View
217
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Model Elevasi Digital (DEM) merupakan data spasial yang menyatakan bentuk
topografi suatu wilayah, umumnya digunakan untuk manajemen penggunaan lahan,
pembangunan infrastruktur, kebencanaan dan pertahanan. Pada bidang geodesi dan
geomatika, DEM dapat digunakan untuk pembuatan peta topografi, pembuatan citra
orto, pembuatan garis kontur, perhitungan volume tanah dan sistem informasi
geografis tiga dimensi (3D). Data spasial ini dipilih sebagai pertimbangan untuk
pengambilan keputusan karena DEM menyediakan informasi ketinggian sehingga
dapat merepresentasikan bentuk permukaan bumi maupun topografi bumi 3D.
Untuk memperoleh DEM, dapat dilakukan ekstraksi dari peta yang sudah ada,
pengukuran terestris, fotogrametri, Light Detection and Ranging (LIDAR), ekstraksi
dari citra satelit radar dan citra satelit optis. Citra satelit optis yang mendukung dalam
pembuatan DEM adalah citra yang stereo dimana citra satu dengan citra lainnya
memiliki wilayah yang saling tumpang tindih/overlap dengan sudut pandang yang
berbeda. Hingga saat ini, ekstraksi dari citra satelit umum digunakan dalam pembuatan
DEM yang membutuhkan waktu yang lebih singkat, data yang up to date, jangkauan
area pemetaan yang luas dan biaya yang lebih efisien ketimbang menggunakan metode
yang lain dalam pembuatan DEM.
Citra satelit radar seperti Interferometric Syntethic Aperture Radar (IFSAR) dan
Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) menyediakan DEM global dengan
jangkauan area yang luas. DEM lebih akurat dari citra resolusi tinggi sangat
dibutuhkan untuk perapatan produksi dari DEM global dan pemenuhan kebutuhan,
salah satunya citra satelit WorldView-1. Citra satelit WorldView-1 memiliki resolusi
spasial sebesar 0,5 m dan dapat merekam permukaan bumi secara stereo pada satu
jalur orbit perekaman (along-track stereoscopy).
Penelitian ini mencoba melakukan analisis akurasi DEM WorldView-1. Selain
itu, penelitian ini bermaksud menghitung nilai akurasi DEM dengan
2
membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai yang
benar/teliti, yaitu peta rupa bumi yang telah diproduksi badan pemetaan negara. DEM
ini perlu diketahui sejauh mana keakuratannya dalam merepresentasikan permukaan
bumi agar penggunaan DEM sesuai dengan kebutuhan pengguna. Akurasi DEM citra
satelit yang telah diketahui dapat meningkatkan perkembangan teknologi di masa
mendatang untuk melahirkan inovasi-inovasi baru dalam meningkatkan keakuratan
DEM dalam menyajikan data spasial yang teliti, cepat dan ekonomis.
I.2. Rumusan Masalah
Ketersediaan data DEM lokal masih terbatas untuk memenuhi berbagai
kebutuhan. Teknologi citra satelit beresolusi tinggi dapat menjadi solusi dalam
memenuhi kebutuhan DEM. DEM dapat diperoleh salah satunya menggunakan
teknologi penginderaan jauh berupa citra stereo dari satelit WorldView-1 secara cepat,
up to date dan jangkauan area yang luas. Namun, DEM citra satelit WorldView-1 perlu
diuji akurasinya dalam memproduksi peta dengan skala terbesar yang dapat dicapai.
I.3. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian dihasilkan dari rumusan masalah yang terdapat di dalam
penelitian. Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan penelitian, yaitu:
1. Bagaimana nilai akurasi DEM dari hasil proses stereo-matching citra satelit
WorldView-1?
2. Berapa skala peta terbaik yang dapat dibuat dari DEM citra satelit
WorldView-1?
I.4. Batasan Masalah
Batasan masalah digunakan untuk efektivitas waktu dan ruang lingkup
penelitian. Berikut ini adalah batasan-batasan masalah yang akan ditetapkan di dalam
penelitian ini, yaitu:
3
1. Peta yang digunakan sebagai data pembanding adalah peta Rupa Bumi
Indonesia (RBI) skala 1:5.000 sebanyak satu scene.
2. Cakupan wilayah DEM hasil ekstraksi sebesar 3.000 m x 3.000 m atau sama
dengan luas satu scene peta RBI skala 1:5.000.
3. Proses ekstraksi dilakukan secara otomatis menggunakan stereo-matching
dengan titik kontrol yang ditetapkan secara manual pada citra.
I.5. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis akurasi DEM hasil ekstraksi citra
satelit WorldView-1 dengan metode stereo-matching. Penyajian dilakukan dengan
cara membandingkan terhadap DEM hasil ekstraksi peta RBI skala 1:5.000 yang
dianggap benar/teliti.
I.6. Manfaat penelitian
Penelitian ini memberikan informasi akurasi DEM citra satelit WorldView-1.
DEM yang sudah diketahui nilai akurasinya ini bermanfaat dalam pembuatan peta
menurut kebutuhan ketelitian tertentu, misal pembuatan peta untuk mengatur rencana
tata ruang wilayah, penggunaan lahan, pembangunan infrastruktur, manajemen
lingkungan dan pembuatan peta untuk kebencanaan.
I.7. Tinjauan Pustaka
Satelit WorldView-1 telah melakukan banyak pemetaan akurasi tinggi
menggunakan citra satelit resolusi tinggi yang dihasilkannya, dengan atau tanpa
menggunakan Ground Control Point (GCP). Kemampuan stereo dari sensor satelit
WorldView-1 juga memberikan pilihan untuk mengambil Digital Elevation Model
(DEM) beresolusi tinggi.
