View
217
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab II ini berisi kajian teori tentang belajar yang meliputi hakikat belajar,
hakikat pembelajaran, prinsip pembelajaran, managemen pembelajaran, strategi
pengajaran. Selain itu, terdapat juga kajian pustaka mengenai proses belajar,
belajar tuntas (mastery learning), dan hasil belajar. Bab ini juga membahas
mengenai IPS yang meliputi pendekatan IPS dan kajian IPS SD. Terdapat ulasan
mengenai Make a Match Berbantuan Mind Mapping yang meliputi pengertian
Make a Match dan Mind Mapping, alasan peneliti menggunakan Make a Match
Berbantuan Mind Mapping dan sintak penerapan Make a Match Berbantuan Mind
Mapping. Penelitian yang relevan, kerangka berpikir dan hipotesis tindakan akan
tersusun secara sistematis dalam Bab II ini.
2.1 Belajar
2.1.1 Hakikat Belajar
Menurut Deni Darmawan dan Permasih (2011:124), “belajar adalah
aktivitas yang disengaja dan dilakukan oleh individu agar terjadi perubahan
kemampuan diri, dengan belajar anak yang tadinya tidak mampu melakukan
sesuatu, menjadi mampu melakukan sesuatu, atau anak yang tadinya tidak
terampil menjadi terampil.” Menurut Gagne (dalam Deni Darmawan dan
Permasih, 2011:124), “belajar adalah suatu proses dimana suatu organisme
berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman.” Dari pengertian Gagne (dalam
Deni Darmawan dan Permasih, 2011:124), terdapat tiga unsur pokok dalam
belajar yaitu proses, perubahan perilaku, dan pengalaman.
Seseorang dikatakan belajar apabila pikiran dan perasaannya aktif.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa:
8
1) Belajar adalah mekanisme yang dengan itu menjadikannya anggota
masyarakat yang cakap, yang penting dalam menentukan semua
keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai yang tingkah laku yang
berlainan(kapabilitas), 2) Kapabilitas diperoleh dari (1) Stimulasi yang
berasal dari lingkungan, dan (2) Proses yang dilakukan oleh si pelajar.
Aktivitas pikiran dan perasaan itu sendiri tidak dapat diamati orang lain,
akan tetapi dirasakan oleh yang bersangkutan sendiri. Belajar tidak hanya
dengan mendengarkan penjelasan dari guru(tidak harus ada yang mengajar),
karena belajar dapat dilakukan siswa dengan berbagai macam cara dan
kegiatan, asal terjadi interaksi antara individu dengan lingkungannya.
Menurut Arief Sadiman (dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 125),
“belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang dan
berlangsung seumur hidup, sejak dia masih bayi hingga ke liang lahat.” Seperti
halnya ketika masih bayi belajar mencari air asi ibunya, ketika menginjak usia
satu tahun sampai dewasa, seseorang akan terus belajar yang belum pernah dia
terima, dia alami, dia rasakan, dan belum pernah dia dapatkan. Menurut para ahli
psikologi dalam (dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 125), “tidak semua
perubahan perilaku sebagai hasil belajar.” Bisa terjadi perubahan perilaku yang
dengan tanpa belajar, anak tersebut dengan sendirinya mengalami perubahan
perilaku (dari dirinya sendiri). Perubahan perilaku hasil belajar diklasifikasikan
menjadi tiga domain yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Pada pembelajaran perubahan perilaku sebagai hasil belajar yang ingin
dicapai ini dapat dirumuskan dalam bentuk tujuan pembelajaran atau rumusan
kompetensi yang ingin dicapai dengan segala indikatornya. Menurut Gagne
(dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 126), “lingkungan pembelajaran
yang baik adalah lingkungan yang merangsang dan menantang siswa untuk
belajar.” Lingkungan belajar yang baik sangat mempengaruhi rangsangan siswa
untuk lebih giat dalam belajar, untuk lebih sungguh-sungguh dalam menerima
pelajaran dan belajar. Menurut Whiterington (dalam Deni Darmawan dan
Permasih, 2011: 127), “belajar adalah sesuatu yang mendorong, memberikan
inspirasi, memberikan motif-motif dan membimbing murid-murid dalam usaha
mereka mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.”
9
Dari beberapa penelitian tersebut disimpulkan, belajar adalah suatu proses
aktivitas yang disengaja dan tidak disengaja, yang dilakukan oleh individu, untuk
membuat perubahan pada diri dari setiap individu, yang awalnya belum tahu
menjadi tahu, yang awalnya tidak mampu menjadi mampu, yang awalnya belum
terampil menjadi terampil, yang bisa membuat perubahan perilaku pada diri dari
setiap individu.
2.1.2 Hakikat Pembelajaran
Belajar dan pembelajaran memiliki sebuah keterkaitan. Belajar
merupakan proses individu melakukan sesuatu yang menghasilkan perubahan
sikap, pola pikir, tingkah laku, dan pemikiran yang baik yang dapat terjadi
didalam kehidupan individu baik ada dan tidak adanya orang lain yang sengaja
ikut campur dalam proses belajarnya (Deni Darmawan dan Permasih 2011:
128). Contohnya seorang anak yang melihat ayahnya melihat film bersejarah,
berdasarkan pengalamannya tersebut ia belajar banyak hal seperti melihat hal
yang bersejarah dalam “Lihatlah gambar-gambar yang ada di film ini, Nak!,”
dalam gambar di film “Lihatlah di dalam film ini ada gambar bangunan-bangunan
dan orang-orang jaman dahulu”, sejarah dalam film “bagaimana kalau kita tebak-
tebakan untuk gambar bangunan dan orangnya tersebut adalah kerajaan-kerajaan
di Indonesia dan tokohnya?”, padahal ayah tersebut tidak mengajarinya IPS, anak
hanya disuruh mengamati gambar bangunan dan orangnya.
Bila belajar bisa berasal dari pengalaman, maka individu dihadapkan pada
situasi di mana ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan cara biasa, atau apabila ia
harus mengatasi rintangan-rintangan yang mengganggu kegiatan-kegiatan yang
diinginkan. Menurut Deni Darmawan dan Permasih (2011: 129), “pembelajaran
merupakan perkembangan dari istilah pengajaran, dan istilah belajar-mengajar
yang dapat kita perdebatkan, atau kita abaikan saja yang penting makna dari
ketiganya.” Menurut Deni Darmawan dan Permasih (2011: 128), “pembelajaran
adalah suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang guru atau pendidik untuk
membelajarkan siswa yang belajar.” Pembelajaran tidak jauh dari upaya mengajak
10
siswa untuk belajar, memberikan siswa ilmu, dan mendidik siswa dari segi
karakter serta akademik, agar siswa benar-benar mampu memahami dan bisa
menerima pelajaran yang disampaikan, serta terbentuk menjadi anak yang
diinginkan dan diharapkan orangtua maupun guru.
