View
217
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Hasil Penelitian
Dalam pembahasan dipaparkan tentang kasus posisi yang berkaitan dengan
penetapan ahli waris pengganti dalam penetapan Pengadilan Agama Wonosobo
Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb dan mengenai pelaksanaan pembagian warisan
yang dilakukan oleh keluarga Hj.Ponijem.
1. Kasus Posisi Penetapan Ahli Waris Pengganti Dalam Penetapan
Pengadilan Agama Wonosobo Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb
Pernikahan antara H. Hadi Pranoto dengan Hj. Ponijem dicatat oleh PPN
Kantor Urusan Agama Pandak Kabupaten Bantul dengan kutipan Akta Nikah
Nomor 279/59 tanggal 03 Juli 1959. Dalam pernikahan tersebut mereka tidak
dikarunia keturunan anak.
Hj.Ponijem telah meninggal dunia pada hari Sabtu pahing tanggal 19 April
2008. Almarhumah ketika meninggal dunia meninggalkan dua orang ahli waris
hubungan darah dan seorang ahli waris hubungan pernikahan. Dua orang ahli
waris hubungan darah yaitu: (1) Daliyem (telah meninggal dunia) meninggalkan
seorang anak laki-laki yang bernama Endardiyono, (2) Tikno Harjono yang
merupakan saudara seibu. Seorang ahli waris hubungan pernikahan yaitu H. Hadi
Pranoto. Almarhumah meninggalkan warisan berupa sawah, rumah dan kios
pasar.
Dalam pembahasan ini hanya akan difokuskan pada ahli waris hubungan
darah dengan Hj. Ponijem karena dalam penulisan ini fokus pada pembagiaan
yang dilakukan oleh keluarga Hj. Ponijem. Pihak dari keluarga Hj. Ponijem yang
mengajukan permohonan penetapan ahli waris ke Pengadilan Agama adalah
Tikno Harjono. Tikno Harjono meminta kepada Pengadilan Agama Wonosobo
untuk menetapkan Tikno Harjono dan Daliyem sebagai ahli waris dari Hj.
Ponijem. Daliyem merupakan saudara perempuam seibu Hj. Ponijem telah
meninggal terlebih dahulu dari pewaris dan meninggalkan seorang anak laki-laki
bernama Endardiyono. Tujuan Tikno Harjono mengajukan permohonan penetapan
ahli waris dari Hj. Ponijem ke Pengadilan Agama Wonosobo untuk mendapatkan
penetapan ahli waris secara hukum yang nantinya digunakan untuk pembagian
secara kekeluargaan.
Pertimbangan hakim untuk menetapkan ahli waris dari Hj. Ponijem adalah:
a. Terdapat hubungan kekerabatan dari jalur almarhumah Hj Ponijem.
b. Pertimbangan berdasarkan pada Pasal 171 huruf (b) dan (c) KHI yang
menyatakan bahwa Pasal 171 (b): “Pewaris adalah orang yang pada
saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal berdasarkan putusan
Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan”. Pasal 171 (c): “Ahli waris adalah orang yang pada saat
meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum menjadi ahli waris”.
c. Hakim mendasarkan pada bukti fotocopy akta nikah H. Hadi Pranoto
dengan Hj. Ponijem serta silsilah keluarga yang menyatakan bahwa H.
Hadi Pranoto menikah dengan Hj. Ponijem pada 03 Juli 1959 dan
selama menikah tidak dikaruniai keturunan.
d. Hakim dalam pertimbangannya juga mendasarkan pada bukti Surat
Kematian Hj. Ponijem yang menyatakan bahwa telah meninggal dunia
pada 14 Juli 2008 karena sakit dan dalam keadaan beragama Islam.
e. Pertimbangan hakim menetapkan berdasarkan silsilah keluarga dan surat
keterangan dari Kepala Desa Gilangharjo yang membuktikan bahwa
almarhumah Hj. Ponijem meninggal dunia meninggalkan ahli waris
seorang saudara seibu yang bernama Tikno Harjono, dan semuanya
beragama Islam. Selain itu Hj. Ponijem juga mempunyai saudara
perempuan seibu yang bernama Daliyem yang telah meninggal terlebih
dahulu dari Pewaris berdasarkan bukti surat kematian dan memiliki satu-
satunya ahli waris seorang anak laki-laki bernama Endardiyono,
beragama Islam, berdasarkan pertimbangan Pasal 185 KHI untuk
menetapkan Endardiyono sebagai ahli waris pengganti.
