View
260
Download
10
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia dalam membuat kain terjelma melalui suatu perjalanan
panjang, selama kurun waktu kurang lebih 1500 tahun, melalui berbagai kegiatan
tradisi budaya, suku-suku bangsa di Nusantara menciptakan berbagai teknik
pembuatan kain dan ragam hiasnya. Suwati Kartiwa menyatakan bahwa keunggulan
cita rasa di dalam membuat kain yang dimiliki oleh bangsa Indonesia di kawasan
Nusantara ini, berkembang dalam berbagai wujud, sifat, bentuk, kegunaan, ragam
hias, serta mutu tekstil tradisional (Kartiwa, 2007: 9). Kain tradisional Indonesia
dibuat dengan ketekunan, kecermatan yang teliti dalam menyusun ragam hias, corak
warna maupun maknanya, sehingga kain yang dihasilkan mengundang kekaguman
dunia internasional karena kandungan nilai keindahan yang tinggi.
Secara visual perwujudan tekstil tradisional tidak hanya sekedar indah saja,
tetapi melebur dengan kaidah moral dan adat. Rizali (2013: 2) menyatakan pada
karya tekstil tradisional terdapat tanda-tanda atau simbol yang tidak bisa dipahami
secara ikonik, tetapi di dalamnya terkandung perlambangan aspek kepercayaan,
falsafah dan konsep keselarasan hidup, yaitu keseimbangan antara kehidupan dunia,
dan akhirat. Berbagai jenis tekstil tradisional yang ada di Indonesia, jenis tekstil
tradisi yang secara teknis dapat mewujudkan berbagai macam bentuk ragam hias
adalah batik.
2
Batik merupakan karya seni budaya bangsa Indonesia yang dikagumi oleh
dunia. Diantara berbagai wastra tradisional di muka bumi yang dihasilkan dengan
teknologi celup rintang, tidak satu pun yang mampu hadir seindah dan sehalus batik
Indonesia. Dalam perkembangannya sebagai suatu karya budaya, karya adiluhung
bangsa Indonesia ini tidak lepas dari pengaruh zaman dan lingkungan. Berbagai fakta
pada perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa kedua unsur pengaruh ini memicu
dan memacu kehadiran batik yang selaras nada dengannya. Zaman dan lingkungan,
tak terbantahkan lagi, tidak dapat dipisahkan dari proses perkembangan batik hingga
kapan pun (Doellah, 2002: 7).
Batik adalah kain yang ragam hiasnya dibuat dengan mempergunakan malam
sebagai bahan perintang warna, sehingga zat warna tidak dapat mengenai bagian kain
yang tertutup malam saat pencelupan. Pembubuhan malam diatas kain menggunakan
canting, yaitu sebuah alat kecil berupa semacam mangkuk berujung pipa dari
tembaga, yang diberi gagang kayu atau bambu. Teknik membatik merupakan asli
ketrampilan yang dimiliki bangsa indonesia sebelum kedatangan pengaruh India ke
Indonesia. Pendapat bahwa membatik adalah asli Indonesia diperkuat dari data
digunakannya bahan-bahan yang dipakai dalam proses membatik yakni tumbuh-
tumbuhan asli Indonesia. Jenis tumbuh-tumbuhan itu antara lain adalah tarum, indigo
atau nila (Tirtaamidjaja, 1966: 25).
Aktivitas membatik khususnya di Jawa tumbuh dan berkembang paling subur
dan menghasilkan kain-kain batik dengan ragam hias paling kaya, teknik pewarnaan
paling berkembang dan mutu pengerjaan paling halus dan paling cermat, walaupun
3
metode perintang warna ditemukan pula di beberapa pulau lain di Nusantara dengan
perintang warna dan alat yang berbeda-beda (Ishwara, Yahya & Moeis, 2011: 2).
Penampilan batik yang dibuat di pesisir utara Jawa berbeda dari pada yang dibuat di
Solo-Yogyakarta. Batik dari pesisir utara Pulau Jawa, yaitu Pekalongan, Madura dan
Lasem berlatar putih dengan motif berwarna. Produksi batik pesisiran sekarang relatif
maju, misalnya batik Pekalongan dan Madura. Batik Pekalongan dan Madura sudah
memiliki nama dan lebih banyak berproduksi daripada batik Lasem. Akan tetapi dari
sisi keaslian motif dan warna, batik-batik dari Pekalongan dan Madura kalah dari
batik Lasem yang dahulu memiliki nama tetapi sekarang meredup (Ishwara, Yahya &
Moeis, 2011: 24).
Batik Lasem merupakan salah satu jenis budaya batik warisan nenek moyang
Indonesia. Nuansa keindahan batik Lasem sudah sangat dikenal, terutama warna
merah Lasem yang konon tidak dapat ditiru pembuatannya di daerah lain. Warna
merah batik Lasem oleh penduduk lokal Lasem tersebut, dikenal sebagai abang getih
pithik (merah darah ayam). Diduga merah yang bagus itu disebabkan bukan cuma
karena ramuan zat warnanya, tetapi juga karena kandungan mineral pada air di daerah
itu, yang dipakai melarutkan zat warna. Batik Lasem merupakan hasil ekspresi dari
proses akulturasi budaya yang dihasilkan oleh kedatangan pedagang dari berbagai
tempat yang singgah dan berinteraksi dengan masyarakat lokal Lasem. Beberapa
literatur tentang batik, juga yang terdapat di Musium Batik Nasional, batik Lasem
disebutkan sebagai salah satu varian klasik dengan pola dan corak yang punya
4
kekhasan tersendiri. Pola dan corak batik Lasem merupakan perpaduan yang indah
dan elegan (Unjiya, 2014: 7)
Kamzah (1858: 11) dalam naskah Cerita Lasem/Babad Lasem menceritakan
bahwa Sejarah Batik Lasem erat hubungannya dengan kedatangan rombongan
Laksamana Cheng Ho pada tahun 1413 M. Naskah tersebut menceritakan, “anak buah
kapal Dhang Puhawang Tzeng Ho dari Negara Tiong Hwa, Bi Nang Un dan istrinya
Na Li Ni (yang berasal dari Champa) memilih menetap di Bonang Lasem setelah
melihat keindahan alam Jawa. Na Li Ni kemudian mulai membatik bermotifkan
burung hong, liong, bunga seruni, banji, mata uang, dan warna merah darah ayam
khas Tiong Hwa.” Motif ini yang kemudian menjadi ciri khas dan keunikan batik
Lasem.
Keunikan lain yang terdapat pada batik Lasem adalah dalam pengerjaan
ragam hiasnya, dimana ketika membuat sebuah desain untuk ragam hias batik
produksi mereka, para pengusaha pembatik Lasem dipengaruhi budaya leluhur
mereka seperti kepercayaan dan legendanya. Batik Lasem memiliki karakter ragam
hias konservatif tradisional, artinya motif batik yang dihasilkan merupakan kreasi
pembatik yang diperoleh secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Hal ini
menjadikan ragam hias batik Lasem terkesan kaku dan tidak bisa mengikuti
perkembangan zaman. Seiring berjalannya waktu muncul inovasi-inovasi baru dari
pengrajin batik Lasem, dan berkembanglah berbagai macam jenis ragam hias baru
yang bersifat kekinian atau lebih akrab dikenal dengan ragam hias kontemporer.
Perkembangan dari ragam hias konservatif tradisional ke ragam hias
5
kekinian/kontemporer inilah yang menjadikan masalah ini layak dan menarik untuk
dikaji.
B. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari meluasnya lingkup permasalahan dalam penelitian ini
maka terlebih dahulu perlu dijelaskan tentang pembatasan masalahnya.
Permasalahan ini dibatasi hanya dari segi desain ragam hias batik tulis Lasem
masa kini, khususnya antara tahun 2014 sampai dengan tahun 2015.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disampaikan, maka
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang pengembangan ragam hias batik Lasem masa
kini?
2. Bagaimana perwujudan ragam hias batik Lasem masa kini?
3. Bagaimana konsep desain ragam hias batik Lasem masa kini?
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah yang dipaparkan di atas, maka tujuan dari
penulisan ini adalah :
1. Menjelaskan latar belakang pengembangan ragam hias batik Lasem masa
kini
2. Menjelaskan perwujudan ragam hias batik Lasem masa kini
6
3. Mengetahui konsep desain ragam hias batik Lasem masa kini
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari pengkajian yang dilakukan adalah :
1. Manfaat Teoritis
Dari pengkajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kriya tekstil khususnya dunia
batik, serta memberikan sumbangan pemikiran bagi yang akan melakukan
penelitian lebih jauh. Sebagai bahan bacaan yang diharapkan menambah
wawasan dan pengetahuan bagi pembaca.
2. Manfaat Praktis
Hasil pngkajian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi
instansi terkait seperti dinas pariwisata, serta industri kreatif yang
memproduksi batik tulis Lasem, dan lain sebagainya, berkaitan dengan
bentuk ilmu dan wawasan yang lebih tentang batik tulis Lasem.
7
F. Sistemtika Penulisan
Laporan penelitian ini disusun dan dibagi menjadi beberapa bab sebagai
berikut:
Bab I. Pendahuluan, pada bab ini berisi tentang latar belakang masalah,
batasan masalah, perumusan masalah, tujuan masalah, manfaat penelitian.
Bab II. Kajian pustaka, pada bab ini membahas tentang tekstil tradisional
Indonesia mulai dari sejarah hingga jenis tekstil yang ada di Indonesia. Pengertian
batik dan kelompok batik yang ada di Indonesai. Ragam hias batik yang mencakup
dari pengertian ragam hias, kelompok ragam hias dan faktor-faktor apa saja yang
memengaruhi pembentukan ragam hias batik.
Bab III. berisi tentang metode penelitian yang akan digunakan untuk
menjawab permasalahan yang mencakup jenis penelitian, lokasi penelitian, populasi
atau sample, strategi dan bentuk pendekatan, sumber data dan teknik pengumpulan
data, validitas, dan teknik analisa data.
Bab IV berisi tentang data dan pembahasan, pada bab ini membahas hasil
penelitian tentang Latar belakang pengembangan ragam hias batik Lasem,
perwujudan ragam hias batik Lasem serta konsep desain ragam hias batik Lasem.
Bab V berisi tentang simpulan hasil penelitian dan simpulan
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA & KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Tekstil Tradisional Indonesia
a. Sejarah Tekstil Tradisional Indonesia
Kata tekstil berasal dari bahasa latin, yaitu textere yang berarti menenun atau
dalam arti umum adalah bahan pakaian atau kain tenunan. Sejak zaman prasejarah
nenek moyang kita telah pandai menenun untuk pakaian maupun untuk membuat
layar perahu bercadik, sedangkan cara pemberian rupa di atas permukaan tekstil
dilakukan melalui teknik ikat lungsi. Teknik ini merupakan yang tertua, dan telah
dikenal sejak masa neolitikum dengan menggunakan alat tenun gedog (gendong)
yang kemudian menyebar ke luar Nusantara (Kartiwa, 1986: 6).
Berbagai corak tekstil tradisional Nusantara merefleksikan keanekaragaman
tekstil Nusantara yang menyangkut unsur anyaman, aneka tekstil serta ragam hias
dan warna yang berkembang. Struktur anyaman adalah prinsip penjalinan benang
lungsi dan pakan yang menghasilkan sehelai kain melalui teknik tenun. Dengan
cara mengikat salah satu benang atau keduanya kemudian mencelupnya akan
menghasilkan kain tenun ikat yang beraneka ragam (Rizali, 2013:116).
Keragaman kain-kain tradisional dihasilkan oleh perbedaan geografis yang
mempengaruhi corak hidup setiap suku bangsa di Nusantara. Perbedaan iklim
9
mempengaruhi flora dan fauna yang ada di lingkungannya juga mempunyai andil
besar terhadap perbedaan gaya hidup dan mata pencaharian sebuah kelompok
masyarakat, sehingga yang satu berbeda dengan yang lainnya (Kartiwa, 2007: 9).
Perbedaan sumber kehidupan masyarakat inilah yang turut memengaruhi
keragaman jenis kain dan ragam hiasnya.
Aktivitas masyarakat yang berbeda-beda di setiap wilayah memengaruhi nilai
budaya dan adat istiadat yang diciptakan oleh leluhur atau pendahulunya. Filosofi
kehidupan tertuang dan tercermin dalam adat, serta terjalin dengan kepercayaan
dan agama yang dianutnya. Dalam kaitan dengan nilai-nilai kepercayaan, unsur-
unsur ragam hias pada kain merupakan salah satu bentuk ekspresi pengakuan
terhadap keberadaan, keagungan dan kebesaran Tuhan, Sang Maha Pencipta
kehidupan semua makhluk hidup di dunia. Dengan demikian pada sehelai kain
tersirat makna yang dalam tentang arti kehidupan.
b. Jenis Tekstil Tradisional Indonesia
Berdasarkan teknis pembuatan tekstil terdapat cara-cara pemberian rupa dan
warna, yaitu saat proses menenun, dan proses setelah menjadi kain. Pengertian
tersebut dikenal pula dengan istilah desain struktur dan desain permukaan pada
tekstil. Dengan demikian secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu:
Desain Struktur dalam tekstil dilakukan pada waktu proses menenun,
sehingga teknik ini sangat tergantung pada bahan serat dan benang yang
digunakan agar menghasilkan berbagai variasi tenunan. Desain struktur ini
dapat dilakukan melalui teknik tenun, jeratan, jalinan dan kepangan yang
10
menghasilkan kain polos maupun kain bercorak seperti aneka kain tenunan,
seperti tenun ikat lungsi, ikat pakan dan dobel ikat.
Desain permukaan pada tekstil dilakukan sebagai upaya member
hiasan di atas permukaan kain polos, sehingga menghasilkan nilai-nilai
keindahan di atas permukaan tekstil. Hal ini berkaitan erat dengan
kemampuan mengolah rupa dan warna yang dapat mewujudkan beberapa
jenis kain seperti di antaranya batik, celup ikat atau sulaman (Rizali, 2013:
126).
2. Batik
a. Pengertian Batik
Penulisan kata “batik” dalam bahasa Jawa mestinya “bathik” dan dalam
pengucapan dengan bahasa Indonesia juga seperti dalam bahasa Jawa. Namun
oleh para penulis terdahulu banyak yang mengacu pada “batik” sehingga dalam
penelusuran arti kata “batik” banyak yang memakai model “ kerata basa” yaitu
berasal dari kata “ngembat titik” atau “rambating titik-titik” dalam pengertian
bahwa batik merupakan proses rangkaian titik-titik. Menurut Kalingga (2002: 1-2)
pemaknaan kata “batik” seperti tersebut tidak tepat karena penulisannya dengan
aksara Jawa menggunakan “tha” bukan “ta”.
Dalam arti sederhana, bathik adalah suatu gambar yang berpola, motif dan
coraknya dibuat secara khusus dengan menggunakan teknik tutup celup. Shadily
(1990: 417) menyatakan bahwa : “batik adalah suatu cara untuk melukis di atas
kain (mori, katun, dan ada kalanya kain sutera) dengan cara melapisi bagian-
bagian yang tidak berwarna dengan lilin yang juga disebut malam”. Sementara itu,
pengertian batik telah dibakukan secara nasional yaitu: seni kain yang
11
menggunakan proses perintang lilin atau malam sebagai bahan media untuk
menutup permukaan kain dalam proses pencelupan warna (Syafrina, 1996:1).
Pembahasan tentang asal mula batik di Indonesia masih simpang siur. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa ada sementara para seniman yang menyebutkan
bahwa batik berasal dari Turki, melewati Mesir, terus ke Parsi/ Pasai, dan akhirnya
masuk ke Nusantara. Di Indonesia tampaknya kerajinan batik tertua terdapat di
periyangan, yang disebut dengan istilah “simbut”. Kain simbut dibuat dengan mori
hasil pintalan dan tenunan sendiri, tidak menggunakan malam sebagai perintang
warna tetapi menggunakan kanji (jenang) beras ketan; hiasannya sederhana dan
lebih banyak menggunakan warna merah tua. Kemudian, sekitar abad ke-12 orang
Indonesia telah membuat campuran pewarna untuk menghasilkan batik bangun
tulak (hitam putih) (Haryono, 2008: 3-4).
Akhirnya pada abad ke-15 kerajinan batik menuju kearah keindahan setelah
mendapat pengaruh dari India, Cina, dan Arab seiring dengan berkembangnya
kebudayaan Islam yang masuk ke nusantara. Pada masa pemerintahan Sultan
Agung, kerajinan batik banyak dilakukan di lingkungan keraton oleh para wanita.
Ketika itu telah ditemukan bahan pewarna merah dan kuning serta perpaduan
warna gula kelapa (Bratasiswara, 2000: 85-91). Kemajuan dalam pewarnaan
dalam dunia perbatikan berkembang pada abad ke-17 setelah ditemukannya
warna-warna baru seperti: soga (coklat), kuning (kunyit). Di sekitar tahun 1918
banyak jenis mori dan pewarna kimia dari Jerman, Inggris, Prancis, Swis, Belanda,
dan Jepang masuk ke Indonesia.
12
Persebaran batik di Nusantara cukup luas dan peran keraton juga sangat
menentukan. Batik Banyumasan perkembangan batik tidak bisa dilepaskan dari
adanya kademangan dan kadipaten di daerah Banyumas dari orang-orang yang
berasal dari kerajaan Mataram. Sebagai kademangan atau kadipaten, para
bangsawan di wilayah Banyumas ada keinginan menciptakan batik tulis untuk
memenuhi kebutuhan di lingkungannya. Hal ini membawa perkembangan
perbatikan di Banyumas semakin maju dan dikenal dunia luar khususnya Belanda.
Untuk memenuhi keperluan batik bagi bangsa Belanda, maka motif-motif batik
dimodifikasi sedemikian rupa sesuai keinginan mereka. Gaya batik Banyumasan
masih menyerupai gaya Yogyakarta dan Surakarta, namun diberi warna tambahan
terutama warna merah dan biru (Wahono, dkk. 2004: 54).
Di Surakarta perkembangan batik tidak dapat dilepaskan pula dari peran
keraton sebagai pusat tradisi dan adat-istiadat. Tradisi membatik diperkenalkan
sejak kecil bagi kaum wanita keraton, selain juga para abdi dalem. Peran keraton
terlihat adanya peraturan dalam hal pemakain batik untuk motif tertentu dan dalam
acara-acara tertentu. Perkembangan corak batik di Surakarta yang pesat justru
telah menurunkan kandungan nilai maknanya. Tatanan pemakaian batik menjadi
kabur karena antara yang digunakan untuk para bangsawan dan para warga
masyarakat biasa menjadi tidak jelas. Oleh karena itu, Paku Buwono III membuat
suatu tatanan pemakain kain batik seperti berikut:
“Ana dene kang arupa jarit kang kalebu laranganingsun, batik sawat lan batik
parang, batik cemukiran kang celacap modang, bangun tulak, lenga teleng lan
tumpal, apa dene batik cemungkiran kan calacap lung-lungan, kang sun
13
wenangake anganggota pepatihingsun lan sentananingsun, dene
kawulaningsun padha wedia”
“ Ada beberapa jenis kain batik yang menjadi larangan saya, batik lar, batik
parang, batik cemukiran yang berujung seperti paruh podang, bangun tulak
lenga teleng serta berwujud tumpal dan juga batik cemukiran yang berbentuk
ujung lung (daun tumbuhan uang menjalar di tanah), yang saya ijinkan
memakai adalah patih dan para kerabat saya. Sedangkan para kawula tidak
diperkenankan” (Kalingga, 2002: 9).
Di daerah Lasem keberadaan batik Lasem sangat erat kaitannya dengan
datangnya bangsa asing terutama bangsa Cina. Hal ini menimbulkan corak
tersendiri yaitu corak khas Cina. Daerah Lasem dan daerah yang terletak di
kawasan pesisir utara memang wilayah yang pertama kali bersentuhan dengan
budaya asing. Adapun di daerah Pekalongan perkembangan dan keberadaan batik
juga tidak terlepas dari pengaruh Cina, Arab, Belanda, Jepang, dan kraton
Surakarta. Bagi kaum Arab, seperti halnya terdapat pada seni Islam, motif yang
bercorak makhluk hidup tidak dikembangkan. Oleh karena itu yang berkembang
adalah motif dengan corak geometrik atau jlamprang. Pekalongan pernah
dijadikan pusat untuk produksi batik Belanda atau Indo-Eropa. Pengusaha batik
bangsa Belanda seperti Ajf Jeans, Lian Metzelaar, Tina van Zuylen, dan Eliza van
Zuylen merupakan penyumbang besar bagi perkembangan batik Pekalongan.
