View
214
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Belajar dan Belajar Matematika
2.1.1 Pengertian Belajar
Menurut Hudoyo (1998), seseorang dikatakan belajar bila diasumsikan
bahwa di dalam diri orang itu terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan
perubahan tingkah laku.
Winkel (dalam Alhadad, 2001), menyatakan bahwa belajar adalah suatu
aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan
yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan
nilai sikap.
Winataputra, dkk. (1992), menyatakan bahwa proses belajar mencakup
keseluruhan aktivitas peserta didik (siswa) dalam mencari dan/atau menerima
serta mengolah informasi, melibatkan diri dalam interaksi sosial, bersikap,
berbuat, mengatur dan memantapkan peri laku.
Belajar merupakan kegiatan aktif siswa dalam membangun makna atau
pemahaman. Istilah belajar berarti suatu proses perubahan sikap dan tingkah laku
setelah terjadinya interaksi antara siswa dengan sumber belajar. Sumber belajar ini
dapat berupa buku (sumber informasi lainnya), lingkungan (alam, sosial, budaya),
guru atau sesama teman (Depdikbud, 1994b).
Tidak semua perubahan sikap dan tingkah laku yang terjadi pada diri
seseorang terjadi karena proses belajar. Perubahan yang terjadi karena proses
belajar memiliki ciri-ciri tertentu.
5
6
Ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam belajar tersebut menurut Slameto
(1980) adalah: (1) perubahan itu terjadi secara sadar, (2) perubahan itu bersifat
kontinu dan fungsional, (3) perubahan itu bersifat positif dan aktif, (4) perubahan
itu bukan bersifat sementara, (5) perubahan itu memiliki tujuan dan terarah dan
(6) perubahan itu mencakup seluruh aspek tingkah laku. Menurut Fontana (dalam
Winataputra, dkk. 1992), ciri pokok belajar adalah sebagai proses perubahan
perilaku yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman.
Dari berbagai pendapat di atas menunjukkan bahwa, yang dimaksud
dengan belajar adalah keseluruhan aktivitas seseorang dalam berinteraksi secara
aktif dengan sumber belajar, sehingga secara sadar terjadi berbagai perubahan
yang kontinu dan bersifat positif pada keseluruhan aspek mental, sikap dan
tingkah laku orang tersebut. Sumber belajar dalam hal ini dapat berupa
lingkungan (alam, sosial, budaya), guru atau sesama teman.
2.1.2. Pengertian Belajar Matematika
Salah satu karakteristik matematika adalah keseluruhan objek kajiannya
abstrak. Oleh karenanya untuk mempelajari matematika tentu diperlukan cara
khusus yang tidak sama dengan mempelajari mata pelajaran lain. Berikut ini
dipaparkan tentang bagaimana seharusnya belajar matematika.
Menurut Sukahar (1992), belajar matematika pada hakekatnya adalah
belajar yang berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur yang diatur menurut
urutan logis. Belajar matematika tidak ada artinya kalau hanya dihafalkan saja.
Belajar matematika baru bermakna bila dimengerti.
7
Selanjutnya Hudoyo (1988), mengemukakan bahwa belajar matematika
merupakan kegiatan mental yang tinggi, karena matematika berkaitan dengan ide-
ide abstrak yang diberi simbol-simbol yang tersusun secara hirarkis dan
penalarannya deduktif. Untuk mempelajari matematika haruslah bertahap,
berurutan serta mendasarkan pada pengalaman belajar yang lalu (sebelumnya).
Proses belajar matematika akan terjadi dengan lancar bila dilakukan secara
kontinu (rutin).
Sejalan dengan itu Soedjadi (1995), menyatakan bahwa untuk dapat
menguasai matematika diperlukan cara belajar yang berurutan, setapak demi
setapak dan berkesinambungan.
Sementara menurut pandangan kontrukstivis, seperti dikemukakan oleh
Lochhead (dalam Orthon, 1991), … that knowledge is not entity which can be
simply transferred from those who have to those who don’t … knowledge is
something which each individual leaner must contruct for and by himself.
