View
221
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai perilaku
remaja yang tidak dapat diterima secara sosial. Kenakalan remaja berupa
perbuatan yang melanggar norma, aturan, atau hukum dalam masyarakat
yang dilakukan pada usia remaja. Bab ini memaparkan tentang teori yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu Teori Kenakalan Remaja,
Kecerdasan Emosional dan Keharmonisan Keluarga yang dimulai dari
pengertian, aspek-aspek dan faktor yang memengaruhi dari masing-
masing peubah. Selain itu dijelaskan juga tentang hasil-hasil penelitian
sebelumnya, dinamika hubungan antar peubah, model penelitian serta
hipotesis penelitian.
2.1 KECENDERUNGAN KENAKALAN REMAJA
2.1.1 Pengertian Kecenderungan Kenakalan Remaja
Menurut Soekanto (1993), kecenderungan merupakan suatu
dorongan yang muncul dari dalam individu secara inharen menuju suatu
arah tertentu untuk menunjukkan suka atau tidak suka kepada suatu objek.
Kecenderungan merupakan hasrat, keinginan yang selalu timbul berulang-
ulang (Sudarsono, 1997). Kecenderungan dapat bersifat sementara dapat
juga bersifat menetap. Selain itu kecenderungan tidak bersifat hereditas
dan perwujudannya lebih dipengaruhi oleh komponen kognitif dan afektif
(Sabri, 1993).
16
Kenakalan remaja juga dikenal dengan istilah perilaku delinkuensi
(Juvenile delinquency). Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis yang
berarti anak-anak; anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-
sifat khas pada periode remaja. Delinquency berasal dari kata Latin
delinquere yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian
diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan,
pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana,
dursila, dan lain-lain. Kenakalan remaja adalah perbuatan jahat/dursila
atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit
(patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh
satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan
bentuk tingkah laku yang menyimpang (Kartono, 2012).
Kenakalan remaja adalah tindakan oleh seseorang yang belum
dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh anak itu
sendiri bahwa jika perbuatannya itu sempat diketahui oleh petugas hukum
dapat dikenai hukuman (Gold & Petronio dalam Sarwono, 2007).
Kenakalan remaja mempunyai arti khusus dan terbatas pada suatu masalah
tertentu yaitu masa remaja sekitar umur 13-15 tahun sampai dengan umur
21 tahun.
Kamus Webster’s New World Dictionary of The American
Language (dalam Tambunan, 1982) memberi arti sebagai suatu kegagalan
atau tidak menurut hukum. Dalam hal tingkah laku anak itu disebut
seorang antisosial atau pelanggar hukum dan pada umumnya usia anak itu
sudah akil balik. Ensiklopedia The World Book Encyclopedia memberi arti
juvenile delinquency sebagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
seorang remaja termasuk di dalamnya tindakan yang melanggar norma-
norma masyarakat. Sedangkan menurut Comparative Survey on Juvenile
17
delinquency (1988) merumuskan perbuatan yang dilakukan oleh orang
muda laki-laki atau perempuan dan mereka diberikan perlakuan khusus
sesuai hukum yang berlaku.
Menurut Santrock (2007) kenakalan remaja merujuk pada berbagai
perilaku, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial
(seperti berbuat onar di sekolah), pelanggaran status (melarikan diri dari
rumah), hingga tindakan kriminal (seperti pencurian, dan lain-lain).
Menurut Jensen (1985, dalam Sarwono 2007), kenakalan remaja merujuk
pada perilaku melakukan yang dapat menimbulkan korban fisik, materi,
kenakalan sosial maupun kenakalan yang melawan status sebagai remaja.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
kecenderungan kenakalan remaja adalah dorongan atau keinginan untuk
berperilaku melanggar aturan baik di sekolah maupun aturan dalam
masyarakat yang tidak dapat diterima secara sosial berupa pelanggaran
status yang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.
2.1.2 Teori Kenakalan Remaja
Menurut teori psikodinamika yang berasal dari Sigmund Freud
(1985-1939) kepribadian manusia dikendalikan oleh proses mental bawah
sadar yang dikembangkan pada awal masa kanak-kanak. Perkembangan
kepribadian sadar pada masa awal kanak-kanak ini memengaruhi perilaku
selama sisa hidup seseorang. Ketika tiga komponen utama kepribadian
yakni id, ego dan superego seimbang, individu dapat menjalani hidup
normal. Jika tidak maka individu akan menunjukkan ciri-ciri kepribadian
yang abnormal. Kenakalan maupun pelanggaran hukum merupakan hasil
dari kepribadian abnormal yang terbentuk pada awal kehidupan.
Ketidakseimbangan dalam ciri-ciri kepribadian yang disebabkan oleh
18
trauma awal masa kanak-kanak dapat menyebabkan kesulitan psikologis
jangka panjang. Sehingga dapat disimpulkan mereka yang berperilaku
nakal, jahat menurut teori ini pada dasarnya memiliki ego yang lemah dan
kepribadian yang rusak (Siegel & Brandon, 2011).
Menurut psikolog perilaku, kepribadian dipelajari sepanjang hidup
dan selama berinteraksi dengan orang lain. Berdasar pada karya Watson
(1878-1958) dan dipopulerkan oleh Skinner (1904-1990) perilaku
merupakan hasil belajar dengan mengamati bagaimana orang bereaksi
terhadap perilaku mereka. Perilaku dipicu awal oleh stimulus, ketika
perilaku tertentu diperkuat oleh reaksi positif maka perilaku itu akan
berkelanjutan karena terus dipelajari. Selanjutnya beberapa psikolog
perilaku berpendapat bahwa pembelajaran sosial terjadi melalui
pengalaman, ditambah dengan nilai-nilai, dan harapan menentukan
perilaku. Menurut Bandura (1977) orang belajar dari yang orang lain,
melalui observasi, peniruan, dan pemodelan. Perilaku manusia merupakan
hasil interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif,
perilaku, dan pengaruh lingkungan. Bandura (1963, dalam Siegel &
Brandon, 2011) berpendapat bahwa anak-anak akan mencontohi perilaku
dan reaksi yang mereka terima dari orang lain; misalnya orang dewasa,
terutama orang tua, dan perilaku yang mereka melihat di televisi dan film.
Jika anak-anak mengamati kenakalan dan melihat bahwa itu disetujui atau
dihargai, mereka mungkin akan bereaksi yang sama saat kejadian serupa.
Pembelajaran sosial menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh di
rumah di mana kekerasan merupakan sebuah cara hidup membuat mereka
dapat belajar untuk percaya bahwa perilaku seperti dapat diterima. Bahkan
jika orang tua menghukum dengan kekerasan maka anak-anak akan
mencontoh perilaku kekerasan. Jadi, anak-anak lebih cenderung
19
memperhatikan apa yang orang tua lakukan daripada apa yang mereka
katakan (Siegel & Brandon, 2011).
Dalam perspektif teori kognitif pola perilaku kenakalan, kejahatan
berubah dari waktu ke waktu tergantung kekuatan penalaran mereka.
Kenakalan berkaitan dengan penalaran individu sebagai proses
memengaruhi perilaku. Menurut Kohlberg (1969, dalam Siegel & Brandon,
2011) dalam kaitan dengan persoalan kenakalan, pelaku yang cenderung
nakal memiliki orientasi moral yang berbeda dari mereka yang mematuhi
aturan yang berlaku. Mayoritas pelaku kenakalan terungkap mereka
memiliki penghormatan yang rendah terhadap hukum serta mementingkan
diri sendiri. Penelitiannya telah menemukan bahwa sejumlah besar remaja,
pemuda yang berperilaku nakal memiliki penalaran moral yang rendah
dan sebaliknya, yang berdampak dengan munculnya lebih banyak bentuk
kenakalan dalam lingkaran yang tidak pernah berakhir (Siegel & Brandon,
2011).
Dalam tulisan ini penulis berlandas pada perspektif pembelajaran
sosial yang melihat kecenderungan kenakalan sebagai bentuk
pembelajaran melalui hubungan dekat dengan orang lain. Menurut
Bandura (1963, dalam Siegel & Brandon, 2011) kenakalan sebagai hasil
interaksi faktor dalam diri (kognitif) dan lingkungan, juga merupakan hasil
dari hubungan yang terganggu dengan orang tua. Dengan tidak adanya
kontrol maka anak mungkin mengungkapkan dengan perilaku yang tidak
dapat diterima, seperti perilaku nakal.
Sejalan teori di atas, Jensen (1985, dalam Sarwono, 2007)
menguraikan kenakalan remaja berkaitan dengan keadaan lingkungan baik
keluarga dan masyarakat juga oleh keadaan pribadi dari seseorang. Faktor
20
lingkungan keluarga, masyarakat dan keadaan pribadi seseorang memberi
pengaruh pada terjadinya perilaku nakal. Remaja dapat belajar nilai-nilai
menyimpang dari orang tua, saudara, bahkan teman-teman. Dari
lingkungan dan keadaan pribadi seseorang sangat memungkinkan remaja
untuk cenderung melakukan kenakalan yang dapat menimbulkan korban
fisik, materi, kenakalan sosial maupun kenakalan yang melawan status
sebagai remaja.
