View
1
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyesuaian Diri pada Anggota Polri
1. Pengertian Penyesuaian Diri
Fatimah (2006) mengemukakan bahwa semua makhluk hidup secara alami
telah dibekali kemampuan untuk menolong dirinya sendiri dengan cara
beradaptasi dengan keadaan lingkungan alam untuk bertahan hidup. Dalam istilah
psikologi, penyesuaian diri disebut juga dengan istilah adjustment. Menurut
Kartono (2000) adjustment adalah adaptasi atau penyesuaian diri, kemampuan
untuk dapat mempertahankan eksistensinya, atau kemampuan untuk survive
(bertahan hidup), dan memperoleh kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah, juga
dapat mengadakan relasi yang memuaskan dengan tuntutan-tuntutan sosial.
Schneiders (1964) mendefinisikan penyesuaian diri (adjustment) sebagai
suatu proses dimana individu berusaha keras untuk mengatasi kebutuhan dalam
diri, ketegangan, frustasi, dan konflik, yang tujuannya adalah untuk mendapatkan
keharmonisan dan keselarasan antara tuntutan lingkungan dimana ia tinggal
dengan tuntutan didalam dirinya.
Selaras dengan Schneiders, Semiun (2006) mendefinisikan penyesuaian
diri sebagai suatu proses yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku
yang menyebabkan individu berusaha menanggulangi kebutuhan-kebutuhan,
tegangan-tegangan, frustasi-frustasi, dan konflik-konflik batin serta
14
menyelaraskan tuntutan-tuntutan batin ini dengan tuntutan-tuntutan yang
dikenakan kepadanya oleh dunia dimana ia hidup. Semiun (2006) menambahkan
bahwa penyesuaian diri berarti pemuasan kebutuhan, keterampilan dalam
menangani frustasi dan konflik, ketenangan pikiran atau jiwa, atau bahkan
pembentukan simtom-simtom. Individu belajar bagaimana bergaul dengan baik
dengan orang lain dan menghadapi tuntutan-tuntutan tugas.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian
diri pada anggota Polri merupakan upaya mereka dalam menanggulangi stress,
frustasi, serta konflik-konflik internal lain yang dihadapi ketika anggota tidak
dapat menyesuaikan diri dengan tugas di bidang yang baru dan lingkungan kerja
yang baru. Penyesuaian tersebut dilakukan sebagai upaya anggota dalam
menyelaraskan dirinya pada tuntutan-tuntutan pekerjaan yang ada, agar mereka
mampu mendapatkan kesejahteraan psikis dan dapat melaksanakan pekerjaan
secara maksimal dan profesional meskipun situasi dan kondisi yang dihadapi tidak
mereka idealkan.
2. Aspek-aspek Penyesuaian Diri
Runyon dan Haber (1984) menyebutkan bahwa penyesuaian diri yang
dilakukan individu memiliki lima aspek sebagai berikut :
a. Persepsi terhadap realitas.
Individu mengubah persepsinya tentang kenyataan hidup dan
menginterpretasikannya, sehingga mampu menentukan tujuan yang
realistik sesuai dengan kemampuannya serta mampu mengenali
15
konsekuensi dan tindakannya agar dapat menuntun adanya perilaku
yang sesuai.
b. Kemampuan mengatasi stres dan kecemasan.
Individu yang memiliki kemampuan mengatasi stress dan
kecemasan berarti mampu mengatasi masalah-masalah yang timbul
dalam hidup dan mampu menerima kegagalan yang dialami.
c. Gambaran diri yang positif.
Aspek ini berkaitan dengan penilaian individu tentang dirinya
sendiri. Individu memiliki gambaran diri yang positif baik melalui
penilaian pribadi maupun melalui penilaian orang lain, sehingga
individu dapat merasakan kenyamanan psikologis.
d. Kemampuan mengekspresikan emosi dengan baik.
Individu yang memiliki kemampuan tersebut maka individu dapat
mengekspresikan emosi dengan baik dan memiliki kontrol emosi
yang baik.
e. Hubungan interpersonal yang baik.
Hal ini berkaitan dengan hakikat individu sebagai makhluk sosial,
yang sejak lahir tergantung pada orang lain. Individu yang
memiliki penyesuaian diri yang baik mampu membentuk hubungan
dengan cara yang berkualitas dan bermanfaat.
Berdasarkan aspek-aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa individu yang
mampu menyesuaikan diri adalah individu yang mampu mengubah persepsinya
terhadap permasalahan yang dihadapi kemudian menginterpretasikannya. Individu
16
mampu mengatasi konflik-konflik internal yang timbul dengan upaya yang ia
miliki. Selain itu, gambaran diri yang positif juga mampu membuat individu
menilai dirinya secara lebih positif sehingga dapat membantu dirinya untuk
merasakan kenyamanan secara psikologis.
Schneiders (1964) menyatakan bahwa penyesuaian diri yang baik meliputi
enam aspek, yaitu :
1) Tidak adanya emosionalitas yang berlebihan (Absence of Excessive
Emotionality)
Penyesuaian diri yang normal dapat ditandai dengan adanya
ketenangan emosi individu yang memungkinkannya unuk menghadapi
permasalahan secara inteligen dan dapat menentukan berbagai
kemungkinan pemecahan masalah ketika muncul hambatan. Hal ini
bukan berarti tidak ada emosi sama sekali, namun lebih kepada kontrol
emosi ketika menghadapi situasi tertentu, dan tidak ada emosi yang
relatif berlebihan atau gangguan emosi yang merusak. Individu yang
mampu menanggapi situasi atau masalah yang dihadapinya dengan
cara yang normal tidak akan mengalami kepanikan sehingga dapat
menentukan penyelesaian masalah atau kondisi yang tidak diidealkan.
