View
214
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peristiwa 9/11 tahun 2001 telah diakui umum sebagai fenomena perubahan
tentang tatanan politik-keamanan global pasca Perang Dingin. AS yang melalui
pengalaman atas peristiwa tersebut menandainya sebagai bentuk resistensi terhadap
kebebasan, demokrasi dan kemajuan. Penandaan tersebut menggiring aktor di seluruh
dunia ke dalam ladang pertempuran antara yang baik (the good) dan yang jahat (the
evil). Pada gilirannya kejadian tersebut menjadi rahim atas lahirnya wacana perang
melawan terorisme global (global war on terrorism).
Terdapat alasan mengapa istilah wacana menjadi objek penelitian ini.
Pertama, realitas sebagai hasil konstruksi sosial yang diproduksi dan direproduksi
melalui praktek-praktek diskursif dan sistem makna sehingga apa yang diterima
secara sosial berkembang menjadi kesadaran dan keyakinan umum. Wacana yang
berkembang tidak hanya sekedar cerminan realitas, tetapi konsep yang menetapkan,
memberi batasan makna yang khusus terhadap realitas keamanan kontemporer.
Berangkat dari titik ini, kajian tentang keamanan internasional secara umum
dan perang melawan terorisme global pada khususnya tidak bisa dilakukan tanpa
melihat wacana sebagai bagian penting yang menghadirkan (mode of being) konsep-
konsep pengetahuan yang ada dalam realitas keamanan dewasa ini. Perang melawan
terorisme dan manifestasi kekuasaan ternyata memerlukan konsensus sosial-politik
yang dihasilkan melalui proses diskursif.
Perang melawan terorisme global membutuhkan lebih dari sekedar kebijakan
politik konvensional seperti invasi, penindakan, propaganda atau diplomasi semata-
mata, Ia juga membutuhkan wacana sebagai narasi sejarah yang mengkonstruksi
respon kolektif dan menghilangkan keraguan tiap-tiap individu terhadap peristiwa
9/11. Sejak saat itu, wacana perang melawan terorisme menjadi sangat dominan dan
berkembang sebagai tatanan pengetahuan yang digunakan untuk memahami situasi
keamanan kontemporer.
Sebagai wacana yang dominan, perang melawan terorisme global
menciptakan kutub-kutub pemahaman yang dinamis. Setidaknya terdapat dua asumsi
yang dapat dikemukakan. Pertama, wacana perang melawan terorisme global muncul
sebagai upaya AS untuk menjatuhkan pemimpin politik di negara-negara seperti Irak
dan Afganistan serta negara lain yang mungkin memposisikan dirinya sebagai
penentang AS (rogue state). Kedua, wacana perang melawan terorisme global adalah
satu tahap filosofis yang mempertahankan status quo modernitas. Lihat saja
bagaimana metode pengetahuan dominan yang selama ini digunakan untuk
menjelaskan fenomena terorisme, hanya terbatas pada soal kepentingan AS
meruntuhkan kepemimpinan negara lain yang menentangnya. Padahal, terdapat
alasan lain bahwa wacana terorisme adalah suatu pondasi ilmiah yang melibatkan
relasi kekuasan, identitas, pengetahuan, representasi, objek dan subjek yang melekat
dalam perang melawan terorisme.
Berangkat dari pendapat yang kedua, kajian tentang relasi kekuasan menjadi
penting dalam memahami wacana terorisme. Namun ini bukan sebuah upaya
menentang kebijakan AS dan kebencian terhadap bangsa tersebut, tetapi untuk
menelusuri sarang persembunyian kekuasaan yang terdalam dan menghadirkan
realitas kekuasaan dalam ruang kesadaran individu yang pada gilirannya
menghasilkan kesepakatan kolektif terhadap sejarah terorisme. Berangkat dari hal ini
kemudian dapat dirumuskan bahwa terdapat keterkaitan antara wacana (discourse)
dengan relasi kekuasaan (power relations).
Keterkaitan wacana dan relasi kekuasaan merujuk pada kedudukan keduanya
sebagai sistem mekanis yang dinamis, yaitu bagaimana keduanya menghubungkan
dengan persoalan bagaimana kekuasaan memproduksi subjek, mengkonstruksi
pengalaman historis, menciptakan nilai-nilai universal, diskursus, memori politik dan
rentang pemaknaan secara kolektif.
Wacana perang melawan terorisme bukan semata-mata peristiwa sejarah yang
given atau sekedar kebijakan perang maupun mendudukkan lawan politik Amerika
Serikat di seluruh dunia, melainkan sebuah narasi partikular yang direproduksi ke
dalam kesepakatan kolektif selama sejarah perkembangan terorisme sebelum 9/11.
