View
216
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Optimisme
1. Definisi Optimisme
Optimis dalam KBBI diartikan sebagai orang yang selalu
berpengharapan (berpandangan) baik dalam menghadapi segala hal
sedangkan optimistis didefenisikan sebagai bersifat optimis atau penuh
harapan. Menurut Wardyah (2005) optimis merupakan individu yang
memperkirakan hal baik yang terjadi pada dirinya, sedangkan pesimis
adalah individu yang memperkirakan dirinya akan mengalami hal buruk.
Optimisme menurut KBBI adalah paham (keyakinan) atas segala sesuatu
dari segi yang baik dan menyenangkan atau sikap selalu mempunyai
harapan baik di segala hal.
Optimisme merupakan expectancy (ekspektasi) bahwa akan lebih
banyak hal baik yang terjadi daripada hal buruk di masa depan (Maghfirah,
2013).). Individu optimis saat menghadapi kesulitan akan terus berusaha
mencapai tujuan dan akan menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi
dengan menggunakan strategi coping yang efektif untuk mencapai tujuan
yang diinginkan.
Individu yang optimis dan pesimis, berbeda caranya dalam
mengatasi masalah dan menghadapi tantangan, cara dan hasil yang
diperoleh dalam menyelesaikan kesulitan yang dihadapi. Optimis ketika
8
Optimisme Pada Penderita Kanker…, Rindy Destriana Tita, Fakultas Psikologi UMP, 2016
9
menghadapi tantangan akan menghadapinya dengan percaya diri dan
gigih, meskipun kemajuan dalam menyelesaikan tantangan tersebut lambat
karena mereka percaya kesulitan dapat ditangani. Berbeda dengan optimis,
pesimis cenderung akan menyerah ketika menghadapi kondisi yang sulit
dan menantang, selain itu mereka juga cenderung memiliki perasaan
negatif dan membayangkan kalau suatu kejadian yang buruk akan terjadi.
2. Teori Tentang Optimisme
Konsep optimisme berkaitan dengan teori motivasi atau yang
lebih dikenal dengan teori expectancy-value (Carver & Scheier, 2001).
Teori ini berpandangan bahwa perilaku individu disusun oleh dua aspek:
a. Goal (Tujuan) Tujuan adalah state atau tindakan yang dianggap
diinginkan atau tidak diinginkan. Individu mencoba untuk
menyesuaikan perilaku sesuai dengan yang dia inginkan dan
menjauhkan diri dari apa yang tidak diinginkan. Semakin penting
tujuan tersebut bagi seseorang, semakin besar nilainya dalam memberi
motivasi pada individu. Tanpa memiliki tujuan, seseorang tidak
memiliki alasan untuk bertindak.
b. Expectancy (Ekspektasi) Ekspektasi merupakan confidence
(kepercayaan) ataupun doubt (keraguraguan) dalam pencapaian
tujuan. Jika individu ragu-ragu, tidak akan ada tindakan. Keraguan
dapat mengganggu usaha untuk mencapai tujuan baik sebelum
tindakan dimulai atau saat sedang berlangsung. Hanya individu
dengan ekspektasi yang cukup yang mampu melanjutkan usahanya.
Optimisme Pada Penderita Kanker…, Rindy Destriana Tita, Fakultas Psikologi UMP, 2016
10
3. Dampak Optimisme
Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan terhadap
optimisme, disimpulkan bahwa optimisme sangat membantu individu
dalam berbagai bidang. Optimis akan lebih cepat menerima kenyataan
akan kondisi yang dihadapinya sekarang dibandingkan dengan individu
yang pesimis (Carver & Scheier, 2004). Optimisme berkaitan dengan
kondisi kesehatan yang lebih baik. Individu dengan optimis yang rendah
lebih membutuhkan psikoterapi dibandingkan dengan individu dengan
optimisme yang tinggi (Karlsson, 2011).
