View
297
Download
35
Category
Preview:
Citation preview
17
BAB II KAJIAN TEORI
2.1. Evaluasi Program
2.1.1. Pengertian Evaluasi Program
Evaluasi adalah bagian dari suatu penelitian.
Evaluasi merupakan proses pengumpulan data untuk
menentukan sejauhmana, dalam hal apa, dan
bagaimana tujuan program dapat tercapai. Evaluasi
merupakan alat untuk menganalisis dan menilai
fenomena dan aplikasi ilmu pengetahuan. Sebagai
cabang ilmu pengetahuan yang mandiri, ilmu evaluasi
didukung oleh sejumlah teori. Evaluasi biasanya
ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektivan
kebijakan guna dipertanggungjawabkan kepada yang
berwenang. Evaluasi dapat melihat sejauh mana tujuan
tercapai serta untuk melihat sejauh mana kesenjangan
antara ekspektasi dengan kenyataan.
Menurut Anderson dalam Winarno (2008: 166),
”secara umum evaluasi dapat dikatakan sebagai
kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian
kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan
dampak pelaksanaan kebijakan tersebut”.
Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 1) “evaluasi
adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi
mengenai bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya
18
informasi tersebut digunakan untuk menentukan
alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan”.
Suchman dalam Arikunto dan Jabar (2010:1)
memandang bahwa, “evaluasi sebagai proses
penentuan hasil yang dicapai beberapa kegiatan yang
direncanakan untuk mendukung pencapaian tujuan”.
Stutflebeam dalam Arikunto dan Jabar (2010:2)
mengatakan bahwa, “evaluasi merupakan
penggambaran proses, mencari dan memberikan
informasi yang berguna untuk para pengambil
keputusan dalam menentukan alternatif keputusan”.
Dari pengertian evaluasi diatas dapat
disimpulkan bahwa evaluasi adalah proses kegiatan
pengukuran, menilai, menganalisis terhadap program
atau kebijakan untuk menentukan hasil dari tujuan
yang telah ditetapkan, sebagai pedoman pengambilan
langkah dimasa yang akan datang.
Ada beberapa pengertian tentang program.
Program merupakan suatu rencana yang melibatkan
berbagai unit yang berisikan kebijakan serta rangkaian
kegiatan yang harus dilakukan dalam kurun waktu
tertentu. Dalam kamus (a) program adalah rencana, (b)
program adalah kegiatan yang dilakukan dengan
seksama. Menurut Suharsimi Arikunto (2004: 2)
program dapat dipahami dalam dua pengertian yaitu
secara umum dan khusus. Pengertian program secara
umum, dapat diartikan sebagai rencana atau
19
rancangan kegiatan yang akan dilakukan oleh
seseorang di kemudian hari. Sedangkan pengertian
program secara khusus biasanya dikaitkan dengan
evaluasi yang berarti suatu kesatuan atau unit
kegiatan yang merupakan implementasi atau realisasi
suatu kebijakan, berlangsung dalam proses
berkesinambungan dan terjadi dalam satu organisasi
yang melibatkan sekelompok orang.
Dari pengertian secara khusus ini, maka sebuah
program adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan
secara berkesinambungan dengan waktu pelaksanaan
yang panjang. Selain itu, sebuah program tidak hanya
terdiri dari suatu kegiatan namun, merupakan suatu
rangkaian kegiatan yang membentuk satu sistem yang
saling terkait satu sama lain dengan melibatkan lebih
dari satu orang untuk melaksanakannya.
Menurut Isaac dan Michael (1984: 6) sebuah
program harus diakhiri dengan evaluasi. Hal ini
dikarenakan apakah program tersebut berhasil
menjalankan fungsi sebagaimana yang telah ditetapkan
sebelumnya. Menurut mereka, ada tiga tahap
rangkaian evaluasi program yaitu: (1) menyatakan
pertanyaan serta menspesifikasikan informasi yang
hendak diperoleh, (2) mencari data yang relevan dengan
penelitian dan (3) menyediakan informasi yang
dibutuhkan pihak pengambil keputusan untuk
20
melanjutkan, memperbaiki atau menghentikan program
tersebut.
Evaluasi program merupakan suatu rangkaian
kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat
tingkat keberhasilan suatu program. Melakukan
evaluasi program ialah kegiatan yang dimaksudkan
untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan
dari kegiatan yang telah direncanakan (Suharsimi
Arikunto, 2009: 297).
Menurut Tyler dalam Arikunto dan Jabar (2009:
5), evaluasi program merupakan proses untuk
mengetahui apakah tujuan pendidikan telah
terealisasikan. Selanjutnya menurut Cronbach (1963)
dan Stufflebeam (1971) yang dikutip oleh Arikunto dan
Jabar (2009: 5), evaluasi program merupakan upaya
menyediakan informasi untuk disampaikan kepada
pengambil keputusan.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahwa evaluasi program merupakan
rangkaian kegiatan pengumpulan data atau informasi
ilmiah yang hasilnya dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam
menentukan alternatif kebijakan program dimasa akan
datang. Karenanya, dalam keberhasilan suatu evaluasi
program ada dua konsep yang terdapat didalamnya
yaitu efektifitas dan efisiensi. Efektifitas adalah
perbandingan antara output dan input sedangkan
21
efisiensi merupakan taraf pendayagunaan input untuk
menghasilkan output melalui suatu proses.
Evaluasi program adalah segala sesuatu yang
dilakukan dengan harapan akan mendatangkan hasil
atau manfaat. Evaluasi program dapat dilakukan
terhadap sebagian atau seluruh unsur-unsur
implementasi program. Hal ini dimaksudkan untuk
melihat sejauh mana program tersebut berhasil
mencapai maksud pelaksanaan dari program yang
telah ditetapkan sebelumnya. Tanpa adanya evaluasi,
program-program yang berjalan tersebut tidak dapat
dilihat tingkat pencapaian tujuannya. Keterlaksanaan
(implementasi) program dalam pencapaian tujuannya
sangat ditentukan oleh banyak faktor yang saling
berkaitan. Hal ini menunjukan bahwa seluruh proses
program adalah sebuah sistem, oleh karenanya dalam
melaksanakan evaluasi perlu adanya pendekatan
sistem dan berpikir secara sistemik.
2.1.2. Tujuan Evaluasi Program
Menurut Mulyatiningsih (2011: 114-115),
evaluasi program dilakukan dengan tujuan sebagai
berikut:
(a) Menunjukkan sumbangan program terhadap pencapaian tujuan suatu organisasi. Hasil
evaluasi ini penting untuk pengembangan
program yang sama ditempat lain. (b) Mengambil keputusan mengenai keberlanjutan
sebuah program, apakah program perlu
diteruskan, diperbaiki atau dihentikan.
22
Dilihat dari tujuannya, yaitu ingin mengetahui
sesuatu kondisi, maka evaluasi program dapat
dikatakan merupakan salah satu bentuk penelitian
evaluatif. Oleh karena itu, dalam suatu evaluasi
program, pelaksana berfikir serta menentukan langkah
bagaimana melaksanakan penelitian. Menurut
Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar
(2009:7), terdapat perbedaan yang mencolok antara
penelitian dan evaluasi program adalah sebagai berikut:
(a) Dalam penelitian, peneliti ingin mengetahui
gambaran mengenai sesuatu yang kemudian hasilnya
dideskripsikan, sedangkan dalam evaluasi program
pelaksanaan ingin mengetahui seberapa tinggi kondisi
atau mutu sesuatu dari hasil pelaksanaan program,
setelah data yang terkumpul dibandingkan dengan
standar atau kriteria tertentu. (b) Dalam kegiatan
penelitian, peneliti dituntut oleh rumusan masalah
karena ingin mengetahui jawaban dari penelitiannya,
sedangkan dalam evaluasi program pelaksanaan ingin
mengetahui tingkat ketercapaian tujuan program, dan
jika tujuan belum tercapai sebagaimana ditentukan,
pelaksanaan ingin mengetahui letak kekurangannya
serta penyebabnya. Setiap kegiatan yang dilaksanakan
mempunyai tujuan tertentu, demikian juga dengan
evaluasi.
Menurut Arikunto (2004:13) terdapat dua tujuan
evaluasi yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
23
Tujuan umum diarahkan pada program secara
keseluruhan sedangkan tujuan khusus difokuskan
pada tiap-tiap komponen.
Dengan adanya uraian diatas, dapat dikatakan
bahwa evaluasi program merupakan penelitian
evaluatif. Pada dasarnya penelitian evaluatif
dimaksudkan untuk mengetahui akhir dari suatu
kebijakan, dalam rangka menentukan rekomendasi
atas kebijakan yang lalu, yang pada tujuan akhirnya
adalah untuk menentukan kebijakan selanjutnya.
Suatu program harus senantiasa dievaluasi
untuk melihat sejauh mana implementasi program
tersebut telah berhasil mencapai tujuan pelaksanaan
program yang telah ditetapkan sebelumnya.
Keefektifitasan program yang berjalan tidak dapat
dilihat jika tidak dilakukan evaluasi program. Dengan
demikian, kebijakan-kebijakan baru sehubungan
dengan program tersebut akan didukung oleh suatu
data. Karenanya, evaluasi program bertujuan untuk
menyediakan informasi dan data, serta rekomendasi
bagi pengambil kebijakan (decision maker) untuk
memutuskan apakah akan melanjutkan, memperbaiki
atau menghentikan sebuah program. Jadi evaluasi
program adalah upaya untuk mengukur ketercapaian
program, yaitu mengukur sejauh mana sebuah
kebijakan dapat terimplementasikan.
