View
5
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
2.1.1. Pengertian Belajar
Menurut Slameto (2010: 2), belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.
Djamarah (2008: 2), menjelaskan bahwa belajar adalah aktivitas
yang dilakukan individu secara sadar untuk mendapatkan sejumlah kesan
dari apa yang telah dipelajari dan sebagai hasil dari interaksinya dengan
lingkungan sekitarnya.
Sudjana (1998: 20), belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan
adanya perubahan tingkah laku pada diri seseorang. Perubahan tersebut
ditunjukkan dengan berbagai bentuk, seperti berubahnya pengetahuan,
sikap dan tingkahlakunya, kecakapannya dan aspek lain yang ada pada
diri individu.
Dari ketiga pendapat di atas, maka dapat dipahami bahwa belajar
adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh
suatu perubahan seperti perubahan pengetahuan, sikap dan
tingkahlakunya, kecakapannya dan aspek lain yang ada pada diri
individu.
2.1.2. Hasil Belajar
Hamalik (1995: 48) mengatakan bahwa hasil belajar adalah
perubahan tingkah laku subyek yang meliputi kemampuan kognitif,
afektif dan psikomotorik dalam situasi tertentu berkat pengalamannya
berulang-ulang. Sependapat dengan Hamalik, Sudjana (2005: 3)
mengatakan bahwa hasil belajar ialah perubahan tingkah laku yang
mencakup bidang kognitif, afektif
8
dan psikomotorik yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman
belajarnya.
Winkel (1994: 13) mengemukakan salah satu ciri khas yang
menandakan telah terjadi kegiatan belajar adalah dengan adanya
perubahan pada orang yang belajar dan mengalami perubahan dari belum
tahu atau belum mampu menjadi sudah tahu atau menjadi mampu.
Dari berbagai penjelasan tentang hasil belajar di atas, dapat
dimengerti bahwa hasil belajar adalah perubahan tingkah laku subyek
dimana terjadi perubahan dari belum tahu atau belum mampu menjadi
tahu dan menjadi mampu yang terjadi pada aspek kogntitif, afektif dan
psikomotorik.
2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajar siswa.
Slameto (1995: 54) mengemukakan bahwa ada berbagai faktor yang
mempengaruhi hasil belajar, namun dapat digolongkan menjadi dua
yaitu:
a. Faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang bersumber dari dalam
individu yang sedang belajar. Adapun faktor-faktor internal
antara lain:
- Faktor jasmaniah, faktor kesehatan, cacat tubuh
- Faktor psikologis, intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif,
dan faktor kematangan
- Faktor kelelahan
b. Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang bersumber dari luar diri
individu, seperti:
- Keluarga, yaitu cara orangtua mendidik, relasi antar anggota
keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, rasa
pengertian orangtua, dan latar belakang kebudayaan.
9
- Faktor sekolah, metode belajar, perubahan kurikulum, relasi
guru dengan siswa, relasi sesama siswa, disiplin yang
diterapkan di sekolah, sarana dan prasana sekolah, kebiasaan
belajar dan tugas rumah.
- Faktor masyarakat, keadaan siswa dalam masyarakat, teman
bergaul siswa, bentuk kehidupan masyarakat.
Selain Slameto, Winkel (1996: 43) juga mengemukakan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa adalah sebagai
berikut:
a. Faktor pada diri siswa
Adapun faktor yang berasal dari dalam diri siswa yaitu:
- Faktor psikis, yaitu faktor intelektual dan non intelektual, di
antaranya adalah movitasi belajar dan kecerdasan.
- Faktor fisik yaitu kondisi fisiknya siswa
b. Faktor di luar diri siswa
Adapun faktor-faktor di luar diri siswa yaitu:
- Faktor sosial di sekolah antara lain: sistem sosial, status
sosial, dan interaksi guru dengan murid
- Faktor situasional antara lain: keadaan politik, ekonomi,
waktu dan tempat, musim dan iklim.
Hampir senada dengan pemikiran Winkel dan Slameto, Muhibbin
Syah (2002: 132), memaparkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
belajar dibedakan menjadi tiga yaitu:
a. Faktor internal (faktor-faktor yang berasal dari dalam diri
peserta didik), di antaranya:
1) Aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah) diantaranya
kondisi kesehatan, daya pendengaran dan penglihatan, dan
sebagainya.
2) Aspek psikologis yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas
perolehan pembelajaran peserta didik, diantaranya yaitu
10
kondisi rohani peserta didik, tingkat kecerdasan/intelegensi,
sikap, bakat, minat, dan motivasi peserta didik.
b. Faktor Eksternal (faktor-faktor yang berasal dari luar diri peserta
didik), diantaranya:
1) Lingkungan sosial, seperti para guru, staff administrasi, dan
teman-teman sekelas, masyarakat, tetangga, teman bermain,
orangtua dan keluarga peserta didik itu sendiri.
2) Lingkungan non sosial, seperti gedung sekolah dan letaknya,
rumah tempat keluarga peserta didik dan letaknya, alat-alat
belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan
peserta didik.
c. Faktor Pendekatan Belajar, dapat dipahami sebagai cara atau
strategi yang digunakan peserta didik dalam menunjang
efektivitas belajar dan efisiensi proses pembelajaran materi
tertentu.
