View
2
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
12
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Studi Terdahulu
Untuk menemukan jawaban dari rumusan masalah mengapa Jepang
melakukan ketidakpatuhan terhadap keputusan ICJ, penulis menggunakan tiga studi
terdahulu. Studi terdahulu ini kemudian akan penulis bandingkan dengan penelitian
milik penulis sendiri, sehingga terlihat stand position dari penelitian ini. Studi
terdahulu yang pertama adalah sebuah jurnal yang ditulis oleh Amy L Catalanic dan
Gerald Chan dari Harvard University pada tahun 2005. Jurnal yang berjudul Japan,
The West, and the Whaling issue: understanding the Japanese side ini membahas
tentang perselisihan penangkapan ikan paus, dengan lebih spesifik dari sisi Jepang.
Amy-Gerald terlebih dahulu menguraikan peran International Whaling Commission
dalam menerapkan peraturan anti-penangkapan ikan paus, yakni moratorium whaling
pada tahun 1982. Kemudian Amy-Gerald menganalisis keberatan Jepang terhadap
moratorium tersebut, kepatuhan dan komitmennya, juga faktor-faktor yang
mendukung kebijakan whaling Jepang. Disebutkan bahwa Jepang memandang
larangan penangkapan paus tersebut sebagai ancaman terhadap keamanan sumber
daya dan juga bahaya dalam penghargaan diversitas budaya.35
Dalam penelitan Amy-Gerald ini, mereka menemukan bahwa pejabat Jepang
melihat tujuan preservationis dari mayoritas negara anti-whaling. Terlihat dalam
penelokan terus-menerus untuk menerapkan Revised Management Procedure (RMP),
35
Op Cit. Catalinac, Amy L., Gerald Chan, 2005. Japan, the West, and the whaling issue: understanding the
Japanese side, hal 133.
13
meskipun ada bukti ilmiah kuat dalam penggunaannya untuk memulai komersial
wahling. Dari sisi internal Jepang, Amy-Gerald menyebutkan bahwa, pandangan yang
berbeda terhadap alam, dikombinasikan dengan ketergantungan terhadap laut (secara
tradisional), sehingga kesimpulan dari kebijakan whaling Jepang didasarkan pada
alasan bahwa paus adalah sumber makanan yang berharga. Sehingga jika dapat
mempertahankan kembang biak paus dengan baik, maka tidak ada alasan untuk
melarang pemanfaatan paus dikonsumsi manusia (komersil whaling).36
Pemerintah Jepang juga mengacu pada ide sustainable development yang
dicanangkan PBB dalam Eart-Summit, bahwa kehidupan manusia bergantung pada
pemanfaatan sumber daya lingkungan yang berkelanjutan dan merata. Pemerintah
harus mempromosikan pembangunan berkelanjutan untuk menjamin penghidupan
masyarakat mereka. Selain itu kebijakan whaling Jepang juga dipengaruhi oleh
kekhawatiran akan reputasi internasionalnya. Jepang bisa saja mengundurkan diri
seperti Iceland atau Norwegia, namun Jepang tidak melakukan hal tersebut. Jepang
tidak ingin mendapat reputasi sebagai predator lingkungan. Melalui ide pengelolaan
sumber daya yang berkelanjutan, Jepang ingin mendapatkan reputasi yang baik
dibalik keinginannya untuk menjaga kebutuhan akan paus tersebut.37
Penulis menggunakan studi milik Amy-Gerald ini untuk melihat analis
kebijakan Jepang terdahulu, sehingga dapat membandingkan dengan kebijakan
terbaru Jepang, NEWREP-A. Perbedaannya terletak pada fokus penelitian, dimana
penulis melihat bagaimana ketidakpatuhan dalam kebijakan terbarunya pasca
mendapat vonis dari Mahkamah Internasional bahwa kebijakan Jepang terdahulu
36
Ibid hal 136 37
Ibid hal 153
14
bersalah dan harus dihetikan. Kemudian penulis juga menggunakan compliance-based
theory milik Andrew Guzman untuk melihat adaptasi terhadap perubahan dan
tuntutan-tuntutan yang terjadi.
Studi terdahulu kedua adalah jurnal yang berjudul Australia v. Japan: Is it
Possible for Japanese Compliance? Oleh Kari Loomer, dari University of North
Carolina School of Law yang dipublikasikan pada tahun 2016. Kari membahas
tentang bagaimana izin penangkapan ikan paus dibawah pasal VIII ICRW menjadi
sebuah hambatan terbesar bagi para aktor yang berusaha mengakhiri perburuan ikan
paus. Dalam jurnal ini yang menjadi bahasan utama adalah penilaian Australia
terhadap kebijakan whaling Jepang. Jurnal ini menguraikan latar belakang dan
kontroversi terkait isu whaling tersebut, bagaimana peran Jepang, komunitas
internasional, dan juga Australia. Jurnal ini juga menjelaskan kasus yang dibawa oleh
Australia terhadap Jepang di Mahkamah Internasional. Kemudian menilai bagaimana
kepatuhan Jepang di awal pasca keputusan Mahkamah Internasional tersebut. Kari
juga menganalisis opsi-opsi hukum lain untuk menentang perburuan ikan paus. Dan
terakhir mempertimbangkan pilihan untuk memaksa kepatuhan Jepang.38
Dijelaskan bahwa pada tahun 2002-2011 Jepang telah membunuh lebih dari
11.000 ekor paus, dibawah program JARPA I dan JARPA II. Dengan segala macam
alasan bahwa scientific whaling Jepang tersebut penting untuk dilaksanakan, Australia
menjadi salah satu aktor yang secara konsisten memperdebatkan program tersebut.
