View
224
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
ARAHAN PENGEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN
KABUPATEN SUMBAWA BERBASIS KOMODITAS
UNGGULAN DAERAH
IWAN SETIAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Arahan Pengembangan Sektor Pertanian Kabupaten Sumbawa berbasis Komoditas Unggulan Daerah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2010
Iwan Setiawan
NRP A156080144
ABSTRACT
IWAN SETIAWAN. Developing Agricultural Sector in Sumbawa Regency Based on Local Primary Commodities. Supervised by DWI PUTRO TEJO BASKORO and MUHAMMAD FIRDAUS.
The agricultural sector had been playing an important role in Sumbawa Regency development program. Accelerating process of agricultural development could be done by developing local primary commodities. This research purposes were to determine alternatives and the development strategies of the primary food crop commodities in Sumbawa Regency. Research was carried out by collecting stakeholder’s perception, productivity and economic value of the food crops in Sumbawa Regency and West Nusa Tenggara Province. The analysis methods used were Klassen typology, analytical hierarchy process and spatial analysis. The results showed that local primary food crop commodities were corn (score 0,33), mung beans (score 0,23), soybean (score 0,19), chilli (score 0,16), and sweet potatoes (score 0,09). The development of corn and mung beans were more focussed on marketing accessibility to other regions through cooperation contract to be more guaranteed prices. For soybeans, chilli and sweet potatoes, development could be done by extending the harvest area, use of superior seeds, use of water pumps to overcome the limitations of water, intercropping planting patterns, and develop microfinance institutions in the rural district.
Keywords: regional planning, primary commodity, analytical hierarchy process, spatial analysis
RINGKASAN
IWAN SETIAWAN. Arahan Pengembangan Sektor Pertanian Kabupaten Sumbawa berbasis Komoditas Unggulan Daerah. Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO dan MUHAMMAD FIRDAUS.
Sektor pertanian yang tetap berperan penting dalam pembangunan Kabupaten Sumbawa menjadi titik tolak arah pembangunan ke depan. Hal ini dinyatakan dalam visi Kabupaten Sumbawa sebagai daerah agribisnis berdaya saing menuju masyarakat sejahtera. Untuk itu, diperlukan upaya identifikasi sumberdaya agribisnis yang diunggulkan di daerah. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menentukan alternatif komoditas unggulan tanaman pangan, 2) menentukan prioritas komoditas untuk dikembangkan, 3) memetakan wilayah pengembangan, dan 4) merumuskan arahan strategis pengembangannya.
Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder berupa tingkat produktivitas dan nilai ekonomi tanaman pangan di Kabupaten Sumbawa dan Nusa Tenggara Barat, serta data primer berupa persepsi berbagai pihak terkait. Metode analisis yang digunakan berupa tipologi Klassen untuk menentukan alternatif komoditas tanaman pangan unggulan di Kabupaten Sumbawa. Penentuan prioritas pengembangan dengan proses hirarki analitik oleh responden pakar yang dipilih secara purposive sampling. Wilayah pengembangan dianalisis secara spasial tematik dengan mempertimbangkan tingkat produksi saat ini. Serta arahan pengembangan dirumuskan secara deskriptif berdasarkan proyeksi konsumsi dan hasil analisis spasial zona agroekologi dengan pola penggunaan lahan yang ada.
Hasil analisis tipologi Klassen menunjukkan bahwa komoditas jagung, kedelai, kacang hijau, ubi jalar, dan cabe rawit merupakan alternatif komoditas unggulan daerah Kabupaten Sumbawa. Indikator keunggulan ditunjukkan oleh estimasi nilai ekonomi dan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata daerah acuan Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan proses hirarki analitik, urutan prioritas komoditas tersebut dari yang lebih penting sampai kurang penting adalah jagung (skor 0,33), kacang hijau (skor 0,23), kedelai (skor 0,19), cabe rawit (skor 0,16), dan ubi jalar (skor 0,09). Prioritas tersebut dipengaruhi oleh faktor pasar (skor 0,30), modal (skor 0,24), lahan (skor 0,20), nilai tambah (skor 0,18), dan preferensi (skor 0,09).
Tingkat produksi yang ada saat ini memberikan peluang pengusahaan komoditas jagung untuk dikembangkan di Kecamatan Labangka, Plampang, Lunyuk, dan Utan. Kacang hijau di Moyo Hilir, Empang, Lopok, dan Plampang. Komoditas kedelai, cabe rawit, dan ubi jalar berpotensi untuk dikembangkan pada areal yang lebih luas secara lebih intensif. Wilayah yang dapat dijadikan sentra pengembangan kedelai adalah Kecamatan Alas Barat, Alas, Lantung, Buer, Empang, Ropang, Rhee, Lenangguar, Tarano, serta Lunyuk. Wilayah pengembangan cabe rawit meliputi Kecamatan Buer, Batu Lanteh, Plampang, Tarano, dan Labangka. Dan ubi jalar dapat dikembangkan di Kecamatan Labuhan Badas, Batu Lanteh, Sumbawa, dan Buer.
Produksi jagung dan kacang hijau saat ini sudah mampu memenuhi kebutuhan konsumsi regional dengan indeks kecukupan masing-masing sebesar 2,58 dan 8,09. Sedangkan kedelai, cabe rawit, dan ubi jalar produksi saat ini masih belum mencukupi secara relatif kebutuhan konsumsi regional Nusa Tenggara Barat dengan indeks kecukupan kurang dari satu (<1). Bila
diperhatikan secara biogeofisik karakteristik wilayah potensial untuk pengembangan komoditas unggulan tersebut menyebar hampir secara merata di seluruh wilayah kecamatan yang ada. Dengan demikian, pengembangan jagung dan kacang hijau lebih ditekankan pada aksesibilitas pemasaran ke luar daerah melalui kontrak kerjasama agar harga dapat lebih terjamin. Untuk kedelai, cabe rawit, dan ubi jalar, pengembangannya dapat dilakukan dengan meningkatkan intensifikasi berupa penggunaan benih unggul, penggunaan pompa air untuk mengatasi keterbatasan ketersediaan air, menerapkan pola tanam tumpang sari, dan menumbuhkembangkan lembaga keuangan mikro di pedesaan.
Kata kunci: perencanaan wilayah, komoditas unggulan, proses hirarki analitik, analisis spasial
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ARAHAN PENGEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN
KABUPATEN SUMBAWA BERBASIS KOMODITAS
UNGGULAN DAERAH
IWAN SETIAWAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS.
Judul Tesis : Arahan Pengembangan Sektor Pertanian Kabupaten Sumbawa berbasis Komoditas Unggulan Daerah
Nama : Iwan Setiawan
NRP : A156080144
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc. Muhammad Firdaus, S.P., M.Si, Ph.D
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Perencanaan Wilayah
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 13 Januari 2010 Tanggal Lulus:
Untuk Ibuku yang selalu kurindu… Tenry
Ayahku yang kubangga… Badaruddin Noor
Dan sandaran hatiku … Muflihah
PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang maha menentukan dan maha mengetahui segala ilmu. Atas taufik dan karunia-Nya, tesis Arahan Pengembangan Sektor Pertanian Kabupaten Sumbawa berbasis Komoditas Unggulan Daerah ini dapat penulis selesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program studi Ilmu Perencanaan Wilayah Institut Pertanian Bogor.
Arahan, dukungan, dan diskusi membangun dari berbagai pihak memberikan andil dalam menentukan penyelesaian tesis ini, mulai dari penyusunan rencana penelitian hingga menjadi tesis seperti yang ada sekarang. Untuk itu, kepada Bapak Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc. dan Bapak Muhammad Firdaus, S.P, M.Si., Ph.D penulis sampaikan terima kasih atas segala bentuk bimbingannya. Terima kasih juga kepada Bapak Dr. Ir. Iskandar Lubis, M.S. atas arahan dan perbaikan dalam ujian tesis, serta kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. atas masukan penyempurnaannya. Kepada teman-teman di PWL08, diskusi-diskusi ilmiah yang terjalin selama ini menjadi catatan sejarah tersendiri, terima kasih.
Penulis juga menyampaikan terima kasih atas pastisipasi aktif dari berbagai kalangan atas penyediaan data-data pendukung. Kepada para petani yang telah menyisihkan sebagian waktunya untuk berbincang-bincang tentang pertanian Sumbawa yang penulis pilih sebagai wilayah penelitian. Rekan-rekan kerja di Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Sumbawa, Bappeda, Dinas Pertanian NTB, BPTP NTB, dan BBSDLP Bogor, semoga komunikasi kita tetap terjalin demi pembangunan pertanian ke depan. Kepada keluarga besar Badaruddin Noor dan Asthohar Mastur, terima kasih atas do’a dan dukungannya. Dan tentu saja kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) atas pembiayaan program ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2010
Iwan Setiawan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lantung Sepukur Kabupaten Sumbawa pada tanggal 22 Oktober 1976 dari ayah Badaruddin Noor dan ibu Tenry. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara.
Tahun 1994 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Sumbawa Besar dan pada tahun yang sama lulus seleksi ujian masuk perguruan tinggi negeri di Universitas Mataram. Penulis memilih program studi Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai asisten dosen pada beberapa mata kuliah praktikum.
Penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sumbawa sejak Desember 2002. Sampai dengan saat ini ditempatkan di Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Program magister di program studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB sejak tahun 2008 ditempuh atas beasiswa pendidikan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xiv
I. PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ...................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 7
2.1 Tinjauan Teoritis ............................................................ 7
2.1.1 Penetapan Komoditas Unggulan ........................ 7 2.1.2 Sistem Usaha Tani ............................................. 8 2.1.3 Permintaan dan Penawaran Komoditas .............. 10 2.1.4 Zona Agroekologi (ZAE) ...................................... 11 2.1.5 Perencanaan Wilayah ........................................ 13
2.2 Tinjauan Studi Terdahulu ............................................... 14
2.3 Tinjauan Kebijakan yang Terkait .................................... 17
III. METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 18
3.1 Kerangka Pemikiran ....................................................... 18
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................... 21
3.3 Sumber Data dan Instrumen .......................................... 21
3.4 Metode Analisis Data ..................................................... 22
3.4.1 Location Quotient ............................................... 23 3.4.2 Analisis Tipologi Klassen .................................... 24 3.4.3 Proses Hirarki Analitik (PHA) .............................. 25 3.4.4 Analisis Spasial .................................................. 26 3.4.5 Proyeksi Konsumsi ............................................. 27 3.4.6 Analisis Deskriptif ............................................... 27
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ........................... 28
4.1 Letak, Batas, dan Luas Wilayah ..................................... 28
4.2 Topografi ........................................................................ 30
4.3 Keadaan Iklim dan Cuaca .............................................. 30
4.4 Geologi .......................................................................... 32
4.5 Jenis Tanah ................................................................... 33
4.6 Hidrologi ......................................................................... 34
4.7 Penggunaan Lahan ........................................................ 34
4.8 Prasarana Perhubungan ................................................ 36
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 37
5.1 Alternatif Komoditas Unggulan Daerah .......................... 37
5.2 Prioritas Komoditas untuk Dikembangkan ...................... 42
5.3 Wilayah Pengembangan Komoditas .............................. 48
5.4 Arahan Strategis Pengembangan .................................. 54
5.4.1 Tingkat Konsumsi dan Kebutuhan Lahan ........... 55 5.4.2 Zona Agroekologi Potensial untuk Tanaman
Pangan ............................................................... 58 5.4.3 Rumusan Strategi ............................................... 62
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 67
6.1 Kesimpulan .................................................................... 67
6.2 Saran ............................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Matriks hubungan tujuan penelitian, metode analisis, data yang diperlukan, sumber data, dan output ........................... 22 2. Matriks tipologi Klassen penentuan komoditas unggulan
daerah Kabupaten Sumbawa ...................................................... 24
3. Luas wilayah Kabupaten Sumbawa dirinci per kecamatan tahun 2008 ................................................................ 29
4. Rata-rata curah hujan di Kabupaten Sumbawa Tahun 2004-2008 dirinci perbulan (mm) ....................................... 31
5. Rata-rata Karakteristik cuaca di Kabupaten Sumbawa tahun 2008 .................................................................................. 32
6. Keadaan luas lahan berdasarkan potensi wilayah di Kabupaten Sumbawa tahun 2008 ................................................. 35
7. Nilai LQ produksi tanaman pangan di Kabupaten Sumbawa
Tahun 2004-2007 ........................................................................ 38
8. Rata-rata produktivitas dan nilai ekonomi komoditas tanaman pangan di Kabupaten Sumbawa dan Provinsi NTB tahun 2004-2007 ......................................................................... 39
9. Posisi masing-masing komoditas tanaman pangan di Kabupaten Sumbawa berdasarkan tipologi Klassen .................... 40
10. Proyeksi kebutuhan konsumsi penduduk Provinsi Nusa
Tenggara Barat tahun 2025 terhadap komoditas unggulan Kabupaten Sumbawa .................................................................. 55
11. Indeks kecukupan produksi komoditas unggulan daerah Kabupaten Sumbawa (2008) terhadap kebutuhan konsumsi NTB (2025) .................................................................................. 56
12. Kebutuhan lahan di Nusa Tenggara Barat untuk memenuhi tingkat konsumsi 2025 berbagai komoditas unggulan Kabupaten Sumbawa .................................................................. 57
13. Persentase penggunaan lahan (2008) untuk komoditas
unggulan di Kabupaten Sumbawa terhadap kebutuhan lahan di Nusa Tenggara Barat (2025) .................................................... 58
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Laju pertumbuhan PDRB Provinsi NTB ADH konstan 2000
menurut kabupaten/kota 2004-2006 ................................................. 3
2. Distribusi persentase PDRB Kabupaten Sumbawa menurut lapangan usaha ADH konstan 2000 tahun 2004-2006 ...................... 3
3. Aliran barang dan jasa dalam suatu sistem usaha tani sederhana .... 9 4. Kerangka pemikiran penelitian .......................................................... 20
5. Wilayah administrasi kecamatan di Kabupaten Sumbawa ................ 21
6. Hirarki penentuan prioritas komoditas unggulan ............................... 26
7. Jarak dari ibukota kabupaten ke kota kecamatan dalam Kabupaten Sumbawa tahun 2008 ..................................................... 29
8. Keadaan topografi Kabupaten Sumbawa .......................................... 30
9. Skor masing-masing kriteria dalam penentuan prioritas komoditas unggulan daerah ............................................................... 44
10. Skor masing-masing alternatif dalam penentuan prioritas
komoditas unggulan daerah ............................................................... 46
11. Hirarki skor prioritas kriteria dan alternatif penentuan komoditas unggulan daerah Kabupaten Sumbawa ........................... 47
12. Sebaran produksi jagung di Kabupaten Sumbawa Tahun 2008 ........ 49
13. Sebaran produksi kacang hijau di Kabupaten Sumbawa 2008 ......... 50
14. Sebaran produksi kedelai di Kabupaten Sumbawa Tahun 2008 ....... 51
15. Sebaran produksi cabe rawit di Kabupaten Sumbawa Tahun 2008 .. 52
16. Sebaran produksi ubi jalar di Kabupaten Sumbawa Tahun 2008 ...... 53
17. Sebaran zona agroekologi di Kabupaten Sumbawa .......................... 59
18. Sebaran zona potensial pengembangan komoditas unggulan daerah Kabupaten Sumbawa ............................................ 60
19. Pola penggunaan lahan di Kabupaten Sumbawa berdasarkan citra Landsat tahun 2006 .............................................. 61
20. Arahan wilayah pengembangan komoditas unggulan daerah Kabupaten Sumbawa ....................................................................... 66
DAFTAR LAMPIRAN
1. Rata-rata produksi komoditas pangan di Kabupaten Sumbawa dan Provinsi
Nusa Tenggara Barat berdasarkan data tahun 2004-2007
2. Rata-rata luas panen komoditas pangan di Kabupaten Sumbawa dan Provinsi Nusa Tenggara Barat berdasarkan data tahun 2004-2007
3. Rata-rata produktivitas komoditas pangan di Kabupaten Sumbawa dan
Provinsi Nusa Tenggara Barat berdasarkan data tahun 2004-2007 4. Rata-rata nilai ekonomi komoditas pangan di Kabupaten Sumbawa dan
Provinsi Nusa Tenggara Barat berdasarkan data tahun 2004-2007
5. Daftar identitas responden expert dalam analisis AHP
6. Sintesis detil prioritas pada level kriteria dan alternatif dalam analisis AHP
7. Proyeksi penduduk Nusa Tenggara Barat menurut kelompok umur tahun 2009-2025 (x1000)
8. Zona agroekologi dan zonasi alternatif pengembangan pertanian dan
kehutanan di Kabupaten Sumbawa 9. Luas panen, produktivitas, dan jumlah produksi jagung di Kabupaten
Sumbawa dirinci perkecamatan tahun 2008
10. Luas panen, produktivitas, dan jumlah produksi kacang hijau di Kabupaten Sumbawa dirinci perkecamatan tahun 2008
11. Luas panen, produktivitas, dan jumlah produksi kedelai di Kabupaten
Sumbawa dirinci perkecamatan tahun 2008
12. Luas panen, produktivitas, dan jumlah produksi cabe rawit di Kabupaten Sumbawa dirinci perkecamatan tahun 2008
13. Luas panen, produktivitas, dan jumlah produksi ubi jalar di Kabupaten
Sumbawa dirinci perkecamatan tahun 2008
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kawasan Timur Indonesia (KTI) dewasa ini terus mendapat prioritas
pengembangan dan pembangunan termasuk dalam sektor pertanian, karena
wilayah tersebut mempunyai cadangan sumber daya lahan yang cukup luas.
Prioritas pengembangan tersebut terkait dengan upaya mengejar ketertinggalan
kawasan timur terhadap kawasan barat Indonesia. Sejalan dengan
diterapkannya sistem otonomi daerah, setiap daerah berlomba-lomba untuk
dapat mengangkat potensi spesifik lokasi agar memiliki daya saing dengan
daerah lainnya. Otonomi daerah juga memberikan pengaruh terhadap
kompleksitas perencanaan dan pengendalian pembangunan sebagai akibat
dinamika kehidupan masyarakat.
Kabupaten Sumbawa sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Nusa
Tenggara Barat memiliki cadangan sumber daya lahan cukup luas. Data Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Sumbawa menyebutkan bahwa luas
lahan pertanian sekitar 2.880,33 km2 dari keseluruhan luas wilayah 6.643,98 km2.
Sampai dengan saat ini, sektor pertanian di Kabupaten Sumbawa masih
berperan besar dalam menentukan keberhasilan pembangunan daerah. Data
BPS Sumbawa (2008) menunjukkan bahwa pada tahun 2007 produk domestik
regional bruto (PDRB) Kabupaten Sumbawa masih disumbangkan sebesar 42,69
persen dari sektor pertanian. Peranan sektor ini ditunjang oleh subsektor
tanaman pangan yang menyumbang sebesar 26,68 persen. Untuk itu, sektor
pertanian perlu mendapat perhatian khusus dengan berbagai kebijakan
pembangunan yang didukung oleh ketersediaan informasi yang akurat tentang
potensi wilayah yang dimiliki.
Salah satu langkah inventarisasi potensi wilayah adalah dengan
menginventarisasi produk-produk (komoditas) potensial, andalan, dan unggulan
daerah. Komoditas unggulan daerah menggambarkan kemampuan daerah
menghasilkan komoditas, menciptakan nilai tambah, memanfaatkan sumber
daya secara nyata, memberi kesempatan kerja, memiliki prospek untuk
meningkatkan produktivitas dan investasinya, serta mampu menangkal produk
sejenis di pasaran.
2
Dalam mengembangkan komoditas-komoditas unggulan tersebut juga
perlu diketahui potensi dan karakteristik lahan. Lahan mempunyai kemampuan
beragam dari segi biofisik, ditentukan oleh karakter bentuk permukaan,
kemiringan, ketinggian tempat, serta sifat tanah seperti tekstur, struktur, tingkat
kemasaman, dan sifat kimia tanah lainnya. Produktivitas suatu komoditas sangat
ditentukan oleh karakteristik lahan tersebut sebagai tempat tumbuh dan
berkembang, dan setiap komoditas mempunyai persyaratan tumbuh yang
berbeda.
Syafruddin et al. (2004) mengemukakan bahwa untuk membangun sektor
pertanian yang kuat, berproduksi tinggi, efisien, berdaya saing tinggi, dan
berkelanjutan perlu dilakukan penataan sistem pertanian dan penetapan
komoditas unggulan di setiap wilayah pengembangan disertai kebijakan
pemerintah daerah yang tepat. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang
arahan pengembangan komoditas unggulan sebagai masukan dalam
pengambilan kebijakan dan perencanaan pembangunan Kabupaten Sumbawa
ke depan.
1.2 Perumusan Masalah
Pertumbuhan ekonomi wilayah di Nusa Tenggara Barat terus mengalami
peningkatan. Namun demikian, pertumbuhan tersebut tidak serta merta
mengurangi ketimpangan pembangunan (disparitas) yang terjadi di dalam
wilayah tersebut. BPS Provinsi Nusa Tenggara Barat (2008) menyebutkan
bahwa pada tahun 2006, laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Sumbawa hanya
sebesar 4,68 persen dan berada di bawah rata-rata laju pertumbuhan PDRB
Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 4,93 persen. Hal ini mengindikasikan
bahwa Kabupaten Sumbawa masih kurang mampu bersaing dengan wilayah-
wilayah lain yang ada di Nusa Tenggara Barat. Wilayah yang paling dekat adalah
Kabupaten Sumbawa Barat yang merupakan kabupaten pemekaran dari
Kabupaten Sumbawa sejak tahun 2003, laju pertumbuhan PDRBnya mencapai
6,99 persen jauh di atas Kabupaten Sumbawa. Persentase laju pertumbuhan
PDRB masing-masing kabupaten/kota di Nusa Tenggara Barat tahun 2004
sampai dengan 2006 disajikan dalam Gambar 1.
3
Gambar 1 Laju pertumbuhan PDRB Provinsi NTB ADH Konstan 2000 menurut kabupaten/kota 2004-2006.
Produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Sumbawa sampai
dengan saat ini masih disumbang secara signifikan oleh sektor pertanian
(Gambar 2). BPS Kabupaten Sumbawa (2007) menyebutkan bahwa sampai
dengan tahun 2006, sektor pertanian masih menyumbang sebesar 43,51 persen
terhadap PDRB Kabupaten Sumbawa. Sektor pendukung PDRB selanjutnya
adalah perdagangan, hotel, dan restoran yang relatif menunjukkan peningkatan
setiap tahun, namun masih jauh di bawah sektor pertanian.
Gambar 2 Distribusi persentase PDRB Kabupaten Sumbawa menurut lapangan usaha ADH Konstan 2000 tahun 2004-2006.
0
2
4
6
8
10
12
Pe
rse
n (
%)
2004
2005
2006
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
2004 2005 2006
Pe
rse
n (
%)
Tahun
Pertanian
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas, an Air Bersih
Bangunan
Perdagangan, Hotel, dan RestoranPengangkutan dan Komunikasi
Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan
4
Sektor pertanian yang masih berperan penting tersebut menjadi titik tolak
arah pembangunan Kabupaten Sumbawa. Hal ini dinyatakan dalam visi
pembangunan Kabupaten Sumbawa 2005-2025 yang terangkum dalam rencana
pembangunan jangka panjang (RPJP) yaitu Terwujudnya Kabupaten Sumbawa
sebagai Daerah Agribisnis Berdaya Saing Menuju Masyarakat Sejahtera. Daerah
agribisnis adalah daerah yang kegiatan utama masyarakat berbasis pada bisnis
sumberdaya pertanian (dalam arti luas) meliputi kegiatan budidaya, pascapanen,
proses pengolahan dan pemasaran. Daerah agribisnis yang dituju oleh
Kabupaten Sumbawa merupakan proses transformasi kehidupan masyarakat
dari proses produksi untuk pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten) ke arah
peningkatan produksi dan nilai tambah yang berorientasi pasar (market oriented).