Menurut Mudhofir (dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 128), ada
empat pola pembelajaran yaitu:
pertama, pola pembelajaran guru dengan siswa tanpa menggunakan alat
bantu/bahan pembelajaran dalam bentuk alat peraga. Kedua, dengan
menggunakan pola (guru + alat peraga) dengan siswa. Ketiga, dengan
menggunakan pola (guru) + (media) dengan siswa. Dan keempat, dengan
menggunakan pola media dengan siswa atau pola pembelajaran jarak jauh
menggunakan media atau bahan pembelajaran yang disiapkan.” Menurut
Chaedar Alwasilah, hakikat pembelajaran adalah interaksi antara siswa
dengan lingkungan pembelajaran agar tercapai tujuan pembelajaran
(perubahan perilaku).
Dari pendapat diatas hakikat belajar adalah proses individu melakukan
sesuatu yang menghasilkan perubahan, baik itu perubahan sikap, perubahan pola
pikir, perubahan tingkah laku, perubahan pemikiran yang lebih baik, dan
perubahan kehidupan pada setiap individu. Serta usaha untuk membelajarkan
seseorang agar menghasilkan hasil perubahan yang diharapkan.
2.1.3 Prinsip Pembelajaran
Menurut Zaenal Arifin (2011: 182), prinsip pembelajaran terbagi menjadi
dua yaitu prinsip umum pembelajaran dan prinsip khusus pembelajaran. Prinsip
umum pembelajaran yaitu:
(1) Belajar menghasilkan perubahan perilaku peserta didik yang relatif
permanen atau tetap, (2) Peserta didik memiliki potensi, gandrung, dan
kemampuan yang merupakan benih kodrati untuk ditumbuhkembangkan,
(3) Perubahan atau pencapaian kualitas ideal itu tidak tumbuh alami
linear sejalan proses kehidupan.
Prinsip khusus pembelajaran yaitu:
(1) Prinsip perhatian dan motivasi untuk siswa merupakan dalam proses
pembelajaran memiliki peranan yang sangat penting sebagai langkah
11
awal dalam memicu aktivitas-aktivitas belajar.” Menurut Zaenal Arifin
(2011: 183), “perhatian adalah memusatkan pikiran dan perasaan
emosional secara fisik dan psikis terhadap sesuatu yang menjadi pusat
perhatiannya.” Dari sini siswa sangat memerlukan perhatian dari guru,
agar pikirannya bisa fokus pada pelajaran yang disampaikan guru dan
merasakan nyaman dalam menerima pelajaran. Menurut Zaenal Arifin
(2011: 183), “motivasi adalah dorongan atau kekuatan yang dapat
menggerakkan sesesorang untuk melakukan sesuatu.” Siswa juga
memerlukan motivasi, tidak semua siswa kehidupannya baik dan kondisi
lingkungan maupun keluarga sesuai dengan umuran mereka, maka dari
itu motivasi dari guru atau dari sekolah sangat penting bagi setiap anak
didik dalam menjalani sekolah. Menurut H.L Petri (dalam Zaenal Arifin
2011: 183), “motivation is the concept we use when we describe the
forces acting on or within an organism to initiate and direct behavior,”
(2) Prinsip keaktifan merupakan kecenderungan psikologi saat ini
menyatakan bahwa anak adalah makhluk yang aktif. Belajar pada
hakikatnya adalah proses aktif dimana seseorang melakukan kegiatan
secara sadar untuk mengubah suatu perilaku secara tidak sadar atau
secara sadar, terjadi kegiatan merespon terhadap setiap pembelajaran.
Menurut gage & Berliner (dalam Zaenal Arifin 2011: 183), “teori kognitif
menyatakan bahwa belajar menunjukkan adanya jiwa yang aktif, jiwa tidak
sekadar merespons informasi, namun jiwa mengolah dan melakukan transformasi
informasi yang diterima.” Penilaian kepada siswa secara kognitif sangat
diperlukan agar siswa benar-benar mampu merespons informasi materi pelajaran
yang disampaikan oleh guru dan dapat menerimanya dengan baik. Sedangkan
menurut Tutik Rachmawati dan Daryanto (2015: 155), “prinsip pembelajaran
adalah suatu landasan, konsep dasar, dan sumber yang menjadikan proses belajar
yang terjadi antara pendidik dengan peserta didik lebih dinamis dan terarah sesuai
dengan tujuannya.” Dalam penerapannya, prinsip ini memerlukan usaha guru
untuk membuat siswa bisa berinteraksi baik dengan guru selama proses
pembelajaran berlangsung dan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang
disampaikan.
Menurut beberapa ahli pendidikan (dalam Tutik Rachmawati dan Daryanto
2015: 155), prinsip-prinsip umum pembelajaran yaitu:
1) Perhatian dan Motivasi
12
Perhatian mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar,
karena perhatian merupakan faktor yang besar pengaruhnya, jika peserta
didik mendapatkan perhatian yang besar mengenai apa yang dipelajari,
maka peserta didik dapat mengarahkan dirinya sendiri pada tugas yang
diberikan. Motivasi adalah tenaga yang menggerakan dan mengarahkan
seseorang melakukan aktivitas. Motivasi berkaitan erat dengan minat,
peserta didik yang memiliki minat pada suatu bidang studi, maka peserta
didik tersebut akan tertarik perhatiannya pada sebuah bidang studi tersebut
dan timbul rasa untuk mempelajarinya (motivasi).
2) Keaktifan
Menurut pandangan psikologi, anak adalah makhluk yang aktif.
Anak mempunyai dorongan untuk melakukan sesuatu, mempunyai kemauan
dan aspirasinya sendiri.
3) Keterlibatan Langsung/Pengalaman
Belajar harus dilakukan oleh peserta didik itu sendiri, sehingga
pembelajaran harus dibuat secara unik dan menarik agar peserta didik dapat
langsung mengikuti proses pembelajarannya sendiri, melihat sendiri, dan
mencobanya sendiri. Sebagaimana menurut seorang filsof China Confocius
(dalam Tutik Rachmawati dan Daryanto 2015: 157), bahwa: Apa yang saya
dengar, saya lupa. Apa yang saya lihat, saya ingat.
4) Pengulangan
Mengulang salah satu faktor yang besar pengaruhnya dalam
belajar, karena dengan adanya pengulangan “bahan yang belum begitu
dikuasai serta mudah terlupakan” akan tetap tertanam pada otak seseorang.
Teori yang menekankan prinsip pengulangan adalah teori koneksionisme
Thordike, dalam teori ini ia mengemukakan bahwa belajar adalah
pembentukan hubungan antara stimulus dan respons, dan pengulangan
terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya
respons benar.
5) Tantangan
Bahan belajar yang baru, inovatif, kreatif, dan menantang akan
membuat peserta didik tertantang dan dengan sendirinya meraka akan lebih
giat dan sungguh-sungguh dalam belajar.