24
Evaluasi program dilakukan dengan cara yang
sama dengan penelitian. Jadi, evaluasi program
merupakan penelitian dengan ciri khusus, yaitu
melihat keterlaksanaan program sebagai realisasi
kebijakan, untuk menentukan tindak lanjut dari
program yang dimaksud. Keduanya dimulai dari
menentukan sasaran (variabel), kemudian membuat
kisi-kisi, menyusun instrumen, mengumpulkan data,
analisis data, serta mengambil kesimpulan. Yang
membedakan adalah langkah akhirnya. Jika
kesimpulan penelitian diikuti dengan saran maka
evaluasi program selalu harus mengarah pada
pengambilan keputusan, sehingga harus diakhiri
dengan rekomendasi kepada pengambil keputusan.
Untuk mempermudah mengidentifikasi tujuan
evaluasi program, perlu memperhatikan unsur-unsur
dalam kegiatan atau penggarapannya. Ada tiga unsur
penting di dalam kegiatan atau penggarapan suatu
kegiatan, yaitu: what (apa yang digarap), who (siapa
yang menggarap), dan (how) bagaimana menggarapnya.
2.1.3. Manfaat Evaluasi Program
Kegiatan evaluasi sangat berguna bagi
pengambilan keputusan dan kebijakan lanjutan dari
program, karena dari masukan hasil evaluasi program
itulah para pengambil keputusan akan menentukan
tidak lanjut dari program yang sedang atau telah
25
dilaksanakan. Wujud dari basil evaluasi adalah sebuah
rekomendasi dari peneliti untuk pengambil keputusan
(decision maker). Suharsimi Arikunto (2012: 22)
mengatakan bahwa ada empat kemungkinan kebijakan
yang dapat dilakukan berdasarkan hasil dalam
pelaksanaan sebuah program keputusan, yaitu: (a)
Menghentikan program, karena dipandang bahwa
program tersebut tidak ada manfaatnya, atau tidak
dapat terlaksana sebagaimana diharapkan. (b) Merevisi
program, karena ada bagian-bagian yang kurang sesuai
dengan harapan (terdapat kesalahan tetapi hanya
sedikit). (c) Melanjutkan program; pelaksanaan program
menunjukkan bahwa segala sesuatu telah berjalan
sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang
bermanfaat. (d) Desimilasi atau menyebarluaskan
program (melaksanakan program di tempat-tempat lain
atau mengulangi lagi program di waktu lain), karena
program tersebut berhasil dengan baik maka sangat
baik jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu yang
lain.
2.1.4. Sasaran Evaluasi Program
Untuk menentukan sasaran evaluasi program,
peneliti perlu mengenali program dengan baik,
terutama komponen-komponennya, karena yang
menjadi sasaran evaluasi bukan program secara
keseluruhan tetapi komponen atau bagian program.
26
Tujuan umum harus dijabarkan menjadi tujuan
khusus, maka sasaran peneliti diarahkan pada
komponen agar pengamatannya dapat lebih cermat dan
data yang dikumpulkan lebih lengkap. Untuk itulah
maka penelitihendaknya memiliki kemampuan
mengidentifikasi komponen program yang akan
dievaluasi.
2.1.5. Langkah-langkah Evaluasi Program
Langkah-langkah evaluasi program menurut
Oemar Hamalik (2008.13) adalah sebagai berikut: a)
Menyusun suatu rencana evaluasi dalam bentuk kisi-
kisi apa yang akan dinilai berkaitan dengan tujuan
program. b) Menyusun instrumen evaluasi, misalnya.
skala, daftar rentang, pedoman observasi/ kuesioner,
pedoman wawancara, pedoman dokumentasi. c)
Melaksanakan pengamatan lapangan, yaitu
mengumpulkan data dari responden atau sampel
evaluasi. d) Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan,
selanjutnya dapat ditentukan tingkat keberhasilan
program, kelemahan -kelemahan atau kendala-kendala
untuk diperbaiki. e) Mengajukan sejumlah rekomendasi
terhadap program yang telah dievaluasi tersebut. f)
Menyusun laporan evaluasi dan menyebarluaskan hasil
evaluasi kepada pihak yang berkepentingan.
27
2.1.6. Model-model Evaluasi Program
Model-model evaluasi yang satu dengan yang
lainnya memang tampak bervariasi, akan tetapi
maksud dan tujuannya sama yaitu melakukan kegiatan
pengumpulan data atau informasi yang berkenaan
dengan objek yang dievaluasi. Selanjutnya informasi
yang tealah terkumpul dapat diberikan kepada
pengambil keputusan supaya dapat dengan tepat
menentukan tindak lanjut mengenai program yang
telah dievaluasi.
Menurut Kaufman dan Thomas yang dikutib oleh
Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar
(2009: 40), membedakan model evaluasi menjadi
delapan, yaitu:
a. Goal Oriented Evaluation Model, dikembangkan
oleh Tyler. Dalam model ini, seorang evaluator
secara terus menerus melakukan pantauan
terhadap tujuan yang telah ditetapkan. Penilaian
yang berkelanjutan ini menilai tentang
kemajuan-kemajuan yang dicapai peserta
program serta efektifitas dari temuan yang telah
dicapai oleh sebuah program. Salah satu model
yang bisa mewakili model ini adalah model
kesenjangan atau discrepancy yang
dikembangkan oleh Provus. Model ini melihat
lebih jauh tentang adanya kesenjangan
(Discrepancy) yang ada dalam setiap komponen
28
yakni apa yang seharusnya dan apa yang secara
riil telah dicapai;
b. Goal Free Evaluation Model, dikembangkan oleh
Scriven. Goal Free Evaluation Model adalah model
evaluasi yang dikembangkan oleh Scriven. Dalam
Goal Free Evaluation, Scriven mengemukakan
bahwa dalam melakukan evaluasi program
evaluator tidak perlu memperhatikan apa yang
menjadi tujuan program. Yang perlu diperhatikan
dalam program tersebut adalah bagaimana
kerjanya (kinerja) suatu program, dengan jalan
mengidentifikasi penampilan-penampilan yang
terjadi (pengaruh) baik hal-hal yang positif (yaitu
hal yang diharapkan) maupun hal-hal yang
negatif (yang tidak diharapkan);
c. Formatif Sumatif Evaluation Model, dikembangkan
oleh Michael Scriven. Model ini menunjuk adanya
tahapan dan lingkup obyek, yang dievaluasi,
yaitu evaluasi yang dilakukan pada program
masih berjalan (disebut evaluasi formatif) dan
ketika program selesai atau berakhir (disebut
evaluasi sumatif). Pada proses belajar mengajar
evaluasi sumatif dilakukan oleh evaluator untuk
mendapatkan informasi untuk menentukan
keputusan para siswa selama mengikuti proses
belajar mengajar.(a) Evaluasi sumatif, evaluasi ini
dilakukan oleh guru setelah siswa mengikuti
29
proses pembelajaran dengan waktu tertentu,
misalnya pada akghir proses belajar mengajar,
termasuk akhir semester. Secara umum evaluasi
sumatif bertujuan untuk menentukan posisi
siswa dalam kelompoknya terkait dengan
penguasaan materi pembelajaran yang telah
diikuti. selama satu proses pembelajaran. Fungsi
evaluasi sumatif adalah sebagai laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan proses
pembelajaran, disamping juga menentukan
pencapaian hasil belajar yang telah diikuti oleh
siswa, selain itu juga untuk mengukur
ketercapaian program.(b) Evaluasi formatif, pada
prinsipnya dilaksanakan ketika program masih
berlangsung atau ketika program masih dekat
dengan permulaan kegiatan. Tujuan evaluasi ini
adalah untuk mengetahui seberapa jauh program
yang telah dirancang dapat berlangsung,
sekaligus untuk mengidentifikasi hambatan.
Dengan diketahui hambatan ini diharapkan
dapat mengambil keputusan secara dini dapat
mengadakan perbaikan yang mendukung
kelancaran pencapaian tujuan program
(Arikunto: 2009). Evaluasi ini dilaksanakan
secara kontinyu, atau periodik tertentu dalam
proses belajar mengajar;
30
d. Countenance Evaluation Model, dikembangkan
oleh Stake. Model yang dikembangkan oleh Stake
dan Fernades ini menekankan atau memiliki dua
kelengkapan utama pada (a) Diskripsi
(description) dan (b) pertimbangan (judgement),
serta terbagi menjadi 3 tahapan dalam evaluasi
program yaitu anteseden yang diartkan sebagai
konteks, transaksi yang diartikan sebagai proses
dan keluaran yang mengacu pada output dan
outcome yang diartikan sebagai hasil (Suharsimi
Arikunto: 2009);
e. Responsive Evaluation Model, dikembangkan oleh
Stake. Model responsive evaluation yang
dikembangkan oleh Robert Stake, merupakan
model yang cocok digunakan untuk
mengevaluasiprogram yang banyak menimbulkan
konflik di masyarakat. Keputusan
evaluasiberorientasi kepada klien atau pengguna
program;
f. CSE-UCLA Evaluation Model. CSE-UCLA terdiri
dari dua singkatan, yaitu CSE dan UCLA. CSE
merupakan singkatandari Center for the Study of
Evaluation, sedangkan UCLA merupakan
singkatan dariUniversity of California in Los
Angeles. Ciri dari model CSE-UCLA adalah
adanya limatahapan evaluasi, yaitu perencanaan,
pengembangan, implementasi, hasil dandampak.
