View
16
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA & KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Tekstil Tradisional Indonesia
a. Sejarah Tekstil Tradisional Indonesia
Kata tekstil berasal dari bahasa latin, yaitu textere yang berarti menenun atau
dalam arti umum adalah bahan pakaian atau kain tenunan. Sejak zaman prasejarah
nenek moyang kita telah pandai menenun untuk pakaian maupun untuk membuat
layar perahu bercadik, sedangkan cara pemberian rupa di atas permukaan tekstil
dilakukan melalui teknik ikat lungsi. Teknik ini merupakan yang tertua, dan telah
dikenal sejak masa neolitikum dengan menggunakan alat tenun gedog (gendong)
yang kemudian menyebar ke luar Nusantara (Kartiwa, 1986: 6).
Berbagai corak tekstil tradisional Nusantara merefleksikan keanekaragaman
tekstil Nusantara yang menyangkut unsur anyaman, aneka tekstil serta ragam hias
dan warna yang berkembang. Struktur anyaman adalah prinsip penjalinan benang
lungsi dan pakan yang menghasilkan sehelai kain melalui teknik tenun. Dengan
cara mengikat salah satu benang atau keduanya kemudian mencelupnya akan
menghasilkan kain tenun ikat yang beraneka ragam (Rizali, 2013:116).
Keragaman kain-kain tradisional dihasilkan oleh perbedaan geografis yang
mempengaruhi corak hidup setiap suku bangsa di Nusantara. Perbedaan iklim
9
mempengaruhi flora dan fauna yang ada di lingkungannya juga mempunyai andil
besar terhadap perbedaan gaya hidup dan mata pencaharian sebuah kelompok
masyarakat, sehingga yang satu berbeda dengan yang lainnya (Kartiwa, 2007: 9).
Perbedaan sumber kehidupan masyarakat inilah yang turut memengaruhi
keragaman jenis kain dan ragam hiasnya.
Aktivitas masyarakat yang berbeda-beda di setiap wilayah memengaruhi nilai
budaya dan adat istiadat yang diciptakan oleh leluhur atau pendahulunya. Filosofi
kehidupan tertuang dan tercermin dalam adat, serta terjalin dengan kepercayaan
dan agama yang dianutnya. Dalam kaitan dengan nilai-nilai kepercayaan, unsur-
unsur ragam hias pada kain merupakan salah satu bentuk ekspresi pengakuan
terhadap keberadaan, keagungan dan kebesaran Tuhan, Sang Maha Pencipta
kehidupan semua makhluk hidup di dunia. Dengan demikian pada sehelai kain
tersirat makna yang dalam tentang arti kehidupan.
b. Jenis Tekstil Tradisional Indonesia
Berdasarkan teknis pembuatan tekstil terdapat cara-cara pemberian rupa dan
warna, yaitu saat proses menenun, dan proses setelah menjadi kain. Pengertian
tersebut dikenal pula dengan istilah desain struktur dan desain permukaan pada
tekstil. Dengan demikian secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu:
Desain Struktur dalam tekstil dilakukan pada waktu proses menenun,
sehingga teknik ini sangat tergantung pada bahan serat dan benang yang
digunakan agar menghasilkan berbagai variasi tenunan. Desain struktur ini
dapat dilakukan melalui teknik tenun, jeratan, jalinan dan kepangan yang
10
menghasilkan kain polos maupun kain bercorak seperti aneka kain tenunan,
seperti tenun ikat lungsi, ikat pakan dan dobel ikat.
Desain permukaan pada tekstil dilakukan sebagai upaya member
hiasan di atas permukaan kain polos, sehingga menghasilkan nilai-nilai
keindahan di atas permukaan tekstil. Hal ini berkaitan erat dengan
kemampuan mengolah rupa dan warna yang dapat mewujudkan beberapa
jenis kain seperti di antaranya batik, celup ikat atau sulaman (Rizali, 2013:
126).
2. Batik
a. Pengertian Batik
Penulisan kata “batik” dalam bahasa Jawa mestinya “bathik” dan dalam
pengucapan dengan bahasa Indonesia juga seperti dalam bahasa Jawa. Namun
oleh para penulis terdahulu banyak yang mengacu pada “batik” sehingga dalam
penelusuran arti kata “batik” banyak yang memakai model “ kerata basa” yaitu
berasal dari kata “ngembat titik” atau “rambating titik-titik” dalam pengertian
bahwa batik merupakan proses rangkaian titik-titik. Menurut Kalingga (2002: 1-2)
pemaknaan kata “batik” seperti tersebut tidak tepat karena penulisannya dengan
aksara Jawa menggunakan “tha” bukan “ta”.
Dalam arti sederhana, bathik adalah suatu gambar yang berpola, motif dan
coraknya dibuat secara khusus dengan menggunakan teknik tutup celup. Shadily
(1990: 417) menyatakan bahwa : “batik adalah suatu cara untuk melukis di atas
kain (mori, katun, dan ada kalanya kain sutera) dengan cara melapisi bagian-
bagian yang tidak berwarna dengan lilin yang juga disebut malam”. Sementara itu,
pengertian batik telah dibakukan secara nasional yaitu: seni kain yang
11
menggunakan proses perintang lilin atau malam sebagai bahan media untuk
menutup permukaan kain dalam proses pencelupan warna (Syafrina, 1996:1).
Pembahasan tentang asal mula batik di Indonesia masih simpang siur. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa ada sementara para seniman yang menyebutkan
bahwa batik berasal dari Turki, melewati Mesir, terus ke Parsi/ Pasai, dan akhirnya
masuk ke Nusantara. Di Indonesia tampaknya kerajinan batik tertua terdapat di
periyangan, yang disebut dengan istilah “simbut”. Kain simbut dibuat dengan mori
hasil pintalan dan tenunan sendiri, tidak menggunakan malam sebagai perintang
warna tetapi menggunakan kanji (jenang) beras ketan; hiasannya sederhana dan
lebih banyak menggunakan warna merah tua. Kemudian, sekitar abad ke-12 orang
Indonesia telah membuat campuran pewarna untuk menghasilkan batik bangun
tulak (hitam putih) (Haryono, 2008: 3-4).
Akhirnya pada abad ke-15 kerajinan batik menuju kearah keindahan setelah
mendapat pengaruh dari India, Cina, dan Arab seiring dengan berkembangnya
kebudayaan Islam yang masuk ke nusantara. Pada masa pemerintahan Sultan
Agung, kerajinan batik banyak dilakukan di lingkungan keraton oleh para wanita.
Ketika itu telah ditemukan bahan pewarna merah dan kuning serta perpaduan
warna gula kelapa (Bratasiswara, 2000: 85-91). Kemajuan dalam pewarnaan
dalam dunia perbatikan berkembang pada abad ke-17 setelah ditemukannya
warna-warna baru seperti: soga (coklat), kuning (kunyit). Di sekitar tahun 1918
banyak jenis mori dan pewarna kimia dari Jerman, Inggris, Prancis, Swis, Belanda,
dan Jepang masuk ke Indonesia.
12
Persebaran batik di Nusantara cukup luas dan peran keraton juga sangat
menentukan. Batik Banyumasan perkembangan batik tidak bisa dilepaskan dari
adanya kademangan dan kadipaten di daerah Banyumas dari orang-orang yang
berasal dari kerajaan Mataram. Sebagai kademangan atau kadipaten, para
bangsawan di wilayah Banyumas ada keinginan menciptakan batik tulis untuk
memenuhi kebutuhan di lingkungannya. Hal ini membawa perkembangan
perbatikan di Banyumas semakin maju dan dikenal dunia luar khususnya Belanda.
Untuk memenuhi keperluan batik bagi bangsa Belanda, maka motif-motif batik
dimodifikasi sedemikian rupa sesuai keinginan mereka. Gaya batik Banyumasan
masih menyerupai gaya Yogyakarta dan Surakarta, namun diberi warna tambahan
terutama warna merah dan biru (Wahono, dkk. 2004: 54).
