View
5
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
FARMASI
Citation preview
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1 APOTEK 2.1.1 Definisi
Menurut keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi, Apotek
adalah tempat tertentu, tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan
penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada
masyarakat.3 Pekerjaan kefarmasian menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian adalah
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.2
2.1.2 Landasan Hukum
Apotek sebagai sarana pelayanan kesehatan masyarakat, diatur dalam:
1. Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
2. Undang-Undang RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
3. Undang-Undang RI No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
4. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1965 tentang Apotek.
5. Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1990 tentang Masa Bakti dan Izin
Kerja Apoteker, yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri Kesehatan
No. 184/MENKES/PER/II/1995.
6. Republik Indonesia No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
7. Peraturan Menteri Kesehatan No. 889/MENKES/PER/V/2011 tentang
Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian
4
5
8. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002
tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pemberian Izin Apotek.
9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1027/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian
di Apotek
.
2.1.3 Tugas dan Fungsi Apotek
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 pasal 2, tugas dan
fungsi apotek adalah sebagai berikut:
a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan
sumpah jabatan.
2. Sarana farmasi yang melakukan pengubahan bentuk dan penyerahan
obat atau bahan obat.
3. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyalurkan obat yang
diperlukan masyarakat secara luas dan merata.
4. Sebagai sarana pelayanan informasi obat dan perbekalan farmasi kepada
masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya.4
2.1.4 Persyaratan Apotek
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pendirian sebuah apotek berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1027/MENKES/SK/
IX/2004 adalah : 3
2.1.4.1 Sarana dan Prasarana
Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh
masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas
tertulis kata apotek. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh
masyarakat. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat
terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainya untuk
menunjukan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko
kesalahan penyerahan, dan apoteker mudah memberikan informasi
6
obat dan konseling. Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya,
apotek harus bebas dari hewan pengerat dan serangga. Apotek memiliki
suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin.
Apotek harus memiliki:
a. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.
b. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk
penempatan brosur atau materi informasi.
c. Ruang tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan
meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi
pasien.
d. Ruang racik.
e. Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien.
Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak
penyimpan obat dan barang-barang lain tersusun dengan rapi,
terlindungi dari debu, kelembaban, dan cahaya yang berlebihan serta
diletakan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah
ditetapkan. 2.1.4.2 Tenaga Kefarmasian di Apotek
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun
2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, tenaga kefarmasian adalah tenaga
yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas apoteker dan
tenaga teknis kefarmasian. Tujuan pengaturan pekerjaan kefarmasian
untuk:
a. Memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam
memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa
kefarmasian;
b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan
Pekerjaan Kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta peraturan perundangan-undangan;
7 c. Memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan Tenaga
Kefarmasian.
Tenaga kefarmasian: a. Apoteker
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker
dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker dan untuk
melakukan pekerjaan kefarmasiannya diwajibkan memiliki :
1. Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) yaitu bukti tertulis
yang diberikan oleh Menteri Kesehatan melalui Komite Farmasi
Nasional (KFN) kepada apoteker yang telah diregistrasi
2. Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) yaitu surat izin yang
diberikan kepada apoteker untuk dapat melaksanakan pekerjaan
kefarmasian pada apotek. b. Tenaga Teknis Kefarmasian
Tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker
dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana
farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi, dan tenaga menengah
farmasi/asisten apoteker.
Dalam melaksanakan tugas pelayanan kefarmasian,
Apoteker dapat dibantu oleh apoteker pendamping yang wajib
memiliki STRA dan SIPA dan/atau tenaga teknis kefarmasian yang
wajib memiliki Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian
(STRTTK) yang dikeluarkan oleh menteri kesehatan melalui Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi.
Setiap tenaga kefarmasian yang melaksanakan pekerjaan
kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga
kefarmasian bekerja. Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek,
surat izin tersebut dapat berupa SIPA bagi apoteker dan apoteker
pendamping. Surat izin tersebut batal demi hukum apabila
8
pekerjaan kefarmasian dilakukan pada tempat yang tidak sesuai dengan
yang tercantum dalam surat izin.
2.1.5 Tata Cara Perizinan Apotek
Izin suatu apotek didapatkan, bila Apoteker Pengelola Apotek (APA) yang
bekerja sama dengan pemilik sarana telah siap dengan tempat,
perlengkapan, juga perbekalan farmasi dan perbekalan lainnya. Surat Izin
Apotek (SIA) adalah surat yang diberikan oleh Menteri Kesehatan RI
kepada apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan Pemilik Sarana
Apotek (PSA) untuk membuka apotek di suatu tempat tertentu. Untuk
mendapatkan izin apotek, APA yang bekerja sama dengan pemilik sarana
yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat, perlengkapan
termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang merupakan milik
sendiri atau milik pihak lain.
Berdasarkan KEPMENKES RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002 pasal
7 tentang Tata Cara Pemberian Izin Apotek adalah sebagai berikut : 5
1. Permohonan izin apotek diajukan apoteker kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan contoh formulir
model APT-1, dengan menyertakan lampiran sebagai berikut:
a. Salinan/fotokopi Surat Izin Kerja/Surat Penugasan Apoteker.
b. Salinan/fotokopi Kartu Tanda Penduduk Pemilik Sarana Apotek
(PSA) dan Apoteker Pengelola Apotek (APA).
c. Salinan/fotokopi denah bangunan.
d. Surat yang mengatakan status bangunan dalam bentuk akte hak
milik/sewa/kontrak.
e. Daftar asisten apoteker dengan mencantumkan nama, alamat,
tanggal lulus dan nomor surat izin kerja.
f. Asli dan salinan/fotokopi daftar terperinci alat perlengkapan
Apotek.
9
g. Surat pernyataan dari Apoteker Pengelola Apotek bahwa tidak
bekerja tetap pada perusahaan farmasi lain dan tidak menjadi
Apoteker Pengelola Apotek di Apotek lain.
h. Asli dan salinan/fotokopi surat izin atasan bagi pemohon pegawai
negeri, anggota ABRI dan pegawai Instansi Pemerintah lainnya
i. Akte perjanjian kerja sama Apoteker Pengelola Apotek dengan
Pemilik Sarana Apotek.
j. Surat pernyataan Pemilik Sarana tidak terlibat pelanggaran
peraturan perundang-undangan di bidang obat.
