View
10
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
i
ANALISIS PRAKTIK KLINK KEPERAWATAN PADA PASIEN CRONIC
KIDNEY DISEASE (CKD) DENGAN INTERVENSI INOVASI
PEMIJATAN PADA TITIK LARGE INTESTINUM 4 UNTUK
MENURUNKAN NYERI KANULASI AV-VISTULA DI RUANG
HEMODIALISIS RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
DISUSUN OLEH
NURUL WAHIDAH
17111024120154
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR
2018
ii
Analisa Praktik Klinik Keperawatan pada Pasien Cronic Kidney Disease
(CKD) dengan Intervensi Inovasi Pemijatan pada Titik Large Intestinum 4
untuk Menurunkan Nyeri Kanulasi Av-Vistula di Ruang Hemodialisa RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
Diajukan sebagai syarat memperoleh gelar Ners Keperawatan
DISUSUN OLEH
Nurul Wahidah
17111024120154
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR
2018
iii
iv
v
Analisa Praktik Klinik Keperawatan pada Pasien Chronic Kidney Disease
(CKD) dengan Intervensi Inovasi Pemijatan pada Titik Large Intestinum 4
untuk Menurunkan Nyeri Kanulasi Av-Vistula di Ruang Hemodialisa RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
Nurul Wahidah1, Tri Wijayanti
2
INTISARI
Latar belakang: Ginjal adalah organ tubuh manusia yang berfungsi dalam sistem ekskresi
atau pembuangan. Gagal ginjal akut GGK ialah penyakit menahun yang menyebabkan
ekskresi perifer maupun kegagalan untuk mengkonsentrasikan urine dan penyakit tulang,
dimana keadaan ini dapat menjadi parah dan menimbukan kecacatan. Di dunia prevelensi
pasien ESRD sendiri berdasarkan data mortality WHO South East Asia Region pada
tahun 2010-2013 prevelensi penyakit ginjal terdapat 250.217 jiwa (WHO 2013),
sedangkan menurut riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevelensi gagal ginjal
kronik Indonesia sekitar 0,2%. Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan
pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek atau
dengan penyakit ginjal stadium terminal (End Stage Renal Disease) yang membutuhkan
terapi jangka panjang atau permanen. Hemodialisis adalah tindakan menyaring dan
mengeliminasi sisa metabolisme dengan bantuan alat. Kanulasi merupakan prosedur
yang `menimbulkan masalah psikologi berupa kecemasan dan fisik berupa nyeri akibat
insersi jarum yang berukuran besar saat tindakan HD. Berdasarkan hasil penulusuran
evidance basedpractice, salah satu intervensi yang dapatditerapkan perawat untuk
mengatasi nyeri penusukan arterivenous adalah dengan melakukan pemijatan pada titik
large intestinum 4 (LI-4 atau huko point) (Fareed, El-Hay, & El-Shikh, 2014). Tujuan
terapi ini untuk menurunkan nyeri pada saat kanulasi Av-Vistula.
Tujuan : Karya Ilmiah Akhir-Ners ini bertujuan untuk melakukan analisa terhadap kasus
kelolaan pada pasien cronic kidney disease (CKD) dengan intervensi inovasi
pemijatan pada titik large intestinum 4 untuk menurunkan nyeri kanulasi av-
vistula di ruang hemeodialisa RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Hasil : analisa data menunjukan bahwa diperoleh hasil dengan pembrian intervensi pemijatan
pada titik LI-4 dapat digunakan untuk menurunkan nyeri pada saat kanulasi Av-Vistula
Kata kunci: Nyeri, Av-Vistula, Terapi Pemijatan LI-4 1Mahasiswa Program Profesi Ners Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur
2Dosen Universitas Muhammadiyah Kalimantan T
vi
Analysis of Nursing Clinical Practice on Chronic Kidney Disease Patient
(CKD) with Innovative Intervention of Massage on Large Intestinal Point 4
to Reduce Av-Fistula Cannulation Pain on Hemodialysis Ward of
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
Nurul Wahidah1, Tri Wijayanti
2
ABSTRACT
Background: Kidney was human body organ which functioned as excretion or
elimination system. Acute Kidney Failure (AKF) was chronic disease that caused
peripheral or failure to concentrate urine and bone diseases, where this condition could
be serious and caused deformity. In the world of ESRD patients prevalence themselves
based on data of WHO South East Asia Region in 2010-2013 kidney disease prevalence
had 250.271 lives (WHO, 2013), whereas based on Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) in
2013 chronic kidney disease in Indonesia was 0,2%. Hemodialysis was a process that
was used to patients with acute condition and required short-term dialysis therapy or with
End Stage Renal Disease) who required long-term or permanent therapy. Hemodialysis
was an act to filter and eliminate metabolism wastes with the help of machine.
Cannulation was prochedure that caused psychology issue such as anxiety and psychical
pain because of needle insertion that had big size on HD treatment. Based on result of
evidence based practice research, on of intervention which can be applied by nurses to
overcome arterivenous insertion pain was by doing massage on large intestinal point 4
(LI-4 or huko point) (Fareed, El-Hay, & El-Shikh, 2014). Aim of this therapy was to
reduce pain on Av-Fistula Cannulation.
Aim: This Nursing Final Scientific Paper aimed to do analysis toward case
management on Chronic Kidney Disease (CKD) with innovatice intervention of
massage on large intestinal point 4 to reduce av-fistula cannulation pain in
hemodialysis ward in RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Result: Data analysis showed that was obtained result with intervention of massage on point
LI-4 could be used to reduce pain on Av-Fistula Cannulation.
Keywords: Pain, Av-Fistula, Massage Therapy of LI-4 1Nursing Profession Program Student of Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur
2Lecturer of Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ginjal adalah organ tubuh manusia yang berfungsi dalam sistem
ekskresi atau pembuangan. Ginjal merupakan salah satu organ yang harus
selalu dijaga agar tetap berfungsi normal. Mengalami gangguan ginjal
berarti berpotensi untuk terkena penyakit lainnya. Kegagalan pada fungsi
ginjal berakibat ginjal sulit mengontrol keseimbangan cairan, kandungan
natrium, kalium dan nitrogen didalam tubuh. Jika ginjal sudah tidak
mampu berfungsi, maka diperlukan terapi tertentu untuk menggatikan
kerja ginjal, yakni dengan transplantasi ginjal atau hemodialisis (Sofi,
2016).
Gagal ginjal akut GGK ialah penyakit menahun yang
menyebabkan ekskresi perifer maupun kegagalan untuk
mengkonsentrasikan urine dan penyakit tulang, dimana keadaan ini dapat
menjadi parah dan menimbukan kecacatan. Hal itu terjadi apabila laju
filtrasii glomerulus (LFG) kurang dari 50 ml/menit. GGK sesuai dengan
tahapannya dapat dibedakan menjadi ringan, sedang atau berat. Gagal
ginjal tahap akhir adalah tingkat gagal ginjal yang dapat mengakibatkan
kematian kecuali jika dilakukan terapi pengganti, ginjal merupakan salah
satu organ yang memiliki fungsi penting di dalam tubuh (Callhghan,
2009).
2
Di dunia prevelensi pasien ESRD sendiri berdasarkan data
mortality WHO South East Asia Region pada tahun 2010-2013 prevelensi
penyakit ginjal terdapat 250.217 jiwa (WHO 2013), sedangkan menurut
riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevelensi gagal ginjal
kronik Indonesia sekitar 0,2%. Prevelensi kelompok umur ≥ 75 tahun
dengan 0,6% lebih tinggi dari pada kelompok umur lain. Dimana
Indosensia termasuk Negara dengan tingkat penderita gagal ginjal yang
cukup tinggi. Di Indonesia gagal ginjal kronik menjadi salah satu penyakit
yang masuk dalam 10 penyakit kronik. Prevalensi gagal ginjal kronik
berdasarkan yang pernah di diagnosis oleh dokter (0,2%) dari penduduk
Indonesia. Jika saat ini penduduk indonesia sebesar252.123.458 jiwa maka
terdapat 504.248 jiwa yang menderitagagal ginjal kronik dan hanya 60%
dari pasien hahal ginjal kronik tersebut yang menjalani terapis dialysis
(KemenKes RI, 2013).
Berdasarkandata dari Pernefri (2012), mengatakan bahwa saat ini
jenis fasilitas layanan kesehatan yang diberikan oleh Unit Hemodialisis
yang paling tinggi adalah layanan Hemodialisis 78% dan Continuous
Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) 3%. Transplantasi 16% dan
ContinuousRenal Replacement Therapy (CRRT) 3%. Di Kalimantan
Timur berdasarkan data rekam medik di ruang Hemodialisis RSUD Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda, didapatkan jumlah pasien CKD yang
menjalani hemodialisis yaitu sebanyak 240 orang yang telah menjalani
hemodialisis terhitung sejak bulan Januari-Juni 2018. Pada bulan Juli-
3
desember 2018 jumlah pasien yang menjalani hemodialisis berjumlah 240
orang.
Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien
dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek
atau dengan penyakit ginjal stadium terminal (End Stage Renal Disease)
yang membutuhkan terapi jangka panjang atau permanen. Hemodialisis
adalah tindakan menyaring dan mengeliminasi sisa metabolisme dengan
bantuan alat. Fungsinya untuk mengganti fungsi ginjal dan merupakan
terapi utama selain transplantasi ginjal dan peritoneal dialysis pada orang-
orang dengan penyakit ginjal kronik. Indikasi hemodialisis adalah semua
pasien dengan GFR < 15mL/menit, GFR < 10 mL/menit dengan gejala
uremia,dan GFR < 5 mL/menit tanpa gejala gagal ginjjal (Rahman,2013).
Proses hemodialisis memerlukan pemasangan sebuah alat untuk
mendapatkan akses vaskuler yang akan dihubungkan dengan mesin
hemodialisa. Tindakan tersebutdisebut kanulasi (Smeltzer and Bare, 2008).
Kanulasi adalah suatu tindakan memasukan jarum melalui kulit
menuju pembuluh darah (Av Shun atau Femoral) sebagai sarana untuk
menghubungkan antara sirkulasi vaskuler dan mesin dialisis selama proses
HD (Daugirdas, Blake & Ing, 2007). Kanulasi merupakan prosedur yang
menimbulkan masalah psikologi berupa kecemasan dan fisik berupa nyeri
akibat insersi jarum yang berukuran besar saat tindakan HD (Ball, 2005).
4
Prosedur kanulasi menyebabkan kerusakan pada lapisan kulit dan
juga pembuluh darah. Keadaan tersebut menyebabkan pelepasan substansi
kimia seperti histamin,bradikinin dan kalium. Substansi tersebut
menyebabkannociceptor bereaksi, apabila nociceptor mencapai ambang
nyeri, maka akan timbul impuls saraf yang akan dibawa oleh serabut saraf
perifer hingga transmisi saraf berakhir dipusat otak, maka individu akan
mempersepsikan nyeri pada area kanulasi (perry &Potter, 2008).
Salah satu akses vaskuler yang biasanya digunakan untuk
hemodialisis adalah artervenous fistula. Penggunaan arterivenous fistula
membutuhkan insersi jarum melalui penusukan atau kanulasi pada saat
akan dilakukan hemodialisis. Insersi jarum atau penusukan pada
arterienous fistula dilakukan setiap pasien akan dilakukan hemodialisis.
Penusukan pada arterivenousmenibulkan sensasi nyeri pada pasien
(Figueiredo, Viegas, Monteiro, & Poli, 2008). Nyeri yang dirasakan pasien
saat penusukan akan berbeda pada setiap pasien tergantung kepada
ambang batas nyeri masing-masing individu. Hasil penelitian kaza et al
2014 menunjukan bahwa nyeri saat penusukan arterivenous fistula
dirasakan oleh 47% pasien yang menjalani hemodialisis.nyeri sebagai
salah satu masalah keperawatan pada saat penusukan arterivenous,
merupakan stimulasi yang dirasakan dalam waktu cepat, tetapi bisa
dirasakan sebagai suatu kesakitan berat bagi sebagian pasien. Nyeri yang
dirasakan oleh pasien berdampak terhadap kecemasan dan ketakutan untuk
menjalani hemodialisis (Figueiredo et al 2008). Kecemasan dan ketakutan
5
dapat menimbulkan ketidakpatuhan pasien untuk menjalani terapi
hemodialisis setiap sesinya sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan
penurunan kualitas hidup pasien (Figueiredo et al 2008).
Berdasarkan fenomena yang ditemukan di ruangan hemodialisis
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda, nyeri saat penusukan
arterivenous juga menjadi masalah yang dialami sebagian besan pasien.
Sensasi nyeri yang dirasakan pasien juga bervariasi, dari nyeri ringan
hingga nyeri berat. Pasien yang mengalami nyeri berat biasanya akan
mengatakankecemasan dan ketakutan saat akan dilakukan penusukan.
Hasil pengamatan terhadap penatalaksanaan nyeri saat penusukan yang
dilakukan oleh perawat adalah meminta pasien untuk melakukan nafas
dalam saat penusukan.
Berdasarkan hasil penulusuran evidance basedpractice, salah satu
intervensi yang dapatditerapkan perawat untuk mengatasi nyeri penusukan
arterivenous adalah dengan melakukan pemijatan pada titik large
intestinum 4 (LI-4 atau huko point) (Fareed, El-Hay, & El-Shikh, 2014).
Titik LI-4 adalah titik yang terletak diantara ibu jari dengan
telunjuk(Fareed et al, 2014). Stimulasi pada titik LI-4 menyebabkan
perangsangan pada inhibitory neuron untuk mencegah projetion neuron
mengirimsinyal dan rangsangan nyeri ke otak, sehingga gerbang tertutup
dan persepsi nyeri akan berkurang (Mirtajadini, Kalroozi, & Pishgooie,
2016). Pemijitan pada titik LI-4 bersifat lokal sehingga akan menimbulkan
tidak efek samping pada sistem tubuh lain.
6
Beberapa hasil penelitian telah menunjukan efektifitas pemijitan
pada titik LI-4 terhadap nyeri penusukan arteriovenous pada pasien
hemodialisis. Hasil penelitian Mirtajadini et al (2016) menyebutkan bahwa
terdapat penurunan skornyeri pada pasien yanga mendapatkan terapi pijat
shiatsu pada titik LI-4 sebesar 2,22, hasil analsis lebih lanjut membuktikan
terdapat pengarh pijat shiatsu pada titik LI-4 terhadap penurunan skornyeri
penusukan arterivenous pada pasien hemodialisis.
Pemijatan pada titikLI-4 merupakan metode non farmakologis
sederhana dan dapat dugunakan oleh perawat untuk mengatasi nyeri
pasien yang akan dilakukan penusukanarteriveous fistula (Fareed et al
2014). Pemijatan pada titik LI-4 tidak membutuhkan peklatihan keahlian
khusus bagi perawat dalam memberikan intervensi ini kepada pasien dan
juga dapat diajarkan kepada pasien agar pasien bisa mandiri untuk
mengatasi masalahnya.
B. Perumusan Masalah
“Bagaimana gambaran analisa pelaksanaan asuhan keperawatan
pada pasien chronic kidney disease (CKD)dengan intervensi inovasi
pemijatan pada titik large intestinum 4 untuk menurunkan nyeri kanulasi
av-vistula di ruangan Hemodialisa RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda.
