga kerja sektor pertanian yang cenderung
menurun.
Tabel 6 Pegeseran struktur dan pertumbuhan tenaga kerja dirinci menurut sektor dan jenis kelamin di wilayah pedesaan dan perkotaan di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004
No. Uraian Struktur Tenaga Kerja (%) Pertumbuhan (%)
1985 1990 1995 2000 2004 85-94 95-04 Rata2 85-04 Stdev
1 K. Kerja Total 2,004,606 2,537,736 2,931,882 3,049,238 3,183,652 3.93 1.22 2.50 2.83
a. Menurut Sektor
*Pertanian (%) 55.01 64.81 58.12 55.99 55.04 5.10 0.32 2.58 5.05
*Industri Peng (%) 5.18 5.30 6.39 5.00 5.52 6.32 0.09 3.04 7.02
*Lainnya (%) 39.81 29.88 35.50 39.01 39.44 2.09 3.13 2.64 6.93
b. Menurt J.Kelamin
* Laki2 (%) 72.45 70.20 68.30 66.05 67.34 3.41 0.97 2.12 3.35
* Perempuan (%) 27.55 29.80 31.70 33.95 32.66 5.37 1.99 3.59 6.69
2 K. Kerja di Kota 334,370 (16,68%)
410,785 (16,19%)
681,926 (23,26%)
817,171 (26,80%)
875,136 (27,49%) 8.02 2.99 5.37 6.21
a. Menurut Sektor
*Pertanian (%) 7.99 13.80 12.00 14.48 10.47 13.08 1.70 7.09 9.26
*Industri Peng (%) 6.85 10.44 9.49 6.04 7.85 12.24 1.31 6.49 11.07
*Lainnya (%) 85.16 75.77 78.51 79.48 81.69 7.13 3.43 5.18 6.96
b. Menurt J.Kelamin
* Laki2 (%) 73.17 65.63 66.96 63.82 66.09 7.65 2.46 4.92 8.19
* Perempuan (%) 26.83 30.92 33.04 36.18 33.91 10.62 4.71 7.51 15.01
3 K.Kerja di Desa 1,670,236 (83,32%)
2,126,951 (83,81%)
2,249,956 (76,74%)
2,232,067 (73,20%)
2,308,516 (72,51%) 3.00 0.65 1.76 3.15
a. Menurut Sektor
*Pertanian (%) 64.43 74.67 72.09 71.19 71.93 4.83 0.27 2.43 5.16
*Industri Peng (%) 4.84 4.31 5.45 4.61 4.64 4.18 (0.50) 1.72 6.98
*Lainnya (%) 30.73 21.02 22.46 24.20 23.43 (1.68) 2.87 0.71 9.65
b. Menurt J.Kelamin
* Laki2 (%) 72.30 71.08 68.71 66.86 67.82 2.51 0.51 1.46 4.18
* Perempuan (%) 27.70 28.92 31.29 33.14 32.18 4.53 1.30 2.83 8.15
Sumber : Diolah dari data Sakernas 1985-2004
88
Jika dikaji lebih mendalam dengan melihat pola pergeseran struktur tenaga
kerja sektoral di wilayah pedesaan dan perkotaan, seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 6 menunjukkan bahwa pola pergeseran porsi tenaga kerja pertanian di
wilayah perkotaan maupun porsi tenaga kerja pertanian pedesaan, tampaknya
memiliki pola yang mirip dengan pola pergeseran tenaga kerja pertanian total.
Tetapi pola pergeseran tenaga kerja industri tidak demikian halnya. Peningkatan
porsi tenaga kerja industri pada periode 1985-1990 hanya terjadi di wilayah
perkotaan, sedangkan industri pedesaan pada periode ini, mengalami kemerosotan
dalam menyerap tenaga kerja. Akan tetapi pada periode 1990-1995 justru industri
pedesaan yang mengalami perkembangan pesat dibandingkan industri perkotaan.
Bahkan pada periode ini hingga periode krisis ekonomi porsi tenaga kerja di
industri perkotaan mengalami kemerosotan. Gambaran ini menjelaskan bahwa,
strategi industrialisasi pada pertengahan tahun 1980-an dengan sejumlah
komponen kebijakan protektif, lebih banyak berdampak pada penyerapan tenaga
kerja industri perkotaan, sedangkan ketika strategi industrialisasi footloose pada
awal tahun 1990-an (Arifin, 2004), justru lebih banyak berdampak pada
penyerapan tenaga kerja industri pedesaan di Sulawesi Selatan.
Selain pergeseran struktur tenaga kerja secara sektoral yang diperlihatkan
pada Tabel 6 juga ditunjukkan bahwa pola pergeseran struktur tenaga kerja
menurut jenis kelamin, yang mengalami perubahan cukup nyata, dimana porsi
tenaga kerja wanita pada tahun 1985 hanya sekitar 27.55 persen meningkat
menjadi 32.66 persen pada tahun 2004. Selama periode tersebut pertumbuhan
tenaga kerja wanita meningkat sekitar 3.59 persen pertahun, sementara
pertumbuhan tenaga kerja pria hanya sekitar 2.12 persen pertahun. Pertumbuhan
tenaga kerja wanita yang paling tinggi terjadi pada periode 1985-1994 dengan
tingkat pertumbuhan mencapai 5.37 persen pertahun. Pertumbuhan tenaga kerja
wanita ini, terutama terjadi di wilayah perkotaan dengan tingkat pertumbuhan
sekitar 7.51 persen pertahun, sedangkan tenaga kerja wanita di pedesaan hanya
tumbuh sekitar 2.83 persen pertahun.
89
5.2.2. Penawaran Tenaga Kerja Perkotaan dan Pedesaan
Dalam kondisi keseimbangan pasar tenaga kerja, jumlah permintaan dan
penawaran tenaga kerja akan sama pada tingkat upah tertentu. Akan tetapi kondisi
keseimbangan pasar tenaga kerja yang demikian tidak pernah wujud, karena selalu
ada kelompok pengangguran yang tidak dapat dihindari. Kelompok pengangguran
ini disebut pengangguran alamiah atau oleh Mankiw (2003) disebut sebagai
pengangguran friksional. Pengangguran seperti ini tidak dapat dihindari, karena
para penganggur memerlukan waktu untuk mencari pekerjaan. Besarnya jumlah
pengangguran tidak lain adalah excess supply dalam pasar tenaga kerja atau sisa
dari penawaran tenaga kerja yang tidak dapat terserap dalam pasar tenaga kerja
(Gambar 10).
Berdasarkan pada konsep pasar tenaga kerja tersebut, maka penawaran
tenaga kerja tidak lain adalah jumlah tenaga kerja yang terserap di pasar tenaga
kerja ditambah jumlah excess supply atau pencari kerja (pengangguran), dengan
kata lain penawaran tenaga kerja = Employment + Unemployment. Dalam data
statistik ketenaga kerjaan di Indonesia (Sakernas), variabel yang menjumlahkan
antara tenaga kerja yang bekerja (employment) dengan pencari kerja
(unemployment) di sebut angkatan kerja. Karena itu, konsep penawaran tenaga
kerja dalam tukisan ini tidak lain adalah jumlah angkatan kerja (labor force).
Ruby (2003) menjelaskan bahwa dalam analisa agregat, penawaran tenaga kerja
selain ditentukan oleh tingkat upah, juga dipengaruhi oleh perubahan populasi,
tingkat partisipasi angkatan kerja dan arus migrasi. Karakteristik pertumbuhan
penawaran tenaga kerja (angkatan kerja) di Sulawesi Selatan termasuk berbagai
faktor determinannya dapat dilihat pada Tabel 7.
90
Tabel 7. Pertumbuhan jumlah penduduk, penduduk usia kerja, angkatan kerja, bukan angkatan kerja dan migrasi masuk di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004
Jumlah Penduduk, PUK, Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja
N0. Uraian 1985 1990 1999 2004 Pertumbuhan
(Jiwa) (Jiwa) (Jiwa) (Jiwa) (%)
1 Jumlah Penduduk 6,407,720 6,895,670 7,802,732 8,396,784 1.50
2 Penduduk Usia Kerja 4,803,747 5,318,670 5,450,441 5,737,240 1.16
a. Kota (%) 19.69 20.23 31.75 31.53 3.47
b. Desa (%) 80.31 79.77 68.25 68.47 0.58
3 Angkatan Kerja 2,058,748 2,618,888 3,275,815 3,786,872 3.78
a. Kota (%) 17.35 16.03 28.91 29.11 6.91
b. Desa (%) 82.65 83.97 71.09 70.89 3.19
4 Penduduk Bekerja 2,004,606 2,556,736 3,062,630 3,183,652 2.50
a. Kota (Jiwa, %) 334,370
(16.68%) 390,785
(15.28%) 816,870 (26.67%)
875,136 (27.49%) 5.64
b. Desa (Jiwa, %) 1,670,236
(83.32%) 2,165,951 (84.72%)
2,245,760 (73.33%)
2,308,516 (72.52%) 2.30
5 Mencari Kerja 54,142 62,152 213,185 603,220 22.18
a. Kota (Jiwa) 22,894
(42.29%) 28,988
(46.64%) 130,113 (61.03%)
227,264 (37.68%) 19.67
b. Desa (Jiwa) 31,248
(57.71%) 33,164
(53.36%) 83,072 (38.97%)
375,956 (62.32%) 29.49
6 Bukan Angkatan Kerja 2,744,999 2,699,782 2,174,626 1,950,368 (1.52)
a. Kota (%) 21.43 24.30 36.03 36.22 0.83
b. Desa (%) 78.57 75.70 63.97 63.78 (2.24)
c. Menurut kegiatan
* Sekolah 42.29 41.69 18.52 19.22 (3.04)
* Mengurus RT 39.37 40.89 59.52 70.24 1.17
* Lainnya 18.34 17.42 21.96 10.54 (4.18)
7 TPAK (Kota+Desa) (%) 42.86 49.24 60.10 66.01
a. TPAK Kota (%) 37.78 40.13 54.72 60.95
b. TPAK Desa (%) 44.10 51.39 62.60 68.33
8. Migrasi Masuk (Jiwa) 4,520a) 16,364a) 34,296 27,789 13.27
Sumber : Diolah dari data Sakernas 1985-2004 dan data kependudukan Provinsi Sulawesi Selatan 1993-2004
Keterangan : a) Data proyeksi dengan metode trend linear
Penawaran tenaga kerja (angkatan kerja) di Sulawesi Selatan dalam dua
dekade terakhir (1985-2004) mengalami pertumbuhan yang cukup besar yakni
sekitar 3.47 persen. Pertumbuhan angkatan kerja ini lebih tinggi dari pertumbuhan
jumlah penduduk dan pertumbuhnan penduduk usia kerja yang masing-masing
hanya tumbuh sekitar 1.50 persen dan 1.16 persen per tahun. Gambaran ini
menjelaskan bahwa pertumbuhan penawaran tenaga kerja di Sulawesi Selatan
tidak hanya disebabkan faktor alamia dari pertumbuhan penduduk, tetapi juga di
sebabkan oleh faktor lain seperti tingginya arus migrasi masuk yang tumbuh
sekitar 13.27 persen pertahun. Selain itu pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi
91
ini juga disebabkan oleh adanya pergeseran dalam struktur usia kerja, dimana ada
kecenderungan dari penduduk usia kerja yang berada pada kelompok bukan
angkatan kerja mengalami penurunan baik secara relatif, maupun secara absolut
yang ditunjukkan oleh tingkat pertumbuhannya sebesar –1.52 persen pertahun.
Tabel 7 juga memperlihatkan bahwa, meskipun proporsi angkatan kerja
perkotaan jauh lebih kecil dari proporsi angkatan kerja pedesaan, namun dari segi
pertumbuhan angkatan kerja perkotaan meningkat lebih cepat yakni dengan
pertumbuhan sekitar 6.91 persen pertahun, sementara di pedesaan hanya tumbuh
sekitar 3.19 persen pertahun. Pertumbuhan angkatan kerja perkotaan ini di duga
didorong oleh arus migrasi masuk yang lebih banyak ke wilayah perkotaan,
sehingga pertumbuhan penduduk usia kerja di perkotaan meningkat lebih cepat di
bandingkan penduduk usia kerja pedesaa. Hanya saja pertumbuhan angkatan kerja
wilayah perkotaan yang tinggi ini tidak diimbangi oleh tingkat penyerapan tenaga
kerja yang sebanding, sehingga diwilayah perkotaan juga memiliki tingkat
pengangguran yang lebih besar di bandingkan di wilayah pedesaan.
5.3. Total Faktor Productivity
Produktivitas fakor secara total atau total factor productivity (TFP),
merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi supply. TFP adalah
perubahan dalam output yang tidak dapat dijelaskan oleh perubahan dalam input
yakni jumlah pertumbuhan yang tersisa (residu) setelah dikurangkan dengan
kontribusi pertumbuhan masing-masing input (factor produksi) yang terukur. TFP
ini seringkali digunakan sebagai ukuran kemajuan teknologi atau peningkatan
efisiensi tenaga kerja. Banyak hal yang dapat mempengaruhi TFP ini, misalnya
meningkatnya pengetahuan tentang metode produksi yang lebih baik, peningkatan
keterampilan pekerja, peningkatan modal fisik seperti mesin, infrastruktur dan
lainnya yang dapat meningkatkan efisiensi produksi, pokoknya TFP mencakup
apa pun yang dapat mengubah hubungan di antara input dan output
(Mankiw,2003). Laboran Bank Dunia 2005, menyebutkan bahwa TFP dapat
mencakup lebih banyak hal, seperti keamanan hah-hak atas properti, institusí
(kelembagaan sosial) atau iklim investasi. Lebih lanjut diuraikan bahwa
percepatan yang dramatis dalam tingkat pendapatan di antara negara-negara
92
dengan tingkat pertumbuhan yang cepat selama lebih 200 tahun disebabkan oleh
adanya peningkatan teknologi.
Merujuk pada hasil penelitian Margono (2005) yang telah menghitung
TFP Indonesia selama periode 1972 – 2002. Penelitian tersebut menunjukkan
bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5.88 persen per tahun
lebih banyak disumbangkan oleh pertumbuhan barang modal (5.55 persen) dan
sumbangan pertumbuhan tenaga kerja sebesar 0.86 persen, sedangkan
pertumbuhan TFP (-0.53 persen) tidak banyak berkontribusi dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional. Barangkali, rendahnya tingkat teknologi ini,
merupakan bukti empiris, sehingga pendapatan perkapita Indonesia sebesar $ 810
per kapita (Tahun 2003), sangat jauh tertinggal dengan negara-negara tetangga,
yang justru belakangan memulai pembangunannya seperti Jepang dengan
pendapatan perkapita mencapai $ 34,510 per kapita, Malaysia sebesar $ 3,780
perkapita, Philippines sebesar $ 1,080 per kapita serta beberapa negara lainnya
(Bank Dunia, 2005).
Meskipun, TFP Indonesia relatif kecil, namun sudah barang tentu TFP
masing-masing provinsi di Indonesia bervariasi, karena pada kenyataannya,
terjadi kesenjangan pendapatan perkapita antara daerah, terutama antara daerah
yang ada di Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan daerah yang ada di wilayah
Kawasan Timur Indonesia (KTI). Dugaan kesenjangan TFP ini, juga dapat dilihat
dari sebaran dari berbagai faktor determinan TFP itu sendiri, seperti, sarana
pendidikan, tenaga kerja yang terampil dan terdidik, infrastruktur jalan dan
berbagai modal fisik lainnya yang umumnya lebih banyak terkonsentrasi di KBI.
Selain itu kesenjangan TFP ini, juga terkait dengan perbedaan corak struktur
perekonomian, dimana corak perekonomian KBI (terutama Jawa) sudah
bertransformasi ke dominasi sektor industri dan jasa, sedangkan daerah-daerah di
KTI (termasuk Sulawesi Selatan) umumnya bercorak dominasi pertanian dimana
sektor ini sangat lamban mengabsorbsi teknologi, khususnya sub sektor tanaman
pangannya.
Sulawesi Selatan yang corak perekonomiannya di dominasi oleh sektor
pertanian, dan memiliki tingkat pendapatan perkapita (PDRB perkapita) yang jauh
terpaut dibawah rata-rata PDRB perkapita kawasan KTI dan PDRB per kapita
93
nasional. Akan tetapi prestasi daerah ini cukup membanggakan dalam mendorong
pertumbuhan ekonominya dan pertumbuhan pendapatan per kapita masyarakatnya.
Dalam kurun waktu 1985-2004, secara rata-rata Sulawesi Selatan memiliki
pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan PDRB per kapita yang lebih tinggi dari
pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita KTI dan nasional (Tabel 2).
Berdasarkan hasil analisis tentang kontribusi sumber-sumber pertumbuhan
dari sisi supply (tenaga kerja, modal dan TFP), yang dihitung dengan
menggunakan metode indirect accounting, maka dalam rentang waktu tahun
1986-2004, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan yang secara rata-rata
mencapai 5.66 per tahun, lebih banyak disumbangkan oleh pertumbuhan TFP
sebesar 2.09 persen, kemudian sumbangan pertumbuhan modal sekitar 1.87
persen dan pertumbuhan tenaga kerja berkontribusi sekitar 1.70 persen (Tabel 8)
Jika diamati perkembangan kontribusi pertumbuhan TFP setiap tahun,
tampak bahwa, ada periode-periode tertentu dimana pertumbuhan modal diikuti
oleh perubahan nilai TFP dengan koefisien arah yang sama (tapi dengan
kemiringan yang berbeda) dan ada periode tertentu pula dimana koefisien arah
pertumbuhan modal kontras dengan koefisien arah pertumbuhan TFP. Periode
dimana kefisien arah yang kontras antara modal dan TFP, umumnya terjadi pada
saat pertumbuhan modal sangat tajam (tinggi), seperti pada tahun 1991, 1996, dan
2002 (Gambar 19). Gambaran ini menunjukkan bahwa peningkatan modal
memang dapat mendorong pertumbuhan TFP dan meningkatkan efisiensi, tetapi
jika penggunaan modal terlalu besar, maka justru dapat menciptakan inefisiensi,
seperti yang ditunjukkan oleh merosotnya pertumbuhan TFP pada periode
pertumbuhan modal sangat tinggi (Tahun 1991, 1996 dan 2002). Pada periode ini,
diduga penggunaan modal sudah melampaui ambang batas skala ekonomisnya,
sehingga yang terjadi adalah pemborosan modal dan tentu hal ini akan
menciptakan inefisiensi.
94
(10.00)
(8.00)
(6.00)
(4.00)
(2.00)
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
1986
19
87
1988
198
9 19
90
1991
19
92
1993
19
94
1995
19
96
1997
19
98
1999
2000
20
01
2002
20
03
2004
Pertumbuhan Ekonomi Kontribusi Pertb.TK Kontribusi Pertumb. Modal Pertumbuhan TFP
Pertumbuhan Ekonomi
Share TFP
Share Tenaga Kerja
Share Modal
Per
tum
bu
han
(%)
Gambar 19 Perkembangan pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja, modal dan TFP
di Sulawesi Selatan (analisa seluruh sektor) Meskipun secara rata-rata pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan dalam
dua dekade terakhir (1986-2004), lebih banyak bersumber dari pertumbuhan TFP
dibandingkan kontribusi pertumbuhan modal dan TK, namun kontribusi sumber-
sumber pertumbuhan tersebut berbeda-beda menurut fase pembangunan ekonomi
Sulawesi Selatan. Jika fase pembangunan ekonomi Sulawesi Selatan dibagi dalam
tiga fase yakni fase “sebelum krisis = industrialisasi” (1986 – 1997), dimana fase
ini dicirikan kebijakan yang berpihak ke sektor industri dengan berbagai
komponen proteksi untuk sektor ini. Fase kedua (1998-2000) di cirikan oleh
terjadinya krisis ekonomi dan fase ke tiga (2001-2004) disebut fase pasca krisis
atau fase otonomi daerah, karena pada fase ini terjadi perubahan mendasar dalam
sistem pemerintahan dan sistem pembangunan nasional, bersamaan dengan
diterapkannya sistem Destoda (desentralisasi dan Otonomi Daerah).
Fase Industrialisasi (Fase Sebelum Krisis Ekonomi) Tahun 1986-1997
Fase ini merupakan fase diterapkannya strategi industrialisasi di Indonesia
dengan berbagai komponen proteksi untuk sektor industri, sehingga sektor
industri dan manufaktur di Sulawesi Selatan tumbuh di atas dua digit. Fase ini
95
juga sekaligus merupakan fase dimana sektor pertanian mengalami kemerosotan
setelah tercapai prestasi gemilangnya “swasembada beras” di tahun 1984. Secara
nasional, fase 1986-1997, oleh Arifin (2004) disebutkannya sebagai fase
“dekonstruksi pertanian”, karena sektor pertanian mengalami fase pengacuhan
(ignorance) oleh para perumus kebijakan dan bahkan oleh para ekonom sendiri.
Fase ini kemudian dipecah menjadi dua periode, yakni periode pertama 1986 –
1989 dan periode kedua 1990 – 1997. Mengingat pada awal tahun 1990-an
diterapkannya kebijakan yang mengarah pada strategi industrialisasi footloose
secara besar-besaran (Arifin, 2004). Pada periode 1990-1997 ini, juga ditandai
oleh terjadinya transformasi internal sektor pertanian Sulawesi Selatan, dimana
sub sektor tradisional (tanaman pangan dan peternakan) mengalami kemerosotan,
sementara sub-sektor modern (khususnya sub sektor perkebunan)
Fase ini, ditandai oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
untuk seluruh sektor di Sulawesi Selatan yakni mencapai diatas 7.0 persen
pertahun. Pertumbuhan yang tinggi ini, terjadi untuk semua sektor. Bahkan sektor
industri manufaktur pada fase ini memiliki tingkat pertumbuhan yang memukau,
yakni di atas 10 persen pertahun, bahkan pada periode pertama dalam fase ini
memiliki pertumbuhan di atas 20 persen pertahun.
Periode pertama dalam dalam fase ini tidak hanya memiliki pertumbuhan
ekonomi tinggi, tapi juga diikuti oleh penyerapan tenaga kerja yang relatif besar,
terutama sektor pertanian dan industri. Periode ini juga ditandai oleh pertumbuhan
TFP yang cukup besar yakni sekitar 2.26 persen pertahun, terutama sektor industri
dan sektor lainnya, sementara TFP pertanian pada periode ini tumbuh lamban,
mengingat pertumbuhan sektor pertanian pada periode ini terutama disumbangkan
oleh sub-sektor pertanian tanaman pangan yang dikenal lamban mengabsorbsi
teknologi.
Sementara pada periode kedua dalam fase ini, Meskipun mengalami
perumbuhan yang lebih besar dibandingkan periode sebelumnya, yang disebabkan
oleh peningkatan pertumbuhan sektor lainnya, tetapi pertumbuhan tenaga kerja
serta pertumbuhan TFP melamban pada periode ini. Untuk sektor industri, periode
ini ditandai melambannya pertumbuhan nilai tambah buto sektor ini dibandingkan
periode sebelumnya, demikian pula pertumbuhan TK, Modal dan TFP. Berbeda
96
halnya dengan sektor pertanian, di mana pertumbuhan nilai tambah bruto dan
pertumbuhan tenaga kerja memang melamban, tapi pertumbuhan TFP meningkat
secara signikant. Kondisi seperti ini disebabkan oleh andanya transformasi
internal pada sektor pertanian, karena pada periode ini, sektor modern pertanian
(sub-sektor perkebunan) mengalami pertumbuhan besar, terutama diakhir tahun
1990-an. Sementara sub sektor tradisional (tanaman pangan) dalam periode ini
mengalami stagnasi pertumbuhan produktvitas. Hal serupa diungkapkan oleh
Manwan (2003) bahwa dalam kurun waktu 10 – 15 tahun terakhir produksi dan
produktivitas padi nasional memiliki pertumbuhan yang stagnan atau tingkat
produksi sudah berada pada tingkat leveling off. Demikian pula yang diungkapkan
oleh Majedah (2005) bahwa selama periode 1994-1998 produksi dan
produktivitas padi memiliki laju pertumbuhan secara negatif.
Tabel 8 Perkembangan pertumbuhan tenaga kerja, modal dan TFP, menurut fase pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan.
Sumber pertumbuhan Pertumb.Output T. Verja Modal TFP No. Tahun
YY /∂ LL /∂α KK /)1( ∂− α AA /∂
Total Sektor 1 1986 – 1989 7.06 2.94 1.87 2.26 2 1990 – 1997 7.26 2.39 3.52 1.34 3 1998 – 2000 0.70 (0.58) (2.65) 3.93 4 2001 – 2004 4.79 0.80 1.94 2.05 5 1986 – 2004 5.66 1.70 1.87 2.09
Sektor Pertanian 1 1986 – 1989 6.08 4.66 0.76 0.65 2 1990 – 1997 5.54 1.09 2.74 1.71 3 1998 – 2000 0.87 (0.09) 4.81 (3.85) 4 2001 – 2004 1.36 0.11 7.27 (6.02) 5 1986 – 2004 4.04 1.45 3.61 (1.02)
Sektor Industri Peng 1 1986 – 1989 20.16 3.06 12.19 4.91 2 1990 – 1997 10.82 1.13 5.83 3.85 3 1998 – 2000 1.70 (0.40) (6.16) 8.25 4 2001 – 2004 5.54 0.16 4.24 1.13 5 1986 – 2004 10.23 1.09 4.94 4.20
Sektor Lainnya 1 1986 – 1989 6.39 (1.59) 5.92 2.06 2 1990 – 1997 7.88 3.03 4.05 0.80 3 1998 – 2000 0.33 (0.13) (5.41) 5.88 4 2001 – 2004 6.97 0.07 6.40 0.50 5 1986 – 2004 6.18 0.93 3.45 1.80
Sumber : Diolah dari data BPS
97
Fase Krisis Ekonomi (1998-2000)
Fase ini ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah, terutama
pada tahun 1998, dimana perekonomian Sulawesi Selatan merosot hingga minus
5.33 persen. Pada fase ini juga ditandai oleh merosotnya pertumbuhan tenaga
kerja dan pertumbuhan modal. Akan tetapi pertumbuhan TFP justru mengalami
peningkatan, bahkan fase ini, pertumbuhan TFP mencapai tingkat tertingginya
yakni sekitar 3.93 persen pertahun untuk TFP keseluruhan Sektor. Bahkan
pertumbuhan TFP untuk sektor industri dan sektor lainnya dapat mencapai diatas
5.0 persen pertahun.
Tingginya TFP pada kedua sektor ini pada fase krisis ekonomi, disebabkan
adanya tindakan efisiensi yang dilakukan oleh para pelaku bisnis di kedua sektor
ini, dengan melalui penghematan tenaga kerja, serta penghematan modal,
mengingat biaya modal atau opportunity cost atas modal menjadi sangat tinggi
sebagai dampak krisis moneter. Pengehematan tenaga kerja sektor industri pada
fase ini, terutama terjadi di sektor industri perkotaan dengan penurunan tenaga
kerja sekitar 17.70 persen pada tahun 1998, sementara penurunan tenaga kerja di
sektor industri pedesaan hanya sekitar 1.46 persen.
Inovasi lain yang dilakukan oleh para pelaku bisnis di sektor industri dan
sektor lainnya di fase ini adalah pengurangan penggunaan input- input yang
mengandung komponen impor karena harganya melambung tinggi pada saat
anjloknya nilatukar rupiah terhadap mata uang asing. Hal ini ditunjukkan oleh
anjloknya nilai impor antar negara rata-rata -31.51 persen pertahun selama periode
1997-2002 yakni dari Rp. 5,220.16 M tahun 1997 menjadi Rp. 578.92 M tahun
2002. Pada dasarnya fase ini merupakan, fase yang mendesak para pelaku bisnis
untuk melakukan inovasi dalam meramu ulang kombinasi faktor produksinya
guna meningkatkan efisiensi produksi. Tentunya perubahan cara dalam
mengkombinasikan faktor produksi ini, merupakan perubahan teknologi yang
dapat meningkatkan efisiensi. Karena teknolgi menurut Arifin (2004) adalah cara,
mekanisme dan proses produksi untuk melakukan kombinasi faktor- faktor
produksi (input) guna menghasilkan sesuatu yang lebih baik.
Walaupun TFP sektor industri dan sektor lainnya mengalami pertumbuhan
tinggi pada fase krisis ini, namun untuk sektor pertanian, fase ini merupakan fase
98
kemerosotan TFP yang cukup besar dengan pertumbuhan rata-rata -3.85 persen
pertahun. Merosotnya TFP pertanian pada fase ini terkait beberapa faktor (1)
Adanya gangguan iklim yang tidak bersahabat, ketika empasan badai kering El
Nino tahun 1997-1998 yang bersamaan waktunya dengan bencana krisis moneter
diakhir tahun 1997. Bencana alam ini sudah barang tentu menurunkan produksi
dan produktivitas pertanian sehingga pertumbuhan TFP mengalami kemerosotan
pada fase ini. (2) TFP pertanian yang merosot pada fase ini, juga terkait dengan
dicabutnya subsidi atas pupuk, sehingga harga pupuk melambung tinggi pada fase
ini. Dampaknya adalah terjadinya pengurangan penggunaan pupuk di tingkat
petani terutama jenis pupuk TSP dan KCl untuk sub sektor tanaman pangan. Pada
hal sarana produksi pupuk ini merupakan salah satu kunci sukses gerakan
“revolusi hijau” yang dimulai pada akhir tahun 1960-an. (3) Kemerosotan TFP
pertanian di Sulawesi Selatan, juga diperkirakan sangat terkait dengan adanya
kebijakan perdagangan yang sangat tidak berpihak ke pertanian. Terbukanya kran
impor beras ditahun 1998, menyebabkan beras impor yang kualitasnya lebih
bagus membanjiri pasar domestik. Kondisi ini jelas berdampak buruk terhadap
iklim bisnis perberasan di daerah ini, mengingat Sulawesi Selatan sebagai
penghasil surplus beras terbesar di Indonesia, mengalami penyempitan pasar di
berbagai daerah tujuan pasar beras antar pulau (Majedah, 2005), terutama di
berbagai pasar antar pulau yang secara tradisional dilayani oleh pedagang-
pedagang beras dari tanah bugis (Sulawesi Selatan).
Di sisi lain, pada fase ini, tarif ekspor berbagai komoditi pertanian juga
meningkat, sehingga harga komoditi ekspor pertanian yang melambung tinggi
dipasaran internasional tidak dapat ditransmisikan secara efektif ke tingkat petani,
sehingga berdampak pada tertahannya laju peningkatan pendapatan petani
komoditi ekspor.
Fase Pasca krisis Ekonomi (periode Destoda; 2001-Sekarang)
Fase ini dapat diterjemahkan sebagai fase diberikannya ruang yang lebih
besar bagi pemerintah daerah otonom untuk melakukan kombinasi strategi
pemanfaatan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang dimiliki
suatu daerah, atau sebagai fase peningkatan basis kemandirian daerah dalam
mengelola aktivitas pembangunannya, termasuk membangun pertanian.
99
Pada fase ini, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan sudah mulai pulih
dari kemerosotan ekonomi di era krisis, dengan tingkat pertumbuhan sekitar 4.79
persen pertahun. Pertumbuhan sektor industri pengolahan dan sektor lainnya
mengalami pertumbuhan cukup pesat pada fase ini, demikian pula TFP
mengalami kemajuan pada kedua sektor ini. Tetapi sektor pertanian, tidak saja
menunjukkan kelambanan pertumbuhan yakni hanya sekitar 1.36 persen pertahun,
tetapi pertumbuhan TFP sektor ini masih mengalami pertumbuhan negatif. Nilai
negatif ini menunjukkan bahwa pertumbuhan nilai tambah yang diciptakan oleh
sektor pertanian masih bertumpu pada kontribusi pertumbuhan tenaga kerja dan
modal (bahkan penggunaannya boleh jadi sudah melampaui skala efisiensinya),
sedangkan faktor produksi lainnya seperti teknologi tidak memberi kontribusi
yang nyata. Selain itu, kemerosotan TFP pada fase ini, diduga masih terkait
dengan melambungnya biaya sarana produksi terutama pupuk sebagai dampak
pencabutan subsidi pupuk, serta disebabkan oleh terjadinya kelangkaan pupuk
setiap tahun sejak tahun 2002, karena buruknya sistem distribusi pupuk.
Kemerosotan TFP pertanian pada fase ini juga diduga terkait dengan banyaknya
bangunan irigasi yang rusak bahkan ada yang tidak dapat berfungsi, sejak
diserahkannya pengelola irigasi ke kelompok P3A. Demikian pula pembinaan
kelembagaan kelompok tani mengalami kemunduran, bersamaan menurunnya
aktivitas penyuluhan pertanian dalam mentransfer teknologi ke petani.
100
5.4. Analisis Pasar Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan
5.4.1. Gambaran Umum Model Dugaan Pasar Tenaga Kerja dan
Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan
Model pasar tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan
dianalisis dengan menggunakan model persamaan simultan (Simultaneous-
equation) dengan metode pendugaan Two Stage Least Squares (2SLS). Model
persamaan yang dirumuskan terdiri dari 25 persamaan struktural. Berdasarkan
kriteria identifikasi model dengan kriteria order condition, setiap persamaan yang
dirumuskan dalam studi ini adalah overidentified dan untuk menaksir dugaan
persamaan digunakan program Eviews 4.0.
Hasil dugaan dari setiap persamaan struktural tersebut menghasilkan nilai
R-squared (R2)yang cukup besar yakni berkisar antara 0.5479 hingga 0.9965. Hal
ini menunjukkan bahwa variasi nilai dari variabel endogen (dependent variabel)
dijelaskan oleh peubah penjelas (independent variabel) sebesar 54.79 persen
hingga 99.65 persen. Dengan kata lain peubah penjelas dapat menjelaskan
perilaku model secara baik. Selain itu pada setiap persamaan peubah penjelas
secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap variabel endogen
hingga taraf nyata 80 persen – 99 persen, yang ditunjukkan nilai probability F-
statistik berkisar antara 0.1533 – 0.000. Selanjutnya dari 190 koefisien yang
diestimasi terdapat sebanyak 107 koefisien yang signifikan hingga tarap nyata 90
persen, bahkan pada tingkat a = 0.2, terdapat sebanyak 132 (69.47 persen)
variabel dugaan yang signifikan. Tanda parameter dugaan pada setiap persamaan
juga sesuai dengan harapan berdasarkan teori ekonomi maupun logika ekonomi
(Lampiran 2).
Berdasarkan hasil uji Durbin-watson statistik, yang bernilai antara 2.6260
hingga 0.9376, serta uji koresi serial dengan menggunakan metode Breusch-
Godfrey Test, menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa persamaan yang
masih mengandung masalah korelasi serial pada tingkat a = 0.05. Akan tetapi
pada tingkat a = 0.01, maka tidak ada lagi persamaan yang masih mengandung
masalah korelasi serial, hal ini dapat terlihat dari nilai probability Obs*R-squared
yang berkisar antara nilai 0.0174 hingga 0.8856 (Lampiran 3).
101
Selanjutnya asumsi terjadinya multikolenearity tampaknya juga tidak
menjadi hal yang serius. Karena menurut Manurung (2005), salah satu cara untuk
mendeteksi masalah multikolenearitas ini adalah apabila koefisen determinas (R2)
tinggi tapi signifikansi nilai statisti-t rendah (sedikit variabel yang signifikan).
Berdasarkan hasil analisis, dari 25 persemaan struktural yang dibangun dalam
penelitian ini, berbagai persamaan yang memiliki koefisen determinasi (R2) cukup
tinggi (diatas 90 persen), namun kesemua persamaan tersebut juga memiliki
signifikansi nilai statisti-t yang tinggi (banyak variabel yang signifikan).
Persamaan-persamaan struktural tersebut juga memenuhi asumsi normalitas. Hal
tersebut terlihat dari hasil uji Histogram-normality Test, dengan nilai probability
Jarque-Bera yang berkisar antara 0.2563 hingga 0.9150 (Lampiran 3). Artinya
dengan tingkat a = 0.05, kita menerima hipotesis yang menyatakan residual
terdistribusi normal, dengan demikian persamaan-persamaan yang dibangun
dalam studi ini memenuhi asumsi normalitas.
Berdasarkan pada gambaran umumn hasil dugaan dari persamaan simultan
yang dibangun, serta berbagai hasil pengujian terhadap asumsi-asumsi penting
dalam analisa regresi linear, maka dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun
dalam penelitian ini cukup baik untuk menjelaskan keragaan pasar tenaga kerja
dan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan selama periode tahun 1985 – 2004.
5.4.2. Analisis Permintaan Tenaga Kerja Sektoral di Wilayah Perkotaan
dan Pedesaan
Model analisis kesempatan kerja (permintaan tenaga kerja) di Sulawesi
Selatan yang dibangun, di dasarkan pada asumsi bahwa permintaan tenaga kerja
merupakan permintaan turunan dari output masing-masing sektor produksi.
Karena itu model persamaan kesempatan tenaga kerja yang dibangun, selain
dipengaruhi oleh tingkat upah riil, juga dipengaruhi oleh berbagai variabel
sumber-sumber pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan PDRB) baik dari sisi
demand, seperti konsumsi masyarakat (CS), investasi (INV), pengeluaran
pemerintah (GOV), eksport (EXPR) dan impor (IMP), maupun dari sisi supply,
khususnya TFP. Selain variabel tersebut, permintaan tenaga kerja juga terkait
dengan krisis ekonomi dan jumlah angkatan kerja sebagai sisi supply pasar tenaga
kerja. Masuknya variabel angkatan kerja dalam model ini didasarkan pada
102
pandangan Juanda (2001) bahwa perkembangan pekerja (kesempatan kerja)
memiliki pola yang sangat mirip dengan perkembangan angkatan kerja atau di
sebutkannya menyerupai supply-side determined employment, yang diartikan
bahwa banyak sekali pencari kerja tidak mampu bertahan untuk menganggur,
sehingga banyak surplus tenaga kerja yang terserap ke pekerjaan sementara, walau
dengan tingkat upah yang sangat rendah. Analogi ini mengisyaratkan bahwa
perkembangan angkatan kerja, juga memberi tekanan tersendiri pada permintaan
tenaga kerja.
Hasil analisis pendugaan parameter persamaan kesempatan kerja kerja
yang didisagregasi menurut sektor serta menurut wilayah perkotaan dan pedesaan
di Sulawesi Selatan, menghasilkan nilai koefisien detereminasi (R2) yang berkisar
antara 89.17 persen hingga 99.28 persen. Hasil ini menunjukkan bahwa peubah
penjelas dalam model dapat menjelaskan perilaku variabel endogen secara baik,
selain itu pada setiap persemaan peubah penjelas secara bersama-sama juga
berpengaruh signifikan pada tingkat kesalahan yang ditolerir (a) = 0.01 dan 0.05.
Gambaran rinci mengenai hasil analisis permintaan tenaga kerja sektoral di
Sulawesi Selatan, dikelompokkan dalam dua bagian yakni persamaan-persamaan
kesempatan kerja sektoral di wilayah perkotaan seperti pada Tabel 9 dan
persamaan kesempatan kerja sektoral di wilayah pedesaan seperti pada Tabel 10.
A. Kesempatan Kerja Sektoral di Perkotaan
Analisis kesempatan kerja kerja sektoral di wilayah perkotaan
didisagregasi menurut tiga sektor yakni sektor pertanian, sektor industri
pengolahan dan sektor lainnya. Nilai koefisien detereminasi (R2) pada ketiga
sektor perkotaan tersebut berkisar antara 0.9827 – 0.9928, yang berarti bahwa
variasi nilai variabel endogen (kesempatan kerja) sektoral perkotaan dapat
dijelaskan sekitar 98.27 persen hingga 99.28 persen oleh peubah penjelas secara
bersama-sama, sedangkan sisanya dijelaskan oleh peubah lain yang tidak masuk
dalam model. Hasil perhitungan nilai F-hitung pada setiap persamaan kesempatan
kerja di perkotaan berkisar antara 31.0091 hingga 75.4849, yang berarti peubah
penjelas pada setiap persamaan, secara bersama-sama signifikan pada tingkat a =
103
0.01 (Tabel 9). Uraian hasil pendugaan pada setiap persamaan kesempatan kerja
sektoral di perkotaan dijelaskan sebagai berikut
Sektor Pertanian Perkotaan : Hasil analisa partial pada persamaan
kesempatan kerja sektor pertanian perkotaan, menunjukkan bahwa permintaan
tenaga kerja di sektor pertanian perkotaan dipengaruhi oleh upah rill sektor
(WPK), total factor productivity pertanian (TFPP), investasi (INV), Pengeluaran
pemerintah (GOV), ekspor (EXPR), impor (IMP), nilai tambah sektor pertanian
(NTBP) dan dummy krisis ekonomi, pada tingkat kesalahan yang ditolerir (a) =
0.01, 0.05. Sementara konsumsi masyarakat (CS) dan variabel angkatan kerja
(AKK) berpengaruh pada tingkat kesalahan a = 0.15 dan 0.20. Hasil ini
menunjukkan bahwa semua variabel dalam model memberi pengaruh nyata
terhadap kesempatan kerja pertanian kota. Variabel seperti upah riil, konsumsi
masyarakat, pengeluaran pemerintah dan impor berkorelasi negatif dengan
variabel endogennya, yang berarti apabila variabel-variabel ini mengalami
peningkatan, maka cenderung menurunkan perluasan kesempatan kerja di sektor
pertanian perkotaan.
Dilihat dari nilai elastisitas masing-masing peubah penjelas, maka respon
kesempatan kerja pertanian perkotaan terhadap variabel investasi dan nilai tambah
bruto sektor pertanian bersifat elastis dalam jangka pendek, sedangkan varibel-
variabel lainnya bersifat in-elastis. Akan tetapi dalam jangka panjang selain kedua
variabel yang telah disebutkan, maka variabel upah riil dan impor juga bersifat
elastis. Nilai elastisitas diartikan sebagai besarnya perubahan pada variabel
endogen (dalam satuan persen) sebagai respon atas terjadinya perubahan pada
peubah penjelas sebesar 1 persen.
Dalam jangka pendek nilai elastisitas terbesar berasal dari variabel NTBP
yakni sebesar 1.7216 yang berarti bahwa apabila nilai tambah bruto pertanian
meningkat sebesar 1 persen, maka akan berdampak pada peningkatan permintaan
tenaga kerja sebesar 1.7216 persen pada sektor pertanian perkotaan. Sedangkan
nilai elastisitas terendah berasal dari variabel TFPP yakni 0.0165 untuk jangka
pendek dan 0.0301 untuk jangka panjang, dengan hubungan korelasi positif.
Gambaran ini menunjukkan bahwa, sifat teknologi pada pertanian kota tidak
104
mereduksi kesempatan kerja, bahkan dapat mendorong perluasan kesempatan
kerja, meskipun kesempatan kerja yang ditimbulkannya relatif kecil.
Tabel 9 Hasil estimasi parameter persamaan kesempatan kerja sektoral di wilayah perkotaan Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004
Elastisitas PEUBAH Dugaan
Parameter Probability t-Statistik JK Pendek JK Panjang
KPK Kesemp. Kerja Pert Kota Intersept 28588.88 0.1355
Upah Pert Kota (WPK) -0.474927 0.0000 a) -0.5541 -1.0089 TFP Pert (TFPP) 1279.903 0.0078 a) 0.0165 0.0301 Konsumsi Masy (CS) -0.002884 0.1684 -0.5432 -0.9890 Investasi (INV) 0.015884 0.0001 a) 1.2071 2.1979 Pengel. Pemerintah (GOV) -0.009219 0.0468 b) -0.4990 -0.9085 Expor (EXPR) 0.003562 0.0076 a) 0.3305 0.6018 Impor (IMP) -0.006483 0.0017 a) -0.5499 -1.0012 Nilai Tambah Pert. (NTBP) 0.013988 0.0009 a) 1.7216 3.1345 Dummy Krisis Eko. (DKE) 33167.99 0.0000 a) 0.1579 0.2875 Angkat Kerja Kota (AKK) 0.040218 0.1304 0.3735 0.6801 Lag Endogen (Lag KPK) 0.471574 0.0233 b) 0.4508 0.8207
R2 = 0.9827; F-Hitung = 31.0091 a) ; DW = 2.4293 KIK Kesemp. Kerja Industri Kota Intersept 18838.97 0.0004 a) Upah Industri Kota (WIK) -0.208652 0.0001 a) -0.4139 -0.5573 TFP Industri (TFPI) -1169.382 0.0259 b) -0.0229 -0.0308 Konsumsi Masy (CS) 0.005378 0.0441 b) 1.5338 2.0653 Investasi (INV) 0.002307 0.0755 c) 0.2655 0.3575 Pengel. Pemerintah (GOV) 0.002377 0.2268 0.1948 0.2623 Expor (EXPR) 0.006764 0.0000 a) 0.9505 1.2799 Impor (IMP) -0.00677 0.0002 a) -0.8696 -1.1709 Nilai Tambah Indust. (NTBI) 0.006779 0.3096 0.3807 0.5126 Dummy Krisis Eko. (DKE) -3696.985 0.3099 -0.0267 -0.0359 Angkat Kerja Kota (AKK) 0.013617 0.4113 0.1915 0.2579 Lag Endogen (Lag KIK) 0.270098 0.1840 0.2574 0.3466
R2 = 0.9635; F-Hitung = 14.3867 a) ; DW = 2.1044 KLK Kesemp. Kerja Sek Lain Kota Intersept -29108.14 0.1942 Upah Sek Lain Kota (WLK) -0.203635 0.0149 b) -0.0545 -0.0731 TFP Sektor Lain (TFPL) -1309.997 0.4147 -0.0027 -0.0036 Konsumsi Masy (CS) 0.008589 0.0585 c) 0.2533 0.3397 Investasi (INV) 0.03336 0.0000 a) 0.3970 0.5324 Pengel. Pemerintah (GOV) 0.034289 0.0318 b) 0.2906 0.3897 Expor (EXPR) 0.043598 0.0076 a) 0.6335 0.8496 Impor (IMP) -0.044636 0.0089 a) -0.5928 -0.7951 Nilai Tambah S.Lain (NTBL) 0.055009 0.0032 a) 1.4318 1.9202 Dummy Krisis Eko. (DKE) 118674.5 0.0005 a) 0.0885 0.1186 Angkat Kerja Kota (AKK) 0.201516 0.3241 0.2930 0.3930 Lag Endogen (Lag KLK) 0.266598 0.1927 0.2544 0.3412
R2 = 0.9928; F-Hitung = 75.4849 a) ; DW = 1.6140 Sumber : Diolah dari berbagai data BPS, 1985-2004 Keterangan : a) : Signifikan pada taraf nyata a = 0.01 b) : Signifikan pada taraf nyata a = 0.05 c) : Signifikan pada taraf nyata a = 0.10
105
Sektor Industri Pengolahan Perkotaan: Hasil pendugaan persamaan
kesempatan kerja sektor industri pengolahan di wilayah perkotaan, menunjukkan
bahwa, kesempatan kerja di sektor ini selain dipengaruhi oleh upah riil, juga
dipengaruhi oleh variabel sumber-sumber pertumbuhan output dari sisi
permintaan seperti konsumsi masyarakat, investasi, ekspor dan impor pada tingkat
kesalahan a = 0.01; 0.05 dan 0.10. Variabel input residual atau total faktor
productivity sektor industri pengolahan (TFPI) juga signifikan pada taraf nyata a
= 0.05, sedangkan variabel nilai tambah industri, dummy krisis ekonomi dan
angkatan kerja perkotaan serta lag endogennya tidak memberi pengaruh nyata.
TFPI sebagai input residual dari faktor produksi tenaga kerja dan modal
(misalnya teknologi) di sektor industri pengolahan perkotaan, yang signifikan
pada taraf nyata a = 0.05, memiliki koefisien korelasi yang negatif. Hal ini
diartikan bahwa peningkatan TFPI (misalnya teknologi) akan cenderung
mereduksi permintaan tenaga kerja di sektor ini, atau dengan kata lain TFPI di
sektor ini umumnya bersifat menghemat tenaga kerja. Akan tetapi penghematan
tenaga kerja yang ditimbulkan oleh variabel ini relatif kecil, yang ditunjukkan
oleh nilai elastisitasnya atau respon permintaan tenaga kerja terhadap perubahan
input residual (TFPI) yang bersifat in-elastis baik dalam jangka pendek, maupun
dalam jangka panjang.
Industri pengelohan dikenal sebagai sektor usaha yang memiliki
komponen bahan baku impor cukup besar, sehingga biaya produksi sektor ini
sangat sensitif terhadap nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (exchange
rate), merosotnya nilai tukar rupiah pada saat terjadinya krisis ekonomi,
berdampak pada melambungnya harga berbagai bahan baku impor, sehingga
banyak kegiatan produksi di sektor ini mengalami kemerosotan yang cukup parah
bahkan tidak sedikit kegiatan usaha yang mengalami kebangkrutan, sehingga
efisiensi pengurangan tenaga kerja menjadi tidak dapat dihindari.
