View
12
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Hipertensi
Hipertensi atau juga bisa disebut tekanan darah tinggi adalah peningkatan
tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari
90 mmHg dalam dua kali pengukuran dengan waktu lima menit dalam keadaan
cukup istirahat/tenang. Tekanan darah atau hipertensi yang berlangsung
meningkat dalam jangka waktu lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan
pada ginjal (gagal ginjal), jantung (penyakit jantung koroner) dan otak
(menyebabkan stroke) (Kemenkes, 2013). Hipertensi berkaitan dengan dua hal
yaitu tekanan sistolik dan diastolik. Tekanan sistolik yaitu tekanan maksimal atau
gerakan jantung, yang berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri bila jantung
berkontraksi. Sedangkan, tekanan diastolik yaitu tekanan terendah atau gerakan
jantung sewaktu relaksasi diantara dua denyutan (Hull, 1993;Irfa, 2011). Jika
secara dini tidak di deteksi dan mendapat pengobatan yang memadai. Banyak
orang dengan risiko hipertensi dengan tekanan darah tidak dapat terkontrol dan
jumlahnya terus meningkat. Oleh karena itu, partisipasi sangat dibutuhkan dari
semua pihak, baik dari dokter dengan berbagai bidang peminatan hipertensi,
pemerintah, swasta maupun masyarakat diperlukan agar hipertensi dapat
dikendalikan (Kemenkes, 2013). Hipertensi merupakan peningkatan abnormal
tekanan darah di dalam pembuluh darah arteri dalam satu periode, mengakibatkan
arteriola berkonstriksi sehingga membuat darah sulit mengalir dan meningkatkan
tekanan melawan dinding arteri (Hardiyati, Faturahman and Maywati, 2017).
Sebagian besar hipertensi tidak diketahui penyebab medisnya, yang dikenal
dengan hipertensi primer (esensial). Kondisi seperti ini terjadi pada 90% penderita
hipertensi, sedangkan pada 10% kasus hipertensi yaitu dapat dideteksi penyebab
definitifnya, yang dikenal dengan hipertensi sekunder (Sherwood, 2001;Rahayu,
2012). Sedangkan untuk hipertensi primer mempunyai kecenderungan genetik
yang kuat dan didukung dengan faktor risiko lainnya seperti obesitas, konsumsi
garam dan lemak jenuh berlebih, dan kebiasaan merokok. Faktor hipertensi yang
UPN "VETERAN" JAKARTA
11
tidak dapat diubah/ dikontrol yaitu adalah umur, jenis kelamin, riwayat keluarga,
sedangkan merokok, konsumsi makanan asin, konsumsi lemak jenuh, kebiasaan
konsumsi minum-minuman beralkohol, obesitas, kurang aktifitas fisik, stres,
penggunaan estrogen merupakan faktor yang dapat diubah/dikontrol (Infodatin,
2014). Faktor pekerjaan seseorang juga memiliki pengaruh yang cukup besar
dalam mencetuskan hipertensi, di Iran menunjukkan profesi sebagai sopir
memiliki risiko lebih tinggi terkena hipertensi dibandingkan pekerjaan lainnya
(Nasri and Moazenzadeh, 2006).
Tabel 1 Stadium Hipertensi
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal
Stadium I (ringan)
Stadium II (Sedang)
Stadium III (berat)
< 130 – 139
140 – 159
160 – 179
180 – 209
< 85 – 89
90 – 99
100 – 109
110 – 119
Stadium IV (sangat berat) 210 atau lebih 120 atau lebih
sumber : Joint National Comitte on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure
(JNC V, 1993)
Dampak dari stadium 1: penyakit jantung dan pembuluh darah meningkat
sebanyak dua kali lipat, dampak dari stadium 2: penyakit jantung dan pembuluh
darah meningkat sebanyak empat kali, dampak dari stadium 3: berisiko menderita
penyakit jantung dan stroke. Peningkatan tekanan darah bisa menyebabkan gejala
yang berlanjut pada suatu organ tubuh sehingga bisa menyebabkan kerusakan
yang lebih berat, seperti gagal ginjal, diabetes, dan pembuluh lain, selain itu
hipertensi dapat juga menyebabkan stroke dan penyakit jantung koroner, bahkan
yang paling dapat berujung pada kematian dini (Robert, Harikedua and Tulung,
2016). Karena sekitar 50% penderita hipertensi yang tidak segera diobati secara
efektif meninggal disebabkan gagal jantung dan sekitar 30% penyebab kematian
pada penderita hipertensi adalah disebabkan serangan jantung dan stroke yang
fatal (Mardani et al., 2011).
UPN "VETERAN" JAKARTA
12
II.2 Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi hipertensi bisa mempermudah dalam menentukan rekomendasi
tindak lanjut berikutnya. Selain itu, jenis hipertensi perlu dikaji lebih dalam untuk
menentukan jenis penatalaksaan yang dibutuhkan. Berdasarkan penyebabnya,
hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu hipertensi primer dan
hipertensi sekunder (Rahayu, 2012).
a. Berdasarkan penyebab
1) Hipertensi Primer/Hipertensi Esensial
Hipertensi primer bisa disebut juga hipertensi yang penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik). Hipertensi jenis ini mempunyai kecenderungan
genetik yang kuat dan dipengaruhi oleh faktor kontribusi, seperti
obesitas, stress, merokok, dan konsumsi garam berlebih. Dan terjadi
pada sekitar 90% penderita hipertensi.
2) Hipertensi Sekunder/Hipertensi Non Esensial
Hipertensi sekunder bisa disebut juga hipertensi yang diketahui
penyebabnya. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi penyebabnya
adalah penyakit ginjal. Sedangkan sekitar 1-2% penderita hipertensi
penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu
(misalnya pil KB) (Kemenkes, 2014).
b. Berdasarkan bentuk Hipertensi
Hipertensi diastolik {diastolic hypertension}, Hipertensi campuran (sistol
dan diastol yang meninggi), Hipertensi sistolik (isolated systolic
hypertension).
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC
VII), klasifikasi hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi menjadi kelompok
normal, prehipertensi, hipertensi derajat I dan derajat I.
