View
216
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan perekonomian yang pesat, telah menghasilkan beragam jenis
dan variasi barang dan jasa. Dengan dukungan teknologi dan informasi, perluasan
ruang, gerak dan arus transaksi barang dan jasa telah melintasi batas-batas wilayah
negara, konsumen pada akhirnya dihadapkan pada berbagai pilihan jenis barang dan
jasa yang ditawarkan secara bervariatif. Kondisi seperti ini, pada satu sisi
menguntungkan konsumen, karena kebutuhan terhadap barang dan jasa yang
diinginkan dapat terpenuhi dengan beragam pilihan.
Seiring meningkatnya era globalisasi ekonomi pada saat sekarang ini,
konsumen sebagai pengguna barang atau jasa sering menjadi objek aktivitas bisnis
untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Tidak jarang pelaku usaha melakukan
promosi, penjualan atau penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Rendahnya tingkat kesadaran dan pendidikan hukum menambah lemahnya posisi
konsumen. Untuk itu pemerintah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Pemberlakuan undang-undang
ini diharapkan dapat menjadi landasan bagi konsumen dan lembaga perlindungan
konsumen untuk memberdayakan dan melindungi kepentingan konsumen, serta
membuat pelaku usaha lebih bertanggung jawab.
1
2
Perlindungan konsumen itu sendiri adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Konsumen
dilindungi dari setiap tindakan pelaku usaha barang atau jasa, importer, distributor
penjual dan setiap pihak yang berada dalam jalur perdagangan barang atau jasa ini,
yang pada umumnya disebut dengan nama pelaku usaha.
Namun pada sisi lain, fenomena tersebut menempatkan kedudukan konsumen
terhadap pelaku usaha menjadi tidak seimbang, dimana konsumen berada pada posisi
yang lemah. Karena konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup
keuntungan yang besarnya melalui kiat promosi dan cara penjualan yang merugikan
konsumen.1 Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha jelas
sangat merugikan kepentingan rakyat. Pada umumnya pelaku usaha berlindung di
balik standard contract atau perjanjian baku yang telah ditandatangani oleh kedua
belah pihak, yakni antara konsumen dan pelaku usaha ataupun melalui informasi
semu yang diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen.
Perlindungan konsumen merupakan konsekwensi dan bagian dari kemajuan
teknologi dan industri. Kemajuan teknologi dan industri tersebut ternyata telah
memperkuat perbedaan antara pola hidup masyarakat tradisional dan masyarakat
modern. Masyarakat tradisional dalam memproduksi barang-barang kebutuhan
konsumen secara sederhana dan hubungan antara konsumen dan masyarakat
1Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia, Jakarta, h. 12.
3
tradisional relatif masih sederhana, dimana konsumen dan pelaku usaha dapat
bertatap muka secara langsung. Adapun masyarakat modern memproduksi barang-
barang kebutuhan konsumen secara massal pula (consumer consumption). Akhirnya
hubungan antara konsumen dan pelaku usaha menjadi rumit, dimana konsumen tidak
mengenal siapa pelaku usahanya, demikian pula sebaliknya, bahkan pelaku usaha
tersebut berada di negara lain.2
Tetapi belakangan marak muncul produk makanan yang ternyata sudah
kadaluwarsa, konsumen selaku pihak yang telah mengkonsumsi sangat dirugikan
karena beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab. Sebagian besar konsumen tidak
tahu akan hal ini. Dicurigai dalam hal ini bukan pelaku usaha sendiri yang
bertanggung jawab seratus persen akan bahawa mengkonsumsi makanan
kadaluwarsa. Pihak penyedia atau suplayer sangat bertanggung jawab karena hal ini
dapat mengancam keselamatan seseorang bahkan kematian.
Wanprestasi salah satu pihak dalam perjanjian merupakan kelalaian untuk
memenuhi syarat yang tercantum di dalam perjanjian. Hal ini biasanya lebih banyak
dialami oleh pihak yang lemah memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pihak
lainnya, karena persyaratan tersebut berat sebelah atau lebih memberatkan pihak yang
lemah. Hal ini disebabkan karena persyaratan-persyaratan tersebut telah dituangkan
ke dalam suatu perjanjian baku. Perjanjian yang demikian sudah lazim dipergunakan
2Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 2-3.