Bandura mengungkapkan bahwa perilaku seseorang adalah hasil
interaksi faktor dalam diri dan lingkungan sehingga dapat disimpulkan
kecenderungan berperilaku nakal merupakan hasil interaksi dari faktor
dalam diri (kecerdasan emosional) dan lingkungan (keluarga).
2.1.3 Bentuk Kenakalan Remaja
Pada umumnya remaja bersifat pendek pikir, sangat emosional,
agresif, tidak mampu mengenal nilai-nilai etis dan cendrung menceburkan
diri dalam perbuatan yang beresiko. Pembagian bentuk kenakalan remaja
ini berdasarkan ciri kepribadian (Kartono, 2012), sebagai berikut:
1. Kenakalan Terisolir
Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari para remaja
delinkuen dan merupakan kelompok mayoritas. Pada umumnya mereka
tidak mengalami gangguan psikologis. Perbuatan kejahatan yang
dilakukan disebabkan atau didorong oleh faktor-faktor berikut: (1)
Keinginan meniru, ingin konform dengan norma gangnya. (2) Mereka
kebanyakan berasal dari daerah yang transisional sifatnya yang memiliki
subkultural kriminal. Sejak kecil melihat adanya gang-gang kriminal
21
sampai pada suatu saat menjadi anggota salah satu gang kelompok
tersebut dan merasa diterima, mendapat kedudukan, pengakuan, status
sosial dan prestise tertentu. (3) Berasal dari keluarga berantakan, tidak
harmonis, tidak konsekuen dan mengalami banyak frustasi. (4) Mereka
mengadopsi etik dan kebiasaan gang yang dipakai sebagai saran untuk
meyakinkan diri sendiri bahwa dirinya adalah penting, cukup “menonjol”
dan berarti (5) Mereka dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali
mendapatkan supervise dan latihan disiplin yang teratur. Sehingga anak
tidak sanggup menginternalisasikan norma hidup normal.
Ringkasnya, kenakalan terisolasi itu mereaksi terhadap tekanan
dari lingkungan sosial. Mereka mencari panutan dan sekularitas dari dan
di dalam kelompok gangnya. Namun, pada usia dewasa, mayoritas remaja
tipe ini meninggalkan tingkah laku kriminalnya. Sekitar 60%
menghentikan perbuatan mereka pada usia 21-23 tahun.
2. Kenakalan Neurotik
Pada umumnya anak-anak di tipe ini menderita gangguan kejiwaan
yang cukup serius antara lain berupa: kecemasan, merasa selalu tidak
aman, merasa terancam, tersudut dan terpojok, merasa bersalah atau
berdosa dan lain-lain. Ciri tingkah laku mereka antara lain: (1) Tingkah
laku kenakalannya bersumber pada sebab-sebab psikologis yang sangat
dalam. (2) Tingkah laku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik
batin yang belum terselesaikan. Sehingga tindak kejahatan mereka
merupakan alat-pelepas bagi rasa ketakutan, kecemasan dan kebingungan
batinnya yang jelas tidak terpikulkan oleh egonya.(3) Biasanya, anak
remaja tipe ini melakukan kejahatan seorang diri dan mempraktekkan
jenis kejahatan. (4) Anak dengan kenakalan neurotik banyak yang berasal
22
dari kelas ekonomi menengah. Namun pada umumnya keluarga mereka
mengalamu banyak ketegangan emosional yang parah dan orang tuanya
biasanya juga neurotik atau psikotik. (5) Anak memiliki ego yang lemah
dan ada kecendrungan untuk mengisolir diri dari lingkungan orang dewasa
atau remaja lainnya. (6) Motivasi kejahatan mereka berbeda-beda.
Misalnya para penyundut api (pyromania, suka membakar) didorong oleh
nafsu ekshibisionistis, anak-anak yang suka membokar melakukan
pembokaran didorong oleh keinginan melepaskan nafsu seks dan lain-lain.
(7) Perilaku yang memperlihatkan kualitas komplusif. Anak-anak dan
orang muda yang tukang bakar, para peledak dinamit dan bom waktu,
penjahat seks dan pecandu narkotik ada dalam tipe neurotic ini. Mereka
akan terus melanjutkan tingkah laku kejahatannya sampai usia dewasa dan
umur tua.
3. Kenakalan Psikopatik
Kenakalan psikopatik ini sedikit jumlahnya tetapi dilihat dari
kepentingan umum dan segi keamanan mereka merupakan oknum
kriminal yang paling berbahaya. Ciri tingkah laku mereka ialah (1)
Hampir seluruhnya berasal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga
yang ekstrim, brutal diliputi banyak pertikaian keluarga, disiplin keras
namun tidak konsisten dan selalu menyianyiakan anak-anaknya. Tidak
sedikit dari mereka berasal dari rumah yatim-piatu. Dalam lingkungan
demikian mereka tidak pernah merasakan kehangatan, kasih sayang dan
relasi personal yang akrab dengan orang lain. Sehingga mereka tidak
mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi. Mereka tidak mampu
menjalin relasi emosional yang akrab atau baik dengan orang lain. (2)
Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, ketika melakukan
pelanggaran. (3) Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana
23
hatinya yang tidak dapat diduga-duga. Mereka pada umumnya sangat
agresif dan impulsive. Biasanya mereka berulang kali masuk penjara. (4)
Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan norma-
norma sosial yang umumnya berlaku. Juga tidak peduli norma subkultur
gangnya sendiri.
Psikopat merupakan bentuk kekalutan mental dengan ciri-ciri:
tidak memiliki pengorganisasian dan integrasi diri. Orangnya tidak pernah
bertanggung jawab secara moral; dia selalu berkonflik dengan norma
sosial dan hukum. Selalu anti sosial, eksentrik kegila-gilaan dan tidak
memiliki kesadaran sosial dan intelegensi sosial. Mereka sangat egoistis,
fanatik, dan selalu menentang apa dan siapapun juga juga. Sikapnya aneh,
sangat kasar, kurang ajar, ganas, buas terhadap siapapun tanpa sebab.
Kata-katanya menyakiti hati orang lain, perbuatannya sering ganas dan
sadis, suka menyakiti jasmani orang lain tanpa motif apapun.
4. Kenakalan Defek Moral
Defek (defect, defectus) artinya rusak; tidak lengkap, salah, cedera,
cacat, kurang. Ciri-cirinya: selalu melakukan tindak a-sosial walaupun
dirinya tidak terdapat penyimpangan dan gangguan kognitif namun ada
disfungsi pada intelegensinya. Kelemahan dan kegagalan para tipe ini
ialah mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya
yang jahat; juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya. Mereka
selalu ada keinginan untuk melakukan kekerasan, penyerangan dan
kejahatan. Relasi kemanusiaannya sangat terganggu. Sikap yang sangat
dingin dan beku, tanpa perasaan; jadi ada kemiskinan afektif dan sterilitas
emosional. Mereka tidak memiliki harga diri dan terdapat kelemahan pada
dorongan instrinktif yang primer sehingga pembentukan superegonya
24
sangat lemah. Implusnya tetap ada dalam taraf primitive sehingga sukar
dikontrol dan dikedalikan. Mereka selalu bersikap bermusuhan terhadap
siapapun juga karena itu mereka selalu melakukan perbuatan kejahatan.
Remaja dengan defek moral biasanya biasanya menjadi penjahat dan sukar
diperbaiki. Mereka adalah para residivis yang melakukan kejahatan karena
didorong oleh naluri rendah, impuls dan kebiasaan primitif. Lebih kurang
80% mengalami kerusakan psikis, berupa disposisi dan perkembangan
mental yang salah. Hanya kurang lebihh 20% yang menjadi penjahat
disebabkan factor sosial atau factor lingkungan sekitar.
Dari keempat bentuk kenakalan ini, kecenderungan remaja dalam
penelitian ini adalah bentuk kenakalan terisolir yang pada umumnya
mereka tidak mengalami gangguan psikologis. Perilaku mereka
disebabkan atau didorong oleh keinginan meniru dan sebagainya.
2.1.4 Aspek-aspek Kenakalan Remaja
Hurlock (1980) berpendapat bahwa kenakalan remaja terbagi
dalam empat aspek, yaitu:
a. Perilaku yang menyakiti diri sendiri dan orang lain.
b. Perilaku yang membahayakan hak milik orang lain, seperti
merampas, mencuri, dan mencopet.
c. Perilaku yang tidak terkendali, yaitu perilaku yang tidak mematuhi
orang tua dan guru seperti membolos, mengendarai kendaran
dengan tanpa surat izin, dan kabur dari rumah.
d. Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, seperti
mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, memperkosa dan
menggunakan senjata tajam.
25
Aspek kenakalan lainnya dijabarkan oleh Jensen (1985, dalam
Sarwono, 2007) sebagai berikut:
a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain:
perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain.
b. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan,
pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.
c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang
lain: pelacuran, penyalahgunaan obat dan hubungan seks pra-nikah
d. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak
sebagai pelajar dengan membolos, mengingkari status orang tua
dengan minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan
sebagainya.
