View
13
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Lansia
1. Definisi Lansia
Menurut Ratna Suhartini dari Universitas Airlangga, lansia atau lanjut
usia merupakan tahap yang terjadi secara terus-menerus yang ditandai
dengan kemunduran fungsi fisiologis organ tubuhnya seperti penurunan
elastisitas kulit, penurunan pendengaran, penglihatan memburuk,
penurunan fungsi tubuh serta sensitivitas emosi (Fitrah, 2010). Tahapan
atau proses menua yang terjadi dalam hidup manusia bermula dari tahap
anak-anak, kemudian berlanjut pada tahap dewasa, dan terakhir adalah tua
(Nugroho, 2016). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43
Tahun 2004 menyebutkan bahwa lanjut usia merupakan individu yang
berusia 60 tahun ke atas (Analisa Lansia Indonesia, 2017).
Pada tahap menua, banyak gangguan atau kelainan yang timbul
seperti gangguan pada fungsi tubuh, psikologis, dan social sehingga
menyebabkan keadaan dari individu lansia tersebut memiliki
ketergantungan terhadap orang lain. Individu yang berada pada tahapan ini
(lansia) akan mengalami berbagai perubahan dalam kehidupannya dan
cenderung menimbulkan anggapan bahwa dirinya sudah tidak produktif
seperti sebelumnya, sehingga peran dalam kehidupan social dan
16
kemasyarakatan dapat semakin berkurang serta merasa menjadi kurang
terlibat secara emosional (Priyoto, 2015).
2. Klasifikasi Lansia
Lansia digolongkan pada usia 60 tahun ke atas di negara berkembang
seperti Indonesia, sedangkan lansia digolongkan usia 65 tahun ke atas di
negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Perancis, dan Belanda,
(Priyoto, 2015). Suhartini menyebutkan bahwa world health organization
(WHO) atau badan kesehatan dunia menggolongkan lansia menjadi empat
kelompok yakni usia pertengahan atau disebut middle age dengan rentang
usia 45-59 tahun, lanjut usia atau elderly dengan rentang usia 60-74 tahun,
lanjut usia tua atau old dengan rentang usia 75-90 tahun, dan usia sangat
tua dengan rentang usia diatas 90 tahun (Fitrah, 2010)
3. Permasalahan Umum yang Dialami Lansia
Secara umum, seseorang yang mameasuki tahap lansia akan
mengalami kemerosotan fungsi fisik seiring bertambahnya usia.
permasalahan tersebut menyebabkan munculnya gangguan pada sistem
kerja tubuh seperti sistem muskuloskeletal, sistem peredaran darah, sistem
syaraf, dan organ-organ lain. Hal ini menyebabkan lansia merasa terisolasi
karena penurunan juga terjadi pada factor psikologis dan sosial, mengingat
pada masa masa produktif mereka mampu melakukan banyak hal seperti
activity daily living (ADL), mobilitas, dan kegiatan kompleks yang
berhubungan dengan masyrakat. Ketika fungsi tubuh menurun maka
muncul kecemasan bahkan dapat meningkat akibat terserang berbagai
17
penyakit seperti osteoarthritis, dementia, stroke, dan berbagai masalah
penyakit degeneratif lainnya yang menyebabkan disabilitas (Guccione et al,
2012).
Priyoto (2015) menyebutkan ada beberapa perubahan yang terjadi
pada lansia selama proses menua, seperti perubahan fisik dan psikologis,
berikut perubahan yang terjadi:
a. Perubahan Fisik
1) Sel: jumlah sel lebih sedikit, ukuran lebih besar, menurunnya
proporsi sel otak di organ-organ vital
2) Persarafan: sel saraf otak lansia berkurang setiap hari, lambat
dalam respon,mengecilnya saraf panca indra
3) Pendengaran: menurunnya kemampuan pendengaran pada
telinga dalam
4) Penglihatan: respon terhadap sinar mulai menghilang, daya
akomodasi mulai menghilang, lapangan pandang mulai
menurun
5) Kardiovaskular: kehilangan elastisitas pembuluh darah dan
dinding aorta, menurunnya kontraksi dan volume
6) Respirasi: hilangnya keelastisitasan paru-paru, kapasitas
residu semakin meningkat, lebih berat ketika bernafas
7) Gastrointestinal: masalah kesehatan gigi, kemampuan indra
pengecap menurun, peristaltik dan fungsi absorbsi melemah
18
8) Reproduksi: atropi payudara pada wanita, terjadi penurunan
produksi spermatozoa secara berangsur-angsur pada pria
9) Urogenitalia: berkurangnya kemampuan ginjal untuk
mengonsentrasikan urin, melemahnya otot vesika urinaria
10) Endokrin: fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah,
menurunnya produksi hampir dari semua hormon
11) Integumen: kulit tapak keriput dan kasar akibat kehilangan
jaringan lemak, berkurangnya elastisistas kulit
12) Muskuloskeletal: berkurangnya densitas tulang, persendian
membesar dan kaku, pergerakan sendi terbatas, atropi otot
b. Perubahan Psikologis
Permasalahan pertama yang dialami lansia adalah cara mereka
bersikap terhadap proses menua yang sedang dihadapi.
