View
232
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
ANALISIS SEMIOTIKA KETIDAKADILAN GENDER DALAM
FILM DANGAL KARYA AMIR KHAN PRODUCTION
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk
Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Yulia Nur Shofiani
NIM: 11130510000129
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439H/2017M
9
i
ABSTRAK
Yulia Nur Shofiani (1113051000129)
Analisis Semiotika Ketidakadilan Gender Dalam Film Dangal Karya Amir
Khan Production
Sebagai media yang menampilkan realitas kehidupan yang nyata, film
mencoba meyakinkan penonton dengan persoalan yang ada di masyarakat. Salah
satu persoalan yang menjadi pedebatan berbagai kalangan adalah ketimpangan
gender. Film Dangal yang rilis pada 23 Desember 2016 ini menggambarkan
ketimpangan gender yang diterima oleh Mahavir dan kedua anak perempuannya
karena bergulat. Film Bollywood ini berbeda dengan film Bollywood lainnya,
pasalnya film-film Bollywood lain yang diketahui masyarakat mengedepankan
cerita cinta, nyanyian dan tarian, sedangkan film Dangal menampilkan cerita yang
menarik, dan penuh dengan makna didalamnya.
Berdasarkan latar belakang di atas, pertanyaan dalam penelitian ini adalah
bagaimana makna denotasi ketidakadilan gender yang terkandung dalam film
Dangal? Bagaimana makna konotasi ketidakadilan gender yang terkandung dalam
film Dangal? Bagaimana makna mitos ketidakadilan gender yang terkandung dalam
film Dangal?
Penelitian ini menggunakan paradigma kontruktivisme dimana bahasa tidak
lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas. Pendekatan penelitian
yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan sifat
penelitian deskriptif. Sedangkan metode yang digunakan adalah analisis semiotika
Roland Barthes. Teknik pengumpulan data dengan melakukan observasi yaitu
berupa pengamatan dan pencatatan dengan cara menonton dan mengamati dialog
kemudian mencatat dan menganalisanya. Penulis juga melakukan teknik
dokumentasi sebagai pelengkap yang didapat dari buku-buku mengenai
ketidakadilan gender dan juga dari internet. Selain itu peneliti menelaah dari video,
grafik, arsip, teks atau gambar dari film Dangal.
Penelitian ini menggunakan teori ketidakadilan gender Mansour Fakih dan
konsep semiotika Roland Barthes. Menurut Mansour Fakih ketidakadilan gender
ada 5 yaitu marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan dan beban kerja. Bartes
menjelaskan signifikasi tahap pertama hubungan penanda dan petanda yang disebut
dengan denotasi, kemudian konotasi adalah istilah untuk menunjukkan signifikasi
tahap kedua, pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda
bekerja melaluli mitos.
Hasil penulisan mengacu kepada ketidakadilan gender yang disampaikan
melalui tokoh-tokoh pemeran dalam sebuah dialog, perilaku, karakter dan kejadian
dalam film Dangal. Penulis menemukan bahwa film ini menggambarkan
ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan.
Marginalisasi digambarkan dalam hal keyakinan pada tafsir agama dan birokrasi
pemerintahan. Subordinasi, dalam hal kedudukan laki-laki lebih tinggi untuk
meneruskan cita-cita dibandingkan perempuan, kepentingan anggaran dana untuk
atlet laki-laki dibandingkan atlet perempuan. Stereotipe, dalam hal perempuan
makhluk yang lemah, perempuan hanya pantas mengerjakan pekerjaan rumah
tangga, penampilan perempuan. Kekerasan, dalam hal kekerasan psikis berupa
ejekan.
Kata Kunci: Semiotika, Ketidakadilan Gender, Film, Dangal
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga
memberikan kekuatan dan kesabaran dalam menghadapi tantangan dan hambatan
dalam penyelesaian skripsi ini. Tidak lupa shalawat serta salam semoga selalu
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, beserta para keluarganya, sahabatnya, dan
pengikut beliau yang setia.
Banyak hambatan dan kesulitan yang penulis temui, baik dalam mencari
sumber pustaka maupun mengolah sumber data. Tetapi, dari kesulitan itulah penulis
banyak belajar sehingga pada akhirnya skripsi ini bisa diselesaikan. Alhamdulillah
semua hal tersebut bisa penulis lewati berkat bimbingan, dukungan semangat, doa
dan bantuan dari berbagai pihak. Penulis menyadari banyak terdapat kesalahan,
kekurangan, dan keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Untuk itu dalam
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada:
1. Dr. Arief subhan, M.A, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, beserte Suparto, M.Ed, Ph.D selaku Wakil Dekan I Bidang
Akademik, Dr. Hj. Roudhonah, M.Ag selaku Wakil Dekan II Bidang
Administrasi Umum, serta Dr. Suhaimi, M.Si selaku Wakil Dekan III
Bidang Kemahasiswaan.
2. Drs. Masran, M.Ag selaku ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam dan Fita Fathurrokhmah, M.Si, sebagai sekretaris jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam yang telah membantu melancarkan
berbagai urusan penulis yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
iii
3. Dr. Yopi Kusmiati, M.Si, sebagai pembimbing skripsi yang luar biasa
karena telah memberikan bimbingan serta pengarahan yang sangat
berharga kepada penulis hingga skripsi ini bisa selesai.
4. Dr. Hj. Roudhonah, M.Ag, Penasehat Akademik KPI C 2013 yang
memberikan banyak masukan serta arahan mulai sejak kuliah hingga
saat menyusun proposal skripsi.
5. Semua Dosen di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang
telah banyak memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis.
6. Seluruh Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah
memberikan kemudahan dalam melayani penulis mendapatkan refrensi
buku-buku selama penulis kuliah dan selama penulis menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
7. Kedua orangtua yang penulis sayangi dan penulis banggakan, Bapak H.
Hambali dan Ibu Hj. Sopiah, S.Pdi yang sudah merawat dengan tulus
ikhlas dan mendidik penulis dengan rasa kasih sayang, serta
memberikan pengorbanan yang tidak terhitung nilainya dan senantiasa
mendoakan penulis dalam menempuh perjalanan hidup ini.
8. Pelatih dan Management tim basket UIN yang telah memberikan
motivasi, semangat hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, serta
memberikan pelajaran-pelajaran yang sangat berarti saat penulis berada
dalam tim.
9. Keluarga besar basket UIN Jakarta, terutama Tika, Sarah, Tia, Ovi,
Stifani, Deffi, Sri, Kak Tika, Kak Bella, Kak Ella, Kak Jauza, sebagai
iv
partner dalam tim yang selalu ada dan bersedia membantu penulis ketika
mengalami kesulitan dalam perkuliahan maupun dalam tim. Terima
kasih sudah senantiasa menemani dan melewati segala macam
pertandingan bersama. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan.
10. Alldi Aghlan, sebagai saudara sepupu penulis yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi, baik berupa saran, kritik maupun
semangat. Kemudian ada Mutia Daravanti dan kak Annissa Shabrina
yang telah memberikan dorongan semangat agar penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
11. Keluarga besar KPI C angkatan 2013, yang tidak bisa penulis sebutkan
satu persatu. Terima kasih telah menjadi teman selama kuliah dari
semester 1 hingga semester 7 yang sudah memberikan semangat serta
memberikan ilmu dan pengalaman kepada penulis.
12. Keluarga besar DNK TV, terima kasih atas pengalaman dan pelajaran
yang berharga selama penulis berada di organisasi.
13. Keluarga besar KKN DARASWARA, sebagai teman-teman
seperjuangan selama melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang
sudah memberikan banyak pelajaran yang baik untuk penulis dalam
berbagai hal.
14. Untuk semua pihak yang telah membantu dalam penelitian skripsi ini,
yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Tanpa mengurangi rasa
hormat, penulis ucapkan terima kasih yang begitu besar. Semoga Allah
membalas segala kebaikan dengan balasan yang baik. Amin.
v
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, akhir kata
semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Penulis
Yulia Nur Shofiani
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK…………………………………………………………………………i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...vi
DAFTAR TABEL………………………………………………………………...ix
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………….......x
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………1
A. Latar Belakang…………………………………………………………….2
B. Batasan dan Rumusan Masalah……………………………………………6
C. Tujuan Penelitian………………………………………………………….7
D. Manfaat Penelitian………………………………………………………...7
E. Metodologi Penelitian…………………………………………………......8
F. Tinjauan Pustaka…………………………………………………………10
G. Sistematika Penulisan………………………………………………….....13
BAB II TINJAUAN TEORITIS………………………………………………....14
A. Tinjauan Umum Semiotika……………………………………………....14
1. Pengertian Semiotika………………………………………………...14
2. Konsep Semiotika Roland Barthes…………………………………...16
B. Tinjauan Konseptual……………………………………………………..19
1. Film…………………………………………………………………..19
2. Ketidakadilan Gender………………………………………………...28
BAB III GAMBARAN UMUM FILM DANGAL……………………………....34
A. Sekilah Tentang Film Dangal…………………………………………….34
vii
B. Sinopsis Film Dangal…………………………………………………….34
C. Profil Sutradara Film Dangal…………………………………………….37
D. Profil Pemain Film Dangal………………………………………………38
1. Amir Khan…………………………………………………………...38
2. Fatima Sana Shaikh………………………………………………….40
3. Sanya Malhotra………………………………………………………41
4. Zaira Wasim………………………………………………………….42
5. Suhani Bhatnagar…………………………………………………….43
6. Sakshi Tanwar………………………………………………………..44
7. Aparshakti Khurana………………………………………………….45
E. Tim Produksi Film Dangal……………………………………………….46
F. Apresiasi Terhadap Film Dangal………………………………………...47
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA…………………………………...49
A. Analisis Semiotika Film Dangal…………………………………………49
1. Scene 1……………………………………………………………….50
2. Scene 2……………………………………………………………….54
3. Scene 3……………………………………………………………….57
4. Scene 4……………………………………………………………….61
5. Scene 5……………………………………………………………….64
6. Scene 6……………………………………………………………….66
7. Scene 7……………………………………………………………….71
8. Scene 8……………………………………………………………….75
9. Scene 9……………………………………………………………….79
10. Scene 10……………………………………………………………...81
viii
B. Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender Dalam Film Dangal……………...83
BAB V PENUTUP……………………………………………………………….89
A. Kesimpulan………………………………………………………………89
B. Saran……………………………………………………………………...92
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………93
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1: Peta Tanda Roland Barthes……………………………………………16
Tabel 2.2: Skema Genre Induk Primer dan Sekunder……………………………28
Tabel 3.1: Struktur Tim Produksi Film Dangal………………………………….46
Tabel 4.1: Scene 1………………………………………………………………..50
Tabel 4.2: Scene 2………………………………………………………………..54
Tabel 4.3: Scene 3………………………………………………………………..57
Tabel 4.4: Scene 4………………………………………………………………..61
Tabel 4.5: Scene 5………………………………………………………………..64
Tabel 4.6: Scene 6………………………………………………………………..66
Tabel 4.7: Scene 7………………………………………………………………..71
Tabel 4.8: Scene 8………………………………………………………………..75
Tabel 4.9: Scene 9………………………………………………………………..79
Tabel 4.10: Scene 10……………………………………………………………..81
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1: Unsur-Unsur Pembentuk Film……………………………………...20
Gambar 3.1: Foto Nitesh Tiwari………………………………………………….37
Gambar 3.2: Foto Amir Khan…………………………………………………….38
Gambar 3.3: Foto Fatima Sana Shaikh……………………………………………40
Gambar 3.4: Foto Sanya Malhotra………………………………………………..41
Gambar 3.5: Foto Zaira Wasim…………………………………………………...42
Gambar 3.6: Foto Suhani Bhatnagar……………………………………………...43
Gambar 3.7: Foto Sakshi Tanwar…………………………………………………44
Gambar 3.8: Foto Aparshakti Khhurana………………………………………….45
Gambar 3.9: Foto Poster Film Dangal…………………………………………….46
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada zaman yang serba modern seperti saat ini, pandangan
masyarakat banyak mengalami perubahan. Hal ini terkait dengan semakin
majunya teknologi. Masyarakat mendapatkan kemudahan dalam hal
apapun. Seperti informasi, masyarakat memperolehnya dengan mudah dan
cepat berkat kemajuan teknologi.
Kemajuan teknologi yang ada, mempengaruhi hidup manusia, mulai
dari cara berfikir, bersikap maupun bertingkah laku. Seiring dengan
berjalannya waktu, perkembangan teknologi komunikasi tidak terlepas dari
peran media sebagai sarana untuk memperlancar komunikasi. Media yang
dimaksud disini adalah media massa.
Media massa merupakan saluran dalam komunikasi massa. Media
massa terdiri dari beberapa bentuk, antara lain media elektronik (televisi,
radio), media cetak (surat kabar, majalah, tabloid), buku, dan film.1 Salah
satu media massa yang menarik dan mendapat perhatian khalayak adalah
film. Film merupakan salah satu media komunikasi massa. Film menjadi
salah satu cara untuk menyampaikan pesan. Dengan banyaknya genre film
yang ada saat ini, pesan pesan yang disampaikan sangat beragama. Film
1 Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), cet. ke-5, h. 4-
5.
2
mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan yang
ada dibaliknya.2
Keberadaan film di tengah masyarakat mempunyai makna yang unik
diantara media komunikasi lainnya. Selain dipandang sebagai media
komunikasi yang efektif dalam penyebar luasan ide dan gagasan. Seperti
mata uang yang memiliki dua sisi, film juga memiliki sisi positif dan
negatif. Film yang mempunyai pesan untuk menanamkan nilai pendidikan
merupakan salah satu hal yang baik dan bermanfaat, sedangkan film yang
menampilkan nilai-nilai yang cenderung dianggap negatif oleh masyarakat
seperti kekerasan, rasialisme, dan sebagainya akan membahayakan jika
diserap oleh audience dan diaplikasikan dalam kehidupannya.
Film merupakan gambaran realitas kehidupan yang nyata. Meskipun
film adalah dunia pura-pura, tetapi film mencoba meyakinkan penontonnya
dengan persoalan masyarakat yang ada dalam film tersebut sehingga
mampu diterima oleh logika penontonnya.3 Hal ini membuat film masih
menjadi salah satu komunikasi massa yang dominan disaksikan oleh
masyarakat. film sebagai salah satu bentuk media massa tidak hanya
berfungsi sebagai hiburan saja. Film dapat berfungsi sebagai salah satu alat
untuk melihat realitas yang ada didalam masyarakat.
Saat ini peran film dalam menggerakkan adanya keadilan gender
semakin dibutuhkan dan berusaha untuk diwujudkan. Terutama bagi
perempuan, yang sering sekali menjadi korban ketidakadilan gender.
2 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), cet. ke-4,
h. 127. 3 Cristianto Widjaja, Kamera dan Video Editing: Cara Pembuatan Video Mulai Cerita,
Penggunaan Kamera, dan Edit Dengan Adobe Premiere Pro, (Tangerang: Widjaja, 2008), h. 56.
3
Tetapi kenyataan yang ada dalam film saat ini, masih banyak film
yang menunjukkan ketidakadilan gender bagi perempuan. Perempuan
digambarkan lemah, tidak mampu melakukan pekerjaan yang laki-laki
kerjakan, emosional dan lain lain.
Banyak film-film yang bertema romantisme, nasionalisme, toleransi
beragama dalam cerita yang dibuatnya. Namun, dari berbagai pilihan yang
ada peneliti tertarik dengan film yang melatar belakangi ketidakadilan
gender yang terjadi pada perempuan. Hal ini karena tidak semua perempuan
adalah orang yang lemah. Perempuan juga bisa bangkit menjadi kuat dan
membuktikan bahwa perempuan juga bisa melakukan apa yang laki-laki
lakukan. Maka dari itu ketidakadilan gender yang terjadi pada perempuan
harus dihapuskan.
Pada hakikatnya manusia diciptakan Tuhan berbeda-beda. Dari
mulai ciri fisik, sifat, gender, ras, hingga agama. Perbedaan itu bukanlah
menjadi suatu kesalahan. Tetapi terkadang manusia itulah yang membuat
perbedaan itu menjadi suatu masalah. Sehingga masyarakat memiliki sikap
membeda bedakan antara satu dengan yang lainya.
Perbedan yang kontras sekali terlihat adalah antara perempuan dan
laki-laki. Dimana perempuan dianggap lemah, tidak bisa menjadi
pemimpin, tidak berhak memiliki keterampilan olahraga sehingga tidak
dapat menyaingi laki-laki. Di negara tertentu perbedaan antara perempuan
dan laki-laki masih bisa terlihat. Perbedaan ini diperkuat dengan adanya
tradisi yang masih dipegang teguh oleh masyarakat sekitar. Hal ini yang
menjadi penyebab adanya ketimpangan gender terhadap perempuan.
