View
217
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
8
BAB II
KEWENANGAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
2.1 Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Dalam Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-Undang
Perlindungan Konsumen) secara tegas dinyatakan bahwa penyelesaian sengketa
konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan
pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Sehingga Penyelesaian sengketa
diluar pengadilan dapat melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(selanjutnya disebut BPSK).
Menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menyatakan bahwa BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan
menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Selain itu, BPSK
sebagai lembaga penyelesaian sengketa alternatif diluar pengadilan yang diberi
kewenangan yudikatif untuk menyelesaikan sengketa konsumen secara cepat,
mudah, dan murah.7 BPSK memiliki fungsi sebagai alternatif penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan, dan lembaga ini dibentuk di kabupaten
atau kota serta berfungsi untuk menegakkan hak-hak konsumen. Dalam
menjalankan fungsinya berdasarkan Pasal 52 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, BPSK memiliki tugas dan wewenang meliputi:
7 Yusuf Shofie, dan Somi Awan, “Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Pelbagai Persoalan
Mendasar BPSK”, Jakarta:Piramedia,2004,h.17.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
9
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan
cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klasula baku;
d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran kententuan
dalam undang-undang ini;
e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen
tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. Melakukan penelitian dan pemerikasaan sengketa perlindungan konsumen;
g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang perlindungan konsumen;
h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli atau setiap orang yang sebagaimana dimaksud para huruf g dan huruf h,
yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa
konsumen;
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan/atau pmeriksaan;
k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
konsumen;
l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini, berupa penetapan ganti rugi yang besarnya
hingga Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Sesuai ketentuan Pasal 52 huruf a Undang – Undang Nomor 8 Tahun
1999 diatas ditegaskan bahwa tugas dan wewenang BPSK melaksanakan
penanganan dan penyelesaian sengketa dengan cara melalui mediasi atau arbitrasi
atau konsiliasi. Tata cara penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK diatur
dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.
350/MPP/Kep/2001. Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui cara
mediasi atau konsiliasi atau arbitrase dilakukan atas pilihan dan persetujuan para
pihak yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Surat
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001
Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
10
Konsumen. Oleh karena itu yang menjadi dasar Kewenangan BPSK dalam
menyelesaiakan sengketa karena adanya kesepakatan dari para pihak sesuai
dalam perjanjian atau polis asuransi jiwa.
Penyelesaian sengketa konsumen ini bukan merupakan proses
penyelesaian sengketa secara berjenjang. Penyelesaian sengketa konsumen
dengan cara konsiliasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan
didampingi oleh majelis yang bertindak pasif sebagai konsiliator. Penyelesaian
sengketa konsumen dengan cara mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang
bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak aktif sebagai
mediator. Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrasi dilakukan
sepenuhnya dan diputuskan oleh majelis yang bertindak sebagai arbiter.
2.2 Hubungan Antara Konsumen dengan Tertanggung dan Pelaku Usaha
dengan Penanggung Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Dilihat dari tugas dan wewenang BPSK maka perlu ditinjau pula
mengenai hubungan antara konsumen dan pelaku usaha dengan tertanggung dan
penanggung. Pengertian Konsumen menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Hukum Perlindugan Konsumen adalah: “Konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Berdasarkan pengertian konsumen tersebut
terdapat unsur-unsur sebagai berikut:8
a. Setiap orang
8 Shidarta,”Hukum Perlindungan Konsumen”,Jakarta:Grasindo, 2000, h.4-9
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
11
Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang
individual yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk juga badan
hukum (rechtspersoon). Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan
untuk “Pelaku usaha” dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, yang secara eksplisit membedakan kedua pengertian persoon di
atas, dengan menyebutkan kata-kata: “orang perseorangan atau badan usaha”.
Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian kosumen itu sebatas pada
orang perseorangan. Namun, konsumen harus mencakup juga badan usaha
dengan makna lebih luas daripada badan hukum. Selain itu dalam Undang-
Undang Perlindungan Konsumen United Kingdom (UK) Tahun 1987
menyatakan: In s.20(6) of the Consumer Protection Act 1987, which states:9
„consumer‟
(a) in relation to any goods, means any person who might wish to be supplied
with the goods for his own private use or consumption;
(b) in relation to any services or facilities, means any person who might wish
to be provided with the services or facilities otherwise than for the
purposes of any business of his; and
(c) in relation to any accommodation, means any person who might wish to
occupy the accommodation otherwise than for the purposes of any business
of his
9 Peter Cartwright, “Consumer Protection and The Criminal Law:Law, Theory, and Policy In The
UK”, UK:Cambrigde University Press,2004,h.2
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
12
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen UK Tahun 1987,
konsumen diartikan sebagai penggunaan secara pribadi atau penggunaan untuk
bisnis yang berkaitan dengan barang, fasilitas, layanan, dan akomodasi.
b. Pemakai
Sesuai dengan Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir
(ultimate consumer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam
rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukan, barang dan /atau jasa yang
dipakai tidak serta-merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, sebagai
konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar
uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar
hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus
kontraktual (the privity of contract).
c. Barang dan/atau jasa
Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi
tersebut digunakan kata produk. Dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai setiap benda baik
berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat
dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan,
dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah “dipakai,
dipergunakan, atau dimanfaatkan”.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
13
Sementara itu, jasa diartikan setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau
prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus
ditawarkan kepada masyarakat. Artinya, harus lebih dari satu orang.
d. Yang tersedia dalam masyarakat
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia
dipasaran. Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini, syarat itu
tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Bahkan untuk jenis-jenis
transaksi konsumen tertentu, seperti futures trading, keberadaan barang yang
diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.
e. Baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain
Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas
pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri
sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukan bagi
orang lain (diluar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup
lain, seperti hewan dan tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan, setiap tindakan
manusia adalah bagian dari kepentingannya. Oleh sebab itu, penguraian unsur
itu tidak menambah makna apa-apa karena pada dasarnya tindakan memakai
suatu barang dan/atau jasa (terlepas ditujukan untuk siapa dan makhluk hidup
lain), juga tidak terlepas dari kepentingan pribadi.
f. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
14
Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini
dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan ini sudah biasa dipakai dalam
peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara. Secara teoritis hal
demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian
konsumen, walaupun kenyataannya, sulit menetapkan batas-batas seperti itu.
Selain itu, dalam Pasal 1 angka 11 Peraturan Otoritas Jasa keuangan Nomor
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Disektor Jasa Keuangan, konsumen
adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan
pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada
perbankan, pemodal di pasar modal, pemegang polis pada perasuransian, dan
peserta pada dana pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan.
Dalam Black‟s Law Dictionary mendefinisikan konsumen sebagai
berikut: “A person who buys goods or service for personal, family, or house-hold
use, with no intention or resale; a natural person who use products for personal
rather than business purpose”.10
Selain itu, dalam Business English Dictionary
menyebutkan consumer adalah person or company which buys and uses goods
and service.11
Sedangkan menurut Inosentius Samsul menyebutkan konsumen
adalah penguna atau pemakai akhir suatu produk, baik sebagai pembeli maupun
diperoleh melalui cara lain, seperti pemberian, hadiah, dan undangan.12
10 Bryan A. Garner,”Black‟s Law Dictionary”, St. Paul, Minnesota: West Publishing, 2004, Eight
Edition, h.335. 11 Peter Colin, “Business English Dictionary”, London: Linguaphone Institute Limited,2006,h.60. 12 Inosentius Samsul, “Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak,
Jakarta:Unversitas Indonesia, 2004, h.34.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
15
Pengertian pelaku usaha menurut pasal 1 angka 3 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 adalah Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dalam
penjelasan pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang
termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, importir,
pedagang, distributor, dan lain-lain.