DEM dari citra satelit WorldView-1 menggunakan metode along-track
stereoscopy, yaitu menggunakan sensor yang diarahkan ke depan dan ke belakang
dalam satu orbit yang sama dengan posisi yang berdekatan. Data stereo yang direkam
4
sepanjang orbit memiliki keuntungan yang kuat dalam hal variasi radiometrik (Cheng,
2008). Satelit yang mampu memproduksi secara along-track stereoscopy ini yaitu
JERS-1 Optical Sensor (OPS), Modular Opto-Electronic Multi-Spectral Stereo
Scanner (MOMS) Jerman, ASTER, IKONOS, QuickBird, OrbitView, SPOT-5,
Formosat II, Cartosat, dan tambahan terbaru dari DigitalGlobe yaitu satelit
WorldView-1.
Tes yang dilakukan Cheng dan Chaapel (2008) di El Paso, Texas, memperoleh
data stereo dari perekaman sensor satelit yang dimiringkan sebesar 2,2° ke depan dan
-27,7° ke belakang. Daerah ini memiliki variasi ketinggian 1.100 m sampai 1.200 m
didominasi dengan kawasan pemukiman. Data citra terpecah menjadi dua bagian, citra
depan dan citra belakang. Kapasitas penyimpanan untuk citra setelah penggabungan
sebesar 3,0 Gigabytes (Gb). Gambar I.1 menunjukkan citra depan dan belakang
kawasan El Paso.
(a) (b)
Gambar I.1. Citra depan (a) dan citra belakang (b) (Cheng dan Chaapel, 2008)
Dalam penelitian di El Paso, ada dua kasus yang diuji. Kasus pertama, tidak ada
GCP dan mengumpulkan 18 tie point, Kasus kedua, satu GCP dan 17 tie point. Tabel
I.1 menunjukkan ringkasan dari akurasi model Rational Polynomial Coefficient
(RPC). Kesalahan Root Mean Square (RMS) dari tie point untuk kedua citra sebesar
1,0 m ketika hanya menggunakan satu GCP dari masing-masing citra.
5
Tabel I.1. Hasil akurasi model RPC El Paso (Cheng dan Chaapel, 2008)
Citra Nomor
GCP
Nomor
tie point
Tie point RMS error Tie point max error
X Y X Y
Depan 0 18 0,4 2,4 0,2 3,0
1 17 0,5 0,5 0,6 0,9
Belakang 0 18 0,5 1,1 1,0 2,1
1 17 0,7 1,0 1,2 2,0
DEM dihasilkan secara otomatis pada jarak 1,0 m dari pasangan citra stereo.
Selanjutnya, hasil DEM dibandingkan dengan elevasi tie point. Gambar I.2
menunjukkan DEM yang diekstrak dari citra satelit WorldView-1 dan DEM Shuttle
Radar Topography Mission (SRTM) 90 m dengan daerah yang sama.
(a) (b)
Gambar I.2. DEM WorldView-1 (a) dan DEM SRTM (b) (Cheng dan Chaapel, 2008)
DEM diekstrak secara otomatis dengan resolusi sebesar 1,0 m. Selanjutnya,
DEM dibandingkan dengan beberapa titik cek (check point) yang berlokasi di tanah
yang memiliki nilai ketinggian/elevasi. Root Mean Square vertikal (RMSz) yang
dimiliki DEM dengan tanpa GCP berkisar antara 5,2 m sampai dengan 7,3 m. RMSz
yang dimiliki DEM dengan menggunakan GCP berkisar antara 0,9 m sampai dengan
2,3 m. Akurasi vertikal DEM dengan menggunakan GCP berkisar antara 1,48 m
sampai dengan 3,79 m, sehingga memenuhi kebutuhan peta skala 1:5.000 sampai
dengan 1:10.000 (BIG, 2014).
6
Penelitian yang dilakukan oleh Amhar dan Ferdiansyah (2007) adalah
perbandingan DEM dari peta RBI, IFSAR dan SRTM untuk mengetahui akurasi DEM
peta RBI dan DEM SRTM terhadap DEM IFSAR. DEM global yang berasal dari
SRTM memiliki resolusi spasial sebesar 90 m dan akurasi ketinggian 16 m. Meskipun
memiliki spesifikasi di bawah IFSAR, teknologi SRTM sangat murah. DEM dari peta
RBI dianggap kadaluarsa atau tidak pada waktu yang terbaru.
Hipotesis pada penelitian ini adalah bila selisih akurasi DEM IFSAR-RBI dan
DEM IFSAR-SRTM dapat ditoleransi untuk skala 1:50.000 (yaitu 2/5 jarak kontur,
sedang jarak kontur adalah 25 m, jadi 10 m), maka cukup menggunakan data SRTM
(Amhar dan Ferdiansyah, 2007). DEM IFSAR dianggap sebagai referensi yang
memiliki akurasi yang paling tinggi di antara DEM RBI dan DEM SRTM.
Area penelitian Amhar dan Ferdiansyah berada di wilayah Sulawesi dengan
nomor lembar peta 2014-31 dan 2014-32. DEM yang dihasilkan dari IFSAR dan
SRTM merupakan Model Permukaan Digital (DSM). DEM RBI merupakan Model
Terain Digital (DTM). Peta RBI tersebut dibuat dari foto udara tahun 1987.
Titik uji dibuat sebanyak 130 titik yang ditentukan secara acak dan terdistribusi
baik. Setelah itu, data ketinggian pada DEM IFSAR-RBI dan DEM IFSAR-SRTM
dicari selisih absolutnya. Perbandingan nilai ketinggian antara DEM IFSAR-RBI
sebesar 35% titik yang memiliki selisih ketinggian 10 m. Perbandingan nilai
ketinggian DEM IFSAR-SRTM memiliki 62% titik atau sejumlah 80 titik yang
memiliki selisih ketinggian hingga 10 m. Perbandingan DEM SRTM-RBI
menunjukkan sebanyak 32% titik memiliki selisih ketinggian kurang dari 10 m. Amhar
dan Ferdiansyah (2007) menyatakan bahwa pada pemetaan skala 1:250.000 dengan
interval kontur 100 m dan akurasi vertikal 40 m, maka penggunaan data IFSAR atau
SRTM tidak akan menghasilkan perbedaan yang cukup signifikan.
