View
58
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada tahun 1960-an jurnlah penduduk Indonesia dan Jepang pada posisi
yang hampir sarna yaitu sekitar 80 juta jiwa. Dalarn kurun waktu 50 tahun
kemudian penduduk Indonesia menjadi 240 juta jiwa, sementara penduduk Jepang
masih bertahan dalam jumlah 120 juta jiwa. Diperkirakan jumlah penduduk
Indonesia pada tahun 2050 akan mencapai 500 juta jiwa, sedangkan penduduk
Jepang diperkirakan turun menjadi 90 juta jiwa. Perkembangan penduduk yang
demikian pesat di Indonesia menyebabkan berbagai usaha pembangunan di bidang
penyediaan energi tidak dapat mengimbangi laju perkembangan jumlah penduduk.
Disarnping menyebabkan permasalahan penyediaan energi, perkembangan jumlah
penduduk yang sangat pesat berdampak sangat luas pada berbagai aspek
kehidupan seperti penyediaan tempat tinggal, lingkungan, fasilitas umum, dan
lain-lain.
Pemenuhan kebutuhan akan energi, khususnya minyak, merupakan salah
satu hal yang sangat mendasar bagi kelangsungan aktivitas kehidupan manusia.
Tidak dapat dihindari bahwa dengan meningkatnya kebutuhan minyak di dunia
akan mengakibatkan cadangan minyak dunia semakin menipis. Hal ini dibuktikan
dengan adanya penelitian dari beberapa negara, diantaraanya Amerika Serikat,
Mexico, Jepang, Korea, Prancis, Jerman, dan Italia.
Berdasarkan hal tersebut, di Indonesia sendiri wacana akan kelangkaan
minyak telah menjadi sorotan utama saat ini. Deputi Menteri Koordinator
Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan, menyatakan bahwa pada tahun
2025 diharapkan minyak bumi dapat memberikan kontribusi kurang dari 20
persen, bahan bakar gas bumi kurang dari 30 persen, batu bara lebih dari 33
persen, batu bara dicairkan lebih dari dua persen, energi baru yang terbarukan
(biomassa, air, aingin, surya, nuklir) lebih dari lima persen, panas bumi lebih dari
lima persen, dan bahan bakar nabati (bioenergi) dapat memberi kontribusi lebih
dari lima persen dalam pemenuhan kebutuhan energi nasional.
1
2
Salah satu upaya pemerintah saat ini di tengah makin menipisnya
cadangan minyak tanah air adalah mendorong pemanfaatan bioenergi sebagai
energi alternatif, seperti yang dikemukakan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral bahwa persediaan minyak bumi Indonesia mungkin bisa bertahan 11
tahun, gas bumi 30 tahun dan batubara 50 tahun lagi (Republika, 20/1/05). Hal ini
tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 dan Instruksi Presiden
Nomer 1 Tahun 2006 tertanggal 25 Januari 2006 tentang kebijakan energi,
khususnya dari nabati, seperti buah jarak, kelapa sawit, singkong, tebu, sagu, dan
lain-lain. Dikeluarkannya peraturan presiden mengenai Penyediaan dan
Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN) atau biasa disebut bioenergi sebagai
bahan bakar alternatif, ternyata menuai pro dan kontra dari masyarakat.
Sebagian kalangan yang pro menilai bahwa dengan adanya pengembangan
bioenergi sebagai bahan bakar alternatif dapat melindungi kelestarian lingkungan,
mengurangi polusi, mengurangi ketergantungan, meningkatkan devisa negara, dan
mampu mengembangkan ekonomi pedesaan. Sementara, pada pihak yang kontra
dengan adanya pengembangan bahan bakar nabati, seperti Mitra
Emisi Bersih (MEB) di Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(Puspitek) Serpong, studi kasus jarak dan kelapa sawit, sebagai energi alternatif
lebih disebabkan karena kekhawatiran akan dampak pengembangannya dapat
merugikan pihak Indonesia. Dengan demikian, banyak hal yang perlu di kaji lebih
lanjut terkait dengan pemanfaatan bioenergi sebagai energi alternatif yang akan
menggantikan minyak bumi dan gas sebagai energi utama masyarakat Indonesia
khususnya dan dunia pada umumnya, dalam realisasi pelaksanaan programnya
(Departemen Komunikasi dan Informatika RI, 2006)
I.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan pemikiran-pemikiran yang telah dikemukakan, tampak bahwa
upaya pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan kelangkaan energi adalah
dengan mengembangkan bioenergi. Bioenergi dalam hal ini merupakan
pengembangan energi alternatif yang berasal dari bahan-bahan nabati, seperti
jarak, kelapa sawit, tebu, singkong, jagung, dan lain-lain. Berdasarkan kondisi
3
Indonesia yang saat ini masih bertumpu pada kebutuhan minyak bumi yang
mencapai 54 persen, gas bumi 26 persen, dan batu bara 14 persen, menuai banyak
kontra dari masyarakat. Ketika pemerintah mencanangkan program
pengembangan bioenergi sebagai energi alternatif, hal ini menunjukkan kondisi
kelangkaan minyak atau energi tersebut sudah tidak dapat ditolerir lagi. Akan
tetapi, pada kenyataannya kebutuhan masyarakat Indonesia akan minyak bumi
sebenarnya jauh lebih sedikit dibandingkan negara-negara di Eropa dan Amerika.
Hanya saja kebutuhan minyak negara-negara di Eropa dan Amerika memang
dipenuhi pula oleh Indonesia sebagai negara pengekspor minyak ke-6 dunia.
(http://www.korea.net). Dengan demikian, situasi tersebut yang membuat seolah-
olah di Indonesia pun mengalami kelangkaan minyak.
Kondisi yang terjadi saat ini, dengan adanya upaya pengembangan
bioenergi sebagai energi alternatif memunculkan berbagai permasalahan, antara
lain benih-benih atau input dari jarak dan kelapa sawit relatif mahal bagi
masyarakat, pasar atau sasaran pengembangan bioenergi belum jelas, dan lahan
yang seharusnya dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan dialihfungsikan oleh
perusahaan-perusahaan besar atau swasta untuk pengembangan bioenergi,
(bioethanol dan biodiesel). Banyak perusahaan-perusahaan besar yang
memanfaatkan peluang pengembangan bioenergi untuk kepentingan
perusahaannya sendiri, sehingga harapan pemerintah bahwa ekonomi pedesaan
mampu lebih ditingkatkan dengan adanya pengembangan bioenergi, merupakan
hal yang sangat kontradiktif dengan fakta yang terjadi.
Masyarakat, dalam hal ini petani justru akan semakin tertekan, karena
kurangnya informasi dan konsep yang jelas dalam proses pengembangan
bioenergi, terutama keterlibatan mereka selaku subyek pelaksana yang akan
melakukan proses budidaya dan produksi. Isu kelangkaan energi bahan bakar akan
menjadikan harga-harga kebutuhan hidup yang lain meningkat. Oleh karenanya,
ketika solusi pengembangan energi alternatif tidak dapat dirasakan oleh seluruh
komponen masyarakat Indonesia, dalam hal ini petani, maka kondisi ketahanan
pangan nasional akan semakin memburuk sehingga imbas langsung akan sangat
berkaitan erat dengan kedaulatan sebuah bangsa (ketahanan nasional) karena
4
begitu tergantungnya kita pada asing dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan
dalam negeri. (Husodo, 2004)
Berdasarkan permasalahan tersebut, perumusan permasalah yang akan dikaji
dalam tulisan ini adalah :
1. Bagaimana kemungkinan pengembangan bisnis bioenergi pedesaan di
Indonesia?
2. Faktor-faktor kunci apa yang memungkinkan untuk pengembangan
kewiraswastaan bioenergi yang berorientasi kepada lingkungan,
kesejahteraan masyarakat, dan pengembangan yang berorientasi kepada
kewirausahan inovatif?