Industri pengolahan yang ada di Sulawesi Selatan pada dasarnya dapat
dibagi dua yakni industri yang berorientasi untuk memenuhi permintaan pasar
ekspor dan industri yang berorientasi untuk memenuhi pasar domestik. Hasil
analisis menunjukkan bahwa peningkatan nilai ekspor sulawesi selatan berdampak
pada perluasan kesempatan kerja. Hal ini disebabkan karena peningkatan ekspor
106
merupakan penciri meningkatnya daya saing produk yang diproduksi secara
domestik di Sulawesi Selatan, termasuk produk industri pengolahan perkotaan.
Karena itu, peningkatan ekspor akan berdampak pada perluasan kesempatan kerja
di sektor industri perkotaan.
Sektor Lainnya di Perkotaan : Hasil pendugaan terhadap persamaan
kesempatan kerja sektor lainnya di perkotaan menunjukkan bahwa, variabel upah
riil, nilai tambah sektor, dummy krisis ekonomi dan variabel sumber-sumber
pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan, seperti investasi, pengeluaran
pemerintah, ekspor dan impor berpengaruh signifikan terhadap kesempatan kerja
di sektor ini pada tingkat kesalahan a = 0.01 dan 0.05 Sementara variabel
konsumsi masyarakat signigikan pada tingkat kesalahan a = 0.10. Sedangkan
variabel lainnya seperti angkatan kerja dan total factor productivity sektor lainnya
(TFPL) tidak berpengaruh nyata.
Peningkatan impor dan peningkatan nilai TFPL di sektor ini, akan
menimbulkan penyempitan kesemptan kerja di sektor ini. Hal ini ditunjukkan oleh
koefisien korelasi yang negatif untuk kedua variabel tersebut. Sedangkan variabel-
variabel determinan lainnya berkorelasi positif dengan variabel endogen, yang
berarti peningkatan nilai variabel tersebut cenderung memperluas kesempatan
kerja sektor ini .
Dilihat dari nilai elastisitas semua peubah penjelas dalam model, maka
hanya variabel nilai tambah sektor (NTBL) yang bersifat elastis baik dalam
jangka pendek maupun dalam jangka panjang, sedangkan peubah lainnya bersifat
in-elastis. Dengan membandingkan nilai elastisitas NTBL pada setiap persamaan
kesempatan kerja perkotaan, terlihat bahwa respon permintaan tenaga kerja di
sektor pertanian dan sektor lain bersifat elastis, sedangkan di sektor industri
bersifat inelastis. Perbedaan ini di sebabkan karena sektor industri dikenal sebagai
sektor yang hemat tenaga kerja, sedangkan sektor lain, khususnya pertanian di
kenal sebagai sektor padat karya. Hasil ini menunjukkan bahwa untuk mengurangi
jumlah pengangguran perkotaan melalui perluasan kesempatan kerja, maka
pertumbuhan ekonomi sebaiknya berbasis pada sektor padat karya seperti
pertanian dan sektor lain di perkotaan.
107
B. Kesempatan Kerja Sektoral di Pedesaan
Hasil analisis persamaan kesempatan kerja sektoral di pedesaan
menghasilkan nilai koefisien determinasi (R2) yang berkisar antara 0.8917 hingga
0.9677. Dengan demikian peubah penjelas yang ada dalam model dapat
menjelaskan perilaku variabel endogennya sekitar 89.17 persen hingga 96.77
persen, sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak masuk dalam model.
Pengaruh peubah penjelas secara bersama-sama terhadap variabel endogen juga
signifikan pada tingkat kesalahan yang ditolerir (a) = 0.01 dan 0.05 (Tabel 10).
Hasil analisa estimasi parameter peubah penjelas secara partial pada setiap
persamaan kesempatan kerja sektoral di pedesaan akan diuraikan satu persatu
sebagai berikut.
Sektor Pertanian Pedesaan. Hasil pendugaan peubah penjelas pada
persamaan kesempatan kerja sektor pertanian pedesaan menunjukkan bahwa,
semua variabel estimasi dalam model berpengaruh signifikan terhadap
kesempatan kerja pertanian pedesaan pada tingkat kesalahan a = 0.01, 0.05 dan
0.10. Variabel determinan yang memiliki koefisien korelasi negatif adalah
variabel konsumsi masyarakat (CS), pengeluaran pemerintah (GOV) dan impor
(IMP). Sedangkan variabel determinan seperti upah riil, TFPP, investasi, ekspor,
nilai tambah sektor pertanian, krisis ekonomi dan angkatan kerja pedesaan
berkorelasi positif dengan kesempatan kerja pertanian pedesaan.
Beberapa interpretasi hasil dari persamaan ini adalah (1) sifat TFPP di
sektor pertanian pedesaan dapat mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja
di sektor ini. Sifat TFP pertanian di ini, kontras dengan sifat TFP di sektor industri
dan sektor lainnya, khususnya diperkotaan yang umumnya mereduksi kesempatan
kerja (hemat tenaga kerja). Karena TFP sering dijadikan simbol kemajuan
teknologi, maka sifat TFPP yang berkorelasi positif dengan kesempatan kerja di
pertanian dapat dipahami mengingat sifat teknologi pertanian, pada perinsipnya
memang ada dua jenis yakni teknologi mekanik (mesin) yang umumnya
menghemat tenaga kerja dan teknologi Bio-Kimiawi atau teknologi intensifikasi
yang fungsinya untuk menghemat penggunaan lahan. Jenis teknologi terkahir ini
bukanlah menghemat penggunaan tenaga kerja, bahkan dengan teknologi intensif
ini, memungkinkan kebutuhan tenaga kerja per satua luas lahan menjadi semakin
108
meningkat. (2) Sektor pertanian pedesaan merupakan ”dewa penyelamat”
sebagian besar tenaga kerja pedesaan di saat krisis ekonomi, bahkan mungkin
sektor ini merupakan penampung sementara dari limpahan tenaga kerja dari sektor
industri dan sektor lainnya di yang melakukan efisiensi tenaga kerja di saat krisis
ekonomi. (3) pengeluaran pemerintah (GOV) berkorelasi negatif dengan
permintaan tenaga kerja pertanian pedesaan. Korelasi yang negatif ini, terlihat
jelas pada periode desentralisasi dan otonomi daerah yang diawali sejak tahun
2001. Dimana pada sejak periode ini pengeluaran pemerintah mengalami
lompatan besar sejalan dengan kebijakan perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah. Namun pada periode ini tenaga kerja pertanian, maupun nilai tambah yang
diciptakan mengalami kemerosotan yang tajam (Lihat Tabel 6. pada bagian
terdahulu). Gambaran ini menjelaskan bahwa pada periode otonomi daerah pun,
sektor pertanian masih berada dalam fase ignorance dari pengambil kebijakan di
daerah. (4) Sektor pertanian pedesaan seringkali disebut sebagai ”penampung
para pekerja sementara” yakni bagian dari surplus tenaga kerja yang tidak tahan
menganggur walau dengan tingkat upah yang rendah. Gejala seperti ini,
tampaknya masih menjadi trend di Sulawesi Selatan, yang ditunjukkan oleh nilai
koefisien regresi angkatan kerja paling besar terhadap persamaan kesempatan
kerja pertanian pedesaan yakni 0.5304, yang berarti setiap pertambahan angkatan
kerja pedesaan sebanyak 10 orang, maka akan terserap sebanyak 5 orang di sektor
pertanian pedesaan. Akan tetapi, dengan membandingkan nilai elastisitas variabel
AKD terhadap setiap persamaan kesempatan kerja pedesaan, maka terlihat bahwa
kesempatan kerja sektor lain di pedesaan juga responsif (elastis) terhadap
perubahan AKD. Dengan demikian, maka sektor pertanian pedesaan, bukanlah
satu-satunya sektor yang merupakan penampung para pekerja sementara ini.
Fenomena ini mungkin disebabkan oleh tingkat upah di sektor pertanian pedesaan
yang sudah sangat rendah, sehingga sebagian dari angktan kerja baru ini lebih
memilih sektor lainnya di pedesaan sebagai tempat bekerja sementara di pedesaan.
109
Tabel 10 Hasil estimasi parameter persamaan kesempatan kerja sektoral di wilayah pedesaan Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004
Elastisitas PEUBAH Dugaan
Parameter Probability t-Statistik JK Pendek JK Panjang
KPD Kesemp. Kerja Pert Desa Intersept 963282.8 0.0000 a) Upah Pert Desa (WPD) 1.212466 0.0109 b) 0.0524 0.0874 TFP Pert (TFPP) 4384.173 0.0900 c) 0.0028 0.0047 Konsumsi Masy (CS) -0.122221 0.0000 a) -1.1406 -1.9045 Investasi (INV) 0.153021 0.0000 a) 0.5762 0.9621 Pengel. Pemerintah (GOV) -0.065470 0.0007 a) -0.1756 -0.2932 Expor (EXPR) 0.052994 0.0001 a) 0.2437 0.4069 Impor (IMP) -0.063440 0.0001 a) -0.2666 -0.4452 Nilai Tambah Pert. (NTBP) 0.039500 0.1003 c) 0.2409 0.4022 Dummy Krisis Eko. (DKE) 229738.8 0.0000 a) 0.0542 0.0905 Angkatan Kerja Desa (AKD) 0.530425 0.0000 a) 0.7726 1.2900 Lag Endogen (Lag KPD) 0.409153 0.0002 a) 0.4011 0.6697
R2 = 0.9565; F-Hitung = 12.0029 a) ; DW = 2.0211 KID Kesemp. Kerja Industri Desa Intersept -1696.024 0.9039 Upah Industri desa (WID) -0.207047 0.0083 a) -0.1651 -0.6095 TFP Industri (TFPI) 926.2314 0.0109 b) 0.0091 0.0337 Konsumsi Masy (CS) -0.001207 0.6366 -0.1732 -0.6394 Investasi (INV) 0.003850 0.0038 a) 0.2229 0.8229 Pengel. Pemerintah (GOV) 0.003826 0.1998 0.1577 0.5824 Expor (EXPR) 0.004550 0.1698 0.3217 1.1876 Impor (IMP) -0.004249 0.2635 -0.2746 -1.0137 Nilai Tambah Indust. (NTBI) 0.017665 0.0610 c) 0.4991 1.8426 Dummy Krisis Eko. (DKE) -12545.22 0.0216 b) -0.0455 -0.1680 Angkatan Kerja Desa (AKD) 0.002018 0.8757 0.0452 0.1668 Lag Endogen (Lag KID) 0.739213 0.0001 a) 0.7291 2.6921
R2 = 0.9668; F-Hitung = 15.8742 a) ; DW = 2.4105 KLD Kesemp. Kerja Sek Lain Desa Intersept -207063 0.1379 Upah Sek Lain Desa (WLD) -0.278456 0.6408 -0.0532 -0.0606 TFP Sektor Lain (TFPL) -241.8926 0.8176 -0.0005 -0.0006 Konsumsi Masy (CS) 0.032557 0.2702 1.0160 1.1582 Investasi (INV) 0.030073 0.0044 a) 0.3787 0.4317 Pengel. Pemerintah (GOV) 0.119764 0.0032 a) 1.0740 1.2243 Expor (EXPR) 0.082427 0.0410 b) 1.2674 1.4448 Impor (IMP) -0.090462 0.0295 b) -1.2714 -1.4494 Nilai Tambah S.Lain (NTBL) 0.002564 0.8747 0.0706 0.0805 Dummy Krisis Eko. (DKE) -184867.9 0.0205 b) -0.1458 -0.1662 Angkatan Kerja Desa (AKD 0.198075 0.0769 c) 0.9648 1.0998 Lag Endogen (Lag KLD) 0.123843 0.7214 0.1228 0.1399
R2 = 0.8917; F-Hitung = 4.4918 b); DW =2.0436 Sumber : Diolah dari Berbagai Data BPS, 1985-2004 Sektor Industri Pedesaan, hasil pendugaan peubah penjelas pada
persamaan ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja industri pedesaan di
pengaruhi oleh variabel upah riil (WID), teknologi (TFPI), investasi (INV), nilai
tambah sektor industri (NTBI) dan dummy krisis ekonomi pada tingkat kesalahan
yang dapat ditolerir (a) = 0.01, 0.05 dan 0.10. Variabel pengeluaran pemerintah
(GOV) dan ekspor (EXPR) berpengaruh signifikan pada tingkat kesalahan a =
110
0,20, sedangkan variabel seperti konsumsi masyarakat (CS), impor (IMP) dan
supply angkatan kerja tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada
peningkatan kesempatan kerja di sektor ini (Tabel 10).
Koefisien arah dari variabel upah riil, konsumsi masyarakat, impor dan
dummy krisis ekonomi bertanda negatif, yang berarti bahwa peningkatan nilai dari
variabel-variabel tersebut akan mereduksi kesempatan kerja sektor ini. Sedangkan
variabel lainnya akan mendorong perluasan kesempatan kerja. Akan tetapi
pengaruh masing-masing variabel terhadap perubahan (kenaikan/penurunan)
kesempatan kerja di sektor ini relatif kecil dalam jangka pendek. Hal ini di
didasarkan pada nilai elastisitas jangka pendek masing-masing variabel bersifat
in-elastis. Namun dalam jangka panjang, perubahan kesempatan kerja sektor
industri pedesaan ini sangat responsif terhadap perubahan variabel ekspor, impor
dan nilai tambah sektor, yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas jangka panjang
variabel ini bersifat elastis.
Dengan membandingkan hasil estimasi persamaan kesempatan kerja
sektor industri di wilayah pedesaan dengan di wilayah perkotaan, maka terdapat
perbedaan yang mendasar dalam dua hal yakni (1) TFPI di sektor industri
pedesaan bersifat mendorong kesempatan kerja (berkorelasi positif), sedangkan
pada sektor serupa di wilayah perkotaan, bersifat mereduksi kesempatan kerja
(berkorelasi negatif). Perbedaan sifat TFPI ini dapat terjadi karena di sebabkan
oleh dua hal yakni a) Jenis teknologi yang berkembang di perkotaan cenderung
hight technology (industri padat modal), dengan sekala produksi yang besar,
sehingga sehingga sangat menghemat tenaga kerja. Sedangkan teknologi industri
pedesaan umumnya teknologi sederhana atau industri padat karya, yang sifatnya
tidak banyak menghemat tenaga kerja. b) “Efek substitusi” lebih besar
dibandingkan “efek nilai tambah” yang ditimbulkan dari teknologi di industri
perkotaan, sehingga “efek total” teknologi bersifat negatif terhadap kesempatan
kerja pada industri perkotaan. Teknologi pada industri pedesaan memberikan
“efek nilai tambah” lebih besar, sehingga secara total, teknologi pada industri
pedesaan menghasilkan efek yang bersifat positif dengan kesempatan kerja. Efek
nilai tambah terhadap kesempatan kerja, ditunjukkan oleh nilai elastisitas variabel
nilai tambah industri (NTBI) yang memang lebih besar pada industri pedesaan
111
dibandingkan nilai elastisitas variabel serupa pada industri perkotaan. -- Sebagai
faktor produksi, teknologi tidak hanya menimbulkan “efek substitusi” dengan
faktor produksi tenaga kerja, tetapi juga menimbulkan “efek peningkatan nilai
tambah” yang bersifat positif dengan kesempatan kerja. Apabila efek substitusi
melebihi efek nilai tambah, maka efek total dari teknologi akan mereduksi
kesempatan kerja, sebaliknya apabila efek substitusi lebih kecil dari efek nilai
tambah, akan mendorong perluasan kesempatan kerja.
Hasil ini juga diperkuat oleh temuan Nordhaus (2005) dalam Siregar
(2006), yang menunjukkan bahwa peningkatan teknologi pada sektor padat karya
(seperti pertanian dan industri agro) justru meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
Logikanya adalah bahwa kenaikan produktivitas dan daya saing produk sektor
tersebut akan menyebabkan harga jual yang lebih kompetitif, sehingga
meningkatkan permintaan terhadap produk itu. Kenaikan permintaan ini pada
gilirannya meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.
Temuan Juanda (2001), juga menunjukkan bahwa pembangunan agroindustri akan
memberi beberapa keuntungan yaitu penyerapan tenaga kerja, pasar untuk
komoditi pertanian, kemampuan ekspor dan relaif sedikit komponen bahan baku
impornya.
Perbedaan kedua adalah dampak konsumsi masyarakat (CS), dimana pada
persamaan kesempatan kerja industri kota signifikan mendorong perluasan
kesempatan kerja di sektor ini, akan tetapi cenderung mereduksi kesempatan kerja
industri pedesaan. Hal ini disebabkan, karena peningkatan kosumsi masyarakat
yang disertai oleh peningkatan pendapatan, akan menyebabkan pegeseran pola
permintaan masyarakat ke komoditi/barang yang bersifat lux atau barang yang
berkualitas bagus. Hasil industri seperti ini umumnya di produksi di wilayah
perkotaan. Sementara hasil industri pedesaan yang kualitasnya rendah atau
bersifat inferior biasanya permintaannya menurun sejalan dengan peningkatan
pendapatan masyarakat. Adanya pergeseran pola permintaan barang hasil industri
tersebut, tentunya juga akan berdampak pula pada pergeseran permintaan tenaga
kerja sektor industri.
Hasil pendugaan persamaan kesempatan kerja industri pengolahan di
perkotaan dan di pedesaan juga memiliki karakteristik yang mirip, terutama pada
112
tiga hal yakni (1) sektor industri pengolahan perkotaan dan pedesaan sama-sama
mengalami kemerosotan tajam pada saat terjadinya krisis ekonomi, yang
ditunujukkan oleh koefisien korelasi variabel dummy krisis ekonomi bertanda
negatif di masing-masing persamaan; (2) persamaan kesempatan kerja pada kedua
sektor ini, juga sama-sama memiliki koefisien korelasi angkatan kerja yang sangat
kecil dan tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya bukanlah
merupakan sektor penampung para pekerja sementara, seperti halnya di sektor
pertanian; (3) Koefisien korelasi variabel pengeluaran pemerintah terhadap
persamaan kesempatan kerja industri pengolahan perkotaan dan pedesaan sama-
sama bertanda positif, sedangkan di sektor pertanian variabel ini bertanda negatif.
Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah cenderung bias industri
pengolahan, baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Kesempatan Kerja Sektor Lainnya di Pedesaan, Hasil pendugaan
variabel-variabel penjelas pada persamaan kesempatan kerja sektor lainnya di
pedesaan menunjukkan bahwa, kesempatan kerja di sektor ini dipengaruhi oleh
investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor, impor, dummy krisis ekonomi dan
peningkatan angkatan kerja. Variabel-variabel ini signifikan pada tingkat
kesalahan a = 0.01, 0.05 dan 0.10. Sedangkan variabel konsumsi masyarakat,
upah riil (WLD), teknologi (TFPL) dan nilai tambah sektor (NTBL) tidak
memberi pengaruh yang signifikan. Dari variabel-variabel yang memberi
pengaruh signifikan tersebut, hanya variabel impor dan dummy krisis ekonomi
yang brsifat mereduksi (korelasi negatif) kesempatan kerja sektor lainnya di
pedesaan.
Dilihat dari nilai elastisitas masing-masing peubah penjelas, tampak
bahwa variabel seperti konsumsi masyarakat, pengeluaran pemerintah dan ekspor
dan impor memiliki nilai elastisitas jangka pendek yang bersifat elastis. Hal ini
diartikan bahwa jika terjadi peningkatan 1 persen pada variabel tersebut akan
berdampak besar (meningkat diatas 1 persen) pada penigkatan kesempatan kerja
di sektor lainnya di pedesaan. Bahkan dalam jangka panjang respon kesempatan
kerja di sektor ini terhadap perubahan variabel tersebut lebih besar lagi (lebih
elastis). Gambaran ini menunjukkan bahwa, ada kecenderungan peningkatan
kesempatan kerja yang lebih besar dalam jangka panjang di sektor ini sejalan
113
dengan meningkatnya ekspor dan peningkatan konsumsi masyarakat, serta sejalan
dengan semakin meningkatnya pengeluaran pemerintah yang selama ini banyak
diarahkan untuk memperbaiki infrastruktur pedesaan.
5.4.3. Upah Riil Tenaga Kerja Sektoral di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan
Model analisis persamaan upah riil dibangun berdasarkan pertimbangan
bahwa upah rill selain ditentukan oleh sisi permintaan (kesempatan kerja) dan sisi
penawaran (angkatan kerja) tenaga kerja. Upah riil juga dipengaruhi oleh
peningkatan nilai output sektoral, serta penggunaan input substitusi atau
komplementer (modal dan teknologi) dalam melakukan aktivitas produksi di
masing-masing sektor. Selain itu upah riil ini juga di pengaruhi oleh intervensi
pemerintah dalam pasar tenaga kerja melalui penetapan upah minimum regional.
Persamaan-persamaan upah riil yang dibangun dalam model ini didisagregasi
secara sektoral baik di wilayah perkotaan, maupun di wilayah pedesaan.
Hasil analisis pendugaan parameter persamaan upah riil sektoral di
wilayah perkotaan dan pedesaan di Sulawesi Selatan, menghasilkan nilai koefisien
detereminasi (R2) yang berkisar antara 54.79 persen hingga 74.27persen. Selain
itu pada setiap persemaan peubah penjelas secara bersama-sama juga berpengaruh
signifikan pada tingkat kesalahan yang ditolerir (a) = 0.05, 0.10 dan 0.20. Nilai
statistik DW berkisar antara 1.9090 hingga 2.6260. Pembahasan terperinci
mengenai hasil estimasi pada setiap persamaan upah riil sektoral di kelompokkan
menjadi dua bagian secara terpisah yakni upah riil sektoral di wilayah perkotaan
dan upah riil sektoral di wilayah pedesaan yang dibahas satu persatu sebagai
berikut.
A. Persamaan Upah Riil Sektoral Perkotaan
Analisa pendugaan persamaan upah riil sektoral di wilayah perkotaan
didisagregasi menurut tiga sektor yakni sektor pertanian, sektor industri
pengolahan dan sektor lainnya. Hasil pendugaan menunjukkan bahwa persamaan-
persamaan tersebut memiliki nilai koefisien detereminasi (R2) berkisar antara
0.5479 – 0.6996, yang berarti bahwa variasi nilai variabel endogen (upah riil)
sektoral perkotaan dapat dijelaskan sekitar 54.79 persen hingga 69.96 persen oleh
peubah penjelas, sedangkan sisanya dijelaskan oleh peubah lain yang tidak masuk
114
dalam model. Peubah penjelas secara bersama-sama signifikan pada tingkat a =
0.05 dan 0.10 (Lihat Tabel 11). Pembahasan mengenai hasil pendugaan
persamaan upah riil sektoral di wilayah perkotaan akan di uraikan menurut jenis
sektor sebagai berikut :
Upah Riil Sektor Pertanian Perkotaan. Hasil analisa pada persamaan ini,
menunjukkan bahwa upah riil sektor pertanian perkotaan dipengaruhi oleh upah
minimum regional (UMR), dan penanaman modal pertanian (PMP) pada tingkat
kesalahan yang ditolerir (a) = 0.01, 0.05. Sementara kemajuan teknologi di
pertanian (TFPP) dan modal berpengaruh pada tingkat kesalahan a = 0.20.
Sedangkan pengaruh variabel lainnya tidak signifikan. Peubah penjelas yang
berpengaruh signifikan tersebut, berkorelasi positif dengan variabel endogen
(upah riil pertanian perkotaan), yang berarti apabila variabel tersebut meningkat,
maka cenderung meningkatkan pula upah riil pertanian perkotaan.
Hasil pendugaan pada persamaan ini, juga menunjukkan bahwa upah riil
pertanian kota bersifat rigid (kakuh) dari shock (perubahan) permintaan tenaga
kerja di sektor ini (KPK), demikian pula terhadap supply tenaga kerja perkotaan
(AKK), yang ditunjukkan oleh tidak signifikannya variabel ini terhadap upah riil
sektor pertanian perkotaan. Selanjutnya hasil pendugaan juga menunjukkan bahwa
penggunaan input produksi seperti teknologi (TFPP) dan modal (PMP) di sektor
ini, memiliki hubungan korelasi yang bersifat positif terhadap upah riil pertanian
kota, yang berarti bahwa ketika teknologi dan modal meningkat di sektor ini,
upah pertanian kota pun juga meningkat. Hal ini terjadi karena pada saat teknologi
dan modal meningkat, maka diikuti permintaan tenaga kerja di sektor ini pun
meningkat, sehingga mempengaruhi upah tenaga kerja pertanian kota. Gambaran
ini menunjukkan bahwa teknologi dan modal bukanlah input substitusi bagi input
tenaga kerja di sektor pertanian kota, melainkan merupakan ”input
komplementer” bagi tenaga kerja pertanian kota.
Hasil perhitungan elastisitas pada persamaan upah riil pertanian kota,
menunjukkan bahwa peubah penjelas penanaman modal (PMP) memiliki nilai
elastisitas yang bersifat elastis, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Hal ini berarti bahwa upah riil pertanian kota memiliki respon yang besar, jika
115
terjadi shock dari variabel ini. Sedangkan variabel-variabel lainnya dalam model
memiliki nilai elastisitas yang relatif kecil, atau bersifat in-elastis.
Tabel 11 Hasil estimasi parameter persamaan upah riil sektoral di wilayah perkotaan Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004
Elastisitas PEUBAH Dugaan
Parameter Probability t-Statistik JK Pendek JK Panjang
WPK Upah Riil Pert Kota Intersept 61331.11 0.0075 a) Upah Min Regional (UMR) 0.170733 0.0308 b) 0.2599 0.2908 Angkatan Kerja Kota (AKK) -0.069956 0.3376 -0.5569 -0.6232 KK Pert Kota (KPK) 0.00617 0.9824 0.0053 0.0059 Teknologi Pert. (TFPP) 2587.682 0.1877 0.0287 0.0321 Modal Pert (PMP) 2.143417 0.1721 2.7177 3.0414 Nilai Tambah Pert (NTBP) 0.003667 0.7489 0.3868 0.4329 Lag Endogen (Lag WPK) 0.111555 0.7207 0.1064 0.1191
R2 = 0.5479; F-Hitung = 2.9751 c) ; DW = 2.0871 WIK Kesemp. Kerja Industri Kota Intersept 17559.39 0.6380 Upah Min Regional (UMR) 0.57636 0.0238 b) 0.7814 n.a Angkatan Kerja Kota (AKK) 0.098096 0.4244 0.6955 n.a KK Industri Kota (KIK) 1.181978 0.0630 c) 0.5959 n.a Teknologi Indust. (TFPI) -53.52781 0.9798 -0.0005 n.a Modal Industri (PMI) -0.029441 0.8333 -0.1138 n.a Nilai Tambah Indust (NTBI) 0.02572 0.4776 0.2715 n.a
R2 = 0.6175; F-Hitung = 2.9595 c) ; DW = 2.6260 WLK Kesemp. Kerja Sek Lain Kota Intersept 78448.65 0.0001 a) Upah Min Regional (UMR) 0.27692 0.1939 0.2876 n.a Angkatan Kerja Kota (AKK) 0.089531 0.3395 0.4864 n.a KK S.Lain Kota (KLK) 0.090981 0.0450 b) 0.3399 n.a Teknologi S.Lain (TFPL) -21.96818 0.9903 -0.0002 n.a Modal S.Lain (PML) -0.016836 0.8209 -0.1201 n.a Nilai Tambah S.Lain (NTBL) 0.002369 0.7373 0.2303 n.a
R2 = 0.6996; F-Hitung = 4.2705 b); DW = 1.9090 Sumber : Diolah dari berbagai data BPS, 1985-2004 Keterangan : n.a. = not accountable
Upah Riil Sektor Industri Perkotaan, Hasil pendugaan parameter peubah
penjelas dalam persamaan upah riil sektor industri perkotaan, menunjukkan
bahwa upah riil sektor industri perkotaan dipengaruhi oleh upah minimum
regional (UMR) dan kesempatan kerja sektor industri perkotaan (KIK) pada
tingkat kesalahan yang ditolerir (a) = 0.05 dan 0.10. Sedangkan variabel lainnya
yang ada dalam model tidak memberi pengaruh yang signifikan. Koefisien
korelasi dari variabel UMR dan kesempatan industri kota (KIK) bersifat positif,
yang berarti apabila UMR dan KIK meningkat, maka akan meningkatkan upah riil
sektor industri perkotaan. Upah riil sektor industri perkotaan yang dipengaruhi
oleh KIK, tapi tidak dipengaruhi oleh AKK, sekaligus menunjukkan bahwa dalam
116
pasar tenaga kerja sektor industri perkotaan di Sulawesi Selatan, maka sisi
demand dari pasar tenaga kerja memiliki kekuatan yang lebih besar untuk
mempengaruhi upah dibandingkan sisi supply-nya, dengan kata lain para pencari
kerja memiliki kekuatan yang lemah dalam pasar tenaga kerja, dibandingkan para
pengusaha yang membutuhkan tenaga kerja. Akan tetapi intervensi pemerintah
dalam pasar tenag kerja memiliki makna yang berarti, yang ditunjukkan oleh
UMR yang signifikan
Hasil pendugaan pada persamaan ini, juga menunjukkan bahwa input
produksi total factor productivity industri (TFPI) dan modal (PMI), memiliki
hubungan korelasi yang bersifat negatif terhadap upah riil sektor industri
perkotaan, yang berarti bahwa ketika teknologi dan modal meningkat di sektor ini,
upah riil sektor ini pun menurun. Kondisi ini terjadi, karena di sektor industri
perkotaan, input residual seperti teknologi (TFPI) dan modal merupakan ”input
substitusi” bagi tenaga kerja, sehingga peningkatan penggunaan input substitusi
ini akan mereduksi penggunaan tenaga kerja, yang kemudian tentunya
mempengaruhi tingkat upah riil. Akan tetapi respon upah riil di sektor ini terhadap
perubahan variabe-variabel determinannya relatif kecil (in-elastis). Variabel yang
memiliki nilai elastisitas terbesar adalah variabel upah minimum regional (UMR)
sebesar 0.77814, sedangkan variabel yang memiliki nilai elastisitas terkecil adalah
teknologi (TFPI) yakni sebesar 0.0005. Hasil ini menunjukkan bahwa peningkatan
UMR akan berpengaruh besar terhadap peningkatan upah riil di sektor industri
perkotaan. Hal ini di sebabkan karena industri perkotaan umumnya bersifat formal,
sehingga tunduk pada peraturan pemerintah tentang penetapan UMR. Selain itu di
sektor ini, kelembagaan serikat pekerja semakin kuat untuk memperjuangkan hak-
haknya, termasuk upah yang sesuai dengan UMR yang berlaku. Sedangkan nilai
elastisitas TFPI yang kecil menunjukkan bahwa kemajuan teknologi di sektor ini
tidak berdampak besar pada pengurangan upah pekerja.
Upah Riil Sektor Lainnya di Perkotaan. Hasil estimasi persamaan upah
riil di sektor lainnya di perkotaan menghasilkan nilai-nilai parameter dugaan yang
mirip dengan hasil estimasi pada persamaan upah riil di sektor industri perkotaan.
Persamaan upah riil di sektor ini dipengaruhi oleh upah minimum regional (UMR)
dan kesempatan kerja sektor lainnya di perkotaan (KLK) pada tingkat kesalahan
117
yang ditolerir (a) = 0.05 dan 0.20. Sedangkan variabel lainnya tidak memberi
pengaruh yang siginikan terhadap perilaku upah riil di sektor ini.
Meskipun tidak memberi pengaruh secara nyata terhadap upah riil di
sektor ini, akan tetapi ada kecenderungan bahwa variabel penanaman modal
(PML) dan variabel teknologi (TFPL) berkorelasi negatif dengan tingkat upah riil,
yang berarti bahwa, input produksi seperti teknologi (TFPL) dan modal (PML)
bersifat substitusi dengan input produksi tenaga kerja di sektor ini. Hasil
pendugaan parameter terhadap variabel angkatan kerja kota (AKK) sebagai sisi
supply pasar tenaga kerja di perkotaan yang menghasilkan parameter yang tidak
signifikan, sementara variabel permintaan tenaga kerja di sektor ini (KLK)
signifkan pada tarap a = 0.05, menunjukkan bahwa para pencari kerja memiliki
posisi tawar yang lemah (bargaining position) dalam pasar tenaga kerja untuk
mempengaruhi upah. Pasar tenaga kerja untuk sektor ini lebih banyak terkendali
(dipengaruhi) oleh sisi demand-nya dan intervensi pemerintah, sementara sisi
supply-nya tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mempengaruhi pasar
tenaga kerja.
Respon upah riil di sektor ini terhadap shock dari setiap peubah penjelas
bersifat in-elastis, yang menunjukkan bahwa bahwa respon upah riil di sektor ini
relatif kecil dari perubahan variabe-variabel penjelasnya. Nilai elastisitas terkecil
berasal dari variabel teknologi (TFPL) dengan nilai elastisitas sebesar 0.0002.
Gambaran ini menunjukkan bahwa meskipun TFPL cenderung bersifat substitusi
dengan tenaga kerja, namun pengaruhnya terhadap upah riil tenaga kerja sangat
kecil.
B. Persamaan Upah Riil Sektoral Pedesaan
Hasil analisa pendugaan parameter peubah penjelas pada persamaan upah
riil sektoral di wilayah pedesaan menunjukkan bahwa persamaan-persamaan yang
dibangun dalam model ini menghasilkan nilai koefisien detereminasi (R2) berkisar
antara 0.5842 – 0.7427. Selain itu nilai uji F-statistik peubah penjelas secara
bersama-sama pada setiap persamaan upah riil sektoral pedesaan signifikan pada
tingka a = 0.05 dan 0.20 (Tabel 12). Sedangkan hasil uji DW-statistik,
menghasilkan nilai sekitar 1,9584 hingga 2,4238, dan ditunjang oleh nilai hasil
korelasi serial dengan menggunakan metode Breusch-Godfrey Test, menghasilkan
118
nilai probability Obs*R-squared antara 0.1120 hingga 0.3305, dimana hasil ini
menunjukkan bahwa persamaan-persamaan dalam model ini tidak mengandung
masalah korelasi pada tingkat a = 0.05. Pembahasan mengenai hasil pendugaan
persamaan upah riil sektoral di wilayah pedesaan akan di uraikan menurut jenis
sektor sebagai berikut :
Upah Riil Sektor Pertanian Pedesaan. Hasil estimasi persamaan upah riil
pertanian pedesaan menunjukkan bahwa perilaku upah riil di sektor ini
dipengaruhi oleh angkatan kerja desa (AKD), kesempatan kerja sektor pertanian
desa (KPD), serta modal pada tingkat kesalahan yang ditolerir (a) = 0.01 dan
0.05. Sedangkan pengaruh variabel lainnya tidak signifikan. Variabel-variabel
tersebut berkorelasi positif dengan upah riil sektor pertanian pedesaan, kecuali
variabel angkatan kerja desa (AKD) berkorelasi negatif, yang berarti apabila
ketersediaan angkatan kerja desa meningkat, maka cenderung menurunkan upah
riil pertanian pedesaan.
Hasil estimasi parameter peubah penjelas pada persamaan ini, khususnya
variabel AKD dan KPD yang signifikan, menunjukkan bahwa perilaku upah riil di
sektor pertanian pedesaan, memliki perilaku yang berbeda dengan upah riil
pertanian kota yang bersifat rigid dari tekanan permintaan dan penawaran tenaga
kerja. Upah riil di sektor pertani pedesaan ini lebih fleksibel dari shock sisi
demand dan sisi supply pasar tenaga kerjanya, dimana perubahan permintaan
tenaga kerja di sektor ini (KPD) dan angkatan kerja desa (AKD) berpengaruh
signifikan. Hal ini di sebabkan karena dari sisi demand pasar tenaga kerja
pertanian pedesaan memiliki pola kebutuhan tenaga kerja yang bersifat musiman
(khususnya di sub-sektor tanaman pangan). Adanyan sistim tanam padi yang
serempak, serta jadwal tanam padi yang ketat, terutama di daerah yang
berpengairan tehnis, menyebabkan kebutuhan tenaga kerja pada musim tanam dan
musim panen sangat tinggi dan sering kali petani susah mendapatkan tenaga kerja
pada musim tersebut, sehingga hal ini tentunya dapat mempengaruhi tingkat upah.
Sedangkan penyebab dari dari signifikannya sisi supply tenaga kerja (angkatan
kerja pedesaan) terhadap upah riil sektor disebabkan oleh sifat dari sektor ini yang
masih merupakan sebagai ”penampung para pekerja sementara”, atau trend
kesempatan kerjanya menyerupai supply-side determined employment, sehingga
119
pertambahan dari angkatan kerja ini sudah barang tentu memberi tekanan
tersendiri terhadap upah pertanian pedesaan.
Hasil pendugaan parameter peubah penjelas input produksi di sektor ini,
seperti input residual (TFPP) dan modal pertanian (PMP) yang berkorelasi positif
dengan tingkat upah riil sektor ini, menunjukkan bahwa pola hunbungan antara
input TFPP dan PMP dengan input tenaga kerja di sektor pertanian pedesaan
bersifat komplementer, yang berarti ketika input residual (seperti teknologi) dan
atau modal meningkat di sektor ini, maka akan meningkatkan permintaan tenaga
kerja dan sekaligus menyebabkan upah riil di sektor ini meningkat. Dengan
demikian pola hubungan antara teknologi, modal dengan tenaga kerja adalah
serupa di sektor pedesaan dan di sektor pertanian perkotaan, yakni bersifat
komplementer.
Hasil perhitungan elastisitas pada persamaan upah riil pertanian desa,
menunjukkan bahwa hanya variabel angkatan kerja desa (AKD), modal (PMP)
dan nilai tambah pertanian (NTBP) menghasilkan nilai elastisitas yang lebih besar
dari nilai 1 atau bersifat elastis, sedangkan variabel lainnya bersifat in-elastis.
Besarnya nilai elastisitas NTBP terhadap tingkat upah riil pertanian di pedesaan
menunjukkan bahwa peningkatan nilai produksi di sektor pertanian dapat
ditransmisikan secara baik ke para tenaga kerja pertanian desa. Kondisi ini diduga
terkait sistem upah di pertanian di Sulawesi Selatan banyak bersifat ”bawon” atau
sistim bagi hasil, seperti upah tenaga kerja penggarap dan upah tenaga kerja panen.
Ketika terjadi kenaikan produksi atau kenaikan harga produksi, maka tenaga kerja
juga menikmati kenaikan tersebut, karena upah yang di terima dalam bentuk bagi
hasil produksi.
120
Tabel 12. Hasil estimasi parameter persamaan upah riil sektoral di wilayah pedesaan Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004
Elastisitas PEUBAH Dugaan
Parameter Probability t-Statistik JK Pendek JK Panjang
WPD Upah Riil Pert Desa Intersept 145632.4 0.0177 b) Upah Min Regional (UMR) 0.074526 0.6438 0.1519 0.1958 Angkatan Kerja Desa (AKD) -0.072511 0.0376 b) -2.4458 -3.1526 KK Pert Desa (KPD) 0.039053 0.0170 b) 0.9044 1.1657 Teknologi Pert. (TFPP) 770.7007 0.2855 0.0114 0.0147 Modal Pert (PMP) 0.597286 0.0026 a) 1.0139 1.3068 Nilai Tambah Pert (NTBP) 0.01021 0.2495 1.4419 1.8585 Lag Endogen (Lag WPD) 0.233481 0.3674 0.2242 0.2890
R2 = 0.7027; F-Hitung = 3.3759 b) ; DW = 2.4238 WID Upah Riil Industri Desa Intersept -1350.822 0.9831 Upah M in Regional (UMR) 0.241784 0.2448 0.4102 0.8446 Angkatan Kerja Desa (AKD) -0.064524 0.1264 -1.8121 -3.7309 KK Industri Desa (KID) 0.017409 0.9702 0.0218 0.0450 Teknologi Indust. (TFPI) 2097.24 0.0498 b) 0.0259 0.0533 Modal Industri (PMI) 0.327287 0.0983 c) 1.5835 3.2603 Nilai Tambah Indust (NTBI) 0.011212 0.0215 b) 0.3973 0.8179 Lag Endogen (Lag WID) 0.536153 0.1353 0.5143 1.0589
R2 = 0.7427; F-Hitung = 4.1232 b); DW = 2.3158 WLD Upah Riil Sek Lain Desa Intersept 237686.3 0.1739 Upah Min Regional (UMR) 0.201421 0.1016 0.3103 0.3392 Angkatan Kerja Desa (AKD) -0.111253 0.2787 -2.8368 -3.1007 KK S.Lain Desa (KLD) 0.151189 0.3164 0.7915 0.8651 Teknologi S.Lain (TFPL) -5236.511 0.0551 c) -0.0587 -0.0642 Modal S.Lain (PML) -0.234002 0.1456 -2.4757 -2.7060 Nilai Tambah S.Lain (NTBL) 0.027896 0.1162 4.0224 4.3966 Lag Endogen (Lag WLD) 0.092317 0.8269 0.0851 0.0930
R2 = 0.5842; F-Hitung = 2,0075 D); DW = 1.9584 Sumber : Diolah dari berbagai data BPS, 1985-2004 Upah riil Sektor Industri Perkotaan, Seperti yang telah dijelaskan pada
bagian terdahulu, bahwa karakteristik industri pedesaan berbeda dengan
karakteristik industri perkotaan, terutama mengenai formalitas dan skala usahanya.
Industri pedesaan umumnya berskala skala rumah tangga dan diantaranya banyak
bersifat non-formal. Industri semacam ini, banyak diantaranya menggunakan
tenaga kerja keluarga dengan sistim upah yang tidak menentu atau tergantung
pada tingkat keuntungan usaha. Sementara industri perkotaan yang umumnya
bersifat formal, merekrut tenaga kerja secara profesionl dan dengan menggunakan
standar upah tertentu. Adanya perbedaan karakteristik industri ini, menyebabkan
perilaku kesempatan kerja dan perilaku upah di sektor industri pedesaan dan
industri perkotaan berbeda.
121
Hasil pendugaan pada persamaan upah riil sektir industri pedesaan
menunjukkan bahwa perilaku upah riil pada persamaan ini di pengaruhi oleh
variabel seperti angkatan kerja desa (AKD), input residual industri (TFPI), modal
(PMI) dan nilai tambah industri (NTBI) pada tingkat kesalahan a = 0.05, 0.10
dan 0.20, sementara variabel lain tidak berpengaruh nyata. Faktor determinan ini,
tentunya berbeda dengan faktor determinan pada persamaan industri perkotaan
yang telah dibahas pada bagian terdahulu. Seperti terlihat bahwa pada industri
perkotaan, sisi demand pasar tenaga kerja yang mempengaruhi prilaku upah,
sedangkan pada persamaan industri pedesaan ini, sisi supply tenaga kerja yang
menentukan tingkat upah. Hal ini di duga terkait dengan ciri industri pedesaan
yang umumnya menggunakan tenaga kerja keluarga, namun ketika tenaga kerja
seperti ini kurang tersedia makan tentunya akan digunakan tenaga kerja luar
keluarga yang upahnya mungkin lebih tinggi.
Perbedaan lain dari faktor determinan industri pedesaan dan perkotaan
adalah pengaruh input produksi (TFPI dan PMI) terhadap upah riil. Pada industri
perkotaan kedua jenis input produksi tersebut bersifat substitusi dengan input
tenaga kerja yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi dari kedua variabel tersebut
bertanda negatif. Sedangkan pada industri pedesaan, input residual (TFPI) dan
modal (PMI) pada persamaan upah riil industri pedesaan ini memiliki koefisien
korelasi positif, yang secara analogi dapat dianggap bersifat komplementer dengan
input tenaga kerja. Sifat komplementer dari faktor produksi residual (TFPI) dan
modal (PMI), menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan pengunaan dari
faktor produksi tersebut akan diikuti oleh peningkatan permintaan tenaga kerja.
Peningkatan permintaan tenaga kerja ini selanjutnya akan mendorong
meningkatnya tingkat upah. Peningkatan TFPI dan PMI yang diikuti oleh
peningkatan permintaan tenaga kerja di sektor ini, disebabkan oleh adanya “efek
nilai tambah” yang cukup besar dari penggunaan TFPI dan PMI. Efek nilai
tambah ini kemudian direspon positif oleh permintaan tenaga kerja (dalam
persamaan sebelumnya ditunjukkan bahwa variabel NTBI signifikan secara positi
terhadap kesempatan kerja dengan respon yang bersifat elastis dalam jangka
panjang)
122
Implikasi penting dari temuan ini, menunjukkan bahwa peningkatan
penggunaan input residual (seperti teknologi) dan modal tidak serta merta dapat
mereduksi kesempatan kerja pada sektor padat karya seperti halnya sektor
pertanian dan industri pedesaan, yang disebabkan karena efek nilai tambah yang
diciptakan (bersifat positif dengan kesempatan kerja) lebih kuat dibandingkan
dengan efek substitusi (bersifat negatif dengan kesempatan kerja) antar faktor
produksi.
Upah Riil Sektor Lainnya di Pedesaan. Hasil estimasi persamaan upah
riil di sektor lainnya di pedesaan menunjukkan bahwa upah riil di sektor ini
dipengaruhi oleh upah minimum regional (UMR), teknologi di sektor ini (TFPL),
modal (PML) dan nilai tambah sektor (NTBL) pada tingkat kesalahan yang
ditolerir (a) = 0.10; 0.15 dan 0.20. Sedangkan variabel lainnya tidak memberi
pengaruh yang siginikan terhadap perilaku upah riil di sektor ini. Gambaran ini
sekaligus menujukkan bahwa upah riil di sektor ini bersifat kakuh (rigid) terhadap
perubahan variabel penawaran dan permintaan tenaga kerja untuk sektor ini.
Input residual (TFPL) dan modal (PML) untuk sektor ini berkorelasi
negatif dengan tingkat upah riil, yang menunjukkan bahwa kedua jenis input
produksi ini cenderung bersifat substitusi dengan input produksi tenaga kerja.
Sifat hubungan seperti ini, konsisten dengan hasil analisis sebelumnya yang
menunjukkan bahwa TFPL berkorelasi negatif dengan kesempatan kerja sektor
lainnya di pedesaan, atau bersifat mereduksi kesempatan kerja di sektor ini.
Hasil perhitungan elastisitas pada masing-masing peubah penjelas dalam
medel ini, menunjukkan bahwa variabel supply tenaga kerja pedesaan (angkatan
kerja pedesaan), modal (PML) dan nilai tambah sektor ini (NTBL) bersifat elastis
terhadap upah riil di sektor ini dalam jangka pendek maupun dalam jangka
panjang. Variabel NTBL yang bersifat elastis terhadap upah riil sektor ini
menunjukkan bahwa peningkatan nilai produksi pada sektor lainnya di pedesaan
akan ditransmisikan ke tingkat para pekerja di sektor ini, sementara sektor serupa
di perkotaan tidak dapat mentransmisikan peningkatan nilai produksinya ke para
pekerja secara baik. Kondisi seperti ini wujud karena sistem upah tenaga kerja di
sektor ini di perkotaan memiliki standar upah tertentu (upah bersifat fixed cost),
sehingga meskipun terjadi kenaikan keuntungan pengusaha yang cukup besar
123
tidak akan berdampak besar pada peningkatan upah tenaga kerja. Sementara
sektor serupa di pedesaan yang umumnya tidak menggunakan standar upah yang
bersifat fixed cost, tapi tergantung pada volume pekerjaan atau kondisi
keuntungan usaha, sehingga ketika nilai produksi (keuntungan usaha) meningkat
maka tenaga kerja juga akan memperoleh upah yang lebih besar.
5.4.4. Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tambah Sektoral
Model analisis persamaan pertumbuhan ekonomi dibangun untuk melihat
pengaruh masing-masing sumber pertumbuhan baik dari sisi supply maupun dari
sisi demand pendapatan regional Sulawesi Selatan. Dari sisi supply-nya
pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan (PE) merupakan fungsi dari pertumbuhan
tenaga kerja (PTK), pertumbuhan Investasi (PINV) dan pertumbuhan teknologi
(TFP) yang dinyatakan dalam satuan persen. Sedangkan dari sisi demand,
pertumbuhan ekonomi adalah fungsi konsumsi masyarakat (CS), investasi (INV),
pengeluaran pemerintah (GOV), Ekspor (EXPR) dan impor (IMP) yang
dinyatakan dalam satuan Rp. juta dengan menggunakan harga konstan tahun 2000.
Pada persamaan pertumbuhan ekonomi ini, variabel pengeluaran pemerintah
(GOV) merupakan variabel endogen, yang dipengaruhi oleh Pendapatan Asli
Daerah (PAD), Dana Perimbangan (DP) dan PDRB. Selanjutnya model analisis
yang dibangun pada persamaan nilai tambah bruto sektoral, dimana nilai tambah
pada masing-masing sektor merupakan fungsi dari jumlah tenaga kerja sektoral,
penaman modal sektoral serta produktivitas tenaga kerja sektoral.