I.8. Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori yang
terkait dengan DEM citra satelit WorldView-1. Teori yang menjadi landasan dalam
penelitian ini meliputi citra satelit WorldView-1, geometri pencitraan stereo, registrasi
7
citra, paralaks untuk perhitungan tinggi, Model Elevasi Digital, statistika dan
hubungan akurasi terhadap skala peta.
I.8.1. Citra Satelit WorldView-1
Satelit WorldView-1 diluncurkan pada 18 September 2007. Satelit ini beroperasi
pada ketinggian 496 km dan waktu lintas ulang satelit ini rata-rata 1,7 hari sehingga
mampu mengumpulkan citra dengan total area rekaman rata-rata 1,3 juta km² per hari
(DigitalGlobe, 2013). Satelit ini juga dilengkapi dengan kemampuan akurasi pada
geolokasi, kecepatan dalam penargetan dan sangat efisien dalam koleksi track stereo.
Citra yang dihasilkan memiliki kapasitas yang tinggi dan sistem pencitraan
pankromatik dengan resolusi 0,5 m.
Gambar I.3. Citra satelit WorldView-1 (Cheng dan Chaapel, 2008)
Satelit WorldView-1 dapat merekam secara stereo untuk menghasilkan citra
stereo dengan luas area maksimal 51 x 112 km. Perekaman stereo tersebut
menghasilkan tiga pasangan citra stereo. Pada Gambar I.4, satelit WorldView-1
memiliki berbagai skenario perekaman satelit untuk menghasilkan citra sesuai
kebutuhan pengguna.
8
Gambar I.4. Skenario perekaman satelit WorldView-1 (DigitalGlobe, 2013)
Gambar I.5. Scene stereo satelit WorldView-1 (Poli, Wolff dan Gruen, 2008)
Gambar I.5 menjelaskan scene stereo hasil perekaman sensor satelit WorldView-
1 secara along-track stereoscopy. Beberapa informasi yang terkait dengan
karakreristik berupa desain serta spesifikasi dan produk dari satelit WorldView-1
dapat dilihat pada Tabel I.2 dan Tabel I.3 di bawah ini.
Citra 1
Citra 2
9
Tabel I.2. Karakteristik satelit WorldView-1 (DigitalGlobe, 2013)
Karakteristik Keterangan
Peluncuran Tanggal: 18 September 2007
Pesawat peluncuran: Delta 7920 (9 strap-ons)
Stasiun peluncuran: Vandenberg Air Force Base,
California
Orbit Ketinggian: 496 km
Tipe: Sun synchronous, 10:30 am descending node
Periode: 95 menit
Band sensor Pankromatik
400 - 900 nm
Resolusi sensor 50 cm Ground Sample Distance (GSD) at nadir
55 cm GSD di 20º off-nadir
Lebar sapuan 17,7 km at nadir
Akurasi pointing Kurang dari 500 m pada citra awal dan akhir
Kemampuan penargetan 200 km selama 10 detik
Pengumpulan area
berdekatan dalam satu jalur
Mono: 111 x 112 km (6 strips)
Stereo: 51 x 112 km (3 pairs)
Frekuensi rotasi 1,7 hari pada 1,0 m GSD
5,4 hari pada 0,55 m GSD
Akurasi geolokasi Akurasi horizontal (CE90) kurang dari 4,0 m tanpa
menggunakan titik control pada citra
Kapasitas 1,3 juta km² per hari
Tabel I.3. Produk dari satelit WorldView-1 (DigitalGlobe, 2013)
Produk Akurasi Geolokasi
CE90/LE90 (m) RMSE (m) NMAS
Basic 5,0 2,3 -
Basic Stereo Pair 5,0/5,0 2,3 -
Standard 5,0 2,3 -
Ortho Ready Standard 5,0 2,3 -
Ortho Ready Stereo 5,0/5,0 3,3 -
Advanced Ortho Series Precision 4,2 2,0 1:5.000
Advanced Ortho Series Mapping 10,2 4,8 1:12.000
Advanced Ortho Series Display 25,4 11,8 1:50.000
Akurasi geolokasi adalah ketelitian posisi horizontal dan vertikal pada citra
sesuai posisi sebenarnya di lapangan/real world. Akurasi horizontal dinyatakan dalam
Circular Error 90% (CE90) sedangkan akurasi vertikal dinyatakan dalam Linear
10
Error 90% (LE90). CE90 dan LE90 menerangkan bahwa sebanyak 90% titik pada
citra memiliki kesalahan tidak lebih dari nilai akurasi. Gambar I.6 menjelaskan akurasi
horizontal (CE90) sebesar 4,0 m pada citra satelit WorldView-1. Paling sedikit
sebanyak 90% titik pada citra memiliki kesalahan horizontal kurang dari 4,0 m.
Gambar I.6. Akurasi geolokasi citra satelit WorldView-1 (DigitalGlobe, 2013)
I.8.2. Geometri Pencitraan Stereo
Citra stereo adalah sekumpulan citra dengan titik principal yang terlihat di kedua
sensor dengan sudut pandang yang berbeda sehingga menimbulkan sepasang titik yang
disebut pasangan konjugasi. Karena dua pengamatan berasal dari posisi yang berbeda,
citra stereo dapat direkonstruksi menjadi tampilan 3D. Citra stereo digunakan untuk
menggambarkan persepsi elevasi pada ekstraksi DEM.
