View
216
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
“Keinginanku sebenarnya bukanlah sekadar meminta ruangan kaum ibu dalam surat kabar Oetoesan Melajoe yang Bapak pimpin, tetapi... pernerbitan yang istimewa untuk kaum perempuan...saya akan usahakan penulis-penulis perempuan lainnya, supaya benar-benar surat kabar itu merupakan suara kaum perempuan.”1 -Roehana Koeddoes-
Kutipan kalimat dari percakapan Rohana Koeddoes dengan Soetan
Maharaja2 tersebut mengantarkan Rohana menjadi jurnalis dan pendiri surat
kabar perempuan pertama di Indonesia. Eksistensi Rohana sekaligus menjadi
sejarah, tonggak awal kehadiran perempuan dalam praktik jurnalistik.
Emansipasi perempuan yang diperjuangkan Rohana Koeddoes seakan
mencapai titik terangnya sekarang. Kini, makin banyak jurnalis perempuan
turun lapangan guna mencari berita
Perkembangan tersebut tak lantas membuat posisi perempuan dalam
dunia jurnalistik cemerlang. Dunia jurnalistik perempuan tahun ini
digemparkan dengan peristiwa seorang jurnalis perempuan dari Paser TV,
Normila Sariwahyuni, yang mengalami keguguran saat menjalankan tugas. Hal
ini menjadi pukulan berat bagi kondisi jurnalis perempuan Indonesia saat ini.
Tak hanya itu, seorang jurnalis perempuan yang ditemui peneliti
mengemukakan berbagai masalah yang sering dihadapi dan kelelahannya
menjadi jurnalis sehingga berencana resign setelah menikah.
Tekanan deadline dan tidak adanya batasan waktu yang jelas bagi pola
kerja wartawan membuat perempuan sedikit banyak dipandang kurang mampu
dan kurang tepat melaksanakan pekerjaan tersebut. Dr. Daniel Dhakidae 1 Dikutip Tamar Djaya dalam Amelia Fauzia, 2004. Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan. Jakarta: Gramedia. 2 Soetan Maharaja saat itu menjabat sebagai Pemimpin Redaksi (Pimred) di surat kabar terkemuka dan berkontribusi dalam kebangkitan masyarakat Melayu, yaitu Oetoesan Melajoe.
2
menyebutkan pers, terutama surat kabar harian sebagai sosok yang male
industry3. Stereotip tersebut diperkuat dengan salah satu fakta bahwa jumlah
jurnalis perempuan yang jauh rendah dibanding jurnalis laki-laki. Meski belum
menemukan angka yang pasti, banyak yang meyakini hal tersebut. Ashadi
Siregar menyebutkan hingga tahun 1999 jumlah jurnalis perempuan hanya
berkisar 5-15% dari keseluruhan jumlah jurnalis di Indonesia4. Angka tersebut
sebenarnya bertambah hingga pada 2012 Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
melansir 347 dari 1521 jumlah total anggotanya adalah perempuan, artinya
hanya 18,6% dari jumlah total jurnalis di bawah naungan AJI5.
AJI juga mengemukakan beberapa bentuk diskriminasi yang dialami jurnalis
perempuan AJI6:
1. Jurnalis perempuan umumnya masih mengalami kekerasan berbasis gender. Meskipun media mulai memperbanyak jumlah jurnalis perempuan, hanya merupakan taktik untuk mendekati narasumber laki-laki.Jurnalis perempuan lebih banyak direkrut berdasarkan kecantikan atau tubuh dan wajah yang dianggap menarik oleh standar industri.Penilaian secara fisik untuk tubuh perempuan ini banyak terjadi pada industri Televisi. 2. Setelah berkarir dan berkeluarga, jurnalis perempuan kerap mengalami hambatan dalam berkarir. Selain harus bekerja, mereka memiliki kewajiban untuk mengasuh anak.Sistem kerja yang tidak mengenal waktu kerap menjadi hambatan bagi para jurnalis perempuan.Ini yang seringkali membuat penilaian dari perusahaan terhadap para jurnalis perempuan tidak lebih baik dari rekannya jurnalis laki-laki. 3. Beberapa jurnalis perempuan juga mengakui, upah yang mereka terima lebih kecil dibandingkan jurnalis laki-laki. Hal ini karena perusahaan media masih menganggap jurnalis perempuan bukan sebagai kepala rumah tangga.Hal ini pulalah yang juga menyebabkan jurnalis perempuan kadang tidak mendapatkan asuransi. 4. Menyusui yang menjadi hak pekerja jurnalis perempuan terkadang tidak terpenuhi. Mereka jarang yang dapat memberikan
3 Disampaikan oleh Dr. Daniel Dhakidae dalam sebuah kesempatan diskusi terbatas di LP3Y. Male industry merupakan suatu industi yang didominasi oleh kaum laki‐laki dari segi kuantitas (personalia) maupun kualitas (struktur organisasi dan manajemen kerja) 4 Siregar, Ashadi. 1999. Media dan Gender: Perspektif Gender atas Industri Suratkabar Indonesia. Yogyakarta: LP3Y 5 Luviana. 2012. Jejak Jurnalis Perempuan: Pemetaan Komdisi Kerja Jurnalis Perempuan di Indonesia. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen. 6Ibid. Hal: 18‐19
3
ASIeksklusif selama enam bulan di media tempat mereka bekerja.Tidak ada ruang khusus untuk menyusui (nursery room).Mereka juga belum mendapatkan haknya untuk cuti haid dan cuti melahirkan selama tiga bulan. 5. Jurnalis perempuan mengalami pelecehan seksual pada saat melakukan peliputan.Bentuk pelecehan tersebut beberapakali dilakukan oleh narasumber laki-laki, yaitu dengan tindakan meraba atau merayu.Bahkan ada jurnalis yang perempuan yang mengaku mendapat ajakan kencan oleh narasumbernya.Kondisi tersebut menunjukkan telah terjadi ketimpangan dan diskriminasi perlakuan yang dilakukan media dan lingkungannya terhadap jurnalis perempuan. Padahal posisi jurnalis perempuan seharusnya sama dengan posisi jurnalis laki-laki, yaitu penghargaan atas kualitas kerjanya seperti mendapatkan gaji yang sama dengan jurnalis laki-laki, serta perhatian terhadap kualitas hidupnya seperti mendapatkan cuti haid, cuti melahirkan selama tiga bulan, dan masih banyak yang lainnya.
Masalah-masalah tersebut ternyata memberi efek berkepanjangan bagi
kondisi jurnalis perempuan. Komposisi jumlah antara laki-laki dan perempuan
kemudian dapat melahiran struktur organisasi dan pembagian kerja yang bias
gender. Komposisi jurnalis perempuan yang terdominasi dapat melahirkan
struktur dan sistem pembagian kerja jurnalisme serta pola pendelegasian tugas
redaksional yang cenderung maskulin. Dalam hal ini kaum laki-laki cenderung
lebih mendominasi di posisi-posisi strategis dalam organisasi kerja jurnalisme.
Matilda Butler juga menyebutkan bahwa berbagai keputusan dan kebijakan
yang diambil lebih sering sarat dengan kepentingan dominan, yakni kaum laki-
laki7. Sering kali pula model kerja sex-line dianut industri media. Di mana,
pekerja laki-laki dan perempuan ditempatkan pada bidang kerja yang dianggap
cocok berdasarkan konstruksi sosial yang selama ini menggejala pada profesi
jurnalisme Indonesia. Laki-laki, ditempatkan pada bidang liputan yang keras/
hard seperti bidang politik, ekonomi, hukum, kriminal dan olah raga.
Sedangkan jurnalis perempuan ditempatkan pada bidang yang lunak/ soft,
seperti bidang pendidikan, hiburan, pariwisata dan budaya.
Memang, jurnalistik sebagai salah satu jenis profesionalisme yang
menuntut tanggung jawab dan profesionalisme tinggi kadang dianggap kurang
tepat dimasuki oleh kaum perempuan. Konstruksi sosial masyarakat
7 Siregar, op. cit., hal: 46
4
membentuk perempuan menjadi manusia yang lemah, emosional tidak tahan
menderita dan menerima deraan tantangan. Selain itu, sistem patriarki yang
masih menempel kuat memosisikan perempuan dalam peran kedua. Karir bagi
perempuan bukan menjadi prioritas dalam kehidupan. Prioritas terpenting bagi
seorang perempuan adalah domestik rumah tangga yang menuntut perempuan
berada pada garda depan dalam proses penyelesaiaannya.
Stereotip terhadap perempuan tersebut secara langsung maupun tak
langsung memengaruhi profesionalisme karir jurnalis perempuan. Ashadi
Siregar menyebutkan konsekuensi logis atas kondisi jurnalis yang disebutkan
diatas antaranya8: (1) Secara struktural, arus karir dan kedudukan serta peran
jurnalis perempuan menjadi marginal dalam struktur organisasi kerja
redaksional pers; (2) Kuantitas jurnalis perempuan dengan kapasitas jurnalistik
yang tinggi sedikit, sehingga makin memperkuat konstruksi sosial yang ada
tentang profesi jurnalisnya kaum laki-laki; (3) Menjadi pengaruh pada
rendahnya kesadaran kesetaraan gender dalam pers indonesia.
Dalam praktik jurnalistik, kerja optimal dan profesionalitas jurnalis
dituntut untuk menghasilkan karya yang baik dan mampu
dipertanggungjawabkan. Dengan kondisi jurnalis perempuan yang telah
disebutkan sebelumnya, mampukah jurnalis-jurnalis perempuan bertahan? Hal
ini yang menggelitik peneliti untuk mengetahui bagaimana kondisi
profesionalisme jurnalis perempuan.
B. Rumusan Masalah
Dari temuan peneliti terhadap kondisi jurnalis perempuan di Indonesia,
peneliti menentukan rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana jurnalis
perempuan melakukan profesionalisme di tengah kendala sosial yang
dihadapi?