Menurut Gunarsa (2003) kenakalan yang dilakukan oleh remaja,
dapat dilihat pada gejala sebagai berikut:
a. Membohong, memutarbalikan kenyataan dengan tujuan menipu
orang atau menutup kesalahan.
b. Membolos, pergi meninggalkan sekolah tanpa izin.
c. Kabur, meninggalkan tumah tanpa izin orang tua atau menentang
keinginan orang tua
d. Keluyuran, pergi sendiri atau berkelompok tanpa tujua dan mudah
menimbulkan perbuatan iseng yang negatif
e. Memiliki dan membawa benda yang membahayakan orang lain.
Misalnya pisau, pistol, pisau silet dan sebaginya.
f. Bergaul dengan teman yang memberi pengaruh buruk sehingga
mudah terjerat dalam perkara yang benar-benar kriminal
26
g. Berpesta pora semalam suntuk tanpa pengawasan sehingga mudah
timbul tindakan yang kurang bertanggung jawab
h. Membaca buku cabul dan kebiasaan mempergunakan bahasa yang
tidak sopan, tidak senonoh, seolah-olah menggambarkan kurang
perhatian dari orang dewasa.
i. Secara berkelompok makan di rumah makan atau naik angkutan
umum tanpa membayar
j. Berpakaian tidak pantas dan minum-minuman keras atau
menghisap ganja.
Penelitian ini berdasar pada aspek kenakalan remaja menurut
Jensen (1985, dalam Sarwono, 2007). Sesuai tujuan penelitian yang
melihat kecenderungan kenakalan remaja maka aspek-aspek kenakalan
remaja menurut Jensen (1985, dalam Sarwono, 2007) dijabarkan sebagai
dorongan atau keinginan untuk melakukan kenakalan yang menimbulkan
korban fisik pada orang lain, kemauan untuk melakukan kenakalan yang
menimbulkan korban materi, keinginan melakukan kenakalan sosial,
keinginan untuk melakukan kenakalan yang melawan status.
27
2.1.5 Karakteristik Remaja Nakal
Menurut Kartono (2003), remaja nakal itu mempunyai
karakteristik umum yang sangat berbeda dengan remaja tidak nakal.
Perbedaan itu mencakup:
a. Perbedaan struktur intelektual
Pada umumnya inteligensi mereka tidak berbeda dengan
inteligensi remaja yang normal, namun jelas terdapat fungsi-fungsi
kognitif khusus yang berbeda biasanya remaja nakal ini mendapatkan nilai
lebih tinggi untuk tugas-tugas prestasi daripada nilai untuk keterampilan
verbal (tes Wechsler). Mereka kurang toleran terhadap hal-hal yang
ambigius biasanya mereka kurang mampu memperhitungkan tingkah laku
orang lain bahkan tidak menghargai pribadi lain dan menganggap orang
lain sebagai cerminan dari diri sendiri.
b. Perbedaan fisik dan psikis
Remaja yang nakal ini lebih “idiot secara moral” dan memiliki
perbedaan ciri karakteristik yang jasmaniah sejak lahir jika dibandingkan
dengan remaja normal. Bentuk tubuh mereka lebih kekar, berotot, kuat,
dan pada umumnya bersikap lebih agresif. Hasil penelitian juga
menunjukkan ditemukannya fungsi fisiologis dan neurologis yang khas
pada remaja nakal ini, yaitu: mereka kurang bereaksi terhadap stimulus
kesakitan dan menunjukkan ketidakmatangan jasmaniah atau anomali
perkembangan tertentu.
28
c. Ciri karakteristik individual
Remaja yang nakal ini mempunyai sifat kepribadian khusus yang
menyimpang, seperti:
i. Rata-rata remaja nakal hanya berorientasi pada masa sekarang,
bersenang-senang dan puas pada hari ini tanpa memikirkan masa
depan.
ii. Kebanyakan dari mereka terganggu secara emosional.
iii. Mereka kurang bersosialisasi dengan masyarakat normal, sehingga
tidak mampu mengenal norma-norma kesusilaan, dan tidak
bertanggung jawab secara sosial.
iv. Mereka senang menceburkan diri dalam kegiatan tanpa berpikir
yang merangsang rasa kejantanan, walaupun mereka menyadari
besarnya risiko dan bahaya yang terkandung di dalamnya.
v. Pada umumnya mereka sangat impulsif dan suka tantangan dan
bahaya.
vi. Hati nurani tidak atau kurang lancar fungsinya.
vii. Kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri sehingga mereka
menjadi liar dan jahat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja nakal biasanya
berbeda dengan remaja yang tidak nakal. Remaja nakal biasanya lebih
ambivalen terhadap otoritas, percaya diri, pemberontak, mempunyai
kontrol diri yang kurang, tidak mempunyai orientasi pada masa depan dan
kurangnya kematangan sosial, sehingga sulit bagi mereka untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.
29
2.1.6 Faktor-faktor yang memengaruhi Kecenderungan Kenakalan
Remaja
Menurut Kartono (2012) penyebab timbulnya kecenderungan
kenakalan remaja terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal antara lain:
a. Faktor intelegensi, remaja nakal ini pada umumnya mempunyai
intelegensi verbal rendah dan pencapaian hasil prestasi sekolah rendah.
b. Ciri kepribadian, ciri kepribadian nampak lebih ambivalen terhadap
otoritas, mendendam, bermusuhan, curiga, destruktif dan impulsif.
Kepribadian memengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan
menyimpang.
c. Motivasi, motivasi yang rendah dalam mengontrol perilaku yang
sesuai dengan lingkungan sosialnya.
d. Internalisasi diri yang keliru, berada pada lingkungan yang melakukan
kenakalan menyebabkan remaja menanamkan nilai-nilai yang salah
dalam diri remaja.
e. Emosi yang kontroversial. Pendorong kuat munculnya kenakalan
adalah ketidakmatangan emosi terutama bila disertai kecemasan
sehingga mengakibatkan pemikiran dan pertimbangan remaja akan
memburuk, tindakan menjadi tidak menentu dan dapat membawa pada
perilaku maladaptif.
f. Kecenderungan psikopatologis, adanya sikap yang tidak bertanggung
jawab dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya sehingga
cenderung akan bersifat manipulatif dan tidak menunjukan penyesalan.
30
Faktor eksternal timbulnya kecenderungan kenakalan remaja (Kartono
2012) adalah:
a. Lingkungan rumah atau keluarga:
(i) Status ekonomi orang tua rendah, banyak penghuni atau keluarga
besar dan rumah kotor.
(ii) Memiliki kebiasaan yang kurang baik.
(iii) Tidak melaksanakan tata-tertib dan kedisiplinan atau justru
menerapkan disiplin yang salah.
(iv) Tidak mampu mengembangkan ketenangan dan emosional.
(v) Anak tidak mendapat kasih sayang orang tua.
(vi) Anak diasuh bukan oleh orang tuanya.
(vii) Tidak ada rasa persekutuan antar anggota.
(viii) Ada penolakan baik dari ibu maupun ayah.
(ix) Orang tua kurang memberi pengawasan pada anaknya.
(x) Broken home karena kematian, perceraian, hukuman dan lain-
lainnya.
b. Lingkungan sekolah
(i) Sekolah yang berusaha memandaikan anak yang sebenarnya
kurang mampu.
(ii) Guru bersikap reject atau menolak.
(iii) Sekolah atau guru yang mendisiplinkan anak dengan cara yang
kaku, tanpa menghiraukan perasaan anak.
(iv) Suasana sekolah buruk. Hal ini menimbulkan anak suka
membolos, malas belajar, melawan peraturan sekolah atau
melawan guru, anak meninggalkan sekolah.
31
c. Lingkungan masyarakat
(i) Tidak menghiraukan kepentingan anak dan tidak melindunginya.
(ii) Tidak memberikan kesempatan bagi anak untuk melaksanakan
kehidupan sosial dan tidak mampu menyalurkan emosi anak.
(iii) Lingkungan tempat anak dibesarkan dan dengan siapa anak
berteman, anak terkadang tanpa disadari meniru perbuatan teman-
temannya.
Graham (1983, dalam Sarwono, 2007), membagi faktor-faktor
penyebab kecenderungan kenakalan lebih mendasarkan pada sudut
kesehatan mental remaja dalam dua golongan:
a. Faktor lingkungan, meliputi (a) malnutrisi (kekurangan gizi), (b)
kemiskinan, (c) gangguan lingkungan (polusi, kecelakaan lalu
lintas, bencana alam, dan lain-lain), (d) migrasi (urbanisasi,
pengungsian, dan lain-lain). (e) faktor sekolah (f) keluarga yang
tercerai berai (perceraian, perpisahan yang terlalu lama, dan lain-
lain). (g) gangguan dalam pengasuhan oleh keluarga meliputi
kematian orang tua, orang tua sakit atau cacat, hubungan antar
anggota keluarga, antar saudara kandung, sanak saudara yang
tidak harmonis serta pola asuh yang salah. Hubungan antar
anggota yang tidak haarmonis dapat menghambat perkembangan
individu, khususnya perkembangan mental dan perilakunya.
b. Faktor pribadi, seperti faktor bawaan yang mempengaruhi
temperamen (menjadi pemarah, hiperaktif, dan lain-lain), cacat
tubuh, serta ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri.