Jacobsen (2003) menyatakan dalam ekstraksi DEM dengan citra optik,
memerlukan dua atau lebih gambar yang menunjukkan daerah yang sama dari arah
yang berbeda. Pusat proyeksi harus diketahui dalam sebuah sistem koordinat.
Citra stereo diperoleh dari beberapa cara perekaman sesuai geometri sapuan
satelit di tiap orbitnya, salah satunya stereo dari orbit satelit yang sama (along track).
Contoh satelit yang merekam secara along track adalah satelit WorldView-1 seperti
yang ditunjukkan pada Gambar I.7. Satelit yang mengorbit harus stabil dan bebas dari
efek atmoster. Sistem sensor satelit harus dapat diarahkan untuk menghasilkan citra-
citra dengan sudut pandang yang berbeda sehingga memaksimalkan area overlap yang
dituju.
11
Gambar I.7. Perekaman stereo satelit WorldView-1 (Jacobsen, 2003)
Pasangan citra satelit stereo menghasilkan suatu citra yang digunakan dalam
rekonstruksi 3D. Citra epipolar adalah citra yang menggunakan geometri epipolar
dalam merekonstruksi obyek 3D dari citra 2D. Geometri epipolar merupakan teknik
penyesuaian geometri yang menghubungkan titik-titik 3D yang diamati dengan
proyeksi 2D, antara dua citra yang direkam dari dua posisi sensor kamera yang berbeda
(Rachmawati, Hidayat dan Wibirama, 2012).
I.8.3. Registrasi Citra
Registrasi citra/register merupakan metode koreksi geometrik yang ada pada
citra. Citra yang dihasilkan langsung dari satelit penginderaan jauh masih memiliki
kesalahan yang mempengaruhi geometrik citra. Sumber kesalahan geometrik citra
adalah kesalahan instrumen, distorsi panoramatik, perputaran bumi dan
ketidakstabilan peralatan termasuk di dalamnya variasi ketinggian dan perilaku
(Djurdjani dan Kartini, 2004). Informasi dari citra satelit agar dapat menghasilkan peta
dan penggabungan dengan data spasial lain perlu dikakukan registrasi citra.
Registrasi citra adalah melakukan penyamaan skala pada citra dengan
menggunakan titik-titik kontrol yang memiliki sistem koordinat (registrasi citra ke
peta) atau menggunakan citra lain yang telah dilakukan geometrik (registrasi citra ke
citra). Titik kontrol memiliki koordinat tanah yang didapatkan dari peta topografi atau
pengukuran langsung di lapangan menggunakan GPS/teodolit/alat survei lainnya.
Titik kontrol dipilih di lokasi terbuka atau yang berhimpit dengan tanah/ground dan
terlihat jelas di citra. Koordinat titik kontrol menggunakan sistem koordinat 2-D
Orbit Satelit
12
(planimetris/X, Y) atau 3D (X, Y, Z). Untuk kebutuhan ekstraksi DEM dari citra
satelit, memerlukan titik kontrol yang memiliki sistem koordinat planimetris(X, Y)
dan tinggi (Z).
Dua jenis titik kontrol citra yang digunakan dalam proses ekstraksi DEM adalah
Ground Control Point (GCP) dan tie point. GCP memiliki koordinat 3D dalam sistem
proyeksi tertentu, misalnya Polieder, Mercator atau Transverse Mercator. GCP
diletakkan di dalam citra sesuai lokasinya di lapangan. Registrasi citra menggunakan
GCP merupakan metode registrasi citra ke peta. Tie point merupakan titik ikat antara
citra satu dengan citra lainnya. Fungsi tie point adalah memperbaiki geometri citra
dengan distribusi yang lebih rapat dan teratur karena penempatan tie point pada citra
sangat fleksibel/hanya menentukan lokasi yang sama di antara kedua citra. Registrasi
citra menggunakan tie point merupakan metode registrasi citra ke citra.
Root Mean Square (RMS) adalah besar kesalahan sistematik pada proses
registrasi citra. Kesalahan RMS bersumber dari kesalahan pengukuran titik kontrol di
peta atau di lapangan dan kesalahan dari penempatan titik kontrol (GCP dan tie point)
pada citra. Kesalahan RMS pasti ada di dalam registrasi citra, namun besar kesalahan
tersebut harus lebih kecil dari toleransi yang ditentukan. Besar toleransi RMS mengacu
pada standar ketelitian planimetrik Badan Pertanahan Nasional (BPN) seperti yang
dijelaskan pada Rumus I.1 (BPN, 1997).
Toleransi RMS = 0,3 mm ∗ faktor skala ……...…………………….….….........(I.1)
I.8.4. Rational Polynomial Coefficient
Satelit WorldView-1 menggunakan sensor optis dalam melakukan pencitraan.
Sifat-sifat fisis sensor disimpan dalam suatu model yang dinamakan Rigorous Camera
Model (RCM). Gambar I.8 menjelaskan macam-macam dari sifat fisis sensor.
Penggunaan RCM banyak digantikan oleh Rational Polynomial Coefficient (RPC)
karena model RPC lebih sederhana namun masih mempertahankan informasi dari sifat
fisis sensor. Dial dan Grodecki (2004) menyatakan RPC adalah model matematis yang
digunakan untuk menghitung koordinat piksel (kolom dan baris) dari koordinat peta
suatu obyek (lintang, bujur, tinggi) terhadap variasi dari sistem sensor yang digunakan.
13
Gambar I.8. Sifat fisis sensor optis (Dial dan Grodecki, 2004)
RPC berisi perbandingan antara dua persamaan polinomial kubik. Pada citra
stereo, satu citra memiliki dua persamaan polinomial. Masing-masing persamaan
polinomial tersebut digunakan untuk menghitung koordinat baris dan koordinat kolom
pada citra. Rumus I.2 merupakan persamaan normalisasi koordinat peta dengan
rentang nilai ±1,0 (Dial dan Grodecki, 2004). Koordinat peta perlu dinormalisasi
sebelum dihitung ke dalam fungsi rasio polinomial pada Rumus I.3 (PCI Geomatics,
2003).
