View
7
Download
11
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep-konsep dan Definisi
2.1.1 Pengertian Pariwisata
Undang-undang Nomor 10 tahun 2009, menyebutkan pariwisata adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan
daya tarik wisata serta usaha-usaha yang berhubungan dengan penyelenggaraan
pariwisata, dengan demikian pariwisata meliputi:
1) Semua kegiatan yang berhubungan dengan perjalanan wisata.
2) Pengusahaan objek dan daya tarik wisata seperti: kawasan wisata, taman
rekreasi, kawasan peninggalan sejarah, museum, pagelaran seni budaya, tata
kehidupan masyarakat atau yang bersifat alamiah: keindahan alam, gunung
berapi, danau, dan pantai.
3) Pengusahaan jasa dan sarana pariwisata yaitu: usaha jasa pariwisata (biro
perjalanan wisata, agen perjalanan wisata, konvensi, perjalanan insentif dan
pameran, konsultan pariwisata, dan informasi pariwisata). Usaha sarana
pariwisata yang terdiri dari akomodasi, rumah makan, bar, angkutan wisata
Menurut Prof. Hunzieker dan Prof. K. Krapf dalam Muhammad Ilyas
(2009), pariwisata dapat didefinisikan sebagai keseluruhan jaringan dan gejala-
gejala yang berkaitan dengan tinggalnya orang asing di suatu tempat, dengan syarat
bahwa mereka tidak tinggal di situ untuk melakukan suatu pekerjaan yang penting
yang memberikan keuntungan yang bersifat permanen maupun sementara.
2
Menurut A.J. Burkart dan S. Medlik dalam Muhammad Ilyas (2009),
pariwisata berarti perpindahan orang untuk sementara dan dalam jangka waktu
pendek ke tujuan-tujuan di luar tempat dimana mereka biasanya hidup dan bekerja,
dan kegiatan-kegiatan mereka selama tinggal di tempat-tempat tujuan tersebut.
Dalam penelitian yang dilakukan Kartini La Ode Unga (2011) merangkum
berbagai pendapat mengenai pariwisata yaitu, pengertian pariwisata menurut
Norval adalah keseluruhan kegiatan yang berhubungan dengan masuk, tinggal, dan
pergerakan penduduk asing di dalam atau di luar suatu negara, kota, atau wilayah
tertentu. Menurut definisi yang lebih luas yang dikemukakan oleh Kodhyat
pariwisata adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat lain bersifat sementara,
dilakukan perorangan atau kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan dan
kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam, dan
ilmu. Sedangkan menurut Musanef menambahkan bahwa pariwisata sebagai suatu
perjalanan yang dilaksanakan untuk sementara waktu, yang dilakukan dari satu
tempat ke tempat yang lain untuk menikmati perjalanan bertamasya dan berekreasi.
2.1.2 Pengertian Wisatawan
Wisatawan menurut Norval dalam Yuliani (2013), adalah setiap orang yang
datang di suatu negara yang alasanya bukan untuk menetap atau bekerja di situ
secara teratur, dan membelanjakan uang yang di dapatkannya di lain tempat.
Soekadijo (2000) menambahkan wisatawan adalah pengunjung di negara yang di
kunjungi setidak-tidaknya tinggal 24 jam dan yang datang berdasarkan motivasi:
1) Mengisi waktu senggang atau untuk bersenang-senang, berlibur, alasan
kesehatan, studi, keluarga, dan sebagainya.
3
2) Melakukan perjalanan untuk keperluan bisnis.
3) Melakuakan perjalanan untuk mengunjungi pertemuan-pertemuan atau sebagai
utusan (ilmiah, administrative, diplomatic, keagamaan, olahraga dan
sebagainya).
4) Dalam rangka pelayaran pesiar, jika kalau ia tinggal kurang dari 24 jam
Seorang ahli kepariwisataan berkebangsaan Inggris yang bernama
P.W.Ogilive, didalam buku yang ditulis oleh Oka A. Yoeti (1996), melihat
pariwisata dari segi bisnis sehingga memberikan definisi Wisatawan adalah semua
orang yang memenuhi dua syarat, pertama bahwa mereka meninggalkan rumah
kediamannya untuk jangka waktu kurang dari satu tahun dan kedua bahwa
sementara mereka pergi, mereka mengeluarkan uang di tempat yang mereka
kunjungi tidak dengan mencari nafkah di tempat tersebut.
Menurut Hari Karyono (1997) perjalanan yang dilakukan wisatawan dapat
dibedakan berdasarkan sifat perjalanannya, yaitu:
1) Foreign Tourist (Wisatawan Mancanegara)
Orang asing yang melakukan perjalanan wisata, yang datang memasuki suatu
negara lain yang bukan merupakan Negara dimana ia bisa tinggal. Wisatawan
asing disebut juga wisatawan mancanegara.
2) Domestic Foreign Tourist
Orang asing yang berdiam atau bertempat tinggal disuatu negara karena tugas,
dan melakukan perjalanan wisatawa di wilayah negara dimana ia tinggal.
Misalnya, staf keduataan Australia yang mendapat cuti tahunan, tetapi ia tidak
4
pulang ke Australia, tetapi melakukan kegiatan wisata dia Indonesia (tempat ia
bertugas)
3) Domestic Tourist (Wiswatawan Nusantara)
Seorang warga negara suatu negara yang melakukan perjalanan wisata dalam
batas wilayah negaranya sendiri tanpa melewati perbatasan negaranya.
Misalnya, warga Negara Indonesia yang melakukan perjalanan ke Bali.
4) Indigenous Foreign Tourist
Warga negara suatu negara tertentu, yang karena tugasnya atau jabatannya
berada di luar negeri, pulang ke negara asalnya dan melakukan perjalanan
wisata di wilayah negaranya sendiri. Misalnya, warga Negara Indonesia yang
bertugas sebagai konsultan di perusahaan asing di Australia, ketika liburan ia
kembali ke Indonesia dan melakukan perjalanan wisata. Jenis wisata ini
merupakan kebalikan dari Domestic Foreign Tourist.
5) Transit Tourist
Wisatawan yang sedang melakukan perjalanan ke suatu negara tertentu yang
terpaksa singgah pada suatu pelabuhan/airport/stasiun bukan atas kemauannya
sendiri
6) Business Tourist
Orang yang melakukan perjalanan untuk tujuan bisnis bukan wisata tetapi
perjalanan wisata akan dilakukannya setelah tujuan yang utama telah selesai.
Jadi perjalanan wisata merupakan tujuan sekunder, setelah tujuan primer yaitu
bisnis selesai dilakukan.
2.1.3 Pengertian Destinasi Wisata
5
Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009
tentang kepariwisataan, daerah tujuan wisata yang juga disebut destinasi pariwisata
adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administrasi
yang didalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata,
aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya
kepariwisataan.
Menurut Prof. Mariotti dalam Oka A Yoeti (1996), daerah tujuan wisata
harus memiliki hal menarik yang dapat ditawarkan kepada wisatawan. Destinasi
pariwisata harus memenuhu tiga syarat, yaitu:
1) Harus memiliki something to see, yaitu di tempat tersebut harus ada obyek dan
atraksi wisata khusus, yang berbeda dengan apa yang dimiliki daerah lain untuk
dilihat.
2) Harus menyediakan something to do, yaitu di tempat tersebut harus disediakan
fasilitas untuk melakukan kegiatan rekreasi yang dapat membuat nyaman
wisatawan
3) Harus menyediakan something to buy, yaitu tempat tersebut harus tersedia
fasilitas untuk berbelanja, terutama oleh-oleh dan barang kerajinan khas yag
dapat dibawa pulang ke tempat asal wisatawan.
Menurut Pendit dalam Yuliani (2013), ada beberapa jenis pariwisata yang sudah
dikenal, antara lain:
1) Wisata budaya, yaitu perjalanan yang dilakukan atas dasar keinginan untuk
memperluas pandangan hidup seseorang dengan cara mengadakan kunjungan
6
ketempat lain atau keluar negeri, mempelajari keadaan rakyat, kebiasaan dan
adat istiadat mereka, cara hidup mereka, kebudayaan dan seni mereka.
2) Wisata kesehatan, yaitu perjalanan wisatawan dengan tujuan untuk menukar
keadaan dan lingkungan tempat sehari-hari dimana ia tinggal demi kepentingan
beristirahat baginya dalam arti jasmani dan rohani.
3) Wisata olahraga, yaitu wisatawan-wisatawan yang melakukan perjalanan
dengan tujuan berolahraga atau memang sengaja bermaksud mengambil bagian
aktif dalam pesta olahraga di suatu tempat atau negara.
4) Wisata komersial, yaitu termasuk perjalanan untuk mengunjungi pameran-
pameran dan pecan raya yang bersifat komersial, seperti pameran industri,
pameran dagang dan sebagainya.
5) Wisata industri, yaitu perjalanan yang dilakukan oleh rombongan pelajar atau
mahasiswa, atau orang-prang awam ke suatu kompleks atau daerah
perindustrian dengan maksud dan tujuan untuk mengadakan peninjauan atau
penelitian.
6) Wisata bahari, yaitu wisata yang banyak dikaitkan dengan danau, pantai atau
laut.
