View
0
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
16
16
BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Dialog Agama
1. Pengertian Dialog Agama
Menurut bahasa dialog berasal dari bahasa Yunani yaitu dia dan
logos yang mempunyai arti bicara antara dua pihak atau dwicara.1 Dialog
merupakan percakapan antara dua orang atau lebih guna mencapai tujuan
yang hendak dicapai. Dialog berupaya untuk memberikan pemahaman dan
pengertian tentang ajaran dan kehidupan. Sehingga dialog mempunyai
tujuan untuk menciptakan kerukunan, pembinaan toleransi dan
kesejahteraan bersama, membudayakan keterbukaan, mengembangkan
rasa saling menghormati, saling mengerti, membina integrasi,
berkonsistensi diantara berbagai perbedaan.2
Dalam konteks hubungan antar umat beragama, dialog dimaknai
sebagai komunikasi antara dua atau lebih orang yang berbeda agama.
Dialog menjadi jalan bersama menuju kearah kebenaran, partnership tanpa
ikatan dan tanpa maksud yang tersembunyi.3 Berikut pengertian dialog
antar agama menurut Mukti Ali,
Dialog antar umat beragama adalah mempertemukan antara
orang-orang atau kelompok dari agama atau ideologi yang
berbeda untuk sampai pada pengertian bersama tentang berbagai
isu tertentu untuk setuju atau tidak setuju dengan sikap yang penuh
apresiasi dan untuk kerjasama dengan mereka untuk menemukan
1 Samsi, Membumikan Dialog., 2. 2 G. Edwi, Menjadi Pribadi Religius., 58. 3 Ibid., 67.
17
makna kehidupan ini. Dialog adalah suatu proses dimana para
individu atau kelompok berupaya untuk menghilangkan rasa takut
dan rasa tidak percaya satu sama lain dan mengembangkan
hubungan baru berdasarkan rasa saling percaya. Dialog adalah
suatu kontak dinamis antara kehidupan dengan kehidupan-tidak
saja antara satu pandangan rational yang berlawanan satu sama
lain- yang ditujukan untuk membangun dunia baru secara
bersama-sama. 4
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa dialog antar umat
beragama bukan hanya saling memberi informasi mengenai agama yang
diyakini, dialog agama juga tidak sama dengan usaha dari orang untuk
menjadikan dirinya yakin akan agama yang ia yakini dan menjadikan
orang lain memeluk agama yang ia yakini.5 Namun, dialog agama dapat
digunakan sebagai jalan bersama untuk mencapai kebenaran dan
kerjasama dalam proyek-proyek yang menyangkut kepentingan bersama.
Dialog merupakan perjumpaan antar pemeluk agama, tanpa merasa
rendah dan tanpa merasa tinggi dan tanpa ada agenda atau tujuan yang
dirahasiakan. Jikapun ada tujuan, maka tujuannya adalah hendak dicapai
adalah kebenaran, saling pengertian dan kerjasama dalam proyek-proyek
yang menyangkut kepentingan bersama. Seorang penganut agama mau
mendengarkan mitra dialognya yang berbeda agama dan bersedia belajar
darinya. Setiap peserta dialog hendaknya mau saling mendengar dan saling
belajar dari mitra dialog masing-masing. Sehingga, Sikap saling
menghormati antar masing-masing pemeluk agama merupakan hal yang
harus dilakukan untuk menciptakan suasana yang ideal dalam dialog antar
4 Faizal Ismail, Islam, Konstitusionalisme dan Pluralisme (Yogyakarta: IRCiSod, 2019), 28. 5 G. Edwi, Menjadi Pribadi Religius., 58.