4
dan memegang peranan penting dalam hukum bisnis yang pada umumnya dilandasi
oleh nilai-nilai yang berorientasi pada efisiensi.3
Di samping wanprestasi, kerugian dapat pula terjadi di luar hubungan
perjanjian, yaitu jika terjadi perbuatan melanggar hukum, yang dapat berupa adanya
cacat pada barang atau jasa yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen, baik itu
karena rusaknya atau musnahnya barang itu sendiri maupun kerusakan atau
musnahnya barang akibat cacat pada barang itu. Selain disebabkan karena
wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum, kerugian yang dialami konsumen
selama ini juga banyak disebabkan karena konsumen kurang kritis terhadap barang-
barang yang ditawarkan, sehingga kerugian yang dialami konsumen tidak hanya
kerugian finansial akan tetapi juga dapat merugikan kesehatan atau keselamatan
hidup konsumen itu sendiri.4 Kemungkinan kerugian konsumen tersebut akan
semakin bertambah lagi jika barang atau jasa yang beredar dalam masyarakat tidak
menggunakan merek secara teratur, terutama jika terjadi pemalsuan-pemalsuan merek
merek tertentu yang memungkinkan suatu merek dipergunakan pada beberapa barang
sejenis, namun dengan kualitas yang berbeda, sehingga diantara barang-barang
tersebut ada yang mungkin akan merugikan konsumen yang kurang kritis.
3Peter Mahmud Marzuki, 2004, Pembaruan Hukum Ekonomi Indonesia, Universitas Airlangga Surabaya, h. 8. 4Bambang Setiawan, 1991, Meningkatkan Citra Konsumen Indonesia yang Berkualitas, Makalah, Disajikan Dalam Temu Wicara Nasional Perlindungan Konsumen. Kerjasama Universitas Gajah Mada-Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Yogyakarta, h. 1
5
Karena sesungguhnya perlindungan konsumen adalah bagian dari
perlindungan hak asasi manusia (HAM).5 Bahwa ruang lingkup konsep HAM tidak
hanya dalam konteks hubungan antara rakyat dan negara, namun lebih luas lagi HAM
perspektif hubungan antar masyarakat, yakni hubungan antara pelaku usaha dan
konsumen. Dalam hal ini, pelaku usaha mengakui eksistensi konsumen sebagai
manusia dan makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki hak-hak universal dan patut
memperoleh apresiasi secara positif.6
Kondisi konsumen yang banyak dirugikan, memerlukan peningkatan upaya
untuk melindunginya, sehingga hak-hak konsumen dapat ditegakkan. Namun
sebaliknya, perlu diperhatikan bahwa dalam memberikan perlindungan kepada
konsumen, tidak boleh justru mematikan usaha pelaku usaha, karena keberadaan
pelaku usaha merupakan suatu yang esensial dalam perekonomian negara. Oleh
karena itu, ketentuan yang memberikan perlindungan konsumen juga harus diimbangi
dengan ketentuan yang memberikan perlindungan kepada pelaku usaha, sehingga
perlindungan konsumen tidak justru membalik kedudukan konsumen dari kedudukan
yang lemah ke kedudukan yang kuat dan sebaliknya pelaku usaha yang menjadi
lemah.
5HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 6Majda El Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media, Jakarta, h. 6.
6
Upaya terpenting dalam memberikan perlindungan kepada konsumen adalah
melalui peraturan perundang-undangan sehingga perlu melengkapi ketentuan
perundang-undangan bidang perlindungan konsumen yang sudah ada. Hal ini perlu
dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan tidak cukup hanya mencontoh
undang-undang negara lain yang dianggap berhasil dalam memberikan perlindungan
kepada konsumen, karena keberhasilan undang-undang di negara lain belum tentu
mencapai keberhasilan yang sama di Indonesia.