Berdasarkan penjelasan diatas mengenai konsumen dan pelaku usaha
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Pihak tertanggung dapat dikategorikan
sebagai konsumen karena memenuhi syarat sebagai pemakai barang dan/atau jasa
sebab perusahaan asuransi jiwa bergerak dibidang jasa. Selain itu juga dalam
peraturan otoritas jasa keuangan juga terlihat jelas bahwa konsumen merupakan
pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan salah
satunya pada perasurasian. Pihak penanggung (perusahaan asuransi) dapat
dikategorikan sebagai pelaku usaha karena pihak penanggung melakukan
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi dan merupakn badan usaha sebagaimana
dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Maka dari
kesimpulan tersebut, BPSK berwenang menyelesaikan sengketa asuransi jiwa
dikarenakan adanya hubungan antara kosumen dengan tertanggung dan pelaku
usaha dengan penanggung (perusahaan asuransi).
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
16
2.3 Perjanjian Asuransi Jiwa
Dalam KUHDagang mengatur mengenai asuransi jiwa, pengaturannya
hanya terdiri dari tujuh (7) pasal yaitu Pasal 302 sampai Pasal 308. Dalam Pasal
302 merupakan dasar asuransi jiwa, yang menyatakan “jika seseorang dapat guna
keperluan seseorang yang berkepentingan, dipertanggungkan, baik untuk selama
hidupnya jiwa itu, baik untuk suatu waktu yang ditetapkan dalam perjanjian.”
Selain itu, berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
tentang Pererasuransian, bahwa usaha asuransi jiwa adalah usaha yang
menyelenggarakan jasa penanggulangan resiko yang memberikan pembayaran
kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal
tertanggung meninggal atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang
polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur
dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil
pengelolaan dana.
Berdasarkan pasal 1 sub a dari “Ordonantie op het levens verzekering
bedrijf” memberikan pengertian asuransi jiwa sebagai berikut:13 “Persetujuan
untuk mengadakan pembayaran sejumlah uang dengan menerima premi dan yang
ada hubungannya dengan hidup atau matinya seseorang manusia”. Selain
berdasarkan pengertian formiil yang terdapat di dalam undang-undang, ada juga
pendapat ahli hukum megenai pengertian asuransi jiwa. Menurut Santoso
Pudjisoebroto yang ditulis dalam disertasinya bahwa pertanggungan jiwa ialah
“Suatu perjanjian dimana penanggung sengan menerima suatu premi mengikat
13 Sri Redjeki Hartono, Asuransi dan Hukum Asuransi di Indonesia, IKIP Semarang Press, 1985,
hlm.170
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
17
dirinya terhadap tertanggung, untuk memberi suatu pembayaran kepada
tertanggung atau tertunjuk, manakala terjadi suatu peristiwa yang tidak pasti yang
harus ada hubungannya dengan meninggalnya tertanggung tadi”.14Dan menurut
H.M.N. Purwosutjipto bahwa Asuransi jiwa dapat diartikan sebagai
“pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil)
asuransi dengan penanggung dengan mana penutup asuransi mengikatkan diri
selama jalannya pertanggungan membayar uang premi kepada penanggung,
sedangkan penanggung sebagai akibat langsung dari meninggalnya orang yang
jiwanya dipertanggungkan atau telah lampaunya suatu jangka waktu yang
diperjanjikan mengikat diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang
yang ditunjuk untuk penutup asuransi sebagai penikmatnya.”15 Sedangkan
menurut Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), asuransi jiwa adalah program
perlindungan dalam bentuk pengalihan resiko ekonomis atas meninggal atau
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan Jika dianalogikan, asuransi jiwa
sering diandaikan sebagai payung di rumah anda, pelampung di kapal atau
pesawat udara. Sangat dibutuhkan karena berguna pada saat tertentu tetapi
seringkali tidak terpikirkan ketika keadaan aman.16
Perjanjian asuransi/pertanggungan jiwa pada asasnya dapat terjadi atas
dasar adanya kata sepakat para pihak.17 Untuk mengetahui lebih lanjut tentang
perjanjian asuransi jiwa maka perlu diketahui pula mengenai perjanjian secara
14Santoso Poedjosoebroto, Beberapa Aspekta Hukum Pertanggungan Jiwa di Indonesia, Jakarta:
Bharata, 1929, hlm.14 (dalam buku Sri Redjeki Hartono, yang berjudul Asuransi dan Hukum Asuransi di
Indonesia hlm 169) 15 H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang, Jilid 6 Hukum Perdagangan, Jakarta:
Djambatan, 1992, hal 9 16 Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Pusat Informasi(apa yang dimaksud asuransi jiwa?)
http://www.aaji.or.id/infocenter/Faq.aspx yang diakses pada tanggal 9 Juli 2015 17 Sri Redjeki Hartono., op.cit.,hlm. 168
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
18
umum. Mengenai syarat sah perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu
perjanjian, yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan
kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan
pihak yang lain.18 Pernyataan Kehendak tidak selalu harus dinyatakan secara
tegas namun dapat dengan tingkah laku atau hal-hal lain yang mengungkapkan
pernyataan kehendak para pihak.19
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Kecakapan merupakan kemampuan yang menurut hukum untuk membuat
suatu perbuatan (perikatan atau perjanjian). Kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum pada umumnya diukur dari standar, berikut ini:20
a) Person (pribadi), diukur dari standar usia kedewasaan (meerderjarig); dan
Usia kedewasaan menurut Pasal 1330 KUHPerdata jo. Pasal 330
KUHPerdata adalah menggunakan standar usia 21 tahun atau telah
menikah walaupun sebelum genap berusia 21 tahun. Khusus yang bercerai
sebelum umur 21 tahun tetap dianggap cakap hukum. Walaupun standar
kedewasaan berusia 21 tahun atau telah menikah, tetapi tidak semua yang
mencapai usia 21 tahun dianggap cakap karena berada dibawah
pengampuan.
18 J.H. Niewenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan,(terjemahan Djasadin Saragih), Surabaya, 1985,
Hlm. 56. (dalam buku .Agus Yudha Hernako yang berjudul Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam
Kontrak Komersial hlm. 162) 19Agus Yudha Hernako, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam Kontrak Komersial,
Jakarta:Kencana, 2011, hlm.162 20 Ibid.hlm.184.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
19
b) Rechtpersoon (badan hukum), diukur dari aspek kewenangan
(bevoegheid).
