View
232
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
12
BAB II
PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT (FIQH) DAN
PERWALIAN DALAM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh)
Tinjauan Umum Tentang Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Dalam hukum perkawinan Islam (munakahat) kata-kata
“perkawinan” merupakan alih bahasa dari istilah : Nikah )نكا ح( atau zawaj
)زواج( ; isim dari tazawuj )تز وج( .1
Namun menurut pendapat yang shahih; nikah arti hakekatnya
adalah akad )العقد( dan wati / bersenggama )الوطء( sebagai arti kiasan atau
majasnya.
Adapun nikah menurut istilah fuqaha adalah sebagai berikut :
a. Suatu akad yang menyebabkan halalnya bermesraan
antara suami istri dengan cara yang sudah ditentukan
oleh Allah SWT
b. Nikah menurut Syara’ ialah lafal akad yang sudah
terkenal itu yang mengandung beberapa rukun dan
syarat
1 Luis Ma’luf, Munjid, Beirut : Daar El-Mashreq, 1975, hlm. 310 dan 836
13
c. Nikah menurut syara’ ialah suatu akad yang
mengandung jaminan di perbolehkannya persetubuhan
dengan (menggunakan) lafal (yang mutlak dari) nikah,
tazwij atau terjemahannya.
Dari beberapa ta’rif yang dikemukakan oleh para fuqaha tersebut
diatas dapat ditarik kesimpulan adanya unsur-unsur pokok dalam ta’rif-
ta’rif tersebut yaitu :
1. Nikah adalah suatu akad (perjanjian antara pria dan
wanita)
2. Menghalalkan wati (bersetubuh) yang semula dilarang
(haram)
3. Akad memenuhi syarat dan rukunnya seperti dengan
sighat nikah, tazwij atau terjemahannya.2
Secara istilah arti nikah adalah akad yang telah terkenal yang
mengandung rukun-rukun serta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk
berkumpul.3 Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan nikah sebagai akad
yang menghalalkan untuk bersenang-senang diantara masing-masing
pihak atas dasar syari’at.4
2 Drs. A. Ghozali, Diktat Fiqh Munakahat, hlm. 6 3 Taqiyuddin Ibn Muhammad Abu Bakar, Kifayah al-Akhyar, hlm. 268. 4 Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Asy-Syahsiyah, Cet. 3. (t.th, Dar Al-
Fikr Al-Arabi : 1957), hlm. 18.
14
Dari beberapa pengertian tersebut, maka dapatlah kita simpulkan
bahwa yang menjadi inti pokok dari perkawinan adalah akad (perjanjian),
yaitu serah terima antara wali calon mempelai perempuan dengan calon
mempelai laki-laki. Penyerahan dan penerimaan tanggungjawab dalam
arti yang luas untuk mencapai satu tujuan perkawinan telah terjadi pada
saat akad nikah itu, disamping penghalalan bercmpur antara keduanya
sebagai suami isteri. Pengertian perkawinan dapat juga kita temukan
dalam perudangan negara kita UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
pada pasal 1 ialah :
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.5
Melihat begitu mulia tujuan perkawinan tidak saja bagi pasangan
mempelai yang bersangkutan, tetapi lebih lagi untuk menyambung dari
satu generasi ke generasi berikutnya demi kemaslahatan masyarakat dan
bangsa, maka ikatan tersebut haruslah dilangsungkan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan maupun agama. Salah satu ketentuannya
adalah adanya wali nikah di pihak wanita sebagai salah satu rukun nikah
yang harus dipenuhi.
5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1, Semarang : Aneka Ilmu, 1990, hlm. 1
15
Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan
manusia. Perkawinan merupakan awal kehidupan baru bagi dua insan
yang semula hidup sendiri-sendiri kemudian hidup bersama. Dengan
adanya perkawinan akan lahirlah generasi baru dari satu kehidupan
tersebut yang nantinya diharapkan akan melanjutkan sistem keluarga yang
telah ada sebelumnya.
Menurut hukum Islam, perkawinan termasuk ke dalam bidang
muamalat atau pergaulan hidup antara hubungan manusia dengan
manusia. Dengan demikian karena diatur dengan tegas dalam Al Qur’an
dan Sunnah Rasul, melaksanakan perkainan termasuk dalam mentaati
agama (syari’at).