Dari ketiga pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa terdiri dari tiga
faktor yaitu faktor internal atau faktor dari dalam diri siswa yang meliputi
kecerdasan, minat atau disebut sebagai faktor psikologis dan faktor
jasmaniah seperti kesehatan siswa, cacat tubuh dan kelelahan. Kedua
yaitu faktor eksternal atau faktor yang berasal dari luar diri siswa yaitu
lingkungan sekitar siswa seperti lingkungan keluarga, sekolah, teman
sebaya, masyarakat dan faktor iklim, waktu dan tempat, musim dan
iklim, dan ketiga faktor pendekatan belajar yaitu cara atau strategi yang
digunakan peserta didik dalam menunjang efektivitas belajar dan
efesiensi proses pembelajaran tertentu.
11
2.2. Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar
2.2.1. Pengertian IPS
IPS adalah bidang studi yang mempelajari, menelaah, menganalisis
gejala dan masalah sosial di masyarakat dengan meninjau dari berbagai
aspek kehidupan atau satu perpaduan. (Sardiyo, dkk, 2008: 1, 26).
Harus diakui bahwa ide IPS berasal dari literatur pendidikan
Amerika Serikat. Nama asli IPS di Amerika Serikat adalah “Social
Studies”. Istilah tersebut pertama kali dipergunakan sebagai nama sebuah
komite yaitu “Committee of Social Studies” yang didirikan pada tahun
1913. Tujuan dari pendirian lembaga itu adalah sebagai wadah himpunan
tenaga ahli yang berminat pada kurikulum ilmu-ilmu sosial di tingkat
sekolah dan ahli-ahli ilmu-ilmu sosial yang mempunyai minat sama.
Definisi IPS menurut National Council for Social Studies (NCSS),
mendefinisikan ilmu sosial adalah ilmu yang terintegrasi ras manusia dan
ilmu pengetahuan untuk mempromosikan kemampuan kewarganegaraan.
Di dalam program sekolah, ilmu sosial menyediakan ilmu yang
dikoordinir secara sistematis sebagai disiplin-disiplin ilmu seperti: ilmu
antropologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filosofi, ilmu
pengetahuan politik, psikologi, agama, dan sosiologi, seperti juga sesuai
isi dari ras manusia, matematika, dan ilmu alam. Tujuan utama dari ilmu
sosial adalah untuk membantu orang-orang muda mengembangkan
kemampuan memberi tahu dan memberi alasan keputusan-keputusan
untuk publik baik ketika budaya warga negara berbeda, demokratis di
suatu negara saling tergantung.
Seperti dikatan oleh Mulyono (1980: 8) bahwa IPS merupakan
suatu pendekatan interdisiplinier (Inter-disciplinary Approach) dari
pelajaran ilmu-ilmu sosial. IPS merupakan integrasi dari berbagai cabang
ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi budaya, psikologi sosial,
sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, dan sebagainya.
Hal ini lebih ditegaskan lagi oleh Saidiharjo (1996: 4) bahwa IPS
merupakan hasil kombinasi atau hasil pemfusian atau perpaduan dari
12
sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, sejarah, sosiologi,
antropologi, politik.
Jadi disimpulkan bahwa IPS adalah bidang studi yang mempelajari
integrasi dari berbagai aspek ilmu sosial guna meningkatkan
kemampuan, pengetahuan, menganalisis gejala dan masalah sosial di
masyarakat.
2.2.2. Fungsi dan Tujuan Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar
Menurut kurikulum 2004 (KBK) pengetahuan Pengetahuan Sosial
di SD/MI berfungsi untuk mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap dan
ketrampilan siswa tentang masyarakat bangsa dan negara Indonesia.
Tujuan pengetahuan sosial menurut kurikulum 2004 (KBK) antara lain:
a. Mengajarkan konsep-konsep dasar sosiologi, geografi, ekonomi,
sejarah dan kewarganegaraan melalui pendekatan pedagogis dan
psikologis.
b. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, inkuiri,
memecahkan masalah dan ketrampilan sosial;
c. Membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial
dan kemanusiaan;
d. Meningkatkan kemampuan bekerjasama dan berkompetisi
dalam masyarakat yang majemuk, baik secara nasional maupun
global.
Namun, dalam KTSP 2006, terjadi pemisahan kembali antara
pelajaran PKn dengan pelajaran IPS. Dengan dimaksudkan untuk
menyempurnakan tujuan-tujuan pelajaran yang telah ada. Tujuan dan
lingkup pembelajaran masing-masing yang parsial, sehingga lebih jelas
perbedaannya antara pelajaran PKn dengan IPS, walaupn pada kedua
pelajaran tersebut ada saling keterkaitan materi.
Berdasarkan pada KTSP 2006, dijelaskan bahwa IPS merupakan
salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI/SDLB sampai
SMP/MTs, SMPLB. Pelajaran IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta,
13
konsep dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang
SD/MI mata pelajaran IPS memuat materi geografi, sejarah, sosiologi
dan ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk
dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis dan
bertanggungjawab serta menjadi warga dunia yang cinta damai.
