View
216
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan
peraturan perundangan – undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai
dengan hukuman pidana. Istilah tindak pidana yang sebenarnya merupakan istilah
resmi dalam Wetboek Van Strafrecht yang dulu dibawa oleh bangsa penjajah
Belanda dan diberlakukan di Indonesia (asas konkordansi), atau sering dikenal
dalam bahasa Indonesia yaitu Kitab Undang – Undang Hukum Pidana yang
berlaku sampai sekarang di Indonesia. Tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang
apa yang dimaksud dengan tindak pidana tersebut, karena itu para ahli hukum
berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah tersebut. Namun pada
sepanjang perjalanannya sampai kini belum ada keseragaman pendapat.
Istilah – istilah yang pernah dipergunakan dalam perundang – undangan
yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah
stafbaar feit adalah :7
7 Adami Chazawi, Pembelajaran Hukum Pidana 1, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori –
teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, halaman 67 – 69.
18
a. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang
– undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundang –
undangan menggunakan istilah tindak pidana.
b. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum misalnya Mr.
R. Tresna dalam bukunya “Azas – azas Hukum Pidana”, Prof. A.
Zainal Abidin dalam bukunya “Hukum Pidana” dan lain sebagainya.
c. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin yaitu delictum. Delik
adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan
pelanggaran terhadap undang – undang tindak pidana.8
Keragaman pendapat dari kalangan beberapa pakar hukum pidana masing
– masing memberi definisi mengenai tindak pidana, antara lain sebagai berikut :
Utrecht, memakai istilah “peristiwa pidana” karena yang ditinjau adalah
peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana.9
Van Der Hoeven, sesungguhnya kurang beralasan jika diperhatikan Pasal 1
ayat (1) Kitab Undang – undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “Tiada
suatu perbuatan boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam
undang – undang yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.” Dalam hal
ini, tepat yang dikatakan Van Hattum bahwa perbuatan dan orang yang
melakukannya sama sekali tidak dapat dipisahkan.10
8 Definisi delik yang diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia.
9 Leden Marpaung, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005,
halaman 7. 10
Ibid.
19
Vos, Van Hamel, dan Simons menggunakan istilah “delik” yang
mendefenisikan hampir sama bahwa delik adalah suatu tindakan melanggar
hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang
yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang –
undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum.11
Moeljatno, memakai isilah “perbuatan pidana”, mengatakan bahwa
pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut.12
Komariah Emong Supardjadja, mengatakan bahwa perbuatan pidana
adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi rumusan delik, melawan hukum
dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.13
Indrianto Seno Adji, bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan seseorang
yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu
kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.14
Wirjono Prodjodikoro, beliau menggunakan istilah peristiwa pidana lebih
menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh perbuatan
11
Ibid, halaman 8. 12
Moeljatno, Asas – asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, halaman 59.
13 Mahrus Ali, Dasar – dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, halaman 99.
14 Ibid.
20
manusia maupun oleh gejala alam. Oleh karena itu dalam percakapan sehari – hari
sering didengar suatu ungkapan bahwa kejadian itu merupakan peristiwa alam.15
Teguh Prasetyo, beliau mengikuti pendapat Sudarto yang menggunakan
istilah tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh pembentuk undang –
undang. Bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh
aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan
di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya
dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu
yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).16
B. Sifat Melawan Hukum
1. Pengertian Sifat Melawan Hukum
Salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat objektif adalah
sifat melawan hukum. Hal ini dikaitkan pada asas legalitas yang tersirat pada
Pasal 1 ayat (1) KUHP. Dalam menentukan perbuatan dapat dipidana,
pembentuk undang – undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur
yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang – undang akan menjadi
terlampau luas. Selain itu, sifat dapat dicela kadang – kadang dimasukkan
dalam rumusan delik, yaitu dalam rumusan berupa culpa.
15
Teguh Prasetyo, Op. Cit., halaman 48 – 49. 16
Ibid, halaman 50.
