View
21
Download
4
Category
Preview:
DESCRIPTION
Bab II Ika Nanda
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSAKA
A. Tinjauan eori Medis
1. Definisi Preeklampsia
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbulkan setelah 20 minggu
kehamilan diserai dengan proeinuria (Prawirahardjo, 2009; h. 531).
Proteinuria didefinisikan sebagai terdapatnya 300 mg aau lebih
dalam urin 24 jam, aau 30 mg/dl (+1 pada dipstick) secara menetap
pada sampel urin acak (Cunningham, 2006; h. 627).
Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat
terjadi ante, intra, dan postpartum. Dari gejala- gejala klinik
preeklampsia dapat dibagi Preeklampsia Ringan (PER) dan
Preeklampsia Berat (PEB) (Prawirahardjo, 2009; h. 542)
2. Klasifikasi Preeklampsia
Menurut Fraser (2009; h. 352), bahwa penelitian yang terbaru
yang dilakukan National High Blood Pressure Educaion Program
Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy (2000)
menjelaskan tentang lima kategori utama hipertensi selama
kehamilan:
a. Hipertensi Kronis
Hipertensi Kronis yaitu hipertensi yang diketahui terjadi
sebelum kehamilan atau peningkatan tekanan darah >140/90
mmHg sebelum usia gesasi 20 minggu, dan berlanjut hingga 6
minggu setelah melahirkan.
b. Hipertensi gestasional
Hipertensi gestasional yaitu hipertensi yang terjadi tanpa
tanda lain preeklampsia. Dibandingkan jika setelah beristiraha,
tekanan darah ibu meningkat> 140/90 mmHg pada sediktinya
dua kali pemeriksaan, tidak lebih 1 minggu setelah minggu ke-
20 kehamilan pada wanita yang diketahui normoensif.
c. Preeklampsia
Preeklampsia merupakan hipertensi yang didiagnosa
berdasarkan proteinuria >1+ pada pemeriksaan dipsik atau
>0,3 g/L protein dalam spesimen urin tangkapan bersih yang
diperiksa secara acak atau ekskresi 0,3 g protein dalam 24
jam. Jika tidak terdapa proteinuria, dicurigai terjadinya
preeklampsia jika hipertensi disertai sakit kepala, penglihatan
kabur, nyeri kepala, nyeri abdomen/epigasrik, atau perubahan
biokimia, terutama jumlah trombosi yang rendah dan kadar
enzim hati yang tidak normal.
d. Eklampsia
Eklampsia didefinisikan sebagai awitan baru konvulsi
selama kehamilan atau pascapartum, yang tidak berkaitan
dengan kondisi patologis serebral yang terjadi pada ibu yang
menderita preeklampsia.
e. Preeklampsi yang terjadi pada hipertensi kronis
Hal ini dapatterjadi pada ibu yang mengalami hipertensi sejak
sebelum kehamilan (<20 minggu) yang menderita:
1) Proteinuria baru (>0,3 gram/24 jam)
2) Peningkatan tiba-tiba hipertensi yang sudah ada
sebelumnya dan proteinuria
3) trombositopenia
4) Enzim hati abnormal
Menurut Sujiyatini (2009; h. 58-61), preeklampsia dibagi 2, yaitu :
a. Preeklampsia Ringan (PER)
Preeklampsia Ringan (PER) adalah timbulnya hipertensi
disertai proteinuria dan/atau edema setelah umur kehamilan
20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat
timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu pada penyakit
trofoblas.
b. Preeklampsia Bera (PEB)
Preeklampsia Berat (PEB) adalah suatu komplikasi
kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipetrensi 160/110
mmHg atau lebih disertai proteinuria dan/atau edema pada
umur kehamilan 20 minggu atau lebih.
Preeklampsia Berat (PEB) dibagi menjadi 2, antara lain :
(a) Preeklampsia Berat (PEB) tanpa Impending Eclampsia dan
(b) Preklampsia Berat (PEB) dengan Impending Eclampsia.
Disebut Impending Eclampsia bila Preeklampsia Berat (PEB)
disertai gejala-gejala subyektif berupa nyeri kepala hebat,
gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan
kenaikan progresif tekanan darah (Prawirohardjo, 2008; h.
545).
3. Etiologi
Penyebab timbulnya preeklampsia pada ibu hamil belum diketahui
secara pasti, tetapi pada umumnya disebabkan karena vasospasme
areriola. Faktor-faktor lain yang diperkirakan akan mempengaruhi
timbulnya preeklamsia antara lain : primigravida, kehamilan ganda,
mola hidatidosa, muligravida, malnutrisi berat, usia ibu kurang dari 18
ahun lebih dari 35 ahun serta anemia (Maryunani, 2009; h. 139).
Menurut Prawirohardjo (2010; h. 532), faktor resiko terjadinya
hipertensi dalam kehamilan yaitu primigravida, primipaterntas,
hiperplasentosis, umur yang ekstrim, riwayat keluarga pernah
preeklampsia/eklampsia, penyakit-penyakit ginjil dan hipertensi yang
sudah ada sebelum hamil dan obesitas.
4. Paofisiologi
Menurut Prawirohardjo (2009; h. 532-537), penyebab hipertensi
dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan jelas. Banyak
teori telah dikemukakan tenang terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori tersebut dianggap mutlak
benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah :
a. Teori kelainan vaskulaisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat
aliran darah dari cabang-cabang arteri uterine dan arteri ovarika.