Masing-masing lansia berbeda dalam menyikapi perubahan
ini tergantung stereotip psikologis yang biasanya sesuai
dengan pembawaanya semasa muda. Berikut adalah beberapa
sifat stereotip yang dikenal:
1) Tipe Konstruktif: mempunyai toleransi tinggi dan lebih
fleksibel
2) Tipe Ketergantungan: lebih senang berlibur dibandingkan
bekerja
3) Tipe Defensif: emosi tidak terkontrol, memegang teguh
pada kebiasaanya
19
4) Tipe Bermusuhan: selalu mengeluh, agresif, dan curiga
5) Tipe Membenci: kritis, cenderung menyalahkan diri
sendiri, namun dapat menerima pada proses menua
B. Anatomi Sendi Lutut
Sendi lutut atau disebut juga knee joint merupakan sendi yang tersusun
dari tulang betis (os. tibia dan os. fibula), tulang paha (os. Femur), dan tulang
patella yang disatukan oleh ligament. Sendi lutut merupakan sendi yang rentan
dan tidak stabil karena berat beban tubuh manusia bertumpu pada sendi lutut,
namun sendi lutut tidak bekerja sendirian karena memiliki stabilitator berupa
ligament (Schmidler, 2016). Sendi lutut tersusun atas beberapa bagian yaitu:
1. Persendian
Sendi merupakan pertemuan antara dua atau beberapa tulang dari
kerangka (Aretnasih, 2013). Secara konseptual, sendi lutut ini dibetuk oleh
hubungan antar tulang atau memiliki artikulasi dan termasuk jenis hinge
joint. Tulang-tulang yang saling berhubungan hingga membentuk sendi
lutut yaitu tulang patella dengan femur yang membentuk sendi
patellofemoralis (sendi geser), tulang tibia dan femur yang membentuk
sendi tibiofemoralis (sendi engsel), dan tulang tibia dengan fibula yang
membentuk sendi tibiofibularis (sendi kecil dan stabilitator) (Lawry, 2016).
20
Gambar 2.1 Knee Joint
Sumber: Pokhrel, 2012
2. Ligament
Ligament merupakan sebuah jaringan fibrosa yang berfungsi sebagai
penghubung tulang dengan tulang atau sendi dan disusun oleh serat kolagen
yang sangat kuat, sangat fleksibel dan resisten terhadap tekanan dari luar
maupun dalam (Quinn, 2016). Ligament berfungsi sebagai stabilisator pasif
yang membantu pergerakan sendi ketika diberikan sendi diberikan tahanan
agar tercapai lingkup gerak sendi normal. Selain itu ligament juga berfungsi
untuk menjaga keseimbangan dan kesetimbangan postur tubuh (Mulyadi,
2014).
21
Gambar 2.2 Komponen Penyusun Knee Joint
Sumber: Hunt, 2016
Ligament pada sendi lutut memiliki struktur jaringan yang lebih padat
bila dibandingkan dengan struktur jaringan ligament pada sendi lain. (Hadi
& Puji, 2015). beberapa ligament yang tergabung dalam susunan sendi lutut
diantaranya adalah sebagai berikut;
a. Medial Collateral Ligament (MCL)
MCL memiliki bentuk yang panjanjg dan lebar, merupakan
extracapsular ligament yang menempel diantara epicondylus medialis
femoris dan tibialis media. MCL berperan saat lutut melakukan gerakan
translasi tulang tibia pada femur, menahan beban tubuh ketika sendi
lutut melakukan gerak rotasi tulang tibia pada femur, dan menahan
beban dari permukaan luar sendi lutut, , (Lowe et al, 2016).
b. Lateral Collateral Ligament (LCL)
22
LCL memiliki bentuk yang panjanjg dan lebar seperti MCL,
merupakan extracapsular ligament yang menempel pada epycondylus
lateralis femoris dan caput fibulae. LCL berfungsi sebagai penahan
beban varus pada sendi lutut dan saat melakukan gerak rotasi tulang
tibia terhadap tulang Femur (Lowe et al, 2016).
c. Posterior Cruciatum Ligament (PCL)
PCL merupakan intracapsular ligament atau ligament interna
(crossing atau cruciatum), memiliki bentuk pendek yang berada
dibagian tengah icisura diantara condylus femoralis, lebih tepatnya
diantara sudut posteromedial condylus lateralis femoris dan plateu
anterior tibia. PCL berfungsi menahan gerakan translasi kea rah
posterior atau ketika flexi knee pada 75 – 90 derajat, rotasi dan valgus/
varus pada sendi lutut, dan pada saat gerak rotasi tibial 90 derajat (Lowe
et al, 2016).
d. Anterior Cruciatum Ligament (ACL)
ACL merupakan intracapsular ligament atau ligament interna
(crossing atau cruciatum), memiliki bentuk pendek yang berada
dibagian tengah icisura diantara condylus femoralis, lebih tepatnya
diantara sudut posteromedial condylus medialis femoris dan plateu
posterior tibia. ACL berfungsi menahan beban pada Gerakan sendi lutut
kearah depan atau anterior dan gerak translasi anterior tulang tibia
terhadap tulang Femur (Lowe et al, 2016).
23
3. Kartilago
Kartilago adalah tulang rawan yang melapisi ujung tulang. Kartilago
sebagai bantalan sendi bertugas mencegah gesekan antar tulang untuk
membantu menghindari nyeri sendi (Hisham, 2018). Kartilago
mendapatkan makanan dari jaringan sekitar karena jaringan ini tidak
memiliki kapiler darah, namun kartilao memiliki kandungan kolagen
sehingga apabila kandungan kolagen pada kartilago ini semakin tinggi
maka kartilago akan semakin kuat (Hartono, 2015). Susunan jaringan
kartilago terdiri atas kondroblas dan fibroblast yang menjadi bakal sel
kartilago, kondrosit, substansi intraseluler (matrix), dan perikondrium.
