View
254
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan zaman membuktikan pemanfaatan obat tradisional dalam
populasi global dunia terus mengalami peningkatan. Badan Kesehatan Dunia
(WHO) menyebutkan bahwa hingga 65% penduduk negara maju menggunakan
obat tradisional sebagai pengobatan. Beberapa negara di Asia dan Afrika
menyebutkan ada 80% dari penduduknya yang bergantung pada obat tradisional
sebagai pengobatan primer (Anonim, 2005). Indonesia, melalui hasil riset kesehatan
dasar (riskesdas) tahun 2010 menyatakan bahwa 55,3% penduduknya
menggunakan ramuan obat tradisional (Jamu) untuk memelihara kesehatannya.
Sebanyak 95,6% mengakui ramuan obat tradisional yang digunakan sangat
bermanfaat bagi kesehatan.
Indonesia sebagai megacenter keragaman hayati dunia menduduki urutan
terkaya kedua dunia setelah Brasil. Jika biota laut ikut diperhitungkan akan menjadi
terkaya pertama di dunia. The Indonesian Country Study of Biodiversity
memaparkan sejumlah 25.000 sampai 30.000 spesies tumbuhan yang sudah
teridentifikasi di Indonesia. Zuhud dkk., (2003) mengidentifikasi ada 1845 spesies
tumbuhan yang potensial berkhasiat obat. Sementara BPOM telah mencatat 283
tumbuhan yang secara resmi diregistrasi sebagai obat herbal untuk penggunaan
medis.
Bungur atau Lagerstroemia speciosa Pers. merupakan salah satu tumbuhan
yang hidup di Indonesia. Bungur termasuk dalam suku Lythraceae yang memiliki
2
nama umum queen of flower. Secara empiris bungur banyak dimanfaatkan dalam
pengobatan berbagai penyakit (Ragasa dkk., 2005). Dekokta daun bungur
digunakan sebagai pengobatan diabetes melitus, diuretik, demam, dan purgatif serta
disfungsi saluran kencing. Bagian lain yang digunakan yaitu akar untuk mengobati
ulser pada mulut. Sementara kulit batang bungur digunakan sebagai stimulan,
penurun panas, dan untuk sakit perut (Chan dkk., 2014).
Penggunaan tumbuhan untuk pengobatan tidak bisa terlepas dari penelitian
terhadap kandungan senyawanya. Tumbuhan memiliki kandungan senyawa berupa
metabolit primer dan sekunder. Sebagian besar senyawa yang mempunyai efek
terapi merupakan metabolit sekunder dalam tumbuhan, seperti alkaloid, flavonoid,
tanin, terpenoid, dan saponin. Hasil penelitian tumbuhan bungur menyebutkan
bahwa kandungan senyawa seperti tanin dan terpenoid bertanggung jawab dalam
memberikan efek terapi. Kandungan lain dari bungur yaitu flavonoid belum banyak
dilakukan penelitian. Flavonoid merupakan golongan besar dari suatu senyawa
yang memiliki berbagai macam efek terapi. Beberapa diantaranya yaitu antibakteri
(Ambujakshi dkk., 2009), hipoglikemik (Hernawan dkk., 2004), antioksidan, dan
nefroprotektor (Priya dkk., 2007). Penelitian terhadap flavonoid yang sudah ada
yaitu melakukan identifikasi golongan flavonoid pada kulit batangnya.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian terkait flavonoid dalam tumbuhan
bungur perlu diperdalam mengingat potensi aktivitasnya cukup beragam. Penelitian
yang bisa dikembangkan yaitu melakukan eksplorasi flavonoid dalam daun bungur.
Daun merupakan bagian tumbuhan yang mudah diperoleh dan tersedia dalam
jumlah relatif banyak. Penyarian senyawa flavonoid yang optimal akan
3
memberikan pengaruh terhadap efek terapinya. Pemilihan metode penyarian yang
tepat akan memberikan kadar flavonoid yang tinggi. Pengetahuan terkait golongan
flavonoid memberikan andil besar dalam melakukan penyarian.
Oleh karena itu, fokus dalam penelitian ini ditujukan untuk menetapkan dan
membandingkan kadar flavonoid total dari dua metode ekstrasi, yaitu maserasi dan
infundasi. Selain itu juga melakukan identifikasi terhadap golongan senyawa
flavonoid yang terkandung dalam daun bungur. Keduanya menggunakan metode
spektrofotometri UV-Visibel.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan 2 masalah, yaitu:
1. Apakah ekstrak kental daun bungur hasil maserasi memberikan kadar flavonoid
total lebih tinggi dibandingkan ekstrak kental hasil infundasi?
2. Apa jenis golongan senyawa flavonoid yang terkandung dalam fraksi etil asetat
daun bungur?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mendapatkan data ilmiah daun bungur untuk keperluan penelitian lanjutan
dalam pengembangan obat herbal.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui metode ekstraksi yang efektif dalam mendapatkan kadar
flavonoid total.