7) Wisata cagar alam, yaitu jenis wisata yang biasanya diselenggarakan oleh agen
atau biro perjalanan yang mengkhususkan usaha-usaha dengan mengatur
wisata ke tempat atau daerah cagar alam, taman lindung, hutan daerah
pengunungan dan sebagainya yang kelestariannya dilindungi oleh undang-
undang.
7
8) Wisata bulan madu, yaitu suatu penyelenggaraan perlanan bagi pasangan-
pasangan pengantin baru yang sedang berbulan madu dengan fasilitas khusus
dan tersendiri demi kenikmatan perjalan
Kualitas objek daya tarik wisata merupakan hal yang penting dalam
pariwisata. Mutu objek daya tarik wisata yang baik akan berdampak positif pada
besaran jumlah wisatawan dan lama tinggal di suatu destinasi wisata. Di dalam hal
ini persepsi wisatawanlah yang menjadi tolak ukur untuk melihat tingkat mutu
objek daya tarik wisata tersebut. James J. Spillane (1994) berpendapat bahwa suatu
objek wisata harus meliputi lima unsur penting agar wisatawan merasa puas dalam
menikmati perjalanannya, yaitu sebagai berikut.
1) Atraksi
Atraksi adalah pusat dari industri pariwisata. Atraksi merupakan sesuatu yang
mampu menarik wisatawan yang ingin mengunjunginya. Motivasi wisatawan
untuk mengunjungi suatu tempat tujuan wisata adalah untuk memenuhi atau
memuaskan beberapa kebutuhan atau permintaan. Biasanya para wisatawan
tertarik pada suatu lokasi karena ciri-ciri khas tertentu. Kriteria ini dapat
diuraikan menjadi beberapa indikator sebagai berikut. a. Memiliki daya tarik
wisata khususnya daya tarik wisata budaya b. Memiliki setidaknya lebih dari
satu atraksi yang memanfaatkan dan menjunjung tinggi budaya lokal
2) Fasilitas
Unsur fasilitas cenderung berorientasi pada atraksi disuatu lokasi karena
fasilitas harus dekat dengan pasarnya. Fasilitas cenderung mendukung dan
bukan mendorong pertumbuhan dan cenderung berkembang pada saat yang
8
sama atau sesudah atraksi berkembang. Suatu atraksi juga dapat merupakan
fasilitas. Jumlah dan jenis fasilitas tergantung kebutuhan wisatawan.
Menurut Gunn dan Turgut (2002), fasilitas merupakan fasilitas pelayanan dan
sarana prasarana penunjang pariwisata yang nantinya akan dapat memenuhi
kebutuhan wisatawan selama berwisata di suatu tempat. Dalam karakteristik
ini, fasilitas yang dimaksud meliputi fasilitas dasar dan penunjang kegiatan
wisata. Kriteria ini dapat diuraikan menjadi beberapa indikator sebagai berikut:
a) Memiliki fasilitas penginapan atau akomodasi setidaknya di sekitar lokasi
kampung wisata
b) Memiliki fasilitas perbelanjaan baik di dalam maupun di sekitar lokasi
kampung wisata
c) Memiliki fasilitas tempat makan setidaknya di sekitar lokasi kampung
wisata
d) Memiliki fasilitas dasar pariwisata (meliputi ruang publik, informasi,
peribadatan, keamanan, sanitasi, dll) dan fasilitas penunjang pariwisata
yang dapat mendukung pengembangan dan pensuasanaan objek daya tarik
wisata (area pertunjukkan kesenian, panggung kesenian, bangku penonton,
dll.)
e) Terdapat perbaikan atau pembangunan fasilitas penunjang kegiatan wisata
3) Infrastruktur
9
Unsur Atraksi dan fasilitas tidak dapat tercapai dengan mudah jika belum
terdapat infrastruktur dasar. Infrastruktur termasuk semua konstruksi di bawah
dan di atas tanah dan suatu wilayah atau daerah
4) Transportasi
Unsur transportasi meliputi unsur pengangkutan serta moda bagi wisatawan
untuk mencapai tempat wisata
5) Keramahan (Hospitality)
Unsur keramahan meliputi unsur penerimaan masyarakat lokal terhadap
wisatawan. Wisatawan yang sedang berada dalam lingkungan yang belum
mereka kenal maka kepastian akan jaminan keamanan sangat penting,
khususnya wisatawan asing.
Menurut Oka A. Yoeti dalam Yunia dan Petrus (2015), keberhasilan suatu
tempat wisata hingga tercapainya kawasan wisata sangat tergantung pada 3A yaitu
atraksi (attraction), aksesibilitas (accessibility), dan fasilitas (amenities).
1) Atraksi (attraction)
Atraksi wisata adalah segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata yang
merupakan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke suatu
tempat tujuan wisata. Atraksi juga merupakan sesuatu yang dipersiapkan
terlebih dahulu agar dapat dilihat, dan dinikmati oleh wisatawan yang meliputi
tari-tarian, nyanyian kesenian rakyat tradisional, upacara adat, dan lain-lain.
2) Aksesibilitas (Accessibility)
10
Aksesibilitas meliputi moda transportasi untuk mencapai tempat wisata serta
prasarana meliputi jalan, jembatan, terminal, stasiun, dan bandara. Prasarana
ini berfungsi untuk menghubungkan suatu tepat dengan tempat yang lain.
Keberadaan prasarana transportasi akan mempengaruhi laju tingkat
transportasi itu sendiri. Kondisi prasarana yang baik akan membuat laju
transportasi optimal.
3) Fasilitas (Amenities)
Fasilitas wisata atau amenities merupakan hal-hal penunjang terciptanya
kenyamanan wisatawan untuk dapat mengunjungi suatu daerah tujuan wisata.
2.1.4 Konsep Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan
Konsep pengembangan pariwisata diperkenalkan oleh Word Commission on
Environment and Development (WCAD) tahun 1987. Pengembangan berkelanjutan
adalah bagian dari pembangunan berkelanjutan dengan mempertimbangkan
kebutuhan saat ini dengan memikirkan kemampuan generasi selanjutnya untuk
memenuhi kebutuhan. Demikian pula WTO (1993) memfokuskan prinsip-prinsip
pembangunan yang mencakup:
1) Aspek ekologi yang berkelanjutan, yaitu pembangunan pariwisata tidak
menimbulkan efek negatif terhadap ekosistem setempat. Selain itu, konservasi
merupakan kebutuhan yang harus diupayakan untuk melindungi sumber daya
alam dan lingkungan dari efek negatif kegiatan pariwisata
2) Aspek sosial yang berkelanjutan, yaitu mengacu pada kemampuan penduduk
lokal untuk menyerap usaha pariwisata (industri dan wisatawan) tanpa
menimbulkan konflik sosial.
11
3) Aspek budaya yang berkelanjutan, yaitu masyarakat lokal mampu beradaptasi
dengan budaya wisatawan
4) Aspek ekonomi yang berkelanjutan, yaitu keuntungan yang didapat dari kegiatan
pariwisata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam perjalanan waktu, konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) diadopsi kedalam konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan
(sustainable tourism development). Pembangunan pariwisata berkelanjutan
diartikan sebagai proses pembangunan pariwisata yang berorientasi untuk masa
mendatang (Michael Fagence, 2001).
Yaman dan Mohd (2004) mendefinisikan pembangunan pariwisata
berkelanjutan atau Sustainable Tourism Development ditandai dengan empat
kondisi yaitu:
1) Anggota masyarakat harus berpartisipasi dalam proses perencanaan dan
pembangunan pariwisata
2) Pendidikan bagi tuan rumah, pelaku industri dan pengunjung/wisatawan
3) Kualitas habitat kehidupan liar, penggunaan energi dan iklim mikro harus
dimengerti dan didukung
4) Investasi pada bentuk -bentuk transportasi alternatif.
Sedangkan indikator yang dikembangkan pemerintah RI tentang
pembangunan pariwisata berkelanjutan (Sri, 2016) adalah:
1) Kesadaran tentang tanggung jawab terhadap lingkungan, bahwa strategi
pembangunan pariwisata berkelanjutan harus menempatkan pariwisata sebagai
12
green industry (industri yang ramah lingkungan), yang menjadi tanggung
jawab pemerintah, industri pariwisata, masyarakat dan wisatawan
2) Peningkatan peran pemerintah daerah dalam pembangunan pariwisata
3) Kemantaban/keberdayaan industri pariwisata yaitu mampu menciptakan
produk pariwisata yang bisa bersaing secara internasional, dan
mensejahterakan masyarakat di tempat tujuan wisata
4) Kemitraan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata yang
bertujuan menghapus/meminimalisir perbedaan tingkat kesejahteraan
wisatawan dan masyarakat di daerah tujuan wisata untuk menghindari konflik
dan dominasi satu sama lain.
5) Memberi perhatian/pengembangan usaha skala kecil oleh masyarakat lokal
Burns dan Holder dalam Suwena (2010), konsep pembagunan berkelanjutan
diadaptasikan untuk pariwisata sebagai model yang mengintegrasikan lingkungan
fisik (place), lingkungan budaya (host community), dan wisatawan (visitors) yang
dikonstruksikan melalui tujuh prinsip, yaitu:
1) Lingkungan memiliki nilai hakiki yang jga bisa berfungsi sebagai asset wisata.