Di Surakarta perkembangan batik tidak dapat dilepaskan pula dari peran
keraton sebagai pusat tradisi dan adat-istiadat. Tradisi membatik diperkenalkan
sejak kecil bagi kaum wanita keraton, selain juga para abdi dalem. Peran keraton
terlihat adanya peraturan dalam hal pemakain batik untuk motif tertentu dan dalam
acara-acara tertentu. Perkembangan corak batik di Surakarta yang pesat justru
telah menurunkan kandungan nilai maknanya. Tatanan pemakaian batik menjadi
kabur karena antara yang digunakan untuk para bangsawan dan para warga
masyarakat biasa menjadi tidak jelas. Oleh karena itu, Paku Buwono III membuat
suatu tatanan pemakain kain batik seperti berikut:
“Ana dene kang arupa jarit kang kalebu laranganingsun, batik sawat lan batik
parang, batik cemukiran kang celacap modang, bangun tulak, lenga teleng lan
tumpal, apa dene batik cemungkiran kan calacap lung-lungan, kang sun
13
wenangake anganggota pepatihingsun lan sentananingsun, dene
kawulaningsun padha wedia”
“ Ada beberapa jenis kain batik yang menjadi larangan saya, batik lar, batik
parang, batik cemukiran yang berujung seperti paruh podang, bangun tulak
lenga teleng serta berwujud tumpal dan juga batik cemukiran yang berbentuk
ujung lung (daun tumbuhan uang menjalar di tanah), yang saya ijinkan
memakai adalah patih dan para kerabat saya. Sedangkan para kawula tidak
diperkenankan” (Kalingga, 2002: 9).
Di daerah Lasem keberadaan batik Lasem sangat erat kaitannya dengan
datangnya bangsa asing terutama bangsa Cina. Hal ini menimbulkan corak
tersendiri yaitu corak khas Cina. Daerah Lasem dan daerah yang terletak di
kawasan pesisir utara memang wilayah yang pertama kali bersentuhan dengan
budaya asing. Adapun di daerah Pekalongan perkembangan dan keberadaan batik
juga tidak terlepas dari pengaruh Cina, Arab, Belanda, Jepang, dan kraton
Surakarta. Bagi kaum Arab, seperti halnya terdapat pada seni Islam, motif yang
bercorak makhluk hidup tidak dikembangkan. Oleh karena itu yang berkembang
adalah motif dengan corak geometrik atau jlamprang. Pekalongan pernah
dijadikan pusat untuk produksi batik Belanda atau Indo-Eropa. Pengusaha batik
bangsa Belanda seperti Ajf Jeans, Lian Metzelaar, Tina van Zuylen, dan Eliza van
Zuylen merupakan penyumbang besar bagi perkembangan batik Pekalongan.
Ragam hias dan komposisinya disesuaikan dengan motif-motif yang berkembang
di Eropa sehingga akhirnya menimbulkan gaya khas Pekalongan atau pesisiran.
b. Kelompok Batik di Indonesia
Menurut Kusrianto (2013: 34) menilik sejarahnya, sejak zaman penjajahan
Belanda batik telah digolongkan menjadi dua kelompok besar dengan mengacu
14
pada sudut daerah pembuatan batik tersebut, yaitu batik Vorstenlanden dan batik
pesisir.
1) Batik Vorstenlanden
Batik Vorstenlanden merupakan istilah bagi batik yang berasal dari
wilayah Solo dan Yogyakarta karena pada saat itu daerah ini merupakan
daerah Keraton atau Kerajaan yang disebut Vorstenlanden. Kegiatan
membatik bagi kalangan keraton adalah sebagai media untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Batik di kalangan keraton juga
berkaitan dengan tingkat keningratan dan kebangsawanan. Ada corak-corak
tertentu yang hanya boleh di pakai oleh raja dan keluarga dekatnya. Biasanya
corak corak seperti ini di sebut corak larangan, artinya masyarakat umum
yang bukan trah keraton atau golongan bangsawan tidak boleh
mengenakannya.
Keberadaan batik Yogya tentu tidak lepas dari seejarah berdirinya
Kerajaan Mataram Islam oleh Panembahan Senopati (Hamengkubuwono 1).
Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Pajang ke Mataram, dia sering
bertapa di sepanjang pesisir pulau Jawa, antara lain Parang Kusuma menuju
Dlepih Parang Gupito, menelusuri tebing Pegunungan Seribu yang tampak
seperti “pereng” atau tebing berbaris. Sebagai Raja Jawa yang tentu
menguasai seni, keadaan tempat tersebut mengilhaminya menciptakan pola
15
batik lereng atau parang, yang merupakan cirri ageman (pakaian) Mataram
yang berbeda dengan pola sebelumnya.
Semenjak perjanjian Giyanti tahun 1755 yang melahirkan kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, segala macam tata adibusana, termasuk
di dalamnya adalah batik, diserahkan sepenuhnya oleh Keraton Surakarta
kepada Keraton Yogyakarta. Hal inilah yang kemudian menjadikan Keraton
Yogyakarta sebagai kiblat perkembangan budaya, termasuk pola khazanah
batik, kalaupun batik di Keraton Surakarta memiliki beragam inovasi,
sebenarnya motif pakemnya tetap bersumber pada motif batik keraton
Yogyakarta (Wulandari, 2011: 55).
2) Batik Pesisir
Batik pesisir adalah batik yang berkembang di kawasan Pantai Utara
Pulau Jawa. Kemunculannya dengan membawa ciri yang sangat kuat
membuat para pengamat batik di zaman pendudukan Belanda dengan tegas
mengelompokkan batik Jawa menjadi dua, yaitu batik Vorstenlanden dan
batik Pesisiran
Dari situlah muncul stigma bahwa jika bukan batik Vorstenlanden, berarti
batik pesisiran. Jika tidak termasuk keduanya, berarti bukan motif batik. tentu
kita tidak akan berpegang pada pemikiran pengamat Belanda yang analisanya
dibuat pada akhir abad ke-19 itu. Selain kenyataan batik sudah meluas di
16
banyak daerah dan memiliki corak yang beraneka ragam, masing-masing
daerah telah mengembangkan ciri di daerah masing-masing.
Fenomena kemunculan batik pesisiran suatu "pemberontakan" terhadap
bentuk batik klasik yang telah lama ada. Motif batik pesisiran dianggap
"nyeleneh", tidak mirip batik yang telah akrab dalam kehidupan orang Jawa,
terutama dalam tampilan warna dan motifnya (Kusrianto, 2013: 208). Pada
awal kemunculannya, orang Jawa sebagai pemakai aktif jarit batik memang
sulit untuk menerima kenyataan bahwa yang seperti ini juga batik. Hal ini
berkaitan dengan penggunaan batik sebagai sarana pelengkap dalam
menjalani suatu ritual, misalnya hajatan, pemberian pada saat akan menikah,
maupun upacara resmi yang lain.
Batik pesisiran tidak mengenal pengkhususan pengguna sebagaimana
batik Keraton. Batik pesisiran merupakan silang budaya berbagai bangsa yang
pernah berinteraksi dengan penduduk di daerah pantai utara pulau Jawa ini
mampu menembus batas-batas bangsa, mengabaikan batas-batas kasta
maupun strata sosial. Dengan demikian, batik pesisiran cenderung lebih
luwes, tidak kaku, dan bernuansa lebih ceria (Kusrianto, 2013: 209).
Warna dalam batik pesisiran juga sangat beragam, biasanya menggunakan
latar warna gading (jingga atau warna mangga yang hampir masak), biru tua,
hijau tua, cokelat tanah, hingga ungu. Sedangkan ragam hiasnya sangat
dipengaruhi oleh unsur-unsur yang menjadi cirri khas daerah yang
17
bersangkutan, seperti letak geografis, keadaan alam, falsafah penduduk, sifat
masyarakat, pola penghidupan dan kepercayaan masyarakat (Wulandari,
2011: 64).
3. Ragam Hias Batik
a. Pengertian Ragam Hias
Ragam hias merupakan hasil budaya sejak masa pra sejarah dan berlanjut
sampai masa kini. Ragam hias memiliki pengertian secara umum, yaitu keinginan
manusia untuk menghias benda – benda di sekelilingnya, kekayaan bentuk yang
menjadi sumber ornament dari masa lampau yang berkembang di Istana Raja –
Raja dan Bangsawan, baik yang ada di Bangsa Barat maupun Bangsa Timur.
Istilah yang lain berkaitan dengan ragam hias adalah ragam. Ragam menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti “pola” atau “corak”,sedangkan corak
berarti bunga atau gambar – gambar (Shadly,1980:593). Pengertian yang hampir
serupa dengan ragam hias adalah ragam hiasan dan ornamen. Ragam hiasan
adalah suatu pola atau corak hiasan yang terungkap sebagai ungkapan ekspresi
jiwa manusia terhadap keindahan atau pemenuhan kebutuhan lain yang bersifat
budaya.Ornamen pada hakekatnya sekedar gambaran dari “irama”dalam garis
atau bidang.