6) Balikan dan Penguatan
Ketika peserta didik melakukan suatu perbuatan yang berefek baik
maka mereka akan dengan sendirinya mengulanginya lagi, dan apabila
mereka melakukan perbuatan yang berefek jelek, mereka akan dengan
sendirinya meninggalkannya. Namun, kadangkala dorongan belajar itu tidak
saja dari penguatan yang menyenangkan tapi juga yang tidak
menyenangkan, dalam memperkuat belajar.
Dari beberapa pengertian tersebut, prinsip pembelajaran merupakan sebuah
proses yang mengharapkan sebuah perubahan, dimana terdapat perubahan
perilaku, perubahan yang menghasilkan pencapaian kualitas, serta pemberian
13
perubahan yang menghasilkan perhatian dan motivasi, keaktifan, pengalaman,
pengulangan, tantangan, balikan dan penguatan secara signifikan.
2.1.4 Manajemen Pembelajaran
Menurut Terry(dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 70), “The
management is the process of getting thing done by the effort of other people.”
Dapat dipahami bahwa manajemen adalah kekuatan utama dalam sebuah
organisasi seperti guru yang mengkoordinir berbagai kegiatan bagian-bagian (sub
sistem) serta berhubungan dengan lingkungan. Manajemen berusaha
memfokuskan perhatian atas proses pokok mencakup perencanaan,
pengorganisasian, dan pengawasan yang sangat esensial jika organisasi ingin
mencapai tujuan dan sasaran utamanya. Menurut Reigeluth dan Garfinkel (dalam
Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 75), “guru adalah sebagai fasilitator dan
manajer pendidikan.” Peran ini mensyaratkan sistem yang berbasis sumber daya,
penggunaan kekuatan alat-alat baru berkaitan dengan kemajuan teknologi
daripada berbasis kepada guru untuk dijadikan alat peraga dalam mengajar.
Menurut Davis (dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 75), peranan
guru sebagai manajer dalam proses pengajaran yaitu:
(1) Merencanakan yaitu menyusun tujuan belajar sebagai pengajaran, (2)
Mengorganisasikan yaitu menghubungkan atau menggabungkan seluruh
sumber daya belajar-mengajar dalam mencapai tujuan secara efektif dan
efisien, (3) Memimpin yaitu memotivasi para peserta didik untuk siap
menerima materi pelajaran dan memberikan ilmu kepada para peserta didik
untuk siap mendengarkan penjelasan, (4) Mengawasi yaitu apakah kegiatan
belajar mengajar mencapai tujuan pengajaran.
Menurut Hoban (dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 76),
“manajemen pembelajaran mencakup saling berhubungan berbagai peristiwa tidak
hanya seluruh peristiwa pembelajaran saja, dalam proses pembelajaran tetapi juga
faktor logistik.” Teori pembelajaran, pengajaran, manajemen pembelajaran adalah
ilmu murni, ilmu terapan, dan ilmu sistem. Menurut Glover (2000), “manajemen
pembelajaran adalah proses menolong murid untuk mencapai pengetahuan,
keterampilan, kemampuan dan pemahaman terhadap dunia di sekitar mereka.”
14
Manfaat manajemen pembelajaran adalah sebagai aktivitas profesional dalam
menggunakan dan memelihara satuan program pengajaran yang dilaksanakan
(Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 78). Fungsi manajemen pembelajaran
adalah untuk perencanaan, pengajaran, pengorganisasian pengajaran,
kepemimpinan dalam KBM, dan evaluasi pengajaran dilaksanakan (Syafaruddin
dan Irwan Nasution 2005: 79).
Dari beberapa pengertian tersebut, manajemen pembelajaran adalah proses
menolong siswa untuk mencapai pengetahuan yang seharusnya didapat, mencapai
keterampilan yang seharusnya dimiliki, mencapai kemampuan yang seharusnya
dimiliki, dan pemahaman terhadap dunia mereka sendiri, dengan guru sebagai
fasilitator atau yang mengkoordinir proses pengajarannya.
2.1.5 Strategi Pengajaran
Menurut Mac Donald (dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 76),
strategi adalah “The art of carrying out a plan skillfully.” Seni yang menunjukkan
kestrategian bisa membawa rencana pembelajaran menjadi cekatan/mahir
sehingga siswa merasakan kenyamanan dalam menerima pelajaran jika guru dapat
melakukan hal tersebut. Strategi pengajaran adalah sebagai pandangan yang
bersifat umum serta arah umum dari tindakan untuk menentukan metode yang
akan dipakai dalam proses belajar mengajar, oleh Abizar (dalam Syafaruddin dan
Irwan Nasution 2005: 76).
Menurut Gulo (dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 76), strategi
belajar-mengajar adalah rencana dan cara-cara membawakan pengajaran agar
segala prinsip dasar dapat terlaksana dan segala tujuan pengajaran dapat dicapai
secara efektif. Strategi belajar-mengajar merupakan rancangan dasar bagi seorang
guru tentang cara guru menyampaikan pelajaran di kelas secara bertanggung
jawab. Menurut Abizar (dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 76), dilihat
dari proses belajar dan pembelajaran terdapat strategi pembelajaran yaitu belajar
melalui penerimaan (reception learning), dan belajar melalui penemuan
(discovery learning).
15
Adapun belajar melalui penerimaan disebut juga proses informasi
(information processing), sedangkan belajar melalui penemuan disebut juga
belajar melalui pengalaman (experimental learning). Menurut Oemar Hamalik
(2014: 131), ada 4 strategi pembelajaran yang pantas disajikan dan diketahui oleh
guru atau calon guru, yaitu:
1) Pembelajaran Penerimaan (reception learning): penerimaan, pemahaman,
partikularisasi, dan tindakan terhadap prinsip-prinsip umum, aturan-aturan,
illustrasi khusus, contoh-contoh yang diberikan, dan proses simbol ke
perbuatan/tindakan. 2) Pembelajaran Penemuan (discovery learning):
pendukung utama pendekatan ini adalah Piaget dan Bruner yakni penganut
Psikologi Kognitif dan Humanistik. 3) Pembelajaran Penguasaan (mastery
learning): pendukung utama pendekatan ini adalah Carrol, memadukan teori
behavioristik dan humanistik. Belajar tuntas adalah salah satu strategi
pembelajaran yang diinividualisasikan dengan menggunakan pendekatan
kelompok. Pendekatan ini yaitu siswa belajar bersama-sama, memberikan
banyak waktu untuk siswa, dan memberi bantuan ke siswa yang kesulitan.
4) Pembelajaran Terpadu (unit learning): pendekatan ini berpangkal pada
teori psikologi Gestalt, pembelajaran terpadu adalah suatu sistem
pembelajaran yang bertitik tolak dari suatu masalah, yang dipelajari oleh
siswa baik secara individual maupun kelompok dengan metode yang
bervariasi serta dengan bimbingan guru.