Pihak Australia mengatakan bahwa program tersebut sebagai upaya terselubung untuk
mempertahankan industri komersil ikan paus yang melanggar moratorium. Tujuan
38
Loomer, Kari, 2016. “Australia v. Japan : Is it Possible for Japanese Compliance?”. (http://ncilj.org/wp-
content/uploads/2017/01/Loomer-1.pdf). Diakses pada 17 Oktober 2017. Hal 36.
http://ncilj.org/wp-content/uploads/2017/01/Loomer-1.pdfhttp://ncilj.org/wp-content/uploads/2017/01/Loomer-1.pdf
15
awal Australia adalah agar ICJ menyatakan bahwa program Jepang, JARPA II, telah
melanggar aturan dalam ICRW, yang berarti bahwa Jepang telah melanggar aturan
hukum internasional. Keputusan Australia yang mendasari untuk membawa tindakan
Jepang ke ICJ adalah bahwa JARPA II dilakukan di Southern Whale Sanctuary, yang
mana suaka ini adalah tempat sakral untuk konservasi paus, dan sudah diatur bahwa
tidak boleh ada penangkapan paus di wilayah ini. Namun, bahkan jika Australia
terbukti berhasil melawan Jepang, Australia tidak bisa sepenuhnya merubah fakta
bahwa celah di ICRW, yakni pasal VIII tetap akan berlaku.39
Australia berfokus terutama pada kewajiban Jepang berdasarkan ICRW dalam
argumennya kepada ICJ, mengenai “the zero catch quota” yang ada pada paragraf
10(e) dari Schedule ICRW. Juga kewajiban untuk tidak melakukan penangkapan
komersial terhadap paus humpback whales dan fin whales di Southern Ocean
Sanctuary, seperti yang disebutkan dalam paragraf 7(b) dari Schedule ICRW. Dan
argumen utama Australia, bahwa, Pasal VIII (1) tidak memberikan Contracting
Government keleluasaan untuk bertindak sepihak dan subyektif dalam pelaksanaan
scientific whaling-nya. Jadi harus sesuai dengan peraturan yang tertera dalam ICRW,
tidak seperti Jepang yang seakan “bermain” dengan tujuan ilmiah tersebut.40
Akhirnya pada bulan Maret 2014, ICJ memutuskan bahwa program perburuan
paus Jepang di Laut Antartika adalah pelanggaran terhadap konvensi ICRW dan
berada diluar cakupan dari apa yang dibenarkan dari Pasal VIII ICRW. Dalam
mencapai keputusannya, ICJ memberikan perhatian khusus pada kesaksian ahli dan
menentukan bahwa program Jepang tersebut tidak untuk tujuan ilmiah seperti yang
39
Ibid Hal 42. 40
Ibid Hal 43.
16
dipersyaratkan dalam aturannya. Berdasarkan penilaian ICJ, Jepang harus berusaha
membuat program baru agar negara-negara IWC yakin bahwa Jepang berkomitmen
dalam mematuhi putusan tersebut.41
Segera setelah itu, Jepang mematuhi keputusan ICJ dan setuju untuk tidak
menangkap paus di Antartika, namun tetap melanjutkan penangkapan di Pasifik
dengan skala yang lebih kecil. Menteri Luar Negeri Jepang, Fumio Fukuda
mengatakan bahwa Jepang adalah negara yang sangat mementingkan tatanan hukum
internasional dan peraturan hukum. Oleh karena itu, Pemerintah Jepang akan
mematuhi putusan dari ICJ tersebut, dengan sedikit menambahkan bahwa
sesungguhnya keputusan tersebut cukup mengecewakan pihak Jepang. Namun,
Jepang malah berperilaku sebaliknya dengan mengeluarkan kebijakan baru pada awal
Desember 2014 yang mana hal tersebut justru melanggar pernyataan sebelumnya.
Jepang mengeluarkan kebijakan baru dengan nama NEWREP-A dan bersikeras
bahwa kebijakan tersebut adalah untuk tujuan ilmiah, bukan untuk kepentingan
komersil. Penelitian tersebut penting dilakukan untuk memahami bagaimana
perubahan iklim dan faktor lainnya mempengaruhi ikan paus tersebut.42
Ketidakpatuhan Jepang tersebut menunjukkan “internal pressure” yang
dirasakan oleh sebuah negara ketika sebuah keputusan bertentangan dengan beberapa
aspek dari rezim politik negara. Bagi Jepang United Nation Convention on the Law of
the Sea (UNCLOS) lah yang dapat menyelesaikan persoalan intenasional semacam
ini. Karena mereka yang mengelola penggunaan sumber daya laut dunia dan lebih
merupakan badan yang lebih appropriate untuk menangani tuntutan tersebut.
41
Ibid Hal 44. 42
Ibid Hal 45.
17
Ketidakpatuhan Jepang terhadap keputusan ICJ ini dapat menyebabkan dampak
tersendiri bagi Jepang, kemungkinan negara lain untuk tidak memenuhi kewajibannya
pada Jepang dan bisa jadi sanksi ekonomi yang diberikan.43
Kari kemudian menjabarkan opsi lain yang dapat dilakukan dalam kasus
perburuan paus ini. Yang pertama yakni Pasal 94 Piagam PBB, menyatakan bahwa
anggota PBB wajib untuk mematuhi keputusan Mahkamah Internasional dalam hal
apapun yang menjadi kewajibannya. Piagam PBB tersebut kemudian menjalaskan
bahwa tanggung jawab untuk memastikan kepatuhan memang diluar mandat ICJ,
namun, lebih kepada alasan utama untuk menjaga perdamaian dan kemanan. Segera
setelah Jepang melaksanakan kembali operasi whaling-nya, Australia berusaha untuk
meminta pertanggungjawaban Jepang. Beberapa NGO Internasional, seperti Humane
Society Internasional (HSI) bahkan meminta pemerintah Australia melakukan
tindakan tegas dengan memutuskan kesepakatan politik dengan Jepang. Australia
adalah satu-satunya Negara yang dapat meminta Deawan Keamanan PBB untuk
mengambil tindakan berdasarkan pasal 94 (2) Piagam PBB. Kari menyebutkan bahwa
langkah ini dapat menjadi strategi yang akan diambil Australia kedepan.44
Kari memberikan cara bagaimana menjawab permasalah ini, dikatakan bawa
cara yang paling efektif adalah tekanan kuat dari pihak luar. Termasuk masyarakat
internasional dan organisasi internasional untuk keterlibatan dan cost yang harus
dibayar Jepang atas ketidakpatuhannya. Australia menjadi aktor yang memimpin
dalam upaya membuat Jepang mematuhi keputusan ICJ dan moratorium IWC. Atas
ketidakpatuhan Jepang ini, Australia berjanji untuk mengirim kapal mereka ke
43
Ibid 44
Ibid Hal 47
18
Antartika untuk melawan penangkapan paus Jepang. Australia juga bermaksud untuk
memberikan sanksi ekonomi pada Jepang dengan melibatkan Amerika Serikat dan
Uni Eropa.45
Jurnal dari Kari Loomer ini berkontribusi dalam melihat peran aktor lain
terhadap kasus ketidakpatuhan Jepang. Bagaimana Australia membawa kasus Jepang
ke Mahkamah Internasional, dengan melihat point-point apa saja yang diangkat oleh
Australia. Penelitian penulis dengan jurnal milik Kari Loomer ini memiliki persamaan
bahasan tentang kasus ketidakpatuhan Jepang terkait dengan kebijakan Scientific
Whaling-nya. Perbedaan terletak pada fokus penelitian dimana penulis lebih
menekankan faktor apa saja yang mempengaruhi ketidakpatuhan Jepang terhadap ICJ.
