View
7
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
24
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Ketidakpastian Lingkungan
Perusahaan tidak beroperasi pada ruang hampa (Brooks, et al., 2004: 4;
Williams, 2006: 34; Hill & McShane, 2008: 48). Keberadaan perusahaan melekat
pada lingkungan dimana ia beroperasi (Hill & McShane, 2008: 48). Perubahan-
perubahan yang terjadi pada lingkungan dapat mempengaruhi perusahaan
(Worthington & Britton, 2006: 15; Hill & McShane, 2008: 48).
Lingkungan perusahaan mencakup semua elemen yang ada diluar
perusahaan yang memiliki potensi untuk mempengaruhi perusahaan (Daft &
Mercic, 2009: 48). Hal ini lebih ditegaskan Daft (2010: 140) yang mendefinisikan
lingkungan perusahaan sebagai semua elemen yang ada diluar perusahaan dan
memiliki potensi untuk mempengaruhi perusahaan baik secara keseluruhan
maupun sebagian. Pendapat senada dikemukakan Wagner & Hollenbeck (2010:
271) yang menyatakan bahwa lingkungan perusahaan meliputi segala sesuatu
yang berada di luar perusahaan. Demikian juga dengan Robbins & Judge (2013:
499) yang menyatakan bahwa lingkungan perusahaan mencakup lembaga-
lembaga dan kekuatan-kekuatan diluar perusahaan yang dapat mempengaruhi
kinerja perusahaan, seperti : pemasok, pelanggan, pesaing, badan-badan
pemerintah, dan kelompok-kelompok penekan di masyarakat (pressure group).
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, maka dapat dikatakan bahwa yang
25
dimaksud dengan lingkungan perusahaan adalah segala sesuatu yang berada diluar
perusahaan yang berpengaruh terhadap perusahaan baik secara parsial maupun
keseluruhan, baik langsung maupun tidak langsung.
Lingkungan senantiasa berubah (Brooks, et al., 2004: 363). Memahami
dan merespon lingkungan secara efektif merupakan hal yang esensial bagi
manajer (Bateman & Snell, 2013: 54). Jika manajer tidak memahami lingkungan,
maka kemampuan mereka untuk mengambil keputusan dan mengeksekusi rencana
akan sangat terbatas (Bateman & Snell, 2013: 52-53). Untuk itu, manager harus
senantiasa menaruh perhatian terhadap lingkungan (Daft & Mercic, 2009: 48).
Manajer di semua tingkatan menggunakan informasi tentang lingkungan
untuk menfasilitasi pengambilan keputusan guna memungkinkan perusahaan
beroperasi secara sukses (Brooks, et al., 2004: 17). Namun sayangnya, informasi
tentang lingkungan tidak selalu tersedia, dan manajer sering beroperasi dalam
kondisi ketidakpastian (Bateman & Snell, 2013: 53). Karena itu dikatakan bahwa
lingkungan menciptakan ketidakpastian bagi manajer (Daft & Mercic, 2009: 59).
Milliken (1987) mendefinisikan ketidakpastian (uncertainty) sebagai
ketidakmampuan untuk memprediksi secara akurat hasil dari suatu keputusan.
Kondisi ketidakpastian terjadi jika informasi faktual yang handal tersedia dalam
jumlah yang sedikit atau tidak tersedia sama sekali (Kreitner, 2009: 212).
Pendapat senada dikemukakan Gomez-Mejia & Balkin (2012: 169) yang
menyatakan bahwa ketidakpastian berarti tidak tersedianya informasi yang
lengkap untuk pembuatan keputusan manajemen. Pendapat yang lebih lengkap
dikemukakan CIMA (2005: 97) yang mendefinisikan ketidakpastian sebagai :
26
“Inability to predict the outcome from an activity due to a lack of
information about the required input/output relationship or about
the environment within which the activity take place”.
Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan ketidakpastian (uncertainty) adalah kondisi dimana
seseorang tidak dapat memprediksi sesuatu secara akurat yang disebabkan oleh
ketiadaan atau keterbatasan informasi yang dimilikinya.
Terkait dengan ketidakpastian lingkungan, Wagner & Hollenbeck (2010:
274) menyebutkan bahwa ketidakpastian lingkungan merefleksikan kurangnya
informasi tentang faktor-faktor, aktivitas-aktivitas, dan kejadian-kejadian
lingkungan. Selanjutnya Bateman & Snell (2013: 53) menyatakan bahwa
ketidakpastian lingkungan berarti bahwa manajer tidak memiliki informasi yang
cukup tentang lingkungan untuk memahami atau memprediksi masa depan.
Demikian pula dengan Griffin & Moorhead (2014: 468) yang menyatakan bahwa
ketidakpastian lingkungan terjadi ketika manajer memiliki informasi yang sedikit
tentang kejadian-kejadian di lingkungan serta dampaknya terhadap perusahaan.
Para ahli lainnya juga menyatakan pendapat yang senada dengan pendapat diatas,
yaitu sebagai berikut :
“[Environmental] uncertainty means an inability to predict with
accuracy the nature, magnitude, timing, and direction of change
in the environment”. (Hill & McShane, 2008: 43) “Environmental uncertainty means that managers do not have
sufficient information about environmental factors to understand
and predict environmental needs and changes”. (Daft & Mercic,
2009: 59) “Environmental uncertainty means that decision makers do not
have sufficient information about environmental factors, and the
have a difficult time predicting external change”. (Daft, 2010:
145)
27
Para ahli lainnya menyatakan pendapat tentang ketidakpastian
lingkungan dalam pengertian yang lebih operasional, dimana pada dasarnya
dikatakan bahwa ketidakpastian lingkungan mengacu pada tingkat perubahan
lingkungan dan tingkat kompleksitas lingkungan. Pendapat ini antara lain
dikemukakan oleh : Hitt, et al. (2011: 497); Robbins & Coulter (2012: 49);
Wheelen & Hunger (2012: 98); Hatch & Cunlife (2013: 68); dan Robbins, et al.
(2014: 43).
Pendapat yang lebih komprehensif dikemukakan Hoque (2004: 39) yang
menyatakan bahwa :
“Environmental uncertainty refers to the firm’s inability to
predict accurately the effects of various aspects of firm’s external
environment, such as customers, suppliers, deregulation and
globalization, technological process, competitors, government
regulations/policies, the economic environment, and industrial
relation”.
Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan ketidakpastian lingkungan adalah ketidakmampuan
perusahaan melalui para manajernya untuk memahami dan memprediksi dengan
baik pengaruh dari perubahan dan kompleksitas lingkungan yang disebabkan oleh
sulitnya mendapatkan informasi atau tidak tersedianya informasi yang memadai
tentang lingkungan.
Ketidakpastian lingkungan ditekankan pada persepsi manajer tentang
ketidakpastian lingkungan (perceived environmental uncertainty/PEU) ketimbang
kondisi aktual ketidakpastian lingkungan (Hoque, 2004: 39). Penggunaan ukuran
perseptual ketimbang realitas objektif atau properti lingkungan itu sendiri telah
mengundang banyak perdebatan (Milliken, 1987; Sharfman & Dean, 1991).
28
Milliken (1987) berpendapat bahwa penggunaan ukuran (perseptual atau realitas)
bukanlah suatu masalah, masalahnya adalah pada pelaksanaan pengukuran. Hal
ini dapat dijustifikasi berdasarkan pendapat Robbin & Judge (2013 : 166) yang
menyebutkan bahwa :
“Perception is process by which individual organize and interpret
their sensory impressions in order to give meaning to their
environment”.
“Why is perception important? Simply because people’s behavior
is based on their perception of what reality is, not on reality itself.
The worls as it is perceived is the world that is behaviorally
important”.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Hatch & Cunliffe (2006: 68)
berdasarkan hasil-hasil penelitian yang menyebutkan bahwa setiap orang tidak
merasakan lingkungan dengan cara yang sama, lingkungan yang sama mungkin
dianggap sebagai sesuatu yang pasti (certain) bagi sekelompok manajer, tetapi
dianggap sebagai sesuatu yang tidak pasti (uncertain) bagi manajer lainnya. Selain
itu, Hatch & Cunliffe (2006: 68) juga berargumen dengan teori informasi tentang
ketidakpastian (information theory of uncertainty) yang menyebutkan bahwa
manajer mengalami ketidakpastian ketika mereka tidak memiliki informasi yang
mereka rasa perlu untuk membuat keputusan yang tepat.
Daft & Mercic (2009: 59) menyebutkan bahwa lingkungan menciptakan
ketidakpastian (uncertainty). Daft (2010: 145) mengidentifikasi 2 (dua) dimensi
ketidakpastian lingkungan, yaitu : simple-complex dimension dan stable-unstable
dimension. Simple-complex dimension atau kompleksitas lingkungan mengacu
pada heterogenitas atau jumlah atau perbedaan unsur lingkungan yang relevan
dengan operasi organisasi (Daft, 2010: 145), sedangkan stable-unstable dimension
29
atau perubahan lingkungan mengacu pada perubahan perubahan yang terjadi pada
elemen-elemen lingkungan (Daft, 2010: 146).
Wagner & Hollenbeck (2010: 274) mengidentifikasikan 2 (dua) dimensi
ketidakpastian lingkungan yaitu : perubahan lingkungan (environmental change)
dan kompleksitas lingkungan (environmental complexity). Perubahan lingkungan
terkait dengan seberapa cepat kondisi lingkungan perusahaan berubah secara tidak
terprediksi (Wagner & Hollenbeck, 2010: 272), sedangkan kompleksitas
lingkungan terkait dengan seberapa banyak elemen lingkungan perusahaan yang
berinteraksi sehingga sulit untuk dipahami (Wagner & Hollenbeck, 2010: 273).
Menurut Robbins & Coulter (2012: 49) dan Robbins, et al., (2014: 42),
ketidakpastian lingkungan memiliki 2 (dua) dimensi yaitu : tingkat perubahan
(degree of change) dan tingkat kompleksitas (degree of complexity). Tingkat
perubahan mengacu pada seberapa sering elemen-elemen lingkungan berubah
(Robbins & Coulter, 2012: 49; Robbins, et al., 2014: 42). Adapun tingkat
kompleksitas mengacu pada jumlah elemen-elemen lingkungan perusahaan dan
sejauh mana perusahaan memahami elemen-elemen tersebut (Robbins & Coulter,
2012: 49; Robbins, et al., 2014: 43).
Hatch & Cunliffe (2013: 68) juga mengidentifikasikan 2 (dua) dimensi
ketidakpastian lingkungan yaitu : kompleksitas lingkungan (environmental
complexity) dan perubahan lingkungan (environmental change). Kompleksitas
lingkungan mengacu pada jumlah dan keragaman elemen lingkungan sedangkan
perubahan lingkungan mengacu pada kecepatan perubahan elemen-elemen
lingkungan. Demikian pula dengan Griffin & Moorhead (2014: 468) yang
30
mengidentifikasikan 2 (dua) dimensi ketidakpastian lingkungan, yaitu :
kompleksitas lingkungan (environmental complexity) dan perubahan lingkungan
(environmental dynamism). Kompleksitas lingkungan diartikan sebagai jumlah
komponen lingkungan yang mempengaruhi pengambilan keputusan, sedangkan
perubahan lingkungan diartikan sebagai tingkat perubahan komponen lingkungan.
Daft (2010: 141) menyebutkan bahwa lingkungan terdiri dari beberapa
sektor atau sub divisi yang memuat beberapa elemen. Secara rinci, sektor berikut
masing-masing elemen tersebut adalah sebagai berikut :
“(1) Industry sector : competitor, industry size and
competitiveness, related industries. (2) Raw material sector :
suppliers, manufacturers, real estates, and services. (3) Human
resources sector : labor market, employment agencies, universities,
training schools, employee in other companies, unionization. (4)
Financial resource sector : stock market, banks, savings and
loans, private investors. (5) Market sector : customers, clients,
potential users of products and sevices. (6) Technology sectors :
techniques of production, sciences, computers, information
technologies, e-commerce. (7) Economic conditions sector :
recession, unemployement rate, inflation rate, rate of investment,
economics, growth. (8) Government sector : city, state, and federal
law and regulation, taxes, services, court system, political
processes. (9) Sosiocultural sector : age, values, beliefs, education,
religion, work ethics, consumer and green movements. (10)
International sector : competition from and acquisition by foreign
firms, entry into overseas markets, foreign customs, regulations,
exchange rate”.