4
b. Mengetahui golongan flavonoid yang terkandung dalam fraksi etil asetat
daun bungur.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan memberikan inspirasi dan motivasi kepada mahasiswa dalam
mencari dan mengeksplorasi penelitian tentang bahan alam. Bagi peneliti dan
akademisi akan memberikan data ilmiah daun bungur untuk dijadikan referensi
dalam melakukan penelitian lebih lanjut seperti melakukan isolasi dan elusidasi
struktur. Bagi industri bisa menjadi referensi dalam pengembangan formulasi
berbahan baku daun bungur supaya lebih efektif dan efisien.
E. Tinjauan Pustaka
1. Bungur
Bungur atau Lagerstroemia speciosa Pers. (sinonim dengan L. reginae, L.
flos-reginae, dan L. loudoni ) adalah tumbuhan anggota suku Lythraceae. Di
Indonesia jenis tumbuhan tersebut dikenal dengan nama bungur. Bungur
mempunyai beberapa nama lokal, antara lain di Sumatera : bungur tekuyung
(Palembang), bungur bener, bungur kuwal (Lampung); Jawa : bungur (Sunda),
ketangi, laban, wungu (Jawa), dan bhungor (Madura) (Heyne, 1987). Nama
umum di dunia internasional bagi bungur adalah queen of flowers (Orwa dkk.,
2009), untuk menggambarkan menarik dan berwarnanya bunga yang dimiliki.
Di India bungur dikenal dengan nama arjuna, bungur juga digunakan untuk
menyebut nama L. speciosa di Malaysia, ta-bak di Thailand, dan banaba di
Filipina.
5
a. Deskripsi
Tumbuhan ini banyak dijumpai sebagai peneduh jalan. Pohonnya
setinggi 10-30 m. Di Jawa, bungur dapat tumbuh sampai ketinggian ±800
m di atas permukaan laut. Selain itu, bungur banyak ditemukan pada
ketinggian di bawah 300 meter. Batang bulat dengan diameter kisaran 60
sampai 80 cm, percabangan mulai dari bagian pangkalnya, berwarna cokelat
muda. Kayunya agak ringan hingga cukup berat dan berstruktur agak padat,
berurat lurus, dan berwarna cokelat pudr hingga cokelat kemerah-merahan.
Kayu ini tahan terhadap serangga dan pengaruh cuaca (Heyne, 1987).
Daun tunggal, bertangkai pendek. Helaian daun berbentuk oval,
elips atau memanjang, tebal seperti kulit, panjang 9-28 cm, lebar 4-12 cm,
berwarna hijau tua. Bunga majemuk berwarna ungu, tersusun dalam mulai
yang panjangnya 10-50 cm, keluar dari ketiak daun atau ujung ranting.
Buahnya berbentuk bola sampai bulat memanjang, panjang 2-3,5 cm dan
beruang 3-7, buah yang masih muda berwarna hijau, setelah masak menjadi
cokelat. Ukuran biji cukup besar, pipih, ujung bersayap berbentuk pisau,
berwarna cokelat kehitaman (Dalimartha, 2003).
b. Taksonomi Bungur
Bungur dalam sistematika tumbuhan diklasifikasikan sebagai
berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
6
Sub Kelas : Dialypetalae
Bangsa : Myrtales
Suku : Lythraceae
Marga : Lagerstroemia
Jenis : Lagerstroemia speciosa Pers. (Heyne, 1987)
c. Penggunaan Empiris
Secara tradisional, daun, akar, korteks batang bungur telah
digunakan oleh nenek moyang kita sebagai obat untuk berbagai penyakit
(Ragasa dkk., 2005). Dekokta daun bungur digunakan sebagai pengobatan
diabetes melitus, diuresis, demam, dan purgatif serta disfungsi saluran
kencing. Daun bungur digunakan untuk pengobatan tradisional dalam
penyakit diabetes, poliurea, dan polidipsia (Garcia, 1940). Di Filipina, daun
dikonsumsi sebagai teh herbal untuk menurunkan level gula darah dan
penurun berat badan, sementara di India digunakan sebagai obat diabetes
(Park, 2011). Biji tumbuhan digunakan untuk pengobatan tekanan darah
tinggi, sedangkan kulit kayu bungur digunakan untuk pengobatan diare,
disentri, dan kencing darah. Tumbuhan ini umumnya digunakan sebagai
obat dalam bentuk rebusan atau infus (Dalimarta, 2000).
d. Kandungan Kimia
Berdasarkan hasil screening fitokimia kandungan dalam daun
bungur meliputi alkaloid, tanin, flavonoid, triterpenoid, sterol, dan saponin
(Trease dan Evans, 1989). Beberapa kandungan kimia dari daun bungur
telah berhasil diidentifikasi dan diisolasi, diantaranya yaitu dari ekstrak
7
aseton ditemukan 6 monomerik dan dimerik elagitanin (Flosin A dan B, dan
Reginin A, B, C, dan D), dan 3 elagitanin baru (lagerstanin A, B, dan C)
(Xu dkk., 1991). Selain itu, dari daun L. speciosa berhasil diisolasi
triterpenoid baru yaitu asam virgatat, asam korosolat, asam ursolat, dan β-
sitosterol glukosida (Okada dkk., 2003). Sejauh ini, lebih dari 40 senyawa
termasuk triterpen, tanin, asam elagat, glikosida, dan flavonoid telah
diidentifkasi dari daun L. speciosa. Asih dan Setiawan (2008), berhasil
mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa flavonoid golongan flavanon
pada ekstrak n-butanol kulit batang bungur. Struktur beberapa senyawa
kandungan bungur bisa dilihat pada gambar 1 dan gambar 2.