Ragam hias dan komposisinya disesuaikan dengan motif-motif yang berkembang
di Eropa sehingga akhirnya menimbulkan gaya khas Pekalongan atau pesisiran.
b. Kelompok Batik di Indonesia
Menurut Kusrianto (2013: 34) menilik sejarahnya, sejak zaman penjajahan
Belanda batik telah digolongkan menjadi dua kelompok besar dengan mengacu
14
pada sudut daerah pembuatan batik tersebut, yaitu batik Vorstenlanden dan batik
pesisir.
1) Batik Vorstenlanden
Batik Vorstenlanden merupakan istilah bagi batik yang berasal dari
wilayah Solo dan Yogyakarta karena pada saat itu daerah ini merupakan
daerah Keraton atau Kerajaan yang disebut Vorstenlanden. Kegiatan
membatik bagi kalangan keraton adalah sebagai media untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Batik di kalangan keraton juga
berkaitan dengan tingkat keningratan dan kebangsawanan. Ada corak-corak
tertentu yang hanya boleh di pakai oleh raja dan keluarga dekatnya. Biasanya
corak corak seperti ini di sebut corak larangan, artinya masyarakat umum
yang bukan trah keraton atau golongan bangsawan tidak boleh
mengenakannya.
Keberadaan batik Yogya tentu tidak lepas dari seejarah berdirinya
Kerajaan Mataram Islam oleh Panembahan Senopati (Hamengkubuwono 1).
Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Pajang ke Mataram, dia sering
bertapa di sepanjang pesisir pulau Jawa, antara lain Parang Kusuma menuju
Dlepih Parang Gupito, menelusuri tebing Pegunungan Seribu yang tampak
seperti “pereng” atau tebing berbaris. Sebagai Raja Jawa yang tentu
menguasai seni, keadaan tempat tersebut mengilhaminya menciptakan pola
15
batik lereng atau parang, yang merupakan cirri ageman (pakaian) Mataram
yang berbeda dengan pola sebelumnya.
Semenjak perjanjian Giyanti tahun 1755 yang melahirkan kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, segala macam tata adibusana, termasuk
di dalamnya adalah batik, diserahkan sepenuhnya oleh Keraton Surakarta
kepada Keraton Yogyakarta. Hal inilah yang kemudian menjadikan Keraton
Yogyakarta sebagai kiblat perkembangan budaya, termasuk pola khazanah
batik, kalaupun batik di Keraton Surakarta memiliki beragam inovasi,
sebenarnya motif pakemnya tetap bersumber pada motif batik keraton
Yogyakarta (Wulandari, 2011: 55).
2) Batik Pesisir
Batik pesisir adalah batik yang berkembang di kawasan Pantai Utara
Pulau Jawa. Kemunculannya dengan membawa ciri yang sangat kuat
membuat para pengamat batik di zaman pendudukan Belanda dengan tegas
mengelompokkan batik Jawa menjadi dua, yaitu batik Vorstenlanden dan
batik Pesisiran
Dari situlah muncul stigma bahwa jika bukan batik Vorstenlanden, berarti
batik pesisiran. Jika tidak termasuk keduanya, berarti bukan motif batik. tentu
kita tidak akan berpegang pada pemikiran pengamat Belanda yang analisanya
dibuat pada akhir abad ke-19 itu. Selain kenyataan batik sudah meluas di
16
banyak daerah dan memiliki corak yang beraneka ragam, masing-masing
daerah telah mengembangkan ciri di daerah masing-masing.
Fenomena kemunculan batik pesisiran suatu "pemberontakan" terhadap
bentuk batik klasik yang telah lama ada. Motif batik pesisiran dianggap
"nyeleneh", tidak mirip batik yang telah akrab dalam kehidupan orang Jawa,
terutama dalam tampilan warna dan motifnya (Kusrianto, 2013: 208). Pada
awal kemunculannya, orang Jawa sebagai pemakai aktif jarit batik memang
sulit untuk menerima kenyataan bahwa yang seperti ini juga batik. Hal ini
berkaitan dengan penggunaan batik sebagai sarana pelengkap dalam
menjalani suatu ritual, misalnya hajatan, pemberian pada saat akan menikah,
maupun upacara resmi yang lain.
Batik pesisiran tidak mengenal pengkhususan pengguna sebagaimana
batik Keraton. Batik pesisiran merupakan silang budaya berbagai bangsa yang
pernah berinteraksi dengan penduduk di daerah pantai utara pulau Jawa ini
mampu menembus batas-batas bangsa, mengabaikan batas-batas kasta
maupun strata sosial. Dengan demikian, batik pesisiran cenderung lebih
luwes, tidak kaku, dan bernuansa lebih ceria (Kusrianto, 2013: 209).
Warna dalam batik pesisiran juga sangat beragam, biasanya menggunakan
latar warna gading (jingga atau warna mangga yang hampir masak), biru tua,
hijau tua, cokelat tanah, hingga ungu. Sedangkan ragam hiasnya sangat
dipengaruhi oleh unsur-unsur yang menjadi cirri khas daerah yang
17
bersangkutan, seperti letak geografis, keadaan alam, falsafah penduduk, sifat
masyarakat, pola penghidupan dan kepercayaan masyarakat (Wulandari,
2011: 64).
3. Ragam Hias Batik
a. Pengertian Ragam Hias
Ragam hias merupakan hasil budaya sejak masa pra sejarah dan berlanjut
sampai masa kini. Ragam hias memiliki pengertian secara umum, yaitu keinginan
manusia untuk menghias benda – benda di sekelilingnya, kekayaan bentuk yang
menjadi sumber ornament dari masa lampau yang berkembang di Istana Raja –
Raja dan Bangsawan, baik yang ada di Bangsa Barat maupun Bangsa Timur.
Istilah yang lain berkaitan dengan ragam hias adalah ragam. Ragam menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti “pola” atau “corak”,sedangkan corak
berarti bunga atau gambar – gambar (Shadly,1980:593). Pengertian yang hampir
serupa dengan ragam hias adalah ragam hiasan dan ornamen. Ragam hiasan
adalah suatu pola atau corak hiasan yang terungkap sebagai ungkapan ekspresi
jiwa manusia terhadap keindahan atau pemenuhan kebutuhan lain yang bersifat
budaya.Ornamen pada hakekatnya sekedar gambaran dari “irama”dalam garis
atau bidang.
Ragam hias atau ornamen adalah wujud hasil karya manusia yang merupakan
produk kebudayaan. Seperti yang diungkapkan Koentjaraningrat (1974; 15-16)
bahwa kebudayaan paling tidak memiliki tiga wujud, yaitu: pertama, sebagai
suatu kompleks ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan lain-lain; kedua, sebagai
18
suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat; dan ketiga
sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan pertama dikenal
sebagai wujud ideal kebudayaan; yang kedua dikenal sebagai sistem sosial; yang
ketiga dikenal sebagai kebudayaan fisik.
Batik Indonesia memiliki ragam hias yang beraneka macam. Berbagai bentuk
dan unsur keragaman budaya yang sangat kaya dapat dilihat dalam ragam hias
batik. Ragam hias batik adalah hasil lukisan pada kain dengan menggunakan alat
yang disebut dengan canting (Wulandari, 2011: 104). Jumlah ragam hias batik di
Indonesia saat ini sangat beragam, baik variasi bentuk maupun warnanya.
Ragam hias batik pada umumnya dipengaruhi oleh letak geografis daerah
pembuatan, sifat dan tata penghidupan daerah bersangkutan, kepercayaan dan
adat istiadat yang ada, keadaan sekitar, termasuk flora dan fauna, serta adanya
kontak atau hubungan antar daerah pembatikan.
b. Kelompok Ragam Hias Batik
1) Ragam Hias Geometris
Ragam hias geometris adalah ragam hias yang mengandung unsur-
unsur garis dan bangun, seperti garis miring, bujur sangkar, persegi
panjang, trapezium, belah ketupat jajaran genjang, lingkaran, dan bintang,
yang disusun secara berulang-ulang untuk membuat satu kesatuan corak.
Yang termasuk ragam hias geometris adalah ceplok, ganggong, parang
atau lerang, dan banji.
19
a) Ceplok atau ceplokan adalah ragam hias batik yang didalamnya
terdapat gambaran-gambaran bentuk lingkaran, roset, binatang,
dan variasinya. Beberapa nama ragam hias ceplok yaitu ceplokan
nogo sari, ceplok kesatrian, ceplok supit urang, ceplok teruntum,
dan ceplok cakra kusuma.
Gambar 1. Ceplok kesatrian (Sumber: Prasetyo, 2010: 51)
b) Ganggong, ragam hias ganggong dan ceplok sepintas hampir
sama. Namun kalau diperhatikan dengan detail, akan terlihat
perbedaan antara ragam hias ganggong dengan ragam hias ceplok.
Cirri khas yang membedakan ragam hias ganggong dengan ceplok
adalah adanya bentuk isen yang terdiri atas seberkas garis yang
panjangnya tidak sama, dan ujung garis yang paling panjang
berbentuk serupa tanda + (Wulandari, 2011: 107). Nama-nama
ragam hias ganggong antara lain adalah ganggong arjuna,
ganggong madusari dan ganggong sari.
20
Gambar 2. Ragam hias ganggong (Sumber: Wulandari, 2011: 107)
c) Parang, merupakan salah satu ragam hias yang sangat terkenal
dalam kelompok corak garis miring. Ragam hias ini terdiri atas
satu atau lebih ragam hias yang tersusun membentuk garis-garis
sejajar dengan sudut kemiringan 45° (Wulandari, 2011: 107).
Gambar 3. Parang rusak barong (Sumber: Wulandari, 2011: 21)
d) Banji, berdasarkan ornament swastika, dibentuk atau disusun
dengan menghubungkan swastika pada garis-garis, sehingga
21
membentuk sebuah corak. Swastika ini menggambarkan kekerasan
yang diterima oleh masyarakat pada masa pendudukan Jepang di
Indonesia (Wulandari, 2011: 108).
Gambar 4. Banji (Sumber: Wulandari, 2011: 109)
2) Ragam Hias Nongeometris
Ragam hias nongeometris merupakan susunan tidak teratur, artinya
polanya tidak dapat diukur secara pasti, meskipun dalam bidang luas dapat
terjadi pengulangan seluruh corak.
a) Semen, merupakan ragam hias batik yang tersusun secara bebas
terbatas ornamen-ornamennya. Bebas terbatas di sini menyatakan
bahwa suatu ragam hias yang telah tersusun dari beberapa motif
tertentu akan kembali diulang untuk mengharmonisasikan pola
hiasnya (Susanto, 1980: 231).
22
Gambar 5. Semen sidomukti (Sumber: Wulandari, 2011: 110)
b) Buketan, merupakan ragam hias yang tersusun dari rangkaian
bunga atau kelopak bunga dengan kupu-kupu, burung, atau
berbagai bentuk dan jenis satwa kecil yang mengelilinginya.
Gambar 6. Buketan (Sumber: Ishwara, Yahya & Moeis, 2011: 92)
23
c) Dinamis, ragam hias yang tergolong dinamis merupakan ragam
hias yang terdiri dari motif-motif yang dapat dibedakan unsur-
unsurnya, namun di dalamnya tidak lagi berupa ornamen-ornamen
tradisional, melainkan berupa ornamen-ornamen bergaya dinamis
yang mendekati abstrak. ragam hias ini sebenarnya pemilihan
antara batik dengan pola hias klasik dan batik dengan pola hias
modern (Susanto, 1980: 249).
d) Pinggiran, golongan ragam hias ini khusus yang digunakan sebagai
hiasan pinggiran kain sebagai pembatas antara bidang yang
berpola dan bidang kosong yang tak berpola. Ragam hias ini pada
dasarnya memang khusus terdapat pada ujung atau tepi dari kain
panjang, selendang, ikat kepala, taplak, dan sterusnya.
Gambar 7. Ragam hias pinggiran (Sumber: Ishwara, Yahya & Moeis, 2011: 140 )
24
c. Struktur Ragam Hias Batik
Menurut Kusrianto (2013: 5) motif batik klasik disusun berdasarkan ragam
hias yang sudah baku, dimana susunannya terdiri dari tiga komponen.
1) Komponen Utama, berupa ornamen-ornamen gambar bentuk tertentu yang
merupakan unsur pokok. Ornamen ini sering kali dijadikan nama motif
batik.
2) Komponen pengisi, merupakan gambar-gambar yang dibuat untuk
mengisi bidang diantara motif utama. Bentuknya lebih kecil dan tidak
turut membentuk arti atau jiwa dari pola batik itu. Motif pengisi ini juga
disebut dengan ornamen selingan.
3) Isen-isen, gunanya untuk memperindah pola batik secara keseluruhan.
Komponen ini bisa diletakkan untuk menghiasi motif utama maupun
pengisi, dan juga untuk mengisi dan menghiasi bidang kosong antara
motif-motif besar. Isen-isen umumnya merupakan titik, garis lurus, garis
lengkung, lingkaran-lingkaran kecil, dan sebagainya. Isen ini memiliki
nama-nama tertentu sesuai bentuknya, dan tidak jarang isen ini disertakan
pada motif batik.
25
d. Faktor Pengaruh Ragam Hias Batik
Seni batik termasuk dalam senin lukis dengan media berupa kain. Hasil
lukisan tersebut kemudian disebut dengan nama ragam hias. Ragam hias dalam
batik umumnya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor,
1) Letak geografis daerah pembuatan batik yang bersangkutan
2) Sifat dan tata penghidupan daerah yang bersangkutan
3) Kepercayaan dan adat istiadat yang ada di daerah yang bersangkutan
4) Keadaan alam sektarnya, termasuk flora dan fauna
5) Adanya kontak atau hubungan antar daerah pembatikan (Djoemena, 1986:
1).
Djoemena, (1986:2) mengemukakan bahwa sebagai akibat dari letak geografis
kepulauan Indonesia di jalur perdagangan dari Utara ke Selatan dan dari Barat ke
Timur terutama pesisir pulau Jawa sebelah utara sering disinggahi kapal-kapal
asing. Terkenalnya rempah-rempah Indonesia dan hasil bumi lainnya merupakan
daya tarik tersendiri untuk diunjungi.
Indonesia yang kaya akan rempah-rempah dan hasil bumi menarik bangsa
asing untuk berlomba-lomba mendatangi kepulauan Indonesia, silih berganti
bangsa Cina, India, Portugis, Arab, Belanda, Inggris datang ke Indonesia. Negara
pendatang ada yang menetap dan bahkan menjajah hingga ratusan tahun, seperti
bangsa Belanda yang menjajah Indonesia selama kurang lebih 350 tahun.
Penduduk dari bangsa pendatang sedikit banyak menyesuakan diri dengan
26
penduduk setempat, sehingga perpaduan antar kebudayaan tidak dapat
dihindarkan. Pendatang asing banyak yang memakai kain batik atau membuat
barang-barang khas dari batik untuk kebutuhan mereka.
Faktor berikutnya yang mempengaruhi terbentuknya ragam hias batik adalah
sifat tata kehidupan daerah pembatikan dan kepercayaan serta adat-istiadat dari
wilayah pembatikan. (Anas, Pangaben, dan Hasanudin, 1997: 31) menyatakan
bahwa seni kerajinan batik di Indonesia berkaitan erat dengan seni tradisi sosial
yang berlaku di dalam suatu lingkungan masyarakat, hal tersebut terlihat dari
penyajian coraknya. Oleh karena itu lah perkembangan batik senantiasa sejalan
dengan nilai-nilai ketradisian dan dinamika masyarakat pendukungnya.
Rancangan motif yang diciptakan tidak lepas dari kehidupan keagamaan dan
kebudayaan bangsa, sehingga hingga saat ini batik dirasakan sebagai kebanggaan
bangsa Indonesia yang bernilai adiluhung.
Kerajinan batik tradisional mempunyai unsur-unsur dalam bentuk proporsi,
warna serta garis yang diekspresikan dalam bentuk motif, pola, dan ornamen yang
penuh dengan makna simbolis, magis, dan perlambangan selain halus dan teliti
penggarapannya, hal itulah yang membentuk keindahan dalam keanekaragaman
pola hias, salah satu contohnya adalah pola hias Sawat atau Lar yang berlatar
belakang kebudayaan Hindu-Jawa, meskipun di daerah pesisir ragam hias ini
hanya merupakan hiasan semata tanpa memberikan arti simbolis.
27
Faktor ketiga dan keempat yang mempengaruhi pembentukan ragam hias
batik adalah keadaan alam sekitar termasuk flora dan fauna. Keadaan alam di sini
mencakup kondisi yang ada di sekitar wilayah pembatikan seperti kondisi alam
yang mendukung mata pencaharian masyarakat, ataupun fauna yang menjadi ciri
khas dari setiap wilayah pembatikan. Kekhasan tersebut dapat menjadi inspirasi
bagi para pembatik untuk menuangkannya ke dalam ragam hias.
Bagian terakhir adalah faktor adanya kontak atau hubungan daerah sekitar,
salah satu contoh adanya kontak tersebut misalnya di daerah pesisir madura yang
masyarakatnya terkenal sebagai pelaut menyinggahi pelabuhan Lasem,
Indramayu, dan sebagainya. Persinggahan tersebut dapat menjadi penyebab
seringkali dijumpai persamaan dalam ragam hias atau warna pada batik antar
daerah (Djoemena, 1986: 40).
4. Penelitian Sebelumnya
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Astaufi Herpi Perdana (2012) tentang
batik tulis Lasem, dengan judul “Pola Batik Lasem Pasca Penetapan UNESCO
Tentang Batik Tahun 2009”. Masalah yang di kaji dalam penelitian ini tentang
perkembangan pola dan makna estetis yang terkandung di dalam batik tulis
Lasem pasca penetapan UNESCO tentang batik 2009.
Dalam penelitiannya Astaufi mengatakan secara garis besar batik Lasem dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu batik dengan selera Cina yang oleh umum
dinamakan batik Laseman dan batik selera pribumi yang sering disebut batik
28
rakyat yang kemudian di pilah lagi menjadi dua golongan besar masing-masing
jenis pola tersebut. Penggolongan tersebut adalah golongan Geometris dan
golongan Non geometris. Batik Lasem memiliki berbagai macam bentuk
perubahan dari mulai bentuk pola, motif, dan warna yang sudah tidak lagi sesuai
pola pakem Batik Lasem. Secara struktural pola batik Lasem tersebut disusun
dengan susunan geometris (Lereng dan Ceplok) dan non geometris (Semenan dan
Buketan). Struktur susunan motif seringkali dilakukan tidak dengan sistem
pengulangan pola kecuali pada pola Lerengan dan Ceplokan. Corak yang terjadi
pada batik Lasem merupakan mimesis dari kehidupan masyarakat Lasem itu
sendiri. Bentuk-bentuk motifnya yang dulu memiliki makna filosofi yang
mendalam, sekarang sudah berubah karena persaingan pasar yang begitu ketat.
Penamaan batik Lasem yang dulu sesuai dengan warna yang diterapkan, sekarang
berubah sesuai jenis motif yang ada di dalamnya.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Kwan, Rosina, Aulia (2010) mengenai
perkembangan budaya batik Lasem. perkembangan batik Lasem mereka
golongkan menjadi beberapa periode.
a. Periode Rintisan ( ... – 1349)
Pada periode awal ini jenis kain atau pakaian yang digunakan masyarakat
Lasem belum dapat ditentukan. Belum diperoleh sumber data yang terpercaya,
termasuk data arkeologis hasil ekskavasi situs Caruban Lasem. Namun demikian,
kita dapat membuat dugaan awal bahwa pakaian yang dipakai sebelum tahun
29
1350 di Lasem terbuat dari kapas dan sebagian daripadanya kemungkinan
merupakan hasil proses batik. Dugaan ini dibuat berdasarkan data sebagai berikut:
1) Penjualan kapas Jawa pada Cina sejak abad ke-7 sebagai indikator adanya
budaya pemakaian kapas untuk bahan baku pakaian.
2) Kemungkinan sudah terdapatnya teknologi penenunan di pulau Jawa
sebagaimana tampak pada ukiran kain yang dikenakan oleh berbagai arca di
banak candi di pulau Jawa.
3) Sebuah laporan dari sumber Cina tahun 1350 manyatakan bahwa Jawa sudah
memiliki batik dan mengekspornya ke Vietnam, Irak dan bahkan Colombo
(Srilanka).