18
umat beragama. Dengan adanya dialog antar umat beragama dapat
menjalin kerjasama antar individu yang berbeda keyakinan serta dapat
menciptakan kehidupan yang harmonis tanpa adanya diskriminasi terhadap
salah satu agama.6
Dialog antar umat beragama sejatinya merupakan pembicaraan
antara individu yang mempraktekkan dan menghayati agama serta aliran
kepercayaan. Dialog tersebut tetap bertumpu pada keyakinan mereka
sendiri, tetapi terbuka bagi sesama berdasarkan asal mula dan tujuan
bersama sebagai manusia. Dialog antar umat beragama bukanlah upaya
sistematis untuk membuat orang lain yang berbeda agama dapat masuk ke
dalam agamanya. Namun, untuk memberikan pemahaman tentang agama
lain selain agama yang dianutnya, sehingga tidak menimbulkan kesalah
pahaman.7
Dengan demikian, dialog agama merupakan suatu percakapan atau
interaksi yang dilakukan oleh dua individu yang mempunyai agama
berbeda yang bertujuan untuk membina kerukunan antar sesama. Dengan
adanya dialog antar agama maka akan meningkatkan kerjasama antar
agama, menumbuhkan sikap keterbukaan dan saling percaya satu sama
lain, sehingga prasangka buruk yang ada diantara umat beragama dapat
diminimalisir serta dapat hidup berdampingan dengan harmonis.8
6 Ibid. 7 Ibid., 67. 8 Mohammad, Pendidikan Orang Dewasa., 257.
19
2. Syarat-syarat Dialog Agama
Syarat-syarat dialog yang harus dipenuhi, yaitu:
Pertama, dialog haruslah berdasarkan pengalaman religius
seseorang dan klaim yang kokoh tentang kebenaran. Maksudnya dialog
dapat dikatakan positif apabila pesertanya memang sungguh-sungguh
orang yang beriman. Dengan dengan demikian, orang yang melakukan
dialog adalah orang yang memang memiliki pengalaman religious yang
kental, tidak sekedar seorang intelektual yang tahu.9
Kedua, dialog harus didasarkan pada keyakinan bahwa religi lain
sangat mungkin memiliki kebenaran pula. Hal ini sangat penting, sebab
tidak semua memahami dengan sungguh-sungguh posisi pihak lain. Hal ini
dapat dilakukan melalui imajinasi dan empati, sehingga dapat memasuki
perasaan pihak lain dan menjadi reseprif terhadap imajinasi-imajinasi yang
melekat pada perasaan dan penghayatan pihak lain. Selanjutnya dituntut
untuk memahami logika dalam dari keseluruhan sistem dogma, ritus dan
hukum yang dipahami pihak lain.10
Ketiga, dialog harus didasari keterbukaan pada kemungkinan
perubahan yang tulus. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan
pemahaman dan keterbukaan disini berarti keberanian untuk melepaskan
anggapan-anggapan semula, baik tentang tradisi religius diri sendiri
maupun religius orang lain. Keyakinan yang kokoh pada kebenaran tradisi
diri sendiri tidak lantas berarti keyakinan pada kebenaran final. Maka
9I. Bambang Sugiharto dan Agus Rahmat W., Wajah Baru Etika dan Agama (Yogyakarta:
Kanisius: 2000), 164. 10 Ibid., 165.
20
keterbukaan di sini juga berarti keberanian untuk melihat kenyataan yang
lebih besar dari pada yang telah diketahui selama ini. Keterbukaan pada
akhirnya juga berarti keberanian untuk menerima anggapan-anggapan
pihak lain sebagai autokritik terhadap tradisi sendiri.11
3. Prinsip-prinsip Dialog Agama
Dalam dialog agama terdapat prinsip-prinsip yang harus diketahui,
yaitu:
a. Memperlajari perubahan dan perkembangan persepsi, serta pengertian
tentang relitas.
b. Dialog antar umat beragama merupakan suatu proyek dua pihak
internal pemeluk agama dan antar masyarakat penganut agama yang
berbeda.
c. Peserta dialog harus datang dan mengikuti dialog dengan kejujuran dan
ketulusan yang sungguh-sungguh.
d. Peserta dialog harus mendefinisikan dirinya sendiri atau partner
dialognya.
e. Setiap peserta dialog tidak diperbolehkan melakukan perbandingan
antara yang ideal dengan yang parkis. Namun, yang dibandingkan
adalah antara ideal yang ideal dan antara yang praktis dengan yang
parktis dari partner dialog.12
f. Dialog harus dilakukan dengan saling percaya.
11 Ibid., 166. 12 Samsi, Membumikan Dialog., 4.
21
g. Peserta dialog bersifat kritis, baik pada agama yang dianut oleh partner
dialognya maupun pada agama yang ia anut sendiri.
h. Setiap peserta dialog harus mencoba mengalami agama mitra
dialognya.
i. Peserta dialog harus mengikuti dialog tanpa asumsi-asumsi yang
kukuh dan tergesa-gesa mengenai perkara yang tidak disetujui.