Kewenangan yang dimaksud adalah kewenangan yang melekat pada pihak
yang mewakilinya.
c. Suatu hal tertentu
Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau mengenai
bendanya. Mengenai hal dan objek tertentu ini dapat dilihat dalam Pasal 1332,
1333, dan 1334 KUHPerdata. Substansi pasal-pasal tersebut memberikan
pedoman bahwa dalam berkontrak harus terpenuhi hal atau objek tertentu.21
Hal ini dimaksudkan agar sifat dan luasnya kewajiban para pihak (prestasi)
dapat dilaksanakan oleh para pihak.22
d. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal dapat dilihat dari substansi pasal 1335 dan pasal 1337
KUHPerdata, adapun sebab yang diperbolehkan maksudnya adalah bahwa apa
yang hendak dicapai para pihak dalam perjanjian atau kontrak tersebut harus
disertai itikad baik dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan.23
Sebagaimana halnya dengan perjanjian pada umumnya, perjanjian
asuransi tunduk pada 4 (empat) asas penting bagi sahnya suatu perjanjian dalam
KUHPerdata yaitu sebagai berikut:24
a. Asas kebebasan berkontrak
21 Agus Yudha Hernako, op.cit., hlm. 192 22 Ibid. 23 Ibid, hlm.193-199 24 Ibid, hlm. 108-145
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
20
Asas kebebasan berkontrak tercemin dari substansi Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Kebebesan
berkontrak disini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat
perjanjian dengan bentuk atau format apapun (tertulis, lisan, scriptless,
paperless, autentik, nonautentik, sepihak/eenzijdig, adhesi, standar/baku, dan
lain-lain), serta dengan isi atau substansi sesuai yang diinginkan para pihak.
b. Asas konsensualisme
Asas konsensualisme sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 angka 1 jo 1338
ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa adanya kesepakatan, dimana menurut
asas ini perjanjian ini telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat antara para
pihak yang membuat perjanjian, maka sejak saat itu perjanjian telah sah dan
mengikat serta berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
c. Asas daya mengikat / Asas pacta Sunt Servanda
Asas pacta sunt servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang
menegaskan “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang”.Artinya bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan
perjanjian yang telah disepakati seperti mentaati undang-undang. Oleh karena
itu, akibat dari asas pacta sunt servanda adalah perjanjian itu tidak dapat
ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam
Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata yaitu “suatu perjanjian tidak dapat ditarik
kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan
yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
21
d. Asas itikad baik
Asas itikad baik didasarkan pada 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang menetapkan
bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik (contractus
bonafidei). Maksudnya perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan
keadilan.
Sebagaimana yang dibahas diatas maka perjanjian asuransi jiwa yaitu
berhubungan dengan kepentingan finansial dan bersifat perjanjian kemungkinan.
Sebagaimana pada perjanjian asuransi/pertanggungan yang untuk sahnya
perjanjian lain, disyaratkan adanya kata kesepakatan dari para pihak dan syarat itu
tentu saja para pihak disini haruslah yang mempunyai kewenangan melakukan
perbuatan hukum sesuai dengan yang disyaratkan oleh Undang-undang.25 Oleh
karena itu dapat disimpulkan perjanjian asuransi jiwa sama dengan perjanjian
pada umumnya yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam pengertian
perjanjian asuransi jiwa terdapat kata “polis”. Kata polis dalam perjanjian
asuransi jiwa memiliki pengertian sebagai berikut:
a. Menurut Pasal 1 angka 1 dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaran Usaha
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, “polis asuransi adalah polis
atau perjanjian asuransi, atau dengan nama apapun serta dokumen lain yang
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan perjanjian asuransi,
termasuk tanda bukti kepesertaan asuransi bagi pertanggungan kumpulan,
antara pihak penanggung dan pihak pemegang polis atau tertanggung.”
25 Sri Redjeki Hartono, op.cit., hlm. 174
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
22
b. Menurut AXA Indonesia, polis adalah Surat kontrak yang memuat perjanjian
asuransi jiwa antara Pemegang Polis dan Penanggung.26
c. Pengertian Polis Asuransi Jiwa (Life Insurance Policy) menurut definisi dari
LOMA (Life Office Management Association) adalah: “Polis Asuransi Jiwa
(Life Insurance Policy) adalah polis di mana di dalam polis tersebut perusahaan
asuransi berjanji untuk membayar manfaat atas kematian orang yang
diasuransikan/tertanggung.”27
d. Menurut Asiosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Polis berisi kontrak antara
perusahaan asuransi jiwa dan pemegang polis dimana perusahaan Asuransi
Jiwa mempunyai kewajiban untuk memberikan sejumlah uang yang telah
ditentukan kepada yang ditunjuk (biasanya ahli waris) jika terjadi kematian,
atau tetap hidupnya tertanggung pada akhir masa kontrak. (Sesuai masa
pertanggungan). Sebagai imbalan atas pengalihan resiko tersebut pemegang
polis mempunyai kewajiban kepada perusahaan asuransi jiwa, yang disebut
dengan pembayaran premi.28
Polis asuransi jiwa juga diatur dalam dalam pasal 304 KUHDagang,
yang menentukan syarat umum polis asuransi jiwa yang harus memuat:
1) Hari ditutupnya pertanggungan;
2) Nama si tertanggung;
3) Nama orang yang jiwanya dipertanggungkan;
4) Saat mulai berlaku dan berakhirnya bahaya bagi si penanggung;
26 AXA Indonesia, Istilah Asuransi, http://axa.co.id/layanan-nasabah/informasi-umum/istilah-
asuransi/ diakses pada tanggal 9 Juli 2015 27 Iqbal Fadjar, Pengertian Polis Asuransi Jiwa, http://konsultanprusyariah.com/pengertian-polis-
asuransi-jiwa/ diakses pada tanggal 19 juli 2015 28 Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Pusat Informasi(bagaimana bentuk asuransi jiwa),
http://www.aaji.or.id/infocenter/Faq.aspx diakses pada tanggal 9 Juli 2015
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
23
5) Jumlah uang untuk mana diadakan pertanggungan;
6) Premi pertanggungan tersebut.
Mengenai polis asuransi secara umum diatur juga dalam Pasal 26
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian menyatakan
bahwa:
(1) Perusahaan Perasuransian wajib memenuhi standar perilaku usaha yang
mencakup ketentuan mengenai:
a. polis;
b. Premi atau Kontribusi;
c. urderwriting dan pengenalan Pemegalg Polis, Tertanggung, atau Peserta;
d. penyelesaian klaim;
e. keahlian di bidang perasuransian;
f. distribusi atau pemasaran produk;
g. penarlganan keluhan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta; dan
h. standar lain yang penyelenggaraan usaha.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar perilaku usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Berdasarkan Pasal 8 dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaran Usaha Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, mensyaratkan bahwa setiap perusahaan
asuransi dalam membuat polis asuransi harus memuat sekurang-kurangnya
ketentuan mengenai:
a. saat berlakunya pertanggungan,
b. uraian manfaat yang diperjanjikan,
c. cara pembayaran premi,
d. tenggang waktu (grace period) pembayaran premi,
e. kurs yang digunakan untuk Polis Asuransi dengan mata uang asing apabila
pembayaran premi dan manfaat dikaitkan dengan mata uang rupiah,
f. waktu yang diakui sebagai saat diterimanya pembayaran premi,
g. kebijakan perusahaan yang ditetapkan apabila pembayaran premi dilakukan
melewati tenggang waktu yang disepakati;
h. periode dimana pihak perusahaan tidak dapat meninjau ulang keabsahan
kontrak asuransi (incontestable period);
i. tabel nilai tunai, bagi Polis Asuransi jiwa yang mengandung nilai tunai;
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
24
j. perhitungan dividen polis atau yang sejenis, bagi Polis Asuransi jiwa yang
menjanjikan dividen polis atau yang sejenis;
k. penghentian pertanggungan, baik dari pihak penanggung maupun dari pihak
pemegang polis, termasuk syarat dan penyebabnya;
l. syarat dan tata cara pengajuan klaim, termasuk bukti pendukung yang
diperlukan dalam mengajukan klaim;
m. pemilihan tempat penyelesaian perselisihan;
n. bahasa yang dijadikan acuan dalam hal terjadi sengketa atau beda pendapat,
untuk Polis Asuransi yang dicetak dalam 2 (dua) bahasa atau lebih.