32
Selain faktor penyebab di atas, dalam beberapa penelitian lain
ditemukan beberapa faktor yang memengaruhi kecenderungan kenakalan
remaja:
a. Kecerdasan Interpersonal
Menurut Aprilia (2013) kecerdasan interpersonal merupakan
kemampuan dan keterampilan seseorang dalam menciptakan relasi,
membangun relasi dan mempertahankan relasi sosialnya sehingga kedua
belah pihak berada dalam situasi saling menguntungkan. Indikator
kecerdasan interpersonal yaitu kesadaran diri, pemahaman situasi sosial
dan etika sosial, pemecahan masalah efektif, kemampuan empati, sikap
prososial, komunikasi dengan santun serta mendengarkan dengan efektif.
Ketika seseorang memimili kecerdasan interpersonal maka orang tersebut
akan memiliki kecenderungan nakal yang rendah karena kecerdasan
interpersonal memiliki hubungan negatif dengan perilaku kenakalan
remaja.
b. Religiusitas
Millatina et al. (2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa adanya
hubungan religiusitas dengan kecenderungan kenakalan remaja.
Religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi atau dimensi kehidupan
manusia. Remaja yang memiliki religiusitas relatif tinggi menunjukan
perilaku negatif relatif rendah. Individu yang memiliki religiusitas tinggi
mampu menjadikan nilai-nilai ajaran agamanya sebagai mekanisme
kontrol yang mengatur serta mengarahkan tingkah lakunya sehari-hari
sehingga dimungkinkan remaja dalam berperilaku normatif dan terhindar
dari kecenderungan kenakalan remaja. Nilai-nilai agama yang melekat
dalam diri remaja menumbuhkan religiusitas yang memungkinkan remaja
33
dapat mengontrol dirinya. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Halima (2013) bahwa religiusitas yang memadai dari remaja
memungkinkan remaja mampu mengatasi kondisi sulit dan dapat
berperilaku adaptif serta terhindar dari kecenderungan kenakalan remaja.
c. Kontrol Diri
Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk
mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku.
Kebanyakan remaja telah mempelajari perbedaan antara tingkah laku yang
dapat diterima dan tingkah laku yang tidak dapat diterima, namun remaja
yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Kontrol diri sebagai
atribut internal akan berpengaruh pada menurunnya kecenderungan
kenakalan remaja. Hal tersebut ditemukan dalam penelitian Aroma dan
Suminar (2012) semakin tinggi kontrol diri seseorang maka akan semakin
rendah perilaku kenakalannya.
d. Konsep Diri
Konsep diri merupakan prediktor penting bagi tingkah laku. Konsep diri
merupakan pandangan atau keyakinan dari keseluruhan diri meliputi
konsep, asumsi, dan prinsip-prinsip yang dipegang selama hidup sehingga
menjadi cermin bagi individu dalam memandang dan menilai dirinya
sendiri yang kemudian terwujud dalam tingkah laku. Millatina et al.
(2012) dalam penelitian menemukan semakin tinggi tingkat konsep diri
maka kecenderungan kenakalan remaja akan rendah, begitu pula
sebaliknya.
34
e. Kepercayaan Diri
Menurut Fatchurahman dan Pratikto (2012) kepercayaan diri merupakan
sikap individu dalam hal ini siswa yang yakin akan kemampuan dirinya
atau mempunyai pandangan yang bersifat positif terhadap dirinya, dengan
tidak perlu membandingkan dengan orang lain. Bentuk kepercayaan diri
seperti percaya pada kemampuan diri sendiri, bertindak mandiri dalam
mengambil keputusan, memiliki konsep diri yang positif, dan berani
mengungkapkan pendapat. Semakin tinggi kepercayaan diri remaja maka
semakin rendah tingkat kecenderungan kenakalan.
f. Penyesuaian Sosial
Adanya hubungan yang sangat signifikan antara penyesuaian sosial
dengan kecenderungan kenakalan remaja (Setianingsih, et al., 2006).
Remaja yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, tentu akan mampu
melewati masa remajanya dengan lancar dan diharapkan ada
perkembangan ke arah kedewasaan yang optimal serta dapat diterima oleh
lingkungannya. Ketika remaja tidak mampu melakukan penyesuaian
sosial, maka akan menimbulkan permasalahan yang semakin kompleks.
Permasalahan-permasalahan tersebut menuntut suatu penyelesaian agar
tidak menjadi beban yang dapat mengganggu perkembangan selanjutnya.
Hal inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa masa remaja dinilai
lebih rawan.
35
g. Kemampuan menyelesaikan Masalah
Berhasil tidaknya remaja dalam mengatasi tekanan dan mencari jalan
keluar dari berbagai masalahnya tergantung bagaimana remaja
mempergunakan pengalaman yang diperoleh dari lingkungannya dan
kemampuan menyelesaikan masalah tersebut sehingga dapat membentuk
sikap pribadi yang lebih mantap dan lebih dewasa. Semakin tinggi
kemampuan menyelesaikan masalah pada remaja maka semakin rendah
kecenderungan perilaku delinkuennya (Setianingsih et al., 2006). Ketika
remaja yang gagal mengatasi masalah seringkali menjadi tidak percaya
diri, prestasi sekolah menurun, hubungan dengan teman menjadi kurang
baik serta berbagai masalah dan konflik lainnya yang terjadi.
h. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang memengaruhi
individu dalam berperilaku. Kecerdasan emosional yang baik dapat
menekan kecenderungan perilaku nakal yang dilakukan. Penelitian yang
dilakukan Rini, Hardjajani, dan Nugroho (2012) menjelaskan kecerdasan
emosional mempunyai pengaruh yang penting dalam menentukan perilaku
individu. Individu dengan kecerdasan emosional tinggi dapat
mengendalikan dan mengelola emosi sehingga dapat mengendalikan
terjadinya perilaku yang salah, seperti perilaku nakal. Hal ini diperkuat
dengan temuan Agung dan Matulesssy (2012) bahwa kecerdasan
emosional berpengaruh pada tinggi rendahnya perilaku nakal seseorang.
36
i. Keharmonisan Keluarga
Keluarga dan suasana hidup keluarga sangat berpengaruh atas taraf-taraf
permulaan perkembangan anak dan menentukan apakah yang kelak akan
terbentuk (Gunarsa, 2003). Kenakalan remaja sangat terkait dengan
hubungan yang di dalam keluarga misalnya hubungan tidak baik antara
orang tua dan anak (Ilahude 1983, dalam Sarwono, 1999) atau apa yang
dilihatnya di rumah, sekolah dan kalangan teman. Penelitian yang
dilakukan oleh Darokah dan Safaria (2005) menyatakan bahwa anak dari
keluarga yang tidak harmonis mempunyai resiko lebih tinggi untuk terlibat
dalam kenakalan remaja. Sejalan dengan itu penelitian Maria (2007)
menyatakan keharmonisan keluarga memberi sumbangan dalam arti
menekan tingkat kecenderungan kenakalan remaja. Selain itu penelitian
Widyawati et al., (2014), Saputri dan Naqiah (2014) yang menyatakan
keharmonisan keluarga yang baik akan menekan perilaku nakal remaja.
Berdasarkan berbagai hasil penelitian yang dikemukakan di atas,
dapat disimpulkan kecenderungan kenakalan remaja dipengaruhi oleh
faktor interal dari remaja itu sendiri maupun faktor eksternal yakni faktor
dari luar. Dalam penelitian ini penulis memilih faktor internal yakni
kecerdasan emosional dan faktor eksternal yakni keharmonisan keluarga.
Pemilihan kecerdasan emosional dan keharmonisan keluarga dengan
asumsi: (1). Masa remaja merupakan masa transisi dan remaja akan
mengalami berbagai perubahan. Kecerdasan emosional memungkinkan
remaja untuk mampu mengenali emosi diri sendiri, orang lain dan dapat
mengendalikan emosi diri yang berpengaruh dalam pengendalian perilaku.
(2) Keharmonisan keluarga menjadi faktor penting yang memengaruhi
tingkat kecenderungan kenakalan. Keluarga sebagai lingkungan primer
pada setiap individu yang mengajarkan berbagai norma-norma dan nilai-
37
nilai dalam masyarakat. Keharmonisan keluarga sebagai suatu lingkungan
yang diantara anggotanya didasari pada cinta kasih sehingga tercipta
kehidupan yang seimbang (fisik, mental, emosional dan spiritual) yang
memungkinkan seluruh anggota keluarga menjalankan perannya dan anak
dapat untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Pengaruh hubungan,
suasana dalam keluarga akan memengaruhi remaja dalam berbagai
perkembangannya juga dalam kemampuan bersosialisasi dengan orang
lain.