2. Dengan menggunakan formulir Model APT-2 Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah
menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala
Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan untuk melakukan
pemeriksaan setempat terhadap kesiapan apotek untuk melakukan
kegiatan. 3. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai Besar
Pengawas Obat dan Makanan selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja
setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat dengan
menggunakan contoh formulir model APT-3. 4. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3)
tidak dilaksanakan, apoteker pemohon dapat membuat surat pernyataan
siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas
Propinsi dengan menggunakan contoh formulir model APT-4. 5. Dalam jangka waktu dua belas (12) hari kerja setelah diterima laporan
hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (3) atau pernyataan
dimaksud ayat (4), Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat
mengeluarkan Surat Izin Apotek (SIA) dengan menggunakan contoh
formulir model APT-5.
10
6. Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
atau Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan dimaksud ayat
(3) masih belum memenuhi syarat, Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja
mengeluarkan surat penundaan dengan menggunakan contoh formulir
model APT-6.
7. Terhadap Surat Penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6),
apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum
dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
tanggal surat penundaan.
Pada pasal 9, tertulis : ”Terhadap permohonan izin apotek yang ternyata
tidak memenuhi persyaratan dimaksud pasal 5 dan atau pasal 6, atau lokasi
apotek tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 (dua
belas) hari kerja wajib mengeluarkan Surat Penolakan disertai alasan-
alasannya dengan menggunakan contoh formulir model APT-7.
Berdasarkan PERMENKES RI No.922/MENKES/PER/X/1993 pasal 8,
apabila apoteker menggunakan sarana pihak lain maka : 6
1. Penggunaan sarana dimaksud, wajib didasarkan atas perjanjian kerja
sama antara apoteker dan pemilik sarana.
2. Pemilik sarana yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi
persyaratan tidak pernah terlibat dalam pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang obat sebagaimana dinyatakan dalam
Surat Pernyataan yang bersangkutan.
2.1.6 Pencabutan Surat Izin Apotek (SIA)
Apotek harus berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1332/MENKES/SK/X/2002, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dapat mencabut Surat Izin Apotek apabila : 5
11 1. Apoteker sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Apoteker Pengelola
Apotek dan atau, 2. Apoteker tidak memenuhi kewajiban dalam menyediakan, menyimpan
dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan terjamin
keabsahannya serta tidak memenuhi kewajiban dalam memusnahkan
perbekalan farmasi yang tidak dapat digunakan lagi atau dilarang
digunakan (pasal 12) dan mengganti obat generik yang ditulis dalam
resep dengan obat paten (pasal 15 ayat 2) dan atau, 3. Apoteker Pengelola Apoteker berhalangan melakukan tugasnya lebih
dari 2 tahun secara terus-menerus dan atau, 4. Terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Obat Keras No. St. 1937
No. 541, Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan,
Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-
Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika serta ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya, 5. Surat Izin Kerja (SIK) Apoteker Pengelola Apotek tersebut dicabut dan
atau, 6. Pemilik Sarana Apotek terbukti dalam pelanggaran Perundang-
undangan di bidang obat dan, 7. Apotek tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai apotek.
Pelaksanaan pencabutan izin apotek dilakukan setelah dikeluarkan
peringatan secara tertulis kepada Apoteker Pengelola Apotek sebanyak 3
(tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 2 (dua)
bulan. Pembekuan izin apotek ditetapkan untuk jangka waktu selama-
lamanya 6 (enam) bulan sejak dikeluarkan penetapan pembekuan kegiatan
apotek. Pembekuan izin apotek dapat dicairkan kembali apabila Apotek
telah membuktikan memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan ketentuan
dalam peraturan. Pencairan izin apotek dilakukan setelah menerima laporan
pemeriksaan dari Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
12
Apabila Surat Izin Apotek dicabut, APA atau Apoteker Pengganti wajib
mengamankan perbekalan farmasinya. Pengamanan dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
1. Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotik, obat
keras tertentu dan obat lainnya serta seluruh resep yang tersedia di
apotek.
2. Narkotika, psikotropika dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang
tertutup dan terkunci.
3. Apoteker Pengelola Apotek wajib melaporkan secara tertulis kepada
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau petugas yang diberi
wewenang tentang penghentian kegiatan disertai laporan inventarisasi
yang dimaksud di atas.
2.1.7 Apoteker Pengelola Apotek
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Apoteker Pengelola Apotek (APA)
di apotek dapat berperan sebagai tenaga profesional, manager dan retailer
karena bertanggung jawab untuk menyediakan dan menjual obat, serta
memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, mampu
berkomunikasi baik kepada pasien maupun antar profesi, menempatkan diri
sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola
sumber daya secara efektif, selalu belajar sepanjang karier dan membantu
memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan
pengetahuan sesuai dengan karakter farmasis, “ Eight Stars Pharmacist :
Care giver, Communicator, Teacher, Leader, Manager, Decision-maker,
Life-Long learner dan Researcher”.
Sebelum melaksanakan kegiatannya, Apoteker Pengelola Apotek
wajib memiliki Surat Izin Apotek (SIA) yang berlaku untuk seterusnya
selama apotek masih aktif melakukan kegiatan dan APA dapat melakukan
pekerjaannya serta masih memenuhi persyaratan.
13
Sesuai dengan PERMENKES RI No. 922/MENKES/PER/X/1993, untuk menjadi Apoteker Pengelola Apotek (APA) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
6
1. Ijasahnya telah terdaftar pada Departemen Kesehatan
2. Telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker
3. Memiliki Surat Izin Kerja dari Menteri Kesehatan
4. Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksanakan
tugasnya sebagai apoteker 5. Tidak bekerja di suatu perusahaan farmasi dan tidak menjadi Apoteker
Pengelola Apotek di apotek lain.