Di dalam Undang-Undang No.1tahun 1974 pengertian perkawinan
terdapat pada pasal 1 yang berbunyi sebagai berikut : “Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagi suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”6
Ikatan lahir batin yang dimaksud pada pasal 1 tersebut adalah
bahwa ikatan itu tidak hanya cukup dengan ikatan lahir atau batin saja,
akan tetapi kedua-duanya harus terpadu erat. Ikatan batin ini merupakan
dasar dari ikatan lahir, ikatan batin inilah yang dapat dijadikan dasar
6 Undang-undang No. 1 Th. 1974, Ibid, hlm. 1
16
fundasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia.
Terlihatlah bahwa perkawinan bukan hanya menyangkut usaha lahir akan
tetapi juga menyangkut unsur batiniah yang dalam dan luhur.
2. Tujuan Melakukan Perkawinan
Tujuan dari perkawinan termuat dalam pasal 1 Undang-Undang
No.1 tahun 1974 yang berbunyi :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan tujuan perkawinan adala membentuk keluarga / rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Ikatan lahir dan ikatan batin tersebut merupakan fondasi dalam
membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan
yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dapat
diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan
tidak boleh diputuskan begitu saja. Pemutusan karena sebab lain dari
kematian, diberikan suatu pembatasan yang ketat, sehingga suatu
pemutusan yang berbentuk perceraian hidup akan merupakan jalan
terakhir setelah jalan lain tidak dapat ditempuh lagi. Selanjutnya
dinyatakan dengan tegas didalam UU No.1 1974 bahwa membentuk
keluarga yang bahagiadan kekal itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila.
Tujuan perkawinan secara umum adalah untuk menjauhkan diri
dari perbuatan zina dan mendampingi kaum putrid. Oleh sebab itu nikah
17
dilaksanakan dihadapan para saksi, tidak boleh sembunyi-sembunyi tanpa
saksi karena perkawinan juga untuk meneruskan keturunan untuk menjaga
nasab.7
Menurut Ny. Soemijati, SH., tujuan perkawinan dalam Islam
adalah untuk memenuhi tuntutan hajad tabiat kemanusiaan, berhubungan
antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga
yang bahagia dengan dasar cinta kasih sayang, untuk memperoleh
keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-
ketentuan yang telah diatur oleh syari’ah.8
Berdasarkan pendapat Ny. Soemijati, SH., tersebut dapat diperinci
bahwa tujuan perkawinan adalah untuk menghalalkan hubungan kelamin
untuk memenuhi tuntutan hajad kemanusiaan, mewujudkan suatu keluarga
dengan dasar cinta kasih dan untuk memperoleh keturunan yang sah
berdasarkan peraturan yang tidak bertentangan dengan hukum dan agama.
3. Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan
Agar perkawinan menjadi sah harus dipenuhi syarat-syarat
tertentu. Sahnya perkawinan menurut Hukum Islam harus memenuhi
rukun-rukun dan syarat-syarat sebagai berikut :
7 Drs. A. Ghozali, Op. Cit., hlm. 6 8 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Bumi Aksara,
1999, hlm. 27.