Ada kalanya perjanjian pertanggungan jiwa dihentikan sebelum
jangka waktu yang perjanjikan berakhir, yaitu apabila:29
1) Atas kemauan pihak pemegang polis/pengambil asuransi atau tertanggung.
2) Diberhentikan oleh pihak penanggung karena pemegang polis/pengambil
asuransi atau tertanggung tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya.
3) Perjanjian asuransi jiwa terhenti karena keadaan terpaksa mutlak atau force
majeure.
2.4 Bentuk-Bentuk Penyelesain Sengketa Melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen
Berdasarkan tugas dan wewenang BPSK, penyelesaian sengketa dapat
dilakukan melalui tiga cara, yaitu:
a. Konsiliasi
Menurut Pasal 1 angka 9 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas
dan Wewenang BPSK menyatakan bahwa, konsiliasi adalah proses
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan
29 Sri Redjeki Hartono, op.cit., hlm. 177
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
25
BPSK untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan
penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak.
Tata cara penyelesaian sengketa konsumen melalui konsiliasi dalam Pasal
29 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Tugas dan Wewenang BPSK adalah
sebagai berikut:
a) Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada
konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk
maupun jumlah ganti rugi;
b) Majelis bertindak pasif sebagai Konsiliator;
c) Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan
mengeluarkan keputusan.
b. Mediasi
Menurut Pasal 1 angka 10 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas
dan Wewenang BPSK menyatakan bahwa, mediasi adalah proses
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan
BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para
pihak.
Tata cara penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi dalam Pasal 31
Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Tugas dan Wewenang BPSK adalah
sebagai berikut:
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
26
a) Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada
konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk
maupun jumlah ganti rugi;
b) Majelis bertindak aktif sebagai Mediator dengan memberikan nasehat,
petunjuk, saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa;
c) Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan
mengeluarkan ketentuan.
c. Arbitrase
Menurut Pasal 1 angka 11 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas
dan Wewenang BPSK menyatakan bahwa, arbitrase adalah proses
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para
pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa
kepada BPSK.
Tata cara penyelesaian sengketa konsumen melalui arbitrase dalam Pasal 33
sampai 34 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK
adalah sebagai berikut:
a) Ketua Majelis di dalam persidangan wajib memberikan petunjuk kepada
konsumen dan pelaku usaha, mengenai upaya upaya hukum yang
digunakan oleh konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
27
b) Dengan izin Ketua Majelis, konsumen dan pelaku usaha yang
bersengketa dapat mempelajari semua berkas yang berkaitan dengan
persidangan dan membuat kutipan seperlunya.
c) Pada hari persidangan I (pertama) Ketua Majelis wajibmendamaikan
kedua belah pihak yang bersengketa dan bilamana tidak tercapai
perdamaian, maka persidangan dimulai dengan membacakan isi gugatan
konsumen dan surat jawaban pelaku usaha.
d) Ketua Majelis memberikan kesempatan yang sama kepada konsumen dan
pelaku usaha yang bersengketa untuk menjelaskan hal-hal yang
dipersengketakan.
Dalam pasal 36 ayat (3) Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas
dan Wewenang BPSK Bilamana pada persidangan ke II (kedua) konsumen
tidak hadir, maka gugatannya dinyatakan gugur demi hukum, sebaliknya
jika pelaku usaha yang tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan
oleh Majelis tanpa kehadiran pelaku usaha.
2.5 Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Putusan BPSK diatur dalam Pasal 37-42 Surat Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Hasil penyelesaian sengketa konsumen melalui cara konsiliasi atau mediasi dibuat
dalam perjanjian tertulis yang ditanda tangani oleh konsumen dan pelaku usaha.
Perjanjian tertulis dikuatkan dengan keputusan majelis yang ditandatangani oleh
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
28
ketua dan anggota majelis. Sedangkan dengan hasil penyelesaian konsumen
melalui cara arbitrase dibuat dalam bentuk putusan majelis yang ditanda-tangani
oleh ketua dan anggota majelis. Putusan majelis adalah putusan BPSK. Putusan
BPSK dapat berupa:
a. Perdamaian;
b. Gugatan ditolak dan
c. Gugatan dikabulkan.
Dalam hal kegiatan dikabulkan, maka amar putusan ditetapkan
kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha. Kewajiban tersebut berupa
pemenuhan:
a. Ganti rugi;
Ganti kerugian yang dapat dituntut oleh konsumen dan yang dapat dikabulkan
oleh Majelis BPSK diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Penyelesaian
Konsumen yaitu berupa:
a) Pengembalian uang;
b) Pengembalian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya;
c) Perawatan kesehatan; dan/atau
d) Pemberian santunan.
b. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp.
200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Dalam hal sanksi administratif ini hanya
dapat dijatuhkan apabila para pihak sepakat memilih mekanisme penyelesaian
sengketa secara arbitrase.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
29
Sengketa konsumen yang dapat diselesaiakan melalui BPSK
berdasarkan Pasal 1 angka 8 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah sengketa antara
pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang
dan/atau memanfaatkan jasa. Pada umumnya sengketa asuransi jiwa dalam Pasal
17 ayat (1) Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah sengketa yang terkait masalah klaim,
penuntutan jasa, dan penafsiran ketentuan polis. Dalam sengketa ini sering terjadi
kekurangan barang bukti yang berakibat permohonan penyelesaian sengketa
konsumen ditolak oleh Ketua BPSK. Apabila sudah memenuhi semua persyaratan
maka permohonan dapat diterima oleh Ketua BPSK.
Dalam hal sengketa yang diterima oleh Ketua BPSK dan gugutannya
dikabulkan maka putusan yang sesuai dengan sengketa asuransi jiwa adalah ganti
rugi pengembalian jasa karena dalam hal pengembalian jasa merupakan bentuk
prestasi yang disediakan oleh pihak penanggung ( perusahaan asuransi) yang
dapat dimanfaatkan oleh pihak tertanggung. Selain itu juga dapat berupa sanksi
adminitstarif yaitu penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
Ketua BPSK memberitahukan putusan majelis secara tertulis kepada
alamat konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, selambat-lambatnya 7
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
30
(tujuh) hari kerja sejak putusan dibacakan. Dalam waktu 14 (empat belas) hari
kerja terhitung sejak putusan BPSK diberitahukan, konsumen dan pelaku usaha
yang bersengketa wajib menyatakan menerima dan menolak putusan BPSK.