Menurut Friedman, agar hukum dapat bekerja, harus dipenuhi tiga syarat,
yaitu pertama, aturan itu harus dapat dikomunikasikan kepada subjek yang diaturnya;
kedua, subjek yang diaturnya mempunyai kemampuan melaksanakan aturan itu;
ketiga, subjek itu harus mempunyai motivasi untuk melaksanakan aturan tersebut.7
Berdasarkan pandangan tersebut dapat dikemukakan bahwa pembentukan ketentuan
hukum atau pembaruan hukum bukan sekedar pembaharuan substansi hukumnya,
melainkan pembaruan orientasi dan nilai-nilai yang melandasi aturan hukum tersebut.
Dengan demikian pembaruan hukum harus diartikan sebagai mengadopsi nilai-nilai
hukum yang baru sebagai akibat perubahan nilai-nilai hukum yang baru inilah yang
merupakan landasan filosofis bagi substansi hukum yang baru.
7Lawrence W. Friedman, The Legal System, Russel Sage Foundation, New York, h. 3, dikutip dari Ahmadi Miru, 2013, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Konsumen, PT Grafindo Persada, Jakarta, h. 5
7
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimanakah pengaturan mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen
yang mengkonsumsi makanan kadaluwarsa?
1.2.2 Bagaimanakah pertanggungjawaban pelaku usaha atas kerugian konsumen
yang mengkonsumsi makanan yang telah kadaluwarsa?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari
permasalahan yang dibahas maka perlu terdapat pembatasan dalam ruang lingkup
masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut :
1.3.1 Adapun pertama akan membahas bagaimana perlindungan hukum di
Indonesia, terhadap konsumen yang telah mengkonsumsi makanan kadaluwarsa.
1.3.2 Sedangkan yang kedua akan di bahas tentang pertanggungjawaban pelaku
usaha atas kerugian konsumen yang telah mengkonsumsi makanan kadaluwarsa.
1.4 Orisinalitas Penelitian
8
Bahwa memang benar skipsi ini merupakan karya tulis asli sehingga dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Penelitian ini dibuat berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan di universitas udayana, melalui buku, peraturan perundang-
undangan dan internet. Sebelumnya telah dilakukan riset apakah ada penelitian
dengan judul dan rumusan masalah yang sama atau tidak. Hasilnya peneliti
menemukan beberapa penelitian yang serupa namun memiliki judul dan rumusan
masalah yang berbeda. Berikut peneliti rangkum beberapa judul penelitian dan
rumusan masalah yang serupa dalam bentuk tabel sebagai berikut :
No.
Nama Peneliti
Judul Skripsi
Rumusan Masalah
1 I Gusti Agung
Lilik Melyana
Perlindungan hukum konsumen
dalam kaitannya dengan
peradaran obat dan kosmetik
dengan pencantuman nomor
registrasi fiktif.
1. Bagaimana upaya
balai besar POM
Denpasar untuk
menaggulangi
peredaran obat dan
kosmetik yang
mencantumkan
nomor registrasi
fiktif?
9
2. Bagaimanakah
tanggungjawab
pelaku usaha
terhadap kerugian
konsumen akibat
penggunaan
produknya?
2 Ni Made Alit
Suryani
Perlindungan konsumen dalam
kaitannya dengan pencantuman
penggunaan bahan pemanis
buatan dalam label kemasan
pangan.
1. Apakah
pencantuman
penggunaan bahan
pemanis buatan
dalam label
pangan yang
beredar sudah
sesuai dengan
ketentuan yang
berlaku?
2. Sanksi hukum
apakah yang dapat
di terapkan bagi
10
pelaku usaha yang
mencantumkan
informasi yang
kurang jelas
mengenai
penggunaan bahan
pemanis buatan
dalam label
pangan?
3 Endra Priguna
Aspek Hukum Perlindungan
Terhadap Konsumen Akibat
Penyimpangan Pemberian
Racikan Obat Puyer.
1. Bagaimanakah
bentuk-bentuk
pelanggaran dalam
racikan obat puyer
yang dapat terjadi
dalam bidang
kesehatan?
2. Bagaimanakah
perlindungan
hukum dan sanksi-
sanksinya apabila
11
terjadi
penyimpangan
terhadap
pembuatan racikan
obat puyer?
