View
16
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi Ikan
2.1.1. Klasifikasi Ikan Patin
Ikan patin termasuk ikan dasar, hal ini bisa dilihat dari bentuk mulutnya yang agak ke
bawah, ikan patin bersifat nokturnal (melakukan aktivitas di malam hari) sebagaimana
umumnya ikan catfish lainnya. Habitatnya di sungai-sungai besar dan muara-muara sungai
yang tersebar di Indonesia, India dan Myanmar.
Berikut adalah klasifikasi ikan Patin menurut Marsuci dan Nikma (2012) :
Kingdom : Animalia
Phyllum : Chordata
Sub Phyllum : Vertebrata
Kelas : Pisces Sub
Kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub Ordo : Siluroidea
Famili : Pangasidae
Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius sp.
2.1.2. Morfologi Ikan Patin
2.2. Kulit Ikan
Menurut Purnomo (2001), dalam dunia perkulitan, kulit dibedakan menjadi
dua golongan besar, yakni sebagai berikut:
1. Kulit yang berasal dari binatang besar yang lazim disebut hide, misalnya: kulit sapi, kulit
kerbau, kulit banteng, kulit badak, dan kulit harimau; dan
2. Kulit yang berasal dari binatang kecil yang lazim disebut skin, misalnya: kulit domba, kulit
kambing, kulit rusa, kulit babi, kulit ikan, dan kulit reptil
(biawak, ular, buaya dan komodo).
Kulit sebagian besar tersusun atas jaringan protein yang mudah rusak apabila berada
dalam kondisi segar. Protein penyusun kulit sebagian besar tersusun oleh jaringan ikat
terutama kolagen, elastin dan retikulum. Kolagen merupakan jaringan ikat terbanyak,
kemudian retikulum dan yang paling sedikit elastin. Jaringan ikat terutama kolagen jika
bereaksi dengan bahan penyamak akan merubah sifat fisik kulit lebih tahan terhadap
pengaruh lingkungan maupun mikroorganisme (Mustakim et al., 2006).
Struktur kulit ikan seperti hewan vertebrata, terdiri dari dua lapisan utama. Lapisan
luar adalah epidermis dan lapisan dalam adalah dermis atau corium. Lapisan ini sangat
berbeda tidak hanya dalam posisinya, tetapi dalam struktur, karakter dan fungsinya. Struktur
kulit ikan relatif sederhana karena ikan hidup di air dan jaringan epidermis juga relatif tipis.
Epidermis terdiri dari beberapa lapisan sel epitel dan jumlah lapisan bervariasi tergantung
pada spesies, bagian tubuh dan umur ikan. Sel epitel bergabung bersama-sama secara melekat
atau matriks (Pahlawan dan Kasmudjiastuti, 2012).
Menurut Herhady dan Sukarsono (2006), kulit tersusun atas beberapa komponen
kimia. Komponen yang paling berguna dalam proses penyamakan yaitu kolagen. Berikut
penjelasan komposisi kulit tersaji pada Tabel :
Tabel . Komposisi Penyusun KulitBahan Penyusun Jumlah (%)
Air 64Protein 33Struktural protein:
a. Elastin b. Kolagenc. Keratin
0,3292
Non struktural protein:a. Albumin, globinb. Mucins, mucoid
10,7
Lemak 2
Garam mineral 0,5Subeden lein (pigmen, dll) 0,5
Sumber: Herhady dan Sukarsono (2006)
Gambar 3. Penampang Kulit IkanSumber: Restu (2012)
2.3. Penyamakan Kulit
Penyamakan prinsipnya adalah proses memodifikasi struktur kolagen, komponen
utama kulit, dengan mereaksikannya dengan berbagai bahan kimia (tanin atau bahan
penyamak) yang pada umumnya meningkatkan stabilitas hidrotermal kulit tersebut, sehingga
kulit menjadi tahan terhadap gangguan mikroorganisme. Pada proses penyamakan kulit,
jaringan kolagen distabilkan oleh bahan penyamak (tanning agent) dari sifat asli kulit seperti
sifat kulit yang sangat rentan terhadap pembusukan. Jaringan kolagen ini distabilkan melalui
pembentukan crosslink dengan tanning agent (Suparno et al., 2008).
Menurut Mustakim et al (2007), penyamakan kulit pada umumnya dapat dilakukan
dengan beberapa cara, ditinjau dari bahan penyamak yang digunakan yaitu sebagai berikut :
1). Penyamakan nabati dengan bahan penyamak yang berasal dari tumbuh - tumbuhan yang
mengandung penyamak nabati (tannin) misalnya kulit akasia, segawe, tengguli, mahoni,
gambir, teh, buah pinang, dan mangga.
