View
221
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Beberapa literatur yang digunakan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
2.1 Perbedaan Data, Informasi, dan Pengetahuan
Berikut ini beberapa definisi dan perbedaan tentang data, informasi, dan
pengetahuan :
Woolf (1990) dalam Liebowitz, (1999) di dalam Munir, N (2008),
menyatakan bahwa pengetahuan adalah informasi yang terorganisasi sehingga dapat
diterapkan untuk pemecahan masalah. Definisi itu hampir mirip dengan Turban, et al
(2004) yang menyatakan bahwa pengetahuan adalah informasi yang telah dianalisis
dan diorganisasi sehingga dapat dimengerti dan digunakan untuk memecahkan
masalah serta mengambil keputusan.
Menurut Munir, N (2008), informasi merupakan data yang menyebabkan
perbedaan. Perbedaan terjadi karena cara pandang penerima berubah setelah
menerima informasi.
Davenport dan Prusak (1998) juga Maholtra (2001) di dalam Munir, N (2008)
mengemukakan bahwa pengetahuan berasal dari informasi, seperti informasi berasal
dari data. Jika informasi menjadi pengetahuan, manusia harus melakukannya secara
virtual.
Berdasarkan definisi dan perbedaan antara data, informasi, dan pengetahuan
maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan tersebut lebih didasarkan pada adanya
peningkatan value/nilai dari data menuju pengetahuan, dimana semakin bernilai
maka semakin mampu membantu pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
2.2 Definisi Pengetahuan
Berikut ini beberapa definisi yang disampaikan oleh banyak penulis
mengenai pengetahuan :
Menurut Probst, Raub dan Romhart (2000) di dalam Munir, N (2008),
pengetahuan adalah keseluruhan kognisi dan keterampilan yang digunakan oleh
11
manusia untuk memecahkan masalah. Sedangkan definisi yang paling sederhana
mengenai pengetahuan adalah kapasitas untuk melakukan tindakan dengan efektif.
Menurut Munir, N (2008), pengetahuan explicit atau selanjutnya disebut
sebagai pengetahuan eksplisit, dapat diekspresikan dalam kata-kata dan angka, serta
dapat disampaikan dalam bentuk formula ilmiah, bagan, manual-manual dan
sebagainya. Pengetahuan jenis ini dapat segera diteruskan dari satu individu ke
individu lain secara formal dan sistematis. Di lain pihak, pengetahuan tacit atau
selanjutnya disebut sebagai pengetahuan terbatinkan, terletak dalam benak manusia,
bersifat sangat personal dan sulit dirumuskan, sehingga membuatnya sulit untuk
dikomunikasian atau disampaikan pada orang lain. Perasaan pribadi, intuisi, bahasa
tubuh, pengalaman fisik, petunjuk praktis termasuk didalam jenis pengetahuan
terbatinkan. Namun demikian, sesulit apapun suatu pengetahuan untuk
dikomunikasikan dan sangat personal, pengetahuan yang bersifat tacit harus dapat
dikelola sebagaimana ungkapan Davenport dan Prusak (1997) yang menyatakan
bahwa walaupun pengetahuan tersebut tersimpan di masing-masing individu,
organisasi/perusahaan harus mengidentifikasi dan menangkap pengetahuan yang
bersifat tacit tersebut.
Sedangkan menurut Iftikhar, et.al (2003), pengetahuan dapat dipandang
sebagai obyek yang bisa disimpan dan dimanipulasi, sekaligus bisa dipandang
sebagai proses knowing and acting yang berjalan secara simultan.
Di dalam Wong HK (2004) dinyatakan bahwa Polanyi (1958, 1966, 1974)
menyatakan bahwa perbedaan antara pengetahuan yang bersifat tacit dan eksplicit
terkadang diekspresikan dalam istilah ‘knowing-how’ dan ‘knowing-that’, terkadang
pula dalam istilah ‘embodied’ knowledge dan ‘theoritical ‘ knowledge.
Berdasarkan definisi diatas, maka pengetahuan merupakan hasil analisa
secara personal dari si penerima informasi/data sehingga menaikkan value/nilai dari
data/informasi tersebut dan mendayagunakanya untuk proses pemecahan masalah
dan proses pengambilan keputusan.
2.3 Definisi Manajemen Pengetahuan
Berikut ini beberapa pendapat mengenai definisi manajemen pengetahuan
menurut beberapa penulis :
12
Menurut Munir, N (2008), untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya
dari pengetahuan yang dimiliki dan untuk mengetahui pengetahuan-pengetahuan
yang harus dimiliki, perusahaan harus mengelola pengetahuannya melalui
manajemen pengetahuan.
Tiwana (2000), di dalam Munir, N (2008), menyampaikan bahwa manajemen
pengetahuan adalah pengelolaan pengetahuan organisasi untuk menciptakan nilai dan
menghasilkan keunggulan bersaing atau kinerja prima.
Menurut Munir, N (2008), kesadaran akan pengetahuan sebagai sumber daya
“baru” sangat dipengaruhi oleh situasi lingkungan eksternal organisasi yang sarat
dengan perubahan yang berjalan cepat dan sulit diramalkan. Perubahan-perubahan
yang cepat tersebut terutama disebabkan oleh pesatnya perkembangan teknologi
informasi, terjadinya globalisasi dan semakin berkurangnya kualitas serta kuantitas
sumber daya alam. Akibatnya, dalam situasi seperti ini tidak ada posisi bersaing
perusahaan yang selamat dari kemungkinan untuk ditiru atau digantikan. Padahal
selama ini diketahui bahwa akses pada sumber daya yang unik merupakan salah satu
cara perusahaan menciptakan keunggulan bersaing. Kenyataannya pesaing-pesaing
yang tangguh akan meniru dengan cepat, bahkan menyempurnakan tiruannya serta
mengembangkan substitusi sumber daya itu.