4
Padahal dalam agama Islam, ditekankan kehormatan, persamaan manusia
dan kesetaraan gender baik itu kedudukan antara laki-laki dan perempuan,
hubungan antara laki-laki dan perempuan, maupun hak dan kewajiban
mereka dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kehidupan rumah tangga
dengan konsep yang rapi, indah dan bersifat adil. Seperti yang disebutkan
di dalam Q.S. An-Nisa ayat 124 yang berbunyi:
“barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun
wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam
surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun” (Q.S. An-Nisa: 124)4
Dari ayat di atas jelas bahwa Islam tidak membeda-bedakan
kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Semua mempunyai ganjaran
yang sama berupa surga bagi mereka yang senantiasa mengerjakan amal-
amal saleh.
Salah satu persoalan ketidakadilan gender diangkat ke layar lebar
dalam film yang berjudul Dangal yang berarti gulat. Film yang bergenre
biographical sports drama ini mengisahkan tentang seorang pegulat
Mahavir Singh Phogat yang memiliki impian untuk dapat memenangkan
medali emas di kejuaraan gulat internasional tetapi kandas karena masalah
ekonomi. Lalu Mahavir bertekad akan menggapai mimpinya melalui anak
laki-lakinya. Sayangnya sang istri melahirkan empat orang anak perempuan
4 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan ‘Al-Insaani, (Depok: Departemen
Agama RI, 2012), h. 98
5
dan membuatnya kecewa. Mahavir kembali mengubur mimpinya karena
menganggap wanita tidak akan bisa bertarung dan lebih baik diajari
pekerjaan rumahan. Namun suatu hari dia mendapati dua anak tertuanya
yang bernama Geeta dan Babita pulang setelah menghajar dua laki-laki
yang menghina mereka. Mahavir pun menyadari bahwa dua anaknya itu
memiliki potensi untuk menjadi pegulat.5 Dalam masa pelatihan Mahavir
dan kedua anak perempuannya merasakan adanya ketidakadilan gender
yang memang sudah lama ada dalam masyarakat sekitarnya. Bahkan sempat
diusir di beberapa turnamen gulat. Karena di daerah tempat tinggal Mahavir
tidak ada wanita yang menjadi pegulat.
Dari banyaknya ketidakadilan gender yang dialami oleh mahavir
dan kedua anak perempuannya tidak membuat mereka patah semangat.
Mahavir terus melatih kedua anaknya hingga kedua anaknya masuk ke
dalam tim gulat India. Bahkan salah satu anak Mahavir mendapatkan medali
emas seperti impian sang ayah. Menariknya, dalam film ini walaupun
perempuan dan olahraga sering dipandang sebelah mata, tetapi Mahavir
membuktikan bahwa pandangan itu salah, perempuan bisa berprestasi,
perempuan bisa melakukan apa yang dilakukan oleh laki-laki.
Film yang diangkat dari kisah nyata ini berhasil meraup hingga 58
juta USD dalam 17 hari, dan masih bertambah. Jumlah pemasukan yang
besar ini karena adanya respon baik penonton. Terlihat dari perolehan rating
di situs IMDB yang mencapai nilai 8,9.6
5 http://sinopsisfilmbioskopterbaru.com/dangal-2016-sinopsis-lengkap-film-dan/ diakses
pada 8 Maret 2017 pukul 11:40 WIB. 6 http://www.imdb.com/title/tt5074352/ diakses pada 8 Maret 2017 pukul 12:07 WIB.
6
Film yang rilis 23 Desember 2016 ini mendapatkan penghargaan
film terbaik dari filmfare award 2017. Selain itu aktor utama Aamir Khan
yang berperan sebagai Mahavir dan sutradara Nitesh Tiwari mendapatkan
penghargaan aktor terbaik pria dan sutradara terbaik.7
Di Indonesia sendiri film dangal mendapat respon yang positif. Hal ini
terbukti dengan adanya pemberitaan dari media-media online besar di
Indonesia seperti liputan6.com, kapanlagi.com, sindonews.com.
Dari film Dangal ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
ketimpangan gender harus diminimalkan bahkan dihapuskan. Semua orang
harus mendapatkan keadilan dan kesetaraan dalam berbagai hal.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk
mengangkat film ini sebagai bahan penelitian, dengan judul “ANALISIS
SEMIOTIKA KETIDAKADILAN GENDER DALAM FILM DANGAL”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Untuk lebih fokus dalam penelitian ini, maka penulis membatasi
permasalahan pada makna-makna ketidakadilan gender yang terdapat
dalam 10 scene pada film Dangal. Adapun rumusan masalah yang dibahas
pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana makna denotasi ketidakadilan gender yang
terkandung dalam film Dangal?
2. Bagaimana makna konotasi ketidakadilan gender yang
terkandung dalam film Dangal?
7 http://www.filmfare.com/awards/filmfare-awards-2017/winners diakses pada 8 Maret
2017 pukul 12:40 WIB.
7
3. Bagaimana makna mitos ketidakadilan gender yang terkandung
dalam film Dangal?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui bagaimana makna denotasi ketidakadilan gender
yang terkandung dalam film Dangal
2. Mengetahui bagaimana makna konotasi ketidakadilan gender
yang terkandung dalam film Dangal
3. Mengetahui bagaimana makna mitos ketidakadilan gender yang
terkandung dalam film Dangal
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu komunikasi, serta sebagai tambahan referensi
pustaka, khususnya penelitian tentang analisis minat pada kajian film
dan semiotika.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan bisa memberikan konstribusi positif
bagi para tim produksi, sutradara dan akademis yang mengambil bidang
komunikasi khususnya yang berminat di dunia perfilman.
8
E. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma diartikan sebagai kumpulan longgar tentang asumsi yang
secara logis dianut bersama, konsep, atau proposisi yang mengarahkan
cara berpikir dan cara penelitian.8 Paradigma yang digunakan dalam
penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Konstruktivisme
memandang bahwa bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk
memahami realitas objek belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai
penyampai pesan, tetapi subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan
komunikasi serta hubungan-hubugan sosial lainnya. Oleh karena itu,
analisis dapat dilakukan untuk mengetahui maksud makna-makna
tertentu.9
2. Pendekatan Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu penelitian
ilmiah yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks
sosial secara alamiah dengan mengedepankan proses interaksi
komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang
diteliti,10 yang bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang
memberikan gambaran secara objektif, dengan menggambarkan pesan-
pesan secara simbolis dalam film Dangal.
8 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1991), cet. ke-3, h. 8. 9 Elvinaro Ardianto, Bambang Q Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2007), cet. ke-1, h. 151. 10 Harris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta:
Salemba Humanika, 2012), cet. ke-3, h.9.
9
3. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah film Dangal, sedangkan objek dalam
peneltian ini yaitu adegan-adegan dalam film tersebut yang berkaitan
dengan diskriminasi.
4. Tahapan Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa tahapan dalam
melakukan penelitian, yaitu:
a. Observasi
Observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan
pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra mata serta dibantu
dengan panca indra lainnya.11 Penulis secara langsung menonton
dan mengamati dialog-dialog peradegan dalam film Dangal,
kemudian mencatat serta menganalisis sesuai dengan model
penelitian yang digunakan.
b. Dokumentasi
Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode
observasi dalam penelitian kualitatif. Dokumen bisa berbentuk
tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.
Adapun sumber dokumentasi dalam penelitian ini berupa sumber
yang didapat dari buku-buku mengenai ketidaksetaraan gender dan
juga dari internet. Selain itu peneliti menelaah dari video, grafik,
arsip, teks atau gambar dari film Dangal.
11 Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan
Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2011), cet. ke-5, h. 118.
10
5. Pengolahan Data
Peneliti menggunakan analisis semiotika Roland Barthes untuk
menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini. Barthes membuat
model sistematis dalam menganalisis makna dari tanda-tanda. Fokus
perhatiannya tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap.
Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan
signified yang disebut sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari
tanda. Selanjutnya pada tahap kedua Barthes menyebutnya dengan
istilah konotasi, yang menggambarkan interaksi yang terjadi ketika
tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai
dari kebudayaan. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan
dengan isi, tanda bekerja melalui mitos. Mitos adalah bagaimana
kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang
realitas atau gejala alam.12
F. Tinjauan Pustaka
1. Faiz Ibnu Sani membahas diskriminasi yang diterima oleh etnis cina,
dan mengklasifikasikannya kedalam 2 bentuk diskriminasi yaitu,
diskriminasi langsung dan tidak langsung. Persamaan penelitian ini
dengan penelitian yang dilakukan oleh Faiz Ibnu Sani terletak pada
teknik analisis yang digunakan yaitu analisis semiotika Roland Barthes.
12 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), cet. ke-3, h. 127-128.
11
Namun perbedaannya terletak pada objek dan subjek yang akan diteliti,
yaitu Ia menganalisis film Babi Buta Yang Ingin Terbang. 13
2. Marvina Susiana menemukan wujud ketidakadilan gender terhadap
perempuan berupa perselingkuhan yang dilakukan oleh laki-laki,
kekerasan psikis, kekerasan verbal, kekerasan fisik, dan kekerasan
seksual, stereotip, beban kerja. Selain itu Marvina juga menemukan
faktor-faktor yang menjadi penyebab ketidakadilan gender meliputi
faktor budaya, faktor kasta, faktor sosial dan faktor ekonomi. Persamaan
dengan penelitian ini terdapat pesoalan ketidakadilan gender yang
dibahas. Namun, karya Marvina ini juga memiliki perbedaan yaitu pada
metode analisisnya. Penelitian ini menggunakan metode analisis
semiotik, sedangkan Marvina menggunakan metode analisis
deskriptif.14
3. Fauziah Nur Wijayanti menemukan representasi ketidakadilan gender
bahwa perempuan digambarkan sebagai kaum yang tertindas
terasingkan dari kehidupan sosial (Marginalisasi), Perempuan yang
digambarkan dengan profesi pekerja seks tidak layak mendapat
pendidikan (Subordinasi), pelabelan perempuan lemah dan sebagai
penggoda laki-laki (Stereotip), perempuan menjadi korban kekerasan,
perempua yang mendapat beban kerja berat. Persamaan penelitian ini
dengan penelitian Fauziah terletak pada objek dalam penelitian yaitu
ketidakadilan gender. Namun perbedaannya terletak pada subjek yaitu
13 Faiz Ibnu Sani, Analisis Semotika Terhadap Makna Diskriminasi dalam Film Babi
Buta Yang Ingin Terbang, (Jakarta: UIN Syarifhidayatullah, 2014). 14 Marvina Susiana, Ketidakadilan Gender Terhadap Perempuan Bali dalam Kumpulan
Cerita Pendek Akar Pule Karya Oka Rusmini, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2014)
12
sinetron perempuan di pinggir jalan dan teknik analisis yang digunakan
yaitu analisis semiotik Pierce.15
4. Nurul Husna menemukan ketidaksetaraan gender dalam novel
Perempuan Jogja karya Achmad Munif tinjauan sastra feminis ini lebih
menyoroti masalah kehidupan tokoh perempuan dalam karya sastra.
Masalah tersebut mengenai beberapa hal yang berhubungan dengan
ketidaksetaraan gender yang dialami oleh tokoh perempuan utamanya
dalam novel Perempuan Jogja karya Achmad Munif, yaitu subordinasi
perempuan, kekerasan terhadap perempuan serta gender, dan
marginalisasi perempuan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian
Nurul terletak pada objek dalam penelitian yaitu ketidakadilan gender.
Namun perbedaannya terletak pada subjek yaitu novel Perempuan
Jogja.16
15 Fauziah Nur Wijayanti, Representasi Ketidakadilan Gender Dalam Sinetron
Perempuan di Pinggir Jalan, (Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga, 2016). 16 Nuru Husna, Ketidaksetaraan Gender Dalam Novel Perempuan Jogja Karya Achmad
Munif: Tinjauan Sastra Feminis, (Surakarta, Universitas Muhamadiyah, 2013).
13
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah memahami pembahasan pada penelitian ini
maka dibagi menjadi beberapa BAB:
BAB I PENDAHULUAN yang berisi tentang latar belakang
masalah, perumusan masalah, pembatasan maasalah, tujuan
dan manfaat, metodologi penelitian, tinjauan pustaka dan
sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORITIS yang berisi tinjauan umum
tentang pengertian umum semiotika, konsep semiotika
Roland Barthes, tinjauan umum tentang film, unsur unsur
dalam film, jenis dan klasifikasi film dan ketidakadilan
gender.
BAB III GAMBARAN UMUM FILM DANGAL, yang
dimaksudkan untuk memperoleh gambaran umum, yang
terdiri dari sinopsis film, profil sutradara, profil pemain,
serta struktur organisasi dari produksi film tersebut dan
apresiasi terhadap film Dangal.
BAB IV SEMIOTIKA TERHADAP KETIDAKADILAN
GENDER DALAM FILM “DANGAL” penyajian data-
data yang diperoleh dari proses pengumpulan data berikut
analisanya.
BAB V PENUTUP, yang berisi kesimpulan dari seluruh masalah
yang sudah dibahas pada penelitian ini, dan ditutup dengan
saran.
14
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Tinjauan Umum Semiotika
1. Pengertian Semiotika
Secara etimologis, kata semiotika sendiri berasal dari bahasa Yunani
semeion yang berarti tanda atau seme yang berarti penafsir tanda. Dengan
menafsirkan tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya.1
Secara terminologis, semiotika didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari sederetan luas objek, peristiwa seluruh kebudayaan sebagai
tanda.2 Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar
konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili
sesuatu yang lain. Dengan demikian, semiotika mempelajari hakikat tentang
keberadaan suatu tanda.3
Selain dikenal dengan kata semiotika, kata semiologi sampai kini
masih digunakan. Dalam istilah linguistik, semiotika dan semiologi
menggunakan istilah lain seperti semasiologi, sememik, dan semik untuk
merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu
tanda atau lambang.4
1 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), cet. ke-4,
h. 16. 2 Indiwan Seto, Semiotika Komunikasi: Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi
Komunikasi, (Jakarta, Mitra Wacana Media, 2013), h. 8. 3 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), cet. ke-3, h. 87-95. 4 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 11.
15
Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify)
dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan
(to communicate).5 Tujuan analisis semiotik yakni berupaya menemukan
makna tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi dibalik sebuah tanda.
Ferdinand de Saussure, seorang ahli bahasa dari Swiss
menggunakan istilah semiologi yang didefinisikan sebagai suatu ilmu yang
mengkaji tanda-tanda dalam kehidupan sosial.6 Saussure mengelompokkan
tanda menjadi dua jenis, yakni: Signifier (the concept) dan Signified (the
sound-image). Signifier menunjuk dari aspek fisik dari tanda, misalnya
ucapan, gambar, lukisan, sedangkan signified menunjuk pada aspek mental
dari tanda, yakni pemikiran bersifat asosiasif tentang tanda. Keduanya
saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.7
Semiotika telah menjadi hal penting yang membantu kita dalam
memahami suatu pesan, bagian-bagiannya, dan bagaimana semua bagian itu
disusun. Teori semiotika ini membantu dalam memahami bagaimana
menyampaikan pesan supaya bermakna.8
Dari beberapa pengertian diatas dapat dilihat bahwa para ahli
memandang semiotika sebagai ilmu atau segala sesuatu yang berhubungan
dengan tanda. Intinya, semiotika menaruh perhatian pada apapun yang
5 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 15. 6 Wildan Taufiq, Semiotika Untuk Kajian Sastra dan Al-Quran, (Bandung: YramaWidya,
20016), cet. ke-1, h. 1. 7 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta: LKiS, 2007), h.155. 8 Stephen W. Littlejohn, Karen A. Foss, Theories of Human Communication, (Jakarta:
Salemba Humanika, 2011) edisi 9, h. 153.
16
dinyatakan sebagai tanda, dimana dibalik tanda itu ada sebuah makna
ataupun hal lain yang mewakilinya.
2. Konsep Semiotika Roland Barthes
Dalam kajian semiotika, Roland Barthes menjadi tokoh yang begitu
identik karena pemikiran semiotika Barthes banyak digunakan sebagai
rujukan penting dalam penelitian, khususnya di Indonesia. Roland Barthes
lahir dari keluarga kelas menengah Protestan tahun 1951 di Cherbourg dan
dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat
daya Prancis dan Paris. Ia dikenal sebagai seorang pemikir strukturalis yang
mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean.9 Pemikiran
semiotika Barthes dipengaruhi oleh Saussure. Saussure menggunakan
istilah signifier dan signified untuk mengelompokkan tanda sedangkan
Barthes menggunakan istilah denotasi dan konotasi untuk menunjuk
tingkatan makna.
Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja:
1. Signifer
(Penanda)
2. Signifed
(Petanda)
3. Denotative signifier
(Tanda Denotatif)
4. Connotative Signifer
(Penanda Konotatif)
5. Connotative Signifed
(Petanda Konotatif)
6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)
Tabel 2.1
Peta Tanda Roland Barthes
Dari peta di atas dapat dijelaskan bahwa tanda denotatif (3) terdiri
atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan tanda
9 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 63.
17
denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut
merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda “singa” barulah
konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin.
Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki
makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif
yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes
yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti
pada penandaan dalam tataran denotatif.10
Secara umum makna denotasi diartikan sebagai makna harfiah atau
makna yang sesungguhnya. Dalam semiologi Barthes denotasi adalah
makna yang paling nyata dari tanda pada tingkat pertama yang bersifat
objektif.11 Dengan kata lain denotasi adalah apa yang digambarkan tanda
terhadap objek.
Kemudian makna konotasi secara umum adalah makna yang tersirat
atau bukan makna yang sebenarnya. Barthes menyebut konotasi dengan
istilah signifikasi tahap dua yang menggambarkan interaksi ketika tanda
bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai
kebudayaannya.12 Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga
kehadirannya tidak disadari. Oleh karena itu tujuan adanya analisis
semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berfikir
dalam mengatasi terjadinya kesalahpahaman dalam mengartikan suatu
10 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 69. 11 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, h. 128 12 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, h. 128.
18
tanda. Jika denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap suatu
objek, maka konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda
bekerja melalui mitos, yang merupakan sistem pemaknaan dalam tataran
kedua. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami
beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam.13 Mitos dapat dikatakan
sebagai produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi.
Mitos mungkin hidup dalam ‘gosip’ kemudian dibuktikan dengan
tindakan nyata. Sikap seseorang terhadap sesuatu ditentukan dengan mitos
yang ada pada dirinya. Terkadang mitos menyebabkan seseorang
mempunyai prasangka terhadap suatu hal.
Berdasarkan pemaparan mengenai denotasi, konotasi dan mitos di
atas dapat disimpulkan bahwa denotasi pada dasarnya merupakan makna
yang sesuai dengan kenyataan yang ada. Makna denotasi ini menyangkut
informasi-informasi faktual objektif. Misalnya, bunga mawar merah dan
bunga mawar putih keduanya mempunyai makna denotasi yang sama yaitu
bunga mawar bukan bunga lainnya, sedangkan konotasi dapat disebut
sebagai makna tambahan, misalnya kata kambing hitam, ia bermakna
kambing yang berwarna hitam, sedangkan dalam kalimat “Dia selalu
mencari kambing hitam jika berbuat kesalahan”, maka kata kambing hitam
sudah bermakna konotatif, yakni orang yang dipersalahkan atas suatu
kejadian padahal dirinya tidak bersalah, dan mitos adalah makna yang
13 Beny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial, (Bandung: Komunitas Bambu, 2014),
h.79.
19
berkembang berdasarkan kebudayaan masyarakat dalam suatu periode
tertentu.
B. Tinjauan Konseptual
1. Film
1.1 Pengertian Film
Film adalah gambar hidup yang juga sering disebut movie. Film
secara kolektif sering disebut sebagai sinema. Sinema itu sendiri bersumber
dari kata kinematik atau gerak. Pengertian secara harfiah film (sinema)
adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya)
+ graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah
melukis gerak dengan cahaya.14
Sedangkan menurut UU Perfilman No 8 Tahun 1992, film adalah
karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa
pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan
direkam pada pita selluloid, pita video, dan atau bahan hasil penemuan
teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses
kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara,
yang dapat dipertunjukkan dan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi
mekanik, elektronik, dan atau lainnya.15
Jadi dapat dipahami bahwa pengertian film adalah media gambar
bergerak dan berkarakteristik massal yang dapat dipertunjukkan atau
ditayangkan sebagai tontonan untuk audiens.
14 http://e-journal.uajy.ac.id/821/3/2TA11217.pdf. diakses pada 20 Maret 2017 pukul
13:34 WIB. 15 UU Republik Indonesia No 8 Tahun 1992 tentang perfilman Bab 1, Pasal 1 Ayat 1.
Departemen Penerangan RI.
20
1.2 Unsur-Unsur Pembentuk Film
Untuk memahami sebuah film tidak terlepas dari unsur-unsur
pembentuknya. Secara umum film dibagi atas dua unsur pembentuknya
yaitu, unsur naratif dan unsur sinematik. Kedua unsur ini saling berkaitan
satu sama lain karena, film tidak dapat berdiri sendiri jika kedua unsur
tersebut tidak saling berkaitan. Berikut ini adalah model yang
menggambarkan unsur-unsur pembentuk film:
Gambar 2.1
Unsur- Unsur Pembentuk Film
a. Unsur naratif
Unsur naratif adalah bahan yang akan diolah berhubungan dengan
aspek cerita atau tema film. Unsur ini meliputi tokoh, masalah, konflik,
lokasi, waktu, yang membentuk unsur naratif secara keseluruhan.16
1. Tokoh
16 Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008), h. 2.
21
Setiap film cerita umumnya memiliki dua karakter yaitu karakter utama
dan karakter pendukung. Karakter utama sering diistilahkan dengan
protagonis yang menjadi pusat dari sebuah cerita, sedangkan karakter
pendukung bisa berada pada pihak protagonis maupun antagonis.
Karakter pendukung bisa menjadi pemicu konflik atau sebaliknya dapat
membantu karakter utama.
2. Masalah dan Konflik
Masalah yang ada di dalam film hadir sebagai penghalang yang dihadapi
oleh tokoh protagonis dalam meraih tujuannya. Masalah dapat muncul
dari dalam diri tokoh utama maupun dari tokoh antagonis yang akhirnya
memicu konflik.
3. Lokasi
Lokasi di dalam film berfungsi sebagai pendukung narasi di dalam
skenario. Pemilihan lokasi yang tepat membuat suasana dalam film
menjadi lebih nyata.
4. Waktu
Waktu dalam narasi film adalah salah satu aspek penting dalam
membangun sebuah cerita. Pagi, siang, sore, dan malam hari dalam film
memiliki makna tersendiri dalam membangun suasana suatu film.
b. Unsur sinematik
Unsur sinematik adalah bagaimana cara mengolahnya. Ini
berhubungan dengan aspek-aspek teknis dalam produksi, seperti
sinematografi, editing, suara, dan Mise en Scene. 17
17 Himawan Pratista, Memahami Film, h. 2.
22
1. Mise en Scene
Mise en Scene adalah segala sesuatu yang berada di depan kamera yang
akan diambil gambarnya. Tujuannya untuk menimbulkan efek yang
dramatis. Dalam Mise en Scene terdapat empat elemen pokok, yaitu
setting atau latar, tata cahaya, kostum dan tata rias, serta akting pemain
dan pergerakannya.
2. Sinematografi
Sinematografi adalah perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta
hubungan kamera dengan objek yang diambil. Seorang sineas tidak
hanya merekam sebuah adegan semata namun juga harus mengatur
jarak, sudut pengambilan gambar, pergerakan kamera. Hal tersebut
dikenal dengan teknik pengambilan gambar.18
1) Jarak
Jarak adalah dimensi jarak kamera terhadap objek dalam frame. Ukuran
jarak ini menjadi tolak ukur proporsi manusia atau objek dalam sebuah
frame. Berikut adalah jarak dalam pengambilan gambar:19
• Extreme Long Shot
Extreme Long Shot merupakan jarak kamera yang paling jauh dari
objeknya. Teknik ini umumnya menggambarkan sebuah objek yang
sangat jauh atau panorama yang luas.
18 Himawan Pratista, Memahami Film, h 89. 19 Himawan Pratista, Memahami Film, h 105-106.
23
• Long Shot
Long Shot merupakan jarak kamera yang sering digunakan untuk
establish shot yaitu shot pembuka sebelum shot-shot yang berjarak
lebih dekat.
• Medium Long Shot
Teknik pengambilan gambar yang memperlihatkan tubuh manusia
dari bawah lutut sampai ke atas dengan lingkungan yang relatif
seimbang.
• Medium Shot
Pengambilan gambar tubuh manusia dari pinggang hingga atas.
• Medium Close-up
Pada jarak ini memperlihatkan tubuh manusia dari dada ke atas.
Tubuh manusia mendominasi frame dan latar belakang tidak lagi
dominan.
• Close-up
Teknik pengambilan gambar dari bahu hingga ke atas yang
ditujukan untuk memperlihatkan ekspresi wajah dengan jelas serta
gesture yang detail. Biasanya memperlihatkan wajah, tangan, kaki,
atau objek kecil lainnya.
• Extreme Close-up
Pada jarak terdekat ini memperlihatkan sesuatu secara lebih detail
dari wajah atau dari sebuah objek.
24
2) Sudut Pengambilan Gambar (Angle)
Sudut pengambilan gambar adalah posisi kamera pada saat
pengambilan gambar. Terdapat lima sudut pengambilan gambar,
yakni bird eye view, high angle, eye level, low angle, dan frog eye.20
• Bird Eye View adalah sudut pengambilan gambar dimana posisi
kamera diletakkan di atas ketinggian objek yang direkam. Teknik ini
memperlihatkan lingkungan yang luas biasanya gambar diambil
melalui helikopter atau di atas gedung.
• High Angle adalah pengambilan gambar dari atas objek. Selama
kamera berada di atas objek maka sudah dianggap high angle.
• Low Angle adalah sudut pengambilan gambar yang memposisikan
kamera lebih rendah dari pada objek.
• Eye Level adalah sudut pengambilan gambar yang sejajar antara
posisi kamera dengan objek sehingga gambar yang diperoleh tidak
terlalu ke atas atau ke bawah.
• Frog Eye adalah teknik pengambilan gambar yang memposisikan
kamera sejajar dengan dasar (alas) kedudukan objek.
3) Pergerakan Kamera
Pergerakan kamera (camera moving) adalah posisi kamera bergerak,
sementara objek diam. Pergerakan kamera dibagi menjadi tiga,
yaitu:21
20 Askurifai Baksin, Jurnalistik Televisi Teori dan Praktik, (Bandung: Simbiosa Rekatama
Media, 2006), h. 120-124. 21 Morrisan, Jurnalistik Televisi Mutakhir, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 114.
25
• Panning Right dan Panning Left (gerakan kamera dari kiri ke kanan,
dan gerakan kamera dari kanan ke kiri)
• Zoom In dan Zoom Out (Gerakan kamera mendekat dan menjauh)
• Tilt Up dan Tilt Down (Gerakan kamera dari bawah ke atas, dan
gerakan kamera dari atas ke bawah)
3. Editing
Transisi sebuah gambar ke gambar lainnya yang dijadikan satu
sehingga menjadi film yang utuh. Dalam editing sebuah film
diberikan efek-efek tertentu untuk menambah kesan yang nyata.
4. Suara
Segala sesuatu dalam film yang dapat didengar seperti, dialog,
musik, dan efek suara.
1.3 Jenis dan Klasifikasi Film
Secara umum film dapat dibagi menjadi tiga jenis, yakni:22
a. Film Dokumenter
Film dokumenter merupakan film yang mengutamakan fakta.
Segala yang berhubungan dengan film dokumenter baik tokoh,
peristiwa, lokasi adalah nyata. Tidak seperti film fiksi yang terikat oleh
plot, film dokumenter tidak memiliki plot namun memiliki struktur yang
umumnya didasarkan oleh tema atau argumen dari sineasnya. Struktur
dalam film dokumenter dibuat sederhana dengan tujuan agar
22 Himawan Pratista, Memahami Film, h. 4-8.
26
memudahkan penonton untuk memahami dan mempercayai fakta-fakta
yang disajikan.
b. Film Fiksi
Berbeda dengan jenis film dokumenter, film fiksi terikat oleh
plot. Dari sisi cerita, film fiksi sering menggunakan cerita rekaan di luar
kejadian nyata serta memiliki konsep pengadeganan yang telah
dirancang sejak awal. Struktur cerita film juga terikat hukum kausalitas
atau sebab akibat. Cerita biasanya juga memiliki karakter protagonis dan
antagonis, masalah dan konflik, penutupan, serta pola pengembangan
cerita yang jelas. Dari sisi produksi dan manajemen film fiksi terbilang
lebih kompleks.
c. Film Eksperimental
Film eksperimental tidak memiliki plot namun tetap memiliki
struktur. Strukturnya sangat dipengaruhi insting subyektif sineas seperti
gagasan, ide, emosi, serta pengalaman batin mereka. Film eksperimental
umumnya juga tidak bercerita apapun bahkan kadang menentang
kausalitas, seperti yang dilakukan para sineas surealis dan dada. Film-
film eksperimental umumnya bersifat abstrak dan tidak mudah
dipahami. Hal ini disebabkan karena mereka menggunakan simbol-
simbol personal yang mereka ciptakan sendiri.
Tiga jenis pembagian film diatas bisa disebut juga klasifikasi film
paling umum. Selain itu dapat juga membagi film dengan klasifikasi seperti
dokumenter dan non dokumenter, fiksi dan non fiksi, adapun metode yang
paling mudah dan sering digunakan untuk mengklasifikasikan film adalah
27
berdasarkan genre. Dalam film, genre dapat didefinisikan sebagai jenis atau
klasifikasi dari sekelompok film yang memiliki karakter atau pola sama
(khas) seperti setting, isi, subyek cerita, tema, struktur cerita, aksi atau
peristiwa, periode, gaya, situasi, ikon, mood, serta karakter. Klasifikasi
tersebut kemudian menghasilkan genre-genre populer. Hollywood sebagai
industri film terbesar di dunia sejak awal dijadikan sebagai titik tolak
perkembangan genre-genre besar dan berpengaruh. Genre-genre besar
dikelompokkan menjadi dua, yaitu:23
a. Genre Induk Primer
Genre induk primer merupakan genre pokok yang sudah ada dan
populer sejak awal perkembangan sinema era 1900-an hingga 1930-an. Bisa
dikatakan setiap film mengandung setidaknya satu unsur genre induk primer
bahkan ada film yang mengkombinasikan beberapa genre induk sekaligus.
b. Genre Induk Sekunder
Genre induk sekunder merupakan genre yang besar dan populer
yang merupakan turunan dari genre induk primer. Ciri-ciri genre induk
sekunder memiliki karakter yang lebih khusus dibandingkan genre induk
primer.
23 Himawan Pratista, Memahami Film, h. 13-21.
28
Tabel 2 2
Skema Genre Induk Primer dan Sekunder
Genre Induk Primer Genre Induk Sekunder
Aksi
Drama
Epik Sejarah
Fantasi
Fiksi Ilmiah
Horor
Komedi
Kriminal dan Gangster
Musikal
Petualangan
Perang
Western
Bencana
Biografi
Detektif
Film Noir
Melodrama
Olahraga
Perjalanan
Roman
Superhero
Supernatural
Spionase
Thriller
2. Ketidakadilan Gender
2.1 Pengertian Ketidakadilan Gender
Kata gender berasal dari Bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin.24
Terdapat dua konsep yang perlu dipahami dalam membahas gender, yaitu
konsep sex (jenis kelamin) dan konsep gender itu sendiri. Konsep sex (Jenis
kelamin) merupakan pembagian dua jenis kelamin yang ditentukan secara
24 Suwodo Admojo, Darseno, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia; Indonesia-Inggris,
(Semarang: Bintang Jaya, 2005), h. 127.
29
biologis, tidak dapat dirubah sesuai dengan ketentuan Tuhan. Konsep
gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki ataupun perempuan
yang dikonstruksikan secara kultural. Konsep gender menjelaskan sifat
dasar alamiah yang dimiliki oleh laki-laki atau perempuan.25
Ketidakadilan merupakan lawan dari keadilan yang berasal dari kata
dasar adil. Kata adil menurut kamus besar bahasa Indonesia artinya tidak
memihak.26 Jadi, ketidakadilan bisa diartikan sikap, tindakan yang memihak
kepada salah satu kelompok ataupun golongan tertentu.
Berdasarkan definisi diatas, ketidakadilan gender adalah memihak
kepada salah satu jenis kelamin tertentu baik laki-laki ataupun perempuan.
Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur yang memungkinkan
laki-laki maupun perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.