2). Penyamakan mineral dengan bahan penyamak mineral misalnya khrom dan formalin.
3). Penyamakan minyak dengan bahan penyamak yang berasal dari minyak hewan seperti
minyak ikan hiu.
Zat penyamakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah zat penyamakan khrom.
Zat penyamakan khrom sangat cocok digunakan untuk beberapa jenis kulit yang memiliki
tingkat ketebalan yang rendah. Menurut Prihandoko (2009), zat penyamak khrom dalam
bentuk chromium sulfat basa (Cr(SO4OH) berkaitan dengan kolagen kulit dan membentuk
ikatan silang. Reaksi antara zat penyamak dengan gugus karboksi dan protein. Sulfat yang
terikat oleh khrom digantikan oleh ion OH- yang ditambahkan untuk meningkatkan daya
fiksasi. Selama pengeringan terjadi penyempurnaan ikatan sehingga ikatan
menjadi stabil dengan pengeluaran ion H+.
Menurut Purnomo (2002), kulit yang disamak khrom memiliki beberapa
kelebihan, antara lain:
1. Tahan terhadap panas yang tinggi;
2. Daya tarik/kuat tariknya lebih tinggi;
3. Memungkinkan hasil yang lebih baik apabila dilakukan pengecatan; dan
4. Kulit tersamak akan lebih lemas.
Menurut Pawiroharsono (2008), proses penyamakan kulit adalah proses pengolahan
kulit binatang melalui beberapa tahapan proses sehingga kulit binatang yang masih utuh
dirubah menjadi kulit yang siap digunakan untuk pembuatan produk-produk hilir seperti
sepatu, dompet, ikat pinggang, jok kursi dan sebagainya.
Menurut Mustika (2001), terdiri dari 3 tahapan proses penyamakan yaitu pra-
penyamakan, penyamakan dan pasca penyamakan. Pra-penyamakan terdiri dari perendaman
(soaking), pengapuran (liming), pembuangan sisik, buang daging, pembuangan kapur
(deliming), pengikisan protein (batting), pembuangan lemak (degresing) dan pengasaman
(pickling). Penyamakan terdiri dari penyamakan (tanning), netralisasi dan penyamakan ulang
(re-tanning). Pasca penyamakan terdiri dari pewarnaan (dyeing), peminyakan (fat liquoring)
dan finishing. Penjelasan dari proses tersebut adalah sebagai berikut:
1. Perendaman (soaking)
Bertujuan untuk mengembalikan kadar air kulit sampai mendekati kadar air kulit
segar, membuang kotoran /darah dan bahan kimia lain yang digunakaan dalam proses
pengawetan, membuang protein-protein yang dapat larut untuk dibuang, membuka tenunan
kulit, sehingga kulit siap untuk mendapat perlakuan selanjutnya (Mustika, 2001).
2. Pengapuran (liming)
Bertujuan menghilangkan lapisan lemak kulit, menghilangkan lapisan kulit epidermis,
menghilangkan sebagian zat kulit yang tidak diperlukan sehingga kulit menjadi lemas.
Tujuan lainnya dilakukan pengapuran yaitu untuk membuka serabut-serabut kolagen
sehingga reaksi zat penyamakan dengan kolagen akan lebih aktif dan menjadikan kulit samak
akan mudah untuk disamak. Bahan kimia utama yang digunakan dalam proses pengapuran
adalah Ca(OH)2, garam natrium sulfide (Mustika, 2001).
3. Buang sisik
Bertujuan untuk menghilangkan sisik dari permukaan kulit sehingga kulit (kolagen
kulit) dapat bereaksi sempurna dengan bahan penyamak (Mustika, 2001).
4. Buang daging
Bertujuan yaitu menghilangkan sisa-sisa daging yang masih melekat pada kulit dan
menghilangkan lapisan subkutis (lapisan antara daging dan kulit) agar tidak menghalangi
masuknya zat penyamak selama proses penyamakan (Mustika, 2001).