7
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penulisan Karya Ilmiah Akhir-Ners (KIA-N) ini bertujuan untuk
melakukan analisis terhadap kasus kelolaan dengan klien chronic
kidney disease (CKD) dengan intervensi inovasi pemijatan pada titik
large intestinum 4 untuk menurunkan nyeri kanulasi av-vistula di
ruang hemodialisis RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
2. Tujuan Khusus
a. Menggambarkan kasus kelolaan pada pasien dengan diagnosa
gagal ginjal kronik dengan nyeri kanulasi av-vistula di ruang
hemodialisis RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
b. Menggambarkan asuhan keperawatan pada pasien dengan diagnosa
gagal ginjal kronik dengan gangguan nyeri av-vistula di ruang
hemodialisis RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
c. Menganalisis masalah keperawatan dengan konsep terkait
pemijitan large intestinum 4 untuk menurunkan nyeri Av-vistula
pada pasien chronic kidney disease (CKD) di ruang Hemodialisis
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
D. Manfaat penulisan
1. Manfaat Aplikasi
a. Pasien
Pemijitan pada titik large intestinum 4 merupakan terapi
nonfarmakologi untuk mengatasi nyeri kanulasi Av-vistula pada
8
pasien cronic kidney disease (CKD) yang menjalani hemodialisis.
Pemijitan pada titik large intestinum dapat dilakukan dengan
mudah sehari-hari dengan pasien.
b. Perawat
Intervensi inovasi pemijitan titik large intestinum 4 dapat
diaplikasikan sebagai tindakan mandiri keperawatan yang
merupakan terapi nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri
kanulalsi av-vistula pada pasien hemodialisis di Ruang
Hemodialisis pada Pasien chronic kidney disease.
c. Penulis
Penulis memperoleh pengalaman selama mempraktekan diruang
hemodialisis selama pemberian intervensi inovasi pemijitan pada
titik large intestinum 4 langsung terhadap pasien chronic kidney
disease yang menjalani hemodialisis.
2. Manfaat Teoritis
a. Penulis
Penulis mendapatkan ilmu pengetahuan selama dilahan praktik
mengenai penyakit kidney disease dan hemodialisa. Penulis
bertambah wawasannya tentang pemijitan pada titik large
intestinum untuk mengatasi nyeri kanulasi av-vistula akibat dari
hemodialisis.
9
b. Institusi Pendidikan
Karya Ilmiah Akhir Ners ini dapat digunakan sebagai bahan
bacaan bagi mahasiswa/mahasiswi dan dapat digunakan sebagai
acuan dalam penulisan selanjutnya yang berhubungan dengan
Cronic Kidney Disease dan dapat digunakan sebagai
pengembangan ilmu bagi profesi keperawatan dalam memberikan
intervensi keperawatan khususnya tentang pemijitan pada titil
large intestinum terhadap penurunan nyeri kanulasi av-vistula pada
pasien chronic kidney dease.
c. Rumah Sakit
Karya Ilmiah Nesr ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan
evaluasi yang diperlukan dalam pelaksanaan praktik pelayanan
keperawatan khususnya klien Cronic Kidney Disease yang
menjalani hemodialisis di ruang Hemodialisis
1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Ginjal
1. Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan organ penting pada manusia yang terletak
retroperitoneal pada dinding abdomen di kanan dan kiri columna
vertebralis setinggi vetebra T12 hingga L3. Ginjal kanan terletak lebih
rendah dari yang kiri karena besarnya lobus hepar. Ginjal dibungkus
oleh tiga lapis jaringan. Jaringan yang terdalam adalah kapsul renalis,
jaringan pada kedua adalah adiposa, danjaringan terluar adalah fascia
renal. Ketiga lapis jaringan ini berfungsisebagai pelindung dari trauma
dan memfiksasi ginjal (Tortora, 2011).
Pada tepi medial ginjal yang cekung, terdapat hilium yang
merupakan celah vertikal tempat arteri masuk, serta tempat vena
renalis dan pelvis keluar. Vena renalis terletak ventral dari arteri
renalis dimana letak arteri renalis berada ventral dari arteri renalis.
Hilium membuka jalan menuju ruang ginjalyaitu renalis yang di
dalamnya terdapat kaliks renalis, pelvis renalis,pembuluh darah, saraf,
jaringan lemak (Moore dan Agur, 2013)
Ginjal memiliki dua regio besar: pada bagian superfisial, area yang
berwarna merah muda di kenal sebagai korteks, sedangkan area dalam
yang berwarna merah tua kecoklatan dikenal sebagai medula.pada
medula terdapat pyramis renalis, yang berbentuk kerucutdeganbagian
2
dasaryang lebar menghadap korteks, dan bagian apeks dikenal sebagai
papila renalis menghadap hilium. Korteks renalis meluas dari kapsula
renalis kebagian dasar pyramis renalis serta ruang-ruang diantaranya.
Korteks renalis terbagi menjadi cortical zone dibagian luar dan
juxtamedullary zone dibagian dalam. Bagian dari korteks renalis yang
meluas diantara pyramis renalis dikena lsebagai columna renalis.
(Tortora dan Derricksn, 2011).
Korteks renalis dan pyramis renalis dikenal sebagai parenkm atau
bagian fungsional dari ginjal. Dalam parenkim terdapat
untfungsionalginjalyang dikenal sebagai nefron. Filtrat yang dibentuk
oleh nefron mengalir menuju duktus papilaris, dari duktus papilaris
menuju kaliks minor dan mayor. Setelah melewati kaliks mayor, urine
akan menuju pelvis renais kemudian keluar melewati ureter menuju
vesika urinaria. (Tortora dan Derrickson, 2011).
Gambar 2.1 Potongan Frontal Ginjal dextra
Sumber : Velho&Velho, 2013
3
Setiap gijal panjangnya antara 12cm sampai 13 cm, lebarnya 6 cm
dantebalnya antara 1,5 sampai 2,5 cm, pada orang dewasa berat
ginjalantara 140 sampai 150 gram.sisi dalamnya atau hilius
menghadap ketulang belakang, serta sisi luarnya berbentuk cembung.
Pembuluh darah ginjal semuanya masuk dan keluar melalui
hilius.diatas setiap ginjal menjulang kelenjar suprarenal.
Setiap ginjal dilengkapi kapsul tipis dan jaringan yang halus serta
didalamnya terdapat struktur-struktur ginjal warnanya ungu tua dan
terdiri dari bagian kapiller disebelah luar, dan medulla disebelah
dalam. Bagian medulla tersusun atas 15 sampai 16 bagian yang
membentuk piramid, yang disebut sebagai piramid ginjal. Puncaknya
mengarah kehilus dan berakhir di kalies, kalies akan menghubungkan
dengan pelvis ginjal.
Struktur mikroskopiginjal tersusun atas banyak nefron yang
merupakan satuan fungsional ginjal dan diperkirakan ada 1.000.000
nefron dalam setiap ginjal. Setiap nefron mulai membentuk sebagai
berkas kapiler (badan malpighi/glomerulus) yang erat tertanam dalam
ujung atas yang lebar pada uninefrus. Tubulus ada yang berkelok dan
ada yang lurus. Bagian pertama tubulus berkelok lagi yaitu kelokan
kedua yang disebut tubulus distal, yang bergabung dengan tubulus
penampung yang berjalan melintasi kortek dan medula, dan berakhir
dipuncak dalam satu pilar ginjal.
Secara umum struktur mikroskopis ginjal terdiri dari beberapa bagian:
4
a. Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/ terdiri
dari korpus renalis/ Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman),
tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis.
b. Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari
tubulus rektus, lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus
colligent).
c. Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal.
d. Processus renalis, yaitu bagian pyramid/ medula yang menonjol
ke arah korteks.
e. Hilus renalis, yaitu suatu bagian/ area di mana pembuluh darah,
serabut saraf atau duktus memasuki/ meninggalkan ginjal.
f. Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara ductus
pengumpul dan calix minor.
g. Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.
h. Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.
i. Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang
menghubungkan antara calix major dan ureter.
Selain tubulus urineferus, struktur ginjal berisi pembuluh darah
yaitu arteri renalis yang membawa darah murni dari aorta abdominalis
ke ginjal dan bercabang-cabang di ginjal dan membentuk arteriola
aferen (arteriola aferentes). Serta masing-masing membentuk simpul
didalam salah satu glomerulus. Pembuluh eferen kemudian tampil
sebagai arteola eferen (arteriola eferentes), yang bercabang-cabang
5
membentuk jaringan kapiler disekeliling tubulus urinrferus. Kapiler-
kapiler ini kemudian bergabung lagi untuk membentuk vena renalis,
yang membawa darah ke vena kava inferior. Maka darah yang beredar
dalam ginjal mempunyai dua kelompok kapiler, yang bertujuan agar
darah lebih lama disekeliling tubulus urineferus, karena fungsi ginjal
tergantung pada hal tersebut.
Gambar 2.2 Bagian Dalam Ginjal
Sumber : Encyclopedia Britannica 2007
6
2. Fisiologi Ginjal
Dibawah ini akan disebutkan tentang fungsi ginjal dan proses
pembentuka urin menurut (Syaefudin,2007).
a. Fungsi ginjal
Ginjal adalah organ tubuh yang mempunyai peranan
pentingdalam sistem organ tubuh. Kerusakan ginjal akan
mempengaruhi kerjaorgan lain dan sisitem lain dalam tubuh.
Ginjal memiliki dua peranan penting yaitu sebagai organ ekresi
dan non ekresi. Sebagai sistem ekresi ginjal bekerja sebagai
filteran senyawa yang sudah tidakdibutuhkan lagi oleh oleh
tubuh seperti urea, natrium dan lain-lain dalam bentuk urine,
maka ginjal juga berfungsi sebagai pembentuk urin.
Selain sebagai sistem ekresi ginjal juga sebagai sistem
non ekresi dan bekerja sebagai penyeimbang asam basa,
cairan danelektrolit tubuh serta fungsi hormonal. Ginjal
mengekresi hormon renin yang mempunyai peran dalam
mengatur tekanan darah (sistem renin angiotensin
aldosteron).Pengatur hormon eritropoesis sebagai hormon
pengaktif sum-sum tulang untuk menghasilkan eritrosit.
Disamping itu ginjal juga menyalurkan hormon dihidroksi
kolekasi feron (vitamin D aktif), yang dibutuhkan dalam
absorsi ion kalsiumdalam usus.
7
Fungsi ginjal menurut Price dan Wilson (2008) di
bedakan menjadi dua yaitu fungsi eksresi dan non ekskresi,
antara lain:
1) Fungsi ekskresi
a) Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285
mosmol dengan mengubah-ubah ekskresi air.
b) Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah
dengan mengubah-ubah ekskresi Na+.
c) Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing
elektrolit individu dalamrentang normal.
d) Mempertahankan PH plasma sekitar 7,4 dengan
mengeluarkan kelebihan H+ dan membentuk kembali
HCO3
e) Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari
metabolism protein (terutama urea, asam urat dan
kreatinin).
f) Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar
obat.
2) Fungsi non ekskresi
a) Menghasilkan renin : penting dalam pengaturan tekanan
darah.
b) Menghasilkan eritropoetin : meransang produksi sel
darah merah oleh sumsum tulang.
8
c) Menghasilkan 1,25-dihidroksi vitamin D3 : hidroksilasi
akhir vitamin D menjadi bentuk yang paling kuat.
d) Mengaktifkan prostaglandin : sebagian besar adalah
vasodilator, bekerja secara lokal, dan melindungi dari
kerusakan iskemik ginjal.
e) Mengaktifkan degradasi hormon polipeptida.
f) Mengaktifkan insulin, glukagon, parathormon,
prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH, dan hormon
gastrointestinal (gastrin, polipeptida intestinal vasoaktif
[VIP]).
b. Proses pembentukan urin
Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis
masukkedalam ginjal. Darah ini terdiri dari bagian yang padat
yaitu sel darah dan bagian plasma darah, kemudian akan
disaring dalam tiga tahap yaitu filtrasi, reabsorsi dan ekresi
(Syaefudin, 2008) :
1) Proses filtrasi
Pada prosesini terjadi di glomerulus, proses ini
terjadi karena proses aferen lebih besar dari permukaan
eferen maka terjadi penyerapan darah. Sedangkan
sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah
kecuali protein. Cairan yang disaring disimpan dalam
simpai bowmen yang terdiri dari glukosa, air, natrium,
9
klorida sulfat, bikarbonat dll, yang diteruskan ketubulus
ginjal.
2) Proses reabsorpsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali
sebagian besar dari glukosa, natrium, klorida, fosfat,
dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif
yang dikenal dengan proses obligator. Reabsorpsi
terjadi pada tubulus proksimal, sedangkan pada tubulus
distal terjadi penyerapan kembali natrium dan ion
bikarbonat bila diperlukan. Penyerapannya terjadi secara
aktif, dikenal dengan reabsorpsi fakultatif dan sisanya
dialirkan pada papila renalis.
3) Proses ekresi
Sisa dari penyerapan urin kembali yang terjadi
pada tubulus dan diteruskan pada piala ginjal
selanjutnya diteruskan ke ureter dan masuk ke fesika
urinaria
B. Konsep Penyakit Gagal Ginjal Kronik
a. Definisi
Ginjal merupakan salah satu organ tubuh yang mempunyai
fungsi utama, yaitu mempertahankan homeostatis dalam tubuh
sehingga konsentrasi banyaknya konstituen plasma, terutama
elektrolit, air, dan dengan mengestimasi zat-zat yang tidak
10
diperlukan atau berlebihan diurin. Gagal ginjal dinyatakan
terjadi jika fungsi kedua ginjal terganggu sampai pada titik
ketika keduanya tidak mampu menjalani fungsi regulatorik
dan ekskretorik untuk mempertahankan keseimbangan
(Brunner & Suddart, 2011)
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang
disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun,
berlangsung progresif, dan cukup lanjut. Hal ini terjadi apabila laju
filtrasi glomerular (LFG) kurang dari 50ml/menit. Gagal ginjal
kronik sesuai dengan tahapannya dapat ringan, sedang atau berat.
Gagal ginjal tahap akhir adalah tingkat gagal ginjal yang dapat
mengakibatkan kematian kecuali jika dilakukan terapi pengganti
(Callghan, 2009).