31
Sementara itu, menurut Fernandes (1984) dalam
model CSE-UCLA ini jugadapat dibagi ke dalam
empat tahapan evaluasi, yaitu: (a) needs
assessment; (b) program planning; (c) formative
evaluation; dan (d) sumatife evaluation.Pada
dasarnya, pentahapan yang dikemukakan oleh
Fernandes (1984) adalah samadengan tahapan
yang ada pada CSE-UCLA model. Tahapan
perencanaan danpengembangan program
memerlukan tahapan evaluasi yang disebut
needsassessment. Pada tahap implementasi,
diperlukan evaluasi formatif, sedangkanuntuk
mengetahui hasil dan dampak program,
diperlukan evaluasi sumatif.
g. Alkin mendefinisikan evaluasi sebagai suatu
proses meyakinkan keputusan, memilih
informasi yang tepat mengumpulkan, dan
menganalisis informasi sehingga dapat
melaporkan ringkasan data yang berguna bagi
pembuatan keputusan dalam memilih berbagai
alternatif. Ia mengemukakan lima macam
evaluasi, yakni: a) System assessment,
memberikan informasi tentang keadaan atau
posisi sistem. b) Program planning, membantu
pemulihan program tertentu yang mungkin
akanberhasil memenuhi kebutuhan program. c)
Program implementation, yang menyiapkan
32
informasi mengenai apakah program telah
diperkenalkan pada kelompok tertentu yang tepat
seperti yang telaah direncanakan. d) Program
improvement, memberikan informasi mengenai
bagaimana program berfungsi, bagaimana
program berjalan, atau bekerja? Apakah menuju
pencapaian tujuan, adakah hal-hal atau
masalah-masalah baru yang muncul tak terduga?
e) Program certification, yang memberikan
informasi tentang nilai atau guna program;
h. CIPP Evaluation Model, dikembangkan oleh
Stufflebeam. Isi dari model evaluasi ini terdiri dari
: (a) Contex evaluation: Evaluasi terhadap
konteks, evaluasi ini menggambarkan dan
merinci lingkungan, kebutuhan yang tidak
terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani,
dan tujuan proyek. (b) Input evaluation: Evaluasi
terhadap masukan, yaitu evaluasi tentang
kemampuan awal siswa dan sekolah. (c) Process
evaluation: Evaluasi terhadap proses, evaluasi ini
diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang
dilaksanakan di dalam program sudah terlaksana
sesuai dengan rencana. (d) Product evaluation:
Evaluasi terhadap hasil, evaluasi ini diarahkan
kepada hal-hal yang menunjukkan adanya
perubahan yang terjadi pada masukan mentah.
Model ini lebih memandang bahwa pada
33
hakikatnya evaluasi adalah sebuah sistem
sehingga model ini akan digunakan untuk
mengevaluasi program yang ditugaskan maka
mau tidak mau mereka harus menganalisis
program tersebut berdasarkan komponen-
komponennya; 8) Discrepancy Model,
dikembangkan oleh Provus. Model ini
dikembangkan oleh Malcolm Provus, yang
merupakan model yang menekankan pada
pandangan adanya kesenjangan di dalam
pelaksanaan program untuk mengukur besarnya
kesenjangan yang ada dalam setiap komponen.
Dalam hal ini, evaluatormengukur adanya
perbedaan (kesenjangan) antara yang seharusnya
dicapai (berdasarkan tujuan program) dengan
realitas hasil yang dapat dicapai. Objek sasaran
evaluasi program (lembaga pendidikan, misalnya)
dengan menggunakan model dicrepancy Provus
itu ada lima aspek (kadang ada yang
menyebutnya cuma empat), yaitu sebagai
berikut: (a) Design (rancangan; program design).
Yang dimaksud adalah rancangan kegiatan atau
program kerja. Oleh karena itu ada yang
menyebutnya dengan program definition
(penetapan program). Yang dievaluasi
mengenainya adalah ada tidaknya unsur input,
proses, dan output; (b) Installation (program
34
installation; penyediaan perangkat-perlengkapan
yang dibutuhkan program). Agar program bisa
dilaksanakan, lembaga pembuat program itu
tentu harus menyiapkan segala sesuatu yang
diperlukan untuk mendukungnya. Jadi, yang
dievaluasi adalah ketepatan berbagai sumber
daya, perangkat dan perlengkapan yang tersedia
untuk pelaksanaan program; (c) Process (program
process). Yang dimaksud adalah proses
pelaksanaan program. Di dalamnya termasuk
kepemimpinan dan penugasan-penugasan
(instruction). Yang dievaluasi adalah keterkaitan
(kegayutan) antara sesuatu yang akan diubah,
dibangun, dikembangkan dsb; (d) Product
(program product, hasil program). Yang dievaluasi
adalah efektivitas desain atau rancangan
program; tegasnya apakah tujuan atau target
program bisa tercapai; (e) Cost (biaya,
pengeluaran). Yang dimaksud adalah implikasi
(kemanfaatan) sosial politik ekonomi apa yang
diharapkan bisa tergapai dari pelaksanaan
program tersebut.
Beberapa model evaluasi yang telah dipaparkan
di atas memiliki banyak kesamaan. Pada umumnya
perancang model evaluasi menyusun model evaluasi
sesuai dengan alur sistem yaitu terdiri dari input –
35
proses – output. Pada elemen input digunakan
beberapa istilah yang memiliki makna serupa yaitu
antecedent dan entry capability. Pada elemen proses
digunakan istilah operation, transaction, process.
Sedangkan pada elemen output digunakan istilah
result, product, dan outcome. Tiap-tiap model evaluasi
mempunyai keunggulan yang cocok untuk diterapkan
pada situasi tertentu, namun tidak ada satu modelpun
yang dapat menjawab semua permasalahan evaluasi
yang ingin ditelusuri. Selain model-model evaluasi yang
telah dipaparkan oleh para ahli tersebut, pada
dasarnya peneliti juga dapat mengembangkan model
evaluasi yang berbeda dengan yang sudah ada, sesuai
dengan kebutuhan akan informasi yang harus
dikumpulkan.
Model evaluasi yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah model goal free evaluation (GFE),
fokus pada adanya perubahan perilaku yang terjadi
sebagai dampak dari program yang diimplementasikan,
melihat dampak sampingan baik yang diharapkan
maupun yang tidak diharapkan, dan membandingkan
dengan sebelum program dilakukan. Model GFE
maksudnya adalah para evaluator mengambil dari
berbagai laporan atau catatan pengaruh-pengaruh
nyata atau kongkrit dan pengaruh-pengaruh yang tidak
diinginkan dalam program pendidikan dan pelatihan.
Perhatian khusus diberikan secara tepat terhadap
36
usulan-usuan tujuan dalam evaluasi, tetapi tidak
dalam proses atau produk. Keuntungan dari GFE
adalah dengan GFE para evaluator mengetahui
antisipasi pengaruh-pengaruh penting terhadap tujuan
dasar dari penilai yang menyimpang. Pemilihan
evaluasi goal free juga didasari oleh empat alasan yang
dikemukan oleh Patton, yaitu: (a) menghindari resiko
penyataan tujuan program yang terlalu sempit dan
hilangnya outcomes penting yang tidak diantisipasi. (b)
menghilangkan kesan relatif adanya unanticipated effect
pada temuan evaluasi. (c) mengurangi adanya persepsi
yang bias dalam evaluasi, dan (d) menjaga obyektifitas
dan kemandirian evaluator dalam kondisi bebas tujuan.
Tujuan program tidak perlu diperhatikan karena
kemungkinan evaluator terlalu rinci mengamati tiap-
tiap tujuan khusus.Jika masing-masing tujuan khusus
tercapai, artinya terpenuhi dalam penampilan tetapi
evaluator lupa memperhatikan sejauh mana masing-
masing penampilan tersebut mendukung penampilan
terakhir yang diharapkan oleh tujuan umum maka
akibatnya jumlah penampilan khusus ini tidak banyak
bermanfaat.Dapat disimpulkan bahwa, dalam model ini
bukan berarti lepas dari tujuan tetapi hanya lepas dari
tujuan khusus. Model ini hanya mempertimbangkan
tujuan umum yang akan dicapai oleh program, bukan
secara rinci perkomponen yang ada.
37
Scriven menekankan bahwa evaluasi itu adalah
interpretasi Judgement ataupun explanation dan
evaluator yang merupakan pengambil keputusan dan
sekaligus penyedia informasi. Ciri – Ciri Evaluasi Bebas
Tujuan yaitu: (1) Evaluator sengaja menghindar untuk
mengetahui tujuan program. (2) Tujuan yang telah
dirumuskan terlebih dahulu tidak dibenarkan
menyempitkanfokus evaluasi. (3) Evaluasi bebas tujuan
berfokus pada hasil yang sebenarnya, bukan pada hasil
yang direncanakan. (4) Hubungan evaluator dan
manajer atau dengan karyawan proyek dibuat
seminimal mungkin. (5) Evaluasi menambah
kemungkinan ditemukannya dampak yang tidak
diramalkan.
Evaluator internal biasanya melakukan evaluasi
yang berorientasi pada tujuan,karena ia sulit
menghindar atau mau tidak mau ia akan mengetahui
tujuan program. Menejer progam jelas ingin
mengetahui sampai seberapa jauh progam telah
dicapai, dan evaluator internal akan dan harus
menyediakan informasi untuk menejernya.
Di samping itu, perlu diketahui bagaimana orang
luar menilai program bukan hanya untuk mengetahui
apa yang seharusnya dilakukan, apa yang dilakukan di
semua bagian, pada semua yang telah dihasilkan,
secara sengaja atau tidak sengaja. Yang belakangan ini
38
merupakan tugas evaluator bebas tujuan yang tidak
mengetahui tujuan program.
