View
213
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
27
BAB II
KEMITRAAN INDONESIA-AUSTRALIA MENANGGAPI ISU
PERUBAHAN IKLIM
Kolaborasi kemitraan antara Indonesia dan Australia dalam menangani
perubahan iklim menggunakan dasar mekanisme REDD+. Mekanisme tersebut
mengkhususkan upaya pengurangan emisi GRK melalui penanganan hutan secara
lestari. Istilah REDD+ mucul pertama kali pada momentum COP 13 di Bali tahun
2007 di mana pembahasan mengenai pengganti Protokol Kyoto mulai
dibicarakan. Urgensi pengurangan emisi GRK melalui pencegahan deforestasi dan
degradasi hutan dimulai sejak adanya penelitian yang membuktikan bahwa
deforestasi telah menyumbang emisi sebesar 20% dari total jumlah emisi di dunia.
Beragam permasalahan yang disebabkan oleh perubahan iklim semakin
meresahkan masyarakat dunia. Beberapa dampak perubahan iklim yang
meresahkan masyarakat Indonesia adalah seperti bergesernya masa tanam petani.
Cuaca yang tidak menentu menyulitkan petani menentukan waktu yang tepat
untuk mengelola lahannya. Kenaikan gelombang air laut juga telah membuat
nelayan menghadapi cuaca yang tidak menentu sekaligus gelombang tinggi yang
ada di lautan. Perubahan angin barat yang semula berlangsung selama empat
bulan, sekarang bisa sampai tujuh bulan sehingga membuat gelombang yang lebih
tinggi dan menyebabkan perahu-perahu milik nelayan yang memiliki ukuran lebih
28
besar tidak bisa melaut. Selain itu, berbagai macam penyakit baru juga terus
bermunculan akibat cuaca yang semakin panas.35
Indonesia telah mengalami dampak dari perubahan iklim dan mulai melihat
isu tersebut sebagai persoalan yang tidak hanya penting untuk ditangani namun
juga syarat untuk kelangsungan hidup manusia di bumi. Kemitraan IAFCP
menjadi salah satu jembatan bagi Indonesia untuk mencapai target pengurangan
emisinya sejumlah 26% dengan usaha sendiri atau sejumlah 41% jika mendapat
bantuan dari tingkat internasional pada tahun 2020.36 Kemitraan IAFCP juga
membantu finansial Indonesia untuk melestarikan lingkungan hidup, khususnya
hutan-hutan Indonesia karena keterbatasan anggaran yang dimiliki Indonesia
untuk bidang lingkungan hidup.37
1.1 Isu Perubahan Iklim dalam Konstelasi Global
2.1.1 Perkembangan Isu Lingkungan Hidup Global
Isu lingkungan hidup mulai mendapat perhatian dalam tataran global sejak
pemahaman tentang keamanan (security) terus mengalami perkembangan.
Perspektif tradisionalis awalnya membatasi masalah keamanan hanya seputar
35 Pebriansyah Ariefana, Dampak Perubahan Iklim di Indonesia yang Sudah Terasa, suara.com,
diakses dalam http://www.suara.com/news/2015/10/30/060600/dampak-perubahan-iklim-di-
indonesia-yang-sudah-terasa (1/9/2016, 11:48 WIB). 36 Komitmen tersebut diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menghadiri Pertemuan
Puncak G-20 di Pittsburgh pada 25 September 2009. Lebih lanjut baca: Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca, Op. Cit. 37 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia untuk bidang lingkungan hidup
tiap tahun memang selalu meningkat, namun tidak lebih besar dari anggaran yang disediakan
untuk bidang lainnya seperti bidang ekonomi dan pelayanan umum. Tercatat pada tahun 2008,
APBN untuk lingkungan hidup sejumlah 5,315,1 Triliun dari total 693.356,0 Triliun. Sampai
dengan penulisan penelitian ini tahun 2016, APBN untuk bidang lingkungan hidup hanya 1% dari
total APBN berarti sejumlah 12,1 Triliun dari total 1.325,6 Triliun. Direktorat Penyusunan APBN,
Direktorat Jenderal Anggaran, Informasi APBN 2016, diakses dalam
http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/bibfinal.pdf (10/10/2016, 02:41 WIB).
29
militer dan perang. Sedangkan perspektif modern telah memperluas cakupan
keamanan sehingga mencakup pula masalah ekonomi, lingkungan, dan
kemasyarakatan.38
Perkembangan selanjutnya, Jaap de Wilde dari mahzab Copenhagen School
menyatakan semenjak berakhirnya Perang Dingin, rujukan keamanan bagi
komunitas internasional tidak lagi pada keamanan militer, namun kepada
keamanan manusia (human security).39 Isu keamanan manusia terus menjadi
perhatian hingga akhirnya United Nations Development Programme (UNDP)
mengeluarkan laporan tahun 1994 yang menjabarkan tujuh dimensi sebagai
pertimbangan menciptakan keamanan manusia, yaitu keamanan ekonomi, pangan,
kesehatan, lingkungan, individu, komunitas, dan politik.40
Keamanan lingkungan merupakan isu yang kian mendapat sorotan dari
masyarakat internasional. Urgensi keamanan lingkungan disebabkan karena
penurunan kualitas lingkungan hidup di bumi. Isu lingkungan hidup semakin
berkembang karena dipengaruhi oleh perkembangan politik internasional dan
berbagai pertemuan internasional yang membahas tentang isu tersebut. Pertemuan
internasional yang membahas isu lingkungan dibagi menjadi tiga tahapan. Tahap
pertama membahas seputar isu lingkungan hidup dimulai dengan pelaksanaan
United Nations Conference on Human Environment (UNCHE) sejak tahun 1972
di Stockholm Swedia. Tahap kedua membahas tentang pembangunan
berkelanjutan yang dimulai tahun 1987 pada World Comission on Environment
38 Ganewati Wuryandari, Op. Cit., hal. 17. 39 Ibid., hal. 18. 40 Monica den Boer dan Jaap de Wilde, 2008, The Vability of Human Security, Amsterdam,
Amsterdam University Press dalam Ganewati Wuryandari, Ibid.
30
and Development (WCED). Selanjutnya pada tahap ketiga membahas tentang isu
pemanasan global dan perubahan iklim yang sudah mulai dibahas di sela-sela
tahap kedua sejak tahun 1988 pasca terbentuknya Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC)41.
Pertemuan pada tahap pertama mengenai lingkungan hidup telah berhasil
menempatkan posisi isu lingkungan hidup pada tingkatan utama. Namun, isu
tersebut masih belum mengaitkan isu lingkungan dengan pembangunan ekonomi
di tingkat global. Pada masa itu, komunitas internasional hanya memfokuskan
pada perlindungan lingkungan hidup, manusia yang hidup di dalamnya, dan
makhluk hidup lain yang mendukung kehidupan manusia. Padahal, aspek
pembangunan ekonomi juga memiliki pengaruh dalam upaya pelestarian
lingkungan hidup.
Pembahasan mengenai pembangunan dengan tetap memperhatikan
keamanan lingkungan baru dibahas pada konferensi internasional tahap kedua.
Pada konferensi WCED di Oslo, Norwegia tahun 1987 telah muncul sebuah
laporan yang pertama kali merumuskan konsep pembangunan berkelanjutan atau
sering disebut laporan Brundtland Commission. Konsep tersebut dikeluarkan
untuk melindungi hak-hak generasi mendatang dalam menikmati sumber daya
alam. Laporan tersebut juga mengajak masyarakat internasional untuk
berpedoman pada konsep keberlanjutan dalam mengelola lingkungan maupun
mengeksploitasi sumber daya alam.42
41 IPCC merupakan badan yang dibentuk oleh World Meteorological Organization (WMO) dan
United Nations Environment Programme (UNEP) pada tahun 1988 di Geneva, Swiss. Lebih lanjut
baca di Ganewati Wuryandari, Ibid., hal. 38-40. 42 United Nations Headquarters, Op. Cit.