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal progresif
yangberakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah
nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika
tidak dilakukan dialysis atau transplantasi ginjal (Nursalam dan
Efendi, 2008).
b. Klasifikasi
Penyakit ginjal kronik (PGK) diklasifikasikan bedasarkan
penyebab, kategori albuminuroa (KDIGO, 2013). Klasifikasi atas
derajat penyakit dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcorft-Gault sebagai berikut :
11
LFG(ml/menit/1,73m2) =
( )
( ) *)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Tabel 2.1 Klasifikasi PGK berdasarkan kategori LFG Kategori Penjelasan Nilai LFG
(ml/menit/1,73m2)
G1
G2
G3a
G3
G4
G5
Fungsi ginjal nornal atau tinggi
Fungsi ginjal menurun ringan
Fungsi ginja menurun ringan hingga
sedang
Fungsi ginjal menurun sedang hingga
berat
Fungsi ginjal menurun berat
Gagal ginjal
≥ 90
60-89
45-59
30-44
15-29
≤ 15
(Sumber : KDIGO, 2013)
Tabel 2.2 Klasifikasi PGK berdasarkan Kategori Albumin
Kategori Penjelasan Nilai
A1
A2
A3
Normal atau peningkatan ringan
Peningkatan sedang
Peningkatan berat
< 30 mg/g
< 3 mg/mmol
30-300 mg/g
3-30 mg/mmol
>300 mg/g
>30 mg/mmol
(Sumber : KDIGO, 2013)
Tabel : 2.4 Klasifikasi Cronic Kidney Disease
Stadium Deskripsi GPR(ml/men.1,73m2)
1
2
3
4
5
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
menurun
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun
ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun
sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun
berat
Gagal ginjal
≥ 90
60-89
30-59
15-29
< 15 atau Dialysis
(Konsensus Hemodialisis, Pemfri, 2013)
12
c. Etiologi
Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan klinis
kerusakan ginjal yang progresiv dan irreversibel dari berbagai
penyebab. Sebab - sebab gagal ginjal kronik yang sering
ditemukan dapat dibagi menjadi enam, yaitu:
1) Infeksi/penyakit peradangan: Pielonefritis Kronik dan
Glomerulonefritis
2) Penyakit vascular/hipertensi: Nefroskerosis Benigna/Maligna
dan Stenosis Arteri Renalis
3) Gangguan jaringan penyambung : Lupus Eritenatosus
Sistemik, Poliarteritis Nodusa dan Skerosis Sistemik Progresif
4) Penyakit metabolik : Diabetes Mellitus, Gout, Hiperpara
tiroidisme dan Amiloidosis
5) Nefropati toksik : Penyalahgunaan analgetik dan
Nefropatitumbal
6) Nefropati obstruktif:
a) Saluran kemih bagian atas (kalkuli, neoplasma dan
fibrosis retriberitonial)
b) Saluran kemih bagian bawah (hipertropi prostas, striktur
uretra anomaly congenital pada leher kandung kemih dan
uretra)
13
d. Manifestasi Klinik
Herman (2016) menguraikan pada penyakit ginjal kronis
terjadi kerusakan regional glomerilus dan penurunan LFG yang
dapat berpengaruh terhadap pengaturan cairan tubuh,
keseimbangan asam basa, keseimbangan elektrolit, sistem
hematopoiesis, dan hemodinamik, fungsi ekskesi dan fungsi
metabolik endokrin. Sehingga menyebabkan munculnya bebebrapa
gejala klinis secara bersamaan, yang disebut sebagai sindrom
uremia.
Menurut Aora (2014) dalam herman (2016) pasien PGK
stadium 1 sampai stadium 3 (dengan LFG ≥ 30 (ml/mnt/1.73m3))
biasanya memiliki gejala asimtomatik. Pada stadium-stadium ini
masih belum ditemukan gangguan elektrolit dan metabolik.
Sebaliknya, gejala-gejala tersebut dapat ditemukan pda PGK
stadium 4 dan 5 (dengan LFG < 30 (ml/mnt/1.70 m3)) bersama
dengan poliuria, hematuria, dan edema. Selain itu, ditemukan juga
uremia yang di tandai dengan peningkatan limbah nitrogen didalam
tubuh yang pada keadaan lanjut akan menyebabkan gangguan
fungsi pada semua sistem organ tubuh.kelainan hematologi juga
dpatditemukanpada penderita ERSD. Anemia normositik dan
normokronilselalu terjadi, hal ini disebabkan karena defisiensi
pembentukan eritropoetin oleh ginjal sehingga pembentukan sel
darah merah dan masa hidupnya pun berkurang.
14
Gejala klinikmenjadi lebih seringmuncul seiring dengan
penurunan GFR, namun gejala umumnya nonspesifik walaupun
penderita telah mencapai stadium 4 CKD. Terdapat keluhan
menurun kemampuan beraktifitas,lemah, atau anoreksia.jika gejala
ini muncul harus dilakukan pemeriksaan kreatinin serum dan kadar
BUN, serta pemeriksaan urin untuk menentukan adanya
albuminuria. Dengan meningkatnya progresivitas CKD, terdapat
gejala aneia, asidosis metabolik, heperkalemia, hiperfosfatemia,
hipokalesemia dan hipoalbuminemia (Mitch,2016).
Sindrom uremia yang terdapat pada pasien CKD terdiri dari
atasgejala lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah, pendarahan
saluran cerna, ulkus peptikum, nokturia, hipertensi, kelebihan
volume cairan, neuropati perifer, pruritus, urimic frost, perikarditis,
kaku otot, kejang, hingga koma (Suwirta, 2014).
Sindrom spesifik dapat diasosiasikan dengan proteinuria dan
CKD,seperti kehilangan albumin > 3 g/hari serta edem dan
hiperklosterolemia menunukan gejala sindrom nefrotik,yang
menyebabkan hilangnya protein pengikat vitamin D
sehinggamenimbulkan osteodistrofi renal. Proteinuria lanjut juga
dapat diasosiasikan dengan penurunan faktor oembekuan IX, XI,
dan XII, menimbukan efek koagulasi (Mitch, 2016)
15
Manifestasi klinik yang dapat muncul pada klien dengan
CKDdapat mengenai semua sistem diantaranya yaitu (Kallaenbach,
et.al. 2008).
1) Gangguan pada sistem gastrointestinal
a) Anoreksia, nausea dan vomiting yang berhubungan
dengan gangguan metabolisme protein didalama usus,
terbentuknya zat-zat toksis akibat metabolisme bakteri
usus seperti ammonia dan metal gaunidin, serta sebabnya
mukosa.
b) Foetor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan
pada air liur diubah oleh bakteri dimulut menjadi ammonia
sehingga nafas berbau ammonia. Akibat yang lain adalah
timbulnyastomatitis dan parotitis.
c) Gastritis erosif, ulkus peptik dan kolitis uremik.
2) Sistem Integumen
a) Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-
kuningan akibat penimbunan urokrom. Gatal-gatal
dengan eksoriasi akibat toksin uremik dan pengendapan
kalsium dipori-pori kulit
b) Ekimosis akibat gangguan hematologis
c) Bekas-bekas garukan karena gatal-gatal
3) Sisitem Hematologi
a) Anemia, dapat disebabkan berbagai faktor, antara lain :
16
(1) Berkurangnya produksi eritropoietin, sehingga
rangsangan eritropoesis pada sumsum tulang menurun
(2) Hemolisis, akibat berkurangnya massa hidup
eritrosit dalam suasana uremia toksis
(3) Defisiensi besi, asam folat, dan lain-lain, akibat
nafsu makan yang berkurang
(4) Perdarahan, paling sering pada saluran pencernaan
dan kulit
(5) Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidisme
sekunder
b) Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia
mengakibatkan perdarahan.
4) Sistem saraf dan otot
a) Restless leg syndrome, klien merasa pegal pada
kakinya sehingga selalu digerakkan
b) Burning feet syndrom, klien merasa kesemutan dan
seperti terbakar, terutama ditelapak kaki
c) Ensefalopatimetabolik, klien tampak lemah tidak
bisa tidur, gangguan konsentrasi, tremor, mioklonus,
kejang
d) Miopati, klien tampak mengalami kelemahan dan
hipotrofi otot-otot ekstremitas proxima.
17
5) Sistem Endokrin
a) Gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin
b) Gangguan metabolisme lemak
c) Gangguan metabolisme vitamin D
d) Ganggan seksual
6) Sistem Kardiovaskular
a) Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau
peningkatan aktivitas sistem rennin-angiotensin-aldosteron
b) Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi
pericardial,penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis
yang timbul dini dan gagal jantung akibat penimbunan
cairan
c) Gangguan irama jantung aterosklerosis dini, gangguan
elektrolit dan klasifikasi metastatic
d) Edema akibat penimbunan cairan
7) Gangguan sistem lainnya
a) Tulang: Osteodistrofirenal yaitu osteomalasia, osteitis
fibrosa, osteosklerosis dan klasifikasi metastatik
b) Asidosis: Metabolik akibat penimbunan asam organik
sebagai hasil metabolisme
c) Elektrolit: Hiperfosfatemia, hiperkalemia, hipokalsemia.
18
e. Pemeriksaan penunjang
1) Radiologi: Untuk menilai keadaan ginjal dan derajat
komplikasi ginjal
2) Foto polos abdomen: Menilai bentuk dan besar ginjal serta
adakah batu/obstruksi lain
3) Pielografi Intra Vena: Menilai sistem pelviokalises dan
ureter, beresiko terjadi penurunan faal ginjal pada usia
lanjut, DM dan nefropati asam urat
4) USG: Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenhim ginjal,
anatomi sistem pelviokalises dan ureter proksimal, kepadatan
parenhim ginjal, anatomi sistem pelviokalises dan ureter
proksimal, kandung kemih serta prostat
5) Renogram: Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi
gangguan (vaskuler, parenkhim) serta sisa fungsi ginjal
6) Biopsi Ginjal
Dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik gagal ginjal
kronis atau perlu untuk mengetahui etiologinya.
7) Pemeriksaan laboratorium menunjang untuk diagnosis gagal
ginjal:
a) Laju endap darah
(1) Urine-Volume: Biasanya kurang dari 400 ml/jam
(oliguria atau urine tidak ada (anuria).
19
(2) Warna: Secara normal perubahan urine mungkin
disebabkan oleh pus/nanah, bakteri, lemak, partikel
koloid, fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan
menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porfirin.
(3) Berat Jenis: Kurang dari 1,015 (menetap
pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat).
Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg
menunjukkan kerusakan tubular,amrasiourine /
ureum sering 1.1
b) Ureum dan Kreatinin
Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin
10 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
c) Hiponatremia
d) Hiperkalemia
e) Hipokalsemia dan hiperfosfatemia
f) Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia
g) Gula darah tinggi
f. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan
fungsiginjal dan homeostatis selama mungkin. Seluruh faktor
yang berperan pada gagal ginjal kronik dan faktor yang dapat
dipulihkan, diidentifikasi dan ditangani. Penatalaksanaan penyakit
gagal ginjal kronik diantaranya :
20
1) Pencegahan primordial
Pencegahan primordial pada penderita GGK
dimaksudkan memberikan keadaan pada masyarakat umum
yang memungkinkan faktor predisposisi terhadap GGK dapat
dicegah dan tidak mendapat dukungan dasar dari kebiasaan,
gaya hidup, dan faktor risiko lainnya. Misalnya dengan
menciptakan prakondisi sehinggga masyarakat merasa
bahwa minum 8 gelas sehari untuk menjaga kesehatan
ginjal merupakan hal penting, berolahraga teratur,
konsumsi makanan yang berlemak dan garam yang
berlebihan merupakan kebiasaan kurang baik yang pada
akhirnya masyarakat diharapkan mampu bersikap positif
terhadap konsumsi yang sehat.
2) Pencegahan Primer
Komplikasi penyakit ginjal kronik dapat dicegah
dengan melakukan penanganan secara dini. Oleh karena itu,
upaya yang harus dilaksanakan adalahpencegahan yang efektif
terhadap penyakit ginjal kronik, dan hal ini
dimungkinkankarena berbagai faktor risiko untuk penyakit
ginjal kronik dapat dikendalikan.
Pencegahan primer terhadap penyakit GGK dapat berupa :
21
a) Penghambatan hipertensi dengan menurunkan tekanan
darahsampai normal untuk mencegah risiko penurunan
fungsi ginjal
b) Pengendalian gula darah, lemak darah, dan anemia
c) Penghentian merokok
d) Pengendalian berat badan.
e) Banyak minum air putih agar urine tidak pekat dan
mampu menampung/melarutkan semua garam agar
tidak terjadi pembentukan batu.
f) Konsumsi sedikit garam, makin tinggi konsuumsi garam,
makin tinggi ekskresi kalsium dalam air kemih
yang dapat mempermudah terbentuknya kristalisasi.
g) Mengurangi makanan yang mengandung protein tinggi
dan kolestrol tinggi.
3) Pencegahan Sekunder
Pencegahan skunder berupa penatalaksanaan konservatif
terdiri atas pengobatan penyakit-penyakit komorbid (penyakit
penyerta) untuk menghambat progresifitas, mempertahankan
nilai prognostik yang lebih baik dan menurunkan mortalitas.
Penatalaksanaan pencegahan skunder dapat dibagi 2 golongan :
a) Pengobatan Konservatif
Pengobatan konservatif bertujuan untuk memanfaatkan
faal ginjal yang masih ada, menghilangkan berbagai faktor
22
pemberat, dan memperlambat progresivitas gagal ginjal
sedini mungkin. Pengobatan konservatif penyakit Gagal
ginjal Kronik (GGK)terdiri dari :
(1) Deteksi dini dan terapi penyakit primer
Identifikasi (deteksi dini) dan segera memperbaiki
(terapi) penyakit primer atau faktor-faktor yang dapat
memperburuk faal ginjal sangat penting untuk
memperlambat laju progresivitas gagal ginjal menjadi
gagal ginjal terminal
(2) Pengaturan diet protein, kalium, natrium, dan cairani.
(a) Protein
Diet protein yang tepat akan memperlambat
terjadinyakeracunan ureum. Pembatasan protein
dimulai pada saat permulaan terjadinya
penyakit ginjal dengan masukan protein
sebesar 0,5-0,6 g/kg BB/hari, dengan nilai
biologik yang tinggi. Pembatasan protein dalam
makanan pasien GGK dapat mengurangi
gejala anoreksia, mual, dan muntah, dan apabila
diberikan secara dini dapat menghambat
progresifitas penyakit.
23
(b) Kalium
Tindakan utama untuk mencegah terjadinya
hiperkalemia adalah membatasi pemasukan
kaliumdalam makanan. Kalium sering
meningkat pada akibat ekskresi kalium melalui
urin berkurang. Hiperkalemia dapat
menimbulkan kegawatan jantung dan kematian
mendadak. Maka dihindari konsumsi makanan
atau obat yang tinggikadar kaliumnya seperti
ekspektoran, kalium sitrat, sup, kurma, pisang, dan
sari buah murni.
(c) Natrium
Pengaturan diet natrium penting pada penderita
gagalginjal. Jumlah natrium yang dianjurkan
adalah 40 sampai 90 mEq/hari (1 sampai 2 gr
natrium). Asupan natrium maksimum harus
ditentukan secara tersendiri untuk tiap penderita
agar hidrasi yang baik dapat tetap
dipertahankan. Asupan natrium yang terlalu
longgar dapat mengakibatkan retensi cairan,
edema perifer, edema paru-paru, hipertensi
dan gagal jantung kongestif.
24
(d) Cairan
Asupan cairan yang diminum penderita GGK
harusdiawasi dengan seksama. Asupan cairan
yang terlalu bebas mengakibatkan beban sirkulasi
menjadi berlebihan, edema dan intoksitasi air.
Sedangkanasupan yang terlalu sedikit
mengakibatkan dehidrasi,hipotensi dan gangguan
fungsi ginjal.