I.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang telah diungkapkan, penulisan ini bertujuan
untuk :
1. Menginvestigasi kemungkinan pengembangan bisnis bioenergi pedesaan
di Indonesia.
2. Mengidentifikasi dan mengevaluasi faktor-faktor kunci yang
memungkinkan untuk pengembangan kewiraswastaan bioenergi yang
berorientasi kepada lingkungan, kesejahteraan masyarakat, dan
pengembangan yang berorientasi kepada kewirausahan inovatif.
I.4 Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapkan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah:
1. Bagi pemerintah, dapat dijadikan bahan informasi dalam
pengambilan kebijakan yang berhubungan dengan pengembangan
bioenergi di Indonesia.
2. Bagi masyarakat dan pihak lainnya diharapkan hasil penelitian ini
memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan merupakan salah satu bahan
bacaan bagi penulis lainnnya.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keseimbangan Permintaan dan Penawaran terhadap Bioenergi
Berdasarkan permintaan dan penawaran pada pengembangan bioenegi,
maka untuk memperlihatkan pengaruh perubahannya dapat dilihat pada Gambar1.
Dimulai dari suatu posisi ekuilibrium (keseimbangan), dalam hal ini stabilitas
pemenuhan kebutuhan minyak dalam negeri, kemudian dimasukkan perubahan
dalam hal kebijakan pengembangan bioenergi sebagai pengganti pemenuhan
kebutuhan energi minyak dalam negeri. Posisi ekuilibrium yang baru akan
terbentuk dan kemudian dibandingkan dengan ekuilibrium semula. Perbedaan
hasil ekuilibrium itu harus merupakan hasil pengolahan perubahan data yang
dimasukan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1.
P D1 S P S1
E1 So Eo
Eo Do E1 D
Q Q
Gambar 1. Kurva Penawaran dan Permintaan Sumber : Lipsey, 1995
Keterangan :
Do : Demand awal sebelum terjadi kenaikanD1 : Demand setelah terjadi kenaikanSo : Supply awal sebelum terjadi kenaikanS1 : Supply setelah terjadi kenaikan Eo : Equlibrium awal/Titik Keseimbangan awalE1 : Equilibrium akhir P : Harga (Rp atau Dollar)Q : Kuantitas
Jika yang terjadi adalah kenaikan permintaan bioenegi maka akan
menyebabkan kekurangan dan pembeli yang tidak terpuaskan menawar dengan
6
harga yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan diproduksinya kuantitas bioenegi
yang lebih besar, akibatnya pada equilibrium yang baru lebih banyak yang dibeli
dan dijual dengan harga yang lebih tinggi. Jika permintaan menurun, maka akan
menyebabkan melimpahnya persediaan, dan penjual yang tidak berhasil akan
menawarkan harga yang lebih rendah. Akibatnya, akan lebih sedikit komoditi
yang diproduksi dan ditawarkan untuk dijual. Pada equilibrium yang baru, baik
harga maupun kuantitas yang dibeli dan dijual lebih rendah dari semula.
Jika yang terjadi adalah kenaikan penawaran bioenegi, menyebabkan
melimpahnya persediaan, dan penjual yang tidak berhasil terpaksa menurunkan
harga. Jika yang terjadi adalah turunnya penawaran maka akan menyebabkan
terjadinya kekurangan yang kemudian mendorong harga yang ditawarkan lebih
tinggi. Hal ini akan mengurangi kuantitas yang diminta. Dengan demikian,
equilibrium yang baru terjadi pada harga yang lebih tinggi dan kuantitas yang
dibeli dan dijual lebih rendah.
2.2 Ketahanan Pangan Nasional
Penduduk Indonesia pada tahun 2035 diperkirakan akan bertambah
menjadi dua kali lipat dari jumlahnya sekarang, menjadi sekitar 400 juta jiwa.
Selanjutnya, meningkatnya pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, terjadi pula
peningkatan konsumsi per kapita untuk berbagai pangan. Akibatnya, dalam waktu
35 tahun yang akan datang Indonesia memerlukan tambahan ketersediaan pangan
yang lebih dari dua kali jumlah kebutuhan saat ini.
Membahas masalah pangan bagi negara dengan penduduk yang demikian
besar seperti Indonesia, berarti membahas masalah yang sangat penting
menyangkut masa depan negara. Agar pembangunan pertanian memiliki arah
yang jelas, negara perlu menetapkan politik pertanian yaitu keputusan sangat
mendasar dibidang pertanian pada tingkat negara, yang menjadi arah ke depan,
untuk menjadi acuan semua pihak yang terlibat, dengan sasaran membangun
kemandirian di bidang pangan ( Husodo, 2004).
7
2.3 Peran Negara (Pemerintah), Masyarakat (Swasta), Individu (Petani)
2.3.1. Peran Negara
Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik yang menjadi
organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah agency (alat) dari
masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan
manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam
masyarakat. Manusia hidup dalam suasana kerjasama sekaligus suasana
antagonistis dan penuh pertentangan. Negara adalah organisasi yang dalam suatu
wilayah dapat melaksanakan kekuasaanya secara sah terhadap semua golongan
kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan
bersama itu. Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di mana
kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama itu, baik oleh individu dan
golongan atau asosiasi, maupun oleh negara sendiri. Dengan demikian ia dapat
mengintegrasikan dan membimbing kegiatan-kegiatan sosial dari penduduknya ke
arah tujuan bersama.
2.3.2 Peran Masyarakat
Menurut Robert Maciver, dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik, dijelaskan
bahwa masyarakat adalah suatu sistem hubungan-hubungan yang ditertibkan
(Society means a system af ordered relations). Menurut perumusan Harold J.Laski
dari London School of Economics and Political Science maka masyarakat adalah
sekelompok manusia yang hidup bersama dan bekerjasama untuk mencapai
terwujudnya keinginan-keinginan mereka bersama. Berdasarkan kedua definisi
tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat mencakup semua hubungan dan
kelompok dalam suatu wilayah.
Jika manusia dibiarkan mengejar kepentingannya masing-masing dan
bersaing secara bebas tanpa batas, maka akan timbul keadaan yang penuh
pertentangan sehingga dapat merugikan masyarakat secara keseluruhannya. Oleh
karena mencari perlindungan dan atas kesadaran bahwa perlindungan yang efektif
hanya dapat diselenggarakan secara kolektif maka anggota masyarakat bergabung
dalam kelompok atau asosiasi dan perserikatan. Asosiasi yang yang paling
8
penting di antara asosiasi yang ada adalah negara. Negara sebagai asosiasi telah
lahir karena memenuhi kebutuhan manusia akan pengaturan. Negara mempunyai
tujuan untuk menyelenggarakan perlindungan serta penertiban dan untuk itu
diberi monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah.
2.3.3 Peran Individu
Individu adalah bagian dari anggota kelompok. Timbulnya kelompok-
kelompok itu ialah karena dua sifat manusia yang bertentangan satu sama lain, di
satu pihak dia ingin bekerjasama, di pihak lain dia cenderung untuk bersaing
dengan sesama manusia.
Manusia mempunyai naluri untuk hidup berkawan dan hidup bersama
dengan orang lain secara gotong royong. Setiap manusia mempunyai kebutuhan
fisik maupun mental yang sukar dipenuhinya seorang diri. Di dalam kehidupan
berkelompok dan dalam hubungannya dengan manusia yang lain, pada dasarnya
setiap manusia menginginkan beberapa nilai. Dalam mengamati masyarakat di
sekelilingnya, yaitu masyarakat barat, Harold Lasswell memperinci delapan nilai,
yaitu : kekuasaan, pendidikan/penerangan, kekayaan, kesehatan, keterampilan,
kasih sayang, kejujuran dan keadilan serta keseganan.