Hasil pendugaan parameter peubah penjelas terhadap persamaan
pertumbuhan ekonomi, menunjukkan bahwa sumber-sumber pertumbuhan
ekonomi dari sisi supply, tampak bahwa pertumbuhan tenaga kerja (PTK),
pertumbuhan modal (PINV) dan pertumbuhan faktor residual (TFP) berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada kesalahan a = 0.10. Variabel-
variabel ini memiliki hubungan korelasi positif dengan variabel dependennya,
yang berarti apabila terjadi peningkatan dari variabel tersebut akan diikuti oleh
peningkatan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi jika dilhat dari responsi
pertumbuhan ekonomi terhadap variabel sumber-sumber pertumbuhan dari sisi
supply ini, tampak bahwa pertumbuhan ekonomi lebih responsif terhadap
124
pertumbuhan input residual (TFP), yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas jangka
pendek paling besar yakni sekitar 0.3242, kemudian diikuti oleh pertumbuhan
modal dengan elastisitas jangka pendek sebesar 0.2020. Pertumbuhan tenaga kerja
memiliki elastisitas paling kecil yakni 0.1758. Gambaran ini sekaligus
menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, tidak didorong
sektor-sektor yang padat karya, tetapi sektor yang padat modal dan padat
teknologi lebih banyak berkembang.
Selanjutnya sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan
(demand) menunjukkan bahwa semua variabel dari sumber-sumber ini juga
berpengaruh signifikan hingga tarap kesalahan a = 0.01, kecuali variabel
konsumsi masyarakat (CS) signifikant pada tingkat kesalahan a = 0.05. Dilihat
dari nilai elastisitas masing-masing variabel pada sumber-sumber pertumbuhan
dari sisi permintaan, menunjukkan bahwa variabel ekspor dan konsumsi
msyarakat memiliki nilai elastisitas paling tinggi. Nilai elastisitas jangka pendek
variabel ekspor dan konsumsi masyarakat ini adalah sekitar 0.0248 dan 0.0229
yang artinya, bahwa ketika nilai ekspor mampu dilipat gandakan, maka
pertumbuhan ekonomi dapat meningkat sekitar 2.48 persen. Sedangkan variabel
yang memberi pengaruh paling kecil terhadap pertumbuhan ekonomi Sulawesi
Selatan, dilihat dari segi elastisitas adalah variabel pengeluaran pemerintah
(GOV) yakni sebesar 0.0139 yang artinya ketika variabel ini meningkat dua kali
lipat sekalipun, maka pertumbuhan hanya meningkat sekitar 1.39 persen.
Gambaran ini sekaligus menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi
Sulawesi Selatan, terutama di dorong oleh pertumbuhan ekspor dan pertumbuhan
konsumsi masyarakat. Padahal variabel konsumsi masyarakat ini bersifat
mereduksi kesempatan kerja di sektor tertentu, terutama di sektor pertanian.
Rendahnya kemampuan variabel konsumsi masyarakat dalam mengurangi tekanan
pasar tenaga kerja dipandang sebagai salah satu jawaban atas puzzle pertumbuhan-
pengangguan di Sulawesi Selatan. Kinerja pereknomian yang dapat mengurangi
tekanan pasar tenaga kerja adalah apabila pertumbuhan ekonomi berbasis pada
peningkatan investasi dan ekspor, karena kedua variabel ini secara konsisten
berpengaruh signifikan terhadap perluasan kesempatan kerja di semua sektor.
125
Tabel 13 Hasil estimasi parameter persamaan pertumbuhan ekonomi dan nilai tambah sektoral di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004
Elastisitas PEUBAH Dugaan
Parameter Probability t-Statistik JK Pendek JK Panjang
PE Pertumbuhan Ekonomi Intersept -0.354928 0.1385 Pertumb. TK (PTK) 0.448443 0.0000 a) 0.1758 0.2664 Pertumb. Investasi (PINV) 0.239133 0.0000 a) 0.2020 0.3061 TFP Total (TFP) 0.624773 0.0000 a) 0.3242 0.4912 Konsumsi Masy (CS) 9.05E-07 0.0249 b) 0.0229 0.0347 Investasi (INV) 1.54E-06 0.0000 a) 0.0158 0.0239 Pengel. Pemerintah (GOV) 0.0000019 0.0000 a) 0.0139 0.0211 Expor (EXPR) 1.99E-06 0.0000 a) 0.0248 0.0375 Impor (IMP) -1.94E-06 0.0000 a) -0.0218 -0.0331 Lag Endogen (Lag PE) 0.334779 0.0001 a) 0.3401 0.5153
R2 = 0.9956; F-Hitung = 202.6395 a) ; DW = 1.8717 GOV Pengeluaran Pemerintah
Intersept -259280.2 0.6015 Pend. Asli Daerah (PAD) 1.198744 0.5715 0.0616 0.0864 Dana Perimbangan (DP) 0.18347 0.3595 0.0622 0.0873 Pend. Regional Bruto (PDRB) 0.128561 0.0222 b) 0.7754 1.0869 Lag Endogen (Lag GOV) 0.301977 0.2904 0.2866 0.4018
R2 = 0.9058; F-Hitung = 31.2557 a) ; DW = 1.8796 NTBP Nilai Tanbah Pert Intersept -341794.9 0.6468 Total K.Kerja pert. (KP) 0.824697 0.1072 0.1409 n.a Pen. Modal Pert (PMP) 19.48803 0.0001 a) 0.2296 n.a Produktiv. TK Pert. (PKP) 1.330001 0.0000 a) 0.7961 n.a
R2 = 0.9676; F-Hitung = 139.443 a) ; DW = 1.4741 NTBI Nilai Tambah Industri Intersept -1216458 0.0101 b) Total K.Kerja Industri. (KI) 5.652867 0.0059 a) 0.3392 0.6656 Pen. Modal Industri (PMI) 1.622544 0.0115 b) 0.2123 0.4165 Produktiv. TK Industri (PKI) 0.059015 0.0018 a) 0.3477 0.6822 Lag Endogen (Lag NTBI) 0.533543 0.0000 a) 0.4903 0.9619
R2 = 0.9909; F-Hitung 355.3301 a); DW = 1.7084 NTBL Nilai Tanbah Sektor Lain Intersept -10172175 0.0000 a) Total K.Kerja S.Lain. (KL) 10.85187 0.0000 a) 0.8012 0.9806 Pen. Modal Sek. Lain (PML) 1.799773 0.0181 b) 0.1287 0.1575 Produktiv. TK S.Lain (PKL) 0.765203 0.0000 a) 0.7792 0.9536 Lag Endogen (Lag NTBL) 0.193716 0.1762 0.1829 0.2239
R2 = 0.9955; F-Hitung = 711.8868 a); DW = 1.2255 Sumber : Diolah dari berbagai data BPS, 1985-2004 Pada persamaan pertumbuhan ekonomi tersebut, variabel pengeluaran
pemerintah merupakan variabel yang bersifat endogen yang dalam model
dipengaruhi oleh variabel yang merupakan sumber-sumber utama penerimaan
pemerintah daerah yakni dari PAD dan dana perimbangan, selain itu juga
dipengaruhi oleh kondisi perekonomian daerah yang dicirikan oleh variabel
PDRB. Berdasarkan hasil estimasi pada persamaan pengeluaran pemerintah ini,
maka tampak bahwa PAD dan dana perimbangan (DP) tidak memberi pengaruh
126
yang signifikan, sedangkan variabel PDRB signifikan pada tarap a = 0.05.
Gambaran ini sekaligus menunjukkan bahwa mainstream pemerintah daerah yang
selama ini berorientasi meningkatkan PAD, tidak akan berdampak banyak pada
peningkatan pendapatan daerah dan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya perbaikan
kondisi perekonomian (peningkatan PDRB), justru dapat memberi dampak yang
signifikan terhadap peningkatan pengeluaran pemerintah (GOV) yang ditunjukkan
oleh nilai elastisitas jangka panjang yang cukup besar yakni sekitar 1.0869 yang
artinya ketika PDRB meningkat 1 persen, maka pengeluaran pemerintah dapat
meningkat 1.0869 persen. Namun, mainstream pemerintah daerah untuk
meningkatkan PAD, seringkali bersifat trade off dengan kondisi perekonomian
(PDRB), karena peningkatan PAD berarti mengoptimalkan penarikan pajak dan
retribusi dapat menimbulkan “biaya ekonomi tinggi” bagi sektor riil (usaha-usaha
produktif), sehingga hal ini tentunya dapat berdampak pada kontraksi
pertumbuhan PDRB. Dengan demikian, hasil estimasi pada persamaan ini dapat
dinterpretasikan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah daerah, hendaknya lebih
berorientasi pada perbaikan kondisi perekonomi (peningkatan PDRB), dari pada
berorientasi meningkatkan PAD.
Selanjutnya pada persamaan-persamaan nilai tambah sektoral, secara
konsisitem di ketiga persamaan nilai tambah sektoral yang dirumuskan, dimana
seluruh variabel seperti tenaga kerja sektoral, penanaman modal sektoral dan
produktivitas tenaga kerja sektoral berpengaruh pada nilai tambah sektor pada
tingkat kesalahan a = 0.01, 0.05, kecuali variabel tenaga kerja sektor pertanin
berpengaruh pada nilait tambah bruto sektor pertanian berpengaruh pada tingkat
kesalahan a = 0.15. Selanjutnya dilihat dari nilai elastisitas variabel tenaga kerja
ini, tampak bahwa elastisitas tenaga kerja terhadap nilai tambah bruto sektor
paling kecil terjadi di sektor pertanian, sedangkan nilai elastisitas variabel serupa
di sektor industri dan sektor lainnya cukup besar. Gambaran ini menunjukkan
bahwa tenaga kerja di sektor pertanian sudah menghampiri ambang batas
kejenuhan. Dengan kata lain pertambahan tenaga kerja di sektor pertanian tidak
memberi pengaruh yang cukup besar terhadap pertambahan nilai tambah.
Rendahnya pengaruh tenaga kerja pertanian terhadap nilai tambah pertanian ini,
mungkin merupakan jawaban pada persamaan sebelumnya, dimana pertumbuhan
127
ekonomi kurang responsif terhadap pertumbuhan tenaga kerja total di Sulawesi
Selatan, mengingat lebih dari 50 persen tenaga kerja yang ada di Sulawesi Selatan
menggantungkan hidupnya di sektor ini terutama di sektor pertanian di wilayah
pedesaan.
Untuk meningkatkan nilai tambah sektor pertanian yang cukup berarti,
maka haruslah berbasiskan pada pertumbuhan produktivitas tenaga kerja. Hal ini
dilihat dari tingkat signifikansi dan besarnya nilai elastisitas variabel ini terhadap
nilai tambah sektor yakni sekitar 0.7961 yang artinya apabila produktivitas tenaga
kerja meningkat 10 persen, maka pertumbuhan nilai tambah pertanian dapat
meningkat sekitar 7.96 persen. Peningkatan produktivitas ini dapat dilakukan
melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani atau melalui
peningkatan modal dan teknologi.
5.4.5. Produktivitas Kerja Sektoral
Model analisis pada persamaan produktivitas tenaga kerja sektoral
dibangun dengan asumsi bahwa produktivitas tenaga kerja sektoral di pengaruhi
oleh tingkat upah riil sektoral, jumlah pekerja sektoral, nilai tambah sektoral
(output) serta kemajuan teknologi pada masing-masing sektor. Berdasarkan hasil
pendugaan pada persamaan-persamaan ini, menunjukkan bahwa nilai koefisien
determinasi (R2) pada masing-masing persamaan berkisar antara 0.9735 hingga
0.9965, yang berarti bahwa perilaku dari produktivitas tenaga kerja sektoral dapat
dijelaskan oleh peubah penjelas secara baik. Hasil estimasi nilai F-statistik juga
menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas pada setiap persamaan berpengaruh
secara signifikan hingga tarap nyata a = 0.01. Nilai DW-statistik pada persamaan
ini berkisar antara 1.1167 hingga 1.4739. Meskipun nilai DW-statistik sedikit
rendah, namun hal ini, tidak berarti mengandung masalah korelasi serial positif,
karena berdasarkan hasil uji korelasi serial metode Breusch-Godfrey Serial
Correlation LM Tes, diperoleh nilai probability Obs*R-squared berkisar antara
0.2522 hingga 0.5224 yang berarti semua persamaan tidak mengandung masalah
korelasi serial.
Hasil pendugaan parameter peubah penjelas pada setiap persamaan
produktivtas tenaga kerja, menunjukkan bahwa, secara konsisten variabel jumlah
128
tenaga kerja dan nilai tambah sektora berpengaruh signifikan terhadap
produktivitas tenaga kerja sektoral pada taraf a = 0.01, sedangkan variabel
residual (total factor productivity) pada sektor industri dan sektor lainnya
berpengaruh pada a = 0.15 dan 0.20, sementara variabel input rasidual di sektor
pertanian tidak memberi pengaruh pada produktivitas di sektornya. Selanjutnya
pada setiap persamaan produktivitas tenaga kerja sektoral ini hanya upah yang
secara konsisten tidak memberi pengaruh nyata terhadap variabel endogen.
Produktivitas tenaga kerja yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
nilai output per tenaga kerja, yang secara matematis dihitung dari ratio antara
PDRB dengan jumlah tenaga kerja. Pengertian ini tentu memang dapat
menggambarkan nilai output per tenaga kerja, namun tentunya tidak
menggambarkan rata-rata nilai produksi yang dapat diciptakan oleh setiap pekerja
dalam satu satu waktu atau biaya tertentu. Barangkali tidak signifikannya upah riil
dan TFP sebagai ukuran kemajuan teknologi, khususnya di sektor pertanian,
berkaitan dengan cara pengukuran produktivitas tenaga kerja itu sendiri. Karena
secara faktual, maupun secara teori peningkatan upah riil dapat menjadi motivasi
tersendiri untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja, demikian pula teknologi
dalam banyak hal telah menunjukkan kemampuannya dalam meningkatkan
efisiensi dan produktivitas.
Faktor lain yang kemungkinan menyebabkan sehingga input residual
(TFPP) di sektor pertanian tidak berpengaruh terhadap produktivitas tenaga kerja
pertanian adalah berkaitan dari pertumbuhan TFPP itu sendiri yang dalam
beberapa tahun terakhir mengalami kemerosotan serius, khususnya sejak krisis
ekonomi, sehingga dengan kondisi yang merosot ini tidak mampu memberi
kontribusi yang signifikan terhadap produktivitas tenaga kerja pertanian, atau
berkaitan dengan sifat sektor pertanian itu sendiri yang dikenal sangat lamban
dalam mengadopsi teknologi, sehingga peningkatan produktivitasnya sangat
ditentukan oleh nilai outpunya saja dan bukan bersumber dari tindakan efisiensi
yang dilakukan petani.
Hasil persamaan produktivitas tenaga kerja pertanian seperti yang telah
diuraikan (Tabel 14) memberikan implikasi bahwa cara lain untuk meningkatkan
produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian ini adalah melakukan realokasi
129
tenaga kerja pertanian ke sektor lain yang mungkin lebih produktif. Hal ini di
dasarkan dari nilai elastisitas jumlah tenaga kerja yang bersifat elastis dalam
jangka pendek dengan koefisien korelasi yang negatif.
Tabel 14 Hasil estimasi parameter persamaan produktivitas tenaga kerja sektoral di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004
Elastisitas PEUBAH Dugaan
Parameter Probability t-Statistik JK Pendek JK Panjang
PKP Pruktivitas TK Pertanian Intersept 5733352 0.0000 a) Upah Riil Pert (WP) 0.028065 0.9673 0.0003 n.a K.Kerja Pertanian (KP) -3.577818 0.0000 a) -1.0174 n.a Nilai Tambah Pert (NTBP) 0.620485 0.0000 a) 1.0252 n.a TFP Pertanian (TFPP) 4389.611 0.2915 0.0762 n.a
R2 = 0.9965; F-Hitung 738.8730 a); DW = 1.1167 PKI Pruktivitas TK Industri
Intersept 18325641 0.0000 a) Upah Riil Industri (WI) 8.726343 0.7726 0.0455 n.a K.Kerja Industri (KI) -98.37857 0.0000 a) -1.0492 n.a Nilai Tambah Industri (NTBI) 5.415742 0.0000 a) 0.9201 n.a TFP Industri (TFPI) 93518.04 0.1746 0.5536 n.a
R2 = 0.9745; F-Hitung = 124.2844 a); DW = 0.9376 PKL Pruktivitas TK S.Lain
Intersept 12748364 0.0000 a) Upah Riil S.Lain (WL) 4.842927 0.4976 0.0408 0.0413 K.Kerja S.Lain (KL) -12.57173 0.0000 a) -0.9133 -0.9226 Nilai Tambah S.Lain (NTBL) 1.012843 0.0000 a) 0.9847 0.9947 TFP S.Lain (TFPL) 10852.07 0.1221 0.0820 0.0828 Lag Endogen (Lag PKL) 0.010346 0.9010 0.0100 0.0101
R2 = 0.9842 ; F-Hitung = 149.3972 a); DW = 1.3132 Sumber : Diolah dari berbagai data BPS, 1985-2004
Hasil perhitungan nilai elastisitas dari masig-masing variabel juga
menunjukkan bahwa respon perubahan nilai produktivitas tenaga kerja atas
perubahan nilai upah riil maupun perubahan pertumbuhana teknologi pada
masing-masing sektor bersifat in-elastis. Gambaran ini menunjukkan bahwa
peningkatan nilai dari variabel ini hanya berdampak kecil terhadap perubahan
nilai produktivitas tenaga kerja. Sedangkan nilai elastisitas dari variabel jumlah
tenaga kerja sektoral dan variabel nilai tambah bruto sektoral yang mendekati nilai
satu, menunjukkan bahwa sifat dari elastisitas ini mendekati sifat unitary-elastis,
yang artinya bahwa ketika variabel ini mengalami perubahan sebesar satu persen,
maka produktivitas tenaga kerja juga akan berespon secara proporsional sesuai
arah korelasinya.
130
5.4.6. Angkatan Kerja Perkotaan dan Pedesaan
Model analisis angkatan kerja (penawaran tenaga ) yang dibangun dalam
tulisan ini, di dasarkan pada asumsi bahwa dalam analisa agregat, penawaran
tenaga kerja selain ditentukan oleh tingkat upah, juga dipengaruhi oleh perubahan
populasi, tingkat partisipasi angkatan kerja dan arus migrasi seperti yang
dijelaskan oleh Ruby (2003). Karena itu, model persamaan penawaran tenaga
kerja (angkatan kerja) dalam tulisan ini yang didisagregasi menurut wilayah kota
dan desa adalah angkatan kerja merupakan fungsi dari upah riil, migrasi masuk,
tingkat partisipasi angkatan kerja, jumlah penduduk usia kerja (sebagai
pencerminan dari perubahan populasi).
Variabel migrasi masuk (MM) dalam model tersebut merupakan variabel
endogen yang merupakan fungsi dari rata-rata upah riil di Sulawesi Selatan (W),
peluang angkatan kerja untuk bekerja yang dicerminkan oleh tingkat partisipasi
pekerja (TPK) di Sulawesi Selatan serta dummy konflik horisontal di KTI.
Pengertian migrasi masuk dalam model ini adalah migrasi masuk pada setiap
kabupaten/kota yang diagregasi (dijumlahkan) untuk tingkat provinsi. Karena itu,
migrasi masuk ini, tidak hanya mengkaver megrasi masuk antar provinsi, tetapi
juga melingkupi migrasi masuk antar kabupaten/kota, dan dengan sendirinya juga
melingkupi migrasi dari berbagai pedesaan ke pusat-pusat kota di Sulawesi
Selatan.
Hasil estimasi dari persamaan-persamaan angkatan kerja ini menghasilkan
nilai koefisien detereminasi (R2) sebesar 98.58 persen untuk persamaan angkatan
kerja perkotaan dan sekitar 95.79 persen untuk persamaan angkatan kerja
pedesaan. Sedangkan persamaan migrasi masuk (MM) memiliki koefisien
determinasi (R2) sebesar 64.75 persen. Hasil ini menunjukkan bahwa peubah
penjelas dalam model dapat menjelaskan perilaku variabel endogen secara baik,
selain itu pada setiap persemaan peubah penjelas secara bersama-sama juga
berpengaruh signifikan pada tingkat kesalahan yang ditolerir (a) = 0,01.
Gambaran rinci mengenai hasil analisis penawaran tenaga kerja (angkatan kerja)
baik di perkotaan maupun dipedesaan serta persamaan migrasi masuk akan
dijelaskan satu persatu sebagai berikut.
131
Angkatan Kerja Kota. Hasil analisa pada persamaan angkatan kerja kota,
menunjukkan bahwa penawaran tenaga kerja di perkotaan, variabel migrasi masuk
(MM), tingkat partisipasi angkatan kerja perkotaan (TPAKK), dan penduduk usia
kerja (PUK), signifikan pada tingkat kesalahan yang ditolerir (a) = 0.01 dan 0.10.
Sementara rata-rata upah riil di perkotaan (WK) tidak berpengaruh signifikan.
Semua variabel yang ada dalam model ini memiliki koefisien korelasi positif
dengan variabel endogennya, yang berarti bahwa perubahan positif dari variabel-
variabel tersebut akan meningkatkan angkatan kerja perkotaan.
Selanjutnya dilihat dari nilai elastisitas masing-masing variabel, maka
variabel TPAKK dan variabel PUK bersifat elastis dalam jangka pendek dan
dalam jangka panjang, sedangkan variabel lainnya bersifat in-elastis. Gambaran
ini menunjukkan bahwa peningkatan nilai TPAKK dan PUK akan direspon oleh
peningkatan angkatan kerja perkotaan (AKK) dengan proporsi yang lebih besar,
sementara variabel migrasi masuk (MM), dan variabel upahh riil perkotaan (WK)
akan direspon dengan proporsi yang lebih kecil. Nilai respon ini semakin besar
dalam jangka panjang mengingat variabel lag endogennya memberi pengaruh
yang signifikan.
Angkatan Kerja Pedesaan. Hasil pendugaan parameter pada persamaan
angkatan kerja pedesaan, menunjukkan bahwa angkatan kerja pedesaan
dipengaruhi oleh variabel Migarasi masuk (MM), tingkat partisipasi angkatan
kerja pedesaan (TPAKD), dan total penduduk usia kerja (PUK) di Sulawesi
Selatan pada tingkat kesalahan yang ditolerir (a) = 0.01. Sementara rata-rata
upah riil di pedesaan (WD) tidak berpengaruh signifikan.
Hasil pendugaan koefisien korelasi menunjukkan bahwa semuah variabel
dalam model berkorelasi positif dengan variabel angkatan kerja pedesaan, kecuali
variabel migrasi masuk (MM) berkorelasi negatif dengan variabel endogennya,
yang berarti semakin banyak banyak migrasi masuk akan berdampak pada
pengurangan angkatan kerja pedesaan. Hal ini disebabkan karena data migrasi
masuk yang diolah pada model ini, juga mencirikan perilaku migrasi dari desa ke
kota (migrasi antar kabupaten). Karena itu, meningkatnya jumlah migrasi akan
meningkatkan angkatan kerja di perkotaan (korelasi positif), sekaligus akan
mengurangi angkatan kerja pedesaan (korelasi negatif). Dengan kata lain
132
peningkatan jumlah migrasi masuk Sulawesi Selatan, sekaligus mencirikan
meningkatnya migrasi dari desa ke kota.
Selanjutnya dilihat dari nilai elastisitas masing-masing variabel, tampak
bahwa semua variabel dalam model analisis menghasilkan nilai elastisitas yang
lebih kecil dari nilai satu (bersifat in-elastis) baik dalam jangka pendek, maupun
dalam jangka panjang, Gambaran ini menunjukkan bahwa baik dalam jangka
pendek, terlebih lagi dalam jangka panjang, maka perubahan dari masing-masing
variabel akan direspon dengan proporsi yang lebih kecil oleh perubahan angkatan
kerja pedesaan (AKD) sesuai dengan hubungan korelasinya.
Tabel 15 Hasil estimasi parameter persamaan angkatan kerja perkotaan dan pedesaan di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004
Elastisitas PEUBAH Dugaan
Parameter Probability t-Statistik JK Pendek JK Panjang
AKK Angkatan Kerja Perkotaan Intersept -1259553 0.0000 a) Migrasi Masuk (MM) 2.473675 0.0753 c) 0.0768 0.0980 Upah Riil Perkotaan (WK) 0.747375 0.2735 0.1295 0.1654 TPAK Perkotaan (TPAKK) 16367.02 0.0000 a) 1.0671 1.3631 P.Usia Kerja Sul-Sel (PUK) 0.164159 0.0000 a) 1.2400 1.5839 Lag Endogen (Lag AKK) 0.229661 0.0823 c) 0.2171 0.2774
R2 = 0.9858; F-Hitung = 166.2257 a) ; DW = 1.8329 AKD Angkatan Kerja Pedesaan
Intersept -703855.2 0.0056 a) Migrasi Masuk (MM) -5.727823 0.0022 a) -0.0562 -0.0569 Upah Riil Pedesaan (WD) 0.312013 0.7306 0.0101 0.0102 TPAK Pedesaan (TPAKD) 28567.46 0.0000 a) 0.7120 0.7209 P.Usia Kerja Sul-Sel (PUK) 0.259974 0.0000 a) 0.6204 0.6281 Lag Endogen (Lag AKD) 0.012548 0.9294 0.0123 0.0124
R2 = 0.9579; F-Hitung = 54.6340 a); DW = 1.8420 MM Migrasi Masuk
Intersept -21749.7 0.6844 Rata-2 Upah Riil (W) 0.227713 0.0877 c) 0.8695 1.0649 T.Part.AK Sul-Sel (TPAK) 202.3809 0.6672 0.4911 0.6015 Dummy Konflik H. (DKH) 9463.651 0.0621 c) 0.0893 0.1094 Lag Endogen (Lag MM) 0.19416 0.4495 0.1835 0.2247
R2 = 0.6475; F-Hitung = 5.9703 a); DW = 1.6102 Sumber : Diolah dari berbagai data BPS, 1985-2004
Migrasi Masuk. Hasil pendugaan parameter pada persamaan migrasi
masuk kabupaten/kota di Sulawesi Selatan yang telah diagregasikan, tampaknya
dipengaruhi oleh variabel rata-rata upah riil (W) di Sulawesi Selatan dan dummy
konflik horisontal pada tingkat kesalahan (a) = 0.15. Sedangkan variabel tingkat
partisipasi kerja (TPK), yang mencirikan peluang angkatan kerja untuk terserap
pada lapangan pekerjaan tidak berpengaruh signifikan. Nilai koefisien korelasi
pada model ini, menunjukkan bahwa, semua variabel yang ada dalam model
133
berkorelasi positif dengan variabel endogen, yang berarti peningkatan dari peubah
penjelas akan meningkatkan migrasi masuk ke Sulawesi Selatan
Selanjutnya dilihat dari nilai elastisitas masing-masing variabel, tampak
bahwa, meskipun dalam jangka pendek semua variabel dalam model analisis
menghasilkan nilai elastisitas yang lebih kecil dari nilai satu (bersifat in-elastis),
namun dalam jangka panjang variabel rata-rata upah riil Sulawesi Selatan, akan
memberi dampak pada peningkatan migrasi masuk dengan proporsi yang lebih
besar.
Hasil pendugaan pada persamaan ini, jika dikaitkan dengan teori Lewis
(1954) dalam Kasliwal (1995), yang menyebutkan bahwa adanya perbedaan upah
(antar upah pertanian pedesaan dengan industri perkotaan) akan mendorong
terjadinya migrasi ke perkotaan, demikian pula dikaitkan model Haris-Todaro
(1969) dalam Kasliwal (1995) yang menyebutkan bahwa tidak hanya upah yang
mendorong migrasi, tetapi juga peluang untuk bisa tertampung di lapangan kerja
perkotaan menjadi daya tarik migrasi. Hasil pendugaan, yang menunjukkan
variabel upah riil signifikan, sementara peluang angkatan kerja terserap di
lapangan pekerjaan (TPK) tidak signifikan, maka perilaku migrasi di Sulawesi
Selatan menunjukkan bahwa tingkat upah yang tinggi akan mendorong migrasi
masuk akan terus berlangsung, meskipun peluang angkatan kerja untuk terserap di
lapangan pekerjaan terbatas.
Tingkat upah riil yang signifikan terhadap migrasi, tetapi variabel TPK
tidak signifikan, diserta prilaku migrasi yang secara signifikan memperbesar
angkatan kerja kota, tapi mereduksi angkatan kerja pedesaan, maka implikasi
yang dapat ditarik dari hasil ini adalah apabila perbedaan upah rill antar wilayah
perkotaan dan wilayah pedesaan terus berlangsung dengan selisih yang semakin
tajam, maka migrasi akan terus berlangsung dan memperbesar jumlah angkatan
kerja perkotaan, sehingga mendorong semakin tingginya pengangguran perkotaan,
mengingat angkatan kerja perkotaan ini berpengaruh signifikan terhadap
pengangguran perkotaan.
5.4.7. Pengangguran Perkotaan dan Pedesaan
Masalah pengangguran adalah salah satu masalah makro ekonomi, yang
oleh banyak pihak senangtiasa dicarikan jalan keluar untuk mengatasinya. Karena
134
pengangguran yang tinggi tidak hanya mencirikan pendapatan rata-rata
masyarakat menjadi rendah, tetapi juga dapat berdampak buruk pada stabilitas
sosial, keamanan bahkan dapat mempengaruhi kondisi perekonomian.
Pengangguran, tentu saja sangat terkait dengan dinamika pasar tenaga
kerja itu sendiri, baik dari sisi permintaan tenaga kerja, maupun dari sisi
penawarannya. Karena pengangguran, tidak lain adalah excess supply dari pasar
tenaga kerja. Ketika pertumbuhan kesempatan kerja tidak mampu mengimbangi
pertumbuhan angkatan kerja, maka jumlah pengangguran akan semakin
meningkat. Kesempatan kerja terkait dengan berbagai sumbe-sumber
pertumbuhan ekonomi, sedangkan angkatan kerja, selain dipengaruhi oleh transisi
masuk angkatan kerja (penduduk usia kerja yang masuk ke angkatan kerja) juga
tentunya terkait dengan migrasi masuk. Karena itu model persamaan
pengangguran yang dirumuskan adalah dimana pengangguran merupakan fungsi
dari permintaan tenaga kerja, angkatan kerja, migrasi dan pertumbuhan ekonomi.
Persamaan ini didisagregasi berdasarkan wilayah perkotaan dan pedesaan.
Berdasarkan hasil pendugaan, maka persamaan pengangguran ini
menghasilkan nilai koefisien detereminasi (R2) sebesar 97.78 persen untuk
persamaan pengangguran perkotaan dan sekitar 99.79 persen untuk persamaan
pengangguran pedesaan. Sedangkan nilai uji F-Statistik, menunjukkan bahwa
variabel yang dimasukkan dalam model, secara bersama-sama berpengaruh
signifikan terhadap variabel endogennya pada tingkat kesalahan (a) = 0.01.
Gambaran ini menunjukkan bahwa perilaku variabel endogen dari masing-masing
persamaan dapat dijelaskan secara baik oleh peubah penjelas. Hasil uji korelasi
serial juga menunjukkan bahwa kedua persamaan pengangguran yang dirumuskan
tidak mengandung masala korelasi serial. Hasil estimasi dari persamaan
pengangguran ini dapat dilihat pada tabel 16.
135
Tabel 16 Hasil estimasi parameter persamaan pengangguran perkotaan dan pedesaan di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004
Elastisitas PEUBAH Dugaan
Parameter Probability t-Statistik JK Pendek JK Panjang
UK Pengangguran Perkotaan Intersept 7.136124 0.0000 a) A.Kerja Perkotaan (AKK) 0.0000964 0.0000 a) 5.8108 n.a K.Kerja Perkotaan (KK) -0.000104 0.0000 a) -5.4315 n.a Migrasi Masuk (MM) 4.36E-06 0.9230 0.0082 n.a Pertumbuhan Ekonomi (PE) -0.012016 0.8608 -0.0059 n.a
R2 = 0.9778; F-Hitung = 143.3178 a); DW = 1.1650 UD Pengangguran Pedesaan
Intersept 1.879203 0.2114 A.Kerja Pedesaan (AKD) 0.000038 0.0000 a) 18.0129 n.a K.Kerja Pedesaan (KD) -0.0000387 0.0000 a) -17.4013 n.a Migrasi Masuk (MM) -0.0000122 0.1844 -0.0567 n.a Pertumbuhan Ekonomi (PE) -0.019486 0.3671 -0.0239 n.a
R2 = 0.9979; F-Hitung = 1534.496 a); DW = 1.6237 Sumber : Diolah dari Berbagai Data BPS, 1985-2004
Hasil pendugaan parameter peubah penjelas pada persamaan
pengangguran perkotaan dan pedesaan, menunjukkan bahwa, variabel kesempatan
kerja dan angkatan kerja secara konsisten berpengaruh signifikan terhadap tingkat
pengangguran perkotaan dan pengangguran pedesaan pada tingkat kesalahan yang
ditolerir (a) = 0.01. Sedangkan variabel migrasi masuk hanya berpengaruh pada
pengangguran pedesaan pada tingkat a = 0.20 dengan korelasi yang bersifat
negatif terhadap pengangguran. Sementara variabel pertumbuhan ekonomi
konsisten tidak berpengaruh terhadap pengangguran perkotaan dan pedesaan.
Koefisien korelasi dari variabel angkatan kerja dan kesempatan kerja
konsisten untuk wilayah perkotaan dengan di wilayah pedesaan, dimana angkatan
kerja berkorelasi positif, sedangkan kesempatan kerja berkorelasi negatif.
Sedangkan migrasi masuk memberi pengaruh berbeda terhadap pengangguran di
perkotaan dengan pengangguran di pedesaan. Di wilayah perkotaan,
meningkatnya migrasi akan mendorong peningkatan pengangguran, sedangkan di
pedesaan justru pengangguran cenderung menurun dengan meningkatnya migrasi
masuk. Hal ini tentu terkait dengan sifat data migrasi masuk yang dianalisis, yang
merupakan migrasi masuk pada setiap kabupaten/kota yang telah diagregasikan,
sehingga tentunya data tersebut sekaligus mencirikan migrasi antar kabupaten dan
antar desa dengan kota. Karena itu semakin banyak jumlah migrasi, maka semakin
banyak pula pencari kerja di perkotaan dan sebaliknya akan mengurangi jumlah
136
pencari kerja di pedesaan. Selanjutnya koefisien korelasi pertumbuhan ekonomi
juga konsisten bersifat negatif dengan tingkat pengangguran, yang berarti ada
kecenderungan pengangguran menurun dengan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi, namun kecenderungan ini tidak bersifat nyata secara statistik.
Hasil perhitungan nilai elastisitas masing-masing variabel, menunjukkan
bahwa variabel angkatan kerja dan kesempatan kerja di pedesaan dan perkotaan
bersifat elastis terhadap tingkat pengangguran baik dalam jangka pendek, maupun
dalam jangka panjang. Namun jika dilihat dari besaran nilai elastisitasnya, maka
respon pengangguran terhadap perubahan angkatan kerja dan kesempatan kerja di
daerah pedesaan lebih besar dibandingkan respon pengangguran perkotaan
terhadap perubahan variabel serupa di perkotaan. Hal ini disebabkan karena lebih
dari 70 persen angkatan kerja, maupun penduduk bekerja yang ada di Sulawesi
Selatan, terkonsentrasi di wilayah pedesaan. Sehingga peningkatan angkatan kerja
atau pengurangan kesempatan kerja di pedesaan (cateris paribus) akan berdampak
besar terhadap pengangguran, paling tidak dampaknya lebih besar dibandingkan
terhadap pengangguran perkotaan.
Tidak signifikannya pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran di
Sulawesi Selatan di sebabkan oleh sifat pertumbuhan ekonomi daerah ini tidak
berbasis pada pertumbuhan sektor padat karya. Hal ini di indikasikan pada
persamaan sebelumnya dimana pertumbuhan ekonomi tidak responsif terhadap
pertumbuhan tenaga kerja, bahkan tenaga kerja di sektor padat karya (pertanian)
tidak mampu memberi pengaruh nyata terhadap pertumbuhan nilai tambah sektor
pertanian. Dengan kata lain peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah ini tidak
di ikuti peningkatan jumlah tenaga kerja secara signifikan sehingga tidak mampu
menekan laju pengangguran.
Hasil pendugaan pada persamaan ini menunjukkan bahwa meskipun
angkatan kerja dan kesempatan kerja berpengaruh siginfikan terhadap
pengangguran, namun tampaknya angkatan kerja memberi tekanan yang lebih
besar, yang terlihat dari nilai elastsitasnya yang lebih besar di bandingkan
elastisitas kesempatan kerja. Kondisi ini dapat dipahami bahwa apabila tidak ada
upaya untuk mengreasi perluasan kesempatan kerja, maka pengangguran akan
terus meningkat. Karena itu, guna mengatasi pengangguran ini, maka kebijakan
137
pemerintah sangat diperlukan untuk mengkreasi atau mendorong perluasan
kesempatan kerja baru, sehingga pertambahan angkatana kerja baru yang lebih
cepat dapat terserap. Upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah ini terutama
kaitannya dengan kebijakan fiskal baik dari sisi penerimaan, maupun dari sisi
pengeluaran. Dari sisi penerimaan, perda-perda yang mengatur pajak dan
retribusi yang bersifat ”menghambat” perkembangan sektor riil seyogyanya
diminimalkan. Sedangkan dari sisi pengeluaran, diharapkan dapat lebih fokus
untuk perbaikan infrastruktur serta peningkatan pelayanan publik. Sehingga
dengan strategi ini diharapkan sektor riil dapat lebih berkembang dan lebih
mampu untuk menciptakan lapangan kerja baru.
5.5. Analisis Kekakuan Upah dan Kelambanan Respon Permintaan Tenaga
Kerja Sektoral di Sulawesi Selatan
Analisa kekauan upah riil (wage regidity) yang dimaksudkan adalah
lambannya upah melakukan penyesuaian ke arah keseimbangan pasar tenaga kerja,
ketika terjadi shock pada sisi permintaan maupun pada sisi penawaran tenaga
kerja. Selain kekakuan upah, pada bagian ini juga akan dianalisa kelambanan
respon permintaan tenaga kerja (kesempatan kerja), ketika terjadi shock upah riil.
Indikator kekakuan upah serta kelambanan respon permintaan tenaga kerja di
dasarkan pada waktu yang dibutuhkan oleh upah riil dan permintaan tenaga kerja
untuk merespon perubahan variabel determinannya sehingga mencapai
keseimbangannya kembali. Untuk mengukur seberapa cepat respon upah riil dan
permintaan tenaga kerja mencapai posisi keseimbangannya kembali, dalam tulisan
ini, didasarkan pada parameter error correction model (c). Menurut Manurung
(2005), bahwa nilai parameter ECM, menunjukkan seberapa cepat variabel
endogen mencapai nilai keseimbangannya kembali. Nilai parameter ECM yang
negatif menunjukkan bahwa nilai variabel endogen sekarang berada diatas nilai
jangka panjangnya, sehingga perlu dikoreksi untuk mencapai keseimbangan
jangka panjang. Semakin kecil nilai parameter ECM, maka semakin cepat proses
koreksi menuju keseimbangan jangka panjang.
Untuk menduga model persamaan ECM yang dirumuskan dalam tulisan
ini, maka beberapa tahap analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut :
138
1. Uji unit root : tahap ini dimaksudkan untuk memastikan ada tidaknya
persoalan akar unit (unit root) pada masing-masing variabel yang akan
dimasukkan dalam persamaan ECM. Apabila pada suatu variabel terdeteksi
mengandung akar unit, maka variabel tersebut bersifat tidak stasioner (non-
stationare). Data yang tidak stasioner akan menghasilkan persamaan yang
tidak valid dan sporius (semu). Metode yang digunakan untuk mendeteksi
persoalan akar unit ini adalah uji Augmented Dickey-Fuller (ADF Test).
Apabila data “level” menghasilkan nilai t-statistik yang tidak signifikan pada
nilai kritis 5 persen, atau dengan kata lain apabila nilai t-statistik lebih kecil
dari nilai statistik Augmented Dickey-Fuller mencakup intercep, tetapi tanpa
trend dengan nilai kritis 5% = -3.0400, maka data “level” tersebut terdeteksi
mengandung persoalan akar unit. Hasil uji unit root pada semua variabel,
menunjukkan bahwa semua variabel pada tingkat data “level” terdeteksi
mengandung unit root atau bersifat non-stasioner. Karena itu data “level”
masing-masing variabel tidak dapat digunakan dalam persamaan ECM.
2. Uji Derajat Integrasi atau Ordo Optimal : tahap ini dimaksudkan untuk
mengetahui derajat integrasi ke berapa sehingga data runtun waktu dari
masing-masing variabel yang akan digunakan bersifat stasioner. Dengan
menggunakan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF Test), menunjukkan bahwa
derjat integrasi masing-masing variabel berpariasi antara derjat pertama (first-
difference) dan pada derajat kedua (second-difference). Karena itu variabel
dalam persamaan ECM diolah berdasarkan tingkat derajat integrasinya
masing-masing. Hasil Uji unit root dan derajat integrasi dapat dilihat pada
Lampiran 4.
3. Uji Kointegrasi : tahap ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah dua
variabel yang akan diamati dapat berkointegrasi, apabila kedua variabel
tersebut tidak berkointegrasi maka berarti tidak memiliki kestabilan atau
keseimbangan jangka panjang. Untuk melakukan uji kointegrasi ini, maka
langkah awal yang dilakukan adalah membangun persamaan regresi terhadap
dua variabel yang akan diamati dengan menggunakan data pada derajat yang
sama. Selanjutnya nilai residual dari persamaan tersebut ditaksir persamaan
autoregresive-nya, untuk mengetahui apakah resdual tersebut bersifat
139
stasioner atau non-stasioner. Jika residual ini bersifat stasioner, berarti
terindikasi dapat terjadi kointegrasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa semua
persamaan yang diamati dalam penelitian ini dapat terjadi kointegrasi. Hasil
Uji Kointegrasi terlihat pada Lampiran 5.
4. Pendugaan Koefisien ECM : untuk menduga koefisien ECM, maka variabel-
variabel dalam persamaan di olah sesuai dengan derajat integrasinya serta
memasukkan residual yang bersifat stasioner sebagai salah satu variabel dalam
persamaan. Setelah persamaan tersebut terbentuk, selanjutnya diregresikan
dengan menggunakan metode OLS. Nilai parameter dari residual tersebut
merupakan koefisien ECM yang dapat diinterpretasikan sebagai speed of
adjusment dari variabel endogennya. Estimasi pendugaan parameter ECM
dapat dilihat pada lampiran 6.
5. Impuls Respon Function (IRF) : Tahap ini, merupakan analisa lanjutan dari
persamaan ECM. Analisa ini bertujuan untuk melihat bagaimana perilaku
respon dinamik variabel endogen akibat adanya shock dari variabel
determinannya. Output dari analisa ini disajikan dalam bentuk grafik.
Persamaan ECM yang dibangun dalam penelitian ini, pada dasarnya
dikelompokkan menjadi dua bagian yakni (1) respon upah riil terhadap perubahan
permintaan dan penawaran tenaga kerja. Model ini dimaksudkan untuk mengukur
kekakuan upah riil (wage regidity) sektoral baik di perkotaan maupun di pedesaan.
(2) respon permintaan tenaga kerja terhadap perubahan upah riil. Model ini
dimaksudkan untuk menggambarkan kelambanan respon agen ekonomi dalam
pasar tenaga kerja untuk merespon perubahan upah riil. Hasil pendugaan pada
setiap persamaan ECM akan diuraikan satu persatu sebagai berikut.
5.5.1. Respon Upah Riil Terhadap Perubahan Permintaan dan Penawaran
Tenaga Kerja Model persamaan ECM yang dibangun pada bagian ini, terutama
ditujukan untuk mengukur periode waktu yang dibutuhkan oleh upah riil dalam
merespon guncangan permintaan dan penawaran tenaga kerja. Periode
penyesuaian tersebut, sekaligus merupakan indikator kekakuan upah (wage
regiditiy). Semakin panjang periode penyesuaian, maka semakin kakuh upah riil
dan sekaligus mengindikasikan terjadinya distorsi pasar tenaga kerja. Menurut
140
Mankiw (2000), gagalnya upah melakukan penyesuaian (upah kakuh) terhadap
permintaan dan penawaran tenaga kerja merupakan salah satu penyebab
pengangguran yang disebutkannya sebagai pengangguran menunggu (wait
unemployment). Kekakuan upah ini dapat disebabkan oleh tiga hal yakni ;
undang-undang upah minimum, kekuatan monopoli serikat pekerja dan efisiensi
upah.
Hasil pendugaan koefisien ECM pada persamaan-persamaan respon upah
riil, baik upah riil rata-rata di wilayah perkotaan maupun upah riil rata-rata di
wilayah pedesaan, menunjukkan bahwa upah riil diwilayah perkotaan dan
pedesaan serta upah riil rata-rata Sulawesi Selatan, tidak hanya di pengaruhi oleh
permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja, tetapi juga dipengaruhi oleh
error term (residual) atau variabel ECM pada tingkat a = 0.01 dan 0.05.
Koefisien korelasi dari variabel ECM pada setiap persamaan yang bertanda
negatif menandakan bahwa nilai upah riil pada saat sekarang (periode awal)
berada diatas nilai jangka panjangnya. Upah riil yang tertahan diatas tingkat
keseimbangannya, menunjukkan bahwa perusahaan gagal menurunkan upah riil
(upah kaku) akibat kelebihan penawaran tenaga kerja. Dengan demikian upah riil
di Sulawesi Selatan secara rata-rata, baik di perkotaan maupun di pedesaan
bersifat kakuh (rigid).
141
Tabel 17. Hasil estimasi parameter ECM persamaan respon upah riil rata-rata, upah riil perkotaan dan pedesaan terhadap guncangan permintaan dan penawaran tenaga kerja di Sulawesi Selatan
Periode Penyesuaian
PEUBAH Parameter Dugaan
Probability t-Statistik Satuan
Thn Satuan
Bln D(W) Rata-rata Upah Riil Sul-Sel
Intersept -4693.76 0.2979 K.K Total D(K) 0.0701 0.0367 ECM01W (-1) -1.2596 0.0079 0.7939 9.53
R2 = 0,425111; F-Hitung = 5,546005 b); DW = 1,739092 D(W) Rata-rata Upah Riil Sul-Sel
Intersept -9054.98 0.0225 A.Kerja Total D(AK) 0.0957 0.0013 ECM02WAK (-1) -1.9445 0.0000 0.5143 6.17
R2 = 0,709570; F-Hitung = 18,32374 a); DW = 1,532272 D(WK) Rata-rata Upah Riil Perkotaan
Intersept 610.86 0.8495 K.K Perkotaan D(KK) 0.1673 0.0018 ECM03WKKK (-1) -1.9427 0.0000 0.5148 6.18
R2 = 0,819973; F-Hitung = 34,16052 a); DW = 1,843076 D(WK) Rata-rata Upah Riil Perkotaan
Intersept -1213.47 0.7573 A.Kerja Perkotaan D(AKK) 0.1069 0.0746 ECM04WKAKK (-1) -2.2990 0.0000 0.4350 5.22
R2 = 0,832651; F-Hitung = 37,31643 a); DW = 1,47553 D(WD) Rata-rata Upah Riil Pedesaan
Intersept -1240.85 0.7692 K.K Pedesaan D(KD) 0.0705 0.0174 ECM05WDKD (-1) -1.2025 0.0036 0.8316 9.98
R2 = 0,500981; F-Hitung = 7,529481 a); DW = 2,032601 D(WD) Rata-rata Upah Riil Pedesaan
Intersept -6579.89 0.1549 A.Kerja Pedesaan D(AKD) 0.1115 0.0197 ECM06WDAKD (-1) -1.6480 0.0004 0.6068 7.28
R2 = 0,578953; F-Hitung = 10,31272 a); DW = 1,674451
Sumber : Diolah dari Berbagai Data BPS, 1985-2004
Periode waktu yang dibutuhkan oleh upah riil rata-rata di Sulawesi Selatan
untuk melakukan penyesuaian sehingga kembali ke posisi keseimbangannya
adalah sekitar 9.5 bulan apabila shock-nya berasal dari permintaan tenaga kerja,
sedangkan jika shock-nya berasal dari penawaran tenaga kerja, maka upah riil
membutuhkan periode sekitar setengah tahun (6 bulan) untuk melakukan
penyesuaian hingga kembali ke posisi keseimbangannya.
Jika membandingkan periode penyesuaian upah riil di perkotaan dan
pedesaan, tampaknya, periode waktu yang dibutuhkan oleh upah riil rata-rata di
wilayah perkotaan lebih cepat dibandingkan upah riil di pedesaan. Dengan kata
lain upah riil di pedesaan lebih kakuh dibandingkan di perkotaan. Upah di
perkotaan memerlukan waktu sekitar setengah tahun untuk melakukan
142
penyesuaian ke posisi keseimbangannya, sementara di pedesaan memerlukan
waktu 7 hingga 10 bulan untuk kembali ke posisi keseimbangannya akibat
guncangan permintaan dan penawaran tenaga kerja pedesaan. Tingginya kekakuan
upah di wilayah pedesaan, diduga terkait dengan sistem informasi yang tidak
sempurna, serta tenaga kerja sektor usaha yang umumnya merupakan tenaga kerja
keluarga, sehingga banyak alokasi tenaga kerja di wilayah ini, tidak melalui
mekanisme pasar tenaga kerja.