4) Pengobatan Pengganti
Pengobatan pengganti yang dilakukan bertujuan
menghindari kematian dengan melakukan persiapan
Renal Replacement Therapy (hemodialisis dan dialisis
peritoneal).
a) Hemodialisiss
Hemodialisis adalah dialisa yang dilakukan
dengan menggunakan membran sintetik
semipermeabel sebagai pemisah darah dan cairan
dialisis pada ginjal buatan. Prosesini dirangkai dalam
mesin hemodialisis yang berfungsi mencampur air
dengan konsentrat dialisis, memompa darah keluar
tubuh dan memompa darah masuk ke dalam tubuh
pasien. Hemodialisis akan mengeluarkan dari dalam
tubuh air, natrium, kalium, dan ion H+, juga
25
toksin uremik. Masalah akut yang terjadi saat
hemodialisa seperti emboli udara dapat diatasi
dengan adanya monitor pada mesin hemodialisa.
b) Dialisa peritoneal
Dialisis peritoneal dilakukan dengan
menggunakan membran peritoneum yang bersifat
semipermeabel dengan menginfuskan 1-2 L cairan
dialisis ke dalam abdomen melalui kateter. Dialisat
tetap berada dalam abdomen untuk waktu yang
berbeda-beda dan kemudian dikeluarkan dengan
gravitasi ke dalam wadah yang diletakkan di bawah
pasien. Setelah pengeluaran selesai, dialisat yang
baru dimasukkan dan siklus berjalan kembali.
c) Tranplantasi Ginjal
Tranplantasi ginjal telah menjadi terapi pilihan
bagi kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal
tahap akhir, karena menghasilkan rehabilitasi yang
lebih baik dibanding dialisis kronik dan menimbulkan
perasaan sehat seperti orang normal.
d) Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier yaitu upaya mencegah terjadinya
komplikasi yang lebih berat atau kematian, tidak hanya
ditujukan kepada rehabilitasi medik tetapi juga
26
menyangkut rehabilitasi jiwa. Pencegahan ini dilakukan
pada pasien GGK yang telah atau sedang menjalani
tindakan pengobatan atau terapi penggantiberupa:
(1) Mengurangi stress, menguatkan sistem pendukung
social atau keluarga untuk mengurangi pengaruh
tekanan psikis pada penyakit GGK.
(2) Meningkatkan aktivitas sesuai toleransi, hindari
imobilisasiKarena hal tersebut dapat meningkatkan
demineralisasi tulang. Dan untuk membantu
meyakinkan tingkat aktivitas yang aman, perlu
dilakukan pengkajian gaya berjalan pasien, rentang
gerak dan kekuatan otot.
(3) Meningkatkan kepatuhan terhadap program
terapeutik.
(4) Mematuhi program diet yang dianjurkan untuk
mempertahankan keadaan gizi yang optimal agar
kualitas hidup dan rehabilitasi dapat dicapai.
C. Konsep Askep Gagal Ginjal Kronis
1. Anamnesis
Pada pengakajian anamnesis data yang diperoleh yakni identitas
klien dan identitas penanggung jawab, identitas klien yang meliputi
nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, serta diagnosa medis. Penyakit
Chronic Kidney Disease (CKD) dapat menyerang pria maupun wanita
27
dari rentang usia manapun, khususnya bagi orang yang sedang
menderita penyakit serius, terluka serta usia dewasa dan pada
umumnya lanjut usia. Untuk pengkajian identitas penanggung jawab
data yang didapatkan yakni meliputi nama, umur, pekerjaan,
hubungan dengan si penderita.
2. Riwayat kesehatan
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering adalah miksi terasa sesak dan sedikit-
sedikit.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian ditujukan sesuai dengan predisposisi etiologi penyakit
terutama pada prerenal dan renal. Secara ringkas perawat
menanyakan berapa lama keluhan penurunan jumlah urine output
dan apakah penurunan jumlah urine output tersebut ada
hubungannya dengan predisposisi penyebab, seperti pasca
perdarahan setelah melahirkan, diare, muntah berat, luka bakar luas,
cedera luka bakar, setelah mengalami episode serangan infark,
adanya riwayat minum obat NSAID atau pemakaian antibiotik,
adanya riwayat pemasangan tranfusi darah, serta adanya riwayat
trauma langsung pada ginjal
4. Riwayat penyakit dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem
perkemihan yang berulang, penyakit diabetes melitus dan penyakit
28
hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebab
pasca renal. Penting untuk dikaji tentang riwayat pemakaian obat-
obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat dan
dokumentasikan.
5. Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan adanya riwayat penyakit ginjal dalam keluarga.
6. Pemeriksaan fisik
a. TTV
Keadaan umum klien lemah, terlihat sakit berat, dan letargi.
Pada TTV sering didapatkan adanya perubahan, yaitu pada fase
oliguri sering didapatkan suhu tubuh meningkat, frekuensi denyut
nadi mengalami peningkatan dimana frekuensi meningkat sesuai
dengan peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi. tekanan darah
terjadi perubahan dari hipetensi rinagan sampai berat.
7. Pemeriksaan pola fungsi
1) B1 (Breathing)
Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan
pola napas dan jalan napas yang merupakan respons terhadap
azotemia dan sindrom akut uremia. Klien bernapas dengan bau urine
(fetor uremik) sering didapatkan pada fase ini. Pada beberapa
keadaan respons uremia akan menjadikan asidosis metabolik
sehingga didapatkan pernapasan kussmaul.
29
2) B2 (Blood)
Pada kondisi azotemia berat, saat perawat melakukan
auskultasi akan menemukan adanya friction rub yang merupakan
tanda khas efusi perikardial sekunder dari sindrom uremik. Pada
sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia yang
menyertai gagal ginjal akut merupakan kondisi yang tidak dapat
dielakkan sebagai akibat dari penurunan produksi eritropoetin, lesi
gastrointestinal uremik, penurunan usia sel darah merah, dan
kehilangan darah, biasanya dari saluran G1. Adanya penurunan
curah jantung sekunder dari gangguan fungsi jantung akan
memberat kondisi GGA. Pada pemeriksaan tekanan darah sering
didapatkan adanya peningkatan.
3) B3 (Brain)
Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau,
penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidakseimbangan
elektrolit/asam/basa). Klien berisiko kejang, efek sekunder akibat
gangguan elektrolit, sakit kepala, penglihatan kabur, kram
otot/kejang biasanya akan didapatkan terutama pada fase oliguri
yang berlanjut pada sindrom uremia.
4) B4 (Bladder)
Perubahan pola kemih pad aperiode oliguri akan terjadi
penurunan frekuensi dan penurunan urine output <400 ml/hari,
30
sedangkan pada periode diuresis terjadi peningkatan yang
menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai
tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Pada pemeriksaan didapatkan
perubahan warna urine menjadi lebih pekat/gelap
5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia
sehingga sering didapatkan penurunan intake nutrisi dari
kebutuhan.
6) B6 (Bone)
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum efek
sekunder dari anemia dan penurunan perfusi perifer dari
hipertensi
8. Pemeriksaan diagnostik
a. Laboratorium
Urinalisis didapatkan warna kotor, sedimen kecoklatan
menunjukkan adanya darah, Hb, dan myoglobin. Berat jenis
<1.020 menunjukkan penyakit ginjal, pH urine >7.00
menunjukkan ISK, NTA, dan GGK. Osmolalitas kurang dari 350
mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal dan rasio urine : serum
sering 1 : 1.
b. Pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin
Terdapat peningkatan yang tetap dalakm BUN dan laju
peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan
31
protein), perfusi renal dan masukan protein. Serum kratinin
meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum
bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan
penyakit.
c. Pemeriksaan elektrolit
Pasien yang mengalami penurunan lajut filtrasi glomerulus tidak
mampu mengeksresikan kalium. Katabolisme protein
mengahasilkan pelepasan kalium seluler ke dalam cairan tubuh,
menyebabkan hiperkalemia berat. Hiperkalemia menyebabkan
disritmia dan henti jantung.
d. Pemeriksaan pH
Pasien oliguri akut tidak dapat emngeliminasi muatan metabolik
seperti substansi jenis asam yang dibentuk oleh proses metabolik
normal. Selain itu, mekanisme bufer ginjal normal turun. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya penurunan kandungan karbon
dioksida darah dan pH darah sehingga asidosis metabolik
progresif menyertai gagal ginjal.
9. Penatalaksanaan medis
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan dan mencegah
komplikasi, yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal
akut yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang.
32
Dialisis memperbaiki abnormalitas biokimia, menyebabkan
cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas;
menghilangkan kecenderungan perdarahan dan membantu
penyembuhan luka.
b. Koreksi hiperkalemia
Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion
pengganti resin (natrium polistriren sulfonat), secara oral atau
melalui retensi enema. Natrium polistriren sulfonat bekerja
dengan mengubah ion kalium menjadi natrium di saluran
intenstinal.
a. Diet cairan
b. Diet rendah protein, tinggi karbohidrat
c. Koresi asidosis dengan natrium binarkobat dan dialisis
10. Diagnosa
Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinik tentang respon
individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan aktual
atau potensial, dimana berdasarkan pendidikan dan pengalamannya,
perawat secara akontabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan
intervensi secara pasti untuk menjaga, menurunkan, membatasi,
mencegah dan merubah status kesehatanklien(Carpenito, 2006;
Gordon& Nanda 19976).
Diagnosa keperawatan pada pasien CKD menurut Moorhead, dkk.,
2013 & Bulechek, dkk., 2013:
33
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload
c. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan
mekanisme regulasi
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari keburtuhan tubuh
berhubungan dengan faktor biologis
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen
f. Resiko infeksi dengan faktor resiko prosedur invasive
g. Nyeri akut berhubungan dengan agent cedera fisik
h. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
hipertensi
i. Fatigue ( kelelahan) berhubungan dengan anemia
Tabel 2.4 intervensi Keperawatan No Diagnosa Tujuan dan KH Intervensi
1 Ketidakefektifan
pola napas b/d
hiperventilasi
NOC:Respiratoty ststus
Setelah dilakukan asuhan selama ..X..
jam, masalah teratasi dengan indikator :
1. Frekuensi pernapasan (3)
2. Irama pernapasan (3)
3. Suara auskultasi (4)
4. Kepatenana jalan napas (3)
Skala:
1=devisiasi berat dari kisaran normal
2=beviasi yang cukup cukup berat dari
kisaran normal
3=devisiasi sedang dari kisaran normal
4=devisiasi ringan dari kisaran normal
5= tidak ada devisiasi dari kisaran
normal
Respiratory management
1.1 monitor kecepatan, irama,
kedalaman, dan kesulitan bernapas
1.2 catat pergerakan dada, catat
ketidasimetrisan ,penggunaan otot-otot
bantu napas dan retraksi pada otot
intercosta
1.3 monitor suara napas tambahan seperti
ngorok dan mengi
1.4 monitor kelelahan otot-otot
diafragma dengan pergerakan
parasoksikal.
1.5 monitor kesimetrisan ekspansi paru
Monitor pernafasan
1.6 monitor suara nafas tambahan seperti
ngorok atau mengi
1.7 berikan bantuan terapi nafas jika
diperlukan
1.8 kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian obat
34
2 Penurunan
curah jantung
b/d perubahan
preload
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan masalah
berkurang dengan indikator :
1. Kefektifan pompa jantung
2. Tingkat kecemasan
3. Satus pernapasan
4. Status pernapasan : pertukaran gas
Skala :
1: deviasi berat dari kisaran normal
2: deviasi yang cukup besar dari
kisaran normal
3: deviasi sedang dari kisaran normal
4: deviasi ringan dari kisaran nmormal
5: tidak ada deviasi dari kisaran normal
Cardiac Care
2.1 pertahankan kepatenan jalan napas
2.2 posisikan klien untuk mendapatkan
ventilasi yang adekuat (misalnya,
membuka jalan napas dan menaikan
posisi kepala ditempat tidur)
2.3 pertahankan kepatenan akses selang
IV
2.4 monitor kecenderungan pH arteri.
