View
228
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA
NUSANTARA ATAS KATA KUFR DALAM AL-QURAN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Muhammad Asy’war Saleh
NIM. 11140340000011
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
i
ABSTRAK
Muhammad Asy’war Saleh
Antara Teks Dan Konteks: Penafsiran Ulama Nusantara Atas Kata Kufr
Dalam al-Quran
Kajian ini mendiskusikan tentang penafsiran ulama nusantara atas kata kufr
dalam Q.s. al-Nisā’/4: 112-114 dan Q.s. al-An‘ām/6: 27-29 dengan melihat realitas
yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-
tafsir Indonesia atas persoalan kafir dengan menggunakan pendekatan semantik-
historis belum banyak dilakukan.
Dalam mendiskusikan fokus kajian di atas, penulis mengimplementasikan
tahap-tahap semantik-historis sebagai berikut:
1. Menentukan makna dasar yang menjadi tolak ukur dalam menjelaskan
kata kufr. Maka dari itu penulis menetapkan dua makna dasar yaitu
‘tidak berterima kasih’ dan ‘tidak percaya’ yang dapat mewakili medan
semantik dari kata kufr.
2. Menganalisa sejarah kedua makna di atas dengan menggunakan analisis
semantik historis yaitu masa pra-Islam, masa al-Quran diturunkan dan
pasca al-Quran.
3. Melihat relevansi penafsiran Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish
Shihab dengan realitas yang terjadi saat mereka menuliskan kitab
tafsirnya. hal ini untuk melihat bahwa penafsiran yang dilakukan oleh
mufassir Indonesia sesuai dengan realitas pada zamannya.
Penulis menemukan konteks sosio-historis memberikan pengaruh yang
cukup spesifik dalam memahami teks al-Quran, khususnya makna kufr. Dalam
mendiskusikan makna kufr, Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish Shihab melihat
konteks realita sosial yang terjadi pada masanya (menafsirkan kafir dengan melihat
perilaku dan keseharian masyarakat di Indonesia). Selain itu, menurut penulis
Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish Shihab ketika mendiskusikan kufr sebagai
‘tidak berterima kasih’, mereka berangkat dari realita dan mengesampingkan
sejarah kata kufr pra-Islam. Oleh karena itu, penafsiran yang mereka lakukan
bersifat parsial dalam merujuk kepada ayat-ayat al-Quran, pendefinisian terhadap
term kufr juga subyektif dan terkesan kasuistik.
Subyektif, karena penafsiran Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish Shihab
pada ayat yang lain memaknai kufr bukan sekedar dekadensi moral melainkan sikap
ketidak percayaan ditunjukkan melalui perbuatannya yang menolak Allah, Rasul-
Nya, Kitab-Nya dan segala yang terkait eskatologis. Akibatnya pemaknaan yang
dihasilkan tidak lagi bersifat umum, namun kāfir sudah menunjuk kepada mereka
yang non-Muslim. Kasuistik, karena penafsiran yang dihasilkan berdasarkan
kejadian tertentu dan mereka lahir di negara Indonesia yang memiliki beragam
kepercayaan dan penganutnya sehingga rawan terjadi konflik, baik itu internal
(sesama Islam) maupun eksternal (selain Islam). Terlebih lagi penafsiran mereka di
motivasi oleh masyarakat untuk membuat kitab tafsir yang sesuai dengan
perkembangan zaman.
Kata kunci: Teks, Konteks, Tafsir Nusantara, Kufr, Semantik Historis.
ii
KATA PENGANTAR
Alḥamdulillāh adalah kata yang pantas untuk mengawali pengantar ini,
karena Allah adalah Tuhan satu-satunya yang telah memberikan karunia dan nikmat
tak terhingga baik itu penglihatan, pendengaran, napas, akal untuk berpikir,
sehingga penulis dapat diberikan kesempatan untuk belajar dan menyelesaikan
studi strata satu. Penulis sekali lagi mengucapkan rasa syukur yang tak terhingga
atas karunia dan rahmat-Nya yang tidak terbatas dan tidak akan pernah bisa habis
terhitung dengan keterbatasan akal manusia. Ṣalawat serta salam kita kirimkan
kepada Rasulullah Saw., sosok yang menjadi tauladan bagi keluarga, sahabat,
tabi’in dan generasi setelahnya yang menjadi pengikut hingga akhir zaman.
Tanpa izin dan nikmat yang telah diberikan Allah maka skripsi ini tidak
akan selesai tepat pada waktunya. Penyelesaian skripsi ini juga melibatkan banyak
pihak yang tanpanya karya ini akan banyak mengalami keterlambatan dan
kesalahan. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansur, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para staf
pembantu dekan.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Program Studi Ilmu al-Qur’an
dan Tafsir dan ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., selaku Sekretaris Program
Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
4. Bapak Ahmad Rifqi Muchtar, MA., selaku dosen pembimbing skripsi yang
selalu memberikan dedikasinya kepada penulis, bersabar memberikan ilmu dan
arahan selama penulis berada di bawah bimbinannya. Beliau juga telah
memberikan saran dan nasehat yang sangat berarti bagi penulis dan bisa
diaplikasikan ke masyarakat.
5. Segenap jajaran dosen dan civitas akademik Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu tanpa mengurangi
rasa hormat, khususnya program studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir yang ikhlas,
iii
tulus dan sabar untuk mendidik kami agar menjadi manusia yang berakhlak
mulia dan berintelektual.
6. Kedua orang tuaku tercinta, ayahanda Muhammad Saleh Kasau dan ibunda
Arisminah yang mendukung dan menyemangati anaknya dari tanah rantau
yang jauh, bahkan jarang berkumpul bersama. Tanpa do’a dan dukungan dari
keduanya maka penulis tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal.
7. Saudara-saudariku, Muhammad Asy’ari Saleh, Tri Anggryani Saleh,
Muhammad Asy’min Saleh dan Muhammad Asy’mar Saleh yang selalu
memberikan motivasi dan kebahagiaan untuk selalu semangat dalam menuntut
ilmu.
8. Seluruh teman-teman Ilmu al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2014, terutama
IQTAF A dan KKN Bringin yang setia mendukung serta memberikan do’anya
kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.
9. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan, baik secara langsung
maupun tidak, tanpa mengurangi rasa hormat penulis mengucapkan terima
kasih yang sebanyak-banyaknya untuk membantu pengerjaan skripsi ini.
Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat
banyak kekurangan, bahkan kesalahan dan kekeliruan dalam penelitian ini
memungkinkan untuk terjadi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya konstruktif, bukan dengan tujuan destruktif atau menjatuhkan
penulis agar penulisan karya ilmiah ke depannya menjadi lebih baik. Harapan
penulis semoga skripsi ini menjadi bermanfaat bagi pembaca untuk menambah
wawasan dan semoga Allah Swt. memberikan riḍa-Nya dan balasan yang berlipat
ganda atas kebaikan seluruh pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi
ini.
Āmīn yā Rabb al-‘Ālamīn.
Ciputat, April 2018
Muhammad Asy’war Saleh
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................... 7
C. Perumusan dan Pembatasan Masalah................................................. 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 9
E. Metodologi Penelitian ...................................................................... 10
F. Kajian Pustaka .................................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan ........................................................................ 14
BAB II TEKS, KONTEKS DAN TAFSIR
A. Menelusuri Teks ................................................................................. 16
B. Memahami Konteks .......................................................................... 17
C. Tafsir Sebagai Penghubung Teks dan Konteks .................................. 19
BAB III GAMBARAN UMUM KONSEP KUFR
A. Definisi Kufr ...................................................................................... 24
B. Macam-Macam Kafir ......................................................................... 30
C. Sikap Terhadap Orang-Orang Kafir ................................................... 37
BAB IV TAFSIR ULAMA NUSANTARA
A. Selayang Pandang Tafsir Qur’an Karīm ............................................ 43
1. Biografi Mahmud Yunus ............................................................. 43
v
2. Karya-Karya Tulis Mahmud Yunus ............................................. 44
B. Selayang Pandang Tafsir al-Azhar ..................................................... 46
1. Biografi Buya Hamka .................................................................. 46
2. Karya-Karya Tulis Buya Hamka .................................................. 47
C. Selayang Pandang Tafsir al-Miṣbāḥ .................................................. 50
1. Biografi M. Quraish Shihab ......................................................... 51
2. Karya-Karya Tulis Quraish Shihab .............................................. 52
BAB V KONTEKSTUALISASI PENAFSIRAN ULAMA NUSANTARA
ATAS MAKNA KAFIR
A. Makna Kufr Sebelum Islam ............................................................... 55
B. Makna Kufr Pada Sistem al-Quran dan Pasca al-Quran .................... 56
C. Penafsiran Ulama Nusantara atas Q.s. al-Nisā’/4: 112-114 ............... 67
D. Penafsiran Ulama Nusantara atas Q.s. al-An‘ām/6: 27-29 ................ 72
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 80
B. Saran ................................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 84
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Dalam skripsi, tesis, dan disertasi bidang keagamaan (baca: Islam), alih
aksara atau transliterasi, adalah keniscayaan. Oleh karena itu, untuk menjaga
konsistensi, aturan yang berkaitan dengan alih aksara ini penting diberikan.
Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan dipahami, tidak saja
oleh mahasiswa yang akan menulis tugas akhir, melainkan juga oleh dosen,
khususnya dosen pembimbing dan dosen penguji, agar terjadi saling kontrol dalam
penerapan dan konsistensinya.
Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara, antara
lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementian Agama dan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta versi Paramadina. Umumnya,
kecuali versi Paramadina, pedoman alih aksara tersebut meniscayakan
digunakannya jenis huruf (font) tertentu, seperti font Transliterasi, Times New
Roman, atau Times New Arabic.
Untuk memudahkan penerapan alih aksara dalam penulisan tugas akhir,
penulis menggunakan Pedoman Penulisan: Bahasa Indonesia, Transliterasi dan
Pembuatan Notes Dalam Karya Ilmiah, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, (Agustus 2011).
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan أ
vii
b Be ب
t Te ت
th te dan es ث
j Je ج
ḥ h dengan titik di bawah ح
kh ka dan ha خ
d De د
dh de dan ha ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sh es dan ye ش
ṣ es dengan titik di bawah ص
ḍ de dengan titik di bawah ض
ṭ te dengan titik di bawah ط
viii
ẓ zet dengan titik di bawah ظ
‘ ع
koma terbalik di atas hadap ke
kanan
gh ge dan ha غ
f Ef ف
q Ki ق
k Ka ك
l El ل
m Em م
n En ن
w We و
h Ha ھ
Koma atas hadap ke kiri ’ ء
y Ye ي
ix
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
A Fatḥah ــــــ
I Kasrah ــــــ
U Ḍammah ــــــ
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
ي ــــــ īy i dengan garis di atas
ي ــــــ ay a dan y
و ــــــ aw a dan w
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam
bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
ā a dengan garis di atas ـــا
ـيــ á a dengan apostrof di atas
ī i dengan garis di atas ـــي
ū u dengan garis di atas ـــو
x
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah
maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl, al-dīwān bukan ad-
dīwān.
5. Shaddah (tashdīd)
Shaddah atau tashdîd yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda ( ــــ ـ ) dalam alih aksara ini
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi
tanda shaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang
menerima tanda shaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti
oleh huruf-huruf shamsiyyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-Ḍarūrah
melainkan al-Ḍarūrah, demikian seterusnya.
6. Ta Marbūtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbūtah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbūtah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na‘at) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf
ta marbūtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No. Kata Arab Alih Aksara
Ṭarīqah طريقة 1
Al-Jāmi’ah al-islāmiyyah اجلامعة اإلسالمية 2
xi
Waḥdat al-wujūd وحدة الوجود 3
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
(PUEBI) 2015, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal,
nama tempat, nama bulan, nama diri dan lain-lain. Jika nama diri didahului
oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal
nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abū
Hāmid al-Ghazālī bukan Abū Hāmid Al-Ghazālī, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbānī; Nuruddin al-
Raniri, tidak Nūr al-Dīn al-Rānīrī.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (ism), maupun huruf
(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara
xii
atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-
ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
dhahaba al-ustādhu ذهب األستاذ
thabata al-ajru ث بت األجر
al-ḥarakah al-‘aṣriyyah احلركة العصرية
ه إال الل أشهد أن ال إل ashhadu an lā ilāha illā Allāh
Maulānā Malik al-Ṣāliḥ موالان ملك الصالح
yu’aththirukum Allāh ي ؤثركم الل
al-maẓāhir al-‘aqliyyah املظاهر العقلية
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka.
Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu
dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nūr Khālis Majīd;
Mohamad Roem, bukan Muhammad Rūm; Fazlur Rahman, bukan Faḍl al-
Rahmān.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai teks bahasa, al-Quran dapat disebut sebagai teks sentral dalam
sejarah peradaban Arab. Oleh karena itu, Nasr Hamid Abu Zayd mengatakan
bahwa peradaban Arab-Islam adalah peradaban teks. Artinya bahwa dasar-
dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri di atas landasan dimana
teks sebagai pusatnya tidak dapat diabaikan.1 Pesan Tuhan pun tidak dipahami
sama dari waktu ke waktu, melainkan ia senantiasa dipahami selaras dengan
realitas serta kondisi sosial yang berjalan seiring dengan berlalunya zaman.
Dengan kata lain, wahyu Tuhan dipahami secara sangat variatif sesuai dengan
kebutuhan umat sebagai konsumennya.2 Dengan begitu, pada dasarnya
bukanlah teks yang membangun peradaban tetapi cara manusia berdialog
dengan teks di satu pihak serta dialektikanya dengan realitas di pihak lain.3
Pada dasarnya, proses pemaknaan sebuah kata, tidak dapat terlepas dari
studi bahasa dari kata tersebut. Dalam hal ini al-Quran memiliki bahasa
tersendiri dalam mengungkap sebuah makna yang terkadang berbeda dengan
kosakata yang dipahami oleh masyarakat Arab sebelumnya. Seperti kata
kafara, sebagai kata baru dalam medan semantik al-Quran, karena kata tersebut
memiliki makna yang tidak benar-benar sama dengan kata kafara yang
dipahami masyarakat Arab sebelum turun al-Quran. Ia diposisikan sebagai
lawan kata dari amana yang berarti beriman atau percaya.
Pemaknaan yang dilakukan oleh Izutsu di atas, menggunakan ilmu
semantik, yaitu kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa
dengan suatu pandangan bahasa tertentu. Pandangan ini bukan saja sebagai alat
bicara, tetapi lebih penting lagi pengkonsepan dan penafsiran dunia yang
melingkupinya.
1 Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Quran: Kritik Terhadap Ulumul Quran,
diterjemahkan oleh Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2016), h. 1. 2 M. Nur Kholis Setiawan, “Urgensi Tafsir Dalam Konteks Keindonesiaan dan Pola
Pendekatan Tematik Kombinatif,” Tasamuh, vol. 4, no. 2 (2012); h. 2. 3 Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Quran: Kritik Terhadap Ulumul Quran, h. 1.
2
Dari sejumlah istilah-istilah kunci yang dijelaskan Izutsu yang terdapat
dalam al-Quran, kafir merupakan salah satu contoh kata yang memiliki banyak
derivasi kata dan makna yang beragam. Hal itu diperkuat dengan bukti yang
tercatat di dalam al-Quran sebanyak 525 kali.4 Lebih dari itu, kafir bukan
sekedar lingkaran poros (forms the very pivot round) yang mengelilingi
keseluruhan sifat-sifat negatif lainnya, akan tetapi kafir menempati posisi yang
sangat penting pada seluruh sistem etika al-Quran. Oleh karena itu, memahami
kata kafir secara terstruktur dan sistematis melalui semantik bisa dikatakan
merupakan prasyarat (prerequisite) bagi sebuah penilaian yang tepat sebagian
besar sifat-sifat positif.5
Misalnya dalam Q.s. al-Baqarah/2: 152 dimana kata kufr diletakkan
secara jelas berlawanan dengan kata shukr yang berarti ‘berterima kasih’:
أذكركم وٱشكروا . لي ول تكفروني فٱذكروني
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula)
kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
mengingkari (nikmat)-Ku.”
Kemudian dalam Q.s. al-Baqarah/2: 109 menunjukkan kata kufr
sebagai lawan dari iman ‘percaya’:
هيم عيندي م ين اٱلكيتبي لو ي ردونكم م ين ب عدي إيينيكم كفارا حسد أهلي م ين ود كثيري م ين أنفسي ما ب عدي مريهيۦ إي لم ت بي بي ٱلل تي
فٱعفوا وٱصفحوا حت ي
ع ٱلق .قدييرلى كل ي شيء ن ٱلل
“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat
mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena
dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi
mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai
Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu.”
Dalam Q.s. al-An‘am/6: 1 kufr digandengkan jelas dengan istilah
‘mempersekutukan’:
تي وٱلرض و تي وٱلنور ث ٱلمد لليي ٱلذيي خلق ٱلسم ٱلذيين كفروا بيره ييم وجعل ٱلظلم .ي عديلون
4 Muḥammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī’. Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Quran al-Karīm
(Bayrūt: Dār al-Fikr, 1992), h. 605-613. 5 Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts In The Quran (Canada: McGill University
Press, 1966), h. 119.
3
“Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi dan
mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir
mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.”
Untuk memahami hubungan dari ketiga makna di atas maka perlu di
ingat bahwa tanda atau ayat Allah dipahami sebagai nikmat atau karunia-Nya
kepada manusia. Tanda-tanda tersebut kemudian memiliki konsekuensi bagi
manusia. Mereka yang membangkitkan kekaguman dan kehebatan Allah
sebagai Sang Pemilik tanda-tanda tersebut mempercayai akan Tuhan,
sedangkan yang mengingkarinya dikatakan kafir.6 Dengan demikian, dua
aspek di atas akan berakhir dengan penolakan terhadap Keesaan Allah atau
yang dikenal dengan istilah Politeisme, yaitu mereka yang menyembah berhala
dan dewa-dewa yang disebut sebagai anak Tuhan. Istilah yang paling umum
politeisme dikenal sebagai shirk.7
Akan tetapi, cara terbaik untuk memahami suatu kosakata adalah
dengan menguraikan kategori semantik dari sebuah kata menurut kondisi
pemakaian kata itu. Keadaan lingkungan apakah yang diperlukan apabila kata
tersebut dipergunakan secara tepat untuk menggambarkan peristiwa tertentu.
Dengan menjawab hal itu, maka pemahaman akan kosakata sampai kepada
makna yang benar mengenai sebuah kata tertentu.8
Saat ini telah banyak pemikir muslim yang mencoba untuk menafsirkan
al-Quran dan mencoba untuk menjawab permasalahan umat Islam di zaman
ini, baik itu sarjana dari Timur maupun Barat, bahkan para ulama Nusantara
mencoba melakukan pendekatan modern ke dalam kitab tafsirnya. Hal itu
diperkuat berdasarkan sejumlah penelitian yang dilakukan oleh sarjana-sarjana
di bidang tafsir. Islah Gusmian misalnya, dalam penelitiannya mengemukakan
bahwa tradisi penulisan tafsir di Indonesia dasawarsa 1990-an telah melahirkan
berbagai wacana yang beragam. Dari segi tema yang diangkat, terlihat bahwa
karya tafsir di Indonesia dasawarsa 1990-an sangat terkait dengan wacana dan
problem-problem pemikiran yang sedang berkembang di tengah masyarakat.9
6 Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts In The Quran, h. 124. 7 Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts In The Quran, h. 130. 8 Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts In The Quran, h. 13. 9 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi
(Yogyakarta: LkiS, 2013), h. 377-378.
4
Dalam segi corak penafsiran misalnya, Mahmud Yunus menggunakan adābi
al-ijtimā‘ī dengan mengaitkan kejadian sosial kemasyarakatan yang terjadi
pada waktu itu dan kitab Tamshiah al-Muslimin juga menggunakan corak
adābi al-ijtimā‘ī untuk menjawab persoalan sosial yang terjadi saat itu.10
Artinya, penafsiran ulama Nusantara dipengaruhi oleh fenomena sosial yang
terjadi saat mereka menuliskan kitab tafsirnya.
Di Indonesia, karya tafsir al-Quran yang lahir, juga berasal dari ruang
sosio-kultural yang memiliki keragaman. Sejak era Abdurrauf Singkil pada
abad ke-17 hingga Quraish Shihab pada awal abad ke-21, karya-karya tafsir
nusantara lahir di tangan para intelektual Muslim dengan basis sosial yang
beragam. Bahkan peran yang dimainkan pada masanya beragam, seperti
penasehat pemerintah, guru, kiai di pesantren, surau atau madrasah. Oleh
karena itu, peran-peran mereka itu mencerminkan basis sosial dimana mereka
mendedikasikan hidupnya untuk agama dan masyarakat khususnya
perkembangan khazanah keilmuan dalam bidang tafsir.11
Howard M. Federspiel telah menelisik lebih jauh terhadap khazanah
tafsir di Indonesia. Ia membuat pembagian kemunculan dan perkembangan
tafsir al-Quran di Indonesia yang didasarkan ke dalam tiga generasi yang
kemudian ditambahkan oleh Islah Gusmian.12 Periode pertama yaitu pada
permulaan abad ke-20 hingga tahun 1960-an dimana tradisi penafsiran
bergerak dalam model yang masih sederhana. Di antara tafsir yang masuk
dalam periode pertama yaitu Tafsir Quran Karim13 karya Mahmud Yunus dan
Al-Furqan: Tafsir al-Quran14 karya Ahmad Hassan. Periode kedua antara
tahun 1970-an hingga 1980-an yang masih menggunakan model teknis
penyajian dan obyek tafsir dalam periode pertama. Karya tafsir yang masuk ke
periode ini yaitu Tafsir al-Azhar15 karya Haji Abdul Malik Abdul Karim
10 Rifa Roifa, dkk., “Perkembangan Tafsir di Indonesia (Pra Kemerdekaan 1900-1945),”
al-Bayan: Jurnal Studi al-Quran dan Hadis, vol. 2, no. 1 (Juni 2017); h. 35. 11 Islah Gusmian, “Tafsir al-Quran di Indonesia: Sejarah dan Dinamika,” Nun, vol. 1, no. 1
(2015); h. 4. 12 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi, h. 59. 13 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim (Jakarta: Hidakarya Agung, 2002). 14 Ahmad Hassan, Al-Furqan: Tafsir al-Quran (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah, 1956). 15 Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982).
5
Abdullah dan Tafsir Rahmat16 karya H. Oemar Bakry. Periode ketiga yaitu
dasawarsa 1990-an terjadi proses kreatif dalam penulisan tafsir. Di antara kitab
tafsir yang masuk ke periode ini adalah Tafsir al-Miṣbāḥ: pesan, kesan dan
keserasian al-Quran17 karya M. Quraish Shihab.
Salah satu fenomena persoalan sosial di Indonesia yang selalu
diperbincangkan di tengah masyarakat adalah masalah kafir atau takfīr (kafir-
mengkafirkan. Sepanjang sejarah Nusantara, atau wilayah sekarang yang
dikenal dengan sebutan Indonesia, kontestasi dan perebutan otoritas
keagamaan telah muncul seiring dengan bersemainya beragam gagasan dan
penafsiran teks-teks keagamaan oleh kelompok penafsir dengan
kecenderungan yang terkadang saling berhadapan.18
Oleh karena itu, di satu sisi sebagian penafsir yang kemudian menjadi
kelompok mayoritas diidentifikasi sebagai kaum ortodoks yang
mempraktikkan doktrin serta ritual keagamaan yang diyakini ‘benar.
Sementara di sisi lain, kelompok minoritas, diidentifikasi sebagai heterodoks
karena dianggap berbeda dengan norma-norma yang diyakini kebenarannya
oleh kelompok mayoritas di atas.19
Di Indonesia, istilah kafir telah digunakan pada masa Nuruddin ar-
Raniri, seorang ulama ortodoks yang lebih mementingkan pengalaman syariah,
dengan mengeluarkan fatwa bahwa doktrin wujudiyyah yang diajarkan oleh al-
Sumatrai dan pendahulunya, Hamzah Fansuri telah menyimpang dari akidah
Islam, sehingga mereka yang tidak mau bertobat dan menolak meninggalkan
paham tersebut, dapat dianggap kafir dan dijatuhi hukuman mati.20
Konflik keagamaan antara Muslim ortodoks yang berpegang dengan
aspek legal formal syariat dengan para penganut paham mistik Islam juga
terjadi di Jawa. Tahun 1726 yaitu Peristiwa di Desa Cebolek, Tuban, Jawa
16 Oemar Bakry, Tafsir Rahmat (Jakarta: Mutiara, 1984). 17 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran (Jakarta:
Lentera Hati, 2012). 18 Oman Fathurrahman, “Sejarah Pengkafiran dan Marginalisasi Paham Keagamaan di
Melayu dan Jawa,” Analisis, vol. 11, no. 2 (Desember 2011); h. 448. 19 Oman Fathurrahman, “Sejarah Pengkafiran dan Marginalisasi Paham Keagamaan di
Melayu dan Jawa, h. 448. 20 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII (Bandung: Penerbit Mizan, 1994), cet. 2, h. 182.
6
Timur (1726-1749), KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak diadili karena tuduhan
melanggar syariat dan karena mengklaim menjadi satu-satunya ulama yang
‘ālim dan ‘ādil. Dia mengatakan bahwa menurut syariat, semua pernikahan
yang diselenggarakan oleh penghulu adalah haram, karena mereka ini adalah
pejabat-pejabat pemerintah kafir. Demikian pula, salat jum‘at yang dilakukan
di masjid lain selain dari masjidnya adalah haram, karena tidak memenuhi
rukun yang diwajibkan.21 Tahun 1950-an, ketika gerakan DI/TII yang
dipelopori oleh S. M. Kartosoewirjo, secara tegas ia menyatakan bahwa bentuk
konkret kekuasaan itu adalah al-Jumhūriyyah al-Indūnisīyah yang dikenal
dengan Darul Islam yang memiliki kekuatan dari segi militer yaitu Tentara
Islam Indonesia (TII). Kartosoewirjo memproklamirkan Negara Islam
Indonesia (NII) pada 7 agustus 1949 di Malambong, Jawa Barat. Kelompok
Islam ini melontarkan tuduhan: “Republik Indonesia (itu) kafir.” Kelompok
Islam ini ingin membubarkan Republik Indonesia dan menggantinya dengan
Darul Islam (DI) tahun 1950-an. Kartosoewirjo memimpin Darul Islam di Jawa
Barat, Kahar Mudzakar di Sulawesi Selatan, Ibnu Hajar mengomandani
pemberontakan di Kalimantan Selatan.22 November 2017, kata kafir kembali
digunakan oleh seorang anak usia belia yang duduk di bangku sekolah PAUD
dan mengatakan pada ibunya tidak ingin pergi ke mal karena itu milik orang
kafir. Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) menyebut jika ideologi
terorisme di Indonesia telah merambah hingga ke anak di bawah umur. Kepala
BNPT, Suhardi Alius, mendapatkan kabar dari pengamat terorisme, Solahudin,
bahwa radikalisme sudah masuk ke anak PAUD.23 Dengan demikian,
penggunaan kafir pertama kali ditujukan kepada mereka yang non-muslim atau
beragama selain Islam.
Demikianlah sejarah ortodoksi dan heterodoksi paham keagamaan di
Nusantara. Satu sisi telah melahirkan teks-teks sastra dan keislaman yang
cukup kaya, sehingga turut memperkaya tradisi aksara dan intelektual Islam,
21 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991) ,h. 123. 22 Cornelis Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Diterjemahkan oleh J.
Moeliono (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987), h. 84. 23 Harry Siswoyo, “Bocah PAUD Tolak ke Mal Karena Anggap Milik Kafir,” artikel
diakses pada 18 Januari 2018 dari https://www.viva.co.id/berita/nasional/978007-bocah-paud-tolak-
ke-mal-karena-anggap-milik-kafir
7
baik di Melayu maupun Jawa. Akan tetapi di sisi lain, pertentangan tersebut
tidak jarang menghadirkan marginalisasi bahkan penghukuman satu pihak
terhadap pihak lain.
Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang kafir
diperlukan sebuah pendekatan yang relevan sebagai upaya untuk memahami
makna atau pesan teks. Al-Quran hadir dalam bentuk ungkapan yang metaforis
dan lahir pada kondisi historis tertentu yang kemudian muncul berbagai kitab
tafsir yang menjelaskan al-Quran. Sejalan dengan meningkatnya taraf
kemampuan daya pikir manusia, sehingga mempunyai pengaruh nyata dari
cara penafsiran yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi sosio-kultural
mufassir, baik mufassir klasik maupun modern.24
Bila saat ini terjadi kondisi sosio-historis yang berbeda dengan saat
Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish Shihab menyusun kitab tafsirnya, apakah
kerja mereka pun akan sama. Untuk itulah, upaya penelitian ini menjadi
penting agar bisa melihat heterogenitas makna pada satu konsep dan tidak serta
merta mengambil kesimpulan bahwa makna atas konsep tersebut adalah
tunggal. Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk meneliti lebih
lanjut mengenai “Antara Teks dan Konteks: Penafsiran Ulama Nusantara
atas Kata Kufr Dalam al-Quran.”
B. Identifikasi Masalah
Beberapa masalah yang dapat teridentifikasi dari latar belakang di atas adalah:
1. Pada dasarnya bukanlah teks yang membangun peradaban tetapi cara
manusia berdialog dengan teks di satu pihak serta dialektikanya dengan
realitas di pihak lain. Pertanyaan yang muncul adalah seberapa besar
konteks mempengaruhi teks-teks al-Quran?
2. Kata kafir yang selalu dikatakan oleh sebagian masyarakat Indonesia sering
disalahgunakan dan kurang akan bacaan. Al-Quran menyebutkan kata kafir
sebagai orang yang menyekutukan, durhaka, ingkar kepada Allah Swt., dan
24 Muhammad Hasdin Has, “Metodologi Tafsir al-Munir Karya Wahbah Zuhaily,” Al-
Munzir, vol. 7, no. 2 (November 2014): h. 42.
8
Rasul-Rasul-Nya. Akan tetapi di ayat lain, kafir memiliki arti yang berbeda.
Siapakah sesungguhnya yang dikategorikan sebagai kafir?
3. Hasil penelitian yang dilakukan oleh para sarjana ditemukan bahwa
penafsiran yang ditulis oleh mufassir Nusantara memiliki peran masing-
masing dalam menjawab persoalan sosial yang terjadi saat mereka
menuliskan kitab tafsirnya. apakah hasil penafsiran mereka akan sama jika
penulisan kitab tafsirnya dilakukan di zaman sekarang?
C. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka
penelitian skripsi ini akan dibatasi pada masalah poin ke-3 terkait bagaimana
penafsiran ulama Nusantara terhadap ayat-ayat kafir di dalam al-Quran dengan
menggunakan periodesasi Federspiel yang disempurnakan oleh Islah Gusmian.
Oleh karena itu kitab tafsir yang menjadi rujukan penelitian ini kitab tafsir
kontemporer di antaranya Tafsir Quran Karim karya Mahmud Yunus
merupakan representasi tafsir Indonesia modern yang menampilkan pola baru
penulisan tafsir, Tafsir al-Azhar karya Haji Abdul Malik Abdul Karim
Abdullah yang merepresentasikan kitab tafsir dari hasil tulisan dan rubrik yang
terpublikasikan di majalah-majalah dan Tafsir al-Miṣbāḥ: pesan, kesan dan
keserasian al-Quran karya M. Quraish Shihab yang merepresentasikan kitab
tafsir populer.
Kemudian agar pembahasan dalam penelitian ini tidak melenceng dan
lebih terarah, maka penulis membatasi pembahasan dalam skripsi ini pada ayat
al-Quran yang secara tegas menekankan kufr sebagai antitesa bagi shukr ‘tidak
berterima kasih (Q.s. al-Nisā’/4: 112-114) dan īmān ‘tidak percaya’ (Q.s. al-
An‘ām/6: 27-29). Pembatasan tersebut dipilih dengan alasan sebagai berikut:
1. Setelah mengklasifikasikan ayat-ayat al-Quran yang terkait dengan
kata kufr dalam al-Quran, maka penulis berkesimpulan bahwa ‘kata
fokus’ kufr selalu memiliki keterkaitan dengan kedua makna dasar
di atas.
2. Pemilihan Q.s. al-Nisā’/4: 112-114 dalam skripsi ini karena ayat ini
dengan jelas merepresentasikan langsung kufr sebagai antitesa dari
9
kata shukr ‘berterima kasih’. Kata ini juga merupakan langkah awal
untuk mencapai kata ‘percaya’ atau ‘yakin’ yaitu dengan
memahami bahwa fenomena alam yang tampak bukanlah hiasan
biasa melainkan manifestasi-manifestasi kebaikan Ilahi dan
hendaklah berterima kasih kepada-Nya untuk semua itu.
3. Dalam Q.s. al-An‘ām/6: 27-29 tidak hanya menjelaskan makna kufr
sebagai sikap tidak percaya tetapi lebih dari itu, ada pembelajaran
yang ditawarkan oleh al-Quran terhadap kehidupan baik di dunia
maupun di akhirat.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis mengambil
rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana Peran Konteks Dalam Tafsir
Ulama Nusantara Kontemporer Tentang Kufr?
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah ditetapkan, maka penelitian ini
bertujuan untuk memberikan sebuah pemahaman yang utuh tentang konsep
keyakinan terhadap Pencipta yang terdapat pada ayat-ayat tentang kafir dalam
kitab tafsir tafsir karya ulama-ulama Nusantara. Di antara tujuan penelitian
sebagai berikut:
1. Untuk membandingkan penafsiran ayat-ayat kafir dalam tafsir Nusantara
dari masa ke masa.
2. Untuk mengetahui apakah konteks selalu mempengaruhi pemikiran para
mufassir kontemporer di Indonesia.
3. Untuk berpartisipasi dan berkontribusi pada perdebatan masalah kufr.
4. Mendeskripsikan pemikiran ulama Nusantara kontemporer tentang
wacana kufr.
Adapun signifikansi penelitian ini terlihat dari segi teoritis dan
praktisnya:
1. Dalam aspek teoritis
a. Memberikan wawasan tambahan mengenai tokoh Islam Nusantara
yang memiliki corak penafsiran berbeda dari mufassir di dunia Timur.
b. Memberikan wawasan terkait persoalan kafir di dalam al-Quran.
10
c. Memberikan pemahaman yang komprehensif tentang kafir dalam al-
Quran menurut ulama Nusantara kontemporer.
2. Dalam aspek praktis
a. Penelitian ini akan berguna bagi mahasiswa yang hendak menambah
keilmuannya dan menjadi referensi dalam memberikan proses belajar-
mengajar di Fakultas masing-masing, terutama untuk mata kuliah
Metode Tafsir dan Literatur Tafsir Indonesia serta menjadi
perbandingan terhadap penelitian-penelitian yang membahas tentang
tafsir Nusantara.
E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan
Al-Quran dalam kenyataannya berselimutkan sejarah, sehingga
untuk memahaminya maka perlu digunakan pendekatan historis.
Pentingnya budaya pada kosakata al-Quran dalam sejarah Arab dan
pengambilan sudut pandang kosakata yang digunakan harus
dipertimbangkan karena satu dan kata yang sama biasanya
mengasumsikan nilai semantik yang berbeda. Oleh karena itu, penulis
mengambil metode semantik historis yang ditawarkan Izutsu.
Semantik historis bukan sekedar pelacakan sejarah terhadap kata-
kata individual belaka untuk melihat bagaimana kata-kata tersebut berubah
maknanya karena perjalanan sejarah. Akan tetapi, semantik historis
dimulai dengan melakukan pengkajian terhadap sejarah kata-kata
berdasarkan seluruh sistem statis, dengan kata lain, dengan
membandingkan dua permukaan atau lebih dari satu bahasa yang sama,
sehingga menghasilkan tahapan-tahapan sejarah yang berbeda, yang satu
sama lain dipisahkan oleh interval waktu.25
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode sinkronik dan
diakronik Toshihiko Izutsu yang disederhanakan ke dalam tiga periode,
yaitu: Pre-Quranic, Quranic dan post-Quranic.
25 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-Quran,
diterjemahkan oleh Agus Fahri Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 34.
11
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini ditulis dengan menggunakan model penelitian
kualitatif dengan cara mengadakan penelusuran terhadap tiga karya ulama
Nusantara. Di antara tafsir yang dijadikan penulis sebagai rujukan ialah
Tafsir Quran Karim, Tafsir al-Azhar dan Tafsir al-Miṣbāḥ, berikut hasil
karya-karya ilmiah yang terkait dengan pembahasan makna kufr. Dengan
kata lain jenis penelitian ini adalah library research (studi kepustakaan).
3. Sumber Data
Untuk penelitian ini, penulis mengambil empat kitab tafsir karya
ulama Nusantara sebagai rujukan primer (primary resources), yaitu: Tafsir
Quran Karim, Tafsir al-Azhar dan Tafsir al-Miṣbāḥ. Kemudian yang
menjadi rujukan sekunder (secondary resources) adalah tulisan-tulisan
mufassir Nusantara yang terkait dengan pembahasan di atas serta buku-
buku ilmiah, jurnal, artikel, skripsi, tesis, dengan pokok pembahasan
dalam penelitian ini dan dianggap penting untuk dikutip dan dijadikan
informasi tambahan.
4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini yaitu dengan menggunakan
metode dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data dari sumber-
sumber bahan atau kepustakaan yang berkaitan dengan tema penelitian ini.
F. Kajian Pustaka
Penelitian mengenai makna kafir telah banyak dijelaskan dalam
berbagai tulisan-tulisan dan karya-karya, baik secara ringkas maupun detail,
sehingga secara sinkronik dan diakronik terjadi pergeseran makna yang
signifikan. Begitupun berbagai penelitian yang telah dilakukan juga memiliki
perbedaan yang mendasar, seperti beberapa kajian pustaka sebagai berikut:
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Moh. Farid Chair tahun 2015
mengenai Makna Kafir Dalam Kajian Hadis (Sebuah Kajian Tematik Dalam
Shahih al-Bukhari) menyimpulkan bahwa makna kafir dalam hadīth
Rasulullah Saw dalam kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhāri, dapat bermakna orang murtad,
pendusta, pembunuh, pemfitnah, orang yang ingkar nikmat Allah dan orang
12
yang tamak akan dunia. Secara umum dapat dimaknai sebagai penolakan
terhadap Allah dan Rasulullah Saw., sementara hukum bagi mereka yang
dikatakan sebagai orang kafir adalah diperangi dengan syarat mereka memulai
peperangan sebelum umat Islam atau mereka melanggar janji yang telah
disepakati.26
Penelitian yang dilakukan oleh Zulkifli Wahab tahun 2016 mengenai
Iman dan Kufr (Kajian Tahlili Terhadap QS. al-Kahfi/18: 29). Peneliti
menyimpulkan bahwa hakikat kufr adalah orang yang ẓālim karena mereka
telah melawan dan mengingkari kebenaran (haq). Padahal kebenaran datang
dari Allah dan mereka melawan akal murninya sendiri. Artinya mereka
menganiaya diri mereka sendiri. Faktor yang mempengaruhi seseorang itu kafir
adalah dasar dari pemikiran mereka karena akal menjadikan kita dapat
membedakan yang baik dan buruk.27
Penelitian dalam bentuk tesis yang dilakukan oleh Hilal Akbar
mengenai Mafhum al-Kafir fi al-Quran: Dirasah Tahliliyah Dalaliyah
Tarihiyah. Dalam penelitiannya, penulis menyimpulkan bahwa penelisikan
terhadap jaring-jaring interpretasi terminologi kafir sarat dengan nuansa politis
daripada ideologis. Al-Quran mengangkat terminologi ini
mengklasifikasikannya dalam enam kategori. Yaitu kafir inkar, kafir juhūd,
kafir ‘inad, kafir nifāq, kafir ni‘mat dan kafir riddah. Namun dalam tafsiran era
klasik dan kontemporer terminologi kafir berkembang menjadi sesuatu yang
terkait erat dengan pelaku dosa besar dan wacana jahiliyah. Di era kontemporer
ini, terminologi kafir berkembang merujuk kepada sesuatu yang berasal dari
dunia barat yang begitu massif menyerang dunia Islam. Perkembangan ini
terkait dengan faktor-faktor eksternal yang berkaitan dengan kecenderungan
pembacanya ataupun situasi politik budaya di masanya. Dalam kedua era ini
terminologi kufr memiliki relasi yang kuat dengan kekuasaan. Realitas ini
memberikan asumsi bahwa terminologi kafir berubah menjadi alat kepentingan
politik. Wacana keagamaan dan terminologi kafir menjadi bungkus untuk
26 M. Farid Chair, “Makna Kafir dalam Kajian Hadis (Sebuah Kajian Tematik dalam Shahih
al-Bukhari),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015). 27 Zulkifli Wahab, “Iman dan Kufr (Kajian Tahlili terhadap QS. al-Kahfi/18: 29),” (Skripsi
S1 Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar, 2016).
13
menyelimuti kepentingan-kepentingan yang pada dasarnya politis bukan murni
ideologis. Hal ini dibuktikan dengan pergeseran pemaknaannya yang keluar
jauh dari sumber otentiknya yakni teks al-Quran.28
Penelitian Lies Maysaroh dalam bentuk skripsi mengenai
Pengingkaran Kepada Tuhan (Konsep dan Makna Kufr menurut Toshihiko
Izutsu dan M. Quraish Shihab). Penulis menyimpulkan bahwa Izutsu dan
Quraish Shihab menjelaskan kata kufr dan derivasi dengan membagi dua aspek
yaitu makna religius dan non-religius. Metode semantik Izutsu menghasilkan
pengertian kufr bahwa jika seseorang melakukan perbuatan kufr maka ia
disebut dengan kafir yang sejajar dengan kata dhālim dan fāsiq. Sementara
Quraish Shihab melahirkan pemahaman bahwa jika seseorang melakukan kufr
maka ia tidak sejajar dengan istilah yang lainnya karena kata-kata tersebut
memiliki esensi dan eksistensi tersendiri.29
Penelitian dalam bentuk skripsi oleh Rudi Rahmat mengenai
Perumpamaan orang-orang kafir menurut Ibn Katsir dalam Tafsir al-Quran
al-Adhim. Penulis menyimpulkan bahwa perumpamaan orang yang
mengingkari ayat-ayat Allah seperti orang yang menjulurkan lidah ketika
dihalau atau tidak. Perumpamaan amal orang-orang kafir adalah orang
mengumpulkan abu pada saat angin kencang. Perumpamaan orang yang
berlindung selain Allah adalah orang yang berpegang di jaring laba-laba.
Semua ayat tersebut sesuai dengan kondisi dan maksud ayat.30
Penelitian dalam bentuk jurnal oleh Ahmad Zaki Hj. Abdul Latif
mengenai Isu Kafir-Mengkafir dan Implikasinya dalam Perkembangan Politik
dan Sosial Masyarakat Melayu. Penulis menyimpulkan Isu takfir adalah salah
satu bentuk fitnah kepada umat Islam. Hal itu adalah fitnah yang ditimbulkan
oleh musuh Islam yang sengaja menimbulkan kebencian terhadap para
pendakwah. Mereka yang melakukan takfir kemungkinan terdiri dari orang-
orang yang kuat akan keislamannya dan menjalankan syari’at secara ikhlas.
28 Hilal Akbar, “Mafhum al-Kafir fi al-Quran: Dirasah Tahliliyah Dalaliyah Tarihiyah,”
(Skripsi S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009). 29 Lies Maysaroh, “Pengingkaran Kepada Tuhan (Konsep dan Makna Kufr menurut
Toshihiko Izutsu dan M. Quraish Shihab),” (Skripsi S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008). 30 Rudi Rahmat, “Perumpamaan Orang-orang Kafir menurut Ibn Katsir dalam Tafsir al-
Quran al-Adhim,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2015).
14
Namun ketika mereka melihat kemaksiatan atau perilaku murtad maka mereka
langsung memvonis mereka kafir dengan menggunakan pendekatannya. Niat
baik mereka digunakan tanpa ilmu yang dalam dan membuat orang-orang anti-
Islam menuduh mereka sebagai seorang radikal dan ekstrem.31
Penelitian dalam bentuk skripsi oleh Fathur Romdhoni mengenai
Penafsiran Sayyid Qutb atas Kafir dalam Tafsir fi Ẓilal al-Quran. Penulis
menyimpulkan Sayyid Quṭb lebih cenderung menggunakan pendekatan
tekstualis sehingga menyebabkan penafsiran yang tegas dan keras. Sayyid
Quṭb melarang dengan tegas orang Islam untuk memilih pemimpin orang kafir.
Beliau mengeneralisir semua orang non-muslim atau kafir sebagai orang jahat
dan memusuhi Islam sampai kapan dan dimanapun sehingga sampai hari
kiamat pun larangan ini akan berlaku. Karena menurut Sayyid Quṭb Nasrani,
Yahudi dan kafir zaman dulu sama hingga sekarang.32
Dalam beberapa karya yang telah penulis tinjau, penulis belum
menemukan tulisan yang menyinggung mengenai makna atau interpretasi dari
kata kufr yang menggunakan pendekatan historis dalam Q.s. al-Nisā’/4: 112-
114 dan Q.s. al-An‘ām/6: 27-29. Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis akan
menggunakan analisis historis dalam mengkaji dinamika tafsir di Indonesia
khususnya tafsir kontemporer, seperti Tafsir Quran Karim, Tafsir al-Azhar dan
Tafsir al-Miṣbāḥ.
G. Sistematika Penulisan
Agar penulisan tersusun secara sistematis dan rapi sesuai dengan
pedoman penulisan skripsi. Maka penulis menyusun sistematika penulisan
sebagai berikut:
Bab pertama, berisikan pendahuluan. Bab ini meliputi latar belakang
masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka,
metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
31 Ahmad Zaki Hj. Abdul Latif, “Isu Kafir-Mengkafir dan Implikasinya dalam
perkembangan Politik dan Sosial Masyarakat Melayu,” Jurnal Ushuluddin, vol. 17 (2003). 32 Fathur Romdhoni, “Penafsiran Sayyid Qutb atas Kafir dalam Tafsir fi Ẓilal al-Quran,”
(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017).
15
Bab kedua, berisi tentang pembahasan teks, konteks dan tafsir yang
terbagi dalam tiga sub bab yaitu menelusuri teks, memahami konteks, tafsir
sebagai penghubung teks dan konteks
Bab ketiga, berisi tentang gambaran umum konsep kufr yang terdiri dari
tiga sub bab, yaitu: definisi kafir, macam-macam kafir dan sikap terhadap
orang kafir.
Bab keempat, berisi uraian tentang kitab tafsir ulama Nusantara. Dalam
bab ini penulis membagi ke dalam empat subbab yaitu: selayang pandang
Tafsir Quran Karim, Tafsir al-Azhar dan Tafsir al-Miṣbāḥ yang kemudian,
masing-masing dibagi ke dalam sub bab yaitu biografi, karya-karya, latar
belakang penafsiran serta corak penafsiran.
Bab kelima, menjelaskan tentang kontekstualisasi penafsiran ulama
Nusantara atas makna kafir yang terdiri dari empat sub bab yaitu: makna kafir
pra-Islam, penafsiran ulama Nusantara atas makna kafir secara umum,
penafsiran ulama Nusantara atas Q.s. al-Nisā’/4: 112-114 dan penafsiran ulama
Nusantara atas Q.s. al-An‘ām/6: 27-29.
Bab keenam, berisikan penutup, yang terdiri dari kesimpulan, yaitu
jawaban dari pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah serta berisi
saran-saran mengenai penelitian yang dapat dilakukan untuk mengisi
kekosongan dan kekurangan pada penelitian yang terkait.
16
BAB II
TEKS, KONTEKS DAN TAFSIR
A. Menelusuri Teks
Paul Ricoeur memberikan definisi teks sebagai wacana yang telah
ditetapkan dengan bentuk lisan.1 Komaruddin Hidayat mendefinisikan teks
sebagai fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa wacana lisan dalam bentuk
tulisan.2 Teks dalam bahasa Arab disebut dengan istilah naṣ. Kata naṣ
menunjukkan berbagai makna yang dapat dilihat dari empat segi. Pertama,
mengangkat, meninggikan dan memperlihatkan. Kedua, konsistensi dan
reliabilitas. Ketiga, berakhir pada sesuatu dan terakhir, konstruksi dan
gerakan.3 Ibn Manẓūr mengatakan bahwa teks berarti mengangkat,
meninggikan atau menjadikan tampak, sehingga dari kata ini muncul kata al-
minaṣṣah (mimbar atau podium), berada pada posisi tertinggi agar dapat dilihat
oleh audiens.4
Karena itu, al-Jurjānī mendefinisikan teks (naṣ) sesuatu yang
membuat makna semakin jelas terhadap yang tampak pada mutakallim; teks
mengantarkan pembicaraan pada (kejelasan) makna.5 Dalam perspektif ‘ilm al-
Ushul, teks (naṣ) dipahami sebagai lafaẓ yang terdapat dalam al-Quran dan al-
Sunnah yang dijadikan sebagai dalil untuk penetapan hukum suatu masalah.
Teks itu adalah ẓahir (aspek luar) dari redaksi ayat atau hadīth Nabi Saw.6
Dalam linguistik modern, teks dipahami sebagai serangkaian kalimat
yang saling berkaitan; atau setiap kalimat yang saling bertautan dan unsur-
unsurnya memiliki relasi satu sama lain.7 Teks mengandung arti wacana atau
alinea tertulis maupun verbal (diucapkan) dengan ketentuan merupakan satu
1 Paul Ricoeur, Hermeneutics and Human Sciences (New York: Cambridge University
Press, 1981), h. 145. 2 Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta: Teraju: 2004), h. 42. 3 Maḥmūd Ḥasan al-Jāsim, Ta’wīl al-Naṣ al-Qurānī wa Qaḍāyā al-Naḥw, (Damaskus: Dār
al-Fikr al-Mu‘āshir, 2010), h. 40 4 Abū al-Faḍl Jamāl al-Dīn Muḥammad ibn Mukrim Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab () jilid 7,
h. 97 5 ‘Alī ibn Muḥammad al-Sayyid al-Sharīf al-Jurjānī, Mu‘jam al-Ta‘rīfāt, Taḥqīq Ṣiddīq al-
Minshāwī (Kairo: Dār al-Faḍīlah, 2004), h. 202. 6 Ibn Ḥazm, al-Ihkām fi Ushūl al-Ahkām, (Bayrūt: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1400 H), Jilid
1, h. 42. 7 Raddat Allah, Dalālah al-Siyāq (Mekkah: Jāmi‘ah Umm al-Qura, 2003), h.255.
17
kesatuan yang utuh. Wacana adalah organisasi bahasa di atas kalimat atau di
atas klausa. Wacana merupakan seperangkat preposisi yang saling
berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi
penyimak atau pembaca. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang
utuh (novel, buku, ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat atau kata
yang membawa amanat yang lengkap.8
Eksistensi teks pada dasarnya meniscayakan makna yang progresif.
Karena teks selalu terbuka untuk dimaknai. Teks itu bermakna dinamis, karena
relasi antara teks dengan makna bukan hubungan statis, dan pasti. Menurut
Heideger, dan Gadamer teks bahasa tidak memiliki dalālah (penunjukan
makna) tunggal, karena bahasa tidak mesti menunjuk sesuatu.9 Karena itu, teks-
teks, tidak mesti menunjuk sesuatu, dan makna tertentu.
Memahami teks-teks agama, pada dasarnya memiliki kemiripan dalam
memahami teks-teks pada umumnya sebagai sistem simbol (tanda). Simbol-
simbol bahasa menunjuk kepada pandangan, pemahaman dan pikiran dalam
komunitas tertentu, sehingga bahasa berada dalam ranah budaya sebagai sub-
sistem dari budaya itu sendiri.10 Pada tataran inilah pemahaman teks al-Quran
perlu dikaitkan dengan aspek sosial-budaya di mana teks tersebut lahir dan
dikonstruksi. Asbab al-Nuzul dan sistem sosial budaya yang mengitari teks al-
Quran menjadi penting ditelusuri guna memperoleh pemaknaan dan
pemahaman yang lebih kontekstual.
B. Memahami Konteks
Konteks dalam bahasa Arab disebut siyāq yang mengandung arti:
keberturutan, keberlanjutan (al-Tawāliy) atau kehadiran (al-Tawarud). Dengan
kata lain, konteks meniscayakan kehadiran unsur-unsur bahasa yang dilihat
secara berlanjut dan menyeluruh. Menurut Tammām, konteks dapat dilihat dari
dua aspek. Pertama, keberlanjutan unsur-unsur yang menjadikan struktur dan
kohesi itu terjadi. Inilah yang disebut dengan konteks teks (siyāq al-naṣ).
8 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 208 9 Naṣr Hāmid Abū Zayd, Ishkāliyāt al-Qirāah wa Āliyāt al-Ta’wīl (Bayrūt: al-Markaz al-
Tsaqāfī al-‘Arabī, 1999), Cet. 5, h. 42. 10 Azmi Islam, Mafhum al-Ma‘na (Kuwait: Universitas Kuwait, 1986), h. 18.
18
Kedua, keberlanjutan dan kehadiran peristiwa yang menyertai penggunaan
bahasa dan mempunyai relasi dengan komunikasi. Inilah yang disebut dengan
konteks situasi (sosial) atau siyāq al-mawqif. Kedua konteks tersebut
mempunyai relasi seperti relasi umum dan khusus, yang disebut dalālah al-naṣ
(penunjukan atau makna teks) atau qarīnah al-naṣ (indikator teks).11
Konteks (siyāq) tidak dapat dipisahkan dari struktur bahasa. Struktur
linguistik al-Quran pada umumnya mengandung multi-interpretasi. Namun
demikian, pemahaman terhadap konteks redaksi ayat memungkin kita
menyingkap makna yang lebih mendekati kebenaran. Dengan kata lain,
pemahaman konteks membuat interpretasi ayat-ayat al-Quran tidak
terkungkung oleh arti leksikal (ma‘na mu‘jami) suatu lafaẓ atau ungkapan.
Pengalihan arti leksikal ke arah makna kontekstual mutlak dipengaruhi oleh
pemahaman pembaca teks al-Quran. Transformasi makna sedemikian sangat
penting karena al-Quran memang diturunkan dan ditransmisikan dengan
makna dan lafaẓ sekaligus dari satu generasi ke generasi berikutnya.12
Dalam kajian linguistik modern, pemahaman terhadap konteks
dilandasi oleh sebuah asumsi bahwa sistem bahasa itu saling berkaitan satu
sama lain di antara unsur atau unit-unitnya, dan selalu mengalami perubahan
dan perkembangan. Karena itu, dalam menentukan makna, diperlukan adanya
penentuan berbagai konteks yang melingkupinya. Teori yang dikembangkan
oleh Wittgenstein ini mengemukakan bahwa makna suatu kata dipengaruhi
oleh empat konteks, yaitu: (a) konteks kebahasaan, (b) konteks emosional, (c)
konteks situasi dan kondisi, dan (d) konteks sosio-kultural.13
Mengutip pendapat John Rupert Firth, seorang linguis tahun 1930,
mengenai konteks situasi dalam analisis makna. Teori kontekstual sejalan
dengan teori relativisme dalam pendekatan semantik. Makna sebuah kata
terikat pada lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu tersebut.
teori kontekstual mengisyaratkan bahwa sebuah kata atau simbol ujaran tidak
11 Tammām Hassān, Maqālāt fī al-Lughah wa al-Adab (Kairo: ‘Ālam al-Kutub, 2006), juz
2, h. 65 12 Muhbib Abdul Wahab, Pemikiran Linguistik Tamam Hassan dalam Pembelajaran
Bahasa Arab (Jakarta: UIN Press dan CeQDA), h. 228. 13 Zaid Umar ‘Abdullah, “al-Siyāq al-Qurānī wa Atsāruhu fī al-Kashfi ‘an al-Ma‘ānī”
Majalah Universitas al-Malik Su‘ud, 26 Februari 2007, diakses dari www.alukah.net/sharia/0/431/
19
mempunyai makna jika ia terlepas dari konteks. Namun demikian, ada yang
berpendapat bahwa setiap kata mempunyai makna dasar atau primer yang
terlepas dari konteks situasi. Kedua kata itu baru mendapatkan makna sekunder
sesuai dengan konteks situasi. Singkatnya, hubungan makna itu, bagi Firth,
baru dapat ditentukan setelah masing-masing kata berada dalam konteks
pemakaian melalui beberapa tataran analisis, seperti leksikal, gramatikal, dan
sosio-kultural.14
C. Tafsir Sebagai Penghubung Teks dengan Konteks
Menurut Muhammad A.S Abdel Haleem, seorang guru besar di
Universitas London jurusan Studi Islam (Islamic Studies), bahwa tanpa
perhatian terhadap teks bisa dipastikan seorang penafsir akan mendapatkan
pengertian dan kesan yang salah sehingga penjelasannya terhadap ayat akan
keliru atau setidaknya ia akan membuat kesimpulan yang tidak berdasar.