Kutipan Lochhead tersebut intinya menyatakan … bahwa pengetahuan
bukan merupakan entitas yang dapat ditransfer dari mereka yang telah memiliki
pengetahuan kepada mereka yang belum memiliki pengetahuan, melainkan
pengetahuan itu harus dikonstruksi (dibangun) oleh siswa sendiri.
Dari berbagai pendapat di atas menunjukkan bahwa belajar matematika
merupakan kegiatan mental yang tinggi, harus dilakukan secara berurutan, setapak
demi setapak, kontinu, menggunakan pengalaman belajar sebelumnya, lebih
mengutamakan pengertian dari pada hafalan dan harus mengkonstruksi
(membangun) sendiri pengetahuannya melalui kegiatan aktif dalam belajar.
8
2.1.3. Tes Hasil Belajar
Tes sebagai alat penilaian adalah pertanyaan-pertanyaan yang diberikan
kepada siswa untuk mendapatkan jawaban dari siswa dalam bentuk lisan, atau
bentuk tulisan. Tes pada umumnya digunakan untuk menilai dan mengukur hasil
belajar siswa, terutama hasil belajar kognitif berkenaan dengan penguasaan bahan
pelajaran yang sesuai.
Menurut Ebel dan Frisbie (Zainul & Nasoetion, 1997) test is a measure
countaining a set of questions, each of which can be said have a correct answer.
Hal tersebut berarti bahwa tes merupakan suatu alat ukur yang berisi sejumlah
pertanyaan yang masing-masing memiliki jawaban yang benar. Tes hasil belajar
haruslah disusun atas butir-butir soal yang terpilih, yang secara akademik dapat
dipertanggungjawabkan sebagai sampel yang representative dari ilmu atau bidang
studi yang diuji dengan perangkat tes. Pemilihan butir soal tidak mungkin
dilakukan secara acak. Hanya seorang ahli dalam bidang studi yang tahu secara
lebih baik apakah butir-butir soal itu cukup representative atau tidak (Zainul &
Nasoetion, 1997).
Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa tes
adalah suatu alat untuk mengukur apakah siswa telah mencapai tujuan
pembelajaran yang telah disusun.
Tes dapat dipilah-pilah ke dalam berbagai kelompok. Bila dilihat
konstruksinya maka tes dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
(1) menurut bentuknya: tes bentuk uraian dan tes bentuk objektif,
9
(2) menurut tipenya: butir tes uraian dapat diklasifikasikan ke dalam dua tipe,
yaitu tes uraian terbatas, dan tes uraian bebas. Butir tes objektif menurut
tipenya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu tes benar-salah, butir tes menjodokan,
dan butir tes pilihan ganda. Dalam penelitian ini tes yang digunakan adalah tes
uraian.
Secara umum tes uraian adalah pertanyaan yang menuntut siswa
menjawab dalam bentuk menguraikan, menjelaskan, mendiskusikan, memberi
alasan, dan bentuk lain yang sejenis sesuai dengan tuntutan pertanyaan dengan
mengunakan kata-kata dan bahasa sendiri. Dengan demikian, dalam tes ini
dituntut kemampuan siswa dalam hal mengekspresikan gagasannya melalui
bahasa tulisan (Sudjana, 1989). Harus diakui bahwa tes uraian dalam banyak hal
mempunyai kelebihan daripada tes objektif, terutama dalam hal meningkatkan
kemampuan menalar di kalangan siswa. hal ini ialah karena melalui tes ini para
siswa dapat mengungkapkan aspek kognitif tingkat tinggi seperti analisa, sintesa
baik secara lisan maupun secara tulisan (Sudjana, 1989).
Agar diperoleh soal-soal bentuk uraian yang dikatakan memadai sebagai
alat penilaian hasil belajar, hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut.
a. Dari segi isi yang diukur
Segi isi yang diukur hendaknya ditentukan secara jelas abilitasnya,
misalnya pemahaman konsep, aplikasi suatu konsep, analisa suatu permasalahan,
dan aspek kognitif lainnya. Dengan kejelasan apa yang akan diungkapkan maka
soal yang dibuat hendaknya mengungkapkan kemampuan siswa dalam abilitas
tersebut.