Konsumen dan pelaku usaha yang menolak putusan BPSK dapat mengajukan
keberatan kepada pengadilan negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak keputusan BPSK dibacakan.
Tata cara pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK diatur dalam
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006. Di samping itu, pelaku usaha
yang menyatakan menerima putusan BPSK, wajib melaksanakan putusan tersebut
selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak menyatakan
menerima putusan BPSK. Dalam hal, pelaku usaha yang menolak putusan BPSK,
tetapi tidak mengajukan keberatan, setelah batas waktu 7 (tujuh) hari dianggap
menerima putusan dan wajib melaksanakan putusan selambat-lambatnya 5 (lima)
hari kerja setelah batas waktu mengajukan keberatan dilampaui. Apabila pelaku
usaha tidak menjalankan kewajibannya, maka BPSK menyerahkan putusan
tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Putusan BPSK merupakan putusan yang final
dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Terhadap perbuatan BPSK,
untuk dimintakan penetapan eksekusi oleh BPSK kepada pengadilan negeri di
tempat konsumen yang dirugikan. Eksekusi atau pelaksanaan sudah mengandung
arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau menaati putusan itu secara sukarela,
sehingga putusan harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan hukum.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
31
Penetapan eksekusi diatur juga dalam Pasal 7 Perma Nomor 1 Tahun
2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.
Konsumen mengajukan permohonan eksekusi atas putusan BPSK yang tidak
diajukan keberatan kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan hukum
konsumen yang bersangkutan atau dalam wilayah hukum BPSK yang
mengeluarkan putusan. Permohonan eksekusi atas putusan BPSK yang telah
diperiksa melalui prosedur keberatan, ditetapkan oleh pengadilan negeri yang
memutus perkara keberatan bersangkutan. Oleh karena itu, pengadilan negeri
wajib mengeluarkan putusan atas keberatan dalam waktu paling lambat 21 (dua
puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan. Terhadap putusan pengadilan negeri
tersebut, para pihak dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung wajib mengeluarkan
putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima
permohonan kasasi.
2.6 Pemilihan Forum Penyelesaian Sengketa dalam Asuransi Jiwa
2.6.1 Sebelum adanya Undang-Undang 40 Tahun 2014 dan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan
Berkaitan dengan pemilihan tempat penyelesaian sengketa terhadap
nasabah asuransi jiwa yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1992 tentang Usaha Perasuransian masih tergolong belum jelas, karena di dalam
Undang-Undang tersebut tidak menyebutkan secara rinci mengenai tempat
penyelesaian. Selain itu, dalam Pasal 8 huruf m dalam Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaran
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
32
Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi ini sudah mengatur bahwa
dalam polis asuransi harus memuat mengenai pemilihan forum penyelesaian
perselisihan. Akan tetapi, dalam Keputusan Menteri Keuangan tersebut belum
menjabarkan secara rinci mengenai tempat yang sesuai untuk penyelesaian
sengketa atau perselisihan perkara asuransi.
Pada peraturan perundang-undangan tersebut mengandung multi tafsir
yang oleh sebagian besar orang memiliki pemahaman atau penafsiran yang
berbeda-beda. Hal yang sangat wajar apabila kemudian muncul banyak
pertanyaan seputar tempat penyelesaian sengketa yang sesuai dan seperti apa yang
dimaksudkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Klausula
penyelesaian sengketa sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 422/KMK.06/2003 diwajibkan mencantumkan Klausula Penyelesaian
Sengketa (Disputes Clause) pada umumnya dicantumkan dua (2) pilihan forum
penyelesaian sengketa yaitu Pengadilan dan Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa (Arbitrase, Mediasi, dan Ajudikasi).
Sengketa di dalam asuransi jiwa antara Tertanggung dengan
Penanggung, Penanggung dengan Penanggung Ulang dapat diselesaikan melalui
forum sebagai berikut :
a) Pengadilan
Pengadilan terdiri dari Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi
(PT), dan Mahkamah Agung (MA). Forum ini sudah dikenal oleh masyarakat
umum untuk menyelesaikan berbagai macam perselisihan atau sengketa yang
terjadi.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
33
Proses peradilan yang lengkap berupa pemeriksaan bukti-bukti, saksi-
saksi dan lain-lain dilakukan di tingkat pengadilan tingkat pertama (PN).
Hasil akhir dari proses di Pengadilan Negeri berupa putusan yang hasilnya
bisa bermacam-macam. Putusan Pengadilan ini akan memenangkan salah satu
pihak. Apabila salah satu pihak yang tidak puas atau merasa dirugikan
terhadap putusan Pengadilan Negeri bisa melakukan upaya hukum banding
ke Pengadilan Tinggi maupun upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.
Upaya hukum banding dan kasasi merupakan upaya hukum biasa,
karena upaya hukum tersebut dilakukan atas putusan pengadilan yang belum
mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde). Sedangkan untuk
upaya hukum terhadap putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap adalah Peninjauan Kembali (PK). Upaya hukum Peninjauan
Kembali merupakan upaya hukum luar biasa dan hanya dapat dilakukan
sekali dengan alasan antara lain sebagai berikut :
1. Putusan yang jelas memperlihatkan kekhilafan hakim atau kekeliruan.
2. Putusan mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut atau melebihi dari apa
yang dituntut.
3. Suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-
sebabnya.
4. Putusan didasarkan atas kebohongan atau tipu muslihat dari pihak lawan
yang diketahui setelah perkara diputus, atau keterangan saksi atau surat-
surat bukti kemudian oleh hakim dinyatakan palsu.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
34
5. Adanya novum (bukti baru) yaitu bukti yang benar-benar baru tidak
pernah diungkap di dalam persidangan sebelumnya. Sedangkan bukti ini
sangat menentukan.
b) Arbitrase
Penyelesaian sengeketa melalui arbitrase terdapat ada 2 (dua) macam
yaitu:
1. Arbitrase Ad Hoc
Arbitrase ad hoc merupakan arbitrase yang memiliki sifat sementara dan
dibentuk oleh para pihak yang bersengketa.
2. Arbitrase institusi
Arbitrase institusi memang merupakan badan arbitrase yang mempunyai
jasa khusus untuk penyelesaian sengketa, contohnya Badan Arbitrasi
Nasional Indonesia (BANI). BANI mempunyai list dari arbiter-arbiter
yang dapat ditunjuk oleh siapa saja dan juga mempunyai Peraturan
Prosedur Arbitrase (Rules of Arbitral Procedure).
Pada kedua macam arbitrase tersebut mengacu kepada Undang-
Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Selain itu, mengenai putusan arbitrase bersifat final dan mengikat
para pihak (final and binding), dan agar putusan arbitrase mempunyai
kekuatan eksekutorial maka putusan tersebut dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah dibacakan harus segera didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
35
c) Badan Mediasi Asuransi Indonesia 30
Badan Mediasi Asuransi Indonesia ( selanjutnya disebut BMAI)
didirikan pada tanggal 12 Mei 2006 dan mulai beroperasi pada tanggal 25
September 2006. Pendiriannya ini sejalan dengan Surat Keputusan Bersama
empat Menteri yaitu:
a) Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
No.KEP.45/M.EKON/07/2006;
b) Gubernur Bank Indonesia No.8/50/KEP.GBI/ 2006;
c) Menteri Keuangan No.357/KMK.012/2006; dan
d) Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No.KEP-75/MBU/2006
Tentang Paket Kebijakan Sektor Keuangan yang ditetapkan di Jakarta
tanggal 5 Juli 2006.
