View
230
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hipertensi merupakan faktor risiko utama pada penyakit kardiovaskular
dan cerebrovascular. Kerusakan organ target seperti jantung, otak, ginjal dan
pembuluh darah dapat terjadi akibat tingginya tekanan darah. Risiko relatif
terjadinya stroke dan penyakit jantung koroner meningkat sesuai dengan
meningkatkan tekanan diastolik dan tekanan sistolik (Prodjosudjadi, 2000).
Menurut WHO tekanan darah yang tidak optimal (tekanan darah sistolik >115
mmHg) dapat menyebabkan 7,1 juta kematian per tahun di dunia (Lawes dkk.,
2004).
Hipertensi merupakan penyakit kronis yang paling umum diderita oleh
penduduk di negara – negara barat. Manurut penelitian Nwankwo dkk (2013),
diperkirakan 1 dari 3 penduduk Amerika dewasa, atau sekitar 70 juta orang
menderita hipertensi. Walaupun demikian, hanya 52% penderita hipertensi yang
tekanan darahnya terkontrol dibawah 140/90 mmHg. Hipertensi yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan infark miokard, stroke, gangguan ginjal, dan
kematian (James dkk., 2009).
Hipertensi telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat
yang ada di Indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia. Kasus
hipertensi diperkirakan akan mengalami peningkatan terutama di negara
berkembang, dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000 menjadi 1,15 milyar
2
kasus di tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada angka penderita hipertensi saat
ini dan pertambahan penduduk saat ini (Armilawaty, 2007).
Di Indonesia masalah hipertensi cenderung meningkat. Hasil riset
kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyebutkan bahwa terjadi peningkatan
prevalensi hipertensi dari 7,6% pada tahun 2007 menjadi 9,5% pada tahun 2013
(Anonim, 2013). Peningkatan umur harapan hidup dan perubahan gaya hidup
diduga meningkatkan faktor risiko hipertensi (Setiawan, 2004). Penelitian
epidemiologi membuktikan bahwa hipertensi berhubungan secara linear dengan
morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular (Darmojo, 2000 ; Setiawan,
2006). Oleh sebab itu, penyakit hipertensi harus dicegah dan diobati. Hal tersebut
merupakan tantangan kita di masa yang akan datang.
Salah satu aktivitas farmasis pada pharmaceutical care adalah
mengidentifikasi drug related problem pada pasien dan bekerja sama dengan
tenaga kesehatan lain untuk merancang, menjalankan dan memonitor rancangan
terapi yang akan menyelesaikan drug related problem. Salah satu aspek pada drug
related problem adalah masalah yang berkaitan dengan kepatuhan terhadap
pengobatan (Cipolle dkk., 1998).
Identifikasi tingkat kepatuhan pasien dalam menggunakan obat terutama
pada pasien rawat jalan perlu dilakukan, mengingat pasien menggunakan obat
sendiri tanpa ada pengawasan dari tenaga kesehatan. Pengetahuan pasien yang
kurang mengenai obat dapat menimbulkan masalah seperti tidak efektifnya terapi
yang dijalani, minimnya kepatuhan pasien dalam konsumsi obat dan bahkan
3
mengakibatkan timbulnya risiko overdosis apabila obat tidak dikonsumsi tepat
dosis ( Notoadmodjo, 2003).
Alasan utama dari tidak terkontrolnya tekanan darah pasien hipertensi
adalah karena kegagalan pasien dalam menggunakan obat sesuai dengan yang
diresepkan. Penggunaan obat yang tepat meliputi kepatuhan, meminum obat
sesuai dengan dosis dan interval yang diresepkan dan melanjutkan pengobatan
sesuai dengan durasi terapinya, yang biasanya jangka panjang. Rendahnya
kepatuhan pasien hipertensi berhubungan dengan munculnya outcome yang
merugikan bagi pasien (Halpern dkk., 2006). Farmasis dapat berperan aktif dalam
meningkatkan outcome therapy pasien melalui identifikasi dan penyelesaian
terhadap problem non-compliance melalui program konseling serta edukasi
kepada pasien (Touchette, 2010).
Tingkat kepatuhan pasien terhadap pengobatan dapat diukur dengan
beberapa metode. Pada penelitian ini identifikasi kepatuhan pasien dilakukan
menggunakan instrument kuesioner Morisky Medication Adherence Scale
(MMAS-8) yang dikembangkan oleh Morisky dkk. Kuesioner ini telah diuji dan
memiliki reability yang tinggi yaitu 0.83 serta memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi (Morisky dkk., 2008).
Tingkat kepatuhan pasien terhadap pengobatan dipengaruhi oleh
beberapa hal misalnya : lupa, ketakutan terhadap efek samping, mahalnya biaya
pengobatan, regimen penggunaan obat yang kompleks, kurangnya edukasi,
rendahnya kualitas hidup, persepsi terhadap beratnya penyakit dan efektivitas
pengobatan, stress dan depresi, serta kurangnya support social (Albrecht, 2011).
