View
2
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengakuan atas eksistensi anak sebagai subyek hak asasi manusia
(HAM) yang sui generis (rights holders as sui generis) ditandai manakala
konvensi hak anak ( KHA ) telah diratifikasi oleh 193 Negara1., Republik
Demokartik Timor-Leste meratifikasikan konvensi hak anak melalui
Resolusi Parlamen Nasional nomor 16 tahun 20032, urutan 193 menerima
kewajiban untuk mengambil semua langkah-langkah legislative,
administrative, sosial dan pendidikan secara layak untuk melindung anak-
anak dari semua bentuk-bentuk dan manifestasi kekerasan. Namun kendati
ratifikasi KHA telah menunjukan universalitas, terhadap perlindungan anak
dari kekerasan, eksplolitasi, dan penyalahgunan kekeraasan (children’s
protection from violence, explotation, and abuse) namun perlindungan anak
sebagai pelaku tindak pidana melalui KHA masih sangat lemah. Anak
sebagai bagian dari masyarakat paling lemah kemanpuannya untuk
melindungi diri mereka sendiri, malah mereka menjadi obyek segala bentuk
dan manifestasi kekerasan. Penghukuman secara fisik dan merendahkan
1 http:/id.wikipedia.org/wiki/konvensi-hak – hak Anak
2 www.jurnal.untri.ac.id
martabat anak masih meluas dilakukan dalam komunitas seperti di Sekolah,
di Rumah dan masyarakat setempat.
Republik Demokartik Timor-Leste merupakan suatu Negara yang
berdasarkan Hukum, pada dasarnya ada peraturan perundang-undangan
yang dapat membatasi seluruh aktifitas masyarakat. Maka dengan demikian
segala hal yang berhubungan dengan perbuatan atau aktivitas antara
manusia diatur oleh hukum yang jelas. Sesuai dengan yang diatas
pemerintah Timor-Leste telah mempunyai suatu peraturan yang jelas dalam
hukum pidana.
KUHAP/KÓDIGO PROSESU PENÁL3 yang memberikan landasan
perlindungan terhadap pelaku. Bahkan dalam bentuk-bentuk tindakan
perbuatan pelaku sudah tercantum dalam KUHAP dan memberikan suatu
rumusan upaya perlindungan terhadap hak-hak pelaku dirumuskan dalam
Pasal 60 tentang hak-hak pelaku, sedangkan pada perlindungan terhadap
anak sebagai pelaku tindak pidana belum ada undang-undang anak di
Timor-Leste yang memberikan suatu rumusan upaya perlindungan terhadap
anak sebagai pelaku tindak pidana., karena peranan pemerintah Timor-Leste
sejauh ini belum maksimal dalam pemenuhan hak-hak anak, terutama anak-
anak yang bermasalah dengan hukum. Maka masa depan bangsa pada
3 KUHAP/ Kodigo Prossesu Penal Timor – Leste No 13/2005.
kejahateraan anak-anak saat ini tidak begitu sebanding lurus dengan realitas
yang ada sekarang.
Hak-hak secara mendasar jangan sampai tertindas atas nama
kepentingan hukum dan kepastian hukum yang akan memperberatkan
pelaku. Dalam hak asasi kebutuhan manusia yang bersifat mendasar dari
umat manusia sejak lahir di Dunia, memiliki nilai yang universal. Nilai-
nilai HAM4 yang universal ini walaupun dalam penerapannya tidak
memiliki kesamaan dan keseragaman dalam beberapa Negara, baik Negara
berkembang maupun pada Negara maju, yang disebabkan oleh kultur yang
berbeda, dalam Deklarasi PBB tahun 1986, HAM merupakan tujuan
sekaligus sarana pembangunan.
Telah menjadi kesepakatan berbagai bangsa, persoalan anak
ditangani dalam suatu wadah United International Children Education of
Fund (UNICEF)5. Anak bukanlah objek perhatian, namun sebagai subjek
dari HAM, sebagaimana dijelaskan dalam dokumen HAM yang telah
diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-bangsa, termasuk konvensi Hak-Hak
anak. Di Timor-Leste anak dikelompokkan sebagai kelompok yang sangat
rentan, karena pengaturan anak telah diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Timor-Leste.
4 Adnan Buyung Nasution dan A.Patra M. Zen, hal 304.
5http:/id.wikipedia.org/wiki/konvensi-hak – hak Anak.
Maka dengan demikian secara pelaksanaan perdilan pidana anak di
Timor-Leste berpedoman pada Standrad Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice ( The Beijing Rules)6, yang memuat
prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Kebijakan sosial memajukan kesejahteraan anak secara maksimal
memperkecil intervensi sistem peradilan pidana.
2. Nondiskriminasi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam proses
peradilan pidana.
3. Penentuan batas usia pertanggunjawaban kriminal terhadap anak.
4. Penjatuhan pidana penjara merupakan upaya terkhir.
5. Tindakan diversi dilakukan dengan persetujuan anak atau orang tua/
wali.