Ragam hias atau ornamen adalah wujud hasil karya manusia yang merupakan
produk kebudayaan. Seperti yang diungkapkan Koentjaraningrat (1974; 15-16)
bahwa kebudayaan paling tidak memiliki tiga wujud, yaitu: pertama, sebagai
suatu kompleks ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan lain-lain; kedua, sebagai
18
suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat; dan ketiga
sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan pertama dikenal
sebagai wujud ideal kebudayaan; yang kedua dikenal sebagai sistem sosial; yang
ketiga dikenal sebagai kebudayaan fisik.
Batik Indonesia memiliki ragam hias yang beraneka macam. Berbagai bentuk
dan unsur keragaman budaya yang sangat kaya dapat dilihat dalam ragam hias
batik. Ragam hias batik adalah hasil lukisan pada kain dengan menggunakan alat
yang disebut dengan canting (Wulandari, 2011: 104). Jumlah ragam hias batik di
Indonesia saat ini sangat beragam, baik variasi bentuk maupun warnanya.
Ragam hias batik pada umumnya dipengaruhi oleh letak geografis daerah
pembuatan, sifat dan tata penghidupan daerah bersangkutan, kepercayaan dan
adat istiadat yang ada, keadaan sekitar, termasuk flora dan fauna, serta adanya
kontak atau hubungan antar daerah pembatikan.
b. Kelompok Ragam Hias Batik
1) Ragam Hias Geometris
Ragam hias geometris adalah ragam hias yang mengandung unsur-
unsur garis dan bangun, seperti garis miring, bujur sangkar, persegi
panjang, trapezium, belah ketupat jajaran genjang, lingkaran, dan bintang,
yang disusun secara berulang-ulang untuk membuat satu kesatuan corak.
Yang termasuk ragam hias geometris adalah ceplok, ganggong, parang
atau lerang, dan banji.
19
a) Ceplok atau ceplokan adalah ragam hias batik yang didalamnya
terdapat gambaran-gambaran bentuk lingkaran, roset, binatang,
dan variasinya. Beberapa nama ragam hias ceplok yaitu ceplokan
nogo sari, ceplok kesatrian, ceplok supit urang, ceplok teruntum,
dan ceplok cakra kusuma.
Gambar 1. Ceplok kesatrian (Sumber: Prasetyo, 2010: 51)
b) Ganggong, ragam hias ganggong dan ceplok sepintas hampir
sama. Namun kalau diperhatikan dengan detail, akan terlihat
perbedaan antara ragam hias ganggong dengan ragam hias ceplok.
Cirri khas yang membedakan ragam hias ganggong dengan ceplok
adalah adanya bentuk isen yang terdiri atas seberkas garis yang
panjangnya tidak sama, dan ujung garis yang paling panjang
berbentuk serupa tanda + (Wulandari, 2011: 107). Nama-nama
ragam hias ganggong antara lain adalah ganggong arjuna,
ganggong madusari dan ganggong sari.
20
Gambar 2. Ragam hias ganggong (Sumber: Wulandari, 2011: 107)
c) Parang, merupakan salah satu ragam hias yang sangat terkenal
dalam kelompok corak garis miring. Ragam hias ini terdiri atas
satu atau lebih ragam hias yang tersusun membentuk garis-garis
sejajar dengan sudut kemiringan 45° (Wulandari, 2011: 107).
Gambar 3. Parang rusak barong (Sumber: Wulandari, 2011: 21)
d) Banji, berdasarkan ornament swastika, dibentuk atau disusun
dengan menghubungkan swastika pada garis-garis, sehingga
21
membentuk sebuah corak. Swastika ini menggambarkan kekerasan
yang diterima oleh masyarakat pada masa pendudukan Jepang di
Indonesia (Wulandari, 2011: 108).
Gambar 4. Banji (Sumber: Wulandari, 2011: 109)
2) Ragam Hias Nongeometris
Ragam hias nongeometris merupakan susunan tidak teratur, artinya
polanya tidak dapat diukur secara pasti, meskipun dalam bidang luas dapat
terjadi pengulangan seluruh corak.
a) Semen, merupakan ragam hias batik yang tersusun secara bebas
terbatas ornamen-ornamennya. Bebas terbatas di sini menyatakan
bahwa suatu ragam hias yang telah tersusun dari beberapa motif
tertentu akan kembali diulang untuk mengharmonisasikan pola
hiasnya (Susanto, 1980: 231).
22
Gambar 5. Semen sidomukti (Sumber: Wulandari, 2011: 110)
b) Buketan, merupakan ragam hias yang tersusun dari rangkaian
bunga atau kelopak bunga dengan kupu-kupu, burung, atau
berbagai bentuk dan jenis satwa kecil yang mengelilinginya.
Gambar 6. Buketan (Sumber: Ishwara, Yahya & Moeis, 2011: 92)
23
c) Dinamis, ragam hias yang tergolong dinamis merupakan ragam
hias yang terdiri dari motif-motif yang dapat dibedakan unsur-
unsurnya, namun di dalamnya tidak lagi berupa ornamen-ornamen
tradisional, melainkan berupa ornamen-ornamen bergaya dinamis
yang mendekati abstrak. ragam hias ini sebenarnya pemilihan
antara batik dengan pola hias klasik dan batik dengan pola hias
modern (Susanto, 1980: 249).
d) Pinggiran, golongan ragam hias ini khusus yang digunakan sebagai
hiasan pinggiran kain sebagai pembatas antara bidang yang
berpola dan bidang kosong yang tak berpola. Ragam hias ini pada
dasarnya memang khusus terdapat pada ujung atau tepi dari kain
panjang, selendang, ikat kepala, taplak, dan sterusnya.
Gambar 7. Ragam hias pinggiran (Sumber: Ishwara, Yahya & Moeis, 2011: 140 )
24
c. Struktur Ragam Hias Batik
Menurut Kusrianto (2013: 5) motif batik klasik disusun berdasarkan ragam
hias yang sudah baku, dimana susunannya terdiri dari tiga komponen.
1) Komponen Utama, berupa ornamen-ornamen gambar bentuk tertentu yang
merupakan unsur pokok. Ornamen ini sering kali dijadikan nama motif
batik.
2) Komponen pengisi, merupakan gambar-gambar yang dibuat untuk
mengisi bidang diantara motif utama. Bentuknya lebih kecil dan tidak
turut membentuk arti atau jiwa dari pola batik itu. Motif pengisi ini juga
disebut dengan ornamen selingan.
3) Isen-isen, gunanya untuk memperindah pola batik secara keseluruhan.
Komponen ini bisa diletakkan untuk menghiasi motif utama maupun
pengisi, dan juga untuk mengisi dan menghiasi bidang kosong antara
motif-motif besar. Isen-isen umumnya merupakan titik, garis lurus, garis
lengkung, lingkaran-lingkaran kecil, dan sebagainya. Isen ini memiliki
nama-nama tertentu sesuai bentuknya, dan tidak jarang isen ini disertakan
pada motif batik.
25
d. Faktor Pengaruh Ragam Hias Batik
Seni batik termasuk dalam senin lukis dengan media berupa kain. Hasil
lukisan tersebut kemudian disebut dengan nama ragam hias. Ragam hias dalam
batik umumnya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor,
1) Letak geografis daerah pembuatan batik yang bersangkutan
2) Sifat dan tata penghidupan daerah yang bersangkutan
3) Kepercayaan dan adat istiadat yang ada di daerah yang bersangkutan
4) Keadaan alam sektarnya, termasuk flora dan fauna
5) Adanya kontak atau hubungan antar daerah pembatikan (Djoemena, 1986:
1).
Djoemena, (1986:2) mengemukakan bahwa sebagai akibat dari letak geografis
kepulauan Indonesia di jalur perdagangan dari Utara ke Selatan dan dari Barat ke
Timur terutama pesisir pulau Jawa sebelah utara sering disinggahi kapal-kapal
asing. Terkenalnya rempah-rempah Indonesia dan hasil bumi lainnya merupakan
daya tarik tersendiri untuk diunjungi.
Indonesia yang kaya akan rempah-rempah dan hasil bumi menarik bangsa
asing untuk berlomba-lomba mendatangi kepulauan Indonesia, silih berganti
bangsa Cina, India, Portugis, Arab, Belanda, Inggris datang ke Indonesia. Negara
pendatang ada yang menetap dan bahkan menjajah hingga ratusan tahun, seperti
bangsa Belanda yang menjajah Indonesia selama kurang lebih 350 tahun.
Penduduk dari bangsa pendatang sedikit banyak menyesuakan diri dengan
26
penduduk setempat, sehingga perpaduan antar kebudayaan tidak dapat
dihindarkan. Pendatang asing banyak yang memakai kain batik atau membuat
barang-barang khas dari batik untuk kebutuhan mereka.