UPN "VETERAN" JAKARTA
13
Tabel 2 Kategori Cut Off Point Hipertensi
Kategori Tekanan Darah
menurut JNC 7
Tekanan
Darah Sistol
(mmHg)
dan/
atau
Tekanan Darah
Diastol (mmHg)
Normal
Pra-Hipertensi
Tahap 1
Tahap 2
< 120
120-139
140-159
≥ 160
dan
atau
atau
atau
< 80
80-89
90-99
≥ 100
Sumber : Joint National Comitte on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure
(JNC VII, 2004)
Klasifikasi hipertensi berdasarkan orang dewasa dapat dibagi menjadi
kelompok normal, prehipertensi, hipertensi tahap 1 dan tahap 2 sistolik < 120
mmHg dan tekanan diastolik < 80 mmHg, prehipertensi tekanan sistolik 120 –
139 mmHg dan atau tekanan diastolik 80 – 90 mmHg, hipertensi tahap 1 tekanan
sistolik 140 – 159 mmHg dan atau tekanan diastolik 90 – 99 mmHg sedangkan
hipertensi tahap 2 yaitu tekanan sistolik ≥ 160 mmHg dan atau tekanan darah
diastolik ≥ 100 mmHg
II.3 Gejala Hipertensi
Seringkali pasien menganggap bila tidak ada keluhan, berarti tekanan darah
tidak tinggi. Kejadian hipertensi pada seseorang tidak memeliki gejala yang
spesifik, tetapi gejala-gejala yang mudah diamati yaitu pusing, sakit kepala, sesak
nafas, dan tengkuk terasa pegal (Aprilianny, 2016). Penderita hipertensi biasanya
tidak mengetahui bahwa dirinya mengalami hipertensi sebab gejala-gejala tersebut
kadang tidak muncul pada beberapa penderita, bahkan pada beberapa kasus
penderita tekanan darah tinggi biasanya tidak merasakan apa-apa (Haq, 2017).
Peningkatan tekanan darah merupakan satu-satunya gejala. Dengan demikian,
gejala baru akan muncul setelah terjadi komplikasi pada ginjal, mata, otak atau
jantung. Hipertensi merupakan silent killer (penyakit yang dapat membunuh
UPN "VETERAN" JAKARTA
14
secara diam-diam) sebab tanda dan gejalanya dapat dilihat dari luar dan sangat
bervariasi pada masing-masing individu dan hampir sama dengan gejala penyakit
lainnya. Perkembangan hipertensi berjalan dengan perlahan, tetapi secara
potensial sangat berbahaya. Gejala-gejalanya yang dapat timbul itu adalah :
(kemenkes, 2013).
a. Sakit kepala/rasa berat di tengkuk
b. Pusing (vertigo)
c. Jantung berdebar-debar
d. Mudah lelah
e. Penglihatan kabur
f. Telinga berdenging (tinnitus)
g. dan mimisan.
(kemenkes, 2013)
II.4 Epidemiologi Hipertensi
Hipertensi merupakan penyakit epidemi kesehatan masyarakat. Dampak dari
peningkatan tekanan darah diperkirakan pada tahun 2010 bisa menyebabkan 9,4
juta atau sekitar 95% kematian dan 162 juta tahun hidup yang hilang. Sebesar
50% dari penyakit jantung, stroke dan gagal jantung. Sebesar 13% kematian
secara keseluruhan dan lebih dari 40% kematian pada orang dengan diabetes.
Sekitar 4 dari 10 orang dewasa di atas usia 25 memiliki hipertensi dan di banyak
negara 1 dari 5 orang dewasa memiliki pre hipertensi (Haq, 2017). Penyakit
kardiovaskuler menyumbangkan penyebab utama prevalensi kematian di dunia
dengan presentase 37% setelah penyakit lainnya yaitu penyakit kanker dan
penyakit infeksi saluran pernafasan kronik (WHO, 2014). Diperkirakan 9/10
dewasa yang tinggal 80 tahun akan mengalami hipertensi. Dua pertiga dari
mereka dengan hipertensi berada di negara-negara ekonomi berkembang. Di
Negara-negara berkembang penyakit jantung dan stroke terjadi pada orang muda.
Diperkirakan 10% dari pengeluaran perawatan kesehatan secara langsung
berkaitan dengan peningkatan tekanan darah dan komplikasinya (Haq, 2017).
UPN "VETERAN" JAKARTA
15
II.5 Diagnosis Hipertensi
Diagnosis untuk hipertensi tidak bisa dilakukan hanya sekali pengukuran
saja, sebaiknya dilakukan sebanyak 3 kali. Selain itu untuk menyatakan dan
menegakkan diagnosis hipertensi harus berdasarkan anamnase, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang (Aprilianny, 2016). Data yang didapatkan melalui
anamnase yaitu mengenai keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit
keluarga, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin, dan prosedur diagnosi lainnya.
Pemeriksaan fisik termasuk pengukuran tekanan darah yang benar, pemeriksaan
funduskopi, perhitungan IMT (Indeks Masa Tubuh) yaitu berat badan (kg) dibagi
dengan tinggi badan (meter kuadrat) auskultasi arteri karotis, abdominal, dan bruit
arteri femoralis, palpasi pada kelenjar tiroid, pemeriksaan lengkap jantung dan
paru paru, pemeriksaan abdomen untuk melihat pembesaran ginjal, massa intra
abdominal, dan pulsasi aorta yang abnormal (Kartikasari, 2012). Pemeriksaan dari
laboratorium direkomendasikan sebelum memulai terapi antihipertensi adalah
urinalysis, kadar gula darah dan hematokrit: kaium, kreatinin, dan kalsium seperti
profil lemak ( setelah puasa 9-12 jam ). Termasuk kolesterol baik, kolesterol jahat
dan trigliserida, serta elektrokardiogram. Pemeriksaan opsional termasuk
pengukuran ekskresi albumin urin atau rasio albumin dibandingkan kreatinin.
Pemeriksaan yang lebih ekstensif untuk mengidentifikasi penyebab hipertensi
tidak diindikasikan kecuali apabila pengontrolan tekanan darah tidak tercapai
(Aprian, 2015).
II.6 Teknik Mengukur Tekanan Darah
Pengukuran tekanan darah bisa diukur dengan menggunakan sejumlah merk
alat pengukur tekanan darah elektronik yang banyak digunakan di rumah-rumah.
Pada umumnya alat pengukur tekanan darah dapat digolongkan menjadi dua
macam
a. Alat mekanik, yaitu alat yang memerlukan seseorang yang pemakai
mendengarkan bunyi melalui stetoskop dan kemudian melihat pengukur
pressure gauge, bunyi pertama menandakan tekanan darah sistolik dan
bunyi kedua darah diastolik contohnya 120/80. Alat ini biasanya disebut
UPN "VETERAN" JAKARTA
16
aneroid, dan pengukur yang menggunakan kolom air raksa disebut
sphygmomanometer.
b. Alat elektronik, yaitu alat yang memakai baterai dan penunjukkannya
secara digital (Nugraha, 2015).
Tekanan darah perorang dinyatakan sebagai tekanan darah
sistolik/diastolik, contohnya 120/80. Tekanan darah sistolik mewakili
tekanan di arteri-arteri ketika otot jantung berkontraksi dan memompa
darah ke dalamnya. Tekanan darah diastolik mewakili tekanan di arteri-
arteri ketika otot jantung mengendur (rileks) setelah berkontraksi
(Ningsih, 2012).