Model Goal Free berfokus pada hasil yang
sebenarnya dari suatu program atau kegiatan, bukan
hanya tujuan-tujuan yang teridentifikasi. Jenis model
memungkinkan teknologi untuk mengidentifikasi dan
mencatat hasil yang tidak mungkin telah diidentifikasi
oleh perancang program. Melalui proses teknik baik
terang-terangan dan terselubung, metode ini berusaha
untuk mengumpulkan data dalam rangka untuk
membentuk deskripsi program, mengidentifikasi proses
akurat, dan menentukan pentingnya mereka ke
program.
Fungsi Goal Free Evaluation adalah untuk
mengurangi bias dan menambah objektifitas. Dalam
evaluasi yang berorientasi pada tujuan, seorang
evaluator secara subjektif persepsinya akan membatasi
sesuai dengan tujuan. Padahal tujuan pada umumnya
hanya formalitas dan jarang menunjukkan tujuan yang
sebenarnya dari suatu proyek. Lagipula, banyak hasil
program penting yang tidak sesuai dengan tujuan
program. Goal Free Evaluation berfokus pada hasil yang
sebenarnya bukan pada hasil yang direncanakan.
Dalam Goal Free Evaluationini, memungkinkan
evaluator untuk menambah temuan hasil atau dampak
yang tidak direncanakan.
39
Model evaluasi Goal Free Evaluation ini
mempunyai kekurangan dan kelebihannya. Kelebihan
dari model bebas tujuan di antaranya adalah: (a)
Evaluator tidak perlu memperhatikan secara rinci
setiap komponen, tetapi hanya menekankan pada
bagaimana mengurangi prasangka (bias). (b) Model ini
menganggap pengguna sebagai audiens utama. Melalui
model ini, Scriven ingin evaluator mengukur kesan
yang didapat dari sesuatu program dibandingkan
dengan kebutuhan pengguna dan tidak
membandingkannya dengan pihak penganjur. (c)
Pengaruh konsep pada masyarakat, bahwa tanpa
mengetahui tujuan dari kegiatan yang telah dilakukan,
seorang penilai bisa melakukan evaluasi. (d) Kelebihan
lain, dengan munculnya model bebas tujuan yang
diajukan oleh scrieven, adalah mendorong
pertimbangan setiap kemungkinan pengaruh tidak saja
yang direncanakan, tetapi juga dapat diperhatikan
sampingan lain yang muncul dari produk.
Walaupun demikian, yang diajukan scrieven
ternyata juga memiliki kelemahan seperti berikut: (a)
Model bebas tujuan ini pada umumnya bebas
menjawab pertanyaan penting, seperti apa pengaruh
yang telah diperhitungkan dalam suatu peristiwa dan
bagimana mengidentifikasi pengaruh tersebut. (b)
Walaupun ide scrieven bebas tujuan bagus untuk
membantu kegiatan yang paralel dengan evaluasi atas
40
dasar kejujuran, pada tingkatan praktis scrieven tidak
terlalu berhasil dalam menggambarkan bagaimana
evaluasi sebaiknya benar-benar dilaksanakan. (c) Tidak
merekomendasikan bagaimana menghasilkan penilaian
kebutuhan walau pada akhirnya mengarah pada
penilaian kebutuhan. (d) Diperlukan evaluator yang
benar-benar kompeten untuk dapat melaksanakan
evaluasi model ini. (e) Langkah-langkah sistematis yang
harus dilakukan dalam evaluasi hanya menekankan
pada objek sasaran saja.
Goal Free Evaluation merupakan titik evaluasi
program, dimana objek yang dievaluasi tidak perlu
terkait dengan tujuan dari objek atau subjek tersebut,
tetapi langsung kepada implikasi keberadaan program
apakah bermanfaat atau tidak objek tersebut atas
dasar penilaian kebutuhan yang ada.
2.2. Implementasi
2.2.1. Pengertian Implementasi
Secara etimologis pengertian implementasi
menurut Webster dalam dalam Widodo (2010: 86)
adalah “to provide the means for carrying out; and to give
practical effect to (menyediakan sarana untuk
melaksanakan sesuatu untuk menimbulkan
dampak/akibat terhadap sesuatu)”. Sementara Donald
S. Van Metter dan Carl E. Va dalam Widodo (2010: 86)
41
memberikan pengertian implementasi dengan
mengatakan:
“Policy implementation encompasesses those action by public and private individual (or group) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decision. This include both one time efforts to transfrom decisions into operational terms, as well as continuing efforts to achieve the large and small changes mandated by policyyy decision”.
Implementasi Riant Nugroho pada prinsipnya
adalah cara yang dilakukan agar dapat mencapai
tujuan yang dinginkan (Nugroho, 2003: 158).
Implementasi merupakan prinsip dalam sebuah
tindakan atau cara yang dilakukan oleh individu atau
kelompok orang untuk pencapaian tujuan yang telah
dirumuskan. Dan Mazmanian dan Sabatier dalam
Widodo (2010: 87) menjelaskan makna
implementasi dengan mengatakan:
“To understand what actually happens after a program is enacted or formulated is the subject of policy implementation. Those event and activities that occur after the isuing of outhoritative public policy directives, wich included both the effort to administer and the subtantives, which impacts on the people and event”.
Sehingga dari beberapa pengertian tersebut dapat
disimpulan bahwa pengertian bahwa: Implementasi
merupakan suatu proses yang melibatkan sejumlah
sumber yaitu manusia, dana, dan kemampuan
organisasional yang dilakukan oleh pemerintah
maupun swasta (individu atau kelompok). Dimana
42
proses tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan.
Sebuah implementasi berhubungan dengan
suatu kebijakan yang melibatkan banyak organisasi
dan tingkatan birokrasi dapat dilihat dari beberapa
sudut pandang. Menurut Wahab (2005: 63)
“implementasi kebijakan dapat dilihat dari sudut
pandang (1) pembuat kebijakan, (2) pejabat-pejabat
pelaksana di lapangan, dan (3) sasaran kebijakan
(target group)”. Perhatian utama pembuat kebijakan
menurut Wahab (2005: 63) memfokuskan diri pada
sejauh mana kebijakan tersebut telah tercapai dan apa
alasan yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan
kebijakan tersebut. Dari sudut pandang implementor,
implementasi akan terfokus pada tidakan pejabat dan
instansi di lapangan untuk mencapai keberhasilan
program. Sementara dari sudut pandang target groups
implementasi akan lebih dipusatkan pada apakah
implementasi kebijakan tersebut benar-benar
mengubah pola hidupnya dan berdampak positif
panjang bagi peningkatan mutu hidup termasuk
pendapatan mereka.
43
2.3. Peningkatan Mutu Pendidikan
2.3.1. Pengertian Mutu
Pengertian mutu menurut Peffer & Coote (Sallis,
2010: 49) adalah suatu konsep yang licin karena mutu
mengimplikasikan hal-hal yang berbeda pada masing-
masing orang. Sedikit berbeda dengan pengertian mutu
menurut Sallis (2010: 33) yang mengatakan bahwa,
“mutu merupakan sebuah filosofi dan metodologi yang
membantu institusi untuk merencanakan perubahan
dan mengatur agenda dalam menghadapi tekanan-
tekanan eksternal yang berlebihan.” Arcaro (2005: 75)
mengatakan, “mutu sebagai sebuah proses terstruktur
untuk memperbaiki keluran yang dihasilkan.”
Berdasarkan pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa mutu merupakan sebuah
metodologi untuk menghadapi tekanan-tekanan untuk
memperbaiki keluaran yang di dasarkan pada standar
organisasi yang bersangkutan. Mutu merupakan hal
yang abstrak tetapi menjadi tuntutan dan keharusan
bagi suatu organisasi.
Jaminan mutu dan mutu terpadu pertama kali
digagas dan dikembangkan di Negara Barat oleh W.
Edward Deming pada tahun 1930-an dan 1940-an
(Sallis, 2010: 36). Saat itu, mutu dalam industri tidak
mendapatkan prioritas yang disebabkan masih
dianutnya teori manajemen klasik yang menekankan
44
pada memaksimalkan produksi dan keuntungan
dengan prioritas mutu yang rendah.
2.3.2. Hakikat Mutu dalam Pendidikan
Gerakan mutu di dalam pendidikan
merupakan konsep pergerakan yang baru dimulai
pada tahun 1980-an yang dilaksanakan oleh beberapa
universitas di Amerika dan beberapa pendidikan tinggi
di Inggris. Namun baru di awal 1990-an gerakan mutu
dalam pendidikan benar-benar melanda. Mulai saat
itulah sekolah/ lembaga pendidikan mulai mengerti
pentingnya meningkatkan mutu pendidikan.
2.3.3. Peningkatan Mutu dalam Pendidikan
Kemendikbud (2010: 51) mengemukakan tujuan
strategis pendidikan, salah satunya yaitu terjaminnya
kepastian memperoleh layanan pendidikan dasar
bermutu dan berkesetaraan. Rencana strategis tersebut
sebagai upaya penjamin kepastian memperoleh layanan
pendidikan dasar bermutu dan dapat dilakukan dengan
penyediaan dan peningkatan sarana dan prasarana
untuk penerapan sistem pembelajaran SD/SDLB/Paket
A dan SMP/SMPLB/Paket B bermutu yang merata di
seluruh provinsi, kabupaten, dan kota. Mutu harus
menjadi bagian penting dari strategi institusi dan harus
didekati secara sistematis dengan menggunakan
perencanaan strategis. Tanpa strategi, sebuah institusi
45
tidak akan bisa yakin bagaimana mereka bisa
memanfaatkan peluang-peluang baru. Selanjutnya,
setelah rencana strategis tersusun kemudian
melakukan pengembangan kebijakan-kebijakan serta
rencana-rencana yang dapat mengantarkan instansi
pada pencapaian visi dan misi.