Menurut Lee & Choi (2000), berdasarkan perbandingan beberapa penelitian
yang terkait dengan framework manajemen pengetahuan, banyak peneliti
menyarankan adanya tiga komponen utama di dalam manajemen pengetahuan yaitu :
komponen yang pertama adalah knowledge management enablers (or influencing
factor) yang didefinisikan sebagai mekanisme organisasi untuk mengembangkan
pengetahuan secara intensif dan konsisten, komponen yang kedua adalah knowledge
management process (atau knowledge management activities) seperti creation,
sharing, store dan use. Sedangkan komponen yang ketiga adalah kinerja organisasi
seperti pangsa pasar dan keuangan.
Menurut Chong & Coi (2005) di dalam Choy (2007), “manajemen
pengetahuan adalah pengelolaan pengetahuan organisasi secara tersistematis yang
mencakup proses creating, gathering, organizing , store, diffusing, use and
exploitation of knowledge untuk menciptakan nilai bisnis dan membangkitkan
keunggulan kompetitif dari perusahaan.
13
Menurut Mossey, Montoya-Weiss and O’Driscoll (2002) di dalam Jennex &
Olfman (2005), menunjukkan model sukses implementasi KM berdasar proses yag
dilakukan pada studi kasus di perusahaan Nortel. Studi kasus menyarankan bahwa
manajemen pengetahuan tidak dapat diaplikasikan secara general dan pendekatan
proses di dalam implementasi manajemen pengetahuan akan membantu organisasi
untuk memahami bagaimana pendekatan proses dapat mengaplikasikan manajemen
pengetahuan untuk meningkatkan kinerja organisasi.
Menurut Lloria (2008), setelah menganalisa berbagai literature, menyatakan
bahwa konsep yang terkandung di dalam manajemen pengetahuan antara lain :
1. Manajemen pengetahuan berhubungan baik dengan praktek bisnis maupun
penelitian
2. Konsep manajemen pengetahuan lebih luas daripada manajemen teknologi
maupun manajemen informasi
3. Manajemen pengetahuan merupakan konsep yang luas dan tersusun dari
berbagai aktivitas, kesemua aktivitas tersebut terkait dengan asset
pengetahuan
4. Pengetahuan pada prinsipnya berada di dalam pikiran manusia dan
dikembangkan melalui proses pembelajaran. Oleh karenanya manajemen
pengetahuan yang efektif akan memindahkan pengetahuan dari yang bersifat
asset manusia menjadi asset bisnis.
5. Manajemen pengetahuan mempunyai tujuan dan strategi yang berbeda-beda
untuk berbagai perusahaan, namun secara umum memiliki kesamaan.
Pengetahuan dapat dikelola dengan tujuan pengembangan peluang baru,
penciptaan nilai bagi konsumen, pengembangan kinerja perusahaan dan
pencapaian keunggulan kompetitif.
Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa manajemen
pengetahuan adalah proses yang bersifat teknis, customize dan strategis di dalam
pengelolaan pengetahuan sebagai asset perusahaan, yang mana proses tersebut
dilakukan dari aspek pengelolaan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi manajemen pengetahuan, aspek proses pengetahuan (socialization,
externalization, combination and internalization) sampai mengukur sejauh mana
penggunaan pengetahuan akan meningkatkan kinerja perusahaan.
14
2.4 Proses/Aktivitas Manajemen Pengetahuan
Berikut ini beberapa pendapat mengenai proses yang terjadi di dalam
manajamen pengetahuan :
Menurut Goldoni & Oliviera (2006), proses manajemen pengetahuan
memiliki tahapan sebagai berikut :
a. Creation – proses penciptaan pengetahuan yang baru.
b. Storage – proses kodifikasi pengetahuan dan menyimpannya di dalam
database pengetahuan.
c. Dissemination – proses melakukan komunikasi dan distribusi pengetahuan di
dalam organisasi.
d. Utilization – proses pemanfaatan pengetahuan.
e. Measurement – proses evaluasi implementasi KM dan hasil yang dicapai dari
implementasi KM.
Menurut Davenport & Prusak (1998), proses manajemen pengetahuan
memiliki tahapan sebagai berikut :
a. Knowledge Generation
Knowledge generation adalah aktivitas dan inisiatif yang spesifik untuk
meningkatkan pengetahuan perusahaan.
Davenport dan Prusak (1998) menyatakan bahwa kebanyakan dari inisiatif
pengetahuan yang sukses bukanlah semata proses generating pengetahuan
melainkan juga memperhatikan lingkungan eksternal termasuk struktur tim
dan lokasi kerja.
b. Knowledge Codification and Coordination
Tahapan ini bertujuan untuk memindahkan pengetahuan organisasi ke dalam
bentuk tertulis sehingga dapat diakses dengan mudah oleh orang yang
membutuhkannya.
c. Knowledge Transfer
Pengetahuan itu selalu ditransfer di dalam organisasi entah proses transfer
tersebut dikelola dengan baik atau tidak. Pertanyaannya adalah bagaimana
organisasi dapat mentransfer pengetahuan secara efektif.
Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995), proses manajemen pengetahuan
memiliki tahapan sebagai berikut :
15
a. Socialization
Socialization adalah proses melakukan sharing pengalaman dan proses
menciptakan pengetahuan yang bersifat tacit seperti melakukan sharing
keterampilan teknis.
b. Externalization
Externalization adalah proses untuk mengubah pengetahuan yang bersifat
tacit ke dalam bentuk konsep pengetahuan yang bersifat eksplisit (misal
dalam bentuk, metafora, analogi, konsep, hipotesis, dan model).
c. Combination
Combination adalah proses untuk melakukan sistematisasi pengetahuan ke
dalam bentuk sistem pengetahuan. Proses ini mencakup proses
mengkombinasikan berbagai pengetahuan yang bersifat eksplisit, melalui
proses seperti studi dokumen, pertemuan, percakapan telefon dan jaringan
komunikasi terkomputerisasi.
d. Internalization
Internalization adalah proses mengubah pengetahuan yang bersifat tacit ke
dalam bentuk pengetahuan yang bersifat eksplisit. Hal ini sangat
berhubungan dengan proses “learning by doing.”