Perikondrium sebagai pembungkus kartilago memberikan suplai darah
serta terdapat serat kolagen (Sridianti, 2019).
Gambar 2.3. Articular Cartilage
Sumber: Hisham, 2018
4. Membran Sinovial
Membran sinovial atau synovium berasal dari bahasa Latin yang
berarti “telur”, karena membrane sinovial berstruktur cair menyerupai putih
telur yang terdapat pada sendi (Mulyadi, 2014). Lutut manusia memiliki
24
rentang gerak terbesar sehingga adanya membrane synovial ini
memeberikan peran penting untuk mempermudah gerakan dan pencegahan
nyeri sendi (Sridianti, 2018).
Gambar 2.4 Membrane Synovial
Sumber: Pokhrel, 2012
Membrane sinovial terdiri dari 2 lapisan yaitu lapisan luar atau
subintima yang membentuk sebuah membrane atau perlindungan untuk
melindungi cairan sinovial dan jaringan sekitar sehingga dapat menghindari
terjepitnya sendi ketika terjadi benturan. Lapisan subintima memiliki 2 jenis
sel yaitu fibroblast dan makrofag. Fibroblast bertugas membuat rantai
polimer gula (hyaluronic) yang berfungsi sebagai pelumas sendi.
Sedangkan makrofag bertugas menelan molekul asing yang berbahaya
(Mulyadi, 2014). Terbentuknya hyaluronic inilah yang menyebabkan
cairan synovial bersifat kental sehingga dapat membantu meningkatkan
pelumasan dan mengurangi gesekan (Hisham, 2018).
25
5. Meniscus
Meniscus merupakan jaringan fibrokartilago yang memiliki struktur
seperti bantalan pada sendi lutut yang berbentuk seperti bulan sabit.
Terdapat dua meniscus pada masing-masing sendi lutut yaitu meniscus
medialis dan meniscus lateralis. Meniscus sebagai peredam kejut berfungsi
untuk meningkatkan luas permukaan kontak antara masing-masing
condylus femoris dan tibial plateu sehingga dapat memperbaiki penyebaran
beban dan kestabilan sendi (Lawry, 2016).
Gambar 2.5 Meniscus
Sumber: Pokhrel, 2012
6. Bursa
Bursa adalah kantong serat yang diisi dnegan cairan synovial yang
mempermudah pergeseran tendon dan meningkatkan efek mekanik otot.
Terdapat beberapa bursa pada sendi lutut yaitu bursa deep infrapatellar
terletak diantara ligamentum patella dan tibia, bursa prepatellar yang
terletak diantara tulang patella dan kulit, bursa infrapatellar terletak
diantara ligamentum patella dan kulit, bursa suprapatellar yang terletak di
26
bawah otot quadriceps, bursa semimembranosus yang terletak diantara
tendon Semimebranosus dan condylus medialis tulang tibia, bursa poplitea
yang mengelilingi tendon popliteus, (Saladin, 2010).
Gambar 2.6 Bursa pada knee joint
Sumber: Pokhrel, 2012
7. Otot Penyusun
Otot penyusun sendi lutut terbagi menjadi 2 grup otot penggerak yaitu
grup otot extensor dan grup otot flexor (Houglum & Bertoti, 2012). Grup
otot penggerak extensor yaitu grup otot Quadriceps yang meliputi otot
rectus femoris, otot vastus lateralis, otot Vastus medialis, otot vastus
intermedius.
27
Gambar 2.7. Otot-otot penyusun Knee Joint
Sumber: Evancycle, 2016
Grup otot penggerak flexor yaitu grup otot hamstring meliputi bicep
femoris, semitendinosus, semimembranosus dan otot-otot pada betis yaitu
otot gastrocnemius, otot plantaris, otot popliteus, serta otot gracillis, dan
otot sartorius (Spalteholz, 2014).
8. Persarafan
Beberapa saraf yang mempersarafi sendi lutut yaitu: saraf tibialis,
saraf femoralis, saraf peroneus communis, dan saraf obturatorius. Saraf
femoralis yang berpusat di lumbal 2 - lumbal 4 (L2-L4) merupakan saraf
yang paling besar dan mempersyarafi otot Sartorius, otot Pectineus, otot
Iliopsoas, dan otot Quadriceps femoris. Saraf obturatorius berpusat pada
L2-L4 yang memiliki 2 cabang yaitu anterior dan posterior. cabang
anterior melewati otot adductor brevis dan otot obturator externus menuju
otot pectineus dan otot adductor longus, sedangkan cabang posterior
melewati otot adductor magnus dan otot adductor brevis. Saraf tibialis
28
memulai perjalanan syarafnya dari superior fossa popliteal kemudia turun
secara vertikal menuju sisi dorsomedial pergelangan kaki, saraf ini
merupakan cabang dari saraf ischiadicus (Spalteholz, 2014).