Sebagai sistem yang mekanis, kekuasaan dan wacana adalah kombinasi efektif dalam
menandai (signfying) kejadian 9/11. Tanpa adanya wacana, proses pembentukan
realitas terorisme, konstruksi ancaman, pengakuan umum sejarah 9/11, pembentukan
subjek-objek dan relasi kekuasaan tidak akan menjadi kumpulan pengetahuan
universal. Berdasarkan hal ini kekuasan menjadi tampak produktif karena
menciptakan konsep-konsep baru dalam merumuskan tatanan dunia. Sebagai ilustrasi
misalnya, pembentukan ancaman baru melalui wacana terorisme menciptakan
individu-individu yang bertanggung jawab terhadap keamanan lingkungannya.
Produktifitas kekuasaan dalam menandai kejadian yang dirumuskan menjadi
sebuah proyek diskursif, wacana perang melawan terorisme global juga sekaligus
menjadi sistem pengetahuan yang umum. Misalnya, terbentuknya identitas kolektif
dalam relasi kekuasaan antar the self / the other, the friend / the enemy, who are we /
who are they? adalah bangunan kontekstual yang menggambarkan diferensiasi dalam
realitas hubungan antar subjek-persoalan dan subjek-aktor. Selain itu, totalisasi
sejarah 9/11 sebagai realitas kompleks kekuasaan yang bergeser menjadi pengetahuan
kolektif adalah satu aspek yang harus dilihat dalam wacana perang melawan
terorisme global.
Wacana dengan demikian menjadi instrumen yang menghubungkan berbagai
unsur dan elemen dalam tatanan sosial-politik masyarakat dunia. Terlihat
instrumentalis memang, namun pertanyaan-pertanyaan tentang siapa yang dimaksud
dengan teroris dan siapa yang menjadi musuh bukan hadir dengan sendirinya (taken
for granted), melainkan dihasilkan melalui ruang produktif kekuasaan yang berproses
melalui reproduksi wacana.
Wacana dan kekuasaan adalah satu kesatuan yang utuh dalam menghadirkan
realitas kolektif, eksistensi dan identitas kita dan mereka yang sekaligus terdiri dari
bangunan pengetahuan yang memberikan jawaban-jawaban paling relevan terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang berkembang dalam masa teror dan kemudian dilokalisir
ke dalam relasi sosial masyarakat (Barns, 1999: 3).
Tesis ini dibuat bukan untuk berpihak kepada salah satu pihak yang terkait
dengan terorisme global, dan bukan pula menentang kekuasaan Amerika Serikat,
tetapi justru ditujukan untuk menghadirkan realitas kekuasaan dalam menyusun
kembali dirinya (reconfiguring) dan kaitannya dengan hubungan kekuasaan yang
retak di antara subjek sebelum peristiwa 9/11. Selain itu, tesis ini merupakan
penelitian yang ditulis untuk menelusuri gejala-gejala kekuasaan dari sudut pandang
berbeda atau lebih khusus memahaminya dengan pendekatan posmodernisme.
1.2 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana bentuk relasi kekuasaan dalam wacana perang melawan
terorisme global?
2. Bagaimana mekanisme kekuasaan dalam wacana perang melawan
terorisme global?
1.3 Telaah Pustaka
Studi terorisme pada khususnya dan keamanan secara umum telah
berkembang luas. Namun minat kajian terorisme berbasis pendekatan
pascamodernisme dan/atau pascastrukturalisme dalam hubungan internasional
terbilang masih relatif terbatas. Mungkin sebagian sarjana dalam negeri - tanpa
bermaksud mengadili - lebih memilih menjadi seorang pragmatis dan menghindari
pilihan teori yang dinilai sulit. Pemilihan teori posmodernisme sebagai landasan
pemikiran dalam penelitian tentang terorisme dan keamanan internasional cukup
berkembang di luar negeri sebagai agenda penelitian kritis yang mencoba keluar dari
rezim metodologi klasik.
Berdasarkan sumber-sumber bacaan yang dihimpun dan diteliti oleh penulis,
kajian wacana tentang global war on terrorism dengan pendekatan posmodernisme
masih hanya berpusat pada ilmuwan - sekedar menyebut beberapa - seperti Der
Derian, A. W Neal dan Lee Jarvis. Masing-masing di antara mereka memiliki
argumentasi dan cara penjelasan yang berbeda, namun terdapat komitmen yang sama
dalam substansi penelitian mereka. Upaya menunjukkan perbedaan utama dan
sejumlah persamaan substansi dilakukan dengan mengurai satu persatu penelitian
yang telah mereka hasilkan yang dimulai dari telaah atas penelitian James Der
Derian, dan dilanjutkan dengan penelusuran riset Lee Jarvis dan terakhir Andrew W
Neal.