Selanjutnya bagaimana respon dinamis rata-rata upah riil di Sulawesi
Selatan serta respon dinamis upah riil perkotaan dan pedesaan dari guncangan
permintaan tenaga kerja, disajikan dalam Gambar 20 sampai Gambar 22. Hasil
analisis menunjukkan bahwa, pada periode awal upah riil pada setiap persamaan
berada diatas posisi keseimbangannya, dan mengalami fluktuasi beberapa periode
kedepan hingga mencapai keseimbangan jangka panjangnya. Dalam jangka
pendek upah riil memerlukan waktu kuran dari setahun untuk mencapai posisi
keseimbangan, baik upah riil rata-rata, maupun upah priil perkotaan dan pedesaan.
Akan tetapi dalam jangka panjang upah riil masih akan berfluktuasi hingga sekitar
lima tahun kedepan untuk berada pada posisi keseimbangan jangka panjangnya.
4000
8000
12000
16000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
D(W,2)
Accumulated Response of D(W,2) to CholeskyOne S.D. D(W,2) Innovat ion
Resp
on U
pah
Riil
Rat
a-Rat
a (R
p)
Gambar 20 Respon dinamis rata-rata upah riil Sulawesi Selatan terhadap
guncangan permintaan tenaga kerja total
143
4000
6000
8000
10000
12000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
D(WK,2)
Accumulated Response of D(WK,2) to CholeskyOne S.D. D(WK,2) Innovation
Res
pon U
pah R
iil P
erko
taan
Gambar 21 Respon dinamis upah riil perkotaan terhadap guncangan permintaan
tenaga kerja perkotaan
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
D(WD,2)
Accumulated Response of D(WD,2) to CholeskyOne S.D. D(WD,2) Innovation
Res
pon
Upah
Riil P
edes
aan
Gambar 22 Respon dinamis upah riil pedesaan terhadap guncangan permintaan
tenaga kerja pedesaan Selanjutnya, hasil estimasi persamaan ECM upah riil sektoral di wilayah
perkotaan dan pedesaan, menunjukkan bahwa permintaan tenaga kerja di sektor
industri baik industri perkotaan maupun industri pedesaan tidak berpengaruh
signifikan terhadap upah riil sektoralnya. Sedangkan variabel serupa di sektoral
pertanian dan sektora lainnya berpengaruh signifikan hingga tarap kesalahan a =
0.05 dan 0.15. Akan tetapi variabel error term (ECM) pada setiap persamaan upah
riil sektoral ini berpengaruh signifikan pada tarap nyata a = 0.01 dan 0.05.
Koefisien korelasi dari variabel ECM juga bertanda negatif untuk semua
persamaan, yang berarti bahwa upah riil sektoral saat sekarang berada di atas
posisi keseimbangannya atau upah bersifat kakauh (Tabel 18).
144
Tabel 18 Hasil estimasi parameter ECM persamaan respon upah riil sektoral di wilayah perkotaan dan pedesaan terhadap guncangan permintaan tenaga kerja sektoral di Sulawesi Selatan
Periode Penyesuaian
PEUBAH Parameter Dugaan
Probability t-Statistik Satuan
Thn Satuan
Bln D(WPK) Upah Riil Pertanian Perkotaan
Intersept 212.40 0.9623 K.K Pertanian Kota D(KPK) 0.3965 0.1290 ECM07WPKKPK (-1) -1.2671 0.0001 0.7892 9.47
R2 = 0,670355; F-Hitung = 15,25176 a); DW = 2,116995 D(WIK) Upah Riil Industri Perkotaan
Intersept 4568.39 0.4806 K.K Industri Kota D(KIK) 0.4959 0.4199 ECM08WIKKIK (-1) -0.9222 0.0077 1.0844 13.01
R2 = 0,387559; F-Hitung = 4,746087 b); DW = 1,878977 D(WLK) Upah Riil S.Lain Perkotaan
Intersept 2341.68 0.5719 K.K S.Lain Kota D(KLK) 0.1531 0.0140 ECM09WLKKLK (-1) -2.2294 0.0000 0.4485 5.38
R2 = 0,595004; F-Hitung = 11,01871 a); DW = 1,873971 D(WPD) Upah Riil Pertanian Pedesaan
Intersept -4632.17 0.3519 K.K Pertanian Desa D(KPD) 0.0996 0.0294 ECM10WPDKPD (-1) -1.5597 0.0013 0.6411 7.69
R2 = 0,548907; F-Hitung = 9,126272 a); DW = 2,200678 D(WID) Upah Riil Industri Pedesaan
Intersept -732.28 0.9105 K.K Industri Desa D(KID) 0.0988 0.9153 ECM11WIDKID (-1) -0.8382 0.0217 1.1931 14.32
R2 = 0,352813; F-Hitung = 4,088608 b); DW = 2,349674 D(WLD) Upah Riil S.Lain Pedesaan
Intersept -2979.92 0.7407 K.K S.Lain Desa D(KLD) 0.2240 0.0124 ECM12WLDKLD (-1) -1.4354 0.0092 0.6967 8.36
R2 = 0,509951; F-Hitung = 7,804590 a); DW = 2,022569
Sumber : Diolah dari berbagai data BPS, 1985-2004
Pada Tabel diatas terlihat bahwa sektor industri, baik di perkotaan, terlebih
lagi industri pedesaan memiliki upah yang paling kakuh. Periode waktu yang
dibutuhkan oleh upah riil di sektor industri baik di perkotaan maupun dipedesaan
sehingga kembali ke posisi keseimbangannya adalah sekitar 1.2 tahun. Sedangkan
periode penyesuaian upah riil di sektor pertanian dan sektor lainnya baik di
wilayah perkotaan maupun di wilayah pedesaan adalah kurang dari satu tahun.
Tingginya kekakuan upah di sektor industri ini, diduga terutama terkait dengan
efisiensi upah, dimana pengusaha tidak serta merta menurunkan upah riilnya
ketika upah riil berada di atas keseimbangan, karena dikhawatirkan akan
berdampak pada menurunnya produktivitas tenaga kerjannya. Selain itu, pelaku
bisnis di sektor ini ummnya mematuhi UMR, terutama bisnis formal. Hal lain
145
adalah menguatnya kelembagaan serikat pekerja, khususnya tenaga kerja sektor
industri perkotaan beberapa tahun terakhir.
Bagaimana perilaku respon dinamis dari masing-masing upah riil sektoral,
baik di wilayah perkotaan maupun diwilayah pedesaan, terlihat pada Gambar 23
sampai Gambar 28. Hasil analisis menunjukkan bahwa semuah upah riil sektoral
berada diatas upah keseimbangannya, sehingga upah riil sekoral ini akan
terkoreksi untuk mencapai keseimbangannya jika ada guncangan permintaan
tenaga kerja sektoral. Dalam jangka pendek, secara umum upah riil sektoral
memerlukan waktu kurang dari satu tahun untuk mencapai posisi
keseimbangannya, kecuali di sektor industro memerlukan waktu lebih satu tahun.
Dalam jangka panjang, dampak guncangan permintaan tenaga kerja ini akan
menimbulkan fluktuasi upah yang cukup lama di sektor industri, khususnya
industri perkotaan yang dampaknya masih terasa hingga 10 tahun ke depan,
sedangkan di sektor pertanian, fluktuasi upah dalam jangka panjang tidak
berlangsung lama.
13000
14000
15000
16000
17000
18000
19000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
D(WPK,2)
Accumulated Response of D(WPK,2) to CholeskyOne S.D. D(WPK,2) Innovation
Resp
on
Upah
riil P
ertan
ian
Kota
Gambar 23. Respon dinamis upah riil sektor pertanian perkotaan terhadap
guncangan permintaan tenaga kerja pertanian perkotaan
-10000
0
10000
20000
30000
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
D(WIK,1)
Accumulated Response of D(WIK,1) to CholeskyOne S.D. D(WIK,1) Innovation
Res
pon
Upah
Riil Ind
ustri P
erko
taan
Gambar 24 Respon dinamis upah riil sektor industri perkotaan terhadap
guncangan permintaan tenaga kerja industri perkotaan
146
6000
8000
10000
12000
14000
16000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
D(WLK,2)
Accumulated Response of D(WLK,2) to CholeskyOne S.D. D(WLK,2) Innovation
Res
pon
Upah
Riil
Sek
tor
Lain
Per
kota
an
Gambar 25 Respon dinamis upah riil sektor lain perkotaan terhadap guncangan
permintaan tenaga kerja sektor lain perkotaan
4000
8000
12000
16000
20000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
D(WPD,2)
Accumulated Response of D(WPD,2) to CholeskyOne S.D. D(WPD,2) Innovation
Res
pon U
pah
Riil P
erta
nia
n Ped
esaa
n
Gambar 26 Respon dinamis upah riil sektor pertanian pedesaan terhadap
guncangan permintaan tenaga kerja pertanian pedesaan
8000
12000
16000
20000
24000
28000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
D(WID,2)
Accumulated Response of D(WID,2) to CholeskyOne S.D. D(WID,2) Innovation
Res
pon
Upa
h R
iil I
ndus
tri Ped
esa
an
Gmbar 27 Respon dinamis upah riil sektor industri pedesaan terhadap
guncangan permintaan tenaga kerja industri pedesaan
147
15000
20000
25000
30000
35000
40000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
D(WLD,2)
Accumulated Response of D(WLD,2) to CholeskyOne S.D. D(WLD,2) Innovation
Res
pon
Upa
h Riil S
ektor
Lain
di Pede
saan
Gambar 28 Respon dinamis upah riil sektor lain pedesaan terhadap guncangan
permintaan tenaga kerja sektor lain pedesaan 5.5.2. Respon Permintaan Tenaga Kerja Terhadap Perubahan Upah Riil
Menurut Taylor dan Chanery dalam Kasliwal (1995), bahwa salah satu
faktor yang menyebabkan terjadinya kegagalan pasar, adalah karena agen
ekonomi merespon secara lambat terhadap perubahan harga. Berdasarkan pada
pandangan tersebut, maka studi ini, juga ditujukan untuk mengukur kelambanan
respon pengusaha dalam pasar tenaga kerja, dimana kelambanan respon tersebut
dicerminkan dari kelambana respon permintaan tenaga kerja (kesempatan kerja)
ketika terjadi shock upah riil. Kelambanan respon permintaan tenaga kerja ini,
juga diukur dengan menggunakan metode persamaan ECM.
Hasil pendugaan parameter ECM untuk persamaan respon permintaan
tenaga kerja dari guncangan upah riil, menunjukkan bahwa upah riil rata-rata,
maupun upah riil perkotaan dan pedesaan dapat direspon secara signifikan oleh
permintaan tenaga kerja pada tingkat kesalahan a = 0.01 dan 0.05. Demikian
pula error term (residual) pada setiap persamaan berpengaruh signifikan hingga
tarap nyata 95 persen.
Selanjutnya di lihat dari koefisien korelasi dari variabel ECM (residual)
pada setiap persamaan bersifat negatif. Gambaran ini menunjukkan bahwa pada
periode awal permintaan tenaga kerja berada diatas keseimbangan jangka
panjangnya, sehingga permintaan tenaga kerja ini akan merespon harga untuk
mencapai posisi keseimbangannya kembali. Dibandingkan dengan respon upah
148
riil terhadap permintaan dan penawaran tenaga kerja, seperti yang telah diuraikan
pada bagian terdahulu, maka tampaknya respon kesempatan kerja (permintaan
tenaga kerja) dari perubahan upah riil, bersifat lebih kakuh atau lebih lamban
( Tabel 19).
Tabel 19 Hasil estimasi parameter ECM persamaan respon kesempatan kerja perkotaan dan pedesaan terhadap guncangan upah riil di Sulawesi Selatan
Periode Penyesuaian
PEUBAH Parameter Dugaan
Probability t-Statistik Satuan
Thn Satuan
Bln D(KK) K.Kerja Perkotaan
Intersept 5438.97 0.6954 Rata-2 Upah Riil Kota D(WK) 2.4262 0.0028 ECM14KKWK (-1) -0.4991 0.0403 2.0035 24.04
R2 = 0,319067; F-Hitung = 3,514296 c); DW = 1,538104 D(KD) K.Kerja Pedesaan
Intersept 9857.13 0.7732 Rata-2 Upah Riil Desa D(WD) 3.3388 0.0452 ECM15KDWD (-1) -0.6867 0.0239 1.4563 17.48
R2 = 0,461628; F-Hitung = 6,430896 a); DW = 2,012186
Sumber : Diolah dari berbagai data BPS, 1985-2004 Dengan membandingkan respon permintaan tenaga kerja perkotaan
dengan respon permintaan tenaga kerja pedesaan dari guncangan upah riil masing-
masing, maka tampaknya kesempatan kerja di pedesaan akan merespon lebih
cepat dibandingkan kesempatan kerja di perkotaan. Periode waktu yang
dibutuhkan oleh kesempatan kerja perkotaan untuk mencapai keseimbangannya
adalah sekitar dua tahun, sementara di pedesaan hanya membutuhkan sekitar 1.5
tahun.
Lambannya respon kesempatan kerja di perkotaan dibandingkan dengan
respon kesempatan kerja di pedesaan, di duga terkait dengan sistem recruitment
tenaga kerja serta spsifikasi tenaga kerja di butuhkan sektor-sektor usaha di
perkotaan berbeda dengan di pedesaan. Sektor usaha di perkotaan umumnya
membutuhkan tenaga kerja yang memiliki keterampilan, spesifikasi pendidikan
tertentu dan persyaratan lainnya serta dengan sistem perekrutan yang umumnya
menggunaka prosedur formal, demikian pula dalam hal pemutusan hubungan
kerja perusahaan diharuskan memenuhi aturan-aturan tertentu, sehingga respon
kesempatan kerja perkotaan ini memerlukan waktu yang cukup panjang untuk
mencapai posisi keseimbangannya kembali jika terjadi shock upah riil. Sementara
149
kegiatan produktif di pedesaan yang kebutuhan tenaga kerjanya tidak terlalu
spesifik dan sistem perekrutan tenaga kerjanya pun lebih sederhanan sehingga
memerlukan waktu yang lebih pendek untuk mencapai posisi keseimbangannya
kembali. Respon kesempatan kerja pedesaan yang lebih cepat ini, juga sekaligus
menunjukkan bahwa kesempatan kerja pedesaan lebih fleksibel dalam menyerap
para “pencari kerja sementara” jika terjadi penurunan upah.
Hasil analisis Impuls Respon Function (IRF) terhadap persamaan respon
kesempatan kerja total serta kesempatan kerja perkotaan dan pedesaan dari
guncangan upah riil, memperlihatkan perilaku respon kesempatan kerja, baik
dalam jangka pendek, maupun perilaku beberapa periode kedepan dalam
mencapai keseimbangan jangka panjangnya, seperti yang diperlihatkan pada
Gambar 29 sampai Gambar 30.
10000
20000
30000
40000
50000
60000
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
D(KK,2)
Accumulated Response of D(KK,2) to CholeskyOne S.D. D(KK,2) Innovation
Res
pon P
erm
intaan
TK P
erko
taan
Gambar 29 Respon dinamis kersempatan kerja perkotaan terhadap guncangan
upah riil perkotaan
0
40000
80000
120000
160000
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
D(KD,2)
Accumulated Response of D(KD,2) to CholeskyOne S.D. D(KD,2) Innovation
Res
pon
Per
min
taan
TK P
edes
aan
Gambar 30 Respon dinamis kersempatan kerja pedesaan terhadap guncangan
upah riil pedesaan
150
Gambar diatas menunjukkan bahwa, dalam jangka pendek kesempatan
kerja perkotaan memerlukan waktu sekitar 2 tahun untuk mencapai posisi
keseimbangannya, sedangkan kesempatan kerja pedesaan memerlukan waktu
kurang dari dua tahun. Selain itu dalam jangka panjang guncangan upah riil ini
akan berdampak pada fluktuasi kesempatan kerja yang cukup besar hingga sekitar
tahun ke sembilan, sementara di pedesaan fluktuasi kesempatan kerja mulai stabil
pada tahun ke enam.
5.6. Analisis Simulasi Kebijakan Pasar Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan
Analisa simulasi kebijakan dimaksudkan untuk melihat dampak berbagai
kebijakan terhadap kesempatan kerja sektoral dan nilai tambah bruto sektoral serta
terhadap pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan. Simulasi ini dilakukan dengan
cara memberi shock terhadap berbagai variabel sumber-sumber pertumbuhan
ekonomi baik dari sisi permintaan maupun dari sisi penawaran.
Dari sisi permintaan sumber pertumbuhan ekonomi, simulasi dilakukan
terhadap variabel konsumsi masyarakat (CS), investasi (INV), ekspor (EXPR),
impor (IMP) dan PAD (dengan variabel endogen GOV). Besarnya perubahan
yang dilakukan terhadap variabel tersebut masing-masing sebesar 25 persen.
Besaran perubahan (shock) tersebut dianggap sebagai nilai moderat, mengingat
fluktuasi aktual pertumbuhan tahunan masing-masing variabel tersebut sangat
variatif. Variabel CS memiliki Range Pertumbuhan tahunan sekitar -1.74 – 8.8
persen pertahun, Variabel GOV sekitar -5.45 – 25.49 persen per tahun; INV
berkisar -20.61 – 24.88 persen pertahun ; ekspor berkisar -33.32 – 69.06 persen
pertahun dan impor berkisar -27.53 – 80.85 persen pertahun.
Sedangkan simulasi terhadap sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi supply,
dilakukan terhadap pertumbuhan teknologi untuk seluruh sektor (TFP), serta
pertumbuhan teknologi sektoral (TFPP, TFPI dan TFPL). Besaran shock yang
dilakukan adalah meningkatkan 2 persen untuk masing-masing variabel. Besaran
ini juga dianggap nilai moderat untuk melihat dampaknya terhadap pertumbuhan
kesempatan kerja sektoral, nilai tambah sektoral serta terhadap pertumbuhan
ekonomi Sulawesi Selatan.
151
Metode simulasi yang digunakan adalah model deterministic dengan static
solution. Persamaan yang diestimasi adalah kesempatan kerja sektoral di wailayah
perkotaan dan pedesaan serta variabel nilai tambah bruto sektoral dan
pertumbuhan ekonomi. Hasil analisis kelayakan estimasi dari persamaan-
persamaan ini menghasilkan nilai Theil Inequality Coeficient yang berkisar antara
0.006526 hingga 0.070756 (Lampiran 7). Gambaran ini menunjukkan bahwa
simulasi layak dilakukan untuk mengestimasi persamaan tersebut, karena nilai
Theil Inequalitiy Coeficient jauh lebih kecil dari satu sebagai nilai batas kelayakan.
Output simulasi ini di sajikan dalam dua bentuk yakni secara grafik dan
secara tabel. Penyajian grafik dimaksudkan untuk melihat perilaku persamaan
kesempatan kerja, nilai tambah sektoral dan pertumbuhan ekonomi Sulawesi
Selatan sebelum perubahan (aktual) dan setelah perubahan (simulasi). Sedangkan
penyajian tabel dimaksudkan untuk melihat besarnya perubahan nilai rata-rata
yang dinyatakan dalam persen (%) berbagai variabel endogen yang diestimasi
sebagai dampak dari dari simulasi tersebut. Pembahasan hasil masing-masing
simulasi akan diuraikan satu persatu sebagai berikut.
Simulasi peningkatan konsumsi masyarakat (CS = 25%). Hasil analisis
menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi masyarakat di Sulawesi Selatan
sebesar 25 persen akan berdampak positif terhadap peningkatan kesempatan kerja
sektoral di perkotaan, khususnya di sektor industri pengolahan dan sektor lainnya
di perkotaan, sementara dampaknya terhadap kesempatan kerja sektoral di
pedesaan tidak besar, bahkan berpengaruh negatif terhadap kesempatan kerja
sektor pertanian pedesaan. Akan tetapi dampak simulasi ini mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan. Gambaran ini menujukkan bahwa
peningkatan konsumsi masyarakat, menyebabkan “pola permintaan” masyarakat
terhadap barang produksi perkotaan meningkat dengan proporsi yang lebih besar
dibandingkan dengan permintaan terhadap barang yang diproduksi di pedesaan,
sehingga permintaan tenaga kerja di perkotaan meningkat lebih besar
dibandingkan peningkatan tenaga kerja pedesaan, bahkan menurunkan tenaga
kerja pertanian pedesaan.
Gambaran ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berbasis
terhadap pertumbuhan konsumsi, memang dapat merangsan berkembangnya
152
sektor industri pengolahan dan sektor lainnya di perkotaan, akan tetapi kondisi
akan memberi dampak buruk bagi pasar tenaga kerja keseluruhan, mengingant
konsentrasi tenaga kerja umumnya (lebih 70%) berada di daerah pedesaan
terutama di sektor pertanian.
Besarnya perubahan relatif (%) kesempatan kerja sektoral dari perubahan
konsumsi masyarakat ini adalah meningkat sekitar 0.0461 persen dan 6.6736
persen untuk kesempatan kerja industri perkotaan dan sektor lain perkotaan.
Sedangkan di pedesaan peningkatan konsumsi ini hanya berdampak positif
terhadap kesempatan kerja sektor lain di pedesaan dengan dampak sebesar 1.0439
persen. Selanjutnya hasil simulasi ini memberi dampak penurunan kesempatan
kerja sebesar -12.8581 persen; -1.3016 persen dan -0.0064 persen untuk masing-
masing sektor pertanian perkotaan, sektor pertanian pedesaan dan sektor industri
pedesaan. Dampak peningkatan konsumsi ini terhadap kesempatan kerja total
adalah menurun sekitar 0.2778 persen. Dampaknya terhadap pertumbuhan
ekonomi adalah sekitar sekitar 0.1351 persen. Besaran perubahan variaebl
estimasi dapat dilihat pada Tabel 20 dan perilaku variabel yang diestimasi dari
simulasi konsumsi masyarakat terlihat pada Gambar 31
0
40000
80000
120000
160000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KPK (CS 25%)
KPK
20000
30000
40000
50000
60000
70000
80000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KIK (CS 25%)
KIK
200000
400000
600000
800000
1000000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KLK (CS 25%)
KLK
1000000
1200000
1400000
1600000
1800000
2000000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KPD (CS 25%)
KPD
80000
90000
100000
110000
120000
130000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KID (CS 25%)
KID
300000
400000
500000
600000
700000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KLD (CS 25%)
KLD
-8
-4
0
4
8
12
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual PE (CS 25%)
PE
0
5
10
15
20
25
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual UK (CS 25%)
UK
-5
0
5
10
15
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actua l UD (CS 25%)
UD
Gambar 31 Dampak peningkatan konsumsi masyarakat (CS) 25% terhadap
pertumbuhan ekonomi dan kesempatakan kerja Sulawesi Selatan
153
Simulasi peningkatan Investasi (INV = 25%). Hasil analisis menunjukkan
bahwa peningkatan investasi di Sulawesi Selatan sebesar 25 persen akan
berdampak positif terhadap peningkatan kesempatan kerja sektoral baik di
wilayah perkotaan maupun di wilayah pedesaan, demikian pula berdampak pada
peningkatan pertumbuhan ekonomi. Kesempatan kerja sektor industri pengolahan
dan kesempatan kerja sektor lainnya baik di perkotaan maupun dipedesaan
mengalami peningkatan yang cukup besar dari simulasi ini, yakni masing-masing
diatas lima persen. Sedangkan sektor pertanian di perkotaan dan pedesaan masing-
masing kurang dari satu persen. Gambaran ini sekaligus menunjukkan bahwa
iklim investasi di Sulawesi Selatan bias terhadap industri pengolahan dan sektor
lainnya. Secara total dampak peningkatan investasi terhadap kesempatan kerja
total di Sulawesi Selatan adalah sebesar 3.88 persen. Selanjutnya, peningkatan
investasi ini memberi dampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dari
sekitar rata-rata 5.93 persen per tahun (nilai aktual) menjadi sekitar 6.07 persen
per tahun (hasil simulasi), atau meningkat sekitar 0.1241 persen (Tabel 20).
0
40000
80000
120000
160000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KPK (INV 25%)
KPK
20000
30000
40000
50000
60000
70000
80000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KIK (INV 25%)
KIK
200000
400000
600000
800000
1000000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KLK (INV 25%)
KLK
1000000
1200000
1400000
1600000
1800000
2000000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KPD (INV 25%)
KPD
80000
90000
100000
110000
120000
130000
140000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KID (INV 25%)
KID
300000
400000
500000
600000
700000
800000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KLD (INV 25%)
KLD
-8
-4
0
4
8
12
86 88 90 92 94 96 9 8 00 02 04
Actual PE (INV 25 %)
PE
0
5
10
15
20
25
8 6 88 90 9 2 94 96 98 0 0 02 04
Actua l UK (INV 25 %)
UK
-5
0
5
10
15
8 6 88 90 9 2 94 96 98 0 0 02 04
Actual UD (INV 25 %)
UD
Gambar 32 Dampak peningkatan investasi (INV) 25 % terhadap pertumbuhan
ekonomi dan kesempatakan kerja Sulawesi Selatan
154
Simulasi peningkatan Ekspor (EXPR = 25%). Simulasi peningkatan ekspor
sebesar 25 persen akan memberi dampak positif terhadap peningkatan kesempatan
kerja di seluruh sektor baik di wilayah perkotaan maupun di wilayah pedesaan,
demikian pula pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Sektor yang paling besar
peningkatan kesempatan kerjanya dari simulasi ini adalah sektor pertanian
pedesaan yakni meningkat sekitar 5.96 persen dari nilai aktualnya, kemudian
diikuti oleh sektor lainnya di pedesaan yakni sebesar 1.67 persen. Hasil simulasi
ini memberi dampak cukup besar terhadap kesempatan kerja total di Sulawesi
Selatan yakni sebesar 3.85 persen. Selanjutnya, peningkatan ekspor ini memberi
dampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi yang paling besar yakni sekitar
0.1669 persen (Tabel 20). Perilaku kesempatan kerja sektoral dan pertumbuhan
ekonomi sebagai dampak peningkatan ekspor terlihat pada Gambar 33
0
40000
80000
120000
160000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KPK (EXPR 25%)
KPK
20000
30000
40000
50000
60000
70000
80000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KIK (EXPR 25%)
KIK
200000
300000
400000
500000
600000
700000
800000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KLK (EXPR 25%)
KLK
800000
1200000
1600000
2000000
2400000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KPD (EXPR 25%)
KPD
80000
90000
100000
110000
120000
130000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KID (EXPR 25%)
KID
300000
400000
500000
600000
700000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KLD (EXPR 25%)
KLD
-8
-4
0
4
8
12
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual PE (EXPR 25%)
PE
0
5
10
15
20
25
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual UK (EXPR 25%)
UK
-5
0
5
10
15
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual UD (EXPR 25%)
UD
Gambar 33 Dampak peningkatan ekxpor (Expr) 25% terhadap pertumbuhan
ekonomi dan kesempatakan kerja sektoral Sulawesi Selatan
Simulasi peningkatan Impor (IMP = 25%). Simulasi peningkatan impor
sebesar 25 persen, tampaknya akan menimbulkan kontraksi kesempatan kerja
pada semua sektor, serta kontraksi pertumbuhan ekonomi. Penciutan kesempatan
kerja paling besar terjadi di sektor pertanian, baik di pertanian perkotaan, maupun
pertanian pedesaan. Terjadinya kontraksi kesempatan kerja di sektoral di daerah
155
ini pada saat terjadi peningkatan impor, disebabkan karena terjadi penyempitan
pasar hasil-hasi produksi domestik, terutama sektor pertanian. Kondisi ini
tentunya akan berdampak buruk terhadap permintaan tenaga kerja sektoral,
demikian pula pada kondisi perekonomian secara keseluruhan, sehingga terjadi
kontraksi pertumbuhan ekonomi sebesar minus 0.1397 persen (Tabel 20). Perilaku
kesempatan kerja sektoral dan pertumbuhan ekonomi sebagai dampak
peningkatan impor terlihat pada Gambar 34.
0
40000
80000
120000
160000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KPK (IMP 25%)
KPK
20000
30000
40000
50000
60000
70000
80000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KIK (IMP 25%)
KIK
200000
300000
400000
500000
600000
700000
800000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KLK (IMP 25%)
KLK
1000000
1200000
1400000
1600000
1800000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KPD (IMP 25%)
KPD
80000
90000
100000
110000
120000
130000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KID (IMP 25%)
KID
300000
400000
500000
600000
700000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KLD (IMP 25%)
KLD
-8
-4
0
4
8
12
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual PE (IMP 25%)
PE
0
5
10
15
20
25
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual UK (IMP 25%)
UK
-5
0
5
10
15
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual UD (IMP 25%)
UD
Gambar 34 Dampak peningkatan impor (IMP) 25% terhadap pertumbuhan
ekonomi dan kesempatakan kerja sektoral Sulawesi Selatan
Simulasi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD = 25%). Simulasi
peningkatan PAD sebesar 25 persen, tampaknya tidak memberi dampak yang
besar terhadap peningkatan kesempatan kerja sektoral, maupun terhadap
pertumbuhan ekonomi. Bahkan peningkatan PAD ini dapat menyebabkan
terjadinya penciutan kesempatan kerja di sektor pertanian baik di perkotaan
maupun di pedesaan. Gambaran ini menunjukkan bahwa kedua sektor ini cukup
rentang terhadap peningkatan pajak dan retribusi sebagai sumber PAD, sekaligus
menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah daerah ini masih bias terhadap industri
pengolahan dan sektor lainnya, ketimbang ke sektor pertanian. Besaran perubahan
variabel kesempatan kerja sektoral dan pertumbuhan ekonomi, sebagai dampak
156
peningkatan PAD dapat dilihat pada Tabel 20, sedangkan perilaku variabel yang
diestimasi dari simulasi ini terlihat pada Gambar 35.
0
40000
80000
120000
160000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KPK (PAD 25%)
KPK
20000
30000
40000
50000
60000
70000
80000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KIK (PAD 25%)
KIK
200000
300000
400000
500000
600000
700000
800000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KLK (PAD 25%)
KLK
1000000
1200000
1400000
1600000
1800000
2000000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KPD (PAD 25%)
KPD
80000
90000
100000
110000
120000
130000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KID (PAD 25%)
KID
300000
400000
500000
600000
700000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KLD (PAD 25%)
KLD
-8
-4
0
4
8
12
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual PE (PAD 25%)
PE
0
5
10
15
20
25
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual UK (PAD 25%)
UK
-5
0
5
10
15
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual UD (PAD 25%)
UD
Gambar 35. Dampak peningkatan PAD = 25% terhadap kesempatan kerja dan
pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan
Simulasi peningkatan pertumbuhan TFP (2%). Simulasi peningkatan input
residual (Total factor productivity) ini tidak hanya pada teknologi seluruh sektor
(TFP), tetapi juga dilakukan simulasi terhadap TFP sektoral. Simulasi TFP
dilakukan untuk mengetahui dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan, sedangkan simulasi TFPP, TFPI dan TFPL, dimaksudkan untuk
mengetahui dampaknya terhadap kesempatan kerja di masing-masing sektor, serta
dampaknya terhadap peningkatan nilai tambah sektoral.
Hasil analisa simulasi terhadap TFP, menunjukkan bahwa dengan
meningkatkan input residual TFP (misalnya teknologi) 2 persen akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan sekitar 1.1838 persen, atau
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari rata-rata 5.93 persen per tahun (nilai
actual) menjadi rata-rata 7.12 persen per tahun. Dampak ini, merupakan dapak
pertumbuhan ekonomi yang paling besar dibandingkan dampak dari sumber-
sumber pertumbuhan lainnya.
157
Selanjutnya simulasi terhadap pertumbuhan input residual (TFP) secara
sektoral, menunjukkan bahwa peningkatan input residual pertanian (TFPP)
sebesar 2 persen, akan meningkatkan kesempatan kerja di sektor ini baik di
pertanian perkotaan, maupun di pertanian pedesaan. Gambaran ini menunjukkan
bahwa sifat input residual ini di pertanian umumnya tidak bersifat menghemat
atau mereduksi tenaga kerja. Peningkatan TFP pertanian ini, juga akan
meningkatkan nilai tambah bruto sektor pertanian yang cukup besar yakni
meningkat sekitar 1.56 persen. Sedangkan peningkatan input residual industri
(TFPI) akan berdampak pada menciutnya kesempatan kerja industri perkotaan,
tetapi meningkatkan kesempatan kerja pada industri pedesaan. Dampaknya
terhadap nilai tambah sektor industri pengolahan sekitar 1.1721 persen. Gambaran
ini menunjukkan bahwa peningkatan input residual industri (misalnya teknologi
industri) pedesaan memberikan dampak yang lebih baik dalam hal perluasan
kesempatan kerja dibandingkan teknologi industri perkotaan. Sementara
peningkatan TFPL, meskipun dampaknya terhadap peningkatan nilai tambah
bruto sektor, cukup besar yakni sekitar 1.21 persen, namun sifat TFPL (teknologi)
di sektor ini bersifat mereduksi kesempatan kerja, baik di perkotaan maupun di
pedesaan. Besaran perubahan variabel kesempatan kerja sektoral dan
pertumbuhan ekonomi, sebagai dampak peningkatan teknologi terlihat pada Tabel
20, sedangkan perilaku variabel yang diestimasi dari simulasi ini terlihat pada
Gambar 36 – Gambar 39.
-8
-4
0
4
8
12
86 88 90 92 94 96 9 8 00 02 04
Actual PE (TFP 2%)
PE
0
5
10
15
20
25
8 6 88 90 9 2 94 96 98 0 0 02 04
Actual UK (TFP 2%)
UK
-5
0
5
10
15
8 6 88 90 9 2 94 96 98 0 0 02 04
Actua l UD (TFP 2%)
UD
Gambar 36 Dampak peningkatan total factor productivity (TFP) 2% terhadap pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan
158
0
40000
80000
120000
160000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KPK (TFPP 2%)
KPK
20000
30000
40000
50000
60000
70000
80000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KIK (TFPP 2%)
KIK
200000
300000
400000
500000
600000
700000
800000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KLK (TFPP 2%)
KLK
1000000
1200000
1400000
1600000
1800000
2000000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KPD (TFPP 2%)
KPD
80000
90000
100000
110000
120000
130000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KID (TFPP 2%)
KID
300000
400000
500000
600000
700000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KLD (TFPP 2%)
KLD
Gambar 37. Dampak peningkatan total factor productivity pertanian (TFPP)
2% terhadap kesempatan kerja pertanian dan nilai tambah bruto sektor pertanian di Sulawesi Selatan
0
40000
80000
120000
160000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KPK (TFPI 2%)
KPK
20000
30000
40000
50000
60000
70000
80000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KIK (TFPI 2%)
KIK
200000
300000
400000
500000
600000
700000
800000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KLK (TFPI 2%)
KLK
1000000
1200000
1400000
1600000
1800000
2000000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KPD (TFPI 2%)
KPD
80000
90000
100000
110000
120000
130000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KID (TFPI 2%)
KID
300000
400000
500000
600000
700000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KLD (TFPI 2%)
KLD
Gambar 38 Dampak peningkatan total factor productivity sektor industri
pengolahan (TFPI) 2% terhadap kesempatan kerja dan nilai tambah bruto sektor industri pengolahan di Sulawesi Selatan
0
40000
80000
120000
160000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KPK (TFPL 2%)
KPK
20000
30000
40000
50000
60000
70000
80000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KIK (TFPL 2%)
KIK
200000
300000
400000
500000
600000
700000
800000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KLK (TFPL 2%)
KLK
1000000
1200000
1400000
1600000
1800000
2000000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KPD (TFPL 2%)
KPD
80000
90000
100000
110000
120000
130000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual K ID (TFPL 2%)
KID
300000
400000
500000
600000
700000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
Actual KLD (TFPL 2%)
KLD
Gambar 39 Dampak peningkatan total factor productivity sektor lain (TFPL)
2% terhadap kesempatan kerja dan nilai tambah bruto sektor lain di Sulawesi Selatan
159
Sebagai rangkuman dari hasil analisa simulasi terhadap berbagai factor
determinan kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan,
maka, maka berikut ini disajikan Tabel 20 yang mengkomparasi dampak masing-
masing simulasi terhadap perubahan kesempatan kerja sektoral dan pertumbuhan
ekonomi. Berdasarkan pada tabel tersebut, terlihat bahwa peningkatan investasi,
ekspor dan peningkatan penggunaan input residual (misalnya teknologi), tidak
hanya mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dapat mendorong perluasan
kesempatan kerja, sedangkan strategi peningkataan konsumsi masyarakat, impor
dan peningkatan PAD, kurang bermakna bagi perluasan kesempatan kerja dan
terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Gambaran lain dari simulasi ini bahwa
kegiatan investasi, maupun kebijakan pemerintah masih bias terhadap sector
industri pengolahan maupun sector lainnya, baik di perkitaan maupun di pedesaan.
Tabel 20 Hasil estimasi dampak simulasi kebijakan terhadap variabel kesempatan kerja dan nilai tambah sektoral, serta terhadap pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan
Dampak Simulasi Terhadap K.Kerja dan Pert. Ekonomi dan Nilai Tambah
Sektoral (persen) No Simulasi KPK KIK KLK KPD KID KLD Tot.K PE/NTB
1 Kon. Msy (CS=∼25%) -12.8581 0.0461 6.6736 -1.3016 -0.0064 1.0439 -0.2778 0.1351 a)
2 Investasi (INV=∼25%) 0.9002 5.0526 10.5081 0.4445 5.1769 8.3881 3.8780 0.1241 a)
3 Ekspor (EXPR= ∼25%) 0.3774 0.8685 0.8051 5.9567 0.4438 1.6674 3.8487 0.1669 a)
4 Impor (IMP = ∼25%) -6.5748 -0.7491 -0.7103 -6.4468 -0.2018 -0.8910 -4.1358 -0.1397 a)
5 P.Asli D. (PAD=∼25%) -0.0175 0.0055 0.0114 -0.0064 0.0055 0.0352 0.0043 0.0029 a)
6 TFP (∼2%) 0 0 0 0 0 0 0.0000 1.1838 a)
7 TFPP (∼2%) 1.1031 0 0 0.8666 0 0 0.5215 1.5620 b)
8 TFPI (∼2%) 0 -3.3652 0 0 1.6521 0 -0.0004 1.1721 b)
9 TFPL (∼2%) 0 0 -0.5584 0 0 -0.5315 -0.1910 1.2148 b)
Sumber : Diolah dari berbagai data BPS, 1985-2004 Keterangan : a) Dampak simulasi terhadap pertumbuhan ekonomi (%) b) Dampak simulasi terhadap nilai tambah bruto sektoral (%)
Berdasarkan hasil komparasi dampak dari masing-masing simulasi, maka
terdapat tiga agenda makro yang dianggap strategis untuk mengatasi persoalan
pengangguran yang sekaligus dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Sulawesi
Selatan. Tiga angenda makro tersebut adalah (1) penciptaan iklim investasi yang
baik; (2) peningkatan daya saing dan pengurangan hambata-hambatan bagi
komoditi ekspor dan (3) peningkatan sumberdaya manusia dan pengembangan
riset untuk menunjang peningkatan teknologi.
160
Simulasi peningkatan input residual (TFP) pada masing-masing sektor
yang menunjukkan bahwa peningkatan TFP di sektor pertanian dan industri
pedesaan memberi dampak positif terhadap perluasan kesempatan kerja dan
pertumbuhan nilai tambah sektor. Karena itu pengembangan input residual ini
(misalnya teknologi) sangat strategis dikembangkan di sektor padat karya ini
(pertanian dan industri pedesaan)
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan
Berdasarkan tujuan penelitian serta hasil dan pembahasan, maka beberapa
temuan-temuan dalam studi ini yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut.
1. Dari sisi supply, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan sebesar 5.66
persen dalam dua dekade terakhir, terutama di dorong oleh pertumbuhan
input residual (total factor productivity) dengan kontribusi sekitar 2.09
persen, sementara pertumbuhan tenaga kerja dan modal memberi kontribusi
sekitar 1.70 dan 1.87 persen. Hasil ini menggambarkan bahwa pertumbuhan
ekonomi Sulawesi Selatan, tidak berbasis pada sektor-sektor yang padat
karya, tapi lebih banyak di dorong oleh sektor yang padat modal dan pada
teknologi
2. Pertumbuhan input residual sektoral (TFP) yang tinggi terutama terjadi di
sektor industri pengolahan dan sektor lainnya, sementara TFP di sektor
pertanian justru mengalami pertumbuhan negatif, terutama sejak terjadinya
krisis ekonomi. Kemerosotan pertumbuhan TFP pertanian ini, tidak hanya
menunjukkan terjadinya kemerosotan produktivitas tenaga kerja, tapi juga
menunjukkan bahwa peranan input residual (termasuk teknologi,
keterampilan petani, kelembagaan petani dan kebijakan pemerintah) sangat
kecil, bahkan cenderung menurun kontribusinya dalam mendorong
pertumbuhah output pertanian. Dengan asumsi teknologi bersifat konstan,
maka merosotnya TFP pertanian di duga terkait dengan input residual di luar
teknologi seperti sikap ignorancen pemerintah terhadap pertanian
(pencabutan subsidi pupuk dan sistem distribusi yang buruk, menciptakan
transaction cost dalam pemasaran hasil-hasil pertanian), infrastruktur
pengairan banyak mengalami kerusakan, tidak kuatnya kelembagaan petani
dan lain- lain.
3. Dalam persamaan kesempatan kerja, dari semua variabel sumber-sumber
pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan output agregat, hanya investasi
dan ekspor yang secara konsisten berpengaruh terhadap perluasan
kesempatan kerja sektoral baik di perkotaan maupun di pedesaan, sedangkan
162
variabel lainya bahkan dapat mereduksi kesempatan kerja di sektor tertentu.
Variabel impor secara konsisiten mereduksi kesempatan kerja di semua
sektor secara signifikan, konsumsi masyarakat dapat menciutkan
kesempatan kerja pertanian, demikian pula pengeluaran pemerintah bersifat
mereduksi kesempatan kerja pertanian, tapi berkorelasi positif dengan
kesempatan kerja di sektor industri pengolahan dan sektor lainnya. Dengan
demikian pengeluaran pemerintah cenderung bias terhadap sektor industri
pengolahan dan sektor lainnya.
4. Input residual atau TFP (seperti teknologi) di sektor pertanian dan industri
pedesaan berpengaruh signifikan terhadap perluasan kesempatan kerja.
Sedangkan TFP di sektor industri perkotaan dan sektor lainnya mereduksi
tenaga kerja, akan tetapi pengaruh terhadap penghematan tenaga kerja
sangat kecil yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas terhadap permintaan
tenaga kerja bersifat sangat in-elastis.
5. Signifikannya input residual (teknologi) terhadap perluasan kesempatan
kerja pertanian dan industri pedesaan disebabkan oleh ”efek nilai tambah”
yang diciptakan dari input residual (teknologi) lebih kuat
dibandingkan ”efek substitusinya” terhadap faktor produksi tenaga kerja.
Hal ini ditunjukkan oleh respon kesempatan kerja sektor pertanian dan
industri pedesaan bersifat elastis terhadap perubahan nilai tambah sektor.
Gambaran ini sekaligus dapat diartikan bahwa peningkatan teknologi (input
residual) pada sektor padat karya (pertanian dan industri pedesaan) tidak
selamanya mereduksi kesempatan kerja (meningkatkan pengangguran),
sepanjang output yang diciptakannya mampu mendorong perluasan
kesempatan kerja yang lebih besar.
6. Sektor pertanian, terutama pertanian pedesaan masih merupakan sektor
penampumg ”para pekerja sementara” yang ditunjukkan oleh koefisien
regresi variabel angkatan kerja terhadap kesempatan kerja sektor pertanian
paling besar. Sektor pertanian dan sektor lain perkotaan juga menjadi ”katup
pengaman” tenaga kerja di masa krisis. Akan tetapi dengan surplus tenaga
kerja yang sedemikian besar di sektor pertanian, menyebabkan pertambahan
163
tenaga kerja di sektor ini tidak lagi memberi pengaruh yang signifikan
terhadap pertambahan nilai tambah pertanian.
7. Meskipun kesempatan kerja terbatas (TPK tidak signifikan), upah riil yang
tinggi menjadi daya tarik yang signifikan terjadinya migrasi masuk, migrasi
masuk juga signifkan pada saat terjadinya konflik horisontal di KTI.
Selanjutnya migrasi masuk ini, berpengaruh signifikan terhadap peningkatan
angkatan kerja di perkotaan, tetapi menurunkan angkatan kerja pedesaan
yang berarti arus migrasi ini terutama migrasi dari desa ke kota. Hasil ini,
sekaligus dapat diartikan bahwa jika terjadi perbedaan tajam antara upah riil
perkotaan dengan upah riil pedesaan yang lebih rendah, maka migrasi dari
desa ke kota tak dapat dihindari, meskipun kesempatan kerja di perkotaan
terbatas, sehingga dapat berdampak pada pengangguran perkotaan yang
semakin tinggi.
8. Pengangguran perkotaan dan pedesaan secara konsisiten di pengaruhi secara
negatif oleh kesempatan kerja dan secara positif oleh angkatan kerja, tetapi
pertumbuhan ekonomi tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap
pengurangan pengangguran baik di perkotaan maupun di pedesaan.
9. Pertumbuhan ekonomi yang tidak mampu memberi pengaruh signifikan
terhadap pengurangan pengangguran disebabkan oleh beberapa hal yakni (a)
dari sisi supply, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan tidak berbasis pada
sektor padat pekerja, tapi berbasis pada sektor yang padat modal dan padat
teknologi; (b) dari sisi demand, komponen konsumsi masyarakat yang
memberi pengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi, akan tetapi
bersifat mereduksi kesempatan kerja di sektor padat pekerja seperti
pertanian dan industri pedesaan. Selain itu, investasi dan pengeluaran
pemerintah juga bias terhadap sektor indusri pengolahan dan sektor lainnya,
yang ditunjukkan oleh hasil simulasi bahwa investasi lebih besar dampaknya
terhadap kesempatan kerja industri pengolahan dan sektor lainnya
dibandingkan dampaknya terhadap sektor pertanian. Bahkan komponen
pengeluaran pemerintah bersifat mereduksi kesempatan kerja sektor yang
paling padat pekerja (pertanian), sedangkan di sektor industri pengolahan
dan sektor lainnya berkorelasi positif.
164
10. Hasil analisa kekakuan upah yang ditaksir dengan persamaan ECM,
menunjukkan bahwa upah riil di Sulawesi Selatan secara umum bersifat
kaku baik di pedesaan maupun diperkotaan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai
upah riil pada periode awal lebih tinggi dari upah keseimbangannya.
Kekakuan upah ini, terutama terjadi di sektor industri yang di dasarkan pada
periode waktu yang dibutuhkan oleh upah sektor indusri untuk mencapai
keseimbangannya diatas satu tahun, sedangkan sektor pertanian dan sektor
lain membutuhkan waktu kurang dari satu tahun.
6.2. Saran-Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan berbagai temua-temuan yang telah di
simpulkan pada bagian terdahulu, maka beberapa saran-saran yang diajukan
adalah sebagai berikut :
1. Perlunya penciptaan iklim investasi yang baik. Penciptaan iklim investasi ini
tidak hanya berkaitan dengan perbaikan infrastruktur tetapi juga berkaitan
kualitas pelayanan publik dari pemerintah, perbaikan regulasi yang
membebani sektor produksi serta regulasi yang dapat menjamin fleksibilitas
pasar tenaga kerja. Sehingga dengan terciptanya iklim investasi yang baik ini
diharapkan dapat mendorong sektor riil guna penyediaan.lapangan kerja.
2. Perlunya peningkatan daya saing komoditi ekspor Sulawesi Selatan, serta
upaya untuk mengurangi hambatan-hambatan dalam perdagangannya. Upaya
ini dipandang urgen mengingat ekspor tidak hanya mendorong pertumbuhan
ekonomi, tetapi juga berdampak luas (dengan efek multifliernya) terhadap
perluasan kesempatan kerja di semua sektor
3. Perlunya peningkatan sumberdaya manusia, pengembangan riset dan
perbaikan kelembagaan guna menunjang peningkatan teknologi. Mengingat
variabel ini terbukti telah memberi kontribusi yang besar terhadap
pertumbuhan ekonomi Sul-Sel
4. Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan hendaknya berbasis pada
pertumbuhan sektor padat karya seperti sektor pertanian dan industri pedesaan.
Karena hal ini tidak saja untuk menciptakan pemerataan (memperkecil
kesenjangan produktivitas tenaga kerja pertanian dengan produktivitas tenaga
kerja sektor industri dan sektor lainnya), tetapi juga dipandang strategis untuk
165
mengurangi pengangguran, karena efek nilai tambah dari sektor ini sangat
kuat mendorong perluasan kesempatan kerja.
5. Pengembangan input- input residual (seperti teknologi, perbaikan infrastruktur,
penguatan kelembagaan, keterampilan tenaga kerja dan keberpihakan
pemerintah), dipandang sebagai langkah strategis untuk pengembangan sektor
padat karya ini, khususnya sektor pertanian dan industri pedesaan.
6. Penelitian ini perlu didukung kajian-kajian mikro, baik menyangkut perilaku
berbagai pelaku pasar tenaga kerja secara internal, maupun berbagai faktor
eksternal dari pasar tenaga kerja itu sendiri.
