View
220
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
52
BAB III
Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-
IX/2011 terhadap Kekuatan Mengikat Hasil Ratifikasi Charter of
The Association of Southeast Asian Nations
3.1 Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011
terhadap Kekuatan Mengikat Hasil Ratifikasi Charter of The
Association of Southeast Asian Nations
Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/ 2011 terkait
dengan pengujian perjanjian internasional menyatakan menolak permohonan
seluruhnya. Hal tersebut tidak berakibat terhadapa kekuatan mengikat perjanjian
internasional dikarenakan tidak ada pengujian norma terhadap perjanjian
internasional tersebut.
Kekuatan mengikat perjanjian internasional tentu tidak lepas dari asas-asas
pelaksanaan dari hukum perjanjian internasional. Asas tersebut diantara lain
adalah asas free consent, asas itikad baik (good faith), asas pacta sunt servanda
selain itu juga terdapat asas lain yang tidak kalah pentingnya yaitu asas pacta
tertiis nec nocent nec prosunt, asas non-retroactive, dan jus cogens.59
Asas free consent muncul ketika negara pihak atau peserta sedang
merundingkan dan menyepakati serta meratifikasi naskah perjanjian.60
Asas ini
merupakan asas kebebasan dari pihak dalam mengajukan aspirasinya maupun
59
I Wayan P., Hukum Perjanjian Internasional : Bagian 2, Mandar Maju, Bandung,
2005, h. 261. 60
Ibid., h. 262.
52
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
53
melakukan tindakan dalam pembuatan perjanjian internasional. Jika salah satu
pihak mendapat tekanan dalam proses pembuatan perjanjian internasional, maka
dapat menimbulkan akibat hukum seperti batalnya (void) ataupun tidak sahnya
perjanjian internasional.61
Asas good faith memiliki pengertian bahwa para pihak harus memiliki
itikad baik dari proses awal pembuatan perjanjian internasional hingga proses
entry into force serta pelaksanaan perjanjian internasional. Asas yang selanjutnya
adalah asas pacta sunt servanda, asas ini menekankan pada kewajiban para pihak
untuk menaati isi perjanjian.62
Hal ini ditekankan kembali pada Pasal 26 Konvensi
Wina 1961 yang menyatakan bahwa “Every treaty in force is binding upon the
parties to it, and must be performed by them in a good faith.”
Asas yang tidak kalah penting lainnya adalah asas pacta tertiis nec nocent
nec prosunt, yang mengandung makna bahwa suatu perjanjian internasional hanya
memberikan hak dan membebani kewajiban terhadap para pihak yang terikat pada
perjanjian itu. Dengan kata lain pihak ketiga yang tidak terikat dalam perjanjian
ini tidak dibebani kewajiban maupun hak yang disepakati dalam perjanjian
tersebut. Asas yang terakhir adalah asas non-retroactive yang memiliki arti suatu
kaidah hukum tidak berlaku surut. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 28
Konvensi Wina 1961 yang menyatakan sebagai berikut: “Unless a different
intention appears from the treaty or is otherwise established, its provision do not
bint a party in relation to any act or fact which took place or any situation which
61
Ibid. 62
Ibid.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
54
ceased to exist before the date of the entry ito force of the treaty with respect to
the party.” Pasal 28 tersebut dapat diartikan sebagai bahwa perjanjian
internasional tidak dapat berlaku retroaktif, tapi dapat berlaku retroaktif jika
diperuntukkan untuk itu atau tujuan perjanjian internasional tersebut menyatakan
demikian.
Beberapa asas yang telah disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa
perjanjian internasional yang dibuat oleh Indonesia dengan negara lain hanya
mengikat para pihak saja. Pembuatan ASEAN Charter yang menjadi para pihak
adalah Indonesia sebagai negara, maka untuk megikat warga negaranya secara
langsung dibutuhkan instrumen lebih lanjut yang memuat norma perjanjian
internasional tersebut untuk mudah diterapkan di masyarakat.
