View
224
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP
PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA
OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI
H14094021
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
KRISMANTI TRI WAHYUNI. Analisis Pengaruh Infrastruktur Ekonomi dan Sosial terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia (dibimbing oleh WIDYASTUTIK).
Pembangunan telah mengalami perluasan makna, namun di dalamnya tetap menganggap pertumbuhan sebagai hal yang penting. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan ekspansi GDP potensial atau output nasional, yang menentukan tingkat standar hidup negara tersebut. Berdasarkan perbedaan pertumbuhan ekonomi, nilai PDRB provinsi yang bervariasi dan angka IPM yang masih beragam, pembangunan di Indonesia masih belum merata, yang mencerminkan adanya ketimpangan. Upaya mempercepat pembangunan regional dapat dilaksanakan dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat produktivitasnya. Kegiatan ekonomi harus didukung oleh infrastruktur yang memadai sehingga mendorong peningkatan potensi daerah masing-masing secara berkesinambungan. Pertumbuhan potensi daerah akan mendorong proses pertukaran sesuai dengan kebutuhan masing-masing dan memungkinkan bergeraknya perekonomian daerah sesuai dengan potensinya serta secara bersama-sama menuju proses pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin meningkat sesuai dengan kemampuannya yang optimal.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh serta besarnya kontribusi infrastruktur sosial dan ekonomi terhadap produktivitas ekonomi di Indonesia. Produktivitas ekonomi diperoleh koefisien dari output per tenaga kerja yang diadopsi dari bentuk model pertumbuhan Solow, yang menghubungkan output dengan input faktor produksi. Kapital yang diteliti adalah investasi yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur ekonomi dan sosial.
Analisis regresi data panel digunakan untuk melihat besarnya pengaruh infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi di Indonesia. Infrastruktur yang diteliti meliputi: panjang jalan, energi listrik yang terjual, air bersih yang disalurkan dan sarana kesehatan yang diwakili dengan data jumlah rumah sakit dan puskesmas. Analisis dilakukan dengan menggunakan data 26 provinsi di Indonesia dan pada kurun waktu 13 tahun (1995 – 2007). Pendekatan dilakukan dengan model fixed effects menunjukkan hasil bahwa masing-masing infrastruktur memberikan pengaruh yang positif terhadap produktivitas ekonomi dengan tingkat elastisitas yang berbeda-beda, yaitu infrastruktur sarana kesehatan sebesar 0,65, energi listrik 0,08, panjang jalan 0,07 dan air bersih 0,05. Sarana kesehatan yang merupakan bagian dalam modal manusia yang vital bagi pembangunan, mempunyai tingkat elastisitas yang paling besar memengaruhi produktivitas ekonomi dimana setiap kenaikan 1 persen infrastruktur kesehatan akan meningkatkan produktivitas ekonomi sebesar 0,65 persen.
ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP
PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA
OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI
H14094021
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Infrastruktur Ekonomi dan
Sosial terhadap Produktivitas Ekonomi di
Indonesia
Nama : Krismanti Tri Wahyuni
NRP : H14094021
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
W i d y a s t u t i k, M. S i. NIP. 19751105 200501 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dedi Budiman Hakim, Ph.D. NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal lulus:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Oktober 2009
Krismanti Tri Wahyuni H14094021
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Krismanti Tri Wahyuni lahir pada tanggal 14 Oktober
1981 di Kulon Progo (Daerah Istimewa Yogyakarta). Penulis merupakan anak
ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Kasman Nugroho dan Ibu
Suyanti Magdalena. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri 1
Pengasih pada tahun 1994, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMP
Negeri 1 Pengasih pada tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis diterima di
SMUN 1 Wates, Kulon Progo dan lulus pada tahun 2000.
Setelah tamat SMU, pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan ke
Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, tamat pada tahun 2004 dengan gelar
Sarjana Sains Terapan (S.ST) dan langsung ditempatkan untuk bekerja pada
kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah
selama lebih kurang 1 tahun. Kemudian penulis dimutasikan ke Badan Pusat
Statistik Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah, yang merupakan
wilayah pemekaran Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
anugerah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Infrastruktur Ekonomi dan Sosial
terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia” dengan baik. Infrastruktur
merupakan investasi yang dilakukan pemerintah dan masih sangat penting
ditingkatkan karena berdampak positif terhadap perekonomian. Oleh karena itu,
penulis tertarik melakukan penelitian dengan topik ini. Skripsi ini merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen
Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak
yang telah membantu penyelesaian penyusunan skripsi ini terutama kepada Ibu
Widyastutik, M.Si., yang memberikan bimbingan baik teknis maupun teoritis
dalam proses pembuatan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan
kepada Ibu Dr. Lukytawati Anggraeni sebagai dosen penguji yang memberikan
perbaikan-perbaikan skripsi ini. Namun kesalahan yang terjadi dalam penelitian
ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua dan saudara-
saudara penulis yang memberikan dorongan sepenuhnya, juga kepada orang tua,
kakak adik dan sahabat yang sudah penulis anggap sebagai keluarga serta teman-
teman yang memberikan dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga karya ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2009
Krismanti Tri Wahyuni H14094021
DAFTAR ISI
I.
II.
III.
DAFTAR ISI ……………………………………………...…………
DAFTAR TABEL …………………………………….……………..
DAFTAR GAMBAR …………………………………….………….
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………...
PENDAHULUAN ……………………………………..…………….
1.1 Latar Belakang ……………………………….…………………
1.2 Perumusan Masalah ………………………….…………………
1.3 Tujuan Penelitian …………………………….…………………
1.4 Kegunaan Penelitian ………………………….………………...
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………..
2.1 Tinjauan Teori …………………...……………………………...
2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi ……………………………..……
2.1.2 Model Neoklasik Solow ……………….………………...
2.1.3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ……………...
2.1.4 Produktivitas Ekonomi …………………………………..
2.1.5 Infrastruktur ……………………………………………...
2.1.5.1 Infrastruktur Jalan ………………………………
2.1.5.2 Infrastruktur Listrik ..……………………………
2.1.5.3 Infrastruktur Air Bersih …………………………
2.1.5.4 Infrastruktur Kesehatan …………………………
2.1.6 Hubungan Antara Investasi Publik dengan Pertumbuhan Ekonomi ........................................................................
2.2 Penelitian Terdahulu ……………………………………………
2.3 Kerangka Pemikiran Operasional ………………………………
METODOLOGI PENELITIAN …………………..………………..
3.1 Jenis dan Sumber Data ………………………………………….
3.2 Analisis Regresi Data Panel …………………………………….
3.2.1 Fixed Effect Model (FEM) …..………………………….
i
iii
iv
v
1
1
6
7
7
9
9
9
14
16
18
19
24
25
26
28
30
32
36
40
40
41
43
ii
IV.
V.
VI.
3.2.2 Random Effect Model (REM) ………………………….
3.2.3 Hausman Test …………………………………………..
3.3 Model Penelitian Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi ..............................................................
3.4 Definisi Operasional ……………………………………………
GAMBARAN UMUM ………………………………………………
4.1 Pertumbuhan Ekonomi ………………………………………….
4.2 Tenaga Kerja ……………………………………………………
4.3 Pembangunan Infrastruktur Jalan .................................................
4.4 Pembangunan Infrastruktur Listrik ..............................................
4.5 Pembangunan Infrastruktur Air Bersih ........................................
4.6 Pembangunan Infrastruktur Kesehatan ........................................
PEMBAHASAN .................................................................................
5.1 Pemilihan Metode Pendekatan dalam Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi ............................
5.2 Pendugaan Model Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia ...........................................
5.3 Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia ..................................................................
PENUTUP ..........................................................................................
6.1 Kesimpulan ..................................................................................
6.2 Saran ............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................
LAMPIRAN .......................................................................................
48
50
51
53
58
58
61
65
67
69
72
75
75
76
77
84
84
84
86
88
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1 3.1 4.1 5.1
PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa serta Pertumbuhannya, Tahun 2006 – 2007……………………. Data yang Digunakan dalam Penelitian Analisis Pengaruh Infrastruktur Ekonomi dan Sosial terhadap Produktivitas Ekonomi Indonesia, Tahun 1995 – 2007………………………………………... Persentase Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Provinsi, Tahun 1996 – 2007 (%) .................................................................................... Hasil Estimasi Persamaan Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia ………………………………….
3
40
60
78
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2.1 2.2 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12
Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi.…………… Kerangka Pemikiran Operasional ………….................................... Persentase Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 1996 – 2007 (%) Bagan Tenaga Kerja, Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja Menurut Konsep Labour Force Approach ........................................ Jumlah Tenaga Kerja Indonesia, Tahun 1995 – 2007 (Juta Jiwa) ..... Jumlah Tenaga Kerja Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (Juta Jiwa) .......................................................................................... Persentase Panjang Jalan Menurut Kualitasnya di Indonesia, Tahun 2007 (%) ............................................................................................ Panjang Jalan Baik dan Sedang Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (Km) ......................................................................................... Energi Listrik yang Terjual di Indonesia, Tahun 1995 – 2007 (GWh) ................................................................................................ Energi Listrik yang Terjual di Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (GWh) ....................................................................................... Persentase Pertumbuhan Jumlah Air Bersih yang Disalurkan PDAM di Indonesia, Tahun 1996 – 2007 ......................................... Jumlah Air Bersih yang Disalurkan PDAM di Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (m3) ................................................................... Persentase Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas di Indonesia, Tahun 2007 (%) ................................................................................. Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas di Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (Unit) ..............................................................
20
38
59
62
63
64
65
66
68
69
70
71
72
74
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 2 3 4 5
PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi dan Pertumbuhannya, Tahun 2006 – 2007 ………………………………. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Peringkat Menurut Provinsi Serta Reduksi Shortfall-nya, Tahun 2006 – 2007 …………. Uji Chow pada Model Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia, Tahun 1995 – 2007 ........................................ Uji Hausman pada Model Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia, Tahun 1995 – 2007 .................. Hasil Pengolahan Eviews dengan Metode Fixed Effect ......................
89
90
91
94
98
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Walaupun banyak kritik terhadap pembangunan Indonesia, harus diakui
bahwa perjalanan bangsa Indonesia selama 64 tahun dalam mengisi kemerdekaan
telah memberikan nilai tambah yang sangat signifikan dalam seluruh aspek
kehidupan masyarakat baik fisik maupun non fisik. Kapasitas dari sebuah
perekonomian nasional Indonesia diukur dengan GDP (Gross Domestic Product)
telah mampu dinaikkan menjadi 4.954,03 trilyun rupiah dan dengan pertumbuhan
mencapai 6,06 persen pada tahun 2008. Demikian juga indeks ekonomi lainnya
yang juga sering digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan
yaitu tingkat pertumbuhan GDP per kapita pada tahun yang sama telah mencapai
21,70 juta rupiah. Angka ini mengukur kemampuan suatu negara untuk
memperbesar outputnya dalam laju yang lebih cepat daripada tingkat
pertumbuhan penduduknya (BPS, 2009).
Pembangunan telah mengalami perluasan makna, namun di dalamnya tetap
menganggap pertumbuhan sebagai point yang penting. Menurut Samuelson dan
Nordhaus (2004), pertumbuhan ekonomi menggambarkan ekspansi GDP potensial
atau output nasional negara, yang menentukan tingkat standar hidup negara
tersebut. Pembangunan secara luas dipandang sebagai suatu proses
multidimensional yang meliputi berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial,
sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar
akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta
2
pengentasan kemiskinan. Guna mencapai sasaran yang diinginkan dalam
pembangunan, maka pembangunan suatu negara dapat diarahkan pada tiga hal
pokok, yaitu: meningkatkan ketersediaan dan distribusi kebutuhan pokok bagi
masyarakat, meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat, dan meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam mengakses baik kegiatan ekonomi dan kegiatan
sosial dalam kehidupannya (Todaro dan Smith, 2006).
Pembangunan Indonesia memang telah mencapai pertumbuhan yang
meningkat, namun jika dilihat dari tingkat pemerataannya, masih menunjukkan
ketimpangan. Beberapa provinsi yang pertumbuhan Produk Domestik Regional
Bruto-nya masih di bawah 5 persen, menjadi salah satu realitas terciptanya
kesenjangan/disparitas antar daerah dan antar kawasan (Lampiran 1). Hal tersebut
salah satunya disebabkan oleh perbedaan faktor endowment dari masing-masing
daerah. Fakta adanya disparitas tersebut tercermin dalam kesenjangan kinerja
pembangunan perekonomian dan kesenjangan kinerja pembangunan antar
provinsi di Indonesia.
Berdasarkan Tabel 1.1, terlihat adanya fenomena disparitas perekonomian
di Indonesia, dimana terjadi pemusatan produksi barang dan jasa di Pulau Jawa.
Pulau yang luasnya hanya mencapai 6,95 persen dari luas Indonesia ini
mendominasi pendapatan nasional sebesar 60,25 persen pada tahun 2006 dan
meningkat menjadi 60,57 persen pada tahun 2007. Sementara itu wilayah-wilayah
di luar Pulau Jawa yang terbagi menjadi 27 provinsi pada tahun 2007 (setelah
terjadi pemekaran provinsi) hanya mampu berproduksi tidak lebih dari 40 persen.
3
Dengan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan luar Pulau Jawa,
ketimpangan pembangunan akan semakin melebar.
Tabel 1.1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa serta Pertumbuhannya, Tahun 2006 – 2007
PDRB Atas Dasar Harga
Konstan 2000 (Juta Rupiah) No Uraian 2006 2007
Pertumbuhan(%)
(1) (2) (3) (4) (5)
1 Pulau Jawa 1.071.135.143 1.137.224.181 6,17
2 Luar Pulau Jawa 706.800.621 740.409.944 4,76
Sumber: BPS, 2006 dan 2007 (diolah)
Seperti halnya jika pembangunan dilihat secara ekonomi, pembangunan
manusia secara keseluruhan menunjukkan indikasi masih terdapat disparitas antar
wilayah, yaitu dengan membandingkan nilai IPM provinsi di Indonesia. Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) digunakan untuk menganalisis perbandingan status
pembangunan sosial ekonomi secara sistematis dan komprehensif dalam ukuran
indeks. Luasnya cakupan pembangunan manusia menjadikan peningkatan IPM
sebagai manifestasi dari pembangunan manusia dapat ditafsirkan sebagai
keberhasilan dalam meningkatkan kemampuan dalam memperluas pilihan-pilihan
(enlarging the choices of the people). Dalam ukuran ini diungkapkan bahwa suatu
wilayah dapat berbuat jauh lebih baik dalam pembangunan manusia sekalipun
mempunyai pendapatan (kondisi ekonomi) yang rendah, karena pengukuran
indeks ini juga menekankan pada aspek pendidikan dan kesehatan (BPS,
Bappenas dan UNDP Indonesia, 2004).
4
Perkembangan IPM di Indonesia menunjukkan suatu peningkatan, yang
berarti memberikan indikasi bahwa terjadi peningkatan kinerja pembangunan
manusia. Capaian angka IPM akan menentukan urutan (ranking) antar daerah.
Namun keberhasilan pembangunan manusia di suatu daerah tidak mutlak dilihat
dari posisi (ranking), tetapi juga dilihat berdasarkan besaran nilai reduksi
shortfall. Rata-rata nilai IPM untuk nasional mencapai 70,59 pada tahun 2007,
meningkat dari tahun 2006 sebesar 70,10. Angka ini menutupi variasi nilai IPM
antar provinsi yang beragam dan tidak merata (Lampiran 2). Perbedaan capaian
antara IPM yang tertinggi dan terendah sebesar 13,2 poin, dengan rentang 63,41
untuk Papua dan 76,59 untuk DKI Jakarta. Dibandingkan dengan perbedaan
pencapaian IPM provinsi tahun 2006 yang mencapai 13,6 poin, maka perbedaan
tahun 2007 relatif lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata peningkatan
IPM provinsi cenderung melambat. Kecepatan pembangunan manusia dilihat
dengan ukuran reduksi shortfall (BPS, 2008).
Ketimpangan dan ketidakmerataan pembangunan ini bila dibiarkan
berlangsung bisa memperlebar tingkat kesenjangan dalam masyarakat sehingga
tujuan pembangunan yang adil dan merata terancam tidak tercapai. Ketimpangan
juga menimbulkan kerawanan ekonomi dan beban sosial yang tinggi karena orang
miskin terlilit dalam lingkaran setan kemiskinan sehingga menurunkan generasi
yang miskin pula. Sementara itu orang kaya akan menjadi semakin kaya jika
ketimpangan yang berkelanjutan ini tidak diantisipasi. Menurut Todaro dan Smith
(2006), pemerataan yang lebih adil di negara berkembang merupakan suatu
kondisi atau syarat yang menunjang pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian,
5
semakin timpang distribusi pendapatan di suatu negara akan berdampak negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan pendapatan antar daerah
tergantung dari besarnya jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap penerima
pendapatan dalam daerah tersebut. Perbedaan jumlah pendapatan yang diterima
itu menimbulkan suatu distribusi pendapatan yang berbeda.
Menurut Nurkse dalam Jhingan (2008), faktor utama dalam pembangunan
ekonomi adalah pembentukan atau pengumpulan modal. Tujuan pokok
pembangunan ekonomi ialah untuk membangun peralatan modal dalam skala
yang cukup untuk meningkatkan produktivitas di bidang pertanian, pertambangan,
perkebunan dan industri. Modal juga diperlukan untuk mendirikan sekolah, rumah
sakit, jalan raya, kereta api, dan sebagainya. Singkatnya, hakikat pembangunan
ekonomi adalah penciptaan overhead sosial dan ekonomi. Hal ini hanya mungkin
jika laju pembentukan modal di dalam negeri cukup cepat, yaitu jika bagian dari
pendapatan atau output masyarakat yang ada, hanya sedikit saja yang
dipergunakan untuk konsumsi dan sisanya ditabung dan diinvestasikan dalam
peralatan modal. Pembentukan modal dalam prakteknya dilaksanakan oleh pihak
swasta dan juga pemerintah. Investasi sarana dan prasarana infrastruktur biasanya
dilakukan oleh pemerintah, hanya sebagaian yang sangat kecil saja yang
dilakukan oleh pihak swasta. Peningkatan prasarana infrastruktur diharapkan
dapat membawa kesejahteraan dan mempercepat pembangunan ekonomi karena
kegiatan perekonomian akan lebih efisien. Oleh karena itu, dalam upaya
pembangunan ekonomi, diperlukan analisis produktivitas ekonomi yang telah
6
dicapai dan peranan infrastruktur yang mendukung keberhasilan pembangunan
tersebut.