Berdasarkan berbagai nilai dan kebutuhan yang harus dilayani itu maka
manusia menjadi anggota dari beberapa kelompok sekaligus. Masyarakatlah yang
mencakup semua hubungan dan kelompok di dalam sesuatu wilayah.
9
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penulisan karya tulis ilmiah ini menggunakan data sekunder, diantaranya
data SUSENAS, serta berbagai data mengenai ketahanan, pangan dan energi serta
berbagai kebijakan yang terkait kedua sektor tersebut. Data-data tersebut
diperoleh dari berbagai media diantaranya . Data – data juga mencakup data time
series yang sifatnya makro maupun data cross section yang sifatnya mikro.
Metode yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini:
Metode eksploratif seperti statistika deskriptif kualitatif dan kuantitatif
untuk merangkum gambaran, pangan, dan energi termasuk bioenergi serta
berbagai aspek sosial ekonomi masyarakat.
Metode kuantitatif menggunakan Ekonometrika, diantaranya metode-
metode time series serta Panel Data Analysis.
Analisis atas kemungkinan pengembangan pangan dan bioenergi yang
dilanjutkan dengan melakukan sintesa hasil telaahan pada tahap
sebelumnya dengan pendekatan FGD (focus group discussion)
10
BAB IV
PEMBAHASAN
3.1. Kondisi Ketahanan Pangan Nasional Terhadap Bioenergi
Bionergi merupakan salah satu sumber daya alam Indonesia yang sangat
penting, sehingga dalam pengelolaannya harus dipersiapkan dengan baik.
Berdasarkan hukum permintaan dan penawaran, studi kasus pengembangan
bioenergi di Indonesia saat ini, dimana permintaan masyarakat akan biofuel
rendah karena masih terbiasa dengan minyak atau BBM, sementara penawaran
produksi bioenergi yang diwacanakan oleh pemerintah semakin meningkat, maka
harga yang ada di pasar menjadi murah. Padahal biaya untuk menghasilkan
bioenergi diperkirakan tinggi, dengan komposisi benih haruslah pilihan.
Oleh karena konsumsi dalam negeri masih dirasakan minim, maka
kebijakan yang kemudian diambil oleh pemerintah mengekspor bioenergi tersebut
kepada beberapa negara seperti Jerman, Belanda, Austria, Inggris, Prancis,
Amerika Serikat, dan Australia. (Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi-IPB,
2007). Hal lain yang terjadi adalah, karena meningkatnya penawaran biofuel oleh
pemerintah sebagai solusi ramah lingkungan dan efisien, maka industri-industri
dalam negeri yang aktivitasnya bertumpu pada BBM (Bahan Bakar Minyak)
mengambil alih kesempatan pengembangan biofuel untuk kepentingan
perusahaannya masing-masing, bukan untuk kepentingan masyarakat.(LP3E FE
UNPAD, 2007)
Menurut Firdaus tahun 2006, Program Manajer Mitra Emisi Bersih (MEB)
di Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) Serpong,
mengemukakan pendapatnya tentang pengembangan bioenergi. Pertama, kekuatan
Inpres 1/2006 tanggal 25 Januari 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan
Bahan Bakar Nabati sebagai bahan bakar alternatif diragukan kemampuannya
dapat menjadi pemicu pemanfaatan biofuel dalam sektor otomotif. Hasil
penelitian BPPT dan ITB, bahwa pemanfaatan biodiesel dapat menurunkan
beberapa jenis polutan emisi kendaraan bermotor mulai dari 23 persen sampai 90
persen (HC-Hydrocarbon, CO2-karbon-dioksida, CO-Karbonmonoksida, SPM-
11
Suspended particulate matter). Penelitian US Renewable Energy Agency juga
menunjukkan hasil serupa. Namun, hingga saat ini belum pernah didengar para
produsen otomotif di Indonesia merekomendasikan produknya untuk
menggunakan bahan bakar nabati. Dengan demikian, hal ini menjadi
kekhawatiran pertama dalam pengembangan biodiesel.
Kekawatiran yang kedua, adalah pemerintah mengulang
kesalahannya pada pengelolaan kelapa sawit, di mana jutaan hektar hutan
dikonversikan menjadi perkebunan sawit. Pemerintah akan membentuk kawasan
pengembangan bahan bakar nabati di Sumatera, NTT, Kalimantan, Jawa dan
Papua. Tujuannya untuk menarik investor sehingga dapat mendorong
pemanfaatan bahan bakar nabati atau bioenergi.
Kekhawatiran yang ketiga, dari pengembangan bahan bakar nabati akan
membawa kerugian yang besar bagi kaum petani dan ekonomi pedesaan pada satu
sisi. Sementara pada sisi yang lain, keuntungan yang melimpah akan diperoleh
perusahaan-perusahaan atau investor yang menanamkan modal dan
mengembangkan usahanya dari bahan bakar nabati. Ketua Tim Nasional
Pengembangan Bahan Bakar Nabati Al Hilal Hamdi mengatakan, dengan
dibentuknya kawasan bahan bakar nabati maka dapat mempermudah masuknya
investor. Pada tahun 2008 akan ada investasi asing yang masuk sekitar Rp 15-20
triliun.
Malaysia bahkan bercita-cita menjadi negara produsen biodiesel dari
minyak kelapa sawit terbesar didunia. Sampai tahun 2006, pemerintah Malaysia
telah mengesahkan 14 proyek dan menerima 30 pengajuan yang berkaitan dengan
pengembangan biodiesel. Pemerintah Malaysia berani menargetkan menjadi
produsen biodiesel kelapa sawit terkemuka didunia. Deputi Perdana Menteri
Malaysia Datuk Seri Najib Tun Razak bahkan berani menargetkan negara
Malaysia sebagai produsen biodiesel nomor satu dunia. Hal ini disampaikanya
pada acara peresmian pembangunan pabrik bahan bakar nabati, Lereno Sdn Bhd
Biodiesel, sebuah pabrik skema patungan yang didukung 30 persen dana oleh
investor dari Australia dan Italia. Pabrik tersebut diharapkan mulai menghasilkan
60.000 ton per tahun bahan bakar nabati tahun 2007. Golden Hope Plantations
12
Bhd, salah satu perusahaan perkebunan dan industri kelapa sawit terbesar di
Malaysia menargetkan dalam satu dekade mendatang memiliki 150.000 Ha lahan
perkebunan kelapa sawit di Indonesia (Infosawit, 2005).
Kerjasama patungan Malaysia dan Amerika Serikat untuk mendirikan
pabrik biodiesel di Pulau Batam melalui Batam Industrial Development Authority
(BIDA) ditanda-tangani MoU oleh Indonesia, Malaysia dan Amerika. Kerjasama
patungan ini dinilai strategis karena Indonesia sebagai penyedia bahan baku
minyak sawit yang didukung investasi dana dan kapasitas keahlian dari Malaysia
mendapat dukungan dan peluang pasar yang sangat menjanjikan di Amerika
Serikat (The Jakarta Post, 2006)
Berdasarkan penjelasan diatas, untuk mengetahui apakah Indonesia siap
untuk mengembangkan bioenergi dan apakah kondisi ketahanan nasional
Indonesia, khusunya dalam hal pangan, akan tetap stabil ketika pengembangan
biofuel dilakukan, akan diuraikan beberapa faktor yang menjadi tolak ukur dalam
efektifitas dan efisiensi pengembangannya serta masalah-masalah yang dihadapi
dalam realisasi pelaksanaannya, antara lain masalah pendanaan, kesiapan
masyarakat (dampak sosial), sasaran atau pasar yang akan dicapai, pengelolaan
lahan (dampak lingkungan), kesiapan teknologi dan infrastruktur yang dibutuhkan
dalam pengembangan dan pengelolaan bioenergi.