Tiga data tersebut diatas menjelaskan tentang keberadaan budaya kapas, tenun
dan batik di pulau Jawa, tetapi data tersebut tidak menyebutkan sama sekali
tentang Lasem. Selain itu, wilayah Lasem belum menjadi sebuah pusat
pemerintahan pada periode pra 1350 Masehi. Dengan demikian, kemungkinan
adanya pemakaian kain batik di Lasem sampai tahun 1350 masih berupa dugaan
sementara yang belum dapat dibuktikan sebelum diperolehnya data tambahan
baru yang lebih relevan dan terpercaya.
b. Periode Pengaruh Budaya Jawa-Hindu-Buddha Kerajaan Majapahit (1350-
1500)
Periode ini merupakan awal penggunaan dan produksi batik di wilayah Lasem
dimana desainnya dipengaruhi oleh budaya Jawa saat itu yang berbasis pada
30
agama Hindu dan Buddha. Budaya batik diperkirakan banyak dipengaruhi oleh
keberadaan kaum penguasa/ aristrokat dari berbagai kerajaan di kepulauan
Nusantara. Hal ini dibuktikan oleh:
1) Artefak arkeologis, misalnya motif batik kawung dan batik gringsing pada
patung Kertarajasa Jayawardhana/ Raden Wijaya (raja pertama kerajaan
Majapahit yang memerintah pada tahun 1293-1309 M) di Candi Ngrimbi,
Jombang, menunjukkan sudah digunakannya pakaian batik sejak jaman
Majapahit.
2) Kelangsungan batik vorstenlanden/ pedalaman/ kraton yaitu batik-batik
Surakarta dan Yogyakarta dimana aneka bentuk motif dan makna filosofisnya
disesuaikan dengan tata cara kehidupan kraton, menunjukkan peranan penting
kraton sebagai acuan pengembangan budaya batik di kepulauan Nusantara.
3) Proses pembuatan kain batik membutuhkan teknologi produksi yang
kompleks dan biaya produksi yang tidak sedikit sehingga lebih
memungkinkan pengembangannya di lingkungan masyarakat bangsawan/
priyayi yang memiliki penguasaan modal, pengetahuan dan teknologi yang
relatif tinggi.
Dengan demikian, keberadaan sebuah keraton atau sistem pemerintahan pada
masa kerajaan Nusantara kemungkinan dapat menjadi sebuah indikator awal dari
eksistensi budaya batik tertentu di wilayah kekuasaan kraton tersebut. Dengan
hipotesis semacam ini, maka kita perlu mencari tahu ada tidaknya kraton di
wilayah Lasem pada masa lalu.
31
Dalam catatan sejarah , Lasem pernah menjadi sebuah kerajaan kecil di bawah
kekuasaan kerajaan Majapahit, yaitu pada masa pemerintahan Bhre Lasem I/
Rajasaduhitendudewi/ dewi Indu (1350-1375). Mengingat bahwa kemungkinan
besar batik sudah menjadi pakaian bangsawan kerajaan Majapahit, maka hal ini
juga berlaku di wilayah Lasem. Dengan demikian kita dapat mengemukakan 3
(tiga) hipotesis sebagai berikut:
1) Pakaian batik sudah digunakan oleh para bangsawan di Lasem paling tidak
sejak pemerintahan Bhre Lasem 1/ Dewi Indu. Digunakannya kain batik oleh
para bangsawan kerajaan Majapahit berimplikasi pada kemungkinan
penggunaan kain batik oleh para bangsawan di wilayah kekuasaan Majapahit,
termasuk Lasem.
2) Diduga desain batik yang digunakan di Lasem adalah sama persis atau
sebagian besar sama dengan corak batik yang dikembangkan di pusat kerajaan
Majapahit. Para penguasa wilayah Lasem tidak memiliki kepentingan untuk
mengembangkan corak batik khas Lasem yang berbeda nyata dengan corak
batik Majapahit karena secara historis penguasa Lasem tidak pernah berupaya
menciptakan identitas politik “ke-Lasem-an” yang berbeda dengan “ke-
Majapahiit-an”. Bhre Lasem 1 (Dewi Indu) merupakan adik perempuan raja
Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit yang tidak pernah memberontak untuk
melawan kakaknya sendiri. Penguasa lasem berikutnya, yaitu Bhre lasem II
(Nagarawardhani), walaupun memihak suaminya (Wirabumi II) melawan raja
Majapahit Wikramawardhana dalam Perang Paregrek. Namun demikian,
32
konflik politik tersebut tetap dalam konteks perebutan kekuasaan di Majapahit
sehingga tidak dapat menciptakan perlunya sebuah identitas baru ke-Lasem-
an sebagai basis pengembangan desain batik baru untuk dipakai oleh kaum
bangsawan di Lasem. Sedangkan Bhre Lasem III, Bhre Lasem IV dan Bhre
Lasem V berturut-turut adalah istri dan keponakan yang loyal kepada Prabu
Wikramawardhana.
3) Belum jelas lokasi produksi kain batik yang digunakan di Lasem pada
kerajaan Majapahit. Sebagai sebuah kerajaan kecil, Lasem tidak menjadi
tempat tinggal bangsawan Majapahit di luar keluarga Bhre Lasem. Hal ini
menyebabkan sedikitnya jumlah kebutuhan pakaian bermotif batik yang
memerlukan produksi batik di daerah Lasem sendiri. Keluarga Bhre Lasem
dapat memperoleh kain batik di lokasi lain di luar Lasem yang merupakan
tempat produksi batik keluarga kerajaan Majapahit.
Namun demikian, mengingat preferensi terhadap kain batik dan bersifat
personal maka Bhre Lasem mungkin memiliki pembatikan sendiri di Lasem
dengan mempekerjakan tenaga pembatik trampil kepercayaannya. Kedua dugaan
yang saling bertentangan tentang ada tidaknya lokasi pembatikan di Lasem jaman
Majapahit sulit diverivikasi kebenaranya mengingat tidak adanya penunjang
berupa artefak kain batik Lasem jaman Majapahit, prasasti atau babad yang dapat
menjelaskanya. Dengan demikian, ada tidaknya lokasi produksi kain batik yang
dipakai oleh para bangsawan di Lasem pada jaman Majapahit sulit ditentukan
sampai saat ini.
33
Motif dan warna batik Majapahit yang dipakai para Bhre Lasem I diduga
mirip dengan sebagian desain batik Mataram Yogyakarta dan Surakarta (batik
vorstenlanden) saat ini, yaitu motif gringsing dan kawung pada ukiran pakaian
dari arca-arca candi peninggalan kerajaan Majapahit atau masa sebelumnya.
Warna coklat pada kain batik diperoleh dari hasil pencampuran tiga jenis zat
pewarna alam, yaitu kayu tingi, jambal, dan tegeran. Sedangkan warna biru
diperoleh dari hasil fermentasi tanaman nila (indigo tinctoria sp.). Warna batik
yang digunakan di daerah-daerah kekuasaan Majapahit, termasuk Lasem, diduga
berwarna coklat tua dan biru tua dengan pertimbangan sebagai berikut:
1) Warna coklat tua dan biru tua sampai sekarang masih disebut sebagai soga
Majapahit di daerah Lasem.
2) Warna pakem batik Kalangbret yang konon merupakan penerus batik
Majapahit di daerah Tulungagung berwarna cokelat tua dan biru tua.
3) Warna coklat tua dan biru tua merupakan batik Mataram sebagaimana tampak
dipakai pada batik gaya Yogyakarta saat ini. Besar kemungkinan warna coklat
tua dan biru tua juga merupakan warna batik pada masa Majapahit. Hal ini
mengingat (a) lambatnya perkembangan teknologi pewarnaan alami
menyebabkan warna batik majapahit yang diduga berwarna coklat tua dan
hiru tua tersebut terus berlanjut ke generasi batik berikutnya, yaitu batik
Mataram, (b) adanya pengakuan terhadap garis keturunan yang sama antar
penguasa sejak jaman kerajaan Singasari, Majapahit, Demak, Pajang sampai
Mataram Islam sehingga besar kemungkinan warna pakaian sebagai identitas
34
politik para penguasa tidak terlalu berpengaruh. Warna coklat tua dan biru tua
merupakan warna pakaian batik yang dipakai pada berbagai masa kerajaan
tersebut.
Pengaruh budaya Jawa dan agama Hindu Buddha masa kerajaan Majapahit
masih terasa pada motif dan warna batik Lasem yang dihasilkan saat ini. Motif
kawung dan gringsing banyak dipakai pada batik Baganan, yaitu bati Lasem yang
berasal dari Desa Babagan. Sedangkan warna soga dan biru tua tetap menjadi
kombinasi warna favorit batik Lasem. Warna soga dan biru tua dipakai pada jenis
batik Lasem bergaya voerstenlanden yang umumnya dipakai oleh masyarakat
Jawa di pedesaan kabupaten Rembang.
c. Periode Masuknya Pengaruh Budaya Champa (1413)
Berdasarkan kitab “Serat Badra Santi” karangan Mpu Santibadra pada tahun
19497 Masehi dan ditulis ulang oleh keturunannya yaitu Raden Panji Khamzah
dengan menambahkan bab Cerita Lasem/ Babad Lasem menjadi relevansi
terhadap sejarah perkembangan batik Lasem yang terletak pada:
Kitab Serat Badra Santi memuat istilah “batik” pada bab 558 halaman 1
sebagai berikut:
“Padha ngudhi nggambar nyungging sing setiti”
“Ngati-ati natah ngukir barang rimpi”
“Ditlateni nyongket, mbatik widyarini”
35
Pada tahun 1335 Saka (1435 Masehi), Bi Nang Un seorang Champa yang
pernah menjadi salah seorang nahkoda kapal dari Armada Laut Laksamana Cheng
Ho (digelari Ma Sam Po atau Dampu Awang) mendarat di Pantai Regol (sekarang
disebut pantai Binangun), Kadipaten Lasem.
Bi Nang Un datang di Lasem bersama istri (putri Na Li Ni), anak lelaki (Bi
Nang Na, berusia 5 tahun), dan anak perempuan (Bi Nang Ti, berusia 3 tahun)
beserta sanak saudaranya. Mereka bertempat tinggal di daerah Kemendhung
(sekarang sekitar daerah Jatirogo, Lasem) yang telah dihadiahkan oleh Adipati
Lasem saat itu, yaitu Adipati Wijayabrata.
Rombongan Bi Nang Un terdiri dari orang-orang Champa yang beragama
Buddha dan pandai dalam bidang kesenian (membatik, menari, membuat
perhiasan emas, membuat peralatan kuningan, dan sebagainya). Putri Na Li Ni
(istri Bi Nang Un) mengajarkan seni membatik, menari dan membuat slepi merak
kepada putra-putrinya serta para remaja putri di Taman Banjaran Mlati,
Kemendung.
Setelah dewasa, Bi Nang Na menjadi seorang ahli karawitan terkenal. Ia
menciptakan Gagrak Lasem (yang merupakan hasil kombinasi Gagrak Champa
dan Gagrag Majapahit), Pathet Lasem, Suluk Lasem, dan Sampak Lasem. Ia
kemudian dikenal sebagai Mpu Winarna. Sedangkan Bi Nang Ti setelah dewasa
menjadi mahir dalam membatik dan menari. Bi Nang Ti kemudian menikah
36
dengan Adipati Badranala dan memiliki dua orang anak, yaitu Wirabajra dan
Santibadra.
Wirabajra kelak menjadi Adipati Lasem dan beranak Wiranagara. Wiranagara
kemudian memeluk agama Islam dan beristrikan putri Maloka (putri Sunan
Ampel dan kakak Sunan Bonang). Sedangkan Santibadra mendalami agama
Syiwa Buddha dan menjadi pujangga kerajaan Majapahit dengan gelar Mpu
Tumenggung Wilatikta. Santibadra-lah yang menulis Serat Badra Santi (Babad
Tanah Lasem) pada tahun 1401 Saka atau 1479 Masehi.
d. Periode Pengaruh Budaya Cina (1500-1799)
Kerajaan Hindu Buddha Majapahit runtuh pada akhir abad XV yang
digantikan oleh kerajaan Islam demak pada sekitar tahun 1500. Pada awal masa
pemerintahan kerajaan Demak, kelompok masyarakat Cina Islam yang disebut
sebagai Cina Peranakan menguat peranannya di bidang ekonomi dan politik.
Namun di bidang seni budaya, pengaruh Cina Peranakan Islam bersifat minimal
terhadap budaya penduduk pribumi Jawa. Masyarakat Cina Peranakan mambaur
secara harmonis dengan masyarakat lokal Jawa. Dengan demikian, pengaruh
Cina Peranakan Islam dalam konteks perkembangan seni budaya lokal, termasuk
batik Lasem, tidak signifikan.
Pada awal abad XVI tersebut di atas, diduga buadaya pakaian batik masih
berlaku di kalangan bangsawan atau priyayi saja. Dari perspektif bisnis,
rendahnya permintaan terhadap produksi kain batik tersebut menyebabkan belum
37
terjadinya industrialisasi batik. Dengan demikian, usaha batik belum menjadi
pilihan kegiatan ekonomi pengusaha Cina Peranakan Islam. Akibatnya, tidak ada
faktor yang mendorong upaya memasukkan motif dan warna yang dipengaruhi
budaya Cina terhadap desain batik pesisir Jawa, termasuk batik Lasem. Dengan
kata lain, pada awal abad XVI tersebut motif dan warna batik Lasem tetap tidak
mengalami perubahan. Motif batik Lasem masih berwujud motif-motif yang
diperngaruhi budaya Jawa, Hindu, Buddha dan Champa.
Selanjutnya, abad XVII merupakan awal era kolonialisme Belanda di
kepulauan Nusantara. Abad XVII ini juga ditandai oleh datangnya gelombang
besar pendatang baru dari Cina dan Arab di pulau Jawa. Pendatang baru dari
Cina tersebut disebut sebagai Cina Totok. Berbeda dengan Cina Peranakan Islam
yang memiliki kedekatan terhadap budaya lokal Jawa, maka Cina Totok masih
mempertahankan budaya leluhur mereka. Hal ini menyebabkan Cina Totok lebih
cenderung memakai desain budaya Cina pada aneka perabot rumah tangga,
arsitektur dan pakaian terutama di awal kedatangan mereka di pulau Jawa.
Pria Cina Totok menggunakan pakaian tradisional mereka yaitu tungsha.
Sedangkan perempuan Cina menggunakan pakaian qibao. Sementara itu, pria dan
perempuan Cina Peranakan besar kemungkinan sudah menggunakan kain sarung
sebagai pakaiannya. Penggunaan kain sarung oleh perempuan Cina Peranakan di
Lasem dapat dimengerti karena konon para perantau dari Cina saat datang di
Lasem adalah kaum pria. Mereka menikah dengan para permpuan pribumi Jawa.
38
Tidaklah mengherankan jika pada masa pra kemerdekaan Republik Indonesia,
perempuan Tionghoa di Lasem disebut “nyai” oleh keluarganya sendiri.
Pada akhir abad XVII diperkirakan batik Lasem sudah mulai diproduksi
dalam skala terbatas sebagai industri rumah tangga di kota kecamatan Lasem.
Batik yang dibuat pada masa ini memakai kombinasi ragam hias Jawa, Champa
dan Cina. Konsumen batik Lasem tersebut adalah para perempuan Cina
peranakan, baik di kota Lasem maupun kota-kota lain di pulau Jawa.
e. Periode Awal Industrialisasi Batik Lasem & Pengaruh Budaya India (1800-
1899)
Abad XIX diduga merupakan awal perkembangan industri rumah tangga batik
Lasem secara lebih masif. Berkembangnya budaya pakaian batik di kalangan
perempuan etnis Cina di berbagai kota pulau Jawa dan Sumatra menyebabkan
tingginya permintaan terhadap batik Lasem yang bermotif kombinasi Cina-Jawa.
Semua batik Lasem yang dihasilkan pada abad XIX ini masih mengandalkan
teknologi canting tulis.
Pada periode ini juga terjadi adopsi motif budaya kain India pada batik Lasem
sebagai akibat kelangkaan kain chintz India pada akhir abad XVIII. Pengusaha
batik Lasem diperkirakan memanfaatkan kesempatan bisnis tersebut dngan
memproduksi kain batik bergaya chintz India pada awal abad XIX. Namun
demikian, ada kemungkinan pengaruh budaya India pada pembentukan budaya
batik Lasem sudah terjadi sejak masa Majapahit. Hal ini mengingat kerajaan
39
Majapahit dan kerajaan-kerajaan sebelumnya mengadopsi agama Hindu-Buddha
sebagai agama kerajaan. Beberapa pengamat Barat antara lain Robyn Maxwell
(2003) dan Rudolf G. Smend etal (2007) menyatakan bahwa bati Lasem
dipengaruhi oleh chintz yang dihasilkan di Coromandel, India. Dengan
membandingkan motif kain chintz tersebut dengan motif batik Lasem, kita dapat
melihat adanya beberapa persamaan di antara kedua jenis kain tradisional
tersebut.
f. Periode Keemasan Industri Batik Lasem dan Pengaruh Budaya Belanda pada
Batik Lasem (1900-1941)
Awal abad XX, tepatnya sektar tahun 1900 sampai dengan masuknya Jepang,
industri batik Lasem mengalami masa kejayaan. Pada masa ini, desain motif yang
dipengaruhi oleh budaya Belanda juga mulai dipakai untuk memperindah kain
batik Lasem.
Era paruh kedua abad XIX ditandai oleh berjayanya batik Pekalongan bergaya
Indo Belanda. Pada masa ini kita dapat mencatat masa keemasan para pengusaha
perempuan Belanda seperti Lien Metzelaar (c. 1855-1930), Eliza van Zuylen
(1863-1947), Ny. Simonet (c. 1865-1937), dan sebagainya. Mereka menciptakan
desain batik bergaya buketan Eropa yang naturalis dan disusun secara horizontal.
Bagian latar dari kain batik Indo-Belanda tersebut umumnya tidak diberi isen-
isen. Sedangkan pewarnaan yang digunakan merupakan zat kimia naftol dan
indigosol dengan warna cerah dan lembut.
40
Kemajuan industri batik Indo-Belanda membuat engusaha batik Lasem yang
lebih pragmatis untuk meniru desainnya. Kain batik Lasem pun mulai diberi
hiasan buketan sederhana yang tidak naturalis. Akibatnya arti ragam hias buketan
batik Lasem sulit ditelusuri jenis bunga yang menjadi inspirasi desainnya. Sejalan
dengan berkembangnya motif batik yang terinspirasi oleh cerita rakyat Eropa,
seperti Litle Red Riding Hood, batik Lasem pun juga mengikuti dengan
penampilan motif batik yang merupakan gambaran dari cerita rakyat Cina, seperti
Pat Sian Kwee Hay (Delapan Dewa menyebrangi Lautan).
Selain itu, pengaruh desain Belanda pada batik Cirebon seperti tampak pada
jenis kain batik Kompeni juga telah memacu motivasi pengusaha batik Lasem
untuk menampilkan desain batik sejenis yang menkankan susasana kehidupan
etnis Cina, misalnya Arak-arakan Pengantin Tionghoa. Sedemikian kuat
pengaruh desain Belanda ini pada perkembangan industrI batik Lasem sehingga
terdapat beberapa orang pengusaha batik Lasem yang mengkhususkan diri untuk
produksi batik bergaya van Zuylen ala Pekalongan, yaitu Tan Sik Liang khusus
membuat dan menjual batik bergaya van zuylen Pekalongan. Sedangkan Tio
Swan Sie membuat batik gaya Pekalongan dan Solo (Surakarta).
Pada masa ini, teknologi produksi batik Lasem mengalami perkembangan.
Tidak saja pengusaha batik Lasem menghasilkan batik tulis, tetapi mereka mulai
memakai cap batik untuk membuat batik cap. Tidaklah mengherankan jika
kemudian pemasaran batik Lasem mampu manjangkau sasaran konsumen di
seluruh pulau Jawa dan Sumatera (khususnya Sumatera Selatan, Sumatera Barat
41
dan Jambi), semenanjung Malaka, Thailand Selatan “daerah Pattani”, Bali,
Sulawesi Utara dan Suriname (Amerika Tengah).
g. Periode Stagnasi Industri Batik Lasem (1942-1945)
Selama masa penjajahan Jepang, industri batik Lasem mengalami masa
stagnasi total. Semua industri batik Lasem melakukan tutup usaha. Hal ini
disebabkan oleh tidak kondusifnya iklim usaha pada masa tersebut. Bala tentara
Jepang menyita persediaan kain mori dan bahan makanan layak yang dimiliki
oleh pengusaha batik dan penduduk lain di Lasem. Bahkan sebagian dari tentara
Jepang tersebut melakukan gangguan terhadap kaum perempuan.
Sementara itu, masyarakat konsumen tidak diperkenankan menggunakan
pakaian yang layak. Akibatnya, permintaan terhadap batik Lasem dan kain
bermutu tinggi lainnya turun drastis atau bahkan tidak sama sekali. Dengan
mempertimbangkan kondisi ekonomi, sosial politik dan keamanan yang tidak
kondusif tersebut diatas, tidaklah mengherankan jika semua pengusaha batik
Lasem serentak menutup total usaha pembatikannya.
h. Periode Konsolidasi & Pengaruh Budaya Lokal (1946-1950)
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 diwarnai dengan
revolusi fisik untuk mempertahankan kemerdekaan tersebut. Periode revolusi
fisik ini berlangsung sampai sekitar terjadinya Konferensi Meja Bundar (KMB) di
Den Haag, tahun 1949.