31
Permasalahan lingkungan hidup semakin kompleks, di tengah pembahasan
mengenai pembangunan berkelanjutan, pembahasan isu lainnya seperti perubahan
iklim sudah mulai dibicarakan oleh komunitas internasional. Dimulai dengan
digelarnya Konvensi Viena tahun 1985 yang membahas tentang pembatasan emisi
Gas Rumah Kaca (GRK) untuk melakukan perlindungan terhadap ozon.
Selanjutnya, tahun 1987 dibentuk Protokol Montreal yakni sebuah traktat
internasional untuk melindungi lapisan ozon dengan menghilangkan beberapa zat
yang merusak lapisan ozon. Bukti ilmiah menyatakan fenomena kebocoran
lapisan ozon disebabkan oleh beberapa zat seperti Chloro Fluoro Carbons
(CFC).43
2.1.2 Perkembangan Isu Perubahan Iklim
Perhatian terhadap emisi karbon sudah dimulai sejak tahun 1960, sejak
negara-negara industri menaikkan ketinggian cerobong asap industri untuk
membuang polutan ke atmosfer. Hal tersebut dianggap sebagai masalah politik
lingkungan hidup global (global environmental politics) karena menyebabkan
polusi udara sampai lintas batas negara. Swedia sebagai salah satu negara yang
terkena dampak membuktikan bahwa salah satu danau miliknya tercemar akibat
emisi dari negara-negara industri di kawasan Eropa. Swedia juga merupakan
negara yang menginisiasi konferensi internasional pertama yang membahas
43 Akhir tahun 1980an, terjadi kerusakan lapisan ozon bumi secara cepat dan mendadak yang
disinyalir merupakan ulah dari manusia. Lepasnya Chloro Fluoro Carbons (CFC) ke atmosfer
yang digunakan dalam alat semprot aerosol, sebagai zat pendingin dalam almari es, pendingin
ruangan, dalam insulasi busa, serta sebagai zat pelarut dalam industri-industri elektronika dan
komputer adalah penyebab utama kerusakan lapisan ozon bumi. Lebih lanjut baca Lynn H. Miller,
2006, Agenda Politik Internasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 487-488.
32
tentang lingkungan hidup atau disebut UNCHE pada tahun 1972 di Stockholm,
Swedia.44
Keberadaan IPCC yang dibentuk oleh World Meteorological Organization
(WMO) dan United Nations Environment Programme (UNEP) semakin
memperkuat keberadaan isu perubahan iklim di tataran global. Tujuan
dibentuknya IPCC adalah untuk mengevaluasi besaran dan perubahan iklim,
mengalkulasi dampak dan kerugian yang ditimbulkan oleh perubahan iklim, dan
merumuskan strategi untuk merespons perubahan iklim. Berdasarkan laporan
IPCC yang pertama, berhasil dikeluarkan pengesahan terhadap Konvensi
Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau disebut United Nation
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sebagai hasil Konferensi
Rio tahun 1992.45
Laporan IPCC kedua dikeluarkan untuk digunakan sebagai masukan pada
Conference of Parties (COP)46 3 tahun 1997 di Kyoto, Jepang yang menghasilkan
Protokol Kyoto. Protokol Kyoto merupakan kesepakatan yang berisikan tentang
desakan bagi negara-negara maju untuk menurunkan emisi GRK rata-rata 5%
dibanding dengan emisi tahun 1990 selama lima tahun dari 2008-2012.47
Sedangkan laporan IPCC ketiga dikeluarkan tahun 2001 yang menyatakan
44 Gareth Porter and Janet Welsh Brown, 1991, Global Environmental Politics, Central Ave:
Westview Press, hal. 72. 45 Ibid., hal. 39 46 Conference of Parties (COP) adalah pertemuan negara-negara yang meratifikasi UNFCCC. 47 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siaran Pers, diakses dalam
http://www.dephut.go.id/index.php/news/details/1688 (31/1/2016, 03:07 WIB).
33
kenaikan suhu bumi pada abad ke-21 telah berlipat ganda dan penyebab utama
fenomena tersebut adalah manusia.48
Berikut merupakan tabel konferensi internasional yang membahas tentang
perubahan iklim yang dilengkapi dengan lokasi, waktu, dan agenda yang
dihasilkan pada setiap konferensi.
Tabel 2.1 Pertemuan Internasional tentang Perubahan Iklim49
NO NAMA
KONFERENSI
TEMPAT &
WAKTU
AGENDA
1 IPCC Geneva, Swiss.
1988 • Mengevaluasi besaran dan periode
perubahan iklim.
• Mengalkulasi dampak dan
kerugian yang ditimbulkan dari
perubahan iklim.
• Merumuskan strategi untuk
merespons perubahan iklim.
2 COP 1 Berlin, Jerman.
28 Maret-7
April 1995
• Berlin Mandate yang berisi
persetujuan para pihak untuk
memulai proses yang
memungkinkan untuk mengambil
tindakan pada masa setelah tahun
2000, termasuk menguatkan
komitmen negara-negara melalui
adopsi suatu protokol atau
instrument legal lainnya.
3 COP 2 Geneva, Swiss.
8-19 Juli 1996 • Geneva Declaration yang berisi
ajakan kepada semua pihak untuk
mendukung pengembangan
protokol dan instrument legal
lainnya yang didasarkan atas
temuan ilmiah.
4 COP 3 Kyoto, Jepang.
1-11 Desember
1997
• Protokol Kyoto yang disahkan
sebagai dasar bagi negara-negara
Annex I yang umumnya negara
maju, untuk mengurangi emisi
Gas Rumah Kaca (GRK) paling
sedikit hingga 5% dari tingkat
emisi tahun 1990 sebagai bagian
48 Ganewati Wuryandari, Op. Cit., hal 39. 49 Ibid., hal 69-74.
34
dari komitmen pertama yang akan
dilaksanakan tahun 2008-2012.
• Perdagangan karbon (carbon
trading), yang terjadi antara
penjual dan pembeli kredit
karbon.
• Joint Implementation (JI), yaitu
investasi negara-negara Annex I
yang lain, juga di negara yang
sedang mengalami transisi seperti
di Rusia, sehingga ongkos
pengurangan emisi karbonnya
menjadi lebih murah.
• Clean Development Mechanism
(CDM), yang mengizinkan negara
maju untuk menginvestasikan
beragam proyek untuk
mengurangi emisi karbon di
negara berkembang.
5 COP 4 Buenos Aires,
Argentina.
2-14
November
1998
• Buenos Aires Action Plan yang
merancang tindak lanjut
implementasi Protokol Kyoto
berikut tenggat waktunya,
terutama yang berhubungan
dengan mekanisme keuangan dan
alih teknologi, khususnya bagi
negara-negara berkembang.
6 COP 5 Bonn, Jerman.
25 Oktober-5
November
1999
• Implementasi Buenos Aires Action
Plan dimana para pihak
mengalokasikan tenggat waktu
selama dua tahun untuk
memperkuat komitmen terhadap
konvensi, penyusunan rencana,
dan pelaksanaan Protokol Kyoto.
7 COP 6 Bonn, Jerman.
16-27 Juli
2001
• Kesepakatan Bonn untuk
melaksanakan Buenos Aires
Action Plan yang berisi
mekanisme pendanaan di bawah
Protokol Kyoto dengan referensi
beberapa pasal dalam protocol
tersebut, membentuk dana baru di
luar ketentuan mengenai konvensi
bagi negara berkembang, dan
membentuk dana adaptasi dari
CDM.