9. Biomekanika
Biomekanik termasuk salah satu aspek dari kinesiologi yang
mempelajari tentang prinsip mekanik dalam gerak manusia yang
mengkombinasikan antara disiplin ilmu mekanika terapan dan ilmu-ilmu
biologi dan fisiologi. Kinesiologi sendiri adalah ilmu yang mempelajari
tentang gerak tubuh manusia (Hariadi, 2016). Dalam mempelajari gerak
tubuh terdapat dua sub studi yaitu Kinetika dan Kinematika. Kinetika
berkonsentrasi pada kekuatan yang menghasilkan atau menahan gerakan,
sedangkan kinematika membahas tentang jenis, arah, dan kuantitas atau
derajat gerakan. Kinematika kemudian dibagi menjadi dua sub-topik yaitu
Osteokinematika yang berfokus pada gerakan tulang dan Arthrokinematika
special membahas tentang pergerakan yang terjadi antar permukaan sendi
(Houglum & Bertoti, 2012).
29
Gambar 2.8. Biomekanika knee joint
Sumber: Pokhrel, 2012
Osteokinematik terjadi pada sendi lutut yaitu ketika lutut pada bidang
sagital melakukan gerak fleksi dengan ROM antara 120-130 derajat,
menjadi 140 derajat apabila diikuti fleksi hip dan gerak ekstensi denga
ROM 0-10 derajat jika diikuti dengan ekstesi hip. ROM pada gerakan
endorotasi yaitu 30 – 35 derajat dan ROM pada gerakan eksorotasi 40 – 45
derajat ketika fleksi 90 derajat pada mid position. Terdapat gerak rollling
dan sliding yang melibatkan dua permukaan tulang. Pada gerakan fleksi
lutut tulang femur, terjadi rolling ke arah belakang dan sliding ke depan,
begitu pula sebaliknya jika melakukan gerak ekstensi. Sedangkan pada saat
gerakan fleksi dan ekstensi tulang tibia, maka rolling dan sliding bergerak
searah dengan pergerakan tulang tibia (Fitria, 2015).
Mekanisme arthrokinematika pada sendi lutut yaitu ketika tulang
femur melakukan gerakan fleksi, maka tulang femur akan rolling ke arah
30
posterior (belakang) dan sliding ke arah anterior (depan). Sedangkan ketika
tulang femur melakukan gerakan ekstensi, tulang femur akan rolling ke
arah anterior (depan) dan sliding ke arah superior (belakang). Berbeda
ketika tulang tibia melakukan gerakan fleksi atau ekstensi, maka rolling
dan sliding akan dilalui searah (Fitria, 2015).
C. Osteoarthritis
1. Definisi
Osteoarthritis berasal dari Bahasa Yunani “osteo” berarti tulang,
“arthro” berarti sendi dan “itis” berarti peradangan. Osteoarthritis adalah
suatu penyakit sendi degeneratif yang menyerang sendi ditandai dengan
perubahan struktur dan disertai rasa nyeri sebagai gejala yang paling sering
dikaluhan. Penyebab pasti dari OA masih belum diketahui, namun sangat
diyakini bahwa OA terjadi karena penuaan atau kerusakan akibat
degenerative sendi. Faktor yang mempengaruhi OA diantaranya usia, jenis
kelamin, berat badan, pekerjaan, trauma dan gangguan internal lainya.
Gejala yang timbul yaitu rasa nyeri, kaku, terdapat krepitasi, lutut mengunci
dan kemudian dapat bergerak bersamaan dengan suara yang berderak
kencang (Wadhwa dan Hande, 2016).
Gangguan pada OA merupakan gangguan progresif non-inflamasi
pada sendi penggerak terutama sendi yang dijadikan tumpuan dan menahan
berat badan (Wadhwa dan Hande, 2016). OA dapat menyerang di sendi
kecil seperti pada jari-jari tangan, tetapi lebih banyak ditemukan
31
menyerang di area knee dan hip yang memang lebih banyak menahan beban
tubuh (Rahmawati, 2016).
2. Etiologi
Etiologi OA bersifat multi-faktorial seperti factor genetic, penuaan,
obesitas, mal-alignment sendi, cedera sendi, dan riwayat operasi selumnya.
Pada umumnya OA lutut menyerang pada kelompok usia menengah dan
lanjut dimana frekuensinya dapat meningkat seiring bertambahnya usia.
Proyeksi jumlah penderita OA di seluruh dunia sekitar 9,6% pria dan 18%
wanita dengan usia diatas 60 tahun (Nejati et al, 2014). Berdasarkan
radiografi dan simtomatik, termasuk dalam 50 peringkat global yang paling
berpengaruh akibat riwayat cedera dan penyakit lain. Terdapat 250 juta atau
sekitar 4% dari populasi dunia dan didominasi OA lutut, diperkirakan
sekitar 83% (Kohn et al, 2016). Perempuan dan laki-laki dibawah usia 55
tahun dapat terserang OA lutut dan gejalanya meningkat setelah usia 55
tahun (Somashekar, 2015).
3. Patofisiologi
Segala faktor yang menyebabkan kerusakan awal pada tulang rawan
kartilago, akan membuat kondrosit mencoba mulai memperbaiki tulang
rawan. Kondrosit awalnya mulai membuat proteoglikan dalam jumlah
sedikit dan kolagen tipe II dalam jumlah banyak, namun akhhirnya
kondrosit beralih membuat kolagen yang berbeda yaitu kolagen tipe I.