Ketika individu memiliki ekspektasi, maka individu akan mampu
mengatasi kesulitan yang dihadapinya dan mencari penyelesaian dari
masalah tersebut meskipun sulit (Carver & Scheier, 2001). Individu yang
memiliki kepercayaan tentang masa depan akan terus mengeluarkan usaha
walaupun menghadapi masa sulit, sedangkan individu yang ragu akan
berhenti mengeluarkan usahanya. Ketika menghadapi kondisi yang sulit,
akan muncul perasaan sedih, cemas dan stress (Sarafino & Smith, 2011),
kondisi ini menuntut individu untuk melakukan coping. Coping diartikan
sebagai upaya kognitif dan perilaku yang berubah secara konstan untuk
mengelola tuntutan eksternal dan internal yang dinilai berat atau melebihi
batas kemampuan individu (Lazarus & Folkman, 1984). Coping dilihat
dari fungsinya dibagi menjadi dua sebagai berkut:
a. Emotion-focused coping Berfokus pada cara mengontrol respons
emosional saat kondisi stress. Individu dapat meregulasi respon
Optimisme Pada Penderita Kanker…, Rindy Destriana Tita, Fakultas Psikologi UMP, 2016
11
emosional mereka melalui pendekatan kognitif dan perilaku.
Pendekatan kognitif berkaitan dengan cara individu berpikir terhadap
situasi stress yang dihadapi. Individu dapat mendefenisikan kembali
situasi sehingga dapat menghadapinya dengan lebih baik. Proses
kognitif dari emotion-focused coping yang lain adalah dengan strategi
defense mechanism. Individu cenderung menggunakan pendekatan
emotion-focused ketika tidak ada lagi yang dapat dilakukan untuk
mengatasi kondisi yang penuh stress tersebut.
b. Problem-focused coping Berfokus pada masalah bertujuan untuk
mengurangi tuntutan-tuntutan dari keadaan stress atau mengembangkan
sumber daya untuk menghadapinya. Coping ini akan digunakan saat
kondisi masih mungkin untuk berubah. Pendekatan yang berfokus pada
masalah cenderung digunakan ketika adanya perubahan dari sumber
daya atau tuntutan situasi.
Optimisme mempengaruhi strategi coping yang lebih adaptif,
Individu bisa melakukan pencegahan ataupun meminimalisasikan
stress. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencegah ataupun
meminimalkan stress disebut proactive coping. Individu yang optimis
yang biasanya menggunakan metode yang berfokus pada masalah.
Terdapat beberapa bentuk proactive coping, seperti: meningkatkan
dukungan sosial, meningkatkan kontrol personal, mengorganisir
lingkungan sendiri, melakukan olahraga, dan menyiapkan diri untuk
situasi yang menyebabkan stress.
Optimisme Pada Penderita Kanker…, Rindy Destriana Tita, Fakultas Psikologi UMP, 2016
12
4. Paradigma Optimisme
Sikap optimis disebut dengan optimisme. Optimisme adalah
kepercayaan bahwa kejadian di masa depan akan memiliki hasil yang
positif (Scheier, 2000).
Terdapat dua pandangan utama mengenai optimisme, “the
explanatorystyle”dan “the dispositional optimism view,” yang juga
disebut sebagai “thedirect belief view” (Caver, 2002). Kedua pandangan
tersebut menekankan pendekatan yang berbeda. Perbedaan paradigma
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Explanatory Style
Explanatory Style merupakan pandangan yang melihat bahwa
dalam menentukan kepercayaan seseorang, ditentukan berdasarkan
pengalaman masa lampau. Pandangan ini didasarkan pada person's
attributional style (Scheier, Carver, & Bridges, 2000). Attributional
style dibentuk oleh cara kita mempersepsikan, menjelaskan pengalaman
masa lampau. Jika persepsi atau penjelasan yang dipegang adalah
negatif maka kita akan mengharapkan hasil yang negatif pada masa
depan. Perasaan learned helplessness berlebihan dan kita percaya
bahwa kita tidak dapat merubah pandangan kita terhadap dunia.
Attributional style secara khusus diukur dengan dengan menggunakan
Attributional Style (ASQ). Dengan ASQ, individu merespon terhadap
apa penyebab yang mereka yakini munculnya kejadian yang berbeda.
Optimisme Pada Penderita Kanker…, Rindy Destriana Tita, Fakultas Psikologi UMP, 2016
13
Respon mereka dirating berdasarkan persepsi mereka terhadap
penyebab (internal vs external, stable vs unstable, global vs specific)
(Seligman, 1988). Masalah dengan menggunakan attributional theory
dalam memahami optimisme adalah bahwa hal tersebut dapat menjadi
sangat kompleks dan bersifat subjektif didasarkan pada self report
pengalaman masa lampau (Scheier, 2000).
Berdasarkan explanatory style, individu yang percaya pengalaman
masa lampaunya positif dan ingatan-ingatan negatif adalah di luar
kontrol mereka (faktor eksternal) dikatakan bahwa mereka mereka
memiliki positive explanatory style atau orang yang optimistic.