Daya saing mencakup aspek yang lebih luas dari sekedar produktivitas atau
efisiensi pada skala mikro perusahaan. Daya saing dalam konteks perekonomian
daerah adalah kemampuan perekonomian daerah dalam mencapai pertumbuhan
tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada
persaingan domestik dan internasional
Pencapaian visi tersebut memerlukan tahapan-tahapan pembangunan dan
skala prioritas yang menjadi agenda dalam rencana pembangunan jangka
menengah (RPJM). Pada tahap pertama (2006-2010), untuk menyiapkan
landasan bagi pembangunan daerah agribisnis yang berdaya saing diprioritaskan
pada ekplorasi, inventarisasi, dan identifikasi sumberdaya agribisnis yang dapat
diunggulkan serta penyiapan sarana prasarana budidaya dan pasca panen.
Identifikasi sumberdaya agribisnis yang dapat diunggulkan dapat dilakukan
dengan berbagai pendekatan. Salah satunya adalah permintaan pasar.
Permintaan pasar bukanlah sesuatu yang tetap tetapi lebih bersifat dinamis yang
dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk, preferensi masyarakat, dan
peningkatan pendapatan atau kesejahteraan. Sementara satuan lahan yang
sesuai untuk komoditas tersebut bisa dikatakan tetap atau bahkan semakin
menurun dengan perkembangan aktifitas perekonomian lainnya. Peningkatan
permintaan pasar seringkali menimbulkan konflik pemanfaatan lahan. Komoditas
tradable yang diusahakan di lahan tersebut belum tentu sesuai dengan
karakteristik lahan. Untuk itu inovasi-inovasi teknologi dan alternatif pengelolaan
perlu terus dikembangkan. Karena pertanian berkelanjutan akan terwujud apabila
sumberdaya lahan yang ada dipergunakan untuk sistem pertanian yang tepat
dengan cara pengelolaan yang sesuai.
5
Pengusahaan komoditas dibatasi oleh karakteristik lahan, bahwa setiap
komoditas pertanian hanya akan mampu berproduksi optimal pada lahan yang
sesuai dengan persyaratan tumbuh (crop recuirement) sehingga hanya
memerlukan input yang relatif rendah untuk berproduksi. Lahan sebagai satuan
input dasar pengembangan sektor pertanian mempunyai kondisi cukup beragam
di masing-masing daerah, dipengaruhi oleh faktor iklim, tanah, terrain/topografi,
dan hidrologi. Keragaman kondisi ini sangat berpengaruh terhadap potensi lahan
dan jenis penggunaan lahan yang dapat dikembangkan atau diusahakan.
Karakteristik potensial suatu lahan untuk pengembangan komoditas dikenal
dengan zona agroekologi (ZAE) yaitu unit-unit lahan yang dibagi berdasarkan
kemiripan sifat tanah, iklim, dan terrain/topografi.
Dengan memperhatikan bahwa suatu wilayah mungkin hanya sesuai untuk
komoditas tertentu tetapi tidak untuk yang lain atau tidak selalu suatu komoditas
dapat diusahakan di setiap wilayah, maka diperlukan pewilayahan masing-
masing komoditas yang potensial untuk diusahakan. Perencanaan wilayah dalam
bentuk dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Sumbawa
harus mempertimbangkan kondisi tersebut. Deliniasi kawasan kegiatan ekonomi
sektor pertanian dalam RTRW yang ada saat ini dipandang belum
mempertimbangkan kondisi biofisik dan agroklimat serta sosial ekonomi wilayah
yang bersangkutan.
Pengembangan sektor pertanian Kabupaten Sumbawa menuju daerah
agribisnis harus diutamakan pada komoditas-komoditas unggulan daerah yaitu
komoditas yang mampu memberikan hasil yang optimal dan nilai tambah yang
besar dengan tetap mempertahankan kemampuan lahan demi pencapaian
tujuan pembangunan yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat seutuhnya.
Dan sektor pertanian tanaman pangan merupakan bagian penting yang tidak
dapat ditinggalkan dalam pembangunan terkait dengan hajat hidup manusia
yang tetap memerlukan pangan. Pangan adalah kebutuhan dasar manusia,
karena itu mengkonsumsi pangan merupakan suatu keharusan siapa pun dan
apa pun status seseorang. Bagi manusia makan dan minum adalah kebutuhan
yang harus dipenuhi. Manusia memang tidak hanya hidup dari pangan, namun
manusia tidak bisa selamanya hidup tanpa pangan, meskipun pada situasi dan
kondisi tertentu manusia bisa menahan lapar dan haus yang dialaminya.
Identifikasi sumberdaya agribisnis yang dapat diunggulkan memunculkan
beberapa permasalahan yang mendasari penelitian ini, berupa:
6
1. Jenis komoditas apa saja yang dapat menjadi unggulan daerah Kabupaten
Sumbawa?
2. Komoditas manakah yang menjadi prioritas untuk dikembangkan?
3. Wilayah mana saja yang dapat menjadi sentra pengembangan komoditas
tersebut?
4. Langkah apa saja yang dapat dilakukan untuk pengembangan sektor
pertanian tanaman pangan dengan memanfaatkan komoditas unggulan
tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, penelitian ini
dilakukan dengan tujuan:
1. Menentukan alternatif komoditas unggulan daerah Kabupaten Sumbawa
sektor pertanian tanaman pangan.
2. Menentukan prioritas komoditas unggulan daerah untuk dikembangkan.
3. Memetakan wilayah pengembangan komoditas unggulan daerah.
4. Merumuskan arahan strategis pengembangan komoditas unggulan daerah.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan tersebut maka hasil penelitian yang akan didapatkan,
diharapkan bermanfaat bagi para pengambil kebijakan pembangunan daerah
Kabupaten Sumbawa sebagai rujukan dalam menentukan rencana program
peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui sektor pertanian tanaman
pangan, sedangkan bagi masyarakat/petani maupun investor dapat menjadi
rujukan komoditas apa yang layak untuk diusahakan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Penetapan Komoditas Unggulan
Pengembangan suatu komoditas di daerah yang sesuai dengan kondisi
lahan dan berskala luas dapat meningkatkan efisiensi usaha tani, menjaga
kelestarian sumberdaya lahan dan meningkatkan aktivitas perdagangan antar
pulau dan daerah sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Agar hal ini
dapat berjalan dengan baik diperlukan penetapan kawasan pengembangan dan
komoditas unggulan yang didukung oleh ketersediaan data dan informasi kondisi
biofisik dan sosial ekonomi petani.
Konsep dan pengertian komoditas unggulan dapat dilihat dari dua sisi,
yaitu sisi penawaran (supply) dan sisi permintaan (demand). Dilihat dari sisi
penawaran, komoditas unggulan merupakan komoditas yang paling superior
dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi, dan kondisi sosial
ekonomi petani di suatu wilayah tertentu. Pengertian tersebut lebih dekat dengan
pengertian locational advantages. Sedangkan dilihat dari sisi permintaan,
komoditas unggulan merupakan komoditas yang mempunyai permintaan yang
kuat baik untuk pasar domestik maupun pasar internasional. Dengan pengertian
tersebut maka komoditas unggulan bersifat dinamis baik dilihat dari sisi
penawaran karena adanya perubahan teknologi maupun dilihat dari sisi
permintaan karena adanya pergeseran permintaan konsumen (Syafa‟at dan
Priyatno 2000).
Dalam laporan akhir Kajian Peluang Perencanaan Investasi Pertanian
Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian bekerjasama dengan
SUCOFINDO melaporkan bahwa, berdasarkan hasil survey yang dilakukan
dengan melakukan diskusi dan konfirmasi dengan instansi terkait, diperoleh
beberapa faktor yang dijadikan dasar dalam penentuan komoditas unggulan
diantaranya adalah: (1) kesesuaian lahan, (2) historikal budaya masyarakat, (3)
ketersediaan lahan pengembangan, (4) keunggulan teknis yang dimiliki oleh
masing‐masing komoditas dimaksud, dan (5) belum adanya investor untuk
komoditas dimaksud. Selain faktor tersebut di atas penentuan komoditas
unggulan juga didasarkan pada kriteria:
8
a. Kandungan lokal yang cukup menonjol dan inovatif
b. Mempunyai daya saing tinggi di pasaran baik ciri, kualitas, harga yang
kompetitif, dan jangkauan pemasaran
c. Mempunyai ciri khas daerah karena melibatkan masyarakat banyak (tenaga
kerja setempat)
d. Mempunyai jaminan kandungan bahan baku lokal yang cukup banyak, stabil
dan berkelanjutan
e. Difokuskan pada komoditas yang mempunyai nilai tambah tinggi baik
kemasan maupun pengolahannya
f. Secara ekonomi menguntungkan dan bermanfaat untuk meningkatkan
pendapatan dan kemampuan SDM, dan
g. Ramah lingkungan serta tidak merusak budaya setempat.
Siahaan (2003) dalam tesisnya mengemukakan bahwa kriteria yang
berpengaruh dalam penentuan produk unggulan adalah:
1. Harga, terdiri atas: a) harga bahan baku, b) harga mesin/investasi, c) harga
jual
2. Perspektif pasar, terdiri atas: a) distribusi pemasaran, b) persaingan, c) mutu
produk
3. Sifat bahan baku, terdiri atas: a) kontinuitas, b) dapat menjadi bahan dasar
bagi banyak produk, c) tingkat teknologi olahan yang diperlukan
2.1.2 Sistem Usaha Tani
Usaha tani tidak terlepas dari budaya dan sejarah. Peluang dan hambatan
ekologis dan geografis dalam zona agroekologi tercermin dalam budaya
setempat. Hal ini kemudian tercermin dalam pertanian setempat yang merupakan
hasil dari suatu proses interaksi antara manusia dan sumberdaya yang dimiliki.
Nilai-nilai masyarakat pedesaan, pengetahuan, keterampilan, teknologi, dan
institusi sangat mempengaruhi jenis budaya pertanian yang telah dan terus
berkembang. Istilah „sistem pertanian‟ mengacu pada suatu susunan khusus dari
kegiatan usaha tani (misalnya budidaya tanaman, peternakan, pengolahan hasil
pertanian) yang dikelola berdasarkan kemampuan lingkungan fisik, biologis, dan
sosioekonomis serta sesuai dengan tujuan, kemampuan, dan sumberdaya yang
dimiliki petani (Shaner et al 1982 dalam Reijntjes et al. 2006).
9
Sistem usaha tani merupakan sistem yang terbuka: berbagai input (unsur
hara, air, informasi, dan sebagainya) diterima dari luar, dan sebagian output
meninggalkan sistemnya, misalnya dijual. Model yang sangat sederhana
ditunjukkan pada Gambar 3, membantu menjelaskan konsep input dan output
(Reijntjes et al. 2006).
Konsep sistem agribisnis dewasa ini dimunculkan untuk mengubah
paradigma petani bahwa petani bukanlah hanya sebagai pekerja tani atau
pengusaha usahatani, tetapi harus dapat bertindak sebagai pengelola atau
“manajer perusahaan agribisnis,” yang berkedudukan setara dengan perusahaan
agribisnis lainnya yang berada di subsistem agribisnis hulu maupun di subsistem
agribisnis hilir. Petani seharusnya senantiasa berorientasi kepada kebutuhan
pasar, bersama-sama perusahaan agribisnis lainnya bersinergi untuk dapat
memenuhi kebutuhan konsumen. Kebersamaan dan saling ketergantungan antar
perusahaan agribisnis dalam menghasilkan produk yang berkualitas sesuai
permintaan pasar itulah disebut dengan “sistem agribisnis”. Makna secara harfiah
agribisnis adalah kegiatan bertani yang sudah dipandang sebagai sebuah
kegiatan bisnis, tidak lagi hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup
sendiri (Syahyuti 2006)
Sistem agribisnis terdiri dari lima subsistem, yaitu: 1) agribisnis hulu (up-
stream agribusiness) berupa ragam kegiatan industri dan perdagangan sarana
produksi pertanian, 2) pertanian primer atau disebut subsistem budidaya (on-
farm agribusiness), 3) agribisnis hilir (down-stream agribusiness) atau subsistem
Masyarakat/Pasar
Input luar Hasil (dijual/
ditukar)
Konsumsi Input rumah tangga dalam
Sumberdaya usaha tani
Gambar 3 Aliran barang dan jasa dalam suatu sistem usaha tani sederhana.
Kerugian Input alami
Batas sistem usaha tani
10
pengolahan, adakalanya disebut dengan agroindustri, 4) subsistem perdagangan
atau tata niaga hasil, dan 5) subsistem jasa pendukung berupa kegiatan
penelitian, penyediaan kredit, sistem transportasi, pendidikan dan penyuluhan,
serta kebijakan makro (Syahyuti 2006).
Premis dasar paradigma agribisnis adalah usaha pertanian haruslah
bersifat profit oriented. Dengan demikian, pasar berperan besar dalam
menentukan keberhasilan agribisnis. Berbicara tentang pasar, dalam era
globalisasi dan perdagangan bebas tentunya produk yang akan dipasarkan perlu
mempunyai daya saing tinggi, dan perlu mempunyai keunggulan kompetitif.
Sehubungan dengan hal tersebut, konsep keunggulan kompetitif merupakan
konsep yang menekankan pada kedinamikaan pelaku ekonomi dalam
menembus pasar melalui inovasi dan pengembangan proses kreativitas lainnya.
Melalui proses tersebut, hal-hal yang ketinggalan zaman harus segera diganti
dengan hal-hal baru yang lebih baik, lebih murah, lebih disukai dan lebih
bermanfaat (Siahaan 2003).
2.1.3 Permintaan dan Penawaran Komoditas
Permintaan (demand) merupakan keinginan dan kebutuhan pembeli atau
konsumen terhadap suatu produk dalam jumlah tertentu pada berbagai tingkat
selama periode tertentu. Secara spesifik, permintaan komoditas pertanian
merupakan keseluruhan atau banyaknya jumlah komoditas pertanian yang
dibutuhkan dan diinginkan oleh pembeli berdasarkan harga yang sudah
ditentukan oleh produsen. Hukum dasar permintaan mengindikasikan bahwa bila
harga suatu komoditas naik dan faktor lain tetap maka jumlah komoditas yang
diminta akan berkurang, begitu juga sebaliknya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan komoditas pertanian dapat
dirumuskan secara matematis dan sederhana sebagai berikut (Rahim dan
Hastuti 2008):
D = f (Px, Py, I, T, N, Q, EsP)
Dimana:
D : Permintaan akan komoditas (produk)
Px : Harga komoditas itu sendiri
Py : Harga komoditas lain (substitusi dan komplementer)
I : Pendapatan
T : Selera/kebiasaan
11
N : Jumlah penduduk
Q : Kualitas komoditas
EsP : Perkiraan harga di masa mendatang
Penawaran dalam pertanian merupakan banyaknya komoditas pertanian
yang disediakan atau ditawarkan oleh berbagai produsen di suatu daerah.
Hubungan antara harga dengan jumlah yang ditawarkan atau sering disebut
hukum penawaran, menyebutkan bahwa makin tinggi harga suatu barang
semakin banyak pula jumlah barang tersebut akan ditawarkan oleh produsen.
Sebaliknya, makin rendah harga suatu barang semakin sedikit jumlah barang
yang ditawarkan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dirumuskan secara
matematis sebagai berikut (Rahim dan Hastuti 2008):
S = f (Pi, Ppl, T, Nlp, Hpro)
dimana:
S : Penawaran akan komoditas pertanian
Pi : Harga input
Ppl : Harga komoditas lain
T : Teknologi
Nlp : Jumlah lembaga pemasaran
Hpro : Harapan produsen terhadap harga komoditas di masa datang
2.1.4 Zona Agroekologi (ZAE)
Zona Agroekologi (ZAE) merupakan salah satu cara dalam menata
penggunaan lahan melalui pengelompokan wilayah berdasarkan kesamaan sifat
dan kondisi wilayah. Pengelompokan bertujuan untuk menetapkan area
pertanaman dan komoditas potensial, berskala ekonomi, dan tertata dengan baik
agar diperoleh sistem usaha tani yang berkelanjutan. Komponen utama dalam
penetapan ZAE adalah kondisi biofisik lahan (kelerengan, kedalaman tanah, dan
elevasi), iklim (curah hujan, kelembaban, dan suhu), dan persayaratan tumbuh
tanaman agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimum
(Syafruddin et al. 2004). Agroekologi didefinisikan sebagai penerapan konsep-
konsep dan prinsip-prinsip ekologi dalam membentuk dan mengatur
agroekosistem yang berkelanjutan (Gliessman 2004). Secara spesifik dikatakan
bahwa agroekologi menggambarkan interaksi diantara tanaman, hewan,
manusia, dan lingkungan dalam suatu sistem pertanian (Dalgaard et al. 2003).
12
Dengan demikian, dalam pengembangan pertanian diperlukan suatu
strategi yang didasarkan pada kemampuan lahan (carrying capacity) suatu
wilayah untuk mewujudkan pertumbuhan (growth), keseimbangan (equity), dan
berkelanjutan (sustainability). Fauzi (2006) menjelaskan bahwa pengukuran
carrying capacity didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki
kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan/aktifitas dan
pertumbuhan yang terus menerus akan menimbulkan kompetisi terhadap ruang
sampai daya dukung lingkungan tidak mampu lagi mendukung pertumbuhan.
Kondisi tersebut mengharuskan adanya sistem pertanian berkelanjutan.
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) merupakan pengelolaan
sumberdaya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan manusia sambil
mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan
sumberdaya alam (Reijntjes et al. 2006). Sistem pertanian berkelanjutan harus
mengatur atau meningkatkan produktivitas biologis dan ekonomis. Produktivitas
biologis dibutuhkan untuk pemenuhan konsumsi pangan individu dan masyarakat
di sekitarnya. Sedangkan produktivitas ekonomis dibutuhkan untuk peningkatan
pendapatan petani (Edwards et al. 1993).
Melalui pendekatan zona agroekologi, pemanfaatan potensi lahan dapat
diidentifikasi dengan cepat dan lebih tepat. Dengan dikelompokkannya variasi
lahan ke dalam satuan-satuan unit lahan berdasarkan keadaan lahan, hidrologi,
dan iklim, maka hasil inventarisasi sumberdaya lahan akan lebih mudah
dipahami oleh pengguna. Dengan demikian, informasi ZAE juga dapat digunakan
sebagai alat bantu untuk menilai sumberdaya lahan sebagai dasar untuk
perencanaan penggunaan lahan, perencanaan pengembangan pertanian atau
manajemen sumberdaya lahan lainnya.
Penyusunan keragaan zona agroekologi mengacu pada konsep sistem
pakar (Expert System), yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Prinsip metode didasarkan pada pendekatan pencocokan (matching)
antara karakteristik iklim dan sumberdaya lahan dengan persyaratan tumbuh
tanaman. Menurut sistem pakar pembagian zonasi agroekologi dibedakan
berdasarkan perbedaan rejim iklim dan relief (kisaran lereng). Rejim iklim yang
digunakan ialah rejim kelembaban dan suhu (Rumayar et al. 2005).
13
2.1.5 Perencanaan Wilayah
Secara historis kegagalan program-program pembangunan dalam
mencapai tujuannya seringkali bukan semata-mata kegagalan dalam program
atau pelaksanaannya, tetapi ada sumbangan “kesalahan” karena
berkembangnya kepercayaan terhadap kebenaran teori-teori atau konsep-
konsep pembangunan yang melandasinya (Rustiadi et al. 2009). Dalam bahasa
sehari-hari biasa disebut dengan pergeseran paradigma atau lahirnya paradigma
baru. Biasanya perubahan paradigma ini dilakukan untuk menampilkan wajah
baru untuk menggantikan atau menghilangkan kesan negatif atas kekurangan
yang ada di masa lampau. Paradigma baru perencanaan wilayah adalah
pembangunan yang berkelanjutan (sustainability). Menurut Komisi Brundtland
(Fauzi 2006) menyatakan bahwa, pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Salah satu peran perencanaan adalah sebagai arahan bagi proses
pembangunan untuk berjalan menuju tujuan yang ingin dicapai disamping
sebagai tolak ukur keberhasilan proses pembangunan yang dilakukan. Definisi
perencanaan adalah upaya institusi publik untuk membuat arah kebijakan
pembangunan yang harus dilakukan di sebuah wilayah baik negara maupun di
daerah dengan didasarkan keunggulan dan kelemahan yang dimiliki oleh wilayah
tersebut (Widodo 2006). Sedangkan perencanaan wilayah menurut Tarigan
(2008) adalah mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan
perkembangan berbagai faktor noncontrollable yang relevan, memperkirakan
faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat
dicapai, menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut, serta
menetapkan lokasi dari berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan.
Perencanaan pengembangan wilayah secara umum ditunjang oleh empat
pilar pokok (Rustiadi et al. 2009), yaitu: 1) Inventarisasi, klasifikasi, dan evaluasi
sumberdaya, 2) Aspek ekonomi, 3) Aspek kelembagaan (institusional), dan 4)
Aspek lokasi/spasial. Sumberdaya selalu memiliki sifat langka dan nilai guna
yang tidak merata. Sehingga pengalokasian sumberdaya harus dimanfaatkan
secara efisien dan efektif yang diatur secara kelembagaan dengan tetap
memperhatikan aspek tata ruang.
14
Perencanaan yang mempertimbangkan kondisi spatial suatu daerah akan
mampu mengembangkan harmonisasi fungsi ruang secara berkelanjutan,
penataan ruang juga diharapkan dapat menjadi landasan koordinasi
pembangunan, yang mengedepankan kepentingan wilayah atau kawasan yang
lebih luas melalui pelaksanaan prinsip-prinsip sinergi pembangunan dan
pemanfaatan bersama (complementary benefit). Melalui sinergi antar wilayah,
antar sektor, dan antar pelaku, nantinya diharapkan dapat memberikan hasil-
hasil yang efektif bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat dan lingkungannya
(Riyadi dan Bratakusumah 2004).
Kebijakan pembangunan selalu dihadapkan pada pilihan pendekatan
pembangunan yang terbaik. Secara teoritis strategi pengembangan wilayah baru
dapat digolongkan dalam dua kategori strategi yaitu demand side strategy dan
supply side strategy (Rustiadi et al. 2009). Demand side strategy diupayakan
melalui peningkatan barang-barang dan jasa-jasa dari masyarakat setempat
melalui kegiatan produksi lokal untuk meningkatkan taraf hidup penduduk.
Sedangkan supply side strategy diupayakan melalui investasi modal untuk
kegiatan-kegiatan produksi yang berorientasi ke luar yang diproses dari
sumberdaya alam lokal yang akan menjadi daya tarik kegiatan lain untuk datang
ke wilayah tersebut.
Selanjutnya konsep pengembangan wilayah setidaknya didasarkan pada
prinsip: (1) berbasis pada sektor unggulan; (2) dilakukan atas dasar karakteristik
daerah; (3) dilakukan secara komprehensif dan terpadu; (4) mempunyai
keterkaitan kuat ke depan dan ke belakang; (5) dilaksanakan sesuai dengan
prinsip-prinsip otonomi dan desentralisasi.