6. Pemenuhan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana anak.
7. Perlindungan privasi anak pelaku tindak pidana.
8. Peraturan peradilan pidana anak tidak boleh bertentangan dengan
peraturan ini.
Prinsip-Prinsip Beijing Rules di atas belum sepenuhnya dimasukkan dalam
Konstitusi Republika Demokrasi Timor-Leste dalam Pasal 18 tentang
perlindungan anak, yang termaut pada alina 7 tentang perlindungan privasi
anak pelaku tindak pidana, karena Timor-Leste belum adanya pengadilan
6 Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, PT Refika Aditama, Hal 11
anak, sehingga pelaksanaan peradilan anak masih terjadi perlakuan yang
tidak mencerminkan perlindungan terhadap anak.
pada Pasal 18 yang telah memberikan perlindungan pada anak sesuai
dengan konvesi anak yang telah diratifikasi oleh Timor-Leste, yang
berbunyi sebagai berikut :
1. Setiap anak berhak atas perlindungan istimewa dari keluarga,
masyarakat dan Negara, khsusnya terhadap bentuk keterlantaran,
diskriminasi, kekerasan, penindasan, pelecehan seksual maupun
eskplotasi.
2. Setiap anak memiliki hak dan di akui secara unversal, serta hak-hak
yang termuat dalam perjanjian internasional yang diratifikasi atau
disetujui oleh Negara.
3. Semua anak dilahirkan, baik didalam perkawaninan maupun diluar
perkawaninan, anak memiliki hak dan perlindungan sosial yang
sama.
Oleh karena itu penulis meninjauh bahwa perlindungan terhadap anak
sebagai pelaku tindak pidana, hanya dibatasi pada konteks kekerasan yang
dilakukan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana yang telah tertuang
dalam Pasal 18 Aline 2 di atas.
Tetapi ada Prinsip-Prinsip Umum yang berkaitan dengan anak, yang diatur
dalam Resolusi Parlamen Nasional Nomor 16/20037, pada Pasal 3 yang
berbunyi sebagai berikut :
1. Larangan diskriminasi, dimana tidak ada anak yang harus mengalami
diskriminasi dalam bentuk apapun, terlepas dari pertimbangan ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau pendapatan dari anak,
orang tua, asal etnis atau sosial, kekayaan, kecacatan, kelahiran atau
status lainnya.
2. Prinsip kepentingan terbaik anak, yang bertujuan untuk menjaga
fisik, emosional,intelektual, dan psikologi kesejahteran anak-anak
dan menjadi pertimbangan utama dalam semua keputusan yang
berhubungan dengan anak.
3. Prinsip hak yang melekat untuk hidup dan kelangsungan hidup dan
perkembangan yang harus disediakan oleh negara untuk semaksimal
mungkin.
Resolusi Parlamen Nasional No 16/2003, Pasal 3 yang diatas sangat
memegan tegu pada kovensi hak anak yang termuat dalam Pasal 2 dan Pasal
6 yang berbunyi :
Pasal 2
7 Resolusi Parlamen Nasional Nomor 16/2003 Tentang Perlindungan Anak.,
www.jornal.gov.tl.
1. Negara-negara Pihak harus menghormati dan menjamin hak-hak
yang dinyatakan dalam Konvensi ini pada setiap anak yang berada di
dalam yurisdiksi mereka, tanpa diskriminasi macam apa pun, tanpa
menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau
asal usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status yang lain
dari anak atau orang tua anak atau wali hukum anak.
2. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat
untuk menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk
diskriminasi atau hukuman atas dasar status, aktivitas, pendapat yang
diutarakan atau kepercayaan orang tua anak, wali hukum anak atau
anggota keluarga anak.
Pasal 6
1. Negara-negara Pihak mengakui bahwa tiap-tiap anak mempunyai
hak yang melekat atas kehidupan.
2. Negara-negara Pihak harus menjamin sampai pada jangkauan
semaksimum mungkin ketahanan dan perkembangan anak.
Maka yang akan penulis kaji perlindungan terhadap anak sebagai
pelaku tindak pidana, yang sering terjadi pada pelaku karena suatu
kejahatan selalu diberat pada kejahatan yang dilakukan oleh pelaku tersebut,
tidak melihat pada hak-hak yang dimiliki oleh pelaku, pada kejahatan yang
ada pada perlindungan pelaku..
Dalam KUHAP/CODE PROCESSO PENAL Timor – Leste tahun
20068, pada Pasal 58 hanya bicara tentang tingka laku Pelaku, yang
berbunyi sebagai berikut
“ Naran Supeitu ne’ebe indisiu ruma hatudu katak nia halo ona ka prepara-
án atu halo krime ruma, ka halo parte ka prepara-an atu halo parte iha
krime ruma”. Nama Pelaku setiap orang yang telah melakukan atau sedang
mempersiap akan untuk melakukan kejahatan, atau siapa untuk partisipasi
dalam suatu kejahatan.
Perkembangan perlindungan hak anak di Timor-Leste secara
kelembagaan telah terdapat Kementerian yang mempunyai tugas dan
kewenangan untuk menangani masalah anak yaitu Kementerian Kehakiman.