Kegiatan pokok dalam upaya penyediaan dan
peningkatan sarana dan prasarana untuk penerapan
sistem pembelajaran dapat dilakukan dengan
revitalisasi serta penggabungan (regrouping) sekolah-
sekolah terutama sekolah dasar, agar tercapai
efisiensi dan efektivitas sekolah yang didukung
dengan fasilitas yang memadai.
2.4. Efisiensi dan Efektivitas
Sektor manajemen sangat diperlukan saat ini
yaitu untuk melakukan kegiatan secara sistematis dan
prinsipil berdasarkan teori manajemen. Suatu
organisasi akan dapat berkembang dan mencapai hasil
secara efektif dan dengan cara yang paling cepat
dengan proses manajemen. Salah satu sekenario
yang menentukan corak perubahan masa depan suatu
bangsa adalah keunggulan atau kemampuan
manajemennya. Bahkan Deming (Sallis, 2010: 97)
melihat bahwa masalah mutu terletak pada masalah
manajemennya. Melihat hal tersebut, sistem pendidikan
nasional harus dilaksanakan dengan manajemen
46
moderen dan ditangani oleh tenaga profesional yang
bertumpu pada mutu yang diharapkan oleh pelanggan
pendidikan.
Didalam manajemen sekolah, semua kegiatan
sekolah harus dikelola dengan memanfaatkan semua
sumber daya (resources) baik sumber daya manusia,
material, dan dana dalam rangka mencapai tujuan
sekolah secara efektif dan efisien. Menurut Syafaruddin
(2002: 2), “pada dasarnya, manajemen pendidikan
adalah aplikasi prinsip, konsep, dan teori manajemen
dalam aktivitas pendidikan untuk mencapai tujuan
pendidikan secara efektif dan efisien.”
2.4.1. Efisiensi
Setiap usaha pendidikan membutuhkan berbagai
macam inputs sebagai sumber daya (resource), baik
yang berupa uang, tenaga manusia, waktu, maupun
kesempatan. Berbagai input tersebut sangat
mempengaruhi jalannya proses pendidikan, namun
input yang paling terlihat dan dianggap krusial adalah
biaya pendidikan. Biaya memegang peranan penting
dalam sistem pendidikan, terutama dalam pelaksanaan
kegiatan pendidikan. Lembaga persekolahan yang
merupakan lembaga non-profit menggunakan sistem
anggaran dengan menyeimbangkan antara kebutuhan
biaya dengan sumber dana yang ada. Biaya pendidikan
menurut Mulyani A. Nurhadi (2011: 29), “merupakan
47
sebagai nilai rupiah dari seluruh sumber daya (inputs)
atau seluruh pengeluaran dalam bentuk natura atau
berupa uang yang digunakan untuk kegiatan
pendidikan.” Dana yang digunakan untuk biaya
pendidikan berasal dari tiga sumber utama, yaitu
pemerintah baik pusat maupun daerah, orang tua wali
siswa, dan masyarakat. Tetapi pada dasarnya sumber
utama pendanaan pendidikan berasal dari pemerintah.
Sumber daya pendidikan (resource) terbatas
jumlahnya, untuk itu diperlukan pengelolaan yang
tepat agar tidak terjadi pemborosan anggaran.
Ketepatan pengelolaan sumber daya pendidikan
berkaitan dengan tingkat efisiensi pengelolaan
pendidikan. Efisiensi pengelolaan pendidikan
dimaksudkan sebagai hubungan antara
pendayagunaan sumber-sumber pendidikan yang
terbatas untuk mencapai optimalisasi. UNESCO (Aan
Komariah & Cepi Triatna, 2006: 18) mendefinisikan
efisiensi sebagai, “... is defined as the optimal relation
between inputs and output. An activity is being
performed efficiently if a given quantity of output is
obtained with a minnimum of inputs or alternatively, if a
given quantity of input yields maximum output.” Bila
didefinisikan, efisiensi sebagai hubungan yang optimal
antara input dan output. Suatu kegiatan yang
dilakukan secara efisien jika output dengan jumlah
tertentu diperoleh dengan input minimum atau
48
sebaliknya, jika jumlah input yang diberikan
menghasilkan output maksimum. Pengelolaan
pendidikan yang efisien dimaksudkan bahwa
pemanfaatan uang, tenaga manusia, waktu, maupun
kesempatan yang terbatas dapat memberikan hasil
yang bermutu, relevan dan bernilai ekonomi tinggi.
Penggabungan sekolah dapat menigkatkan efisien
dana yang dimiliki sekolah baik yang diperoleh dari
dana BOS, orang tua atau sponsor, maupun dana-
dana lain yang diperoleh sekolah. Efisiensi dana
tersebut tidak saja untuk pembiayaan yang berkaitan
dengan proses belajar mengajar tetapi juga untuk
pembiayaan-pembiayaan lainnya seperti pemeliharaan
dan gaji. Kebijakan penggabungan sekolah paling tidak
dapat mengurangi jumlah dana yang harus
dialokasikan untuk pemeliharaan/ penyediaan sarana
dan prasarana dan untuk pengeluaran gaji guru
sekolah dasar.
2.4.2. Efektivitas
Implementasi manajemen mutu pendidikan di
sekolah memiliki harapan untuk perbaikan mutu
sekolah agar semakin meningkat. Selain itu,
pengimplementasian manajemen mutu diarahkan
untuk mencapai status sekolah efektif. Sekolah efektif
adalah sekolah yang dikelola dengan manajemen yang
fungsional oleh kepala sekolah dengan memfungsikan
49
secara bersama staf dan guru-guru dalam bekerja
untuk mencapai tujuan sekolah.
Manajemen mutu dalam pendidikan merupakan
bentuk pengendalian mutu (quality assurance) yang
disempurnakan. Filosofi dari manajemen mutu ini
adalah terciptanya budaya kerja dari seluruh personel
(pimpinan dan pegawai) yang terlibat dalam
pengadaan dan penyajian jasa pendidikan yang
dijiwai oleh motivasi dan sikap untuk memenuhi dan
memuaskan harapan pelanggan. Dalam rangka
memenuhi harapan pelanggan pendidikan ini, pengelola
sekolah secara bertahap dan terus-menerus
memperbaiki kualitas (mutu) lulusannya dengan
didukung oleh kepemimpinan yang kuat dari pihak
pimpinan (manajer, administrator, supervisor) serta
pembagian tanggung jawab untuk mencapai mutu.
Ada pun karakteristik sekolah efektif menurut
Rutter dkk (Law dan Glover, 1994) dalam Syafruddin
(2002: 91) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
i. Memiliki etos kerja yang baik,
j. Manajemen kelas yang baik, k. Harapan guru yang tinggi,
l. Guru sebagai contoh teladan yang positif,
m. Umpan balik yang positif dan memberikan perlakuan
terhadap siswa, n. Koordinasi kerja yang baik antara guru dan pelajar,
o. Tanggung jawab murid, dan
p. Staf membagi aktivitas antara staf dan pelajar.
50
Selanjutnya terdapat tiga perspektif yang
menentukan keefektifan sekolah menurut Syafruddin
(2002: 91-92), yaitu:
a. Organisasi keberadaan sekolah yang dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang ada di
sekolah adalah efektivitas kepemimpinan kepala
sekolah, profesionalisme guru, dukungan staf yang baik, pembiayaan yang cukup, sarana dan fasilitas
pengajaran yang baik, dan iklim sekolah yang kondusif.
Sedangkan faktor eksternal adalah dukungan dewan
sekolah (board of school), dukungan industri, pemerintah, ekonomi masyarakat, dan lingkungan
sosial.
b. Proses seluruh aktivitas atau interaksi mengajar (guru) dan belajar (murid) yang bermuara pada pencapaian
tujuan pendidikan.
c. Hasil, yaitu prestasi yang dapat diukur.
Sekolah efektif diidentifikasikan sebagai sekolah
yang dapat menyelenggarakan proses belajar yang
efektif karena ciri khas dari lembaga sekolah adalah
terjadinya proses belajar mengajar. Dengan demikian,
dalam sekolah yang efektif menurut Mortimore (Aan
Komariah & Cepi Triatna, 2006:37) terdapat proses
belajar yang efektif, dengan ciri:
a. Aktif, bukan pasif,
b. Tidak kasat mata,
c. Rumit, bukan sederhana,
d. Dipengaruhi oleh adanya perbedaan individual di antara
peserta didik,
e. Dipengaruhi oleh berbagai konteks
Pada dasarnya efektivitas menunjukkan adanya
proses perekayasaan berbagai sumber dan metode
51
yang diarahkan pada terjadinya pembelajaran di
sekolah secara optimal. Efektivitas ini merujuk pada
pemberdayaan semua komponen sekolah sebagai
organisasi tempat belajar berdasarkan tugas pokok dan
fungsinya masing-masing dalam struktur program
dengan tujuan agar siswa belajar dan mencapai
hasil yang telah ditetapkan, yaitu memiliki
kompetensi. Sebagai upaya peningkatan efektivitas,
diperlukan adanya eksperimen, perubahan
kesepakatan, perumusan kebijakan baru, serta
pengembangan norma tertulis dan lisan. Dengan upaya
perbaikan efektivitas yang dilakukan, menuntut adanya
diskusi dan komitmen yang berkelanjutan dari
kalangan guru, keluarga, siswa, unit-unit bisnis,
lembaga pendidikan di atasnya, organisasi bisnis,
dan pelaku politik untuk memperluas dan memperkaya
kapasitas siswa.