paCO, dan HCO dalam rangka
mempertimbangkan jenis
ketidakseimbangan yang terjadi
(misalnya, respiratorik atau metabolik)
dan kompensasi mekanisme fisiologis
yang terjadi (misalnya kompensasi paru
atau ginjal dan penyangga
fisiologis/psysiological buffers)
2.5 pertahankan pemeriksaan berkala
terhadap pH arteri dan plasma elektrolit
untuk membuat perencanaan perawatan
yang akurat
2.6 monitor gas darah arteri (ABGs),
level serum serta urin, elektrolit jika
diperlukan
Manajemen asam basa
1.7 pertahankan kepatenan jalan nafas
1.8 gmonitor intake dan output
1.9 intruksikan pasien atau keluarga
mengenai tindakan yang telah
disarankan
3 Kelebihan
volume cairan
b/d gangguan
mekanisme
regulasi
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan masalah
berkurang dengan indikator :
1. Tekanan darah
2. Kelembapan membran mukosa „
3. Keseimbangan intake dan output
dalam 24 jam
Skala:
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu
Monitor elektrolit
3.1 Monitor nilai serum elektrolit yang
abnormal
3.2 Monitor manifestasi
ketidakseimbangan elektrolit
3.3 berikan cairan sesuai resep, jika
diperlukan
3.4 pertahankan pencatatan asupan dan
haluran yang akurat
3.5 konsultasikan dengan dokter terkait
pemberian elektrolit dengan sedikit obat-
obatan
Manajemen cairan
3.6 timbang berat badan setiap hari dan
monitor status pasien
3.7 jaga intake/asupan yang akurat dan
catat output (pasien)
3.8 monitor perubahan berat badan
pasien sebelum dan sesudah dialisis
4 Ketidakseimban
gan nutrisi
kurang dari
keburtuhan
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan masalah
berkurang dengan indikator :
1. Perilaku patuh : diet yang sehat
Manajemen nutrisi
4.1 timbang berat badan pasien
4.2 lakukan pengukuran antropometri
4.3 monitor kecemderungan naik-turunya
35
tubuh b/d faktor
biologis
2. Perilaku patuh : diet yang disarankan
3. Kontrol diri terhadap kelalaian
makan
Skala:
1. Sangat menyimpang dari rentang
normal
2. Banyak menyimpang dri rentang
normal
3. Cukup menyimpang dari nilai
normal
4. Sedikit menyimpang dari nilai
normal
5. Tidak menyimpang dari rentang
normal
berat badan
4.4 identifikasi perubahan berta badan
terakhir
4.5 monitor turgor kulit dan mobilitas
4.6 monitor adanya mual dan muntah
Manajemen gangguan makan
4.7 kolaborasi dengan tim kesehatan lain
untuk mengembangkan rencana
keperawatan dengan melibatkan
klien dan orang-orang terdekatnya
4.8 timbang berat badan secara rutin
5 Intoleransi
aktivitas b/d
kelemahan
umum
NOC: Activity tolerance
Setelah dilakukan asuhan keperawatan
selama 1x4 jam, masalah terastasi
dengan indikator
1 HR ketika beraktivitas (3)
2 respirasi saat berkativitas(3)
3 tekanan darah saat beraktifitas(3)
4 usaha bernapas saatv beraktivitas(3)
5 bergerak dari baring keduduk(3)
6 bergerak dari duduk kebaring (3)
7 bergerak dari duduk keberdiri(3)
8 bergerak dari berdiri keduduk(3)
Skala:
1=berat dikompromi
2=substansial dikompromikan
3=sedang dikompromikan
4=ringan dikompromikan
5=tidak dikompromikan
NIC :energy management
5.1 monitor respon kardiorespirasi
terhadap aktivitas (takikardi, distritmia,
dispeu, diaphoresis, pucat, tekanan
hemodinamik dan jumlah respirasi)
5.2 monitor dan catat pola dan jumlah
tidur pasien
5.3 monitor lokasi ketidaknyamanan atau
nyeri selama bergerak dan aktivitas
5.4 monitor intake nutrisi
5.5 instruksikan pada pasien untuk
mencatat tanda tanda dan gejala
kelelahan
Exercise Therapy: Ambulation
5.6 pakaikan pasien dengan pakaian yang
tidak membatasi
5.7 bantu pasien untuk duduk ditempat
tidur, disisi tempat tidur („‟ kaki
terjuntai‟‟) atau dikursi sesuai batas
toleransi
5.8 bantu pasien untuk duduk disisi
tempat tidur untuk mefasilitasi
pangeturan posisi tubuh
6 Resiko infeksi NOC : Mendeteksi risiko
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama ..x .. jam masalah
teratasi dengan indikator :
1. mengenali tanda dan gejala yang
mengindikasi resiko (4)
2. mengidentifikasi kemungkinan resiko
kesehatan (4)
3. memvalidasi resiko kesehatan yang ada
(4)
skala :
1= tidak pernah menunjukkan
Mengidentifikasi risiko
Melakukan pengkajian rutin dengan
benar
6.1 Melihat ulang riwayat kesehatan
untuk membuktikan status medis
dan diagnose keperawatan terakhir
6.2 Menjaga catatan keperawatan tetap
akurat
6.3 Mengidentifikasi kebutuhan
perawatan lanjut pada pasien
6.4 Instruksikan pada pengunjung untuk
mencuci tangan saat berkunjung dan
setelah berkunjung meninggalkan
pasien
36
2= jarang menunjukkan
3= kadang-kadang menunjukkan
4= sering menunjukkan
5= secara konsisten menunjukkan
6.5 Cuci tangan setiap dengan sabun
antimikroba sebelum dan sesudah
tindakan keperawtan
6.6 Gunakan baju, sarung tangan sebagai
alat pelindung
6.7 Pertahankan lingkungan aseptik
selama pemasangan alat
6.8 Tingktkan intake nutrisi
Berikan terapi antibiotik bila perlu
7 Nyeri akut NOC : kontrol nyeri
Setelah dilakukan asuhan selama
..x..jam masalah dapat teratasi dengan
indikator :
1. Menggambarkan faktor penyebab nyeri
(4)
2. Menggunakan tindakan pengurangan
nyeri (4)
3. Melaporkan nyeri terkontrol(4)
Skala :
1= tidak pernah menunjukkan
2= jarang menunjukkan
3= kadang-kadang menunjukkan
4= sering menunjukkan
5= secara konsisten menunjukkan
Managemen nyeri
7.1 Lakukan pengkajian nyeri secara
komperhensif
7.2 Observasi adanya petunjuk reaksi
nonverbal dan ketidaknyamanan
terutama pada tidak dapat
berkomunikasi secara efektif
7.3 Gali bersama pasien faktor-faktor
yang dapat menurunkan dan
memperberat nyeri
7.4 Ajarkan teknik nonfarmakologi
untuk menurunkan nyeri
7.5 Gunakan tindakan pengontrol
nyerisebelum nyeri bertambah
berat.
7.6 kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian analgetik
8 Ketidakefektifan
jaringan perfusi
perifer
NOC : Status sirkulasi
Setelah dilakukan asuhan selama
..X..jam, masalah teratasi dengan
indikator :
1. kelemahan (4)
2. pucat (4)
3. mati rasa (4)
Skala :
1= berat
2= agak berat
3= sedang
4= ringan
5= tidak ada
Ukuran biokimia
1. hematokrit (3)
2. Hemoglobin (3)
3. Albumin Serum (3)
Skala :
1= berat menyimpang dari nilai normal
2= substansial menyimpang dari nilai
normal
3= sedang menyimpang dari nilai
normal
4= ringan menyimpang dari nilai
NIC : Manajemen energi
8.1 monitor status hidrasi (misal
kelembaban membrane mukosa,
denyut nadi yang adekuat, tekanan
darah orthostatik)
8.2 Monitor hasil lab yang relevan
dengan retensi cairan (misal
:peningkatan berat jenis,
peningkatan BUN, penurunan
hematokrit dan peningkatan
osmolalitas urin)
8.3 monitor tanda-tandan vital
8.4 monitor adanya indikasi retensi
cairan (misal : krakles, peningkatan
CVP atau tekanan kapiler
pulmonary, edema, distensi vena
leher dan ascites)
8.5 monitor perubahan BB klien
sebelum dan sesudah melakukan
dialysis
8.6 kaji lokasi dan luas dari edema,
jika ada
37
normal
5= tidak menyimpang dari nilai normal
Sumber: Moorhead, dkk., 2013 & Bulechek, dkk., 2013
D. Konsep Hemodialisa
1. Definisi Hemodialisis
Hemodialisa adalah proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme,
zat toksis lainnya melalui membran semipermiabel sebagai pemisah
38
antara darah dan cairan dialisat yang sengaja dibuat dalam dialiser.
Membran semipermiabel adalah lembar tipis, berpori-pori terbuat dari
selulosa atau bahan sintetik. Ukuran poripori membran
memungkinkan difusi zat dengan berat molekul rendah seperti urea,
keratin, dan asam urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan
bergerak bebas melalui membran, tetapi kebanyakan protein plasma,
bakteri, dan sel-sel darah terlalu besar untuk melewati pori-pori
membran(Wijaya, dkk., 2013).
Hemodialisa adalah dialisis dengan menggunakan mesin dialiser
yang berfungsi sebagai ginjal buatan. Pada hemodialisa, darah
dipompa keluar dari tubuh, masuk kedalam mesin dialiser. Didalam
mesin dialiser darah dibersihkan dari zat-zat racun melalui proses
difusi dan ultrafiltrasi oleh dialisat (suatu cairan khusus untuk
dialisis), lalu dialirkan kembali dalam tubuh. Proses hemodialisa
dilakukan 1-3 kali seminggu dirumah sakit dan setiap kalinya
membutuhkan waktu sekitar 2-4 jam (Mahdiana, 2011).
2. Fungsi Sistem Ginjal Buatan
a. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin
dan asam urat
b. Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding
antara darah dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan
positif dalam arus darah dan tekanan negatif (penghisap) dalam
kompartemen dialisat (proses ultrafiltrasi)
39
c. Mempertahankan atau mengembalikan sistem nafas tubuh
d. Mempertimbangkan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
3. Tujuan
Menurut Lumenta (2001), Sebagai terapi pengganti, kegiatan
hemodialisa mempunyai tujuan :
a. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan
asam urat.
b. Membuang kelebihan air.
c. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh.
d. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
e. Memperbaiki status kesehatan penderita.
4. Prinsip Dialisis
Menurut Muttaqin (2011), prinsip dialisis pada dasarnya sama
seperti pada ginjal, ada tiga prinsip yang mendasari kerja dialisis,
yaitu: difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
a. Proses difusi adalah proses berpindahnya zat karena adanya
perbedaan kadar di dalam darah, makin banyak yang berpindah ke
dialisat
b. Proses osmosis mengangkut pergerakan air melalui membran
semipermiabel dari tempat yang berkonsentrasi rendah ke tempat
yang berkonsentrasi tinggi (osmolaritas).
c. Proses ultrafiltrasi adalah proses berpindahnya zat dan air karena
perbedaan hidrostatik di dalam darah dan dialisat. Luas permukaan
40
dan daya saring membran mempengaruhi jumlah zat dan air yang
berpindah. Pada saat dialisis, pasien, dialiser, dan rendaman dialisat
memerlukan pemantauan yang konstan untuk mendeteksi berbagai
komplikasi yang dapat terjadi misal: emboli udara, ultrafiltrasi
yang tidak adekuat atau berlebihan, hipotensi, kram, muntah,
perembesan darah, kontaminasi dan komplikasi terbentuknya pirau
atau fistula)
5. Metode Dialisis
Nursalam (2006) menyebutkan bahwa metode dialisis terdiri dari tiga
metode meliputi :
a. Dialisis Peritoneum
Pada dialisis peritoneum, membran peritoneum penderita
digunakan sebagai sawar semiperrmiabel alami. Larutan dialisat
yang telah dipersiapkan sebelumnya (sekitar 2 liter) dimasukkan
kedalam rongga peritoneum melalui sebuah kateter menetap yang
diletakkan di bawah kulit abdomen. Larutan dibiarkan berada di
dalam rongga peritoneum selama waktu yang telah ditentukan
(biasanya antara 4 sampai 6 jam).
Nursalam (2006) membagi dialisis peritoneum menjadi tiga
jenis, yaitu:
1) Dialisis peritoneum intermitten (pada gagal ginjal akut atau
kronis).
2) Dialisis peritoneum ambulatori kontinu (CAPD)
41
CAPD (continuous ambulatory peritoneal dialysis)
merupakan suatu bentuk dialisis yang dilakukan pada banyak
pasien penyakit renal stadium terminal.
Pada keadaan ini ditanamkan sampai dua liter larutan
glukosa isotonik atau hipertonik dalam rongga peritoneal
pasien melalui pemasangan kateter silastik permanen,
terjadilah ekuilibrium cairan melalui membran peritoneal
seluas 2 m² dengan darah kapiler peritoneum. Setelah beberapa
jam cairan yang mengandung sisa buangan toksik ditarik
keluar. Prosedur ini diulang tiga atau empat kali sehari.
3) Dialisis peritoneum siklus kontinu.Hemodialisa
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada
pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis
jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau
pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir (ESRD/ end stage
renal disease) yang memerlukan terapi jangka panjang atau
terapi permanen.
4) Terapi pengganti renal kontinu
Transplantasi ginjal adalah terapi pilihan yang sebagian besar
pasien, namun terbatas karena sedikitnya suplai organ donor.
6. Indikasi Hemodialisis
Menurut Wijaya dkk, (2013) indikasi hemodialisa adalah sebagai
berikut:
42
a. Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan
GGA untuk sementara sampai fungsi ginjalnya pulih (laju filtrasi
glomerulus < 5ml). Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan
hemodialisa apabila terdapat indikasi: Hiperkalemia (K+ darah > 6
mEq/l), asidosis, kegagalan terapi konservatif, kadar
ureum/kreatinin tinggi dalam darah (Ureum > 200 mg%, Kreatinin
serum > 6 mEq/l), kelebihan cairan, mual dan muntah hebat.
b. Intoksikasi obat dan zat kimia c. Ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit berat d. Sindrom hepatorenal dengan kriteria : 1) K + pH
darah < 7,10 → asidosis 2) Oliguria/anuria > 5 hari 3) GFR < 5
ml/I pada GGK 4) Ureum darah > 200 mg/dl
7. Kontraindikasi Hemodialisis
Menurut Wijaya, dkk (2013) menyebutkan kontra indikasi pasien
yang hemodialisa adalah sebagai berikut:
a. Hipertensi berat (TD > 200/100 mmHg).
b. Hipotensi (TD < 100 mmHg).
c. Adanya perdarahan hebat.
d. Demam tinggi
8. Efek Samping Hemodialisa
Menurut Wijaya dkk, (2013). Cuci darah atau dialysis merupakan
suatu metode yang ditempuh oleh penderita gagal ginjal untuk
melakukan proses penyaringan darah. Darah akan secara rutin
43
„tercuci‟ dari zat-zat berbahaya yang terkandung di dalamnya ginjal.
Pasien gagal ginjal ini, memiliki ginjal yang tidak berfungsi dengan
baik untuk melakukan proses penyaringan dan pembersihan darah
secara alami. Berikut ini beberapa efek samping saat hemodialisa :
a. Tekanan Darah Rendah
Tekanan darah rendah atau hipotensi, merupakan salah satu efek
samping yang umum terjadi pada pasien yang menggunakan metode
hemodialysis. Hal ini terjadi karena kurangnya cairan yang terdapat di
dalam tubuh. Hipotensi atau tekanan darah rendah ini dapat
menyebabkan :
1) Nausea
2) Pusing
3) Sakit kepala
b. Infeksi Bakteri Staphylococcal
Bakteri staphylococcal merupakan jenis bakteri yang mungkin
dapat menginfeksi dan berkembang dalam proses cuci darah
hemodialysis ini. Bakteri ini dapat menyebabkan infeksi pada
bagan kulit, seperti kulit yang terasa tebakar.
c. Sepsis
Sepsis merupakan keadaan dimana infeksi bakteri staphylococcal
yang sudah menjalar melalui darah ke organ-organ lain, atau bisa
disebut blood poisoning (keracunan darah). Gejala sepsis ini
antara lain :
44
1) Demam Tinggi ( diatas 38 derajat celcius )
2) Pusing – pusing
d. Kram pada ototKram dapat terjadi karena hilangnya atau
berkurangnya cairan tubuh, dan biasanya akan merasakan kram
pada bagian kaki.
e. Gatal pada kulit – Kandungan potasium yang tinggi dianggap
menjadi penyebab dari gatal-gatal ini. Pasien yang melakukan
metode cuci darah hemodialysis biasanya akan mengalami rasa
gatal pada bagian tubuh mereka.
f. Insomnia – Insomnia atau kesulitan tidur merupakan efek
samping lain yang dapat terjadi sebagai akibat dari metode cuci
dara hemodialysis ini.
g. Sakit pada tulang dan persendian – Sakit pada tulang dan
persendian merupakan salah satu efek samping yang ditimbulkan
karena kekurangan cairan pada tubuh. Hal ini juga akan
menambah tingkat kelelahan dari tubuh pasien.
9. Proses Hemodialisa
Efektifitas hemodialisa dilakukan 2 – 3 kali dalam seminggu
selama 4 – 5 jam atau paling sedikit 10 – 12 jam perminggunya (Black
& Hawk, 2005). Sebelum dilakukan hemodilisa maka perawat harus
melakukan pengkajian pradialisa, dilanjutkan dengan
menghubungankan klien dengan mesin hemodialisa dengan
45
memasang blood line dan jarum ke akses vaskuler klien, yaitu akses
untuk jalan keluar darah ke dialiser dan akses masuk darah ke dalam
tubuh.
Arterio Venous (AV) fistula adalah aksesvaskuler yang
direkomendasikan karena kecendrungan lebih aman dan juga nyaman
bagi pasien. (Brunner & Suddart, 2010). Setelah blood line dan akses
vaskuler terpasang, proses hemodialisa dimulai. Saat dialysis darah
dialirkan keluar tubuh dan disaring didalam dialiser. Darah mulai
mengalir dibantu pompa darah. Cairan normal salin diletakkan
sebelum pompa darah untuk mengantisipasi adanya hipotensi
intradialisis. Infuse heparin diletakkan sebelum atau sesudah pompa
tergantung peralatan yang digunakan (Hudak & Gallo, 1999).