Penulis juga lebih berfokus pada program terbaru Jepang yakni NEWREP-A.
Studi terdahulu ketiga adalah Research Paper milik Teal E. Crossen pada 2003
yang berjudul Multilateral Environmental Agreements and the Compliance
Continuum. Research Paper ini membahas tentang banyaknya Multilateral
Environmental Agreement (MEA) dalam masyarakat internasional yang mencakup
beragam masalah seperti, polusi atmosfer, degradasi laut dan deforestasi, dll.
Disamping itu, banyak komentar yang menyarankan agar kepatuhan terhadap
kewajiban yang disepakati dalam MEA harus tinggi. Namun disisi lain, ada
kekhawatiran bahwa keadaan lingkungan terus memburuk hingga pada skala yang
belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini disebabkan adanya negara-negara yang
tidak patuh pada MEA tersebut. Maka dari itu Research Paper ini membahas apakah
45
Ibid Hal 50
19
enforcement yang lebih kuat diperlukan untuk memastikan kepatuhan negara terhadap
MEA.46
Untuk mempertimbangkan pertanyaan tersebut, Crossen menggunakan
beberapa literatur terbaru tentang kepatuhan dalam hukum internasional dan
penerapannya dalam perjanjian internasional. Compliance-Based Theory adalah salah
satu teori yang digunakan dalam research paper-nya. Patuh atau tidaknya negara
dapat dilihat dari sanksi yang diterima dan bagaimana tujuan dari negara tersebut. Hal
ini didasarkan pada rational self-interest negara bahwa negara akan melanggar hukum
internasional ketika benefits lebih besar daripada cost. Dijelaskan bahwa dalam
hukum internasional, sanksi akan mencegah ketidakpatuhan negara. Sanksi adalah
“all costs associated with such a failure, including punishment or retaliation by other
states, and reputational costs that affect a state’s ability to make commitments in the
future.” Bila biaya sanksi lebih besar dari keuntungan yang didapat jika melakukan
ketidakpatuhan, maka negara akan patuh terhadap hukum internasional tersebut.
Sebaliknya, jika sanksi termasuk efek reputational loss melanggar norma
internasional tidak melebihi benefitnya, maka negara akan cenderung tidak patuh.47
Mengingat kurangnya mekanisme penegakan hukum yang ada dalam MEA,
reputasi adalah kunci dari teori Andrew Guzman. Karena sesungguhnya reputasi
sebuah negara memiliki nilai, sebuah reputasi kepatuhan terhadap hukum
internasional mendorong hubungan kerjasama dengan negara lain. Ini berarti reputasi
dapat menjadi tolak ukur kepatuhan negara, karena ketika reputational loss yang
46
Crossen, E. Teal, Multilateral Environmental Agreements and the Compliance Continuum. University of
Calgary.
(https://www.ippc.int/sites/default/files/documents/1182330508307_Compliance_and_theory_MEAs.pdf).
Diakses pada 17 Oktober 2017. Hal 2. 47
Ibid hal 22
https://www.ippc.int/sites/default/files/documents/1182330508307_Compliance_and_theory_MEAs.pdf
20
diterima negara ternyata kecil, negara tersebut akan tidak patuh terhadap hukum
internasional karena dia tetap dapat bekerjasama dengan negara lain. Dengan
demikian, melanggar hukum internasional mengkompromikan reputasi dan akan
mempengaruhi hubungan di masa depan.48
Crossen menuliskan, seperti yang sering terjadi, biasanya negara tidak ingin
memupuk reputasi untuk high compliance. Disinilah peran direct sanction, yakni,
sebagai mekanisme riil untuk memastikan kepatuhan. Sanksi juga tidak terlepas dari
isu legitimasi, salah satu yang dicatat oleh Guzman adalah bahwa sanksi (direct) pada
umumnya dilakukan secara sepihak oleh victim country bukan oleh pihak ketiga yang
netral. Juga dijelaskan bahwa teori pemenuhan reputasi ini memiliki batasan. Dalam
isu dimana taruhannya tinggi, seperti keamanan negara, kepatuhan untuk
mempertahankan reputasi yang baik melemah. Karena hilangnya reputasi tidak akan
lebih besar dari benefit ketidakpatuhan atas isu kemanan negara tersebut. Sedangkan
dalam isu perdagangan dan lingkungan, taruhannya lebih kecil, sehingga hukum
internasional seharusnya dapat memiliki pengaruh yang lebih besar untuk
menciptakan kepatuhan.49
Research Paper milik Crossen ini membantu penulis untuk lebih memahami
definisi dari sanksi yang dipaparkan oleh Andrew Guzman. Penulis menggunakan
studi terdahulu ketiga ini untuk mendapatkan definisi lebih lanjut terkait dengan
sanksi, reputasi, dan direct sanction. Persamaan penelitian penulis dengan Research
Paper milik Crossen ini adalah pada penggunan Compliance-Based Theory milik
Andrew Guzman. Perbedaannya, Crossen tidak menggunakan teori tersebut untuk
48
Ibid hal 23 49
Ibid hal 24
21
menganalisis suatu kasus, namun hanya mengkaitkan teori tersebut dengan
Multilateral Environmental Agreement (MEA).