Lalu bagaimana jika amar Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
menerima permohonan untuk menguji undang-undang hasil ratifikasi piagam
ASEAN tersebut? Lalu bagaimana dengan keberlakuan perjanjian internasional
itu sendiri, apakah akan gugur dengan sendirinya atau hanya gugur kewajibannya
bagi Indonesia. Maka dari itu perlu dilihat bagaimana hubungan antara hukum
nasional dengan hukum internasional. Dalam hubungan hukum nasioal dan
hukum internasional terdapat 2 teori yaitu paham dualisme dan paham monisme.
3.1.1 Paham Dualisme
Menurut paham atau teori dualisme, hukum interasional dan
hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda secara
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
55
intrinsik.63
Hukum internasional bersumber kepada kehendak bersama
atau kesepakatan negara-negara sementara hubungan nasional bersumber
pada kehendak negara dan kekuasaan negara. Hukum Internasional
dilandasi prinsip dasar pacta sunt servanda, sedangkan hukum nasional
dilandasi prinsip dasar bahwa peraturan perundnag-undangan harus
ditaati.64
Akibatnya, diperlukan suatu transformasi dari hukum
internasional menjadi hukum nasional berdasarkan peraturan perundang-
undangan agar kaidah dalam hukum internasional tersebut dapat berlaku
dan tunduk pada peraturan perundang-undangan nasional suatu negara.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk
menjelaskan pernyataan di atas:
1. Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional
dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda,
hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan
hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari
negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional. Jika
sumber hukumnya berbeda maka dapat berakibat pada proses
penerapan nantinya;
63
Isplancius Ismail, September 2013, Penerapan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol
Tambahan 1977 dalam Hukum Nasional Indonesia (Studi tentang Urgensi dan Prosedur Ratifikasi
Protokol Tambahan), Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 3,
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=260956&val=7042&title=PENERAPAN%20
KONVENSI%20JENEWA%201949%20DAN%20PROTOKOL%20TAMBAHAN%201977%20
DALAM%20HUKUM%20NASIONAL%20INDONESIA%20(Studi%20tentang%20Urgensi%20
dan%20Prosedur%20Ratifikasi%20Protokol%20Tambahan%201977), 24 Desember 2014 64
Ibid., h. 368
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
56
2. Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang
baik dalam hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada
hukum internasional subjeknya adalah negara. Dalam Perjanjian
internasional, individu bukanlah subjek hukum internasional,
melainkan negara. Seperti yang dibahas pada subbab sebelumnya
mengenai asas pacta sunt servanda, dalam perjanjian internasional
yang ikut membuat perjanjian adalah negara, bukan individu maka
dari itu yang terikat secara langsung oleh perjanjian tersebut adalah
negara.
3. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan
hukum pada realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang
hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak
terdapat dalam hukum internasional. Jika hukum nasional dapat
melakukan yurisdiksinya tanpa perlu kesepakatan antara para pihak
sedangkan untuk mahkamah internasional harus membutuhkan
kesepakatan para pihak untuk setuju dan mengakui yurisdiksi
mahkamah internasional tersebut, baru Mahkamah Internasional
dapat melaksanakan yurisdiksinya kepada sengketa tersebut;
4. Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum
nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional
bertentangan dengan hukum internasional. Dengan demikian
hukum nasional tetap berlaku efektif walaupun bertentangan
dengan hukum internasional. Pengawasan dari masyarakat
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
57
internasional tidaklah intense seperti pengawasan hukum nasional
pada suatu negara, maka dari itu jika hukum nasional suatu negara
tidak selaras dengan hukum nasional, masyarakat internasional
kecil kemungkinannya untuk mengetahui hal tersebut.65
3.1.2 Paham Monisme
Paham monisme menganggap bahwa hukum internasional dan
hukum nasional merupakan satu sistem hukum pada umumnya. Semua
ketentuan hukum merupakan kesatuan sistem yang terdiri dari ketentuan
hukum yang mengikat negara, individu maupun kesatuan bukan negara.66
Hukum nasional dan hukum internasional secara keseluruhan merupakan
dari sistem hukum universal yang mengikat manusia baik secara individual
maupun secara kolektif. Hukum Internasional mengikat individu secara
kolektif sedangkan hukum nasional mengikat individu secara
perorangan.67
Jadi untuk pemberlakuan hukum internasional dalam suatu
negara tidak diperlukan adanya proses transformasi seperti ratifikasi.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, paham monisme melahirkan
perangkat hukum yang mempunyai hubungan hierarkhis.68
Dari situ lahir
dua pendapat yaitu paham monisme dengan primat hukum nasional dan
paham monisme dengan primat hukum internasional. Paham monisme
dengan primat hukum internasional beranggapan bahwa hukum
65
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni : Jakarta, 2003, h.