Darah mengalir dari tubuh melalui akses arterial menuju ke dialiser
sehingga terjadi pertukaran darah dan sisa zat. Darah harus dapat
keluar masuk tubuh klien dengan kecepatan 200-400 ml/menit (Price
& Wilson, 2005).
Gambar 2.3
Proses Hemodialisa
46
Proses selanjutnya darah akan meninggalkan dialiser. Darah
meninggalkan dialiser akan melewati detector udara. Darah yang
sudah disaring kemudian dialirkan kembali kedalam tubuh melalui
akses venosa (Hudak & Gallo, 1999). Dialysis diakhiri dengan
menghentikan darah dari klien, membuka selang normal salin dan
membilas selang untuk mengembalikan darah pasien. Pada akhir
dialysis, sisa akhir metabolism dikeluarkan, keseimbangan elektrolit
tercapai dan buffer system telah diperbaharui (Brunner & Suddart,
2010).
10. Komplikasi
Selama proses hemodialisis sering muncul komplikasi yang
berbedabeda untuk setiap pasien. Menurut Brunner dan Suddart
(2010) salah satu komplikasi selama hemodialisis adalah hipertensi. 1)
Intradialytic Hypotension (IDH) : Intradialytic Hypotension adalah
tekanan darah rendah yang terjadi ketika proses hemodialisis sedang
berlangsung. IDH terjadi karena penyakit diabetes millitus,
kardiomiopati, left ventricular hypertrophy (LVH), status gizi kurang
baik, albumin rendah, kandungan Na dialysate rendah, target
penarikan cairan atau target ultrafiltrasi yang terlalu tinggi, berat
badan kering terlalu rendah dan usia diatas 65 tahun, 2) Kram otot;
Kram otot yang terjadi selama hemodialisis terjadi karena target
ultrafiltrasi yang tinggi dan kandungan Na dialysate yang rendah. 3)
Mual dan muntah Komplikasi mual dan muntah jarang berdiri sendiri,
47
sering menyertai hipotensi dan merupakan salah satu presensi
klinikdisequillibrium syndrom.
Bila tidak disertai gambaran klinik lainnya harus dicurigai penyakit
hepar atau gastrointestinal. 4) Sakit kepala; Penyebab tidak jelas, tapi
bisa berhubungan dengan dialisat acetat dan disequillibrium syok
syndrome (DDS). 5) Emboli udara; Emboli udara dalam proses
hemodialisis adalah masuknya udara kedalam pembuluh darah selama
prose hemodialisis. 6) Hipertensi Keadaan hipertensi selama proses
hemodialisis bisa diakibatkan karena kelebihan cairan, aktivasi sistem
renin angiotensin aldosteron, kelebihan natrium dan kalsium, karena
erythropoietin stimulating agents dan pengurangan obat anti
hipertensi.
11. Peralatan Hemodialisa
a. Arterial – Blood Line (AVBL)
AVBL terdiri dari :
1) Arterial Blood Line (ABL)
Adalahtubing/line plastik yang menghubungkan darah dari
tubing akses vaskular tubuh pasien menuju dialiser, disebut
inlet ditandai dengan warna merah.
2) Venouse Blood Line
Adalah tubing/line plastik yang menghubungkan dari dari
dialiser dengan tubing akses vascular menuju tubuh pasien
disebut outlet ditandai dengan warna biru. Priming volume
48
AVBL antara 100-500 ml. Priming volume adalah volume
cairan yang diisikan pertama kali pada AVBL dan
kompartemen dialiser.
3) Dialyzer ataua ginjal buatan (artificial kidney)
Adalah suatu alat dimana prosesdialisis terjadi terdiri dari 2
ruang atau kompartemen, yaitu: kompartemen darah yaitu
ruangan yang berisi darah dan kompartemen dialisat yaitu
ruangan yang berisi dialisat. Kedua kompartemen dipisahkan
oleh membran semipermiabel.
Dialiser mempunyai 4 lubang yaitu dua ujung untuk keluar
masuk darah dan dua samping untuk keluar masuk dialisat.
4) Air Water Treatment
Air dalam tindakan hemodialis dipakai sebagai pencampur
dialisat peka (diasol). Air ini dapat berasal dari berbagai
sumber, seperti air PAM dan air sumur, yang harus dimurnikan
dulu dengan cara “water treatment” sehingga memenuhi standar
AAMI ( Association for the Advancement of Medical
Instrument). Jumlah air yang dibutuhkan untuk satu deddion
hemodialisis seorang pasien adalah sekitar 120 Liter.
5) Larutan Dialisat
Dialisat adalah larutan yang mengandung elektrolit dalam
komposisi tertentu. Dipasaran beredar dua macam dialisat yaitu
dialisat asetat dan dialisat bicarbonate. Dialisat asetat menurut
49
komposisinya ada beberapa macam yaitu : jenis standart, free
potassium, low calsium dan lain-lain. Bentuk bicarbonate ada
yang powder, sehingga sebelum dipakai perlu dilarutkan dalam
air murni atau air water treatment sebanyak 9,5 liter dan ada
yang bentuk cair (siap pakai).
6) Mesin Hemodialisis
Ada bermacam-macam mesin hemodialisis sesuai dengan
mereknya. Tetapi prinsipnya sama yaitu blood pump, system
pengaturan larutan dialisat, system pemantauan mesin terdiri
dari blood circuit dan dillisat circuit dan sebagai monitor
sebagai deteksi adanya kesalahan. Dan komponen tambahan
seperti heparin pump, tombol bicarbonate, control ultrafiltrasi,
program ultrafiltrasi, kateter vena, blood volume monitor.
12. Prosedur Hemodialisis
a. Persiapan pasien meliputi:
1) Surat dari dokter nefrologi untuk tindakan hemodialisis (intruksi
dokter)
2) Identitaspasien dan surat persetujuan tindakan hemodialisis
3) Riwayat penyakit yang pernah diderita (penyakit lain dan alergi)
4) Keadaan umum pasien
5) Keadaan psikososial
6) Keadaan fisik seperti : status cairan bendungan vena jugularis (-
/+), ukur TTV, BB, warna kulit, mata, suara nafas, ekstremitas
50
oedema (-/+), turgor dan vaskuler akses yang bebas dari infeksi
dan perdarahan
7) Data laboratorium : Hb, ureum, kreatinin, HBSAG
b. Persiapan mesin:
1) Listrik
2) Air yang sudah diolah dengan cara:
a) Filtrasi
b) Softening
c) Deionisasi
d) Reverse osmosis
3) Sistem sirkulasi dialisat:
6. Propotioning system
7. Asetat/bikarbonat
4) Sirkulasi Darah:
a) Dialyzer/hollow fiber
b) Priming
c. Persiapan sebelum hemodialisa
1) Setting dan Priming:
a) Mesin dihidupkan
b) Lakukan setting dengan cara:
(1) Keluarkan dializer dan AV blood line (AVBL) dari
bungkusnya, juga selang infuse set dan NaClnya
(perhatikan sterilitasnya)
51
(2) Dengan teknik aseptic hubungkan ujung AVBL pada
dializer
(3) Pasang alat tersebut pada mesin sesuai dengan
tempatnya
(4) Hubungkan NaCl melalui infus set bebas dari udara
dengan mengisinya terbih dahulu
(5) Tempatkan ujung Vena Blood Line (VBL) dalam
penampung, hindarkan kontaminasi dengan penampung
dan jangan terendam dengan air keluar
c) Lakukan priming dengan posisi dialyzer biru diatas (outlet)
dan yang merah (inlet) dibawah caranya:
(1) Alirkan NaCl ke dalam sirkulasi dengan kecepatan
100cc/menit
(2) Udara dikeluarkan dari sirkulasi
(3) Setelah semua sirkuit terisi dan bebas dari udara, pompa
dimatikan klem kedua ujung AVBL hubungkan ujung
Arteri Blood Line (ABL) dengan memakai konektor dan
klem dibuka kembali
(4) Sambungkan cairan dialisat dengan dialyzer dengan
posisi outlet dibawah dan inlet diatas
(5) Lakukan sirkulasi 5-10 menit dengan QB 100cc/menit
(6) Masukkan heparin 1500µ dalam sirkulasi
52
d) Punksi vaskuler akses
(1) Tentukan tempat puksi atau periksa tempat shunt
(2) Alasi dengan perlak kecil dan atur posisi
(3) Bawa alat-alat ke dekat tempat tidur pasien (alat-alat
steril masukan ke dalam bak steril)
(4) Cuci tangan, bak steril dibuka kemudian memakai
sarung tangan
(5) Beritahu pasien bila akan dilakukan punksi
(6) Pasang duk steril, sebelumnya desinfeksi daerah yang
akan di punksi dengan betadine dan alcohol
(7) Ambil fistula dan punksi outlet terlebih dulu bila perlu
lakukan anasthesi lokal, kemudian desinfeksi
(8) Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium
(9) Bolus heparin yang sudah diencerkan dengan NaCl
0,9% (dosis awal)
(10) Selanjutnya punksi inlet dengan cara yang sam
kemudian difinikasi.
d. Memulai hemodialisa
Sebelum dilakukan punksi dan memulai hemodialisa ukur tanda-
tanda vital dari berat badan pre hemodialisis.
Pelaksanaanya:
1) Setelah selesai punksi, sirkulasi dihentikan, pompa dimatikan,
ujung AVBL diklem
53
2) Sambungan AVBL dilepas, kemudian ABL dihubungkan
debfan punksi outlet. Ujung VBL ditempatkan ke Matcan
3) Buka semua klem dan putar pompa perlahan-lahan sampai
±100cc/menit untuk mengalirkan darah, mengawasi apakah ada
penyulit
4) Biarkan darah memasuki sirkulasi sampai pada bubble trap
VBL, kemudian pompa dimatikan dan VBL diklem.
5) Ujung VBL dihapus kemudian dihubungkan dengan punksi
inlet, klem dibuka (pastikan sambungan bebas dari udara)
6) Putar pompa dengan QB 100cc/menit kemudian naikkan
perlahan-lahan anatara 150-200cc/menit.
7) Fiksasi AVBL agar tidak mengganggu pergerakan
8) Hidupkan heparin pump sesui dengan lamanya hemodialisis
9) Buka klem selang monitor AV pressure
10) Hidupkan detector udara
11) Ukur TTV
12) Cek mesin dan sirkulasi dialisat
13) Cek posisi dialyzer (merah diatas, biru dibawah)
14) Observasi kesadaran dan keluhan pasien
15) Programkan hemodialisis
16) Rapikan peralatan
e. Penatalaksanaan selama hemodialisa
1) Memprogram dan memonitor mesin hemodialisa
54
a) Lamanya hemodialisa
b) QB (kecepatan aliran darah) = 100-250cc/menit
c) QD (kecepatan aliran dialisat) 400-600cc/menit
d) Temperature dialisat 37-40 C
e) TMP dan UFR
f) Heparnisasi
(1) Dosis heparin, dosis awal = 50-100 µ/kgBB diberikan
pada waktu punksi dan untuk priming = 155 µ.
Diberikan pada waktu sirkulasi AVBL.
(2) Dosis maintenance (pemeliharaan) = 500-2000 µ/jam,
diberikan pada waktu hemodialisis berlangsung. Cara
pemberian dosis maintenance:
(a) Kontinue: diberikan secara terus menerus dengan
bantuan pompa dari awal hemodialisis sampai
dengan 1 jam sebelum hemodialisis berakhir.
(b) Intermiten: diberikan 1 jam setelah hemodialisis
berlangsung dan pemberian selanjutnya dimasukkan
tiap selang 1 jam. Untuk 1 jam terakhir tidak
diberikan.
(c) Minimal heparin: heparin dosis awal kurang lebih
2000µ, selanjutnya diberikan kalau perlu.
g) Pemeriksaan (Laboratorium, EKG,dll)
h) Pemberian obat-obatan, transfusi, dll
55
i) Monitor tekanan (Fistula pressure, Arterial pressure,
Venous pressure Dialisat pressure)
j) Detektor (udara, blood leak detector)
k) Observasi pasien (TTV, fisik, pendarahan, keluhan, posisi
dan aktivitas dan komlikasi hemodialisa)
f. Tahap akhir hemodialisa
1) Persiapan alat : (Tensimeter, kasa, betadine, alkohol, band aid,
Verband gulung, plester, ember tempat pembuangan alat
penekanan)
2) Lima menit sebelum hemodialisa berakhir QB diturunkan, TMP
dinolkan.
3) Ukur tekana darah dan nadi
4) QB dinolkan, ujung arteri line dan fistula punctle diklem
kemudian sambung lepas
5) Fistula dihubungkan dengan spuit, darah didorong masuk
memakai udara.
6) Ujung arteri line dihubungkan dengan NaCl 0,9%, klem dibuka
dan QB diputar 100cc/menit untuk mendorong darah dalam
blood line masuk ke tubuh
7) Pompa dimatikan, ujung venous line dan fistula diklem,
sambungan dilepas
8) Pasien diukur tekanan darahnya dan diobservasi
56
9) Jika hasil bagus, jarum punksi dicabut, bekas punksi ditekan
dengan kasa betadine ±10 menit
10) Jika darah sudah tidak keluar, tutup dengan band aid
11) Pasang balutan dengan verband, gulung sebagai penekan jangan
terlalu kencang
12) Timbang berat badan
13) Rapikan tempat tidur dan alat-alat
14) Perawat cuci tangan
15) Mesin dibersihkan dan didesinfektan
16) Bersihkan ruangan hemodialisa
E. Konsep Nyeri
a. Pengertian Nyeri
Nyeri (Pain) adalah kondisi perasaan yang tidak menyenangkan
sifatnya sangat subjektif karna perasaan nyeri berbeda pada setiap
orang baik dalam hal skala ataupun tingkatannya dan hanya orang
tersebutlah yang dapat menjelaskan dan mengefakuasi rasa nyeri yag
dialaminya (Hidayat, 2008).
International Association For Study Of Pain (IASP),
mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pngalaman
emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan yang bersifat akut yang dirasaka dalam kejadian-
kejadian dimana terjadi kerusakan (Potter & Perry, 2009).
57
Nyeri adalah pengalaman sensori yang tidak menyenangkan yang
berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial yang tidak
menyenangkan yang terlokalisasi pada suatu bagian tubuh ataupun
sering disebut dengan istilah distruktif dimana jaringan rasanya seperti
di tusuk-tusuk, panas terbakar, melilit, seperti emosi, perasaan takut
dan mual (Jhuda, 2012).
b. Klasifikasi Nyeri
1) Klasifikasi nyeri berdasarkan durasi
a) Nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut,
penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki proses yang cepat
dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat), dan
berlangsung untuk waktu yang singkat (Andarmoyo, 2013).