Adapun secara terinci tujuan pembelajaran IPS di SD/MI
berdasarkan pada KTSP 2006, adalah sebagai berikut:
- Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat dan lingkungannya;
- Memiliki kemampuan dasar berpikir logis, kritis, rasa ingin tahu
inkuiri, memecahkan masalah dan ketrampilan kehidupan sosial;
- Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial
kemanusiaan;
- Memiliki kemampuan dasar berkomunikasi, bekerjasama, dan
berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk di tingkat lokal,
nasional, dan global.
Khusus tentang fungsi dan tujuan pembelajaran IPS di SD, dari
pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya KBK
2004 dan KTSP 2006 tidak terlalu mengalami perubahan yang signfikan,
kecuali hanya terjadi pemisahan secara parsial pada mata pelajaran PKn.
2.3. Cooperative learning Learning Tipe Jigsaw
2.3.1. Pengertian Cooperative Learning
Model pembelajaran merupakan suatu rencana atau pola yang
mengorganisasi pembelajaran di dalam kelas dan menunjukkan cara
penggunaan materi pembelajaran (Koes, 2003: 60). Model pembelajaran
dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh memilih model
pembelajaran yang sesuai dan efisien serta efektif untuk mencapai tujuan
pendidikannya.
Salah satu model pembelajaran yang bisa dijadikan pola pilihan
para guru dalam pelaksanaan pembelajaran yaitu cooperative learning
14
atau cooperative learning. Mengenai cooperative learning, Slavin (dalam
Isjoni, 2007: 15) mengemukakan: “in cooperative learning methods,
students work together in four member teams to master material initially
presented by teacher”. Dari pernyataan tersebut dapat dikemukakan
bahwa cooperative learning merupakan suatu model pembelajaran yang
di dalamnya kegiatan belajar dilakukan oleh siswa dalam kelompok-
kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara bersama, sehingga
dapat merangsang siswa lebih termotivasi dalam belajar.
Model pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk
mengembangkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan secara
penuh dalam suasana belajar yang terbuka dan demokratis. Siswa bukan
lagi sebagai objek pembelajaran namun bisa juga berperan sebagai tutor
bagi rekan sebayanya. Menurut Sagala (2003: 88) cooperative learning
merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan paham
konstruktivisme.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
cooperative learning merupakan model pembelajaran yang
memanfaatkan pengelompokan siswa untuk bekerja sama selamam
proses pembelajaran, sehingga mendapatkan hasil yang maksimal.
Karena dengan pengelompokan ini, diharapkan siswa dapat saling
membantu dalam tugas akademiknya.
Salah satu ciri cooperative learning adalah menuntut kerjasama dan
saling mendengarkan diantara para individu di dalam kelompok tersebut.
Karena itu Slavin (2003: 38), mengatakan bahwa di dalam kelompok
para siswa akan saling belajar satu sama lain, karena dalam diskusi
mereka mengenai isi materi, konflik kognitif akan muncul, dan
pemahaman dengan kualitas yang lebih tinggi akan muncul.
Stahl (dalam Isjoni, 2007: 23) menyatakan dengan menggunakan
model cooperative learning, siswa memungkinkan dapat meraih
keberhasilan dalam belajar, disamping itu juga melatih siswa untuk
memiliki ketrampilan, baik ketrampilan berpikir maupun ketrampilan
15
sosial, seperti ketrampilan mengemukakan pendapat, menerima saran
dan masukan dari orang lain dan bekerjasama, rasa setia kawan, dan
mengurangi timbulnya perilaku menyimpang di dalam kelas.
Selanjutnya, Sharan (dalam Isjoni, 2007: 23) mengatakan bahwa siswa
yang belajar dengan menggunakan model cooperative akan memiliki
motivasi yang tinggi, karena didorong dan didukung dari teman sebaya.
Isjhoni (2007: 37) menyebutkan bahwa selain meningkatkan prestasi
belajar, model cooperative learning juga dapat meningkatkan aktivitas
siswa, karena cooperative learning adalah sebuah model aktif dan
partisipatif.
2.3.2. Tujuan Cooperative Learning
Model cooperative learning adalah model pembelajaran yang
memungkinkan guru dapat mendorong siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran baik berupa tujuan akademik, penerimaan akan
keragaman, maupun sebagai saran untuk mengembangkan ketrampilan
sosial (Suhadi, 2010: 7). Suhadi melanjutkan bahwa dengan cooperative
learning, siswa dapat meningkatkan prestasi (hasil) belajarnya, karena
siswa diberikan kesempatan untuk saling belajar dengan sesamanya –
inilah yang disebut dengan pencapaian pembelajaran yaitu pada tujuan
akademik. Sebab, menurut Suhadi, dengan belajar dari sesama siswa
lainnya, siswa sebagai individu justru lebih mudah menyerap pelajaran,
karena rekannya berada pada dimensi kognitif yang sama dengan
dirinya. Selain tujuan akademik, dengan cooperative learning siswa
diberikan kesempatan untuk saling belajar menerima keragaman, baik
keragaman suku, agama, ras, intelektual dan latar belakang yang lain
(Slavin, 2003: 39). Akhirnya cooperative learning adalah sarana yang
tepat bagi para siswa untuk mengembangkan ketrampilan sosialnya
(Suhadi, 2010: 8). Dengan belajar menerima perbedaan, pada saat itu
juga siswa sedang belajar bagaimana mengembangkan ketrampilannya
sebagai makhluk sosial.