166
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Affendi, 2001. Pengertian Ekonometrika dan Mewujudkannya dengan Cara Membangun Model Ekonometrika. Makalah Kuliah, Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor
________, 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan: Tinjauan
Kritis, P4W press, Bogor, Indonesia Arifin, B., 2004, Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia, PT Kompas Media
Nusantara, Jakarta. ________, (INDEF), 2005, Strategi Industrialisasi Pertanian, Makalah Seminar
“Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan Penciptaan Lapangan Kerja Baru”, Dalam Rangka Ulang Tahun ISEI ke-50, Jakarta.
Bafadal,A., A. Ratnawati, M.Tambunan, H. Siregar, 2005, Dampak Defisit dan
Utang Pemerintah Terhadap Stabilitas Makroekonomi, Makalah Seminar “Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan Penciptaan Lapangan Kerja Baru”, Dalam Rangka Ulang Tahun ISEI ke-50, Jakarta.
BPS, 1985-2004, Statistik Indonesia Berbagai Penerbitan (Tahun 1985-2004),
Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta. _________, 1985, 2004, Produk Demestik Regional Bruto Menurut Penggunaan
Sulawesi Selatan Tahun 1993-1998 dan 1998-2002, Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Sulawesi Selatan.
_________, 1998, Indikator Ekonomi Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 1998
2002, Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Sulawesi Selatan. _________, 1985-2004, Survey Angkatan Kerja Nasional, Berbagai penerbitan
(1985-2004), Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta. Bellante, D., dan M. Jackson, 1990, Ekonomi Ketenagakerjaan. Lembaga Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta Borjas, G.J., 1996, Labor Economis, The McGraw-Hill Companies, Inc, Printed in
Singapore. Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian
Bogor, 2005, Paket Pelatihan Perencanaan Wilayah dan Eknometrika (Paket A), Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB.
Fleisher, B.M., Kniesner, T.J., 1984, Labor Economics : Theory, Evidence, and
Policy, Prentice-Hall, Inc. Engelwood Cliffs, New Jersey.
167
Goeltom, M.S., 2005, Mengapa Stabilitas Makro Telah Tercapai Namun Sangat Lambat Dalam Menggerakkan Pertumbuhan Ekonomi ?, Makalah Seminar “Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan Penciptaan Lapangan Kerja Baru”, Dalam Rangka Ulang Tahun ISEI ke-50, Jakarta.
Fudjaja, L., 2002, Dinamika Kesempatan Kerja Sektor Pertanian dan Industri di
Sulawesi Selatan, Tesis Master, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hadi, Setia, 2001, Studi Dampak Kebijaksanaan Pembangunan Terhadap
Disparitas Ekonomi Antar Wilayah (Pendekatan Model Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi), Disertasi Doktor, Program PWD, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hadi, Supri, 2002, Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Keragaan Pasar
Kerja dan Migrasi Pada Periode Krisis dan Sebelum Krisis Ekonomi di Indonesia, Tesis Master, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hayami, Y., 2000, Development Economics, Second Edition, OXFORD
University Press. Ikhsan, M., 2005, Industri Manufaktur, Pertumbuhan Ekonomi dan Penyerapan
Tenaga Kerja, Makalah Seminar “Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan Penciptaan Lapangan Kerja Baru”, Dalam Rangka Ulang Tahun ISEI ke-50, Jakarta.
International Labor Office, 1990, Survey of Economically Active Population,
Employment, Unemployment and Underemployment , ILO, Jeneva. International Labor Office, 1998, Employment Challenges of the Indonesia
Economic Crisis, ILO, Jakarta. Jhingan, M.L., 1999, Eknomi Pembangunan dan Perencanaan, Estacan ke Tujuh,
Alih Bahasa: D.Guritno, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Juanda, B., 2001, Pertumbuhan Ekonomi dan Pergeseran Struktural dalam
Industrialisasi di Indonesia : Pendekatan Model Dual-Economy, Laporan Penelitian Hibah Bersaing VIII Perguruan Tinggi, Dikti-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI – Institut Pertanian Bogor.
Kasliwal, P., 1995, Development Economics, South-Western Publishing,
Cincinnati-Ohio, United States of America. Mankiw, N.G., 2003, Teori Makro Ekonomi, Edisi Kelima, Alih Bahasa : Imam
Nurmawan, Penerbit Erlangga, Jakarta
168
Margono, H., 2005, Analisis Kritis Terhadap Masalah Ketenagakerjaan Suatu pendekatan Makro-Mikro Ekonomi, Disertasi Doktor, Program PWD, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Mathias, T., 2004, Tingkat Upah dan Produktivitas Tenaga Kerja Propinsi DKI Jakarta, Tesis Master, Program PWD, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
McConnell, C.R., and Brue, S.L., 1995, Contemporary Labor Economics,
International Edition, 1995, McGraw-Hill Companies Inc, Printed in Singapore.
Nanga, M., 2001, Makroekonomi Teori, Masalah dan Kebijakan, Edisi Perdana,
Rajawali Pers, Jakarta. Nazara, S., 2005, Migrasi Internasional dan Pasar Kerja Indonesia, Makalah
Seminar “Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan Penciptaan Lapangan Kerja Baru”, Dalam Rangka Ulang Tahun ISEI ke-50, Jakarta.
Nicholson, W., 1998, Microeconomic Theory: Basic Priciple Extention, Seven
Edition. The Dryden Press, New York, USA. Ninasapti T., 2005, Industrialisasi dan Penciptaan Lapangan Kerja :
Pertumbuhan Ekonomi untuk Siapa ?, Makalah Seminar “Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan Penciptaan Lapangan Kerja Baru”, Dalam Rangka Ulang Tahun ISEI ke-50, Jakarta
Nordhaus, W.2005. The Sources of the Productivity Rebound and the
Manufacturing Employment Puzzle, NBER Working Paper 11354 Nuryati, Y., 2004, Pelaksanaan Kebijakan Moneter Pentargetan Inflasi di
Indonesia, Tesis Magister Sain Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Pasca Sarjana IPB.
Romer, D., 2001, Advanced Macroeconomics, McGraw-Hill Companies Inc,
Printed in Singapore. Ruby, D.A., 2003, Labor Supply Decisions and Labor Market Equilibrum.
http://www.digitaleconomist.com/Is_4020.html. Siregar, H., 2006, Perbaikan Struktur dan Pertumbuhan Ekonomi : Mendorong
Investasi dan Menciptakan Lapangan Kerja, Bisnis dan Ekonomi Politik, Vol. 7 (2) Edisi April 2006
Sumodiningrat, G., 1999, Ekonometrika, BPFE, Yogyakarta Sukwika, T., 2003, Analisis Pasar Tenaga Kerja dan Migrasi di Kabupaten
Bogor, Tesis Master, Program PWD, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
169
Supriana, T., H. Siregar, M.Tambunan, 2005, Guncangan-Guncangan yang
Mempengaruhi Business Sycle Indonesia, Makalah Seminar “Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan Penciptaan Lapangan Kerja Baru”, Dalam Rangka Ulang Tahun ISEI ke-50, Jakarta.
Tjiptoherjanto, P., 1999, Keseimbangan Penduduk : Manajemen Sumberdaya
Manuasia dalam Pembangunan Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Todaro, M.P., 2000, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Alih Bahasa Haris
Munandar, Penerbit Erlangga, Ciracas, Jakarta 13740. Verbeek, M., 2000, A Guide to Modern Econometrics, John Wiley and Sons Ltd,
England. Wulandari, O., 2002, Peranan Tenaga Kerja Sektor Tersier Dalam Perekonomian
Jawa Barat, Tesis Program Megister, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Lampiran 1 Hasil perhitungan total factor productivity (TFP) seluruh sektor, TFP sektor pertanian, TFP sektor industri pengolahan dan TFP sektor lainnya di Sulawesi Selatan tahun 1986-2004
A. Hasil perhitungan total factor productivity Sulawesi Selatan seluruh sektor (TFP)
K.Kerja PDRB PDRB Tot
Tot.. Sekt. Investasi (konstan) (Berlaku) Upah/bln Upah/thn Share (st-st-1)/2 1 -a LG MG YG a LG 1-a MG TFP Rata2 No. Tahun
(L) Ln(Lt) Ln(Lt-1) (INV) Ln(Mt) Ln(Mt-1) Y Ln(Yt) Ln(Yt-1) YB W/L WL/Thn (Jt) s a TFP
1 1985 2,004,606 14.5110 0 2,092,388 14.5538 0 12,708,574 16.3578 0 2,312,079 62,044 1,492,473 0.65
2 1986 2,080,772 14.5482 14.5110 2,218,082 14.6122 14.5538 13,443,407 16.4140 16.3578 2,590,435 70,853 1,769,138 0.68 0.66 0.34 3.73 5.83 5.62 2.48 1.96 1.19
3 1987 2,212,086 14.6094 14.5482 2,312,811 14.6540 14.6122 14,393,747 16.4823 16.4140 2,954,974 79,662 2,114,624 0.72 0.70 0.30 6.12 4.18 6.83 4.28 1.26 1.29
4 1988 2,304,942 14.6506 14.6094 2,452,160 14.7125 14.6540 15,832,601 16.5776 16.4823 3,580,657 88,471 2,447,043 0.68 0.70 0.30 4.11 5.85 9.53 2.88 1.76 4.89
5 1989 2,377,749 14.6817 14.6506 2,654,361 14.7917 14.7125 16,858,139 16.6403 16.5776 4,035,708 97,280 2,775,689 0.69 0.69 0.31 3.11 7.92 6.28 2.13 2.49 1.65 2.26
6 1990 2,437,736 14.7066 14.6817 2,935,372 14.8923 14.7917 17,995,129 16.7056 16.6403 4,476,679 108,231 3,166,063 0.71 0.70 0.30 2.49 10.06 6.53 1.74 3.04 1.74
7 1991 2,525,773 14.7421 14.7066 3,607,818 15.0986 14.8923 19,709,355 16.7966 16.7056 5,261,736 119,187 3,612,472 0.69 0.70 0.30 3.55 20.63 9.10 2.47 6.25 0.37
8 1992 2,631,532 14.7831 14.7421 3,827,620 15.1578 15.0986 21,235,797 16.8712 16.7966 6,080,586 145,751 4,602,581 0.76 0.72 0.28 4.10 5.91 7.46 2.96 1.65 2.85
9 1993 2,659,981 14.7938 14.7831 4,236,945 15.2594 15.1578 22,875,503 16.9456 16.8712 7,511,772 166,608 5,318,089 0.71 0.73 0.27 1.08 10.16 7.44 0.79 2.72 3.93
10 1994 2,828,499 14.8553 14.7938 4,511,435 15.3221 15.2594 24,567,451 17.0169 16.9456 8,737,851 187,465 6,362,935 0.73 0.72 0.28 6.14 6.28 7.14 4.41 1.77 0.95
11 1995 2,931,882 14.8912 14.8553 4,923,460 15.4095 15.3221 26,670,385 17.0991 17.0169 10,377,325 193,062 6,792,420 0.65 0.69 0.31 3.59 8.74 8.21 2.48 2.70 3.03
12 1996 3,031,873 14.9247 14.8912 6,148,574 15.6317 15.4095 28,887,178 17.1789 17.0991 11,833,098 198,659 7,227,706 0.61 0.63 0.37 3.35 22.22 7.98 2.12 8.16 -2.30
13 1997 3,133,152 14.9576 14.9247 6,503,955 15.6879 15.6317 30,128,307 17.2210 17.1789 13,538,002 256,784 9,654,520 0.71 0.66 0.34 3.29 5.62 4.21 2.18 1.90 0.13 1.34
14 1998 3,069,802 14.9371 14.9576 5,163,172 15.4571 15.6879 28,522,859 17.1662 17.2210 21,950,764 352,869 12,998,856 0.59 0.65 0.35 (2.04) (23.09) (5.48) (1.33) (8.02) 3.88
15 1999 3,062,630 14.9348 14.9371 5,100,572 15.4449 15.4571 29,329,392 17.1941 17.1662 24,064,893 414,516 15,234,110 0.63 0.61 0.39 (0.23) (1.22) 2.79 (0.14) (0.47) 3.40
16 2000 3,049,238 14.9304 14.9348 5,175,267 15.4594 15.4449 30,763,333 17.2418 17.1941 30,763,333 520,144 19,032,523 0.62 0.63 0.37 (0.44) 1.45 4.77 (0.27) 0.54 4.50 3.93
17 2001 3,001,078 14.9145 14.9304 5,882,663 15.5875 15.4594 32,334,905 17.2917 17.2418 34,770,983 679,927 24,486,153 0.70 0.66 0.34 (1.59) 12.81 4.98 (1.05) 4.34 1.70
18 2002 3,084,382 14.9419 14.9145 6,143,800 15.6310 15.5875 33,659,161 17.3318 17.2917 38,522,674 724,537 26,816,987 0.70 0.70 0.30 2.74 4.34 4.01 1.92 1.30 0.79
19 2003 3,054,124 14.9320 14.9419 6,697,152 15.7172 15.6310 35,426,050 17.3830 17.3318 42,855,870 828,828 30,376,122 0.71 0.70 0.30 (0.99) 8.62 5.12 (0.69) 2.57 3.24
20 2004 3,183,652 14.9735 14.9320 6,588,124 15.7008 15.7172 37,266,969 17.4336 17.3830 48,509,525 953,909 36,442,972 0.75 0.73 0.27 4.15 (1.64) 5.07 3.03 (0.44) 2.48 2.05
5.66 1.70 1.87 2.09
Sumber : Diolah dari berbagai data BPS 1985-2004
B. Hasil perhitungan total factor productivity pertanian Sulawesi Selatan (TFPP)
K.Kerja Kredit NTBP NTBP Tot
Sek.Pert Pert. (konstan) (Berlaku) Upah/bln Upah/thn Share (st-st-1)/2 1 -a LG MG YG a LG 1-a
MG TFP Rata2 No. Tahun
(LP) Ln(LPt) Ln(LPt-1) PMP Ln(PMPt) Ln(PMPt-1) Y Ln(Yt) Ln(Yt-1) YB W/L WL/thn (Jt) s a TFPP
1 1985 1,172,814 13.9749 0 66,752 11.1087 0 5,719,944 15.5595 0 1,045,394 44,509 626,408 0.60
2 1986 1,248,877 14.0378 13.9749 69,027 11.1422 11.1087 6,173,342 15.6358 15.5595 1,175,530 54,424 815,633 0.69 0.65 0.35 6.28 3.35 7.63 4.06 1.18 2.38
3 1987 1,322,618 14.0951 14.0378 69,488 11.1489 11.1422 6,400,642 15.6719 15.6358 1,225,819 57,894 918,865 0.75 0.72 0.28 5.74 0.67 3.62 4.14 0.19 -0.71
4 1988 1,448,682 14.1862 14.0951 70,743 11.1668 11.1489 6,817,509 15.7350 15.6719 1,440,390 60,055 1,044,002 0.72 0.74 0.26 9.10 1.79 6.31 6.71 0.47 -0.87
5 1989 1,525,293 14.2377 14.1862 73,943 11.2110 11.1668 7,294,301 15.8026 15.7350 1,635,311 64,911 1,188,096 0.73 0.73 0.27 5.15 4.42 6.76 3.74 1.21 1.81 0.65
6 1990 1,644,832 14.3131 14.2377 84,483 11.3443 11.2110 7,743,886 15.8624 15.8026 1,895,150 64,831 1,279,637 0.68 0.70 0.30 7.55 13.33 5.98 5.29 3.99 -3.29
7 1991 1,669,390 14.3280 14.3131 94,239 11.4536 11.3443 8,424,802 15.9467 15.8624 2,239,544 55,784 1,117,512 0.50 0.59 0.41 1.48 10.93 8.43 0.87 4.51 3.05
8 1992 1,677,650 14.3329 14.3280 98,445 11.4972 11.4536 8,908,600 16.0025 15.9467 2,638,984 85,077 1,712,753 0.65 0.57 0.43 0.49 4.37 5.58 0.28 1.86 3.44
9 1993 1,682,117 14.3356 14.3329 101,351 11.5263 11.4972 9,494,336 16.0662 16.0025 2,865,649 78,566 1,585,879 0.55 0.60 0.40 0.27 2.91 6.37 0.16 1.16 5.05
10 1994 1,788,363 14.3968 14.3356 106,401 11.5750 11.5263 9,948,785 16.1130 16.0662 3,354,202 77,459 1,662,307 0.50 0.52 0.48 6.12 4.86 4.68 3.21 2.31 -0.85
11 1995 1,743,909 14.3716 14.3968 107,836 11.5884 11.5750 10,739,254 16.1894 16.1130 4,036,091 66,952 1,401,093 0.35 0.42 0.58 (2.52) 1.34 7.65 (1.06) 0.78 7.93
12 1996 1,751,904 14.3762 14.3716 110,419 11.6120 11.5884 11,425,037 16.2513 16.1894 4,561,246 60,778 1,277,725 0.28 0.31 0.69 0.46 2.37 6.19 0.14 1.62 4.42
13 1997 1,737,066 14.3677 14.3762 118,840 11.6855 11.6120 11,359,389 16.2456 16.2513 5,293,500 43,059 897,564 0.17 0.22 0.78 (0.85) 7.35 (0.58) (0.19) 5.70 -6.08 1.71
14 1998 1,677,943 14.3331 14.3677 119,316 11.6895 11.6855 11,365,725 16.2461 16.2456 10,049,332 74,729 1,504,695 0.15 0.16 0.84 (3.46) 0.40 0.06 (0.55) 0.34 0.27
15 1999 1,668,820 14.3276 14.3331 127,617 11.7568 11.6895 11,649,274 16.2708 16.2461 10,089,431 61,183 1,225,249 0.12 0.14 0.86 (0.55) 6.73 2.46 (0.07) 5.81 -3.28
16 2000 1,707,244 14.3504 14.3276 140,725 11.8546 11.7568 11,661,152 16.2718 16.2708 11,661,152 103,878 2,128,138 0.18 0.15 0.85 2.28 9.78 0.10 0.35 8.29 -8.54 (3.85)
17 2001 1,741,263 14.3701 14.3504 158,036 11.9706 11.8546 11,785,184 16.2824 16.2718 12,771,671 78,663 1,643,672 0.13 0.16 0.84 1.97 11.60 1.06 0.31 9.80 -9.05
18 2002 1,890,658 14.4524 14.3701 181,492 12.1090 11.9706 12,328,074 16.3274 16.2824 14,472,459 93,668 2,125,125 0.15 0.14 0.86 8.23 13.84 4.50 1.13 11.93 -8.56
19 2003 1,774,624 14.3891 14.4524 192,825 12.1695 12.1090 12,432,541 16.3358 16.3274 15,415,225 88,880 1,892,744 0.12 0.13 0.87 (6.33) 6.06 0.84 (0.85) 5.24 -3.54
20 2004 1,752,124 14.3763 14.3891 197,547 12.1937 12.1695 12,313,065 16.3262 16.3358 16,268,573 102,848 2,162,430 0.13 0.13 0.87 (1.28) 2.42 (0.97) (0.16) 2.11 -2.91 (6.02)
4.04 1.45 3.61 (1.02)
Sumber : Diolah dari berbagai data BPS 1985-2004
C. Hasil perhitungan total factor productivity sektor industri pengolahan Sulawesi Selatan (TFPI)
K.Kerja Kredit NTBI NTBI Tot
Sek. Ind Industri (konstan) (Berlaku) Upah/Bln Upah/Thn Share (st-st-1)/2 1 -a LG MG YG a LG 1-a MG TFP Rata2 No. Tahun
(LI) Ln(Lit) Ln(LIt- 1) PMI Ln(PMIt) Ln(PMIt-1) Y Ln(Yt) Ln(Yt-1) YB W/L WL/Thn (Jt) s a TFPI
1 1985 103,815 11.5504 0 118,771 11.6850 0 712,608 13.4767 0 88,544 47,436 59,094 0.67
2 1986 113,973 11.6437 11.5504 114,670 11.6498 11.6850 768,981 13.5528 13.4767 112,769 59,346 81,167 0.72 0.69 0.31 9.34 (3.51) 7.61 6.47 (1.08) 2.22
3 1987 125,261 11.7382 11.6437 153,613 11.9422 11.6498 991,401 13.8069 13.5528 191,193 64,078 96,317 0.50 0.61 0.39 9.44 29.24 25.41 5.78 11.35 8.28
4 1988 127,008 11.7520 11.7382 223,407 12.3168 11.9422 1,289,922 14.0701 13.8069 247,849 67,168 102,371 0.41 0.46 0.54 1.39 37.46 26.32 0.63 20.29 5.40
5 1989 124,893 11.7352 11.7520 301,635 12.6170 12.3168 1,596,087 14.2831 14.0701 293,470 73,165 109,654 0.37 0.39 0.61 (1.68) 30.02 21.30 (0.66) 18.21 3.74 4.91
6 1990 134,587 11.8100 11.7352 315,613 12.6623 12.6170 1,851,460 14.4315 14.2831 349,831 67,597 109,172 0.31 0.34 0.66 7.48 4.53 14.84 2.56 2.98 9.30
7 1991 134,839 11.8118 11.8100 339,635 12.7356 12.6623 2,032,906 14.5250 14.4315 417,306 73,616 119,116 0.29 0.30 0.70 0.19 7.34 9.35 0.06 5.14 4.15
8 1992 141,326 11.8588 11.8118 430,287 12.9722 12.7356 2,438,731 14.7070 14.5250 533,959 92,350 156,617 0.29 0.29 0.71 4.70 23.66 18.20 1.36 16.81 0.03
9 1993 161,674 11.9933 11.8588 440,871 12.9965 12.9722 2,654,935 14.7919 14.7070 873,227 83,291 161,591 0.19 0.24 0.76 13.45 2.43 8.49 3.22 1.85 3.43
10 1994 178,336 12.0914 11.9933 450,923 13.0191 12.9965 2,920,830 14.8874 14.7919 1,046,759 80,384 172,025 0.16 0.17 0.83 9.81 2.25 9.54 1.71 1.86 5.97
11 1995 187,255 12.1402 12.0914 463,233 13.0460 13.0191 3,164,305 14.9674 14.8874 1,205,829 82,141 184,577 0.15 0.16 0.84 4.88 2.69 8.01 0.77 2.27 4.97
12 1996 185,242 12.1294 12.1402 505,840 13.1340 13.0460 3,430,421 15.0482 14.9674 1,350,359 87,149 193,723 0.14 0.15 0.85 (1.08) 8.80 8.07 (0.16) 7.49 0.74
13 1997 179,906 12.1002 12.1294 558,339 13.2327 13.1340 3,792,045 15.1484 15.0482 1,610,312 137,946 297,807 0.18 0.16 0.84 (2.92) 9.87 10.02 (0.48) 8.25 2.25 3.85
14 1998 178,803 12.0940 12.1002 468,221 13.0567 13.2327 3,571,599 15.0885 15.1484 2,465,812 112,059 240,438 0.10 0.14 0.86 (0.61) (17.60) (5.99) (0.09) (15.12) 9.21
15 1999 165,951 12.0194 12.0940 450,837 13.0189 13.0567 3,693,225 15.1220 15.0885 2,624,709 79,871 159,057 0.06 0.08 0.92 (7.46) (3.78) 3.35 (0.59) (3.48) 7.42
16 2000 152,342 11.9339 12.0194 451,483 13.0203 13.0189 3,990,794 15.1995 15.1220 3,990,794 127,559 233,191 0.06 0.06 0.94 (8.56) 0.14 7.75 (0.51) 0.13 8.12 8.25
17 2001 148,277 11.9068 11.9339 469,337 13.0591 13.0203 4,219,283 15.2552 15.1995 4,624,519 98,449 175,172 0.04 0.05 0.95 (2.70) 3.88 5.57 (0.13) 3.69 2.01
18 2002 140,641 11.8540 11.9068 507,603 13.1375 13.0591 4,344,977 15.2845 15.2552 5,088,358 118,177 199,446 0.04 0.04 0.96 (5.29) 7.84 2.94 (0.20) 7.54 -4.40
19 2003 158,257 11.9720 11.8540 534,836 13.1897 13.1375 4,688,361 15.3606 15.2845 5,745,284 133,768 254,037 0.04 0.04 0.96 11.80 5.23 7.61 0.49 5.01 2.11
20 2004 175,872 12.0775 11.9720 539,021 13.1975 13.1897 4,980,595 15.4211 15.3606 6,527,539 146,386 308,943 0.05 0.05 0.95 10.55 0.78 6.05 0.48 0.74 4.82 1.13
10.23 1.09 4.94 4.20
Sumber : Diolah dari berbagai data BPS 1985-2004
D. Hasil perhitungan total factor productivity sektor lain di Sulawesi Selatan (TFPL)
K.Kerja Kredit NTBL NTBL Tot
Sek. Lain S lain (konstan) (Berlaku) Upah/bln Upah/thn Share (st-st-1)/2 1 -a LG MG YG a LG 1-a MG TFP Rata2 No. Tahun
LS Ln(LLt) Ln(LLt-1) PML Ln(PMLt) Ln(PMLt-1) Y Ln(Yt) Ln(Yt-1) YB W/L WL/Thn (Jt) s a TFPL
1 1985 797,977 13.5898 0 368,330 12.8167 0 6,169,355 15.6351 0 1,054,607 79,385 760,168 0.72
2 1986 717,922 13.4841 13.5898 415,403 12.9370 12.8167 6,400,399 15.6719 15.6351 1,165,779 91,801 790,872 0.68 0.70 0.30 (10.57) 12.03 3.68 (7.40) 3.61 7.46
3 1987 744,207 13.5201 13.4841 432,605 12.9776 12.9370 6,921,206 15.7501 15.6719 1,311,752 93,937 838,902 0.64 0.66 0.34 3.60 4.06 7.82 2.37 1.38 4.07
4 1988 729,252 13.4998 13.5201 574,769 13.2617 12.9776 7,670,746 15.8529 15.7501 1,467,950 94,698 828,703 0.56 0.60 0.40 (2.03) 28.41 10.28 (1.22) 11.31 0.20
5 1989 727,563 13.4975 13.4998 676,739 13.4250 13.2617 7,967,333 15.8909 15.8529 1,647,678 100,136 874,267 0.53 0.55 0.45 (0.23) 16.33 3.79 (0.13) 7.39 -3.47 2.06
6 1990 758,317 13.5389 13.4975 786,916 13.5759 13.4250 8,433,016 15.9477 15.8909 1,836,085 114,810 1,044,752 0.57 0.55 0.45 4.14 15.08 5.68 2.28 6.79 -3.39
7 1991 721,544 13.4891 13.5389 1,002,556 13.8181 13.5759 9,285,418 16.0440 15.9477 2,127,354 109,284 946,239 0.44 0.51 0.49 (4.97) 24.22 9.63 (2.52) 11.94 0.21
8 1992 782,556 13.5703 13.4891 1,029,267 13.8444 13.8181 9,974,813 16.1156 16.0440 2,383,231 136,979 1,286,322 0.54 0.49 0.51 8.12 2.63 7.16 4.00 1.34 1.83
9 1993 896,190 13.7059 13.5703 986,396 13.8018 13.8444 10,819,165 16.1968 16.1156 3,026,468 137,016 1,473,507 0.49 0.51 0.49 13.56 (4.25) 8.13 6.96 (2.07) 3.24
10 1994 941,800 13.7555 13.7059 1,046,003 13.8605 13.8018 11,768,271 16.2809 16.1968 3,450,257 144,247 1,630,220 0.47 0.48 0.52 4.96 5.87 8.41 2.38 3.05 2.97
11 1995 1,040,718 13.8554 13.7555 1,266,110 14.0515 13.8605 12,834,697 16.3677 16.2809 3,939,842 142,878 1,784,345 0.45 0.46 0.54 9.99 19.10 8.67 4.62 10.26 -6.21
12 1996 1,094,727 13.9060 13.8554 1,320,891 14.0938 14.0515 14,077,594 16.4601 16.3677 4,525,665 147,786 1,941,426 0.43 0.44 0.56 5.06 4.24 9.24 2.23 2.37 4.64
13 1997 1,216,180 14.0112 13.9060 1,292,485 14.0721 14.0938 14,962,051 16.5210 16.4601 5,149,826 137,106 2,000,949 0.39 0.41 0.59 10.52 (2.17) 6.09 4.30 (1.29) 3.08 0.80
14 1998 1,213,056 14.0087 14.0112 1,021,329 13.8366 14.0721 13,652,712 16.4294 16.5210 6,940,997 130,816 1,904,252 0.27 0.33 0.67 (0.26) (23.55) (9.16) (0.09) (15.74) 6.67
15 1999 1,227,859 14.0208 14.0087 929,688 13.7426 13.8366 14,052,054 16.4583 16.4294 8,159,744 141,231 2,080,940 0.26 0.26 0.74 1.21 (9.40) 2.88 0.32 (6.91) 9.47
16 2000 1,189,652 13.9892 14.0208 1,007,202 13.8227 13.7426 15,111,387 16.5310 16.4583 10,774,798 108,697 1,551,740 0.14 0.20 0.80 (3.16) 8.01 7.27 (0.63) 6.41 1.49 5.88
17 2001 1,111,538 13.9213 13.9892 1,016,830 13.8322 13.8227 16,330,438 16.6085 16.5310 12,847,045 162,560 2,168,303 0.17 0.16 0.84 (6.79) 0.95 7.76 (1.06) 0.80 8.02
18 2002 1,053,083 13.8672 13.9213 1,161,432 13.9652 13.8322 16,986,111 16.6479 16.6085 14,456,305 161,800 2,044,667 0.14 0.16 0.84 (5.40) 13.30 3.94 (0.84) 11.23 -6.46
19 2003 1,121,244 13.9299 13.8672 1,185,778 13.9859 13.9652 18,305,148 16.7227 16.6479 16,309,040 110,185 1,482,530 0.09 0.12 0.88 6.27 2.07 7.48 0.73 1.83 4.92
20 2004 1,255,656 14.0432 13.9299 1,356,502 14.1204 13.9859 19,973,309 16.8099 16.7227 18,986,809 205,145 3,091,099 0.16 0.13 0.87 11.32 13.45 8.72 1.44 11.74 -4.46 0.50
6.18 0.93 3.45 1.80
Sumber : Diolah dari berbagai data BPS 1985-2004
174
Lampiran 2 Output pendugaan parameter persamaan simultan (Two-Stage Least Squares) pada model analisis pasar tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan
System: SYS01 Estimation Method: Two-Stage Least Squares (Marquardt) Date: 07/27/06 Time: 00:55 Sample: 1987 2004 Included observations: 18 Total system (balanced) observations 450 Instruments: CS INV GOV(-1) EXPR IMP PE(-1) DKE KPK(-1) KIK(-1) KLK(-1) KPD(-1) KID(-1) KLD(-1) WPK(-1) WIK(-1) WLK(-1) WPD( -1) WID(-1) WLD(-1) NTBP(-1) NTBI(-1) NTBL(-1) PKP(-1) PKI(-1) PKL(-1) TFP TFPP TFPI TFPL AKK(-1) AKD(-1) UK(-1) UD(-1) MM(-1) DKH PTK PINV PTKP PTKI PTKL PMP PMI PML INF PDRB Estimation settings: tol=0.00010, derivs=analytic (linear) Initial Values: C(166)=28588.9, C(1)=18839.0, C(2)=-0.20865, C(3)= -1169.38, C(4)=0.00538, C(5)=0.00231, C(6)=0.00238, C(7)=0.00676, C(8)=-0.00677, C(9)=0.00678, C(10)=-3696.98, C(11)=0.01362, C(167)=18839.0, C(12)=0.27010, C(13)=-1169.38, C(14)=0.00538, C(15)=0.00231, C(16)=0.00238, C(17)=0.00676, C(18)=-0.00677, C(19)=0.00678, C(20)=-3696.98, C(21)=0.01362, C(22)=0.27010, C(168)=-29108.1, C(23)=1.20364, C(24)= -1310.00, C(25)=0.00859, C(26)=0.03336, C(27)=0.03429, C(28)=0.04360, C(29)=-0.04464, C(30)=0.05501, C(31)=118675., C(32)=0.20152, C(33)=0.26660, C(169)=963283., C(34)=1.21247, C(35)=4384.17, C(36)=-0.12222, C(37)=0.15302, C(38)=-0.06547, C(39)=0.05299, C(40)=-0.06344, C(41)=0.03950, C(42)=229739., C(43)=0.53042, C(44)=0.40915, C(170)=-1696.02, C(45)= -0.20705, C(46)=926.231, C(47)=-0.00121, C(48)=0.00385, C(49)=0.00383, C(50)=0.00455, C(51)=-0.00425, C(52)=0.01767, C(53)=-12545.2, C(54)=0.00202, C(55)=0.73921, C(171)= -207063., C(56)=-0.27846, C(57)= -241.893, C(58)=0.03256, C(59)=0.03007, C(60)=0.11976, C(61)=0.08243, C(62)= -0.09046, C(63)=0.00256, C(64)=-184868., C(65)=0.19808, C(66)=0.12384, C(172)=61331.1, C(67)=0.17073, C(68)=-0.06996, C(69)=0.00617, C(70)=2587.68, C(71)=2.14342, C(72)=0.00367, C(73)=0.11155, C(173)=17559.4, C(74)=0.57636, C(75)=0.09810, C(76)=1.18198, C(77)=-53.5278, C(78)=-0.02944, C(79)=0.02572, C(174)=78448.7 , C(80)=0.27692, C(81)=0.08953, C(82)=0.09098, C(83)=-21.9682, C(84)=-0.01684, C(85)=0.00237, C(175)=145632., C(86)=0.07453, C(87)=-0.07251, C(88)=0.03905, C(89)=770.701, C(90)=0.59729, C(91)=0.01021, C(92)=0.23348, C(176)=-1350.82, C(93)=0.24178, C(94)=-0.06452, C(95)=0.01741, C(96)=2097.24, C(97)=0.32729, C(98)=0.01121, C(99)=0.53615, C(177)=237686., C(100)=0.20142 , C(101)=-0.11125, C(102)=0.15119, C(103)=-5236.51, C(104)= -0.23400, C(105)=0.02790, C(106)=0.09232, C(178)=-0.35493, C(107)=0.44844, C(108)=0.23913, C(109)=0.62477, C(110)=9.0E -07, C(111)=1.5E -06, C(112)=1.9E-06, C(113)=2.0E-06, C(114)= -1.9E-06, C(115)=0.33478, C(179)=-341795., C(116)=0.82470, C(117)=19.4880, C(118)=1.33000, C(180)=-1216458, C(119)=5.65287, C(120)=1.62254, C(121)=0.05901, C(122)=0.53354, C(181)=-1.0E+07, C(123)=10.8519, C(124)=1.79977, C(125)=0.76520, C(126)=0.19372, C(182)= -259280., C(127)=1.19874, C(128)=0.18347, C(129)=0.12856,
175
C(130)=0.30198, C(183)=5733352, C(131)=0.02806, C(132)= -3.57782, C(133)=0.62048, C(134)=4389.61, C(184)=1.8E+07, C(135)=8.72634, C(136)=-98.3786, C(137)=5.41574, C(138)=93518.0, C(185)=1.3E+07, C(139)=-4.84293, C(140)= -12.5717, C(141)=1.01284, C(142)=10852.1, C(143)=0.01035, C(186)= -1259553, C(144)=2.47368, C(145)=0.74738, C(146)=16367.0, C(147)=0.16416, C(148)=0.22966, C(187)= -703855., C(149)= -5.72782, C(150)=0.31201, C(151)=28567.5, C(152)=0.25997, C(153)=0.01255, C(188)=-21749.7, C(154)=0.22771, C(155)=202.381, C(156)=9463.65, C(157)=0.19416, C(189)=7.13612, C(158)=9.6E-05, C(159)= -0.00010, C(160)=4.4E-06, C(161)=-0.01202, C(190)=1.87920, C(162)=3.8E-05, C(163)=-3.9E-05, C(164)=-1.2E-05, C(165)= -0.01949
Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C(166) 28588.88 19093.90 1.497278 0.1355 C(1) -0.474927 0.097347 -4.878713 0.0000 C(2) 1279.903 476.9529 2.683500 0.0078 C(3) -0.002884 0.002088 -1.381107 0.1684 C(4) 0.015884 0.004071 3.901420 0.0001 C(5) -0.009219 0.004614 -1.997864 0.0468 C(6) 0.003562 0.001324 2.691229 0.0076 C(7) -0.006483 0.002039 -3.179721 0.0017 C(8) 0.013988 0.004149 3.371307 0.0009 C(9) 33167.99 6773.573 4.896676 0.0000 C(10) 0.040218 0.026507 1.517289 0.1304 C(11) 0.471574 0.206689 2.281559 0.0233
C(167) 18838.97 5230.521 3.601738 0.0004 C(12) -0.208652 0.052011 -4.011733 0.0001 C(13) -1169.382 522.0124 -2.240143 0.0259 C(14) 0.005378 0.002658 2.023021 0.0441 C(15) 0.002307 0.001293 1.784436 0.0755 C(16) 0.002377 0.001962 1.211443 0.2268 C(17) 0.006764 0.001607 4.208678 0.0000 C(18) -0.006770 0.001775 -3.813576 0.0002 C(19) 0.006779 0.006660 1.017983 0.3096 C(20) -3696.985 3633.540 -1.017461 0.3099 C(21) 0.013617 0.016548 0.822853 0.4113 C(22) 0.270098 0.202764 1.332076 0.1840
C(168) -29108.14 22362.09 -1.301674 0.1942 C(23) -0.203635 0.491072 2.451037 0.0149 C(24) -1309.997 1603.437 -0.816993 0.4147 C(25) 0.008589 0.004519 1.900468 0.0585 C(26) 0.033360 0.007986 4.177265 0.0000 C(27) 0.034289 0.015881 2.159066 0.0318 C(28) 0.043598 0.016203 2.690719 0.0076 C(29) -0.044636 0.016926 -2.637049 0.0089 C(30) 0.055009 0.018472 2.977920 0.0032 C(31) 118674.5 33830.41 3.507925 0.0005 C(32) 0.201516 0.203986 0.987892 0.3241 C(33) 0.266598 0.204143 1.305936 0.1927
C(169) 963282.8 164333.7 5.861748 0.0000 C(34) 1.212466 0.472727 2.564834 0.0109 C(35) 4384.173 2575.921 1.701983 0.0900 C(36) -0.122221 0.024958 -4.897040 0.0000 C(37) 0.153021 0.022091 6.926902 0.0000 C(38) -0.065470 0.019077 -3.431893 0.0007
176
C(39) 0.052994 0.012970 4.085831 0.0001 C(40) -0.063440 0.015876 -3.995990 0.0001 C(41) 0.039500 0.023948 1.649390 0.1003 C(42) 229738.8 42277.04 5.434127 0.0000 C(43) 0.530425 0.116191 4.565104 0.0000 C(44) 0.409153 0.109849 3.724684 0.0002
C(170) -1696.024 14028.67 -0.120897 0.9039 C(45) -0.207047 0.077880 -2.658547 0.0083 C(46) 926.2314 361.3688 2.563119 0.0109 C(47) -0.001207 0.002551 -0.472962 0.6366 C(48) 0.003850 0.001320 2.916978 0.0038 C(49) 0.003826 0.002977 1.285317 0.1998 C(50) 0.004550 0.003305 1.376617 0.1698 C(51) -0.004249 0.003792 -1.120703 0.2634 C(52) 0.017665 0.009388 1.881724 0.0610 C(53) -12545.22 5428.473 -2.311004 0.0216 C(54) 0.002018 0.012888 0.156592 0.8757 C(55) 0.739213 0.190176 3.886985 0.0001
C(171) -207063.0 139124.7 -1.488326 0.1379 C(56) -0.278456 0.596042 -0.467176 0.6408 C(57) -241.8926 1047.471 -0.230930 0.8176 C(58) 0.032557 0.029462 1.105076 0.2701 C(59) 0.030073 0.010472 2.871903 0.0044 C(60) 0.119764 0.040263 2.974536 0.0032 C(61) 0.082427 0.040137 2.053610 0.0410 C(62) -0.090462 0.041313 -2.189666 0.0294 C(63) 0.002564 0.016249 0.157800 0.8747 C(64) -184867.9 79314.42 -2.330823 0.0205 C(65) 0.198075 0.111501 1.776439 0.0768 C(66) 0.123843 0.346906 0.356993 0.7214
C(172) 61331.11 22752.31 2.695599 0.0075 C(67) 0.170733 0.078619 2.171659 0.0308 C(68) -0.069956 0.072812 -0.960769 0.3376 C(69) 0.006170 0.279413 0.022081 0.9824 C(70) 2587.682 1958.732 1.321101 0.1876 C(71) 2.143417 1.565298 1.369335 0.1721 C(72) 0.003667 0.011442 0.320489 0.7489 C(73) 0.111555 0.311628 0.357974 0.7207
C(173) 17559.39 37277.02 0.471051 0.6380 C(74) 0.576360 0.253392 2.274577 0.0237 C(75) 0.098096 0.122608 0.800084 0.4244 C(76) 1.181978 0.633119 1.866911 0.0630 C(77) -53.52781 2114.920 -0.025310 0.9798 C(78) -0.029441 0.139721 -0.210713 0.8333 C(79) 0.025720 0.036167 0.711132 0.4776
C(174) 78448.65 19919.56 3.938273 0.0001 C(80) 0.276920 0.212589 1.302606 0.1939 C(81) 0.089531 0.093552 0.957015 0.3394 C(82) 0.090981 0.045164 2.014429 0.0450 C(83) -21.96818 1810.006 -0.012137 0.9903 C(84) -0.016836 0.074309 -0.226571 0.8209 C(85) 0.002369 0.007057 0.335757 0.7373
C(175) 145632.4 60983.75 2.388052 0.0177 C(86) 0.074526 0.160969 0.462982 0.6438 C(87) -0.072511 0.034693 -2.090073 0.0376 C(88) 0.039053 0.016256 2.402399 0.0170 C(89) 770.7007 720.1077 1.070258 0.2855 C(90) 0.597286 0.196717 3.036270 0.0026
177
C(91) 0.010210 0.008846 1.154178 0.2495 C(92) 0.233481 0.258561 0.903004 0.3674
C(176) -1350.822 63570.97 -0.021249 0.9831 C(93) 0.241784 0.207401 1.165780 0.2448 C(94) -0.064524 0.042082 -1.533276 0.1264 C(95) 0.017409 0.465850 0.037370 0.9702 C(96) 2097.240 1063.981 1.971126 0.0498 C(97) 0.327287 0.197251 1.659243 0.0983 C(98) 0.011212 0.004846 2.313554 0.0215 C(99) 0.536153 0.357859 1.498221 0.1353
C(177) 237686.3 174310.7 1.363578 0.1739 C(100) 0.201421 0.122599 1.642934 0.1016 C(101) -0.111253 0.102495 -1.085444 0.2787 C(102) 0.151189 0.150602 1.003897 0.3164 C(103) -5236.511 2717.214 -1.927162 0.0550 C(104) -0.234002 0.160296 -1.459810 0.1455 C(105) 0.027896 0.017699 1.576142 0.1162 C(106) 0.092317 0.421827 0.218851 0.8269 C(178) -0.354928 0.238881 -1.485793 0.1385 C(107) 0.448443 0.063672 7.043054 0.0000 C(108) 0.239133 0.032820 7.286288 0.0000 C(109) 0.624773 0.086635 7.211515 0.0000 C(110) 9.05E-07 4.01E-07 2.256206 0.0249 C(111) 1.54E-06 3.53E-07 4.364473 0.0000 C(112) 1.90E-06 3.61E-07 5.262226 0.0000 C(113) 1.99E-06 3.76E-07 5.304414 0.0000 C(114) -1.94E -06 3.70E-07 -5.238628 0.0000 C(115) 0.334779 0.086983 3.848807 0.0001 C(179) -341794.9 745163.1 -0.458685 0.6468 C(116) 0.824697 0.510172 1.616509 0.1072 C(117) 19.48803 4.910961 3.968272 0.0001 C(118) 1.330001 0.204793 6.494382 0.0000 C(180) -1216458. 469259.8 -2.592291 0.0101 C(119) 5.652867 2.034822 2.778064 0.0059 C(120) 1.622544 0.637795 2.543989 0.0115 C(121) 0.059015 0.018664 3.162026 0.0018 C(122) 0.533543 0.123601 4.316642 0.0000 C(181) -10172175 1702658. -5.974292 0.0000 C(123) 10.85187 1.864074 5.821590 0.0000 C(124) 1.799773 0.756840 2.378008 0.0181 C(125) 0.765203 0.127746 5.990016 0.0000 C(126) 0.193716 0.142828 1.356289 0.1762 C(182) -259280.2 495836.5 -0.522915 0.6015 C(127) 1.198744 2.115645 0.566609 0.5715 C(128) 0.183470 0.199855 0.918020 0.3595 C(129) 0.128561 0.055895 2.300035 0.0222 C(130) 0.301977 0.285063 1.059334 0.2904 C(183) 5733352. 303462.8 18.89310 0.0000 C(131) 0.028065 0.683749 0.041045 0.9673 C(132) -3.577818 0.238301 -15.01388 0.0000 C(133) 0.620485 0.015026 41.29349 0.0000 C(134) 4389.611 4152.543 1.057090 0.2915 C(184) 18325641 3049135. 6.010112 0.0000 C(135) 8.726343 30.16915 0.289247 0.7726 C(136) -98.37857 13.85825 -7.098918 0.0000 C(137) 5.415742 0.599385 9.035495 0.0000 C(138) 93518.04 68702.75 1.361198 0.1746 C(185) 12748364 775618.1 16.43639 0.0000
178
C(139) -4.842927 7.130663 -0.679169 0.4976 C(140) -12.57173 1.008139 -12.47024 0.0000 C(141) 1.012843 0.070041 14.46078 0.0000 C(142) 10852.07 6996.341 1.551107 0.1221 C(143) 0.010346 0.083060 0.124556 0.9010 C(186) -1259553. 234237.7 -5.377246 0.0000 C(144) 2.473675 1.385167 1.785832 0.0753 C(145) 0.747375 0.681051 1.097385 0.2735 C(146) 16367.02 3593.528 4.554583 0.0000 C(147) 0.164159 0.035200 4.663654 0.0000 C(148) 0.229661 0.131650 1.744475 0.0823 C(187) -703855.2 252068.1 -2.792322 0.0056 C(149) -5.727823 1.849067 -3.097682 0.0022 C(150) 0.312013 0.905024 0.344756 0.7306 C(151) 28567.46 4459.975 6.405297 0.0000 C(152) 0.259974 0.055628 4.673470 0.0000 C(153) 0.012548 0.141588 0.088624 0.9294 C(188) -21749.70 53456.49 -0.406867 0.6844 C(154) 0.227713 0.132822 1.714415 0.0876 C(155) 202.3809 470.0948 0.430511 0.6672 C(156) 9463.651 5051.307 1.873505 0.0621 C(157) 0.194160 0.256327 0.757472 0.4495 C(189) 7.136124 1.068243 6.680243 0.0000 C(158) 9.64E-05 6.06E-06 15.90094 0.0000 C(159) -0.000104 8.57E-06 -12.09484 0.0000 C(160) 4.36E-06 4.51E-05 0.096713 0.9230 C(161) -0.012016 0.068462 -0.175507 0.8608 C(190) 1.879203 1.499843 1.252933 0.2114 C(162) 3.80E-05 5.66E-07 67.13500 0.0000 C(163) -3.87E -05 1.05E-06 -36.71784 0.0000 C(164) -1.22E -05 9.13E-06 -1.330845 0.1844 C(165) -0.019486 0.021568 -0.903506 0.3671
Determinant residual covariance 0.000000
Equation: KPK=C(166)+C(1)*WPK+C(2)*TFPP+C(3)*CS+C(4)*D(INV,1) +C(5)*D(GOV,1)+C(6)*D(EXPR,2)+C(7)*IMP+C(8)*NTBP+C(9) *DKE+C(10)*D(AKK,2)+C(11)*KPK(-1) Observations: 18 R-squared 0.982714 Mean dependent var 79702.06 Adjusted R-squared 0.951023 S.D. dependent var 25680.58 S.E. of regression 5683.318 Sum squared resid 1.94E+08 Durbin-Watson stat 2.429285
Equation: KIK=C(167)+C(12)*D(WIK,2)+C(13)*TFPI+C(14)*D(CS,2) +C(15)*INV+C(16)*GOV+C(17)*D(EXPR,2)+C(18)*D(IMP,2)+C(19) *D(NTBI,1)+C(20)*DKE+C(21)*D(AKK,2)+C(22)*KIK(-1) Observations: 18 R-squared 0.963471 Mean dependent var 52800.33 Adjusted R-squared 0.896502 S.D. dependent var 12086.56 S.E. of regression 3888.385 Sum squared resid 90717230 Durbin-Watson stat 2.104408
Equation: KLK=C(168)+C(23)*D(WLK,1)+C(24)*TFPL+C(25)*CS+C(26) *INV+C(27)*D(GOV,2)+C(28)*D(EXPR,2)+C(29)*D(IMP,2)+C(30) *D(NTBL,1)+C(31)*DKE+C(32)*D(AKK,1)+C(33)*KLK(-1) Observations: 18 R-squared 0.992826 Mean dependent var 507018.2 Adjusted R-squared 0.979673 S.D. dependent var 139661.5 S.E. of regression 19911.84 Sum squared resid 2.38E+09
179
Durbin-Watson stat 1.613999
Equation: KPD=C(169)+C(34)*D(WPD,2)+C(35)*TFPP+C(36)*D(CS,1) +C(37)*D(INV,1)+C(38)*D(GOV,2)+C(39)*EXPR+C(40)*IMP+C(41) *D(NTBP,2)+C(42)*DKE+C(43)*D(AKD,1)+C(44)*KPD(-1) Observations: 18 R-squared 0.956532 Mean dependent var 1580845. Adjusted R-squared 0.876840 S.D. dependent var 102036.5 S.E. of regression 35808.84 Sum squared resid 7.69E+09 Durbin-Watson stat 2.021066
Equation: KID=C(170)+C(45)*D(WID,1)+C(46)*TFPI+C(47)*D(CS,2) +C(48)*INV+C(49)*D(GOV,2)+C(50)*D(EXPR,1)+C(51)*D(IMP,1) +C(52)*D(NTBI,1)+C(53)*DKE+C(54)*D(AKD,1)+C(55)*KID(-1) Observations: 18 R-squared 0.966780 Mean dependent var 102426.3 Adjusted R-squared 0.905878 S.D. dependent var 12528.30 S.E. of regression 3843.597 Sum squared resid 88639444 Durbin-Watson stat 2.410512
Equation: D(KLD,1)=C(171)+C(56)*WLD+C(57)*D(TFPL,2)+C(58) *D(CS,1)+C(59)*INV+C(60)*D(GOV,2)+C(61)*D(EXPR,1)+C(62) *D(IMP,1)+C(63)*D(NTBL,2)+C(64)*DKE+C(65)*D(AKD,2)+C(66) *KLD(-1) Observations: 18 R-squared 0.891716 Mean dependent var 4837.111 Adjusted R-squared 0.693195 S.D. dependent var 69972.88 S.E. of regression 38757.96 Sum squared resid 9.01E+09 Durbin-Watson stat 2.043644
Equation: WPK=C(172)+C(67)*UMR+C(68)*D(AKK,2)+C(69)*D(KPK,2) +C(70)*TFPP+C(71)*D(PMP,2)+C(72)*D(NTBP,2)+C(73)*WPK(-1) Observations: 18 R-squared 0.547878 Mean dependent var 91940.33 Adjusted R-squared 0.231393 S.D. dependent var 23561.29 S.E. of regression 20656.24 Sum squared resid 4.27E+09 Durbin-Watson stat 2.087142
Equation: WIK=C(173)+C(74)*D(UMR,1)+C(75)*D(AKK,1)+C(76)*KIK +C(77)*TFPI+C(78)*D(PMI,2)+C(79)*D(NTBI,1) Observations: 18 R-squared 0.617484 Mean dependent var 103761.6 Adjusted R-squared 0.408838 S.D. dependent var 32346.31 S.E. of regression 24870.12 Sum squared resid 6.80E+09 Durbin-Watson stat 2.626034
Equation: WLK=C(174)+C(80)*D(UMR,1)+C(81)*D(AKK,1)+C(82)*KLK +C(83)*TFPL+C(84)*D(PML,1)+C(85)*D(NTBL,2) Observations: 18 R-squared 0.699640 Mean dependent var 134184.5 Adjusted R-squared 0.535808 S.D. dependent var 23368.16 S.E. of regression 15921.11 Sum squared resid 2.79E+09 Durbin-Watson stat 1.908961
Equation: WPD=C(175)+C(86)*D(UMR,2)+C(87)*AKD+C(88)*D(KPD,2) +C(89)*TFPP+C(90)*PMP+C(91)*D(NTBP,1)+C(92)*WPD(-1) Observations: 18 R-squared 0.702657 Mean dependent var 68351.56 Adjusted R-squared 0.494516 S.D. dependent var 15649.28 S.E. of regression 11126.23 Sum squared resid 1.24E+09 Durbin-Watson stat 2.423804
180
Equation: WID=C(176)+C(93)*D(UMR,2)+C(94)*D(AKD,1)+C(95)*KID +C(96)*D(TFPI,1)+C(97)*D(PMI,1)+C(98)*NTBI+C(99)*WID(-1) Observations: 18 R-squared 0.742684 Mean dependent var 82148.22 Adjusted R-squared 0.562562 S.D. dependent var 23293.89 S.E. of regression 15406.36 Sum squared resid 2.37E+09 Durbin-Watson stat 2.315830
Equation: WLD=C(177)+C(100)*UMR+C(101)*AKD+C(102)*KLD +C(103)*TFPL+C(104)*D(PML,1)+C(105)*D(NTBL,1)+C(106) *WLD(-1) Observations: 18 R-squared 0.584238 Mean dependent var 89791.56 Adjusted R-squared 0.293205 S.D. dependent var 34095.18 S.E. of regression 28664.19 Sum squared resid 8.22E+09 Durbin-Watson stat 1.958390
Equation: PE=C(178)+C(107)*PTK+C(108)*PINV+C(109)*TFP+C(110) *D(CS,2)+C(111)*D(INV,2)+C(112)*D(GOV,2)+C(113)*D(EXPR,2) +C(114)*D(IMP,2)+C(115)*PE(-1) Observations: 18 R-squared 0.995633 Mean dependent var 5.882210 Adjusted R-squared 0.990719 S.D. dependent var 3.409358 S.E. of regression 0.328446 Sum squared resid 0.863012 Durbin-Watson stat 1.871657
Equation: NTBP=C(179)+C(116)*D(KP,2)+C(117)*PMP+C(118)*PKP Observations: 18 R-squared 0.967618 Mean dependent var 9715890. Adjusted R-squared 0.960678 S.D. dependent var 2027122. S.E. of regression 401971.5 Sum squared resid 2.26E+12 Durbin-Watson stat 1.474139
Equation: NTBI=C(180)+C(119)*KI+C(120)*PMI+C(121)*PKI+C(122) *NTBI(-1) Observations: 18 R-squared 0.990936 Mean dependent var 2995384. Adjusted R-squared 0.988148 S.D. dependent var 1299634. S.E. of regression 141488.9 Sum squared resid 2.60E+11 Durbin-Watson stat 1.708375
Equation: NTBL=C(181)+C(123)*KL+C(124)*D(PML,1)+C(125)*PKL +C(126)*NTBL(-1) Observations: 18 R-squared 0.995455 Mean dependent var 13202962 Adjusted R-squared 0.994057 S.D. dependent var 3747842. S.E. of regression 288922.4 Sum squared resid 1.09E+12 Durbin-Watson stat 1.225523
Equation: GOV=C(182)+C(127)*D(PAD,2)+C(128)*D(DP,2)+C(129) *PDRB+C(130)*GOV(-1) Observations: 18 R-squared 0.905813 Mean dependent var 4308846. Adjusted R-squared 0.876832 S.D. dependent var 1359741. S.E. of regression 477205.0 Sum squared resid 2.96E+12 Durbin-Watson stat 1.879557
Equation: PKP=C(183)+C(131)*D(WP,2)+C(132)*KP+C(133)*NTBP +C(134)*TFPP Observations: 18 R-squared 0.995621 Mean dependent var 5815480. Adjusted R-squared 0.994273 S.D. dependent var 967741.4
181
S.E. of regression 73234.52 Sum squared resid 6.97E+10 Durbin-Watson stat 1.116666
Equation: PKI=C(184)+C(135)*WI+C(136)*KI+C(137)*NTBI+C(138) *D(TFPI,2) Observations: 18 R-squared 0.974517 Mean dependent var 17648436 Adjusted R-squared 0.966676 S.D. dependent var 9042308. S.E. of regression 1650670. Sum squared resid 3.54E+13 Durbin-Watson stat 0.937636
Equation: PKL=C(185)+C(139)*WL+C(140)*KL+C(141)*NTBL+C(142) *D(TFPL,2)+C(143)*PKL(-1) Observations: 18 R-squared 0.984189 Mean dependent var 13443965 Adjusted R-squared 0.977602 S.D. dependent var 2150780. S.E. of regression 321887.1 Sum squared resid 1.24E+12 Durbin-Watson stat 1.313193
