View
4
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
ANALISIS YURIDIS ALIH TEKNOLOGI DALAM PENGADAAN
ALUTSISTA SEBAGAI UPAYA REVITALISASI INDUSTRI
PERTAHANAN NASIONAL
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi
Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara
ALIF FADILLAH OEMRY
157005044/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
Universitas Sumatera Utara
ANALISIS YURIDIS ALIH TEKNOLOGI DALAM PENGADAAN
ALUTSISTA SEBAGAI UPAYA REVITALISASI INDUSTRI
PERTAHANAN NASIONAL
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister
Hukum dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH
ALIF FADILLAH OEMRY
157005044/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
i
ABSTRAK
Industri pertahanan merupakan industri strategis yang punya kaitan dengan
kepentingan pertahanan serta keamanan negara. Industri pertahanan Indonesia
perlu di revitalisasi untuk mendukung kepentingan pertahanan dan keamanan
dalam negeri serta mendorong perekonomian negara. Salah satu usaha pemerintah
dalam merevitalisasi industri pertahanan adalah dengan alih teknologi alutsista
melalui pengadaan alat pertahanan dan keamanan dari negara lain. Alih teknologi
di perlukan untuk mempercepat proses pembangunan sehingga tidak di perlukan
waktu yang lama dalam riset dan penelitian teknologi pertahanan dalam
menghasilkan inovasi produk alutsista.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang di
dukung data primer. Penelitian ini akan mengkaji dan menganalisis pentingnya alih
teknologi terutama dalam bentuk regulasi hukum dalam proses revitalisasi industri
pertahanan nasional, upaya pemerintah terkait hukum dalam membangun industri
pertahanan untuk mewujudkan kemandirian pengadaan alutsista dan untuk
mengetahui dan menganalisis efektivitas peraturan perundang-undangan di
Indonesia dalam mendukung revitalisasi industri pertahanan nasional melalui alih
teknologi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa regulasi hukum alih teknologi sangat
penting untuk melindungi hak kekayaan intelektual dari pemilik teknologi agar
pemilik teknologi tersebut mengizinkan terjadinya alih teknologi, pemerintah
menggunakan konsep tiga pilar pelaku industri pertahanan dalam melakukan upaya
membangun industri pertahanan nasional dan peraturan perundang-undangan yang
digunakan dalam upaya revitalisasi dan industri pertahanan sudah cukup efektif
untuk mewujudkan tujuan dari revitalisasi industri pertahanan walaupun masih
belum maksimal.
Kata Kunci : Alih teknologi, alutsista, revitalisasi, industri pertahanan
Universitas Sumatera Utara
ii
ABSTRACT
The defense industry is a strategic industry that has links with the interests
of national defense and security. Indonesia's defense industry needs to be
revitalized to support domestic defense and security interests and boost the
country's economy. One of the government's efforts to revitalize the defense
industry is the transfer of defense equipment technology through the procurement
of defense and security equipment from another country. Technology transfer is
needed to accelerate the development process so that it does not require a long time
in research and defense technology research in producing innovative defense
equipment products.
This research uses normative legal research supported by primary data.
This research will study and analyze the importance of technology transfer,
especially in the form of legal regulations in the process of revitalizing the national
defense industry, government efforts related to law in developing the defense
industry to realize the independence of defense equipment procurement and to find
out and analyze the effectiveness of legislation in Indonesia in supporting industrial
revitalization national defense through technology transfer.
The results of research showed that the legal regulation of technology
transfer is very important to protect the intellectual property rights of the
technology owner so that the technology owner allows technology transfer, The
government uses the concept of the three pillars of the defense industry players in
making efforts to develop the national defense industry and the laws and
regulations used in the revitalization effort and the defense industry is effective
enough to realize the objectives of the revitalization of the defense industry even
though it is still not optimal.
Keywords: Technology transfer, defense equipment, revitalization, defense
industry
Universitas Sumatera Utara
iii
RIWAYAT HIDUP
Alif Fadillah Oemry, dilahirkan di Kota Medan pada tanggal 21 Februari
1991 dari ayahanda Syahrial Iqbal Oemry dan ibunda Neneng Rosnaeni, penulis
merupakan anak pertama dari empat bersaudara.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh adalah TK Swasta Yayasan
Pendidikan Al-azhar Medan lulus pada tahun 1997, SD Swasta Yayasan
Pendidikan Al-azhar Medan lulus pada tahun 2003, SMP Swasta Yayasan
Pendidikan Al-azhar Medan lulus pada tahun 2006, SMA Swasta Yayasan
Pendidikam Harapan Medan lulus pada tahun 2009 dan tahun 2014 penulis lulus
Sarjana dari Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.
Semasa mahasiswa penulis ikut aktif dalam beberapa organisasi
kemahasiswaan seperti Kobakum dan ILSA. Setelah tamat sarjana, penulis sempat
magang di Pengadilan Negeri Medan selama 6 bulan, bekerja di perusahaan PT.
XL Axiata selama satu tahun dan kemudian melanjutkan studi magister nya.
Universitas Sumatera Utara
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmannirrohhim, Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Tiada kata pembuka yang pantas di sampaikan selain kata Puji dan Syukur
Kehadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa, Maha Adil, Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Karena atas berkat dan anugrahNya Penulis dapat menyelesaikan
tesis yang berjudul “ANALISIS YURIDIS ALIH TEKNOLOGI DALAM
PENGADAAN ALUTSISTA SEBAGAI UPAYA REVITALISASI
INDUSTRI PERTAHANAN NASIONAL”.
Penulis menyadari bahwa, uraian yang terdapat dalam tesis ini belumlah
merupakan hasil pemikiran yang bersifat final dan menyeluruh, tetap disadari
bahwa masih mengandung kekurangan, kelemahan dan ketidak sempurnaan, baik
dalam untaian kata dan kalimatnya maupun substansi yang menjadi topik
pembahasan. Oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif
dari semua pihak sehingga segala kekurangan dan ketidaksempurnaan yang
dimaksud diatas dan diminimalisir. Atas sumbangsih kritik dan saran yang
membangun tersebut penulis mengucapkan terima kasih.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang berperan secara langsung maupun tidak langsung terhadap keberhasilan
penulis menyelesaikan tesis dan studi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini Penulis Menyampaikan Ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya Kepada :
Universitas Sumatera Utara
v
1. Bapak prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi
Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai Ketua Komisi
Pembimbing yang telah banyak memberikan petunjuk, perhatian dan
banyak meluangkan waktu untuk membimbing penulis serta memberikan
kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan program Studi Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister
Ilmu Hukum FH USU yang telah memberikan kesempatan, arahan dan izin
bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan Magister Ilmu Hukum.
4. Bapak Prof. Dr. OK Saidin, SH., M.Hum, selaku Komisi Pembimbing yang
telah banyak memberikan arahan dan perhatian serta banyak meluangkan
waktu untuk memberikan izin bagi Penulis untuk menyelesaikan studi.
5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum, selaku Komisi Pembimbing
yang telah memberikan perhatian penuh, mendorong dan membekali
Penulis dengan literature-literatur hukum yang bermanfaat untuk
menyelesaikan studi.
6. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum dan Ibu Dr. Detania Sukarja., SH.
LL.M, terima kasih Penulis sampaikan atas masukan dan sarannya guna
perbaikan tesis ini.
Universitas Sumatera Utara
vi
7. Seluruh Guru Besar dan Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara Pada Umumnya yang telah ikhlas memberikan
ilmu pengetahuan dan membuka wawasan Penulis.
8. Secara Khusus ananda sampaikan ucapan terima kasih untuk ayahanda Ir.
Syahrial Oemry, M.Sci dan Ibunda Neneng Rosnaeni atas kesabaran,
nasehat, dukungan moril dan spiritual yang diberikan pada penulis
walaupun banyak kendala dan masalah yang terjadi dalam studi ini.
Ananda akan selalu mengingat cinta dan kasih sayang yang tiada henti-
hentinya bagi penulis sehingga penulis berhasil menyelesaikan studi
9. Secara Khusus menyampaikan terima kasih pada saudara-saudara dari
penulis, Abdul Aziz Alfitra Oemry, Ahmad Fiqri Oemry, dan adik terkecil
penulis Abdul Razaq Al Fachri Oemry. Walaupun tidak selalu
menunjukkan kasih sayang secara langsung tapi wajah dan dukungan
kalian selalu menjadi penguat penulis untuk menyelesaikan studi.
10. Seluruh Staf Tata usaha dan Security di Lingkungan Program Studi
Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
11. Ucapan terima Kasih kepada teman-teman sekelas Magister Ilmu Hukum
angkatan 2015 khususnya pada Rudi Hartanto, Liantha Adam Nasution,
Aida Nurhasanah dan Fatimah Islamy Nasution yang penuh rasa
persaudaraan dan kebersamaan dalam masa studi baik di dalam dan di luar
kampus.
Universitas Sumatera Utara
vii
Akhir kata, penulis menyadari uraian yang terdapat dalam tesis ini belumlah
sempurna merupakan hasil pemikiran yang bersifat final dan menyeluruh. Oleh
karena hal tersebut penulis mengharapkan kritik dan saran atas segala kekurangan
penelitian ini, serta penulis ucapkan banyak terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Medan, Mei 2020
Penulis,
(Alif Fadillah Oemry)
Universitas Sumatera Utara
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................................................... i
ABSTRAC .......................................................................................................... ii
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iv
DAFTAR ISI.......................................................................................................viii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 12
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 12
D. Manfaat Penelitian ................................................................................... 13
E. Keaslian Penelitian................................................................................... 14
F. Kerangka Teori dan Konsep .................................................................... 16
1. Kerangka Teori ............................................................................ 16
2. Kerangka Konsep ......................................................................... 28
G. Metode Penelitian .................................................................................... 30
1. Jenis Penelitian............................................................................. 32
2. Sumber Data Penelitian................................................................ 33
3. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 34
4. Analisa Data ................................................................................. 35
BAB II : DASAR KEBIJAKAN ALIH TEKNOLOGI ALUTSISTA
TERHADAP PROSES PEMBANGUNAN INDUSTRI
PERTAHANAN NASIONAL
A. Hak Kekayaan Intelektual Dalam Kaitannya Dengan Alih Teknologi .... 37
B. Pengaturan Alih Teknologi di Indonesia ................................................. 41
1. Pengertian Alih Teknologi ........................................................... 41
2. Peraturan Yang Berkaitan Dengan Alih Teknologi ..................... 42
Universitas Sumatera Utara
ix
C. Alih Teknologi Bagi Industri Pertahanan Dalam Negeri ......................... 45
1. Tantangan dan Peluang Alih Teknologi Industri Pertahanan ...... 47
2. Pengaturan Alih Teknologi Industri Dalam Perjanjian Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) ............ 50
3. Penguasaan Teknologi Pertahanan Melalui Lisensi
Alih Teknologi ............................................................................. 54
D. Analisis Pentingnya Kebijakan Hukum Alih Teknologi Alutsista
Dalam Proses Revitalisasi Industri Pertahanan Nasional ........................ 62
BAB III : KAJIAN YURIDIS PENGEMBANGAN DAN PEMANFAATAN
INDUSTRI STRATEGIS UNTUK PERTAHANAN
A. Perkembangan Industri Pertahanan Dalam Negeri Sebagai Bagian
Dari Industri Strategis Indonesia ............................................................. 77
B. Pentingnya Pembangunan Industri Pertahanan ........................................ 82
1. Ketergantungan Pertahanan dan Keamanan Negara
Terhadap Produk Alutsista Dari Luar Negeri .............................. 82
2. Bisnis Pertahanan Untuk Mendukung Pembangunan
Perekonomian .............................................................................. 83
3. Pembangunan Industri Pertahanan Nasional Untuk
Mewujudkan Kemandirian Produksi Alutsista Buatan Dalam
Negeri ........................................................................................... 86
C. Peranan Hukum Dalam Upaya Pembangunan Industri Pertahanan
Dalam Negeri ........................................................................................... 91
1. Peranan Hukum Dalam Upaya Pembangunan Perekonomian
Suatu Negara ................................................................................ 93
2. Landasan Hukum Pembangunan Industri Pertahanan Dalam
Negeri ........................................................................................... 99
3. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Industri Pertahanan ........102
D. Upaya Pemerintah Terkait Hukum Dalam Membangun Industri Pertahanan
Untuk Mewujudkan Kemandirian Pengadaan Alutsista ..........................104
Universitas Sumatera Utara
x
BAB IV : KESIAPAN REGULASI DALAM UPAYA MENDUKUNG
KEMANDIRIAN ALIH TEKNOLOGI MELALUI
PENGADAAN ALUTSISTA
A. Pembentukan Komite Kebijakan Industri Pertahanan
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2010
Sebagai Upaya Merumuskan dan Mengevaluasi
Kebijakan Mengenai Pengembangan dan Pemanfaatan Industri
Pertahanan ................................................................................................113
B. Berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang
Industri Pertahanan Sebagai Landasan Kebijakan Revitalisasi
Industri Pertahanan ..................................................................................120
C. Regulasi Ofset Untuk Memperoleh Alih Teknologi Alutsista Dari
Luar Negeri Dalam Kaitannya Dengan Proses Pembangunan
Industri Pertahanan Nasional ..................................................................125
1. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2014 Tentang
Mekanisme Imbal Dagang Dalam Pengadaan Alat Pertahanan
dan Keamanan Dari Luar negeri ..................................................125
2. Peranan Pemerintah terhadap Riset dan Pengembangan
Teknologi Industri Pertahanan .....................................................133
D. Analisis Efektifitas Regulasi Revitalisasi Industri Pertahanan
Nasional Melalui Alih Teknologi Pengadaan Alutsista Dari Luar
Negeri .......................................................................................................139
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ..............................................................................................149
B. Saran ........................................................................................................151
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................153
Universitas Sumatera Utara
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Peringkat dan Nominal Pendapatan (dalam satuan milyar dollar
Amerika Serikat) Pemasok Produk Pertahanan di Dunia Sepanjang
Tiga Tahun Terakhir ............................................................................. 46
Tabel 2. Kebijakan Hukum Pemerintah Indonesia Atas Alih Teknologi
Dalam Pengadaan Alutsista .................................................................. 75
Tabel 3. Produk Perusahaan-Perusahaan Pertahanan Hasil Dari Alih
Teknologi ..............................................................................................146
Tabel 4. Indikator Efektivitas Perundang-undangan...........................................148
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disingkat UUD
1945) telah menyatakan tujuan nasional, yakni: “melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dengan
demikian, segala potensi bangsa dan negara diarahkan demi mewujudkan tujuan
tersebut. Pembangunan dan potensi pertahanan keamanan merupakan salah satu
pilar terdepan demi mengamankan kepentingan dan tujuan nasional. Sehingga,
urusan bidang pertahanan dan keamanan negara yang diatur dalam UUD 1945 yang
merupakan salah satu kewenangan pemerintah pusat. Maksudnya, ketentuan
tersebut secara jelas menggariskan bahwa segala aspek yang menyangkut sistem
pertahanan dan keamanan negara termasuk industri pertahanan nasional juga
menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Sektor industri memegang peranan yang sangat penting bagi perekonomian
nasional, terutama dalam peranannya sebagai sumber ekonomi nasional khususnya
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. lebih khusus lagi, sektor industri mampu
memberikan kontribusi yang sangat besar dalam menyediakan lapangan kerja bagi
masyarakat dan dalam perolehan devisa negara melalui kegiatan ekspor berbagai
produk hasil industri. Dari sekian banyak cabang industri, ada sejumlah industri
yang karena karakteristik industrinya memiliki fungsi yang strategis bagi bangsa
dan negara Indonesia. Industri pertahanan nasional merupakan salah satu industri
yang dikategorikan sebagai industri strategis, berdasarkan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, yang dimaksud industri strategis terdiri atas
Universitas Sumatera Utara
2
industri yang memenuhi kebutuhan yang penting bagi kesejahteraan rakyat atau
menguasai hajat hidup orang banyak, meningkatkan atau menghasilkan nilai
tambah sumber daya alam strategis dan mempunyai kaitan dengan kepentingan
pertahanan serta keamanan negara.1 Berdasarkan pemahaman ruang lingkup
industri strategis yang diatur oleh undang-undang perindustrian, maka industri
pertahanan dikategorikan sebagai industri strategis.
Sepanjang tahun 1980-an, pola manajemen industri strategis yang lebih
terintegrasi mulai dibangun pemerintah. Awal tahun 1980-an, dibentuklah TPIH
(Tim Pengkajian Industri Hankam), dilanjutkan dengan TPPIS (Tim Pelaksana
Pengkajian Industri Strategis). Pada tahun 1989 (Keputusan Presiden No. 59 tahun
1989) telah dibentuk Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) Badan
Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang ditugaskan untuk membina, mengelola
dan mengembangkan sepuluh industri strategis, yaitu PT Dirgantara Indonesia
(industri pesawat terbang nasional); PT PAL Indonesia (pabrik kapal indonesia);
PT Pindad (industri senjata/pertahanan); PT Dahana (industri bahan peledak); PT
Krakatau Steel (industri baja); PT Barata Indonesia (industri alat berat); PT Boma
Bisma Indra (industri permesinan/diesel); PT Industri Kereta Api (industri kereta
api); PT Industri Telekomunikasi Indonesia (industri telekomunikasi); PT LEN
Industri (industri elektronika dan komponen). Pembentukan LPND-BPIS ini
merupakan kelanjutan dari dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1989
tentang Pembentukan Dewan Pembina Industri Strategis (DPIS) yang merupakan
lembaga pembina BPIS (Badan Pembina Industri Strategis).2
1 Pasal 84 ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
2Ahmad Dirwan, ‘’Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum Tentang Pengembangan dan
Pemanfaatan Industri Strategis Untuk Pertahanan’’, Kementerian Hukum dan HAM, 2011, hlm. 5.
Universitas Sumatera Utara
3
Industri pertahanan nasional mengalami kemunduran terutama setelah
tejadinya krisis moneter pada tahun 1997. Dampak khusus krisis moneter terhadap
industri pertahanan yaitu mengakibatkan teknologi di bidang pertahanan dan
kemananan tidak berkembang, Permasalahan ini kemudian makin dipersulit dengan
kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang melakukan embargo militer berupa
larangan penjualan senjata dan suku cadang bagi militer Indonesia` dalam
memenuhi kebutuhan alat utama sistem pertahanan (alutsista) padahal Indonesia
sangat tergantung dengan produk militer Amerika Serikat. Ketergantungan
industtri pertahanan nasional dengan negara lain ini disebabkan industri pertahanan
belum mempunyai kemampuan teknologi mandiri untuk menghasilkan produk
buatan dalam negeri. Kondisi industri pertahanan yang mengalami kemunduran
membuat pemerintah berusaha mewujudkan kemandirian bangsa dalam bidang
pertahanan dan keamanan.
Perkembangan dan pembangunan pertahanan saat ini menunjukkan ada
tiga model utama: kemandirian, produksi ceruk dan model rantai logistik global.
Model kemandirian diterapkan oleh suatu negara yang berambisi 'mendapatkan
kemandirian pertahanan. Kemandirian pertahanan ini diukur dari kapasitas negara
untuk menguasai teknologi militer yang dibutuhkan untuk membuat sistem senjata,
kapasitas finansial nasional untuk membiayai produksi sistem senjata, dan
kapasitas industri nasional untuk memproduksi sistem senjata di dalam negeri.
Model ini akan tercapai jika suatu negara mampu memiliki minimal 70 persen
kapasitas teknologi, finansial, dan produksi sistem senjata.Untuk mencapai
kemandirian pertahanan, suatu negara harus mengembangkan rencana strategis
pertahanan jangka panjang. Komitmen jangka panjang tersebut, misalnya, tampak
dari rencana China untuk memproyeksikan diri menjadi kekuatan hegemonik pada
tahun 2050. Model kedua adalah model produksi ceruk yang cenderung diterapkan
Universitas Sumatera Utara
4
oleh negara yang berupaya mengurangi 'ketergantungan senjata terhadap produsen
luar negeri. Caranya dengan mengembangkan kapasitas nasional untuk menguasai
teknologi militer utama. Penguasaan teknologi militer ini terutama diarahkan untuk
membantu negara tersebut mengembangkan delapan sistem senjata konvensional.
Model rantai produksi global merupakan model ketiga, yang cenderung dilakukan
oleh Negara-negara dengan basis militer yang mapan tapi tidak memiliki akses
besar terhadap pasar senjata internasional yang menyebabkan negara-negara
tersebut melakukan proses rasionalisasi produksi alutsista dengan cara
mengintegrasi produksi senjatanya ke suatu konsorium industri pertahanan global.3
Berdasarkan model pembangunan pertahanan dan keamanan diatas maka
model kemandirian yang di jadikan pilihan utama pemerintah Indonesia dalam
membangun industri pertahanan. Beberapa langkah yang dilakukan untuk
mencapai model kemandirian adalah merumuskan rencana strategis jangka
panjang, membentuk komitmen kebijakan politik dan hukum anggaran jangka
panjang disertai perumusan kontrak pengadaan, konsolidasi industri pertahanan
berupa pembiayaan dalam mendukung revitalisasi industri pertahanan serta
menjalin kerja sama militer dengan Negara lain agar mendapatkan akses pasar
regional dan global.
Pelaksanaan alih teknologi dalam upaya mendukung pembangunan industri
pertahanan hendaknya diperkuat dengan regulasi hukum yang dikeluarkan oleh
pemerintah agar tercapainya tujuan dari revitalisasi industri. Peranan hukum dalam
pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara
yang teratur. Perubahan yang teratur melalui prosedur hukum berwujud perundang-
undangan atau keputusan badan-badan peradilan lebih baik dari pada perubahan
3 Widjajanto, “Kemandirian Industri pertahanan” (Kompas, 26 april, 2012), hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
5
yang tidak teratur, karena ketidak teraturan hanya akan menciptakan kerusakan.
Baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan tujuan kembar
dari masyarakat yang sedang membangun, hukum menjadi suatu alat yang tidak
dapat diabaikan dalam proses pembangunan.4 Akan tetapi regulasi yang secara
khusus mengatur alih teknologi alutsista masih belum ada.
Sebenarnya alih teknologi dalam perdagangan sudah dilakukan oleh
pemerintah Indonesia sebelum adanya kebijakan revitalisasi industri pertahanan
dalam negeri. sejak kelahiran World Trade Organization (selanjutnya disebut
WTO), salah satu perangkat lunak dari kesepakatan WTO adalah yang termuat
dalam Lampiran 1C Agreement Establishing The World Trade Organization yaitu
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan
mengenai aspek-aspek dagang yang terkait dengan hak kekayaan intelektual yang
kemudian disebut dengan TRIPs) dalam perjanjian tersebut masalah alih teknologi
juga menjadi perhatian pokok. Pada ketentuan Pasal 7 TRIPs secara tegas dikatakan
pentingnya alih teknologi untuk meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomis dari
negara peserta TRIPS, dalam ketentuan Pasal 8 TRIPs, menekankan pada perlunya
perlindungan pada kesejahteraan masyarakat untuk menggalakkan sektor-sektor
yang vital untuk kepentingan public yang dilaksanakan dalam rangka
pengembangan alih teknologi dan sosio ekonomis dari anggota TRIPs. Masing-
masing negara diberikan hak untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan
untuk menunjang pengalihan teknologi yang diharapkan. Dalam Background
Reading Material on Intellectual Property yang diterbitkan WTO, ada tiga format
hukum dasar yang dapat ditempuh untuk melaksanakan alih teknologi yaitu dalam
4 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung:
Alumni, 2006), hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
6
bentuk penjualan atau pengalihan teknologi, melalui pemberian lisensi dan know-
how agreements.5
Bagi negara Indonesia teknologi dibutuhkan dalam mendukung
keberhasilan pembangunan nasional. Keterbatasan sumber daya manusia, anggaran
pendidikan, penelitian dan pengembangan serta kapasitas penguasaan teknologi
yang relatif rendah membuat Indonesia pada awalnya merasa tidak harus
menemukan invensi teknologi sendiri, tetapi akan lebih efesien bila melakukan alih
teknologi dari negara lain.6 Di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001
tentang Paten disebutkan ada dua saluran untuk terjadinya alih teknologi yaitu
melalui kontrak lisensi yang diatur dalam Pasal 69-103, dan pelaksanaan paten oleh
pemerintah terkait kepentingan pertahanan dan keamanan dalam Pasal 99 dan Pasal
100 dan ketentuan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah. Kemudian
meskipun tujuan dari TRIPs adalah memudahkan penyebaran teknologi dan alih
teknologi di dunia tapi anehnya walaupun Indonesia mengesahkan Peraturan
pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual
Serta Hasil Penelitian dan Pengembangan. Peraturan pemerintah ini dibuat bukan
dalam rangka mendukung hak kekayaan intelektual khususnya paten. Akan tetapi
di buat untuk melaksanakan undang-undang sistem nasional penelitian dan
pengembangan yang berlaku bagi kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh
perguruan tinggi. Padahal kebutuhan Indonesia adalah alih teknologi kekayaan
intelektual yang dimiliki oleh pihak asing. Di dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pun aturan alih teknologi hanya terdapat
dalam Pasal 10 ayat (4) yang menyatakan bahwa perusahaan penanam modal yang
5 Gunawan Widjaja, “Seri Hukum Bisnis : Lisensi“. (Jakarta : PT. Radja Grafindo, 2001),
hal. 98.
6 Mochtar, Dewi Astuty, “Perjanjian Lisensi Alih Teknologi Dalam Pengembangan
Teknologi Indonesia”,(Bandung : PT. Alumni, 2001), hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
7
pekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan melaksanakan pelatihan dan melakukan
alih teknologi kepada tenaga kerja Indonesia. Undang-undang penanaman modal
ini jelas tidak dapat dipergunakan dalam pelaksanaan alih teknologi pertahanan
dalam kondisi penting dan mendesak. Walaupun begitu berdasarkan ketentuan
TRIPs dan undang-undang paten pelaksanaan alih teknologi alutsista tetap
dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui pembelian lisensi paten secara
langsung untuk di produksi oleh perusahaan pertahanan milik negara seperti PT.
Pindad. Salah satu produk PT. Pindad hasil dari pembelian lisensi paten langsung
adalah senapan serbu SS-1 yang merupakan blue print senapan serbu FN dari
negara belgia.7 Maka pembelian lisensi secara langsung dianggap sebagai cara yang
sangat efektif dalam penyelenggaraan alih teknologi alutsista untuk kepentingan
pertahanan dan keamanan. Akan tetapi dalam perkembangannya lisensi secara
langsung sulit dilakukan dikarenakan keterbatasan biaya yang dimiliki Indonesia
dalam membeli blue print produk alutsista asing, apalagi bila alutsista yang ingin
di alihkan memiliki teknologi yang tinggi seperti teknologi tank, pesawat tempur,
kapal perang, rudal dank kapal selam. Hal inilah yang menyebabkan perusahaan-
perusahaan pertahanan dalam negeri pada awalnya hanya bisa melakukan alih
teknologi alutsista yang hanya memiliki teknologi sedang.
Kenyataan sulitnya mendapatkan alih teknologi tinggi melalui lisensi paten
secara langsung ini yang menyebabkan dalam revitalisasi industri pertahanan
nasional, pemerintah membuat ketentuan kewajiban alih teknologi alutsista dalam
setiap pengadaan alutsista dari luar negeri. Selanjutnya ketentuan tersebut diatur
dalam undang-undang nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan yang
7 https://pindad.com/ss1-v1-cal-556-mm, Diakses pada 16 Mei 2020.
Universitas Sumatera Utara
8
menyatakan pengadaan alat peralatan pertahanan dan keamanan produk luar negeri
harus memenuhi syarat berikut8:
a. Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan belum atau tidak bisa dibuat di
dalam negeri.
b. Mengikutsertakan partisipasi Industri Pertahanan.
c. Kewajiban alih teknologi.
d. Jaminan tidak adanya potensi embargo, kondisionalitas politik dan
hambatan penggunaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dalam
upaya mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari
ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara.
e. Adanya imbal dagang, kandungan lokal dan/atau ofset paling rendah 35%
(delapan puluh lima persen).
f. Kandungan lokal dan/atau ofset sebagaimana dimaksud pada huruf e paling
rendah 35% (tiga puluh lima persen) dengan peningkatan 10% (sepuluh
persen) setiap 5 (lima) tahun.
g. Pemberlakuan ofset paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-
Undang ini diundangkan.
Kewajiban adanya alih teknologi dalam undang-undang industri pertahanan
diatas dapat dipahami bahwa pembangunan industri pertahanan memaksakan
pentingnya alih teknologi dikarenakan :9
1. Kemampuan penguasaan teknologi yang digunakan secara efektif akan
mencapai perluasan produksi barang dan jasa yang dibutuhkan oleh
masyarakat atau aparatur negara.
2. Dengan teknologi akan ditemukan produk-produk baru yang mempunyai
arti ekonomi yang cukup tinggi, sehingga menghasilkan produk eksport
yang dapat bersaing diluar negeri dalam rangka pengembangan eksport
nonmigas yang menghasilkan devisa.
8 Pasal 43 ayat (5) Undang-Undang No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
9 Etty susilowaty, ‘’Pendayagunaan Hukum Pada Proses Alih Teknologi Melalui Kontrak
Lisensi Paten’’, Semarang, Jurnal Undip No 3 Volume X, 2011, hal. 339.
Universitas Sumatera Utara
9
3. Kemampuan pembangunan industri di Indonesia sangat di pengaruhi dari
kemampuan pemilihan teknologi untuk menciptakan teknologi yang tepat
guna bagi bangsa Indonesia.
Alih teknologi alutsista dilakukan melalui pengadaan alat peralatan
pertahanan dan keamanan (Alpalhankam) dari luar negeri melalui mekanisme
imbal dagang, kandungan lokal dan ofset10 yang dilaksanakan dengan prinsip
memiliki nilai tambah, akuntabel, serta efektif dan efesien.11 Pelaksanaan
mekanisme imbal dagang dan ofset diatur dalam Peraturan Pemerintah No.76
Tahun 2014 tentang Mekanisme Imbal Dagang Dalam Pengadaan Alat Peralatan
Pertahanan dan Keamanan Dari Luar Negeri. Peraturan Pemerintah ini mengatur
mengenai penyelenggaraan pengadaan Alpalhankam dari luar negeri, pelaksanaan
Imbal Dagang, Kandungan Lokal, dan atau Ofset yang meliputi kewajiban besaran
Kandungan Lokal, Imbal Dagang, dan Ofset melalui penetapan jenis produk,
perhitungan penentuan nilai komponen dan faktor pengali, dan penentuan prioritas
pelaksana, serta adanya verifikasi, baik yang dilakukan secara mandiri oleh masing-
masing kementerian atau lembaga yang melakukan pengadaan Alpalhankam
maupun oleh lembaga verifikasi independen. Peraturan Pemerintah ini merupakan
dasar hukum dalam penyelenggaraan pengadaan Alpalhankam melalui kewajiban
imbal dagang, kandungan lokal, dan atau Ofset, yang pada akhirnya diharapkan
mampu mewujudkan kemandirian Industri Pertahanan serta meningkatkan
perekonomian nasional12. ofset merupakan salah satu bagian dari countertrade.
Pengertian ofset pada dasarnya mengacu pada pembelian atau investasi timbal balik
10 Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2014, ofset adalah pengaturan
antara pemerintah dan pemasok senjata dari luar negeri untuk mengembalikan sebagaian nilai
kontrak kepada negara pembeli, dalam hal ini negara Indonesia sebagai salah satu syarat jual beli.
11 Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 2014 tentang Mekanisme Imbal Dagang Dalam
Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan Dan Keamanan Dari Luar Negeri, hal. 10.
12 Ibid, hal 10.
Universitas Sumatera Utara
10
yang disepakati oleh pemasok senjata sebagai imbalan dari kesepakatan yang
dilakukan. Mekanisme ofset pertahanan adalah sebuah kondisi kapasitas produksi
dari negara produsen persenjataan berlebih, sehingga pola yang dibangun untuk
menjual produksinya adalah alih teknologi dalam bentuk kerja sama yang saling
menguntungkan antara negara atau perusahaan produsen persenjataan dengan
negara konsumen persenjataan.13
Presiden dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan terkait pembangunan
industri pertahanan, membentuk komite kebijakan industri pertahanan (KKIP) yang
bertugas untuk merumuskan dan mengevaluasi kebijakan mengenai pengembangan
serta pemanfaatan industri pertahanan. Komite kebijakan industri pertahanan
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2013 terdiri atas Presiden sebagai
ketua, Menteri pertahanan, Menteri Badan Usaha Milik Negara Menteri luar negeri,
Panglima TNI dan Kapolri.
Dalam rencana pengembangan postur alutsista dan industri teknologi
pertahanan, pemerintah mengaitkan rencana pengembangan postur alutsista dengan
program pencapaian kemandirian industri pertahanan. Selama tahun 2010-2014,
tahap stabilisasi dan optimalisasi industri pertahanan, penyiapan regulasi industri
pertahanan, serta penyiapan alutsista baru di masa depan sengaja diarahkan untuk
mendukung postur sesuai dengan program Minimum Essential Force (MEF),
sedangkan dalam fase kedua 2015-2019, pengembangan industri pertahanan
sengaja diarahkan untuk memiliki kemampuan kerja sama produksi dan
pengembangan produk baru, seperti medium tank, roket, dan kapal selam, guna
mendukung pencapaian MEF dan meraih postur kekuatan yang ideal dan pada
akhirnya pada fase 2020-2024 industri pertahanan nasional dapat mendukung
13 Jerry indrawan dan Bayu Widiyanto,”Kebijakan Ofset Dalam Membangun Kemandirian
Pertahanan negara” Jurnal Pertahanan, Edisi 6, Agustus 2016, hal.29.
Universitas Sumatera Utara
11
postur militer yang ideal, industri harus mampu secara signifikan dan mampu
memproduksi alutsista berteknologi canggih lewat kerja sama internasional.14
Pengesahan undang-undang industri pertahanan beserta beberapa peraturan
tambahan lainnya diharapkan kedepannya dapat mendukung proses revitalisasi
industri pertahanan. Akan tetapi timbul pertanyaan apakah undang-undang tersebut
telah benar-benar mendukung proses alih teknologi dan sejauh mana upaya
pemerintah melaksanakan kebijakan tersebut. Hal ini patut dipertanyakan karena
alih teknologi alutsista bukanlah perkara mudah karena faktor kerahasiaannya.
Secara khusus alih teknologi alutsista dari luar negeri mengalami beberapa
hambatan internal yaitu15:
1) Masalah alih teknologi asing sangat bergantung dengan jumlah alutsista
yang dibeli oleh pemerintah Indonesia.
2) Infrastruktur untuk menunjang alih teknologi masih sangat lemah. Seperti
lembaga-lembaga penelitian dalam negeri dan lembaga pendidikan inovasi
alih teknologi di kalangan pelajar.
3) Diperlukan waktu yang cukup lama (bertahun-tahun) untuk mempersiapkan
sumber daya manusia untuk melakukan penguasaan teknologi yang tinggi.
4) Rasa percaya diri masyarakat terutama kalangan militer Indonesia untuk
menggunakan produk dalam negeri yang masih perlu dibangkitkan lagi.
5) Perhatian pemerintah terhadap penelitian dan pengembangan teknologi
militer yang belum kuat.
Dengan demikian penelitian ini penting untuk dilakukan di karenakan
pemerintah Indonesia sedang dalam proses revitalisasi industri pertahanan sehingga
penting untuk di bahas kebijakan-kebijakan terkait hal tersebut di atas.
14 Silmy Karim, Membangun Kemandirian Industri Pertahanan Indonesia, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia,2014), hal. 217-219.
15 Tubagus Hassanudin, “Pemenuhan Alutsista dan Kemandirian Industri Pertahanan”,
edisi 2, april 2018, hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
12
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi
beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini, yaitu :
1. Mengapa kebijakan alih teknologi alutsista terutama dalam bentuk regulasi
hukum sangat penting dalam proses revitalisasi industri pertahanan
nasional?
2. Bagaimana upaya pemerintah terkait hukum dalam membangun industri
pertahanan untuk mewujudkan kemandirian pengadaan alutsista?
3. Apakah peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah cukup efektif
untuk mendukung revitalisasi industri pertahanan nasional melalui alih
teknologi alutsista?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang, rumusan masalah dan telaah kepustakaan
dapat dirumuskan beberapa tujuan dalam penelitian, yaitu :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pentingnya kebijakan alih teknologi
alutsista terutama dalam bentuk regulasi hukum terkait proses revitalisasi
industri pertahanan nasional.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya hukum yang dilakukan
pemerintah dalam membangun industri pertahanan untuk mewujudkan
kemandirian pengadaan alutsista.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis efektivitas peraturan perundang-
undangan di Indonesia dalam mendukung revitalisasi industri pertahanan
nasional melalui alih teknologi.
Universitas Sumatera Utara
13
D. Manfaat Penelitian
Penelitian tesis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara
teoritis kepada disiplin ilmu hukum yang ditekuni oleh peneliti maupun secara
praktis kepada praktisi hukum. Maka disini akan dijelaskan manfaat secara teoritis
dan praktis baik, yaitu:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran yang dapat dijadikan sebagai bahan dan data informasi di bidang
ilmu hukum bagi akademisis dan masyarakat mengenai pentingnya
kebijakan ofset alih teknologi dalam pembangunan dan pengembangan
industri pertahanan nasional, bagaimana strategi dan usaha pemerintah
dalam mewujudkan kemandirian pengadaan alutsista industri pertahanan
dalam negeri, kemudian sejauh mana kesiapan peraturan perundang-
undangan yang dibuat pemerintah dalam upaya alih teknologi pengadaan
alutsista untuk revitalisasi industri pertahanan nasional.. Dalam penelitian
ini juga diharapkan dapat menambah khasanah ilmu hukum, terutama
hukum bisnis dan hukum ekonomi khususnya alih teknologi dalam
kaitannya dengan upaya pembangunan industri strategis di bidang
pertahanan.