Sedangkan orang yang menyalahkan diri sendiri terhadap kemalangan
(faktor internal) dan percaya bahwa mereka tidak akan pernah
mendapat sesuatu dikatakan memiliki negative explanatory style atau
orang yang pessimistic.
b. Dispositional Optimism or Direct Belief Model
Konstruk ini berusaha untuk mempelajari optimisme melalui
kepercayaan langsung individu mengenai kejadian masa depan.
Pendekatan ini lebih fokus pada kepercayaan optimistik mengenai masa
depan, dibanding dengan attributional theory yang berusaha memahami
mengapa individu optimis atau pesimis dan bagaimana mereka bisa
menjadi seperti itu Scheier & Carver (2002) menyatakan bahwa
optimisme adalah kecenderungan disposisional individu untuk memiliki
Optimisme Pada Penderita Kanker…, Rindy Destriana Tita, Fakultas Psikologi UMP, 2016
14
ekspektasi positif secara menyeluruh meskipun individu menghadapi
kemalangan atau kesulitan dalam kehidupan.
Optimisme merupakan sikap selalu memiliki harapan baik dalam
segala hal serta kecenderungan untuk mengharapkan hasil yang
menyenangkan. Dengan kata lain optimisme adalah cara berpikir atau
paradigma berpikir positif (Carver & Scheier 1993). Orang yang
optimis adalah orang yang memiliki ekspektasi yang baik pada masa
depan dalam kehidupannya. Masa depan mencakup tujuan dan harapan-
harapan yang baik dan positif mencakup seluruh aspek kehidupannya
(Scheier & Carver, dalam Snyder, 2002)
Konsep optimisme dan pesimisme fokus kepada ekspektasi
individu terhadap masa depan. Konsep ini memiliki ikatan dengan teori
psikologi mengenai motivasi, yang disebut dengan expectancy-value
theories. Beberapa teori juga menyatakan optimisme dan pesimisme
mempengaruhi perilaku dan emosi seseorang. Expectancy-value
theories, yaitu teori yang dimulai dengan ide bahwa perilaku ditujukan
untuk pencapaian tujuan (goal) yang dinginkan (Carver & Scheier,
1998).
Goal adalah tindakan, state akhir, atau nilai yang individu lihat
sebagai sesuatu yang diinginkan atau tidak diinginkan. Individu akan
akan mencoba mencocokkan perilaku, mencocokkan dengan diri
mereka sendiri terhadap apa yang mereka lihat yang mereka inginkan,
dan mereka akan mencoba untuk menghindari yang tidak mereka
Optimisme Pada Penderita Kanker…, Rindy Destriana Tita, Fakultas Psikologi UMP, 2016
15
inginkan. Konsep utama lainnya adalah expectancies: perasaan percaya
diri atau ragu-ragu mengenai kemampuan meraih tujuan (goal). Hanya
dengan kepercayaan diri yang cukup yang individu berusaha mencapai
tujuan. Optimisme akan mengarahkanindividu untuk selalu memiliki
hasil yang baik dan menyenangkan akan masa depannya.
Dari prinsip ini, muncul beberapa prediksi mengenai orang yang
optimis dan orang yang pesimis. Ketika berhadapan dengan sebuah
tantangan, orang yang optimis lebih percaya diri dan persisten,
meskipun progresnya sulit dan lambat. Orang yang pesimis lebih ragu-
ragu dan tidak percaya diri. Perbedaan juga jelas terlihat dalam
menghadapi kesengsaraan. Orang yang optimis percaya bahwa
kesengsaraan dapat ditangani dengan berhasil. Orang yang pesimis
menganggap sebagai bencana.