42
Pada periode awal kemerdekaan Indonesia tersebut, situasi ekonomi belum
stabil sama sekali. Permintaan terhadap produk kain batik, termasuk batik Lasem,
secara bertahap mulai meningkat. Namun demikian, industri batik Lasem belum
pulih dari keterpurukannya pada masa penjajahan Jepang. Diperkirakan hanya
sedikit pengusaha batik Lasem yang mulai aktif kembali pada masa revolusi fisik
tersebut.
Dampak negatif dari tidak berfungsinya industri batik Lasem tersebut sangat
terasa. Para pengusaha batik Lasem kehilangan kesempatan perolehan laba usaha.
Mereka harus bertahan hidup dari tabungan yang dimiliki selama ini. Sementara
itu, para perempuan pembatik di pedesaan terpencil merasakan dampak yeng jauh
lebih parah. Mereka kehilangan pekerjaan membatik yang menjadi andalan untuk
memperoleh penghasilan tambahan. Keluarga pembatik pun harus mengalami
penderitaan dalam mempertahankan hidup dengan mengandalkan hasil bumi dan
pakaian sekedarnya.
Pada masa penjajahan Jepang, sejumlah kecil industri batik di Pekalongan
berhasil bertahan dan bahkan menghasilkan kain batik Hokokai yang sangat indah
dengan mengakomodasi desain budaya Jepang, Cina, dan Jawa. Sebaliknya, tidak
berfungsinya industri batik Lasem pada masa tersebut menyebabkan ketiadaan
nuansa budaya Jepang pada desain batik Lasem.
43
i. Periode Revitalisasi Industri (1951-1970)
Setelah situasi ekonomi dan sosial politik Indonesia kembali tenang, industri
batik Lasem secara bertahap mulai bangkit kembali. Beberapa orang pengusaha
batik Lasem mulai berusaha kembali. Tetapi sisa pengusaha batik Lasem lainnya,
sebagai contoh Njoo Wat Djiang (ayah dari pengusaha batik Sigit Witjaksono)
memutuskan untuk tidak meneruskan usaha batik tersebut.
Pada masa ini para pengusaha batik Lasem menghadapi tantangan perubahan
pasar yang baru. Para perempuan etnis Cina yang merupakan sebagian besar dari
konsumen batik Lasem pada masa pra Perang Dunia II telah mengubah kebiasaan
berpakaiannya. Mereka tidak lagi mengenakan kombinasi kebaya encim dan kain
batik, termasuk batik Lasem, serta menggantikannya dengan pakaian bergaya
barat yang dianggap lebih nyaman (misal, rok dan gaun). Akibatnya, para
pengusaha batik Lasem harus mencari pasar konsumen pengganti.
Target pasar baru produk batik Lasem adalah masyarakat Indonesia non etnis
Cina. Konsekuensinya, desain batik Lasem harus disesuaikan dengan selera dan
nilai sosial budaya dari calon konsumen baru tersebut. Motif batik Lasem yang
semula di dominasi oleh ragam hias Cina dan Jawa diubah menjadi Sebagai
berikut:
1) Penggunaan motif lokal non hewan untuk menggantikan motif hewan
yang berasal dari budaya Cina. Desain motif latohan, lombokan, watu
44
kricak dan sebagainya dikembangkan sebagai pengganti motif Cina seperti
naga (liong), burung phoenix (hong), kilin dan sebagainya.
2) Pengenalan warna hijau sebagai salah satu warna dominan kain batik
lasem, disamping warna-warna tradisonal lain seperti merah, biru dan
soga/ coklat.
Sedikt banyak, perubahan desain motif dan warna batik Lasem tersebut diatas
disesuaikan dengan nilai-nilai ajaran agama Islam yang menjadi mayoritas
penduduk Indonesia. Fenomena ini secara tegas menyatakan desain batik Lasem
telah berubah total dari ragam hias primordial budaya Cina-Jawa-Champa-India-
Belanda yang tanpa pengaruh ajaran agama Islam menjadi ragam hias yang lebih
universal dan dipengaruhi ajaran agama Islam. Pemakaian ragam hias lokal non
primordial seperti rumput laut latohan, misalnya menyebabkan desain batik
Lasem dapat diterima oleh kalangan konsumen dengan identitas sosial budaya
yang lebih beragam.
j. Periode Kemerosotan Industri (1970 – 2004)
Periode tahun 1970-2004 mencatat kemerosotan industri batik Lasem. Jumlah
pengusaha menurun drastis dari sekitar 144 orang (1970an) menjadi hanya 18
orang (Januari 2004). Beberapa penyebab kemerosotan jumlah pengusaha batik
Lasem sebagai berikut:
1) Pengenalan teknologi printing batik, baik secara manual (sablon) maupun
otomatis (rotary printing machine) menyebabkan persaingan ketat terhadap
45
industri batik berteknologi produksi tradisional yaitu canting tulis dan cap.
Harga kain tektstil bermotif batik yang dihasilkan teknologi printing batik
jauh lebih rendah daripada harga kain batik cap dan batik tulis. Akibatnya,
permintaan terhadap batik tradisional Lasem, khususnya batik cap, menjadi
merosot tajam. Batik cap Lasem terpuruk hebat akibat kalah bersaing dengan
batik printing, sebagai produk substitusi-nya, sehingga produksi batik cap
terus dikurangi sampai menjadi nihil sama sekali pada awal tahun 2004.
Sementara itu, batik tulis Lasem masih dapat bertahan untuk menahan
gempuran persaingan dari batik printing karena eksklusivitas desain dan
teknik produksinya.
2) Krisis moneter perbankan yang dialami Indonesia beberapa kali, antara lain
November 1978, Juni 1983, dengan puncak krisis pada tahun 1997-1998
menyebabkan kesulitan pengusaha batik Lasem tradisonal dalam
mempertahankan kelangsungan usaha mereka. Merosotnya daya beli
masyarakat konsumen batik ditambah dengan kenaikan biaya produksi batik
yang sangat tergantung pada bahan baku serta bahan penolong dari luar negeri
(kapas dan bahan pewarna), menyebabkan para pengusaha batik mengalami
kesulitan pemasaran, permodalan dan pembayaran kembali dari para
konsumen. Akibatnya, banyak pengusaha batik Lasem terpaksa menutup
usaha batik keluarga mereka dan beralih pada bisnis baru yang dianggap lebih
aman dan menguntungkan.
3) Kendala regenerasi pengusaha dan pengrajin batik (pembatik) mempersulit
kesinambungan usaha batik Lasem. Generasi muda dalam keluarga
46
pengusaha batik di Lasem memilih untuk melanjutkan pendidikan tinggi di
berbagai kota besar, sperti Surabaya, Jakarta, Semarang, Bandung dan
Yogyakarta. Seusai lulus dari perguruan tinggi, generasi muda calon penerus
usaha batik Lasem tersebut enggan untuk kembali ke Lasem. Kota Lasem
dianggap sebagai sebuah kota kecil yang terkesan tidak menjanjikan masa
depan ekonomi dan tidak tersedia pekerjaan yang sesuai dengan kapasitas
intelektual mereka yang baru. Keengganan generasi muda Lasem untuk
menjadi pengusaha batik Lasem tersebut telah memudarkan semangat para
pengusaha batik Lasem, orang tua mereka, untuk berinvestasi dan memajukan
usaha batik. sedikit-demi sedikit perusahaan batik Lasem tutup usaha karena
alas an pemiliknya berusia lanjut, sakit atau bahkan meninggal dunia.
k. Periode Revitalisasi Industri II (2004 - 2009)
Tahun 2004, batik tulis Lasem mulai bangkit kembali. Tahun 2008, terjadi
polemik dengan diakuinya batik sebagai budaya Negara Malaysia, yang kemudian
memicu industri batik tulis Lasem untuk samakin bersinar dan menjadi
fenomenal.
Lasem terkenal sebagai salah satu sentra batik penting di Jawa pada akhir
abad ke-19. Warna batik tulis Lasem sangat khas yang dipercaya karena pengaruh
tanah dan iklim setempat. Invasi jepang pada tahun 1942-1945 membuat semua
usaha batik tutup. Daerah Pekalongan lahir dengan corak Hokokainya, tetapi di
Lasem tak tampak pengaruh Jepang.
47
Batik tulis Lasem mengalami keterlambatan untuk bangkit kembali, karena
pemakaian kain batik tinggal para perempuan Tiong hoa lanjut usia, sementara
pasar yang dulu sampai ke Sumatera Barat (motif lokcan) dan Suriname berubah
selera. Pemilik usaha batik tulis Lasem juga berubah. Tahun 1990-an semua
usaha batik milik keturunan Tiong hoa, setelah krisis ekonomi tahun1998, muncul
pengusaha batik suku Jawa. Tahun 2004, ada 14 pengusaha Tiong hoa dan 4
pengusaha Jawa. Tahun 2009, dari 32 pengusaha batik di Lasem, kira-kira dua
sepertiganya suku Jawa.
B. Landasan Teori/Kerangka Berpikir
1. Teori
Teori yang digunakan sebagai landasan dalam pengkajian yang membahas
tentang batik tulis Lasem pada zaman sekarang adalah pendekatan berdasarkan
dari teori desain Nanang Rizali.
Desain mempunyai beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan, sehingga
pada akhirnya akan dicapai suatu kesatuan (unity) secara menyeluruh. Untuk
mencapai suatu kesatuan (unity) organisasi yang baik, sebuah desain memiliki
unsur, kriteria dan prinsip yang perlu mendapat perhatian dari seorang desainer.
(Rizali, 2006: 43).
Desain pada hakikatnya adalah proses usaha kreatif untuk memenuhi tuntutan
kebutuhan manusia. Dalam pemenuhan kebutuhan rohani dan jasmaninya, desain
mempunyai hubungan dengan berbagai faktor seperti ekonomi, sosial, budaya,
teknologi, estetika, dan lain-lain. Sehingga suatu produk diharapkan dapat
memenuhi tuntutan pemakai, pasar dan pembelinya(Nanang Rizali,40:2006).
Kriteria dan prinsip-prinsip desain menurut Nanang Rizali adalah irama,
keseimbangan, pusat perhatian/emphasis khususnya pada desain tekstil.
48
a. Irama, pada bidang seni rupa (khususnya desain tekstil) irama terbentuk
karena pengulangan (repetition) dan gerakan (movement). Pengulangan
mungkin diwujudkan melalui warna dan nada bidang / bentuk, garis dan
tekstur.
b. Keseimbangan adalah suatu kondisi atau kesan optimis, tentang kesan
berat, tekanan, tegangan dan kesetabilan. Dalam penciptaan desain dapat
diasosiakan wujud – wujud elemen dasar seperti garis, bidang tekstur dan
warna sebagai anak timbangan pada sebuah neraca, dapat diasosiakan
tentang keseimbangan horizontal, keseimbangan vertikal, keseimbangan
radikal.
c. Pusat Perhatian, pada desain tekstil pusat perhatian ini lebih dikenal
dengan eye cathers yang terwujud oleh motif (ragam hias) dan warna serta
tekstur. Untuk dapat menarik perhatian tersebut, suatu ciri visual bagian
hendaknya dikontraskan dengan daerah sekitarnya
Adapun unsur-unsur desain menurut Nanang Rizali diantaranya garis, bentuk,
warna, dan tekstur.
a. Garis, merupakan pertemuan beberapa titik. Menurut Rizali garis dibagi
menjadi dua yaitu, garis bersifat grafis ( calligraphic mark), dan garis
yang bersifat/menjadi pengikat ruang, massa, warna dan bentuk
(structural line).
b. Bentuk, Sebuah garis yang dihubungkan akan membentuk suatu daerah
yang disebut bentuk (Rizali, 2006: 52).
49
c. Warna, penggunaan atau penerapan warna memberikan ciri atau karakter
pada sebuah desain, misalnya warna monokromatik untuk pakaian dengan
bahan kain tipis.
d. Tekstur, dapat dibentuk melalui penciptaan dan desain struktur misalnya
melalui proses pertenunan, beberapa cara dan teknik akan membantu
dalam membuat efek – efek tekstur sekaligus menambah variasi pada
unsur desain yang lain.
Tahapan penting dalam rangkain proses desain tekstil adalah
mempertimbangkan berbagai aspek secara terpadu seperti aspek fungsi, estetika,
bahan, proses dan mode.
a. Aspek fungsi adalah pemikiran yang berhubungan dengan pemakai tekstil,
misalnya untuk busana, dengan memperhatikan usia pemakai dan
tingkatan golongan di dalam masyarakat.
b. Aspek estetika adalah pertimbangan gagasan atau sumber ide dan tema
termasuk olahan ragam hias dan warnanya. Juga diperhitungkan skala
proporsi, pengulangan, komposisi dan teknis penampilan desain.
c. Aspek bahan adalah pertimbangan pemilihan jenis serat benang, struktur
tenunan, sifat dan daya serap atau suai kain.
d. Aspek proses adalah teknik produksi yang dapat dilakukan melalui
berbagai teknik dengan memperhatikan kemampuan daya produksi dan
pengulangan.
50
e. Aspek mode adalah pertimbangan kecenderungan gaya(style) yang
disesuaikan dengan pemakainya, waktu, musim dan tempatnya. Desain
mode secara detail atau styling berada dalam penanganan perancang mode
busana.
2. Kerangka Pikir
Bagan kerangka pikir menjadi gambaran arah penelitian yang akan dilakukan.
Penggunaan kerangka pikir bertujuan untuk memfokuskan proses kajian yang
Gambar 8. Bagan Kerangka Pikir
51
akan dilaksanakan atau yang telah dilaksanakan. Kajian ragam hias batik Lasem
masa kini menjadikan latar belakang masalah pada langkah awal penelitian.
Setelah menentukan latar belakang masalah, kemudian dibentuklah
perumusan masalah.dalam perumusan masalah pertama membahas bagaimana
latar belakang pengembangan ragam hias batik Lasem masa kini,bagaimana
perwujudan ragam hias batik Lasem masa kini dan bagaimana konsep desain
ragam hias batik Lasem masa kini. Setelah melalui perumusan masalah maka
proses penelitian masuk pada tahap pembahasan masalah yang dikaji dengan
menggunakan analisis data.
Kerangka fikir dalam penelitian sangat dibutuhkan supaya penulisan akan
lebih fokus dan lebih mengerucut. Teori yang digunakan untuk membahas
“Kajian Ragam Hias Batik Lasem Masa Kini” menggunakan teori desain Nanang
Rizali.. Pertama menjelasakan tentang latar belakang pengembangan ragam hias
batik Lasem berdasarkan latar belakang ekonomi, sosial budaya dan teknologi.
Kedua membahas tentang perwujudan ragam hias batik Lasem, dimulai dari
penggolongan batik Lasem hingga visualisasi yang dikaji berdasarkan unsur
desain dan prinsip desain. Terakhir menjelaskan tentang konsep desain ragam hias
batik Lasem berdasarkan aspek fungsi, bahan, proses, estetika, trend mode dan
selera konsumen.
52
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan menggunakan penelitian kualitatif diskriptif.
Maksud dari penelitian kualitatif diskriptif untuk mendiskripsikan secara rinci dan
mendalam mengenai latar belakang pengembangan, perwujudan, dan konsep desain
ragam hias batik Lasem di lapangan secara langsung (Sutopo, 2002: 1).
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di Kabupaten Rembang, khususnya kota Lasem. Pada
kabupaten tersebut, terdapat beberapa sentra batik Lasem. Diantaranya adalah Ningrat
Batik Lasem yang terletak di Jl. Lontong Tuyuhan Desa Sumbergirang RT 02/ RW
08 Lasem, Rembang, Jawa Tengah, Batik Tulis Lasem Sekar Kencana yang terletak
di Jl. Babagan RT 04/ RW 04 Lasem, Rembang.
Penelitian dimulai sejak tanggal 12 April 2015-7 Juni 2015 . Waktu penelitian
dimulai dari pukul 11.00-15.00 WIB. Data yang diperoleh mengenai beberapa
pengusaha batik tulis yang ada di daerah lasem. Penelitian pada perusahaan batik tulis
di daerah Lasem dilakukan sejak tanggal 12 April 2015- tanggal 7 Juni tahun 2015.
C. Teknik Cuplikan
Teknik sampling berkaitan dengan pembatasan jumlah dan jenis dari sumber
data yang akan digunakan dalam penelitian. Pembatasan sumber data menjadi penting
53
supaya data yang dianalisis lebih mengerucut. Proses pengumpulan data bentuknya
khusus atau proses bagi pemusatan. Teknik sampling yang digunakan adalah
purposive sampling. Pilihan sampling diarahkan pada sumber data yang dipandang
memiliki data yang penting berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti
(Sutopo, 2006:35). Sampel yang diambil dalam penelitian ini ada dua sampel, yaitu
sampel perusahaan dan sampel karya batik.
D. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
1. Sumber Data
Data atau informasi yang dikumpulkan berupa data kualitatif. Informasi
tersebut terdiri atas berbagai macam sumber data dan jenis sumber data yang
dimanfaatkan untuk penelitian (Sutopo, 2002: 49). Sumber data yang
dipergunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Narasumber (Informan)
Narasumber yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengusaha yang
sejak dahulu hingga sekarang memproduksi batik tulis Lasem yaitu Sigit
Witjaksono pemilik batik tulis Lasem Sekar Kencana yang beralamatkan di
Jl. Babagan 4/4 Lasem, Rembang, Rifa’I pemilik usaha Ningrat Batik
Lasem yang beralamatkan di Jl. Lontong Tuyuhan Desa Sumbergirang 2/8
Lasem, Rembang, dan Winarni pemilik Showroom Kampoeng BNI Batik
Tulis Lasem.
54
b. Tempat dan Aktivitas
Tempat atau lokasi berkaitan dengan sasaran atau permasalahan
penelitian. Informasi mengenai kondisi dari suatu pristiwa atau aktivitas
dapat dilakukan dengan menggali sumber lokasinya baik berupa tempat
maupun lingkungannya.
Tempat yang dimaksud adalah suatu tempat yang didalamnya terdapat
aktivitas pembatikan. Tempat dan aktivitas pembatikan yang penulis pilih
adalah Ningrat Batik Lasem dan Batik Sekar Kencana. Alasan memilih
kedua perusahaan tersebut adalah dari beberapa perusahaan batik yang ada
di Lasem, kedua perusahaan tersebutlah yang paling eksis dalam dunia
perbatikan batik Lasem. Penulis mengamati aktivitas-aktivitas pembatikan
yang ada di kedua perusahaan tersebut mulai dari proses produksi batik
hingga proses pemasaran.
c. Benda
Beragam benda yang digunakan dalam suatu peristiwa atau kegiatan
berupa benda sederhana sampai peralatan paling rumit yang bisa menjadi
sumber data penting untuk dimanfaatkan dalam penelitian (Sutopo, 2002:
53).
Benda yang dijadikan sumber data adalah produk batik Tulis. Produk
yang dijadikan sumber data ada tiga yaitu batik tulis Lasem sekar jagad
karya Rifa’I, batik tulis Lasem synografi true love karya Sigit Witjaksono,
dan batik Lasem tiga negeri kontemporer karya Winarni. Ketiga produk
55
batik tersebut merupakan karya terbaru yang mereka produksi pada awal
tahun 2015.
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Untuk mengumpulkan informasi dari sumber data, diperlukan
wawancara, dalam penelitian kualitatif merupakan teknik yang dilakukan
dilapangan. Wawancara akan dilakukan pada sebagian informan pengusaha
batik tulis di daerah Lasem kabupaten Rembang. Informan yang diambil
adalah pengusaha yang sudah lama menggeluti dan memproduksi batik tulis
Lasem serta pengusaha yang baru memulai usaha memproduksi batik tulis
Lasem. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mengetahui latar belakang
perkembangan ragam hias batik Lasem serta konsep desain batik Lasem.
b. Observasi
Teknik observasi dilakukan untuk menggali data dari sumber data
yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi, benda, dan rekaman gambar.
Observasi ini diperlukan untuk mengetahui visual ragam hias batik Lasem,
benda-benda serta kejadian yang ada di lokasi. Observasi ini memilih
observasi berperan pasif.
Observasi berperan pasif merupakan observasi yang dilakukan dengan
mendatangi peristiwanya. Kehadiran peneliti di lokasi sudah menunjukkan
peran yang paling pasif, sebab kehadiran peneliti sebagai orang asing
diketahui oleh yang diamati.