Kedua pembuluh darah tersebut menembus miomertium berupa
arteri arnkuarta dan arteri arkuarta memberi cabang arteri
radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri
basalis dan arteri basalis memberi cabang arteri spiralis.
Pada kehamilan normal, dengan sebab yang belum jelas,
terjadi invasi troflobas kedalam lapisan otot arteri spiralis, yang
menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi
dilatasi arteri spiralis. Invasittrofoblas juga memasuki jaringan
sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur
dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan
dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini
memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan
resistensi vaskuler, dan meningkatkan aliran darah pada daerah
utero plasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak
dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin
pertumbuhan janin baik. Proses ini dinamakan “ remodeling areri
spiralis”.
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invalasi sel-
sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks
sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan
keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan
mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis
relatif mengalami vasokontraksi, dan terjadi kegagalan
“remodeling arteri spiralis”, sehingga aliran darah uteroplasenta
menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak
iskemia plasenta akan menimbulkan perubahan-perubahan yang
dapat menjelaskan patogenesis Hipertensi Dalam Kehamilan
(HDK) selanjutnya.
Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal
adalah 500 mikron, sedangkan pada preeklampsia rata-rata 200
mikron.
b. Teori iskemia plasenta, radikalis bebas, dan disfungsi endotel
1) Iskemia plasenta dan pembentukan oksiden/radikal
bebas.
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas,
pada hipertensidalam kehamilan terjadi kegagalan
“remodeling arteri spiralis” dengan akibat plasenta
mengalami iskemia.
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia
akan menghasilkan oksidan (disebut juga radikal bebas).
Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa
penerima elektron atau atom/molekul yang mempunyai
elektro yang tidak berpasangan.
Salah satu oksidan penting yang dihasilkan
plasenta iskemia adalah radikal hidroksia yang sangat
toksis, khususnya terhadap membran sel endotel
pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan pada
manusia adalah suatu proses normal, karena oksidan
memang dibutuhkan untuk perlindungan tubuh.
2) Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam
kehamilan
Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa
kadar oksidan, khususnya peroksida lemak meningkat,
sedangkan anitoksidan, misalnya vitamin E pada
hipertensi dalam kehamilan menurtun, sehingga terjadi
dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang relatif
tinggi. Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas
yang sangat toksis ini beredar diseluruh tubuh dalam
aliran darah dan akan merusak membran sel endotel.
Membran sel endotel lebih mudah mengalami kerusakan
oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung
berhubungan dengan aliran darah dan mengandung
banyak asam lemah tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh
sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang
akan berubah menjadi peroksida lemak.
3) Disfungsi sel endotel
Akibat sel endotel terpapar peroksida lemak, maka
terjadi kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai
dari membran sel endotel. Kerusakan membran sel
endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel,
bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini
disebut disfungsi endotel (endothelial disfunciton). Pada
waktu terjadinya kerusakan sel endotel yang
mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi :
a) Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah
satu fungsi sel endotel, adalah memproduksi
prostaglandin, yaitu menurunya produksi
prostasiklin (PGE2) : suatu vasodilatator kuat
b) Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel
yang mengalami kerusakan. Agregasi sel trombosit
ini adalah untuk menutup tempat-tempat dilapisan
endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi
trombosit memproduksi tromboksan (TXA2) suatu
vasokonstriksi kuat.
Dalam keadaan normal perbandingan kadar
tromboksan, lebih tinggi kadar protasklin. Pada
preeklampsia kadar tromboksan lebih tinggi dari
kadar protasiklin sehingga terjadi vasokontriksi,
dengan terjadi kenaikan darah.
c) Perubahan khas pada sel endotel kapilar
glomerulus
d) Peningkatan permeabilitas kapilar
e) Peningkatan produksi bahan-bahan vasoprtesor,
yaitu endotelin. Kadar NO (vasodilatator)
menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor)
meningkat.
c. Teori intoleransi imunologi antara ibu dan janin
perempuan hamil normal, respons imun tidak
menolak adanya “hasil konspesi” yang bersifat asing. Hal
ini disebabkan adanya Human Leukocyte Antigen Protein
G (HLA-G), yang berperan pening dalam modulasi
respons imun, sehingga ibu tidak menolak hasil konsepsi
(plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat
melindungi trofoblas janin dari lisis oleh Natural Kliler (NK)
ibu.
Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi
penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di
desidua daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke
dalam desidua. Invasi trofoblas sangat penting agar
jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur sehingga
memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis.
d. Teori adaptasi kardiovaskular
Pada hamil normal pembuluh darah refraker
terhadap bahan-bahan vasopresor. Refrakter, berarti
pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan
vasopresor, atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih
tinggi untuk menimbulkan respons vasokontriksi. Pada
kehamilan normal terjadinya refrakter pembuluh darah
terhadap bahan vasopresor adalah akibat dilindungi oleh
adanya sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh
darah.
Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya
refrakter terhadap bahan vasokonstriktor, dan ternyata
kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor. Artinya
daya refrakter pembuluh darah menjadi sangat peka
terhadap bahan vasopresor. Banyak penelitian telah
membuktikan bahwa peningkatan kepekaan terhadap
bahan-bahan vasopresor pada hipertensi dalam
kehamilan sudah terjadi pada trimester I (pertama).