Xn =φ−φ0
φs, Yn =
λ−λ0
λs, Zn =
h−h0
hs ………………………………………..(I.2)
Rown =P1(Xn,Yn,Zn)
Q2(Xn,Yn,Zn), Coln =
P2(Xn,Yn,Zn)
Q2(Xn,Yn,Zn) ………………………………………….(I.3)
dimana φ, λ, h : koordinat lintang, bujur dan tinggi di atas elipsoid
φ0, λ0, h0, S0, L0 : offset pada koordinat peta dan piksel
φs, λs, hs, Ss, Ls : faktor skala pada koordinat peta dan piksel
Xn, Yn,Zn : normalisasi koordinat peta
Rown, Coln : normalisasi koordinat piksel citra
P dan Q : koefisien polinomial
Perhitungan bundle adjustment digunakan untuk menghasilkan koordinat tanah
pada citra dari koordinat piksel. Komponen RPC dan titik kontrol (GCP) yang
diregistrasi pada citra digunakan dalam bundle adjustment. Hasil dari proses hitungan
bundle adjustment adalah titik-titik ikat (tie points) yang tersebar pada pasangan citra
stereo dan memiliki koordinat tanah (X, Y, Z).
14
Pada pengolahan citra satelit menjadi DEM, sistem tinggi (Z) yang digunakan
pada RPC sangat berpengaruh. Komponen elevasi pada RPC umumnya bereferensi
terhadap elipsoid World Geodetic System 1984 (WGS84), karena posisi satelit
dikontrol oleh GPS. Penambahan titik kontrol tinggi ortometrik yang mengacu pada
geoid lokal perlu dilakukan pada citra. Hal tersebut dilakukan untuk menghasilkan
DEM dengan elevasi yang lebih mendekati permukaan tanah sebenarnya. Gambar I.9
menunjukkan perapatan sistem tinggi elipsoid yang dirapatkan terhadap geoid agar
menghasilkan tinggi ortometrik terhadap permukaan bumi.
Gambar I.9. Tinggi ortometrik (Smith, 2015)
I.8.5. Teori DEM Dari Stereo Paralaks
Citra satelit yang digunakan dalam mendapatkan data DEM adalah citra dengan
pasangan stereo. Citra satelit stereo dapat mengkonstruksi obyek asli secara 3D. Dua
citra yang memiliki area yang saling tumpang tindih/overlap didapatkan dengan sudut
pandang yang berbeda. Di area yang tumpang tindih itulah digunakan untuk
mengkontruksi model stereo.
Perhitungan beda tinggi dari citra stereo menggunakan besar paralaks. Paralaks
dihasilkan dari perbandingan antara basis citra dengan tinggi terbang satelit. Sensor
satelit WorldView-1 memiliki sifat stereoskopik untuk menghasilkan citra yang
terletak berurutan pada jalur orbit (along track). Pada Gambar I.10, jalur orbit satelit
sejajar dengan sumbu y pada citra. Beda paralaks di kedua pasangan citra stereo
terletak pada sumbu y dan beda paralaks pada sumbu x adalah nol atau mendekati nol.
Model metematis yang menyatakan perhitungan beda tinggi menggunakan paralaks
dapat dilihat pada Rumus I.4 dan Rumus I.5 berikut ini (Trisakti, 2007).
∆H =X1−X2
tan α=
∆p
tan α ……………………………………………………………...(I.4)
∆H =H
B∆p …………………………….………………………………………....(I.5)
15
Gambar I.10. Geometri perhitungan beda tinggi menggunakan paralaks
(Trisakti, 2007)
Besaran ΔH merupakan beda tinggi, α merupakan sudut yang dibentuk sensor vertikal
dan miring, H merupakan tinggi orbit satelit, B merupakan basis citra dan Δp
merupakan beda paralaks X1 dan X2 pada tiap sensor.
Dalam kasus fotogrametri, parameter rasio basis (B/H) menentukan akurasi dari
pasangan foto stereo dalam menghasilkan DEM. Rasio basis (base ratio) adalah
perbandingan jarak antara pasangan stereo dibagi dengan ketinggian sensor yang
merekam. Sebagai contoh, ASTER memiliki rasio basis sebesar 0,6 sedangkan SPOT
HRS sebesar 0,85. ALOS PRISM dengan perekaman stereo forward-backward view
memiliki basis rasio sebesar 1,0 dan perekaman stereo off-nadir-nadir view sebesar
0,5. Nilai basis rasio yang kurang dari 0,5 membuat akurasi vertikal akan berkurang
seiring berkurangnya basis rasio. Hal tersebut terjadi juga pada nilai basis rasio yang
lebih dari 1,0 membuat akurasi vertikal akan berkurang seiring bertambahnya basis
rasio. Rasio basis yang baik untuk menghasilkan citra stereo yang akurat dalam
pembuatan DEM berada pada rentang nilai 0,5 sampai 1,0 (Hasegawa et al., 2000).
Satelit WorldView-1 merupakan salah satu satelit Very High Precision (VHR)
dengan sensor yang dapat digerakkan. Rasio basis kurang tepat digunakan sebagai
ukuran efektifitas dari pasangan stereo yang direkam menggunakan sensor ini. Pada
kasus ini, parameter yang berpengaruh adalah sudut convergence, asymmetry dan
Δh
H
Orbit satelit
datum
X2
X1
α
α
Δp
16
sudut BIE (Geoimage, 2010). Gambar I.11 menunjukkan hubungan geometris antara
ketiga sudut tersebut.