1.2. Perumusan Masalah
Ketimpangan dalam pembangunan ekonomi masih terjadi di Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dari perbedaan pertumbuhan ekonomi, nilai PDRB provinsi
yang bervariasi dan angka IPM yang masih beragam. Hal ini menunjukkan bahwa
pembangunan Indonesia masih belum merata. Fakta dan indikasi ini perlu
mendapat perhatian agar upaya pembangunan ekonomi di Indonesia terus
mengalami peningkatan yang signifikan dan merata di seluruh wilayah Indonesia.
Upaya mempercepat pembangunan regional dapat dilaksanakan dengan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat produktivitasnya. Efisensi
dalam kegiatan ekonomi harus didukung oleh infrastruktur yang memadai
sehingga mendorong peningkatan potensi daerah masing-masing secara
berkesinambungan. Pertumbuhan potensi daerah akan mendorong proses
pertukaran sesuai dengan kebutuhan masing-masing dan memungkinkan
bergeraknya perekonomian daerah sesuai dengan potensinya serta secara bersama-
sama menuju proses pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin meningkat
sesuai dengan kemampuannya yang optimal.
Walaupun kebijakan pembangunan infrastruktur di Indonesia telah
berlangsung cukup lama dengan biaya yang cukup besar dan kontribusinya dalam
peningkatan pertumbuhan ekonomi cukup signifikan, namun masih banyak
masalah yang dihadapi beberapa wilayah di Indonesia, antara lain perencanaan
7
yang lemah, kuantitas yang belum mencukupi dan kualitas yang masih rendah
(Ikhsan, 2004).
Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan pokok yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaruh infrastruktur ekonomi dan sosial terhadap produktivitas
ekonomi di Indonesia?
2. Seberapa besar pengaruh infrastruktur ekonomi dan sosial terhadap
produktivitas ekonomi di Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah:
1. Menganalisis pengaruh infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi di
Indonesia.
2. Menganalisis besarnya pengaruh infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi
di Indonesia dilihat menurut jenis infrastruktur yang diteliti.
1.4. Kegunaan Penelitian
Secara umum penelitian ini berguna untuk: pertama, memberikan informasi
dan gambaran mengenai dinamika pembangunan ekonomi di Indonesia baik
dilihat dari nilai PDRB-nya maupun pertumbuhan ekonominya; kedua,
memberikan masukan bagi kebijakan pemerintah yang terkait dengan
pembangunan infrastruktur di Indonesia guna peningkatan pembangunan ekonomi
yang dianalisis melalui produktivitas dalam kegiatan ekonomi; ketiga, memberi
8
informasi seberapa besar pengaruh setiap jenis infrastruktur yang perlu disediakan
dalam meningkatkan produktivitas ekonomi di Indonesia, dan keempat, dapat
menjadi sumber referensi dan informasi tambahan bagi penelitian yang akan
datang, khususnya penelitian yang terkait dengan produktivitas ekonomi dan
infrastruktur.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori
2.1.1. Pertumbuhan Ekonomi
Kuznets dalam Jhingan (2008) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi
sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk
menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya,
yang tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, penyesuaian kelembagaan dan
ideologis yang diperlukannya. Definisi ini memiliki tiga komponen, yaitu: pertama,
pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya secara terus-
menerus persediaan barang; kedua, teknologi maju merupakan faktor dalam
pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam
penyediaan aneka macam barang kepada penduduknya; ketiga, penggunaan
teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang
kelembagaan dan ideologi sehingga inovasi yang dihasilkan dapat dimanfaatkan
secara tepat.
Sementara itu Todaro dan Smith (2006) mendefinisikan pertumbuhan
ekonomi sebagai suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu
perekonomian secara terus-menerus atau berkesinambungan sepanjang waktu
sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin
lama semakin besar. Ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan
ekonomi, yaitu:
10
1. Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru
yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya
manusia.
2. Pertumbuhan penduduk yang pada tahun-tahun berikutnya akan
memperbanyak jumlah angkatan kerja.
3. Kemajuan teknologi.
Akumulasi modal akan diperoleh bila sebagian dari pendapatan yang
diterima oleh masyarakat tersebut ditabung dan diinvestasikan kembali dengan
tujuan meningkatkan output dan pendapatan di masa depan. Akumulasi modal ini
dapat dilakukan dengan investasi langsung terhadap stok modal secara fisik
(pengadaan pabrik baru, mesin-mesin, peralatan, dan bahan baku) dan dapat juga
dilakukan dengan investasi terhadap fasilitas-fasilitas penunjang seperti investasi
infrastruktur, ekonomi dan sosial (pembangunan jalan raya, penyediaan listrik, air
bersih, dan sebagainya).
Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja, secara tradisional dianggap
sebagai sebagai faktor positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Jumlah
tenaga kerja yang lebih besar berarti akan menambah jumlah tenaga kerja produktif,
walaupun hal ini tergantung kepada kemampuan sistem perekonomian untuk
menyerap dan memekerjakan secara produktif tambahan tenaga kerja tersebut.
Selanjutnya, pertumbuhan penduduk yang besar berarti menambah ukuran pasar
domestik menjadi lebih besar.
Komponen kemajuan teknologi merupakan sumber pertumbuhan ekonomi
yang paling penting. Perkembangan teknologi merupakan dasar atau prakondisi
11
bagi berlangsungnya suatu pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan. Dalam
bentuk yang paling sederhana, kemajuan teknologi dihasilkan dari pengembangan
cara-cara lama atau penemuan metode baru dalam menyelesaikan tugas-tugas
tradisional.
Sukirno (2004) menerangkan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah
perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan
pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan
persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu
dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya. Oleh
karena itu faktor perting dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi disebutkan
sebagai beriktut:
1. Tanah dan kekayaan alam lainnya.
Kekayaan alam suatu negara meliputi luas dan kesuburan tanah, keadaan
iklim dan cuaca, jumlah dan jenis hutan dan hasil laut, serta jumlah dan
jenis kekayaan barang tambang yang terdapat di dalamnya.
2. Jumlah dan mutu dari penduduk dan tenaga kerja.
Penduduk yang bertambah dari waktu ke waktu dapat menjadi pendorong
maupun penghambat perkembangan ekonomi.
3. Barang-barang modal dan tingkat teknologi.
Barang-barang modal yang bertambah dan teknologi yang modern
memegang peranan penting dalam mewujudkan kemajuan ekonomi.
4. Sistem ekonomi dan sikap masyarakat.
Adat istiadat yang tradisional dapat menjadi penghambat pembangunan.
12
Selanjutnya Jhingan (2008) menyebutkan bahwa proses pertumbuhan
ekonomi dipengaruhi oleh dua macam faktor yaitu faktor ekonomi dan
nonekonomi. Faktor ekonomi terdiri dari faktor produksi yang dipandang sebagai
kekuatan utama yang memengaruhi pertumbuhan. Diantaranya adalah:
1. Sumber alam, yang mencakup kesuburan tanah, letak dan susunannya,
kekayaan hutan, mineral, iklim, sumber air, sumber lautan, dan sebagainya.
2. Akumulasi modal, yang berarti mengadakan persediaan faktor produksi
yang secara fisik dapat direproduksi. Proses pembentukan modal bersifat
kumulatif dan membiayai diri sendiri serta mencakup tiga tahap yang saling
berkaitan, yaitu:
(a) Keberadaan tabungan nyata dan kenaikannya,
(b) Keberadaan lembaga keuangan dan kredit untuk menggalakkan
tabungan dan menyalurkannya ke jalur yang dikehendaki,
(c) Menggunakan tabungan untuk investasi barang modal.
3. Organisasi, yang terdiri dari para wiraswastawan (pengusaha) dan
pemerintah, yang melengkapi (komplemen) modal, buruh dan yang
membantu produktivitasnya, termasuk dalam menyelenggarakan overhead
sosial dan ekonomi.
4. Kemajuan teknologi, yang berkaitan dengan perubahan di dalam metode
produksi yang merupakan hasil pembaharuan atau hasil dari teknik
penelitian baru sehingga menaikkan produktivitas buruh, modal dan faktor
produksi lainnya.
13
5. Pembagian kerja dan skala produksi, yang menimbulkan peningkatan
produktivitas.
Sedangkan faktor nonekonomi yang memengaruhi kemajuan perekonomian antara
lain:
1. Faktor sosial dan budaya, yang menghasilkan perubahan pandangan,
harapan, struktur dan nilai-nilai sosial.
2. Faktor sumber daya manusia, yang disebut sebagai “pembentukan modal
insani” yaitu proses peningkatan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan
kemampuan seluruh penduduk, termasuk di dalamnya aspek kesehatan,
pendidikan dan pelayanan sosial lainnya.
3. Faktor politik dan administratif, termasuk pemerintahan yang baik dengan
menerapkan kebijakan fiskal dan moneter yang tepat.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa dengan berbagai pendapat,
pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan faktor terpenting dalam
pembangunan. Keberhasilan pembangunan suatu negara diukur berdasarkan tinggi
rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapainya. Pengukuran
pertumbuhan ekonomi secara konvensional biasanya dengan menghitung
peningkatan persentase dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB
merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam
suatu negara/wilayah tertentu atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir
yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi selama periode tertentu. Oleh karena
itu, tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara/wilayah dapat diperoleh melalui
tingkat pertumbuhan nilai PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK). Indeks
14
pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dihitung dengan menggunakan formula
sebagai berikut :
%100)1(
)1( ×−
=−
−
ti
tiitit PDRB
PDRBPDRBLP .............................(2.1)
Dimana:
LP = laju pertumbuhan ekonomi
i = sektor 1,2,…9
t = tahun t
2.1.2. Model Neoklasik Solow
Model pertumbuhan Solow merupakan pilar yang sangat memberi
kontribusi terhadap teori pertumbuhan neoklasik. Model ini memungkinkan
analisis pertumbuhan ekonomi secara dinamis, menjelaskan mengapa pendapatan
nasional tumbuh dan mengapa sebagian perekonomian tumbuh lebih cepat
dibandingkan yang lainnya serta menjelaskan perubahan-perubahan dalam
perekonomian sepanjang waktu. Secara ekonomi, model pertumbuhan Solow
dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal,
pertumbuhan angkatan kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam
perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa
suatu negara secara keseluruhan (Mankiw, 2007).
Pada intinya model ini merupakan pengembangan dari model
pertumbuhan Harrod-Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja dan
teknologi ke dalam persamaan pertumbuhan (growth equation). Dalam model
pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang
15
terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah,
sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil
tetap (constant returns to scale). Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai faktor
residu untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang dan tinggi
rendahnya pertumbuhan itu diasumsikan bersifat eksogen atau tidak dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain (Todaro dan Smith, 2006).
Jhingan (2008) mengemukakan asumsi-asumsi dalam model Solow
sebagai berikut:
1. Ada satu komoditi gabungan yang diproduksi.
2. Yang dimaksud output ialah output netto yaitu sesudah dikurangi biaya
penyusutan modal.
3. Return to scale bersifat konstan (fungsi produksi homogen pada derajat
pertama).
4. Dua faktor produksi tenaga kerja dan modal dibayar sesuai dengan
produktivitas fisik marjinalnya.
5. Harga dan upah fleksibel.
6. Tenaga kerja terpekerjakan secara penuh.
7. Stok modal yang ada juga terpekerjakan secara penuh.
8. Tenaga kerja dan modal dapat disubstitusikan satu sama lain.
9. Kemajuan teknologi bersifat netral.
Dengan menganggap bahwa fungsi produksi adalah dalam bentuk Cobb-
Douglas, maka model pertumbuhan neoklasik Solow dapat ditulis:
αα −= 1LAKY .............................(2.2)
16
dimana:
Y : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),
A : tingkat kemajuan teknologi, yang menentukan produktivitas tenaga
kerja dan pertumbuhannya ditentukan oleh variabel eksogen,
K : stok modal fisik dan modal manusia,
L : tenaga kerja,
α : elastisitas output terhadap modal (persentase kenaikan PDRB yang
bersumber dari 1 persen penambahan modal fisik dan modal
manusia).
Pertumbuhan ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan
daerah tersebut untuk meningkatkan kegiatan produksinya. Berdasarkan model
pertumbuhan ini, disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah
ditentukan oleh kemajuan teknologi, penambahan modal atau investasi dan
tenaga kerja.
2.1.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Seperti dikemukakan di atas, PDRB merupakan dasar pengukuran atas
nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul
akibat adanya aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah tertentu. Penghitungan
angka-angka PDRB dapat menggunakan tiga pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan Produksi
PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh
berbagai unit produksi di wilayah suatu daerah dalam jangka waktu
tertentu (biasanya satu tahun).
17
2. Pendekatan Pendapatan
PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor
produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu
tahun).
3. Pendekatan Pengeluaran
PDRB adalah semua komponen permintaan akhir dalam jangka waktu
tertentu (biasanya satu tahun), yang dirinci sebagai berikut:
(a) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga nirlaba,
(b) konsumsi pemerintah,
(c) pembentukan modal tetap domestik bruto,
(d) perubahan stok, dan
(e) ekspor neto.
Penghitungan PDRB dibedakan menjadi dua yaitu PDRB Atas Dasar
Harga Berlaku (ADHB) dan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK). PDRB
Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) menunjukkan pendapatan yang
memungkinkan dapat dinikmati oleh penduduk suatu daerah serta
menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga
pada tahun yang bersangkutan. Angka ini digunakan untuk menganalisis pola atau
struktur ekonomi di wilayah tersebut. Sedangkan PDRB Atas Dasar Harga
Konstan (ADHK) menggambarkan perkembangan produksi riil barang dan jasa
yang dihasilkan oleh kegiatan ekonomi daerah tersebut. Angka ini digunakan
untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun.
18
Tingkat pertumbuhan PDRB dapat digunakan sebagai salah satu indikator
untuk mengukur pertumbuhan ekonomi karena:
1. PDRB adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas
produksi di dalam perekonomian. Hal ini berarti peningkatan PDRB juga
mencerminkan balas jasa kepada faktor produksi yang digunakan dalam
aktivitas produksi tersebut.
2. PDRB dihitung atas dasar konsep aliran (flow concept), artinya
perhitungan PDRB hanya mencakup nilai produk yang dihasilkan pada
satu periode tertentu. Perhitungan ini tidak mencakup nilai produk yang
dihasilkan pada periode sebelumnya. Pemanfaatan konsep aliran guna
menghitung PDRB yakni untuk membandingkan jumlah nilai tambah yang
dihasilkan pada tahun ini dengan tahun sebelumnya.
3. Batas wilayah perhitungan PDRB adalah wilayah domestik. Hal ini
memungkinkan kita untuk mengukur sejauh mana kebijakan ekonomi
yang diterapkan pemerintah mampu mendorong aktivitas perekonomian
domestik.
2.1.4. Produktivitas Ekonomi
Menurut Kuznets dalam Jhingan (2008), laju kenaikan produktivitas dapat
menjelaskan hampir keseluruhan pertumbuhan produk per kapita di negara maju.
Pertumbuhan ekonomi modern terlihat dari semakin meningkatnya laju produk per
kapita terutama sebagai akibat adanya perbaikan kualitas input yang meningkatkan
efisiensi atau produktivitas per unit input. Hal ini dapat dilihat dari semakin
besarnya masukan sumber tenaga kerja dan modal atau semakin meningkatnya
19
efisiensi.
Untuk melihat produktivitas ekonomi tidak dapat dilepaskan dari konsep
fungsi produksi yang merupakan konsep sistematis yang menghubungkan output
dengan berbagai kombinasi input faktor produksi (sementara tingkat kemajuan
teknologi dianggap sebagai faktor yang konstan) untuk menjelaskan cara penduduk
menyediakan kebutuhannya (Todaro dan Smith, 2006). Jumlah ouput/produk
barang dan jasa dalam perekonomian di suatu wilayah telah diuraikan dengan
menghitung besarnya PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Selanjutnya
tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi yang berperan dalam proses
produksi, merupakan populasi orang yang bekerja dalam angkatan kerja pada
periode tertentu.
2.1.5. Infrastruktur
Menurut Setyaningrum (1997), infrastruktur adalah bagian dari capital stock
dari suatu negara, yaitu biaya tetap sosial yang langsung mendukung produksi.
Stone dalam Kodoatie (2003) mendefinisikan infrastruktur sebagai fasilitas-
fasilitas fisik yang dikembangkan atau dibutuhkan oleh agen-agen publik untuk
fungsi-fungsi pemerintahan dalam penyediaan air, tenaga listrik, pembuangan
limbah, transportasi dan pelayanan-pelayanan lainnya untuk memfasilitasi tujuan-
tujuan ekonomi dan sosial.
Infrastruktur merupakan input penting bagi kegiatan produksi dan dapat
memengaruhi kegiatan ekonomi dalam berbagai cara baik secara langsung maupun
tidak langsung. Infrastruktur tidak hanya merupakan kegiatan produksi yang akan
menciptakan output dan kesempatan kerja, namun keberadaan infrastruktur juga
20
memengaruhi efisiensi dan kelancaran kegiatan ekonomi di sektor-sektor lainnya.
Pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dinyatakan oleh Cicilia
dalam Sibarani (2002) seperti pada Gambar 2.2.
Infrastruktur
Pendapatan Rumah Tangga
Pendapatan Dunia Usaha
Peningkatan Kesejahteraan
Pengembangan Pasar
Penurunan Biaya
Pertumbuhan Ekonomi
Sumber: Cicilia dalam Sibarani (2002)
Gambar 2.1. Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Sementara itu The World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi
tiga, yaitu:
1. Infrastruktur ekonomi, merupakan aset fisik yang diperlukan untuk
menunjang aktivitas ekonomi baik dalam produksi maupun konsumsi
final, meliputi public utilities (tenaga, telekomunikasi, air minum, sanitasi
dan gas), public work (jalan, bendungan, kanal, saluran irigasi dan
21
drainase) serta sektor transportasi (jalan, rel kereta api, angkutan
pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya).