21
Pompe, mengatakan bahwa untuk dapat dipidananya seseorang yang
telah dituduh melakukan tindak pidana, ada ketentuan di dalam hukum acara
antara lain tindak pidana yang dituduhkan atau didakwakan itu harus
dibuktikan. Dan tindak pidana itu hanya dikatakan terbukti jika memenuhi
semua unsur yang terdapat di dalam rumusannya.17
Dalam kehidupan sehari – hari sering terjadi peristiwa yang tidak
dikehendaki oleh masyarakat, baik itu perubahan yang dilarang oleh undang –
undang sebagai tindak pidana atau perbuatan lain yang tidak menyenangkan.
Perbuatan atau tindak pidana itu memang harus ditangani secara benar
sehingga tidak terjadi eigenricthing atau maen hakim sendiri seperti yang
sering terjadi sekarang. Perbuatan eigenricthing sangat tidak menguntungkan
dalam kehidupan hukum karena dengan demikian proses hukum menjadi
tidak dapat dilakukan terhadap pelaku kejahatan.
Hukum pidana dikenal sebagai ultimum remidium atau sebagai alat
terakhir apabila usaha – usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan
karena sifat pidana yang menimbulkan nestapa penderitaan, demikian Sudarto
mengemukakan pada pelaku kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari
penggunaan pidana sebagai sarana pencegahan kejahatan. Namun, tidak
semua orang berpendapat bahwa pidana itu menimbulkan penderitaan, setidak
– tidaknya Roeslan Saleh mengemukakan bahwa dalam hukum pidana itu
17
Ibid, halaman 68.
22
mengandung pikiran – pikiran melindungi dan memperbaiki pelaku
kejahatan.18
Melawan hukum merupakan unsur – unsur dari tiap – tiap delik baik
dinyatakan secara eksplisit atau tidak, tetapi tidak semua pasal dalam KUHP
mencantumkan unsur melawan hukum ini secara tertulis, hal ini disebabkan
oleh beberapa hal antara lain :19
a. bilamana dari rumusan undang – undang, perbuatan yang
tercantum sudah sedemikian wajar sifat melawan hukumnya
sehingga tidak perlu dinyatakan secara eksplisit;
b. perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang
melanggar atau bertentangan dengan kaidah materiil yang berlaku
baginya, oleh karena itu dengan sendirinya berarti bahwa
memidana orang yang tidak melakukan perbuatan pidana adalah
onzining, tidak masuk akal, sifat melawan hukumnya perbuatan
merupakan salah satu syarat pemidanaan.
2. Sifat Melawan Hukum Formil dan Materiil
Menurut doktrin hukum pidana ajaran sifat melawan hukum dikenal
ada dua jenis, yaitu sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum
materiil. Sifat melawan hukum formil adalah suatu perbuatan dikatakan
18
Ibid, halaman 69. 19
Ibid, halaman 70.
23
bersifat melawan hukum, apabila perbuatan itu diancam pidana dan
dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang – undang.20
Moeljatno mengatakan bahwa suatu perbuatan dikatakan bersifat
melawan hukum apabila perbuatan tersebut telah mencocoki larangan undang
– undang. Jadi menurut pemikiran ini suatu perbuatan tidak bisa dianggap
bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut tidak secara eksplisit
dirumuskan dalam undang – undang sebagai perbuatan pidana, sekalipun
perbuatan tersebut sangat merugikan masyarakat. Ukuran untuk menentukan
apakah suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum atau tidak adalah undang
– undang.
Salah satu penganut ajaran sifat melawan hukum formil adalah
Simons. Dia mengatakan bahwa untuk dapat dipidana maka perbuatan yang
dilakukan harus dicakup oleh uraian undang – undang, sesuai isi delik
berdasarkan ketentuan pidana di dalam undang – undang. Dalam hal terjadi
demikian, maka pada umumnya tidaklah lagi tepat untuk melakukan
penelitian lebih lanjut tentang sifat melawan hukum bilamana suatu perbuatan
memenuhi rumusan delik, sehingga telah ada sifat melawan hukum.21
Dalam ajaran sifat melawan hukum formil terkandung dua
pemahaman. Pertama, dalam ajaran sifat melawan hukum formil, suatu
perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum, ketika perbuatan tersebut
sudah dirumuskan dalam undang – undang sebagai perbuatan yang diancam
pidana. Menurut ajaran ini, perbuatan yang dianggap bersifat melawan hukum
20 Sudarto, Hukum Pidana Jilid 1 A – B, Fakutas Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang, 1975, halaman 62. 21
Mahrus Ali, Op. Cit., halaman 146.