2) Kontrol terhadap mekanisme psikologis (Absence of Psychological
Mechanisms)
Aspek ini menjelaskan pendekatan terhadap permasalahan lebih
mengidentifikasikan respon yang normal pada penyelesaian masalah
melalui serangkaian mekanisme pertahanaan diri yang disertai
17
tindakan nyata untuk mengubah suatu kondisi. Individu dikatakan
mengalami gangguan penyesuaian diri ketika dirinya mengalami
kegagalan dan menyatakan bahwa tujuan tersebut tidak berharga untuk
dicapai. Pada intinya, individu dapat menerima permasalahan yang
dihadapi dengan penuh keikhlasan dan tidak menyalahkan atau
mencari-cari sebab atas munculnya permasalahan tersebut.
3) Kontrol terhadap perasaan frustrasi (Absence of The Sense of Personal
Frustration)
Individu yang mengalami frustrasi ditandai dengan perasaan
tidak berdaya dan tanpa harapan, maka akan sulit bagi individu untuk
mengorganisi kemampuan berpikir, perasaan, motivasi, dan tingkah
laku dalam menghadapi situasi yang menuntut penyelesaian.
4) Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri (Rational
Deliberation and Self Direction)
Individu memiliki kemampuan berpikir dan melakukan
pertimbangan terhadap masalah atau konflik serta kemampuan
mengorganisir pikiran, tingkah laku dan perasaan untuk memecahkan
masalah, dalam kondisi sulit sekalipun menunjukkan penyesuaian yang
normal. Individu tidak mampu melakukan penyesuaian diri yang baik
apabila individu dikuasai oleh emosi berlebihan ketika menghadapi
situasi yang menimbulkan konflik.
5) Kemampuan untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman (Ability To
Learn and utilization of past expecience)
18
Mampu untuk mempelajari pengetahuan yang mendukung apa
yang dihadapi sehingga pengetahuan yang diperoleh dapat
dipergunakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Adanya
kemampuan individu untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman
merupakan hal yang penting bagi penyesuaian diri yang normal.
Dalam menghadapi masalah, individu dapat menggunakan pengalaman
diri sendiri atau pengalaman orang lain sehingga pengalaman yang
diperoleh dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan yang
dihadapi. Individu dapat melakukan analisis mengenai faktor-faktor
apa saja yang membantu dan mengganggu penyesuaiannya.
6) Sikap yang realistis dan objektif (Realistic, Objective Attitude)
Karakteristik ini berhubungan erat dengan orientasi seseorang
terhadap realitas yang dihadapinya. Sikap realistik dan objektif
bersumber pada pemikiran yang rasional, kemampuan menilai situasi,
masalah dan keterbatasan individu dalam mengatasi permasalahan
yang dihadapi.
Berdasarkan aspek-aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa
anggota yang dapat menyesuaikan diri dengan baik adalah anggota
yang dapat mengontrol emosinya, mampu menerima dengan baik atas
adanya permasalahan yang dihadapi. Anggota mampu memotivasi
dirinya sendiri, dan memiliki upaya-upaya tertentu untuk melakukan
tindakan-tindakan untuk mengubah suatu kondisi yang membebaninya
menjadi lebih baik, dengan segala kelemahan dan kelebihannya. Selain
19
itu penyesuaian diri yang baik adalah ketika anggota tersebut dapat
belajar dan memanfaatkan pengalaman yang dimiliki sebelumnya
maupun pengalaman orang lain sebagai cara untuk mempermudah
dirinya mengatasi permasalahan yang sedang ia hadapi.
Hurlock (2011) mengemukakan aspek-aspek dalam penyesuaian diri,
antara lain :
a. Penampilan nyata
Over Performance yang diperlihatkan individu sesuai norma yang
berlaku di dalam kelompoknya, berarti individu dapat memenuhi
harapan kelompok dan dapat diterima menjadi anggota kelompok
tersebut.
b. Penyesuaian diri terhadap kelompok
Hal ini berarti bahwa individu tersebut mampu menyesuaikan diri
secara baik dengan kelompok yang dimasukinya, baik teman sebaya
maupun orang dewasa
c. Sikap sosial
Individu mampu menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap
orang lain, ikut berpartisipasi dan dapat menjalankan perannya dengan
baik dalam kegiatan sosial.
d. Kepuasan pribadi
Hal ini ditandai dengan adanya rasa puas dan perasaan bahagia karena
dapat ikut ambil bagian dalam aktifitas kelompoknya dan mampu
menerima diri sendiri apa adanya dalam situasi sosial.
20
Aspek-aspek penyesuaian diri yang akan dijadikan sebagai acuan oleh
penulis adalah aspek yang dikemukakan oleh Schneiders karena aspek-aspek
tersebut lebih sesuai untuk mengukur penyesuaian diri partisipan dalam penelitian
ini.
3. Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri
Sunarto dan Hartono (2006) mengemukakan faktor- faktor yang
mempengaruhi penyesuaian diri yaitu :
a. Kondisi fisik
Mencakup keturunan, konstitusi fisik, susunan syaraf, kelenjar dan
sistem otot, kesehatan, penyakit dan sebagainya. Kualitas penyesuaian
diri yang baik hanya dapat diperoleh dan dipelihara dalam kondisi
kesehatan fisik yang baik.
b. Perkembangan dan kematangan
Khususnya kematangan intelektual, sosial, moral dan emosional.