Seorang APA bertanggung jawab terhadap keberlangsungan hidup apotek
yang dipimpinnya, juga bertanggung jawab kepada pemilik modal jika bekerja
sama dengan pemilik sarana apotek. Tugas dan kewajiban apoteker di apotek
adalah sebagai berikut : 7
1. Memimpin seluruh kegiatan apotek, baik kegiatan teknis maupun non
teknis kefarmasian sesuai dengan ketentuan maupun perundangan yang
berlaku 2. Mengatur, melaksanakan dan mengawasi seluruh kegiatan administrasi
3. Mengusahakan agar apotek yang dipimpinnya dapat memberikan hasil
yang optimal dan sesuai dengan rencana kerja dengan cara meningkatkan
omset, mengadakan pembelian yang sah dan penekanan biaya serendah
mungkin 4. Melakukan pengembangan usaha apotek.
5. Memastikan bahwa jumlah dan jenis produk yang dibutuhkan senantiasa
tersedia dan diserahkan kepada yang membutuhkan.
2.1.8 Pengelolaan Apotek
Pengelolaan apotek merupakan seluruh upaya dan kegiatan apoteker untuk
melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan di apotek. Banyak kegiatan dan
14 aspek yang harus dikelola oleh apoteker untuk dapat menjalankan fungsi
apotek dengan baik sehingga dicapai hasil yang efektif dan efisien.
Beberapa aspek diantaranya adalah sebagai berikut: 2.1.8.1 Pengelolaan Sumber Daya Manusia
1
Sumber daya manusia yang mendukung kegiatan suatu apotek terdiri
dari Apoteker Pengelola Apotek, Apoteker Pendamping, Asisten
Apoteker, Juru Resep, Kasir dan Pegawai Administrasi/ Tata Usaha.
1. Apoteker Pengelola Apotek yaitu apoteker yang telah diberi Surat
Izin Apotek (SIA). Seorang Apoteker Pengelola Apotek
bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup apotek yang
dipimpinnya, juga bertanggung jawab kepada pemilik modal (jika
berkerja sama dengan pemilik sarana apotek).
2. Apoteker Pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek
disamping Apoteker Pengelola Apotek dan atau menggantikannya
pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek.
3. Asisten Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, berhak melakukan pekerjaan
kefarmasian sebagai Asisten Apoteker dibawah pengawasan
Apoteker Pengelola Apotek atau APA.
4. Juru Resep adalah petugas yang membantu pekerjaan Asisten
Apoteker dalam menyiapkan obat menurut resep.
5. Kasir adalah petugas yang bertugas mencatat penerimaan dan
pengeluaran yang dilengkapi dengan kwitansi, nota, dan tanda
setoran.
6. Pegawai Administrasi/ Tata Usaha adalah petugas yang
melaksanakan kegiatan administrasi apotek dan membuat laporan
pembelian, penjualan, dan keuangan di apotek.
Dalam mengelola suatu apotek, Apoteker sangat berperan dan
memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Oleh karena itu, Apoteker
pengelola apotek sebelum melaksanakan tugasnya wajib memiliki Surat
Izin Apotek, Surat Izin Apotek ini akan berlaku selama apotek masih
15 aktif menjalankan kegiatan dan Apoteker Pengelola Apotek dapat
melakukan pekerjaannya serta masih memenuhi persyaratan.
Dalam KEPMENKES No. 1332/MENKES/SK/X/2002 pasal 19
dan pasal 24, disebutkan beberapa ketentuan mengenai pelimpahan
tanggung jawab pengelola apotek, yaitu: 5
Pasal 19 : 1. Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya pada
jam buka apotek, Apoteker Pengelola Apotek dapat menunjuk
Apoteker Pendamping. Apoteker Pendamping adalah Apoteker
yang bekerja di apotek disamping Apoteker Pengelola Apotek dan
atau menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka
apotek. 2. Apabila Apoteker Pengelola Apotek dan Apoteker Pendamping
karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, Apoteker
Pengelola Apotek dapat menunjuk Apoteker Pengganti. Apoteker
Pengganti adalah apoteker yang menggantikan Apoteker pengelola
apotek selama Apoteker Pengelola Apotek tersebut tidak berada
ditempat lebih dari 3 (tiga) bulan secara terus-menerus, telah
memiliki Surat Ijin Kerja dan tidak bertindak sebagai Apoteker
Pengelola di apotek lain. 3. Penunjukkan dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus dilaporkan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat dengan
menggunakan contoh formulir model APT-9. 4. Apoteker Pendamping dan Apoteker Pengganti wajib memenuhi
persyaratan yang dimaksud dalam pasal 5. 5. Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan
tugasnya lebih dari 2 (dua) tahun secara terus menerus, Surat Izin
Apotek atas nama Apoteker bersangkutan dicabut.
16
Pasal 24 :
1. Apabila Apoteker Pengelola Apotek meninggal dunia, dalam
jangka waktu dua kali dua puluh empat jam, ahli waris Apoteker
Pengelola Apotek wajib melaporkan kejadian tersebut secara
tertulis kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
2. Apabila pada apotek tersebut tidak terdapat Apoteker Pendamping,
pada pelaporan dimaksud ayat (1) wajib disertai penyerahan resep,
narkotika, psikotropika, obat keras dan kunci tempat penyimpanan
narkotika dan psikotropika.
Pada penyerahan dimaksud ayat (1) dan (2), dibuat Berita Acara
Serah Terima sebagaimana dimaksud pasal 23 ayat (2) dengan Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan menggunakan
contoh formulir model APT-11, dengan tembusan Kepala Badan/Balai
Pengawas Obat dan Makanan setempat.
2.1.8.2 Pengelolaan Perbekalan Farmasi
Cakupan pengelolaan perbekalan farmasi di apotek meliputi:
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
pengendalian, pelaporan dan evaluasi. Tujuan pengelolaan perbekalan
farmasi untuk menetapkan jenis dan jumlah perbekalan farmasi sesuai
dengan kebutuhan pelayanan kesehatan di apotek. Tahapan
perencanaan kebutuhan perbekalan farmasi meliputi3,8
:
1. Pemilihan
Fungsi pemilihan adalah untuk menentukan apakah perbekalan
farmasi benar-benar di perlukan sesuai dengan jumlah
pasien/kunjungan di apotek.
2. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan
obat di apotek yang telah direncanakan dan disetujui. Tujuan
pengadaan adalah mendapatkan perbekalan farmasi dengan harga
yang layak, dengan mutu yang baik, pengiriman yang tepat waktu,
proses berjalan lancar dan tidak butuh tenaga dan waktu berlebih.
17
Pengadaan sediaan dan perbekalan farmasi harus melalui jalur
resmi sesuai peraturan perundang-undangan. 3. Penerimaan barang :
a. Barang diterima oleh apotek lalu dilakukan pemeriksaan
apakah sesuai dengan pemesanan, memeriksa tanggal expired
date, jumlah, adakah kerusakan atau tidak.
b. Jika barang sudah dinyatakan sesuai maka barang diterima
oleh petugas di apotek dengan mencantumkan tanda terima.
c. Jika barang tidak sesuai atau mengalami kerusakan ataupun
tanggal expired date terlalu dekat maka dilakukan retur. 4. Pencatatan
Pencatatan dilakukan di buku Barang Masuk dan dicatat dikartu
stok. Pencatatan juga dilakukan dengan menggunakan sistem
komputerisasi. 5. Penyimpanan
Penyimpanan dilakukan pada rak-rak di apotek dengan
mengelompokkan obat-obat berdasarkan jenisnya dan secara
alfabetis. Obat tablet diletakkan bersamaan dengan obat-obat tablet.
Begitu juga halnya obat-obatan dalam bentuk larutan dan alat-alat
kesehatan. Dan penyimpanan obat harus merujuk kepada
farmakope. 6. Distribusi :
Sistem pengeluaran obat-obatan dilakukan berdasarkan dua sistem
yaitu sistem FIFO (First In First Out) dan sistem FEFO (First
Expired First Out). Sistem FIFO adalah sistem penyimpanan obat
dimana obat yang diterima terlebih dahulu akan dikeluarkan lebih
dulu. Sedangkan sistem FEFO adalah sistem penyimpanan obat
dimana obat yang expired date lebih dekat dikeluarkan lebih
dahulu. Pengeluaran barang ditulis di daftar mutasi barang dan
dilakukan pencatatan di kartu stok dan secara komputerisasi. 7. Pelaporan
18
Pelaporan dilakukan setiap bulan yang dibuat oleh apoteker
pengelola dan disetujui oleh apoteker penanggung jawab.
2.1.8.3 Pengelolaan non teknis kefarmasian yaitu administrasi, meliputi:
1. Administrasi Umum
Pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan
dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Administrasi Pelayanan
Pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien,
pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.
2.1.9 Perbekalan Farmasi
Perbekalan farmasi terdiri dari obat, bahan obat, obat tradisional, kosmetika
dan alat kesehatan. Namun, jenis perbekalan farmasi yang paling
diutamakan adalah obat. Obat digolongkan menjadi empat bagian yaitu obat
bebas, obat bebas terbatas, obat keras serta obat narkotika dan psikotropika.
2.1.9.1 Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter. Pada
kemasan ditandai dengan lingkaran hitam, mengelilingi bulatan
berwarna hijau yang dapat dilihat dengan lebih jelas pada Gambar 2.1.
Dalam kemasan obat disertakan brosur yang berisi nama obat, nama dan
isi zat berkhasiat, indikasi, dosis dan aturan pakai, nomor batch, nomor
registrasi, nama dan alamat pabrik, serta cara penyimpanannya.
Gambar 2.1. Penandaan obat bebas.
2.1.9.2 Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas yaitu obat yang digunakan untuk mengobati
penyakit ringan yang dapat dikenali oleh penderita sendiri. Obat bebas
terbatas termasuk obat keras dimana pada setiap takaran yang
19 digunakan diberi batas dan pada kemasan ditandai dengan lingkaran
hitam mengelilingi bulatan berwarna biru serta sesuai dengan Surat
Keputusan Menteri Kesehatan No. 6355/Dirjen/SK/69 tanggal 5
November 1975 ada tanda peringatan P. No 1 sampai P. No 6 dan harus
ditandai dengan etiket atau brosur yang menyebutkan nama obat yang
bersangkutan, daftar bahan berkhasiat serta jumlah yang digunakan,
nomor batch, tanggal kadaluarsa, nomor registrasi, nama dan alamat
produsen, petunjuk penggunaan, indikasi, cara pemakaian, peringatan
serta kontra indikasi. Penandaan terhadap obat bebas terbatas beserta
etiketnya dapat dilihat pada Gambar 2.2 dan Gambar 2.3.
Gambar 2.2. Penandaan obat bebas terbatas.
Gambar 2.3. Berbagai macam tanda peringatan pada obat bebas terbatas
20
2.1.9.3 Obat Keras
Obat keras adalah obat yang hanya boleh diserahkan dengan resep
dokter, dimana pada bungkus luarnya diberi tanda bulatan dengan
lingkaran hitam dengan dasar merah yang didalamnya terdapat huruf
“K” yang menyentuh garis tepi. Tanda dapat dilihat pada Gambar 4.
Obat yang masuk ke dalam golongan obat keras ini adalah obat yang
dibungkus sedemikian rupa yang digunakan secara parenteral, baik
dengan cara suntikan maupun dengan cara pemakaian lain dengan jalan
merobek jaringan, obat baru yang belum tercantum dalam
kompendial/farmakope terbaru yang berlaku di Indonesia serta obat-
obat yang ditetapkan sebagai obat keras melalui keputusan Menkes RI.
Gambar 2.4. Penandaan obat keras.
2.1.9.4 Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku. Psikotropika termasuk dalam golongan obat keras,
sehingga dalam kemasannya memiliki tanda yang sama dengan obat
keras seperti pada gambar 2.4.
2.1.9.5 Obat Narkotika
Menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika,
dalam Bab I pasal 1 Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang
dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-
golongan. Obat narkotika memiliki tanda berupa lambang swastika.1,5
Gambar 2.5. Logo obat narkotika
21
2.1.10 Pelayanan Apotek
Peraturan yang mengatur tentang Pelayanan Apotek adalah Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 1027/MENKES/SK/2004 meliputi :
3
2.1.10.1 Pelayanan resep
1. Skrining resep
a. Persyaratan administratif, seperti nama, SIK, dan alamat
dokter; tanggal penulisan resep, nama, alamat, umur, jenis
kelamin, dan berat badan pasien, nama obat, potensi, dosis,
jumlah yang diminta, cara pemakaian yang jelas dan
informasi lainnya.
b. Kesesuaian farmasetika : bentuk sediaan, dosis, potensi,
stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.
c. Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi,
kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain).