4
Terapi farmakologi dengan menggunakan obat-obatan antihipertensi
yang dapat menurunkan tekanan darah dengan optimal merupakan satu-satunya
jalan untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular (Osterberg dan Blaschke,
2005). Tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap pengobatan berhubungan dengan
menurunnya mortalitas dan menurunnya kemungkinan pasien untuk dirawat di
rumah sakit (White, 2005). Alasan yang paling sering ditemui dalam kegagalan
terapi hipertensi adalah rendahnya kepatuhan penggunaan obat pada pasien
hipertensi (Yiannakopoulou, 2005). Ketidakpatuhan pasien dalam menggunakan
obat dapat berakibat pada memburuknya kodisi penyakit, kematian, dan
meningkatnya biaya pengobatan (Osterberg dan Blaschke, 2005).
Oleh karena kepatuhan penggunaan obat antihipertensi pada pasien
hipertensi penting, maka perlu dikaji permasalahan kepatuhan penggunaan obat
antihipertensi pada pasien hipertensi beserta alasan penyebab ketidakpatuhan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan informasi terkait
peningkatan kepatuhan terhadap terapi antihipertensi sehingga morbiditas dan
mortalitas akibat hipertensi dapat ditekan.
Jumlah penduduk meningkat, sejalan dengan peningkatan permintaan
layanan kesehatan. Salah satu upaya Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk
memenuhi permintaan layanan kesehatan adalah dengan mendirikan Rumah Sakit
Universitas Gadjah Mada (RS UGM). Secara geografis, RS UGM terletak di Jalan
Kabupaten (Lingkar Utara), Kronggahan, Trihanggo, Sleman, Yogyakarta
(Anonim, 2011). Dari data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, terdapat 22
Rumah Sakit dan serta 25 Puskesmas di Kabupaten Sleman. Banyaknya fasilitas
5
kesehatan ini ternyata masih belum mencukupi kebutuhan layanan kesehatan bagi
masyarakat (Anonim, 2012). Penelitian dilakukan di Poliklinik Rawat Jalan
Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada sebab rumah sakit tersebut merupakan
salah satu rumah sakit rujukan bagi pasien hipertensi di Kabupaten Sleman dan
sekitarnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran tingkat kepatuhan penggunaan obat pada pasien
hipertensi?
2. Apakah alasan yang menjadi penyebab ketidakpatuhan pada pasien
hipertensi?
3. Apakah terdapat hubungan antara jumlah item obat yang diresepkan dengan
tingkat kepatuhan pasien hipertensi?
C. Tujuan penelitian
1. Mengetahui gambaran tingkat kepatuhan penggunaan obat pada pasien
hipertensi dalam menggunakan obat.
2. Mengidentifikasi alasan penyebab ketidakpatuhan pada pasien hipertensi
berdasarkan kuesioner MMAS-8.
3. Mengetahui hubungan antara jumlah item obat yang diresepkan dengan
tingkat kepatuhan pasien hipertensi.
6
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi rumah sakit dan penyedia layanan kesehatan : dapat meningkatkan
kualitas pelayanan terkait dengan kepatuhan penggunaan obat pada pasien
hipertensi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
2. Bagi peneliti : mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh di bangku kuliah
serta melatih komunikasi dengan pasien.
3. Bagi pemerintah dan institusi pendidikan farmasi : sebagai salah satu
pedoman pembuatan kebijakan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan
terutama mengenai kepatuhan penggunaan obat pada pasien hipertensi.
4. Bagi masyarakat dan pasien : sebagai edukasi bagi pasien untuk tetap patuh
menggunakan obat dan juga untuk memperkenalkan profesi farmasi sebagai
drug informant kepada masyarakat.
7
E. Tinjauan Pustaka
1. Hipertensi
a. Definisi
Hipertensi didefinisikan dengan meningkatnya tekanan darah
arteri yang persisten (Sukandar, 2008). Menurut The Joint National
Committee 7 (JNC7), definisi hipertensi dinyatakan dengan tekanan
darah sistolik (TDS) ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) ≥90
mmHg. Tekanan darah normal menurut JNC 7 adalah TDS <120 mmHg
dan TDD <80 mmHg (Chobanian dkk., 2003). Pada JNC-7 (2003)
dikenal istilah „prehipertensi‟ untuk TDS 120-139 mmHg atau TDD 80-
89 mmHg, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran individu
yang bersangkutan akan risiko terjadinya hipertensi (Bandiara, 2008).
Klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7 dapat dilihat pada Tabel I
Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7 (Chobanian dkk., 2003)
Klasifikasi Tekanan darah sistolik (mmHg) Tekanan darah diastolic (mmHg)
Normal <20 dan <80
Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi tingkat 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi tingkat 2 ≥160 atau ≥100
8
b. Epidemiologi
Pada abad ke-21 ini diperkirakan terjadi peningkatan insiden
dan prevalensi penyakit tidak menular (PTM) secara cepat, yang
merupakan tantangan utama masalah kesehatan di masa yang akan
datang. Salah satu PTM yang menjadi masalah kesehatan yang sangan
serius adalah hipertensi yang disebut sebagai silent killer (Rahajeng
dan Tuminah, 2009). Apabila penyakit ini tidak terkontrol, dapat
menyebabkan infark miokard, stroke, gangguan ginjal dan kematian
(James dkk., 2014). Penelitian epidemiologi membuktikan bahwa
hipertensi berhubungan secara linear dengan morbiditas dan mortalitas
penyakit kardiovaskular (Darmojo, 2000; Setiawan, 2006).
Di Indonesia masalah hipertensi cenderung meningkat. Hasil
riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyebutkan bahwa
terjadi peningkatan prevalensi hipertensi dari 7,6% pada tahun 2007
menjadi 9,5% pada tahun 2013 (Anonim, 2013). Peningkatan umur
harapan hidup dan perubahan gaya hidup diduga meningkatkan faktor
risiko hipertensi (Setiawan, 2004). Berdasarkan hasil Riskesdas 2013
prevalensi hipertensi tertinggi terdapat di Sulawesi Utara (15%),
diikuti Kalimantan Selatan (13,1%), dan Daerah Istimewa Yogyakarta
(12,8%) (Anonim, 2013).
c. Etiologi
Etiologi hipertensi pada sebagian besar pasien belum
diketahui, baik hipertensi primer maupun sekunder. Hipertensi yang
9
tidak diketahui penyebabnya tidak dapat disembuhkan, namun dapat
dikontrol. Hanya sebagian kecil pasien yang mengalami hipertensi
dengan penyebab yang spesifik (hipertensi sekunder) (Dipiro dkk.,
2008).
Penyakit Hipertensi berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi
2 jenis yaitu :
1) Hipertensi primer atau esensial adalah hipertensi yang tidak atau
belum diketahui penyebabnya (terdapat pada kurang lebih 90 %
dari seluruh hipertensi). Hipertensi primer kemungkinan memiliki
banyak penyebab, beberapa perubahan pada jantung dan
pembuluh darah kemungkinan bersama-sama menyebabkan
meningkatnya tekanan darah (Armilawaty, 2007). Faktor genetik
kemungkinan memiliki peran penting pada perkembangan
hipertensi esensial (Dipiro dkk., 2008).
2) Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan atau
sebagai akibat dari adanya penyakit lain (kurang dari 10% dari
seluruh kasus hipertensi) (Armilawaty, 2007). Pada sebagian
besar kasus, disfungsi renal akibat gagal ginjal kronis merupakan
penyebab hipertensi sekunder yang paling umum. Obat-obatan
tertentu dapat meningkatkan tekanan darah sehingga
menyebabkan hipertensi atau memperburuk kondisi hipertensi,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Langkah pertama
dalam terapi hipertensi sekunder adalah dengan menghindari
10
faktor pemicu atau dengan mengobati komorbid yang menyertai
(Dipiro dkk., 2008).
d. Gejala Klinis
Hipertensi sering muncul tanpa gejala, terutama pada kasus
hipertensi primer. Namun terdapat beberapa gejala hipertensi yang
muncul yaitu sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah
kemerahan dan kelelahan (Armilawaty, 2007). Peninggian tekanan
darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala pada hipertensi
esensial dan tergantung dari tinggi rendahnya tekanan darah, gejala
yang timbul dapat berbeda-beda. Hipertensi esensial kadang muncul
tanpa gejala, kemudian gejala muncul setelah terjadi komplikasi pada
organ target seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung (Julius, 2008).
Penderita hipertensi sekunder dapat disertai gejala penyakit
yang menyertainya. Pada penderita hipertensi sekunder dengan
aldosteronemia primer, gejala yang mungkin terjadi adalah
hipokalemia, keram otot dan kelelahan. Penderita hipertensi sekunder
pada sindrom Cushing dapat mengalami peningkatan berat badan,
poliuria, edema, menstruasi yang tidak teratur, jerawat atau kelelahan
otot (Sukandar, 2008).
Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita
hipertensi mungkin tidak menunjukkan gejala secara bertahun-tahun.
Masa laten ini menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi
kerusakan organ yang bermakna. Apabila hipertensi tidak diketahui
11
dan tidak dirawat dapat mengakibatkan kematian karena gagal
jantung, infark miokardium, stroke atau gagal ginjal. Namun deteksi
dini dan perawatan hipertensi dapat menurunkan jumlah morbiditas
dan mortalitas (Julius, 2008).
e. Faktor Risiko
Munculnya hipertensi, tidak hanya disebabkan oleh tingginya
tekanan darah. Akan tetapi, ternyata juga karena adanya faktor risiko
lain seperti komplikasi penyakit dan kelainan pada organ target, yaitu
jantung, otak, ginjal, dan pembuluh darah (Armilawaty, 2007).