Ketidakadilan gender terjadi karena adanya perbedaan gender yang terjadi
pada laki-laki maupun perempuan.27
2.2 Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender Terhadap Perempuan
Menurut Mansour Fakih, untuk memahami bagaimana bentuk-
ketidakadilan gender khususnya yang lebih sering dialami oleh perempuan
dapat dilihat dari lima bentuk yang dapat dijabarkan sebagai berikut:28
a. Marginalisasi
Marginalisasi adalah suatu proses eliminasi yang
menyebabkan kemiskinan atas suatu jenis jenis kelamin tertentu.
25 Sidik Jatmika, Dinamika Partisipasi Politik Perempuan Iran, (Yogyakarta: LPPI
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2002), h. 26. 26 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/adil diakses pada 4 Januari 2018 pukul 21.00 WIB. 27 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta:
INSISTtPress,2008), h. 12. 28 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, h.14-22.
30
Dalam hal ini marginalisasi dapat bersumber dari kebijakan
pemerintah, keyakinan, tafsir agama, tradisi, kebiasaan, atau bahkan
asumsi ilmu pengetahuan. Marginalisasi terhadap perempuan sudah
terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas
anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan.
b. Subordinasi
Subordinasi atau kedudukan bawahan, adalah sikap,
tindakan, atau pendapat masyarakat yang menempatkan kedudukan
salah satu jenis kelamin tertentu lebih utama dibanding jenis
kelamin lainnya. Hal ini berarti setiap kata dan tindakan yang
dilakukan perempuan tidak dianggap sebagai hal yang penting
meskipun telah melakukan hal yang benar. Apalagi dengan adanya
anggapan masyarakat bahwa perempuan itu emosional, lemah
sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat
munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang
tidak penting.
Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala
macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu
ke waktu. contohnya, wilayah Jawa, memiliki anggapan bahwa
perempuan tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi, hal ini
dikarenakan mayoritas masyarakat memiliki pandangan bahwa
wanita pada akhirnya akan kembali ke dapur (mengurusi rumah
tangga). Prakteknya, kehidupan masyarakat banyak yang tidak
memenuhi standar kesejahteraan, sehingga memberikan stigma pada
31
hampir setiap keluarga dalam masyarakat untuk memprioritaskan
laki-laki untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.
c. Stereotip
Umumnya, stereotip adalah suatu pelabelan terhadap suatu
kelompok, individu, atau jenis pekerjaan tertentu. Stereotip juga
dimaknai dengan pelabelan terhadap pihak tertentu yang selalu
berakibat merugikan pihak lain dan menimbulkan ketidakadilan.
Hal ini disebabkan pelabelan yang sudah melekat pada laki-laki
bahwa laki-laki adalah manusia yang kuat, rasional, jantan dan
perkasa, sedangkan perempuan adalah manusia yang lembut, cantik,
emosional, dan keibuan. Pada dasarnya stereotip terhadap
perempuan diberi label oleh sosial budaya. Hal ini membuat
masyarakat menganggap bahwa tugas utama kaum perempuan
adalah melayani suami.29
d. Kekerasan
Kekerasan (violence) adalah serangan atau invansi (assault)
terhadap fisik maupun psikologis seseorang. Kekerasan dibagi
menjadi kekerasan fisik dan kekerasan psikis. Kekerasan fisik yaitu
segala bentuk kekerasan yang ditujukan pada fisik seseorang, baik
berupa tamparan, tendangan dan lain-lain, sedangkan kekerasan
psikis adalah segala tindakan yang dilakukan secara verbal, seperti
menghina, berkata kasar, mengejek dan lain-lain.30 Kekerasan
terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai
29 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, h. 17. 30 Layyinah al-Himshi, Muslimah Pembelajar, (Jakarta: Zaman, 20013), h. 263.
32
sumber, salah satunya ialah kekerasan terhadap satu jenis kelamin
tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Pada dasarnya
kekerasan gender terjadi karena adanya kekuatan yang ada dalam
masyarakat. Dengan kata lain, siapa yang memiliki kekuatan besar
bisa mengendalikan yang lain.
e. Beban Kerja
Ada pendapat bahwa wanita memiliki karakteristik seperti
rajin dan protektif, sehingga tidak cocok menjadi pemimpin dalam
rumah tangga. Hal itu menyebabkan semua pekerjaan di rumah
tangga menjadi tugas perempuan. Akibatnya, banyak wanita harus
melakukan semua pekerjaan di rumah. Apalagi untuk istri, mereka
harus melayani anak-anaknya dan suaminya pada saat bersamaan.
Di beberapa keluarga miskin, mereka harus menerima dan
bertanggung jawab atas beban ini sendiri, apalagi jika wanita
tersebut adalah pekerja, artinya mereka mendapat beban ganda,
pertama tugas mereka di rumah dan kedua di lapangan kerja. Banyak
masyarakat menganggap, lingkungan domestik adalah tugas
perempuan dan mereka menganggap bahwa pekerjaan ini tidak
produktif daripada pekerjaan laki-laki di ranah publik. Awalnya,
tugas perempuan di ranah domestik dibentuk oleh sosial budaya agar
mereka menerima persepsi tersebut, sebenarnya pekerjaan
perempuan di bidang domestik lebih berat daripada pekerjaan pria
di ranah publik. Apalagi bagi pekerja perempuan, mereka memiliki
tugas ganda, di rumah dan di tempat kerja. Bagi kalangan menengah
33
dan golongan kaya, beban kerja itu dilimpahkan kepada pembantu
rumah tangga.
34
BAB III
GAMBARAN UMUM FILM DANGAL
A. Sekilas Tentang Film Dangal
Film Danggal adalah film yang bergenre biographical sport drama
asal India yang disutradarai oleh Nitesh Tiwari. Secara garis beras film ini
menceritakan perjuangan seorang ayah yang melatih anak perempuannya
hingga menjadi juara dunia, meskipun mereka berasal dari daerah dimana
perempuan tidak berharga. Bukan hanya perjuangan seorang ayah yang
diangkat dalam film ini, tetapi juga mengkritisi pemerintah yang
mengabaikan atlet dan diskriminasi perempuan di India.
Digarap oleh sutradara Nitesh Tiwari, serta diproduseri Aamir Khan
dan diperankan oleh pemain-pemain Bollywood yang terkenal seperti
Aamir Khan, Sakshi Tanwar, Fatima Sana Shaikh, Sanya Malhotra mampu
membuat penonton merasakan perjuangan untuk mengejar impian dan
melawan diskriminasi yang dimasukan dalam beberapa scene didalamnya.
B. Sinopsis Film Dangal
Film ini mengisahkan tentang seorang pegulat yang bernama
Mahavir Singh Phogat yang berasal dari Haryana yang merupakan negara
bagian utara India. Mahavir adalah juara gulat nasional yang mempunyai
mimpi memberikan kehormatan dan kejayaan bagi negara dengan
memenangkan medali emas di kejuaraan internasional. Tetapi dia
meninggalkan dunia gulat karena ayah Mahavir berpendapat gulat tidak
35
dapat menghasilkan uang. Mahavir pun harus mengubur mimpinya itu, dan
dia bertekad bahwa kelak anak laki-lakinya akan mewujudkan mimpinya
itu. Sayangnya sang istri melahirkan empat orang anak perempuan dan
membuatnya kecewa. Mahavir kembali mengubur mimpinya karena
menganggap wanita tidak akan bisa bertarung, tidak bisa mewujudkan
impian orang tua dan lebih baik diajarkan pekerjaan rumah.
Suatu hari dua anak tertua Mahavir yang bernama Geeta dan Babita
menghajar dua laki-laki yang menghina mereka. Mahavir menyadari bahwa
dua anaknya memiliki potensi untuk menjadi pegulat. Kisah ini mulai
menarik, bagaimana ia melatih dengan keras kedua putrinya yang baru
belasan tahun, serta bagaimana syoknya masyarakat saat melihat Mahavir
menjadikan putrinya pegulat, apalagi saat itu belum ada perempuan yang
menjadi pegulat. Masyarakat sekitar menganggap itu aneh. Ditambah lagi
Geeta dan Babita harus mengenakan pakaian seperti laki-laki, memotong
pendek rambut keduanya dan tidak diperbolehkan menonton televisi. Pada
awalnya Geeta dan Babita tidak suka dengan perlakuan ayahnya. Namun
mereka menyadari bahwa ayah mereka ingin anaknya memiliki masa depan
yang lebih baik dan tidak tumbuh seperti perempuan pada umumnya.
Mahavir membawa Geeta ke sebuah pertandingan gulat tradisional
untuk mengikuti pertandingan. Tetapi mereka ditolak dengan alasan anak
perempuan tidak pantas menjadi peserta gulat untuk melawan laki-laki.
Tetapi pada akhirnya panitia penyelenggara membolehkan Geeta
bertanding karena mereka mementingkan keuntungan. Geeta kalah dalam
pertandingan ini, tetapi ini menjadi awal dari kesuksesan Geeta. Selanjutnya
36
Geeta selalu memenangkan pertandingan gulat tradisional yang dia ikuti.
Hingga akhirnya dia mulai mengikuti kejuaraan junior nasional dan menjadi
pemenang.
Setelah beranjak dewasa Geeta sebagai atlit nasional harus berlatih
di markas para atlet di New Delhi. Di lingkungan yang baru kehidupan
Geeta menjadi bebas, tak seperti saat dilatih sang ayah yang banyak aturan
dan larangan, walaupun prestasinya tetap terbaik. Dan Babita tak kalah
berprestasi, kendati tak banyak diceritakan, ia mengumpulkan berbagai
penghargaan seperti sang kakak, hingga akhirnya menyusul ke asrama para
atlet nasional wanita.
Geeta yang mulai bertanding di pertandingan internasional,
mengalami masa yang buruk, beberapa kali kalah, dan akhirnya sang ayah
memberinya banyak saran, termasuk agar tidak mengubah gaya bertarung
yang menyerang, sementara pelatih memintanya bertahan. Dengan
mendengarkan masukan dari sang ayah Geeta mulai bangkit kembali
sehingga ia berhasil menjuari pertandingan gulat internasional. Geeta
mendapatkan medali emas yang ia persembahkan untuk negaranya dan
ayahnya.
37
C. Profil Sutradara Film Dangal
Gambar 3.1
Nitesh Tiwari
Nitesh Tiwari adalah sutradara, penulis skenario, dan penulis lirik
yang terkenal dalam industri film Bollywood. Sebagai pembuat film Nitesh
Tiwari telah menghasilkan beberapa film yaitu, Chillar Party, Bhoothnath
Returns, kill Dil, Nil Battey Sannata, Dangal, Bareilly Ki Barfi. Tiwari lahir
dari keluarga penganut Hindu di Itarsi, Madhya Pradesh. Dia menempuh
pendidikan di Indian Institute of Technology Bombay dan mendapatkan
gelar Bachelor Metallurgy and Material Science Engineering.
Sebelum memasuki industri film Bollywood Tiwari bekerja sebagai
direktur kreatif di Leo Burnett. Dia melakukan debut karirnya sebagai
sutradara pada tahun 2011 dengan film Chillar Party dan memenangkan
National Film Award untuk film anak terbaik. Setelah itu dia mengerjakan
film drama politik Bhoothnath Returns yang menjadi film box office. Dalam
film Dangal Tiwari menjadi salah satu penulis naskah dan juga sutradara
dan dia berhasil mendapatkan penghargaan sutradara terbaik Filmfare
Award dan Talestra People’s Choice Award.1
1 https://en.wikipedia.org/wiki/Nitesh_Tiwari diakses pada 6 Oktober 2017 pukul 15.51
WIB.
38
D. Profil Pemain Film Dangal
1. Amir Khan
Gambar 3.2
Amir Khan
Amir Khan lahhir pada tanggal 14 Maret 1965 di Mumbai, India
yang merupakan seorang aktor, sutradara, penulis naskah dan produser di
industri film Bollywood. Khan berasal dari keluarga muslim pathan yang
aktif dalam industri film India selama beberapa dekade. Ayahnya yang
seorang produser film dan pamannya seorang produser film, aktor juga
sebagai direktur membuat Amir Khan dengan mudah terjun kedalam
industri film.
Aamir Khan memulai karirnya sebagai seorang aktor dalam film
anak milik pamannya sendiri, Nasir Hussain dalam film Yaadon Ki Baaraat
(1973). Sebelas tahun kemudian Khan terjun ke karier profesionalnya
dengan film Holi (1984). Pada film Qayamat Se Qayamat Tak (1988), ia
memenangkan penghargaan pertamanya dalam festival film sebagai debut
aktor terbaik (Filmfare Award for Best Debut Actor). Dan pada tahun 1990-
an, Khan menerima penghargaan sebagai aktor terbaik dalam acara Filmfare
Award untuk penampilannya di film Raja Hindustani (1996). Pada tahun
39
2001, ia memulai debutnya sebagai produser film dengan nominasi
Academy Award Lagaan. Khan juga mendapatkan penghargaan kedua
sebagai aktor terbaik dalam acara Filmfare Award untuk perannya dalam
film Lagaan.2
Dalam film Dangal ini ia berperan sebagai Mahavir, seorang ayah
yang menjadikan putrinya sebagai pegulat demi mewujudkan cita-citanya.
Aamir Khan mendapatkan penghargaan aktor terbaik dalam Filmfare
Award berkat aktingnya yang sangat bagus. Khan bahkan harus rela
menambah berat badannya untuk scene Mahavir tua dan menurunkan berat
badan untuk scene Mahavir muda.
2 https://id.wikipedia.org/wiki/Aamir_Khan diakses pada 6 Juli 2017pukul 11:31 WIB.
40
2. Fatima Sana Shaikh
Gambar 3.3
Fatima Sana Shaikh
Fatima Sana Shaikh lahir pada tanggal 11 Januari 1992 di Andhra
Pradesh, India, merupakan aktris, penari, dan juga fotografer. Fatima
memulai karir filmnya di usia yang sangat muda dengan berperan sebagai
bayi Bharati dalam film Chachi 420 tahun 1997 bersama Kamal Hasan.
Pada tahun 2001 ia bermain dalam film One 2 Ka 4 bersama Shah Rukh
Khan. Pada tahun 2009 ia beralih ke serial televisi.
Dalam film Dangal Fatima berperan sebagai Geeta Phogat, pegulat
India dan putri Mahavir Singh Phogat. Dalam film ini Fatima diharuskan
berlatih gulat dengan tim yang ada, bahkan ia sempat mengalami cidera di
pergelangan kakinya demi menghasilkan adegan yang bagus. Ia
mendapatkan penghargaan Best Debut dalam News 18 Movie Awards untuk
perannya dalam film Dangal.3
3 https://en.wikipedia.org/wiki/Fatima_Sana_Shaikh diakses pada 6 Juli 2017 pukul 11:44
WIB.
41
3. Sanya Malhotra
Gambar 3.4
Sanya Malhotra
Sanya Malhotra lahir pada tanggal 27 Februari 1993 di Delhi, India
adalah seorang penari balet yang terlatih, model dan merupakan aktris
pendatang baru di industri film Bollywood. Sanya memulai karirnya sebagai
model iklan dari beberapa merek untuk iklan di televisi. Sanya Malhotra
terjun ke dalam industri film Bollywood dalam film Dangal dan menjadi
debut perdananya.
Dalam film Dangal Sanya berperan sebagai Babita Kumari Phogat
anak Mahavir Singh Phogat yang juga menjadi pegulat India. Meskipun
film Dangal adalah film pertamanya, Sanya tidak terlihat canggung dan
aktingnya mendapatkan banyak pujian. Ia masuk dalam nominasi Best
Debut dalam News 18 Movie Awards untuk perannya dalam film Dangal.4
4 http://www.filmyfolks.com/celebrity/bollywood/sanya-malhotra.php diakses pada 6 Juli
2017 pukul 11:55 WIB.
42
4. Zaira Wasim
Gambar 3.5
Zaira Wasim
Zaira Wasim lahir pada tanggal 23 Oktober 2000. Dia dikenal
sebagai aktris berkat perannya dalam film Dangal (2016), Secret Superstar
(2017) dan dia dipercaya berperan di fim Pashmina yang akan rilis pada
2018. Sebelum memulai karir aktingnya, Zaira mengalami masalah
kecemasan sosial. Pada tahun 2015, Zaira tampil dalam iklan Microsoft
Lumia dan Tata Sky
Dalam film Dangal Zaira berperan sebagai Geeta Phogat kecil anak
dari Mahavir Singh Phogat. Untuk mendapatkan hasil yang baik ketika
adegan gulat, Zaira melakukan latihan yang keras bersama pemain yang
lain. Berkat aktingnya dalam film Dangal, ia mendapatkan penghargaan
sebagai Best supporting Actress National Film Award dan Big Zee Most
Entertaining Child Star.5
5 http://www.imdb.com/name/nm7621668/bio?ref_=nm_ov_bio_sm diakses pada 12 Juli
2017 pukul 12:18 WIB.