e. Aktivitas Biologik
Ekstrak air panas daun bungur mempunyai kemampuan menangkal
radikal bebas dan menghambat peroksidasi lemak dengan adanya
kandungan tanin sebesar 37% (Unno dkk., 2004). Aktivitas antibakteri dari
daun bungur telah dilaporkan mampu melawan S. aureus, B. subtilis, P.
aeruginosa, dan E. coli (Ambujakshi dkk., 2009). Berdasarkan penelitian
Hernawan dkk (2004), ekstrak air daun bungur menunjukkan aktivitas
hipoglikemik pada dosis 0,2 g/200 g BB dan 0,5 g/200 g BB. Selain itu
ekstrak air daun bungur juga menunjukkan aktivitas hipolipidemik pada
semua dosis perlakuan yaitu 0,1 g/200 g BB; 0,2 g/200 g BB, dan 0,5 g/200
g BB. Priya dkk. (2007, 2009) melakukan penelitian bahwa ekstrak daun
bungur dilaporkan memiliki aktivitas sebagai antioksidan, nefroprotektor,
hepatoprotektor, dan memilik aktivitas penangkap radikal bebas.
8
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 1. Kandungan kimia daun bungur golongan elagitanin.
(a) flosin A; (b) lagerstanin A; (c) lagerstanin B; (d) lagerstanin C
(a)
(b)
9
(c)
Gambar 2. Kandungan kimia daun bungur golongan triterpenoid.
(a) asam ursolat; (b) beta sitosterol; (c) asam korosolat
2. Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu komponen senyawa yang terkandung
dalam tumbuhan dan dapat ditemukan pada semua tumbuhan vaskuler. Istilah
flavonoid diberikan pada suatu golongan besar senyawa yang berasal dari
kelompok senyawa yang paling umum ditemukan, yaitu senyawa flavon.
Senyawa heterosiklik ini pada tingkat oksidasi yang berbeda terdapat dalam
kebanyakan tumbuhan. Flavon adalah bentuk yang mempunyai cincin C dengan
tingkat oksidasi paling rendah dan dianggap sebagai struktur induk dalam
nomenklatur kelompok senyawa-senyawa ini (Manitto, 1981). Flavonol dan
flavon merupakan senyawa yang tersebar luas dari semua pigmen tumbuhan
kuning (Robinson, 1995). Flavonol dan flavon yang terdapat dalam tumbuhan,
biasanya dalam bentuk O-glikosida. Kedua senyawa ini banyak terdapat pada
bagian daun dan bagian luar tumbuhan, dan hanya sedikit yang ditemukan pada
bagian tumbuhan yang ada di permukaan tanah (Hertog dkk., 1992).
a. Struktur Dasar Flavonoid
10
Flavonoid adalah komponen yang memiliki berat molekul rendah,
dan pada dasarnya adalah phenylbenzopyrones (phenylchromones) dengan
berbagai variasi pada struktur dasarnya, yaitu tiga cincin utama yang saling
melekat. Struktur dasar ini terdiri dari dua cincin benzen (A dan B) yang
dihubungkan melalui cincin heterosiklik piran atau piron (dengan ikatan
ganda) yang disebut cincin “C” (Middleton dkk., 2000). Senyawa flavonoid
adalah polifenol yang mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya,
yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, yaitu 2 cincin aromatik yang
dihubungkan oleh satuan tiga karbon yang dapat atau tidak dapat
membentuk cincin ketiga (Manitto, 1981; Markham, 1988). Kelas-kelas
yang berlainan dalam golongan flavonoid dibedakan berdasarkan cincin
heterosiklik-oksigen tambahan dan gugus hidroksil yang tersebar menurut
pola yang berlainan (Robinson, 1995).
Gambar 3. Struktur dasar flavonoid
b. Klasifikasi Flavonoid
Menurut Robinson (1995), falavonoid dapat dikelompokkan
berdasarkan keragaman pada rantai C3 yaitu:
1) Flavonol
11
Flavonol paling sering terdapat dalam bentuk glikosida, biasanya 3-
glikosida, dan aglikon flavonol yang umum yaitu kaemferol, kuersetin,
dan mirisetin. Flavonol lain yang terdapat di alam bebas kebanyakan
merupakan variasi struktur sederhana dari flavonol. Larutan flavonol
dalam suasana basa dioksidasi oleh udara tetapi tidak begitu cepat
sehingga penggunaan basa pada pengerjaannya masih dapat dilakukan.