Faktor berikutnya yang mempengaruhi terbentuknya ragam hias batik adalah
sifat tata kehidupan daerah pembatikan dan kepercayaan serta adat-istiadat dari
wilayah pembatikan. (Anas, Pangaben, dan Hasanudin, 1997: 31) menyatakan
bahwa seni kerajinan batik di Indonesia berkaitan erat dengan seni tradisi sosial
yang berlaku di dalam suatu lingkungan masyarakat, hal tersebut terlihat dari
penyajian coraknya. Oleh karena itu lah perkembangan batik senantiasa sejalan
dengan nilai-nilai ketradisian dan dinamika masyarakat pendukungnya.
Rancangan motif yang diciptakan tidak lepas dari kehidupan keagamaan dan
kebudayaan bangsa, sehingga hingga saat ini batik dirasakan sebagai kebanggaan
bangsa Indonesia yang bernilai adiluhung.
Kerajinan batik tradisional mempunyai unsur-unsur dalam bentuk proporsi,
warna serta garis yang diekspresikan dalam bentuk motif, pola, dan ornamen yang
penuh dengan makna simbolis, magis, dan perlambangan selain halus dan teliti
penggarapannya, hal itulah yang membentuk keindahan dalam keanekaragaman
pola hias, salah satu contohnya adalah pola hias Sawat atau Lar yang berlatar
belakang kebudayaan Hindu-Jawa, meskipun di daerah pesisir ragam hias ini
hanya merupakan hiasan semata tanpa memberikan arti simbolis.
27
Faktor ketiga dan keempat yang mempengaruhi pembentukan ragam hias
batik adalah keadaan alam sekitar termasuk flora dan fauna. Keadaan alam di sini
mencakup kondisi yang ada di sekitar wilayah pembatikan seperti kondisi alam
yang mendukung mata pencaharian masyarakat, ataupun fauna yang menjadi ciri
khas dari setiap wilayah pembatikan. Kekhasan tersebut dapat menjadi inspirasi
bagi para pembatik untuk menuangkannya ke dalam ragam hias.
Bagian terakhir adalah faktor adanya kontak atau hubungan daerah sekitar,
salah satu contoh adanya kontak tersebut misalnya di daerah pesisir madura yang
masyarakatnya terkenal sebagai pelaut menyinggahi pelabuhan Lasem,
Indramayu, dan sebagainya. Persinggahan tersebut dapat menjadi penyebab
seringkali dijumpai persamaan dalam ragam hias atau warna pada batik antar
daerah (Djoemena, 1986: 40).
4. Penelitian Sebelumnya
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Astaufi Herpi Perdana (2012) tentang
batik tulis Lasem, dengan judul “Pola Batik Lasem Pasca Penetapan UNESCO
Tentang Batik Tahun 2009”. Masalah yang di kaji dalam penelitian ini tentang
perkembangan pola dan makna estetis yang terkandung di dalam batik tulis
Lasem pasca penetapan UNESCO tentang batik 2009.
Dalam penelitiannya Astaufi mengatakan secara garis besar batik Lasem dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu batik dengan selera Cina yang oleh umum
dinamakan batik Laseman dan batik selera pribumi yang sering disebut batik
28
rakyat yang kemudian di pilah lagi menjadi dua golongan besar masing-masing
jenis pola tersebut. Penggolongan tersebut adalah golongan Geometris dan
golongan Non geometris. Batik Lasem memiliki berbagai macam bentuk
perubahan dari mulai bentuk pola, motif, dan warna yang sudah tidak lagi sesuai
pola pakem Batik Lasem. Secara struktural pola batik Lasem tersebut disusun
dengan susunan geometris (Lereng dan Ceplok) dan non geometris (Semenan dan
Buketan). Struktur susunan motif seringkali dilakukan tidak dengan sistem
pengulangan pola kecuali pada pola Lerengan dan Ceplokan. Corak yang terjadi
pada batik Lasem merupakan mimesis dari kehidupan masyarakat Lasem itu
sendiri. Bentuk-bentuk motifnya yang dulu memiliki makna filosofi yang
mendalam, sekarang sudah berubah karena persaingan pasar yang begitu ketat.
Penamaan batik Lasem yang dulu sesuai dengan warna yang diterapkan, sekarang
berubah sesuai jenis motif yang ada di dalamnya.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Kwan, Rosina, Aulia (2010) mengenai
perkembangan budaya batik Lasem. perkembangan batik Lasem mereka
golongkan menjadi beberapa periode.
a. Periode Rintisan ( ... – 1349)
Pada periode awal ini jenis kain atau pakaian yang digunakan masyarakat
Lasem belum dapat ditentukan. Belum diperoleh sumber data yang terpercaya,
termasuk data arkeologis hasil ekskavasi situs Caruban Lasem. Namun demikian,
kita dapat membuat dugaan awal bahwa pakaian yang dipakai sebelum tahun
29
1350 di Lasem terbuat dari kapas dan sebagian daripadanya kemungkinan
merupakan hasil proses batik. Dugaan ini dibuat berdasarkan data sebagai berikut:
1) Penjualan kapas Jawa pada Cina sejak abad ke-7 sebagai indikator adanya
budaya pemakaian kapas untuk bahan baku pakaian.
2) Kemungkinan sudah terdapatnya teknologi penenunan di pulau Jawa
sebagaimana tampak pada ukiran kain yang dikenakan oleh berbagai arca di
banak candi di pulau Jawa.
3) Sebuah laporan dari sumber Cina tahun 1350 manyatakan bahwa Jawa sudah
memiliki batik dan mengekspornya ke Vietnam, Irak dan bahkan Colombo
(Srilanka).
Tiga data tersebut diatas menjelaskan tentang keberadaan budaya kapas, tenun
dan batik di pulau Jawa, tetapi data tersebut tidak menyebutkan sama sekali
tentang Lasem. Selain itu, wilayah Lasem belum menjadi sebuah pusat
pemerintahan pada periode pra 1350 Masehi. Dengan demikian, kemungkinan
adanya pemakaian kain batik di Lasem sampai tahun 1350 masih berupa dugaan
sementara yang belum dapat dibuktikan sebelum diperolehnya data tambahan
baru yang lebih relevan dan terpercaya.
b. Periode Pengaruh Budaya Jawa-Hindu-Buddha Kerajaan Majapahit (1350-
1500)
Periode ini merupakan awal penggunaan dan produksi batik di wilayah Lasem
dimana desainnya dipengaruhi oleh budaya Jawa saat itu yang berbasis pada
30
agama Hindu dan Buddha. Budaya batik diperkirakan banyak dipengaruhi oleh
keberadaan kaum penguasa/ aristrokat dari berbagai kerajaan di kepulauan
Nusantara. Hal ini dibuktikan oleh:
1) Artefak arkeologis, misalnya motif batik kawung dan batik gringsing pada
patung Kertarajasa Jayawardhana/ Raden Wijaya (raja pertama kerajaan
Majapahit yang memerintah pada tahun 1293-1309 M) di Candi Ngrimbi,
Jombang, menunjukkan sudah digunakannya pakaian batik sejak jaman
Majapahit.
2) Kelangsungan batik vorstenlanden/ pedalaman/ kraton yaitu batik-batik
Surakarta dan Yogyakarta dimana aneka bentuk motif dan makna filosofisnya
disesuaikan dengan tata cara kehidupan kraton, menunjukkan peranan penting
kraton sebagai acuan pengembangan budaya batik di kepulauan Nusantara.
3) Proses pembuatan kain batik membutuhkan teknologi produksi yang
kompleks dan biaya produksi yang tidak sedikit sehingga lebih
memungkinkan pengembangannya di lingkungan masyarakat bangsawan/
priyayi yang memiliki penguasaan modal, pengetahuan dan teknologi yang
relatif tinggi.
Dengan demikian, keberadaan sebuah keraton atau sistem pemerintahan pada
masa kerajaan Nusantara kemungkinan dapat menjadi sebuah indikator awal dari
eksistensi budaya batik tertentu di wilayah kekuasaan kraton tersebut. Dengan
hipotesis semacam ini, maka kita perlu mencari tahu ada tidaknya kraton di
wilayah Lasem pada masa lalu.