Faktor risiko utama pada penyakit kardiovaskuler menurut
JNC 7 antara lain hipertensi, kebiasaan merokok, obesitas (Body Mass
Index ≥30 kg/m3), kurangnya aktivitas fisik, dislipidemia, diabetes
melitus, microalbuminuria atau GFR<60 mL/menit, usia (pria >55
tahun, wanita >65 tahun) dan riwayat keluarga dengan penyakit
kardiovaskular prematur (pria berusia dibawah 55 tahun atau wanita
berusia dibawah 65 tahun) (Chobanian dkk., 2003).
Secara umum, faktor risiko terjadinya hipertensi dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
1) Faktor risiko yang yang tidak dapat dimodifikasi
a) Keturunan
Faktor genetik kemungkinan memiliki peran penting
pada perkembangan hipertensi (Dipiro dkk., 2008). Seseorang
yang memiliki riwayat keluarga dengan hipertensi memiliki
12
risiko lebih besar untuk terkena hipertensi daripada orang yang
tanpa riwayat keluarga dengan hipertensi (Julius, 2008).
Chobanian dkk (2003) menyebutkan bahwa seseorang dengan
riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular prematur
(pada pria yang berusia <55 tahun atau pada wanita berusia
<65 tahun) memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami
penyakit kardiovaskular.
b) Jenis kelamin
Jenis kelamin mempunyai pengaruh penting dalam
regulasi tekanan darah, karena terdapat kemungkinan bahwa
hormon sex mempengaruhi sistem renin angiotensin. Secara
umum tekanan darah pada laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan. Pada perempuan risiko hipertensi akan meningkat
setelah menopause yang menunjukkan adanya pengaruh
hormon (Julius, 2008).
c) Umur
Chobanian dkk (2003) menyebutkan umur merupakan
faktor resiko utama pada penyakit kardiovaskular. Pria yang
berusia lebih dari 55 tahun dan wanita yang berusia lebih dari
65 tahun memiliki risiko lebih besar untuk menderita
hipertensi. Hal ini dapat disebabkan karena elastisitas
pembuluh darah yang semakin menurun seiring dengan
bertambahnya umur.
13
2) Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a) Merokok
Merokok dapat meningkatkan beban kerja jantung dan
menaikkan tekanan darah. Nikotin yang terdapat dalam rokok
dapat meningkatkan penggumpalan darah dalam pembuluh
darah dan dapat menyebabkan pengapuran pada dinding
pembuluh darah. Nikotin bersifat toksik terhadap jaringan saraf
yang menyebabkan peningkatan tekanan darah baik sistolik
maupun diastolik, meningkatnya denyut jantung dan kontraksi
otot jantung, meningkatnya pemakaian oksigen, meningkatnya
aliran darah pada koroner dan vasokontriksi pada pembuluh
darah perifer (Gray, 2005).
b) Obesitas
Kelebihan lemah tubuh, khususnya lemak abdominal
erat kaitannya dengan hipertensi. Seseorang yang mengalami
obesitas (Body Mass Index ≥30 kg/m3) memiliki risiko lebih
besar untuk terserang penyakit kardiovaskular (Chobanian
dkk., 2003). Penurunan berat badan efektif untuk menurunkan
hipertensi. Penurunan berat badan sekitar 5 kg dapat
menurunkan tekanan darah secara signifikan (Izzo Jr dan
Black, 1999).
c) Asupan Natrium
14
Pengaruh asupan natrium terhadap timbulnya hipertensi
terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung, dan
tekanan darah (Suyono dkk., 2001). Konsentrasi natrium yang
berlebih menyebabkan konsentrasi natrium dalam cairan
ekstraseluler meningkat, untuk menormalkannya, cairan
intraseluler ditarik keluar sehingga volume cairan ekstraseluler
meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler
menyebabkan meningkatnya volume darah sehingga
berdampak pada timbulnya hipertensi (Saraswati, 2009).
f. Patofisiologi
Penelitian menunjukkan bahwa faktor yang bertanggung
jawab terhadap mekanisme terjadinya hipertensi bukanlah faktor
tunggal. Berbagai faktor ikut berperan baik faktor genetik maupun
faktor lingkungan. Tekanan darah merupakan hasil perkalian antara
curah jantung dan resistensi perifer, sehingga semua faktor yang
mempengaruhi curah jantung dan resistensi perifer dapat
meningkatkan tekanan darah (Prodjosudjadi, 2000).
Hingga saat ini belum diketahui secara pasti mengenai
patofisiologi hipertensi. Sebagian kecil dari pasien (antara 2% hingga
5%) dengan penyakit ginjal atau adrenal yang diduga sebagai
penyebab dari meningkatknya tekanan darah pasien. Namun hingga
saat ini belum ditemukan penyebab yang jelas dari hipertensi esensial.