56-57 66
Isplancius Ismail, Loc. Cit, h. 368 67
Ibid. 68
Mochtar Kusumaatmadja, Op. CIt, h.56
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
58
Internasional lebih tinggi dari hukum nasional. Paham monisme dengan
primat hukum nasional beranggapan bahwa hukum internasional
merupakan kepanjangan tangan atau lanjutan dari hukum nasional atau
dapat dikatakan bahwa hukum internasional hanya sebagai hukum
nasional untuk urusan luar negeri.69
Setelah melihat paham mengenai hubungan hukum nasional dan
hukum internasional pada suatu negara, dapat diambil kesimpulan bahwa
Indonesia menganut paham dualisme. Hal tersebut didukung dengan
adanya Pasal 11 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa :
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dnegan
negara lain.
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang
harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur
dengan undang-undang.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dalam membuat perjanjian
internasional membutuhkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk
pengesahan perjanjian internasional, sesuai dengan ciri-ciri paham
dualisme yang menyatakan perlu adanya transformasi kaidah hukum
internasional melalui persetujuan organ nasional negara tersebut. Hal ini
juga didukung dengan adanya Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang menyatakan bahwa
69
Ibid., h. 61
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
59
“Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.” Pasal
tersebut menjelaskan bahwa perjanjian internasional baru dapat disahkan
jika ditransformasikan kepada peraturan perundang-undangan nasional
berupa undang-undang atau keputusan presiden. Setelah diubah dalam
bentuk perundang-undangan nasional, baru kaidah internasional tersebut
mengikat secara nasional.
Prinsip yang dianut Indonesia mengenai hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional menjadi agak kabur karena adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi yang dalam konklusinya menyatakan
bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang dalam melakukan pengujian
undang-undang hasil ratifkasi perjanjian internasional. Hal ini
menandakan bahwa di sisi lain Indonesia juga menganut primat hukum
monisme karena materi perjanjian internasional dalam undang-undang
pengesahan tersebut dapat langsung diuji karena dianggap langsung
berlaku dengan undang-undang pengesahan tanpa adanya undang-undang
yang mentrasformasiikan materi perjanjian internasional kedalam hukum
nasional.70
Jika amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011
mengabulkan maka perjanjian internasional tersebut langsung gugur.
Dengan adanya amar yang menyatakan MK berwenang dan mengabulkan
70
Dian Utami Mas Bakar, Pengujian Konstitusional Undang-Undang Pengesahan
Perjanjian Internasional, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2013, h. 146
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
60
permohonan pemohon semakin memperjelas bahwa Indonesia juga
menganut paham monisme primat hukum nasional yang berakibat bahwa
hukum nasional memiliki kedudukan lebih tinggi dari hukum
internasional. Sehingga hukum internasional dapat dipatahkan atau
digugurkan oleh lembaga nasional suatu negara.
DPR memiliki kewenangan untuk memberi persetujuan atas
rancangan perjanjian internasional dengan kriteria tertentu, hal ini sesuai
dengan Pasal 11 UUD NRI 1945 NRI 1945. Selain memberi persetujuan,
DPR mempunyai kewenangan untuk menolak pengesahan suatu perjanjian
internasional. Sedangkan peran Presiden adalah organ yang dapat
mengajukan pengesahan suatu perjanjian internasional, bahkan Presiden
tidak perlu meminta persetujuan DPR dalam beberapa kriteria perjanjian
internasional. Presiden hanya perlu mengesahkannya dalam bentuk
Keputusan Presiden yang sekarang diganti dengan Peraturan Presiden.