2.5. Regrouping (Penggabungan) Sekolah
2.5.1. Pengertian Regrouping Sekolah
Kata regrouping merupakan kata lain dari
merger/penggabungan. Merger pada awalnya
merupakan salah satu usaha pengembangan dan
pertumbuhan perusahaan. Merger dilakukan dengan
menggabungkan dan membagi sumber daya yang
dimiliki perusahaan untuk mencapai tujuan bersama.
Adrian Sutedi (2007: 85) mengemukakan, ”merger
52
sebagai suatu bentuk penggabungan dua badan usaha,
badan usaha yang satu tetap ada, dan yang satunya
lagi bubar secara hokum, dan nama perusahaan
digunakan adalah perusahaan yang eksis/ada.”
Wibisono (2006: 2) mendefinisikan merger sebagai
penggabungan dua badan usaha yang relative
berimbang kekuatannya, sehingga terjadi kombinasi
yang saling membantu. Istilah merger dan akuisisi
merupakan istilah penggabungan, peleburan dan
pengambilalihan. Merger merupakan penggabungan
atau peleburan dua perusahaan atau lebih menjadi
satu perusahaan (Soemardi, 2009: 175).
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat
dijelaskan bahwa merger merupakan penggabungan
dua badan usaha atau lebih menjadi satu badan usaha
ke dalam badan usaha yang eksis dengan nama
badan usaha yang tetap eksis. Penggabungan badan
usaha ini mengharuskan adanya peleburan aset secara
menyeluruh ke dalam badan usaha yang tetap eksis.
Hal ini secara kuantitas akan memberikan tambahan
modal bagi badan usaha yang eksis tersebut.
Merger/penggabungan dapat juga diterapkan di
dalam dunia pendidikan. Merger/penggabungan dalam
dunia pendidikan lebih berkaitan dengan perampingan
jumlah sekolah. Jumlah sekolah yang cukup banyak
dengan jumlah siswa yang kurang memadai
berdasarkan standart nasional mengakibatkan
53
pemborosan pembiayaan pendidikan. Untuk itu,
pemerintah mengupayakan alternatif perampingan
sekolah dengan nama regrouping.
Penggabungan sekolah dasar menurut Wibawa
(2009: 47), ”penggabungan sekolah dasar merupakan
satu cara pengembangan sekolah dengan
memberdayakan dan mengembangkan berbagai sumber
daya pendidikan untuk mencapai peningkatan mutu
pendidikan dan efektifitas sekolah.” Dasar dari
penggabungan sekolah adalah Undang-undang Nomor
25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004 yang
menjelaskan bahwa salah satu kegiatan pokok dalam
mengupayakan pemerataan pendidikan dasar adalah
melaksanakan revitalisasi serta penggabungan
(regrouping) sekolah-sekolah terutama SD, agar tercapai
efisiensi dan efektivitas sekolah yang didukung dengan
fasilitas yang memadai. Penggabungan juga
dimaksudkan dalam rangka efektivitas dan efisiensi
penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar sehingga
perlu diambil kebijakan untuk menggabung,
menghapus, dan atau mengganti nama sekolah dasar.
Dari beberapa pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa penggabungan (regrouping) sekolah
adalah proses penyatuan dua atau lebih sekolah untuk
mencapai penggelolaan yang lebih efektif dan efisien
guna meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan
54
sesuai standar pelayanan minimal sekolah yang
bersangkutan.
2.5.2. Tujuan Regrouping Sekolah
Pelaksanaan penggabungan (regrouping) sekolah
dasar, menjadi acuan bagi instansi yang berwenang
melakukan penggabungan SD, bertujuan agar kegiatan
penggabungan SD dan proses berlangsungnya
penggabungan berjalan secara efektif, efisien dan dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam surat yang dikeluarkan
oleh Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 421.2/2501/Bangda/1998 tentang pelaksanaan
penggabungan (regrouping) dalam petikan suratnya
yang berbunyi kegiatan penggabungan (regrouping) ini
bertujuan untuk mengatasi permasalahan guru,
peningkatan mutu, efisiensi biaya bagi perawatan
gedung sekolah, dan sekolah yang ditinggalkan
dimungkinkan penggunaannya untuk rencana
pembukuan SMP kecil/SMP kelas jauh atau setara
dengan sekolah lanjutan sesuai dengan kebutuhan
setempat untuk menampung lulusan SD.
Berdasarkan dasar hukum yang digunakan
tersebut, tujuan regrouping sudah jelas. Landasan
hukum sebagai pijakan pelaksanaan regrouping harus
dilaksanakan sebagai upaya untuk mencapai tujuan.
Kriteria keberhasilan regrouping yang berdasarkan pada
landasan hukum yaitu: a) pemenuhan jumlah tenaga
55
pendidik, b) peningkatan mutu pendidikan, c)
peningkatan efisiensi biaya pendidikan, d) efektivitas
penyelenggaraan pendidikan, dan e) pembukaan/
pendirian SMP kecil/SMP kelas jauh untuk
memanfaatkan sekolah yang ditinggalkan.
Dalam artikel yang ditulis oleh Suparlan yang
berjudul “merger sekolah dasar, begitu perlukah” yang
dipublikasikan pada 21 November 2006 antara lain; (1)
Ingin meningkatkan mutu layanan pendidikan untuk
masyarakat. Dalam arti layanan pendidikan yang
bermutu. Bukan hanya layanan pendidikan dengan
gedung sekolah yang seadanya. Pada era millennium
ketiga, mutu layanan pendidikan menjadi satu
keharusan, mengharapkan adanya hasil pendidikan
(outcomes) yang bermutu. Quality was at the heart of
education. Mutu pendidikan memiliki lima dimensi yang
saling kait mengait, yakni: learners, environments,
content, processes, dan outcomes. Pembangunan gedung
sekolah yang tidak bermutu pada masa lalu telah
mendapatkan perhatian dari pemerintah dengan
diturunkannya dana alokasi khusus untuk
pembangunan gedung sekolah. (2) Untuk
meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pendidikan.
Dengan beberapa sekolah yang terdapat dalam satu
kompleks gedung sekolah yang sempit menimbulkan
indikasi terjadinya proses persaingan yang tidak sehat
56
antara sekolah yang satu dengan yang lain. Oleh
karena itu perlu dilakukan regrouping (penggabungan).
2.5.3. Langkah- Langkah Regrouping
Langkah-langkah regrouping atau merger Sekolah
yang dikemukakan oleh Suparlan dalam artikel yang
berjudul “merger sekolah dasar, begitu perlukah?” yang
ditayangkan pada 21 November 2006 antara lain
sebagai berikut;
a. Mengadakan sosialisasi kebijakan merger sekolah
kepada semua pemangku kepentingan (stakeholders). Langkah pertama ini dilakukan agar para pemangku
kepentingan memiliki pemahaman mendalam tentang
manfaat merger bagi semua pihak, terutama bagi peserta didik. Sosialisasi bukanlah instruksi, bukan
pula pemaksaan terselubung. Benar-benar untuk
meningkatkan pemahaman secara kritis tentang manfaat kebijakan merger sekolah sebagai strategi
untuk meningkatkan mutu pendidikan;
b. Membentuk tim atau kepanitiaan, dengan melibatkan
komponen yang terkait. Pembentukan tim atau kepanitiaan ini pun harus dilakukan secara demokratis
agar semua stakeholders dapat terakomodasi
aspirasinya, dan yang lebih penting adalah agar dapat memberikan peran sertanya secara maksimal dalam
penyelenggaraan pendidikan;
c. Mengajukan atau memasukkan program merger sekolah ke dalam program dan kegiatan dinas
pendidikan, untuk disetujui oleh pemerintah dan
legislatif. Langkah ini penting, karena program merger akan memerlukan konsekuensi anggaran yang mungkin
tidak sedikit;
d. Pelaksanaan program dan monitoring pelaksanaan
program melibatkan semua stakeholder yang sejak awal dilibatkan dalam program ini. Program ini dilaksanakan
menurut prinsip manajemen modern, yakni demokratis,
transparan, dan akuntabel. Jika tidak, maka justru akan terjadi distrust dari masyarakat;
57
e. Pelaporan dan pertanggungjawaban jika program itu telah dapat diselesaikan.
Di samping itu, kegiatan pasca pelaksanaan
program perlu dilakukan, misalnya monitoring dampak
pelaksanaan program tersebut terhadap peningkatan
mutu pendidikan, sebagaimana telah disebutkan dalam
tulisan ini, yakni lima dimensi mutu pendidikan: yakni
'learners, environments, content, processes, dan
outcomes' atau peserta didik, lingkungan, kurikulum
atau bahan ajar, proses pendidikan atau proses
pembelajaran, dan hasil pendidikan atau hasil belajar
peserta didik.
2.5.4. Konsep Pelaksanaan Regrouping Sekolah Dasar
Penggabungan sekolah (regrouping) yang
dikeluarkan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman
Pelaksanaan Penggabungan Sekolah (regrouping)
Sekolah Dasar pada tanggal 16 November 1998 kepada
Gubernur seluruh Indonesia, yaitu : 1) Penggabungan
(regrouping) SD adalah usaha penyatuan dua unit SD
atau lebih menjadi satu kelembagaan (institusi) SD dan
diselenggarakan dalam satu pengelolaan; 2) Lingkup
penggabungan SD meliputi SD yang terdapat antar
desa/kelurahan yang sama dan atau di desa/kelurahan
yang berbatasan dan atau antar kecamatan yang
berbatasan; 3) Sekolah Dasar kemudian disingkat SD
adalah bentuk satuan pendidikan dasar milik
58
pemerintah yang menyelenggarakan program
pendidikan enam tahun; 4) SD inti adalah SD yang
terpilih antara beberapa SD dalam satu gugus sekolah
yang berfungsi sebagai pusat pengembangan di dalam
gugus SD tersebut; 5) SD imbas adalah anggota satu
gugus sekolah yang menjadi binaan SD inti; 6) SD kecil
adalah SD di daerah terpencil yang belum memenuhi
syarat pembakuan.