Dari beberapa prinsip dialog sangat membantu posisi dan tugas
peserta dialog antar umat agama. Prinsip-prinsip dialog dipahami dengan
benar agar tidak mengacaukan situasi dialog. Karena dalam bidang
bertemunya dua keyakinan yang berbeda apabila tidak ditanggapi secara
sehat dan baik oleh masing-masing peserta, hal ini dapat menimbulkan
kegagalan dalam membangun hubungan dialog yang sehat.13
4. Norma-norma Dialog Agama
Terdapat norma-norma yang dapat dijadikan pijakan dalam dialog
agama yang bersifat keagamaan, yaitu:
a. Harus bebas dari apologi khusus. Misalnya, apabila terdapat orang
Islam dan Katolik atau penganut agama lain yang mendekati penganut
agama lainnya dengan gagasan a priori yang membela agamanya
sendiri, maka ia akan mendapatkan pembelaan yang berharga dari
agama tersebut. Hal seperti ini bukanlah dialog agama, bukan
perjumpaan, apalagi saling menyumbang dan menyuburkan. Sikap
apologi harus dihapuskan jika ingin bersungguh-sungguh bertemu
13 Ibid., 5.
22
dengan penganut tradisi keagamaan yang lain. Bersikap apologi
mempunyai tempat dan fungsinya sendiri, namun tidak dalam
perjumpaan agama.14
b. Bukan sekedar ambisi pemuka agama. Setiap dialog agama dapat
terjadi dalam tingkat yang berbeda-beda dan tiap tingkat memiliki
kekhasannya sendiri. Pertemuan resmi diantara wakil-wakil kelompok
agama bukanlah berusaha mencapai kedalaman sejauh mungkin, tetapi
hanya berkewajiban memelihara tradisi. Mereka harus memikirkan
penganut yang mengikuti tradisi atau agama itu. Mereka harus
menemukan cara-cara untuk bertoleransi, bekerjasama untuk
memahami dan memecahkan problem-problem praktis.15
a. Bukan sekedar sinopsium teologis. Dialog agama bukanlah sekedar
usaha untuk membuat orang luar memahami maksud keyakinan agama
orang lain. Akan tetapi, yang lebih penting adalah meresapi terlebih
dahulu apa yang akan diinformasikan sebelum menjelaskan sesuatu
yang tidak masuk akal.
b. Dimensi historis penting, tetapi tidak mencukupi. Agama bukan
sekedar suatu hal yang privat juga bukan sekedar hubungan vertikal
dengan yang Mutlak, melainkan pertalian dengan umat manusia.
Agama mempunyai sejarah masing-masing, namun hal tersebut saja
tidak cukup dalam melaksanakan dialog antar umat beragama. Dalam
dialog antar umat beragama harus mampu akrab dengan tradisi lama
14 Media Zainul Bahrul, Wajah Studi Agama-agama Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940)
(Jakarta: Pustaka Pelajar, 2015), 135. 15 Ibid.,137.
23
dan mampu melihat bagaimana keadaan sekarang dari agama tersebut.