Namun dalam hal ini belum jelas bagaimana kedudukan hasil pengesahan
perjanjian internasional tersebut, untuk Piagam ASEAN tersendiri setelah
diratifikasi belum dapat diterapkan secara langsung karena memiliki
norma yang umum. Maka dari itu diperlukan instrumen lebih lanjut agar
dapat diterapkan dalam masyarakat.
Selanjutnya Harjono yang menegaskan bahwa:71
71
Harjono, Aspek-Aspek Yuridis Pembuatan Perjanjian Internasional dalam Sistem UUD
1945, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
61
Perjanjian Internasional tidak hanya melahirkan hak dan kewajiban
terhadap warga negara tersendiri tetapi juga mungkin menimbulkan
hak dan kewajiban bagi warga negara asing. Agar supaya asas
resiprocity dapat terjamin, dengan demikian warga Indonesia
maupun pemerintah negara Indonesia juga dijamin hak-hakya oleh
negara lain yang ditimbulkan oleh perjanjian internasional, maka
dari kajian teoritis dipandang perlu memberikan imunitas terbatas
kepada Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden yang berisi
perjanjian internasional sebagai objek perngujian materiil
Mahkamah Agung.
Seperti yang diungkapkan oleh Harjono, setelah Indonesia
meratifikasi harusnya Indonesia melaksanakan perjanjian internasional
tersebut, karena perjanjian internasional tersebut telah menjadi bagian dari
hukum nasional Indonesia. Agar pelaksanaan asas resiprocity dapat
dijalankan dan hak-hak warga negara Indonesia juga dijamin oleh negara
lain.
Contohnya asas Resiprositas adalah asas resiprositas dalam
pelaksanaan putusan arbitrase. Asas resiprositas (reciprocity)
adalah asas timbal balik antar negara. Asas resiprositas mengenai
pelaksanaan putusan arbitrase yang diatur dalam Pasal 1 ayat 3
Konvensi New York Tahun 1958 yang menyatakan “… any state
may on the basis of reciprocity declare that it will apply the
conventio to the recognition and enforcement of awards made only
in the territory of another contratcting state..”. Sesuai asas ini,
maka penerapan pengakuan dan pelaksanaan putusan Arbitrase
Asing dalam suatu negara adalah atas permintaan dari negara lain,
hanya dapat diterapkan apabila diantara negara-negara yang
bersangkutan telah ada hubungan ikatan bilateral maupun
multilateral. Negara peserta dapat menolak jika kedua negara tidak
memiliki hubungan bilateral maupun multilateral.72
Jika dikaitkan dengan asas resiprositas dalam pelaksanaan
perjanjian internasional adalah bahwa perjanjian internasional ini menjadi
72
Arsensius, Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Asing Menurut Keppres
No. 3 Tahun 1981 tentang Ratifikasi Convention on The Records and Enforcement of Foreign
Arbitral Awards di Negara Indonesia, Jurnal Universitas Tanjung Pura Nomor 75, 2009, h. 3
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
62
landasan dari adanya asas resiprositas. Maka dari itu negara-negara harus
melaksanakan kewajibannya seperti yang dicantumkan dalam perjanjian
internasional, jika tidak maka negara lain akan melakukan hal yang sama
atau dapat meminta pertanggung jawaban negara tersebut.
Indonesia diharapkan memiliki asas resiprositas tersebut dan tidak
dengan seenaknya menguji undang-undang hasil ratifikasi perjanjian
internasional dan menyatakan undang-undang tersebut tidak berlaku.
Padahal semenjak dilakukannya entry into force maka saat itulah
Indonesia telah dibebani hak dan kewajiban.
Perlunya imunitas terhadap produk pengesahan perjanjian
internasional dirasa perlu karena seperti yang dibahas dalam bab
sebelumnya bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berhak menguji undang-
undang hal demikian juga sama dengan Mahkamah Agung tidak dapat
menguji keputusan presiden/peraturan presiden yang merupakan hasil
pengesahan perjanjian internasional. Maka dari itu bentuk pengesahan ini
perlu dilindungi dari proses pengujian dari Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung.