Terdapat kemungkinan adanya beberapa faktor yang saling
15
berhubungan yang mengakibatkan meningkatnya tekanan darah pada
pasien hipertensi. Beberapa faktor yang sedang banyak dipelajari
adalah intake garam yang berlebih, obesitas, resistensi insulin, sistem
renin–angiotensin dan sistem saraf simpatik. Beberapa tahun terakhir,
mulai diteliti faktor lain seperti faktor genetik, disfungsi endothelial,
berat badan bayi rendah, nutrisi selama kehamilan dan anomali
neurovaskuler (Beevers dkk., 2001).
g. Diagnosis
Sebelum melakukan pengobatan, diagnosis hipertensi harus
ditegakkan lebih dahulu. Selain pengukuran tekanan darah secara
berulang, anamnesis tentang riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium penunjang diperlukan untuk menegakkan
diagnosis hipertensi. Pemeriksaan penunjang seperti EKG, urinalisis,
kadar gula darah, fungsi ginjal, serta profil lemak diperlukan dalam
kerangka diagnosis hipertensi (Bandiara, 2008).
h. Terapi
Apabila diagnosis hipertensi telah ditegakkan, maka
pengobatan dapat dimulai dengan terapi non-farmakologik. Terapi
non-farmakologik antara lain mengurangi asupan garam, olah raga
teratur, menghentikan rokok dan mengurangi berat badan (Bandiara,
2008). Perubahan gaya hidup dapat menurunkan tekanan darah,
derajat penurunan tekanan darah bervariasi pada setiap orang namun
efeknya bersifat sinergis (Anonim, 2010). Rekomendasi perubahan
16
gaya hidup beserta variasi penurunan tekanan darahnya dapat dilihat
pada Tabel II.
Tabel II . Rekomendasi perubahan gaya hidup dan variasi penurunan tekanan
darahnya (Anonim, 2010)
Intervensi Rekomendasi Penurunan tekanan darah
sistolik yang diharapkan
(range)
Penurunan berat badan Mencapai body mass index
ideal (20-25 kg/m2)
5-10 mmHg per penurunan
10 kg berat badan
Diet Memperbanyak konsumsi
buah, sayur dan serat namun
rendah lemak
8-14 mmHg
Mengurangi asupan
Natrium
<100 mmol/hari (<6 g NaCl
atau <2.4 g Natrium per hari)
2-8 mmHg
Aktivitas fisik Aktivitas fisik rutin, misalnya
berjalan minimal 30 menit per
hari selama 5 hari dalam 1
minggu
4-9 mmHg
Pengurangan konsumsi
alcohol
<3 unit per hari untuk pria dan
<2 unit per hari untuk wanita
2-4 mmHg
Tujuan utama dari terapi antihipertensi adalah berkurangnya
morbiditas dan mortalitas renal dan kardiovaskular (Chobanian dkk.,
2003). Menurut JNC VIII, bagi pasien yang berusia ≥60 tahun terapi
farmakologi dimulai saat TDS ≥150 mmHg atau TDD ≥90 mmHg
dengan target tekanan darah TDS ≤150 mmHg dan TDD ≤90 mmHg.
Pada pasien yang berusia <30 tahun, target tekanan darahnya adalah
<140/90 mmHg (James dkk., 2014).
Obat – obatan antihipertensi yang dapat digunakan antara lain
Angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEIs), Angiotensin
receptor blockers (ARBs), beta-blockers (BBs), calcium channel
blockers (CCBs), dan diuretik tiazid. Diuretik tiazid merupakan
antihipertensi dasar yang digunakan pada terapi awal pada sebagian
17
besar pasien hipertensi, baik digunakan secara tunggal maupun
kombinasi dengan ACEI, ARB, BB ataupun CCB (Chobanian dkk.,
2003). Algoritma terapi hipertensi menurut JNC-7 dapat dilihat pada
gambar 1.
Modifikasi gaya hidup
Tidak mencapai target tekanan darah (<140/90 mmHg)
(<130/80 mmHg bagi pasien dengan diabetes atau penyakit ginjal kronis)
Pilihan obat lini pertama
Tanpa penyakit penyerta Dengan penyakit penyerta
Tidak mencapai target tekanan darah
Optimalkan dosis atau tambahkan obat lain sehingga mencapai tekanan darah target.
Pertimbangkan untuk konsultasi dengan spesialis hipertensi.
Gambar 1. Algoritma terapi hipertensi menurut pedoman JNC-7
(Chobanian dkk., 2003)
Terapi untuk
penyakit penyerta
Obat antihipertensi
lain (diuretik, ACEI,
ARB, BB, CCB)
sesuai dengan
kebutuhan
Hipertensi tingkat
2
TDS ≥160 mmHg
atau TDD ≥ 100
mmHg
Kombinasi dua
macam obat
(diuretik Tiazid dan
ACEI, atau ARB,
atau BB, atau CCB)
Hipertensi tingkat 1
TDS 140-159
mmHg atau TDD
90-99 mmHg
Diuretik Tiazid,
atau kombinasi
ACEI, ARB, BB,CCB.