Nyeri akut berdurasi singkat (kurang lebih 6 bulan) dan akan
menghilang tanpa pengobatan setelah area yang rusak pulih
kembali (Prasetyo, 2010).
b) Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan yang intermiten yang
menetap sepanjang suatu periode waktu, nyeri ini berlangsung
lama dengan intensitas yang bervariasi dan biasanya
berlangsung lebih dari 6 bulan (Potter & Perry, 2005).
c. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Asal
1) Nyeri Nosiseptif
58
Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan oleh aktivitas
atau sensivitas nosiseptor perifer yang merupakan reseptor khusus
yang menghantarkan stimulus naxious. Nyeri nosiseptor ini dapat
terjadi karna adanya stimulus yang mengenai kulit, tulang, sendi,
otot, jaringan ikat, dn lain-lain (Andarmoyo, 2013).
2) Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik merupakan hasil suatu cedera atau abnormalitas
yang di dapat pada struktur safar perifer maupun sentral, nyeri ini
leih sulit diobati (Andarmoyo, 2013).
d. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi
1) Supervicial atau kutaneus
Nyeri supervicial adalah nyeri yang disebabkan stimulus kulit.
Karakteristik dari nyeri berlangsung sebentar dan berlokalisasi.
Nyeri biasanya terasa sebagian sensasi yang tajam (Sulistyo,
2013). Contohnya termasuk jarum suntik dan luka potong kecil
atau laserasi.
2) Viseral Dalam
Nyeri viseral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulus organ-
organ internal (Sulistyo, 2013). Nyeri ini bersifat difusi dan
dapat menyebar kebebrapa arah. Nyeri ini menimbulkan rasa
tidak menyenangkan dan berkaitan dengan mual dan gejala-
gejala otonom. Contohnya sesasi pukul (chrushing) seperti
59
angina pectoris dan sensasi terbakar seperti pada ulkus
lambung.
3) Nyeri Alih (Referred pain)
Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral
karna banyak organ yang tidak memiliki reseptor nyeri.
Karakteristik nyeri dapat terasa dibagian tubuh yang terpisah
dari sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai karkteristik
(Sulistyo, 3013). Contonya nyeri yang terjadi pada infark
miokard, yang menyebabkan nyeri alih ke rahang, leher kiri,
batu empedu yang mengalihkan nyeri ke selangkangan.
4) Radiasi
Nyeri radiasi merupakan sensasi nyeri yang meletus dari
tempat awal cedera kebagian tubuh yang lain (Sulistyo, 2013).
Karakteristik nyeri terasa seakan menyebarv kebagian tubuh
bawah atau sepanjang bagian tubuh. Contoh nyeri punggung
bagian bawah akibat diskusi interavetebral yang ruptur disertai
nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai dari iritasi saraf
skiatik.
e. Pengukuran Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adlah gambaran tentang seberapa parh nyeri
dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri bersifat sangat
subjektif dan nyeri dalam intensitas yang sama dirasaka berbeda oleh
dua orang yang berbeda (Andarmoyo, 2013).
60
Pengukuran nyeri dengan pendekatan yang paling mungkin adalah
menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri,
namun pengukuran dengan pendekatan objektif juga tidak dpat
memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Andarmoyo,
2013).
Beberapa skala intensitas nyeri :
1) Skala Intensitas Nyeri Deskriftif Sederhana
(Andarmoyo, S. 2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri,
Jogjakarta: Ar-Ruzz)
Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor scale, VDS)
merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
objektif. Pendeskripsian VSD diranking dari “tidak nyeri” sampai
“nyeri yang tidak tertahankan” (Andarmoyo, 2013). Perawat
menunjukan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilh
intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Alat ini memungkinkan
klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri.
(Andarmoyo, 2013).
61
2) skala Intensitas Nyeri Numerik
(Andarmoyo,( 2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri, Jogjakarta:
Ar-Ruzz.)
Skala penelitian numerik (Numerical rating scale, NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsia kata. Dalam hal ini, klien
menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif
digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi
(Andarmoyo, 2013).
3) Skala Intensitas Nyeri Visual Analog Scale:
(Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Poses Keperawatan Nyeri, jogjakarta:
Ar-Ruzz.)
Skala analog visual (Visual Analog Scale) merupakan suatu garis lurus,
yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan memiliki alat
pendeskripsian verbal pada seiap ujungnya
62
4) Skala Intensitas Nyeri dari FLACC
Skala FLACC merupakan alat pengkajian nyeri yang dapat
digunakan pada pasien yang secara non verbal yang tidak dapat
melaporkan nyerinya (Judha, 2012).
Tabel 2.5Skala Intensitas Nyeri dari FLACC
Kategori Skor
0 1 2
Muka
Tidakk ada
ekspresi atau
senyuman
tertentu, tidak
mencari perhatian
Wajah cemberut,
dahi mengkerut,
menyendiri.
Sering dahi tidak
konstan, rahang
menegang, dagu
gemetar.
Kaki Tidak ada posisi
atau rileks
Gelisah, resah
dan menegang
Menendang
Aktivitas
Berbaring, posisi
normal, mudah
bergerak
Menggeliat,
menaikkan
punggung dan
maju, menegang.
Menekuk, kaku
atau menghentak.
Menangis Tidak menangis
Merintih atau
merengek,
kadang-kadang
mengeluh
Menangis keras,
sedu sedang,
sering mengeluh.
Hiburan Rileks
Kadang-kadang
hati tentram
dengan sentuhan,
memeluk,
berbicara untuk
mengalihkan
perhatian
Kesulitan untuk
menghibur atau
kenyamanan
Intensitas nyeri dibedakan menjadi lima dengan menggunakan skala
numerik yaitu:
1. 0 : Tidak Nyeri
2. 1-2 : Nyeri Ringan
3. 3-5 : Nyeri Sedang
4. 6-7 : Nyeri Berat
5. 8-10 : Nyeri Yang Tidak Tertahankan (Judha, 2012)
63
F. Konsep Cimino dan AV Fistula
1. Definisi
Adalah suatu prosedur pembedahan dengan membentuk suatu
pintasan antara arteri dan vena didaerah tertentu yang berguna untuk
akses hemodialisa.
Pada penderita gagal ginjal Stage 5 yang memerlukan cuci darah/
hemodialisa terus menerus dibutuhkan akses yang berguna untuk jangka
lama.Penusukan langsung pada pembuluh darah dilipat paha beresiko
baik berupa perdarahan maupun terbentuknya pseudo aneurisma yang
beresiko sewaktu waktu pecah. Pada pembuluh darah yang dilakukan
shunt , maka vena nya akan melebar bisa 3 sampai 4 kali lipat dan
volume darah yang mengalirinya semakin besar. KDOQI guideline
mebuat pedoman untuk menyatakan suatu cimino dapat digunakan yaitu
rule of six.
a. Waktu untuk maturasi adalah sekitar 6 minggu
b. Aliran darah di draining vein mencapai 600 ml/menit
c. Ukurannya lebih dari 6 mm
d. Jarak dari permukaan kulit kurang dari 6 mm
Cimino adalah suatu terminologi yang digunakan untuk menyebut
AV fistula yang dibuat di pergelangan tangan yaitu fistula antara Arteri
radialis dan vena Sefalika. Cimino merujuk kepada nama orang yang
pertama kali memperkenalkannya. Jika dibuat ditempat lain selain
pergelangan tangan maka terminologi yang lazim adalah AV fistula.
64
Menurut KDOQI guideline, akses untuk hemodialisa bagi
penderita gagal ginjal mulai disiapkan pada saat penderita berada pada
stage IV sehingga jika penderita jatuh pada stage 5 maka akses
hemodialisa Cimino penderita sudah siap untuk digunakan.
Di Indonesia kondisi yang terjadi berbeda.Penderita biasanya
datang berobat sudah dalam keadaan stage 5 sehingga penderita
memerlukan hemodialisa segera. Pada saat datang penderita langsung
dirawat dan mendapat infus serta penusukan pembuluh darah vena
berulang kali untuk mengambil sampel darah. Pada saat dikonsulkan
kepada spesialis bedah vaskular kualitas vena penderita yang mau
dibuatkan aksesnya sangat jelek sehingga penderita sering kali
mengalami kegagalan sesudah dibuat cimino/AV fistula. Selain hal itu
problem di Indonesia adalah jarang penderita saat jatuh ke stage 5 sudah
mempunyai akses hemodialisa sehingga pada penderita di pasang kateter
vena sentral yang berguna sebagai akses temporer untuk hemodialisa.
2. Syarat Syarat
Untuk memperoleh pembuluh darah yang baik dan untuk
meningkatkan keberhasilan dilakukan pemeriksaan dengan
ultrasonografi sebelum dilakukan tindakan. Pemeriksaan ini biasanya
dilakukan oleh operator yang akan membuat cimino, tujuannya supaya
operator tahu dimana cimino akan dibuat.
a. Pembuluh Darah Vena
1) Ukuran vena yang dibuat minimal 2 mm
65
2) Vena sebaiknya lurus
3) Kondisi vena dalam keadaan baik, tidak ada trombus dan stenosis
b.Pembuluh Darah arteri
1) Ukuran minimal arteri 2 mm
2) Flow pada arteri baik
Jika dilakukan pada pergelangan tangan harus dipastikan bahwa
arteri ulnaris penderita bagus
3) Tempat Tempat pembuatan Cimino/AV Fistula
(a) Cimino
Cimino dibuat didaerah pergelangan tangan dengan
menghubungkan arteri radialis dengan vena sefalika
(b) AV Fistula
AV Fistula dibuat didaerah selain pergelangan tangan ,
biasanya didaerah siku yaitu antara Arteri Brachialis dan Vena
Sefalika.
3. Kondisi Kondisi Khusus
Pada penderita yang pembuluh darah vena nya sudah tidak baik
sehingga tidak bisa dipergunakan untuk draining vein maka pembuluh
darah vena diganti dengan graft yaitu pembuluh darah buatan. Pada
kondisi ini biasanya pembuluh darah buatan tidak perlu menunggu
matang sampai 6 minggu dan jika dilakukan kanulasi ke hemodialiser
biasanya volume flow nya sangat bagus. Tetapi jangka lama graft ini
tidak bagus karena umurnya biasanya pendek akibat terjadinya proses
66
pembentukan trombus intra lumen. KDOQI Guide line tidak
menganjurkan penggunaan pembuluh darah buatan jika masih ada
pembuluh darah asli penderita.
Pada kondisi tertentu dimana vena sefalika penderita tidak bisa
digunakan, dapat digunakan vena basilika dengan prosedur
khusus.Prosedur ini disebut transposisi vena basilika.Pada prosedur ini
setelah Fistula matang, maka dilakukan tindakan pemindahan vena
basilika ke permukaan tubuh karena vena basilika biasanya sebagian
terletak dibawah fasia. Prosedur ini lebih rumit dan sering dilakukan
dua tahap
4. Komplikasi
Komplikasi pasca operasi yang sering adalah
a. Infeksi
b. Trombosis pada draining vein
c. Pseudoaneurisma
d. Steal Syndrome
Cara Mengatasi Komplikasi
Untuk mengurangi terjadinya komplikasi dan meningkatkan
keberhasilan primer maka diperlukan langkah langkah sebagai berikut
a. Melakukan Mapping sebelum operasi dengan menggunakan alat ultra
sono grafi. Dengan alat ini kita bisa menilai kondisi pembuluh darah
sebelum operasi, sehingga operator bisa memastikan tempat akan dibuat
fistula.
67
b. Menjaga tangan yang dibuat sebelum operasi dengan memasang
peringatan ditempel plester pada tangan yang akan dibuat cimino agar
petugas dan paramedis tidak menggunakan tangan yang drencanakan
untuk tempat pemasangan infus maupun untuk pengambilan contoh
darah.
c. Menjaga tangan yang sudah dibuat akses hemodialisa cimino dengan
menjaga tangan tersebut agar tidak dipasang manset baik untuk
mengukur tekanan darah maupun untuk pengambilan contoh darah
d. Tidak menggunakan tangan yang sudah dibuat ciminonya untuk
menggendong, mengangkat beban berat, memasang jam tangan,
memakai pakaian ketat.
G. Inovasi Pemijitan Titik Large Intestinum 4 Terhadap Penurunan
Nyeri Pada Penusukan Vistula
1. Definisi
Pijat, pijit atau urut adalah metode penyembuhan atau terapi
kesehatan tradisional, dengan cara memberikan tekanan kepada tubuh
baik secara terstruktur, tidak terstruktur menetap atau berpindah tempat
dengan memberikan tekanan, gerakan atau getaran baik dilakukansecara
manual ataupun menggunakan alat mekanis. Pijat biasanya
menggunakan tangan, jemari, siku, lengan, kaki, atau alat pemijat. Pijat
dapat memberikan relaksasi, rasa nyaman dan kebugaran. Pada
beberapa kasus, pijat dapat digolongkan sebagai tindakan medis terapi
68
penyembuhan,misalnya pada kasus kram otot, terkilir atau keseleo. Pijat
dapat berupa kegiatan terapi kesehatan, bersifat rekreasional.
Pijat dapat dilakukan tanpa atau dengan minyak pelumas, misalnya
membaluri dengan minyak pijat aroma terapi, losion pelembab kulit,
minyak kayu putih, atau balsem hangat. Pijat secara spesifik
berkembang di beberapa kebudayaan didunia, dan adalah penyembuhan
secaratradisional yang kini diterima di dunia barat. Dalam bahasa
inggris, pijat dikenal sebagai massage.
Kata massage berasal dari bahasa Arab yaitu “mash” yang bisa
diartikan “menekan dengan lembut”, dalam bahasa Yunani disebut
“massien” yang berarti “memjat atau melutut”. Massage disebut pula
sebagai ilmu pijjat atau ilmu lutut, para pelakunya biasa disebut sebagai
masseur untuk pria dan massaeuse untuk wanita. Massage dapat
diberikan kepada semua orang tanpa memandang jenis kelamin dan
usia, baik laki-laki maupun perempuan, orang tua, dewasa maupun
anak-anak. Bahkan hewan peliharaan yang kita cintai.
Massage adalah gerakan tangan yang bertujuan untuk mendapatkan
kesenangan dan memelihara kesehatan jasmani. Gerakan tangan secara
mekanis ini akan menimbulkan rasa tenang dan nyaman penerimanya.
HE GUmempunyai arti sebagaimana penjelasan berikut,
Heyaitu persimpangan jalan; Gu, lembah. Ada yang mengartikan
dengan “Tengah Lembah”. Titik ini terletak di antara tulang metakarpal
pertama dan kedua, pada lubang seperti sebuah lembah.
69
Gambar 2.4 Titik Large Intestinum4
Hegu adalah titik yang sangat umum digunakan, karena
memiliki banyak manfaat dan merupakan salah satu titik yang
masuk dalam 12 titik Heavelny star karena memiliki banyak
manfaat. Titik hegu ini berguna untuk setiap kondisi yang
berhubungan dengan wajah dan kepala. Ini juga berguna untuk
kondisi angin-Panas (flu). Hegu (LI-4) dikenal sebagai titik nyeri
di tubuh. Di mana saja ada rasa sakit, gunakan LI-4. Hegu
mempunyai sifat: mengeluarkan panas luar, mengusir angin,
membersihkan Qi paru-paru, melancarkan Qi Usus Besar dan
Lambung. Sebaiknya titik Hegu untuk tusuk jarum tidak digunakan
kepada wanita yang sedang hamil jika dalam metode BU
(tonifikasi) sedangkan dalam metode Shi (sedasi) Boleh dan di
perkenankan.