Gambar I.11. Geometri pencitraan stereo satelit WorldView-1
(http://www.computamaps.com/)
Sudut convergence adalah sudut yang dibentuk dari dua sinar perekaman sensor
saat perekaman pertama (L1) dan perekaman kedua (L2). Di tengah-tengah sudut
convergence terdapat arah pandang sentral (B). Sudut convergence, L1, L2 dan kedua
posisi sensor saat perekaman stereo membentuk suatu bidang yang disebut bidang
epipolar. Sudut asymmetry merupakan offset arah pandangan pusat (B) terhadap arah
zenit (Z). Jika besar sudut asymmetry sama dengan 0º maka paralaks yang muncul
pada pasangan citra stereo akan sama. Perspektif tehadap obyek akan sama namun
pada sisi pandang yang berbeda. Sudut BIE (Bisector Elevation) adalah sudut di antara
bidang horizon lokal titik R terhadap bidang epipolar. Sudut BIE merupakan besar
paralaks yang muncul pada arah vertikal setelah disejajarkan.
Ukuran ideal dari ketiga sudut yaitu sudut convergence, asymmetry dan sudut
BIE masing-masing sebesar 30º-60º, kurang dari 20º dan 60º-90º (Geoimage, 2010).
Ukuran ideal tersebut ditujukan untuk menampilkan ketinggian fitur tanah yang akurat
pada saat pembuatan DEM.
17
I.8.6. Image Matching
Citra stereo dapat menghasilkan suatu DEM dengan cara pencocokan citra
(image matching) pada pasangan citra. Image matching secara otomatis secara umum
sering digunakan dalam beberapa software pengolahan citra satelit. Salah satu metode
image matching otomatis adalah mencari korelasi tingkat keabuan (gray scale) dari
piksel-piksel citra yang berpasangan. Selain itu, penggunaan kesamaan piksel-piksel
yang tergambar sebagai suatu fitur dan area dapat digunakan dalam image matching
otomatis seperti yang ditunjukkan Gambar I.12. Butler (1992) menyatakan beberapa
parameter yang digunakan dalam image matching antara lain persamaan garis lurus
yang diekstrak dari pasangan citra, atribut yang diukur (lokasi, orientasi, ukuran piksel,
kontras dan kelurusan).
Gambar I.12. Image Matching dalam pembuatan DEM (PCI Geomatics, 2003)
Model matematis korelasi silang (cross-correlation) merupakan salah satu
teknik perhitungan yang digunakan proses image matching pada pasangan citra stereo.
Rumus I.6 menjelaskan fungsi cross-correlation standar (ρ). Nilai ρ memiliki rentang
nilai ±1,0; dimana nilai yang mendekati +1,0 memiliki korelasi yang baik; nilai 0,0
berarti tidak ada korelasi dan nilai yang mendekati -1,0 memiliki anti-korelasi (Fisher
dan Oliver, 1995). Parameter xi dan yi merupakan piksel yang sesuai pada masing-
masing citra. Parameter i menunjukkan indeks piksel pada citra dan N adalah nilai
maksimumnya. Nilai rata-rata (x̅ dan y̅) digunakan untuk mengoreksi perbedaan
18
ketinggian acuan (base level) pasangan citra. Simpangan baku (σx dan σy) digunakan
untuk mengoreksi efek dari multiplikatif, seperti perbedaan penyinaran dan kontras.
ρ =1
N∑
(xi−x̅)(yi−y̅)
σx∗σy
Ni=1 …………………………………………………….(I.6)
Lokasi dari image matching ditentukan dari window size. Window size
merupakan batasan ukuran matching dalam citra dengan satuan piksel sebagai batas
pencarian piksel-piksel yang saling berkolerasi. Besar window size membentuk suatu
persegi dengan panjang dan lebar yang sama, seperti 2x2, 3x3, 4x4, 5x5 dan 9x9.
Secara umum, besar window size berukuran angka yang ganjil untuk meletakkan piksel
yang dijadikan acuan matching berada di tengah-tengah window size. Pada Gambar
I.13, window size sebesar 5x5 yang artinya area matching sebesar 5 piksel searah
sumbu X citra (kolom) dan 5 piksel searah sumbu Y citra (baris).
Gambar I.13. Window size pada proses image matching
I.8.7. Model Elevasi Digital
Model Elevasi Digital (DEM) adalah data digital dari elevasi geografis dalam
koordinat 3D (X,Y,Z) yang menggambarkan permukaan bumi dengan interval grid
horizontal yang seragam pada tiap nilai elevasinya (Gould, 2012). DEM merupakan
suatu penyajian ketinggian permukaan bumi secara digital. Terdapat dua tipe data
DEM yaitu Model Terain Digital (DTM) dan Model Permukaan Digital (DSM). DTM
mewakili permukaan tanah tanpa fitur di atas tanah sehingga hanya menjelaskan
bentuk topografi saja seperti yang ditunjukkan Gambar I.14. DSM memuat semua fitur
di atas tanah baik fitur alam maupun buatan manusia. Contoh fitur dari alam adalah
Baris (Y)
Kolom (X)
Piksel acuan
Piksel
pencarian
19
vegetasi dan fitur buatan manusia adalah bangunan. Gambar I.15 menunjukkan sketsa
perbedaan permukaan yang digunakan pada data DTM dan DSM.
(a) (b)
Gambar I.14. Visualisasi DTM (a) dan DSM (b) (DigitalGlobe, 2013)
Gambar I.15. Sketsa permukaan antara DTM dan DSM (http://en.sovzond.ru/)
File data raster DEM berisi nilai-nilai ketinggian dataran di atas area tertentu
pada interval grid yang ditentukan. Interval antara masing-masing titik grid
direferensikan ke sistem koordinat geografis yaitu lintang-bujur atau menggunakan
sistem koordinat Universal Transverse Mercator (UTM). Semakin rapat posisi titik-
titik grid berada, semakin rinci informasi terain yang disajikan.