2. Infrastruktur sosial, merupakan aset yang mendukung kesehatan dan
keahlian masyarakat, meliputi pendidikan (sekolah dan perpustakaan),
kesehatan (rumah sakit dan pusat kesehatan), perumahan dan rekreasi
(taman, museum dan lain-lain).
3. Infrastruktur administrasi/institusi, meliputi penegakan hukum, kontrol
administrasi dan koordinasi serta kebudayaan.
Infrastruktur juga dapat digolongkan menjadi infrastruktur dasar dan
pelengkap. Infrastruktur dasar (basic infrastructure), meliputi sektor-sektor yang
mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar untuk
perekonomian lainnya, tidak dapat diperjualbelikan (non tradable) dan tidak dapat
dipisah-pisahkan baik secara teknis maupun spasial. Contohnya jalan raya, rel
kereta api, pelabuhan laut, drainase, bendungan, dan sebagainya. Sedangkan
infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) misalnya gas, listrik,
telepon dan pengadaan air minum. Infrastruktur dasar biasanya diselenggarakan
oleh pemerintah karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Namun
dalam penyediaannya pemerintah dapat bekerja sama dengan badan usaha sesuai
dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 tentang
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
Perbedaan antara infrastruktur dasar dan pelengkap tidaklah selalu sama dan dapat
berubah menurut waktu. Misalnya pengadaan air minum yang dulunya
digolongkan sebagai infrastruktur pelengkap, sekarang digolongkan sebagai
22
infrastruktur dasar.
Fasilitas infrastruktur bukan hanya berfungsi melayani berbagai kepentingan
umum tetapi juga memegang peranan penting pada kegiatan-kegiatan swasta di
bidang ekonomi. Kebutuhan prasarana merupakan pilihan (preference), dimana
tidak ada standar umum untuk menentukan berapa besarnya fasilitas yang tepat di
suatu daerah atau populasi. Edwin (1998) menguraikan prasarana umum yang
diambil dari Catanese (1992), terdiri dari kategori-kategori dalam fasilitas
pelayanan dan fasilitas produksi. Fasilitas pelayanan meliputi kategori-kategori
sebagai berikut:
1. Pendidikan, berupa Sekolah Dasar, SMP, SMA dan perpustakaan umum.
2. Kesehatan, berupa rumah sakit, rumah perawatan, fasilitas pemeriksaan
oleh dokter keliling, fasilitas perawatan gigi dengan mobil keliling,
fasilitas kesehatan mental dengan mobil keliling, rumah yatim piatu,
perawatan penderita gangguan emosi, perawatan pecandu alkohol dan obat
bius, perawatan penderita cacat fisik dan mental, rumah buta dan tuli, serta
mobil ambulans.
3. Transportasi, berupa jaringan rel kereta api, bandar udara dan fasilitas
yang berkaitan, jalan raya dan jembatan di dalam kota dan antar kota serta
terminal penumpang.
4. Kehakiman, berupa fasilitas penegakan hukum dan penjara.
5. Rekreasi, berupa fasilitas rekreasi masyarakat dan olahraga.
Sedangkan fasilitas produksi meliputi kategori-kategori:
1. Energi, yaitu penyuplai energi langsung.
23
2. Pemadam kebakaran, berupa stasiun pemadam kebakaran, mobil pemadam
kebakaran, sistem komunikasi, suplai air dan penyimpanan air.
3. Sampah padat, berupa fasilitas pengumpulan dan peralatan sampah padat
dan lokasi pembuangannya.
4. Telekomunikasi, berupa televisi kabel, televisi udara, telepon kabel dan
kesiagaan menghadapi bencana alam.
5. Air limbah, berupa waduk dan sistem saluran air limbah, sistem
pengolahan dan pembuangannya.
6. Air bersih, berupa sistem suplai untuk masyarakat, fasilitas penyimpanan,
pengolahan dan penyalurannya, lokasi sumur dan tangki air di bawah
tanah.
Dengan melihat jenis-jenis infrastruktur yang banyak berhubungan dengan
masyarakat, peranan pemerintah sangat penting dalam penyediaannya. Walaupun
pengadaan infrastruktur bisa dilakukan dengan kerja sama dengan badan usaha
yang telah ditunjuk, tidak semua layanan infrastruktur bisa dilaksanakan oleh pihak
swasta karena ada layanan infrastruktur yang memerlukan modal yang besar dengan
waktu pengembalian yang lama dan resiko investasi yang besar.
Pemerintah sebagai pemain utama dalam penyediaan infrastruktur
selayaknya menjaga kesinambungan investasi pembangunan infrastruktur dan
memrioritaskan infrastruktur dalam rencana pembangunan nasional, sehingga
infrastruktur dapat dibenahi baik secara kuantitas maupun kualitas. Selain itu perlu
pendekatan yang lebih terpadu dalam pembangunan infrastruktur guna menjamin
sinergi antar sektor dan wilayah (Bulohlabna, 2008).
24
2.1.5.1.Infrastruktur Jalan
Infrastruktur jalan sebagai salah satu infrastruktur pengangkutan berperan
dalam merangsang pertumbuhan ekonomi karena ketersediaan jalan akan
meminimalkan modal komplementer sehingga proses produksi dan distribusi akan
lebih efisien. Pembangunan prasarana jalan turut akan meningkatkan pertumbuhan
wilayah-wilayah baru dengan meningkatnya volume lalu lintas. Sebaiknya
prasarana jalan yang buruk dan rusak akan menghambat alokasi sumber daya,
pengembangan industri, pendistribusian faktor produksi, barang dan jasa, yang pada
akhirnya akan memengaruhi pendapatan.
Ikhsan (2004) mengemukakan bahwa jalan raya akan memengaruhi biaya
variabel dan biaya tetap. Jika infrastruktur harus dibangun sendiri oleh sektor
swasta, maka biaya akan meningkat secara signifikan dan menyebabkan cost of
entry untuk suatu kegiatan ekonomi menjadi sangat mahal sehingga kegiatan-
kegiatan ekonomi yang sebetulnya secara potensial mempunyai keunggulan
komparatif menjadi tidak bisa terealisasikan karena ketiadaan infrastruktur. Lebih
jauh lagi infrastruktur sangat berpengaruh terhadap biaya marketing. Sebagai
contoh adanya pembukaan dan peningkatan jalan di Sulawesi tidak hanya
menurunkan biaya transportasi, namun juga menjadi faktor penting dalam
memperkuat bargaining power dari petani coklat. Akibatnya, margin yang diterima
petani coklat meningkat dari sekitar 62 persen pada tahun 1980-an menjadi sekitar
90 persen setelah tersedianya Jalan Trans Sulawesi.
Queiroz dalam Sibarani (2002) juga menunjukkan adanya hubungan yang
konsisten dan signifikan antara pendapatan dengan panjang jalan. Negara
25
berpenghasilan lebih dari US$ 6.000/kapita mempunyai rasio panjang jalan ±
10.110 km/1 juta penduduk, sedangkan negara berpenghasilan US$ 545 - US$
6.000/kapita mempunyai rasio panjang jalan ± 1.660 km/1 juta penduduk dan
negara berpenghasilan kurang dari US$ 545/kapita mempunyai rasio panjang jalan
± 170 km/1 juta penduduk. Jika data tersebut dibandingkan, negara yang
berpenghasilan tinggi mempunyai panjang jalan 59 kali lipat dibandingkan dengan
negara berpenghasilan rendah.
2.1.5.2.Infrastruktur Listrik
Dengan semakin majunya suatu wilayah, kebutuhan akan listrik menjadi
tuntutan primer yang harus dipenuhi, tidak hanya untuk rumah tangga namun juga
untuk kegiatan ekonomi terutama industri. Dalam kehidupan masyarakat yang
semakin modern, semakin banyak peralatan rumah tangga, peralatan kantor serta
aktivitas-aktivitas masyarakat yang mengandalkan sumber energi dari listrik.
Peningkatan kegiatan ekonomi dalam produksi dan investasi juga membutuhkan
listrik yang memadai. Oleh karena itu permintaan listrik meningkat dari tahun ke
tahun baik dari segi kuantitasnya maupun kualitasnya.
Sebagian besar kebutuhan listrik di Indonesia dipenuhi oleh PT. Perusahaan
Listrik Negara (Persero). Sementara sebagian lagi masih disuplai oleh perusahaan-
perusahaan non PLN. Sampai dengan tahun 2007, belum semua wilayah di
Indonesia telah tersambung dalam jaringan PLN. Oleh karena itu, sebagian
masyarakat mengusahakannya secara swasembada yaitu melalui perusahaan non
PLN yang dikelola Pemda, koperasi maupun perusahaan swasta lainnya.
26
2.1.5.3.Infrastruktur Air Bersih
Air bersih merupakan kebutuhan vital yang mutlak diperlukan dalam
kehidupan manusia sehingga pengadaan sumber daya ini termasuk dalam prioritas
pembangunan. Pengalokasian air bersih yang efisien harus didasarkan pada sifat zat
cair yang mudah mengalir, menguap, meresap dan keluar melalui suatu media
tertentu. Karakteristik sumber daya air dikemukakan oleh Anwar dalam Oktavianus
(2003), yaitu:
1. Mobilitas air, menyebabkan sulitnya penegasan hak-hak (property right)
atas sumber daya air secara ekslusif agar dapat menjadi komoditas ekonomi
yang dapat dipertukarkan dalam sistem ekonomi pasar.
2. Sifat skala ekonomi yang melekat, menyebabkan penawaran air bersifat
monopoli alami (natural monopoly), dimana semakin besar jumlah air yang
ditawarkan, maka biaya per satuan yang ditanggung produsennya semakin
murah.
3. Sifat penawaran air dapat berubah-ubah menurut waktu, ruang dan
kualitasnya sehingga penyaluran air dalam keadaan kekeringan hebat dan
banjir biasanya hanya dapat ditangani oleh pemerintah untuk kepentingan
umum.
4. Kapasitas daya asimilasi dari badan air (water bodies) yang dapat
melarutkan dan menyerap zat-zat tertentu selama daya dukungnya tidak
melampaui, sehingga komoditas air dapat dimasukkan dalam barang umum
(public good) dalam upaya mengurangi pencemaran lingkungan atas air
bersih.
27
5. Penggunaan air bisa dilakukan secara beruntun ketika air mengalir dari
suatu daerah aliran sungai (DAS) sampai ke laut, yang dapat menyebabkan
perubahan kuantitas dan kualitasnya.
6. Penggunaan yang serba guna (multiple use).
7. Berbobot besar dan memakan tempat (bulkiness) sehingga biaya
transportasinya menjadi mahal.
8. Nilai kultur masyarakat yang menganggap bahwa sumber daya air sebagai
anugerah dari Tuhan, dapat menjadi kendala dalam pendistribusiannya
secara komersial.
Penggunaan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi ke dalam
tiga kelompok besar yaitu kebutuhan domestik, irigasi pertanian dan industri.
Kebutuhan domestik untuk masyarakat akan meningkat sejalan dengan
pertambahan penduduk baik di perkotaan maupun pedesaan. Air untuk keperluan
irigasi pertanian juga terus meningkat dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan
penduduk yang terus bertambah. Demikian juga dalam bidang industri, yang kian
mengalami peningkatan karena struktur perekonomian yang mengarah pada
industrialisasi.
Air harus dipandang sebagai barang ekonomi sehingga untuk
mendapatkannya memerlukan pengorbanan baik waktu maupun biaya.
Sebagaimana barang ekonomi lainnya, air mempunyai nilai bagi penggunanya,
yaitu jumlah maksimum yang bersedia dibayarkan untuk penggunaan sumber
daya tersebut, dimana pengguna akan menggunakan air selama manfaat dari
tambahan setiap kubik air yang digunakan melebihi biaya yang dikeluarkan
28
(Briscoe dalam Oktavianus, 2003).
Industrialisasi yang meluas membutuhkan investasi yang besar untuk
menjaga tingkat penyediaan air dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Di
Indonesia, tingkat kebutuhan masyarakat terhadap keberadaan air bersih secara
kontinyu terus meningkat dari tahun ke tahun. Infrastruktur air bersih merupakan
salah satu bagian penting dalam infrastruktur dasar yang dapat memberi pengaruh
bagi pertumbuhan output (Bulohlabna, 2008).
2.1.5.4.Infrastruktur Kesehatan
World Health Organization (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai
sebuah kondisi kesejahteraan fisik, mental dan sosial, dan bukan sekedar bebas
penyakit dan kelemahan fisik. Dalam prakteknya, pengukuran tingkat kesehatan
yang digunakan antara lain tingkat harapan hidup. Ukuran ini merupakan salah satu
dari tiga komponen dalam penghitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Pembangunan kesehatan menjadi bagian integral dari pembangunan
nasional karena bidang kesehatan menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan
manusia secara berkesinambungan, yang merupakan suatu rangkaian
pembangunan yang menyeluruh, terpadu, dan terarah. Pembangunan ini
merupakan upaya untuk tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap penduduk agar terwujud derajat kesehatan yang optimal. Melalui
pembangunan kesehatan diharapkan setiap penduduk memiliki kemampuan hidup
sehat sehingga di masa mendatang tercipta generasi penerus yang bermutu sebagai
modal penting dalam pembangunan nasional.
29
Secara ekonomi, masyarakat yang sehat akan menghasilkan tenaga kerja
yang sehat dan merupakan input penting untuk pertumbuhan ekonomi. Negara-
negara yang mempunyai tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah
menghadapi tantangan yang lebih berat untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan
dibandingkan dengan negara yang lebih baik tingkat kesehatan dan pendidikannya.
Tenaga kerja yang berkualitas akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk
lebih produktif, mempunyai kesempatan kerja yang lebih besar, memperoleh
pendapatan yang lebih tinggi, dan menghasilkan output ekonomi yang lebih besar
juga.
Tujuan pembangunan kesehatan yang tercantum dalam Rencana Strategi
Pembangunan Kesehatan adalah terselenggaranya program atau kegiatan
pembangunan kesehatan yang memberi jaminan tercapainya derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya sesuai dengan visi “Indonesia Sehat 2010”.
Arah kebijakan pembangunan kesehatan menurut Depkes (2004) adalah:
1. Meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling
mendukung, dengan pendekatan paradigma sehat yang memberikan
prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, dan rehabilitasi sejak pembuahan dalam kandungan sampai
usia lanjut.
2. Meningkatkan dan memelihara mutu lembaga dan pelayanan kesehatan
melalui pemberdayaan sumber daya manusia secara berkelanjutan dan
sarana prasarana dalam bidang medis, termasuk ketersediaan obat yang
dapat dijangkau oleh masyarakat.
30
Pelayanan kesehatan melalui rumah sakit dan puskesmas serta pelayanan
kesehatan lainnya diharapkan meningkatkan mutu kesehatan yang menjangkau
seluruh masyarakat untuk mewujudkan pembangunan kesehatan yang merata.
Pengembangan infrastruktur kesehatan, baik secara kuantitas maupun kualitas, akan
mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang merupakan faktor
input pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
2.1.6. Hubungan Antara Investasi Publik dengan Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Sturm dalam Sibarani (2002) ada beberapa cara untuk mencari
hubungan antara investasi publik dengan pertumbuhan ekonomi, diantaranya
adalah:
a. Fungsi Produksi
Modal publik masuk dalam fungsi produksi melalui produktivitas
multifaktor (multifactor productivity) atau sebagai input dalam fungsi
produksi. Kelemahan model ini adalah variabel tenaga kerja dan modal
merupakan variabel eksogen. Beberapa peneliti menggunakan data
regional dalam analisisnya untuk memberikan hasil yang penting terhadap
desain kebijakan pemerintah lokal. Keuntungan penggunaan data regional
adalah teknologi produksi yang sama antar daerah karena adanya
kebebasan teknologi untuk ke luar masuk antar wilayah, hukum dan
institusi politik yang tidak bervariasi terlalu besar antar daerah, serta data
yang ada cukup besar dan dikumpulkan dengan basis yang konsisten.
Kelemahannya adalah faktor mobilitas yang relatif tinggi akibat adanya
keterbukaan ekonomi antar daerah serta perlunya penanganan yang
31
mengabaikan efek spesifik regional akan memberikan hasil yang bias dan
tidak konsisten. Contohnya wilayah yang lebih makmur akan melakukan
investasi yang lebih banyak, sehingga ada korelasi positif antara efek
spesifik daerah dan modal sektor publik.
Studi dengan data agregat nasional umumnya mendapatkan elastisitas
yang lebih besar daripada data disagregat. Hal ini disebabkan adanya
spillover effects dari investasi infrastruktur pada area geografi yang kecil
tidak terlihat dengan baik.
b. Fungsi Biaya/Profit
Stok modal publik diestimasi dengan pendekatan perilaku (behavioural
approach) baik dengan maksimisasi profit atau minimisasi biaya. Dua
perbedaan antara pendekatan ini dengan fungsi produksi yaitu:
1) Penggunaan bentuk fungsional yang fleksibel menghilangkan batasan
pada struktur produksi, sehingga dampak langsung maupun tidak
langsung dari modal publik melalui input swasta dapat ditentukan.
2) Estimasi dengan fungsi produksi dapat menghasilkan persamaan
simultan yang bias sedangkan pada behavioural approach tidak terjadi
bias karena biaya atau keuntungan secara langsung diwakili.
Kekurangan model ini adalah banyaknya parameter yang harus diestimasi
sehingga dapat menimbulkan masalah multikolinearitas dan membutuhkan
data yang banyak. Kelemahan lainnya adalah masalah nonstasioner,
bentuk fungsional yang fleksibel tidak menjamin global concavity dari
fungsi biaya.
32
c. Vector Auto Regression (VAR)
VAR menggunakan sesedikit mungkin batasan dan teori ekonomi. VAR
berorientasi pada data dan juga memperhitungkan dampak tidak langsung
dari modal publik. Keuntungan dari VAR adalah tidak dibutuhkan arah
kausalitas dan tidak perlu mengidentifikasi kondisi yang diturunkan dari
teori ekonomi. Namun pendekatan VAR tidak secara sempurna
menjelaskan proses produksi sehingga sukar untuk mencari nilai
elastisitas.
2.2. Penelitian Terdahulu
Ketersediaan infrastruktur yang memadai sangat penting dalam
perekonomian karena mampu mengefisienkan proses produksi dalam
perekonomian. Semakin tinggi tingkat output perkapita, semakin tinggi pula
produktivitas ekonominya. Dengan demikian, penyediaaan infrastruktur
berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan distribusi
pendapatan antar wilayah.