Hal ini dapat mengarahkan pada perbedaan tingkah laku yang
berhubungan dengan resiko kesehatan, mengambil pencegahan pada
lingkungan yang beresiko, kegigihan dalam mencoba mengatasi
ancaman kesehatan. Hal ini juga dapat mengarahkan pada perbedaan
respon coping apa yang individu lakukan ketika berhadapan dengan
ancaman seperti diagnosa kanker (Carver et al., 1993; Stanton &
Snider, 1993) Selain respon perilaku, individu juga mengalami
pengalaman emosi pada kejadian dalam kehidupan. Kesulitan-kesulitan
merangsang beberapa perasaan, perasaan yang merefleksikan baik
distres dan tantangan. Keseimbangan antara perasaan-perasaan tersebut
Optimisme Pada Penderita Kanker…, Rindy Destriana Tita, Fakultas Psikologi UMP, 2016
16
berbeda antara orang yang optimis dan pesimis. Karena orang yang
optimis mengharapkan good outcome, mereka cenderung mengalami
perpaduan emosi yang lebih positif. Karena orang yang pesimis
mengharapkan bad outcome, mereka mengalami perasaan-perasaan
yang lebih negatif –kecemasan, kesedihan, keputusasaan (Scheier,
2001)
Penelitian juga menunjukkan, optimisme memiliki efek moderasi
terhadap bagaimana individu menghadapi situasi baru atau sulit. Ketika
berhadapan dengan situasi sulit, orang yang optimis akan lebih
memiliki reaksi emosi dan harapan yang positif, mereka berharap akan
memperoleh hasil yang positif meskipun hal tersebut sulit, mereka
cenderung menunjukkan sikap percaya diri dan persisten. Orang yang
optimis juga cenderung untuk menganggap kesulitan dapat ditangani
dengan berhasil dengan suatu cara atau cara lain dan mereka lebih
melakukan active dan problem-focus edcoping strategy dari pada
menghindar atau menarik diri (Carver & Scheier, 1985; Chemers, Hu,
& Garcia, 2001; Scheier et al., 1986). Optimisme hampir mirip dengan
beberapa konstruk, tetapi sesungguhnya berbeda. Dua konstruk yang
memiliki hubungan dekat adalah sense of control (Thompson, 2002)
dan sense of personal efficacy (Bandura, 1997).
Konsep-konsep ini memiliki nada yang sama kuat dalam
mengharapkan hasil yang diinginkan, seperti optimisme. Tetapi
perbedaannya terletak pada asumsi yang dibuat (atau tidak dibuat)
Optimisme Pada Penderita Kanker…, Rindy Destriana Tita, Fakultas Psikologi UMP, 2016
17
mengenai bagaimana hasil yang diinginkan tersebut diekspektasikan
terjadi. Self efficacy adalah konsep dimana self sebagai agen penyebab
adalah yang terpenting. Jika individu memiliki high self-efficacy
expectancies, mereka kiranya percaya usaha personal mereka (atau
personal skill) adalah yang menentukan hasil. Contohnya, seandainya
kamu percaya kamu memiliki ketabahan personal untuk mengatasi efek
samping chemotherapy, kamu akan lebih berjuang keras untuk
mengatasinya. Sama halnya dengan konsep control. Ketika individu
melihat diri mereka sendiri terkontrol, mereka percaya bahwa hasil
yang baik akan terjadi lewat usaha personal mereka. Sebaliknya,
optimisme mengambil pandangan yang lebih luas atas penyebab
potensial yang menjadi kekuatan. Individu dapat menjadi optimistis
karena mereka berbakat sekali, karena mereka pekerja keras, karena
mereka diberkahi, karena mereka beruntung, karena mereka memiliki
teman yang tepat, atau kombinasi yang lain atau faktor lain yang
menghasilkan hasil yang baik (Murphy et al., 2000).
Contohnya, seseorang dapat menjadi optimistis, dapat mengatasi
efek samping chemotherapy salah satu karena ketabahannya
personalnya atau karena tim medisnya memiliki trik yang berguna
mengatasi efek samping. Yang terakhir dapat menjadi optimistis, tetapi
bukan karena peran self sebagai agen hasil. Konstruk yang lain yang
mirip dengan optimism adalah hope (berharap) (Snyder, 1994, 2002).
Optimisme Pada Penderita Kanker…, Rindy Destriana Tita, Fakultas Psikologi UMP, 2016
18
Hope (berharap) dikatakan memiliki dua bagian. Bagian pertama
adalah persepsi individu pada kehadiran pathways (jalur) yang
dibutuhkan individu untuk mencapai tujuannya. Kedua adalah tingkat
percaya diri individu dalam kemampuannya menggunakan pathways
(jalur) untuk mencapai tujuan. confidence Dimensi (percaya diri) sama
dengan yang di optimisme, dengan lebih dulu menekankan pada agen
personal.
Komponen pathway (jalur) adalah sebuah kualitas dimana konsep
optimisme tidak beralamat. Dapat dilihat terlebih dahulu, bahwa
seseorang yang melihat beberapa jalan untuk hasil spesifik yang
diharapkan akan terus mencoba cara yang tersisa jika salah satu cara
tidak bisa. Dicatat juga bahwa pesimisme juga mirip dengan konstruk
neurotism (Smith, Pope, Rhodewalt, & Poulton, 1989). Neorotism
(emotional instability) didefinisikan sebagai kecenderungan untuk
cemas, mengalami emosi yang tidak menyenangkan, dan pesimistik.