C. Tujuan Penelitian
8Ibid. hal: 32
5
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Memaparkan bagaimana praktik profesi jurnalis perempuan di lapangan
2. Mengetahui dan membuktikan kendala sosial yang dihadapi jurnalis
perempuan dalam menjalani profesinya
3. Agar mampu menjelaskan bagaimana jurnalis perempuan menanggapi
kendala social
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pada kajian
praksis media melalui paradigma feminis. Paradigma ini menjelaskan
bagaimana posisi perempuan seharusnya. Sekaligus sebagai kritik
terhadap stereotip jurnalis perempuan
2. Dengan penelitian ini pula diharapkan institusi media mampu membuka
mata terkait kendala sosial yang dialami jurnalis perempuan
E. Kerangka Pemikiran
1. Perempuan dan Dunia Kerja
Ada beberapa konsepsi paternalistic yang berkembang di dalam
masyarakat Jawa bahwa perempuan adalah konco wingking (teman
belakang).Dalam kultur Jawa memang terdapat beberapa adat kebiasaan yang
bersifat samar-samar dan mengutamakan niatan paternal. Kebiasaan-kebiasaan
tersebut diantaranya:
1. Aturan pembagian harta perolehan bersama (gono gini) pada saat
perceraian, dalam hal ini suami mendapat 2 bagian sedang istri mendapat
1 bagian
2. Aturan tentang pembagian harta warisan. Dengan konsep sepikul
segendongan maka anak laki-laki masing-masing mendapat dua buah
sedang perempuan mendapat satu bagian
6
3. Ada juga yang dinamakan “pancer wali” tentang perwalian nominal atas
anak
Terjemahan bebas asal mula perempuan menjadi konco wingking
tertera pula dalam kitab suci, yaitu ketika perempuan diciptakan dari tulang
rusuk laki-laki. Berbagai agama, seperti Islam, Kriten dan Katholik misalnya,
kepercayaan tersebut masih sangat kuat. Dalam agama Islam pula, telah
dikenalkan budaya-budaya yang menghasilkan strata antara laki-laki dan
perempuan. Strata tersebut tertera di dalam salah satu terjemahan kitab
sucinya: “Dan Kami telah menjadikan kalian beberapa tingkatan” atau “Satu
diatas yang lain” atau “Laki-laki bertanggung jawab atas yang lain”.
Perempuan dalam agama Kristen sekali lagi dikorbankan di alta, bila dulu
menjadi korban untuk Yahweh dan praktik-praktik keagamaan patriarkat,
sekarang ia menjadi korban untuk memuja bunda Maria dan kesucian Kristus
yang keluar mengatasi derajat keinginan dan kebutuhan-kebutuhan fisik
manusia
Dalam tataran keluarga, perempuan memiliki peran sebagai pemangku
turunan. Peran tersebut dianggap sebagai tugas utama dan mulia.Masa depan
anak sering dihubungkan dengan pola asuh ibu, sehingga banyakk anggapan
karir utama seorang perempuan yang telah menikah adalah mengurus dan
mendidik anak. Oleh karena seorang ibu mempunyai tugas-tugas yang tidak
kalah pentingnya dengan tugas laki-laki. Lebih-lebih masyarakat mengenal
perempuan yang tidak jauh sebagai orang dengan tiga fungsi utama: macak
(bersolek, berdandan, berhias), manak(beranak), masak (memasak). Keadaan
tersebut makin mengakar sampai pada alam bawah sadar masyarakat kini.
Jauh sebelum dikenalnya agama serta sistem-sistem sosial yang dianut,
masyarakat primitif bahkan telah memetakan pola kerja berdasarkan jenis
kelamin. Pembagian kerja seperti: laki-laki berburu dan perempuan bercocok
tanam menjadi ciri khas yang tergambar dari bukti artefak peninggalan mereka.
Pola tersebut dikembangkan dari masa ke masa hingga akhirnya kini, pola
tersebut terbawa dengan konteks yang tak lagi sama.
7
Adalah aliran feminis, mendambakan terciptanya keadilan peran antara
laki-laki dan perempuan dalam segala bidang. Mary Wollstonecraft, salah satu
aktivis feminis mengemukakan persamaan peran tersebut meliputi pendidikan,
pekerjaan, perlakuan dan perlindungan hukum. Wacana perempuan karir juga
digemborkan oleh penggerak feminis eksistensialis, Simone de Beauvoir dan
Paul Sartre. Dalam pandangan feminis eksistensialis perempuan dengan alasan
yang tidak diketahui diopresi dan dihegemoni oleh laki-laki. Perempuan
dianggap Liyan (the Other) karena perempuan adalah bukan laki-laki. Laki-laki
adalah bebas, makhluk yang menentukan dirinya sendiri yang mendefinisi
makna eksistensinya. Perempuan adalah liyan objek yang tidak menentukan
makna eksistensinya sendiri. Jika perempuan ingin menjadi diri perempuan
harus mentransedensi definisi label, dan esensi yang membatasi eksistensinya.
Perempuan harus menjadikan dirinya sebagaimana yang diingikan. Untuk
membebaskan diri dari hegemoni dan menuju transendensi, Beauvoir
memberikan empat strategi yang dapat dilancarkan oleh perempuan9:
1. Perempuan dapat bekerja
2. Perempuan dapat menjadi seorang intelektual, anggota dari kelompok
yang akan membangun perubahan bagi perempuan
3. Perempuan dapat bekerja untuk mencapai trasnformasi sosialis
masyarakat
4. Menolak internalisasi ke-Liyan-an, yaitu dengan mengidentifikasi
dirinya melalui pandangan kelompok dominan dalam masyarakat.
R.A. Kartini menjadi pejuang emansipasi perempuan tanah air dikenal
menjadi pelopor konsep independent career untuk perempuan. Pemikirannya
mengenai independent career tersebut diaplikasikan dengan usahanya
membantu keuangan dan pemasaran. Perjuangan Kartini tidak terbatas pada
tuntutan pendidikan, namun juga kewiraswastaan yang dapat memberikan
9 Tong, Rosemarie Putnam. 2008. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra.
8
bekal kepada setiap orang untuk mengejar dan mencapai kemajuan dan
keberhasilan dengan jalan percaya dan berdiri sendiri.
Pada perkembangannya, peran perempuan dalam dunia kerja makin
menemui titik yang diinginkan. Montagu dalam UI Press menyebutkan bahwa
biologis perempuan lebih superior daripada pria. Rata-rata usia perempuan
lebih tinggi daripada rata-rata usia pria. Perempuan juga lebih tahan terhadap
stres karena sifat mereka yang lebih lentur. Perempuan juga memiliki lebih
bayak stamina dibanding pria sehingga lebih tahan terhadap penyakit. Secara
prestasi perempuan juga bisa ditandingkan dengan pria, bahkan tak jarang kita
menemukan prestasi perempuan yang lebih tinggi ketimbang pria
Di Indonesia, perempuan yang memasuki dunia kerja memiliki movasi
yang berbeda-beda. Seiring terbukanya kesempatan menempuh pendidikan
sederajat dengan laki-laki, membuat perempuan tidak merasa puas hanya
dalam peran sebagai istri, ibu dan pengurus rumah tangga. Keadaan ekonomi
keluarganya sering kali menuntut perempuan bekerja di luar atau mencari
kegiatan yang dapat menambah penghasilan keluarganya
Ada beberapa kondisi yang memengaruhi kesempatan perempuan
dalam bekerja10.
1. Pertama karena muncul kesempatan kerja baru dengan pendapatan yang
lebih besar. Sedangkan perempuan mengambil pekerjaan berupah lebih
rendah di sektor domestik
2. Kedua, bagian dari sektor informal-industri rumah tangga telah
mengubah struktur ketenagakerjaan bahkan di negara industri
sekalipun, dengan implikasi nyata terhadap partisipasi perempuan
3. Ketiga, meningkatnya industri padat-keterampilan, terutama industri
yang semakin intensif menggunakan komputer.
Berdirinya Ikatan Pengurus Wanita Indonesia (IWAPI) di tahun 1975
membuktikan bahwa salah satu nilai di dalam masyarakat sedang berubah.
10 Jurnal Perempuan edisi 67. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan
9
Pertama bangsa indonesia mampu menjadi pengusaha di negerinya sendiri;
kedua, perempuan Indonesia sekarang ingin menjalankan peranan uang aktif
dalam pembangunan ekonomi negaranya11.
Ada beberapa faktor yang memungkinkan perempuan-perempuan
Indonesia bergerak luwes di bidang usaha, yaitu:
1. Faktor sosial
2. Faktor psikologis
3. Faktor ekonomis
Keikutsertaan perempuan dalam ketenagakerjaan bahkan sudah masuk
ke salah satu target Millenium Development Goals12 (MDGs). Pada Agustus
2009, perempuan yang mengurus rumah tangga mencapai sekitar 31,8 juta,
sementara laki-laki hanya 1,5 juta orang. Kondisi pekerja perempuan saat ini
menurut Laporan Pecapaian Tujuan Pembangunan Millenium Indonesia tahun
201013:
1. Angka Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan lebih rendah
dibandingkan dengan laki-laki. Yaitu 50% sedangkan TPAK laki-laki
sebesar. Hal ini disebabkan oleh lebih banyaknya perempuan yang
memilih untuk mengurus rumah tangga jika dibandingkan dengan laki-
laki, sehingga perempuan lebih banyak berada di luar angkatan kerja.
2. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) perempuan menunjukkan
penurunan yang signifikan yaitu dari 14,71 persen pada tahun 2005
menjadi 8,47 persen pada tahun 2009, atau menurun lebih dari 6 persen,
3. Sejalan dengan itu, persentase perempuan dalam pekerjaan upahan di
sektor non-pertanian memperlihatkan kecenderungan meningkat yaitu
11Ibid. Hal: 32 12 Millenium Development Goals adalah delapan tujuan yang dibuat oleh 189 negara (Indonesia termasuk diantaranya) yang bergabung untuk memperbaiki keadaan dan kesejahteraan manusia. Kesepakatan dan penandatangana kontrak negara‐negara tersebut dilaksanakan pada United Nations Millenium Summit pada tahun 2000. Program yang menjadi target MDGs terbagi menjadi delapan salah satunya Gender Equality and Women Empowerments. 13 Ringkasan Peta Jalan Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunann Milenium di Indonesia, dikeluarkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan da Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
10
dari sebesar 29,02 persen pada tahun 2004 menjadi sebesar 33,45
persen pada tahun 2009 (Sakernas 2004-2009).
4. Selain itu data membuktikan tingkat upah pekerja perempuan
menunjukkan peningkatan yang signifikan, namun diskriminasi upah
antara perempuan dan laki-laki masih terjadi.Secara nasional, data
Sakernasmenunjukkan bahwa dalam periode 2004-2009, upah bulanan
rata-rata pekerja perempuanyang dikategorikan sebagai
buruh/karyawan/ pegawai, meningkat sekitar 62 persen yaitu
dariRp676.611 menjadi Rp1.098.364. Sementara itu, upah pekerja
bebas perempuan di sektor nonpertanianjuga meningkat sekitar 43
persen, dari Rp277.183 menjadi Rp396.115. Walaupunbesaran upah
nominal perempuan tersebut meningkat, namun masih terdapat
kesenjanganupah yang besar antara perempuan dan laki-laki.
Posisi perempuan dalam ketenagakerjaan Indonesia merupakan masalah
lama yang belum juga terselesaikan. di samping itu, Masyarakat juga meyakini
terdapat berbagai kelemahan bagi perempuan dalam berkarir. Faktor-faktor
yang memengaruhi keyakinan tersebut diantaranya:
1. Faktor ekstern perusahaan
a. Faktor fisik:
- Setangguh apapun perempuan dalam bekerja dalam kondisi tertentu
harus mengurangi kegiatannya, contoh ketika hamil atau melahirkan
- Fisik perempuan yang tidak memungkinkan dirinya untuk bekerja
keras dari pagi sampai jauh malam karena memang fisik perempuan
tak sekuat pria
b.Faktor sosial
- Kedudukan perempuan dalam keluarga sebagai istri dan ibu rumah
tangga yang harus didahulukan
- Kedudukan suami di masyarakat, suami yang mempunyai kedudukan
sosial di masyarakat, justru membuat bakat istrinya tidak berkembang
karena memiliki tanggug jawab sosial. Pandangan masyarakat sekitar
11
seorang wanita pengusaha tidak mungkin mengejar bisnisnya sampai
tengah malam karena menimbulkan reaksi dari masyarakat sekitar.
c. Faktor budaya/adat istiadat. Budaya patriakhi, dimana kedudukan suami
dalam keluarga diharuskan mencari nafkah untuk keluarga.
2. Faktor intern perusahaan. Proses decision making (pengambilan keputusan):
Koontz dalam bukunya Principle of Management menyebutan bahwa
proses pengambilan keputusan/ decision making adalah: pemilihan di
antara alternatif-alternatif untuk mencapai tujuan perusahaan dengan
dilatarbelakangi fakta, policy dan rencana perusahaan. Sedangkan
perempuan sering kali menggunakan emosinya dalam mengambil
keputusan
2. Profesi dan Profesionalisme Jurnalistik
Jurnalistik atau journalisme berasal dari kata journal, artinya catatan
harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti
suratkabar. Journal berasal dari perkataan Latin diurnalis, artinya harian atau
tiap hari. Dari perkataan itulah lahir kata jurnalis, yaitu orang yang melakukan
pekerjaan jurnalistik.
MacDougall menyebutkan bahwajurnalisme adalah kegiatan
menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkanperistiwa14. Harcup,
menyebutkan yang dulu dipandang sebagai jalan satu arah tetapi baru-baru ini
telah dipahami sebagai melibatkan audiens yang akan menyaring pesan melalui
pengalaman sendiri dan pemahaman. McNair: itu adalah penjelasan tentang
dunia nyata yang ada sebagai diambil oleh wartawan dan diproses sesuai
dengan requiements tertentu dari media jurnalistik melalui yang akan
disebarkan ke beberapa bagian masyarakat jurnalistik. Sedangkan McQuail,
menyebutnya sebagai tulisan dan produk audio visual berbayar yang
14 Kusumaningrat,Hikmat, dkk. 2005. Jurnalistik: Teori dan Praktik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
12
merefleksikan kondisi dan kejadian yang terjadi dalam kehidupan publik15.
Dalam Undang-Undang No. 11/1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers,
Bab 1, Pasal 1, ayat (4) – yang disebut wartawan itu adalah karyawan yang
melakukan pekerjaan kewartawanan secara kontinyu16. Sedangkan dalam
Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers, Bab 1, Pasal 1, Ayat 4: “Wartawan
adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Dengan
demikian, siapapun yang melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan warta
atau berita bisa disebut wartawan; baik mereka yang bekerja pada surat kabar,
majalah, radio, televisi, film, maupun kantor berita”17.
Pada kesimpulanya bahwa jurnalisme adalah sebuah proses
menghimpun fakta yang direkonstruksi oleh jurnalis melalui logika pikirnya
dan disampaikan melalui berbagai media massa. Jurnalis sendiri adalah aktor
yang berperan dalam proses jurnalistik. Jurnalis merupakan juru cerita
mengenai kehidupan, berhadapan dengan unsur-unsur dasar yang penting bagi
masyarakat luas, memberikan informasi yang sangat mereka butuhkan dalam
kegiatan sehari-hari mereka.
Perdebatan mengenai status profesi dalam kewartawanan masih sering
ditemukan. Namun terdapat beberapa penguat bahwa jurnalis termasuk ke
dalam kategori profesi. Diantaranya:
1. Pada Undang-Undang No.40/1999 istilah profesi muncul pada Bab 1,
Pasal 1, ayat 10 dan Bab III, pasal 8
2. Pada Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia dijumpai dua kata
profesi. Pertama, pada Pembukaan alinea kedua; kedua, pada Bab1
Kepribadia dan Integritas, pasal 1
3. Pada penafsiran Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia terdapat
enam kata profesi. Tiga diantaranya pada Penafsiran Pembukaan, satu
kata pada Penafsiran Pasal 16, Penafsiran Bab 1 Kepribadian dan 15 Materi Mata Kuliah Dasar‐dasar Jurnalisme. Franklin, dkk. 2005. Key Concept in Journalism
Studies. London: Sage Publication page 122‐127. 16 Dalam Alex Sobur. 2001. Etika Pers Profesionalisme dengan Nurani. Bandung: Huaniora Utama Press. 17Ibid. Hal: 99‐100
13
Inegritas Wartawan, ayat 3; kemudian pada pasal 12 ayat 1; dan pasat
17, ayat 1
4. Pada Penafsiran Kode Etik Jurnalistik, terdapat penjelasan mengeai
pengertian profesi, yaitu pasal 1 alinea terakhir
Dalam persepsi diri para jurnalis sendiri, istilah “profesional” memiliki
tiga arti: pertama, profesional adalah kebalikan dari amatir; kedua, sifat
pekerjaan wartawan menuntut pelatihan khusus; ketiga, norma-norma yang
mengatur perilakunya di titik-beratkan pada kepentingan khalayak pembaca18.
Norma yang mengikat profesionalisme wartawan sendiri terbagi menjadi dua,
yaitu norma teknis, yang mengatur masalah teknis profesi jurnalistik. Norma
teknis dalam pemberiaan terdiri dari19:
1. Profesionalisme dalam pemberitaan
a. Penyebutan Nama dan identitas
b. Penyebutan nama dalam kejahatan susila
2. Perlindungan terhadap hak pribadi
a. Penghormatan hak atas privasi
b. Perlindungan khalayak terhadap pemberitaan yang menyesatkan
c. Penghindaran trial by the press
Sedangkan norma kedua adalah norma etis yang mengatur kewajiban jurnalis
kepada pembaca serta nilai-nilai yang tercermin dalam produk tulisannya.
Profesionalisme dan norma yang mengikat jurnalis merupakan alat
yang penting untuk menjaga jurnalis agar tetap berada dalam koridor
jurnalisme yang ideal. Bill Kovach menyebutkan sepuluh elemen jurnalisme
yang menjadi parameter profesionalisme laku jurnalis. Kesepuluh elemen
tersebut adalah20:
1. Kebenaran. Kebenaran yang dimaksud di sini adalah kebenaran fungsional
yang membutuhkan proses dan prosedur dalam mencapainya. Kebenaran
18 Siregar. Loc.cit., Hal 115 19Ibid. Hal 117 20 Kovach, Bill, dkk. 2007. The Elements of Journalism: What Newspeople Shoul Know and the Public Should Expect. New York: Three Rivers Press.
14
tersebut dibentuk lapisan demi lapisan. Kebenaran tidak bisa didapat
dengan serta-merta, dibutuhkan revisi dan perbaikan terus-menerus
sehingga mencapai sebuah kebenaran fungsional yang mendalam dan
komprehensif.
2. Kepada siapa jurnalis menempatkan loyalitasnya? Dewasa ini, perusahaan
media memprioritaskan kepentingan pasar ketimbang pembaca. Media
seakan kehilangan arah perjuangannya dan untuk siapa harus bergerak.
Kovach menggambarkan dalam bisnis media terdapat sebuah segi tiga
dengan sisi pertama adalah pembaca,pemirsa atau pendengar. Sisi kedua
adalah pemasang iklan sedangkan sisi ketiga adalah warga (citizen).