18
1. Mempelai laki-laki
Syarat-syaratnya adalah :
a. Beragama Islam (apabila kamu dengan
perempuan Islam)
b. Terang laki-lakinya (bukan banci atau
belum jelas bahwa ia laki-laki
c. Terang orangnya )معين(
d. Tidak dipaksa; tetapi harus ikhtiar
(kemauannya) sendiri
e. Tidak sedang berikhram haji atau umrah
f. Bukan mahramnya (baik mahram nasab,
radlo’ah atau susuan, musaharoh)
g. Tidak dalam keadaan masih beristri 4 (juga
istri yang dalam iddah raj’i masih terhitung
istrinya)
h. Tidak mempunyai istri yang haram di madu
dengan bakal istrinya
2. Mempelai perempuan
Syarat-syaratnya adalah :
a. Beragama Islam / ahli kitab
b. Terang perempuannya (bukan banci atau
belum jelas jenisnya)
19
c. Terang orangnya )معين(
d. Sepersetujuan dirinya (kecuali yang
walinya mujbir dengan syarat-syaratnya)
e. Tidak sedang berihram haji atau umrah
f. Bukan mahramnya, baik mahram nasab,
radla’ah (susuan) atau musaharoh
(perkawinan)
g. Tidak bersuami / dalam iddah orang lain
h. Belum pernah di li’an (dituduh berbuat
zina) oleh calon suaminya
3. Wali mempelai perempuan
Syarat-syaratnya adalah :
a. Beragama Islam
b. Baligh (dewasa)
c. Berakal sehat
d. Merdeka
e. Laki-laki (bukan banci / wanita)
f. Adil
g. Tidak dalam perjalanan ihram (ihram
haji / umrah)
h. Tidak dipaksa
4. Dua orang saksi
20
Syarat-syaratnya adalah :
a. Beragama Islam
b. Baligh (dewasa)
c. Berakal sehat
d. Merdeka
e. Laki-laki (dua orang laki-laki)
f. Adil
g. Tidal dalam perjalanan haji atau umrah
h. Tidak dipaksa
i. Dapat melihat, bicara dan mendengar
serta paham maksud akad tersebut
5. Akad Nikah
Akad nikah itu tidak dapat dibenarkan dan tidak mempunyai
akibat hukum yang sah apabila belum memenuhi syarat-syaratnya
sebagai berikut :
a. Kedua orang yang melakukan akad harus sudah
baligh
b. Antara ijab dan qabul tak dapat dipisah dengan
perkataan atau perbuatan yang memalingkan
dari ijab dan qabul yakni pada tempat dan waktu
yang sama )فى مجلس واحد(
21
c. Antara ijab dan qabul harus satu tujuan, tidak
boleh bertolak belakang, melainkan harus sesuai
dalam jenis kata-katanya, sama obyek
hukumnya dan sama materi akadnya
d. Masing-masing yang melakukan akad dapat
mendengarkan sebagian apa yang diucapkan
oleh orang lain
e. Calon mempelai wanita harus disebut dalam
ijab dan qabul baik dengan nama terangnya
maupun dengan ha’ dlomir )بهاء الضمير( .9
a. Syarat Umum
Syarat umum diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam
pasal-pasalnya, yaitu :
a. Larangan perkawinan karena hubungan darah yang terlampau
dekat (pasal 39).
b. Larangan perkawinan karena hubungan susuan (pasal 39).
c. Larangan perkawinan karena hubungan semenda (pasal 39).
d. Larangan kawin bagi pria yang telh beristri empat (pasal 42).
9 Drs. A. Ghozali, Loc. Cit., hlm. 61
22
e. Larangan perkawinan dari bekas suami terhadap wanita (bekas istri
yang ditalak tiga, diatur dalam pasal 43 ayat (1) huruf a).
f. Larangan perkawinan terhadap wanita yang dili’an (pasal 43 ayat
(1) huruf b).
g. Larangan perkawinan kerena berlainan agama (pasal 44).
b. Syarat Khusus
Syarat khusus disebut juga dengan rukun nikah diatur dalam
pasal 14 Kompilasi Hukum Islam.
1) Adanya calon suami dan calon istri.
2) Kedua calon mempelai harus Islam, dewasa dan berakal.
3) Harus ada wali nikah.
4) Harus ada dua orang saksi, Islam, dewasa dan adil.
5) Pernyataan Ijab dan Qobul. Ijab adalah suatu pernyataan kehendak
dari calon pengganti wanita yang lazimnya diwakili oleh wali.
Qobul artinya adalah suatu pernyataan penerimaan dari pihak laki-
laki atas pihak perempuan.
Syarat sahnya perkawinan didalam Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974, terdapat dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 2 ayat (2) yang
menetapkan sebagai berikut :
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap
23
perkawinan dicatat menurut peraturan-peraturan, perundang-undangan
yang berlaku.
Syarat sahnya perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974
adalah sebagai berikut :
1. Didasarkan kepada persetujuan bebas antara calon suami dan calon
istri, berarti tidak ada paksaan di dalam perkawinan.
2. Pada asasnya perkawinan itu adalah satu istri bagi satu suami dan
sebaliknya hanya satu suami bagi satu istri, kecuali mendapat
dispensasi oleh Pengadilan Agama dengan syarat-syaratnya yang
berat untuk boleh beristri lebih dari satu dan harus ada izin dari
istri pertama, adanya kepastian dari pihak suami bahwa mampu
menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak serta
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka.