Dari penjelasan dua konsep mengenai optimisme tersebut, dalam
penelitian ini, konsep optimisme yang digunakan adalah optimisme
disposissional yaitu kecenderungan disposisional individu untuk
memiliki ekspektasi positif secara menyeluruh meskipun individu
menghadapi kemalangan atau kesulitan dalam kehidupan. Rasa optimis
yang muncul dari dalam diri seseorang ditunjukkan dengan adanya
sikap selalu memiliki harapan baik dalam segala hal serta
kecenderungan untuk mengharapkan hasil yang menyenangkan.
Optimisme Pada Penderita Kanker…, Rindy Destriana Tita, Fakultas Psikologi UMP, 2016
19
Dengan kata lain optimisme adalah cara berpikir atau paradigma
berpikir positif (Carver &Scheier 1993).
Orang yang optimis adalah orang yang memiliki ekspektasi yang
baik pada masa depan dalam kehidupannya. Masa depan mencakup
tujuan dan harapan-harapan yang baik dan positif mencakup seluruh
aspek kehidupannya (Scheier & Carver, dalam Snyder, 2002). Hal ini
sesuai dengan tujuan penelitian untuk melihat optimisme individu
terhadap masa depannya daripada menjelaskan penyebab individu
menjadi optimis.
5. Aspek Optimisme
Seligman (1995) menjelaskan bahwa bagaimana cara individu
memandang suatu peristiwa di dalam kehidupannya berhubungan erat
dengan sikap individu dalam menjelaskan suatu peristiwa (explanatory
style). Dengan sikap penjelasan itu, seseorang yang optimis akan dapat
menghentikan rasa ketidakberdayaannya. Ditinjau dari perspektifnya,
orang yang optimis menjelaskan suatu kejadian atau pengalaman negatif
diakibatkan oleh faktor-faktor eksternal, bersifat sementara, atau faktor-
faktor khusus. Sementara itu, orang pesimis menjelaskan bahwa kejadian
negatif dikarenakan oleh faktor internal, bersifat stabil, dan diakibatkan
oleh faktor-faktor global. Seligman (2001) mengemukakan ada tiga
macam aspek optimsime yaitu permanence, pervasiveness dan
personalization.
Optimisme Pada Penderita Kanker…, Rindy Destriana Tita, Fakultas Psikologi UMP, 2016
20
a. Permanence (hal yang menetap)
Sikap ini menggambarkan bagaimana individu melihat peristiwa
yang bersifat sementaran (temporary) atau menetap (permanence).
Orang-orang yang pesimis melihat peristiwa yang buruk sebagai
sesuatu yang menetap dan mereka cenderung menggunakan kata-kata
”selalu” dan ”tidak pernah”.
Orang pessimis melihat hal yang baik hanyalah sebagau hal yang
bersifat sementara, misalnya: ”saya bisa sembuh dari penyakit karena
rajin berobat”. Sebaliknya orang yang optimis melihat peristiwa buruk
sebagai suatu hal yang hanya bersifat sementara, misalnya: ”penyakit
yang saya derita pasti bisa disembuhkan”. Sementara orang yang
optimis melihat hal yang baik sebagai suatu hal yang bersifat permanen,
misalnya: ”Saya putus asa dengan penyakit yang saya derita”.
b. Pervasiveness (hal yang mudah menyebar)
Sikap ini berkaitan dengan ruang lingkup dari peristiwa tersebut,
yang meliputi universal (menyeluruh) dan spesifik (khusus). Orang
yang optimis bila dihadapkan pada kejadian yang buruk akan membuat
penjelasan yang spesifik dari kejadian itu, bahwa hal buruk terjadi
diakibatkan oleh sebab-sebab khusus dan tidak akan meluas kepada hal-
hal yang lain.
Sementara orang yang pesimis akan melihat kejadian yang baik
sebagai suatu hal yang spesifik dan berlaku untuk hal-hal tertentu saja.
Sedangkan, jika menemui kejadian buruk pada satu sisi hidupnya ia
Optimisme Pada Penderita Kanker…, Rindy Destriana Tita, Fakultas Psikologi UMP, 2016
21
akan menjelaskannya sebagai suatu hal yang universal, dan akan meluas
keseluruh sisi lain dalam hidupnya, dan biasanya akibat hal ini ia
menjadi mudah menyerah terhadap segala hal meski ia hanya gagal
dalam satu hal. Misalnya: ”saya tidak akan menjadi juara kelas karena
ulangan matematika saya kemarin jelek”.