56
E. Validitas Data
Dalam penelitian kualitatif ini, data yang dikumpulkan perlu diusahakan
kemantapan dan kebenarannya. Artinya bahwa dalam penelitian ini harus ditentukan
cara guna meningkatkan validitas data yang diperoleh demi kemantapan kesimpulan
dan interpretasi makna hasil penelitian. Proses penelitian dikumpulkan data untuk
menjamin validitas data dengan menggunakan teknik trianggulasi.
Triangulasi data yaitu teknik mengumpulkan data yang sejenis dari beberapa
sumber data yang berbeda, misalnya sumber data berupa informan, arsip, dan
peristiwa. Dengan demikian data yang diperoleh dari sumber yang satu teruji dengan
data yang sama dari sumber yang berbeda.
Kajian dilakukan untuk mengkaji produk yang sama dengan sumber yang
berbeda-beda. Data yang berbeda diperoleh dari bentuk ragam hias, jenis proses batik
tulis, dan lain sebagainya. Selain itu menganalisa kesamaan dan perbedaan desain
ragam hias batik Lasem.
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ragam hias batik Lasem ini
adalah model analisis interaktif. Dalam model analisis ini peneliti bergerak di dalam
komponen analisis, yaitu reduksi data (data reduction), sajian data (data display), dan
penarikan kesimpulan atau verifikasi, sedangkan aktivitasnya dilakukan dalam bentuk
inetraktif dengan proses pengumpulan datanya sebagai proses siklus (Sutopo, 2002:
91). Jadi, dalam bentuk ini peneliti akan bergerak di antara empat komponen
(termasuk komponen pengumpulan data), selama proses pengumpulan data waktu
penelitian ini berlangsung. Setelah pengumpulan data selesai, peneliti bergerak di
57
dalam tiga komponen tersebut, yaitu komponen sajian data, reduksi data, dan
verifikasi.
Gambar 9. Bagan skema teknik analisis interaktif (Sutopo, 2002: 96)
Pengumpulan
data
Reduksi data Sajian data
Penarikan
simpulan/ verifikasi
58
BAB IV
RAGAM HIAS BATIK LASEM MASA KINI
A. Latar Belakang Batik Lasem
1. Profil Kota Lasem
Lasem adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah,
berada sekitar 12 km kearah timur Ibukota Rembang. Dahulu Lasem dikenal sebagai
salah satu kota pelabuhan yang banyak disinggahi kapal-kapal pedagang. Lasem
merupakan kota terbesar kedua di Kabupaten Rembang setelah kota Rembang.
Letaknya yang dilewati oleh jalur pantai utara (pantura), menjadikan kota ini sebagai
tempat yang strategis dalam perdagangan.
Kecamatan ini merupakan salah satu kecamatan di pesisir pantai laut utara
Jawa, berada di tengah-tengah jalan utama yang menghubungkan Semarang (ibukota
Provinsi Jawa Tengah) dan Surabaya (ibukota provinsi Jawa Timur). Dahulu jalan
raya tersebut dikenal sebagai de grotepostweg (jalan raya pos). batas-batas wilayah
meliputi: Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan
dengan Kecamatan Sluke, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pancur,
sebelah barat berbatas dengan Kecamatan Rembang
59
Kecamatan Lasem mempunyai luas wilayah mulai dari pesisir laut Jawa
hingga ke selatan. Di sebelah timur terdapat gunung Lasem. Wilayahnya seluas 4.504
ha. 505 ha diperuntukkan sebagai hutan milik Negara. Jumlah penduduk Kecamatan
Lasem berdasarkan sensus tahun 2005 adalah 47.868 jiwa, terdiri atas 23.846 jiwa
berjenis kelamin laki-laki dan sisanya 24.022 perempuan. Kepadatan penduduk 1.056
jiwa/km. sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, pedagang,
pembuat garam dan terasi serta nelayan.
Dari data statistic diperoleh gambaran bahwa penduduk Lasem sebagian besar
adalah pemeluk agama Islam hal ini dibuktikan dengan adanya banyak pesantren
yang tersebar di kota Lasem, kemudian pemeluk agama Katholik dan Kristen, serta
pemeluk agama Hindu, Budha, dan Confusius. Visualisasi keberagaman agama
Gambar 10. Peta wilayah Kec. Lasem Kab.
Rembang (Foto: wordpress.com )
60
ditunjukkan oleh adanya bangunan-bangunan peribadatan, antara lain masjid,
mushola, gereja, klenteng dan vihara.
Kecamatan Lasem terdiri atas 20 desa yang terbagi ke dalam 84 Rukun Warga
(RW) dan 219 Rukun Tetangga (RT). Dengan ibukota kecamatan di Desa Soditan.
Adapun desa-desa tersebut adalah: Babagan, Binangun, Bonang, Dasun,
Dorokandang, Gedongmulyo, Gowak, Jolotundo, Kajar, Karangturi, Karasgede,
Ngargomulyo, Ngemplak, Selopuro, Sendangasri, Sendangcoyo, Soditan, Sriombo,
Sumbergirang, dan Tasiksono. Empat desa di antaranya berada di lereng Gunung
Lasem yaitu Desa Gowak, Kajar, Sendangcoyo, dan Ngargomulyo, sedangkan lima
desa diantaranya merupakan desa pesisir yang berbatasan langsung dengan Laut
Jawa. Lima desa tersebut adalah; Bonang, Dasun, Binanguan, Gedongmulyo, dan
Tasiksono.
Sejarah Lasem dapat diketahui dari laporan “Rekontruksi Sejarah Kadipaten
Lasem” garapan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Kabupaten Rembang,
Kadipaten Lasem muncul setelah Tribuwana Wijayatunggadewi membentuk Dewan
Pertimbangan Agung atau Bathara Sapta Prabu pada tahun 1351. Salah satu anggota
Dewan Pertimbangan Agung adalah Dyah Duhitendu Dewi. Setelah menikah dengan
anggota Dewan Perimbangan Agung yang lain, Rajasawardana, Dewi Indu tinggal
dan menjadi penguasa di Lasem dengan gelar Putri Indu Dewi Purnamawulan, yang
kemudian dikenal sebagai Bhre Lasem (Kompas, Sabtu, 5 September 2009). Menurut
buku Serat Badra Santi, Ratu Dewi Indu atau Bhre Lasem masih keponakan raja
Hayam Wuruk (Khamzah, 1858).
61
Pada zaman kolonial status Lasem adalah sebuah Kabupaten. Tetapi sejak
tahun 1750, kabupatennya dipindahkan ke Rembang, diikuti dengan pindahnya
benteng VOC dari kota tersebut pada tahun itu. Sejak tahun 1751 Lasem berstatus
sebagai kecamatan sampai sekarang. Lasem dikenal sebagai “Tiongkok Kecil” karena
merupakan kota awal pendaratan orang Tionghoa di tanag Jawa. Di Lasem terdapat
patung Budha Terbaring yang berlapis emas dan perkampungan Tionghoa yang
sangat banyak dengan rumah-rumah bergaya arsitektur Cina dan Berlangsungnya
upacara-upacara perayaan keagamaan berciri budaya Cina.
Penduduk Cina yang tinggal di Lasem sebagian besar adalah keturunan
hoakio, yaitu masyarakat Tionghoa perantauan yang kebanyakan berasal dari provinsi
Hokian Cina, yang kemudian melakukan pembaruan dengan masyarakat setempat.
Rombongan awal para hoakio ke Lasem semuanya laki-laki. Mereka kemudian
menikah dengan orang-orang dari pesisir Lasem hingga Tuban. 1
Setelah Belanda
berkuasa di Jawa barulah didatangkan para pekerja dari daratan Cina untuk bekerja di
pertambangan dan perkebunan. Mulailah ada perbedaan antara Tionghoa totok dan
Tionghoa peranakan, antara mereka yang pribumi dan pendatang. Pada masa
penjajahan, Belanda menciptakan pemisah stratifikasi berdasarkan keturunan itu.
Pemisah itu semakin tajam setelah terjadi geger Cina, yaitu pemberontakan Cina
terhadap Belanda pada tahun 1740. waktu itu, Lasem menjadi salah satu pusat
perlawanan Cina terhadap Belanda. Penjajah Belanda sengaja menjauhkan orang
Cina dan Jawa agar mereka tidak kembali bersekutu lalu melawan Belanda.
1 1Wawancara dengan Sigit Witjaksono pemilik usaha batik tulis Sekar Kencana Lasem, 10/4/ 2015.
62
Lasem juga dikenal sebagai salah satu sentra batik di Jawa tengah atau
tepatnya di pusat kota Lasem yaitu di jalan Babagan. Batik Lasem merupakan hasil
akulturasi budaya akibat kedatangan pedagang dari berbagai tempat yang singgah dan
berinteraksi dengan masyarakat lokal di kota pelabuhan Lasem. Warna merah cerah
atau sering disebut merah darah ayam mencirikan keunikan batik Lasem. Selain itu,
motifnya mencirikan ornamen atau ragam hias yang dipengaruhi ornamen dari
daratan Cina. Hal ini tidak lepas dari etnis masyarakat Cina yang banyak bermukim
dan juga mengembangkan batik Lasem.
1. Latar Belakang Pengembangan Ragam Hias Batik Lasem
a. Latar Belakang Ekonomi
Berdasarkan latar belakang ekonomi pengerjaan ragam hias batik Lasem
disesuaikan dengan pertimbangan biaya produksi dan permintaan pasar. Batik
lasem memiliki tingkat kerumitan produksi yang berbeda-beda tergantung dari
permintaan konsumen. Batik Lasem dengan ragam hias tingkat kerumitan yang
tinggi tentunya dalam pengerjaannya juga melalui proses dan waktu yang lama,
untuk biaya produksinya pun tentunya juga akan memerlukan biaya yang lebih
banyak. Berbeda dengan batik Lasem dengan ragam hias tingkat kesulitan
sedarhana, batik Lasem dengan ragam hias sederhana proses produksinya
sebentar dan tidak memerlukan banyak biaya, dan tentunya untuk harga batik
lasem dengan ragam hias sederhana jauh lebih murah.
63
Dalam pengerjaan batik Lasem penyesuaian dengan permintaan pasar
sangatlah penting, hal ini dikarenakan konsumen yang ada dipasaran tidak
memiliki selera yang sama, tentunya daya beli mereka pun juga berbeda-beda.
Selera dan daya beli konsumen inilah yang mempengaruhi ragam hias batik
Lasem dalam pengerjaannya. Oleh karena itu pengrajin batik Lasem pada saat
memproduksi karyanya harus memikirkan betul-betul konsumen jenis apa yang
merka targetkan, sehingga dalam pengerjaannya nanti tidak sia-sia dan tepat
sasaran.
b. Latar Belakang Sosial Budaya
Para pengrajin batik Lasem memiliki tingkat ke-egoisan yang tinggi, mereka
sulit menerima perkembangan zaman, mereka mencoba bertahan dengan apa yang
dia punya. Ketika membuat desain untuk ragam hias batik produksi mereke, para
Pengrajin pembatikan Lasem dipengaruhi oleh budaya leluhur mereka, seperti
kepercayaan dan legendanya. Ragam hias batik Lasem memiliki karakter motif
konservatif tradisional, artinya motif batik yang dihasilkan merupakan kreasi
pembatik sendiri yang pengetahuannya diperoleh secara turun temurun dari
generasi ke generasi. 2
Hal ini juga berpengaruh pada pembuatan pola, tidak ada
teknik dan alat khusus, tetapi berdasarkan kebiasaan yang dilakukan para
pembatik sendiri.
Seiring berjalannya waktu para pengusaha batik Lasem mulai menyadari
bahwa ke-egoisannya tidak akan membuat produk batiknya berkembang dan
2 2Wawancara dengan Sigit Witjaksono pemilik usaha batik tulis Sekar Kencana Lasem, 10/4/ 2015.
64
maju. Mereka menyadari bahwa dalam produk batiknya diperlukan sebuah
inovasi atau ide-ide baru, sehingga produk mereka akan laku dan bisa bersaing di
pasaran. Akibat munculnya pemikiran-pemikiran itu terciptalah ragam hias
kekinian, atau lebih akrab dikenal dengan sebutan ragam hias kontemporer.
Dalam ragam hias kontemporer ini, para pengrajin batik Lasem menuangkan
semua ekspresinya kedalam sehelai kain batik, mereka berlomba-lomba untuk
menciptakan batik Lasem dengan jenis yang baru. Akan tetapi dalam
pengerjaannya pengrajin batik Lasem tidak meninggalkan karakter batik mereka
yang lama, sehingga karyanya masih memiliki nila kekhasan tersendiri.
c. Latar Belakang Teknologi
Berdasarkan latar belakang teknologi, dalam pengerjaannya para pengrajin
batik Lasem tetap mempertahankan teknologi produksi lama, yaitu dengan
menggunakan teknik batik tulis. Perkembangan zaman dan teknologi tidak
mempengaruhi perubahan teknik pada produksi batik Lasem. Pengusaha batik
Lasem lebih memilih mempertahankan teknik batik tulis karena mereka
menginginkan produk yang ekslusif. Disebut ekslusif karena dalam pengerjaan
ragam hiasnya manual menggunakan goresan tangan dengan alat bantu canting.
Ragam hias dengan teknik batik tulis dengan ragam hias batik cap memiliki nilai
keindahan yang berbeda, tentunya ragam hias dengan menggunkan teknik batik
tulislah yang memiliki nilai keindahan yag lebih tinggi dan berkesan ekslusif.
Oleh karena itu walaupun sudah berkembang dengan adanya tenologi modern,
65
batik cap, dan batik printing para pengrajin batik Lasem lebih memilih
mempertahankan teknologi tradisional dengan pertimbangan nilai ekslusif.
Teknologi pewarnaan yang digunakan pengrajin batik Lasem menggunakan
bahan warna kimiawi/sintetis. Bahan warna kimia dipilih dengan alas an efisiensi
waktu (lebih cepat pengerjaannya), keawetan warna, dan kesulitan untuk
mendapat bahan pewarna alami. Pada prinsipnya terdapat empat teknik
pewarnaan yang diterapkan untuk membuat batik Lasem, yaitu berupa cem, celup,
semprot dan colet.
1) Cem, yakni bahan warna dan kain batik direbus dan direndam hingga
lama, sehingga warna bersenyawa dengan kain. Dengan cara ini warna
bisa bertahan berabad-abad kinclong, bahkan makin kinclong. Teknik
ini membutuhkan waktu dan proses yang lama.
2) Celup (gledek), kain dicelup ke dalam air yang sudah diberi bahan
warna. Kebanyakan pengrajin batik Lasem menggunakan teknik ini,
untuk kualitas pewarnaan tidak sebagus teknik cem-ceman.
3) Semprot, bahan warna disemprotkan ke kain batik.
4) Colet, memberikan warna dengan cara mencoletkan pewarna dengan
kuas pada ragam hias batik. prosesnya cepat, murah, dapat membuat
multi warna. Kelemahannya hasil akhir warna tidak maksimal karena
tidak bisa merata, tidak tahan lama dan berkesan kurang artistik.
66
2. Perwujudan Ragam Hias Batik Lasem
1. Penggologan Batik Lasem
Penggolongan batik Lasem dibagi menjadi tiga golongan, diantaranya
batik klasik/rakyat, batik laseman dan batik kontemporer. Pembagian golongan
tersebut berdasarkan tekhnik produksi, warna dan ragam hias yang terdapat pada
batik Lasem.
a. Batik Klasik / Rakyat
Batik klasik / batik rakyat adalah batik dimana pengerjaannya
menggunakan teknik klasik yaitu menggunakan canting dengan cara di
torehkan di atas kain atau biasa di sebut dengan teknik tulis. 3
Batik klasik ini
memiliki ciri khas pada warna yang sangat bervariasi seperti sogan, kuning,
jingga, ungu, biru, hijau, dan putih, tetapi tidak meninggalkan warna khas
Batik Lasem, yaitu warna merah menyala atau biasa dikenal dengan sebutan
merah darah ayam. Selain itu ragam hias jenis atau golongan batik ini juga
menceritakan tentang kondisi rakyat lasem pada saat itu, sebagai contoh batik
Lasem motif watu krecak / watu pecah, motif ini berdasarkan inspirasi atas
penderitaan rakyat Lasem saat dipaksa memecah batu untuk bahan pembuatan
Jalan Raya Pos (tahun 1808) pada masa kekuasaan Gubernur Jenderal Hindia
Belanda Daendels. 4
3 3Wawancara dengan Rifa’i pemilik usaha Ningrat Batik Lasem 6/4/ 2015.
4 4Wawancara dengan Sigit Witjaksono pemilik usaha batik tulis Sekar Kencana Lasem, 10/4/ 2015.
67
Batik klasik / rakyat merupakan batik yang menjadi bagian dari tradisi
budaya masyarakat Lasem dan sudah menjadi ciri khas daerah Lasem,
sehingga pada beberapa motif dan warna merupakan cerminan dari kondisi
masyarakat dan alam lingkungan yang ada di sekitar kota Lasem sebagai
simbol trasisi hingga sekarang.
Gambar 11. Batik lasem sekar krecak karya Rifa’i (Foto:
Syaiful 2015)
Gambar 12. Batik lasem sekar jagad karya Sigit
Witjaksono (Foto: Syaiful 2015)
68
Gambar 13. Batik lasem sekar jagad karya Rifa’i
(Foto: Syaiful 2015)
Gambar 14. Batik lasem sekar gunung ringgit
karya jeng Ida (Foto: Syaiful 2015)
69
b. Batik Laseman
Dalam perkembangannya batik Lasem dipengaruhi oleh unsur-unsur seni
dan budaya dari negeri seberang, yaitu orang-orang dari negeri Cina dan
Campa yang datang ke Lasem dan membaur dengan penduduk lokal yang
lambat laun melahirkan akulturasi budaya yang positif dan kaya. Akulturasi
budaya inilah yang kemudian memunculkan batik Laseman.
Batik tulis Laseman adalah batik yang memiliki ragam hias dengan
goresan Cina. 5
Motif batik Laseman mengambil dari tradisi kepercayaan Cina
yang banyak dikenal oleh masyarakat seperti Naga, Lok Can, merak, kupu-
kupu, mawar, lotus, seruni dan lainnya. Penggarapannya dengan cara
5 5Wawancara dengan Sigit Witjaksono pemilik usaha batik tulis Sekar Kencana Lasem, 10/4/ 2015.
Gambar 15. Batik lasem sekar latohan karya Rifa’i
(Foto: Syaiful 2015)
70
mengubah dan menggabungkan motif dari yang satu dengan yang lainnya dan
tidak menghilangkan ciri khas yang ada atau karakter dasar dari batik Lasem.
Gambar 16. Batik lasem the dragon karya jeng Ida
(Foto: Syaiful 2015)
Gambar 17. Batik lasem synografi true love karya Sigit
Witjaksono (Foto: Syaiful 2015)
71
Gambar 18. Batik lasem bledak sekar merak karya
Rifa’i (Foto: Syaiful 2015)
Gambar 19. Batik lasem lok can karya jeng Ida
(Foto: Syaiful 2015)
72
c. Batik Kontemporer
Kontemporer berarti masa yang sezaman dan berkembang saat ini.
istilah ini tidak merujuk pada suatu karakter, identitas atau gaya visual
tertentu, karena istilah ini menunjuk pada sudut waktu, sehingga yang terlihat
adalah trend yang terjadi dan banyak mewarnai pada suatu masa/ zaman
(Susanto, 2011:355)
Batik kontemporer merupakan karya batik yang berkembang pada
masa kini atau sekarang, yang tidak memiliki ketentuan seperti pada batik
klasik dan lebih menonjolkan ekspresi bebas dalam pembuatannya. Batik
kontemporer juga dikenal dengan sebutan corak baru atau gaya baru, dimana
perkembangannya menuntut dengan selera pasar. Warna-warnanya pun juga
Gambar 20. Batik lasem merak ngibing karya Sigit
Witjaksono (Foto: Syaiful 2015)
73
sangat beragam, sehingga seni batik ini sangat banyak diminati oleh oleh
semua golongan masyarakat. Adapun beberapa contoh motif batik Lasem
kontemporer adalah batik Lasem tiga negeri kontemporer, motif pagi sore,
motif siang malam, tumpal clorot.
Gambar 21. Batik lasem tiga negeri kontemporer karya
bu Win (Foto: Syaiful 2015)
74
Gambar 22. Batik lasem es dawet pagi sore karya
jeng Ida (Foto: Syaiful 2015)
Gambar 23. Batik lasem pagi sore karya Rifa’i
(Foto: Syaiful 2015)
75
Gambar 24. Batik lasem es teh karya jeng Ida
(Foto: Syaiful 2015)
Gambar 25. Batik lasem tiga negeri es tehan
karya jeng Ida (Foto: Syaiful 2015)
76
2. Visual Ragam Hias Batik Lasem
a. Unsur-Unsur Desain (garis, bentuk, dan warna)
1) Batik Lasem Klasik
Secara visual garis yang digunakan dalam batik Lasem klasik sekar
jagad menggunakan jenis calligraphic mark. Garis ini memiliki ciri-ciri
seperti garis lurus, garis lengkung, bengkok, patah, bergelombang dan
lain sebagainya (Rizali, 2006:49).