2.2 Tinjauan studi terdahulu
Berdasarkan hasil penelitian Nurwahidah (2004), selama kurun waktu
1997–2002 sektor pertanian di Kabupaten Sumbawa masih memberikan
kontribusi paling besar terhadap PDRB. Analisis LQ menunjukkan sektor
pertanian, sektor bangunan/konstruksi, sektor perdagangan, hotel dan restoran,
dan sektor listrik, gas, dan air bersih merupakan sektor basis di Kabupaten
Sumbawa. Sedangkan hasil analisis Klassen typology menunjukkan Kabupaten
Sumbawa termasuk daerah maju tapi tertekan.
Sebagai upaya pembangunan daerah Kabupaten Sumbawa agar dapat
lebih maju, maka sektor pertanian yang merupakan salah satu sektor basis
15
tersebut perlu terus dikembangkan. Untuk itu, perlu ditetapkan komoditas
pertanian yang dapat menjadi unggulan untuk dikembangkan dalam berbagai
bentuk kebijakan program. Penetapan komoditas unggulan dapat dilakukan
dengan berbagai metode analisis.
Pendekatan secara biofisik dapat dilakukan dalam menetapkan komoditas
unggulan, yaitu pendekatan pedo-agroklimat atau zona agroekologi. Djaenuddin
et al. (2002) dalam penelitiannya di Kawasan Timur Indonesia (KTI) memberikan
arahan pewilayahan komoditas pertanian secara biofisik di Nusa Tenggara Barat
ke dalam komoditas unggulan utama yaitu: tembakau, jagung, kedelai, dan
pisang, serta komoditas unggulan pendukung/alternatif yaitu: padi sawah, padi
gogo, srikaya, sayuran dan umbi-umbian dataran tinggi, bawang merah, dan
bawang putih. Penelitian lebih spesifik dilakukan oleh Suparto et al. (2006) di
Kecamatan Buer Kabupaten Sumbawa untuk mendukung prima tani. Komoditas
yang disarankan adalah kedelai, kacang hijau, padi gogo, dan jagung.
Secara nasional penentuan komoditas unggulan diaplikasi dengan metode
Location Quotient (LQ) seperti yang dikemukakan oleh Hendayana (2003).
Namun metode LQ memiliki beberapa keterbatasan seperti hambatan dalam
akurasi data yang dikumpulkan di lapangan dan kesulitan deliniasi wilayah kajian
sehingga hasil LQ terkadang aneh, misalnya suatu wilayah yang diduga memiliki
keunggulan di sektor nonpangan namun hasil LQ dapat menunjukkan
keunggulan sektor pangan. Variabel yang dipakai dalam penelitian tersebut
adalah luas areal panen yang dipandang dapat memenuhi kriteria unggul dari sisi
penawaran. Hasil analisis LQ tersebut menunjukkan bahwa komoditas unggulan
Nusa Tenggara Barat adalah padi sawah, kedele, kacang hijau, kacang tanah,
cabe, bawang merah, mangga, dan pisang.
Metode analisis yang lain adalah model Input – Output seperti yang
dilakukan oleh Syafa‟at dan Priyatno (2000). Metode ini lebih menekankan pada
penetapan komoditas unggulan dari sisi demand, hasil analisis disajikan dalam
matriks komoditas berdasarkan pengganda permintaan akhir terhadap nilai
tambah dan tenaga kerja di Sulawesi tahun 1995. Kuadran I dengan nilai tambah
tinggi dan tenaga kerja tinggi adalah komoditas padi dan jagung. Kuadran II
dengan nilai tambah tinggi dan tenaga kerja rendah adalah komoditas kentang,
kedele, ubi kayu, hortikultura dan pangan lainnya. Kuadran III dengan nilai
tambah rendah dan tenaga kerja tinggi adalah komoditas jeruk, bawang merah,
16
bawang putih, dan umbi-umbian lainnya. Sedangkan kuadran IV dengan nilai
tambah rendah dan tenaga kerja rendah adalah komoditas perkebunan.
Kedua pendekatan tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dalam
matriks komoditas yang disajikan ke dalam bentuk kuadran dengan
menggunakan analisis Tipologi Klassen. Dengan analisis Tipologi Klassen,
keunggulan dari sisi penawaran (supply) maupun sisi permintaan (demand)
dapat digabungkan secara simultan. Berbagai komoditas unggulan yang
dihasilkan dari analisis tersebut belum tentu sepenuhnya sesuai dengan
preferensi masyarakat. Sementara produktivitas komoditas tersebut juga
dipengaruhi oleh tingkat kesukaan atau preferensi berbagai pihak terkait.
Preferensi terkait dengan pengambilan keputusan atau skala prioritas dari
berbagai alternatif komoditas yang ada. Metode yang banyak dikembangkan saat
ini dalam pengambilan keputusan adalah the analythic hierarchy process (AHP).
Oddershede et al. (2007) menggunakan the analythic hierarchy process
untuk mendukung kebijakan pengembangan masyarakat pedesaan di Chile. Hal
ini dilakukan karena melihat bahwa ada inconsistency (ketidaktepatan) antara
apa yang diinginkan oleh masyarakat, program yang ditawarkan, dan tujuan yang
ada. AHP yang disusun dalam penelitian tersebut mengangkat tujuan umum
mengembangkan pembangunan daerah. Pada level 0 diletakkan sasaran umum
yaitu pembangunan daerah, pada level 1 berisikan sektor-sektor yang
berkontribusi dalam pembangunan daerah, pada level 2 terdiri dari aspek-aspek
yang berpengaruh nyata terhadap sektor-sektor tersebut, dan pada level 3 terdiri
dari alternatif-alternatif kegiatan pembangunan yang memungkinkan untuk
memacu pertumbuhan aspek-aspek pada level sebelumnya. Hasilnya
menunjukkan bahwa sektor pariwisata merupakan prioritas dengan pendidikan
sebagai aspek yang paling mendukung sektor tersebut.
Berbagai contoh penggunaan AHP dalam sektor pertanian di negara
berkembang juga dikemukan oleh Alphonce (1997). Misalnya dalam
memutuskan bagian lahan yang akan dialokasikan untuk tanaman jagung, padi,
dan ketela. Kriteria yang berpengaruh adalah biaya produksi, resiko kerusakan,
kesukaan, dan ketersediaan di pasaran saat surplus. Berdasarkan studi dan
metode tersebut, maka penelitian ini mensintesa faktor-faktor apa saja yang
berpengaruh dalam penentuan prioritas komoditas yang diusahakan.
17
2.3 Tinjauan kebijakan yang terkait
Pemerintah Kabupaten Sumbawa melalui Dinas Pertanian Tanaman
Pangan sampai dengan akhir tahun 2008 masih tetap memprioritaskan
peningkatan produksi pertanian pada peningkatan/pemantapan produksi
padi/beras, palawija (kedele, jagung, kacang hijau, ubi kayu) dan pengembangan
hortikultura terutama tanaman sayuran dan buah-buahan. Kegiatan lain yang
menjadi skala prioritas adalah pembangunan sarana dan prasarana penunjang
meliputi pembangunan check dam, jaringan irigasi, dan jalan usaha tani serta
pengembangan alat dan mesin pertanian untuk mempercepat pengolahan lahan
pertanian (Diperta 2009).
Saat ini telah dikembangkan kawasan Agropolitan Alasutan di bagian barat
Kabupaten Sumbawa yang meliputi Kecamatan Alas Barat, Alas, Buer, utan, dan
Rhee. Agropolitan Alasutan merupakan kebijakan program Provinsi Nusa
Tenggara Barat dan pemerintah Kabupaten Sumbawa masih sebatas pendukung
program. Kawasan ini terdiri dari 15 subkawasan unggulan dengan komoditas
unggulan masing-masing seperti sapi, kelapa, rambutan, srikaya, pisang, anggur,
jambu mete, mangrove, dan ikan. Namun perkembangannya sampai dengan
saat ini belum menunjukkan kemajuan yang nyata.
Sementara itu, untuk mendukung keberhasilan pembangunan pertanian ke
depan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Sumbawa melaksanakan
lima program utama (Diperta, 2009) yaitu: 1) Peningkatan kesejahteraan petani,
2) Peningkatan ketahanan pangan, 3) Peningkatan pemasaran hasil, 4)
Peningkatan penerapan teknologi pertanian, dan 5) peningkatan produksi
pertanian
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran
Sasaran akhir pembangunan pertanian adalah meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan petani. Namun upaya meningkatkan pendapatan tersebut
menghadapi berbagai kendala baik secara teknis, alamiah, sumber daya,
maupun sosial budaya. Kendala-kendala tersebut dapat dibagi menjadi faktor
internal dan eksternal. Faktor internal dilihat dari sisi penawaran (supply) yaitu
faktor-faktor yang mempengaruhi seberapa besar suatu komoditas mampu
dihasilkan dalam satuan wilayah. Faktor tersebut berupa agroklimat seperti iklim,
tanah, dan hidrologi serta kemampuan petani itu sendiri dalam mengelola usaha
taninya. Faktor ekternal dilihat dari sisi permintaan (demand) yaitu faktor-fakor
yang mempengaruhi jumlah yang diperlukan atau diapresiasi dalam kebutuhan
penduduk. Faktor tersebut dapat berupa adanya pasar dan stimulus kebijakan
dari pemerintah. Kedua faktor tersebut berperan dalam menentukan tingkat
keunggulan suatu komoditas. Faktor internal menentukan keunggulan komparatif
sedangkan keunggulan kompetitif ditentukan oleh faktor ekternal.
Penentuan komoditas unggulan biasanya dilalukan dengan menggunakan
analisis Location Quotient (LQ). Analisis LQ dapat mengukur tingkat konsentrasi
suatu komoditas bila dibandingkan dengan wilayah yang lebih luas. Analisis yang
lain adalah Tipologi Klassen. Analisis ini menggunakan matriks perbandingan
dari faktor yang berpengaruh. Keunggulan komparatif dapat dinyatakan dengan
keberlimpahan sumberdaya untuk mendukung produksi dalam satuan wilayah
yang dikenal dengan produktifitas. Sedangkan keunggulan kompetitif berupa
estimasi nilai ekonomi suatu komoditas yang diapresiasi secara teknis oleh
pasar. Keunggulan tersebut diperbandingkan dan diletakkan dalam empat
kuadran, setiap kuadran merupakan interaksi suatu komoditas di suatu daerah
(Kabupaten Sumbawa sebagai daerah penelitian) terhadap daerah acuan pasar
yang lebih tinggi (Provinsi Nusa Tenggara Barat).
Kendala-kendala dalam pengembangan komoditas unggulan menjadi
indikator atau kriteria yang harus diperhatikan dalam menentukan prioritas
komoditas apa yang harus diusahakan. Kriteria-kriteria tersebut berupa
kesesuaian lahan, peluang nilai tambah, permintaan pasar, kebutuhan modal,
maupun preferensi petani. Dengan menggunanakan proses hirarki analisis
19
(PHA), berbagai kriteria tersebut diberikan pertimbangan tingkat prioritasnya
terhadap suatu tujuan yang diinginkan. Langkah yang dilakukan adalah
membangun hirarki pada beberapa level, yaitu:
Level 0 merupakan tujuan secara umum yaitu menentukan prioritas
komoditas unggulan.
Level 1 merupakan kriteria-kriteria yang mempengaruhi penentuan prioritas,
berupa lahan, nilai tambah, pasar, modal, dan preferensi.
Level 2 merupakan sekumpulan alternatif komoditas unggulan yang telah
ditetapkan melalui analisis tipologi Klassen.
Terkait dengan pangan sebagai kebutuhan dasar manusia, maka tingkat
konsumsi di daerah acuan merupakan salah satu rujukan dalam pengusahaan
suatu komoditas. Tingkat konsumsi komoditas secara langsung digunakan
sebagai estimasi tingkat permintaan pasar. Dalam penelitian ini, permintaan
pasar di luar konsumsi langsung tidak diperhitungkan. Tingkat konsumsi
mengacu pada proyeksi kebutuhan pangan penduduk Nusa Tenggara Barat
pada tahun 2025 sebagai masa akhir rencana pembangunan jangka panjang
(RPJP). Untuk melihat kemampuan wilayah dalam memenuhi kebutuhan tersebut
maka tingkat konsumsi dibandingkan dengan kemampuan produksi saat ini.
Di sisi lain, produktivitas komoditas ditentukan oleh karakteristik yang
terdapat pada lahan. Karakteristik dalam satuan lahan homogen disusun sebagai
zona agroekologi (ZAE). Masing-masing zona menentukan bentuk pengelolaan
dan potensi kesesuaian bagi komoditas tertentu. Dalam satu zona bisa menjadi
potensial untuk beberapa komoditas sekaligus dan juga terdapat beberapa
komoditas yang cocok pada beberapa zona. Namun demikian, zona-zona
potensial tersebut dengan perkembangan teknologi dan sosial budaya petani
dapat saja berubah pemanfaatannya. Hal ini dapat dilihat dari kondisi eksisting
pola penggunaan lahan (land use) yang ada. Zona agroekologi dan
perkembangan land use tidak terikat dengan batas-batas wilayah administrasi.
Sementara berbagai program dan kebijakan pengembangan yang dijalankan
oleh pemerintah daerah menggunakan wilayah administrasi sebagai lokasi
pelaksanaannya. Implikasinya terhadap bentuk perencanaan adalah menyusun
wilayah-wilayah pengembangan dengan satuan dasar batas wilayah
administrasi.
20
Berbagai implikasi dari analisis yang dilakukan dirangkum dalam arahan
strategis pengembangan. Program yang ditawarkan harus mampu mengatasi
berbagai kelemahan yang ada. Kebijakan-kebijakan yang sudah ada selama ini
seperti tertuang dalam rencana strategis (renstra) maupun rencana
pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) serta arahan tata ruang
dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) dirujuk sebagai dasar arahan strategi.
Kerangka pemikiran secara ringkas mengenai arah alur penelitian yang
dilaksanakan disajikan dalam Gambar 4.
ZAE : Zona Agroekologi
LU : land use (penggunaan lahan)
PHA : proses hirarki analisis
Pembangunan Pertanian
“meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan”
Internal:
Agroklimat
SDM
Eksternal:
Pasar
Kebijakan
Keunggulan Komparatif:
Produktivitas
Keunggulan Kompetitif:
Pendapatan
Komoditas Unggulan:
Tipologi Klassen
Arahan Pengembangan Komoditas Unggulan
Gambar 4 Kerangka pemikiran penelitian.
Prioritas Pengembangan:
PHA
Zona potensial:
ZAE, LU
Tingkat konsumsi:
NTB 2025
Kebutuhan lahan untuk berproduksi
Wilayah Pengembangan
Kriteria yang mempengaruhi
21
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di wilayah administrasi Kabupaten Sumbawa
Provinsi Nusa Tenggara Barat meliputi 24 Kecamatan (Gambar 5), pada bulan
Juli sampai dengan September 2009.
Gambar 5 Wilayah administrasi kecamatan di Kabupaten Sumbawa.
3.3 Sumber Data dan Instrumen
Penelitian ini dilaksanakan dengan mengumpulkan data dan informasi
sekunder yang telah ada di berbagai instansi sumber baik di tingkat daerah
maupun tingkat nasional. Peta Zona Agroekologi skala 1:250.000 diperoleh dari
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian
(BBSDLP) Bogor, Peta Administrasi dan Peta Penggunaan Lahan dari Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sumbawa.
Sedangkan data-data tabular sosial ekonomi diperoleh dari Bappeda, BPS, dan
Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Sedangkan data primer berupa kondisi
lapangan dikumpulkan dengan metode survei langsung di lapang.
Responden (expert) dalam penentuan prioritas dipilih secara purposive
sampling dengan pertimbangan expert yang dipilih merupakan pihak yang cukup
berperan penting dalam pengembangan pertanian di Kabupaten Sumbawa.
22
Expert yang dimaksud berjumlah dua puluh lima responden yang terdiri atas
Kepala dan Sekretaris Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Kepala Kantor
Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian, Kepala Bidang PPS dan Kepala
Bidang Ekonomi Badan Perencaanaan Pembangunan, satu orang pimpinan
DPRD, satu orang pengusaha, dan delapan belas orang petani dari tujuh belas
kecamatan yang berpotensi untuk dikembangkan.
Instrumen pendukung dalam penelitian berupa seperangkat komputer
dengan software ArcGIS ver. 9.3, Expert Choice 2000, Microsoft Word, dan
Microsoft Excel, serta daftar pertanyaan (kuesioner).
3.4 Metode Analisis Data
Data-data yang telah diperoleh baik melalui studi primer maupun sekunder
selanjutnya dianalisis berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan kriteria data
yang diperlukan seperti tertuang dalam Tabel 1.
Tabel 1 Matriks hubungan tujuan penelitian, metode analisis, data yang diperlukan, sumber data, dan output
No. Tujuan
Penelitian Metode Analisis
Data yang diperlukan
Sumber Data Output
1. Menentukan komoditas unggulan daerah
LQ
Tipologi Klassen
Produktivitas, produksi, dan harga komoditas pertanian
Sumbawa dan NTB dalam angka
Dinas Pertanian NTB dan Kab. Sumbawa
Alternatif komoditas unggulan daerah
2. Menentukan prioritas komoditas unggulan
AHP Persepsi Wawancara Prioritas komoditas unggulan daerah
3. Memetakan wilayah pengembangan
Spasial tematik
Produksi saat ini, preferensi dalam AHP
Dinas Pertanian Kab. Sumbawa, wawancara
Wilayah pengembangan komoditas unggulan
4. Merumuskan arahan strategis pengembangan
Proyeksi konsumsi
Analisis spasial
Deskriptif
Konsumsi perkapita, jumlah penduduk
Keragaan biofisik wilayah
Kondisi lapangan
SUSENAS 2007
Peta ZAE, Peta Administrasi, land use
RPJP/RPJM, Renstra
Arahan strategis pengembangan
23
Berbagai metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis Location Quotient (LQ), Tipologi Klassen, proses hirarki analitik (PHA),
analisis spasial, dan analisis deskriptif.
3.4.1 Location Quotient
Analisis Location Quotient (LQ) digunakan untuk melihat indikasi komoditas
basis di Kabupaten Sumbawa. Rumayar et al. (2005) menyatakan bahwa LQ
digunakan untuk mengetahui apakah suatu komoditas merupakan komoditas
basis atau nonbasis atau suatu komoditas mempunyai keunggulan komparatif
atau tidak. Untuk komoditas berbasis lahan perhitungan LQ didasarkan pada
areal tanam/panen, produksi, atau produktivitas (Hendayana 2003). Dalam
penelitian ini LQ dihitung berbasis produksi masing-masing komoditas dengan
formula:
𝐿𝑄 =𝑋𝑖𝑗 /𝑋𝑖 .
𝑋.𝑗 /𝑋..
Dimana:
𝑋𝑖𝑗 = produksi komoditas j di Kabupaten Sumbawa
𝑋𝑖 . = total produksi komoditas yang diuji di Kabupaten Sumbawa
𝑋.𝑗 = produksi komoditas j di NTB
𝑋.. = total produksi komoditas yang diuji di NTB
Nilai LQ yang diperoleh akan berada dalam kisaran lebih kecil atau sama
dengan satu sampai lebih besar dari angka satu (1 ≤ LQ > 1). Besaran nilai LQ
menunjukkan besaran derajat spesialisasi atau konsentrasi komoditas tersebut di
wilayah Kabupaten Sumbawa terhadap wilayah referensi/acuan Nusa Tenggara
Barat. Interpretasi nilai LQ adalah:
LQ > 1; Indikasi komoditas tersebut menjadi basis karena produksinya
terkonsentrasi secara relatif di Kabupaten Sumbawa.
LQ = 1; Indikasi komoditas tersebut secara relatif sama atau peluang
usahanya menyebar secara merata di seluruh wilayah NTB.
LQ < 1; Indikasi komoditas tersebut di Kabupaten Sumbawa masih relatif
lebih kecil dari pengusahaan rata-rata NTB.
24
3.4.2 Analisis Tipologi Klassen
Tipologi Klassen merupakan salah satu alat analisis yang dapat digunakan
untuk mengidentifikasi sektor, subsektor, usaha, atau komoditas prioritas atau
unggulan suatu daerah. Tipologi Klassen dilakukan dengan membandingkan
pertumbuhan ekonomi daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah yang
menjadi acuan atau nasional dan membandingkan pangsa sektor, subsektor,
usaha, atau komoditi suatu daerah dengan nilai rata-ratanya di tingkat yang lebih
tinggi atau secara nasional. Hasil analisis Tipologi Klassen akan menunjukkan
posisi pertumbuhan dan pangsa sektor, subsektor, usaha, atau komoditi
pembentuk variabel regional suatu daerah (Widodo 2006).
Indikator atau kriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai
ekonomi yang diapresiasi dengan harga komoditas di pasar (keunggulan
kompetitif) dan produktivitas masing-masing komoditas (keunggulan komparatif)
baik di tingkat Kabupaten Sumbawa maupun Nusa Tenggara Barat. Matriks
klasifikasi kriteria dalam Tipologi Klassen disajikan ke dalam empat klasifikasi
(Syafa’at dan Priyatno 2000). Empat klasifikasi tipologi Klassen tersebut disajikan
dalam Tabel 2.
Tabel 2 Matriks tipologi Klassen penentuan komoditas unggulan daerah Kabupaten Sumbawa
Nilai Ekonomi
Produktivitas
Psbw ≥ Pntb Psbw < Pntb
Wsbw ≥ Wntb Komoditas
Unggulan Komoditas
Berkembang
Wsbw < Wntb Komoditas Potensial
Komoditas Inferior
dimana:
Psbw = estimasi nilai ekonomi komoditas i di Kabupaten Sumbawa
Pntb = estimasi nilai ekonomi komoditas i di daerah acuan NTB
Wsbw = produktivitas komoditas i di Kabupaten Sumbawa
Wntb = produktivitas komoditas i di daerah acuan NTB
25
Klasifikasi dalam Tabel 2 menunjukkan bahwa kuadran I merupakan
komoditas unggulan dengan indikator estimasi nilai ekonomi dan produktivitas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah acuan NTB. Kuadran II sebagai
komoditas berkembang (spesifik lokasi) dengan indikator estimasi nilai ekonomi
lebih rendah tapi produktivitasnya lebih tinggi. Kuadran III sebagai komoditas
potensial dengan indikator estimasi nilai ekonomi lebih tinggi tetapi
produktivitasnya lebih rendah. Sedangkan kuadran IV merupakan komoditas
inferior dengan indikator estimasi nilai ekonomi dan produktifivas yang lebih
rendah dibandingkan dengan daerah acuan NTB.
3.4.3 Proses Hirarki Analitik (PHA)
Skala prioritas dari berbagai komoditas unggulan perlu ditentukan untuk
memudahkan pengambilan kebijakan berdasarkan preferensi berbagai pihak.
Kriteria-kriteria yang berpengaruh disintesis dalam hirarki. Analisis yang
dipergunakan adalah proses hirarki analitik (PHA) atau yang biasa dikenal
dengan the analytic hierarchy process (AHP). Menurut Firdaus dan Farid (2008),
AHP digunakan pada kondisi dimana terdapat proses pengambilan keputusan
secara kompleks yang melibatkan berbagai kriteria, seperti prioritas diantara
beberapa alternatif kebijakan dan sasaran. Prasyarat yang harus diperhatikan
dalam penggunaan analisis ini adalah pihak yang akan memberikan penilaian
terhadap tingkat kepentingan faktor yang dianalisis harus yang benar-benar
memahami situasi yang sedang ditelaah.
Prinsip kerja AHP adalah menyederhanakan suatu masalah kompleks yang
tidak terukur menjadi bagian-bagian, serta menata dalam suatu hierarki. Tingkat
kepentingan setiap variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel
lain untuk kemudian ditetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan
berperan untuk memperngaruhi hasil pada sistem tersebut. Menurut Saaty
(1993), ada tiga prinsip dasar proses hirarki analitik yaitu:
1. Menyusun hirarki dengan mengurai berbagai persoalan menjadi unsur-unsur
yang terpisah.