3.1.1 Pendanaan
Dana adalah hal yang harus dipersiapkan sebelum memulai pengembangan
bioenergi. Bagi Indonesia, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pidato
presiden Soesilo Bambang Yudhoyono di Losari tahun 2006, bahwa sumber dana
pengelolaan bioenergi diperoleh dari Anggaran Pendapatan dan belanja Negara
(APBN) dan persentase terbesar didanai oleh para investor baik luar maupun luar
negeri.
Pengembangan energi ini membutuhkan dana sekitar Rp 200 triliun.
Perhitungan ini berdasarkan pengalaman PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI)
dan beberapa BUMN perkebunan lain. Sementara itu, dana yang dibutuhkan
13
untuk keperluan budidaya tanaman dan pengolahan industrinya dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Dana Keperluan Budidaya Tanaman dan Industri
Jenis Tanaman Dana yang Dibutuhkan (Juta/ha)Kelapa Sawit 30Tebu 15Jarak Pagar 3Singkong 3,5
Sumber : RNI, 2006
Selanjutnya, perlu dikaji tentang sumber dana dalama pengembangan
bioenergi terutama yang berasal dari investor luar negeri. Oleh karena hal ini
sangat terkait dengan kemandirian bangsa dalam pengelolaan aset-aset,
pengelolaan energi, dan kebutuhan hajat hidup rakyat. Sudah banyak bukti yang
memperlihatkan bahwa kerjasama Indonesia dengan investor asing selalu
merugikan Indonesia terutama kerjasama dalam hal energi, diantaranya
kerjasama dengan New Mont, Exxon Mobile di kepulauan Natuna D Alpha
(Sindo, 2007), Freeport di Papua, Caltex di Riau (Al-Wa’ie, 2007). Oleh karena
itu, diharapkan dalam pengelolaan bioenergi tidak kembali terulang masalah yang
sama karena hal ini akan berakibat buruk terhadap ketahanan nasional bangsa.
3.I.2 Teknologi dan Infrastruktur Lain
Teknologi beserta infrastruktur lain yang memadai dan canggih dalam
pengembangan bioenergi mutlak diperlukan guna mencukupi kebutuhan.
Perusahaan manufaktur nasional yaitu PT PAL dan PT PINDAD yang menjadi
harapan bangsa untuk penyediaan mesin dan pabrik (Pidato Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono di Losari) diharapkan menjadi andalan dalam penopang
pemenuhan teknologi pengembangan bioenergi.
Namun menurut beberapa pakar penyediaan mesin ini bisa juga dengan
cara impor. Penyediaan mesin melalui impor ini juga akan mengeluarkan biaya
yang besar sebagaimana yang dipaparkan Menteri Perindustrian, Fahmi Idris
(Media Indonesia, 2007) sehingga perlu dipertimbangkan keuntungan yang
diperoleh dari besarnya biaya tersebut.
14
3.1.3 Dampak Lingkungan (Pengelolaan Lahan)
Lahan juga menjadi hal yang sangat penting dalam pengembangan
bioenergi karena dalam pengelolaannya, input awal dalam hal ini pohon jarak,
kelapa sawit, jagung, tebu dan lain-lain harus ditanam sesuai dengan lahan atau
tempat yang tepat dan tidak menggangu lahan pertanian. Saat ini tersedia 13 juta
lahan kritis untuk lahan pengembangannya. (Wahyudin, 2007). Menurut
penelitian METI (Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia), ada beberapa
kerugian dalam penanaman pohon jarak dalam skala besar salah satunya adalah
dapat menurunkan produktivitas lahan.
Fakta lain ternyata menunjukkan bahwa Indonesia belum siap dalam
pengembangan bioenergi. Untuk penanaman kelapa sawit diperlukan tiga juta
hektar lahan sedangkan saat ini hanya memiliki lima juta hektar lahan sawit dan
hal itupun telah dibangun sejak puluhan tahun yang lalu. Hal ini akan berdampak
negatif terhadap produk utama kelapa sawit yang juga merupakan komoditi
andalan ekspor ke-2 dunia bagi Indonesia. (Husodo, 2004). Fakta menunjukkan
mulai tanggal 1 Mei 2007 telah terjadi peningkatan harga minyak goreng di
Indonesia, padahal Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor CPO terbesar
di dunia.
Contoh lain, penggunaan singkong sebagai bahan baku pengembangan
bioenergi, mendesak lahan produksi singkong untuk pangan nasional. Dimana
kebutuhan lahan produksi singkong untuk kebutuhan pangan akhirnya semakin
menipis. Tabel 4 menunjukkan luas arel dan produksi singkong di Indonesia.
Tabel 4. Luas Areal dan Produksi Singkong di Indonesia Tahun 2002-2006Tahun Luas Areal (Ha) Produksi (ton)2002 1.276.533 16.912.9012003 1.244.534 18.523.8102004 1.255.805 19.424.7072005 1.213.460 19.321.1832006 1.241.676 20.054.634
Sumber : Departemen Pertanian, 2006.
Berdasarkan Tabel 4. dapat dilihat bahwa luas areal singkong setiap tahun
cenderung menyempit. Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan pengembangan
15
bioenergi dengan bahan baku singkong per tahun untuk luasan satu hektar adalah
25 ton akan menghasilkan 4500 liter per tahun. Apabila secara keseluruhan total
produksi singkong sebagai pangan tahun 2006 digunakan untuk memenuhi
kebutuhan bioenergi per tahun, hanya dapat dihasilkan 144.393.364,80 liter/ha/thn
[(20.054.634/25) x 180], konversi dalam barel (1 barel = 159 liter) 908.134,37
barel/tahun. Sementara itu, untuk konsumsi minyak dalam negeri pada tahun 2004
sebesar 11.437.000 barel. Sehingga tampak bahwa diperlukan sangat banyak
komoditas pangan lain yang harus di upayakan sebagai bahan baku
pengembangan bioenergi sehingga pemenuhan energi dalam negeri dapat
tercukupi. Selanjutnya, pada Tabel 5. disajikan pemanfaatan ethanol yang berasal
dari berbagai bahan mentah yang memang sebenarnya merupakan produk pangan
yang juga dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
Tabel 5. Perolehan Ethanol dari Berbagai Bahan MentahSumber Produktivitas Lahan
(ton/ha/thn)Perolehan Ethanol
Liter/ton Liter/ha/thnSingkong 25 180 4500Tetes Tebu 3.6 270 973Ubi Jalar 62.5 125 7812Sagu 6.8 608 4133Tebu 75 67 5025Nipah 27 93 2500
Sumber : Tatang, 2006.
3.1.4 Pasar
Tolak ukur keberhasilan suatu produk salah satunya adalah memiliki
sasaran atau pasar yang jelas. Adanya jaminan bahwa ketika petani menanam
jarak atau tanaman lain sebagai bahan baku bioenergi, maka hasil panen tanaman
itu akan diolah atau diserap Pertamina dan pihak-pihak lain yang telah ditunjuk
oleh pemerintah sebagai pengumpul serta legal menjadi pengembang bioenergi.
Jika para petani terlibat dalam proses pengembangannya, maka setelah diolah
menjadi biodiesel atau bioetanol, harus pula dapat diserap oleh pasar. Dengan
demikian, terjadi kepastian pasar dari keseluruhan proses usaha ini.
Walaupun penggunaan bioenergi telah menjadi wacana Internasional,
namun peluang pasar di dalam negeri untuk saat ini belum menjanjikan,
16
sebagaimana yang telah dialami oleh Pertamina dalam memasarkan biofuel.
Diakui oleh Hanung Budaya, Deputi Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina
bahwa penjualan energi alternatif malah semakin membuat cadangan modal
perusahaannya terkuras. Biaya produksi biosolar ternyata lebih mahal daripada
solar biasa. (Tempo, 2006). Begitupun dengan perbandingan harga bioenergi antar
negara yang telah mengembangkan bioenergi, ternyata Indonesia masih lebih
mahal dari pada Brazil dan Thailand, seperti yang tercantum dalam Tabel 6.