Der Derian dalam bukunya Critical Practices in International Theory:
Selected Essays melakukan tinjauan semiotik terhadap wacana terorisme global. Der
Derian mempersoalkan tentang keterkaitan bahasa dalam wacana terorisme global
dengan pembentukan identitas ‘yang lain’ (the other). Tulisan Der Derian mencoba
mengurai definisi wacana terorisme global melalui tahap dekonstruksi dan
rekonstruksi makna ancaman dan bentuk-bentuk terorisme. Tahap ini adalah upaya
mendalam yang digunakan untuk menelusuri berbagai macam definisi terorisme
sebagaimana yang berkembang dalam wacana pengetahuan teror pada rentang waktu
yang berbeda (Der Derian, 2009: 71 – 73).
Dalam penelitiannya, Der Derian menganjurkan bahwa kajian terorisme
global seharusnya dimulai dengan mengidentifikasi aktivitas terorisme dari berbagai
latar belakang pelaku, jenis dan tujuan yang ingin dicapainya. Pengetahuan tentang
definisi dan pemahaman dalam wacana terorisme global yang selama ini dihasilkan
melalui pemberitaan publik, akademisi dan media massa adalah persoalan
epistemologi yang serius sehingga terdapat bias-bias pengetahuan dalam memahami
terorisme.
Menurut Der Derian, menulis tentang terorisme tidak selamanya harus
dialamatkan pada studi kepentingan dan kekuasaan tradisional, tetapi juga
membutuhkan usaha serius untuk mempersoalkan beragam perbedaan terminologi
dalam mendefinisikan terorisme yang berkembang dalam rentang waktu sebelumnya
atau membandingkan pengertian yang telah ada sebelumnya dalam konteks 9/11 dan
setelahnya. Misalnya, apa yang membedakan terorisme yang ditampilkan di media
massa dengan kelompok bandit, kriminal, pejuang pembebasan, terorisme sosial,
pure terrorism, narco-terrorism dan state terrorism vs stateless terrorism?
Selanjutnya menurut Der Derian, juga perlu dipertanyakan mengapa
kekerasan dan teror yang dilakukan identitas tertentu dianggap aksi terorisme
sementara yang lainnya tidak? atau selanjutnya mempersoalkan mengapa tindakan
kekerasan negara kepada subjek-pelaku yang baru berpotensi melakukan aksi tidak
diklasifikasikan sebagai tindakan teror? Persoalan-persoalan ini menggiring pembaca
Der Derian untuk memahami memahami kembali berbagai bias episemologis dan
terminologi dari praktek pengetahuan ilmiah (mode of knowledge).
Pada bagian selanjutnya, Der Derian juga menampilkan proses diferensasi
antara "the self" dan "the other”. Menurutnya, proses berhubungan secara inheren
dengan wacana terorisme global (Der Derian, 2009: 71 – 73). Wacana tidak hanya
sebagai pembingkai realitas dan membentuk relasi sosial-politik dalam konteks
keamanan internasional, tetapi juga melibatkan representasi identitas. Misalnya
beberapa waktu setelah serangan 9/11, media massa dan sebagian masyarakat dunia
mengidentifikasi pelaku serangan WTC dengan simbol-simbol masyarakat Islam
sebagai pembedaan terhadap identitas mereka dan Osama bin Laden. Hal ini
merepresentasikan identitas antara AS dan teroris.
Lee Jarvis menekankan wacana global war on terrorism sebagai agenda
perjuangan kekuasaan (the political struggle). Jarvis berpendapat bahwa wacana
merupakan pembentuk identitas, pengorganisasi agen-agen sosial, sebuah praktek dan
relasi antar individu, institusi politik serta pembingkai sejarah baru yang koheren
dengan relasi kekuasaan (Jarvis, 2009: 7 – 10). Dalam bukunya Times of Terror
Discourse: Temporality and the War on Terror (Jarvis, 2009: 10), menyatakan:
Discourse theory puts power and power struggles at the top of the agenda. Power is not analysed in terms of a resource or capacity one can possess, store, or retrieve, or as a relation of domination. Power is conceived in terms of the political acts of inclusion and exclusion that shape social meanings and identities and condition the construction of social antagonisms and political frontiers. The construction of discourse always involves both inclusion and exclusion of identity and this means that discourse and power are intrinsically linked with each other
Berdasarkan kutipan di atas, wacana perang melawan terorisme global yang
dikampanyekan oleh bangsa Amerika dan perang terhadap bangsa Barat yang
dinyatakan Osama bin Laden beserta pengikutnya adalah medan pertarungan wacana
perjuangan kekuasaan yang menghasilkan pengecualian terhadap identitas yang
dimiliki lawan mereka. Melalui pertarungan wacana, kedua pihak sama-sama
membangun identitas kolektif perjuangan politiknya. Konstruksi wacana perang
melawan terorisme global telah membentuk perbedaan identitas kebudayaan maupun
politik antara Timur vs Barat, Osama bin Laden vs George W. Bush, Demokrasi vs
anti-demokrasi dan kebebasan vs anti kebebasan. Itulah sebabnya mengapa
kekuasaan dan wacana berhubungan dengan pembentukan identitas sebuah
kebudayaan, ideologi dan karakter perjuangan kekuasaan.