2. Penyiapan obat
a. Peracikan yang merupakan kegiatan menyiapkan,
menimbang, mencampur, mengemas, dan memberikan etiket
pada wadah.
b. Etiket harus jelas dan dapat dibaca.
c. Kemasan obat yang diserahkan harus rapi dan cocok
sehingga terjaga kualitasnya.
d. Penyerahan obat pada pasien harus dilakukan pemeriksaan
akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep dan
penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian
informasi obat dan konseling kepada pasien.
e. Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan
mudah di mengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan
terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya
meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat,
jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan
minuman yang harus dihindari selama terapi.
22
f. Apoteker harus memberikan konseling kepada pasien
sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien.
Konseling terutama ditujukan untuk pasien penyakit kronis
(hipertensi, diabetes melitus, TBC, asma dan lain-lain).
g. Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus
melaksanakan pemantauan penggunaan obat. 3. Promosi dan edukasi
Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang ingin
melakukan upaya pengobatan diri sendiri (swamedikasi) untuk
penyakit yang ringan dengan memilihkan obat yang sesuai dan
apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan ini.
4. Pelayanan residensial (home care)
Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan
pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya
untuk kelompok lansia dan pasien dengan penyakit kronis. Untuk
kegiatan ini, apoteker harus membuat catatan pengobatan pasien
(medication record).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.922/MENKES/SK/X/2002, pelayanan apotek meliputi :
6
1. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan
keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat. 2. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generik yang ditulis
dalam resep dengan obat paten. 3. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang ditulis di dalam
resep, Apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan
obat yang lebih tepat. 4. Apotek wajib memusnahkan perbekalan farmasi yang tidak
memenuhi syarat ketentuan yang berlaku dengan membuat berita
acara. Pemusnahan yang dilakukan dengan cara dibakar atau
ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan Kepala Badan POM.
23 5. Apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan
penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien, penggunaan obat
secara tepat, aman dan rasional atas permintaan masyarakat. 6. Apabila Apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat
kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat, Apoteker harus
memberitahukan kepada dokter penulis resep, bila dokter tetap
pada pendiriannya dokter wajib menyatakan secara tertulis atau
membubuhkan tanda tangan di atas resep. 7. Salinan resep harus ditanda tangani oleh Apoteker. 8. Resep harus dirahasiakan dan disimpan di Apotek dengan baik
dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun. 9. Resep dan salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter
penulis atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan,
petugas kesehatan atau petugas lainnya yang berwenang menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. 10. Apoteker Pengelola Apotek, Apoteker Pendamping, atau Apoteker
Pengganti diizinkan menjual obat keras tanpa resep dokter yang
dinyatakan sebagai Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA), yang
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. 11. Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugas
pada jam buka Apotek, Apoteker Pengelola Apotek dapat
menunjuk Apoteker Pendamping. 12. Apabila Apoteker Pengelola Apotek dan Apoteker Pendamping
karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, Apoteker
Pengelola Apotek dapat menunjuk Apoteker Pengganti dan harus
dilaporkan pada Kepala Dinas Kesehatan Tingkat II dengan
tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Tingkat I dan kepala
Badan POM. 13. Apoteker Pendamping dan Apoteker Pengganti wajib memenuhi
persyaratan administratif yang berhubungan dengan izin kerjanya
sebagai Apoteker.
24
14. Dalam pelaksanaan pengelolaan apotek, Apoteker Pengelola
Apotek dapat dibantu oleh Asisten Apoteker.
15. Asisten Apoteker melakukan pekerjaan kefarmasian di Apotek
dibawah pengawasan Apoteker.
2.1.11 Pengelolaan Narkotik
Narkotika menurut Undang-Undang No. 35 tahun 2009, merupakan zat atau
obat yang berasal dari tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang
dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan yaitu 9
:
1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak untuk terapi,
serta mempunyai potensi sangat tinggi dan dapat mengakibatkan
ketergantungan. Contoh: opium, heroin dan kokain.
2. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat dalam
pengobatan yang digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat
digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi yang dapat mengakibatkan
ketergantungan. Contoh: morfin dan petidin.
3. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat dalam
pengobatan dan akan dalam terapi dan atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan yang mengakibatkan
ketergantungan. Contoh: kodein dan dionin.
PT. Kimia Farma (Persero), Tbk. merupakan satu-satunya
perusahaan yang diizinkan oleh pemerintah untuk mengimpor,
memproduksi, dan mendistribusikan narkotika di wilayah Indonesia. Hal ini
dimaksudkan untuk mempermudah pengawasan oleh pemerintah, karena
sifat negatifnya yang dapat menyebabkan ketergantungan yang sangat
merugikan.
Pengelolaan narkotika meliputi kegiatan:
25 1. Pemesanan narkotika
Pemesanan narkotika hanya dapat dilakukan oleh Pedagang Besar
Farmasi (PBF) Kimia Farma. Pesanan narkotika bagi apotek
ditandatangani oleh APA dengan menggunakan surat pesanan rangkap
empat, dimana tiap jenis pemesanan narkotika menggunakan satu surat
pesanan yang dilengkapi dengan nomor SIK apoteker dan stempel
apotek. 2. Penyimpanan narkotika
Ketentuan Menteri Kesehatan dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang
Narkotika bahwa apotek harus mempunyai tempat khusus untuk
menyimpan narkotik.
Tempat khusus tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. Harus seluruhnya terbuat dari kayu atau bahan lain yang kuat.
b. Harus mempunyai kunci ganda yang kuat.
c. Dibagi menjadi 2 bagian, masing-masing bagian dengan kunci yang
berlainan. Bagian pertama digunakan untuk menyimpan morfin,
petidin dan garam-garamnya serta persediaan narkotika, sedangkan
bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya
yang dipakai sehari-hari.
d. Apabila tempat tersebut berukuran kurang dari 40 x 80 x 100 cm,
maka lemari tersebut harus dibuat pada tembok dan lantai.