35
8 COP 7 Marakesh,
Maroko.
29 Oktober-10
November
2001
• Marakesh Accord yang membahas
mengenai ketentuan perdagangan
karbon (Emission Trading/ ET)
9 COP 8 New Delhi,
India. 23
Oktober-10
November
2002
• New Delhi Declaration yang
berisikan 13 butir upaya
mengatasi dampak perubahan
iklim sekaligus untuk mencapai
tujuan pembangunan
berkelanjutan, serta perlunya
segera meratifikasi Protokol
Kyoto oleh beberapa pihak yang
belum meratifikasi.
10 COP 9 Milan, Italia.
1-12 Desember
2003
• Mekanisme pembangunan bersih
di sektor kehutanan.
11 COP 10 Buenos Aires,
Argentina. 6-
18 Desember
2004
• Buenos Aires Programme of Work
on Adaptation and Response
Measures yang membahas
adaptasi perubahan iklim, dan
bertujuan untuk mendorong
negara-negara maju untuk
mengalokasikan sebagian sumber
dayanya untuk negara
berkembang yang telah merasakan
dampak buruk dari perubahan
iklim.
12 COP 11 Montreal,
Kanada. 27
November-9
Desember
2005
• Diusulkannya kompensasi bagi
negara berkembang yang berhasil
mengurangi deforestasi melalui
pengelolaan hutan berkelanjutan
(sustainable forest management)
proyek Clean Development
Mechanism (CDM), serta
pembentukan dan pendukung
voluntary commitment dari negara
berkembang.
• Proses penyusunan prosedur dan
mekanisme kepatuhan
(compliance), pengesahan
Marakesh Accord mengenai
CDM, mekanisme keuangan
konvensi, proses pembahasan
penyiapan instrumen hokum pasca
berakhirnya Protokol Kyoto tahun
36
2012, serta proses pelaksanaan
dialog kerja sama jangka panjang
dalam bidang perubahan iklim
(global response).
• Pembahasan masalah
penghapusan (phase out)
penggunaan bahan-bahan yang
merusak lapisan ozon (Ozone
Depleating Substance), yang
sekaligus juga menegaskan
kembali bahwa Emission Trading
(ET) merupakan salah satu cara
untuk mengurangi emisi GRK.
13 COP 12 Nairobi,
Kenya. 6-17
November
2006
• Nairobi Work Programme, yang
berisi tentang pengadopsian
program kerja lima tahunan
tentang dampak, kerentanan, dan
adaptasi perubahan iklim.
14 COP 13 Bali,
Indonesia. 3-
15 Desember
2007
• Bali Road Map yang merupakan
proses negosiasi untuk
menguatkan respons internasional
dalam menghadapi perubahan
iklim yang termuat dalam Bali
Action Plan.
• Menambahkan konsep
Degradation sehingga menjadi
Reducing Emission from
Deforestation and Forest
Degradation (REDD) yang telah
disahkan sebelumnya dalam
pertemuan COP 11 di Montreal,
Canada, dan diterapkan di negara
berkembang.
• Implementasi isu pembangunan
dan transfer teknologi yang
ditindaklanjuti melalui
pembentukan Expert Group on
Technology Transfer (EGTT) dan
keputusan mengenai Adaptation
Fund.
15 COP 14 Poznan,
Polandia. 1-12
Desember
2008
• Mengenai skema pembiayaan
yang harus dilakukan oleh negara
maju untuk membantu negara
berkembang dalam upaya untuk
mengurangi emisi karbon.
• Mengenai transfer teknologi,
37
namun sayangnya tidak direspon
oleh negara Annex I
16 COP 15 Copenhagen,
Denmark. 7-19
Desember
2009
• Compenhagen Accord yang
menyatakan perubahan iklim
merupakan salah satu tantangan
terbesar yang dihadapi umat
manusia saat ini.
17 COP 16 Cancun,
Mexico. 29
November-10
Desember
2010
• Cancun Agreement sebagai upaya
untuk mengurangi pemanasan
global yang terdiri atas tiga
bagian, yaitu (a) Green Climate
Fund, penyaluran dana bantuan
jangka panjang untuk negara
berkembang, (b) Technology
Mechanism untuk mendapatkan
teknologi bersih, (c) Adaptation
Framework, berupa negara maju
membantu negara berkembang
dalam upaya perlindungan
terhadap dampak perubahan iklim.
18 COP 17 Durban, Afrika
Selatan. 28
November-11
Desember
2011
• Durban Platform, upaya pertama
kali melibatkan negara maju
seperti China dan India untuk
melanjutkan Green Climate Fund
melalui penyaluran dana $ 100
miliar guna membantu negara
berkembang untuk melindungi
dari dampak perubahan iklim.
19 COP 18 Doha, Qatar.
26 November-
8 Desember
2012
• (a) Adaptation, perubahan sosial
harus bisa beradaptasi terhadap
perubahan iklim yang terjadi,
fokuskan pada sektor pertanian
dan perencanaan perkotaan, (b)
Finance, negara-negara
membiayai adaptasi perubahan
iklim dimana pendanaan bisa
berasal dari dana pemerintah atau
swasta, (c) Migitation, langkah
dan aksi untuk mengurangi
dampak perubahan iklim, (d)
Technology, kebutuhan akan
teknologi yang bersih, (e) Damage
and Loss, menggarisbawahi
kerentanan negara-negara
berkembang akibat perubahan
iklim yang bisa dibantu melalui
38
kompensasi negara-negara maju
yang gagal mengurangi emisi
karbonnya.
Tabel pertemuan internasional di atas merupakan perjalanan dari komunitas
internasional dalam membahas isu perubahan iklim di tataran global. Bahaya
dampak isu perubahan iklim terus mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup
di bumi. Hal tersebut harus diimbangi dengan gerak aktif masyarakat internasional
untuk menciptakan gagasan baru sebagai bentuk tindakan antisipasi terhadap
dampak perubahan iklim seperti dibentuknya Protokol Kyoto.
Protokol Kyoto merupakan kesepakatan pertama yang menjadi dasar negara
maju untuk menurunkan emisi GRK. Guna mencapai target yang ditentukan,
Protokol Kyoto dilengkapi dengan mekanisme perdagangan karbon (carbon
trading), penerapan bersama (joint implementation), pemanfaatan rosot (sinks),
dan mekanisme pembangunan yang bersih (clean development mechanism/CDM).
Satu hal yang disayangkan, kesepakatan ini tidak mencakup pembahasan pada
upaya pengurangan deforestasi untuk mengurangi emisi karbon di negara
berkembang yang memiliki hutan tropis. Padahal, emisi karbon yang dihasilkan
oleh deforestasi mencapai 20% dari total emisi karbon global. Perhatian terhadap
isu deforestasi baru dibahas pada COP 13 tahun 2007 di Bali, Indonesia dengan
dimasukkannya upaya pengurangan emisi dari deforestasi pada Bali Road Map.