Namun dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
33/PUU-IX/2011 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang menguji undang-undang tersebut, maka memberikan
keambiguan dalam sistem pengujian perundang-undangan. Kriteria
undang-undang yang diuji menjadi semakin luas dan akhirnya makin
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
63
membuka peluang masyarakat untuk menguji undang-undang hasil
ratifikasi perjanjian internasional yang lain dan akhirnya hal ini akan
berefek pada tingkat kepercayaan masyarakat internasional bahwa
Indonesia tidak memiliki ketegasan dalam partisipasinya di perjanjian
internasional karena setiap perjanjian internasional yang disahkan dapat
diuji dan diubah oleh Indonesia sendiri. Padahal untuk merubah norma
dalam perjanjian internasional, bukanlah kewenangan lembaga internal
suatu negara. Namun butuh persetujuan negara anggota perjanjian
internasional yang lain,
Salah satu cara untuk mengubah norma adalah melalui amandemen
perjanjian internasional. Amandemen perjanjian internasional diatur dalam
Part IV Article 39-41 Konvensi Wina 1969. Peraturan amandemen suatu
perjanjian internasional hampir sama dengan ketentuan reservasi, hal ini
dijelaskan pada article 39 Konvensi Wina 1969. Contohnya dalam
PIAGAM ASEAN untuk melakukan amandemen menurut Pasal 48 ayat
(3) Piagam ASEAN, “Amandemen Piagam yang telah disepakati secara
konsensus oleh Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN wajib diratifikasi oleh
seluruh Negara-Negara Anggota sesuai dengan Pasal 47.” Disini
dijelaskan bahwa untuk merubah suatu norma dalam perjanjian
internasional membutuhkan kesepakatan secara konsensus di Konferensi
Tingkat Tinggi ASEAN.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
64
3.2 Pengujian Keputusan Presiden Hasil Ratifikasi Perjanjian
Internasional
Bentuk hukum Keputusan Presiden yang memuat hasil ratifikasi
pengesahan perjanjian internasional merupakan hasil dari adanya Surat Presiden
2816/HK/1960 terkait pembuatan perjanjian internasional.73
Dalam pembuatan
Keputusan Presiden hasil ratifikasi perjanjian internasional memiliki prosedur
tertentu. Proses ratifikasi dengan keputusan presiden adalah sebagai berikut:
1. Departemen luar negeri mengajukan permohonan ratifikasi perjanjian
internasional dengan keppres kepada secretariat Negara, disertai copy
naskah perjanjian sebanyak 30(tiga puluh) copy plus 1 (satu) yang tekah di –
Certified True Copy.
2. Setelah dipelajari Sekertaris Negara, selanjutnya diteruskan kepada
Presiden melalui tingkatan hierarkinya, yaitu mulai Bagian Ratifikasi kepada
Kepala Biro Hukum, kemudian ke Deputi Eselon 1, diteruskan kepada
s/sesneg (Dulu ada Mensesneg). Setelah itu diberikan kepada presiden ketika
diproses untuk diteruskan kepada presiden disertai dengan RKP (Rancangan
Keppres). Memo-memo beserta ampresnya(amanat presiden) untuk
ditandatangani oleh presiden. Isi dari ampres tersebut ditujukan kepada
ketua DPR, yang memberitahukan bahwa Pemerintah Indonesia telah
mengesahkan perjanjian internasional tersebut dengan keppres, agar
diketahui oleh DPR .
73
Harjono, Loc. Cit, h. 112
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
65
3. Terhadap RKP yang telah ditandatangani oleh presiden dan telah menjadi
keppres , diserahkan kembali ke Bagian Ratifikasi Sekneg melalui hierarki
yang sama seperti sebelumnya dan dituangkan ke dalam Lembaga Negara
oleh Sekneg, untuk kemudian didistribusikan kepada Daftar A dan Daftar B.
Daftar A terdiri dari lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara, dan
Daftar B adalah departemen – departemen / instansi terkait. Pendistribusian
ini disertai dengan autentifikasi yang dikeluarkan oleh kepala Biro Hukum.74
Di dalam disertasinya A. Hamid. S, Attamini menyatakan Keputusan
Presiden dapat berisi penetapan dan dapat berisi pengaturan.75
Dalam
hubungannya dengan perjanjian internasional yang dituangkan dalam bentuk
hukum Keputusan Presiden dapat juga berisi sebuah penetapan dan pengaturan.