Dalam penetapan Pengadilan Agama Wonosobo Nomor 43/Pdt.P/2011/
PA.Wsb. menetapkan Tikno Harjono sebagai ahli waris Hj. Ponijem dan
Endardiyono sebagai ahli waris pengganti menggantikan kedudukan ibunya
Daliyem yang telah lebih dahulu meninggal dunia dari pewaris. Pertimbangan
hakim dalam menetapkan Endardiyono sebagai ahli waris pengganti berdasar
pada ketentuan Pasal 185 KHI, yang menyebutkan: “Ahli waris yang meninggal
lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh
anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173”. Dalam ayat (2) nya
disebutkan: “Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian
ahli waris yang sederajat dengan yang diganti”.
2. Pembagian Warisan Yang Dilakukan Oleh Keluarga Hj. Ponijem
Pembagian warisan untuk ahli waris Hj. Ponijem dilakukan secara
kekeluargaan, sesuai dengan penetapan Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb. Dari harta
warisan yang ada harta tersebut dibagi dua, ½ bagian untuk ahli waris hubungan
darah dan ½ bagian untuk ahli waris hubungan pernikahan yaitu suami. Dalam
penulisan ini hanya akan dijelaskan tentang pembagian yang dilakukan oleh ahli
waris hubungan darah dari Hj. Ponijem, karena penulisan ini hanya mefokuskan
pada pembahasan tersebut.
Ahli waris Hj. Ponijem untuk hubungan darah terdiri dari dua, yaitu
Endardiyono dan Tikno Harjono. Endardiyono merupakan ahli waris pengganti
sebagaimana ditetapkan dalam penetapan Pengadilan Agama Wonosobo Nomor
43/Pdt.P/2011/PA.Wsb, menggantikan kedudukan ibunya yaitu Daliyem (Saudara
perempuan Hj. Ponijem) yang telah meninggal terlebih dahulu. Tikno Harjono
memiliki enam orang anak yaitu Triyanti, Trianingsih, Tri Indayani, Tanti
Cristina, Liston Setiawan dan Lin Sundarwan. Untuk melaksankan pembagian
secara kekeluargaan yang sesuai dengan penetapan telah dilakukan musyawarah
pada tanggal 11 September 2011, pihak keluarga Hj. Ponijem yaitu Tikno Harjono
dan Endardiyono melakukan musyawarah pembagian waris. Mengingat saat itu
Tikno Harjono kurang sehat, dalam proses musyawarah Tikno Harjono
diwakilkan keenam anaknya. Dalam proses musyawarah tersebut, putri Tikno
Harjono yang bernama Trianingsih mengatakan bahwa tidak ada nama ahli waris
pengganti dan mengatakan bahwa Endardiyono mendapat bagian warisnya karena
dianggap anak oleh Tikno1, sehingga bagian dari Endardiyono adalah sama
dengan bagian dari anak-anak Tikno Harjono.
Kemudian dalam proses musyawarah tersebut anak-anak dari Tikno
Harjono membagi warisan tersebut menjadi tujuh bagian, yaitu enam anak Tikno
Harjono dan Endardiyono dianggap setara dengan anak-anak Tikno Harjono.
Endardiyono melihat dan merasakan proses musyawarah yang tidak sesuai dengan
apa yang ditetapkan Pengadilan Agama menolak hasil musyawarah sehingga
terjadi perdebatan, yang akhirnya Endardiyono mendapatkan bagian 1/6
sedangkan sisanya untuk anak-anak dari Tikno Harjono. Tidak nampak alasan
yang jelas mengapa bagian yang didapat Endardiyono mendapat 1/6 bagian, tidak
ada penjelasan dari anak-anak Tikno Harjono tentang bagian yang didapat oleh
Endardiyono2.
Pembagian warisan yang sudah dilakukan adalah kios dijual senilai 375 juta
pada tanggal 22 Desember 2011 dibagi untuk keluarga H. Hadi Pranoto dan
keluarga Hj. Ponijem, sehingga masing-masing keluarga mendapatkan Rp
187.500.000,-. Endardiyono sebagaimana hasil musyawarah mendapatkan 1/6 dari
Rp. 187.500.000, sehingga diperoleh bagian Rp. 31.250.000. Untuk sawah dijual
pada tanggal 12 Agustus 2012 seharga Rp. 163.000.000, namun bagian dari
Endardiyono sampai saat ini belum diberikan oleh keluarga Tikno Harjono.