Equation: AKK=C(186)+C(144)*MM+C(145)*WK+C(146)*TPAKK +C(147)*PUK+C(148)*AKK(-1) Observations: 18 R-squared 0.985767 Mean dependent var 739677.1 Adjusted R-squared 0.979837 S.D. dependent var 228239.0 S.E. of regression 32409.14 Sum squared resid 1.26E+10 Durbin-Watson stat 1.832856
Equation: AKD=C(187)+C(149)*MM+C(150)*WD+C(151)*TPAKD +C(152)*PUK+C(153)*AKD(-1) Observations: 18 R-squared 0.957920 Mean dependent var 2297467. Adjusted R-squared 0.940386 S.D. dependent var 198858.0 S.E. of regression 48552.98 Sum squared resid 2.83E+10 Durbin-Watson stat 1.841986
Equation: MM=C(188)+C(154)*W+C(155)*TPK+C(156)*DKH+C(157) *MM(-1) Observations: 18 R-squared 0.647515 Mean dependent var 23157.67 Adjusted R-squared 0.539058 S.D. dependent var 8832.176 S.E. of regression 5996.402 Sum squared resid 4.67E+08 Durbin-Watson stat 1.610244
Equation: UK = C(189)+C(158)*AKK+C(159)*KK+C(160)*MM+C(161) *D(PE,1) Observations: 18 R-squared 0.977826 Mean dependent var 12.24056 Adjusted R-squared 0.971003 S.D. dependent var 5.446472 S.E. of regression 0.927450 Sum squared resid 11.18212 Durbin-Watson stat 1.164999
Equation: UD = C(190)+C(162)*AKD+C(163)*KD+C(164)*D(MM,1) +C(165)*PE Observations: 18 R-squared 0.997887 Mean dependent var 4.980000 Adjusted R-squared 0.997236 S.D. dependent var 4.565545 S.E. of regression 0.240019 Sum squared resid 0.748916 Durbin-Watson stat 1.623709
182
Lampiran 3 Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan simultan pasar tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan
1. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan kesempatan kerja
pertanian perkotaan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 1.595458 Probability 0.309422 Obs*R-squared 7.987368 Probability 0.018432
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 09:55 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -1832.601 20315.31 -0.090208 0.9325 WPK 0.198051 0.147053 1.346802 0.2493 TFPP -230.3685 454.8855 -0.506432 0.6392 CS -0.001448 0.002079 -0.696314 0.5246
D(INV,1) -0.004444 0.004873 -0.911947 0.4134 D(GOV,1) 0.005706 0.005870 0.972008 0.3861 D(EXPR,2) 0.000737 0.001280 0.575625 0.5957
IMP -0.000139 0.001931 -0.072089 0.9460 NTBP 4.61E-05 0.004166 0.011072 0.9917 DKE -7017.367 7348.289 -0.954966 0.3937
D(AKK,2) -0.011653 0.026045 -0.447410 0.6777 KPK(-1) 0.079041 0.239854 0.329539 0.7583
RESID(-1) -1.042223 0.647931 -1.608539 0.1830 RESID(-2) -1.190307 0.762858 -1.560325 0.1937
R-squared 0.443743 Mean dependent var 3.05E-10 Adjusted R-squared -1.364094 S.D. dependent var 3376.394 S.E. of regression 5191.412 Akaike info criterion 19.99888 Sum squared resid 1.08E+08 Schwarz criterion 20.69139 Log likelihood -165.9899 F-statistic 0.245455 Durbin-Watson stat 1.910397 Prob(F-statistic) 0.976526
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
-6000 -4000 -2000 0 2000 4000
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean 3.05E-10Median 523.1493Maximum 4952.237Minimum -6737.182Std. Dev. 3376.394Skewness -0.536704Kurtosis 2.385669
Jarque-Bera 1.147206Probability 0.563492
Histogram-Normality Test : Persamaan KPK
183
2. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan kesempatan kerja industri perkotaan
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.951301 Probability 0.459233 Obs*R-squared 5.801989 Probability 0.054969
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:06 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 5307.697 6902.818 0.768917 0.4848 D(WIK,2) -0.076373 0.080861 -0.944500 0.3984
TFPI -808.0554 811.7847 -0.995406 0.3759 D(CS,2) 0.003691 0.003942 0.936285 0.4021
INV 0.000302 0.001349 0.223696 0.8340 GOV -0.001540 0.002271 -0.677941 0.5350
D(EXPR,2) 0.002041 0.002428 0.840380 0.4480 D(IMP,2) -0.002575 0.002905 -0.886509 0.4254 D(NTBI,1) -0.003252 0.007132 -0.456015 0.6720
DKE 1167.312 3772.991 0.309386 0.7725 D(AKK,2) 0.015171 0.020304 0.747194 0.4965 KIK(-1) 0.065104 0.209881 0.310196 0.7719
RESID(-1) -0.030172 0.552893 -0.054570 0.9591 RESID(-2) -1.027929 0.763945 -1.345554 0.2497
R-squared 0.322333 Mean dependent var -2.74E -11 Adjusted R-squared -1.880086 S.D. dependent var 2310.045 S.E. of regression 3920.335 Akaike info criterion 19.43722 Sum squared resid 61476099 Schwarz criterion 20.12973 Log likelihood -160.9350 F-statistic 0.146354 Durbin-Watson stat 2.517762 Prob(F-statistic) 0.996558
0
1
2
3
4
5
-4000 -2000 0 2000 4000
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean -2.74E-11Median 353.5276Maximum 4086.055Minimum -4292.264Std. Dev. 2310.045Skewness -0.124051Kurtosis 2.346771
Jarque-Bera 0.366197Probability 0.832686
Histogram-Normality Test : Persamaan KIK
184
3. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan kesempatan kerja sektor lain di perkotaan
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.015132 Probability 0.985038 Obs*R-squared 0.135163 Probability 0.934652
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:12 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 573.5987 27613.50 0.020772 0.9844 D(WLK,1) 0.022279 0.663260 0.033591 0.9748
TFPL 102.6776 2281.552 0.045003 0.9663 CS -1.26E -05 0.005567 -0.002270 0.9983 INV -0.000134 0.009774 -0.013661 0.9898
D(GOV,2) 0.001485 0.021974 0.067572 0.9494 D(EXPR,2) 0.001417 0.022690 0.062459 0.9532 D(IMP,2) -0.001182 0.023547 -0.050216 0.9624
D(NTBL,1) -0.000837 0.024779 -0.033773 0.9747 DKE -3108.683 45926.60 -0.067688 0.9493
D(AKK,1) -0.023422 0.301250 -0.077749 0.9418 KLK(-1) 0.004970 0.251776 0.019741 0.9852
RESID(-1) -0.110903 0.762150 -0.145513 0.8913 RESID(-2) -0.071238 0.660872 -0.107794 0.9193
R-squared 0.007509 Mean dependent var 2.22E-10 Adjusted R-squared -3.218086 S.D. dependent var 11829.40 S.E. of regression 24295.19 Akaike info criterion 23.08542 Sum squared resid 2.36E+09 Schwarz criterion 23.77793 Log likelihood -193.7688 F-statistic 0.002328 Durbin-Watson stat 1.510860 Prob(F-statistic) 1.000000
0
1
2
3
4
5
-20000 0 20000
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean 2.22E-10Median -277.8084Maximum 33524.35Minimum -17942.14Std. Dev. 11829.40Skewness 0.998703Kurtosis 4.790180
Jarque-Bera 5.395779Probability 0.067348
Histogram-Normality Test : Persamaan KLK
185
4. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan kesempatan kerja pertanian pedesaan
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.018374 Probability 0.981876 Obs*R-squared 0.163863 Probability 0.921335
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:14 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -8098.983 216785.2 -0.037359 0.9720 D(WPD,2) -0.053504 0.747830 -0.071545 0.9464
TFPP -142.4418 3228.772 -0.044116 0.9669 D(CS,1) 0.000836 0.030860 0.027077 0.9797 D(INV,1) -0.002140 0.030036 -0.071261 0.9466
D(GOV,2) -0.000524 0.024179 -0.021660 0.9838 EXPR -0.000524 0.016677 -0.031392 0.9765 IMP 0.001186 0.020595 0.057594 0.9568
D(NTBP,2) -0.000948 0.031815 -0.029798 0.9777 DKE -2138.512 53205.05 -0.040194 0.9699
D(AKD,1) -0.003044 0.153295 -0.019855 0.9851 KPD(-1) 0.002698 0.143970 0.018739 0.9859
RESID(-1) -0.070373 0.556152 -0.126536 0.9054 RESID(-2) -0.099148 0.725183 -0.136722 0.8979
R-squared 0.009103 Mean dependent var -1.85E -10 Adjusted R-squared -3.211310 S.D. dependent var 21273.62 S.E. of regression 43656.61 Akaike info criterion 24.25758 Sum squared resid 7.62E+09 Schwarz criterion 24.95009 Log likelihood -204.3182 F-statistic 0.002827 Durbin-Watson stat 1.921822 Prob(F-statistic) 1.000000
0
1
2
3
4
5
6
7
-60000 -40000 -20000 0 20000
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean -1.85E-10Median 4901.518Maximum 26747.95Minimum -53077.28Std. Dev. 21273.62Skewness -0.860660Kurtosis 3.331355
Jarque-Bera 2.304553Probability 0.315917
Histogram-Normality Test : Persamaan KPD
186
5. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan kesempatan kerja industri pedesaan
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.871883 Probability 0.484983 Obs*R-squared 5.464670 Probability 0.065067
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:16 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -25437.95 24999.43 -1.017541 0.3664 D(WID,1) -0.090574 0.130011 -0.696665 0.5244
TFPI -143.3650 495.8361 -0.289138 0.7868 D(CS,2) -0.000685 0.002703 -0.253326 0.8125
INV -0.000822 0.001486 -0.553143 0.6096 D(GOV,2) 0.002174 0.004840 0.449220 0.6765 D(EXPR,1) 0.002159 0.005522 0.390959 0.7158 D(IMP,1) -0.002262 0.005879 -0.384834 0.7199 D(NTBI,1) 0.004726 0.010452 0.452160 0.6746
DKE -7373.860 8809.672 -0.837019 0.4497 D(AKD,1) 0.002559 0.013327 0.192030 0.8571 KID(-1) 0.309620 0.314811 0.983510 0.3810
RESID(-1) -1.143627 0.901887 -1.268038 0.2736 RESID(-2) -0.314512 0.881455 -0.356810 0.7393
R-squared 0.303593 Mean dependent var -1.38E -11 Adjusted R-squared -1.959731 S.D. dependent var 2283.437 S.E. of regression 3928.395 Akaike info criterion 19.44133 Sum squared resid 61729150 Schwarz criterion 20.13384 Log likelihood -160.9719 F-statistic 0.134136 Durbin-Watson stat 2.431443 Prob(F-statistic) 0.997616
0
1
2
3
4
5
-4000 -2000 0 2000 4000
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean -1.38E-11Median -614.7915Maximum 4552.216Minimum -3871.000Std. Dev. 2283.437Skewness 0.258888Kurtosis 2.282486
Jarque-Bera 0.587189Probability 0.745579
Histogram-Normality Test : Persamaan KID
187
6. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan kesempatan kerja sektor lain di pedesaan
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.590045 Probability 0.596273 Obs*R-squared 4.100628 Probability 0.128694
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:17 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -5592.986 152769.5 -0.036611 0.9725 WLD -0.181248 0.662858 -0.273434 0.7981
D(TFPL,2) -289.7401 1160.825 -0.249598 0.8152 D(CS,1) 0.002051 0.031764 0.064566 0.9516
INV -0.000790 0.011322 -0.069752 0.9477 D(GOV,2) 0.025230 0.049222 0.512569 0.6353 D(EXPR,1) 0.017641 0.046155 0.382212 0.7217 D(IMP,1) -0.022652 0.049167 -0.460710 0.6689
D(NTBL,2) -0.012090 0.021214 -0.569895 0.5992 DKE -13913.58 86559.38 -0.160740 0.8801
D(AKD,2) 0.028902 0.123651 0.233738 0.8267 KLD(-1) 0.056797 0.384952 0.147542 0.8898
RESID(-1) -0.189417 0.488212 -0.387980 0.7178 RESID(-2) -0.869537 0.824221 -1.054981 0.3509
R-squared 0.227813 Mean dependent var -7.16E -10 Adjusted R-squared -2.281796 S.D. dependent var 23025.66 S.E. of regression 41712.66 Akaike info criterion 24.16648 Sum squared resid 6.96E+09 Schwarz criterion 24.85899 Log likelihood -203.4983 F-statistic 0.090776 Durbin-Watson stat 1.408133 Prob(F-statistic) 0.999598
0
1
2
3
4
5
-40000 -20000 0 20000 40000
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean -7.16E-10Median 6107.735Maximum 37139.78Minimum -46029.85Std. Dev. 23025.66Skewness -0.444465Kurtosis 2.369438
Jarque-Bera 0.890855Probability 0.640551
Histogram-Normality Test : Persamaan KLD
188
7. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan upah riil pertanian perkotaan
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 3.231292 Probability 0.093622 Obs*R-squared 8.043273 Probability 0.017924
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:21 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -52073.34 34580.03 -1.505879 0.1705 UMR -0.083560 0.077419 -1.079316 0.3119
D(AKK,2) -0.016759 0.061844 -0.270984 0.7933 D(KPK,2) 0.139401 0.241425 0.577411 0.5795
TFPP -263.5787 1635.924 -0.161119 0.8760 D(PMP,2) -1.044312 1.384467 -0.754306 0.4723 D(NTBP,2) 0.003045 0.009624 0.316391 0.7598 WPK(-1) 0.720946 0.468930 1.537428 0.1627
RESID(-1) -0.699973 0.517999 -1.351303 0.2136 RESID(-2) -0.871967 0.348802 -2.499892 0.0369
R-squared 0.446848 Mean dependent var -2.35E -11 Adjusted R-squared -0.175447 S.D. dependent var 15842.61 S.E. of regression 17176.25 Akaike info criterion 22.64062 Sum squared resid 2.36E+09 Schwarz criterion 23.13527 Log likelihood -193.7656 F-statistic 0.718065 Durbin-Watson stat 2.089245 Prob(F-statistic) 0.685148
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
-20000 0 20000
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean -2.35E-11Median -288.4139Maximum 25262.75Minimum -25845.86Std. Dev. 15842.61Skewness -0.051375Kurtosis 1.873535
Jarque-Bera 0.959611Probability 0.618904
Histogram-Normality Test : Persamaan WPK
189
8. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan upah riil industri perkotaan
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 1.128058 Probability 0.365462 Obs*R-squared 3.607824 Probability 0.164654
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:23 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 9410.928 40893.99 0.230130 0.8231 D(UMR,1) 0.123302 0.271844 0.453577 0.6609 D(AKK,1) 0.021800 0.160163 0.136111 0.8947
KIK -0.282873 0.737948 -0.383324 0.7104 TFPI 235.9150 2147.020 0.109880 0.9149
D(PMI,2) -0.085954 0.151925 -0.565767 0.5854 D(NTBI,1) -0.001618 0.038343 -0.042194 0.9673 RESID(-1) -0.599928 0.401116 -1.495647 0.1690 RESID(-2) -0.238765 0.490235 -0.487043 0.6379
R-squared 0.200435 Mean dependent var -3.07E -11 Adjusted R-squared -0.510290 S.D. dependent var 20005.52 S.E. of regression 24585.55 Akaike info criterion 23.36456 Sum squared resid 5.44E+09 Schwarz criterion 23.80974 Log likelihood -201.2810 F-statistic 0.282014 Durbin-Watson stat 1.597854 Prob(F-statistic) 0.955689
0
1
2
3
4
5
-40000 -20000 0 20000 40000
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean -3.07E-11Median 2367.035Maximum 44193.77Minimum -32417.33Std. Dev. 20005.52Skewness 0.304008Kurtosis 2.599187
Jarque-Bera 0.397751Probability 0.819652
Histogram-Normality Test: Persamaan WIK
190
9. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan upah riil sektor lain perkotaan
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 1.006710 Probability 0.403126 Obs*R-squared 3.290673 Probability 0.192948
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:25 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -21945.90 26937.44 -0.814699 0.4363 D(UMR,1) -0.154137 0.295784 -0.521113 0.6149 D(AKK,1) -0.034102 0.113367 -0.300809 0.7704
KLK 0.044907 0.064043 0.701205 0.5009 TFPL 1593.083 2182.734 0.729857 0.4840
D(PML,1) 0.073778 0.091051 0.810297 0.4387 D(NTBL,2) -0.007983 0.009343 -0.854388 0.4151 RESID(-1) -0.239585 0.472017 -0.507578 0.6240 RESID(-2) -0.680154 0.484433 -1.404020 0.1939
R-squared 0.182815 Mean dependent var 1.25E-10 Adjusted R-squared -0.543571 S.D. dependent var 12806.93 S.E. of regression 15911.41 Akaike info criterion 22.49431 Sum squared resid 2.28E+09 Schwarz criterion 22.93950 Log likelihood -193.4488 F-statistic 0.251678 Durbin-Watson stat 1.696125 Prob(F-statistic) 0.967536
0
1
2
3
4
5
-20000 -10000 0 10000 20000
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean 1.25E-10Median 2945.251Maximum 19242.05Minimum -23952.66Std. Dev. 12806.93Skewness -0.364024Kurtosis 2.038037
Jarque-Bera 1.091568Probability 0.579387
Histogram-Normalitiy Test : Persamaan WLK
191
10. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan upah riil pertanian pedesaan
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.561094 Probability 0.591512 Obs*R-squared 2.214314 Probability 0.330497
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:27 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -15236.61 67668.53 -0.225165 0.8275 D(UMR,2) -0.056852 0.178029 -0.319342 0.7576
AKD 0.002996 0.037392 0.080119 0.9381 D(KPD,2) 0.006478 0.018102 0.357869 0.7297
TFPP -33.96917 776.3532 -0.043755 0.9662 PMP -0.086840 0.233966 -0.371166 0.7202
D(NTBP,1) 0.001225 0.009693 0.126348 0.9026 WPD(-1) 0.277525 0.386107 0.718776 0.4927
RESID(-1) -0.574551 0.556676 -1.032110 0.3322 RESID(-2) -0.084616 0.402299 -0.210332 0.8387
R-squared 0.123017 Mean dependent var 6.88E-11 Adjusted R-squared -0.863588 S.D. dependent var 8533.427 S.E. of regression 11649.26 Akaike info criterion 21.86405 Sum squared resid 1.09E+09 Schwarz criterion 22.35871 Log likelihood -186.7765 F-statistic 0.124688 Durbin-Watson stat 1.902809 Prob(F-statistic) 0.997386
0
1
2
3
4
5
6
7
-20000 -10000 0 10000
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean 6.88E-11Median 2193.219Maximum 14338.82Minimum -18241.89Std. Dev. 8533.427Skewness -0.713301Kurtosis 2.926700
Jarque-Bera 1.530425Probability 0.465235
Histogram-Normality Test : Persamaan WPD
192
11. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan upah riil industri pedesaan
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 1.285973 Probability 0.327899 Obs*R-squared 4.379046 Probability 0.111970
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:30 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -79679.05 79483.72 -1.002458 0.3455 D(UMR,2) -0.032248 0.212058 -0.152072 0.8829 D(AKD,1) -0.029895 0.045722 -0.653858 0.5315
KID 0.349866 0.503479 0.694898 0.5068 D(TFPI,1) 29.58338 1069.195 0.027669 0.9786 D(PMI,1) 0.146058 0.212500 0.687334 0.5113
NTBI -0.010460 0.008051 -1.299218 0.2301 WID(-1) 0.928900 0.676956 1.372173 0.2072
RESID(-1) -1.171467 0.739285 -1.584595 0.1517 RESID(-2) -0.657403 0.514360 -1.278099 0.2370
R-squared 0.243280 Mean dependent var -8.96E-11 Adjusted R-squared -0.608029 S.D. dependent var 11816.14 S.E. of regression 14983.82 Akaike info criterion 22.36751 Sum squared resid 1.80E+09 Schwarz criterion 22.86216 Log likelihood -191.3076 F-statistic 0.285772 Durbin-Watson stat 1.975586 Prob(F-statistic) 0.960072
0
1
2
3
4
5
-20000 0 20000 40000
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean -8.96E-11Median -1693.346Maximum 35175.58Minimum -16060.76Std. Dev. 11816.14Skewness 1.360943Kurtosis 5.444762
Jarque-Bera 10.03915Probability 0.006607
Histogram-Normality Test : Persamaan WID
193
12. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan upah riil sektor lain pedesaan
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.881078 Probability 0.451000 Obs*R-squared 3.249161 Probability 0.196994
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:32 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -129810.1 245330.8 -0.529123 0.6111 UMR -0.150343 0.194592 -0.772609 0.4620 AKD 0.077802 0.157732 0.493254 0.6351 KLD -0.107904 0.219435 -0.491734 0.6361
TFPL 702.7466 2904.337 0.241965 0.8149 D(PML,1) -0.014996 0.168663 -0.088912 0.9313 D(NTBL,1) 0.005935 0.018542 0.320084 0.7571 WLD(-1) 0.187066 0.511611 0.365641 0.7241
RESID(-1) -0.548459 0.574399 -0.954839 0.3676 RESID(-2) -0.723504 0.724996 -0.997942 0.3475
R-squared 0.180509 Mean dependent var 1.86E-10 Adjusted R-squared -0.741418 S.D. dependent var 21984.43 S.E. of regression 29011.28 Akaike info criterion 23.68894 Sum squared resid 6.73E+09 Schwarz criterion 24.18359 Log likelihood -203.2004 F-statistic 0.195795 Durbin-Watson stat 2.219107 Prob(F-statistic) 0.987481
0
1
2
3
4
5
6
7
-40000 -20000 0 20000 40000 60000
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean 1.86E-10Median -6019.891Maximum 53652.58Minimum -35834.47Std. Dev. 21984.43Skewness 0.923884Kurtosis 3.464713
Jarque-Bera 2.722654Probability 0.256320
Histogram-Normality Test : Persamaan WLD
194
13. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan pertumbuhan ekonomi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.536420 Probability 0.615100 Obs*R-squared 3.003252 Probability 0.222768
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:35 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 1.035047 1.983561 0.521813 0.6241 D(PTK,2) 0.020024 0.057311 0.349387 0.7410
PINV 0.045611 0.144440 0.315780 0.7649 TFP 0.063059 0.240929 0.261731 0.8040
D(CS,1) -6.18E -07 1.59E-06 -0.389673 0.7128 D(INV,2) -5.46E-07 1.40E-06 -0.390689 0.7121
D(GOV,2) 1.55E-07 1.34E-06 0.115429 0.9126 D(EXPR,2) 5.71E-08 1.27E-06 0.044914 0.9659 D(IMP,2) 1.31E-07 1.32E-06 0.099928 0.9243 PE(-1) -0.193971 0.441757 -0.439089 0.6789
RESID(-1) 0.604687 0.599518 1.008623 0.3594 RESID(-2) 0.324025 1.198383 0.270385 0.7977
R-squared 0.176662 Mean dependent var -8.99E -14 Adjusted R-squared -1.634682 S.D. dependent var 0.977092 S.E. of regression 1.585986 Akaike info criterion 3.948279 Sum squared resid 12.57676 Schwarz criterion 4.536430 Log likelihood -21.56037 F-statistic 0.097531 Durbin-Watson stat 2.313139 Prob(F-statistic) 0.999253
0
1
2
3
4
5
-2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5
Series: ResidualsSample 1988 2004Observations 17
Mean -8.99E-14Median 0.260115Maximum 1.233857Minimum -1.747261Std. Dev. 0.977092Skewness -0.586241Kurtosis 2.028369
Jarque-Bera 1.642471Probability 0.439888
Histogram-Normality Test : Persamaan PE
195
14. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan nilai tambah bruto pertanian
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 3.091551 Probability 0.082619 Obs*R-squared 6.120838 Probability 0.046868
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:38 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -392711.6 782351.7 -0.501963 0.6248 D(KP,2) 0.957148 0.607648 1.575167 0.1412
PMP -1.195002 4.497669 -0.265694 0.7950 PKP 0.095873 0.207014 0.463122 0.6516
RESID(-1) 0.435102 0.348695 1.247800 0.2359 RESID(-2) -0.781767 0.327985 -2.383547 0.0345
R-squared 0.340047 Mean dependent var 5.24E-10 Adjusted R-squared 0.065066 S.D. dependent var 364783.2 S.E. of regression 352716.1 Akaike info criterion 28.64592 Sum squared resid 1.49E+12 Schwarz criterion 28.94271 Log likelihood -251.8132 F-statistic 1.236620 Durbin-Watson stat 1.868986 Prob(F-statistic) 0.351208
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-500000 0 500000
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean 5.24E-10Median -10558.87Maximum 642246.8Minimum -591717.7Std. Dev. 364783.2Skewness 0.024233Kurtosis 2.267408
Jarque-Bera 0.404280Probability 0.816981
Histogram-Normality Test : Persamaan NTBP
196
15. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan nilai tambah bruto sektor industri
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 1.892350 Probability 0.196649 Obs*R-squared 4.607777 Probability 0.099870
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:40 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -396860.6 487349.0 -0.814325 0.4327 KI 1.743119 2.118392 0.822850 0.4281
PMI 0.129819 0.602005 0.215644 0.8332 PKI 0.014742 0.019083 0.772521 0.4561
NTBI(-1) -0.084030 0.123761 -0.678974 0.5112 RESID(-1) 0.171620 0.279776 0.613421 0.5521 RESID(-2) -0.611216 0.317822 -1.923138 0.0807
R-squared 0.255988 Mean dependent var -1.68E -09 Adjusted R-squared -0.149837 S.D. dependent var 123728.4 S.E. of regression 132674.6 Akaike info criterion 26.71449 Sum squared resid 1.94E+11 Schwarz criterion 27.06074 Log likelihood -233.4304 F-statistic 0.630783 Durbin-Watson stat 2.130539 Prob(F-statistic) 0.703859
0
1
2
3
4
5
6
-200000 0 200000
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean -1.68E-09Median -617.9105Maximum 239522.4Minimum -224649.3Std. Dev. 123728.4Skewness 0.107152Kurtosis 2.562899
Jarque-Bera 0.177738Probability 0.914966
Histogram-Normality Test : Persamaan NTBI
197
16. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan nilai tambah bruto sektor lain
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.250506 Probability 0.782729 Obs*R-squared 0.784125 Probability 0.675662
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:42 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -343129.6 2042462. -0.167998 0.8696 KL 0.297033 2.280251 0.130263 0.8987
D(PML,1) -0.260441 0.896420 -0.290534 0.7768 PKL 0.030638 0.149188 0.205365 0.8410
NTBL(-1) -0.027347 0.168588 -0.162211 0.8741 RESID(-1) 0.257679 0.394559 0.653080 0.5271 RESID(-2) -0.106126 0.419502 -0.252981 0.8049
R-squared 0.043562 Mean dependent var -7.52E -09 Adjusted R-squared -0.478131 S.D. dependent var 252655.3 S.E. of regression 307174.2 Akaike info criterion 28.39352 Sum squared resid 1.04E+12 Schwarz criterion 28.73977 Log likelihood -248.5417 F-statistic 0.083502 Durbin-Watson stat 1.460910 Prob(F-statistic) 0.996817
0
1
2
3
4
5
-400000 0 400000
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean -7.52E-09Median -35034.11Maximum 529081.3Minimum -414277.2Std. Dev. 252655.3Skewness 0.597616Kurtosis 2.915952
Jarque-Bera 1.076734Probability 0.583701
Histogram-Normality Test : Persamaan NTBL
198
17. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan pengeluaran pemerintah
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.101152 Probability 0.904626 Obs*R-squared 0.325066 Probability 0.849988
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:44 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -167510.5 657255.7 -0.254863 0.8035 D(PAD,2) 0.381411 2.460127 0.155037 0.8796 D(DP,2) 0.044935 0.251682 0.178537 0.8615 PDRB 0.039098 0.111648 0.350193 0.7328
GOV(-1) -0.207243 0.590902 -0.350723 0.7324 RESID(-1) 0.301623 0.687107 0.438975 0.6692 RESID(-2) -0.051782 0.351553 -0.147296 0.8856
R-squared 0.018059 Mean dependent var -1.03E -09 Adjusted R-squared -0.517545 S.D. dependent var 417303.7 S.E. of regression 514070.9 Akaike info criterion 29.42341 Sum squared resid 2.91E+12 Schwarz criterion 29.76967 Log likelihood -257.8107 F-statistic 0.033717 Durbin-Watson stat 1.975907 Prob(F-statistic) 0.999752
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-1000000 0 1000000
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean -1.03E-09Median -74200.86Maximum 753202.5Minimum -1122942.Std. Dev. 417303.7Skewness -0.514595Kurtosis 4.474806
Jarque-Bera 2.425713Probability 0.297347
Histogram-Normality Test : Persamaan GOV
199
18. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan produktvitas tenaga kerja pertanian
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.773045 Probability 0.485136 Obs*R-squared 2.218189 Probability 0.329857
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:46 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 17502.15 311882.3 0.056118 0.9563 D(WP,2) -0.186387 0.773934 -0.240831 0.8141
KP 0.018900 0.243699 0.077555 0.9396 NTBP -0.005581 0.015998 -0.348849 0.7338 TFPP -2644.260 4733.119 -0.558672 0.5876
RESID(-1) 0.389418 0.348462 1.117533 0.2876 RESID(-2) 0.088058 0.352303 0.249949 0.8072
R-squared 0.123233 Mean dependent var 7.33E-09 Adjusted R-squared -0.355004 S.D. dependent var 64041.73 S.E. of regression 74547.55 Akaike info criterion 25.56156 Sum squared resid 6.11E+10 Schwarz criterion 25.90782 Log likelihood -223.0541 F-statistic 0.257682 Durbin-Watson stat 1.535409 Prob(F-statistic) 0.945645
0
1
2
3
4
5
-100000 0 100000
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean 7.33E-09Median 1323.258Maximum 125259.5Minimum -131489.4Std. Dev. 64041.73Skewness 0.048861Kurtosis 2.892711
Jarque-Bera 0.015795Probability 0.992133
Histogram-Normality Test : Persamaan PKP
200
19. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan produktvitas tenaga kerja industri
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 2.430043 Probability 0.133653 Obs*R-squared 5.515830 Probability 0.063424
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:48 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 711604.0 2914762. 0.244138 0.8116 WI -29.13853 32.37684 -0.899981 0.3874 KI 2.521017 13.83339 0.182241 0.8587
NTBI 0.480202 0.659125 0.728545 0.4815 D(TFPI,2) 8351.954 62425.67 0.133790 0.8960 RESID(-1) 0.593194 0.328351 1.806586 0.0982 RESID(-2) 0.050142 0.399106 0.125635 0.9023
R-squared 0.306435 Mean dependent var 4.25E-08 Adjusted R-squared -0.071873 S.D. dependent var 1443469. S.E. of regression 1494442. Akaike info criterion 31.55771 Sum squared resid 2.46E+13 Schwarz criterion 31.90396 Log likelihood -277.0193 F-statistic 0.810014 Durbin-Watson stat 1.685833 Prob(F-statistic) 0.583249
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
-2000000 0 2000000
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean 4.25E-08Median -456593.4Maximum 2380959.Minimum -1983191.Std. Dev. 1443469.Skewness 0.260097Kurtosis 1.619522
Jarque-Bera 1.632240Probability 0.442144
Histogram-Normality Test : Persamaan PKI
201
20. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan produktvitas tenaga kerja sektor lain
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.430044 Probability 0.661962 Obs*R-squared 1.425549 Probability 0.490282
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:50 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 314477.3 923480.7 0.340535 0.7405 WL -0.281857 7.556945 -0.037298 0.9710 KL -0.240532 1.134423 -0.212030 0.8363
NTBL 0.026570 0.080033 0.331991 0.7467 D(TFPL,2) -3365.145 8245.443 -0.408122 0.6918
PKL(-1) -0.030972 0.093541 -0.331102 0.7474 RESID(-1) 0.332409 0.397926 0.835353 0.4230 RESID(-2) -0.214967 0.378339 -0.568186 0.5824
R-squared 0.079197 Mean dependent var 7.87E-09 Adjusted R-squared -0.565365 S.D. dependent var 270439.3 S.E. of regression 338358.9 Akaike info criterion 28.60270 Sum squared resid 1.14E+12 Schwarz criterion 28.99842 Log likelihood -249.4243 F-statistic 0.122870 Durbin-Watson stat 1.415803 Prob(F-statistic) 0.994543
0
1
2
3
4
5
6
-400000 0 400000
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean 7.87E-09Median 104261.8Maximum 341222.0Minimum -502526.2Std. Dev. 270439.3Skewness -0.637619Kurtosis 2.017695
Jarque-Bera 1.943367Probability 0.378445
Histogram-Normality Test : Persamaan PKL
202
21. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan angkatan kerja perkotaan
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.472036 Probability 0.636950 Obs*R-squared 1.552739 Probability 0.460073
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:51 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -38433.18 252022.7 -0.152499 0.8818 MM -0.419053 1.563056 -0.268098 0.7941 WK 0.378497 0.819409 0.461915 0.6540
TPAKK 620.5748 3946.158 0.157261 0.8782 PUK -0.000940 0.037118 -0.025334 0.9803
AKK(-1) -0.035551 0.147312 -0.241332 0.8142 RESID(-1) 0.102465 0.346620 0.295611 0.7736 RESID(-2) -0.357536 0.373898 -0.956240 0.3615
R-squared 0.086263 Mean dependent var 1.94E-11 Adjusted R-squared -0.553352 S.D. dependent var 27229.12 S.E. of regression 33936.62 Akaike info criterion 24.00348 Sum squared resid 1.15E+10 Schwarz criterion 24.39920 Log likelihood -208.0313 F-statistic 0.134867 Durbin-Watson stat 2.108977 Prob(F-statistic) 0.992809
0
1
2
3
4
5
-40000 0 40000
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean 1.94E-11Median 3824.671Maximum 56305.10Minimum -48610.98Std. Dev. 27229.12Skewness 0.089133Kurtosis 2.561463
Jarque-Bera 0.168070Probability 0.919399
Histogram-Normality Test : Persamaan AKK
203
22. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan angkatan kerja pedesaan
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.068386 Probability 0.934332 Obs*R-squared 0.242869 Probability 0.885649
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:53 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -1477.651 311239.8 -0.004748 0.9963 MM 0.213788 2.102894 0.101664 0.9210 WD 0.226155 1.161469 0.194714 0.8495
TPAKD 350.3220 5722.020 0.061223 0.9524 PUK 0.007091 0.073464 0.096525 0.9250
AKD(-1) -0.035274 0.206323 -0.170967 0.8677 RESID(-1) 0.155490 0.509503 0.305181 0.7665 RESID(-2) -0.080770 0.362030 -0.223104 0.8279
R-squared 0.013493 Mean dependent var -7.60E -10 Adjusted R-squared -0.677062 S.D. dependent var 40792.66 S.E. of regression 52827.08 Akaike info criterion 24.88854 Sum squared resid 2.79E+10 Schwarz criterion 25.28426 Log likelihood -215.9968 F-statistic 0.019539 Durbin-Watson stat 2.006408 Prob(F-statistic) 0.999986
0
1
2
3
4
5
6
-50000 0 50000 100000
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean -7.60E-10Median 7249.682Maximum 87708.91Minimum -62167.85Std. Dev. 40792.66Skewness 0.089561Kurtosis 2.412956
Jarque-Bera 0.282529Probability 0.868260
Histogram-Normality Test : Persamaan AKD
204
23. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan migrasi masuk Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.858695 Probability 0.450268 Obs*R-squared 2.430768 Probability 0.296596
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:54 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 49954.94 66155.81 0.755110 0.4660 W -0.041423 0.139305 -0.297358 0.7717
TPK -438.8725 581.5771 -0.754625 0.4663 DKH -1852.965 5710.634 -0.324476 0.7517
MM(-1) -0.229529 0.332587 -0.690134 0.5044 RESID(-1) 0.427808 0.407369 1.050174 0.3162 RESID(-2) 0.397777 0.389017 1.022518 0.3285
R-squared 0.135043 Mean dependent var -8.10E -11 Adjusted R-squared -0.336752 S.D. dependent var 5243.701 S.E. of regression 6062.662 Akaike info criterion 20.54299 Sum squared resid 4.04E+08 Schwarz criterion 20.88924 Log likelihood -177.8869 F-statistic 0.286232 Durbin-Watson stat 1.730748 Prob(F-statistic) 0.931474
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
-10000 0 10000
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean -8.10E-11Median -1009.689Maximum 13136.99Minimum -12365.77Std. Dev. 5243.701Skewness 0.242744Kurtosis 4.657036
Jarque-Bera 2.236099Probability 0.326917
Histogram-Normality Test : Persamaan MM
205
24. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan pengangguran perkotaan
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.347765 Probability 0.713757 Obs*R-squared 1.070454 Probability 0.585536
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:57 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -0.376222 2.011683 -0.187018 0.8551 AKK -1.88E -06 6.56E-06 -0.286168 0.7801 KK 2.82E-06 9.48E-06 0.297712 0.7715 MM -4.03E -06 6.50E-05 -0.062070 0.9516 PE 0.008458 0.123831 0.068305 0.9468
RESID(-1) 0.277237 0.464309 0.597096 0.5625 RESID(-2) -0.352536 0.495654 -0.711255 0.4917
R-squared 0.059470 Mean dependent var 1.27E-13 Adjusted R-squared -0.453547 S.D. dependent var 0.793048 S.E. of regression 0.956124 Akaike info criterion 3.033443 Sum squared resid 10.05591 Schwarz criterion 3.379699 Log likelihood -20.30099 F-statistic 0.115922 Durbin-Watson stat 1.641411 Prob(F-statistic) 0.992337
0
1
2
3
4
5
6
7
-2 -1 0 1
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean 1.27E-13Median 0.067252Maximum 1.472585Minimum -2.152839Std. Dev. 0.793048Skewness -0.829965Kurtosis 4.509610
Jarque-Bera 3.775719Probability 0.151396
Histogram-Normality Test : Persamaan UK
206
25. Output uji korelasi serial dan uji normalitas persamaan pengangguran pedesaan
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.119739 Probability 0.888292 Obs*R-squared 0.383525 Probability 0.825503
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:58 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.197435 1.896796 0.104089 0.9190 AKD -5.17E -09 6.09E-07 -0.008487 0.9934 KD -8.66E -08 1.23E-06 -0.070305 0.9452
D(MM,1) -1.45E -06 1.08E-05 -0.134818 0.8952 PE 0.000410 0.023235 0.017636 0.9862
RESID(-1) -0.082210 0.482061 -0.170540 0.8677 RESID(-2) 0.207996 0.474174 0.438649 0.6694
R-squared 0.021307 Mean dependent var 4.72E-14 Adjusted R-squared -0.512526 S.D. dependent var 0.209890 S.E. of regression 0.258133 Akaike info criterion 0.414617 Sum squared resid 0.732959 Schwarz criterion 0.760873 Log likelihood 3.268445 F-statistic 0.039913 Durbin-Watson stat 1.613808 Prob(F-statistic) 0.999598
0
1
2
3
4
5
6
-0.6 -0.4 -0.2 0.0 0.2 0.4
Series: ResidualsSample 1987 2004Observations 18
Mean 4.72E-14Median -0.029872Maximum 0.401254Minimum -0.544499Std. Dev. 0.209890Skewness -0.476931Kurtosis 4.079096
Jarque-Bera 1.555725Probability 0.459387
Histogram-Normality Test : Persamaan UD
207
Lampiran 4 Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel permintaan tenaga kerja dan upah riil dalam persamaan error correction model (ECM)
1. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel upah riil rata-rata di Sulawesi
Selatan ADF Test Statistic -4.575509 1% Critical Value* -4.6712
5% Critical Value -3.7347 10% Critical Value -3.3086
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(W,3) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 16:37 Sample(adjusted): 1989 2004 Included observations: 16 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(W(-1),2) -2.379737 0.520103 -4.575509 0.0006 D(W(-1),3) 0.448693 0.300708 1.492121 0.1615
C -4181.272 11642.39 -0.359142 0.7257 @TREND(1985) 474.9942 940.8909 0.504835 0.6228
R-squared 0.814460 Mean dependent var 2661.482 Adjusted R-squared 0.768074 S.D. dependent var 35873.44 S.E. of regression 17276.16 Akaike info criterion 22.56436 Sum squared resid 3.58E+09 Schwarz criterion 22.75751 Log likelihood -176.5149 F-statistic 17.55865 Durbin-Watson stat 2.240165 Prob(F-statistic) 0.000110
2. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel rata-rata upah riil perkotaan
di Sulawesi Selatan ADF Test Statistic -7.972375 1% Critical Value* -3.9228
5% Critical Value -3.0659 10% Critical Value -2.6745
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(WK,3) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 16:42 Sample(adjusted): 1989 2004 Included observations: 16 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(WK(-1),2) -2.936298 0.368309 -7.972375 0.0000 D(WK(-1),3) 0.858372 0.218305 3.931983 0.0017
C -1144.085 4647.407 -0.246177 0.8094
R-squared 0.887132 Mean dependent var 3987.532 Adjusted R-squared 0.869768 S.D. dependent var 51164.84 S.E. of regression 18464.19 Akaike info criterion 22.65241 Sum squared resid 4.43E+09 Schwarz criterion 22.79728 Log likelihood -178.2193 F-statistic 51.08960 Durbin-Watson stat 2.373994 Prob(F-statistic) 0.000001
208
3. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel rata-rata upah riil pedesaan di
Sulawesi Selatan ADF Test Statistic -4.402176 1% Critical Value* -4.6712
5% Critical Value -3.7347 10% Critical Value -3.3086
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(WD,3) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 16:58 Sample(adjusted): 1989 2004 Included observations: 16 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(WD(-1),2) -2.212256 0.502537 -4.402176 0.0009 D(WD(-1),3) 0.364602 0.285443 1.277319 0.2257
C -6170.801 13660.21 -0.451735 0.6595 @TREND(1985) 693.5687 1104.030 0.628215 0.5416
R-squared 0.818168 Mean dependent var 2111.240 Adjusted R-squared 0.772710 S.D. dependent var 42472.14 S.E. of regression 20248.57 Akaike info criterion 22.88187 Sum squared resid 4.92E+09 Schwarz criterion 23.07502 Log likelihood -179.0550 F-statistic 17.99832 Durbin-Watson stat 2.205633 Prob(F-statistic) 0.000097
4. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel rata-rata upah riil sektor
pertanian di Sulawesi Selatan ADF Test Statistic -4.535460 1% Critical Value* -3.9228
5% Critical Value -3.0659 10% Critical Value -2.6745
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(WP,3) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 00:36 Sample(adjusted): 1989 2004 Included observations: 16 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(WP(-1),2) -2.306027 0.508444 -4.535460 0.0006 D(WP(-1),3) 0.283543 0.271030 1.046169 0.3145
C -192.8024 4359.867 -0.044222 0.9654
R-squared 0.905574 Mean dependent var 849.0895 Adjusted R-squared 0.891047 S.D. dependent var 52822.01 S.E. of regression 17435.47 Akaike info criterion 22.53776 Sum squared resid 3.95E+09 Schwarz criterion 22.68262 Log likelihood -177.3021 F-statistic 62.33734 Durbin-Watson stat 2.151916 Prob(F-statistic) 0.000000
209
5. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel rata-rata upah riil sektor industri pengolahan di Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -4.882507 1% Critical Value* -3.8877
5% Critical Value -3.0521 10% Critical Value -2.6672
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(WI,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 00:37 Sample(adjusted): 1988 2004 Included observations: 17 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(WI(-1)) -1.879009 0.384845 -4.882507 0.0002 D(WI(-1),2) 0.455412 0.239625 1.900519 0.0782
C 7444.347 4853.822 1.533708 0.1474