Pemanfaatannya bukan hanya untuk kepentingan jagka pendek tetapi juga
memikirkan generas mendatang
2) Pariwisata harus diperkenalkan sebagai aktivitas positif yang memberikan
keuntungan kepada masyarakat, lingkungan, dan wisatwan itu sendiri
3) Hubungan antara pariwisata dan lingkungan harus dibuat sedemikianrupa
sehingga lingkungan tersebut berkelanjutan untuk jangka panjang. Pariwisata
13
tidak boleh merusak merusak sumber daya alam agar dapat dinikmati oleh
generasi selanjutnya atau membawa dampak yang dapat diterima
4) Aktivitas pariwisata dan pembangunan harus peduli terhadap skala/ukuran
alam dan karakter tempat kegiatan tersebut dilakukan
5) Keharmonisan harus dibangun diantara kebutuhan wisatwan,
tempat/lingkungan, dan masyarakat.
6) Dunia yang cenderung dinamis dan penuh dengan perubahan dapat
memberikan keuntungan. Adaptasi terhadap perubahan jangan sampai keluar
dari prinsip-prinsip daerah wisata sendiri
7) Industri pariwisata, pemerintah lokal, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM)
pemerhati lingkungan, semuanya memiliki tugas untuk peduli pada prinsip-
prinsip diatas dan bekerja sama untuk merealisasikannya.
Selain itu, World Tourism and Travel Council (WTTC) bersama-sama
dengan World Tourism Organization dan Earth Council juga menuangkan konsep
pariwisata berkelanjutan dalam Agenda 21 untuk Industri Perjalanan dan
Pariwisata. Piagam tersebut memuat tentang beberapa prinsip dasar yang harus
diperhatikan dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan. Adapun prinsip dan
sasaran yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:
1) Pembangunan pariwisata harus berdasarkan kriteria keberlanjutan dapat
didukung secara ekologis dalam waktu yang lama, layak secara ekonomi, adil
secara etika dan sosial bagi masyarakat setempat.
2) Pariwisata harus berkontribusi kepada pembangunan berkelanjutan dan
diintegrasikan dengan lingkungan alam, budaya dan manusia.
14
3) Pemerintah dan otoritas yang kompeten, dengan partisipasi lembaga swadaya
masyarakat dan masyarakat setempat harus mengambil tindakan untuk
mengintegrasikan perencanaan pariwisata sebagai kontribusi kepada
pembangunan berkelanjutan.
4) Pemerintah dan organisasi multilateral harus memprioritaskan dan
memperkuat bantuan, langsung atau tidak langsung, kepada proyek-proyek
pariwisata yang berkontribusi kepada perbaikan kualitas lingkungan.
5) Ruang-ruang dengan lingkungan dan budaya yang rentan saat ini maupun di
masa depan harus diberi prioritas khusus dalam hal kerjasama teknis dan
bantuan keuangan untuk pembangunan pariwisata berkelanjutan.
6) Promosi / dukungan terhadap berbagai bentuk alternatif pariwisata yang sesuai
dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
7) Pemerintah harus mendukung dan berpartisipasi dalam penciptaan jaringan
untuk penelitian, diseminasi informasi dan transfer pengetahuan tentang
pariwisata dan teknologi pariwisata berkelanjutan.
8) Penetapan kebijakan pariwisata berkelanjutan memerlukan dukungan dan
sistem pengelolaan pariwisata yang ramah lingkungan, studi kelayakan untuk
transformasi sektor, dan pelaksanaan berbagai proyek percontohan dan
pengembangan program kerjasama internasional (Suardana, 2011).
Secara garis besar, indikator yang dapat dijabarkan dari karakteristik
berkelanjutan antara lain adalah lingkungan, sosial dan budaya, serta aspek
ekonomi. Artinya, industri pariwisata harus peka terhadap kerusakan lingkungan
seperti; pencemaran limbah, sampah yang bertumpuk, dan kerusakan pemandangan
15
yang diakibatkan pembabatan hutan, gedung yang letak dan arsitekturnya tidak
sesuai, serta sikap penduduk yang tidak ramah. Aspek lingkungan lebih
menekankan pada kelestarian ekosistem dan biodiversitas, pengelolaan limbah,
penggunaan lahan, konservasi sumber daya air, proteksi atmosfer, dan minimalisasi
kebisingan dan gangguan visual. Selain lingkungan, sosial budaya juga menjadi
aspek yang penting diperhatikan dalam pembangunan pariwisata. Interaksi dan
mobilitas masyarakat yang semakin tinggi menyebabkan persentuhan antar budaya
semakin intensif. Pariwisata merupakan salah satu kegiatan yang memberi
kontribusi persentuhan budaya dan antar etnik serta antar bangsa. Oleh karena itu,
penekanan dalam sosial budaya lebih kepada ketahanan budaya, integrasi sosial,
kepuasan penduduk lokal, keamanan dan keselamatan, kesehatan publik. Aspek
terakhir adalah ekonomi. Penekanan aspek ekonomi lebih kepada pemerataan usaha
dan kesempatan kerja, keberlanjutan usaha, persaingan usaha, keuntungan usaha
dan pajak, untung-rugi pertukaran internasional, proporsi kepemilikan lokal,
akuntabilitas (Subadra dan Nadra, 2006).
2.1.5 Konsep Partisipasi
Partisipasi merupakan proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas
sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana
dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol
secara efektif. Titik tolak dari partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian
mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subjek yang sadar, sedangkan
Cohen dan Uphoff dalam Isma dan Fredian (2011) membagi partisipasi ke beberapa
tahapan, yaitu sebagai berikut:
16
1) Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan
masyarakat dalam rapat-rapat. Tahap pengambilan keputusan yang dimaksud
disini yaitu pada perencanaan dan pelaksanaan suatu program.
2) Tahap pelaksanaan dimana wujud nyata partisipasi pada tahap ini digolongkan
menjadi: partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan
materi, dan bentuk tindakan sebagai anggota proyek.
3) Tahap evaluasi, yaitu masyarakat pada tahap ini memberikan umpan balik
seperti memberi masukan demi perbaikan pelaksanaan proyek selanjutnya.
Tahap menikmati hasil dapat dijadikan indikator keberhasilan partisipasi
masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu,
dengan melihat posisi masyarakat sebagai subjek pembangunan, maka semakin
besar manfaat proyek dirasakan, berarti proyek tersebut berhasil mengenai
sasaran.
2.1.6 Konsep Partsipasi dalam Pembangunan
Sebagaimana diketahui, pembangunan pada dasarnya merupakan proses
perubahan, dan salah satu bentuk perubahan yang diharapkan adalah perubahan
sikap dan perilaku. Partisipasi yang semakin meningkat baik secara kualitatif
maupun kuantitatif merupakan salah satu perwujudan dari perubahan sikap dan
perilaku tersebut. Dalam hal ini aktivitas lokal merupakan media dan sarana bagi
masyarakat dalam melaksanakan partisipasinya. Berbicara tentang partisipasi
masyarakat dalam pembangunan, orang akan menemukan rumusan pengertian yang
cukup bervariasi, sejalan dengan luasnya lingkup penggunaan konsep tersebut
17
dalam wacana pembangunan. Mikkelsen dalam Sutami (2009) misalnya
menginventarisasi adanya enam tafsiran yang berbeda tentang partisipasi yaitu:
1) Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut
serta dalam pengambilan keputusan;
2) Partisipasi adalah usaha membuat masyarakat semakin peka dalam
meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan menanggapi proyek-
proyek pembangunan;
3) Partisipasi adalah proses yang aktif, yang mengadung arti bahwa orang atau
kelompok terkait mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk
menggunakan hal itu;
4) Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para
staf dalam melakukan persiapan, pelaksanaan dan monitoring proyek, agar
memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial;
5) Partsipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang
ditentukannya sendiri;
6) Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan
dan lingkungan mereka.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa partisipasi dalam perencanaan
lebih dimaksudkan dalam rangka memperoleh masukan tentang kondisi dan
permasalahan yang ada dalam masyarakat setempat. Masukan tersebut dapat
diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari masyarakat dan merupakan hal
yang dianggap penting bagi perumasan perencanaan terlepas dari apakah yang
merumuskan perencanaan tersebut masyarakat sendiri atau bukan.
18
Memperhatikan beberapa pengertian partsipasi dan cara untuk
mewujudkannya seperti yang sudah diuraikan tampak bahwa kriteria utama yang
digunakan untuk menentukan adanya partisipasi masyarakat adalah adanya
keterlibatan tanpa harus mempersoalkan faktor yang melatarbelakangi dan
mendorong keterlibatan tersebut. Dengan demikian, apabila latar belakang yang
mendorong keterlibatan dimasukkan sebagai kriteria, maka variasi pengertian
partisipasi tadi akan lebih mengerucut. Beberapa pihak mencoba merumuskan
pengertian partisipasi dengan memasukkan kedua kriteria tersebut. Dengan
menggunakan kedua kriteria tersebut partisipasi diartikan sebagai keterlibatan
masyarakat dalam suatu proses pembangunan yang didorong oleh determinasi dan
kesadarannnya tentang arti keterlibatannnya tersebut. Apabila yang muncul hanya
unsur keterlibatan dan tidak di dorong oleh determinasi dan kesadaran, hal tersebut
tidak masuk dalam kategori partisipasi melainkan lebih tepat disebut sebagai
mobilisasi.