¢
Gambar 26. Garis yang diterapkan pada
batik Lasem sekar jagad karya Rifa’i
menggunakan garis calligraphic mark
(Foto: Syaiful 2015)
Garis bergelombang
Garis lengkung
Garis lurus
Garis patah
77
Ornament / ragam hias dari batik Lasem sekar jagad mengambil ide
bentuk dari bunga kangkung yang telah distilasi. Bunga kangkung menjadi
hiasan utama dalam batik sekar jagad dan di dukung oleh stilasi kupu-
kupu yang turut menghiasi batik tersebut. Untuk isen-isennya
menggunkan ragam hias isen-isen khas Lasem diantaranya, latohan,
palangan, krecakan, blarak sakimit dan uler-uleran dan sawat, sedangkan
ragam hias tepi atau tumpal menggunakan ragam hias geometris.
Kupu-kupu
Bunga Kangkung
Gambar 27. Ragam hias utama
Batik lasem sekar jagad karya Rifa’i (Foto:
Syaiful 2015)
78
Latohan
Krecakan
Palangan
Blarak sakimit
Sawut
Gambar 28. Ragam hias isen
Batik Lasem sekar jagad karya Rifa’i (Foto:
Syaiful 2015)
Gambar 29. Ragam hias tepi (geometris) batik Lasem
sekar jagad karya Rifa’i (Foto: Syaiful 2015)
79
Warna merupakan salah satu unsur rupa yang sangat besar
pengaruhnya dalam tata rupa, di samping unsur bentuk. Warna tidak dapat
berdiri sendiri dalam membentuk keindahan, karena masih banyak unsur
lain yang mempengaruhinya. Fungsi warna adalah untuk
menyempurnakan bentuk dan memberikan karakter terhadap karya
seni/desain.
Warna yang digunakan pada batik Lasem sekar jagad menggunakan
skema warna split komplementer yaitu skema warna yang saling
berseberangan letaknya dalam lingkaran warna. Warna yang digunakan
antara lain adalah merah dan hijau dengan latar hitam.
Merah
Hijau
Gambar 30. Skema warna split-
komplementer batik Lasem sekar jagad karya
Rifa’i (Foto: Syaiful 2015)
80
2) Batik Laseman
Menurut Rizali Terdapat dua sifat garis dalam desain yaitu garis yang
bersifat grafis dan garis yang bersifat pengikat ruang, massa, warna dan
bentuk. Garis bersifat grafis (calligraphic mark) adalah garis yang nampak
seperti garis lurus,garis lengkung, bengkok, patah, bergelombang dan lain
sebagainya. Sedangkan Garis bersifat pengikat ruang, massa, warna
bentuk (structural line) Pada hakikatnya garis ini tidak ada dan tidak jelas,
secara tergambarkan tidak terlihat. Garis ini merupakan suatu ilusi
(sugesti). Garis ilusi pada suatu desain tekstil banyak pula dipergunakan
untuk mengikat atau menyatukan bagian-bagian dari motif atau pola
sebuah desain (Rizali, 2006:49).
Garis yang digunakan pada batik Lasem synografi true love ini
menggunakan kedua jenis garis tersebut. Lebih jelasnya perhatikan
gambar di bawah ini:
81
Ide bentuk ragam hias batik Lasem synografi true love mengambil dari
kata2 mutiara Cina diharmonisasikan dengan flora fauna khas Lasem yang
telah di gayakan atau di stilasi. Ragam hias flora fauna khas Lasem antara
lain latohan, burung hong, sekar, ikan dan bintang laut. Untuk ragam hias
isen-isennya menggunakan ragam hias khas Lasem itu sendiri diantaranya
cecek, cecek pitu, sisik melik, blarak sakimit dan sawut. Sedangkan ragam
hias tepi atau tumpal menggunakan ragam hias geometris.
calligraphic mark
structural line
Gambar 31. Penggunaan calligraphic mark
dan structural line pada batik Lasem
synografi true love karya Sigit
Witjaksono(Foto: Syaiful 2015)
82
Gambar 32. Ide bentuk ragam hias utama
batik Lasem synografi true love karya Sigit
Witjaksono (Foto: Syaiful 2015)
Huruf Cina
Burung Hong
Bintang Laut
Ikan
Sekar
Latohan
Gambar 33. Ragam hias isen-isen batik Lasem
synografi true love Sigit Witjaksono(Foto: Syaiful
2015)
Cecek
Sisik melik
Sawut
Cecek pitu
Blarak sakimit
83
Warna yang digunakan pada batik Lasem synografi true love
menggunakan skema warna triadik. Skema warna triadik merupakan
warna-warna yang terletak pada titik sudut segitiga sama sisi dalam
lingkar warna. Warna-warna yang digunakan antara lain adalah merah,
kuning, biru.
3) Batik Kontemporer
Garis yang digunakan pada produk batik tulis Lasem tiga negeri
kontemporer menggunakan garis bersifat grafis (calligraphic mark).
Gambar 34. Ragam hias geometri pada tepi
batik Lasem synografi true love karya Sigit
Witjaksono (Foto: Syaiful 2015)
84
Bentuk utama dari batik Lasem tiga negeri kontemporer mengambil
bentuk ragam hias geometri. Ragam hias geometri dalam batik Lasem tiga
negeri kontemporer muncul sebagai inti dan merupakan unsur estetik
dalam bentuk ornamen arsitektural. Pola bentuk yang digunakan
menggunakan pola bidang, hal ini bisa kita lihat dari pengulangan bidang
segitiga sehingga menimbulkan kesan zig zag. Ide bentuk ornamen
pendukung/ pengisi mengmabil ide bentuk sekar/flora. Ragam hias sekar
ini dalam penggayaannya menggunakan jenis stilasi, yaitu
penyederhanaan bentuk dari alam dengan mengambil intinya saja tetapi
masih ada sifat-sifat dari alam itu. sedangkan ragam hias isen-isennya
menggunkan jenis isen-isen cecek, cecek sawut, cecek pitu, uler-uleran,
cantel dan blarak sakimit.
Garis lurus
Garis bergelombang
Garis lengkung
Gambar 35. Penggunaan calligraphic mark
pada batik Lasem tiga negeri kontemporer
karya bu Win(Foto: Syaiful 2015)
85
Gambar 36. Ragam hias geometri sebagai inti pada batik
Lasem tiga negeri kontemporer karya bu Win (Foto:
Syaiful 2015)
Gambar 37. Ragam hias pendukung berupa stilasi
sekar pada batik Lasem tiga negeri kontemporer
karya bu Win (Foto: Syaiful 2015)
86
Warna yang digunakan pada batik Lasem tiga negeri kontemporer
menggunkan skema warna tetradic. skema warna tetradic adalah skema
warna melibatkan dua pasangan yang saling melengkapi secara
bersamaan. warna-warna yang digunakan dalm batik Lasem tiga negeri
kontemporer adalah merah, oranye dan biru, ungu.
Cantel
Cecek pitu
Uler-uleran
Blarak sakimit
Cecek
Gambar 38. Ragam hias isen-isen pada
batik Lasem tiga negeri kontemporer
karya bu Win (Foto: Syaiful 2015)
Sawut
87
b. Prinsip dan Kriteria Desain (irama, keseimbangan, dan pusat perhatian)
Terkait dengan kajian desain ragam hias batik Lasem, digunakan teori
desain yang diutarakan oleh Rizali dalam bukunya Tinjauan Desain Tekstil,
menuliskan bahwa desain mempunyai beberapa aspek yang perlu
dipertimbangkan, sehingga pada akhirnya akan dicapai suatu kesatuan (unity)
secara menyeluruh. Untuk mencapai suatu kesatuan (unity) organisasi yang
baik, sebuah desain memiliki kriteria dan prinsip yang perlu mendapat
perhatian dari seorang desainer. Adapun prinsip-prinsip desain menurut
Nanang Rizali adalah irama, keseimbangan, pusat perhatian dan tekstur
khususnya pada desain tekstil (Rizali, 2006: 43).
Gambar 39. Skema warna tetradic pada batik Lasem
tiga negeri kontemporer karya bu Win (Foto: Syaiful
2015)
88
1) Batik Lasem Klasik
Gambar 40. Batik sekar jagad karya Rifa’i (Foto: Syaiful 2015)
Kriteria dan prinsip desain yang pertama adalah irama, irama
merupakan suatu susunan dalam seluruh desain. irama terbentuk karena
pengulangan (repetition) dan gerakan (movement) (Rizali, 2006: 43).
Irama dalam batik Lasem sekar Jagad terbentuk dari pengulangan
ornament/ ragam hias utama yaitu bunga kangkung yang di ulang secara
horizontal, ragam hias isen-isen yang menyebar ke seluruh permukaan
background, serta warnanya yang mencolok cirri khas batik pesisiran.
Selain irama, keseimbangan juga perlu dipertimbangkan. Pada desain,
keseimbangan (balance) adalah suatu kondisi atau kesan optimis, tentang
kesan berat, tekanan, tegangan dan kesetabilan. Faktor atau variabel
pendukung keseimbangan adalah posisi atau penempatan, ukuran,
89
proporsi, kualitas dan arah dari unsur – unsur itu (Rizali, 2006: 45).
Keseimbangan pada batik Lasem menggunakan keseimbangan simetris,
dimana tipe keseimbangan ini paling sederhana dan nyata. Hal ini dapat
dilihat dari ornament utama bunga kangkung yang didistribusikan secara
sama pada kedua belah sisi sumbu kiri dan kanan, sehingga keduanya
merupakan repetisi identik.
Gambar 41. Batik sekar jagad karya Rifa’i dengan keseimbangan simetris
(Foto: Syaiful 2015)
Setiap bagian tertentu dari suatu desain hendaknya memiliki perhatian
atau tingkat dominan yang layak atau pantas. Untuk dapat menarik
perhatian tersebut, suatu ciri visual bagian hendaknya dikontraskan
dengan daerah sekitarnya. Bagian yang mendominasi ini akan menjadi
90
pusat perhatian yang apabila disebarkan dalam suatu ukuran susunan akan
menciptakan daerah yang spesifik (Rizali, 2006: 45). Yang menjadi pusat
perhatian dari batik Seakar jagat ada pada warnanya, terutama warna yang
ada di ornament/ragam hias bunga kangkung yang lebih mencolok
dibandingkan warna background.
2) Batik Laseman
Irama dalam batik Lasem synografi true love terbentuk dari
stailisasi huruf atau kalimat mutiara Cina, diharmonisasikan dengan
stailisasi sekar, latohan, burung dan fauna laut yang disusun secara rapi.
Komposisi warna yang digunakan juga memunculkan irama tersendiri.
Keseimbangan pada batik Lasem synografi true love sama halnya
dengan kebanyakan batik Lasem lainnya, yaitu menggunakan jenis
Gambar 42. Batik synografi true love karya Sigit Witjaksono
(Foto: Syaiful 2015)
91
keseimbangan simetris. Hal ini dapat kita lihat dari penulisan kalimat
mutiara cina yang disusun secara horizontal dan tata letak penyusunan
ragam hias lainnya yang ditata secara sempurna.
Pusat perhatian dari batik synografi tentunya ada pada penulisan
kalimat mutiara Cina. Hal ini bisa dipastikan setiap pembeli yang melihat
produk batik synografi ini pasti penasaran dengan apa maksud dibalik
penulisan huruf cina yang terkandung dalam batik tersebut. Maksud dari
penulisan huruf cina ini adalah mendoaakan, mendoakan siapa saja yeng
mengenakan batik ini agar menemukan cinta sejati tutur Sigit Witjaksono.
Gambar 43. Keseimbangan simetris yang muncul
dari penulisan huruf cina yang ditulis secara
horizontal (Foto: Syaiful 2015)
92
Arti sebenarnya dari penulisan huruf Cina itu adalah "Bila dua hati sedang
membara dan saling menempel, maka cinta kasih akan kekal dan abadi".
3) Batik Kontemporer
Irama dalam batik Lasem tiga negeri kontemporer ini muncul karena
adanya pengulangan ukuran, bentuk atau garis yang beraturan dengan
jarak dan bentuk yang sama. Hal ini bisa kita saksikan dimana ragam hias
batik Lasem tiga negeri kontemporer dalam penyusunannya terjadi
pengulangan bentuk yaitu ragam hias flora dengan ukuran yang sama dan
pengulangan garis zig zag dengan jarak yang sama. Walaupun ini
termasuk irama yang sederhana tpi tetap memiliki kesan yang istimewa.
Kesan istimewa ini dikarenakan dalam penyusunannya menggunakan
tingkat ketelitian dan kecermatan yang tinggi.
Gambar 44. Batik lasem tiga negeri kontemporer
karya bu Win (Foto: Syaiful 2015)
93
Keseimbangan pada batik Lasem tiga negeri kontemporer ini sama
halnya dengan kebanyakan batik Lasem lainnya, yaitu menggunakan jenis
keseimbangan simetris. Hal ini dapat kita lihat dari cara penataan dan
penempatan ragam hiasnya yang di susun secara zig-zag dan horizontal.
Ukuran proporsi dan bentuk dari ragam hiasnya juga sama serta di ulang-
ulang. Karena itulah keseimbangan dalam batik Lasem tiga negeri
kontemporer ini terkesan statis dan monotone.
Gambar 45. Irama yang muncul karena adanya pengulangan
ukuran, bentuk atau garis yang beraturan dengan jarak dan
bentuk yang sama pada batik Lasem Kontemporer (Foto:
Syaiful 2015)
94
Pusat perhatian dari batik Lasem tiga negeri kontemporer ada pada ragam
hias geometrinya yang berbentuk zig zag. Berbeda dari penggamabaran batik
lasem tiga negri klasik. Batik Lasem tiga negri klasik biasanya menggunakan
pola buketan dengan ragam hias stilasi flora, sedangkan batik Lasem tiga
negeri kontemporer mencoba mengekplorasi gaya baru dengan menggunakan
pola geometri pada ragam hiasnya. Dan ternyata hal ini lah yang menjadikan
daya tarik tersendiri dari batik Lasem tiga negeri kontemporer.
Gambar 46. Keseimbangan simetris pada batik Lasem
tiga negeri kontemporer karya bu Win (Foto: Syaiful
2015)
95
3. Konsep Desain Ragam Hias Batik Lasem
1. Persyaratan Desain Batik Lasem
a. Fungsi
Selain berupa kain batik tulis, pengrajin batik tulis Lasem juga memproduksi
berbagai produk batik tulis fungsional. Produk batik tulis fungsional adalah
produk batik tulis yang bisa langsung dikenakan oleh konsumen. Jenis produk
fungsional antara lain produk pakaian jadi, diantaranya kemeja pria, blus wanita
dan pakaian anak
Pakaian adalah suatu produk fungsional. Pakaian digunakan untuk melindungi
tubuh manusia dari cuaca yang berupa baju, celana dan rok. Pengrajin batik tulis
Lasem memproduksi pakaian jadi berupa pakaian jenis kemeja, dan blus. Pakaian
yang diproduksi adalah pakaian untuk remaja dan dewasa.
Jenis pakaian jadi yang diproduksi adalah pakaian semi formal dan pakaian
formal.Pakaian ini dibuat dengan menggunakan ukuran standard yaitu S,M,L dan
XL. Pemberian ukuran ini dikarenakan setiap konsumen memiliki ukuran yang
berbeda-beda. Produk pakaian jadi yang diproduksi oleh pengrajin batik Lasem
sebagai berikut:
96
Gambar47. Kemeja pria karya jeng Ida
(Foto: Syaiful 2015)
Gambar48. Blus wanita karya Rifa’i (Foto:
Syaiful 2015)
97
Gambar 49. Pakaian anak karya Rifa’i (Foto:
Syaiful 2015)
Gambar 50. Pakaian anak karya Rifa’i
(Foto: Syaiful 2015)
98
b. Bahan dan Alat Produksi
Aspek bahan adalah pertimbangan pemilihan jenis serat benang, struktur
tenunan, sifat dan daya serap atau suai kain.
Kualitas batik tulis bagus tidak dilihat dari motifnya saja namun dapat dilihat
dari segi bahan yang digunakan misal kain,bahan warna dan malam. Bahan-bahan
yang digunakan untuk pembuatan batik adalah:
1) Kain
Kain sebagai media batik tulis Lasem adalah kain mori jenis primissima.
Baik tidaknya kualitas mori ditandai dengan kerapatan serat kain atau halus
kasarnya kain. Mori kualitas terbaik adalah mori cap Kereta Kencana,
sedangkan mori kualitas menengah adalah mori cap Gamelan. Kedua jenis
mori ini di produksi PT. Primissima, Medari, Sleman. Yogyakarta. Pembatik
dapat membelinya dalam bentuk piece di pabriknya langsung atau sudah
dalam bentuk potongan yang dapat dibeli di luar pabrik atau juragan.
Pengrajin batik Lasem selain menggunakan mori jenis primissima juga
menggunakan jenis bercolin (sanforized), buatan Sandratex. Primissima dan
bercolin dibeli di Pasar Klewer, Solo. Sesuai dengan permintaan pasar, maka
pembatik Lasem juga menggunakan sutera sebagai salah satu jenis bahan
untuk membatik.
99
2) Lilin (malam)
Lilin atau malam adalah bahan yang dipakai untuk menutup permukaan
kain sesuai dengan gambar motif batik, sehingga permukaan yang tertutup
malam akan menolak warna pada proses pewarnaan. Para pengrajin atau
pengusaha batik biasanya tidak memproduksi sendiri malam tersebut. Mereka
membeli di toko-toko tertentu dalam bentuk padat dan siap pakai. Dalam arti
mereka tinggal mencairkannya saja. Tetapi ada juga pengrajin yang meracik
sendiri malam sesuai dengan kebutuhannya. Bahan-bahan untuk membuat
malam antara lain gondorukem, damar matakucing, microwax, lemak hewan,
kote, dan lilin limbah bekas nglorod. Tiap pengusaha batik mempunyai
komposisi bahan-bahan tersendiri untuk membuat malam.
Malam dibedakan menjadi dua jenis sesuai dengan fungsinya yaitu malam
klowongan dan malam tembokan. Secara fisik, malam klowongan dan malam
tembokan warnanya berbeda. Malam tembokan berwarna coklat muda,
sedangkan malam klowongan berwarna coklat tua. Perbedaan ini dikarenakan
takaran bahan untuk membuat malam tembokan berbeda dengan malam
klowongan. Malam tembokan dibuat harus lebih kuat melekat pada kain,
namun tetap mudah dilorod dibandingkan dengan malam klowongan.
3) Zat Pewarna
Zat warna batik adalah warna tekstil yang dapat untuk memberi warna
pada batik. Jenis zat warna yang dapat digunakan pada batik adalah zat warna
100
yang bersifat dingin. Alasannya jika pewarnaan pada batik menggunakan jenis
pewarnaan bersifat panas maka lilin yang melekat pada batik akan meleleh.
Zat warna yang digunakan pada proses batik tulis di Sukoharjo adalah zat
warna alam dan sintetis. Jenis zat warna yang digunakan pada pewarnaan
alami adalah dari tanaman indigo, soga, tegeran, jambal dan secang. Jenis zat
warna sintetis yang digunakan adalah zat warna naptol dan remazol.
Sementara itu, peralatan yang digunakan terdiri atas canting, gawangan,
dingklik, panci, kompor, sabut kelapa, paku/ kawat, dan celemek.
1) Canting
Sebuah alat yang digunakan untuk menorehkan lilin (malam). Alat ini
terbuat dari plat tembaga atau kuningan dengan gagang dari kayu, bambu,
atau batang rumput gajah (king grass). Penggunaan canting dari plat tembaga
atau kuningan dengan perbedaan gagang kayu atau rumput gajah tidak
berpengaruh terhadap hasil batik. Pemilihan bahan canting dan gagang
tergantung kenyamanan pembatik dalam menggunakan canting. Pembatik
Lasem membeli canting dari Pekalongan dengan bahan terbuat dari tembaga
dan gagang bambu.
Berdasarkan fungsinya, dikenal tiga macam canting yaitu canting
klowong, canting isen, dan canting nembok.