Dengan demikian, Kementerian Kehakiman mengeluarkan Keputusan
Nomor 15/A/GMJ/V/2008 tentang Pembentukan Komisi Nasional untuk
Hak Anak yang tugasnya melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, sesuai
dengan Konstitusi Republik Demokratik Timor-Leste Pasal 18 tentang
perlindungan anak. Dengan cara mengumpulkan data dan informasi,
menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan,
evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak,
memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Pemerintah
8 Codio Processo Penal Timor – Leste Tahun 2006.hal 35.
dalam rangka perlindungan anak. Akan tetapi pada fakta yang diatas
menunjukkan di Timor - Leste sudah ada kebijakan yang dituangkan dalam
format Undang-undang tentang perlindungan anak.
Yang menjadi dasar bagi Kementerian Kehakiman untuk
mendirikan Komisi Nasional untuk Hak Anak adalah keputusan Perdana
Menteri Nomor 018 tahun 2008 tanggal 4 bulan Mei tahun 2008
tentang Pelimpahan Masalah Hak Asasi Manusia kepada Kementerian
Kehakiman. Dengan demikian pada tanggal 29 September 2009
terbentuklah Komisi Nasional Hak Anak. Pembentukan Komisi ini
merupakan tindak lanjut atas keputusan Perdana Menteri tersebut, dengan
tujuan dapat melindungi hak-hak anak melalui pembentukan jaringan
kerja dengan lembaga-lembaga pemerintah, pengadilan, kejaksaan,
kepolisian, lembaga keagamaan dan organisasi-organisasi pemerintah
lainnya, baik ditingkat daerah, nasional maupun internasional terutama
yang bergerak dalam bidang hak - hak anak.
Prinsip – Prinsip Diversi Menutur The Bejiing Rules adalah sebagai
berikut:
a. Diversi dilakukan setelah melihat pertimbangan yang layak, yaitu
penegak hukum, Polisi, Jaksa dan hakim, diberi kewenangan untuk
menanganii pelangaran-pelangaran hukum berusia muda tanpa
menggunakan pengadilan formal.
b. Kewenangan untuk menentukan Diversi diberikan kepada aparat
penegak hukum, Polisi, jaksa dan hakim yang menangani kasus
anak-anak ini, menurut kebijakan mereka, sesuai dengan kriteria
yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing-
masing dan juga sesuai dengan Prinsip-Prinsip yang terkandung
dalam The Bejjing Rules.
c. Pelaksanaan Diversi harus dengan persetujuan anak atau orang
tua/walinya, namun demikian keputusan untuk pelaksanaan Diversi
setelah ada kajian oleh pejabat yang berwenang atas permohonan
Diversi tersebut.
d. Pelaksanaan Diversi memerlukan kerja sama dan peran masyarakat,
sehubungan dengan adanya programa Diversi seperti pengawasan,
bimbingan sementara, pemulihan, dan ganti rugi kepada korban.
Penerapan Diversi dapat diterapkan di semua tingkat pemeriksaan,
dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam
proses peradilan tersebut.
B. PERUMUSAHAN MASALAH
Berdasarkan uruian pada latarbelakang permasalaha diatas, maka
dapat ditentukan rumusan permasalahn sebagai berikut :
1. Bagaimana Sistem Pengadilan Anak di Timor-Leste dikaitkan
dengan perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana?
2. Bagaimana refleksi hukum terhadap kebijakan hukum pidana Timor-
Leste dalam upaya perlindungan terhadap anak sebagai pelaku
tindak pidana?
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian yang akan diambil dari penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan kebijakan hukum yang berlaku di Timor –
Leste dalam upaya perlindungan terhadap Anak sebagai Pelaku
Tindak Pidana.
2. Untuk mendeskripsikan cara atau solusi untuk memperbaiki dari
pemberlakukan kebijakan hukum Pidana Timor-Leste dalam upaya
Perlindungan terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana.
D. MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat penelitian ini antara lain :
1. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermafaat dan memberikan
kontribusi bagi perkembangan ilmu pengatahuan untuk fakultas
hukum, khusunya berkaitan dengan kebijikan hukum pidana dalam
upaya perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidan.
2. Secara pratis penelitian ini untuk menambah referensi kepada pihak-
pihak yang membutuhkan hasil karya ilmiah ini khususnya dalam
penerapan kebijakan hukum pidana Timor-Leste dalam upaya
perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana.
E. KERANGKA TEORI
1. Peradilan Anak
Secara yuridis9 peradilan merupakan kekuasaan kehakiman yang
terbentuk badan beradilan, dan dalam kegiatannya melibatkan lembaga
peradilan, kejaksaan, kepolisian, lembaga pemasyarakatan, bantuan
hukum, untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi setiap warga
negara, dengan demikian dalam peradilan anak bertujuan memberikan
yang paling baik bagi anak, tanpa mengorbankan kepentingan
masyarakat dan tegaknya wibawa hukum, karena anak sebagai generasi
muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya
manusia bagi pembangunan nasional, maka dalam berbagai hal upaya
pembinan dan perlindungan dihadapkan pada permasalahan dan tatangan
dalam masyarakat, dijumpai penyimpangan perilaku anak, bahkan lebih
9 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan,cek 1, PT Aditama,
Bandung 2012, Hal 190.
dari itu tedapat anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum tanpa
mengenal status sosial dan ekonomi, di samping itu tidak mempunyai
kesempatan memperoleh perhatian secara fisik, mental, maupun sosial.