2.2 KECERDASAN EMOSIONAL
2.2.1 Pengertian Kecerdasan Emosional
Kecerdasan Emosional berawal ketika pakar psikologi
berkebangsaan Amerika, Edward Thorndike membicarakan mengenai
“kecerdasan sosial”. Selanjutnya manfaat penting “faktor emosi”
dikemukakan oleh David Wechler, salah seorang penemu uji IQ. Pada
tahun 1940, dalam sebuah karya ilmiah Wechler mendesak agar “aspek
non intelektual dan kecerdasan umum hendaknya disertakan dalam setiap
pengukuran lengkap. Tulisan itu juga membicarakan kemampuan “afektif
dan konatif” yang pada dasarnya adalah kecerdasan emosional dan sosial
yang menurutnya amat penting dalam memberikan gambaran menyeluruh.
Pada tahun 1948, R.W. Leeper memperkenalkan gagasannya tentang
“pemikiran emosional”. Tahun 1955, Alberth Ellis meneliti apa yang
kemudian dikenal dengan Rational Emotive Therapy (suatu proses yang
melibatkan unsur pengajaran untuk menguji emosi manusia secara logis
dan mendalam). Kemudian pada tahun 1983, Howard Gardner menulis
tentang kemungkinan adanya kecerdasan yang bermacam-macam
termasuk yang disebutnya “kemampuan dalam tubuh” yang pada
38
pokoknya adalah kemampuan melakukan introspeksi dan kecerdasan
pribadi. Sampai Reuvan Bar-On aktif mengerjakan penelitian dan
menyumbangkan ungkapan “emotional quotient”. Kemudian istilah
“emotional intelligence” diciptakan dan secara resmi didefinisikan oleh
John Mayer dari Universitas New Hampsire, dan Peter Salovey dari
Universitas Yale pada tahun 1990 (Stein dan Book, 2002).
Weisinger (2006) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah
menggunakan emosi secara cerdas, yaitu seseorang membuat emosi
menjadi bermanfaat dengan menggunakannya sebagai pemandu perilaku
dan pemikiran sehingga terdapat hasil yang meningkat dalam diri
seseorang tersebut.
Cooper dan Sawaf (2002) menyatakan bahwa kecerdasan
emosional merupakan kemampuan merasakan, memahami dan
menerapkan secara efektif daya dan kepekaan emosi sebagai sumber
energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Lebih lanjut
dikatakan bahwa emosi manusia adalah wilayah dari perasaan lubuk hati,
naluri tersembunyi, dan sensasi emosi. Apabila dipercayai dan dihormati,
kecerdasan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam
tentang diri sendiri dan orang lain di sekitarnya.
Bar-On (1985, dalam Stein & Book) menjelaskan kecerdasan
emosi adalah serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non-
kognitif yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil
mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Dalam bahasa sehari-hari,
kecerdasan emosi biasa kita sebut sebagai street smart atau kemampuan
khusus yang kita kenal sebagai akal sehat, yaitu terkait dengan
kemampuan membaca lingkungan politik dan sosial, serta menatanya
39
kembali, kemampuan memahami dengan spontan apa yang diinginkan dan
dibutuhkan orang lain, kelebihan dan kekurangan mereka, kemampuan
untuk tidak terpengaruh oleh tekanan, dan kemampuan untuk menjadi
orang yang menyenangkan yang kehadirannya didambakan orang lain.
(Stein & Book, 2002)
Menurut Mayer, Salovey dan Caruso (2004), kecerdasan
emosional merupakan suatu kemampuan untuk memonitor perasaan dan
emosi diri sendiri dan orang lain, dan menggunakan informasi emosi
tersebut untuk memandu proses berpikir dan bertingkah. Sejalan dengan
itu, Robert dan Cooper (dalam Agustian, 2001) mengungkapkan bahwa
kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara
efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi,
emosi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Individu yang mampu
memahami emosi individu lain, dapat bersikap dan mengambil keputusan
dengan tepat.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan, meraih dan
membangkitkan perasaan itu untuk membantu pikiran memahami
perasaan dan maknanya, serta mengendalikan perasaan secara mendalam
sehingga membantu perkembangan emosional dan intelektual.
40
2.2.2 Aspek-aspek Kecerdasan Emosional
Menurut Selovey dan Mayer (1990, dalam Goleman, 2002)
kecerdasan emosional terdiri dalam lima aspek berikut ini:
a. Mengenali emosi diri, yaitu kemampuan individu yang berfungsi
untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu, mencermati perasaan
yang muncul. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang
sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan emosi. Orang
yang mengenali emosi adalah pilot yang andal bagi kehidupan karena
mempunyai kepekaan lebih tinggi akan perasaan mereka
sesungguhnya.
b. Mengelola emosi, yaitu kemampuan untuk menghibur diri sendiri,
melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-
akibat yang timbul karena kegagalan ketrampilan emosi dasar. Orang
yang buruk kemampuan dalam ketrampilan ini akan terus menerus
bernaung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar
akan dapat bangkit kembali jauh lebih cepat dari kemerosotan dan
kejatuhan dalam kehidupan.
c. Memotivasi diri sendiri, yaitu kemampuan untuk mengatur emosi
merupakan alat untuk mencapai tujuan dan sangat penting untuk
memotivasi dan menguasai diri. Orang yang memiliki keterampilan ini
cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam upaya apapun yang
dikerjakannya.
d. Mengenali emosi orang lain, kemampuan ini disebut empati, yaitu
kemampuan yang bergantung pada kesadaran diri emosional,
kemampuan ini merupakan ketrampilan dasar dalam bersosial. Orang
empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial tersembunyi
41
yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan orang atau dikehendaki
orang lain.
e. Membina hubungan. Seni membina hubungan sosial merupakan
keterampilan mengelola emosi orang lain, meliputi ketrampilan sosial
yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan
hubungan antar pribadi.
Sejalan dengan itu, aspek-aspek kecerdasan emosional menurut
Tsaousis (2008) yaitu:
a. Mengenali emosi diri (expression & recognition of emotions)
Mengetahui apa yang dirasakan pada suatu saat dan menggunakannya
untuk memandu dalam pengambilan keputusan serta menjadi tolak
ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang
kuat.
b. Mengelola emosi (control of emotions)
Menangani emosi dalam diri sedemikian rupa sehingga berdampak
positif, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan
sebelum tercapainya suatu sasaran dan mampu pulih kembali dari
tekanan emosi.
c. Memotivasi diri sendiri (use of emotion for fascilitation thinking)
Menggunakan hasrat diri yang paling dalam untuk menggerakan dan
menuntun menuju sasaran, membantu diri dalam mengambil inisiatif
dan bertindak sangat efektif dan untuk bertahan menghadapi
kegagalan dan frustasi.
42
d. Mengenali emosi orang lain atau empati (caring or emphaty)
Merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami
perspektif orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan
menyelaraskan diri dengan orang lain.
Dari aspek yang dijelaskan, penulis menggunakan aspek
kecerdasan emosional menurut Tsaosis (2008) yakni mengenali emosi diri,
mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain.
Peneliti menggunakan aspek kecerdasan emosional dari Tsoasis karena
merupakan pengembangan dari aspek Selovey dan Mayer. Selain itu
menurut penulis aspek-aspek tersebut lengkap dan sederhana untuk
dipakai dalam menggambarkan kecerdasan emosional remaja.
2.2.3 Manfaat Kecerdasan Emosional
Emosi merupakan salah satu elemen dasar pada diri manusia dalam
menciptakan perilaku pada manusia seperti yang dikemukakan oleh Paul
Ekman, bahwa emosi memberikan pengaruh kepada proses berfikir
(Goleman, 2002). Emosi dapat melumpuhkan proses berfikir rasional
karena emosi dapat memberikan masukan kepada proses berfikir rasional
yang berada di wilayah kecerdasan emosional.
Yukl (2001) mengemukakan bahwa orang-orang yang cerdas
secara emosional dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik, tidak
mengalami gangguan psikologis, lebih menyadari kekuatan dan
kelemahan pribadi, lebih berorientasi pada pertumbuhan orang, mampu
mengendalikan diri dan tidak egois.
Goleman (2002) mengungkapkan terdapat dua jenis pikiran yaitu
pikiran rasional dan pikiran emosional. Kedua pikiran itu saling
43
memengaruhi dalam membentuk kehidupan mental manusia. Keterkaitan
kedua pikiran itu yaitu pikiran rasional model pemahaman yang lazim kita
sadari, lebih menonjolkan kesadaran, bijaksana, mampu bertindak hati-hati
dan merefleksi pikiran emosional, membantu pikiran rasional untuk
mendayagunakan pikiran itu sendiri. Segal (2000) memaparkan
kecerdasan emosional membantu pikiran rasional (akal) karena secara
psikologis jika pusat-pusat emosional terluka, kecerdasan secara
keseluruhan akan mengalami gangguan. Kecerdasan emosional memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap pikiran rasional.
Dalam kaitan dengan kecenderungan kenakalan remaja,
kecerdasan emosional memiliki peran yang signifikan dalam
mempengaruhi perilaku manusia termasuk perilaku nakal. Peranan
kecerdasan emosional terhadap penurunan tingkat kenakalan remaja
merupakan aspek kecerdasan yang mampu bertindak dan memahami
orang lain dan bertindak bijaksana dalam hubungan dengan orang lain.