Berdasarkan definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya
definisi manajemen pengetahuan merupakan sesuatu yang bersifat debatable dan
sangat tergantung pada siapa, dimana dan tujuannya apa, manajemen pengetahuan
akan diimplementasikan. Oleh karena itu, banyaknya para pakar di dalam
mendefinisikan manajemen pengetahuan lebih tepat untuk dipandang sebagai
alternatif untuk mengimplementasikan proses manajemen pengetahuan.
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Manajemen
Pengetahuan
Di dalam kajian perbandingan penelitian tentang kerangka manajemen
pengetahuan, banyak penulis memberikan saran mengenai tiga komponen utama dari
manajemen pengetahuan yaitu knowledge management enabler (or influencing
factors), knowledge management process (or knowledge management activities) dan
organizational performance. (Lee & Choi, 2000). Penelitian ini akan lebih
16
menitikberatkan pada knowledge management enabler (or influencing factors).
Berikut ini beberapa pendapat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
implementasi manajamen pengetahuan :
Menurut Bose, R (2004), banyak literature penelitian yang menyarankan bahwa
perlu ada 4 enablers untuk pengelolaan pengetahuan didalam sebuah organisasi.
Keempat enablers tersebut adalah budaya, teknologi, infrastruktur dan pengukuran.
Keempat enablers tersebut akan mempunyai kontribusi kepada pengembangan
pembelajaran organisasi secara keseluruhan dan perusahaan dapat menggunakan
keempat enablers tersebut untuk membangkitkan nilai perusahaan dan
menyampaikan/mengkomunikasikannya kepada konsumen melalui produk dan jasa
yang dihasilkannya. Masing-masing dari keempat enablers tersebut adalah esensial
dan tidak cukup tanpa adanya yang lainnya (saling komplementer). Keempatnya
bekerja bersama untuk kesuksesan pengelolaan manajemen pengetahuan dalam
jangka panjang.
Menurut Bose, R (2004), dari keempat enablers tersebut, culture adalah faktor
yang paling potensial dan paling sulit untuk berubah. Budaya adalah kombinasi dari
shared history, expectations, unwritten rules, dan social mores yang mempengaruhi
keseluruhannya pada perilaku dari karyawan. Teknologi adalah faktor yang
mempunyai contributor penting bagi karyawan, penggunaan teknologi groupware
dan internet/intranet/extranet secara intensif telah memberikan pengaruh yang besar
pada kemampuan karyawan untuk melakukan sharing pengetahuan dan practices
secara efektif.
Menurut Bose, R (2004), infrastruktur mencakup mekanisme transfer, seperti
teknologi, proses kerja dan jaringan orang, untuk memastikan bahwa best practices
tersampaikan ke seluruh bagian perusahaan.
Menurut Yu & Liu (2008), salah satu pertimbangan yang penting di dalam
knowledge sharing adalah bagaimana memotivasi seorang individu untuk membagi
pengetahuan yang mereka percaya bahwa pengetahuan tersebut sangat bernilai bagi
individu yang bersangkutan di dalam organisasi. Banyak perusahaan telah
menggunakan system reward/penghargaan untuk merangsang karyawan untuk saling
membagi pengetahuan satu dengan yang lain. Yu & Liu (2008) berpendapat bahwa
knowledge sharing adalah sangat terkait dengan motivasi.
17
Model yang disusun oleh Yu & Liu (2008) menyatakan bahwa motivasi
dipengaruhi oleh dua hal :
a. Commitment : compliance commitment, identification commitment,
internalization commitment
b. Need : autonomy need, relatedness need and competence need.
Untuk membuktikan kedua hal yang mempengaruhi motivasi maka Yu & Liu
(2008) menyusun hipotesis sebagai berikut :
a. Adanya hubungan yang sifatnya positif dan langsung antara kebutuhan dan
motivasi melakukan sharing pengetahuan
b. Tipe kebutuhan yang berbeda akan mempunyai dampak yang berbeda pada
motivasi melakukan sharing pengetahuan
c. Komitmen dan kebutuhan akan memiliki dampak yang dapat dispesifikasikan
di dalam motivasi melakukan sharing pengetahuan.
2.6 Model Keterkaitan Singh dan Kant (2008)
Berikut ini beberapa konsep yang terkait dengan knowledge management
barriers berdasarkan pada model yang dikembangkan Singh dan Kant (2008) :
a. Lack of top management commitment
Menurut Singh dan Kant (2008), pihak manajemen puncak di perusahaan
bertanggung jawab penuh di dalam setiap aktivitas yang terjadi di semua level
perusahaan. Manajemen puncak di perusahaan bertanggung jawab di dalam
menganalisa SWOT dari kemampuan perusahaan untuk mendapatkan visi mengenai
jenis pengetahuan yang akan dikembangkan di dalam perusahaan (Nonaka dan
Takeuchi, 1995). Komitmen manajemen adalah instrument di dalam pengembangan
struktur organisasi, infrastruktur teknologi dan berbagai proses pembuatan keputusan
di dalam perusahaan. Efektifitas implementasi manajemen pengetahuan memerlukan
komitmen dan dukungan jangka panjang dari pihak manajemen perusahaan
khususnya di dalam merekrut karyawan dan menjaga supaya karyawan merasa
nyaman bekerja di dalam perusahaan (Brand, 1998 di dalam Singh dan Kant, 2008).
Menurut Chang, et.al (2008), untuk mendapatkan kesuksesan di dalam
proyek implementasi manajemen pengetahuan, tahap yang pertama adalah
mendapatkan dukungan dan komitmen dari manajemen puncak untuk memberikan
18
inisiatifnya. Tipe kepemimpinan juga akan memberikan dampak pada outcome
manajemen pengetahuan.