10
Setelah abilitas yang hendak diukur cukup jelas, tetapkan materi yang
ditanyakan. Dalam memilih materi sesuai dengan kurikulumnya, pilihlah materi
yang esensial sehingga tidak semua materi perlu ditanyakan.
b. Dari segi bahasa
Gunakan bahasa yang baik dan benar sehingga mudah diketahui makna
yang terkandung dalam rumusan pertanyaan. Bahasanya sederhana, singkat, tetapi
jelas apa yang ditanyakan. Hindari bahasa yang berbelit-belit, membingungkan,
atau mengecoh siswa.
c. Dari segi jawaban
Setiap pertanyaan yang hendak diajukan sebaiknya telah ditentukan
jawabannya yang diharapkan. Tentukan pula besarnya skor maksimal utuk setiap
soal yang dijawab benar.
Mengingat sifat tes uraian lebih mengutamakan kekuatan (power tests)
bukan kecepatan (speed tests), maka dalam pelaksanaan tes hendaknya
diperhatikan (1) waktu siswa mengerjakan soal, (2) berikan kemungkinan kepada
siswa mengerjakan soal-soal yang mudah terlebih dahulu, (3) ada baiknya, jika
siswa telah selesai mengerjakan soal dijelaskan jawaban setiap soal.
Proses adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam mencapai tujuan
pengajaran, sedangkan hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki
siswa setelah ia menerima pengalaman belajar. Dalam sistem pendidikan nasional
rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional,
menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis
11
besar membaginya menjadi tiga ranah yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan
ranah psikomotoris.
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri
dari tiga aspek, yakni pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, dan
pemecahan masalah. Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima
aspek yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan
internalisasi. Ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar keterampilan
dan kemampuan bertindak.
Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar. Di antara
ketiga ranah tersebut, ranah kognitif dan afektif yang paling banyak dinilai oleh
guru dan sekolah karena berkaitan dengan kemampuan dan sikap para siswa
dalam menguasai isi materi pelajaran. Dalam penelitian ini kemampuan hasil
belajar siswa yang dinilai hanya berhubungan dengan ranah kognitif dan afektif
saja.
Ranah kognitif pada materi bangun ruang sisi datar tertuang dalam
indikator yang harus dikuasai siswa yaitu : menyebutkan unsur-unsur kubus,
balok, prisma, dan limas : rusuk, bidang sisi diagonal bidang sisi, diagonal ruang,
dan bidang diagonal, menemukan rumus luas permukaan kubus, balok, limas dan
prisma tegak, menghitung luas permukaan kubus, balok, prisma dan limas,
menentukan rumus volume kubus, balok, prisma, limas, menghitung volume
kubus, balok, prisma, limas. Ranah kognitif ini diukur dengan menggunakan soal
tes uraian yang disusun melalui MGMP mata pelajaran matematika kabupaten
HSU.
12
Sedangkan 5 (lima) ranah afektif yang diuraikan di atas diukur dengan
aktivitas-aktivitas, yaitu mendengar/memperhatikan penjelasan guru, membaca
buku/LKS, bekerja dalam kelompok/mengerjakan LKS/ menggunakan/
memperagakan alat peraga/ menulis hal yang relevan dalam KBM, bertanya pada
guru/siswa, dan perilaku yang tidak relevan dalam KBM.
2.2 Model Pembelajaran Kooperatif
Ibrahim (2001) menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif
dikembangkan untuk mencapai tiga macam tujuan pembelajaran, yaitu: hasil
belajar akademik; penerimaan terhadap keragaman; dan pengembangan terhadap
keterampilan sosial. Pembelajaran kooperatif dalam tujuan untuk mencapai hasil
belajar akademik, dapat meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik.
Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa
memahami konsep-konsep yang sulit. Pembelajaran kooperatif juga memberikan
efek terhadap penerimaan terhadap keberagaman ras, budaya, kelas sosial, gender,
serta tingkat kemampuan. Selain itu yang juga sangat penting, pembelajaran
kooperatif sangat jitu untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan untuk
bekerjasama, di mana keterampilan ini sangat dibutuhkan di dalam masyarakat.