R-squared 0.717631 Mean dependent var 122.9087 Adjusted R-squared 0.677292 S.D. dependent var 33543.61 S.E. of regression 19055.25 Akaike info criterion 22.70686 Sum squared resid 5.08E+09 Schwarz criterion 22.85390 Log likelihood -190.0083 F-statistic 17.79022 Durbin-Watson stat 2.033717 Prob(F-statistic) 0.000143
6. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel rata-rata upah riil sektor
lainnya di Sulawesi Selatan ADF Test Statistic -4.568548 1% Critical Value* -3.8877
5% Critical Value -3.0521 10% Critical Value -2.6672
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(WL,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 00:41 Sample(adjusted): 1988 2004 Included observations: 17 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(WL(-1)) -2.430982 0.532113 -4.568548 0.0004 D(WL(-1),2) 0.599966 0.340286 1.763119 0.0997
C 8339.217 4645.794 1.795003 0.0943
R-squared 0.704307 Mean dependent var 3745.681 Adjusted R-squared 0.662065 S.D. dependent var 31631.93 S.E. of regression 18388.33 Akaike info criterion 22.63561 Sum squared resid 4.73E+09 Schwarz criterion 22.78264 Log likelihood -189.4026 F-statistic 16.67319 Durbin-Watson stat 1.529108 Prob(F-statistic) 0.000198
210
7. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel upah riil pertanian perkotaan di Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -3.974270 1% Critical Value* -4.6193
5% Critical Value -3.7119 10% Critical Value -3.2964
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(WPK,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 17:04 Sample(adjusted): 1988 2004 Included observations: 17 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(WPK(-1)) -1.399754 0.352204 -3.974270 0.0016 D(WPK(-1),2) 0.458359 0.252979 1.811846 0.0932
C 5266.053 13767.02 0.382512 0.7083 @TREND(1985) -46.38401 1132.553 -0.040955 0.9680
R-squared 0.576685 Mean dependent var 947.5882 Adjusted R-squared 0.478997 S.D. dependent var 31423.64 S.E. of regression 22681.76 Akaike info criterion 23.09883 Sum squared resid 6.69E+09 Schwarz criterion 23.29488 Log likelihood -192.3401 F-statistic 5.903324 Durbin-Watson stat 2.427968 Prob(F-statistic) 0.009047
8. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel upah riil industri perkotaan
Sulawesi Selatan ADF Test Statistic -5.900484 1% Critical Value* -3.8877
5% Critical Value -3.0521 10% Critical Value -2.6672
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(WIK,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 12:51 Sample(adjusted): 1988 2004 Included observations: 17 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(WIK(-1)) -2.502491 0.424116 -5.900484 0.0000 D(WIK(-1),2) 0.518394 0.233393 2.221125 0.0433
C 13976.47 6072.205 2.301712 0.0372
R-squared 0.866421 Mean dependent var 1047.118 Adjusted R-squared 0.847338 S.D. dependent var 59626.26 S.E. of regression 23297.15 Akaike info criterion 23.10884 Sum squared resid 7.60E+09 Schwarz criterion 23.25587 Log likelihood -193.4251 F-statistic 45.40340 Durbin-Watson stat 2.165484 Prob(F-statistic) 0.000001
211
9. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel upah riil sektor lain di perkotaan Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -7.400187 1% Critical Value* -4.6193
5% Critical Value -3.7119 10% Critical Value -3.2964
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(WLK,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 17:16 Sample(adjusted): 1988 2004 Included observations: 17 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(WLK(-1)) -2.644544 0.357362 -7.400187 0.0000 D(WLK(-1),2) 0.810288 0.226107 3.583643 0.0033
C 21268.22 9986.485 2.129701 0.0529 @TREND(1985) -1193.555 811.9168 -1.470046 0.1653
R-squared 0.868896 Mean dependent var 1656.118 Adjusted R-squared 0.838642 S.D. dependent var 39689.19 S.E. of regression 15942.93 Akaike info criterion 22.39374 Sum squared resid 3.30E+09 Schwarz criterion 22.58979 Log likelihood -186.3468 F-statistic 28.71937 Durbin-Watson stat 2.020883 Prob(F-statistic) 0.000005
10. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel upah riil pertanian pedesaan
Sulawesi Selatan ADF Test Statistic -4.334036 1% Critical Value* -4.6712
5% Critical Value -3.7347 10% Critical Value -3.3086
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(WPD,3) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 17:18 Sample(adjusted): 1989 2004 Included observations: 16 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(WPD(-1),2) -2.302196 0.531190 -4.334036 0.0010 D(WPD(-1),3) 0.296172 0.285831 1.036176 0.3205
C -1170.688 13384.48 -0.087466 0.9317 @TREND(1985) 83.92241 1081.844 0.077573 0.9394
R-squared 0.897271 Mean dependent var 860.6875 Adjusted R-squared 0.871588 S.D. dependent var 55282.30 S.E. of regression 19810.17 Akaike info criterion 22.83810 Sum squared resid 4.71E+09 Schwarz criterion 23.03124 Log likelihood -178.7048 F-statistic 34.93732 Durbin-Watson stat 2.177823 Prob(F-statistic) 0.000003
212
11. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel upah riil industri pedesaan Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -4.164181 1% Critical Value* -3.8877
5% Critical Value -3.0521 10% Critical Value -2.6672
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(WID,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 12:41 Sample(adjusted): 1988 2004 Included observations: 17 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(WID(-1)) -1.634327 0.392473 -4.164181 0.0010 D(WID(-1),2) 0.338039 0.250738 1.348172 0.1990
C 4498.716 5083.860 0.884902 0.3912
R-squared 0.655177 Mean dependent var 85.47059 Adjusted R-squared 0.605916 S.D. dependent var 32626.80 S.E. of regression 20481.83 Akaike info criterion 22.85125 Sum squared resid 5.87E+09 Schwarz criterion 22.99829 Log likelihood -191.2356 F-statistic 13.30025 Durbin-Watson stat 2.085900 Prob(F-statistic) 0.000580
12. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel upah riil sektor lain pedesaan
di Sulawesi Selatan ADF Test Statistic -3.784977 1% Critical Value* -3.9228
5% Critical Value -3.0659 10% Critical Value -2.6745
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(WLD,3) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 00:44 Sample(adjusted): 1989 2004 Included observations: 16 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(WLD(-1),2) -2.183724 0.576945 -3.784977 0.0023 D(WLD(-1),3) 0.380168 0.322073 1.180381 0.2590
C 7537.910 11264.64 0.669165 0.5151
R-squared 0.750760 Mean dependent var 6011.562 Adjusted R-squared 0.712416 S.D. dependent va r 84002.36 S.E. of regression 45047.84 Akaike info criterion 24.43620 Sum squared resid 2.64E+10 Schwarz criterion 24.58106 Log likelihood -192.4896 F-statistic 19.57932 Durbin-Watson stat 1.738834 Prob(F-statistic) 0.000120
213
13. Hasil uj i unit root dan derajat integrasi variabel angkatan kerja total Sulawesi
Selatan ADF Test Statistic -3.198139 1% Critical Value* -3.8877
5% Critical Value -3.0521 10% Critical Value -2.6672
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(AK,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 00:58 Sample(adjusted): 1988 2004 Included observations: 17 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(AK(-1)) -1.293408 0.404425 -3.198139 0.0064 D(AK(-1),2) 0.047475 0.286843 0.165509 0.8709
C 99695.96 45208.81 2.205233 0.0447
R-squared 0.590296 Mean dependent var 4104.118 Adjusted R-squared 0.531767 S.D. dependent var 190203.4 S.E. of regression 130151.5 Akaike info criterion 26.54957 Sum squared resid 2.37E+11 Schwarz criterion 26.69661 Log likelihood -222.6714 F-statistic 10.08552 Durbin-Watson stat 1.865603 Prob(F-statistic) 0.001938
14. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel angkatan kerja perkotaan di
Sulawesi Selatan ADF Test Statistic -2.560379 1% Critical Value* -2.7275
5% Critical Value -1.9642 10% Critical Value -1.6269
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(AKK,3) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 00:59 Sample(adjusted): 1989 2004 Included observations: 16 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(AKK(-1),2) -1.544071 0.603063 -2.560379 0.0227 D(AKK(-1),3) -0.108183 0.344565 -0.313972 0.7582
R-squared 0.689357 Mean dependent var 16901.81 Adjusted R-squared 0.667168 S.D. dependent var 114080.8 S.E. of regression 65814.99 Akaike info criterion 25.14355 Sum squared resid 6.06E+10 Schwarz criterion 25.24013 Log likelihood -199.1484 Durbin-Watson stat 1.569992
214
15. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel angkatan kerja pedesaan di Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -3.458403 1% Critical Value* -3.8877
5% Critical Value -3.0521 10% Critical Value -2.6672
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(AKD,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 01:00 Sample(adjusted): 1988 2004 Included observations: 17 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(AKD(-1)) -1.226927 0.354767 -3.458403 0.0038 D(AKD(-1),2) 0.039775 0.246134 0.161598 0.8739
C 46166.14 29569.14 1.561294 0.1408
R-squared 0.614494 Mean dependent var -2931.529 Adjusted R-squared 0.559422 S.D. dependent var 153261.8 S.E. of regression 101729.2 Akaike info criterion 26.05680 Sum squared resid 1.45E+11 Schwarz criterion 26.20384 Log likelihood -218.4828 F-statistic 11.15796 Durbin-Watson stat 2.084375 Prob(F-statistic) 0.001265
16. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel permintaan tenaga kerja total
di Sulawesi Selatan ADF Test Statistic -3.653745 1% Critical Value* -3.8877
5% Critical Value -3.0521 10% Critical Value -2.6672
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(K,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 01:01 Sample(adjusted): 1988 2004 Included observations: 17 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(K(-1)) -1.449052 0.396594 -3.653745 0.0026 D(K(-1),2) 0.034594 0.292634 0.118215 0.9076
C 63882.81 38022.34 1.680139 0.1151
R-squared 0.687020 Mean dependent var 2445.941 Adjusted R-squared 0.642308 S.D. dependent var 214560.7 S.E. of regression 128323.0 Akaike info criterion 26.52127 Sum squared resid 2.31E+11 Schwarz criterion 26.66831 Log likelihood -222.4308 F-statistic 15.36563 Durbin-Watson stat 2.060642 Prob(F-statistic) 0.000294
215
17. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel permintaan tenaga kerja total perkotaan di Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -3.183676 1% Critical Value* -3.9228
5% Critical Value -3.0659 10% Critical Value -2.6745
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(KK,3) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 01:02 Sample(adjusted): 1989 2004 Included observations: 16 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(KK(-1),2) -2.234546 0.701876 -3.183676 0.0072 D(KK(-1),3) 0.356607 0.391019 0.911994 0.3784
C 4732.232 17153.50 0.275876 0.7870
R-squared 0.642742 Mean dependent var 18667.94 Adjusted R-squared 0.587779 S.D. dependent var 105234.8 S.E. of regression 67565.43 Akaike info criterion 25.24694 Sum squared resid 5.93E+10 Schwarz criterion 25.39180 Log likelihood -198.9755 F-statistic 11.69413 Durbin-Watson stat 1.435946 Prob(F-statistic) 0.001243
18. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel permintaan tenaga kerja total
pedesaan di Sulawesi Selatan ADF Test Statistic -3.983119 1% Critical Value* -3.8877
5% Critical Value -3.0521 10% Critical Value -2.6672
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(KD,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 01:03 Sample(adjusted): 1988 2004 Included observations: 17 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(KD(-1)) -1.405595 0.352888 -3.983119 0.0014 D(KD(-1),2) 0.058875 0.246559 0.238787 0.8147
C 24524.84 26545.44 0.923881 0.3712
R-squared 0.700305 Mean dependent var -3616.471 Adjusted R-squared 0.657492 S.D. dependent var 170870.8 S.E. of regression 100000.8 Akaike info criterion 26.02253 Sum squared resid 1.40E+11 Schwarz criterion 26.16957 Log likelihood -218.1915 F-statistic 16.35710 Durbin-Watson stat 2.259083 Prob(F-statistic) 0.000217
216
19. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel permintaan tenaga kerja total sektor pertanian di Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -3.512095 1% Critical Value* -3.8877
5% Critical Value -3.0521 10% Critical Value -2.6672
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(KP,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 13:14 Sample(adjusted): 1988 2004 Included observations: 17 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(KP(-1)) -1.430816 0.407397 -3.512095 0.0035 D(KP(-1),2) 0.045448 0.251098 0.180996 0.8590
C 32252.27 32345.80 0.997108 0.3356
R-squared 0.711327 Mean dependent var -13622.47 Adjusted R-squared 0.670088 S.D. dependent var 201599.2 S.E. of regression 115794.5 Akaike info criterion 26.31581 Sum squared resid 1.88E+11 Schwarz criterion 26.46285 Log likelihood -220.6844 F-statistic 17.24888 Durbin-Watson stat 2.179951 Prob(F-statistic) 0.000167
20. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel permintaan tenaga kerja total
sektor industri pengolahan di Sulawesi Selatan ADF Test Statistic -4.577246 1% Critical Value* -3.8877
5% Critical Value -3.0521 10% Critical Value -2.6672
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(KI,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 13:07 Sample(adjusted): 1988 2004 Included observations: 17 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(KI(-1)) -1.660343 0.362738 -4.577246 0.0004 D(KI(-1),2) 0.408660 0.238566 1.712983 0.1088
C -3675.019 8613.876 -0.426639 0.6761
R-squared 0.660466 Mean dependent var 650.2941 Adjusted R-squared 0.611962 S.D. dependent var 56749.97 S.E. of regression 35351.10 Akaike info criterion 23.94283 Sum squared resid 1.75E+10 Schwarz criterion 24.08987 Log likelihood -200.5141 F-statistic 13.61652 Durbin-Watson stat 1.912070 Prob(F-statistic) 0.000520
217
21. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel permintaan tenaga kerja total
sektor lain di Sulawesi Selatan ADF Test Statistic -3.581043 1% Critical Value* -3.9228
5% Critical Value -3.0659 10% Critical Value -2.6745
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(KL,3) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 13:08 Sample(adjusted): 1989 2004 Included observations: 16 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(KL(-1),2) -2.520963 0.703975 -3.581043 0.0034 D(KL(-1),3) 0.467290 0.384151 1.216421 0.2454
C 10342.55 33438.17 0.309304 0.7620
R-squared 0.742440 Mean dependent var 30403.31 Adjusted R-squared 0.702815 S.D. dependent var 243595.9 S.E. of regression 132795.6 Akaike info criterion 26.59837 Sum squared resid 2.29E+11 Schwarz criterion 26.74323 Log likelihood -209.7870 F-statistic 18.73679 Durbin-Watson stat 1.424898 Prob(F-statistic) 0.000148
22. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel permintaan tenaga kerja
pertanian perkotaan di Sulawesi Selatan ADF Test Statistic -3.594002 1% Critical Value* -3.8877
5% Critical Value -3.0521 10% Critical Value -2.6672
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(KPK,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 01:05 Sample(adjusted): 1988 2004 Included observations: 17 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(KPK(-1)) -1.669992 0.464661 -3.594002 0.0029 D(KPK(-1),2) 0.264933 0.294804 0.898675 0.3840
C 6075.239 3717.048 1.634426 0.1244
R-squared 0.623692 Mean dependent var -1423.353 Adjusted R-squared 0.569934 S.D. dependent var 19452.62 S.E. of regression 12756.92 Akaike info criterion 21.90432 Sum squared resid 2.28E+09 Schwarz criterion 22.05136 Log likelihood -183.1867 F-statistic 11.60179 Durbin-Watson stat 1.811039 Prob(F-statistic) 0.001069
218
23. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel permintaan tenaga kerja
industri perkotaan di Sulawesi Selatan ADF Test Statistic -4.224974 1% Critical Value* -3.9228
5% Critical Value -3.0659 10% Critical Value -2.6745
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(KIK,3) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 01:06 Sample(adjusted): 1989 2004 Included observations: 16 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(KIK(-1),2) -2.158095 0.510795 -4.224974 0.0010 D(KIK(-1),3) 0.291847 0.289175 1.009238 0.3313
C 198.2137 2349.682 0.084358 0.9341
R-squared 0.808985 Mean dependent var -821.1875 Adjusted R-squared 0.779598 S.D. dependent var 19932.41 S.E. of regression 9357.672 Akaike info criterion 21.29314 Sum squared resid 1.14E+09 Schwarz criterion 21.43800 Log likelihood -167.3451 F-statistic 27.52870 Durbin-Watson stat 1.986546 Prob(F-statistic) 0.000021
24. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel permintaan tenaga kerja sektor
lain perkotaan di Sulawesi Selatan ADF Test Statistic -3.505571 1% Critical Value* -3.9228
5% Critical Value -3.0659 10% Critical Value -2.6745
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(KLK,3) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 01:06 Sample(adjusted): 1989 2004 Included observations: 16 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(KLK(-1),2) -3.084138 0.879782 -3.505571 0.0039 D(KLK(-1),3) 0.608856 0.525899 1.157743 0.2678
C 665.1130 17039.15 0.039034 0.9695
R-squared 0.628677 Mean dependent var 21417.69 Adjusted R-squared 0.571551 S.D. dependent var 100547.0 S.E. of regression 65814.10 Akaike info criterion 25.19442 Sum squared resid 5.63E+10 Schwarz criterion 25.33928 Log likelihood -198.5553 F-statistic 11.00499 Durbin-Watson stat 1.420395 Prob(F-statistic) 0.001597
219
25. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel permintaan tenaga kerja pertanian pedesaan di Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -3.479714 1% Critical Value* -3.8572
5% Critical Value -3.0400 10% Critical Value -2.6608
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(KPD) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 01:07 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
KPD(-1) -0.590103 0.169584 -3.479714 0.0034 D(KPD(-1)) -0.173224 0.183270 -0.945182 0.3595
C 948731.8 264248.3 3.590304 0.0027
R-squared 0.479133 Mean dependent var 24575.06 Adjusted R-squared 0.409684 S.D. dependent var 118528.0 S.E. of regression 91067.45 Akaike info criterion 25.82760 Sum squared resid 1.24E+11 Schwarz criterion 25.97600 Log likelihood -229.4484 F-statistic 6.899064 Durbin-Watson stat 2.059006 Prob(F-statistic) 0.007507
26. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel permintaan tenaga kerja
industri pedesaan di Sulawesi Selatan ADF Test Statistic -2.163073 1% Critical Value* -2.7275
5% Critical Value -1.9642 10% Critical Value -1.6269
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(KID,3) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 01:08 Sample(adjusted): 1989 2004 Included observations: 16 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(KID(-1),2) -1.196191 0.553006 -2.163073 0.0483 D(KID(-1),3) -0.111090 0.367053 -0.302653 0.7666
R-squared 0.674920 Mean dependent var 28.81250 Adjusted R-squared 0.651699 S.D. dependent var 13731.69 S.E. of regression 8104.028 Akaike info criterion 20.95458 Sum squared resid 9.19E+08 Schwarz criterion 21.05115 Log likelihood -165.6366 Durbin-Watson stat 1.907853
220
27. Hasil uji unit root dan derajat integrasi variabel permintaan tenaga kerja sektor lain pedesaan di Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -4.270450 1% Critical Value* -3.9228
5% Critical Value -3.0659 10% Critical Value -2.6745
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(KLD,3) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 01:09 Sample(adjusted): 1989 2004 Included observations: 16 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(KLD(-1),2) -2.422414 0.567250 -4.270450 0.0009 D(KLD(-1),3) 0.365831 0.300337 1.218067 0.2448
C 6373.546 20345.68 0.313263 0.7591
R-squared 0.876680 Mean dependent var 8985.625 Adjusted R-squared 0.857708 S.D. dependent var 215565.3 S.E. of regression 81314.84 Akaike info criterion 25.61741 Sum squared resid 8.60E+10 Schwarz criterion 25.76227 Log likelihood -201.9392 F-statistic 46.20836 Durbin-Watson stat 1.739602 Prob(F-statistic) 0.000001
221
Lampiran 5 Hasil uji kointegrasi persamaan autoregressive redisual dari persamaan respon upah riil dan respon kesempatan kerja.
A. Hasil uji kointegrasi persamaan autoregressive redisual dari persamaan
respon upah riil. 1. Hasil uji kointegrasi autoregressive residual persamaan respon rata-rata upah
riil (W) dari goncangan kesempatan kerja total (K) di Sulawesi Selatan ADF Test Statistic -3.568418 1% Critical Value* -2.7158
5% Critical Value -1.9627 10% Critical Value -1.6262
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECM01W,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 09:44 Sample(adjusted): 1988 2004 Included observations: 17 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(ECM01W(-1)) -1.452499 0.407043 -3.568418 0.0028 D(ECM01W(-1),2) 0.240045 0.266378 0.901146 0.3818
R-squared 0.576697 Mean dependent var 1616.704 Adjusted R-squared 0.548477 S.D. dependent var 18386.02 S.E. of regression 12354.57 Akaike info criterion 21.79157 Sum squared resid 2.29E+09 Schwarz criterion 21.88960 Log likelihood -183.2284 Durbin-Watson stat 1.813232
2. Hasil uji kointegrasi autoregressive residual persamaan respon rata-rata upah
riil (W) dari goncangan angkatan kerja total (AK) di Sulawesi Selatan ADF Test Statistic -2.719341 1% Critical Value* -2.7057
5% Critical Value -1.9614 10% Critical Value -1.6257
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECM02WAK) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 09:56 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
ECM02WAK(-1) -0.898909 0.330561 -2.719341 0.0152 D(ECM02WAK(-1)) 0.210482 0.275843 0.763049 0.4565
R-squared 0.345582 Mean dependent var 877.7372 Adjusted R-squared 0.304680 S.D. dependent var 12376.03 S.E. of regression 10319.86 Akaike info criterion 21.42597 Sum squared resid 1.70E+09 Schwarz criterion 21.52490 Log likelihood -190.8337 Durbin-Watson stat 1.759862
222
3. Hasil uji kointegrasi autoregressive residual persamaan respon upah riil
perkotaan (WK) dari goncangan kesempatan kerja perkotaan (KK) di Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -3.873695 1% Critical Value* -2.7057
5% Critical Value -1.9614 10% Critical Value -1.6257
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECM03WKKK) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 09:59 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
ECM03WKKK(-1) -1.301870 0.336080 -3.873695 0.0013 D(ECM03WKKK(-1)) 0.313929 0.237224 1.323344 0.2043
R-squared 0.543469 Mean dependent var -176.5477 Adjusted R-squared 0.514936 S.D. dependent var 15733.91 S.E. of regression 10958.12 Akaike info criterion 21.54599 Sum squared resid 1.92E+09 Schwarz criterion 21.64492 Log likelihood -191.9139 Durbin-Watson stat 1.924106
4. Hasil uji kointegrasi autoregressive residual persamaan respon upah riil
perkotaan (WK) dari goncangan angkatan kerja perkotaan (AKK) di Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -3.912598 1% Critical Value* -2.7057
5% Critical Value -1.9614 10% Critical Value -1.6257
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECM04WKAKK) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:02 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
ECM04WKAKK(-1) -1.465143 0.374468 -3.912598 0.0012 D(ECM04WKAKK(-
1)) 0.334026 0.253344 1.318468 0.2059
R-squared 0.583174 Mean dependent var -343.2204 Adjusted R-squared 0.557123 S.D. dependent var 16362.36 S.E. of regression 10888.99 Akaike info criterion 21.53333 Sum squared resid 1.90E+09 Schwarz criterion 21.63226 Log likelihood -191.8000 Durbin-Watson stat 1.873838
223
5. Hasil uji kointegrasi autoregressive residual persamaan respon upah riil pedesaan (WD) dari goncangan kesempatan kerja pedesaan (KD) di Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -3.245348 1% Critical Value* -2.7158
5% Critical Value -1.9627 10% Critical Value -1.6262
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECM05WDKD,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:08 Sample(adjusted): 1988 2004 Included observations: 17 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(ECM05WDKD(-1)) -1.345781 0.414680 -3.245348 0.0054 D(ECM05WDKD(-
1),2) 0.209315 0.274724 0.761908 0.4579
R-squared 0.531596 Mean dependent var 1880.761 Adjusted R-squared 0.500369 S.D. dependent var 22338.59 S.E. of regression 15789.93 Akaike info criterion 22.28226 Sum squared resid 3.74E+09 Schwarz criterion 22.38029 Log likelihood -187.3992 Durbin-Watson stat 1.838638
6. Hasil uji kointegrasi autoregressive residual persamaan respon upah riil
pedesaan (WD) dari goncangan angkatan kerja pedesaan (AKD) di Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -2.721153 1% Critical Value* -2.7057
5% Critical Value -1.9614 10% Critical Value -1.6257
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECM06WDAKD) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:09 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
ECM06WDAKD(-1) -0.877836 0.322597 -2.721153 0.0151 D(ECM06WDAKD(-
1)) 0.341456 0.276111 1.236659 0.2341
R-squared 0.315831 Mean dependent var 1395.534 Adjusted R-squared 0.273071 S.D. dependent var 15053.22 S.E. of regression 12834.40 Akaike info criterion 21.86208 Sum squared resid 2.64E+09 Schwarz criterion 21.96101 Log likelihood -194.7588 Durbin-Watson stat 1.784931
224
7. Hasil uji kointegrasi autoregressive residual persamaan respon upah riil pertanian perkotaan (WPK) dari goncangan kesempatan kerja pertanian perkotaan (KPK) di Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -4.437763 1% Critical Value* -2.7057
5% Critical Value -1.9614 10% Critical Value -1.6257
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECM07WPKKPK) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:12 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
ECM07WPKKPK(-1) -1.062295 0.239376 -4.437763 0.0004 D(ECM07WPKKPK(-
1)) 0.635903 0.210025 3.027754 0.0080
R-squared 0.554141 Mean dependent var 2071.118 Adjusted R-squared 0.526275 S.D. dependent var 24263.33 S.E. of regression 16699.90 Akaike info criterion 22.38863 Sum squared resid 4.46E+09 Schwarz criterion 22.48756 Log likelihood -199.4977 Durbin-Watson stat 1.873046
8. Hasil uji kointegrasi autoregressive residual persamaan respon upah riil
industri perkotaan (WIK) dari goncangan kesempatan kerja industri perkotaan (KIK) di Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -5.744322 1% Critical Value* -2.7158
5% Critical Value -1.9627 10% Critical Value -1.6262
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECM08WIKKIK,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:13 Sample(adjusted): 1988 2004 Included observations: 17 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(ECM08WIKKIK(-1)) -2.465569 0.429218 -5.744322 0.0000 D(ECM08WIKKIK(-
1),2) 0.451057 0.234416 1.924173 0.0735
R-squared 0.875756 Mean dependent var 2388.728 Adjusted R-squared 0.867473 S.D. dependent var 65117.66 S.E. of regression 23705.60 Akaike info criterion 23.09494 Sum squared resid 8.43E+09 Schwarz criterion 23.19297 Log likelihood -194.3070 Durbin-Watson stat 2.043962
225
9. Hasil uji kointegrasi autoregressive residual persamaan respon upah riil sektor lain di perkotaan (WLK) dari goncangan kesempatan kerja sektor lain perkotaan (KLK) di Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -4.080726 1% Critical Value* -2.7057
5% Critical Value -1.9614 10% Critical Value -1.6257
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECM09WLKKLK) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:17 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
ECM09WLKKLK(-1) -1.472325 0.360800 -4.080726 0.0009 D(ECM09WLKKLK(-
1)) 0.338255 0.238602 1.417654 0.1755
R-squared 0.586944 Mean dependent var -618.1513 Adjusted R-squared 0.561128 S.D. dependent var 20429.10 S.E. of regression 13533.75 Akaike info criterion 21.96820 Sum squared resid 2.93E+09 Schwarz criterion 22.06713 Log likelihood -195.7138 Durbin-Watson stat 1.809827
10. Hasil uji kointegrasi autoregressive residual persamaan respon upah riil
pertanian pedesaan (WPD) dari goncangan kesempatan kerja pertanian pedesaan (KPD) di Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -2.206878 1% Critical Value* -2.7057
5% Critical Value -1.9614 10% Critical Value -1.6257
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECM10WPDKPD) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:25 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
ECM10WPDKPD(-1) -0.703294 0.318683 -2.206878 0.0423 D(ECM10WPDKPD(-
1)) 0.052310 0.266261 0.196460 0.8467
R-squared 0.304089 Mean dependent var 764.1821 Adjusted R-squared 0.260594 S.D. dependent var 15029.35 S.E. of regression 12923.54 Akaike info criterion 21.87593 Sum squared resid 2.67E+09 Schwarz criterion 21.97486 Log likelihood -194.8834 Durbin-Watson stat 1.907605
226
11. Hasil uji kointegrasi autoregressive residual persamaan respon upah riil industri pedesaan (WID) dari goncangan kesempatan kerja industri pedesaan (KID) di Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -4.261327 1% Critical Value* -2.7158
5% Critical Value -1.9627 10% Critical Value -1.6262
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECM11WIDKID,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:33 Sample(adjusted): 1988 2004 Included observations: 17 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(ECM11WIDKID(-1))
-1.595146 0.374331 -4.261327 0.0007
D(ECM11WIDKID(-1),2)
0.333753 0.241896 1.379739 0.1879
R-squared 0.643923 Mean dependent var -208.5154 Adjusted R-squared 0.620184 S.D. dependent var 34321.85 S.E. of regression 21152.28 Akaike info criterion 22.86701 Sum squared resid 6.71E+09 Schwarz criterion 22.96504 Log likelihood -192.3696 Durbin-Watson stat 2.061215
12. Hasil uji kointegrasi autoregressive residual persamaan respon upah riil sektor
lain di pedesaan (WLD) dari goncangan kesempatan kerja sektor lain pedesaan (KLD) di Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -2.136272 1% Critical Value* -2.7158
5% Critical Value -1.9627 10% Critical Value -1.6262
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECM12WLDKLD,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:34 Sample(adjusted): 1988 2004 Included observations: 17 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(ECM12WLDKLD(-1))
-1.312275 0.614283 -2.136272 0.0495
D(ECM12WLDKLD(-1),2)
0.073789 0.373675 0.197469 0.8461
R-squared 0.444594 Mean dependent var 5328.833 Adjusted R-squared 0.407566 S.D. dependent var 44112.14 S.E. of regression 33952.99 Akaike info criterion 23.81347 Sum squared resid 1.73E+10 Schwarz criterion 23.91150 Log likelihood -200.4145 Durbin-Watson stat 1.485580
227
B. Hasil Uji Kointegrasi Persamaan Autoregressive Redisual dari Persamaan
Respon Kesempatan Kerja. 1. Hasil uji kointegrasi autoregressive residual persamaan respon kesempatan
kerja total (K) dari goncangan upah riil rata-rata (W) di Sulawesi Selatan ADF Test Statistic -2.301503 1% Critical Value* -2.7057
5% Critical Value -1.9614 10% Critical Value -1.6257
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECM13KW) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:36 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
ECM13KW(-1) -0.479796 0.208471 -2.301503 0.0351 D(ECM13KW(-1)) 0.152076 0.235854 0.644788 0.5282
R-squared 0.249717 Mean dependent var 4927.758 Adjusted R-squared 0.202824 S.D. dependent var 190592.4 S.E. of regression 170169.8 Akaike info criterion 27.03142 Sum squared resid 4.63E+11 Schwarz criterion 27.13035 Log likelihood -241.2828 Durbin-Watson stat 1.835411
2. Hasil uji kointegrasi autoregressive residual persamaan respon kesempatan
kerja perkotaan (KK) dari goncangan upah riil perkotaan (WK) di Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -2.940957 1% Critical Value* -2.7057
5% Critical Value -1.9614 10% Critical Value -1.6257
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECM14KKWK) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:39 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
ECM14KKWK(-1) -0.920536 0.313006 -2.940957 0.0096 D(ECM14KKWK(-1)) 0.197881 0.250057 0.791343 0.4403
R-squared 0.401389 Mean dependent var 7658.121 Adjusted R-squared 0.363975 S.D. dependent var 109869.8 S.E. of regression 87622.40 Akaike info criterion 25.70390 Sum squared resid 1.23E+11 Schwarz criterion 25.80283 Log likelihood -229.3351 Durbin-Watson stat 1.911044
228
3. Hasil uji kointegrasi autoregressive residual persamaan respon kesempatan kerja pedesaan (KD) dari goncangan upah riil pedesaan (WD) di Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -2.943962 1% Critical Value* -2.7057
5% Critical Value -1.9614 10% Critical Value -1.6257
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECM15KDWD) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:40 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
ECM15KDWD(-1) -0.554841 0.188467 -2.943962 0.0095 D(ECM15KDWD(-1)) 0.214326 0.199500 1.074316 0.2986
R-squared 0.349860 Mean dependent var 10773.38 Adjusted R-squared 0.309226 S.D. dependent var 119069.8 S.E. of regression 98962.24 Akaike info criterion 25.94730 Sum squared resid 1.57E+11 Schwarz criterion 26.04623 Log likelihood -231.5257 Durbin-Watson stat 1.858116
4. Hasil uji kointegrasi autoregressive residual persamaan respon kesempatan
kerja pertanian (KP) dari goncangan upah riil pertanian (WP) di Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -3.337102 1% Critical Value* -2.7057
5% Critical Value -1.9614 10% Critical Value -1.6257
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECM16KPWP) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:42 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
ECM16KPWP(-1) -0.758730 0.227362 -3.337102 0.0042 D(ECM16KPWP(-1)) 0.120942 0.206480 0.585731 0.5662
R-squared 0.419533 Mean dependent var 9120.249 Adjusted R-squared 0.383254 S.D. dependent var 136247.2 S.E. of regression 106999.3 Akaike info criterion 26.10347 Sum squared resid 1.83E+11 Schwarz criterion 26.20240 Log likelihood -232.9312 Durbin-Watson stat 1.950490
229
5. Hasil uji kointegrasi autoregressive residual persamaan respon kesempatan kerja industri (KI) dari goncangan upah riil industri (WI) di Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -3.041809 1% Critical Value* -2.7057
5% Critical Value -1.9614 10% Critical Value -1.6257
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECM17KIWI) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:43 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
ECM17KIWI(-1) -0.838195 0.275558 -3.041809 0.0078 D(ECM17KIWI(-1)) 0.298433 0.247162 1.207441 0.2448
R-squared 0.378730 Mean dependent var -380.0963 Adjusted R-squared 0.339901 S.D. dependent var 37533.71 S.E. of regression 30494.82 Akaike info criterion 23.59294 Sum squared resid 1.49E+10 Schwarz criterion 23.69187 Log likelihood -210.3365 Durbin-Watson stat 1.970889
6. Hasil uji kointegrasi autoregressive residual persamaan respon kesempatan
kerja sektor lain (KL) dari goncangan upah riil sektor lain (WL) di Sulawesi Selatan
ADF Test Statistic -3.167823 1% Critical Value* -2.7158
5% Critical Value -1.9627 10% Critical Value -1.6262
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECM18KLWL,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:44 Sample(adjusted): 1988 2004 Included observations: 17 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(ECM18KLWL(-1)) -1.369881 0.432436 -3.167823 0.0064 D(ECM18KLWL(-1),2) 0.020035 0.262862 0.076219 0.9403
R-squared 0.655526 Mean dependent var -10192.53 Adjusted R-squared 0.632561 S.D. dependent var 202223.9 S.E. of regression 122581.5 Akaike info criterion 26.38107 Sum squared resid 2.25E+11 Schwarz criterion 26.47910 Log likelihood -222.2391 Durbin-Watson stat 1.925963
230
Lampiran 6 Hasil estimasi koefisien ECM untuk persamaan respon upah riil dan persamaan respon permintaan tenaga kerja di Sulawesi Selatan
A. Hasil estimasi koefisien ECM untuk persamaan respon upah riil di
Sulawesi Selatan 1. Hasil estimasi koefisien ECM untuk persamaan respon upah riil rata-rata (W)
dari goncangan kesempatan kerja total (K) di Sulawesi Selatan Dependent Variable: D(W,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 09:06 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -4693.755 4352.903 -1.078305 0.2979 D(K,1) 0.070080 0.030559 2.293253 0.0367
ECM01W(-1) -1.259635 0.411314 -3.062464 0.0079
R-squared 0.425111 Mean dependent var 1286.182 Adjusted R-squared 0.348460 S.D. dependent var 20159.79 S.E. of regression 16272.59 Akaike info criterion 22.38336 Sum squared resid 3.97E+09 Schwarz criterion 22.53176 Log likelihood -198.4503 F-statistic 5.546005 Durbin-Watson stat 1.739092 Prob(F-statistic) 0.015735
2. Hasil estimasi koefisien ECM untuk persamaan respon upah riil rata-rata (W)
dari goncangan angkatan kerja total (AK) di Sulawesi Selatan Dependent Variable: D(W,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 12:03 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -9054.982 3561.910 -2.542170 0.0225 D(AK,1) 0.095695 0.024252 3.945785 0.0013
ECM02WAK(-1) -1.944506 0.331870 -5.859238 0.0000
R-squared 0.709570 Mean dependent var 1286.182 Adjusted R-squared 0.670845 S.D. dependent var 20159.79 S.E. of regression 11566.07 Akaike info criterion 21.70055 Sum squared resid 2.01E+09 Schwarz criterion 21.84895 Log likelihood -192.3050 F-statistic 18.32374 Durbin-Watson stat 1.532272 Prob(F-statistic) 0.000094
231
3. Hasil estimasi koefisien ECM untuk persamaan respon upah riil perkotaan (WK) dari goncangan kesempatan kerja perkotaan (KK) di Sulawesi Selatan
Dependent Variable: D(WK,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 16:37 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 610.8557 3163.196 0.193113 0.8495 D(KK,2) 0.167333 0.044117 3.792972 0.0018
ECM03WKKK(-1) -1.942683 0.290563 -6.685924 0.0000
R-squared 0.819973 Mean dependent var 966.6052 Adjusted R-squared 0.795970 S.D. dependent var 29307.67 S.E. of regression 13238.18 Akaike info criterion 21.97061 Sum squared resid 2.63E+09 Schwarz criterion 22.11901 Log likelihood -194.7355 F-statistic 34.16052 Durbin-Watson stat 1.843076 Prob(F-statistic) 0.000003
4. Hasil estimasi koefisien ECM untuk persamaan respon upah riil perkotaan
(WK) dari goncangan angkatan kerja perkotaan (AKK) di Sulawesi Selatan Dependent Variable: D(WK,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 16:58 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -1213.467 3855.170 -0.314764 0.7573 D(AKK,1) 0.106910 0.055798 1.916015 0.0746
ECM04WKAKK(-1) -2.298961 0.283128 -8.119875 0.0000
R-squared 0.832651 Mean dependent var 966.6052 Adjusted R-squared 0.810337 S.D. dependent var 29307.67 S.E. of regression 12763.57 Akaike info criterion 21.89759 Sum squared resid 2.44E+09 Schwarz criterion 22.04598 Log likelihood -194.0783 F-statistic 37.31643 Durbin-Watson stat 1.747553 Prob(F-statistic) 0.000002
232
5. Hasil estimasi koefisien ECM untuk persamaan respon upah riil pedesaan (WD) dari goncangan kesempatan kerja pedesaan (KD) di Sulawesi Selatan
Dependent Variable: D(WD,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 17:06 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -1240.845 4152.595 -0.298812 0.7692 D(KD,2) 0.070465 0.026368 2.672376 0.0174
ECM05WDKD(-1) -1.202544 0.348719 -3.448459 0.0036
R-squared 0.500981 Mean dependent var 1260.670 Adjusted R-squared 0.434445 S.D. dependent var 23048.02 S.E. of regression 17332.89 Akaike info criterion 22.50961 Sum squared resid 4.51E+09 Schwarz criterion 22.65801 Log likelihood -199.5865 F-statistic 7.529481 Durbin-Watson stat 2.032601 Prob(F-statistic) 0.005444