Menurut Iftikhar (2003) menyatakan bahwa dukungan yang bagus dari
manajemen puncak sangat membantu tidak hanya untuk waktu pelaksanaan proyek
tetapi juga menyediakan dukungan pasca proyek. Manajemen puncak menunjukkan
komitmen dan tindakannya dalam bentuk kebijakan KM, guidelines dan aktivitas-
aktivitas. Manajemen puncak mampunyai pemahaman yang bagus tentang
pengetahuan dan keterampilan dari para staffnya.
b. Lack of technological infrastructure
Infrakstruktur teknologi menyediakan landasan bagi manajemen pengetahuan
dan meningkatkan dampak manajemen pengetahuan di dalam organisasi, dengan
cara membantu dan mengelola pengetahuan tersebut secara sistematis dan aktif
(Singh dan Kant, 2008). Banyak alternative infrastruktur teknologi informasi yang
dapat dipakai untuk mendukung implementasi manajemen pengetahuan dan
menyeleksi teknologi informasi yang sesuai untuk meningkatkan kinerja perusahaan
(Singh dan Kant, 2008).
Wu dan Wang (2006) melakukan penelitian yang lebih khusus dalam
mengevaluasi knowledge management system (KMS). Menurut Wu dan Wang
(2006), KMS adalah kelompok dari system informasi yang mengelola pengetahuan
dari organisasi, suatu KMS merupakan sistem yang dikembangkan untuk mendukung
dan meningkatkan proses organisasi dalam penciptaan pengetahuan, penyimpanan,
distribusi dan aplikasi pengetahuan. Ada 2 karakteristik dari KMS yaitu knowledge
repositories dan knowledge map. Berdasar pada knowledge repositories, KMS adalah
“ integrated, user machine system for providing information or knowledge to support
operations, management, analysis and decision making.” Definisi tersebut masih
belum berbeda dengan definisi tentang MIS (management information system),
definisi KMS menjadi berbeda dengan MIS karena adanya knowledge map di dalam
KMS. KMS menyediakan mekanisme untuk mengelola pengetahuan yang bersifat
tacit yang masih ada di dalam pikiran individu dan tidak terwujud di dalam database
perusahaan.
Wu dan Wang (2006) telah merekayasa ulang model sukses sistem informasi
berdasar DeLone and McLean’s. Dimensi model sukses yang dikembangkan oleh
19
Wu dan Wang (2006) adalah system quality, knowledge/information quality,
perceived KMS benefit, user satisfaction dan KMS Use. Wu dan Wang menguji
model suksesnya dengan menyusun beberapa ukuran untuk masing-masing dimensi.
Menurut Iftikhar (2003) menyatakan bahwa jika data, informasi dan asset
pengetahuan tidak dirawat dengan baik maka mereka akan mengalami penurunan
nilai sebagaimana asset perusahaan yang lain dan menjadi tidak berguna. Oleh
karena itu, sangat penting untuk mengetahui bagaimana suatu organisasi melindungi
dan menjaga informasi dan pengetahuannya.
Penelitian ini akan menggunakan ukuran-ukuran dimensi dari model sukses
sistem informasi yang dikembangkan oleh Wu dan Wang (2006).
c. Lack of methodology
Walaupun telah ada komitmen dari manajemen puncak perusahaan, struktur
organisasi dan infrastruktur teknologi, implementasi manajemen pengetahuan akan
gagal tanpa adanya methodologi yang sesuai. Banyak para pakar yang telah
menyusun metodologi untuk mengarahkan tahap demi tahap implementasi
manajemen pengetahuan, namun demikian organisasi harus memahami metodologi
tersebut sesuai dengan konteks yang ada di dalam perusahaan (Levett, 2000 ;
Campbell et.all, 1999 di dalam Singh dan Kant, 2008). Montano (2001)
mendefinisikan metodologi sebagai sekumpulan prosedur yang dapat diikuti untuk
mencapai tujuan.
Menurut Carillo, et.al (2003), banyak perusahaan telah memahami
pentingnya mengelola pengetahuan organisasi, namun pertanyaan muncul yaitu
bagaimana mengevaluasi keuntungan/manfaat yang manajemen pengetahuan, dengan
tahapan : mengembangkan strategi bisnis, strategi manajemen pengetahuan dan
strategi evaluasi manajemen pengetahuan.
Menurut Weggeman di dalam Der-Fu (2004) membedakan proses
manajemen pengetahuan menjadi 4 yaitu : kebutuhan terhadappengetahuan yang
sifatnya strategis, identifikasi pengetahuan yang dibutuhkan dan yang telah tersedia,
knowledge gap difokuskan pada pengetahuan baru dan pengetahuan yang telah
tersedia disosialisasikan secara intensif.
Menurut Cheung et.al (2005) di dalam Soltero, et.al (2006) menyatakan
bahwa jika pengetahuan dikelola dengan baik, maka organisasi dapat menggunakan
20
pengetahuan tersebut untuk menciptakan pengetahuan yang baru dan gagasan yang
inovatif. Oleh karenanya, hal tersebut akan membantu organisasi untuk menciptakan
value/nilai bagi organisasi.
Menurut Liebowitz et.al, (2000) di dalam Soltero, et.al (2006) menyatakan
bahwa dengan mengidentifikasi pengetahuan yang dimiliki maka hal ini akan
memungkinkan untuk menemukan metode yang paling efektif untuk melakukan
penyimpanan dan pendistribusian pengetahuan dan akan menjadi dasar bagi
organisasi untuk mengevaluasi kebutuhan perubahan organisasi. Salah satu bagian
dari audit pengetahuan adalah menangkap pengetahuan yang bersifat tacit.
Penelitian ini akan menerjemahkan konsep-konsep tersebut diatas menjadi
variable manifest untuk variabel laten methodologi.
d. Lack of organizational structure
Organisasi bisnis sebaiknya memakai struktur organisasi yang sesuai dengan
tujuan bisnis perusahaan. Struktur organisasi mencakup pembagian karyawan,
pembentukan departemen dan distribusi otoritas dan kewenangan yang akan
mendukung proses informasi dan pengambilan keputusan di dalam organisasi.