Strategi pengajaran tidak sama dengan metode pengajaran, Rohani dan
Ahmadi (dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 76), menyimpulkan pola
pengajaran yaitu:
(1) Perumusan tujuan umum adalah penjabaran topik-topik dibarengi
dengan rumusan tujuan umum pengajaran, (2) Identifikasi ciri-ciri yang
penting dari pelajaran untuk terlibat dalam pelajaran, (3) Perumusan tujuan
belajar atau tujuan khusus pengajaran, (4) Kumpulan isi atau bahan
pelajaran yang diperlukan untuk mencapai tujuan, (5) Penjajakan awal latar
belakang dan kemampuan siswa yang berkaitan dengan topik yang
ditentukan (pre test), (6) Pemilihan aktivitas pengajaran dan sumber
pengajaran, (7) Koordinasi layanan penunjang seperti biaya, alat, fasilitas,
rancangan, dan jadwal serta metode, (8) Evaluasi penguasaan tujuan (post
test).
Dari beberapa pengertian tersebut, strategi pengajaran merupakan suatu
tindakan untuk menentukan metode yang akan dipakai selama proses belajar
mengajar, seperti rencana pengajaran dan cara-cara membawakan pengajaran
yang efektif, serta mempunyai rancangan dasar dalam menyampaikan pelajaran.
16
2.2 Proses Belajar
2.2.1 Hakikat Proses Belajar
Menurut Bruner (dalam S. Nasution 2008: 9), dalam proses belajar dapat
dibedakan menjadi tiga fase, yakni:
(1) informasi, (2) transformasi, (3) evaluasi. Informasi, dalam tiap pelajaran
kita peroleh informasi, ada yang menambah pengetahuan, ada yang
memperhalus dan ada yang memperdalamya, ada pula informasi yang
bertentangan dengan apa yang telah kita ketahui. Transformasi,
informasi itu harus dianalisis, diubah ke dalam bentuk yang lebih
abstrak agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Evaluasi,
kita menilai sampai manakah pengetahuan yang kita peroleh dan
transformasi itu dapat kita manfaatkan.
Di dalam proses belajar juga dapat kita ajarkan setiap mata pelajaran dalam
bentuk yang sesuai dengan taraf perkembangan anak, oleh S. Nasution 2008: 10.
Kurikulum spiral dapat digunakan untuk memusatkan masalah-masalah penting
dan nilai-nilai siswa, oleh S. Nasution 2008: 10. Menurut S. Nasution (2008: 10),
“berpikir intuitif bisa digunakan guna mengingatkan siswa di dalam proses belajar
bahwa siswa telah lama memikirkan sesuatu yang dilihat atau suatu soal dan
secara tiba-tiba melihat pemecahannya.”
Dari beberapa pengertian tersebut, hakikat proses belajar adalah proses
belajar yang dibedakan menjadi 3 fase yaitu informasi, transformasi, dan evaluasi.
Informasi sesuai dengan informasi yang diperoleh kemudian diperhalus dan
diperdalam. Transformasi merupakan proses analisis agar dapat digunakan untuk
hal-hal yang lebih luas. Evaluasi merupakan penilaian untuk pengetahuan yang
diperoleh dan transformasi yang didapat.
2.2.2 Belajar Tuntas (mastery learning)
Tujuan proses belajar-mengajar secara ideal adalah agar bahan yang
dipelajari dikuasai sepenuhnya oleh murid. Ini disebut “mastery learning” atau
belajar tuntas, artinya penguasaan penuh dalam hal materi, oleh S. Nasution 2008:
36. Menurut Undang-undang Dasar 1945, “menginginkan agar setiap warga
17
negara mendapat kesempatan belajar seluas-luasnya.” Memberi kesempatan
belajar saja belum memadai bila jumlah yang tinggal kelas dan putus sekolah
masih tinggi. Setiap murid harus mendapat bimbingan agar ia berhasil
menyelesaikan pelajarannya dengan baik.
Pelajaran di sekolah harus merupakan pelajaran yang menyenangkan bagi
siswa, masalah yang sangat penting yang kita hadapi adalah usaha agar sebagian
besar siswa dapat belajar dengan efektif, menguasai bahan pelajaran, dan
keterampilan yang di anggap esensial bagi perkembangannya. Menurut S.
Nasution (2008: 37), “siswa akan mengalami frustasi ketika mendapat nilai jelek
tetapi di tegur, mendapatkan kecaman dan celaan, selama nilai-nilai baik yang
hanya diberikan ke sebagian kecil siswa maka mengalami frustasi dan tidak
mengembangkan bakat akan berhenti atau berkurang.” Menurut penelitian, bila
semua anak-anak yang bermacam-macam bakatnya diberi pengajaran yang sama,
maka hasilnya akan berbeda menurut bakat mereka, ada yang mempunyai bakat
tinggi di mata pelajaran seperti matematika, IPA, sejarah, bahasa, dan ada yang
mempunyai bakat rendah di mata pelajaran tersebut.
Hampir semua murid sanggup menguasai sepenuhnya bahan pelajaran
tertentu dengan syarat-syarat tertentu:
(1) Bakat untuk mempengaruhi penguasaan penuh merupakan syarat yang
pertama. Bakat, misalnya inteligensi, mempengaruhi prestasi belajar.
Korelasi antara bakat, misalnya untuk IPS dan prestasi untuk bidang studi
itu setinggi 70. Hasil itu akan tampak bila murid dalam suatu kelas
diberikan metode yang sama dan waktu belajar yang sama. Kenyataannya
bahwa IPS dan mata pelajaran lain hanya dapat dikuasai oleh sebagian siswa
saja, yaitu yang mempunyai bakat khusus untuk mata pelajaran yang
bersangkutan. Tetapi mata pelajaran IPS masih termasuk rendah dari mata
pelajaran yang lainnya. Menurut John Carrol (dalam S. Nasution 2008: 38),
“adanya perbedaan bakat sebagai perbedaan waktu yang diperlukan untuk
menguasai sesuatu.” (2) Mutu pengajaran merupakan syarat yang kedua.
Pestalozzi merupakan pengajaran klasikal yang populer sebagai pengganti
pengajaran individual. Pengajaran klasikal merupakan keharusan dalam
menghadapi jumlah murid yang membanjiri sekolah sebagai kewajiban
belajar. Buku yang diberikan oleh pemerintah sama semua dan metode
mengajar harus paling efektif. Pada dasarnya anak-anak tidak belajar secara
kelompok, akan tetapi secara individual, menurut cara masing-masing
18
meskipun dalam kelompok. Itu sebabnya setiap anak memerlukan bantuan
individual, meskipun dengan satu metode untuk semua siswa, maka guru
harus mempersiapkan diri untuk membimbing setiap anak yang belum
paham dan belum mengerti pelajaran yang diajarkan, oleh S. Nasution 2008:
41. (3) Kesanggupan untuk memahami pengajaran merupakan syarat yang
ketiga. Kemampuan murid untuk menguasai suatu bidang studi banyak
bergantung pada kemampuannya untuk memahami ucapan guru selama
menjelaskan. Dalam pengajaran, guru menyampaikan materi melalui bahasa
dan penggunaan alat peraga oleh S. Nasution 2008: 42. (4) Ketekunan
merupakan syarat yang keempat. Indikasi ketekunan belajar antara lain
jumlah jam rata-rata dalam seminggu yang digunakan oleh murid untuk
membuat pekerjaan rumah menurut laporan murid. Ketekunan belajar ini
bekaitan dengan sikap dan minat terhadap pelajaran, karena bila suatu
pelajaran tidak menarik minatnya, maka ia segera menyampaikan
kesulitannya, begitu juga sebaliknya, oleh S. Nasution 2008: 46.