Teknik penggunaan secara praktis pada titik Hegu bisa
dilakukan dengan mencubit dengan kuku, memijat, mencubit,
menggosok. Kalau menggunakan jarum akupunktur bisa
70
ditusukkan tegak lurus sedalam 0,5 – 0.8 cun. Cun adalah sekitar
33 mm jadi sekitar 1,6 cm lebih.
2. Manfaat Titik Hegu
a) LI-4 juga berpengaruh kuat dan langsung pada wajah, sehingga
dalam hal serbuan faktor penyebab penyakit luar, ia digunakan
untuk menghilangkan sumbatan hidung, bersin, mata terasa
terbakar dan sebagainya.
b) LI-4 mengatur pengeluaran keringat dan qi pertahanan yang
terdapat diantara kulit dan otot, sehingga ia dapat digunakan
untuk menghentikan sekaligus meningkatkan pengeluaran
keringat karena serbuan faktor penyebab penyakit
luar angin. Untuk meningkatkan pengeluaran keringat, LI-4
ditonifikasi dan KI-7 Fuliudikeringkan (sedasi). Sedangkan
untuk menghentikan pengeluarankeringat dilakukan hal yang
sebaliknya, LI-4disedasi dan KI-7ditonifikasi.
c) LI-4 juga menstimulasi penyebaran qi Paru-paru, yang
menjelaskan aksi (peranan) kuatnya dalam mengeluarkan faktor
penyebab penyakit luar dan angin, sehingga ia digunakan untuk
gejala-gejala (simptom) dan tanda-tanda seperti hidung
tersumbat, bersin, batuk, leher kaku, tidak suka (benci) dingin
dan nadi mengambang (yaitu tahap awal dari common cold,
influenza, atau penyakit-penyakit karena faktor penyebab
penyakit luar lainnya). Karena titik ini menstimulasi
71
penyebaran qi Paru-paru, membuatnya bermanfaat untuk
menghilangkan gejala-gejala allergic rhinitis.
d) LI-4 memiliki aksi (peranan) sebagai penenang
dan antispasmodic yang sangat kuat, sehingga digunakan dalam
banyak kondisi yang menyakitkan, baik pada meridian dan
jugaorgan, khususnya pada Lambung, Usus dan Uterus.
e) LI-4 secara luas digunakan sebagai titik distal pada sindrom
gangguan nyeri pada tangan atau bahu, karena ia
menghilangkan gangguan dari meridian. Karena Hegu memiliki
pengaruh langsung yang kuat pada wajah dan mata, telinga,
hidung dan mulut, ia seringkali digunakan sebagai titik
distal ketika mengobati masalah-masalah pada wajah, termasuk
mulut, hidung, telinga dan mata, misalnya allergic rhinitis,
conjunctivitis, mouth ulcers (borok mulut), styes,
sinusitis, mimisan, sakit gigi, trigeminal neuralgia, facial
paralysis, sakit kepala bagian frontal.
f) LI-4 adalah sebuah titik distal yang penting untuk masalah-
masalah wajah seperti penyimpangan mata dan mulut yang
mengikuti serangan angin, peripheral facial
paralysisdan trigeminal neuralgia.
g) LI-4 terkadang dikombinasikan dengan LR-3 Taichong
(kombinasi ini disebut the „Four Gates‟), untuk mengeluarkan
72
Angin dalam ataupun luar dari kepala, menghentikan nyeri dan
menenangkan pikiran.
h) LI-4 memiliki pengaruh yang kuat pada pikiran dan dapat
digunakan untuk menenangkan pikiran dan menghilangkan
kecemasan, terutama jika dikombinasikan dengan LR-3
Taichong dan dengan Du-24 Shenting dan GB-13 Benshen.
Meskipun jarang digunakan dalam cara ini LI-4 lebih banyak
digunakan sebagai titik tonifikasi daripada kegunaan umumnya
sebagai titik sedasi. Dikombinasikan dengan titik-titik yang
lain, ia dapat menguatkan Qi dan mengkonsolidasikan Faktor
Patogen Luar (yaitu memperkuat Qi Pertahanan). Supaya dapat
melakukan hal ini, LI-4 dikombinasikan dengan ST-36 Zusanli
dan Ren-6 Qihai. Pengobatan ini dapat digunakan
untuk allergic rhinitis yang kronis karena defisiensi Qi Paru-
paru dan kelemahan lapisan energi luar (yaitu Qi Pertahanan),
yang membuat seseorang mudah mendapat serangan Angin
yang kronis. Pengobatan ini hanya cocok dilakukan diantara
serangan untuk memperkuat Qi dan Faktor Patogen Luar agar
memperkuat Qi Pertahanan untuk memukul mundur Angin
i) LI-4 dapat menyeimbangkan menaiknya Yang dan menurunnya
Yin. Artinya LI-4 dapat digunakan untuk melemahkan
penentangan Qi menaik (seperti menaiknya Qi Lambung, Qi
Paru-paru, Qi Hati) atau untuk mengangkat Qi ketika Qi
73
tenggelam (seperti tenggelamnya Qi Limpa). Jadi, pada kasus
yang dahulu, ia dapat digunakan untuk melemahkan Qi
Lambung dalam nyeri epigastrik, terangkat/naiknya Yang Hati
dalam migrain(khususnya dikombinasikan dengan LR-3
Taichong) atau Qi Paru-paru dalam asma. Pada kasus yang
belakangan, ia digunakan untuk mengangkat Qi Limpa,
khususnya dikombinasikan dengan Ren-6 Qihai.
Bagaimanapun, penggunaan terakhir ini tidak umum. Akhirnya
LI-4 merupakan titik empiris untuk meningkatkan kelahiran
selama proses persalinan, karena itu Li-4 konraindikasi pada
kehamilan.
salah satu fungsi dari titik LI 4 adalah meredakan nyeri pada
penusukan arteriovenous. Pemijatan pada titik LI-4 menyebabkan
perangsangan pada inhibitor neuron untuk mencegah projetion
neuron mengirim sinyal dan merangsang nyeri ke otak, sehingga
gerbang tertutup dan persepsi nyeri akan berkurang (Mirtajadini,
Kalroozi, & Pishgooie, 2016). Pemijatan pada titik LI-4 bersifat
lokal sehingga tidak akan menimbulkan efek samping pada sistem
tubuh lain.
74
BAB III LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA .................................... 87
A. Pengkajian Kasus ........................................................................ 87
B. Analisa Data ................................................................................ 100
D. Diagnosa Keperawatan................................................................ 103
E. Rencana Keperawatan ................................................................. 103
F. Intervensi Inovasi ........................................................................ 106
G. Implementasi .............................................................................. 108
H. Evaluasi Intervensi .................................................................... 114
BAB IV ANALISA SITUASI ......................................................................... 120
A. Profil Lahan Praktik ................................................................... 120
B. Analisa Masalah Keperawatan .................................................... 121
C. Analisis intervensi inovasi .......................................................... 130
D. Alternatif Pemecahan masalah ................................................... 131
SILAHKAN KUNJUNGI PERPUSTAKAAN MUHAMMADIYAH
KALIMANTAN TIMUR
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil intervensi dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa
1. Gambaran umum Kondisi Ny. L dengan diagnosa CKD stadium V on
HD dan telah menjalani hemodialisa selama 2 tahun. Klien awal
mulanya memiliki keluhan lemas gatal, dan batuk. Ketika klien merasa
sangat lemah langsung dibawah oleh keluarganya ke RSUD AWS.
Klien pernah dirawat diruangan bebebrapa minggu dan dinyatakan
menderita gagal ginjal. Sebelumnya klien belum pernah di rawat. klien
awalnya tidak ingin cuci darah tetapi karna keluhannya yang sama
muncul berulang lagi klien bersedia untuk menjalani cuci darah dan
disertai dengan dukungan keluarga. Klien mengatakan sebelumnya
pernah oprasi pemasangan selang double dan oprasi cimino. Klien
disarankan oleh dokter untuk menjalani cuci darah sebanyak 2 kali
seminggu untuk membuang racun dalam tubuh dan disarankan
menjaga diit.
2. Diagnosa masalah keperawatan yang dapatditegakan sebagai berikut
a. Kelebihan volume cairan b/d kegagalan mekanisme regulasi
b. Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer b/d hipertensi
c. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d
kurang asupan makanan
d. Insomnia b/d ketidaknyamanan fisik
76
e. Nyeri akut b/d agen cedera fisik
3. Salah satu intervensi yang dilakukan untuk menurunkan nyeri kanulasi
adalah dengan melakukan terapi pijat LI-4. Intervensi inovasi yang
diberikan adalah dengan melakukan terapi pemijatan pada titik large
intestinum selama 10 menit dengan cara memijat bagian titik large
intestinum searah jarum jam. Hasilnya dinilai menggunakan skala
Intensitas Nyeri Numerik. Didapatkan nilai sebelum dilakukan
intervensi skala nyeri mencapai 6-7 (pre intervensi 29/12/2018) setelah
dilakukan intervensi skala masih 6-7 (post intervensi 29/12/2018)
dengan skala nyeri yg tidak ada perubahan pada pre dan post, skala
nyeri 5-6 (pre intervensi 2/1/2019) setelah dilakukan intervensi sekala
nyeri 4-5 (post intervensi 2/1/2019), skala nyeri 4-5 (pra intervensi
5/1/2019) setelah dilakukan intervensis skala nyeri menjadi 4.
Sehingga dapat disimpulkan dengan pemberian terapi pemijatan pada
titik large intestinum dapat menurunkan nyeri saat kanulasi pada
pasien CKD stadium V on HD
B. Saran
1. Institusi Akademis
Institusi akademis diharapkan memberikan refrensi mengenai
penerapan pemijatan titik large intestinum terhadap penurunan nyeri
kanulasi av-vistula pada kasus pasien Cronic Kidney Disease sehingga
mahasiswa mampu meningkatkan cara berpikir kritis dalam
menerapkan intervensi mandiri keperawatan sesuai dengan jurnal
penelitian terbaru.
77
2. Institusi Rumah Sakit
Diharapkan selalu mendukung pembaruan keilmuan khususnya
keperawatan agar dapat meningkatkan kualitas dan nilai lebih pada
pelayanan khusus di ruang hemodialisa
3. Profesi Perawat
Diharapkan perawat lebih banyak memberikan pelayanan secara
maksimal sehingga mampu meningkatkan kualitas hidup klien untuk
menurunkan intensitas nyeri dan memberikan pendidikan kesehatan
serta motivasi sehingga dapat berdampak positif terhadap kesehatan
pasien dan keluarga
4. Penelitian selanjutnya
Diharapkan lebih bervariasi dalam menerapkan tindakan
komplementer yang unik dan sangat bermanfaat bagi pasien yang
menjalani hemodialisa rutin. Serta peneliti selanjutnya selalu
memperbaharui keilmuan keperawatan yang lebih baik dari
sebelumnya terutama pada tindakan komplementer yang berhubungan
dengan terapi pemijatan pada titik LI-4 kepada pasien yang dik
1
78
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth. (2010). Text Book Of Medical Surgical Nursing
12th Edition. China : LWW.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar
2013. Jakarta: Kemenkes RI; 2013.
.
Herman, Imelda, Skripsi: Hubungan Lama Hemodialisa dengan Fungsi
Kognitif Pasien Penyakit Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa di
RSUD Moeloek Bandar Lampung, Bandar Lampung Lampung, Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung, 2016
Fitria, Nita (2010). Prinsip Dasar dan Aplikasi penulisan Laporan
Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakaeta: Salemba
Medika
Jha, V., Garcia, G. G, & Iseki, K. (2013). Chronic kidney disease: Global
dimension andperspectives. Lancet, 20(382), 260-272.
Kaza, B. N. K., Sabi, K. A., Amekoudi, E. Y. M., Imangue, G.,Ramdani,
B. (2014). Pain during arteriovenous fistula (AVF) cannulation.American Journal
of InternalMedicine, 2(5), 87-89.
Kementrian Kesehatan RI. (2013). Riset kesehatan dasar.Jakarta:
Balitbang Kemenkes RI
Kidney Disease Improving Global Outcome. Official Journal Of The
International Society Of Nephrology KDIGO Clinical Practice Guideline
forAnemia in Chronic Kidney Disease. kidney Int Suppl. 2012;2(4):279–335.
Mirtajadini, H., Kalroozi, F., Pishgooie, A.H. (2016). Shiatsu massage and
the pain intensity of venipuncture in patients undergoing
hemodialysis. Military Caring Science, 3(1), 27-33.
National Kidney Foundation. (2016). Global facts:About kidney disease.
Retrieved from
Nursalam & Efendi, F (2008). Pendidikan Dalam Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika.
79
Open Journal of Nursing, 6, 1028 – 1037.Fareed, M. E., El-Hay, A. H. A.,
& El-Shikh, A. A. (2014). Cutaneous stimulation: Its effect on pain relieving
among hemodialysis patients. Journal of Education and Practice, 5(1), 1-12.
O‟callaghan, Chris. (2009). At A Glance Sistem Ginjal Edisi Kedua.
Jakarta: Penerbit Erlangga
Pain during arteriovenous fistula cannulation in chronic renal patients on
hemodialysis.
PERNEFRI. (2012). Fifth Report Of Indonesian Renal Registry 2012.
Pergolotti, A., Rich, E., & Lock, K. (2011). The effect of the button hole
method Vs the traditional method of AV-fistula cannulation on hemostasis, neddle
stick pain, pre-needle stick anxiety and presence of aneurysms in ambulatory
patients on hemodialysis. Nephrology Nursing Journal, 38(4), 333 –336.
Potter & Perry.(2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep,
Proses dan Praktik.Jakarta: EGC.
Rahman, M. T.S.A., Kauinang, T.M.D., & Elim, C. (2016).Hubungan
antara lama menjalani hemodialisis dengan kualitas hidup pasien yang menjalani
hemodialisis di Unit Hemodialisis RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.
Silva, G. D. S. T., Silva, R. A. D., Nicolino, A. M., Pavanetti, L. C., … ,
Araujo, I. D. M. Initial with the buttonhole technique in a Brazilian hemodialysis
center. JournalBrazilian Nephrology, 32(3), 256-260.
Soltanpuor, F., Nasiriziba, F., Mohammadi, N., & Haghani, H.
(2011).Effect of hoku point ice massage on pain degree during arterio-venous
fistula puncture in hemodialysis patients.
Syaifuddin. 2009. Fisiologi Tubuh Manusia Edisi 2. Jakarta: Salemba
Medika.
Tehran Medical Science, 4(2), 25-34. Sukandar, Enday. (2013). Nefrologi
Klinik. Pusat Informasi Ilmiah: Bandung.
Tortora GJ, Derrickson B. 2011. Principles of Anatomy and Physiology
Maintanance and Continuity of the Human Body 13th Edition. Amerika Serikat:
John Wiley & Sons, Inc.
80
World Health Organization, Regional Office for South-East Asia. Global
Youth Tobacco Survey (GYTS): Indonesia report, 2014. New Delhi: WHO-
SEARO. 2015.
https://www.kidney.org/kidneydisease/globalfacts- about-kidney-disease
Recommended