Tabel 6. Tantangan Efisiensi Biaya Produksi Ethanol Negara Bahan Baku Biaya Produksi Sen$/lt
Brazil Tebu (tetes + nira) 15,0 (Rp 1400,-)Thailand Singkong 23,9Thailand Tetes 17,9Thailand Nira Tebu 25,1 (Rp 2310,-)China Nira + tetes 24,9China Singkong 37,4China Jagung 44,2USA Jagung 25,5Eropa Gandum 42,0Eropa Beet 45,0 (Rp 4140,-)Indonesia Tebu 5000 (HPP)Note : Biaya belum termasuk overhead cost dan penyusutan mesin.
Sumber : Hendroko dkk, 2007.
Berdasarkan data yang dipaparkan oleh Neneng Goenadi dalam majalah
SWA edisi 23 Maret 2007, bagi beberapa negara maju muncul kekhawatiran
bahwa dengan dibangunnya industri bioenergi secara besar-besaran justru akan
membuat kapasitas berlebih dibandingkan dengan sisi permintaan (demand).
Sementara itu, bagi negara sedang berkembang, tantangannya adalah bagaimana
menciptakan sekaligus memelihara persediaan bioenergi yang dapat
meningkatkan pendapatan untuk industri pertanian serta mendukung
pengembangan ekonomi pedesaan. Dengan demikian, perlu diperhatikan
beberapa kondisi, antara lain :
Pertama, shifting the supply curve; menggeser kurva persediaan yang
terkait dengan evolusi persediaan sumber serta produksi bioenergi. Termasuk,
pemahaman terhadap faktor-faktor yang memengaruhi dan memberi dampak
terhadap perubahan yang terjadi. Saat ini industri bioenergi yang ada hanya
17
bersifat lokal (negara), tidak ada yang bersifat Internasional. Walaupun demikian,
tak ada alasan fisik mengapa pada jangka panjang, bioenergi terbatas hanya
menjadi perdagangan nasional atau regional. Misalnya, ada model rantai
persediaan global seperti “Producer Market”, terutama untuk ekspor bahan baku
dan produksi. Hal ini mirip tantangan yang dihadapi perusahaan minyak dalam
mengelola eksplorasi dan produksi, serta menyesuaikan strategi perusahaan untuk
skala global.
Kedua, shifting the demand curve; menggeser kurva permintaan
berdasarkan pengamatan terhadap sejauh mana dukungan pemerintah, dunia
otomotif dan pasar ritel terhadap penggunaan bioenergi sebagai alternatif terbaik
pengganti bahan bakar bensin. Misalnya, pemerintahan negara maju memiliki dan
memberi fasilitas pendukung untuk pengembangan industri, antara lain mandat
pemerintah, kredit pajak, subsidi, hibah, atau garansi, dan kontrol terhadap
penggunaan bahan bakar untuk kendaraan milik pemerintah.
Ketiga, creating the energy industry; menciptakan kembali industri energi
adalah mengamati tantangan-tantangan yang berhubungan dengan penciptaan
pasar yang sepadan, baik untuk sumber, produksi, transportasi maupun distribusi
bioenergi.
3.1.5 Dampak Sosial Masyarakat
Kebijakan dalam hal pengembangan bioenergi merupakan suatu wacana
kekinian yang perlu untuk dikaji lebih mendalam, khususnya dalam
implementasinya di lapangan dan dampak yang dirasakan oleh masyarakat secara
langsung. Dalam pengembangan bioenergi, permasalahan biaya yang sangat besar
mutlak dipenuhi. Diperlukan pula cara pengelolaan risiko yang handal, seperti
ketetapan standardisasi output, penentuan harga di pasar perdagangan, instrumen
keuangan yang dapat menopang risiko dan dukungan pemerintah yang jelas dalam
keberpihakannya kepada petani.
Oleh karena itu diperlukan analisis biaya yang akan dikeluarkan dalam
pengelolaan bioenergi ini untuk setiap komoditi yang digunakan sebagai bahan
18
baku, sebagai contoh akan dipaparkan bagaimana analisis biaya yang harus
dikeluarkan untuk usaha ini berdasarkan bahan baku pohon jarak.
Analisis Cost-Revenue : Untung/Rugi = Total Pendapatan- Total Biaya
Asumsi :
1. Lahan yang akan diolah dari lahan kritis yang tersedia seluas 13 juta Ha adalah 3.000.000 Ha
2. Biaya budidaya per Ha = Rp 3.000.000
3. Biofuel yang dihasilkan adalah 92.000 liter per 3.000.000 Ha lahan selama 6 tahun dalam satu kali panen (Sosialisasi bioenergi pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dalam forum Kepala Desa tahun 2004)
4. harga per liter (sudah disubsidi) = Rp 4.300
Perhitungan biaya :Total biaya yang dibutuhkan untuk budidaya = 3.000.000 x Rp 3.000.000
= Rp 9 x 1012 atau Rp 9 triliunPerhitungan pendapatan :Total pendapatan = 92.000 liter x Rp 4.300
= Rp 395.600.000Sehingga ada kerugian sebesar = Rp 9 triliun- Rp 395.600.000
= Rp 8,99 triliun
Berdasarkan analisis biaya di atas, disamping pemerintah mengalami
kerugian, ternyata dengan adanya instruksi pemerintah kepada para petani untuk
meningkatkan kesejahteraan mereka dengan mengubah inti aktivitasnya dalam
mengolah lahan pertanian menjadi menanam jarak pagar pun mengalami kerugian
yang besar, hal ini dapat dibuktikan dengan perhitungan di bawah ini :
A. INVESTASI TANAMAN ( per Hektar ):1. Bibit Siap Tanam Rp. 150,- 2500 pohon/ha Rp. 375.000.-2. Biaya Pupuk Kandang 625.000 /ha Rp. 625.000.-3. Biaya Pupuk Organik 500.000 /ha Rp. 500.000.-- Sub total Investasi Tanaman Rp. 1,500,000.-B. INVESTASI NON TANAMAN :1. Biaya Pengolahan ( 100 HOK ) /ha Rp. 1.500.000.-2. Biaya Penanaman & Perawatan ( 50 HOK ) /ha Rp. 750.000.-3. Biaya Umum 10% 150.000.- /ha Rp. 150.000.-4. Biaya Asuransi 1.5% Rp. 22.500.-5. Biaya Jasa Manajemen dan Jasa Lain 5% Rp. 75.000.-- Sub total Investasi Non Tanaman Rp. 2.497.500.-C. TOTAL INVESTASI Rp. 3.997.500.-Keterangan : HOK Hari Orang Kerja
19
Uraian Y Y + 1 Y + 2 Y + 3 Y + 4 Y + 5Arus MasukPenjualan 0 3.750 5.000 6.250 6.250 6.250Kewajiban 3.997,5Hutang 0.00Sub Total 3.997,5 3.750 5.000 6.250 6.250 6.250Arus KeluarBiaya Investasi
3.997,5
Perawatan (50 HOK)
750 825 907,5 998,25 1.098,10
Biaya Produksi
750 750 750 750 750
Pupuk, Obat
750 750 1.000 1.000 1.000
Asuransi 22,5 22,5 22,5 22,5 22,5Biaya Umum
150 150 200 200 200
Lain-lain 0 0 0 0 0Sub Total 3.997,5 2.422,5 2.497,5 2.880,0 2.970,75 3.070,6Selisih (Masuk-Keluar)
0,00 1.327,5 2.502,5 3.370,0 3.279,25 3.179,4
Saldo awal 0,00 1.327,5 3.830,0 7.200,0 10.479,25
Saldo akhir
0,00 1.327,5 3.830,0 7.200,0 10.479,25 13.658,65
Tabel 7. Proyeksi Arus Kas (dalam ribuan)
Sumber : Wahyudin, 2007.
Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa biaya yang harus
dikeluarkan untuk pengembangan bioenergi saat ini sangat tinggi, sedangkan
pendapatan yang diperoleh oleh petani jauh berada di bawah kondisi normal. Pada
rentang waktu tahun pertama dan kedua penghasilan petani sungguh sangat
rendah, berbeda ketika mereka dapat menanam padi atau tanaman pangan lainnya,
ada kepastian pendapatan yang diperoleh. Meskipun terjadi kerugian ketika masa
panen, namun ada sesuatu yang jelas dapat dikonsumsi oleh mereka sebagai
sebuah pemenuhan kebutuhan pokok. Selama rentang waktu tersebut pemerintah
seharusnya dapat memprediksi kerugian yang akan diperoleh para petani,
kesejahteraan mereka sebelum masa panen terjadi, dan penghasilan mereka yang
20
sangat rendah sementara tuntutan akan pemenuhan kebutuhan keluarga sangat
tinggi (pangan, pendidikan, sosial, dan lain-lain).
Berdasarkan hal tersebut, hal ini jelas akan menimbulkan kerugian yang
sangat besar dalam aspek sosial, seperti yang pernah dialami oleh Desa Bojong
Asih kecamatan Bantar Kalong kabupaten Tasikmalaya, ditemukan bahwa
pemerintah kabupaten menetapkan sebuah kebijakan tentang keharusan bagi para
petani untuk menanam tanaman jarak dimana sebelumnya tanah ini digunakan
oleh penduduk lahan tanaman palawija atau dengan kata lain tanaman pangan. Hal
ini tentu saja tidak sesuai dengan perencaan pemerintah untuk menggunakan lahan
kritis sebagai lahan bagi tanaman jarak. Adapun dampak dari penanaman besar-
besaran tanaman jarak ini adalah dapat mengurangi produktivitas tanah dan
mengganggu keseimbangan ekosistem (METI, Jepang)
Kebijakan ini sudah mulai diterapkan pemerintah Tasikmalaya semenjak
tahun 2004 dan pada tahun 2005 datang kebijakan baru tentang keharusan bagi
patani untuk menanam jarak. Namun, sampai saat ini belum ada hasil dari
penanaman jarak tersebut. Selain itu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
kabupaten Tasikmalaya ini tidak diiringi dengan teknologi pengolahan tanaman
jarak menjadi biofuel. Dengan demikian, dalam prakteknya belum tampak
kesiapan pemerintah maupun petani untuk melaksanakannya. (Hasil wawancara
dengan salah seorang warga Tasikmalaya yang menanam tanaman jarak).
Hal ini juga berdampak terhadap ketahanan pangan nasional. Berdasarkan
penggunaan lahan yang seharusnya ditanam tanaman pangan akhirnya harus
berganti jarak dan kelapa sawit. Pergantian tanaman pangan dengan tanaman jarak
menyebabkan produksi pangan nasional juga semakin berkurang. Dengan
demikian, akan berdampak terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam
skala nasional. Hal ini menyebabkan ketersediaan pangan semakin berkurang
sedangkan jumlah penduduk Indonesia semakin bertambah.
Menurut teori Ekonomi, penawaran yang menurun sedangkan permintaan
bertambah akan menyebabkan harga di pasar semakin tinggi. Dengan demikian,
akan berdampak terhadap kesanggupan rakyat untuk membeli pangan. Selain itu,
akan berdampak semakin tingginya angka kemiskinan. Di sisi lain, untuk tetap
21
memenuhi kebutuhan dalam negeri, pemerintah mau tidak mau harus melaukan
impor terhadap produk pangan seperti beras, jagung, kedelai dan gula. Sejak tahun
2004, untuk mencukupi kebutuhan pangan bagi penduduk yang jumlahnya ± 210
juta jiwa, Indonesia sebagai negara agraris ternyata setiap tahun harus mengimpor
komoditas pangan utamanya. Seperti yang terlihat dalam Tabel 8.
Tabel 8. Impor Pangan Pemenuhan Kebutuhan Indonesia Jenis Pangan Impor (± Juta ton/Tahun)
Beras 2 (terbesar di dunia)Gula 1.4 (No.2 terbesar di dunia)Jagung 1.2Kedelai 1.4 Gandum 4.5Ternak Sapi 450.000 ekorGaram 1.4 Gaplek 0.9
Sumber : Husodo, 2004
Hal ini bisa terjadi secara rutin dilakukan oleh pemerintah jika kondisi
tanah negeri ini sudah mulai turun produktivitasnya akibat penanaman jarak
sebagaimana disampaikan METI. Apabila tidak ada perhatian khusus oleh
pemerintah terhadap ketersediaan pangan dalam negeri akan menyebabkan
ketergantungan terhadap negara lain. Tentu saja hal ini bertolak belakang dengan
cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang telah disampaikan oleh Presiden
Sukarno dalam pidatonya saat peresmian Fakultas Pertanian Universitas Indonesia
yang sekarang bernama Institut Pertanian Bogor.
22
3.2 Kesiapan Indonesia dalam Pengembangan BioenergiProgram pengembangan bioenergi nasional yang saat ini gencar
disosialisasikan oleh pemerintah, ternyata memiliki dampak sangat besar terhadap
lingkungan dan kondisi sosial masyarakat Indonesia. Dengan dikembangkannya
bioenergi sebagai alternatif pengganti minyak banyak membutuhkan bahan baku
atau input yang berasal dari komoditas pangan nasional, seperti jagung, kedelai,
tebu, kelapa sawit, dan lain-lain. Sehingga hal tersebut sangat berpengaruh
terhadap eksistensi pemenuhan pangan nasional karena pemanfaatan lahan untuk
pengembangan bioenergi ternyata mengikis lahan pertanian (Majalah Komoditi,
2006)
Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman hayati
yang sangat tinggi, menyimpan potensi ketersediaan bahan baku bioenergi yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan. Hal ini didukung oleh wilayah Indonesia yang
relatif subur, sehingga memungkinkan proses budidaya tanaman-tanaman yang
menjadi bahan baku bioenergi dapat berlangsung dengan baik. Adapun tumbuhan
yang berpotensi sebagai bahan baku dalam pembuatan bioenergi dapat dilihat
pada Tabel 9.
Tabel 9. Potensi Tanaman Penghasil Bioenergi di IndonesiaNo. Nama Komoditas Sumber
1 Alpukat Daging Buah2 Jagung Germ3 Jarak Kaliki Biji4 Jarak Pagar Biji5 Kapuk/Randu Biji6 Karet Biji7 Kayu Manis Biji8 Kecipir Biji9 Kelapa Daging buah10 Kemiri Inti buah/Kernel11 Padi Dedak12 Pepaya Biji13 Rambutan Inti biji14 Randu alas Biji 15 Sawit Daging Buah
Sumber : Majalah Komoditi, 2006.
23
Berdasarkan hal tersebut, maka pemerintah dalam hal ini sebagai pihak
yang bertanggungjawab dalam pemenuhan kesejahteraan rakyat, haruslah dapat
menentukan skala prioritas dalam pelaksanaan program nasional jangka
panjangnya. Jika pengembangan bioenergi saat ini dilakukan sementara
pemerintah tidak dengan konsisten melakukan pembenahan dalam masalah
pangan nasional, maka semakin terpuruklah kondisi bangsa Indonesia dimasa
mendatang.
Menurut Siswono YH, dalam buku Membangun Kemandirian Pangan,
disebutkan bahwa kondisi kekurangan pangan bangsa sudah sangat
mengkhawatirkan, sehingga ketergantungan pangan bagi rakyat adalah dengan
cara impor. Padahal, Indonesia adalah negara tropis terpanjang di dunia dengan
luas daratan hampir 1,9 juta Km2.