43
5. Suhani Bhatnagar
Gambar 3.6
Suhani Bhatnagar
Suhani adalah seorang model majalah dan bintang iklan asal New
Delhi, India. Suhani lahir pada tahun 2007 dan tidak memiliki latar belakang
perfilman. Film Dangal adalah film pertama yang diperankannya. Suhani
menjadi sangat populer setelah membintangi film Dangal.6
Dalam film Dangal ini Suhani berperan sebagai Babita Kumari
Phogat anak kedua dari Mahavir, yang juga harus menjalani latihan gulat
dengan kakaknya Geeta. Seperti halnya pemain Dangal yang lainnya,
Suhani juga melakukan latihan khusus untuk menunjang aktingnya dalam
scene gulat.
6 http://starsunfolded.com/suhani-bhatnagar/ diakses pada 12 Juli 2017 pukul 12:32 WIB.
44
6. Sakshi Tanwar
Gambar 3.7
Sakshi Tanwar
Sakshi Tanwar lahir pada tanggal 12 January 1973. Dia adalah aktris
film dan televisi India, selain itu dia juga seorang presenter. Sakshi memulai
karirnya sebagai sales di Hotel Taj Palace dan di took pakaian & aksesoris
Khazana di Delhi. Ia dikenal dengan perannya sebagai Parvati dalam serial
Kahaani Ghar Ghar Kii. Sakshi terjun ke dunia film Bollywood pada 2006,
ia bermain dalam film O Re Manva sebagai Sandhya. Setelah itu ia mulai
banyak membintangi film-film Bollywood dan mendapatkan berbagai
macam penghargaan.
Dalam film Dangal, Tanwar berperan sebagai Daya Kaur, istri
mantan pegulat Mahavir Singh Phogat (diperankan oleh Aamir Khan), yang
melatih anak-anaknya untuk menjadi pegulat kelas dunia melawan
rintangan sosial.7
7 https://en.wikipedia.org/wiki/Sakshi_Tanwar diakses pada 12 Juli 2017 pukul 12:38
WIB.
45
7. Aparshakti Khurana
Gambar 3.8
Aparshakti Khurana
Aparshakti Khurana pada mulanya adalah seorang atlet kriket, ia
bermain untuk tim kriket Haryana usia 19 tahun. Ia memulai karirnya
sebagai penyiar radio dan kemudian beralih ke TV sebagai pembaca berita.
Dia bekerja dengan Big FM Delhi sebagai penyiar radio. Khurana juga
bekerja sebagai presenter dalam acara You Have Been Warned di Discovery
Channel India.8
Dalam film Dangal, ia mendapat peran sebagai Omkar, sepupu dari
Geeta dan Babita yang juga ikut berlatih gulat hanya untuk menjadi lawan
tanding Geeta dan Babita.
8 https://en.wikipedia.org/wiki/Aparshakti_Khurana diakses pada 12 Juli 2017 pukul
12:50 WIB.
46
E. Tim Produksi Film Dangal
Gambar 3.9
Tabel 3.1
Struktur Produksi Film Dangal
Sutradara Nitesh Tiwari
Produser Amir Khan
Kiran Rao
Siddhart Roy Kapur
Penulis Nitesh Tiwari
Piyush Gupta
Shreyas Jain
Nikhil Meharotra
Pemeran Aamir Khan
Sakshi Tanwar
Fatima Sana Shaikh
Sanya Malhotra
Zaira Wasim
Suhani Bhatnagar
Aparshakti Khurana
47
Narator Aparshakti Khurana
Musik Pritam
Sinematografi Setu (Satyajit Pande)
Penyunting Ballu Saluja
Perusahaan
Produksi
Walt Disney Pictures
Aamir Khan Production
UTV Motion Pictures
Distributor Walt Disney Studios
Motion Pictures
F. Apresiasi Terhadap Film Dangal
Film Dangal mendapatkan tanggapan positif dari berbagai media
baik media internasional maupun media di Indonesia. Film ini merupakan
kisah nyata serorang pegulat yang bernama Mahavir Singh Phogat yang
diangkat menjadi film. Film ini berhasil meraup hingga 58 juta USD dalam
17 hari, dan terus bertambah. Jumlah pemasukan yang besar ini karena
adanya respon baik penonton. Terlihat dari perolehan rating di situs
IMDB yang mencapai nilai 8,9.9
Film yang rilis 23 Desember 2016 ini mendapatkan penghargaan
sebagai film terbaik dari Filmfare Award 2017. Selain itu aktor utama
Aamir Khan yang berperan sebagai Mahavir dan sutradara mendapatkan
penghargaan aktor terbaik pria dan sutradara terbaik.10
9 http://www.imdb.com/title/tt5074352/ diakses pada 8 Maret 2017 pukul 12:07 WIB. 10 http://www.filmfare.com/awards/filmfare-awards-2017/winners diakses pada 8 Maret
2017 pukul 12:40 WIB.
48
Selain itu aktor dalam film Dangal juga mendapatkan penghargaan
seperti, aktris pendukung terbaik yang diperoleh Zaira Wasim, debut terbaik
yang diperoleh Fatima Sana Shaikh dari News 18 Movie Awards, dan dalam
acara National Film Awards Zaina Wasim mendapatkan penghargaan aktris
pendukung terbaik.11
11 https://id.wikipedia.org/wiki/Dangal_(film) diakses pada 12 juli 2017 pukul 13:22 WIB
49
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Analisis Semiotika Film Dangal
Film merupakan karya seni yang juga digunakan sebagai alat informasi
yang bisa menjadi alat hiburan, politik serta propaganda. Adegan-adegan dalam
film mengandung pesan yang divisualisasikan pada tayangan atau film itu
sendiri. Sehingga jika tidak diamati dengan jelas pesan dalam film tersebut tidak
dapat dimengerti oleh penonton. Maka dari itu penulis menganalisis film
Dangal menggunakan semiotika Roland Barthes. Yaitu dengan mencari makna
denotasi, konotasi, dan mitos yang terdapat dalam 9 scene film Dangal.
Scene 1 menggambarkan Mahavir dan Istrinya yang berada dalam
kamar, Mahavir menyampaikan kekecewaannya karena tidak bisa memiliki
anak laki-laki kepada istrinya. Scene 2 menggambarkan Mahavir yang sedang
berdebat dengan istrinya tentang anak perempuannya yang bergulat. Scene 3
menggambarkan saat Mahavir datang ke tempat pelatihan gulat tetapi Mahavir
ditolak karena anaknya perempuan. Scene 4 menggambarkan warga desa yang
membicarakan Mahavir dan anaknya yang bergulat. Scene 5 menggambarkan
teman sekolah Geeta dan Babita yang mengejek mereka karena mereka
bergulat. Scene 6 menggambarkan perdebatan antara Mahavir dan Kakaknya
karena kakak Mahavir tidak menyetujui keputusan Mahavir memotong rambut
Geeta dan Babita. Scene 7 menggambarkan Mahavir yang datang ke
pertandingan gulat untuk mendaftarkan Geeta bertanding tetapi ditolak oleh
panitia karena Geeta perempuan. Scene 8 menggambarkan Mahavir yang
datang menemui kepala sekolah untuk meminta izin cuti tetapi ditolak.
50
Scene 9 menggambarkan Mahavir yang mendatangi kantor dinsa
olahraga untuk meminta bantuan dana tetapi ditolak dengan alasan tidak ada
dana untuk gulat perempuan.
1. Scene 1
Tabel 4.1
Visual Dialog Type of Shot
Tidak ada dialog
Istri Mahavir:
“Aku tak bisa
memberimu putra”.
Mahavir:
“Itu Bukan
kesalahanmu. Dan
jangan salah
paham. Baik Geeta
dan Babita sangat
aku sayangi. Tapi
memang hanya
Medium Close-up,
Gambar diambil
mulai dari kepala
hingga dada
Medium Long
Shot, gambar
diambil mulai dari
lutut sampai
kepala dan antara
objek dan
lingkungannya
relatif seimbang
Medium Close-up,
gambar diambil
mulai dari dada
sampai kepala
51
anak laki-laki yang
bisa mewujudkan
cita-citaku”.
Scene diatas menggambarkan hubungan komunikasi laki-laki dan
perempuan yang timpang dan terjadi subordinasi dimana anak laki-laki
lebih diutamakan daripada anak perempuan. Tidak hanya subordinasi, pada
scene ini juga terdapat stereotip yang menggambarkan perempuan adalah
makhluk yang lemah sehingga dianggap tidak mampu mewujudkan cita-cita
orang tua.
a. Denotasi
Pada gambar pertama terdapat Mahavir, istri dan anaknya dalam
sebuah kamar. Istri Mahavir yang sedang duduk sambil menidurkan anak
pertamanya berkata “aku tidak bisa memberimu anak laki-laki”. Gambar 2,
3, 4, 5 memperlihatkan Mahavir yang sedang duduk menidurkan anak
keduanya di ayunan menjawab pernyataan istrinya dengan berkata “itu
bukan kesalahanmu. Dan jangan salah paham. Baik Geeta dan Babita sangat
aku sayangi. Tapi memang hanya anak laki-laki yang bisa mewujudkan cita-
citaku”. Hampir seluruh shot dalam adegan ini diambil dengan jarak
52
medium closeup, dimaksudkan untuk memberikan gambaran jelas
mengenai ekspresi dari tokoh.
b. Konotasi
Istri Mahavir yang sedang mengurus anaknya melihat kekecewaan
dari wajah Mahavir meminta maaf karna tidak bisa memberikan anak laki-
laki kepada Mahavir. Mahavir yang kecewa tidak mempersalahkan istrinya
karena tidak bisa memiliki anak laki-laki. Meskipun begitu Mahavir tetap
menyayangi Geeta dan Babita anaknya. Mahavir tetap yakin bahwa anak
laki-laki saja yang bisa mewujudkan mimpinya.
c. Mitos
Anak merupakan anugrah, penghias hidup, dan juga amanah dari
tuhan kepada setiap orang tua. Orang tua melakukan berbagai cara agar
dapat melihat anak-anaknya tumbuh dan berkembang sebagaimana
mestinya
Namun seringkali harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Beberapa
orang tua ingin memiliki anak dengan jenis kelamin tertentu agar dapat
mewujudkan cita-cita orang tuanya. Seperti dalam gambar keenam diikuti
dengan dialog “tapi memang hanya anak laki-laki yang bisa mewujudkan
cita-citaku”. Dialog ini seolah menggambarkan bahwa kelahiran anak laki-
laki lebih diharapkan dari pada kelahiran anak perempuan. Pandangan ini
menandakan bahwa laki-laki lebih diutamakan karena dianggap sebagai
penerus yang bisa mewujudkan cita-cita orang tuanya sedangkan
perempuan dinomorduakan. Anak perempuan dipandang rendah oleh orang
53
tua bahkan masyarakat sekitar. Dalam hal meneruskan cita-cita, orang tua
lebih memilih anak laki-laki karena dipandang lebih kuat.
Ketidakadilan gender dalam bentuk subordinasi terjadi disini,
dimana jenis kelamin tertentu lebih utama dibanding lainnya. Selain itu
pandangan laki-laki lebih kuat daripada perempuan menunjukkan stereotip
yang terjadi di dalam keluarga.
54
2. Scene 2
Tabel 4.2
Visual Dialog Type of Shot
Istri Mahavir:
“Gulat hanya untuk
laki-laki”.
Mahavir:
“Kau pikir puteri
kita lebih lemah
dari anak
laki-laki?”.
Istri Mahavir:
“Aku tidak pernah
lihat anak gadis
bertanding gulat”.
Medium Long
Shot, gambar
diambil mulai dari
lutut sampai
kepala dan antara
objek dan
lingkungannya
relatif seimbang
Medium Close-up,
gambar diambil
mulai dari dada
sampai kepala
Close-up, gambar
diambil dari bahu
hingga kepala
Gambar di atas mengggambarkan peran tradisionil yang memisahkan peran
antara laki-laki dan perempuan. Pemisahan peran ini menyebabkan
terjadinya stereotip, di mana gulat digambarkan hanya untuk anak laki-laki.
Selain itu citra perempuan sebagai makhluk yang lemah juga tergambarkan
dalam scene 2 ini.
55
a. Denotasi
Pada gambar pertama istri Mahavir sedang menimba air untuk
Mahavir yang sedang mandi di sampingnya sambil berkata “gulat hanya
untuk anak laki-laki” untuk meyakinkan Mahavir. Pada gambar kedua
menampilkan Mahavir yang sedang duduk dan menatap istrinya dengan
berkata “kau pikir putri kita lebih lemah dari anak laki-laki?”. Pada gambar
ketiga menampilkan ekspresi ketidaksukaan istri Mahavir atas perkataan
Mahavir sambal mengucapkan “aku tak pernah lihat anak gadis bertanding
gulat”.
b. Konotasi
Istri Mahavir yang sedang menimba air merasa tidak setuju dengan
Mahavir yang ingin menjadikan dua anak perempuannya sebagai pegulat.
Lalu Mahavir mencoba meyakinkan istrinya bahwa dua anak perempuannya
itu kuat dan memiliki potensi untuk menjadi seorang pegulat, karena darah
gulat mengalir di dalam tubuh mereka. Tetapi istri Mahavir tetap tidak
menyetujui keputusan Mahavir. Makna konotasi dari adegan ini adalah
Mahavir ingin menjadikan anak perempuannya sebagai pegulat namun
istrinya menganggap perempuan itu lemah dan tidak ada perempuan yang
menjadi pegulat.
c. Mitos
Kehawatiran istri Mahavir terhadap anak perempuannya yang ingin
dijadikan pegulat merupakan hal yang wajar, sebab di daerah tempat
tinggalnya perbedaan laki-laki dan perempuan masi sangat menonjol,
apalagi dalam bidang olahraga. Perbedaan ini dapat menimbulkan berbagai
56
masalah dan juga perdebatan mengenai posisi laki-laki dan juga perempuan.
Dalam bidang olahraga, permasalahan muncul karena gender perempuan
lebih rapuh dan lebih lemah kemampuan fisiknya untuk melakukan
olaharaga yang dilakukan oleh kalangan laki-laki. Oleh sebab itu wanita
sering diremehkan untuk melakukan aktifitas olahraga yang berat seperti
kontak fisik dan ketahanan. Padahal semua wanita memiliki kesempatan
sama untuk memperoleh status tertentu di masyarakat, tetapi karena
kemampuan dan pengalaman berbeda berdampak pada lahirnya tingkatan-
tingkatan status yang akan diperoleh wanita dalam partisipasinya di
olahraga.
Ketidakadilan gender dalam bentuk stereotip terjadi dalam scene
ini. Pelabelan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah membuat
perempuan hanya mempunyai pekerjaan mengurus rumah tangga dan
merawat rumah. Tidak mungkin perempuan menjadi pegulat karena
keinginan itu mustahil. Hal ini tidak berlaku bagi laki-laki, bahwa laki-laki
dapat menjadi pegulat sesuai dengan keinginannya.
57
3. Scene 3
Tabel 4.3
Visual Dialog Type of Shot
Pemilik tempat
latihan gulat:
“Ini benar-benar
konyol, Mahavir.
Anak perempuan di
arena gulat? kau
ingin membuatku
berdosa diusiaku
ini?”.
Tidak ada dialog
Medium Long Shot,
menunjukkan
suasana di tempat
latihan gulat
Medium Shot,
gambar diambil
dari pinggang
sampai kepala
Medium Close Up,
memperlihatkan
ekspresi wajah
Mahavir
Scene ini menggambarkan ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi
terhadap tafsir agama. Pemilik tempat latihan gulat mempercayai bahwa
gulat tidak pantas dilakukan oleh anak perempuan. Sehingga jika dia tetap
mengizinkan akan menambah dosanya.
58
a. Denotasi
Pada gambar pertama menampilkan Mahavir, seorang pria yang
mengenakan pakaian putih sedang duduk dan dikelilingi beberapa pria yang
tidak mengenakan baju di tempat latihan gulat. Pria berpakaian putih
berkata “sungguh tak masuk akal Mahavir”. Gambar kedua menampilkan
pria yang berbaju putih dengan dikelilingi pria yang tidak mengenakan baju
dan berkata “gadis di arena gulat?”. Gambar ketiga menampilkan Mahavir
yang memperhatikan perkataan pria berbaju putih yang berkata “kau ingin
menambah dosaku di usiaku ini?”.
b. Konotasi
Mahavir memutuskan mendatangi tempat latihan gulat yang biasa ia
datangi. Ia datang dengan tujuan agar anaknya bisa berlatih di tempat itu.