Menurut Seligman (1995), karakteristik orang yang pesimis
adalah mereka cenderung meyakini peristiwa buruk akan bertahan lama
dan akan menhancurkan segala yang mereka lakukan dan itu semua
adalah kesalahan mereka sendiri. Sedangkan, orang yang optimis jika
berada dalam situasi yang sama, akan berpikir sebaliknya mengenai
ketidakberuntungannya. Mereka cenderung meyakini bahwa kekalahan
hanyalah kegagalan yang sementara, dan itu karena terbatas pada satu
hal saja. Orang yang optimis yakin kekalahan bukanlah karena
kesalahan mereka : keadaan, keberuntungan atau orang lain yang
menyebabkannya. Orang yang seperti itu tidak akan merasa terganggu
dengan kekalahannya. Mereka menganggap situasi yang buruk adalah
sebagai suatu tantangan dan mereka akan berusaha keras
menghadapinya.
c. Personalization (hal yang yang berhubungan dengan pribadi)
Personalisasi merupakan sikap yang berkaitan dengan sumber
dari penyebab kejadian tersebut, meliputi internal dan eksternal. Ketika
mengalami hal yang buruk, orang yang pesimis akan menganggap
bahwa hal itu terjadi karena faktor dari dalam dirinya. Bila dihadapkan
Optimisme Pada Penderita Kanker…, Rindy Destriana Tita, Fakultas Psikologi UMP, 2016
22
pada peristiwa baik ia akan menganggap bahwa hal itu disebabkan oleh
faktor luar dirinya.
Di lain pihak orang optimis akan menganggap hal yang baik
merupakan hal yang disebabkan oleh faktor dalam dirinya. Dan akan
menjelaskan suatu hal yang buruk sebagai hal yang disebabkan oleh
faktor eksternal. Misalnya: ”saya mendapat nilai yang jelek dalam
ulangan kemarin karena waktu yang disediakan terlalu sempit.
6. Bentuk-bentuk Optimisme
Ada beberapa ciri dari optimisme yang diungkapkan oleh para ahli.
Seligman (1995) mengatakan bahwa orang yang optimis percaya bahwa
kegagalan hanyalah suatu kemunduran yang bersifat sementara dan
penyebabnya pun terbatas, mereka juga percaya bahwa hal tersebut
muncul bukan diakibatkan oleh faktor dari dalam dirinya, melainkan
diakibatkan oleh faktor luar. Bentuk optimisme meliputi (Kerley, 2006) :
a. Jarang terkejut oleh kesulitan. Hal ini dikarenakan orang yang optimis
berani menerima kenyataan dan mempunyai penghargaan yang besar
pada hari esok.
b. Mencari pemecahan sebagian permasalahan. Orang optimis
berpandangan bahwa tugas apa saja, tidak peduli sebesar apapun
masalahnya bisa ditangani kalau kita memecahkan bagian-bagian dari
yang cukup kecil. Membagi pekerjaan menjadi kepingan-kepingan yang
bisa ditangani.
Optimisme Pada Penderita Kanker…, Rindy Destriana Tita, Fakultas Psikologi UMP, 2016
23
c. Merasa yakin bahwa mampu mengendalikan atas masa depan mereka.
Individu merasa yakin bahwa dirinya mempunyai kekuasaan yang besar
sekali terhadap keadaan yang mengelilinginya. Keyakinan bahwa
individu menguasai keadaan ini membantu mereka bertahan lebih lama
setelah lainlainnya menyerah.
d. Memungkinkan terjadinya pembaharuan secara teratur. Orang yang
menjaga optimisnya dan merawat antusiasmenya dalam waktu
bertahun-tahun adalah individu yang mengambil tindakan secara sadar
dan tidak sadar untuk melawan entropy (dorongan atau keinginan)
pribadi, untuk memastikan bahwa sistem tidak meninggalkan mereka.
e. Menghentikan pemikiran yang negatif. Optimis bukan hanya menyela
arus pemikirannya yang negatif dan menggantikannya dengan
pemikiran yang lebih logis, mereka juga berusaha melihat banyak hal
sedapat mungkin dari segi pandangan yang menguntungkan.
f. Meningkatkan kekuatan apresiasi. Yang orang ketahui bahwa dunia ini,
dengan semua kesalahannya yaitu dunia besar yang penuh dengan hal-
hal baik untuk dirasakan dan dinikmati.
g. Menggunakan imajinasi untuk melatih sukses. Optimis akan mengubah
pandangannya hanya dengan mengubah penggunaan imajinasinya.