A.W Neal berbicara tentang pembentukan subyek-objek dalam wacana global
war on terrorism. Dengan meminjam gagasan Foucault, Neal berpandangan bahwa
wacana global war on terror sebenarnya tidak lain adalah perwujudan dari proses
pembentukan subjek politik secara kolektif yang ditujukan kepada kelompok
pembangkang, revisionis dan kelompok minoritas. Menurut Neal cara berpikir
demikian adalah cara yang berguna untuk melihat hubungan antara wacana dan
kekuasan yang ada dalam perang terhadap terorisme, semisal subjektifikasi yang
ditujukan kepada kelompok Islam yang selama ini menentang nilai-nilai politik dan
kekuasaan barat dan penandaan1 kelompok Osama bin Laden kepada bangsa Barat
(Neal, 2008: 44).
Wacana perang yang dikumandangkan oleh Bush dan Osama pada dasarnya
memiliki klasifikasi yang spesifik tentang kawan-lawan dan sekaligus membingkai
kebenaran-kebenaran realitas, sejarah, nilai dan keyakinan yang ditujukan kepada
publik dalam memahami dan menyampaikan pesan-pesan kekuasaan kepada publik.
Dalam konteks ini bisa disimpulkan bahwa realitas perang melawan terorisme adalah
medan pertarungan wacana kekuasaan.
Jika ditelaah dengan seksama, ketiga akademisi diatas menggunakan konsep
wacana dan kekuasaan sebagai objek kajian mereka. Wacana dilihat sebagai
pembingkai realitas sosial, institusi politik, identitas dan subjek-objek di mana
pagelaran kekuasaan global sedang digelar dengan tujuan akhirnya bukan pada
tercapainya kepentingan AS dan Osama bin Laden semata-mata, tetapi bagaimana
cara pandang atau perspektif global dapat diterima secara universal dan sejalan
dengan apa yang diproduksi secara simultan oleh kekuasaaan, baik yang direproduksi
oleh negara maupun individu atau kelompok. Sejak wacana memiliki peran penting
terhadap reproduksi pengetahuan, maka dengan cara itulah kekuasaan beroperasi.
Penelitian ini bukan diarahkan untuk menunjukkan perjuangan kekuasaan AS
dan Osama bin Laden melalui wacana. Tetapi dikhususkan pada usaha untuk
memahami gejala-gejala kekuasaan dan korelasinya dengan berbagai pengecualian
1 Istilah penandaan yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada proses identifikasi terhadap
identitas suatu kelompok maupun individu. Sebuah upaya untuk memberi klasifikasi kepada pihak lain.
terminologis sebagaimana yang diartikan dalam konsep wacana. Jadi, penelitian ini
tidak mengkhususkan wacana perang melawan terorisme sebagai medium perjuangan
kekuasaan, melainkan kekuasaan sebagai sistem mekanis yang terkait dengan
pengecualian terhadap terminologi teror, ancaman, dan identitas, tetapi disini, wacana
sebagai bentuk pamer kekuasaan dengan tekniknya yang spesifik, tersebar bahkan
manipulatif.
1.4 Kerangka Dasar Pemikiran
Topik kekuasaan terbagi menjadi dua narasi besar, yakni positivisme
(modernisme) dan pascapositivisme. Teori kekuasaan modern menilai bahwa
kekuasaan terukur dengan bentuknya yang paling jelas, seperti tindakan represif dan
kedaulatan seorang raja. Kelompok modernis memisahkan topik kekuasaan dan
wacana. Itu sebabnya selama ini terjadi kesenjangan antara wacana/pengetahuan
dengan kekuasaan (Devetak, 2001: 162). Kelompok modernis berpegang teguh pada
prinsip pengetahuan bebas nilai (value free), bebas kepentingan (interests) dan tidak
memiliki keterkaitan intrinsik dengan relasi kekuasaan (power relations).
Selanjutnya menurut paham pemikiran kelompok modernis, jika ada sebuah
pengetahuan yang tidak bebas nilai, maka itu merupakan bentuk penyimpangan
ilmiah dan tidak obyektif. Pandangan ini begitu dominan dalam sejarah
perkembangan ilmu sosial modern, termasuk studi hubungan internasional sehingga
model-model penelitian di luar kebiasaan ini akan dicurigai sebagai bentuk
penentangan terhadap obyektivitas pengetahuan.