Menurut Wagner & Hollenbeck (2010: 271-272) elemen lingkungan terdiri
dari pemasok, pelanggan, pesaing, lembaga pemerintah, lembaga keuangan, pasar
tenaga kerja, kondisi ekonomi, geografi dan politik. Sedangkan menurut Griffin &
Moorhead (2014: 466-477), elemen lingkungan terdiri dari : politik-hukum, sosial,
budaya, teknologi, ekonomi, faktor internasional, pelanggan, pemasok, donatur,
regulator, pemegang saham, pesaing, legislator, dan lembaga pembuat peraturan.
31
Berdasarkan dimensi-dimensi yang telah dikemukakan para ahli tersebut,
maka dimensi ketidakpastian lingkungan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kompleksitas lingkungan dan perubahan lingkungan (Daft, 2010: 145;
Wagner & Hollenbeck, 2010: 274; Robbins & Coulter, 2012: 49; Hatch &
Cunclife, 2013; 68; Griffin & Moorhead, 2014: 468; dan Robbins, et al., 2014:
42). Masing-masing dimensi dijelaskan sebagai berikut :
1) Kompleksitas lingkungan (environmental complexity), terkait dengan
seberapa banyak elemen/komponen lingkungan yang menjadi bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Lingkungan dikatakan
sederhana (simple) jika elemen atau komponen lingkungan yang menjadi
bahan pertimbangan pengambilan keputusan jumlahnya sedikit, dan
sebaliknya lingkungan dikatakan kompleks (complex) jika elemen atau
komponen lingkungan yang menjadi bahan pertimbangan pengambilan
keputusan jumlahnya banyak.
2) Perubahan lingkungan (environmental change), terkait dengan seberapa
sering elemen atau komponen lingkungan mengalami perubahan. Lingkungan
dikatakan statis (static) jika elemen atau komponen lingkungan tidak atau
sedikit mengalami perubahan, dan sebaliknya lingkungan dikatakan dinamis
(dynamic) jika elemen atau komponen lingkungan mengalami perubahan
yang sangat sering.
Adapun indikator-indikator yang digunakan untuk masing-masing
dimensi ketidakpastian lingkungan adalah sebagai berikut :
32
1) Kompleksitas lingkungan (environmental complexity), terdiri dari :
a) Kompleksitas pelanggan (Daft, 2010: 141; Wagner & Hollenbeck, 2010:
271; Griffin & Moorhead, 2014: 467).
b) Kompleksitas pemasok (Daft, 2010: 141; Wagner & Hollenbeck, 2010:
271; Griffin & Moorhead, 2014: 467).
c) Kompleksitas pemerintah (Daft, 2010: 141; Wagner & Hollenbeck, 2010:
271; Griffin & Moorhead, 2014: 467).
2) Perubahan lingkungan (environmental change), terdiri dari :
a) Perubahan ekonomi (Daft, 2010: 141; Wagner & Hollenbeck, 2010: 272;
Griffin & Moorhead, 2014: 466).
b) Perubahan teknologi (Daft, 2010: 141; Griffin & Moorhead, 2014: 466).
2.1.2 Struktur Organisasi
Organisasi perlu mengatur pekerjaan menjadi segmen-segmen yang dapat
dikelola dan menyelaraskan segmen-segmen tersebut sehingga upaya-upaya para
individu dikoodinasikan untuk mencapai efektifitas yang optimal. Penyelarasan
ini membentuk struktur organisasi (Campbell & Craig, 2005: 453). William
(2015: 177) menyatakan bahwa struktur organisasi terkait dengan pertanyaan-
pertanyaan seperti “siapa melapor kepada siapa?”, “siapa melakukan apa?” serta
“dimana pekerjaan dilakukan?”. Struktur organisasi digambarkan dalam bentuk
bagan organisasi (Daft, 2010: 90; Griffin & Moorhead, 2014: 436). Bagan
organisasi (organizational chart) adalah penggambaran visual dari sekumpulan
aktivitas-aktivitas dan proses-proses yang ada dalam organisasi (Daft, 2010: 90).
33
Tujuan utama struktur organisasi adalah untuk mempengaruhi prilaku
individu dan kelompok dalam organisasi untuk mencapai kinerja efektif (Gibson,
et al., 2012: 422). Disamping itu, struktur organisasi juga bertujuan untuk
mengatur dan mendistribusikan pekerjaan diantara anggota organisasi sehingga
kegiatan mereka memberikan manfaat terbaik untuk mencapai sasaran dan tujuan
organisasi (Brooks, 2006: 181). Secara lebih rinci, Robbins & Coulter (2012: 265)
dan Robbins, et al. (2014: 126) menyebutkan bahwa tujuan struktur organisasi
adalah :
“(a) divides work to be done into specific jobs and departments,
(b) assigns tasks and responsibilities associated with individual
jobs, (c) coordinates diverse organizational tasks, (d) clusters
jobs into units, (e) establishes relationships among individuals,
groups, and departments, (f) establishes formal lines of authority,
(g) allocates and deploys organizational resources”.
Menurut Stroh, et al. (2002: 398), struktur organisasi adalah cara-cara
formal dengan mana organisasi membagi aktivitas tenaga kerja untuk mencapai
sasaran dan tujuan organisasi. Secara ringkas Robbins & Coulter (2012: 265)
menyatakan bahwa struktur organisasi adalah pengaturan formal tentang
pekerjaaan-pekerjaan dalam organisasi. Sementara menurut Robbins & Judge
(2013: 481) dan Robbins, et al. (2014: 127), struktur organisasi adalah cara-cara
dalam mana tugas pekerjaan (job tasks) secara formal dibagi, dikelompokkan dan
dikoordinasikan dalam organisasi.
Adapun menurut Gomez-Mejia & Balkin (2012: 256), pengertian struktur
organisasi adalah suatu sistem formal yang menentukan garis kewenangan (siapa
melapor kepada siapa), dan penetapan pekerjaan kepada para individu dan unit-
unit (siapa melakukan pekerjaan apa dan dibagian mana). Hitt, et al. (2011: 487)
34
menyatakan bahwa struktur organisasi adalah sistem formal tentang peran kerja
(work roles) dan hubungan kewenangan (authority relationships) yang
mengarahkan bagaimana bawahan dan manajer berinteraksi satu sama lain.
Sementara menurut Kinicki & William (2010: 237) struktur organisasi
adalah suatu sistem formal tentang hubungan pekerjaan dan pelaporan yang
mengkoordinasikan dan memotivasi anggota organisasi sehingga mereka dapat
bekerja sama untuk mencapai tujuan organisasi. Hal senada dikemukakan Griffin
& Moorhead (2014: 430) yang menyatakan bahwa struktur organisasi adalah
sistem tentang hubungan kerja, pelaporan, dan kewenangan dalam mana pekerjaan
dalam organisasi dilaksanakan. Demikian pula dengan Jones & George (2016:
279) yang menyatakan bahwa struktur organisasi adalah suatu sistem formal
tentang hubungan kerja dan pelaporan yang mengkoordinasikan dan memotivasi
anggota organisasi sehingga mereka bekerja sama untuk mencapai tujuan-tujuan
organisasi.
McShane & Glinow (2010: 386) menyatakan bahwa struktur organisasi
mengacu pada pembagian kerja serta pola koordinasi, komunikasi, alur kerja, dan
kekuasaan formal yang mengarahkan aktivitas. Sedangkan Colquitt, et al. (2013:
504) menyatakan bahwa struktur organisasi secara formal menentukan bagaimana
tugas dan pekerjaan dibagi dan dikoordinasikan diantara para individu dan
kelompok dalam organisasi. Sementara menurut Rothaermal (2014: 346), struktur
organisasi adalah desain organisasi yang menentukan bagaimana upaya kerja
individu dan tim diatur dan bagaimana sumber daya didistribusikan.
35
Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli tentang pengertian struktur
organisasi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan struktur
organisasi adalah suatu sistem formal yang mengatur tentang bagaimana
pekerjaan, kewenangan dan tanggung jawab dibagi, dikelompokkan dan
dikoordinasikan dalam organisasi sehingga memungkinkan pencapaian tujuan-
tujuan organisasi.
Daft (2010: 127) menyatakan bahwa struktur organisasi harus memenuhi
2 (dua) hal. Pertama, struktur organisasi harus menyediakan suatu kerangka kerja
tentang tanggung jawab, hubungan pelaporan, dan pengelompokkan tugas. Kedua,
struktur organisasi harus menyediakan mekanisme untuk mengkaitkan dan
mengkoordinasikan elemen-elemen organisasi menjadi sesuatu yang koheren. Hal
senada dikemukakan Griffin & Moorhead (2014: 451) yang menyatakan bahwa
setiap struktur organisasi menjawab 2 (dua) isu dasar, yaitu : membagi tenaga
kerja sesuai dengan tugas-tugas yang dilaksanakan, dan mengkombinasikan serta
mengkoordinasikan pembagian tugas untuk memastikan bahwa tugas terlaksana.
Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa struktur organisasi menyediakan
pedoman (blueprint) tentang hubungan pelaporan, pengendalian, kewenangan dan
pembuatan keputusan dalam organisasi (Hitt, et al., 2012: 160). Dalam
mengkaitkan elemen-elemen organisasi menjadi sesuatu yang koheren dibutuhkan
penggunaan sistem informasi (Daft, 2010: 127).
Ada banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan struktur organisasi.
Stonehouse, et al. (2004: 365) mengindentifikasikan faktor-faktor tersebut sebagai
berikut :
36
“(a) the nature of the business; (b) the environment of the
organization; (c) the global strategy of the business; (d) the age
and history of the organization; (e) the size of business and
limitations of span of control; (f) the level of technology in the
organization; (g) the geographical span of activities; (h) the
culture of the organization; (i) leadership and leadership style”.
Struktur organisasi memiliki beberapa dimensi/karakteristik/elemen.
McShane & Glinow (2010: 390) mengemukakan 4 (empat) elemen dasar struktur
organisasi, yaitu : span of control, centralization and decentralization,
formalization, departmentalization. Masing-masing elemen dijelaskan sebagai
berikut :
1) Span of control (span of management). Mengacu kepada jumlah orang yang
secara langsung melapor kepada level berikutnya dalam hirarki organizasi
(McShane & Glinow, 2010: 390).
2) Centralization and decentralization. Sentralisasi berarti bahwa kewenangan
pembuatan keputusan formal berada pada sekelompok kecil orang yang
umumnya berada pada bagian puncak hirarki organisasi. Sementara
desentralisasi berarti bahwa kewenangan peembuatan keputusan formal
tersebar pada beberapa bagian hirarki organisasi (McShane & Glinow, 2010:
393).
3) Formalization. Formalisasi mengacu pada sejauhmana organisasi melakukan
standardisasi prilaku melalui peraturan, prosedur, pelatihan formal dan
mekanisme lain yang terkait (McShane & Glinow, 2010: 393).
4) Departmentalization. Departementasasi merinci bagaimana karyawan dan
pekerjaannya dikelompokkan bersama-sama dalam organisasi (McShane &
Glinow, 2010: 395).
37
Sementara menurut Colquitt, et al. (2013: 505), ada 5 (lima) dimensi
struktur organisasi, yaitu : work specialization, chain of command, span of
control, centralization, formalization. Penjelasan atas masing-masing dimensi
tersebut adalah sebagai berikut :
1) Work specialization. Terkait dengan sejauhmana tugas-tugas dalam organisasi
dibagi kedalam beberapa pekerjaan yang terpisah.
2) Chain of command. Terkait dengan pertanyaan “siapa melapor kepada
siapa?” dan menunjukkan hubungan kewenangan formal.
3) Span of control. Menunjukkan berapa banyak karyawan dalam organisasi
yang dipertanggungjawabkan oleh tiap-tiap manajer.
4) Centralization. Mengacu kepada lokasi dimana keputusan secara formal
dibuat dalam organisasi.
5) Formalization. Mengacu kepada sejauh mana aturan-aturan dan prosedur-
prosedur digunakan untuk menstandarkan prilaku dan keputusan dalam
organisasi.