Mereka belajar mengubah kekhawatiran menjadi bayangan yang positif.
h. Selalu gembira bahkan ketika tidak bisa merasa bahagia. Optimis
berpandangan bahwa dengan perilaku ceria akan lebih merasa optimis.
Optimisme Pada Penderita Kanker…, Rindy Destriana Tita, Fakultas Psikologi UMP, 2016
24
i. Merasa yakin bahwa memiliki kemampuan yang hampir tidak terbatas
untuk diukur. Optimis tidak peduli berapapun umurnya, individu
mempunyai keyakinan yang sangat kokoh karena apa yang terbaik dari
dirinya belum tercapai.
j. Suka bertukar berita baik. Optimis berpandangan, apa yang kita
bicarakan dengan orang lain mempunyai pengaruh yang penting
terhadap suasana hati kita.
k. Membina cinta dalam kehidupan. Optimis saling mencintai sesama
mereka. Individu mempunyai hubungan yang sangat erat. Individu
memperhatikan orang-orang yang sedang berada dalam kesulitan, dan
menyentuh banyak arti kemampuan. Kemampuan untuk mengagumi
dan menikmati banyak hal pada diri orang lain merupakan daya yang
sangat kuat yang membantu mereka memperoleh optimisme.
l. Menerima apa yang tidak bisa diubah. Optimis berpandangan orang
yang paling bahagia dan paling sukses adalah yang ringan kaki, yang
berhasrat mempelajari cara baru, yang menyesuaikan diri dengan sistem
baru setelah sistem lama tidak berjalan. Ketika orang lain membuat
frustrasi dan mereka melihat orang-orang ini tidak akan berubah,
mereka menerima orang-orang itu apa adanya dan bersikap santai.
Mereka berprinsip “Ubahlah apa yang bisa anda ubah dan terimalah apa
yang tidak bisa anda ubah”.
Optimisme Pada Penderita Kanker…, Rindy Destriana Tita, Fakultas Psikologi UMP, 2016
25
B. Kanker Serviks
1. Defenisi kanker Serviks
Kanker serviks adalah penyakit kanker yang terjadi pada daerah
leher rahim, yaitu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan
pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dengan (vagina)
liang senggama wanita (Wijaya, 2010).
2. Menurut Kamus Kedokteran
Kanker serviks adalah kanker di bagian atas vagina dalam yang
disebabkan infeksi virus HPV (Human PapillomaVirus) yang menyerang
skuamosa DNA.
3. Faktor Penyebab Penyakit Kanker Serviks
HPV adalah kelompok virus yang terdiri dari 150 jenis virus yang
dapat menginfeksi sel-sel pada permukaan kulit. Ada 30 hingga 40 jenis
HPV yang menyebabkan penyakit kelamin. Beberapa jenis HPV
menyebabkan kulit pada kelamin. Jenis lain menyebabkan kanker serviks.
13 jenis HPV (16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, dan 69) yang
menyebabkan kanker disebut HPV resiko tinggi yang ditularkan melalui
hubungan seks. Tipe yang paling berbahaya adalah jenis HPV 16 dan 18
yang menyebabkan 70% penyakit kanker serviks (Nurwijaya, 2002).
Optimisme Pada Penderita Kanker…, Rindy Destriana Tita, Fakultas Psikologi UMP, 2016
26
4. Pasien dengan Kanker Serviks
Pasien dengan kanker serviks umumnya mengalami tekanan
psikologi sebagai akibat adanya anggapan bahwa kanker serviks termasuk
di antara penyakit yang berbahaya. Oleh karena itu tidak mudah seorang
pasien untuk terhindar dari depresi kecuali pada pasien dengan optimisme
tinggi. Robinson dkk (1997), menyatakan individu yang memiliki sikap
optimis jarang menderita depresi dan lebih mudah mencapai kesuksesan
dalam hidup, memiliki kepercayaan, dapat berubah kearah yang lebih baik,
adanya pemikiran dan kepercayaan mencapai sesuatu yang lebih, dan
selalu berjuang dengan kesadaran penuh.