Penyesuaian diri pada setiap individu akan bervariasi sesuai dengan
tingkat perkembangan dan kematangan yang dicapai.
c. Penentu psikologis
Faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi proses penyesuaian diri
diantaranya adalah pengalaman, belajar, kebutuhan-kebutuhan,
determinasi diri, frustrasi dan konflik.
d. Kondisi lingkungan
21
Lingkungan yang damai, tentram, penuh penerimaan, pengertian dan
mampu memberi perlindungan kepada anggota-anggotanya merupakan
lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian diri.
e. Penentu kultural
Lingkungan kultural dimana individu berada dan berinteraksi akan
menentukan pola penyesuaian dirinya.
Menurut Schneiders (1964) setidaknya ada lima faktor yang dapat
mempengaruhi proses penyesuaian diri, yaitu :
a. Kondisi Fisik
1. Hereditas dan Konstitusi Fisik
Dalam mengidentifikasi pengaruh hereditas terhadap penyesuaian
diri, lebih digunakan pendekatan fisik karena hereditas dipandang
lebih dekat dan tak terpisahkan dari mekanisme fisik.
2. Sistem Utama Tubuh
Sistem utama tubuh yang memiliki pengaruh terhadap penyesuaian
diri adalah sistem syaraf, kelenjar, dan otot.
3. Kesehatan Fisik
Fisik yang sehat dapat menimbulkan penerimaan diri, percaya diri,
harga diri dan sejenisnya yang akan menjadi kondisi yang sangat
menguntungkan bagi proses penyesuaian diri.
b. Kepribadian
1. Kemampuan dan Kemauan untuk Berubah (Modifiability)
22
Sebagai proses yang dinamis dan berkelanjutan, penyesuaian diri
menuntut suatu proses yang dinamis dan berkelanjutan.
Penyesuaian diri membutuhkan kecenderungan untuk berubah
dalam bentuk kemauan, perilaku, sikap dan karakteristik sejenis
lainnya.
2. Pengaturan Diri
Kemampuan mengatur diri dapat mencegah individu dari keadaan
malasuai dan penyimpangan kepribadian. Kemampuan pengaturan
diri dapat mengarahkan kepribadian normal mencapai
pengendalian diri dan realisasi diri.
3. Realisasi Diri
Kemampuan pengaturan diri mengimplikasi potensi dan
kemampuan kearah realisasi diri. Proses penyesuaian diri dan
pencapaian hasilnya secara bertahap sangat erat kaitannya dengan
perkembangan kepribadian.
4. Intelegensi
Munculnya kemampuan pengaturan diri yang sesungguhnya
tergantung pada kualitas dasar lainnya yang berperan penting
dalam penyesuaian diri, yaitu kualitas intelegensinya.
c. Edukasi/Pendidikan
1. Belajar
Kemauan belajar merupakan unsur penting dalam penyesuaian diri
karena respon-respon dan sifat-sifat kepribadian yang diperlukan
23
bagi penyesuaian diri diperoleh dan menyerap kedalam diri
individu melalui proses belajar.
2. Pengalaman
Ada dua jenis pengalaman yang memiliki nilai signifikan terhadap
proses penyesuaian diri, yang pertama adalah pengalaman yang
menyehatkan atau peristiwa-peristiwa yang dialami oleh individu
dan dirasakan sebagai sesuatu yang mengenakkan atau
mengasyikkan. Yang kedua pengalam traumatik, yaitu peristiwa-
peristiwa yang dialami oleh individu dan dirasakan sebagai sesuatu
yang sangat tidak mengenakkan, menyedihkan, atau bahkan sangat
menyakitkan sehingga individu sangat tidak ingin peristiwa itu
terulang kembali.
3. Latihan
Penyesuaian sebagai suatu proses yang kompleks yang mencakup
proses psikologis dan sosiologis, maka memerlukan latihan yang
sungguh-sungguh agar memperoleh hasil penyesuaian diri yang
baik.
4. Determinasi Diri
Individu harus mampu menentukan dirinya sendiri untuk
melakukan proses penyesuaian diri.
d. Lingkungan
1. Lingkungan keluarga
24
Unsur-unsur yang ada dalam keluarga seperti konstelasi keluarga,
interaksi amtara orang tua dengan anak, interaksi antar anggota
keluarga, peran sosial dalam keluarga, karakteristik anggota
keluarga, kekohesifan keluarga, dan gangguan dalam keluarga
akan berpengaruh terhadap penyesuaian diri individu anggotanya.
2. Lingkungan Sekolah
Sekolah dipandang sebagai media yang sangat penting, berguna
untuk mempengaruhi kehidupan dan perkembangan intelektual,
sosial, nilai-nilai, sikap, dan moral siswa.
3. Lingkungan Masyarakat
Konsistensi nilai-nilai, sikap, aturan-aturan, agama, moral dan
perilaku masyarakat akan diidentifikasi oleh individu yang berada
dalam masyarakat sehingga akan berpengaruh terhadap proses
perkembangan penyesuaian diri.
e. Agama dan Budaya
Agama berkaitan erat dengan faktor budaya. Agama memberikan
sumbangan nilai-nilai, keyakinan, praktik-praktik yang memberikan
makna yang sangat mendalam, tujuan, serta kestabilan dan
keseimbangan hidup individu.
4. Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri
Schneiders (1964) mengemukakan empat macam bentuk penyesuaian diri
antara lain :
a. Penyesuaian diri personal
25
Penyesuaian diri personal adalah penyesuaian diri yang diarahkan
kepada diri sendiri. Penyesuaian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Penyesuaian Diri Fisik dan Emosi
Dikatakan oleh Schneiders bahwa kesehatan fisik berhubungan erat
dengan kesehatan emosi. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan
dalam kesehatan emosi dan penyesuaian diri, yaitu ; adekuasi
emosi, kematangan emosi, dan kontrol emosi.
2. Penyesuaian Diri Seksual
Merupakan kapasitas yang bereaksi terhadap realitas seksual
(impuls-impuls, nafsu, pikiran, konflik-konflik, frustasi, perasaan
salah dan perbedaan seks). Kapasitas tersebut memerlukan
perasaan, sikap sehat yang berkenaan dengan seks, kemampuan
menunda ekspresi seksual, orientasi heteroseksual yang kuat,
kontrol yang ketat dari pikiran dan perilaku, identifikasi diri yang
sehat.
3. Penyesuaian Moral dan Religius
Kapasitas untuk memenuhi moral kehidupan secara efektif dan
bermanfaat yang dapat memberikan kontribusi ke dalam kehidupan
individu.
b. Penyesuaian Diri Sosial
Dikatakan oleh Schneiders bahwa rumah, sekolah dan masyarakat
merupakan aspek khusus dari kelompok sosial. Hal ini berarti
26
melibatkan pola-pola hubungan diantara kelompok tersebut dan saling
berhubungan secara integral diantara ketiganya.
c. Penyesuaian Diri Marital atau Perkawinan
Penyesuaian diri marital pada dasarnya adalah seni kehidupan yang
efektif dan bermanfaat dalam kerangka tanggung jawab, hubungan dan
harapan yang terdapat pada keadaan suatu perkawinan.
d. Penyesuaian Diri Jabatan atau Vokasional
Berhubungan erat dengan penyesuaian diri akademis dimana
kesuksesan dalam penyesuaian diri akademik akan membawa
keberhasilan seseorang didalam penyesuaian diri karir atau jabatan.
Berdasarkan jenis permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, dari
keempat macam bentuk penyesuaian diri diatas, penulis hanya akan memfokuskan
pada tiga macam bentuk yaitu penyesuaian diri personal, penyesuaian diri sosial,
dan penyesuaian diri jabatan atau vokasional.
Gunarsa (Sobur, 2003) mengklasifikasikan bentuk-bentuk penyesuaian diri
dalam dua kelompok, yaitu adaptive dan adjustive.
a. Adaptive
Bentuk penyesuaian diri yang adaptive sering dikenal dengan istilah
adaptasi. Bentuk penyesuaian diri ini lebih bersifat badani. Artinya,
perubahan-perubahan yang ada dalam proses badani untuk
menyesuaikan diri terhadap keadaan lingkungan. Pengertian luas
mengenai proses penyesuaian itu terbentuk sesuai dengan hubungan
individu dengan lingkungan sosialnya yang dituntut dari individu.
27
Tidak hanya mengubah perilakunya dalam menghadapi kebutuhan-
kebutuhan dirinya, baik keadaan dari dalam ataupun dari luar, di
lingkungan dimana ia hidup. Tetapi ia juga dituntut untuk
menyesuaikan diri dengan adanya orang lain dan ragam kegiatan
mereka. Orang yang ingin menjadi anggota dari suatu kelompok, ia
berada dalam posisi dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kelompok
itu.
b. Adjustive
Bentuk penyesuaian yang lain, yang tersangkut kehidupan psikis
seseorang, biasanya disebut sebagai bentuk penyesuaian yang adjustive.
Tersangkutnya kehidupan psikis dalam penyesuaian yang adjustive ini,
dengan sendirinya penyesuaian ini berhubungan dengan tingkah laku.
Tingkah laku manusia sebagian besar dilatar belakangi oleh hal-hal
psikis, kecuali tingkah laku tertentu dalam bentuk gerakan-gerakan
yang sudah menjadi kebiasaan atau gerakan-gerakan refleks.
Penyesuaian ini merupakan penyesuaian diri tingkah laku terhadap
lingkungan yang dalam lingkungan ini terdapat aturan-aturan atau
norma-norma. Singkatnya, penyesuaian terhadap norma-norma.
B. Minat dan Kompetensi
1. Minat
Menurut Affif (Afib, 2012) minat adalah kesadaran atau
ketertarikan seseorang terhadap suatu objek, orang, masalah, atau situasi
28
yang mempunyai kaitan dengan dirinya. Artinya, minat harus dipandang
sebagai sesuatu kesadaran, karenanya minat merupakan aspek psikologis
seseorang yang menaruh perhatian tinggi terhadap kegiatan tertentu dan
mendorong yang bersangkutan untuk melakukan kegiatan tersebut.
Semakin tinggi minat seseorang terhadap sesuatu maka semakin tinggi
pula dedikasi seseorang terhadap suatu kegiatan yang menjadi minatnya.
Hurlock (1989) mengemukakan bahwa minat merupakan sumber
motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan apa yang mereka
inginkan bila mereka bebas memilih. Menurut Winkel (1983) minat adalah
kecenderungan yang agak menetap dalam subyek untuk merasa tertarik
pada bidang atau hal yang tertentu dan merasa senang berkecimpung
dalam bidang itu.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa minat
adalah aspek psikologis seorang individu yang menjadi salah satu faktor
penentu terhadap kemajuan dan keberhasilan. Individu yang melakukan
pekerjaan dengan disertai minat maka akan memperoleh hasil yang lebih
baik.