Langkah awal yang tidak boleh diabaikan dalam penafsiran al-Quran
adalah memahami teks, yakni melihatnya dalam aspek kebahasaannya, yaitu
bahasa Arab. Tidak kurang dari sembilan kali al-Quran menyebut bahwa alat
komunikasi yang dipakainya adalah bahasa Arab.15
Keberadaan teks sendiri tidak dapat dipisahkan dari kondisi realitas.
Sebuah teks sangat dipengaruhi oleh historisitas dan subyektifitas yang
mengitarinya, termasuk teks al-Quran. Sejak awal proses pewahyuan, al-Quran
telah bersentuhan dengan bangsa Arab dan bahasa budaya mereka. Setiap ayat
yang turun tidak dipahami sebagai kalimat-kalimat yang tersendiri, melainkan
berkaitan dengan kenyataan sehari-hari.16
Karakter dan corak suatu teks akan senantiasa menggambarkan dan
merefleksikan struktur budaya dan alam pikiran tempat teks tersebut dibentuk.
Demikian juga dengan al-Quran, kondisi sosio-kultural masyarakat Arab atau
kerangkan kebudayaan bangsa Arab saat itu banyak berpengaruh pada
14 Jos Daniel Parera, Teori Semantik, diedit oleh Ida Syafrida dan Yati Sumiharti (Jakarta:
Erlangga, 2004), h. 47-48. 15 Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qurani (Yogyakarta: Qalam, 2007), h. 83. 16 Lilik Ummi Kaltsum, Metode Tafsir Tematis M. Baqir al-Shadr: Mendialogkan Realitas
dengan Teks (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010), h. 26.
20
pembentukan teks al-Quran.17 Peristiwa pewahyuan sebagai titik awal lahirnya
al-Quran merupakan kata kunci untuk menyatakan bahwa ketika wahyu Ilahi
tersebut diwahyukan kepada manusia dengan menggunakan bahasa kaum
tertentu yaitu bahasa Arab, maka hal itu menandakan sifat kesejarahannya.18
Posisi Rasulullah bukan sekedar penyampai wahyu tetapi juga
penjelasnya atau mufassirnya, bukan sekedar membacakannya secara tekstual
tetapi juga menjelaskan kandungan maknanya. Penafsiran yang dilakukan oleh
nabi Muhammad merupakan upaya mendekatkan teks al-Quran dengan realitas
masyarakatnya. Wahyu Ilahi yang pada waktu itu belum terkodifikasi tidak
akan dipahami oleh realitas masyarakat Arab jika tidak ada upaya untuk
menginterpretasikannya. Sebaliknya, teks tersebut tidak akan memiliki makna
jika tidak dimaknai atau ditafsirkan oleh Rasulullah. Inilah yang dimaksud
dengan keberadaan tafsir adalah sebagai penghubung antara teks dan realitas.19
Proses dialektika antara teks al-Quran dengan realitasnya mengalami
perubahan pasca Rasulullah wafat. Setelah proses pewahyuan dan tidak ada
lagi figur yang dipercaya paling memahami kandungan makna al-Quran, maka
teks al-Quran tidak lagi berdialog langsung menghampiri audiensnya melalui
sosok Rasulullah Saw., tidak lagi datang secara berangsur-angsur dan tidak lagi
menyesuaikan diri dengan bahasa audiensnya. Dampak dari perubahan ini
antara lain hubungan dialog yang telah dibangun oleh al-Quran pada masa
turunnya berubah menjadi monologis. Artinya, al-Quran sudah tidak lagi aktif
berdialog tetapi menunggu untuk diajak berdialog atau cenderung dipahami
secara doktrinal.20
Tantangan kultural dan sosiologis yang tengah dihadapi oleh bangsa
saat ini berbeda dari tantangan yang pernah dihadapi oleh bangsa sebelum kita
sekitar beberapa abad yang lalu. Jawaban terhadap tantangan itu tentu berbeda-
beda sesuai dengan perbedaan dalam menyikapi realitas. Bahkan jawaban
17 J. Brugman, An introduction to History of Modern Arabic Literature in Egypt (Leiden:
Ej Brill, 1984), h. 338-340. 18 Lilik Ummi Kaltsum, Metode Tafsir Tematis M. Baqir al-Shadr: Mendialogkan Realitas
dengan Teks, h. 27. 19 Lilik Ummi Kaltsum, Metode Tafsir Tematis M. Baqir al-Shadr: Mendialogkan Realitas
dengan Teks, h. 30. 20 Lilik Ummi Kaltsum, Metode Tafsir Tematis M. Baqir al-Shadr: Mendialogkan Realitas
dengan Teks, h. 31.
21
tersebut berbeda sesuai dengan kesadaran sarjana terhadap problematika
realitas dan klasifikasi yang dilakukannya terhadap problem tersebut sesuai
dengan skala prioritas yang ada dalam benaknya.21
Pelbagai diskursus, peristiwa dan konteks yang melingkupi turunnya al-
Quran tidak akan terulang sama persis pada saat ini. Kondisi fisik dan mimik
Nabi Saw., tatkala menerima wahyu sekaligus cara beliau menafsirkannya dan
mengaplikasikannya dalam sebuah prilaku juga tidak akan dapat dirasakan oleh
umat Islam sekarang dan masa yang akan datang. Fakta ini menunjukkan
bahwa ada rentang waktu yang sangat panjang antara al-Quran sekaligus nabi
Muhammad dengan umat Islam yang hidup dalam dunia modern sekarang.
Inilah problem tafsir yang harus dihadapi oleh mufassir, sehingga mereka dapat
menjelaskan dan mengungkapkan maksud dan kandungan makna al-Quran
yang telah diwahyukan pada masa lalu tetapi harus tetap bisa dijadikan
pedoman hidup sampai akhir masa. Realitas yang melingkupi turunnya al-
Quran otomatis tidak akan sama dengan realitas generasi-generasi sesudahnya
termasuk realitas masa kini.22
Dalam khazanah klasik, khususnya dalam penafsiran teks keagamaan
terdapat pemisahan antara apa yang disebut dengan tafsir bi al-ma’tsur dan
tafsir bi al-ra’yi atau ta’wil. Asumsinya adalah bahwa tafsir model pertama
bertujuan mencapai makna teks melalui sejumlah dalil historis dan kebahasaan
yang membantu pemahaman teks secara obyektif, yakni seperti yang dipahami
oleh mereka yang sezaman dengan turunnya teks al-Quran melalui berbagai
gejala kebahasaan yang terkandung dalam teks dan dipahami oleh sejumlah
orang. Para pendukung kecenderungan pertama ini disebut sebagai ahl al-
sunnah dan salaf al-ṣalih. Sedangkan tafsir bi al-ra’yi dipandang atas dasar
bahwa tafsir ini bukan tafsir yang obyektif, karena mufassir tidak mulai dari
fakta-fakta historis dan gejala kebahasaan, melainkan dari sikap aslinya, lalu
berupaya mencoba menemukan sandaran sikapnya ini dalam al-Quran.
Pendukung kelompok dua adalah para filosof, Mu’tazilah, Syi’ah dan para sufi
21 Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Quran, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2016), h. 7. 22 Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Quran, h. 10-11.
22
yang dipandang secara negatif bahkan dalam beberapa kasus sampai pada
tingkat pengkafiran dan pembakaran buku-buku.23
Sebuah tafsir haruslah sesuai dengan zamannya agar tidak terkesan
usang dan dapat diaplikasikan oleh masyarakat zamannya. Upaya
menyesuaikan bahasa penafsiran atau problem utama penafsiran dengan
realitas sosial yang ada merupakan upaya mengkontekstualisasikan ayat.24 Al-
Quran diturunkan memang bukan untuk menjauh dari konteksnya tetapi justru
reaktif terhadap situasi masyarakat yang terus berubah. Oleh karena itu, al-
Quran menyebut dirinya sebagai kitab revolusi yaitu sebuah kitab yang
mengarah pada proses untuk keluar dari kegelapan menuju alam yang penuh
dengan cahaya Ilahi, sebagaimana yang disebutkan dalam Q.s. al-Baqarah/2:
257.25
Semangat pembaharuan masyarakat inilah yang mendorong para
pembaharu untuk mengkontekstualisasikan al-Quran agar sesuai dengan
kebutuhan masyarakat modern atau upaya untuk modernisasi tafsir. Meski
diyakini bahwa penafsiran Rasulullah adalah yang terbaik, namun bukan
berarti seluruhnya bersifat lintas zaman. Menurut Quraish Shihab penafsiran
Rasûlullah dapat dikategorikan menjadi dua yaitu pertama, penafsiran terhadap
masalah yang bukan dalam wilayah nalar, misalnya tentang ajaran tauhīd,
ibadah dan lain-lain. Kedua, masalah-masalah yang masuk dalam wilayah
nalar, misalnya masalah sosial kemasyarakatan. Kategori kedua inilah yang
harus didudukkan pada proporsinya yang tepat sehingga meniscayakan adanya
perubahan-perubahan dalam penafsiran teks al-Quran.26
Keadaan atau konteks yang mengitari teks al-Quran pada masa
pewahyuan tidak akan sama persis dengan konteks pembaca al-Quran saat ini.
Al-Quran diwahyukan di Jazirah Arab yang adat istiadatnya berbeda dengan
masyarakat lain. Problema yang mereka hadapi tidak akan sama dengan
23 Nasr Hamid Abu Zayd, Hermeneutika Inklusif:Mengatasi Problematika Bacaan dan
Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, terj. Khoiron Nahdliyyin (Jakarta: ICIP, 2004),
h. 6. 24 Nurcholish Madjid, “Pendahuluan” dalam Budhy Munawar Rahman (editor),
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995 M.), h. xxiii. 25 Rashīd Riḍā, Tafsīr al-Quran al-Hakīm (Mesir: Dār al-Manār, 1367 H), juz 3, h. 40. 26 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Masyarakat
(Bandung: Mizan Media Utama, 2007), h. 95.
23
generasi-generasi pasca pewahyuan juga tidak akan sama dengan kondisi
masyarakat di luar Arab. Oleh karena itu, perhatian terhadap konteks inilah
yang seharusnya dipertahankan dalam upaya pemaknaan dan pemahaman al-
Quran, sehingga sampai kapanpun al-Quran senantiasa diposisikan sebagai
petunjuk atau panduan kehidupan yang juga mampu menjawab problematika
kehidupan dan menciptakan sebuah perubahan masyarakat.
Perbedaan suku dan budaya sangat berpengaruh pada cara mereka
menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an termasuk mengaplikasikannya dalam bentuk
ritual-ritual agamis, sehingga muncullah istilah “Islam Mesir”, “Islam Iran”,
"Islam Amerika", “Islam Indonesia” dan lain-lain. Istilah-istilah tersebut
menunjukkan bahwa di dalam Islam terdapat ajaran-ajaran yang bersifat
universal tetapi penafsiran tetapi cara pelaksanaan ajaran universal tersebut
berbeda-beda. Seorang mufassir Indonesia tidak akan sama penafsiran,
pemahaman dan cara penerapannya dengan mufassir Amerika, karena secara
logika problem realitasnya pasti berbeda. Konteks yang mengitari lahirnya teks
tafsir di Amerika tidak akan sama persis dengan konteks yang mengiringi
lahirnya teks tafsir di Indonesia. Keadaan seperti ini diistilahkan oleh Quraish
Shihab dengan logika prioritas.27
Melalui logika ini, sangat tidak layak mufassir masa kini masih
berpegang teguh sepenuhnya dengan model penafsiran ratusan tahun yang lalu.
Dengan semangat "pembumian tafsir al-Quran" mufassir tidak mungkin hanya
mentransfer ulang pemikiran mufassir-mufassir sebelumnya, karena kondisi
realitas dan ”kegelisahan” masyarakat Indonesia pasti berbeda dengan realitas
masyarakat luar. Inilah pekerjaan utama kita warga Indonesia yang sering
bersentuhan dengan penafsiran ayat-ayat al-Quran.
27 Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi: al-Quran dan Dinamika Kehidupan Masyarakat
(Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 97.
24
BAB III
GAMBARAN UMUM KONSEP KUFR
A. Definisi Kafir
Kata kafir berasal dari bahasa arab kafara-yakfuru-kufran-kufūran-
kufrānan yang berarti satara wa ghaṭṭa (menyembunyikan dan menutupi).1 Ibn
Fāris menyebutkan bahwa kafara memiliki makna yaitu al-Satr wa al-
Taghaṭiyyah (menyembunyikan atau menutupi), sedangkan kata al-kufr adalah
lawan kata dari al-iman (keimanan). Dikatakan demikian karena taghṭiyyah al-
Haqq (menyembunyikan kebenaran).2 Begitu juga dengan Ibn al-Athīr
menerangkan bahwa “Asal makna kufr adalah menutupi sesuatu dengan rapat
(taghṭiyyah al-say’ taghṭiyyah tastahlukuh).”3
Al-Ṭahir Ahmad al-Rāzi dalam Qamus al-Muḥīṭ menjelaskan kata
kafara bermakna satara atau ghaṭṭā, yang berarti menutupi. Al-kufr (dengan
harakat Ḍammah) bermakna ḍid al-Īmān (lawan dari keimanan). Dan kāfir
adalah al-jāḥid li an’um Allāh (orang yang mengingkari nikmat-nikmat Allah
Swt.).4 Arti menutupi ini kemudian dipakai juga oleh al-Rāgib al-Asfahānī,
dalam Mu’jam Mufradāt Alfāẓ al-Quran.5 Sedangkan Munīr Ba’albakī dalam
al-Mawrid mengartikan kāfir dengan unbeliever (seseorang yang tidak beriman
atau kafir).6
Demikian halnya di dalam Ensiklopedi Islam, Kāfir juga berarti
menghapuskan atau menutupi, yaitu menyembunyikan sesuatu yang
bermanfaat. Kāfir juga berarti “ungrateful” tidak berterima kasih. Pengertian
tersebut banyak ditemukan di syair-syair Arab yang lama dan dalam al-Quran,
seperti dalam Q.s. Ibrāhīm/13: 7 dan Q.s. al-Rūm/30: 34, bahwa mereka tidak
1 Louis Ma‘lūf, al-Munjid fī al-Lughah (Bayrūt: al-Maktabah Kāthūlīkiyyah, 1956), h. 691. 2 Al-Ḥusain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariya, Mu’jam Maqāyīs al-Lughah (Bayrūt: Dār al-
Fikr, 1979), Jilid 5, h. 191 3 Abū al-Sa‘ādāti al-Mubārak ibn Muḥammad al-Jazarī ibn al-Athīr, al-Nihāyah fi Gharīb
al-Hadīs wa al-Athar (Riyaḍ: Dār Ibn al-Jauzi, 1421 H), h.807. 4 Al-Ṭahir Ahmad al-Rāzi, Qamus al-Muḥīṭ (Riyāḍ: Dār ‘Alam al-Kutub, 1996), cet. 4,
Jilid IV, h. 64. 5 Al-‘Allāmah al-Rāghib al-Aṣfahānī, Mufradāt Alfāẓ al-Quran (Damaskus: Dār al-Qalam,
2009), Cet. 4, h. 714. 6 Munīr Ba‘albakī, al-Mawrid: A Modern English-Arabic Dictionary (Bayrūt: Dār al-‘Ilm
al-Malayin, 1980), h. 1006.
25
berterima kasih atas nikmat yang Allah berikan. Term kafara awalnya
ditujukan kepada orang-orang kafir Mekkah (unbelieving Meccans) yang
selalu berusaha untuk menyangkal dan mencerca Rasulullah Saw.7
Dalam bahasa Arab, kata kufr digunakan untuk berbagai arti, namun
semuanya kembali kepada satu makna di atas. Sedangkan penggunaan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia kata kafir berarti orang yang tidak percaya
kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya.8 Sedangkan kufur adalah sikap tidak
percaya kepada Allah dan Rasul-Nya.9
Kata kufr juga digunakan untuk mengungkapkan makna debu; karena
dia menutupi apa yang di bawahnya. Juga digunakan untuk mengecat kapal;
karena warnanya hitam dan dipakai untuk menutupi.10
Kata kafir juga bisa bemakna air atau minyak. makna ini hanya terdapat
dalam satu ayat yaitu pada Q.s. Al-Insan/76: 5.
س أربون من كأ رار يشأ ب أ كافورا مزاجها كان إن ٱلأ
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas
(berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur.”
(Q.s. al-Insān/76: 5)
Syekh Nawawī al Bantanī mendeskripsikan mengenai maksud air di
sini yakni khamr tersebut dicampur dengan air dari mata air kāfūr. Kapur
adalah nama sebuah sumber air di dalam surga yang airnya lebih putih dari
kapur, baunya harum dan airnya sejuk, akan tetapi rasa dan efek samping yang
berbahaya bagi kafur tidak terkandung di dalamnya, tidak sebagaimana kafur
di dunia.11
Air kapur yang dijelaskan di dalam al-Quran memiliki kemiripan
dengan kapur (CaCO3) yang ada di dunia (Barus, Sumatera Utara) walaupun
kandungan yang ada pada keduanya berbeda. kata kafur atau kapur barus
7 E. Van Donzel, et. al., The Encyclopaedia of Islam (Leiden: E. J. Brill, 1978), Vol. 4, h.
407. 8 Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa (Jakarta: Gramedia
Pustakan Utama, 2008), cet 1, ed. 4, h. 601. 9 Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa, h. 751. 10 Abū al-Faḍl Jamāl al-Dīn Muḥammad ibn Mukrim ibn Manẓūr al-Miṣr, Lisān al-‘Arab
(Bayrūt: Dār al-Ṣadr, t.th), Jilid 5, h. 147. 11 Muhammad ibn ‘Umar Nawawī al-Jāwī, Marāḥ Labīd li Kashf Ma‘na al-Quran al-Majīd
(Bayrūt: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), Juz 2, h. 587.
26
berasal dari asal kata kafr, artinya menutupi atau membasmi. Menurut ilmu
kedokteran kapur barus baunya harum, dingin dan menyegarkan. Tetapi makna
kafur di sini ditunjukkan pada makna kedua yaitu membasmi.12
Saat itu kapur barus atau kamper merupakan barang komoditas di
sebagian besar dunia. Mengenai asal usul kapur barus sangat sulit dilacak,
karena banyaknya sumber tertulis yang berbeda-beda. Namun yang tampak
masuk akal adalah kesimpulan Claude Guillot13, seorang sarjana perancis yang
pernah melakukan penelitian kapur barus. Penelitian pertama berisi teks
prasasti berbahasa Tamil. Kedua, pembahasan sebuah perjalanan maritim di
Asia Timur jauh berbahasa Armenia pada awal abad ke-12. Ketiga, sumber-
sumber Tionghoa lama.
Tulisan dari para ilmuwan dari Abad ke Abad menunjukkan bahwa
kapur digunakan sebagai obat-obatan dan wewangian. Misalnya, hampir semua
buku ilmu kedokteran mencatat bahwa kamper kering dan dingin pada tahap
ketiga. Misalnya, sebuah buku ilmu kedokteran tentang sifat obat-obatan yang
ditulis oleh Ibn Sarabiyūn pada abad 10 M, mengatakan bahwa kamper
bermutu tinggi (al-riyaḥī) adalah suatu bahan alami merupakan jenis kamper
terbaik, paling ringan, paling putih, paling murni dan peling mengkilat.14
Kemudian dalam buku Ibn Baytar bahwa kamper dapat dipakai untuk
mengobati panas dan obat sakit kepala akibat penyakit liver. Begitu pula yang
dituliskan oleh al-Kindi dan Avicenna, bahwa kamper dapat mendinginkan
suhu tubuh yang tinggi, memiliki efek yang menguatkan dan menenangkan
disertai dengan efek harumnya.15
12 Maulana Muhammad Ali, The Holy Quran: Arabic Text, English Translation and
Commentary (Lāhūr: Aḥmadiyyah Anjuman Isha‘at Islām, 1973), h. 1126. 13 Claude Guillot, Lobu Tua: Sejarah Awal Barus, diterjemahkan oleh Daniel Perret
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), h. 22. 14 Claude Guillot, Lobu Tua: Sejarah Awal Barus, h. 228. 15 Claude Guillot, Lobu Tua: Sejarah Awal Barus, h. 229-230.
27
Ibn Ḥazm16 mendefinisikan kufr secara istilah syariat, “kufr adalah
mengingkari ketuhanan dan mengingkari kenabian salah seorang nabi yang
telah sah kenabiannya dalam al-Quran.”17
Al-Qarāfi menerangkan, “Asal makna kufr adalah pelecehan khusus
terhadap kehormatan rubūbiyyah18, baik itu kejahilannya akan keberadaan sang
Pencipta atau sifat-sifat-Nya yang mulia. Kufr juga bisa berwujud perbuatan,
seperti melempar muṣḥaf al-Quran ke dalam kotoran atau sujud kepada berhala
atau berulang kali datang ke gereja dengan mengenakan pakaian khas orang-
orang Nasrani di saat perayaan-perayaan keagamaan mereka atau mengikuti
ritual keagamaan mereka. atau mengingkari sesuatu yang telah ditetapkan
sebagai bagian dari ajaran pokok agama (ma‘lūm min al-dīn bi al-ḍarūrah).19
Toshihiko Izutsu dalam karyanya Ethico-Religious Concepts in the
Quran menjelaskan struktur konsep kufr. Ia menjelaskan kata kafara,
berdasarkan ilmu filologi memiliki arti tutup atau penutup. Menurut konteks,
kata tersebut pada hakikatnya bermakna menutupi yakni mengabaikan dengan
sengaja, kenikmatan yang telah diperolehnya kemudian tidak berterima kasih.
Kemudian sikap tidak berterima kasih berkenaan dengan rahmat dan kebaikan
Tuhan ini direfleksikan dengan cara yang paling radikal dan positif melalui
takdhīb yakni mendustakan Tuhan, Rasul-Nya dan wahyu ilāhi yang
disampaikannya.20
Oleh sebab kufr menurut dua aspeknya yang penting, ‘tidak berterima
kasih dan tidak percaya’, hanyalah akan berakhir dengan penolakan terhadap
Keesaan Tuhan, pada dasarnya ada suatu hal yang dapat disamakan dengan
16 Nama lengkapnya ‘Ali ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Ḥazm ibn Galib ibn Ṣalih ibn Khalaf
ibn Ma‘dan ibn Sufyān ibn Yazid ibn Abi Sufyān ibn Harb ibn ‘Umayyah ibn ‘Abd Shams al-Umawi
dikenal dengan ibn Ḥazm lahir di daerah tenggara kota Cordova pada hari terakhir Ramadan 384
H/7 November 994 M sebelum terbitnya matahari dan ketika sang imam salat subuh selesai
mengucapkan salam. Lihat Mahmūd ‘Ali Himāyah, Ibn Ḥazm wa Manhajuhu fi Dirāsah al-Adyān,
(Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1983), h. 41. 17 Al-Imām Abū Muḥammad ‘Ali ibn Aḥmad Ibn Ḥazm al-Dhāhiri, al-Fiṣal fi al-Milal wa
al-Ahwa’ wa al-Nihal, (Bayrūt: Dār al-Jail, 1996), Jilid 3, 253. 18 Tauhid Rububiyah adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara: penciptaan,
kepemilikan dan pengaturan. Lihat Shaykh al-Islām ibn Taimiyah, Sharḥ al-‘Aqīdah al-Wāsiṭiyah,
disyarah oleh Muḥammad al-Ṣālih al-‘Uthaimīn (Riyāḍ: Dār ibn al-Jauzī, 1421 H), jilid 1, h. 21. 19 Abū al-‘Abbās Ahmad ibn Idrīs al-Shanhājī al-Qarāfi, al-Furūq: Anwār al-Burūq fi
Anwā’ al-Furūq (Bayrūt: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1998), Jilid 4, h. 258. 20 Toshihiko Izutsu, Ethico Religious Concepts In The Quran (Canada: McGill University
Press, 1966), h. 119-120
28
Politeisme atau istilah yang paling umum mengenai bentuk Politeisme adalah
syirik.21
Farid Esack dalam Quran, Liberation and Pluralism: An Islamic
Perpective of Interreligious Solidarity against Oppression memulai penjelasan
kufr dengan mengambil Q.s. Āli ‘Imrān/3: 21-22, bahwa teks tersebut
menggabungkan yang doktrinal (kufr) dengan sosio-politis (keadilan) lebih
jauh daripada wacana liberal. Bukan hanya mencela kufr dan orang-orang yang
menghalangi keadilan, teks ini bahkan menjanjikan bagi mereka “siksaan yang
pedih” dan hilangnya dukungan.22
Kufr dalam al-Quran dan wacana Muslim telah menjadi istilah yang
paling penuh dengan segala celaan bagi kaum lain yang tertolak. Kata ini telah
diserap ke dalam bahasa Turki hingga Perancis. Yang lebih relevan di sini, kata
bentukannya, kaffir, telah masuk ke dalam wacana rasialis Afrika Selatan
sebagai ekspresi paling menghina bagi mayoritas kulit hitam. Leonard
Thompson, Sejarawan Afrika Selatan, mengisahkan bahwa mereka disebut
Cafres karena diyakini bahwa “tidak dijumpai tanda-tanda keyakinan atau
kepercayaan di antara mereka.”23
Al-Quran menggambarkan kufr sebagai perilaku tidak bersyukur yang
bersifat aktif dan dinamis, yang mengarah pada penolakan atas kebenaran dan
karunia Tuhan secara sengaja, dan secara intrinsik terkait dengan itu, suatu pola
tingkah laku arogan dan menindas. Dimana orang-orang kafir umumnya
menindas kaum lemah (Q.s. al-Nisā’/4: 168; Q.s. Ibrāhīm/14: 13).24
Ketika meninjau sisi doktrinal kufr di dalam al-Quran, ada beberapa hal
penting yang mesti diperhatikan untuk menghindari perlakuan tidak adil
terhadap mereka yang tak berlabel “Muslim”. Pertama, ketika al-Quran
mengaitkan kufr dengan doktrin, itu dilakukan dalam konteks sosio-historis
yang real dan yakin bahwa kepercayaan yang tulus pada keesaan Tuhan dan
21 Toshihiko Izutsu, Ethico Religious Concepts In The Quran, h. 130. 22 Farid Esack, Quran, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression (England: Oneworld Publications, 1998), h. 134 23 Farid Esack, Quran, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h. 135. 24 Farid Esack, Quran, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h. 137.