Oleh sebab itu, partisipasi masyarakat yang dimaksudkan adalah partisipasi
dalam keseluruhan proses pembangunan mulai dari pengambilan keputusan dalam
identifikasi masalah dan kebutuhan, perencanaan program, serta dalam evaluasi dan
menikmati hasil. Dengan partisipasi masyarakat dalam berbagai tindakan bersama
melalui aktivitas lokal telah terjadi proses belajar sosial yang kemudian dapat
meningkatkan kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi secara lebih baik dalam
tindakan bersama dan aktifitas lokal berikutnya. Dari sudut pandang yang lain,
partisipasi masyarakat dalam pembangunan juga dapat berkedudukan sebagai input
sekaligus output. Peningkatan kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi secara
19
lebih baik sebagai salah satu tolak ukur keberhasilan pembangunan juga merupakan
pencerminan, bahwa dalam pembangunan masyarakat lebih memberikan fokus
perhatian pada aspek manusia dan masyarakatnya bukan semata-mata pada fisik
materiil (Sutami, 2009).
Gambar 2.1
Pemangku Kepentingan dalam Pengembangan Pariwisata
Sumber: Wearing dalam Heny (2013)
Wearing dalam Heny (2013) juga beranggapan bahwa masyarakat lokal
berperan penting dalam pengembangan desa wisata karena sumber daya dan
keunikan tradisi dan budaya yang melekat pada komunitas tersebut merupakan
unsur penggerak utama kegiatan desa wisata. Di lain pihak, komunitas lokal yang
tumbuh dan hidup berdampingan dengan suatu objek wisata menjadi bagian dari
sistem ekologi yang saling kait mengait. Masyarakat lokal berperan sebagai tuan
rumah dan menjadi pelaku penting dalam pengembangan desa wisata dalam
keseluruhan tahapan mulai tahap perencanaan, pengawasan, dan implementasi.
Ilustrasi yang dikemukakan tersebut menegaskan bahwa masyarakat lokal
berkedudukan sama penting dengan pemerintah dan swasta sebagai salah satu
pemangku kepentingan dalam pengembangan pariwisata.
Pemerintah
(Fasilitator dan
Regulator)
Masyarakat
(Tuan rumah
pelaksana/objek)
Swasta
(Pelaksana/
pengembang/investor)
20
Partisipasi masyarakat merupakan komponen terpenting dalam upaya
pertumbuhan kemandirian dan proses pemberdayaan. Pengabaian partisipasi
masyarakat lokal dalam pengembangan desa wisata menjadi awal dari kegagalan
tujuan pengembangan desa wisata (Nasikun, 1997). Strategi pelaksanaan partisipasi
dicapai dengan cara melibatkan masyarakat dalam sharing informasi, merumuskan
tujuan, menentukan kebijakan, mengalokasikan sumber-sumber pendanaan,
mengoperasikan program, serta mendistribusikan manfaat yang diperoleh.
Masyarakat dilibatkan sejak tahap perencanaan hingga implementasi dan
pemerataan hasil-hasilnya. Berdasarkan pandangan para ahli yang telah
dikemukakan tersebut dapat disimpulkan bahwa pembangunan pariwisata berbasis
masyarakat, aspek partisipasi merupakan isu mendasar. Partisipasi masyarakat
lokal merupakan pijakan awal terhadap berbagai dampak strategis yang terkait
dalam pengembangan desa wisata berbasis masyarakat. Partisipasi masyarakat
menjadi penting bagi pencapaian desa wisata yang berkelanjutan dan bagi realisasi
desa wisata yang berkualitas.
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan hal yang penting
ketika diletakkan atas dasar keyakinan bahwa masyarakatlah yang paling tahu apa
yang dibutuhkan. Partisipasi yang hakiki akan melibatkan masyarakat dalam
keseluruhan tahapan pengembangan, mulai dari proses perencanaan, pengambilan
keputusan, dan pengawasan program pengembangan desa wisata. Keikutsertaan
masyarakat dalam perencanaan desa wisata dapat mendorong mereka berpartisipasi
aktif dalam pelaksanaan dan pengawasan. Berikut ini akan dijelaskan partisipasi
masyarakat dalam keseluruhan tahap pengembangan sebagai berikut.
21
1) Partisipasi Masyarakat dalam Tahap Perencanaan
Parameter yang digunakan untuk menentukan derajat partisipasi masyarakat
dalam tahap perencanaan adalah keterlibatan dalam identifkasi masalah,
perumusan tujuan, dan pengambilan keputusan terkait pengembangan desa
wisata.
2) Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Tahap Implementasi
Parameter partisipasi masyarakat dalam tahap implementasi adalah
keterlibatan di dalam pengelolaan usaha-usaha pariwisata, misalnya, sebagai
pengelola penginapan, pengelola rumah makan, pemandu wisata, karyawan
hotel, karyawan hotel, dan pengelola atraksi wisata. Keterlibatan masyarakat
lokal dalam tahap implentasi dalam arti pemanfaatan peluang terlihat minim.
Sekalipun wujud partisipasi itu ada, bentuknya lebih pada pengelolaan
usahausaha berskala kecil. Hal ini terlihat kontras dengan partisipasi
masyarakat luar yang memonopoli usaha berskala besar. Misalnya, dari tujuh
fasilitas wisata berupa 4 buah sarana akomodasi dan 3 buah restoran, lima di
antaranya dikelola oleh orang asing, dan hanya dua buah yang dikelola oleh
masyarakat lokal. Penyebabnya adalah karena peluang usaha tersebut
memerlukan modal besar, risiko bisnis yang tinggi, persaingan ketat, dan
menuntut kompetensi yang tinggi.
3) Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Tahap Pengawasan
Masyarakat lokal memiliki peran kontrol yang sangat substansial dalam
pengembangan desa wisata karena control terhadap proses pengambilan
22
keputusan harus diberikan kepada mereka yang nantinya menanggung akibat
pelaksanaan pengembangan termasuk kegagalan atau dampak negatip yang
terjadi akibat pengembangan desa wisata. Oleh karena itu, kewenangan
pengambilan keputusan harus diberikan kepada masyarakat lokal. Parameter
partisipasi masyarakat dalam pengawasan adalah keterlibatan dalam tim
pengawasan berikut kewenangan yang dimiliki.
Pelaksanaan hubungan antar pemangku kepentingan tersebut terarah, peran
dan tanggug jawab masing-masing harus jelas. Peran dan kewenangan masing-
masing pemangku kepentingan dijelaskan dan digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2.2 Model Pengembangan Berbasis Partisipasi
Sumber : Heny (2013)
1) Peran dan Kewenangan Pemerintah
a) Melakukan pembinaan kualitas produk dan kemasan kerajinan dan
kuliner khas desa sebagai unsur kenangan wisata
23
b) Melakukan penataan dan konservasi lingkungan fisik kawasan yang
menjadi ciri khas desa wisata
c) Melakukan perbaikan/pengadaan infrastruktur persampahan dan sanitasi
d) Melakukan gerakan masyarakat untuk mewujudkan sapta pesona
e) Melakukan pembuatan informasi dan fasilitas kepariwisataan
f) Melakukan perbaikan/peningkatan kualitas ruang publik, pedestrian dan
landscape desa/lingkungan untuk mendukung sapta pesona
g) Dukungan pemberdayaan terhadap kelompok sadar wisata (Pokdarwis)
dalam pelestarian lingkungan pariwisata (kawasan Hutan, dan sawah).
2) Peran dan Kewenangan Swasta (Investor, Perguruan Tinggi, LSM, pelaku
pariwisata lainnya)
a) Melakukan promosi terintegrasi antar pengelola objek wisata untuk
menggerakkan kunjungan wisatawan antar objek wisata
b) Pembuatan dan pemasaran paket-paket wisata yang kompetitif yang
terjangkau masyarakat
c) Pelatihan kewirausahaan, pelatihan keterampilan individual terkait usaha
di bidang pariwisata (pelatihan bahasa Inggris, pelatihan hospitality,
pelatihan mengenal budaya, dan karakteristik wisatawan dalam dan luar
negeri)
d) Pengembangan kelompok usaha bersama masyarakat
e) Menjalankan bisnis perhotelan, restoran, suvenir, dan lain-lain.
3) Peran masyarakat Lokal
24
a) Menyediakan sebagian besar atraksi sekaligus menentukan kualitas
produk wisata. Pengelolaan lahan pertanian secara tradisional, upacara
adat, kerajinan tangan dan kebersihan merupakan beberapa contoh peran
yang memberikan daya tarik bagi pariwisata
b) Pelaku budaya, misalnya, kesenian yang menjadi salah satu daya Tarik
wisata
c) Penyedia akomodasi dan jasa pemandu wisata, penyediaan tenaga kerja,
produk makanan khas, kerajinan lokal, kesenian lokal, dan sebagainya.