Konsumsi dan kepercayaan publik ini yang kemudian dimanfaatkan oleh
perusahaan pengiklan. Motif ini kemudian yang dikhawatirkan Kovach
mampu menggeser loyalitas perusahaan media khususnya jurnalis menjadi
peningkatan keuntungan perusahaan semata.
3. Disiplin verifikasi. Batas antara fiksi dan produk jurnalistik harus jelas.
Jurnalisme tidak bisa dicampuri dengan fiksi setitikpun dan disiplin
verifikasi hadir untuk memberi garis demarkasi yang jelas antara
keduanya. Namun tiap jurnalis memiliki standar verifikasi yang tak sama.
Karena tidak dikomunikasian dengan baik sering menimbulkan
ketidaktahuan pada banyak orang sedangkan verifikasi sendiri memiliki
kaitan erat dengan objektifitas berita. Kovach menawarkan metode dalam
melaksanakan verifikasi. Pertama, penyuntingan secara skeptis. Kedua,
memeriksa akurasi. Ketiga, jangan berasumsi.
4. Independensi. Independensi berbeda dengan netralitas. Independensi tidak
hanya tidak memihak tapi juga tidak dipengaruhi oleh pihak di luar
narasumber, seperti pengiklan atau latar belakang jurnalis.
5. Memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas.
Salah satu cara yang dilakukan untuk pemantauan ini adalah dengan
reportase investigasi. Konsekuensi investigasi sendiri adalah
kecenderungan media bersangkutan mengambil sikap dalam perdebatan
15
isu yang diangkat. Ada istilah yang menggantikan investigative reporting
yaitu advocacy reporting. Hal ini dikarenakan kecenderungan media yang
melakukan investigasi akan menyalahkan satu pihak dan membenarkan
oposisinya.
6. Jurnalisme sebagai forum publik. Di negara demokrasi, kehadiran ruang
utuk menuangkan aspirasi sangat berarti. Seiring berjalannya waktu, forum
publik tersebut berubah. Dari mulai pintu ruang tamu yang dibuka hingga
kini dunia maya. Pada dasarnya manusia itu punya rasa ingin tahu. Ketika
media memberikan aksi berupa produk jurnalistik, maka khalayak akan
memberikan reaksi berupa komentar, pertanyaan kritik dan saran. Reaksi
ini yang kemudian akan dibaca oleh birokrat yang berkuasa. Namun
jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus dibedakan dengan
jurnalisme semu yang bertujuan untuk hiburan dan provokasi.
7. Jurnalisme harus memikat dan relevan. Untuk menulis berita yang
memikat, mendalam dan relevan tidaklah mudah dan sebentar. Oleh
karena itu jurnalis harus melatih kemampuan tersebut secara kontinyu.
Latihan tersebut juga akan membawa jurnalis menuju pabrik tulisan yang
cerdas sehingga mampu mencerdaskan kehidupan bangsanya pula.
8. Kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan
komprehensif. Dalam elemen yang satu ini Kovach menganalogikan
media-media sensasional (tidak proporsional) sebagai seseorang yang
ingin menarik perhatian pembaca dengan telanjang. Orang akan tertarik
dan melihat namun tidak mampu menjaga kesetiaan penontonnya. Berbeda
dengan orang yang ingin menarik perhatian orang lain dengan bermain
gitar. Meski di awal akan sedikit orang yang memerhatikan, seiring
kemampuan gitar yang makin tinggi, makin loyal pula penonton terhadap
orang tersebut.
9. Setiap wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Idealnya,
setiap pelaku media memiliki etika dan norma untuk dirinya sendiri
sehinggaterbentuktanggung jawab sosial. Namun kondisi tersebut akan
16
susah ditemui di dunia kerja. Di dunia kerja, ideologi masing-masing
pekerja akan direduksi oleh strata dan motivasi ekonomi.
10. Hak dan tanggung jawab warga. Makin berkembangnya teknologi
komunikasi makin tinggi pula partisipasi warga dalam praktik jurnalistik,
disebut citizen journalism atau jurnalisme warga. Kondisi ini ditolerir oleh
perusahaan media, justru memberikan ruang lebih untuk jurnalis warga
tersebut. Namun hak untuk berperan aktif dalam praktik jurnalistik ini
memunculkan tanggung jawab yang perlu diemban, yaitu mematuhi
kaidah jurnalistik sehingga tidak melanggar norma dan etika jurnalistik
yang berlaku.
Jurnalistik merupakan bagian dari aktivitas pers. Pers sendiri
merupakan kegiatan komunikasi yang menggunakan perantara media massa.
Pers berasal dari bahasa Belanda yaitu pers yang artinya menekan atau
mengepres. Dalam bahasa Inggris disebut dengan press dengan arti yang sama.
Arti ini merujuk pada kegiatan komunikasi yang menggunakan perantara
media cetak. Pada perkembangannya pers diartikan sebagai kegiatan jurnalistik
dengan perantara media cetak, elektronik dan internet. The Hutchin
Commision menyebutkan lima prasyarat bagi pers yang bebas dan bertanggung
jawab kepada publik21:
1. Media harus menyajikan berita peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya
lengkap dan cerdas dalam konteks yang memberikannya makna
2. Media harus berfungsi sebagai forum pertukara komentar dan kritik
3. Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili
kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat
4. Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-nilai
masyarakat
5. Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi-informasi yang
tersembunyi pada suatu saat
21 Siregar. Op. cit., Hal: 21
17
Prasyarat tersebut merupakan formulasi dari laporan “Commision on
the Freedom of The Press” tahun 1945 yang menjunjung teori Pers
Bertanggung jawab. Teori Pers ini sendiri memberikan ruang bagi segala pihak
serta jaminan atas hak golongan minoritas. Sehingga teori pers ini paling
banyak digunakan oleh pers di negara-negara yang menganut sistem demokrasi
dalam ketatanegaraannya. Fungsi pers sendiri diantaranya:
1. Fungsi informatif, yaitu memberikan informasi atau berita kepada
khalayak ramai dengan cara yag teratur
2. Fungsi kontrol, masuk ke balik panggung pemerintahan dan perusahaan
sehingga aktif dalam memngontrol praktik yang dianggap menyimpang.
3. Fungsi interpretatif dan direktif, tidak hanya memberikan informasi pers
juga diharapkan membimbing khalayak agar lebih terdidik.
4. Fungsi menghibur, pers memberi hiburan berupa kisah-kisah sampingan,
berupa features, yang mampu mengurangi beban pembaca.
5. Fungsi regeneratif, pers membantu menyampaikan warisan sosial kepada
generasi baru agar terjadi proses regenerasi dari angkatan lama ke
angkatan baru.
6. Fungsi pengawalan hak-hak warga negara, yaitu pengawalan hak pribadi
setiap golongan masyarakat.
7. Fungsi ekonomi, melayani sistem ekonomi melalui iklan.
8. Fungsi swadaya, pers harus mampu berdiri sendiri tanpa intervensi modal
yang dikhawatirkan mampu mereduksi kebebasannya.
Prasyarat serta fungsi pers diatas memberikan gambaran mengenai
pentingnya pers bagi kehidupan masyarakat luas. Oleh karena itu diperlukan
penanaman terhadap diri jurnalis (self perception) bahwa pekerjaan yang
diemban bukan pekerjaan yang sederhana. Untuk menanamkan self-perception
jurnalis dibutuhkan berbagai perlakuan yang mampu mengasah kepekaan
jurnalis. Kepekaan tersebut meliputi kepekaan saat berada di dalam lapangan
hingga kepekaan manusiawi demi mencapai kebenaran berita yang mampu
18
dipertanggungjawabkan. Adapun hal mendasar yang perlu dimiliki oleh
wartawan agar mampu menjadi juru cerita yang baik antara lain22:
1. Pengetahuan teknis dan praktis jurnalistik
2. Pemahaman substansi terhadap objek pemberitaan
3. Wawasan mengenai perilaku masyarakat pembacanya
4. Penguasaan bahasa Indonesia dan bahasa lainnya
5. Etika profesi
Tak seperti profesi lain, profesionalisme jurnalis belum mendapatkan
parameter yang pasti. Diskursus mengenai perlunya ukuran jurnalis yang
bermutu sudah terjadi sejak akhir abad 19 antara Joseph Pulitzer dengan para
dosen Universitas Harvard. Pulitzer berpendapat bahwa wartawan perlu
mendapatkan pendidikan (sekolah) jurnalistik, sedangkan Dosen-dosen
Universitas Harvard menyatakan jurnalis tidak perlu sekolah khusus, mereka
harus belajar berbagai disiplin ilmu dan keahlian akan diasah ketika proses
magang23. Seorang Ilmuwan Jerman, Siegfried Weishenberg, mencoba maju
lebih konkrit dengan memperkenalkan empat macam kompetensi yang
diperlukan jurnalis agar bisa melakukan pekerjaannya dengan baik: (1)
Kompetensi profesional, misalnya, melakukan editing, seleksi informasi,
memahami komunikasi dasar dan sebagainya; (2) Kompetensi transfer,
misalnya penguasaan bahasa, presentasi informal, berbagai genre dalam
jurnalisme dan sebagainya; (3) Kompetesi teknis, misalnya, komputer, internet,
desain grafis dan sebagainya; (4) Kompetensi tingkat lanjut, misalnya,
pengetahuan terhadap isu liputan tertentu, ilmu-ilmu sosial, bahasa asing dan
sebagainya24. Oleh peneliti Jerman, Thomas Hanitzch, kompetensi-kompetensi
tersebut diadopsi dan diadaptasi dengan konteks jurnalisme di Indonesia
kemudian digambarkan dalam bagan berikut25:
22 Siregar. Op. cit., Hal: 2
23 Harsono Andreas. 2010. A9ama Saya Adalah Jurnalisme. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 24Ibid. 25 Tulisan Thomas Hanitzch.”Rethinking The Journalism Education in Indonesia: Nine These”. Jurnal ISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
19
Gambar 1.1 Bagan Competence in Jornalism
Dalam kuadran ini Thomas menambahkan faktor lain yang
memengaruhi profesioalisme jurnalis, yaitu Social Orientation. Orientation di
sini yang dirujuk bukan “control” melainkan “guiding”.