2. Secara praktis, diharapkan menjadi bahan rujukan yang bermanfaat bagi
praktisi hukum dan rekan-rekan mahasiswa yang berhubungan dengan
proses pengadaan alutsista yang disertai alih teknologi untuk
pembangunan industri strategis dalam negeri khususnya industri
pertahanan, mengetahui mengapa alih teknologi itu penting, sejauh mana
usaha-usaha pemerintah dalam mendukung proses alih teknologi dan
apakah regulasi-regulasi pembangunan industri pertahanan telah
memberikan dampak positif bagi industri strategis tersebut.
Universitas Sumatera Utara
14
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan terhadap penelitian ataupun
karya ilmiah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya Sekolah
Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum dan penelusuran melalui media internet yang
menganalisis tentang penelitian yang sedang diteliti oleh penulis, dengan judul
“Analisis Yuridis Alih Teknologi Dalam Pengadaan Alutsista Sebagai Upaya
Revitalisasi Industri Pertahanan Nasional” ternyata menunjukkan bahwa belum
pernah ada dilakukan penelitian terhadap judul maupun pokok permasalahan yang
sama, dan objek yang dikaji dalam penelitian ini juga belum pernah dianalisis pada
suatu karya ilmiah. Penelitian ini secara khusus akan diteliti sebagaimana judulnya.
Sejauh yang diketahui belum banyak dan masih sangat kurang di lingkungan
akademik yang melakukan penelitian terhadap pelaksanaan alih teknologi alutsista
militer yang dikaitkan dengan konteks keberlakuan Undang-Undang No 16 Tahun
2012 tentang Industri Pertahanan beserta peraturan pelaksananya. Dengan kata lain,
belum terdapat penelitian yang diarahkan pada materi alih teknologi industri
pertahanan di Indonesia khususnya dari sisi hukum.
Adapun judul penelitian dibawah ini, yang materi pembahasannya
menyangkut permasalahan revitalisasi industri, namun topik ataupun pokok
permasalahan secara keseluruhan berbeda dengan tesis ini, diantaranya sebagai
berikut :
1. Elysa Sinaga,(2013) melalui penelitian dalam tesis Universitas Gadjah
Mada (UGM) Yogyakarta: “Perlindungan Hukum Bagi Penerima Lisensi
Terhadap Pelaksanaan Perjanjian Alih Teknologi di Indonesia”, penelitian
ini mengkaji analisis perlindungan hukum bagi penerima lisensi terhadap
pelaksanaan perjanjian alih teknologi dan untuk mengetahui dan
Universitas Sumatera Utara
15
menganalisis hambatan dalam pelaksanaan perjanjian alih teknologi dan
upaya menanggulanginya.
2. Alexander Bramantio, (2017) melalui penelitian dalam tesis Universitas
Katolik Parahyangan (UNPAR) Bandung: Kontribusi Transfer Teknologi
Militer Dari Korea Selatan Kepada Indonesia Melalui Penandatanganan
The Joint Declaration On Strategic Partnership”, penelitian ini mengkaji
bagaimana kontribusi transfer teknologi militer terhadap peningkatan
kekuatan pertahanan Indonesia.
3. Nahdah Ayu Utami, (2019) melalui penelitian dalam skripsi Universitas
Pasundan (UNPAS) Bandung: “Peranan Kerjasama Indonesia-Korea
Selatan Bagi Pembangunan Industri Pertahanan Di Indonesia”, penelitian
ini mengkaji implementasi aktivitas program kerjasama pertahanan
Indonesia-Korea Selatan terhadap pembangunan industri pertahanan di
Indonesia, bagaimana menciptakan kompetensi dalam pembangunan
industri pertahanan Indonesia melalui kerjasama pertahanan serta untuk
mengetahui mengapa dukungan logistik merupakan prasarat bagi
pembangunan industri pertahanan Indonesia.
Dengan demikian berdasarkan pemaparan beberapa judul penelitian diatas
dapat dinyatakan bahwa terhadap pokok permasalahan dan objek penelitian yang
dilakukan dalam tesis ini secara jujur dan dapat dipertanggung jawabkan bahwa
sebelumnya tidak pernah dilakukan analisis maupun penelitian pada suatu karya
ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ilmiah yang penulis angkat
dalam tesis ini.
Universitas Sumatera Utara
16
F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Kata teori berasal dari kata theoria yang berarti pandangan atau wawasan.
Kata teori mempunyai berbagai arti. Pada umumnya, teori diartikan sebagai
pengetahuan yang hanya ada dalam alam pikiran tanpa dihubungkan dengan
kegiatan-kegiatan yang bersifat praktis untuk melakukan sesuatu.16 Selanjutnya
menurut Sudikno Mertokusumo teori hukum bukanlah ilmu hukum, ilmu hukum
juga bukan teori hukum, sehingga apabila kita berbicara tentang teori hukum kita
berbicara tentang hukum, tapi teori hukum tidak sama dengan hukum.17
Teori hukum adalah teori didalam bidang hukum yaitu berfungsi
memberikan argumentasi yang meyakinkan bahwa hal-hal yang dijelaskan itu
adalah ilmiah, atau paling tidak memberikan gambaran bahwa hal-hal yang
dijelaskan itu memenuhi standart teoritis18. Untuk itu sebagai pisau analisis
penelitian dalam memberikan argumentasi yang bersifat ilmiah, teori yang akan
digunakan yaitu teori peran hukum dalam pembangunan ekonomi dan teori
efektivitas hukum.
Teori Peran Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi19
Globalisasi yang terjadi pada masa kini menuntut setiap negara untuk
melakukan pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Untuk
menjadi negara maju yang sejahtera perlu menempuh pembangunan melalui tiga
tingkatan yaitu unifikasi, industrialisasi, dan negara kesejahteraan. Pada tingkat
16 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Cetakan Keenam, (Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, 2012), hal.4.
17 Ibid, hal. 2.
18 Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, (Bandung: C.V. Pustaka Setia, 2011),
hal. 53.
19 Nyhart, “The Role of Law in Economic Development”. (Paper Presented at Massachusetts
Institute of Technology, Massachussets, 1964), hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
17
pertama yang menjadi masalah berat adalah bagaimana mencapai integrasi politik
untuk menciptakan persatuan dan kesaman nasional, Tingkat kedua, perjuangan
untuk ekonomi dan modernisasi politik. Akhimya dalam tingkat ketiga, tugas
negara yang terutama adalah melindungi rakyat dari sisi negatif industrialisasi,
membetulkan kesalahan pada tahap sebelumnya, dengan menekankan
kesejahteraan masyarakat. Tingkat-tingkat tersebut harus dilalui secara berurutan
(consecutive) dan memakan waktu yang relatif lama.20
Adam Smith (1723-1790), Guru Besar dalam bidang filosofi moral dari
Glasgow University pada tahun 1750, sekaligus pula sebagai ahli teori hukum
mengatakan bahwa antara ekonomi dan politik mempunyai hubungan yang erat,
yang pada gilirannya dikenal dengan istilah ekonomi-politik (political economy).21
Salah satu tujuan ekonomi-politik menurut Adam Smith adalah menyediakan
sejumlah daya bagi negara atau pemerintah agar mampu menjalankan berbagai
tugas atau fungsinya dengan baik, dimana ekonomi-politik berusaha untuk
merumuskan bagaimana memakmurkan rakyat dan pemerintah sekaligus.22
Teori hukum sebagai dasar dalam pembangunan dan peranan hukum dalam
pembangunan ekonomi perlu dikaji kembali karena pendekatan satu sisi telah
mengakibatkan kebijakan ekonomi tidak yang terkontrol. Akan tetapi pentingnya
hukum dalam pembangunan kurang direspon oleh berbagai negara yang sedang
berkembang, karena menurut pengamatan Gunnar Myrdal, negara-negara
berkembang cenderung memodernisasikan masyarakat dengan segera tetapi
20 Erman Rajagukguk, “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi dan
Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia” (Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas
Indonesia, Jakarta, 1997), hal.1.
21 Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealt of Nation, (London:
Penguin Book, 1979), hal. 397.
22 Jan-Erik Lane dan Svante Ersson, dalam Yunus Husein, Rahasia Bank Privasi Versus
Kepentingan Bank, (Jakarta: Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003),
hal. 65.
Universitas Sumatera Utara
18
landasan yang dipakai adalah perundang-undangan yang main sikat (sweeping
legislation). Perlu dipahami bahwa pembuatan hukum yang tergesa-gesa akan
dapat mengakibatkan hukum menjadi tidak efektif yang pada pada akhirnya
membuat tujuan dari hukum tidak tercapai. Apabila dikaitkan dengan kondisi di
Indonesia maka landasan hukum yang dipergunakan dalam pembangunan ekonomi
perlu dikaji kembali. Sebab hukum Indonesia yang melandasi pembangunan
ekonomi masih ada yang bersifat formalis dan sweeping legislation.23 Dalam upaya
menempatkan hukum sebagai sebuah instrument yang berwibawa untuk
mendukung pembangunan ekonomi, maka perlu diketahui peran apa yang
dibutuhkan oleh bidang ekonomi dari keberadaan hukum di masyarakat. Ahli
ekonomi mengharapkan agar pembangunan perekonomian harus diarahkan untuk
menampung dinamika kegiatan ekonomi dengan cara menciptakan suatu kegiatan
yang produktif dan efesien serta mengandung daya prediktibilitas.24 Peranan
hukum yang sangat penting dalam kehidupan ekonomi adalah kemampuannya
untuk mempengaruhi tingkat kepastian dalam hubungan antar manusia di dalam
masyarakat. Nyhart mengemukakan adanya lima konsep dalam ilmu hukum yang
mempunyai pengaruh dalam pengembangan ekonomi, yaitu sebagai berikut25:
1. Prediktabilitas, maksudnya adalah hukum harus mempunyai kemampuan
untuk memberikan gambaran pasti di masa depan mengenai keadaan atau
23 Bismar Nasution, “Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi”
(Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004), hal.3..
24 Menurut hernando de soto, hukum yang baik adalah hukum yang dapat menjamin bahwa
kegiatan ekonomi dan sosial yang diaturnya dapat berjalan dengan efesien, sedangkan hukum yang
buruk adalah hukum yang mengacaukan atau justru menghalangi kegiatan usaha sehingga menjadi
tidak efesien. Lihat Hernando de Soto, Masih Ada Jalan Lain, Revolusi Tersembunyi di Negara
Ketiga, terjemahan oleh Masri Maris, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1991.
25 J.D Nyhart, “The Role Of Law and Economic Development” (Paper Presented at
Massachusetts Institute of Technology, Massachussets, 1964), hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
19
hubungan-hubungan atau hubungan-hubungan yang dilakukan pada masa
sekarang.
2. Kemampuan prosedural, merupakan kemampuan prosedur yang diciptakan
oleh suatu sistem hukum dalam menyelesaikan permasalahan yang dibawa
kepadanya. misalnya prosedur penyelesian yang disetujui oleh pihak-pihak
yang bersangketa seperti bentuk-bentuk arbitrasi, konsiliasi dan lain
sebagainya. Kesemua lembaga tersebut hendaknya bekerja dengan efesien
apabila diperlukan.
3. Kodefikasi dari tujuan-tujuan, dipahami bahwa hukum dibuat untuk
ditujukan bagi pembangunan negara dan kepentingan orang banyak.
Perundang-undangan di buat sebagai suatu kodefikasi tujuan serta maksud
sebagaimana yang dikehendaki oleh negara. Dibidang ekonomi misalnya
perumusan perundang-undangan industri pertahanan secara langsung
maupun tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap bidang
perekonomian.
4. Keseimbangan, maksudnya sistem hukum itu harus berperan menciptakan
kekuatan yang memberikan keseimbangan di antara nilai-nilai yang
bertentangan di dalam masyarakat. sistem hukum memberikan kesadaran
dan keseimbangan dalam usaha-usaha negara melakukan pembangunan
ekonomi.
5. Akomodasi, perubahan-perubahan yang terjadi pada hakekatnya akan
menyebabkan terganggunya keseimbangan yang lama, baik dalam
hubungan antar individu maupun kelompok tertentu. Keadaan ini dengan
sendirinya menghendaki dipulihkannya keseimbangan tersebut. Sehingga
pembangunan suatu sistem hukum hendaknya mengatur hubungan anatar
individu baik secara material maupun formal memberikan kesempatan pada
keseimbangan yang tergangu untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan
baru sebagai akibat perubahan tersebut. Sistem hukum harus mampu
memberikan pegangan kepentingan kepada para pihak dengan adil melalui
perumusan-perumusan yang jelas dan defenitif.
6. Defenisi dan status yang jelas, jadi fungsi hukum juga harus memberikan
ketegasan mengenai status orang dan barang di masyarakat. kepastian
hukum juga dibutuhkan untuk memperhitungkan dan mengantisipasi
resiko, bahkan bagi suatu negara kepastian hukum merupakan salah satu
faktor yang sangat menunjang daya tahan pereknomomian suatu negara.
Universitas Sumatera Utara
20
Berdasarkan pemahaman singkat teori peranan hukum dalam pembangunan
ekonomi tersebut, pembangunan Industri strategis khususnya industri pertahanan
penting dilakukan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Industri pertahanan
memiliki kemampuan ataupun potensi yang dapat dikembangkan untuk
menghasilkan produk berupa sistem senjata, peralatan dan perlengkapan serta
dukungan logistik bagi kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara,
kemudian industri pertahanan di masa globalisasi saat ini punya peranan penting
dalam persaingan perdagangan untuk kemajuan perekonomian suatu negara.
Sebagai negara berkembang, Indonesia juga memiliki industri pertahanan akan
tetapi industri pertahanan dalam negeri masih berusaha mewujudkan kemandirian
untuk memproduksi alutsista tanpa bergantung pada teknologi dari luar negeri, oleh
karena itu Indonesia harus bisa terlepas dari pengaruh negara maju. Menurut Solly
lubis terdapat dua faktor yang menyebabkan negara berkembang tidak bisa terlepas
dari pengaruh negara maju, yaitu26:
a) Keterbelakangan dalam struktur ekonomi yang berada dalam posisi
ketergantungan kepada negara maju.
b) Keterbelakangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sehingga
dalam banyak hal terpojok dalam posisi konsumen, bukan produsen
teknologi.
Berdasarkan faktor-faktor diatas, agar pembangunan industri pertahanan di
Indonesia terlepas dari pengaruh negara maju maka pemerintah Indonesia
melakukan kebijakan revitalisasi melalui jalan membenahi landasan peraturan
perundang-undangan untuk mendukung proses tersebut. Regulasi hukum bagi
industri pertahanan dilakukan agar undang-undang dapat mendukung kesiapan
26 Solly Lubis, Serba-serbi Politik dan Hukum, (Jakarta: P.T. Sofmedia, 2011), hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
21
revitalisasi industri pertahanan nasional kemudian pengaturan alih teknologi
penting dilakukan untuk mendukung proses pembangunan industri pertahanan.
Pembentukan suatu sistem hukum untuk menunjang ekonomi khususnya
dalam pembangunan industri pertahanan hendaknya mengikuti konsep pengaruh
ilmu hukum terhadap pembangunan ekonomi yang dikemukakan oleh J.D Nyhart.
Jadi peraturan-peraturan terkait alih teknologi dan industri pertahanan harus punya
kemampuan prediktibilitas untuk dapat memberikan gambaran-gambaran dimasa
depan. prosedural agar dapat menyelesaikan permasalahan yang ada dalam proses
pembangunan. Kodefikasi tujuan dari pembangunan melalui perumusan-
perumusan agar suatu peraturan tidak melenceng dari kehendak pemerintah untuk
merevitalisasi industri pertahanan. Kemudian peraturan terkait juga harus memiliki
fungsi keseimbangan agar pembangunan tersebut tidak memberikan dampak buruk,
melalui perumusan-perumusan yang defenitif dan terakhir kepastian hukum
diperlukan untuk memperhitungkan dan mengantisipasi resiko dari revitalisasi
industri pertahanan.
Teori Efektivitas Hukum
Istilah teori efektivitas hukum berasal dari terjemahan bahasa inggris, yaitu
effectiviness of the legal theory, bahasa Belanda disebut dengan effectiviteit van de
jurisdische theorie, bahasa jermannya, yaitu wirksamkeit der rechtlichen theorie.
Ada tiga suku kata yang terkandung dalam teori efektivitas hukum, yaitu teori,
efektivitas, dan hukum. Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada dua istilah
yang berkaitan dengan efektivitas, yaitu efektif dan keefektifan. Efektif artinya (1)
ada efek nya (akibatnya, pengaruhnya,kesannya), (2) manjur atau mujarab, (3)
dapat membawa hasil, (4) mulai berlaku (tentang undang-undang, peraturan).
Keefektifan artinya (1) keadaan berpengaruh, hal terkesan, (2) kemanjuran,
Universitas Sumatera Utara
22
kemujaraban, (3) keberhasilan (usaha, tindakan), dan (4) hal mulai berlakunya
(undang-undang, peraturan)27.
Sebelum mengkaji konsep dari suatu teori hukum, maka perlu dipahami
pengertiannya. Maka teori efektivitas hukum maknanya adalah teori yang mengkaji
dan menganalisis tentang keberhasilan, kegagalan, dan faktor-faktor yang
memengaruhi dalam pelaksanaan dan penerapan hukum. Ada tiga fokus kajian teori
efektivitas hukum, yang meliputi28 :
1) Keberhasilan dalam pelaksanaan hukum.
2) Kegagalan dalam pelaksanaannya, dan.
3) Faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Keberhasilan di dalam pelaksanan hukum adalah bahwa hukum yang dibuat
itu telah tercapai maksudnya. Maksud dari norma hukum adalah mengatur
kepentingan manusia. Apabila norma hukum tersebut ditaati dan dilaksanakan oleh
masyarakat maupun penegak hukum, maka pelaksanaan hukum itu dikatakan
efektif atau berhasil di dalam implementasinya. Kegagalan didalam pelaksanaan
hukum adalah bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan tidak
mencapai maksudnya atau tidak berhasil di dalam implementasinya. Faktor-faktor
yang mempengaruhi adalah hal-hal yang ikut menyebabkan atau berpengaruh di
dalam pelaksanaan dan penerapan hukum tersebut. Faktor-faktor yang berpengaruh
tersebut dapat dikaji dari (1) aspek keberhasilannya dan (2) aspek kegagalannya.29
27 Salim HS dan Erlies Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, (Jakarta: Raja Grafindo, 2013), hal. 301.
28 Ibid, hlm. 303.
29 Ibid, hlm. 304
Universitas Sumatera Utara
23
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan itu , meliputi substansi
hukum, struktur, kultur, dan fasilitasnya. Norma hukum dikatakan berhasil atau
efektif apabila norma itu ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat maupun aparatur
penegak hukum itu sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan di dalam
pelaksanaan hukum adalah karena norma hukum yang kabur atau tidak jelas,
aparatur hukum yang korup, atau masyarakat yang tidak sadar atau taat pada hukum
atau fasilitas yang tersedia untuk mendukung pelaksanaan hukum itu sangat
minim.30
Lawrance M. Friedman mengemukakan tiga unsur yang harus diperhatikan
dalam penegakan hukum. Ketiga unsur itu, meliputi struktur, substansi, dan budaya
hukum. Struktur sistem hukum terdiri dari31 :
1) Unsur-unsur jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya.
2) Cara naik banding dari suatu pengadilan ke pengadilan lainnya.
3) Bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan, prosedur yang harus diikuti.
Pengertian substansi, meliputi :32
1) Aturan, norma, dan perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem
hukum.
2) Produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu,
keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun.
30 Ibid
31 Lawrence M Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial ( A Legal System A Social
Science Perspective). Terjemahan M. Khozim, (Bandung: Nusa Media, 2009), hlm. 7.
32 Salim HS dan Erlies Nurbani,Op.cit., hal..306.
Universitas Sumatera Utara
24
Budaya hukum sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang ada hubungan
dengan hukum dan sistem hukum, berikut sikap-sikap dan nilai-nilai yang
memberikan pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang
berkaitan dengan hukum.
Budaya hukum dibedakan menjadi dua macam, yaitu :33
1) Kultur hukum eksternal, dan
2) Kultur hukum internal.
Kultur hukum eksternal adalah kultur hukum yang ada pada populasi
umum. Kultur hukum internal adalah kultur hukum para anggota masyarakat yang
menjalankan tugas-tugas hukum yang tersepesialisasi. Semua masyarakat memiliki
kultur hukum, tetapi hanya masyarakat dengan para spesialisasi hukum yang
memiliki suatu kultur hukum internal. Budaya hukum merupakan kunci untuk
memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam sistem hukum yang lain.
Penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau tumbuh dari kandungan
masyarakat dapat menjadi masalah, khususnya negara-negara yang sedang berubah
karena terjadi ketidak cocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem
hukum dari negara lain dengan nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu
sendiri.34
Terkait tiga unsur dalam penegakan hukum menururt Lawrence friedman,
alih teknologi melalui pengadaan alutsista bagi pembangunan industri pertahanan
dalam negeri menggunakan pendekatan budaya untuk memberikan konsep
teknologi yang dinamis dengan cara menghubungkan tahap-tahap pembangunan
33 Ibid.
34 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
25
dalam konteks budaya masyarakat di mana teknologi akan diterapkan. Konsep ini
memberikan gambaran teknologi mana yang tepat dan sesuai untuk di alihkan.35
Kemudian Soerjono Soekanto mengemukakan lima faktor yang harus
diperhatikan dalam penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan kegiatan
menyerasikan hubungan dari nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah
yang mantap dan mengejewantahkan dan sikap tindak sebagi rangkaian penjabaran
nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian
dalam masyarakat. Kelima faktor tersebut meliputi :36
1) Faktor hukum atau undang-undang.
2) Faktor penegak hukum.
3) Faktor sarana atau fasilitas.
4) Faktor masyarakat.
5) Faktor kebudayaan.
Berdasarkan pemahaman teori efektivitas diatas maka dapat dipahami
bahwa untuk mengetahui sejauh mana efektivitas dari kesiapan peraturan yang
mengatur alih teknologi dalam pengadaan alutsista harus diukur dari sejauh mana
aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati. Ketaatan terhadap undang-undang yang
merupakan produk hukum menjadi tolak ukur apakah peraturan alih teknologi itu
efektif atau tidak.
35 Sri Wartini, Aspek-Aspek Hukum Alih Teknologi dalam Meningkatkan Daya Saing
Produksi Teknologi Pertambangan di Indonesia. Jurnal Hukum, Vol.9, No. 20. Juni, 2002. Hal.125.
36 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Memengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2008), hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
26
Jika mengkaji faktor-faktor apa yang mempengaruhi ketaatan terhadap
hukum secara umum, maka berdasarkan pendapat C.G Howar dan R.S Mummers
dalam Law : Its Nature and Limits, disebutkan :37
a. Relevansi aturan hukum secara umun, dengan kebutuhan hukum dari orang-
orang atau badan hukum yang menjadi target aturan hukum secara umum.
Oleh karena itu, jika aturan hukum yang dimaksud berbentuk undang-
undang, mak pembuat undang-undang dituntut untuk mempu memahami
kebutuhan hukum dari target pemberlakuan undang-undang tersebut.
b. Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami
oleh target diberlakukannya aturan hukum. Jadi perumusan substansi aturan
itu harus dirancang dengan baik, jika aturannya tertulis harus ditulis dengan
jelas dan mampu dipahami secara pasti. Meskipun nantinya tetap
membutuhkan interpretasi dari penegak hukum yang akan menerapkannya.
c. Sosialiasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu. Kita tidak
boleh meyakini fiksi hukum yang menentukan bahwa semua penduduk
yang ada dalam wilayah suatu negara, dianggap mengetahui seluruh aturan
hukum yang berlaku di negaranya. Tidak mungkin penduduk atau warga
masyarakat secara umum, mampu mengetahui keberadaan suatu aturan
hukum dan substansinya, jika aturan hukum tersebut tidak disosialisasikan
secara optimal.
d. Jika hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka seyogianya
aturannya bersifat melarang, dan jangan bersifat mengharuskan, sebab
hukum yang bersifat melarang (prohibituri) lebih mudah dilaksanakan
ketimbang hukum yang bersifat mengatur (mandatur).
37 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Termasuk Interpretasi
Undang-Undang, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.302.
Universitas Sumatera Utara
27
e. Sanksi yang diancamkan oleh aturan hukum itu, harus dipadankan dengan
sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut. Suatu sanksi yang dapat kita
katakan tepat untuk suatu tujuan tertentu, belum tentu tepat untuk tujuan
lain.
f. Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum, hatus
proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan.
g. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi
pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut adalah memang
memungkinkan karena tindakan yang diatur dan diancamkan sanksi
memang tidak konkret, dapat dilihat, diamati.
h. Efektif atau tidak efektifnya suatu aturan hukum secara umum juga
tergantung pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak hukum
untuk menegakkan berlakunya aturan hukum tersebut.
i. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga mensyaratkan
adanya pada standar hidup sosioekonomi yang minimal didalam
masyarakat. Dan sebelumnya ketertiban umum sedikit atau banyak harus
terjaga karena tidak mungkin efektivitas hukum akan terwujud secara
optimal jika masyarakat dalam keadaan chaos.
Apabila yang akan dikaji dalam hal ini adalah efektivitas perundang-
undangan, maka kita dapat mengatakan bahwa tentang efektifnya suatu perundang-
undangan banyak tergantung pada beberapa faktor, antara lain38 :
a. Pengetahuan tentang substansi (isi) perundang-undangan.
b. Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
38 Ibid, hlm. 304.
Universitas Sumatera Utara
28
c. Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan di dalam
masyarakat Indonesia.
d. Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang tidak boleh
dilahirkan secara tergesa-gesa untuk kepentingan unstan, yang diistilahkan
sebagai sweep legislation (undang-undang sapu) yang memiliki kualitas
buruk dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pada umumnya faktor yang banyak
mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan dalam hal ini perundang-
undangan yang berkaitan dengan industri pertahanan dan alih teknologi alutsista
adalah profesionalitas dan optimalnya pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi
dari para penegak hukum serta instansi yang terkait dalam menjalankan perannya
masing-masing. Jadi hal yang membuat subjek hukum menaati perundang-
undangan adalah karena terpenuhinya suatu kepentingan oleh perundang-undangan
tersebut.
2. Kerangka Konsep
Menurut Soerjono Soekanto sejalan dengan landasan dari teori tersebut,
maka dalam penulisan hukum diperlukan kerangka konsep, kerangka konsep
merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep
khusus yang ingin atau akan diteliti. Konsep bukan merupakan gejala yang akan
diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri
dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-
hubungan dalam fakta tersebut.39
Maka kerangka konsep tidak dapat berdiri sendiri atau terlahir tanpa adanya
suatu teori yang mendasarinya. Dengan berpedoman kepada asas-asas, teori dan
39 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 132.
Universitas Sumatera Utara
29
pemahaman terhadap hubungan antara makna yang terdapat dalam suatu penelitian
hukum, sehingga dapatlah dibuat suatu kerangka konsep yang sistematis. Tujuan
dari kerangka konsep yang sistematis adalah agar memudahkan dalam penyusunan
maupun pemahaman suatu penelitian ilmiah.
Kerangka konsep dalam penelitian hukum diperoleh dari peraturan undang-
undang atau melalui usaha untuk merumuskan atau membentuk pengertian-
pengertian hukum. Apabila kerangka konspe tersebut diambil dari peraturan
perundang-undangan tertentu, maka biasanya kerangka konsep tersebut juga
merumuskan defenisi-defenisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman dalam
proses pengumpulan, analisa, pengolahan dan konstruksi kata.
Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini dan secara
operasional dapat dibatasi ruang lingkupnya, maka perlu didefenisikan beberapa
konsep dasar untuk menyamakan persepsi. Beberapa istilah yang digunakan dalam
penelitian ini, adalah sebagai berikut :
a. Alih teknologi adalah proses mentransfer keterampilan, pengetahuan,
teknologi, metode manufaktur, sampel manufaktur dan fasilitas antara
pembeli/pengguna dan penjual serta antar lembaga lain untuk memastikan
bahwa perkembangan ilmiah dan teknologi dapat diakses dengan jangkauan
yang lebih luas dari pengguna yang kemudian dapat lebih mengembangkan
dan memanfaatkan teknologi menjadi produk baru, proses, aplikasi, bahan
atau jasa.40
b. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan
baku dan memanfaatkan sumber daya indiustri sehingga menghasilkan
40 Pasal 1 Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang Pengadaan Alat Utama Sistem
Senjata Di lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
30
barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk
jasa industri.41
c. Revitalisasi adalah suatu proses atau cara dan perbuatan untuk
menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya terberdaya kemudian
menjadikannya sebagai suatu yang vital (sangat penting).42
d. Industri Pertahanan adalah industri nasional yang terdiri atas Badan Usaha
Milik Negara dan Badan Usaha Milik Swasta baik secara sendiri maupun
berkelompok yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk sebagian atau
seluruhnya menghasilkan alat peralatan pertahanan dan keama nan yang
selanjutnya disebut Alpalhankam, jasa pemeliharaan untuk memenuhi
kepentingan strategis di bidang pertahanan dan keamanan yang berlokasi di
wilayah Kesatuan Negara Republik Indonesia.43
e. Alat Utama Sistem Senjata yang selanjutnya disebut Alutsista adalah alat
peralatan utama beserta pendukungnya yang merupakan suatu sistem
senjata yang memiliki kemampuan untuk pelaksanaan tugas pokok tentara
nasional Indonesia.44
G. Metode Penelitian
Istilah metode penelitian terdiri dari dua kata, yakni kata ‘’metode’’ dan
kata ‘’penelitian’’. Kata metode menurut etimologinya (asal kata) merupakan
gabungan dari dua kata, yaitu ‘’meta’’ yang berarti menuju, melalui, mengikuti,
sesudah dan ‘’hodos’’ yang berarti jalan, cara dan arah sehingga pengertian dari
41 Pasal 1 Undang-Undang No 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
42 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008).
43 Pasal 1 Peraturan Menteri Pertahanan No 23 Tahun 2016 tentang Pembinaan Industri
Pertahanan.
44 Pasal 1 Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang Pengadaan Alat Utama Sistem
Senjata Di lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
31
metode secara etimologi adalah jalan menuju. Jadi pengertian metode adalah
kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja (sistematis) untuk
memahami suatu subjek atau objek penelitian, sebagai upaya untuk menemukan
jawaban yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah termasuk
keabsahannya.45
Sedangkan kata ‘’penelitian’’ berasal dari bahasa inggris, yakni research,
re yang berarti kembali dan search berarti mencari. Jadi pengertian penelitian
menurut etimologi adalah pencarian kembali. Menurut Tuckman, penelitian adalah
suatu usaha sistematis untuk menemukan jawaban ilmiah terhadap suatu masalah.
Sistematis artinya mengikuti prosedur atau langkah-langkah tertentu. Jawaban
ilmiha adalah rumusan pengetahuan, generalisasi baik berupa teori, prinsip baik
yang bersifat abstrak maupun konkret yang dirumuskan melalui alat primernya,
yaitu empiris dan analisis. Penelitian itu sendiri bekerja atas dasar asumsi, teknik
dan metode.46 Oleh karena itu metode penelitian adalah rangkaian langkah
sistematis untuk memecahkan suatu rangkaian sebab dan akibat dan menentukan
jawaban ilmiah terhadap suatu permasalahan.
Dengan demikian, setiap penelitian (research) itu berangkat dari
ketidaktahuan berakhir pada keraguan dan tahap selanjutnya berangkat dari
keraguan berakhir pada suatu hipotesis (jawaban sementara yang dianggap benar
sebelum dibuktikan sebaliknya).47
45 Rosdy ruslan, Metode Penelitian Publik, (Surabaya: PT. Raja Grafindo Persada, 2003),
hal. 24.
46 Sarwono Jonathan, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2006), hal. 15.
47 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2013), hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
32
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ilmiah ini adalah
penelitian hukum normatif yang di dukung dengan data primer. Berdasarkan istilah
yang dikemukakan oleh Ronald Dworkin, penelitian hukum normatif disebut juga
dengan istilah penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang menganalisis hukum, baik
yang tertulis didalam buku (law as it i written in the book)48, maupun hukum yang
diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan ( law as it decided by the judge
through judicial process ).49 Sedangkan menurut Soejono Soekanto dan Sri
Mamuji, penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan adalah
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan
hukum sekunder belaka. Pengertian ini difokuskan pada bahan yang digunakan di
dalam penelitiannya. Bahan yang diteliti di dalam penelitian hukum normatif
adalah bahan pustaka atau data sekunder. Bahan pustaka merupakan bahan yang
berasal dari sumber primer dan sumber sekunder.50 Mukti Fajar ND dan Yulianto
Ahmad menyajikan pengertian penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum
yang meletakkan hukum sebagai sistem norma. Sistem norma yang dimaksud
adalah asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan
pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).51
Penelitian hukum yang dikemukakan Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad
difokuskan pada objek kajiannya. Objek kajian penelitian hukum normatif adalah
pada hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah. Norma yang menjadi
48 Ronald Dworkin, Legal Research, (Spring : Daedalus, 1973), hal. 250.
49 Bismar Nasution, ‘’Metode penelitian hukum normatif dan perbandingan hukum,
Medan”(Makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan hasil penelitian
hukum pada Majelis Akreditasi, Fakultas Hukum USU, 2003), hal. 1.
50 Salim HS dan Erlies Nurbani,Op.cit, hal. 12.
51 Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum normatif dan Hukum
Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 34.
Universitas Sumatera Utara
33
objek kajiannya, meliputi undang-undang, peraturan pemerintah dan lain-lain. Pada
hakikatnya penelitian hukum normatif merupakan peneilitian yang mengkaji dan
menganalisis tentang norma-norma hukum yang telah ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang.
2. Sumber Data Penelitian
Data yang digunakan sebagai bahan analisis dalam penelitian tesis ini
adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh
langsung dari lokasi penelitian berupa dokumen yang berkaitan dengan
permasalahan dan hasil dari wawancara terhadap narasumber.
Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh dari
penelitian kepustakaan ,52 data sekunder berupa :
a. Bahan Hukum primer, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, peraturan
perundang-undangan berupa Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang
Industri Pertahanan, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem
Nasional, Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi, Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2010 tentang Komite
Kebijakan Industri Pertahanan, Peraturan Pemerintah No 59 Tahun 2013
tentang Organisasi, Tata kerja, dan Sekretariat Komite Kebijakan Industri
Pertahanan, Peraturan Pemerintah Nomer 76 Tahun 2014 tentang
Mekanisme Imbal Dagang Dalam Pengadaan ALPALHANKAM Dari
Luar Negeri, Peraturan Pemerintah No 141 Tahun 2015 tentang
Pengelolaan Industri Pertahanan, dan Peraturan Menteri Pertahanan
52 Bambang Waluyo, Penelitian Normatif Data Sekunder Sebagai Sumber/Bahan
Informasi Dapat Merupakan Bahan Bukum Primer, Bahan Hukum Sekunder dan Bahan Hukum
Tersier. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
34
Nomor 30 Tahun 2015 tentang Imbal Dagang, Kandungan Lokal, Dan
Ofset Dalam Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan Dan Keamanan Dari
Luar Negeri.
b. Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya
dari para pakar hukum, dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan
tranfer teknologi dalam pengadaan alutsista untuk revitalisasi industri
pertahanan.
c. Bahan Hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus umum, majalah/jurnal atau surat kabar sepanjang
memuat informasi yang berkaitan dengan penelitian.53
3. Teknik Pengumpulan Data
Bahan atau data yang diperlukan dalam pengkajian penelitian ini
menggunakan dua metode teknik pengumpulan data, yakni studi kepustakaan
(library research) dan studi lapangan (Field Research). Studi pustaka yang
dikumpulkan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pembangunan industri pertahanan nasional serta peraturan-peraturan yang
berkaitan dengan kebijakan alih teknologi alutsista melalui sistem ofset. Kemudian
dengan studi pengumpulan data lapangan ke kementerian pertahanan terkait usaha-
usaha yang dilakukan pemerintah dalam mencapai kemandirian pengadaan
alutsista.
Alat pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumen berupa dokumen
pemerintah, makalah, memo, laporan penelitian, arsip-arsip dan data website
53 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
35
resmi. Selanjutnya pengumpulan data dilakukan melalui wawancara yang
dilakukan terhadap Sekretaris Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan, Brigadir
Jenderal Aribowo Teguh Santoso, S.T, M.Sc dari Kementerian Pertahanan
Republik Indonesia dengan membuat daftar pertanyaan berupa kebijakan, strategi,
sumber daya, masalah dan prospek industri pertahanan di instansi kementerian
pertahanan dengan cara tanya jawab antara pewawancara dan narasumber yang
berkaitan dengan usaha-usaha yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan
kemandirian pengadaan alutsista oleh industri pertahanan nasional. Dalam
penelitian ini pedoman wawancara tidak terstruktur, yaitu pedoman wawancara
yang hanya memuat garis besar yang akan ditanyakan.
4. Analisa Data
Apabila bahan hukum yang terdiri dari bahan-bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder sudah diperoleh kemudian penulis akan melakukan analisis
data secara kualitatif. Analisis kualitatif merupakan analaisis data yang tidak
menggunakan angka, melainkan memberikan gambaran-gambaran (deskripsi)
dengan melakukan analisis secara eksploratif terhadap kebijakan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan alih teknologi. Bahan-
bahan itu akan dianalisis untuk menghubungkannya dengan pendapat-pendapat
para ahli, azas-azas hukum serta informasi hasil wawancara terkait dengan regulasi-
regulasi dan usaha-usaha apa yang dilakukan pemerintah dalam proses revitalisasi
industri pertahanan nasional.