16
2.3.3. Langkah-langkah Cooperative Learning
Arends (dalam Aqib, 2007: 72) mengemukakan ada enam fase
cooperative learning, yang dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini:
Tabel 2.1
Langkah-Langkah Cooperative Learning
Fase Kegiatan Guru
Fase 1
Menyampaikan tujuan dan
memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua
tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai pada pelajaran tersebut
dan memotivasi siswa belajar
Fase 2
Menyampaikan informasi
Guru menyajikan informasi
kepada siswa, baik dengan
peragaan (demonstrasi) atau
teks
Fase 3
Mengorganisasikan siswa ke
dalam kelompok-kelompok
belajar
Guru membimbing kelompok-
kelompok belajar dan
membantu setiap kelompok
agar melakukan perubahan
efisien
Fase 4
Membantu kerja kelompok
belajar
Guru membimbing kelompok-
kelompok belajar pada saat
mereka mengerjakan tugas
Fase 5
Mengetes materi
Guru mengetes materi
pelajaran atau kelompok
menyajikan hasil-hasil
pekerjaan mereka
Fase 6
Memberikan penghargaan
Guru memberikan contoh cara
menghargai, baik upaya
maupun hasil belajar individu
dan kelompok
17
2.3.4. Kelebihan dan Kekurangan Model Cooperative Learning
Setiap model pembelajaran tentu memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Menurut Jerolimek dan Parker (dalam
Isjoni, 2007: 24) cooperative learning memiliki keunggulan antara lain:
- Saling ketergantungan positif
- Adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu
- Siswa dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas
- Suasana kelas rileks dan menyenangkan
- Terjalinnya hubungan yang hangat dan bersahabat antara siswa
dengan guru
- Memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman
emosi yang menyenangkan
Sementara itu, kelemahan-kelemahan model cooperative learning
antara lain:
- Guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, disamping
itu memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran dan waktu;
- Agar proses pembelajaran di keals berjalan dengan lancer, maka
dibutuhkan dukungan fasilitas, alat dan biaya yang cukup memadai;
- Selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan
topik permasalahan yang sedang dibahas meluas, sehingga bayak
yang tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan;
- Saat diskkusi kelas, terkadang didominasi seseorang, hal ini
mengakibatkan siswa lain menjadi pasif.
Meskipun prinsip dasar cooperative learning tidak berubah, namun
terdapat beberapa variasi dari model tersebut. Adapun variasi dari model
cooperative learning antara lain: model cooperative learning tipe Student
Teams Achievement Division atau dikenal dengan STAD, model
cooperative learning tipe Teams Games Tournament atau dikenal dengan
TGT, tipe cooperative learning tipe Jigsaw dan berikutnya adalah tipe
cooperative learning tipe Think Pair Share atau dikenal dengan sebutan
TPS, model cooperative learning tipe Number Head Together atau
18
dikenal dengan singkatan NHT, dan juga model cooperative learning tipe
Group Investigation. Namun demikian, dalam rangka penelitian ini,
penulis memilih menggunakan model cooperative learning tipe Jigsaw
sebagai model pembelajaran yang nantinya akan diujikan dalam
penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa model cooperative
learning tipe jigsaw adalah model pembelajaran yang benar-benar
menuntut kesalingtergantungan antar individu di dalam kelompok.
Disebut demikian karena model pembelajaran ini mengharuskan setiap
individu bertanggungjawab menguasai salah satu sub materi dalam
materi dimana keberhasilan individu menguasai sub materi ini akan
mempengaruhi prestasi dalam kelompoknya.
Model ini tentu berbeda dengan model cooperative learning tipe
NHT, dimana dalam pelaksanaan pembelajaran model ini, siswa di
dalam kelompok diminta untuk saling bertukar jawaban (Marpaung, dkk,
2002: 35). Demikian juga dengan model kooperatif tipe group
investagasi. Dalam model Group Investigasi (kelompok investigasi)
mungkin merupakan model pembelajaran yang paling kompleks dan
paling sulit untuk diterapkan. Group investigasi dikembangkan oleh
Shlomo dan Yael Sharan di Universitas Tel Aviv, merupakan
perencanaan pengaturan kelas yang umum dimana para siswa bekerja
dalam kelompok kecil menggunakan pertanyaan kooperatif, diskusi
kelompok, serta perencaaan dan proyek kooperatif (Slavin, 2008: 24).