Pernyataan Hans J. Mourgenthou dalam bukunya Politics among Nations: The
Struggle for Power menggambarkan bahwa wujud kekuasaan yang paling nyata
ditunjukkan dari tindakan pemerintahan Hitler untuk menjajah Eropa Timur
(Mourgenthou, 1985: 31-33). Pemikiran ini telah berlangsung sangat lama dan
menata cara berpikir masyarakat akademik hubungan internasional secara konsisten.
Konsekuensinya, studi kekuasaan selama ini hanya diletakkan ke dalam terminologi
penaklukan, paksaan (coercion), kekuatan (force), perimbangan kekuatan (balance of
power), kendali formal (formal control), intervensi (intervention), kolonialisme,
ideologi, demonstrasi militer dan kapabilitas material semata-mata.
Bagi penganut paham realisme, perang melawan terorisme global adalah
upaya Amerika Serikat untuk mendemonstrasikan kekuatannya. Negara tersebut
menggunakan kapabilitas materilnya untuk menguasai dan menundukkan lawan-
lawan politiknya di Irak dan Afganistan. Karena itu Morgenthou sebagaimana yang
ditulisnya dalam “international politics like all politics is struggle for power”
menyimpulkan bahwa tindakan dan kebijakan setiap negara dalam politik
internasional sebagaimana dilakukan AS selalu berorientasi pada kekuasaan material
(Mourgenthou, 1985: 31-33). Pandangan klasik ini kemudian memicu perdebatan
yang cukup panjang di antara kalangan akademik sehingga berkembang perspektif
lain tentang kekuasaan sebagai respon terhadap cara pandang yang tampaknya sangat
absolut, mulai dari neorealisme, liberalisme, neoliberalisme, marxisme,
konstruktivisme sampai dengan teori pascakolonialisme dan pascamodernisme.
Teori terakhir, yakni pascamodernisme yang dijadikan landasan pemikiran
dalam penelitian ini tidak lain merupakan penolakan terhadap tatanan perspektif
tentang kekuasaan yang selama ini sangat baku. Perspektif pascamodernisme tidak
memahami kekuasaan dalam bentuk kapabilitas materil semata-mata, tetapi
kekuasaan merujuk pada teknologi dan mekanisme mikro-politik yang tidak selalu
represif dan hanya beroperasi melalui model penaklukan maupun sebagai milik
seorang raja yang berdaulat, tetapi kekuasaan bersifat produktif, beroperasi dengan
strategi sistematis yang beroperasi dalam medan wacana.
Wacana dan kekuasaan dialamatkan pada konstruksi pengetahuan umum,
identitas dan membentuk subjek sekaligus perilaku agen-agen sosial. Menurut
Sterling-Folker, pandangan pascamodernisme atau sering diasosiasikan dengan
pascastrukturalisme mendefinisikan kekuasaan lebih dari model penaklukan dan
imperialisme, tetapi sebagai sistem-strategi dan mekanisme (Sterling-Folker, 2006:
157).
Pascamodernisme pada mulanya berkembang di Eropa kontinental, tepatnya
di Perancis. Michael Foucault adalah filsuf yang dijadikan referensi dalam banyak
tulisan yang berbasis pendekatan posmodernisme. Tulisan-tulisan Foucault
menempatkan wacana sebagai topik utama dalam menganalisis relasi kekuasaan.
Wacana menurut Shapiro bukan konsep yang netral dan bebas nilai, tetapi memuat
elemen kekuasaan yang selama ini disembunyikan (Devetak, 2005: 162 mengutip
Shapiro, 1991: 1). Berangkat dari titik ini, wacana, pengetahuan dan relasi kekuasaan
saling berkaitan dan tidak ada relasi kekuasaan tanpa keberadaan wilayah
pengetahuan yang korelatif dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan dan
membentuk relasi kekuasaan (Foucault, 1995: 27).
Pandangan kekuasaan berdasarkan perspektif pascamodernisme merupakan
jalan keluar alternatif menuju analisis dan penjelasan terhadap sistem, strategi dan
mekanisme kekuasaan pada tataran yang paling mikro (micro-politics of power).
Foucault menyatakan bahwa dalam berpikir tentang kekuasaan, yang perlu dilihat
adalah lebih dari sekedar bentuk eksistensial, titik di mana kekuasaan mencapai pada
tingkatan individu yang menyentuh hingga pada struktur tubuh, cara berpikir,
bertindak dan sikap setiap individu melalui mekanisme yang khusus (Lukes, 2005:
88-89; lihat juga Foucault, Power/Knolwedge, 1980a: 39). Kekuasaan tulis Foucault
tidak selamanya mewujud dalam bentuk represif dan berwujudkan ideologi serta
hegemoni semata, tetapi juga menempatkan subjek-persoalan dan subjek-aktor dalam
seluruh efek kekuasaan (Foucault 1978[1975]: 23).