Kemudian mencoba merumuskan dalam bentuk uraian untuk mendapatkan
suatu kesimpulan yang dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif-
induktif yaitu dilakukan dengan teori yang dijadikan sebagai titik tolak untuk
melakukan penelitian.
Universitas Sumatera Utara
36
Dengan demikian teori digunakan sebagai alat, ukuran dan bahan
instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga pada akhirnya menggunakan teori
sebagai suatu pisau analisis dalam memahami proses alih teknologi dalam
pengadaan alutsista untuk mendukung revitalisasi industri pertahanan nasional.
Universitas Sumatera Utara
37
BAB II
DASAR KEBIJAKAN ALIH TEKNOLOGI ALUTSISTA TERHADAP
PROSES PEMBANGUNAN INDUSTRI PERTAHANAN NASIONAL
A. Hak Kekayaan Intelektual Dalam Kaitannya Dengan Alih Teknologi
Hak kekayaan intelektual merupakan suatu sistem yang tidak dapat
dipisahkan dalam perkembangan kehidupan modern. Pada awal abad ke-21 telah
tercapai kesepakatan antara negara-negara di dunia untuk mengangkat konsep hak
kekayaan intelektual kearah kesepakatan bersama dalam dalam wujud Agreement
Establishing The World Trade Organization (WTO Agreement) dan semua
perjanjian internasional yang menjadi lampirannya, termasuk yang berkaitan
dengan hak kekayaan intelektual. Hak kekayaan intelektual merupakan suatu
konsep yang mengatur tentang pemberian dan perlindungan hak kepada seseorang
atas karyanya. Menurut Lbently dan Sherman, hak itu atas permintaan pemohon,
diberikan oleh negara untuk jangka waktu tertentu atas karya yang merupakan hasil
dari pemikirannya yang berguna bagi masyarakat banyak. Hak kekayaan intelektual
merupakan aset dan oleh karena itu dapat dialihkan.54
Masuknya konsep hak kekayaan intelektual dalam kesepakatan antar negara
ini disebabkan hak kekayaan intelektual dapat memainkan peranan penting bagi
peningkatan dan pengembangan ekonomi bagi suatu negara melalui bisnis
perdagangan internasional. Untuk memahami besarnya pengaruh hak kekayaan
intelektual dalam perdagangan internasional dapat dilihat dari terus meningkatnya
nilai transaksi kekayaan intelektual yang pada tahun 1990 sebesar 10 miliar dolar
menjadi 200 miliar dolar di tahun 2007. Kemudian bersamaan dengan
pengembangan konsep hak kekayaan intelektual ini dunia kemudian
54 Achmad Zen, Perjanjian TRIPs dan Beberapa Isu Strategis. (Jakarta: PT.Alumni, 2011),
hal. 43.
Universitas Sumatera Utara
38
mengembangkan konsep ekonomi baru yang berunsurkan ilmu pengetahuan yang
kemudian populer dengan sebutan knowledge based economy (KBE) atau
information based economy.55
Secara sederhana kekayaan intelektual dapat dideskripsikan sebagai hak
atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.
Karya-karya intelektual yang dimaksud di bidang ilmu pengetahuan, seni, sastra
ataupun teknologi, dilahirkan dengan pengorbanan tenaga, waktu dan bahkan
biaya. Adanya pengorbanan tersebut menjadikan karya yang dihasilkan menjadi
memiliki nilai. Apabila ditambah dengan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati,
maka nilai ekonomi yang melekat menumbuhkan konsepsi kekayaan (Property)
terhadap karya-karya intelektual. Bagi dunia usaha, karya-karya itu dikatakan
sebagai aset dari perusahaan.
Kekayaan atau aset berupa karya-karya yang dihasilkan dari pemikiran atau
kecerdasan manusia mempunyai nilai atau manfaat ekonomi bagi kehidupan
manusia sehingga dapat dianggap juga sebagai aset komersial. Karya-karya yang
dilahirkan atau dihasilkan atas kemampuan intelektual manusia baik melalui
curahan tenaga, pikiran dan daya cipta, rasa serta karsanya sudah sewajarnya
diamankan dengan menumbuhkembangkan sistem perlindungan hukum atas
kekayaan tersebut yang dikenal sebagai sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
HKI merupakan cara melindungi kekayaan intelektual dengan menggunakan
instrumen-instrumen hukum yang ada, yakni Hak Cipta, Paten, Merek dan Indikasi
Geografis, Rahasia Dagang, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu,
dan Perlindungan Varietas Tanaman. Hak kekayaan intelektual merupakan hak
privat (private rights) bagi seseorang yang menghasilkan suatu karya intelektual.
55 Ibid, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
39
Di sinilah ciri khas HKI, seseorang bebas untuk mengajukan permohonan atau
mendaftarkan karya intelektualnya atau tidak. Hak ekslusif yang diberikan negara
kepada individu pelaku HKI (inventor, pencipta, pendesain dan sebagainya)
dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karya (kreativitas)nya dan agar orang
lain terangsang untuk dapat lebih lanjut mengembangkannya lagi, sehingga dengan
sistem hak kekayaan intelektual tersebut kepentingan masyarakat ditentukan
melalui mekanisme pasar. Di samping itu, sistem hak kekayaan intelektual
menunjang diadakannya sistem dokumentasi yang baik atas segala bentuk
kreativitas manusia sehingga kemungkinan dihasilkannya teknologi atau hasil
karya lainnya yang sama dapat dihindarkan atau dicegah. Dengan dukungan
dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkannya
dengan maksimal untuk keperluan hidupnya atau mengembangkannya lebih lanjut
untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi lagi.
Pembahasan hak kekayaan intelektual merupakan permasalahan yang terus
berkembang dan hal tersebut sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK). Hak kekayaan intelektual telah menjadi bagian penting bagi
suatu negara untuk menjaga keunggulan industri dan perkembangan sistem
teknologi di Indonesia. Menurut Munaf (2001), peran HKI pada saat ini sangat
penting, antara lain:
a. Sebagai alat persaingan.
b. Alat pendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan inovasi-
inovasi baru yang dapat diindustrikan, dan
c. Alat peningkatan kesejahteraan perekonomian masyarakat, khususnya para
peneliti yang mempunyai temuan yang diindustrikan dengan cara
mendapatkan imbalan berupa royalti.
Universitas Sumatera Utara
40
Pembangunan ekonomi di dunia sekarang ini tidak akan terlepas dari sistem
HKI, dalam kehidupan sehari-hari, telah disadari bagaimana besarnya dampak
intelektualitas manusia. Hasil dari kejeniusan manusia dengan karya intelektual
yang dihasilkannya telah memberi banyak hal yang dibutuhkan untuk menjalani
kehidupan dengan cara yang lebih baik. Hal tersebut dapat dilihat dari sekeliling
atau dari rumah tempat kita tinggal, berbagai peralatan rumah, pakaian, elektronika,
komunikasi, transportasi, peralatan kantor dan lain-lain merupakan hasil karya
intelektual manusia yang sangat membantu kehidupan manusia dalam menjalankan
aktivitasnya. Oleh karena itu, untuk mendorong kreasi yang berguna lebih lanjut,
sangat penting untuk memberikan suatu insentif kepada pihak-pihak yang
menciptakan atau menanamkan modal dalam pembuatan karya intelektual. Negara-
negara maju sudah berabad-abad mengenal kebutuhan akan insentif dengan
membangun suatu sistem yang membuat karya intelektual yang baru atau asli
diperlakukan sebagai suatu kekayaan, yang dikenal sebagai kekayaan intelektual.
Kekayaan intelektual dalam perkembangannya telah memperlancar roda
pembangunan ekonomi suatu bangsa, dengan terciptanya perlindungan kekayaan
intelektual bagi mereka yang menciptakan atau menanamkan modal pada
penciptaan karya-karya intelektual tidak hanya akan mendorong kualitas kekayaan
intelektual tetapi juga alih teknologi dan pengetahuan. Alih teknologi dan hak
kekayaan intelektual memiliki hubungan khusus sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 7 ayat 1 Trips Agreement56 :
“The protection and enforcement of intellectual property rights should
contribute to the promotion of technological innovation and to the transfer
and dissemination of technology, to the mutual advantage of producers and
users of technological knowledge and in a manner conducive to social and
economic welfare, and to a balance of rights and obligations.”
56 Bab I, Pasal 7, Agreement on Trade-Related Aspect of Intellectual Property Right.
Universitas Sumatera Utara
41
Berdasarkan pasal diatas dapat diartikan bahwa hak kekayaan intelektual
diharapkan akan terjadinya alih teknologi dengan tujuan pengembangan inovasi
teknologi serta penyebaran teknologi untuk kepentingan bersama antara produser
dan pengguna pengetahuan teknologi, serta dalam situasi kondusif bagi
kesejahteraan social dan ekonomi juga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
B. Pengaturan Alih Teknologi Di Indonesia
1. Pengertian Alih Teknologi
Teknologi adalah komposisi cara yang terdiri atas keterampilan merancang
dan melaksanakannya, terutama yang menggunakan panca indra dan keterampilan
yang terencana seperti pengetahuan dan informasi.57 Teknologi merupakan teknik
know-how yang berkaitan dengan produksi barang dan jasa. Pengertiian teknik
know-how maksudnya adalah sebagai teknik untuk mengetahui rahasia dari barang
dan jasa tersebut, dan alih teknologi dengan cara yang benar. Sedangkan alih
teknologi berasal dari kata transfer of technology yang artinya adalah proses untuk
mengalihkan teknologi dari suatu unit produksi ke unit lainnya dengan persyaratan
pengetahuan.58 Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019
tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, alih teknologi adalah
pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi antar lembaga, badan, atau orang, baik yang berada dalam lingkungan
dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri atau
sebaliknya.59 Jadi dapat disimpulkan bahwa alih teknologi merupakan suatu cara
57 Amir Pamuntjak, Sistem Paten:Pedoman praktik dan alih teknologi, (Jakarta:
Djambatan, 1994), hal.7.
58 Ok.Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Rights),
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 305.
59 Pasal 1 Ayat 15 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi.
Universitas Sumatera Utara
42
untuk mengalihkan hak-hak kekayaan teknologi dari satu negara ke negara lainnya
ataupun antar lembaga maupun perorangan yang bertujuan untuk mempergunakan
teknologi yang dialihkan tersebut, menguasai teknologi yang dimaksud disini
adalah untuk memproduksi maupun melakukan penelitian dan pengembangan agar
memperolehj inovasi baru dari teknologi yang sebelumnya.
2. Peraturan Yang Berkaitan Dengan Alih Teknologi
Pada saat ini Indonesia telah memiliki perangkat peraturan perundang-
undangan di bidang hak kekayaan intelektual yang berkaitan dengan alih teknologi
dan tidak bertentangan dengan ketentuan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam
kesepakatan TRIPS. Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain:
1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi perubahan atas Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan
Penerapan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi di gantikan dengan . Jadi
dalam peraturan ini mewajibkan pemerintah untuk memperhatikan upaya
penguatan dan penguasaan ilmu-ilmu dasar, ilmu pengetahuan dan
teknologi strategis serta peningkatan kapasitas dari penelitian dan
pengembangan lembaga-lembaga penelitian teknologi di Indonesia.
Penguatan pertumbuhan industri yang harus berbasis teknologi untuk
meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi.
Serta penguatan tarikan pasar bagi hasil kegiatan penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut berdasarkan
pemahaman dari Pasal 16 ayat (1) yaitu: Peguruan tinggi dan lembaga
penelitian dan pengembangan (litbang) wajib untuk mengusahakan alih
teknologi hak kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan
pengembangan yang dibiayai oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah
Universitas Sumatera Utara
43
kepada badan usaha, pemerintah, atau masyarakat, sejauh tidak
bertentangan dengan ketertiban umum dan peraturan perundang-
undangan.60
2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, tujuan dari
pembentukan undang-undang desain industri ini yaitu untuk melindungi
penampakan luar suatu produk karena karya desain dianggap sebagai
kekayaan intelektual yang merupakan buah pikiran dan kreatifitas dari
pendesainnya. Ketentuan alih teknologi terdapat dalam pasal 31 tentang
ketentuan pengalihan hak dan lisensi, yaitu :61
1) Hak desain industri dapat beralih atau dialihkan dengan cara
pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain
yang dibenarkan oleh undang-undang.
2) pengalihan hak desain industri sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1) disertai dengan dokumen-dokumen pengalihan hak.
3) Segala bentuk pengalihan Hak Desain Industri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib dicatat dalam Daftar Umum Desain
Industri pada Direktorat Jenderal dengan membayar biaya
sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
4) Pengalihan hak desain industri yang tidak dicatat dalam daftar
umum desain industri tidak berakibat hukum pada pihak ketiga.
5) Pengalihan hak desain industri sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) diumumkan dalam berita resmi desain industri.
3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten. Pengaturan alih
teknologi dalam undang-undang paten ini terdapat dalam pasal 74 ayat (1)
Hak atas Paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun
sebagian karena: a. pewarisan; b. hibah; c. wasiat; d. wakaf; e. perjanjian
60 Pasal 16 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi.
61 Pasal 31 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri.
Universitas Sumatera Utara
44
tertulis; atau f. sebab lain yang dibenarkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Kemudian ayat (2) Pengalihan hak atas Paten
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disertai dokumen asli Paten
berikut hak lain yang berkaitan dengan Paten.62 Kemudian ketentuan khusus
alih teknologi dibidang paten yang sebelumnya telah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten merupakan wujud komitmen
Indonesia karena telah meratifikasi perjanjian TRIPs. Dimana alih
teknologi adalah bagian yang diataur di dalam ketentuan TRIPs Agrement
pada Pasal 7 a.1. : Perlindungan hak kekayaan intelektual harus memberi
sumbangan pada usaha pendorong penemuan teknologi dan alih teknologi,
berdasarkan keuntungan timbal balik antara pemilik dan pengetahuan
teknologi dan dalam situasi yang kondusif bagi kesejahteraan sosial dan
ekonomis, serta keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam
undang-undang ini penanaman modal asing terkait alih teknologi hanya
diatur secara singkat pada Pasal 10 Ayat (4) yang menyatakan bahwa
perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja dari luar
negeri wajib untuk melaksanakan pelatihan dan melakukan alih teknologi
kepada tenaga kerja Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.63 Jadi alih teknologinya hanya berlaku secara
perorangan terkait tenaga kerja saja bukan mewajibkan secara institusional
kepada perusahaan pemodal asing dan juga bukan merupakan kewajiban
hukum bagi investor serta tidak ada sanksi tegas apabila tidak
62 Pasal 74 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten.
63 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Universitas Sumatera Utara
45
dilaksanakan.64 Kemudian dalam Pasal 45 Ayat (2) undang-undang
ketenaga kerjaan jo Pasal 21 Ayat (1) Peraturan Menteri Nomor
Per.2/Men/III/2008. Di dalam undang-undang tersebut juga belum ada
ketentuan khusus yang mengatur mengenai pengalihan teknologi dalam
bentuk nyata kecuali hanya berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan
tenaga kerja.65
Berdasarkan pasal tersebut undang-undang penanaman modal
memang punya kaitan dengan alih teknologi, tetapi pengaturannya belum
mengatur dengan jelas tata cara pelaksanaan alih teknologi yang harus
dilakukan oleh penanam modal dari luar negeri dan sifatnya hanya
perorangan serta tidak ada ketentuan khusus dan kewajiban pelaksanaan.
C. Alih Teknologi Bagi Industri Pertahanan Dalam negeri
Perkembangannya industri pertahanan pada masa kini telah mengambil
peranan penting dalam menjaga pertahanan dan keamanan suatu negara bahkan di
era modern ini industri pertahanan punya peran penting lain, yaitu menjadi salah
satu sumber bisnis bagi pemasukan devisa negara. Banyak negara-negara maju
maupun berkembang memiliki perusahaan pertahanan untuk memenuhi kebutuhan
alutsista dalam negeri bahkan beberapa dari perusahaan pertahanan mempunyai
peranan memenuhi kebutuhan alat pertahanan dan keamanan negara lain. Situasi
konflik di beberapa daerah di dunia hinggga aksi-aksi terorisme yang terjadi di
berbagai negara pun mendorong setiap negara untuk memperkuat alat peralatan
pertahanan dan keamanan dalam negeri masing-masing. Akibat dari situasi tersebut
64 Candra Irawan, Aturan alih teknologi dari perusahaan Swasta Asing Kepada
Perusahaan Nasional Pada Kegiatan Penanaman Modal Untuk Percepatan Penguasaan Teknologi
Maju di Indonesia. https://www.unisbank.ac.id. Diakses pada 15 Mei 2020.
65 Alam, Deden Purnama, Kajian Terhadap Pengaturan Alih Teknologi Dalam Kegiatan
Penanaman Modal, http://Repository.Unila.Ac.Id:8180/Dspace/Handle/123456789/2524. Di akses
pada 15 Mei 2020.
Universitas Sumatera Utara
46
mempengaruhi sumber pemasukan beberapa negara dari ekspor alat pertahanan dan
keamanan menjadi besar.
Tabel. 1
peringkat dan nominal pendapatan (dalam satuan milyar Dolar Amerika) pemasok
produk pertahanan di dunia tiga tahun terakhir
Rank Pemasok 2016 2017 2018 total
1 Amerika Serikat 9955 12485 10508 32948
2 Rusia 6685 5741 6409 18835
3 Prancis 2218 2302 1768 6288
4 Jerman 2518 1980 1277 5776
5 China 2360 1227 1040 4627
6 Israel 1441 1254 707 3402
7 Inggris 1367 1235 741 3342
8 Spanyol 471 820 1188 2479
9 Korea Selatan 479 751 1083 2313
10 Italia 619 802 611 2032
25 Indonesia 86 94 15 196
(Sumber : Diolah dari armstrade.sipri.org)
Kemudian didapat data total pendapatan kotor dari lima puluh negara yang
memiliki industri pertahanan selama tiga tahun terakhir (2016-2018) mencapai
US$90.922 miliar.66 Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar dengan wilayah
teritorial yang cukup luas dan jumlah penduduk yang cukup besar, juga memiliki
industri pertahanan untuk kepentingan pertahanan dalam negeri dan juga ikut
memasok alat pertahanan di pasar internasional. Akan tetapi Indonesia masih
memiliki keterbatasan memproduksi produk pertahanan, salah satu penyebabnya
adalah keterbatasan kepemilikan teknologi tinggi dalam produk pertahanan dalam
negeri, bahkan Indonesia masih mengimpor banyak alutsista dari luar negeri karena
belum mampu memproduksinya. Oleh karena hal tersebut maka pemerintah
Indonesia berusaha melakukan alih teknologi dari negara-negara yang memiliki
66 https://www.sipri.org/databases/armstransfers, diakses pada hari senin, 7 November
2019.
Universitas Sumatera Utara
47
teknologi tinggi dalam bidang militer untuk mencapai kemandirian produksi
alutsista industri pertahanan dalam negeri.
1. Tantangan dan Peluang Alih Teknologi Industri Pertahanan
Indonesia sebagai sebuah negara memiliki tujuan untuk melindungi
kedaulatannya dari berbagai macam ancaman baik dari dalam maupun dari luar
negeri serta berupaya memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Maka dalam
beberapa tahun ini pemerintah sebagai penyelenggara negara telah menunjukkan
tekadnya untuk membangun industri pertahanan dalam negeri agar industri
pertahanan memberikan kontribusi besar dalam mendukung keamanan dan
kemakmuran ekonomi rakyat. Realitas terkait dengan industri pertahanan yang
dimiliki oleh Indonesia saat ini adalah masih belum optimalnya sistem pertahanan
Indonesia, khususnya menyangkut alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang
dimiliki. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan alutsista dalam konteks
pertahanan modern menjadi ujung tombak dalam upaya mempertahankan
kedaulatan wilayah dan mendukung kesejahteraan rakyatnya. Namun, seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, salah satu permasalahan yang ada di Indonesia adalah
belum memadainya kemampuan pengadaan alutsista yang dimiliki baik dari
kuantitas, kualitas maupun kemandirian untuk memaksimalkan potensi Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Dalam
konteks global saat ini ancaman terhadap kedaulatan negara telah berkembang
sejalan dengan perkembangan teknologi. Teknologi pertahanan selalu dianggap
mewakili perkembangan zaman pertahanan masa kini karena senantiasa didorong
oleh kemampuan penangkalan untuk dapat menjawab tuntutan dan merespon
ancaman yang selalu berubah. Oleh karena itu, produk pertahanan selalu menjadi
state of the art. Dalam konteks tersebut, suatu negara yang memiliki industri
Universitas Sumatera Utara
48
pertahanan yang mapan dianggap memiliki sebuah keuntungan strategis dalam
tatanan global.67
Kemajuan teknologi dan industri pertahanan di masa kini semakin
berkembang pasca perang dingin terkait dengan semakin kompetitifnya pasar yang
membuat industri-industri pertahanan berusaha untuk mendapatkan konsumen bagi
produk mereka. Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari dua hal. Pertama,
liberalisasi yang dilakukan terhadap industri pertahanan, khususnya di negara-
negara Barat. Kedua, munculnya perubahan besar dalam ruang lingkup peperangan
yang membawa pengaplikasian dari penemuan teknologi yang dikombinasikan
dengan perubahan secara mendasar dalam doktrin, operasional dan konsep
organisasi militer, yang secara mendasar terkait dengan karakter dan cara
melakukan operasi militer. Perubahan ini secara umum dikenal dengan Revolution
in Military Affairs (RMA). Oleh karena itu, negara-negara besar berupaya untuk
mengembangkan persenjataan sebagai produk industri pertahanan mereka dengan
mengedepankan aplikasi teknologi canggih.68
Dua kondisi diatas membuat munculnya berbagai persenjataan canggih
yang diproduksi dan digunakan oleh berbagai negara, khususnya negara-negara
maju. Berbagai teknologi canggih diaplikasikan untuk memenuhi tuntutan
konsumen yang menginginkan persenjataan yang dapat mengatasi munculnya
ancaman-ancaman baru terhadap negara mereka. Saat ini, teknologi persenjataan
dengan kemampuan siluman (stealth) dan persenjataan tanpa awak seperti
Unmaned Aerial Vehicle (UAV) menjadi produk-produk andalan industri
67 Ansari Bukhari, “Tonggak Bangkitnya Industri Pertahanan Lokal”,Majalah KINA, 2012,
hal.6.
68 Angga Rachmat, “Tantangan dan peluang Perkembangan Teknologi Pertahanan Global
Bagi pembangunan Kekuatan Pertahanan Indonesia”,Transformasi Global, Volume 1, edisi 2, 2014,
hal. 201.
Universitas Sumatera Utara
49
pertahanan negara-negara maju. Keamanan nasional yang terkait erat dengan
kemampuan teknologi dan industri pertahanan menjadi subjek dari kontrol politik
ekonomi yang berpengaruh terhadap hubungan dengan pihak asing serta ekspor dan
alih teknologi, yang dalam hal ini berhubungan dengan persenjataan untuk
kepentingan pertahanan.69
Industri pertahanan dalam negeri menjadi salah satu industri yang sangat
penting bagi sebuah negara dalam menjalankan usahanya untuk mengembangkan
sistem pertahanan secara mandiri. Hal ini terkait dengan terpenuhinya kebutuhan
baik dalam konteks penyediaan kualitas maupun kuantitas alutsista yang sesuai
dengan karakteristik kewilayahan serta menghilangkan ketergantungan secara
politik dan ekonomi terhadap negara lain. Pembinaan industri pertahanan domestik
telah terbukti dapat menjadi tulang punggung bagi pembangunan sistem pertahanan
dan modernisasi alutsista China dan India yang saat ini tumbuh menjadi kekuatan
militer besar di Asia. Apalagi sektor pertahanan merupakan peluang bisnis karena
kebijakan pertahanan sangat bergantung pada sumber daya yang dialokasikan
terhadap anggaran pertahanan. Pengeluaran pertahanan memberikan kehidupan dan
bahkan keuntungan bagi berbagai pihak, termasuk didalamnya industri (baik
industri strategis pertahanan maupun industri lainnya).70
Berkaca kepada hal tersebut, Indonesia yang saat ini tengah mengakselerasi
program untuk memenuhi kebutuhan minimum kekuatan militernya telah
mengeluarkan dasar hukum bagi pengembangan industri pertahanan dalam negeri
melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Kemudian perlu dipahami bahwa dana yang dikeluarkan untuk pembangunan
69 Ibid.
70 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
50
industri pertahanan bukan hanya sekedar pengeluaran bagi pertahanan negara tapi
juga merupakan peluang investasi masa depan bagi perkembangan ekonomi rakyat.
Jadi pengaturan alih teknologi alutsista juga merupakan salah satu cara untuk
menganalisis pentingnya pelaksanaan alih teknologi keuntungan dari investasi
jangka panjang di bidang pertahanan.
2. Pengaturan Alih Teknologi Industri Dalam Perjanjian Trade Related
Aspects Of Intellectual Property Rights (TRIPs)
Trade Related aspects of Intellectual Property Rights (selanjutnya di sebut
dengan TRIPs) merupakan perjanjian internasional di bidang hak kekayaan
intelektual terkait dengan perdagangan. Perjanjian ini merupakan bagian dari
Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO Agreement) yang
bertujuan menyeragamkan sistem hak kekayaan intelektual di seluruh negara
angggota WTO. WTO Agreement memiliki tiga materi, yaitu perdagangan barang,
jasa dan hak kekayaan intelektual. TRIPs mulai berlaku sejak 1995.71 Ruang
lingkup mengenai hak kekayaan intelektual dalam TRIPs termuat dalam Bab II
berupa hak cipta, merek dagang, indikasi geografis, desain industri, paten, desain
tata letak sirkuit terpadu, perlindungan atas informasi yang dirahasiakan dan
pengawasan praktek anti persaingan dalam lisensi kontrak72.
Strategi memasukkan hak kekayaan intelektual beserta dengan aspek
penegakan hukum sebagai unsur perdagangan internasional dan dibuat satu paket
dengan WTO merupakan sikap jeli agar negera-negara menjadi terikat dengan
kepentingan di bidang perdagangan secara umum. Selanjutnya, satu dewan dalam
71 Bab I Trade Related aspects of Intellectual Property Rights.
72 Ibid, Bab II.
Universitas Sumatera Utara
51
WTO yang disebut Council for TRIPs73 yang akan memonitor pelaksanaan
ketentuan dari TRIPs, walaupun banyak juga yang menganggap Council for TRIPS
di dominasi oleh kepentingan Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa.74
Bagian pembukaan TRIPs menyatakan bahwa negara-negara anggota
TRIPs mengakui adanya satu kebutuhan kerangka multilateral yang memuat
berbagai prinsip ketentuan dan disiplin untuk menangani perdagangan-barang palsu
dan illegal.75 Dalam perspektif nasional negara-negara mengakui perlunya tujuan
kebijakan publik dalam sistem nasional masing-masing negara untuk
perlindaungan kekayaan intelektual termasuk tujuan-tujuan pengembangan dan
teknologi. Oleh karena itu pengelolaan hak kekayaan intelektual dalam kesepakatan
bersama anggota TRIPs mengandung tiga tujuan pokok, yaitu promosi inovasi
teknologi dan pengalihan serta penyemaian teknologi, pemanfaatan bersama
(produsen dan pengguna) pengetahuan teknis dan pelaksanaan dengan cara yang
kondusif bagi kesejahteraan social ekonomi, serta keseimbangan antara hak dan
kewajiban.76
Terkait dengan pengaturan mendasar objek dari alih teknologi oleh TRIPs,
dijelaskan dalam Pasal 8 tentang Principles bahwa ditetapkan prinsip kebebasan
bagi negara-negara angggota WTO, dalam melaksanakan TRIPs dalam undang-
undang nasional negara mereka masing-masing dengan mengambil langkah yang
penting untuk melindungi sektor-sektor yang diangggap vital bagi perekonomian
73 Selain Council for TRIPs terdapat pula Council for Trade in Goods dan Council for
Trade in Services, WTO Agreeement Art. IV.5.
74 Achmad Zein, Op.Cit. hal. 7.
75 Terkait dengan persenjataan, dalam perdagangan alutsista juga terdapat barang barang
palsu terutama senjata ringan yang di rakit oleh beberapa kelompok tertentu. Senjata-senjata illegal
ini didapat dari Black Market dan biasanya diseludupkan ke negara-negara yang sedang terjadi
peperangan.
76 Achmad Zein, Op.Cit. hal. 106.
Universitas Sumatera Utara
52
dan pembangunan teknologi mereka sendiri.77 Jadi dapat dipahami bahwa dalam
pelaksanaan alih teknologi, negara-negara pemilik alih teknologi yang akan
dialihkan jelas memperhitungkan untung rugi bagi kepentingan mereka.
Ketentuan TRIPs pada Pasal 40 ayat (1) kemudian menyatakan bahwa
pengalihan teknologi dilakukan melalui cara lisensi dan pelaksanaan lisensi
berdasarkan kesepakatan bersama negara-negara yang melakukan alih teknologi,
oleh karena itu disepakati bahwa perjanjian TRIPs sama sekali tidak menghalangi
negara-negara anggotanya untuk mengatur dalam legislasi mereka. Dikarenakan
praktik atau kondisi perizinan yang mungkin dalam kasus tertentu merupakan
penyalahgunaan hak kekayaan intelektual yang berdampak buruk pada persaingan
dipasar terkait. Lebih jauh menurut Pasal 40 ayat 2, pengaturan oleh negara anggota
itu dapat memuat ketentuan seperti pengembalian dana eksklusif, lisensi paket
paksaan (pemaksaan lisensi teknologi) dan lain-lain.78 Jadi Pasal 40 ini lahir
dikarenakan negara-negara berkembang khawatir akibat dari praktek kontraktual
tertentu yang mana mereka tidak mempu untuk menghadapinya dalam negoisasi.
Kemudian menurut Prof achmad zen umar, Pasal 40 dari TRIPs ini
berkaitan dengan fakta bahwa hak kekayaan intelektual secara esensial merupakan
monopoli, tetapi pemberian lisensi yang dilakukan juga jangan sampai
mengganggu hal-hal lainnya, misalnya alih teknologi. Pasal 40 tidak memberikan
defenisi langkah-langkah yang bisa diambil, kecuali memberikan contoh-contoh
yang kalau dilacak merupakan larangan yang tercantum dalam rancangan alih
teknologi.79 Pada undang-undang paten yang dikeluarkan Indonesia tahun 2001 hal
tersebut belum diatur, akan tetapi pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016
77 Pasal 8 ayat (1) Trade Related aspects of Intellectual Property Rights.
78 Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Trade Related aspects of Intellectual Property Rights.
79 Achmad Zen, Op cit. hal 108.
Universitas Sumatera Utara
53
tentang Paten, Ketentuan larangan dalam lisensi paten telah diatur salah satunya
terdapat dalam Pasal 113 yang menyatakan80”Paten yang menggangu atau
bertentangan dengan kepentingan pertahanan dan keamanan negara hanya dapat
dilaksanakan oleh pemerintah”.
Pasal 113 dari undang-undang paten terbaru itu juga menegaskan bahwa
lisensi yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara hanya dapat
dilakukan oleh pemerintah. Undang-undang paten terbaru ini juga sudah mengatur
mengenai lisensi paten bagi kebutuhan pertahanan dan keamanan negara.
Perjanjian TRIPs memang mengatur mengenai ketentuan alih teknologi hak
kekayaan intelektual, akan tetapi perjanjian tersebut tidak secara khusus mengatur
alih teknologi bagi industri pertahanan. Kemudian berdasarkan penjelasan
beberapa pasal TRIPs diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengaturan
hukum alih teknologi industri pertahanan didasarkan kepada kebijakan hukum
masing-masing negara (akan tetapi tidak boleh bertentangan dengan pasal-pasal
TRIPs yang telah disepakati). Maka dalam hal alih teknologi pertahanan di
Indonesia memiliki landasan hukum dari Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, yaitu:
a. Pasal 28C Ayat (1) yang berbunyi: “setiap orang berhak mengembangkan
diri melalui pemenuhan kubutuhan dasarnya, berhak mendapatkan
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnyadan demi
kesejahteraan manusia”.
b. Pasal 31 ayat (5) yang berbunyi “ pemerintah berkewajiban memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan manusia”.
80 Pasal 113 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten.
Universitas Sumatera Utara
54
3. Penguasaan Teknologi Pertahanan Melalui Lisensi Alih teknologi
Sebelum memasuki pembahasan penguasaan alih teknologi pertahanan
melalui lisensi paten, hendaknya perlu dipahami pemilik teknologi dari luar negeri
tidak akan mau melakukan alih teknologi apabila negara akan melakukan alih
teknologi tidak memiliki perlindungan terhadap kepemilikan paten asing. Oleh
karena itu dalam hal perlindungan atas paten asing, pemilik teknologi terlebih
dahulu harus mendaftarkan paten di Ditjen Hak Kekayan Intelektual agar
memperoleh hak atas paten. Pendaftaran paten mengakibatkan pemilik teknologi
mendapatkan hak eksklusifnya di Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Pasal
19 Ayat 1 huruf (a) dan (b), yaitu :81
a. Dalam hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor,
menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan
atau diserahkan produk yang diberi paten.
b. dalam hal Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten
untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
huruf a.
Dengan terdaftarnya paten dari pemilik teknologi maka akan memperoleh
perlindungan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 160 undang-undang paten
menyatakan setiap orang dilarang untuk melaksanakan hak ekslusif dari pemilik
paten seperti yang tertera dalam Pasal 19, tanpa adanya izin dari pemilik paten.
Apabila dilanggar maka undang-undang paten mengatur ketentuan pidananya
sebagaimana di atur dalam Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016
tentang Paten, yaitu “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 untuk Paten, dipidana dengan
81 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten.
Universitas Sumatera Utara
55
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.82
Upaya pencapaian perwujudan kemampuan dan keterampilan profesional,
maupun struktur kekuatan TNI yang memiliki ciri pada teknologi, memerlukan alat
utama sistem persenjataan (alutsista) yang mumpuni. Alutsista yang mumpuni bagi
kebutuhan pertahanan dan keamanan mensyaratkan tingkat teknologi tertentu yang
dibutuhkan dan perlu dikuasasi, serta mampu dikembangkan untuk lima sampai
sepuluh tahun ke depan, agar dapat menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan
operasional. Berdasarkan sasaran tingkat kualitas kemampuan dan struktur kekuatan
operasional Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dikonsepsikan untuk lima sampai
sepuluh tahun ke depan, tampak bahwa setiap unsur selalu terkait dengan peranan
teknologi di semua sasaran, baik sasaran kekuatan maupun sasaran kemampuan.
Sasaran-sasaran ini akan terus meningkat sejalan dengan kemajuan dan perkembangan
teknologi yang ada. Menghadapi tantangan tugas TNI ke depan, wujud nyata dominasi
teknologi yang sangat menentukan dalam sistem TNI terutama adalah dalam bentuk
sistem persenjataan yang digunakan meliputi peralatan utama dengan seluruh
pendukungnya, serta kemampuan dan keterampilan prajurit TNI secara profesional.83
Kebutuhan mendapatkan alutsista dengan tingkat teknologi tinggi tertentu itu
tentunya membutuhkan kesiapan teknologi industri pertahanan nasional yang kuat
dan mandiri.
Apabila melihat perkembangan teknologi pertahanan negara maju pada
abad ke-21 ini menunjukkan percepatan yang sangat tinggi. Hal ini dapat diketahui
dengan perlombaan senjata rudal dan anti-rudal yang sedang dikembangkan.
Didalamnya, teknologi elektronika menjadi sangat dominan untuk sistem kendali,
82 Ibid, Pasal 161.
83 Indria Samego, Sistem Pertahanan–Keamanan Negara: Analisis Potensi dan Problem,
(Jakarta: The Habibie Center, 2001), hal. 221.
Universitas Sumatera Utara
56
maupun komunikasi. Menurut Brigjen TNI Aribowo Teguh Santoso, untuk
mencapai tingkat pemenuhan kebutuhan terhadap teknologi modern masih ada
beberapa hambatan yang mempengaruhinya, mulai dari ketersediaan dana yang
terbatas hingga tahap kesiapan penelitian dan pengembangan (litbang).
Berkaitan dengan penelitian dan pengembangan maka lahirnya suatu
teknologi modern harus diawali dengan penelitian dan pengembangan untuk
mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang telah dikaji secara mendalam dan
terencana. Keberadaan litbang hendaknya mendapatkan perhatian khusus untuk
mengejar ketertinggalan Indonesia pada teknologi militer yang begitu pesat
perkembangannya. Peran litbang menghadapi beberapa permasalahan untuk
meningkatkan kemampuan meraih teknologi pertahanan, antara lain persoalan
kualitas dan kuantitas sumber daya manusia.84 Kemudian harus diakui bahwa
sumber daya manusia Indonesia saat ini masih terbatas, baik dari segi kualitas
maupun kuantitas. Sumber daya manusia merupakan komponen utama dalam
menentukan keberhasilan kerja litbang. Keterbatasan kualitas dan kuantitas pakar
teknologi hanya akan membelenggu fungsi litbang. Litbang merupakan suatu
jembatan yang menghubungkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
kepentingan manusia. Oleh karena itu, badan litbang harus didukung pakar-pakar
teknologi yang berkualitas dan dalam jumlah yang cukup. Harus dilakukan segala
daya dan upaya untuk memperbanyak tenaga ahli teknologi yang bersifat umum,
atau militer, sesuai dengan tuntutan disiplin ilmu yang dibutuhkan.85
Ketersediaan sarana dan prasarana litbang juga elemen penting dalam
pengembangan teknologi pertahanan. Sarana dan prasarana litbang merupakan
84 Ibid, hal.227.
85 Ibid, hal.228.
Universitas Sumatera Utara
57
perangkat keras yang harus disediakan untuk mencapai sasaran litbang yang
diharapkan. Kondisi peralatan laboratorium yang ada saat ini bisa dibilang kurang
memenuhi syarat. Banyak prasarana laboratorium merupakan produk lama dan
kualitas hasil uji yang rendah. Padahal, hasil produk litbang dengan standar militer
memerlukan ketepatan dan ketelitian yang sangat tinggi. Hal ini merupakan
tantangan bagi litbang untuk melengkapi dan memperbaharui sarana dan prasarana
litbang yang memadai.86 Kemudian dalam rencana pengembangan postur alutsista
dan industri teknologi pertahanan, pemerintah mengaitkan rencana pengembangan
postur alutsista dengan program pencapaian kemandirian industri pertahanan.