Dalam melaksanakan profesinya, seorang jurnalis tidak selalu
menemukan fakta yang dapat langsung dijadikan berita. Kemampuan untuk
menangkap fakta tersirat tersebut bisa dikatakan sebagai insting jurnalistik.
Competence in Journalism
Professioal Competece
Skill:
Investigation Selection Editing Organization
Professioal knowledge:
Generalknowledge in communication and media science
Specific knowledgeg in: Media economy
Media and politics
Press law Media effect
Strategies in public relation
Research in journalism
Transfer competence
Communication
Language Rhetoric
Presentation
Oriented by topic Oriented by audience
Fomat genre in journalism
News, features,...
Technical competence
General technical competence
Computer, internet, ...
Specific technical competence
Computer assisted publishing, pefessional
Expertise competence
Specific kowledge about the covered subject area
Orientation kowledge
Kowledge in social sciences
Kowledge in sources Knowledge in scientific methods
English Knowledge of the closer cultural/traditional enviroment
Social Orientation
Journalism ad ethic
Consciousness of function
Ability to reflect
Conciousness of otonomy
20
Untuk menumbuhkan insting jurnalistik terdapat empat faktor yag harus diasah
menurut Mitchell V. Charnley, yaitu pengalaman, rasa ingin tahu, daya khayal
dan pengetahuan26. Empat faktor yang telah diasah mengantarkan jurnalis
untuk menggali berita. Pengertian menggali di sini memiliki dua bentuk.
Pertama mencari aspek-aspek dalam kehidupan budaya atau sosial masyarakat
atau dalam kegiatan pemerintahan yang dapat diangkat menjadi berita yang
menarik perhatian khalayak. Menggali berita juga bisa dilakukan ketika sumber
berita enggan atau sulit memberikan informasi untuk sesuatu hal yang perlu
diberitakan.
Dalam menghimpun berita, terjadi pula persaingan antara satu media
dengan media lain. Persaingan tersebut mengharuskan wartawan membuat
strategi-strategi untuk mendapatkan berita yang lebih unggul dibanding media
saingannya. Strategi tersebut kadang tidak beretika atau bahkan tidak pantas
dalam praktik jurnalistik profesional. Fenomena tersebut harus mampu dibaca
oleh jurnalis agar mampu mempersiapkan diri dan lebih berhati-hati.
3. Perempuan dalam Dunia Jurnalisme
3.1 Representasi Perempuan dalam Berita
Reformasi selama ini diyakini sebagai titik awal kebebasan pers. Di
satu sisi memang, reformasi memberi informasi sebebas—bebasnya, namun
dalam diskusi yang dilaksanakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Yogyakarta, dikatakan bahwa represivitas tersebut hanya berpindah ranah.
Bukan lagi berasal dari pemerintah, melainkan berasal dari institusi. Sehingga
kerap kali beberapa tulisan yang dianggap tidak sesuai dengan ideologi dan
kepentingan institusi berhenti di tataran newsroom. Dalam perspektif ini, isu
perempuan menjadi salah satu diantaranya dan dianggap masih sangat bias.
Faktor-faktor yang menunjukkan hal tersebut adalah: kebebasan pers sarat
mengangkat tayangan dan pemberitaan yang penuh tindakan kekerasan,
menghakimi dan diskriminatf terhadap perempuan. Media lebih banyak
26 Siregar. Loc. Cit,. Hal: 78
21
melakukan pernyataan moral dan sensasional dari pada membawa esensi untuk
mencari solusi persoalan. Tidak sedikit pesan moral menjadi membatasi
perempuan dalam banyak tayangan dan pemberitaan. Perempuan semakin
dicitrakan sebagai makhluk yang seharusnya kembali ke wilayah domestik dan
tunduk terhadap ketentuan kovensi laki-laki yang patriarkis.
Media di Indonesia pada umumnya sedikit memberi ruang untuk
tayangan yang berpihak pada hak asasi manusia, khususnya perempuan. Kerap
kali industri media mengutamakan kepentingan ekonomi sehigga menganggap
perempuan sebagai kebutuhan pasar yang perlu dipenuhi. Bahkan media
mainstream menjadi pihak yang berkuasa atas pencitraan masyarakat dan
perempuan dan tak segan meninggalkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebagai
salah satu mandat kebebasan pers
Penganut feminis eksistensialis mengemukakan bahwa perempuan
tidak memiliki subjektifitas atas dirinya sendiri. Eksistensi perempuan
dihadiran bukan pada dirinya melainkan untuk orang lain. Perempuan
dihadirkan bukan sebagai realitas atas dirinya, melainkan realitas yang dibuat
oleh orang lain, yaitu oleh pandangan patriakhi. Perempuan bukan lagi sebagai
fakta biologi, melainkan fakta sosial yang telah dibentuk, manusia yang telah
diciptakan melalui produsi mitos atas tubuh, dengan kata lain, perempuan telah
lama ditiadakan atas dirinya sendiri.
Perempuan bukanlah realitas yang ajeg, tetapi lebih merupakan suatu yang menjadi dan dengan demikian harus didefinisikann... Sebagaimana dipandang dalam perspektif yang saya ambil... bahwa tubuh bukanlah suatu benda, tubuh adalah suatu situasi, tubuh adalah cengkeraman kita terhadap dunia dan sketsa dari proyek-proyek kita. –Simone de Beauvoir27
Pun demikian dengan industri media, tubuh perempuan bukan sebuah
realita yang hadir atas perempuan itu sendiri, melainkan diciptakan sedemikian
rupa sehingga pertama-tama adalah harus dari perspektif orang lain.
Perempuan dilihat bukan atas dirinya sendiri, bukan juga karena pikiran dan
27 Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 200. Kajian Budaya Feminis, Tubuh, Sastra dan Budaya Pop. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.
22
jiwa mereka melainkan bagaimana perempuan dapat memenuhi konstruksi
yang dibuat laki-laki. Oleh karena itu feminis eksistensialis melihat kehadiran
perempuan dalam media adalah fakta dehumanisasi perempuan, sebuah distorsi
yang telah disosialisasi dan menjadi bentuk nilai dan standar keberadaan
perempuan hanya menyuburkan budaya patriarki.
Dalam studi tentang media dan feminisme, Liesbet Van Zoonen
membuat bagan untuk menjelaskan bagaimana kebanyakan media bekerja
dalam tiga elemen yaitu mengenai stereotip, pronografi, dan ideologi, yang
efeknya telah menindas perempuan28:
Sender Process Message Process Effect
Stereotype Men Distortion Stereotype Sosialization Sexism
Pornography Patriarchy Distortion Pornography Imitation Oppresion
Ideology Capitalism Distortion Hegemony Familiarization Common
sense
Gambar 1.2Bagan kerja tiga elemen (stereotype, pornography, ideology) dalam media
Distorsi merupakan kunci konsep pendekatan feminis terhadap media.
Konsep ini menjelaskan bagaimana perempuan dihadirkan oleh tiga lini
distorsi yang dilakukan pihak lain, yakni stereotype, pornography dan
ideology. Pada baris stereotype, Liesbet menjelaskan tentang peran laki-laki
sebagai pengirim pesan yang dalam prosesnya melakukan distorsi dalam
menyampaikan pesan dengan ciri-ciri cenderung menekankan stereotip sosial
tentang perempuan, seperti peran-peran domestik perempuan dan melayani
laki-laki dalam iklan-iklan, komedi-komedi, sinetron. Pesan tersebut kemudian
tersosialisasi dan memberi efek penerima yang seksis. Kedua pada baris
pornography, yang dikirimkan oleh budaya patriarki dengan proses distorsi
28 Jurnal perempuan, Loc. Cit., Hal: 26‐27
23
tentang tubuh perempuan yang bersifat imajinatif dan imitatif. Efek bagi
penerima pesan tersebut adalah penindasan. Pada baris terakhir Liesbet
menunjukkan ideologi media, yaitu kapitalisme. Proses distorsi perempuan
seperti penampilan dengan pesan hegemoni. Dari hegemoni tersebut kemudian
membiasakan perempuan menggunakan alat bantu, seperti merek lipstik atau
bedak tertentu untuk menjadikan perempuan cantik seperti yang diharapkan
media. Pada satu titik hegemoni tersebut membuat penerima menganggap
pesan yang diterimanya merupakan sebuah common sense.
Di dalam konsep ini perempuan dianggaap belum mampu
menghadirkan dirinya sesuai identitas yang sebenarnya. Termasuk ketika
perempuan menjadi bagian dari media, feminis eksistensialis menjelaskan- bila
kehadirannya diciptakan oleh patriarki, seperti fenomena jurnalis perempuan.
Kerap kali media disibukkan oleh perempuan yang handal dalam bidang
jurnalisme karena kerja kerasnya, tetapi tidak menjadi bagian dari standar
cantik yang dimiliki media, efeknya optimalisasi peran perempuan jurnalis
tidak mampu tersalurkan dengan bebas.