2.2 Kajian Teori
Dalam meneliti suatu fenomena hubungan internasional, teori memiliki peran
untuk memberikan pemahaman atas perilaku ataupun juga kejadian dari fenomena itu
sendiri. Mohtar Mas’oed dalam bukunya “Ilmu Hubungan Internasional: disiplin dan
metodologi” menjelaskan bahwa teori merupakan suatu bentuk pernyataan yang dapat
digunakan untuk menjawab pertanyaan “mengapa”. Teori berwujud sekumpulan
generalisasi dan karena di dalam generalisasi tersebut terdapat konsep-konsep, dapat
diartikan bahwa teori adalah pernyataan yang menghubungkan konsep-konsep secara
logis.50
Teori yang penulis gunakan dalam meneliti tentang fenomena yang diangkat,
adalah sebagai berikut:
Compliance-Based Theory
Dalam menjawab fenomena dalam hubungan internasional, secara garis besar,
teori ini menggabungkan bahasan traditional legal theory yang menjelaskan tentang
bagaimana hukum internasional mempengaruhi perilaku negara yang terikat dalam
hukum tersebut. Juga pendekatan realis yang menyatakan hukum internasional tidak akan
berdampak pada perilaku negara, karena memang sifat dasar dari negara bahwa dia tidak
akan patuh pada hukum selain untuk mencapai kepentingannya. Compliance-based
Theory tetap mengedepankan teori hukum internasional di mana kepatuhan muncul dalam
pertimbangan rasional dan self-interested negara. Hukum internasional akan membuat
50
Mas’oed, Mohtar. “Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi". Jakarta: LP3ES. (2003).
22
negara-negara tersebut patuh terhadap aturannya, ketika negara waspada terhadap
reputational sanction (sanksi reputasi) dan direct sanction (sanksi langsung) yang
mengikuti pelanggarannya.51
Lebih lanjut, teori milik Andrew Guzman ini membahas dua fenomena, yakni,
perilaku negara dalam kepatuhannya terhadap hukum internasional dan juga mengapa
negara melanggar atau tidak patuh terhadap hukum internasional. Untuk menganalisa
ketidakpatuhan Jepang terhadap keputusan ICJ, maka penulis menggunakan pendekatan
penyebab suatu negara tidak patuh atau melakukan pelanggaran teradap hukum
internasional. Andrew Guzman menjelaskan ketika negara memilih untuk bersikap tidak
patuh maka negara tersebut sedang berupaya memaksimalkan payoffs dari tindakan
tersebut.52
Bisa diartikan juga bahwa negara tersebut akan lebih untung jika melanggar
hukum internasional yang berlaku, ketimbang harus mematuhinya. Demikian juga
sebaliknya jika dengan melanggar kerugian malah semakin besar maka opsi untuk patuh
akan menjadi pilihan utama negara tersebut.
Compliance-Based Theory menjelaskan bahwa ada Cost yang harus dibayar jika
negara melakukan suatu pelanggaran. Cost tersebut adalah sanksi yang terdiri dari dua
macam, yakni, sanksi reputasi dan sanksi langsung. Sanksi tersebut menjadi sebuah
instrumen yang rasional dalam pelaksanaan hukum internasional. Ketika memang
terdapat celah berupa sanksi reputasi dan sanksi langsung yang relatif kecil maka wajar
51
Andrew Guzman. “A Compliance-Based Theory of International Law”. California Law Review 90, 1823.
(2002). (http://scholarship.law.berkeley.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1391&context=californialawreview).
Diakses pada 17 Oktober 2017. 52
Ibid. Hal 1847
http://scholarship.law.berkeley.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1391&context=californialawreview
23
bagi negara untuk tidak patuh. Juga negara akan patuh jika kedua sanksi yang harus
dibayar tersebut relatif besar.53
2.2.1 Reputational Sanction
Reputational Sanction adalah sanksi yang berdampak pada reputasi baik atau
buruknya suatu negara, dimana Reputational Sanction ini akan berpengaruh pada
hilangnya reputasi negara (reputational losss). Ukuran reputational loss yang diterima
bergantung pada pelanggaran negara terkait. Makin besar pelanggaran yang dilakukan,
diiringi dengan sanksi reputasi yang besar juga, maka akan berdampak pada reputational
loss negara tersebut.54
Berikut adalah beberapa indikator untuk menilai seberapa besar
sanksi reputasi yang didapat negara ketika berperilaku tidak patuh pada aturan, sebagai
berikut:
1. Severity of the Violation
Indikator ini digunakan untuk melihat besarnya pelanggaran yang dilakukan
negara. Semisal ketika pelanggaran yang dilakukan oleh negara tersebut
memakan korban, maka reputasi negara tersebut akan buruk dimata dari negara
lain. Atau bisa juga ketika pelanggaran tersebut sampai mempengaruhi
substansi internal pihak lain, maka sanksi reputasional yang diterima pun
makin berat.55
Andrew Guzman memberikan contoh jika ada kapal suatu
negara yang memasuki wilayah teritorial negara lain tanpa izin dan hanya
sekedar masuk, maka sanksi reputational yang diterima negara tersebut relatif
53
Ibid. 54
Ibid. Hal 1850. 55
Ibid.
24
kecil dibandingkan jika kapal tersebut masuk tanpa izin lalu menangkap ikan
disana dan akhirnya mempengaruhi industri perikanan negara tersebut.