Pendirian BMAI digagas oleh beberapa Asosiasi Perusahaan
Perasuransian Indonesia yang berada di bawah FAPI (Federasi Asosiasi
Perasuransian Indonesia) yaitu Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI),
Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) dan Asosiasi Asuransi Jaminan
Sosial Indonesia (AAJSI) dan didukung penuh oleh Biro Perasuransian,
Bapepam-LK, Dept. Keuangan Republik Indonesia.
BMAI didirikan dengan tujuan untuk memberikan pelayanan yang
profesional dan transparan yang berbasis pada kepuasan dan perlindungan
serta penegakkan hak-hak Tertanggung atau Pemegang Polis melalui proses
Mediasi dan Ajudikasi. BMAI dibentuk dengan tujuan untuk memberikan
30Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI), Pendirian BMAI,
http://bmai.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=66&Itemid=193 diakes pada tanggal 2
Maret 2015
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
36
representasi yang seimbang antara Tertanggung dan/atau Pemegang Polis dan
Penanggung (Perusahaan Asuransi). Tertanggung atau Pemegang Polis yang
tidak menyetujui penolakan tuntutan ganti rugi atau manfaat polisnya oleh
Penanggung (Perusahaan Asuransi) dapat meminta bantuan BMAI untuk
menyelesaikan sengketa antara mereka. BMAI senantiasa berupaya untuk
menyelesaikan sengketa klaim asuransi secara lebih cepat, adil, murah dan
informal.
Penyelesaian sengketa klaim (tuntutan ganti rugi/ manfaat) dilakukan
oleh BMAI dalam 3 (tiga) bagian yaitu:
1. Mediasi
Permohonan Penyelesaian Sengketa Klaim Asuransi yang diterima
BMAI akan ditangani oleh Mediator yang akan berupaya agar
Tertanggung atau Pemegang Polis dan Penanggung (Perusahaan
Asuransi) dapat mencapai kesepakatan untuk menyelesaian sengketa
secara damai dan wajar bagi kedua belah pihak. Mediator akan bertindak
sebagai penengah antara Tertanggung atau Pemegang Polis (Pemohon)
dan Penanggung atau Perusahaan Asuransi (Termohon).
2. Ajudikasi
Bila Sengketa Klaim (tuntutan ganti rugi atau manfaat) tidak dapat
diselesaikan melalui Mediasi (Tahap 1), maka Pihak Pemohon dapat
mengajukan permohonan kepada Ketua BMAI agar sengketanya dapat
diselesaikan melalui proses Ajudikasi. Sengketa akan diputuskan oleh
Majelis Ajudikasi yang ditunjuk oleh BMAI.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
37
3. Arbitrase
Atas sengketa klaim yang tidak dapat diselesaikan pada proses Mediasi
atau Ajudikasi dan yang nilai sengketanya melebihi Batas Nilai Tuntutan
Ganti Rugi dilakukan proses Arbitrase. Sengketa klaim akan diperiksa
dan diadili oleh Arbiter Tunggal atau Majelis Arbitrase. Keputusan
arbitrase bersifat final dan mengikat para Pihak dan tidak dapat
dimintakan banding, kasasi atau upaya hukum lainnya.
Mengenai batas nilai tuntutan untuk proses Mediasi dan Ajudikasi,
nilai tuntutan ganti rugi atau manfaat polis yang dipersengketakan tidak
melebihi Rp 750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) per klaim untuk
asuransi kerugian/umum dan Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) per
klaim untuk asuransi jiwa atau Asuransi jaminan sosial.
d) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Dalam hal penyelesaian sengeketa asuransi melalui BPSK (BPSK)
tertanggung berada dalam posisi sebagai konsumen yang menerima jasa
pelayanan dari pihak asuransi yang telah memberikan jaminan terhadap
segala kemungkinan peristiwa yang akan terjadi pada diri tertanggung.
Berkaitan dengan penyelesaian sengketa asuransi jiwa Pasal 23
Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan bahwa apabila pelaku
usaha menolak atau tidak memberikan tanggapan dan/atau tidak memenuhi
ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
38
menggugat pelaku usaha dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui
BPSK atau dengan cara mengajukan gugatan ke badan peradilan. Pasal 54
ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa
putusan yang dijatuhkan oleh BPSK besifat final dan mengikat. Walaupun
demikian, para pihak yang tidak setuju atas putusan tersebut dapat
mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri untuk diputus.31
2.6.2 Setelah Adanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 dan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan
Berkaitan dengan pemilihan tempat penyelesaian sengketa terhadap
nasabah asuransi jiwa yang dijelaskan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
Tentang Perasuransian dan dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan lebih jelas dibandingkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
Tentang Usaha Perasuransian. Dapat dilihat dalam Undang-Undang 40 Tahun
2014 Tentang Perasuransian dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
lembaga penyelesaian sengketa adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian
Mengenai perlindungan pemegang polis, tertanggung atau peserta dalam hal
penyelesaian sengketa diatur dalam Pasal 54 adalah:
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib menjadi anggota
lembaga mediasi yang berfungsi melakukan penyelesaian sengketa antara
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dan Pemegang Polis,
Tertanggung, Peserta, atau pihak lain yang berhak memperoleh manfaat
asuransi.
31 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, “Hukum Tentang Perlindungan Konsumen”, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2001, h.97
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
39
(2) Lembaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat
independen dan imparsial.
(3) Lembaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat
persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Kesepakatan mediasi bersifat final dan mengikat bagi para Pihak.
(5) Ketentuan Iebih lanjut mengenai lembaga mediasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
b. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Sebagaimana ketentuan dalam pasal 54 Undang-Undang 40 Tahun 2014
Tentang Perasuransian dijelaskan lebih lanjut dalam peraturan Otoritas Jasa
keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan. Dalam peraturan Otoritas Jasa keuangan
tersebut mengatur sebagai berikut:
1. Dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2), menyatakan bahwa
(1) Pengaduan wajib dilakukan terlebih dahulu oleh Lembaga Jasa
Keuangan.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian Pengaduan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), Konsumen dan
Lembaga Jasa Keuangan dapat melakukan penyelesaian sengketa
diluar pengadilan atau melalui pengadilan.