Hal lain diinformasikan pula oleh Himpunan Kerukunan Tani Indonesia
(HKTI) pada tahun 2002, impor beras di tahun 1998, sebesar 5,8 juta ton, dan 4
juta ton pada tahun 1999 serta rata-rata 2 juta ton/tahun, telah menjadikan
Indonesia importir beras terbesar di dunia, padahal 14 tahun sebelumnya, kita
telah mampu berswasembada beras. Impor biji kedelai pada lima tahun terakhir
rata-rata 0,8 juta ton pertahun senilai US$ 226,838 juta setara Rp. 2,3 Triliun,
padahal hanya 15 tahun sebelumnya kita mampu berswasembada. Jika kita
bandingkan dengan produksi tanaman pangan Indonesia dengan memperhatikan
tingkat pertumbuhannya, maka gambaran produksi tanaman pangan tersebut dapat
dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Produksi Padi dan Palawija Tahun 2000 dan Perkiraan Tahun 2001 (Juta Ton)
Komoditas 2000 2001 Perubahan (%)
Padi 51,89 50,18 -3,31
Jagung 9,67 9,29 -3,92
Kedelai 0,73 0,92 -9,27
Kacang tanah 1,01 0,70 -3,66
Kacang hijau 0,28 0,34 20,41
Ubi jalar 1,82 1,61 -11,90
24
Ubi kayu 16,08 15,60 -3,01
Sumber : BPS, Angka Ramalan II Tahun 2001
Berdasarkan Tabel 10. terjadi penurunan dalam produksi tanaman pangan.
Penyebab utama penurunan produksi adalah karena tidak adanya rangsangan
untuk meningkatkan produksi karena rendahnya harga.
Jika diperhatikan lebih rinci, kondisi yang dipaparkan oleh BPS
merupakan gambaran kondisi pangan yang telah mengkhawatirkan sebelum
disosialisasikannya program pengembangan bioenergi yang dimulai sejak tahun
2002. Pemerintah perlu melakukan kajian lebih dalam terhadap dua kebijakannya
yaitu antara pengembangan bioenergi dengan program peningkatan produksi
pangan nasional, dalam rangka pemenuhan kebutuhan rakyat sehingga
ketergantungan Indonesia dengan produk impor bisa dihindari. Sementara itu,
perkiraan kebutuhan pangan nasional pada tahun 2035 dengan jumlah penduduk ±
400 juta jiwa, maka pemenuhan kebutuhan beberapa jenis pangan setiap tahunnya
dapat dilihat pada tabel 11.
Tabel 11. Perkiraan Kebutuhan Jenis Pangan Setiap TahunNo Jenis Konsumsi/
Kapita/th Tahun 2035
Kebutuhan Nasional
Tahun 2035
Produksi dalam Negeri Tahun
2001
Ket
1 Beras 90 Kg (turun 30%)
36 juta ton 29 juta ton + 25%
2 Daging (ayam,sapi,dll)
15 Kg (naik 2 X)
6 juta ton 2,2 juta ton 3 Kali
3 Telur 90 Butir (naik 3 X, masih di bawah Malaysia
36 M butir 12,6 M butir 3 Kali
4 Susu 12 liter 4,8 M liter 1,2 M butir 4 Kali
5 Gula 25 Kg 10 juta ton 1,9 juta ton 5 Kali Ayam 8 Kg 3,2 juta ton 750 ribu ton 4 Kali Sumber : HKTI, 2003
Berdasarkan Tabel 15. tampak bahwa kebutuhan beberapa jenis pangan
untuk rakyat Indonesia di tahun 2035, sangat besar bila dibandingkan dengan
25
kemampuan produksi saat ini. Oleh karenanya, diperlukan perencanaan dan
langkah-langkah yang efektif dan efisien untuk memenuhi tuntutan produksi yang
begitu besar, jika Indonesia mengharapkan dirinya menjadi Negara yang berdaulat
dalam masalah pangan..
Tidak hanya di bidang pangan, secara umum bangsa yang berpenduduk
210 juta jiwa, No 4 terpadat di dunia, harus dapat segera membangun kemandirian
ekonomi, agar Indonesia mampu memutuskan sendiri apa yang terbaik bagi
bangsanya sesuai dengan Tap MPR RI No II/MPR/2002 dan Tap MPR RI No.
VI/MPR/2002. Dalam UUD 1945, pada perubahan ke empat juga telah
menetapkan kemandirian sebagai salah satu prinsip pembangunan ekonomi
Indonesia. Proklamator kemerdekaan Indonesia Bung Karno, dalam semangat
kemandirian itu menganjurkan kita melaksanakan Tri Sakti yaitu : berdaulat di
bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang
kebudayaan. Sementara itu, meningkatnya pendidikan dan kesejahteraan
masyarakat membuat masyarakat menuntut kualitas pangan yang lebih bergizi,
lebih enak, lebih higienis dan lebih aman. Dunia juga menuntut pangan yang lebih
berkualitas.
Pada saat ini, banyak export pangan kita yang ditolak FDA dari USA, dan
menjadikan harga expor produk-produk pertanian dan pangan kita harganya
tertekan. Pada masa yang akan datang, peningkatan kualitas produk pertanian dan
pangan perlu memperoleh perhatian yang memadai. Begitu besar tantangan yang
dihadapi di bidang produksi pangan, yaitu peningkatan volume produksi,
peningkatan kualitas produk dan penganekaragaman produk serta peningkatan
daya saingnya. Secara umum, di bidang pertanian, peternakan dan perikanan,
diperlukan perubahan-perubahan yang mendasar, terutama dengan peningkatan
skala usaha, menjadikan setiap usaha tani, usaha peternakan dan usaha perikanan
mencapai skala ekonomi yang dapat menjadikan pelakunya sejahtera.
Di tahun 2015 diperkirakan 580 juta penduduk dunia akan mengalami
kekurangan pangan. Makanan pokok penduduk tetap berasal dari biji-bijian, yang
memasok setengah dari kalori makanan. Kebutuhan biji-bijian akan berkisar 50
persen untuk konsumsi manusia, 44 persen makanan ternak dan 6 persen industri.
26
Impor biji-bijian negara-negara berkembang akan meningkat hampir 2 kali lebih
besar dalam waktu 35 tahun yang akan datang, dari 170 juta ton di tahun 1995
menjadi 270 juta ton di tahun 2030.
Pada saat ini, FAO justru mendorong sekaligus merekomendasikan
negara-negara seperti Amerika Utara, Eropa Barat, dan Australia meningkatkan
ekspor bahan pangannya. Satu hal yang menjadi pertanyaan mengapa FAO tidak
menganjurkan membantu negara-negara berkembang seperti Indonesia
meningkatkan produksi pangannya.(Jurnal Ekonomi Rakyat, 2003). Padahal
potensi alam negara-negara berkembang, seperti Indonesia justru sangat potensial
untuk ditingkatkan dalam membangun kemandirian pangan bangsanya.
Berdasarkan kondisi daya saing pertanian Indonesia saat ini, liberalisasi
perdagangan ASEAN yang telah diwujudkan dalam Asean Free Trade Area
(AFTA) tahun 2003, terbukti sampai sekarang Indonesia masih melakukan
kerjasama impor beras dengan Vietam. Dalam bidang pertanian untuk produk-
produk tertentu Indonesia belum siap menghadapi Pasar Bebas Asia Pacific 2010
dan Pasar Bebas Dunia 2020. Jika kita tidak mampu mengelola dengan baik
persaingan yang akan terjadi, maka kehancuran pertanian Indonesia akan menjadi
kenyataan, yang berarti jutaan petani Indonesia akan kehilangan pekerjaan dan
akibatnya pangan bagi rakyat Indonesia akan semakin tengantung dari impor.