3.2 Perempuan dalam Produksi Berita
Dalam kurun waktu lima puluh tahun ke belakang, jumlah jurnalis
perempuan terus bertambah. Dari data yang didapatkan AJI, bahwa saat ini
jumlah jurnalis perempuan di Indonesia masih jauh dibandingkan jurnalis laki-
laki, yaitu hanya sekitar 1:3 atau 1:4 di Indonesia. Namun demikian tidak
ditemukan jumlah yang pasti jurnalis perempuan di Indonesia saat ini. Mesti
begitu, jumlah yang paling sering dikutip oleh media massa, jumlah total
jurnalis Indonesia mencapai 14.000 orang, sedangkan jumlah jurnalis
perempuan baru 10% dari jumlah total, yaitu 1.400 orang29. International
Federation of Journalist (IFJ) memberikan alasan tentang pentingnya
pendataan, hal ini dikarenakan dengan melihat jumlah kita bisa melihat
bagaimana represenasi para jurnalis perempuan sekaligus partisipasi mereka di
29 Luviana. Loc. Cit.,Hal:29
24
media30. Namun ada alternatif lain yang dapat digunakan peneliti untuk
mengetahui representasi perempuan di media, (1) dengan membentuk struktur
khusus seperti Komite perempuan atau Dewan Kesetaraan (Equality Council)
untuk memberikan suara perempuan (2) memperkenalkan sistem kuota dalam
upayanya untuk memastikan adakah representasi yang setara antara jurnalis
perempuan dan laki-laki di media31. Azzam Karam dari International Institute
for Democracy and electoral Assistan (IDEA) pernah menulis: meningkatkan
partisipasi dan jumlah perempuan menjadi hal yang sangat penting untuk
melihat bagaimana perempuan dapat memengaruhi secara aktual terhadap
proses dan partisipasi mereka, sekaligus bagaimana para perempuan
mengidentifikasi dirinya dan berbuat sesuatu untuk lingkungannya.
Pada tahun 1972 sempat beredar brosur yang dibuat oleh organisasi
Federal Employment Agency di Jerman yang menyatakan bahwa para jurnalis
perempuan tidak “berdarah dingin” (berbakat) untuk pekerjaan jurnalistik.
Pada perkembangannya, kondisi jurnalis perempuan tidak mengalami
perubahan yang besar-besaran. Jurnalis perempuan belum dipercaya
menempati struktur organisasi yang strategis. Pada penelitian yang dilakukan
AJI, 94,18% responden berstatus sebagai reporter yang artinya lebih banyak
bekerja di lapangan mencari berita bukan menempati posisi pembuat kebijakan.
Dari penelitian yang dilakukan AJI diperoleh data jumlah jurnalis
perempuan yang menperoleh jabatan strategis dalam institusi media sebagai
berikut:
Tabel I. Posisi Jurnalis Perempuan dalam Struktur Organisasi
Kota Editor Kasi
Program
Pemred Produser Redaktur Reporter Total
Jakarta 1 2 2 86 91
30Ibid. Hal: 28 31Ibid.
25
Makasar 1 9 10
Medan 1 17 18
Jayapura 1 1 7 9
Pontianak 9 9
Surabaya 1 1 24 26
Yogyakarta 26 26
Total 1 1 1 3 5 178 189
Sumber: Luviana (2012)
Beberapa masalah lain di luar kuantitas juga sering ditemui jurnalis
perempuan. Ashadi Siregar menyebutkan, terdapat empat masalah jurnalis
perempuan yang perlu dikritisi32:
1. Jumlah jurnalis perempuan yang bekerja di perusahaan media di Indonesia
ini memberikan pengaruh pada bargaining position dan peran strategis
perempuan dalam struktur organisasi
2. Kebanyakan jurnalis perempuan masih berada di level bawah dala struktur
hierarkhi kerja redaksional pers, yakni sebagai wartawan lapangan
3. Pembagian kerja redaksional yang seksis, di mana jurnalis perempuan
lebih banyak ditempatkan pada liputan-liputan yang stereotype perempuan
atau masalah-masalah yang dianggap lunak (soft)
4. Ada sejumlah jurnalis perempuan yang mendapat perlakuan berbeda,
seperti tunjangan serta kesempatan promosi
F. Kerangka Konsep
1. Praktik Jurnalistik Media Massa
Jurnalisme berkaitan dengan proses menjadikan objek realitas sebagai
informasi media. Jurnalis tak ubahnya mediator, informasi yang disampaikan
32 Siregar. Loc. Cit., Hal: 7
26
bukan hanya komoditi tetapi juga semestinya memiliki makna sosial. Dalam
mencari realitas, jurnalis harus memiliki kepekaan sosial, yaitu kapasitas diri
untuk menerima tanda yang berasal dari kehidupan sosial, sehingga menyerap
fenomena yang terjadi di masyarakat.
Pekerjaan jurnalistik adalah pekerjaan yang menantang, baik secara
politis, etis maupun fisik. Untuk menggelutinya, dibutuhkan pengetahuan dan
keterampilan yang luas. Jurnalis harus mampu membaca, menulis dan
menghitung. Mereka dituntut untuk memahami hukum karena hukum sering
memengaruhi surat kabar. Dibutuhkan pula keterampilan sosial untuk menjalin
kontak dan wawancara dengan banyak orang di berbagai tempat. Reporter pada
dasarnya harus memiliki rasa ingin tahu yang mendalam, tabah, imajinatif dan
berani, siap menentang stereotip, membongkar mitos dan kebohongan.
Dalam melaksanakan tugasnya jurnalis pasti berhadapan dengan alur
kerja redaksional. Terdapat sidang redaksi dan peran editor yang harus dijalani
jurnalis. Dalam wawancara dengan seorang jurnalis Kompas Jogja, Alosius
Wawan, penulis menyimpulkan pekerjaan jurnalis Kompas sebagai berikut:
jurnalis dengan leluasa memilih berita yang layak cetak sesuai dengan desk
masing-masing. Terkait berita yang disetor ke pusat, jurnalis daerah bisa
mengirim kondisi di Jogja terkait isu nasional yang diangkat Kompas dan
kemudian mengirimnya ke Kompas pusat. Setelah jurnalis tersebut turun
lapangan dari pagi hingga siang, pukul 15.00 atau 15.30 redaksi akan rapat
untuk menentukan berita yang akan dijadikan headline. Deadline berita juga
beragam, semakin mendekati headline, makin malam pula deadline. Untuk
berita biasa berkisar pada pukul 18.00-19.00. Lalu berita akan masuk ke editor
untuk kemudian disesuaikan dengan nilai berita dan gaya penulisan. Diatas
pukul 23.00 (setelah naik cetak) Redaktur Pelaksana (Redpel) didampingi
Pemimpin Redaksi (Pemred) melakukan pengecekan ulang sekaligus sebagai
pembaca pertama.
Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat bagaimana profesi pers
yang berat dijalani oleh jurnalis perempuan. Dengan menggunakan metode
27
pengumpulan data observasi partisipan, peneliti akan melihat dinamika
keredaksian yang terkait dengan subjek penelitian, seperti dinamika internal
yang terjadi dalam diri informan, seperti melihat ekspresi muka, body language
dan cara informan mengekspresikan pendapat. Selain itu akan ada wawancara
informal dengan subjek penelitian seputar keredaksian menurut dari sudut
pandangnya.
2. Kendala Sosial yang Dihadapi Jurnalis Perempuan
Karir perempuan dalam dunia jurnalistik makin meningkat. Namun,
nasibnya sama dengan perempuan karir lain, dimana harus dibenturkan dengan
kondisi sosial masyarakat Indonesia. Dalam tatanan masyarakat masih melekat
status dan peran yang harus dimainkan, termasuk di dalamnya peran sosial
seorang perempuan. Dalam tiap peran tersebut terdapat harapan-harapan
tertentu, yang kadang-kadang antara suatu peran dan peran lainnya
berseberangan sehingga terjadi konflik peran. Secara garis besar peran sosial
wanita dapat dikelompokkan pada tiga peran utama, yaitu: (1)Sebagai Ibu
Rumah Tangga; (2)Sebagai Profesional/Eksekutif; (3)Sebagai Pengusaha.
Tiga peran yang menempel pada diri perempuan tersebut yang
memengaruhi kondisi jurnalis perempuan. Jurnalistik bukan pekerjaan yang
mudah, dibutuhkan konsentrasi, waktu dan tenaga ekstra untuk menjadi
jurnalis profesional. Kondisi ini berbenturan dengan harapan masyarakat
bahwa perempuan bertanggung jawab atas keluarga dan masa depan
keturunannya.
Kondisi tersebut berimbas pada tataran industri media, di mana
kemudian jurnalis perempuan tidak dipandang mumpuni dalam melaksanakan
tugas-tugas jurnalistik. Jurnalis perempuan kemudian mendapat porsi yang
lebih ringan dengan pertimbangan-pertimbangan harapan sosial yang
berkembang di masyarakat tersebut. Dalam jangka panjang,kondisi tersebut
menggiring perempuan menjadi layer kedua dalam profesi jurnalistik.
28
Penelitian ini membuktikan bagaimana peran dan harapan sosial yang
menempel dalam diri jurnalis perempuan bekerja. Faktor apa saja yang
akhirnya membuat jurnalis perempuan tersebut bertahan. Untuk melihat
dinamika tersebut, peneliti menggabungkan metode pengumpulan data
observasi partisipan dan wawancara.
3. Profesionalisme Jurnalis Perempuan
Berbagai kriteria mengenai jurnalis yang ideal telah dirumuskan oleh
berbagai ahli. Selain mematuhi kaidah penulisan berita serta memahami Kode
Etik Jurnalistik (KEJ), kriteria lain bagi jurnalis yang baik adalah memiliki
keberanian mengungkapkan fakta, memiliki keteguhan hati dan tangguh. Selain
menulis berita untuk masyarakat luas, seorang jurnalis juga menulis untuk
dirinya sendiri, untuk mempertahankan identitaasnya dengan tulisannya, oleh
karena itu pertahanan diri ini penting untuk menjaga identitasnya.
Jurnalis perempuan dilihat memiliki keunikan karena rutinitas kerja
media umumnya menuntut harus siap ditugaskan setiap waktu dan harus
memenuhi deadline. Tuntutan lain juga dirasakan jurnalis-jurnalis perempuan,
menurut riset yang dilakukan AJI, jurnalis perempuan menemukan tuntutan
lain lebih dari sekadar itu, dari mulai wajib dandan bagi jurnalis penyiaran dan
mengalami penempatan di desk dengan informan mayoritas laki-laki.Definisi
profesionalisme bagi jurnalis perempuan menjadi semakin kompleks.