Selain itu, pada pasal 6 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
28/Menkes/Per/I/1978 dinyatakan bahwa : 10
a. Apotek harus menyimpan narkotika dalam lemari khusus
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 28/Menkes/Per/I/1978.
b. Lemari khusus tidak boleh dipergunakan untuk menyimpan barang
lain selain narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri Kesehatan.
c. Anak kunci lemari khusus dikuasai oleh penanggung jawab atau
pegawai lain yang diberi kuasa.
26
d. Lemari khusus diletakkan di tempat yang aman dan tidak boleh
terlihat oleh umum. 3. Pelayanan resep mengandung narkotika
Apotek hanya melayani pembelian narkotika berdasarkan resep dokter
dengan ketentuan antara lain: 11
a. Sesuai dengan bunyi pasal 7 ayat 2 Undang-Undang nomor 9 tahun
1976 tentang narkotika, apotek dilarang melayani salinan resep yang
mengandung narkotika, walaupun resep tersebut baru dilayani
sebagian atau belum dilayani sama sekali.
b. Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum
dilayani sama sekali, apotek boleh membuat salinan resep tetapi
salinan resep tersebut hanya boleh dilayani oleh apotek menyimpan
resep aslinya.
c. Salinan resep dari resep narkotika dengan tulisan iter tidak boleh
dilayani sama sekali. Oleh karena itu dokter tidak boleh menambah
tulisan iter pada resep-resep yang mengandung narkotika. 4. Pelaporan narkotika
Industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan
farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat,
balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib
membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai
pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang berada dalam
penguasaannya. Laporan tersebut meliputi laporan pemakaian narkotika
dan laporan pemakaian morfin dan petidin. Laporan harus di
tandatangani oleh apoteker pengelola apotek dengan mencantumkan
SIK, SIA, nama jelas dan stempel apotek, kemudian dikirimkan kepada
Kepala Dinas Kesehatan RI Propinsi setempat dengan tembusan
kepada:
a. Kepala Dinas Kesehatan DKI Jaya.
b. Balai Besar POM DKI Jaya.
c. Penanggung jawab narkotika PT. Kimia Farma Tbk.
27
d. Arsip.
Laporan yang ditandatangani oleh APA meliputi:
a. Laporan penggunaan sediaan jadi narkotika.
b. Laporan penggunaan bahan baku narkotika.
c. Laporan khusus penggunaan morfin dan petidin.
Laporan narkotika tersebut dibuat setiap bulannya dan harus dikirim
selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya. 5. Pemusnahan narkotika
Pemusnahan narkotika dilakukan dalam hal:
a. Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku
dan atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi.
b. Kadaluarsa.
c. Tidak memenuhi syarat lagi untuk digunakan dalam pelayanan
kesehatan dan atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan
d. Berkaitan dengan tindak pidana.
Pemusnahan narkotika ini dilaksanakan oleh pemerintah, orang atau
badan usaha yang bertanggung jawab atas produksi dan atau peredaran
narkotika, sarana kesehatan tertentu serta lembaga ilmu pengetahuan
dengan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan
RI.
Pemegang izin khusus dan atau APA dapat memusnahkan
narkotika yang rusak atau tidak memenuhi syarat. Pemegang izin
khusus atau APAyang memusnahkan narkotika harus membuat berita
acara pemusnahan paling sedikit 3 rangkap. Berita acara pemusnahan
tersebut memuat:
a. Hari, tanggal, bulan dan tahun pemusnahan.
b. Nama pemegang izin khusus atau apoteker pengelola apotek.
c. Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari
apotek tersebut.
d. Nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan.
e. Cara pemusnahan.
28
f. Tanda tangan penanggung jawab apotek dan saksi-saksi.
6. Pelanggaran terhadap ketentuan pengelolaan narkotika
Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan dan pelaporan
narkotika dapat dikenai sanksi administratif oleh Menteri Kesehatan,
yang berupa: teguran, peringatan, denda administratif, penghentian
sementara kegiatan atau pencabutan izin. 9,12
2.1.12 Pengelolaan Psikotropika
Menurut Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika,
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan 20 saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku. 13
Psikotropika dibagi menjadi beberapa golongan :
1. Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam
terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan. Contoh: lisergida dan meskalina.
2. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat
pengobatan digunakan dalam terapi, dan atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan. Contoh: amfetamin & metamfetamin.
3. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi, dan atau untuk tujuan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan
sindroma ketergantungan. Contoh: amobarbital, pentobarbital dan
pentazosina.
4. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat
pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi, dan atau untuk
tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
29
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: barbital, alprazolam
dan diazepam.
Ruang lingkup pengaturan psikotropika adalah segala yang
berhubungan dengan psikotropika yang mempunyai potensi yang
mengakibatkan ketergantungan. Tujuan dari pengaturan psikotropika ini
sama dengan narkotika, yaitu: 1. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan
kesehatan dan ilmu pengetahuan. 2. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika. 3. Memberantas peredaran gelap psikotropika. Pengelolaan psikotropika di apotek meliputi kegiatan-kegiatan: 1. Pemesanan Psikotropika
Obat golongan psikotropika dipesan dengan menggunakan Surat
Pesanan Psikotropika yang ditandatangani oleh APA dengan
mencantumkan nomor SIK. Surat pesanan tersebut dibuat rangkap dua
dan setiap surat dapat digunakan untuk memesan beberapa jenis
psikotropika 2. Penyimpanan Psikotropika
Obat golongan psikotropika disimpan terpisah dengan obat-obat lain
dalam suatu rak atau lemari khusus dan tidak harus dikunci. Pemasukan
dan pengeluaran psikotropika dicatat dalam kartu stok psikotropika. 3. Penyerahan Psikotropika
Obat golongan psikotropika diserahkan oleh apotek, hanya dapat
dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai
pengobatan dan dokter kepada pengguna atau pasien berdasarkan resep
dokter. 4. Pelaporan Psikotropika
Pelaporan psikotropika dilakukan setahun sekali dengan ditandatangani
oleh APA dilakukan secara berkala yaitu setiap tahun kepada Kepala
Dinas Kesehatan Propinsi dengan tembusan kepada Kepala Dinas
Kesehatan setempat dan Badan Pengawas Obat dan Makanan.