Sewaktu mengukur tekanan darah yang benar responden harus :
a. Duduk dengan tenang paling sedikit 5 menit sebelumdi ukur tekanan
darahnya. Bagian punggung /belakang bersandar dengan lengan sejajar
dengan jantung. Telapak kaki menyentuh lantai dan kaki tidak boleh
disilangkan.
b. Gunakan pakian yang nyaman,tanpa ada hambatan pada lengan.
c. Bebas dari anxietas, stress, atau kesakitan.
d. Berada di ruangan dengan temperature yang nyaman. (Aziza, 2007).
Responden yang di ukur tekanan darah tidak boleh :
a. Meminum kopi sekitar 1 jam sebelum pengukuran tekanan darah.
b. Meroko selama 15- 30 menit sebelum pengukuran tekanan darah.
c. Menggunakan obat atau zat yang mengandung stimulan adrenergic
seperti fenilefrin atau pseudoefedrin. (Aziza, 2007).
II.7 Faktor – Faktor Hipertensi
II.7.1 Karakteristik Individu
a. Umur
Umur adalah faktor risiko lain yang bisa memengaruhi kejadian
hipertensi. Kejadian hipertensi muncul ketika seseorang berusia 20 tahun
baik pada laki- laki dan perempuan, dan akan terus meningkat dengan
seiring bertambahnya usia (Black & Hawks, 2005;Rahayu, 2012).
Insiden hipertensi pada lanjut usia tinggi walaupun peningkatan tekanan
UPN "VETERAN" JAKARTA
17
darah bukan merupakan bagian normal dari usia, yaitu setelah umur 69
tahun, prevalensi hipertensi meningkat sampai 50%. (Kuswardhani,
2006). Bisa juga dengan Kondisi kardiovaskuler yang mengalami
penurunan pada usia lanjut sehingga mudah mengalami gangguan fungsi.
Hal ini dikarenakan semakin bertambahnya usia maka tekanan darah
semakin tinggi, sebagai oleh karena timbulnya arteriosklerosis (Nugraha,
2015). Sebaiknya usia 24-25 memeriksakan tekanan darahnya sebab pada
usia tersebut seseorang biasanya sudah bekerja sehari penuh, melepaskan
kegiatan olahraga yang biasanya dilakukan semasa sekolah, mempunyai
kebiasaan meeting dengan makanan berbagai snack dan dinner bersama
teman sekerja. Dengan pola hidup dan pola makan sekarang yang kebarat
baratan, dengan makanan banyak yang mengandung monosodium
glutamate (MSG) kadar garam dan lemak yang tinggi usi 30 tahun
biasanya sudah mengidap tekanan darah tinggi (Aziza, 2007).
Rata-rata responden berusia ≥ 40 tahun sebanyak 297 responden
(92,5%) mengalami hipertensi dibandingakan usia ≤40 tahun pada
pekerja sektor informal (Ningsih, 2017). Adanya kecenderungan
peningkatan proporsi hipertensi seiring dengan bertambahnya umur pada
penduduk Pekanbaru. Pada usia 30-39 tahun proporsi hipertensi hanya
sebesar 11,8% sedangkan pada usia 70-79 tahun proporsi hipertensi
meningkat drastis menjadi 72,7% (Mardani et al., 2011). Responden pada
sopir angkutan kota berumur 51 tahun ke atas yaitu sebanyak 50,5%
terjadi hipertensi dan sisanya berumur kurang dari 51 tahun sebanyak
49,5% (Prima et al., 2017). Didapatkan nilai p=0,000, berarti adanya
hubungan antara umur dengan kejadian hipertensi. Hipertensi meningkat
seiring dengan peningkatan umur. Semakin bertambah umur subjek
penelitian, persentase kejadian hipertensi semakin besar (Rahayu, 2012).
golongan umur 45-75 tahun sudah mulai di dominasi oleh penyakit
hipertensi primer sebesar 27,08% dan penyakit terbanyak penderita rawat
inap sebesar 10,96%. Sedangkan untuk pola penyakit penderita rawat
jalan rumah sakit menurut semua golongan umur di dapatkan bahwa
hipertensi esensial (primer) sebesar 11.617 kasus (6,49%) untuk warga
UPN "VETERAN" JAKARTA
18
Depok (Dinkes Depok, 2016). Supir bus AKAP yang mengalami
hipertensi sebanyak 21 orang (32,3%) memiliki umur ≥ 44 tahun dan 12
orang (18,8%) memiliki umur < 44 tahun (Haq, 2017). Bahwa umur
semakin tua maka untuk terserang hipertensi akan semakin besar,
terbukti bahwa umur 36 – 45 tahun merupakan faktor risiko hipertensi
dengan nilai p = 0,0001; OR = 7,56 dan 95% CI = 2,44 – 23,65
(Sugiharto, 2007).
b. Riwayat Hipertensi Keluarga
Salah satu faktor tidak bisa di kontrol yang mempengaruhi tingkat
kejadian hipertensi adalah riwayat hipertensi pada keluarga. Hipertensi
adalah penyakit poligenik dan multifaktorial (Black & Hawks,
2013;Rahayu, 2012). Hubungan keluarga menunjukkan tingkat tekanan
darah yang kuat yang tidak bisa dianggap hanya disebabkan oleh
lingkungan yang sama. Tetapi faktor genetik dan lingkungan terdapat
berbagai macam ragam yang dapat menyebabkan risiko hipertensi,
sehingga membaurkan pencarian gen penyebab. Secara prinsip perhatian
dipusatkan pada identifikasi kandidat gen. Termasuk diantaranya adalah
gen yang terlibat dalam sistem renin- angiotensin, bersama dengan
sejumlah substansi vasokontriktor dan vasodilator penting yang
ditemukan baru-baru ini (Rubenstein dkk., 2003;Haq, 2017). Seseorang
dengan orang tua yang menderita hipertensi akan kemungkinan
mempunyai risiko mengalami hipertensi lebih besar pada saat usia muda.
Karena seseorang yang mempunyai riwayat keluarga hipertensi, terdapat
beberapa dari gennya yang akan berinteraksi satu sama lain dengan
lingkungan, yang akan meningkatkan tekanan darah atau hipertensi
(Rahayu, 2012). Faktor genetik dalam hipertensi termasuk golongan
multifaktor, yaitu interaksi sejumlah gen dengan faktor lingkungan.
Secara umum jika didalam satu keluarga ada yang menderita hipertensi,
maka pada anggota keluarga yang lainnya di masa mendatang juga bisa
mempunyai riwayat hipertensi (Nugraha, 2015).