29
pertanggungjawaban akhir kepada-Nya akan membawa pada terwujudnya
masyarakat yang adil. Kedua, al-Quran menggambarkan orang kafir sebagai
sosok orang yang mengetahui keesaan Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai
utusan-Nya namun memilih untuk menolak mengakuinya. Ketiga, yang
dijelaskan al-Quran sebagai kufr adalah perilaku bermusuhan terhadap Islam
dan Muslim. Keempat, al-Quran juga spesifik soal motif keputusan kuffar
untuk memegang keyakinan tertentu.25
Dari sekian banyak definisi, menurut hemat penulis, makna kafir tidak
terlepas dari makna asalnya yaitu menutup. Hal tersebut dapat dilihat ketika al-
Quran menjelaskan petani dengan menggunakan kata kuffār yaitu dalam Q.s.
al-Ḥadīd/57: 20.
يا لعب ن أ ي وة ٱلد ا ٱلأ لموا أن نكمأ وت فاخر وزينة ولأوٱعأ لد كمثل ف تكارو ب ي أ وأ ل وٱلأ و مأ ٱلأفر كفار ن باتهۥ ث يهيج فتىه مصأ جب ٱلأ ث أعأ خرة عذاب وف حطما يكون ث اغيأ ٱلأ
فرة شديد ن م ن ومغأ و ن أ وما ٱلل ورضأ ي وة ٱلد غر ٱلأ ع ٱلأ .ور يا إل مت“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-
megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya
harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan
para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada
azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keriḍaan-Nya. Dan
kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”
(Q.s. al-Ḥadīd /57: 20)
Hal itu dipertegas oleh Hamka bahwa kafir di sini berarti menimbun
dalam Q.s. al-Baqarah/2: 6, sebab kata tersebut merupakan makna asli daripada
kufur yaitu menimbuni atau menyembunyikan, sehingga tidak kelihatan lagi.
Ayat ini mengilustrasikan Petani yang takjub serta mengharapkan sesuatu
disertai kecemasan. Sebab apabila hujan telah turun, tanaman itu akan subur,
yang telah layu karena kekeringan akan menghijau kembali serta diharapkan
kelak akan memberikan hasil yang baik. Kemudian setelah itu kering dan
kersang, karena terik matahari yang berhari berbulan lamanya.26
25 Farid Esack, Quran, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h. 138-139 26 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 27, h. 296
30
Akan tetapi, dalam penggunaannya terhadap kitab suci al-Quran, kata
itu memiliki variasi makna sesuai konteks yang dimaksud oleh ayat tersebut.
Boleh jadi kafir yang dimaksud oleh al-Quran berbeda dengan apa yang
dimaksud oleh kita yang membaca atau menginterpretasinya. Oleh karena itu,
karena itu, penulis berupaya menguraikan keragaman pemaknaan itu pada
pembahasan sendiri secara rinci dan detail di bawah ini.
B. Macam-Macam Kafir
Dalam kamus Lisān al-‘Arab, Ibn Manẓūr mengemukakan kata Kufr ke
dalam delapan jenis, di antaranya27:
1. Kufr al-Inkār
Yakni mengingkari Tuhan dengan hati dan lisan serta tidak
mengenal ketauhidan. Kufr al-Inkār adalah kekafiran dalam arti
pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan, Rasul-Rasul-Nya dan seluruh
ajaran yang mereka bawa. Melalui sudut pandang akidah, orang kafir jenis
ini adalah mereka yang tidak percaya sama sekali dengan Tuhan sebagai
pencipta, pemelihara, pengatur alam semesta ini. Mereka pun mengingkari
rasul-rasul, mendustakan ayat-ayat Tuhan, menolak semua yang bercirikan
gaib, seperti malaikat, kiamat, kebangkitan, surga, neraka dan
sebagainya.28
Mereka yang mengingkari pokok-pokok akidah di atas dapat
dikategorikan sebagai penganut ateisme29, materialisme dan naturalisme.
Orang-orang kafir jenis ini, pada hakikatnya, hanya mempercayai hal-hal
yang bersifat material, alamiah, empiris dan mekanistis. Kalaupun ada di
antara mereka yang mempercayai hal-hal yang inmaterial, seperti
paranormal, telepati, telekinesis dan semacamnya, namun mereka selalu
27 Abū al-Faḍl Jamāl al-Dīn Muḥammad ibn Mukrim ibn Manẓūr al-Miṣr, Lisān al-‘Arab,
h. 144. 28 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), cet 1, h. 105. 29 Ateisme adalah suatu kepercayaan atau paham yang mengingkari adanya keberadaan
Tuhan (Disbelief or lack of belief in the existence of God or gods). Joseph McCabe, Atheism: The
Logic of Disbelief (Arizona, See Sharp Press, 2006), h.8-10.
31
beranggapan bahwa hal demikian dapat dijelaskan dengan penjelasan yang
ilmiah dan tidak ada kaitannya dengan Tuhan.30
Dalam al-Quran dijelaskan bahwa orang-orang kafir seperti itu
menganggap bahwa proses kehidupan di dunia ini berlangsung secara
alamiah murni tanpa adanya intervensi dari luar. Kehidupan yang nyata
dan riil hanya ada di dunia ini dan tidak ada kehidupan setelah kehidupan
dunia ini. Yang menghidupkan dan mematikan mereka hanya waktu (al-
Dahr).31
ر وما ل لكنا إل ٱلدهأ يا وما ي هأ يا نوت ونأ ن أ ل وقالوا ما هي إل حيات نا ٱلد م بذم إنأ همأ إل يظنون .منأ علأ
“Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah
kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada
yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-
kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain
hanyalah menduga-duga saja.”
(Q.s. al-Jāthiyah/45: 24).
Ciri yang sangat menonjol dari orang-orang kafir jenis ini adalah
orientasi mereka yang selalu mengarah kepada dunia saja. Seluruh waktu,
tenaga, pikiran dan umur mereka dihabiskan untuk mencari kenikmatan
dunia. Dalam Q.s. al-Baqarah/2: 212, dijelaskan bahwa kehidupan dunia
ini memang dijadikan indah dan sangat menggiurkan dalam pandangan
mereka yang kafir.32
وٱلذين ٱت خرون من ٱلذين ءامنوا يا ويسأ ن أ ي وة ٱلد زي ن للذين كفروا ٱلأ ق همأ ي وأ ا ف وأ وقوأ
حسابٱلأ زق من يشاء بغيأ ي رأ مة وٱلل .وقي“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang
kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman.
Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada
mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-
orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”
(Q.s. al-Baqarah/2: 212).
30 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 106. 31 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 107. 32 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 107.
32
Kecintaan yang berlebihan terhadap kehidupan dunia adalah
konsekuensi logis dari ketidakpercayaan terhadap kehidupan di balik
kehidupan dunia ini. Karena tidak mempercayai kehidupan akhirat, maka
perhatian mereka tertumpu sepenuhnya pada kehidupan dunia. Dengan
demikian, orang-orang kafir sesungguhnya terdiri atas pribadi-pribadi
yang materialistis dan hedonistis, yang hanya menghargai sesuatu yang
bersifat material serta mendatangkan kenikmatan duniawi yang berwujud
material dan jasmaniah.33
2. Kufr al-Juhūd
Kufr al-Juhūd diambil dari term juhūd yang terdapat di dalam al-
Quran. Menurut Ibn Manẓūr, kafir jenis ini adalah orang yang mengakui
dengan hati (kebenaran dan ajaran-ajaran yang dibawa oleh rasul) tetapi
mengingkari dengan lisan mereka.34 Di antara mereka yang termasuk
dalam kategori ini adalah Fir‘aun. Dalam al-Quran, dijelaskan bahwa
Fir‘aun dan sekutu-sekutunya meyakini bahwa ayat-ayat yang dibawa oleh
Nabi Mūsā As. adalah kebenaran. Akan tetapi, karena keangkuhan dan
kesombongan mereka, keyakinan itu tidak diwujudkan dalam bentuk kata
dan perbuatan. Sebaliknya, mereka memperlihatkan permusuhan dan
pembangkangan.35
مأ ءاي صرة ف لما جاءتأ ر ق ت نا مبأ ذا سحأ ها أنفسه . مبنيالوا ه وقن ت أ ت ي أ مأ وجحدوا با وٱسأم سدين ف وعلو ا اظلأ مفأ وقبة ٱلأ ف كان ع .ٱنظرأ كيأ
“Maka tatkala mukjizat-mukjizat Kami yang jelas itu sampai kepada
mereka, berkatalah mereka: "Ini adalah sihir yang nyata". Dan mereka
mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal
hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa
kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.”
(Q.s. al-Naml/27: 13-14).
33 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 107. 34 Abū al-Faḍl Jamāl al-Dīn Muḥammad ibn Mukrim ibn Manẓūr al-Miṣr, Lisān al-‘Arab,
h. 144. 35 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 122.
33
Di zaman Rasulullah Saw., orang-orang kafir jenis ini umumnya,
terdapat di kalangan Arab Mekkah dan orang-orang Yahudi di Madinah.
Terhadap orang-orang Yahudi, sikap juhūd mereka diungkap oleh al-
Quran. Dalam Q.s. al-Baqarah/2: 89, dijelaskan bahwa mereka,
sebenarnya mengetahui dengan jelas lewat kitab suci mereka (Taurat)
bahwa Muhammad adalah rasul yang dijanjikan oleh Tuhan kepada
mereka. akan tetapi, setelah melihat kenyataan bahwa rasul yang diutus itu
bukan dari golongan dan bangsa mereka, maka timbullah kecemburuan,
kedengkian dan keangkuhan yang berujung pada pengingkaran terhadap
Muhammad Saw.36
Dengan demikian timbulnya kufr al-juhūd bukanlah karena
ketidaktahuan dan ketidakpercayaan terhadap kebenaran, melainkan
karena adanya faktor-faktor tertentu yang menghalangi seseorang
mewujudkan kepercayaan dalam bentuk kata dan perbuatan.37
Iblīs adalah contoh yang gamblang dari kufr al-juhūd. Ia
sebenarnya tahu dan yakin akan keberadaan Tuhan. Bahkan ia sempat
berdialog dengan Tuhan sebagaimana yang diungkapkan dalam beberapa
ayat al-Quran, misalnya ketika iblīs diperintahkan untuk sujud kepada
Adam. karena ia dikuasai oleh rasa dengki, cemburu, sombong, angkuh
dan semacamnya, ia pun membangkang kepada Tuhan dan terjerumus
dalam kekafiran (juhūd).38
3. Kufr al-Mu‘anadāh
Yaitu mengenal Tuhan dengan hati, mengakui Allah dengan lisan
tetapi tidak mau menjadikannya sebagai suatu keyakinan karena adanya
rasa permusuhan, dengki atau semacamnya. Kufur inilah yang juga
dilakukan oleh iblīs, Abū Ṭālib dan para pemuka Quraisy pada masa
Rasulullah Saw.
4. Kufr al-Nifāq
36 Abu al-Hasan ‘Ali ibn Ahmad al-Wahidi al-Naisaburi, Asbāb al-Nuzūl (Bayrūt: Dār al-
Fikr, 1994), h. 16. 37 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 123. 38 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 123.
34
Yaitu mengakui (Tuhan, Rasul serta ajaran-ajarannya) dengan
lisan mereka tetapi mengingkari dengan hati. Al-Bagawī
mendefinisikannya, “Kufr al-Nifāq adalah pengikraran dengan lisan,
namun tidak diiringi keyakinan hati”.39 Ibn al-Qayyim memaparkan
pendefinisiannya, “menampakkan keimanan dengan lisan, namun
menyembunyikan pendustaan dalam hati.”40
Ibn Taymiyyah menjelaskan, “akar nifāq adalah dusta. Seorang
munafik, pasti berbeda antara yang dia tutupi dan dia tampakkan, juga
antara lahir dan batinnya.”41 Ibn al-Qayyim menerangkan, “tanaman nifāq
tumbuh di atas dua batang; batang dusta dan batang riya’. Keduanya
bersumber dari lemahnya hati dan lemahnya tekad. Apabila keempat hal
ini telah menyatu, maka saat itu tanaman nifāq dan bangunannya akan
menguat.”42
5. Kufr al-Shirk
Kufr al-Shirk dalam arti mempersekutukan Tuhan dengan
menjadikan sesuatu, selain diri-Nya, sebagai sembahan, obyek pemujaan
dan atau tempat menggantungkan harapan dan dambaan, termasuk dalam
kategori kufr. Shirk digolongkan sebagai kekafiran sebab perbuatan itu
mengingkari keesaan Tuhan yang berarti mengingkari Tuhan sebagai dhat
yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna.43
Dalam al-Quran, orang-orang musyrik memang terkadang ditunjuk
dengan term kafir disamping term musyrik sendiri. Yang banyak disoroti
oleh al-Quran adalah jenis syirik besar dalam bentuk paganisme atau
keberhalaan. Nabi Nuh sebagai rasul pertama yang menemukan berhala
saat dipuja oleh umatnya. Di antara berhala-berhala itu adalah Wudd,
39 Imam Abi al-Hasan Muhammad ibn al-Husain al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi: Ma’alim
al-Tanzil (Riyāḍ: Dār Ṭayyibah, 1409 H), Jilid 1, h. 64. 40 Al-Imam ibn al-Qayyim al-Jauziyyah Muhammad ibn Abi Bakr al-Zar’i al-Dimashqi,
Madārij al-Sālikīn: Baina Manāzil Iyyāka Na’budu wa Iyyāka Nasta’in (Riyaḍ: Dār al-Ṣamī’ī), h.
909. 41 Ahmad ibn ‘Abd al-Halim Ibn Taymiyyah, Sharh Hadith Jibril,: fi al-Islām wa al-Imān
wa al-Ihsān (t.t: Dār Ibn al-Jauzi, t.th), h. 576. 42 Al-Imam ibn al-Qayyim al-Jauziyyah Muhammad ibn Abi Bakr al-Zar’i al-Dimashqi,
Madārij al-Sālikīn: Baina Manāzil Iyyāka Na’budu wa Iyyāka Nasta’in, h. 931. 43 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 135.
35
Suwā’, Yagūth, Ya‘ūq dan Nasr (Q.s. Nūh/71:23). Sedangkan Nabi Hūd
mendapati kaumnya, ‘Ād, menyembah tuhan-tuhan yang banyak (Q.s.
Hūd/11: 53) dan Nabi Ibrāhīm As., merupakan putra seorang pemahat,
penjual sekaligus penyembah patung berhala (Q.s. al-An‘ām/6: 74; Q.s. al-
Anbiyā’/21: 52). Sampai pada periode Nabi Muhammad, aktivitas
keberhalaan masih menjadi agenda Nabi untuk menghabiskan sisa-sisa
kejahilan.44
Jadi, kemusyrikan dalam bentuk keberhalaan, tampaknya
merupakan ciri dari masyarakat yang masih tradisional seperti halnya umat
para Nabi dan Rasul di atas.45
6. Kufr al-Ni‘mah
Yaitu kufur karena tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan
Allah Swt. Para ahli sependapat bahwa alam ini merupakan satu sistem
atau kesatuan yang saling terkait. Bumi dan sekitarnya adalah satu sub
sistem dari sistem alam raya. Sedangkan manusia yang mendiami bumi
dapat dianggap sebagai sub sistem dari bumi karenanya ia merupakan sub-
sub sistem dari alam raya secara keseluruhan.46 Kemudian al-Quran
menyatakan bahwa bumi dan isinya dicipta untuk kepentingan manusia
(Q.s. al-Baqarah/2: 29). Maka sangatlah tepat bila dikatakan bahwa semua
yang ada di alam ini, yang di atur oleh dhat yang Maha Kuasa, yang tidak
menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada, merupakan
nikmat bagi manusia.47
Akan tetapi ada beberapa makhluk yang membangkang dan tidak
berterima kasih akan nikmat yang diberikan. Kufur nikmat merupakan
kecenderungan yang sangat kuat pada diri manusia. Misalnya, ungkapan
44 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 137. 45 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 138. 46 N. J. Greenwood, J. M. B. Edwards, Human Environments and Natural Systems
(Massachusetts: Duxbury Press, 1979), h.18. 47 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 145.
36
ẓalūm kaffār dalam Q.s. Ibrāhīm /14: 34 dan kafūr mubīn yang terulang
sebanyak sepuluh kali dalam al-Quran.48
Kufur nikmat, dalam arti penyalahgunaan nikmat-nikmat Tuhan,
sebenarnya, telah dilakukan secara langsung oleh orang-orang yang
tergolong kafir (kafir ingkar, kafir juhūd, musyrik dan munafik). Mereka
terlibat dalam penyalahgunaan nikmat karena-nikmat Tuhan karena tidak
menggunakan nikmat Tuhan pada tempat yang sewajarnya dan diridai oleh
Tuhan.49
7. Kufr al-Irtidād (murtad), yakni kembali menjadi kafir sesudah beriman
atau keluar dari Islam. istilah irtidad merupakan berasal dari kata radd
yang berarti berbalik kembali. Murtad adalah keluar dari Islam menjadi
kafir, baik dengan niat, ucapan atau perbuatan yang menyebabkan
seseorang dikategorikan kafir.50
8. Kufr al-Barā’ah, yakni membersihkan diri atau berlepas diri atau
menyelamatkan diri dari sesuatu. Sikap ini lebih mengarah kepada sikap
berlepas diri dari tanggung jawab seperti yang dilakukan shayṭān. Hal ini
sejalan dengan firman Allah Q.s. Ibrāhīm/14 :22.
ط وقال ٱ ر إن الشيأ مأ ق ووعدت ن لما قضي ٱلأد ٱلأ تكمأ وما ٱلل وعدكمأ وعأ لفأ كمأ فأخأ
ط ك كم م ن سلأ تمأ ل فل ت لوم اان ل عليأ تجب أ تكمأ فٱسأ أن دعوأ و ولوموا أنفسكم ن إلرخي ما رخكمأ وما أنتم بصأ تمون أن بصأ ركأ ت با أشأ كفرأ ل إن ٱ إ لمني الظ من ق بأ
.لمأ عذاب أليم“Dan berkatalah shayṭān tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan:
"Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang
benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku
menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu,
melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi
seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku akan tetapi
cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu
dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya
aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku
48 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 146. 49 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 148. 50 Muhammad Mutawalli, “Murtad: Antara Hukuman Mati dan Kebebasan Beragama,”
OSF, (Oktober 2017), diakses pada tanggal 15 April 2018 di https://osf.io/hsmkc/.
37
(dengan Allah) sejak dahulu". Sesungguhnya orang-orang yang
zalim itu mendapat siksaan yang pedih.”
(Q.s. Ibrāhīm/14 :22).
C. Sikap Terhadap Orang-Orang Kafir
Pluralitas diyakini sebagai sunnatullah yang dikehendaki-Nya.
Keadaan plural yang meliputi berbagai macam golongan dan kelompok
menyebabkan masyarakat harus dapat hidup berdampingan dalam satu
lingkungan. Ketika hidup bermasyarakat tersebut, tentunya ada yang menjadi
golongan mayoritas dan minoritas. Kerap terjadi, kelompok mayoritas bersikap
intoleran terhadap minoritas, sehingga terjadi penganiayaan atau pelanggaran
hak asasi manusia.51 Untuk itu al-Quran turun menawarkan berbagai solusi
dalam menyikapi pluralitas yang sering menjadi tanda tanya. Berikut penulis
paparkan pada pembahasan selanjutnya.
1. Sikap Keagamaan
Sikap toleransi dalam hal keyakinan dan menjalankan peribadahan
mengundang banyak tanya oleh umat muslim, khususnya di Indonesia.
Konspe terpenting dalam toleransi Islam adalah menolak sinkretisme.
Yaitu kebenaran itu hanya ada pada Islam dan selain Islam adalah batil.
Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.s. Āli ‘Imrān/3: 19.
Kaum muslimin dilarang rida atau bahkan ikut serta dalam segala
bentuk peribadatan dan keyakinan orang-orang kafir dan musyrikin
sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah Q.s. al-Kāfirūn/109: 1-
6.
Hendaklah seorang muslim untuk membebaskan diri dari
mengikuti orang-orang kafir dalam semua hal yang ada pada mereka,
karena seorang penyembah harus memiliki sembahan yang ia sembah
dengan cara tertentu.52
Lalu bagaimana persoalan mengucapkan selamat natal kepada
umat Nasrani? Pada tahun 2012, Dār al-Iftā’ Mesir menyatakan ucapan
51 Samsul Hadi Untung dan Eko Adhi Sutrisno, “Sikap Islam Terhadap Minoritas Non-
Muslim,” Jurnal Kalimah, vol. 12, no. 1 (Maret 2014), h. 27. 52 Muhammad Yasir, “Makna Toleransi Dalam al-Quran,” Jurnal Ushuluddin, vol. 22, no.
2 (Juli 2014), h. 172-173
38
selamat natal boleh ditujukan kepada kaum Nasrani. Ucapan tersebut
merupakan bentuk interaksi sosial dan hadiah. Namun, ia memberikan
cacatan agar berhati-hati dalam pemberian selamat tersebut tetap dalam
koridor dan tidak keluar dari akidah Islam.53
Pada tanggal 7 Maret 1981, Hal yang sama pernah dilakukan oleh
Hamka yang menentang pemerintah dengan mengeluarkan fatwa
haramnya mengucapkan selamat Natal oleh umat Islam.54 Kemudian
Quraish Shihab menjelaskan hal tersebut dengan mengawali penafsirannya
terhadap Q.s. Maryam/19: 33 bahwa kalaupun non-muslim memahami
ucapan itu sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena
seorang muslim yang mengucapkannya memahami ucapannya sesuai pula
dengan keyakinannya.55 Artinya ucapan selamat natal merupakan ajaran
al-Quran sebagai bentuk penghormatan terhadap Nabi. Adapun larangan
pengucapan selamat Natal oleh MUI menurutnya lebih banyak ditujukan
kepada mereka yang khawatir akan hilangnya akidah.56
Dari hasil uraian di atas, penulis memahami bahwa ucapan natal
tidak seharusnya di ucapkan kepada orang kafir. Hal itu tidak akan
mengurangi rasa toleransi kita terhadap mereka. Sebab, sikap toleransi
dengan tidak mengganggu dan mencaci-maki ibadah dan keyakinan
mereka.
2. Interaksi Sosial
Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap manusia sangat
membutuhkan interaksi dengan manusia lainnya agar nalurinya sebagai
makhluk sosial dapat tersalurkan. Di dalam al-Quran dijelaskan bahwa
manusia adalah makhluk sosial yang berasal dari satu jenis (Q.s. al-
Nisā’/4: 1), kemudian berkembang biak melalui perkawinan yang
53 Nasih Nasrullah, “Ini Sikap Lembaga Fatwa Timur Tengah Soal Natal,” artikel diakses
pada tanggal 20 Maret 2018 dari http://m.republika.co.id/berita/dunia-
islam/fatwa/13/12/24/myau5b-ini-sikap-lembaga-fatwa-timur-tengah-soal-natal. 54 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar (Jakarta: Penamadani, 2004),
h. 54 55 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran (Jakarta:
Lentera Hati, 2003), vol. 8, h. 184. 56 Daniel Prima, “Penafsiran Ucapan Selamat Natal Dan Prinsip-Prinsip Toleransi
Beragama Dalam Tafsir al-Miṣbāḥ,” Analytica Islamica, vol. 4, no. 1 (2015), h. 8.
39
membentuk keluarga kecil hingga keluarga besar (Q.s. al-Furqān/25: 54),
kemudian berkembang menjadi suku, ras dan bangsa (Q.s. al-Ḥujurāt/49:
13) dan menjalin interaksi sosial dalam berbagai bidang kehidupan (Q.s.
al-Zukhrūf/43: 32). 57
Jalinan interaksi ini tidak saja dapat dibina antara sesama Muslim,
tetapi juga dapat menembus batas dan sekat keluarga, kelas, suku, rasial,
bangsa dan agama sekalipun. Dengan kata lain, al-Quran sama sekali tidak
menghalangi umat Islam untuk membina hubungan sosial dengan orang-
orang non-Islam, termasuk orang-orang kafir. Hal demikian dapat terjadi
selama tidak merusak atau menggangu kehidupan agama masing-
masing.58
Dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang memberikan
kelonggaran kepada orang-orang Islam, baik tersurat maupun tersirat,
untuk membina hubungan sosial yang konstruktif dengan orang-orang
selain Islam. Sebagaimana firman Allah dalam Q.s. al-Mumtaḥanah dan
Q.s. al-Ḥujurāt.59
رجوكم م ن دي ين ولأ يأ تلوكمأ ف ٱلد هىكم ٱلل عن ٱلذين لأ ي وق
ركمأ أن تروهمأ ل ي ن أسطني موقأ إن ٱلل يب ٱلأ
همأ سطوا إليأ .وت وقأ“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berlaku adil.”
(Q.s. al-Mumtaḥanah/60: 8).
نكم م ن ذكر ي ها ٱلناس إن خلوقأ كمأ ى وأنث ي ن وق بائل وابشع وجعلأ
رمك أ إن لت عارف وا مأ كأ
إن ٱلل عليم خبيوقىكمأ .عند ٱلل أت أ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.”
57 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 208. 58 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 208. 59 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 209.
40
(Q.s. al-Ḥujurāt/49: 13).
Pada ayat terakhir, Tuhan secara eksplisit menyebutkan bahwa
perbedaan warna kulit dan suku adalah realitas yang disengajakan oleh-
Nya. Akan tetapi, perbedaan itu sendiri tidaklah dimaksudkan agar
manusia diperlakukan secara diskriminatif berdasarkan warna kulit, suku
dan bahasanya. Perbedaan itu hanyalah merupakan petanda-petanda
Tuhan di alam ini.60
Dengan demikian, perbedaan agama dan keyakinan tidak dapat
dijadikan dalih oleh seorang Muslim untuk menjauhi atau memusuhi orang
lain. Dalam Q.s. Luqmān/13: 14-15, justru memerintahkan manusia agar
senantiasa tunduk dan patuh kepada orang tua, meskipun keduanya
musyrik.61
3. Kritik Sosial
Meskipun Rasulullah tidak diperintahkan untuk mengislamkan dan
memukminkan seluruh umat manusia secara paksa, namun prinsip dakwah
Islam menggariskan bahwa kemungkaran, penyelewengan, penyimpangan
dan perbuatan-perbuatan jahat lainnya, harus dihilangkan. Paling tidak,
kejahatan-kejahatan itu harus diperangi dengan berbagai cara.
Menghilangkan berbagai bentuk kejahatan dan ketimpangan yang
dimaksud, juga merupakan upaya yang harus ditempuh untuk mencapai
salah satu tujuan Islam yaitu menciptakan tata sosial moral yang
egalitarian dan berkeadilan.62
Upaya-upaya yang disebutkan di atas merupakan bagian dari
makna jihad dalam Islam. Jihad, pada dasarnya, adalah perjuangan dengan
mengerahkan segala kesungguhan dan daya upaya untuk mencapai tujuan
dalam melawan musuh atau dalam mempertahankan kebenaran, kebaikan
60 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 209. 61 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 210. 62 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 216.
41
dan keluhuran. Meskipun demikian, jihad tidak selalu diidentikkan dengan
perang.63
Dalam al-Quran perintah berjihad diterangkan secara gamblang
terhadap orang-orang kafir. Hal itu diterangkan dalam firman Allah Q.s.
al-Taubah dan Q.s. al-Furqān.
ها ياهمأ و ي لظأ عليأ منافوقني وٱغأ كفار وٱلأ همأ جهنم وبئأ ٱلنب جاهد ٱلأ وى
أمصي.مأ س ٱلأ
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-
orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat
mereka ialah jahannam. Dan itu adalah tempat kembali yang
seburuk-buruknya.”
(Q.s. al-Tawbah/9: 73).
ك هم بهۦ جهادا كبيا افرين وج افل تطع ٱلأ .هدأ“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan
berjihadlah terhadap mereka dengan al-Quran dengan jihad yang
besar.”