Hitt, et al. (2011: 488, 491) juga mengemukakan beberapa elemen
struktur organisasi, yaitu : height, span of control, departmentalization,
centralization, standardization, formalization, specialization, dan masing-masing
elemen dijelaskan sebagai berikut :
1) Height. Mengacu kepada jumlah level hirarki dalam organisasi, mulai dari
CEO hingga manajer level terendah (Hitt, et al., 2011: 488).
2) Span of control. Mengacu kepada jumlah individu yang diawasi secara
langsung oleh seorang manajer (Hitt, et al., 2011: 488).
38
3) Departmentalization. Mengacu kepada pengelompokkan sumber daya
manusia dan sumber daya lainnya menjadi unit-unit, yang umumnya
didasarkan pada area fungsional atau pasar (Hitt, et al., 2011: 489).
4) Centralization. Mengacu kepada sejauhmana kewenangan untuk membuat
keputusan berada pada level puncak organisasi (Hitt, et al., 2011: 491).
5) Standardization. Mengacu kepada sejauhmana aturan-aturan dan prosedur
operasi standar (standard operating procedures) mengarahkan prilaku dalam
organisasi (Hitt, et al., 2011: 491).
6) Formalization. Mengacu kepada sejauhmana aturan-aturan dan prosedur
operasi didokumentasikan secara tertulis atau dipublikasikan dalam jaringan
intranet perusahaan (Hitt, et al., 2011: 492).
7) Specialization. Mengacu kepada sejauhmana bawahan dan manajer memiliki
tugas dalam lingkup yang sempit dan variasi yang terbatas (Hitt, et al., 2011:
492).
Sementara Robbins & Coulter (2012: 265), Robbins & Judge (2013:
480) dan Robbins, et al. (2014: 126) mengidentifikasikan 6 (enam) elemen pokok
struktur organisasi, yaitu : work specialization, departmentalization, chain of
command, span of control, centralization and decentralization, and formalization.
Masing-masing elemen dijelaskan sebagai berikut :
1) Work specialization. Menggambarkan sejauhmana aktivitas atau tugas-tugas
dalam organisasi dibagi menjadi beberapa pekerjaan yang terpisah (Robbins
& Coulter, 2012: 265; Robbin & Judge, 2013: 481; Robbins, et al., 2014:
127).
39
2) Departmentalization. Dasar dengan mana pekerjaan dalam organisasi
dikelompokkan bersama-sama dan dikoordinasikan. (Robbins & Coulter,
2012: 267; Robbins & Judge, 2013: 483; Robbins, et al., 2014: 127).
3) Chain of command. Garis kewenangan yang membentang dari level
organisasi yang lebih tinggi ke level organisasi yang lebih rendah, dan
menjelaskan “siapa melapor kepada siapa” (Robbins & Coulter, 2012: 269;
Robbins & Judge, 2013: 483; Robbins, et al., 2014: 131).
4) Span of control. Mengacu kepada jumlah karyawan yang secara efektif dan
efisien dapat dikelola atau diarahkan oleh manajer (Robbins & Coulter, 2012:
271; Robbins & Judge, 2013: 485; Robbins, et al., 2014: 131).
5) Centralization and decentralization. Sentralisasi mengacu pada sejauhmana
pengambilan keputusan dikonsentrasikan pada level puncak organisasi
sedangkan desentralisasi mengacu pada sejauhmana karyawan pada level
yang lebih rendah menyediakan masukan atau melakukan pengambilan
keputusan (Robbins & Coulter, 2012: 273; Robbins & Judge, 2013: 485;
Robbins, et al., 2014: 133).
6) Formalization. Mengacu kepada sejauhmana pekerjaan dalam organisasi
distandarisasikan dan sejauhmana prilaku karyawan diarahkan oleh aturan-
aturan dan prosedur (Robbins & Coulter, 2012: 273; Robbins & Judge, 2013:
487; Robbins, et al., 2014: 133).
Selanjutnya Rothaermel (2015: 347) menyatakan bahwa dimensi struktur
organisasi terdiri dari specialization, formalization, centralization, hierarchy.
Masing-masingnya dijelaskan sebagai berikut :
40
1) Specialization. Elemen struktur organisasi yang menjelaskan sejauh mana
suatu tugas dibagi menjadi pekerjaan-pekerjaan yang terpisah yaitu
pembagian tenaga kerja (Rothaermel, 2015: 347).
2) Formalization. Elemen struktur organisasi yang menjelaskan sejauh mana
prilaku karyawan diarahkan oleh aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang
dinyatakan secara eksplisit dan terkodifikasi (Rothaermel, 2015: 347).
3) Centralization. Elemen struktur organisasi yang mengacu kepada sejauh
mana pembuatan keputusan dikonsentrasikan di level puncak organisasi
(Rothaermel, 2015: 348).
4) Hierarchy. Elemen struktur organisasi yang menentukan jalur pelaporan dan
posisi formal sehingga menggambarkan siapa melapor kepada siapa
(Rothaermel, 2015: 349).
Berdasarkan berbagai dimensi/karakteristik/elemen struktur organisasi
yang dikemukakan para ahli tersebut, maka dimensi yang digunakan untuk
mengukur struktur organisasi dalam penelitian ini adalah departementalisasi
(departmentalization), rentang kendali (span of control), dan formalisasi
(formalization) (McShane & Glinow, 2010: 390; Colquitt, et al., 2013: 505; Hitt,
et al., 2011: 488, 491; Robbins & Coulter, 2012: 265; Robbins & Judge, 2013:
480; Robbins, et al., 2014: 126; Rothaermel, 2015: 347). Masing-masing dimensi
dijelaskan sebagai berikut :
1) Departementalisasi (departmentalization), terkait dengan sejauhmana
pekerjaan yang sama dikelompokkan dalam kelompok yang sama sehingga
pekerjaan dapat dikoordinasikan dengan baik.
41
2) Rentang kendali (span of of control), terkait dengan seberapa banyak
bawahan yang diawasi oleh seorang atas dan seberapa banyak bawahan yang
melapor kepada atasan langsung.
3) Formalisasi (formalization), terkait dengan sejauhmana pelaksanaan
tugas/pekerjaan, kewenangan dan tanggung jawab distandardidasi melalui
prosedur operasi dan peraturan yang dinyatakan secara formal.
Adapun indikator-indikator yang digunakan untuk masing-masing
dimensi struktur organisasi adalah sebagai berikut :
1) Departementalisasi (departmentalization), terdiri dari :
a) Pengelompokkan tugas (McShane & Glinow, 2010: 395; Robbins &
Coulter, 2012: 267; Robbins & Judge, 2013: 483; Robbins, et al., 2014:
127).
b) Koordinasi antar bagian (Robbins & Coulter, 2012: 266; Robbins &
Judge, 2013: 482; Robbins, et al., 2014: 127).
2) Rentang kendali (span of control), terdiri dari :
a) Pengawasan dari atasan kepada bawahan (Colquitt, et al., 2013: 505;
Hitt, et al., 2011: 488; Robbin & Coulter, 2012: 271; Robbin & Judge,
2013: 485).
b) Pelaporan dari bawahan kepada atasan (McShane & Glinow, 2010: 390).
3) Formalisasi (formalization), terdiri dari :
a) Prosedur formal (McShane & Glinow, 2010: 393; Hitt, et al., 2011: 492;
Rothaermel, 2015: 347).
42
b) Peraturan formal (McShane & Glinow, 2010: 393; Hitt, et al., 2011: 492;
Rothaermel, 2015: 347).
2.1.3 Kompetensi Pengguna Sistem Informasi
Kompetensi pengguna sistem informasi akuntansi manajemen
berkontribusi terhadap efektivitas dan efisiensi sistem informasi akuntansi
manajemen dalam mewujudkan tujuan-tujuan perusahaan (Riahi-Belkaoui, 2002:
xi). Suatu sistem informasi tidak dapat memberikan manfaat kepada perusahaan
jika penggunanya gagal untuk mengkontribusikan kompetensi mereka dalam
pengimplementasian sistem informasi (O’Brien & Marakas, 2010: 69).
Kompetensi pengguna sistem informasi yang dimaksud disini adalah kompetensi
pengguna akhir yang dapat memberikan kontribusi nyata dalam mencapai sasaran
strategis dan meraih keunggulan kompetitif (McLeod & Schell, 2007: 109).
Spencer & Spencer (1993: 9) mendefinisikan kompetensi sebagai
karakteristik-karakteristik dasar dari seseorang yang memiliki hubungan
kausalitas dengan kriteria kinerja efektif dan/atau unggul dalam suatu pekerjaan
atau situasi. Pengertian senada dikemukakan Marshall (1998: 29) yang
menyatakan bahwa kompetensi adalah karakteristik-karakteristik dasar dari
seseorang yang memungkinkan mereka untuk menghasilkan kinerja unggul dalam
suatu pekerjaan, peran atau situasi tertentu. Demikian pula dengan Dubois, et al.
(2004: 16) yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi adalah
karakteristik-karakteristik yang dimiliki dan digunakan oleh seseorang dalam
cara-cara yang tepat dan konsisten untuk mencapai kinerja yang diharapkan.
43
Beberapa pengertian yang senada dengan pengertian diatas dikemukakan
para ahli lain yang pada dasarnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
kompetensi adalah karakteristik-karakteristik yang dimiliki oleh seseorang untuk
menghasilkan kinerja unggul. Pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut :
“Competences is the the combine standards for effective
performance of tasks, the criteria indicating that tasks have been
effectively performed with levels of knowledge, skills to perform
the tasks”. (Tyson, 2006: 132)
“Competency is an underlying skill, potential characteristics, or
motive demonstrates by a various observable behaviours that
contribute to outstanding performance in a job“. (Mahapatro,
2010: 139)
“A competence refers to an area of personal capability that
enables employee to successfully perform their jobs by achieving
outcomes or accomplishing task”. (Noe, 2010: 127)
“A competency refers to areas of personal capability that enable
employees to successfully perform their jobs and achieve
outcomes”. (Rowley & Jackson, 2011: 44)
“Competencies are the observable characteristics people bring
with them in order to perform the job successfully“. (Gomez-
Mejia, et al., 2012: 226)
Pengertian yang lebih eksplisit dikemukakan Hayes & Ninemeier (2009:
173) yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi adalah standar
pengetahuan, keterampilan dan kemampuan untuk menghasilkan kinerja unggul.
Pendapat senada dikemukakan McShane & Glinow (2010: 36) yang menyatakan
bahwa kompetensi adalah keterampilan, pengetahuan, bakat, dan karakteristik
personal lainnya yang mengarah pada kinerja unggul. Demikian pula dengan
Stewart & Brown (2011: 22) yang menyatakan bahwa kompetensi adalah
pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan
44
suatu kegiatan. Beberapa ahli lain juga mengemukakan pendapat yang senada
dengan pendapat diatas. Pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut :
“Competence refers to specific, identifiable and measurable
knowledge; moreover, it refers to skills, ability or attitudes which
a person possesses (or should possess) and which is necessary
for, or material to, the performance of an activity within a
specific job context”. (Hout, et al., 2011: 2)
“Competencies are demonstrable personal characteristics such
as knowledge, skills, and behaviors”. (Dessler, 2014: 296)
“A competency is a combination of knowledge, skills, and
abilities (KSAs) used to improve performance”. (Robbins, et al.,
2014: 209)
Secara lebih komprehensif, Mondy & Martocchio (2016: 122)
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi adalah kapabilitas
seseorang untuk mengorkestrasikan dan menerapkan kombinasi pengetahuan,
keterampilan dan kemampuan secara konsisten untuk melaksanakan pekerjaan
secara sukses dalam situasi kerja yang dibutuhkan.
Berdasarkan pengertian atau pendapat tentang kompetensi yang
dikemukakan para ahli tersebut, maka secara umum dapat dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang
yang merupakan kombinasi dari pengetahuan, keterampilan dan atribut lainnya
yang dibutuhkan dalam menghasilkan kinerja unggul. Dalam kaitannya dengan
sistem informasi akuntansi manajemen, maka yang dimaksud dengan kompetensi
pengguna sistem informasi dalam penelitian ini adalah kemampuan yang dimiliki
seseorang untuk menggunakan sistem informasi akuntansi manajemen sehingga
tujuan sistem informasi akuntansi manajemen dapat dicapai.