4) Peran dan Kewenangan Badan Pengelola
a) Badan pengelola sebagai pengelola utama dan pengarah dalam
perlindungan, perawatan, pelestarian guna mempertahankan fungsinya
sebagai desa wisata (cultural and natural heritage)
b) Melakukan pengaturan yang diperlukan dalam rangka pengembangan
Desa Wisata
c) Menyediakan dan mengoperasikan segala fasilitas untuk menunjang
kegiatan usaha
d) Memberikan dan mecabut izin penempatan, menetapkan persyaratan-
persyaratan, dan menetapkan serta melakukan pungutan segala usaha
komersial di Desa Wisata
e) Menetapkan dan memungut biaya/retribusi dan pungutan lainnya atas
pemanfaatan fasilitas yang tersedia dan hasil seluruhnya merupakan
pendapatan badan pengelola
25
f) Melakukan perencanaan dalam bidang pengembangan atraksi/produk
wisata, pengembangan fasilitas wisata
g) Melakukan pengorganisasian dalam bidang penguatan dan
pengembangan kelembagaan
h) Melakukan pengarahan untuk peningkatankompetensi pengelola 0bjek
wisata agar sesuai dengan tujuan pengembangan desa wisata yang
berkelanjutan
i) Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap aktivitas kepariwisataan
agar tercapainya tujuan pengembangan desa wisata yang berkelanjutan.
Keberadaan obyek wisata diutamakan agar dapat memberikan manfaat
yang nyata bagi masyarakat yang berada di sekitar obyek tersebut. Di samping
sebagai sarana rekreasi, obyek wisata harus dapat meningkatkan kesempatan kerja
dan berusaha sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitarnya. Hal
ini dapat dilakukan dengan jalan memberikan prioritas pertama bagi masyarakat
sekitar untuk dapat menjadi mitra kerja atau mitra usaha dalam pengusahaan obyek
dan daya tarik wisata, antara lain dalam hal:
1) Kebersihan
2) Parkir
3) Pemandu
4) Usaha makan dan minum
5) Usaha cendra mata
6) Usaha jasa pemotretan, dan lainnya. Partisipasi merupakan salah satu
komponen dalam pembangunan masyarakat, oleh karena itu kegiatan
26
pembangunan erat kaitannya dengan usaha membangkitkan partisipasi
masyarakat.
2.1.7 Konsep Persepsi
Persepsi adalah proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur, dan
menginterpretasikan masukan-masukan informasi untuk menciptakan gambaran
keseluruhan yang berarti. Persepsi dapat diartikan sebagai suatu proses kategorisasi
dan interpretasi yang bersifat selektif. Terbentuknya persepsi dimulai dengan
pengamatan, melalui proses melihat, mendengar, menyentuh, merasakan, dan
menerima sesuatu hal yang kemudian seseorang menseleksi, mengorganisasi, dan
menginterpretasikan informasi yang diterimanya menjadi suatu gambaran yang
berarti. Pada umumnya, persepsi ini hanya berlaku bagi dirinya sendiri dan berbeda-
beda bagi orang lain. Selain itu, persepsi tidak bertahan seumur hidup, yaitu dapat
berubah sesuai dengan perkembangan pengalaman, perubahan kebutuhan, dan
sikap dari seseorang baik laki-laki maupun perempuan (Philip, 1993).
Sunaryo mengartikan persepsi adalah interpretasi sebagai suatu upaya
pemaham seseorang terhadap suatu objek, sehingga timbul reaksi terhadap orang
tersebut untuk dapat menyikapi objek tersebut. Untuk terciptanya suatu hubungan
yang positif tersebut dibutuhkan interpreter, yang bertugas sebagai pemberi
penjelasan dan penerjemah obyek yang dikunjungi. Intrerpretasi, yang dikenal
dalam istilah jerman “Verstehen” atau pemahaman, berusaha untuk menjelaskan
makna dari tindakan. Karena suatu tindakan dapat memiliki banyak arti. Maka
makna tidak dapat dengan mudah diungkapkan begitu saja. Interpretasi, secara
harfiah, merupankan proses aktif dan inventif. Dalam persepsi seseorang, ada
27
faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi pembentukan persepsi tersebut. Menurut
Prasetijo dan Ihalauw faktor-faktor itu adalah pengalaman, kebutuhan saat itu, nilai-
nilai yang dianutnya, dan ekspektasi atau pengharapannya, hal ini merupakan faktor
intrinsik yaitu faktor yang berasal dari orang itu sendiri. Sedangkan faktor
eksternalnya atau yang bersal dari luar adalah tampakan produk, sifat-sifat stimulus
dan situasi lingkungan (Insun, 2015)
Kotler dalam Dilla dan Baiquni (2013) mengatakan bahwa persepsi
merupakan proses yang digunakan seseorang untuk memilih, mengorganisasi, dan
menginterpretasi masukan-masukan informasi guna menciptakan gambaran dunia
yang dimilikinya. Lebih lanjut dia menyatakan bahwa dalam pembentukan
persepsi, terdapat tiga tahapan proses yang terdiri dari:
1) Eksposur Selektif, yaitu melalui berbagai iklan yang akan disaring oleh
individu berdasarkan ketertarikannya akan sesuatu. Seseorang dapat mengingat
rangsangan yang dianggapnya menarik
2) Distorsi Selektif, menggambarkan kecenderungan orang untuk merakit
informasi kedalam pengertian pribadi. Ini menunjukan bahwa rangsangan
menarik tidak selalu datang dari arah yang diinginkan. Dalam hal ini audiensi
dapat memberikan penilaian terhadap rangsangan yang diterimanya
3) Ingatan/ Retensi Selektif, dimana orang akan melupakan apa yang mereka
pelajari tetapi akan mengingat apa yang mendukung sikap dan kepercayaan
mereka. Dalam artian, dalam diri orang tersebut akan muncul keinginan untuk
mencoba produk yang ditawarkan.
28
Gaspersz (1997) menambahkan terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi persepsi seseorang, antara lain: pengalaman masa lalu; keinginan;
dan pengalaman dari teman-teman. Pengalaman masa lalu (terdahulu) dapat
mempengaruhi seseorang karena manusia biasanya akan menarik kesimpulan yang
sama dengan apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Sementara itu, keinginan
dapat mempengaruhi persepsi seseorang dalam hal membuat keputusan, karena
manusia akan cenderung menolak tawaran yang tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan. Pengalaman dari teman-teman, dimana mereka akan menceritakan
pengalaman yang telah dialaminya, sehingga hal ini jelas mempengaruhi persepsi
seseorang
2.1.8 Definisi Kesejahteraan
Pengertian kesejahteraan menurut kamus bahasa Indonesia berasal dari kata
sejahtera yang mempunyai makna aman, sentosa, makmur, dan selamat (terlepas
dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya). Kata sejahtera
mengandung pengertian dari bahasa sansekerta “catera” yang berarti payung.
Dalam konteks kesejahteraan, “catera” adalah orang yang sejahtera, yakni orang
yang dalam hidupnya bebas dari kemiskinan, kebodohan, ketakutan, atau
kekhawatiran sehingga hidupnya aman dan tentram, baik lahir maupun batin.
Kesejahteraan oleh sebagian masyarakat selalu dikaitkan dengan konsep kualitas
hidup. Konsep kualitas hidup merupakan gambaran tentang keadaan kehidupan
yang baik. World Health Organization mengartikan kualitas hidup sebagai sebuah
persepsi individu terhadap kehidupannya di masyarakat dalam konteks budaya dan
sistem nilai yang ada yang terkait dengan tujuan, harapan, standar, dan juga
29
perhatian terhadap kehidupan. Konsep ini memberikan makna yang lebih luas
karena dipengaruhi oleh kondisi fisik individu, psikologis, tingkat kemandirian, dan
hubungan sosial individu dengan lingkungannya (Adi, 2012).
Menurut Undang-undang No. 11 Tahun 2009, mengenai kesejahteraan
Sosial menjelaskan juga tentang arti dari kesejahteraan. Kesejahteraan didefinisikan
sebagai suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial baik material maupun spiritual
yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin yang
memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan pemenuhan jasmani,
rohani, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak dan kewajiban asasi manusia sesuai dengan Pancasila (Ibid
dalam Agung, 2014)
Kesejahteraan adalah sesuatu yang bersifat subjektif dimana setiap orang
mempunyai pedoman, tujuan hidup dan cara hidup yang berbeda-beda pula
terhadap faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan (Sukirno, 1985)
Mengutip isi Human Development Report (HDR) pertama tahun 1990,
pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan-pilihan
yang dimiliki oleh manusia. Diantara banyak pilihan tersebut, pilihan yang
terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan,
dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat
hidup secara layak. Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui
pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan
sehat; pengetahuan, dan kehidupan yang layak. Untuk menghitung indeks masing-
masing komponen IPM digunakan batas maksimum dan minimum seperti Ketiga
30
dimensi tersebut memiliki pengertian sangat luas karena terkait banyak faktor.
Untuk mengukur dimensi kesehatan, digunakan angka harapan hidup waktu lahir.