Mahavir dengan serius mendengar ucapan pemilik tempat latihan gulat.
Setelah mendengar pernyataan dari pemilik tempat latihan gulat, Mahavir
merasa kecewa mendengar perkataan pemilik tempat latihan gulat yang
menolak anaknya untuk berlatih gulat. Sang pemilik merasa tidak pantas
jika perempuan bergulat dengan laki-laki. Hal ini dilakukannya karena dia
mempercayai dan menaati aturan dalam kepercayaan yang dianutnya bahwa
segala sesuatu yang dilakukan laki-laki dan perempuan dipertimbangkan
pantas dan tidak pantasnya.
59
c. Mitos
Memegang teguh kepercayaan dan menaati ajaran terhadap suatu
agama adalah wajib bagi penganutnya. Di India terdapat tradisi yang terus
dijalankan dan ditaati secara turun menurun, dimana dalam tradisi ini
perempuan memiliki posisi yang tidak setara dengan laki-laki. Kepercayaan
dalam tradisi ini dijalankan dan ditaati oleh masyarakat pada saat itu.
Sehingga bagi seseorang yang melanggarnya dia akan merasa berdosa,
tetapi dengan adanya kepercayaan ini membuat perempuan terdiskriminasi,
karena harus berada dalam posisi tidak setara dengan laki-laki sehingga
perempuan tidak dapat mengembangkan dirinya. Padahal menurut
pandangan Hindu kedudukan laki-laki dan perempuan sama-sama
terhormat dan yang membedakan adalah tugas dan tanggung jawab, selain
itu mempertimbangkan hal-hal yang mana yang pantas dikerjakan laki-laki
dan mana yang pantas dilakukan perempuan.1
Hal ini seperti yang tergambar dalam scene 3 yang diikuti dengan
dialog “ini benar-benar konyol, Mahavir. Anak perempuan di arena gulat?
kau ingin membuatku berdosa diusiaku ini?. Dialog tersebut seolah
menggambarkan kepercayaan yang ditaati oleh pemilik tempat latihan gulat
yang dipegang teguh. Kepercayaan yang dianutnya mempertimbangkan
hal-hal yang mana yang pantas dikerjakan laki-laki dan mana yang pantas
dilakukan perempuan. Dan baginya gulat tidak pantas dilakukan oleh anak
perempuan apalagi harus bergulat dengan anak laki-laki. Sehingga jika dia
tetap mengizinkan akan menambah dosanya. Hal tersebut sejalan dengan
1 Ni Nyoman Rahmawati, Perempuan Bali dalam Pergulatan Gender, Jurnal Studi
Kultural Vol. 1 No. 1, 2016, h. 59
60
ajaran agama Islam, menurut islam gulat dengan lawan jenis itu masalah
pantas dan tidak pantas. Prinsip ini disebut prinsip qaulan maysura yang
berarti perkataan yang mudah diterima, dan yang pantas.2 Jadi, baik dalam
agama Hindu maupun Islam telah mengatur apa yang pantas dilakukan
masing-masing penganutnya.
2 http://www.risalahislam.com/2017/01/6-prinsip-komunikasi-islam.html diakses pada 8
Januari 2018 pukul 20.00 WIB.
61
4. Scene 4
Tabel 4.4
Visual Dialog Type of Shot
Penduduk desa:
“Anak perempuan
cocoknya di dapur
bukan bergulat”.
Penduduk desa:
“Bukan gila tapi
tak tahu malu. Ia
menyuruh anak-
anaknya memakai
celana pendek dan
melawan anak
lelaki.
Medium Close-up,
gambar diambil
dari dada hingga
atas kepala
Medium Shot,
gambar diambil
dari pinggang
sampai kepala
Dalam scene ini terdapat ketidakadilan gender dalam bentuk stereotip yang
digambarkan sebagai citra perempuan yang lebih cocok di dapur dan citra
perempuan dalam penampilan. Tamrin Amal Tomogola dalam hasil
penelitiannya menemukan citra perempuan di dapur sebagai citra pinggan
dan citra perempuan dalam hal penampilan sebagai citra pigura.
62
a. Denotasi
Pada gambar pertama dan kedua memperlihatkan tukang cukur yang
sedang mencukur pelanggannya sambil membicarakan kedua anak Mahavir
yang berlatih bergulat ke pelanggannya dengan berkata “anak perempuan
cocoknya di dapur, bukan bergulat”. Pada gambar ketiga memperlihatkan
seorang penduduk desa yang sedang memegang gelas minuman dan
membicarakan Mahavir kepada penduduk lainnya yang sedang
menghangatkan badan di api unggun dengan berkata “bukan gila tapi tak
tahu malu. Ia menyuruh anaknya memakai celana pendek dan melawan laki-
laki”.
b. Konotasi
Penduduk desa yang mulai membicarakan kedua anak Mahavir di
tempat cukur merasa tidak setuju dengan keputusan Mahavir melatih
anaknya gulat karena baginya perempuan lebih cocok mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan dapur seperti memasak dan dia membicarakan hal ini
kepada pelanggannya. Di tempat lain penduduk desa yang sedang
berkumpul untuk minum dan menghangatkan tubuh juga menjadikan
Mahavir dan anaknya sebagai objek perbincangan mereka. Mereka seolah-
olah mengejek terhadap apa yang dilakukan Mahavir dengan menyebut
Mahavir gila, tidak punya rasa maluk karena menyuruh anaknya memakai
celana pendek yang sama sekali tidak mencerminkan budaya mereka,
apalagi sampai melawan laki-laki yang berbeda jenis kelamin dengan
anaknya.
63
c. Mitos
Perempuan selalu dipandang sebelah mata di masyarakat.
Perempuan digambarkan sebagai makhluk yang lemah dan membutuhkan
perlindungan. Hal ini menjadikan perempuan hanya dipandang mampu
mengerjakan pekerjaan rumah tangga, salah satunya memasak di dapur.
Pekerjaan perempuan yang hanya cocok didapur termasuk kedalam citra
pinggan. Pada citra pinggan perempuan digambarkan sangat erat
hubungannya dengan dapur, karena dapur adalah dunianya perempuan.
Apabila ada perempuan yang melakukan pekerjaan selain urusan dapur
maka dipandang berbeda dan aneh, karena menyalahi aturan yang ada di
masyarakat. Adanya citra pinggan ini memunculkan ketidakadilan dalam
bentuk stereotip.
Begitu pula dengan cara berpakaian yang seolah-olah telah diatur
dan telah menjadi tradisi turun menurun. Geeta dan Babita mengenakan
pakaian seperti laki-laki dengan kaus dan celana pendek untuk
memudahkan mereka dalam berlatih gulat. Walaupun dengan alasan untuk
mempermudah mereka dalam berlatih masyarakat tetap memandang
keduanya berbeda dengan perempuan lainnya. Menurut mereka perempuan
terlihat cantik ketika memakai kain sari yang merupakan pakaian tradisional
India, karena sebagian besar perempuan di India menggunakan kain sari
sebagai pakaian sehari-hari.
64
5. Scene 5
Tabel 4.5
Visual Dialog Type of Shot
Teman sekolah
Geeta dan Babita:
“Sejak kalian mulai
bergulat, cara
berjalan kalian
makin jantan saja”.
Medium Long
Shoot, gambar
diambil dari lutut
hingga atas kepala
Dalam scene ini terdapat ketidakadilan gender berupa kekerasan. Kekerasan
yang terjadi adalah kekerasan psikis karena sifat maskulin yang menempel
pada perempuan. Sifat maskulin feminis sebenarnya melakat di perempuan
dan laki-laki. Ada saatnya untuk menjadi maskulin atau feminis sesuai
dengan tempat dan keadaan.
a. Denotasi
Pada scene 5 tersebut menampilkan Geeta dan Babita berjalan di
lorong sekolah dan bertemu dengan dua teman sekolah mereka yang sedang
berdiri bersandar di tiang sambil berkata “sejak kalian mulai bergulat, cara
berjalan kalian makin jantan saja”.
b. Konotasi
Geeta dan Babita datang ke sekolah seperti biasa layaknya anak-
anak lain, namun kali ini Geeta dan Babita mendapatkan ejekan dari teman-
teman sekolahnya, setelah mereka mengetahui bahwa kedua kakak beradik
ini berlatih gulat. Geeta dan Babita tidak tinggal diam. Mereka marah
kepada temannya yang sudah mengejek mereka.
65
c. Mitos
Mengejek teman merupakan salah satu perbuatan yang tidak terpuji
karena mengejek termasuk kekerasan. Kekerasan dibagi menjadi kekerasan
fisik dan kekerasan psikis. Kekerasan fisik yaitu segala bentuk kekerasan
yang ditujukan pada fisik seseorang, baik berupa tamparan, tendangan dan
lain-lain, sedangkan kekerasan psikis adalah segala tindakan yang
dilakukan secara verbal, seperti menghina, berkata kasar, mengejek dan
lain-lain.3 Kekerasan berbasis gender dapat terjadi terhadap laki-laki
maupun perempuan. Namun karena pemikiran masyarakat di India pada
saat itu menganggap perempuan lebih rendah dari pada laki-laki, maka
kekerasan berbasis gender lebih sering diterima oleh perempuan. Terkadang
perempuan mendapatkan kekerasan dari orang-orang yang seharusnya bisa
melindungi mereka seperti keluarga dan teman.
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah
bersabda:
“Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?” Mereka
menjawab: “Orang yang bangkrut di kalangan kami adalah orang yang
tidak memiliki dirham dan tidak pula memiliki harta/barang”. Rasulullah
bersabda: “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang
yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan
zakat. Namun ia juga datang dengan membawa dosa kedzaliman. Maka
sebagai tebusan atas kedzalimannya tersebut, diberikanlah kebaikannya
kepada orang-orang itu. Hingga apabila kebaikannya telah habis dibagi-
bagikan kepada orang-orang yang didzaliminya sementara belum semua
kedzalimannya tertebus, diambillah kejelekan/ kesalahan yang dimiliki oleh
orang yang didzaliminya lalu ditimpakan kepadanya, kemudian dia
dilemparkan ke dalam neraka.” (H.R Muslim)
Berdasarkan hadist di atas maka dapat dimaknai bahwa orang-orang
yang membawa pahala dari amalan-amalan sholeh seperti sholat, puasa,
3 Layyinah al-Himshi, Muslimah Pembelajar, (Jakarta: Zaman, 20013), h. 263.
66
zakat akan digolongkan sebagai orang yang bankrut apabila dia juga
membawa dosa kedzaliman seperti, mencela saudaranya, menuduh tanpa
bukti, memukul orang lain. Pahala-pahala yang dimiliki akan diberikan
kepada orang-orang yang telah mereka sakiti.
Kekerasan terhadap perempuan tidak dibenarkan karena
bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan ajaran agama Islam. Islam
datang untuk membawa kemaslahatan umat termasuk perempuan.
6. Scene 6
Tabel 4.6
Visual Dialog Type of Shot
Panitia
pertandingan:
“Pak Mahavir Sigh
Phogat, selamat
datang. Suatu
kehormatan anda
datang menonton
perlombaan”.
Mahavir:
“Aku juga
membawa
pegulat”.
Medium Shot,
gambar diambil
dari pinggang
hingga kepala.
Medium Shot,
menampilkan
Mahavir dengan
beberapa orang
yang ada
disekelilingnya
67
Panitia
pertandingan:
“Nama, silahkan”.
Mahavir:
“Geeta Khumari
Phogat”.
Panitia
pertandingan:
“Kau membawa
pegulat wanita?”.
Mahavir:
“Ya, lalu?”.
Tidak ada dialog
Medium Shot,
pengambilan
gambar dari
pinggang hingga
atas
Medium Shot
Medium Shot
Medium Close-up,
gambar diambil
dari dada hingga
kepala
Medium Shot,
68
Panitia
pertandingan:
“Pak kalau aku
mengadakan lomba
masak, itulah saat
nona Geeta bisa
ikut. Ini lomba
gulat”.
Medium Long Shot,
gambar diambil
dari lutut hingga
kepala
Dalam scene ini terdapat ketidakadilan gender dalam bentuk stereotip yang
digambarkan sebagai citra perempuan yang lebih cocok mengikuti lomba
memasak dan kekerasan dalam bentuk melecehkan.
a. Denotasi
Pada gambar pertama menampilkan Mahavir, Geeta dan Omkar
yang datang ke pertandingan gulat dan disambut dengan ramah oleh panitia
pertandingan dengan berkata “pak Mahavir Sigh Phogat, selamat datang.
Suatu kehormatan anda datang menonton perlombaan”. Gambar kedua
memperlihatkan Mahavir yang ingin mendaftarkan pegulat yang ia bawa
dengan berkata “aku juga membawa pegulat”. Gambar ketiga
memperlihatkan panitia pertandingan yang siap mencatat nama pegulat
yang dibawa Mahavir dengan berkata “nama, silahkan”. Gambar keempat
memperlihatkan Mahavir yang menyebutkan nama pegulat yang ia bawa
dengan berkata “Geeta Khumari Phogat”. Gambar kelima menampilkan
ekspresi panitia pertandingan yang terkejut, bingung, dan sedikit tertawa
setelah Mahavir memberitahu nama pegulat yang ia bawa dengan berkata
“kau membawa pegulat wanita?”. Gambar keenam Mahavir dengan tegas
menjawab pertanyaan panitia pertandingan dengan berkata “ya, lalu?”.
69
Gambar ketujuh memperlihatkan panitia pertandingan yang meremehkan
dan menertawakan Mahavir dan pegulat yang dibawanya. Gambar
kedelapan menampilkan panitia pertandingan yang menolak pegulat yang
dibawa Mahavir ikut serta dalam pertandingan karena pegulat yang ia bawa
adalah seorang wanita dengan berkata “pak kalau aku mengadakan lomba
masak, itulah saat nona Geeta bisa ikut. Ini lomba gulat”.
b. Konotasi
Mahavir yang merasa anaknya sudah siap mengikuti kompetisi gulat
membawa Geeta ke Rohtak untuk bertanding gulat melawan anak laki-laki.
Mahavir sangat dihormati dalam gulat, dan sesampainya disana Mahavir
disambut dengan ramah oleh panitia pertandingan. Mahavir datang bukan
hanya untuk menonton pertandingan tetapi untuk mendaftarkan anaknya
Geeta di pertandingan gulat. Panitia pertandingan pun terkejut dan
menertawakan Mahavir setelah mengetahui peserta yang didaftarkan adalah
perempuan. Mahavir tetap pada pendiriannya untuk mendaftarkan anaknya
dalam pertandingan.
c. Mitos
Karakteristik perempuan dan laki-laki biasanya dikaitkan dengan
peran gender mereka, seperti perempuan yang lekat dengan karakter lemah,
mudah menangis dan irasional. Sedangkan laki-laki dengan pemikirannya
yang rasiona, kuat secara fisik. Perbedaan yang terbentuk dalam masyarakat
terkonstruksi sejak dahulu kala dan terus berlaku secara turun menurun.
70
Pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya
melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domestik atau
kerumahtanggaan menjadi stereotipe yang berkembang di masyarakat.
Seperti apa yang dikatakan oleh panitia pertandingan bahwa
perempuan lebih pantas mengikuti lomba memasak secara tidak langsung
telah memberikan penggambaran bahwa perempuan hanya mampu
memasak. Anggapan bahwa perempuan hanya bisa melakukan pekerjaan
kerumahtanggaan mengakibatkan pembatasan terhadap perempuan dalam
hal pengembangan diri. Akibat dari stereotip tersebut akan mengakibatkan
terjadinya diskriminasi.
Selain ketidakadilan gender berbentuk stereotip dalam scene juga
terdapat ketidakadilan gender dalam bentuk kekerasan psikis. Kekerasan
psikis yang terjadi dalam scene ini terjadi karena sikap panitia pertandingan
yang menertawai pegulat perempuan yang ingin mendaftar. Sikap
menertawai tersebut melecehkan, merendahkan perempuan dan termasuk
kedalam kekerasann psikis.
71
7. Scene 7
Tabel 4.7
Visual Dialog Type of Shot
Kepala sekolah:
“Cuti? Selama dua
bulan? Apakah
putrimu akan
menikah?”.
Mahavir:
“Aku harus
mempersiapkan
anakku untuk
tingkat nasional.”
Kepala sekolah:
“Lupakan…lupakan
semua itu. Kalau ia
akan menikah bisa
kupertimbangkan.”