45
Kompetensi memiliki beberapa dimensi. Spencer & Spencer (1993: 9-11)
mengidentifikasikan 5 (lima) dimensi/jenis kompetensi, yaitu : motif (motives),
watak (traits), konsep diri (self concepts), pengetahuan (knowledge) dan
keterampilan (skill). Selengkapnya, dimensi dan pengertian masing-masing
dimensi diatas adalah sebagai berikut :
“Motives. The things a person consistently thinks about or wants
that cause action. Motives “drive, direct, and select” behavior
toward certain action or goals and away from others. Traits.
Physiscal characteristics and consistent responses to situations or
informations. Self concepts. A person’s attitudes values of self
image. Knowledge. Information a person has in specific content
areas. Skill. The ability to perform a certain physical or mental
task”. (Spencer & Spencer, 1993: 9-11)
Marshall (1998: 29-30) mengadopsi dimensi yang dikemukakan Spencer
& Spencer (1993: 9-11) diatas, namun Marshall (1993: 29) menambahkan 1 (satu)
dimensi lain dari kompetensi yaitu peran sosial (social role). Selengkapnya
dimensi kompetensi dan pengertian masing-masing dimensi diatas adalah sebagai
berikut :
“Skills are things that people can do well. Knowledge is what a
person knows about a specific topic. Social role is the image that
an individual displays in public; it represents what he or she thinks
is important. It reflects the values of the person. Self-image is the
view people have of themselves. It reflects their identity. Traits are
enduring characteristics of people. They reflect the way in which
we tend to describe people. Motives are unconscious thought and
preferences that drive behavior because the behaviors are a source
of satifaction”. (Marshall, 1998: 29-30)
Beberapa ahli lain juga mengemukakan dimensi kompetensi. Dubois, et
al. (2004: 16) mengidentifikasikan 9 (sembilan) dimensi kompetensi yaitu :
pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), citra diri (aspects of self-image),
motif sosial (social motives), watak (traits), pola fikir (though patterns), kerangka
46
fikir (mind-set) dan sudut pandang (way of thingking), perasaan (feeling), dan
tindakan (acting). Menurut Tyson (2006: 133) kompetensi terdiri dari
pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap (attidudes) dan atribut
pribadi (personal attributes). Sementara Hayes & Ninemeier (2009: 173)
mengidentifikasikan 3 (tiga) dimensi kompetensi yaitu : pengetahuan
(knowledge), keterampilan (skill) dan kemampuan (abilities).
Pendapat lain dikemukakan Mahapatro (2010: 139) yang menyatakan
kompetensi terdiri dari pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), prilaku
(behavior) dan karakteristik pribadi (personal caracteristics) yaitu watak (traits)
dan motif (motives). McShane & Glinow (2010: 36) dan Noe (2010: 127)
menyebutkan bahwa kompetensi terdiri dari pengetahuan (knowledge),
keterampilan (skill), sikap (attitudes) dan karakteristik pribadi (personal
characteristics). Menurut Stewart & Brown (2011: 22), kompetensi terdiri dari
pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), kemampuan (abilities) dan atribut
personal lainnya (other personal attributes). Dessler (2011: 296) juga
mengemukakan beberapa dimensi kompetensi yaitu pengetahuan (knowledge),
keterampilan (skill) dan prilaku (behaviors). Sementara Robbins, et al. (2014:
209) serta Mondy & Martocchio (2016: 122) sepakat bahwa kompetensi terdiri
dari pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan kemampuan (abilities).
Berbagai dimensi yang dikemukakan para ahli sebelumnya selain yang
telah dikemukakan oleh Spencer & Spencer (1993: 9-11) dan Marshall (1998: 29-
30), secara ringkas disajikan dalam Tabel 2.1 sebagai berikut :
47
Tabel 2.1
Beberapa Dimensi Kompetensi menurut Para Ahli
Ahli
Dimensi Kompetensi
Knowledge
Skill
Abilities
Attitudes
Others
Dubois, et al., 2004: 16
-
-
Tyson, 2008: 133
-
Hayes & Ninemeier, 2009: 173
-
-
Mahapatro, 2010: 139
-
-
McShane & Glinow, 2010: 36
-
Noe, 2010: 127
-
Stewart & Brown, 2011: 22
-
-
Dessler, 2014: 296
-
-
Robbins, et al., 2014: 209
-
-
Mondy & Martocchio, 2014: 122
-
-
Sumber : Diolah sendiri dari berbagai sumber.
Dari beberapa dimensi yang dikemukakan oleh Spencer & Spencer
(1993: 9-11), Marshall (1998: 29-30), serta para ahli lainnya sebagaimana
diringkaskan dalam Tabel 2.1 diatas, ada 2 (dua) dimensi yang disepakati oleh
para ahli sebagai dimensi utama kompetensi, yaitu : pengetahuan (knowledge) dan
keterampilan (skill). Spencer & Spencer (1993: 11) menyebut pengetahuan
(knowledge) dan keterampilan (skill) sebagai kompetensi permukaan (surface
competency) dan cenderung terlihat atau teramati (visible), sementara motif
(motives), watak (traits) dan konsep diri (self concepts) disebut kompetensi sentral
(central competency) yang bersifat tersembunyi (hidden/deeper).
Spencer & Spencer (1993: 10) mengartikan pengetahuan sebagai
informasi yang dimiliki seseorang pada bidang tertentu. Pendapat senada
dikemukakan Marshall (1998: 29) yang menyatakan bahwa pengetahuan adalah
apa yang diketahui seseorang tentang suatu topik tertentu. Selanjutnya Mahapatro
(2010: 139) menyatakan bahwa pengetahuan adalah informasi yang dimiliki
48
seseorang dalam suatu bidang tertentu. Sedangkan menurut Aamodt (2010: 53),
pengetahuan adalah sekumpulan informasi yang dibutuhkan untuk melaksanakan
suatu tugas.
Secara lebih komprehensif, Zikmund, et al. (2010: 22) menyatakan
bahwa pengetahuan adalah perpaduan antara pengalaman, wawasan, dan data
yang membentuk memori secara terorganisir. Selanjutnya Stair & Reynolds
(2012: 6) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan adalah
kesadaran dan pemahaman tentang serangkaian informasi dan cara-cara
menggunakan informasi tersebut bermanfaat untuk mendukung tugas tertentu atau
pengambilan keputusan.
Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan para ahli tersebut
maka secara umum dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan
adalah sekumpulan informasi atau wawasan yang dimiliki seseorang tentang suatu
hal tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan pengetahuan dalam penelitian ini
adalah sekumpulan informasi atau wawasan yang dimiliki seseorang tentang
sistem informasi akuntansi manajemen.
McLeod & Schell (2007: 111) menyatakan bahwa pengetahuan
merupakan sesuatu yang dapat dipelajari, baik itu melalui pendidikan formal
ataupun melalui upaya sendiri melalui membaca dan observasi. Menurut Dubois,
et al. (2004: 7), 2 (dua) elemen pengetahuan yang membentuk kompetensi
pekerjaan atau spesifikasi pekerjaan adalah pendidikan formal dan pengalaman.
Tyson (2006: 136) mengidentifikasikan 2 (dua) elemen yang terkait dengan
pengetahuan yaitu : pendidikan formal dan pengalaman. Mahapatro (2010:180)
49
menyebutkan bahwa elemen pengetahuan adalah pendidikan. Robbins, et al.
(2014: 189) juga menyebutkan bahwa elemen pengetahuan adalah pendidikan dan
pengalaman (prior employment). Mondy & Martocchio (2016: 119) juga
berpendapat bahwa pengetahuan terdiri dari pendidikan dan pengalaman.
Keterampilan (skill) merupakan dimensi lain dari kompetensi yang
diteliti dalam penelitian ini. Menurut Spencer & Spencer (993: 11) keterampilan
adalah kemampuan seseorang untuk melaksanan suatu tugas (fisik atau mental)
tertentu. Sedangkan menurut Marshall (1998: 29) yang dimaksud dengan
keterampilan adalah segala sesuatu yang dapat dilakukan seseorang dengan baik.
Hal senada dikemukakan Mahapatro (2010: 139) yang mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan keterampilan adalah kemampuan seseorang untuk melakukan
sesuatu dengan baik. Berdasarkan pendapat-pendapat diatas maka secara umum
dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan keterampilan (skill) adalah
kemampuan yang dimiliki seseorang untuk melakukan suatu tugas (fisik dan
mental) tertentu dengan baik. Sedangkan yang dimaksud dengan keterampilan
(skill) dalam penelitian ini adalah kemampuan yang dimiliki seseorang baik fisik
maupun mental untuk menggunakan sistem informasi akuntansi manajemen.
Menurut Spencer & Spencer (1993: 11) keterampilan terdiri dari
keterampilan fisik (physical skill) dan keterampilan mental (mental or cognitive
skill) yang terdiri dari keterampilan berfikir analitis (analytical skill) dan
keterampilan berfikir konseptual (conceptual skill). Gibson, et al. (2012: 90)
mengartikan keterampilan sebagai kompetensi yang terkait dengan pekerjaan yang
terdiri dari keterampilan bernegosiasi atau mengoperasikan komputer atau
50
keterampilan berkomunikasi. Robbins, et al. (2014: 10) mengidentifikasikan 3
(tiga) jenis keterampilan, yaitu : technical skill, human skill, conceptual skill.
Berdasarkan berbagai dimensi atau karakteristik kompetensi yang
dikemukakan para ahli tersebut, maka dimensi kompetensi pengguna sistem
informasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengetahuan dan
keterampilan (Spencer & Spencer, 1993: 10,11; Marshall, 1998: 29; Dubois, et
al., 2004: 16; Tyson, 2008: 133; Hayes & Ninemeier, 2009: 173; Mahapatro,
2010: 139; McShane & Glinow, 2010: 36; Noe, 2010: 127; Stewart & Brown,
2011: 22; Dessler, 2014: 296; Robbins, et al., 2014: 209; Mondy & Martocchio,
2016: 122). Masing-masing dimensi diatas dijelaskan sebagai berikut :
1) Pengetahuan (knowledge), yaitu sekumpulan informasi atau wawasan yang
dimiliki seseorang tentang sistem informasi akuntansi manajemen.
2) Keterampilan (skill), yaitu kemampuan yang dimiliki seseorang baik fisik
maupun mental untuk menggunakan sistem informasi akuntansi manajemen
maupun menggunakan informasi akuntansi manajemen.
Adapun indikator dari masing-masing dimensi kompetensi pengguna
sistem informasi tersebut adalah :
1) Pengetahuan (knowledge), terdiri dari :
a) Pendidikan (Dubois, et al., 2004: 7; Tyson, 2006: 136; Mahapatro,
2010:180; Robbins, et al., 2014: 189; Mondy & Martocchio, 2016: 119).
b) Pengalaman (Dubois, et al., 2004: 7; Tyson, 2006: 136; Robbins, et al.,
2014: 189; Mondy & Martochio, 2016: 119).
51
2) Keterampilan (skill), terdiri dari :
a) Keterampilan fisik (Spencer & Spencer, 1993: 11).
b) Keterampilan analitis (Spencer & Spencer, 1993: 11).
2.1.4 Kualitas Sistem Informasi Akuntansi Manajemen
Sistem informasi akuntansi manajemen memiliki peran strategis dalam
perusahaan (Riahi-Belkaoui, 2002: 1). Sistem informasi akuntansi manajemen
yang efektif harus mampu menilai kemajuan (progress) perusahaan terhadap
prioritas-prioritas strategis (Hoque, 2004: 26). Informasi yang dihasilkan sistem
informasi akuntansi manajemen digunakan manajer untuk mengembangkan,
mengkomunikasikan dan mengimplementasikan strategi, disamping untuk
mengkoordinasikan keputusan tentang design produk, proses produksi dan
pemasaran serta penilaian kinerja (Horngren, et al., 2015: 4). Sistem informasi
akuntansi manajemen merupakan sub-sistem dari sistem informasi akuntansi
disamping sub-sistem informasi akuntansi keuangan (Riahi-Belkaoui, 2002: 8;
Hansen & Mowen, 2007: 7; Azhar Susanto, 2013: 84; Mowen, et al., 2014: 6).