Subjek penelitian yang mempunyai riwayat keluarga dengan
hipertensi mempunyai peluang 2,067 kali menderita hipertensi
UPN "VETERAN" JAKARTA
19
dibandingkan dengan subjek penelitian yang tidak mempunyai riwayat
keluarga dengan hipertensi (Rahayu, 2012). Pengemudi Transjakarta
menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara hipertensi dengan
riwayat hipertensi keluarga. (p=0,022, OR 5,118) orang dengan riwayat
hipertensi keluarga memiliki risiko 5 kali lebih tinggi mengalami
hipertensi dibandingkan yang tidak memiliki riwayat hipertensi keluarga
(Rizkawati, 2012). Terlihat juga bahwa proporsi kejadian hipertensi lebih
tinggi terjadi pada responden yang memiliki riwayat keturunan dengan
hipertensi (39%) (Mardani et al., 2011). Terdapat hubungan yang
signifikan pada kejadian hipertensi supir bus AKAP yaitu adalah riwayat
keluarga hipertensi dengan (Pvalue = 0,024) Adjusted Odds Ratio (AOR)
3,412 (Haq, 2017). Didapatkan faktor risiko terjadinya hipertensi adalah
adanya anggota keluarga yang memiliki riwayat menderita hipertensi
dengan nilai p = 0,000; OR = 16,588 dan 95% CI = 5,940 – 46,324
(Kartikasari, 2012). Riwayat hipertensi keluarga merupakan faktor risiko
terjadinya hipertensi dengan nilai p = 0,0001; OR = 6,29 dan 95% CI =
3,81 – 10,39 (Sugiharto, 2007).
II.7.2 Gaya Hidup
a. Kebiasaan Merokok
Kebiasan merokok juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya
penyakit jantung koroner dan penyakit kardiovaskuler yaitu hipertensi .
Zat-zat kimia yang ada dalam asap rokok akan terserap ke dalam aliran
darah akan membuat pebuluh darah menyempit serta membuat sel darah
merah menjadi lebih lengket sehingga mudah membentuk gumpalan
(Nugraha, 2015). Zat-zat kimia dalam rokok sangat beracun seperti
nikotin dan karbon monoksida, ketika zat itu terhisap melalui rokok akan
masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh
darah arteri, dan dapat mengakibatkan proses aterosklerosis dan tekanan
darah tinggi. Merokok juga bisa meningkatkan denyut jantung dan
kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok pada
penderita tekanan darah tinggi semakin dapat meningkatkan risiko pada
UPN "VETERAN" JAKARTA
20
pembuluh darah arteri (Kemenkes RI, 2015). Nikotin dalam tembakau
merupakan penyebab meningkatnya tekanan darah segera setelah hisapan
pertama. Nikotin bisa memacu pengeluaran zat catecholamine tubuh
seperti hormon adrenalin. Hormon tersebut dapat menyempitkan
pembuluh darah dan memacu jantung untuk berdetak lebih kencang,
yaitu 10 hingga 20 kali lipat per menit (Prima et al., 2017). Nikotin bisa
juga meningkatkan frekuensi detak jantung, kebutuhan oksigen jantung,
tekanan darah, serta menyebabkan gangguan irama jantung. Nikotin
dapat mengganggu kerja saraf, otak, dan banyak bagian tubuh lainnya
(Tandra, 2003).
Terdapat hubungan sopir bus yang mempunyai kebiasaan merokok
dengan tekanan darah sistolik, Sopir bus yang merokok memiliki tekanan
darah sistolik rata-rata 2,49 mmHg lebih tinggi p = 0,539 (Nugraha,
2015). Merokok berhubungan dengan kejadian hipertensi (p=0,000) Odds
Ratio ( OR= 52,765, CI 95 % 12,669-219,762) Merokok berhubungan
dengan kejadian hipertensi (p=0,000) Odds Ratio ( OR= 52,765, CI 95 %
12,669-219,762). Nilai AOR pada sopir bus AKAP (Antar Kota Antar
Provinsi) yang mengkonsumsi rokok mempunyai peluang 3,816 kali
untuk terjadinya hipertensi, dibandingkan dengan sopir yang tidak
konsumsi rokok (Haq, 2017). Sebanyak (75,5%) sopir truk mengonsumsi
rokok, jumlah ini lebih tinggi dibandingkan sopir truk yang tidak
merokok (Prima et al., 2017). Seseorang yang merokok lebih dari 20
batang perhari beresiko terkena hipertensi 0,6 kali lebih besar daripada
seseorang yang merokok 11-20 batang perhari (OR= 0,612) (Hardiyati,
Faturahman and Maywati, 2017). Kebiasaan merokok juga merupakan
salah satu faktor risiko terjadinya hipertensi. Berdasarkan hasil analisis
didapatkan nilai p = 0,000; OR = 16,734 dan 95% CI = 3,674 – 76,227
(Kartikasari, 2012). untuk perokok berat terbukti merupakan faktor risiko
terjadinya hipertensi dengan nilai p = 0,001; OR = 2,47; 95% CI = 1,44 –
4,23 (Sugiharto, 2007). Responden yang perokok dengan kejadian
hipertensi sebesar 56,6% dan pada kelompok bukan perokok kejadian
hipertensi adalah 51,7% (Rizkawati, 2012).
UPN "VETERAN" JAKARTA
21
b. Konsumsi Kopi/Kafein
Orang yang mempunyai kebiasaan mengonsumsi kopi lebih
berisiko memiliki kecenderungan untuk menderita hipertensi. Hal ini
disebabkan kandungan terbesar dalam kopi yaitu kafein yang memiliki
efek terhadap tekanan darah secara akut (Haq, 2017). Asupan kafein
sebesar 200 hingga 300 mg pada penderita hipertensi terbukti
meningkatkan tekanan darah pada 60 menit pertama setelah
mengonsumsi kafein hingga 180 menit berikutnya. Peningkatan tekanan
sistolik yang terjadi adalah adalah 8 mmHg dan 6 mmHg pada tekanan
diastolic. peningkatan tekanan darah setelah mengonsumsi kafein lebih
disebabkan oleh peningkatan resistensi perifer dibandingkan dengan
peningkatan curah jantung (Hartley, 2000).
Salah satu penyebab tingginya hipertensi adalah kebiasaan minum
kopi. Kopi merupakan salah satu minuman pilihan yang sangat digemari
masyarakat Indonesia maupun negara lain. Tetapi kopi mempunyai
kandungan kafein yang banyak, Kafein juga berakibat buruk pada
jantung. Kafein bisa menstimulasi jantung untuk bekerja lebih cepat
sehingga setiap detiknya dapat mengalirkan cairan lebih banyak.
Didapatkan dari kebiasaan minum kopi dalam satu cangkir kopi
mengandung 75-200 mg kafein, sehingga minum kopi 3-4 cangkir
perhari dapat meningkatkan tekanan darah sistolik sekitar 10 mmHg dan
tekanan darah diastolik sekitar 8 mmHg, diperoleh nilai p = 0,000 maka
disimpulkan bahwa ada hubungan antara kebiasaan minum kopi dengan
kejadian hipertensi (Hardiyati, Faturahman and Maywati, 2017).