2. Kompetensi
Kompetensi menurut Byars dan Rue (Riady, 2010) kompetensi
didefinisikan sebagai suatu sifat atau karakteristik yang dibutuhkan oleh
seorang pemegang jabatan agar dapat melaksanakan jabatan dengan baik,
atau juga dapat berarti karakteristik atau ciri-ciri seseorang yang mudah
29
dilihat termasuk pengetahuan, keahlian, dan perilaku yang memungkinkan
untuk berkinerja.
Spencer (Moeheriono, 2012) menyatakan bahwa kompetensi
merupakan karakteristik yang mendasari seseorang berkaitan dengan
efektivitas kinerja individu dalam pekerjaannya atau karakteristik dasar
individu yang memiliki hubungan kausal atau sebagai sebab-akibat dengan
kriteria yang dijadikan acuan, efektif atau berkinerja prima atau superior di
tempat kerja atau pada situasi tertentu.
Menurut Boulter et al (1996) kompetensi adalah karakteristik dasar
dari seseorang yang memungkinkan pegawai mengeluarkan kinerja
superior dalam pekerjaannya. Berdasarkan uraian di atas makna
kompetensi mengandung bagian kepribadian yang mendalam dan melekat
pada seseorang dengan perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai
keadaan dan tugas pekerjaan.
C. Penyesuaian Diri pada Anggota Polri yang Ditempatkan pada Bidang
yang Kurang Sesuai Minat dan Kompetensi
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat Polri
adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman
dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam
negeri, sedangkan anggota Polri adalah pegawai negeri yang ada pada Polri
(Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2012).
30
Adapun tugas Polri secara umum adalah menegakkan hukum dan keadilan,
memerangi kejahatan yang mengganggu dan merugikan masyarakat, mengayomi
dan melindungi masyarakat, serta memberikan pelayanan kepada masyarakat
(Suyono, 2013). Dalam Polri terdapat beberapa macam bidang diantaranya
Satsabhara, Satlantas, Satreskrim, Satbinmas, Satresnarkoba, dan lain-lain dengan
tugas masing-masing dimana tugas-tugas tersebut lebih spesifik (Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010).
Berdasarkan perspektif manajemen SDM, sumber daya manusia atau
sering pula disebut dengan personil (anggota) atau human resource Polri
merupakan sumber daya utama organisasi Polri karena berperan mengawaki gerak
laju dan perjalanan organisasi. Sumber daya manusia menempati posisi strategis
dalam melaksanakan setiap program dan kegiatan organisasi Polri sehingga dapat
berhasil dengan baik. Sumber daya manusia merupakan motor penggerak yang
berperan penting dalam mencapai visi, misi dan tujuan organisasi Polri (Subagyo,
2015). Adapun salah satu misi Polri yaitu mengelola secara profesional,
transparan, akuntabel dan modern seluruh sumber daya Polri guna mendukung
operasional tugas Polri (Divisi Humas Polri, 2015).
Begitu pentingnya peran SDM dalam organisasi Polri, maka diperlukan
pengelolaan SDM Polri yang sesuai dengan misi tersebut. Subagyo (2015)
mengatakan bahwa manajemen SDM Polri, yang terdiri dari penyediaan,
pendidikan dan pelatihan, penggunaan, perawatan, dan pengakhiran personil,
sangat strategis dirancang dengan baik sehingga akan mencapai kinerja personil.
Sistem pembinaan karier dalam organisasi Polri perlu didesain dengan
31
menggunakan sistem yang baru sehingga akan terwujud proses rotasi, promosi,
mutasi, dan demosi yang transparan dan akuntabel. Subagyo juga menambahkan
bahwa Polres harus menciptakan sistem pembinaan karier yang mampu
mendorong terciptanya personil Polres yang memiliki kinerja, prestasi kerja, dan
kualitas kerja yang baik dan bermoral sehingga akan dapat berkontribusi pada
pelaksanaan tugas pokok Polri. Proses wanjak di Polres harus didasarkan pada
pertimbangan yang matang sehingga setiap penempatan personil akan terwujud
prinsip ”the right man in the right job in the right time”. Oleh karena itu, sistem
pembinaan karier di lingkungan Polres harus didasarkan pada kompetensi yang
dimiliki oleh personil. Pada penempatan personil di jabatan tertentu, misalnya
jabatan Kanit Lantas di Satlantas maka personil yang bersangkutan harus
memenuhi kompetensi yang telah ditetapkan dalam jabatan tersebut. Hanya
personil yang memenuhi standar kompetensi jabatan itulah yang dapat
ditempatkan pada posisi atau jabatan tertentu.
Penempatan merupakan salah satu fungsi terpenting dalam manajemen
sumber daya manusia dalam organisasi Polri. Menurut Mathis dan Jackson (2006)
penempatan adalah menempatkan posisi seseorang ke posisi pekerjaan yang tepat,
seberapa baik seorang karyawan cocok dengan pekerjaanya akan mempengaruhi
jumlah dan kualitas pekerjaan. Sedangkan menurut Sastrohadiwiryo yang dikutip
oleh Suwatno (2003) penempatan adalah menempatkan pegawai sebagai unsur
pelakasana pekerjaan pada posisi yang sesuai dengan kemampuan, kecakapan dan
keahliaanya. Kemudian salah satu prinsip yang harus diperhatikan dalam
penempatan pegawai menurut Musanef (2005) adalah prinsip “The Right Man on
32
The Right Place” dimana penempatan setiap pegawai dalam organisasi perlu
didasarkan pada kemampuan, keahlian, pengalaman, serta pendidikan yang
dimiliki oleh pegawai yang bersangkutan.