Struktur organisasi merupakan spesifikasi tugas yang akan dikerjakan di dalam
organisasi dan merupakan cara untuk menghubungkan antar pekerjaan/tugas (Griffin
dan Ebert, 2005 di dalam Singh dan Kant, 2008). Ada dua tipe struktur organisasi
yaitu bureaucracy dan task force (Nonaka dan Takeuchi, 1995). Struktur yang
bersifat bureaucratic akan menghalangi aliran pengetahuan , oleh karenanya jenis
struktur organisasi yang seperti ini perlu dipertimbangkan pemakaiannya. Sedangkan
struktur organisasi yang bersifat task force lebih fleksibel dan mudah beradaptasi
sehingga memudahkan para karyawan untuk bersama-sama memecahkan masalah
(Z.Ang, P.Massingham, 2007 di dalam Singh dan Kant, 2008). Oleh karena itu,
struktur organisasi perlu mendukung transfer pengetahuan dan harus memiliki
kontribusi terhadap penciptaan dan pemakaian pengetahuan untuk kesuksesan
implementasi manajemen pengetahuan di dalam perusahaan.
Menurut Iftikhar (2003) menyatakan bahwa organisasi berbasis pengetahuan
adalah lebih berhubungan dengan jaringan dan tim kerja daripada traditional
bureadcracies. Kondisi ini menunjukkan fakta bahwa ketersediaan pengetahuan
sangat tergantung pada struktur organsasi. Dalam system struktur organisasi yang
21
hierarkhi, informasi hampir mengalir secara vertical sedangkan dalam organisasi
matriks, informasi mengalir secara vertical dan horizontal. Struktur organisasi perlu
didukung oleh sejumlah knowledge worker yang berdedikasi untuk mendukung dan
mendorong proses pengetahuan.
e. Lack of organizational culture
Budaya organisasi adalah core beliefs, value norms dan social customs yang
akan mengarahkan para individu perusahaan untuk berperilaku di dalam perusahaan
(Lemken, Kahler dan Rittenbruch, 2000 di dalam Singh dan Kant, 2008). Budaya
mempertimbangkan banyak aspek terutama collaboration dan trust. Trust merupakan
salah satu aspek budaya pengetahuan yang akan mendorong hubungan antara
individu dan kelompok dan memfasilitasi sharing pengetahuan secara lebih proaktif
dan terbuka ((Alawi, Marzooqi dan Mohammed, 2007 di dalam Singh dan Kant,
2008). Tidak adanya collaboration akan mencegah transfer pengetahuan antara
karyawan dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok.
Menurut Iftikhar (2003), menyatakan bahwa sharing/membagi pengetahuan
dan keinginan untuk membantu karyawan yang lain adalah didasarkan pada
kepercayaan/trust dan rasa percaya diri/ confidence. Kepercayaan akan menguatkan
komunikasi interpersonal.
f. Lack of motivation and reward
Tujuan organisasi tidak akan tercapai kecuali jika perusahaan
mengintegrasikan konsep motivasi dan penghargaan kepada para karyawannya.
Motivasi dapat diperoleh melalui penghargaan dan pelibatan kinerja pengetahuan di
dalam proses penilaian system dan insentif (A Hariharan, 2002 di dalam Singh dan
Kant, 2008). Motivasi dapat bersifat intrinsik maupun ekstrinsik. Pemberian
penghargaan merupakan faktor motivasi yang ekstrinsik sedangkan motivasi yang
bersifat intrinsic merupakan sesuatu yang alamiah (Bhirud, Rodriguez, dan Desai,
2005 di dalam Singh dan Kant, 2008). Karyawan akan membagi pengetahuan secara
mudah ketika mereka termotivasi. Oleh karena itu, tanpa adanya system reward dan
penghargaan, maka akan sulit untuk mensinergikan antara manajemen pengetahuan
dan kinerja bisnis di dalam organisasi (R. Witt, 1999 di dalam Singh dan Kant,
2008).
22
Menurut Davenport de Long dan Beers (1998) di dalam Iftikhar (2003),
menyatakan bahwa karyawan akan memberikan output yang maksimum jika usaha
mereka diberikan penghargaan. Insentif sebaiknya digunakan untuk merangsang
karyawan mengulang kembali prestasi kinerjanya dan bertujuan untuk hasil yang
lebih baik.
g. Staff retirement
Banyak organisasi menghadapi banyak persoalan karena expertise retirement
(Singh et.al, 2006 di dalam Singh dan Kant, 2008) Jika seorang karyawan pensiun
maka akan sulit menemukan pengganti dari karyawan tersebut pada level
pengetahuan yang sama. Pengalaman dan expertise yang dimiliki oleh karyawan
yang pensiun akan serta merta hilang dari perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan
perlu memfokuskan pada penjagaan/pengelolaan pengetahuan dan memindahkan
pengetahuan tersebut ke dalam manajemen proses bisnis perusahaan.
h. Lack of ownership of problem
Ketiadaan rasa kepemiliki terhadap persoalan yang dihadapi akan
menyebabkan tidak adanya karyawan yang siap untuk mengambil tugas/pekerjaan
kecuali ditugasi. Situasi yang seperti ini terjadi karena tidak adanya budaya di dalam
organisasi. Para karyawan tidak siap untuk mengambil tanggung jawab dari tugas
yang tidak dibebankan kepadanya.
Menurut Handzic (2006), menyatakan bahwa supaya terhindar dari bahaya
kesalahpahaman, tugas penting pertama bagi organisasi yang mengimplementasikan
manajemen pengetahuan adalah membangun KM Awareness. Hal ini memerlukan
proses untuk mengkomunikasikan konsep manajemen pengetahuan, membangun
terminology yang bisa dipahami bersama oleh semua personil organisasi dan
menciptakan pemahaman yang sama pada seluruh level organisasi.
i. Staff defection
Program manajemen akan mengalami kegagalan karena keluarnya karyawan
yang terlatih dan berketrampilan. Situasi ini akan memnyebabkan ketidakstabilan di
dalam perusahaan.