Selanjutnya untuk mengukur dimensi pengetahuan digunakan gabungan indikator
angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Adapun untuk mengukur dimensi
hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli masyarakat terhadap
sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per
kapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk
hidup layak (Badan Pusat Statistik, 2017). Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar
kualitas hidup yang terlihat dalam Tabel 2. 2
Tabel 2.1 Batas Maksimum dan Minimum Komponen IPM
No Komponen IPM Maksimum Minimum Keterangan
1 Angka Harapan
Hidup (Tahun) 85 25 Standar UNDP
2 Angka Melek
Huruf (Persen) 100 0 Standar UNDP
3 Rata-rata Lama
Sekolah (Tahun) 15 0
4 Daya Beli
(Rupiah PPP) 732.720a 300.000 (1996)
Pengeluaran per
Kapita Riil
Disesuaikan
Sumber: Badan Pusat Statistik (2017)
BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) membagi
kesejahteraan keluarga ke dalam pemenuhan tiga kebutuhan yakni: (Astuti, dkk,
2017)
1) Kebutuhan dasar (basic needs) yang terdiri dari variabel pangan, sandang,
papan & kesehatan
31
2) Kebutuhan sosial psikologis (social psychological needs) yang terdiri dari
variabel pendidikan, rekreasi, transportasi, interaksi sosial internal dan
eksternal
3) Kebutuhan pengembangan (Development needs) yang terdiri dari variabel
tabungan, pendidikan khusus, akses terhadap informasi
Setiap aspek kehidupan dalam keluarga diupayakan untuk mencapai
kesejahteraan keluarga. Indikator dari ketercapaian kesejahteraan keluarga dengan
terpenuhinya segala kebutuhan. Oleh karena itu, memenuhi kebutuhan hidup
merupakan tuntutan bagi semua keluarga. Maslow dalam Amanaturrohim (2015)
mengidentifikasikan kebutuhan dalam bentuk yang hierarkis kedalam lima
tingkatan yaitu;
1) Kebutuhan fisik (physical need), adalah kebutuhan akan makan, minum,
tempat tinggal dan bebas dari rasa sakit. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi,
maka tubuh manusia tidak akan berfungsi.
2) Kebutuhan rasa aman (safety need), adalah kebutuhan akan kebebasan dari
ancaman, yakni aman dari ancaman kejadian atau lingkungan
3) Kebutuhan sosial (sosial need), adalah kebutuhan kehidupan sosial dan rasa
cinta, yakni: kebutuhan akan teman, afiasi, interaksi dan cinta. Pada tahap ini
seseorang akan berusaha membangun sebuah hubungan dengan orang
sekitarnya.
4) Kebutuhan harga diri (estem need), adalah kebutuhan akan penghargaan diri
dan penghargaan dari orang lain
32
5) Kebutuhan perwujudan diri (self-actualization need), adalah kebutuhan untuk
memenuhi diri sendiri dengan memaksimumkan penggunaan kemampuan,
keahlian dan potensi.
2.2 Teori yang Relevan
2.2.1 Teori Kesejahteraan
Teori kesejahteraan tingkat kepuasan dan kesejahteraan adalah dua
pengertian yang saling berkaitan. Tingkat kepuasan merujuk pada individu atau
kelompok, sedangkan tingkat kesejahteraan mengacu pada komunitas atau
masyarakat luas. Tingkat kesejahteraan meliputi pangan, pendidikan, kesehatan,
kadang juga dikaitkan dengan kesempatan kerja, perlindungan hari tua,
keterbebasan dari kemiskinan dan sebagainya. Kesejahteraan merupakan
representasi yang bersifat kompleks karena multidimensi, mempunyai keterkaitan
antar dimensi dan ada dimensi yang direpresentasikan. Perumusan tentang batasan
antara substansi kesejahteraan dan representasi kesejahteraan ditentukan oleh
perkembangan praktik kebijakan yang dipengaruhi oleh ideologi dan kinerja negara
yang tidak lepas dari pengaruh dinamika pada tingkat global.
Teori kesejahteraan masyarakat pada dasarnya dibedakan menjadi dua
(Albert dan Hannel, 1999), yaitu: teori kesejahteraan sosial dan teori kesejahteraan
ekonomi. Teori kesejahteraan sosial dapat digolongkan menjadi classical
utilitarian, neoclassical welfare theory, dan new contractarian approach.
Pendekatan classical utilitarian menekankan pada kesenangan (pleasure) atau
kepuasan (utility). Tingkat kesenangan berbeda yang dirasakan oleh individu yang
sama dapat dibandingkan secara kuantitatif. Prinsip bagi individu adalah
33
meningkatkan sebanyak mungkin tingkat kesejahteraannya. Neoclassical welfare
theory mempopulerkan prinsip pareto optimality dalam teori kesejahteraan. Prinsip
pareto optimality merupakan kondisi tercapainya keadaan kesejahteraan sosial
maksimum, yang juga merupakan fungsi kesejahteraan dari semua kepuasan
individu. Pada hakikatnya, tingkat kesejahteraan secara umum tidak hanya merujuk
pada tingkat kesejahteraan secara ekonomi semata dengan pencapaian kepuasan
individu secara maksimal, tetapi juga melibatkan seluruh aspek kehidupan atau
lingkungan sosialnya. Samuelson dalam Swasono (2005) menyatakan bahwa
sebenarnya telah ada welfare economics baru yang tidak semata-mata berdasar pada
kriteria ekonomi sempit, tetapi telah mengandung nilai-nilai etika. Dengan
demikian, dalam tataran social welfare, untuk mencapai sosial optimum, perlu
mencari pendekatan baru. Artinya, sejak titik tolak awalnya, preferensi individu
tidak lagi diasumsikan berdimensi kepentingan tunggal, tetapi sebagai multipartius.
Beberapa pandangan menyatakan bahwa tingkat kesejahteraan seseorang
sangat terkait dengan tingkat kepuasan (utility) dan kesenangan (pleasure) yang
dapat diraih dalam kehidupannya. Guna mencapai tingkat kesejahteraan yang
diinginkan, dibutuhkan perilaku (behavioral) yang dapat memaksimalkan tingkat
kepuasannya sesuai sumber daya yang tersedia. Salvatore (1997) mengemukakan
teori ekonomi kesejahteraan secara mikro, yaitu teori ekonomi kesejahteraan
mempelajari berbagai kondisi cara penyelesaian dari model ekuilibrium umum. Hal
ini memerlukan antara lain adalah alokasi optimal faktor produksi di antara
konsumen. Alokasi faktor produksi dikatakan pareto optimal jika proses produksi
tidak dapat diatur lagi sedemikian rupa guna menaikkan output suatu komoditi
34
tanpa harus mengurangi output komoditi lain, karenanya teori ekonomi
kesejahteraan merupakan cara penyelesaian dari model ekuilibrium umum di mana
alokasi faktor produksi di antara komoditi didistribusikan secara optimal
Kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah dapat direpresentasikan dari
tingkat hidup masyarakat. Tingkat hidup masyarakat ditandai oleh terentaskannya
kemiskinan, tingkat kesehatan yang lebih baik, perolehan tingkat pendidikan yang
lebih tinggi, dan peningkatan tingkat produktivitas masyarakat. Kesemuanya itu
merupakan cermin dari perbaikan tingkat pendapatan masyarakat golongan
menengah ke bawah. Todaro dan Stephen (2006), secara lebih spesifik
mengemukakan bahwa fungsi kesejahteraan (welfare) dengan persamaan sebagai
berikut:
W = w (Y, I, P)……………………………………………………………..……(1)
dimana W adalah kesejahteran, Y adalah pendapatan per kapita, I adalah
ketimpangan, dan P adalah kemiskinan absolut. Ketiga variabel ini mempunyai
signifikansi berbeda, dan selayaknya dipertimbangkan secara menyeluruh untuk
menilai kesejahteran di negara-negara berkembang. Berkaitan dengan fungsi
persamaan kesejahteraan di atas, dapat diasumsikan bahwa kesejahteraan sosial
berhubungan positif dengan pendapatan per kapita, namun berhubungan negatif
dengan kemiskinan absolut dan tingkat ketimpangan.
Tingkat hidup masyarakat ditandai oleh terentaskannya kemiskinan, tingkat
kesehatan yang lebih baik, perolehan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan
peningkatan produktivitas masyarakat. Semua itu merupakan cerminan dari
peningkatan tingkat pendapatan masyarakat golongan menengah ke bawah. Adapun
35
pengertian mengenai kesejahteraan keluarga di Indonesia oleh pemerintah selama
ini dikelompokkan ke dalam dua tipe yaitu pertama, Tipe Keluarga Prasejahtera
adalah keluarga yang masih mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya berupa sandang, pangan, dan papan. Keluarga pra-sejahtera identik
dengan keluarga yang anaknya banyak, tidak dapat menempuh pendidikan secara
layak, tidak memiliki penghasilan tetap, belum memperhatikan masalah kesehatan
lingkungan, rentan terhadap penyakit, mempunyai masalah tempat tinggal dan
masih perlu mendapat bantuan sandang dan pangan. Kedua, Tipe Keluarga
Sejahtera. Keluarga sejahtera identik dengan keluarga yang anaknya dua atau tiga,
mampu menempuh pendidikan secara layak, memiliki penghasilan tetap, sudah
menaruh perhatian terhadap masalah kesehatan lingkungan, tidak rentan terhadap
penyakit, mempunyai tempat tinggal dan tidak.