2. Penetapan prioritas dengan memberikan bobot pada kriteria-kriteria secara
relatif terhadap kriteria lainnya.
3. Konsistensi logis, yaitu menjamin pengelompokan kriteria ke dalam hirarki
yang logis.
26
Hierarki dalam penentuan prioritas komoditas unggulan Kabupaten
Sumbawa disajikan dalam Gambar 6.
Gambar 6 Hirarki penentuan prioritas komoditas unggulan.
Kriteria-kriteria yang mempengaruhi suatu komoditas lebih penting untuk
diusahakan dibandingkan dengan komoditas lain adalah:
Lahan: tingkat kesesuaian yang optimal
Nilai tambah: banyaknya peluang memberikan manfaat lainnya
Pasar: tingginya peluang permintaaan pasar yang ada
Modal: relatif kecil diperlukan untuk berproduksi
Preferensi: lebih disenangi untuk diusahakan
Sedangkan berbagai alternatif komoditas didapatkan dari hasil analisis
tipologi Klassen yang masuk ke dalam kategori di kuadran I. Expert yang telah
ditentukan secara purposive memberikan pertimbangan (judgment) seberapa
penting satu kriteria atau satu alternatif terhadap lainnya dalam perbandingan
berpasangan (pairwise comparison) melalui kuesioner yang diajukan.
3.4.4 Analisis spasial
Tingkat produksi masing-masing komoditas pada saat ini menjadi acuan
untuk mengetahui sebaran wilayah pengembangan. Dengan menggunakan
perangkat sistem informasi geografis, wilayah pengembangan dideliniasi
mengikuti batas wilayah administrasi kecamatan dan disajikan secara tematik.
Menentukan Prioritas Komoditas Unggulan
Lahan Nilai
Tambah Pasar Modal Preferensi
Kriteria
Alternatif
Tujuan
Komoditas A
Komoditas B
Komoditas C
Komoditas D
Komoditas E
27
Wilayah-wilayah tersebut terlebih dahulu dilihat tingkat kesesuaiannya
untuk pengembangan komoditas dalam peta zona agroekologi (ZAE) yang di-
overlay dengan peta administrasi Kabupaten Sumbawa. Hasil overlay juga
dipadukan dengan kondisi eksisting penggunaan lahan (land use) berdasarkan
citra landsat. Dengan melakukan extract akan didapatkan wilayah-wilayah mana
yang cocok untuk pengembangan komoditas unggulan tersebut sesuai potensi
sumberdaya.
3.4.5 Proyeksi Konsumsi
Proyeksi konsumsi dihitung untuk mengestimasi tingkat permintaan pasar.
Tingkat konsumsi komoditas perkapita dari data SUSENAS 2007 dikalikan
dengan proyeksi jumlah penduduk NTB tahun 2025 yang telah dianalisis oleh
BPS. Proyeksi kebutuhan konsumsi tersebut dibandingkan dengan kemampuan
produksi yang ada saat ini juga terhadap kebutuhan areal lahan untuk
berproduksi berdasarkan produktivitas. Kekurangan ataupun kelebihan produksi
akan berimplikasi terhadap wilayah pengembangan komoditas yang
direkomendasikan.
3.4.6 Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan, menguraikan,
menggambarkan, menganalisis, mensintesis, dan menjabarkan fenomena-
fenomena yang diperoleh dari hasil analisis sebelumnya, sehingga dapat
diperoleh pemahaman yang lebih objektif terhadap keadaan yang sebenarnya.
Dalam penelitian ini, analisis deskriptif merupakan penjabaran dari berbagai
kondisi lapangan dikaitkan dengan hasil analisis yang dilakukan sebelumnya.
Implikasi dari penentuan prioritas, wilayah pengembangan, maupun
berbagai kendala lapangan dideskripsikan untuk merumuskan strategi yang
dapat diterapkan sebagai upaya pengembangan sektor pertanian. Berbagai
program dalam RPJP/RPJM maupun rencana strategis daerah sektor pertanian
juga menjadi rujukan dalam penyusunan strategi tersebut.
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1 Letak, Batas, dan Luas Wilayah
Kabupaten Sumbawa merupakan salah satu dari sembilan kabupaten/kota
yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografis Kabupaten
Sumbawa terletak di antara 116°42’-118°22’ Bujur Timur dan 8°8’-9°7’ Lintang
Selatan dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores
Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia
Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Dompu
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sumbawa Barat
Posisi ini merupakan lintas perdagangan yang menghubungkan antara pusat
perdagangan Surabaya dan Makassar maupun Provinsi Nusa Tenggara Timur
serta merupakan lintas pariwisata yaitu Provinsi Bali, Pulau Lombok, Taman
Nasional Komodo, dan Tanah Toraja Sulawesi Selatan.
Secara administratif daerah Kabupaten Sumbawa terbagi dalam dua puluh
empat kecamatan yaitu Kecamatan Tarano, Labangka, Empang, Lunyuk,
Plampang, Maronge, Moyo Hilir, Moyo Utara, Moyo Hulu, Batu Lanteh,
Sumbawa, Unter Iwis, Labuhan Badas, Rhee, Utan, Buer, Alas, Alas Barat,
Orong Telu, Lape, Lopok, Ropang, Lenangguar, dan Lantung dengan ibukota
kabupaten adalah Kota Sumbawa Besar. Luas wilayah secara keseluruhan
sekitar 6.643,98 km2.
Tinjauan geografis kedekatan jangkauan pelayanan pemerintahan pada
setiap tingkat administrasi pemerintahan dapat diukur dengan indikator tingkat
aksesibilitas atau jarak jangkauan antar wilayah administrasi. Secara rata-rata
jarak jangkauan ibukota kecamatan terhadap pusat pelayanan pemerintahan di
ibukota Kabupaten Sumbawa adalah 45,46 km dengan jarak terjauh dari ibukota
kabupaten adalah 103 km (kecamatan Tarano).
Luas wilayah Kabupaten Sumbawa dirinci per kecamatan berdasarkan data
tahun 2008 disajikan dalam Tabel 3. Sedangkan jarak jangkauan ibukota
kecamatan terhadap ibukota kabupaten disajikan dalam Gambar 7.
29
Tabel 3 Luas wilayah Kabupaten Sumbawa dirinci per kecamatan tahun 2008
No Kecamatan Luas Wilayah (km2) Proporsi (%)
1 Lunyuk 513,74 7,73 2 Orong Telu 465,97 7,01 3 Alas 123,04 2,64 4 Alas Barat 168,88 1,16 5 Buer 137,01 2,66 6 Utan 155,42 2,80 7 Rhee 230,82 3,01 8 Batulanteh 391,40 5,89 9 Sumbawa 44,83 0,66 10 Labuhan Badas 435,89 6,69 11 Unter Iwes 82,38 1,13 12 Moyo Hilir 186,79 2,81 13 Moyo Utara 90,80 1,37 14 Moyo Hulu 311,98 4,70 15 Ropang 444,48 6,69 16 Lenangguar 504,32 7,59 17 Lantung 167,45 2,52 18 Lape 204,43 3,07 19 Lopok 155,59 2,34 20 Plampang 418,69 7,11 21 Labangka 243,08 2,52 22 Maronge 274,75 4,46 23 Empang 558,55 8,41 24 Tarano 333,71 5,02
Total 6.643,98 100,00
Sumber: BPS Kabupaten Sumbawa, 2009
Sumber: BPS Kabupaten Sumbawa, 2009
Gambar 7 Jarak dari ibukota kabupaten ke kota kecamatan dalam Kabupaten Sumbawa Tahun 2008.
0
20
40
60
80
100
120
Sum
baw
a
Un
ter
Iwes
Mo
yo U
tara
Mo
yoh
ilir
Lab
uh
an B
adas
Bat
ula
nte
h
Mo
yo H
ulu
Lop
ok
Lap
e
Rh
ee
Lan
tun
g
Len
angg
uar
Mar
on
ge
Uta
n
Ro
pan
g
Oro
ng
Telu
Pla
mp
ang
Bu
er
Ala
s
Lab
angk
a
Ala
s B
arat
Lun
yuk
Emp
ang
Tara
no
Jara
k (k
m)
30
4.2 Topografi
Sumber: Citra SRTM, 2009
Gambar 8 Keadaan topografi Kabupaten Sumbawa.
Menurut karakteristik topografinya (Gambar 8), Kabupaten Sumbawa
merupakan daerah dengan permukaan tanah tidak rata atau cenderung berbukit-
bukit dengan ketinggian berkisar antara 0 sampai 1.730 meter di atas permukaan
air laut, sebagian besar diantaranya berada pada ketinggian di atas 100 meter.
Sementara itu ketinggian untuk kota-kota kecamatan di Kabupaten Sumbawa
berkisar antara 10 meter sampai 650 meter di atas permukaan air laut. Ibukota
Kecamatan Batulanteh (Semongkat) merupakan ibukota kecamatan yang
tertinggi sedangkan Sumbawa Besar merupakan yang terrendah.
4.3 Keadaan Iklim dan Cuaca
Karakteristik iklim Kabupaten Sumbawa dipengaruhi oleh musim hujan dan
musim tropis. Hujan merupakan faktor yang paling menentukan keadaan iklim di
daerah survei. Berdasarkan klasifikasi Oldeman, Kabupaten Sumbawa termasuk
beriklim tipe D3 dengan panjang bulan basah (curah hujan >200 mm) selama 3
bulan dan panjang bulan kering (curah hujan <100mm) selama 6 bulan.
31
Tabel 4 Rata-rata curah hujan di Kabupaten Sumbawa tahun 2004–2008 dirinci perbulan (mm)
Bulan 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-Rata
Januari 106,80 90,40 166,80 43,30 288,20 139,10
Pebruari 91,70 271,10 630,40 179,80 293,20 293,24
Maret 124,20 226,90 210,40 443,20 113,00 223,54
April 1,50 219,20 190,60 102,10 111,70 125,02
Mei 93,80 0,00 54,00 8,90 5,10 32,36
Juni 0,60 45,10 0,00 14,50 7,90 13,62
Juli 0,00 0,00 0,00 0,00 1,10 0,22
Agustus 0,00 12,00 0,00 0,10 0,00 2,42
September 0,00 4,30 0,00 0,00 0,60 0,98
Oktober 9,00 85,70 0,00 1,50 86,20 36,48
November 144,70 110,30 12,90 151,20 106,40 105,10
Desember 248,30 202,80 336,50 230,60 182,10 240,06
Jumlah 820,60 1267,80 1.601,60 1.175,20 1.195,50 1.212,14
Sumber: BMKG Sumbawa dalam BPS Kabupaten Sumbawa, 2005 - 2009
Tabel 4 menunjukkan bahwa bulan Pebruari, Maret, dan Desember
merupakan bulan basah. Sedangkan bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, September,
dan Oktober merupakan bulan kering. Bulan Januari, April, dan November
dikatakan sebagai bulan lembab. Data diambil pasca pemekaran wilayah dengan
Kabupaten Sumbawa Barat.
Pada tahun 2008 temperatur rata-rata adalah 26,9oC dengan temperatur
maksimum mencapai 35,5oC yang terjadi pada bulan Oktober dan temperatur
minimum 20,4oC yang terjadi pada bulan Juli. Tekanan udara maksimum 1.010,7
mb, dan tekanan udara minimum 1.006,4 mb. Arah mata angin terbanyak adalah
SE (tenggara) dengan kecepatan tertinggi sebesar 21 knots yang terjadi pada
bulan Februari. Tabel 5 menunjukkan rata-rata karakteristik cuaca di Kabupaten
Sumbawa selama tahun 2008.
32
Tabel 5 Rata-rata karakteristik cuaca di Kabupaten Sumbawa tahun 2008
Bulan Kec. Angin rata-rata (Knots)
Rata-rata Suhu Udara
(oC)
Rata-rata Kelembaban
Udara (%)
Modus Arah Angin
Januari 5,0 26,7 84 NW
Februari 7,0 26,1 88 NW
Maret 5,0 26,5 85 SE
April 4,0 26,9 80 SE
Mei 5,0 26,8 71 SE
Juni 5,0 26,5 71 SE
Juli 6,0 25,7 67 SE
Agustus 6,0 26,7 66 SE
September 6,0 27,8 66 SE
Oktober 6,0 28,8 70 SE
Nopember 5,0 27,5 82 SE
Desember 4,0 26,7 83 SE
Jumlah 5,0 26,9 76 SE
2007 5,0 27,0 76 SE
2006 5,0 26,8 76 SE
2005 5,0 27,1 77 E
2004 6,0 27,0 77 SE
Sumber: BMKG Sumbawa dalam BPS Kabupaten Sumbawa, 2009
4.4 Geologi
Berdasarkan peta geologi tinjau Pulau Sumbawa skala 1:250.000
(Direktorat Geologi, 1975) Kabupaten Sumbawa termasuk formasi tersier dan
kuarter. Formasi tersier merupakan batuan hasil gunung api dan batuan
endapan. Terdiri dari breksi bersifat andesit dengan lapisan-lapisan tufa berpasir,
tufa batuapung, dan batupasir bertufa, di beberapa tempat mengandung lahar,
lava, andesit dan basal, lempung bertufa yang terdiri dari lapisan-lapisan pasir
dan kerikil. Formasi ini menempati wilayah perbukitan serta dataran angkatan.
Formasi kuarter merupakan endapan permukaan (bahan aluvium) yang
terdiri dari kerikil, pasir, lempung (loam) dan pasir pantai, terutama bersusunan
andesit. Penyebaran formasi ini terutama di dataran estuarian dan di sepanjang
pantai. Juga ditemukan batu koral yang terangkat bersusunan batugamping yang
33
tediri dari terumbu koral dan pecahan batugamping koral, di beberapa tempat
mengandung kepingan batuan hasil gunung api. Penyebaran formasi in terutama
di sepanjang pantai.
Formasi batuan terobosan juga cukup banyak yang disusun oleh andesit,
basal, dasit, dan batuan yang tidak dapat dibedakan. Dasit dan andesit pada
umumnya mengandung pirit. Batuan ini dijumpai pada daerah Kabupaten
Sumbawa bagian tengah dan timur menempati areal yang tidak begitu luas di
wilayah perbukitan Kecamatan Lape Lopok.
Formasi-formasi tersebut pada umumnya tertutupi oleh abu/pasir vulkanik
hasil letusan Gunung Tambora pada tahun 1815. Tebal lapisan bervariasi dari 10
cm pada daerah pegunungan/perbukitan, sampai lebih dari 100 cm pada daerah
dataran atau cekungan.
4.5 Jenis Tanah
Jenis tanah utama di Kabupaten Sumbawa yang banyak ditemukan adalah
entisol sekitar 38,7 persen, entisol lithic subgroup sekitar 7,5 persen, alfisol
sekitar 6,8 persen, inceptisol sekitar 3,4 persen, ultisol sekitar 12,3 persen,
vertisol sekitar 9,8 persen, dan komplek entisol/asosiasi sekitar 23,2 persen.
Tanah-tanah tersebut lebih banyak terbentuk dari bahan alluvium.
Dari 664.398 ha luas daratan Kabupaten Sumbawa, komplek entisol lithic
subgroup, alfisol/inceptisol mendominasi sebaran tanah dengan luas areal
mencapai 457.478 ha atau sekitar 68,8 persen. Tersebar dari bagian selatan
Kabupaten Sumbawa dari timur hingga barat. Inceptisol tersebar di Kecamatan
Moyo Hulu, Moyo Hilir, dan Lape. Asosiasi entisol dan ultisol dijumpai di daerah
dengan curah hujan tinggi dan penggunaan lahan berupa hutan lebat dan
fisiogerapi berbukit hingga bergunung yakni di wilayah Kecamatan Batu Lanteh,
Ropang, Moyo Hulu, menenpati areal sekitar 34.564 ha atau 5,2 persen.
Penyebaran jenis tanah entisol dan alfisol dijumpai di daerah daratan/lembah
dan dipinggir pantai utara. Daerah ini diusahakan untuk persawahan,
pertambakan, dan juga masih merupakan rawa.
Tiap jenis tanah mempunyai sifat dan karakter sendiri yang akan
menentukan kemampuan suatu lahan untuk dikembangkan sesuai dengan
peruntukannya. Tanah entisol dan inceptisol yang banyak terdapat di Kabupaten
Sumbawa dapat diperuntukkan bagi lahan pertanian tanaman pangan karena
memiliki karakteristik drainase baik sampai terhambat dengan tekstur tanah
34
umumnya agak halus dan kapasitas tukar kaiton (KTK) bervariasi dari rendah
sampai tinggi. Tanah-tanah ini merupakan tanah muda yang belum berkembang
lebih lanjut sehingga cukup subur untuk pertumbuhan tanaman.
4.6 Hidrologi
Daerah-daerah pertanian dan permukiman di Kabupaten Sumbawa sangat
ditentukan oleh tersedianya air disamping keadaan tofografi dan tanahnya.
Sumber air pokok adalah air hujan, air sungai dan air tanah. Daerah ini termasuk
daerah curah hujan yang relatif kecil dan tidak merata sepanjang tahun.
Sungai di Kabupaten Sumbawa mempunyai area yang sempit dan lereng
yang curam. Sungai yang cukup lebar adalah Sungai Brang Beh yang mengalir
ke selatan Kecamatan Lunyuk, Sungai Brang Utan di Kecamatan Utan, serta
Sungai Brang Moyo di Kecamatan Moyo Hilir. Aliran sungai sangat dipengaruhi
oleh besarnya hujan. Pada waktu hujan besar debit sungai dengan cepat
menjadi besar, tapi begitu hujan selesai aliran sungai dengan cepat menjadi
turun bahkan menjadi kering. Artinya bahwa aliran sungai tidak selalu mengalir
sepanjang tahun.
Air tanah di Kabupaten Sumbawa telah digunakan meskipun secara
sederhana, terutama untuk keperluan sehari-hari dengan menggunakan sumur
gali di daerah-daerah dataran alluvial disepanjang pantai utara.
4.7 Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan erat kaitannya dengan perkembangan dan dinamika
penduduk. Perkembangan sosial ekonomi masyarakat memperkuat desakan
terhadap pemanfaatan lahan. Sehingga yang dilakukan adalah pengendalian
pola penggunaan lahan secara konsisten dalam rangka penciptaan keserasian
penggunaan tanah dengan lingkungan sesuai dengan fungsi kawasan yang
direncanakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah.
Penggunaan lahan di Kabupaten Sumbawa terbagi dalam beberapa
kategori tipologi penggunaan meliputi: 1) Lahan sawah seluas 46.873 Ha, 2)
Lahan bukan sawah (pekarangan, tegalan/kebun, ladang/huma, padang rumput,
sementara tidak diusahakan, hutan rakyat, lain-lain) seluas 241.160 Ha, 3) Lahan
bukan pertanian (rumah/bangunan, hutan negara, rawa-rawa, lainnya) seluas
376.365 Ha seperti ditunjukkan pada Tabel 6.
35
Tabel 6 Keadaan luas lahan berdasarkan potensi wilayah di Kabupaten Sumbawa tahun 2008
No. Penggunaan Lahan
Realisasi Dalam Satu Tahun (ha)
Jumlah Ditanami Padi Tidak
ditana-mi Padi
Semen-tara Tidak
Di-usahakan
Tiga kali
Dua Kali
Satu Kali
1 2 3 4 5 6 7 8
1 LAHAN PERTANIAN
1.1 Lahan Sawah
a. Irigasi Teknis 250 8.332 9.401 7 - 17.990
b. Irigasi Setengah
Teknis 1.059 4.845 5.529 - - 11.433
c. Irigasi
Sederhana 228 999 2.724 3 - 3.954
d. Irigasi
Desa/Non-PU - 2.003 3.736 44 - 5.783
e. Tadah Hujan - 7 7.706 - - 7.713
f. Pasang Surut - - - - - -
g. Lebak - - - - - -
h. Lainnya (Polder,
rembesan, dll) - - - - - -
Jumlah Lahan Sawah 1.537 16.186 29.096 54 - 46.873
1.2 Lahan Bukan Sawah
a. Tegal / Kebun 59.000
b. Ladang / Huma 9.883
c. Perkebunan 27.849
d. Ditanami Pohon / Hutan Rakyat 91.336
e. Tambak 2.981
f. Kolam/Tebat/Empang 242
g. Padang Pengembalaan / Rumput 3.773
h. Sementara Tidak Diusahakan 25.937
i. Lainnya (pekarangan yang ditanami tanaman pertanian, dll) 20.159
Jumlah Lahan Bukan Sawah 241.160
2 LAHAN BUKAN PERTANIAN
a. Rumah, bangunan dan halaman sekitarnya 6.148
b. Hutan Negara 278.154
c. Rawa-rawa (Tidak Ditanami) -
d. Lainnya (jalan, sungai, danau, lahan tandus, dll) 92.063
Jumlah Lahan Bukan Pertanian 376.365
Total (Luas Wilayah Kecamatan) = Jumlah Lahan Sawah + Jumlah Lahan Bukan Sawah + Jumlah Lahan Bukan Pertanian
664.398
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Sumbawa, 2009
36
4.8 Prasarana Perhubungan
Jaringan jalan merupakan prasarana untuk memperlancar kegiatan
perekonomian dalam meningkatkan usaha pembangunan guna memudahkan
mobilisasi penduduk dan memperlancar perdagangan antar wilayah. Kondisi
Jalan dari ibukota kabupaten ke kecamatan kondisinya cukup baik. Dan untuk
memperlancar aksesibilitas produksi dan pemasaran, pemerintah terus
meningkatkan pembangunan jalan usaha tani terutama di daerah-daerah sentra
produksi pertanian.
Perhubungan laut juga berperanan penting dalam perekonomian
Kabupaten Sumbawa. Ada dua pelabuhan laut yang penting yakni Pelabuhan
Badas di Kecamatan Labuhan Badas sekitar 10 km dari Sumbawa Besar dan
Pelabuhan Poto Tano di Kecamatan Seteluk sekarang berada diwilayah
Kabupaten Sumbawa Barat 79 km dari Sumbawa Besar. Melalui kedua
pelabuhan ini, kegiatan ekspor impor serta lalu lintas penyeberangan orang
menjadi mudah. Sedangkan perhubungan udara, saat ini hanya ada satu kali
penerbangan setiap hari ke ibukota provinsi melalui Bandara Brang Biji di Kota
Sumbawa Besar dengan jenis pesawat Foker F-27.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Alternatif Komoditas Unggulan Daerah
Penentuan atau identifikasi alternatif komoditas unggulan Kabupaten
Sumbawa menjadi sangat penting, karena komoditas unggulan diharapkan
menjadi komoditas penggerak utama (prime mover) perekonomian di Kabupaten
Sumbawa. Widodo (2006) menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi akan
lebih optimal apabila didasarkan pada keunggulan komparatif (comparative
advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage). Pengertian
unggul di sini didasarkan dalam bentuk perbandingan dengan wilayah yang lebih
tinggi. Keunggulan komparatif suatu komoditas adalah jika produktivitas yang
dimiliki suatu komoditas lebih unggul secara relatif terhadap komoditas sejenis di
wilayah yang lebih tinggi. Sedangkan keunggulan kompetitif merupakan
kemampuan suatu komoditas menembus pasar yang diapresiasi dengan
penerimaan yang lebih tinggi. Adanya spesialisasi komoditas sesuai dengan
keunggulan yang dimiliki, memungkinkan pemusatan pengusahaan di daerah
yang akan mempercepat pertumbuhan daerah (Aswandi dan Kuncoro 2002).