Dalam bukunya Discipline and Punish: The Birth of the Prison, Foucault
menulis bahwa kekuasaan merupakan sebuah sistem dan mekanisme yang
menentukan karakter, memproduksi subjek dan menormalisasinya yang menyebar
dalam interaksi sosial. Kekuasaan dapat menciptakan kepatuhan subjek terhadap
norma pengetahuan yang dianggap normal secara umum dengan mekanisme yang
selama ini tidak diperhatikan. Mekanisme kekuasaan direduksi dari bentuk-bentuk
ideal dan diabstraksikan untuk melampaui hambatan dan resistensi (Foucault 1978:
205).
Selain itu, Jenny Edkins menyatakan bahwa kekuasaan memiliki sifat
produktif yang tersebar, melalui rangkaian relasi kekuasaan yang hadir pada tingkatan
mikro dalam setiap praktik dan interaksi sosial (Edkins, 2007: 92). Wacana dan
kekuasaan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Weedon, merujuk pada kontrol
dinamis untuk menutupi kekosongan kendali yang ada dalam wacana dan subjek atau
agen-agen sosial tertentu. Praktek kekuasaan yang beroperasi di dalam wacana dapat
digunakan untuk meliahat bagaimana kekuasaan dan wacana sebagai ruang kemudi
yang mengatur dan memantau aktivitas setiap individu (Pinkus, 1996 mengutip
Weedon, 1987: p 113).
Berangkat dari ide kunci pascamodernisme tentang keterkaitan intrinsik antara
wacana dan relasi kekuasaan mengarahkan penulis untuk menjelaskan tentang
relevansi teori pascamodernisme dengan kajian antara wacana perang terhadap
terorisme dengan relasi kekuasaan? Pemikiran Focuault mengingatkan pembacanya
bahwa realitas atau semua hal yang telah diterima secara sosial tentang tatanan
keamanan internasional pasca 9/11 merupakan bangunan wacana yang terdiri dari
banguan-bangunan tekstual, bahasa dan pengetahuan yang dikonstruksi dan
direproduksi secara simultan oleh kekuasaan untuk mengklasifikasi subjek dan
pemahaman berpikir dan bertindak setiap agen sosial dalam konteks sejarah yang
spesifik.
Sebagai contoh, konstruksi subjek-aktor dalam wacana terorisme dihasilkan
melalui proses diferensiasi antara 'the self' dan 'the other'. Ini tidak berlangsung
dengan model penaklukan, tetapi dibangun melalui ruang wacana sebagai mekanisme
kekuasaan yang strategis. Produksi wacana perang terhadap terorisme global adalah
bagian dari strategi kekuasaan untuk menciptkan kendali pengetahuan tentang
kehadiran ancaman dan terorisme. Melalui wacana ancaman terorisme, subjek, dan
identitas, cara pandang masyarakat dunia diklasifikasi dan ditetapkan secara
bersamaan. Lihat misalnya yang dikatakan oleh Oliver Daddow bahwa productive
power shapes things, build ‘things’, describes and categorize them (Daddow, 2009:
159). Sebagai konsekuensinya, klasifikasi dan penetapan secara simultan terhadap
identitas dan subjek terorisme mengarahkan persepsi tentang apa latar belakang
gerakan terorisme dan siapa mereka. Wacana perang terhadap terorisme menjadi
ontologi ganda yang mengklasifikasi kebutuhan kekuasaan atas rasa aman dirinya
(the self) dengan menciptakan ancaman dari ‘yang lain' (the other) (Campbell, 1995:
55; Buzan & Hanse, 2009: 218).
Dengan meminjam perspektif kekuasaan Foucault, penelitian ini diarahkan
untuk mendalami praktik, strategi dan mekanisme kekuasaan pada tingkat mikro
(micro-practices of power exercised) dalam konteks wacana perang melawan
terorisme global. Penelitian ini merujuk pada produktifitas kekuasaan dalam
memproduksi subjek, pelembagaan pengetahuan, pembentukan identitas, norma
kewajaran, representasi, disiplin (discipline) dan hukuman (punishment).
1.4.1 Mendefinisikan Wacana dan Formasi Diskursif
Terdapat beragam varian definisi tentang wacana dan formasi diskursif. Ada
kerumitan tersendiri untuk merumuskan konsep wacana ke dalam penjelasan yang
komprehensif dan menyesuaikannya dengan yang dimaksud oleh Foucault. Namun,
upaya untuk menemukan penjelasan yang lengkap dapat dilakukan dengan mengurai
beberapa definisi wacana dan formasi diskursif sehingga dapat diambil pengertian
yang umum.