3. Pria harus telah berumur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16
(enam belas) tahun.
4. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua mereka,
kecuali dalam hal-hal tertentu dan calon pengantin telah berusia 21
(dua puluh satu) tahun atau lebih, atau mendapatkan dispensasi
dari Pengadilan Agama apabila umur pada calon kurang lebih dari
19 dan 16 tahun.
24
5. Tidak termasuk larangan-larangan perkawinan antara dua orang
yang :
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah
maupun ke atas.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan kesamping yaitu
antara saudara, antara saudara dengan saudara orang tua dan
antara seseorang dengan saudara neneknya.
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu
dengan ibu/bapak tiri.
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan dan bibi/paman
susuan.
e. Berhubungan saudara dengan istri (ipar) atau sebagai bibi atau
keponakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih
dari seorang.
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku dilarang kawin.
6. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain,
kecuali dispensasi oleh pengadilan.
7. Seorang yang telah cerai untuk kedua kalinya, maka diantara
mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
25
8. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi
telah lampau tenggang waktu tunggu.
9. Perkawinan harus dilangsungkan menurut tata cara perkawinan
yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo
Peraturan Menteri Agama No. 3 tahun 1975 tentang Pencatatan
Nikah, Talak Dan Rujuk.
4. Pencatatan Perkawinan
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku dengan tidak menjelaskan menjelaskan tentang maksud diadakan
pencatatan itu. Dalam penjelasan umum hanya dikatakan bahwa tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa
penting dalam kehidupan seseorang.
Peristiwa penting lainnya dalam kehidupan seseorang tersebut
yaitu seperti kelahiran dan kematian yang dinyatakan dalam surat-surat
keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
Pencatatan perkawinan itu bertujuan untuk menjadikan peristiwa
perkawinan menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bgi orang
lain dan masyarakat karena dapat dibaca dalam suatu daftar yang khusus
yang disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan,
terutama alat bukti tertulis yang otentik.
26
Perbuatan pencatatan itu tidak menentukan sahnya suatu
perkawinan, tetapi menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang
ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat administratif. Sedangkan soal
sahnya perkawinan undang-undang perkawinan dengan tegas menyatakan
dalam pasal 2 ayat (1), yang berbunyi : “Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Pencatatan perkawinan dalam pelaksanannya diatur dalam Bab II
pasal 2 PP No. 9 tahun 1975, yaitu pencatatan perkawinan dari mereka
melangsungkannya menurut Agama Islam dilakukan oleh Pegawai
Pencatat, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 32 tahun
1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Sedangkan bagi mereka
yang beragama selain Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai
perundang-undangan mengenai pencatatan.
Cara melakukan pencatatan diatur dalam pasal 3 sampai pasal 9
dan pasal 11 Peraturan Pelaksanaan, yaitu PP No. 9 tahun 1975. Wantjik
Saleh dalam hukumnya Hukum Perkawinan Indonesia membagi mengenai
pencatatan menjadi empat tahapan. Empat tahapan tersebut yaitu :
1) Tahap pemberitahuan.
2) Tahap penelitian.
3) Tahap pengumuman.
4) Tahap saat pencatatan.
27
Sebelum terjadinya pencatatan kedua calon mempelai atau salah
satu calon mempelai terlebih dahulu melakukan pemberitahuan.
Pemberitahuan tersebut diatur dalam Peraturan Pelaksana yaitu dalam PP
No. 9 tahun 1975, dalam pasal 3 sampai pasal 5. Pengertian
pemberitahuan adalah pemberitahuan seseorang yang akan
melangsungkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan.
Pemberitahuan tersebut harus dilakukan secara lisan oleh salah
seorang atau kedua calon mempelai, dapat juga oleh orang tua mereka,
wali atau diwakilkan kepada orang lain. Pemberitahuan secara tertulis
dapat juga dilakukan karena pemberitahuan secara lisan tidak dapat
dilakukan. Pemberitahuan dapat juga dilakukan oleh orang lain dengan
suatu surat kuasa. Pemberitahuan harus sudah disampaikan selambat-
lambatnya sepuluh hari kerja sebelum perkawinan itu akan dilangsungkan,
kecuali dikarenakan suatu alasan yang penting seperti salah seorang calon
akan segera keluar negeri untuk menjalankan sutau tugas negara, maka
pemberitahuan itu dapat kurang lebih sepuluh hari dengan cara pengajuan
permohonan dispensasi.