5. Buang kapur (deliming)
Bertujuan untuk menghilangkan kapur dan menurunkan pH. Penurunan pH untuk
membersihkan permukaan kulit dari kapur yang digunakan dalam pengapuran, melarutkan
lemak dan mempersiapkan kulit untuk proses batting. Proses buang kapur tidak dilakukan
dengan baik (sempurna) maka kadar abu yang diperoleh akan sangat tinggi. Semakin rendah
kadar abu maka semakin lemas kulit samaknya, karena kulit yang mengandung kapur dalam
jumlah yang tinggi
6. Pengikisan protein (batting)
Bertujuan untuk menghilangkan sebagian dari protein kulit yang tidak terpakai seperti
globular protein yang terdapat diantara serat kulit dan elatin. Pengikisan protein
menggunakan enzim proteolitik yang mampu mengurai protein. Dengan demikian banyak
ruang kosong di antara serat-serat kulit, sehingga kulit samakan menjadi lebih lunak dan
lemas (Mustika, 2001).
7. Pembuangan lemak (degresing)
Penghilangan lemak natural yang terdapat dalam kulit ikan. Bahan kimia yang
digunakan dalam proses ini yaitu bahan-bahan yang bersifat melarutkan lemak dan tidak
bereakasi dengan kulit. Bahan tersebut biasanya berupa sabun (Mustika, 2001).
8. Pengasaman (pickling)
Salah satu usaha untuk menghentikan kegiatan dari enzim. Tujuan lainnya adalah
menyiapkan kulit dalam kondisi asam (pH 2,5-3), dalam proses pengasaman dapat
menghilangkan noda-noda hitam akibat proses sebelumnya dan untuk menghilangkan unsur
besi yang melekat pada kulit. Jenis asam kuat yang sering digunakan yakni asam sulfat, asam
klorida. Jenis asam lemah yang digunakan adalah asam formiat, asam oksalat, asam asetat
(Mustika, 2001).
9. Penyamakan (tanning)
Bertujuan untuk mengubah kulit mentah yang mudah rusak oleh aktivitas
mikroorganisme, khemis atau phisis, menjadi kulit tersamak yang lebih tahan terhadap
pengaruh tersebut. Mekanisme penyamakan kulit pada prinsipnya adalah memasukkan
tertentu yang disebut bahan penyamak ke dalam anyaman atau jaringan serat kulit sehingga
terjadi ikatan kimia antara bahan penyamak dengan serat kulit (Mustika, 2001).
10. Pewarna (dyeing)
Proses pewarnaan berfungsi untuk memberikan warna dasar pada kulit.
Bahan pewarna dapat berupa zat warna alam dan zat warna sintetis. Zat warna
alam diperoleh dari ekstraksi kulit kayu, kayu, daun dan buah. Zat warna sintetis
yang digunakan untuk kulit umumnya dari jenis cat asam (Mustika, 2001).
11. Peminyakan (fat liqouring)
Bertujuan untuk menghindari kulit yang kering dan kaku setelah dikeringkan,
memperbesar daya tahan sobek dan tarikan, membuat kulit lebih fleksibel dan mudah
dilekuk-lekukkan (Mustika, 2001).
12. Penyelesaian (finishing)
Proses yang berfungsi untuk melindungi permukaan kulit dari pengaruh luar (mekanis
dan bahan kimia) dan untuk memperindah penampilan kulit. Pada umumnya bahan-bahan
untuk finishing kulit meliputi : pigmen, binder, pelumas(wax), pelarut (air), emulsi lak dan
lak air. Tetapi untuk finishing kulit ikan biasanya menggunakan tipe finish anilin artinya
penggunaan larutan finishing tanpa menggunakan zat warna pigmen, jadi warna cukup dari
zat warna pada
proses pewarnaan dasar (Mustika, 2001).
Penyamakan mempunyai standar mutu dari hasil uji yang dilakukan. Standar mutu
penyamakan kulit ikan mengacu pada SNI 06-4586-1998 mengenai kulit jadi dari kulit ular
air tawar samak khrom.
2.4. Zat Warna Sintetis
Proses pewarnaan bertujuan untuk memberikan warna dasar pada kulit tersamak
seperti yang diinginkan sehingga penampilan kulit akan lebih indah. Tahap pewarnaan tentu
berperan untuk memberi warna pada kulit dengan zat warna.