2.2.2 Hubungan Antar Variabel
1) Hubungan Partisipasi Masyarakat dengan Keberlanjutan Pariwisata
Pengembangan industri pariwisata agar maju dan berkembang secara
maksimal memerlukan adanya keterlibatan dari semua pihak baik pemerintah
maupun masyarakat. Masyarakat seharusnya tidak lagi ditempatkan sebagai objek
yang hanya menerima apa yang diputuskan dari \pemerintah, tetapi masyarakat
pada saat ini juga harus dilibatkan sebagai subjek dalam kerangka mengembangkan
pariwisata (Adi Hendrik dalam Ma’rifatul Kholifah, 2015). Tidak dapat dipungkiri
bahwa masyarakat merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan
keberhasilan pengembangan pariwisata. Hal tersebut karena keterlibatan
masyarakat akan menyebabkan timbulnya dukungan terhadap pariwisata oleh
masyarakat sehingga industri pariwisata akan dapat berkembang dengan maksimal.
36
Kajian destinasi wisata ditentukan oleh keberadaan partisipasi masyarakat
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan pembangunan destinasi wisata
(Tosun, 2006). Aref et al (2010) berpendapat bahwa masyarakat menjadi komponen
penentu dalam pengembangan daerah wisata. Pendapat tersebut didukung oleh
penelitian Godfrey dan Clarke dalam Michael et al (2013) menyimpulkan bahwa
komunitas lokal merupakan komponen strategis yang berfungsi melaksanakan (1)
pelayanan, (2) penyedia akomodasi, (3) penyedia transportasi, (4) pelestarian
lingkungan alam, dan (5) memberikan dukungan budaya
Menurut Timothy (1999) ada dua perspektif dalam melihat partisipasi
masyarakat dalam pariwisata. Kedua perspektif tersebut adalah (1) partisipasi
masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan, dan (2) berkaitan dengan
manfaat yang diterima masyarakat dari pembangunan pariwisata. Secara umum
partisipasi dapat dimaknai sebagai hak warga masyarakat untuk terlibat dalam
proses pengambilan keputusan pada setiap tahapan pembangunan, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pelestarian. Timothy menekankan
perlunya melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dengan
mengakomodasi keinginan dan tujuan masyarakat lokal dalam pembangunan serta
kemampuannya dalam menyerap manfaat pariwisata.
Partisipasi masyarakat sangat penting mengingat saat ini sering dijumpai
fenomena di berbagai daerah, yaitu terdapat banyak potensi daya tarik wisata tidak
berhasil diwujudkan menjadi destinasi wisata, disebabkan karena terjadinya
perebutan sumber daya alam termasuk sumber air dan sumber daya lainnya yang
membawa konflik antar masyarakat dengan pengelola destinasi wisata (Jamal dan
37
Stronza, 2009). Kendala lain yang dihadapi adalah rendahnya kualitas sumber daya
akan menghambat kemampuan komunitas lokal dalam membangun komunikasi
dengan wisatawan, sehingga menjadi hambatan lingkungan komunitas dalam
mendukung keberadaan destinasi wisata (Arun dan Clark, 1999). Dengan demikian,
persoalan partisipasi masyarakat dan kebelanjutan destinasi wisata, keduanya
merupakan komponen yang harus disinergikan jika destinasi wisata dapat
diwujudkan dengan berhasil.
2) Hubungan Kebijakan Pemerintah dengan Keberlanjutan Pariwisata
Konsep pembangunan berkelanjutan tidak hanya memerlukan partisipasi
masyarakat, tetapi pemerintah harus turut mengambil peran yang lebih besar dan
tanggung jawab dalam perencanaan pariwisata (Lisa, 2013). Pemerintah sekarang
biasanya mencoba untuk menyeimbangkan antara prioritas ekonomi, lingkungan,
dan warga setempat untuk mendapatkan dukungan politik dengan tujuan
pengembangan pariwisata (Bill, 2011). Dukungan tersebut tidak dapat dicapai tanpa
kepercayaan penduduk setempat dalam pemerintahan. Dari perspektif politik,
pariwisata ditargetkan oleh banyak daerah berkembang sebagai cara menunjukkan
kemandirian dan pentingnya negara di mata dunia. Dalam konteks pariwisata,
politik ekonomi menunjukkan bahwa penting bagi pemerintah untuk
mempertahankan legitimasi dan mempengaruhi dalam proses pemerintahan dengan
memastikan bahwa warga setempat mendukung kebijakan (Yi dan Bill, 2012).
Pemerintah adalah aktor utama dalam proses politik pembangunan
pariwisata. Pemerintah mengontrol industri melalui kementerian, lembaga-lembaga
lain, peraturan perundang-undangan, dan inisiatif pendanaan (James, 1997).
38
Menurut Hall dalam Aleksandra dan Tamara (2014) pemerintah memiliki tujuh
fungsi dalam pengembangan pariwisata, yaitu koordinasi, perencanaan, undang-
undang dan peraturan, kewirausahaan, stimulasi, pariwisata sosial, dan peran
perlindungan kepentingan umum.
Kekhawatiran perekonomian juga merupakan alasan utama bagi pemerintah
untuk campur tangan dalam sektor pariwisata. Menurut Mill and Morrison dalam
Hall (2000) ada lima bidang utama keterlibatan sektor publik dalam pariwisata yaitu
koordinasi, perencanaan, perundang-undangan dan peraturan, kewirausahaan dan
stimulasi. 1) Koordinasi; pariwisata yang terdiri dari berbagai macam sektor sering
menimbulkan konflik kepentingan, maka koordinasi dalam pemanfaatan sumber
daya sangat penting. Selain itu penyeimbangan berbagai peran dalam proses
pengembangan pariwisata menjadi tanggung jawab pemerintah. 2) Perencanaan;
perencanaan pariwisata terjadi dalam bentuk pengembangan, infrastruktur, promosi
dan pemasaran, struktur (organisasi yang berbeda-beda) dan skala (internasional,
nasional, lokal dan sektoral). Perencanaan pariwisata harus berjalan seiring dengan
kebijakan pariwisata. Tetapi dalam pembentukan kebaijakan, perencanaan
merupakan proses politik yang hasilnya bisa menjadi dominasi bagi kepentingan
dan nilai berbagai pihak. 3) Peraturan dan perundang-undangan; pemerintah
mempunyai kekuasaan hukum dan undang-undang yang secara langsung maupun
tidak langsung berkaitan dengan industri pariwisata. Keterlibatan pemerintah mulai
dari kebijakan paspor dan visa, pemanfaatan lahan, tenaga kerja, upah dan lainnya.
5) Stimulasi; pemerintah dapat melakukan stimulasi pariwisata melalui insentif
secara financial seperti pinjaman berbungan rendah (Theobald, 2005). Membiayai
39
penelitian pariwisata, menstimulasi pariwisata melalui pemasaran, promosi, dan
pelayanan pada pengunjung. Menurut Mildleton dalam Hall (2000), pemasaran
merupakan fungsi dominan dalam kebijakan penyelenggaraan pariwisata
Peran dan kewenangan pemerintah dalam pariwisata diterapkan melalui
pembinaan kualitas produk dan kemasan kerajinan dan kuliner khas desa sebagai
unsur kenangan wisata, penataan dan konservasi lingkungan fisik kawasan yang
menjadi ciri khas desa wisata, melakukan perbaikan/pengadaan infrastruktur
persampahan dan sanitasi, melakukan gerakan masyarakat untuk mewujudkan sapta
pesona, melakukan pembuatan informasi dan fasilitas kepariwisataan, melakukan
perbaikan/peningkatan kualitas ruang publik, pedestrian dan landscape
desa/lingkungan untuk mendukung sapta pesona, dan memberikan pemberdayaan
terhadap kelompok sadar wisata (Pokdarwis) dalam pelestarian lingkungan
pariwisata (Heny,2013). Joanne et al (2009) menambahkan pemerintah berperan
untuk, (1) mengkondisikan ketertiban dan keamanan masyarakat, (2) penataan
regulasi tata ruang, dan (3) pengembangan perencanaan pariwisata. Dalam rangka
pengembangan destinasi wisata di sebuah kawasan tertentu, pemerintah lokal lebih
banyak berperan dalam menyediakan antara lain, (1) pendanaan, (2) menyediakan
fasilitas atraksi, seperti pembangunan museum, galeri, taman rekreasi, serta (3)
penyediaan infrastruktur dan seterusnya.
Siagian dalam Mudrajad Kuncoro (2004) berpendapat bahwa peran
pemerintah adalah bertanggung jawab untuk menjalankan suatu usaha bisnis,
koordinator pemerintah daerah dapat bertindak sebagai kordinator untuk
menetapkan kebijakan atau mengusulkan strategistrategi bagi pembangunan di
40
daerahnya, fasilitator pemerintah daerah dapat mempercepat pembangunan melalui
perbaikan lingkungan perilaku di daerahnya dan stimulator pemerintah daerah
dapat menstimulasi penciptaan dan pengembangan usaha melalui tindakan-
tindakan khusus yang akan mempengaruhi perusahaan-perusahaan untuk masuk ke
daerah tersebut dan menjaga agar perusahaan-perusahaan yang ada tetap berada di
daerah tersebut. Pitana dan Gayatri (2005), mengemukakan pemerintah daerah
memiliki peran untuk mengembangkan potensi pariwisata daerahnya sebagai
motivator, dalam pengembangan pariwisata, peran pemerintah daerah sebagai
motivator diperlukan agar geliat usaha pariwisata terus berjalan, fasilitator, sebagai
fasilitator pengembangan potensi pariwisata peran pemerintah adalah menyediakan
segala fasilitas yang mendukung segala program pengembangan pariwisata.