Dalam metode ini, para siswa dibebaskan membentuk kelompoknya
sendiri yang terdiri dari dua sampai enam orang anggota. Sedangkan
cooperative learning tipe STAD, lebih menekankan pada upaya saling
memotivasi diantara para anggota dalam kelompok untuk agar dapat
belajar dan menguasai materi pembelajaran tertentu.
19
2.3.5. Jigsaw
1) Pengertian Tipe Jigsaw
Model cooperative learning tipe Jigsaw merupakan salah tipe
dari model cooperative learning. Jigsaw telah dikembangkan dan
diuji coba oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas
Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di
Universitas John Hopkins. Cooperative learning tipe jigsaw
merupakan salah satu tipe cooperative learning yang mendorong
siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran
untuk mencapai prestasi yang maksimal (Isjoni, 2007: 54).
Aronson (1978), tokoh yang mendesain model cooperative
learning tipe jigsaw mengatakan:
Esensi dari jigsaw adalah suatu model cooperative learning
dimana tiap siswa dalam kelompok memiliki satu potongan
gambaran informasi khusus yang masing-masing berbeda, kemudian
ia bertanggungjawab untuk mengajarkannya kepada teman satu
kelompoknya. Ketika seluruh gambaran informasi ini bergabung,
siswa telah memiliki satu puzzle utuh (dinamakan jigsaw)
Menurut Isjoni (2007: 55) disebutkan bahwa dalam penerapan
jigsaw, siswa dibagi berkelompok dengan 4-6 anggota kelompok
belajar secara beragam, karena kelompok yang beranggotakan 4-6
orang lebih sepaham dalam menyelesaikan suatu permasalah
dibandingkan dengan kelompok yang beranggotakan 2-4 orang.
Kunci jigsaw adalah kesalingtergantungan, yakni setiap siswa
bergantung kepada teman satu kelompoknya untuk dapat
memberikan informasi yang diperlukan supaya dapat berkinerja baik
saat penilaian.
Dari pendapat di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa
model cooperative learning tipe jigsaw adalah sebuah model
pembelajaran yang beranggotakan 4-6 orang, di mana setiap anggota
kelompok saling bergantung satu dengan lainnya untuk dapat
20
memberikan informasi yang diperlukan supaya dapat berkinerja baik
saat penilaian.
2) Langkah-Langkah Cooperative learning tipe Jigsaw
Langkah-langkah atau tahapan pelaksanaan cooperative learning
tipe jigsaw yang diadopsi dari Aronson (2010) adalah sebagai berikut
(lihat tabel 2.2)
Tabel 2.2
Langkah-Langkah (tahapan) Model Cooperative learning Tipe
Jigsaw
Tahapan Kegiatan Keterangan
Pertama Membentuk kelompk
jigsaw/kelompok asal yang
heterogen
Guru membagi siswa
dalam kelompok asal
yang berjumlah 4-6
orang
Kedua Membagikan tugas/materi Guru membagi
pelajaran yang akan di
bahas ke dalam 4-6
bagian
Siswa membagi
tugas/materi yang
berbeda pada ditap
siswa dalam tiap
kelompok
Ketiga Membentuk kelompok ahli Siswa dari masing-
masing kelompok
jigsaw/asal bergabung
dengan siswa lain yang
memiliki segmen
21
pelajaran yang sama
Keempat Diskusi kelompok ahli Siswa berdiskusi
dalam kelompok
berdasarkan kesamaan
materi masing-masing
siswa
Kelima Diskusi kelompok
jigsaw/asal
Siswa kembali ke
kelompok asalnya
masing-masing dan
bergiliran mengajarkan
materi kepada anggota
kelompok yang lain
Keenam Evaluasi tingkat
penguasaan siswa terhadap
materi
Guru melakukan
penilaian untuk
mengukur hasil belajar
siswa secara individu
mengenai seluruh
pembahasan
Adapun langkah-langkah pembelajaran jigsaw di atas diuraikan
sebagai berikut:
a) Tahap 1: Bahan Ajar
Guru memilih satu bab dalam buku ajar, kemudian membagi bab
tersebut menjadi bagian-bagian, sesuai dengan jumlah anggota
kelompok. Jadi, apabila jumlah anggota kelompok ada 4 orang
siswa, maka bab tersebut dibagi menjadi empat bagian. Setiap
anggota kelompok ditugasi untuk membaca dan mempelajari
bagiannya pada bab tersebut. Pada tahap selanjutnya, masing-
masing anggota kelompok bertemu dengan ahli-ahli dari
kelompok lain dalam kelas.
22
b) Tahap 2: Diskusi Kelompok Ahli
Kelompok ahli harus melakukan pertemuan sekitar satu kali
pertemuan untuk mendiskusikan topik yang ditugaskan. Setiap
anggota kelompok ahli harus menerima lembar kerja “ahli”.