1.1.3 Kemunculan REDD dalam KTT Iklim Nusa Dua Bali
Digelarnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau
disebut COP 13 di Bali Tahun 2007 sekaligus untuk memperingati 10 tahun
39
keberadaan Protokol Kyoto. Pada kesempatan tersebut, para pemimpin negara
juga melakukan evaluasi atas pelaksanaan Protokol Kyoto di mana negara-negara
berkembang yang tergabung dalam Government 77 (G77) sulit menerima sikap
negara-negara industri yang telah membuat kesepakatan namun mengalami
kemunduran. Mayoritas peserta yang hadir dalam konferensi tersebut juga kecewa
terhadap sikap Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Jepang yang tidak
bersungguh-sungguh dalam proses penyelesaian masalah perubahan iklim.50
Indonesia sebagai tuan rumah konferensi tersebut, ikut menyerukan suara
tentang capaian implementasi Protokol Kyoto sekaligus mengusulkan
dibentuknya model baru pasca tahun 2012 sebagai pengganti dari protokol
tersebut. Ide yang ditawarkan oleh Indonesia adalah REDD, yakni pengurangan
emisi melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan di negara
berkembang.51 Usulan dari Indonesia tentang REDD akhirnya mendapat
kesepakatan dari pihak COP 13 untuk dimasukkan dalam Bali Action Plan
sebagai agenda ke-7.52
REDD muncul sebagai mekanisme untuk menciptakan insentif bagi negara
berkembang yang melindungi, mengelola, dan bijak dalam menggunakan sumber
daya hutannya, serta memberikan kontribusi terhadap perjuangan global untuk
melawan perubahan iklim. Strategi REDD bertujuan untuk menjadikan hutan-
hutan yang sudah ada agar lebih dihargai daripada hanya sekadar ditebang dengan
50 Wisnu Arya Wardhana, Op. Cit. 51 Broto Wardoyo, 2008, Mandat Bali: Footprint on the Sand, diakses dalam
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/3%20Mandat%20Bali%20-%20final%20edit%20OK.pdf
(21/6/15, 01:07 WIB). 52 United Nations Framework Convention on Climate Change, 2008, Report of the Conference of
the Parties on Its Thirteenth Session, hal. 20, diakses dalam
http://unfccc.int/resource/docs/2007/cop13/eng/06.pdf (21/6/15, 01:41 WIB).
40
menciptakan nilai keuangan untuk setiap karbon yang tersimpan dalam pohon.
Setelah keberadaan karbon dalam pohon dinilai dan diukur, maka negara-negara
maju akan membayar negara berkembang yang berhasil menyimpan karbon dalam
hutannya. Tujuan dari REDD memang sebagai inisiatif kehutanan mutakhir yang
berorientasi pada keseimbangan ekonomi dalam mendukung pengelolaan hutan
lestari sehingga seluruh pihak yang terlibat khususnya negara dan masyarakat bisa
ikut mendukung pengurangan emisi GRK.53
Setahun setelah itu, pihak yang terlibat melakukan pertemuan di Poznan
Polandia untuk mendiskusikan tentang kelemahan REDD yang ditemukan oleh
para ahli, seperti ketidakjelasan nasib dari masyarakat yang bergantung pada
sumber daya hutan sehingga mekanisme REDD perlu disempurnakan kembali.
Keputusan pada pertemuan tersebut untuk memberikan penambahan + (plus)
setelah kata REDD sehingga menjadi REDD+. Sehingga bertambah pula strategi
yang digunakan dalam REDD+, tidak hanya sebatas upaya pengurangan emisi
dari deforestasi dan degradasi hutan, namun juga dimasukkan unsur peran
konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan cadangan karbon hutan
dalam mengurangi emisi.54
Mekanisme REDD+ masih berada pada tahap persetujuan pada tingkat
kebijakan internasional, sehingga negara yang hendak menguji coba mekanisme
tersebut masih melakukan Demonstration Activities (DA). DA berfungsi untuk
menguji sekaligus mengembangkan metodologi, teknologi, dan institusi
53 UN-REDD Programme. Frequently Asked Questions. diakses dalam
http://www.unredd.net/index.php?option=com_docman&Itemid=134&view=download&alias=121
19-un-reddprogramme-faqs-en-12119&category_slug=frequently-asked-questions-3400 (19/6/15,
03:27 WIB). 54 Ibid.
41
pengelolaan hutan secara berkelanjutan untuk mengurangi emisi karbon melalui
upaya pengendalian deforestasi. Adanya DA REDD+ diharapkan akan
memunculkan desain pengelolaan hutan yang tepat untuk mekanisme REDD+.
Perjanjian Kopenhagen merupakan perjanjian yang secara terbuka
menyebutkan skema REDD+ sebagai bagian dari portofolio mitigasi iklim untuk
diimplementasikan pasca Protokol Kyoto. Perjanjian itu disebutkan sebagai
perjanjian internasional pertama yang merekomendasikan perlunya pengumpulan
dana untuk mendukung program REDD+. Beberapa negara memberikan
dukungan positif untuk skema baru ini, yakni negara-negara seperti Australia,
Prancis, Jepang, Norwegia, Inggris, dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut
mengaku untuk persiapan awal telah menyiapkan pendanaan untuk mekanisme
REDD+ sebesar 3,5 triliun US$.55
1.2 Indonesia dan Komitmen terhadap Perubahan Iklim
Sejak berdirinya Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat, Indonesia
terus menjaga eksistensinya di kancah internasional. Walaupun tergolong dalam
kategori negara berkembang, tidak menyurutkan Indonesia untuk berperan di
tataran internasional. Peran aktif Indonesia bisa dilihat dari keputusan Indonesia
untuk bergabung dalam organisasi-organisasi internasional guna menanggapi
55 Greenpeace Indonesia, Apa itu REDD?, diakses dalam
http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/melindungi-hutan-alam-terakhir/apa-itu-redd/
(21/6/15, 03:10 WIB).
42
berbagai macam isu strategis, dimulai dari isu ekonomi, sosial, lingkungan hidup,
sampai perubahan iklim.56
Perubahan iklim terjadi akibat pemanasan global yang disebabkan oleh
peningkatan emisi GRK. Penebangan hutan dituding sebagai penyebab utama laju
peningkatan emisi tersebut. Hutan Indonesia adalah yang terluas ketiga di dunia,
hal tersebut membuat Indonesia berada pada posisi penting dalam mempengaruhi
naik-turunnya emisi global. Indonesia memiliki kesempatan untuk menurunkan
jumlah emisi jika kegiatan pelestarian hutan bisa dilaksanakan dengan baik.
Namun Indonesia juga berkesempatan menyumbang emisi yang tinggi jika
ternyata kegiatan deforestasi terus terjadi di hutan Indonesia. Jika deforestasi terus
berlanjut, maka dampak yang muncul tidak hanya akan dirasakan oleh warga
Indonesia saja, namun seluruh warga negara di dunia.
1.2.1 Sumber Emisi GRK di Indonesia
Kalkulasi emisi yang dilaporkan pada Second National Communication
disusun berdasarkan enam kategori emisi yang merujuk pada panduan dari IPCC,
yakni energi, proses industri, pelarut (solvents), pertanian, perubahan tata guna
lahan dan kehutanan atau Land Use, Land-use Change and Forestry (LULUCF).
Sektor LULUCF menjadi perhatian khusus mengingat pada tahun 2000 besarnya
sumbangan emisi mencapai 45,86% dari total emisi di Indonesia.57 Tingginya
jumlah emisi yang dihasilkan sektor LULUCF dipengaruhi oleh desakan ekonomi
56 Beberapa contoh organisasi internasional yang diikuti oleh Indonesia adalah Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), Organisasi Kerja Sama Islam
(OKI), dan Association of South East Asian Nations (ASEAN). 57 Ganewati Wuryandari, Op. Cit., hal. 100.