1 Wawancara dengan Endardiyono, Wonosobo, 13 September 2011.
2 Ibid..
Sedangkan rumah sampai saat ini belum laku dijual, sehingga belum ada
pembagiannya3.
2. Pendapat Tokoh Masyarakat Tentang Ahli Waris Pengganti
Beberapa pendapat tokoh masyarakat sekitar tentang ahli waris pengganti,
salah seorang tokoh bernama Widodo Ali Partono yang menyatakan bahwa ahli
waris pengganti pada umumnya diberi makna, orang yang tampil sebagai ahli
waris karena menggantikan kedudukan orang tuanya yang meninggal dunia lebih
dahulu dari pewaris, tanpa membedakan apakah orang yang meninggal itu laki-
laki atau perempuan. Setiap anak yang meninggal dunia lebih dahulu digantikan
oleh anak-anaknya, demikian pula jika di antara pengganti-penggantinya itu
ada yang meninggal lebih dahulu lagi, maka ia digantikan oleh anak-anaknya,
begitu seterusnya, dengan ketentuan bahwa semua keturunan dari satu orang
yang meninggal lebih dahulu tersebut harus dipandang sebagai suatu cabang
dan bersama-sama memperoleh bagiannya orang yang mereka gantikan4.
Pendapat tokoh masyarakat mengenai ahli waris dikemukakan oleh Ngadino
yang menyatakan bahwa pembagian waris yang berlaku dalam masyarakat
Kertek, Wonosobo, apalagi untuk keluarga yang sudah menunaikan ibadah haji,
lebih banyak mendasarkan pembagian waris menurut Hukum Islam dan hukum
yang ditetapkan pemerintah. Ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan
Islam menurutnya bertujuan untuk mencari rasa keadilan bagi ahli waris.
Ahli waris pengganti pada dasarnya adalah ahli waris karena penggantian yaitu
orang-orang yang menjadi ahli waris karena orang tuanya yang berhak
mendapat warisan meninggal lebih dahulu dari pewaris, sehingga dia tampil
3 Wawancara dengan Endardiyono, Salatiga, 16 Oktober 2013.
4 Wawancara dengan Widodo Ali Partono, Wonosobo, 13 Juli 2013.
menggantikannya (ngijoli). Jadi bagian ahli waris pengganti sebesar bagian ahli
waris yang digantikannya5. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa ahli waris
pengganti itu dikenal tetapi dengan istilah “ngijoli”.
B. Analisis
Dalam penulisan ini akan dipaparkan tentang analisis yang dilakukan
penulis terhadap asas dan kaidah apa yang diterapkan dalam Penetapan
Pengadilan Agama Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb serta asas dan kaidah yang
digunakan dalam pembagian waris yang dilakukan oleh keluarga Hj. Ponijem.
1. Asas Dan Kaidah Yang Diterapkan Dalam Penetapan Pengadilan
Agama Wonosobo Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb Tentang Penetapan
Ahli Waris
Dalam hukum kewarisan Islam dikenal ada 5 asas, asas-asas tersebut antara
lain: asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, asas
semata akibat kematian. Asas tersebut yang biasa digunakan hakim Pengadilan
Agama untuk mempertimbangkan permasalahan pewarisan yang diajukan di
Pengadilan Agama. Sehingga dalam mengeluarkan Penetapan Nomor
43/Pdt.P/2011/PA.Wsb hakim PA Wonosobo juga menggunakan asas tersebut
untuk jadi pertimbangan hakim.
Asas yang menjadi pertimbangan hakim dalam penetapan perkara tersebut
meliputi beberapa asas, yaitu:
a. Asas Individual
Asas ini pada prinsipnya bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk
5 Wawancara dengan Ngadino, Wonosobo, 13 Juli 2013.
dimiliki secara perorangan. Hal ini terlihat dengan ditetapkannya ahli waris
secara perseorangan, nama ahli waris disebutkan satu persatu didalam
penetapannya. Karena didalam penetapan sudah dianut asas tersebut brearti
setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa tergantung dan
terikat dengan ahli waris lainnya. Tak terkecuali ahli waris pengganti,
dengan asas ini dapat dimengerti bahwa bagian yang seharusnya didapat
oleh ahli waris yang digantikan menjadi milik ahli waris pengganti itu
sendiri.