Gambar 4. Struktur dasar flavonol
2) Flavon
Flavon berbeda dengan flavonol, pada flavon tidak terdapat gugusan
3-hidroksi. Bentuk glikosida flavon lebih sedikit dibandingkan dengan
glikosida dari flavonol. Flavon yang umum dijumpai, yaitu apigenin dan
luteolin. Flavon dianggap sebagai induk dalam nomenklatur kelompok
senyawa flavonoid.
Gambar 5. Struktur dasar flavon
12
3) Isoflavon
Isoflavon merupakan isomer flavon dan jumlahnya sangat sedikit.
Isoflavon berperan sebagai fitoaleksin yaitu senyawa pelindung yang
terbentuk dalam tumbuhan sebagai pertahanan terhadap serangan
penyakit. Isoflavon sukar dicirikan karena reaksinya tidak khas dengan
berbagai jenis pereaksi warna. Beberapa isoflavon, misal daidzein,
memberikan warna biru muda cemerlang dengan sinar UV bila diuapi
amonia, tetapi kebanyakan yang lain tampak sebagai bercak lembayung
yang pudar dengan amonia berubah menjadi cokelat.
Gambar 6. Struktur dasar isoflavon
4) Flavanon
Flavanon terdistribusi luas di alam. Flavanon terdapat di dalam
kayu, daun, dan bunga. Flavanon glikosida merupakan konstituen
utama dari marga prunus dan citrus. Glikosida yang paling lazim
ditemukan yaitu naringenin dan hesperidin yang terdapat dalam buah
anggur dan jeruk.
13
Gambar 7. Struktur dasar flavanon
5) Flavanonol
Senyawa ini berkhasiat sebagai antioksidan dan hanya terdapat
sedikit sekali jika dibandingkan dengan flavonoid lainnya. Pada
kebanyakan pustaka, flavanonol lebih sering disebut dihidroflavonol.
Gambar 8. Struktur dasar flavanonol
6) Katekin
Katekin terdapat dalam seluruh dunia tumbuhan, terutama pada
tumbuhan berkayu. Senyawa ini mudah diperoleh dalam jumlah besar
dari ekstrak kental Uncaria gambir dan daun teh kering yang
mengandung kira-kira 30% senyawa ini. Katekin berkhasiat sebagai
antioksidan.
14
Gambar 9. Struktur katekin
7) Leukoantosianidin
Leukoantosianidin merupakan senyawa tidak berwarna, terutama
terdapat dalam tumbuhan berkayu. Senyawa ini jarang terdapat sebagai
glikosida. Contohnya yaitu melaksidin dan apiferol.
Gambar 10. Struktur leukoantosianidin
8) Antosianin
Antosianin merupakan pewarna yang paling penting dan paling
tersebar luas dalam tumbuhan. Pigmen yang berwarna kuat dan larut
dalam air ini adalah penyebab hampir semua warna merah jambu, merah
marak, ungu, dan biru dalam daun, bunga, dan buah pada tumbuhan
tingkat tinggi. Secara kimia semua antosianin merupakan turunan suatu
struktur aromatik tunggal yaitu sianidin, dan semuanya terbentuk dari
15
pigmen sianidin ini dengan penambahan atau pengurangan gugus
hidroksil atau dengan metilasi atau glikosilasi.
Gambar 11. Struktur dasar antosianin
9) Khalkon
Khalkon adalah pigmen fenol kuning yang berwarna cokelat tua
dengan sinar UV bila dianalisis dengan kromatografi kertas. Khalkon
merupakan senyawa minor dari golongan flavonoid. Senyawa ini tidak
memiliki cincin C seperti flavonoid pada umumnya.
Gambar 12. Struktur dasar khalkon
10) Auron
Auron berupa pigmen kuning emas yang terdapat dalam bunga
tertentu dan bryophyta. Dalam larutan basa senyawa ini berwarna merah
ros dan tampak pada kromatografi kertas berupa bercak kuning, dengan
sinar ultraviolet warna kuning kuat berubah menjadi merah jingga bila
diuapi amonia.
16
Gambar 13. Struktur dasar auron
c. Sifat Kelarutan Flavonoid
Aglikon flavonoid adalah polifenol yang memiliki sifat kimia
senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam basa.
Tetapi harus diingat, bila dibiarkan dalam larutan basa, dan di samping itu
terdapat oksigen maka banyak yang akan terurai. Flavonoid bersifat polar
karena mempunyai sejumlah gugus hidroksil atau gula, maka pada
umumnya flavonoid cukup larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol,
butanol, aseton, dimetilsulfoksida (DMSO), dimetilformamida (DMF), air,
dan pelarut polar lain. Adanya gula yang terikat pada flavonoid (bentuk
yang umum ditemukan) cenderung menyebabkan flavonoid lebih mudah
larut dalam air sehingga campuran pelarut yang disebut di atas dengan air
merupakan pelarut yang lebih baik untuk glikosida. Sebaliknya, aglikon
yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon, dan flavon serta flavonol
yang termetoksilasi cenderung mudah lebih larut dalam pelarut seperti eter
dan kloroform.