Konsumsi kafein pada sopir truk tergolong tinggi, hasil penelitian
menunjukkan bahwa 59,8% responden mengonsumsi minuman
berkafein, sopir truk yang mengonsumsi kafein berisiko 5,5 kali lebih
besar untuk mengalami hipertensi dibandingkan dengan responden yang
tidak mengonsumsi kafein (Prima et al., 2017). Sopir yang mengalami
hipertensi cenderung mengonsumsi kopi sebanyak 1 - 3 cangkir/hari
(22,4%) dibandingkan dengan sopir yang tidak mengonsumsi kopi (Haq,
2017). Kejadian hipertensi lebih banyak terjadi pada responden yang
UPN "VETERAN" JAKARTA
22
sering mengonsumsi kopi yaitu sebesar 56,9% dan pada kelompok
responden yang tidak sering mengonsumsi kopi kejadian hipertensi
sebanyak 51,6% (Rizkawati, 2012)
c. Konsumsi Makanan Asin
Konsumsi garam bisa menyebabkan cairan menumpuk di dalam
tubuh, karena menarik cairan di luar sel agar tidak keluar, sehingga akan
meningkatkan volume dan tekanan darah. Konsumsi garam yang
dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari (Nugraha, 2015). Jika asupan
pada asupan NaCl berlebih, tekanan darah bisa meningkat tajam, dan
pada studi asupan NaCl tertinggi, dilaporkan jika tekanan darah akan
meningkat 33 dan 10 mmHg pada tekanan sistolik dan diastolik. Pada
manusia, dampak asupan NaCl tekanan darah akan meningkat dan bisa
menyebabkan risiko hipertensi bersamaan dengan faktor lain seperti usia,
dan atau riwayat keluarga. Selain itu, hipertensi pada anak dan dewasa
memungkinkan adanya hubungan faktor resiko asupan NaCl terhadap
hipertensi (Estiningsih, 2012). Konsumsi garam berlebih dapat
menyebabkan penyempitan dan penahanan aliran darah terhadap
pembuluh darah pada ginjal. Ginjal memproduksi hormone rennin dan
angiostenin agar pembuluh darah utama mengeluarkan tekanan darah
yang besar sehingga pembuluh darah pada ginjal dapat mengalirkan
darah seperti biasanya. Tekanan darah yang besar dan kuat ini dapat
menyebabkan seseorang menderita hipertensi. Konsumsi garam yang
dianjurkan per hari adalah sebesar 1500 –2000 mg atau setara dengan
satu sendok teh. Perlu diingat bahwa terdapat sebagian orang yang
sensitif terhadap garam sehingga jika mereka mengkonsumsi garam
sedikit saja dapat menaikan tekanan darah. Jika sejak dini kita membatasi
konsumsi garam maka dapat membebaskan kita dari komplikasi yang
bisa terjadi (Ningsih, 2017).
Konsumsi makanan asin atau tinggi garam bisa berhubungan
dengan risiko kejadian hipertensi (p= 0,000). Odds Ratio ( OR= 30,198
CI 95% 15,540-58,674) (Ningsih, 2017). sebagian besar supir bus AKAP
yang mengalami hipertensi cenderung memiliki kebiasaan makan
UPN "VETERAN" JAKARTA
23
makanan asin ≥ 1 kali/hari (Haq, 2017). Konsumsi makanan asin ≥ 1
kali/hari adalah salah satu faktor risiko dari penyakit jantung dan
pembuluh darah termasuk juga hipertensi pada penduduk umur 18 tahun
ke atas (Kemenkes, 2010). Sebagian besar responden memiliki tingkat
konsumsi natrium yang cukup yaitu sebanyak 79,9% (Prima et al., 2017).
Terdapat 40,6 % subjek penelitian yang sering mengonsumsi makanan
asin dan lebih cenderung menderita hipertensi dibandingkan yang tidak
pernah mengonsumsi makanan asin (Rahayu, 2012). Sering
mengkonsumsi garam adalah salah satu faktor risiko terjadinya
hipertensi. Berdasarkan analisis didapatkan hasil dengan nilai p = 0,003;
OR = 3,446 dan 95% CI = 1,509 – 7,872 (Kartikasari, 2012). Sering
mengkonsumsi asin merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi dengan
nilai p = 0,0001; OR = 4,57 dan 95% CI = 2,83 – 7,38 (Sugiharto, 2007).
Responden yang sering mengonsumsi makan tinggi natrium yaitu sebesar
56,1% dan pada kelompok responden yang tidak sering mengonsumsi
makanan tinggi natrium prevalensi kejadian hipertensi sebesar 53,7%
(Rizkawati, 2012)
d. Konsumsi Makanan Berlemak
Konsumsi makanan yang berlemak dengan berlebihan akan
menyebabkan hiperlipidemia. Hiperlipidemia akan menyebabkan
peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL dan/atau
penurunan kolesterol HDL dalam darah. Kolesterol didapatkan dari
makanan dan disintesis di dalam sebagian besar sel tubuh. Kolesterol
adalah komponen membran sel dan prekursor hormon steroid serta
garam-garam empedu yang digunakan untuk menyerap lemak.
Konsentrasi kolesterol dalam darah yang tinggi, terutama kolesterol
dalam partikel lipoprotein yang disebut lipoprotein densitas rendah
(LDL), ini berperan menyebabkan terbentuknya plak aterosklerosis. Plak
atau endapan lemak pada dinding arteri ini dikaitkan dengan serangan
jantung dan stroke. Dalam makanan dengan kadar lemak jenuh yang
tinggi cenderung dapat meningkatkan kadar kolesterol LDL dalam darah
dan dapat berperan menyebabkan terbentuknya aterosklerosis. Kemudian
UPN "VETERAN" JAKARTA
24
menghambat aliran darah sehingga tekanan darah menjadi tinggi (Haq,
2017). Konsumsi lemak jenuh bisa mengakibatkan risiko ateroskelosis
yang bisa berkaitan dengan kenaikan tekanan darah, sebab kolestrol yang
tinggi dalam darah akan menempel pada dinding pembuluh darah
(Estiningsih, 2012). Selain itu orang yang mempunyai kelebihan lemak
(hiperlipidemia), dapat berpotensi mengalami penyumbatan darah,
sehingga dapat terganggunya suplai oksigen dan zat makanan ke organ
tubuh. Penyempitan dan sumbatan oleh lemak ini dapat memacu jantung
untuk mempompa darah lebih kuat lagi supaya dapat memasok
kebutuhan darah ke jaringan. Akibatnya, tekanan darah meningkat, maka
terjadilah hipertensi (Prima et al., 2017).
Proporsi hipertensi pada kelompok respondenyang memiliki
kebiasaan lemak tinggi lebih tinggi dibandingkan kelompok responden
yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi lemak rendah (41,5%
berbanding 26,3%) (Mardani et al., 2011). Ada hubungan konsumsi
makanan berlemak dengan kejadian hipertensi (p= 0,000) Odds Ratio
(OR= 32,978, CI 95 % 12,546- 42,086) (Ningsih, 2017). Supir bus
AKAP yang mengalami hipertensi sebanyak (25,8%) memiliki kebiasaan
makan makanan tinggi lemak ≥ 2 kali/hari (Haq, 2017). Responden yang
≥ 7 kali per minggu mengkonsumsi makanan berlemak atau jeroan
terdapat (16,4%) mengalami penyakit kardiovaskular (Irfa, 2011).