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini ada dua, yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun
tujuan tersebut antara lain :
1.5.1 Tujuan umum
a. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan tentang
perlindungan hukum terhadap konsumen yang mengkonsumsi makanan
kadaluwarsa.
b. Serta yang kedua untuk mengetahui pertanggungjawaban pelaku usaha atas
kerugian konsumen yang mengkonsumsi makanan kadaluwarsa.
1.5.2 Tujuan khusus
a. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendalami pengaturan tentang
perlindungan hukum terhadap konsumen yang mengkonsumsi makanan
kadaluwarsa.
12
b. Serta yang kedua untuk memahami bagaimana pertanggungjawaban pelaku
usaha atas kerugian konsumen yang mengkonsumsi makanan kadaluwarsa.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah
bagi pengembangan ilmu hukum di bidang hukum perdata, khususnya pemahaman
teoritis mengenai perlindungan konsumen di Indonesia dalam rangka perlindungan
hukum terhadap konsumen yang di rugikan, termasuk di dalamnya pengkajian
terhadap isu masalah makanan kadaluwarsa yang merugikan bagi konsumen.
1.6.2 Manfaat praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
dan sumbangan pemikiran, serta dapat memberikan kontribusi bagi pelaku usaha atau
pelaku bisnis untuk lebih teliti dalam hal pemasaran atau penjualan produk atau
makanan bagi konsumen. Selain itu diharapkan penelitian ini dapat menjadi
sumbangsih bagi pelaku usaha untuk lebih memperhatikan dampak buruk bagi
kesehatan konsumen.
13
1.7 Landasan Teori
A. Teori paternalistik
Masalah yang dihadapi konsumen terus meningkat intensitasnya, sehingga
pemerintah perlu mengambil kebijakan intervensi untuk mengatasi potensi yang
merugikan konsumen. Teori paternalistik menjustifikasi intervensi yang dilakukan
pemerintah. Intervensi dilakukan agar keseimbangan hak dan kewajiban antara
produsen dan konsumen dapat diwujudkan. Dalam pengamatan Peter Cartwright,
manifestasi hukum yang bersifat paternalistic adalah untuk mencegah kerugian yang
dialami konsumen akibat perjanjian yang merugikan mereka. Prinsip dasar hukum
yang bersifat paternalistik itu, misalnya, undang-undang memuat ketentuan yang
mengatakan bahwa barang-barang yang diedarkan di masyarakat harus memenuhi
tingkat kualitas yang memuaskan dan memang layak dikonsumsi oleh konsumen.
Konsumen tidak wajib mewujudkan hak-haknya, jika mereka memang tidak berkenan
mewujudkannya, tetapi konsumen sudah memenuhi kewajiban membayar yang harus
dilindungi oleh Undang-undang perlindungan konsumen. Undang-undang ini jelas
harus memuat ketentuan yang menjamin kualitas barang dan mengatur adanya
jaminan asuransi bagi konsumen yang mengkonsumsi barang-barang yang tidak
sesuai dengan ukuran (standard) seperti yang telah ditentukan. Hukum yang bersifat
paternalistic dibentuk demi melindungi konsumen yang sering dirugikan oleh pelaku
usaha. Konsumen harus jauh lebih sadar bahwa tanpa disain hukum yang demikian
14
mereka akan tetap potensial dirugikan. Karena produsen atau pelaku usaha cenderung
sewenang-wenang akibat posisinya yang superior.
B. Teori caveat venditor
Adagium kuno caveat venditor menyiratkan “hendaknya penjual berhati-
hati”. Prinsip ini mengandung maksud bahwa “penjual” harus beritikad baik dan
bertanggung jawab dalam menjual produknya kepada pembeli atau konsumen.