2. Reasons for the Violation
Alasan juga menjadi salah satu indikator untuk melihat seberapa besar sanksi
reputasi diterima negara. Jika alasan tersebut masuk akal dan dapat dibuktikan
kebenarannya, maka negara tersebut tidak akan menerima dampak reputasi
yang buruk. Dicontohkan ketika suatu negara telah menyetujui perjanjian
internasional soal HAM, namun tiba-tiba negara tersebut melanggar perjanjian
karena situasi dan kondisi domestik yang sedang kacau, maka negara lain akan
memaklumi dan sanksi reputasi yang diterima oleh negara tersebut tidaklah
besar. Namun, akan berbeda ketika keadaan domestik di negara tersebut sedang
normal dan negara tersebut tetap melanggar peraturan perjanjian, jelas sanksi
reputasi besar akan diterima.56
3. Knowledge of the Violation
Hilangnya reputasi suatu negara juga dipengaruhi oleh sepengetahuan aktor-
aktor lain bersangkutan atas pelanggaran yang terjadi. Ketika terjadi
pelanggaran namun tidak ada atau hanya sedikit negara yang mengetahui
pelanggaran tersebut maka negara pelanggar tidak akan kehilangan reputasi.
Semisal kapal Vietnam memancing di laut Indonesia, maka Vietnam
kehilangan reputasi dari Indonesia saja. Karena hanya Indonesia saja yang
mengetahui tindakan pelanggaran tersebut, maka reputational loss Vietnam
relatif kecil. Berbeda jika ternyata tindakan pelanggaran tersebut diketahui oleh
56
Ibid. Hal 1862.
25
seluruh negara Asia Tenggara dan dari tindakan tersebut menyebabkan
kerugian besar bagi Indonesia, maka reputational loss Vietnam besar.57
4. Clarity of the International Obligation and its Violation
Bagaimana artikulasi dari suatu peraturan juga mempengaruhi reputational loss
negara pelanggar. Jika ternyata aturan yang ada sudah sangat jelas, tidak
terdapat ambiguitas dalam aturan tersebut, maka negara pelanggar akan
kehilangan reputasinya. Semisal ada peraturan terkait penangkapan ikan di laut
pasifik tidak boleh lebih dari sepuluh ekor. Namun ternyata ada negara yang
melanggar dengan menangkap seratus ekor dan negara tersebut tidak dapat
menjelaskan alasan mengapa menangkap ikan sebanyak itu, maka sanksi
reputasi yang didapat negara tersebut akan besar.
5. Implicit Obligation
Keputusan negara untuk terikat dengan suatu perjanjian juga mengikat mereka
pada aturan-aturan implisit yang tidak tertulis dalam perjanjian tersebut.
Komitmen implisit tersebut juga dapat menyebabkan reputational loss jika
negara melakukan pelanggaran terhadap aturan implisit terkait isu seputar
hukum internasional terkait. Dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud
sebagai pelanggaran implisit adalah pelanggaran terhadap aturan-atuan yang
berlaku dalam sistem internasional yang bahkan tidak tertulis dalam konvensi
yang sudah dianut negara tersebut.58
Sebagai contoh, Jepang meratifikasi
UNCLOS, namun Jepang juga mendapat vonis dari Mahkamah Internasional
bahwa tindakan Jepang telah melanggar UNCLOS dan harus mematuhinya.
57
Ibid. Hal 1863. 58
Ibid. Hal 1864.
26
Jepang akan tetap kehilangan reputasi sebagai akibat dari ketidakpatuhannya
atas vonis Mahkamah Internasional tersebut.
6. Regime Changes
Ketika suatu negara terkena dampak reputational loss sebagai akibat
pelanggaran yang dilakukannya, aspek ini kemudian melihat bahwa sanksi
reputasional yang diterima negara tersebut akan berkurang seiring berjalannya
waktu, yakni dengan adanya perubahan karakteristik rezim di negara tersebut.
Sebagai contoh, ketika negara A dipimpin oleh rezim AA, negara tersebut
sangat tertutup terhadap foreign investment. Sehingga negara tersebut mendapat
reputational loss. Namun, ketika negara A berganti dimpin oleh rezim BB dan
terbuka terhadap investasi asing, maka bisa jadi perubahan rezim tersebut
mengurangi reputational loss yang dulu pernah diterima.59
2.2.2 Direct Sanction
Andrew Guzman dalam teori-nya kemudian menjelaskan faktor kedua yang dapat
mendorong negara untuk patuh atau bahkan melanggar hukum internasional. Faktor
tersebut adalah Direct Sanction, merupakan sanksi yang diberikan sebagai dampak
lanjutan dari Reputational Sanction yang dapat terjadi ketika pelanggaran tersebut
berdampak besar bagi negara bagi victim country. Biasanya, jika Cost yang harus
dibayarkan oleh negara (yang tidak patuh) tidak sebanding dengan kerugian yang akan
didapatkan, maka negara akan cenderung untuk tidak melaksanakan sanksi tersebut.
Namun, bukan berarti direct sanction tidak relevan untuk diterapkan, di beberapa kasus,
sanksi ini bisa menjadi cara yang optimal agar negara patuh pada hukum internasional
59
Ibid. Hal 1866.
27
yang berlaku. Berikut adalah beberapa faktor yang mempengaruhi parameter direct
sanction:60
1. Direct Sanction Severity
Adalah kerasnya dampak dari suatu sanksi terhadap negara yang melakukan
ketidakpatuhan. Semakin keras dampak direct sanction yang diterima negara,
maka akan semakin efektif hukum internasional tersebut untuk membuat
negara patuh terhadapnya. Pelanggaran sering terjadi ketika sanksi yang akan
diterima negara dirasa lebih rendah ketimbang keuntungan yang akan didapat
jika melanggar peraturan tersebut.
2. Direct Sanction Implementation on Multilatereal Agreement
Ada beberapa kendala yang menyebabkan kurang optimalnya direct sanction
didalam penerapannya. Jika dibandingkan, penerapan direct sanction dalam
perjanjian bilateral akan lebih efektif daripada perjanjian multilateral.
Banyaknya aktor dalam lingkup multilateral menyebabkan direct sanction
kurang efektif untuk diterapkan karena ada kecenderungan negara anggota
lainnya untuk menjadi free rider. Sebaliknya, reputational sanction lebih
memungkingkan untuk diterapkan. Guzman menyebutkan cara yang lebih
efektif pada direct sanction ini adalah dengan melakukan arbitrasi ke
Mahkamah Internasional.61
3. Direct Sanction for Short-Term or Long-Term Relationship
Kemudian, tujuan jangka panjang atau jangka pendek negara pada suatu
perjanjian juga menjadi faktor direct sanction bisa berjalan efektif. Hal ini
60
Ibid. 61
Ibid. Hal 1869.