Akibat dengan keadaan ini, baik sengaja maupun tidak sengaja sering
anak juga melakukan tindakan atau berperilaku yang dapat merugikan
dirinya atau masyarakat, perbuatan melanggar hukum oleh anak,
disebabkan oleh berbagai faktor, anatara lain :
a) Adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang
cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi,
kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi serta perubahan gaya
dan cara hidup orang tua, telah membawa perunbahan sosial
yang mendasar dalam kehidupan masyarakat atau sangat
berpegaruh terhadap nilai dan perilaku anak.
b) Anak yang kurang memperoleh kasih sayang, asuhan,
bimbingan dan pembinan dalam pengembangan sikap, perilaku,
penyesuaian diri, serta pengawasan dan orang tua atau wali,
karena orang tua asuhan akan mudah terseret dalam arus
pergaulan masyarakat dan lingkungan yang kurang sehat dapat
merugikan perkembagan pribadinya.
Peradilan anak diselengarakan dengan tujuan untuk mendidik
kembali dan meperbaiki sikap dan perilaku anak sehingga ia
dapat meniggalkan perilaku buruk yang selama ini telah ia
lakukan, maka perlindungan terhadap kepentingan anak yang
diusahakan dengan memberikan bimbingan atau pendidikan
dalam rangka rehabilitasi dan resosilisasi menjadi landasan bagi
anak.
2. Sistem Peradilan Anak Dalam Konstitusi Republik Demokratik
Timor – Leste
Timor-Leste memproklamasikan diri sebagai Negara Republik
Demokratik yang berasaskan Prinsip Hak Asasi Manusia telah
melakukan perubahan yang dramatis setelah kemerdekaannya diakui
secara Internasional pada Tanggal 20 Mei 200210
. Mengelurkan diri dari
post konflik menuju ke post pembangunan, terutama membangun
sumber daya manusia melalui pemenuhan hak-hak anak dengan
tujuan untuk menciptakan generasi yang memiliki daya saing serta
berwawasan global untuk mengisi kemerdekaan tersebut.Walaupun
kini ada beberapa perubahan namun masih ada kendala-kedala,
terutama dalam perlindungan hak-hak anak yang bermasalah dengan
hukum. Dalam sistem peradilan anak di Timor-Leste, belum adanya
pengadilan anak sehingga pelaksanaan peradilan anak masih terjadi
10 www.jurnal.unitri.ac.id
perilaku yang tidak mencerminkan perlindungan terhadap anak, karena
pengadilan anak di Timor-Leste ada pada peradilan umum yaitu
pengadilan tinggi yang akan memberikan perlindungan pada anak sesuai
dengan Konstitusi Republik Demokrasi Timor-Leste Tahun 2002, pada
pasal 18 yang telah memerikan perlindungan pada anak sesuai dengan
konvensi anak yang telah diratifikasi oleh Timor-Leste, yang berbunyi
sebagai berikut :
1. Setiap anak berhak atas perlindungan istimewa dari keluarga,
masyarakat dan Negara, khsusnya terhadap bentuk keterlantaran,
diskriminasi, kekerasan, penindasan, pelecehan seksual maupun
eskplotasi.
2. Setiap anak memiliki hak dan di akui secara unversal, serta hak-
hak yang termuat dalam perjanjian internasional yang
diratifikasi atau disetujui oleh Negara.
3. Semua anak dilahirkan, baik didalam perkawaninan maupun
diluar perkawanian, anak memiliki hak dan perlindungan sosial
yang sama.
Maka Timor - Leste menjadi Negara pihak Konvensi Hak Anak pada
tahun 2003 setelah Parlemen Nasional mengeluarkan Resolusi Nomor
16 tahun 2003 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak11
. Dengan
11 www.jornal.gov.tl
demikian, Timor-Leste mempunyai kewajiban sebagai Negara pihak
untuk memenuhi,melaksanakan dan melindungi hak-hak anak yang
termuat di dalam Konvensi Hak Anak tersebut. Kewajiban yang harus
dipenuhi adalah menyediakan berbagai regulasi tentang perlindungan
hakhak anak tanpa terkecuali hak anak bermasalah atau berhadapan
dengan hukum sebagai bentuk komitmen Negara peserta Konvensi
Hak Anak.