d. Sifat Kimia Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa bersifat asam karena adanya gugus
hidroksi. Gugus hidroksi ini akan bereaksi dengan basa membentuk garam
fenolat, sehingga pada penambahan uap amonia atau Na+ warna berubah
17
menjadi kuning. Perubahan ini menyebabkan terjadinya pergeseran
batokromik dari spektrum senyawa yang mempunyai gugus orto dihidroksi
jika bereaksi dengan AlCl3 atau H3BO3 dan akan membentuk kompleks
khelat. Ion aluminium akan membentuk khelat berwarna kuning, ion besi
akan membentuk khelat berwarna cokelat, dan sitroborat akan berwarna
kuning. Kompleks yang terbentuk dari gugus orto dihidroksi bersifat
reversibel dengan penambahan HCl, sedangkan kompleks hidroksi karbonil
bersifat ireversibel (tetap). Gugus metoksi atau metil tidak dapat
membentuk kompleks dengan AlCl3 sehingga tidak terjadi pergeseran
batokromik (Harborne dkk., 1975; Mabry dkk., 1970; Pramono, 1994).
e. Isolasi Flavonoid
Isolasi flavonoid bisa dilakukan dengan menggunakan metode
kromatografi kertas (KKt) dan kromatografi lapis tipis (KLT). Metode
tersebut paling menguntungkan karena membutuhkan sampel yang relative
sedikit dengan waktu yang cukup singkat. Pemilihan fase gerak dan fase
diam dalam kromatografi dipengaruhi oleh tipe flavonoid (Markham, 1988).
Pemisahan flavonoid yang relatif non polar seperti aglikon-aglikon
dari isoflavon, flavon, dan flavonol yang termetoksilasi digunakan fase
diam silika gel. Pemisahan flavonoid yang cenderung polar seperti glikosida
menggunakan fase diam selulosa mikrokristal (Harborne, 1975).
f. Aktivitas Flavonoid
Flavonoid merupakan golongan senyawa fenol alam terbesar
(Harborne, 1987). Flavonoid memiliki kontribusi yang penting dalam
18
kesehatan manusia. Sejumlah tumbuhan obat yang mengandung flavonoid
telah dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan, antibakteri, antivirus,
antiradang, antialergi, dan antikanker (Miller, 1996). Beberapa penyakit
seperti aterosklerosis, kanker, diabetes, parkinson, alzheimer, dan
penurunan kekebalan tubuh telah diketahui dipengaruhi oleh radikal bebas
dalam tubuh manusia (Amic dkk., 2003). Menurut Markham (1988) yang
dikutip oleh Hertog dkk. (1992), disarankan agar mengkonsumsi beberapa
gram flavonoid tiap harinya. Flavonoid merupakan senyawa pereduksi yang
baik, menghambat banyak reaksi oksidasi, baik secara enzimatis maupun
non-enzimatis. Flavonoid bertindak sebagai penampung yang baik bagi
radikal hidroksi dan superoksida yang dengan demikian melindungi lipid
membran terhadap reaksi yang merusak. Aktivitas antioksidannya dapat
menjelaskan bahwa flavonoid tertentu merupakan komponen aktif
tumbuhan yang digunakan secara tradisional untuk mengobati gangguan
fungsi hati (Robinson, 1995).
3. Spektroskopi UV-Visibel pada Flavonoid
Teknik spektroskopi adalah salah satu teknik analisis kimia-fisika yang
mengamati tentang interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik.
Ada dua macam instrumen pada teknik spektroskopi yaitu spektrometer dan
spektrofotometer. Instrumen yang memakai monokromator celah tetap pada
bidang fokus disebut sebagai spektrometri. Apabila spektrometer tersebut
dilengkapi dengan detektor yang bersifat fotoelektrik maka disebut
spektrofotometer (Muldja, 1995).
19
Serapan molekul di dalam daerah ungu dan terlihat dari spektrum
bergantung pada struktur ultra elektronik dari molekul. Penyerapan sejumlah
energi menghasilkan percepatan dari elektron dalam orbital tingkat dasar ke
orbital yang berenergi lebih tinggi di dalam keadaan tereksitasi (Silverstein,
1986).
Beberapa istilah yang perlu diketahui dalam spektroskopi adalah:
a. Gugus kromofor
Merupakan suatu gugus kovalen tidak jenuh yang dapat menyerap radiasi
dalam daerah UV dan tampak.
b. Gugus auksokrom
Merupakan suatu gugus fungsional bersifat jenuh yang jika berada pada
suatu gugus kromofor akan menyebabkan timbulnya pergeseran puncak
serapan ke panjang gelombang yang lebih besar dan dapat juga
mempertinggi intensitasnya.
c. Pergeseran batokromik (pergeseran merah)
Merupakan pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih besar
disebabkan karena adanya substituen atau pengaruh pelarut.
d. Pergeseran hipsokromik (pergeseran biru)
Merupakan pergeseran gelombang kea rah panjang gelombang yang lebih
pendek.
e. Efek hiperkromik
Merupakan peristiwa bertambahnya intensitas serapan suatu gugus
kromofor.