28
dikaitkan dengan keberlangsungan hubungan negara tersebut dengan negara
lainnya. Kepentingan negara menjadi pertimbangan penting dalam hal ini. Jika
negara hanya memiliki tujuan hubungan jangka pendek, maka direct sanction
tidak akan optimal. Begitupun sebaliknya, jika hubungan jangka panjang
dirasa penting bagi negara untuk mencapai tujuannya, maka negara akan
cenderung takut untuk melanggar perjanjian internasional tersebut. Karena
jika melakukan pelanggaran, cost yang besar harus dibayar negara, sehingga
tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat.62
4. Acceptance of Sanctions
Keberhasilan direct sanction juga dipengaruhi oleh kemauan negara dalam
menerima sanksi tersebut. Direct sanction optimal diterapkan jika negara yang
melanggar dengan sukarela menerima direct sanction tersebut. Namun, dalam
beberapa kasus terjadi retaliatory sanction, yakni, perlawanan dari suatu
negara yang mendapat sanksi.63
2.3 Definisi Operasional
Patuh atau tidaknya suatu negara terhadap hukum internasional dipengaruhi oleh
seberapa besar cost yang dilihat dari dua sanksi yang telah dijelaskan sebelumnya. Untuk
selanjutnya kedua variabel dari teori milik Guzman ini penulis coba terapkan untuk
menganalisis perilaku ketidakpatuhan Jepang terhadap keputusan ICJ. Setelah
mendapatkan hasil penelitian dari kedua variabel sanksi tersebut, barulah dapat diambil
62
Ibid. Hal 1884. 63
Ibid. Hal 1866.
29
kesimpulan mengapa negara terkait melakukan ketidakpatuhan terhadap peraturan yang
ada.
2.3.1 Reputational Sanction
1. Severity of the Violation
Untuk menemukan jawaban dari indikator kerasnnya pelanggaran yang
dilakukan Jepang terhadap keputusan ICJ ini, penulis akan melihat pada efek
yang ditimbulkan ketidakpatuhan Jepang pada victim country, apakah
menyebabkan dampak substansial atau tidak. Jika berdampak secara meluas
pada victim country, maka sanksi reputasional yang diterima oleh Jepang pun
akan semakin berat.
2. Reasons for the Violation
Penulis akan melihat pada alasan Jepang dalam melakukan pelanggaran
terhadap putusan ICJ. Penulis akan melihat kondisi domestik negara Jepang
kemudian melihat bagaimana kaitannya dengan NEWREP-A dan keputusan
ICJ. Alasan domestik bagi Jepang adalah adanya ancaman diversitas budaya,
dimana sejarah Jepang menunjukkan bahwa mereka memiliki budaya yang
kuat, namun dewasa ini budaya memakan daging paus telah hilang dari
masyarakat Jepang itu sendiri. Alasan secara eksternal nya adalah, Jepang
mengklaim perlu untuk mendapatkan sustainable balance antara pemeliharaan
ekosistem laut Antartika dengan melimpahnya stok ikan paus yang ada, baik
dengan metode lethal maupun non-lethal. Jepang menganggap bahwa IWC
tidak mampu untuk menjalankan fungsi konservasi dengan baik apalagi
mengembangkan industri whaling. Namun, IWC telah mengklaim bahwa
30
semua informasi yang diperlukan untuk pengelolaan dan konservasi ikan paus
dapat diperoleh melalui metode yang tidak mematikan.64
3. Knowledge of the Violation
Dalam faktor ini, penulis akan melihat apakah ada aktor lain yang sedang
berada di tempat kejadian ketika Jepang melakukan program whaling-nya dan
bagaimana reaksi aktor lain tersebut. Penulis akan menganalisa bagaimana
dampak yang ditimbulkan ketika aktor lain tersebut mempublikasikan ke dunia
internasional tentang pelanggaran Jepang dengan melihat publikasi resmi dari
beberapa negara dan juga NGO. Seberapa kuat justifikasi dari para aktor
tersebut dalam mempengaruhi reputational loss Jepang.
4. Clarity of the International Obligation and its Violation
Pada indikator ini penulis akan mengamati beberapa pasal terkait scientific
whaling dari ICRW yang selama ini menjadi permasalahan dalam kebijakan
Jepang. Untuk mendapatkan kejelasan dari pasal-pasal tersebut penulis akan
mengkaitkan dengan hasil putusan Mahkamah Internasional dalam kasus
kebijakan sebelum NEWREP-A. Sehingga akan ditemukan jawaban apakah
terdapat unsur ambiguitas dalam pasal yang dapat menyebabkan misinterpretasi
untuk pelaksanaannya. Jika ternyata pasal-pasal ICRW tersebut sudah jelas dan
Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Jepang bersalah maka
reputational loss yang didapat Jepang semakin besar.
5. Implicit Obligation
64
Government of the Netherlands. “Joint Statement on Whaling and Safety at Sea”.
(https://www.government.nl/documents/media-articles/2016/12/19/joint-statement-on-whaling-and-safety-at-
sea). Diakses pada 17 Oktober 2017.
https://www.government.nl/documents/media-articles/2016/12/19/joint-statement-on-whaling-and-safety-at-seahttps://www.government.nl/documents/media-articles/2016/12/19/joint-statement-on-whaling-and-safety-at-sea
31
Penulis akan melihat pelanggaran implisit lain yang dilakukan Jepang terhadap
ICRW. Sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi ICRW dan belum
mengundurkan diri dari IWC, Jepang akan terikat secara implisit dengan
hukum lain terkait pelanggarannya terhadap peraturan ICRW yakni keputusan
ICJ. Bagaimana aktualisasi tindakan Jepang dalam memenuhi tanggung jawab
pada keputusan ICJ tersebut menjadi penting mengingat keterikatan secara
implisit terhadap hukum internasional lain.