101
a) Canting Klowong
Canting klowong merupakan canting yang digunakan pertama kali
dalam proses membatik untuk membuat kerangka dasar motif sesuai
dengan pola yang sudah ada. Cantikng klowong mempunyai lubang
(cerat) untuk keluarnya malam dengan lebar diameter sedang. Artinya
diameter cerat tidak sekecil diameter canting isen, tetapi juga tidak sebesar
canting tembok.
b) Canting Isen
Canting isen merupakan canting untuk membuat isen dalam motif dan
isen latar (di luar motif). Diameter canting isen relatif lebih kecil
dibanding dengan canting klowong dan canting tembok. Canting isen
terdiri atas beberapa macam berdasarkan atas diameter ceratnya. Selain
canting isen dikenal jga canting cecek yang sebenarnya merupakan bagian
dari isen. Namun biasanya lubang cerat canting isen lebih kecil dibanding
canting cecek. Ada juga canting yang merupakan bagian dari canting isen
yaitu canting cerat. Terdapat beberapa macam canting cerat yaitu cerat
dua, cerat tiga, cerat empat, dan cerat lima. Canting tersebut mempunyai
jumlah cerat seperti namanya. Ragam jenis canting itu dapat menghasilkan
dua, tiga, empat dan lima garis atau dua, tiga, empat, dan lima titik.
c) Canting Nembok
102
Canting tembokan atau canting nembok adalah canting yang digunakan
untuk menorehkan lilin pada bidang yang luas. Sesuai dengan fungsinya,
maka canting nembok memiliki lubang cerat terbesar dibandingkan
canting lainnya. Pembatik Lasem mengenal tiga jenis canting tembokan
berdasarkan diameter ceratnya yaitu kecil, sedang, dan besar.
2) Pengapian/ Kompor dan Panci Tempat Memanaskan Lilin
Pengapian/ kompor berfungsi untuk mencairkan malam. Dahulu pengrajin
batik menggunakan tungku sederhana atau anglo kecil dengan bahan bakar
kayu atau arang. Sejak dua dekade ini pengrajin batik beralih menggunakan
kompor barbahan bakar minyak tanah.
Di Lasem, kompor yang digunakan adalah kompor besar, agar dapat
digunakan untuk memanaskan lilin dalam panci alumunium atau panci
tembaga (kenceng). Panci yang biasa digunakan berukuran diameter sekitar 20
cm yang biasa digunakan oleh empat hingga lima pembatik. Oleh karena
dalam mengerjakan batik di ruangan terbuka biasanya anginnya cukup
banyak, untuk mengantisipasi maka kompor di letakkan di dalam kotak kayu
agar api tidak mudah padam oleh hembusan angin.
3) Gawangan dan Dingklik
Gawangan adalah tempat untuk manyampirkan kain yang akan dibatik.
Gawangan dibuat dari beberapa macam bahan seperti bambu dan kayu jati.
103
Gawangan di Lasem pada umumnya dibuat pendek sekitar 55 cm dengan
lebar antara 90 hingga 150 cm. Gawangan dapat dibuat sendiri atau pesan
sesuai ukuran yang diinginkan.
Oleh karena fungsinya hanya untuk menyampirkan kain, maka bentuk
gawangan biasanya terdiri atas dua tiang dan satu batang kayu yang
melintang. Namun, ada pula modifikasi bentuk sesuai dengan kebutuhan
pengrajin. Ukuran gawangan berimplikasi pada posisi tubuh dan tangan saat
membatik. Dalam tahap ini dingklik digunakan sebagai tempat duduk
pengrajin ketika membatik. Selain menggunakan dingklik, ada yang
menggunakan kursi kecil dari kayu. Baik dingklik maupun kursi, keduanya
tidak mempunyai sandaran.
Malam cair sering kali tidak dapat keluar dengan lancar melalui cerat
canting. Oleh karena itu, diperlukan alat untuk memperlancar keluarnya
malam. Alat yang digunakan berupa selembar serat yang tipis dari ijuk atau
sabut kelapa. Bahan ini dipilih karena mudah diperoleh di lingkungan
sekitarnya.
4) Paku/ Kawat
Pada saat membatik, terkadang malam yang ditorehkan pada kain tidak
rapi. Cara untuk menghilangkan malam yang tidak rapi digunakan pangkal
paku/kawat, deterjen, dan air. Pangkal paku dipanaskan di atas kompor,
kemudian malam pada bagian kain yang akan dihilangkan ditetesi air dingin
104
dan diratakan dengan tangan. Pangkal paku yang telah panas digunakan untuk
mengangkat malam, kemudian bekas malam diberi deterjen agar bersih.
5) Celemek
Celemek yaitu kain atau plastik yang ditaruh di atas pangkuan pengrajin
batik agar tetesan malam cair yang panas tidak langsung mengenai kulit, serta
tidak mengotori pakaian mereka.
6) Jegul
Jegul digunakan untuk memoles malam pada bidang yang luas (ngeblok/
nembok), karena terlalu lama jika menggunakan canting tembokan. Proses ini
dinamai nasari atau njeguli. Jegul dibuat dari bambu kecil dan benang lawe
atau kain mori perca yang dililitkan pada ujung bambu. Ada juga jegul yang
dibuat dari rambut manusia atau kuda. Jegul biasanya juga digunakan oleh
para pembatik pada awal mereka belajar membatik, karena menggunakan
jegul lebih mudah daripada canting.
c. Proses dan Teknik Produksi
Aspek Proses adalah teknik produksi yang dapat dilakukan melalui berbagai
teknik dengan memperhatikan kemampuan daya produksi dan pengulangan.
Prosedur proses pembatikan sangat penting untuk diperhatikan. Jika pembatikan
tidak sesuai prosedur maka hasil kain batik tulis yang dihasilkan akan menjadi
tidak sempurna. Dari beberapa jenis batik berdasarkan proses produksinya
105
menurut Sewan Susanto, teknik yang digunakan dalam pembuatan produksi batik
Lasem adalah menggunakan teknik batik lorodan dan teknik batik pekalongan.
Batik lorodan adalah batik menggunakan proses melorod untuk
menghilangkan lilin pada kain. Batik lorodan mengalami proses pelorodan dua kali.
Pada batik lorodan terdapat proses menyoga, yaitu menyelup atau merendam kain di
dalam zat warna coklat atau warna gelap (Sewan, 1980).
Adapun urutan pengerjaan batik tulis Lasem dengan proses lorodan adalah
sebagai berikut :
1) Memotong mori menjadi ukuran kain batik dan di plipit (dijait
pinggirnya).
2) Mengerjakan dengan tahap persiapan, dicuci, diketel, dikanji dan
dikemplong.
3) Mola : penggambaran motif pada kertas
4) Ngeblat: pemindahan motif dari kertas dengan cara pengeblatan
5) Klowongan: pelekatan lilin yang pertama dan lilin ini adalah akan
merupakan kerangka dari motif batik tersebut.
6) Ngiseni : memberi isen-isen pada motif batik
7) Proses pewarnaan 1: Mblangko adalah proses pewarnaan merah pada kain
setelah selesai dibatik
8) Fiksasi: tujuan penguncian warna supaya warna yang ada di kain tidak
luntur
106
9) Ditutup dengan malam/ nembok: memberi malam pada motif yang telah
diberi warna supaya nanti jika pewarnaan tidak tercampur warna lain
10) Proses pewarnaan 2 : Medel adalah proses pewarnaan biru tua pada kain
setelah selesai di batik.
11) Lorod : menghilangkan seluruh lilin dengan merebus kain
12) Menyoga yakni mencelupkaa atau merendam kain di dalam larutan zat
warna coklat (soga)
13) Pelorodan terakhir: kain dilorot supaya lilin yang menempel hilang dari
kain.
Teknik batik pekalongan hampir sama dengan teknik batik lorodan. Perbedaan
tersebut adalah dari warna yang digunakan pada pencelupan akhir. Batik jenis
pekalongan ini menggunakan warna soga kuning. Warna soga kuning lebih cerah
dibanding dengan warna soga/ coklat (Sewan, 1980).
Adapun urutan pengerjaan batik tulis Lasem dengan proses pekalongan adalah
sebagai berikut :
1) Pola : membuat motif pada kertas
2) Nyorek : pemindahan motif batik dari kertas ke kain dengan cara
pengeblatan
3) Pembatikan/klowong: pemberian lilin/ malam pada tahap pertama
4) Pewarnaan 1: mentolet warna pada motif yang tidak terkena malam
107
5) Fiksasi: penguncian warna tujuannya supaya warna tidak mengalami
luntur jika dicuci
6) Pelorodan : menghilangkan lilin dari kain
7) Ngesik dan bironi: pemberian malam kembali pada motif yang telah
diwarna
8) Granit: pemberian titik-titik pada garis yang tadinya diberi malam
9) Pewarnaan 2: pewarnaan pada dasar kain (soga kuning)
10) Fiksasi: penguncian warna tujuannya supaya jika dicuci
Langkah-langkah pembatikan:
1) Persiapan
Persiapan merupakan proses awal dari keseluruhan kegiatan membuat
kain batik. Dalam tahap ini, kegiatan yang dilakukan adalah mempersiapkan
kain sebelum dibatik. Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam persiapan
akan dijelaskan berikut ini:
a) Memotong Kain
Cara memotong kain pembatik Lasem dengan meletakkan kain di
lantai tegel. Ukuran tegel 20 x 20 cm digunakan untuk media pengukuran
kain. Contoh: kain sarung menggunakn 10,5 tegel, kain panjang 12,5
tegel, dan selendang 13,5 tegel. Teknik pemotongan dengan menggunting
108
sedikit bagian kain sebagai penanda bagian yang akan dipotong kemudian
pada bagian yang telah ditandai tersebut disobek secara vertikal.
b) Menghilangkan Kanji (ngethel)
Kain mori yang dibeli masih berlapis kanji dari pabrik, oleh karena itu
sebelum dipola dan dibatik kain yang telah dipotong, dicuci terlebih
dahulu agar kanji pelapis hilang. Pengrajin batik di Lasem mempersiapkan
kain sebelum dibatik dengan diketheli yaitu proses menghilangkan kanji
pabrik dan kotoran yang melekat pada kain dengan perlakuan tertentu agar
serat kain terbuka sehingga mudah menyerap malam. Bahan untuk ngethel
kain terdiri atas campuran minyak jarak (20-l), costic soda (10 kg),
H2SO4 sir (5 cc untuk air sekaleng) yang diaduk hingga masak. Bahan-
bahan tersebut diketahui telah masak jia sudah menjadi campuran yang
bening. Campuran yang telah matang tersebut menjadi minyak TRO atau
lebih dikenal dengan sebutan minyak londo.
Sebelum digunakan, minyak TRO dicampur air sumur hingga encer
dan tidak terlalu berminyak. Selanjutnya minyak TRO digunakan untuk
mencuci kain. Proses ngetheli dimulai dengan didadhai yaitu kain
diremas-remas di dalam air, agar minyak jarak meresap dalam serat kain.
Kemudian kain diunyet-unyet yaitu dikucek-kucek di dalam baskom
tembaga selama 10 menit agar kanji lebih cepat dan lebih mudah lepas.
109
Berikutnya, digemblongi yaitu kain diangkat, lalu tiga kain dijadikan
satu dan dipuntir sambil dibentuk seperti bola dengan tujuan mengurangi
kandungan air yang ada dalam kain. Gemblong dilakukan antara 10
sampai 15 kali, kalau misalnya digemblong 15 kali maka hitungannya
sehari paling tidak digemblong 3 kali lalu dijemur, hari kedua 3 kali lagi
lalu dijemur sampai 5 hari. Setelah setengah kering, kain diangkat lalu
dicuci lagi memakai larutan costic soda yang ditambah air lalu ditiriskan
dan dijemur. Sebenarnya, diketheli merupakan cara mencuci kain yang
telah dilakukan sejak turun menurun.
c) Melapisi Kain dengan Larutan Kanji (nganji)
Kegiatan ini dilakukan setelah kain dicuci dengan tujuan untuk
memudahkan proses membatik atau agar malam cepat melekat, dan warna
mudah meresap. Setelah kain dicelupkan dalam air, kemudian dicelupkan
dalam larutan kanji matang secara tipis dan merata atau disebut sebagai
nganji.
d) Membuat Pola (mola)
Merupakan proses membuat pola diatas kain untuk dibatik. Pengrajin
batik tulis Lasem memola secara langsung dengan bantuan kain yang
sudah dibatik. Salah satu cara yang cukup unik digunakan oleh pengrajin
batik tulis Lasem adalah menggunakan garis bantu pola yang dibuat tidak
dengan penggaris melainkan dengan sebatang kayu dengan penampang
110
segiempat berukuran kisaran 1,5 cm x 1,5 cm. Untuk mendapatkan jarak
antar garis yang sesuai dengan keinginan pembatik, kayu cukup digeser
dengan digulung hingga beberapa kali. Cara ini bisa dilakukan di awal,
sebelum kain dibatik dan diwarnai, tetapi bisa dilakukan juga setelah kain
diberi warna dasar.
Gambar 51. Membuat pola (Foto: Syaiful 2015)
2) Membatik
Membatik adalah kriya yang mengandalkan ketrampilan jari tangan dalam
menorehkan malam diatas kain dengan tujuan untuk menutup bagian tertentu
yang diinginkan agar tidak kemasukan warna. Kegiatan membatik tidak lepas
dari canting dan jenis malam yang digunakan. Berikut ini adalah jenis
kegiatan yang dilakukan selama proses membatik.
111
a) Menorehkan Malam pada Kerangka Motif atau Nglengkreng
Nglengkreng adalah proses membuat pola motif utama. Nglengkreng
dikerjakan dengan cara, kain yang telah berpola diletakkan dibawah kain
yang akan dilengkreng dan pembatik menjiplak langsung pola itu. Supaya
tidak bergeser, kain yang telah berpola dan kain yang akan dilengkreng
dilekatkan menggunakan jarum pentul. Proses nglengkreng dikerjakan di
atas gawangan, dengan menggunakan canting lengkreng (canting
klowong) dan malam klowong.
Setelah proses membuat motif/ nglengkreng selesai, dilanjutkan
dengan nerusi, yaitu nglengkreng pada sisi kain sebaliknya dengan
menggunakan canting lengkreng dan malam klowong. Tujuan nerusi
adalah untuk memperjelas motif.
Gambar 52. Nglengkreng (Foto: Syaiful 2015)
112
b) Menorehkan Malam untuk Ornamen/ Ragam Hias dalam Motif
Setelah nglengkreng, pembatik menorehkan malam untuk memberi
ornamen di dalam dan di luar motif utama. Pekerjaan ini disebut ngisen-
ngisen. Pembatik Lasem memberikan isen-isen setelah pewarnaan.
Beberapa macam isen-isen antara lain semanggi, bentang, latoh, blarak,
cacingan, laler miber, dan ungker. Istilah isen-isen untuk motif dasar pada
latar disebut nanahi. Canting yang digunakan adalah canting isen, yang
terdiri atas canting carat satu, carat dua, carat tiga, carat empat, dan carat
tujuh. Carat tiga hingga carat tujuh disebut nyuk. Isen berbentuk titik
disebut juga dengan tutul. Memberi pinggiran kain dengan motif garis
disebut ngrejeng. Untuk batik halus misalnya motif pasiran digunakan
cerat 1 (cecek) saat nglengkreng.
Gambar 53. Proses memberi isen-isen (Foto: Syaiful 2015)
113
c) Menorehkan Malam pada Bidang yang Luas
Cara ini disebut nembok, yaitu menutup kain setelah dilengkreng dan
diterusi dengan menggunakan malam dan canting tembokan. Untuk
mempercepat pekerjaan kadang digunakan juga jegul. Bagian yang
ditembok tidak kemasukan warna pada proses pewarnaan. Proses nembok
terdiri atas 4 jenis yeitu:
(1) Nyeleri, menutup bagian pinggir motif, dengan menggunkan
canting tembok.
(2) Nyemplingi, menutup bagian motif yang berbentuk kecil, dengan
menggunakan canting tembok. Pada bagian cerat dibalut tleser dari
kain mori berbentuk kecil untuk membantu mempercepat torehan
malam pada kain.
(3) Nglatohi, menutup bagian motif latohan dengan canting tembok
tanpa tleser.
(4) Nyeploki, menutup bagian motif ceplok bunga menggunakan
canting tembok yang pada bagian cerat dibalut tleser dari kain mori
berukuran besar.
(5) Njeguli, menutup bagian latar dan motif yang luas atau besar.
Jegul yang digunakan terdiri atas 2 macam yaitu jegul besar dan
kecil.
114
Gambar 54. Prosess nembok (Foto: Syaiful 2015)
3) Pewarnaan
Batik Lasem dikenal dengan sebutan batik tiga negeri dan empat negeri.
Batik tiga negeri adalah kain batik melalui tiga kali proses nglorod, sehingga
menghasilkan empat warna. Sedangkan batik empat negeri adalah kain batik
yang dibuat melalui empat kali proses nglorod, sehingga menghasilkan kain
batik dengan lima warna. Jenis warna yang biasanya muncul pada kain batik
Lasem adalah merah, biru, ungu, hijau, kuning dan coklat. Umumnya
pewarnaan pertama adalah merah. Tetapi untuk memenuhi selera konsumen,
adakalanya pewarnaan pertama dengan warna ungu dan biru.
115
Gambar 55. Proses pewarnaan (Foto: Syaiful 2015)
Pembatik Lasem menggunakan bahan warna kimiawi. Bahan pewarna
kimia dipilih dengan alasan efisiensi waktu (lebih cepat pengerjaannya),
keawetan warna, dan kesulitan untuk mendapat bahan pewarna alami.
Pewarnaan kimia yang digunakan yaitu:
No Bahan Kimia Bentuk Zat Pembangkit (fixasi)
1. Naptol Bubuk Diazo
2. Indigosol Bubuk Nitrit dan air zuur
3. Remasol Bubuk Nitrit dan water glass
116
Proses pewarnaan Batik Lasem:
a) Mblangko
Mblangko adalah proses pewarnaan merah pada kain setelah
selesai dibatik. Proses mblangko terdiri atas 2 proses, yaitu:
(1) Di-tua-ni, menggunakan pewarna ASBO dan ASOL dengan
garam merah B dan garam R (warna merah tua).
(2) Nge-nom-i, menggunakan pewarna ASOL dengan garam R
muda (merah cerah) atau garam GG (warna lebih muda).
Cara mblangko:
(1) Bahan-bahan pewarna ditimbang menggunakan timbangan
surat.
(2) Bahan pewarna yang telah ditimbang dilarutkan dengan air
dengan takaran air 1 gayung untuk 6 potong kain.
(3) Larutan pewarna dimasukkan ke gledekan yang terbuat dari
seng dengan ukuran 120 x 50 x 20 cm. Pada saat pewarnaan
melibatkan 2 orang.
(4) Kain dimasukkan dalam gledekan dengan cara ditarik
bergantian hingga tercelup sempurna. Minimal mblangko tua
atau nom adalah 6 kali setiap proses. Setelah selesai mblangko,
117
kain di tiriskan, digarami, dan dicuci dengan cara direndam
dalam bak semen. Kemudian masuk proses dinomi.
(5) Kain blangko yang selesai ditiriskan, dimasukkan dalam
larutan garam dengan cara di tarik bergantian. Garam yang
digunakan adalah garam diazo yang berguna untuk mengikat
warna.
(6) Kain dicuci kemudian diinapkan 1 malam agar warna awet dan
meresap, setelah itu baru dilorod atau dihilangkan lilinnya.
b) Medel
Medel adalah proses pewarnaan biru pada kain setelah selesai
dibatik. Proses medel dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
(1) Direct color, memberi warna biru indigo Briliant Indigo B dan
Hidrosulfit.
(2) Indirect color, memberi warna biru dengan bahan kimia naptol
dan garam biru bb dan garam b.
Cara memberi warna biru:
(1) Larutan biru indigo ditempatkan dalam bak semen dan kain
berjumlah 10 lembar dilipat kemudian dimasukkan dalam bak
untuk direndam.
(2) Sambil direndam agar warna biru rata, kain diratakan dengan
kayu.
118
(3) Kain direndam ± 30 menit namun jika pewarna biru buatan
Bayer, Jerman hanya membutuhkan perendaman ± 3 menit.
(4) Kain ditiriskan dengan cara diangin-anginkan.
4) Menghilangkan Lilin (Nglorod)
Nglorod artinya menghilangkan malam yang masih melekat pada kain
dengan cara direbus. Bahan kimia untuk nglorod malam adalah soda abu dan
costic soda. Dengan costic soda, malam lebih cepat hancur.
Gambar 56. Nglorod (Foto: Syaiful 2015)
Proses nglorod dilakukan dengan mencelup-celupkan kain pada air
panas dengan tangan dan sekiranya malam sudah dirasa bersih, kain
dimasukkan ke bak berisi air dingin. Dilanjutkan dengan membilas kain
dengan cara diinjak-injak/ diiles. Dengan cara ini pekerjaan melepaskan
119
sisa-sisa malam dari kain menjadi lebih cepat. Setelah selesai kain dibilas
kembali dengan air bersih sampai malam benar-benar lepas dari kain.