Lembar kerja ahli harus memuat pertanyaan-pertanyaan dan
kegiatan (jika ada) untuk mengarahkan diskusi kelompok. Guru
mendorong siswa untuk menggunakan cara belajar yang
bervariasi. Tujuan kelompok ini adalah mempelajari subbab
tersebut dan menyiapkan ringkasan presentasi untuk mengajarkan
subbab tesebut kepada kelompok kecil masing-masing.
c) Tahap 3: Pelaporan dan Pengetesan
Masing-masing anggota kelompok ahli kembali ke kelompok
kecil masing-masing. Masing-masing anggota kelompok
mengajarkan topik ke anggota kelompok lainnya dalam
kelompok. Guru mendorong siswaq untuk menggunakan metode
mengajar yang bervariasi. Guru mendorong anggota kelompok
untuk mengajukan pertanyaan ke penyaji dan mendiskusikan
lembar kerja kelompok.
Setelah diskusi kelompok, guru menyelenggarakan tes yang
mencakup materi satu bab penuh, dalam waktu yang tidak lebih
dari 15 menit.
d) Tahap 4: Tahap penghargaan
Tahap ini merupakan tahap yang mampu mendorong siswa untuk
lebih kompak. Pada tahap ini, rata-rata peningkatan kelompok
dilaporkan pada warta penghargaan mingguan. Guru dapat
menggunakan kata-kata istimewa untuk memberikan
penghargaan pada kinerja kelompok seperti Bintang Sains, atau
Kelompok Einstein, atau dengan sebutan lainnya. Penghargaan
kerja masing-masing kelompok disajikan pada papan
pengumuman yang melaporkan peringkat masing-masing
kelompok dalam kelas. Kinerja individu yang luar biasa juga
23
dilaporkan. Kepekaan guru sangat diperlukan disini. Penting
untuk dipahami bahwa menghargai siswa secara akademik dari
kelompok berkemampuan rendah merupakan bagian integral
keefektifan pembelajaran jigsaw.
Menurut Koes (2003: 79), model cooperative learning tipe
jigsaw memiliki dua dampak sekaligus pada diri siswa yaitu dampak
instruksional dan dampak sertaan. Dampak instruksional
dilambangkan oleh anak panah, sedangkan dampak sertaan
dilambangkan oleh anak panah garis putus-putus sebagai berikut:
3) Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Tipe Jigsaw
Wardani (2002: 87) menguraikan beberapa kelebihan model
pembelajaran tipe jigsaw, yaitu:
- Dari segi efektivitas, secara umum pada model cooperative
learning tipe jigsaw lebih aktif dan saling memberikan pendapat
(sharing ideas). Karena suasana belajar lebih kondusif, baru dan
adanya penghargaan yang diberikan kelompok, maka masing-
masing kelompok berkompetisi untuk mencapai prestasi yang
baik.
- Siswa lebih memiliki kesempatan berinteraksi sosial dengan
temannya.
Tipe Jigsaw Struktur Konsep
Kebergantungan
positif
Pemrosesan
Kelompok
Kesadaran akan
perbedaan
Kepekaan sosial
Kepemimpinan
kolektif
Toleransi atas
perbedaan
24
- Siswa lebih aktif dan kreatif, serta memiliki tanggungjawab
secara individual.
Selain memiliki beberapa kelebihan di atas, model cooperative
learning tipe jigsaw juga memiliki beberapa kelemahan, seperti yang
diutarakan oleh Wardani (2002: 87), yaitu:
- Terdapat kelompok siswa yang kurang berani mengemukakan
pendapat atau bertanya, sehingga kelompok tersebut dalam
diskusi menjadi kurang hidup.
- Memerlukan waktu yang relatif cukup lama dan persiapan yang
matang antara lain pembuatan bahan ajar dan LKS benar-benar
memerlukan kecermatan dan ketepatan.
Selain Wardani, Kurnia (2005: 43) memaparkan beberapa
kelemahan model cooperative learning tipe jigsaw, yaitu:
- Siswa tidak terbiasa dengan model pembelajaran tipe jigsaw,
sehingga proses pembelajarannya menjadi kurang maksimal.
- Alokasi waktu kurang mencukupi.
- Masih ada siswa yang kurang bertanggungjawab, sehingga
pelaksanaan cooperative learning tipe jigsaw menjadi kurang
efektif.
- Kebiasaan adanya pembicaraan yang didominasi oleh seseorang.
2.4. Model Pembelajaran Konvensional
2.4.1. Pengertian Model Pembelajaran Konvesional
Model pembelajaran konvensional umumnya dikenal dengan
sebutan model pembelajaran ekspositori. Metode ekspositori adalah
metode pembelajaran dengan memberikan keterangan terlebih dahulu
definisi, prinsip dan konsep materi pembelajaran serta memberikan
contoh-contoh latihan pemecahan masalah dalam bentuk ceramah,
demonstrasi, tanya jawab dan penugasan. Siswa mengikuti pola yang
ditetapkan oleh guru secara cermat. Penggunaan metode ekspositori
25
merupakan metode pembelajaran mengarah kepada tersampaikannya isi
pelajaran kepada siswa secara langsung.