Uraian di atas, mendorong perlunya pelaksanaan belajar kooperatif dalam
pembelajaran khususnya pembelajaran matematika. Menurut Johnson & Johnson
(1994) pelaksanaan belajar kooperatif sangat diperlukan karena dengan belajar
kooperatif dapat diperoleh bahwa (1) siswa dapat belajar lebih banyak, (2) siswa
lebih menyukai lingkungan persekolahan, (3) siswa lebih menyukai satu sama
13
lain, (4) siswa mempunyai penghargaan yang lebih besar terhadap diri sendiri, dan
(5) siswa belajar keterampilan sosial secara lebih efektif..
Davidson (1991) memberikan sejumlah implikasi positif dalam belajar
matematika dengan menggunakan strategi belajar kooperatif, yaitu sebagai
berikut.
(1) Kelompok kecil memberikan dukungan sosial untuk belajar matematika.
Kelompok kecil membentuk suatu forum dimana siswa menanyakan
pertanyaan, mendiskusikan pendapat, belajar dari pendapat orang lain,
memberikan kritik yang membangun dan menyimpulkan penemuan mereka
dalam bentuk tulisan.
(2) Kelompok kecil menawarkan kesempatan untuk sukses bagi semua siswa
dalam matematika. Interaksi dalam kelompok dirancang untuk semua anggota
mempelajari konsep dan strategi pemecahan masalah.
(3) Masalah matematika idealnya cocok untuk diskusi kelompok, sebab memiliki
solusi yang dapat didemonstrasikan secara objektif. Seorang siswa dapat
mempengaruhi siswa lain dengan argumentasi yang logis.
(4) Siswa dalam kelompok dapat membantu siswa lain untuk menguasai masalah-
masalah dasar dan prosedur perhitungan yang perlu dalam konteks permainan,
teka-teki, atau pembahasan masalah-masalah yang bermanfaat.
(5) Ruang lingkup matematika dipenuhi oleh ide-ide menarik dan menantang
yang bermanfaat bila didiskusikan.
14
Belajar kooperatif dapat berbeda dalam banyak cara, tetapi dapat
dikategorikan sesuai dengan sifat berikut (1) tujuan kelompok, (2) tanggung
jawab individual, (3) kesempatan yang sama untuk sukses, (4) kompetisi
kelompok, (5) spesialisasi tugas, dan (6) adaptasi untuk kebutuhan individu
(Slavin, 1995). Terdapat berbagai pembelajaran kooperatif di antaranya adalah
STAD, Jigsaw, Group Investigasi dan Teams Games Tournament.
2.2.1. Students Teams Achievement Divisions (STAD)
STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan koleganya di Universitas
John Hopkin (Ibrahim dkk, 2000; Ratumanan, 2002). Dalam STAD, siswa
dibentuk dalam kelompok belajar yang terdiri dari 4 atau 5 orang dari berbagai
kemampuan, gender dan etnis. Dalam praktiknya, guru menyajikan pelajaran dan
kemudian siswa bekerja dalam kelompok untuk memastikan bahwa semua
anggota kelompok telah menguasai materi. Selanjutnya, siswa menghadapi tes
individual. STAD mempunyai 4 komponen, yaitu (1) presentasi kelas, (2) kerja
kelompok, (3) kuis atau tes, dan (4) penilaian kelompok (Slavin, 1995).
2.2.2. Jigsaw
Jigsaw dikembangkan pertama kali oleh Elliot Aronson dan koleganya di
Universitas Texas (Ibrahim dkk., 2000 dan Ratumanan, 2002). Dalam belajar
kooperatif tipe jigsaw, siswa bekerja dalam kelompok seperti pada STAD. Siswa
diberi materi untuk dipelajari. Masing-masing anggota kelompok secara acak
ditugaskan untuk menjadi “ahli (expert)” pada suatu aspek tertentu dari materi.
Setelah membaca dan mempelajari materi, “ahli” dari kelompok berbeda
berkumpul untuk mendiskusikan topik mereka dan kemudian kembali ke
15
kelompok semula untuk mengajarkan topik yang mereka kuasai kepada teman
sekelompoknya. Terakhir diberikan tes atau assesmen yang lain pada semua topik
yang diberikan.