Selama tahun 2010 hingga tahun 2014, tahapan stabilisasi dan optimalisasi industri
pertahanan, penyiapan regulasi industri pertahanan, serta penyiapan alutsista baru
di masa depan sengaja diarahkan untuk mendukung postur sesuai dengan Minimum
Essential Force (MEF). Sedangkan dalam fase kedua 2015-2019, pengembangan
industri pertahanan sengaja diarahkan untuk memiliki kemampuan kerja sama
produksi dan pengembangan produk baru, seperti medium tank, roket, dan kapal
selam, guna mendukung pencapaian MEF dan meraih postur kekuatan pertahanan
yang ideal. Terakhir, fase 2020-2024, untuk mendukung postur militer yang ideal,
industri harus mampu secara signifikan dan mampu memproduksi alutsista
berteknologi canggih lewat kerja sama internasional.87Berdasarkan program
Minimum Essensial Force, pemerintah Indonesia telah melewati fase pertama dari
program tersebut. Pemerintah berusaha merumuskan regulasi serta penyiapan
kebutuhan alutsista melalui pengadaan dari luar negeri disertai dengan pelaksanaan
86 Ibid, hal.228.
87 Silmy Karim, Membangun Kemandirian Industri Pertahanan Indonesia, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), hal. 217-219.
Universitas Sumatera Utara
58
alih teknologi, yang diharapkan dapat mempercepat kemandirian industri
pertahanan untuk menghasilkan produk alutsista bagi kebutuhan dalam negeri.
Penguasaan teknologi asing untuk mendukung pembangunan industri
pertahanan bisa didapatkan dengan berbagai cara salah satunya melalui lisensi
paten. Paten merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor
atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu
melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak
lain untuk melaksanakannya.88 Sedangkan pengertian lisensi adalah izin yang
diberikan oleh pemegang paten, baik yang bersifat eksklusif maupun non-eksklusif
kepada penerima lisensi berdasarkan perjanjian tertulis untuk menggunakan Paten
yang masih dilindungi dalam jangka waktu dan syarat tertentu.89 Maka dapat
pahami bahwa Lisensi merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan izin
melakukan alih teknologi oleh karena itu penguasaan teknologi pertahanan
dilakukan melalui perjanjian pemberian lisensi paten yang merupakan salah satu
jenis perjanjian lisensi industrial dan pada umumnya diatur dalam Hukum Perdata.
Dengan demikian perjanjian lisensi paten tidak berbeda dengan perjanjian
perorangan lainnya. Hak-hak untuk menikmati dan menegakkan ketentuan-
ketentuan lisensi bergantung pada sifat kontraktual dari lisensi itu. Di Indonesia
ketentuan-ketentuan umum mengenai perjanjian diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Buku III, Pasal 1233 hingga Pasal 1864.
Hukum perjanjian di Indonesia ini mengikuti sistem terbuka yang
dimaksudkan bahwa setiap orang bebas untuk membuat segala jenis kontrak.
Kebebasan untuk mengadakan perjanjian dengan jenis apapun didasarkan kepada
88 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten.
89 Ibid, Pasal 1 ayat (11).
Universitas Sumatera Utara
59
Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang
secara sah diadakan harus berlaku sebagai hukum bagi para pihak yang telah
menyetujuinya. Akan tetapi perjanjian tersebut dapat menjadi tidak sah apabila
tidak memenuhi ketentuan atau persyaratan dari Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :90
a. Kesepakatan kehendak para pihak.
b. Kecakapan berbuat menurut hukum.
c. Suatu obyek atau perihal tertentu.
d. Suatu sebab (kausa) yang diperbolehkan (legal).
Berkenaan dengan perjanjian lisensi paten, ketentuan pemberian lisensi
dalam Pasal 76 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang paten menyatakan
bahwa91 :
1) Pemegang paten berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan
perjanjian lisensi baik eksklusif maupun non-eksklusif untuk melaksanakan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
2) Perjanjian lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mencakup
semua atau sebagian perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
3) Perjanjian lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama
jangka waktu lisensi diberikan dan berlaku di dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Secara umum ada sejumlah kewajiban minimum pemberi lisensi dalam
perjanjian lisensi paten yaitu untuk membuat atau memberikan hak yang
dilisensikan tersedia bagi penerima lisensi dan untuk memberikan hak yang di
lisensikan tersedia bagi penerima lisensi dan untuk memelihara hak tersebut dalam
keadaan baik kemudian un tuk memberikan jaminan-jaminan lain. Rinciannya
90 Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
91 Op.cit. Pasal 76.
Universitas Sumatera Utara
60
bergantung dari para pihak yang bersepakat. Akan tetapi perlu diketahui bahwa
perjanjian lisensi paten berbeda dengan perjanjian umum lainnya karena pemilik
paten atau pemegang paten hanya memberikan lisensi kepada penerima lisensi dan
hak patennya masih tetap menjadi milik pemilik paten bukan menjadi pemilik dari
penerima lisensi. Dalam perjanjian lisensi biasanya penerima lisensi hanya
diberikan kewenangan untuk membuat, menjual, menyewakan, mengalihkan,
menggunakan atau menyediakan untuk dijual atau disewakan. Kemudian
kewajiban utama pemberi lisensi adalah bahwa pemberi harus menjamin bahwa
penggunaan paten itu dapat dinikmati secara damai, pribadi, utuh dan sinambung.
Apabila lisensi tersebut merupakan lisensi eksklusif, pemberi lisensi harus
menjamin monopoli atau hak khusus penggunaan paten di dalam batas wilayah
yang dicakup dalam lisensi tersebut.92
Penerima lisensi sebagai pihak yang mendapatkan izin memanfaatkan
teknologi yang dialihkan pun memiliki kewajiban bergantung dari pada isi
perjanjian yang telah disepakati, akan tetapi ada beberapa macam kewajiban yang
biasanya ada dalam perjanjian yaitu :93
1) Kewajiban yang biasanya diatur dalam undang-undang.
2) Kewajiban yang diatur oleh kesepakatan para pihak, dan
3) Kewajiban yang disetujui berdasarkan kepercayaan.
Pertama, kewajiban yang diatur dalam undang-undang, misalnya penerima
lisensi harus membayar royalti atau penerima lisensi tidak dapat mengadakan
perjanjian sub-lisensi dengan pihak ketiga tanpa izin dari pemberi lisensi. Dan lain
lain. Kedua dan ketiga, yaitu berapa jumlah royalti yang harus dibayar biasanya
92 Insan Maulana, Lisensi Paten, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 18.
93 Ibid, hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
61
tidak diatur dalam undang-undang karena ini termasuk dalam kebebasan para pihak
untuk menentukannya. Dalam hal ini penerima lisensi berkewajiban untuk
memenuhi kewajiban tersebut. Kemudian biasanya penerima lisensi berkewajiban
mendaftarkan perjanjian lisensi pada kantor paten jika pemberi lisensi adalah orang
asing dalam hal perjanjian itu merupakan perjanjian lisensi internasional.
Alasannya adalah agar lebih efesien dalam memanfaatkan lisensi serta melindungi
penerima lisensi.94
Kewajiban lain bagi penerima lisensi adalah untuk menjaga kendali mutu
atas barang yang di produksi atau menggunakan proses yang di patenkan. Kendali
mutu dapat dilakukan oleh pemberi lisensi. Karena kadang-kadang, pemberi lisensi
tidak memberikan tata cara dan pengetahuan teknik (know-how) untuk menjaga
kendali mutu dari barang-barang yang menggunakan hasil produksi atau proses
yang dipatenkan. Dengan demikian penerima lisensi harus berhati-hati dalam
membuat klausula ini.95
Apabila perjanjian lisensi paten dipadukan dengan perjanjian lisensi
pengetahuan teknik (know-how license agreement), biasanya pemberi lisensi akan
mewajibkan penerima lisensi untuk tidak mengungkapkan (non-disclosure) kepada
pihak ketiga atau pihak-pihak tertentu yang ditentukan oleh pemberi lisensi.
Bahkan terkadang pemberi lisensi mensyaratkan agar penerima lisensi tidak ikut
bersaing dalam pasar yang sama dengan pemberi lisensi. Sehingga dalam perjanjian
lisensi yang memberikan persyaratan tersebut memuat kesepakatan wilayah mana
saja yang boleh dan tidak boleh penerima lisensi ikuti.
94 Ibid, hal.23.
95 Ibid. hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
62
Pada prakteknya lisensi alih teknologi memiliki beberapa kendala umum.
Terkait hal ini menurut Sesditjen Pothan Brigjen TNI Aribowo Teguh Santoso
mengatakan secara khusus lisensi alih teknologi dalam pengadaan alutsista dari luar
negeri memiliki 5 hambatan utama, yaitu :96
1) Masalah alih teknologi sangat bergantung pada alutsista yang dibeli.
2) Infrastruktur yang dimiliki untuk menunjang alih teknologi masih belum
cukup kuat.
3) Diperlukan waktu yang cukup lama (beberapa tahun) untuk mempersiapkan
sumber daya manusia untuk penguasaan teknologi tinggi.
4) Rasa percaya diri menggunakan produk dalam negeri yang masih perlu
ditingkatkan lagi.
5) Perhatian terhadap penelitian dan pengembangan teknologi tinggi masih
cukup lemah.
Hambatan-hambatan yang disebutkan diatas merupakan tantangan yang
harus dicari jalan keluarnya. Karena penguasaan teknologi alutsista modern
diperlukan dalam upaya pembangunan kemandirian industri pertahanan dalam
negeri. Maka menganalisis kebijakan-kebijakan alih teknologi pemerintah
diperlukan untuk memahami seberapa penting peran regulasi hukum yang
berkaitan dengan alih teknologi alutsista dalam proses revitalisasi industri
pertahanan.
D. Analisis Pentingnya Kebijakan Hukum Alih Teknologi Alutsista
Dalam Proses Revitalisasi Industri Pertahanan Nasional
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya sebagai sebuah negara, Indonesia
harus mampu menjadi sebuah kekuatan regional yang disegani sehingga dapat
96 Wawancara dengan Sekretaris Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan,kementerian
Pertahanan, Bapak Brigjen TNI Aribowo Teguh Santoso, S.T, M.Sc. Pada tanggal 15 oktober 2019
Universitas Sumatera Utara
63
menjaga kedaulatan wilayahnya. Hal tersebut dapat diwujudkan salah satunya
dengan cara memperkuat alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang modern,
sejalan dengan perkembangan teknologi dan harus dapat memperkuat industri
pertahanan di dalam negeri. oleh sebab itu langkah pertama yang harus dilakukan
adalah dengan membuat kebijakan alih teknologi alutsista dalam rangka
mendukung pengembangan dan pembangunan industri alat pertahanan dalam
negeri.
Alih teknologi alutsista diperlukan dalam upaya mempercepat
pembangunan industri pertahanan dikarenakan urgensi kebutuhan alat pertahanan
dalam mengamankan wilayah negara Indonesia. Akan tetapi dalam pelaksanaan
alih teknologi membutuhkan perumusan kebijakan-kebijakan untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan yang timbul akibat proses tersebut. Dalam usaha
memperoleh teknologi modern dari negara-negara maju, Indonesia beserta negara-
negara yang sedang berkembang mendasarkannya pada konsep teknologi sebagai
warisan bersama dari umat manusia (The Common Heritage of Humankind).
Pandangan konsep tersebut didukung oleh United Nations of Educational,
Scientific and Cultural Organization (UNESCO) melalui publikasinya tahun 1976
yang berjudul The World Tomorrow yang antara lain menyatakan bahwa teknologi
dan budaya merupakan warisan bersama dari umat manusia. Negara-negara maju
pada umumnya menolak konsep teknologi merupakan warisan bersama umat
manusia. Bagi negara maju yang banyak menguasai teknologi modern, teknologi
harus dipandang sebagai milik atau kekayaan pribadi karena teknologi selalu
diperoleh melalui riset, kerja keras dan biaya yang mahal97. Oleh karena itu negara-
negara maju menginginkan agar hukum yang melindungi kepemilikan atas
97 Triyana Yohanes, “Peran Hukum Dalam Alih teknologi dan Implementasinya di
Indonesia”, Jurnal Pertahanan Vol. 24 No.01, 2004, hal. 73.
Universitas Sumatera Utara
64
teknologi diperkuat. Perbedaan konsep pandangan terhadap kepemilikan teknologi
inilah yang menjadi dasar terjadinya hambatan-hambatan alih teknologi dari negara
maju ke negara berkembang.
Hukum internasional dan hukum nasional negara-negara pada saat ini
umumnya sudah mengakui dan memberi perlindungan terhadap kepemilikan atas
teknologi. Melalui berbagai macam hak seperti paten, kepemilikan atas teknologi
dijamin dari setiap penggunaan yang melanggar hukum. Pada umumnya pemilik
dari suatu teknologi tertentu berhak secara eksklusif dalam penggunaan teknologi
miliknya dalam memproduksi suatu produk. Akan tetapi perlindungan teknologi
yang sangat eksklusif oleh suatu negara dapat menghambat alih teknologi
dikarenakan pemilik teknologi berusaha melakukan monopoli manfaat dari
teknologi dan menjaga keunggulan teknologi yang dimilikinya98. Hal ini sesuai
dengan pernyataan dari peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Achiar Oemry, yaitu :
“Pemilik teknologi tidak akan dengan mudah memberikan rahasia
teknologinya walaupum sudah terikat dengan perjanjian kerjasama alih
teknologi, terkadang negara pemilik suatu teknologi akan memberikan
kualitas teknologi yang kurang baik atau setingkat dibawah teknologi yang
mereka miliki dengan cara memaparkan teknik pembuatan yang kurang
tepat. Maka dibutuhkan peraturan hukum yang ketat apabila negara ingin
melakukan alih teknologi dari luar negeri agar teknologi yang didapatkan
sesuai dengan kualitas yang diperjanjikan”.99
Pernyataan peneliti senior LIPI tersebut dapat disimpulkan bahwa peraturan
hukum juga penting dibuat agar dalam proses alih teknologi, pemerintah harus
memiliki aturan standar atau batasan dari pada tingkat kualitas teknologi yang akan
98 Insan Maulana,Op.cit. hal. 56
99 http://lipi.go.id/, Diakses pada 11 Mei 2020.
Universitas Sumatera Utara
65
diperoleh dalam rangka memenuhi kebutuhan pengembangan industri pertahanan.
Terkait aturan standar atau batasan dari tingkat kualitas teknologi yang diperoleh
dalam proses alih teknologi melalui pengadaan alutsista dari luar negeri, telah
diatur dalam Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 35 tahun 2015 tentang
Penyelenggaraan Perencanaan Kebutuhan Alat Utama Sistem Senjata Tentara
Nasional Indonesia Di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional
Indonesia. Pada Pasal 9 Ayat 1 huruf b, dinyatakan “fungsi perencanaan kebutuhan
alutsista TNI untuk menerjemahkan kebutuhan postur pertahanan negara, baik
dalam rangka pengembangan, penggunaan maupun pemeliharaannya kedalam item
kebutuhan yang memiliki kejelasan dalam hal: jumlah, jenis, kualitas, spektek dan
karakteristik yang dibutuhkan”.100 Peraturan ini bertujuan agar proses
penganggaran, pengadaan, pembiayaan dan pengawasan dalam rangka
pengembangan, penggunaan, maupun pemeliharaan Alutsista TNI dapat
dilaksanakan dengan mudah dan akuntabel.101 Kemudian terkait dengan alih
teknologi dari luar negeri juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun
2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual Serta Hasil Penelitian dan
Pengembangan Oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan
Pengembangan. Terdapat dalam Pasal 15, yaitu :102
Alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan
pengembangan yang dilakukan secara non komersial diarahkan untuk :
a. mendorong penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang sangat diperlukan oleh masyarakat, daerah, dan negara.
100 Pasal 9 Ayat 1, huruf (b) Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 35 tahun 2015 tentang
Penyelenggaraan Perencanaan Kebutuhan Alat Utama Sistem Senjata Tentara Nasional Indonesia
Di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia.
101 Ibid, Ayat 2.
102 Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan
Intelektual Serta Hasil Penelitian dan Pengembangan Oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga
Penelitian dan Pengembangan.
Universitas Sumatera Utara
66
b. mendorong terciptanya temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang berguna bagi masyarakat, daerah, dan negara.
c. mendorong perkembangan badan usaha kecil dan menengah.
Undang-undang yang dijelaskan diatas dalam pelaksanaan alih teknologi
memiliki fungsi penting untuk memberikan batasan atau standar dari teknologi
militer yang benar-benar dibutuhkan oleh pemerintah dalam upaya pembangunan
industri pertahananan dalam negeri. oleh karena itu pengadaan alutsista dari luar
negeri yang disertai alih teknologi membutuhkan aturan-aturan hukum agar
pelaksanaannya sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan industri dalam negeri.
Berdasarkan penjelasan terkait alih teknologi, maka dapat dipahami bahwa
proses alih teknologi merupakan salah satu kunci dari negara-negara maju untuk
meningkatkan kemakmuran masyarakat. Akan tetapi masih belum dapat ditiru
secara maksimal oleh bangsa Indonesia. Karena yang terpenting dalam alih
teknologi adalah know how atau bagaimana sebuah teknologi itu bisa dikuasai oleh
pengguna itu sendiri. Dalam konteks Indonesia prinsip alih teknologi harus dicapai
melaui paten, maka paten dari suatu alih teknologi harus didaftarkan terlebih dahulu
untuk melindungi teknologi tersebut. Lisensi merupakan izin yang diberikan oleh
pemegang paten kepada penerima paten berdasarkan perjanjian untuk mendapatkan
keuntungan dalam jangka waktu tertentu. Ada juga yang mengatakan alih teknologi
merupakan proses memindahkan atau mengalihkan teknologi sedemikian rupa dari
pemilik teknologi, sehingga penerima teknologi dapat mengabsorsi dan
mengadaptasi atau menyesuaikan teknologi tersebut dengan kebutuhan teknologi
suatu negara. Disini alih teknologi mau tidak mau amat dibutuhkan oleh negara
berkembang dalam upaya mengembangkan industrinya.103 Yang menjadi masalah
awal dari alih teknologi adalah persoalan bagaimana cara untuk mendapatkannya.
103 Daud Silalahi, Rencana Undang-Undang Alih Teknologi Perbandingan Perspektif,
(Jakarta: Prisma, 1997), hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
67
Hal ini disebabkan karena hampir seluruh hak cipta teknologi alutsista modern
dimiliki oleh negara maju dan teknologi bagi mereka bukan barang murah karena
membutuhkan dana dan riset hingga bertahun-tahun sehingga negara-negara maju
tidak mau dengan mudah memberikan kepada negara lain tenpa
mempertimbangkan faktor untung rugi.
Teknologi yang dimiliki oleh negara maju, menurut mereka dapat diperjual
belikan dan dipandang sebagai komoditi yang berusia pendek dan mahal. Oleh
karena itu negara yang menginginkannya harus menyediakan dana yang mahal juga
agar dapat menyerap teknologi dari negara maju, disamping itu diperlukan pula
tenaga terampil yang dapat menyerap teknologi tersebut.104 Dana yang terbatas
untuk pelaksanaan alih teknologi ini disebabkan oleh pemerintah Indonesia belum
serius dalam memberikan dana alih teknologi. Di Indonesia belum terdapat
Peraturan-perundang undangan yang mengatur berapa persen dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang di sediakan untuk kepentingan alih teknologi
alutsista. dengan kondisi kebutuhan teknologi yang tidak dapat ditunda maka salah
satu alternatif adalah dengan mengadakan kerja sama yang didahului dengan
pembelian alutsista dari luar negeri kemudian melakukan inovasi berdasarkan
teknologi yang didapat dari luar negeri dan yang terakhir adalah pendanaan
Pembelian alutsista dari luar negeri yang disertai alih teknologi diatur dalam
Pasal 43 ayat 5 huruf (c) Undang-Undang No 16 Tahun 2012 tentang industri
pertahanan, yang isi nya yaitu “Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan
Keamanan produk luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
memenuhi persyaratan (c) Kewajiban Alih Teknologi”. Kemudian pelaksanaan
pengadaan alutsista dari luar negeri untuk kebutuhan dalam negeri diatur secara
104 Ibid, hal.41.
Universitas Sumatera Utara
68
khusus dalam Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Pelaksanaan Pengadaan Alat Utama Sistem Persenjataan di Lingkungan
Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia. Di dalam undang-undang
industri pertahanan dan peraturan menteri pertahanan tentang pelaksanaan
pengadaan alutsista, keduanya memberikan persyaratan pengadaan alutsista dari
luar negeri dilakukan karena Alutsista TNI belum atau tidak bisa dibuat di dalam
negeri, mengikut sertakan partisipasi industri pertahanan dalam negeri, jaminan
tidak adanya potensi embargo, kondisionalitas politik dan hambatan penggunaan
Alutsista TNI dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara dan kandungan
lokal dan/atau offset paling rendah 35% (tiga puluh lima persen). Jadi peraturan ini
tidak hanya memberikan syarat wajib alih teknologi dalam pengadaan alutsista dari
luar negeri tapi juga memberikan persyaratan umum bagi alutsista asing yang akan
dilakukan alih teknologinya. Syarat-syarat tersebut sangat penting agar nantinya
dalam proses alih teknologi alutsista asing dapat berjalan dengan lancar tanpa
adanya embargo maupun intervensi politik dari luar negeri.
Persyaratan kewajiban melakukan alih teknologi alutsista asing yang diatur
oleh Indonesia menyebabkan negara penjual harus melakukan transfer teknologi
militernya kepada Indonesia. Namun seperti yang sudah dibahas sebelumnya,
negara pemilik teknologi tidak serta merta dengan mudah akan memberikan izin
pengalihan teknologinya ke negara pembeli. Teknologi adalah komoditas mahal
oleh karena itu harus memberikan keuntungan juga bagi pemilik teknologi.
Terutama dalam hal perlindungan hak kekayaan intelektual dari teknologi yang
negara penjual miliki. Oleh karena itu, biasanya negara pemilik teknologi melihat
bagaimana pengaturan hukum terkait hak kekayaan intelektual dari negara
pembeli. Negara pemilik teknologi tentunya tidak mau dirugikan dengan
pengaturan hukum perlindungan kekayaan intelektual dari negara pembeli. Oleh
Universitas Sumatera Utara
69
karena itu terkait alih teknologi alutsista asing, Indonesia harus memiliki aturan
hukum hak kekayaan intelektual yang dapat memastikan proses alih teknologi tidak
menyalahi aturan dari Trade Related Aspects Intellectual Property Rights (TRIPs).
Terkait dengan alih teknologi dalam perjanjian TRIPs, Indonesia sudah memiliki
undang-undang hak cipta, perlindungan varietas tanaman, rahasia dagang, desain
industri, desain tata letak sirkuit terpadu, paten dan merek. Dalam alih teknologi
melalui pengadaan alutsista dari luar negeri , salah satunya dilakukan melalui
lisensi paten.pengaturan lisensi dalam undang-undang paten diatur dalam Pasal 69
hingga Pasal 73 Bagian Kedua Bab V tentang Lisensi, dan Pasal 74 sampai Pasal
87 Bagian Ketiga Bab V tentang Lisensi Wajib. Rumusan yang diberikan dalam
Pasal 69, menyatakan bahwa :
1. Pemegang Paten berhak memberikan lisensi kepada orang lain berdasarkan
surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16.
2. Kecuali jika diperjanjikan lain, maka lingkup lisensi sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16, berlangsung selama jangka waktu lisensi diberikan dan berlaku untuk
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Ini berarti lisensi paten memberikan hak kepada pemegang lisensi untuk:105
a. Dalam hal paten produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor,
menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan
atau diserahkan produk yang diberi paten.
b. Dalam hal proses: menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk
membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf
(a).
105 Gunawan Widjaja, Seri Hukum bisnis:Lisensi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2001), hal.
57.
Universitas Sumatera Utara
70
c. Dalam hal paten proses: melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya
melakukan impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan
Paten-proses.
Pemberian lisensi oleh pemberi lisensi kepada penerima lisensi, tidak secara
hukum melarang pemberi lisensi, sebagai pemegang Paten untuk tetap
melaksanakan sendiri Paten yang dimiliki olehnya, termasuk juga untuk
memberikan lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan
hak Paten sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 undang-undang Paten
sebagaimana disebutkan di atas, yaitu untuk:106
a. Membuat, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, memakai,
menyediakan untuk dijual atau disewakan ataudiserahkan hasil produksi
yang diberi Paten.
b. Menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk membuat barang
dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
c. Mengimpor dan melarang pihak lain untuk mengimpor produk yang
semata-mata dihasilkan dari penggunaan paten proses.
Undang-undang Lisensi Paten juga mewajibkan perjanjian lisensi untuk
dicatat pada kantor paten dan dimulai dalam Daftar Umum Paten. Hal ini dilakukan
dengan tujuan agar perjanjian lisensi tersebut memiliki akibat hukum terhadap
pihak ketiga. Kemudian rumusan Pasal 73 Undang-undang Paten yang menyatakan
bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian lisensi diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2018
tentang Pencatatan Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual. Dalam Pasal 6
disebutkan bahwa :107
106 Ibid.
107 Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2018 tentang Pencatatan Perjanjian Lisensi
Kekayaan Intelektual.
Universitas Sumatera Utara
71
Pencatatan Lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat :
a. Merugikan perekonomian Indonesia dan kepentingan nasional Indonesia.
b. Memuat pembatasan yang menghambat kemampuanbangsa Indonesia
dalam melakukan pengalihan penguasaan, dan pengembangan teknologi.
c. Mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, dan/atau
d. Bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan, nilai-nilai
agama, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Kemudian mengenai investasi berupa penanaman modal asing yang
dikaitkan dengan Pasal 20 undang-undang paten. Dimana dalam Pasal 12 Ayat (2)
huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang
menyatakan “ bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal asing adalah
produk senjata, mesiu, alat peledak dan peralatan perang".108 Pasal ini sesuai
dengan Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri
Pertahanan, juga menyebutkan “kepemilikan modal atas industri alat utama
seluruhnya di miliki oleh negara” akan tetapi untuk industri komponen utama dan
bahan baku penunjang industri pertahanan memperbolehkan penanaman modal
asing dengan syarat negara memiliki modal paling rendah 51% dari saham.109 Hal
inilah yang melatar belakangi mengapa alih teknologi alutsista terkait revitalisasi
industri pertahanan diatur dengan undang-undang industri pertahanan. Karena
dalam peraturan tersebut tidak mengenal alih teknologi melalui investasi asing yang
mana dilarang dilakukan dalam undang-undang penanaman modal. Makanya
dalam alih teknologi alutsista, pemerintah lebih banyak memilih melakukan metode
ofset imbal dagang atau menggunakan lisensi alutsista asing.
108 Pasal 12 Ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2007 tenntang Penanaman
Modal.
109 Pasal 52 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2012 tentang Industri
Pertahanan.
Universitas Sumatera Utara
72
Kebijakan-kebijakan pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan lisensi
yang telah disebutkan diatas menjadi point penting agar pemilik teknologi mau
mempertimbangkan pengalihan teknologi kepada Indonesia. Peraturan-peraturan
ini pun tidak bertentangan dengan ketentuan dari TRIPs dimana WTO mengizinkan
negara-negara anggotanya melakukan alih teknologi berdasarkan kesepakatan
bersama asalkan tidak bertentangan dengan pasal-pasal dari TRIPs. Hal ini juga
diatur dalam undang-undang paten pada Pasal 76 Ayat (1) yang menyatakan
“pemegang paten berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan
perjanjian lisensi baik eksklusif maupun non-eksklusif untuk melaksanakan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9”. Hal ini yang membuat pemilik
teknologi dari luar negeri mendapatkan kepastian perlindungan hukum dalam
proses alih teknologi. Kemudian bagi Indonesia, dengan adanya undang-undang
paten maka negara menjadi memiliki batasan teknologi mana yang boleh dan tidak
boleh dilakukan alih teknologi agar tidak merugikan perekonomian Indonesia dan
dapat mendukung alih teknologi alutsista.
Setelah alih teknologi alutsista asing dapat dilakukan maka hal penting
terakhir yang perlu dipikirkan adalah bagaimana cara masyarakat Indonesia dapat
memanfaatkan, menguasai dan memajukan teknologi baru tersebut untuk
kebutuhan revitalisasi industri pertahanan dalam negeri. Oleh karena itu dibutuhkan
keterlibatan lembaga penelitian dan perguruan tinggi, maka pemerintah membuat
kebijakan untuk mengikut sertakan lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang
ada di Indonesia melalui beberapa peraturan. Pada tahun 2002 telah terlebih dahulu
dibuat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (selanjutnya
disebut dengan Sisnas Iptek). Yang dapat dijadikan landasan tentang keberadaan
Sentra Hak Kekayaan Intelektual di Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan
Universitas Sumatera Utara
73
Pengembangan (Litbang). Hal ini tertuang di dalam Pasal 13 di dalam UU tersebut,
yaitu110 :
1. Pemerintah mendorong kerja sama antara semua unsur kelembagaan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam pengembangan jaringan informasi ilmu
pengetahuan dan teknologi.
2. Perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan penyebaran
informasi hasil-hasil kegiatan penelitian dan pengembangan serta kekayaan
intelektual yang dimiliki selama tidak mengurangi kepentingan
perlindungan kekayaan intelektual.
3. Dalam meningkatkan pengelolaan kekayaan intelektual, perguruan tinggi
dan lembaga litbang wajib mengusahakan pembentukan sentra HKI sesuai
dengan kapasitas dan kemampuannya.
4. Setiap kekayaan intelektual dan hasil kegiatan penelitian, pengembangan,
perekayasaan, dan inovasi yang dibiayai pemerintah dan/atau pemerintah
daerah wajib dikelola dan dimanfaatkan dengan baik oleh perguruan tinggi,
lembaga litbang, dan badan usaha yang melaksanakannya.
Selanjutnya di dalam Bab Penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa :
Sentra HKI adalah unit kerja yang berfungsi mengelola dan
mendayagunakan kekayaan intelektual, sekaligus sebagai pusat informasi
dan pelayanan HKI. Dengan kewajiban ini perguruan tinggi dan lembaga
litbang dapat terdorong untuk mengembangkan unit organisasi dan prosedur
untuk mengelola semua kekayaan intelektual dan informasi ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya.
Pemerintah Indonesia kemudian melakukan perubahan Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2002 dikarenakan kurang memberikan kontribusi bagi
pembangunan nasional. Sehingga dikeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Sebagai
110 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Universitas Sumatera Utara
74
penyempurnaan terhadap undang-undang sebelumnya, pokok-pokok pengaturan
undang-undang ini yang berkaitan dengan alih teknologi antara lain adalah sebagai
berikut:
1. Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dijadikan sebagai
landasan dalam perumusan kebijakan pembangunan agar mampu
memperkuat daya dukung Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam rangka
mencapai tujuan negara, serta meningkatkan daya saing dan kemandirian
bangsa.
2. Rencana induk pemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dijadikan
sebagai acuan dari rencana pembangunan jangka panjang nasional dan
menjadi dasar dalam penyusunan rencana pembangunan jangka menengah
nasional.
3. Kliring Teknologi, Audit Teknologi, dan Alih Teknologi dalam Penelitian,
Pengembangan, dan Pengkajian terhadap Teknologi yang bersifat strategis
dan/atau yang sumber pendanaannya berasal dari Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
4. Penegasan mengenai penyelenggaraan Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi melalui pendekatan proses yang mencakup Penelitian,
Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta pendekatan produk yang
mencakup Invensi dan Inovasi.
5. Wajib serah dan wajib simpan data primer dan keluaran hasil Penelitian,
Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan bagi penyandang dana, sumber
daya manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan Kelembagaan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi.
6. Kelembagaan, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, pendanaan,
serta jaringan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai bagian penting
dalam penyelenggaraan Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
7. Pembinaan dan pengawasan, serta tanggung jawab dan peran masyarakat
dalam Penyelenggaraan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi guna menjamin
Universitas Sumatera Utara
75
kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara serta keseimbangan tata
kehidupan manusia dengan kelestarian fungsi lingkungan.
8. Kemitraan dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan luar negeri
dilakukan dengan berpedoman pada politik luar negeri bebas aktif.
Berdasarkan pembahasan diatas dapat dipahami bahwa keberadaan
kebijakan hukum untuk alih teknologi melalui pengadaan alutsista dari luar negeri
sangat penting, hal tersebut dirangkum dan di inventarisasi menjadi sebuah table
yang di paparkan sebagai berikut :
Tabel. 2.
Kebijakan Hukum Pemerintah Indonesia atas Alih Teknologi dalam Pengadaan
Alutsista
No. Peraturan
Perundang-
Undangan
Ketentuan tentang
alih teknologi
Pasal
Keterangan
1. Undang-
Undang No 16
tahun 2012
tentang industtri
pertahanan
Kewajiban pengadaan
alat pertahanana dan
keamanan produk luar
negeri yang disertai
alih teknologi.
Pasal 43
Ayat 5
huruf (c)
Untuk
mewujudkan
kemandirian
ketersediaan
alpahankam
oleh industri
pertahanan.
2. Undang-
Undang Nomor
11 Tahun 2019
tentang Sistem
Nasional Ilmu
Pengetahuan
dan Teknologi
Pengembangan
penyelenggaraan
penelitian, pendidikan
dan penerapan dapat
dilakukan melalui alih
teknologi secara
komersial dan
nonkomersial
dilaksanakan melalui
lisensi dan kerja sama
Pasal 28
dan Pasal
29
Untuk
mewujudkan
kemajuan
ilmu
pengetahauan
dan teknologi
dalam
pembangunan
nasional
3. Undang-
Undang Nomor
13 Tahun 2016
tentang Paten
Pemegang paten wajib
lakukan alih teknologi
, paten dapat dialihkan
karena Perjanjian
Tertulis. Pemerintah
melaksanakan sendiri
Pasal 20,
Pasal 74,
Pasal 109
Paten
berperan
strategis
dalam
mendukung
pembangunan
Universitas Sumatera Utara
76
paten yang berkaitan
dengan Pertahanan dan
Keamanan meliputi
senjata api, amunisi
,peralatan pertahanan
dan Pasal
110
serta untuk
perlindungan
pemilik
teknologi
4. Undang-
Undang Nomor
31 Tahun 2000
tentang Desain
Industri
Hak desain industri
dapat beralih/dialihkan
dengan perjanjian
tertulis. Pemegang hak
desain industri berhak
memberikan lisensi
yang diatur dalam
perjanjian tertulis.
Pasal 31
hingga
Pasal 36
Indonesia
telah
ratifikasi
TRIPs dan
perlu diatur
dalam
undang-
undang.
(Sumber : Diolah dari berbagai peraturan perundang-undangan terkait)
Universitas Sumatera Utara
77
BAB III
KAJIAN YURIDIS PENGEMBANGAN DAN PEMANFAATAN INDUSTRI
STRATEGIS UNTUK PERTAHANAN
A. Perkembangan Industri Pertahanan Dalam Negeri Sebagai Bagian
Dari Industri Strategis Indonesia
Industri strategis merupakan industri yang penting bagi negara yang
menguasai hajat hidup orang banyak, dapat meningkatkan atau menghasilkan nilai
tambah sumber daya alam strategis, dan mempunyai kaitan dengan kepentingan
pertahanan serta keamanan negara dalam rangka pemenuhan tugas pemerintah
negara. Beberapa tujuan dari penyelengaraan perindustrian yaitu untuk
mewujudkan industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian,
mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju serta mewujudkan
pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah Indonesia guna memperkuat
dan memperkukuh ketahanan nasional.111
Berdasarkan undang-undang perindustrian, industri pertahanan adalah
bagian dari industri startegis. Industri pertahanan terdiri atas badan usaha milik
negara dan badan usaha milik swasta baik secara sendiri maupun berkelompok yang
ditetapkan oleh pemerintah untuk sebagian atau seluruhnya menghasilkan alat
peralatan pertahanan dan keamanan, jasa pemeliharaan untuk memenuhi
kepentingan strategis di bidang pertahanan dan keamanan.112 Defenisi industri
pertahanan tersebut memiliki dua elemen fungsional, yaitu113 :
1. Pada aspek teknologi, industri pertahanan mencakup laboratorium
penelitian milik pemerintah, komersil maupun universitas, fasilitas
111 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
112 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
113 Jurnal pertahanan September 2012, vol 2, nomor 3, hal 43
Universitas Sumatera Utara
78
penelitian, pusat penelitian dan lain-lain. Dalam aspek teknologi inilah
lembaga penelitian dipandang sebagai bagian dari industri pertahanan
mengingat fungsinya dalam penelitian dan pengembangan teknologi militer
yang digunakan dalam pengadaan persenjataan.