24
hanyalah perbuatan – perbuatan yang secara formil telah dirumuskan dalam
undang – undang sebagai perbuatan pidana. Kedua, hal yang dapat
menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan hanyalah undang – undang.
Sekalipun suatu perbuatan secara materiil (nilai – nilai yang hidup
dalam masyarakat) tidak dianggap sebagai perbuatan yang bersifat melawan
hukum, dalam arti perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan nilai – nilai yang hidup dalam masyarakat, tetapi apabila
secara formil dirumuskan dalam undang – undang sebagai perbuatan pidana
yang dilarang, maka perbuatan tersebut secara formil tetap dianggap sebagai
perbuatan yang bersifat melawan hukum. Dengan demikian, sifat melawan
hukumnya perbuatan yang telah dirumuskan dalam undang – undang hanya
dapat dihapuskan oleh undang – undang.22
Ajaran sifat melawan hukum materiil berpandangan bahwa sifat
melawan hukumnya perbuatan itu tidak hanya didasarkan pada undang –
undang saja atau hukum tertulis saja, tetapi harus juga didasarkan pada asas –
asas hukum yang tidak tertulis. Menurut ajaran ini sifat melawan hukumnya
perbuatan yang nyata – nyata diatur dalam undang – undang dapat hapus baik
karena ketentuan undang – undang maupun aturan – aturan yang tidak
tertulis. Oleh karena itu, melawan hukum berarti bertentangan dengan undang
– undang maupun hukum tidak tertulis atau nilai – nilai yang hidup dalam
masyarakat yaitu tata susila, nilai kepatutan, nilai moral, dan nilai agama.
22
Ibid.
25
Suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum apabila perbuatan
tersebut bertentangan dengan nilai – nilai yang hidup dalam masyarakat.23
Suatu perbuatan dikatakan telah memenuhi unsur melawan hukum
materiil, apabila perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap norma
kesopanan yang lazim atau kepatutan yang hidup dalam masyarakat.24
Setiap
perbuatan yang dianggap atau dipandang tercela oleh masyarakat merupakan
perbuatan melawan hukum secara materiil.
Pandangan ini sebenarnya merupakan reaksi atas pendapat yang
menyatakan bahwa hukum adalah undang – undang. Moeljatno mengatakan
bahwa pikiran bahwa hukum adalah undang – undang belum pernah dialami.
Bahkan sebaliknya, hampir semua hukum Indonesia asli adalah hukum yang
tidak tertulis. Kiranya perlu dipertegas di sini bahwa di mana peraturan –
peraturan hukum pidana sebagian besar telah dimuat di dalam KUHP dan
perundangan – undangan yang lain, maka pandangan tentang hukum dan sifat
melawan hukum materiil di atas, hanya mempunyai arti dalam perkecualian
perbuatan yang meskipun masuk dalam perumusan undang – undang itu tidak
merupakan perbuatan pidana. Biasanya itu yang dinamakan fungsi negatif
dari sifat melawan hukum yang materiil.25
Penjelasan Moeljatno tersebut mengisyaratkan bahwa di dalam ajaran
sifat melawan hukum materiil terkandung dua jenis sifat melawan hukum
23
Sudarto, Op. Cit., halaman 63. 24
Muladi (Ketua Tim), Pengkajian Tentang Asas – asas Pidana Indonesia dalam Perkembangan Masyarakat Masa Kini dan Mendatang, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2003, halaman 43.
25 Ibid, halaman 148.
26
materiil, yaitu sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif
dan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif.