kolagen tipe I ternyata tidak dapat bekerjasama dengan proteoglikan
sehingga menyebabkan elastisitas matriks tulang rawan menurun secara
32
keseluruhan dan memungkinkan timbulnya kerusakan. Kondrosit
melakukan proses tersebut selama bertahun-tahun hingga mengalami
kelemahan, ketidakseimbangan, dan akhirnya mengalami kematian sel. Hal
ini membuat tulang rawan articular semakin lemah, kehilangan
elastisitasnya, dan mulai mengelupas menuju ruang synovial yang disebut
‘joint mice’. Joint mice atau puing-puing pengelupasan kartilago ini
dianggap sebagai jaringan yang mengganggu dan harus dihilangkan, ini
menjadi tuga TNF-α untuk mengurangi debris (sel mati atau rusak). TNF-α
merekrut 2 sel imun yitu limfosit dan makrofag kedalam membrane
synovial untuk membantu mengurangi debris. Keberdaan limfosit dan
makrofag justru menghasilkan proinflamasi sitokin (TNF-α, IL-1, dan IL-6)
yang akhirnya menyebabkan peradangan pada synovium atau disebut
synovitis. Jaringan tulang rawan articular yang dulunya merupakan
permukaan yang halus lama kelamaan terkikis karena gesekan yang terjadi
antar tulang tanpa ada pelindung. Tulang terus terkikis dan meluruh,
membuatnya tampak seperti gading yang dipoles hingga akhirnya terjadi
pertumbuhan tulang yang disebut osteofit. Adanya pertumbuhan tulang ini
membuat sendi tampak lebih luas, contoh kondisi yang paling jelas yaitu
pada sendi distal interphalangeal (DIP) dan proksimal interphalangeal
(PIP).
4. Klasifikasi
OA terbagi menjadi 2 kelompok yaitu OA preimer dan OA sekunder.
OA primer terjai tanpa adanya keterkaitan dengan penyakit sistemik lain
33
dan tanpa perubahan pada sendi. Penyebab terjadinya OA primer belum
pernah diketahui, oleh karena itu OA primer sering disebut sebgai OA
idiopatik. Berbeda halnya dengan OA primer, OA sekunder justru terjadi
dengan disertai penyakit sistemik. Penyebab umum OA sekunder meliputi
traumatis, displastik, infeksius, inflamasi, atau etiologi biokimia (Sheikh,
2013).
5. Manifestasi Klinis/ Gejala
Tanda umum yang bisa dijumpai dan sering dirasakan oleh penderita
OA yaitu nyeri dan krepitasi, namun masih ada beberapa tanda dan gejala
lain yang dirasakan penderita. Selain tanda dan gejala juga terdapat
perubahan fisik yang terjadi di area yang terjangkit OA seperti adanya
pembengkakan sendi, perubahan pola jalan (patotologic gait) (Zhang,
2011). Berikut manifestasi klinis pada OA yang sering terjadi menurut
Sinusas (2012):
a. Nyeri
Nyeri merupakan ciri yang khas dan cenderung meningkat seiiring
penderita beraktivitas, bahkan terasa saat istirahat.
b. Kekakuan sendi
Kekakuan sendi atau stiffness juga mrupakan ciri khas OA yang
biasa terjadi pada pagi hari setelah bangun tidur dan pada malam hari
sebelum tidur. Stiffness umumnya terjadi selama minimal 30 menit
tetapi gejalanya akan hilang secara bertahap.
c. Krepitasi
34
Krepitasi terjadi diduga akibat permukaan tlang rawan yang sudah
tidak lagi beraturan. Kondisi ini muncul saat melkukan gerak aktif
maupun pasif yang terdengar dan teraba seperti suara retakan atau
derakan. Tingkat krepitasi berkaitan dengan proses degenatif atau
proses menua.
d. Deformitas
Pembetukan osteofit dan terjadinya proses remodeling sendi ini
yang menyebabkan sendi tampak lebih besar sehingga berpengaruh
terhadap kenyamanan beraktivitas
e. Pembengkakan sendi (swelling)
Peradangan pada sendi dan bertambahnya cairan menyebabkan
terjadinya pembengkakan
f. Sendi tidak stabil/Unstable joint
Peradangan yang terjadi membuat penderita sukar bergerak
karena mersakan nyeri. Akibatnya otot menjadi lebih kaku bahkan
sering Lelah dan lama kelamaan menjadi lemah. Kelemahan pada otot
inilah yang menyebabkan sendi semakin tidak stabil sehingga
mengganggu pergerakan sendi.
g. Kekakuan otot
Kekakuan (spasme) otot memiliki keterkaitan dengan nyeri karena
merupakan respon protektif ketika seseorang bergerak dan timbul nyeri.
Tubuh mencoba berhenti ketika dirasa timbul nyeri gerak, akibatnya
gerak menjadi terbatas dan otot sering kelelahan.
35
h. Muscle Arthropy
Muscle Arthropy atau penurunan massa otot terjadi akibat
menururnnya aktivitas otot yang dipicu oleh nyeri akibat kondisi
patologis.
i. Penurunan Fungsi
Proses degradasi tulang hingga menimbulkan inflamasi dan gejala
lain, membuat akitifitas penderita OA menjadi terbatas dan sulit. Hal ini
sering tampak ketika menaiki anak tangga dan tampak pada pola jalan.