2. Pada aspek produksi dan pemeliharaan, teerdapat dua jenis industri
pertahanan yakni industri pertahanan milik negara maupun yang bersifat
komersial. Walaupun industri pertahanan yang komersil (swasta) dapat
memproduksi persenjataan, izin pembuatan dan kegiatan jual beli
persenjataan tetap diawasi dan harus mendapatkan izin dari pemerintah.
Dari defenisi diatas dapat diambil pemahaman bahwa industri pertahanan
memiliki karakteristik yang unik apabila dibandingkan dengan industri komersil,
yaitu114 :
1. Industri pertahanan terkait erat dengan ranah keamanan nasional dimana
kedaulatan atau kepemilikan menjadi suatu hal yang sangat penting.
2. Beberapa kegiatan industri pertahanan seperti kegiatan penelitian dan
pembangunan (research and development) bersinggungan dengan sektor
rahasia negara.
3. Kemandirian industri pertahanan bertumpu kepada level teknologi yang
dimiliki.
4. Perbedaan sifat pasar dalam industri pertahanan dengan industri sipil
lainnya. Jecques Gansler mengatakan bahwa perbedaan antara pasar
persenjataan dan pasar bebas dapat diidentifikasi melalui kacamata
prosusen dan konsumen. Pada pasar bebas jumlah penjual dan pembeli yang
banyak berdampak pada persaingan ketat dan bebas., sementara pasar
114 Ibid
Universitas Sumatera Utara
79
persenjataan memiliki karakteristik jumlah pembeli yang terbatas pada
faktor keamanan dan beberapa penjual besar. Dengan demikian, pasar
persenjataan cenderung diwarnai dengan sifat pasar yang monopoli dan
monopsoni115. Lebih jauh lagi, produksi pada pasar bebas dilaksanakan
untuk penyimpanan sebelum terjadinya proses pembelian, sementara
produksi pada pasar persenjataan dilaksanakan setelah terjadinya perjanjian
pembelian.
Semenjak awal pendiriannya perkembangan industri pertahanan Indonesia
telah mengalami pasang dan surut. Setelah krisis 1998, industri pertahanan yang
juga terkena dampak mulai berbenah, terlebih lagi setelah Amerika Serikat
menjatuhkan embergo militer kapada Indonesia yang membuat pemerintah tersadar
bahwa pertahanan negara terlalu tergantung pada produk alutsista asing. Oleh
karena itu melalui penyusunan buku putih pertahanan dan keamanan sebagai suatu
rumusan pernyataan dan kebijakan pertahanan sebagai pedoman bagi
penyelenggaraan fungsi pertahanan, Pemerintah menyimpulkan bahwa paradigma
pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia harus bergeser dari paradigma
yang berbasis sumber daya alam menuju pembangunan berbasis sumber daya
masyarakat berpengetahuan (knowledge based society). Pergeseran ini berimplikasi
pada berbagai bidang, termasuk pembangunan teknologi pertahanan dan keamanan.
Perumusan teknologi pertahanan dan keamanan negara dipengaruhi oleh
filosofi dan visi negara sebagaimana tertuang dalam Amandemen IV UUD 1945
Bab.XII Pertahanan dan Keamanan pasal 30 ayat (2),(3) dan (4), Undang-Undang
115 monopsoni merupakan keadaan di mana satu pelaku usaha menguasai penerimaan
pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan jasa dalam suatu pasar komoditas. Biasanya
pasar monopsony terjadi dikarenakan tidak ada pembeli yang antusias terhadap suatu komoditas di
pasar dan biaya operasional yang tinggi. Dalam industri pertahanan, monopsoni dapat terjadi apabila
pasar persenjataan hamya didominasi oleh pemerintah tanpa mengikut sertakan atau memberikan
hak yang adil bagi pihak swasta untuk ikut andil dalam pasar.
Universitas Sumatera Utara
80
Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta UU No.
3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Visi negara Indonesia dalam pertahanan
dan keamanan negara mengharuskan adanya kemandirian dalam bidang pertahanan
dan keamanan negara yang dipengaruhi oleh kondisi geografis, kondisi peralatan
pertahanan dan keamanan yang dimiliki, dan peraturan perundang-undangan.
Pembangunan teknologi pertahanan dan keamanan harus didasarkan pada aspek
demografi dan kondisi geografis. yang mencakup artikulasi negara nusantara
(sesuai dengan konsepsi wawasan nusantara), dan negara kepulauan (sesuai dengan
UNCLOS 1982, United Nations Convention on Law On the Seas116).117
Fakta menunjukkan bahwa alutsista untuk mendukung kemampuan
pertahanan dan keamanan negara masih dihadapkan kepada ketergantungan luar
negeri. Pemerintah juga relatif masih kesulitan mengontrol proses, produksi dan
pemasaran hasil industri pertahanan dan keamanan, khususnya setelah adanya
kebijakan swastanisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Beberapa kendala
spesifik terkait dengan pengelolaan industri strategis adalah :118
1. In-efesiensi pengelolaan.
2. Dukungan finansial dari pemerintah maupun perbankan nasional yang
masih belum maksimal.
3. Masih adanya Mis-manajemen dalam pengelolaan.
4. Struktur, instrumen dan kultur yang masih kurang mendukung.
116 UNCLOS 1982, merupakan Konvensi Hukum Laut Internasional atau Hukum
Perjanjian Laut yang dihasilkan dari konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut.
Konvensi ini mendefenisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan didunia
serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam laut.
Diberlakukan pada tahun 1994 dan sudah diratifikasi oleh 158 negara.
117 Kusmayanto Kadiman, et all, Buku Putih Penelitian, Pengembangan dan Penerapan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bidang Pertahanan dan Keamanan, (Jakarta : Kementerian
Pertahanan, 2006), hal. 2-3.
118 Achamd Dirwan, Op.Cit, hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
81
5. Daya beli TNI sebagai end user untuk menyerap berbagai produksi industri
strategis yang masih minim.
6. Bahan baku baja yang masih bergantung pada produk impor yang mahal
dan kurang terdukung produksi baja nasional.
Berangkat dari permasalahan tersebut pemerintah Indonesia sudah mulai
melakukan pembangunan dan pembenahan terhadap Industri pertahanan dalam
negeri karena industri ini menjadi salah satu ujung tombak upaya sebuah negara
dalam mengembangkan sistem pertahanan secara mandiri. Hal ini terkait dengan
terpenuhinya kebutuhan baik dalam konteks penyediaan kualitas maupun kuantitas
alutsista yang sesuai dengan karakteristik kewilayahan serta menghilangkan
ketergantungan secara politis terhadap negara lain. Pembinaan industri pertahanan
domestik telah terbukti dapat menjadi tulang punggung bagi pembangunan sistem
pertahanan dan modernisasi alutsista China dan India yang saat ini tumbuh menjadi
kekuatan militer besar di Asia. Berkaca kepada hal tersebut, Indonesia yang saat ini
tengah mengakselerasi program untuk memenuhi kebutuhan minimum kekuatan
militernya mengeluarkan dasar hukum bagi pengembangan industri pertahanan
dalam negeri melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri
Pertahanan.
Walaupun pemerintah sudah melakukan pembenahan industri pertahanan
sejak di sahkannya undang-undang industri pertahanan pada tahun 2012, dan
mendorong industri pertahanan dalam negeri untuk memproduksi beberapa produk
pertahanan seperti kendaraan tempur, rompi anti peluru, kapal patrol, pesawat dan
drone. Menurut Ketua Harian Persatuan Industri Pertahanan Swasta Nasional, Jan
Pieter Ate mengatakan Penguasan teknologi masih jadi tantangan bagi industri
pertahanan nasional agar mampu bersaing dengan produk dari negara lain. Insinyur
yang mampu untuk menghasilkan teknologi tinggi di dalam negeri juga masih
Universitas Sumatera Utara
82
terbatas. Lingkup penelitian dan pengembangan (Research and Development) nya
juga masih kecil untuk bisa menjangkau kebutuhan teknologi yang utuh. Hal ini
juga dikarenakan biaya penelitian dan pengembangan teknologi sangat tinggi. Oleh
karena itu pemerintah pada saat ini masih fokus mengarahkan industri pertahanan
nasional ke teknologi yang lebih terjangkau dan lebih cepat dikuasai industri.119
B. Pentingnya Pembangunan Industri Pertahanan
1. Ketergantungan Pertahanan dan Keamanan Negara Terhadap
Produk Alutsista Dari Luar Negeri
Semenjak awal kemerdekaan, Indonesia sudah melakukan impor produk
alutsista dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan pertahanan dan keamanan
dalam negeri. walaupun pada saat itu Indonesia sudah memiliki industri pertahanan
yang merupakan warisan dari zaman belanda akan tetapi kemampuan produksinya
masih sangat minim dan terbatas pada produksi amunisi saja. Oleh sebab itu pada
masa orde lama, pemerintah Indonesia lebih banyak membeli produk alutsista asing
dari pada membangun industri pertahanan. Bisa dilihat dari semua peralatan militer
Indonesia merupakan hasil dari pembelian dari luar negeri. Memasuki awal
pemerintahan orde baru pun Indonesia masih sangat tergantung pada alutsista asing
terutama alutsista dari blok barat (Amerika Serikat dan Sekutunya) selanjutnya
pada awal tahun 80 an pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor
59 tahun 1983 tentang Pembentukan Dewan Pembina dan Pengelolaan Industri-
Industri Strategis dan Industri Pertahanan Keamanan sebagai langkah awal dari
kebangkitkan industri pertahanan nasional. Pemerintah mewadahi Badan Usaha
Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS) dibidang industri pertahanan utama,
seperti PT. Dirgantara Indonesia (Industri Kedirgantaraan), PT. PAL (Industri
119 Annisa Sulistyo,’’Industri Pertahanan Indonesia Semakin Berkembang”,
https://ekonomi.bisnis.com/read/20190724/257/1128082/industri-pertahanan-indonesia-makin-berkembang, diakses pada 3 Maret 2020
Universitas Sumatera Utara
83
Maritim), PT. Pindad (Industri Persenjataan) dan PT. Dahana (Industri Bahan
Peledak). Agar bisa beroperasi, maka industri pertahanan tersebut harus didukung
oleh industri strategis lainnya seperti PT. Krakatau Steel (baja), PT. Inka (Kereta
Api), PT. Inti (Telekomunikasi), PT. Barata (Mesin Diesel), PT. LEN (Elektronik)
dan lain-lain.120
Upaya pemerintahan orde baru ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
alat peralatan pertahanan dan keamanan (Alpahankam) dalam negeri walaupun
memang belum sempurna akan tetapi indoensia sudah mulai bisa memproduksi
beragam produk kebutuhan pertahanan dan keamanan. akan tetapi dikarenakan
krisis moneter yang dimulai pada tahun 1997 telah mempengaruhi kemampuan
produksi industri pertahanan dalam negeri. hal ini mengakibatkan semakin
meningkatnya ketergantungan Indonesia terhadap produk pertahanan dari luar
negeri. dan semakin rentannya pertahanan negara ketika mengalami embargo
militer. Banyak alutsista yang tidak bisa dioperasikan karena kekurangan suku
cadang bahkan banyak pula yang rusak akibat kurang perawatan sehingga pada
masa awal tahun 2000 an banyak terjadi konflik wilayah dengan negara-negara
tetangga yang mulai berani mengusik kedaulatan negara Indonesia hal ini salah
satunya diakibatkan karena minimnya kemampuan alutsista Tentara Nasioanal
Indonesia (TNI).
2. Bisnis Pertahanan Untuk Mendukung Pembangunan Perekonomian
Keamanan nasional sangat bergantung pada berbagai faktor. Akan tetapi
faktor penting yang paling berpengaruh adalah ekonomi. Beberapa ahli
menekankan pentingnya faktor ekonomi berkaitan dengan kekuatan ekonomi
nasional yang berkaitan dengan kekuatan militer. Sebagai contoh, kemenangan
120 Byt Yundarwin, Tesis: “Pemberdayaan Industri Pertahanan Nasional Untuk Mencapai
Kemandirian Produksi (Studi Kemampuan Komponen PT. Dahana)”. (Jakarta: UI, 2019), hal.53.
Universitas Sumatera Utara
84
Amerika Serikat dalam perang dunia I dan II, lebih disebabkan karena kekuatan
ekonomi nasionalnya. Ahli lain menggunakan konsep ekonomi pada bidang lebih
sempit, berkaitan dengan ketidakleluasaan penggunaan anggaran dalam kekuatan
militer yang dihambat oleh ketiadaan atau kelangkaan anggaran yang membatasi
kebutuhan anggaran. Profesor Kissinger membedakan pengaruh
“doctrinal”,”Technological, dan “fiscal” terhadap strategi militer Amerika Serikat
menyimpulkan bahwa pengaruh “fiscal” sangat berpengaruh terhadap
pengembangan doktrin militer, demikian pula pengaruh terhadap yang bersifat
teknologi. Dikatakan pula bahwa pembiayaan merupakan faktor yang sangat
menentukan dalam membentuk pertahanan yang handal dalam logika militer.121
Jadi apabila berbicara kebijakan keamanan nasional, strategi militer, operasional
taktik sekalipun, pasti akan dipengaruhi oleh faktor ekonomi yaitu mendiskusikan
permasalahan ekonomi sebagai alat, seperti bagaimana meningkatkan efesiensi
penggunaan seluruh sumber daya yang tersedia dalam rangka meningkatkan
keamanan nasional.
Ekonomi pertahanan, untuk beberapa pihak bisa menjadi menguntungkan
seperti penjelasan Harvey Sapolsky, yaitu :122
it is impossible to understand the politic of defense without understanding
the political economy of defense. Defense policy defends on the resources
allocated to defense budget, and variouscategories of defense spending give
life (and profits) to a set interests, notably including industry
Apabila diterjemahkan maka dapat kita pahami bahwa benar sesuatu yang
tidak mungkin, untuk memahami politik pertahanan tanpa memahami politik
ekonomi. Kebijakan pertahanan sangat tergantung pada sumber daya yang
121 Makmur Supriyanto. Tentang Ilmu Pertahanan, (Pustaka Obor: Jakarta, 2014), hal. 227.
122 Harvey Sapolsky, Eugene Gholz dan Caitlin Talmadge, US Defense Policy :The Origins
Of Security Policy, (Routledge: New York, 2009), hal. 61.
Universitas Sumatera Utara
85
dialokasikan terhadap anggaran pertahanan. Disebutkan pula bahwa pengeluaran
pertahanan memberikan kehidupan dan bahkan keuntungan kepada berbagai pihak,
termasuk di dalamnya industri (baik industri pertahanan maupun industri lainnya).
Apabila anggaran telah dialokasikan kepada pertahanan dan akan menjadi
pengeluaran atau belanja, maka pengeluaran atau pembelanjaan itu akan
memberikan keuntungan kepada industri atau pemasok barang atau jasa, baik
alutsista maupun non-alutsista. Bidang pertahanan hanyalah pengeluaran atau
belanja, sedangkan hasilnya tidak dapat dirasakan seketika dan hanya dapat
dirasakan apabila kepentingan nasional tidak diganggu oleh pihak luar. Tapi di sisi
lain, bidang pertahanan juga menghidupi dan memberi keuntungan kepada industri
dan bidang perekonomian lainnya.123
Pada akhirnya pembangunan industri pertahanan berkaitan erat dengan
keuntungan ekonomi sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 4 huruf (c)
Undang-undang Industri Pertahanan, penyelenggaraan industri pertahanan
berfungsi untuk “meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga
kerja”. Kemudian dalam Pasal 11 juga disebutkan124 “Industri alat utama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a merupakan badan usaha
milik negara yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai pemadu utama (lead
integrator) yang menghasilkan alat utama sistem senjata dan/atau
mengintegrasikan semua komponen utama, komponen, dan bahan baku menjadi
alat utama”.
Industri pertahanan merupakan bagian dari badan usaha milik negara
(BUMN) dan pendirian badan usaha milik negara memiliki tujuan untuk
123 Makmur Supriyanto, Op.Cit, hal. 231.
124 Pasal 4 huruf (c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Universitas Sumatera Utara
86
memperoleh keuntungan ekonomi sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara, maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah yaitu :125
a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional
pada umumnya dan penerimaan negara pada khususunya.
b. Mengejar keuntungan.
c. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan
atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup
orang banyak.
d. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat
dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi.
e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha
golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.
Apabila dipahami, industri pertahanan merupakan bisnis pertahanan
dikarenakan kedudukannya sebagai badan usaha milik negara. Sebagaimana yang
diketahui tujuan dari badan usaha milik negara adalah memperoleh keuntungan
sehingga penyelenggaraannya dapat mendukung pembangunan perekonomian
negara. Maka revitalisasi industri pertahanan sama halnya dengan membangun
perekonomian masyarakat. Memberikan lowongan kerja dan membantu
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
3. Pembangunan Industri Pertahanan Nasional Untuk Mewujudkan
Kemandirian Produksi Alutsista Buatan Dalam Negeri
Kemandirian industri pertahanan yang sepenuhnya merupakan hal yang
sulit dicapai bahkan oleh negara-negara maju sekalipun. Penyebaran bahan baku,
teknologi, dan efesiensi produksi di beberapa negara membuat sebagian pelaku
125 Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara.
Universitas Sumatera Utara
87
industri pertahanan saling mendukung. Kesulitan negara-negara berkembang untuk
mencapai kemandirian industri pertahanan yang sepenuhnya bahkan lebih besar
akibat keterbatasan sumber daya, termasuk keuangan, teknologi, dan infrastruktur.
Namun dalam alat peralatan pertahanan dan keamanan (Alpalhankam), tingkat
kemandirian paling tinggi adalah memproduksi. Akan tetapi dalam rangka
memenuhi kebutuhannya, tidak semua negara mempunyai kemampuan
memproduksi alpalhankamnya. Sebagian besar negara di dunia termasuk
Indonesia, harus melewati jalan awal berupa membeli alutsista dalam rangka
memperkuat pertahanannya. Selain soal membeli, masalah penggunaan dan
perawatan pun menjadi bagian penting.126 Sebenarnya dalam konsepsi mengenai
kemandirian alpalhankam seharusnya tidak hanya diartikan sebagai kemandirian
dalam memproduksi alutsista. Dalam pengertian lebih luas, kemandirian juga
diartikan sebagai kemandirian dalam membeli, menggunakan, merawat dan
membuat alat-alat pertahanan. Akan tetapi dalam konteks pembangunan industri
pertahanan saat ini konteksnya terbatas pada kemandirian dalam membuat dan
memproduksi alutsista.
Mewujudkan kemandirian produksi alutsista buatan dalam negeri kiranya
perlu terlebih dahulu adanya kesamaan pemahaman tentang “kemandirian”.
Kemandirian dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan sendiri dari
segala sesuatu yang dikehendaki atau diinginkan dan dari yang seharusnya mampu
dilakukan sendiri dan tidak bergantung kepada pihak-pihak lain untuk mewujudkan
keinginan tersebut. Sehingga untuk mencapai kemadirian alutsista, perlu terlebih
dahulu memiliki kesamaan kehendak dan komitmen bangsa. Seberapa besar
keinginan bangsa itu sendiri yang harus diperbuat untuk pencapaiannya, yang
126 Silmy Karim, Op.Cit, hal. 72.
Universitas Sumatera Utara
88
dituangkan dalam rencana pembangunan strategis nasionalnya, dituangkan dalam
aturan atau regulasi untuk operasionalnya sampai ke teknis pelaksanaan atau
prosedurnya. Maka untuk dapat mandiri dalam memproduksi alutsista, langkah
awalnya adalah pembangunan industri pertahanan harus sesuai dengan tujuan dari
penyelenggaraan industri pertahanan yang terdapat dalam Pasal 3 Undang-undang
Industri Pertahanan : 127
a) mewujudkan Industri Pertahanan yang profesional, efektif, efisien,
terintegrasi, dan inovatif;
b) mewujudkan kemandirian pemenuhan Alat Peralatan Pertahanan dan
Keamanan; dan
c) meningkatkan kemampuan memproduksi Alat Peralatan Pertahanan
dan Keamanan, jasa pemeliharaan yang akan digunakan dalam rangka
membangun kekuatan pertahanan dan keamanan yang andal.
Pengembangan industri pertahanan berdampak langsung pada pendekatan
infrastruktur dan konektifitas maritim dalam konsep kebijakan PMD, khususnya
pembangunan industri perkapalan. Namun secara tidak langsung akan memperkuat
pilar poros maritim lainnya melalui pendekatan budaya, ekonomi, diplomasi, dan
pertahanan maritim. Pengembangan teknologi industri pertahanan diarahkan untuk
membangun kemampuan untuk menghasilkan Alpalhankam yang memenuhi
persyaratan operasional, yaitu memiliki kualitas tinggi, tahan cuaca, ketelitian–
akurasi, daya gempur dan kecepatan tinggi, sulit dideteksi dan keunggulan lainnya.
Kemudian perlu dipahami bahwa pengembangan industri pertahanan merupakan
serangkaian kegiatan terhadap penguasaan teknologi guna mendukung
terwujudnya sistem pertahanan negara yang tangguh, berdaya tangkal, modern, dan
127 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Universitas Sumatera Utara
89
dinamis. Penguasaan teknologi industri pertahanan akan mengangkat posisi tawar
dalam penguasaan teknologi pertahanan.128
Mandiri dalam membuat merupakan bentuk kemandirian yang paling
penting. Dari sisi politik, sebagai negara netral yang tidak memiliki konflik serius
dengan negara lain dan tidak mengalami tekanan internasional, Indonesia
mempunyai keleluasan untuk mewujudkan kemandirian dalam membuat peralatan
pertahanan. Sebenarnya kemandirian ini sudah lama ada dan dimanfaatkan
Indonesia. Berbagai pelaku industri pertahanan di Indonesia terus memproduksi
berbagai produk pertahanan hingga kini, terutama dikarenakan adanya kerja sama
dengan beberapa industri asing seperti dengan Airbus dengan PT. Dirgantara
Indonesia dan PT. Pindad dengan FNSS Turki. Selama ini industri pertahanan
Indonesia sudah diberikan beberapa lisensi alutsista dan kontrak untuk
memproduksi bagian-bagian dari alutsista milik industri pertahanan asing.
Dalam membuat peralatan pertahanan harus terus dimanfaatkan dan
dikembangkan. Saat ini yang diperlukan dalam pembangunan industri pertahanan
adalah memperbanyak kemampuan untuk membuat sendiri alat-alat pertahanan,
maka Indonesia akan mendapatkan berbagai keuntungan, dari keuntungan ekonomi
berupa munculnya kelompok-kelompok industri pertahanan yang saling terikat
dalam melakukan hubungan bisnis yang akan membantu ekonomi, menyediakan
lapangan kerja dan meningkatkan kemampuan teknologi, hingga keuntungan
kekuatan pertahanan Indonesia.
Kemandirian dalam membuat alutsista sendiri adalah tujuan besar yang
hendak dicapai bangsa Indonesia. Meski kemandirian total (menyeluruh) sulit
dicapai, langkah menuju kemandirian industri pertahanan tidak boleh terhenti.
128 Ryamizard Ryacudu, Op.Cit, hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
90
Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri
Pertahanan menyatakan bahwa pembangunan industri pertahanan yang mandiri
harus memperhatikan faktor-faktor berikut :
1. Pembangunan Industri Pertahanan mengutamakan penggunaan
komponen dan peralatan produksi dalam negeri.
2. Dalam hal pembangunan Industri Pertahanan membutuhkan komponen
dan peralatan produksi yang belum dapat dipenuhi di dalam negeri,
Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal termasuk pembebasan bea
masuk dan pajak terhadap komponen dan peralatan produksi yang
diimpor.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai insentif fiskal termasuk pembebasan
bea masuk dan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Dalam hal penggunaan komponen dan peralatan produksi dalam negeri
pemangku kepentingan atau kebijakan industri pertahanan (Pemerintah, Industri
Pertahanan dan Pengguna dalam hal ini adalah TNI dan POLRI) telah menentukan
prioritas penguasaan teknologi. Dengan penentuan prioritas ini maka industri
pertahanan diharapkan akan menjadi fokus dalam pengelolaan sumber daya
nasional. Kriteria program prioritas adalah: teknologi tinggi, berjangka panjang
dilaksanakan secara bertahap lintas tahun anggaran, lintas pemerintahan, adanya
jaminan kesinambungan pelaksanaan program antar era pemerintahan, lintas K/L,
bernilai strategis bagi kepentingan nasional, aspek kelayakan ekonomi sebagai
penopang perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional, dan alih teknologi
untuk mengisi kesenjangan teknologi dalam menuju kemandirian. Beberapa
program prioritas kemandirian industri pertahanan yaitu: Pembangunan Kapal
Selam dan Industri Propelan, serta Pengembangan Roket, Rudal, Radar Nasional,
Medium Tank, dan Pesawat Tempur. Arah pembangunan industri pertahanan
Universitas Sumatera Utara
91
dalam rangka mencapai industri pertahanan yang kuat, mandiri, dan berdaya saing.
Pemberdayaan industri pertahanan memerlukan kerja sama antarpemangku
kepentingan, yaitu pemerintah sebagai regulator, pengguna sebagai konsumen dan
industri pertahanan sebagai produsen serta Komite Kebijakan Industri Pertahanan
(KKIP) sebagai penyelenggara fungsi merumuskan dan mengevaluasi kebijakan-
kebijakan mengenai pengembangan maupun pemanfaatan industri pertahanan.129
C. Peranan Hukum Dalam Upaya Pembangunan Industri Pertahanan
Dalam Negeri.
Sebelum membahas peranan hukum dalam upaya pembangunan industri
pertahanan, perlu dipahami terlebih dahulu arti hukum menurut pendapat ahli dan
arti hukum dari segi etimologi.130 Secara etimologi kata hukum berasal dari bahasa
Arab dan merupakan bentuk tunggal. Kata jamaknya adalah “Alkas”, yang
selanjutnya diambil alih dalam bahasa Indonesia menjadi “Hukum” dari pengertian
hukum terkandung pengertian bertalian erat dengan pengertian yang dapat
melakukan paksaan. Sedangkan dalam bahasa belanda, hukum adalah recht yang
berasal dari “Rectum” (bahasa latin) yang mempunyai arti bimbingan atau tuntutan,
atau pemerintahan. Berkaitan dengan rectum dikenal kata “Rex” yaitu orang yang
pekerjaannya memberikan bimbingan atau memerintah. Rex juga dapat diartikan
“Raja” yang mempunyai regimen yang artinya kerajaan. Kata rectum juga dapat
dihubungkan dengan kata “Directum” artinya orang yang mempunyai pekerjaan
membimbing atau mengarahkan. Kata recht atau bimbingan atau pemerintahan
selalu didukung oleh kewibawaan. Seseorang membimbing, memerintah harus
129 Ibid, hal. 65.
130 Etimologi adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari asal-usul suatu kata.
Etimologi dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa Belanda etymologie yang berakar dari bahasa
Yunani; etymos (arti sebenarnya adalah sebuah kata) dan logos (ilmu). Pendeknya, kata etimologi
itu sendiri dating dari bahasa yunani.
Universitas Sumatera Utara
92
mempunyai kewibawaan. Kewibawaan mempunyai hubungan erat dengan
ketaatan, sehingga orang yang mempunyai kewibawaan akan ditaati oleh orang
lain. Dari kata recht tersebut timbul istilah “Gerechtigdheid” yang artinya adalah
keadilan, sehingga hukum juga mempunyai hubungan erat dengan keadilan. Jadi
dengan demikian recht dapat diartikan hukum mempunyai dua unsur penting yaitu
“kewibawaan dan keadilan”.131
Sedangkan menurut Utrecht di dalam bukunya yang berjudul “Pengantar
dalam Hukum Indonesia”, sarjana hukum ini berpendapat bahwa untuk
memberikan defenisi tentang hukum yang lengkap memang sulit namun demikian,
menurut Utrecht perlu adanya suatu pedoman untuk dipakai sebagai pegangan
tentang apakah hukum itu. Pedoman yang dipakai sebagai pegangan yaitu hukum
adalah himpunan petunjuk-petunjuk hidup tata tertib suatu masyarakat dan
seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan
menurut Suardi Tasrief, menyatakan bahwa anggapan yang menyatakan bahwa
hukum hanya sekedar norma-norma/kaidah-kaidah untuk mengatur hubungan antar
manusia, sudah lama ditinggalkan oleh manusia. Hukum dalam arti seluas-luasnya
adalah “The Legal machinery in action”. Pendapat ini menghubungkan arti hukum
dengan pembangunan bangsa dan negara saat ini, hukum tidak hanya dihubungkan
dengan masalah-masalah hubungan manusia di dalam negeri saja, akan tetapi
dikaitkan juga dengan orang di dalam negeri sendiri. Kemudian daya mengikat dan
memaksa dari hukum dapat digunakan atau didayagunakan untuk menggerakkan
pembangunan. Di sini hukum dijadikan alat untuk membawa masyarakat kearah
yang lebih maju.132
131 Soeroso, “ Pengantar Ilmu Hukum”, (Sinar Grafika: Jakarta, 2005), hal. 24.
132 Ibid, hal.55.
Universitas Sumatera Utara
93
1. Peranan Hukum Dalam Upaya Pembangunan Perekonomian Suatu
Bangsa
Peranan hukum dalam pembangunan erat kaitannya dengan ekonomi
pembangunan. Sehubungan dengan ekonomi pembangunan maka pertama-tama
perhatian di arahkan kepada Paul A Samuelson, peraih Nobel pada 1970.
Sejarahwan ekonomi Randall E. Parker menyebutnya sebagai Bapak Ekonomi
Modern. Sementara itu The New York Times memandangnya sebagai the foremost
academic economist of the 20th. oleh karena itu tidak terlalu berlebihan apabila
pandangan-pandangannya juga menjadi acuan. Pandangannya mengenai ekonomi
pembangunan seringkali pula dijadikan acuan oleh para ekonom dan dituangkan
dalam berbagai esai. Salah satu esai yang dimaksud adalah yang dikemas dengan
tajuk Paul Samuelson and Development Economics: A Missed Opportunity. Esai
ini ditulis oleh Jane S. Shaw2 dari Political Economy Research Center. Jane Shaw
mengemukakan pada pokoknya bahwa ekonomi pembangunan itu tumbuh secara
hampir berbarengan dengan berkembangnya perhatian para ekonom terhadap
kondisi Negara-negara yang baru merdeka secara politik, akan tetapi
perekonomiannya masih tertinggal. Jadi ekonomi pembangunan itu merupakan
suatu studi ekonomi yang bertujuan mempercepat kemajuan perekonomian yang
tertinggal. M. Akbar yang mengutip Michael Todao pada pokoknya
mengemukakan bahwa ekonomi pembangunan merupakan kumpulan analisa dan
masalah-masalah yang dihadapi oleh Negara sedang berkembang, serta menjawab
cara penyelesaian masalah tersebut agar pembangunan ekonomi di Negara tersebut
dapat berjalan dengan lebih baik dan lebih cepat.133
133 Putu Sumadi, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, (Paramita : Surabaya,
2018), hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
94
Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang mengubah
perekonomian nasional yang pada awalnya bercorak sederhana dengan
masyarakatnya yang berpenghasilan rendah menjadi suatu teritori dengan ekonomi
industri yang modern. Transformasi masyarakat sederhana menjadi modern
dilakukan dengan pembangunan ekonomi. Pada intinya pembangunan ekonomi itu
merupakan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi penerapan teknologi baru dan
berbagai metode pengukuran kualitatif yang berhubungan dengan teknologi
tersebut. Pembangunan ekonomi berperan dalam rangka mengalihkan ekonomi
yang berbasis pertanian menuju ekonomi industri. Di samping itu pembangunan
ekonomi bertujuan untuk menciptakan peningkatan secara umum berbagai standar
dalam kehidupan. Proyek besar itu nantinya akan menjadi salah satu tugas hukum
disamping tugas-tugas konvensional yang sesungguhnya tidak kalah besar dan
beratnya. Belum lagi apabila transformasi yang dimaksudkan itu bersentuhan
dengan antisipasi kemunculan masyarakat ekonomi pasca-industri (post industrial).
Dengan konsep ini peranan hukum tentunya akan lebih besar dan kompleks lagi.134
Salah satu ciri masyarakat ekonomi pasca-industri adalah kemampuan
penciptaan teknologi intelektual baru dan control terhadap nilai teknologi. Dalam
bukunya yang berjudul The Republic of Technology, Reflection on Our Future
Community , Daniel J. Boorstein mengemukakan : 135
technology, a synonym for experiment, is a name for the applications of
science, which transcend political boundaries, language, religion, and local
tradition
Teknologi itu tampak seperti kebal dan independen serta berlaku secara umum
terhadap siapa, dimana dan kapan pun. Sekadar sebagai suatu upaya dalam rangka
134 Ibid, hal. 6.
135 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
95
dukungan (endorsement), Besar kemungkinannya hanya hukum yang dapat
membatasi teknologi. Kemunculan republik yang berbasis teknologi akan
mengubah segala aspek kehidupan. Berbagai akses menuju relasi-relasi baru ke
seluruh dunia berkembang secara hampir tak terbatas. Namun demikian
kemunculan berbagai teknologi baru tidaklah berarti sebagai penghancuran
terhadap teknologi lama. Berbagai hasil karya teknologi arsitektur legendaris masih
tetap dipertahankan hingga sekarang dan di masa depan justru dilakukan dengan
mempekerjakan berbagai teknologi baru. Boorstein menyebut fenomena tersebut
dengan konsep The New Obsolescence. Dalam era negara berbasis teknologi setiap
orang tanpa memandang apakah yang bersangkutan miskin, kaya, hina, terhormat,
berasal dari negara maju atau sebaliknya, mendapati diri masing-masing berada
dalam kesetaraan dalam segala hal. Apa yang dilakukan oleh orang yang satu, itu
pula yang ingin dilakukan oleh yang lainnya. Semua ini dapat diwujudkan berkat
jasa dari yang dinamakan dengan teknologi. Ringkasnya teknologi telah
menimbulkan revolusi yang terus bergulir tanpa ada yang dapat memprakirakan
kapan berhentinya.136
Pada tahap ekonomi industrialis boleh jadi peranan hukum akan berkisar
pada upaya-upaya bagaimana mengalihkan teknologi (transfer of technology) dari
suatu negara ke negara yang lain. Sementara itu pada tahap paska industri, hukum
itu sudah harus mampu mendorong masyarakat untuk menciptakan teknologi
sendiri dan bersaing dengan pencipta-pencipta teknologi yang lain.
Dalam menjelaskan peranan hukum berkaitan dengan pembangunan
terdapat sebuah kajian yang mengetengahkan tentang kemampuan atau tepatnya
harapan yang didambakan agar hukum dapat melakukan fungsi prediction yang
136 Ibid, hal.7.
Universitas Sumatera Utara
96
intinya merupakan keberharapan hukum melakukan pengolahan. Adapun kajian
yang dimaksudkan itu adalah studi Burg. Studi tersebut mengetengahkan pada
pokoknya bahwa hukum yang kondusif bagi pembangunan ekonomi paling sedikit
harus mengandung kualitas ; stability, predictability, fairness, education, dan the
special abilities of the lawyers. Untuk menjelaskan fungsi yang pertama (stability),
hendaknya dimulai dengan pengamatan bahwa kehidupan bermasyarakat,
bernegara terlebih-lebih lagi dalam berekonomi itu penuh dengan berbagai
kepentingan. Antara kepentingan yang satu dengan yang lainnya dalam satu
rangkaian saja misalnya dalam kehidupan berekonomi seringkali tidak selaras.
Apabila ini yang terjadi maka hukum harus dapat memenuhi harapan akan
peranannya sebagai penjaga keseimbangan agar tidak sampai terdistorsi oleh
ketidakselarasan.137
Fungsi kedua yaitu prediksi atau prediktabilitas (predictability). Dapat
dipahami melalui langkah pengamatan terhadap kemampuan hukum berkenaan
dengan hasil dari suatu kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah-negara atau
orang perseorangan baik warga domestik maupun warga Negara asing atau badan
hukum baik domestik maupun asing. Apa yang dapat dilakukan oleh hukum setelah
dilakukannnya suatu kebijakan, tindakan dan perbuatan hukum. Inilah yang kurang
lebih dimaksudkan dengan kegiatan prediksi atau meramal dari hukum.
Fungsi ketiga yaitu keadilan (fairness). Menurut Leonard J. Theberge
secara jelas telah mengemukakan bahwa fungsi yang ketiga dari hukum dalam
pembangunan ekonomi itu adalah economic fairness. Terma ini tidak dengan begitu
saja dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, terlebih-lebih lagi apabila
dipadankan dengan “keadilan ekonomi” yang padanannya dalam bahasa Inggris
137 Ibid, hal.12
Universitas Sumatera Utara
97
adalah economic justice.138 Menurut Adam Smith sebagai bapak ekonomi modern
yang juga seorang ahli teori hukum mengemukakan ajaran mengenai keadilan
(Justice), mengatakan bahwa tujuan dari keadilan adalah untuk menghindari dari
kerugian. Jadi keadilan dalam pembangunan ekonomi adalah bagaimana sikap
pemerintah dalam menciptakan keadilan antara pihak-pihak yang bersaing dalam
pembangunan ekonomi agar tidak merugikan salah satu pihak.