Program regrouping sekolah pada awalnya
dilakukan pada sekolah yang mengalami kekurangan
siswa. Namun saat ini regrouping juga dilakukan pada
sekolah yang lokasinya berada dalam satu kawasan,
untuk melakukan efisiensi tunjangan jabatan kinerja
kepala sekolah (Bataviase, 2010: 1). Walle (2004: 1)
mengatakan bahwa dengan regrouping dapat
mengefektifkan pembelajaran seperti dikemukaan
berikut: ”Project in order to seek out more effective
instructional strategies, activities, and curriculum in the
hope of helping students more easily and more deeply,
understand the skills involved in solving mathematical
problems which require regrouping.”
Penggabungan sekolah dasar (regrouping)
merupakan satu cara pengembangan sekolah dengan
memperdayakan dan mengembangkan berbagai sumber
daya pendidikan untuk mencapai peningkatan mutu
pendidikan dan efektivitas sekolah.
59
2.5.5. Kriteria Indikasi Regrouping Sekolah Dasar
Peningkatkan efektivitas dan efisiensi
penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar pendidikan
dasar dengan cara mengadakan program
penggabungan sekolah, yaitu dengan menggabungkan
dua SD atau lebih dapat digabung menjadi satu
pengelolaan/institusi sekolah dengan kriteria sebagai
berikut: Pertama Kriteria Teknis Pendidikan. Penetapan
perlu tidaknya suatu penggabungan (regrouping) SD
ditentukan oleh kriteria teknis pendidikan dengan
indikator sebagai berikut:
a. Daya Tampung (DT) SD/ sederajat yang pada tingkat desa/kelurahan merupakan indikator makro yang
memperkirakan adanya kelebihan atau kekurangan
gedung sekolah/ruang kelas.
b. Rasio jumlah murid (JM) per kelas (rata-rata pada satu
SD) merupakan indikator mikro perlu tidaknya suatu
SD mengikuti proses penggabungan (regrouping).
c. Jumlah murid (JM) dalam pendataan 3 tahun terakhir tidak memenuhi jumlah minimal murid yaitu JM
kurang dari tiga ratus enam puluh (360) untuk tipe A
(75% x 480), JM kurang dari seratus delapan puluh (180) untuk tipe B (75% x 240), atau JM kurang dari
enam puluh (60) untuk tipe C (67% x 90).
d. Dalam satu kompleks SD terdapat lebih dari satu lembaga/institusi SD.
e. SD yang tidak termasuk dalam pertimbangan proses
penggabungan adalah SD swasta dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan SD kecil di kawasan terpencil yang
merupakan fasilitas pendidikan dasar satu-satunya di
kawasan tersebut.
Kedua, Kriteria Bangunan Gedung Sekolah
Dasar. Kriteria teknis bangunan gedung SD digunakan
60
untuk menentukan lokasi penggabungan bagi SD yang
telah diputuskan untuk digabung berdasar kriteria
teknis pendidikan, serta pertimbangan untuk penataan
fisik gedung SD dan lingkungannya. Kriteria Tata
Bangunan dan Lingkungan:
a. Lokasi SD sudah tidak sesuai dengan pola tata ruang
kota dan peruntukannya, terkena rencana penataan kota, penataan bangunan dan lingkungan, atau sudah
tidak layak lagi menjadi tempat belajar-mengajar.
b. Lokasi SD saling bergabung letaknya berada pada satu kompleks, bersebelahan/berdekatan, atau masing-
masing SD tersebut berada pada radius tidak lebih dari
1000 m.
c. Luas Lahan (LL) lokasi penggabungan harus memenuhi syarat sesuai pembakuan, yaitu gedung SD tidak
bertingkat ( LL ≥ 2000 m2 untuk SD Tipe A, LL ≥ 2000 -
3000 m2 untuk SD Tipe B dan LL ≥ 1000 – 2000 m2 untuk SD Tipe C) dan gedung SD bertingkat (LL ≥ 2000
m2 untuk SD tipe A, atau LL ≥ 1000 – 2000 m2 untuk
Tipe SD B);
Ketiga, Kriteria Keandalan Bangunan. Keandalan
bangunan dinilai dari tingkat kerusakan bangunan
sebagai berikut:
a. Lokasi SD berada pada daerah yang sulit air bersihnya.
b. Lokasi SD berada pada daerah rawan bencana alam
(banjir, longsor, jalur gempa, petir, angin ribut, letusan gunung berapi, dan sebagainya).
c. Bangunan SD belum memenuhi standar spesifikasi
teknis bangunan gedung SD kelas C sesuai karakteristik lokal.
61
2.5.6. Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Penggabungan (Regrouping)
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya penggabungan (Regrouping) beberapa
Sekolah Dasar di daerah: 1) Himbauan dari
pemerintah. Regrouping/ penggabungan beberapa SD
dilakukan karena himbauan pemerintah melalui
Mendagri dalam surat No: 421.2/2501/Bangda/1998
tentang Pedoman Pelaksanaan Penggabungan
(Regrouping) Sekolah Dasar, yang mana tujuan
penggabungan tersebut untuk mengatasi masalah
kekurangan tenaga guru, peningkatan mutu, efisiensi
biaya bagi perawatan gedung sekolah. Sedangkan
sekolah yang ditinggalkan dimungkinkan
penggunaannya untuk rencana pembukaan SMP
kecil/SMP kelas jauh atau setara sekolah lanjutan
sesuai ketentuan setempat untuk menampung lulusan
Sekolah Dasar; 2) Sebagai implementasi keputusan
Mendiknas. Regrouping/ penggabungan beberapa SD
merupakan Implementasi Kepmendiknas Nomor
060/U/2002 tentang Pedoman Pendirian Sekolah,
dalam ayat 1 pasal 23 dinyatakan bahwa
pengintegrasian sekolah merupakan peleburan atau
penggabungan dua atau lebih sekolah sejenis menjadi
satu sekolah; 3) Kekurangan guru. Adanya berbagai
keluhah kekurangan guru dibeberapa daerah,
sedangkan di beberapa daerah yang lain rasio siswa
62
dibanding guru di SD cukup rendah. Dasar
perhitungan guru perlu diadakan perubahan. Saat ini
jumlah guru kelas dihitung menurut jumlah
rombongan belajar. Meskipun hanya ada beberapa
murid di satu kelas (kadang-kadang kurang dari 5
orang) tetap dianggap perlu ada satu guru kelas.
Akibatnya, ada beberapa guru memiliki sedikit murid
(di bawah 15 orang), sedangkan guru lain harus
mengajar lebih dari 60 orang; 4) Kekurangan murid.
Beberapa SD hanya memiliki jumlah siswa kurang dari
50 orang, dan dengan demikian tiap-tiap kelas hanya
mempunyai siswa relatif sedikit; 5) Sarana/ prasarana
untuk pembelajaran kurang memadai. Beberapa
fasilitas/ sarana/ prasarana di Sekolah Dasar terutama
gedung sekolah kurang memadai, dikarenakan jumlah
siswa yang relatif sedikit, sehingga demi efisiensi biaya,
dan alas an lain perlu diadakan penggabungan dengan
sekolah lain; 6) Dua sekolah satu halaman. Jika ada
dua Sekolah Dasar yang gedungnya satu halaman,
sedangkan keadaan/ kondisi ke duanya sangat
bertolak belakang, maka perlu dilakukan
penggabungan (Regrouping).
63
2.6. Kajian Penelitian Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Rani Widiowati
(2014) yang berjudul “School Resiliency and Capital of
Regrouping Policy after Merapi Eruption in the Special
District of Yogyakarta Of Indonesia”. Hasil penelitian
tersebut menujukkan tentang: 1. Kendala pelaksanaan
regrouping 2. Faktor pendukung regrouping. Penelitian
ini menggunakan model analisis deskriptif kualitatif
secara interaktif dan berkelanjutan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: 1) Banyak hal yang terjadi baik
dari proses sampai sekolah diregrouping. Terdapat
kendala ataupun hambatan pada awal proses negosiasi,
manfaat dan kerugian yang dirasakan oleh warga
sekolah. Namun sekolah menanggapi secara positif
dengan adanya kebijakan regrouping ini. Dengan
berbagai pertimbangan antara lain, keamanan,
keselamatan, tempat tinggal siswa dan efektivitas kerja
pasca erupsi Merapi. Kebijakan regrouping pasca erupsi
Merapi ini bertujuan untuk membangun resiliensi
sekolah pasca
erupsi Merapi dan agar proses kegiatan belajar
mengajar pasca erupsi Merapi menjadi efektif dan
efisien. 2) faktor pendukung adalah pemerintah daerah,
sponsor-sponsor penyandang dana dalam pembuatan
gedung baru untuk SD Negeri Umbulharjo 2, kemauan
dari guru masing-masing sekolah untuk
mendukung kebijakan regrouping demi kelancaran
64
proses kegiatan belajar mengajar pasca erupsi Merapi,
guru bersedia melakukan pendampingan terhadap
siswa dan senantiasa memberikan nasihat dan
dukungan kepada siswa dan siswa
mau berusaha adaptasi terhadap lingkungan sekolah
yang baru. Faktor penghambat adalah kurang luas
pengetahuan guru dalam pemulihan psikologis
anak pasca erupsi Merapi, beban kerja guru sudah
tinggi, problem internal dari guru itu sendiri,
kurangnya kreatifitas dan inovasi guru mengajar pasca
erupsi Merapi sehingga dalam proses membangun
resiliensi tidak optimal.