6. Kriteria Diagnosis
Diagnosa OA lutut dapat ditegakkan berdasarkan riwayat terdahulu,
gambaran klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiografi, dan
pemeriksaan penunjang (Sinusas, 2012). Seseorang beresiko terkena OA
lutut, setidaknya terdapat memiliki 3 kriteria dari kriteria yang ditetapkan
American College of Rheumatology (2007, dalam Pratiwi 2015) sebagai
berikut:
a. Timbul rasa nyeri pada area persendian
b. Terdapat osteofit pada hasil rontgen sekurang-kurangnya usia > 50
tahun
c. Kekakuan sendi selama < 30 menit
d. Terdapat krepitasi pada sendi
e. Deformitas (perubahan struktur anatomi sendi)
f. Penyempitan celah sendi yang lebih berat pada bagian yang
menanggung beban (asimetris)
36
g. Peningkatan densitas (sclerosis)
Penetapan grade pada OA menggunakan sistem Kellgren dan
Lawrence. Sistem ini telah diterima oleh WHO sejak tahun 1961, dan masih
digunakan sampai sekarang. Untuk mengetahui Grade didapat dari
pemeriksaan fisik, pemeriksaan spesifik, dan pemeriksaan penunjang.
Untuk grade 0 ditandai dengan tidak adanya gambar radiografi indikasi OA.
Pada grade 1 sendi terlihat normal, namun terdapat gambaran osteofit pada
hasil radiografi. Pada grade 2 celah sendi tampak normal, namun
selainosteofit juga terdapat kista subkondral. Pada grade 3 celah sendi
tampak semakin menyempit, garis tulang tampak deformitas, osteofit
semakin bertambah. Pada grade 4 terdapat banyak osteofit, adanya kista
subkondral dan sclerosis, dan tidak adanya celah sendi (Kohn, 2016).
7. Terapi
Terapi yang dapat diberikan untuk penderita OA yaitu terapi
farmakologis, terapi non-farmakologis, dan pembedahan (Hochberg, 2012)
a. Farmakologis
Penderita OA biasa diberikan terapi farmakologis berupa
golongan NSAID yaitu ibuprofen, diclofenac, meloxicam, dan lain-lain
(Hochberg, 2012).
b. Non-farmakologis
Banyak macam modalitas dan latihan yang biasa dipakai yaitu
modalitas alat seperti US dan TENS, serta terapi latihan seperti aerobic,
strengthening, hydrotherapy. Selain terapi modalitas dan latihan,
37
biasanya tenaga kesehatan juga menyarankan untuk membiasakan
hidup sehat terutama bagi yang obesitas (Hochberg, 2012).
c. Pembedahan
Pembedahan dilakukan apabila penderita OA memiliki kondisi
kontraindikasi terhadap penanganan non-farmakologis atau sudah ada
hasil pemeriksaan dari dokter yang mengharuskan adanya pembedahan
seperti total joint replacement atau tindakan surgery lainya(Hochberg,
2012).
D. Aktivitas fungsional
1. Definisi
Aktivitas sehari-hari merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang
baik yang bersifat individu ataupun kelompok yang berhubungan dengan
masyarakay luas. Sebuah kegiatan yang bersifat individu merupakan kegiatan
yang membutuhkan ketrampilan dan dilakukan seorang diri tanpa bantuan
ornag lain atau disebtu kegiata mandiri seperti berjalan, mandi, makan dan
kegiatan mandiri lainya (Casmin, 2012).
Seseorang yang sedang mengalami proses menua biasanya banyak
mengalami penururnan fungsi akibat terserang berbagai macam penyakit.
Penururnan fungsional juga menandakan penurunan kemampuan dalam
memenuhi kebutuhan harian yang bersifat individu dan hal tersebut dapat
diukur menggunakan pengukuran ADL (Activity Daily Living) termasuk
mobilisasi, makan, aktivitas dikamar mandi, berpakaian dan merias diri.
(Casmin, 2012).
38
2. Alat Ukur
a. Lower extremity functional scale
Beragam alat ukur yang dapat digunakan untuk fungsional, namun
untuk pengukuran fungsional pada OA lutut ini peneliti menggunakan
LEFS. Lower extremity functional scale (LEFS) atau skala fungsional
ekstremitas bawah merupakan sebuah kuisioner dengan 20 ragam
pertanyaan yang berisi tentang kemampuan seseorang terkait aktivitas atau
tugas sehari-hari. LEFS ini dapat digunakan untuk mengukur aktivitas
fungsional diawal sebelum perlakuan, saat proses berlangsung, dan setelah
perlakuan selesai, serta sebagai tolak ukur penetapan tujuan fungsional.
Skala fungsional ekstremitas bawah digunakan untuk mengevaluasi
efektifitas intervensi dari sebuah perlakuan dan dapat dipantau pasien dari
waktu ke waktu. Lower extremity functional scale berisi 20 pertanyaan
dengan nilai total 80 poin. Skala ini menilai aktivitas fungsional pada
keterbatasan aktivitas fungsional ekstremitas bawah. Terdapat beberapa
penilaian dimana masing-masing point bersifat interfal dan mempunyai
rentang tingkat pencapaian yang berbeda. Rentang nilai yang digunakan
adalah nilai 0 dengan kesulitan ekstrim (tidak dapat melakukan), nilai 1
dengan kesulitan yang cukup, nilai 2 dengan kesulitan yang sedang, nilai 3
dengan sedikit kesulitan, dan nilai 4 tidak mengalami kesulitan. Setiap point
penilaian mempunyai nilai 4 sebagai nilai paling besar dengan total nilai
dari keseluruhan point yaitu 80. Semakin tinggi nilai skala yang didapat
maka semakin baik aktivitas fungsional seseorang.