Berbeda dengan prinsip caveat emptor yang “meminta” pembeli teliti (berhati-hati)
sebelum membeli (karena penjual mungkin curang), prinsip caveat venditorini
membebankan tanggung jawab kehati-hatian pada penjual (produsen). Artinya,
penjual harus bertanggung jawab dengan produk yang dijualnya. Maka pelaku usaha
wajib beritikad baik memberikan perlindungan dan pendidikan pada konsumen, salah
satunya melalui informasi produk yang jujur. Di dalam bertransaksi pelaku usaha
mengenali produknya dengan lebih baik. Mereka mengenali kelebihan dan kelemahan
produknya dengan baik dan mengatur strategi sedemikian rupa untuk menonjolkan
kelebihan dan menutupi kelemahan. Konsumen yang tidak banyak mengetahui
tentang produk yang ditawarkan, bisa terjebak pada pilihan yang sesat. Maka, kita
mengenal pedoman bijak “teliti sebelum membeli”, karena ada kemungkinan penjual
tidak jujur dan tidak adil dalam bertransaksi. Ini menjadi penting karena ketika
ternyata kemudian barang yang dibeli cacat atau tidak seperti yang dijanjikan,
konsumen akan kesulitan meminta ganti rugi. Pelaku usaha akan meminta konsumen
membuktikan bahwa kerusakan itu bukan disebabkan oleh kesalahan konsumen agar
15
konsumen bisa mendapatkan ganti rugi. Namun, setelah berlakunya Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 22, maka yang
berlaku adalah pembuktian terbalik. Ketika konsumen menagih ganti rugi pada
pelaku usaha atas suatu produk yang cacat atau rusak, maka pelaku usahalah yang
harus membuktikan bahwa produk yang dijualnya tidak cacat produksi. Jadi
perusahaanlah yang harus berinisiatif membuktikan sah tidaknya klaim konsumen
atas ganti rugi.
Penerapan teori caveat venditor dan meningkatnya kesadaran hukum untuk
melindungi konsumen menyebabkan Pemerintah dan DPR menerbitkan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sementara itu,
undang-undang ini relatif terbatas melindungi subjek hukum yang bertransaksi dalam
yurisdiksi negara republik Indonesia saja. Seperti telah dikatakan bahwa objek studi
ini adalah perlindungan konsumen yang melakukan transaksi bisnis melalui media
internet, sehingga subjek hukum yang menggunakan media itu mungkin saja
berdomisili dalam yurisdiksi hukum berbeda.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK) yang mulai efektif berlaku pada 20 April 2000. Apabila di cermati muatan
materi UUPK cukup banyak mengatur perilaku pelaku usaha. Hal ini dapat dipahami
mengingat kerugian yang diderita konsumen barang atau jasa acapkali merupakan
akibat perilaku pelaku usaha, sehingga wajar apabila terdapat tuntutan agar perilaku
pelaku usaha tersebut diatur, dan pelanggaran terhadap peraturan tersebut di kenakan
16
sanksi yang setimpal. Perilaku pelaku usaha dalam melakukan strategi untuk
mengembangkan bisnisnya inilah yang seringkali menimbulkan kerugian bagi
konsumen.
Berkaitan dengan strategi bisnis yang digunakan oleh pelaku usaha pada
mulanya berkembang adagium caveat emptor (waspadalah konsumen), kemudian
berkembang menjadi caveat venditor (waspadalah pelaku usaha). Ketika strategi
bisnis berorientasi pada kemampuan menghasilkan produk (production oriented)
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen. Maka di sini konsumen harus waspada
dalam mengkonsumsi barang dan jasa yang ditawarkan pelaku usaha. Pada masa ini
konsumen tidak memiliki banyak peluang untuk memilih barang atau jasa yang akan
dikonsumsinya sesuai dengan selera, daya beli dan kebutuhan. Konsumen lebih
banyak dalam posisi didikte oleh produsen. Pola konsumsi masyarakat justru banyak
ditentukan oleh pelaku usaha dan bukan oleh konsumennya sendiri. Seiring dengan
perkembangan IPTEK dan meningkatnya tingkat pendidikan, meningkat pula daya
kritis masyarakat. Dalam masa yang demikian, pelaku usaha tidak mungkin lagi
mempertahankan strategi bisnisnya yang lama, dengan resiko barang atau jasa yang
ditawarkan tidak akan laku dipasaran. Pelaku usaha kemudian mengubah strategi
bisnisnya ke arah pemenuhan kebutuhan, selera dan daya beli pasar (market
oriented). Pada masa ini pelaku usahalah yang harus waspada dalam memenuhi
barang atau jasa untuk konsumen. Dalam konteks ini pelaku usaha dituntut untuk
17
menghasilkan barang-barang yang kompetitif terutama dari segi mutu, jumlah dan
keamanan.