Tuntutan-tuntutan tersebut seakan menjadi faktor pendukung profesionalitas
jurnalis. Akibatnya tekanan terhadap profesionalisme jurnalis perempuan
makin bertambah.
Penelitian ini membuktikan dan memperlihatkan bagaimana
profesionalisme jurnalis perempuan diyakini dan dilaksanakan. Kebenaran
mengenai tuntutan serta tekanan sosial yang dihadapi jurnalis perempuan
memengaruhi profesionalitasnya akan dibuktikan dan dianalisis lebih dalam.
Untuk mendapatkan data tersebut, peneliti menggunakan teknik pengumpulan
data observasi partisipan dan studi literatur. Studi literatur digunakan degan
29
menganalisis berita yang telah diproduksi, sehingga peneliti dapat melihat
konsistensi dan integritas informan.
Secara singkat konsep penelitian dapat digambarkan dalam bagan
berikut:
30
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Latar Belakang: Suku, agama, pendidikan, keluarga
Motivasi menjadi jurnalis
Posisi dalam struktur redaksional
Jurnalis Input (Proses Peliputan Berita) Output (Berita)
Code of conduct: KEJ
Competence of Journalism
Professioal CompeteceSkill:
Investigation Selection Editing Organization Professioal knowledge:
Generalknowledge in communication and media science
Specific knowledge in: Media economy
Media and politics
Press law Media effect
Strategies in public relation Research in journalism
Transfer competenceCommunication
Language Rhetoric Presentation
Oriented by topic Oriented by audience Fomat genre in journalism
News, features,...
Technical competenceGeneral technical competence
Computer, internet, ... Specific technical competence
Computer assisted publishing, pefessional equipment
Expertise competenceSpecific kowledge about the covered subject area Orientation kowledge
Kowledge in social sciences Kowledge in sources Knowledge in scientific methods
English Knowledge of the closer cultural/traditional enviroment
Social Orientation
Negosiasi kultural
Negosiasi struktural
Kondisi keluarga
Studi literatur: Konsistensi tulisan
Pemenuhan nilai berita
31
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan
paradigma feminis dan kemudian disebut dengan metodologi feminis. Metodologi
feminis dapat menghasilkan alat penelitian baru yang menawarkan
pengetahuan baru.
Metodologi perspektif feminis lahir di barat pada tahun 1970.
Metodologi ini pada tahu itu sagat sentral peranya dalam mengungkap
gagasan-gagasan mengenai ketertindasan dan pembebasan perempuan.
Metodologi ini lahir sebagai kritik dari ilmu pengetahuan umum yang
menganggap persoalan sosial merupakan netral gender. Pengetahuan umum
ketika itu juga menempatkan perempuan dalam posisi yang pasif, tidak terlihat
bahkan beberapa pihak melakukan mysogini (membenci perempuan). Peneliti
feminis, Sandra Harding dan Schulamit Reinharz menambahkan bahwa
penelitian feminis dengan sendirinya mendekonstruksi ilmu pengetahuan yang
selama ini sudah dibangun secara bertahun-tahun dibangun atas dasar
pengalaman hidup dari pengalaman laki-laki, diakui kebenarannya secara
epistemologis sebagai alat untuk membangun ilmu pengetahuan dan dianggap
sebagai metodologi yang universal33. Riset ini tidak hanya digunakan oleh ilmu
sosial namun kemudian digunakan oleh ilmu pengetahuan lain termasuk
komunikasi khususnya penelitian media.
Riset dengan paradigma feminis menggunakan analisis subjektif dalam
pelaksanaannya. Hal ini dikarenakan tujuan dari riset perspektif feminis adalah
mendengarkan suara perempuan dan mengetahui apa kebutuhan perempuan.
Penelitian ini juga melibatkan epistemologi yaitu berupa pengalaman hidup
perempuan, pemikiran, refleksi, interpretasi perempuan dan juga ontologi yaitu
dengan bagaimana perempuann memandang realitas kehidupan. Dengan
33 Sandra E. Harding da Schulamit Reinharz dalam Rahmat Hidayat, Jurnal Perempuan, Edisi 48, 2006.
32
menggunakan paradigma ini, penelitian akan menuliskan agenda perempuan
yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas perempuan dan perubahan sosial
bagi perempuan. Juga mengenai etika perempuan dan ketersediaan perempuan
untuk terlibat di dalamnya.
Sandra Harding dalam Jane C. Ollenburger menggambarkan tiga ciri
metodologi feminis atau pilihan feminis atas metode: (1) Pertama, metodologi
itu memanfaatkan sumber-sumber empiris dan teoritis baru yang
menggabungkan rangkaian penuh pengalaman-pengalaman wanita, termasuk
pengalaman wanita dari berbagai ras, kebudayaan, kelas dan sebagainya. (2)
Kedua masalah riset dipandang sebagai tak terpisahkan dari tujuan riset dan
analisis; periset tidak bisa melepaskan diri dari tujuan serta konsekuensi-
konsekuensi riset mereka. (3) Ketiga, periset dilihat dalam lingkungan yang
sama sebagaimana peserta riset. Dari ciri-ciri tersebut dapat disimpulkan
bahwa metodologi feminis bukan suatu kesatuan yang terpisah dari
metodologi-metodologi yang lain, tapi lebih merupakan penerapan prinsip-
prinsip feminis pada kegiatan ilmiah.
Dalam penelitian ini, pendekatan etnografi feminis yang bertujuan
untuk: (1) mendokumentasikan hidup dan aktifitas perempuan, (2) memahami
pengalaman perempuan dari sudut pandang mereka sendiri, dan (3)
mengonseptualisasikan perilaku perempuan sebagai dasar penulisan karya
ilmiah.
2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang peneliti gunakan adalah metode penelitian
etnografi feminis. Etnografi feminis merupakan metode penelitian etnografi
dengan tujuan dan pendekatan feminis. Pillow menyatakan bahwa metode yang
dipakai peneliti dipengaruhi oleh metodologi34 dan epistemologi35
34 Metodologi dalam buku ini diartikan sebagai lens of doing our research 35 Epistemologi dalam buku ini diartikan sebagai our knowledge base
33
feminis36.Metode etnografi feminis dipilih karena kenyataannya definisi tentang
perempuan seringkali dibuat oleh laki-laki. Metode etnografi feminis berusaha
untuk memahami pengalaman perempuan dari sudut pandang perempuan sendiri,
tujuannya untuk mendapatkan keseimbangan sudut pandang yang selama ini lebih
banyak berperspektif laki-laki atau biasanya dilakukan oleh peneliti laki-laki.
Penelitian etnografi dalam ilmu komunikasi sendiri (ethnography of
communication) beranjak dari tradisi penelitian ilmiah yang berkembang dalam
kajian antropologi, sosiolinguistik dan folklore. Metode ini termasuk dalam
pendekatan kualitatif. Littlejohn mengemukakan etnografi dalam Ilmu
Komunikasi merupakan penerapan etnografis dalam pola-pola komunikasi
kelompok. Peneliti yang menggunakan metode ini berupaya untuk meneliti
bentuk-bentuk komunikasi yang dipergunakan oleh para anggota sebuah
komunitas budaya. Metode ini dapat dipergunaan untuk penelitian-penelitian
dalam tataran komunikasi kelompok/organisasi, atau untuk mendekati
kelompok atau organisasi secara kultural.
Tak seperti penelitian etnografi komunikasi (media) pada umumnya
yang melihat pengalaman dan perilaku konsumen dalam bermedia. Penelitian
ini menggunakan menggunakan subjek penelitian praktisi media, yaitu jurnalis
perempuan. Penelitian tentang praktisi media (jurnalis) dalam dunia akademis
sangat minim, padahal jurnalis memiliki peran penting bagi pergerakan pers.
3. Subjek Penelitian dan Lokasi Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah jurnalis perempuan. Jurnalis
perempuan yang menjadi subjek penelitian ini disebut juga dengan informan
penelitian. Hasil peneliian yang dilaksanakan AJI menghasilkan temuan bahwa
jurnalis perempuan paling banyak bekerja di media cetak,selanjutnya televisi,
radio dan paling sedikit bekerja di media online.Dengan alasan tersebut,
peneliti memilih jurnalis perempuan yang bekerja di media cetak dan penyiaran
dengan kriteria lainnya: 36 Hesse, Nagy Sharlene and Biber (ed.). 2007. Handbook of Feminist Research: Theory and Praxis. California: Sage Publication Sandra.
34
a. Perempuan
b. Memiliki latar belakang yang unik dan menarik
c. Memiliki kepedulian terhadap perkembangan media dan jurnalistik
d. Berbeda satu dengan yang lain
Dari kriteria-kriteria yang telah disebutkan, peneliti awalnya merujuk
pada lima informan, pertama Maria Hartinigsih, seorang jurnalis Kompas
sekaligus aktivis gender. Trijata (bukan nama asli), Kunti (bukan nama asli)
dan Kilisuci (bukan nama asli), serta seorang jurnalis perempuan dari TATV
Solo. Namun pada perjalanannya, peneliti tidak bisa meneliti Maria
Hartiningsih karena yang bersangkutan keberatan. Sedangkan jurnalis dari
TATV ketika sudah melakukan penelitian di minggu pertama, kontaknya tidak
bisa dihubungi dan belakangan peneliti ketahui ia sudah tidak bekerja untuk
TATV. Kendala-kendala teknis tersebut mengerucutkan informan penelitian
menjadi tiga orang, yaitu:
1. Trijata
Merupakan jurnalis di RRI Yogyakarta. Selain menjadi jurnalis RRI, Trijata
juga menjadi kontributor di Surat Kabar The Jakarta Post dan Voice of
America (VOA).Pemilihan Trijata sebagai informan bertujuan untuk
memberikan perspektif media penyiaran publik. Dengan melihat dinamika
dalam di media non-swasta, peneliti berharap mampu menemukan gejala yang
berbeda dengan dua informan sebelumnya.