Dimyati dan Mudjiono (1999: 172) mengatakan metode ekspositori
adalah memindahkan pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai kepada
siswa. Peranan guru yang penting adalah: (1) menyusun program
pembelajaran; (2) memberi informasi yang benar; (3) pemberi fasilitas
yang baik; (4) pembimbing siswa dalam perolehan informasi yang benar;
dan (5) penilai perolehan informasi. Sedangkan peranan siswa adalah: (1)
pencari informasi yang benar; (2) pemakai media dan sumber yang
benar; (3) menyelesaikan tugas dengan penilaian guru.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksudkan dengan metode pembelajaran konvensional atau metode
pembelajaran ekspositori adalah metode yang mengkombinasikan antara
metode ceramah, tanya jawab dan pemberian tugas. Pemberian tugas
berupa mengerjakan soal-soal yang dikerjakan secara individual atau
kelompok.
2.4.2. Langkah-langkah Model Pembelajaran Konvensional (Ekspositori)
1) Persiapan
Adapun pada langkah ini hal-hal yang harus dilakukan guru,
antara lain:
a) Mengajak siswa keluar dari kondisi mental yang pasif.
b) Membangkitkan motivasi dan minat siswa untuk belajar.
c) Merangsang dan menggugah rasa ingin tahu siswa.
d) Menciptakan suasana dan iklim pembelajaran yang terbuka.
2) Penyajian
a) Menggunakan bahasa yang bersifat komunikatif dan mudah
dipahami.
b) Menggunakan bahasa sesuai perkembangan siswa.
c) Menggunakan intonasi yang tepat.
d) Menjaga kontak mata dengan siswa.
26
e) Menjaga kelas tetap hidup dan segar dengan menyelipkan kalimat
atau bahasa yang lucu pada penyajian materi.
3) Menghubungkan
Menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman siswa atau
dengan hal-hal lain yang memungkinkan siswa dapat menangkap
keterkaitannya, dalam struktur pengetahuan yang telah dimilikinya.
4) Menyimpulkan
a) Mengulang kembali inti-inti materi yang menjadi pokok
persoalan.
b) Memberikan beberapa pertanyaan yang relevan dengan materi
yang disajikan.
5) Penerapan
a) Membuat tugas yang relevan dengan materi yang telah disajikan.
b) Memberikan tes yang sesuai dengan materi pelajaran yang
disampaikan.
2.4.3. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Ekspositori
Setiap model pembelajaran tentu memiliki keunggulannya sendiri,
namun juga memiliki kekurangan-kekuranganya. Dalam model
pembelajaran konvensional (ekspositori) kelebihan dan kekurangannya
antara lain sebagai berikut:
1) Dengan metode ekspositori, guru bisa mengontrol urutan dan
keluasan materi pembelajaran, dengan demikian guru dapat
mengetahui sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran yang
disampaikan.
2) Metode ekspositori dianggap sangat efektif apabila materi pelajaran
yang harus dikuasai siswa cukup luas, sementara waktu yang
dimiliki untuk belajar terbatas.
3) Melalui metode ekspositori, siswa dapat mendengarkan penuturan
tentang pelaksanaan demonstrasi.
27
4) Metode ekspositori dapat digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran
kelas yang besar.
Adapun kelemahan metode ekspositori adalah sebagai berikut:
1) Metode ekspositori hanya mungkin dapat dilakukan terhadap siswa
yang memiliki kemampuan mendengar dan menyimak secara baik,
sehingga siswa yang tidak memiliki kemampuan seperti itu akan
mengalami kesulitan.
2) Metode ekspositori tidak mungkin melayani perbedaan individu baik
perbedaan kemampuan, perbedaan pengetahuan, minat, dan baka,
serta perbedaan gaya belajar.
3) Metode ekspositori sulit mengembangkan kemampuan siswa dalam
sosialisasi, hubungan interpersonal, serta kemampuan berpikir kritis.
4) Keberhasilan metode ekspositori sangat tergantung kepada apa yang
dimiliki guru seperti persiapan, pengetahuan, rasa percaya diri,
semangat, antusiasme dan kemampuan lainnya. Tanpa kemampuan
itu sudah dipastikan bahwa proses pembelajaran tidak mungkin
berhasil.
5) Gaya komunikasi lebih banyak terjadi satu arah (one-way
communication), maka kesempatan untuk mengontrol pemahaman
siswa akan materi pembelajaran akan sangat terbatas pula. Di
samping itu, pengetahuan siswa akan terbatas pada apa yang
diberikan guru.