43
dan pertumbuhan penduduk. Contohnya seperti kebutuhan sumber daya alam,
pengembangan sektor industri perkebunan, kebutuhan tempat tinggal akibat
membludaknya pertumbuhan penduduk menjadi alasan yang tidak bisa dibantah
atas berkurangnya wilayah hutan Indonesia. Tidak hanya itu, faktor lain yang ikut
mempengaruhi peningkatan jumlah emisi pada sektor LULUCF adalah kerusakan
hutan akibat penebangan liar dan kebakaran hutan yang disebabkan oleh ulah
manusia.58
Emisi karbon yang disebabkan oleh perubahan tata guna lahan di Indonesia
pada tahun 2000 menyumbang 699,5 JtCO2. Jumlah tersebut artinya Indonesia
menyumbang dua kali lipat dari emisi karbon akibat perubahan tata guna lahan di
Brazil yakni sejumlah 374,5 JtCO2.59 Deforestasi akibat peningkatan populasi
masyarakat Indonesia terjadi di beberapa pulau seperti Papua, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku, dan Sumatera. Berbeda dengan yang lain, deforestasi yang
terjadi di Pulau Jawa disebabkan oleh pengalihan hutan menjadi lahan pertanian
ataupun perkebunan.60
Maraknya industrialisasi hutan di Indonesia dimulai sejak adanya UU No. 5
Tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan. UU tersebut menyatakan bahwa seluruh
hutan berada di dalam pengelolaan negara di bawah Kementerian Kehutanan.
Tidak hanya itu, pada tahun 1970 dikeluarkan hak pengusahaan hutan (HPH)
sehingga pihak swasta dapat ikut terlibat dalam pengelolaan hutan dengan luas
minimum penguasaan hutan sebesar 50.000 hektar selama 20 tahun. Dua hal
tersebut menjadi penyebab mulai tersingkirnya kelompok pengusaha kecil dan
58 Ganewati Wuryandari, Op. Cit., hal. 103. 59 Ibid., hal. 108. 60 Ibid., hal. 109.
44
memberi ruang lebih luas kepada pengusaha besar untuk terlibat dalam
pengelolaan industri kehutanan Indonesia.61
Pengalihan tata guna lahan memiliki kaitan yang erat dengan terjadinya
fenomena emisi GRK. Hutan adalah komoditas berharga yang mampu
menyimpan karbon dalam jumlah yang besar. Jika pepohonan di dalam hutan
ditebang secara terus-menerus untuk pengalihfungsian lahan, maka hutan akan
melepas emisi. Tidak hanya itu, hutan yang terbakar juga akan melepaskan gas
karbon dioksida ke udara. Beragam fenomena yang terjadi di Indonesia,
memperjelas bahwa hutan yang awalnya menjadi harapan manusia untuk menjaga
bumi dari peningkatan emisi karbon telah berbalik menjadi sumber utama
peningkatan emisi karbon.62
1.2.2 Komitmen Indonesia terhadap Isu Perubahan Iklim
Dampak perubahan iklim terus mengalami perkembangan pada setiap
tahunnya, Indonesia sebagai negara yang rentan terkena dampak sekaligus telah
merasakannya berkomitmen untuk berperan aktif bersama dengan masyarakat
internasional. Secara perlahan namun pasti, Indonesia secara bertahap telah
memainkan peran penting dalam menanggulangi isu tersebut yang disesuaikan
dengan perkembangannya di tingkat internasional.
Pada tingkatan internasional, pembahasan isu lingkungan hidup ditandai
dengan digelarnya United Nations Conference on Environmental and
Development (UNCED) atau disebut KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil tahun
61 Ibid. 62 Ibid., hal. 111.
45
1992. Pertemuan tersebut menghasilkan beberapa agenda, yang salah satunya
adalah tentang pengesahan UNFCCC sebagai kesepakatan internasional untuk
melakukan upaya bersama dalam menstabilkan konsentrasi emisi GRK guna
mencegah terjadinya perubahan iklim. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal
21 Maret 1994 dengan diratifikasi oleh 190 negara. Pada masa ini, Indonesia juga
termasuk dalam kategori negara yang ikut meratifikasi UNFCCC.63
1. Ratifikasi Indonesia terhadap naskah UNFCCC melalui UU No. 6 Tahun
1994.64
Indonesia meratifikasi UU tersebut didasarkan pada kesadaran terhadap
peningkatan emisi GRK yang merugikan lingkungan hidup dan kehidupan
manusia. Indonesia memiliki peran strategis dalam menanggulangi dampak
tersebut dengan predikat Indonesia sebagai negara tropis ekuator yang mempunyai
hutan tropis basah terbesar dan negara kepulauan yang memiliki laut terluas
sehingga mampu berfungsi sebagai penyerap emisi GRK. Maka ratifikasi tersebut
merupakan peran aktif yang dilakukan sebagai bagian dari anggota masyarakat
internasional untuk menangani permasalahan global.
Selanjutnya pada COP 3 di Kyoto Jepang tahun 1997 yang menghasilkan
Protokol Kyoto untuk disahkan sebagai dasar bagi negara maju untuk mengurangi
emisi GRK minimal 5% dari tingkat emisi tahun 1990 pada kisaran tahun 2008-
2012. Beberapa pihak mendukung keberadaan Protokol Kyoto sebagai mekanisme
yang mampu membantu mengurangi emisi GRK. Namun, beberapa negara lain
63 Ibid., hal. 27. 64 SiPongi, Undang-Undang No. 6 Tahun 1994 tentang: Pengesahan United Nations Framework
Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengenai Perubahan Iklim), hal. 2, diakses dalam
http://sipongi.menlhk.go.id/cms/images/files/1025.pdf (10/10/2016, 09:34 WIB).
46
juga ada yang menolak untuk melakukan ratifikasi seperti Amerikan Serikat dan
Australia. Sedangkan Indonesia sudah ikut meratifikasi protokol tersebut pada
tahun 2004.65
2. Ratifikasi Indonesia terhadap Protokol Kyoto melalui UU No. 17 Tahun
2004.66
Ratifikasi Protokol Kyoto oleh Indonesia berdasarkan komitmen Indonesia
untuk mengurangi peningkatan emisi global. Ratifikasi tersebut juga
berkesinambungan dengan alasan Indonesia meratifikasi UNFCCC. Terlebih,
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di
dunia memiliki tingkat kerentanan yang lebih besar atas dampak perubahan
iklim.67 Indonesia sedang aktif melakukan pembangunan sehingga merasa butuh
untuk mengembangkan industri dengan teknologi bersih dan rendah emisi.
Indonesia yakin bahwa Protokol Kyoto merupakan mekanisme internasional yang
berguna untuk menstabilkan konsentrasi emisi GRK di atmosfer.
Keterlibatan Indonesia dalam forum internasional semakin terlihat sejak
naiknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004. Susilo Bambang
Yudhoyono merupakan presiden Indonesia yang terpilih melalui pemilihan umum
yang demokratis. Hal tersebut menjadi penguat legitimasi kepemimpinannya di
tataran forum internasional. Beberapa sasaran politik luar negeri Indonesia yang
telah dirumuskan pada masa kepemimpinannya juga telah membawa Indonesia
65 Ganewati Wuryandari, Op. Cit., hal. 46. 66 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Undang-Undang No. 12 Tahun 2004 tentang
Pengesahan Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change
(Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
Perubahan Iklim), diakses dalam www.bpkp.go.id/uu/filedownload/2/39/223.bpkp (10/10/2016,
10:44 WIB). 67 Ibid.