3) Hubungan Keberlanjutan Pariwisata dengan Kesejahteraan Masyarakat
Secara garis besar, indikator yang dapat dijabarkan dari karakteristik
berkelanjutan antara lain adalah lingkungan, sosial dan budaya, serta aspek
ekonomi. World Tourism and Travel Council (WTTC) bersama-sama dengan
World Tourism Organization dan Earth Council juga menyimpulkan konsep
pariwisata yang dicita-citakan masyarakat harus menekankan pada keberlanjutan
pengembangan suatu kawasan pariwisata pada tiga aspek yaitu, ekologi, ekonomi,
dan sosial budaya. Sehingga dibutuhkan perencanaan yang terpadu oleh semua
stakeholder dalam pelaksanaannya (Suardana, 2011).
Menurut Boediono (1982) bahwa hubungan antara perkemabangan
kepariwisataan dengan ekonomi masyarakat bila suatu daerah di bangun tempat-
tempat wisata maka secara tidak langsung penduduk sekitar akan mengalami
41
dampak pertumbuhan ekonomi, karena tempat-tempat wisata tersebut akan menarik
lapangan pekerjaan dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar
tempat wisata tersebut.
Tersedianya objek dan daya tarik wisata, adanya fasilitas yaitu sarana dan
prasarana sehingga memungkinkan wisatawan mengunjungi suatu daerah wisata,
serta tersedianya fasilitas pariwisata yang dapat memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Maka, bisa dikatakan bahwa wilayah tersebut akan dapat
dikembangkan dengan hasil yang baik.
2.3. Keaslian Penelitian
Hasil penelitian terdahulu sangat penting sebagai bahan perbandingan dan
referensi dalam suatu penulisan. Adapun studi empirik terdahulu yang mendukung
terhadap penelitian yang akan dilakukan disajikan sebagai berikut:
1) Keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan proses pembangunan sangat
penting mengingat basis dari pengembangan pariwisata ini adalah masyarakat,
peran serta dan partisipasinya. Masyarakat dalam kegiatan pariwisata
seharusnya tidak lagi dipandang sebagai objek pariwisata, tetapi juga sebagai
subjek pelaksana yang mendukung kegiatan pariwisata. Keterlibatan
masyarakat dapat dengan cara memberikan informasi, masukan dan arahan
pengembangan pariwisata, memberikan bantuan dana, waktu dan tenaga serta
ikut serta dalam pemeliharaan kelestarian lingkungan untuk mendukung
kegiatan pariwisata. Penelitian ini berhasil mengungkap bahwa partisipasi
masyarakat mampu menciptakan produk-produk kepariwisataan yang
42
mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif di pasar internasional
sehingga mampu meningkatkan dan mewadahi potensi masyarakat dan potensi
pariwisata di daerah wisata untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang
selama ini mengandalkan pendapatan dari sektor pertanian. (Andi, 2011)
2) Penelitian yang dilakukan oleh Liedewij (2013) memaparkan hal-hal apa saja
yang dilakukan oleh masyarakat yang terlibat dalam proyek-proyek Community
Based Tourism (CBT), baik di tingkat individu maupun di tingkat masyarakat
di Thailand. Proyek CBT ini pada umumnya menyiratkan keterlibatan dari
masyarakat lokal yang tinggi di tahapan perencanaan dan pengembangan
pariwisata. Artinya dalam proyek tersebut masyarakat bukan hanya sekedar
sebagai individu yang hanya mendiami suatu kawasan tetapi juga harus terlibat
atau berkontribusi (partisipasi). Pengukuran pada penelitian ini adalah melihat
tingkat kepuasan penduduk setempat yang dianalisis dengan fokus pada tiga
jenis dampak, yaitu: lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penduduk setempat telah membuat sebuah proyek
pariwisata berbasis masyarakat untuk melindungi sumber daya, serta untuk
mendapatkan keuntungan ekonomi dari pariwisata budaya. Saat dievaluasi
terkait dampak sosial, ekonomi dan lingkungan, warga sebagian besar memberi
tanggapan sangat positif. Terdapat banyak keluarga berpartisipasi dalam
program homestay dan bahkan lebih banyak yang terlibat dalam kegiatan
pariwisata seperti pertunjukan tari dan menyediakan masakan
3) Permasalahan utama dalam pengembangan objek wisata adalah persepsi
wisatawan mengenai aksesibilitas dan ancaman bencana. Aksesibilitas objek
43
wisata yang kurang mendukung, jalan menuju lokasi rusak, minimnya angkutan
umum yang menjangkau lokasi objek wisata dan ancaman bencana berpengaruh
terhadap jumlah wisatawan yang berkunjung ke objek wisata karena dapat
mengganggu kenyamanan wisatawan. Sehingga penelitian yang dilakukan oleh
Hestara (2013) menyimpulkan persepsi wisatawan terhadap objek wisata akan
mempengaruhi jumlah kunjungan wisatawan
4) Dari kondisi yang didapatkan melalui penelitian yang dilakukan oleh Marulam
(2012) ditarik beberapa kesimpulan bahwa kondisi pariwisata yang kurang
menggembirakan, hal ini disebabkan beberapa sarana pendukung dan kegiatan
wisata di lokasi penelitian kurang memuaskan para wisatawan yang berkunjung
ke lokasi penelitian. Selain itu promosi wisata Danau Toba – Parapat masih
sangat minim serta atraksi dan kegiatan wisata di Parapat danau Toba sangat
minim dan bahkan tidak tersedia. Hal ini menjelaskan bahwa persepsi
wisatawan terhadap objek wisata berpengaruh positif terhadap jumlah
kunjungan wisatawan
5) Regina (2015) menjelaskan bahwa pendapat masyarakat mengenai promosi
yang dilakukan pemerintah daerah Minahasa tidak maksimal. Hal tersebut dapat
dilihat dari segi sarana-prasarana hanya memiliki sebuah panggung seni dan
budaya, beberapa sarana untuk santai bagi wisatawan, dan juga sarana-
prasarana telah rusak. Kesimpulan lain dari penelitian ini adalah kinerja dinas
kebudayaan dan pariwisata kabupaten minahasa tenggara terbilang kurang
berperan dalam pengembangan dan pembagunan objek-objek wisata yang ada
di kabupaten minahasa tenggara, karena menurut pengamatan penelitian
44
pembangunan dan pengembangan dilakukan hanya pada saat dilaksanakannya
festival Benlak saja dan tidak akan berkelanjutan.Kurangnya dukungan
pemerintah akan menghambat pengembangan potensi wisata.
6) Dampak yang ditimbulkan oleh pengembangan pariwisata Desa Adat
Penglipuran menurut penelitian Agus (2011) yaitu berdampak positif. Desa
Wisata membuka peluang usaha bagi masyarakat sebagai penyedia kebutuhan
bagi wisatawan. Selain pemasukan berupa hasil penjualan cinderamata,
Masyarakat Desa Penglipuran juga memperoleh masukan dari retribusi yang
dibayarkan oleh wisatawan saat memasuki objek wisata. Sehingga
pengembangan pariwisata akan meningkatkan kesejahteraan masyaraka desa
wisata.
7) Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian Irianto (2011) mengenai dampak
pariwisata terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di gili trawangan
kecamatan pemenang kabupaten Lombok Utara adalah, kegiatan pariwisata ini
memberikan pengaruh terhadap lingkungan sekitar, pengaruh positif dapat
dilihat dari meningkatnya pendapatan masyarakat setempat dan membuat
pendapatan pemerintah daerah meningkat sehingga daerah wisata ini perlu
dijaga kelestarian dan keindahannya untuk lebih menarik para wisatawan
khususnya para wisatawan asing.
8) Achadiat (2013) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis
dampak ekonomi wisata bahari terhadap pendapatan masyarakat di Pulau
Tidung. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang diolah
secara kuantitatif maupun kualitatif, yang diperoleh dengan cara pengamatan
45
dan wawancara langsung kepada responden. Karakteristik sosial ekonomi
wisatawan dilihat dari umur, pendidikan terakhir, jensi pekerjaan, pendapatan
per bulan, asal daerah, cara kedatangan wisatawan, dan jumlah rombongan.
Kesimpulannya, secara umum kegiatan wisata yang ada di Pulau Tidung telah
memberikan dampak ekonomi kepada masyarakat. Dampak ekonomi ini terjadi
karena adanya perputaran uang antara wisatawan, unit usaha, dan tenaga kerja.
Semakin banyaknya wisatawan yang datang ke Pulau Tidung memberikan
dampak berupa pendapatan yang lebih banyak kepada unit usaha
46
Recommended