Untuk dapat membedakannya, materi muatan Keputusan Presiden dapat
dibedakan antara: (1) yang berisi pengaturan yang berasal dari pendelegasian
Peraturan Pemerintah, dan (2) berfungsi pengaturan yang mandiri.76
Untuk dapat membedakan antara keduanya diajukan suatu perhitungan
matematis rumus = a-b = x. Dalam formula rumus tersebut a = seluruh
materi muatan peraturan perundang-undangan negara yang wewenang
pembentukkannya berada dalam kekuasaan Presiden Republik Indonesia,
b = materi UU/Perpu, materi muatan Peraturan Pemerintah, serta materi
muatan Keputusan Presiden berfungsi pengaturan dari Peraturan
Pemerintah, sedangkan x = sisa dari kedua materi muatan peraturan
perundang negara yang merupakan lingkup Keputusan Presiden berfungsi
pengaturan yang mandiri.77
74
Implementasi Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia Setelah Berlakunya UU
Nomor 24 Tahun 2000, Jurnal Universitas Semarang, Nomor 60 Tahun XV, Januari-Maret 2003,
h. 6-7 75
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggara Negara, Fakultas Pasca Sarjana UI, h. 227 76
Ibid., h.23 77
Harjono, Loc. Cit, h. 113
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
66
Ternyata selain materi muatan sisa yang disebutkan dalam rumus diatas,
terdapat materi muatan lain yang diperintahkan oleh Surat Presiden maupun
dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
yaitu Keputusan Presiden yang memuat hasil ratifikasi perjanjian internasional.
Keputusan Presiden dalam fungsinya sebagai pengaturan mandiri
berdasarkan UUD NRI 1945 secara langsung, maka diperlukan sinkronisasi
dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Terdapat 2 cara sinkronisasi
yaitu dengan dasar tidak bertentangan dengan asas peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dan yang kedua masih tetap berada dalam lingkungan yang
dibenarkan oleh asas-asas dan norma-norma hukum lain yang berlaku.78
Harjono
menjelaskan lebih lanjut bahwa usaha sinkrinisasi dapat dilakukan dengan dua
cara: (1) preventif, yaitu usaha awal sebelum Keputusan Presiden diterbitkan, (2)
represif, yaitu dilakukan pada pasca penerbitan suatu Keputusan Presiden.79
Usaha
preventif yang dimaksudkan dalam upaya sinkronisasi ini adalah upaya
reservation.80
Usaha represif menimbulkan adanya mekanisme pengujian terhadap
Keputusan Presiden. Pengujian hasil ratifikasi perjanjian internasional tidak hanya
terjadi pada undang-undang saja namun juga dapat terjadi pada bentuk hukum
yang lain yaitu Keputusan Presiden maupun Peraturan Presiden. Jika hal ini
terjadi tentunya haruslah ada lembaga yang memiliki kewenangan untuk
mengujinya. Jika mengacu pada Undang-Undang Dasar Pasal 24A ayat (1) yang
78
A. Hamid S., Loc. Cit, h. 292 79
Harjono, Loc. Cit, h. 115 80
Dian Utami Mas Bakar, Loc.Cit, h. 142
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
67
menyatakan bahwa “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap
undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-
undang”, maka yang berwenang adalah Mahkamah Agung karena kedudukan
hierarkhi Keputusan Presiden (yang sekarang diubah menjadi Peraturan Presiden)
berada dibawah Undang-Undang.
Namun untuk menguji Keputusan Presiden yang bermuatan hasil ratifikasi
perjanjian internasional bukanlah hal yang mudah, karena Mahkamah Agung
memiliki kemampuan pengujian dalam tingkat kasasi dan uji materiil terhadap
undang-undang. Maka dari itu sama halnya dengan undang-undang maka
kedudukan Keputusan Presiden maupun Peraturan Presiden seharusnya diatur
tersendiri. Karena efek perjanjian internasional ini tidak hanya berlaku bagi warga
negara Indonesia saja namun juga berefek pada warga negara asing. Selain itu
juga perlunya perlindungan maupun imunitas terhadap Keputusan Presiden
terhadap uji materiil di Mahkamah Agung.