(Q.s. al-Furqān/25: 52)
Perintah jihad terhadap orang kafir dapat meliputi semua bentuk
jihad. Pada ayat kedua di atas, perintah berjihad terhadap orang-orang kafir
adalah dengan menggunakan al-Quran. Ini berarti bahwa jihad terhadap
mereka tidak selalu harus berkonotasi perang fisik tetapi juga meliputi
perjuangan moral dan spritual. Meskipun demikian, harus diakui bahwa
makna jihad terhadap orang-orang kafir yang dimaksud dalam al-Quran,
seringkali berkonotasi perang. Di samping itu, terdapat ayat-ayat lain yang
berisi perintah untuk melakukan qitāl (menghilangkan nyawa dari badan)
dalam arti perang, terhadap orang-orang kafir.64
Misalnya, dalam Q.s. al-Baqarah/2: 190-193 yang menyebutkan
bahwa Perintah “perangilah di jalan Allah” menjelaskan bolehnya
melakukan perang selama peperangan itu di jalan Allah, yakni untuk
menegakkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa serta kemerdekaan dan
kebebasan yang sejalan dengan tuntutan agama.Ayat ini juga menjelaskan
63 Muhammad Rashīd Riḍa, Tafsir al-Quran al-Hakīm (Miṣr: Dār al-Manār, 1367 H), Jilid
6, h. 370. 64 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 218.
42
kapan peperangan dimulai, yakni saat diketahui secara pasti bahwa
ada “orang-orang yang memerangi”, yakni sedang mempersiapkan
rencana dan mengambil langkah-langkah untuk memerangi kaum
muslimin atau benar-benar telah melakukan agresi. Ini dipahami dari
penggunaan bentuk kata kerja masa kini (muḍāri’) yang mengandung
makna sekarang dan akan datang pada kata yuqaatilunakum (mereka
memerangi kamu). Dengan demikian ayat ini juga menuntun kita agar
tidak berpangku tangan menanti sampai musuh memasuki wilayah atau
mengancam ketentraman dan perdamaian.65
Baik ayat-ayat yang memerintahkan jihad maupun ayat-ayat qitāl
terhadap orang-orang kafir, semuanya menunjukkan bahwa tindakan
kekerasan, memang sewaktu-waktu dilakukan terhadap mereka. Akan
tetapi harus dicatat bahwa tindakan keras itu hanya dapat dilakukan bila
ada alasan-alasan kuat yang mendasarinya. Islam melarang umatnya
melakukan agresi dan intervensi terhadap umat lain. Prinsip Islam adalah
membela dan mempertahankan diri dari atau membalas secara setimpal
atas, setiap perbuatan agresi pihak lain.66
Demikianlah bentuk tindakan atau pun jihad yang dapat dilakukan
terhadap orang-orang kafir. Dari uraian itu, terlihat bahwa yang dapat
ditindak secara tegas hanyalah orang-orang yang benar-benar kafir, dalam
arti menyatakan kekafiran mereka secara terang-terangan dan mengadakan
agresi yang mengancam keamanan dan eksistensi negara dan umat Islam.67
Sikap kita terhadap orang yang beridentitas kafir tidak selamanya
berbentuk kekerasan. Akan tetapi, perbedaan agama dan keyakinan
dijadikan sebagai kesempatan untuk mengenal ciptaan Allah yang
diciptakan berbeda. Berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
non-Muslim, atas dasar kemanusiaan, adalah perilaku etis yang bercirikan
Islami.
65 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Quran, (Tangerang: Lentera Hati, 2000), Jilid 1, h. 392. 66 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 218-219. 67 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, h. 226.
43
BAB IV
KITAB TAFSIR ULAMA NUSANTARA
Pemahaman atas ayat-ayat al-Quran bergerak secara dinamis seiring
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Begitu pula penafsiran yang
dilakukan oleh para mufassir, khususnya di Indonesia, mereka menafsirkan al-
Quran karena banyaknya tantangan dari internal maupun eksternal serta untuk
menjawab polemik-polemik baru yang tidak ditemukan di zaman Rasulullah,
Sahabat maupun Tābi‘īn.
Penulis mengambil periodesasi Islah Gusmian yang mengklasifikasikan
tafsir Nusantara ke dalam tiga generasi (Tafsir Qur’an Karim karya Mahmud
Yunus, Tafsir al-Azhar karya Hamka dan Tafsir al-Miṣbāḥ karya Quraish Shihab).
Berikut penulis paparkan mengenai biografi, karya-karya mereka, corak
penafsirannya dan latar belakang penulisan kitab tafsirnya:
A. Selayang Pandang Tafsir Qur’an Karim
Sebelum menjelaskan kitab tafsir yang ditulis oleh Mahmud Yunus,
terlebih dahulu penulis akan menelusuri latar belakang beliau, baik sebelum
maupun setelah menulis kitab tafsirnya, seperti yang akan dijelaskan sebagai
berikut:
1. Biografi Mahmud Yunus
Mahmud Yunus dilahirkan pada tanggal 10 Februari 1899 M.
Bertepatan dengan tanggal 29 Ramaḥan 1316 H di Desa Sungayang, Batu
Sangkar, Sumatera Barat. Tahun kelahirannya bersamaan dengan
dicetuskannya politik etis atau dikenal oleh masyarakat dengan zaman
politik balas jasa dari pemerintah kolonial Belanda.1
Mahmud Yunus di waktu kecil dikenal sangat kuat hafalannya.
Jika beliau mendengarkan suatu cerita maka beliau dapat mengulangi
cerita tersebut secara utuh, dari awal sampai akhir. Ketika berumur 7 tahun
beliau telah menunjukkan minta untuk memperdalam dalam belajar
1 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 58.
44
membaca al-Quran di bawah bimbingan kakeknya, M. Thahir yang dikenal
dengan nama Engku Gadang.2
Saat itu, di Minangkabau, kebijakan politik pendidikan kolonial
Belanda (politik etis) didasari karena rasa takut mereka akan Islam. Di
mata kolonial Belanda, Islam dipandang sebagai ancaman sehingga
mereka banyak mendirikan sekolah-sekolah.3 Akan tetapi, hal itu tidak
membuat semangat Mahmud Yunus untuk mengembangkan pendidikan
Islam di Indonesia. Alhasil banyak karya-karya beliau yang berhasil
direalisasikan kepada masyarakat pribumi bahkan masih digunakan
sampai sekarang. Adapun karya-karya beliau, penulis cantumkan
dipembahasan selanjutnya.
2. Karya-Karya Tulis Mahmud Yunus
Mahmud Yunus di masa hidupnya dikenal sebagai seorang
pengarang yang produktif. Aktivitasnya dalam melahirkan karya tulis
tidak kalah penting dari aktivitasnya dalam lapangan pendidikan. Pada
perjalanan hidupnya, beliau telah menghasilkan buku-buku karangannya
sebanyak 82 buku. Berikut ini di antara buku-buku karya Mahmud Yunus:
a. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Buku ini menjelaskan tujuan
pendidikan Islam serta metode pengajarannya dalam upaya
mendekatkan diri kepada Allah Swt., dan berbakti kepada bangsa dan
tanah air.4
b. Pelajaran Bahasa Arab I-IV.
c. Al-Tarbiyah wa al-Ta’lim atau kitab pendidikan dan pengajaran. Kitab
ini adalah kitab yang secara umum membicarakan tentang masalah
pendidikan. Kitab ini terdiri dari beberapa juz yaitu, juz awal, tsani
dan tsalis. Setiap bagian-bagiannya mengajarkan tahapan tahapan
dalam konsep tarbiyah.5
2 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 61. 3 Mardjani Martamin, dkk. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatera Barat,
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), h. 46-47 4 Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama (Jakarta: Hidakarya Agung, 1999). 5 Mahmud Yunus dan Qosim Bakri, al-Tarbiyah wa al-Ta‘lim (Bukittinggi: Nusantara,
1953).
45
d. Durus al-Lughah al-‘Arabiyah ‘ala al-Ṭariqah al-Hadīṡah I dan II.
Buku pelajaran bahasa Arab yang tersusun secara sistematis mulai
dari penjelasan kosakata, bacaan, percakapan dan tata bahasa,
sehingga memudahkan bagi orang Indonesia untuk mempelajari
bahasa Arab.6
e. Kamus Arab Indonesia.7 Kamus yang tersusun sesuai dengan urutan
huruf mu’jam (alfabetis) yang dilengkapi dengan gambar pada
halaman awal dan beberapa pelajaran bahasa arab (tasrif) di halaman
belakang sehingga memudahkan orang-orang Pribumi bagi yang
hendak mempelajari bahasa Arab.
f. Tafsir Qur’an Karim. Kitab tafsir al-Quran, 1 jilid, yang bentuk
tafsirnya menggunakan footnote (catatan kaki) dan berisi penjelasan
yang ringkas dan jelas.
g. Do’a-do’a Rasulullah.
h. Fiqh al-Waḍih, kitab fikih yang dijadikan sebagai bahan ajar
Madrasah Ibtidaiyah. Silabus buku ini dimulai dari pembahasan
Tahārah sampai jenazah.
Dari banyaknya karya tulis yang telah dihasilkannya, penulis melihat
kecenderungan karya-karya tulis beliau banyak mengomentari tentang
pendidikan Islam di Indonesia khususnya dalam metode pengajaran dan bahasa
Arab. Selain itu, penulis melihat beliau tetap mempertahankan sisi kebahasaan
ketika menulis, dengan kata lain beliau menggunakan corak lughawī (bahasa),
seperti kitab Tafsir Qur’an Karim merupakan salah satu kitab yang masih
dijadikan sebagai bahan bacaan bahkan telah mengalami pencetakan berulang
kali.8
Pada tahun 1922, di Indonesia, sebelum beliau menulis kitab tafsirnya,
Mahmud Yunus melakukan kegiatan penerjemahan al-Quran dan diterbitkan
tiga Juz dengan huruf Arab-Melayu. Hal tersebut dilakukan untuk memberi
6 Mahmud Yunus, Durus al-Lughah al-‘Arabiyyah ‘ala al-Ṭariqah al-Hadithah (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1927), Jilid I dan II. 7 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Ciputat: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2010) 8 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 69-72.
46
pemahaman bagi masyarakat yang belum begitu paham terhadap bahasa Arab.
Akan tetapi, pada waktu itu, mayoritas ulama Islam mengatakan haram
menerjemahkan al-Quran, akan tetapi beliau tidak mendengarkan bantahan itu.
Kemudian usahanya itu berhenti, karena beliau ingin meneruskan studinya ke
Mesir. Sepulang menuntut ilmu, tepatnya pada bulan Ramaḍan tahun 1354 H
(Desember 1935), beliau mulai kembali menerjemahkan al-Quran serta tafsir
ayat-ayat penting yang diberi nama “Tafsir Qur’an Karim”. Berkat pertolongan
Allah Swt. akhirnya pada bulan April 1938, beliau berhasil menerjemahkan
dan menafsirkan al-Qur’ān sampai 30 Juz.9
Menurut hemat penulis, Tafsir Qur’an Karim di dalam penulisannya
cenderung menggunakan corak penafsiran lughawī (bahasa). Hal itu dapat
dideteksi oleh pembaca, ketika beliau menafsirkan Q.s. al-Baqarah/2: 46
dengan mengambil يظنون (yaẓunnūn) sebagai kata kunci untuk menjelaskan
ayat tersebut. kemudian di dalam Q.s. al-Baqarah/2: 102, beliau menjelaskan
satu kata kunci yang dimaksud di dalam ayat tersebut yaitu kata سحر (sihr).10
B. Selayang Pandang Tafsir al-Azhar
Sebelum menjelaskan kitab tafsir yang ditulis oleh Haji Abdul Malik
Karim Amrullah atau yang kerap kali disapa Buya Hamka, terlebih dahulu
penulis akan menelusuri latar belakang beliau, baik sebelum maupun setelah
menulis kitab tafsirnya, seperti yang akan dipaparkan di bawah ini:
1. Biografi Buya Hamka
Nama Hamka merupakan singkatan dari H. Abdul Malik Karim
Amrullah, dimana nama itu didapatkannya sesudah beliau menunaikan
ibadah haji pada 1927 dan mendapat tambahan gelar Haji. Beliau
dilahirkan di Desa Tanah Sirah, Nagari Sungai Batang, di tepi Danau
Maninjau, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908 M bertepatan dengan
14 Muharram 1326 H.11
9 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 74 10 Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim (Jakarta: Hidakarya Agung, 2002), h. 21-22. 11 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 170.
47
Hamka mengawali pendidikan membaca al-Quran di rumah orang
tuanya ketika mereka sekeluarga memutuskan pindah ke Padang Panjang
tahun 1914. Sepanjang perjalanan intelektualnya beliau banyak belajar di
madrasah-madrasah dan guru-guru yang mumpuni dalam bidangnya,
sehingga ilmu yang beliau dapatkan sangat berperan dalam perkembangan
pendidikan di Indonesia saat itu.12
Alhasil, beliau memperoleh kedudukan istimewa, baik di
pemerintah jepang maupun masyarakat Indonesia itu sendiri, dan pernah
menjabat sebagai Ketua Umum MUI pertama sejak tahun 1975, walaupun
pada akhirnya mengundurkan diri karena masalah perayaan “natal
bersama” antara umat Kristen dan agama lain.13
Oleh karena itu, dalam penulisan kitab tafsir dan karya-karya
lainnya, lingkungan sosial di sekitar Hamka memiliki peran penting ketika
beliau menuangkan gagasan-gagasan serta ide-idenya. Berikut akan
dicantumkan beberapa tulisan-tulisan beliau selama hidupnya.
2. Karya-Karya Tulis Buya Hamka
Hamka telah banyak menulis karya-karya dalam bentuk fiksi,
sejarah, doktrin Islam, etika, tasawuf, politik, adat Minangkabau dan tafsir.
Yang sudah dibukukan tercatat lebih kurang 118 buah, belum termasuk
karangan-karangan panjang dan pendek yang dimuat di berbagai media
massa dan disampaikan dalam beberapa kesempatan kuliah atau ceramah
ilmiah. Di antara karya-karya Hamka adalah sebagai berikut:
a. Di Bawah Lindungan Ka’bah, sebuah novel sekaligus karya sastra
klasik yang mengisahkan tentang percintaan Hamid dan Zainab yang
saling mencintai kemudian terpisah karena perbedaan latar belakang
sosial.14
b. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, sebuah novel yang
menceritakan persoalan adat yang berlaku di Minangkabau dan
12 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 171. 13 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 176. 14 Haji Abdul Malik Karim Abdullah, Di Bawah Lindungan Ka’bah (Bulan Bintang, 1938)
48
perbedaan latar belakang sosial yang menghalangi hubungan cinta
sepasang kekasih hingga berakhir dengan kematian.15
c. Falsafah Hidup, buku ini menjelaskan rahasia kehidupan dan perilaku
manusia.16
d. Tasawuf Modern, buku ini menguraikan tentang tasawuf.17
e. Pandangan Hidup Muslim, buku ini berasal dari tulisan-tulisan
Hamka dalam rubrik Majalah Panji Masyarakat (sejak 1959-1960).
Buku ini memaparkan bahasan yang memberikan sajian diksi yang
begitu menarik. Disisipkannya beberapa pembahasan yang bukan saja
hanya dari sudut pandang Islam, melainkan juga dari sisi keilmuan,
keindahan, kebudayaan, dan lain sebagainya.18
f. Kedudukan Perempuan Dalam Islam, buku yang menceritakan
tentang wanita ini merupakan salah satu dari sekian banyak karya
Hamka. Buku ini juga menjelaskan bagaimana sesungguhnya
kedudukan dan hak-hak istimewa perempuan dalam islam.19
g. Tafsir al-Azhar.20 Merupakan kitab tafsir lengkap 30 juz yang
tersusun dengan menggunakan tartīb muṣḥafi (urutan muṣḥaf).21
Melalui pembacaan terhadap karya-karya beliau di atas, penulis melihat
kepiawaian Hamka dalam bidang kesusasteraan dan lihai dalam
mengungkapkan sesuatu dengan indah. Bahkan dalam kitab tafsirnya,
terkadang beberapa sajak, syair atau berbagai pantun Melayu diselipkan dalam
penafsirannya, seperti dalam Q.s. al-Baqarah/2: 265.22 Maka tepatlah jika
penulis mengatakan bahwa corak penafsiran dari tafsir al-Azhar adalah adabi
al-Ijtimā’ī.
15 Haji Abdul Malik Karim Abdullah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Bulan Bintang,
1928) 16 Haji Abdul Malik Karim Abdullah, Falsafah Hidup (Jakarta: Republika, 2015) 17 Haji Abdul Malik Karim Abdullah, Tasawuf Modern (Jakarta: Republika, 2015) 18 Haji Abdul Malik Karim Abdullah, Pandangan Hidup Muslim (Jakarta: Gema Insan
Press, 2016) 19 Haji Abdul Malik Karim Abdullah, Kedudukan Perempuan Dalam Islam (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1996) 20 Shobahussurur, “Buya Hamka: Tokoh Modernis Karismatik,” Jurnal Refleksi, Vol. 9,
no. 1 (2009), h. 87-88. 21 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983). 22 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 3.
49
Sebelum penulis menjelaskan corak penafsiran yang digunakan dalam
kitab tafsirnya, maka hal yang perlu diketahui adalah latar belakang penulisan
kitab tafsir tersebut.
Ketika Buya Hamka hendak menuliskan tafsir ini, ada beberapa faktor
yang mendorongnya untuk segera menyelesaikan tulisannya ini. Hal tersebut
dapat dipahami ketika membaca pendahuluan kitab tafsir ini pada juz pertama.
Adapun faktor-faktor itu, pertama, tingginya minat angkatan muda Islam di
tanah air Indonesia dan di daerah-daerah yang berbahasa Melayu untuk
mengetahui dan mendalami isi al-Quran di zaman sekarang. Sedangkan mereka
tidak mempunyai kemampuan mempelajari bahasa Arab. Sekian banyak
angkatan muda Islam yang mencurahkan minat mereka kepada agama karena
menghadapi rangsangan dan tantangan dari luar dan dalam. 23
Kedua, golongan peminat Islam yang disebut muballigh atau ahli
dakwah. Kadang-kadang mereka pun ada mengetahui banyak atau sedikit
bahasa Arab, tetapi kurang pengetahuan umumnya, sehingga merekapun agak
canggung menyampaikan dakwahnya. Masyarakat mulai berani membantah
keterangan agama yang disampaikan apabila tidak masuk akal. Kalaulah
mereka diberi keterangan berdasarkan al-Qur’ān secara langsung, maka
dapatlah mereka lepas dari dahaga jiwa. Maka kitab tafsir ini merupakan suatu
alat penolong bagi mereka untuk menyampaikan dakwah itu.24
Melalui latar belakang itulah, kecenderungan corak penafsiran akan
jelas mengungkapkan dirinya sendiri tanpa kita mencari tahu. Adapun corak
penafsiran yang dapat ditemukan dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ān,
yaitu:
a. Corak Adabi al-Ijtimā’ī
Hamka adalah salah seorang mufassir Indonesia yang
menggunakna corak adabi al-Ijtimā’ī atau kitab tafsir yang
berorientasi pada sastra, budaya dan sosial kemasyarakatan. Tafsir
Hamka banyak menonjolkan ketelitian redaksi ayat al-Quran,
dengan menggunakan bahasa Indonesia yang mudah dipahami. Hal
23 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 1, h. 4. 24 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 1, h. 4.
50
tersebut dapat kita lihat pada penafsirannya Q.s. al-Ḥujurāt/49: 11-
13.25
b. Corak ‘Ilmi
Ketika menafsirkan beberapa ayat-ayat al-Quran, beliau
menggunakan kata-kata atau kalimat-kalimat yang mengisyaratkan
kepada ilmiah. Upaya ini dimaksudkan untuk agar menjawab
tantangan masyarakat yang hendak mengetahui al-Quran serta
relevansinya pada kehidupan sekarang. Hal tersebut dapat dilihat
pada penafsirannya terhadap Q.s. al-Naml/27: 18-19 tentang semut26
dan Q.s. al-Qaṣaṣ/28: 71 tentang keteraturan alam raya.27
c. Corak Hida’i
Corak hida’i adalah corak yang dilatarbelakangi oleh
pemikiran untuk menjadikan hidayah atau akhlak al-Quran sebagai
poros dari usaha untuk menafsirkan kitab suci al-Quran. Hamka
menjelaskan hidayah-hidayah di dalam al-Quran karena banyaknya
ayat-ayat aqidah yang berisikan hidayah serta kenyataan di
masyarakat muslim yang membutuhkan tuntunan al-Qur’ān.
Kecenderungannya terhadap corak hida’i ini dapat
ditemukan pada penafsirannya seputar “tuntunan akhlak bagi
seorang muslim dengan sub tema khidmah kepada ibu dan bapak,
kaum keluarga dan fakir miskin, larangan zina, kejujuran berniaga
dan ayat-ayat lainnya.28
C. Selayang Pandang Tafsir al-Miṣbāḥ
Sepeninggal Nabi Muhammad Saw., tradisi penafsiran tidak
mengalami stagnasi, melainkan bergerak dinamis dan menunjukkan geliat yang
kuat di tangan para sahabat, tabi‘in, tabi‘ tabi‘in dan generasi setelahnya
25 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 27. 26 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, juz 19, h. 197-198. 27 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, juz 20, h. 121-122. 28 Faizah Ali Syibromalisi, “Perempuan Dalam Tradisi Tafsir Kontemporer Di Indonesia:
Studi Perbandingan Pemikiran Hamka Dalam Tafsir al-Azhar dan Quraish Shihab dalam Tafsir al-
Misbah,” Laporan Penelitan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2014), h. 19.
51
dengan ditandai menjamurnya kitab tafsir yang diproduksi dan tersebar ke
berbagai penjuru dunia Islam.29
Namun sebagaimana kita ketahui, bahwa kitab tafsir itu sangat
dipengaruhi oleh kondisi sosio-historis di mana mereka menulis tafsirnya.
Dalam konteks keindonesiaan, tentu saja mereka juga banyak dipengaruhi oleh
keadaan sosial kemasyarakatan yang menuntut adanya perkembangan
penafsiran. Pada titik inilah, mufassir kontemporer, M. Quraish Shihab
mengalami hal yang sama. Sudah tentu sangat menarik jika digali dan elaborasi
pemikiran dan karya tafsirnya dalam khazanah penafsiran al-Qur’ān,
khususnya di Indonesia.30 Berikut akan penulis jelaskan secara jelas sosok
ulama yang masyhur di kalangan masyarakat Indonesia serta karya-karya
beliau:
1. Biografi M. Quraish Shihab
M. Quraish Shihab, lahir di Rappang atau Kabupaten Sidenreng
Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Februari 1944,
dibesarkan dalam lingkungan keluarga Muslim yang taat. Beliau adalah
seorang cendekiawan muslim dalam ilmu-ilmu al-Qur’ān. Ayahnya
Abdurrahman Shihab adalah seorang penggagas sekaligus pendiri
Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makassar. pada awal tahun 1958,
beliau berangkat ke Kairo, Mesir untuk meneruskan pendidikannya di
Universitas al-Azhar. Tahun 1967, beliau memperoleh gelar Lc pada
jurusan Tafsir Hadis dan dua tahun setelahnya mendapatkan gelar Master
of Arts (MA) di Fakultas yang sama pada tahun 1969.
Karena kepiawaiannya dan kecerdasan intelektualnya, beliau
dipercaya oleh orang banyak untuk memegang beberapa jabatan. Misalnya
tahun 1995, beliau dipercaya sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat (sejak 1984), anggota
Lajnah Pentashih al-Qur’ān Departemen Agama (sejak 1989), Menteri
Agama di bawah pemerintahan Presiden Suharto (1998), Duta Besar
Indonesia di Mesir (1991).
29 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 268. 30 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 269.
52
Oleh karena itu, banyak karya-karya yang berhasil dibukukan dan
dicetak ulang karena bahasanya yang mudah dipahami dan dimengerti oleh
masyarakat luas. Di antara karya-karya beliau, penulis akan
mencantumkan pada pembahasan selanjutnya.
2. Karya-Karya Tulis Quraish Shihab
Quraish Shihab yang merupakan seorang pemikir dan mufassir
yang cerdas, juga aktif sebagai penulis. Di harian umum Pelita, pada setiap
Rabu beliau menulis dalam rubrik “Pelita Hati.” Beliau juga mengasuh
rubrik “Tafsir al-Amanah” dalam majalah dua mingguan yang terbit di
Jakarta.
Adapun beberapa hasil karya tulis beliau yang dihasilkan antara
lain:
1. Membumikan al-Qur’an (1992), buku ini berisi lebih dari 60 tulisan.
Buku ini membicarakan mengenai dua tema besar yaitu tafsir dan ilmu
tafsir serta beberapa tema pokok ajaran-ajaran al-Quran.31
2. Lentera Hati (1994), buku yang disusun dengan pembahasan yang
ringkas tentang berbagai hikmah dalam Islam. Buku ini akan mengajak
para pembaca untuk memahami dan mengamalkan ajaran yang
terkandung dalam al-Quran.
3. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
(1996), buku ini menjelaskan berbagai permasalahan yang dibagi ke
dalam tema-tema tertentu yaitu keimanan, muamalah, manusia dan
masyarakat, aspek kegiatan manusia dan soal-soal penting umat.32
4. Mukjizat al-Qur’ān (1997), buku ini mencoba menampilkan sisi
kemukjizatan al-Quran dari aspek kebahasaan, isyarat ilmiah dan
pemberitaan gaib al-Quran.33
31 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2013) 32 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 1996) 33 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1997).
53
5. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Qur’an (2000), buku ini
merupakan kumpulan makalah yang telah terbit di berbagai media
cetak. Buku ini memiliki kemiripan dengan Wawasan al-Qur’an hanya
saja dibuat lebih ringkas sehingga pembaca lebih rileks ketika
membacanya.34
6. Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān (2000),
merupakan kitab tafsir yang monumental dan memuat penafsiran al-
Quran lengkap 30 juz.35
7. Kaidah Tafsir (2013) buku ini berisi penjelasan tentang syarat-syarat,
ketetapan dan aturan yang patut diketahui bagi siapa yang hendak
memahami pesan-pesan al-Quran secara benar dan akurat. Dan masih
banyak lagi karya-karya beliau yang masih belum dikemukakan oleh
penulis.36
Berdasarkan karya-karya beliau di atas, penulis menemukan bahwa
Quraish Shihab cenderung menggunakan pendekatan bahasa dan metode
mauḍū‘ī ketika menulis karya-karyanya. Selain itu fokus dalam penulisan
karyanya terkait dengan studi-studi al-Quran. Hal itu kemudian
mempengaruhi penulisannya ketika beliau menulis karya tafsirnya.
Sebelum penulis menguraikan corak yang mempengaruhi penafsirannya,
perlu diketahui bahwa dalam penulisan karya tafsirnya, ada faktor
pendorong yang melatarbelakangi sehingga kitab tersebut berhasil
dibukukan dan tersebar ke seluruh Nusantara. Di antara faktor pendorong
dalam penulisan kitab tafsirnya sebagai berikut:
a. Memberikan langkah-langkah yang mudah bagi umat Islam dalam
memahami isi dan kandungan ayat-ayat al-Quran dimulai dengan
menjelaskan secara rinci pesan-pesan al-Quran dengan menggunakan
tema yang terkait dalam perkembangan masyarakat modern.
34 M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Qur’an (Bandung:
Mizan, 2000) 35 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta:
Lentera Hati, 2002). 36 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Jakarta: Lentera Hati, 2013).
54
b. Adanya dorongan dari umat Islam Indonesia yang menggugah hati
dan membulatkan tekad Quraish Shihab untuk menulis kitab tafsir.
c. Obsesi dan semangatnya untuk menghadirkan karya tafsir al-Quran
kepada masyarakat. selain itu, fenomena melemahnya kajian al-Quran
di masyarakat sehingga al-Quran tidak lagi jadi pedoman hidup
menambah semangat untuk segera menuliskan kitab tafsir.37
Adapun Corak penafsiran yang mendominasi dalam tafsir al-
Misbah adalah corak adabi al-Ijtimā’ī yaitu corak sosial kemasyarakatan.