Djurdjani (1999) menyatakan bahwa sumber data DEM diperoleh dari
pengukuran menggunakan lima teknik pengukuran sebagai berikut:
1. Pengukuran terestris meliputi survei konvensional dan survei GNSS.
2. Digitasi kartografis dari peta topografi.
3. Fotogrametri menggunakan foto udara atau citra satelit.
4. Synthetic Aperture Radar (SAR) meliputi radargrametri, interferometri, dan
radarklinometri.
5. Airborne Laser Scanning (ALS) melalui sistem LIDAR.
20
Pengukuran konvensional dapat menghasilkan DEM dengan akurasi hingga fraksi
milimeter. Teknik fotogrametri dapat menghasilkan DEM dengan akurasi hingga
fraksi sentimeter sampai meter tergantung dari resolusi spasial dari foto/citra.
Pemilihan metode tergantung pada kebutuhan DEM yang dihasilkan. Pengukuran
konvensional cenderung digunakan untuk menghasilkan DEM dengan akurasi yang
tinggi dan area yang sempit. Teknik fotogrametri cenderung digunakan untuk
menghasilkan DEM dengan akurasi yang lebih rendah dan area yang lebih luas.
Format penyimpanan DEM terbagi menjadi dua yaitu format acak dan format
teratur. Format acak digunakan pada pemodelan permukaan berbasis titik dan
pemodelan permukaan berbasis segitiga. Pada pemodelan permukaan berbasis titik,
permukaan DEM dibangun menggunakan titik-titik data individu. Titik data individu
digunakan untuk mewakili daerah kecil di sekitar titik seperti pada Gambar I.16 (a).
DEM akan diskontinyu pada permukaannya karena dibangun dengan ketinggian titik-
titik data individu pada daerah yang kecil. Pada pemodelan permukaan berbasis
segitiga, ketiga titik dibangun menjadi segitiga spasial dengan permukaan miring
mengikuti ketinggian tiap titik yang membangunnya. Permukaan DEM dibangun dari
segitiga-segitiga yang saling berdekatan. Contoh pemodelan permukaan berbasis
segitiga ditunjukkan pada Gambar I.16 (b) di bawah ini.
(a) (b) (c)
Gambar I.16. Pemodelan permukaan berbasis titik (a), segitiga (b) dan grid (c)
(Djurdjani, 1999)
Format penyimpanan teratur pada data DEM digunakan pada pemodelan
permukaan berbasis grid dan pemodelan permukaan berbasis kontur. Empat titik data
digunakan untuk membangun permukaan segi empat seperti yang ditunjukkan pada
Gambar I.16 (c). Bangun segi empat yang dihasilkan meliputi persegi, jajaran genjang,
persegi panjang, atau poligon. Bangun persegi lebih umum dan praktis digunakan pada
21
pemodelan permukaan berbasis grid. Pada pemodelan permukaan berbasis kontur,
pembentukan permukaan DEM menggunakan data garis-garis tiap kontur yang
mendefinisikan suatu ketinggian. Interpolasi titik P pada permukaan DEM dapat
dilakukan dari titik-titik pada garis kontur yang memotong grid yang dibentuk dari
titik P tersebut seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.17 di bawah ini.
Gambar I.17. Interpolasi pada pemodelan permukaan berbasis kontur
(Djurdjani, 1999)
I.8.8. Statistika
Rata-rata/mean adalah nilai yang mewakili pada data yang jumlahnya banyak.
Rata-rata dianggap dapat mewakili data yang jumlahnya banyak dikarenakan nilai
rata-rata pada umumnya lebih mendekati dengan nilai yang benar (true value). Rata-
rata dihitung berdasarkan jumlah keseluruhan tiap nilai pengukuran pada suatu
kelompok data dan dibagi dengan banyaknya seluruh pengukuran pada kelompok data
tersebut. Rumus I.7 menjelaskan cara perhitungan nilai rata-rata (x̄ ) menggunakan
jumlah tiap nilai pengukuran (Ʃx) dan banyaknya pengukuran (n).
x̄ =Ʃx
n …………………………………………………………………………...(I.7)
Kurva distribusi normal seperti Gambar I.18, menunjukkan nilai rata-rata adalah
sangat dekat dengan nilai yang benar.
22
Nilai pengukuran
Gambar I.18. Kurva distribusi normal
Simpangan baku/deviasi standar menunjukkan letak titik belok dari kurva
normal yang menunjukkan penyebaran data ukuran, yang berarti juga bahwa nilai yang
benar berada di antara titik belok (Widjajanti, 2011). Simpangan baku dihitung
berdasarkan selisih tiap nilai ukuran dalam suatu kelompok data terhadap nilai rata-
ratanya. Nilai simpangan baku menunjukkan besarnya rentang penyimpangan nilai
kelompok data terhadap rata-rata sehingga umumnya ditambahkan tanda plus-minus
(±) di depan nilai simpangan baku. Rumus I.8 dan Rumus I.9 menjelaskan cara
perhitungan simpangan baku (σ atau S) menggunakan nilai rata-rata (μ atau x̄ ), nilai
pengukuran ke-i (𝑥𝑖) dan banyaknya pengukuran (n).
σ = √Ʃ(μ−xi)2
n ………………………………………..………………………….(I.8)
S = √Ʃ(x̄ −xi)2
n−1 ………………………………………………………………….(I.9)
Simpangan baku (σ) pada Rumus I.8 dihasilkan dari data populasi dan
simpangan baku (S) pada Rumus I.9 dihasilkan dari data sampel. Populasi adalah
keseluruhan dari unsur-unsur yang dipelajari dan memuat seluruh nilai
pengukuran/pengamatan tentang suatu obyek yang bersifat tidak terbatas. Sampel
hanya memuat nilai pengukuran/pengamatan yang diseleksi dari suatu populasi. Pada
umumnya, data pengukuran merupakan data sampel dikarenakan pelaksanaan
pengukuran tidak dilakukan secara menyeluruh hingga tidak terbatas.