Bagaimanapun, murid-murid berbeda secara individual dalam cara
belajarnya, ini harus dipertimbangkan dalam strategi mengajar agar setiap anak
dapat menguasai pelajaran secara tuntas, oleh Syafaruddin dan Irwan Nasution
2005: 184. Pembelajaran tuntas diambil dari pemikiran Benyamin S. Bloom
(dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 184), “terhadap munculnya format
tertentu dari perencanaan pengajaran dengan menggunakan beberapa model
belajar yang dibuat Carrol yaitu pembelajaran menuju kriteria 100% atau
pembelajaran tuntas tidak hanya suatu keinginan saja tetapi juga suatu pencapaian
tujuan.” Rancangan sistem pembelajaran tuntas, rancangan pengajarannya dimulai
dengan analisis kebutuhan yang bertujuan untuk menentukan kebutuhan yang
dipelajari, oleh Syafaruddin dan Irwan Nasution 2005: 184.
Dari beberapa pengertian tersebut, belajar tuntas adalah semua bahan materi
pelajaran dipelajari dan dikuasai sepenuhnya oleh murid. Memberikan
kesempatan belajar pada murid seluas-luasnya serta membimbing setiap murid
dengan berbagai macam karakter yang berbeda sampai benar-benar menguasai
bahan materi pelajaran dan bahan keterampilan bakat yang dimiliki. Pemerintah
memberikan buku yang sama dan metode yang sama serta yang paling efektif,
akan tetapi anak-anak tidak belajar secara kelompok melainkan secara individu,
itu sebabnya setiap anak memerlukan bimbingan secara individual. Rancangan
19
sistem pembelajaran tuntas yaitu dengan menganalisis kebutuhan yang bertujuan
menentukan kebutuhan yang dipelajari.
2.2.3 Hasil Belajar
UNESCO (dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 140),
“mengemukakan empat pilar hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh
pendidikan, yaitu learning to know, learning to be, learning to life together, dan
learning to do.” Siswa sangat perlu belajar untuk tahu segala hal, belajar untuk
menjadi yang diinginkan, belajar untuk hidup bersama yang lain, dan belajar
untuk melakukan sesuatu yang diinginkan (aktif). Menurut Bloom (dalam Deni
Darmawan dan Permasih, 2011: 140), “menyebutnya dengan tiga ranah hasil
belajar, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Aspek kognitif terdiri dari enam
tingkatan yaitu, (1) Pengetahuan, (2) Pemahaman, (3) Pengertian, (4) Aplikasi, (5)
Analisis, (6) Sintesis, dan yang terakhir sebagai tambahan ada evaluasi.”
Proses perubahan belajar dapat terjadi dari yang paling sederhana sampai
yang paling kompleks, yang bersifat pemecahan masalah, dan pentingnya peranan
kepribadian dalam proses serta hasil belajar. Variasi dalam Cognitive Entry
Behaviours, Afektif Entry Characteristic, dan kualitas pengajaran menentukan
hasil belajar, variabel kualitas pengajaran yang tercemin dalam penyajian bahan
petunjuk latihan (tes formatif), proses balikan, dan perbaikan penguatan
partisipasi siswa harus sesuai dengan kebutuhan siswa, oleh Bloom (dalam Max
Darsono, 1989: 88, dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 140). Secara
umum, menurut Deni Darmawan dan Permasih(2011: 140), hasil belajar
dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal, yaitu:
Faktor internal yaitu, 1) Faktor fisiologis yang bersifat bawaan yang
diperoleh dari mendengar, melihat, cacat tubuh, dan lain-lain, 2) Faktor
psikologis bersifat keturunan yang terdiri atas faktor intelektual: faktor
potensial yaitu inteligensi dan bakat, dan faktor non-intelektual yaitu
kecakapan nyata dan prestasi, 3) Faktor kematangan baik fisik maupun
psikis yang tergolong faktor eksternal seperti faktor sosial, faktor budaya,
faktor lingkungan fisik, dan faktor spiritual.
20
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
adalah sesuatu yang dicapai oleh seseorang yang didapatnya belajar untuk tahu,
belajar untuk melakukan, belajar untuk bersama dimana hasil belajar tidak hanya
berupa nilai tetapi juga dapat dilihat dari pengaruh faktor internal dan eksternal.
2.3 IPS
2.3.1 Pendekatan IPS
PIPS atau Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dikaji dari perspektif
kependidikan sebagai cabang ilmu pendidikan maupun sebagai tindakan
pendidikan yang perlu dikaji pendekatan-pendekatan apa yang kini masih menjadi
orientasi kegiatannya. Pendekatan yang kuno dan sempit terhadap pengajaran
studi IPS menganggap bahwa ilmu tersebut disederhanakan untuk tujuan
pendidikan (Wesley dan Wronsky, 1958, dalam Stanley, 1991), sedangkan
pendekatan yang lebih maju memandangnya terutama dari kaitannya dengan
pembentukan warga negara yang baik yang terungkapkan dalam perpaduan isi
ilmu tersebut dengan masalah luas dari masyarakat, di mana seseorang
dihadapkan kepada berbagai proses keputusan pada situasi praktis. Penanaman
atau pembebanan yang tidak reflektif dari isi dan nilai tertentu, dasar
pengfokusannya adalah isi, dengan asumsi bahwa kita sudah mengetahui nilai
mana yang penting, sehingga sama sekali atau sedikit sekali mengajarkan
keterampilan untuk memberikan pilihan yang efektif antara berbagai nilai yang
berkembang. Pendekatan yang bersifat consensus de facto yang status quo, dasar
pemikirannya adalah pendidikan IPS dengan pendekatan yang dulu berbeda dari
yang kini diberlakukan, sebagai transmisi kultural yang konservatif untuk
mempertahankan dan menghasilkan status quo dari peraturan masyarakat dan
institusi. Di dalam kemajuan teknologi yang maju ini, pembelajaran PIPS tidak
hanya buka saja sangat relevan, melainkan merupakan conditi sine qua non.
Dari beberapa pengertian tersebut, pendekatan IPS adalah perspektif dari
kependidikan sebagai cabang ilmu pendidikan. Pendekatan kuno dan sempit
terhadap pengajaran studi IPS merupakan ilmu tersebut disederhanakan untuk
21
tujuan pendidikan, sementara pendekatan yang lebih maju terkait dengan
pembentukan warga negara yang baik serta perpaduan isi ilmu dengan masalah
dari masyarakat.