Fungsi yang keempat adalah Pendidikan (education). Setelah pada fungsi-
fungsi sebelumnya banyak menyinggung tentang ekonomi termasuk pula
pandangan para ekonom, maka pada bagian ini konteks uraian mulai bersentuhan
dengan aspek pendidikan. Ada pun makna yang terkandung pada fungsi ini kiranya
sistem hukum dalam kaitannya dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
kegiatan ekonomi, hendaknya pula dapat menampilkan serta memberikan
pendidikan. Boleh jadi pendidikan dalam kaitan ini bermakna sebagai pembinaan
terhadap para pelaku ekonomi dan warga masyarakat pada umumnya. Disimak dari
maksud yang terkadung, kewajiban hukum memberikan pendidikan sesungguhnya
tidak merupakan hal baru. Tujuan yang mulia itu sudah terkandung sejak hukum
itu memiliki tendensi menyadarkan dalam rangka memberikan kebahagiaan kepada
subyek hukum. Dalam hubungan ini terdapat pemahaman yang tinggi bahwa salah
satu cara mewujudkan kebahagiaan adalah melalui pendidikan. Kewajiban bagi
pembuat undang-undang untuk mengundangkan (mengumumkan) setiap undang-
undang yang dibuatnya agar setiap orang mengetahuinya, pada dasarnya dapat
dipandang sebagai suatu kebijakan yang mengarah pada pendidikan hukum.
Dengan demikian dapatlah dikemukakan, memberikan pendidikan merupakan
fungsi hukum dalam pembangunan ekonomi yang sangat penting. Hal ini dilandasi
138 Ibid, hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
98
pertimbangan, pertama, output dari pendidikan adalah pengetahuan dan
pemahaman. Kedua, output dari pengetahuan dan pemahaman mengarahkan
lahirnya tindakan pencegahan serta kepatuhan hukum. Ketiga, pendidikan hukum
juga dapat mengarahkan pada semakin kokohnya budaya hukum dan
pengembangannya. Oleh karena itu memberikan pengetahuan dan pemahaman
hukum melalui berbagai sarana pendidikan hukum merupakan kebijakan yang
bersifat strategis.139
Fungsi kelima yaitu the special abilities of the lawyers. Pada bagian ini di
samping mengetengahkan beberapa peranan ahli hukum, juga diimbangi dengan
yang menyangkut kualitas-kualitas yang dibutuhkan dalam menunjang peranan
hukum dalam pembangunan ekonomi. Kualitas-kualitas tersebut terutama
ditujukan tidak terbatas kepada para ahli hukum baik yang berstatus sebagai
akademisi, praktioner penegak hukum maupun birokrat, melainkan juga para
politisi yang turut dan banyak berkiprah dalam pembentukan undang-undang.
Friedman mengawali tulisannya Peranan Hukum Dan Fungsi Ahli Hukum Di
Negara Berkembang mengemukakan, fungsi hukum dan peranan ahli hukum
biasanya berhubungan erat satu sama lain.140 Friedmann juga mengemukakan,
pada masyarakat yang agraris, para ahli hukum selain menjalankan dengan setia
fungsi konservatif yang secara tradisional lebih bertindak sebagai pembela
kepentingan-kepentingan yang sudah mapan daripada sebagai seorang pembaru,
peranan ahli hukum cenderung ditekan, statusnya rendah dan fungisnya terbatas.
Sebaliknya pada masyarakat modern dan demokratis, peranan ahli hukum sangat
penting, bahkan pada beberapa negara seperti Amerika Serikat peranannya sangat
139 Ibid, hal. 29-30.
140 Wolfgang G. Friedman, Peranan Hukum Dan Fungsi Ahli Hukum Di Negara
Berkembang. Dalam : Peranan Hukum Dalam Perekonomian Di Negara Berkembang.(Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 1986) hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
99
menonjol. Penyebabnya sebagian besar karena suatu konstitusi dan tertib hukum
yang demokratis, yaitu konstitusi yang didasarkan pada keseimbangan antara
fungsi dan kemampuan. Hal ini menjadikan pentingnya peranan ahli hukum
sebagai orang yang terlatih dalam menjaga keseimbangan tersebut.
2. Landasan Hukum Pembangunan Industri Pertahanan dalam
Negeri
Landasan Hukum merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk atau kebijakan yang dibuat untuk
mengatasi permasalahan hukum dan mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hukum. Landasan hukum menyangkut persoalan
hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu
dibentuk peraturan perundang-undangan yang baru. Dalam hal pembangunan
industri pertahanan pun dibutuhkan dasar hukum atau aturan yang manjadikannya
sebagai landasan pelaksanaan kebijakan tersebut.
Pelaksanaan pembangunan industri pertahanan dalam negeri memiliki
beberapa landasan hukum. Pertama adalah Pasal 30 Ayat (2),(3),(5) dan Pasal 31
Ayat 5 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan :141
Pasal 30 :
(2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai
kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.
(3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan
Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas
mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan
kedaulatan negara.
141 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Universitas Sumatera Utara
100
(5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian
Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam
menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara
dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang
terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-
undang.
Pasal 31 :
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Pembangunan industri pertahanan diperlukan untuk mendukung Tentara
Nasional Indonesia dan kepolisian dalam rangka melakukan usaha pertahanan,
melindungi, dan memelihara keamanan negara. Kemandirian untuk memproduksi
alutsista buatan dalam negeri juga merupakan upaya untuk memajukan ilmu
pengetahuan untuk kemajuan negara.
Kedua, revitalisasi industri strategis nasional telah diamanatkan oleh aturan
perundang-undangan, di antaranya Pasal 2 huruf (d) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. yang menyatakan bahwa jati diri
TNI adalah Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi
secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis (berlanjut). Kemudian, UU No
3/2002 tentang Pertahanan Negara, Pasal 16 Ayat 6 yang mengamanatkan menteri
menetapkan kebijakan pembinaan teknologi dan industri pertahanan, serta Pasal 23
Ayat 2 yang mengamanatkan menteri mendorong dan memajukan pertumbuhan
industri pertahanan.
Ketiga, Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2004 –
2009. RPJMN 2004 – 2009 mengagendakan kebijakan pembangunan pertahanan
negara yang mengarah pada peningkatan profesionalisme Tentara Nasional
Indonesia (TNI) yang dilaksanakan melalui perawatan dan pemeliharaan alat utama
Universitas Sumatera Utara
101
sistem senjata (alutsista), penggantian dan pengembangan alutsista, peningkatan
kesejahteraan prajurit, pengembangan secara bertahap dukungan pertahanan, serta
peningkatan peran industri pertahanan nasional dalam memenuhi kebutuhan
alutsista TNI.
Keempat, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri
Pertahanan, yang menyebutkan Tujuan dari pembangunan industri pertahanan
adalah142 :
a. mewujudkan Industri Pertahanan yang profesional, efektif, efisien,
terintegrasi, dan inovatif.
b. mewujudkan kemandirian pemenuhan Alat Peralatan Pertahanan dan
Keamanan, dan
c. meningkatkan kemampuan memproduksi Alat Peralatan Pertahanan
dan Keamanan, jasa pemeliharaan yang akan digunakan dalam rangka
membangun kekuatan pertahanan dan keamanan yang andal.
Undang-Undang Industri Peratahanan ini menjadi landasan utama dari
proses revitalisasi industri pertahanan dalam negeri dan pengaturan khususnya
diatur dalam peraturan pemerintah atau peraturan menteri pertahanan. Jadi tiga
undang-undang yang telah disebutkan diataslah yang menjadi landasan hukum
dalam proses pembangunan industri pertahanan Indonesia.
Kelima, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian menyebutkan, tujuan dari perindustrian adalah :143
a. mewujudkan Industri nasional sebagai pilar dan penggerak
perekonomian nasional.
b. mewujudkan kedalaman dan kekuatan struktur Industri.
c. mewujudkan Industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta
Industri Hijau.
142 Op.Cit, Pasal 3
143 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
Universitas Sumatera Utara
102
d. mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta
mencegah pemusatan atau penguasaan Industri oleh satu kelompok atau
perseorangan yang merugikan masyarakat.
e. membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja;
f. mewujudkan pemerataan pembangunan Industri ke seluruh wilayah
Indonesia guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan nasional, dan
g. meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara
berkeadilan
Industri pertahanan merupakan industri strategis oleh karena itu tujuan dari
penyelenggaraan dan pembangunan industri pertahanan pun harus berlandaskan
dari Undang-Undang Perindustrian. Dengan melakukan pembangunan industri
pertahanan maka secara tidak langsung pemerintah juga sedang melakukan
perbaikan perekonomian negara. Kemandirian industri pertahanan akan membuka
peluang kesempatan kerja bagi masyarakat dan menjadi salah satu pilar penggerak
perekonomian.
3. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Industri Pertahanan
Nasional
Sebagai dasar penentu arah pembangunan, hukum harus mempunyai daya
antisipasi dan bersifat dinamis, sehingga dapat menampung dinamika perubahan
dan perkembangan dunia usaha dalam masyarakat dengan selalu menyelaraskannya
pada tujuan pembangunan nasional. Di samping itu, hukum berperan juga sebagai
alat legitimasi terhadap pembangunan dan hasilnya (dalam hal ini adalah
pembangunan industri pertahanan). Maksudnya, bahwa hukum dipandang sebagai
perangkat pembangun secara keseluruhan. Dengan demikian, hukum tumbuh
sesuai dengan kebutuhan nyata saja sehingga kurang mempunyai daya antisifatif
dan cenderung mudah ketinggalan. Hukum juga berperan untuk atau sebagai alat
kontrol dan pengendali penyimpangan perilaku baikbagi anggota masyarakat
maupun penguasa yang terlibat dalam proses pembangunan. Setiap penyimpangan
Universitas Sumatera Utara
103
harus dapat diatasi dan dikembalikan ke keadaan atau jalur semula. Jadi hukum
dapat memberikan arah sekaligus mengontrol pelaksanaan pembangunan..144
Terkait dengan pembangunan industri pertahanan dalam negeri hukum
memiliki fungsi mengatur (antara lain meliputi kata kerja mengendalikan dan
mengarahkan agar obyek yang diatur sesuai dengan hukum). Dalam melaksanakan
fungsi mengatur dibutuhkan legal device sebagai wadah dan dasar serta pedoman.
Persoalannya bidang hukum apa saja yang diperlukan dalam rangka mencapai
target pembangunan ekonomi yang telah dicanangkan itu.145
Peranan hukum dalam pembangunan industri pertahanan yaitu agar hukum
menjadi landasan dari pelaksanaan pembangunan. Hal ini sejalan dengan apa yang
tertulis dalam Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Negara Indonesia
Adalah Negara Hukum Bukan Negara Kekuasaan. Dengan demikian, hukum
mengarahkan segala potensi pembangunan industri untuk mewujudkan keadilan
social dengan pemahaman bahwa kedaulatan atas ekonomi berada di tangan rakyat.
Kemudian peranan hukum terhadap pembangunan secara umum mempunyai dua
peran utama, yaitu :
1. Law as a Social Control ( sebagai kontrol social)
2. Law as a tool of social engineering (sebagai alat rekayasa social)
Hukum sebagai kontrol sosial apabila dikaitkan dengan pembangunan
industri adalah agar hukum dapat menjaga ketertiban masyarakat agar setiap orang
menjalankan perannya sebagaimana yang telah ditentukan. Sehingga fungsi hukum
disini adalah statis. Peranan hukum akan berfungsi dengan baik hanya jika
masyarakat dan pemerintah menjalankan perannya dengan baik. Kemudian hukum
144 Janus Sidabolak, “Pengantar Hukum Ekonomi”,(Bina Media : Medan, 2000), hal. 38-
39.
145 Putu Sumadi, Op.Cit. hal. 51.
Universitas Sumatera Utara
104
sebagai alat rekayasa sosial dikaitkan dengan pembangunan industri pertahanan,
hukum mempunyai peranan menjalankan fungsinya secara dinamis, bukan hanya
meneguhkan pola-pola yang telah ada melainkan juga berfungsi untuk menciptakan
hubungan-hubungan atau hal-hal yang baru bahkan hukum diarahkan untuk
menciptakan perubahan yang di inginkan dalam pembangunan industri pertahanan.
D. Upaya Pemerintah Terkait Hukum Dalam Membangun Industri
Pertahanan Untuk Mewujudkan Kemandirian Pengadaan Alutsista
Berdasarkan teori peran hukum dalam pembangunan ekonomi, max webber
mengatakan pembangunan perekonomian harus berlandaskan hukum yang
rasional. Dengan adanya hukum rasional atau modern maka dapat dilakukan
pengorganisasian pembangunan. Sebab salah satu dari ciri hukum modern adalah
penggunaan hukum secara aktif dan sadar untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Industrialisasi merupakan salah satu tahap dalam pembangunan, maka revitalisasi
industri pertahanan yang merupakan bagian dari industri strategis adalah salah satu
langkah dalam pembangunan ekonomi. Pertumbuhan industri strategis yang
berbasis pertahanan dapat mendorong peningkatan perekonomian dan kapabilitas
militer suatu negara. Pemanfaatan industri strategis bagi Tentara Nasional
Indonesia (TNI) merupakan modal yang sangat penting menuju kemandirian di
bidang pertahanan negara. Kemandirian dalam teknologi dapat tercapai dengan
rekayasa, merancang bangun, dan transfer of technology, maka kemampuan
pertahanan negara akan semakin kuat dan dapat meningkatkan posisi tawar
(bargaining position) dengan negara lain.
Salah satu penyebab lambatnya perkembangan industri strategis di
Indonesia adalah terbatasnya dukungan modal, karena pada perjalanannya
mengalami krisis moneter pada tahun 1998. Pada awalnya pemerintah berusaha
agar industri strategis nasional dilebur dalam holding company PT Bahana Pakarya
Universitas Sumatera Utara
105
Industri Strategis melalui Keppres No 64/1998. Tujuannya adalah untuk
mengkonsolidasikan orientasi bisnis dan koorporasi industri strategis. Kemudian
pemerintah mencanangkan perubahan kebijakan nasional dari sektor pertanian ke
sektor industri. Sekaligus fokus perhatian ditujukan kepada sepuluh Badan Usaha
Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS) dengan berbagai harapan. BUMNIS
tersebut diharapkan mampu memacu proses industrialisasi dan mendorong
percepatan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, yang terjadi sebaliknya, hal ini
tidak tertangani dengan baik, sesuai harapan yang diinginkan dan terjadi
pemborosan (Higth Cost). Produk-produknya umumnya tidak mempunyai
keunggulan komparatif dan kompetitif dibandingkan dengan produk-produk
sejenis dari negara-negara lain, sehingga sulit memperoleh pasar di luar negeri.
Biaya produksi sangat tinggi, sehingga harga jualnya tidak kompetitif. Kondisi ini
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain sebagian besar komponen bermuatan
teknologi canggih, dan bahan baku masih tergantung dari negara lain, pengelolaan
cenderung kurang efektif dan tidak efisien.146
Kemandirian bukan hanya menjadi satu tujuan dan cita-cita bangsa di
seluruh dunia, namun lebih sebagai kebutuhan setiap bangsa, sebagaimana bangsa
Indonesia. Kemandirian bidang pertahanan negara merupakan hal yang sangat
esensial bagi bangsa Indonesia dalam mempertahankam NKRI, sekaligus bertindak
sebagai instrumen yang efektif untuk meningkatkan “bargaining position” dalam
hubungan antar negara. Menyikapi perkembangan global serta spektrum ancaman
yang mungkin dihadapi, telah menuntut pemerintah untuk melakukan
pemberdayaan segenap sumber daya nasional dalam mendukung penyelenggaraan
pertahanan negara, antara lain melakukan optimalisasi Industri Nasional (selain
146 Achmad Dirwan, Op.Cit. hal. 47.
Universitas Sumatera Utara
106
industri pertahanan) sebagai komponen pendukung. Untuk itu pemerintah
memaksa industri untuk dituntut memiliki kemampuan khusus serta dapat
menjamin ketersediaan produk yang dibutuhkan bagi industri pertahanan. Oleh
karena itu pemerintah mengeluarkan kebijakan rencana induk pembangunan
nasional yang termuat dalam Bab III Rencana Induk Industri Pertahanan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Dimana pelaksanaannya
berdasarkan asas keterikatan antar industri untuk mendukung satu sama lainnya dan
memberikan kestabilan pelaksanaan pembangunan industri yang tersirat dalam
tujuan dari penyelenggaraan industri.
Upaya pengembangan industri pertahanan harus dilandasi prinsip bahwa
kita tidak menyiapkan diri untuk menyusun pertahanan yang menghadapi perang
atau agresi negara lain. Melainkan yang seyogianya dilakukan adalah penyusunan
pertahanan menghadapi kemungkinan masa depan dengan kata lain memprediksi
akan apa yang terjadi. Menyikapi hal tersebut, pengembangan industri pertahanan
tentunya merupakan kepentingan seluruh Stake Holders yang melibatkan berbagai
unsur pengguna, pemproduksi, perancang, penguji, peneliti yang kompeten serta
dengan perencanaan bisnis yang matang, yang dikenal dengan konsep tiga pilar
pelaku industri pertahanan. Upaya menyinergikan industri pertahanan nasional
merupakan salah satu hal penting dilakukan dalam pengembangan teknologi atau
industri strategis bidang pertahanan dan keamanan. Pelaku revitalisasi industri
pertahanan terdiri atas pemerintah, pengguna, dan produsen, Ketiganya sebagai
pilar utama yang saling terkait untuk itu diintegrasikan di dalam sistim revitalisasi
industri pertahanan, yaitu pemerintah (Kementerian), produsen (Industri Strategis)
dan pengguna (TNI dan Polri).
Pembangunan dan potensi pertahanan dan keamanan merupakan salah satu
pilar terdepan demi mengamankan kepentingan dan tujuan nasional. Dengan
Universitas Sumatera Utara
107
demikian, urusan bidang pertahanan dan keamanan negara yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dalam
artian, ketentuan tersebut secara jelas menggariskan bahwa segala aspek yang
menyangkut Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara (Sishamkamneg) termasuk
manajemen dan operasional pertahanan, pengembangan institusi dan personil,
aspek pembiayaan dan anggaran adalah urusan, tanggung jawab dan wewenang
pemerintah pusat. Pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan terdiri atas
kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian yang antara lain :147
a. Kementerian Pertahanan berperan sebagai lembaga utama dalam prakarsa
dan pengembangan industri strategis pertahanan.
b. Kementerian Keuangan berperan untuk memberikan masukan dan
mengalokasikan anggaran agar pemberdayaan industri pertahanan dapat
terdukung oleh pendanaan yang memadai, tidak bertentangan dan
dilindungi oleh aturan yang sesuai.
c. Kementerian perhubungan, berperan untuk memberikan masukan dan
bertanggungjawab agar pemanfaatan hasil produksi dapat digunakgn
melalui kebijakan bidang transportasi pada umumnya dan mempunyai
dampak positif bagi perkembangan industri nasional.
d. Kementerian Pendidikan Nasional, berperan untuk mengembangkan,
mentransfer ilmu pengetahuan dan teknoiogi pertahanan dan menyiapkan
SDM sehingga pemberdayaan industri pertahanan dapat berjalan dengan
efektif, berlanjut, berkesinambungan, meningkat dan berkembang sesuai
tuntutan dan perkembangan lingkungan.
147 Ibid, hal. 53.
Universitas Sumatera Utara
108
e. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), berperan untuk
memberikan arahan dan alokasi anggaran agar pemberdayaan industri
pertahanan selaras dan sesuai dengan pembangunan nasional dan terhindar
dari penyimpangan serta mendukung tercapainya tujuan nasional Indonesia.
f. Badan kordinasi penanaman modal, berperan untuk memberikan masukan
dalam rangka penanaman modal dalam negeri.
g. Kementerian Perdagangan berperan dalam memasarkan produk industri
pertahanan.
h. Kementerian Energi & Sumber Daya Nasional mendukung penyediaan
bahan energi dan mineral dalam rangka pengembangan industri pertahanan.
i. Kementerian Riset dan Teknologi, berperan dalam perumusan kebijakan
nasional dan pengkoordinasian iptek hankam yang mendukung peningkatan
teknologi industri hankam.
Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan juga mengupayakan untuk
melakukan sinergi antar produsen industri pertahanan agar mendorong industri
senjata terus berkembang hingga mampu meningkatkan ekspor. Kuncinya adalah
sinergi antara perusahaan pertahanan berbentuk Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) seperti PT. Pindad, PT. PAL, PT. DI dengan perusahaan pertahanan
berbentuk Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) seperti PT. Lundin, PT. Sari Bahari,
PT. Bogar Artha Satria dan lain-lain. Kemudian menggunakan dua strategi untuk
meningkatkan kapasitas dan kompetensi ekspor alutsista ke mancanegara berupa
strategi keunggulan komperatif, yakni mengutamakan kapasitas produk-produk
yang mampu bersaing dengan kualitas yang sama dengan harga yang lebih murah
dan strategi keunggulan kompetitif, yakni mengutamakan kapasitas produk-produk
Universitas Sumatera Utara
109
yang memang hanya diproduksi oleh pabrik alutsista di Indonesia seperti helikopter
NBell versi maritim.148
Pemerintah kemudian berusaha membuat agar terjadinya kerja sama antar
industri strategis. Karena pada industri modern, suatu perusahaan tidak sepenuhnya
dapat membuat produk dengan komponen dan proses pembuatannya secara
mandiri. Sebagai contoh, Boeing bekerjasama dengan PT DI, yaitu memberi
kesempatan membuat bagian tertentu dari pesawat Boeing. Samsung bekerjasama
dengan Macintosh dalam produksi telepon selular pintar (smart phone), ini
menandakan bahwa kerjasama antar industri strategis adalah sebuah keharusan.149
Industri strategis nasional dalam rangka mendukung pertahanan negara belum
sepenuhnya terintegrasi dan masih menghasilkan produk yang sektoral. Misalnya
dalam pembuatan senjata, PT Pindad sebagai produsen senjata harus didukung oleh
industri pengolahan bahan setengah jadi (metal) berkualitas agar dihasilkan senjata
yang baik. Pemerintah hendaknya perlu memberikan perhatian terhadap kerjasama
tersebut untuk meningkatkan kerjasama antar industri strategis. Sebagai langkah
awal, Presiden RI telah memberikan arahan di PT DI pada tanggal 26 Oktober 2011
dalam rangka modernisasi Alutsista TNI. Arahan tersebut ditetapkan sebagai
pedoman kebijakan dasar dalam pengadaan Alutsista TNI yang isinya adalah :150
1. Alutsista yang dapat diproduksi di dalam negeri oleh Industri Pertahanan,
wajib hukumnya untuk membeli dari industri dalam negeri.
2. Alutsista yang belum dapat diproduksi sendiri, maka dibeli dari industri-
industri negara sahabat. Komite kebijakan industri pertahanan
menambahkan kebijakan berupa imbangan pembelian (offset) maupun
trade off.
148 Luhut pandjaitan, “menciptakan stabilitas pertahanan melalui pemerataan ekonomi”,
(Makalah seminar di Universitas Indonesia , Jakarta, 2016). hal. 13.
149 Ibid, hal. 18.
150 Ibid,
Universitas Sumatera Utara
110
3. Apabila kita melakukan pengadaan Alutsista dari luar negeri, maka
dibangun kerjasama yang baik.
Beberapa kerjasama antar industri strategis dalam mendukung penyediaan
Alutsista sebagai berikut :151
1. Kerjasama PT Krakatau Steel dan PT Pindad yaitu:
a) Penyediaan material baja anti peluru (KSW 500) untuk Ranpur Anoa dan
Komodo.
b) Pembuatan chasis Rantis Garda.
c) Riset bahan laras senjata ringan SS1/SS2.
2. Kerjasama PT Krakatau Steel dengan PT PAL dan Palindo Marine dalam
pembuatan kapal patrol dan kapal cepat KCR 40.
3. Joint Operation PT Pindad dengan PT Dahana dalam rangka produksi Non
Elektrik Detonator.
4. Kerjasama PT Dahana dengan LAPAN dalam pengadaan mesin produksi
propellant komposit.
5. Kerjasama PT Dahana dengan PT DI, LAPAN, dan PT Krakatau Steel
dalam pembuatan nozzle roket Rhan 122 dan nozzle rocket RX 550.
Kerjasama industri strategis belum cukup terintegrasi, mengakibatkan
produksi masih bersifat sektoral. Produk yang dihasilkan bukan merupakan produk
terbaik dari yang sebenarnya dapat diciptakan. Kelemahan kerjasama antar industri
strategis akan menyebabkan inefisiensi sehingga akan memberatkan keuangan
negara. Teknologi Alutsista Indonesia tetap akan tertinggal dari negara-negara lain,
terlebih jika anggaran pertahanan Indonesia tidak ditingkatkan. Oleh karena itu
pembentukan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2010 tentang Komite Kebijakan Industri
151 Ibid
Universitas Sumatera Utara
111
Pertahanan merupakan salah satu langkah kebijakan mengakomodir kerjasama
antar industri strategis untuk revitalisasi industri pertahanan. KKIP bertugas
mengkoordinasikan kebijakan nasional dalam perencanaan, perumusan,
pelaksanaan, pengendalian, sinkronisasi, dan evaluasi industri pertahanan, yang
melibatkan stakeholder terkait. Tugas, peran dan fungsi KKIP akan mendorong
pengembangan teknologi sehingga terwujud secara efektif, efisien, terintegrasi dan
inovatif. Jadi dengan adanya KKIP diharapkan kerjasama antar industri strategis
menjadi wadah untuk menyampaikan aspirasi dan masukan yang mewakili
kebutuhan industri masing-masing sehingga dapat tercapainya fungsi keadilan
dalam pelaksanaan pembangunan industrin nasional. Kegiatan ini dapat dilakukan
melalui forum dialog yang diselenggarakan pemerintah untuk sosialisasi dan
evaluasi, sehingga pemerintah dapat mendukung industri strategis.152
Komitmen pemerintah dalam mewujudkan kemandirian Alutsista dari sisi
regulasi sudah cukup baik namun belum bisa dioperasionalkan. Regulasi yang tidak
diikuti dengan tataran implementasinya akan melahirkan ketidakpercayaan
masyarakat. Komitmen pemerintah terhadap kebijakan yang berpihak kepada
industri strategis untuk meningkatkan daya saing akan memberi efek berlebih (spill
over effect) terhadap penguatan ekonomi nasional. Tumbuhnya industri strategis
yang sehat akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dan meningkatkan
pendapatan negara. Pernyataan Presiden pada bulan November 2014 di Indo
Defence Expo, jika pertumbuhan ekonomi dapat didorong di atas 7%, maka
152 Wawancara dengan Brigjen TNI Aribowo Teguh Santoso, tanggal 15 oktober 2019 di
Kementerian Pertahanan.
Universitas Sumatera Utara
112
penerimaan negara akan melonjak naik. Dengan demikian, anggaran pertahanan
dapat dinaikkan hingga tiga kali lipat dari yang direncanakan.153
Terkait dengan penguasaan teknologi alutsista dilakukan dengan cara
melaksanakan fungsi pendidikan melalui penelitian, pengembangan dan rekayasa
atau biasa di sebut dengan litbangyasa melaui kerja sama antara kementerian
perindustrian dengan tentara nasional Indonesia serta melibatkan perguruan-
perguruan tinggi di Indonesia. Kerja sama difokuskan untuk mendukung
pengembangan industri substitusi impor dalam rangka mengurangi impor bahan
baku dan barang serta mendukung akselerasi hilirisasi industri kemudian kita juga
bekerja sama dengan Kemenristek untuk mewujudkan aktivitas litbang yang
terintergrasi dan pemakaian bersama fasilitas yang ada di masing-masing lembaga
litbang juga pemberdayaan sumber daya penelitian.154 Kemudian Penguasaan
teknologi modern oleh sumber daya manusia Indonesia sudah dilakukan dan secara
umum sudah cukup memadai. Oleh karena itu alih teknologi dari pengadaan produk
asing akan melibatkan masyarakat melalui penelitian dan riset yang dilakukan di
perguruan tinggi nasional. Keterlibatan perguruan tinggi dan para sarjananya ini
dapat di lihat sebagai usaha untuk melibatkan fungsi pendidikan agar nantinya suatu
teknologi dapat terus dikembangkan dan diajarkan diperguruan tinggi dan
diharapkan akan menghasilkan inovasi teknologi yang baru. Oleh karena itu
pemerintah Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengeluarkan
Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 20 Tahun 2018
tentang Penelitian. Peraturan ini menyatakan pelaksanaan penelitian sebagaimana
153http://analisismiliter.com/artikel/part/74/Modernisasi_Militer_dan_Pemerintah_Baru_I
ndonesia_2015-2019, diakses pada 10 Maret 2020.
154 Wawancara dengan Brigjen TNI Aribowo Teguh Santoso, tanggal 15 oktober 2019 di
Kementerian Pertahanan.
Universitas Sumatera Utara
113
dimaksud pada ayat (1) huruf b “meliputi : individu, perguruan tinggi, organisasi
kemasyarakatan dan atau badan usaha”.155
Pemanfaatan teknologi oleh lembaga-lembaga untuk keperluan pertahanan
juga masih belum optimal dan mengalami keterlambatan. Keterlambatan tersebut
menyebabkan tidak ada alternatif lain sehingga TNI terpaksa membeli teknologi
dari luar negeri dengan dana yang besar. Keadaan ini disebabkan masih rendahnya
nasionalisme dari kalangan akademisi dan praktisi industri nasional untuk
mengembangkan Alutsista TNI. Permasalahan lainnya adalah belum terjalinnya
komunikasi antara lembaga Litbang karena adanya perbedaan orientasi Litbang
TNI dengan industri strategis. munculnya hambatan dalam pendekatan
pengembangan alutsista karena setiap institusi memiliki litbang (lembaga
penelitian dan pengembangan)nya masing-masing dan masih belum terintegrasi
dengan baik, pun hal ini disebabkan oleh belum adanya undang-undang yang
mengatur agar lembaga-lembaga litbang tersebut berada dalam kendali
Kementerian Pertahanan. Akan tetapi pemerintah baru saja mengeluarkan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi dimana salah satu tujuannya adalah meningkatkan intensitas dan kualitas
interaksi, kemitraan, sinergi antar unsur Pemangku Kepentingan Ilmu Pengetahuan
dan T'eknologi156, sehingga diharapkan kedepannya kebijakan pemerintah terhadap
lembaga-lembaga penelitian dan pengetahuan di Indonesia kedepannya dapat
terintegrasi dengan baik.
155 Pasal 3 Ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Nomor 20
Tahun 2018 tentang Penelitian.
156 Pasal 3 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi
Universitas Sumatera Utara
114
BAB IV
KESIAPAN REGULASI DALAM UPAYA MENDUKUNG
KEMANDIRIAN ALIH TEKNOLOGI MELALUI PENGADAAN
ALUTSISTA
A. Pembentukan Komite Kebijakan Industri Pertahanan Berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2010 Sebagai Upaya
Merumuskan dan Mengevaluasi Kebijakan Mengenai Pengembangan
dan Pemanfaatan Industri Pertahanan
Pembentukan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) berawal dari
keinginan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar Indonesia
dapat mandiri dalam memproduksi alat-alat pertahanan. Kemudian berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2010 tentang Komite Kebijakan Industri
Pertahanan maka secara resmi KKIP terbentuk. Pada awalnya KKIP dibentuk untuk
membahas pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) Revitalisasi Industri
Pertahanan. Sidang pertama KKIP dilaksanakan pada tahun 2010 yang membahas
empat hal yaitu pertama,grand strategi KKIP. Kedua, alat kelengkapan KKIP.
Ketiga, membahas informasi awal tentang rencana pembuatan RUU Revitalisasi
Industri Strategis dan keempat, membahas peningkatan produksi alutsista.157
Strategi umum Komite Kebijakan Industri Pertahanan mempunyai visi dan
misi. Visinya adalah agar terwujudnya industri pertahanan yang maju, mandiri dan
berdaya saing. Misinya adalah untuk merevitalisasikan industri pertahanan nasional
termasuk upaya peningkatan dan pengembangannya. Esensi dari strategi umum
KKIP berupa perumusan formulasi kebijakan yang berpihak kepada industri
pertahanan dalam negeri dan agar adanya pentahapan yang disusun secara
sistematis dalam mewujudkan kemandirian produk unggulan strategis dengan
157 https://nasional.kompas.com/read/2010/04/16/21580988/Pemerintah.Bentuk.KKIP,
diakses pada 15 Maret 2020.
Universitas Sumatera Utara
115
terwujudnya kemampuan desain dan produksi. Dalam sidang ini juga dirumuskan
tugas dan weenang dari KKIP, yaitu :158
1. Merumuskan kebijakan nasional yang bersifat strategis di bidang industri
pertahanan.
2. Mengkordinasikan pelaksanaan dan pengendalian kebijakan nasional
industri pertahanan.
3. Mengkordinasikan kerja sama luar negeri dalam rangka memajukan dan
mengembangkan industri pertahanan.
4. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan industri
pertahanan.
5. Merumuskan kebijakan pendanaan dan atau pembiayaan industri
pertahanan.
6. Merumuskan mekanisme penjualan dan pembelian alutsista hasil industri
pertahanan ked an dari luar negeri.
7. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan industri
pertahanan.
8. Menetapkan kebijakan pemenuhan kebutuhan alat peralatan pertahanan dan
keamanan.
Pasal 3 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2010 menyatakan:
“Perumusan kebijakan nasional yang bersifat strategis di bidang industri
pertahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kebijakan
dalam penelitian, pengembangan dan perekayasaan, pendanaan, strategi
pemasaran, pembinaan, pemberdayaan, peningkatan sumber daya manusia
dan kerja sama luar negeri dalam industri pertahanan”.159
158 Sidang Komite Kebijakan Industri Pertahanan 2010,
https://slidepalayer.info/slide/12376712. Diakses pada 15 Maret 2020.
159 Pasal 3 Ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2010 tentang Komite Kebijakan
Industri pertahanan.
Universitas Sumatera Utara
116
Terkait dengan struktur kepemimpinan berdasarkan Pasal 4 menyatakan
KKIP diketuai oleh Menteri Pertahanan Republik Indonesia diwakili oleh Menteri
Badan Usaha Milik Negara dan anggotanya terdiri dari Menteri Perindustrian,
Menteri Riset dan Teknologi, Panglima Tentara nasional Indonesia dan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia.160
Komite Kebijakan Industri Pertahanan juga melakukan rapat koordinasi
secara berkala secara berkala sekurang-kurangnya satu kali dalam tiga bulan atau
sewaktu-waktu apabila diperlukan.161 Kemudian ketua Komite Kebijakan Industri
Pertahanan wajib melaporkan kepada Presiden setiap perkembangan dan
permasalahan yang ada dalam penyelenggaraan industri pertahanan agar dapat
diambil keputusan untuk upaya peningkatan serta penyelesaian
masalah.162kemudian untuk pembiayaan pelaksanaan tugas dan wewenang dari
KKIP di bebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN).163Setelah pendiriannya, KKIP juga telah merumuskan164 :
1. Pengelompokan industri pertahanan.
2. Kebijakan dasar pengadaan alutsista.
3. Verifikasi kemampuan industri pertahanan.
4. Revitalisasi manajemen industri pertahanan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), dan
5. Progres Rancangan Undang Undang Industri Pertahanan.
160 Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2010 tentang Komite Kebijakan Industri
Pertahanan.
161Ibid, Pasal 7.
162 Ibid, Pasal 9.
163 Ibid, Pasal 10.
164Penjelasan Sekretaris Komite Kebijakan Industri Pertahanan tentang Sidang Industri
Pertahanan. https://slidepalayer.info/slide/12376712. Diakses pada 15 Maret 2020.
Universitas Sumatera Utara
117
ad.1) Pengelompokan Industri pertahanan. terdiri atas165 :
a. Industri Alat Utama, yang berperan sebagai lead integrator untuk
memproduksi alutsista sebagai pabrikan/produsen/manufaktur (BUMNIP)
b. Industri Komponen Utama, yang memproduksi bagian-bagian besar dan
penting dari Alutsista (Industri Pendukung)
c. Industri Komponen Suku Cadang dan atau Nonalutsista, yang berfungsi
sebagai industri penunjang.
d. Industri Bahan Baku, yang memproduksi bahan baku untuk digunakan di
industri alat utama, industri komponen utama dan industri komponen suku
cadang.
ad.2) Kebijakan dasar pengadaan alutsista. Sesuai dengan arahan Presiden dalam
rangka modernisasi alutsista TNI dan Polri, yaitu166 :
a. Mengoptimalkan produk dalam negeri
b. Apabila industri dalam negeri belum mampu, maka pengadan dari luar
negeri dapat dilaksanakan, namun harus diikuti dengan program kerja sama
yang memanfaatkan/memberdayakan industri dalam negeri melalui Joint
Production. Berupa :
a) Produksi atau desain bersama dalam negeri atau luar negeri.
b) Membuat sebagaiannya di luar negeri dan sebagiannya lagi di dalam
negeri.
c) Alih teknologi
c. Disamping Joint production, pengadaan dari luar negeri juga dilaksanakan
dengan mempertimbangkan kemampuan industri pertahanan sampai
dengan tahun 2025 yang ingin dicapai dalam program offset
165 Ibid, hal. 3.
166 Ibid, hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
118
d. Pengadaan luar negeri (produksi atau desain seratus persen dari luar negeri),
semaksimal mungkin menghindari pembelian lepas dengan meminta
kompensasipembelian dibidang non pertahanan.
ad.3) Verifikasi kemampuan industri pertahanan. Bertujuan untuk memperoleh
gambaran jelas tentang kapasitas produksi dari industri pertahanan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan alutsista TNI. Kemudian sasaran yang ingin
dicapai adalah untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kapasitas
manajemen produksi. Kemudian KKIPN mengirimkan tim verifikasi
kapabilitas industri pertahanan untuk melaksanakan penilaian tentang167 :
a) Fasilitas dan kapasitas kemampuan produksi.
b) Kesiapan teknologi dan kompetensi sumber daya manusia.
c) Kinerja keuangan.
d) Prosedur dan metode untuk proses produksi dan pencapaian kualitas
produksi.
ad.4) Revitalisasi manajemen Industri pertahanan Badan Usaha Milik Negara
Industri Pertahanan. Bertujuan untuk meningkatkan kinerja manajemen
industri pertahanan yang sehat dan professional dalam rangka kompetensi
dan kemampuan usaha atau bisnis intinya mampu memenuhi pesanan
alutsista TNI dan Polri. Sasaran yang ingin dicapai adalah terwujudnya
industri pertahanan yang kuat dan berdaya saing. Revitalisasi manajemen
ini dilakukan dengan upaya168 :
a) Tim direksi dan jajarannya dituntut memiliki kepemimpinan yang
mampu mengelola seluruh sumber daya untuk mencapai sasaran,
moral integritas serta professional, memiliki inovasi kreativitas serta
167 Ibid, hal.13.
168 Ibid, hal.17.
Universitas Sumatera Utara
119
visi kedepan, kinerja yang dapat dipertanggung jawabkan dan
dedikasi serta loyalitas kepada organisasi atau industri.
b) Perubahan pengelolaan yang difokuskan pada peningkatan
profesionalisme sumber daya manusia, modernisasi fasilitas
produksi, restrukturisasi manajemen, penyempurnaan proses serta
metode produksi, ketersediaan bahan baku serta jaminan kualitas
hasil produksi dan penguatan sumber pendanaan.