Kebiasaan mengkonsumsi lemak jenuh juga merupakan faktor risiko
terjadinya hipertensi dengan nilai p = 0,022; OR = 2,01 dan 95% CI =
1,10 – 3,66 (Sugiharto, 2007).
e. Kurang Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik kategori ringan banyak dilakukan oleh sopir
angkutan bus kecil (75,5%). Sopir angkutan bus kecil lebih banyak
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk duduk mengemudi.
Aktivitas fisik yang kurang dapat menurunkan High Density Lipoprotein
(HDL) dan meningkatkan Low Density Lipoprotein (LDL) sehingga
darah dapat mengalir tidak lancar dan membuat penumpukan plak pada
arteri. Selain itu, orang yang mempunyai aktivitas kurang cenderung
UPN "VETERAN" JAKARTA
25
akan mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga
pada setiap kontraksi otot jantung harus bekerja lebih keras. Semakin
keras dan sering otot jantung harus memompa maka semakin besar
tekanan yang dibebankan pada arteri (Prima et al., 2017). Tekanan darah
juga dapat dipengaruhi oleh aktivitas fisik. Olahraga secara teratur dapat
menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi, setelah sekian lama
berolahraga akan terjadi penurunan cardiac output dan tahanan pembuluh
darah perifer. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa olahraga teratur
dapat menurunkan norepinefrin plasma dan hal ini berkaitan dengan
perbaikan tekanan darah (Anggraeni, 2012). Pekerjaan sebagai sopir
memiliki aktivitas fisik yang sangat sedikit, bahkan sebagian besar waktu
bekerja dihabiskan dengan duduk. Aktivitas fisik yang kurang
mempunyai risiko terhadap peningkatan tekanan darah. Dalam jangka
waktu singkat aktivitas fisik seperti olah raga, jalan kaki dan sebagainya
akan meningkatkan tekanan darah, namun dalam jangka panjang olah
raga yang teratur dan aktivitas fisik membantu dalam menjaga tekanan
darah (Robert, Harikedua and Tulung, 2016). Risiko hipertensi akan
lebih tinggi pada seseorang yang tidak melalukan aktivitas fisik daripada
yang melakukan aktivitas fisik (75.5%) (Prima et al., 2017). Jika tidak
biasa olah raga dibandingkan dengan kebiasaan olah raga ideal, maka
tidak biasa olah raga terbukti sebagai faktor risiko hipertensi, dengan (p =
0,019; OR = 2,35; 95% CI = 1,14 – 4,83) (Sugiharto, 2007).
II.7.3 Status Gizi
a. IMT (Indeks Masa Tubuh)
Faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian hipertensi adalah
obesitas. obesitas adalah persentase abnormalitas lemak yang dinyatakan
dalam Indek Masa Tubuh (IMT), yaitu perbandingan antara berat badan
dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (Kartikawati,
2008;Rahayu, 2012). Peningkatan IMT mempunyai keterkaitan yang erat
dengan peningkatan tekanan darah baik pada laki-laki maupun
perempuan. Seseorang yang obesitas lebih berisiko menderita hipertensi
UPN "VETERAN" JAKARTA
26
dibandingkan dengan seseorang yang tidak obesitas. Orang yang obesitas
atau IMT lebih dari normal cenderung akan memiliki tekanan darah
tinggi. Dan seseoarng yang IMT lebih dari 23 kg/m2 akan memiliki
resiko hipertensi (Nugraha, 2015). Obesitas bukan penyebab hipertensi.
Tetapi prevalensi hipertensi pada obesitas lebih besar dibandingkan yang
tidak obesitas atau normal. Orang yang obesitas 5 kali lebih berisiko akan
mengalami hipertensi dengan orang yang tidak obesitas atau normal
(Kemenkes, 2013).
Nilai IMT bisa dihitung dengan rumus
IMT = Berat Badan (kg)
Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)
Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO/WHO,
yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan.
Disebutkan bahwa batas ambang normal untuk laki-laki adalah: 20,1–
25,0; dan untuk perempuan adalah : 18,7-23,8.
Tabel.3 Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) Asia Pasifik WHO.
Kategori. IMT (kg/m2).
Berat badan kura < 18,5
Kisaran normal. 18,5-25,0
Berat badan lebih. 25,1-27,0
Obesitas > 27,0
Sumber: (WHO, 2013)
Proporsi kejadian hipertensi pada kelompok responden yang
mengalami overweight/ obesitas jauh lebih tinggi dibandingkan
responden yang memiliki IMT tergolong normal/kurus (40,8%
berbanding 25,3%) (Mardani et al., 2011). sebagian besar status gizi
UPN "VETERAN" JAKARTA
27
sopir berada pada kategori obesitas sebanyak 50,5% dan mengalami
hipertensi, berpotensi mengalami penyumbatan darah, sehingga suplai
oksigen dan zat makanan ke organ tubuh terganggu (Prima et al., 2017).
Terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian hipertensi dengan
indeks massa tubuh (p=0,019, OR 3,248) (Rizkawati, 2012). Diketahui
pada supir bus AKAP nilai AOR sebesar 2,683. Hal tersebut
menunjukkan bahwa supir dengan IMT tidak normal lebih berisiko 2,683
kali dibandingkan supir yang memiliki IMT normal (Haq, 2017). Secara
statistik obesitas juga merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi (nilai
p = 0,007; OR = 2,04 dan 95% CI = 1,21 – 3,44) (Sugiharto, 2007).
II.7.4 Pekerjaan
a. Lama Kerja
Pramudi Transjakarta menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara lama bekerja sebagai sopir dengan kejadian hipertensi.
Diketahui juga bahwa supir yang sudah lama bekerja sebagai sopir
mempunyai peluang 3 kali untuk terkenan risiko hipertensi dibandingkan
dengan kelompok sopir yang baru bekerja sebagai supir (Rizkawati,
2012). Pramudi Transjakarta proporsi responden yang bekerja lebih dari
18 bulan cenderung memiliki prevalensi hipertensi lebih tinggi
dibandingkan dengan proporsi responden yang bekerja kurang dari 18
bulan (Haq, 2017). Jam kerja yang tinggi pada sopir truk juga dapat
menyebabkan kualitas tidur sopir truk menjadi terganggu. Banyak
penelitian sudah menyatakan bahwa kualitas tidur yang buruk dapat
menyebabkan kejadian hipertensi baik pada orang dewasa maupun pada
anak-anak dan remaja. Kualitas dan kuantitas tidur dapat mempengaruhi
proses hemostatis, jika proses hemostatis ini terganggu bisa menjadi
salah satu faktor meningkatnya risiko penyakit hipertensi (Trihapsari,
Setiyono and Faturahman, 2012).