2.3.2 Kajian IPS
Berpikir sistematik berarti kita harus menggunakan masukan (input) situasi
aktual dengan berpijak pada penjelasan tentang sebab akibat masalah yang
dihadapi hari ini untuk dipahami, sehingga dapat dikembangkan pemikiran
strategis konseptual apakah masukan hari ini dapat digunakan untuk mencapai
tujuan (situasi ideal) yang ingin diraih. Pengamatan terhadap pembelajaran PIPS
menghasilkan persepsi kognitif yang kurang ditandai oleh aspek kemampuan
berkinerja (the ability to perform), memecahkan masalah dalam kehidupan hari ini
yang terkait dengan realitas kehidupan apa adanya. Cara berpikir yang deduktif
yang diperoleh dari pengalaman belajar memroseskan perolehan, merupakan
figurative learning dan bukan operative learning (Piaget dalam Good dan Brophy,
1990).
Dalam pembelajaran yang sistematik kita ingin mengantisipasi hari depan
(situasi ideal) dengan berpijak pada fakta dan masalah hari ini. Atas dasar asumsi
unforeseen, uncontrollable dan uncalculable (Toffler, 1990, dalam in Memorium
of Panglaykim), maka bagi berbagai ilmu terutama yang siklus pengembangannya
panjang (seperti psikologi, PIPS, dan ilmu pengetahuan sosial pada umumnya),
dan yang tidak seperti berbagai ilmu teknologi yang ibarat baterai habis cepat
bergerak, sepantasnya dipatokkan skenario tertentu di masa yang akan datang
dalam upaya pembentukan kemampuan mengadakan pilihan. Menurut Subekti
(2013:2), “tujuan IPS akan dicapai melalui kompetensi peserta didik yang
ditetapkan pada SK (Standar Kompetensi) dan KD (Kompetensi Dasar).” SK
adalah kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan
penguasaan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada
setiap tingkat dan/atau semester. SK terdiri atas sejumlah kompetensi dasar
sebagai acuan baku yang harus dicapai dan berlaku secara nasional. KD
22
merupakan sejumlah kemampuan yang harus dimiliki peserta didik dalam mata
pelajaran tertentu sebagai rujukan untuk menyusun indikator kompetensi.
Adapun SK dan KD IPS untuk kelas 5 pada semester 1 dijelaskan melalui tabel
2.3.2.1 berikut ini.
Tabel 2.3.2.1
SK dan KD IPS KELAS V SEMESTER 1
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1.1. Menghargai berbagai peninggalan dan
tokoh sejarah yang berskala nasional pada masa
Hindu-Budha dan Islam, keragaman
kenampakan alam dan suku bangsa, serta
kegiatan ekonomi di Indonesia
1.1 Mengenal makna peninggalan-peninggalan
sejarah yang berskala nasional dari masa Hindu-
Budha dan Islam di Indonesia
1.2 Menceriterakan tokoh-tokoh sejarah pada
masa Hindu-Budha dan Islam di Indonesia
1.3 Mengenal keragaman kenampakan alam
dan buatan serta pembagian wilayah waktu di
Indonesia dengan menggunakan
peta/atlas/globe dan media lainnya
1.4 Menghargai keragaman suku bangsa dan
budaya di Indonesia
1.5 Mengenal jenis-jenis usaha dan kegiatan
ekonomi di Indonesia
2.4 Make a Match Berbantuan Mind Mapping
2.4.1 Pengertian Make a Match
Make a Match merupakan metode pembelajaran make a match atau mencari
pasangan dikembangkan oleh Lorna Curran (1994). Salah satu keunggulan teknik
ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau
topik dalam suasana yang menyenangkan. Bisa diterapkan untuk semua mata
pelajaran dan tingkatan kelas. Make a Match menekankan pada kegiatan belajar
sambil melakukan sesuatu yaitu mencari pasangan. Make a Match merupakan
suatu metode mengajar yang sistematik yang mengajak siswa dalam mempelajari
pengetahuan penting dan membuat siswa dalam belajar dalam suasana yang
menyenangkan. Proses keingintahuan yang mempengaruhi siswa yang terstruktur
secara kompleks disekitarnya, pertanyaan yang dapat dibuktikan dan jawaban
yang dirancang dengan baik. Model pembelajaran make a match adalah sistem
pembelajaran yang mengutamakan penanaman kemampuan sosial terutama
23
kemampuan bekerja sama, kemampuan berinteraksi disamping kemampuan
berpikir cepat melalui permainan mencari pasangan dengan dibantu kartu (Wahab,
2007: 59).
Make a Match membawa siswa untuk meningkatkan kemampuan mereka
dalam menemukan sendiri jawaban dari suatu pertanyaan, masalah atau
tantangan, begitu sebaliknya siswa menemukan sendiri pertanyaan dari suatu
jawaban, masalah atau tantangan. Hal ini juga membuat siswa harus dapat
berpikir dan menentukan pilihannya (jawaban dan pertanyaan) serta diatur dan
dinilai secara hati-hati guna mencapai sasaran pembelajaran dan menciptakan
produk yang asli dan bermutu tinggi. Pembelajaran kooperatif merujuk pada
berbagai macam metode pengajaran dimana para siswa bekerja dalam kelompok-
kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari
materi pembelajaran (Robert E. Slavin, 2011: 4). Para siswa akan secara mandiri
menyelesaikan hasil mereka tanpa bantuan guru.
2.4.2 Alasan peneliti menggunakan Make a Match
Peneliti menggunakan Make a Match karena alasan sebagai berikut:
a. Make a Match dapat menjadi metode yang bisa memenuhi tujuan Satuan
Pendidikan SD yang tercantum pada kurikulum KTSP yaitu menjadikan
siswa menjadi manusia yang mandiri, berakhlak mulia, berilmu, cakap,
kritis, kreatif, dan inovatif, dan percaya diri serta toleran, peka sosial,
demokratis dan bertanggung jawab.
b. Penggunaan Make a Match dianggap akan membuat efektif karena pengaruh
kematangan siswa kelas V dalam berpikir dan bersikap. Sifat metode Make a
Match yang berpusat pada siswa diduga akan lebih efektif karena siswa kelas V
lebih mandiri dan sudah bisa bertanggung jawab atas tugas yang diberikan guru
pada mereka. Peran guru disini nantinya adalah hanya sebagai
pelatih/mentor/fasilitator saja.