Lebih lanjut dikatakan bahwa ekonomi spesialisasi telah memungkinkan
terbentuknya jaringan perdagangan antarindividu dan antarnegara yang lebih
luas, mendorong proses pertukaran sesuai kebutuhan masing-masing.
Analisis Location Quotient (LQ) produksi (Tabel 7) menunjukkan bahwa
komoditas kacang hijau, sawo, mangga, jagung, dan pepaya memiliki nilai LQ
lebih dari satu (LQ>1). Nilai LQ lebih dari satu mengindikasikan bahwa
komoditas-komoditas tersebut terkonsentrasi secara relatif pengusahaannya di
Kabupaten Sumbawa. Semakin besar nilai LQ menunjukkan semakin
terkonsentrasinya pengusahaan suatu komoditas di Kabupaten Sumbawa.
Derajat konsentrasi (basis) inilah yang mengindikasikan bahwa suatu komoditas
berpotensi untuk menjadi komoditas unggulan. Untuk komoditas padi dengan
nilai LQ sama dengan satu, mengindikasikan bahwa pengusahaan komoditas
padi secara relatif sama dengan rata-rata Nusa Tenggara Barat atau dapat
dikatakan menyebar secara merata. Sedangkan ubi kayu, kedelai, kacang tanah,
cabe rawit, ubi jalar, bawang merah, dan pisang menjadi komoditas nonbasis
dengan LQ kurang dari satu. Nilai LQ kurang dari satu mengindikasikan bahwa
pengusahaan komoditas tersebut tidak terkonsentrasi di Kabupaten Sumbawa.
38
Tabel 7 Nilai LQ produksi tanaman pangan di Kabupaten Sumbawa tahun 2004-2007
No. Komoditas Produksi (ton)
LQ Sumbawa NTB
1 Kacang Hijau 30.262 39.274 4,18
2 Sawo 1.894 3.878 2,65
3 Mangga 21.310 71.615 1,61
4 Jagung 28.818 98.077 1,59
5 Pepaya 2.574 10.042 1,39
6 Padi 269.034 1.478.700 0,99
7 Ubi Kayu 12.715 89.147 0,77
8 Kedelai 10.846 93.809 0,63
9 Kacang Tanah 4.144 42.374 0,53
10 Cabe Rawit 2.424 35.302 0,37
11 Ubi Jalar 1.210 18.100 0,36
12 Bawang Merah 4.556 83.617 0,30
13 Pisang 722 53.375 0,07
Total 390.509 2.117.010
Sumber: Dinas Pertanian NTB dan Kab. Sumbawa (diolah)
Nilai LQ produksi yang tinggi bukan semata-mata mencerminkan bahwa
produksi komoditas tersebut tinggi, tetapi merupakan cerminan nilai relatif
terhadap share komoditas dalam daerah acuan provinsi (Hendayana 2003).
Seperti sawo dan pepaya dengan produksi yang lebih kecil dari ubi kayu dan
kedelai memiliki nilai LQ kurang dari satu. Demikian juga dengan nilai LQ yang
rendah, belum tentu komoditas tersebut tidak banyak diusahakan di Kabupaten
Sumbawa. Seperti padi dengan produksi tertinggi di Kabupaten Sumbawa yaitu
269.034 ton memiliki nilai LQ sama dengan satu, begitu juga dengan ubi kayu
dan kedelai dengan produksi tinggi tetapi nilai LQ kurang dari satu. Data Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Sumbawa menunjukkan bahwa pada
tahun 2005 komoditas dengan nilai LQ kurang dari satu banyak dipasarkan ke
luar daerah seperti kacang tanah sebanyak 1.675 ton, kedelai sebanyak 4.967
ton, dan gabah sebanyak 15.767 ton.
Keunggulan komoditas yang ditentukan dengan metode LQ produksi
merupakan keunggulan basis yang bersifat relatif. Artinya bahwa suatu
komoditas akan menjadi unggul bila produksi yang dimiliki suatu wilayah
berperan besar dalam menentukan besarnya total produksi pada daerah acuan
yang lebih tinggi. Dan nilai LQ produksi hanya mencerminkan keunggulan dari
39
sisi keberlimpahan potensi yang ada untuk memenuhi kebutuhan terhadap
komoditas tersebut secara relatif. Sedangkan sisi permintaan dalam bentuk
apresiasi konsumen terhadap produk tersebut belum terlihat. Produk yang
dihasilkan bisa saja tidak mempunyai daya saing di pasaran (keunggulan
kompetitif) yang disebabkan oleh karakteristik komoditas tersebut, seperti mudah
rusak atau preferensi konsumen di wilayah lain rendah sehingga komoditas
tersebut hanya mampu dipasarkan di wilayah sendiri.
Sebagai upaya mengatasi kelemahan yang dimiliki oleh metode LQ, maka
dalam penelitian ini komoditas unggulan Kabupaten Sumbawa ditentukan
dengan memperhatikan aspek sumberdaya lahan untuk berproduksi
(produktivitas) dikaitkan dengan nilai ekonomi yang diapresiasi konsumen
terhadap komoditas tersebut (harga). Karena pengusahaan komoditas maupun
usaha tani pada umumnya haruslah berorientasi pasar. Kedua aspek tersebut
dapat dianalisis secara simultan dengan metode tipologi Klassen.
Indikator utama yang digunakan dalam Klassen pada penelitian ini adalah
tingkat produktivitas suatu komoditas pangan dan nilai ekonomi komoditas
tersebut di pasar Kabupaten Sumbawa maupun di Nusa Tenggara Barat. Data
rata-rata produktivitas dan nilai ekonomi komoditas pangan di Kabupaten
Sumbawa dan Provinsi Nusa Tenggara Barat disajikan dalam Tabel 8.
Tabel 8 Rata-rata produktivitas dan nilai ekonomi komoditas tanaman pangan di Kabupaten Sumbawa dan Provinsi NTB tahun 2004-2007
No. Komoditas Produktivitas (ton/ha)
Nilai Ekonomi (Rp Juta/ton)
Sumbawa NTB Sumbawa NTB
1 Padi 4,53 4,55 1,64 1,94
2 Jagung 2,53 2,49 1,72 1,48
3 Kedelai 1,24 1,19 4,24 3,35
4 Kacang Hijau 0,84 0,83 5,63 5,34
5 Kacang Tanah 1,22 1,25 8,82 7,50
6 Ubi Kayu 11,59 11,61 1,60 0,86
7 Ubi Jalar 11,39 11,36 1,64 0,95
8 Bawang Merah 9,56 8,62 5,17 5,93
9 Cabe Rawit 8,00 4,97 12,99 7,59
10 Mangga 7,37 11,59 3,56 3,08
11 Pepaya 31,79 74,51 2,82 2,32
12 Pisang 4,96 55,24 4,07 2,24
13 Sawo 6,59 11,88 5,38 3,23
Sumber: Dinas Pertanian NTB dan Kab. Sumbawa (diolah)
40
Berbagai komoditas tersebut selanjutnya dianalisis ke dalam matriks yang
terbagi menjadi empat kuadran. Kuadran I diisi dengan komoditas-komoditas
yang memiliki tingkat produktivitas dan nilai ekonomi di Kabupaten Sumbawa
lebih besar atau sama dengan rata-rata Nusa Tenggara Barat. Kuadran II
merupakan komoditas dengan tingkat produktivitas lebih tinggi atau sama
dengan rata-rata Nusa Tenggara Barat namun nilai ekonominya lebih rendah.
Kuadran III merupakan komoditas-komoditas yang memiliki tingkat produktivitas
lebih rendah tetapi nilai ekonominya lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata
Nusa Tenggara Barat. Sedangkan kuadran IV merupakan komoditas dengan
tingkat produktivitas dan nilai ekonomi yang lebih rendah dari rata-rata di Nusa
Tenggara Barat. Tabel 9 menyajikan posisi masing-masing komoditas
berdasarkan tipologi Klassen.
Tabel 9 Posisi masing-masing komoditas tanaman pangan di Kabupaten Sumbawa berdasarkan tipologi Klassen
Nilai Ekonomi
Produktivitas
Psbw ≥ Pntb Psbw < Pntb
Wsbw ≥ Wntb
Jagung
Kedelai
Kacang Hijau
Ubi Jalar
Cabe Rawit
Bawang Merah
Wsbw < Wntb
Kacang Tanah
Ubi Kayu
Mangga
Pepaya
Pisang
Sawo
Padi
keterangan:
Psbw = nilai ekonomi komoditas i di Kabupaten Sumbawa
Pntb = nilai ekonomi komoditas i di daerah acuan NTB
Wsbw = produktivitas komoditas i di Kabupaten Sumbawa
Wntb = produktivitas komoditas i di daerah acuan NTB
Dari analisis tersebut dapat ditentukan beberapa alternatif komoditas
unggulan Kabupaten Sumbawa yaitu komoditas-komoditas dengan produktivitas
dan nilai ekonomi komoditas tersebut di Kabupaten Sumbawa lebih besar atau
sama dengan daerah acuan Nusa Tenggara Barat. Komoditas-komoditas
41
tersebut ditunjukkan dalam kuadran I, terdiri dari jagung, kedelai, kacang hijau,
ubi jalar, dan cabe rawit. Artinya bahwa pengusahaanya selama rentang waktu
2004-2007, mampu memberikan kontribusi yang pesat terhadap total
penerimaan dengan tingkat efisiensi usaha yang tinggi dan pertumbuhan yang
cepat. Hal ini memungkinkan komoditas tersebut menjadi penggerak dalam
usaha tani di Kabupaten Sumbawa. Pertumbuhan yang cepat pada komoditas
unggulan tersebut menghasilkan efek pengganda (multiplier effects) yang tinggi
karena pertumbuhan pada komoditas tersebut mendorong pertumbuhan yang
pesat pada sektor-sektor perekonomian lainnya, misalnya di sektor pengolahan
(agro-processing) dan jasa pertanian (agro-services) (Daryanto 2009). Walaupun
efek pengganda tersebut dinikmati oleh wilayah lain di luar Kabupaten Sumbawa,
tetapi pergerakan pemasaran menjadi semakin luas.
Komoditas bawang merah yang masuk ke dalam kuadran II dengan
indikator mempunyai produktivitas lebih tinggi akan tetapi nilai ekonomi lebih
rendah dibandingkan dengan rata-rata Provinsi Nusa Tenggara Barat,
mengindikasikan bahwa komoditas bawang merah termasuk komoditas dengan
karakterisitik spesifik lokasi. Dan di pasar lokal komoditas bawang merah belum
banyak diapresiasi oleh para pelaku pasar. Hal ini ditunjukkan dari hasil survey
lapang yang menunjukkan bahwa bawang merah hanya diusahakan di
Kecamatan Plampang dan beberapa kecamatan lain yang bersifat sporadis pada
musim kering I dan II (MK I dan II) oleh petani penyewa dari luar daerah yaitu
Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima. Pada musim hujan (MH) lahan yang
ada diusahakan untuk tanaman padi oleh pemilik lahan. Data luas panen
menunjukkan bahwa dalam rentang waktu 2004-2007 bawang merah hanya
dipanen seluas 457 Ha, jauh di bawah rata-rata provinsi seluas 9.702 Ha.
Dengan demikian, harga hanya diapresiasi oleh petani penyewa dan produksi
yang dihasilkan lebih banyak dibawa ke luar Kabupaten Sumbawa yaitu ke
Kabupaten Dompu dan Bima.
Pada kuadran III dengan indikator tingkat produktivitas yang lebih rendah
tetapi nilai ekonomi lebih tinggi daripada rata-rata Nusa Tenggara Barat terdapat
komoditas kacang tanah, ubi kayu, mangga, pepaya, pisang dan sawo.
Komoditas-komoditas ini mempunyai peluang besar (potensial) untuk dapat
dikembangkan apabila produktivitas mampu untuk ditingkatkan karena nilai
ekonomi sudah tinggi. Peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan
peningkatan intensifikasi skala usaha tani. Survey lapang menunjukkan bahwa
42
komoditas-komoditas tersebut belum diusahakan secara penuh oleh petani.
Kacang tanah dan ubi kayu baru sebatas sebagai tanaman sela pada lahan-
lahan marjinal atau pada petakan-petakan kecil saja. Mangga masih belum
dilakukan peremajaan. Sedangkan sawo lebih banyak sebagai tanaman
pekarangan.
Sedangkan pada kuadran IV dengan indikator tingkat produktivitas dan nilai
ekonomi di bawah rata-rata provinsi Nusa Tenggara Barat terdapat komoditas
padi. Tingkat produktivitas yang dimiliki padi hampir sama dengan produktivitas
rata-rata di Nusa Tenggara Barat (Tabel 9), namun dari sisi nilai ekonomi masih
tertekan walaupun padi sebagai komoditas politis sudah ditentukan harga dan
standar kualitas oleh pemerintah. Hal ini mengindikasikan bahwa standar
operasional produksi padi belum diterapkan secara maksimal sehingga apresiasi
harga di pasaran hanya mengikuti kualitas yang ditawarkan. Biasanya petani
menjual langsung sebagian besar hasil panennya masih dalam keadan basah
atau kadar air tinggi. Alasan mereka karena tidak mempunyai sarana penjemuran
seperti lantai jemur maupun sarana penyimpanan. Walaupun demikian,
komoditas padi tetap menjadi komoditas utama untuk diusahakan pada musim
hujan mengingat keterkaitan sosial budaya yang dimilikinya masih besar.
Masuknya padi sebagai komoditas inferior bukan karena sedikit
pengusahaannya di Kabupaten Sumbawa, tetapi lebih disebabkan karena
standar operasional yang belum terpenuhi. Komoditas padi merupakan
komoditas yang tetap berperan penting dalam usaha tani di Kabupaten
Sumbawa.
5.2 Prioritas Komoditas untuk Dikembangkan
Pengambilan kebijakan pengembangan wilayah harus mempertimbangkan
berbagai segi seperti kondisi ekonomi, sosial, maupun isu-isu politik. Dengan
demikian setiap kriteria dan aktor yang berperan di dalamnya harus
diperhitungkan. Terdapat berbagai alat analisis untuk menentukan formula
kebijakan pengembangan. Analisis yang banyak digunakan adalah analythical
hierarchy process (AHP) (Dinc et al. 2002). AHP mampu mengintegrasikan
model kuantitatif dengan faktor-faktor kualitatif.
Kriteria-kriteria dan alternatif yang berperan dalam menentukan prioritas
komoditas unggulan diberikan skor berdasarkan tingkat kepentingan oleh
43
responden pakar (expert) yang berasal dari pemerintah daerah, DPRD,
pengusaha, dan petani. Responden expert tersebut dipilih secara sengaja
berdasarkan hubungan langsung mereka terhadap pengembangan sektor
pertanian di Kabupaten Sumbawa. Iqbal (2007) menegaskan bahwa seyogianya
peran stakeholders yang terkena dampak program baik positif maupun negatif
diwujudkan melalui persamaan persepsi, keputusan kolektif, dan sinergi aktivitas
dalam menunjang kelancaran program pertanian. Kehidupan masyarakat yang
semakin heterogen dan individualis menyebabkan mereka kurang respons
terhadap berbagai kegiatan bersama membangun desa. Dalam kondisi seperti
ini, hanya upaya semipartisipatif dan partisipatif yang mungkin untuk
dilaksanakan (Jamal 2009).
Responden memberikan pertimbangan (judgments) dalam
membandingkan setiap kriteria yang ada. Perbandingan berpasangan (pairwise
comparation) diberikan satu skala absolut dari angka 1 hingga 9 yang
menunjukkan berapa kali lebih besar satu kriteria lebih penting dari kriteria
lainnya. Prosedur ini diulang untuk semua elemen dalam struktur, menghasilkan
ranking preferensi atas pertimbangan seluruh expert (Oddershede et al. 2007).
Setiap responden diwawancarai secara terpisah pada waktu yang berbeda.
Pertemuan dimulai dengan wawancara informal untuk menggali informasi secara
umum tentang apa yang akan ditanyakan. Selanjutnya, responden diminta untuk
memberikan pertimbangan atau penilaian secara eksplisit pada setiap
perbandingan berpasangan. Hasil pertimbangan responden yang berasal dari
unsur pemerintah daerah dan DPRD tidak dapat langsung diambil setelah
wawancara. Karena agenda kerja mereka cukup padat sehingga hasil baru
diketahui keesokan harinya bahkan beberapa hari kemudian. Dari pengamatan
hasil setelah responden menyerahkan kuesioner ke peneliti, ada beberapa
pertimbangan responden yang menunjukkan gejala inkonsistensi. Pertimbangan
tersebut ditanyakan kembali dengan memperhatikan hasil wawancara informal
sebelumnya tanpa merubah esensi dasar pertimbangan yang telah diberikan,
sehingga objektivitas pertimbangan tetap dipertahankan. Namun sebagian besar
responden merupakan expert yang mengetahui lebih banyak tentang berbagai
kriteria yang diperbandingkan, sehingga tingkat inkonsistensi yang didapat bisa
diperkecil.
44
Gambar 9 Skor masing-masing kriteria dalam penentuan prioritas komoditas unggulan daerah.
Gambar 9 menunjukkan bahwa kriteria pasar yang diindikasikan dengan
tingginya peluang permintaan pasar yang ada lebih dipentingkan dari kriteria
yang lainnya. Pasar memiliki skor sebesar 0,30. Kriteria kedua adalah modal
yang diperlukan dalam berproduksi relatif kecil dengan skor sebesar 0,24. Lahan
dengan tingkat keseuaian yang optimal mempunyai skor sebesar 0,20.
Sedangkan kriteria nilai tambah dengan indikasi banyaknya peluang memberikan
manfaat lainnya mempunyai skor sebesar 0,18. Untuk kriteria preferensi atau
tingkat kesukaan terhadap komoditas yang diusahakan tidak terlalu diapresiasi
oleh expert, skornya hanya sebesar 0,09.
Pasar memainkan peranan paling penting dalam pengusahaan komoditas
unggulan daerah Kabupaten Sumbawa. Hal ini dimungkinkan karena
pengusahaan suatu komoditas pertanian akan berkembang dengan baik bila
ditunjang oleh kelancaran pemasaran baik untuk kepentingan domestik maupun
internasional. Kurangnya permintaan dari komoditas yang dikembangkan
menyebabkan terjadi penumpukan hasil panen dan penyimpanan yang cukup
lama yang akhirnya menurunkan kualitas dan kuantitas komoditas tersebut. Hal
ini sejalan dengan pendapat Walker et al. (Budirohman 2006) yang menyatakan
bahwa inovasi baru harus memikirkan pasar terlebih dahulu sebelum memikirkan
jumlah produk.
Faktor modal dalam berproduksi menjadi prioritas kedua setelah pasar.
Modal menjadi penting karena setiap aspek dalam usaha pertanian dewasa ini
0,200,18
0,30
0,24
0,09
Lahan Nilai tambah Pasar Modal Preferensi
Kriteria
Skor
45
sudah dihargai dengan modal. Mulai dari penyiapan bibit/benih, pemupukan,
hama penyakit, pengairan, tenaga kerja, bahkan sampai jasa pascapanen.
Setiap usaha pertanian yang berorientasi pasar dan bersifat rasional untuk
memperoleh manfaat ekonomi sebesar-besarnya dikenal dengan agribisnis
(Sudaryanto et al. 2005). Sementara itu, sebagian besar petani di Kabupaten
Sumbawa tergolong sebagai petani dengan modal terbatas dan akses terhadap
permodalan juga masih kurang. Hasil survey lapang menunjukkan bahwa petani-
petani yang mempunyai akses ke instansi pemerintah yang menjalankan
program pemberdayaan masyarakat seperti Dinas Pertanian, Dinas Sosial,
Badan Ketahan Pangan dan sejenisnya mampu mengelola usaha taninya
dengan baik.
Prioritas ketiga adalah kesesuaian lahan yang optimal. Semakin optimal
tingkat kesesuaian lahan maka akan semakin memberikan keleluasaan dalam
menentukan opsi komoditas apa yang akan diusahakan. Secara rata-rata kondisi
kesesuaian lahan di Kabupaten Sumbawa dibatasi oleh faktor ketersediaan air
yang minim. Irigasi teknis yang masih mampu dimanfaatkan sangat terbatas di
beberapa lokasi saja seperti di Kecamatan Unter Iwis, Labuhan Badas dan
Sumbawa, juga di Kecamatan Lopok dan Lape. Alih fungsi lahan semakin
memperparah kondisi irigasi. Hasil survey lapang menunjukkan bahwa sumber-
sumber mata air semakin berkurang sehingga debit air di beberapa bendungan
yang sudah ada sangat terbatas. Data BPS menunjukan bahwa rata-rata curah
hujan selama lima tahun pada bulan Juli sebesar 0,22 mm, Agustus sebesar 2,42
mm, sedangkan pada bulan September sebesar 0,98 mm.
Nilai tambah berupa banyaknya peluang memberikan manfaat untuk sektor
lain atau peluang untuk menghasilkan produk turunan juga cukup diprioritaskan
setelah lahan, modal, dan pasar. Sudaryanto et al. 2005 menjelaskan bahwa
pengusahaan suatu komoditas tidak terlepas dengan tiga dimensi utama, yaitu
vertikal, horisontal, dan spasial. Dan nilai tambah dapat dipandang sebagai
dimensi vertikal seperti industri pengolahan hasil dan pedagang (distributor)
produk-produk yang dihasilkan, serta dimensi horisontal yang muncul melalui
sumberdaya khususnya lahan maupun melalui pasar (konsumsi). Sedangkan
dimensi spasial berkaitan dengan lokasi atau sebaran regional komoditas
tersebut.
Kriteria atau indikator yang paling kecil peranannya adalah preferensi atau
tingkat kesukaan terhadap komoditas untuk diusahakan. Artinya bahwa
46
preferensi bersifat relatif dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal,
seperti kestabilan harga, introduksi teknologi, maupun kebijakan pemerintah. Dari
in depth interview dengan petani terlihat juga bahwa budaya dan keamanan dari
hewan pengganggu berpengaruh dalam menentukan preferensi terhadap
komoditas yang akan diusahakan. Di Kabupaten Sumbawa sampai dengan saat
ini masih berlangsung budaya melepas ternaknya setelah musim panen.
Ditambah lagi dengan hewan pengganggu liar lainnya seperti babi hutan.
Kondisi-kondisi tersebut akan berpengaruh dalam pola pengusahaan komoditas.
Gambar 10 Skor masing-masing alternatif dalam penentuan prioritas komoditas unggulan daerah.
Hasil analisis AHP pada struktur alternatif (Gambar 10) menunjukkan
bahwa jagung lebih diprioritaskan untuk diusahakan dengan skor 0,33. Prioritas
komoditas selanjutnya berturut-turut adalah kacang hijau dengan skor 0,23,
kedelai dengan skor 0,19, cabe rawit dengan skor 0,16, serta ubi jalar dengan
skor 0,09.
Secara lengkap hasil analisis AHP untuk menentukan prioritas komoditas
unggulan daerah Kabupaten Sumbawa disajikan dalam hirarki pada Gambar 11.
0,33
0,19
0,23
0,09
0,16
Jagung Kedelai Kacang Hijau Ubi Jalar Cabe Rawit
Komoditas Unggulan
Skor
47
Gambar 11 Hirarki skor prioritas kriteria dan alternatif penentuan komoditas unggulan daerah Kabupaten Sumbawa.