2. Dalam Pasal 4, menyatakan bahwa:
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimuat dalam Daftar
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang ditetapkan oleh Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) meliputi Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa yang:
a. Mempunyai layanan penyelesaian sengketa paling kurang berupa:
1) Mediasi;
2) Ajudikasi; dan
3) Arbitrase.
b. Mempunyai peraturan meliputi:
1) Layanan penyelesaian sengketa;
2) Prosedur penyelesaian sengketa;
3) Biaya penyelesaian sengketa;
4) Jangka waktu penyelesaian sengketa;
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
40
5) Ketentuan benturan kepentingan dan afiliasi bagi meditor,
ajudikator, dan arbiter; dan
6) Kode etik bagi meditor, ajudikator, dan arbiter;
c. Menerapkan prinsip aksesibilitas, independensi, keadilan dan
efisensi dan efektifitas dalam setiap peraturannya;
d. Mempunyai sumber daya untuk dapat melaksanakan pelayanan
penyelesaian sengketa;
e. Didirikan oleh Lembaga Jasa Keuangan yang dikoordinasikan oleh
asosiasi dan/atau didirikan oleh lembaga yang menjalankan fungsi
self regulatory organization.
3. Dalam Pasal 10 ayat (1), menyatakan bahwa :
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dibentuk oleh Lembaga Jasa
keuangan yang dikoordinasi oleh masing-masing sektor jasa keuangan.
4. Dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1), menyatakan bahwa :
Contoh pembentukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di
Sektor Perbankan dibentuk oleh bank-bank yang dikoordinasikan oleh
asosiasi di sektor Perbankan, misalnya Perhimpunan Bank Nasional
(Perbanas), Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), Perhimpuan Bank
Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Asosiasi Bank Syariah
Indonesia (Asbisindo), dan Asosiasi Bank Asing Indonesia.
Maka dapat disimpulkan dari penjelasan peraturan perundang-
undangan diatas bahwa penyelesaian sengketa asuransi jiwa dapat dilakukan
melalui pengadilan atau melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan dikordinasi oleh Lembaga Jasa
Keuangan yang bersangkutan.
Dari hasil wawancara dengan Bapak Wahyu Diono32
, mengatakan
bahwa BPSK masih berwenang karena di undang-undang perlindungan konsumen
jelas membahas bahwa BPSK menanggani penyelesaian sengketa mengenai
barang maupun jasa.
32 Bapak Wahyu Diono adalah anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Surabaya.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
41
Oleh karena adanya dualisme kewenangan Penyelesaian Sengeka
Alternatif maka sebaiknya digunakan asas lex specialis derogat legi generalis.
Menurut Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul Hukum Positif
Indonesia (hal. 56), ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex
specialis derogat legi generalis, yaitu:33
1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku,
kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;
2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-
ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);
3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum
(rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk
lingkungan hukum keperdataan.
Selain menggunakan asas lex specialis derogat legi generalis perlu
juga dilihat dari polis asuransi jiwa karena polis asuransi merupakan polis
atau perjanjian asuransi, atau dengan nama apapun serta dokumen lain yang
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan perjanjian asuransi,
termasuk tanda bukti kepesertaan asuransi bagi pertanggungan kumpulan,
antara pihak penanggung dan pihak pemegang polis atau tertanggung ( Pasal
1 angka 1 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaran Usaha Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi.
33Letezia Tobing, Mengenai asas lex specialis derogat legi generalis,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt509fb7e13bd25/mengenai-asas-lex-specialis-derogat-legi-
generalis diakses pada tanggal 10 Maret 2015
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
42
Dikarenakan polis asuransi merupakan suatu perjanjian maka berlaku
asas pacta sunt servanda atau asas daya mengikat didasarkan pada Pasal 1338
ayat 1 KUHPerdata yang menegaskan “perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang”. Artinya bahwa kedua belah pihak wajib
mentaati dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati seperti mentaati
undang-undang. Oleh karena itu, akibat dari asas pacta sunt servanda adalah
perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain.
Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata yaitu “suatu
perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu”.
Salah satu contoh polis asuransi jiwa sebelum adanya Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 tentang perasuransian dan peraturan Otoritas Jasa
keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan adalah polis asuransi jiwa PT. Asuransi
Jiwa Manulife Indonesia dengan nomor polis 4262243746 dan tertanggung
bernama Theresia Angelica Vanesa serta mulai berlaku tanggal 12 Oktober
2010 (terlampir) menyatakan bahwa dalam pasal 12 mengenai penyelesaian
masalah atau sengketa adalah sebagai berikut:34
Segala masalah atau sengketa yang timbul dari pertanggungan ini
atau pelaksanaannya akan terlebih dahulu diselesaikan secara musyawarah.
Apabila cara musyawarah tidak dapat menyelesaikan masalah atau sengketa
34 Lihat dalam Lampiran Nomor 4 (empat).
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
43
tersebut, penanggung dan/atau pemegang polis dapat melakukan upaya-upaya
hukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Upaya hukum mediasi
dapat dilakukan sebelum para pihak memilih upaya hukum melalui
pengadilan atau arbitrase. Upaya ini dapat diajukan kepada badan mediasi
dibidang asuransi di Indonesia melalui BMAI (Badan Mediasi Asuransi
Indonesia) sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BMAI. Dalam hal
upaya yang dilakukan melalui pengadilan maka akan dipilih Pengadilan
Negeri pada domisili Pemegang Polis yang terdekat dengan domisili
Penanggung. Dalam hal upaya hukum dilakukan melalui arbitrase,
Penanggung dan/atau Pemegang Polis dapat mengajukan masalah atau
sengketa tersebut kepada lembaga aribtrase berdasarkan aturan BANI (Badan
Arbitrase Nasional Indonesia), san sepenuhnya mengikuti peraturan
perundang-undangan yang berlaku berkenaan dengan arbitrase.
Dari polis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam melakukan
penyelesaian sengketa alternatif antara tertanggung (Theresia Angelica
Vanesa) dan Penanggung (PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia) adalah
BMAI (Badan Medasi Asuransi Indonesia) dan BANI (badan Arbitase
Nasional Indonesia). Tetapi dalam polis tersebut terdapat kata “upaya ini
dapat dilakukan...” arti kata dapat menyebabkan keterbukaan norma yaitu
membuka peluang atau tidak wajib untuk melakukan penyelesaian sengketa
alternatif melalui Badan Mediasi Asuransi Indonesia.
Selain contoh tersebut, terdapat contoh polis asuransi jiwa sesudah
adanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang perasuransian dan
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
44
peraturan Otoritas Jasa keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan adalah Polis
Asuransi Jiwa dari PT. Axa Mandiri Finacial Service35
yang dikeluarkan pada
tanggal 20 Februari 2015 yang menyatakan bahwa dalam pasal 18 mengenai
penyelesaian perselisihan adalah sebagai berikut:
1. Apabila terjadi sengketa, kontroversi, atau perselisihan amtara
Penanggung, dengan Pemegang Polis atau pihak yang berkepentingan
dengan Polis ini (untuk selanjutnya disebut “perselisihan”), akan
diselesaikan secara musyawarah. Apabila Perselisihan tersebut tidak
dapat diselesaikan dalam kurun waktu 90 (sembilan puluh) hari kalender
setelah pemberitahuan tertulis oleh salah satu pihak kepada pihak
lainnya, maka Penanggung atau Pemegang Polis atau pihak yang
berkepentingan dengan polis ini dapat memilih cara penyelesaian
Perselisihan dengan melalui Lembaga alternatif penyelesaian sengketa
Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI), Arbitrase, atau Pengadilan
Negeri.