Perkembangan perlindungan hak anak di Timor-Leste secara
kelembagaan telah terdapat kementerian yang mempunyai tugas dan
kewenangan untuk menangani masalah anak yaitu Kementerian
Kehakiman. Dengan demikian, Kementerian Kehakiman mengeluarkan
Keputusan Nomor 15/A/GMJ/V/2008 tentang Pembentukan Komisi
Nasional untuk Hak Anak yang tugasnya melakukan sosialisasi seluruh
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perlindungan anak. Dengan cara mengumpulkan data dan informasi,
menerima pengaduan masyarakat,melakukan penelaahan, pemantauan,
evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak,
memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada
Pemerintah dalam rangka perlindungan anak. Akan tetapi fakta
menunjukkan di Timor-Leste belum ada kebijakan yang dituangkan
dalam format Undang-Undang tentang perlindungan hak-hak anak yang
bermasalah dengan hukum. Yang menjadi dasar bagi Kementerian
Kehakiman untuk mendirikan Komisi Nasional untuk Hak Anak adalah
keputusan Perdana Menteri Nomor 018 tahun 2008 tanggal 4 bulan
Mei tahun 2008 tentang Pelimpahan Masalah Hak Asasi Manusia
kepada Kementerian Kehakiman. Dengan demikian pada tanggal 29
September 2009 terbentuklah Komisi Nasional Hak Anak. Pembentukan
Komisi ini merupakan tindak lanjut atas keputusan Perdana Menteri
tersebut, dengan tujuan dapat melindungi hak-hak anak melalui
pembentukan jaringan kerja dengan lembaga-lembaga pemerintah,
pengadilan, kejaksaan, kepolisian, lembaga keagamaan dan organisasi-
organisasi non pemerintah lainnya, baik di tingkat daerah, nasional
maupun internasional terutama yang bergerak dalam bidang hak-hak
anak.
3. Prinsip-Prinsip Perlindungan Anak sebagai Pelaku Tindak
Pidana
Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan salah satu cara
untuk melindungi tunas bangsa di masa depan, karena perlindungan
hukum terhadap anak menyangkut semua aturan hukum yang berlaku
sehingga perlindungan ini perlu ada pada anak, karna anak merupakan
bagian masyarakat yang mempunyai keterbatasan secara fisik dan
mentalnya12
. Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan dan
perawatan khusus. Maka ada dua hal penting yang harus diperhatikan
dalam perlindungan anak yaitu :
a) Secara internasional pelaksanaan peradilan pidana anak
berpedoman pada Standrad Minimun Rules For the
Administration of Juvenile Justice ( The Beijing Rules)13
, yang
memuat prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Kebijakan sosial memajukan kesejahteraan remaja secara
maksimal memperkecil intervensi sistem peradilan pidana.
2. Nondiskriminasi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam
proses peradilan pidana.
3. Penentuan batas usia pertanggunjawaban kriminal terhadap
anak.
4. Penjatuhan pidana penjara merupakan upaya terkhir.
5. Tindakan diversi dilakukan dengan persetujuan anak atau
orang tua/ wali.
6. Pemenuhan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana
anak.
7. Perlindungan privasi anak pelaku tindak pidana.
12 Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, PT Refika Aditama, Hal 42 13 Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, PT Refika Aditama, Hal 11
8. Peraturan peradilan pidana anak tidak boleh bertentangan
dengan peraturan ini.
b) Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2012 tentang sistem peradilan anak pada Pasal 5 menetukan :
1) Sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan
pendekatan keadilan restroratif.
2) Sistem peradilan pidana anak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi :
a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam
undang-undag ini.
b. Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan
dilingkungan peradilan umu dan,
c. Pembinan, pembimbingan, pengawasan, dan pendamping
selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan
setelah menjalani pidana atau tindakan.
3) Dalam sistem peradilan pidana anak sebagaimana dimaksud
pada ayat ( 2 ) huruf a dan huruf b wajib diupayakan
Diversi.
Dalam penguraian mengenai kebijikan tindak pidana terhadap
pelaku anak belum memberikan uraian secara jelas khususnya di
Timor-Leste pada kedudukan dan upaya perlindungan yang harus
dilakukan.
Maka tindakan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, menurut
Indriyanto Seno Adji14
, setiap tindak pidana adalah perbuatan
seseorang yang diancam pidana, perbuatan bersifat melawan hukum,
terdapat kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya, sedangkan menurut Roeslam Saleh15
orang baru
akan pidana apabila mempunyai unsur kesalahan, sebagaimana salah
satu asas yang dikenal dalam hukum pidana yaitu tidak dipidana
apabila tidak ada kesalahan. Suatu perbuatan akan menjadi
perbuatuan pidana apabila terdapat unsur yang dilarang, atau aturan
pidana dan pelakunya diancam dengan pidana, tetapi pada sifat dari
perbuatan tersebut akan diketahui adanya unsur melawan hukum.
Dengan demikian kebijikan hukum pidana sebagai upaya
perlindungan terhadap pelaku anak, pengajian perlunya perlindungan
terhadap pelaku anak menurut Romli Atmasasmita dan Wagiati
14 Jantung,jt.blogstop.com, Chairul Anwar, 2005 : 25 – 26 Hal. 15 Jantung ,jt.blogstop.com, Roeslan Saleh, 1983 : 13
Soetodjo16
, dilihat dari motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari
kenakalan anak :
1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-
anak adalah;
a. Faktor Usia.
b. Faktor kelamin.
c. Faktor kedudukan anak dalam keluarga.
d. Faktor intelegensia.