39
b. Interpretasi Nilai LEFS
Dalam pengukuran LEFS terdapat beberapa interpretasi sebagai
berikut:
1. Apabila nilai total yang didapatkan semakin rendah, maka tingkat
disability tinggi
2. Apabila nilai total yang didapatkan semakin tinggi, maka tingkat
disability rendah
3. Terjadi perubahan jika skala menunjukkan selisih minimal 9 point.
4. Terjadi perbedaan klinis jika skala menunjukan selisih minimal 9 point
5. Persentase nilai fungsional = nilai total dibagi 100
E. Retro Walking Exercise
1. Definisi
Latihan Close Kinetic Chain (CKC) telah mendapat banyak perhatian
dalam penatalaksanaan osteoarthritis knee, salah satunya retro walking (RW).
Retro walking (RW) atau bisa disebut berjalan mundur adalah sebuah latihan
yang cukup popular untuk penanganan knee injuries (Therkeld et al.,1989
dalam Somashekar, 2015). Retro walking telah banyak digunakan untuk latihan
fisik, menjaga kebugaran, meningkatkan keseimbangan, dan meningkatkan
performa olahraga di Eropa, Jepang, dan China selama beberapa dekade
(Wadhwa & Hande, 2016). Retro walking dianggap sebagai latihan close
kinetic chain yang aman karena beban tekanan pada patellofemoral joint
berkurang, mempertahakan isometric dan konsentris quadriceps, dan
mengurangi fungsi eksentrik dari quadriceps. (Alghadir & Anwer, 2016).
40
Dapat disimpulkan bahwa retro walking adalah berjalan mundur dengan arah
gerakan, kinerja otot, dan kinematik yang berbeda dengan jalan biasa atau jalan
maju.
2. Mekanisme Latihan
Kinematika dari RW yang unik memberikan efek pengurangan nyeri.
Ketika melakukan RW pada posisi lutut dengan gerakan fleksi, fase swing
cenerung berkurang jika dibandingkan dengan forward walking (FW) atau
berjalan maju. Hal ini membuat tekanan yang terjadi pada lutut ketika RW
cenderung lebih rendah daripada FW (Wadhwa & Hande, 2016). Untnuk
prosedur pelaksanaan RW dilakukan dengan memberi instruksi kepada
responden untuk berjalan maju seperti biasanya sebanyak 5 langkah dan
kemudian mundur 4 langkah. Hal ini dilakukan sebagai koreksi awal terkait
kenyamanan respoden dalam melakukan latihan. Peran terapis dalam proses
latihan RW ini sangat penting untuk selalu mengawasi, memberikan isntruksi,
dan mengevaluasi. (Yadav & Shashidharan, 2016).
3. Indikasi dan Kontraindikasi
a. Indikasi
Memjaga posture tubuh agar lebih baik, melanarkan sirkulasi darah,
menjaga keseimbangan, mempertajam refleks, mengurangi tekanan pada
sendi lutut, menguatkan otot sekitar sendi lutut, dan mengurangi nyeri .
b. Kontra Indikasi Retro Walking exercise
41
Latihan ini tidak dianjurkan bagi penderita cedera akut, patah tulang,
kerobekan soft tissue seperti otot dan ligament, dan gangguan
keseimbangan.
F. Kinesio Taping
1. Definisi
Kinesio taping (pita kinesio) adalah bahan perekat elastis yang memiliki
kapasitas peregangan tinggi dnagan tetap memberikan kenyamana mobilitas.
Kinesio taping (KT) memiliki struktur bahan yang elastis sehingga tidak
menimbulkan penekanan dan tidka membatasi pergerakan pada area perlekatan.
Jangka waktu penggunaan KT yaitu 3-5 hari dan terbilang cukup lama tanpa
perlu khawatir jika digunakan untuk mandi, berenang ataupun latihan karena
tahan air, dapat mengering dengan cepat, dan jarang menimbilkan iritasi kulit
(Kocyigit, 2015)
Gambar 2.9 Kinesio Taping
Sumber: Rahmadhika, 2015
Seoarang Chiropractor bernama Dr. Kenzo Kase mengembangkan KT
pada tahun 1979 dengan tujuan untuk mengurangi rasa nyeri dan meningkatkan
42
kekuatan otot. Terdapat maanfaat lain pada KT seperti meningkatkan aliran
darah, meningkatkan dreinase cairan limfatik , dan mengurangi pembengkakan
atau odema (Kocyigit, 2015)
2. Konsep Penggunaan
Konsep KT dalam buku K-Taping an illustrated Guide terdiri atas 4
teknik aplikasi (Kumbrink, 2011). yakni pengaplikasian pada otot, ligament,
koreksi, dan lympathic.
a. Aplikasi pada otot
Pengaplikasian pada otot digunakan untuk menurunkan nyeri,
menurunkan tahanan tonus otot, meningkatakan tahanan tonus otot,
menormalkan tahanan tonus otot, dan memfasilitasi agar lekas sembuh.
Dalam mengaplikasikan KT yang perlu diketahui yaitu tempat
perlekatan (origo dan insersio) yang sesuai dengan tujuan
penggunaanya. KT yang ditempelkan pada insersio menuju origo
ditujukan untuk menurunkan tonus otot, sednagkan KT yang
ditempelkan pada origo menuju insersio ditujukan untuk meningkatkan
tonus otot. Pengaplikasian ini diberikan tarikan yaitu 20%.
b. Aplikasi pada ligament
Aplikasi untuk ligament digunakan pada kondisi cedera dan beban
berlebih pada ligament dan jugs tendon. Pemasangan dialkukan pada
titik nyeri trigger point atau pada segment spinal. KT pada ligament
dipasang menyerupai pada aplikasi otot dengan memberikan maksimal
43
stretch tanpa akhiran stretch dengan catatan posisi otot dalam keadaan
maksimal memanjang. Teknik aplikasi pada ligament, tendon, dan pain
point dapat dilakukan secara bersamaan.