Kain yang telah selesai dilorod dan dibilas dengan air bersih kemudian
diangin-anginkan di tempat yang teduh hingga kering. Kain-kain tersebut
diangin-anginkan pada bilah-bilah bambu. Kain yang telah kering
dicelupkan pada larutan kanji matang dan diangin-anginkan kembali
hingga kering.
5) Penyelesaian (Finishing)
Penyelesaian merupakan tahap akhir pembuatan batik tulis. Tujuan
kegiatan tahap ini pada dasarnya untuk merapikan kain setelah kain batik
dilorod untuk terakhir kalinya. Setelah kain batik rapi, kain tersebut siap
digunakan atau dijual. Proses merapikan kain batik yang telah dilipat
menggunakan alat bantu berupa pres dan kemplong.
a) Melipat Kain
Adapun cara tertentu dalam melipat kain batik. Kain batik dilipat
searah lebar kain dengan mempertemukan bagian ujungnya. Sisi utama
kain di dalam. Setelah itu kain dilipat lagi sampai 3 atau 4 kali. Baru
kemudian dilipat lagi 2 kali arah horizontal. Cara melipat seperti ini
dilakukan agar kain awet karena lipatan tidak menimbulkan bekas.
120
b) Menghaluskan Kain dengan Alat Pres
Menekan kain dengan alat pemberat berupa pres, bertujuan untuk
menghaluskan kain tanpa disetrika. Caranya kain yang telah dilipat,
disusun di bawah bantalan kayu pengepres, kemudian ditekan dengan alat
pengepres selama 1 hari atau bisa juga 1 jam.
c) Menghaluskan Kain dengan Alat Kemplong (dikemplongi)
Ngemplong adalah memukul kain dengan pemukul dan pelandas dari
kayu. Pemukul dan pelandas dibuat dari kayu sawo kecik karena jenis
kayu lebih ulet, tidak mudah pecah meskipun sering dipukul. Proses
ngmplong dilakukan dalam kondisi kain dilipat, dan dilakukan secara
bolak-balik.
121
d. Estetika
1) Batik Lasem Klasik
Batik Lasem Sekar Jagad termasuk salah satu motif batik klasik yang
abadi. Popularitas Batik Lasem Sekar Jagad sangat mengakar di hati pecinta
batik, sehingga eksistensinya tidak pernah bisa tergeser oleh gelombang invasi
batik kontemporer. Batik Lasem Sekar Jagad tentu saja mengandung makna.
Nama Sekar Jagad selalu berkonotasi pada taman alam yang indah dan harum
semerbak aroma aneka macam bunga. Sehingga lumrah, jika muncul
kesimpulan motif Sekar Jagad bermakna kecantikan dan keindahan yang
mempesona. Motif Sekar Jagad juga bersifat simbolis filosofis. Berasal dari
bahasa Jawa kar yang berarti peta dan jagad bermakna dunia, Sekar Jagad
sering diasosiasikan sebagai simbolisasi keanekaragaman di seluruh dunia.
Gamba 57. Batik lasem sekar jagad karya Rifa’i
(Foto: Syaiful 2015)
122
Pada batik Lasem klasik sekar jagad karya Rifa’i komposisi desainnya
menggunakan jenis komposisi desain allover. Komposisi desain allover
merupakan jenis komposisi desain yang berbentuk layout motif penuh dan
menyebar. Seperti namanya sekar jagad yang berarti dunia tumbuh-tumbuha,
maka jenis ragam hiasnya pun juga menggunkan berbagai macam jenis
tumbuh-tumbuhan yang ada di Lasem. Penggambaran ragam hias utamanya
menggunakan ragam hias tumbuhan berupa stilasi bunga kangkung yang
digambarkan dengan pola buketan dan disusun atau di ulang secara horizontal
dengan ukuran yang sama. Penambahan ornamen pendukung seperti kupu-
kupu menjadikan karya batik ini kelihatan lebih indah, karena
menggambarkan seperti halnya sebuah taman yang penuh dengan bunga-
bunga di hinggapi oleh kupu-kupu yang sedang mencari makan. Jenis ragam
hias isen-isennya menggunakan isen-isen khas Lasem yaitu latohan, cecek,
sawut dll, yang memunculkan kesan sebuah tekstur semu jika diperhatikan.
123
2) Batik Laseman
Batik tulis Lasem synografi merupakan sarat nilai-nilai seni dan
spiritualisme. Motif batik laseman ini secara transparan menebar pesan
tentang persaudaraan, kebahagiaan, kemakmuran, perdamaian, cinta kasih
sayang dll. Batik Lasem sinografi bisa digunakan untuk memotivasi diri kita
agar bisa hidup lebih baik.
Batik Lasem synografi adalah batik tulis Lasem yang mengekplorasi seni
synografi kata-kata atau kalimat mutiara Cina yang dipadupadankan ke dalam
ragam hias batik Lasem seperti sekar jagad, krecak, jawaran dll. batik Lasem
synografi ini pastinya turut memperkaya varian ragam hias batik Lasem.
Gambar 58. Batik tulis Lasem synografi true love
karya Sigit witjaksono (Foto: Syaiful 2015)
124
Pada batik Lasem sinografi true love karya Sigit Witjaksono
menggunakan komposisi desain jenis allover. Komposisi desain allover
merupakan jenis komposisi desain yang berbentuk layout motif penuh dan
menyebar. Ide bentuk ragam hias batik Lasem synografi true love mengambil
dari kata2 mutiara Cina diharmonisasikan dengan flora fauna khas Lasem
yang telah di gayakan atau di stilasi. Ragam hias flora fauna khas Lasem
antara lain latohan, burung hong, sekar, ikan dan bintang laut. Untuk ragam
hias isen-isennya menggunakan ragam hias khas Lasem itu sendiri
diantaranya cecek, cecek pitu, sisik melik, blarak sakimit dan sawut. Makna
filosofi dari penulisan huruf Cina pada batik Lasem sinografi true love adalah
bila dua hati sedang membara dan saling menempel maka cinta kasih akan
kekal dan abadi. 6
6 6Wawancara dengan Sigit Wicaksono pemilik usaha batik tulis Sekar Kencana Lasem, 10/4/ 2015.
125
3) Batik Lasem Kontemporer
Batik tiga negeri merupakan salah satu karya agung dalam dunia
pembatikan. Batik tiga negeri adalah sebuah motif yang menggambarkan tiga
budaya Tioghoa, Belanda, dan Jawa. Batik ini merupakan perpaduan dari
berbagai batik yang ada di tiga tempat yang berbeda yaitu Lasem, Pekalongan
dan Solo. Pada saat itu, ketiga wilayah tersebut masih berada di zaman
kolonial diberikan otonomi yang disebut negeri. Dari segi motif memang
umum dan merupakan perpaduan dari ketiga tempat tersebut, hanya saja yang
memberikan kesan unik dan menarik ialah pada proses pembuatannya.
Motifnya sendiri merupakan perpaduan bunga, daun serta isen-isen khas
batik. Sedangkan untuk proses pembuatannya, konon banyak pembatik
percaya bahwa warna yang diperoleh dari batik tiga negeri ini hanya dapat
dilakukan di masing-masing wilayah.
Gambar 59. Batik Lasem tiga negeri kontemporer karya
bu Win (Foto: Syaiful 2015)
126
Guna mendapatkan warna merah yang identik dengan etnis Tionghoa para
pembatik harus menuju ke wilayah Lasem yang banyak dihuni oleh etnis
Tionghoa dengan ciri khas warna merah di setiap perayaan dan busananya.
Kemudian untuk memperoleh warna biru maka pembatik harus menuju ke
wilayah Pekalongan. Sedangkan untuk mendapatkan warna coklat sogan,
maka pembatik harus menuju ke wilayah Solo. Proses pewarnaan memang
tidak bisa dilakukan di satu tempat saja. Ada anggapan bahwa air mineral
yang digunakan para pembatik untuk memberikan warna memiliki kadar yang
berbeda-beda. Air dari satu daerah dengan daerah lainnya menciptakan daya
serap dan efek dari pengaruh pewarnaan pada batik. Alasan yang sangat logis
untuk menghubungkan mengapa batik tiga negeri sangat legendaries dan
bermisteri adalah kain ini dibuat di tiga daerah yang memiliki kondisi
geografis yang berbeda-beda sehingga terkesan sangatlah istimewa. Dengan
demikian, bila melakukan proses tersebut, maka batik tiga negeri yang
dihasilkan akan sempurna.
Batik tiga negeri merupakan penggambaran budaya yang tercermin dari
warna-warna yang digunakan dalam membatik. Dahulu, bahan pewarna batik
berasal dari tanaman, yang membuat pembatik mau tidak mau harus
mengunjungi satu persatu daerahnya. Dalam batik tiga negeri, warna merah,
biru, coklat atau soga harus selalu ada. Daerah Lasem memiliki warna merah
yang luar biasa indah yang berasal dari tanaman mengkudu. Sedangkan warna
biru, para pembatik memilih warna biru yang dihasilkan daerah Pekalongan.
127
Warna biru ini dihasilkan dari tanaman yang bernama Indigo. Kemudian,
warna yang terakhir adalah warna coklat yang berasal dari tanaman soga yang
ditemukan di daerah Surakarta (Solo).
Akan tetapi seiring berkembangnya zaman, kini dengan adanya pewarna
kimia, tentu saja hal itu tidak terjadi lagi, berbagai daerah bisa membuat motif
tiga negeri dengan warna yang mirip dengan warna dari tiga daerah tersebut.
Pola ragam hiasnya pun juga sudah banyak mengalami perubahan, contohnya
ada pada batik Lasem tiga negeri kontemporer diatas. Batik tiga negeri yang
biasanya hanya mengaplikasikan ragam hias perpaduan bungan sebagai ragam
hias utama kini diganti dengan pola ragam hias geometri sebagai ragam hias
utamanya, sedangkan ragam hias tumbuh-tumbuhan dijadikan sebagai
ornamen pengisi, untuk isen-isen tetap menggunkan isen-isen khas yang ada
di kota Lasem.
2. Faktor Pengaruh Ragam Hias Batik Lasem Masa Kini
a. Trend Mode
Aspek Mode adalah pertimbangan kecenderungan gaya (style) yang
disesuaikan dengan pemakain, waktu, musim dan tempatnya. Perkembangan
ragam hias batik tulis dipengaruhi oleh mode yang saat ini telah berkembang
dipasaran batik tulis. Mode tersebut berpengaruh terhadap ragam hias yang
dihasilkan pada kain dan produk fungsional yang dibuat oleh perusahaan batik
tulis.
128
Sasaran yang dituju untuk produk batik tulis adalah masyarakat dengan
ekonomi menengah keatas, karena harga yang ditentukan pada produk batik tulis
cukup mahal dan batik tulis sendiri memiliki nilai seni yang cukup tinggi. Batik
tulis memiliki nilai jual yang tinggi dikarenakan teknik pembuatannya secara
manual. Teknik pembuatan tersebut menjadikan produk batik tulis termasuk
produk eksklusif karena tidak bisa dibuat secara masal. Produk batik tulis
eksklusif dikarenakan pembuatannya tidak bisa dibuat secara masal karena jika
pembuatan produk batik tulis dibuat dengan sekala besar maka pasti tidak akan
ada kesamaan antara produk satu dengan yang lain.
Sasaran yang dituju untuk penggunaan produk batik tulis fungsional berupa
pakaian jadi pria dan wanita baik itu remaja maupun dewasa.Produk ini biasanya
digunakan untuk acara resmi seperti resepsi, pakaian sekolah, dan lain
sebagainya. Produk lain selain pakaian jadi yaitu tas wanita, dompet, kipas dan
gantungan kunci.
b. Selera Konsumen
Setiap produk yang dihasilkan tentunya untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginan konsumen. Permintaan seorang konsumen terhadap suatu barang
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi
permintaan itu ialah selera. Selera setiap individu tentunya berbeda-berbeda.
Selera konsumen bersifat subjektif karena selera konsumen bergantung pada
penilaian terhadap barang tersebut.
129
Agar produk tersebut dapat di terima tentunya para pengusaha batik Lasem
haruslah meperhatikan selera konsumen. Guna memenuhi kebutuhannya,
konsumen selalu menginginkan empat hal penting yaitu, kualitas barang yang
bagus, harga yang terjangkau serta pelayanan yang baik dan memuaskan serta
ketepatan waktu.
Oleh karena itu dalam pengerjaan ragam hias batik Lasem para pengrajin
semaksimal mungkin mengedepankan kualitas pengerjaannya, Lama waktu
pengerjaannya pun sebisa mungkin di usahakan agar tepat waktu. Hal ini di
tujukan agar setiap konsumen yang membeli produk batik Lasem tidak kecewa.
Harga yang dipatok juga menyesuaikan dengan tingkat kerumitan dalam
pengerjaan ragam hias dan lamanya proses pengerjaan. Harga tentunya juga
menyesuaikan dengan tingkat daya beli konsumen, hal ini mengacu pada tingkat
daya beli konsumen perindividu yang berbeda-beda, sehingga harga yang di patok
bisa menyesuaikan selera dan kantong mereka masing-masing.
130
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah dilakukan penelitian terhadap focus masalah yang telah ditentukan
dengan metode dan pendekatan penelitian, kemudian diperoleh hasil penelitian
sebagai berikut.
Ditinjau dari latar belakang pengembangannya, ragam hias batik Lasem masa
kini di pengaruhi oleh beberapa faktor yaitu berdasarkan latar belakang ekonomi,
sosial budaya dan teknologi. Pertimbangan pengembangan ragam hias batik Lasem
berdasarkan latar belakang ekonomi berdasarkan biaya produksi dan permintaan
pasar. Sedangkan berdasarkan latar belakang sosial budaya ragam hias batik Lasem
berkembang karena munculnya ide-ide baru dari para pengrajin batik Lasem
mengenai ragam hias, yang dulunya bersifat konservatif tradisional ke ragam hias
kekinian atau kontemporer, hal ini dikarenakan para pengrajin batik Lasem berpikir
diperlukan sebuah inovasi baru agar karya batiknya tidak ketinggalan zaman.
Berdasarkan latar belakang teknologi dalam pengerjaannya walupun sudah banyak
berkembang teknik-teknik lain seperti batik cap dan printing, pengrajin batik Lasem
masih tetap mempertahankan teknik batik tulis, hal ini dikarenakan pengrajin batik
Lasem ingin tetap mempertahankan nilai keeksklusifan dari batik Lasem tersebut.
131
Batik Lasem digolongkan menjadi tiga golongan yaitu batik klasik/rakyat,
batik Laseman, dan batik kontemporer. Disebut batik klasik karena dalam pengerjaan
dipengaruhi oleh kebudayaan leluhur mereka seperti kepercayaan dan legenda.
Oranamen yang diterapkan juga menggunakan flora dan fauna khas Lasem. Batik
Laseman adalah batik yang ragam hiasnya dipengaruhi oleh budaya Cina, baik itu
ragam hiasnya maupun teknik pewarnaannya. Sedangkan batik kontemporer
merupakan karya batik yang berkembang pada masa kini atau sekarang, yang tidak
memiliki ketentuan seperti pada batik klasik dan lebih menonjolkan ekspresi bebas
dalam pembuatannya. Ketiga golongan batik Lasem tersebut kemudian dikaji
berdasarkan unsur-unsur desain dan prinsip desain. Unsur-unsur desain yang dikaji
pada ketiga golongan batik Lasem tersebut meliputi garis, bentuk dan warna,
sedangakan prinsip desain yang dikaji meliputi irama, keseimbangan dan pusat
perhatian.
Aspek-aspek yang mempengaruhi konsep desain ragam hias batik Lasem
meliputi aspek fungsi, bahan, proses, estetika, trend mode dan selera pasar. Aspek
fungsi, produk fungsional yang di hasilkan selain kain batik adalah pakaian jadi yaitu
pakaian pria, wanita dewasa dan anak-anak. Secara material bahan kain yang
digunakan untuk media pembatikan menggunakan bahan primissima. Bahan warna
yang digunakan adalah zat warna alami dan sintetis. Teknik yang digunakan dalam
pembuatan produk batik tulis Lasem adalah teknik batik lorodan dan teknik batik
pekalongan. Secara estetika ragam hias yang digunakan pada batik Lasem
menggunakan ragam hias jenis klasik, Laseman dan kontemporer. Perkembangan
132
ragam hias batik Lasem masa kini dipengaruhi oleh trend mode yang saat ini telah
berkembang dan sesuai dengan selera konsumen.
B. Saran
harapan yang ingin dicapai dari penulisan ini tentang Kajian Ragam Hias
Batik Lasem Masa Kini adalah mampu memberikan sumbangan ilmu tentang sebuah
karya seni batik, khususnya mengenai ragam hias batik Lasem.
Penulis berharap bahwa tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak terkait seperti
dinas pariwisata, industri kreatif yang memproduksi batik Lasem dan pihak-pihak
lain yang ingin mengetahui, mempelajari serta menyempurnakannya, demi
kelestarian sebuah karya tradisional khususnya batik Lasem.
133
DAFTAR PUSTAKA
Anas, B., Hasanudin, Panggabean, R. & Sunarya, Y. 1997. Indonesia Indah Buku 8:
Batik. Jakarta: Yayasan Harapan Kita TMII.
Astaufi Herpi P. 2012. "Pola Batik Lasem Pasca Penetapan Unesco Tentang Batik
Tahun 2009".Surakarta: Universitas Sebelas Maret
Bratasiswara, Harmanto. 2000. Bauwarna Adat Tatacara Jawa. Jakarta: Yayasan
Suryasumirat.
Djoemena, Nian S. 1986. Ungkapan Sehelai Batik. Jakarta: Djambatan.
Doellah, H. Santosa. 2002. Batik: Pengaruh Zaman dan Lingkungan, Surakarta.
Haryono, Timbul. 2008. Motif Ragam Hias Batik: Filosofi dan Maknanya.
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Pascasarjana UGM.
Ishwara Helen, Yahya L. R. Supriyapto & Moeis Xenia. 2011. Batik Pesisir Pusaka
Indonesia: Koleksi Hartono. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kalingga, Honggopuro. 2002. Bathik Sebagai Busana dalam Tatatanan dan
Tuntunan. Yayasan Peduli Karaton Surakarta Hadiningrat.
Kartiwa, Suwati. 1986. Kain Songket Indonesia. Jakarta: Djambatan.
______,______. 2007. Tenun Ikat: ragam kain tradisionan Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Khamzah, R. Panji. 1858. Cerita (Sejarah) Lasem, katurunan/kajiplak dening R. Panji
Karsono (1920), dalam buku Sabda Badra Santi, rupakanipun Mpu
Santibadra.
Koentjaraningrat. 1999. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kusrianto, Adi. 2013. Batik—Filosofi, Motif, dan Kegunaan. Yogyakarta: Andi
Offset.
Kwan William, Rosina Dyah, Hadi Aulia. 2010. Eksplorasi Sejarah Batik Lasem.
Jakarta: IPI Institut Pluralisme Indonesia.
Prasetyo, Anindito. 2010. Batik Karya Agung Warisan Budaya Dunia. Yogyakarta:
Pura Pustaka
Rizali, Nanang. 2006. Tinjauan Desain Tekstil. Surakarta: UNS Press
____,______. 2013. Nafas Islami dalam Batik Nusantara. Surakarta: UNS Press.
134
Sadjiman, Ebdi Sanyoto. 2005. Dasar-Dasar Tata Rupa dan Desain (Nirmana).
Yogyakarta: Arti Bumi Intaran.
Sewan Susanto. 1980. “Seni Kerajinan Batik Indonesia”. Balai Penelitian dan
Kerajinan, Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, Departemen
Perindustrian RI.
Shadilly, Hasan. 1980 Ensiklopedi Indonesia. Jakarta : PT Ichtiar Baru, Van Hoeve.
Shadily, Hasan. 1990, Kamus Besar Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Sutopo, HB. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif.Surakarta: UNS Press
Syafrina, Fifin. 1996. Pemanfaatan Teknik dan Desain Batik dalam berbagai Media
serta Pemanfaatannya. Jakarta: fakultas Seni Rupa IKJ.
Tirtaamidjaja. N. 1966. Batik Pola dan Tjorak. Jakarta: Djambatan.
Unjiya, M. Akrom 2014. LASEM: Negeri Dampoawang. Yogyakarta: Salma Idea.
Wahono, dkk. 2004. “Gaya Ragam Hias Bathik (Tinjauan Makna dan Simbol)”.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah/ Museum Ronggowarsito.
Wulandari, Ari. 2011. Batik Nusantara Makna Filosofi, Cara Pembuatan, dan
Industri Batik. Yogyakarta: Andi Ofset.
Sumber lain:
https://lasemheritagecity.wordpress.com/2015/03/18/gambaran-umum-wilayah-
lasem/
Recommended