2.2.3. Group Investigasi
Group Investigasi dikembangkan oleh Shlomo & Yael Sharon di
Univesitas Tel Aviv (Slavin, 1995). Group Investigasi adalah strategi belajar
kooperatif yang menempatkan siswa ke dalam kelompok untuk melakukan
investigasi terhadap suatu topik. Seperti pada strategi belajar kooperatif lainnya,
Group Investigasi menggunakan atau memanfaatkan bantuan dan kerja sama
siswa sebagai alat dasar belajar. Satu hal yang berbeda bahwa Group Investigasi
mempunyai fokus utama untuk melakukan investigasi terhadap suatu objek atau
topik khusus (Eggen & Kauchak, 1996).
2.2.4. TGT (Teams Games Tournament)
TGT atau dalam Bahasa Indonesia Tim-Permainan-Turnamen. Siswa
memainkan permainan dengan anggota-anggota tim lain untuk memperoleh poin
untuk skor tim mereka. Permainan disusun dari pertanyaan-pertanyaan yang
relevan dengan pelajaran yang dirancang untuk mengetes pengetahuan yang
diperoleh siswa dari penyampaian pelajaran di kelas atau pengetahuan yang
diperoleh dari kegiatan-kegiatan dan tugas-tugas kelompok. Permainan dapat
dimainkan pada meja turnamen, yang diisi oleh wakil-wakil kelompok berbeda
namun memiliki tingkat kemampuan yang sama.
Permainan pada TGT dapat berupa pertanyaan-pertanyaan yang ditulis
pada kartu-kartu yang diberi angka. Tiap siswa, misalnya, akan mengambil sebuah
16
kartu yang diberi angka dan berusaha untuk menjawab pertanyaan yang sesuai
dengan angka tersebut. Turnamen ini memungkinkan semua siswa dari semua
tingkat untuk menyumbangkan poin bagi peningkatan skor kelompoknya jika
mereka berusaha secara maksimal. Turnamen ini dapat berperan sebagai reviu
materi pelajaran.
Berdasarkan kesamaan dan perbedaan masing-masing tipe, pada
pembelajaran kooperatif tipe TGT (Teams Games Tournament) mengakomodasi
usaha-usaha setiap individu anggota kelompok, tapi juga tetap memberikan
penilaian terhadap usaha-usaha kerja kelompok. Tipe TGT ini juga mempunyai
kelebihan karena pembelajaran disusun dalam bentuk permainan (games) yang
dikemas dalam sebuah turnamen (tournament), sehingga menjadi sebuah
pembelajaran yang menarik. Dengan pembelajaran yang menarik tersebut
diharapakan siswa lebih tertarik dalam pembelajaran sehingga berimbas pada hasil
belajar siswa.
2.3 Pembelajaran Kooperatif Model TGT
TGT adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menempatkan
siswa dalam kelompok - kelompok belajar yang beranggotakan 5 sampai 6 orang
siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin dan suku kata atau ras yang
berbeda. Guru menyajikan materi, dan siswa bekerja dalam kelompok mereka
masing - masing. Dalam kerja kelompok guru memberikan LKS kepada setiap
kelompok. Tugas yang diberikan dikerjakan bersama - sama dengan anggota
kelompoknya. Apabila ada dari anggota kelompok yang tidak mengerti dengan
tugas yang diberikan, maka anggota kelompok yang lain bertanggungjawab untuk
17
memberikan jawaban atau menjelaskannya, sebelum mengajukan pertanyaan
tersebut kepada guru. Akhirnya untuk memastikan bahwa seluruh anggota
kelompok telah menguasai pelajaran, maka seluruh siswa akan diberikan
permainan akademik. Dalam permainan akademik siswa akan dibagi dalam meja-
meja turnamen, dimana setiap meja turnamen terdiri dari 5 sampai 6 orang yang
merupakan wakil dari kelompoknya masing - masing. Dalam setiap meja
permainan diusahakan agar tidak ada peserta yang berasal dari kelompok yang
sama. Siswa dikelompokkan dalam satu meja turnamen secara homogen dari segi
kemampuan akademik, artinya dalam satu meja turnamen kemampuan setiap
peserta diusahakan agar setara. Hal ini dapat ditentukan dengan melihat nilai yang
mereka peroleh pada saat pre-test. Skor yang diperoleh setiap peserta dalam
permainan akademik dicatat pada lembar pencatat skor. Skor kelompok diperoleh
dengan menjumlahkan skor - skor yang diperoleh anggota suatu kelompok,
kemudian dibagi banyaknya anggota kelompok tersebut. Skor kelompok ini
digunakan untuk memberikan penghargaan tim berupa sertifikat dengan
mencantumkan predikat tertentu. Menurut Slavin pembelajaran kooperatif tipe
TGT terdiri dari 5 langkah tahapan yaitu : tahap penyajian kelas (class
precentation), belajar dalam kelompok (teams), permainan (geams), pertandingan
(tournament), dan perhargaan kelompok ( team recognition). Berdasarkan apa
yang diungkapkan oleh Slavin, maka model pembelajaran kooperatif tipe TGT
memiliki ciri - ciri sebagai berikut.