Menurut Loquercio (2006), menyatakan bahwa keluarnya karyawan dari
perusahaan bisa dibagi menjadi dua jenis yaitu yang bisa dihindari (avoidable
turnover) dan yang tidak bisa dihindari (unavoidable turnover). Contoh yang berjenis
23
unavoidable turnover adalah karyawan yang meninggal atau mengikuti suami (jika
karyawannya adalah perempuan). Oleh karena itu, yang menjadi fokus perhatian
adalah avoidable turnover. Alasan orang/karyawan keluar dari perusahaan (yang
berjenis avoidable turnover) mempunyai dua faktor yaitu push dan pull factors.
Faktor push terjadi jika karyawan merasa tidak puas bekerja di tempat yang
sekarang, sehingga mencari alternatif pekerjaan lainnya. Sedangkan faktor pull
terjadi jika karyawan merasa ada jenis pekerjaan lain (di luar tempat kerja sekarang)
yang lebih menarik dan menantang sehingga memutuskan diri untuk berpindah
pekerjaan. Kedua faktor tersebut bisa terjadi secara bersamaan atau tidak bersamaan
pada diri seorang karyawan.
2.7 SEM (Structural Equation Modelling)
Menurut Supranto (2004), terdapat dua alasan penting kenapa pendekatan
SEM banyak dipakai di berbagai bidang :
a. Memberikan metode yang mudah dimengerti/dipahami berkenaan dengan
hubungan berganda secara simultan sementara itu juga memberikan efisiensi
statistik.
b. Kemampuannya untuk mengakses hubungan secara komprehensif dan
memberikan suatu transisi dari exploratory to confirmatory analysis.
Menurut Supranto (2004), teknik SEM juga dibedakan oleh dua karakteristik
yaitu :
a. Estimasi atau perkiraan hubungan dependensi berganda dan saling terkait
Banyak variabel yang sama mempengaruhi setiap variabel tak bebas, akan
tetapi dengan tingkatan yang berbeda. Model struktural mengekspresikan hubungan-
hubungan ini antara variabel bebas dan variabel tak bebas, bahkan kalau suatu
variabel tak bebas menjadi suatu variabel bebas dalam hubungan lainnya. Hubungan
yang diusulkan kemudian diterjemahkan ke dalam suatu seri persamaan struktural
(mirip persamaan regresi) untuk setiap variabel tak bebas.
b. Kemampuan untuk mempresentasikan konsep yang tidak terlihat dalam
hubungan-hubungan ini dan memperhitungkan pengukuran kesalahan di
dalam proses estimasi.
24
Estimasi hubungan depedensi berganda yang saling terkait tidak hanya satu-
satuya hal yang dibahas di dalam SEM, akan tetapi SEM juga mempunyai
kemampuan untuk menggabungkan variabel yang tidak terlihat atau latent variables
ke dalam analisis. Suatu latent variable merupakan suatu konsep yang dihipotesiskan
dan tak terlihat yang hanya bisa diperkirakan dengan variabel yang bisa diukur.
Variabel yang terlihat, yang dikumpulkan dari responden melalui berbagai metode
pengumpulan data (seperti survei, tes, observasi, pengukuran, eksperimen) disebut
variabel manifes.
Menurut Kusnendi, (2008) menyatakan bahwa SEM adalah model persamaan
regresi berganda dengan tujuan menguji model pengukuran dan model struktural,
karena yang dianalisis meliputi pengaruh langsung dan tidak langsung maka variabel
yang terdapat dalam model dibedakan menjadi variabel eksogen dan variabel
endogen.
Wijayanto (2007) mengatakan bahwa kombinasi antara model dari Joreskoq
(1973), Keesling (1973) dan Wiley (1973) menghasilkan suatu model persamaan
struktural, yang mengandung dua bagian :
a. Bagian pertama adalah model variabel laten
Variabel laten adalah sebuah konsep yang dihipotesiskan atau yang tidak
teramati dan merupakan variabel yang tidak terukur secara langsung
b. Bagian kedua adalah model pengukuran
Model ini menggambarkan indikator-indikator atau variabel-variabel terukur
sebagai efek atau refleksi dari variabel latennya. Varibel terukur atau teramati adalah
variabel yang nilainya dapat diperoleh dari responden melalui berbagai metode
pengumpulan data (survei, tes, observasi dan sebagainya). Variabel teramati ini juga
dikenal sebagai variabel manifest atau measured variable. Pendekatan variabel-
variabel teramati terhadap suatu konsep jarang dapat dilakukan dengan sempurna dan
hampir selalu ada kesalahan-kesalahan pengukuran. Kesalahan-kesalahan
pendekatan ini sering dikenal sebagai kesalahan-kesalahan pengukuran
(measurement errors) dan dapat diestimasi menggunakan fasilitas-fasilitas yang ada
di dalam SEM. Konsep dasar dari model ini adalah confirmatory factor analysis.
25
Menurut Joreskoq dan Sorbom, 1993;1996 di dalam Kusnendi (2008)
menyatakan bahwa sama dengan analisis jalur, model struktural menjelaskan
prediksi atau hipotesis hubungan antara variabel penyebab terhadap variabel akibat.
Menurut Kusnendi (2008), sedangkan model pengukuran atau disebut juga
model deskriptif atau model CFA tidak lain adalah menjelaskan operasionalisasi
variabel penelitian menjadi indikator-indikator terukur yang dinyatakan dalam
bentuk diagram jalur dan atau persamaan matematik tertentu.
Penggabungan model pengukuran dan model struktural akan menghasilkan
suatu model yang lengkap yang dikenal sebagai Full atau Hybrid Model.