Dalam penetapan Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb tidak dijelaskan
secara eksplisit kaidah apa yang digunakan untuk mempertegas asas
individual ini, hanya didalam penetapan tersebut telah disebutkan nama-
nama ahli waris secara perseorangan seperti yang telah dikemukakan diatas.
Akan tetapi jika melihat kaidah hukum yang ada, dalam hal ini KHI
memang tidak disebutkan secara eksplisit, hanya saja dalam Pasal 176 KHI
yang berbunyi:
“anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian,
bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua
pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan
anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding
satu dengan anak perempuan”,
dari bunyi Pasal tersebut yang menerangkan tentang besar bagian terdapat
kata “seorang” dalam rumusan Pasal tersebut, sehingga dapat dimengerti
bahwa ada bagian untuk perseorangan. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa
makna asas individual tersampaikan lewat kata “seorang”.
b. Asas bilateral
Asas yang digunakan dalam penetapan ahli waris pengganti ini adalah asas
bilateral. Asas bilateral mengandung arti bahwa harta warisan beralih melalui 2
arah, maksudnya adalah setiap orang menerima hak kewarisan dari ke dua belah
pihak yaitu pihak garis keturunan laki-laki dan pihak garis keturunan perempuan.
Dapat dilihat dalam Firman Allah SWT surah an-Nisaa ayat 7 yang berbunyi:
“bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan” dan dalam surah an-Nisaa ayat 12 yang berbunyi:
“…. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Akan tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, ….”
Dari ayat tersebut terlihat jelas bahwa kewarisan itu beralih kebawah
(anak-anak), ke atas (ayah dan ibu), dan ke samping (saudara-saudara) dari
kedua belah pihak garis keluarga yaitu laki-laki dan perempuan dan
menerima warisan dari dua garis keluarga yaitu garis laki-laki dan garis
perempuan. Sepeninggal Hj. Ponijem dan H. Hadi Pranoto maka ahli waris
sebagaimana yang terdapat dalam penetapan adalah dari garis keturunan
laki-laki dan perempuan.
Penetapan Pengadilan Agama Wonosobo dalam penetapan Nomor
43/Pdt.P/2011/PA.Wsb mengenai kedudukan ahli waris pengganti ini adalah
dengan memberlakukan penggantian ahli waris secara imperatif yakni setiap
ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris harus digantikan
oleh anak-anaknya. Sebagaimana diketahui bahwa sistem kewarisan KHI
berbentuk bilateral, maka sebagai konsekuensinya tidak ada pembedaan
kedudukan antara laki-laki dan perempuan sampai garis keturunan
manapun. Oleh karena i t u jangkauan penggantian ahli waris ini harus
meliputi seluruh garis keturunan.
Mengenai jangkauan keberlakuan penggantian ahli waris ini,
sebenarnya telah terakomodir dalam bunyi Pasal 185 ayat (1) yang
menyatakan: “ Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si
pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya”. Apabila
dicermati bunyi Pasal tersebut, polemik tentang hal ini tidak perlu terjadi
karena secara harfiah sudah memberikan makna bahwa jangkauan
penggantian ahli waris itu meliputi seluruh garis hukum baik ke bawah
maupun menyamping6. Pemahaman demikian, dapat diperoleh dengan
menyimak dua kata kunci yang ada pada pasal tersebut yaitu kata “ahli
waris” dan kata “anaknya”. Dari segi bahasa kata ahli waris merupakan
lafal “nakirah“ yang mencakup seluruh ahli waris tidak terbatas kepada
ahli waris tertentu. Dengan demikian, maka kata anaknya memberi
pengertian anak dari semua ahli waris baik dari garis ke bawah maupun
menyamping.
Apabila dalam suatu ketentuan hukum tidak ditemukan adanya
pembatasan atas keumumannya, maka keumuman itu yang diberlakukan.
Dengan berpedoman kepada keumuman lafal tersebut, maka cucu, maupun
sepupu meskipun sampai jauh mereka dapat menjadi ahli waris pengganti.
6 Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama,
2007, h. 214.
Kesimpulan ini didukung oleh tidak dikenalnya zawil arham dalam KHI.
Dengan tidak dikenalnya zawil arham memberi petunjuk bahwa semua
kerabat pewaris dapat tampil sebagai ahli waris melalui penggantian ahli
waris sepanjang tidak terhijab oleh ahli waris yang lebih utama. Oleh
karena itu anak-anak saudara laki-laki maupun anak-anak saudara
perempuan baik laki-laki atau perempuan serta anak-anak paman baik laki-
laki maupun perempuan dapat menjadi ahli waris pengganti7.