Penempatan yang dilakukan dalam institusi Kepolisian belum sesuai
dengan prinsip penempatan yang ideal, sehingga banyak anggota Polri yang
merasa tidak puas dengan penempatan atau mutasi tersebut. Banyak kasus yang
dijumpai dimana anggota Polri ditempatkan pada bidang yang tidak sesuai dengan
Dikjur (Pendidikan Kejuruan) yang telah diikuti. Sebagai contoh seorang anggota
Polri telah mengikuti Dikjur Binmas, tetapi dirinya justru ditempatkan pada
bidang lain yang tidak sesuai dengan Dikjur, maka tentunya akan tidak sesuai
dengan kompetensinya. Terlebih bidang setelah penempatan tersebut tidak disukai
atau tidak diminati oleh anggota yang bersangkutan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gunarso (2004) yang berjudul
“Kebijakan Penempatan Bintara Polri dan Pelaksanaannya di Polwiltabes
Semarang”, disebutkan bahwa kebijakan penempatan anggota Polri tidak sesuai
dengan prinsip “The Right Man on The Right Place”. Penempatan tersebut tidak
berdasarkan minat, bakat dan kemampuan anggota.
Suwarni (2009) dalam tesisnya yang telah dialihbukukan, mengemukakan
bahwa proses mutasi yang dilaksanakan dalam institusi Kepolisian belum sesuai
dengan kompetensi anggota. Pelaksanannya pun tidak dilakukan secara prosedural
dan kurang transparan. Bahkan ada kesan otoriter dengan melakukan mutasi
kapan dan dimana saja. Atasan tidak pernah mengkomunikasikannya dengan
anggota, baik secara formal maupun informal. Ketidakjelasan mutasi tersebut
33
menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda pada bawahan, serta membuat
mereka bekerja dalam ketidakpastian karena sewaktu-waktu dapat dilakukan
mutasi. Fakta tersebut tidak dibantah oleh AKP Anggita selaku Kasubbag Pers
Bag Sumda Polres X.
Permasalahan ini memicu timbulnya dampak-dampak yang cukup besar
baik terhadap anggota yang bersangkutan, bagi organisasi, dan juga bagi
masyarakat. Studi yang dilakukan oleh Stella (2008) pada pegawai Pemkab di
Kitgum (Uganda) mendapatkan hasil bahwa ada korelasi antara motivasi kerja
dengan kinerja pegawai. Hal tersebut menunjukkan bahwa motivasi kerja cukup
menentukan kinerja pegawai. Maka dapat disimpulkan bahwa turunnya motivasi
kerja anggota akibat permasalahan ini akan berpengaruh pada kinerja yang kurang
maksimal hingga berdampak pada mekanisme organisasi dan pelayanan terhadap
masyarakat, mengingat tugas utama Polri adalah melindungi, mengayomi dan
melayani masyarakat. Jika pelayanan anggota Polri kurang memuaskan,
masyarakat akan merasa dirugikan dan sedikit banyak hal tersebut akan
berpengaruh pada citra Polri.
Akibat permasalahan dalam penempatan atau mutasi anggota yang
diberlakukan, banyak anggota yang ingin mengajukan permohonan mutasi ke
bagian yang lebih diminati dan dirasa lebih sesuai dengan kompetensinya. Namun
proses permohonan pindah ke bidang lain pun tidak semudah itu dilakukan.
Anggota diperbolehkan untuk mengajukan permohonan mutasi namun tetap
berdasarkan ketentuan yang berlaku. AKP Anggita selaku Kasubbag Pers Bag
Sumda Polres X memaparkan bahwa anggota harus memiliki alasan yang jelas
34
dan kuat agar permohonan tersebut disetujui oleh atasan. Jadi institusi Kepolisian
tidak dapat memindahkan anggotanya semata-mata hanya karena anggota yang
bersangkutan tidak menyukai bidang tersebut.
Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 16 Tahun 2012 Tentang Mutasi Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia pasal 7 disebutkan bahwa mutasi yang dilakukan berdasarkan
permohonan anggota dapat dilaksanakan dengan tetap mengutamakan
kepentingan organisasi. Artinya, mutasi tersebut dapat dilakukan dengan alasan :
(a) mengalami sakit/cacat tetap/permanen atau sakit kritis yang dibuktikan dengan
hasil pemeriksaan medis lengkap; (b) mengikuti kepindahan suami/istri yang
bekerja pada instansi pemerintah (Polri, TNI, dan BUMN); dan (c) memiliki
alasan penting lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
Anggota yang mengalami permasalahan dalam penempatan dan tidak
dapat mengajukan permohonan mutasi dengan alasan yang jelas, ditambah dengan
ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri maka dirinya akan merasa
terkungkung sehingga meningkatkan stress atau frustasi yang dirasakan. Frustasi
berhubungan dengan rintangan perilaku dalam mencapai suatu tujuan (Wijono,
2010). Hal ini secara jelas diakatakan oleh Morgan et al (1986) bahwa “The term
frustration refers to the blocking of behavior directed toward a goal”. Sejalan
dengan ini, dikatakan bahwa frustrasi adalah suatu hasil dari dorongan yang
terhambat sehingga mencegah individu untuk memperoleh tujuan yang
diinginkannya. Pernyataan tersebut dipertegas oleh Newstrom dan Davis (1993)
35
bahwa “...frustration is a result of a motivation (drive) being blocked to prevent
one from reaching a desired goal”.