Dalam karya Michel Foucault, wacana merupakan penanda yang menetapkan
hubungan berulang dan spesifik terhadap subjek-objek (Foucault 1969: 141). Wacana
merupakan cara untuk mengkonstitusi pengetahuan yang berproses secara bersamaan
dengan praktek sosial dan relasi kekuasaan. Wacana mengkonstitusi tubuh sosial,
kesadaran pikiran dan subjek untuk menciptakan regulasi terus menerus atas subjek
sosial (Pinkus, 1996 mengutip Weedon, 1987, p. 108). Bentuk wacana dalam
pandangan ini merujuk pada sistematika teks, seperangkat gambar atau metafora yang
menghasilkan sebuah objek dengan cara tertentu (Burr, 2003:162).
Wacana merujuk pada bentuk-bentuk penandaan, representasi dan kebiasaan
sosial yang membentuk pemahaman pada bidang pengetahuan dan sejarah tertentu
(Jackson, 2009: 67). Tulisan-tulisan awal Michel Foucault dalam The Order of
Discourse dan The Archaeology of Knowledge adalah sumber paling penting tentang
konsep wacana. Dalam karyanya, istilah tentang 'praktik diskursif' dan formasi
diskursif diartikan sebagai bangunan pengetahuan yang terdiri dari klasifikasi dan
diferensiasi dan bahasa maupun teks secara hierarkis yang berimplikasi pada
terbentuknya kebenaran universal atau semua hal yang diterima sebagai realitas oleh
suatu masyarakat. Sebagai kumpulan dari klasifikasi dan diferensiasi yang tersusun
secara hierarkis, formasi diskursif menampilkan objektifikasi dan subjektifikasi
terhadap agen sosial tertentu, misalnya status, identitas, kelompok maupun kelas
sosial (Goldberg, 2007)
Eksistensi formasi diskursif yang diperkuat oleh regulasi yang direproduksi
secara terus-menerus menghasilkan pengetahuan dan wacana yang stabil. Wacana
juga menandai kehadiran setiap anggota masyarakat, termasuk kaum intelektual, yang
terlibat dalam sebuah rezim wacana. Pada saat inilah wacana dan relasi kekuasaan
dikategorikan sebagai dua unsur yang saling berdampingan.
Pemikiran Foucault tentang wacana adalah sebuah penolakan tegas terhadap
gagasan klasik bahwa pengetahuan hanya dapat berkembang dalam ketiadaan nilai-
nilai kekuasaan. Wacana yang tersusun sebagai formasi diskursif pada dasarnya
berfungsi untuk melihat cara di mana relasi kekuasaan bersembunyi di balik realitas
pengetahuan. Apa keterkaitan antara wacana, kekuasaan dan perang melawan
terorisme?
Wacana dalam konteks ini merujuk pada teks yang meliputi pidato, laporan,
dokumen kebijakan maupun gambar dan mengacu pada banyak sekali asumsi,
keyakinan, mitos, metafora dan narasi yang menghasilkan rezim diskursif tentang
ancaman terorisme. Penandaaan bahaya, penetapan ancaman, moralisasi perang,
konstruksi identitas kolektif adalah rezim diskursif yang menjadi bagian dari teknik
kekuasaan untuk menciptkan kendali informal atas cara setiap individu memahami
perang dan ancaman terorisme.
1.5. Hipotesis
Tatanan keamanan internasional pasca 9/11 dan konstruksi wacana terorisme
merupakan hasil produksi kekuasaan terhadap realitas. Wacana terorisme terdiri dari
totalisasi sejarah pengetahuan terorisme sebagai realitas objektif, representasi subjek
dan identitas Islam yang kemudian dihasilkan melalui proses diferensiasi, penetapan
karakter dan kategori terhadap ancaman baru. Konstruksi identitas, subjek,
pengetahuan, dan penandaan dalam wacana terorisme adalah sebuah formasi diskursif
yang berdampak pada pembatasan kriteria pemikiran dan tindakan tiap-tiap individu.
Pembatasan yang ditetapkan melalui proses diferensiasi dalam wacana perang
melawan terorisme global pada gilirannya membentuk rezim pengetahuan tentang
keamanan yang menyembunyikan kontrol kekuasaan terhadap berbagai subjek dan
objek yang ada dalam wacana terorisme global. Perang global melawan terorisme
pada gilirannya mereduksi ragam ekspresi kebebasan berpendapat dan menutup
evaluasi kritis atas tindakan-tindakan kekerasan anti-terorisme. Kekuasaan dengan
demikian mengabstraksikan dirinya dengan menghadirkan nilai-nilai etis dan moral
dalam konsepsi 'perang' dan melanjutkan monopolinya terhadap praktek kekerasan
dan kendali dalam berpengetahuan (will to knowledge).
1.6 Sumber dan Teknik Penelitian
Sumber-sumber yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari sumber
sekunder, yakni informasi, fakta dan data yang didapat dari hasil bahan-bahan bacaan
yang meliputi buku, jurnal, majalah. Sumber internet juga akan digunakan sebagai
sumber tersier tanpa mengabaikan aspek validity dan realibility. Sementara itu, dalam
hal teknik penelitian tesis ini berdasarkan pada studi kepustakaan.