Diketahui bahwa supir bus yang memiliki lama bekerja sebagai
supir >15 tahun berisiko 4,17 kali menderita hipertensi dibandingkan
dengan supir yang lama bekerja sebagai supir ≤ 15 tahun (Borle dan
UPN "VETERAN" JAKARTA
28
Jadhao, 2015;Rahayu, 2012). Terdapat hubungan yang bermakna antara
kejadian hipertensi dengan lama bekerja sebagai sopir (p=0,029, OR
2,978) (Rizkawati, 2012). Sebagian besar supir bus AKAP yang
mengalami hipertensi cenderung memiliki lama bekerja sebagai supir
selama ≥ 16 tahun (Haq, 2017).
b. Durasi Mengemudi
Durasi mengemudi mempengaruhi pada kejadian hipertensi yang
disebabkan stress kerja. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor
lingkungan tempat bekerja, seperti paparan panas, debu, ataupun asap,
sehingga jika terpapar dalam waktu yang lama akan dapat mengakibatkan
stres kerja, sedangkan stres merupakan salah satu faktor risiko penyakit
hipertensi (Nugraha, 2015). Supir bus di kota Nagpur menunjukkan
adanya hubungan lama mengemudi dengan hipertensi. Dalam penelitian
tersebut didapatkan juga bahwa lama mengemudi sopir yang mengemudi
>60 jam/minggu akan berisiko 1,93 kali dibandingkan dengan sopir yang
lama mengemudi ≤ 60 jam/minggu (Borle dan Jadhao, 2015). Ada
hubungan jam kerja dengan tekanan darah pada supir truk di PT. SM
(Sumber Makmur) Tasikmalaya. Nilai OR = 4,4 (95% CI = 1,287-
15,181), berarti jam kerja yang melebihi 8 jam berisiko 4,4 kali lebih
besar mengalami tekanan darah tinggi dibandingkan dengan jam kerja
kurang atau sama 8 jam hipertensi (Trihapsari, Setiyono and Faturahman,
2012). Sebagian besar responden mempunyai durasi mengemudi ≥ 8 jam
sebanyak 79,4%, sedangkan lainnya mempunyai durasi mengemudi < 8
jam sebanyak 20,6%. Durasi mengemudi yang panjang mengakibatkan
kelahan pada sopir. Kelelahan bisa menyebabkan tekanan darah tinggi
karena kerja jantung menjadi lebih kuat sehingga jantung membesar
(Prima et al., 2017). sebagian besar supir bus AKAP yang mengalami
hipertensi, memiliki lama mengemudi ≥ 36 jam/minggu (Haq, 2017).
UPN "VETERAN" JAKARTA
29
II.7.5 Faktor Kemacetan
a. Stress
Tingginya kejadian hipertensi pada sopir dipengaruhi oleh
beberapa hal seperti salah satunya faktor lingkungan, dimana lingkungan
yang penuh kepadatan atau kemacetan serta polusi udara bisa
menyebabkan terjadinya hipertensi pada sopir (Nasri and Moazenzadeh,
2006). Rute angkutan sopir angkot yang melewati jalur padat kendaraan
di terminal menyebabakan tingkat stres dan kelelahan pada sopir lebih
tinggi dibandingkan yang lainnya, dimana faktor tersebut mendukung
terjadinya hipertensi pada sopir (Prima et al., 2017). Stres kerja dapat
disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor intrinsik seperti kondisi
lingkungan kerja yang tidak nyaman, stasiun kerja yang tidak ergonomis,
temperatur juga memiliki hubungan dengan tingkat stres pada pekerja.
Dalam kondisi terpajan panas, tubuh mengabsorbsi lebih banyak panas
dibandingkan dengan yang mampu dikeluarkannya, hal tersebut dapat
menimbulkan peningkatan temperatur tubuh yang pada akhirnya dapat
mengakibatkan gangguan mental, sakit atau kematian (Sulsky&Smith,
2005;Nugrahani, 2008). Tingkat kemacetan jalur bus dapat meningkatkan
tekanan darah terhadap pengemudi. Sebuah kajian menyebutkan bahwa
terdapat peningkatan risiko ischaemic heart disease sebesar 80% pada
pengemudi yang melewati jalur dengan kemacetan tinggi dibandingkan
dengan jalur yang tidak macet (Netterstrøm dan Suadicani’s, 1993;Tse,
2006;Rizkawati, 2014). Stres kejiwaan secara statistik juga merupakan
faktor risiko terjadinya hipertensi (nilai p = 0,008; OR = 1,85 dan 95%
CI = 1,85 – 2,91) (Sugiharto, 2007). Terdapat 64,4% subjek penelitian
mengalami stress. Berdasarkan hasil olah data diperoleh bahwa terdapat
33,8% subjek yang mengalami stress dan menderita hipertensi (Rahayu,
2012). Kejadian hipertensi lebih tinggi pada kelompok responden stres
sedang yaitu 64,3% dibandingkan dengan kelompok responden dengan
stres ringan yaitu 45,0% ) (Rizkawati, 2012a). Didapatkan ρ value =
0,039 dengan α = 0,05, maka dapat disimpulkan ada hubungan stres kerja
dengan tekanan darah pada supir truk di PT. SM (Sumber Makmur)
UPN "VETERAN" JAKARTA
30
Tasikmalaya. Nilai OR = 2,9 (95% CI = 1,159-7,503), (Trihapsari,
Setiyono and Faturahman, 2012)
b. Kelelahan Kerja
Responden yang mengalami kelelahan berat mengalami hipertensi
sebanyak 12 orang (31,6%), sedangkan yang tidak mengalami hipertensi
dengan kelelahan berat sebanyak 2 orang (5,3%). Hal ini menunjukkan
bahwa kelelahan yang semakin berat memiliki risiko terjadinya tekanan
darah tinggi. (Trihapsari, Setiyono and Faturahman, 2012). ditemukan
bahwa responden memiliki tingkat kelelahan rendah sebanyak 45,1%,
dan distribusi frekuensi pengemudi bus antar kota trayek Semarang-
Jepara di terminal Terboyo yang mengalami tidak lelah sebesar 51%
(Prima et al., 2017).
c. Trayek Macet
Dinas perhubungan kota depok memperkirakan dalam waktu lima
tahun mendatang kemacetan di Depok akan semakin parah, saat ini
tingkat volume per kapasitas kendaraan di kota Depok sudah berada di
titik 0,8 dan akan berada di titik 0 pada 2021 jika tidak segera ditangani
(Tasrief Tarmizi, 2016). Depok sering mengalami kemacetan terutama di
Jalan Margonda dan Jalan Kartini Depok, dikarenakan banyak orang lalu
lalang dan mobil atau motor yang parkir sembarangan di badan jalan
yang bisa menyebabkan kemacetan dan juga angkutan umum, seperti
angkutan kota yang sering ngetem di bahu jalan depan pintu masuk
stasiun kereta maupun pusat perbelanjaan (angga, 2015).