20
f. Efek hipokromik
Merupakan peristiwa berkurangnya intensitas serapan suatu gugus
kromofor.
Flavonoid mempunyai sistem aromatik yang terkonjugasi sehingga
menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spectrum UV-Visibel (Harborne,
1987). Spektrum flavonoid biasanya ditentukan dalam larutan dengan pelarut
metanol atau etanol. Spektrum khas terdiri atas dua panjang gelombang
maksimal pada rentang 240 – 285 nm (pita II) dan 300 – 550 nm (pita I). Pita II
merupakan serapan dari cincin A (cincin benzoil) dan pita I merupakan serapan
dari cincin B (cincin sinamoil). Intensitas dari masing-masing serapan
tergantung pada panjangnya sistem terkonjugasi serta adanya substitusi
terutama pada kedudukan atom C3 dan C5.
Senyawa flavon yang mempunyai cincin sinamoil mengandung sistem
konjugasi lebih panjang daripada sistem benzoil sehingga intensitas puncak I
lebih kecil dibandingkan intensitas puncak II. Flavon dan flavonol yang
tersubstitusi oksigen pada cincin A, dalam metanol cenderung memberikan
spektra yang nyata pada pita II dan lemah pada pita I. Sebaliknya jika cincin B
tersubstitusi oksigen menyebabkan pita I akan kelihatan lebih nyata (Mabry
dkk., 1970). Daftar pita absorbsi UV dari semua flavonoid dapat dilihat dalam
Tabel I.
21
Tabel I. Pita absorbsi UV dari Flavonoid (Markham, 1988; Sujata, 2005)
Jenis Flavonoid Pita II (nm) Pita I (nm)
Flavon 250 – 280 310 – 350
Flavonol
(3-OH tersubstitusi)
250 – 280 330 – 360
Flavonol
(3-OH bebas)
250 - 280 350 - 385
Isoflavon 245 - 275 310 – 330 bahu
Isoflavon
(5-deoksi-6,7-dioksigenasi)
± 320 puncak
Flavanon 275 – 295 300 – 330 bahu
Flavan dan Dihidroflavonol 270 – 270 300 – 320
Khalkon 230 – 270
(kekuatan rendah)
340 – 390
Auron 230 – 270
(kekuatan rendah)
380 – 430
Antosianidin dan antosianin 270 – 280 465 – 560
4. Ekstraksi
Ekstraksi atau penyarian adalah proses penarikan zat yang dapat larut
dari bahan yang tidak dapat larut menggunakan pelarut cair. Menurut Winarno
dkk. (1973), ekstraksi merupakan cara untuk memisahkan campuran beberapa
zat menjadi komponen yang terpisah. Simplisia yang diekstrak mengandung
senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak larut seperti serat,
karbohidrat, protein, dan lain-lain. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai
simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid,
flavonoid, dan lain-lain. Struktur kimia yang berbeda-beda akan mempengaruhi
kelarutan serta stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap pemanasan, udara,
cahaya, logam berat, dan derajat keasaman. Dengan diketahuinya senyawa aktif
yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara
22
ekstraksi yang tepat. Hasil dari ekstraksi ini dapat berupa ekstrak kering, ekstrak
kental, atau ekstrak cair (Ditjen POM, 2000).
Proses penyarian dapat diefektifkan dengan pengadukan dan
pemanasan. Pengadukan menyebabkan perataan pelarut untuk mencapai zat
aktif dalam bahan. Sementara itu pemanasan menyebabkan pelarut lebih encer
sehingga meningkatkan kemampuannya untuk melarutkan zat aktif (Pramono,
2012).
Pemilihan pelarut atau cairan penyari yang tepat menjadi salah satu
faktor berhasilnya proses ekstraksi. Kriteria yang harus diperhatikan dalam
pemilihan cairan penyari yaitu murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisika
dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, dan
selektif. Selektif mempunyai maksud pelarut mampu menarik hanya zat
berkhasiat yang dikehendaki, tidak mempengaruhi zat berkhasiat, dan
diperbolehkan oleh peraturan (Depkes, 1986).
Polaritas pelarut merupakan poin penting kaitannya dengan daya larut.
Menurut Stahl (1969), indikator pelarutan pelarut dapat ditentukan dari nilai
konstanta dielektrik dan nilai polaritas pelarut, dan perbandingan kedua nilai
tersebut bersifat proporsional.
23
Tabel II. Nilai konstanta dielektrik berbagai zat pelarut
Konstanta Dielektrik Nama Zat Pelarut Polaritas
1,890
2,023
2,238
2,284
4,806
4,340
6,020
20,700
24,300
33,620
80,370
Petroleum ringan
Sikloheksan
Karbon tetraklorida
Trikloroetilen
Toluen
Benzen
Diklorometan
Kloroform
Etileter
Etilasetat
Aseton
n-Propanol
Etanol
Metanol
Air
Berbagai macam metode ekstraksi yaitu maserasi, infundasi,
perkolasi, sokletasi, dan refluks. Maserasi dan infundasi merupakan metode
ekstraksi yang cukup banyak digunakan baik skala kecil maupun besar
(industri).
a. Maserasi
Istilah maserasi berasal dari bahasa latin macerace yang artinya
mengairi, melunakkan dan merupakan metode ekstraksi paling sederhana.