c. Aplikasi Koreksi
Pada ateknik aplikasi ini dibedakan menjadi dua yaitu koreksi
fungsional dan koreksi fascia. Koreksi fungsional digunakan pada otot
dengan kondisi misaligament dan perbaikan secara srtuktural seperti
patella misaligament. Sedangkan koreksi fascia digunakan untuk
kondisi perlekatan pada muscle fiber yang membuatnya mengendur
segingga memberikan efek penurunan nyeri.
d. Aplikasi Lympathic
Teknik ini digunakan pada kelainan lymphatic drainase dengan
konsep skin lifting atau mengangkat kulit dimana terdapat jarak antara
kulit dan subkutan yang berguna untuk merangsang lymphatic collector.
Lymphatic collector berssama dengan system vascular akan aktif di
tubuh manusia untuk mencegah getah bening tadi kembali dengan
membawa cairan tersebut ke aliran central tubuh.
3. Pengaruh dan Manfaat Bagi Tubuh
Bagian KT pada sisi yang menempeldengan kulit memeiliki bentuk yang
berulir atau tidak rata. Bentuk ulir dibuat khusus untuk memberikan
rangsangan pada system sirkulasi dan system saraf didalam tubuh. Teknik dan
bentuk yang digunakan pada pengaplikasin KT bermanfaat dalam setiap
44
kondisi baik akut, sub akut hingga kronis, serta digunakan untuk mencegah
cedera dengan proses penyembuhan luka oleh tubuh sendiri (Lesmana, 2016).
Efek utama penggunaan KT pada tubuh berdampak pada otot dimana saat
bekerja otot akan mengalami pemendekan (kontraksi) dan pemanjangan
(relaksasi). Tidak menututp kemungkinana saat otot bekerja, otot tidak mampu
kembali pada posisi semula setelah kontraksi dan relaksasi pada suatu kondisi
sehingga timbul nyeri pada otot. Peggunaan KT dapat membuat otot kembali
ke posisi normal karena memiliki efek stretch dan recoil dimana dengana
adanya efek tersebut posisi sendi yang tidak sesuai ligementnya akan lebih baik,
dengan begitu tubuh bisa bergerak pada pola yang lebih sempurna (Kocyigit,
2015)
KT juga memberikan efek lain yaitu mekanisme kompensasi pada saat
ada proses inflamasi. Proses inflamasi menimbulkan adanya penyempitan celah
antara kulit dengan jaringan dibawah kulit sehingga timul rasa nyeri dan dapat
mengganggu proses sirkulasi cairan. Teknik pemasangan yang tepat pada
kondisi tersebut dapat mengangkat bagian yang mengalami inflamasi karena
memiliki efek shrink dan kift, sehingga tekanan pada kulit akan berkurang.
Apabila tekaknan pada kulit berkurang, maka terjadi penururnan nyeri,
peningkatan sirkulasi cairan, menurunnya tonus otot, dan mempercepat
recovery (Kumbrink, 2011)
Dapmpak positif atau negative pada KT tergantung pada Teknik
pemasangan yang sesuai. Oleh karena itu pengetahuan dasar mengenai KT
sangat diperlukan agar memiliki Teknik yang tepat dan memberikan efek yang
45
sesuai dengan tujuan pemasangan. Dengan berbagai macam manfaat KT, perlu
diperhatikan juga bahwa terdapat kontraindikasi pada penggunaan KT yaitu
pemasangan pada daerah keganasan, infeksi dan luka terbuka (Mutlu et al,
2016).
4. Teknik Pengaplikasian
Starting point dan tegangan dalam tarikan pemasangan KT perlu
diperhatikan (Ardella, 2013). Terdapat beberapa klasifikasi pemasangan
sebagai berikut:
a. Inserstion to origo
Pemasangan dilakukan dari distal ke proksimal dengan tegangan
15%-25% untuk menginhibisi pada muscle spasme (kekakuan otot) dan
muscle overuse (penggunaan otot berlebihan).
b. Origo to insertion
Pemasangan dilakukan dari distal ke proksimal dengan tegangan 15%
- 50% untuk memfasilitasi kelemahan otot dan rehabilitasi.
Selain starting point, Yulianti (2013) menyebutken terdapat beberapa
macam teknik pemasangan KT dalam bentuk ”Y”, “I”, “X”, “FAN”, “WEB”
dan “DONUT”:
1. Teknik “Y” adalah yang paling umum, digunakan untuk memfasilitasi otot
sekitarnya. Prinsip dasar terapeutik otot yang diukur dari origo sampai
insersio dan harus dilakukan sekitar 2 inchi lebih panjang dari otot.
46
2. Teknik “I” digunakan sesuai dengan bentuk otot yang akan diaplikasikan
untuk membantu kinerja otot dan mengurangi cidera akibat overuse
(Palaiman, 2016).
3. Teknik “X” digunakan ketika terjadi perubahan pada origo dan insersio dan
perubahan pola pergerakan sendi.
4. Teknik “FAN” digunakan untuk membantu sirkulasi lymphatic pada proses
penyaluran limfa ke saluran utama.
5. Teknik “WEB” merupakan modifikasi teknik FAN yang dipotong pada
bagian tengah seperti donat sedangkan kedua ujung strip dibiarkan utuh lalu
direkatkan langsung di area yang dituju.
Recommended