2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah :
a. Faktor Rumah Tangga.
b. Faktor Pendidikan dan sekolah.
c. Faktor pergaulan anak.
d. Faktor media masa.
Berbagai faktor tersebut memungkinkan bagi anak untuk
melakukan kenakalan dan kegiatan kriminal yang dapat membuat
mereka terpaksa berhadapan dengan hukum dan sistim peradilan
pidana, dan menurut Marc Ancel masa media dipahami berpengaruh
pula terhadap perkembangan anak, keinginan atau kehendak anak
untuk melakukan kenakalan, kadangkala timbul karena pengaruh
16 Nashriana, perlindungan hukum pidana anak di Indonesia,cek 3 Jakarta 2014, Hal 36 dan
Hal 44
bacaan, gambar-gambar, dan flim, maka bagi anak yang mengisi
waktu sesunguhnya dengan bacaan yang buruk, maka hal itu akan
berbahaya dan dapat menghalangi mereka untuk berbuat hal – hal
yang baik, dengan demikian pula tontonan yang berupa gambar-
gambar porno akan memberikan rangsangan seks terhadap anak,
karena rangsangan seks tersebut akan berpengaruh negatif terhadap
perkembangan anak. Kondisinya yang desrtuktif ini dapat
berengaruh negatif terhadap perkembangan perilaku anak, dan
disinilah dituntu peran orang dewasa, baik orang tua, lingkungan
sekolah dan lingkungan sosial agar menjauhkan anak dari segala
sesuatu baik film atau bacaan – bacaan yang berpengaruh terhadap
perkembangan jiwa si anak.
Berdasarkan perlindungan terhadap pelaku anak, ada beberapa
alasan-alasan yang memberatkan pelaku anak diperoleh dari
pengamatan watak pelaku anak, menurut Jeremy Bentham17
adalah:
1) Semakin pihak yang dirugikan tidak mampu mempertahankan
diri semakin kuat perasaan iba. Hukum kehormatan yang
menunjang naluri iba itu melunakan sifaf yang keras terhadap
17 Teori Perundang – Undang : Prinsip – Prinsip, Hukum Perdata dan Hukum Pidana,
Penerbit nuansa cendekia & nusamedia.Hal 293.
pihak yang lemah dan memperlihatkan belaskasihan kepada
mereka yang tidak sanggup melawan.
2) Jika kelemahan saja pasti membangkitkan belaskasihan, melihat
penderitaan seharusnya semakin menguatkan belaskasih itu.
Penolakan untuk membantu orang yang tertimpah kemalangan
sendiri sudah menyiratkan watak yang kurang menyenangkan.
3) Salah satu bagian utama dari pmeliharaan kebersihan akhlak
bahwa mereka yang sudah mampu membentuk kebiasaan
berefleksi yang lebih unggul, mereka yang lebih bijaksana dan
berpengalaman, harus dihormati dan dihargai oleh orang-orang
yang tidak mampu mmencapai kebiasaan berefleksi dan manfaat
pada tingkat pendidikan yang sama.
4) Motif-motif yang relatif ringan dan sepele sebagai penyebab
kejahatan membuktikan bahwa perasaan kehormatan dan
kebijakan sedikit sekali pengaruhnya.
5) Waktu terutama mendukung perkembangan motif-motif
penuntun serangan pertama nafsu seperti terpaan badai untuk
pertama kalinya perasaan kebijakan menyimpang untuk sesaat,
namun jika hati tersesat, refleksi pada saat itu juga akan
mengembalikan kekuatan kebajikan dan kembali berkuasa atas
nafsu.
6) Pertanda lain keburukan akhlak adalah banyaknya anak buah,
gerombolan memerlukan pemikiran, serta perencanaan yang
terus menerus berlanjut.
Dengan demikian menurut Anthoy M. Platt18
prinsip dari perlindungan
terhadap anak adalah :
1) Anak harus dipisahkan dari pengaruh kerusakan dari penjahat
dewasa.
2) Anak nakal harus dijauhkan dari lingkungannya yang kurang
baik dan diberi perlindungan yang baik, karena anak harus
dijaga dengan panduan cinta dan bimbingan.
3) Perbuatan anak nakal harus diupayakan untuk tidak dihukum,
kalaupun dihukum harus dengan ancaman hukuman yang
minimal dan bahkan penyelidikan tidak diperlukan karena
terhdap anak harus diperbaiki bukan hukum.
4) Terhadap anak nakal tidak ditentukan hukuman baginya, karena
menjadi narapidana akan menbuat perjalan hidupnya sebagai
mantan orang hukuman.
5) Hukuman terhadap anak hanya dijalankan jika tidak ada lagi
cara lain yang lebih baik dijalankan.
18Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia pengembagan konsep Diversi, Cek 1,PT
Refika Aditama, Bandung 2009, Hal 59.
6) Penjara terhadap anak dihindarkan dari bentuk penderitaan fisik
yag buruk.
7) Program perbaikan yang dilakukan lebih bersifat keagamaan,
pendidikan, pekerjaan, tidak melebihi pendidikan dasar.