Secara umum, sistem informasi akuntansi adalah kumpulan data dan
prosedur-prosedur pengolahan yang menghasilkan informasi yang diperlukan para
penggunanya (Bagranof, et al, 2010: 5). Menurut Bodnar & Hopwood (2014: 1),
sistem informasi akuntansi adalah sekumpulan sumber daya, seperti manusia dan
peralatan, yang dirancang untuk merubah data keuangan dan data lainnya menjadi
informasi. Pengertian yang lebih komprehensif dikemukakan Azhar Susanto
(2013: 72) yang mendefinisikan sistem informasi akuntansi sebagai berikut :
52
“Sistem informasi akuntansi merupakan kumpulan (integrasi) dari
sub-sub sistem/komponen baik fisik maupun nonfisik yang saling
berhubungan dan bekerja sama satu sama lain secara harmonis
untuk mengolah data transaksi yang berkaitan dengan masalah
keuangan menjadi informasi keuangan”.
Sedangkan sistem informasi akuntansi manajemen adalah proses
penyediaan (pengumpulan, pengukuran, penyimpanan, penganalisaan, pelaporan
dan pengelolaan) informasi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan khusus
manajemen (Hansen & Mowen, 2007: 4). Selanjutnya Swieringa & Weick (1992:
309) melihat sistem informasi akuntansi manajemen sebagai cara-cara untuk
mengumpulkan, mengklasifikasi, meringkas, menganalisa dan melaporkan
informasi yang akan membantu manajer yang membuat keputusan (decision
facilitating) dan mengendalikan aktifitas (decision influencing). Hal senada
dikemukakan Atrill & McLaney (2009: 21) yang menyatakan bahwa sistem
informasi akuntansi manajemen adalah proses pengidentifikasian, pencatatan,
penganalisaan, penginterpretasian, dan pelaporan informasi untuk memenuhi
kebutuhan para manajer. Demikian pula dengan Drury (2012: xiii) yang
menyatakan bahwa sistem informasi akuntansi manajemen mengakumulasi,
mengklasifikasi dan meringkas, serta melaporkan informasi yang akan membantu
karyawan dalam suatu organisasi dalam aktivitas pembuatan keputusan,
perencanaan, pengendalian dan pengukuran kinerja.
Sistem informasi akuntansi manajemen menyediakan informasi yang
secara spesifik ditujukan untuk digunakan manajer dalam perusahaan (ACCA,
2009: 33). Hal senada dikemukakan Kaplan & Atkinson (1989: 1) yang
menyatakan bahwa sistem informasi akuntansi manajemen menyediakan
53
informasi untuk membantu manajer dalam aktivitas perencanaan dan
pengendalian. Demikian pula Hilton & Platt (2014: 7) yang menyatakan bahwa
sistem informasi akuntansi manajemen menyediakan semua jenis informasi
kepada manajemen guna mendukung peran manajemen dalam mengarahkan
aktivitas organisasi.
Horngren, et al. (1996: 5) menyatakan bahwa sistem informasi akuntansi
manajemen adalah suatu mekanisme formal untuk mengumpulkan,
mengorganisasikan dan mengkomunikasikan informasi tentang aktivitas
organisasi. Selanjutnya Bouwens & Abernethy (2000) menyatakan bahwa sistem
informasi akuntansi manajemen adalah sistem formal yang dirancang untuk
menyediakan informasi kepada para manajer. Bhimani, et al. (2008: 615)
mendefinisikan sistem informasi akuntansi manajemen sebagai sistem akuntansi
formal yang menyediakan informasi tentang biaya (costs), pendapatan (revenues)
dan penghasilan (income). Sementara menurut Heidmann (2008: 44) sistem
informasi akuntansi manajemen adalah sistem formal yang menyiapkan dan
menyediakan informasi dari lingkungan internal dan eksternal yang membantu
manajer untuk memonitor kinerja perusahaan.
Atkinson, et al,. (2012: 2) menyatakan bahwa sistem informasi akuntansi
manajemen adalah proses penyediaan manajer dan karyawan dalam organisasi
dengan informasi yang relevan, baik keuangan maupun nonkeuangan, untuk
pembuatan keputusan, pengalokasian sumber daya, monitoring, evaluasi dan
penilaian kinerja. Sementara Riahi-Belkaoui (2002: 9) mendefinisikan sistem
informasi akuntansi manajemen sebagai kumpulan sumber daya manusia dan
54
modal dalam suatu organisasi yang bertanggungjawab untuk menghasilkan dan
mendiseminasikan informasi yang relevan untuk pembuatan keputusan internal.
Dari beragam pendapat atau pengertian tentang sistem informasi
akuntansi manajemen yang telah dikemukakan sebelumnya, terlihat bahwa para
ahli menggunakan beberapa perspektif dalam mendefinisikan sistem informasi
akuntansi manajemen. Perspektif tersebut adalah, antara lain: proses sistem,
formalitas sistem, komponen sistem, sumber informasi, tujuan sistem, jenis/sifat
informasi, serta fungsi informasi yang dihasilkan. Dalam mendefinisikan sistem
informasi akuntansi manajemen, penulis mengelaborasikan beberapa perspektif
tersebut sehingga yang dimaksud dengan sistem informasi akuntansi manajemen
adalah suatu sistem formal yang terdiri dari sekumpulan komponen/sumber
daya/sub sistem yang terintegrasi secara harmonis untuk menyediakan
(mengidentifikasi, mencatat, mengklasifikasi dan melaporkan) informasi (baik
internal maupun eksternal; keuangan maupun nonkeuangan) kepada manajemen
yang memungkinkan mereka menjalankan fungsinya mulai dari perencanaan
hingga pengambilan keputusan.
Hoque (2004: 90) serta Hansen & Mowen (2007: 668) menyatakan
bahwa istilah kualitas mengacu kepada “degree or grade of excellence”. Mengutip
the American Society for Quality, Horngren, et al. (2015: 735) mengartikan
kualitas sebagai total fitur atau karakteristik dari suatu produk atau jasa yang
dibuat atau diserahkan sesuai dengan spesifikasi untuk memuaskan pelanggan
pada saat produk atau jasa itu dibeli atau selama penggunaannnya. Kualitas dapat
juga diartikan sebagai “fitness for use” yaitu sejauh mana suatu produk atau jasa
55
memenuhi keinginan pelanggan (Hoque, 2004: 90). Hal senada dikemukakan
Stair & Reynolds (2010: 57) yang menyatakan bahwa kualitas adalah kemampuan
suatu produk atau jasa untuk memenuhi atau melebihi ekspektasi pelanggan.
Dari pengertian-pengertian tentang kualitas yang dikemukakan
sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kualitas adalah
kemampuan suatu produk atau jasa yang tercermin dari berbagai fitur atau atribut
atau karakteristik yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan
pengguna (pelanggan).
Selanjutnya, dari pengertian sistem informasi akuntansi manajemen yang
dikemukakan sebelumnya, secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan sistem
informasi akuntansi manajemen adalah menyediakan informasi kepada
manajemen yang memungkinkan mereka menjalankan fungsinya mulai dari
perencanaan hingga pembuatan keputusan. Jika dikaitkan dengan pengertian
kualitas diatas, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kualitas
sistem informasi akuntansi manajemen adalah kemampuan sistem informasi
akuntansi manajemen (melalui fitur atau atribut atau karakteristik yang
dimilikinya) untuk menghasilkan informasi yang dibutuhkan manajemen yang
memungkinkan mereka untuk menjalankan fungsinya mulai dari perencanaan
hingga pembuatan keputusan. Pengertian ini sejalan dengan pendapat Petter, et al.
(2008: 238) yang menyatakan bahwa kualitas sistem informasi merupakan
karakteristik-karakteristik yang diharapkan dari suatu sistem informasi.
Stair & Reynold (2010: 57) menyebutkan bahwa kualitas sistem
informasi dapat diukur dengan dimensi : flexible, efficient, accessible, timely.
56
Karakteristik lain yang digunakan untuk mengukur kualitas sistem informasi
adalah ease of use, system flexibility, system reliability, ease of learning (Petter, et
al., 2008). Sementara Delone & McLean (2003: 13) mengukur kualitas sistem
informasi berdasarkan karakterik ease-of-use, functionality, reliability, flexibility,
data quality, portability, integration, importance.
Sistem informasi akuntansi manajemen yang berkualitas memiliki
dimensi ; timely, efficient, effective (Kaplan & Atkinson, 1989: 1). Sementara
menurut Riahi-Belkaoui (2002: 5), properties yang mewakili manfaat (kualitas)
dari sistem informasi akuntansi manajemen adalah : relevance, accuracy,
consistency, verifiability, aggregation, flexibility/adaptability, timelines,
understandability. Sedangkan Heidmann (2008: 87-90) dan Heidmann, et al.
(2008) mengidentifikasikan 5 (lima) dimensi kualitas sistem informasi akuntansi
manajemen, yaitu : integration, flexibility, accessibility, formalization, media
richness. Masing-masing dimensi ini dijelaskan sebagai berikut :
1) Integration : sejauhmana suatu sistem informasi menfasilitasi penggabungan
informasi dari berbagai sumber untuk mendukung keputusan bisnis
(Heidmann, 2008: 87; Heidmann, et al., 2008).
2) Flexibility : sejauhmana suatu sistem informasi dapat beradaptasi terhadap
kebutuhan-kebutuhan pengguna yang beragam dan terhadap perubahan
kondisi (Heidmann, 2008: 88; Heidmann, et al., 2008).
3) Accessibility : sejauhmana suatu sistem informasi dan informasi yang
dikandungnya dapat diakses dengan upaya yang relatif sedikit (Heidmann,
2008: 89; Heidmann, et al., 2008).
57
4) Formalization : sejauhmana sistem informasi memuat aturan-aturan dan
prosedur-prosedur (Heidmann, 2008: 90; Heidmann, et al., 2008).
5) Media Richness : sejauhmana suatu sistem informasi menggunakan kanal
(media) komunikasi yang memungkinkan interaksi personal pada level yang
tinggi (Heidmann, 2008: 90; Heidmann, et al., 2008)
Sementara itu, Azhar Susanto (2013: 73-83) menyatakan bahwa semua
komponen sistem informasi (hardware, sofware, brainware, prosedur, database
dan jaringan komunikasi) dan sub komponen dari masing-masing komponen
bersinergi dalam sistem informasi akuntansi untuk mengolah data keuangan yang
diperlukan manajemen dalam pengambilan keputusan.
Berdasarkan dimensi/properti kualitas sistem informasi akuntansi
manajemen yang dikemukakan para ahli tersebut, maka dimensi kualitas sistem
informasi akuntansi manajemen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
integrasi, fleksibilitas, aksesibilitas dan pengayaan media (Riahi-Belkaoui, 2002:
7; Heidmann, 2008: 87-90; Stair & Reynolds, 2010: 57; Azhar Susanto, 2013: 73-
83). Masing-masing dimensi tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1) Integrasi (integration), yaitu sejauhmana komponen-komponen sistem
informasi akuntansi manajemen dan sub-sub sistem (modul aplikasi)
akuntansi manajemen saling terintegrasi satu sama lain secara harmonis untuk
menfasilitasi penyediaan informasi akuntansi manajemen.
2) Fleksibilitas (flexibility), yaitu sejauhmana sistem informasi akuntansi
manajemen mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi.
58
3) Kemudahan akses (accessibility), yaitu sejauhmana sistem informasi
akuntansi manajemen mampu diakses dengan upaya yang relatif mudah dan
dari berbagai lokasi.
4) Pengayaan media (media richness), yaitu sejauhmana sistem informasi
akuntansi manajemen menggunakan berbagai alternatif media (kanal)
komunikasi guna meningkatkan interaksi antar personel/bagian.
Adapun indikator-indikator yang digunakan untuk masing-masing dimensi
kualitas sistem informasi akuntansi manajemen tersebut adalah :
1) Integrasi (integration), terdiri dari :
a) Integrasi antar komponen sistem (Azhar Susanto, 2013: 73-83).
b) Integrasi antar sub-sistem (Heidmann, 2008: 87).
2) Fleksibilitas (flexibility), terdiri dari :
a) Mampu beradaptasi dengan kebutuhan pengguna (Riahi-Belkaoui, 2002:
7: Heidmann, 2008: 88).
b) Mampu beradaptasi dengan perubahan kondisi (Heidmann, 2008: 88).