Ajaran melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif
berpandangan, bahwa hal – hal atau nilai – nilai yang berada di luar undang –
undang hanya diakui kemungkinannya sebagai hal yang dapat menghapus
atau menegatifkan melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan
undang – undang. Artinya, terhadap suatu perbuatan yang secara formil
dirumuskan dalam undang – undang dapat hapus atau hilang sifat melawan
hukumnya karena nilai – nilai yang hidup dalam masyarakat. Jadi, dalam
fungsi yang menegatifkan atau menghapus sifat melawan hukumnya
perbuatan yang secara formal telah dirumuskan dalam undang – undang
itulah nilai – nilai atau hal – hal yang berada di luar undang – undang diakui.
Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif
memiliki pandangan yang berseberangan dengan ajaran sifat melawan hukum
materiil dalam fungsinya yang negatif. Sumber hukum materiil atau hal – hal
di luar undang – undang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa suatu
perbuatan tetap dipandang sebagai tindak pidana atau perbuatan melawan
hukum walaupun menurut undang – undang tidak merupakan tindak pidana.26
Dengan pengertian yang sama dapat dikatakan bahwa perbuatan itu tidak
dilarang oleh undang – undang, tetapi oleh masyarakat perbuatan itu dianggap
keliru.27
Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif,
dengan demikian mengakui hal – hal yang berada di luar undang – undang,
26 Barda Nawawi Arif, Pembaruhan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian
Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, halaman 28. 27
Moeljatno, Op. Cit., halaman 144.
27
yaitu nilai – nilai yang hidup dalam masyarakat atau hukum tidak tertulis
sebagai sumber hukum yang positif.
3. Perbuatan Melawan Hukum Menurut KUHP
Secara lebih jelas pembuat Konsep RUU KUHP Baru 1998
menegaskan dianutnya pandangan sifat melawan hukum material yang
terdapat dalam Pasal 17 yang dirumuskan sebagai berikut :28
Perbuatan yang dituduhkan haruslah merupakan perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana oleh suatu peraturan perundang
– undangan dan perbuatan tersebut juga bertentangan dengan hukum.
Penegasan ini juga dilanjutkan dalam Pasal 18, yaitu :
Setiap tindak pidana selalu bertentangan dengan pengaturan
perundang – undangan atau bertentangan dengan hukum, kecuali
terdapat alasan pembenar atau alasan pemaaf.
Dari kata – kata bertentangan dengan hukum ini, maka dapat
ditafsirkan bahwa sifat melawan hukum tidak hanya berbicara rumusan
undang – undang yang diakui, tetapi juga nilai – nilai yang berkembang
dalam masyarakat juga terakomodasi. Ini tidak lain untuk menampung hukum
adat yang sampai saat ini di berbagai daerah masih tetap berlaku dan
kebanyakan tidak tertulis.
Ajaran sifat melawan hukum materiil di Indonesia menjadi sangat
penting mengingat hukum pidana yang berlaku di Indonesia bukan hanya
hukum pidana yang didasarkan pada KUHP saja, tetapi juga hukum adat yang
28
Teguh Prasetyo, Op. Cit., halaman 74.
28
sampai sekarang masih tetap terpelihara. Jika hal ajaran sifat melawan hukum
materiil ini tidak ditampung dalam suatu perundang – undangan atau
yurisprudensi maka dikhawatirkan hukum pidana adat akan mengalami
kematian.
C. Perbarengan
KHUP mengatur perbarengan tindak pidana dalam Bab VI Pasal 63 – 71.
1. Concursus Idealis (Pasal 63 KUHP)
Concursus idealis, yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih
dari satu aturan pidana. Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam
concursus idealis adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana
pokok terberat. Namun bila ditemui kasus tindak pidana yang diancam
dengan pidana pokok sejenis dan maksimumnya sama, maka menurut VOS
ditetapkan pidana tambahan yang paling berat. Sebaliknya, jika dihadapkan
pada tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis,
maka penentuan pidana pokok terberat didasarkan pada urutan jenis pidana
menurut Pasal 10 KUHP.29
29
Pasal 10 KUHP tentang pidana yang terdiri atas yang pertama pidana pokok yang memuat pidana mati, pidana penjara, kurungan, denda dan yang kedua pidana tambahan yang memuat pencabutan hak – hak tertentu, perampasan barang – barang tertentu, serta pengumuman putusan hakim.