II.8 Sopir angkot
Sopir dapat dibagi menjadi beberapa macam yaitu sopir pribadi, sopir
angkotan desa, sopir angkotan kota sopir bis antar provisi dan sebagainya. Sopir
merupakan sebuah pekerjaan yang berkutat di jalanan, sopir mempunyai tugas
untuk mengantarkan penumpang ke tujuan mereka, sehingga tidak heran jika sopir
lebih mengutamakan keselamatan penumpang. Akan tetapi sopir harus
memastikan kondisi kesehatan mereka, sebab sopir lebih rentan untuk terkena
penyakit karena mereka sering terpajan polusi udara dan kemacetan. Sopir juga
UPN "VETERAN" JAKARTA
31
mempunyai kebiasaan gaya hidup yang kurang baik seperti sering megonsumsi
kopi untuk mencegah rasa kantuk saat berkendara, dan juga merokok untuk
berkonsentrasi saat mengendara serta bahkan kebiasaan minum-minuman
beralkohol. (Robert, Harikedua and Tulung, 2016). Dan sopir merupakan salah
satu pekerjaan yang lebih mungkin untuk mengalami hipertensi dibandingkan
dengan pekerja lainnya (Trihapsari, Setiyono and Faturahman, 2012). Permintaan
masyarakat yang tinggi terhadap kebutuhan jasa angkutan memaksa perusahaan
meningkatkan jumlah perjalanan kendaraan. Hal ini menyebabkan sopir memiliki
waktu yang sempit untuk beristirahat (Tse, 2006). Waktu istirahat yang sempit
menyebabkan tubuh tidak bisa melakukan recovery dengan maksimal sehingga
lama-kelamaan menyebabkan gangguan pada kerja tubuh seperti pada sirkulasi
darah yang dapat menimbulkan hipertensi (Yang, dkk, 2006).
UPN "VETERAN" JAKARTA
32
II.9 Penelitian Sebelumnya
Tabel 4 Penelitian Sebelumnya
No Nama peneliti Judul penelitian Karakteristik variabel
Variabel
Jenis penelitian
Hasil
1 Febrian Kantata J
N (2016)
Hubungan jam kerja dan shift
kerja dengan tekanan darah pada
supir bus antar kota
Jam kerja, shift kerja,
tekanan darah, Indeks
Masa Tubuh, kebiasaan
merokok.
Jenis penelitian yang ini
adalah penelitian survey
bersifat analitik dengan
pendekatan cross sectional.
Ada hubungan antara lama
kerja (b = 2,33; CI 95 % 1,43
hingga 3,24;b = < 0,001)
dan shift kerja (b = 17,40 ; CI
95 % 10,41 hingga 24,38; b =
< 0,001)
dengan tekanan darah sistolik
pada sopir bus antar kota.
2 H Nasri MD, M
Moazenzadeh
MD (2006)
Faktor risiko penyakit koroner
artery pada sopir versus orang di
pekerjaan lainnya.
Umur, durasi
mengemudi, merokok,
kolesterol dan gula
darah.
Jenis penelitian kuantitatif
dianalisis dengan dengan
menggunakan chi square dan
ANOVA
Sopir taksi dan bus diketahui
memiliki Secara signifikan
meningkatkan risiko
hipertensi (oods rasio untuk
supir taksi: kira kira = 5,94,
disesuaikan = 7.53; rasio
odds
UPN "VETERAN" JAKARTA
33
untuk supir bus: kira kira
= 5,79, antara
driver dan kelompok kontrol
3. Said Mardani, Tin
Gustina,
HoppyDewanto,
Yuyun
Priwahyuni
(2011)
Hubungan antara Indeks Masa
Tubuh ( IMT ) Kebiasaan
Mengkonsumsi Lemak dengan
Tekanan Darah
Karakteristik
responden (umur, jenis
kelamin, tingkat
pendidikan,
pppekerjaan, riwayat
hipertensi keluarga),
IMT dan konsumsi
lemak.
Jenis penelitian analitik
observasional dengan desain
cross sectional.
terdapat hubungan yang
signifikan antara IMT p =
0,018 dan OR = 2,036 (95%
CI:1,164- 3,561) dan
kebiasaan mengkonsumsi
lemak p = 0,041 dan OR =
1,987 (95% CI:1,074-3,677)
dengan tekanan darah
penduduk Kelurahan
Tangkerang Tengah
Pekanbaru.
4 Dzul Faridah
Arinal Haq (2017)
Determinan hipertensi pada supir
bus AKAP (Antar Kota Antar
Provinsi) di terminal wilayah kota
jakarta timur tahun 2017
Karakteristik
responden (Umur
Riwayat hipertensi
keluarga), Gaya Hidup
status gizi dan pola
Jenis penelitian ini adalah
kuantitatif desain studi cross
sectional
Faktor yang signifikan
terhadap hipertensi pada
supir bus AKAP adalah
riwayat hipertensi keluarga
(Pvalue = 0,024) dengan
UPN "VETERAN" JAKARTA
34
kerja Adjusted Odds Ratio (AOR)
3,412 (CI 95% ; 1,177-
9,889), konsumsi rokok
(Pvalue = 0,022) dengan
AOR 3,816 (CI 95% ; 1,335-
10,907) dan indeks massa
tubuh (Pvalue = 0,029)
dengan AOR 2,683 (CI 95% ;
1,108-6,494).
5 Dilla Trihapsari,
Andik Setiyono,
Yuldan
Faturahman
(2012)
Faktor – faktor yang
mempengaruhi darah tinggi pada
sopir truk PT. sumber makmur
Tasikmalaya
Shift kerja, jam kerja ,
kelelahan, dan stress
kerja
Jenis penelitian ini adalah
kuantitatif dengan
pendekatan case control dan
menggunakan uji chi-square
Ada hubungan faktor stres
dengan tekanan darah ρ value
= 0,039 dengan α = 0,05 dan
nilai OR = 2,9, ada hubungan
faktor shiftt kerja dengan
tekanan darah ρ value =
0,032 dengan α = 0,05 dan
OR = 3,2.
UPN "VETERAN" JAKARTA
35
II.10 Kerangka Teori
Sumber: Modifikasi (BBTKLPP,2015;Riskesdas,2013;Infodatin,2014;Trihapsari, Setiyono and Faturahman,
2012;Haq, 2017).
Bagan 1 Kerangka Teori
HIPERTENSI
Faktor yang tidak bisa di
kontrol
Faktor yang bisa di kontrol
Umur Jenis
kelamin Riwayat
hipertensi
keluarga
Gaya hidup Lingkungan Pekerjaan
Konsumsi Obesitas Kurang
aktivitas fisik
Durasi
mengemudi
Lama kerja
Konsumsi
Garam
Makanan
berlemak
Merokok
konsumsi kafein
Stres
Macet
Kelelahan
kerja
UPN "VETERAN" JAKARTA
Recommended