3) Aksesibilitas (accessibility), terdiri dari :
a) Mampu diakses dengan mudah (Heidmann, 2008: 89).
b) Mampu diakses dimana saja (Heidmann, 2008: 89).
4) Pengayaan media (media richness), terdiri dari :
a) Menggunakan berbagai alternatif kanal (media) komunikasi (Heidmann,
2008: 90).
b) Meningkatkan interaksi antar personel/bagian (Heidmann, 2008: 90).
59
2.1.5 Kualitas Informasi Akuntansi Manajemen
Di era informasi sekarang ini, informasi memiliki peran vital dan
dianggap sebagai aset atau sumber daya perusahaan (Hall, 2011: 4; Azhar
Susanto, 2013: 37; Richardson, et al., 2014: 2). Bahkan informasi juga sudah
dianggap sebagai sumber daya perusahaan yang paling penting (Bodnar &
Hopwood, 2014: 1; Stair & Reynolds, 2016: 5).
Para ahli menyatakan pengertian informasi dalam berbagai perspektif.
Secara ringkas, informasi adalah data yang telah diolah (Hall, 2011: 11). Stair &
Reynolds (2016: 5) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan informasi adalah
sekumpulan fakta yang telah diorganisir dan diproses sehingga fakta tersebut
memiliki nilai tambah. McLeod & Schell (2007: 39) mengartikan informasi
sebagai hasil pemrosesan data yang memiliki makna. Coronel, et al. (2011: 5)
menyatakan bahwa informasi adalah hasil pengolahan data mentah untuk
menunjukkan maknanya. Hal senada dikemukakan Baltzan (2014: 7) yang
menyatakan bahwa informasi adalah data yang telah dikonversi menjadi suatu
konteks yang bermakna dan bermanfaat. Selanjutnya Bocij, et al. (2015: 7) dan
Kroenke (2015: 35) mengatakan bahwa informasi adalah data yang telah diproses
sehingga memiliki makna. Demikian juga dengan Azhar Susanto (2013: 38) dan
Wallace (2015: 9) yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan informasi
adalah hasil pengolahan data yang memberikan arti dan manfaat.
Pengertian informasi juga bisa dinyatakan dalam kaitannya dengan
pengguna. Pengertian ini dikemukakan Marakas & O’Brien (2013: 32) yang
mengartikan informasi sebagai data yang telah dikonversikan menjadi suatu
60
konteks yang bermakna dan berguna bagi pemakai tertentu. Demikian juga
dengan Rainer, et al. (2014: 14) yang menyatakan bahwa informasi adalah data
yang telah diorganisasikan sehingga mereka memiliki makna dan nilai bagi
penerima informasi tersebut. Pengertian senada juga dikemukakan Laudon &
Laudon (2016: 48) yang mengatakan bahwa informasi adalah data yang telah
diolah menjadi suatu bentuk yang bermakna dan berguna bagi manusia.
Disamping itu, pengertian informasi juga bisa dikaitkan dengan tujuan
penggunaannya. Gelinas & Dull (2008: 17) menyatakan bahwa informasi adalah
data yang disajikan dalam suatu bentuk yang berguna dalam aktivitas pembuatan
keputusan. Hal senada dikemukakan Romney & Steinbart (2015: 30) yang
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan informasi adalah data yang telah
diorganisasikan dan diproses untuk memberikan makna dan meningkatkan proses
pengambilan keputusan. Berdasarkan berbagai pendapat tentang pengertian
informasi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pada hakekatnya informasi
adalah hasil pengolahan data menjadi suatu bentuk (konteks) yang memiliki
makna dan manfaat bagi pengguna dalam proses pembuatan keputusan.
Informasi adalah output dari sistem informasi (Boczko, 2007: 56),
sedangkan informasi akuntansi manajemen adalah informasi yang dihasilkan oleh
sistem informasi akuntansi manajemen (Heidmann 2008: 44). Selanjutnya
Heidmann (2008: 46) menyatakan bahwa informasi akuntansi manajemen
mencakup informasi internal/eksternal, keuangan/nonkeuangan,
kuantitatif/kualitatif, berorientasi pada masa lalu/masa datang, yang telah
melewati filter persepsi dan interpretasi sistem informasi akuntansi manajemen.
61
Informasi akuntansi manajemen dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan
pengambilan keputusan manajer (Emmanuel, et al., 1990: 127; Bhimani &
Bromwich, 2010: 96). Sementara Atrill & McLaney (2009: 25) menyatakan
bahwa alasan penyediaan informasi akuntansi manajemen adalah untuk
meningkatkan kualitas keputusan. Disamping untuk menfasilitasi dan
meningkatkan kualitas pembuatan keputusan, informasi akuntansi manajemen
juga harus mempengaruhi tindakan (Swieringa & Weick, 1992: 307). Informasi
akuntansi manajemen harus relevan dan berguna bagi manajer, serta disiapkan
untuk tujuan yang beragam (Atkinson, et al., 2012: 3).
Bamber, et al. (2008: 29) menyatakan bahwa informasi akuntansi
manajemen diperlukan manajemen untuk menjalankan perusahaan secara efektif
dan efisien. Hal senada dikemukakan Drury (2012: 6) yang menyatakan bahwa
informasi akuntansi manajemen membantu manajemen untuk membuat keputusan
yang lebih baik serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas operasi.
Menurut Balakrishnan, et al. (2008: 13) informasi akuntansi manajemen
berguna untuk pembuatan keputusan yang terkait dengan perencanaan dan
pengendalian. Hal senada dikemukakan Crosson & Needles (2008: 4) menyatakan
informasi akuntansi manajemen diperlukan untuk merencanakan dan
mengendalikan operasi, mengukur kinerja serta membuat keputusan. Demikian
pula dengan Atkinson, et al. (2012: 2) yang menyatakan bahwa informasi
akuntansi manajemen digunakan manajemen dalam pembuatan keputusan,
pengalokasian sumber daya, pemonitoran, pengevaluasian dan penilaian kinerja.
62
Sementara Hilton & Platt (2014: 4) menyatakan bahwa informasi
akuntansi manajemen diperlukan untuk mewujudkan tujuan-tujuan organisasi.
Demikian pula dengan Horngren, et al. (2015:4) yang menyatakan bahwa
informasi akuntansi manajemen diperlukan untuk membantu manajemen
membuat keputusan dalam pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
Hoque (2004: 4) menyatakan bahwa informasi akuntansi manajemen
adalah informasi yang berguna bagi manajer dalam perencanaan, pengendalian
dan pengambilan keputusan. Selanjutnya dikatakan bahwa informasi akuntansi
manajemen dapat berkontribusi dalam : perumusan strategi, perencanaan dan
pengendalian aktivitas, dan pengambilan keputusan yang terkait dengan berbagai
alternatif tindakan (Hoque, 2004: 4). Sedangkan menurut Hansen & Mowen
(2007: 4) kegunaan informasi akuntansi manajemen adalah untuk : (a) penetapan
harga pokok produk atau atau jasa atau objek lain menjadi perhatian manajemen,
(b) perencanaan, pengendalian, evaluasi dan perbaikan yang berkelanjutan dan (c)
pengambilan keputusan.
Berdasarkan uraian tentang informasi dan informasi akuntansi
manajemen yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa
yang dimaksud dengan informasi akuntansi manajemen adalah hasil pengolahan
data (dari sumber internal maupun eksternal; bersifat keuangan maupun
nonkeuangan) yang dihasilkan oleh sistem informasi akuntansi manajemen guna
memenuhi kebutuhan manajemen dalam menjalankan fungsinya mulai dari
perencanaan hingga pengambilan keputusan.
63
Supaya efektif dalam mendukung proses-proses organisasional, maka
kualitas (fitness of purpose) informasi merupakan hal yang penting (Chaffey &
Wood, 2005: 23). Stair & Reynolds (2012: 7) menyatakan bahwa kualitas (value)
informasi secara langsung terkait dengan bagaimana informasi tersebut membantu
pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan organisasi. Kualitas informasi
mengacu kepada tingkat kegunaan (usefulness) informasi tersebut (Woodall, et
al., 2012: 4). Sementara Atrill & McLaney (2009: 17) menyatakan bahwa kualitas
informasi ditentukan oleh seberapa jauh informasi mampu memenuhi kebutuhan
manajer (pengguna).
Dibagian sebelumnya (halaman 54-55) telah dibahas tentang pengertian
kualitas, dimana yang dimaksud dengan kualitas adalah kemampuan suatu produk
atau jasa yang tercermin dari berbagai fitur atau atribut atau karakteristik yang
dimiliki untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan pengguna (Hoque, 2004: 90;
Stair & Reynolds, 2010: 57; Horngren, et al., 2015: 735). Sementara informasi
akuntansi manajemen juga telah didefinisikan sebagai hasil pengolahan data (dari
sumber internal maupun eksternal; bersifat keuangan maupun nonkeuangan) yang
dihasilkan oleh sistem informasi akuntansi manajemen guna memenuhi kebutuhan
manajemen dalam menjalankan fungsinya mulai dari perencanaan hingga
pengambilan keputusan.
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka
dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kualitas informasi akuntansi
manajemen adalah kemampuan informasi akuntansi manajemen (melalui fitur
atau atribut atau atribut yang dimilikinya) untuk membantu manajemen dalam
64
menjalankan fungsinya mulai dari perencanaan hingga pengambilan keputusan.
Pengertian ini sejalan dengan pendapat Petter, et al. (2008) yang menyatakan
bahwa kualitas informasi merupakan karakteristik-karakteristik yang diharapkan
dari informasi (output dari sistem informasi).
Informasi yang berkualitas memiliki beberapa dimensi atau atribut atau
karakteristik. Dalam konteks informasi secara umum, Chaffey & Wood (2005:
511-512) mengidentifikasikan 4 (empat) atribut informasi yang berkualitas, yaitu :
relevance, presentation, timeliness, availability. Curtis & Cobham (2005: 33-34)
mengidentifikasikan 7 (tujuh) atribut informasi yang berkualitas, yaitu :
relevance, accuracy, timelines, target, format, interactive nature, control.
Selanjutnya McLeod & Schell (2007: 65) mengemukakan 4 (empat) dimensi
informasi yaitu : relevancy, accuracy, timeliness dan completeness. Sementara
Stair & Reynolds (2016 : 8) mengemukakan 11 (sebelas) karakteristik informasi
yang berkualitas, yaitu : accessible, accurate, complete, economical, flexible,
relevance, reliable, secure, simple, timely, verifiable. Selanjutnya, Laudon &
Laudon (2016: 505) mengemukakan 7 (tujuh) dimensi kualitas informasi, yaitu :
accuracy, integrity, consistency, completenss, validity, timeliness, accessibility.
Selain itu, Marakas & O’Brien (2013: 416) mengemukakan 15 (lima belas) atribut
informasi yang berkualitas yaitu timeline, currency, frequency, time period,
accuracy, relevance, completeness, consiseness, scope, performance, clarity,
detail, order, presentation dan media yang dikelompok kedalam 3 (tiga) dimensi
dimensi: time, content, form. Atribut dan dimensi yang sama juga diadopsi oleh
Bocij, et al. (2015: 12).
65
Dalam konteks informasi akuntansi, Gelinas & Dull (2008: 20)
mengidentifikasikan 7 (tujuh) dimensi dari informasi yang berkualitas yaitu :
effectiveness, efficiency, confidentiality, integrity, availability, compliance,
reliability. Sedangkan Hall (2011: 13) mengidentifikasikan 5 (lima) karakteristik
kualitas informasi, yaitu : relevance, timeliness, accuracy, completeness,
summarization. Sementara Romney & Steinbart (2015: 30) mengemukakan 7
(tujuh) karakteristik informasi yang berkualitas, yaitu : relevant, reliable,
complete, timely, understandable, verifiable, accessible. Selanjutnya Richardson,
et al., (2014: 5) mengemukakan 2 (dua) atribut informasi akuntansi yang
berkualitas, yaitu : relevance dan reliability.
Dalam konteks informasi akuntansi manajemen juga ditemukan beberapa
dimensi atau karakteristik kualitas informasi yang dikemukakan para ahli. ACCA
(2009: 24) mengidentifikasikan kualitas informasi akuntansi manajemen sebagai
berikut : relevant, complete, accurate, clear, confidence, it should be
appropriately communicated, its volume should be manageable, timely and its
cost should be less than the benefits it provides. Hoque (2004: 8) menyebutkan
broadscope information sebagai informasi akuntansi manajemen yang berkualitas.