Peningkatan kepekaan pada kehamilannya yang akan
menjadi hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat
ditemukan pada kehamilan 20 minggu. Fakta ini dapat
dipakai sebagai prediksi akan terjadinya hipertensi dalam
kehamilan.
e. Teori defisiensi gizi
Beberapa hasil penelitian bahwa kekurangan
defisiensi gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam
kehamilan. Penelitian terakhir membuktikan bahwa
konsumsi minyak ikan, termasuk minyak hati halibut,
dapat mengurangi resiko preeklampsia. Minyak ikan
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat
menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivitas
trombosit, dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah.
f. Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris
trofoblas di dalam sirkulasi darah merupakan rangsangan
utama terjadinya proses inflamasi.
Pada kehamilan normal plasenta juga melepaskan
debris trofoblas, sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan
nekrotik trofoblas, akibat reaksi stress oksidatif.
Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang
kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada
kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam
batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam
batas normal. Berbeda dengan apoptosis pada
preeklampsia, dimana pada preeklampsia terjadi
peningkatan stress oksidatif, sehingga produksi debris
apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin
banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta
besar, pada kehamilan ganda maka reaksi stress oksidatif
akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris
trofoblas juga makin meningkat. Keadaan ini
menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu
menjauh lebih besar, dibandingkan reaksi inflamasi pada
kehamilan normal. Respons inflamasi ini akan
mengaktifkan sel endotel, dan sel-sel makrofag/glanlosit,
yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik
yng menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada ibu.
Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel
pada preeklampsia akibat produksi debris trofoblas
plasenta berlebihan tersebut di atas, mengatakan
“aktifitas leukosit yang sangat tinggi” pada sirkulasi ibu.
Peristiwa ini oleh Redman disebut sebagai “kekacauan
adaptasi dari proses inflamasi intravaskular pada
kehamilan” yang biasanya berlangsung normal dan
menyeluruh.
g. Teori genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model
gen tunggal. Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya
hipertensi dalam kehamilan secara familial jika
dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti
bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26 %
anak perempuannya akan mengalami preeklampsia pula,
sedangkan hanya 8 % anak menantu mengalami
preeklampsia.
Menurut Lie et al dalam Chapman (2006; h. 162),
bahwa ada hubungan genetik yang telah ditegakan,
riwayat keluarga ibu atau saudara perempuan
meningkatkan risiko empat sampai delapan kali menderita
hipertensi dalam kehamilan.
5. Manifestasi klinis
Menurut Prawirohardjo (2009; h.545), Preeklampsia Berat (PEB)
didiagnosis pada kasus dengan salah satu gejala berikut :
a. Tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan tekanan darah
diastolik > 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun
meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan
menjalani tirah baring.
b. Proteinuria lbih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan
kualitatif.
c. Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam
d. Kenaikan kadar kreatini plasma.
e. Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri
kepala, pandangan kabur.
f. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan, atas
abdomen (akibat tere kapsula Glisson)
Menurut Fraser (2009; h. 353), nyeri epigastrium
disebabkan karena adanya vasokonstrikisi dasar vaskular
hepatik sehingga terjadi hipoksia dan edema sel hati.
g. Edema paru-paru dan sianosis.
Menurut Prawirohardjo (2010; h. 540), edema terjadi
karena hipoalbuminemia atau kerusakan sel endotel kapilar.
Edema yang patologik adalah edema yang nondependen pada
muka dan tangan, atau edema generalisata dan biasanya
disertai dengan kenaikan berat badan yang cepat.
h. Hemolisis mikroangiopatik.
i. Trombositopenia berat : < 100.000 sel/mm3 atau penurunan
trombosit cepat.
j. Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular);
peningkatan kadar ala aspartate aminotransfease.
k. Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat.
l. Sindrom HELLP.
6. Pemeriksaan penunjang
Menurut Maryunani (2009; h. 142), selain anamnesa dan
pemeriksaan fisik, pada kecurigaan adanya preeklampsia sebaiknya
di lakukan pemeriksaan lainnya, yaitu :
a. Pemeriksaan darah rutin serta kimia darah, seperti
uriumkreatinin, SGOT, LDH, bilirubin
b. Pemeriksaan urin, seperti protein, reduksi, bilirubin, sedimen
c. Kemungkinan adanya pertumbuhan janin terhambat dengan
konfirmasi USG (bila tersedia)
d. Kardiotokografi untuk menilai kesejahteraan janin
7. Penatalaksanaan
a. Asuhan Kebidanan
Ketika diagnosis preeklampsia ditegakkan atau ada
dugaan preeklampsia, konsul dokter dibutuhkan. Persalinan
merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi
preeklampsia. Hal terbaik yang dapat dilakukan oleh bidan adalah
memfasilitasi persalinan. Akan tetapi, usia kehamilan yang belum
cukup ini akan membawa resiko yang mengancam kehidupan
janin. Oleh karena itu, upayakan penatalaksanaan preeklampsia
yang mengutamakan keselamatan ibu dan janin. Apabila
persalinan akan menimbulkan efek buruk pada janin, tindakan
harus ditunjukan pada upaya meningkatkan kondisi ibu sehingga
memungkinkan janin menjadi matang (varney, 2007; h. 648).
Bidan harus tetap bersama ibu yang menderita hipertensi
selama persalinan karena preeklampsia dapat memburuk secara
tiba-tiba setiap saat. Memantau kondisi ibu dan janin merupakan
hal yang sangat penting untuk dilakukan. Adanya penyimpangan
yang drastis harus dicatat dan bantuan medis harus diberikan
(Fraser, 2009; h. 357). Evaluasi kesejahteraan janin dilakukan
melalui pengkajian pertumbuhan janin melalui pemeriksaan
ultrasonografi (USG). Karena patofisiologi preeklampsia
menyebabkan insufisiensi plasenta dan uterus, maka janin
beresiko mengalami hipoksia kronis dan IUGR (varney, 2007; h.