6. Regime Changes
Jepang terhitung sudah mengeluarkan kebijakan scientific whaling di Antartika
ini sebanyak tiga kali, dihitung dari JARPA I, JARPA II, dan NEWREP-A.
Penulis akan melihat apakah ada perubahan kebijakan tentang program
scientific whaling Jepang pada masing-masing kebijakan tersebut yang
mempengaruhi reputasi Jepang. Juga, penulis akan melihat track record
kejadian yang mempengaruhi reputasi Jepang setiap terjadi pergantian
pemerintahan. Bagaimana perubahan karakteristik rezim yang baru untuk
menghindari stigma reputasional dari rezim lama.
2.3.2 Direct Sanction
1. Direct Sanction Severity
Penulis akan melihat sanksi yang pernah diberikan baik oleh Institusi
internasional, kelompok negara, dan negara kepada Jepang atas
pelanggarannya. Yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana mekanisme
sanksi yang ada dapat berjalan optimal dalam mengatasi masalah pelanggaran
32
yang terjadi. Kemudian, penulis akan melihat dampak dari Direct Sanction
tersebut apakah mampu merubah perilaku negara atau tidak.
2. Direct Sanction Implementation on Multilatereal Agreement
Berdasarkan penjelasan yang diberikan oleh Andrew Guzman, bahwa ada
kendala yang menyebabkan kurang optimalnya direct sanction didalam
perjanjian multilateral. Penerapan direct sanction dalam perjanjian bilateral
akan lebih efektif daripada perjanjian multilateral dengan situasi hanya satu
negara yang melakukan direct sanction tersebut. Karena ada kecenderungan
tidak efektifnya penerapa direct sanction pada level multilateral, Guzman
menyarankan untuk melakukan arbitrase ke Mahkamah Internasional. Maka
dari itu penulis akan melihat bagaimana mekanisme pemberian sanksi melalui
lembaga hukum internasional terkait. Penulis akan melihat sanksi yang
diberikan oleh Mahkamah Internasional apakah benar lebih efektif didalam
penerapannya, seperti yang disarankan oleh Guzman. Penulis akan melihat
dampak dari direct sanction baik dari victim country dan juga Mahkamah
Internasional yang berdampak pada perilaku Jepang.
3. Direct Sanction for Short-Term or Long-Term Relationship
Indikator ini akan menganalisis bagaimana Jepang memandang hubungan
jangka panjang atau jangka pendek didalam pemenuhan tanggung jawab atas
keputusan ICJ untuk mencapai tujuannya. Direct sanction akan memberikan
dampak besar pada Jepang jika Jepang menganggap untuk mencapai
tujuannya dia harus melaksanakan keputusan ICJ tersebut. Jika Jepang
memberikan sinyal untuk memenuhi janji-janjinya atau menjaga rasa
kepercayaan yang tinggi, maka Jepang sedang berupaya untuk menjalin
33
hubungan jangka panjang. Namun, jika Jepang menganggap untuk mencapai
tujuannya tidak terlalu penting mematuhi keputusan ICJ, maka Jepang akan
cenderung bersikap tidak patuh, karena baginya meskipun direct sanction
diberikan hal tersebut tidak akan berdampak apa-apa.
4. Acceptance of Sanctions
Seperti yang sudah dijelaskan, keberhasilan direct sanction juga dipengaruhi
oleh kemauan negara dalam menerima sanksi tersebut. Penulis akan melihat
reaksi Jepang terhadap sanksi yang diberikan. Direct sanction optimal
diterapkan jika negara yang melanggar dengan sukarela menerima direct
sanction tersebut. Namun dalam kasus ini, Jepang melakukan retaliatory
sanction, yakni, melakukan perlawanan dengan mengeluarkan kebijakan
NEWREP-A.
Tabel 2.1 Tabel Operasionalisasi Konsep
Variabel Indikator Penjelasan Operasionalisasi
Reputational
Sanction
Severity of the
Violation
Dampak pelanggaran
yang dilakukan Jepang
terhadap victim
country. Yang menjadi
indikator adalah
besarnya kerugian yang
diderita victim country
tersebut dengan melihat
pada ada atau tidaknya
dampak substansial dan
meluas akibat dari
Reputaional Loss yang
didapatkan oleh
Jepang kecil apabila
dampak yang
ditimbulkan akibat
ketidakpatuhan-nya,
tidak menyebabkan
dampak substansial
yang memberikan
dampak signifikan
terhadap IWC itu
34
pelanggaran tersebut. sendiri dan negara
anggota lainnya.
Reasons for the
Violation
Alasan Jepang terkait
dengan ketidakpatuhan
yang dilakukannya.
Dengan melihat kondisi
dalam negeri Jepang
dan kaitannya dengan
keputusan ICJ.
Reputational Loss yang
diterima Jepang kecil
apabila alasan masuk
akal dan sesuai dengan
realita atas kondisi
domestik dan relevan
untuk tidak patuh pada
putusan ICJ.
Knowledge of the
Violation
Keberadaan saksi dari
negara lain dalam
kasus ketidakpatuhan
tersebut. Dan juga
bagaimana negara yang
melakukan pelanggaran
dapat meyakinkan pihak
lain bahwa ia tidak
benar-benar melakukan
kesalahan.
Reputational Loss yang
diterima Jepang kecil
apabila keberadaan
negara saksi yang
mengetahui
ketidakpatuhan Jepang
tersebut sedikit dan
Jepang dapat
meyakinkan pihak lain
bahwa tindakannya
adalah benar.
Clarity of the
International
Obligation and its
Violation
Bagaimana hasil
putusan ICJ terhadap
pasal-pasal dalam
ICRW menjelaskan
aturan terkait scientific
whaling. Apakah pasal
tersebut sudah cukup
Reputational Loss yang
diterima Jepang kecil
apabila hasil putusan
terhadap pasal-pasal
dalam ICRW memiliki
tingkat ambiguitas
serta interpretasi yang
35
jelas dalam
penginterpretasiaannya.
luas.