Eldenburg, et al. (2011: 10) mengidentifikasikan 5 (lima) karakteristik informasi
yang berkualitas, yaitu : certain, complete, relevant, timely, dan valuable.
Selanjutnya, William, et al. (2012: 16) mengemukakan 5 (lima) karakteristik
informasi akuntansi manajemen, yaitu : importance of timeliness, identity of
decision making, oriented toward the future, measure of efficiency and
effectiveness, management accounting-a mean.
66
Atkinson, et al. (2012: 342) menyebut informasi akuntansi manajemen
yang berkualitas dengan istilah informasi yang relevan. Relevan atau tidaknya
informasi ditentukan oleh karakteristik : accurate, timely, consistent, flexible
(Atkinson, et al., 2012: 342-343). Sementara Heidmann (2008: 82-86) dan
Heidmann, et al. (2008) juga mengemukakan 4 (empat) karakteristik informasi
yang berkualitas yaitu : scope, timeliness, format, accuracy.
Selanjutnya Chenhall & Morris (1986) mengidentifikasikan 4 (empat)
karakteristik informasi akuntansi manajemen, yaitu : scope, timeliness,
aggregation, integration. Karakteristik ini juga diadopsi antara lain oleh Bouwens
& Abernethy (2000), Moores & Yuen (2001), Agbejule (2005), Gaidienë &
Skyrius (2006), Soobaroyen & Poorundersing (2008) dan Hammad, et al. (2013).
Sementara Gul & Chia (1994) mengadopsi 2 (dua) karakteristik, yaitu : scope,
aggregation; Tsui (2001) mengadopsi 2 (dua) karakteristik yaitu : scope,
timeliness; dan Chiou (2011) mengadopsi 3 (tiga) karakteristik yaitu : scope,
timeliness, aggregated.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka dimensi yang digunakan untuk
mengukur kualitas informasi akuntansi manajemen dalam penelitian ini adalah
relevan, cakupan, tepat waktu, dan akurat (Hoque, 2004: 8; Heidmann, 2008: 82,
84, 86; McLeod & Schell, 2007: 65; Hall, 2011: 13; Marakas & O’Brien, 2013:
416; Romney & Steinbart, 2015: 30; Laudon & Laudon, 2016: 505; Stair &
Reynolds, 2016: 8). Masing-masing dimensi tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1) Relevan (relevance), mengacu pada sejauhmana informasi mampu memenuhi
kebutuhan pengambilan keputusan dan sesuai dengan masalah yang dihadapi.
67
2) Cakupan (scope), mengacu pada sejauhmana informasi eksternal, informasi
non keuangan, dan informasi yang berorientasi pada masa datang bermanfaat
dalam proses pengambilan keputusan.
3) Tepat waktu (timeliness), mengacu pada sejauhmana informasi mampu
tersedia sesuai dengan saat yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan
dan tersedia sesuai dengan jadwal yang ditentukan (informasi rutin/periodik).
4) Akurat (accuracy), mengacu pada sejauhmana informasi mencerminkan
keadaan/realitas yang sebenarnya (faktual) dan bebas dari kesalahan (bias).
Adapun indikator yang digunakan untuk masing-masing dimensi kualitas
informasi akuntansi manajemen adalah sebagai berikut :
1) Relevan (relevance), terdiri dari :
a) Sesuai dengan kebutuhan pengambilan keputusan (McLeod & Schell,
2007: 65; Hall, 2011: 13; Marakas & O’Brien, 2013: 416; Romney &
Steinbart, 2015: 30; Stair & Reynolds, 2016: 8).
b) Sesuai dengan masalah yang dihadapi (McLeod & Schell, 2008: 43).
2) Cakupan (scope) terdiri dari :
a) Informasi eksternal (Hoque, 2004: 8; Heidmann, 2008: 82; Marakas &
O’Brien, 2013: 416).
b) Informasi nonkeuangan (Hoque, 2004: 8; Heidmann, 2008: 82).
c) Informasi yang berorientasi pada masa depan (Hoque, 2004: 8;
Heidmann, 2008: 82).
68
3) Tepat waktu (timeliness), terdiri dari :
a) Informasi tersedia pada saat dibutuhkan untuk pengambilan keputusan
(McLeod & Schell, 2007: 65; Heidmann, 2008: 85; Hall, 2011: 14;
Marakas & O’Brien, 2013: 416; Romney & Steinbart, 2015: 30; Laudon
& Laudon , 2016: 505).
b) Informasi rutin/periodik tersedia sesuai jadwal yang ditentukan
(Heidmann, 84-85; Hall, 2011: 14).
4) Akurat (accuracy), terdiri dari :
a) Sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (McLeod & Schell, 2007: 65;
Heidmann, 2008: 86; Laudon & Laudon , 2016: 505).
b) Bebas dari kesalahan atau bias (Heidmann, 2008: 86; Hall, 2011: 14;
Marakas & O’Brien, 2013:416: Stair & Reynolds, 2016: 8).
2.2 Kerangka Pemikiran
2.2.1 Pengaruh Ketidakpastian Lingkungan terhadap Kualitas Sistem
Informasi Akuntansi Manajemen
Lingkungan dimana perusahaan beroperasi harus dipertimbangkan ketika
merencanakan sistem informasi akuntansi manajemen (Laudon & Laudon, 2016:
125). Sistem informasi akuntansi manajemen merupakan instrumen kunci
environmental scanning, yang membantu manajemen mengidentifikasi perubahan
lingkungan yang memerlukan respons organisasi (Laudon & Laudon, 2016: 118-
119). Lingkungan memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap sistem informasi
akuntansi manajemen (Azhar Susanto, 2013: 29). Memiliki sistem informasi
69
akuntansi manajemen yang dapat disesuaikan dengan perubahan kondisi
lingkungan merupakan kunci keunggulan bersaing (Stair & Reynolds, 2012: 37).
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sistem
informasi akuntansi manajemen (Eldenburg, et al., 2011: 7). Hal senada
dikemukakan Weetman (2010: 5) yang menyatakan bahwa sistem informasi
akuntansi manajemen dipengaruhi oleh lingkungan. Demikian pula dengan Atrill
& McLaney (2009: 33) yang menyatakan bahwa sistem informasi akuntansi
manajemen telah berubah untuk merespons perubahan-perubahan yang terjadi
pada lingkungan bisnis.
Perubahan-perubahan yang dramatis pada lingkungan bisnis secara
signifikan berpengaruh terhadap sistem informasi akuntansi manajemen (Drury,
2012: 4). Sistem informasi akuntansi manajemen harus responsif terhadap
perubahan lingkungan yang cepat (Gowthorpe, 2008: 12). Untuk itu sistem
informasi akuntansi manajemen harus dirancang guna menghadapi kondisi
lingkungan yang dicirikan oleh kompleksitas, ketidakpastian dan turbulensi
(Coombs, et al., 2005: 15).
Beberapa hasil penelitian terdahulu menyediakan bukti empiris tentang
pengaruh ketidakpastian lingkungan terhadap kualitas sistem informasi akuntansi
manajemen. Gordon & Narayanan (1984) menemukan bukti bahwa kualitas
sistem informasi akuntansi manajemen merupakan fungsi dari ketidakpastian
lingkungan pada 34 perusahaan di Kansas dan Missouri, USA. Sementara
Ghazemi, et al. (2015) menemukan bukti bahwa kualitas sistem informasi
70
akuntansi manajemen berubah secara dinamis sesuai dengan perubahan
lingkungan pada 120 perusahaan yang terdaftar di Tehran Stock Exchange di Iran.
Chenhall & Morris (1986) menunjukkan adanya pengaruh ketidakpastian
lingkungan terhadap kualitas sistem informasi akuntansi manajemen pada 36
perusahaan manufaktur di Australia. Pengaruh yang sama juga ditemukan Gul &
Chia (1994) pada perusahaan yang terdaftar pada otoritas telekomunikasi di
Singapura. Berdasarkan studi kasus pada 7 perusahaan di Lithuania, Strumickas &
Valanciene (2010) menunjukkan bahwa kualitas sistem informasi akuntansi
manajemen pada 7 perusahaan di Lithuania sangat dipengaruhi oleh
ketidakpastian lingkungan. Pengaruh ketidakpastian lingkungan terhadap kualitas
sistem informasi akuntansi manajemen juga ditemukan Chiou (2011) pada
perusahaan publik di Taiwan dan Hammad, et al. (2013) pada 50 sakit rumah
sakit di Iran serta Hoque (2014) pada 34 perusahaan manufaktur di Australia.
Agbejule (2005) menemukan bahwa ketidakpastian lingkungan
berinteraksi dengan kualitas sistem informasi akuntansi manajemen pada 11
perusahaan di Finlandia. Sedangkan Chong & Chong (1997) menunjukkan bahwa
ketidakpastian lingkungan eksternal merupakan anteseden penting bagi kualitas
sistem informasi akuntansi manajemen pada perusahaan manufaktur di Australia.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
ketidakpastian lingkungan berpengaruh terhadap kualitas sistem informasi
akuntansi manajemen.
71
2.2.2 Pengaruh Struktur Organisasi terhadap Kualitas Sistem Informasi
Akuntansi Manajemen
Struktur organisasi merupakan faktor fundamental yang dipertimbangkan
dalam manajemen strategis sistem informasi akuntansi manajemen (Clarke, 2001:
131). Hal senada dikemukakan Kendall & Kendall (2011: 46) yang menyatakan
bahwa salah satu faktor yang dipertimbangkan ketika menganalisis dan
merancang sistem informasi akuntansi manajemen adalah struktur organisasi
(berbagai level manajemen). Demikian pula dengan Laudon & Laudon (2016:
125) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang dipertimbangkan ketika
merancang sistem informasi akuntansi manajemen adalah struktur organisasi.
Struktur organisasi bisa berdampak langsung terhadap sistem informasi
akuntansi manajemen (Stair & Reynolds, 2010: 48). Selanjutnya dikatakan bahwa
penggunaan sistem informasi akuntansi manajemen sangat dipengaruhi oleh
struktur organisasi (Stair & Reynolds, 2010: 74). Karena itu dikatakan bahwa
sistem informasi akuntansi manajemen yang ada dalam perusahaan merefleksikan
struktur organisasi yang digunakan perusahaan (Laudon & Laudon, 2016: 119).
Menurut Eldenburg, et al. (2011: 7), faktor utama yang mempengaruhi
sistem informasi akuntansi manajemen adalah struktur organisasi. Pendapat
senada dikemukakan Riahi-Belkaoui (2002: 140) yang menyatakan bahwa sistem
informasi akuntansi manajemen yang efisien dipengaruhi oleh struktur organisasi.
Hal ini dipertegas Emmanuel, et al. (1990: 38) yang menyebutkan bahwa sistem
informasi akuntansi manajemen terbukti dipengaruhi oleh struktur organisasi.
Demikian juga dengan Bhimani, et al. (2008: 24) yang menyatakan bahwa
72
perubahan struktur organisasi akan mendorong sistem informasi akuntansi
manajemen untuk merubah fokus informasi yang dihasilkannya. Secara lebih
teknis, Weetman (2010: 411) menyatakan bahwa kerangka kerja pelaporan
informasi akuntansi manajemen harus diintegrasikan dengan struktur organisasi
sehingga tanggung jawab dapat diidentifikasikan dengan tepat.
Beberapa hasil penelitian terdahulu menyediakan bukti empiris tentang
pengaruh struktur organisasi terhadap kualitas sistem informasi akuntansi
manajemen. Gordon & Narayanan (1984) menemukan adanya korelasi antara
struktur organisasi dengan kualitas sistem informasi akuntansi manajemen pada
34 di Missouri dan Kansas, USA. Cassia, et al. (2005) juga menemukan adanya
korelasi antara struktur organisasi dengan kualitas sistem informasi akuntansi
manajemen pada 501 perusahaan Itali. Demikian pula Soobaroyen &
Poorundersing (2008) yang menemukan adanya hubungan positif antara struktur
organisasi dengan kualitas sistem informasi akuntansi manajemen pada
perusahaan-perusahaan di Mauritius.