Dalam penetapan tersebut hakim tidak memberikan kaidah hukum yang
menyatakan bahwa penetapan yang dikeluarkan menganut asas bilateral. Akan
tetapi dalam KHI sudah di jelaskan dalam Pasal 174 KHI dengan di kenalnya
golongan laki laki dan golongan perempuan sehingga dalam penetapan tersebut
dapat jelas di sebutkan siapa saja ahli waris tanpa membedakan jenis
kelaminnya. Kebijakan hakim dalam penggunaan asas ini terlihat dalam
pertimbangannya dan akhirnya memutuskan adanya ahli waris pengganti
terutama dalam menetapkan Endardiyono sebagai ahli waris pengganti
menggantikan kedudukan ibunya yang merupakan saudara perempuan pewaris.
Penggantian kedudukan tersebut ditetapkan tanpa membedakan jenis kelamin
antara laki-laki maupun perempuan.
c. Asas Personalitas Ke-Islaman
Dalam asas personalitas ke-Islaman memberikan pemahaman yang
tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan Peradilan Agama,
hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas ini nampak
karena kewenangan Pengadilan Agama, berdasar Pasal 2, Pasal 49 ayat (1),
7 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-
undang Hukum Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, h. 125.
dan Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga UU Nomor 7 Tahun 1989
menyatakan Pengadilan Agama mempunyai kewenangan untuk memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara perdata bidang perkawinan, kewarisan,
wasiat, hibah, wakaf, shadaqah bagi orang yang beragama Islam.
Dari kaidah diatas dapat dipahami bahwa setiap pihak yang mengajukan
permohonan ke Pengadilan Agama selalu menganut asas personalitas ke-
Islaman tanpa haru disebutkan secara eksplisit. Sama dengan penetapan
Pengadilan Agama Wonosbo Nomor 43/Pdt.P/2012/PA.Wsb. tentang
penetapan ahli waris menganut asas personalitas ke-Islaman karena
kewenangan Pengadilan Agama hanya untuk pihak yang berpekara perdata
tertentu yang beragama Islam.
Apabila mendasarkan kepada kaidah umum bahwa setiap penggantian
mempunyai konsekuensi menggantikan segala sesuatu yang ada pada orang
yang digantikan baik kedudukan, hak maupun kewajibannya. D iadakannya
aturan ahli waris pengganti adalah untuk memenuhi rasa keadilan dan
perikemanusiaan di mana seorang tidak wajar dihukum untuk tidak
mendapatkan warisan dari kakeknya hanya karena orang tuanya telah
meninggal lebih dahulu8.
Dilihat dari kasus posisi diatas dalam hakim mengeluarkan penetapan
Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb tentang ahli waris dirasa sudah sesuai dengan
asas dan kaidah hukum yang berlaku. Dalam penetapannya pembagian warisan
dilakukan secara kekeluargaan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 183 KHI.
8 Abdul Manan, op.it., h. 208.
Pasal tersebut merupakan penjelmaan dari kaidah fikih dalam hukum Islam itu
sendiri. Kaidah fikih tersebut menjelaskan bahwa apabila sesuatau perbuatan
hukum menghasilkan kemaslahatan, disanalah hukum Allah. Hakekat maslahat
adalah segala sesuatu yang mendatangkan keuntungan dan menjauhkan dari
bencana. Dalam pandangan ahli ushul maslahat adalah memberikan hukum
syara’ kepada sesuatu yang tidak terdapat dalam nash dan ijma’ atas dasar
memelihara kemaslahatan Kemaslahatan yang dihasilkan dari pembagian harta
warisan secara damai adalah:
a. Persengketaan antara ahli waris bisa berakhir. Berakhirnya
persengketaan ahli waris, berarti merajut dan terjalin hubungan
silaturrahim antara ahli waris.
b. Menghindari konflik keluarga yang berkelanjutan. Apabila sengketa
warisan berlanjut, sepanjang itu pula konflik akan mewarnai
kehidupan para ahli waris yang sedang bersengketa, bahkan konplik
keluarga dapat berlanjut kepada keturunan masing-masing, karena
bibit permusuhan akan menurun kepada keturunan masing-masing.