Ketidak mampuan yang dialami oleh penderita kanker juga akan
menimbulkan perasaan bersalah pada penderitanya. Terdapat kasus
penderita kanker serviks yang mengalami depresi, tidak bisa
menyesuaikan diri, baik secara individual maupun sosial, tidak bisa
menerima diri sendiri, dan bergantung pada orang lain dalam berbagai
pemenuhan kebutuhan fisiologis dan psikologis.
C. Kerangka Berfikir
Ada bermacam-macam penyakit yang seringkali meresahkan individu,
baik penderita maupun orang lain yang berada di dekatnya. Salah satu
penyakit didunia yang dipandang menakutkan dan membuat orang cemas
adalah penyakitkanker karena dapat menyebabkan kematian bagi
Optimisme Pada Penderita Kanker…, Rindy Destriana Tita, Fakultas Psikologi UMP, 2016
27
penderitanya. Kematian akibat penyakit kanker merupakan suatu stimulus
yang mengancam bagi individu.
Penyakit kanker dapat disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat,
kurang mengonsumsi buah dan sayuran, pecemaran udara, air, kimia, polusi,
dan kebiasaan merokok. Penyakit kanker merupakan jenis penyakit yang
umumnya meresahkan individu karena walaupun dengan berkembangnya
teknologi pengobatan, penyakit kanker masih sulit disembuhkan, terutama
yang telah memasuki stadium lanjut. Reaksi orang dalam menghadapi kanker
berbeda satu sama lain dan sifatnya individual. Hal ini tergantung pada
sampai berapa jauh kemampuan individu yang bersangkutan untuk
menyesuaikan diri terhadap situasi yang mengancam kehidupannya. Berbagai
reaksi penderita kanker di bidang kejiwaan antara lain kecemasan, ketakutan
dan depresi. Faktor psikososial yang ada dalam diri penderita akan dapat
mempengaruhi kondisi kejiwaan tersebut diatas. Faktor-faktor tersebut yaitu
usia, pola perilaku, dukungan keluarga dan keadaan ekonomi (Kanker serviks
dimensi Psikoreligi penderita kanker, Fakultas kedokteran UI).
Optimisme tidak dibawa sejak lahir, tapi dipelajari lewat orang tua,
guru, dan media massa. Orang yang optimis mempunyai beberapa
keuntungan karena orang yang optimis lebih terhindar dari gangguan depresi,
hal ini disebabkan karena depresi muncul dari pikiran-pikiran yang negatif
serta orang optimis akan memiliki kesehatan fisik yang lebih baik, orang
optimis mempunyai cara hidup yang sehat dan mengikuti anjuran dokter.
Dibandingkan dengan orang pesimis yang percaya bahwa penyakitnya
Optimisme Pada Penderita Kanker…, Rindy Destriana Tita, Fakultas Psikologi UMP, 2016
28
menetap, semua tubuhnya sakit, dan penyebab sakit tersebut adalah dirinya
sendiri, sehingga ia beranggapan tidak ada gunanya mengikuti anjuran dokter.
Berbeda dengan orang optimisme yang akan mencegah penyakit serta akan
melakukan treatment untuk mencegah penyakit. (Seligman,1990).
Optimisme dalam arti mempunyai harapan akan kesembuhan penyakit
yang dideritanya. Sedangkan penderita kanker yang pesimisme berarti kurang
memiliki harapan terhadap kesembuhan dari kanker yang dideritanya.
Penderita kanker yang optimisme percaya bahwa keadaan buruk yang
dialaminya berlangsung sementara waktu dan peristiwa yang dialaminya
disebabkan oleh lingkungan dan bukan karena dirinya.
Seligman (1990) mengemukakan bahwa setiap orang
mempunyai kebiasaan dalam berpikir tentang penyebab dari suatu
keadaan, kebiasaan ini disebut sebagai Explanatory style. Explanatory style
berkembang pada masa kanak-kanak dan masa remaja, kebiasaan ini tanpa
dapat dijelaskan secara eksplisit akan menetap seumur hidup. Explanatory
style terbagi menjadi tiga dimensi utama yang digunakan dalam berpikir
tentang sebab dari situasi atau peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya,
yaitu Permanence, Pervasiveness dan Personalization.
Optimisme Pada Penderita Kanker…, Rindy Destriana Tita, Fakultas Psikologi UMP, 2016
29
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir
Penderita
Kanker Serviks
Fisik Psikologis
Kehidupan Tertekan
Optimisme
Bentuk Optimisme:
1. Permanence
2. Pervasiveness
3. Personalization
Optimisme Pada Penderita Kanker…, Rindy Destriana Tita, Fakultas Psikologi UMP, 2016
Recommended