18
(1) Siswa Bekerja Dalam Kelompok - Kelompok Kecil
Siswa ditempatkan dalam kelompok - kelompok belajar yang
beranggotakan 5 sampai 6 orang yang memiliki kemampuan, jenis kelamin, dan
suku atau ras yang berbeda. Dengan adanya heterogenitas anggota kelompok,
diharapkan dapat memotifasi siswa untuk saling membantu antar siswa yang
berkemampuan lebih dengan siswa yang berkemampuan kurang dalam menguasai
materi pelajaran. Hal ini akan menyebabkan tumbuhnya rasa kesadaran pada diri
siswa bahwa belajar secara kooperatif sangat menyenangkan.
(1) Permainan (Games Tournament)
Dalam permainan ini, setiap siswa yang bersaing merupakan wakil dari
kelompoknya. Siswa yang mewakili kelompoknya, masing - masing ditempatkan
dalam meja - meja turnamen. Tiap meja turnamen ditempati 5 sampai 6 orang
peserta. Setiap siswa di meja turnamen diusahakan homogen. Permainan ini
diawali dengan memberitahukan aturan permainan. Setelah itu permainan dimulai
dengan membagikan kartu - kartu soal untuk bermain (kartu soal dan kunci
ditaruh terbalik di atas meja sehingga soal dan kunci tidak terbaca). Permainan
pada tiap meja turnamen dilakukan dengan aturan sebagai berikut. Pertama, setiap
pemain dalam tiap meja menentukan dulu pembaca soal dan pemain yang pertama
dengan cara undian. Kemudian pemain yang menang undian mengambil kartu
undian yang berisi nomor soal dan diberikan kepada pembaca soal. Pembaca soal
akan membacakan soal sesuai dengan nomor undian yang diambil oleh pemain.
Selanjutnya soal dikerjakan secara mandiri oleh pemain dan penantang sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan dalam soal. Setelah waktu untuk mengerjakan
19
soal selesai, maka pemain akan membacakan hasil pekerjaannya yang akan
ditangapi oleh penantang searah jarum jam. Setelah itu pembaca soal akan
membuka kunci jawaban dan skor hanya diberikan kepada pemain yang
menjawab benar atau penantang yang pertama kali memberikan jawaban benar.
Jika semua pemain menjawab salah maka kartu dibiarkan saja, permainan
dilanjutkan pada kartu soal berikutnya sampai semua kartu soal habis dibacakan.
Posisi pemain diputar searah jarum jam agar setiap peserta dalam satu meja
turnamen dapat berperan sebagai pembaca soal, pemain, dan penantang.
Permainan dapat dilakukan berkali - kali dengan syarat bahwa setiap peserta harus
mempunyai kesempatan yang sama sebagai pemain, penantang, dan pembaca
soal. Dalam permainan ini pembaca soal hanya bertugas untuk membaca soal dan
membuka kunci jawaban, tidak boleh ikut menjawab atau memberikan jawaban
pada peserta lain. Setelah semua kartu selesai terjawab, setiap pemain dalam satu
meja menghitung jumlah kartu yang diperoleh dan menentukan berapa poin yang
diperoleh berdasarkan tabel yang telah disediakan. Selanjutnya setiap pemain
kembali kepada kelompok asalnya dan melaporkan poin yang diperoleh kepada
ketua kelompok. Ketua kelompok memasukkan poin yang diperoleh anggota
kelompoknya pada tabel yang telah disediakan, kemudian menentukan kriteria
penghargaan yang diterima oleh kelompoknya.