Pada saat individu tidak dapat mencapai tujuan-tujuan yang penting, maka
dari individu tersebut akan muncul perasaan-perasaan stress, depresi, cemas, dan
bahkan rasa marah. Oleh karena itu frustrasi tersebut muncul ketika individu tidak
mampu memperoleh kehidupan yang menyenangkan dirinya. Selain itu, situasi-
situasi yang dapat menyebabkan munculnya stress dan frustrasi bagi individu
menurut Wijono (2010) adalah : (i) tidak tercapainya sejumlah kebutuhan yang
hendak dipenuhi oleh individu yang berhubungan dengan pekerjaan dan peran
yang dimainkannya; (ii) berbagai macam cara yang digunkaan individu seperti
dorongan dan peran yang dimainkannya berbeda, sehingga individu tidak dapat
mengekspresikannya secara tepat; (iii) bermacam-macam hambatan yang terjadi
dalam diri individu, sehingga dorongan atau tujuan yang hendak diinginkannya
menjadi tidak dapat terlaksana dengan baik; (iv) berbagai aspek yang diingankan
oleh individu untuk mencapai tujuannya juga tidak dapat dipenuhi. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa dalam menghadapi situasi tersebut individu
memerlukan proses penyesuaian diri.
Banyak anggota Polri yang tidak mampu menyesuaikan diri sehingga
memutuskan untuk mundur dari bidangnya dengan cara berusaha mengajukan
permohonan mutasi. Namun ternyata masih ada segelintir anggota yang dapat
menyesuaikan diri dengan baik, dengan segala upaya yang dilakukannya akhirnya
anggota tersebut berhasil beradaptasi hingga pada akhirnya dapat bekerja dengan
maksimal, profesional, dan produktif. Anggota yang dapat menyesuaikan diri
36
dengan baik akan merasakan kenyamanan psikologis sehingga dapat bekerja
dengan baik tanpa beban yang mengganggu pikiran, psikis, perilaku dan
kinerjanya. Segala proses dan upaya anggota tersebut membuahkan keberhasilan
sehingga pada akhirnya dapat bekerja tanpa adanya beban yang mengganggu
kinerjanya. Hal ini menunjukkan bahwa anggota tersebut memiliki strategi dan
keunikan tersendiri yang membuatnya berbeda dengan anggota-anggota lain yang
memiliki permasalahan serupa, karena dirinya dapat menyesuaikan diri dengan
baik dimana anggota-anggota lain tidak dapat melakukannya.
Oleh karena itu, kemampuan penyesuaian diri yang baik sangat penting
untuk dimiliki setiap anggota Polri khususnya anggota yang ditempatkan pada
bidang yang kurang sesuai minat dan kompetensinya. Adanya penyesuaian diri
yang baik, anggota dapat bekerja secara maksimal, sehingga dapat meningkatkan
integritas dari kinerjanya, serta dapat mereduksi tekanan dan frustrasi dalam
melaksanakan tugas. Runyon dan Haber (1984) menjelaskan bahwa penyesuaian
diri merupakan proses yang terus berlangsung dalam kehidupan individu. Situasi
dalam kehidupan selalu berubah. Individu mengubah tujuan dalam hidupnya
seiring dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Berdasarkan konsep
penyesuaian diri sebagai proses, penyesuaian diri yang efektif dapat diukur
dengan mengetahui bagaimana kemampuan individu menghadapi lingkungan
yang senantiasa berubah.
Schneider (1964) mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan
suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku individu
untuk mampu mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik dan frustrasi. Usaha
37
tersebut bertujuan untuk memperoleh keselarasan dan keharmonisan antara
tuntutan dalam diri dan tuntutan lingkungan. Sejalan dengan Schneider, Kartono
(2002) mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan upaya manusia dalam
mencapai harmoni pada diri sendiri dan pada lingkungannya. Sehingga rasa
permusuhan, dengki, iri hati, prasangka, depresi, kemarahan, emosi negatif dan
lain-lain yang muncul sebagai akibat dari respon yang tidak sesuai dan kurang
efisien dapat dikikis habis.
Schneiders (1964) mengungkapkan bahwa penyesuaian diri yang baik
meliputi enam aspek sebagai berikut: (i) tidak adanya emosionalitas yang
berlebihan (Absence of Excessive Emotionality). Penyesuaian diri yang normal
dapat ditandai dengan adanya ketenangan emosi anggota yang memungkinkan
dirinya untuk menghadapi permasalahan secara inteligen dan dapat menentukan
berbagai kemungkinan pemecahan masalah ketika muncul hambatan. Hal ini
bukan berarti tidak ada emosi sama sekali, namun lebih kepada kontrol emosi
anggota ketika menghadapi situasi tertentu, dan tidak ada emosi yang relatif
berlebihan atau gangguan emosi yang merusak. Anggota yang mampu
menanggapi situasi atau masalah yang dihadapinya dengan cara yang normal tidak
akan mengalami kepanikan sehingga dapat menentukan penyelesaian masalah
atau kondisi yang tidak diidealkan; (ii) kontrol terhadap mekanisme pertahanan
psikologis (Absence of Psychological Mechanisms). Aspek ini menjelaskan
pendekatan terhadap permasalahan lebih mengidentifikasikan respon yang normal
pada penyelesaian masalah melalui serangkaian mekanisme pertahanaan diri yang
disertai tindakan nyata untuk mengubah suatu kondisi. Anggota dikatakan
38
mengalami gangguan penyesuaian diri ketika dirinya mengalami kegagalan dan
menyatakan bahwa tujuan tersebut tidak berharga untuk dicapai. Pada intinya,
anggota dapat menerima permasalahan yang dihadapi dengan penuh keikhlasan
dan tidak menyalahkan atau mencari-cari sebab atas munculnya permasalahan
tersebut.