Tidak ada dialog
Medium Close-up,
gambar diambil
dari dada hingga
kepala
Medium Shot,
memperlihatkan
suasana kantor
kepala sekolah
Medium Close-up,
memperlihatkan
ekspresi kepala
sekolah yang
tertawa
Medium Close-up,
menampilkan
ekspresi kecewa
Mahavir
Dalam scene ini terjadi ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi
yang terjadi akibat adanya kebijakan dari kepala sekolah. Seorang
perempuan tidak diberikan kesempatan untuk tampil di muka publik.
72
73
a. Denotasi
Pada gambar pertama menampilkan kepala sekolah yang
mempertanyakan Mahavir yang ingin meminta cuti untuk anaknya dengan
berkata “cuti? Selama dua bulan? Apakah putrimu akan menikah?”. Gambar
kedua memperlihatkan Mahavir yang mencoba meyakinkan dan memohon
kepada kepala sekolah agar mendapatkan cuti untuk anaknya dengan
berkata “aku harus mempersiapkan anakku untuk tingkat nasional. Gambar
ketiga memperlihatkan kepala sekolah yang tertawa dan menganggap remeh
alasan Mahavir yang meminta izin cuti untuk anaknya dengan berkata
“lupakan…lupakan semua itu. Kalau ia akan menikah, bisa
kupertimbangkan”. Gambar keempat menampilkan ekspresi kekecewaan
Mahavir yang tidak mendapatkan izin dari kepala sekolah.
b. Konotasi
Mahavir mendatangi sekolah Geeta dan Babita untuk bertemu
dengan kepala sekolah. Sesampainya di ruang kepala sekolah mahavir
memberitahukan maksud dan tujuannya datang untuk meminta izin cuti
untuk anaknya. Mendengar perkataan Mahavir kepala sekolah terkejut dan
kembali bertanya kepada Mahavir untuk apa meminta cuti, karena biasanya
orang tua yang meminta izin anaknya cuti untuk dinikahkan. Mahavir
mencoba meyakinkan kepala sekolah dan memohon agar mendapatkan cuti
karena ia ingin mempersiapkan anaknya untuk kejuaraan nasional.
Mendengar perkataan Mahavir kepala sekolah tertawa dan meremehkan
kemampuan anaknya karena anaknya perempuan. Kepala sekolah hanya
mempertimbangkan cuti jika alasan menikah, sementara Mahavir meminta
74
cuti agar anaknya bisa mempersiapkan untuk mengikuti kejuaraan nasional.
Setelah mendengar perkataan kepala sekolah Mahavir merasa kecewa
karena dia tidak mendapatkan izin cuti dari kepala sekolah.
c. Mitos
Ketidakadilan gender terjadi tidak hanya di lingkungan keluarga dan
lingkungan masyarakat. Seperti pada film dangal, ketidakadilan gender
terjadi di lingkungan sekolah dalam bentuk marginalisi dimana kepala
sekolah tidak memberikan izin cuti kepada siswanya yang akan
mempersiapkan pertandingan gulat nasional. Kepala sekolah tidak
memberikan kesempatan murid perempuannya tampil dalam dunia luar
selain menjalankan perannya sebagai perempuan dalam peran tradisional
yang mengharuskan perempuan mengerjakan semua pekerjaan rumah
tangga.
75
8. Scene 8
Tabel 4.8
Visual Dialog Type of Shot
Kepala dinas
olahraga:
“Ya Mahavir
Singh,
kau tadi bilang
apa?”.
Mahavir:
“Kalau aku bisa
mendapatkan dana,
itu akan sangat
membantu. Putriku
telah mencapai
tingkat propinsi”.
Kepala dinas
olahraga:
“Apa hebatnya
mencapai tingkat
propinsi? Di gulat
wanita lagi?
Putrimu bertanding
sendirian, lalu
juara satu, apa
perlunya dana
untukmu?”.
Medium Close-up,
gambar diambil
dari dada hingga
kepala
Medium Close-up,
menampilkan
ekspresi Mahavir
yang memelas
Medium Close-up,
gambar diambil
dari dada hingga
kepala
76
Mahavir: “Pak aku
harus beli matras
untuk latihannya.
Ia
bergulat dengan
baik, kalau anda
mendukungnya hari
ini, suatu hari ia
akan membuat
negara bangga”.
Kepala dinas
olahraga:
“Kita dapat dana
olahraga sebanyak
ini, gulat sebanyak
ini, sisihkan untuk
gulat pria, lalu
pelatih, makan,
perjalanan,
peralatan, dan lain-
lain. Semuanya
yang tersisa untuk
gulat wanita
sebanyak ini”.
Medium Close-up
Medium Close-up,
menampilkan
ekspresi keseriusan
kepala dinas yang
sedang
menjelaskan aliran
dana kepada
Mahavir
Dalam scene ini terdapat ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi
yang terjadi karena kebijakan pemerintah yang tidak mau memberikan dana
untuk atlet gulat perempuan. Selain itu terdapat juga subordinasi yang
terjadi karena pemerintah lebih mementingkan dana untuk atlet laki-laki.
77
a. Denotasi
Pada gambar pertama menampilkan Mahavir yang menemui kepala
dinas olahraga dengan membawa manisan. Kepala dinas yang fokus dengan
manisan bertanya kembali kepada Mahavir apa maksud tujuannya
menemuinya dengan berkata “Ya Mahavir Singh, kau tadi bilang apa?”.
Gambar kedua memperlihatkan Mahavir yang menjelaskan kembali
maksud dan tujuannya menemui kepala dinas dengan berkata “kalau aku
bisa mendapatkan dana, itu akan sangat membantu. Putriku telah mencapai
tingkat propinsi”. Gambar ketiga memperlihatkan kepala dinas yang
meremehkan prestasi anak Mahavir meskipun dia telah mencapai tingkat
propinsi dengan berkata “apa hebatnya mencapai tingkat propinsi? Di gulat
wanita lagi? Putrimu bertanding sendirian, lalu juara satu, apa perlunya dana
untukmu?”. Gambar keempat memperlihatkan Mahavir yang sedikit
kecewa dengan jawaban kepala dinas tetapi Mahavir terus berusaha
meyakinkan kepala dinas dengan berkata “pak aku harus beli matras untuk
latihannya. Ia bergulat dengan baik, kalau anda mendukungnya hari ini,
suatu hari ia akan membuat negara bangga”. Gambar kelima
memperlihatkan kepala dinas yang menjelaskan kepada Mahavir aliran dana
yang didapat untuk olahraga dengan berkata “kita dapat dana olahraga
sebanyak ini, gulat sebanyak ini, sisihkan untuk gulat pria, lalu pelatih,
makan, perjalanan, peralatan, dan lain-lain. Semuanya yang tersisa untuk
gulat wanita sebanyak ini”.
78
b. Konotasi
Mahavir mendatangi kepala dinas olahraga Haryana untuk meminta
dana agar putrinya bisa berlatih gulat di matras khusus. Setelah Mahavir
menjelaskan tujuannya ternyata kepala dinas meremehkan prestasi putri
Mahavir yang sudah mencapai tingkat propinsi dengan menertawakannya
dan tidak menganggap prestasi yang telah dicapai oleh Geeta karena dia
seorang perempuan. Walaupun ditertawakan Mahavir tetap meyakinkan
kepala dinas bahwa anaknya bergulat dengan baik dan suatu saat nanti akan
membuat negara bangga. Kepala dinas mengklasifikasikan besaran dana
yang ada dan tidak ada dana yang tersisa untuk gulat wanita karena dia
hanya memprioritaskan gulat pria saja.
c. Mitos
Keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin lebih penting atau lebih
utama dibanding jenis kelamin lainnya membuat pandangan masyarakat
menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah daripada laki-
laki. Banyak kasus dalam aturan kebijakan pemerintahan yang meletakkan
kaum perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Seperti dalam
gambar kelima scene 9 dengan diikuti dialog “Kita dapat dana olahraga
sebanyak ini, gulat sebanyak ini, sisihkan untuk gulat pria, lalu pelatih,
makan, perjalanan, peralatan, dan lain-lain. Semuanya yang tersisa untuk
gulat wanita sebanyak ini”. Dialog ini menggambarkan bahwa ada
perbedaan besaran dana yang disediakan pemerintah untuk gulat wanita
pada saat itu, meskipun dana yang didapat untuk olahraga banyak, tetapi
dibagi lagi untuk setiap cabang olahraga lain. Untuk gulat sendiri
79
mendapatkan dana yang lumayan banyak, dibagi lagi untuk gulat pria
sedikit, untuk pelatih dan dana transportasi sedikit dan tidak ada sisa untuk
gulat wanita. Seorang perempuan dianggap tidak penting walaupun telah
mendapatkan prestasi. Hal ini menyebabkan adanya ketidakadilan yang
merugikan kaum perempuan. Kenyataan ini memperlihatkan masih adanya
nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak perempuan dalam
kehidupan.
9. Scene 9
Tabel 4.9
Visual Dialog Type of Shot
Mahavir: “Ada
apa?”
Orang tua teman
Geeta dan Babita:
“Lihatlah
parahnya
keadaan mereka,
bengkak dan
memar”
Mahavir:
“Kenapa kau
pukul mereka?”
Medium Shot
Medium Long
Shot,
Medium Shot
80
Istri Mahavir:
“Geeta dan
Babita yang
menghajar
mereka”
Medium Closeup
Dalam scene ini mematahkan stereotip tentang perempuan yang penakut.
Anggapan bahwa perempuan lemah tidak berlaku dalam scene ini. Hal ini
terlihat dari Geeta dan Babita yang berani melawan anak laki-laki yang
mengejeknya.
a. Denotasi
Pada gambar pertama terlihat Mahavir yang baru tiba di rumah
bingung melihat keadaan rumahnya dengan berkata “ada apa?”. Gambar
kedua memperlihatkan orang tua dari anak yang babak belur sedang protes
kepada Mahavir dengan berkata “lihatlah parahnya keadaan mereka,
bengkak dan memar” Gambar ketiga memperlihatkan Mahavir yang marah
dan memukul Omkar sambil berkata “kenapa kau pukul mereka”. Gambar
keempat terlihat istri Mahavir yang memberi tahu siapa sebenarnya yang
memukuli anak laki-laki itu dengan berkata “Geeta dan Babita yang
menghajar mereka”
b. Konotasi
Mahavir yang baru sampai kerumah terkejut melihat rumahnya
ramai dan ada anak laki-laki yang babak belur beserta orang tuanya. Orang
tua dari anak laki-laki itu marah dan protes kepada Mahavir karena anak
mereka dipukuli oleh anggota keluarga Mahavir. Awalnya Mahavir marah
81
dan memukul Omkar keponakannya karena ia mengira Omkarlah yang
memukuli anak laki-laki tersebut. Tetapi istri Mahavir memberitahukan
bahwa Geeta dan Babita lah yang memukuli anak laki-laki itu. Mahavir
terkejut dan ia meminta Geeta dan Babita mempraktekan ulang cara mereka
menghajar anak laki-laki itu. Dan saat Mahavir melihat reka ulang
kejadiannya Mahavir baru menyadari bahwa dua anak perempuannya
berpotensi menjadi pegulat yang kuat.
c. Mitos
Dalam scene ini mematahkan stereotip tentang perempuan yang
penakut. Kedua anak laki-laki yang dihajar Geeta dan Babita berpikiran
mereka tidak akan melawan karena takut dan mereka seorang perempuan.
Tetapi pandangan itu dipatahkan karena Geeta dan Babita berani menghajar
anak laki-laki yang meledeknya hingga bengkak dan memar.
10. Scene 10
Tabel 4.10
Visual Dialog Type of Shot
Tidak ada dialog
Tidak ada dialog
Medium Shot
Medium
Closeup
82
Tidak ada dialog
Long shot
Dalam scene ini mematahkan stereotip yang ada di masyarakat bahwa
perempuan adalah makhluk yang lemah menjadi perempuan juga bisa
memiliki kekuatan untuk bisa berprestasi.
a. Denotasi
Pada gambar pertama memperlihatkan Geeta yang masi kecil sedang
bertarung dengan anak laki-laki di perlombaan gulat tradisional. Gambar
kedua memperlihatkan Geeta yang sudah dewasa bertarung di kejuaraan
tingkat internasional dengan melawan salah satu pegulat unggulan di
kejuaraan itu. Gambar ketiga memperlihatkan Geeta yang berhasil
mendapatkan medali emas setelah mengalahkan pegulat unggulan.
b. Konotasi
Sejak kecil Geeta sudah mengikuti perlombaan gulat melawan anak
laki-laki dan berhasil memenangkan banyak lomba gulat lokal. Kekuatan
Geeta dalam bergulat menyebar keseluruh pegulat tradisional laki-laki yang
ada di daerahnya dank arena kekuatannya itu sampai ada laki-laki yang tidak
berani melawan Geeta. Saat dewasa Geeta juga berhasil mengalahkan
pegulat unggulan dan mendapatkan medali emas. Perjuangan Geeta dari
kecil membuahkan hasil yang sangat membanggakan Mahavir ayahnya.
Dengan kekuatan dan kemampuan yang Geeta miliki, akhirnya ia bisa
83
menjadi pegulat perempuan pertama India yang berhasil mendapatkan
medali emas di kejuaraan internasional.
c. Mitos
Scene ini mematahkan pandangan stereotip bahwa perempuan itu
lemah. Tetapi pandangan itu dipatahkan dalam scene ini, yang
menggambarkan perempuan itu kuat. Sejak kecil Geeta sudah mengalahkan
anak laki-laki yang bertarung dengannya. Dengan penuh kekuatan Geeta
berhasil mengalahkan mereka semua sampai ada pegulat laki-laki yang
tidak mau melawan Geeta. Ketika dewaasa Geeta juga berhasil
mengalahkan lawannya di final dengan seluruh kekuatan dan kemampuan
yang dimilikinya.
B. Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender Dalam Film Dangal
Film dangal merupakan film yang mengisahkan tentang Mahavir
seorang mantan pegulat yang ingin mewujudkan mimpinya melalui anak
perempuannya, dan dalam perjalanan untuk meraih mimpi tersebut Mahavir
dan kedua anaknya harus mendapatkan diskriminasi dari masyarakat
sekitar. Film ini mengandung bentuk-bentuk diskriminasi terhadap
perempuan yang diwakilkan oleh Mahavir dan kedua anaknya. Bentuk-
bentuk diskriminasi yang terkandung dalam film dangal adalah sebagai
berikut:
84
1. Marginalisasi
Marginalisasi dalam film ini digambarkan saat Mahavir mendatangi
tempat pelatihan gulat untuk anaknya berlatih dan sang pemilik menolak
dengan alasan akan menambah dosa diumurnya yang sudah tua karena
baginya tidak pantas untuk seorang perempuan bergulat apalagi melawan
laki-laki. Dan agamanya telah mengatur tentang pantas dan tidak pantasnya
apa yang dilakukan laki-laki dan perempuan.
Keyakinan pada tafsir agama atau tradisi adalah suatu hal yang
sangat baik dan merupakan sifat terpuji. Bagi setiap orang yang meyakini
agamanya maka dia akan mendapatkan ketenangan dalam hidupnya.
Terkadang tafsir agama atau tradisi memperkuat adanya marginalisasi.
Marginalisasi selajutnya digambarkan ketika Mahavir ingin
meminta izin cuti agar anaknya dapat mempersiapkan diri untuk
pertandingan nasional. Kepala sekolah menolak permintaan Mahavir dan
hanya akan mempertimbangkan cuti jika alasannya untuk menikah
meskipun Geeta telah mendapatkan prestasi tingkat propinsi. Hal ini jelas
merugikan pegulat perempuan yang ingin mendapatkan prestasi lebih baik
lagi.
Selain itu, marginalisasi juga digambarkan pada saat Mahavir
mendatangi kepala dinas olahraga untuk meminta bantuan dana agar
putrinya bisa berlatih gulat di matras khusus. Lagi-lagi permintaan Mahavir
ditolak karena birokrasi pemerintah. Dana yang disediakan hanya untuk
gulat laki-laki. Hal ini merugikan pegulat perempuan yang ingin berprestasi
85
tetapi tidak bisa mengembangkan potensinya karena tidak adanya dana dari
pemerintah.
2. Subordinasi
Subordinasi pada film ini dimulai dari kelahiran anak-anak
perempuan Mahavir. Mahavir yang pada awalnya menginginkan anak laki-
laki untuk meneruskan impiannya menjadi pegulat dan mendapatkan
medali emas untuk negaranya terpaksa kecewa karena anaknya perempuan.
Pada saat itu Mahavir memandang anak perempuan lemah. Dalam hal
meneruskan cita-cita, anak laki-laki lebih dipilih karena dipandang lebih
kuat.