Quraish Shihab memulai pemahamannya terhadap ayat-ayat al-Quran,
berusaha menyoroti permasalahan-permasalahan sosial kemasyarakatan
yang terjadi saat itu. Kemudian polemik-polemik yang terjadi akan
dijawab dengan mendialogkannya dengan al-Quran. Beliau berusaha
untuk menampakkan kemukjizatan al-Quran dalam menawarkan solusi
terhadap permasalahan yang terjadi.
Contoh konkret untuk menunjukkan corak adabi al-Ijtimā’ī pada
penafsiran Quraish Shihab dengan melihat Q.s. al-Ḥujurāt/49: 13. Beliau
menjelaskan bahwa ayat tersebut menekankan untuk saling mengenal.
Perkenalan itu dibutuhkan untuk menarik pelajaran dan pengalaman pihak
lain serta menjaga silaturrahmi. Akan tetapi, perbedaan ras, kulit, bahasa,
negara dan lainnya seringkali membuat orang enggan berinteraksi dengan
yang lain.38
Dengan demikian, nyatalah bahwa hasil penafsiran para ulama Nusantara
cenderung dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural yang berbeda saat mereka
menulis kitab tafsir. Terlebih lagi adanya dorongan dari masyarakat yang
membutuhkan pedoman sebagai umat muslim yang mayoritas, khususnya di
Indonesia, membuat mereka (mufassir Nusantara) lebih semangat untuk
mengerahkan dan menuangkan setiap fragmen-fragmen penafsiran mereka ke
dalam lembaran-lembaran yang penuh akan pengalaman dan pembelajaran.
37 Faizah Ali Syibromalisi, “Perempuan Dalam Tradisi Tafsir Kontemporer Di Indonesia:
Studi Perbandingan Pemikiran Hamka Dalam Tafsir al-Azhar dan Quraish Shihab dalam Tafsir al-
Misbah,” Laporan Penelitan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2014), h. 24. 38 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta:
Lentera hati, 2002), vol. 13, h. 262.
55
BAB V
KONTEKSTUALISASI PENAFSIRAN ULAMA NUSANTARA ATAS
MAKNA KAFIR
A. Makna Kufr Sebelum Islam
Pada pembahasan ini, penulis akan mendeskripsikan perbedaan
esensial struktur bagian luar kata kufr. Kata kāfir dalam bahasa Arab adalah
unit struktur bebas yang tidak dapat dianalisa ke dalam unsur-unsur komponen.
Kesamaan kata dalam bahasa Inggris terdiri dari dua bagian yaitu unsur yang
menyatakan negatif (mis-, dis- dan un-) dan sisi material dari pengertian kufr
yaitu believer. Oleh karena itu, tidak dapat disangkal bahwa kategori semantik
kata kafir dalam bahasa Arab mengandung unsur penting dari kata belief.1
Akan tetapi perlu digaris bawahi bahwa kata di atas bukanlah bukan
merupakan unsur pokok kata semantik yang dasar, bukan pula kata yang asli.
Penelitian terhadap literatur pra-Islam menyingkap bahwa inti yang sebenarnya
dari struktur semantik sama sekali bukan unbelief, tetapi lebih kepada
ingratitude atau unthankfulness yaitu lawan kata dari shākir (orang yang
berterima kasih).2
Pada masa pra-Islam, kata kafir memiliki hubungan semantik dengan
kata jahil. Tampaknya perlu pembahasan terkait kata Jahil untuk bisa
memahami kata kafir itu sendiri. Ignaz Goldziher mengumpulkan sejumlah
besar contoh penggunaan aktual dari asal kata jahil dalam puisi pra-Islam dan
memperoleh kesimpulan yang luar biasa bahwa pandangan tradisional biasa
yang memaknai jahiliyah dengan ‘ilm keliru.3
Dalam Q.s. al-Fatḥ ayat 26 kata kafir digandengkan dengan jāhiliyyah.
Jāhiliyyah yang dimaksud di sini mengacu kepada sikap ketakaburan kesukuan
yang menguasai dan menjadi kebanggaan serta ciri karakteristik orang Arab
kuno penyembah berhala. Prof. A. J. Arberry mengatakan bahwa semangat
perlawanan yang takabur terhadap semua yang mengancam dasar kehidupan
1 Toshihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam al-Quran, terj. Mansuruddin Djoely (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993), h. 40. 2 Toshihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam al-Quran, h. 40. 3 Toshihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam al-Quran, h. 43.
56
suku, yang memenuhi nafsu kesombongan disebabkan oleh pertumbuhan darah
di padang pasir yang tak terbilang banyaknya pada masa-masa sebelumnya,
kini mendorong orang-orang Arab penyembah berhala melakukan penyiksaan
tanpa belas kasih terhadap Muhammad dan pengikutnya. Hal tersebut
melukiskan tindakan yang sejenis jāhil, yaitu kelakuan orang-orang kafir.4
Di antara berbagai gagasan yang mencirikan zaman jāhiliyah adalah
keduniaannya dan tribalismenya. Keabadian yang sering diceritakan dalam
puisi masa pra-Islam merupakan problem yang paling serius dalam masyarakat
Arab penyembah berhala. Hal itu terekam dalam kesusasteraan jāhiliyyah yang
menggambarkan kekayaan sebagai suatu hal yang amat penting di dunia karena
memberikan keabadian.5
Di dalam al-Quran, jāhiliyyah merupakan istilah religius dengan
pengertian negatif karena merupakan landasan tempat kata kufr. Sesungguhnya
semangat kebebasan, kesombongan dan perasaan mulia yang menolak untuk
tunduk di hadapan penguasa manapun, baik Tuhan maupun manusia itulah
yang mendorong orang-orang kafir untuk menentang agama baru yang di
datangkan oleh Muhammad atau lebih tepatnya kejahilan adalah akar dan
sumber kufr.6
B. Makna Kufr pada Sistem al-Quran dan Pasca al-Quran
Setelah mengetahui makna kufr periode pertama, penulis selanjutnya
akan mendiskusikan periode sistem al-Quran dan pasca al-Quran yang menjadi
titik penting dalam penelitian ini. Pada sistem ini, kosakata al-Quran banyak
digunakan dalam sistem pemikiran Islam yang berbeda seperti Teologi,
Hukum, Filsafat, Politik dan Tasawuf. Masing-masing sistem ini
mengembangkan konseptualnya sendiri, tidak hanya di dunia Timur dan Barat
bahkan di Indonesia terjadi perkembangan pemaknaan terhadap al-Quran.
Pada tahap sistem al-Quran (periode Quranik) kata kufr mengalami
perubahan makna yang ditempatkan secara berlawanan dengan iman.
4 A. J. Arberry, The Seven Odes (London: George Allen & Unwin LTD, 1957), h. 263. 5 Toshihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam al-Quran, h. 63. 6 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-Quran,
terj. Agus Fahri Husein dkk. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 227
57
Perlawanan konseptual kemudian berlanjut dalam sistem setelah al-Quran
diturunkan. Secara ringkas, konsep kafir telah kehilangan stabilitas dan
kepastian denotatifnya, sehingga menjadi sesuatu yang berubah-ubah, yang
siap ditimpakan bahkan kepada seorang Muslim yang taat bila saat itu mereka
melakukan tindakan tertentu.7
Sebelum penulis masuk lebih dalam pada makna pasca al-Quran,
berikut penulis paparkan beberapa makna kufr secara umum di dalam kitab
tafsir Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish Shihab.
1. Tafsir Quran Karim
Dalam mengungkapkan makna kata kafir8, Mahmud Yunus
menggunakan beberapa kata kunci dan penjelasan ringkas yang
diungkapkan dalam tafsirnya yang berbentuk footnote (catatan kaki).
Berikut pengkategorian yang telah dibuat oleh penulis berdasarkan
pembacaan atas tafsirnya:
a. Kafir Sebagai Penyekutuan Terhadap Allah
Pada Q.s. al-Baqarah/2: 102, Mahmud Yunus menjelaskan bahwa
orang kafir ialah orang yang menggunakan sihir karena mengikuti setan
bukan Nabi Sulaymān As. Penggunaan sihir posisinya sama dengan
meminta pertolongan kepada setan dan mengabdi kepadanya dengan
memuja dan mantera-mantera untuk merusak orang. Maka sihir9 seperti
itulah hukum adalah haram, bahkan beliau mengkafirkan orang-orang yang
7 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-Quran,
h. 52. 8 Dalam Q.s. al-Nisā’/4: 89, menjelaskan bahwa orang-orang kafir terhadap kamu orang-
orang Islam ada tiga macam.
Pertama, al-Muharibun, yaitu orang-orang kafir yang memerangi kamu, karena kamu
memeluk agama Islam. Maka hendaklah kamu memerangi mereka sebagaimana mereka memerangi
kamu, karena mempertahankan agama Allah.
Kedua, al-Muwahidun yaitu orang-orang kafir yang telah berjanji dengan kamu, bahwa
tidak akan mengadakan peperangan. Orang kafir ini tidak boleh dibunuh atau diperangi kecuali jika
mereka melanggar perjanjian itu.
Ketiga, al-Musalimun yaitu orang-orang kafir yang datang kepadamu, sambil mengatakan
neutral (tidak akan memerangi kamu dan tidak pula memerangi orang kafir al-Muharibun). Orang
kafir ini tidak boleh dibunuh atau diperangi. Lihat Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, h. 125. 9 Mahmud Yunus menjelaskan bahwa yang juga dikategorikan sebagai sihir adalah tiap-
tiap sesuatu yang aneh bin ajaib tidak diketahui musabbabnya oleh umum, menipu mata orang dan
mengkhayalkan sesuatu yang bukan sebenarnya, seperti orang main sunglap dan perkataan yang
indah, manis, menarik hati pendengarnya, sehingga mereka terpesona mengikut perkataan itu.
58
melakukan perbuatan tersebut karena telah mempersekutukan Allah dengan
shayṭān.10
Penting untuk diperhatikan bahwa dari sudut pandang monoteisme
Islam yang menyeluruh, doktrin Kristen tentang Trinitas merupakan contoh
yang merefleksikan politeisme. Demikian pula dengan penuhanan Yesus
Kristus. Oleh karena itu, perlu diperhatikan bahwa ajaran pokok Kristen
tanpa terkecuali dipandang sebagai perbuatan orang kafir.11 Hal ini
tercantum dalam Q.s. al-Mā’idah/5: ayat 72-7312.
Mahmud Yunus menegaskan bahwa yang dimaksud dengan orang
kafir ialah orang yang mengatakan bahwa Allah itu adalah al-Masih anak
Maryam, karena al-Masih anak Maryam itu adalah manusia, bukan Tuhan.
Kalaulah Allah hendak membinasakan al-Masih anak Maryam dan ibunya
serta orang-orang di muka bumi, niscaya binasalah semua. Oleh sebab itu,
hendaklah mereka mengatakan bahwa Allah adalah Tuhan satu-satunya dan
al-Masih anak Maryam adalah seorang Rasul yang diutus Allah ke muka
bumi.13
b. Kafir Sebagai Tidak Berterima Kasih
Makna selanjutnya yaitu ‘tidak berterima kasih’. Dalam Q.s. al-
Naḥl/16: 11214, beliau menggunakan nuansa Indonesia dalam menafsirkan
ayat tersebut. Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menunjukkan suatu
contoh kepada manusia. Sebenarnya contoh ini banyak terlihat di negeri-
negeri yang mempunyai kebun karet. Mengutip perkataan Mahmud Yunus
bahwa “Waktu harga karet mahal tempoh-dahulu adalah penduduk negeri
itu mendapat kekayaan dan rezeki yang tiada ternilai banyaknya. Tetapi
karena mereka tidak berterima kasih kepada Allah, sehingga kekayaan itu
disia-siakannya dan uang banyak itu dibuang-buangnya, lalu Allah
10 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim (Jakarta: Hidakarya Agung, 2002), h. 21-22. 11 Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam Quran, penerjemah Agus Fahri
Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993), h. 156. 12 Lihat pula Q.s. al-Ḥashr/59: 16; Q.s. Ghāfir/40: 12; Q.s. Āli ‘Imrān/3: 151. 13 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, h. 150. 14 Lihat pula Q.s. al-Naml: 40; Q.s. Luqmān: 12; Q.s. Ibrāhīm: 7, 34.
59
menurunkan siksaan kepada mereka. tidak berapa lamanya harga karet itu
jatuh, mereka ditimpa kemiskinan, kelaparan dan ketakutan”.15
c. Kafir Sebagai Ingkar
Makna selanjutnya adalah ingkar. Hal ini juga telah dijelaskan pada
pembahasan sebelumnya. Di dalam Q.s. al-Naḥl/16: 10616, Mahmud Yunus
menjelaskan bahwa orang yang ingkar terhadap Allah sesudah beriman
dengan kemauannya sendiri maka dia termasuk kafir, kecuali orang yang
dipaksa menyebut kata-kata kekafiran dengan lisannya, sedangkan hatinya
tetap dalam keimanan seperti ‘Ammar pada masa Rasulullah, maka hal yang
demikian tidak tergolong orang kafir.17
Hal yang sama dijelaskan dalam Q.s. al-Baqarah/2: 6 bahwa orang-
orang kafir (ingkar) tidak menerima kebenaran karena hati, pendengaran
dan pandangan mereka telah tertutup. Oleh sebab itu mereka tidak sekali
pun memperhatikan alam semesta yang begitu luas agar mereka mengetahui
bahwa di atas segala kekuatan yang ada di alam semesta, terdapat Sang
Pengatur dan Maha Kuasa atas segala sesuatu, yaitu Allah.18
d. Kafir Sebagai Pemecah Belah Umat
Nuansa keindonesiaan kembali nampak dalam penafsirannya
terhadap Q.s. al-Tawbah/9: 107.
ل من المؤمني وإرصادٱ ي ب وت فريقا وكفرا ضرارا اوٱلذين ٱتذوا مسجد وليحلفن إن أردن إل ٱلسنى و حارب
ورسولهۥ من ق بل م ٱٱلل يشهد إن لل .ذبون الك
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang
mendirikan masjid untuk menimbulkan kemuḍaratan (pada orang-
orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara
orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang
yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka
Sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain
kebaikan”. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka
itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).”
15 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, h. 397. 16 Lihat pula Q.s. Āli ‘Imrān/3: 97; Q.s. al-Mā’idah/5: 12; Q.s. Ibrāhīm/14: 9; Q.s. al-
Isrā’/17: 69; Q.s. al-Kahfi/18: 37; Q.s. Maryam/19: 77; Q.s. Gāfir/40: 84; Q.s. Fuṣṣilat/41: 52; Q.s.
al-Aḥqāf/46: 10. 17 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, h. 396 18 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, h. 4.
60
(Q.s. al-Tawbah/9: 107)
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang kafir di sini adalah orang
yang mendirikan mesjid dengan niat untuk memecah belah atau
mengadakan golongan-golongan di antara Umat Islam. Hal tersebut tidak
hanya terjadi di masa Rasulullah Saw., akan tetapi di zaman modern pun
perilaku tersebut terulang. Mahmud Yunus mengatakan bahwa “Kita boleh
melihat, umpamanya setengah negeri bermesjid dua: mesjid yang lama,
kemudian diperbuat orang mesjid yang baru, sehingga terjadi perpecahan
antara kaum Muslimin di tempat itu. ketika diselidiki sebabnya karena
perselisihan faham tentang perkara-perkara sunnah, umpamanya karena
khutbahnya dalam bahasa Arab atau Indonesia. Artinya, perbuatan yang
dilakukan oleh Arab Jahiliyyah dilakukan kembali oleh Masyarakat
Indonesia dalam bentuk lebih modern19
2. Tafsir al-Azhar
Tafsir selanjutnya adalah Tafsir al-Azhar yang akan memberikan
corak berbeda dalam penafsiran khas Nusantara. Dalam mengungkapkan
makna kata kafir, Prof Dr. Hamka menggunakan beberapa kata yang
ditemukan oleh penulis ketika membaca kitab tafsirnya, di antaranya:
a. Kafir Sebagai Menutup
Kafir diartikan oleh Hamka sebagai menimbun dalam Q.s. Al-
Baqarah/2: 6, sebab kata tersebut merupakan makna asli daripada kufur
yaitu menimbuni atau menyembunyikan, sehingga tidak kelihatan lagi. Al-
Quran sendiri yang menyebutkan kata tersebut dalam Q.s. al-Hadid/57: 20.
Ayat ini diilustrasikan Hamka bahwa “Petani20 yang takjub serta
mengharapkan sesuatu disertai kecemasan. Sebab apabila hujan telah
turun, tanaman itu akan subur, yang telah layu karena kekeringan akan
menghijau kembali serta diharapkan kelak akan memberikan hasil yang
19 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, h. 283. 20 Peladang yang menugalkan benih, menanamkan benih lalu menimbunnya dengan tanah,
sehingga benih itu terbenam di dalam tanah dinamai kuffar.
61
baik. Kemudian setelah itu kering dan kersang, karena terik matahari yang
berhari berbulan lamanya.”21
b. Kafir Sebagai Sikap Pembangkangan
Makna ini jelas nampak pada penafsiran Hamka atas Q.s. al-
Baqarah/2: 34. Malaikat dan Iblis yang diperintahkan untuk sujud kepada
Adam. Sujud yang dimaksud di sini bukanlah sebagaimana yang dilakukan
oleh manusia, tetapi sujud yang terkandung sikap hormat dan memuliakan.
Akan tetapi iblis yang pada dasarnya berbuat kufur, enggan dan
menyombongkan dirinya sebab dirinya diciptakan dari api sementara Adam
dari Tanah.22
c. Kafir Sebagai Ketidakpercayaan
Dijelaskan dalam Q.s. al-Baqarah/2: 264-265, Hamka
menggambarkan perilaku menyimpang dari orang-orang yang berpura-pura
beriman. Sikap mereka memberikan sedekah dengan riyā’, mengungkit dan
menyakiti hati si penerima, adalah sikap yang menunjukkan
ketidakpercayaan terhadap Allah dan Hari akhirat, sebab mereka bukan
mengharapkan pahala dari Allah melainkan pujian dari manusia. maka hal
itu sama saja keadaannya dengan orang yang kafir walaupun mereka
mengaku beragama Islam.23
d. Kafir Sebagai Tidak Mensyukuri Nikmat
Dalam Q.s. Hūd/11: 9, Hamka mengartikan kata Kafūr di
penghujung ayat ini dengan ‘tidak berterima kasih’. Tidak berterima kasih
ialah sebahagian dari kafir. Yaitu kafir atas nikmat. Hanya mengomel
karena kekurangan saja, tidak ingat akan anugerah Ilahi.24
e. Kafir Sebagai Menolak Kebenaran
Makna selanjutnya adalah mereka yang menolak kebenaran.
Dijelaskan di dalam Q.s. Āli ‘Imrān/3: 97 bahwa kufur ialah menolak
kebenaran dengan tidak ada alasan yang jitu; yang kebanyakan hanya
21 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 27, h. 296 22 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 1, h. 214. 23 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 1, h. 63-65. 24 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 12, h. 22.
62
karena hawa nafsu belaka. Misalnya awak mengaku Islam, badan sihat,
harta cukup bahkan melimpah, perhubungan zaman modern ke Mekkah pun
sudah sangat mudah, tidak sesulit dahulu lagi, namun tidak juga mau
menunaikan haji. Orang ini adalah kufur, sekurang-kurangnya kufur nikmat.
Dan adapula yang ditimpa penyakit kebangsaan, bahwa haji itu hanya
memperkaya orang Arab. Padahal mereka sendiri melawat ke Eropa atau
Amerika.25
Pada ayat lain, dijelaskan pula dengan makna yang sama yaitu dalam
Q.s. Al-Mā’idah/5: 17. Hamka mendefinisikan kafir sebagai orang yang
menolak kebenaran. Pertama, mereka kafir sebab tidak pernah Tuhan Allah
mengajarkan yang demikian itu kepada seorang Nabi pun sejak Adam
sampai kepada Isa al-Masih sendiri. Tidak ada kepercayaan yang demikian
di dalam kitab-kitab perjanjian lama. Sedangkan di perjanjian baru,
Yohannes misalnya, mengatakan Isa mengaku dirinya Allah bukan berasal
dari sumber Agama Tauhid yang diwahyukan Allah, melainkan agama-
agama kuno dari bangsa Yunani atau agama Hindu atau Filsafat Filo di
Iskandariyah.26
f. Kafir Sebagai Ingkar
Makna kafir selanjutnya adalah firman Allah Swt. dalam Q.s. Āli
‘Imrān/3: 106. Ayat tersebut menjelaskan bahwa pada mulanya mereka
telah menerima keterangan dari ayat-ayat Allah. Setelah keterangan datang
lalu mereka langgar, lalu mereka mencari pecah-belah dan perselisihan.
Karena itu mereka memilih jalan yang gelap sesudah merasakan terang-
benderang. Dengan ayat ini dapatlah kita memahamkan bahwa kafir itu
bukan saja karena tidak mengakui Allah atau tidak mempercayai Nabi
Muhammad dan hari akhirat, bahkan kelalaian mengadakan dakwah,
sehingga menimbulkan perpecahan yang mengakibatkan kelemahan ummat
adalah termasuk macam kufur.27
g. Kafir Sebagai Kedurhakaan Terhadap Tuhan
25 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 2. 26 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 6, h. 188. 27 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 4, h. 47.
63
Makna kafir selnajutnya adalah durhaka. Hamka menggunakan kata
durhaka untuk menjelaskan kafir dalam beberapa ayat al-Quran. Misalnya,
dalam Q.s. al-Ḥashr/59: 16, beliau menggambarkan perbuatan ‘Abdullah
ibn Ubay dan kawan-kawannya yang menyuruh Bani Naḍir bertahan dalam
kekafirannya dan durhaka kepada Tuhan.28 Kemudian Q.s. al-Nisā’/4: 131,
menjelaskan bahwa jika seseorang tidak mau bertakwa kepada Allah dan
tidak mau percaya akan kebesaran-Nya, artinya walaupun manusia durhaka,
tidak mau peduli akan tuntunan Tuhan, maka kekayaan dan kemuliaan
Tuhan tidaklah akan berkurang karena kedurhakaan manusia.29
h. Kafir Sebagai Rasa tidak puas
Di dalam Q.s. Ibrāhīm/14: 7-8, dijelaskan bahwa Timbulnya kufur,
yaitu rasa tidak puas, rasa tidak mengenal terima kasih dan menghitung
sesuatu dari kekurangannya saja, adalah siksa bagi jiwa sendiri. Orangnya
akan memandang hidup ini dengan suram dan tidak akan ada yang dapat
dikerjakannya. Maka jika seseorang memiliki sifat tidak pernah puas akan
sesuatu hal, baik itu harta, keturunan maupun segala yang ada dunia, maka
hidupnya yang serba tidak puas itu tidaklah mengurangi kekayaan dan
kebesaran Allah.30
i. Kafir Sebagai Penyekutuan Terhadap Allah
Makna selanjutnya adalah menyekutukan Allah. Makna tersebut
banyak tercantum di dalam al-Quran berupa kisah-kisah kaum terdahulu dan
kejadian itu terulang kembali di zaman sekarang dengan bentuk yang lebih
modern. Misalnya dalam Q.s. Maryam/19: 83, dijelaskan bahwa Nabi Saw.
diperintahkan Tuhan untuk memperhatikan bahwa kelak shayṭān-shayṭān
akan mempengaruhi orang-orang untuk mempersekutukan Tuhan dengan
selain-Nya. Hal itu banyak terjadi pada abad ke-20 dengan adanya berbagai
gerakan yang menyeleweng terhadap Islam. Seperti gerakan kaum
“Kebatinan” di Indonesia; mengutip perkataan Hamka bahwa “Satu dukun
satu pula peribadatannya. Satu kyai satu pula pemujaannya, sehingga
Kantor Penyelidik Kepercayaan-kepercayaan yang berbagai macam itu
28 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 28, h. 70-71. 29 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 5, h. 313. 30 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 13, h. 123
64
mencatat tidak kurang dari 200 macam kepercayaan, baru di Tanah Jawa
saja”.31
Ketika melihat penafsiran Hamka pada ayat di atas, penulis melihat
bahwa penafsiran yang ditulis olehnya mengikuti realitas atau konteks
dimana beliau hidup. Artinya, permintaan dari masyarakat saat itu dijawab
oleh Hamka dan berhasil terpenuhi melalui karya Tafsir al-Azhar ini.
3. Tafsir al-Miṣbāḥ
Kata kafir biasa dipahami dalam arti siapa yang tidak memeluk
agama Islam.32 makna ini tidak keliru akan tetapi kata kufur dalam
penggunaan al-Quran mempunyai aneka makna. Antara lain dalam arti
durhaka, kikir tidak mensyukuri nikmat, dan tidak percaya pada ajaran
Islam. Apabila dia tidak mengakui kewajiban haji, dia kafir dalam arti tidak
percaya pada ajaran Islam. Tetapi bila dia mengakui kewajiban haji, tetapi
enggan melaksanakannya maka dia durhaka, dan bila dia mencari dalih
untuk menunda-nundanya, dia adalah seorang yang tidak mensyukuri
nikmat Allah.33 Oleh karena itu, dalam mengungkapkan makna kata kafir,
Prof. M. Quraish Shihab menggunakan beberapa kata untuk menjelaskan
kafir34, di antaranya:
a. Kafir Sebagai Menutup
Makna kafir selanjutnya adalah menutup. Dalam Q.s. al-Baqarah/2:
6, orang kafir dimaknai sebagai orang yang menutupi tanda-tanda kebesaran
31 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 16, h. 96-97 32 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol.2, h.
72 33 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol.2, h.
198. 34 Al-Quran menggunakan istilah kufur untuk berbagai makna. Sementara ulama
menguraikan lima macam kekufuran:
1. Kufr juhud: terdiri dari dua macam, Mereka yang tidak mengakui wujud Allah, seperti
halnya para ateis dan orang-orang komunis; Mereka yang mengetahui kebenaran tetapi
menolaknya antara lain karena dengki dan iri hati kepada pembawa kebenaran itu.
2. Kufr ni’mah dalam arti tidak mensyukuri nikmat Allah. Q.s. Ibrāhīm/14: 7.
3. Kufur dengan meninggalkan atau tidak mengerjakan tuntunan agama kendati tetap percaya.
Q.s. al-Baqarah/2: 85.
4. Kufr Barā’ah dalam arti tidak merestui dan berlepas diri, seperti firman Allah Swt.,
mengabadikan ucapan Nabi Ibrāhīm As. kepada kaumnya Q.s. al-Mumtaḥanah/60: 4. Lihat
dalam M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran,
Vol.1, h. 118.
65
Allah dan kebenaran yang terhampar dengan jelas di alam raya ini. Ayat ini
membicarakan orang kafir yang kekufurannya telah mendarah daging dalam
jiwa mereka sehingga tidak mungkin lagi beriman.35 Makna yang sama juga
digunakan dalam Q.s. al-Baqarah/2: 161 bahwa kata kafir untuk menunjuk
mereka yang menyembunyikan kebenaran.36
b. Kafir Sebagai Ahli Sihir
Dimulai pada Q.s. al-Baqarah/2: 102, Quraish Shihab menjelaskan
bahwa Sulaiman pada kasus di sini tidak kafir dan tidak juga menggunakan
sihir, akan tetapi setanlah yang kafir dan menggunakan sihir. Kata sihir
(siḥr) terambil dari kata Arab (saḥara) yaitu akhir waktu malam dan awal
terbitnya fajar. Saat itu bercampur antara gelap dan terang sehingga segala
sesuatu menjadi tidak jelas atau tidak sepenuhnya jelas. Demikian itulah
sihir, terbayang oleh seseorang sesuatu padahal sesungguhnya ia tidak
demikian.37
Ulama berbeda pendapat mengenai definisi, hukum mempelajarinya
dan mengamalkannya, akan tetapi kita dapat berkata dengan penuh
keyakinan, melalui sihir, setan memperdaya manusia khususnya apa yang
disebut dengan Black Magic, bahkan tidak mustahil setan memperbodoh
dan memperdaya manusia dengan apa yang dinamai White Magic.