Langkah yang dilakukan setelah Pegawai Pencatat menerima
pemberitahuan dari calon mempelai adalah dilakukan penelitian terutama
tentang syarat-syarat dan halangan-halangan untuk melangsungkan
perkawinan seperti diatur oleh Undang-Undang Perkawinan. Sesudah
28
diadakan penelitian, kemudian Pegawai Pencatat Nikah mencatat dalam
buku daftar yang telah disediakan.
Pegawai Pencatat Perkawinan setelah melakukan penelitian
kemudian mengadakan pengumuman tentang pemberitahuan untuk
melangsungkan perkawinan. Pengumuman tersebut berbentuk surat
pengumuman yang ditempel pada papan pengumuman. Surat
pengumuman tersebut dalam bentuk yang ditetapkan oleh Kantor
Pencatatan Perkawinan yang daerah hukumnya meliputi wilayah tempat
perkawinan akan dilangsungkan dan tempat kediaman masing-masing
calon mempelai disuatu tempat yang sudah ditentukan sehingga mudah
dibaca oleh umum.
Pencatatan baru dilakukan setelah tahap pemberitahuan, penelitian
dan pengumuman telah selesai dilaksanakan. Berdasarkan pasal 11 bahwa
perkawinan dianggap telah tercatat secara resmi apabila akta perkawinan
telah ditandatangani oleh kedua mempelai, dua orang saksi, Pegawai
Pencatat Nikah atau yang mewakilinya. Penandatanganan itu dilakukan
sesaat sesudah dilangsungkannya upacara perkawinan, yakni sesudah
pengucapan akad nikah bagi yang beragama Islam.
5. Penolakan Kehendak Nikah
Penolakan kehendak nikah dilakukan apabila setelah diadakan
pemeriksaan dan ternyata tidak memenuhi syarat-syarat yang telah
29
ditentukan. Penolakan tersebut harus diberitahukan kepada yang
bersangkutan disertai dengan alasan penolakannya.
Atas penolakan tersebut yang bersangkutan berhak mengajukan
keberatan atas penolakan tersebut kepada Pengadilan Agama pada wilayah
tempat tinggalnya.
Dalam pasal 21 PMA Nomor 3 tahun 1975 mengatur bahwa
Pegawai Pencatat Nikah dilarang melangsungkan pernikahan apabila ia
mengetahui adanya pelarangan dari ketentuan syarat-syarat pernikahan,
meskipun tidak ada pencegahan pernikahan.
6. Pencegahan Perkawinan
Pernikahan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan pernikahan. Pencegahan perkawinan
itu diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan
akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai
Pencatat Perkawinan.
Perkawinan dapat dicegah apabila ada pikak-pihak yang tidak
memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan mereka yang dapat
mencegah perkawinan adalah para keluarga dari garis keturunan lurus
keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah satu
calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. Perkawinan juga
dapat dicegah oleh orang-orang yang tersebut diatas apabila salah seorang
dari calon mempelai berada di dalam pengampunan, sehingga dengan
30
adanya perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan
bagi calon mempelai lainnya yang mempunyai hubungan dengan orang-
orang.
Pencegahan perkawinan harus diajukan kepada Pejabat Pencatat
Nikah Talak dan Rujuk yang diangkat oleh Menteri Agama berdasarkan
Peraturan Menteri Agama Nomor 3 tahun 1975 Bab VII pasal 20.
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan
Agama atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada
Pengadilan Agama oleh yang mencegahnya. Selama pencegahan belum
dicabut pernikahan tidak dapat dilangsungkan.
7. Pembatalan Perkawinan
Undang-undang Perkawinan mengatur tentang pencegahan dan
pembatalan perkawinan seperti yang tercantum dalam pasal 13 sampai
dengan pasal 20 dan pasal 22 sampai dengan pasal 28.
Antara pencegahan dan pembatalan terdapat kesamaan yaitu dalam
hal para pihak tidak dapat memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan.