Oleh karena itu, perjumpaan agama bukanlah perjumpaan para ahli
sejarah, melainkan dialog yang hidup pada suatu medan untuk
pemikiran kreatif dan jalan-jalan baru yang imajinatif, yang tidak
memutuskan hubungan dengan masa lampau, melainkan meneruskan
dan memperkembangkannya.16
c. Perjumpaan agama dalam iman, harapan dan kasih. Iman dimaksudkan
sebagai suatu sikap yang melampaui data sederhana dan juga
perumusan dogmatis dari pengakuan yang berbeda-beda. Sikap ini
menyetuh pemahaman, sekalipun dengan kata-kata dan konsep-konsep
yang berbeda. Harapan dipahami sebagai sikap mengharapkan yang
melampaui segala harapan, tidak hanya dapat melewati hambatan awal
kemanusiaan, tetapi juga melewati segala bentuk pandangan yang
semata-mata duniawi dan memasuki jantung dialog seolah-olah
didesak dari atas untuk menjalankan tugas yang suci. Cinta,
dimaksudkan sebagai penggerak hati yang mendorong untuk
menghargai sesama dan membimbing menemukan sesuatu yang
kurang dalam diri kita.17
5. Pentingnya Dialog Agama
Berdasarkan prinsip-prinsip dan norma-norma dalam dialog agama,
maka dialog agama merupakan suatu hal yang penting. Menurut Mukti Ali
mengemukakan bahwa terdapat beberapa alasan penting adanya dialog
16 Media Zainul, Wajah Studi Agama-agama., 156. 17 Ibid., 158
24
agama, yaitu pertama, pluraslisme agama merupakan kenyataan yang
semakin jelas. Di Indonesia sendiri terdapat banyak agama dan
kepercayaan. Pada konteks ini, orang tidak bisa menutup mata akan
hadirnya agama dan kepercayaan lain. Seseorang tidak bisa mengabaikan
kenyataan eksistensi agama-agama lain yang hidup berdampingan
dengannya. Kedua,karena kenyataan pluralisme semua pemeluk agama
akhirnya memiliki keinginan dan kebutuhan untuk menjalin kontak dengan
pemeluk agama lain. Dalam dunia yang yang cepat berubah dan
tersedianya teknologi komunikasi yang sangat canggih, maka setiap
pemeluk agama akan bersentuhan dan berkomunikasi dengan pemeluk
agama lain. Karena alasan inilah para penganut agama yang berbeda-beda
membutuhkan komunikasi dan dialog agama agar dapat menegakkan
keadilan, tolong menolong, menciptakan perdamaian, kebebasan beragama
tanpa paksaan.18 Hal ini sesuai dengan Firman Allah,
Artinya: “Katakanlah: "Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan
penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah.
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”19
18 Ibid., 138. 19 QS. Al-Kafirun [109]: 1-6.
25
Berdasarkan ayat di atas, umat manusia diperintahkan untuk
bersikap toleransi terhadap penganut agama lain. Sikap toleransi dapat
dilakukan dengan cara, yaitu mempercayai bahwa terdapat agama lain,
selain agama yang diyakini tanpa harus berpindah kepercayaan.
Melakukan komunikasi dengan penganut agama lain, agar dapat saling
menghormati, menghargai dan tolong-menolong dalam hal kebaikan.
Serta dapat dilakukan dengan cara dialog agama agar mendapatkan
kebenaran tentang agama yang dianut. Sehingga perasaan buruk terhadap
agama lain dapat diminalisir. Dengan demikian, dapat menciptakan
hubungan antar umat beragama yang harmonis, rukun dan dapat
menumbuhkan sikap solidaritas yang tinggi.
Namun, dalam hal ini Allah melarang untuk berkompromi dalam
urusan akidah. Sehingga dalam dialog antar umat beragama, permasalahan
tentang akidah tidak dijadikan sebagai topik dialog, karena agama
merupakan urusan pribadi antara pribadi dengan Tuhan, dimana agama
satu tidak bisa dicampurkan dengan agama yang lain. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa semua agama mempunyai kedudukan yang sama,
tidak ada yang rendah dan tidak ada yang tinggi. 20
Mukti Ali juga mengemukakan alasan teologis yaitu bahwa umat
manusa berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan. Dalam ajaran
sufisme disebutkan bahwa laki-laki maupun perempuan merupakan citra
atau image Tuhan dan diciptakan untuk tujuan akhir yang sama yaitu
20 Mohammad, Pendidikan Orang Dewasa., 257.
26
menuju Tuhan. Inti agama seluruh Rasul adalah sama dan umat serta
agama mereka itu seluruhnya adalah umat dan agama yang satu. Hal ini
sesuai dengan firman Allah,
Artinya: “Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu
semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, Maka
bertakwalah kepada-Ku.21
Kaum muslim sendiri diperintahkan untuk beriman (mengakui)