Wijayanto (2007) mengatakan bahwa bentuk model pengukuran di dalam
SEM sering disebut sebagai CFA Model (Confirmatory Factor Analysis Model).
Analisis faktor atau factor analysis di dalam CFA sedikit berbeda dengan analisis
faktor yang digunakan pada statistik/multivariat (yang dikenal sebagai Exploratory
Factor Analysis atau EFA Model).
2.8 Strategi Pemodelan dalam SEM
SEM menawarkan tiga strategi pemodelan (Hair, et.al, 1998 di dalam
Palopak, 2007) :
a. Confirmatory modelling strategy
b. Competing models Strategy
c. Model Development Strategy
Penelitian ini menggunakan strategi pemodelan yang bertipe confirmatory
modelling strategy. Tipe ini dipilih karena penelitian ini memakai model yang telah
ada dan dikembangkan oleh Singh dan Kant (2008).
2.9 Tahapan di dalam SEM
Tahapan dalam prosedur SEM secara umum akan mengandung tahap-tahap
sebagai berikut (Bollen dan Long, 1993 di dalam Wijayanto, 2007) :
a. Spesifikasi Model (model spesification)
Tahap ini berkaitan dengan pembentukan model awal persamaan struktural,
sebelum dilakukan estimasi. Model awal ini diformulasikan berdasarkan suatu teori
26
atau penelitian sebelumnya. Melalui langkah-langkah di bawah ini, peneliti dapat
memperoleh model yang diinginkan :
1. Spesifikasi model pengukuran
• Definisikan variabel-variabel laten yang ada di dalam penelitian
• Definisikan variabel-variabel teramati
• Definisikan hubungan antara setiap variabel laten dengan variabel
teramati yang terkait.
2. Spesifikasi model struktural
Definisikan hubungan kausal diantara variabel-variabel laten tersebut.
3. Gambar path diagram dari model hybrid yang merupakan kombinasi model
pengukuran dan model struktural.
b. Identifikasi (identification)
Tahap ini berkaitan dengan pengkajian tentang kemungkinan diperolehnya
nilai yang unik untuk setiap parameter yang ada di dalam model dan kemungkinan
simultan tidak ada solusinya. Yang dimaksud unik (Kusnendi, 2008) adalah
parameter yang ada dalam model dapat diestimasi dengan data sampel, hasil estimasi
dapat diuji dengan berbagai statistik uji yang ada serta hasil estimasi dapat
dibandingkan dengan model lain yang dianggap relevan.
Secara garis besar, ada 3 kategori identifikasi dalam persamaan simultan
yaitu :
1. Underidentified
Yaitu model dengan jumlah parameter yang diestimasi lebih besar dari
jumlah data yang diketahui (data tersebut merupakan variance dan
covariance dari variabel-variabel teramaati)
2. Just identified
Yaitu model dengan jumlah paramater yang diestimasi sama dengan data
yang diketahui.
3. Over identified
Yaitu model dengan jumlah parameter yang diestimasi lebih kecil dari jumlah
data yang diketahui.
Di dalam SEM, kita berusaha untuk memperoleh model yang overidentified
dan menghindari model yang underidentified.
27
Model yang just identified disebut juga saturated model atau perfect fit model
(Joreskoq dan Sorbom, 1993; 1996 di dalam Kusnendi 2008), artinya model mampu
mengestimasi semua parameter model yang nilainya cenderung sama dengan statistik
data sampel. Jika model yang underidentified memiliki derajat kebebasan negatif
maka model yang overidentified memiliki derajat kebebasan positif, artinya seluruh
parameter yang ada dalam model lebih besar dari jumlah parameter yang diestimasi.
Bagi kebanyakan peneliti, model yang overidentified merupakan model yang paling
disukai (Kerlinger, 1990; Maruyama, 1998 di dalam Kusnendi 2008), alasannya
adalah model tersebut memungkinkan untuk dievaluasi secara utuh oleh berbagai
statistik uji (Hair, Anderson, Tatham dan Black, 1998 di dalam Kusnendi, 2008)
serta model memungkinkan untuk ditolak (Ghozali, 2004: 35 di dalam Kusnendi,
2008)
c. Estimasi (estimation)
Tahap ini berkaitan dengan estimasi terhadap model untuk menghasilkan
nilai-nilai parameter dengan menggunakan salah satu metode estimasi yang tersedia.
Pemilihan metode estimasi yang digunakan seringkali ditentukan berdasarkan
karakteristik dari variabel-variabel yang dianalisis.
Setelah mengetahui bahwa identifikasi dari model adalah just atau over
identified, maka tahap berikutnya, kita melakukan estimasi untuk memperoleh nilai
dari parameter-parameter yang ada di dalam model. Ada beberapa jenis estimator
antara lain : Instrument Variable (IV), two stage least square (TSLS), unweighted
least square (ULS), generaliza least square (GLS), maximum likelihood (ML),
weighted leaste square (WLS) dan diagonally least square (DLS).
d. Uji kecocokan (testing fit)
Tahap estimasi menghasilkan solusi yang berisi nilai akhir dari parameter-
parameter yang diestimasi. Dalam tahap ini, kita akan memeriksa tingkat kecocokan
antara data dengan model, validitas dan reliabilitas model pengukuran dan
signifikansi koefisien-koefisien dari model struktural.