648).
Ibu yang hipertensi harus dibuat senyaman mungkin, yang
berarti bahwa perhatian perlu diberikan kepada asuhan umum.
b. Penatalaksanaan Medis
Menurut Nugroho (2012; h. 177), ditinjau dari umur kehamilan
dan perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat selama
perawatan maka perawatan dibagi menjadi :
1) Perawatan aktif yaitu kehamilan segera diakhiri atau
diterminasi ditambah obat medisinal. Sedapat mungkin
sebelum perawatan aktif pada setiap penderita dilakukan
pemeriksaan fetal assessment (NST & USG).
Indikasi untuk perawatan aktif, yaitu :
a) Ibu
(1) Usia kehamilan 37 minggu atau lebih
(2) Adanya tanda-tanda atau gejala impending eklampsia
(3) Kegagalan terapi konservatif yaitu setelah 6 jam
pengobatan medikamentosa terjadi kenaikan darah
atau setelah 24 jam terapi medikamentosa tidak ada
perbaikan
b) Janin
(1) Hasil fetal assessment jelek (NST & USG)
(2) Adanya tanda IUGR
c) Laboratorium
Adanya “HELLP syndrome” (hemolisis dan peningkatan
fungsi hepar, trombositopenia).
Pengobatan Medikamentosa yaitu :
(1) Segera masuk rumah sakit
(2) Tidur baring, miring ke satu sisi (sebaiknya kiri),
tanda vital diperiksa setiap 30 menit sekali, reflek
patella setiap jam
(3) Infus dextrose 5% setiap 1 liter diselingi infuse RL
(60-125 cc/jam) 500 cc
(4) Antasida
(1) Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan
garam
(2) Pemberian obat anti kejang : Diazepam 20 mg IV
dilanjutkan dengan 40 mg dalam Dekstrose 10%
selama 4-6 jam atau MGSO4 40% 5 gram IV pelan
dilanjutkan 5 gr dalam RL 500 cc dalam 6 jam
(3) Diuretik tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda
edema paru, payah jantung kongestif atau edema
anasarka. Diberikan furosemid injeksi 40 mg/IV
(4) Anti hipertensi diberikan bila sistolik 180 mmHg
diastolik 110 mmHg atau MAP lebih 125 mmHg. Dapat
diberikan catapres ½ - 1 ampul IM dapat diulang tiap 4
jam, atau alfametildopa 3x250 mg, dan nifedipin
sublingual 5-10mg
(5) Kardiotonika, indikasinya bila ada tanda-tanda payah
jantung, diberikan digitalisasi cepat dengan cedilanid
(6) Lain-lain :
(a) Konsul bagian penyakit dalam/jantung, mata
(b) Obat-obat antipiretik diberikan bila suhu rectal lebih
38,5 oC dapat dibantu dengan pemberian kompres
dingin atau alcohol atau xylamidon 2 cc IM
(c) Antibiotik diberikan atas indikasi, diberikan ampicilin
1 gr/6 jam/IV/hari
(d) Anti nyeri bila penderita kesakitan atau gelisah
karena kontraksi uterus, dapat diberikan petidin
HCI 50-75 mg sekali saja, selambat-lambatnya 2
jam sebelum janin lahir.
Pengobatan Obstetrik, yaitu antara lain :
(1) Cara terminasi kehamilan yang belum inpartu
(2) Induksi persalinan : tetesan oksitosin dengan
syarat nilai bishop 5 atau lebih dengan fetal
heart monitoring.
(3) Seksio sesaria bila :
(a) Fetal assessment jelek
(b) Syarat tetesan oksitosin tidak dipenuhi (nilai
bishop kurang dari 5) atau adanya
kontraindikasi tetesan oksitosin
(c) 12 jam setelah dimulainya tetesan oksitosin
belum masuk fase aktif
(d) Pada primigravida lebih diarahkan untuk
melakukan terminasi dengan seksio sesaria.
Cara terminasi kehamilan yang sudah
inpartu
(1) Kala I
(a) Fase laten : 6 jam belum masuk fase
aktif maka dilakukan seksio sesaria
(b) Fase aktif : amniotomi saja bila 6
jam setelah amniotomi belum terjadi
pembukaan lengkap maka dilakukan
seksio sesaria (bila perlu dilakukan
tetesan oksitosin)
(2) Kala II
(a) Pada persalinan pervaginam, maka
kala II diselesaikan dengan partus
buatan. Amniotomi dan tetesan
oksitosin dilaukakn sekurang-
kurangnya 3 menit setelah
pemberian terapi medikamentosa.
Pada kehamilan 32 minggu atau
kurang, bila keadaan
memungkinkan, terminasi ditunda 2
kali 24 jam untuk memberikan
kortikosteroid.
2) Perawatan konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan
ditambah obat medisinal
(1) Indikasi
Bila kehamilan preterm (kurang 37 minggu) tanpa disertai
tanda-tanda impending eklampsia dengan keadaan janin
baik
(2) Terapi medikamentosa
Sama dengan terapi medikamentosa pada pengolaan aktif.
Hanya loading dose MgSO4 tidak diberikan intervena,
cukup intramuskuler sja dimana 4bgram pada bokong kiri
dan 4 gram pada bokong kanan.