kepada semua nabi dan rasul yang diturunkan, tanpa membeda-bedakan
seorang atas yang lain sambil berserah diri kepada Allah. Hal ini sesuai
dengan Firman Allah,
Artinya: “Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman
kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan
apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq,
Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan
kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada
nabi-nabi dari Tuhannya. kami tidak membeda-bedakan
seorangpun diantara mereka dan kami Hanya tunduk
patuh kepada-Nya".”22
Dari sini lahir konsep kesatuan umat manusia dan kesatuan inilah
yang mendorong manusia untuk berusaha mewujudkan perdamaian
21 QS. Al-Mu’min [23]: 52. 22 QS. Al-Baqarah [2]: 136.
27
bersama. Karena alasan teologis inilah, maka para penganut agama harus
mengambil sikap positif terhadap agama-agama yang bukan agamanya
sendiri. Hal ini bisa dilakukan dengan dialog dan kerja sama antar
pemeluk agama untuk bersama-sama mengenal, memelihara dan
meningkatkan spiritual dan moral. Dengan cara ini, umat Beragama akan
mengetahui betapa banyak kemurahan Tuhan yang dilimpahkan kepada
hamba-hambanya.23
Dialog agama tidak hanya penting tetapi harus dirasakan sebagai
suatu kebutuhan bersama dalam hubungan antar pemeluk agama. Tanpa
dialog, umat beragama yang satu akan merasa sulit untuk memahami dan
mengerti ajaran, sejarah perkembangan dan tradisi umat agama lain. Hal
yang penting adalah pembinaan dan dialog internal masing-masing
pemeluk agama. Pembinaan adalah tugas tokoh agama bersama-sama
dengan pemerintah. Keduanya memiliki peran yang sama penting dalam
kehidupan Bergama, sekalipun memiliki fungsi dan bentuk yang
berbeda.24 Dialog internal keagamaan penting dilakukan untuk memelihara
kebersamaan. Adanya dialog dapat memberikan kesadaran kepada umat
beragama tentang cara dan sikap memahami agamanya dan hubungan
dengan umat beragama yang berbeda. Sehingga akan meningkatkan
wawasan berfikir dan pengetahuan keagamaan serta meningkatkan
23 Media Zainul, Wajah Studi Agama-agama., 318 24 Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Studi Agama (Jakarta: CV Pustaka Setia, 2005), 159.
28
kebersamaan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.25 Berikut
manfaat dilakukannya dialog agama, sebagai berikut:
1. Dialog antar umat beragama membantu seseorang untuk tumbuh lebih
kukuh dan mantap dalam agamanya sendiri ketika berjumpa dengan
orang atau kelompok yang memiliki kepercayaan yang berbeda
dengannya. Seringkali kebenaran itu lebih tampak, lebih dihargai dan
lebih dipahami jika dihadapkan dengan pandangan orang lain yang
berbeda agama. Dialog semacam itu akan semakin memurnikan dan
memperdalam keyakinannya sendiri. Pandangan Mukti Ali, dapat
diartikan bahwa dialog yang di dalamnya terdapat saling mengerti,
memahami dan belajar dari kekayaan tradisi orang lain, maka akan
memunculkan keyakinan yang sungguh-sungguh akan kebenaran
agamanya.
2. Dialog agama dapat meningkatkan kerja sama, saling pengertian dan
saling menghormati antar manusia. Motivasi agama adalah salah satu
dorongan yang paling kuat untuk melahirkan tindakan. Masyarakat
selalu dihadapkan oleh adanya perubahan, tantangan, bahaya,
ketegangan krisis dan kesempatan yang menuntut umat beragama
untuk meningkatkan keadilan dan perdamaian, cinta dan kasih. Hal
tersebut dapat terlaksana dengan baik melalui serangkaian dialog yang
dilakukan.
25 Ibid.
29
Dengan berbagai penjelasan diatas, maka dialog agama bukan
semata kerja kademis, buka pula merupakan diskusi filosofis dan teologis
belaka, namun dialog dianjurkan agama. Dialog adalah usaha untuk
keselamatan dan kesejahteraan dan ia adalah bagian dari tujuan total
agama, tugas agama sangat kompleks dan hanya dapat dicapai melalui
hubungan vertikal (dengan Tuhan) dan horizontal (dengan manusia)
sekaligus.26
6. Bentuk-bentuk Dialog Agama
Menurut Mukti Ali, bentuk dialog agama ada lima, yaitu:
a. Dialog Diskusi Teologis
Dialog diskusi teologis dapat berbentuk pertemuan-pertemuan
baik regular maupun tidak regular yang bertujuan untuk menjelaskan
ajaran agama atau keyakinan yang dianut oleh masing-masing pihak
guna dipahami dan dimengerti, namun bukan untuk diperdebatkan atau
untuk memengaruhi peserta dialog yang agama atau keyakinannya
berbeda.27 Hal yang terpenting dalam dialog teologi adalah bagaimana
berbagi pengalaman dengan komunitas agama yang berbeda, bukan
sebaliknya mencari perbedaan-perbedaan yang dapat menghalangi dan
memperkeruh jalannya dialog. Apabila perbedaan keyakinan dan
keimanan ditonjolkan maka hal ini akan berakibat memunculkan
klaim-klaim yang memposisikan satu agama pada posisi yang
diunggulkan. Dialog teologis hanya dapat dilakukan oleh pemimpin-
26 Media Zainul, Wajah Studi Agama-agama., 319. 27 G. Edwi, Menjadi Pribadi Religus., 59.
30
pemimpin agama yang cukup mendalami persoalan-persolan teologi
demi mewujudkan rasa dan sikap saling pengertian.28
b. Dialog untuk Doa Bersama
Model dialog ini sering dilakukan dalam pertemuan nasional
dan internasional yang dihadiri oleh berbagai tokoh agama yang
beragam dan para pengikutnya. Hal ini, bukan berarti doa bersama
dengan doa yang sama. Namun, melakukan doa bersama dengan cara
sendiri-sendiri sesuai dengan keyakinannya untuk tujuan yang sama.
Misalnya, untuk perdamainan dunia, keselamatan bersama dan lain
sebagainya.29
c. Dialog Kerjasama
Dialog kerjasama merupakan dialog yang dilakukan oleh
individu yang berbeda keyakinan untuk melakukan kerjasama guna
membantu orang lain tanpa melampaui batas sosio kultural yang ada.
Hal ini bertujuan untuk meringankan beban orang lain tanpa harus
memandang siapa dia dan agamanya apa. Inspirasi yang mendasari
adalah kehadiran agama sebagai pejuang keadilan dan hak asasi
zmanusia.30
d. Dialog Antarmonastik
Dialog antarmonastik merupakan dialog dengan teknik tukar-
menukar pegalaman hidup orang yang dianggap suci oleh agamanya
dengan cara menetap pada tempat tinggalnya dengan waktu yang telah
28 Ibid. 29 Antonius, Relasi dengan Tuhan., 367. 30 G. Edwi, Menjadi Pribadi Religius., 60.
31
ditentukan.31 Dialog yang intens atau tinggal di suatu tempat orang
yang berbeda agama dalam waktu-waktu tertentu dapat meruntuhkan
atau meluruhkan berbagai prasangka, kecurigaan dan pandangan
negatif tentang orang lain yang berbeda agama. Pada saat yang sama,
yaitu ketika telah menemukan pemahaman yang benar dan tepat
tentang perbedaan atau jawaban yang memuaskan, maka akan muncul
perasaan respect dan empaty.
Misalnya, pemimpin agama Hindu tinggal di Biara Buddhisme
untuk satu minggu, atau pemimpin Kristen tinggal di pondok pesantren
untuk satu minggu untuk mempelajari tradisi agama yang
ditinggalinya. Jelasnya, pemimpin suatu agama bersedia tinggal dalam
waktu tertentu dipusat agama orang lain. Dengan itu, akan timbul
saling pengertian yang mendalam dan saling menghargai serta dapat
melakukan kerjasama dalam berbagai bidang. Namun, yang melakukan
dialog model ini bukanlah sembarang orang, melainan para pemimpin
atau tokoh-tokoh agama atau orang yang bersungguh-sungguh ingin
mengetahui kehidupan sehari-hari pemimpin agama lain.32
e. Dialog Kehidupan
Dialog kehidupan merupakan bentuk yang paling sederhana
dari pertemuan antar umat beragama. Disini para pemeluk agama yang
berbeda saling bertemu dan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka membaur satu sama lain dalam aktivitas sosial secara normal.