Menurut Emilia dan Muhammad (2012), jenis zat warna ada dua, yaitu zat warna
alam dan zat warna sintetis. Zat warna alam adalah zat warna yang berasal dari alam, baik
yang berasal dari tanaman, hewan, maupun bahan metal.. Zat warna dari tumbuhan yang
biasanya digunakan antara lain: indigofera (warna biru), Sp Bixa orrellana (warna orange
purple), Morinda citrifolia (warna kuning). Zat warna yang berasal dari hewan adalah Kerang
(Tyran purple), Insekta (Ceochikal), dan Insekta warna merah (Loe). Zat warna sintesis
adalah zat warna buatan dengan bahan dasar buatan, misalnya: Hirokarbon Aromatik dan
Naftalena yang berasal dari batubara. Hampir semua zat warna yang digunakan dalam
industri batik merupakan zat warna sintetik, karena zat warna jenis ini mudah diperoleh
dengan komposisi yang tetap, mempunyai aneka warna yang banyak, mudah cara
pemakaiannya dan harganya relatif tidak tinggi. Zat pewarna kimia tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi tujuh bahan warna yaitu: Napthol, Indigosol, Rapide, Ergan Soga,
Kopel Soga, Chroom Soga, dan Procion.
Zat warna sintetis (synthetic dyes) atau zat wana kimia mudah diperoleh, dan stabil.
Zat Warna sintetis dalam tekstil merupakan turunan hidrokarbon aromatik seperti benzena,
toluena, naftalena dan antrasena diperoleh dari arang batubara (coal, tar, dyestuff) yang
merupakan cairan kental berwarna hitam dengan berat jenis 1,03 - 1,30 dan terdiri dari
despersi karbon dalam minyak. Minyak tersebut tersusun dari beberapa jenis senyawa dari
bentuk yang paling sederhana misalnya benzena (C6H6) sampai bentuk yang rumit mialnya
krisena (C18H12) dan pisena (C22Hn). Macam- macam zat warna sintetis yaitu zat warna
direk, zat warna asam, zat warna basa, zat warna napthol, zat warna pigmen, zat warna
belerang, zat warna dispersi, zat warna bejana, zat warna indigosol, dan zat warna reaktif
(Koswara, 2009).
Tidak semua zat warna sintetis bisa dipakai untuk pewarnaan bahan kerajinan, karena
ada zat warna yang prosesnya memerlukan perlakuan khusus, sehingga hanya bisa dipakai
pada skala industri. Tetapi zat warna sintetis yang banyak dipakai untuk pewarnaan bahan
kerajinan antara lain bahan sintetis rapid (Rosyida dan Zulfiya, 2013).
2.5. Zat Warna Alami Angkak
Angkak adalah bahan pewarna alami yang dihasilkan oleh kapang Monascus
purpureus, memiliki warna yang konsisten dan stabil, dapat bercampur dengan pigmen alami
lainnya dan dengan bahan makanan, tidak mengandung racun dan tidak karsinogen sehingga
dapat digunakan sebagai pewarna alami (Fitriyani et al,2013)
Angkak adalah produk fermentasi menggunakan kapang Monascus sp. yang berasal
dari negara China. Pembuatan pertama dilakukan oleh Dinasti Ming yang berkuasa pada abad
ke-14 sampai abad ke-17. Dalam teks tradisional The Ancient Chinese Pharmacopoeia
disebutkan bahwa angkak digunakan sebagai obat untuk melancarkan pencernaan dan
sirkulasi darah. Beberapa spesies kapang telah digunakan untuk memproduksi angkak,
diantaranya adalah Monascus purpureus, M. pilosus, dan M. anka. Negara-negara Taiwan,
Jepang, Korea, dan Hongkong memproduksi angkak untuk keperluan sebagai pewarna alami
makanan (Wanti,2008)
Menurut NCBI (2012), kedudukan taksonomi dari Monascus purpureus adalah
sebagai berikut:
Kerajaan : Fungi
Filum : Ascomycota
Kelas : Eurotiomycetes
Bangsa : Eurotiales
Keluarga : Elaphomycetaceae
Marga : Monascus
Spesies : Monascus purpureus Went.
Monascus purpureus akan menghasilkan metabolit sekunder berupa pigmen yang
dikelompokkan ke dalam tiga kelompok berdasarkan warnanya, yaitu pigmen kuning, pigmen
oranye, dan pigmen merah. Pigmen kuning terdiri dari monascin (C21H26O5) dan ankaflavin
(C26H30O5); pigmen oranye terdiri dari monascorubrin (C23H26O5) dan rubropunctatin
(C21H22O5); serta pigmen merah terdiri dari monascorubramine (C23H27NO4) dan
rubropuntamine (C21H23NO4) (Pattanagul dkk., 2008). Di antara ketiga kelompok pigmen
yang 13 dihasilkan oleh Monascus purpureus itu, pigmen merah adalah yang paling penting
karena nilai komersialnya tinggi (Widjayanti, 2000).
Recommended