Bukankah setan sangat pandai memperindah sesuatu yang buruk.
وٱلذين ٱت قوا ف و يا ويسخرون من ٱلذين ءامنوا ن ة ٱلد م زي ن للذين كفروا ٱلي وى ق هم ي و ٱلقيى
ي رزق من يشاء .بغي حساب وٱلل“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang
kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman.
Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada
mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-
orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”
(Q.s. al-Baqarah/2: 212).
35 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol.1, h.
11 36 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol.1, h.
443 37 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol.1, h.
333
66
Bukankah al-Quran mengecam sihir melalui kisah Nabi Musa dan
para penyihir Fir‘aun. (Q.s. Ṭāhā/20: 69)?.38
c. Kufur Terhadap Nikmat
Makna selanjutnya adalah kufur nikmat. Dijelaskan dalam Q.s.
al-Baqarah/2: 126, bahwa akan Allah berikan rezeki kepada siapa yang
kafir, yakni diberikan kesenangan yang sebentar dalam kehidupan
dunia saja bahkan boleh jadi lebih senang dari yang beriman.39
d. Kafir Sebagai Bercerai-Berai
Makna kafir boleh juga diartikan sebagai tercerai-berai. Makna
itu dapat ditemukan ketika Quraish Shihab menjelaskan Q.s. al-
Baqarah/2: 253. Ayat tersebut mengandung peringatan kepada kaum
muslimin agar tidak saling bermusuhan atau kafir-mengafirkan. Nabi
Saw. pun mengingatkan kaum muslimin bahwa, “Siapa yang berkata
kepada saudara seagama, ‘wahai si kafir’, maka ia yang wajar
memikulnya.” Karena hal itu menanamkan benih pertengkaran dan
permusuhan.40
Kemudian diperjelas dalam Q.s. Āli ‘Imrān/3: 106, bahwa kafir
adalah mereka yang bercerai berai sesudah bersatu. Hal ini dapat
dipahami jika kita melihat istilah kufur dalam bahasa al-Quran yaitu
segala sesuatu yang bertentangan dengan tujuan agama. Dan tentu saja
salah satu tujuan agama adalah persatuan dan tidak bercerai-berai.41
e. Kufur Berganda
Makna selanjutnya diartikan sebagai kufur berganda.
Misalnya dalam Q.s. al-Baqarah/2: 276 yang mengisyaratkan
kekufuran orang-orang yang mempraktikkan riba, bahkan kekufuran
berganda sebagaimana dipahami dengan penggunaan kata (كف ار)
38 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol.1, h.
335 39 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol.1, h.
385 40 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol.1, h.
656 41 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol.2, h.
217
67
kaffār. Kekufuran berganda itu adalah sekali ketika mereka
mempersamakan riba dengan jual beli sambil menolak ketetapan
Allah, di kali kedua ketika mempraktikkan riba dan di kali ketiga
ketika tidak mensyukuri nikmat kelebihan yang mereka miliki, bahkan
menggunakannya untuk menindas dan menganiaya.42
C. Penafsiran Ulama Nusantara atas Q.s. al-Nisā’/4: 112-114
Sudah lama al-Quran tidak lagi berfungsi sebagai petunjuk untuk
urusan-urusan besar umat Islam, seperti kenegaraan, ekonomi, hubungan
internasional, dan lain-lain. Kitab al-Quran yang masih diimani sebagai Kitab
suci yang tahan bantingan sejarah mulai diabaikan sebagai acuan untuk
memecahkan masalah penting umat Islam. Gejala ini semakin jelas di awal
abad ke-21 yaitu terjadinya polarisasi antara kelompok puritan dan moderat,
istilah Khaled Abou El Fadl.43 Tidak hanya dari orang kafir bahkan umat Islam
juga mulai meragukan agamanya sendiri. Akibatnya terjadi peristiwa saling
kafir-mengkafirkan yang berujung pada caci-maki, konflik dan bunuh-
membunuh.
Mencegah hal-hal di atas, para mufassir kemudian mencoba mencari
titik temu antara teks al-Quran dengan konteks sosio-kultural masyarakat di
Indonesia melalui penulisan penafsirannya terhadap kalam-kalam suci al-
Quran.
Mengutip perkataan Mahmud Yunus dalam Q.s. al-Naḥl/16: 112 bahwa
“Waktu harga karet mahal tempoh-dahulu adalah penduduk negeri itu
mendapat kekayaan dan rezeki yang tiada ternilai banyaknya. Tetapi karena
mereka tidak berterima kasih kepada Allah, sehingga kekayaan itu disia-
siakannya dan uang banyak itu dibuang-buangnya, lalu Allah menurunkan
siksaan kepada mereka. tidak berapa lamanya harga karet itu jatuh, mereka
ditimpa kemiskinan, kelaparan dan ketakutan”.44 Berdasarkan penafsiran di
atas, penulis melihat adanya keterkaitan konteks dengan penafsiran yang
42 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol.1, h.
724 43 Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (USA:
HarperCollins Publisher, 2007), h. 16. 44 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, h. 397.
68
dilakukan oleh Mahmud Yunus. Berdasarkan dokumen-dokumen sejarah, Saat
itu merupakan masa kejayaan produksi karet, tanaman jenis Hevea, di Jambi
yang terjadi sekitar tahun 1920 hingga 1927 dan 1937. Di tahun-tahun itu
akumulasi pendapatan dari penjualan getah mencapai angka 46 juta gulden.
Produksi yang melimpah dan harga jual yang tinggi menjadikan masyarakat
Jambi makmur sehingga zaman itu dikatakan sebagai “zaman koepon” (the
coupon period). Sebuah angka yang sangat menakjubkan kala itu dan tidak
akan pernah terulang lagi di tahun-tahun berikutnya, seiring berfluktuasinya
harga jual komoditas ini di pasar dunia akibat resesi ekonomi yang terjadi pada
1930 hingga 1940.45 Bencana yang menimpa masyarakat Indonesia karena
sibuk terhadap urusan duniawinya itulah yang menjadikan Allah untuk
menurunkan adhab yang menyebabkan harga karet yang semula melambung
tinggi, turun mencapai titik terendah. Itulah mengapa Mahmud Yunus
mengatakan mengatakan mereka sebagai kafir, sekurang-kurangnya adalah
kufur atas nikmat Allah, sebab perilaku mereka yang tidak pernah merasa puas
dan bersyukur atas karunia Allah Swt.
Hamka dalam tafsirnya kemudian, juga menafsirkan dengan
mengaitkan realitas Indonesia saat itu. pada Q.s. al-Naḥl/16: 112 ditafsirkan
dengan jelas bahwa nikmat yang dikaruniakan Allah atas suatu negeri, yang
aman, sejahtera, subur, makmur serta rezeki yang melimpah dari setiap
penjuru, baik itu dari langit berupa hujan yang teratur, bumi berupa ikan yang
banyak atau dari negeri lain berupa hubungan transaksi perdagangan yang
lancar atau digambarkan Hamka sebagai negeri yang “gemah ripah loh jinawi”
(tenteram dan makmur serta sangat subur tanahnya).46
Jika penduduk dalam suatu negeri telah kufur atau tidak menyambut
dengan sepantasnya nikmat yang diberikan Allah dengan tidak berterima kasih,
bahkan yang dilakukannya hanya menghambur-hamburkan harta, tidak dapat
memelihara sumber nikmat itu dan berlomba-lomba mencari keuntungan untuk
dirinya sendiri. Maka semua nikmat yang telah diberikannya Allah cabut dan
45 Elsbeth Locher-Scholten, Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the Rise of
Dutch Imperialism 1830-1907, diterjemahkan dari bahasa Jerman oleh Beverley Jackson (Ithaca:
SEAP, 2003), h. 276-279. 46 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 7, h. 307.
69
datanglah kelaparan serta ketakutan, tanah menjadi kering dan kemarau, hujan
tidak menjadikan tanah subur melainkan banjir, terik matahari tidak membuat
padi menjadi berkualitas sehingga ‘busung lapar’ atau kekurangan asupan gizi
mulai menggerogoti tubuh. Ketika peristiwa di atas terjadi maka keamanan pun
hilang karena mereka yang tidak tahan akan kelaparan berusaha untuk
merampas kepunyaan orang lain. Timbullah rasa takut terhadap perampok.
Mereka yang kuat menganiaya yang lemah sehingga tidak ada lagi tempat
untuk berlindung.47
Di dalam ayat ini Allah menyebutkan kata pakaian disertai dengan
kelaparan. Mengutip perkataan Hamka bahwa “ini adalah satu ungkapan yang
fasih sekali. Merasai pakaian kelaparan! Padahal secara umum pakaian
bukanlah dirasakan melainkan dipakai. Tetapi kalau direnungkan, memang
kelaparan itu bisa dilihat dipakai oleh orang yang menderita. Orang lapar
tidak berketentuan lagi pakaiannya, mukanya pun pucat-lesi. Orang yang
lapar tidak segan-segan lagi memakai karung guni, bagor, kulit kayu terap,
tikar tua, robekan kain kasur dan sebagainya. Peristiwa ini dapat dilihat saat
pendudukan Jepang di Indonesia yang menjadikan kelaparan sebagai pakaian
sehari-hari.”
Penafsiran Hamka di atas berusaha untuk menjelaskan kronologis masa
kependudukan Jepang, Nihon berarti matahari atau negeri matahari terbit, di
Indonesia. Jepang memulai invasinya pada Februari 1942 dengan menerjunkan
unit-unit pasukan payung di Palembang. Dari Palembang kemudian menyebar
ke berbagai arah sehingga pada pertengahan Maret pasukan dalam jumlah
besar telah mendarat di Sumatera. Pada 17 Maret 1942 tentara Jepang pertama
masuk ke kota Padang dan sepuluh hari kemudian Belanda menyerah tanpa
syarat.48 Sekalipun dalam penjajahan Jepang, secara ideal telah berusaha
membentuk berbagai organisasi kemasyarakatan dan melatih para pemuda
dalam pendidikan militer, namun dalam kenyataannya semua praktek yang
dilakukan Jepang sama dengan Belanda. Salah satu program yang terkenal
keganasannya adalah Romusha, yaitu merekrut tenaga kerja paksa untuk
47 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 7, h. 308. 48 Audrey Richey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik
Indonesia, terj. Azmi dan Zulfahmi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 135.
70
membuat jalan raya, jalan kereta api dan jembatan. ada satu hal yang sangat
erat kaitannya dengan politik ekonomi Jepang yaitu penyerahan padi dan hasil-
hasil panen lainnya secara paksa atau dikenal dengan politik beras.
Penumpukan hasil panen melalui pimpinan tradisional, sementara rakyat
diracuni dengan kemiskinan dan kelaparan akibat hasil panen yang tidak dapat
mereka nikmati.49
Penulis melihat bahwa Hamka berusaha menjelaskan bahwa apa yang
dialami oleh masyarakat Indonesia merupakan balasan dari sikap kekufuran
mereka terhadap nikmat Allah dan penafsirannya tidak ditujukan kepada umat
Islam. Hal itu pada dokumen-dokumen sejarah yang menyatakan bahwa
Hamka, yang diakui sebagai reformis Minangkabau, setelah dibebaskannya
dari pembuangan Belanda di Jawa Barat, dia menjadi tokoh yang secara luar
biasa menarik perhatian bagi propaganda Islam Jepang pada awalnya. Tanpa
rasa takut, Hamka melakukan agitasi bahwa ajaran mereka, penyembahan
kaisar, tidak bisa disatukan dengan ajaran monoteisme Islam. tampaknya sikap
Hamka diwarisi dari ayahnya, Dr. Amrullah, yang juga saat itu tidak siap untuk
menghadapi rezim baru setelah jatuhnya kolonial Belanda seperti yang
dilakukan oleh pejabat-pejabat Indonesia dan para pemimpin nasionalis.50
Kontekstualisasi penafsiran juga dipakai oleh M. Quraish Shihab dalam
karya-karya yang banyak membahas studi keal-Quranan. Dalam
mengungkapkan makna kufr, beliau selalu mengingatkan bahwa kafir di dalam
al-Quran memiliki banyak makna sehingga tidak hanya dalam hal keyakinan
atau peribadatan melainkan orang yang tidak mensyukuri nikmat dari Allah
pun dapat dikategorikan sebagai orang kafir, seperti beberapa contoh yang
telah dijelaskan di atas.
Dalam Q.s. al-Naḥl/16: 112 misalnya,
تيها رزق ها رغدا م ن كل مكان فك فر وضرب ٱلل مثال ق ري كانت ءامن مطمئن ي
لباس ٱلوع وٱلوف با كانوا يصن عون ق ها ٱلل عم ٱلل فأذى . بن
49 Siti Fatimah, “Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Minangkabau pada Masa
Pendudukan Jepang” TINGKAP, vol. 7, no. 1 (2011): h. 85 50 Terdapat sebagian pemimpin Islam, menjadi pejabat-pejabat dan juru bicara penguasa
‘kafir’ dan telah kehilangan penghormatan tradisional dari orang-orang desa terhadap para
pemimpin agamanya. Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa
Pendudukan Jepang, terj. Daniel Dhakidae (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1980), h. 155.
71
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah
negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang
kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya
mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada
mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu
mereka perbuat.”
(Q.s. al-Naḥl/16: 112).
Penduduk suatu negeri yang mengkufuri nikmat dari Allah Swt., artinya
mereka tidak tahu cara berterima kasih, sehingga Allah menjadikan mereka
rasa lapar dan takut. Surah ini turun sebelum Nabi Saw. berhijrah ke Madīnah.
Jika demikian, ayat ini tidak berbicara tentang kota Mekkah secara khusus,
apalagi kata qaryah pada ayat ini berbentuk nakirah yang mengisyaratkan
bahwa ia bukan negeri tertentu.51
Quraish Shihab dalam penafsirannya berusaha menjelaskan mengenai
negeri-negeri yang penduduknya mengkufuri nikmat Allah bahwa mereka akan
mengalami krisis ekonomi dan gangguan keamanan jika mereka melakukan
kedurhakaan-kedurhakaan. Kasus ini kemudian menimpa masyarakat
Indonesia. Pada pertengahan 1997 terjadi krisis nilai tukar Rupiah yang meluas
menjadi krisis ekonomi sehingga menggoncangkan sendi-sendi ekonomi dan
politik nasional. Sepanjang tahun 1998, Rupiah mengalami depresiasi ke angka
yang cukup signifikan hingga lebih dari 70 persen dan mencapai puncaknya
pada bulan Juli 1998 dimana nilai tukar rupiah mencapai 14.700 per US$.
Kemudian krisis ekonomi mencapai puncaknya pada tahun 1998 ketika terjadi
kontraksi pertumbuhan ekonomi sebesar 13, 1 persen.52
Jika dilihat dari proses terjadinya, krisis moneter di Indonesia didahului
oleh suatu euphoria, adanya pertumbuhan yang tinggi dalam kurun waktu yang
lama, yang digambarkan sebagai economic miracle oleh Bank Dunia, timbul
perkembangan yang menampakkan tanda-tanda adanya bubbles seperti
51 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol. 6,
h. 759. 52 Elly Karmeli dan Siti Fatimah, “Krisis Ekonomi Indonesia,” Journal of Indonesian
Applied Economics, vol. 2, no. 2 (Oktober 2008) h. 164. Bandingkan dengan Badan Pusat Statistik,
Statistik Indonesia 1997, h. 536-568 diakses di
https://www.bps.go.id/publication/1998/07/01/86c5d063774a2324df8bc65c/statistik-indonesia-
1997.html. Lihat pula BAPPENAS dan Badan Pusat Statistik, Bertahan di Tengah Krisis Global
(Jakarta: The World Bank dan SMERU, 2010).
72
ekspansi real estates yang kelewat besar dan pertumbuhan pasar saham yang
luar biasa bersamaan dengan masuknya dana luar negeri berjangka pendek
secara berlebihan. Dalam keadaan tersebut kemudian timbul gejolak yang
menyebabkan suatu distress dan melalui dampak penularan yang sistemik
(contagion effects)53 menjadi krisis. Krisis tersebut semula terjadi di sektor
keuangan perbankan, kemudian melebar menjadi krisis ekonomi yang secara
sistemik melebar menjadi krisis sosial, politik dan akhimya krisis
kepemimpinan nasional. Ini mungkin lebih tepat untuk digunakan
menggambarkan perkembangan krisis di Indonesia.54
Pemerintah saat itu tidak mampu menghadapi krisis ekonomi global
pada tahun 1997 yang membuat rupiah terpuruk dari 2.500 rupiah per dolar
hingga 17.000 rupiah, utang negara menjadi membengkak, pasar tidak lagi
mampu menyediakan sembilan bahan pokok, masyarakat mengalami rush
dengan mengantre di bank-bank karena isu bank akan ditutup dan penjarahan
toko-toko oleh warga terjadi di banyak pasar. Mahasiswa bergerak di seluruh
Indonesia dan berdemonstrasi menyuarakan perlunya reformasi. Bermodalkan
idealisme, kejujuran pada kepentingan reformasi, komitmen pada nasib negeri,
aksi yang semula tidak jadi karena takut untuk melawan akhirnya meluas dan
serempak di berbagai kota. Pada mei 1998, pemerintahan Orde Baru runtuh,
krisis ekonomi bergeser menjadi krisis multi-dimensi karena bercampur antara
konflik etnis, agama, ras dan politik. Kejadian ini sangat mendekati prediksi
Habermas tentang krisis masyarakat kapitalis, ruang publik, masyarakat sipil
dan transformasi struktural.55
D. Penafsiran Ulama Nusantara atas Q.s. al-An‘ām/6: 27-29.
Dalam Tafsir Quran Karim, karya Mahmud Yunus, pada ayat 27 beliau
menjelaskan keadaan orang-orang kafir yang dimasukkan ke dalam Neraka
53 Contagion Effect adalah peristiwa krisis yang terjadi dalam suatu wilayah dan
berkembang kemudian menjadi krisis domestik. Lihat Sebastian Edwards, Contagion (Los Angeles:
University of California and National Bureau of Economic Research, 2000), h. 5. 54 Elly Karmeli dan Siti Fatimah, “Krisis Ekonomi Indonesia,” h. 166. 55 Ahmad Abrori, “Refleksi Teori Kritis Jurgen Habermas atas Konsensus Simbolik Perda
Syariah” Ahkam, vol. 16, no. 1 (Januari 2016); h. 77
73
seraya memohon agar dikembalikan ke atas dunia untuk kembali menjalankan
perintah Allah serta masuk kepada golongan orang-orang beriman.
Keadaan yang digambarkan di atas sudah menjadi sifat dasar manusia.
Jika mereka ditimpa cobaan atas perbuatan tangan mereka sendiri mereka maka
dengan segera mengingat Allah. Akan tetapi, jika terlepas dari cobaan atau
kecelakaan yang menimpa mereka, mereka akan kembali mengerjakan
kejahatan. Contoh kasus ini, seseorang yang kesehariannya meminum arak dan
menghisap rokok divonis oleh dokter mengidap penyakit paru-paru yang parah.
Kemudian dokter memberi nasihat dan saran agar tidak melakukannya lagi
dengan rasa penyesalan, bahkan berjanji untuk tidak mendekatinya. Ketika
Allah angkat penyakitnya, mereka kembali melakukan perbuatan yang mereka
sesali itu.
Hal demikian merupakan sifat-sifat manusia yang tidak mau menerima
pelajaran dan nasihat, karena telah biasa mengerjakan kejahatan, sekalipun
mereka tahu bahwa apa yang dilakukannya memiliki banyak kemudaratan.
Mahmud Yunus memberikan nasihat untuk mendidik anak dari kecil agar
meminimalisir segala perbuatan jahat, karena penyesalan tidaklah ada gunanya
jika kecelakaan menimpa mereka (manusia).56
Ayat selanjutnya, Mahmud Yunus mendeskripsikan tingkah laku
orang-orang kafir yang memandang kehidupan dunia sebagai satu-satunya
tempat dan tidak akan dibangkitkan kemudian pada akhir. Kesenangan yang
dilakukan untuk dirinya sendiri dan supaya memperoleh kekayaan dan
kemegahan di atas dunia ini. Melakukan tidak takut untuk menganiaya orang,
mencuri harta dan menggelapkannya, korupsi dan sebagainya. Oleh karena itu,
di negeri-negeri yang kebanyakan penduduknya tidak percaya kepada akhirat,
banyak terjadi kejahatan yang merusak keamanan negara, seperti merampok,
membunuh orang dan perbuatan keji lainnya.57
Penulis melihat bahwa penafsiran yang dilakukan oleh Mahmud Yunus
sedikit bertentangan dengan apa yang ditafsirkan oleh Hamka nantinya.
Mahmud Yunus beranggapan bahwa pendidik harus memperhatikan kondisi
56 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, h. 178-179. 57 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, h. 179.
74
kejiwaan anak didik. Dalam hal ini Mahmud Yunus mengkritisi anggapan
masyarakat saat itu yang memberikan justifikasi bahwa anak-anak yang
melakukan tindakan kejahatan adalah karena sifat bawaan sejak lahir dan harus
diberikan hukuman berupa pukulan rotan. Pandangan yang demikian menurut
Mahmud Yunus sama dengan mengorbankan masa depan peserta didik dan
kelak akan menjadikannya sebagai manusia yang tidak berharga atau tersisih
di tengah masyarakat.58
Penafsiran Mahmud Yunus yang selalu menekankan pentingnya akhlak
juga merupakan pengaruh kondisi Indonesia saat itu yang sangat memerlukan
pendidikan terutama terkait Islam. pada saat tentara sekutu menduduki kota
Padang, secara beruntun terjadi pertempuran hebat antara pemuda-pemuda
dengan tentara sekutu (Jepang). Tahun 1942, Jepang yang menguasai kota
Padang membuat ketentuan yang tidak memperbolehkan sekolah tinggi di
daerah pemukiman penduduknya. Suasana ini mengakibatkan terancamnya
sekolah-sekolah agama Islam yang ada di Padang. Saat itu banyak guru dan
murid yang mengungsi ke Bukit Tinggi. Berdasarkan kesepakatan Mahmud
Yunus dan para guru akhirnya mereka mendirikan sekolah yang dipimpin
langsung oleh Mahmud Yunus.59
Pandangan Ashgar Ali mengenai kafir juga melabeli mereka sebagai
orang yang melakukan dekadensi moral dan bukan bagian dari status teologi
atau akhlak, bahkan beliau mengatakan bahwa makna ‘tidak percaya’
merupakan terjemahan yang tidak beralasan dan telah tercerabut dari makna
spritual yang al-Quran maksudkan. Kafir juga tidak bisa ditimpakan kepada
suatu komunitas agama akan tetapi semua yang menolak kebenaran apa pun
komunitasnya mereka termasuk kafir. Jadi orang-orang kafir adalah mereka
yang tidak menerima semua Nabi yang diutus Allah dan membeda-bedakan di
antara mereka. Orang-orang kafir sesungguhnya adalah mereka yang
58 Mahmud Yunus, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran (Jakarta: Hidakarya Agung,
1978), h. 6. 59 Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan (Bandung: Angkasa,
2003), h. 375.
75
menumpuk kekayaan dan terus membiarkan kezaliman dalam masyarakat serta
menghalangi upaya-upaya menegakkan keadilan.60
Berbeda dengan Tafsir al-Azhar, pada permulaan ayat, Hamka
menjelaskan sifat orang Arab yang disebut dengan Tamanni yaitu
menginginkan hal yang tidak bisa kejadian lagi. Misalnya, orang tua yang
menginginkan kembali muda atau anak kecil yang menginginkan kembali ke
dalam kandungan ibu. Pada saat dikumpulkannya seluruh manusia di hadapan
Allah dan tidaklah satu pun berhala-berhala mereka yang menolong, maka
mereka pun menyesal atas kesalahan yang dilakukannya sewaktu di dunia.
Bahkan mereka memohon dengan penuh penyesalan agar dikembalikannya
kembali ke kehidupan dunia agar memperbaiki kesalahan-kesalahannya, tidak
menjadi kafir dan ikut bersama golongan orang-orang beriman.61
Ayat selanjutnya diberikan permisalan apabila mereka benar-benar
dikembalikan ke dunia sebagaimana yang mereka harapkan, maka tidaklah
mereka akan berbuat sebagaimana apa yang mereka janjikan. Janji yang
mereka katakan hanyalah kebohongan belaka karena kekufuran sudah menjadi
sikap jiwa mereka. Hamka berusaha menjelaskan dalam ayat ini bahwa ada
hikmah yang ingin disampaikan Allah kepada manusia. Ayat ini menegaskan
pentingnya membentuk sikap jiwa. Latihan dan pendidikan sejak kecil,
pergaulan yang baik serta lahir dalam kalangan keluarga yang beragama
menjadikan Tauhid sebagai sikap jiwa pada diri manusia. Pendidikan di rumah
tangga memiliki pengaruh yang besar terhadap pembentukan karakter anak.
Menarik untuk direnungkan perintah Rasulullah Saw., agar anak yang telah
berusia tujuh tahun hendaklah diperintahkan salat dan jikalau mereka
mengabaikannya, hendaknya orang tua memukul dan memarahinya hingga
salat menjadi sikap jiwa dan kebiasaan yang dilakukan terus-menerus.62
Ayat terakhir menjelaskan bentuk kekafiran terhadap Allah dengan
tidak mempercayai adanya kehidupan setelah mereka diwafatkan. Mereka
60 Asghar Ali Engineer, “On Being Kafir,” Dawn (2010),
https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://iportal.riphah.edu.pk/wp-
content/uploads/data/10/08/130810bk.pdf&ved=2ahUKEwjHlISw8qDcAhUKfisKHVxaDpwQFj
ACegQIARAB&usg=AOvVaw0yhzG5aEHZSLQA0zdexywM 61 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 6, h. 168. 62 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, h. 169.
76
mengatakan bahwa hidup di dunia hanyalah sekali dan hari dimana manusia
dibangkitkan kembali hanyalah mitos belaka. Oleh karena itu, dorongan hati
dan hawa nafsu harus dipenuhi sehingga jasmaniah merasa terpuaskan. Inilah
sikap mushrik jahiliyyah zaman Nabi. Mereka memandang bahwa hidup ini
hanya sekali, tidak merasa tanggung jawab terhadap masa depan, berlomba-
lomba dalam hal kemegahan, mereka yang tidak memanfaatkannya akan
dianiaya orang lain. Orang-orang kuat yang memiliki kekayaan dan otoritas
yang tinggi akan menindas yang lemah.63
Model jahiliyyah yang diterapkan pada masa-masa awal Islam tampak
kembali dengan dibungkusi oleh kesan modern atau dikenal sebagai jahiliyah
modern. Berbagai teori tentang susunan masyarakat telah diciptakan oleh
manusia. Kekuasaan telah tersusun, baik yang bersandarkan paham kapitalisme
ataupun yang bersendikan paham sosialisme dan komunisme, mengiming-
imingi mereka dengan negara yang adil dan makmur akan tetapi tidak sama
sekali mereka mempercayai hari kebangkitan. Akibatnya, kekuasaan yang
dipegangnya silih berganti. Dari zaman Feodal kekuasaan raja-raja atau mereka
yang bersekongkol dengan kekuasaan penguasa-penguasa agama, namun yang
lemah tetap tertindas. Kemudian hancurlah kekuasaan Feodal dan berganti
dengan kekuasaan Borjuis. Pemberontakan golongan Proletar terhadap Borjuis
dengan menjadikan buruh dan petani untuk membangkitkan semangat
perlawanan. Kekuasaan Proletar yang diktator kenyataannya membuat
kesenjangan antara buruh-tani dengan partai yang berkuasa.64
Paham-paham di atas sudah nyata tidak akan membawa umat manusia
kepada kebahagiaan melainkan kehancuran mental dan moral, sikap saling
percaya antara sesama manusia terkikis habis, hilangnya nilai-nilai budi dan
jatuhnya manusia dari perikemanusiaan kepada sifat kebinatangan pada
pertengahan Abad ke-20. Peristiwa itu menunjukkan bahwa peradaban yang
tidak percaya kepada hari akhir telah mencapai masa kehancurannya.