18
Pada banyak kasus hipertensi, terapi kombinasi dapat
meningkatkan tingkat penurunan tekanan darah dan mempersingkat
waktu yang diperlukan untuk mencapai tekanan darah target. Namun
terapi kombinasi memiliki kekurangan yaitu meningkatnya biaya
pengobatan, meningkatkan risiko efek samping dan risiko interaksi
obat. Pasien hipertensi dengan penyakit penyerta lain seperti diabetes,
gagal jantung atau penyakit ginjal dapat memperoleh efek yang
menguntungkan dari terapi kombinasi, terutama saat target tekanan
darah tidak dapat tercapai dengan monoterapi (Frank, 2008).
Tabel III. Panduan terapi kombinasi pada pasien hipertensi dengan penyakit
penyerta menurut JNC-7 (Chobanian dkk., 2003)
Penyakit penyerta Rekomendasi Obat
Gagal jantung Diuretik, BB, ACEI, ARD, Antagonis aldosteron
Postmyocardial infarction BB, ACEI, antagonis aldosteron
High coronary disease risk Diuretik, BB, ACEI, CCB
Diabetes Diuretik, BB, ACEI, ARB, CCB
Penyakit ginjal kronis ACEI, ARB
Pencegahan kekambuhan stroke Diuretik, ACEI
2. Kepatuhan pasien
Kepatuhan pada pengobatan didefinisikan sebagai kepatuhan pasien
secara sukarela untuk menggunakan obat sesuai dengan instruksi dari dokter.
Hal ini meliputi pengetahuan bagaimana obat digunakan meliputi ketepatan
waktu, dosis dan frekwensi penggunaan obat, juga perilaku positif yang
19
diperlukan untuk menghasilkan outcome therapy yang positif (Albrecht,
2011).
Ketidakpatuhan pengobatan sangat mempengaruhi efikasi
pengobatan suatu penyakit dan ini sangat dipengaruhi oleh pasien dan sistem
pelayanan kesehatan yang ada. Dari banyak penelitian menunjukkan bahwa
banyak faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan namun banyak faktor ini
dapat disederhanakan menjadi persepsi dan kemampuan penggunaan obat.
Ketidakpatuhan dapat dikaitkan dengan kepercayaan pasien tentang
penyakitnya dan kebutuhan akan pengobatan kaitannya dengan efek samping
yang potensial. Saat dilihat dari persepsi pasien, ketidakpatuhan adalah suatu
respon yang wajar dari penyakit dan terapinya (Taylor, 2001).
Penelitian Morrel dkk (1997) menunjukkan bahwa interpretasi
seseorang mengenai penyebab dari penyakitnya dan keinginan untuk
mengontrol penyakitnya dapat mempengaruhi keputusan mereka untuk
berobat ke tenaga kesehatan, mengambil tindakan terkait dengan penyakitnya
dan patuh kepada saran dari tenaga kesehatan. Kepercayaan pasien mengenai
penyebab penyakit atau cara mengontrol penyakitnya, dapat mempengaruhi
perilaku pasien untuk patuh terhadap regimen pengobatannya (Patel dan
Taylor, 2002).
Penyebab ketidakpatuhan dapat dilihat dari beberapa segi antara lain
dari segi pasien dan dari segi tenaga kesehatan. Penyebab ketidakpatuhan dari
segi pasien antara lain, lupa meminum obat, adanya prioritas lain, keputusan
untuk melewatkan dosis, kurangnya informasi dan ketidakmampuan untuk
20
membaca label obat (Cramer dan Spilker, 1991 ; Dipiro dkk., 2008).
Penyebab ketidakpatuhan dari segi tenaga kesehatan antara lain, peresepan
regimen pengobatan yang kompleks, kurangnya penjelasan mengenai efek
samping obat, memberikan regimen terapi tanpa mempertimbangkan gaya
hidup pasien dan biaya terapi, serta buruknya hubungan antara pasien dengan
tenaga kesehatan (Osterberg dan Blaschke, 2005).
Perilaku ketidakpatuhan meliputi tidak menebus resep,
menghentikan pengobatan sebelum seluruh obat habis, atau meminum obat
lebih banyak atau lebih sedikit daripada dosis. Salah satu jenis perilaku
ketidakpatuhan yang sering terjadi adalah terlambat minum obat atau tidak
meminum obat. Tidak meminum obat dapat berakibat pada menurunnya
konsentrasi obat dalam tubuh. Bila kejadian ini berlangsung lama, maka bisa
mengakibatkan efek obat hilang sama sekali bahkan bisa mengalami efek
rebound. Fenomena lain yang sering terjadi adalah white coat compliance,
dimana pasien akan patuh dalam penggunaan obat satu sampai dua hari
sebelum dia akan bertemu dengan dokter atau tenaga kesehatan (Rapoff,
2010).
Metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan kepatuhan dapat
dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu edukasi pasien, memperbaiki
jadwal penggunaan obat, menambah jam buka dari klinik (sehingga
memperpendek waktu tunggu), dan meningkatkan komunikasi antara pasien
dan tenaga kesehatan. Intervensi yang berupa edukasi kepada pasien dan
keluarga pasien dapat meningkatkan kepatuhan secara efektif. Strategi untuk
21
memperbaiki jadwal pengobatan meliputi penggunaan pill boxes untuk
mempermudah mengatur dosis harian, menyederhanakan jadwal penggunaan
obat, dan menempatkan petunjuk minum obat. Follow-up visit ke rumah
pasien juga merupakan strategi yang cukup efisien untuk meningkatkan
kepatuhan (Osterberg dan Blaschke, 2005).
Pengetahuan mengenai obat yang diberikan sangat mempengaruhi
kepatuhan pasien. Seseorang yang bisa membantu pasien merasa mendapat
manfaat dari resep yang diberikan adalah apoteker dan tenaga kesehatan lain.
Apoteker dan tenaga kesehatan lain harus memberitahu pasien tentang terapi
yang akan dijalani dan memastikan bahwa pasien mampu menggunakan
obatnya dengan baik. Pasien harus diberi pengertian mengapa pengobatan ini
sangat penting, dan pasien dapat diajak berdiskusi mengenai pengobatannya.
Hal ini juga harus dibarengi dengan jadwal pengobatan yang sesuai dengan
kegiatan sehari – hari pasien, contohnya dengan membuat regimen terapi
yang sesuai dengan kemampuan dan gaya hidup pasien (Taylor, 2001).
3. Modified Morisky’s Adherence Scale 8 (MMAS-8)
Kepatuhan pasien terhadap pengobatan dapat diukur dengan
beberapa cara, yaitu pengukuran secara langsung dan tidak langsung.
Pengukuran langsung biasanya melibatkan pengukuran kadar obat dalam
cairan tubuh. Pengukuran langsung contohnya adalah dengan mengukur kadar
obat dalam darah atau mengukur kadar obat yang diekskresikan melalui
urine. Pada pengukuran langsung kemungkinan untuk terjadi bias lebih kecil
22
dibanding dengan pengukuran tidak langsung. Kekurangan dari pengukuran
langsung adalah tidak memperhitungkan faktor farmakokinetik dari obat dan
individu. Selain itu, pengukuran langsung cenderung lebih sulit dilakukan dan
mahal (Morris, 1992).. Pengukuran secara langsung tidak sepenuhnya akurat,
karena dapat terjadi “tootbrush effect”, dimana pasien hanya mengkonsumsi
obat beberapa hari sebelum dilakukan pengukuran kadar obat dalam tubuh
(Yiannakopoulou dkk., 2005).
Pengukuran kepatuhan secara tidak langsung lebih sering
dipublikasikan, karena relatif mudah dalam pengukurannya. Contoh
pengukuran secara tidak langsung adalah dengan mengukur outcome terapi,
wawancara dengan pasien, dan metode pill counts (Morris, 1992).
Medication Event Monitoring (MEMS) merupakan metode yang paling
akurat dalam mengukur kepatuhan karena alat ini akan mencatat tanggal dan
waktu pada saat botol obat dibuka. Alat ini menggunakan teknologi
microprocessor yang diletakkan pada bagian penutup botol. Kelemahan alat
ini adalah mahal serta diperlukan beberapa alat apabila pasien menggunakan
beberapa obat (Albrecht, 2011). Selain itu, penggunaan MEMS tidak dapat
menjamin bahwa pasien meminum obatnya setelah pasien membuka tutup
botol (Yiannakopoulou dkk,. 2005).
Metode yang paling sering digunakan dalam pengukuran kepatuhan
adalah wawancara langsung dengan pasien (self-report). Metode wawancara
ini merupakan metode yang cukup sederhana dan mudah untuk dilakukan.
Pengukuran tingkat kepatuhan dengan metode wawancara tidak dapat
23
memberikan hasil yang cukup akurat, terdapat kemungkinan bahwa tingkat
kepatuhan yang terukur lebih tinggi daripada tingkat kepatuhan pasien yang
sesungguhnya (Yiannakopoulou dkk., 2005). Wawancara langsung dengan
pasien dapat menggunakan pedoman dari kuesioner tertentu, antara lain
dengan Medical Outcome Study (MOS) general adherence scale, Case
Management Adherence Guideline (CMAG), dan Modified Morisky
Adherence Scale (MMAS-8).
Modified Morisky’s Adherence Scale (MMAS-8) dikembangkan oleh
Morisky dkk, pada awalnya kuesioner ini hanya berisi 4 jenis pertanyaan.