24
c. Siswa merasa jenuh dengan pengajaran IPS yang terkesan monoton,
membosankan dan sulit karena terlalu banyak hafalan seperti lokasi kerajaan,
tokoh-tokohya, dan tahun setiap kerajaan. Make a Match dinilai tidak akan
membuat siswa merasa bosan karena mereka nantinya tidak hanya akan
menciptakan suatu hasil yang sebenarnya merupakan bagian dari pembelajaran
IPS itu serta berdiskusi dengan teman untuk menemukan jawaban/soal
sehingga IPS terkemas kedalam kondisi yang menyenangkan.
d. Make a Match merupakan metode pembelajaran make a match atau mencari
pasangan dikembangkan oleh Lorna Curran (1994), namun sayangnya sekolah
sekolah yang masih menggunakan KTSP sebagai kurikulumnya merasa
janggal dalam mengaplikasikannya padahal jika dicermati sebenarnya baik
KTSP maupun kurikulum 2013 mengacu pada masalah pembelajaran yang
ada.
e. Keunggulan Make a Match adalah siswa mencari pasangan sambil belajar
mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan.
f. Kelemahan Make a Match adalah:
1. Proses pembelajaran membutuhkan waktu yang lama.
2. Guru tidak dapat mengetahui kemampuan siswa masing-masing.
3. Siswa kurang konsentrasi.
2.4.3 Penerapan Make a Match
Kakarakter utama dari Make a Match adalah proses/produk sebagai hasil
akhir pembelajaran, oleh Yohana Setiawan (2014: 20). Menurut Yohana Setiawan
(2014: 20), “guru sebaiknya mampu memberikan motivasi kepada siswa dalam
menentukan proyek apa yang akan siswa lakukan agar siswa tertarik mengerjakan
proyek dan tidak merasa bosan.” Selain itu, proyek harus memenuhi tujuan
pembelajaran yang tentunya sesuai dengan kompetensi dasar, materi dan hasil
belajar yang ingin dicapai siswa. Berikut ini sintaks pelaksanaan Make a Match:
25
a. Guru membuat potongan-potongan kertas sejumlah siswa yang ada dalam
kelas.
b. Guru mengkondisikan siswa dengan memberi contoh konkret atau nyata yang
akan dilakukan siswa.
c. Setiap kertas berisi satu pertanyaan atau satu jawaban dari materi yang
disampaikan.
d. Guru membagi jumlah kertas yang sudah dipotong menjadi dua bagian yang
sama untuk soal atau jawaban.
e. Guru mengkocok kertas yang sudah dibagi menjadi dua bagian tersebut sampai
tercampur.
f. Guru membagikan satu per satu kertas tersebut ke setiap siswa, satu siswa
mendapatkan satu kertas.
g. Separo siswa akan menerima pertanyaan, separo siswa lagi akan mendapatkan
jawaban.
h. Guru meminta setiap siswa untuk mencari pasangan dari kertas yang mereka
dapatkan, misalnya mendapat pertanyaan, siswa tersebut keliling mencari
jawaban sebagai pasangan pertanyaannya.
i. Jika siswa sudah menemukan pasangan, mereka harus diam tidak boleh
memberitahu materi (pertanyaan dan jawaban) yang mereka dapatkan ke
teman yang lain.
j. Setelah semua siswa menemukan pasangan, bagi yang mendapatkan
pertanyaan, membacakan pertanyaan tersebut secara keras dan selanjutnya
soal tersebut dijawab oleh pasangan yang lain.
k. Langkah terakhir adalah membuat kesimpulan dan klarifikasi.
26
2.4.4 Pengertian Mind Mapping
Mind map adalah cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam
otak dan mengambil informasi keluar dari otak, serta cara mencatat yang kreatif,
efektif, dan secara harfiah yang “memetakan” pikiran-pikiran kita. Pusat Mind
Map mewakili ide utama, jalan utama yang menyebar dari pusat mind map
mewakili pikiran-pikiran utama dalam proses pemikiran kita, jalan sekunder
mewakili pikiran-pikiran sekunder, dan seterusnya. Mid map juga merupakan peta
rute yang hebat untuk ingatan, membuat kita menyusun fakta dan pikiran
sedemikian rupa sehingga cara kerja alami otak dilibatkan sejak awal. Mind map
mempunyai kesamaan, semuanya menggunakan warna, memikiki struktur alami
yang memancar dari pusat, menggunakan garis lengkung, simbol, kata, dan
gambar yang sesuai dengan satu rangkaian aturan yang sederhana, mendasar,
alami, dan sesuai dengan cara kerja otak. (Tony Buzan, 2012: 4)
2.4.5 Alasan peneliti menggunakan bantuan Mind Mapping
Peneliti menggunakan bantuan Mind Mapping karena alasan sebagai
berikut:
a. Mind mapping memberikan kemudahan untuk kita merencanakan rute dan
mengetahui ke mana kita akan pergi dan di mana kita akan berada.
b. Mind mapping menyenangkan untuk dilihat, dibaca, dicerna, diingat, dan
sangat menarik diagramnya karena warna-warni serta teratur, sehingga
informasi yang didapat sangat mudah untuk diingat.
c. Siswa tidak akan jenuh dan pembelajaran tidak akan terlihat monoton karena
terlalu banyak hafalan seperti lokasi kerajaan, tokoh-tokohya, dan tahun setiap
kerajaan.
d. Keunggulan Mind Mapping adalah:
1. Pembelajaran menjadi lebih kreatif.
2. Menghemat waktu selama penjelasan materi.
3. Menyelesaikan masalah pembelajaran.
4. Memusatkan perhatian pada titik-titik yang ditunjuk ketika menjelaskan.
27
5. Membuat ingatan menjadi lebih bagus.
2.4.6 Penerapan Mind Mapping
Kakarakter utama dari Mind Mapping adalah proses/produk selama
pembelajaran, oleh Yohana Setiawan (2014: 20). Menurut Yohana Setiawan
(2014: 20), “guru sebaiknya mampu memberikan motivasi kepada siswa dalam
menentukan proyek apa yang akan siswa lakukan agar siswa tertarik
melihat/mengamati proyek dan tidak merasa bosan.” Selain itu, proyek harus
memenuhi tujuan pembelajaran yang tentunya sesuai dengan kompetensi dasar,
materi dan hasil belajar yang ingin dicapai siswa. Berikut ini sintaks pelaksanaan
Mind Mapping:
a. Guru membuat mind map yaitu mengenai pelajaran yang dibahas dan
dijelaskan ke siswa.
b. Guru mengisi mind map dengan menggunakan banyak gambar daripada
tulisan/keterangan untuk gambar.
c. Guru menjelaskan secara runtut, diawali dari titik pusat menuju ke
lengkungan pertama yang dituju, kemudian lanjut ke lengkungan berikutnya
sampai selesai.
d. Guru mengosongi beberapa tempat untuk siswa ikut aktif/terlibat dalam
pembelajaran berbantuan mind map.