30
5. Pemusnahan psikotropika
Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1997 pasal 53 tentang psikotropika,
pemusnahan psikotropika dilakukan bila berhubungan dengan tindak
pidana, diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang
berlaku dan atau tidak dapat digunakan dalam proses psikotropika,
kadaluarsa atau tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan
kesehatan dan atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
a. Pemusnahan psikotropika wajib dibuat berita acara dan disaksikan
oleh pejabat yang ditunjuk dalam waktu 7 hari setelah mendapat
kepastian. Berita acara pemusnahan tersebut memuat : Hari,
tanggal, bulan dan tahun pemusnahan
b. Nama pemegang izin khusus atau apoteker pengelola apotek
c. Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari
apotek tersebut
d. Nama dan jumlah psikotropika yang dimusnahkan
e. Cara pemusnahan
f. Tanda tangan penanggung jawab apotek dan saksi-saksi. 12,13
2.1.13 Obat Wajib Apotek
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 347 tahun 1990, Obat Wajib
Apotek adalah sebagai berikut : 14
1. Obat Wajib Apotek yaitu obat keras yang dapat diserahkan oleh
apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter.
2. Obat yang termasuk dalam Obat Wajib Apotek ditetapkan Menteri
Kesehatan.
3. Obat yang tercantum dalam Surat Keputusan ini dapat diserahkan oleh
apoteker di apotek dan selanjutnya disebut Obat Wajib Apotek No. 1.
Obat Wajib Apotek ini dapat ditinjau kembali dan disempurnakan setiap
waktu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
31
4. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 919 tahun 1993 pasal 2,
kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep adalah sebagai berikut:
a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil,
anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberi resiko
pada kelanjutan penyakit.
c. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.
d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya
tinggi di Indonesia.
e. Obat dimaksud memiliki ratio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.
5. Apoteker di apotek dalam melayani pasien yang memerlukan Obat
Wajib Apotek diwajibkan:
a. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang
disebutkan dalam Obat Wajib Apotek yang bersangkutan.
b. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
c. Memberinya informasi meliputi dosis dan aturan pakainya,
kontraindikiasi, efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan
oleh pasien. 14
2.1.14 Pelanggaran Apotek
Berdasarkan berat dan ringannya pelanggaran, maka pelanggaran di apotek
dapat dikategorikan dalam dua macam. Kegiatan yang termasuk
pelanggaran berat apotek meliputi:
1. Melakukan kegiatan tanpa ada tenaga teknis farmasi.
2. Terlibat dalam penyaluran atau penyimpangan obat palsu atau gelap.
3. Pindah alamat apotek tanpa izin.
4. Menjual narkotika tanpa resep dokter.
32
5. Kerjasama dengan PBF dalam menyalurkan obat kepada pihak yang
tidak berhak dalam jumlah besar.
6. Tidak menunjuk apoteker pendamping atau apoteker pengganti pada
waktu APA keluar daerah.
Kegiatan yang termasuk pelanggaran ringan apotek meliputi : 1. Tidak menunjuk Apoteker Pendamping pada waktu APA tidak bisa
hadir pada jam buka apotek (apotek yang buka 24 jam). 2. Mengubah denah apotek tanpa izin. 3. Menjual obat daftar G kepada yang tidak berhak. 4. Melayani resep yang tidak jelas dokternya. 5. Menyimpan obat rusak, tidak mempunyai penandaan atau belum
dimusnahkan. 6. Obat dalam kartu stok tidak sesuai dengan jumlah yang ada. 7. Salinan resep yang tidak ditandatangani oleh apoteker. 8. Melayani salinan resep narkotika dari apotek lain. 9. Lemari narkotika tidak memenuhi syarat. 10. Resep narkotika tidak dipisahkan. 11. Buku narkotika tidak diisi atau tidak bisa dilihat atau diperiksa. 12. Tidak mempunyai atau mengisi kartu stok hingga tidak dapat diketahui
dengan jelas asal usul obat tersebut.
Setiap pelanggaran apotek terhadap ketentuan yang berlaku dapat
dikenakan sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi
administratif yang diberikan menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.1332/MENKES/SK/X/2002,Permenkes No.922/MENKES/PER/X/1993
adalah : 5,6
1. Peringatan secara tertulis kepada APA secara 3 (tiga) kali berturut-turut
dengan tenggang waktu masing-masing 2 (dua) bulan. 2. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 (enam)
bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan izin apotek.
Keputusan pencabutan SIA disampaikan langsung oleh Kepala Dinas
33
Kesehatan Kabupaten atau Kota dengan tembusan kepada Menteri
Kesehatan dan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat.
3. Pembekuan izin apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila apotek
tersebut dapat membuktikan bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan
dalam keputusan Menteri Kesehatan RI dan Permenkes tersebut telah
dipenuhi.
Sanksi pidana berupa denda maupun hukuman penjara diberikan bila
terdapat pelanggaran terhadap :
1. Undang–Undang Obat Keras (St.1937 No.541).
2. Undang–Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
4. Undang–Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotik.
2.2 Seven Star Plus One of Pharmacist
Untuk menjadi anggota tim tenaga kesehatan yang efektif, apoteker butuh
ketrampilan dan sikap yang memungkinkan mereka untuk dapat menjalankan
berbagai fungsi yang berbeda. Konsep dari "Seven Star Pharmacist"
diperkenalkan oleh WHO dan diambil oleh FIP pada tahun 2000 dalam
pernyataan kebijakan pada Farmasi memiliki peran: caregiver, decision-maker,
communicator, manager,life-long learner, teacher and leader serta telah ada
penambahan fungsi apoteker sebagai researcher: dijelaskan sebagai berikut:
1. Caregiver: Apoteker memberikan layanan peduli. Mereka harus melihat
praktek mereka sebagai suatu tindakan terpadu dan berkelanjutan dari sistem
perawatan kesehatan dan dengan profesional kesehatan lainnya. Pelayanan
yang diberikan harus berkualitas tinggi.