Jaminan mutu barang di dalam undang-undang perlindungan konsumen antara
lain ditegaskan, pelaku usaha berkewajiban untuk menjamin mutu barang dan atau
jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu
barang dan atau jasa yang berlaku. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau
memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai
dengan standar yang dipersyaratkan. Ketentuan tersebut semestinya ditaati dan
dilaksanakan oleh para pelaku usaha. Namun dalam realitasnya banyak pelaku usaha
yang kurang atau bahkan tidak memberikan perhatian yang serius terhadap kewajiban
maupun larangan tersebut, sehingga berdampak pada timbulnya permasalahan dengan
konsumen. Permasalahan yang dihadapi konsumen dalam mengkonsumsi barang dan
jasa terutama menyangkut mutu, pelayanan serta bentuk transaksi.
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum
normatif. Dipilihnya jenis penelitian hukum normatif karena penelitian ini
menguraikan permasalah-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan
18
kajian berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.8
Penelitian hukum normatif digunakan dalam penelitian ini beranjak dari
adanya persoalan dalam aspek norma hukum, yaitu norma yang kabur atau tidak jelas
(vague van normen), norma yang konflik (geschijld van normen), maupun norma
yang kosong (leemten van normen) yang ada dalam peraturan perundang-undangan
terkait permasalahan yang hendak diteliti. Penelitian hukum normatif dilakukan
dengan cara meneliti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier yang terkait.
1.8.2 Jenis pendekatan
Dalam penelitian ini digunakan jenis pendekatan perundang-undangan (the
statue approach), pendekatan fakta (the fact approach), dan pendekatan analisis
konsep hukum (analitical & conseptual approach).
Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti adalah
berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian
ini. Pendekatan perundang-undangan digunakan berdasarkan pada peraturan
8Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), PT. Grafindo Persada, Jakarta, h.13.
19
perundang-undangan, norma-norma hukum yang berhubungan dengan perlindungan
konsumen.9
Pendekatan fakta digunakan berdasarkan pada fakta atau kenyataan aktual
yang terjadi dalam masyarakat terkait pengaruh perlindungan konsumen di Indonesia.
Pendekatan analisis konsep hukum digunakan untuk memahami konsep-konsep
aturan tentang perlindungan konsumen di Indonesia.
1.8.3 Bahan hukum/ data
a. Sumber bahan hukum primer
Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang bersifat
mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan. Sumber
bahan hukum primer yang digunakan adalah :
o Undang-Undang Dasar NRI 1945,
o Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
b. Sumber bahan hukum sekunder
Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan
9Ibrahim Johnny, 2006, Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, h. 302.
20
adalah literatur-literatur yang relevan dengan topik yang dibahas, baik literatur-
literatur hukum buku-buku hukum (textbook) yang ditulis para ahli yang berpengaruh
(de hersender leer), pendapat para sarjana, maupun literatur non hukum dan artikel
atau berita yang diperoleh via internet.
c. Sumber bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadan bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus besar bahasa
Indonesia dan kamus hukum.
1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum/ data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan
dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document). Telaah kepustakaan
dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu cara mencatat dan memahami isi
dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang relevan, kemudian dikelompokkan
secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian skripsi
ini.
21
1.8.5 Teknik analisis
Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat
digunakan berbagai teknik analisis. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian
ini adalah teknik deskripsi, teknis interpretasi, teknik evaluasi, teknik argumentasi
dan teknik sistematisasi.
Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari
penggunaannya, deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi
dari proposisi-proposisi hukum atau non-hukum.
Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu
hukum seperti penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis, penafsiran teleologis,
penafsiran historis, dan lain sebagainya.
Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau
tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu
pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam
bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder.
Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena
penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam
pembahasan permsalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan
kedalaman penalaran hukum.
22
Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu
konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang
sederajat maupun antara yang tidak sederajat.
Recommended