(3) Pengobatan obstetri
(a) Selama perawatan konservatif : observasi dan evaluasi
sama seperti perawatan aktif hanya disini tidak
dilakukan terminasi
(b) MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mempunyai tanda-
tanda preeklampsia Ringan (PER), selambat-
lambatnya dlam 24 jam
(c) Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka dianggap
terapi medikamentosa gagal dan harus diterminasi
(d) Bila sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan maka
diberi lebih dahulu MgSO4 20 % 2 gram intervena.
(4) Penderita dipulangkan bila :
(a) Penderita kembali ke gejala-gejala/tanda-tanda
Preeklampsia Ringan (PER) dan telah dirawat selama
3 hari
(b) Bila selama 3 hari tetap berada dalam keadaan
Preeklampsia Ringan (PER) : penderita dapat
dipulangkan dan dirawat sebagai preeklampsia ringan
(diperkirakan lama perawatan 1-2 minggu)
8. Komplikasi
Pre Eklamsia Berat (PEB) berpotensi menimbulkan keadaan
sebagai berikut:
a. Pada Ibu
1) Eklampsia didiagnosis ketika preeklampsia memburuk
menjadi kejang. (Varney, 2007; h. 648)
2) Kejang meningkatkan kemungkinan mortalitas maternal
10 kali lipat. Penyebab kematian maternal karena
eklampsia adalah: kolaps sirkulasi (henti jantung, edema
pulmo, dan syok), perdarahan serebral dan gagal ginjal.
(Nugroho, 2012; h. 3)
3) Trombositopenia, disebabkan oleh aktivasi dan agregasi
trombosit serta hemolisis mikroangiopati yang dipicu oleh
vasospasme hebat. (Cunningham, 2006; h. 628)
4) Gangguan fungsi kardiovaskular yang parah sering terjadi
pada preeklampsia dan eklampsia. Berbagai gangguan
tersebut pada dasarnya berkaitan dengan meningkatnya
afterload jantung akibat hipertensi. (Cunningham, 2006; h.
631)
b. Pada Janin
1) Kejang meningkatkan kemungkinan kematian fetal 40 kali
lipat, biasanya disebabkan oleh hipoksia, asidosis, dan
solusio plasenta. (Nugroho, 2012; h. 4)
2) Abrupsio plasenta, disebabkan karena vasokontriksi
didalam uterus menurunkan aliran darah uterus dan lesi
vascular terjadi didasar plasenta (Fraser, 2011; h. 354).
3) Kematian janin, disebabkan oleh infark besar pada
plasenta yang terlalu kecil, dan solusio plasenta
(Cunningham, 2006;h. 628).
9. Ekstraksi Vakum
Ekstraksi vakum merupakan tindakan obstetrik yang bertujuan
untuk mempercepat kala pengeluaran dengan sinergi tenaga
mengedan ibu dan ekstraksi pada bayi. Oleh karena itu, kerjasama
dan kemampuan ibu untuk mengekspresikan bayinya, merupakan
faktor yang sangat penting dalam menghasilkan akumulasi tenaga
dorongan dengan tarikan ke arah yang sama. Tarikan pada kulit
kepala bayi, dilakukan dengan membuat cengkraman yang dihasilkan
dari aplikasi tekanan negatif (vakum). Mangkuk logam atau silastik
akan memegang kulit kepala bayi yang akibat tekanan vakum,
menjadi kaput artifisial. Mangkuk dihubungkan dengan tuas penarik
(yang dipegang oleh penolong persalianan), melalui seutas rantai.
Ada 3 gaya yang bekerja pada prosedur ini, yaitu tekanan intrauterin
(oleh kontraksi), tekanan ekspresi eksternal (tenaga mengedan), dan
gaya tarik (ekstraksi vakum) (Saifuddin, 2009; h. 495).
Indikasi untuk tindakan ekstraksi vakum yaitu kala II lama dengan
presentasi kepala belakang/verteks. Sedangkan untuk kontra indikasi
yaitu malpresentasi (dahi, puncak kepala, muka, bokong), panggul
sempit (disproporsi kepala panggul) (Saifuddin, 2009; h. 495)
Syarat khusus untuk tindakan ekstraksi vakum yaitu pembukaan
lengkap atau hampir lengkap, presentasi kepala, cukup bulan (tidak
prematur), tidak ada kesempitan panggul, anak hidup dan tidak gawat
janin, penurunan H II/III, kontraksi baik, ibu kooperatif dan mampu
untuk mengedan (Saifuddin, 2009; h. 496).
B. Tinjauan Asuhan Kebidanan
1. Definisi
a. Asuhan Kebidanan
Asuhan Kebidanan adalah proses pengambilan keputusan
dan tindakan yang dilakukan oleh bidan sesuai dengan wewenang
dan ruang lingkup praktiknya berdasarkan ilmu dan kiat kebidanan
(Kepmenkes RI No. 369/Menkes/SK/III/2007: 5).
Asuhan kebidanan adalah penerapan fungsi dan kegiatan
yang menjadi tanggung jawab dalam memberikan pelayanan
kepada klien yang mempunyai kebutuhan/masalah dalam bidang
kesehatan ibu masa hamil, masa persalinan, nifas, bayi setelah
lahir serta keluarga berencana (Sujianti, 2009; h.4).
b. Manajemen Asuhan Kebidanan
Manajemen asuhan kebidanan adalah proses pemecahan
masalah yang digunakan sebagai metode untuk
mengorganisasikan pikiran dan tindakan berdasarkan teori ilmiah,
ilmiah penemuan-penemuan, keterampilan dan rangkaian tahapan
yang logis untuk pengambilan suatu yang berfokus pada klien
(Sujianti, 2009; h. 143).