31
Dalam catatan sejarah , Lasem pernah menjadi sebuah kerajaan kecil di bawah
kekuasaan kerajaan Majapahit, yaitu pada masa pemerintahan Bhre Lasem I/
Rajasaduhitendudewi/ dewi Indu (1350-1375). Mengingat bahwa kemungkinan
besar batik sudah menjadi pakaian bangsawan kerajaan Majapahit, maka hal ini
juga berlaku di wilayah Lasem. Dengan demikian kita dapat mengemukakan 3
(tiga) hipotesis sebagai berikut:
1) Pakaian batik sudah digunakan oleh para bangsawan di Lasem paling tidak
sejak pemerintahan Bhre Lasem 1/ Dewi Indu. Digunakannya kain batik oleh
para bangsawan kerajaan Majapahit berimplikasi pada kemungkinan
penggunaan kain batik oleh para bangsawan di wilayah kekuasaan Majapahit,
termasuk Lasem.
2) Diduga desain batik yang digunakan di Lasem adalah sama persis atau
sebagian besar sama dengan corak batik yang dikembangkan di pusat kerajaan
Majapahit. Para penguasa wilayah Lasem tidak memiliki kepentingan untuk
mengembangkan corak batik khas Lasem yang berbeda nyata dengan corak
batik Majapahit karena secara historis penguasa Lasem tidak pernah berupaya
menciptakan identitas politik “ke-Lasem-an” yang berbeda dengan “ke-
Majapahiit-an”. Bhre Lasem 1 (Dewi Indu) merupakan adik perempuan raja
Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit yang tidak pernah memberontak untuk
melawan kakaknya sendiri. Penguasa lasem berikutnya, yaitu Bhre lasem II
(Nagarawardhani), walaupun memihak suaminya (Wirabumi II) melawan raja
Majapahit Wikramawardhana dalam Perang Paregrek. Namun demikian,
32
konflik politik tersebut tetap dalam konteks perebutan kekuasaan di Majapahit
sehingga tidak dapat menciptakan perlunya sebuah identitas baru ke-Lasem-
an sebagai basis pengembangan desain batik baru untuk dipakai oleh kaum
bangsawan di Lasem. Sedangkan Bhre Lasem III, Bhre Lasem IV dan Bhre
Lasem V berturut-turut adalah istri dan keponakan yang loyal kepada Prabu
Wikramawardhana.
3) Belum jelas lokasi produksi kain batik yang digunakan di Lasem pada
kerajaan Majapahit. Sebagai sebuah kerajaan kecil, Lasem tidak menjadi
tempat tinggal bangsawan Majapahit di luar keluarga Bhre Lasem. Hal ini
menyebabkan sedikitnya jumlah kebutuhan pakaian bermotif batik yang
memerlukan produksi batik di daerah Lasem sendiri. Keluarga Bhre Lasem
dapat memperoleh kain batik di lokasi lain di luar Lasem yang merupakan
tempat produksi batik keluarga kerajaan Majapahit.
Namun demikian, mengingat preferensi terhadap kain batik dan bersifat
personal maka Bhre Lasem mungkin memiliki pembatikan sendiri di Lasem
dengan mempekerjakan tenaga pembatik trampil kepercayaannya. Kedua dugaan
yang saling bertentangan tentang ada tidaknya lokasi pembatikan di Lasem jaman
Majapahit sulit diverivikasi kebenaranya mengingat tidak adanya penunjang
berupa artefak kain batik Lasem jaman Majapahit, prasasti atau babad yang dapat
menjelaskanya. Dengan demikian, ada tidaknya lokasi produksi kain batik yang
dipakai oleh para bangsawan di Lasem pada jaman Majapahit sulit ditentukan
sampai saat ini.
33
Motif dan warna batik Majapahit yang dipakai para Bhre Lasem I diduga
mirip dengan sebagian desain batik Mataram Yogyakarta dan Surakarta (batik
vorstenlanden) saat ini, yaitu motif gringsing dan kawung pada ukiran pakaian
dari arca-arca candi peninggalan kerajaan Majapahit atau masa sebelumnya.
Warna coklat pada kain batik diperoleh dari hasil pencampuran tiga jenis zat
pewarna alam, yaitu kayu tingi, jambal, dan tegeran. Sedangkan warna biru
diperoleh dari hasil fermentasi tanaman nila (indigo tinctoria sp.). Warna batik
yang digunakan di daerah-daerah kekuasaan Majapahit, termasuk Lasem, diduga
berwarna coklat tua dan biru tua dengan pertimbangan sebagai berikut:
1) Warna coklat tua dan biru tua sampai sekarang masih disebut sebagai soga
Majapahit di daerah Lasem.
2) Warna pakem batik Kalangbret yang konon merupakan penerus batik
Majapahit di daerah Tulungagung berwarna cokelat tua dan biru tua.
3) Warna coklat tua dan biru tua merupakan batik Mataram sebagaimana tampak
dipakai pada batik gaya Yogyakarta saat ini. Besar kemungkinan warna coklat
tua dan biru tua juga merupakan warna batik pada masa Majapahit. Hal ini
mengingat (a) lambatnya perkembangan teknologi pewarnaan alami
menyebabkan warna batik majapahit yang diduga berwarna coklat tua dan
hiru tua tersebut terus berlanjut ke generasi batik berikutnya, yaitu batik
Mataram, (b) adanya pengakuan terhadap garis keturunan yang sama antar
penguasa sejak jaman kerajaan Singasari, Majapahit, Demak, Pajang sampai
Mataram Islam sehingga besar kemungkinan warna pakaian sebagai identitas
34
politik para penguasa tidak terlalu berpengaruh. Warna coklat tua dan biru tua
merupakan warna pakaian batik yang dipakai pada berbagai masa kerajaan
tersebut.
Pengaruh budaya Jawa dan agama Hindu Buddha masa kerajaan Majapahit
masih terasa pada motif dan warna batik Lasem yang dihasilkan saat ini. Motif
kawung dan gringsing banyak dipakai pada batik Baganan, yaitu bati Lasem yang
berasal dari Desa Babagan. Sedangkan warna soga dan biru tua tetap menjadi
kombinasi warna favorit batik Lasem. Warna soga dan biru tua dipakai pada jenis
batik Lasem bergaya voerstenlanden yang umumnya dipakai oleh masyarakat
Jawa di pedesaan kabupaten Rembang.
c. Periode Masuknya Pengaruh Budaya Champa (1413)
Berdasarkan kitab “Serat Badra Santi” karangan Mpu Santibadra pada tahun
19497 Masehi dan ditulis ulang oleh keturunannya yaitu Raden Panji Khamzah
dengan menambahkan bab Cerita Lasem/ Babad Lasem menjadi relevansi
terhadap sejarah perkembangan batik Lasem yang terletak pada:
Kitab Serat Badra Santi memuat istilah “batik” pada bab 558 halaman 1
sebagai berikut:
“Padha ngudhi nggambar nyungging sing setiti”
“Ngati-ati natah ngukir barang rimpi”
“Ditlateni nyongket, mbatik widyarini”
35
Pada tahun 1335 Saka (1435 Masehi), Bi Nang Un seorang Champa yang
pernah menjadi salah seorang nahkoda kapal dari Armada Laut Laksamana Cheng
Ho (digelari Ma Sam Po atau Dampu Awang) mendarat di Pantai Regol (sekarang
disebut pantai Binangun), Kadipaten Lasem.
Bi Nang Un datang di Lasem bersama istri (putri Na Li Ni), anak lelaki (Bi
Nang Na, berusia 5 tahun), dan anak perempuan (Bi Nang Ti, berusia 3 tahun)
beserta sanak saudaranya. Mereka bertempat tinggal di daerah Kemendhung
(sekarang sekitar daerah Jatirogo, Lasem) yang telah dihadiahkan oleh Adipati
Lasem saat itu, yaitu Adipati Wijayabrata.
Rombongan Bi Nang Un terdiri dari orang-orang Champa yang beragama
Buddha dan pandai dalam bidang kesenian (membatik, menari, membuat
perhiasan emas, membuat peralatan kuningan, dan sebagainya). Putri Na Li Ni
(istri Bi Nang Un) mengajarkan seni membatik, menari dan membuat slepi merak
kepada putra-putrinya serta para remaja putri di Taman Banjaran Mlati,
Kemendung.
Setelah dewasa, Bi Nang Na menjadi seorang ahli karawitan terkenal. Ia
menciptakan Gagrak Lasem (yang merupakan hasil kombinasi Gagrak Champa
dan Gagrag Majapahit), Pathet Lasem, Suluk Lasem, dan Sampak Lasem. Ia
kemudian dikenal sebagai Mpu Winarna. Sedangkan Bi Nang Ti setelah dewasa
menjadi mahir dalam membatik dan menari. Bi Nang Ti kemudian menikah
36
dengan Adipati Badranala dan memiliki dua orang anak, yaitu Wirabajra dan
Santibadra.