Kuesioner ini pertama kali diaplikasikan untuk mengetahui tingkat kepatuhan
pada pasien hipertensi pada pre dan post interview. Kuesioner MMAS-8
terdiri dari 8 pertanyaan dan tingkat kepatuhan diukur dengan rentang nilai 0-
8. Kategori respon terdiri dari ya atau tidak untuk item pertanyaan 1-7. Pada
item pertanyaan nomor 1-4 dan 6-7 nilai 1 bila jawaban tidak dan 0 bila
jawaban iya. Sedangkan item pertanyaan nomor 5 dinilai 1 bila jawaban ya
dan 0 bila jawaban tidak. Item pertanyaan nomor 8 dinilai dengan 4 skala
sesuai dengan jawaban responden, yaitu nilai 1 apabila tidak pernah, nilai
0,75 apabila sesekali, nilai 0,5 apabila kadang-kadang dan nilai 0,25 apabila
biasanya. Sistem scoring dibagi menjadi dua kategori, yaitu patuh (nilai 6-8)
dan tidak patuh (nilai <6). Uji validitas dan reliabilitas sudah dilakukan pada
tahun 2008 oleh Morisky dkk yang mempublikasikan bahwa MMAS-8
memiliki reliabilitas yang tinggi (α=0.83) serta nilai sensitivitas 93% dan
spesifisitas 53% (Morisky dkk., 2008).
24
Kuesioner MMAS-8 terdiri dari delapan pertanyaan sebagai berikut
(Morisky dkk., 2008):
a. Apakah anda kadang-kadang lupa minum obat?
b. Orang-orang kadang-kadang tidak minum obat untuk alasan lain selain
lupa. Pikirkanlah kembali dalam dua minggu ini ada hari-hari dimana anda
tidak menggunakan obat?
c. Pernahkan anda mengurangi atau berhenti menggunakan obat tanpa
mengatakan pada dokter karena anda merasa lebih parah saat anda
menggunakan obat tersebut?
d. Saat anda bepergian atau meninggalkan rumah, apakah anda kadang-
kadang lupa membawa obat bersama anda?
e. Apakah anda minum obat-obatan anda kemarin?
f. Ketika anda merasa gejala penyakit sudah terkontrol, apakah anda kadang-
kadang berhenti minum obat?
g. Minum obat setiap hari tidak menyenangkan bagi sebagian orang. Apakah
anda perna merasa terganggu dengan jadwal pengobatan yang mengikat?
h. Seberapa sering anda kesulitan mengingat dalam menggunakan obat-
obatan anda?
1) Tidak pernah / jarang
2) Sekali-sekali
3) Kadang-kadang
4) Biasanya
25
Tingkat kepatuhan dapat pula dinilai dengan menggunakan
kombinasi wawancara pasien dan pill counts. Park dan Lipman
mengkombinasikan antara wawancara dengan pasien dan pill counts untuk
menilai tingkat kepatuhan pasien yang menggunakan imipramine.
Berdasarkan wawancara, terdapat 100 pasien yang masuk dalam kategori
patuh, namun setelah dikombinasikan dengan metode pill counts hanya 58
pasien yang termasuk kategori patuh (Morris, 1992).
4. Rumah Sakit UGM
Sebagai universitas riset berkelas dunia, Universitas Gadjah Mada
senantiasa berusaha meningkatkan fasilitas pendidikan. Untuk meningkatkan
mutu lulusan bidang profesi kedokteran dan kesehatan Unversitas Gadjah
Mada mendirikan Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada (RS UGM). RS
UGM ini dibangun secara bertahap sesuai dengan strategi pertumbuhan dalam
pembangunan dan pengembangannya dengan dana APBN Kemendikbud. RS
Akademik UGM didesain dengan konsep mendasar pelayanan kesehatan
terpadu dan terintegrasi dalam klaster-klaster dengan multiprofessional team
work dan sistem pendidikan klinik interprofessional and transprofessional
(Anonim, 2011).
Moto RS UGM adalah “friendly and caring hospital (ramah dan
peduli)”, dimana institusi ini berkomitmen mewujudkan rumah sakit yang
benar-benar nyaman, sejuk, penuh keramahan dalam pelayanan serta
menghadirkan nuansa yang meunjang kesembuhan pasien. Visi dari RS
UGM adalah menjadi rumah sakit akademik yang melaksanakan pelayanan,
26
pendidikan dan riset yang unggul, berkelas dunia, mandiri, bermartabat dan
mengabdi kepada kepentingan masyarakat. RS UGM memiliki misi
menyelenggarakan pelayanan kesehatan terpadu yang bermutu dengan
mengutamakan aspek pendidikan berbasis riset, melaksanakan pelayanan
kesehatan paripurna berdasarkan evidence dan riset IPTEKDOK,
menyelenggarakan riset klinik dan non klinik yang berwawasan global,
melaksanakan pengabdian kepada kepentingan kesehatan masyarakat serta
meningkatkan kemandirian Rumah Sakit Akademik dan kesejahteraan
karyawan ( Anonim, 2014).
F. Keterangan Empiris
Keterangan empiris yang diharapkan dari penelitian ini adalah
mengetahui tingkat kepatuhan pasien hipertensi, mengetahui alasan penyebab
ketidakpatuhan berdasarkan kuesioner MMAS-8 serta mengetahui hubungan
antara jumlah item obat yang diresepkan dengan tingkat kepatuhan pasien.
Harapannya dengan mengetahui penyebab ketidakpatuhan maka dapat bermanfaat
bagi provider kesehatan untuk membuat solusi dalam meningkatkan kepatuhan
pengobatan.
Recommended