47
kepada situasi yang lebih baik dan kondusif dibanding sebelumnya.68 Salah satu
isu global yang menjadi fokus utama pada masa pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono adalah isu lingkungan hidup, khususnya isu pemanasan global dan
perubahan iklim.69
Penjelasan sebelumnya telah dipaparkan bahwa Indonesia pada tahun 2007
berkesempatan menjadi tuan rumah COP 13 di Bali. Pada waktu itu, isu
perubahan iklim mulai mendapat perhatian dari negara-negara yang sebelumnya
bersikukuh beranggapan bahwa perubahan iklim adalah kejadian alamiah yang
tidak berhubungan dengan aktivitas manusia. COP kali itu mendapat sambutan
luar biasa dari seluruh masyarakat internasional, terbukti dengan kehadiran lebih
dari 12.000 orang dari 18 negara yang terdiri atas delegasi pemerintahan,
organisasi antar pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional,
serta media internasional.70
Setelah pelaksanaan konferensi tersebut, muncul sebuah mekanisme baru
yang dirancang untuk pengurangan emisi melalui penanganan deforestasi, yakni
REDD+. Indonesia dengan cepat mengambil keputusan untuk menguji coba
REDD+ yakni DA REDD+ yang diyakini mampu menurunkan emisi dalam
jumlah yang besar. Kemudian, Indonesia juga mengeluarkan beberapa peraturan
perundang-undangan tentang REDD+, antara lain:
68 Beberapa sasaran politik luar negeri Indonesia yang menjadi fokus utama pada masa
kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono adalah, 1) meningkatkan peranan Indonesia dalam
hubungan internasional, 2) mengikutsertakan Indonesia dalam menciptakan perdamaian dunia, 3)
pemulihan citra Indonesia, 4) meningkatkan kepercayaan masyarakat internasional, 5) mendorong
terciptanya tatanan dan kerja sama ekonomi regional dan internasional yang lebih baik dalam
mendukung pembangunan nasional. Lebih lanjut baca Ganewati Wuryandari, Op. Cit., hal. 204. 69 Ibid. 70 Ibid., hal. 56.
48
3. Permenhut P. 68/ Menhut-II/2008 tentang DA Pengurangan Emisi Karbon
dari Deforestasi dan Degradasi Hutan.
Peraturan ini dibuat sebagai tindak lanjut untuk menguji coba REDD+ yang
telah disinggung pada COP 13. Usai digelarnya konferensi tersebut, Indonesia
merumuskan kebijakan yang berhubungan dengan pengurangan emisi karbon dari
deforestasi dan degradasi hutan. Keberadaan perundang-undangan tersebut juga
digunakan sebagai pembuka jalan untuk pelaksanaan DA REDD+ di Indonesia.
4. Permenhut P. 30/ Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi
dari Deforestasi dan Degradasi Hutan.
Selanjutnya, menteri kehutanan Indonesia juga mengeluarkan sebuah
peraturan yang berisikan langkah pengurangan emisi melalui penanganan
deforestasi. Peraturan tersebut juga menjelaskan terkait sistematika pelaksanaan
REDD+ yang masih dalam proses uji coba sehingga dalam pelaksanaannya masih
berupa kegiatan demonstrasi atau disebut DA REDD+.
Indonesia adalah negara pelopor penyelenggara DA-REDD+ pertama di
dunia melalui kemitraan IAFCP, yakni kemitraan Indonesia dengan Australia
untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Melalui IAFCP,
Indonesia bersama dengan Australia membuka proyek KFCP yang ditujukan
untuk pembelajaran dan uji coba mekanisme REDD+ yang diharapkan mampu
memberikan kontribusi pada proses penyebaran informasi tentang implementasi
mekanisme REDD+ di tataran internasional pada masa selanjutnya.
49
1.3 Australia dan Komitmen terhadap Perubahan Iklim
Tanggal 9 Maret 1950, P.C. Spender, yang waktu itu menjabat sebagai
Menteri Luar Negeri Australia menyatakan bahwa,
“Politik luar negeri sesuatu negeri pertama-tama dan selamanya harus
memperhatikan situasi geografis negeri tersebut. [Dan] kepentingan
kita pertama-tama dan selamanya adalah bagaimana mengamankan
tanah air kita, dan menjaga perdamaian di kawasan yang secara
geografis melingkungi negara kita.”71
Berdasarkan pernyataan dari Menteri Luar Negeri Australia tersebut, dengan
jelas ditegaskan bahwa dalam menentukan politik luar negeri, sebuah negara juga
mempertimbangkan letak geografis negara. Ditinjau dari letak geografisnya,
Australia berada di antara dua samudera, yaitu Samudera Hindia dan Samudera
Pasifik. Sedangkan negara yang memiliki letak paling dekat dengan Australia
adalah Indonesia.72 Hubungan kedekatan antara Indonesia dan Australia sudah
terjalin sejak sebelum Indonesia merdeka. Walaupun hubungan keduanya hanya
sekadar mengetahui nama dan keberadaan, namun ternyata Australia merupakan
negara yang berada di posisi terdepan mendukung Indonesia saat memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia dari jajahan Belanda.73 Hubungan antara kedua negara
71 Hilman Adil, 1997, Kebijaksanaan Australia terhadap Indonesia 1962-1966: Studi Kasus
Keterlibatan Australia dalam Konflik Bilateral, Jakarta: Centre for Strategic and International
Studies (CSIS), hal. 2. 72 Trifia Astutik, 2015, Buku Pintar Atlas Indonesia-Dunia, Surabaya: Media Pustaka. 73 Dukungan masyarakat Australia bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia ikut berperan dalam
menghalangi kembalinya kolonialisme Belanda, dan menarik perhatian dunia terhadap
persengketaan yang sedang berlangsung, serta turut menciptakan kesempatan bagi
terkonsolidasinya Republik Indonesia. Setelah penolakan orang-orang Indonesia untuk bekerja
bagi Belanda, buruh-buruh Australia melakukan aksi unjuk rasa dengan memberikan bantuan
kepada Indonesia. Ribuan orang Indonesia yang menolak bekerja untuk Belanda mendapat
pelayanan yang baik dari rakyat Australia dan direpatriasi ke Wilayah Republik dengan bantuan
sepenuhnya dari Pemerintah Australia. Baca lebih lanjut pada Martino O’Hare & Anthony Reid,
1995, Australia dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (Australia & Indonesia’s Struggle for
Independence), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hal. 67.
50
tersebut mengalami pasang surut, namun beruntung keduanya tidak sampai
menimbulkan konflik bersenjata.74
Australia merupakan negara yang memegang teguh kebijakan
developmentalis, di mana kebijakan tersebut hanya memfokuskan pada
pertumbuhan ekonomi tanpa mempedulikan kesejahteraan manusia, martabat
manusia, serta integritas ekologi. Australia dalam kesejahteraan ekonomi
negaranya telah bergantung pada energi. Baik Partai Buruh maupun Partai Liberal,
keduanya telah memperluas sektor bahan bakar energi dengan meniadakan
hambatan ekspor dan mendukung pemerintahan lain untuk membuka pasar bagi
ekspor energi Australia.