2. Decision Maker: Penggunaan yang tepat, berkhasiat, aman dan biaya yang
efektif pada sumber daya (misalnya, personil, obat-obatan, bahan kimia,
peralatan, prosedur, praktek) harus menjadi dasar dari pekerjaan apoteker.
Apoteker berperan dalam pengaturan kebijakan obat-obatan. Guna mencapai
tujuan ini memerlukan kemampuan untuk mengevaluasi, mensintesis data
dan informasi dan memutuskan program studi yang paling tepat tindakan.
34
3. Communicator: apoteker berada dalam posisi yang ideal untuk menyediakan
link antara resep dan pasien, dan untuk berkomunikasi dalam pemberian
informasi tentang kesehatan dan obat-obatan kepada masyarakat. Apoteker
harus berpengetahuan dan percaya diri ketika berinteraksi dengan
profesional kesehatan lain dan masyarakat. Komunikasi melibatkan verbal,
non verbal, mendengarkan dan keterampilan menulis.
4. Manager: Apoteker harus dapat mengelola sumber daya (manusia, fisik dan
keuangan) dan informasi mengenai obat-obatan dan produk terkait serta
memastikan kualitas mereka secara efektif.
5. Life Long Learner: Konsep, prinsip dan komitmen untuk belajar seumur
hidup harus dimulai ketika menghadiri sekolah farmasi dan harus didukung
sepanjang karier apoteker. Apoteker harus belajar bagaimana menjaga
pengetahuan dan keterampilan secara up to date.
6. Teacher: Apoteker memiliki tanggung jawab untuk membantu dalam hal
pendidikan dan pelatihan generasi masa depan apoteker dan masyarakat.
Berpartisipasi sebagai guru tidak hanya mengajarkan pengetahuan kepada
orang lain, tetapi juga menawarkan kesempatan bagi praktisi untuk
mendapatkan pengetahuan baru dan untuk menyempurnakan keterampilan
yang ada.
7. Leader: Kepemimpinan melibatkan kasih sayang dan empati serta visi dan
kemampuan untuk membuat keputusan, berkomunikasi, dan mengelola
secara efektif. Seorang apoteker yang kepemimpinannya berperan untuk
diakui harus memiliki visi dan kemampuan untuk memimpin
8. Researcher: Sebagai peneliti, apoteker dapat meningkatkan aksesibilitas
kesehatan secara objektif mengenai obat-obatan yang berhubungan dengan
informasi kepada para tenaga kesehatan profesional kesehatan lainnya dan
masyarakat.16
2.3 Swamedikasi
Swamedikasi merupakan upaya pengobatan terhadap keluhan pada diri sendiri
dengan obat-obatan yang dibeli bebas di apotek atau toko obat atas inisiatif
35 sendiri tanpa nasehat dokter. Biasanya swamedikasi dilakukan untuk mengatasi
gangguan kesehatan ringan mulai dari batuk, pilek, demam, sakit kepala, maag,
gatal-gatal hingga iritasi ringan pada mata. Konsep modern pengertian
swamedikasi adalah upaya pencegahan terhadap penyakit, dengan
mengkonsumsi vitamin dan food suplement untuk meningkatkan daya tahan
tubuh.
Self-medication adalah satu unsur dari self-care. Self-care adalah tindakan
individu yang dilakukan untuk diri mereka sendiri dalam rangka menjaga dan
memelihara kesehatan, mencegah maupun berhadapan dengan penyakit. Salah
satu unsure self care adalah self medication yang lebih dikenal dengan istilah
UPDS (Upaya Pengobatan Diri Sendiri).
Berkembangnya swamedikasi dikalangan masyarakat, dilatarbelakangi
adanya harga obat yang relatif tinggi dan biaya pelayanan kesehatan yang makin
mahal hingga menyebabkan sebagian masyarakat berinisiatif mengobati dirinya
sendiri dengan obat-obat yang tersedia dipasar tanpa melalui konsultasi dengan
dokter terlebih dahulu. Umumnya obat-obat tersebut termasuk golongan OTC,
OWA, dan herbal. Selain itu sebagian masyarakat memiliki paradigma baru
dalam dunia pengobatan dengan mengikuti pergeseran pola pengobatan diri dari
kuratif- rehabilitatif ke arah preventif-promotif. Peran apoteker dalam swamedikasi diantaranya : 1. Memberikan informasi, edukasi dan pelayanan berdasarkan bukti akurat,
terkini dan bukti ilmiah yang terpercaya. 2. Menggali informasi dari pasien untuk memastikan bahwa kegiatan
swamedikasi yang dilakukan aman dan sesuai dengan kondisi pasien
tersebut. 3. Memberikan edukasi dan informasi yang cukup agar pasien mampu
mengontrol diri guna keberhasilan swamedikasi yang dilakukan 4. Memastikan pasien menerima edukasi dan perhatian media yang cukup 5. Mempunyai catatan pengobatan pasien dari setiap pertemuan dan edukasi
yang diberikan.
36
Untuk lebih mengarahkan ketepatan pemilihan obat pada saat melakukan
pelayanan swamedikasi, konseling pra pelayanan swamedikasi dapat dilakukan
kepada pasien dengan 5 arahan pertanyaan penuntun yaitu:
W : who (untuk siapa obat tersebut). W : what symptoms (gejala apa yang dirasakan). H : how long (sudah berapa lama gejala tersebut berlangsung). A : action (tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut).
M : medicine (obat-obat apa saja yang sedang digunakan oleh pasien)
Layanan swamedikasi cukup potensial jika dikembangkan dengan
profesional. Pelayanan swamedikasi tidak lepas dari aktivitas menanggapi gejala
yang dikeluhkan pasien maupun jenis dan nama produk yang digunakan.
Persiapan yang matang perlu dilakukan agar apoteker dapat mengembangkan
swamedikasi menjadi keunggulan dari suatu pelayanan apotek sebagai salah satu
sumber penyediaan obat untuk keperluan swamedikasi. 17
Recommended