Maserasi merupakan cara penyarian yang dilakukan dengan cara merendam
serbuk simplisia dalam cairan penyari. Maserasi termasuk metode ekstraksi
cara dingin. Proses perendaman dibarengi dengan beberapa kali pengocokan
atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Cairan penyari akan
menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung
zat aktif yang akan larut. Karena adanya perbedaan konsentrasi antara
24
larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel maka larutan terpekat didesak
ke luar. Metode ini paling sering digunakan untuk ekstraksi senyawa
bioaktif dalam tumbuhan. Umumnya digunakan untuk bahan tumbuhan
yang kadar senyawa bioaktifnya tinggi. Volume pelarut umumnya sebanyak
80 kali bahan untuk merendam tergantung kepada sifat bahan. Waktu
perendaman bervariasi tergantung sifat dari bahan apakah dari kategori
lunak atau keras. Namun umumnya berkisar antara 18 jam dan pada 6 jam
pertama dilakukan pengadukan. Proses penyarian diulangi sekurang-
kurangnya dua kali dengan jenis dan pelarut yang sama. Kerugian dari
metode ini yaitu ekstraksinya tidak dapat berjalan sempurna (Wahyono,
2012).
b. Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya dilakukan untuk
menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati.
Proses ini dilakukan pada suhu 900 C selama 15 menit. Jika pemanasan
dilakukan selama 30 menit disebut dekokta. Infundasi termasuk metode
ekstraksi cara panas (Ditjen POM, 2000). Infundasi menghasilkan sari yang
tidak stabil dan sangat mudah tercemar oleh kapang dan kuman, sehingga
sari yang diperoleh tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam atau segera dibuat
menjadi ekstrak kental. Metode ini lebih sederhana dan ekonomis dibanding
metode ekstraksi lainnya (Depkes RI, 1986). Alat yang digunakan dalam
proses infundasi adalah panci infusa. Panci infusa terdiri dari dua bagian,
25
yaitu panci A yang berisi bahan (simplisia) dan air dan panci B yang berisi
air dengan fungsi sebagai penangas air.
5. Kromatografi Lapis Tipis pada Flavonoid
Kromatografi adalah proses yang digunakan untuk memisahkan campuran
ke dalam komponennya untuk keperluan analisis, identifikasi kemurnian,
dan/atau kuantifikasi suatu senyawa (Sampietro dkk., 2009). Kromatografi
merupakan metode pemisahan komponen-komponen dari suatu campuran
berdasarkan perbedaan kecepatan migrasi komponen-komponen tersebut, yang
dibawa fase gerak, untuk melintasi fase diam (Skoog dkk., 2014).
KLT merupakan metode yang umum, sederhana, cepat, dan murah yang
memberikan informasi berapa banyak komponen yang ada dalam campuran..
Sejak awal tahun 1960, kromatografi lapis tipis (KLT) sudah digunakan untuk
analisis flavonoid. KLT menjadi metode pilihan dalam menganalisis herbal
sebelum teknik instrumental seperti kromatografi gas dan kromatografi cair
kinerja tinggi muncul. KLT sampai saat ini masih menjadi peralatan dasar
dalam identifikasi senyawa alam yang ada di berbagai farmakope. KLT sering
menyediakan informasi pertama dalam memberikan karakteristik khas suatu
herbal.
Kromatografi lapis tipis digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa
yang bersifat hidrofob seperti lipida-lipida ataupun hidrokarbon. Komponen
dalam melakukan kromatografi lapis tipis membutuhkan fase gerak, fase diam,
dan deteksi yang tepat.
26
a. Fase diam
Fase diam merupakan fase yang diam di tempat, baik pada kolom atau
permukaan planar (Skoog dkk, 2014). Silika gel dan selulosa merupakan
fase diam yang biasa digunakan dalam pemisahan kromatografi lapis tipis
(Gandjar dan Rohman, 2010)
1) Silika gel
Silika gel merupakan fase diam yang paling banyak digunakan baik
untuk kromatografi secara partisi maupun adsorpsi. Silika gel memiliki
struktur ikatan silika dan oksigen (siloksan) dan pemisahan terjadi
karena migrasi diferensial molekul sampel yang disebabkan oleh ikatan
hidrogen, interaksi dipol-dipol dan interaksi elektrostatik dengan silanol
(Si-OH).
Silika paling berguna untuk memisahkan aglikon yang kurang polar,
misalnya isoflavon, flavanon, metil flavon, dan flavonol (Markham,
1988).