2. Langkah dalam Menejemen Kebidanan
Menurut Sujianti (2009; h. 147) langkah-langkah manajemen
kebidanan/proses manajemen terdiri dari 7 langkah yaitu:
a. Langkah I : Pengumpulan data dasar
Langkah pertama merupakan awal yang akan menentukan
langkah berikutnya. Mengumpulkan data adalah menghimpun
informasi tentang klien/ orang yang meminta asuhan. Teknik
pengumpulan data ada tiga, yaitu:
1) Observasi adalah pengumpulan data melalui indera :
penglihatan (perilaku, tanda fisik, kecacatan, ekspresi wajah),
pendengaran (bunyi batuk, bunyi nafas), penciuman (bau
nafas, bau luka), perabaan (suhu badan, nadi)
2) Wawancara adalah pembicaraan terarah yang umumnya
dilakukan pada pertemuan tatap muka. Dalam wawancara
yang penting diperhatikan adalah data yang ditanyakan
diarahkan ke data yang relefan
3) Pemeriksaan dilakukan dengan memakai instrumen/ alat
pengukur. Tujuannya untuk memastikan batas dimensi angka,
irama, kuantitas. Misalnya : tinggibadan dengan meteran,
berat badan dengan timbangan, tekanan darah dengan
tensimeter
b. Langkah II : Interpretasi data
Pada langkah ini dilakukan dilakukan identifikasi yang benar
terhadap diagnosa atau masalah dan kebutuhan klien
berdasarkan interpretasi yang benar atas data-data yang
dikumpulkan. Data dasar yang sudah dikumpulkan
diinterpretasikan sehingga ditemukan masalah atau diagnosa
yang spesifik
Langkah awal dari perumusan masalah/ diagnosa kebidanan
adalah pengolahan/ analisa data yaitu menggabungkan dan
menghubungkan data satu dengan lainnya sehingga tergambar
fakta.
c. Langkah III : Mengidentifikasi diagnosa atau masalah potensial
Pada langkah ini kita mengidentifikasikan masalah atau diagnosa
potensial lain berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosa
potensial lain berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosa yang
sudah diidentifikasi. Langkah ini membutuhkan antisipasi, bila
memungkinkan dilakukan pencegahan, sambil mengamati klien
bidan diharapkan dapat bersiap-siap bila diagnosa/masalah
potensial ini benar-banar terjadi
d. Langkah IV : Mengidentifikasi dan menetapkan kebutuhan yang
memerlukan penanganan segera
Beberapa data menunjukkan situasi emergensi dimana bidan
perlu bertindak segera demi keselamatan ibu dan bayi, beberapa
data menunjukkan situasi yang memerlukan tindakan segera
sementara menunggu intruksi dokter. Mungkin juga memerlukan
konsultasi dengan tim kesehatan lain. Bidan mengevaluasi situasi
setiap pasien untuk menentukan asuhan pasien yang paling tepat.
Langkah ini mencerminkan kesinambungan dari proses
manajemen kebidanan.
e. Langkah V : Merencanakan asuhan yang komprehensif/
menyeluruh
Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh
ditentukan oleh langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan
kelanjutan manajemen terhadap diagnosa atau masalah yang
telah diidentifikasi atau antisipasi, pada langkah ini informasi/ data
dasar yang tidak lengkap dilengkapi. Suatu rencana asuhan harus
bersama-sama disetujui oleh bidan maupun wanita itu agar efektif,
karena pada akhirnya wanita itulah yang akan melaksanakan
rencana itu atau tidak. Oleh karena itu tugas dalam langkah ini
termasuk membuat dan mendiskusikan rencana dengan wanita itu
begitu juga termasuk penegasan akan persetujuannya
f. Langkah VI : Melaksanakan perencanaan
Pada langkah keenam ini rencana asuhan menyeluruh seperti
yang telah diuraikan pada langkah kelima dilaksanakan secara
efisien dan aman. Perencanaan ini bisa dilakukan seluruhnya oleh
bidan atau sebagian dilakukan oleh bidan dan sebagian lagi oleh
klien, atau anggota tim kesehatan lainnya. Jika bidan tidak
melakukannya sendiri, ia tetap memikul tanggung jawab untuk
mengarahkan pelaksanannya (memastikan langkah tersebut
benar-benar terlaksana). Dalam situasi dimana bidan
berkolaborasi dengan dokter dan keterlibatannya dalam
manajemen asuhan bagi pasien yang mengalami komplikasi,
bidan juga bertanggungjawab terhadap terlaksananya rencana
asuhan bersama yang menyeluruh tersebut. Manajemen yang
efisien akan menyingkat waktu, biaya dan meningkatkan mutu
asuhan.
g. Langkah VII : Evaluasi
Pada langkah ketujuh ini dilakukan evaluasi keefektifan dari
asuhan yang sudah diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan
akan bantuan apakah benar-benar telah terpenuhi sesuai dengan
kebutuhan sebagaimana telah diidentifikasi didalam masalah dan
diagnosa. Rencana tersebut dapat dianggap efektif jika memang
benar efektif dalam pelaksanaannya. Ada kemungkinan bahwa
sebagian rencana tersebut telah efektif sedang sebagian belum
efektif.
3. Dokumentasi SOAP
Menurut Sudarti (2010; h. 39-41) pendokumentasian atau catatan
manajemen kebidanan dapat diterapkan dengan metode SOAP.