Frekuensi
x̄
23
I.8.9. Hubungan Akurasi Terhadap Skala Peta
Akurasi peta menerangkan kesalahan maksimum yang terdapat pada peta.
Akurasi peta dapat menghasilkan suatu parameter saat melakukan produksi peta
seberapa detail obyek-obyek yang ditampilkan dalam suatu peta. Skala peta sangat
mempengaruhi kedetailan suatu obyek. Peta yang memiliki skala besar secara mutlak
memiliki akurasi yang lebih baik ketimbang peta dengan skala yang lebih kecil. Pada
peta skala besar, obyek yang ditampilkan akan lebih detail sehingga kesalahan kecil di
peta akan sangat mempengaruhi posisi obyek tersebut.
Tabel I.4. Skala peta menurut nilai akurasi horizontal (Merchant, 1988)
Akurasi Horizontal (m) Skala Peta
0,0125 1:50
0,025 1:100
0,050 1:200
0,125 1:500
0,25 1:1.000
0,50 1:2.000
1,00 1:4.000
1,25 1:5.000
2,5 1:10.000
5,0 1:20.000
Skala peta dapat disesuaikan menurut akurasi yang diperoleh dalam pemetaan.
Tabel I.4 menjelaskan nilai akurasi horizontal dapat menghasilkan peta dengan skala
tertentu. Selain menggunakan akurasi horizontal, penentuan skala peta dapat
menggunakan nilai akurasi vertikal. Suatu DEM dapat memiliki akurasi vertikal dari
kesalahan nilai elevasi cloud point-nya. Elevasi pada suatu peta digambarkan dengan
garis kontur. Besar interval garis kontur dihitung dengan menggunakan nilai faktor
skala peta seperti Rumus I.10. Pada Tabel I.5, skala peta dapat ditentukan dari interval
kontur dan akurasi vertikal maupun sebaliknya. Rumus I.11, I.12 dan Rumus I.13
menjelaskan hubungan matematis antara interval kontur dan akurasi vertikal (BIG,
2014).
Interval kontur =1
2500m ∗ faktor skala peta ………………………………….(I.10)
Akurasi vertikal kelas I = 0,5 ∗ interval kontur ..…………………………….(I.11)
24
Akurasi vertikal kelas II = 1,5 ∗ akurasi vertikal kelas I ..…………………...(I.12)
Akurasi vertikal kelas III = 2,5 ∗ akurasi vertikal kelas I ..………………......(I.13)
Tabel I.5. Akurasi Peta RBI (BIG, 2014)
Kelas Skala Skala Peta Interval
Kontur (m)
Akurasi vertikal (LE90 dalam m)
Kelas I Kelas II Kelas III
Skala kecil
1:1.000.000 400,0 200,0 300,00 500,00
1:500.000 200,0 100,0 150,00 250,00
1:250.000 100,0 50,0 75,00 125,00
Skala
menengah
1:100.000 40,0 20,0 30,00 50,00
1:50.000 20,0 10,0 15,00 25,00
1:25.000 10,0 5,0 7,50 12,50
Skala besar
1:10.000 4,0 2,0 3,00 5,00
1:5.000 2,0 1,0 1,50 2,50
1:2.500 1,0 0,5 0,75 1,25
1:1.000 0,4 0,2 0,30 0,50
Pada Tabel I.5, akurasi vertikal dinyatakan dalam LE90. Besar Linear Error
90% (LE90) menunjukkan bahwa 90% perbedaan nilai ketinggian di peta dan nilai
yang sebenarnya tidak lebih besar dari parameter tersebut. Sebagai contoh, kesalahan
vertikal yang terdapat peta skala 1:5.000 kelas III sebesar 90% tidak lebih dari 2,5 m.
Nilai LE90 dapat dihitung menggunakan RMSEZ. Root Mean Square Error Z (RMSEZ)
adalah akar kuadrat dari rata-rata kuadrat selisih antara nilai elevasi data sampel dan
nilai elevasi data referensi. Rumus I.14 dan Rumus I.15 menjelaskan perhitungan
untuk mendapatkan nilai RMSEZ dan LE90 (FGDC, 1998).
RMSEZ = √Ʃ(Zdata−Zcek)2
n …………………………………………………...(I.14)
LE90 = 1,6499 ∗ RMSEZ ..………………………………………………….......(I.15)
Ground Sample Distance (GSD) dari sebuah citra menerangkan ukuran di
lapangan yang dimuat dalam satu piksel di citra. Informasi yang terkandung pada citra
akan lebih rinci jika menggunakan citra dengan ukuran GSD yang kecil dibandingkan
dengan ukuran GSD yang lebih besar. Secara umum, ukuran GSD berpengaruh
terhadap skala peta dari suatu citra satelit seperti yang disajikan pada Tabel I.6 di
bawah ini.
25
Tabel I.6. Hubungan ukuran GSD dengan skala peta (ASPRS, 2014)
Ukuran GSD (cm) Skala Peta
0,625 1:50
1,25 1:100
2,5 1:200
5,0 1:400
7,5 1:600
15 1:1.200
30 1:2.400
60 1:4.800
100 1:12.000
200 1:24.000
500 1:60.000
I.9. Hipotesis
Citra satelit WorldView-1 Ortho Ready Stereo memiliki resolusi spasial sebesar
0,5 m yang akan menghasilkan DEM melalui teknik stereo-matching. Akurasi vertikal
terbaik sebesar 2,0 m atau setara 4,0 kali GSD citra satelit WorldView-1. Akurasi ini
memenuhi kebutuhan peta skala 1:5.000.
Recommended