Komoditas jagung menjadi prioritas utama untuk dikembangkan di
Kabupaten Sumbawa, terutama disebabkan oleh tingginya peluang permintaan
pasar dan tingkat kesesuaian lahan yang optimal (lihat sintesis detil dalam
Lampiran 9). Begitu juga dengan peluang peningkatan nilai tambah sehingga
memperbesar preferensi untuk diusahakan. Prospek pasar jagung baik ditingkat
domestik maupun dunia masih terbuka lebar, mengingat sampai saat ini
Indonesia hanya mampu sekitar sembilan puluh persen memenuhi kebutuhannya
dari produksi sendiri (Deptan 2007). Berdasarkan data tahun 2004-2007, trend
rata-rata luas panen jagung di Kabupaten Sumbawa terus mengalami kenaikan,
berturut-turut seluas 9.110 ha di tahun 2004, 12.240 ha tahun 2005, 13.075 ha
tahun 2006, dan 11.004 ha pada tahun 2007. Kondisi tersebut didukung oleh
kebijakan pemerintah pusat yang berupaya untuk swasembada jagung dengan
melaksanakan berbagai program kegiatan di daerah seperti perluasan areal
tanam dan sekolah lapang penerapan teknologi tepatguna (SLPTT). Sedangkan
dilihat dari sisi peluang nilai tambah, saat ini jumlah penggunaan jagung untuk
industri pakan lebih dari lima puluh persen, dan sisanya untuk industri pangan,
konsumsi langsung, dan penggunaan lainnya (Deptan 2007).
Menentukan Prioritas Komoditas Unggulan
Lahan
0,20
Nilai Tambah
0,18
Pasar
0,30
Modal
0,24
Preferensi
0,09
Kriteria
Alternatif
Tujuan
Jagung
0,33
Kedelai
0,19
Kacang Hijau
0,23
Ubi Jalar
0,09
Cabe Rawit
0,16
48
Prioritas kedua adalah kacang hijau. Hal ini dapat dilihat dari peluang pasar
yang stabil, tidak terlalu bergejolak di setiap musim. Berdasarkan data harga
pasar tahun 2004-2007, rata-rata harga kacang hijau terus menunjukkan
kenaikan dari Rp 4.875/kg di tahun 2004 sampai dengan Rp 7.120/kg tahun
2007. Kestabilan harga ini memacu peningkatan preferensi petani untuk
mengusahakan komoditas kacang hijau.
Komoditas kedelai menjadi prioritas ketiga setelah jagung dan kacang
hijau. Prioritas ini lebih besar disebabkan karena peluang peningkatan nilai
tambah. Namun dari segi kestabilan pasar yang diapresiasi dengan harga,
terlihat bahwa selama tahun 2004-2007, harga kedelai mengalami fluktuasi
dengan trend linear tetap pada kisaran harga Rp 4.300/kg. Secara nasional,
pengembangan kedelai terus digalakkan karena persentase pemenuhan
kebutuhan dalam negeri baru sekitar tiga puluh lima persen dan sisanya diimpor
(Deptan 2007).
Prioritas keempat adalah cabe rawit. Pengusahaan cabe rawit berdasarkan
analisis AHP menunjukkan kriteria apresiasi pasar yang rendah, dan data harga
selama tahun 2004-2007 menunjukkan fluktuasi yang sangat besar. Data harga
pada tahun 2004 adalah Rp 18.500/kg, tahun 2005 Rp 9.167/kg, tahun 2006
15.050/kg, dan tahun 2007 turun menjadi 9.230/kg. Sementara modal produksi
yang diperlukan juga cukup besar. Sedangkan komoditas ubi jalar menjadi
prioritas terakhir karena dari segi lahan ubi jalar biasanya ditanam pada lahan-
lahan kritis, apresiasi pasar rendah, dan diperlukan modal besar dalam
pengusahaannya, sehingga preferensi petani untuk mengusahakannya kecil.
5.3 Wilayah Pengembangan Komoditas
Pengembangan komoditas terkait erat dengan kemampuan suatu wilayah
dalam berproduksi baik dilihat dari keberlimpahan sumberdaya (luas panen dan
produksi) maupun dari karakteristik biogeofisik lahan yang dimiliki, serta orientasi
pasar sebagai daya tarik dalam berproduksi. Terkait dengan pemasaran produk
yang dihasilkan, maka kemampuan menawarkan produk (supply side) harus
mampu mengimbangi besarnya permintaan (demand side) pada komoditas
tersebut.
49
Wilayah Pengembangan Jagung
Kabupaten Sumbawa dengan suhu rata-rata tahunan 26-27oC dan curah
hujan rata-rata dapat mencapai 1.212 mm/tahun sesuai untuk pengembangan
jagung. Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) menyebutkan suhu >26-30oC
kelas kesesuaian lahannya adalah S2 (sesuai) yang ditunjang dengan curah
hujan 900-1.200 mm/tahun. Kesesuaian lahan ini memacu peningkatan produksi
hampir di setiap wilayah kecamatan (Gambar 12).
Gambar 12 Sebaran produksi jagung di Kabupaten Sumbawa
tahun 2008.
Produksi jagung di Kabupaten Sumbawa tahun 2008 telah mencapai
58.396 ton. Wilayah yang berperan penting dalam produksi jagung adalah
Kecamatan Labangka mencapai 28.244 ton dengan luas panen 7.549 ha. Diikuti
oleh Kecamatan Lunyuk sebesar 6.226 ton dengan luas panen 1.761 ha,
Plampang sebesar 4.867 ton dengan luas panen 1.353 ha, dan Utan sebesar
4.702 ton dengan luas panen 1.333 ha. Sedangkan kecamatan-kecamatan
lainnya memiliki luas panen di bawah 1.000 ha (lampiran 10).
Luas panen di atas 1.000 ha diharapkan akan mampu menyerap tenaga
kerja yang lebih banyak sehingga keunggulan sosial dapat lebih dirasakan
manfaatnya oleh lebih banyak petani. Disamping itu efisiensi ekonomi maupun
pengawasan dari segi pengendalian hama dapat lebih efektif. Untuk itu,
50
kecamatan-kecamatan yang dapat dijadikan sentra pengembangan jagung di
Kabupaten Sumbawa adalah Labangka, Plampang, Lunyuk, dan Utan.
Wilayah Pengembangan Kacang Hijau
Kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan kacang hijau di Kabupaten
Sumbawa berdasarkan suhu rata-rata tahunan 26-27oC adalah S1 (sangat
sesuai). Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) menyebutkan bahwa suhu rata-
rata tahunan 25-27oC, bulan kering 4-8 bulan, dan curah hujan 600-1.500
mm/tahun termasuk ke dalam kelas kesesuaian lahan S1 untuk komoditas
kacang hijau. Kesesuaian lahan ini diprediksi menjadi pemacu peningkatan
jumlah produksi kacang hijau terutama di wilayah-wilayah kecamatan bagian
timur dengan suhu yang lebih tinggi dari wilayah bagian barat. Sebaran produksi
kacang hijau di Kabupaten Sumbawa tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Sebaran produksi kacang hijau di Kabupaten Sumbawa tahun 2008.
Pengusahaan kacang hijau saat ini menyebar di semua kecamatan dengan
luas areal panen bervariasi. Produksi kacang hijau tahun 2008 di Kabupaten
Sumbawa mencapai 26.169 ton. Wilayah dengan produksi tinggi adalah
Kecamatan Moyo Hilir sebesar 4.815 ton dengan luas panen 5.048 ha, Empang
sebesar 3.601 ton dengan luas panen 3.864 ha, Lopok sebesar 3.648 ton
51
dengan luas panen 3.871 ha, dan Plampang sebesar 3.075 ton dengan luas
panen 3.236 ha. Sedangkan Kecamatan lainnya memiliki luas panen masing-
masing di bawah 2.000 ha. Luas panen di atas 2.000 ha diharapkan mampu
mencapai skala pengusahaan optimal karena produktivitas yang hanya sebesar
0,94 ton/ha. Dengan demikian, empat kecamatan tersebut dapat dijadikan
wilayah sentra produksi yaitu Kecamatan Moyo Hilir, Empang, Lopok, dan
Plampang.
Wilayah Pengembangan Kedelai
Dilihat dari segi kesesuaian lahan untuk kedelai, iklim di Kabupaten
Sumbawa dengan suhu rata-rata tahunan 26-27oC termasuk S2 (sesuai) dan
curah hujan 1.212 mm/tahun termasuk S1 (sangat sesuai). Hardjowigeno dan
Widiatmaka (2007) menyebutkan karakteristik suhu >25-28oC termasuk kelas
kesesuaian lahan S2 dan curah hujan 1.000-1.500 mm/tahun termasuk S1.
Pada tahun 2008, produksi kedelai di Kabupaten Sumbawa hanya sebesar
7.893 ton dengan luas areal panen 6.692 ha dan produktivitas 1,18 ton/ha.
Sementara pengusahaannya menyebar di sebagian besar wilayah kecamatan
dengan luas panen yang relatif kecil. Sebaran produksi kedelai tahun 2008 dapat
dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14 Sebaran produksi kedelai di Kabupaten Sumbawa tahun 2008.
52
Gambar 14 menunjukkan bahwa kedelai lebih banyak diproduksi di
kecamatan-kecamatan bagian barat, bagian selatan dan ujung timur Kabupaten
Sumbawa, sedangkan bagian tengah tidak begitu mengapresiasi komoditas
kedelai. Kecamatan-kecamatan yang berpotensi untuk dijadikan sentra
pengembangan adalah kecamatan-kecamatan dengan luas areal panen saat ini
lebih dari 100 ha. Hal ini mengingat tingkat produktivitas rata-rata hanya 1,18
ton/ha (Lampiran 12). Dengan areal yang lebih dari 100 ha diharapkan skala
manajemen produksi maupun pengawasan terhadap hama penyakit dan kendala
lain dapat lebih efektif. Kecamatan tersebut adalah Utan, Alas Barat, Alas,
Lantung, Buer, Empang, Ropang, Rhee, Lenangguar, Tarano, serta Lunyuk.
Wilayah Pengembangan Cabe Rawit
Kondisi iklim Kabupaten Sumbawa juga mendukung untuk pengembangan
cabe rawit. Cahyono (2003) menyatakan bahwa agar dapat berproduksi dengan
baik, cabe rawit memerlukan suhu tahunan rata-rata 18oC-30oC dengan curah
hujan berkisar 600-1.250 mm/tahun. Namun demikian cabe rawit memiliki
toleransi yang tinggi terhadap suhu udara panas (daerah kering) maupun udara
dingin (daerah curah hujan tinggi).
Gambar 15 Sebaran produksi cabe rawit di Kabupaten Sumbawa tahun 2008.
53
Gambar 15 menunjukkan bahwa saat ini cabe rawit lebih banyak
diusahakan di Kecamatan Buer dengan luas areal panen 186 ha dan mampu
berproduksi sebesar 1.258 ton, tetapi produktivitasnya masih kecil (6,76 ton/ha).
Kemudian diikuti oleh Kecamatan Batu Lanteh dengan luas areal panen 30 ha
dan produksi sebesar 417 ton dengan produktivitas 13,90 ton/ha. Selanjutnya
Kecamatan Plampang dengan produksi 248 ton, Tarano dengan produksi 210
ton, dan Labangka dengan produksi sebesar 150 ton (lampiran 13). Peningkatan
produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dapat diupayakan dengan
meningkatkan produktivitas dan perluasan areal panen di wilayah-wilayah
tersebut.
Wilayah Pengembangan Ubi Jalar
Kabupaten Sumbawa dengan suhu rata-rata tahunan 26-27oC termasuk
sesuai (S2) untuk pengembangan ubi jalar. Namun bulan kering selama 6 bulan
termasuk ke dalam sesuai marjinal (S3). Kondisi iklim yang kurang sesuai ini
menyebabkan produksi ubi jalar saat ini masih sangat terbatas.
Gambar 16 Sebaran produksi ubi jalar di Kabupaten Sumbawa tahun 2008.
Pada tahun 2008 Kabupaten Sumbawa hanya mampu berproduksi sebesar
656 ton. Bila dibandingkan dengan proyeksi kebutuhan konsumsi penduduk
Nusa Tenggara Barat tahun 2025 yang mencapai 13.476 ton maka peluang
54
untuk menawarkan produksi masih besar. Sebaran produksi ubi jalar tahun 2008
(Gambar 16) menunjukkan bahwa 13 dari 24 kecamatan tidak memproduksi ubi
jalar sama sekali. Hal ini mengindikasikan bahwa pengusahaan ubi jalar masih
memerlukan upaya yang lebih intensif untuk meningkatkan preferensi
masyarakat (lihat hasil analisis AHP).
Saat ini, ubi jalar banyak diusahakan di Kecamatan Labuhan Badas
dengan luas areal panen 12 ha dan mampu berproduksi sebanyak 136 ton,
diikuti oleh Batu Lanteh dengan luas areal panen 10 ha dengan jumlah produksi
sebesar 116 ton. Kemudian Sumbawa dengan luas areal panen 8 ha dengan
produksi 93 ton dan Buer dengan luas areal panen 6 ha dengan produksi
sebesar 69 ton. Sedangkan kecamatan lainnya luas panennya di bawah 5 ha
(lampiran 14). Dengan demikian Batu Lanteh, Labuhan Badas, Sumbawa, dan
Buer dapat dijadikan sentra pengembangan ubi jalar di Kabupaten Sumbawa.
5.4 Arahan Strategis Pengembangan
Sebagai bentuk perencanaan ke depan, kebijakan pengembangan
komoditas unggulan daerah agar dapat memenuhi permintaan pasar baik pasar
nasional maupun pemenuhan kebutuhan sendiri secara regional perlu
dirumuskan. Berbagai faktor dipertimbangkan secara komprehensif baik itu
potensi yang dimiliki, target yang harus diraih, sinergitas program secara
nasional, permasalahan yang dihadapi, maupun implikasi dari permasalahan
yang ada.
Pengembangan sektor pertanian terkait dengan target pembangunan
Kabupaten Sumbawa sebagai daerah agribisnis berdaya saing. Upaya yang
dilakukan adalah percepatan transformasi dari pola produksi yang hanya untuk
memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten) ke arah peningkatan produksi dan nilai
tambah yang berorientasi pasar. Terkait juga dengan sasaran jangka panjang
sektor pertanian yang diorientasikan pada: 1) Terwujudnya sistem pertanian
industrial yang berdayasaing, 2) Mantapnya ketahanan pangan secara mandiri,
3) Terciptanya kesempatan kerja penuh bagi masyarakat pertanian, dan 4)
Terhapusnya masyarakat pertanian dari kemiskinan (Deptan 2007).
Tingkat permintaan pasar diestimasi dengan besarnya konsumsi langsung
penduduk terhadap masing-masing komoditas. Sedangkan permintaan untuk
kebutuhan di luar konsumsi penduduk seperti industri pakan, industri pengolahan
55
hasil, kebutuhan benih, maupun besarnya stok penyimpanan tidak menjadi
bagian yang diperhitungkan dalam penelitian ini. Orientasi atau target pasar yang
dituju adalah pemenuhan kebutuhan konsumsi penduduk regional Nusa
Tenggara Barat pada tahun 2025. Target ini merupakan akhir masa rencana
pembangunan jangka panjang (RPJP).
5.4.1 Tingkat Konsumsi dan Kebutuhan Lahan
Besarnya permintaan terhadap komoditas unggulan dapat didekati dengan
mengalikan konsumsi perkapita terhadap jumlah penduduk. Dalam penelitian ini
konsumsi perkapita diambil dari survey sosial ekonomi nasional (SUSENAS)
tahun 2007. Sedangkan jumlah penduduk merupakan proyeksi jumlah penduduk
Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2025.
Tabel 10 Proyeksi kebutuhan konsumsi penduduk Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2025 terhadap komoditas unggulan Kabupaten Sumbawa
No. Komoditas Konsumsi
perkapita 2007 (kg/kap/tahun)
Proyeksi jumlah penduduk 2025
(orang)
Proyeksi konsumsi 2025
(ton/tahun)
1. Jagung 4,2 5.390.500 22.640
2. Kacang Hijau 0,6 5.390.500 3.234
3. Kedelai 8,6 5.390.500 46.358
4. Cabe Rawit 1,5 5.390.500 8.140
5. Ubi Jalar 2,5 5.390.500 13.476
Sumber: SUSENAS 2007 dan BPS, 2009 (diolah)
Tabel 10 menyajikan proyeksi kebutuhan konsumsi penduduk Provinsi
Nusa Tenggara Barat terhadap komoditas-komoditas unggulan daerah
Kabupaten Sumbawa pada tahun 2025 berdasarkan data konsumsi perkapita
tahun 2007. Berdasarkan proyeksi konsumsi tersebut maka dapat diketahui
kemampuan pemenuhan oleh Kabupaten Sumbawa dengan melihat tingkat
produksi yang ada saat ini. Kemampuan pemenuhan dihitung dengan indeks
kecukupan yang didefinisikan dengan cara membagi jumlah produksi terhadap
tingkat konsumsi masing-masing komoditas (Cowell dan Parkinson 2003).
56
Tabel 11 Indeks kecukupan produksi komoditas unggulan daerah Kabupaten Sumbawa (2008) terhadap kebutuhan konsumsi NTB (2025)
No. Komoditas Proyeksi konsumsi
NTB 2025 (ton/tahun)
Produksi 2008 (ton)
Indeks kecukupan
1. Jagung 22.640 58.396 2,58
2. Kacang Hijau 3.234 26.169 8,09
3. Kedelai 46.358 7.893 0,17
4. Cabe Rawit 8.140 3.260 0,40
5. Ubi Jalar 13.476 656 0,05
Tabel 11 menunjukkan bahwa kemampuan daerah Kabupaten Sumbawa
sampai dengan saat ini untuk memenuhi proyeksi kebutuhan pangan penduduk
Nusa Tenggara Barat tahun 2025 berbeda-beda untuk setiap komoditas
unggulan yang ada. Produksi kedelai, ubi jalar, dan cabe rawit masih berpeluang
untuk terus dikembangkan dengan memacu peningkatan produktivitas maupun
perluasan areal panen, karena dengan kondisi produksi saat ini belum mampu
untuk mencukupi kebutuhan konsumsi regional (indeks kurang dari satu).
Sedangkan untuk jagung dan kacang hijau sudah mampu melebihi kebutuhan
konsumsi secara regional (indeks lebih dari satu). Jagung dan kacang hijau
masih menjadi unggulan untuk dikembangkan walaupun indeks kecukupan
sudah lebih dari satu. Hal ini untuk mempertahankan kecukupan serta
mengantisipasi terjadinya perubahan permintaan pasar yang sangat dinamis.
Selain itu, keberlimpahan produksi yang ada dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan di luar konsumsi langsung penduduk maupun pemenuhan permintaan
pasar secara nasional.
Berdasarkan tingkat konsumsi dan produktivitas lahan yang ada maka
dapat dihitung kebutuhan lahan untuk memenuhi target produksi. Formula yang
digunakan adalah dengan membagi tingkat konsumsi komoditas dengan
produktivitas (Cowell dan Parkinson 2003).
𝐴 = 𝐶
𝑌
dimana:
𝐴 = luas areal lahan yang dibutuhkan (ha/tahun)
𝐶 = kebutuhan konsumsi (ton/tahun)
𝑌 = tingkat produktivitas (ton/ha)
57
Tabel 12 Kebutuhan lahan di Nusa Tenggara Barat untuk memenuhi tingkat konsumsi 2025 berbagai komoditas unggulan Kabupaten Sumbawa
No. Komoditas Konsumsi NTB
2025 (ton/tahun)
Produktivitas 2004-2007
(ton/ha)
Luas areal dibutuhkan (ha/tahun)
1. Jagung 22.640 2,49 9.092
2. Kacang Hijau 3.234 0,83 3.897
3. Kedelai 46.358 1,18 39.287
4. Cabe Rawit 8.140 4,97 1.638
5. Ubi Jalar 13.476 11,35 1.187
Jumlah 55.101
Tabel 12 menunjukkan total luasan areal yang dibutuhkan untuk
memproduksi komoditas yang menjadi unggulan di Kabupaten Sumbawa seluas
55.101 ha. Areal tersebut dapat dipenuhi dengan memanfaatkan lahan potensial
untuk pertanian lahan kering berdasarkan ZAE Kabupaten Sumbawa dengan
luas mencapai sekitar 87.428 ha serta pertanian lahan basah dengan luasan
potensial mencapai sekitar 108.171 ha.
Pemanfaatan lahan potensial baik lahan kering maupun lahan basah
tergantung kepada budaya dan tingkat teknologi yang digunakan. Namun
demikian, diharapkan lahan yang sudah dimanfaatkan sebagai sawah harus
tetap dipertahankan fungsinya. Hal ini mengingat struktur dan kriteria untuk
kesesuaian sawah sangat terbatas. Undang-undang nomor 41 tahun 2009
tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan menyebutkan bahwa
bahwa guna menjaga kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional
maka lahan untuk pangan pokok harus dilindungi dan dikembangkan secara
konsisten. Lahan sawah baik beririgasi maupun tidak beririgasi merupakan lahan
yang menghasilkan pangan pokok nasional yaitu beras. Apabila lahan tersebut
ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan maka dilindungi dan
dilarang untuk dialihfungsikan.
Persentase penggunaan lahan saat ini di Kabupaten Sumbawa terhadap
kebutuhan lahan di Nusa Tenggara Barat ditunjukkan pada Tabel 13.
58
Tabel 13 Persentase penggunaan lahan (2008) untuk komoditas unggulan di Kabupaten Sumbawa terhadap kebutuhan lahan di NTB (2025)
No. Komoditas Areal
dibutuhkan NTB (ha)
Areal digunakan Sumbawa (ha)
Persentase penggunaan (%)
1. Jagung 9.092 16.063 177
2. Kacang Hijau 3.897 27.956 717
3. Kedelai 39.287 6.692 17
4. Cabe Rawit 1.638 349 21
5. Ubi Jalar 1.187 57 5
Jumlah 55.101 50.990 93
Sampai dengan saat ini, Kabupaten Sumbawa hanya mampu memenuhi
kebutuhan lahan untuk jagung dan kacang hijau sedangkan kedelai, cabe rawit,
dan ubi jalar masih relatif terbatas. Hal ini juga ditunjukkan oleh nilai LQ jagung
dan kacang hijau yang lebih dari satu yang mengindikasikan bahwa kedua
komoditas tersebut menjadi basis di Kabupaten Sumbawa. Sedangkan kedelai,
cabe rawit, dan ubi jalar, nilai LQ masih kurang dari satu yang artinya bahwa saat
ini ketiga komoditas tersebut secara relatif tidak berbasis di Kabupaten
Sumbawa. Dengan demikian, diperlukan upaya peningkatan luasan lahan untuk
meningkatkan produksi kedelai, cabe rawit, dan ubi jalar. Hal ini masih
dimungkinkan karena luasan total untuk pertanian di Kabupaten Sumbawa
mencapai lebih dari 200.000 ha (Tabel 6).
5.4.2 Zona Agroekologi Potensial untuk Tanaman Pangan
Berdasarkan kemampuan produksi saat ini dan kebutuhan lahan maka
diperlukan perencanaan wilayah pengembangan masing-masing komoditas
dalam rangka memenuhi target produksi yang sesuai dengan kemampuan
wilayah. Penentuan wilayah pengembangan harus disesuaikan dengan
karakteristik biogeofisik lahan. Karakteristik biogeofisik lahan dapat dilihat dalam
peta zona agroekologi (ZAE) yang telah dikembangkan oleh Balai Besar
Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) Bogor. Peta ZAE merupakan peta
lahan yang telah dibagi ke dalam zona-zona berdasarkan keseragaman
karakteristik yang sesuai untuk pengembangan suatu komoditas.
59
Gambar 17 Sebaran zona agroekologi di Kabupaten Sumbawa.