Perbedaan antara pencegahan dan pembatalan adalah apabila
pencegahan perkawinan dilaksanakan sebelum dilangsungkan
perkawinan, sedangkan pembatalan dilaksanakan sesudah
dilangsungkannya perkawinan.
31
Tidak setiap orang dapat mengajukan pembatalan perkawinan itu
ke pengadilan. Pembatalan perkawinan itu diatur dalam pasal 23 Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974, yaitu sebagai berikut :
1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami
atau isteri.
2) Suami atau isteri.
3) Pejabat yang berwenang selama perkawinan belum
diputuskan.
4) Pejabat yang ditunjuk oleh pasal 16 ayat 2 UU No. 1 tahun
1974.
8. Tata Cara Perkawinan
Undang-Undang No.1 tahun 1974 tidak mengatur tentang tata cara
melaksanakan perkawinan, tetapi hanya menyebutkan bahwa tata cara
pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Ketentuan tata cara perkawinan terdapat dalam peraturan pelaksana yaitu
PP No.9 tahun 1975, pasal 10 dan pasal 11.
Pasal 10 PP No.9 tahun 1975 :
1. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman
kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud
dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.
2. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya.
32
3. Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing
hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di
hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Pasal 11 PP No. 9 tahun 1975 :
a) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan pasal 10 Peraturan Pemerintah ini kedua
mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh
Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
b) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu,
selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai
Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam ditandatangani pula oleh wali nikah
atau yang mewakilinya.
c) Dengan ditandatangani akta perkawinan, maka perkawinan telah
tercatat secara resmi.
Berdasarkan ketentuan dalam pasal 10 dan 11 PP No. 9 tahun 1975
tersebut jelas bahwa undang-undang memandang penting sekali adanya
akad nikah. Menurut pasal 11 ayat (1) tersebut adalah bahwa Pegawai
Pencatat Nikah tidak boleh meluluskan akad nikah sebelum lewat 10 hari
kerja sejak pengumuman nikah. Apabila dengan sesuatu alasan yang
penting dan perkawinan akan dilangsungkan sebelum 10 hari kerja, maka
harus meminta dispensasi kepada Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.
33
Dalam waktu 10 hari sebelum Pegawai Pencatat Nikah meluluskan akad
nikah, calon suami istri sebaiknya mendapatkan nasehat perkawinan dari
Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perkawinan (BP4)
setempat. Tenggang waktu 10 hari kerja sejak pengumuman tersebut
dimaksudkan untuk memberi kesepakatan kepada petugas dan masyarakat
agar mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan jika menurut
pendapat mereka ada hal-hal yang bertentangan dengan hukum agama
atau peraturan perundang-undangan tentang perkawinan.
Tempat dilangsungkannya akad nikah diatur dalam pasal 22
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia, Undan-Undang No. 2
tahun 1990 tentang Keajiban Pegawai Pencatat Nikah yaitu :
a. Di Balai Nikah / Kantor Urusan Agama Kecamatan, yaitu pada
ruang khusus yang disediakan.
b. Di Luar Balai Nikah atau dirumah calon tempat tinggal pembantu
PPN seperti di rumah calon istri atau di masjid yang pengaturannya
diserahkan kepada yang berkepentingan.
Nikah dihadiri oleh Pegawai Pencatat Nikah, wali nikah atau
wakilnya, calon suami, calon istri, dua orang saksi yang memenuhi syarat,
para pengantar atau undangan.
Pada waktu nikah calon suami dan wali nikah wajib datang sendiri
menghadap Pegawai Pencatat Nikah. Namun apabila calon suami atau
34
wali nikah tidak dapat hadir pada waktu pelaksanaan akad nikah
dikarenakan keadaan memaksa, maka dapat diwakilkan oleh orang lain.
Wakil tersebut harus dikuatkan dengan surat kuasa yang disahkan oleh
Pegawai Pencatat Nikah.
Setelah akad nikah dilangsungkan, maka segera dicatat dalam akad
nikah dan ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Nikah atau wakilnya.
Akta nikah dibuat rangkap dua, yang pertama disimpan oleh Pegawai
Pencatat Nikah, sedang kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam
wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan berada. Kutipan akta nikah
diberikan kepada suami istri.
B. Perwalian Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia
Tinjauan Tentang Wali Nikah
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
Menurut Hukum Islam terdapat dua pendapat tentang wali nikah.