Chenhal & Morris (1986) menemukan adanya pengaruh struktur
organisasi terhadap kualitas sistem informasi akuntansi manajemen pada 36
perusahaan manufaktur di Australia. Sementara Gul & Chia (1994) menemukan
adanya pengaruh struktur organisasi terhadap kualitas sistem informasi akuntansi
manajemen pada perusahaan-perusahaan di Singapura. Selanjutnya Moores &
Yuen (2001) menemukan bahwa kualitas sistem informasi akuntansi manajemen
dipengaruhi oleh struktur organisasi pada industri pakaian dan alas kaki di
Australia.
73
Sementara Strumickas & Valanciene (2010) menunjukkan bahwa
kualitas sistem informasi akuntansi manajemen pada 7 perusahaan di Lithuania
sangat dipengaruhi oleh struktur organisasi. Demikian pula dengan Hammad, et
al. (2013) yang menemukan bahwa struktur organisasi merupakan faktor esensial
bagi kualitas sistem informasi akuntansi manajemen pada 50 rumah sakit di Iran.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
struktur organisasi berpengaruh terhadap kualitas sistem informasi akuntansi
manajemen.
2.2.3 Pengaruh Kompetensi Pengguna Sistem Informasi terhadap
Kualitas Sistem Informasi Akuntansi Manajemen
Para pengguna sistem informasi dengan kompetensi yang dimilikinya
merupakan komponen penting dari suatu sistem informasi akuntansi manajemen
(Romney & Steinbart, 2015: 36). Pendapat senada dikemukakan Hall (2011: 10)
yang menyatakan bahwa kompetensi pengguna sistem informasi merupakan
elemen penting dalam pengimplementasian sistem informasi akuntansi
manajemen. Suatu sistem informasi akuntansi manajemen tidak dapat
memberikan manfaat bagi organisasi jika para penggunanya gagal untuk
mengkontribusikan kompetensi mereka dalam mengimplementasikan sistem
informasi akuntansi manajemen tersebut (O’Brien & Marakas, 2010: 69).
Jika sistem informasi akuntansi manajemen dianggap memiliki peran
strategis bagi suatu perusahaan, maka perusahaan harus mengembangkan dan
memelihara suatu tingkat kompetensi pengguna yang tinggi tentang bagaimana
74
mengelola dan menggunakan sistem informasi akuntansi manajemen tersebut
(Ward & Peppard, 2002: 391). Hal ini karena kompetensi pengguna sistem
informasi akuntansi manajemen berkontribusi terhadap efektifitas dan efisiensi
sistem informasi akuntansi manajemen dalam merealisasikan sasaran-sasaran
perusahaan (Riahi-Belkaoui, 2002: xi). Karena itu dikatakan bahwa kompetensi
pengguna sistem informasi memiliki beberapa hasil positif dalam pengoperasian
sistem informasi akuntansi manajemen (Loudon & Loudon, 2016: 590).
Beberapa hasil penelitian terdahulu juga menyediakan bukti empiris
tentang pengaruh kompetensi pengguna sistem informasi terhadap kualitas sistem
informasi akuntansi manajemen. Ilham Hidayah Napitupulu (2015) menunjukkan
bahwa kompetensi pengguna sistem informasi berpengaruh terhadap kualitas
sistem informasi akuntansi manajemen pada perusahaan manufaktur di Medan,
Indonesia. Selanjutnya Lesi Hertati & Wahyudin Zarkasyi (2015) menunjukkan
bahwa kompetensi pengguna sistem informasi merupakan faktor penting yang
mempengaruhi kualitas sistem informasi pada perusahaan Badan Usaha Milik
Negara di Sumatera Selatan, Indonesia. Madapusi & Ortiz (2014) juga
menunjukkan bahwa kualitas sistem informasi akuntansi manajemen dipengaruhi
oleh kompetensi pengguna sistem informasi pada perusahaan-perusahaan yang
menggunakan ERP Systems di India. Demikian pula dengan Daoud & Triki
(2013) yang menunjukkan bahwa interaksi kompetensi pengguna sistem informasi
dengan kualitas sistem informasi akuntansi manajemen berpengaruh terhadap
kinerja perusahaan-perusahaan yang menggunakan ERP Systems di Tunisia.
75
Beydokhti, et al. (2011) menemukan bahwa kompetensi pengguna sistem
informasi merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kualitas sistem
informasi akuntansi manajemen pada perusahaan yang terdaftar di Tehran Stock
Exchange. Selanjutnya Kaasbøll, et al. (2010) menemukan pengaruh kompetensi
pengguna sistem informasi terhadap kualitas sistem informasi akuntansi
manajemen pada perusahaan yang bergerak di sektor kesehatan di Malawi.
Sementara Al-Adaileh (2009) menunjukkan bahwa kompetensi pengguna sistem
informasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas sistem
informasi akuntansi manajemen pada Jordan Telecom Group, Jordania.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
kompetensi pengguna sistem informasi berpengaruh terhadap kualitas sistem
informasi akuntansi manajemen.
2.2.4 Pengaruh Kualitas Sistem Informasi Akuntansi Manajemen
terhadap Kualitas Informasi Akuntansi Manajemen
Sistem informasi akuntansi manajemen dirancang untuk mengubah
(transform) data keuangan dan data lainnya menjadi informasi akuntansi
manajemen (Bodnar & Hopwood, 2014: 1). Sementara Richardson, et al. (2014:
4) menyatakan bahwa sistem informasi akuntansi manajemen mengumpulkan,
memproses dan melaporkan informasi akuntansi manajemen yang berguna dalam
pembuatan keputusan. Selanjutnya Romney & Steinbart (2015: 36) menyatakan
bahwa sistem informasi akuntansi manajemen mengumpulkan, mencatat,
menyimpan, dan memproses data akuntansi dan data lainnya untuk menghasilkan
76
informasi akuntansi manajemen bagi pembuat keputusan. Dengan demikian,
tujuan utama dibangunnya sistem informasi akuntansi manajemen adalah untuk
mengolah data akuntansi menjadi informasi akuntansi manajemen yang
diperlukan oleh pemakai untuk mengurangi risiko saat mengambil keputusan
(Azhar Susanto, 2013: 8).
Menurut ACCA (2009: 33), sistem informasi akuntansi manajemen
menyediakan informasi akuntansi manajemen untuk digunakan manajer dalam
organisasi. Hal senada dikemukakan Mowen, et al. (2014: 7) yang menyatakan
bahwa sistem informasi akuntansi manajemen menghasilkan informasi akuntansi
manajemen untuk pengguna internal, seperti manajer, eksekutif, dan karyawan.
Selanjutnya Atrill & McLaney (2009: 21) menyatakan bahwa peran sistem
informasi akuntansi manajemen adalah menyediakan informasi akuntansi
manajemen yang digunakan manajer untuk membuat keputusan.
Kaplan & Atkinson (1989: 1) menyatakan bahwa sistem informasi
akuntansi manajemen menyediakan informasi akuntansi manajemen untuk
membantu manajer dalam melaksanakan aktivitas perencanaan dan pengendalian.
Sementara Hilton & Platt (2014: 7) menyatakan bahwa sistem informasi akuntansi
manajemen menyediakan informasi akuntansi manajemen kepada manajemen
guna mendukung peran manajemen dalam mengarahkan aktivitas organisasi.
Selanjutnya Riahi-Belkaoui (2002: 9) mengatakan bahwa sistem informasi
akuntansi manajemen bertanggungjawab untuk menghasilkan dan
mendiseminasikan informasi akuntansi manajemen yang dianggap berguna bagi
pembuatan keputusan internal. Demikian pula dengan Hansen & Mowen (2007:
77
4) menyatakan bahwa sistem informasi akuntansi manajemen menyediakan
informasi akuntansi manajemen yang dibutuhkan untuk memenuhi tujuan-tujuan
spesifik manajemen.
Secara lebih rinci Hansen & Mowen (2007: 4) menyatakan bahwa tujuan
umum sistem informasi akuntansi manajemen, yaitu untuk :
(1) menyediakan informasi untuk penetapan harga pokok jasa,
produk, dan objek lainnya kepada manajemen.
(2) Menyediakan informasi untuk perencanaan, pengendalian,
evaluasi, dan perbaikan berkelanjutan.
(3) Menyediakan informasi untuk pembuatan keputusan.
Sementara Mowen at al. (2014: 4) menyatakan bahwa tujuan umum
sistem informasi akuntansi manajemen adalah menyediakan informasi untuk :
(1) Perencanaan berbagai tindakan organisasi.
(2) Pengendalian berbagai tindakan organisasi, dan
(3) Pembuatan keputusan yang efektif.
Informasi akuntansi manajemen yang berkualitas merupakan merupakan
hasil pemrosesan sistem informasi akuntansi manajemen yang berkualitas
(Heidmann, 2008: 80). Kualitas informasi akuntansi manajemen ditentukan oleh
seberapa jauh informasi tersebut memenuhi kebutuhan informasi manajer (Atrill
& McLaney, 2009: 17). Informasi akuntansi manajemen yang berkualitas
memiliki karakteristik tertentu yang menjadikannya berguna bagi manajer
(Chenhall & Morris, 1986; Gul & Chia, 1994; Bouwens & Abernethy, 2000;
Heidmann, 2008: 82-86; Heidmann, et al., 2008; Eldenburg, et al., 2011: 10;
William, et al., 2012: 16).
Pernyataan-pernyataan diatas mendapat dukungan bukti empiris dari
beberapa hasil penelitian terdahulu. Gul & Chia (1994) menemukan bukti bahwa
78
sistem informasi akuntansi manajemen yang berkualitas menghasilkan informasi
akuntansi manajemen yang berkualitas (scope, aggregation) yang dapat
meningkat kinerja manajerial pada perusahaan-perusahaan di Singapura. Gaidienë
& Skyrius (2006) juga menunjukkan bahwa sistem informasi akuntansi
manajemen yang berkualitas menghasilkan informasi akuntansi manajemen yang
berkualitas (scope, timeliness, aggregation, integration) yang dirasa bermanfaat
oleh manajer pada perusahaan-perusahaan di Lithuania. Demikian pula dengan
Rani & Kidane (2012), mereka menemukan bukti bahwa sistem informasi
akuntansi manajemen yang berkualitas menghasilkan informasi akuntansi
manajemen yang berkualitas (accurate, up to date, completeness, consistency)
yang berguna bagi manajer pada perusahaan percetakan di Ethiopia.
Al-Mawali (2013) menunjukkan bahwa sistem informasi akuntansi
manajemen yang berkualitas menghasilkan informasi akuntansi manajemen yang
berkualitas (scope) yang mampu meningkatkan kinerja perusahaan manufaktur di
Yordania. Sementara Ghazemi, et al. (2015) menunjukkan bahwa sistem
informasi akuntansi manajemen yang berkualitas mampu menghasilkan informasi
akuntansi manajemen berkualitas (scope) yang mampu meningkatkan kinerja
perusahaan-perusahaan di Iran. Ilham Hidayah Napitupulu (2015) menunjukkan
bahwa sistem informasi akuntansi manajemen yang berkualitas mampu
menghasilkan informasi akuntansi manajemen yang berkualitas yang mampu
memuaskan para manajer para perusahaan manufaktur di Medan, Indonesia.
79
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
kualitas sistem informasi akuntansi manajemen berpengaruh terhadap kualitas
informasi akuntansi manajemen.
Berikut adalah gambar atau bagan kerangka pemikiran yang disusun
sebagai dasar untuk mengajukan hipotesis penelitian, yaitu sebagai berikut :
80
Gambar 2.1
Bagan Kerangka Pemikiran
81
2.3 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran yang dikemukakan diatas, maka hipotesis
penelitian ini diformulasikan sebagai berikut :
a) Ketidakpastian lingkungan berpengaruh terhadap kualitas sistem informasi
akuntansi manajemen.
b) Struktur organisasi berpengaruh terhadap kualitas sistem informasi
akuntansi manajemen.
c) Kompetensi pengguna sistem informasi berpengaruh terhadap kualitas
sistem informasi akuntansi manajemen.
d) Kualitas sistem informasi akuntansi manajemen berpengaruh terhadap
kualitas informasi akuntansi manajemen.
Recommended