Tuntutan peradaban masyarakat dunia membawa kita pada kehidupan
yang semakin liberal, semakin individualistis, dan manusia semakin menjadi
homo economicus, menempatkan pertimbangan-pertimbangan ekonomi sebagai
pertimbangan utama dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Oleh
karenanya, peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi agenda utama semua
pemerintahan di seluruh dunia. Oleh karena mayoritas rakyat Indonesia adalah
petani, maka peningkatan kesejahteraan petani perlu memperoleh perhatian dari
semua pihak, terutama Pemerintah. Peningkatan kesejahteraan yang terjadi atas
dasar peningkatan produktivitas dan distribusinya. Masyarakat menuntut
kehidupan yang semakin nyaman, kualitas hidup yang semakin baik, pelayanan
yang semakin cepat; makanan yang semakin lezat, gizi yang semakin baik,
keamanan pangan yang semakin tinggi, dan oleh karenanya bagi semua pelaku
27
kegiatan ekonomi dituntut untuk menghasilkan produk yang semakin banyak dan
semakin baik, dengan pelayanan yang semakin cepat dan nyaman serta persaingan
harga yang semakin ketat.
Di Jepang orang tidak akan bertani jika lahannya kurang dari 1 Ha. Lahan
seluas itu digarap sangat intensif, bahkan seluruhnya dilakukan dalam Green
House. Di Belanda, lahan pertanian dilarang dibagi untuk diwariskan. Sebagai
suatu negara, tidak diperkenankan ada kebijakan yang mendorong penurunan
prestasi produktivitas dan kualitas. Semua bangsa di negara-negara yang maju
berlomba-lomba mensejahterakan warganya dengan bantuan negara, memenuhi
tuntutan kemajuan peradaban manusia dengan cara-cara yang memenuhi kaidah-
kaidah ekonomi dan memperkuat basis ekonomi warganya.
Berdasarkan hal yang telah dipaparkan, tampak bahwa Indonesia sebagai
negara agraris justru mengalami penurunan produktivitas pertanian, sedangkan
negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat semakin memperkuat
sektor pertanian mereka dalam rangka pemenuhan kebutuhan rakyat. Selain itu,
mereka membuat barrier yang sangat ketat terhadap ekspor pertanian dari negara
lain. Hal ini merupakan bukti bahwa ketahanan pangan suatu negara merupakan
prioritas utama dan sangat ditentukan oleh kuatnya kebijakan pemerintah.
Dengan demikian, Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar juga harus
mampu menetapkan kebijakan yang berorientasi terhadap kebutuhan rakyat.
Kebijakan politik yang tidak berorientasi terhadap opini internasional. Saat ini,
pemenuhan kebutuhan pangan nasional menjadi permasalahan ketahanan pangan
karena masih bergantung pada impor. Hal ini sudah sangat mengkhawatirkan
sehingga diperlukan solusi cepat dan tepat dari kebijakan politik pemerintah untuk
mengatasinya. Walaupun opini internasional yang berkembang saat ini adalah
pengembangan bioenergi sebagai energi alternatif untuk pemenuhan kebutuhan
energi dunia, namun sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa
kondisi energi Indonesia pada faktanya masih mampu memenuhi kebutuhan
energi dalam negeri hingga puluhan tahun mendatang. Sehingga dalam
pelaksanaannya saat ini, Indonesia belum dapat mengembangkan bioenergi
sebagai sebuah solusi alternatif atas kelangkaan minyak yang terjadi.
28
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Perkembangan bisnis bionergi sangat ditentukan oleh kondisi ketahanan
nasional Indonesia, khusunya dalam hal pangan. Ketahanan pangan nasional akan
tetap stabil ketika pengembangan bioenergi dilakukan dengan mempertimbangkan
beberapa faktor yang menjadi tolak ukur dan masalah dalam efektifitas dan
efisiensi pengembangannya, antara lain masalah pendanaan, kesiapan masyarakat
(dampak sosial), sasaran atau pasar yang akan dicapai, pengelolaan lahan (dampak
lingkungan), serta kesiapan teknologi dan infrastruktur yang dibutuhkan dalam
pengembangan bioenergi. Selain itu juga, perkembangan bisnis bionergi di
Indonesia juga sangat tergantung terhadap bagaimana keseimbangan antara
penawaran dan permintaan terhadap bionergi itu sendiri. Ketidakseimbangan
antara penawaran dan permintaan akan sangat mempengaruhi kuantitas
diproduksinya bionergi.
Dengan demikian, sebagai sebuah solusi yang berharga, Indonesia sebagai
sebuah bangsa yang besar seharusnya mampu menetapkan kebijakan yang
berorientasi terhadap kebutuhan rakyat, yaitu kebijakan politik yang tidak
berorientasi terhadap opini internasional. Saat ini, pemenuhan kebutuhan pangan
nasional menjadi permasalahan ketahanan pangan karena Indonesia masih
ketergantungan dengan produk impor. Sehingga wacana pengembangan bionergi
yang gencar dilakukan saat ini, sejatinya tidak harus sudah dalam proses
pengembangan, namun dalam hal penyamaan persepsi akan untung dan ruginya
jika dikembangkan. Sehingga diperlukan solusi cepat dan tepat dari pemerintah
untuk mengatasi dan menjalin sinergisitasnya dengan masyarakat dan petani. Jika
pemerintah dapat melakukan pengelolaan secara optimal terhadap persediaan
energi dalam negeri, maka isu kelangkaan yang terjadi dapat diminimalisir seiring
proses edukasi pengembangan bionergi masa depan.
29
5.2 Saran
Adapun saran penulis dalam hal ini adalah kiranya pandangan terhadap
penyediaan energi harus berubah arah, yang semula memburu energi (energy-
hunting) dari energi fosil berubah ke upaya membudidayakan energi (energy-
farming) dengan energi nabati sebab biodiesel dan bioetanol berpotensi untuk
dikembangkan secara besar-besaran mengingat bahan bakunya kelapa sawit, jarak
pagar dan singkong yang dapat dibudidayakan secara luas. Biodiesel dari kelapa
sawit (CPO) nampaknya paling siap untuk dikembangkan sebagai sumber energi
alternatif mengingat negara kita sebagai negara produsen kedua
30
DAFTAR PUSTAKA
Antara. 2006. Biofuel 5 Persen, Bisa Kurangi Kebutuhan Minyak 2,4 Juta Kiloliter. Available from: http://www.antara.co.id/seenws/?id=38577. Diakses pada tanggal 26 Februari 2007.
Fasabeni, M. 2006. Kawasan Bahan Bakar Nabati Akan Dibentuk. Available from:http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2006/12/01/brk,20061201-88777,id.html. Diakses Tanggal 26 Februari 2007.
Budiardjo, M. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
Departemen Komunikasi dan Informatika RI. 2006. Bahan Bakar Nabati Sebagai Bhan Alternatif BBM. Available from: http://www.bfuel.biz/.html. Diakses pada tanggal 26 Februari 2007.
Griffin, R. W dan Michael, P. W.2005. Bisnis Internasional. PT. Indeks: Jakarta
Jiwan, Norman. 2006. Propaganda Biodiesel Minyak Sawit. Available from: http://www.sawitwatch.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=37&Itemid=1.Diakses pada tanggal 26 Februari 2007.
Nugraha, S. 2007. Analisis Strategi Pengembangnan Usaha Energi Alternatif Biodiesel (Studi Kasus PT. Energi Alternatif Indonesia, Kecamatan Tanjung Priok, Kotamadya Jakarta Utara). Skripsi. Jurusan Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Sanusi, B. 1983. Indonesia dalam Dunia Perminyakan. UI Press : Jakarta
Supriyanto, A. 2007. Program Bahan Bakar Nabati Terancam Gagal. Available From:http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/01/15/brk,20070115-91289,id.html. Diakses Tanggal 26 Februari 2007.
Winarno, OT. 2004. Perlunya Penghapusan Subsidi BBM. Available from: http://portal.djmbp.esdm.go.id/modules/news/index.php?_act=detail&sub=news_article&news_id=1584. Diakses pada tanggal 4 Mei 2007.
Lipsey, R. G. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Bina Rupa Aksara : Jakarta
Recommended