Sibarani (2002) dalam penelitiannya mengenai kontribusi infrastruktur
terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, menganalisis bahwa kebijakan
pembangunan infrastruktur yang terpusat di Pulau Jawa dan Indonesia Bagian Barat
menimbulkan disparitas pendapatan per kapita di masing-masing daerah Indonesia,
terutama antara Pulau Jawa dengan luar Jawa dan Indonesia Bagian Barat dengan
Indonesia Bagian Timur, meskipun pada saat yang sama pertumbuhan ekonomi
meningkat. Model yang digunakan merujuk pada model Barro (1990) dengan
33
infrastruktur sebagai input dalam produksi agregat. Asumsi yang digunakan Barro
adalah total faktor produksi mempunyai bentuk log Ait = ai + bt. Pendekatan yang
dipilih dalam analisis ini adalah fixed effects dari masing-masing provinsi dengan
indeks i dan pertumbuhan produktivitas Indonesia secara keseluruhan dengan
indeks t. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa setiap jenis infrastruktur yang
diteliti yaitu jalan, listrik dan telepon, memberikan kontribusi positif dengan
elastisitas yang berbeda.
Prasetyo (2008) yang meneliti pengaruh infrastruktur terhadap
pembangunan ekonomi di Kawasan Barat Indonesia dengan menggunakan data
panel tahun 1995 – 2006, membagi modelnya dengan variabel dependen yang
berbeda yaitu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Pengaruh
infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dianalisis dengan pendekatan fixed
effects, yang menyimpulkan bahwa variabel bebas jalan, listrik, investasi dan
dummy otonomi daerah berhubungan secara positif dengan pertumbuhan
ekonomi. Sedangkan variabel air bersih tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini terjadi karena data yang digunakan adalah
kapasitas air bersih yang disalurkan oleh perusahaan air bersih untuk pelanggan,
yang umumnya adalah pelanggan rumah tangga. Sedangkan pengaruh
infrastruktur terhadap pendapatan per kapita dianalisis dengan pendekatan
random effects, dengan hasil yang sama dengan hasil dari estimasi pengaruh
infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu semua variabel bebas jalan,
listrik, investasi dan dummy otonomi daerah berhubungan secara positif dengan
pendapatan per kapita, dan variabel air bersih juga tidak berpengaruh secara
34
signifikan terhadap pendapatan per kapita. Yang membedakan kedua model
tersebut adalah nilai elastisitas masing-masing infrastruktur yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita.
Sedangkan Bulohlabna (2008) meneliti tipologi dan pengaruh infrastruktur
terhadap pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI). Metode
penelitian yang digunakan adalah data panel dengan pendekatan fixed effects untuk
provinsi KTI yang termasuk dalam klasifikasi daerah tertinggal dengan referensi
data tahun 1995 – 2006. Hasil penelitian ini dibagi menjadi empat model yang
perbedaaannya pada variabel dependennya, yaitu output total, output di sektor
primer, output di sektor sekunder dan output di sektor tersier. Analisis data panel
menunjukkan bahwa untuk wilayah KTI yang digolongkan sebagai daerah
tertinggal, kontribusi positif infrastruktur yang paling besar terhadap pertumbuhan
output adalah berasal dari infrastruktur jalan, kemudian listrik dan pendidikan.
Sementara itu, variabel kesehatan dan otonomi daerah memberikan pengaruh
negatif terhadap pertumbuhan output. Hal ini didasarkan pada teori bahwa
kebutuhan akan infrastruktur akan meningkat seiring dengan peningkatan
kemakmurannya. Sehingga infrastruktur dasar akan memberikan produktivitas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan infrastruktur lanjutan. Selain itu, dapat
diduga juga bahwa penyebab nilai negatif pada pengaruh infrastruktur ini lebih
disebabkan karena kualitas dan kuantitas layanan yang rendah, sedangkan nilai
negatif pada otonomi daerah lebih disebabkan karena kemampuan pemerintah
daerah untuk menerapkan kebijakan. Kontribusi dari setiap layanan infrastruktur
terhadap pertumbuhan output perekonomian baik secara umum maupun sektoral
35
berbeda. Besarnya kontribusi tersebut menentukan infrastrutur apa yang tepat
dilakukan dalam mengembangkan tiap sektor perekonomian.
Sementara itu Yanuar (2006) menganalisis kaitan infrastruktur terhadap
pertumbuhan output baik dari sektor pertanian maupun industri dengan
menggunakan analisis data panel pendekatan fixed effects. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa modal fisik, infrastruktur jalan, telepon, kesehatan dan
pendidikan memberikan pengaruh terhadap output. Infrastruktur kesehatan dan
pendidikan memberikan kontribusi terbesar pada sektor pertanian sementara
infrastruktur jalan merupakan kontributor terbesar pada sektor industri. Kesenjangan
yang terjadi antar daerah dan wilayah menurut Yanuar dapat disebabkan oleh
kesenjangan stok infrastruktur dan besaran produktivitas infrastruktur terhadap
output.
Walaupun penelitian yang menganalisis mengenai pengaruh
infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi sudah dilakukan oleh beberapa
peneliti, namun penelitian ini masih dirasakan perlu dengan pemikiran bahwa
ada hal-hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian lainnya, antara
lain:
1. Cakupan wilayah yang dianalisis meliputi seluruh Indonesia (sebanyak
26 provinsi). Untuk menjamin data seriesnya, data provinsi-provinsi
pemekaran digabungkan dengan provinsi induknya.
2. Tahun data yaitu dari tahun 1995 sampai dengan 2007 (data series
selama 13 tahun).
3. Variabel-variabel yang digunakan adalah:
36
• Variabel variabel dependen yang digunakan adalah PDRB riil per
tenaga kerja.
• Variabel independen terdiri dari infrastruktur dan investasi swasta.
Infrastruktur yang dikaji meliputi infrastruktur ekonomi yang
meliputi variabel jalan, listrik dan air bersih serta infrastruktur sosial
yang diwakili oleh variabel kesehatan.
2.3. Kerangka Pemikiran Operasional
Keberhasilan pembangunan di Indonesia masih meninggalkan masalah
berupa disparitas wilayah dan pendapatan. Sumber daya yang ada masih belum
merata dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga masih ada daerah
yang termasuk kategori miskin dan yang kaya. Disparitas pembangunan ini bila
dibiarkan berlangsung bisa memperlebar ketimpangan dan tingkat kesenjangan
sehingga peningkatan kegiatan perekonomian tidak dapat mencukupi kebutuhan
seluruh lapisan masyarakat. Ketimpangan juga dapat menimbulkan beban
ekonomi dan sosial yang tinggi. Hal ini disebabkan kemampuan masing-masing
daerah untuk tumbuh dan berkembang yang bervariasi dan sangat ditentukan
oleh berbagai faktor ekonomi yang dimiliki oleh suatu wilayah.
Pembangunan ekonomi suatu wilayah dapat dianalisis melalui tingkat
pertumbuhan ekonominya, dimana perkembangannya ditentukan oleh kapasitas
output produksi yang dihasilkan wilayah tersebut. Sementara itu kapasitas output
produksi sangat ditentukan oleh akumulasi modal atau investasi yang dilakukan,
produktivitas tenaga kerja, serta penggunaan teknologi dalam kegiatan ekonomi.
37
Salah satu bentuk pemanfaatan investasi publik adalah pembangunan
pelayanan infrastruktur yang menunjang kegiatan ekonomi baik infrastruktur
ekonomi, infrastruktur sosial, maupun infrastruktur administrasi. Pembangunan
infrastruktur yang beragam dan bervariasi baik kuantitas maupun kualitasnya di
setiap provinsi di Indonesia membawa pengaruh terhadap produktivitas
ekonomi di masing-masing wilayah, yang bisa digunakan untuk menganalisis
masalah ketimpangan yang terjadi. Untuk itu perlu dilakukan analisis terhadap
pembangunan ekonomi di Indonesia dan melihat besarnya pengaruh
pembangunan infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi di Indonesia.
Infrastruktur yang diteliti terdiri dari infrastruktur yang menunjang kegiatan
ekonomi yaitu: panjang jalan, energi listrik, sumber daya air bersih dan fasilitas
kesehatan.
Tingkat produktivitas tiap infrastruktur dicerminkan oleh nilai elastisitas
dari ketersediaan infrastruktur terhadap perekonomian. Semakin besar nilai
elastisitas menunjukkan infrastruktur tersebut semakin produktif meningkatkan
perekonomian. Layanan infrastruktur yang buruk, dilihat dari kualitas dan
kuantitasnya, berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi, sebaliknya
semakin efektif (optimal) layanan infrastruktur tersebut dimanfaatkan maka
akan memberikan rate of return yang tinggi (Yanuar, 2006). Mengingat layanan
infrastruktur memerlukan modal yang besar dengan waktu pengembalian yang
lama dan beresiko tinggi, maka pembangunan infrastruktur lebih banyak
dilakukan oleh pemerintah.
Dengan kerangka pemikiran tersebut, dapat ditentukan alat analisis yang
38
tepat untuk digunakan dalam penelitian ini. Model yang digunakan adalah
model pertumbuhan neoklasik Solow yang didasarkan pada fungsi produksi
Cobb-Douglas, dimana infrastruktur merupakan bagian dari stok modal yang
dilakukan pemerintah sebagai investasi publik. Produktivitas ekonomi yang
dihasilkan di suatu daerah dianalisis sebagai variabel eksogen yang diteliti dari
input dalam fungsi produksi tersebut. Variabel eksogen diperoleh dari output
per tenaga kerja, sedangkan produktivitas ekonomi merupakan nilai koefisien
dari variabel eksogen yang dianalisis dalam model operasional. Nilai koefisien
dalam model menunjukkan tingkat elastisistas variabel endogen terhadap
variabel eksogen, yang artinya setiap kenaikan satu persen variabel endogen
akan meningkatkan variabel eksogen sebesar nilai koefisien dari model hasil
penelitian.
Alur pemikiran dalam kerangka operasional ini secara sistematis dapat
dilihat pada Gambar 2.2.
39
Teknologi
Pertumbuhan Ekonomi
Produktivitas Output Ekonomi
Tenaga Kerja Kapital
Infrastruktur
Infrastruktur Ekonomi Infrastruktur Sosial
Kesehatan Jalan
Listrik
Air Bersih
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Keterangan:
: variabel yang diteliti.
: variabel yang tidak dimasukkan dalam penelitian karena
dianggap konstan.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai
sumber, yang mencakup kurun waktu 1995 – 2007. Dengan berbagai keterbatasan,
data yang digunakan dalam analisis ini ditunjukkan pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Data yang Digunakan dalam Penelitian Analisis Pengaruh Infrastruktur Ekonomi dan Sosial terhadap Produktivitas Ekonomi Indonesia, Tahun 1995 – 2007
No Jenis Data Sumber
(1) (2) (3)
1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 1993 seluruh provinsi di Indonesia.
BPS
2.
Tenaga kerja masing-masing provinsi di Indonesia.
BPS
3.
Panjang jalan menurut kondisi jalan di masing-masing provinsi di Indonesia.
Publikasi Statistik Perhubungan BPS
4.
Jumlah energi listrik yang terjual masing-masing provinsi di Indonesia.
PT. PLN
5.
Jumlah air bersih yang disalurkan masing-masing provinsi di Indonesia.
Publikasi Statistik Air
Bersih BPS
6.
Jumlah rumah sakit dan puskesmas masing-masing provinsi di Indonesia.
Publikasi Statistik Indonesia BPS dan
Departemen Kesehatan
41
Selanjutnya data-data tersebut diolah dengan menggunakan software Microsoft
Excel 2007 dan Eviews 5.1.
3.2. Analisis Regresi Data Panel
Data panel adalah gabungan antara data silang (cross section) dengan
data runtut waktu (time series). Analisis secara terpisah memberikan beberapa
kelemahan. Sebagai contoh untuk analisis pertumbuhan ekonomi suatu wilayah
yang dilihat dari pertumbuhan PDRB, tingkat investasi dan tingkat konsumsi.
Jika hanya menggunakan data cross section, yang diamati hanya pada satu titik
waktu, maka perkembangan ekonomi wilayah-wilayah tersebut antar waktu tidak
dapat dilihat. Di sisi lain, penggunaan model time series juga menimbulkan
persoalan tersendiri melalui peubah-peubah yang diobservasi secara agregat dari
satu unit individu sehingga mungkin memberikan hasil estimasi yang bias.
Pendekatan data panel menggunakan informasi dari gabungan kedua pendekatan
tersebut (cross section dan time series) sehingga akan meminimalisir kelemahan
masing-masing pendekatan.
Keuntungan penggunaan model data panel dibandingkan data time series
dan cross section yaitu:
1. Jumlah observasi menjadi lebih besar, sehingga estimasi yang dilihat dari
dua dimensi (individu dan waktu) akan lebih akurat dibandingkan dengan
model lain. Secara teknis, data panel dapat memberikan data yang lebih
banyak dan informasi yang lebih lengkap, mengurangi kolinearitas antar
peubah serta menambah derajat bebas (degree of freedom) sehingga
42
meningkatkan efisiensi.
2. Mengurangi masalah identifikasi karena mampu mengakomodasi tingkat
heterogenitas variabel-variabel yang tidak dimasukkan dalam model
(unobserved heterogeneity), mengindikasikan dan mengukur efek yang
secara sederhana tidak dapat diperoleh dengan data deret waktu murni dan
data silang murni.
Secara umum, persamaan model regresi data panel dapat dituliskan
sebagai berikut:
ititiit Xy εβα ++= .............................(3.1)
dimana, y dan xit it masing-masing merupakan nilai variabel tak bebas dan variabel-
variabel bebas untuk setiap individu i pada periode t. Sedangkan αit merupakan
intersep yang dapat bernilai konstan atau berbeda-beda baik sepanjang periode t
ataupun untuk setiap individu i.
Melalui analisis data panel, kita dapat menangkap perilaku sejumlah
individu yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam suatu rentang
waktu yang terdiri dari unit-unit waktu yang juga berbeda. Heterogenitas antar
individu maupun antar waktu digambarkan dalam model dengan intersep dan
koefisien slope yang berbeda-beda. Nilai intersep dan koefisien slope yang
berbeda-beda ini berasal dari pengaruh variabel yang tidak termasuk dalam
variabel penjelas dalam persamaan regresi biasa.
Berdasarkan asumsi ada tidaknya korelasi antara komponen eror
dengan variabel bebasnya, ada 2 model pendekatan yang diaplikasikan dalam
regresi data panel, yaitu model fixed effect model (FEM), dan random effect
43
model (REM) (Firdaus dan Irawan, 2009).
3.2.1. Fixed Effect Model (FEM)
FEM digunakan bila ada korelasi antara komponen eror dengan variabel
bebasnya. Oleh karena itu, komponen eror dari efek individu (λi) dan efek dari
waktu (μt) dapat menjadi bagian dari intersep. Dengan dua pendekatan, dapat
dinyatakan sebagai berikut:
1. Untuk one way error component sebagai:
ititiiit uXy +++= βλα .............................(3.2)
2. Untuk two way error component sebagai:
itittiiit uXy ++++= βμλα .............................(3.3)
Penduga dalam FEM dapat dihitung dengan beberapa teknik sebagai
berikut:
1. Pendekatan Pooled Least Square (PLS)
Pendekatan ini menggunakan gabungan dari seluruh data (pooled),
sehingga terdapat N x T observasi, dimana N menunjukkan jumlah unit
cross section dan T menunjukkan jumlah series yang digunakan, yang
diregresikan dengan model:
ititiit uXy ++= βα .............................(3.4)
dimana αi bersifat konstan untuk semua observasi, atau αi = α.
Formula perhitungannya adalah:
xy βα ˆˆ −= .............................(3.5)
44
∑∑
∑∑
= =
= == N
i
T
tit
N
i
T
titit
xNT
yxNT
1 1
2
1 1
1
1
β̂ .............................(3.6)
∑∑= =
=N
i
T
titx
NTx
1 1
1 xxx itit −=Dimana dan
Dengan mengkombinasikan semua data cross section dan data time series,
data panel dapat meningkatkan derajat kebebasan sehingga dapat
memberikan hasil estimasi yang lebih efisien, yaitu dengan varian:
∑∑= =
= N
i
T
tit
it
x
u
1 1
2
)var()ˆvar(β .............................(3.7)
Pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter β akan bias.
Hal ini ditunjukkan dari arah kemiringan PLS yang tidak sejajar dengan
garis regresi dari masing-masing individu. Parameter yang bias ini
disebabkan karena PLS tidak dapat membedakan observasi yang berbeda
pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan observasi yang
sama pada periode yang berbeda.
2. Pendekatan Within Group (WG)
Pendekatan ini digunakan untuk mengatasi masalah bias pada PLS. Teknik
yang digunakan adalah dengan menggunakan data deviasi dari rata-rata
individu dimana:
∑=
−=T
iityTy
1
1 .............................(3.8)
∑=
−=T
iiti xTx
1
1 .............................(3.9)
45
Dalam hal ini
ititit xxx −=* ...........................(3.10)
ititit yyy −=* ...........................(3.11)
dan
iiii uxy ++= βα ' ...........................(3.12)
Jika yit = α + xi it β + uit , maka diperoleh:
)()()( 'iitiitiiiit uuxxyy −+−+−=− βαα ...........................(3.13)
atau
**'*ititit uxy += β ...........................(3.14)
sehingga,
∑∑
∑∑
= =
= == N
i
T
tit
N
i
T
titit
WG
xNT
yxNT
1 1
2*
1 1
**
1
1
β̂ ...........................(3.15)
Berdasarkan persamaan tersebut, FEM dengan pendekatan WG tidak
memiliki intersep. Kelebihan dari WG ini adalah dapat menghasilkan
parameter β yang tidak bias, tetapi kelemahannya adalah nilai var (βWG)
cenderung lebih besar dari var (βPLS) sehingga dugaan WG menjadi relatif
lebih tidak efisien. Untuk melihat hal ini dapat dibuktikan dengan:
∑∑= =
−=N
i
T
titxx xxS
1 1
2)( ...........................(3.16)
∑∑= =
−=N
i
T
tiit
wxx xxS
1 1
2)( ...........................(3.17)
46
∑=
−=N
ii
bxx xxTS
1
2)( ...........................(3.18)
sehingga dapat dilihat bahwa:
bxx
wxxxx SSS += ...........................(3.19)
diketahui bahwa:
)var(1)var( *itit u
TTu ⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛ −
= ...........................(3.20)
sehingga varians dari penduga β dengan pendekatan WG adalah:
∑∑= =
N
i
T
tit
it
x
u
1 1
2
* )var()ˆvar( WGβ =
= bxxxx
it
SSu−
)var( *
= bxxxx
it
SS
uT
T
−
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ − )var(1
...........................(3.21)
Berdasarkan persamaan tersebut dapat dilihat bahwa var(β) pada WG lebih
besar dari var(β) pada PLS. Kelemahan lain dari WG adalah tidak dapat
mengakomodir karakteristik time-invariant pada FEM, seperti terlihat dari
tidak dimasukkannya intersep ke dalam model.