2. Bila maksud untuk menyelesaikan perselisihan tidak diberitahukan, atau
tidak disetujui, maka penyelesaian perselisihan akan diselesaikan melalui
Pengadilan Negeri sesuai dengan domisili Penanggung di wilayah hukum
Republik Indonesia dengan tidak mengesampingkan hak pemegang polis
atau pihak yang berkepentingan atas polis ini untuk menyampaikan
perselisihan yang timbul ke Pengadilan Negeri yang memiliki yurisdiksi
atas domisili Pemegang Polis atau pihak yang berkepentingan atas Polis
ini di wilayah hukum Republik Indonesia.
3. Arbitrase
Bila Penanggung atau Pemegang Polis memilih penyelesaian perselisihan
melalui Arbitrase, maka para pihak sepakat untuk tunduk pada ketentuan
sebagai berikut:
3.1. Segala perselisihan yang timbul akibat atau sehubungan dengan
polis ini akan diselesaikan secara Arbitrase yang akan dilakukan
oleh 3(tiga) orang Arbiter, yang mana penyelesaiannya akan
dilakukan di Jakarta dengan menggunakan Bahasa Indonesia
dengan berdasarkan pada hukum yang berlaku di Indonesia.
3.2. 3(tiga) orang arbiter tersebut ditunjuk berdasarkan Undang-Undang
Arbitrase yang berlaku mengenai penunjukan Arbitrator.
3.3. Proses penyelesaian perselisihan melalui arbitrase harus sesuai
dengan hak dari masing-masing pihak untuk melakukan
pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang diajukan, hak
35 Lihat lampiran nomor 5 (lima).
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
45
mendatangkan atau menghadirkan saksi-saksi termasuk saksi ahli
dan hak untuk mengadakan petisi baik lisan maupun tertulis.
3.4. Majelis arbitrase memiliki wewenang untuk memberikan
keputusan baik secara sementara, memerintah atau menerima atau
keputusan lainnya berdasarkan Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang
Arbitrase.
3.5. Majelis arbitrase akan memutuskan jadwal proses penyelesaian
perselisihan melalui arbitrase dan memiliki wewenang untuk
mengubah jadwal tersebut setiap saat dengan segala pertimbangan
yang dapat diterima.
3.6. Peraturan arbitase yang merupakan mandat dari majelis arbitrase
sepenuhnya diwakili semua bagian yang tercantum dalam polis
dan berlaku terus sampai dengan keputusan arbitrase yang
diputuskan oleh majelis arbitrase tercapai.
3.7. Semua keputusan arbitrase yang dibuat dan diputuskan oleh
Majelis arbitrase adalah mutlak, terikat dan tidak dapat diganggu
gugat dan dapat digunakan dasar proses pengadilan di wilayah
hukum Republik Indonesia sesuai dengan undang-undang
Arbitrase.
3.8. Majelis arbitrase tidak dapat mengubah isi polis ini.
3.9. Semua biaya yang timbul dari proses Arbitrase (termasuk dan
tanpa batasan atas biaya-biaya yang timbul atas penunjukan
3(tiga) majelis aribtrase) akan dibayarkan sesuai dengan Pasal 77
Undang-Undang Arbitrase.
3.10. Para pihak dengan ini menyatakn bahwa dalam membuat
keputusannya, majelis arbitrase terikat pada hukum yang berlaku
dan tidak berhak menyerahkan keputusannya dengan cara ex
aequo et bono.
3.11. Para pihak setuju bahwa Pasal 11 Undang-Undang Arbitrase akan
diberlakukan dan karenanya peraturan yang tercantum dalam
pasal 18 ayat 3 menghilangkan hak dari semua pihak untuk
melakukan penyelesaian perselisihan atas polis ini ke Pengadilan
Negeri setempat, kecuali untuk menguatkan hasil keputusan
arbitrase sesuai dengan pasal 18 ayat 3 atau jika tidak berdasarkan
pada Undang-Undang Arbitrase.
3.12. Selama jangka waktu pengajuan petisi sampai dengan arbitrase dan
seterusnya sampai dengan keputusan arbitrase, para pihak harus,
kecuali dalam hal polis jatuh tempo, melaksanakan dan
menjalankan kewajibannya sesuai dengan Polis tanpa melihat
pada hasil akhir yang akan dicapai dalam proses arbitrase.
4. Mediasi
Bila Penanggung dan Tertanggung memilih penyelesaian melalui
mediasi, maka para pihak sepakat untuk tunduk pada ketentuan sebagai
berikut:
4.1. Segala perselisihan yang timbul akibat atau sehubungan dengan
polis ini, akan diselesaikan melalui Badan Mediasi Asuransi
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
46
Indonesia (BMAI) yang mana penyelesaiannya akan dilakukan di
Jakarta dengan menggunakan Bahasa Indonesia.
4.2. Sengketa yang dapat diajukan dan ditangani oleh BMAI adalah
dengan ketentuan sebagai berikut:
(i) Jumlah tuntutan ganti rugi atau manfaat polis yang
dipersengketakan tidak melebihi jumlah Rp 500.000.000
(lima ratus juta rupiah).
(ii) Jawaban penolakan final.
(iii) Sengketa yang tidak melebihi masa jangka waktu 6 (enam)
bulan sejak penanggung memberikan sengketa yang tidak
pernah atau tidak sedang disidangkan di pengadilan serta
tidak sedang dalam proses investigasi oleh pihak yang
berwajib.
5. Ketentuan yang tercsntum dalam pasal 18 ini akan tetap berlaku
meskipun polis ini diakhiri dan/atau berakhir.
Berdasarkan isi polis tersebut bahwa yang berwenang dalam
menyelesaikan sengeketa melalui penyelesaian sengketa alternatif adalah BMAI
dan Arbitrase melalui BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia). Dapat dilihat
dari kalimat yang berbunyi “para pihak sepakat untuk tunduk pada ketentuan...
segala perselisihan yang timbul akibat atau sehubungan dengan polis ini, akan
diselesaikan melalui Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)...” maka dalam
kalimat ini mengikat para pihak untuk tunduk dan wajib menyelesaikan sengketa
sesuai dengan ketentuan tersebut
Oleh karena itu, terdapat perbedaan yang sangat jelas antara polis PT.
Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (sebelum adanya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014) dengan polis PT. Axa
Mandiri Finacial Service (sesudah adanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014) bahwa sebelum adanya adanya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
dalam polis masih membuka norma atau peluang dalam penyelesaian sengketa
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
47
alternatif tetapi sesudah adanya adanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 dalam polis tidak membuka norma atau
peluang dalam penyelesaian sengketa alternatif.
Maka dari pernyataan-pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa
dengan menggunakan asas lex specialis derogat legi generalis maka Badan
Penyelesaian Sengketa Alternatif tidak memiliki wewenangnya karena asuransi
memiliki peraturan perundang-undangan sendiri yang mengatur secara khusus
yaitu Undang - Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian Juncto
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. Selain itu, dapat
dilihat dari polis asuransi jiwa karena polis asuransi merupakan suatu perjanjian
maka berlaku asas pacta sunt servanda atau asas daya mengikat. Asas pacta sunt
servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menegaskan
“perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.Artinya
bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian yang telah
disepakati seperti mentaati undang-undang.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA
LANNY
Recommended