2) Selulosa
Selulosa merupakan penyerap yang sangat cocok untuk memisahkan
senyawa yang bersifat hidrofilik. Mekanisme pemisahannya adalah
partisi fase normal dengan menyerap air sebagai fase diam
(Waksmundzka-Hajnos dkk., 2008).
Selulosa ideal untuk memisahkan glikosida yang satu dari glikosida
yang lain, glikosida dari aglikon, dan untuk memisahkan aglikon yang
27
kurang polar. Selulosa sering digunakan untuk identifikasi flavonoid
secara umum (Markham, 1988).
b. Fase gerak
Fase gerak dalam kromatografi lapis tipis bisa berupa pelarut
tunggal atau campuran dari pelarut yang akan bergerak maju melewati
pori-pori dari fase diam. Pelarut yang tepat untuk kromatografi dapat
diklasifikasikan berdasarkan polaritasnya. Jika fase diam yang
digunakan polar, fase gerak yang digunakan sebaiknya tidak lebih polar
dari fase diamnya. Sistem ini dinamakan sistem fase normal. Jika fase
diam bersifat non-polar, pemilihan fase geraknya baiknya lebih polar.
Sistem ini disebut sistem fase terbalik (Waksmundzka-Hajnos dkk.,
2008).
Fase gerak yang biasa digunakan pada KLT dengan fase diam
selulosa yaitu metanol 5%, asam asetat 15%, dan kombinasi n-butanol-
asam asetat glasial-air dalam berbagai perbandingannya (Markham,
1988).
c. Deteksi
Penampakan bercak setelah elusi menjadi data penting untuk
menentukan golongan senyawa. Setiap golongan senyawa memiliki
warna bercak yang khas.
28
Tabel III. Penafsiran warna becak dari segi struktur flavonoid (Markham, 1988)
Warna bercak di bawah sinar UV
366 Kemungkinan Jenis Flavonoid
Tanpa Uap
Amonia
Dengan Uap
Amonia
Lembayung gelap
Kuning, Hijau-
kuning, hijau
a. Biasanya 5-OH flavon atau flavonol
(tersulih pada 3-O dan mempunyai 4’-
OH).
b. Kadang-kadang 5-OH flavanon dan 4’-
OH khalkon tanpa OH pada cincin B.
Perubahan
warna sedikit
atau tanpa
perubahan
warna
a. Biasanya flavon atau flavonol tersulih
pada 3-O mempunyai 5-OH tetapi
tanpa 4’-OH bebas.
b. Beberapa 6- atau 8-OH flavon dan
flavonol tersulih pada 3-O dan
mengandung 5-OH.
c. Isoflavon, dihidroflavonol, biflavonil,
dan beberapa flavanon yang
mengandung 5-OH.
d. Khalkon yang mengandung 2’- atau 6’-
OH tetapi tidak mengandung 2- atau 4-
OH bebas.
Biru muda Beberapa 5-OH flavanon
Merah atau
jingga
Khalkon yang mengandung 2- dan/atau 4-
OH bebas
Fluoresensi biru
muda
Fluoresensi
hijau-kuning
atau hijau biru
a. Flavon dan flavanon yang tak
mengandung 5-OH
b. Flavonol tanpa 5-OH bebas tetapi
tersulih pada 3-OH.
Perubahan
warna sedikit
atau tanpa
perubahan
Isoflavon yang tak mengandung 5-OH
bebas.
Fluoresensi
mirip biru muda
Isoflavon yang tak mengandung 5-OH
bebas.
Tak Nampak Fluoresensi biru
muda
Isoflavon yang tak mengandung 5-OH
bebas.
29
Tabel III. Penafsiran warna becak dari segi struktur flavonoid (Lanjutan)
Warna bercak di bawah sinar UV
366 Kemungkinan Jenis Flavonoid
Tanpa Uap
Amonia
Dengan Uap
Amonia
Kuning redup dan
kuning atau
fluoresensi jingga
Perubahan
warna sedikit
atau tanpa
perubahan
Flavonol yang mengandung 3-OH
bebas dan ada atau tidak 5-OH bebas
(kadang-kadang berasal dari
dihidroflavonol)
Fluoresensi
kuning
Jingga atau
merah
Auron yang mengandung 4’-OH bebas
dan beberapa 2- atau 4-OH khalkon
Hijau-kuning,
hijau-biru, hijau
Perubahan
warna sedikit
atau tanpa
perubahan
a. Auron yang tak mengandung 4’-
OH bebas dan flavanon tanpa 5-
OH bebas.
b. Flavonol yang mengandung 3-OH
bebas dan disertai atau tanpa 5-OH
bebas.
Merah jingga
redup atau merah
senduduk
Biru Antosianidin 3-glikosida
Merah jambu atau
fluoresensi
kuning
Biru Sebagian besar antosianidin3,5-
glikosida
F. Data Empirik
Dari ekstrak kental daun bungur dapat diperoleh informasi tentang perbandingan
kadar flavonoid total antara metode maserasi dan infundasi. Selain itu, dari fraksi
larut etil asetat akan diketahui golongan senyawa flavonoid dan struktur parsialnya.
Recommended