Pendapat pertama ialah menurut Mazhab Syafi’i, yaitu wali merupakan syarat
sahnya nikah apabila wanita menikah tanpa wali, maka nikahnya batal.
Pendapat yang kedua adalah menurut Mazhab Hanafi, sebagai syarat tamam
atau penyempurna yaitu wali tidak merupakan syarat untuk sahnya nikah,
tetapi sunah saja hukumnya boleh ada wali boleh tidak ada, yang penting
35
harus ada izin orang tua pada waktu menikah baik dia itu pria maupun
wanita.10
Adapun syarat-syarat wli ialah :
1. Merdeka.
2. Berakal sehat.
3. Dewasa.
4. Baragama Islam.11
Fungsi wali nikah dalam perkawinan dari Mazhab Syafi’i dan Mazhab
Hanafi yang berbeda tersebut bukanlah merupakan suatu pertentangan bagi
umat Muslim di Indonesia. Hal tersebut karena di Indonesia menganut
Mazhab Syafi’i, sehingga wali adalah merupakan syarat sah dari suatu
perkawinan. Di Indonesia wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun
yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya. Mereka yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-
laki yang memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim dan akil baligh. Ada
tiga macam tentang wali nikah, yaitu wali nasab, wali hakim dan wali
muhakam. Di dalam Kompilasi Hukum Islam tentang wali nikah diatur dalam
pasal 20 ayat (2), yaitu terdiri dari wali nasab dan wali hakim.
10 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum
Acara Peradilan Agama dan Zakat, Jakarta : Sinar Grafika, 1995, hlm. 2
11 Sayyid Sabiq, Terjemah Fiqih Sunnah Jilid VII, PT. Al-Ma’arif, Bandung,
1986, hal.7
36
1. Wali Nashab
Pengertian tentang wali nasab terdapat dalam Peraturan Menteri
Agama Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1987, yaitu pada pasal 1 huruf
a yang berbunyi ; “Wali nasab ialah pria beragama Islam yang
berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah
menurut hukum Islam.”
Kompilasi Hukum Islam juga mengatur mengenai wali nashab
yang terdapat dalam pasal 21 dan 22, berbunyi :
Pasal 21
(1) Wali nashab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan,
kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat
dan tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
Kedua, kelompok kerabat saudar laki-laki kandung atau saudara laki-
laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung
ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki
seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang
sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi
wali yang lebih dekat derajad kekerabatannya dengan calon mempelai
wanita.
37
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajad kekerabatannya maka
yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari
kerabat yang hanya seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok, derajad kekerabatannya sama yakni
sama-sama derajad kandung atau sama-sama derajad kerabat seayah,
mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan
yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi
syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna
wicara, tuna rungu atau udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada
wali nikah yang lain menurut derajad berikutnya.
2. Wali Hakim
Wali hakim ialah orang yang diangkat oleh Pemerintah, yaitu
Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan.
Wali hakim bertindak sebagai wali nikah apabila :
a. Tidak mempunyai nashab sama sekali.
b. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
c. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedangkan wali yang
sederajad dengan dia tidak ada.
d. Wali berada di tempat yang jaraknya sejauh masafatul qasri (sejauh
perjalanan yang membolehkan solat qasar)
38
e. Wali berada dalam penjara
Apabila dikarenakan oleh salah satu sebab tersebut, maka yang
berhak menjadi wali nikah adalah wali hakim, kecuali apabila wali
nashabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai
wali. Dalam hal demikian, orang lain yang diwakilkan itulah yang berhak
menjadi wali. Hal tersebut kemudian diperjelas lagi didalam pasal 23
Kompilasi Hukum Islam yaitu :
(1) Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali
nashab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak
diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
(2) Dalam hal wal adlal atau enggan, maka wali hakim dapat bertindak
sebagai wali nikah setelah ada putusan Penagadilan Agama tentang
wali tersebut.
3. Wali Muhakam
Wali Muhakam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon
suami istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.
Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan wali
hakim, padahal ditempat itu tidak ada wali hakimnya, maka pernikahan
dilangsungkan dengan wali muhakam. Caranya ialah kedua calon suami
istri mengangkat seorang yang mempunyai pengertian tentang hukum-
hukum menjadi wali dalam pernikahan mereka.
Recommended