Harta warisan segera terbagi dan dapat dinikmati oleh semua ahli waris
dengan segera, dapat dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga dan memberi
kebahagian bagi kehidupan keluarga karena untuk mewujukkan rumah tangga
yang bahagia, salah satu harus ditopang oleh harta yang cara perolehannya dengan
jalan yang halal, dan hal itu pula menjadi tujuan pewaris yang berjuang dalam
kehidupannya memperoleh harta untuk dinikmati anak keturunannya, bukan untuk
dipertentangkan dan melahirkan silang sengketa.
Hal tersebut merupakan bentuk dari pelaksanaan kebijakan pertimbangan
hakim juga sudah sesuai. Dalam menangani perkara waris ini, peran hakim di
Pengadilan Agama Wonosobo adalah pasif berdasarkan asas hakim bersikap
menunggu (iudex ne procedat ex officio) dan asas hakim bersikap pasif.
Praktik pembagian harta warisan secara kekeluargaan pada Pengadilan
Agama yang menjadi obyek penelitian penulis ditemukan perbedaan-perbedaan
dengan teori takharruj, sehingga ada beberapa hal yang perlu disebutkan pada
Pasal-pasal perdamaian pembagian harta warisan yang tentunya atas petunjuk dan
arahan mediatar maupun majelis hakim yang menanganai perkara yang
bersangkutan.
Sejak berlakunya KHI dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, bagi orang-orang yang beragama Islam,
dalam hal kewarisan, wasiat dan hibah, apabila ada sengketa dapat
diselesaikan di Pengadilan Agama. Pengadilan Agama merupakan peradilan
khusus di Indonesia dimana Pengadilan Agama memerikasa dan mengadili
perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, yakni perkara-
perkara perdata tertentu dan hanya untuk orang-orang Islam. Bagi masyarakat
Indonesia yang beragama Islam, dalam hal masalah kewarisan masih terdapat
kebingungan dalam hal penyelesaiannya yakni melalui Pengadilan Agama dan
Pengadilan Negeri. Dampaknya adalah bahwa banyak kasus kewarisan yang
masuk di Pengadilan Negeri dan sekaligus masuk pula di Pengadilan Agama
dimana putusannya sering pula berbeda oleh karena dasar hukum yang
digunakan juga berbeda.
Dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat,
Pengadilan Agama mendasarkan keputusannya pada ketentuan yang ada dalam
KHI. Meskipun baru berupa Instruksi Presiden, namun ketentuan-ketentuan yang
ada dalam KHI sudah digunakan layaknya undang-undang. Sebagaimana
lembaga peradilan umum, tuntutan hak yang dapat diajukan di Pengadilan
Agama dapat berupa permohonan dan dapat pula berupa gugatan. Pada kasus ini,
tuntutan hak yang diajukan adalah hak mewaris dari ahli waris yang berupa
permohonan penetapan ahli waris.
Pertimbangan putusan terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu pertimbangan
tentang fakta hukum dan pertimbangan hukumnya itu sendiri. Pertimbangan
tentang fakta diperoleh dengan cara memeriksa alat bukti secara empiris dalam
persidangan. Fakta-fakta yang terungkap di persidangan selanjutnya diuji
menggunakan teori kebenaran koresponden untuk memperoleh fakta hukum dan
petunjuk. Sedangkan pertimbangan hukum merupakan bagian pertimbangan
yang memuat uji verifikasi antara fakta hukum dengan berbagai teori dan
peraturan perundang-undangan. Terbukti tidaknya suatu perkara di pengadilan
sangat tergantung pada pertimbangan hukumnya.
Sejauh ini dapat diamati bahwa di antara sekian banyak perangkat
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, perangkat hukum
Islam yang masih belum populer di masyarakat, khususnya mengenai hukum
waris Islam. Hal ini dipengaruhi oleh budaya Indonesia itu sendiri yang
memiliki pemahaman bahwa hukum Islam bersandar pada ketentuan dalam Al
Qur’an dan Al Hadis. Selain Al Qur’an dan Al Hadis, harusnya dipertegas lagi
dengan peraturan perundang-undangan sebagai turunan dari Al Qur’an dan Al
Hadis.
Salah satu kendala yang dihadapi oleh para praktisi hukum, dalam hal
ini hakim, dalam upaya penerapan ketentuan hukum waris Islam adalah
peraturan hukumnya belum sempurna. Pedoman hakim dalam menjatuhkan
putusan dalam perkara-perkara hukum waris Islam hanya berdasar pada KHI dan
Yurisprudensi di luar Al Qur’an dan Al Hadis. Sejauh ini, belum ada produk
hukum baru yang mengatur secara eksplisit tentang hukum waris Islam.