3. Pendekatan Least Square Dummy Variable (LSDV)
Metode ini bertujuan untuk dapat merepresentasikan perbedaan intersep,
yaitu dengan dummy variable. Untuk mengilustrasikan pendekatan ini
misalkan persamaan awal seperti pada persamaan PLS dan kelompok
dummy variable dgit = 1 (g = i):
47
ititiit uxy ++= βα ' ...........................(3.22)
dengan memasukkan sejumlah dgit = 1 (g = i), persamaan awal menjadi:
ititNitNititit uxdddy +++++= βααα '2211 ... ...........................(3.23)
persamaan ini dapat diestimasi dengan pendekatan OLS sehingga
diperoleh parameter βLSDV.
Kelebihan pendekatan ini (LSDV) adalah dapat menghasilkan dugaan
parameter β yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya jika jumlah
unit observasinya besar maka terlihat cumbersome. Untuk menguji apakah
intersep memang signifikan atau tidak dapat menggunakan f-test dengan
hipotesis sebagai berikut:
H : α0 1 = α = α = ..... = α2 3 N dan
H : satu dari α ada yang tidak sama 1
Hipotesis ini dapat secara langsung digunakan untuk menguji apakah lebih
baik menggunakan PLS atau LSDV. Dasar penolakan terhadap H0 adalah
dengan menggunakan F-statistik yaitu:
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
−−−
−
−=
11 2
22
NkNNT
RRR
FDV
pDV ...........................(3.24)
dimana:
2DVR : koefisien determinasi LSDV
2pR : koefisien determinasi PLS
k : banyaknya peubah
Jika nilai F hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti
untuk melakukan penolakan terhadap hipotesis nol sehingga dugaan
48
bahwa α adalah sama untuk semua individu dapat ditolak.
4. Two Way Error Components Fixed Effect Model
Model ini disusun berdasarkan fakta bahwa terkadang fixed effects tidak
hanya berasal dari variasi antar individu (time invariants) tetapi juga
berasal dari variasi antar waktu (time effect) sehingga model dasar yang
digunakan adalah:
itittiit uxy +++= βγα ' ...........................(3.25)
merepresentasikan time effect. Dimana γt
) dan time-effect (γJika masing-masing pengaruh individu (αi t)
diasumsikan berbeda, sehingga dengan menambahkan sejumlah zsit = 1
(s = t) peubah dummy akan diperoleh persamaan:
ititTitTitNitNititit uxzzdddy ++++++++= βγγααα '222211 ...... ...(3.26)
Penambahan sejumlah dummy variable ke dalam persamaan menyebabkan
masalah pada penggunaan two way fixed effect yaitu berkurangnya derajat
kebebasan, yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter
yang diestimasi.
3.2.2. Random Effect Model (REM)
REM muncul ketika antara efek individu dan variabel bebas tidak ada
korelasi. Asumsi ini membuat komponen eror dari efek individu dan waktu
dimasukkan ke dalam eror, dimana:
1. Untuk one way error component sebagai:
ititiiit uXy +++= βλα ...........................(3.27)
49
2. Untuk two way error component sebagai:
itittiiit uXy ++++= βμλα ...........................(3.28)
Beberapa asumsi yang biasa digunakan dalam REM yaitu:
0)/( =iituE τ ...........................(3.29)
22 )/( uiituE στ = ...........................(3.30)
0)/( =iti xE τ ...........................(3.31)
22 )/( τστ =iti xE ...........................(3.32)
0)( =iituE τ ...........................(3.33)
Untuk i ≠ j dan t ≠ s
...........................(3.34) 0)( =jsituuE
Untuk i ≠ j
...........................(3.35) 0)( =jiE ττ
dimana:
Utuk one way error component, τi = λ i
Untuk two way error component, τ =i λ + μi i
Dari semua asumsi tersebut, yang paling penting dalam REM adalah
asumsi bahwa nilai harapan dari x xuntuk setiap τ adalah 0 atau E(τit iti i ) = 0. Untuk
menghitung estimator REM, ada dua jenis pendekatan yang digunakan, yaitu:
1. Pendekatan Between Estimator
Pendekatan ini berkaitan dengan dimensi antar data (differences between
individual), yang ditentukan sebagaimana OLS estimator pada sebuah
regresi dari rata-rata individu y dalam nilai x secara individu. Between
50
estimator konsisten untuk N tak terhingga, dengan asumsi bahwa peubah
bebas dengan eror tidak saling berkorelasi atau E (xit εi = 0) begitu juga
dengan nilai rata-rata eror E (xit εi = 0).
2. Pendekatan Generalized Least Square (GLS)
Pendekatan GLS mengkombinasikan informasi dari dimensi antar dan
dalam (between dan within) data secara efisien. GLS dapat dipandang
sebagai rata-rata yang dibobotkan dari estimasi between dan within dalam
sebuah regresi. Bila bobot yang dihitung tersebut tetap, maka estimator
yang diperoleh disebut random effects estimator. Dalam bentuk persamaan
hal ini dapat dinyatakan sebagai berikut:
βRE = ωβBetween + (Ik - ω) βWithin ...........................(3.36)
3.2.3. Hausman Test
Dalam memilih apakah fixed atau random effects yang lebih baik,
dilakukan pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara variabel bebas
dan efek individu. Untuk menguji asumsi ini dapat digunakan Hausman Test.
Dalam uji ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H0 : E(τi / xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat
H1 : E(τi / xit) = 0 atau FEM adalah model yang tepat
Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman dan
membandingkannya dengan Chi-Square. Statistik Hausman dirumuskan dengan:
H = (βREM – βfEM )’(MFEM –MREM)-1 (βREM – βfEM ) ~ χ2 (k) .............(3.37)
dimana:
M : matriks kovarians untuk parameter β
51
k : degrees of freedom
Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, maka cukup bukti
untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah
model fixed effects, begitu juga sebaliknya.
3.3. Model Penelitian Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi
Dalam penelitian ini, model yang digunakan untuk mengestimasi
pengaruh infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi di Indonesia mengacu
pada model neoklasik dengan pendekatan fungsi produksi Cobb Douglass yang
dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
βαitititit LKAY = ...........................(3.38)
Dimana:
Y : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
A : total faktor produksi
K : modal yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur
L : faktor tenaga kerja
i : indeks provinsi
t : indeks waktu
α : nilai elastisitas terhadap modal (infrastruktur)
β : nilai elastisitas terhadap tenaga kerja
Pada fungsi Cobb Douglass berlaku subsitusi antar faktor sehingga
memungkinkan menduga nilai elastisitas masing-masing faktor (return to
scale). Produksi agregat dikatakan mencapai kondisi pada skala konstan
52
(constant return to scale) pada saat α + β = 1. Apabila α + β < 1 dikatakan
kondisi yang dicapai adalah berada pada skala menurun (decreasing return to
scale), dan jika α + β > 1 maka dikatakan mencapai kondisi pada skala menaik
(increasing return to scale).
Berdasarkan persamaan (3.38), masing-masing variabel dibagi dengan
variabel jumlah tenaga kerja (L) dan kemudian dilogaritmakan sehingga
persamaan dalam bentuk linearnya dapat dituliskan sebagai berikut:
...........................(3.39) itititit ukay ++= lnln α
dimana u merupakan gangguan (error terms/disturbance).
Pada penelitian ini, modal infrastruktur (kit) diagregasi menjadi 4
variabel infrastruktur yaitu panjang jalan (km), energi listrik yang terjual
(KWh), air bersih yang disalurkan (m3) dan fasilitas kesehatan yaitu jumlah
rumah sakit dan puskesmas (unit). Dengan demikian model persamaan (3.39)
dapat dioperasionalkan dalam bentuk :
ln yit = ait + α lnjalan + α lnlistrik1 it 2 it + α lnair3 it +
α lnkes4 it + uit ...........................(3.40)
dimana :
y = PDRB riil per tenaga kerja setiap provinsi, dengan menggunakan
PDRB Atas Dasar Harga Konstan 1993 (yang mencerminkan
produktivitas ekonomi adalah koefisien dari y).
jalan = panjang jalan (km) per tenaga kerja yang tersedia di setiap provinsi.
Panjang jalan yang digunakan adalah gabungan panjang jalan
provinsi, negara dan jalan kabupaten/kota yang berada dalam kondisi
53
baik dan sedang. Jalan yang kondisinya rusak ringan dan rusak berat
tidak digunakan karena keduanya dianggap tidak memiliki nilai
ekonomis yang tinggi terhadap proses produksi dan produktivitas
ekonomi.
listrik = energi listrik yang terjual PLN (KWh) per tenaga kerja di setiap
provinsi.
air = air bersih yang disalurkan oleh PDAM (m3) per tenaga kerja di setiap
provinsi.
kes = jumlah rumah sakit dan puskesmas (unit) per tenaga kerja di setiap
provinsi.
3.4. Definisi Operasional
Penelitian ini menggunakan data series selama 13 tahun yaitu data dari
tahun 1995 sampai dengan 2007 dengan cakupan wilayah meliputi seluruh
Indonesia (sebanyak 26 provinsi). Untuk menjamin data seriesnya, data
provinsi-provinsi pemekaran digabungkan dengan provinsi induknya. Provinsi-
provinsi tersebut adalah:
(a) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(b) Provinsi Sumatera Utara
(c) Provinsi Sumatera Barat
(d) Provinsi Riau (termasuk Provinsi Kepulauan Riau)
(e) Provinsi Jambi
(f) Provinsi Sumatera Selatan (termasuk Provinsi Kepulauan Bangka
54
Belitung)
(g) Provinsi Bengkulu
(h) Provinsi Lampung
(i) Provinsi DKI Jakarta
(j) Provinsi Jawa Barat (termasuk Provinsi Banten)
(k) Provinsi Jawa Tengah
(l) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
(m) Provinsi Jawa Timur
(n) Provinsi Bali
(o) Provinsi Nusa Tenggara Barat
(p) Provinsi Nusa Tenggara Timur
(q) Provinsi Kalimantan Barat
(r) Provinsi Kalimantan Tengah
(s) Provinsi Kalimantan Selatan
(t) Provinsi Kalimantan Timur
(u) Provinsi Sulawesi Utara (termasuk Provinsi Gorontalo)
(v) Provinsi Sulawesi Tengah
(w) Provinsi Sulawesi Selatan (termasuk Provinsi Sulawesi Barat)
(x) Provinsi Sulawesi Tenggara
(y) Provinsi Maluku (termasuk Provinsi Maluku Utara)
(z) Provinsi Papua (termasuk Provinsi Papua Barat).
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat diuraikan
sebagai berikut:
55
• Variabel dependen yaitu PDRB riil per tenaga kerja, dihitung dengan
membandingkan nilai tambah bruto dalam kegiatan ekonomi di suatu
wilayah (PDRB) dengan jumlah tenaga kerja di setiap provinsi di
Indonesia. Walaupun publikasi data terbaru menggunakan PDRB Atas
Dasar Harga Konstan (ADHK) tahun 2000, namun dalam penelitian ini
menggunakan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) tahun 1993
karena ada data tahun 1995 – 1999, yang tidak tepat kalau dikonversi
dengan tahun dasar sesudah tahun tersebut. Produktivitas ekonomi
dilihat dari koefisien variabel PDRB riil per tenaga kerja, yang
menunjukkan kenaikan variabel dependen jika variabel independen
meningkat sebesar satu satuan.
• Variabel independen (infrastruktur) yang akan dikaji meliputi
infrastruktur ekonomi yang meliputi variabel jalan, listrik dan air bersih
serta infrastruktur sosial yang diwakili oleh variabel kesehatan, dengan
uraian sebagai berikut:
a. Variabel jalan yang digunakan adalah panjang jalan total baik yang
diaspal maupun tidak (kerikil dan tanah), yang meliputi jalan negara,
jalan provinsi dan jalan kabupaten, dengan kondisi baik dan sedang.
Pemilihan ini berdasarkan pemikiran bahwa jalan dengan kondisi
baik dan sedang lebih memiliki sumbangan terhadap produktivitas
ekonomi suatu daerah dibandingkan dengan jalan yang rusak dan
rusak berat. Penelitian ini tidak memisahkan panjang jalan tol yang
dibangun oleh badan usaha tertentu yang telah ditunjuk oleh
56
pemerintah, karena kecilnya jumlah panjang jalan tol keseluruhan
(hanya 0,17 persen pada tahun 2004) dan keberadaannya hanya ada
di perkotaan saja.
b. Variabel listrik yang digunakan adalah keseluruhan energi listrik
yang dijual PLN kepada pelanggan, baik yang disalurkan kepada
rumah tangga, industri, bisnis, sosial, gedung kantor pemerintahan
maupun untuk penerangan umum.
c. Variabel air bersih yang digunakan adalah kapasitas air bersih yang
disalurkan PDAM.
d. Variabel kesehatan yang digunakan yaitu jumlah rumah sakit dan
puskesmas. Jumlah rumah sakit yang dimaksudkan adalah total
jumlah rumah sakit umum dan rumah sakit khusus, misalnya rumah
sakit khusus bersalin, jantung, kanker, gigi dan ibu anak. Penelitian
ini tidak memisahkan pelayanan rumah sakit yang diselenggarakan
pemerintah dan swasta karena ingin melihat akses masyarakat
terhadap fasilitas kesehatan dan kecilnya jumlah rumah sakit
nasional dibandingkan dengan total sarana kesehatan yang dikaji
(jumlah keseluruhan rumah sakit baik pemerintah maupun swasta
hanya berkisar 13 sampai dengan 15 persen dibandingkan dengan
jumlah sarana kesehatan nasional yang diteliti). Penelitian ini
memasukkan puskesmas ke dalam variabel sarana kesehatan dengan
pemikiran bahwa keberadaan puskesmas lebih mudah dijangkau oleh
masyarakat kalangan miskin di daerah-daerah, sehingga diharapkan
IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi di negara berkembang seperti Indonesia masih
digunakan sebagai ukuran kinerja pembangunan. Ukuran ini dihitung dari PDRB
Atas Dasar Harga Konstan yang menunjukkan peningkatan output ekonomi dari
tahun ke tahun setelah menghilangkan unsur inflasi (kenaikan harga secara terus-
menerus). Pada tahun 2007, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,32
persen secara keseluruhan dan sebesar 6,92 persen jika dihitung tanpa minyak dan
gas.
Peningkatan output dari aktivitas ekonomi di Indonesia dalam jangka
panjang berfluktuasi sesuai dengan kondisi politik dan ekonomi yang
memengaruhinya. Selama kurun waktu 1996 – 2007, perekonomian Indonesia
pernah mengalami kontraksi karena masa krisis moneter pada tahun 1997 – 1999
yang berdampak di seluruh wilayah Indonesia walaupun dengan intensitas yang
berbeda-beda. Secara nasional, pertumbuhan ekonomi turun hingga mencapai
puncaknya sebesar -11,08 persen pada tahun 1998 yang ditunjukkan dengan grafik
yang mengalami penurunan cukup curam sebagaimana pada Gambar 4.1.
Goncangan krisis moneter baru bisa dipulihkan dalam dua tahun pada tahun 2000.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif meningkat secara signifikan dan stabil
pada tahun-tahun selanjutnya sampai dengan tahun 2007.
59
‐15.00
‐10.00
‐5.00
0.00
5.00
10.00
96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07
Pertumbuhan PDRB Riil
Tahun
Sumber: BPS (diolah), 1996 – 2007 Gambar 4.1. Persentase Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 1996 – 2007 (%)
Pertumbuhan ekonomi di setiap provinsi selama tahun 1996 – 2007 juga
mengalami fluktuasi seperti yang terjadi dalam skala nasional. Penurunan
pertumbuhan ekonomi bukan berarti terjadinya penurunan kegiatan perekonomian
(output ekonomi), namun memberikan informasi adanya perlambatan laju
kegiatan perekonomian dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan output
ekonomi ditunjukkan oleh angka pertumbuhan ekonomi yang negatif, yang bisa
disebabkan oleh krisis moneter, pemekaran wilayah sehingga sebagian sumber
daya di wilayah induk harus dipisahkan dengan wilayah pemekarannya, bencana
alam, dan krisis-krisis lainnya. Pertumbuhan ekonomi yang bernilai negatif
dialami oleh semua provinsi di Indonesia pada tahun 1999 pada saat krisis
moneter melanda Indonesia (Tabel 4.1).