Wirabajra kelak menjadi Adipati Lasem dan beranak Wiranagara. Wiranagara
kemudian memeluk agama Islam dan beristrikan putri Maloka (putri Sunan
Ampel dan kakak Sunan Bonang). Sedangkan Santibadra mendalami agama
Syiwa Buddha dan menjadi pujangga kerajaan Majapahit dengan gelar Mpu
Tumenggung Wilatikta. Santibadra-lah yang menulis Serat Badra Santi (Babad
Tanah Lasem) pada tahun 1401 Saka atau 1479 Masehi.
d. Periode Pengaruh Budaya Cina (1500-1799)
Kerajaan Hindu Buddha Majapahit runtuh pada akhir abad XV yang
digantikan oleh kerajaan Islam demak pada sekitar tahun 1500. Pada awal masa
pemerintahan kerajaan Demak, kelompok masyarakat Cina Islam yang disebut
sebagai Cina Peranakan menguat peranannya di bidang ekonomi dan politik.
Namun di bidang seni budaya, pengaruh Cina Peranakan Islam bersifat minimal
terhadap budaya penduduk pribumi Jawa. Masyarakat Cina Peranakan mambaur
secara harmonis dengan masyarakat lokal Jawa. Dengan demikian, pengaruh
Cina Peranakan Islam dalam konteks perkembangan seni budaya lokal, termasuk
batik Lasem, tidak signifikan.
Pada awal abad XVI tersebut di atas, diduga buadaya pakaian batik masih
berlaku di kalangan bangsawan atau priyayi saja. Dari perspektif bisnis,
rendahnya permintaan terhadap produksi kain batik tersebut menyebabkan belum
37
terjadinya industrialisasi batik. Dengan demikian, usaha batik belum menjadi
pilihan kegiatan ekonomi pengusaha Cina Peranakan Islam. Akibatnya, tidak ada
faktor yang mendorong upaya memasukkan motif dan warna yang dipengaruhi
budaya Cina terhadap desain batik pesisir Jawa, termasuk batik Lasem. Dengan
kata lain, pada awal abad XVI tersebut motif dan warna batik Lasem tetap tidak
mengalami perubahan. Motif batik Lasem masih berwujud motif-motif yang
diperngaruhi budaya Jawa, Hindu, Buddha dan Champa.
Selanjutnya, abad XVII merupakan awal era kolonialisme Belanda di
kepulauan Nusantara. Abad XVII ini juga ditandai oleh datangnya gelombang
besar pendatang baru dari Cina dan Arab di pulau Jawa. Pendatang baru dari
Cina tersebut disebut sebagai Cina Totok. Berbeda dengan Cina Peranakan Islam
yang memiliki kedekatan terhadap budaya lokal Jawa, maka Cina Totok masih
mempertahankan budaya leluhur mereka. Hal ini menyebabkan Cina Totok lebih
cenderung memakai desain budaya Cina pada aneka perabot rumah tangga,
arsitektur dan pakaian terutama di awal kedatangan mereka di pulau Jawa.
Pria Cina Totok menggunakan pakaian tradisional mereka yaitu tungsha.
Sedangkan perempuan Cina menggunakan pakaian qibao. Sementara itu, pria dan
perempuan Cina Peranakan besar kemungkinan sudah menggunakan kain sarung
sebagai pakaiannya. Penggunaan kain sarung oleh perempuan Cina Peranakan di
Lasem dapat dimengerti karena konon para perantau dari Cina saat datang di
Lasem adalah kaum pria. Mereka menikah dengan para permpuan pribumi Jawa.
38
Tidaklah mengherankan jika pada masa pra kemerdekaan Republik Indonesia,
perempuan Tionghoa di Lasem disebut “nyai” oleh keluarganya sendiri.
Pada akhir abad XVII diperkirakan batik Lasem sudah mulai diproduksi
dalam skala terbatas sebagai industri rumah tangga di kota kecamatan Lasem.
Batik yang dibuat pada masa ini memakai kombinasi ragam hias Jawa, Champa
dan Cina. Konsumen batik Lasem tersebut adalah para perempuan Cina
peranakan, baik di kota Lasem maupun kota-kota lain di pulau Jawa.
e. Periode Awal Industrialisasi Batik Lasem & Pengaruh Budaya India (1800-
1899)
Abad XIX diduga merupakan awal perkembangan industri rumah tangga batik
Lasem secara lebih masif. Berkembangnya budaya pakaian batik di kalangan
perempuan etnis Cina di berbagai kota pulau Jawa dan Sumatra menyebabkan
tingginya permintaan terhadap batik Lasem yang bermotif kombinasi Cina-Jawa.
Semua batik Lasem yang dihasilkan pada abad XIX ini masih mengandalkan
teknologi canting tulis.
Pada periode ini juga terjadi adopsi motif budaya kain India pada batik Lasem
sebagai akibat kelangkaan kain chintz India pada akhir abad XVIII. Pengusaha
batik Lasem diperkirakan memanfaatkan kesempatan bisnis tersebut dngan
memproduksi kain batik bergaya chintz India pada awal abad XIX. Namun
demikian, ada kemungkinan pengaruh budaya India pada pembentukan budaya
batik Lasem sudah terjadi sejak masa Majapahit. Hal ini mengingat kerajaan
39
Majapahit dan kerajaan-kerajaan sebelumnya mengadopsi agama Hindu-Buddha
sebagai agama kerajaan. Beberapa pengamat Barat antara lain Robyn Maxwell
(2003) dan Rudolf G. Smend etal (2007) menyatakan bahwa bati Lasem
dipengaruhi oleh chintz yang dihasilkan di Coromandel, India. Dengan
membandingkan motif kain chintz tersebut dengan motif batik Lasem, kita dapat
melihat adanya beberapa persamaan di antara kedua jenis kain tradisional
tersebut.
f. Periode Keemasan Industri Batik Lasem dan Pengaruh Budaya Belanda pada
Batik Lasem (1900-1941)
Awal abad XX, tepatnya sektar tahun 1900 sampai dengan masuknya Jepang,
industri batik Lasem mengalami masa kejayaan. Pada masa ini, desain motif yang
dipengaruhi oleh budaya Belanda juga mulai dipakai untuk memperindah kain
batik Lasem.
Era paruh kedua abad XIX ditandai oleh berjayanya batik Pekalongan bergaya
Indo Belanda. Pada masa ini kita dapat mencatat masa keemasan para pengusaha
perempuan Belanda seperti Lien Metzelaar (c. 1855-1930), Eliza van Zuylen
(1863-1947), Ny. Simonet (c. 1865-1937), dan sebagainya. Mereka menciptakan
desain batik bergaya buketan Eropa yang naturalis dan disusun secara horizontal.
Bagian latar dari kain batik Indo-Belanda tersebut umumnya tidak diberi isen-
isen. Sedangkan pewarnaan yang digunakan merupakan zat kimia naftol dan
indigosol dengan warna cerah dan lembut.
40
Kemajuan industri batik Indo-Belanda membuat engusaha batik Lasem yang
lebih pragmatis untuk meniru desainnya. Kain batik Lasem pun mulai diberi
hiasan buketan sederhana yang tidak naturalis. Akibatnya arti ragam hias buketan
batik Lasem sulit ditelusuri jenis bunga yang menjadi inspirasi desainnya. Sejalan
dengan berkembangnya motif batik yang terinspirasi oleh cerita rakyat Eropa,
seperti Litle Red Riding Hood, batik Lasem pun juga mengikuti dengan
penampilan motif batik yang merupakan gambaran dari cerita rakyat Cina, seperti
Pat Sian Kwee Hay (Delapan Dewa menyebrangi Lautan).
Selain itu, pengaruh desain Belanda pada batik Cirebon seperti tampak pada
jenis kain batik Kompeni juga telah memacu motivasi pengusaha batik Lasem
untuk menampilkan desain batik sejenis yang menkankan susasana kehidupan
etnis Cina, misalnya Arak-arakan Pengantin Tionghoa. Sedemikian kuat
pengaruh desain Belanda ini pada perkembangan industrI batik Lasem sehingga
terdapat beberapa orang pengusaha batik Lasem yang mengkhususkan diri untuk
produksi batik bergaya van Zuylen ala Pekalongan, yaitu Tan Sik Liang khusus
membuat dan menjual batik bergaya van zuylen Pekalongan. Sedangkan Tio
Swan Sie membuat batik gaya Pekalongan dan Solo (Surakarta).
Pada masa ini, teknologi produksi batik Lasem mengalami perkembangan.