Di dalam dunia pengadilan, sebenarnya hanya ada satu hal pokok yang
dicari para justiabalance (pencari keadilan) yaitu Putusan Hakim. Untuk
lahirnya sebuah putusan diperlukan beberapa prosedur tententu, dan ada
berbagai jenis putusan yang akan dilahirkan dari dunia peradilan. Adapun
yang dimaksud dengan penetapan adalah keputusan pengadilan atas perkara
permohonan (volunter), misalnya penetapan dalam perkara dispensasi nikah,
izin nikah, wali adhal, poligami, perwalian, itsbat nikah, dan sebagainya.
Penetapan merupakan jurisdiction valuntaria (bukan peradilan yang
sesungguhnya). Karena pada penetapan hanya ada permohon tidak ada lawan
hukum. Dalam penetapan hakim tidak menggunakan kata “mengadili”, namun
cukup dengan menggunakan kata ”menetapkan”.
Penyebutan kedudukan dan besarnya porsi bagian masing-masing ahli waris
dalam akta perdamaian merupakan salah satu bentuk sosialisasi tentang hukum
kewarisan Islam, sekaligus realisasi pelaksanaan perintah untuk memepelajari dan
mengajarkan hukum kewarisan Islam. Putusan hakim khususnya perkara warisan
paling tidak dibaca oleh pihak yang bersengketa, sehingga yang membacanya
dapat memahami kedudukan dan bagianya dalam hukum kewarisan Islam.
2. Asas dan kaidah yang diterapkan dalam Pembagian Waris
Secara substansi, pembagian harta warisan sebagaimana yang ditetapkan PA
Wonosobo dalam Penetapan Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb dilaksanakan secara
kekeluargaan hal ini dikarenakan agar pembagian harta warisan bisa secara adil
dan berakhir damai berdasarkan prinsip musyawarah. Para ahli waris
bermusyawarah dan bersepakat tentang bagian masing-masing ahli waris.
Pembagian harta warisan dalam bentuk ini berdasarkan keinginan para ahli waris
yang telah disepakati secara bersama-sama.
Meskipun ahli waris merasa tidak berkeberatan atas model pembagian
warisan secara kekeluargaan, bukan berarti hal itu menggugurkan kewajiban
untuk menerapkan hukum waris Islam. Maka dari itu untuk menegakkan hukum
waris Islam, akan lebih baik pembagiannya dilakukan sesuai syariat Islam dan
hukum waris Islam. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 183 KHI. Hal ini juga untuk
menanggulangi jika suatu saat menimbulkan akibat rasa kurang puas diantara
keluarga lainnya9.
Pembagian waris dengan prinsip kekeluargaan sesungguhnya didasarkan
pada keyakinan para ulama fiqh bahwa masalah waris adalah hak individu di
mana yang mempunyai hak boleh menggunakan atau tidak menggunakan
9 Departemen Agama RI, Analisa Hukum Islam Bidang Waris, Jakarta, Direktorat Pembinaan
Badan Peradilan Agama, 1999, h. 4.
haknya, atau menggunakan haknya dengan cara tertentu selama tidak merugikan
pihak lain sesuai aturan standar yang berlaku dalam situasi biasa10
.
Asas dan kaidah yang digunakan dalam pembagian waris, antara lain:
a. Asas Personalitas Ke-Islaman
Asas personalitas ke-Islaman tidak secara eksplisit diterangkan akan
tetapi dalam hal pembagian yang dilaksanakan asas ini ada karena semua
yang ditetapkan sebagai ahli waris beragama Islam.
Hal ini terlihat dalam hasil penelitian dimana hakim PA Wonosobo
menetapkan ahli waris Hj. Ponijem adalah:
1) H. Hadi Pranoto (suami) beragama Islam.
2) Tikno Harjono (Saudara laki-laki seibu) beragama Islam.
3) Endardiyono (menggantikan kedudukan Daliyem, Saudara
perempuan seibu) beragama Islam.
Dalam penetapan sudah disebutkan sebagai ahli waris, berarti semua
yang disebutkan beragama Islam, jika tidak beragam Islam tidak bisa
menjadi ahli waris karena terhalang menjadi ahli waris, hal ini sesuai dengan
syarat menjadi ahli waris dalam KHI. Pasal 171 huruf c KHI menerangkan
bahwa syarat menjadi ahli waris adalah beragama Islam.