60
Tabel 4.1. Persentase Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Provinsi, Tahun 1996 – 2007 (%)
Pertumbuhan PDRB Riil (%)
Provinsi 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13)
1. Nanggroe Aceh Darussalam 2.47 -0.16 -9.26 -4.19 -8.25 1.19 0.38 3.39 -9.63 -10.12 1.56 -2.79
2. Sumatera Utara 9.01 5.70 -10.90 2.59 4.83 3.72 4.07 4.42 5.74 5.48 6.20 6.90 3. Sumatera Barat 7.87 5.09 -6.73 1.59 3.84 3.63 4.31 4.48 5.47 5.73 6.14 6.34 4. Riau (termasuk
Kepulauan Riau) 14.56 3.50 -4.04 3.32 6.45 4.36 4.43 4.70 3.83 5.57 5.46 4.43
5. Jambi 8.81 3.91 -5.41 2.90 5.43 5.87 4.39 4.46 5.38 5.57 5.89 6.82 6. Sumatera Selatan
(termasuk Kepulauan Bangka Belitung)
-5.65 4.85 -6.78 0.83 3.34 2.39 3.76 4.52 4.63 4.84 5.20 5.84
7. Bengkulu 5.72 3.07 -6.27 2.88 3.93 4.03 4.32 5.12 5.38 5.82 5.95 6.03 8. Lampung 7.95 4.15 -6.95 3.54 3.40 3.61 5.17 5.71 5.07 4.02 4.98 5.79 9. DKI Jakarta 9.10 5.11 -17.49 -0.29 4.33 3.64 3.99 4.39 5.65 6.01 5.95 6.44 10. Jawa Barat
(termasuk Banten) 9.75 5.28 -18.35 -5.63 4.24 4.79 4.20 4.61 4.97 5.67 5.91 6.32
11. Jawa Tengah 7.30 3.03 -11.74 3.49 3.93 3.33 3.48 4.07 5.13 5.35 5.33 5.59
12. Daerah Istimewa Yogyakarta 7.74 3.51 -11.18 0.99 4.01 3.37 4.02 4.09 5.12 4.73 3.69 4.28
13. Jawa Timur 8.65 4.15 -11.21 1.21 3.26 3.33 3.41 4.11 5.83 5.84 5.80 6.11
14. Bali 8.16 5.81 -4.04 0.67 3.05 3.39 3.15 3.65 4.62 5.56 5.28 5.92 15. Nusa Tenggara
Barat 8.11 5.26 -3.07 4.24 28.80 8.99 3.78 3.10 2.63 -1.65 1.93 -0.77
16. Nusa Tenggara Timur 8.56 5.62 -2.73 2.73 4.17 5.10 5.96 5.87 3.50 -2.44 3.95 -2.10
17. Kalimantan Barat 10.75 7.53 -4.71 2.71 2.95 1.87 2.01 2.95 2.37 2.22 0.85 -0.62 18. Kalimantan
Tengah 11.85 6.29 -6.92 0.98 1.50 2.72 3.27 4.86 0.20 0.86 2.27 -1.31
19. Kalimantan Selatan 9.95 4.69 -5.53 4.53 4.33 3.74 3.83 4.85 6.09 -0.83 -1.29 1.84
20. Kalimantan Timur 8.29 4.45 -0.76 4.90 4.02 5.05 4.72 2.39 2.87 -0.31 0.97 -1.37 21. Sulawesi Utara
(termasuk Gorontalo)
9.01 5.53 -2.16 36.52 5.79 4.50 4.51 5.57 5.81 0.60 -0.94 1.40
22. Sulawesi Tengah 8.78 22.94 -3.96 2.80 4.21 5.19 5.41 6.26 7.79 -1.27 -0.92 -0.48 23. Sulawesi Selatan
(termasuk Sulawesi Barat)
8.31 4.01 8.62 2.83 4.89 4.97 4.61 5.39 -0.67 6.56 -1.61 -0.90
24. Sulawesi Tenggara 6.01 5.32 -5.78 2.55 5.27 5.63 6.49 7.19 7.84 -0.86 -2.19 0.98 25. Maluku (termasuk
Maluku Utara) 6.59 3.89 -24.95 -22.72 -4.01 -0.31 2.67 3.34 2.84 1.08 -0.22 0.62
26. Papua (termasuk Papua Barat) 13.92 7.16 21.49 -3.48 2.16 -1.63 8.70 2.96 0.90 2.94 0.63 -2.42
Sumber: BPS (diolah), 1995 – 2007
61
4.2. Tenaga Kerja
Masalah ketenagakerjaan merupakan bagian dari fenomena
kependudukan, yang menjadi bagian dalam permasalahan sosial. Namun
masalah ini tidak bisa dilepaskan dalam kegiatan perekonomian karena dengan
bertambahnya jumlah penduduk, konsekuensi logis yang akan dihadapi adalah
bertambahnya jumlah penduduk usia kerja, yang merupakan faktor produksi.
Bertambahnya penduduk usia kerja tidak menjamin meningkatnya kesejahteraan
penduduk karena ketersediaan lapangan kerja yang terbatas. Munculnya usia kerja
yang tidak bekerja inilah yang sering menimbulkan masalah yang kompleks, yaitu
pengangguran. Oleh karena itu ukuran tenaga kerja secara agregat sangat
berkaitan dengan produktivitas perekonomian. Bagan tentang ketenagakerjaan
dapat ditunjukkan pada Gambar 4.2 dengan menggunakan konsep pendekatan
angkatan kerja (labour force approach).
Persentase penduduk usia kerja yang termasuk dalam angkatan kerja
merupakan indikator penting perekonomian yang disebut TPAK (Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja). Angkatan kerja yang bekerja merupakan tenaga
kerja yang menjadi faktor produksi yang penting dalam kegiatan perekonomian,
sedangkan angkatan kerja yang tidak bekerja disebut pengangguran, yang
terdiri dari pengangguran terpaksa dan pengangguran terselubung. Beban sosial
dan tingkat ketergantungan ekonomi yang tinggi dapat dilihat dengan semakin
kecilnya jumlah tenaga kerja di suatu wilayah.
62
Penduduk Usia Kerja
Bukan Angkatan Kerja Angkatan Kerja
Mengurus rumah tangga
Alasan lainnya
Sekolah
Bekerja Pengangguran
Under utilized Fully utilized
Under utilized by hour
Under utilized by mismatch
Under utilized by income
Sumber: BPS, 2008 Gambar 4.2. Bagan Tenaga Kerja, Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan
Kerja Menurut Konsep Labour Force Approach
Penduduk yang besar sebenarnya dapat menjadi modal pembangunan yang
potensial apabila kualitasnya baik. Sebaliknya, jumlah penduduk yang terlalu
besar dan tidak diimbangi dengan kemampuan produktivitas yang tinggi akan
menimbulkan dampak yang kompleks di segala bidang karena beban
ketergantungan yang tinggi. Beban ketergantungan ini dapat dikurangi jika
63
persentase penduduk yang bekerja semakin bertambah. Oleh karena itu jumlah
tenaga kerja perlu dipantau perkembangannya sehingga masalah-masalah
ekonomi yang diakibatkan fenomena kependudukan ini dapat diantisipasi.
Berdasarkan trend jumlah tenaga kerja per tahun, terlihat bahwa jumlah
tenaga kerja Indonesia selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun
kecuali pada tahun 2003 justru menurun cukup tajam secara nasional.
Penurunan ini dapat dipulihkan pada tahun-tahun berikutnya, bahkan pada
tahun 2007 terjadi peningkatan yang cukup tinggi hingga jumlahnya mencapai
hampir seratus juta pekerja (99,93 juta jiwa).
Sumber: BPS, 1995 – 2007
Gambar 4.3. Jumlah Tenaga Kerja Indonesia, Tahun 1995 – 2007 (Juta Jiwa)
Jumlah tenaga kerja Indonesia ternyata tidak merata tersebar di seluruh
provinsi. Populasi terbesar berada di Propinsi Jawa Barat (termasuk Banten),
Jawa Timur dan Jawa Tengah, dengan jumlah tenaga kerja mencapai lebih dari
64
54 persen total tenaga kerja Indonesia. Hal ini disebabkan berdirinya pusat-
pusat industri besar padat karya yang terkonsentrasi di provinsi-provinsi
tersebut. DKI Jakarta sebagai pusat perekonomian hanya mempunyai jumlah
tenaga kerja sebesar 3,84 juta (3,85 persen). Tenaga kerja di provinsi-provinsi
lainnya tidak ada yang mencapai lima juta jiwa kecuali Provinsi Sumatera Utara
(5,08 juta tenaga kerja). Data ini mengindikasikan bahwa penyebaran kegiatan
perekonomian di Indonesia masih belum merata di seluruh provinsi.
Sumber: BPS, 1995 – 2007
Gambar 4.4. Jumlah Tenaga Kerja Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (Juta Jiwa)
Keterangan: 1. Nanggroe Aceh Darussalam 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau (termasuk Kepulauan Riau) 5. Jambi 6. Sumatera Selatan (termasuk Kepulauan
Bangka Belitung) 7. Bengkulu 8. Lampung 9. DKI Jakarta 10. Jawa Barat (termasuk Banten) 11. Jawa Tengah 12. Daerah Istimewa Yogyakarta 13. Jawa Timur
14. Bali 15. Nusa Tenggara Barat 16. Nusa Tenggara Timur 17. Kalimantan Barat 18. Kalimantan Tengah 19. Kalimantan Selatan 20. Kalimantan Timur 21. Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo) 22. Sulawesi Tengah 23. Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi
Barat) 24. Sulawesi Tenggara 25. Maluku (termasuk Maluku Utara) 26. Papua (termasuk Papua Barat)
65
4.3. Pembangunan Infrastruktur Jalan
Ketersediaan infrastruktur jalan sangat penting dalam perekonomian
karena pelayanan dan kapasitas jalan berkaitan dengan kelancaran
pengangkutan barang dan jasa yang menggerakkan perekonomian serta
mempermudah mobilitas penduduk yang sangat berperan dalam kemajuan suatu
daerah.
Secara umum, kualitas jalan di Indonesia masih kurang memadai karena
masih banyak jalan yang rusak ringan dan rusak berat seperti ditunjukkan pada
gambar 4.5, yaitu sebesar 32,83 persen. Hal ini perlu mendapat perhatian karena
jalan yang rusak dan tidak berkualitas akan meningkatkan biaya sosial dalam
kegiatan ekonomi di wilayah tersebut.
Sumber: BPS, 2007
Gambar 4.5. Persentase Panjang Jalan Menurut Kualitasnya di Indonesia, Tahun 2007 (%)
66
Jika dilihat menurut jenisnya, ternyata jalan yang paling panjang
merupakan jalan kabupaten yaitu sebesar 81,03 persen. Kemudian disusul jalan
provinsi sebesar 9,71 persen dan yang terakhir jalan negara sebesar 9,27 persen.
Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan infrastruktur jalan memerlukan
perhatian daerah terutama Daerah Tingkat II (BPS, 2008).
Sumber: BPS, 2007
Gambar 4.6. Panjang Jalan Baik dan Sedang Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (Km)
Keterangan: 1. Nanggroe Aceh Darussalam 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau (termasuk Kepulauan Riau) 5. Jambi 6. Sumatera Selatan (termasuk Kepulauan
Bangka Belitung) 7. Bengkulu 8. Lampung 9. DKI Jakarta 10. Jawa Barat (termasuk Banten) 11. Jawa Tengah 12. Daerah Istimewa Yogyakarta 13. Jawa Timur
14. Bali 15. Nusa Tenggara Barat 16. Nusa Tenggara Timur 17. Kalimantan Barat 18. Kalimantan Tengah 19. Kalimantan Selatan 20. Kalimantan Timur 21. Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo) 22. Sulawesi Tengah 23. Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi
Barat) 24. Sulawesi Tenggara 25. Maluku (termasuk Maluku Utara) 26. Papua (termasuk Papua Barat)
67
Penyebaran jalan di Indonesia juga tidak merata di seluruh provinsi.
Jalan yang kondisinya baik dan sedang dari yang paling panjang masing-masing
berada di Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat),
Sumatera Utara, Jawa Tengah dan Papua (termasuk Papua Barat). Penyebaran ini
tidak representatif sesuai dengan luas wilayah dan jumlah penduduk sehingga
distribusi barang dan jasa serta transportasi untuk mobilitas penduduk masih
terpusat di provinsi-provinsi yang kegiatan ekonominya telah maju.
4.4. Pembangunan Infrastruktur Listrik
PT. PLN merupakan perusahaan yang memenuhi sebagian besar
kebutuhan listrik di Indonesia, walaupun masih belum menjangkau seluruh
wilayah nusantara karena belum semua wilayah di Indonesia tersambung dalam
jaringan PLN. Secara operasional, produksi listrik PLN disalurkan melalui
pembagian dalam 11 wilayah, 4 daerah distribusi, 4 pembangkitan serta
pembangkit dan penyalur (kitlur) daerah Sumatera bagian Utara dan Sumatera
bagian Selatan.
Secara nasional, penjualan energi listrik terus meningkat dari tahun ke
tahun walaupun dengan kecepatan yang tidak sama untuk setiap tahunnya.
Peningkatan penjualan energi listrik tertinggi terjadi pada tahun 1996 yang
pertumbuhannya mencapai 14,44 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dan
yang terendah terjadi pada tahun 1998 yang pertumbuhannya mencapai 1,47
persen. Penjualan energi listrik pada tahun 2007 mencapai 114,69 ribu GWh,
68
meningkat sebesar 1,85 persen dibandingkan tahun 2006 yang mencapai 112,61
ribu GWh.
Sumber: BPS, 1995 – 2007
Gambar 4.7. Energi Listrik yang Terjual di Indonesia, Tahun 1995 – 2007 (GWh)
Dilihat dari sisi pengguna, energi listrik yang terjual paling banyak
dimanfaatkan untuk keperluan industri yaitu sebesar 42,91 persen. Keperluan
masyarakat untuk rumah tangga menempati urutan kedua sebesar 38 persen.
Penggunaan berikutnya adalah untuk keperluan bisnis sebesar 13,48 persen,
keperluan sosial sebesar 2,17 persen, untuk gedung kantor pemerintahan sebesar
1,84 persen dan yang terakhir untuk penerangan jalan umum sebesar 1,60 persen.
Pelanggan yang menggunakan energi listrik terbesar berada Jawa Barat (termasuk
Banten), selanjutnya DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hal ini
disebabkan penggunaan listrik yang paling banyak dimanfaatkan untuk industri
dan rumah tangga yang berada di provinsi-provinsi tersebut.
69
Sumber: BPS, 1995 – 2007
14. Bali 15. Nusa Tenggara Barat 16. Nusa Tenggara Timur 17. Kalimantan Barat 18. Kalimantan Tengah 19. Kalimantan Selatan 20. Kalimantan Timur 21. Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo) 22. Sulawesi Tengah 23. Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi
Barat) 24. Sulawesi Tenggara 25. Maluku (termasuk Maluku Utara) 26. Papua (termasuk Papua Barat)
Keterangan: 1. Nanggroe Aceh Darussalam 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau (termasuk Kepulauan Riau) 5. Jambi 6. Sumatera Selatan (termasuk Kepulauan
Bangka Belitung) 7. Bengkulu 8. Lampung 9. DKI Jakarta 10. Jawa Barat (termasuk Banten) 11. Jawa Tengah 12. Daerah Istimewa Yogyakarta 13. Jawa Timur
Gambar 4.8. Energi Listrik yang Terjual di Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (GWh)
4.5. Pembangunan Infrastruktur Air Bersih
Pembangunan infrastruktur air bersih yang digunakan dalam penelitian
ini adalah ketersediaan air bersih yang diselenggarakan oleh PDAM di seluruh
70
wilayah Indonesia dan disalurkan oleh 502 perusahaan dengan jumlah tenaga
kerja sebanyak 47.960 pekerja. Fakta yang menunjukkan masih banyaknya
masyarakat terutama di pedesaan yang mencukupi kebutuhan air dengan sumur,
pompa, mata air ataupun sumber lainnya, mengindikasikan bahwa pemenuhan
kebutuhan air bersih ini belum memadai di seluruh Indonesia. Secara nasional,
jumlah air bersih yang disalurkan pada tahun 2007 mengalami peningkatan
sebesar 2,35 persen dibandingkan tahun 2006 yaitu dari 2,21 juta m3 menjadi
2,26 m3. Namun, pertumbuhan jumlah air bersih yang disalurkan PDAM di
Indonesia selama tahun 1996 – 2007 sangat berfluktuatif seperti disajikan pada
Gambar 4.9.
Sumber: BPS, 1995 – 2007
Gambar 4.9. Persentase Pertumbuhan Jumlah Air Bersih yang Disalurkan PDAM di Indonesia, Tahun 1996 – 2007 (%)
Jika dilihat menurut provinsi, DKI Jakarta merupakan pengguna air
bersih PDAM terbesar yaitu sebesar 31,34 persen, disusul Jawa Timur sebesar
71
12,88 persen dan Jawa Barat (termasuk Banten) sebesar 11,18 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa prasarana air bersih yang disediakan oleh PDAM masih
didominasi oleh masyarakat di Pulau Jawa dalam hal pemanfaatannya. Provinsi
yang paling sedikit mendistribusikan air bersih dari PDAM adalah Sulawesi
Tenggara (0,41 persen), selanjutnya Maluku (0,43 persen), Bengkulu dan
Lampung masing-masing sebesar 0,46 persen.
0
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
700,000
800,000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Air Bersih yang Salurkan (KM3)
Keterangan: 1. Nanggroe Aceh Darussalam 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau (termasuk Kepulauan Riau) 5. Jambi 6. Sumatera Selatan (termasuk Kepulauan
Bangka Belitung) 7. Bengkulu 8. Lampung 9. DKI Jakarta 10. Jawa Barat (termasuk Banten) 11. Jawa Tengah 12. Daerah Istimewa Yogyakarta 13. Jawa Timur
14. Bali 15. Nusa Tenggara Barat 16. Nusa Tenggara Timur 17. Kalimantan Barat 18. Kalimantan Tengah 19. Kalimantan Selatan 20. Kalimantan Timur 21. Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo) 22. Sulawesi Tengah 23. Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi
Barat) 24. Sulawesi Tenggara 25. Maluku (termasuk Maluku Utara) 26. Papua (termasuk Papua Barat)
Sumber: BPS, 2007
Gambar 4.10. Jumlah Air Bersih yang Disalurkan PDAM di Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (m3)
72
4.6. Pembangunan Infrastruktur Kesehatan
Sarana dan prasarana kesehatan yang memadai mencerminkan kualitas
sumber daya manusia dalam wilayah tersebut. Keberadaan tenaga medis
menjadi tolok ukur kepedulian pemerintah dalam upaya menyehatkan
masyarakat. Walaupun kualitas sarana kesehatan merupakan hal yang penting,
namun karena keterbatasan data, maka penelitian ini hanya menganalisis
pembangunan infrastruktur kesehatan secara kuantitatif berdasarkan jumlah
rumah sakit dan puskesmas. Karena fasilitas rumah sakit pada umumnya hanya
didirikan di daerah perkotaan atau ibukota kabupaten saja, dalam penelitian ini
dimasukkan juga variabel jumlah puskesmas dengan harapan akan lebih tepat
menggambarkan ketimpangan pelayanan kesehatan masyarakat yang
sesungguhnya.