Hamka dalam penafsiran mengajak pembaca agar mengetahui
bagaimana kejamnya sistem yang digunakan oleh para penjajah di Indonesia.
63 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, h. 169. 64 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, h. 170.
77
bagi bangsa Indonesia, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada periode 1945-
1949 merupakan revolusi yang dipandang sebagai manifestasi tertinggi dari
tekad nasional, lambang kemandirian suatu bangsa dan bagi mereka yang
terlibat di dalamnya maka revolusi adalah pengalaman emosional luar biasa
dengan rakyat yang berpartisipasi langsung.65 Karl Marx pernah
mengasumsikan bahwa kapitalisme akan memunculkan kesejahteraan dan
penderitaan. Kesejahteraan dalam kelas borjuis semakin mengecil dan
penderitaan dalam kelas buruh kian membesar. Ketegangan antara borjuis dan
proletariat akan mendorong kaum proletariat untuk bersatu dan sadar-kelas.
Ketegangan yang mengarah pada revolusi inilah yang disebut dengan revolusi
sosial.66 Kemudian dibantah oleh seorang sejarawan, Michel Foucault, bahwa
“petani-petani kepemilikan menjadi suatu yang bersifat absolut: semua ‘hak’
yang ditoleransi, yang telah diperoleh atau dipelihara oleh kaum petani
selama ini... sekarang ditolak.”67
Adapun dalam Tafsir al-Miṣbāḥ, penjelasan mengenai ayat ini tidak
jauh berbeda dengan apa yang telah dijelaskan oleh Mahmud Yunus dan
Hamka bahwa ketika mereka telah dihadapkan kepada dosa-dosa mereka,
spontan keluar dari lisan mereka “yā laitanā (aduhai seandainya) kami
dikembalikan ke dunia” dengan maksud agar mereka taat kepada Allah, tidak
mendustakan ayat-ayat Tuhan Pemelihara dan senantiasa melakukan amal
kebaikan.68
Kejahatan yang dahulu mereka sembunyikan seperti kekufuran,
kedurhakaan serta penolakan ajaran yang disampaikan Rasulullah Saw. Para
tokoh-tokoh musyrik melarang orang-orang awam untuk mendengarkan ayat-
ayat suci Allah, walaupun sebenarnya mereka tekun mendengar al-Quran akan
tetapi merupakan sikap seorang kafir yang telah mendarah daging sehingga
65 J. D. Legge, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sutan
Sjahrir, terj. Hasan Basri (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), h. 1. 66 Zulkarnain, Jalan Meneguhkan Negara: Sejarah Tata Negara Indonesia (Yogyakarta:
Pujangga Press, 2012), h. 59 67 Michel Foucault, Discipline and Punish: the Birth of Prison (New York: Pantheon,
1978), h. 85. 68 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol. 4,
h. 60.
78
ketika mereka berkata akan menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka tetapi tidak
akan beriman dan tetap dalam kedurhakaan.69
Sikap di atas masih terjadi pada zaman sekarang. Quraish Shihab
mengambil contoh bahwa sebagian orientalis yang mempelajari al-Quran,
bahkan melampaui kecerdasan orang-orang Islam, tekun dalam memahami
setiap isinya tetapi dengan tujuan untuk mencari kelemahan-kelemahan yang
ada pada al-Quran. Itulah mengapa di ayat 31 ditutup dengan kata afalā
ta‘qilūn, dimana akal dalam bahasa Arab berarti tali yang mengikat. Sedangkan
dalam konteks al-Quran ialah potensi pada diri manusia yang mengikat atau
menghalanginya untuk tidak melakukan hal-hal yang buruk. Artinya, mereka
orang-orang kafir memiliki kercedasan yang luar biasa tetapi tidak dapat
menggunakan akalnya.70
Berdasarkan analisa di atas penulis menilai bahwa Mahmud Yunus,
Hamka dan Quraish Shihab memaknai kufr berdasarkan realita sosial pada
zamannya sehingga perbedaan penafsiran terlihat jika dibandingkan dengan
mufassir di dunia Timur.
Selain itu, menurut penulis Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish
Shihab ketika mendiskusikan kufr sebagai ‘tidak berterima kasih’, mereka
berangkat dari realita dan mengesampingkan sejarah kata kufr pra-Islam. Hal
ini dapat dilihat argumen Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish Shihab yang
menganggap kafir bagi mereka yang melakukan dekadensi moral, baik itu
Muslim maupun non-Muslim. Walaupun secara etimologi, orang yang ‘tidak
berterima kasih’ bisa dikategorikan sebagai kafir. Akan tetapi, secara semantik-
historis, makna ini telah mengalami perubahan makna secara semantik akibat
dari pengaruh teologi, filsafat, politik, tasawuf dan lain-lain. Oleh karena itu,
penafsiran yang mereka lakukan bersifat parsial dalam merujuk kepada ayat-
ayat al-Quran, pendefinisian terhadap term kufr juga subyektif dan terkesan
kasuistik.
69 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, h. 60-61. 70 Simpan Sehat, “1431 H Surat #6 al An’aam ayat 25-32 - Tafsir Al Misbah MetroTV
2010” YouTube Video, 40:43, diakses pada tanggal 02 Februari 2014,
https://m.youtube.com/watch?v=1l6949Hti48&t=854s.
79
Subyektif, karena penafsiran Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish
Shihab pada ayat yang lain memaknai kufr bukan sekedar dekadensi moral
melainkan sikap ketidak percayaan ditunjukkan melalui perbuatannya yang
menolak Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya dan segala yang terkait eskatologis.
Akibatnya pemaknaan yang dihasilkan tidak lagi bersifat umum, namun kāfir
sudah menunjuk kepada mereka yang non-Muslim. Kasuistik, karena
penafsiran yang dihasilkan berdasarkan kejadian tertentu dan mereka lahir di
negara Indonesia yang memiliki beragam kepercayaan dan penganutnya
sehingga rawan terjadi konflik, baik itu internal (sesama Islam) maupun
eksternal (selain Islam). Terlebih lagi penafsiran mereka di motivasi oleh
masyarakat untuk membuat kitab tafsir yang sesuai dengan perkembangan
zaman.71
71 Lihat kembali pembahasan pada bab IV tentang Kitab Tafsir Ulama Nusantara.
80
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di bab-bab sebelumnya mengenai penafsiran
Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish Shihab tentang kufr, penulis berpendapat
bahwa konteks sosio-historis memberikan pengaruh yang cukup spesifik dalam
memahami teks al-Quran, khususnya makna kufr. Dalam mendiskusikan
makna kufr, Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish Shihab melihat konteks
realita sosial yang terjadi pada masanya (menafsirkan kafir dengan melihat
perilaku dan keseharian masyarakat di Indonesia).
Penulis melihat bahwa makna kafir pada masa awal sebelum Islam
datang (pre-Islam) dimaknai dengan ‘tidak berterima kasih’. Hal ini sejalan
dengan perilaku masyarakat Arab jahiliyyah yang mengkultuskan dunia dan
terjebak dalam paham tribalismenya. Hal itu terekam dalam kesusasteraan
jahiliyyah yang menggambarkan kekayaan sebagai suatu hal yang amat penting
di dunia karena memberikan keabadian. Barulah pada tahap sistem al-Quran
(periode Quranik) kata kufr mengalami perubahan makna yang ditempatkan
secara berlawanan dengan iman. Perlawanan konseptual kemudian berlanjut
dalam sistem setelah al-Quran diturunkan (periode pasca Quranik). Tidak ada
perbedaan yang tampak antara iman dan kufr dengan periode sebelumnya,
namun bila meneliti lebih cermat, maka telah terjadi perubahan penekanan
yang amat tipis. Dengan kata lain, perbedaan iman dan kufr sekalipun secara
lahiriah sama, namun tidak lagi membawa makna yang. Hal itu terjadi karena
perubahan situasi kultural yang dialami oleh masyarakat itu sendiri. Pada
periode pasca Quranik inilah kosakata al-Quran banyak digunakan dalam
sistem pemikiran Islam seperti Teologi, Hukum, Politik, Filsafat dan Tasawuf.
Masing-masing sistem ini mengembangkan konseptualnya sendiri, tidak hanya
di dunia Timur dan Barat bahkan di Indonesia terjadi perkembangan
pemaknaan terhadap al-Quran.
Setelah melakukan proses semantik historis, penulis melihat dan
menemukan bahwa ketiga tafsir di atas mensejajarkan realitas dengan teks al-
81
Quran. Artinya konteks realita sosial memiliki pengaruh yang cukup signifikan
dalam penulisan tafsir di Indonesia. Pada Q.s. al-Nisā’/4: 112-114 Mahmud
Yunus, Hamka dan Quraish Shihab sepakat dengan melihat kufr sebagai orang
yang tidak mau berterima kasih atas nikmat yang Allah berikan. Penafsiran
mereka terlihat berbeda saat berusaha mengkontekstualisasikan al-Quran
dengan masyarakat Indonesia karena kasus yang dihadapi berbeda setiap
zamannya. Mahmud Yunus berada di masa harga karet melambung tinggi dan
bahkan peristiwa itu hanya terjadi sekali dalam sejarah Indonesia. Berbeda
dengan Hamka yang hidup di zaman penjajahan Jepang sehingga melihat
masyarakat Indonesia dibayang-banyangi oleh ketakutan dan kelaparan.
Kemudian Quraish Shihab melihat krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997,
merupakan krisis ekonomi terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Sementara
pada Q.s. al-An‘ām/6: 27-29 penulis melihat semua mufassir juga sepakat
bahwa kufr yang dimaksud oleh kosakata al-Quran adalah mereka yang tidak
percaya kepada Allah dan ajaran yang telah dibawa oleh Rasulullah Saw.
Mahmud Yunus melihat pendidikan Islam saat itu yang terancam akibat dari
aturan pemerintahan Jepang yang melarang sekolah-sekolah di pemukiman
setempat membuat penafsiran ayat ini mengarah kepada pembentukan akhlak
bagi anak-anak khususnya orang tua atau guru sebagai pendidik. Hamka yang
juga hidup di zaman penjajahan Jepang dan turut berpartisipasi dalam dunia
politik membuat penafsirannya terhadap ini bernuansa politik (kekuasaan
feodal, borjuis dan proletariat). Jika kedua mufassir di atas hidup di zaman
kependudukan Jepang, Quraish Shihab hidup dimana penjajahan dalam bentuk
kekerasan fisik berubah menjadi penjajahan dalam bentuk pikiran seperti yang
telah dilakukan oleh sebagian orientalis dalam mencari kekurangan al-Quran.
Penulis menilai bahwa Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish Shihab
memaknai kufr berdasarkan realita sosial pada zamannya sehingga perbedaan
penafsiran terlihat jika dibandingkan dengan mufassir di dunia Timur. Selain
itu, menurut penulis Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish Shihab ketika
mendiskusikan kufr sebagai ‘tidak berterima kasih’, mereka berangkat dari
realita dan mengesampingkan sejarah kata kufr pra-Islam. Hal ini dapat dilihat
argumen Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish Shihab yang menganggap kafir
82
bagi mereka yang melakukan dekadensi moral, baik itu Muslim maupun non-
Muslim. Walaupun secara etimologi, orang yang ‘tidak berterima kasih’ bisa
dikategorikan sebagai kafir. Akan tetapi, secara semantik-historis, makna ini
telah mengalami perubahan makna secara semantik akibat dari pengaruh
teologi, filsafat, politik, tasawuf dan lain-lain. Oleh karena itu, penafsiran yang
mereka lakukan bersifat parsial dalam merujuk kepada ayat-ayat al-Quran,
pendefinisian terhadap term kufr juga subyektif dan terkesan kasuistik.
Subyektif, karena penafsiran Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish
Shihab pada ayat yang lain memaknai kufr bukan sekedar dekadensi moral
melainkan sikap ketidak percayaan ditunjukkan melalui perbuatannya yang
menolak Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya dan segala yang terkait eskatologis.
Akibatnya pemaknaan yang dihasilkan tidak lagi bersifat umum, namun kāfir
sudah menunjuk kepada mereka yang non-Muslim. Kasuistik, karena
penafsiran yang dihasilkan berdasarkan kejadian tertentu dan mereka lahir di
negara Indonesia yang memiliki beragam kepercayaan dan penganutnya
sehingga rawan terjadi konflik, baik itu internal (sesama Islam) maupun
eksternal (selain Islam). Terlebih lagi penafsiran mereka di motivasi oleh
masyarakat untuk membuat kitab tafsir yang sesuai dengan perkembangan
zaman.
Pada akhirnya, perlu dicatat bahwa Mahmud Yunus, Hamka dan
Quraish Shihab dalam menafsirkan kata kufr mereka membawa konteks
realitas sosial untuk memahami lebih dalam teks-teks al-Quran. Sehingga
konteks yang memiliki peranan penting dalam mengkonstruk pemikiran ulama
Nusantara kontemporer.
B. Saran
Penelitian terhadap tafsir karya ulama Nusantara sudah banyak
diperhatikan oleh para sarjana, baik Muslim atau non-Muslim, orang Indonesia
atau Barat, semuanya melakukan kajian yang dapat menambah wawasan dan
menumbuhkan kembali khazanah keilmuan tafsir di Indonesia.
Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, perlu kajian yang mendalam
terkait karya-karya ulama Nusantara ini, sebab penelitian ini banyak memiliki
83
kekurangan, baik dari sistematis penulisan, pembahasan, maupun referensi-
referensi yang penulis gunakan. Harapan besar bagi penulis agar penelitian-
penelitian ini diteruskan dengan pembahasan yang sama. Penulis menyarankan
untuk membahas bagaimana semiotik dari kata kufur sendiri atau mengambil
tafsir yang menggunakan bahasa lokal dari berbagai daerah dan bagaimana
hubungannya dengan kearifan lokal, sehingga kekurangan di atas dapat
ditutupi dan dilengkapi.
84
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdullah, Haji Abdul Malik Karim. Di Bawah Lindungan Ka’bah. Bulan Bintang,
1938.
_______. Falsafah Hidup. Jakarta: Republika, 2015.
_______. Kedudukan Perempuan Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996.
_______, Haji Abdul Malik Karim. Pandangan Hidup Muslim. Jakarta: Gema Insan
Press, 2016.
_______. Tasawuf Modern. Jakarta: Republika, 2015.
_______. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Bulan Bintang, 1928.
Ali, Maulana Muhammad. The Holy Qur’ān: Arabic Text, English Translation and
Commentary. Lāhūr: Aḥmadiyyah Anjuman Isha‘at Islām, 1973.
Amin, Samsul Munir. Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani.
Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009.
Amir, Mafri, Literatur Tafsir Indonesia. Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013.
Al-Aṣfahānī, al-‘Allāmah al-Rāghib. Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān. Damaskus: Dār al-
Qalam, 2009.
al-Athīr, Abū al-Sa‘ādāti al-Mubārak ibn Muḥammad al-Jazarī. al-Nihāyah fi
Gharīb al-Hadīs wa al-Athar. Riyaḍ: Dār Ibn al-Jauzi, 1421 H.
Ba‘albakī, Munīr. al-Mawrid: A Modern English-Arabic Dictionary. Bayrūt: Dār
al-‘Ilm al-Malayin, 1980.
Al-Baghawi, Imam Abi al-Hasan Muhammad ibn al-Husain. Tafsīr al-Baghawī:
Ma‘ālim al-Tanzīl. Riyaḍ: Dār Ṭayyibah, 1409 H.
Bakry, Oemar. Tafsir Rahmat. Jakarta: Mutiara, 1984.
Al-Baqi’, Muhammad Fu’ad ‘Abd. Mu‘jam Mufahras li Alfāẓ al-Qur’ān. Bayrūt:
Dār al-Fikr, 1992.
Cawidu, Harifuddin. Konsep Kufr dalam al-Qur’an: Suatu Kajian Teologis dengan
Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta, Bulan Bintang, 1991.
Dijk, C. Van. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Diterjemahkan oleh J.
Moeliono. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987.
85
Al-Dimasyqi, Al-Imām ibn al-Qayyim al-Jauziyyah Muḥammad ibn Abi Bakr al-
Zar’i. Madārij al-Sālikīn: Bayna Manāzil Iyyāka Na‘budu wa Iyyāka
Nasta‘in. Riyaḍ: Dār al-Ṣamī’ī, t. th.
Donzel, E. Van, dkk. The Encyclopaedia of Islam. Leiden: E. J. Brill, 1978.
Al-Dzāhiri, al-Imām Abū Muḥammad ‘Ali ibn Aḥmad Ibn Ḥazm. al-Fiṣal fi al-
Milal wa al-Ahwa’ wa al-Nihal. Bayrūt: Dār al-Jail, 1996.
Edwards, Sebastian. Contagion. Los Angeles: University of California and National
Bureau of Economic Research, 2000.
El Fadl, Khaled Abou. The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists. USA:
HarperCollins Publisher, 2007.
Elsbeth Locher-Scholten, Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the
Rise of Dutch Imperialism 1830-1907, diterjemahkan dari bahasa Jerman
oleh Beverley Jackson (Ithaca: SEAP, 2003).
Esack, Farid, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of
Interreligious Solidarity Against Oppression. England: Oneworld
Publications, 1998.
Gobée, E. dan C. Adriaanse. Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda. Diterjemahkan oleh
Sukarsi. Jakarta: INIS, 1995.
Greenwood, N. J. dan J. M. B. Edwards, Human Environments and Natural
Systems. Massachusetts: Duxbury Press, 1979.
Guillot, Claude, Lobu Tua: Sejarah Awal Barus. Diterjemahkan oleh Daniel Perret.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002.
Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi
(Yogyakarta: LkiS, 2013).
Hassan, Ahmad. Al-Furqan: Tafsir al-Qur’an. akarta: Dewan Dakwah Islamiyah,
1956.
Himāyah, Mahmūd ‘Ali. Ibn Ḥazm wa Manhajuhu fi Dirāsah al-Adyān. Kairo: Dār
al-Ma‘ārif, 1983.
Izutsu, Toshihiko. Ethico Religious Concepts In The Qur’an. Canada: McGill
University Press, 1966.
_______. Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur’ān. penerjemah Agus Fahri
Husein. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993.
86
Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991.
Ma‘luf, Louis. al-Munjid fi al-Lughah. Bayrūt: al-Maktabah Kāthūlīkiyyah, 1956.
Martamin, Mardjani, dkk. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatera Barat.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.
McCabe, Joseph. Atheism: The Logic of Disbelief. Arizona, See Sharp Press, 2006.
Michrob, Halwany dan Mudjahid Chudari. Catatan Masa Lalu Banten. Serang:
Saudara, 1993.
Al-Miṣr, Abū al-Faḍl Jamāl al-Dīn Muḥammad ibn Mukrim ibn Manẓūr. Lisān al-
‘Arab. Bayrūt: Dār al-Ṣadr, t.th.
Al-Naisāburi, Abu al-Hasan ‘Ali ibn Ahmad al-Wahidi. Asbāb al-Nuzūl. Bayrūt:
Dār al-Fikr, 1994.
al-Qarāfi, Abū al-‘Abbās Ahmad ibn Idrīs al-Shanhājī. al-Furūq: Anwār al-Burūq
fi Anwā’ al-Furūq. Bayrūt: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998.
Quṭb, Sayyid. fī Ẓilāl al-Qur’ān. Bayrūt: Dār al-Shurūq, 2003.
Al-Rāzi, al-Ṭahir Ahmad. Qamus al-Muḥīṭ. Riyāḍ: Dār ‘Alam al-Kutub, 1996.
Riḍa, Muhammad Rashīd, Tafsīr al-Qur’ān al-Hakīm. Miṣr: Dār al-Manār, 1367
H.
al-Sha‘rāwī, Muḥammad Mutawallī. Tafsīr al-Sha‘rāwī. Miṣr: Akhbār al-Yaum,
1991.
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Jakarta: Lentera Hati, 2013.
______, M. Quraish. Mukjizat al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1997.
______, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 2013.
______, M. Quraish. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Qur’an. Bandung:
Mizan, 2000.
______, M. Quraish. Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati, 2012.
______, M. Quraish. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.
87
Al-Shaibani, Abu Abdullah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal. Taḥqīq oleh
Syu’aib al-Arnauth, Musnad Aḥmad ibn Ḥanbal. Bayrūt: Muassasah al-
Risālah, 2001.
Al-Sijistāni, Abū Dāud Sulaymān ibn al-Ash’ath al-Azdī. Sunan Abī Dāud.
Damaskus: Dār al-Risālah al-‘Ālamiyyah, 2009.
Sugono, Dendy., dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008.
al-Ṭabarī, Abu Ja’far Muḥammad ibn Jarīr. Tafsīr al- Ṭabarī: Jāmi’ al-Bayān ‘an
Ta’wīl Ay al-Qur’ān. Taḥqīq ‘Abd Allah ibn ‘Abd al-Muhsin. Kairo: Dār
Hajr li al-Tabā‘ah wa al-Nasyr, 2001.
al-Tabātabā’ī, Muhammad Husain, al-Mīzān fī al-Tafsīr al-Qur’ān. Bayrūt:
Muassasah al-A‘lamī li al-Maṭbū’āt, 1997.
Ibn Taymiyyah, Ahmad ibn ‘Abd al-Halim, Sharḥ al-‘Aqīdah al-Wāsiṭiyah,
disyarah oleh Muḥammad al-Ṣālih al-‘Utsaimīn. Riyāḍ: Dār ibn al-Jauzī,
1421 H.
Ibn Taymiyyah, Ahmad ibn ‘Abd al-Halim. Sharh Hadits Jibril,: fi al-Islām wa al-
Imān wa al-Ihsān. t.t: Dār Ibn al-Jauzi, t. th.
Yunus, Mahmud dan Qosim Bakri. al-Tarbiyah wa al-Ta’lim. Bukittinggi:
Nusantara, 1953.
______. Durus al-Lughah al-‘Arabiyyah ‘ala al-Ṭariqah al-Hadithah. Jakarta:
Hidakarya Agung, 1927.
______. Kamus Arab Indonesia. Ciputat: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2010.
______. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Jakarta: Hidakarya Agung, 1999.
______. Tafsir Qur’ān Karīm. Jakarta: Hidakarya Agung, 2002.
Yusuf, M. Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar. Jakarta: Penamadani,
2004.
Ibn Zakariya, al-Ḥusain Aḥmad ibn Fāris. Mu’jam Maqāyīs al-Lughah. Bayrūt: Dār
al-Fikr, 1979.
Zayd, Nasr Hamid Abu. Tekstualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an.
terj. Khoiron Nahdliyyin. Yogyakarta: IRCiSoD, 2016.
al-Zuḥailī, Wahbah. al-Tafsīr al-Munīr fi al-‘Aqīdah wa al-Sharī‘ah wa al-Manhaj.
Damaskus: Dār al-Fikr, 2009.
88
Skripsi, Tesis dan Disertasi:
Akbar, Hilal. “Mafhum al-Kafir fi al-Qur’an: Dirasah Tahliliyah Dalaliyah
Tarihiyah.” Skripsi S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.
Chair, M. Farid. “Makna Kafir dalam Kajian Hadis (Sebuah Kajian Tematik dalam
Shahih al-Bukhari).” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015.
Maysaroh, Lies. “Pengingkaran Kepada Tuhan (Konsep dan Makna Kufr menurut
Toshihiko Izutsu dan M. Quraish Shihab).” Skripsi S1 UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2008.
Rahmat, Rudi. “Perumpamaan Orang-orang Kafir menurut Ibn Katsir dalam Tafsir
al-Qur’an al-Adzim.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Syarif
Kasim Riau, 2015.
Romdhoni, Fathur. “Penafsiran Sayyid Qutb atas Kafir dalam Tafsir fi Dzilal al-
Qur’an.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2017.
Wahab, Zulkifli. “Iman dan Kufr (Kajian Tahlili terhadap QS. al-Kahfi/18: 29).”
Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin
Makassar, 2016.
Jurnal:
Gusmian, Islah. “Tafsir al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika,” Nun 1, no.
1 (2015).
Has, Muhammad Hasdin. “Metodologi Tafsir al-Munir Karya Wahbah Zuhaily.”
Al-Munzir 7, no. 2 (November 2014).
Latif, Ahmad Zaki Hj. Abdul. “Isu Kafir-Mengkafir dan Implikasinya dalam
perkembangan Politik dan Sosial Masyarakat Melayu.” Jurnal Ushuluddin
17 (2003).
Mahfud, Choirul. “The Power of Syukur: Tafsir Kontekstual Konsep Syukur dalam
al-Qur’an.” Epistemé 9, no.2 (Desember 2014).
Prima, Daniel. “Penafsiran Ucapan Selamat Natal Dan Prinsip-Prinsip Toleransi
Beragama Dalam Tafsir al-Miṣbāḥ.” Analytica Islamica 4, no. 1 (2015).
Roifa, Rifa, dkk. “Perkembangan Tafsir di Indonesia (Pra Kemerdekaan 1900-
1945).” al-Bayan: Jurnal Studi al-Qur’an dan Hadis 2, no. 1 (Juni 2017).
Setiawan, M. Nur Kholis. “Urgensi Tafsir Dalam Konteks Keindonesiaan dan Pola
Pendekatan Tematik Kombinatif.” Tasamuh 4, no. 2 (2012).
89
Shobahussurur, “Buya Hamka: Tokoh Modernis Karismatik,” Jurnal Refleksi 9, no.
1 (2009).
Shuhaimi, Irwan Hadi Mohamad, dkk. “Wasatiyah Dalam Menanggapi Isu Takfir.”
Wasat, no. 2 (2015).
Untung, Samsul Hadi dan Eko Adhi Sutrisno, “Sikap Islam Terhadap Minoritas
Non-Muslim,” Jurnal Kalimah 12, no. 1 (Maret 2014).
Yasir, Muhammad. “Makna Toleransi Dalam al-Qur’an.” Jurnal Ushuluddin 22,
no. 2 (Juli 2014).
Laporan:
BAPPENAS dan Badan Pusat Statistik. Bertahan di Tengah Krisis Global. Jakarta:
The World Bank dan SMERU, 2010.
Syibromalisi, Faizah Ali. “Perempuan Dalam Tradisi Tafsir Kontemporer Di
Indonesia: Studi Perbandingan Pemikiran Hamka Dalam Tafsir al-Azhar
dan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah.” Laporan Penelitan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (2014).
Website:
Karmeli, Elly dan Siti Fatimah, “Krisis Ekonomi Indonesia,” Journal of Indonesian
Applied Economics, vol. 2, no. 2 (Oktober 2008) h. 164. Bandingkan dengan
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 1997, h. 536-568 diakses di
https://www.bps.go.id/publication/1998/07/01/86c5d063774a2324df8bc65
c/statistik-indonesia-1997.html.
Nasrullah, Nasih, “Ini Sikap Lembaga Fatwa Timur Tengah Soal Natal,” artikel
diakses pada tanggal 20 Maret 2018 dari
http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/13/12/24/myau5b-ini-sikap-lembaga-fatwa-timur-tengah-soal-natal.
Siswoyo, Harry, “Bocah PAUD Tolak ke Mal Karena Anggap Milik Kafir,” artikel
diakses pada 18 Januari 2018 dari
https://www.viva.co.id/berita/nasional/978007-bocah-paud-tolak-ke-mal-
karena-anggap-milik-kafir.
Recommended