Dalam suatu penelitian siswa dengan kecerdasan emosional
memungkinkan remaja dapat bersikap toleransi, mampu mengendalikan
amarah, dapat mengendalikan perilaku yang dapat merusak diri sendiri
dan orang lain, memiliki perasaan positif tentang diri sendiri dan orang
lain, memiliki kemampuan untuk mengatasi stres, dan dapat mengurangi
perasaan kesepian dan cemas. (Rachmawati, 2013)
Sejalan dengan hal di atas kecerdasan emosional dapat
meningkatkan kapasitas seluruh remaja yang adalah siswa sekolah untuk
menjadi lebih berpengetahuan luas, bertanggung jawab, peduli, produktif,
tanpa kekerasan dan dapat berkontribusi dalam masyarakat (Zins,
Bloodworth, Weissberg & Walberg, 2003).
44
2.3 KEHARMONISAN KELUARGA
2.3.1 Pengertian Keharmonisan Keluarga
Penelitian tentang keluarga telah dimulai sejak lama. DeFrain dan
Asay (2007) menguraikan bahwa sejak dulu penelitian tentang keluarga
focus terutama hanya pada masalah kelemahan dari keluarga atau individu
dalam keluarga. Penelitian awal pada kekuatan keluarga dimulai pada
tahun 1930-an pada 250 keluarga. Pada tahun 1960-an diikuti oleh Otto
pada keluarga dan kekuatan keluarga. Sekitar awal 1970-an penelitian
tentang keluarga mendapatkan momentum ketika Nick Stinnet memulai
karyanya di Oklahoma State University tahun 1974 dan di University of
Nebraska pada tahun 1977. Stinnett, DeFrain dan banyak rekan yang lain
kemudian menerbitkan serangkaian artikel dan buku tentang keluarga.
Konferensi keluarga kemudian dimulai tahun 1978 dan terbukti menjadi
katalis untuk penelitian selanjutnya tentang kekuatan keluarga.
Selama tiga dekade terakhir para peneliti di University of
Nebraska-Lincoln dipimpin oleh John DeFrain, University of Alabama-
Tuscaloosa dipimpin oleh Nick Stinnett, University of Mirinesota-St.
Paulus dipimpin oleh David H. Olson, ditambah afiliasi lembaga di
Amerika Serikat dan di seluruh dunia telah mempelajari keluarga dari
perspektif kekuatan dasar (families from a strengths-based perspective).
Kesamaan yang ditemukan di antara penelitian keluarga secara global
yang menunjukkan kualitas yang menggambarkan karakteristik dari
keluarga yang kuat.
Bagian pertama fokus pada tiga wilayah di dunia dan masing-
masing negara diwakili dalam masing-masing daerah: Afrika (Afrika
Selatan, Botswana, Kenya, Somalia); Timur Tengah (Israel, Oman.); dan
45
Asia (China, India, Korea). Bagian kedua akan fokus pada keluarga dari
Oceania (Australia Selandia Baru) Amerika Utara (Kanada, Amerika
Serikat): Amerika Latin (Meksiko, Brasil) dan Eropa (Rusia, Yunani,
Rumania). Hasilnya kekuatan keluarga dari budaya ke budaya sangat
mirip. Kekuatan keluarga itu kadang-kadang disajikan dalam cara yang
kreatif yang dijiwai dalam budaya. Sebagai contoh, karena popularitas
olahraga di Selandia Baru, maka metafora olahraga menggambarkan sikap
keluarga Selandia Baru yang bersolidaritas dan memiliki ketahanan yang
cukup baik. Dalam sebuah studi pendahuluan, kekuatan keluarga Selandia
Baru menemukan bahwa rasa menjadi tim terinspirasi pada tanggapan
positif terhadap tekanan. Keluarga secara konsisten berbicara sebagai
sebuah tim, yang bersama-sama, satu orang dengan kekuatan dan
kelemahan dan masing-masing memiliki bagian untuk bermain.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
Sejahtera, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari
suami-isteri, atau suami-isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu
dan anaknya. Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan
atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan
materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki
hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antara
keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.
Keluarga adalah lingkungan sosial yang paling intim dan
merupakan tempat memulai proses penting bagi anak-anak. Menurut Mace
(1985, dalam Defrain & Stinnet, 2003) keluarga harmonis adalah kualitas-
kualitas hubungan yang berkontribusi terhadap kesehatan emosional dan
kesejahteraan keluarga. Keluarga yang mendefinisikan diri mereka sebagai
46
keluarga harmonis umumnya mengatakan bahwa mereka saling mencintai,
menemukan kehidupan bersama memuaskan, dan hidup dalam
kebahagiaan dan keharmonisan satu sama lain.
Keluarga yang sehat, harmonis dapat menjadi sumber daya
berharga untuk bertahan dalam kesulitan hidup. Di sisi lain, hubungan
yang tidak sehat atau disfungsional dapat menciptakan masalah serius
yang dapat bertahan dari satu generasi ke generasi berikutnya (DeFrain &
Asay, 2007). Menurut Defrain dan Stinnet (2003 dalam Coombs, 2005)
keharmonisan keluarga didasari oleh hubungan emosional yang positif
antara anggota keluarga, sehingga tercipta rasa nyaman antara satu dengan
yang lainnya dan terjaminnya kesejahteraan tiap anggota keluarga. Diantara
anggota keluarga tercipta apresiasi dan kasih sayang, komitmen,
komunikasi yang positif, mempunyai waktu bersama dalam keluarga,
tercipta kesejahteraan spiritual dan memiliki kemampuan untuk mengatasi
krisis di dalam keluarga.
Manurut Lam, Fielding, Mcdowell, Johston, Chan, Leung dan Lam
(2012) keharmonisan keluarga merupakan situasi di mana antar anggota
keluarga hidup bahagia adanya sikap saling peduli, menghormati, saling
mendukung dan kurangnya konflik yang terjadi.
Menurut Gunarsa (1995) keluarga harmonis adalah bilamana seluruh
anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya
ketegangan, kekecewaan dan menerima seluruh keadaan dan keberadaan
dirinya (eksistensi, aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental dan
sosial. Fungsi keluarga tidak hanya terbatas selaku penerus keturunan saja,
keluarga merupakan sumber pendidikan utama, selain itu juga merupakan
produsen dan konsumen dalam mempersiapkan, menyediakan segala
47
kebutuhan dan seluruh anggota keluarga saling membutuhkan satu sama lain
(Gunarsa, 2003).
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan keharmonisan
keluarga adalah suatu lingkungan yang diantara anggotanya tercipta
apresiasi dan kasih sayang, komitmen, komunikasi yang positif,
mempunyai waktu bersama dalam keluarga, tercipta kesejahteraan
spiritual dan memiliki kemampuan untuk mengatasi krisis di dalam
keluarga sehingga tercipta kehidupan yang memungkinkan anak tumbuh
dan berkembang secara seimbang.
2.3.2 Aspek-aspek Keharmonisan Keluarga
Enam aspek keharmonisan keluarga (DeFrain & Stinnett, 2002
dalam Coombs, 2005):
a. Adanya apresiasi dan kasih sayang (Appreciation and affection)
Keluarga yang harmonis memiliki rasa peduli satu sama lain, dan
terbuka dengan membiarkan anggota keluarga yang lain mengetahui
perasaan mereka. Mereka tidak ragu-ragu untuk mengekspresikan rasa
cinta atau kasih mereka kepada anggota keluarga lainnya baik secara
verbal maupun non verbal.
b. Komitmen (Commitment)
Keluarga yang harmonis umumnya berkomitmen bahwa keluarga
adalah yang utama. Pekerjaan maupun unsur-unsur lain dari kehidupan
tidak akan mengambil waktu terlalu banyak. Anggota keluarga
berdedikasi/rela berkorban satu sama lainnya, memberikan waktu dan
energi dalam kegiatan keluarga.
48
c. Komunikasi yang positif (Positive communication)
Komunikasi merupakan dasar bagi terciptanya keharmonisan dalam
keluarga. Anggota keluarga mempunyai keterampilan berkomunikasi
yang baik, mereka dapat mengidentifikasi kesulitan, dan menemukan
solusi yang efektif untuk semua anggota keluarga. Keluarga yang
harmonis biasanya menghabiskan waktu untuk berbicara dan saling
mendengarkan satu sama lain.
d. Mempunyai waktu bersama keluarga (Enjoyable time together)
Keluarga yang harmonis selalu menyediakan waktu untuk bersama
keluarganya, baik itu hanya sekedar berkumpul, makan bersama,
menemani anak bermain dan liburan keluarga, mendengarkan masalah
dan keluhan-keluhan anak, dalam kebersamaan ini anak akan merasa
dirinya dibutuhkan dan diperhatikan oleh orangtuanya.
e. Kesejahteraan spiritual (Spiritual well-being)
Orang-orang dalam keluarga harmonis menggambarkan spiritualitas
dalam berbagai cara, beberapa berbicara tentang keimanan terhadap
Tuhan, harapan atau rasa optimisme dalam hidup, beberapa yang lain
mengungkapkan spiritualitas dalam hal nilai-nilai etis dan komitmen.