Subordinasi lainnya pada film ini digambarkan saat Mahavir
mendatangi kepala dinas olahraga. Kepala dinas lebih mementingkan
pegulat laki-laki dibanding pegulat perempuan meskipun telah mempunyai
prestasi. Subordinasi dalam scene 9 ini berkaitan dengan marginalisasi,
dimana Geeta yang sudah mencapai tingkat propinsi tidak bisa
mendapatkan dana karena aturan pemerintah. Aturan tersebut ada karena
subordinasi yang menganggap posisi kedudukan perempuan lebih rendah
daripada laki-laki.
3. Stereotipe
Stereotip dalam film ini digambarkan ketika Mahavir dan istrinya
berbincang tentang keputusannya menjadikan anak perempuannya pegulat.
Pada awalnya Mahavir hanya meyakini bahwa anak laki-laki saja yang bisa
mewujudkan mimpinya untuk bergulat dan mendapatkan medali emas.
Tetapi pandangan Mahavir mulai berubah tentang anak perempuan, yang
86
semula dia anggap lemah dan tidak mampu mewujudkan mimpinya, kini
berubah menjadi orang yang terobsesi untuk menjadikan putrinya pegulat
karena dia mendapati Geeta dan Babita melawan anak laki-laki hingga
babak belur. Hal ini membuktikan bahwa tidak semua perempuan lemah.
Tetapi tidak dengan istrinya, dia tetap memandang bahwa perempuan
adalah makhluk yang lemah dan butuh perlindungan. Hal ini karena rasa
khawatir seorang ibu yang besar dan ditambah lagi dengan pandangan
masyarakat yang sudah ada turun menurun bahwa perempuan hanya boleh
mengerjakan pekerjaan rumah tangga tidak untuk bergulat.
Kemudian stereotipe juga digambarkan ketika masyarakat sekitar
mulai membicarakan anak perempuan Mahavir yang tidak pantas bergulat
dan lebih cocok di dapur. Adanya stereotipe yang sudah turun temurun,
membuat Mahavir dan anaknya dianggap melanggar aturan yang berlaku di
masyarakat.
Selanjutnya, stereotipe digambarkan ketika Mahavir ingin
mendaftarkan Geeta untuk mengikuti pertandingan gulat. Panitia
penyelenggara yang pada awalnya menghormati Mahavir menjadi
menertawakan dan menyuruh Geeta mengikuti lomba memasak saja karena
dia adalah perempuan.
Stereotipe yang sering muncul dalam film ini adalah pandangan
bahwa perempuan itu lemah butuh perlindungan, selain itu perempuan
hanya cocok mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak, bersih-bersih,
mengurus anak dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Hal ini tidak hanya
87
terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga dalam kehidupan
bermasyarakat.
Film ini berupaya menampilkan stereotip, pertama berani dalam
scene 9 mendobrak sifat-sifat stereotip perempuan yang dianggap lemah di
dalam masyarakat. Gambaran perempuan kuat terlihat di scene ketika
Geeta. Kuatnya pegulat perempuan terlihat ketika perempuan berhasil
mengalahkan pegulat laki-laki. Ketiga digambarkan perempuan aktif.
Walaupun dia tidak mendapat dana untuk membeli matras dia tetap berlatih
dengan alat latihan yang apa adanya. Kelima, stereotip tentang
kemandirian. Sifat kemandirian ini tidak lepas dari dukungan orang tua.
Jalan menuju pegulat nasional tersebut walaupun terkendala dengan
fasilitas seperti tempat latihan dan peralatan latihan Geeta tetap bisa
berlatih terus sehingga dia bisa memiliki kemampuan dan meningkatkan
kompetensinya untuk dapat bersaing dengan laki-laki.
Kemudian peran tradisionil yang memisahkan tugas-tugas wanita
dan perempuan ke multi peran laki-laki dan perempuan yang sesuai dengan
kondisi perempuan atau laki-laki tersebut, ternyata di film ini
menggambarkan peran yang sudah melampaui peran transisi, peran ganda,
peran egaliter, peran kontemporer, peran ganda perempuan dan laki-laki.4
4. Kekerasan
Kekerasan yang terjadi di film ini digambarkan sebagai kekerasan
psikis yang disebabkan adanya stereotipe yang berkembang di masyarakat
4 Lihat Aida Vita Laya Hubeis dan Armawati Arbi (tesis tahun 1998) diperkaya 11 sifat, 7
peran, 16 hubungan komunikasi pria dan wanita). Bisa juga dilihat dalam buku Women In
Indonesian Society Access, Empowerment, and Opportunity, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Pers,
2002), h. 208-210.
88
bahwa perempuan hanya melakukan urusan rumah tangga bukan bergulat.
Adanya pandangan stereotip seperti itu, membuat Geeta dan Babita diejek
teman sekolahnya karena mereka bergulat.
Kekerasan psikis memiliki dampak yang sama fatalnya dengan
kekerasan fisik karena mempengaruhi kesehatan jasmani dan mental anak.
Tidak semua anak memiliki mental yang kuat, Anak-anak yang mengalami
kekerasan psikis dan memiliki mental yang lemah akan tumbuh dengan
berbagai masalah prilaku mulai dari kecemasan, depresi, agresi, hingga
pemberontakan.
5. Beban Kerja
Dalam film ini tidak ditemukan adanya beban kerja yang dialami
oleh Geeta dan Babita. Keduanya hanya fokus untuk bergulat dan
dibebastugaskan dari pekerjaan rumah yang dahulu mereka kerjakan
sebelum menjadi pegulat. peran tersebut disebut dengan multi peran laki-
laki dan perempuan yang disesuaikan oleh kondisi dan situasi. Situasi yang
terjadi dengan Geeta dan Babita hanya fokus berlatih, dipagi hari mereka
berdua diharuskan lari keliling desa setelah itu mereka sekolah dan sore
harinya mereka kembali menjalani latihan sehingga mereka tidak lagi
dibebankan dengan pekerjaan domestik karena tenaga dan waktu mereka
sudah tersita hanya untuk gulat.
89
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mengamati dan menganalisis bab sebelumnya, kesimpulan
yang dapat diambil pada skripsi ini mengacu kepada permasalahan yang
ada, yakni diskriminasi perempuan dalam film Dangal yang disampaikan
melalui tokoh-tokoh yang berperan dalam film tersebut, tersaji dalam
bentuk dialog, perilaku, dan kejadian dalam film Dangal. Maka kesimpulan
terhadap masalah tersebut sebagai berikut:
1. Makna Denotasi
Analisis film Dangal memiliki makna denotasi sebagai film yang
menggambarkan bagaimana diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi
di India dialami oleh pemeran utama dengan latar belakang sebuah cerita
sport drama. Film ini menggambarkan diskriminasi yang diterima oleh para
pemeran yaitu, Mahavir, Geeta, Babita, seperti:
a) Marginalisasi, dalam hal keyakinan pada tafsir agama dan kebijakan
pemerintahan, kebijakan sekolah.
b) Subordinasi, dalam hal kedudukan laki-laki lebih tinggi untuk
meneruskan cita-cita dibandingkan perempuan, kepentingan
anggaran dana untuk atlet laki-laki dibandingkan atlet perempuan
c) Stereotipe, dalam hal perempuan makhluk yang lemah, perempuan
hanya pantas mengerjakan pekerjaan rumah tangga, penampilan
perempuan. Mematahkan stereotip perempuat penakut dan lemah.
d) Kekerasan, dalam hal kekerasan psikis berupa ejekan
90
2. Makna Konotasi
Makna konotasi yang terdapat pada film Dangal digambarkan
bagaimana ketidakadilan terjadi karena adanya kepercayaan masyarakat
pada tafsir agama dalam scene ketika Mahavir mendatangi tempat pelatihan
gulat dengan tujuan agar anaknya bisa berlatih di tempat itu, namun ditolak
oleh pemilik tempat pelatihan karena dia meyakini suatu penyiksaan
dilarang dalam agama yang dianutnya. Dalam cerita ini juga digambarkan
bagaimana ketidakadilan terjadi dalam bentuk subordinasi ketika Mahavir
hanya memiliki anak perempuan dan dia kecewa tidak bisa memiliki anak
laki-laki untuk meneruskan cita-citanya dan penolakan permintaan dana
Mahavir untuk anak perempuannya yang bergulat karena adanya
perbandingan kepentingan antara anak laki-laki dan perempuan dalam
bentuk besaran anggaran dana. Pada scene berikutnya ketika Mahavir ingin
mendaftarkan anak perempuannya dalam pertandingan gulat, tetapi ditolak
dengan alasan perempuan hanya pantas memasak di dapur, selain itu
perempuan digambarkan sebagai makhluk yang lemah dalam scene ketika
istri Mahavir melarang Mahavir untuk melatih anak perempuannya bergulat
karena dia memandang perempuan adalah makhluk yang lemah. Selain itu
dalam scene 9 dan 10 mematahkan stereotip perempuan yang penakut
menjadi perempuan yang beran dan perempuan yang lemah menjadi
perempuan yang kuat. Kemudian pada scene berikutnya ketika Geeta dan
Babita diejek oleh teman sekolahnya karena mereka bergulat. Ejekan yang
91
diterima oleh Geeta dan Babita adalah salah satu bentuk dari diskriminasi
karena kekerasan psikis.
3. Mitos
Dari hasil analisis data mitos pada kesembilan scene film Dangal
yang menampilkan sebuah cerita sport drama yang dibalut dengan kritik
ketidakadilan gender terhadap perempuan seperti kepercayaan terhadap
tafsir agama, kebijakan pemerintah, kebijakan sekolah, kemudian
bagaimana ketidakadilan gender terjadi karena kedudukan laki-laki lebih
tinggi dibandingkan perempuan, selanjutnya anggapan masyarakat tentang
perempuan yang lemah dan hanya pantas mengerjakan pekerjaan rumah
tangga, serta kekerasan yang diterima perempuan dalam bentuk psikis.
Kemudian film ini berupaya menampilkan stereotip, pertama berani
dalam scene 9 mendobrak sifat-sifat stereotip perempuan yang dianggap
lemah di dalam masyarakat. Gambaran perempuan kuat terlihat di scene
ketika Geeta. Kuatnya pegulat perempuan terlihat ketika perempuan
berhasil mengalahkan pegulat laki-laki. Ketiga digambarkan perempuan
aktif. Walaupun dia tidak mendapat dana untuk membeli matras dia tetap
berlatih dengan alat latihan yang apa adanya. Kelima, stereotip tentang
kemandirian. Sifat kemandirian ini tidak lepas dari dukungan orang tua.
Jalan menuju pegulat nasional tersebut walaupun terkendala dengan
fasilitas seperti tempat latihan dan peralatan latihan Geeta tetap bisa
berlatih terus sehingga dia bisa memiliki kemampuan dan meningkatkan
kompetensinya untuk dapat bersaing dengan laki-laki.
92
Kemudian peran tradisionil yang memisahkan tugas-tugas wanita
dan perempuan ke multi peran laki-laki dan perempuan yang sesuai dengan
kondisi perempuan atau laki-laki tersebut, ternyata di film ini
menggambarkan peran yang sudah melampaui peran transisi, peran ganda,
peran egaliter, peran kontemporer, peran ganda perempuan dan laki-laki.
B. Saran
Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian penulis terhadap
diskriminasi perempuan dalam film Dangal, penulis mempunyai saran yang
ingin disampaikan, diantaranya:
1. Film Dangal merupakan film yang diangkat dari kisah nyata yang
merupakan film Bollywood yang berkualitas, dibuktikan dengan
banyaknya penghargaan yang didapat dari film tersebut. Semoga film
ini bisa memotivasi produksi film Indonesia.
2. Perbedaan merupakan suatu yang tidak bisa dihindari oleh manusia.
Tetapi dari perbedaan tersebut jangan dijadikan alasan untuk
mendiskriminasi seseorang atau kelompok tertentu. Maka dari itu, bagi
para pembuat film agar bisa membuat film dengan nilai edukasi tanpa
harus mendiskriminasi seseorang atau kelompok tertentu, karena bisa
mempengaruhi khalayak yang menontonnya.
3. Semoga penelitian ini dapat memberikan kontribusi untuk mengkaji
dan menelaah setiap pesan yang terkandung dalam sebuah film.
93
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Admojo Suwodo, Darseno. Kamus Lengkap Inggris-Indonesia; Indonesia-Inggris.
Semarang: Bintang Jaya, 2005.
Baksin, Askurifai. Jurnalistik Televisi Teori dan Praktik. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2006.
Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,
dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana cet. ke-5, 2011.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahan ‘Al-Insaani. Depok:
Departemen Agama RI, 2012.
Effendi, Wahyu. Tionghoa Dalam Cengkeraman SBKRI. Jakarta: VisiMedia,
2008
Elvinaro Ardianto, Bambang Q Anees. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, cet. ke-1, 2007.
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
INSISTtPress, 2008.
Hanurawan, Fattah. Psikologi Sosial. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010.
Herdiansyah, Harris. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial.
Jakarta: Salemba Humanika cet. ke-3, 2012.
Himshi, al- Layyinah. Muslimah Pembelajar. Jakarta: Zaman, 2013.
Hoed, Beny H. Semiotik dan Dinamika Sosial. Bandung: Komunitas Bambu,
2014.
Jatmika Sidik. Dinamika Partisipasi Politik Perempuan Iran. Yogyakarta: LPPI
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2002.
Lloyd, Martin Rahasia. Bahasa tubuh. Jakarta: Esensi, 2006.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya cet. ke-3, 1991.
Morrisan. Jurnalistik Televisi Mutakhir. Jakarta: Kencana, 2008.
Nurudin. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: Rajawali Pers cet. ke-5, 2013.
Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS, 2007
94
Pratista, Himawan. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008
Seto, Indiwan. Semiotika Komunikasi: Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan
Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya cet.
ke-3, 2004.
---------------. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya cet. ke-4,
2009.
Stephen W. Littlejohn, Karen A. Foss. Theories of Human Communication.
Jakarta: Salemba Humanika, edisi 9, 2011.
Taufiq, Wildan. Semiotika Untuk Kajian Sastra dan Al-Quran. Bandung:
YramaWidya, cet. ke-1, 2016.
Umar, Nasaruddin. Kodrat Perempuan dalam Islam.Jakarta: Lembaga Kajian
Agama dan Gender, 1999
Unsriana, Linda “Diskriminasi Gender Dalam Novel Ginko Karya Junichi
Watanabe”, Lingua Cultura, Vol. 8 No.1, 2014.
UU Republik Indonesia No 8 Tahun 1992 tentang perfilman Bab 1, Pasal 1 Ayat
1. Departemen Penerangan RI.
Widjaja, Cristianto. Kamera dan Video Editing: Cara Pembuatan Video Mulai
Cerita, Penggunaan Kamera, dan Edit Dengan Adobe Premiere Pro. Tangerang:
Widjaja, 2008.
Internet:
http://e-journal.uajy.ac.id/821/3/2TA11217.pdf. diakses pada 20 Maret 2017
http://sinopsisfilmbioskopterbaru.com/dangal-2016-sinopsis-lengkap-film-dan/
diakses pada 8 Maret 2017
http://starsunfolded.com/suhani-bhatnagar/ diakses pada 12 Juli 2017
http://www.filmfare.com/awards/filmfare-awards-2017/winners diakses pada 8
Maret 2017
http://www.filmfare.com/awards/filmfare-awards-2017/winners diakses pada 8
Maret 2017
95
http://www.filmyfolks.com/celebrity/bollywood/sanya-malhotra.php diakses pada
6 Juli 2017
http://www.imdb.com/name/nm7621668/bio?ref_=nm_ov_bio_sm diakses pada
12 Juli 2017
http://www.imdb.com/title/tt5074352/ diakses pada 8 Maret 2017
http://www.imdb.com/title/tt5074352/ diakses pada 8 Maret 2017
https://en.wikipedia.org/wiki/Fatima_Sana_Shaikh diakses pada 6 Juli 2017
https://en.wikipedia.org/wiki/Nitesh_Tiwari diakses pada 6 Oktober 2017
https://en.wikipedia.org/wiki/Sakshi_Tanwar diakses pada 12 Juli 2017
https://en.wikipedia.org/wiki/Aparshakti_Khurana diakses pada 12 Juli 2017
https://id.wikipedia.org/wiki/Aamir_Khan diakses pada 6 Juli 2017
https://id.wikipedia.org/wiki/Dangal_(film) diakses pada 12 juli 2017
James Danandjaja, “Seminar Diskriminasi Terhadap Minoritas”,
http://www.lfip.org/english/pdf/bali-
seminar/Diskriminasi%20terhadap%20minoritas%20-
%20james%20danandjaja.pdf artikel diakses pada 13 Maret 2017
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/adil diakses pada 4 Januari 2018 pukul 21.00
WIB.
Recommended