Penelitian Jihan Amalia Syahidah (2013) Evaluasi
Kebijakan Penggabungan Sekolah Dasar Negeri Kota
Pekalongan, merupakan jenis penelitian evaluasi
kebijakan dengan metode penelitian kualitatif. Hasil
penelitian membahas tentang Kebijakan penggabungan
Sekolah Dasar Kota Pekalongan yang terbagi menjadi
dua yaitu kebijakan berdasarkan murni satu
kawasan dalam pencapaian efektifitas dan efesiensi
kebijakan sudah dapat dikatakan berhasil karena
baik input, aktor maupun faktor pendukungnya
telah terpenuhi sehingga dalam implementasi
kebijakan tidak mengalami kesulitan yang berarti.
Pada kebijakan penggabungan berdasarkan
manajemen yang memiliki banyak kendala dalam
menuju efektifitas dan efesiensinya. Dari delapan
65
sekolah yang diteliti, manajemen efektifitasnya belum
bisa tercapai karena adanya beban ganda yang
diberikan kepada kepala sekolah menjadikan kepala
sekolah justru memiliki kendala dalam membagi waktu
untuk dua sekolah.
Penelitian Sudiyono (2014) Pelaksanaan Program
Regrouping Sekolah Dasar 1 Undaan tengah Kecamatan
Undaan Kudus. Sugiyono menggunakan jenis
penelitian kualitatif. Hasil penelitian tersebut adalah (1)
menggambarkan tentang karakteristik managemen
sekolah program regrouping di SD 1 Undaan Tengah
Kec.Undaan Kudus. (2) Pelaksanaan program
regrouping di SD 1 Undaan tengah kecamatan Undaan
Kudus berjalan dengan sangat baik sesuai dengan yang
diharapkan. Pengelolaan sekolah menjadi lebih efisien
dan efektif serta pembelajaran mampu mencapai
standar yang ditetapkan. Sarana dan prasarana
mengalami peningkatan, meskipun masih perlu
perbaikan dan pengadaan. (3) Kendala pelaksanaan
regrouping tidak signifikan dan dapat dipecahkan
dengan baik.
Penelitian keempat oleh Ika Purwaningsih (2014)
Implementasi Kebijakan Regrouping Sekolah Dasar di
Kabupaten Purworejo. Penelitian ini dimaksudkan
untuk mendeskripsikan implementasi kebijakan dari
regrouping sekolah dasar beserta monitoring, evaluasi
terhadap implementasi program regrouping sekolah
66
dasar di kabupaten Purworejo. Peneliti menggunakan
metode kualitatif dengan jenis penelitian etnografi
dengan teknik pengambilan sampel. Hasil penelitian
menunjukan bahwa: (1) implementasi kebijakan
regrouping di sekolah dasar diawali dengan
pendataan terhadap sekolah-sekolah dasar yang
nantinya dipetakan berdasarkan skala prioritas oleh
tim penghapusan dan penggabungan sekolah (2)
monitoring dilaksanakan secara non formal insidental
dalam upaya menjaga agar pelaksanaan regrouping
sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan,
strategi yang dipergunakan dengan memberikan
motivasi negatif bagi sekolah yang akan di
regrouping, (3) evaluasi program regrouping
menujukkan ketercapaian tujuan, yaitu pemenuhan
standar pelayanan minimal pendidikan, efisiensi
anggaran, efektvitas penyelenggaraan pendidikan,
dan adanya peningkatan mutu pendidikan bagi sekolah
regrouping, baik dari segi akademis maupun non
akademis.
Penelitian kelima oleh Claire Hills (2013) dengan
judul Close OrBe Closed: To What Extent Can School
Clorsures And mergers Be Contested And Negotiated?,
sebuah penelitian yang dilakukan di New Zealand.
Penelitian ini akan menunjukkan bahwa proses
penutupan/penggabungan sekolah terkadang dapat
dengan sukses diperebutkan oleh masyarakat
67
berpendidikan politik. Dalam ulasan di daerah
Masterton 2003 beberapa sekolah lebih berhasil dari
yang lain dalam menentang penggabungan dan
penutupan. Alasannya akan dieksplorasi. Resistensi
masyarakat sangat penting dalam menjungkirbalikkan
keputusan penutupan sekolah tinggi Makoura pada
2008. Masyarakat Diprakarsai kebijakan Rencana
Pendidikan diujicobakan di Kabupaten Bush pada
tahun 2009 menghasilkan kemenangan bagi pemangku
kepentingan di seluruh wilayah yang aktif.Literatur
penelitian di Selandia Baru, dan luar negeri,
menunjukkan bahwa penutupan sekolah dan
penggabungan dapat menyebabkan perbedaan budaya
masyarakat yang signifikan. Pemangku kepentingan
menemukan bahwa mereka memiliki ikatan emosional
yang mendalam untuk sekolah mereka. Dalam proses
ini pola yang berbeda dari respon muncul. Kemarahan
dan kesedihan disajikan dalam ledakan bahasa emotif
yang sedang berjalan. Orang tua menegaskan "hak"
mereka untuk memilih sekolah yang paling cocok
untuk anak mereka diliput oleh Tommorow’s School
dan menuntut komunikasi yang jelas dan tranparan
dari Kementerian Pendidikan dan sepenuhnya
berkonsultasi selama proses berjalan. Ada patern/pola
yang jelas merupakan gangguan komunikasi antara
Kementerian dan pemangku kepentingan lokal. Hal ini
dapat dilihat dalam pertemuan komunitas, protes,
68
petisi, perdebatan kontroversial tentang masalah
transportasi, rasisme, demografi, ekonomi, kebajikan
sekolah yang lebih kecil dibandingkan sekolah yang
lebih besar dan kerusakan masyarakat inti.Sebagai
buntut dari penutupan bangunan sekolah, terjebak
dalam proses pembuangan berkepanjangan yang
ditinggalkan, menjadi perusak pemandangan di
komunitas mereka karena mereka perlahan-lahan
menyerah pada perusakan dan pembakaran.
Dari lima penelitian tentang regrouping diatas,
hanya satu yang membahas tentang evaluasi kebijakan
regrouping sekolah, yang memberikan suatu
rekomendasi kepada pemangku kepentingan untuk
mengkaji ulang tentang efektifitas regrouping dibidang
managemen sekolah. Sementara tiga penelitian
membahas tentang implementasi/ pelaksanaan
kebijakan regrouping yang mengalami berbagai macam
permasahan, khususnya dilingkungan sekolah yang
diregrouping. Dan satu penelitian membahas tentang
dampak yang ditimbulkan oleh program regrouping.
Kesamaan dari lima penelitian diatas sama-sama
menggunakan penelitian diskriptif, yang memberi
gambaran yang jelas tentang program kebijakan
regrouping sekolah. Berbeda dengan penelitian yang
sedang penulis lakukan saat ini. Penulis lebih
menekankan pada evaluasi program kebijakan
regrouping sekolah, yang didalamnya akan
69
mengevaluasi pelaksanaan regrouping sekolah, faktor-
faktor yang mempengaruhi, dampak yang timbul, serta
tuujan (efektifitas dan efisiensi) dari program regrouping
sekolah tersebut.
2.7. Kerangka Pikir
Berdasarkan pengamatan di SD Negeri Tukang
01 dan 02 Kec.Pabelan, peneliti menggunakan model
penelitian Goal Free Evaluation yang dikembangkan
oleh Michael Scriven, yang penulis anggap relevan
dengan masalah-masalah awal yang peneliti
temukan dilapangan. Dalam melaksanakan evaluasi
program, peneliti tidak perlu memperhatikan apa yang
menjadi tujuan khusus program. Dengan metode ini
yang perlu diperhatikan dalam program tersebut adalah
bagaimana kerjanya program, yaitu dengan jalan
mengidentifikasi penampilan-penampilan yang terjadi,
baik hal-hal positif maupun hal-hal negatif. Alasan
mengapa tujuan program tidak perlu diperhatikan
karena ada kemungkinan peneliti terlalu rinci
mengamati tiap-tiap tujuan khusus. Apabila tujuan
khusus tercapai artinya terpenuhi dalam penampilan,
tetapi peneliti perlu memperhatikan seberapa jauh
masing-masing penampilan tersebut mendukung
penampilan akhir yang diharapkan oleh tujuan umum,
maka akibatnya jumlah penampilan khusus ini tidak
banyak manfaatnya. Goal free evaluation merupakan
70
model yang tidak lepas sama sekali dari tujuan,
melainkan hanya lepas dari tujuan khususnya. Model
ini hanya mempertimbangkan tujuan umum yang akan
dicapai, bukan secara rinci.
Dengan berpedoman pada metode evaluasi goal
free jika dikaitkan dengan evaluasi program regrouping
di SDN Tukang 01 dan SDN Tukang 02 Kec. Pabelan
Kab. Semarang, maka terbentuklah alur berfikir
sebagai berikut: (a) peneliti memperhatikan tujuan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah secara umum
terhadap kebijakan regrouping sekolah, yaitu
tercapainya efektifitas dan efisiensi manajemen
pendidikan; (b) peneliti berfokus pada proses
pelaksanaan/ implementasi dari regrouping yang
dilakukan oleh penyelenggara dengan menghubungkan
dampak terhadap program tersebut; (c) peneliti
memperhatikan dampak dari penyelenggraan program
kebijakan regrouping dalam konteks secara umum; (d)
peneliti memperhatikan tingkat efektifitas dan efisiensi
dari pelaksanaan regrouping sekolah. Jika digambarkan
melalui diagram, alur berfikir yang akan dilakukan
adalah sebagai berikut:
Recommended