Menurut Hair et.al (1998) di dalam Wijayanto (2007), menyatakan bahwa
evaluasi terhadap tingkat kecocokan data dengan model dilakukan melalui beberapa
tahapan yaitu :
28
1. Kecocokan keseluruhan model (overall model fit)
Sebagaimana telah disebutkan, dalam LISREL pengujian dilakukan dengan
menggunakan beberapa ukuran kesesuaian model (GOF) yang terdiri atas ukuran
yang bersifat absolut, komparatif dan parsimoni. Berdasarkan ketiga jenis GOF
tersebut suatu model diindikasikan sesuai atau fit dengan data jika model cocok
secara absolut dengan data, relatif lebih baik jika dibandingkan dengan model lain
serta relatif sederhana jika dibandingkan dengan model alternatif (Bachrudin dan
Tobing, 2003 di dalam Kusnendi, 2008). Berikut ini ringkasan beberapa ukuran
GOF yang paling banyak digunakan para peneliti dalam menguji kesesuaian model :
Tabel 2.1. Ringkasan ukuran goodness of fit (GOF)
Ukuran GOF Kriteria Kesesuaian Model Kriteria Uji Hasil Uji p- value 1,00 (model fit sempurna) ≥ 0,05 Model fit RMSEA 0,00 (model fit sempurna) ≤ 0,08 Model fit GFI, AGFI, CFI, NFI dan NNFI
0,00 (tidak fit) – 1,00 (fit sempurna)
≥ 0,90 Model fit
Sumber : Schumacker dan Lomax (1996), Ferdinand (2002), Hair, Anderson, Tatham dan Black (1998), Maruyama (1998), Ghozali (2004), Joreskoq dan Sorbom (1996), Bachrudin dan Tobing (2003), Browne dan Cudeck (1993) di dalam Kusnendi (2008)
2. Kecocokan model pengukuran (measurement model fit)
Kecocokan model pengukuran dievaluasi dengan :
a. evaluasi validitas dari model pengukuran, suatu variabel dikatakan
mempunyai validitas yang baik jika (Rigdon & Fergusson, 1991, Doll, Xia,
Torkzadeh, 1994 dan Igbaria et.al., 1997 di dalam Wijayanto, 2007) :
• nilai t-muatan faktornya (factor loadings) lebih besar dari nilai kritis (≥
1,96 atau untuk praktisnya ≥ 2)
• muatan faktor standarnya (standardized factor loadings) ≥ 0,70 atau
muatan faktor standarnya ≥ 0,50
b. evaluasi reliabilitas dari model pengukuran (Fornel & Larker, 1981 di dalam
Wijayanto, 2007) :
Construct Reliability = ( )
( ) ∑∑∑
+ jedarloadings
darloadings2
2
tan
tan
29
3. Kecocokan model struktural (structural model fit)
Kecocokan model struktural dievaluasi dengan : nilai-nilai Goodness of Fit
(GOF) dan nilai uji t
Menurut Kusnendi (2008), menguji model SEM mengandung dua hal :
pertama, menguji kesesuaian model secara keseluruhan dan kedua, menguji secara
individual hasil estimasi parameter model. Pengujian pertama erat hubungannya
dengan persoalan generalisasi, yaitu sejauh mana estimasi parameter model dapat
diberlakukan terhadap populasi. Sedang pengujian kedua berhubungan dengan
menguji hipotesa dengan menggunakan statistik uji t. Terkait hal tersebut, LISREL
menetapkan (default) statistik uji t pada tingkat kesalahan (α) 5%, artinya nilai
statistik t kritis yang ditetapkan adalah sebesar 1.96 (Joreskog dan Sorbom, 1993 :
107 di dalam Kusnendi, 2008).
e. Respesifikasi (respecification)
Tahap ini berkaitan dengan respesifikasi model berdasarkan atas hasil uji
kecocokan tahap sebelumnya.
Banyak software yang menawarkan SEM , antara lain : LISREL, AMOS,
EQS, ROMANO, SEPATH dan LISCOMP. LISREL merupakan program SEM yang
paling banyak dan paling umum digunakan, dikarenakan LISREL memiliki
kecanggihan dan kemampuan yang lebih dalam mengestimasi berbagai masalah
dalam SEM. Selain itu, LISREL menyajikan output hasil pengolahan statistik yang
paling informative, sehingga modifikasi model dan penyebab tidak fit atau buruknya
suatu model dapat diketahui dengan mudah (Ghozali, 2005 di dalam Palopak, 2007).
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka penelitian ini akan menggunakan
sotware LISREL untuk menganalisa data SEM. Pada halaman berikut ini akan
disampaikan tabel mengenai notasi-notasi yang dipakai di dalam LISREL.
Tabel 2.2. Notasi di dalam LISREL
No. Notasi dan gambar Deskripsi Notasi output
lisrel
1. X Variabel manifest/indikator untuk variable laten eksogen
2. Y Variabel manifest/indikator untuk variable laten endogen
3. Ξ Ksi, lambang menyatakan variabel laten eksogen KSI
30
4. Η Eta, lambang menyatakan variabel laten endogen ETA
5. Β Beta, koefisien jalur antar variabel laten endogen BETA
6. Γ Gamma, koefisien jalur variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen
GAMMA
7. Φ Phi, korelasi antar variable laten eksogen dalam persamaan struktural
PHI
8. Ψ Psi, korelasi antar variable laten endogen dalam persamaan struktural
PSI
9. Λ Lambda X, koefisien bobot faktor variabel manifest eksogen
LAMBDA X
10. Λ Lambda X, koefisien bobot faktor variabel manifest endogen
LAMBDA Y
11. ∆ Theta-delta, kekeliruan pengukuran variabel manifest/indikator eksogen X
THETA-DELTA
12. Ε Theta-epsilon, kekeliruan pengukuran variabel manifest/indikator endogen Y
THETA-EPS
13. Ζ Zeta, kekeliruan, residual atau error variance dalam persamaan model struktural
PSI
14. □ Tanda menyatakan variabel manifest, baik eksogen maupun endogen
15. ○ Tanda menyatakan variabel/konstruk laten, baik eksogen maupun endogen
16. ↔ Tanda menyatakan hubungan korelatif antarvariabel laten eksogen
17. → Tanda menyatakan hubungan kausal atau pengaruh
antar variabel laten eksogen dengan variabel laten endogen
Sumber : Joreskog dan Sorbom (1996), Hair, Anderson,Tatham & Black (1998), Maruyama (1998) di dalam Kusnendi (2008) hal. 44
Recommended