15.41%
84.59%
Rumah Sakit Puskesmas
Sumber: BPS, 2007 Gambar 4.11. Persentase Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas di Indonesia,
Tahun 2007 (%)
73
Gambar 4.11 menunjukkan bahwa keberadaan puskesmas jauh lebih
banyak dibandingkan dengan rumah sakit. Walaupun kapasitasnya juga di
bawah kemampuan rumah sakit dalam menangani masalah kesehatan
masyarakat, namun keberadaan puskesmas sangat penting meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat, karena harganya lebih terjangkau untuk masyarakat
miskin dan keberadaannya yang lebih mudah diakses oleh masyarakat di
pedesaan.
Penyebaran sarana kesehatan di Indonesia tidak merata di setiap
provinsi, baik rumah sakit maupun puskesmas (Gambar 4.12). Urutan
keberadaan rumah sakit dari yang paling banyak yaitu di Jawa Tengah, Jawa
Timur, Jawa Barat (termasuk Banten), Sumatera Utara dan DKI Jakarta.
Sedangkan untuk puskesmas, terbanyak berada di Jawa Barat (termasuk
Banten), selanjutnya di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan
Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat). Perbedaan ini disebabkan wilayah
kerja rumah sakit dan puskesmas. Puskesmas didirikan di setiap kecamatan di
Indonesia, sedangkan rumah sakit di setiap kabupaten/kota kecuali rumah sakit
khusus dan rumah sakit yang dikekola swasta. Semakin maju suatu wilayah,
persentase jumlah rumah sakit cenderung lebih besar. Persentase perbandingan
rumah sakit dan puskesmas terbesar adalah DKI Jakarta (26,59 persen), disusul
Sumatera Utara (24,76 persen), Bali (22,76 persen), Daerah Istimewa
Yogayakarta (21,94 persen) dan Riau (21,86 persen).
74
14. Bali 15. Nusa Tenggara Barat 16. Nusa Tenggara Timur 17. Kalimantan Barat 18. Kalimantan Tengah 19. Kalimantan Selatan 20. Kalimantan Timur 21. Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo) 22. Sulawesi Tengah 23. Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi
Barat) 24. Sulawesi Tenggara 25. Maluku (termasuk Maluku Utara) 26. Papua (termasuk Papua Barat)
Keterangan: 1. Nanggroe Aceh Darussalam 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau (termasuk Kepulauan Riau) 5. Jambi 6. Sumatera Selatan (termasuk Kepulauan
Bangka Belitung)
8. Lampung 9. DKI Jakarta 10. Jawa Barat (termasuk Banten) 11. Jawa Tengah 12. Daerah Istimewa Yogyakarta 13. Jawa Timur
7. Bengkulu
Sumber: BPS, 2007 Gambar 4.12. Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas di Indonesia Menurut
Provinsi, Tahun 2007 (Unit)
V. PEMBAHASAN
5.1. Pemilihan Metode Pendekatan dalam Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data panel
yang akan mengkaji pengaruh infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi di
Indonesia. Sebelum melakukan analisis data panel, maka yang perlu dilakukan
pertama kali adalah melakukan pemilihan terhadap metode pendekatan yang akan
digunakan. Uji Chow dilakukan untuk memilih antara model Pooled Least Square
atau fixed effect (Lampiran 3), sedangkan uji Hausman digunakan untuk memilih
antara model fixed effect atau random effect (Lampiran 4).
Hasil uji Chow menunjukkan bahwa model Pooled Least Square ditolak,
sedangkan uji Hausman tidak memberikan hasil yang baik. Oleh karena itu
pemilihan metode dilakukan dengan melihat karakteristik dari unit-unit observasi.
Menurut Hsiao dalam Sibarani (2002), ketika uji pemilihan fixed effect atau
random effect tidak dapat ditentukan secara teoritis maka sebaiknya menggunakan
metode random effect jika data diambil dari sampel individu atau beberapa
individu yang dipilih secara acak untuk menarik kesimpulan tentang populasinya.
Namun, jika evaluasi meliputi beberapa individu dengan penekanan pada
individu-individu tersebut maka lebih baik menggunakan metode fixed effect.
Karena penelitian ini dilakukan terhadap keseluruhan dari populasi provinsi di
Indonesia, maka metode yang dipilih adalah metode fixed effect dengan
pendekatan two way error components agar dapat melihat heterogenitas antar
propinsi dan antar waktu. Model ini mengasumsikan bahwa dalam berbagai
76
kurun waktu, pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen di setiap
provinsi dan di setiap tahun berbeda-beda. Perbedaan tersebut dicerminkan oleh
nilai intersep pada model estimasi.
5.2. Pendugaan Model Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia
Sebelum melakukan estimasi terhadap model, dilakukan pengujian secara
statistik. Kriteria statistik dipenuhi jika nilai uji t dan uji F menunjukkan nilai
yang signifikan pada tingkat kepercayaan tertentu, sehingga memberikan arti
bahwa variabel-variabel bebas, baik secara parsial maupun bersama-sama
mempengaruhi variabel tak bebasnya. Berdasarkan nilai R2 dan adjusted R2-nya,
dapat dijelaskan tentang seberapa besar pengaruh model dan variabel-variabel
bebas mampu menjelaskan variabel tak bebasnya. Hasil pengolahan penelitian ini
menunjukkan bahwa nilai uji t dan uji F pada penelitian ini memenuhi nilai yang
signifikan pada taraf nyata 99 persen dan 95 persen. Selanjutnya nilai adjusted R2-
nya juga menunjukkan nilai yang cukup besar, yaitu mencapai 0,9762 artinya
bahwa setelah melihat kesesuaian model terbaik dan memperhatikan derajat
bebasnya. Model yang diperoleh dalam penelitian ini (persamaan 5.1) mampu
menjelaskan variabel dependennya sebesar 97,62 persen, sedangkan sisanya
sebesar 2,38 persen dijelaskan oleh variabel dari luar model.
Secara ekonometri, penggunaan analisis data panel dengan metode fixed
effect telah memenuhi asumsi-asumsi mengenai autokorelasi dan heteroskedastik.
Karena semua variabelnya signifikan, hubungan antara variabel dependen dan
variabel independen sesuai dengan teori dilihat dari koefisiennya,
77
multikolinearitas dapat dikurangi.
Secara ekonomi, penggunaan fungsi produksi neoklasikal yang dinyatakan
dalam bentuk model pertumbuhan Solow, menjadi dasar pembentukan model
analisis dalam penelitian ini, dan dapat dinyatakan sebagai berikut:
ln pdrb = 22.44395 + uit it + 0.069066 lnjalan + 0.083688 lnlistrikit it +
0.051436 lnairit + 0.654881 lnkesit .............................(5.1)
Nilai koefisien menunjukkan elastisitas dari variabel independen terhadap
variabel dependen.
5.3. Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia
Pengaruh infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi dalam penelitian
ini ditunjukkan oleh ouput yang dihasilkan tiap tenaga kerja. Estimasi persamaan
pengaruh infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi menunjukkan bahwa
semua variabel bebas yakni jumlah energi listrik yang terjual dan sarana kesehatan
yang dilihat dari jumlah rumah sakit dan puskesmas berhubungan secara
signifikan dengan produktivitas ekonomi pada tingkat kepercayaan 99 persen,
sedangkan panjang jalan yang kondisinya baik dan sedang, dan air bersih yang
disalurkan berhubungan secara signifikan dengan produktivitas ekonomi pada
tingkat kepercayaan 95 persen. Ringkasan hasil pengolahannya dapat dilihat pada
Tabel 5.1.
78
Tabel 5.1. Hasil Estimasi Persamaan Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia
Variabel tak bebas: PDRB adhk 1993 per tenaga kerja Variabel Bebas
Koefisien Nilai Statistik t Prob. (1) (2) (3) (4)
C 22.44395 26.15853 0.0000 Panjang jalan 0.069066 2.351656 0.0193** Energi listrik yang terjual 0.083688 2.679704 0.0078* Air bersih yang disalurkan 0.051436 2.214584 0.0276** Sarana kesehatan 0.654881 6.507973 0.0000* Fixed Effects (Cross) _NAD--C 0.153529 _SUMUT--C 0.218120 _SUMBAR--C -0.055032 _RIAU--C 1.194139 _JAMBI--C -0.330691 _SUMSEL--C 0.115811 _BENGKULU--C -0.686518 _LAMPUNG--C -0.095868 _DKI--C 1.215948 _JABAR--C 0.440431 _JATENG--C 0.069264 _DIY--C -0.107717 _JATIM--C 0.263073 _BALI--C 0.230186 _NTB--C -0.168760 _NTT--C -0.850745 _KALBAR--C -0.007144 _KALTENG--C -0.071690 _KALSEL--C -0.085843 _KALTIM--C 1.261359 _SULUT--C -0.370710 _SULTENG--C -0.650604 _SULSEL--C -0.373107 _SULTRA--C -0.822440 _MALUKU--C -0.640259 _PAPUA--C 0.155268
Sumber: Lampiran Keterangan: * : nyata pada α = 1% ** : nyata pada α = 5%
79
Berdasarkan variabel-variabel yang signifikan tersebut, yang paling besar
pengaruhnya terhadap produktivitas perekonomian yaitu sarana kesehatan.
Variabel sarana kesehatan dengan tingkat elastisitas sebesar 0,65 artinya setiap
kenaikan sarana kesehatan sebesar 1 persen akan meningkatkan produktivitas
ekonomi sebesar 0,65 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan di
bidang kesehatan sangat memengaruhi output yang dihasilkan. Angka ini
tergolong cukup besar. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan dalam Todaro dan
Smith (2006) bahwa kesehatan merupakan prasyarat bagi peningkatan
produktivitas. Kesehatan dilihat sebagai salah satu komponen pertumbuhan dan
pembangunan yang vital yaitu sebagai input fungsi produksi agregat. Peran ganda
kesehatan sebagai input dan output dalam pembangunan ekonomi menyebabkan
variabel ini sangat penting pengaruhnya.
Kesehatan merupakan bagian dalam modal manusia dalam perekonomian
yang perlu mendapat perhatian tersendiri karena menyangkut semua tahapan
dalam kehidupan manusia, mulai dari awal kehidupan sampai dengan akhir
kehidupan. Generasi yang sehat akan lebih berprestasi dan dapat menghasilkan
output yang lebih efisien, mampu menggunakan pendidikan yang diperolehnya
secara produktif di setiap waktu dalam kehidupannya. Selanjutnya biaya ekonomi
dan sosial dapat ditekan seminimal mungkin dan beban ketergantungan akan
menurun. Harapan hidup yang tinggi akan meningkatkan pengembalian atas
investasi dari biaya yang telah dikeluarkan di bidang kesehatan dan peningkatan
modal manusia.
80
Tingkat elastisitas kesehatan yang tinggi terhadap produktivitas ekonomi
sangat dimungkinkan dalam penelitian ini karena data yang digunakan untuk
mengukur variabel kesehatan memasukkan jumlah puskesmas yang mana didasari
pemikiran bahwa jumlah puskesmas merupakan pelayanan kesehatan yang
memasyarakat sampai di daerah terpencil (tidak seperti rumah sakit yang secara
relatif hanya berada di kota atau ibukota kabupaten saja), maka penggunaan data
jumlah puskesmas dalam variabel ini dapat mewakili jumlah fasilitas kesehatan
secara representatif di seluruh Indonesia. Hal ini berbeda dengan beberapa
penelitian sebelumnya yang hanya menggunakan jumlah rumah sakit atau jumlah
tempat tidur rumah sakit.
Varibael energi listrik yang terjual mempunyai pengaruh terhadap
produktivitas ekonomi dengan elastisitas 0,08 artinya setiap kenaikan energi
listrik yang terjual sebesar 1 persen akan meningkatkan produktivitas ekonomi
sebesar 0,08 persen. Dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kegiatan produksi,
energi listrik mempunyai peranan penting. Oleh karena itu peningkatan
produktivitas ekonomi dipengaruhi oleh pasokan energi listrik. Data yang
digunakan lebih mendekati kenyataan yaitu jumlah energi listrik total yang terjual,
tidak hanya energi listrik yang digunakan oleh industri dan bisnis, mengingat
pengguna listrik terbesar di Indonesia masih didominasi oleh rumah tangga (38
persen pada tahun 2007). Pemilihan variabel listrik menggunakan jumlah energi
listrik yang dijual didasari oleh pemikiran bahwa infrastruktur listrik yang
disediakan untuk pelayanan kepada masyarakat tidak tepat bila hanya dilihat dari
jumlah pelanggannya saja, karena jumlah pelanggan listrik di beberapa daerah
81
yang jumlahnya sama banyak belum tentu menggunakan jumlah energi listrik
yang sama. Misalnya, satu pelanggan yang menggunakan listriknya untuk industri
akan membutuhkan lebih banyak energi listrik dibandingkan dengan rumah
tangga.
Variabel panjang jalan dengan tingkat elastisitas sebesar 0,07 artinya
setiap kenaikan panjang jalan sebesar 1 persen akan meningkatkan produktivitas
ekonomi sebesar 0,07 persen. Panjang jalan mempunyai peranan yang cukup
penting dalam kegiatan perekonomian. Distribusi faktor produksi maupun barang
dan jasa hasil produksi sangat tergantung dari keberadaan infrastruktur jalan.
Secara spasial, mobilitas manusia dan hasil produksi ini menentukan kemajuan
suatu wilayah karena interaksi dan keterbukaan dengan wilayah lain
meningkatkan pangsa pasar baik faktor produksi maupun hasil produksi.
Pemilihan variabel jalan yang digunakan dalam penelitian ini lebih mendekati
kenyataan karena hanya menggunakan jalan yang kondisinya baik dan sedang,
dengan pemikiran bahwa keadaan jalan yang rusak ringan dan rusak berat kurang
berpengaruh terhadap produktivitas ekonomi di suatu wilayah.
Variabel infrastruktur yang terakhir dalam penelitian ini adalah jumlah air
bersih yang disalurkan. Tingkat elastisitas variabel ini paling kecil dalam model
yang dihasilkan, yaitu sebesar 0,05. Variabel air bersih yang disalurkan dengan
tingkat elastisitas sebesar 0,05 artinya setiap kenaikan air bersih yang disalurkan
sebesar 1 persen akan meningkatkan produktivitas ekonomi sebesar 0,05 persen.
Penggunaan air bersih yang diselenggarakan oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air
Minum) memang masih belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini
82
ditunjukkan dengan data jumlah air bersih yang disalurkan pada tahun 2007
sebagian besar hanya digunakan di Pulau Jawa (64,54 persen). Fakta ini
mengindikasikan adanya ketimpangan penggunaan air bersih yang
diselenggarakan oleh pemerintah di masing-masing daerah. Berdasarkan data
sumber penggunaan air minum, masih banyak penduduk yang tidak menggunakan
air ledeng (dari PDAM). Bahkan sumber air minum yang dominan digunakan
adalah sumur (30,07 persen) dan pompa (17,62 persen) pada tahun 2007.
Pemanfaatan air dari PDAM (air ledeng) secara nasional hanya menempati urutan
ketiga, yaitu sebesar 16,19 persen. Sisanya masih menggunakan sumur tidak
terlindung (10,32 persen), mata air terlindung (7,86 persen), air dalam kemasan
(7,18 persen), mata air tidak terlindung (4,77 persen) dan air sungai (3,02 persen),
bahkan masih ada yang memanfaatkan air hujan sebagai sumber air minum,
sebesar 2,57 persen.
Uraian pengaruh keempat infrastruktur yang diteliti terhadap produktivitas
ekonomi di Indonesia menunjukkan bahwa semua infrastruktur berpengaruh
secara positif. Hal ini sesuai dengan teori bahwa ketersediaan infrastruktur secara
merata akan meningkatkan kemampuan ekonomi suatu wilayah. Seperti
dikemukakan Ikhsan (2004) bahwa secara langsung, pembangunan infrastruktur
sendiri merupakan kegiatan produksi yang menciptakan output dan kesempatan
kerja. Secara tidak langsung, ketersediaan infrastruktur yang memengaruhi
perkembangan sektor-sektor ekonomi yang lain, terutama infrastruktur dasar yang
memberikan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan infrastruktur
lanjutan. Selain itu juga perlu diperhatikan tingkat pemerataan pembangunan
83
infrastruktur karena pelayanan sarana dan prasarana yang mudah dijangkau
masyarakat akan lebih bermanfaat dan memberikan pengaruh yang lebih besar
terhadap produktivitas ekonomi di wilayah tersebut.
VI. PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, kesimpulan yang dapat
diambil untuk menjawab permasalahan yang diteliti, yaitu:
1. Ketersediaan infrastruktur ekonomi dan sosial yang dikaji dalam penelitian
ini semuanya memengaruhi produktivitas ekonomi di Indonesia secara
signifikan.
2. Secara parsial, ketersediaan infrastruktur yang berpengaruh secara positif
terhadap produktivitas ekonomi yaitu: sarana kesehatan, energi listrik yang
terjual, panjang jalan yang kondisinya baik dan sedang, serta air bersih
yang disalurkan PDAM. Sarana kesehatan mempunyai pengaruh yang
paling besar terhadap produktivitas ekonomi di Indonesia, selanjutnya
listrik, panjang jalan dan yang terkecil pengaruhnya adalah air bersih.
Besarnya elastisitas masing-masing infrastruktur terhadap produktivitas
ekonomi cenderung dipengaruhi oleh tingkat aksesibilitas masyarakat
terhadap pelayanan sarana dan prasarana infrastruktur.
6.2. Saran
Sesuai dengan kesimpulan hasil penelitian, dapat diajukan saran yang
dapat dipakai sebagai rekomendasi kebijakan, yaitu:
1. Pembangunan infrastruktur secara signifikan memengaruhi produktivitas
ekonomi sehingga ketersediaan infrastruktur perlu mendapat perhatian
85
serius dari pemerintah dengan memberikan tambahan dana untuk
pembangunan infrastruktur agar ketersediaannya lebih merata dinikmati
seluruh masyarakat di Indonesia.
2. Infrastruktur yang memberikan kontribusi yang maksimal terhadap
perekonomian yaitu sarana dan prasarana kesehatan. Oleh karena itu
ketersediaan rumah sakit dan puskesmas perlu mendapatkan prioritas
dalam penyelenggaraannya sehingga tingkat aksesibilitas masyarakat
meningkat dan seluruh masyarakat dapat menjangkaunya dan
pembangunan infrastruktur tersebut tepat sasaran baik wilayah maupun
kegunaannya.