Implicit Obligation Hal-hal implisit yang
berkaitan dengan
hukum ICRW dan
Kewajiban Jepang
terhadap pemenuhan
kewajiban tidak
tertulisnya, yaitu
keputusan ICJ.
Reputational Loss yang
diterima Jepang besar
ketika Jepang juga
tidak patuh terhadap
kewajiban implisitnya.
Regime Changes Perubahan karakteristik
rezim Jepang pada
masa pemerintaan:
Shinzo Abe periode 1
(JARPA II)
Shinzo Abe periode 2
(NEWREP-A)
Reputational Loss yang
diterima Jepang kecil
apabila terdapat
perubahan rezim
domestik Jepang yang
mampu menangani isu
whaling dengan lebih
baik daripada rezim
lama.
Direct Sanction
Direct Sanction
Severity
Penetapan sanksi
langsung oleh IWC atau
negara anggotanya
kepada Jepang yang
mampu membuat
Jepang jera ketika
melanggar.
Direct Sanction yang
diterima Jepang kecil
ketika tidak ada
hukuman yang
diberikan IWC atau
negara anggotanya
kepada Jepang serta
negara lain yang
melanggar atau
36
hukuman yang diterima
negara tersebut kecil.
Direct Sanction
Implementation on
Multilateral
Agreement
Penerapan sanksi yang
diberikan oleh
Mahkamah
Internasional terhadap
pasal-pasal yang
dilanggar oleh Jepang.
Direct Sanction yang
diterima Jepang besar
apabila yurisdiksi ICJ
mengikat Jepang dan
berdampak pada
perilaku
ketidakpatuhan
Jepang.
Direct Sanction for
Short-Term or
Long-Term
Relationship
Bagaimana sikap
Jepang dalam
memandang hubungan
jangka panjang atau
jangka pendek untuk
mencapai tujuan
mereka. Dilihat dari
itikad baik untuk
mematuhi nilai-nilai
keputusan ICJ dan
menjalin rasa
kepercayaan.
Direct Sanction yang
diterima Jepang besar
ketika Jepang memiliki
sikap bahwa untuk
mencapai tujuannya
perlu untuk mematuhi
keputusan ICJ dengan
cara menjalin
hubungan baik jangka
panjang didalam IWC.
Acceptance of
Sanctions
Sikap Jepang dalam
menerima sanksi yang
diberikan oleh institusi
berwenang
Direct Sanction yang
diterima Jepang besar
jika Jepang mau
menerima sanksi yang
diberikan oleh ICJ.
37
2.4 Alur Pemikiran
Pasca mendapatkan vonis dari ICJ pada tahun 2014 bahwa kebijakan scientific whaling-nya
dinyatakan melanggar beberapa pasal dalam ICRW, Jepang dilarang untuk mengeluarkan program
serupa lagi. Namun pada tahun 2015 Jepang mengeluarkan kebijakan terbaru bernama NEWREP-A
yang secara eksplisit menyatakan ingin memulai kembali komersial whaling dengan mengulang
beberapa pasal yang telah dilanggar sebelumnya.
Compliance-Based Theory
Direct Sanction Reputational Sanction
Besarnya pelanggaran
Alasan Pelanggaran
Aktor lain yang mengetahui pelanggararan
Kejelasan Hukum Internasional
Kewajiban Implisit
Perubahan Rezim
Kerasnya Direct Sanction
Penerapan Direct Sanction dalam Multilateral Agreement
Direct sanction untuk hubungan jangka pendek atau panjang
Kemauan negara menerima sanksi
Dampak pelanggaran Jepang terhadap victim country
Penerimaan argumen Jepang mengenai pelanggaran
Keberadaan saksi yang mengetahui pelanggaran
Ambiguitas hukum ICRW
Kewajiban Jepang terhadap kewajiban implisit mematuhi vonis
ICJ
Perubahan rezim domestik Jepang
Penetapan sanksi langsung oleh IWC
Mekanisme ICJ terhadapa negara pelanggar
Kepentingan hubungan Jepang bergabung di IWC
Tindakan Jepang terhadap sanksi
yang diberikan
Mengapa Jepang tidak patuh terhadap keputusan ICJ pada tahun 2014 tentang whaling di Antartika?
Payoffs
Sanction
38
Jepang melanggar keputusan ICJ karena direct
sanction dan reputational sanction yang diterima
Jepang relatif kecil sehingga Jepang berusaha
memaksimalkan payoffs-nya dengan melakukan
ketidakpatuhan tersebut.
Reputational loss yang diterima Jepang
kecil, apabila:
Pelanggaran yang dilakukan tidak berdampak besar pada victim country
Alasan pelanggaran masuk akal
Saksi yang mengetahui pelanggaran sedikit
Adanya ambiguitas terhadap pasal di ICRW yang telah dibahas ICJ
Adanya perubahan rezim di Jepang
Jepang melaksanakan kewajiban
implisitnya atas vonis ICJ
Direct Sanction yang diterima Jepang kecil apabila tidak ada sanksi
yang diberikan secara langsung oleh
IWC kepada Jepang
Direct Sanction yang diterima Jepang besar ketika putusan ICJ
bersifat mengikat dan memiliki
sanksi tegas dalam menghukum
negara Jepang
Direct Sanction yang diterima Jepang besar jika Jepang
memandang hubungan jangka
panjang penting untuk mencapai
tujuannya di IWC
Direct Sanction Jepang besar atas kemauan Jepang menerima sanksi
39
2.5 Hipotesis
Jepang melakukan ketidakpatuhan terhadap keputusan ICJ karena Reputational
Sanction dan Direct Sanction yang akan diterima Jepang relatif kecil. Sehinga dengan
melakukan ketidakpatuhan tersebut Jepang dapat memaksimalkan payoffs-nya yaitu
memulai kembali commercial whaling. Karena, negara akan patuh ketika mekanisme
sanksi yang ada pada hukum internasional tersebut dapat menimbulkan kerugian besar
bagi negara yang melakukan pelanggaran. Sebaliknya, jika sanksi yang ada hanya akan
menimbulkan dampak yang kecil, maka negara akan cenderung untuk melanggar hukum
internasional tersebut.
Recommended