Ad.5) Progres Rancangan Undang-Undang Industri Pertahanan. KKIP juga
menerangkan progress dari undang-undang industri pertahanan untuk
mengirimkan saran dan tanggapan konstruktif untuk konsep Rancangan
Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kementerian
Pertahanan juga memberikan saran berupa konsep Rancangan Undang-
Undang Industri Pertahanan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dan mempersiapkan tim pengawal untuk pendampingan DPR menyusun
Rancangan Undang Undang serta menyusun daftar inventarisasi masalah
(DIM) sebagai langkah antisipasi penyusunan DIM bersama anggota
Dewab Perwakilan Rakyat.169
Setelah berlakunya undang-undang Industri pertahanan, selanjutnya
Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) mempunyai peranan penting untuk
mengawasi, melaksanakan dan merumuskan kebijakan atau peraturan yang
berkaitan dengan revitalisasi industri pertahanan dalam negeri. mengenai struktur
organisasi KKIP pun akan mengalami perubahan karena Menteri Pertahanan akan
menjadi Ketua Harian KKIP dan Ketua Umumnya adalah Presiden selaku pimpinan
tertinggi dalam program pembangunan industri pertahanan, serta pengangkatan
169 Ibid, hal.33.
Universitas Sumatera Utara
120
sekretaris KKIP untuk membantu ketua KKIP dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya.170
B. Berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri
Pertahanan Sebagai Landasan Kebijakan Revitalisasi Industri
Pertahanan
Pendirian dan pelaksanaan kebijakan pembangunan industri pertahanan
oleh Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) pada akhirnya telah melahirkan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan yang
menegaskan komitmen politik legal pemerintah dan para pelaku industri
pertahanan dalam rangka menuju kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan
alutsista modern, berteknologi tinggi dan efesien. Secara legal, undang-undang ini
memberikan kepastian hukum tentang pengembangan industri pertahanan dan
seluruh proses penyelenggaraan serta pihak-pihak yang terlibat didalamnya.
Pemikiran dasar dari undang-undang ini menempatkan industri pertahanan
sebagai industri strategis yang harus dilindungi oleh negara karena industri ini
menempati ranah salah satu pilar utama kedaulatan negara untuk memenuhi
kebutuhan alutsista (weapon system). Kemandirian pemenuhan kebutuhan alutsista
dilihat mempunuyai makna strategis untuk mengurangi ketergantungan pasokan
alutsista yang sering berimplikasi negatif terhadap kemampuan dan kesiapan
operasional Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam menjalankan tugas pokok
pertahanan negara serta dalam independensi Indonesia dalam menyikapi masalah-
masalah politik dalam negeri maupun luar negeri.171 hal ini terkandung dalam
makna pasal 3 Undang-undang Industri Pertahanan.
170 Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 6 Ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2013 tentang
Organisasi, Tata kerja, Sekretariat Komite Kebijakan Industri Pertahanan.
171 Andi Widjajanto, Edy Prasetyono dan Makmur keliat, Dinamika Persenjataan dan
Revitalisasi Industri Pertahanan, (Jakarta : UI Pers, 2012), hal. 47.
Universitas Sumatera Utara
121
Industri pertahanan juga strategis karena memberikan efek tangkal
(deterrence effect) bagi Indonesia dalam interaksi strategis dengan negara-negatra
lain. Oleh karena itu industri pertahanan menjadi unsur penting kekuatan nasional
terutama kekuatan militer. Secara operasional, kemampuan untuk membuat
alutsista kemampuan membuat alutsista menjadikan Indonesia mempunyai
kekuatan yang secara terus menerus dapat menopang kemampuan operasional
militer. Akan tetapi yang penting adalah bagaimana Indonesia dapat menghasilkan
alutsista yang mempunyai keunggulan-keunggulan khusus. Hal ini tentunya
menuntut kapasitas teknologi yang inovatif dan kemapuan membaca
kecenderungan persaingan strategis dimasa yang akan datang. Dengan demikian
pembangunan industri pertahanan Indonesia harus berbasis teknologi tinggi dengan
penekanan pada keunggulan inovatif. sistem persenjatan yang dapat dipenuhi atau
tersedia secara terbuka melalui mekanisme pasar internasional atau kerja sama
dengan negara lain tidak akan memberikan keuntungan deterrence (pencegahan)
bagi Indonesia. Karena kemapuan ini sudah diketahui oleh negara lain dan secara
ekonomi tidak efesien bagi Indonesia dalam memproduksi alutsista tersebut karena
sudah tersedia di pasar.172 Peningkatan kemampuan penelitian, pengembangan dan
perekayasaan teknolgi ini terkandung dalam Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-undang
Industri Pertahanan.
Makna ekonomi industri pertahanan juga dilihat dari kemampuannya untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.173
Pembangunan industri pertahanan diharapkan dapat memacu industri industri
strategis dan pendukung lainnya dalam meningkatkan kapasitas produk bahan baku
172 Ibid, hal. 48.
173 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Universitas Sumatera Utara
122
yang dibutuhkan industri pertahanan sehingga menghasilkan roda perputaran
ekonomi dan peningkatan penyerapan kebutuhan pekerja yang berdampak pada
pembukaan lowongan kerja bagi masyarakat Indonesia. Kemandirian produksi
alutsista juga akan menguntungkan secara ekonomi karena perputaran uang akan
bertahan didalam negeri. Pada akhirnya makna strategis industri pertahanan akan
meningkatkan posisi tawar (bargaining power) Indonesia. Karena terjadinya
pengurangan atau ketergantungan pasokan produk dari luar negeri, maka Indonesia
mempunyai keleluasaan dalam menyikapi berbagai masalah internasional yang
terkait dengan kepentingan negara.174
Ketiga makna strategis dari peraturan industri pertahanan tersebut
mensyaratkan adanya perlindungan negara terhadap industri pertahanan yang
dikembangkan oleh Indonesia. Urgensi perlindungan negara menjadi lebih kuat
karena sebagian besar industri pertahanan Indonesia pada awal disahkannya
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri pertahanan ini masih
berada dalam taraf Infant Industry (bayi industri) yang memerlukan berbagai
macam perlakuan khusus untuk bisa tumbuh berkembang dan bersaing dengan
industri pertahanan negara-negara lain. Argumentasi ini memberi arah agar regulasi
tentang industri pertahanan menekankan kepada kewajiban negara memberikan
perlindungan yang mencakup finansial, pembiayaan penelitian, perlindungan pasar,
serta konsistensi kebijakan pemerintah dan implementasinya dalam
mengembangan industri pertahanan.175
Pengaturan fasilitas finansial perlu ditegaskan dalam peraturan industri
pertahanan yang dalam implementasinya bisa dalam berbagai bentuk mekanisme
174 Andi Widjajanto, Edy Prasetyono dan Makmur keliat, Op.Cit. hal. 50.
175 Ibid, hal. 49.
Universitas Sumatera Utara
123
pendanaan. Salah satunya adalah penyertaan modal pemerintah, penjaminan
perbankan dan lain-lain. Penyertaan modal pemerintah ini sudah diatur dalam Pasal
51 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, yaitu176 :
1) Pemerintah melakukan penyertaan modal untuk pembangunan dan
peningkatan kapasitas produksi Industri Pertahanan.
2) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
kepada Industri Pertahanan milik negara.
3) Penyertaan modal Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan kebijakan Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 huruf a, huruf b, dan huruf g.
4) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk penjaminan perbankan dari pemerintah juga sudah diatur dalam
Pasal 62 Undang-undang Industri Pertahanan, yaitu177 :
1) Pemerintah memberikan jaminan kepada perbankan dan lembaga
keuangan lain yang mendukung pembiayaan pengembangan dan
pemanfaatan Industri Pertahanan.
2) Pemerintah memberikan preferensi harga terhadap biaya kemahalan
atas produk yang dihasilkan Industri Pertahanan dalam rangka
mewujudkan kemandirian Industri Pertahanan.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penjaminan dan preferensi harga oleh
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Presiden.
Fasilitas finansial ini juga harus diarahkan untuk memberikan dana untuk
pembiayaan penelitian untuk pengembangan industri pertahanan, baik penelitian
dasar (basic research) maupun penelitian terapan (applied research). Terkait
176 Pasal 51 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan
177 Ibid. Pasal 62.
Universitas Sumatera Utara
124
dukungan dan pembiayaan penelitian ini juga diatur dalam Pasal 31 peraturan
industri pertahanan, yaitu178
Dalam rangka penelitian dan pengembangan serta perekayasaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), Pemerintah:
a. membangun fasilitas khusus pendukung Industri Pertahanan.
b. menyediakan fasilitas program pendidikan dan pelatihan khusus
peningkatan mutu sumber daya manusia Industri Pertahanan; dan/atau
c. menyediakan anggaran untuk penelitian dan perekayasaan.
Bentuk perlindungan lain yang diberikan negara yang diatur dalam undang-
undang industri pertahanan adalah perlindungan pasar. Undnag-undang industri
pertahanan mengatur secara tegas bahwa jaminan produk dari industri pertahanan
akan dipakai untuk penggunaan dalam negeri. hal ini terdapat dalam Pasal 53
undang-undang industri pertahanan, yaitu179 :
1) Pemasaran Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dilaksanakan
bersama-sama oleh Industri Pertahanan dan Pemerintah.
2) Pemasaran produk Industri Pertahanan diutamakan untuk memenuhi
kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dalam negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a.
Oleh karena itu sejak awal pengguna dari produk alutsista juga dilibatkan
dalam pembangunan industri pertahanan. Pengguna (TNI dan Polri) di ikutkan
dalam setiap uji coba produk baru dari industri pertahanan terutama terkait dengan
spesifikasi yang dibutuhkan. Proses ini bertujuan agar tidak ada alasan untuk tidak
menggunakan alutsista produk dari industri pertahanan dalam negeri.180
Industri pertahanan yang berbasis teknologi tinggi mensyaratkan adanya
perlindungan bagi sumber daya manusia yang unggul dan inovatif. terutama yang
178 Ibid. pasal 31.
179 Ibid. Pasal 53.
180 Andi Widjajanto, Edy Prasetyono dan Makmur keliat, Op.Cit. hal. 50.
Universitas Sumatera Utara
125
sifatnya penting untuk memajukan industri pertahanan dalam negeri. perlindungan
bagi sumber daya manusia yang inovatif dapat berupa memberikan insentif bagi
tenaga-tenaga ahli dan juga berbagai kemudahan. Hal ini dilakukan agar mereka
tidak keluar dari program pembangunan industri pertahanan.181 Insentif terhadap
sumber daya manusia yang terkait dalam pembangunan industri pertahanan juga
sudah diatur secara umum dalam Pasal 32 Ayat 2 undang-undang industri
pertahanan, yang berbunyi “Penyiapan sumber daya manusia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi rekrutmen, pendidikan, pelatihan, magang, dan
imbalan”.182
Salah satu kunci pengembangan industri pertahanan adalah konsistensi dari
peran dan tanggung jawab negara dalam perumusan, perencanaan, pelaksanaan,
pengendalian, sinkronisasi dan evaluasi industri pertahanan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Hal ini menegaskan bahwa industri pertahanan yang saat
ini sedang dikembangkan mensyaratkan adanya peran dan komitmen besar dari
negara. Semua peran dan komitmen dari negara ini diwujudkan dalam bentuk
Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) yang sebelumnya sudah berdiri
terlebih dahulu.
C. Regulasi Ofset Untuk Memperoleh Alih Teknologi Alutsista Dari Luar
Negeri Dalam Kaitannya Dengan Proses Pembangunan Industri
Pertahanan Nasional
1. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2014 Tentang Mekanisme
Imbal Dagang Dalam Pengadaan Alat Pertahanan Dan Keamanan
Dari Luar Negeri
Undang-Undang Industri Pertahanan mengedepankan untuk
mengutamakan penggunaan produk industri pertahanan dalam negeri dan
181 Ibid. hal. 51.
182 Pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Universitas Sumatera Utara
126
menjabarkan kebijakan untuk industri pertahanan. Akan tetapi undang-undang
industri pertahanan juga memperbolehkan pengadaan produk alutsista dari luar
negeri sesuai dengan Pasal 43 Ayat 3 peraturan industri pertahanan, yaitu “Dalam
hal Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dalam negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) belum dapat dipenuhi oleh Industri Pertahanan, Pengguna dan Industri
Pertahanan dapat mengusulkan kepada KKIP untuk menggunakan produk luar
negeri dengan pengadaan melalui proses langsung antarpemerintah atau kepada
pabrikan”Kemudian pengadaan alat peralatan pertahanan dan kamanan produk luar
negeri sebagaimana dimaksud pada ayat diatas harus memenuhi beberapa
persyaratan, salah satunya dalam Pasal 43 Ayat 5 huruf (e), yaitu “adanya imbal
dagang, kandungan lokal dan/atau ofset paling rendah 85% (delapan puluh lima
persen)”.
Pengaturan imbal dagang dan ofset diatur dalam peraturan pemerintah.
Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2014 tentang Mekanisme Imbal Dagang
dalam Pengadaan Alat Pertahanan dan Keamanan menjabarkan kerangka imbal
dagang dan pelaksanaan ofset pertahanan (defence offset). Ofset merupakan suatu
pengaturan dimana sebagian dari nilai kontrak pembelian alpalhankam tersebut
dikembalikan kepada pembeli/ pemerintah Indonesia.183 Alpalhankam184 adalah
segala alat perlengkapan TNI dan Polri untuk mendukung pertahanan negara serta
keamanan dan ketertiban masyarakat, dimana untuk peralatan utama TNI sering
disebut sebagai alat utama sistem senjata (alutsista). Peraturan Menteri Pertahanan
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pengadaan Alat Utama Sistem Senjata
di Lingkungan Kementerian Pertahanan / Tentara Nasional Indonesia mengatur
183 Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2014 tentang Mekanisme Imbal Dagang
dalam Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Dari Luar Negeri.
184 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan
Universitas Sumatera Utara
127
pelaksanaan pengadaan serta tugas pokok dan fungsi organisasi pengadaan
alutsista. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2014, Pasal 14 menyebutkan:
1) Pengadaan Alpalhankam dari luar negeri harus memenuhi besaran ofset
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).185
2) Ofset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam
bentuk:
a. Kegiatan yang berkaitan langsung dengan alpalhankam yang dibeli.
b. Kegiatan yang tidak berkaitan langsung dengan alpalhankam yang
dibeli.
Pasal 15 ayat (2) memaparkan ketentuan komponen ofset meliputi sebagai
berikut:
1. Perawatan dan pemeliharaan.
2. Overhaul, refurbishment, dan modifikasi.
3. Retrofit dan upgrade.
4. Produksi berdasarkan lisensi.
5. Saham patungan.
6. Beli kembali.
7. Produksi bersama.
8. Subkontrak.
9. Pengembangan kompetensi pada penelitian dan pengembangan.
10. Pengembangan bersama.
11. Alih teknologi.
185 Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2014 Pasal 5 ayat (1) berbunyi: Besaran
Kewajiban Imbal Dagang, Kandungan Lokal, dan/atau Ofset paling rendah 85% (delapan puluh
lima persen) dari nilai kontrak. (2) berbunyi: Besaran kewajiban Kandungan Lokal dan/atau Ofset
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling rendah 35% (tiga puluh lima persen) dari nilai kontrak
dengan peningkatan 10% (sepuluh persen) setiap 5 (lima) tahun.
Universitas Sumatera Utara
128
12. Alih kompetensi melalui penelitian dan pendidikan.
13. Pengembangan pemasaran produk industri pertahanan.
14. Investasi untuk industri manufaktur.
Pengadaan alpalhankam dari luar negeri harus memenuhi besaran ofset
(pengembalian nilai kontrak), yang dapat diberikan dalam bentuk kegiatan yang
berkaitan langsung ataupun yang tidak berkaitan langsung dengan pembelian
tersebut. Termasuk dalam komponen ofset adalah “saham patungan”, dan
“investasi industri manufaktur,” dimana penanaman modal dari luar negeri
diharapkan dapat mengembalikan sebagian nilai kontrak dalam bentuk industri,
baik industri pertahanan maupun industri manufaktur lainnya di dalam negeri,
kepada Pemerintah yang diterima oleh pemodal dalam negeri, baik BUMN, swasta,
maupun BUMN dan swasta sebagai mitra usaha pemodal asing dalam JV.
Kepastian hukum tentang adanya manfaat ekonomi dari ofset dan ketaatan pada
komitmen dalam proses ofset ini menjadi hal yang menarik bagi pabrikan luar dan
dalam negeri untuk berinvestasi di industri pertahanan.186
Dalam kaitannya dengan kerangka imbal dagang tersebut, dapat diberikan
ilustrasi sebagai berikut: Pemerintah dengan mempertimbangkan kemampuan
teknologi dan kapasitas galangan komersial di dalam negeri merencanakan untuk
membangun kapal induk melalui mekanisme akuisisi pertahanan (defence
acquisition).187 Kementerian Pertahanan sebagai wakil pemerintah dalam kaitan ini
bertugas mengundang beberapa galangan asing yang berpengalaman untuk
186 Hendrik Untung, Hukum Investasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) hal.48.
187 Sylvia, “Ofset Pertahanan dalam Kerangka Pasal 1320 KUH Perdata: Analisa
Implementasi Pasal 43 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012”, Tesis pada Program Magister
Hukum, Universitas Gadjah Mada, 2014. Hal. 85.
Universitas Sumatera Utara
129
memberikan proposal penawaran kapal induk dengan komponen ofset berupa
investasi. Dalam proposal tersebut, galangan asing menawarkan kapal induk dan
akan mengalokasikan sebagian nilai kontrak yang akan dikembalikan kepada
pemerintah berupa komitmen investasi, baik dalam bentuk saham patungan,
investasi industri pertahanan, maupun investasi industri manufaktur. Kementerian
Pertahanan melakukan evaluasi proposal sesuai peraturan pengadaan barang dan
jasa pemerintah, memilih proposal terbaik, dan membuat kontrak pengadaan
dengan galangan asing tersebut. Pola ofset pertahanan telah banyak dipakai, seperti
di Brazil, Turki, Korea Selatan, Afrika selatan, dan lain-lain188, dan dapat
dilaksanakan dengan tata kelola industri yang baik. Indonesia diharapkan kelak
akan dapat memiliki industri pertahanan yang maju dengan penerapan ofset
pertahanan sejenis.
Perlu diketahui bahwa terdapat dua jenis ofset yakni: ofset langsung atau
direct offset dan ofset tidak langsung atau indirect offset. Ofset langsung diartikan
sebagai barang barang atau jasa yang langsung terkait dengan peralatan militer yang
dijual. Direct offset ini ada tiga jenis yakni: Pertama, pembelian lisensi produksi
(licensed production), dimana pengertiannya adalah penjual persenjataan setuju
untuk mentransfer tekhnologi yang dimilikinya kepada negara pembeli. Sehingga,
keseluruhan atau sebagian barang yang dipesannya dapat diproduksi di negara
pembeli. Kedua, produksi bersama (co-production), pengertian dari produksi
bersama ini adalah bahwa pembeli dan penjual tidak hanya mengupayakan
pengadaan barangbarang militer saja, melainkan juga penjual bersama-sama
pembeli berupaya membuat barang-barang dan jasa peralatan militer, dan
memasarkannya bersama-sama dengan memperhatikan berbagai kesepakatan dari
188 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
130
perjanjian tersebut. Dengan bahasa lain, negara pembeli merupakan mitra dari
negara penjual, dan dalam hal ini tidak ada keharusan dari negara penjual untuk
melakukan transfer tekhnologi kepada negara penjual. Ketiga, pengembangan
bersama (co-development). Dalam pengembangan bersama, negara produsen
peralatan persenjataan dengan negara pembeli berupaya mengembangkan berbagai
peralatan pertahanan yang telah diproduksi oleh negara penjual, dengan harapan
akan didapat produk yang lebih baik dari produk terdahulu. Keuntungan dari co-
development adalah negara pembeli secara aktif mengadopsi serta menstranfer
berbagai tekhnologi persenjataan secara langsung maupun tidak langsung, sehingga
secara bertahap peningkatan kemampuan sumber daya manusia di negara pembeli
dapat terukur dengan baik.189
Sementara itu indirect offset diartikan sebagai barang dan jasa yang tidak
secara langsung terkait dengan pembelian-pembelian produk militer,namun
dilekatkan sebagai kesepakatan dalam proses jual beli peralatan militer dan
pertahanan. Setidaknya ada empat jenis offset tidak langsung, yakni: pertama,
barter (barter), yakni suatu proses jual-beli yang dilakukan dua negara atau
produsen dan konsumen persenjataan, yang diiringi dengan perjanjian bahwa
penjual perlatan pertahanan tersebut bersedia dibayar dengan produk nonmiliter
negara pembeli dengan nominal setara dengan harga peralatan pertahanan. Kedua,
imbal beli (counter-purchase), yakni pemasok persenjataan setuju membeli produk
non-militer atau menemukan pembeli produk non-militer tersebut dengan nominal
yang disepakati dari harga persenjataan yang dipasok. Ketiga, imbal investasi
(counter-investment), yakni pemasok persenjataan setuju untuk terlibat atau
189 Andi Widjajanto dan Makmur Keliat, Research: Indonesia’s Defense Economy Reform,
(Jakarta: UI Pers, 2006),hal. 49.
Universitas Sumatera Utara
131
menemukan pihak ketiga yang mau menanamkan modal langsung di negara
pembeli dengan nilai tertentu dari proses jual-beli tersebut. Bentuk imbal investasi
dapat berbentuk pendirian pabrik, transfer tekhnologi non-militer, dan lain
sebagainya. Keempat, imbal beli (buy back), yakni prosesnya agak mirip dengan
imbal investasi, hanya yang membedakan pada pemasok persenjataan setuju
membeli kembali atau menemukan pihak ketiga untuk membeli produk militer
yang jualnya dengan jangka waktu tertentu.190
Pemerintah Indonesia dalam pengadaan alutsista asing yang disertai alih
teknologi dalam prakteknya mempergunakan kedua jenis ofset diatas (direct offset
dan indirect offset) akan tetapi ofset secara langsung yang banyak dipergunakan
oleh pemerintah dan memberikan dampak besar pada revitalisasi industri
pertahanan dalam negeri. banyak contoh produk ofset secara langsung yang
dilakukan dan dihasilkan oleh pemerintah seperti kendaraan taktis APS-3 Anoa
(Angkut Personel Sedang), Medium Tank Harimau, Kapal Selam Chengbodo,
Pesawat CN-235, Senapan Serbu SS1, dan lain-lain.dalam melakukan ofset secara
langsung pemerintah juga sudah menetapkan besar nya kandungan lokal yang harus
bisa dipenuhi dalam proses alih teknologi, yaitu191 :
1) Besaran kewajiban Imbal Dagang, Kandungan Lokal, dan/atau Ofset
paling rendah 85% (delapan puluh lima persen) dari nilai kontrak.
2) Besaran kewajiban Kandungan Lokal dan/atau Ofset sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling rendah 35% (tiga puluh lima persen) dari
nilai kontrak dengan peningkatan 10% (sepuluh persen) setiap 5 (lima)
tahun.
190 Ibid,hal. 50.
191 Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2014 tentang Mekanisme Imbal Dagang
dalam Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Dari Luar Negeri.
Universitas Sumatera Utara
132
Perlu diketahui bahwa kandungan lokal merupakan bahan atau produk yang
dimiliki perseorangan atau perusahaan milik dalam negeri. jadi berdasarkan
ketentuan peraturan pemerintah, harus dipahami bahwa alih teknologi melibatkan
produk atau bahan baku yang berasal dari dalam negeri dan setiap lima tahun harus
ada peningkatan kadar kandungan lokal dalam komponen-komponen produksi
alutsista hasil dari alih teknologi asing. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan
kemandirian dari industri dalam negeri secara bertahap. Kandungan lokal dalam
produk alutsista terdiri dari berbagai macam, Pasal 12 Ayat (2) membaginya
menjadi beberapa jenis yaitu192:
a. Rancang bangun
b. Perekayasaan
c. hak atas kekayaan intelektual
d. bahan baku
e. biaya sarana dan prasarana
f. pendidikan dan pelatihan
g. biaya tenaga kerja, dan/atau
h. pelayanan purna jual.
Kemudian dalam menentukan besarnya nilai kandungan lokal yang
dipenuhi dalam setiap produk alih teknologi juga sudah ditentukan Pasal 18 ayat
(2),yaitu berdasarkan193:
a. arah kemandirian dan daya saing Industri Pertahanan
b. kemampuan Industri Pertahanan
c. kebutuhan Alpalhankam
d. kemampuan teknologi, rancang bangun, dan rekayasa
e. kemampuan sumber daya manusia
f. ketersediaan sarana dan prasarana
192 Pasal 12 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2014 tentang Mekanisme
Imbal Dagang dalam Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Dari Luar Negeri.
193 Ibid,Pasal 18 Ayat 2.
Universitas Sumatera Utara
133
g. pengembangan pemasaran, dan/atau
h. dampak terhadap perekonomian nasional.
Skema ofset yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun
2014 tentang Mekanisme Imbal Dagang dalam Pengadaan Alat Peralatan
Pertahanan dan Keamanan Dari Luar Negeri. dengan adanya peraturan tersebut
diharapkan memberikan manfaat untuk meningkatkan peluang alih teknologi,
memberikan arah yang jelas dalam bentuk program nasional yang terstruktur dan
peningkatan kapasitas industri dalam pengembangan industri pertahanan.
2. Peranan Pemerintah Terhadap Riset Dan Pengembangan Teknologi
Industri Pertahanan
Berbeda dengan sektor industri yang lain, peran pemerintah dalam sektor
industri pertahanan tidak dapat dipandang sebelah mata. Hal ini dikarenakan
pemerintah perlu menetapkan model pembangunan industri yang berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan pertahanan dalam negeri serta memiliki pusat pengetahuan
yang berpijak dan berorientasi pada kemampuan nasional.. dengan kata lain
kemandirian industri pertahanan hanya mungkin tercapai jika suatu negara juga
memobilisasi sumber daya nasional yang dimilikinya, dari bahan mentah bernilai
tinggi hingga tenaga kerja yang terdidik untuk membangun pusat riset dan
pengembangan teknologi nasional.
Pemerintah juga sudah menyadari bahwa peningkatan kemampuan dan
penguasaan teknologi industri pertahanan harus dilakukan melalui aktivitas
penelitian dan pengembangan (Research and Development/ R&D) serta
perekayasaan. Aktivitas penelitian dan pengembangan juga menjadi syarat mutlak
menuju kemandirian pertahanan serta kemampuan merspon perkembangan
teknologi pertahanan dan keamanan. Namun ada yang patut ditekankan dalam
Universitas Sumatera Utara
134
menetapkan pemerintah sebagai pihak penting dalam pembangunan pusat riset dan
pengembangan teknologi untuk kebutuhan industri pertahanan.
Pemerintah pada dasarnya bukanlah pihak yang secara terpusat dapat
menerepkan metode atas-bawah (Top-Down) dalam mengarahkan bentuk dari
model pembangunan pusat riset tersebut. Riset dan pengembangan teknologi adalah
sistem yang ditopang oleh banyak subsistem. Masing-masing subsistem tersebut
memiliki kompetensi inti dan mesti dikelola berdasarkan fungsi instrumental dan
strategis subsistem tersebut bagi produksi peralatan militer. Sebuah sistem integrasi
yang baik sudah seharusnya memiliki mekanisme untuk hadirnya proses dialog,
klarifikasi, bahkan koreksi dua arah antar-subsistem mengenai proyek yang sedang
atau akan dikerjakan. Dalam konteks pengelolaan sistem terintegrasi tersebut, aktor
industri pertahanan dapat diklasifikasikan berdasarkan peran strategisnya yaitu
pemerintah dan swasta. Akan tetapi dalam konteks ini hanya akan diterangkan
peran strategis pemerintah saja. Pemerintah dalam pengertian luas, yaitu mencakup
lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pemerintah adalah suatu sistem yang
memiliki mekanisme kerja serta koordinasi tersendiri berbeda dengan aktor privat.
Lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif merupakan pranata pemerintahan yang
memiliki legitimasi politik dan hukum untuk menetapkan arah kebijakan negara,
baik pada arah nasional maupun internasional.194Secara normatif, diantara ketiga
lembaga negara itu berlangsung proses pembagian kekuasaan dan saling koreksi.
Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial yang memberikan
wewenang kepada Presiden untuk menentapkan dan melaksanakan kebijakan
pertahanan negara. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara menyatakan bahwa Presiden memiliki wewenang dan tanggung jawab
194 Silmy Karim, Op.Cit. hal.323.
Universitas Sumatera Utara
135
untuk mengelola sistem pertahanan negara, yaitu menetapkan kebijakan umum
pertahanan negara sebagai acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, dan
pengawasan sistem pertahanan negara.195
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 menyatakan presiden
dibantu oleh Menteri Pertahanan dalam merumuskan kebijakan umum pertahanan
negara. Yakni Menteri “menetapkan kebijakan penganggaran, pengadaan,
perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional, serta pembinaan teknologi dan
industri pertahanan yang diperlukan oleh Tentara Nasional Indonesia dan
komponen pertahanan lainnya”.196Sehingga dalam melaksanakan tugasnya
tersebut, menteri pertahanan diberikan amanat untuk “bekerja sama dengan
pimpinan departemen dan instansi pemerintah lainnya serta menyusun dan
melaksanakan perencanaan strategis pengelolaan sumber daya nasional untuk
kepentingan pertahanan”.197 Dengan jelas, Undang-Undang Pertahanan Negara
memberikan pedoman bagi pemerintah bahwa penelitian dan pengembangan
industri dan teknologi di bidang pertahanan merupakan syarat penting bagi
peningkatan kemampuan pertahanan negara.198 Dalam prakteknya upaya
pemenuhan syarat tersebut mesti tampak pada kegiatan Menteri Pertahanan dalam
mendorong serta memajukan pertumbuhan industri pertahanan dalam negeri, baik
melalui kegiatan promosi maupun pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.199
195 Pasal 13 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara.
196 Ibid. Pasal 16 ayat 6.
197 Ibid. Ayat 2.
198 Ibid, Pasal 23 ayat 1.
199 Ibid, Ayat 2 dan Penjelasan.
Universitas Sumatera Utara
136
Mempertegas apa yang telah tertera dalam Undang-Undang Pertahanan
Negara, dalam Undang-Undang Nomo 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia menyatakan bahwa Kementerian Pertahanan memegang kendali atas
“segala sesuatu yang berkaitan dengan perencanaan strategis yang meliputi aspek
pengelolaan pertahanan negara, kebijakan penganggaran, pengadaan, perekkrutan,
pengelolaan sumber daya nasional, serta pembinaan teknologi industri pertahanan
yang diperlukan oleh TNI dan komponen pertahanan lainnya”.200 Berdasarkan
Undang-Undang Pertahanan Negara dan Undang-Undang TNI , tampak bahwa
Kementerian Pertahanan adalah pusat dari penentuan pengelolaan sistem
pertahanan negara secara umum, termasuk mengenai riset dan pengembangan
industri serta teknologi pertahanan. Dalam strukturnya, Kementerian Pertahanan
memiliki Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), yang secara normatif
memiliki empat fungsi:201
1. Penyusunan kebijakan teknis,rencana dan program di bidang penelitian
dan pengembangan pertahanan.
2. Pelaksanaan tugas di bidang penelitian dan pengembangan pertahanan
yang meliputi strategi,sumber daya,ilmu pengetahuan dan teknologi,
dan alat peralatan negara.
3. Pemantauan ,evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas di bidang
penelitian dan pengembangan pertahanan.
4. Pelaksanaan administrasi Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertahanan.
200 Pasal 3 Ayat 2 dan Penjelasan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia.
201 Pasal 781 Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 16 Tahun 2010 tentanhg Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Pertahanan.
Universitas Sumatera Utara
137
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan juga
mengatur bahwa industri pertahanan diminta untuk menyediakan paling rendah lima persen
dari laba bersih untuk kepentingan penelitian dan pengembangan di bidang pertahanan.
Anggaran penelitian dan pengembangan ini dapat dapat dibebankan sebagai komponen
biaya oleh industri pertahanan. Tapi ini bukan berarti beban utama untuk menggenjot
aktivitas penelitian dan pengembangan terletak dipundak industri pertahanan. Undang-
undang juga menegaskan pelaksanaan penelitian dan pengembangan serta perekayasaan
dilakukan juga oleh perguruan tinggi, institusi penelitian dan pengembangan, baik
lembaga pemerintahmaupun swasta nasional, TNI/Polri serta lembaga negara lainnya
sebagai pengguna, dan industri pertahanan sendiri. Untuk itu diperlukan langkah
menyinergikan aktivitas dan pendanaan untuk lembaga lainnya.202
Untuk mencapai kemandirian dan kemajuan riset, balitbang Kementerian
Pertahanan harus bekerja sama denganBalitbang Angkatan Darat, Angkatan Laut dan
Angkatan Udara, Universitas, serta kalangan bisnis professional atau industri. Sesuai
dengan Peraturan Menteri Pertahanan, Balitbang Kementerian Pertahanan dapat menjadi
coordinator bagi aktor lain dalam menetapkan pedoman umum dan sasaran strategis dari
kegiatan riset dan pengembangan teknologi. Balitbang angkatan memberikan saran dan
masukan tentang produk dan teknologi yang dibutuhkan personel di lapangan serta
proyeksi atas kebutuhan di masa depan. Selanjutnya kelangan universitas menerjemahkan
pedoman, sasaran strategis dan permintaan tersebut dalam kegiatan penelitian yang jelas,
terukur, serta konkret. Hasil penelitian tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan membuat
rancang bangun awal atau prototipe.203
Lembaga negara lain yang tidak dapat di kesampingkan dalam konteks riset
teknologi pertahanan adalah Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). Komite ini
bertugas merumuskan dan mengoordinasi pelaksanaan, pengendalian, pemantauan dan
202 Pasal 28 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
203 Silmy Karim. Op.Cit, hal. 329.
Universitas Sumatera Utara
138
evaluasi atas kebijakan nasional di bidang industri pertahanan, serta mengoordinasikan
kerja sama luar negeri. Komite industri pertahanan juga merumuskan kebijakan nasional
industri pertahanan dalam bidang penelitian, pengembangan, perekayasaan, pendanaan,
strategi pemasaran, pembinaan, pemberdayaan, peningkatan sumber daya menusia dan
kerja sama luar negeri.204 Posisi Komite Kebijakan Industri Pertahanan juga semakin kuat
dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan
dan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2013 tentang Organisasi, Tata kerja, dan
Sekretariat Komite Kebijakan Industri Pertahanan. Selanjutnya , pemerintah juga
bertanggung jawab dalam membangun fasilitas khusus pendukung industri pertahanan,
menyediakan fasilitas program pendidikan dan pelatihan khusus untuk peningkatan mutu
sumber daya manusia di industri pertahanan, serta menyediakan anggaran untuk penelitian
dan perekayasaan.205
Tampak jelas bahwa pemerintah menyadari pentingnya pembangunan kapasitas
riset nasional dalam teknologi pertahanan. Kesadaran itu harus ditindak lanjuti dengan
kebijakan yang konkret, hasil yang terukur, serta kerja sama strategis bersama komponen
nasional lain. Komitmen untuk mengalokasikan lima persen dari profit perusahaan
pertahanan bagi kerja riset serta pengembangan teknologi harus selalu dijaga. Karena riset
dan pengembangan merupakan investasi jangka panjang. Kemudian selain membuat dan
memiliki teknologi sendiri, Indonesia pun dapat menempatkan diri dalam persaingan dunia
industri pertahanan global , bukan hanya sebagai konsumen tetapi dapat menjadi produsen
utama. Dengan mendapatkan posisi tersebut maka akan meningkatkan status Indonesia
dalam industri pertahanan global yang akan berkolerasi dengan pertumbuhan ekonomi
nasional.
204 Pasal 3 Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2010 tentang Komite Kebijakan Industri
Pertahanan.