Penelusuran bacaan utama dalam tesis ini merujuk pada karya-karya penting
berupa buku dan jurnal yang menjadi sumber pokok dalam pendekatan
pascastrukturalisme maupun pascamodernisme studi ilmu sosial pada umumnya dan
studi hubungan internasional khususnya. Adapun bacaan yang dimaksud antara lain,
(1) Critical Practises of International Relations: Selected Essays (Der Derian, 2009);
(2) Intertextual/International Relations: Postmodern Readings of World Politics (Der
Derian & J Shapiro, 1989), (3) Discourse of Global Politics: Critical
(Re)Introduction to International Relations (George, 1994), (4) Time of Terror:
Discourse, Temporality, and the War on Terror (Jarvis, 2009), dan karya-karya klasik
yang menjadi pusat acuan teoritik dalam riset-riset ilmu sosial berbasis pendekatan
pascastrukturalisme/pascamodernisme, diantaranya adalah (1) Discipline and Punish:
The Birth of the Prison (Foucault, 1977); (2) Power/Knowledge: Selected Interviews
and Other Writings 1972 – 1977 (dalam Gordon C, 1980); (3) Orientalism: Western
Conception of the Orient (Said, 1995) serta ditunjang dengan buku-buku lain maupun
jurnal-jurnal yang relevan dengan topik penelitian.
Teknik penelitian dalam tesis ini menggunakan Critical Discourse Analysis.
Ini merujuk pada kajian tentang wacana, bahasa, identitas dan representasi sebagai
unit yang tidak stabil. Bahasa merupakan instrumen yang merepresentasikan identitas
serta diferensiasi antara subjek. Oleh karena itu kebijakan anti teror dalam wacana
perang melawan terorisme global dan representasi identitas yang
dikonseptualisasikan dalam wacana tersebut memiliki keterkaitan yang intrinsik.
Merujuk pada Lene Hansen (Hansen Mengutip Kristeva, 50: 2006) makna
intertekstual menunjukkan secara konkret bahwa tidak ada teks maupun pernyataan
yang ditulis tanpa jejak teks sebelumnya, bahwa teks secara bersamaan menginduk
pada teks atau penggambaran masa lalu dan membentuk masa sekarang menjadi
seolah-olah baru (Der Derian dan Shapiro 1989). Dengan kata lain, metode penelitian
ini akan merujuk pada penggambaran teks dan pernyataan sejarah teror yang
memiliki analogi dengan peristiwa 9/11 serta kaitannya dengan relasi kekuasaan-
rezim pengetahuan.
1.7 Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini akan dibagi ke dalam lima bab. Bab Pertama berisikan
uraian tentang latar belakang penulisan. Ini merujuk pada uraian tentang kemunculan
wacana perang melawan terorisme dan menjelaskan alasan-alasan mengapa wacana
menjadi topik penting dalam kajian kekuasaan dalam studi keamanan internasional.
Bab Kedua adalah pembahasan tentang keterkaitan antara kekuasaan dan
formasi diskursif sebagai bentuk episteme yang memindahkan dan menempatkan
kembali terminologi terorisme yang lama ke dalam penggambaran yang seolah baru.
Pembahasan fokus pada kehadiran ancaman sebagai bentuk transformasi pengetahuan
dan konstruksi total terhadap sejarah keamanan pasca 9/11.
Bab Ketiga merupakan pembahasan tentang subjek, identitas, representasi,
dan pembentukan budaya teror dalam masyarakat industri kapitalisme lanjut. Ia juga
menerangkan hipotesis tentang ancaman teror yang perlahan-lahan mengurangi nilai-
nilai kebebasan sebagai konsekuensi yang dihadapi oleh masyarakat Amerika pasca
9/11.
Bab Keempat berisikan uraian tentang mekanisme dan sistem kekuasaan
dalam wacana perang global melawan terorisme yang mendeskripsikan tentang
bentuk pamer kekuasaan dalam menerapkan kepatuhan, disiplin dan hukuman kepada
pelaku dan kemungkinan efek yang mungkin (the possibilites effect) ditimbulkannya
kepada setiap individu. Selain itu bab ini menerangkan tentang ritual kekuasaan dan
kekerasan dalam wacana perang melawan terorisme sebagai ruang performatif
kekuasaan dalam menampilkan watak dasarnya. Ini merujuk pada satu bentuk relasi
kekuasaan-kekerasan.
Bab kelima memberikan kesimpulan dari keseluruhan isi penelitian sekaligus
penegasan kembali terhadap poin-poin penting yang telah disampaikan pada bagian-
bagian sebelumnya.
Recommended