8) Terhadap narapidana anak diberi pengajaran yang lebih baik
menguntungkan dan terarah pada keadaan dunia luar.
1. Perlindungan Anak
Pada perlindungan anak merupakan segala usaha yang dilakukan
untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar
baik fisik,mental, dan sosial. Perlindungan anak yaitu perwujudan
adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan
anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan
bermasyarakat. Maka Arif Gosita19
mengemukan bahwa kepastian
hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak
dan mencegah penyelewenan yang membawa akibat negatif yang tidak
diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak.
19 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, PT Refika Aditama, hal 33
2. Konvensi Hak Anak
Berdasarkan perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak
pidana, maka ada beberapa alasan - alasan yang harus di pengamatankan
dari kovensi hak anak yang tercantum dalam pasal 3 dan pasal 12.
Pasal 3
1. Dalam semua tindakan mengenai anak, yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga kesejahteraan sosial negara atau swasta,
pengadilan hukum , penguasa administratif atau badan legislatif,
kepentingan-kepentingan terbaik anak harus merupakan
pertimbangan utama.
2. Negara-negara Pihak berusaha menjamin perlindungan dan
perawatan anak-anak seperti yang diperlukan untuk
kesejahteraannya, dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban orang tuanya, wali hukumnya atau orang-orang lain
yang secara sah atas dia, dan untuk tujuan ini, harus mengambil
semua tindakan legislatif dan administratif yang tepat.
3. Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa berbagai lembaga,
pelayanan, dan fasilitas yang bertanggung jawab atas perawatan
dan perlindungan tentang anak, harus menyesuaikan diri dengan
standar-standar yang ditentukan oleh para penguasa yang
berwenang, terutama di bidang keselamatan, kesehatan, dalam
jumlah dan kesesuaian staf, mereka dan juga pengawasan yang
berwenang.
Pasal 12
1. Negara-negara Pihak harus menjamin bagi anak yang mampu
membentuk pendapatnya sendiri, hak untuk mengutarakan
pendapat-pendapat tersebut dengan bebas dalam semua masalah
yang mempengaruhi anak itu, pendapat - pendapat anak itu diberi
bobot yang semestinya sesuai dengan umur dan kematangan si
anak.
2. Untuk tujuan ini, maka anak terutama harus diberi kesempatan
untuk didengar pendapatnya dalam persidangan-persidangan
pengadilan dan administratif yang mempengaruhi anak itu, baik
secara langsung, atau melalui suatu perwakilan atau badan yang
tepat, dalam suatu cara yang sesuai dengan peraturan-peraturan
prosedur hukum nasional.
3. Tindak Pidana Oleh Anak
Terkaik tindak pidana oleh anak, Olivia Sembiring dalam
tulisnya yang berjudul perlindungan hukum terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum, mendefenisikan Juvenile Delinquency
sebagai perilaku jahat (dursila) atau kejahatan atau kenakalan anak-anak
muda yangmerupakan gejala sakit (patalogis) secara sosial kepada anak-
anak danremaja yang disebabkan oleh bentuk tingkah laku yang
menyimpang.
Differential Assosiation Theory yang dikemukakan oleh E.
Sutherland dan Donald Cressey pada dasarnya melandaskan diri pada
proses belajar,kejahatan seperti juga perilaku pada umumnya sesuatu
yang dipelajar Teori ini menjelaskan bagaimana proses terjadinya
perilaku kejahatan oleh anak dipengaruhi faktor-faktor di luar keinginan
anak.
Differential Association diartikan sebagai “the contens of the
patterns presented in association”.20
Ini tidak berarti bahwa hanya
pergaulan dengan penjahat yang akan menyebabkan perilaku kriminal,
akan tetapi yangterpenting adalah isi dari proses komunikasi dari orang
lain. Kemudian, pada tahun 1947 Edwin H. Sutherland menyajikan versi
kedua dari teori Differential Association yang menekankan bahwa
semua tingkah laku itudipelajari, perilaku kejahatan bukan merupakan
suatu warisan (inheritance) melainkan perilaku yang dipelajari oleh anak
secara negatif dari dari oranglain dan lingkungan sekitar.
20 Wagiati Soetodjo, 2006, Hukum Pidana Anak, PT. Refika Aditama, Bandung
4. Teori Pemidanaan
Salah satu cara untuk mencapai tujuan hukum pidana adalah
menjatuhkan pidana terahadap seseorang yang telah melakukan tindak
pidana. Pidana itu adalah suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan
Negara kepada seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana.
Diantara para sarjana hukum diutarakan bahwa tujuan hukum pidana
adalah sebaagi berikut21
:
1. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan
kejahatan,baik secara menakut-nakuti orang banyak maupun orang
tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar dikemudian hari
tidak melakukan kejahatan lagi.
2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah
menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang
baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.
Leden Marpaung berpendapat pada dasarnya ada tiga pokok
dari tujuan pemidanaan yaitu :
1. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri.
2. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan.