3.3 Mekanisme Perlindungan Hukum Bagi Rakyat atas Pengesahan
Perjanjian Internasional
Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi perlindungan
hukum terhadap rakyatnya. Perlindungan hukum rakyat yang sedang strategis
diperbicarakan adalah adanya mekanisme pengaduan konstitusional
(constitutional complaint).81
CC dikenal sebagai salah satu elemen penting guna
81
Simon Butt, Rachmita Harahap, dkk, Masa Depan Mahkamah Konstitusi RI: Naskah
Konferensi Mahkamah Konstitusi dan Pemajuan Hak Konstitusional Warga, Pustaka Masyarakat
Setara, Jakarta, 2013, h. 288.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
68
mewujudkan gagasan negara hukum yang demokratis dalam praktik karena ia
dikonsepsikan sebagai bagian dari upaya memberikan perlidungan maksimum
terhadap hak-hak konstitusional warga negara. CC dapat diberikan pengertian
sebagai pegaduan atau gugatan yang diajuka oleh perorangan ke MK terhadap
perbuatan (atau kelalaian) suatu lembaga publik yang mengakibatkan hak-hak
dasar atau hak-hak konstitusional orang yang bersangkutan dirugikan.82
CC dapat
diterima oleh MK, jika semua jalan penyelesaian melalui proses peradilan yang
tersedia bagi persoalan tersebut telah tidak ada lagi (exhausted).
CC dapat berupa permohonan individual maupun sekelompok warga
masyarakat yang mendalilkan dugaan pelanggaran hak konstitusional yang
dialaminya kepada MK.83
Kasus pengujian UU hasil ratifikasi perjanjian internasional ini berujung
pada bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang dalam melakukan pengujian
undang-undang tersebut karena UU tersebut bukanlah UU bentuk legislasi DPR
dengan persetujuan bersama Presiden seperti yang tertuang pada Pasal 20 ayat (2)
UUD NRI 1945 melainkan UU hasil pembentukan dengan negara lain yang
disahkan dengan wewenang yang yang lebih berat dibebankan pada kekuasaan
eksekutif.
Upaya untuk perlindungan masyarakat dalam hal ini hanya ada untuk
upaya preventif yaitu berupa adanya pedoman delegasi yang dibuat oleh DPR dan
departemen terkait sebelum delegasi ikut berunding dalam pembuatan perjanjian
82
Simon Butt, Rachmita Harahap, dkk, Op. Cit, h. 289. 83
Ibid.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
69
internasional. Upaya represif belum ada jika suatu saat UU hasil ratifikasi
perjanjian internasional melanggar hak konstitusional warga negara Indonesia.
Upaya represif tersebut tidak ada karena MK dalam hal ini tidak berwenang dalam
menangani kasus pengujian undang-undang hasil ratifikasi perjanjian
internasional. Seharusnya ada upaya untuk perlindunga hukum bagi masyarakat,
maka dari itu perlunya ada kewenangan constitutional complaint (CC) pada MK
karena dengan itu hak-hak dasar warga negara tetap terlindungi. Adanya
kewenangan CC ini hubungannya dengan pengujian undang-undang hasil
ratifikasi perjanjian internasional adalah jika ada CC maka jika DPR maupun
Presiden lalai dalam pengesahan perjanjian internasional tanpa terlebih dahulu
mengecheck apakah dapat merugikan hak konstitusional masyarakat maka dapat
diajukan ke MK.
Upaya selanjutnya setelah perkara tersebut dapat diajukan ke MK maka
MK dalam amar putusannya dapat membuat lembaga negara tersebut entah DPR
atau Presiden untuk mengajukan amandemen maupun mengundurkan diri atau
penarikan diri dari perjanjian internasional. Jika Mahkamak Konstitusi tetap
berpendirian teguh untuk hanya menjalankan kewenangannya di judicial review
maka hak-hak konstitusional warga negara tidak dapat dilindungi.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)
NI KETUT APRILYAWATHI
Recommended