Tidak saja pengusaha batik Lasem menghasilkan batik tulis, tetapi mereka mulai
memakai cap batik untuk membuat batik cap. Tidaklah mengherankan jika
kemudian pemasaran batik Lasem mampu manjangkau sasaran konsumen di
seluruh pulau Jawa dan Sumatera (khususnya Sumatera Selatan, Sumatera Barat
41
dan Jambi), semenanjung Malaka, Thailand Selatan “daerah Pattani”, Bali,
Sulawesi Utara dan Suriname (Amerika Tengah).
g. Periode Stagnasi Industri Batik Lasem (1942-1945)
Selama masa penjajahan Jepang, industri batik Lasem mengalami masa
stagnasi total. Semua industri batik Lasem melakukan tutup usaha. Hal ini
disebabkan oleh tidak kondusifnya iklim usaha pada masa tersebut. Bala tentara
Jepang menyita persediaan kain mori dan bahan makanan layak yang dimiliki
oleh pengusaha batik dan penduduk lain di Lasem. Bahkan sebagian dari tentara
Jepang tersebut melakukan gangguan terhadap kaum perempuan.
Sementara itu, masyarakat konsumen tidak diperkenankan menggunakan
pakaian yang layak. Akibatnya, permintaan terhadap batik Lasem dan kain
bermutu tinggi lainnya turun drastis atau bahkan tidak sama sekali. Dengan
mempertimbangkan kondisi ekonomi, sosial politik dan keamanan yang tidak
kondusif tersebut diatas, tidaklah mengherankan jika semua pengusaha batik
Lasem serentak menutup total usaha pembatikannya.
h. Periode Konsolidasi & Pengaruh Budaya Lokal (1946-1950)
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 diwarnai dengan
revolusi fisik untuk mempertahankan kemerdekaan tersebut. Periode revolusi
fisik ini berlangsung sampai sekitar terjadinya Konferensi Meja Bundar (KMB) di
Den Haag, tahun 1949.
42
Pada periode awal kemerdekaan Indonesia tersebut, situasi ekonomi belum
stabil sama sekali. Permintaan terhadap produk kain batik, termasuk batik Lasem,
secara bertahap mulai meningkat. Namun demikian, industri batik Lasem belum
pulih dari keterpurukannya pada masa penjajahan Jepang. Diperkirakan hanya
sedikit pengusaha batik Lasem yang mulai aktif kembali pada masa revolusi fisik
tersebut.
Dampak negatif dari tidak berfungsinya industri batik Lasem tersebut sangat
terasa. Para pengusaha batik Lasem kehilangan kesempatan perolehan laba usaha.
Mereka harus bertahan hidup dari tabungan yang dimiliki selama ini. Sementara
itu, para perempuan pembatik di pedesaan terpencil merasakan dampak yeng jauh
lebih parah. Mereka kehilangan pekerjaan membatik yang menjadi andalan untuk
memperoleh penghasilan tambahan. Keluarga pembatik pun harus mengalami
penderitaan dalam mempertahankan hidup dengan mengandalkan hasil bumi dan
pakaian sekedarnya.
Pada masa penjajahan Jepang, sejumlah kecil industri batik di Pekalongan
berhasil bertahan dan bahkan menghasilkan kain batik Hokokai yang sangat indah
dengan mengakomodasi desain budaya Jepang, Cina, dan Jawa. Sebaliknya, tidak
berfungsinya industri batik Lasem pada masa tersebut menyebabkan ketiadaan
nuansa budaya Jepang pada desain batik Lasem.
43
i. Periode Revitalisasi Industri (1951-1970)
Setelah situasi ekonomi dan sosial politik Indonesia kembali tenang, industri
batik Lasem secara bertahap mulai bangkit kembali. Beberapa orang pengusaha
batik Lasem mulai berusaha kembali. Tetapi sisa pengusaha batik Lasem lainnya,
sebagai contoh Njoo Wat Djiang (ayah dari pengusaha batik Sigit Witjaksono)
memutuskan untuk tidak meneruskan usaha batik tersebut.
Pada masa ini para pengusaha batik Lasem menghadapi tantangan perubahan
pasar yang baru. Para perempuan etnis Cina yang merupakan sebagian besar dari
konsumen batik Lasem pada masa pra Perang Dunia II telah mengubah kebiasaan
berpakaiannya. Mereka tidak lagi mengenakan kombinasi kebaya encim dan kain
batik, termasuk batik Lasem, serta menggantikannya dengan pakaian bergaya
barat yang dianggap lebih nyaman (misal, rok dan gaun). Akibatnya, para
pengusaha batik Lasem harus mencari pasar konsumen pengganti.
Target pasar baru produk batik Lasem adalah masyarakat Indonesia non etnis
Cina. Konsekuensinya, desain batik Lasem harus disesuaikan dengan selera dan
nilai sosial budaya dari calon konsumen baru tersebut. Motif batik Lasem yang
semula di dominasi oleh ragam hias Cina dan Jawa diubah menjadi Sebagai
berikut:
1) Penggunaan motif lokal non hewan untuk menggantikan motif hewan
yang berasal dari budaya Cina. Desain motif latohan, lombokan, watu
44
kricak dan sebagainya dikembangkan sebagai pengganti motif Cina seperti
naga (liong), burung phoenix (hong), kilin dan sebagainya.
2) Pengenalan warna hijau sebagai salah satu warna dominan kain batik
lasem, disamping warna-warna tradisonal lain seperti merah, biru dan
soga/ coklat.
Sedikt banyak, perubahan desain motif dan warna batik Lasem tersebut diatas
disesuaikan dengan nilai-nilai ajaran agama Islam yang menjadi mayoritas
penduduk Indonesia. Fenomena ini secara tegas menyatakan desain batik Lasem
telah berubah total dari ragam hias primordial budaya Cina-Jawa-Champa-India-
Belanda yang tanpa pengaruh ajaran agama Islam menjadi ragam hias yang lebih
universal dan dipengaruhi ajaran agama Islam. Pemakaian ragam hias lokal non
primordial seperti rumput laut latohan, misalnya menyebabkan desain batik
Lasem dapat diterima oleh kalangan konsumen dengan identitas sosial budaya
yang lebih beragam.
j. Periode Kemerosotan Industri (1970 – 2004)
Periode tahun 1970-2004 mencatat kemerosotan industri batik Lasem. Jumlah
pengusaha menurun drastis dari sekitar 144 orang (1970an) menjadi hanya 18
orang (Januari 2004). Beberapa penyebab kemerosotan jumlah pengusaha batik
Lasem sebagai berikut:
1) Pengenalan teknologi printing batik, baik secara manual (sablon) maupun
otomatis (rotary printing machine) menyebabkan persaingan ketat terhadap
45
industri batik berteknologi produksi tradisional yaitu canting tulis dan cap.
Harga kain tektstil bermotif batik yang dihasilkan teknologi printing batik
jauh lebih rendah daripada harga kain batik cap dan batik tulis. Akibatnya,
permintaan terhadap batik tradisional Lasem, khususnya batik cap, menjadi
merosot tajam. Batik cap Lasem terpuruk hebat akibat kalah bersaing dengan
batik printing, sebagai produk substitusi-nya, sehingga produksi batik cap
terus dikurangi sampai menjadi nihil sama sekali pada awal tahun 2004.
Sementara itu, batik tulis Lasem masih dapat bertahan untuk menahan
gempuran persaingan dari batik printing karena eksklusivitas desain dan
teknik produksinya.
2) Krisis moneter perbankan yang dialami Indonesia beberapa kali, antara lain
November 1978, Juni 1983, dengan puncak krisis pada tahun 1997-1998
menyebabkan kesulitan pengusaha batik Lasem tradisonal dalam
mempertahankan kelangsungan usaha mereka. Merosotnya daya beli
masyarakat konsumen batik ditambah dengan kenaikan biaya produksi batik
yang sangat tergantung pada bahan baku serta bahan penolong dari luar negeri
(kapas dan bahan pewarna), menyebabkan para pengusaha batik mengalami
kesulitan pemasaran, permodalan dan pembayaran kembali dari para
konsumen. Akibatnya, banyak pengusaha batik Lasem terpaksa menutup
usaha batik keluarga mereka dan beralih pada bisnis baru yang dianggap lebih
aman dan menguntungkan.