Melihat ketergantungan Australia terhadap energi, kemunculan isu perubahan
iklim menjadi tantangan politik tersendiri bagi negeri kangguru tersebut. Perdana
Menteri (PM) Australia ke-25 John Howard yang memimpin Australia selama 11
tahun (11 Maret 1996-3 Desember 2007) melakukan reformasi pada Australia
dengan kebijakan yang bertumpu pada pengenalan pajak barang dan jasa. Pada
masa pemerintahannya, Australia menjalankan kebijakan developmentalis dengan
sangat ketat. PM. Howard menolak meratifikasi Protokol Kyoto karena khawatir
akan mengganggu kemakmuran ekonomi Australia. PM Howard berasumsi
meskipun Australia ikut serta dalam melakukan upaya reduksi emisi GRK hingga
mencapai 0, hal tersebut tidak akan berdampak signifikan pada perubahan iklim
74 Julius Siboro, 2012, Sejarah Australia, Yogyakarta: Penerbit Ombak, hal. 136.
51
global karena negara penghasil emisi terbesar yakni Amerika Serikat tidak
melakukan upaya yang sama.75
Masa kepemimpinan PM Howard yang cukup lama, akhirnya memasuki
masa di mana masyarakat jenuh dengan kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkannya. Salah satu kebijakan yang membuat masyarakat Australia kecewa
adalah keengganan PM Howard untuk meratifikasi Protokol Kyoto. Hal tersebut
berbanding terbalik dengan keinginan masyarakat Australia untuk meratifikasi
protokol tersebut karena perubahan iklim sudah memunculkan dampak yang
merisaukan seperti peningkatan suhu bumi dan kemunculan penyakit-penyakit
baru.76
Estafet kepemimpinan di Australia terus berlanjut, reformasi pemerintahan
berikutnya berlangsung pada tahun 2007. Kevin Rudd dari Partai Buruh Australia
memenangkan pemilu dengan memberikan harapan baru bagi masyarakat untuk
menuju Australia yang lebih baik. Kemenangan yang diperoleh PM Rudd adalah
berkat usaha kampanye yang mengangkat isu terkini di Australia, yakni tentang
masalah air, lingkungan, dan perubahan iklim.77 Komitmen tersebut ditunjukkan
melalui pernyataan kampanye PM Rudd yang mengatakan bahwa:
I am determined to make Australia part of the global climate change
solution – not just pasrt of the global climate change problem. And I
want Australia to be a leader in the global negotiations on climate
75 Dwi Ana Wiyatiningrum (11406241018), 2015, Hubungan Bilateral Indonesia-Australia Pada
Masa Perdana Menteri Kevin Rudd (2007-2013), Skripsi, Prodi Pendidikan Sejarah, Universitas
Negeri Yogyakarta, hal. 30, diakses dalam
http://eprints.uny.ac.id/22748/1/skripsi%20dwi%20ana%2011406241018.pdf (19/8/2016, 07:55
WIB). 76 Ibid., hal. 33. 77 Ibid., hal. 43.
52
change – rather than Australia being excluded from the negotiating
table.78
Hari pertama pemerintahan, PM Rudd membentuk Department of Climate
Change yang diawasi oleh menteri untuk urusan perubahan iklim dan air.
Kebijakan mitigasi perubahan iklim berorientasi pada go public. Kemudian pada
bulan Maret 2007, PM Rudd juga mengadakan acara one-day climate summit di
Parliament House.79
Kepemimpinan PM Rudd membawa Australia menjadi negara yang lebih
terbuka dalam mengeluarkan kebijakan yang berhubungan dengan perubahan
iklim. Australia yang sebelumnya lebih sering melakukan negosiasi pada level
bilateral dan regional, menjadi lebih terbuka untuk melakukan negosiasi pada
level global. Beberapa kebijakan mengenai isu perubahan iklim mulai ditawarkan
Australia kepada dunia internasional seperti usulan untuk melakukan
pembentukan Emission Trading Scheme (ETS). ETS adalah target Australia untuk
mereduksi emisi negaranya sebesar 60% dengan jangka waktu sampai tahun 2010.
Selanjutnya, Australia juga berinvestasi sebesar $500 juta AUD di bidang energi
terbaharukan dan batu bara hijau (clean coal). Selanjutnya juga melakukan
peningkatan proporsi listrik yang disuplai dari sumber daya yang dapat
diperbaharui.80
78 Ibid., hal. 13. 79 Santi Setiawati, Academia.edu, Kepentingan Australia Dibalik Ratifikasi Protokol Kyoto (2007-
2010), Universitas Brawijaya, Prodi Hubungan Internasional, hal. 3 diakses dalam https://www.
academia.edu/4343816/KEPENTINGAN_AUSTRALIA_DIBALIK_RATIFIKASI_PROTOKOL
_KYOTODIPLOMASI_LINGKUNGAN_AUSTRALIA_PADA_MASA_PEMERINTAHAN
(6/12/2016, 08:12 WIB). 80 Ibid.
53
Setelah kepemimpinan PM Rudd, untuk pertama kalinya Australia ikut
melibatkan diri dalam konferensi perubahan iklim. Perwakilan Delegasi Australia
Howard Damsey pada COP 13 tahun 2007 di Bali menyampaikan niatan Australia
untuk ikut serta dalam upaya penanganan perubahan iklim. Oleh sebab itu,
langkah awal yang akan dilakukan Australia adalah ikut meratifikasi Protokol
Kyoto. Howard Damsey dalam kesempatan tersebut berpidato bahwa, “Dengan
terpilihnya Kevin Rudd, Australia dengan ini menyatakan untuk menandatangani
Protokol Kyoto”.81
Ratifikasi Protokol Kyoto oleh Australia dilakukan pada tanggal 3
Desember 2007 yang kemudian diturunkan dalam perundang-undangan domestik.
Turunan perundang-undangan yang dimaksud adalah undang-undang mengenai
air yaitu Water Act 2007, Water Amandement Act 2008, dan Water Regulations.82
Water Act 2007 mulai dilaksanakan pada tanggal 3 Maret 2008 yang berorientasi
pada manajemen air di Australia. Isi pokok dari undang-undang tersebut antara
lain:
1. Menetapkan Murray-Darling Basin Authority (MDBA) untuk memastikan
bahwa sumber daya air dikelola secara terpadu dan berkelanjutan.
2. Mengharuskan MDBA untuk mempersiapkan rencana strategis untuk
pengelolaan air terpadu dan berkelanjutan di Teluk Murray-Darling.
81 Farid Rusdi, Okezone News, Aplaus 3 Menit Sambut Komitmen Aussie Teken Protokol Kyoto,
diakses dalam http://news.okezone.com/read/2007/12/03/18/65468/aplaus-3-menit-sambut-
komitmen-aussie-teken-protokol-kyoto (6/12/2016, 10:14 WIB). 82 Santi Setiawati, Op.Cit., hal. 11.
54
3. Menetapkan Commonwealth Environmental Water Holder untuk
melindungi dan mengelola aset di Teluk Murray-Darling dan di luar wilayah
teluk yang masih dikuasai oleh persemakmuran Australia.
4. Membentuk Australia Competition and Consumer Commission (ACCC)
dengan peran kunci dalam mengembangkan dan menegakkan barga air dan
aturan pasar air sepanjang kesepakatan National Water Initiative.
5. Memberikan fungsi informasi mengenai air kepada Biro Meteorologi yang
merupakan perluasan dari fungsi sebelumnya di bawah Meteorology Act
1995.83
Pada Desember 2008, Water Act 2007 kemudian diamandemen oleh Water
Amendment Act 2008 dengan pokok dari undang-undang sebagai berikut:
1. Fungsi Murray-Darling Basin Commission dialihkan ke Murray-Darling
Basin Authority. Badan tersebut bertanggung jawab untuk mengawasi
perencanaan sumber daya air di Teluk Murray-Darling.
2. Kekuasaan ACCC diperpanjang untuk menentukan dan mengakreditasi
pengaturan bagi semua biaya air di area non-perkotaan.
3. Memungkinkan Basin-Plan untuk melakukan pengaturan untuk memenuhi
kebutuhan krisis air.84
Langkah selanjutnya, Australia mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
berhubungan dengan perubahan iklim yang didasarkan pada tiga pilar kebijakan
yaitu:
83 Ibid., hal. 11-12. 84 Ibid., hal. 12.
55
1. Mitigasi: untuk menurunkan emisi GRK Australia.
2. Adaptasi: untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim yang tidak dapat
ditanggulangi.