Di Kabupaten Sumbawa terdapat tujuh zona agroekologi (Gambar 17)
dengan keterangan masing-masing zona dapat dilihat pada Lampiran 9. Zona
agroekologi tersebut, terdiri dari:
1. Zona I dengan kemiringan lereng >40% merupakan zona dengan sistem
kehutanan dengan vegetasi alami dengan luas sekitar 338.342 ha.
2. Zona II dengan kemiringan lereng 16-40% merupakan zona dengan sistem
perkebunan (budidaya tahunan), terdapat sub-Zona IIay dengan kelompok
komoditas utama yang direkomendasikan adalah tanaman keras penghasil
minyak, getah, dan buah-buahan dataran rendah dengan luasan sekitar
48.819 ha.
3. Zona III dengan kemiringan lereng 8-15% merupakan zona dengan sistem
wana tani, terdapat sub-Zona IIIay dengan kelompok komoditas utama yang
direkomendasikan adalah pepohonan dan perdu, palawija, dan padi ladang
dengan luasan sekitar 68.012 ha.
4. Zona III dengan sub-Zona IIIby, kelompok komoditas utama yang
direkomendasikan adalah pepohonan dan perdu, serta sayur-sayuran
dataran tinggi dengan luasan sekitar 13.624 ha.
60
5. Zona IV dengan kemiringan <8%, terdapat sub-Zona IVax1 dengan drainase
buruk merupakan zona dengan sistem pertanian lahan basah dengan
komoditas utama adalah padi sawah sekitar 94.200 ha.
6. Zona IV sub-Zona IVax2 dengan drainase baik dan kelembaban lembab,
merupakan sistem pertanian lahan kering dengan kelompok komoditas utama
adalah sayur-sayuran dataran tinggi, serealia, kacang-kacangan, dan umbi-
umbian sekitar 33.853 ha.
7. Zona IV sub-Zona IVay2, karakteristik sama dengan sub-Zona IVax2 hanya
berbeda pada kelembaban yang agak kering dengan luas sekitar 67.550 ha.
Zona agroekologi yang sesuai untuk tanaman pangan adalah Zona IVax2,
Zona IVay2, dan Zona IIIay serta Zona IVax1. Luasannya diperkirakan mencapai
263.615 ha. Pada Gambar 18 terlihat zona-zona tersebut menyebar di setiap
kecamatan.
Gambar 18 Sebaran zona potensial pengembangan komoditas unggulan daerah Kabupaten Sumbawa.
Berdasarkan penelitian Suratman dan Sudarta (2005), zona potensial
tersebut terdapat pada lahan dengan relief datar hingga bergelombang, sebagian
berbatu, utamanya di dataran volkan. Penyebarannya dijumpai pada landform
aluvial, fluvio-marin, antar perbukitan, kaki volkan, dan di dataran
61
tektonik/struktural. Komoditas tanaman pangan yang dapat dikembangkan antara
lain kacang hijau, kedelai, jagung, ketela, kacang tanah, bawang merah, cabai,
tomat, dan kacang panjang.
Namun demikian, zona potensial belum sepenuhnya dapat dikembangkan
sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya. Penggunaan lahan saat ini atau
kondisi eksisting lahan juga mempengaruhi arah pengembangan ke depan. Bila
diperhatikan pola penggunaan lahan di Kabupaten Sumbawa saat ini (Gambar
19), terdapat wilayah-wilayah yang potensial tetapi masih berupa hutan lahan
kering primer maupun sekunder seperti terdapat di Kecamatan Ropang, Lantung,
Lunyuk, Orong Telu, Plampang, dan Empang. Juga terdapat wilayah-wilayah non
potensial yang diperuntukkan bagi kehutanan dan perkebunan sudah
termanfaatkan untuk pertanian lahan kering dan campuran semak belukar,
seperti terlihat di kecamatan Moyo Hulu, Batu Lanteh, dan Tarano.
Gambar 19 Pola penggunaan lahan di Kabupaten Sumbawa berdasarkan citra Landsat tahun 2006.
Berdasarkan zona potensial dan pola penggunaan lahan saat ini yang
menyebar hampir disetiap wilayah kecamatan, maka domain spasial yang
dipergunakan dalam perencanaan wilayah pengembangan menggunakan
pendekatan regional. Wilayah perencanaan yang digunakan adalah batas
62
wilayah administrasi kecamatan, karena bentuk perencanaan di pemerintah
daerah menggunakan domain kecamatan sebagai lokasi suatu kegiatan yang
akan dilaksanakan.
5.4.3 Rumusan Strategi
Berbagai faktor dan analisis yang telah dilakukan melahirkan beberapa
arahan strategis pengembangan sektor pertanian Kabupaten Sumbawa berbasis
komoditas unggulan daerah. Arahan strategis tersebut dirumuskan sebagai
berikut:
a. Pengembangan komoditas jagung
Produksi jagung di Kabupaten Sumbawa tahun 2008 telah mencapai
58.396 ton. Jumlah produksi tersebut sudah melampaui proyeksi kebutuhan
konsumsi penduduk Nusa Tenggara Barat pada tahun 2025 yang hanya sebesar
22.640 ton. Artinya bahwa terjadi kelebihan produksi untuk konsumsi sekitar
35.000 ton (lihat Tabel 11). Kelebihan produksi jagung dibandingkan dengan
kebutuhan konsumsi pangan masih bisa diserap oleh sektor lain seperti industri
pakan ternak maupun industri olahan tepung yang tidak dipertimbangkan dalam
penelitian ini. Namun demikian, diperlukan upaya untuk menjaga kestabilan
pasar terutama harga agar tidak mengalami penurunan terutama pada saat
panen raya. Langkah yang diperlukan oleh pemerintah daerah sebagai fasilitator
adalah menjalin kontrak kerjasama penjualan dan pemasaran antara pengusaha
sebagai mitra dan petani sebagai pemilik lahan, serta meningkatkan aksesibilitas
pemasaran ke luar daerah.
Pengembangan jagung juga harus mengantisipasi kondisi-kondisi yang
tidak terduga seperti perubahan iklim, gagal panen karena hama penyakit,
bencana alam, maupun adanya perubahan pola konsumsi dan permintaan pasar
global. Sehingga diperlukan upaya untuk mengamankan jumlah produksi yang
ada. Hal ini terkait dengan implikasi kebijakan pengelolaan dan pengawasan
produksi di lapangan. Maka pengusahaan komoditas jagung lebih diarahkan
untuk dipusatkan di wilayah kecamatan yang saat ini menjadi sentra
pengembangan.
Wilayah yang dijadikan sentra pengembangan adalah Kecamatan
Labangka (7.549 ha), Lunyuk (1.761 ha), Plampang (1.353 ha), dan Utan (1.333
ha). Total luas penggunaan lahan di empat kecamatan tersebut seluas 11.996
ha, atau 137 persen dari kebutuhan lahan 9.092 ha. Artinya bahwa luasan
63
penggunaan lahaan saat ini tetap dipertahankan untuk memenuhi areal lahan
yang dibutuhkan dengan berupaya untuk meningkatkan produktivitas.
Produktivitas yang masih rendah (sekitar 2,5 ton/ha) dapat ditingkatkan
melalui intensifikasi berupa penggunaan benih unggul dan penerapan paket
teknologi tepat guna. Untuk itu, sinkronisasi dengan program pemerintah pusat
berupa bantuan langsung benih unggul (BLBU) dan sekolah lapang penerapan
teknologi tepat guna (SLPTT) jagung diharapkan menjadi pengikat kontrak
kerjasama dengan petani karena petani mendapatkan stimulus modal produksi.
b. Pengembangan komoditas kacang hijau
Produksi kacang hijau di Kabupaten Sumbawa saat ini mampu melampaui
proyeksi kebutuhan konsumsi penduduk Nusa Tenggara Barat tahun 2025.
Tahun 2008 Kabupaten Sumbawa memproduksi kacang hijau sebanyak 26.169
ton sedangkan proyeksi kebutuhan konsumsi penduduk Nusa Tenggara Barat
tahun 2025 hanya sebesar 3.234 ton. Hal ini karena konsumsi perkapita kacang
hijau sangat kecil hanya 0,6 kg/kap/tahun. Kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa pemasaran kacang hijau masih relatif stabil dengan tingkat preferensi
masyarakat yang tinggi. Kondisi ini mengindikasikan permintaan pasar di luar
konsumsi pangan secara langsung maupun permintaan pasar secara nasional
cukup tinggi.
Upaya penting yang diperlukan dalam menyerap tingginya produksi yang
ada adalah mengembangkan aksesibilitas pemasaran ke luar daerah. Kontrak
kerjasama dengan industri pengolahan pangan di luar daerah perlu difasilitasi
oleh pemerintah Kabupaten Sumbawa. Hal ini dikarenakan saat ini industri
pengolahan hasil di Kabupaten Sumbawa belum berkembang secara baik. Untuk
memenuhi standar industri maka kualitas produk penting untuk diperhatikan.
Dengan demikian pengawasan terhadap proses produksi harus lebih
diintensifkan. Upaya yang dapat dilakukan adalah intensifikasi pengawasan mutu
produksi dalam kawasan sentra pengembangan.
Wilayah yang dapat dijadikan sentra pengembangan adalah Kecamatan
Moyo Hilir (5.048 ha), Empang (3.864 ha), dan Lopok (3.871 ha), dan Plampang
(3.236 ha). Apabila luas penggunaan lahan pada empat kecamatan tersebut
tetap dipertahankan maka akan mampu memenuhi 411 persen dari kebutuhan
lahan untuk kacang hijau yang hanya sebesar 3.897 ha.
64
c. Pengembangan komoditas kedelai
Produksi kedelai di Kabupaten Sumbawa saat ini masih terbatas dalam
memenuhi proyeksi kebutuhan konsumsi penduduk Nusa Tenggara Barat pada
tahun 2025. Pada tahun 2008 Kabupaten Sumbawa hanya mampu memproduksi
kedelai sebanyak 7.893 ton sedangkan proyeksi kebutuhan konsumsi sebanyak
46.358 ton, sehingga masih berpeluang untuk meningkatkan jumlah produksi
sekitar lebih dari 38.000 ton sampai dengan tahun 2025.
Pengembangan kedelai mencakup wilayah yang lebih luas dibandingkan
dengan komoditas lainnya. Karena luas areal panen di masing-masing wilayah
tersebut masih kecil, maka diperlukan upaya lebih intensif untuk meningkatkan
preferensi petani dalam mengusahakannya. Misalnya dengan menerapkan pola
tumpang sari dengan tanaman lain seperti jagung maupun cabe rawit (Suparto et
al. 2007). Peningkatan areal panen masih dimungkinkan dengan ekstensifikasi.
Produktivitas yang masih rendah juga perlu ditingkatkan dengan intensifikasi
penggunaan benih unggul dan penerapan teknologi budidaya seperti
penggunaan mulsa jerami untuk mempertahankan kelembaban tanah serta
menggalakkan sistem pompa air baik untuk air permukaan maupun air tanah
karena keterbatasan ketersediaan air.
Wilayah pengembangan kedelai meliputi Kecamatan Utan (1.130 ha), Alas
Barat (835 ha), Alas (814 ha), Lantung (704 ha), Buer (701 ha), Empang (530
ha), Ropang (495 ha), Rhee (473 ha), Lenangguar (224 ha), dan Tarano (210
ha). Total luas penggunaan untuk kedelai pada sepuluh kecamatan tersebut
sebesar 6.116 ha atau 15,7 persen dari kebutuhan areal di Nusa Tenggara Barat
yang mencapai 39.287 ha.
d. Pengembangan komoditas cabe rawit
Cabe rawit sampai dengan saat ini masih berpotensi untuk dikembangkan,
mengingat proyeksi kebutuhan konsumsi penduduk Nusa Tenggara Barat tahun
2025 sebesar 8.140 ton belum terpenuhi secara maksimal jika hanya
mengandalkan luas areal panen yang ada sekarang ini. Pada tahun 2008
Kabupaten Sumbawa hanya mampu berproduksi sebesar 3.260 ton, sehingga
ada peluang untuk mengisi kesenjangan kebutuhan cabe rawit sekitar 5.000 ton.
Wilayah pengembangan cabe rawit di Kabupaten Sumbawa meliputi
Kecamatan Buer (186 ha), Batu Lanteh (30 ha), Plampang (13 ha), Tarano (4
ha), dan Labangka (12 ha). Total luas areal panen pada lima kecamatan tersebut
65
adalah 245 ha atau hanya 15 persen dari kebutuhan lahan untuk pengembangan
cabe rawit di Nusa Tenggara Barat yang mencapai 1.638 ha. Dengan demikian
upaya peningkatan luas areal panen dengan meningkatkan areal tanam dapat
dilakukan pada masing-masing kecamatan tersebut karena potensi lahan
pertanian yang tersedia masih besar. Produktivitas yang masih kecil juga dapat
ditingkatkan dengan menerapkan teknologi usaha tani yang lebih baik, sehingga
sangat diperlukan kerjasama usaha dalam suatu kelompok tani untuk
mengoptimalkan skala usaha tani. Pola tanam tumpang sari dengan jagung
ataupun komoditas lain dapat diterapkan untuk memaksimalkan sumberdaya
lahan. Upaya lain yang tidak bisa diabaikan adalah pengaturan waktu tanam
terutama untuk mengantisipasi lonjakan permintaan pada musim-musim tertentu
seperti lebaran dan akhir tahun.
e. Pengembangan komoditas ubi jalar
Produksi ubi jalar di Kabupaten Sumbawa saat ini masih sangat terbatas.
Produksi pada tahun 2008 hanya sebesar 656 ton, terpaut jauh dari kebutuhan
konsumsi penduduk Nusa Tenggara Barat tahun 2025 yang mencapai 13.476
ton. Hal ini lebih disebabkan karena kendala biogeofisik lahan berupa iklim yang
terlalu panas dengan bulan kering yang panjang.
Wilayah pengembangan ubi jalar meliputi Kecamatan Labuhan Badas (12
ha), Batu Lanteh (10 ha), Sumbawa (8 ha), dan Buer (6 ha). Sementara potensi
lahan yang tersedia di Kabupaten Sumbawa masih besar. Namun demikian,
pengembangan ubi jalar masih terkendala secara teknis seperti teknik budidaya
dan akses modal untuk sarana prasarana produksi.
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan areal panen antara lain
mengembangkan sumber air berupa sumur bor di kawasan pengembangan.
Karena modal produksi yang bertambah dengan penerapan teknologi, maka
diharapkan pengusahaan ubi jalar dilaksanakan secara berkelompok agar dapat
lebih efektif. Pemberdayaan kelompok tani juga mempermudah dalam akses
terhadap permodalan. Peran lembaga keuangan mikro menjadi semakin penting.
Untuk itu, perlu menumbuhkembangkan lembaga keuangan mikro yang langsung
bersentuhan dengan petani di daerah-daerah sentra pengembangan.
66
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Visi Kabupaten Sumbawa sebagai daerah agribisnis berdaya saing menuju
masyarakat sejahtera akan dapat terwujud apabila mampu menggali dan
memanfaatkan keunggulan potensi yang dimiliki secara bijak serta menerapkan
regulasi yang aplikatif. Dari berbagai analisis yang dilakukan dapat disimpulkan
bahwa:
1. Alternatif komoditas tanaman pangan unggulan Kabupaten Sumbawa
adalah jagung, kedelai, kacang hijau, ubi jalar, dan cabe rawit dengan
indikator keunggulan memiliki nilai ekonomi dan produktivitas yang lebih
besar dari rata-rata Nusa Tenggara Barat.
2. Prioritas pengembangan komoditas tanaman pangan unggulan tersebut
berdasarkan pertimbangan kesesuaian lahan, peluang nilai tambah,
permintaan pasar, kebutuhan modal, dan tingkat preferensi secara
berurut adalah jagung, kacang hijau, kedelai, cabe rawit, serta ubi jalar.
3. Tingkat produksi saat ini memberikan peluang pengusahaan jagung di
Kecamatan Labangka, Plampang, Lunyuk, dan Utan. Kacang hijau di
Kecamatan Moyo Hilir, Empang, Lopok, dan Plampang. Untuk kedelai,
cabe rawit, dan ubi jalar masih berpotensi untuk dikembangkan pada
areal yang lebih luas dan secara intensif untuk dapat memenuhi
kebutuhan konsumsi penduduk Nusa Tenggara Barat pada tahun 2025.
4. Produksi jagung dan kacang kedelai sudah mencukupi konsumsi
langsung dengan indeks kecukupan lebih dari satu. Untuk kedelai, cabe
rawit, dan ubi jalar, indeks kecukupan masih kurang dari satu. Sehingga
pengembangan jagung dan kacang hijau lebih ditekankan pada
aksesibilitas pemasaran ke luar daerah melalui kontrak kerjasama agar
harga dapat lebih terjamin. Untuk kedelai, cabe rawit dan ubi jalar,
pengembangannya dapat dilakukan dengan meningkatkan intensifikasi
berupa penggunaan benih unggul, penggunaan pompa air untuk
mengatasi keterbatasan air, pola tanam tumpang sari, dan
menumbuhkembangkan lembaga keuangan mikro di pedesaan.
68
6.2 Saran
Berbagai data empirik di lapangan dipandang perlu untuk diperhatikan
untuk pengembangan pertanian di Kabupaten Sumbawa. Untuk itu diajukan
saran sebagai berikut:
1. Dalam menentukan kawasan atau wilayah pengembangan jagung dan
kacang hijau, pola penggunaan lahan perlu dioptimasi secara spasial.
2. Pengembangan komoditas unggulan harus dilakukan secara terpadu dengan
melibatkan berbagai pihak terkait, terutama dalam mengembangkan
ketersediaan sarana dan prasarana produksi seperti jalan usaha tani,
konservasi lahan, maupun ketersediaan lembaga keuangan mikro.
DAFTAR PUSTAKA
Alphonche CB. 1997. Application of the Analythic Hierarchy Process in
Agriculture in Developing Countries. Agricultural System 53:97-112. Aswandi H, Kuncoro M. 2002. Evaluasi penetapan kawasan andalan: studi
empiris di Kalimantan Selatan 1993-1999. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia 17(1):27-45.
[BPS NTB] Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2008. Nusa
Tenggara Barat dalam Angka 2008. Mataram: BPS NTB. [BPS Sumbawa] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumbawa. 2008. Produk
Domestik Regional Bruto Kabupaten Sumbawa 2005-2007. Sumbawa: BPS Sumbawa.
Budirokhman D. 2006. Kajian pengembangan agroindustri tanaman perkebunan
skala kecil di Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat. Jurnal Agrijati 3(1):20-23.
Cahyono B. 2003. Cabe Rawit, Teknik Budidaya dan Analisis Usaha Tani.
Yogyakarta: Kanisius. Cowell SJ, Parkinson S. 2003. Localisation of UK food production: an analysis
using land area and energy as indicators. Agriculture, Ecosystems and Environment 94:221-236.
Dalgaard T, Hutchings NJ, Porter JR. 2003. Review Agroecology, Scaling and
Interdisciplinaraty. Agriculture, Ecosystems and Environment 100:39-51. Daryanto A. 2009. Posisi daya saing pertanian Indonesia dan upaya
peningkatannya. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani; Bogor, 14 Oktober 2009. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 2009.
[Deptan] Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis: Rangkuman Kebutuhan Investasi. Jakarta: Deptan.
Dinc M, Haynes KE, Tarimcilar M. 2003. Integrating models for regional
development decisions: A policy perspective. The Annals of Regional Science 37:31-53
[Diperta] Dinas Pertananian Tanaman Pangan Kabupaten Sumbawa. 2009.
Laporan Tahunan Dinas Pertanian Kabupaten Sumbawa Tahun 2008. Sumbawa Besar: Diperta.
Djaenudin D, Sulaeman Y, Abdurrachman A. 2002. Pendekatan pewilayahan
komoditas pertanian menurut pedo-agroklimat di Kawasan Timur Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 21(1).
Edwards CA, Grove TL, Harwood RR, Colfer CJP. 1993. The role of agroecology and integrated farming system in agriculture sustainability. Agriculture, Ecosystem and Environment 46:99-121.
Fauzi A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Firdaus M, Farid MA. 2008. Aplikasi Metode Kuantitatif Terpilih untuk Manajemen
dan Bisnis. Bogor: IPB Press. Gliessman SR. 2004. Integrating agroecological processes into cropping systems
research. Journal of Crop Improvement 11(1/2):61-80 and New Dimensions in Agroecology 61-80.
Hendayana R. 2003. Aplikasi metode location quotient (LQ) dalam penentuan
komoditas unggulan nasional. Informatika Pertanian Volume 12. Iqbal M. 2007. Analisis peran pemangku kepentingan dan implementasinya
dalam pembangunan pertanian. Jurnal Litbang Pertanian 26(3):89-99. Jamal E. 2009. Membangun momentum baru pembangunan pedesaan di
Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 28(1):7-14. Nurwahidah S. 2004. Analisis sektor unggulan dan kontribusi sektor pertanian
terhadap PDRB Kabupaten Sumbawa [tesis]. Yogyakarta: Program Pascasarjana, Universitas Gajah Mada.
Oddershede A, Arias A, Cancino H. 2007. Rural development decision support
using the analythic hierarchy process. Mathematical and Computer Modelling 46:1107-1114.
Rahim A, Hastuti DRD. 2008. Pengantar, Teori, dan Kasus Ekonomika Pertanian.
Jakarta: Penebar Swadaya. Reijntjes C, Haverkort B, Bayers AW. 2006. Pertanian Masa Depan: Pengantar
untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Sukoco Y, penerjemah; van de Fliert E, Hidayat B, editor. Jakarta: Kanisius. Terjemahan dari: Farming for The Future, An Introduction to Low-External-Input and Sustainable Agriculture.
Riyadi, Bratakusumah DS. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah: Strategi
Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rumayar TP, Kairupan AN, Hutahaean L, Femmi NF, Syafruddin. 2005.
Keragaan dan analisis komoditas unggulan perikanan umum berdasarkan zona agroekologi di Kabupaten Buol Sulawesi Tengah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 8(3):460-466.
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia.
Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan bagi para Pemimpin: Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. Setiono L, penerjemah; Peniwati K, editor. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. Terjemahan dari: Decision Making for Leaders: The Analythic Hierarchy Process for Decisions in Complex World.
Siahaan BR. 2003. Penentuan produk unggulan berbasis cassava dalam rangka
meningkatkan pendapatan industri kecil menengah (IKM) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sudaryanto T, Simatupang P, Kariyasa K. 2005. Konsep sistem usaha pertanian
serta peranan BPTP dalam rekayasa teknologi pertanian spesifik lokasi. Analisis Kebijakan Pertanian 3(3):349-366.
Suparto, Tafakresnanto C, Hendrisman M. 2006. Potensi pengembangan dan
alternatif teknologi pertanian di Kecamatan Buer, Nusa Tenggara Barat untuk mendukung prima tani. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian; Bogor, 14-15 September 2006. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2007. hlm 291–304.
Suratman, Sudarta N. 2005. Lahan potensial untuk pengembangan tanaman
pangan dan perkebunan di Pulau Sumbawa. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Sumber Daya Tanah dan Iklim; Bogor, 14-15 September 2004. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2005. hlm 61–74.
Syafa’at N, Friyatno S. 2000. Analisis dampak krisis ekonomi terhadap
kesempatan kerja dan identifikasi komoditas andalan sektor pertanian di wilayah Sulawesi: pendekatan Input–Output. Ekonomi dan Keuangan Indonesia XLVIII(4):369-394.
Syafruddin, Kairupan AN, Negara A, Limbongan J. 2004. Penataan sistem
pertanian dan penetapan komoditas unggulan berdasarkan zona agroekologi di Sulawesi Tengah. Jurnal Litbang Pertanian 23(2):61-67.
Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan
Pertanian. Jakarta: Bina Rena Pariwara. Tarigan R. 2008. Perencanaan Pembangunan Wilayah Edisi Revisi. Jakarta:
Bumi Aksara. Widodo T. 2006. Perencanaan Pembangunan: Aplikasi Komputer (Era Otonomi
Daerah). Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
LAMPIRAN
Lampiran 1
2004 2005 2006 2007 Rata-Rata 2004 2005 2006 2007 Rata-Rata
1 Padi 257,615 245,105 289,306 284,110 269,034 1,466,757 1,367,869 1,552,628 1,526,347 1,478,400
2 Jagung 20,541 29,936 33,892 30,904 28,818 71,275 96,458 103,963 120,612 98,077
3 Kedelai 11,865 12,416 11,730 7,374 10,846 91,495 106,682 108,639 68,419 93,809
4 Kacang Hijau 30,513 28,292 30,690 31,553 30,262 39,730 35,428 40,967 40,970 39,274
5 Kacang Tanah 4,870 4,780 4,582 2,345 4,144 49,227 43,398 43,956 32,913 42,374
6 Ubi Kayu 16,530 14,489 13,839 6,003 12,715 88,030 92,990 87,040 88,527 89,147
7 Ubi Jalar 1,253 1,561 1,557 469 1,210 20,886 19,430 19,076 13,007 18,100
8 Bawang Merah 4,960 3,017 2,135 8,112 4,556 77,237 81,369 85,682 90,181 83,617
9 Cabe Rawit 3,944 1,878 2,026 1,849 2,424 38,561 22,650 43,005 36,993 35,302
10 Mangga 16,893 20,362 23,301 24,685 21,310 50,376 66,012 67,057 103,015 71,615
11 Pepaya 476 467 4,893 4,460 2,574 8,174 9,996 7,891 14,107 10,042
12 Pisang 260 505 834 1,288 722 41,120 59,056 36,396 76,928 53,375
13 Sawo 1,622 1,687 2,009 2,257 1,894 2,976 3,169 3,479 5,878 3,876
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Sumbawa dan Dinas Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2009 (diolah)
Rata-Rata Produksi Komoditas Pangan di Kabupaten Sumbawa dan Provinsi Nusa Tenggara Barat
Berdasarkan Data Tahun 2004 - 2007
No. KomoditasProduksi (Ton) di Kabupaten Sumbawa Produksi (Ton) di Nusa Tenggara Barat
Lampiran 2
2004 2005 2006 2007 Rata-Rata 2004 2005 2006 2007 Rata-Rata
1 Padi 57,510 54,204 63,805 61,930 59,362 325,984 300,394 341,418 331,916 324,928
2 Jagung 9,110 12,240 13,075 11,004 11,357 33,140 39,380 40,617 42,955 39,023
3 Kedelai 9,357 9,957 10,100 5,824 8,810 75,658 89,230 95,278 56,901 79,267
4 Kacang Hijau 37,930 35,575 37,532 33,776 36,203 49,842 44,680 50,318 43,990 47,208
5 Kacang Tanah 4,159 3,965 3,684 1,854 3,416 41,020 35,214 34,860 25,488 34,146
6 Ubi Kayu 1,445 1,260 1,193 507 1,101 7,674 8,053 7,482 7,510 7,680
7 Ubi Jalar 111 137 136 41 106 1,852 1,702 1,693 1,135 1,596
8 Bawang Merah 593 367 252 616 457 8,958 10,136 9,938 9,776 9,702
9 Cabe Rawit 498 237 252 228 304 6,108 9,060 7,120 7,336 7,406
10 Mangga 2,333 2,808 3,120 3,284 2,886 4,812 5,460 6,321 7,819 6,103
11 Pepaya 15 15 153 139 80 121 147 139 133 135
12 Pisang 53 104 167 258 145 1,112 1,073 833 903 980
13 Sawo 249 259 303 337 287 505 294 237 364 350
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Sumbawa dan Dinas Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2009 (diolah)
Rata-Rata Luas Panen Komoditas Pangan di Kabupaten Sumbawa dan Provinsi Nusa Tenggara Barat
Berdasarkan Data Tahun 2004 - 2007
No. KomoditasLuas Panen (ha) di Kabupaten Sumbawa Luas Panen (ha) di Nusa Tenggara Barat
Lampiran 3
2004 2005 2006 2007 Rata-Rata 2004 2005 2006 2007 Rata-Rata
1 Padi 44.79 45.22 45.34 45.88 45.31 44.99 45.54 45.48 45.99 45.50
2 Jagung 22.55 24.46 25.92 28.08 25.25 21.51 24.49 25.60 28.08 24.92
3 Kedelai 12.68 12.47 11.61 12.66 12.36 12.09 11.96 11.40 12.02 11.87
4 Kacang Hijau 8.04 7.95 8.18 9.34 8.38 7.97 7.93 8.14 9.31 8.34
5 Kacang Tanah 11.71 12.06 12.44 12.65 12.21 12.00 12.32 12.61 12.91 12.46
6 Ubi Kayu 114.39 114.99 116.00 118.40 115.95 114.71 115.47 116.33 117.88 116.10
7 Ubi Jalar 112.91 113.94 114.49 114.25 113.90 112.78 114.16 112.68 114.60 113.55
8 Bawang Merah 83.64 82.21 84.72 131.69 95.57 86.22 80.28 86.22 92.25 86.24
9 Cabe Rawit 79.20 79.24 80.41 81.08 79.98 63.13 25.00 60.40 50.43 49.74
10 Mangga 72.42 72.51 74.68 75.16 73.69 104.70 120.90 106.08 131.74 115.85
11 Pepaya 319.89 311.33 320.20 320.31 317.93 672.97 680.03 569.35 1,057.99 745.09
12 Pisang 49.57 48.77 49.99 50.02 49.59 369.90 550.60 437.13 852.02 552.41
13 Sawo 65.19 65.15 66.41 67.04 65.95 58.92 107.77 147.07 161.34 118.77
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Sumbawa dan Dinas Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2009 (diolah)
Rata-Rata Produktivitas Komoditas Pangan di Kabupaten Sumbawa dan Provinsi Nusa Tenggara Barat
Berdasarkan Data Tahun 2004 - 2007
No. KomoditasProduktivitas (Kw/ha) di Kabupaten Sumbawa Produktivitas (Kw/ha) di Nusa Tenggara Barat
Lampiran 4
2004 2005 2006 2007 Rata-Rata 2004 2005 2006 2007 Rata-Rata
1 Padi 1.10 1.38 1.90 2.18 1.64 1.28 1.72 2.27 2.49 1.94
2 Jagung 1.50 1.55 1.79 2.06 1.72 1.26 1.11 1.51 2.05 1.48
3 Kedelai 4.75 3.72 3.64 4.84 4.24 3.38 3.22 2.74 4.07 3.35
4 Kacang Hijau 4.88 5.38 5.14 7.12 5.63 3.71 4.57 5.88 7.21 5.34
5 Kacang Tanah 6.63 7.38 9.93 11.36 8.82 6.18 6.13 7.09 10.62 7.50
6 Ubi Kayu 1.25 1.83 1.86 1.46 1.60 0.71 0.82 0.71 1.20 0.86
7 Ubi Jalar 1.08 1.72 1.92 1.86 1.64 0.77 0.82 0.84 1.36 0.95
8 Bawang Merah 3.20 5.39 5.82 6.25 5.17 4.24 5.79 6.72 6.95 5.93
9 Cabe Rawit 18.50 9.17 15.05 9.23 12.99 7.16 5.70 9.97 7.52 7.59
10 Mangga 2.50 4.71 1.61 5.44 3.56 2.02 4.06 2.24 4.00 3.08
11 Pepaya 2.63 3.81 2.52 2.33 2.82 1.66 2.13 2.42 3.06 2.32
12 Pisang 2.50 5.22 4.31 4.27 4.07 1.84 1.80 2.17 3.13 2.24
13 Sawo 5.00 6.12 4.25 6.15 5.38 3.24 2.75 3.33 3.62 3.23
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Sumbawa dan Dinas Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2009 (diolah)
Rata-Rata Nilai Ekonomi Komoditas Pangan di Kabupaten Sumbawa dan Provinsi Nusa Tenggara Barat
Berdasarkan Data Tahun 2004 - 2007
No. KomoditasNilai Ekonomi (Rp Juta/ton) di Kabupaten Sumbawa Nilai Ekonomi (Rp Juta/ton) di Nusa Tenggara Barat
Lampiran 5
No. Kode Stakeholders Nama Alamat Jabatan Pendidikan
1 P2 Pemda Iskandar D Olat Rarang Sumbawa Besar Kabid PPS Bappeda S2
2 P3 Pengusaha M. Aries Z.A. Jln. Mawar 25 Sumbawa Besar S2
3 P4 Petani Irham Bayurianto Dsn Serange Kec. Lopok Ketua Gapoktan Bini Laki SLTA
4 P5 Pemda Edy Isnaini Jln Cendrawasih Sumbawa Besar Kepala KKPPP S2
5 P6 Pemda Talifuddin BTN Bukit Permai Sumbawa Besar Sekretaris Dinas Pertanian S2
6 P7 DPRD Mustami H. Hamzah Desa Berare Kec. Moyo Hilir Pimpinan DPRD S1
7 P8 Pemda Sirajuddin Jln Cendrawasih Sumbawa Besar Kepala Dinas Pertanian S1
8 P9 Pemda Hj. Diana Jln Mangga IV No. 4 Kabid Ekonomi Bappeda S1
9 P10 Petani M. Saleh MS. Desa Kerato Kec. Unter Iwis - SMP
10 P11 Petani Syamsul Bahri Desa Jorok Kec. Unter Iwes Anggota KT Ganinggara DIII
11 P12 Petani Ismail Desa Karang Dima Kec. Lab. Badas Anggota KT Karya Jaya SMA
12 P13 Petani Sangan H. Maswarang Desa Serading Kec. Moyo Hilir Ketua KT Telaga Terong SLTA
13 P14 Petani Mappiase B. Desa Labu Kuris Kec. Lape Ketua KT Harap Untung SLTA
14 P15 Petani Hamdan Desa Sepakat Kec. Plampang Ketua KT Buin Telu S1
15 P16 Petani Mustakim Desa Maronge Kec. Maronge Ketua KT Kokar Samukung SMA
16 P17 Petani Malamadin Desa Empang Atas Kec. Empang Ketua KT Suka Jaya SMA
17 P18 Petani Ibrahim Desa Labu Jambu Kec. Tarano Ketua KT Swadaya S1
18 P19 Petani Munasib Desa Labangka Kec. Labangka Ketua KT Karya Makmur SMA
19 P20 Petani Fatahollah Desa Batu Bulan Kec. Moyo Hulu Ketua KT Mantapis SMA
20 P21 Petani Haris Desa Rhee Kec. Rhee Ketua KT Pasir Putih SMA
21 P22 Petani Muhammad AW. Desa Tengah Kec. Utan Ketua KT Mekar Jaya S1
22 P23 Petani M. Saleh IB. Desa Kalabeso Kec. Buer Ketua KT Seseng Jangi SMA
23 P24 Petani Bulirahman Desa Mapin Kebak Kec. Alas Barat Ketua KT Setia Tani S1
24 P25 Petani H. Begawan M Desa Luar Kec. Alas Ketua KT Pisang SMA
25 P26 Petani Ketut Mirje Desa Lunyuk Rea Kec. Lunyuk Ketua KT Kemang Kuyung SMP
Daftar Identitas Responden dalam Analisis AHP
Lampiran 6
Kriteria Prioritas (%) Alternatif Prioritas (%)
Lahan 19.5 Jagung 7.3
Kedelai 3.4
Kacang Hijau 4.5
Ubi Jalar 1.4
Cabe Rawit 2.9
Nilai tambah 17.5 Jagung 5.6
Kedelai 3.7
Kacang Hijau 4.1
Ubi Jalar 1.5
Cabe Rawit 2.7
Pasar 30.3 Jagung 13.7
Kedelai 4.9
Kacang Hijau 6.2
Ubi Jalar 1.9
Cabe Rawit 3.6
Modal 23.8 Jagung 5.6
Kedelai 4.8
Kacang Hijau 5.6
Ubi Jalar 3.0
Cabe Rawit 4.9
Preferensi 8.9 Jagung 3.1
Kedelai 1.5
Kacang Hijau 2.4
Ubi Jalar 0.7
Cabe Rawit 1.3
Sintesis Detil Prioritas pada Level Kriteria dan Alternatif dalam Analisis AHP
Lampiran 7
Umur 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
0-4 497.0 508.3 510.2 512.0 507.4 502.1 497.6 494.0 489.9 486.4 481.9 477.6 474.9 472.5 470.1 467.5 464.8
5-9 444.2 447.4 457.3 467.1 479.2 490.5 500.6 503.4 505.4 502.0 497.6 492.1 488.3 485.1 481.3 477.2 473.1
10-14 444.0 437.5 433.7 429.9 434.1 438.8 443.1 453.4 463.1 474.0 485.9 496.7 494.8 493.6 492.2 490.3 488.4
15-19 456.7 456.9 452.6 449.3 444.2 438.4 433.3 428.6 425.5 429.8 434.2 439.4 449.3 459.9 470.7 481.5 492.5
20-24 433.0 441.6 444.9 447.3 447.4 447.5 447.7 445.0 441.8 436.8 430.7 424.5 425.8 427.5 429.1 430.2 431.2
25-29 380.8 386.7 398.1 408.7 418.9 428.0 434.5 437.7 441.6 442.0 441.8 439.1 435.1 430.9 425.8 420.8 416.6
30-34 336.2 340.8 349.2 356.9 364.8 373.5 381.9 393.8 404.4 414.5 422.8 430.7 434.7 437.1 438.2 437.7 435.3
35-39 310.8 315.1 319.0 322.0 325.1 329.1 334.4 341.0 348.3 357.2 366.4 376.5 386.8 398.1 408.9 418.2 425.1
40-44 273.9 279.9 285.4 291.8 297.5 303.4 308.3 312.3 315.8 317.9 321.7 326.9 333.3 341.1 349.9 359.4 369.3
45-49 235.2 240.9 247.5 253.2 258.9 264.6 270.2 276.9 282.8 288.4 294.1 299.0 302.8 306.1 309.1 313.0 318.0
50-54 192.9 199.7 206.5 213.4 219.3 225.1 230.5 237.0 243.1 249.0 254.6 260.0 265.9 272.1 278.1 283.6 288.2
55-59 148.6 154.5 160.8 166.9 174.2 180.9 187.8 194.4 200.4 206.3 211.9 218.4 224.4 230.2 235.6 240.8 246.4
60-64 107.0 113.6 119.4 124.6 129.6 134.5 140.3 146.8 152.1 158.4 164.9 171.5 174.4 180.2 187.5 194.7 200.8
65-69 71.2 74.7 79.0 84.8 89.9 94.9 98.8 102.8 106.9 112.0 116.6 122.0 126.2 130.1 135.0 141.4 150.1
70-74 52.9 53.6 54.1 53.9 55.8 57.9 60.8 63.4 67.0 70.7 74.7 79.0 81.8 85.1 88.9 93.5 98.8
75+ 49.6 52.0 53.5 56.1 57.0 58.4 60.8 61.8 64.6 66.1 69.0 70.9 80.6 83.6 86.1 89.1 91.9
Total 4,434.0 4,503.2 4,571.2 4,637.9 4,703.3 4,767.6 4,830.6 4,892.3 4,952.7 5,011.5 5,068.8 5,124.3 5,179.1 5,233.2 5,286.5 5,338.9 5,390.5
Sumber: BPS, 2009
Proyeksi Penduduk Nusa Tenggara Barat Menurut Kelompok Umur
Tahun 2009-2025
(x 1000)
Lampiran 8
Zona Sub-Zona
I I 0 - 750 Panas Lembab Pegunungan, > 40 Udults, Ustults, Baik Kehutanan Vegetasi Alami
isohyper- Perbukitan, Udand, Ustands
thermic Volkan Tropepts
II IIay 0 - 750 Panas Agak kering Bukit Kapur, 16 - 40 Udults, Ustults, Baik Perkebunan Tanaman keras penghasil
Pegunungan, Uderts, Usterts, (budidaya tahunan) minyak, getah, dan buah-buahan
Perbukitan, Udalfs, Ustalf, dataran rendah
Volkan Udand, Ustands
III IIIay 0 - 750 Panas Agak kering Dataran, 8 - 15 Tropepts, Udands, Baik Wana tani Pepohonan dan perdu, palawija,
Bukit Kapur, Udalfs, Uderts, padi ladang
Volkan Udults
IIIby 750 - 2000 Sejuk Agak kering Pepohonan dan perdu, sayur-
sayuran dataran tinggi
IV IVax1 0 - 750 Panas Basah Aluvial < 8 Aquents, Aquepts, Buruk Pertanian lahan basah Padi sawah
IVax2 Lembab Volkan, Dataran Udand, Uderts, Baik Pertanian lahan kering Sayur-sayuran dataran tinggi,
IVay2 Agak kering Udults, Tropepts serealia, kacang-kacangan,
umbi-umbian
Kelompok Komoditas Utama
ZONA AGROEKOLOGI DAN ZONASI ALTERNATIF PENGEMBANGAN PERTANIAN DAN KEHUTANAN DI KABUPATEN SUMBAWA
SimbolElevasi (m) Rejim Suhu Kelembaban Fisiografi
Lereng
(%)
Sub-Ordo Tanah
(USDA)Drainase Sistem
Lampiran 9
No. Kecamatan Luas Panen (ha)Produktivitas
(ton/ha)
Jumlah Produksi
(ton)
1 Lunyuk 1,761 3.54 6,226
2 Orong Telu 50 3.36 168
3 Alas 116 3.50 406
4 Alas Barat 762 3.57 2,721
5 Buer 53 3.51 186
6 Utan 1,333 3.53 4,707
7 Rhee 263 3.50 920
8 Batu Lanteh 325 3.54 1,152
9 Sumbawa 191 3.57 682
10 Labuan Badas 735 3.58 2,632
11 Unter Iwes 119 3.55 423
12 Moyo Hilir 215 3.53 759
13 Moyo Utara 123 3.50 431
14 Moyo Hulu 107 3.52 377
15 Ropang 10 3.50 35
16 Lenangguar 15 3.53 53
17 Lantung 10 3.50 35
18 Lape 145 3.36 487
19 Lopok 47 3.49 164
20 Plampang 1,353 3.60 4,867
21 Labangka 7,549 3.74 28,244
22 Maronge 27 3.48 94
23 Empang 353 3.48 1,229
24 Tarano 401 3.49 1,398
Jumlah 16,063 3.64 58,396
Luas Panen, Produktivitas, dan Jumlah Produksi Jagung
di Kabupaten Sumbawa dirinci perkecamatan Tahun 2008
Lampiran 10
No. Kecamatan Luas Panen (ha)Produktivitas
(ton/ha)
Jumlah Produksi
(ton)
1 Lunyuk 664 0.93 620
2 Orong Telu 350 0.93 327
3 Alas 53 0.91 48
4 Alas Barat 472 0.93 438
5 Buer 314 0.92 288
6 Utan 1,489 0.89 1,329
7 Rhee 90 0.92 83
8 Batu Lanteh 200 0.89 177
9 Sumbawa 511 0.91 465
10 Labuan Badas 434 0.82 357
11 Unter Iwes 439 0.90 396
12 Moyo Hilir 5,048 0.95 4,815
13 Moyo Utara 332 0.87 290
14 Moyo Hulu 1,967 0.92 1,816
15 Ropang - - -
16 Lenangguar 10 0.80 8
17 Lantung 20 0.85 17
18 Lape 2,087 0.97 2,033
19 Lopok 3,871 0.94 3,648
20 Plampang 3,236 0.95 3,075
21 Labangka 139 0.94 130
22 Maronge 1,267 0.94 1,194
23 Empang 3,864 0.93 3,601
24 Tarano 1,099 0.92 1,014
Jumlah 27,956 0.94 26,169
Luas Panen, Produktivitas, dan Jumlah Produksi Kacang Hijau
di Kabupaten Sumbawa dirinci perkecamatan Tahun 2008
Lampiran 11
No. Kecamatan Luas Panen (ha)Produktivitas
(ton/ha)
Jumlah Produksi
(ton)
1 Lunyuk 172 1.04 179
2 Orong Telu 100 1.17 117
3 Alas 814 1.14 931
4 Alas Barat 835 1.26 1,056
5 Buer 701 1.15 809
6 Utan 1,130 1.23 1,394
7 Rhee 473 1.12 528
8 Batu Lanteh 25 1.08 27
9 Sumbawa 80 1.06 85
10 Labuan Badas 63 1.08 68
11 Unter Iwes 84 1.14 96
12 Moyo Hilir - - -
13 Moyo Utara 2 1.00 2
14 Moyo Hulu 46 1.11 51
15 Ropang 495 1.22 604
16 Lenangguar 224 1.10 246
17 Lantung 704 1.16 815
18 Lape 1 1.00 1
19 Lopok - - -
20 Plampang 2 1.00 2
21 Labangka - - -
22 Maronge 1 1.00 1
23 Empang 530 1.22 648
24 Tarano 210 1.11 233
Jumlah 6,692 1.18 7,893
Luas Panen, Produktivitas, dan Jumlah Produksi Kedelai
di Kabupaten Sumbawa dirinci perkecamatan Tahun 2008
Lampiran 12
No. Kecamatan Luas Panen (ha)Produktivitas
(ton/ha)
Jumlah Produksi
(ton)
1 Lunyuk 18 5.06 91
2 Orong Telu - - -
3 Alas 5 5.00 25
4 Alas Barat 8 11.63 93
5 Buer 186 6.76 1,258
6 Utan 6 5.50 33
7 Rhee 3 16.00 48
8 Batu Lanteh 30 13.90 417
9 Sumbawa 2 15.00 30
10 Labuan Badas 4 4.75 19
11 Unter Iwes 2 7.00 14
12 Moyo Hilir 6 10.17 61
13 Moyo Utara 7 12.14 85
14 Moyo Hulu 7 8.57 60
15 Ropang 6 6.00 36
16 Lenangguar 6 11.00 66
17 Lantung 3 10.67 32
18 Lape 10 9.40 94
19 Lopok 3 11.00 33
20 Plampang 13 19.08 248
21 Labangka 12 12.50 150
22 Maronge 2 22.00 44
23 Empang 6 18.83 113
24 Tarano 4 52.50 210
Jumlah 349 9.34 3,260
Luas Panen, Produktivitas, dan Jumlah Produksi Cabe Rawit
di Kabupaten Sumbawa dirinci perkecamatan Tahun 2008
Lampiran 13
No. Kecamatan Luas Panen (ha)Produktivitas
(ton/ha)
Jumlah Produksi
(ton)
1 Lunyuk - - -
2 Orong Telu - - -
3 Alas - - -
4 Alas Barat - - -
5 Buer 6 11.50 69
6 Utan 5 11.40 57
7 Rhee - - -
8 Batu Lanteh 10 11.60 116
9 Sumbawa 8 11.63 93
10 Labuan Badas 12 11.33 136
11 Unter Iwes 3 11.67 35
12 Moyo Hilir - - -
13 Moyo Utara - - -
14 Moyo Hulu 2 11.50 23
15 Ropang 2 11.50 23
16 Lenangguar 5 11.60 58
17 Lantung 2 11.50 23
18 Lape - - -
19 Lopok - - -
20 Plampang 2 11.50 23
21 Labangka - - -
22 Maronge - - -
23 Empang - - -
24 Tarano - - -
Jumlah 57 11.51 656
Luas Panen, Produktivitas, dan Jumlah Produksi Ubi Jalar
di Kabupaten Sumbawa dirinci perkecamatan Tahun 2008
Recommended