2.5 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Subekti pada tahun 2013 pada siswa kelas 5
SD Negeri Ketitang Wetan 01 Pati Semester 1 Tahun 2013/2014 dengan judul,
“Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Model Pembelajaran Tipe Make A
Match Siswa Kelas 5 SD Negeri Ketitang Wetan 01 Pati Semester 1 Tahun
2013/2014”, menunjukkan bahwa hasil belajar siswa kelas 5 SD Negeri Ketitang
Wetan 01 Pati Semester 1 Tahun 2013/2014 rendah, hal ini tampak dari dominasi
guru dalam proses pembelajaran menyebabkan siswa lebih bersifat pasif,
guru menggunakan metode ceramah, sehingga mengaktifkan guru, sehingga
siswa lebih banyak menunggu sajian guru daripada mencari, menemukan
28
sendiri pengetahuan atau sikap dalam pembelajaran IPS. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran MM pada mata pelajaran
IPS kelas 5 SD Negeri Ketitang Wetan 01 Pati Semester 1 Tahun 2013/2014
menghargai peranan para tokoh pejuang dan masyarakat dalam mempersiapkan
dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, siswa kelas 5 SD Negeri Ketitang
Wetan 01 Pati Semester 1 Tahun 2013/2014 terbukti dapat meningkatkan hasil
belajar siswa. Dalam setiap siklus ketuntasan hasil belajar pada aktivitas belajar
siswa mengalami peningkatan yaitu pada tahap tindakan pada siklus 1 sebesar
66,67%; dan pada siklus 2 mengalami kenaikan menjadi 88,89% yang tuntas dan
11,11% belum tuntas. Ketuntasan hasil belajar pada aktivitas belajar siswa dari
siklus 1 naik 22,22% ke siklus 2. Ketuntasan hasil belajar pada tes akhir siswa
dari nilai awal ke siklus I naik 5,56% dan dari siklus 1 ke siklus 2 naik 22,22%.
Penelitian senada dilakukan oleh Heni Kusumawati dengan judul
“Efektifitas Penggunaan Benda Kongkret Pada Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe Make A Match Terhadap Hasil Belajar IPS Kelas 5 SD Gugus Perkutut
Tuntang Semarang Semester II Tahun Ajaran 2011/2012”. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui hasil belajar IPS melalui model MM bagi siswa kelas 5
semester 2 SD Gugus Perkutut Tuntang Semarang Semester II Tahun Ajaran
2011/2012. Menunjukkan bahwa hasil belajar siswa kelas 5 SD Gugus Perkutut
Tuntang Semarang Semester 2 Tahun Ajaran 2011/2012 rendah, hal ini
disebabkan penggunaan model dan metode pembelajaran monoton, sehingga
siswa merasa bosan dan enggan untuk mengikuti pelajaran, selain itu disebabkan
juga oleh kurangnya pemanfaatan media pembelajaran sehingga siswa kurang
tertarik mengikuti kegiatan belajar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
penerapan model pembelajaran MM pada mata pelajaran IPS kelas 5 SD Gugus
Perkutut Tuntang Semarang Semester II Tahun Ajaran 2011/2012, terbukti dapat
meningkatkan hasil belajar siswa.
Sedangkan penelitian yang penulis lakukan saat ini, penelitian dilakukan
pada tahun 2016 pada siswa kelas 5 SD Negeri Kutowinangun 4 Salatiga
Semester 2 Tahun Pelajaran 2015/2016 dengan judul, “Penerapan Model
29
Pembelajaran Kooperatif Learning Tipe Make A Match Berbantuan Mind
Mapping Untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V SDN
Kutowinangun 4 Tahun Pelajaran 2015/2016”, menunjukkan bahwa hasil belajar
siswa kelas 5 SD Negeri Kutowinangun 4 Salatiga Semester 2 Tahun Pelajaran
2015/2016 rendah, hal ini tampak dari dominasi guru dalam proses pembelajaran
menyebabkan siswa lebih bersifat pasif, guru menggunakan metode ceramah,
sehingga mengaktifkan guru, sehingga siswa lebih banyak menunggu sajian guru
daripada mencari, menemukan sendiri pengetahuan atau sikap dalam
pembelajaran IPS, dan melakukan praktik. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa penerapan model pembelajaran MM pada mata pelajaran IPS kelas 5 SD
Negeri Kutowinangun 4 Salatiga Semester 2 Tahun Pelajaran 2015/2016
peninggalan sejarah kerajaan Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia, siswa kelas
5 SD Negeri Kutowinangun 4 Salatiga Semester 2 Tahun 2015/2016 terbukti
dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dalam setiap siklus ketuntasan hasil
belajar pada aktivitas belajar siswa mengalami peningkatan yaitu pada tahap
tindakan pada siklus I sebesar 79,67% dengan 5 siswa tidak tuntas dan pada siklus
II menjadi 81,23% dengan seluruh siswa mengalami ketuntasan.
2.6 Kerangka Pikir
Kegiatan pembelajaran merupakan proses komunikasi dan interaksi antara
guru dan siswa. Guru harus dapat menciptakan suasana belajar yang memberikan
kemudahan untuk siswa serta siswa mampu menerima yang telah dijelaskan oleh
guru. Guru menggunakan metode pembelajaran yang monoton yaitu ceramah.
Siswa hanya melihat, memperhatikan, dan mendengarkan guru menjelaskan
materi, sehingga membuat siswa lebih banyak diam karena mengantuk dan tidak
terlalu berkonsentrasi. Pada kondisi seperti ini, siswa ketika diberi pertanyaan atau
tes, hasil yang diperoleh masih banyak dibawah KKM yaitu 70.
Kondisi seperti ini memerlukan suatu perbaikan, salah satunya yaitu dengan
menggunakan model pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa
30
yaitu model pembelajaran kooperatif tipe MM. Langkah-langkah model
pembelajaran kooperatif tipe MM adalah:
1. Membagi siswa satu kelas menjadi dua kelompok besar
2. Memberikan dua macam kartu yang masing-masing isinya berupa pertanyaan
dan jawaban ke masing-masing siswa di setiap kelompok
3. Masing-masing siswa mendapatkan kartu yang berisi pertanyaan atau jawaban
4. Siswa yang mendapatkan kartu berisi pertanyaan, membacakan isinya
5. Masing-masing siswa yang memegang kartu jawaban mencari pasangannya
6. Dalam waktu yang telah ditentukan, mendapatkan poin
7. Membuat keismpulan
2.7 Hipotesis Tindakan
Dengan penggunaan model Make a Match Berbantuan Mind Mapping ini,
diduga terjadi peningkatan presentasi siswa tuntas KKM dan siswa menjadi lebih
positif atau menjadi sangat baik terhadap IPS. Adapun indikator kinerjanya
adalah:
a. Guru terampil mengelola proses pembelajaran IPS dengan menggunakan
metode Make A Match berbantuan Mind Mapping.
b. Terjadi perubahan sikap dan perilaku siswa selama mengikuti pelajaran
IPS yang ditandai dengan aktivitas siswa yang dapat dilihat pada lembar
penilaian observasi siswa.
c. 80% siswa kelas V SD Negeri Kutowinangun 4 Salatiga mengalami
ketuntasan belajar dalam materi Peninggalan Sejarah Kerajaan Hindu-
Buddha dan Islam.
Recommended