3. Solusi global: untuk membantu mendorong respon bersama antar bangsa.85
1.4 Kerangka Kerja Sama IAFCP
Menjaga kelangsungan hidup bangsa dan negara adalah kepentingan
nasional Indonesia yang tidak bisa dikesampingkan. Kerentanan Indonesia sebagai
negara kepulauan terhadap dampak perubahan iklim telah melahirkan komitmen
untuk memerangi isu tersebut. Upaya yang dilakukan salah satunya dengan
menjalin kemitraan IAFCP untuk menurunkan emisi dengan melestarikan hutan
Indonesia melalui DA-REDD+. Tujuan yang akan dicapai selama kemitraan
berlangsung tercatat dalam kerangka kemitraan IAFCP.
Indonesia dan Australia menandatangani kerangka kemitraan IAFCP pada
13 Juni 2008 di Jakarta. Indonesia diwakili oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Australia diwakili oleh Perdana Menteri Kevin Rudd.86 IAFCP
akan mendukung penyediaan program dan kegiatan untuk mengurangi emisi GRK
akibat deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. Kemitraan tersebut fokus
pada tiga tujuan utama87, yaitu:
85 Ibid., hal. 13. 86 Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership, diakses dalam http://dfat.gov.au (23/6/2016,
02:06 WIB). 87 Factsheet, 2013, Kalimantan Forests and Climate Partnership, hal.2.
56
1. Penurunan Emisi GRK dari Deforestasi dan Degradasi Hutan
Tudingan terhadap Indonesia sebagai negara dengan tingkat emisi yang
tinggi tidak bisa terbantahkan. Peningkatan jumlah emisi yang disebabkan oleh
deforestasi menjadi salah satu penyebab utama. Namun fenomena bahwa
Indonesia memiliki hutan terbesar ketiga di dunia juga tidak bisa dipungkiri ikut
menjadi alasan tingkat emisi yang besar dibanding dengan negara yang memiliki
hutan kecil atau bahkan tidak memiliki lahan hutan sama sekali.
Indonesia masuk dalam kategori negara berkembang sehingga belum
memiliki kewajiban untuk mengurangi emisi negaranya. Namun, dampak
perubahan iklim yang terus mengancam kelangsungan kehidupan lingkungan dan
manusia di bumi membuat Indonesia berkomitmen untuk mengatasi perubahan
iklim bersama dengan masyarakat internasional. Indonesia melalui kemitraan
IAFCP dalam proyek KFCP melaksanakan beragam program untuk menekan
peningkatan emisi akibat deforestasi di Indonesia. Setiap tahun, jumlahan emisi
akan dipantau dan dihitung untuk mengetahui perkembangan dari program yang
diselenggarakan.
2. Uji Coba Penerapan REDD+ di Indonesia
Proyek yang akan dilaksanakan dalam IAFCP adalah KFCP. KFCP
merupakan kegiatan uji coba REDD+ skala besar yang paling maju di Indonesia.
Proyek tersebut menggunakan lokasi seluas 120.000 hektar yang terletak di
sebagaian wilayah bekas Proyek Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar di
Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Lokasi proyek terdiri dari hutan rawa
57
gambut dan lahan gambut yang terdegradasi karena pengeringan dan deforestasi
tahun 1990.
Adanya uji coba yang dilakukan dalam kemitraan tersebut digunakan untuk
membuktikan bahwa REDD+ bisa diterapkan dan dipraktikkan dengan
pendekatan yang adil dan efektif guna mendemonstrasikan penurunan emisi hutan
rawa gambut, mendemonstrasikan estimasi emisi dari hutan rawa gambut,
mendemonstrasikan opsi-opsi pembagian manfaat, dan mendukung institusi-
institusi REDD+ di tingkat lokal.
Pemanfaatan dari proyek uji coba REDD+ tersebut tidak berhenti sampai di
situ. Pengalaman uji coba REDD+ yang telah dilakukan di Indonesia melalui
kemitraan IAFCP akan disampaikan pada forum-forum internasional. Tujuannya
adalah untuk membagikan pengalaman Indonesia dalam mempraktikkan skema
REDD+ sekaligus untuk menampung masukan demi penyempurnaan mekanisme
REDD+.
3. Pembangunan Kapasitas Indonesia
Proses uji coba dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun, di mana sudah
mulai dirancang oleh pihak yang bersangkutan pada tahun 2008. Hasil yang
didapatkan akan digunakan para pembuat kebijakan untuk merancang kerangka
kelembagaan dan tata kelola yang dibutuhkan untuk mendukung fondasi
pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Kemitraan IAFCP akan mendukung
pengembangan kebijakan Indonesia yang berkaitan dengan hutan dan iklim
melalui bantuan teknikal dan pengetahuan yang didapat dari kegiatan uji cobanya.
58
Para pembuat kebijakan di provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten
Kapuas akan dibantu untuk memahami dan mampu mengembangkan konsep
REDD+ melalui berbagai kegiatan yang digelar. Kegiatan yang dimaksud dimulai
dari pelatihan, pendataan, hasil penelitian, dan materi-materi lain dari berbagai
sumber informasi. Setelah kemitraan tersebut berakhir, maka data dan
pembelajaran selama program akan dibagikan melalui berbagai forum dan
lokakarya pemerintah daerah, nasional, bahkan forum-forum internasional.
2.4.1 Pendanaan Kemitraan IAFCP
Australia dalam kemitraan IAFCP berupaya untuk turut membantu
mengatasi dampak perubahan iklim. Peran Australia pada kemitraan yang
menggunakan skema REDD+ tersebut adalah dalam penyaluran dana dukungan
kepada Indonesia. Dana dukungan awal yang disiapkan Australia adalah sebesar
$200 juta AUD yang dikeluarkan oleh The International Forest Carbon Initiative
(IFCI). IFCI adalah lembaga inisiatif yang dikelola secara administratif oleh
Departemen Perubahan Iklim Australia (DCC) dan Australia Agency for
International Development (AusAID). Lembaga tersebut mendukung upaya-upaya
internasional untuk mengurangi emisi melalui penanganan deforestasi dan
degradasi hutan.
Tercatat total dana yang dibutuhkan Australia untuk kemitraan IAFCP
adalah $100 juta AUD. Pendanaan tersebut digunakan untuk proyek KFCP
sebesar $30 juta AUD, paket bilateral sebesar $10 juta AUD, dan sisanya sebesar
$60 juta AUD digunakan untuk mendukung upaya pengelolaan hutan Indonesia.
59
Pendanaan yang disiapkan Australia diserahkan kepada Indonesia secara bertahap
dengan rincian sebagai berikut. Tahap pertama, pendanaan diberikan pada bulan
Juli 2008 sebesar $10 juta AUD. Pembagian atas dana tersebut adalah $1 juta
AUD diberikan kepada The Indonesia Forest and Climate Alliane (IFCA) untuk
membantu Indonesia dalam mempersiapkan kebijakan-kebijakan yang terkait
dengan REDD+. Sebesar $3 juta AUD diberikan untuk mendukung rancangan
metodologi dan konsep REDD, kemudian $3 juta AUD berikutnya digunakan
untuk manajemen api dan lahan gambut. Selanjutnya, $2 juta AUD digunakan
untuk pemantauan dan penilaian karbon hutan. Sisanya sebesar $1 juta AUD
digunakan untuk memulai program pengelolaan.
Penyerahan pendanaan tahap kedua dilakukan pada bulan September 2008
sejumlah $30 juta AUD untuk digunakan sebagai persiapan pelaksanaan program-
program dalam KFCP. Tahap ketiga pada bulan November 2008 pendanaan yang
diberikan juga sebesar $30 juta AUD untuk digunakan sebagai persiapan
demonstrasi tahap kedua. Selanjutnya dengan nominal yang sama sebesar $30 juta
AUD pada bulan Desember 2010 diberikan untuk digunakan sebagai tambahan
dukungan pada program yang sedang berlangsung.
Recommended