29
Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis
derodat lex generalis (aturan undang – undang yang khusus meniadakan
aturan yang umum).
2. Perbuatan Berlanjut (Pasal 64 KUHP)
Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan – perbuatan itu ada
hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan
berlanjut. Kriteria “perbuatan – perbuatan itu ada hubungannya sedemikian
rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut” adalah
a. Harus ada satu keputusan kehendak;
b. Masing – masing perbuatan harus sejenis;
c. Tenggang waktu antara perbuatan – perbuatan itu tidak terlalu
lama.
Pada perbuatan berlanjut, tiap – tiap perbuatan yang dapat dihukum
mempunyai tempat sendiri dan jangka waktu daluarsa sendiri, hal ini sesuai
dengan perumusan dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP :30
a. Jika antara beberapa perbuatan meskipun masng – masing
merupakan kejahatan atau pelanggaran ada hubungan sedemikian
rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut,
maka hanya dikenakan satu aturan pidana, jika berbeda – beda
30
Teguh Prasetyo, Op., cit., halaman 185.
30
akan dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling
berat.
b. Begitu juga hanya dikenakan satu aturan pidana jika seseorang
dinyatakan salah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang
dan menggunakan barang palsu yang dirusak.
c. Akan tetapi, jika orang melakukan kejahatan – kejahatan tersebut
dalam Pasal 364, 373, 379, dan 407 ayat (1) KUHP, sebagai
perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan lebih dari
24 rupiah, maka ia dikenakan aturan pidana tersebut dalam Pasal
362, 372, 378, 406 KUHP.
3. Concursus Realis (Pasal 65 – 71 KUHP)
Concursus realis terjadi apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan, dan masing – masing perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu
tindak pidana (tidak perlu sejenis dan tidak perlu berhubungan).
Sistem pemberian pidana bagi concursus realis ada beberapa macam,
yaitu :31
a. Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok
sejenis, maka hanya dikenakan satu aturan pidana dengan ketentan
bahwa jumlah maksimum terberat ditambah sepertiga. Sistem ini
dinamakan sistem absorbsi yang dipertajam. Misal A melakukan
31
Ibid, halaman 181.
31
tiga kejahatan yang masing – masing diancam pidana penjara
empat tahun, lima tahun, sembilan tahun, maka yang berlaku
adalah sembilan tahun ditambah sepertiga sembilan tahun menjadi
duabelas tahun.
b. Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok
tidak sejenis, maka semua jenis ancaman pidana untuk tiap – tiap
kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi
maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. Sistem ini
dinamakan sistem kumulasi diperlunak. Misal A melakukan dua
kejahatan yang masing – masing diancam pidana sembilan bulan
kurungan dan dua tahun penjara. Maka maksimum pidananya
adalah dua tahun ditambah sepertiga dari dua tahun menjadi dua
tahun delapan bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan,
maka hakim misalnya memutuskan dua tahun penjara delapan
bulan kurungan.
c. Apabila concursus realis berupa pelanggaran, maka menggunakan
sistem kumulasi, yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan.
Namun jumlah semua pidana dibatasi sampai maksimum satu
tahun empat bulan kurungan.
d. Apabila concursus realis berupa kejahatan – kejahatan ringan,
misal Pasal 302 ayat (1) tentang penganiayaan ringan terhadap
hewan, Pasal 352 tentang penganiayaan ringan dan sebagainya,
32
maka berlaku sistem kumulasi dengan pembatasan maksimum
pidana penjara delapan bulan.
e. Untuk concursus realis, baik kejahatan maupun pelanggaran yang
diadili pada saat yang berlainan, berlaku Pasal 71 KUHP yang
berbunyi “jika seseorang setelah dijatuhi pidana, kemudian
dinyatakan bersalah lagi, karena melakukan kejahatan atau
pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana
yang terdahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan
dengan menggunakan aturan – aturan dalam bab ini mengenai
perkara – perkara diadili pada saat yang sama.”
Recommended