205 Ibid, Pasal 31.
Universitas Sumatera Utara
139
D. Analisis Efektifitas Regulasi Revitalisasi Industri Pertahanan Nasional
Melalui Alih Teknologi Pengadaan Alutsista Dari Luar Negeri negeri
Menentukan efektifitas dari suatu regulasi memiliki keanekaragaman dalam
hal indikator206 penilaian tingkat efektifitas, sehingga hal ini terkadang mempersulit
penelaahan terhadap suatu penelitian. Akan tetapi secara umum efektifitas suatu hal
dapat dipahami sebagai keberhasilan dalam pencapaian target atau tujuan yang
ditetapkan. Mengutip dari Soerjono Soekanto, efektivitas hukum adalah efektif atau
tidaknya suatu hukum yang ditentukan oleh lima faktor yaitu hukum, penegak
hukum, sarana, masyarakat dan kebudayaan.207 Dalam pembangunan industri
pertahanan dalam negeri, faktor yang dijadikan landasan efektifitas hukumnya
adalah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan alih teknologi alutsista.
Berangkat dari pemahaman umum tersebut efektifitas dari suatu hal adalah
pencapaian target dan tujuan. Maka efektifitas dari peraturan perundang-undangan
diukur dari tujuan dan pencapaian yang ingin di dapatkan dari pembentukan
undang-undang yang menjadi landasan dilakukannya revitalisasi industri
pertahanan melalui alih teknologi alutsista, yaitu tujuan dari Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Di mana tujuan dari peraturan
tersebut terdapat dalam Pasal 3, yaitu :
a. mewujudkan Industri Pertahanan yang profesional, efektif, efisien,
terintegrasi, dan inovatif;
b. mewujudkan kemandirian pemenuhan Alat Peralatan Pertahanan dan
Keamanan; dan
206 Menurut Lawrence Green (1992), indikator adalah variable-variabel yang bisa
menunjukkan ataupun mengindikasikan kepada penggunanya mengenai sesuatu kondisi tertentu,
sehingga bisa dipakai untuk mengukur perubahan yang terjadi.
207 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
140
c. meningkatkan kemampuan memproduksi Alat Peralatan Pertahanan dan
Keamanan, dalam rangka membangun kekuatan pertahanan dan keamanan
yang andal.
Oleh karena itu tujuan dari undang-undang industri pertahanan dijadikan
indikator efektif atau tidaknya suatu perundang-undangan dalam alih teknologi
alutsista.
Indikator pertama, mewujudkan industri pertahanan yang efektif,
terintegrasi dan inovatif.208 Alih teknologi yang dilakukan oleh pemerintah dalam
pengadaan alutsista dari luar negeri di maksudkan untuk menciptakan percepatan
inovasi teknologi produk industri pertahanan dalam negeri. oleh karena itu
pemerintah Indonesia turut serta menjadi aktor utama dalam mendukung
pengembangan riset dan teknologi alutsista. Berbicara tentang peranan negara
dalam riset dan teknologi akan lebih tajam pisau analisisnya jika dilihat dari
seberapa besar dana dan juga perhatian dari pemerintah. Respon penyelenggara
negara ini bisa di lihat dari perspektif lintas sektor yang ada dalam berbagai
lembaga negara atau pada khususnya untuk pengembangan industri pertahanan
semata. Peneliti industri pertahanan, Renelle Guichard dalam makalahnya “Dual-
Use Policies in The French and European Perspectives”, mengemukakan hal
menarik terkait dengan riset dan teknologi industri pertahanan di suatu negara, yaitu
“besaran belanja negara untuk kegiatan riset dan teknologi militer merefleksikan
pilihan kebijakan pertahanan dan aliansi yang akan dibangun. Pilihan ini juga
mempengaruhi kebijakan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
nasional”.209 Ulasan dari Guichard tersebut menunjukkan pesan penting dari posisi
kunci riset dan teknologi untuk suatu negara. Pada konteks kemandirian industri
209 Silmy Karim, Op.Cit. hal. 359.
Universitas Sumatera Utara
141
pertahanan, pokok pikiran tersebut bisa juga diterjemahkan sebagai fokus perhatian
pemerintah agar pengembangan riset dan teknologi pertahanannya dapat dilakukan
secara optimal. Optimal di sini merujuk pada komitmen yang lahir dari pemerintah
sebagai penyelenggara negara untuk membiayai kegiatan pengembangan riset dan
pengembangan teknologi dalam pembangunan industri pertahanan.
Besaran dana pembiayaan riset dan pengembangan Indonesia bila
dibandingkan ke produk domestik bruto (R&D Compare to GDP) menurut
UNESCO210 pada tahun 2009, Indonesia hanya menduduki peringkat ke 107
dengan nilai 0,08 % dari produk domestik bruto (PDB) kemudian setelah Undang-
Undang Nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan disahkan, melalui Pasal
31 huruf c yang menyatakan pemerintah “menyediakan anggaran penelitian dan
perekayasaan”. Pemerintah Indonesia mulai meningkatkan pendanaan riset dan
pengembangan teknologi dalam negeri. hingga pada akhirnya nilai perbandingan
dana riset dan pengembangan terhadap produk domestik bruto Indonesia meningkat
menjadi 0,27% di tahun 2018.211 Hal ini menunjukkan pemerintah punya komitmen
untuk mendukung pengembangan riset dan pengembangan teknologi pertahanan.
Walaupun peningkatannya tidak terlalu signifikan apalagi bila dibandingkan
dengan negara tetangga seperti Singapura yang menjadi saingan industri
pertahanan Indonesia di wilayah asia tenggara nilainya mencapai 2,17 %.212
Apabila dilihat dari data peningkatan persentase dana diatas maka dapat
dilihat bahwa riset dan pengembangan peralatan pertahanan dan keamanan mulai
210 United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization atau disingkat
UNESCO merupakan badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertujuan mendukung
perdamaian dan keamanan dengan mempromosikan kerja sama antar negara melalui pendidikan,
ilmu pengetahuan dan budaya.
211https://data.worldbank.org/indicator/GB.XPD.RSDV.GD.ZS?locations=ID-SG, diakses
pada kamis, 9 April 2020.
212Ibid.
Universitas Sumatera Utara
142
menjadi perhatian pemerintah dan terus ditingkatkan semenjak dikeluarkannya
undang-undang industri pertahanan. Dalam beberapa tahun setelah undang-undang
industri pertahanan berlaku, kegiatan riset diarahkan untuk penguasaan teknologi
peralatan di bidang pertahanan dan keamanan yang mencakup riset rudal, kapal
perang, radar, dan kendaraan tempur. Kemudian kegiatan pengembangan dilakukan
melalui empat fase, yaitu concept technology design, prototype production and
testing, production and procurement, dan serial production. Concept technology
design merupakan penguasaan teknologi tahap awal yaitu tahapan technology
development phase (TDP), dengan tingkat kesiapan teknologi. Prototype
production and testing merupakan tahapan pembuatan prototipe dan pengujian,
yaitu merupakan tahapan Engineering Manufacturing Development (EMD).
Production and procurement merupakan tahapan awal produksi dan pengadaan
yaitu Production Phase (PP), di tingkat kesiapan teknologi. Terakhir serial
production merupakan produksi massal.213
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, Indonesia sebenarnya telah
memiliki pranata untuk membangun sistem riset dan pengembangan teknologi yang
terintegrasi. dari aspek regulasi, pada tahun 2002 pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002
tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Peraturan ini berfungsi untuk membentuk pola hubungan yang saling memperkuat
antar unsur penguasaan, pemanfaatan dan pemajuan ilmu pengetahuan dan
213 Silmy Karim, Op.Cit, hal. 360.h_p://rirn.ristekdikti.go.i
Universitas Sumatera Utara
143
teknologi dalam satu kesatuan yang terintegrasi.214 Undang-undang ini
mengamanatkan adanya integrasi dan sinergi antar unsur kelembagaan, sumber
daya dan jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi secara legal, upaya
integrasi riset dan pengembangan teknologi di Indonesia memberikan ruang yang
besar bagi pemangku kepentingan untuk duduk bersama dan berdiskusi untuk
menentukan agenda program yang harus dikerjakan. Dalam prakteknya selain ada
komite kebijakan industri pertahanan (KKIP) telah melakukan pertemuan dan
diskusi dengan Dewan Riset Nasional selaku pendukung Menteri Riset dan
Teknologi dalam menentukan arah, prioritas utama dan kerangka kebijakan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan pertahanan Indonesia. Dan
kemudian menentukan tujuh program prioritas nasional dalam bidang pertahanan,
yaitu kapal selam, pesawat tempur, tank medium, propelan, radar, roket dan
rudal.215Kemudian komite kebijakan industri pertahanan membentuk Design
Centre Indonesia (DCI) dalam alur produksi jet tempur KF-X/IF-X kerja sama
Indonesia dan Korea Selatan yang merupakan contohnyata dari aktualisasi atas
kapabilitas pranata riset dan pengembangan teknologi Indonesia di masa kini. Pusat
desain berfungsi sebagai kolam pengetahuan yang menampung, menyimpan,
mengevaluasi dan memodifikasi teknologi yang diperoleh ataupun dibangun
peneliti dalam negeri bersama negara lain. Pusat desain Indonesia merupakan
inisiatif dari pemerintah agar Indonesia dapat memetakan serta mengembangkan
kompetensi tenaga ahli Indonesia yang terbentuk pada fase pertama pembangunan
pesawat tempur KF-X/IF-X216, yaitu technology development phase (TDP). Ada
214 Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi.
215 www.drn.go.id. Diakses pada 7 april 2020.
216 KFX adalah Korean fighter xperiment untuk militer Indonesia, dan IF-X adalah
Indonesian fighter xperiment untuk militer Korea Selatan.
Universitas Sumatera Utara
144
tiga puluh tujuh insinyur Indonesia yang dikirim ke Korea Selatan untuk
berkolaborasi membuat rancangan jet tempur.217 Walaupun program ini terganjal
dengan teknologi sistem radar yang tidak diberikan oleh Amerika Serikat akan
tetapi dalam jangka panjang pusat desain Indonesia telah menjadi sumber informasi
dan inovasi pada tataran teknologi dan manajerial bagi pelaku industri pertahanan.
Hal ini dibuktikan dengan berhasilnya Indonesia dalam menghasilkan inovasi
prototipe tank medium hasil kerja sama alih teknologi dengan perusahaan FNSS
dari negara Turki. Dan tank medium ini sedang masuk dalam fase produksi
massal,218 Perusahaan pertahanan Indonesia juga berhasil membuat inovasi dan
memproduksi bom P 100L, P250L dan P500L buatan perusahaan PT. Dahana akan
tetapi untuk propelan (bahan baku mesiu) masih harus impor dari luar negeri219 dan
terakhir Indonesia juga sudah menghasilkan inovasi Len S- 200 radar 2D yang
dibuat oleh PT. Len Industri.220
Indikator kedua, kemandirian pemenuhan alat peralatan pertahanan dan
keamanan.Umumnya para pengambil kebijakan industri pertahanan memahami
bahwa kemandirian industri pertahanan membutuhkan proses yang panjang. Oleh
karena itu pembangunan industri pertahanan dilakukan secara bertahap. Hingga
saat ini pemerintah menetapkan prioritas untuk beberapa pengadaan alutsista yang
diproduksi oleh industri pertahanan nasional secara mandiri ataupun bekerja sama
dengan negara lain, yaitu kapal selam, pesawat tempur, medium tank, radar, freegat,
217 Silmy Karim, Op.Cit, hal. 350
218 https://www.pindad.com/pt-pindad-siap-produksi-massal-medium-tank. Diakses pada
15 Mei 2020.
219https://www.merdeka.com/uang/tekan-impor-bahan-baku-peluru-dahana-bangun-
pabrik-rp-23-t-di-subang.html. Diakses pada 16 mei 2020.
220 https://kumparan.com/kumparanbisnis/bumn-ini-jualan-radar-militer-canggih-bisa-
deteksi-musuh-jarak-200-km-1541658601514831102. Diakses pada 16 mei 2020.
Universitas Sumatera Utara
145
rudal, satelit pertahanan dan lain-lain. Kemudian timbul pertanyaan kemandirian
yang bagaimana yang ingin dicapai oleh pemerintah. Dalam Pasal 38 Ayat 2
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 menyebutkan “Dalam kegiatan produksi
Industri Pertahanan wajib mengutamakan penggunaan bahan mentah, bahan baku,
dan komponen dalam negeri”. Kemudian Pasal 43 ayat 5 huruf (f) menyatakan
“kandungan lokal dan/atau ofset sebagaimana dimaksud pada huruf e paling rendah
35% (tiga puluh lima persen) dengan peningkatan 10% (sepuluh persen) setiap 5
(lima) tahun”. Perlu diketahui sebelumnya setiap produk alutsista terdiri dari
beberapa komponen khusus seperti bahan mentah, bahan baku, elektronik, mesin,
dan lain-lain. Jadi seberapa besar tingkat kemandirian industri pertahanan dalam
negeri diukur dari seberapa besar persentase kandungan lokal yang terdapat dalam
komponen-komponen setiap produk alutsista dalam negeri. undang-undang industri
pertahanan sudah menetapkan batas minimal kandungan lokal yang terkandung
dalam setiap produk alutsista dalam negeri yaitu minimal sebesar 35%. Maka
komponen-komponen dari suatu alutsista harus dapat diproduksi atau berasal dari
dalam negeri, paling tidak sebesar 35%. Seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya, perusahaan-perusahaan industri pertahanan nasional sudah mempu
membuat produk alutsista hasil dari riset dan pengembangan dalam negeri. akan
tetapi dalam hal kemandirian produksi alutsista, industri pertahanan nasional belum
benar-benar mandiri. Sebagai contoh produk medium tank harimau buatan PT.
Pindad, kandungan lokalnya masih sebesar 70%. Yang menjadi masalah umum
dalam kebijakan kandungan lokal adalah komponen perakitan atau hardware
(komponen keras) seperti mesin dan plat lapis baja yang belum dapat diproduksi
oleh industri hulu untuk mendukung material komponen alutsista dalam negeri.221
221 https://oto.detik.com/mobil/d-4671560/komponen-lokal-kendaraan-tempur-pindad-tembus-70. Diakses pada 10 April 2020.
Universitas Sumatera Utara
146
Oleh karena itu sebagaian kebutuhan komponen produk alutsista di impor dari
negara lain. Dalam hal impor komponen alutsista pun pemerintah juga sudah
melakukan amanat Pasal 50 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang
Industri Pertahanan, yaitu “Dalam hal pembangunan Industri Pertahanan
membutuhkan komponen dan peralatan produksi yang belum dapat dipenuhi di
dalam negeri, Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal termasuk pembebasan
bea masuk dan pajak terhadap komponen dan peralatan produksi yang diimpor”.222
pasal tersebut sangat berguna untuk menekan biaya impor komponen pembuatan
produk alutsista dalam negeri. akan tetapi lebih baik menggunakan komponen
industri dari dalam negeri.
Walaupun dalam hal penyediaan komponen dan bahan baku produk dalam
negeri masih belum mandiri, akan tetapi perusahaan-perusahaan pertahanan
Indonesia sudah mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan pengadaaan alutsista
dalam untuk kebutuhan pertahanan dan keamanan negara, seperti yang di tunjuk
dalam tabel berikut :
Tabel. 3
Produk Perusahaan-Perusahaan Pertahanan Hasil Dari Alih Teknologi
No Nama Perusahaan Produk Hasil Alih Teknologi
1. PT. Pindad (BUMN) G-2, SS-2, SS-3, SPR-4, komodo 4x4, Anoa 6x6 APC,
Badak 6x6, Tank Medium Harimau, dll
2. PT. PAL Indonesia
(BUMN)
Patrol Vessel - 60 M, Patrol Vessel - 90 M, KCR - 60
M, LPD -143 M, MSS-163 M, SSV - 123 M, dll
3. PT.Dirgantara Indonesia
(BUMN)
CN-235 Series, N-219, NC-212, H-215 Helicopter
Series, Roket NDL - 40, RD - 702, Torpedo SUT,dll
(Sumber : www. kkip.go.id)
222 Pasal 50 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Universitas Sumatera Utara
147
Indikator ketiga, meningkatkan kemampuan produksi alat Peralatan
pertahanan dan keamanan. peningkatan produksi alat pertahanan dan keamanan
berkaitan dengan kemampuan dari alat produksi perusahaan-perusahaan
pertahanan, kebanyakan alat produksi alutsista sudah tua sehingga mempengaruhi
jumlah produksi. oleh karena itu Komite Kebijakan Industri Pertahanan berperan
untuk membuat pedoman umum perencanaan produksi yang merupakan panduan
dalam proses menjalankan perencanaan produksi industri pertahanan.223
Kemudian pemerintah melalui Penyertaan Modal Negara (PMN)
menyuntikkan dana kepada perusahaan pertahanan seperti Pindad (suntikan dana
sbesar 700 Milyar) untuk bisa mengembangkan kapasitas poduksi dengan
perluasan pabrik munisi caliber kecil (MKK) yang mana pada awalnya kemampuan
pindad memproduksi peluru di kisaran 165 juta butir pertahun menjadi 275 jutaan
pertahun.224 Jadi pemerintah Indonesia telah melakukan kucuran dana dalam
bentuk penyertaan modal negara untuk meningkat kemampuan produksi
perusahaan pertahanan. Dana yang diberikan pemerintah juga digunakan untuk
membeli mesin-mesin produksi baru untuk menggantikan mesin produksi alutsista
yang lama225, dengan pembelian mesin produksi alat peralatan pertahanan dan
keamanan yang baru maka pindad dapat memenuhi dan menerima pembelian
produk alutsista dalam jumlah yang jauh lebih besar. akan tetapi tidak semua mesin
produksi yang sudah tua dapat diganti dengan yang lebih modern.
223 Pasal 37 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012
224 http://www.bumn.go.id/pindad/berita/1-Peletakan-Batu-Pertama-Perluasan-Pabrik-MKK-Dan-Peresmian-SPR-4. Diakses pada 16 mei 2020.
225 https://klikanggaran.com/bisnis/pt-pindad-enjiniring-indonesia-pei-investasi-
pembelian-11-mesin-untuk-pembuatan-senjata.html. Diakses pada 16 mei 2020.
Universitas Sumatera Utara
148
Dengan demikian berdasarkan 3 indikator yang telah di sampaikan diatas
maka dapat dibuat tabel agar mempermudah memahami efektifitas dari undang-
undang industri pertahanan dalam revitalisasi industri pertahanan nasional :
Tabel. 4
No Indikator Efektivitas Pelaksanaan Keterangan
1. Industri Pertahanan yang
efektif, efisien, terintegrasi, dan
inovatif;
Pemeintah sudah
melakukan
integrasi antar
lembaga litbang di
Indonesia dan
menajalankan
program tujuh
perioritas industri
pertahanan yang
menghasilkan
inovasi produk
alutsista.
Dalam
menjalankan
tujuh program
prioritas
pertahanan dan
keamanan. Hanya
1 program yang
belum berhasil
menghasilkan
inovasi produk
pertahanan, yaitu
program jet
tempur KFX
2. kemandirian pemenuhan alat
peralatan pertahanan dan
keamanan
Perusahaan-
perusahan
pertahanan dalam
negeri sudah
mempu
memenuhi
kebutuhan
pemenuhan
pertahanan dan
keamanan negara
dengan
banyaknya pilihan
produk alutsista
yang di hasilkan
Akan tetapi dalam
hal penyediaan
komponen dan
bahan baku untuk
membuat produk
alutsista,
Indonesia masih
belum bisa
mandiri karena
masih tergantung
dengan impor.
3. meningkatkan kemampuan
memproduksi Alat Peralatan
Pertahanan dan Keamanan
Pemerintah
berperan
memberikan
Penanaman
Modal Negara
kepada
perusahaan
pertahanan
Perusahaan
pertahanan
mengalami
peningkatan
produksi yang
cukup signifikan
(Sumber : Diolah dari peraturan perundang-undangan)
Universitas Sumatera Utara
149
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Alih teknologi alutsista untuk industri pertahanan dalam negeri berperan
penting untuk mempercepat proses pembangunan yang seharusnya
membutuhkan waktu puluhan tahun. Penanaman modal asing terhadap
BUMN tidak dapat digunakan dalam upaya alih teknologi alutsista asing
karena terdapat larangan dalam Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2012 tentang Industri pertahanan yaitu “kepemilikan modal atas
industri alat utama seluruhnya di miliki oleh negara”. Sehingga pemerintah
Indonesia menggunakan undang-undang paten dalam melakukan alih
teknologi dengan cara melaksanakan lisensi paten untuk mendapatkan
teknologi yang di inginkan atau dengan metode ofset imbal dagang.
Pemerintah juga sudah memberikan perlindungan hukum bagi pihak asing
pemilik hak kekayaan intelektual yang karyanya di pergunakan dalam
kegiatan alih teknologi. Dasar hukumnya merujuk pada TRIPs dan
perundang-undangan yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual.
2. Pemerintah Indonesia menuntut industri nasional untuk memiliki
kemampuan khusus serta dapat menjamin ketersediaan produk berupa
komponen dan bahan baku yang dibutuhkan bagi industri pertahanan. yang
termuat dalam Bab III Rencana Induk Industri Pertahanan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Kemudian Pemerintah
berusaha melibatkan berbagai unsur pengguna, pemproduksi, perancang,
penguji, peneliti yang kompeten serta dengan perencanaan bisnis yang
matang. Upaya menyinergikan industri pertahanan nasionaL dilakukan
dengan konsep tiga pilar pelaku industri pertahanan terdiri atas pemerintah,
Universitas Sumatera Utara
150
pengguna, dan produsen, Ketiganya sebagai pilar utama yang saling terkait
untuk itu diintegrasikan didalam sistim revitalisasi industri pertahanan,
yaitu pemerintah (Kementerian), produsen (Industri Strategis) dan
pengguna (TNI dan Polri). Pemerintah juga mengupayakan sinergi antar
produsen industri pertahanan agar mendorong industri senjata terus
berkembang hingga mampu meningkatkan ekspor. Pemerintah juga
menggunakan dua strategi untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi
ekspor alutsista ke mancanegara berupa strategi keunggulan komperatif,
yakni mengutamakan kapasitas produk-produk yang mampu bersaing
dengan kualitas yang sama dengan harga yang lebih murah dan strategi
keunggulan kompetitif, yakni mengutamakan kapasitas produk-produk
yang memang hanya diproduksi oleh pabrik alutsista di Indonesia.
3. Tolak ukur efektivitas dari regulasi revitalisasi industri pertahanan melalui
alih teknologi adalah tercapainya target dan tujuan dari peraturan terkait.
Dalam hal ini indikator keberhasilannya terdapat dalam Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Pertama,
ndustri pertahanan yang efektif, efesien, terintegrasi dan inovatif,
pemerintah telah melakukan integrasi antar lembaga litbang di Indonesia
untuk mewujudkan industri pertahanan yang efektif dan efesien, kemudian
telah menghasilkan inovasi dalam tujuh program prioritas industri
pertahanan walaupun mengalami penundaan program jet tempur KFX./KFI.
Kedua, kemandirian pemenuhan alat peralatan pertahanan dan keamanan.
Dengan pelaksanaan kebijakan dari regulassi industri pertahanan
pemerintah melalui Komite Kebijakan Industri Pertahanan telah
menghasilkan perusahaan-perusahaan pertahanan nasional yang sudah
mampu memenuhi kebutuhan pertahanan dan keamanan negara dengan
Universitas Sumatera Utara
151
banyaknya jenis produk alutsista yang dihasilkan. Akan tetapi dalam
penyediaan komponen dan bahan baku untuk pembuatan produk alutsista,
industri pertahanan masih banyak kekurangan karena industri penghasil
produk alutsista masih mengimpor beberapa komponen dari luar negeri
karena industri komponen pendukung Indonesia belum mampu menyuplai
semua kebutuhan bahan produksi alutsista. Ketiga, peningkatan
kemampuan produksi alat peralatan pertahanan dan keamanan. Pemerintah
telah berperan memberikan kucuran dana berupa penanaman modal negara
pada perusahaan pertahanan dalam perluasan pabrik dan moderinisasi alat
produksi untuk meningkatkan produksi industri pertahanan. Akan tetapi
belum semua alat produksi industri pertahanan dapat diganti. Jadi dapat
disimpulkan efektivitas regulasi industri pertahanan masih belum cukup
efektif.
B. Saran
1. Disarankan kepada pemerintah agar tetap konsisten dalam melaksanakan
ketentuan-ketentuan dari peraturan yang berkaitan dengan alih teknologi
alutsista. Diharapkan adanya peraturan khusus penanaman modal asing
dalam undang-undang industri pertahanan Indonesia dengan cara
memperketat pengaturannya agar tidak terjadi kebocoran teknologi. Hal ini
dikarenakan lisensi paten membutuhkan dana yang sangat besar dalam
penerapannya sedangkan industri pertahanan membutuhkan banyak alih
teknologi dalam proses revitalisasi industri pertahanan. Pemerintah juga
perlu melakukan modernisasi fasilitas-fasilitas riset teknologi agar
pelaksanaan alih teknologi dapat berjalan maksimal.
2. Terkait konsep tiga pilar pelaku industri pertahanan, perlu adanya
komitmen bersama para pengguna untuk secara konsisten mengutamakan
Universitas Sumatera Utara
152
produk dalam negeri pada rencana strategis jangka menengah dan panjang
dalam pemenuhan alutsista tahun 2020 hingga 2024. Selanjutnya kepada
industri pertahanan perlu ditekankan untuk meningkatkan kualitas dari
produk alutsista serta senantiasa mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan alutsista yang
sesuai dengan tuntutan dari pengguna. Dan yang terakhir bagi kementerian-
kementerian yang terkait dengan revitalisasi industri pertahanan perlu di
optimalkan pembangunan sinergitas dan sinkronisasi sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi masing-masing. Melalui koordinasi yang lebih intensif
dan efektif sehingga diharapkan terjadi akselerasi percepatan program
pembangunan dan pengembangan industri pertahanan.
3. Disarankan bagi pemerintah dalam hal meningkatkan inovasi alutsista,
hendaknya perlu diadakan kompetisi antar lembaga penelitian karena
dengan adanya persaingan tersebut maka akan meningkatkan kemungkinan
menghasilkan inovasi yang lebih tinggi. Untuk kemandirian industri
komponen pendukung dan bahan baku bagi produk alutsista hendaknya
juga dilakukan revitalisasi atau setidaknya diperkuat kemampuan
pemenuhan komponen dan bahan baku pendukung industri pertahanan. Dan
yang terakhir dalam hal penanaman modal negara untuk perluasan pabrik
dan moderenisasi alat produksi. Hendaknya pemerintah membuat peraturan
mengenai batasan berapa persen pendanaan bagi industri pertahanan dalam
APBN sehingga pemodalan industri pertahanan akan stabil.
Universitas Sumatera Utara
153
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Adolf, Huala, 2011, Perancangan Kontrak Internasional, Bandung: Keni Media.
Ali, Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Termasuk
Interpretasi Undang-Undang, Jakarta: Kencana.
Amiruddin, Zainal, 2013, PengantarMetode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali
Pers.
Andi Widjajanto, dkk, 2012, Dinamika Persenjataan dan Revitalisasi Industri
Pertahanan, Jakarta : UI Pers.
Andi Widjajanto, Makmur Keliat, 2006 Research: Indonesia’s Defense Economy
Reform, Jakarta: UI Pers.
Astuty, Dewi, 2001, Perjanjian Lisensi Alih Teknologi Dalam Pengembangan
Teknologi Indonesia, Bandung: Alumni.
Dworkin, Ronald, 1973, Legal Research, Spring : Daedalus.
Effendy, Marwan, 2014, Teori Hukum Dari Perspektif Kebijakan, Perbandingan
dan Harmonisasi Hukum Pidana , Jakarta: Gaung Persada Press Group.
Fajar ND, Mukti, Yulianto, 2010, Dualisme Penelitian Hukum normatif dan
Hukum Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Friedman, Wolfgang, 1986, Peranan Hukum Dan Fungsi Ahli Hukum Di Negara
Berkembang. Dalam : Peranan Hukum Dalam Perekonomian Di Negara
Berkembang, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Fuady, Munir, 2013, Teori-Teori Besar Dalam Hukum, Jakarta: Pranada Media
Group.
Universitas Sumatera Utara
154
HS, Salim dan Erlies Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis dan Disertasi, Jakarta: Raja Grafindo.
Jonathan, Sarwono, 2006, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif,
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Juhaya S, Praja, 2011, Teori Hukum dan Aplikasinya , Bandung: C.V. Pustaka
Setia.
Kadiman, Kusmayanto. et.all., 2006, Buku Putih Penelitian, Pengembangan dan
Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bidang Pertahanan dan Keamanan,
Jakarta : Kementerian Pertahanan.
Karim, Silmy, 2014, Membangun Kemandirian Industri Pertahanan Indonesia,
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Kirbiantoro dan rudianto, 2006, Rekontruksi Pertahanan Indonesia, Potensi
Tantangan dan Prospek, Jakarta: PT. Golden Terayon Press.
Kusumaatmadja, Mochtar, 2006, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan,
Bandung: Alumni.
Lubis, Solly, 2011, Serba-Serbi Politik dan Hukum , Jakarta: P.T. Sofmedia.
Makmur, Supriyanto, 2014, Tentang Ilmu Pertahanan, Jakarta : Pustaka Obor.
Maulana, Insan, 1996, Lisensi Paten, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Mertokusumo, Sudikno, 2012, Teori Hukum, Cetakan Keenam, Yogyakarta:
Cahaya Atma Pustaka.
M. Friedman, Lawrance, 2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial ( A Legal
System A Social Science Perspective). Terjemahan M. Khozim, Bandung;
Nusa Media.
Universitas Sumatera Utara
155
Pamuntjak, Amir, 1994, Sistem Paten:Pedoman praktik dan alih teknologi, Jakarta:
Djambatan.
Purwosusilo, 2014, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa, Jakarta: Kencana.
Ruslan, Rosdy, 2003 Metode Penelitian Publik, Surabaya: PT. Raja Grafindo
Persada.
Ryacucu, Ryamizard, 2015, Buku Putih Pertahanan Indonesia, Jakarta;
Kementrian Pertahanan Republik Indonesia.
Saidin, Ok, 2004, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property
Rights), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Samego, Indria, 2001, Sistem Pertahanan–Keamanan Negara: Analisis Potensi
dan Problem, Jakarta: The Habibie Center.
Soekanto Soejono, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Janus Sidabolak, 2000, Pengantar Hukum Ekonomi, Medan : Bina Media.
Silalahi, Daud, 1997, Rencana Undang-Undang Alih Teknologi Perbandingn
Perspektif, Jakarta: Prisma.
Smith, Adam, 1979,An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealt of Nation,
London: Penguin Book,
Soekanto,Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum , Jakarta: UI Press.
________________, 2008, Faktor-faktor yang Memengaruhi Penegakan Hukum,
Jakarta: Raja Grafindo.
Universitas Sumatera Utara
156
_______________ dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif , Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika: Jakarta.
Sumadi, Putu, 2018, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Paramita :
Surabaya.
Syarifuddin, 2013, Perjanjian Lisensi dan Pendaftaran Hak Cipta, Bandung: PT.
Alumni.
Hendrik Untung, 2010, Hukum Investasi, Jakarta: Sinar Grafika.
Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Normatif Data Sekunder Sebagai
Sumber/Bahan Informasi Dapat Merupakan Bahan Bukum Primer, Bahan
Hukum Sekunder dan Bahan Hukum Tersier, Jakarta: Sinar Grafika.
Gunawan Widjaja, 2001, Seri Hukum bisnis:Lisensi, Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Zen, Achmad, 2011 Perjanjian TRIPS dan Beberapa Isu Strategis, Jakarta:
PT.Alumni.
B. Tesis
Sylvia, 2014, Ofset Pertahanan dalam Kerangka Pasal 1320 KUH Perdata: Analisa
Implementasi Pasal 43 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012, Tesis pada Program
Magister Hukum, Universitas Gadjah Mada,.
Byt Yundarwin, 2019, Pemberdayaan Industri Pertahanan Nasional Untuk
Mencapai Kemandirian Produksi (Studi Kemampuan Komponen PT.
Dahana), Tesis, pada Program Master Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
157
C. Artikel, Jurnal, Makalah
Achmad Dirwan, 2011, Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum Tentang
Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Strategis Untuk Pertahanan,
Kementerian Hukum dan HAM.
Angga Rachmat, 2014, Tantangan dan peluang Perkembangan Teknologi
Pertahanan Global Bagi pembangunan Kekuatan Pertahanan
Indonesia,Transformasi Global, Volume 1, edisi 2, Tahun 2014.
Bismar Nasution, 2003,‘’Metode penelitian hukum normatif dan perbandingan
hukum’’, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian
hukum dan hasil penelitian hukum pada Majelis Akreditasi, Fakultas Hukum
USU.
Bismar Nasution, 2004,“Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan
Ekonomi”, Makalah, disampaikan pada pidato pengukuhan guru besar
Universitas Sumatera Utara.
Erman Rajagukguk, 1997,“Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era
Globalisasi dan Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia”,
Makalah, disampaikan pada pidato pengukuhan guru besar Universitas
Indonesia, Jakarta.
Etty susilowaty, 2011, Pendayagunaan Hukum Pada Proses Alih Teknologi Melalui
Kontrak Lisensi Paten, Semarang, jurnal undip.
Jerry indrawan dan Bayu Widiyanto, 2016, Kebijakan Ofset Dalam Membangun
Kemandirian Pertahanan negara, Jakarta, Jurnal Pertahanan.
Luhut pandjaitan, 2016, menciptakan stabilitas pertahanan melalui pemerataan
ekonomi”, Makalah seminar di Universitas Indonesia , Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
158
Michael Porter, 1990,” The Competitive Advantage of Nations”, Harvard Business
Review.
Sri Wartini, 2002, Aspek-Aspek Hukum Alih Teknologi dalam Meningkatkan Daya Saing
Produksi Teknologi Pertambangan di Indonesia. Jurnal Hukum, Vol.9, No. 20.
D. Peraturan Perundang-undangan
Agreement on Trade-Related Aspect of Intellectual Property Right.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional, Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 Tentang Industri Pertahanan.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi.
Universitas Sumatera Utara
159
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan
Intelektual Serta Hasil Penelitian dan Pengembangan Oleh Perguruan Tinggi
dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan.
Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2010 Tentang Komite Kebijakan Industri
Pertahanan
Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2010 tentang Komite Kebijakan Industri
Pertahanan.
Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2013 Tentang Organisasi, Tata Kerja dan
Sekretariat Komite Kebijakan Industri Pertahanan.
Peraturan Pemerintah Nomer 76 Tahun 2014 Tentang Mekanisme Imbal Dagang
Dalam Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan Dari Luar Negeri
Peraturan Menteri Pertahanan No 17 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Alat
Utama Sistem Senjata di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara
Indonesia.
Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 30 Tahun 2015 tentang Imbal Dagang,
Kandungan Lokal, Dan Ofset Dalam Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan
Dan Keamanan Dari Luar Negeri.
Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 35 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan
Perencanaan Kebutuhan Alat Utama Sistem Senjata Tentara Nasional
Indonesia Di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional
Indonesia.
Peraturan Menteri Pertahanan No 23 Tahun 2016 Tentang Pembinaan Industri
Pertahanan.
Universitas Sumatera Utara
160
Peraturan Pemerintah No 141 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Industri Pertahanan
Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Nomor 20 Tahun 2018 tentang
Penelitian.
E. Kamus
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, 2008, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
F. Situs Internet
http://beritasepuluh.com/. Dampak krisis moneter, akankah terulang kembali, di
akses pada10 April 2017.
http://gagasanhukum.wordpress.com. Revitalisasi Industri Strategis dalam
Perspektif Legislatif, di akses pada 10 Januari 2017.
http://theindonesianinstitute.com Pemenuhan Alutsista dan Kemendirian Industri
Pertahanan, diakses pada 2 april 2018
https://ekonomi.bisnis.com/read/20190724/257/1128082/industri-pertahanan-
indonesia-makin-berkembang, Industri Pertahanan Indonesia Semakin
Berkembang, diakses pada 3 Maret 2020.
https://slidepalayer.info/slide/12376712. Diakses pada 15 Maret 2020.
https://en.wikipedia.org/wiki/Military_acquisition. Diakses pada 20 Maret 2020.
https://nasional.kompas.com/read/2010/04/16/21580988/Pemerintah.Bentuk.KKI
P, diakses pada 15 Maret 2020.
https://oto.detik.com/mobil/d-4671560/komponen-lokal-kendaraan-tempur-
pindad-tembus-70. Diakses pada 10 April 2020.
Universitas Sumatera Utara
161
https://www.unisbank.ac.id. Aturan alih teknologi dari perusahaan Swasta Asing
Kepada Perusahaan Nasional Pada Kegiatan Penanaman Modal Untuk
Percepatan Penguasaan Teknologi Maju di Indonesia. Diakses pada 15 Mei
2020.
http://Repository.Unila.Ac.Id:8180/Dspace/Handle/123456789/2524.Kajian
Terhadap Pengaturan Alih Teknologi Dalam Kegiatan Penanaman Modal. Di
akses pada 15 Mei 2020
https://www.merdeka.com/uang/tekan-impor-bahan-baku-peluru-dahana-bangun-
pabrik-rp-23-t-di-subang.html. Diakses pada 16 mei 2020.
G. Koran dan Majalah
Ansari Bukhari,Tonggak Bangkitnya Industri Pertahanan Lokal, Majalah KINA,
2012.
Tubagus Hassanudin, Pemenuhan Alutsista dan Kemandirian Industri Pertahanan,
Majalah Pertahanan edisi 2, 2018.
Widjajanto, 2005, Kemandirian Industri pertahanan, Kompas, 26 april, 2012.
H. Wawancara
Wawancara dengan Sekretaris Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan,kementerian
Pertahanan, Brigjen TNI Aribowo Teguh Santoso, S.T, M.Sc. Pada hari selasa
tanggal 15 september 2019.
Universitas Sumatera Utara
1
Universitas Sumatera Utara
Recommended