Aspek berikutnya adalah (iii) kontrol terhadap perasaan frustrasi (Absence
of The Sense of Personal Frustration). Anggota yang mengalami frustrasi ditandai
dengan perasaan tidak berdaya dan tanpa harapan, maka akan sulit bagi anggota
untuk mengorganisir kemampuan berpikir, perasaan, motivasi, dan tingkah laku
dalam menghadapi situasi yang menuntut penyelesaian. Paparan lebih lengkap
mengenai frustrasi telah dipaparkan sebelumnya; (iv) pertimbangan rasional dan
kemampuan mengarahkan diri (Rational Deliberation and Self Direction).
Anggota memiliki kemampuan berpikir dan melakukan pertimbangan terhadap
masalah atau konflik serta kemampuan mengorganisir pikiran, tingkah laku dan
perasaan untuk memecahkan masalah, dalam kondisi sulit sekalipun menunjukkan
penyesuaian yang normal. Anggota tidak mampu melakukan penyesuaian diri
yang baik apabila anggota dikuasai oleh emosi berlebihan ketika menghadapi
situasi yang menimbulkan konflik; (v) kemampuan untuk belajar dan
memanfaatkan pengalaman (Ability To Learn and Utilization of Past Expecience).
Mampu untuk mempelajari pengetahuan yang mendukung apa yang dihadapi
sehingga pengetahuan yang diperoleh dapat dipergunakan untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi. Adanya kemampuan anggota untuk belajar dan
memanfaatkan pengalaman merupakan hal yang penting bagi penyesuaian diri
39
yang normal. Dalam menghadapi masalah, anggota dapat menggunakan
pengalaman diri sendiri atau pengalaman orang lain sehingga pengalaman yang
diperoleh dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Anggota dapat melakukan analisis mengenai faktor-faktor apa saja yang
membantu dan mengganggu penyesuaiannya.
Aspek terakhir adalah (vi) sikap realistik dan objektif (Realistic, Objective
Attitude). Sikap yang realistik dan objektif bersumber pada pemikiran seorang
anggota yang rasional, kemampuan menilai situasi yang dihadapi, masalah dan
keterbatasan anggota tersebut sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Anggota
mengubah persepsinya tentang kenyataan hidup dan menginterpretasikannya,
sehingga mampu menentukan tujuan yang realistik sesuai dengan kemampuannya
serta mampu mengenali konsekuensi dan tindakannya agar dapat menuntun ada
perilaku yang sesuai (Runyon & Haber, 1984)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Damayanti (2015) terhadap Program
Rotasi Kerja (rolling system) Pada Karyawan Bank X di Surabaya, menunjukkan
bahwa sejumlah karyawan yang mengalami rotasi kerja memiliki permasalahan
dengan kondisi kinerjanya setelah rotasi kerja diberlakukan. Beberapa karyawan
mengeluhkan kendala yang mereka hadapi selama dirotasi seperti kesulitan untuk
menyesuaikan diri dengan kondisi atau ritme pekerjaan di lingkungan kerja yang
baru, dan kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan karyawan yang lain.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Yusuf (2008) yang berjudul
Hubungan Antara Penyesuaian Diri Dalam Lingkungan Kerja dengan Manajemen
Konflik di Kalangan Karyawan UD. Sido Muncul Blitar, dari paparan
40
permasalahan yang telah dibahas didalamnya, disimpulkan bahwa karyawan yang
tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada, maka dirinya menjadi
lebih mudah tersinggung (sensitive). Karyawan tersebut akan mengalami konflik-
konflik yang beragam di lingkungan kerjanya, baik dengan rekan kerja, atasan,
maupun dengan bawahan.
Oleh sebab itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap pegawai diharapkan
untuk mampu menyesuaikan diri dengan baik di lingkungan dimana ia bekerja,
terutama pegawai pada perusahaan atau instansi yang menerapkan sistem mutasi
atau rolling.
D. Pertanyaan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua jenis pertanyaan
penelitian yaitu Central Question dan Sub Question. Menurut Creswell (Le,
2015), Central Question adalah pertanyaan luas yang memerlukan eksplorasi
lebih mendalam mengenai suatu fenomena. Sedangkan Sub Question adalah sub
pertanyaan atau pertanyaan pendukung untuk mempersempit fokus, dengan
mengajukan pertanyaan terbuka.
Tabel 1
Tabel Pertanyaan
Jenis Pertanyaan Pertanyaan
Central Question Bagaimana penyesuaian diri anggota Polri ketika
41
ditempatkan pada bidang yang kurang sesuai minat dan
kompetensi?
Sub Question
a. Apa saja dampak yang ditimbulkan dari kondisi
tersebut?
b. Apa saja faktor-faktor yang mendorong Anda dalam
penyesuaian diri pada bidang yang baru?
Recommended