6. Hasil estimasi koefisien ECM untuk persamaan respon upah riil pedesaan
(WD) dari goncangan angkatan kerja pedesaan (AKD) di Sulawesi Selatan Dependent Variable: D(WD,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 12:37 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -6579.889 4393.182 -1.497750 0.1549 D(AKD,1) 0.111464 0.042692 2.610872 0.0197
ECM06WDAKD(-1) -1.648002 0.366844 -4.492375 0.0004
R-squared 0.578953 Mean dependent var 1260.670 Adjusted R-squared 0.522813 S.D. dependent var 23048.02 S.E. of regression 15921.28 Akaike info criterion 22.33971 Sum squared resid 3.80E+09 Schwarz criterion 22.48811 Log likelihood -198.0574 F-statistic 10.31272 Durbin-Watson stat 1.674451 Prob(F-statistic) 0.001522
233
7. Hasil estimasi koefisien ECM untuk persamaan respon upah riil pertanian perkotaan (WPK) dari goncangan kesempatan kerja pertanian perkotaan (KPK) di Sulawesi Selatan
Dependent Variable: D(WPK,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 17:47 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 212.3957 4419.634 0.048057 0.9623 D(KPK,2) 0.396547 0.246862 1.606352 0.1290
ECM07WPKKPK(-1) -1.267076 0.229736 -5.515348 0.0001
R-squared 0.670355 Mean dependent var 481.7778 Adjusted R-squared 0.626402 S.D. dependent var 30549.40 S.E. of regression 18672.59 Akaike info criterion 22.65851 Sum squared resid 5.23E+09 Schwarz criterion 22.80691 Log likelihood -200.9266 F-statistic 15.25176 Durbin-Watson stat 2.116995 Prob(F-statistic) 0.000243
8. Hasil estimasi koefisien ECM untuk persamaan respon upah riil industri
perkotaan (WIK) dari goncangan kesempatan kerja industri perkotaan (KIK) di Sulawesi Selatan
Dependent Variable: D(WIK,1) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 17:56 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 4568.387 6315.008 0.723417 0.4806 D(KIK,2) 0.495882 0.597855 0.829435 0.4199
ECM08WIKKIK(-1) -0.922179 0.300133 -3.072565 0.0077
R-squared 0.387559 Mean dependent var 6094.556 Adjusted R-squared 0.305901 S.D. dependent var 32059.59 S.E. of regression 26709.69 Akaike info criterion 23.37445 Sum squared resid 1.07E+10 Schwarz criterion 23.52285 Log likelihood -207.3701 F-statistic 4.746087 Durbin-Watson stat 1.878977 Prob(F-statistic) 0.025292
234
9. Hasil estimasi koefisien ECM untuk persamaan respon upah riil sektor lain di perkotaan (WLK) dari goncangan kesempatan kerja sektor lain perkotaan (KLK) di Sulawesi Selatan
Dependent Variable: D(WLK,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:03 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 2341.676 4051.676 0.577952 0.5719 D(KLK,2) 0.153097 0.055073 2.779899 0.0140
ECM09WLKKLK(-1) -2.229449 0.308101 -7.236088 0.0000
R-squared 0.833366 Mean dependent var 959.4444 Adjusted R-squared 0.811148 S.D. dependent var 38617.45 S.E. of regression 16782.02 Akaike info criterion 22.44502 Sum squared resid 4.22E+09 Schwarz criterion 22.59341 Log likelihood -199.0051 F-statistic 37.50881 Durbin-Watson stat 1.523536 Prob(F-statistic) 0.000001
10. Hasil estimasi koefisien ECM untuk persamaan respon upah riil pertanian
pedesaan (WPD) dari goncangan kesempatan kerja pertanian pedesaan (KPD) di Sulawesi Selatan
Dependent Variable: D(WPD,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 19:53 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -4632.171 4820.932 -0.960845 0.3519 D(KPD,1) 0.099632 0.041374 2.408103 0.0294
ECM10WPDKPD(-1) -1.559704 0.394812 -3.950493 0.0013
R-squared 0.548907 Mean dependent var -194.4444 Adjusted R-squared 0.488761 S.D. dependent var 27668.00 S.E. of regression 19782.89 Akaike info criterion 22.77403 Sum squared resid 5.87E+09 Schwarz criterion 22.92243 Log likelihood -201.9663 F-statistic 9.126272 Durbin-Watson stat 2.200678 Prob(F-statistic) 0.002553
235
11. Hasil estimasi koefisien ECM untuk persamaan respon upah riil industri pedesaan (WID) dari goncangan kesempatan kerja industri pedesaan (KID) di Sulawesi Selatan
Dependent Variable: D(WID,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 09:03 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -732.2807 6407.943 -0.114277 0.9105 D(KID,2) -0.098751 0.913255 -0.108130 0.9153
ECM11WIDKID(-1) -0.838170 0.327231 -2.561401 0.0217
R-squared 0.352813 Mean dependent var -320.9444 Adjusted R-squared 0.266521 S.D. dependent var 31699.57 S.E. of regression 27148.59 Akaike info criterion 23.40705 Sum squared resid 1.11E+10 Schwarz criterion 23.55544 Log likelihood -207.6634 F-statistic 4.088608 Durbin-Watson stat 2.349674 Prob(F-statistic) 0.038258
12. Hasil estimasi koefisien ECM untuk persamaan respon upah riil sektor lain di
pedesaan (WLD) dari goncangan kesempatan kerja sektor lain pedesaan (KLD) di Sulawesi Selatan
Dependent Variable: D(WLD,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 12:59 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -2979.915 8839.473 -0.337115 0.7407 D(KLD,2) 0.223975 0.078895 2.838907 0.0124
ECM12WLDKLD(-1) -1.435355 0.480304 -2.988434 0.0092
R-squared 0.509951 Mean dependent var 5678.833 Adjusted R-squared 0.444611 S.D. dependent var 48289.72 S.E. of regression 35987.64 Akaike info criterion 23.97075 Sum squared resid 1.94E+10 Schwarz criterion 24.11915 Log likelihood -212.7368 F-statistic 7.804590 Durbin-Watson stat 2.022569 Prob(F-statistic) 0.004751
236
B. Hasil estimasi koiefisien ECM untuk persamaan respon permintaan tenaga kerja terhadap guncangan upah riil di Sulawesi Selatan
1. Hasil estimasi koefisien ECM untuk persamaan respon kesempatan kerja
perkotaan (KK) dari goncangan upah riil perkotaan (WK) di Sulawesi Selatan Dependent Variable: D(KK,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 15:05 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 5438.968 13624.97 0.399191 0.6954 D(WK,2) 2.426156 0.678916 3.573573 0.0028
ECM14KKWK(-1) -0.499119 0.222379 -2.244450 0.0403
R-squared 0.463614 Mean dependent var 10180.28 Adjusted R-squared 0.392096 S.D. dependent var 73624.98 S.E. of regression 57404.09 Akaike info criterion 24.90463 Sum squared resid 4.94E+10 Schwarz criterion 25.05303 Log likelihood -221.1417 F-statistic 6.482462 Durbin-Watson stat 2.112692 Prob(F-statistic) 0.009356
2. Hasil estimasi koefisien ECM untuk persamaan respon kesempatan kerja
pedesaan (KD) dari goncangan upah riil pedesaan (WD) di Sulawesi Selatan Dependent Variable: D(KD,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 10:16 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 9857.126 33587.39 0.293477 0.7732 D(WD,2) 3.338803 1.528650 2.184152 0.0452
ECM15KDWD(-1) -0.686694 0.273240 -2.513152 0.0239
R-squared 0.370445 Mean dependent var -1362.000 Adjusted R-squared 0.286504 S.D. dependent var 166044.8 S.E. of regression 140255.8 Akaike info criterion 26.69134 Sum squared resid 2.95E+11 Schwarz criterion 26.83973 Log likelihood -237.2220 F-statistic 4.413172 Durbin-Watson stat 2.159184 Prob(F-statistic) 0.031100
237
3. Hasil estimasi koefisien ecm untuk persamaan respon kesempatan kerja pertanian (KP) dari goncangan upah riil pertanian (WP) di Sulawesi Selatan
Dependent Variable: D(KP,1) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 13:15 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 44921.40 19259.27 2.332456 0.0340 D(WP,2) 2.660591 0.798853 3.330513 0.0046
ECM16KPWP(-1) -0.793048 0.172834 -4.588495 0.0004
R-squared 0.615471 Mean dependent var 27680.39 Adjusted R-squared 0.564201 S.D. dependent var 121452.5 S.E. of regression 80176.97 Akaike info criterion 25.57287 Sum squared resid 9.64E+10 Schwarz criterion 25.72127 Log likelihood -227.1558 F-statistic 12.00439 Durbin-Watson stat 2.061905 Prob(F-statistic) 0.000771
4. Hasil estimasi koefisien ECM untuk persamaan respon kesempatan kerja
industri (KI) dari goncangan upah riil industri (WI) di Sulawesi Selatan Dependent Variable: D(KI,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 20:35 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 2336.369 7595.287 0.307608 0.7626 D(WI,2) 0.604174 0.260055 2.323250 0.0346
ECM17KIWI(-1) -1.046343 0.256143 -4.085002 0.0010
R-squared 0.698445 Mean dependent var 565.8333 Adjusted R-squared 0.658238 S.D. dependent var 55056.72 S.E. of regression 32186.39 Akaike info criterion 23.74749 Sum squared resid 1.55E+10 Schwarz criterion 23.89588 Log likelihood -210.7274 F-statistic 17.37111 Durbin-Watson stat 2.190026 Prob(F-statistic) 0.000125
238
5. Hasil estimasi koefisien ecm untuk persamaan respon kesempatan kerja sektor lain (KL) dari goncangan upah riil sektor lain (WL) di Sulawesi Selatan
Dependent Variable: D(KL,2) Method: Least Squares Date: 07/27/06 Time: 13:17 Sample(adjusted): 1987 2004 Included observations: 18 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 1174.830 29669.19 0.039598 0.9689 D(WL,1) 4.144200 1.435287 2.887367 0.0113
ECM18KLWL(-1) -0.419366 0.221664 -1.891905 0.0780
R-squared 0.412767 Mean dependent var 18802.67 Adjusted R-squared 0.334469 S.D. dependent var 149892.7 S.E. of regression 122282.5 Akaike info criterion 26.41707 Sum squared resid 2.24E+11 Schwarz criterion 26.56546 Log likelihood -234.7536 F-statistic 5.271765 Durbin-Watson stat 2.684175 Prob(F-statistic) 0.018453
239
Lampiran 7. Uji root mean squared error dan uji theil inequality coeficient pada persamaan-persamaan estimasi dalam analisa simulasi kebijakan
1. Output uji root mean squared error dan theil inequality coeficient pada
persamaan kesempatan kerja pertanian perkotaan
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
88 90 92 94 96 98 00 02 04
KPKF
Forecast: KPKFActual: KPKForecast sample: 1985 2004Adjusted sample: 1987 2004Included observations: 18
Root Mean Squared Error 3107.224Mean Absolute Error 2587.557Mean Abs. Percent Error 3.506791Theil Inequality Coefficient 0.018584 Bias Proportion 0.001524 Variance Proportion 0.002740 Covariance Proportion 0.995736
2. Output uji root mean squared error dan theil inequality coeficient pada
persamaan kesempatan kerja industri perkotaan
20000
30000
40000
50000
60000
70000
80000
88 90 92 94 96 98 00 02 04
KIKF
Forecast: KIKFActual: KIKForecast sample: 1985 2004Adjusted sample: 1987 2004Included observations: 18
Root Mean Squared Error 1184.256Mean Absolute Error 899.0783Mean Abs. Percent Error 1.951242Theil Inequality Coefficient 0.010946 Bias Proportion 0.000251 Variance Proportion 0.001569 Covariance Proportion 0.998179
3. Output uji root mean squared error dan theil inequality coeficient pada
persamaan kesempatan kerja sektor lain perkotaan
200000
300000
400000
500000
600000
700000
800000
88 90 92 94 96 98 00 02 04
KLKF
Forecast: KLKFActual: KLKForecast sample: 1985 2004Adjusted sample: 1987 2004Included observations: 18
Root Mean Squared Error 11725.21Mean Absolute Error 8312.677Mean Abs. Percent Error 1.928155Theil Inequality Coefficient 0.011170 Bias Proportion 0.000004 Variance Proportion 0.000052 Covariance Proportion 0.999944
240
4. Output uji root mean squared error dan theil inequality coeficient pada persamaan kesempatan kerja pertanian pedesaan
1200000
1300000
1400000
1500000
1600000
1700000
1800000
1900000
88 90 92 94 96 98 00 02 04
KPDF
Forecast: KPDFActual: KPDForecast sample: 1985 2004Adjusted sample: 1987 2004Included observations: 18
Root Mean Squared Error 20674.24Mean Absolute Error 16430.12Mean Abs. Percent Error 1.045019Theil Inequality Coefficient 0.006526 Bias Proportion 0.000000 Variance Proportion 0.011110 Covariance Proportion 0.988890
5. Output uji root mean squared error dan theil inequality coeficient pada
persamaan kesempatan kerja industri pedesaan
70000
80000
90000
100000
110000
120000
130000
88 90 92 94 96 98 00 02 04
KIDF
Forecast: KIDFActual: KIDForecast sample: 1985 2004Adjusted sample: 1987 2004Included observations: 18
Root Mean Squared Error 2217.104Mean Absolute Error 1736.203Mean Abs. Percent Error 1.690476Theil Inequality Coefficient 0.010768 Bias Proportion 0.015173 Variance Proportion 0.285619 Covariance Proportion 0.699207
6. Output uji root mean squared error dan theil inequality coeficient pada
persamaan kesempatan kerja sektor lain pedesaan
200000
300000
400000
500000
600000
700000
800000
88 90 92 94 96 98 00 02 04
KLDF
Forecast: KLDFActual: KLDForecast sample: 1985 2004Adjusted sample: 1987 2004Included observations: 18
Root Mean Squared Error 22376.92Mean Absolute Error 18256.28Mean Abs. Percent Error 4.081049Theil Inequality Coefficient 0.023610 Bias Proportion 0.000000 Variance Proportion 0.021758 Covariance Proportion 0.978242
241
7. Output uji root mean squared error dan theil inequality coeficient pada persamaan pertumbuhan ekonomi
-12
-8
-4
0
4
8
12
16
88 90 92 94 96 98 00 02 04
PEF
Forecast: PEFActual: PEForecast sample: 1985 2004Adjusted sample: 1988 2004Included observations: 17
Root Mean Squared Error 0.947918Mean Absolute Error 0.794462Mean Abs. Percent Error 13.59499Theil Inequality Coefficient 0.070756 Bias Proportion 0.000000 Variance Proportion 0.020270 Covariance Proportion 0.979730
8. Output uji root mean squared error dan theil inequality coeficient pada
persamaan nilai tambah sektor pertanian
5.0E+06
6.0E+06
7.0E+06
8.0E+06
9.0E+06
1.0E+07
1.1E+07
1.2E+07
1.3E+07
1.4E+07
88 90 92 94 96 98 00 02 04
NTBPF
Forecast: NTBPFActual: NTBPForecast sample: 1985 2004Adjusted sample: 1987 2004Included observations: 18
Root Mean Squared Error 354505.5Mean Absolute Error 272474.1Mean Abs. Percent Error 2.944206Theil Inequality Coefficient 0.017885 Bias Proportion 0.000000 Variance Proportion 0.008229 Covariance Proportion 0.991771
242
9. Output uji root mean squared error dan theil inequality coeficient pada persamaan nilai tambah sektor industri
0
1000000
2000000
3000000
4000000
5000000
6000000
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
NTBIF
Forecast: NTBIFActual: NTBIForecast sample: 1985 2004Adjusted sample: 1986 2004Included observations: 19
Root Mean Squared Error 127315.6Mean Absolute Error 114024.3Mean Abs. Percent Error 6.183521Theil Inequality Coefficient 0.020108 Bias Proportion 0.005799 Variance Proportion 0.012104 Covariance Proportion 0.982096
10. Output uji root mean squared error dan theil inequality coeficient pada
persamaan nilai tambah sektor lainnya
4.0E+06
8.0E+06
1.2E+07
1.6E+07
2.0E+07
2.4E+07
86 88 90 92 94 96 98 00 02 04
NTBLF
Forecast: NTBLFActual: NTBLForecast sample: 1985 2004Adjusted sample: 1986 2004Included observations: 19
Root Mean Squared Error 298124.1Mean Absolute Error 226894.7Mean Abs. Percent Error 2.184805Theil Inequality Coefficient 0.011112 Bias Proportion 0.012144 Variance Proportion 0.050244 Covariance Proportion 0.937611
1985 - 1989 1990 - 1994 1995 - 1999 2000 - 2004 1985 - 1989 1990 - 19941995 - 19992000 - 2004
1 Pertanian 43,27 40,21 36,23 35,82 60,91 62,57 54,14 58,532 Industri Peng 6,03 9,81 12,31 13,11 8,69 6,44 6,41 5,223 Sektor Lainnya 50,70 49,99 51,46 51,07 30,40 30,99 39,45 36,26a Pert & Galian 1,81 2,72 3,71 9,10 0,31 0,40 0,24 0,21b Listrik, Gas & Air 1,09 1,12 1,22 0,91 0,13 0,16 0,23 0,06c Bangunan 3,66 4,56 5,50 4,25 1,66 1,86 2,99 3,58d Perdagangan 17,67 17,03 16,43 14,18 11,49 11,50 16,14 17,12e Angkutan 9,17 7,77 7,10 6,46 2,42 2,97 3,57 4,63f Keuangan 3,71 3,39 5,65 4,57 0,26 0,30 0,44 0,59
g Jasa 13,58 13,41 11,86 11,60 13,45 13,43 14,40 11,074 Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
1 Pertanian 10,97 12,66 12,44 12,76 70,15 75,18 68,62 74,49
2 Industri Peng 7,76 9,58 7,87 7,51 8,86 5,63 5,91 4,44
3 Sektor Lainnya 81,27 77,76 79,69 79,73 20,99 19,20 25,47 21,07
4 Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
No. Tahun Kesempatan Kerja Sektoral Perkotaan Kesempatan Kerja Sektoral PedesaanPertanian Industri ManufakturLainnya Jumlah Pertanian Industri ManufakturLainnya Jumlah
1 1985 8,85 7,59 83,56 100,00 71,22 8,66 20,12 100,002 1986 11,14 6,42 82,44 100,00 66,27 9,05 24,68 100,003 1987 10,08 8,00 81,91 100,00 68,89 9,22 21,90 100,004 1988 14,24 6,31 79,45 100,00 71,12 8,16 20,71 100,005 1989 10,55 10,48 78,97 100,00 73,24 9,22 17,54 100,006 1990 10,15 9,95 79,90 100,00 73,32 7,93 18,75 100,007 1991 14,57 9,74 75,69 100,00 79,69 3,79 16,52 100,008 1992 14,51 8,80 76,69 100,00 76,49 4,73 18,78 100,009 1993 11,92 9,90 78,18 100,00 71,10 5,70 23,20 100,00
10 1994 12,14 9,50 78,36 100,00 75,27 5,98 18,75 100,0011 1995 10,72 8,27 81,01 100,00 67,80 6,29 25,91 100,0012 1996 12,53 8,81 78,66 100,00 72,50 5,23 22,27 100,0013 1997 11,33 8,19 80,48 100,00 63,76 7,85 28,39 100,0014 1998 12,24 7,82 79,94 100,00 69,77 5,11 25,11 100,0015 1999 15,38 6,24 78,38 100,00 69,28 5,08 25,64 100,0016 2000 13,78 6,15 80,07 100,00 72,01 6,56 21,42 100,0017 2001 10,36 6,36 83,27 100,00 73,96 4,43 21,60 100,0018 2002 13,24 7,04 79,73 100,00 77,03 3,75 19,22 100,0019 2003 15,94 10,16 73,90 100,00 77,53 2,81 19,66 100,0020 2004 10,47 7,85 81,69 100,00 71,93 4,64 23,43 100,00
Average85 - 89 10,97 7,76 81,27 70,15 8,86 20,9989 - 94 12,66 9,58 77,76 75,18 5,63 19,2095 - 99 12,44 7,87 79,69 68,62 5,91 25,4700 - 04 12,76 7,51 79,73 74,49 4,44 21,07
TahunPertanian Industri ManufakturLainnya Pertanian Industri ManufakturLainnya
Share PDRB Share TKNo. Sektor
Wilayah DesaWilayah KotaPertumbuhan TK Sektoral Berdasarkan Wilayah Kota dan Desa
Kesempatan kerja PDRB
Pergeseran Struktur Ekonomi dan Tenaga Kerja Sulawesi Selatan (1985-2004)
1 1985 55,01 5,18 39,81 44,73 3,99 51,28 2 1986 60,02 5,48 34,50 45,18 4,54 50,28 3 1987 60,69 5,66 33,64 41,50 6,82 51,68 4 1988 62,85 5,51 31,64 42,36 7,29 50,35 5 1989 64,15 5,25 30,60 42,57 7,52 49,91 6 1990 64,81 5,30 29,88 42,34 8,17 49,49 7 1991 66,09 5,34 28,57 42,05 8,20 49,75 8 1992 63,51 5,58 30,91 41,27 9,12 49,60 9 1993 60,23 6,08 33,69 38,15 11,62 50,23
10 1994 60,40 6,30 33,30 37,22 11,91 50,87 11 1995 58,12 6,39 35,50 37,01 11,88 51,11 12 1996 57,78 6,11 36,11 36,35 11,89 51,75 13 1997 55,44 5,74 38,82 34,66 12,61 52,74 14 1998 54,66 5,82 39,52 36,63 12,54 50,83 15 1999 54,49 5,42 40,09 36,51 12,61 50,88 16 2000 55,99 5,00 39,01 37,91 12,97 49,12 17 2001 58,02 4,94 37,04 36,45 13,05 50,50 18 2002 61,30 4,56 34,14 36,63 12,91 50,47 19 2003 58,11 5,18 36,71 35,09 13,23 51,67 20 2004 55,04 5,52 39,44 33,04 13,36 53,60
Tahun PertumbuhanBekerja AK Mencari KerjaUpah NominalUpah Riil T Pengangguran Bekerja
1 1985 2.004.606 2.058.748 54.142 62.044 374.256 2,63
2 1986 2.080.772 2.130.775 50.003 70.853 416.775 2,35 3,80
3 1987 2.212.086 2.250.352 38.266 79.662 414.525 1,70 6,31
4 1988 2.304.942 2.357.132 52.190 88.471 408.713 2,21 4,20
5 1989 2.377.749 2.436.003 58.254 97.280 424.557 2,39 3,16
6 1990 2.537.736 2.599.888 62.152 108.231 447.598 2,39 6,73
7 1991 2.525.773 2.593.140 67.367 119.187 472.284 2,60 (0,47)
8 1992 2.531.532 2.625.870 94.338 145.751 539.161 3,59 0,23
9 1993 2.659.981 2.752.704 92.723 166.608 533.820 3,37 5,07
10 1994 2.828.499 2.989.354 160.855 187.465 557.581 5,38 6,34
11 1995 2.931.882 3.242.270 310.388 193.062 518.753 9,57 3,66
12 1996 3.031.873 3.198.952 167.079 198.659 507.494 5,22 3,41
13 1997 3.133.152 3.271.309 138.157 256.784 626.603 4,22 3,34
14 1998 3.069.802 3.239.844 170.042 352.869 552.522 5,25 (2,02)
15 1999 3.062.630 3.275.815 213.185 414.516 520.739 6,51 (0,23)
16 2000 3.049.238 3.450.981 401.743 520.144 632.382 11,64 (0,44)
17 2001 3.001.078 3.349.171 348.093 679.927 753.651 10,39 (1,58)
18 2002 3.084.382 3.516.417 432.035 724.537 724.537 12,29 2,78
19 2003 3.054.124 3.640.892 586.768 828.828 786.612 16,97 (0,98)
20 2004 3.183.652 3.786.872 603.220 953.909 868.058 15,93 4,24
Rata-rata 2,50
STDEV 2,83
Pergeseran Struktur Ekonomi dan Tenaga Kerja Sulawesi Selatan (1985-2004)
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
1985
19
86
1987
19
88
Sh
are
(%) T
K
3.500.000
4.000.000
Bek
erja
, An
gk.
Ker
ja d
an P
enca
ri K
erja
(Ora
ng
) 900.000
1.000.000
N0. Uraian 1985 1990 1999 2004 Pertumbuhan 1985 1990 1999
(Jiwa) (Jiwa) (Jiwa) (Jiwa) (%) (Jiwa) (Jiwa) (Jiwa)
1 Jumlah Penduduk
2 Penduduk Usia Kerja 945.629 1.095.942 1.730.505 1.808.784 3,47 3.858.118 4.203.728 3.719.936
3 Angkatan Kerja 357.264 439.773 946.983 1.102.400 6,91 1.701.484 2.160.115 2.328.832
a. Penduduk Bekerja 334.370 410.785 816.870 875.136 5,64 1.670.236 2.126.951 2.245.760
* Laki-laki 244.673 269.578 559.690 578.336 4,89 1.207.609 1.511.836 1.500.928
* Perempuan 89.697 141.207 257.180 296.800 7,53 462.627 615.115 744.832
b. Mencari Kerja 22.894 28.988 130.113 227.264 19,67 31.248 33.164 83.072
* Sudah Pernah Bekerja 3.244 4.027 33.417 29.680 27,89 6.899 6.633 11.264
* Belum Pernah Bekerja 19.650 24.961 96.696 197.584 19,40 24.349 26.531 71.808
4 Bukan Angkatan Kerja 588.365 656.169 783.522 706.384 0,83 2.156.634 2.043.613 1.391.104
a. Sekolah 303.216 351.118 228.231 223.024 (0,40) 857.583 774.555 174.592
b. Mengurus RT 199.060 213.631 396.027 405.344 3,81 881.585 890.254 898.304
c. Lainnya 86.089 91.420 159.264 78.016 (0,24) 417.466 378.804 318.208
5 Tingkat Pengangguran 6,41 6,59 13,74 20,62 19,67 1,84 1,54 3,57
a. Laki-laki 5,39 6,12 11,14 17,03 17,48 1,16 0,61 2,74
b. Perempuan 9,09 8,59 18,10 26,78 22,89 3,55 3,29 5,20
6 TPAK (% AK Terhadap PUK) 37,78 40,13 54,72 60,95 44,10 51,39 62,60
7 Angka Ketergantungan 2,83 2,67 2,12 2,07 2,31 1,98 1,66
M Kerja Laki-laki = 13.929 17.511 70.389 118.720 14204 8844 42.240
Perempuan = 8.965 11.477 59.724 108.544 17044 24320 40.832
Angk Kerja Laki= 258.602 286.089 632.079 697.056 - 1221813 1460680 #######
Perempuan = 98.662 133.684 329.904 405.344 479671 738435 785.664
MK 22.894 28.988 130.113 227.264 - 31.248 33.164 83.072
357.264 419.773 961.983 1.102.400 - ####### ####### #######
5,14 33,55 13,73 17,48 (7,55) 41,96
5,60 46,71 16,35 22,89 8,54 7,54
5,32 38,76 14,93 19,67 1,23 16,72
Wilayah Perkotaan Wilayah Pedesaan
-
500.000
1.000.000
1.500.000
2.000.000
2.500.000
3.000.000
3.500.000
1985
19
86
1987
19
88
1989
19
90
1991
19
92
1993
19
94
1995
19
96
1997
19
98
1999
20
00
2001
20
02
2003
20
04
Bek
erja
, An
gk.
Ker
ja d
an P
enca
ri K
erja
(Ora
ng
)
-
100.000
200.000
300.000
400.000
500.000
600.000
700.000
800.000
900.000
Penawaran TK (Ang. Kerja) Permintaan TK (Bekerja) Mencari Kerja
Upah Nominal Upah Riil
Pertumbuhan A Kerja : 3,35
Pertumbuhan Pekerja : 2,59
Pertumb Upah Nominal : 15,81
Pertumb Pencari kerja : 18,92
Pertumb Upah Riil (TH Dasar 2000) : 4,96
N0. Uraian 1985 1990 1999 2004 Pertumbuhan
(Jiwa) (Jiwa) (Jiwa) (Jiwa) (%)
1 Jumlah Penduduk 6.407.720 6.895.670 7.802.732 8.396.784 1,50
2 Penduduk Usia Kerja 4.803.747 5.318.670 5.450.441 5.737.240 1,16
* Kota (%) 19,69 20,61 31,75 31,53 3,47
* Desa (%) 80,31 79,04 68,25 68,47 0,58
3 Angkatan Kerja 2.058.748 2.618.888 3.275.815 3.786.872 3,78
* Kota (%) 17,35 16,79 28,91 29,11 6,91
* Desa (%) 82,65 82,48 71,09 70,89 3,19
a. Penduduk Bekerja 2.004.606 2.556.736 3.062.630 3.183.652 2,83
Laki-laki 72,45 69,68 67,28 67,34 2,23
Perempuan 27,55 29,58 32,72 32,66 4,41
* Kota (Jiwa) 334.370 410.785 816.870 875.136 5,64
% 16,68 16,07 26,67 27,49
Laki-laki 73,17 65,63 68,52 66,09 4,89
Perempuan 26,83 34,37 31,48 33,91 7,53
* Desa (Jiwa,%) ######### ######### ######## ######## 2,30
83,32 83,19 73,33 72,51
Laki-laki 72,30 71,08 66,83 67,82 1,76
Perempuan 27,70 28,92 33,17 32,18 3,77
b. Mencari Kerja 54.142 62.152 213.185 603.220 22,18
Laki-laki 51,96 42,40 52,83 45,80 21,39
Perempuan 48,04 57,60 47,17 54,20 24,22
* Kota (Jiwa) 22.894 28.988 130.113 227.264 19,67
% 42,29 46,64 61,03 37,68
Laki-laki 60,84 60,41 54,10 52,24 17,48
Perempuan 39,16 39,59 45,90 47,76 22,89
* Desa (Jiwa,%) 31.248 33.164 83.072 375.956 29,49
57,71 53,36 38,97 62,32
Laki-laki 45,46 26,67 50,85 41,90 29,67
Perempuan 54,54 73,33 49,15 58,10 34,36
* Status Pencari Kerja
* Sudah Pernah Bekerja 18,73 17,15 20,96 7,88 12,59
* Belum Pernah Bekerja 81,27 82,85 79,04 92,12 24,87
4 Bukan Angkatan Kerja 2.744.999 2.699.782 2.174.626 1.950.368 (1,52)
a. Sekolah 42,29 41,69 18,52 19,22 (3,04)
b. Mengurus RT 39,37 40,89 59,52 70,24 1,17
c. Lainnya 18,34 17,42 21,96 10,54 (4,18)
* Kota 588.365 656.169 783.522 706.384 0,83
% 21,43 24,30 36,03 36,22
Sekolah 51,54 53,51 29,13 31,57 (0,40)
Mengurus RT 33,83 32,56 50,54 57,38 3,81
Lainnya 14,63 13,93 20,33 11,04 (0,24)
Desa 2.156.634 2.043.613 1.391.104 1.243.984 (2,24)
% 78,57 75,70 63,97 63,78
Sekolah 39,76 37,90 12,55 12,21 (4,38)
Mengurus RT 40,88 43,56 64,57 77,55 0,59
Lainnya 19,36 18,54 22,87 10,25 (5,21)
5 Tingkat Pengangguran 2,63 2,37 6,51 15,93 22,18
a. Laki-laki 1,90 1,51 5,18 11,41 21,39
b. Perempuan 4,50 4,10 9,01 23,92 24,22
6 TPAK (% AK Terhadap PUK)42,86 49,24 60,10 66,01
Wilayah Kota + Desa
TPAK Kota 37,78 40,13 54,72 60,95
TPAK Desa 44,10 51,39 62,60 68,33
Pertumbuhan1 Jumlah Penduduk2 Penduduk Usia Kerja 3,18 6,43 0,90 3,51 1,79 (1,28)
3 Angkatan Kerja 4,62 12,81 3,28 6,91 5,39 0,87
a. Penduduk Bekerja 4,57 10,98 1,43 5,66 5,47 0,62
* Laki-laki 2,04 11,96 0,67 4,89 5,04 (0,08)
* Perempuan 11,49 9,13 3,08 7,90 6,59 2,34
b. Mencari Kerja 5,32 38,76 14,93 19,67 1,23 16,72
* Sudah Pernah Bekerja 4,83 81,09 (2,24) 27,89 (0,77) 7,76
* Belum Pernah Bekerja 5,41 31,93 20,87 19,40 1,79 18,96
4 Bukan Angkatan Kerja 2,30 2,16 (1,97) 0,83 (1,05) (3,55)
a. Sekolah 3,16 (3,89) (0,46) (0,40) (1,94) (8,61)
b. Mengurus RT 1,46 9,49 0,47 3,81 0,20 0,10
c. Lainnya 1,24 8,25 (10,20) (0,24) (1,85) (1,78)
5 Tingkat Penganggurana. Laki-lakib. Perempuan
6 TPAK (% AK Terhadap PUK)7 Angka Ketergantungan
No. Kabupaten/ Struktur PDRB Kab/Kota (2004) Share Thdp PDRB/Kap Pertumb. Ekonomi
Kota
PDRB Sul-Sel, (Rp.),
Pertanian Industri Jasa Thn 2004 Thn 2004 Rata2 STDev
(01-04) (01-04)
1 Pangkep 18,29 64,10 17,61 Industri (Rata2) 4,72 7.916.742 6,09 4,88
2 Luwu Timur 12,4 84,4 3,3 Kontrib.=14,93 10,21 20.931.900 5,37 5,79
3 Maros 43,8 25,1 31,1 Pertanian 2,29 3.720.453 3,48 1,05
4 Wajo 42,9 17,2 40,0 4,59 5.587.557 2,63 2,01
5 Takalar 46,8 16,3 36,9 Rata-Rata : 1,75 3.519.539 4,72 1,15
6 Barru 49,2 12,4 38,4PDRB/Kap=4,33 Jt 1,41 4.410.080 5,27 0,81
7 Soppeng 51,0 13,8 35,2Pertumb = 4,28 % 2,33 4.947.317 4,11 1,26
8 Sidrap 52,2 15,3 32,5 STDev = 1,01 2,78 5.196.097 4,87 1,37
9 Enrekang 53,5 10,1 36,4Kontribusi = 47.70 1,46 4.068.954 4,89 0,73
10 Bone 55,8 15,0 29,2 5,93 4.336.948 4,27 1,48
11 Sinjai 62,0 6,2 31,8 2,03 4.892.870 4,82 0,69
12 Luwu Utara 78,0 4,0 18,0 2,61 4.236.821 3,43 1,62
13 Pinrang 66,4 9,2 24,4 4,80 6.603.831 5,15 0,79
14 Luwu 63,3 16,8 19,9 3,15 5.031.524 6,12 0,30
15 Bantaeng 61,1 9,5 29,4 1,40 4.172.136 4,64 0,94
16 Bulukumba 59,5 8,8 31,7 3,26 4.127.081 3,73 0,82
17 Jpneponto 57,1 9,2 33,7 1,83 2.900.030 3,28 0,91
18 Tator 51,6 9,1 39,3 2,60 2.855.028 3,50 0,83
19 Gowa 51,3 8,8 39,9 3,47 3.228.184 4,88 0,84
20 Pare-pare 8,2 13,5 78,3 Jasa 1,35 5.936.172 4,98 1,40
21 Makassar 1,0 33,1 65,9Pertumb = 7,60 % 26,26 11.222.816 8,30 1,41
Ciri Ekonomi
22 Palopo 37,9 13,0 49,1 STDev = 1,43 1,64 6.293.983 8,07 2,32
23 Selayar 41,9 13,6 44,6 Kontribusi =30,09 0,85 3.956.809 3,84 0,60
5,75000 4,92 0,55
No. Kabupaten/ PDRB/Kap Pertumb. Ekonomi
Kota (Rp.),
Thn 2004 Rata2 STDev
(01-04) (01-04)
1 Pangkep 7,92 6,09 4,88 7,92 7.916.742
2 Luwu Timur 20,93 5,37 5,79 20,93 20.931.900
3 Maros 3,72 3,48 1,05 3,72 3.720.453
4 Wajo 5,59 2,63 2,01 5,59 5.587.557
5 Takalar 3,52 4,72 1,15 3,52 3.519.539
6 Barru 4,41 5,27 0,81 4,41 4.410.080
7 Soppeng 4,95 4,11 1,26 4,95 4.947.317
8 Sidrap 5,20 4,87 1,37 5,20 5.196.097
9 Enrekang 4,07 4,89 0,73 4,07 4.068.954
10 Bone 4,34 4,27 1,48 4,34 4.336.948
11 Sinjai 4,89 4,82 0,69 4,89 4.892.870
12 Luwu Utara 4,24 3,43 1,62 4,24 4.236.821
13 Pinrang 6,60 5,15 0,79 6,60 6.603.831
14 Luwu 5,03 6,12 0,30 5,03 5.031.524
15 Bantaeng 4,17 4,64 0,94 4,17 4.172.136
16 Bulukumba 4,13 3,73 0,82 4,13 4.127.081
17 Jeneponto 2,90 3,28 0,91 2,90 2.900.030
18 Tator 2,86 3,50 0,83 2,86 2.855.028
19 Gowa 3,23 4,88 0,84 3,23 3.228.184
20 Pare-pare 5,94 4,98 1,40 5,94 5.936.172
21 Makassar 11,22 8,30 1,41 11,22 11.222.816
22 Palopo 6,29 8,07 2,32 6,29 6.293.983
23 Selayar 3,96 3,84 0,60 3,96 3.956.809
Sulawesi Selatan 5,75 4,92 0,55 5,75 5.746.545
No. Kabupaten/ PDRB/Kap Pertumb. Ekonomi
Kota (Rp.),
Thn 2004 Rata2 STDev
(01-04) (01-04)
1 Pangkep 21,60 6,09 4,88 7,92 7.916.742
2 Luwu Timur #DIV/0! 5,37 5,79 20,93 20.931.900
3 Maros 15,62 3,48 1,05 3,72 3.720.453
4 Wajo 9,85 2,63 2,01 5,59 5.587.557
5 Takalar 8,54 4,72 1,15 3,52 3.519.539
6 Barru 15,46 5,27 0,81 4,41 4.410.080
7 Soppeng 10,23 4,11 1,26 4,95 4.947.317
8 Sidrap 19,42 4,87 1,37 5,20 5.196.097
Sulawesi Selatan
Wajo
Barru
Sidrap
Bone
Luwu Utara
Luwu
BulukumbaTator
Selayar
Bantaeng
Jeneponto
Takalar
GowaSinjai
Maros
Soppeng
Enrekang
2,00
2,50
3,00
3,50
4,00
4,50
5,00
5,50
6,00
6,50
7,00
7,50
8,00
8,50
9,00
2,50 3,00 3,50 4,00 4,50 5,00 5,50
Pertumbuhan Ekonomi (%)
6,50
7,00
7,50
8,00
8,50
9,00
Pertumbuhan Ekonomi (%)
9 Enrekang 10,81 4,89 0,73 4,07 4.068.954
10 Bone 12,23 4,27 1,48 4,34 4.336.948
11 Sinjai 9,89 4,82 0,69 4,89 4.892.870
12 Luwu Utara 17,22 3,43 1,62 4,24 4.236.821
13 Pinrang 13,03 5,15 0,79 6,60 6.603.831
14 Luwu 15,34 6,12 0,30 5,03 5.031.524
15 Bantaeng 6,21 4,64 0,94 4,17 4.172.136
16 Bulukumba 10,04 3,73 0,82 4,13 4.127.081
17 Jeneponto 8,48 3,28 0,91 2,90 2.900.030
18 Tator 11,08 3,50 0,83 2,86 2.855.028
19 Gowa 17,60 4,88 0,84 3,23 3.228.184
20 Pare-pare 28,68 4,98 1,40 5,94 5.936.172
21 Makassar 26,88 8,30 1,41 11,22 11.222.816
22 Palopo 20,96 8,07 2,32 6,29 6.293.983
23 Selayar 14,63 3,84 0,60 3,96 3.956.809
Sulawesi Selatan 15,93 4,92 0,55 5,75 5.746.545
BPS Sul-Sel Sakernas
Bekerja % M.Kerja % Jumlah % PengangguranBekerja
1 Pangkep 96736,00 3,43 11743 4,98 108479 3,55 10,83 109080
2 Luwu Timur 0,00 0,00 0 0,00 #DIV/0! 0
3 Maros 113276,00 4,01 9237 3,92 122513 4,00 7,54 127731
4 Wajo 153142,00 5,42 7375 3,13 160517 5,25 4,59 172684
5 Takalar 100100,00 3,55 4120 1,75 104220 3,41 3,95 112874
6 Barru 62046,00 2,20 5000 2,12 67046 2,19 7,46 69964
7 Soppeng 90358,00 3,20 4538 1,93 94896 3,10 4,78 101888
8 Sidrap 89019,00 3,15 9450 4,01 98469 3,22 9,60 100378
9 Enrekang 77763,00 2,75 4153 1,76 81916 2,68 5,07 87686
10 Bone 274758,00 9,73 16873 7,16 291631 9,53 5,79 309819
11 Sinjai 83814,00 2,97 4053 1,72 87867 2,87 4,61 94509
12 Luwu Utara 182031,00 6,45 16684 7,08 198715 6,50 8,40 205260
13 Pinrang 120835,00 4,28 7976 3,38 128811 4,21 6,19 136254
14 Luwu 126270,00 4,47 10078 4,28 136348 4,46 7,39 142383
15 Bantaeng 78075,00 2,77 2278 0,97 80353 2,63 2,83 88038
16 Bulukumba 148535,00 5,26 7300 3,10 155835 5,09 4,68 167489
17 Jeneponto 135154,00 4,79 5516 2,34 140670 4,60 3,92 152401
18 Tator 138499,00 4,91 7604 3,23 146103 4,78 5,20 156173
19 Gowa 216037,00 7,65 20328 8,63 236365 7,73 8,60 243605
20 Pare-pare 40119,00 1,42 7108 3,02 47227 1,54 15,05 45238
21 Makassar 404546,00 14,33 65506 27,79 470052 15,37 13,94 456169
22 Palopo 43497,00 1,54 5083 2,16 48580 1,59 10,46 49048
23 Selayar 48759,00 1,73 3681 1,56 52440 1,71 7,02 54981
Sulawesi Selatan 2823369,00 100,00 235684 100,00 3059053 100,00 7,70 3183652
Sidrap
Bone
Luwu Utara
Luwu
BulukumbaTator
Selayar
Bantaeng
Jeneponto
Takalar
GowaSinjai
Maros
Soppeng
Enrekang
2,00
2,50
3,00
3,50
4,00
4,50
5,00
5,50
6,00
6,50
2,50 3,00 3,50 4,00 4,50 5,00 5,50
2000 - 2004
Kesempatan Kerja Total Sektoral Sul-Sel PDRB (Rp. Juta)Pertanian Industri ManufakturLainnya Jumlah Pertanian Industri Lainnya Jumlah
#######60,83 8,48 30,68 100,00 44,73 3,99 51,28 100 58,08 8,66 33,26 100,00 45,18 4,54 50,28 100 59,53 9,02 31,45 100,00 41,50 6,82 51,68 100 62,61 7,88 29,51 100,00 42,36 7,29 50,35 100 63,50 9,42 27,08 100,00 42,57 7,52 49,91 100 63,67 8,24 28,10 100,00 42,34 8,17 49,49 100 66,83 4,97 28,20 100,00 42,05 8,20 49,75 100 63,51 5,58 30,91 100,00 41,27 9,12 49,60 100 57,79 6,64 35,57 100,00 38,15 11,62 50,23 100 61,07 6,77 32,16 100,00 37,22 11,91 50,87 100 53,35 6,79 39,86 100,00 37,01 11,88 51,11 100 57,78 6,11 36,11 100,00 36,35 11,89 51,75 100 50,18 7,94 41,88 100,00 34,66 12,61 52,74 100 54,66 5,82 39,52 100,00 36,63 12,54 50,83 100 54,71 5,39 39,90 100,00 36,51 12,61 50,88 100 56,57 6,45 36,97 100,00 37,91 12,97 49,12 100 57,34 4,94 37,73 100,00 36,45 13,05 50,50 100 61,30 4,56 34,14 100,00 36,63 12,91 50,47 100 62,39 4,62 33,00 100,00 35,09 13,23 51,67 100 55,04 5,52 39,44 100,00 33,04 13,36 53,60 100
Pergeseran Struktur Ekonomi dan Tenaga Kerja Sulawesi Selatan (1985-2004) Pergeseran Struktur PDRB dan TK di Sulawesi Selatan (1985-2004)
PertumbuhanAK Mencari KerjaUpah NominalUpah Riil
3,50 (7,64) 14,20 11,36
5,61 (23,47) 12,43 (0,54)
4,75 36,39 11,06 (1,40)
3,35 11,62 9,96 3,88 4,37 4,30
6,73 6,69 11,26 5,43
(0,26) 8,39 10,12 5,52
1,26 40,04 22,29 14,16
4,83 (1,71) 14,31 (0,99)
8,60 73,48 12,52 4,45 2,79 3,61
8,46 92,96 2,99 (6,96)
(1,34) (46,17) 2,90 (2,17)
2,26 (17,31) 29,26 23,47
(0,96) 23,08 37,42 (11,82)
1,11 25,37 17,47 (5,75) 1,12 0,27
5,35 88,45 25,48 21,44
(2,95) (13,35) 30,72 19,18
4,99 24,11 6,56 (3,86)
3,54 35,81 14,39 8,57
4,01 2,80 15,09 10,35 1,11 2,40
3,31 18,92 15,81 4,96
3,21 36,90 9,32 9,89
Pergeseran Struktur Ekonomi dan Tenaga Kerja Sulawesi Selatan (1985-2004)
1986
19
87
1988
19
89
1990
19
91
1992
19
93
1994
19
95
1996
19
97
1998
19
99
2000
20
01
2002
20
03
2004
-
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
Sha
re (
%)
PD
RB
TK Pertanian TK Industri TK Sektor Lain
PDRB Pertanian PDRB Industri PDRB Sektor Lain
900.000
1.000.000
Pergeseran Struktur PDRB dan TK di Sulawesi Selatan (1985-2004)
-
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
1985
19
86
1987
19
88
Sh
are
PD
RB
(%
)
2004 Pertumbuhan 1985 1990 1999 2004 Pertumbuhan
(Jiwa) (%) (Jiwa) (Jiwa) (Jiwa) (Jiwa) (%)
6.407.720 6.895.670 7.802.732 8.396.784 1,50
3.928.456 0,58 4.803.747 5.299.670 5.450.441 5.737.240 1,16
2.684.472 3,19 2.058.748 2.599.888 3.275.815 3.786.872 3,78
2.308.516 2,30 2.004.606 2.537.736 3.062.630 3.183.652 2,83
1.565.536 1,76 1.452.282 1.781.414 2.060.618 2.143.872 2,23
742.980 3,77 552.324 756.322 1.002.012 1.039.780 4,41
375.956 29,49 54.142 62.152 213.185 603.220 22,18
17.864 6,24 10.143 10.660 44.681 47.544 12,59
358.092 33,50 43.999 51.492 168.504 555.676 24,87
1.243.984 (2,24) 2.744.999 2.699.782 2.174.626 1.950.368 (1,52)
151.844 (4,38) 1.160.799 1.125.673 402.823 374.868 (3,04)
964.656 0,59 1.080.645 1.103.885 1.294.331 1.370.000 1,17
127.484 (5,21) 503.555 470.224 477.472 205.500 (4,18)
14,00 29,49 2,63 2,39 6,51 15,93 22,18
9,14 29,67 1,90 1,51 5,18 11,41 21,39
22,72 34,36 4,50 4,10 9,01 23,92 24,22
68,33 42,86 49,06 60,10 66,01
1,70 2,40 2,09 1,78 1,80
157.528 28.133 26.355 112.629 276.248
218.428 26.009 35.797 100.556 326.972
1.723.064 1.480.415 1.746.769 2.175.247 2.420.120
961.408 578.333 872.119 1.115.568 1.366.752
375.956 54.142 62.152 213.185 603.220
2.684.472 2.058.748 2.618.888 3.290.815 3.786.872
54,59 29,67 (1,26) 36,37 29,05 21,39
86,99 34,36 7,53 20,10 45,03 24,22
70,51 29,49 2,96 27,00 36,59 22,18
Wilayah Pedesaan Wilayah Kota + Desa
2004
-
100.000
200.000
300.000
400.000
500.000
600.000
700.000
800.000
900.000
Tin
gka
t U
pah
(R
p)
Perkembangan Permintaan-Penawaran Tenaga Kerja dan Pengangguran
-
500.000
1.000.000
1.500.000
2.000.000
2.500.000
3.000.000
3.500.000
4.000.000
1985
19
86
1987
19
88
1989
19
90
1991
19
92
1993
19
94
1995
19
96
1997
19
98
1999
20
00
2001
20
02
Jum
lah
Pek
erja
dan
An
gka
tan
Ker
ja
(Jiw
a)
Penawaran TK (Ang. Kerja) Permintaan TK (Bekerja)
Pertumbuhan A Kerja : 3,78
Pertumbuhan Pekerja : 2,50
Pertumb Pencari kerja : 18,92
1,52 1,46 1,52 1,50
1,12 0,54 2,06 0,32 1,05 1,14
3,05 3,10 5,26 2,89 3,12 3,76
0,56 2,22 5,32 2,30 0,79 2,80
0,86 1,94 4,53 1,74 0,81 2,36
(0,05) 2,96 7,39 3,61 0,75 3,92
70,51 29,49 2,96 27,00 36,59 22,18
11,72 6,24 1,02 35,46 1,28 12,59
79,74 33,50 3,41 25,25 45,95 24,87
(2,12) (2,24) (0,33) (2,16) (2,06) (1,52)
(2,61) (4,38) (0,61) (7,13) (1,39) (3,04)
1,48 0,59 0,43 1,92 1,17 1,17
(11,99) (5,21) (1,32) 0,17 (11,39) (4,18)
Palopo
Pangkep
Makassar
Wajo
Sidrap
Bone
Luwu Utara
Luwu
Bulukumba
Pare-pare
Bantaeng
Sinjai
Soppeng
Pinrang
2,00
2,50
3,00
3,50
4,00
4,50
5,00
5,50
6,00
6,50
7,00
7,50
8,00
8,50
9,00
5,00 5,50 6,00 6,50 7,00 7,50 8,00 8,50 9,00 9,50 10,00 10,50 11,00 11,50 12,00 12,50
Luwu Timur
20.93
Sul-Sel : x= 5.75 juta ; y=4.92%PDRB Per Kapita (Rp.juta)
Pertumbuhan Ekonomi (%)
Keterangan: = Ciri Pertanian; = Ciri Industri = Ciri JasaSkala Bubble : Standar deviasi Pertumbuhan Ekonomi (2001-2004)
Palopo
Makassar
6,50
7,00
7,50
8,00
8,50
9,00
Pertumbuhan Ekonomi (%)
M.Kerja Jumlah Pengangguran
30056 139136 21,60
0 0 #DIV/0!
23642 151372 15,62
18876 191560 9,85
10545 123418 8,54
12797 82761 15,46
11615 113503 10,23
24187 124565 19,42
10629 98316 10,81
43185 353005 12,23
10373 104883 9,89
42702 247961 17,22
20414 156669 13,03
25794 168177 15,34
5830 93868 6,21
18684 186173 10,04
14118 166519 8,48
19462 175635 11,08
52028 295633 17,60
18193 63431 28,68
167659 623828 26,88
13010 62057 20,96
9421 64402 14,63
603220 3786872 15,93
Pangkep
Wajo
Sidrap
Bone
Luwu Utara
Luwu
Bulukumba
Pare-pare
Bantaeng
Sinjai
Soppeng
Pinrang
2,00
2,50
3,00
3,50
4,00
4,50
5,00
5,50
6,00
6,50
5,00 5,50 6,00 6,50 7,00 7,50 8,00 8,50 9,00 9,50 10,00 10,50 11,00 11,50 12,00 12,50
Luwu Timur
20.93
Sul-Sel : x= 5.75 juta ; y=4.92%PDRB Per Kapita (Rp.juta)
Keterangan: = Ciri Pertanian; = Ciri Industri = Ciri JasaSkala Bubble : Standar deviasi Pertumbuhan Ekonomi (2001-2004)
Pergeseran Struktur PDRB dan TK di Sulawesi Selatan (1985-2004) 60,00
Pergeseran Struktur PDRB dan TK di Sulawesi Selatan (1985-2004)
1987
19
88
1989
19
90
1991
19
92
1993
19
94
1995
19
96
1997
19
98
1999
20
00
2001
20
02
2003
20
04
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
Sh
are
TK
(%
)
PDRB Pertanian PDRB Industri PDRB Sektor Lain
TK Pertanian TK Industri TK Sektor Lain
-
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
1985
19
86 19
87 19
88 19
89
Sha
re P
DR
B (%
)
Perkembangan Permintaan-Penawaran Tenaga Kerja dan
2000
20
01
2002
20
03
2004
-
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
16,00
18,00
Tin
gka
t P
eng
ang
gru
an (
%)
Permintaan TK (Bekerja) Pengangguran
-
500.000
1.000.000
1.500.000
2.000.000
2.500.000
3.000.000
3.500.000
4.000.000
1985
19
86
1987
19
88
1989
19
90
1991
19
92
1993
19
94
1995
19
96
1997
19
98
1999
20
00
2001
20
02
Penawaran TK (Ang. Kerja) Permintaan TK (Bekerja) Mencari Kerja
Upah Nominal Upah Riil
Pertumbuhan A Kerja : 3,35%
Pertumbuhan Pekerja : 2,59%
Pertumb Upah Nominal : 15,81
Pertumb Pencari kerja : 18,92%
Pertumb Upah Riil (TH Dasar 2000) : 4,96%
Jum
lah
Pek
erja
, An
gk.
Ker
a d
an P
enca
ri K
erja
(O
ran
g)
70,00 60,00
1988
19
89 19
90 19
91 19
92 19
93 19
94 19
95 19
96 19
97 19
98 19
99 20
00 20
01 20
02 20
03 20
04
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
PDRB Pertanian PDRB Industri PDRB Sektor Lain
TK Pertanian TK Industri TK Sektor Lain
Sha
re T
K (%
)
-
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
PDRB Pertanian 44,73 45,18 41,50 42,36 42,57
PDRB Industri 3,99 4,54 6,82 7,29 7,52
PDRB Sektor Lain 51,28 50,28 51,68 50,35 49,91
TK Pertanian 55,01 60,02 60,69 62,85 64,15
TK Industri 5,18 5,48 5,66 5,51 5,25
TK Sektor Lain 39,81 34,50 33,64 31,64 30,60
1985 1986 1987 1988 1989
Sha
re P
DR
B (%
)
2001
20
02
2003
20
04
-
100.000
200.000
300.000
400.000
500.000
600.000
700.000
800.000
900.000
1.000.000
Mencari Kerja
Tin
gka
t U
pah
(R
p)
70,00
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
42,36 42,57 42,34 42,05 41,27 38,15 37,22 37,01 36,35 34,66 36,63 36,51 37,91 36,45 36,63 35,09 33,04
7,29 7,52 8,17 8,20 9,12 11,62 11,91 11,88 11,89 12,61 12,54 12,61 12,97 13,05 12,91 13,23 13,36
50,35 49,91 49,49 49,75 49,60 50,23 50,87 51,11 51,75 52,74 50,83 50,88 49,12 50,50 50,47 51,67 53,60
62,85 64,15 64,81 66,09 63,51 60,23 60,40 58,12 57,78 55,44 54,66 54,49 55,99 58,02 61,30 58,11 55,04
5,51 5,25 5,30 5,34 5,58 6,08 6,30 6,39 6,11 5,74 5,82 5,42 5,00 4,94 4,56 5,18 5,52
31,64 30,60 29,88 28,57 30,91 33,69 33,30 35,50 36,11 38,82 39,52 40,09 39,01 37,04 34,14 36,71 39,44
1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Sha
re T
K (%
)
Recommended