Keluarga yang harmonis juga ditandai dengan terciptanya kehidupan
beragama dalam rumah tersebut. Hal ini penting karena dalam agama
terdapat nilai-nilai moral dan etika kehidupan. Landasan utama dalam
kehidupan keluarga berdasarkan ajaran agama adalah kasih sayang,
cinta-mencintai dan kasih-mengasihi.
f. Kemampuan untuk mengatasi stres dan krisis (Succesful management
of strees and crisis)
Sebagian besar masalah di dunia ini dimulai atau berakhir di keluarga.
Kadang-kadang keluarga atau anggota keluarga secara tidak sengaja
49
menciptakan masalah dalam keluarga, dan kadang-kadang dunia
menciptakan masalah bagi keluarga, dan hampir selalu keluarga akan
terjebak dengan masalah tidak peduli apa penyebabnya. Dalam
keluarga yang harmonis, anggota keluarga memiliki kemampuan untuk
mengelola dengan baik stres yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari
dan kesulitan atau krisis yang terjadi dalam kehidupan secara kreatif
dan efektif. Mereka tahu bagaimana mencegah masalah sebelum
terjadi, dan bagaimana bekerja sama untuk menghadapi tantangan
dalam hidup.
Lam et al., (2012) mengkatagorikan keharmonisan keluarga dalam
empat aspek:
a. Komunikasi
Adanya kesempatan dan keinginan untuk berhubungan atau
berkomunikasi antar anggota keluarga dan bersikap secara proaktif
dalam berkomunikasi satu sama lain. Adanya kesempatan untuk
menghabiskan waktu bersama-sama. Juga adanya keinginan untuk
saling mengerti, memahami meski terdapat perbedaan generasi (antar
anak dan orang tua), orang tua berusaha mengerti situsi anak begitu
juga sebaliknya yang harus dilakukan oleh anak.
b. Sikap saling menghormati
Sikap saling menghormati dianggap sebagai salah sau faktor paling
penting untuk terwujudnya keluarga yang harmonis. Hal ini tercipta
oleh adanya sikap saling menghormati dengan nilai-nilai atau
ketetapan yang di sepakati bersama. Mampu menyelesaikan
perselisihan atau konflik yang terjadi sampai situasi tenang atau
kembali seperti semula juga diperlukan dalam terwujudnya keluarga
yang harmonis. Dalam keluarga yang harmonis, adanya tenggang rasa
50
antar anggota keluarga dengan tidak bersikeras terhadap pandangan
pribadi.
c. Kurangnya konflik
Kurang adanya konflik merupakan salah satu faktor penting untuk
mempertahanan keluarga yang harmonis.
d. Waktu keluarga
Waktu berkumpul bersama keluarga menjadi penting dalam
menciptakan keluarga yang harmonis
Berdasarkan uraian di atas, penulis memakai aspek-aspek
keharmonisan keluarga DeFrain dan Stinnett (2002, dalam Coombs, 2005)
meliputi adanya apresiasi dan kasih sayang (appreciation and affection),
komitmen (commitment), adanya komunikasi yang positif (positive
communication), mempunyai waktu bersama keluarga (enjoyable time
together), kesejahteraan spiritual dalam keluarga (spiritual well-being),
dan adanya kemampuan untuk mengatasi stres dan krisis (succesful
management of strees and crisis). Pemilihan aspek ini dengan asumsi
bahwa keenam aspek ini telah mencakup keseluruhan fungsi di dalam
keluarga.
2.3.3 Kaitan Keharmonisan Keluarga dengan Kecenderungan
Kenakalan remaja
Keharmonisan keluarga merupakan suatu situasi lingkungan
diantara anggotanya didasari pada cinta kasih sehingga tercipta kehidupan
yang seimbang (fisik, mental, emosional dan spiritual) yang
memungkinkan seluruh anggota keluarga menjalankan perannya dan anak
dapat untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Menurut Gunarsa
51
(1995) keluarga harmonis adalah bilamana seluruh anggota keluarga merasa
bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan
menerima seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi, aktualisasi
diri) yang meliputi aspek fisik, mental dan sosial.
Fungsi keluarga tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan saja,
juga merupakan sumber pendidikan utama. Selain itu juga merupakan
produsen dan konsumen dalam mempersiapkan, menyediakan segala
kebutuhan dan seluruh anggota keluarga saling membutuhkan satu sama lain
(Gunarsa, 2003).
Menurut Dodson (1990, dalam Maria, 2007) keluarga yang sehat
adalah keluarga yang memberikan tempat bagi setiap individu menghargai
perubahan yang terjadi akibat perkembangan kedewasaan dan
mengajarkan kemampuan berinteraksi kepada anggota keluarga terutama
remaja. Dalam keluarga harmonis, seluruh anggota keluarga merasa
dicintai, dan mencintai, merasa terpenuhi kebutuhan biologis dan
psikologisnya, saling menghargai dan mengembangkan sistem interaksi
yang memungkinkan setiap anggota menggunakan seluruh potensinya.
Dalam kaitan dengan kenakalan remaja, penelitian di Indonesia
membuktikan bahwa kenakalan remaja sangat terkait dengan hubungan
yang tidak baik antara orang tua dan anak atau apa yang dilihatnya di
rumah, sekolah dan di kalangan teman (Retnowati, 1983; & Sarifuddin,
1982 dalam Sarwono, 1999).
Dalam suatu penelitian (Maria, 2007) keluarga mempunyai peran
dalam membentuk kepribadian seorang remaja. Dalam keluarga yang
sehat dan harmonis, anak akan mendapatkan latihan-latihan dasar dalam
mengembangkan sikap sosial yang baik dan perilaku yang terkontrol.
Selain itu anak juga memperoleh pengertian tentang hak, kewajiban,
52
tanggung jawab serta belajar bekerja sama dan berbagi dengan orang lain.
Dengan kata lain seorang anak dalam keluarga yang diwarnai dengan
kehangatan dan keakraban (keluarga harmonis) akan terbentuk asas hidup
kelompok yang baik sebagai landasan hidupnya di masyarakat nantinya.
Lingkungan keluarga yang kurang harmonis sering kali dianggap
memberikan kontribusi terhadap munculnya kecenderungan kenakalan
pada remaja, karena remaja yang dibesarkan oleh keluarga yang tidak
harmonis akan mempersepsi rumahnya sebagai tempat yang tidak
menyenangkan.
Dengan menghadirkan enam aspek keharmonisan keluarga
(DeFrain dan Stinnett, 2002 dalam Coombs, 2005) yakni adanya apresiasi
dan kasih sayang, komunikasi yang positif, waktu bersama keluarga,
kesejahteraan spiritual dan kemampuan untuk mengatasi stres dan krisis
dalam keluarga memungkinkan remaja bertumbuh secara optimal ke arah
positif dalam segala aspek sehingga akan menekan munculnya
kecenderungan kenakalan.
53
2.4 PENELITIAN SEBELUMNYA
Dari hasil penelusuran penulis pada berbagai hasil kajian
penelitian, kajian tentang kecerdasan emosional dan keharmonisan
keluarga secara simultan sejauh ini belum ditemukan. Sementara hasil
kajian penelitian tentang kecerdasan emosional dan keharmonisan
keluarga secara parsial cukup yang ditemukan yang diuraikan sebagai
berikut.
2.4.1 Kecerdasan Emosional dan Kecenderungan Kenakalan
Remaja
Dalam kaitan dengan kenakalan remaja, kecerdasan emosional
memainkan peran penting dalam menentukan perilaku. Kecerdasan
emosional remaja memengaruhi kecenderungan kenakalan seseorang.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan Rini et. al., (2012) terhadap siswa
SMAN se-Surakarta menemukan hasil bahwa ada hubungan yang negatif
signifikan antara kecerdasan emosional dengan kenakalan remaja pada
siswa SMAN se-Surakarta koefisien korelasi sebesar -0,259; signifikansi
sebesar 0,000<0,05. Semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional pada
individu maka semakin rendah tingkat kenakalan individu tersebut.
Demikian juga, penelitian yang dilakukan oleh Muawanah et. al., (2012)
terhadap remaja tengah usia 16-17 tahun dengan sampel 53 laki-laki dan
67 perempuan di Kota Kediri, Jawa Timur, menemukan hasil koefisien
korelasi parsial kematangan emosi = -0,313 dan p= 0,001. Hal ini
menunjukkan, hubungan kematangan emosi dengan kenakalan remaja
adalah berlawanan arah, prediksi tersebut signifikan (p<0,05). Artinya,
kematangan emosi merupakan kapasitas psikologis yang berpotensi untuk
memungkinkan terjadinya penurunan kenakalan remaja. Sejalan dengan
54
itu penelitian Agung dan Matulesssy (2012) menemukan hubungan negatif
yang signifikan dengan koefisien korelasi sebesar -0,259 (p<0,05) .