Uraian dari metode SOAP adalah :
a. S = Data Subyektif
Data subyektif (S), merupakan pendokumentasian manajemen
kebidanan menurut Helen Varney langkah pertama adalah
pengkajian data, terutama data yang diperoleh melalui anamnesis.
Data subyektif ini berhubungan dengan masalah dari sudut
pandang pasien. Ekspresi pasien mengenai kekhawatiran dan
keluhannya yang dicatat sebagai kutipan langsung atau ringkasan
yang akan berhubungan langsung dengan diagnosis.
b. O = Data Obyektif
Data obyektif (O) merupakan pendokumentasian manajemen
kebidanan menurut Helen Varney pertama adalah pengkajian
data, terutama data yang diperoleh melalui hasil observasi yang
jujur dari pemeriksaan fisik pasien, pemeriksaan laboratorium atau
pemeriksaan diagnostik lain. Catatan medik dan informasi dari
keluarga atau orang lain dapat dimasukkan dalam data obyektif
ini. Data ini akan memberikan bukti gejala klinis dan fakta yang
berhubungan dengan diagnosis.
c. A = Analysis atau Assessment
Analysis atau assessment (A), merupakan pendokumentasian
hasil analysis dan interpretasi (kesimpulan) dari data subyektif dan
obyektif. Analysis atau assessment merupakan
pendokumentasian manajemen kebidanan menurut Helen Varney
langkah kedua, ketiga, dan keempat sehingga mencakup hal-hal
berikut ini diagnosa/ masalah kebidanan, diagnosis/ masalah
potensial serta perlunya mengidentifikasi kebutuhan tindakan
segera harus diidentifikasi menurut kewenangan bidan, meliputi
tindakan mandiri, tindakan kolaborasi dan tindakan merujuk klien.
d. P = Planning
Planning atau perencanaan adalah membuat rencana asuhan
saat ini dan yang akan datang. Rencana asuhan disusun
berdasarkan hasil analisis dan interpretasi data.
Meskipun secara istilah, P adalah planning atau perencanaan
saja, namun P dalam metode SOAP ini juga merupakan
gambaran pendokumentasian implementasian dan evaluasi.
Dengan kata lain, P dalam metode SOAP meliputi
pendokumentasian manajemen kebidanan menurut Helen Varney
langkah kelima, keenam dan ketujuh.
C. Landasan Hukum Kewenangan Bidan
1. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 1464/MENKES/PER/X/2010
tentang izin dan penyelenggaraan praktik bidan, yaitu:
a. Pasal 9
Bidan dalam menjalankan praktik, berwenang untuk memberikan
pelayanan yang meliputi:
1) Pelayanan kesehatan ibu
2) Pelayanan kesehatan anak
3) Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana
b. Pasal 10
1) Ayat 1: pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksudkan
dalam pasal 9 huruf a diberikan pada masa pra hamil ,
kehamilan, masa persalinan, masa nifas, masa menyusui
dan masa anatara dua kehamilan
2) Ayat 2: pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 meliputi:
a) Pelayanan konseling pada masa pra hamil
b) Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
c) Pelayanan perslinan normal
d) Pelayanan ibu nifas normal
e) Pelayanan ibu menyusui, dan
f) Pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan
3) Ayat 3: Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana
disebutkan pada ayat 2 berwenang untuk:
a) Episiotomi
b) Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II
c) Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan
perujukan
d) Pemberian tablet Fe pada ibu hamil
e) Pemberian vitamin Adosis tinggi pada ibu nifas
f) Fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini dan promosi
air susu ibu eksklusif
g) Pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga
dan postpartum
h) Penyuluhan dan konseling
i) Bimbingna pada kelompok ibu hamil
j) Pemberian surat keterangan kematian, dan
k) Pemberian surat keterangan cuti bersalin
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
369/MENKES/SK/III/2007 tentang standar profesi bidan, kompetensi
ke-4, yaitu bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, tanggap
terhadap kebudayaan setempat selama persalinan yang bersih dan
aman, menangani situasi kegawatdaruratan tertentu untuk
mengoptimalkan kesehatan wanita dan bayinya yang baru lahir.