21 Leden Marpaung, 2005. Asas – Teori – pratik Hukum Pidana., Jakarta : Sinar Grafika
Hlm 4.
3. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu
untuk melakukan kejahatan lagi.
Alasan pemidanaan dapat digolongkan dalam tiga golongan
pokok, yaitu sebagai golongan teori pembalasan, golongan teori tujuan
dan kemudian di tambah dengan golongan teori gabungan.
a. Teori Pembalasan ( Teori Absolut )
Teori pembalasan membernarkan pemidanaan karena seseorang telah
melakukan suatu tindak pidana, terhadap pelaku tindak pidana mutlak
harus diadakan pembalasan yang berupa pidana. Tidak dipersoalkan
akibat dari pemidanaan bagi terpidana,bahkan pertimbangan untuk
pemidanaan hanyalah masa lampau, maksudnya masa terjadinya
timdak pidana itu. Immauel Kant menyatakan bahwa pemidanaa
merupakan tuntuntan mutlak dari kesusilan ( Etika ) terhadap seorang
penjahat. Ahli Filsafat ini menyatakan bahwa dasar dari pemidanaan
adalah tuntuta mutlak dari hukum kesusilaan dari seorang penjahat
yang telah merugikan orang lain., Sehubungan dengan itu, Kant
menyatakan “Walupun besok dunia mau kiamat, namun penjahat
terakhir harus menjalankan pidananya.”
b. Teori Tujuan ( Teori Relatif )
Teori-teori yang termasuk golongan teori tujuan membernarkan
pemidanaan berdasarkan atau tergantung kepada tujuan pemidanaan,
yaitu : untuk perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadinya
kejahatan. Perbedaan dari beberapa teori tujuan, terletak pada caranya
untuk mencapai tujuan penilaian terhadap kegunan pidana.
Diancamkan suatu pidana dan dijatuhkan pidana dimaksudkan untuk
menaku-nakuti calon penjahat atau penjahat yang bersangkutan untuk
memperbaiki penjahat, untuk menyingkirkan penjahat, atau prevensi
umum.
c. Teori Gabungan
Kemudian munjulah golongan ketiga yang mendasarkan pemidanaan
kepada perpanduan teori pembalasan dengan teori tujuan yang disebut
sebagai teori gabungan22
. Dikatakan bahwa teori pembalasan dan
teori tujuan masing-masing mempunyai kelemahan – kelemahan,
untuk mana dikemukakan keberatan-keberatannya sebagai berikut :
Terhadap Teori Pembalasan :
1. Sukar menentukan berat atau ringannya pidana, atau ukuran
pembalasan tidak jelas.
2. Diragukan adanya hak Negara untuk menjatuhkan pidana
sebagai pembalasan.
22 Kenter dan Sinatur, 2002. Asas – Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Perapannya.
Jakarta : Storia Grafika. Hlm 59 – 63.
3. Hukum pidana sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi
masyarakat.
Terhadap Teori Tujuan :
1. Pidana hanya ditujunkan untuk mencegah kejahatan, sehingga
dijatuhkan pidana yang berat.
2. Jika ternyata kejahatan itu ringan, maka penjatuhan pidana yang
berat tidak memenuhi rasa keadilan.
3. Bukan hanya masyarakat yang diberi kepuasan, tetapi juga pada
penjahat itu sendiri.
F. METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan adalah yuriditis normatif23
dengan menggunakan
bahan sekunder dan atau bahan pustaka. Penelitian normatif adalah suatu
proses untuk menemukan suatu proses untuk menemukan suatu aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk
menjawab permasalahan yang dihadapi.
23 Peter Mahmud ( Dalam Mukti Fajar ND & Yulianto Achmad ) Dualisme Penelitian
Hukum, Normafit dan Emprik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010. Hal 34
2. Metode Penelitian
Metode Penelitian ini adalah menggunakan metode perundang-undangan
yaitu suatu penelitian yang dilakukan penelitian khususnya terhadap
kebijakan hukum pidana Timor Leste dalam dalam upaya perlindungan
terhadap Anak sebagai pelaku Tindak Pidana.
3. Sumber bahan hukum
a) Bahan Hukum Primer adalah terdiri dari peraturan perundang-
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan.
b) Bahan hukum sekunder adalah terdiri dari semua publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumentasi resmi. Publikasi
tentang hukum dapat berupa buku teks, kamus hukum dan jurnal
hukum.
Dalam penelitian ini, penelitian akan menggunakan sumber data
yang diperoleh dari data primer yang berupa peraturan perundang-
undangan KUHP dan KUHAP/CCP Timor-Leste, dan data
sekunder atau literatur yang dapat menunjang penelitian ini.
4. Analisis bahan hukum
Analisis hukum diperlukan dalam penelitian ini adalah analisis
kuantitatif. Dengan demikian, penelitian akan melakukan penggambaran
atau deskripsi pada pokok permasalahan yang terjadi dan diuraikan serta
dianalisis secara normatif.
Dengan menggunakan metode ini, maka data-data sekunder akan
dilakukan inventarisasi dan disusun secara sistematis untuk menghasilkan
analisis deskriptif.
Recommended