3. Listrik sebagai sumber energi perlu ditingkatkan produksinya agar
kapasitas listrik yang disalurkan lebih besar lagi guna merangsang
penggunaan listrik untuk bidang industri dan bisnis khususnya di luar
Pulau Jawa.
4. Karena infrastruktur jalan mampu meningkatkan produktivitas ekonomi,
pembangunan jalan baru dan perbaikan jalan yang rusak ringan maupun
rusak berat perlu dilakukan terutama oleh pemerintah daerah khususnya
jalan kabupaten/kota.
5. Ketersediaan air bersih juga perlu mendapat perhatian serius dalam hal
pemerataan dan penggunaannya khususnya di luar Pulau Jawa dengan
meningkatkan kapasitas air bersih PDAM sehingga masyarakat bisa
dengan mudah mendapatkan air bersih dengan harga yang terjangkau.
DAFTAR PUSTAKA
BPS, Bappenas dan UNDP Indonesia. 2004. Ekonomi dari Demokrasi Membiayai Pembangunan Manusia Indonesia [Laporan Pembangunan Indonesia]. BPS, Jakarta.
Bulohlabna, C. 2008. Tipologi dan Pengaruh Infrastruktur terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Timur Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Edwin. 1998. Analisis Sikap Pemukim terhadap Prasarana Umum di Daerahnya
[Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Firdaus, M. dan T. Irawan. 2009. Ekonometrika untuk Data Panel (Aplikasi
Eviews dan Stata. Modul Worshop IRSA Institute, Bogor. Ikhsan. 2004. Hubungan Antara Infrastruktur dengan Pertumbuhan Ekonomi dan
Pembangunan. LPEM, Jakarta. Jhingan, M. L. 2008. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta. Kodoatie, R. J. 2003. Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta. Mankiw, N. G. 2007. Makroekonomi. Edisi Keenam. Erlangga, Jakarta. Murad, E. 2002. Pengaruh PDRB Riil, Tingkat Suku Bunga Riil dan Infrastruktur
Jalan terhadap Investasi Domestik di Propinsi Bengkulu [Tesis]. Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Oktavianus, E. 2003. Analisis Keinginan Membayar Penduduk Perkotaan
terhadap Pelayanan Air Bersih [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Prasetyo, R. B. 2008. Ketimpangan dan Pengaruh Infrastruktur terhadap
Pembangunan Ekonomi Kawasan Barat Indonesia (KBI) [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Samuelson, P. A. dan W. D. Nordhaus. 2004. Ilmu Makroekonomi. PT. Media
Global Edukasi, Jakarta.
87
Setiadi, E. 2006. Pengaruh Pembangunan Infrastruktur Dasar terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional (8 Propinsi di Pulau Sumatera) [Tesis]. Program Pascasarjana Magister Sains Universitas Indonesia, Jakarta.
Setiorini. 2006. Analisis Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian 30 Propinsi
di Indonesia Tahun 1998 dan 2003 [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi IPB, Bogor.
Setyaningrum, E. 1997. Analisis Pembiayaan Infrastruktur Perkotaan Studi Kasus
Dati II Kabupaten Sleman DIY [Tesis]. Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Sibarani, M. H. M. 2002. Kontribusi Infrastruktur terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Indonesia [Tesis]. Program Pascasarjana Magister Sains Universitas Indonesia, Jakarta.
Soetopo, R. W. S. 2009. Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau di
Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sukirno, S. 2004. Makroekonomi Teori Pengantar. PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta. The World Bank. 1994. World Development Report: Infrastructure for
Development. Oxford University Press, New York. Todaro, M. P. dan S. C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Edisi kesembilan.
Erlangga, Jakarta. Widarjono, A. 2005. Ekonometrika Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis.
Ekonosia, Yogyakarta. Yanuar, R. 2006. Kaitan Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Output
serta Dampaknya terhadap Kesenjangan di Indonesia [Tesis]. Magister Sains Program Pascasarjana IPB, Bogor.
89
Lampiran 1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi dan Pertumbuhannya, Tahun 2006 – 2007
PDRB Atas Dasar Harga Konstan
2000 (Juta Rupiah) No Provinsi 2006 2007
Pertumbuhan (%)
(1) (2) (3) (4) (5) 1 NAD 36.853.869 35.826.623 -2,79 2 Sumatera Utara 93.347.404 99.792.273 6,90 3 Sumatera Barat 30.949.945 32.912.969 6,34 4 Riau 83.370.867 86.213.259 3,41 5 Kepulauan Riau 32.441.003 34.713.814 7,01 6 Jambi 13.363.621 14.275.161 6,82 7 Sumatera Selatan 52.214.848 55.262115 5,84 8 Bangka Belitung 9.053.906 9.465.062 4,54 9 Bengkulu 6.610.626 7.008.965 6,03 10 Lampung 30.861.360 32.648.066 5,79 11 DKI Jakarta 312.826.713 332.971.263 6,44 12 Jawa Barat 257.499.446 273.995.145 6,41 13 Banten 61.341.659 65.046.776 6,04 14 Jawa Tengah 150.682.655 159.110.254 5,59 15 DI Yogyakarta 17.535.354 18.285.620 4,28 16 Jawa Timur 271.249.317 287.815.123 6,11 17 Kalimantan Barat 24.768.375 26.260.648 6,02 18 Kalimantan Tengah 14.853.726 15.754.509 6,06 19 Kalimantan Selatan 24.452.265 25.922.288 6,01 20 Kalimantan Timur 96.612.842 97.803.248 1,23 21 Sulawesi Utara 13.532.072 14.407.302 6,47 22 Gorontalo 2.175.815 2.339.218 7,51 23 Sulawesi Tengah 12.671.549 13.683.882 7,99 24 Sulawesi Selatan 38.867.679 41.332.426 6,34 25 Sulawesi Barat 3.321.147 3.567.816 7,43 26 Sulawesi Tenggara 8.643.330 9.331.720 7,96 27 Bali 22.184.679 23.497.047 5,92 28 NTB 15.543.810 16.242.003 4,49 29 NTT 10.368.505 10.904.483 5,17 30 Maluku 3.440.114 3.633.475 5,62 31 Maluku Utara 2.359.483 2.501.175 6,01 32 Papua 18.388.879 19.176.080 4,28 33 Papua Barat 5.548.901 5.934.316 6,95
Sumber: BPS (diolah), 2006 dan 2007
90
Lampiran 2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Peringkat Menurut Provinsi Serta Reduksi Shortfall-nya, Tahun 2006 – 2007
IPM Peringkat Semua Provinsi No Provinsi
2006 2007 2006 2007
Reduksi Shortfall
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1 NAD 69,41 70,35 18 17 3,06 2 Sumatera Utara 72,46 72,78 8 8 1,16 3 Sumatera Barat 71,65 72,23 9 9 2,05 4 Riau 73,81 74,63 3 3 3,12 5 Kepulauan Riau 72,79 73,68 7 6 3,27 6 Jambi 71,29 71,46 10 12 0,61 7 Sumatera Selatan 71,09 71,40 13 13 1,06 8 Bangka Belitung 71,18 71,62 12 10 1,51 9 Bengkulu 71,28 71,57 11 11 1,03 10 Lampung 69,38 69,78 19 20 1,30 11 DKI Jakarta 76,33 76,59 1 1 1,11 12 Jawa Barat 70,32 70,71 14 15 1,32 13 Banten 69,11 69,29 21 23 0,60 14 Jawa Tengah 70,25 70,92 15 14 2,24 15 DI Yogyakarta 73,70 74,15 4 4 1,72 16 Jawa Timur 69,18 69,78 20 19 1,94 17 Kalimantan Barat 67,08 67,53 28 29 1,37 18 Kalimantan Tengah 73,40 73,49 5 7 0,34 19 Kalimantan Selatan 67,75 68,01 26 26 0,82 20 Kalimantan Timur 73,26 73,77 6 5 1,91 21 Sulawesi Utara 74,37 74,68 2 2 1,20 22 Gorontalo 68,01 68,83 24 24 2,58 23 Sulawesi Tengah 68,85 69,34 22 22 1,57 24 Sulawesi Selatan 68,81 69,62 23 21 2,59 25 Sulawesi Barat 67,06 67,72 29 28 1,99 26 Sulawesi Tenggara 67,80 68,32 25 25 1,60 27 Bali 70,07 70,53 16 16 1,52 28 NTB 63,04 63,71 32 32 1,81 29 NTT 64,83 65,36 31 31 1,50 30 Maluku 69,69 69,96 17 18 0,87 31 Maluku Utara 67,51 67,82 27 27 0,95 32 Papua 62,75 63,41 33 33 1,76 33 Papua Barat 6608 67,28 30 30 3,54
Sumber: BPS, 2006 dan 2007
91
Lampiran 3. Uji Chow pada Model Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia, Tahun 1995 – 2007
Redundant Fixed Effects Tests Pool: POOL Test cross-section and period fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 158.737312 (25,295) 0.0000Cross-section Chi-square 902.748847 25 0.0000Period F 5.875991 (12,295) 0.0000Period Chi-square 72.441327 12 0.0000Cross-Section/Period F 116.177937 (37,295) 0.0000Cross-Section/Period Chi-square 927.958853 37 0.0000
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: PDRB? Method: Panel Least Squares Sample: 1995 2007 Included observations: 13 Cross-sections included: 26 Total pool (balanced) observations: 338 White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 23.54738 0.428859 54.90703 0.0000JALAN? 0.265141 0.024863 10.66426 0.0000
LISTRIK? 0.520867 0.027829 18.71638 0.0000AIR? 0.193843 0.017832 10.87032 0.0000KES? 0.254749 0.053981 4.719250 0.0000INV? 0.028435 0.003826 7.433036 0.0000
Effects Specification
Period fixed (dummy variables)
R-squared 0.702415 Mean dependent var 15.29108Adjusted R-squared 0.686606 S.D. dependent var 0.615405S.E. of regression 0.344514 Akaike info criterion 0.758418Sum squared resid 37.98070 Schwarz criterion 0.962012Log likelihood -110.1727 F-statistic 44.43078Durbin-Watson stat 0.166301 Prob(F-statistic) 0.000000
92
Lampiran 3. Lanjutan
Period fixed effects test equation: Dependent Variable: PDRB? Method: Panel Least Squares Sample: 1995 2007 Included observations: 13 Cross-sections included: 26 Total pool (balanced) observations: 338 White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 20.93830 0.612030 34.21123 0.0000JALAN? 0.109445 0.046515 2.352884 0.0193
LISTRIK? 0.204423 0.019764 10.34335 0.0000AIR? 0.055920 0.018219 3.069229 0.0023KES? 0.362502 0.056409 6.426334 0.0000INV? 0.003180 0.002875 1.106032 0.2696
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.974488 Mean dependent var 15.29108Adjusted R-squared 0.971994 S.D. dependent var 0.615405S.E. of regression 0.102987 Akaike info criterion -1.621190Sum squared resid 3.256155 Schwarz criterion -1.270556Log likelihood 304.9811 F-statistic 390.8772Durbin-Watson stat 0.420546 Prob(F-statistic) 0.000000
Cross-section and period fixed effects test equation: Dependent Variable: PDRB? Method: Panel Least Squares Sample: 1995 2007 Included observations: 13 Cross-sections included: 26 Total pool (balanced) observations: 338 White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
93
Lampiran 3. Lanjutan
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 23.41928 0.406591 57.59913 0.0000JALAN? 0.210702 0.023740 8.875528 0.0000
LISTRIK? 0.461489 0.024550 18.79825 0.0000AIR? 0.220869 0.014485 15.24784 0.0000KES? 0.312253 0.048880 6.388203 0.0000INV? 0.028437 0.003283 8.661654 0.0000
R-squared 0.679371 Mean dependent var 15.29108Adjusted R-squared 0.674542 S.D. dependent var 0.615405S.E. of regression 0.351082 Akaike info criterion 0.761998Sum squared resid 40.92184 Schwarz criterion 0.829863Log likelihood -122.7777 F-statistic 140.6928Durbin-Watson stat 0.175845 Prob(F-statistic) 0.000000
94
Lampiran 4. Uji Hausman pada Model Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia, Tahun 1995 – 2007
Correlated Random Effects - Hausman Test Pool: POOL Test cross-section and period random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 0.000000 4 1.0000Period random 0.000000 4 1.0000Cross-section and period random 0.000000 4 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero. * Period test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.
JALAN? 0.094237 0.089908 -0.000106 NALISTRIK? 0.178544 0.199342 -0.000052 NA
AIR? 0.061950 0.075377 -0.000062 NAKES? 0.444760 0.421101 0.000002 0.0000
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: PDRB? Method: Panel EGLS (Period random effects) Sample: 1995 2007 Included observations: 13 Cross-sections included: 26 Total pool (balanced) observations: 338 Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 21.45802 0.827410 25.93395 0.0000JALAN? 0.094237 0.028881 3.262970 0.0012
LISTRIK? 0.178544 0.022496 7.936776 0.0000AIR? 0.061950 0.022405 2.765016 0.0060KES? 0.444760 0.091128 4.880588 0.0000
Effects Specification S.D. Rho
95
Lampiran 4. Lanjutan
Cross-section fixed (dummy variables) Period random 0.021284 0.0479Idiosyncratic random 0.094855 0.9521
Weighted Statistics
R-squared 0.976248 Mean dependent var 15.29109Adjusted R-squared 0.974011 S.D. dependent var 0.613524S.E. of regression 0.098906 Sum squared resid 3.012972F-statistic 436.5262 Durbin-Watson stat 0.356658Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.973948 Mean dependent var 15.29109Sum squared resid 3.324958 Durbin-Watson stat 0.376387
Period random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.
JALAN? 0.069029 0.089908 -0.000091 NALISTRIK? 0.142930 0.199342 0.000319 0.0016
AIR? 0.073875 0.075377 -0.000043 NAKES? 0.543500 0.421101 0.000103 0.0000
Period random effects test equation: Dependent Variable: PDRB? Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Sample: 1995 2007 Included observations: 13 Cross-sections included: 26 Total pool (balanced) observations: 338 Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 21.98524 0.787264 27.92613 0.0000JALAN? 0.069029 0.029140 2.368855 0.0184
LISTRIK? 0.142930 0.029617 4.825960 0.0000AIR? 0.073875 0.022815 3.238048 0.0013KES? 0.543500 0.091683 5.928010 0.0000
96
Lampiran 4. Lanjutan
Effects Specification S.D. Rho
Cross-section random 0.349378 0.9313Period fixed (dummy variables) Idiosyncratic random 0.094855 0.0687
Weighted Statistics
R-squared 0.425756 Mean dependent var 15.29109Adjusted R-squared 0.397134 S.D. dependent var 0.128519S.E. of regression 0.099788 Sum squared resid 3.196373F-statistic 14.87476 Durbin-Watson stat 0.279011Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.305291 Mean dependent var 15.29109Sum squared resid 88.66573 Durbin-Watson stat 0.010058
Cross-section and period random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.
JALAN? 0.069066 0.089908 -0.000078 NALISTRIK? 0.083688 0.199342 0.000417 0.0000
AIR? 0.051436 0.075377 -0.000024 NAKES? 0.654881 0.421101 0.001823 0.0000
Cross-section and period random effects test equation: Dependent Variable: PDRB? Method: Panel Least Squares Sample: 1995 2007 Included observations: 13 Cross-sections included: 26 Total pool (balanced) observations: 338
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 22.44395 0.857997 26.15853 0.0000JALAN? 0.069066 0.029369 2.351656 0.0193
LISTRIK? 0.083688 0.031230 2.679704 0.0078AIR? 0.051436 0.023226 2.214584 0.0276KES? 0.654881 0.100628 6.507973 0.0000
97
Lampiran 4. Lanjutan
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) Period fixed (dummy variables)
R-squared 0.979133 Mean dependent var 15.29109Adjusted R-squared 0.976243 S.D. dependent var 0.615405S.E. of regression 0.094855 Akaike info criterion -1.757097Sum squared resid 2.663261 Schwarz criterion -1.282044Log likelihood 338.9494 F-statistic 338.7571Durbin-Watson stat 0.315300 Prob(F-statistic) 0.000000
98
Lampiran 5. Hasil Pengolahan Eviews dengan Metode Fixed Effect Dependent Variable: PDRB? Method: Pooled Least Squares Sample: 1995 2007 Included observations: 13 Cross-sections included: 26 Total pool (balanced) observations: 338
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 22.44395 0.857997 26.15853 0.0000JALAN? 0.069066 0.029369 2.351656 0.0193
LISTRIK? 0.083688 0.031230 2.679704 0.0078AIR? 0.051436 0.023226 2.214584 0.0276KES? 0.654881 0.100628 6.507973 0.0000
Fixed Effects (Cross) _NAD--C 0.153529
_SUMUT--C 0.218120 _SUMBAR--C -0.055032
_RIAU--C 1.194139 _JAMBI--C -0.330691
_SUMSEL--C 0.115811 _BENGKULU--C -0.686518 _LAMPUNG--C -0.095868
_DKI--C 1.215948 _JABAR--C 0.440431
_JATENG--C 0.069264 _DIY--C -0.107717
_JATIM--C 0.263073 _BALI--C 0.230186 _NTB--C -0.168760 _NTT--C -0.850745
_KALBAR--C -0.007144 _KALTENG--C -0.071690 _KALSEL--C -0.085843 _KALTIM--C 1.261359 _SULUT--C -0.370710
_SULTENG--C -0.650604 _SULSEL--C -0.373107 _SULTRA--C -0.822440 _MALUKU--C -0.640259 _PAPUA--C 0.155268
99
Lampiran 5. Lanjutan
Fixed Effects (Period) 1995--C -0.075257 1996--C -0.037413 1997--C -0.006624 1998--C -0.083547 1999--C -0.083070 2000--C -0.046172 2001--C -0.033075 2002--C 0.000576 2003--C 0.030870 2004--C 0.060153 2005--C 0.070298 2006--C 0.097716 2007--C 0.105545
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) Period fixed (dummy variables)
R-squared 0.979133 Mean dependent var 15.29109Adjusted R-squared 0.976243 S.D. dependent var 0.615405S.E. of regression 0.094855 Akaike info criterion -1.757097Sum squared resid 2.663261 Schwarz criterion -1.282044Log likelihood 338.9494 F-statistic 338.7571Durbin-Watson stat 0.315300 Prob(F-statistic) 0.000000
Recommended