(2) Penghargaan Kelompok
Langkah pertama sebelum memberikan penghargaan kelompok adalah
menghitung rerata skor kelompok. Untuk menghitung rerata skor kelompok
dilakukan dengan cara menjumlahkan skor yang diperoleh oleh masing - masing
20
anggota kelompok dibagi dengan banyaknya anggota kelompok. Pemberian
penghargaan didasarkan atas rata - rata poin yang didapat oleh kelompok tersebut.
Penentuan poin yang diperoleh oleh masing - masing anggota kelompok
didasarkan pada jumlah kartu yang diperoleh, seperti ditunjukkan pada tabel
berikut.
Tabel 2. Perhitungan Poin Permainan Untuk Empat Pemain
Pemain dengan Poin Bila Jumlah Kartu Yang DiperolehTop Scorer (skor tertingi) 40
High Middle Scorer (skor tinggi) 30Low Middle Scorer (skor rendah) 20
Low Scorer (skor terendah) 10
Tabel 3. Perhitungan Poin Permainan Untuk Tiga Pemain
Pemain dengan Poin Bila Jumlah Kartu Yang DiperolehTop scorer (skor tinggi) 60
Middle scorer (skor sedang) 40Low scorer (skor rendah) 20
Dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT ada beberapa
tahapan yang perlu ditempuh (Yasa, 2008), yaitu :
(1) Mengajar (Teach)
Mempresentasikan atau menyajikan materi, menyampaikan tujuan, tugas,
atau kegiatan yang harus dilakukan siswa, dan memberikan motivasi.
(2) Belajar Kelompok (Team Study)
Siswa bekerja dalam kelompok yang terdiri atas 5 sampai 6 orang dengan
kemampuan akademik, jenis kelamin, dan ras / suku yang berbeda. Setelah guru
menginformasikan materi, dan tujuan pembelajaran, kelompok berdiskusi dengan
menggunakan LKS atau alat peraga. Dalam kelompok terjadi diskusi untuk
21
memecahkan masalah bersama, saling memberikan jawaban dan mengoreksi jika
ada anggota kelompok yang salah dalam menjawab.
(3) Permainan (Games Tournament)
Permainan diikuti oleh anggota kelompok dari masing-masing kelompok
yang berbeda. Tujuan dari permainan ini adalah untuk mengetahui apakah semua
anggota kelompok telah menguasai materi, dimana pertanyaan-pertanyaan yang
diberikan berhubungan dengan materi yang telah didiskusikan dalam kegiatan
kelompok.
(4) Penghargaan kelompok (Team Recognition)
Pemberian penghargaan (rewards) berdasarkan pada rata-rata poin yang
diperoleh oleh kelompok dari permainan. Lembar penghargaan dicetak dalam
kertas HVS, dimana penghargaan ini akan diberikan kepada tim yang memenuhi
kategori rata-rata poin sebagai berikut.
Tabel 4. Kriteria Penghargaan Kelompok
Kriteria ( Rata-Rata Poin Kelompok ) Predikat30 sampai 39 Tim Kurang baik40 sampai 44 Tim Baik45 sampai 49 Tim Baik Sekali
50 ke atas Tim Istimewa(Sumber Slavin, 1995 )
Dari penjelasan model pembelajaran kooperatif di atas, maka dapat
disusun langkah-langkah pembelajaran kooperatif seperti disajikan dalam bentuk
tabel berikut ini.
22
Tabel 5. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif
Tahapan Kegiatan GuruTahap-1Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswaTahap-2Menyajikan informasiTahap-3Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar.Tahap-4Membimbing kelompok bekerja dan belajarTahap-5Evaluasi
Tahap-6Memberikan penghargaan
Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
Guru menyajikan informasi kepada siswa baik dengan peragaan atau teks.
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan perubahan efisien.
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka
Guru melakukan evaluasi (berbentuk games) untuk mengetahui hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.
2.4 Hipotesa
Dari pembahasan diatas dapat diduga bahwa pembelajaran dengan model
koperatif tife TGT( team games tournament) dapat meningkatkan hasil belajar
matematika siswa kelas VIII MTs NIPI Rakha Amuntai pada pokok bahasan
bangun ruang sisi datar tahun pelajaran 2008/2009.
Recommended