31 M. Khoiril Anwar, “Dialog Antar Umat., 105. 32 Media Zainul, Wajah Studi Agama-agama., 317.
32
Sehingga mereka dapat merasakan keadaan yang sama, baik itu suka
maupun duka, sehingga dapat mewujudkan kepedulian terhadap
sesama.33
Dalam dialog kehidupan yang terjadi adalah pertemuan dari
berbagai umat beragama yang berbeda-beda. Dimana, agama tidak
menjadi topik perbincangan, karena dianggap dapat menghalangi
untuk melakukan kerjasama antar umat beragama. Masing-masing
umat beragama menganggap bahwa agama merupakan urusan pribadi
antara pribadi dengan Tuhan, dimana orang lain tidak berhak ikut
campur dalam urusan itu.34
7. Petunjuk Praktis Dialog Agama
Dialog dalam agama bisa lahir dengan baik, jika seseorang yang
menganut agama terbuka untuk melihat kembali kebenaran agamanya
sendiri dengan kritis. Dalam dialog hal penting yang harus dimiliki
seseorang adalah ketulusan hati untuk sampai pada tujuan masa depan
yang lebih baik. Sebuah dialog harus dilakukan dengan suasana yang
bebas dan penuh persahabatan.35 Agar suatu dialog agama dapat berjalan
dengan baik, maka dibutuhkannya beberapa hal, yaitu Pertama, persiapan
yang sama untuk perjumpaan dari kedua belah. Mukti Ali, memberikan
petunjuk praktis yang berkaitan dengan rencana dan persiapan dialog antar
33 Samsi, Membumikan Dialog., 9. 34 Ibid., 10. 35 Sangkot Sirait, Iman Di Tengah Dinamika Budaya: Ekspresi, Misi dan Fungsi Agama di Tengah
Pluralitas (Yogyakarta: MPI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, 2017),
75.
33
agama, sehingga dapat tercapai sasaran dan tujuan yang hendak dicapai,
yaitu:
a. Memahami elemen-elemen yang sama dan berbeda dalam setiap
agama, sejarah, dan peradabannya.
b. Menghormati integritas dan kebudayaan orang lain.
c. Memberikan bantuan yang nyata untuk kehidupan antar gama yang
harmonis.
d. Mengukuhkan komitmen bersama untuk berusaha menciptakan
kehidupan yang berkeadilan sosial dan menggiatkan pembangunan
negeri kita yang sedang membangun.
e. Berusaha bersama untuk memperkaya kehidupan spiritual dan
agamis.36
Kedua, kepercayaan timbal balik yang nyata antara peserta dialog
yang terlibat dalam perjumpaan. Tidak ada satu pihak pun yang
menyembunyikan keyakinan pribadinya. Ketiga, permasalahan yang
berbeda-beda harus diatasi diatasi dengan hati-hati agar tidak terjadi
kekacauan.37
Hal ini dilakukan agar muncul suatu kejelasan adanya persamaan
dan perbedaan ajaran satu agama dengan yang lainnya. Dialog tidak berarti
setiap orang harus meninggalkan keyakinan agamanya, namun dialog
merupakan suatu perjumpaan yang sungguh-sungguh, bersahabat dan
36 Adeng Muchtar, Ilmu Studi Agama., 159. 37 Ibid., 158.
34
berdasarkan hormat dan cita antar berbagai pemeluk agama yang
beragama.
8. Faktor Pendukung dan Penghambat Dialog Agama
Faktor pendukung dialog agama, yaitu:
a. Adanya sikap saling terbuka antar sesama, sehingga dapat
menumbuhkan sikap saling percaya antar sesama dan prasangka buruk
dapat diminimalisir.
b. Adanya sikap toleransi, yaitu saling menghormati, menghargai antar
sesama.
c. Adanya kesamaan unsur budaya, sehingga akan mempermudah
individu untuk melakukan dialog.
Sedangkan faktor penghambat dialog agama, yaitu:
a. Sikap saling mencurigai antar umat beragama. Hal ini akan
menghambat dialog antar umat Islam dan Katolik, karena orang mudah
curiga ketika terdapat pihak tertentu yang mencoba menjalin
kerukunan dengan umat beragama lainnya.
b. Sikap menyamakan semua agama, sehingga masing-masing agama
seolah tidak memiliki kekhasan.
c. Merasa agamanya yang paling baik dan hanya agamanyalah yang bisa
membawa orang menuju pada keselamatan.
d. Kebiasaan lama yang menjadikan agama sebagai salah satu kendaraan
dalam berpolitik. Usaha untuk meraih/mewujudkan kepentingan
pribadi tetapi mengatasnamakan agama.
35
Kondisi perekonomian yang semakin menyulitkan bagi
kebanyakan warga masyarakat untuk bertahan hidup. Sehingga kesadaran
akan perlunya membentuk kerukunan antar umat beragama jauh drai
jangkaun pemikiran mereka, karena yang ada dipikiran mereka adalah
memenuhi kebutuhan ekonomi, dan bukan kebutuhan yang lain.38
38 G. Edwi, Menjadi Pribadi Religius., 65.
Recommended