Sejalan dengan itu, penelitian dengan subjek yang terbatas,
ditemukan hasil bahwa agresi dan kecerdasan emosional berkorelasi negatif
signifikan dengan r= -0.87, p<0,05. Hal ini berarti, semakin tinggi tingkat
agresivitas seseorang maka semakin rendah tingkat kecerdasan
emosionalnya (Moskat dan Sorensen, 2012). Selain itu, penelitian Bacon
et al., (2014) ditemukan bahwa kecerdasan emosional berpengaruh negatif
signifikan terhadap perilaku nakal. Hasil yang sama dalam penelitian yang
dilakukan oleh Silsby (2012) terhadap 61 partisipan remaja laki-laki
dengan judul Emotional intelligence and juvenile delinquency among
Mexican-American Adolescents.
Hasil yang berbeda dari penelitian Yulianto (2012), ditemukan
hasil terdapat hubungan negatif yang tidak signifikan dengan koefisien
rx2y= -0,081 pada p=0,167 (p>0,05).
2.4.2 Keharmonisan Keluarga dan Kecenderungan Kenakalan
Remaja
Selain kecerdasan emosional, beberapa peneliti sebelumnya juga
telah melakukan penelitian tentang keterkaitan antara keharmonisan
keluarga dengan kecenderungan kenakalan remaja. Semakin baik
keharmonisan keluarga, maka kenakalan remaja semakin menurun.
Pernyataan ini mendukung penelitian dari Maria (2007), terhadap siwa
SMPN 20 Surakarta Jawa Tengah. Hasilnya, ditemukan sumbangan efektif
dari keharmonisan keluarga terhadap kecenderungan kenakalan remaja
sebesar 7,2%. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Saputri dan
Naqiah (2014), menyatakan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan
55
antara keharmonisan keluarga dengan perilaku agresif dari siswa, dengan
uji korelasi ganda yang menunjukan diperoleh koefisien korelasi r tabel
(5% =0,176) ≤ (r empirik -0,573) ≤ r tabel (1%=0,230). Artinya, r empirik
sebesar 0,573 adalah lebih kecil dari r teoritik baik pada taraf signifikan
5% maupun 1%. Sehingga disimpulkan bahwa ada hubungan negatif yang
signifikan antara keharmonisan keluarga dengan perilaku agresif. Hal ini
berarti, adanya keharmonisan dalam suatu keluarga akan memungkinkan
munculnya perilaku yang baik bagi para anggota keluarga terutama bagi
anak. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Darokah dan Safaria
(2005) yang menyatakan keluarga yang tidak harmonis mempunyai resiko
lebih tinggi untuk terlibat dalam perilaku nakal. Hasil penelitian yang
sama juga dilakukan oleh Widyawati, et al., (2014) terhadap siswa-siswa
salah satu sekolah, hasil menunjukan bahwa ada hubungan yang negatif
kecerdasan emosional dan kenakalan remaja dengan korelasi -0,258
dengan nilai signifikansi 0,000.
Hasil yang berbeda ditemukan dalam penelitian Irmawati dan
Kurniawan (2008), dengan temuan rxy = 0,106, p = 0,147 (p> 0,05). Hal
ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan negatif signifikan antara
keluarga harmonis dengan kecenderungan kenakalan remaja di Surakarta.
Artinya, perilaku kenakalan remaja tidak dipengaruhi adanya
keharmonisan dalam keluarga dengan kata lain keluarga yang harmonis
belum tentu menjadi faktor penentu untuk menciptakan perilaku yang baik
bagi remaja.
56
2.5 DINAMIKA HUBUNGAN ANTAR PEUBAH
Santrock (2003) mendefinisikan remaja sebagai masa
perkembangan transisi antara anak dan masa dewasa yang mencakup
perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Perubahan biologis
mencakup perubahan dalam hakikat fisik individu. Perubahan kognitif
meliputi perubahan dalam pikiran, intelegensi dan bahasa tubuh,
sedangkan perubahan sosial emosional meliputi perubahan dalam
hubungan individu dengan manusia lain, baik lingkungan keluarga
maupun lingkungan sekitar, dalam emosi, kepribadian, dan konsep diri.
Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis,
yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang
yaitu kenakalan remaja.
Banyak peneliti yang telah melakukan penelitian untuk mencari
faktor-faktor yang berhubungan dengan kecenderungan kenakalan remaja.
Semua faktor tersebut memiliki kontribusi tersendiri. Berdasarkan
berbagai penelitian yang telah dilakukan disimpulkan kecenderungan
kenakalan remaja disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Dalam
penelitian ini dipahami bahwa kecenderungan kenakalan pada remaja
dipengaruhi oleh kecerdasan emosional individu dan keharmonisan
keluarga.
Kecerdasan emosional merupakan serangkaian kemampuan,
kompetensi, dan kecakapan non-kognitif yang memengaruhi kemampuan
seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan
(Stein & Book, 2002). Salovey dan Mayer (1990, dalam Stein & Book,
2002), menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan
seseorang dalam mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan
perasaan itu untuk membantu pikiran memahami perasaan dan maknanya
57
serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu
perkembangan emosional dan intelektual.
Seseorang remaja yang memiliki kecerdasan emosional tinggi
memiliki kecenderungan yang rendah dalam melakukan tindakan
bermasalah yang berat, dan sebaliknya dengan remaja yang memiliki
kecerdasan emosional yang rendah berpotensi untuk melakukan atau
mempunyai masalah yang berat. Menurut Rachmawati (2013) siswa yang
memiliki kecerdasan emosional yang rendah, cenderung tidak mempunyai
rasa tanggung jawab terhadap perasaan diri sendiri tetapi menyalahkan
orang lain, berbohong tentang apa yang ia rasakan, tidak sensitif terhadap
perasaan orang lain, tidak mempunyai rasa empati dan rasa kasihan, sering
merasa kecewa, dan pemarah, sehingga memicu permasalahan yang
menyebabkan siswa memiliki masalah yang berat dan kemudian
melakukan perilaku yang menyimpang. Hal ini sejalan dengan penelitian
dari Rini et al. (2012); Muawanah et al., (2012) yang menyatakan,
kecerdasan emosional berpengaruh pada kecenderungan perilaku nakal
yang dilakukan. Remaja dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi
akan memiliki kecenderungan kenakalan yang rendah dan sebaliknya.
Selain faktor kecerdasan emosional, faktor lain yang tidak kalah
pentingnya adalah keharmonisan keluarga. Keluarga yang sehat, harmonis
dapat menjadi sumber daya berharga untuk bertahan dalam kesulitan
hidup. Di sisi lain, hubungan yang tidak sehat atau disfungsional dapat
menciptakan masalah serius yang dapat bertahan dari satu generasi ke
generasi berikutnya (DeFrain & Asay, 2007).
58
Menurut Gunarsa (1995), keluarga harmonis ketika seluruh anggota
keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan,
kekecewaan dan menerima seluruh keadaan dan keberadaan dirinya
(eksistensi, aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental dan sosial.
Fungsi keluarga tidak hanya terbatas selaku penerus keturunan tetapi
merupakan sumber pendidikan utama. Selain itu, keluarga juga merupakan
produsen dan konsumen dalam mempersiapkan, menyediakan segala
kebutuhan dan seluruh anggota keluarga untuk saling membutuhkan satu
sama lain (Gunarsa, 2003).
Dalam keluarga yang harmonis, terciptanya apresiasi dan kasih
sayang, komitmen, adanya komunikasi yang positif, mempunyai waktu
bersama keluarga, kesejahteraan spiritual dalam keluarga, dan adanya
kemampuan untuk mengatasi stres dan krisis (Coombs, 2005).
Keluarga harmonis, seluruh anggota keluarga merasa dicintai, dan
mencintai, merasa terpenuhi kebutuhan biologis dan psikologisnya, saling
menghargai dan mengembangkan sistem interaksi yang memungkinkan
setiap anggota menggunakan seluruh potensinya. Seorang anak dalam
keluarga yang diwarnai dengan kehangatan dan keakraban (keluarga
harmonis) akan terbentuk asas hidup kelompok yang baik sebagai
landasan hidupnya di masyarakat nantinya dan sebaliknya lingkungan
keluarga yang kurang harmonis sering kali dianggap memberikan
kontribusi terhadap munculnya kenakalan pada remaja (Maria, 2007). Hal
itu didukung oleh penelitian Darokah dan Safaria (2005); Saputri dan
Naqiah (2014), bahwa keharmonisan keluarga memungkinkan munculnya
perilaku yang baik bagi para anggota keluarga terutama bagi anak
sedangkan keluarga yang tidak harmonis mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terlibat dalam perilaku nakal.
59
2.6 MODEL PENELITIAN
Berdasarkan tujuan penelitian, hasil-hasil penelitian sebelumnya
dan landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya maka kaitan antar
peubah dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1 Model penelitian
2.7 HIPOTESIS
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh kecerdasan
emosional dan keharmonisan keluarga secara simultan terhadap
kecenderungan kenakalan remaja siswa SMP Negeri 13 Ambon.
Kecerdasan Emosional
X1
Keharmonisan Keluarga
X2
Kecenderungan
Kenakalan Remaja
Y
Recommended