a. Pengetahuan dasar :
1) Fisiologi persalinan
2) Anatomi tengkorak janin, diameter yang penting dan penunjuk
3) Aspek psikologis dan cultural pada persalinan dan kelahiran
4) Indikator tanda-tanda mulai persalinan
5) Kemajuan persalinan normal dan penggunaan partograf atau
alat serupa
6) Penilaian kesejahteraan janin dalam masa persalinan
7) Proses penurunan janin melalui pelvic selama persalinan dan
kelahiran
8) Pengelolaan dan penatalaksanaan persalinan dengan
kehamilan normal dan ganda
9) Pemberian kenyamanan dalam persalinan, seperti kehadiran
keluarga pendamping, pengaturan posisi, hidrasi, dukungan
moril, pengurangan nyeri tanpa obat
10) Transisi bayi baru lahir terhadap kehidupan diluar uterus
11) Pemenuhan kebutuhan fisik bayi baru lahir meliputi
pernapasan, kehangatan dan memberikan ASI/PASI, eksklusif
6 bulan
12) Pentingnya pemenuhan kebutuhan emosional bayi baru lahir,
jika memungkinkan antara lain kontak kulit langsung, kontak
mata antar bayidan ibunya bila dimungkinkan
13) Mendukung dan meningkatkan pemberian ASI eksklusif
14) Manajemen fisiologi kala III
15) Memberikan suntikan intra maskuler meliputi: uterotonika,
antibiotika dan sedative
16) Indikasi tindakan kedaruratan kebidanan seperti: distosia bahu,
asfiksia neonatal, retensio plasenta, perdarahan karena atonia
uteri dan mengatasi renjatan
17) Indikasi tindakan operatif pada persalinan misalnya gawat janin,
CPD
18) Indikator komplikasi persalinan: perdarahan, partus macet,
kelainan presentasi, eklamsia, kelelahan ibu, gawat janin,
infeksi, ketuban pecah dini tanpa infeksi, distosia karena inersia
uteri primer, post term dan pre term serta tali pusat
menumbung
19) Prinsip manajemen kala III fisiologis
20) Prinsip manajemen aktif kala III
b. Pengetahuan tambahan
1) Penatalaksanaan persalinan dengan malpresentasi
2) Pemberian suntikan anestesi local
3) Akselerasi dan induksi persalinan
c. Keterampilan dasar
1) Mengumpulkan data yang terfokus pada riwayat kebidanan dan
tanda-tanda vital ibu pada persalinan sekarang
2) Melaksnakan pemeriksaan fisik yang terfokus
3) Melakukan pemeriksaan abdomen secara lengkap untuk posisi
dan penurunan janin
4) Mencatat waktu dan mengkaji kontraksi uterus (lama, kekuatan
dan frekuensi)
5) Melakukan pemeriksaan panggul (pemeriksaan dalam secara
lengkap dan akurat meliputi pembukaan, penurunan, bagian
terendah, presentasi, posisi keadaan ketuban, dan proporsi
panggul dengan bayi
6) Melakukan pemantauan kemajuan persalinan dengan
menggunakan partograph
7) Memberikan dukungan psikologis bagi wanita dan keluarganya
8) Memberikan cairan, nutrisi dan kenyamanan yang kuat selama
persalinan
9) Mengidentifikasi secara dini kemungkinan pola persalinan
abnormal dan kegawatdaruratan dengan intervensi yang sesuai
dan atau melakukan rujukan dengan tepat waktu
10) Melakukan amniotomi pada pembukaan serviks lebih dari 4 cm
sesuai dengan indikasi
11) Menolong kelahiran bayi dengan lilitan tali pusat
12) Melakukan episiotomy dan penjahitan, jika diperlukan
13) Melaksanakan manajemen fisiologi kala III
14) Melaksanakan manajemen aktif kala III
15) Memberikan suntikan intra maskuler meliputi uterotonika,
antibiotika dan sedative
16) Memasang infuse, mengambil darah untuk pemeriksaan
hemoglobin (HB) dan hematokrit (HT)
17) Menahan uterus untuk mencegah terjadinya inverse uteri dalam
kala III
18) Memeriksa kelengkapan plasenta dan selaputnya
19) Memperkirakan jumlah darah yang keluar pada persalinan
dengan benar
20) Memeriksa robekan vagina, serviks dan perineum
21) Menjahit robekan vagina dan perineum tingkat II
22) Memberikan pertolongan persalinan abnormal: letak sungsang,
partus macet kepala didasar panggul, ketuban pecah dini tanpa
infeksi, post term dan pre term
23) Melakukan pengeluaran plasenta secara manual
24) Mengelola perdarahan post partum
25) Memindahkan ibu untuk tindakan tambahan/kegawat daruratan
dengan tepat waktu sesuai indikasi
26) Memberikan lingkunagan yang aman dengan meningkatkan
hubungan/ikatan tali kasih ibu dan bayi baru lahir
27) Memfasilitasi ibu untuk menyusui sesegera mungkin dan
mendukung ASI eksklusif
28) Mendokumentasikan temuan-temuan yang penting dan
intervensi yang dilakukan
3. Standar Pelayanan Kebidanan
Menurut Syafrudin (2009; h. 84-88) standar asuhan kebidanan dapat
dilihat dari ruang lingkup standar pelayanan kebidanan yang meliputi 25
standar dikelompokan sebagai standar umum, standar pelayanan
antenatal, standar pertolongan persalinan, standar pelayanan nifas, dan
standar pelayanan kegawatdaruratan obstetrik dan neonatus.
a. Standar pertolongan persalinan meliputi :
1) Standar 9 (asuhan saat persalinan)
Bidan menilai secara tepat bahwa persalinan
sudah dimulai, kemudian memberikan asuhan
dan pemantauan yang memadai, dengan
memperhatikan kebutuhan klien selama proses
persalinan langsung.
2) Standar 10 (persalinan yang aman)
Bidan melakukan pertolongan persalinan yang
aman, dengan sikap sopan dan penghargaan
terhadap klien serta memperhatikan tradisi
setempat.
3) Standar 11 (pengeluaran plasenta dan
peregangan tali pusat)
Bidan melakukan penanganan tali pusat dengan
benar untuk membantu pengeluaran plasenta dan
selaput ketuban secara lengkap.
4) Standar 12 (penanganan kala II dengan gawat
janin melalui episiotomi)
Bidan mengenali secara tepat tanda-tanda gawat
janin pada kala II yang lama, dan segera
melakukan episiotomi dengan aman untuk
memperlancar persalinan, diikuti dengan
penjahitan perineum.
b. Standar Pelayanan Kegawatdaruratan Obstetri dan Neonatus
yaitu standar 17 (penanganan kegawatan pada eklampsia). Bidan
mengenali secara tepat tanda dan gejala eklampsia yang
mengancam, serta merujuk dan atau memberikan pertolongan
pertama.
Recommended