3) Kendala regenerasi pengusaha dan pengrajin batik (pembatik) mempersulit
kesinambungan usaha batik Lasem. Generasi muda dalam keluarga
46
pengusaha batik di Lasem memilih untuk melanjutkan pendidikan tinggi di
berbagai kota besar, sperti Surabaya, Jakarta, Semarang, Bandung dan
Yogyakarta. Seusai lulus dari perguruan tinggi, generasi muda calon penerus
usaha batik Lasem tersebut enggan untuk kembali ke Lasem. Kota Lasem
dianggap sebagai sebuah kota kecil yang terkesan tidak menjanjikan masa
depan ekonomi dan tidak tersedia pekerjaan yang sesuai dengan kapasitas
intelektual mereka yang baru. Keengganan generasi muda Lasem untuk
menjadi pengusaha batik Lasem tersebut telah memudarkan semangat para
pengusaha batik Lasem, orang tua mereka, untuk berinvestasi dan memajukan
usaha batik. sedikit-demi sedikit perusahaan batik Lasem tutup usaha karena
alas an pemiliknya berusia lanjut, sakit atau bahkan meninggal dunia.
k. Periode Revitalisasi Industri II (2004 - 2009)
Tahun 2004, batik tulis Lasem mulai bangkit kembali. Tahun 2008, terjadi
polemik dengan diakuinya batik sebagai budaya Negara Malaysia, yang kemudian
memicu industri batik tulis Lasem untuk samakin bersinar dan menjadi
fenomenal.
Lasem terkenal sebagai salah satu sentra batik penting di Jawa pada akhir
abad ke-19. Warna batik tulis Lasem sangat khas yang dipercaya karena pengaruh
tanah dan iklim setempat. Invasi jepang pada tahun 1942-1945 membuat semua
usaha batik tutup. Daerah Pekalongan lahir dengan corak Hokokainya, tetapi di
Lasem tak tampak pengaruh Jepang.
47
Batik tulis Lasem mengalami keterlambatan untuk bangkit kembali, karena
pemakaian kain batik tinggal para perempuan Tiong hoa lanjut usia, sementara
pasar yang dulu sampai ke Sumatera Barat (motif lokcan) dan Suriname berubah
selera. Pemilik usaha batik tulis Lasem juga berubah. Tahun 1990-an semua
usaha batik milik keturunan Tiong hoa, setelah krisis ekonomi tahun1998, muncul
pengusaha batik suku Jawa. Tahun 2004, ada 14 pengusaha Tiong hoa dan 4
pengusaha Jawa. Tahun 2009, dari 32 pengusaha batik di Lasem, kira-kira dua
sepertiganya suku Jawa.
B. Landasan Teori/Kerangka Berpikir
1. Teori
Teori yang digunakan sebagai landasan dalam pengkajian yang membahas
tentang batik tulis Lasem pada zaman sekarang adalah pendekatan berdasarkan
dari teori desain Nanang Rizali.
Desain mempunyai beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan, sehingga
pada akhirnya akan dicapai suatu kesatuan (unity) secara menyeluruh. Untuk
mencapai suatu kesatuan (unity) organisasi yang baik, sebuah desain memiliki
unsur, kriteria dan prinsip yang perlu mendapat perhatian dari seorang desainer.
(Rizali, 2006: 43).
Desain pada hakikatnya adalah proses usaha kreatif untuk memenuhi tuntutan
kebutuhan manusia. Dalam pemenuhan kebutuhan rohani dan jasmaninya, desain
mempunyai hubungan dengan berbagai faktor seperti ekonomi, sosial, budaya,
teknologi, estetika, dan lain-lain. Sehingga suatu produk diharapkan dapat
memenuhi tuntutan pemakai, pasar dan pembelinya(Nanang Rizali,40:2006).
Kriteria dan prinsip-prinsip desain menurut Nanang Rizali adalah irama,
keseimbangan, pusat perhatian/emphasis khususnya pada desain tekstil.
48
a. Irama, pada bidang seni rupa (khususnya desain tekstil) irama terbentuk
karena pengulangan (repetition) dan gerakan (movement). Pengulangan
mungkin diwujudkan melalui warna dan nada bidang / bentuk, garis dan
tekstur.
b. Keseimbangan adalah suatu kondisi atau kesan optimis, tentang kesan
berat, tekanan, tegangan dan kesetabilan. Dalam penciptaan desain dapat
diasosiakan wujud – wujud elemen dasar seperti garis, bidang tekstur dan
warna sebagai anak timbangan pada sebuah neraca, dapat diasosiakan
tentang keseimbangan horizontal, keseimbangan vertikal, keseimbangan
radikal.
c. Pusat Perhatian, pada desain tekstil pusat perhatian ini lebih dikenal
dengan eye cathers yang terwujud oleh motif (ragam hias) dan warna serta
tekstur. Untuk dapat menarik perhatian tersebut, suatu ciri visual bagian
hendaknya dikontraskan dengan daerah sekitarnya
Adapun unsur-unsur desain menurut Nanang Rizali diantaranya garis, bentuk,
warna, dan tekstur.
a. Garis, merupakan pertemuan beberapa titik. Menurut Rizali garis dibagi
menjadi dua yaitu, garis bersifat grafis ( calligraphic mark), dan garis
yang bersifat/menjadi pengikat ruang, massa, warna dan bentuk
(structural line).
b. Bentuk, Sebuah garis yang dihubungkan akan membentuk suatu daerah
yang disebut bentuk (Rizali, 2006: 52).
49
c. Warna, penggunaan atau penerapan warna memberikan ciri atau karakter
pada sebuah desain, misalnya warna monokromatik untuk pakaian dengan
bahan kain tipis.
d. Tekstur, dapat dibentuk melalui penciptaan dan desain struktur misalnya
melalui proses pertenunan, beberapa cara dan teknik akan membantu
dalam membuat efek – efek tekstur sekaligus menambah variasi pada
unsur desain yang lain.
Tahapan penting dalam rangkain proses desain tekstil adalah
mempertimbangkan berbagai aspek secara terpadu seperti aspek fungsi, estetika,
bahan, proses dan mode.
a. Aspek fungsi adalah pemikiran yang berhubungan dengan pemakai tekstil,
misalnya untuk busana, dengan memperhatikan usia pemakai dan
tingkatan golongan di dalam masyarakat.
b. Aspek estetika adalah pertimbangan gagasan atau sumber ide dan tema
termasuk olahan ragam hias dan warnanya. Juga diperhitungkan skala
proporsi, pengulangan, komposisi dan teknis penampilan desain.
c. Aspek bahan adalah pertimbangan pemilihan jenis serat benang, struktur
tenunan, sifat dan daya serap atau suai kain.
d. Aspek proses adalah teknik produksi yang dapat dilakukan melalui
berbagai teknik dengan memperhatikan kemampuan daya produksi dan
pengulangan.
50
e. Aspek mode adalah pertimbangan kecenderungan gaya(style) yang
disesuaikan dengan pemakainya, waktu, musim dan tempatnya. Desain
mode secara detail atau styling berada dalam penanganan perancang mode
busana.
2. Kerangka Pikir
Bagan kerangka pikir menjadi gambaran arah penelitian yang akan dilakukan.
Penggunaan kerangka pikir bertujuan untuk memfokuskan proses kajian yang
Gambar 8. Bagan Kerangka Pikir
51
akan dilaksanakan atau yang telah dilaksanakan. Kajian ragam hias batik Lasem
masa kini menjadikan latar belakang masalah pada langkah awal penelitian.
Setelah menentukan latar belakang masalah, kemudian dibentuklah
perumusan masalah.dalam perumusan masalah pertama membahas bagaimana
latar belakang pengembangan ragam hias batik Lasem masa kini,bagaimana
perwujudan ragam hias batik Lasem masa kini dan bagaimana konsep desain
ragam hias batik Lasem masa kini. Setelah melalui perumusan masalah maka
proses penelitian masuk pada tahap pembahasan masalah yang dikaji dengan
menggunakan analisis data.
Kerangka fikir dalam penelitian sangat dibutuhkan supaya penulisan akan
lebih fokus dan lebih mengerucut. Teori yang digunakan untuk membahas
“Kajian Ragam Hias Batik Lasem Masa Kini” menggunakan teori desain Nanang
Rizali.. Pertama menjelasakan tentang latar belakang pengembangan ragam hias
batik Lasem berdasarkan latar belakang ekonomi, sosial budaya dan teknologi.
Kedua membahas tentang perwujudan ragam hias batik Lasem, dimulai dari
penggolongan batik Lasem hingga visualisasi yang dikaji berdasarkan unsur
desain dan prinsip desain. Terakhir menjelaskan tentang konsep desain ragam hias
batik Lasem berdasarkan aspek fungsi, bahan, proses, estetika, trend mode dan
selera konsumen.
Recommended