2.5. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian yang relevan atau sesuai dengan penelitian yang
akan dilakukan peneliti, antara lain:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Laela Mardhiyah, 2010 mahasiswa
program studi S1 PGSD, Universitas Kristen Satya Wacana dalam
skripsinya yang berjudul “Meningkatkan hasil belajar siswa kelas V
pada mata pelajaran matematika melalui metode pembelajaran
28
koopratif tipe jigsaw di SD Porworjo Kec. Suruh kab. Semarang
semester 1 tahun ajaran 2009/2010”. Hasil penelitian yang di peroleh
ini adalah terjadi peningkatan ketuntasan hasil belajar evaluasi dari
tiap siklus pada pembelajaran materi luas bangun datar di kelas V SD
Negeri purworjo semester I hasil yang di peroleh dalam penelitian ini
adalah terjadi peningkatan ketuntasan belajar siswa tersebut terjadi
secara bertahap, dimana kondisi awal hanya terdapat 20 siswa yang
telah tuntas dalam belajarnya, pada siklus 1 ketuntassan belajar siswa
dapat mencapai 100% tanpa kegiatan tindak lanjut.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Cicik Asti Tahapsari, 2011 mahasiswa
program studi S1 PGSD Universitas Kristen Satya wacana dalam
skripsinya yang berjudul “, Peningkatan hasil belajar siswa pada mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan tentang materi pengaruh
globalisasi melalui cooperative learning tipe jigsaw bagi siswa kelas
IV SD Negri wulung 4 Randu blatung Kabupaten blora tahun 2010-
2011.” Dengan hasil penelitian yang diperoleh terjadi peningkatan
ketuntasan prestasi belajar siswa tersebut terjadi secara bertahap
dimana pada kondisi awal siswa yang tuntas sebanyak 8 (40%) pada
siklus 1 ketuntasan belajar siswa meningkat menjadi 15 siswa (75%)
dan pada siklus II ketuntasan belajar siswa meningkat menjadi 20
siswa (100%) 1dengan demikian dapat di simpulkan bahwa
penggunaan model kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan prestasi
belajar siswa kelas IV SD Negeri Randublatung kabupaten blora
semester 1 Tahun ajaran 2009 – 2010.
3. Kisnanto (2010), Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar IPS dengan
Model Cooperative Learning pada Siswa Kelas VI SD Negeri 02
Wonogiri Tahun 2010. Bentuk penelitian ini adalah Penelitian
Tindakan Kelas yang terdiri dari 4 tahapan yaitu perencanaan,
pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Sebagai subyek adalah
siswa kelas VI SD Negeri 02 Wonogiri kecamatan Ampelgading
Kabupaten Pemalang yang berjumlah 17 siswa. Berdasarkan
29
penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : penggunaan model
Cooperative Learning dapat meningkatkan prestasi belajar IPS. Hal ini
dapat dilihat dari nilai yang diperoleh siswa sebalum dilakukan PTK
hanya ada 9 siswa atau 47,1 % yang nilai prestasi belajarnya sudah
mencapai KKM, sedangkan pada siklus I ada 12 anak atau 70, 6 %
yang sudah mencapai KKM dan pada siklus II ada 15 siswa atau 88,2
% yang sudah mencapai KKM yaitu memperoleh nilai 60,0.
2.6. Kerangka Berfikir
Kondisi awal kelas kontrol dan kelas eksperimen berada dalam
kondisi yang seimbang hasil belajarnya. Kelas eksperimen diberi pre-test
kemudian diberi Model Cooperative learning Learning tipe Jigsaw
selanjutnya diberikan post-test. Kelas kontrol diberikan pre-test kemudian
melakukan pembelajaran konvensional dan post-test.
Membandingkan hasil belajar siswa antara yang diberi Model
Kooperatif Learning pada awal pembelajaran dengan yang melakukan
pembelajaran secara konvensional adalah salah satu cara untuk mengetahui
seberapa efektif Pembelajaran Kooperatif Learning tipe Jigsaw dalam
meningkatkan hasil belajar siswa. Jika siswa yang diberika Model
Cooperatif Learning Tipe Jigsaw memperoleh hasil belajar di atas rata-
rata, berarti dalam dunia pendidikan benar-benar bermanfaat. Akan tetapi
jika siswa yang tidak diberikan Model Kooperatif tipe Jigsaw juga
memperoleh hasil belajar yang sama, berarti Model Kooperatif tipe Jigsaw
kurang bermanfaat dalam dunia pendidikan.
Alur Kerangka Berfikir
Siswa Kelas V SDN
Pendowo 03
Kelompok
Esperimen
Kelompok
Kontrol
Hasil Belajar
Perlakuan
Konvensional
Perlakuan
Kooperatif tipe
Jigsaw
Siswa Kelas V SDN
Pendowo 02
Pretest
Pretest
Posttest
Posttest
30
Bagan di atas merupakan gambaran mengenai kondisi awal siswa
kelas kontrol dan kelas eksperimen yang mempunyai kondisi hasil belajar
yang sama. Kelas kontrol tidak diberi perlakuan sedangkan kelas
eksperimen diberi model Cooperatif Learning tipe Jigsaw kemudian
diadakan post-test untuk kelas kontrol dan kelas eksperimen. Dari hasil
post-test dapat dibandingkan adanya perbedaan antara kelas kontrol dan
eksperimen.
2.7. Hipotesis Penelitian
Hipotesis akan diuji di dalam penelitian dengan pengertian bahwa uji
statistik selanjutnya yang akan membenarkan atau menolaknya. Adapun
hipotesia dalam penelitian ini yaitu:
Ho : Tidak ada keefektivan Model Kooperatif tipe jigsaw terhadap hasil
belajar siswa pada pembelajaran IPS siswa SD kelas V Pendowo 03
Kab Temanggung.
Hi : Ada keefektivan Model Kooperatif tipe Jigsaw terhadap hasil
belajar siswa pada pembelajaran IPS siswa SD kelas V Pendowo 03
KabTemanggung.
Recommended