2. Kunti
Sebagai juralis Olah Raga RRI Yogyakarta, Kunti harus mampu bertahan
dengan tuntutan lebih yang harus dipenuhinya. Dengan asumsi pendengarnya
adalah laki-laki, Kunti dituntut mampu beradaptasi dan menyampaikan berita
dengan standar yang melebihi jurnalis umum. Kunti juga membantu
Pemberitaan Umum utuk wilayah liputan Kabupaten Bantul. Saat ini Kunti
hamil enam bulan. Riwayat keguguran yang pernah dialaminya membuatnya
harus membuat strategi pengaturan waktu baru.
3. Kilisuci
35
Jurnalis perempuan ini pernah menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di portal
energitoday.com. tahun 2009-2010 ia menjadi wartawan untuk Harian Seputar
Indonesia. Kini, menulis di Tempo dan belakangan diminta menulis untuk
Tabloid Nova.
Pemilihan jurnalis dibuat dua cakupan, yaitu nasional dan daerah. Hal
ini sengaja dilakukan peneliti untuk melakukan komparasi terhadap temuan
penelitian. Komparasi tersebut untuk menemukan gejala perbedaan yang
timbul pada profesionalisme jurnalis nasional dan daerah. Dengan alasan
tersebut lokasi penelitian berada di dua tempat yang berbeda. Kilisuci
berdomisili di Jakarta sedangkan Trijata dan Kunti berdomisili di Yogyakarta.
Oleh karena itu lokasi penelitian akan dilaksanakan di dua kota tersebut. Lama
penelitian sendiri selama 2-3 bulan dengan pembagian waktu satu informan
mendapat bagian waktu satu bulan. Pemilihan tiga informan dilakukan peneliti
untuk lebih mudah dalam mengikuti aktivitas, sehingga peneliti dapat fokus
dan mendalam kegiatan informan ketika di lapangan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Reinharz dan Harding mejelaskan bsahwa dalam penelitian feminis,
khususnya etnografi, peneliti bisa menggabungkan dan menggunakan berbagai
metode, tergantung pada bagaimana penelitian dilakukan dan apa tujuannya37.
Meskipun peneliti menggunakan metode etnografi feminis, peneliti masih
menggunakan teknik pengumpulan data a la James P. Spradley. Hal ini peneliti
tempuh untuk mendistorsi kelemahan metode etnografi feminis dalam
menentukan teknik pengumpulan data. Alasan lain, bahwa keduanya tetap
berada dalam penelitian kualitatif sehingga menggunakan teknik triangulasi
untuk pengumpulan datanya. Sebagai sebuah penelitian kualitatif, metode yang
digunakan etnografer adalah observasi partisipan, wawancara mendalam, dan
pencatatan dokumen. Etnografi baru yang dikembangkan oleh Spradley adalah
ethnographic interview. Metode ini menekankan pada cara untuk mengajak
37Ibid. Page: 157
36
orang/obyek penelitian untuk berbicara mengenai apa yang mereka tahu
(Spradley, 1979:9). Dalam meotode ini, data primer akan didapat melalui
wawancara.
Dalam melakukan kerja lapangan, etnografer membuat kesimpulan
budaya dari tiga sumber: (1) dari yang dikatakan orang, (2) dari cara orang
bertindak; dan (3) dari berbagai artefak yang digunakan orang38. Maka, metode
pengumpulan data yang dipakai adalah:
Observasi partisipan. Karakter-karakter teknik observasi
partisipatifadalah39:
a. ada komitmen dari peneliti untuk mempelajari peristiwa hidup
sehari-hari
b. persepsi atas realita dikonstruksi melalui interaksi da komunikasi
yang dilakukan oleh partisipan
c. kinerja studi berada dalam lingkungan alami tanpa mengubah
apapun
d. persepsi atas realitas dialami dalam suatu cara yang interpretatif
e. bahan yang dikumpulkan merupakan bahan yang empirik yang
relatif tidak terstruktur
f. berkenaan dengan sejumlah kecil kasus
g. penulisan dan gaya analisis bersifat interpretif
h. mencakup definisi fenomena
Peneliti melakukan observasi partisipan terhadap tiga informan. Peneliti
mengikuti kegiatan informan/ jurnalis dalam melakukan profesinya. Tujuan
observasi partisipan adalah untuk mengetahui secara langsung dan ikut
merasakan apa yang dirasakan informan (jurnalis) dalam melaksanakan
profesionalisme di tengah kendala sosial yang dihadapi.
Wawancara.
38 Spradley, James P., 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana. 39 MC Ninik Sri Rejeki,”Metode Etnografi untuk Penelitian Komunikasi” dalam Jurnal ISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Vol.5/No.2/ Juni‐Agustus 2003.
37
Wawancara etnografis merupakan jenis peristiwa percakapan (speech
event) yang khusus40. Wawancara etnografis adaah sebagai serangkaian
percakapan persahabatan yang di dalamnya peneliti secara perlahan
memasukkan unsur baru guna membantu informan memberikan jawaban
sebagai informan41.
Dalam penelitian ini, digunakan teknik percakapan persahabatan untuk
mendapatkan data yang tanpa dibuat-buat oleh informan. Peneliti membuat
sistematika pertanyaan terlebih dahulu sebelum turun lapangan untuk
memudahkan peneliti dalam melakukan wawancara. Wawancara dilakukan
bertahap dengan kurun waktu dua bulan.
Selain menggunakan teknik pengumpulan data primer berupa
wawancara, peneliti juga menggunakan teknik pengumpulan data sekunder:
Studi literatur
Studi literatur yang diguakan peneliti bertujuan untuk memperdalam dan
mempertajam materi. Studi literatur yang digunakan mencakup struktur
redaksional di mana informan bekerja, berita-berita yang telah dihasilkan
informan, serta data-data pendukung lain yang berguna bagi penelitian.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan teknik
eksplanatoris, dimana peneliti akan menuliskan hasil pengamatan dan hasil
wawancara secara bersamaan. Limitasi penulisan dengan menggunakan bagan
pemikiran dan kerangka konsep.
Selain itu, penelitian masih menggunakan teknik analisis Spradley.
Analisis etnografi menurut Spradley merupakan penyelidikan berbagai bagian
sebagaimana yang dikonseptualisasikan oleh informan. Analisis yang akan
digunakan utuk membaca data yang telah didapat adalah analisis domain
(domain analysis). Data yang didapat, kemudian dibuat domain-domain
40Ibid. Hal: 79 41Ibid. Hal: 85
38
tertentu, yakni dikelompokkan ke dalam kelompok yang besar, kecil, dan lebih
kecil. Domain yang didapat kemudian diklasifikasikan ke dalam beberapa
elemen dasar dalam analisis domain, yakni cover terms (nama kultural),
included terms (nama untuk kategori yang lebih kecil dan spesifik), dan
kemudian dicari sematic relationship yang menggabungkan beberapa kata
dalam included terms dan cover terms.
Langkah analisis dalam etnografi adalah maju dan bertahap. Analisis
dilakukan dalam tempo yang tidak sama namun berurutan. Lagkah-langkah
yang ditempuh peeliti atara lain:
1. Analisis hasil wawancara etnografi. Tahap ini berada di tengah proses
wawancara, yaitu setelah wawancara deskriptif. Analisis ini bertujuan
mengevaluasi data etnografi yang diperoleh selama wawancara
sebelumnya. Evaluasi kemudian dipakai untuk acuan wawancara tahap
berikutnya.
2. Membuat analisis wawancara sederhana. Merujuk pada wawancara
Spradley, hasil wawancara akan dikelompokkan sesuai dengan kelompok
bahasan, sehingga mempermudah pembacaan alur pikir penulisan.
3. Refleksi terhadap observasi partisipan. Dalam observasi, peneliti
memerhatikan konsistensi wawancara. Setiap hasil observasi yang
menarik dicatat dalam buku observasi.
4. Analisis komponen. Pada tahap ini,peneliti mencari hubungan (semantic
relationship) dan kaitan antara cover terms dan included terms. Pada tahap
ini,
5. Mengintepretasi data, meniliti informasi tambahan lain yang terkait, dan
menyajikan data
6. Sistematika Penulisan
Penulisan laporan penelitian bersifat deskriptif dan analitis. Deskriptif
untuk memberikan gambaran mengenai kondisi sebenarnya yang ditemui
peneliti di lapangan sedangkan analitis untuk merujukkan logika berpikir
39
peneliti. Sistematika penulisan penelitian ini sendiri terbagi menjadi lima bab,
yaitu:
Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian,
instrument penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II berisi tinjauan pustaka dari topik yang diangkat dalam penelitian ini
pada konteks yang lebih luas, yaitu kondisi jurnalis di Indonesia. Kemudian
difokuskan pada masalah-masalah yang dihadapi oleh jurnalis perempuan,
khususnya kendala sosial yang dihadapi jurnalis perempuan.
Bab III akan menjelaskan tentang subjek penelitian, yakni jurnalis
perempuan serta perbedaan yang mendasar antara jurnalis perempuan di daerah
dengan jurnalis nasional. Dalam bab ini, juga akan dideskripsikan dengan detil
dua jurnalis perempuan yang memasuki kriteria sebagai informan dalam
penelitian.
Bab IV, berisi tentang analisis data yang didapat untuk menjawab rumusan
masalah yang disebutkan sebelumnya. Bab ini akan menjabarkan
profesionalisme jurnalis perempuan dalam menghadapi kendala sosial
perempuan yang bekerja.
Bab V Penutup, berisi tentang kesimpulan dari hasil analisis data dan
saran untuk penelitian dengan kajian serupa yang akan datang.
Recommended