Kaidah yang mendasari adalah kebiasaan yang ada di lingkungan
sekitar, karena dilingkungan sekitar menurut Hj. Kusmartini salah satu tokoh
masyarakat menyatakan bahwa pembagian di Kertek, Wonosobo jika
berbeda agama tidak dapat mewaris11
.
b. Asas Musyawarah
10
H Zainuddin Ali, op.it., h. 4. 11
Wawancara dengan Hj. Kusmartini, Wonosobo, 10 November 2012
Pembagian yang dilakukan oleh keluarga secara musyawarah, hal ini
dikarenakan dalam penetapan disebutkan bahwa pembagian dilaksanakan
secara kekeluargaan. Sehingga keluarga berfikir cara yang paling tepat
melalui musyawarah, musyawarah dilaksanakan pada tanggal 11 September
2011 antara Endardiyono dengan Triyanti, Trianingsih, Tri Indayani, Tanti
Cristina, Liston Setiawan dan Lin Sundarwan yang merupakan anak-anak
Tikno Harjono. Selama musyawarah hanya dibahas mengenai bagian yang
diperoleh, dari anak-anak Tikno Harjono telah mengatakan bagian yang
didapat Endardiyono 1/7 (dianggap anak oleh Tikno Harjono sehingga
kedudukan Endardiyo disetarakan anak-anak Tikno Harjono), akan tetapi
Endardiyono menolak dan akhirnya dari pihak anak-anak Tikno Harjono
bagian Endardiyono dinaikan menjadi 1/6, pembagian tersebut tidak sesuai
dan dari cara pembagiaan seperti diatas merugikan Endardiyono dan yang
paling penting musyawarah itu tidak sesuai dengan tujuan musyawarah yang
bijak selain tidak sesuai dengan tujuan musyawarah. Musyawarah yang
dilakukan antara anak-anak Tikno Harjono dengan Endardiyono menurut
penulis tidak tercapai hal ini nampak pada jumlah pihak yang
bermusyawarah seharusnya pihak yang bermusyawarah seimbang, menurut
pendapat Ibu Dyah Hapsari Prananingrum dalam ujian skripsi tanggal 15
Januari 2014 menyatakan bahwa dalam musyawarah yang dilakukan
pihaknya tidak seimbang sehingga musyawarah tersebut menghasilkan
putusan musyawarah yang semu.
Musyawarah sendiri memiliki tujuan agar tidak menimbulkan
perselisihan diantara anggota keluarga akan tetapi apabila musyawarah
hanya menimbulkan perselisihan diantara keluarga maka makna musyawarah
menjadi hilang, sehingga lebih baik jika pembagian dilakukan menurut
hukum waris Islam selain mengurangi perselisihan hal ini juga untuk
menegakkan hukum waris Islam.
Kaidah dari asas musyawarah ini adalah kebiasaan yang ada
dimasyarakat sekitar, dimana ada hal yang perlu diselesaikan atau
dibicarakan hal tersebut dilakukan dengan musyawarah.
c. Asas Individual
Pembagian yang diterapkan ketika musyawarah dihitung dengan
banyaknya berapa individu yang akan memperoleh. Bagian yang diperoleh
dari musyawarah berdasar dari jumlah anak-anak Tikno Harjono dengan
Endardiyono karena anak-anak Tikno Harjono berjumlah 6 orang ditambah
dengan Endardiyono 1 orang sehingga harta warisan tersebut dibagi 7 orang,
agar masing-masing bisa mendapat bagiannya secara individual. Akan tetapi
hal ini sangatlah keliru karena anak-anak Tikno Harjono hanya
menggantikan Tikno Harjono ketika bermusyawarah dengan Endardiyono,
bukan menggantikan kedudukan Tikno Harjono sebagai ahli waris.
Hasil pembagian yang dilakukan oleh anak-anak Tikno Harjono
bersama Endardiyono dengan hasil bagian yang didapat Endardiyono 1/6
bagian dan 5/6 bagian untuk anak-anak Tikno Harjono itu sangat keliru
menurut penulis. Hal ini berdasar pada kenyataan bahwa anak-anak Tikno
Harjono bukan ahli waris dari Hj. Ponijem. Anak-anak Tikno Harjono hanya
mewakili Tikno Harjono pada saat musyawarah pembagian dengan
Endardiyono, yang menjadi ahli waris dari Hj. Ponijem adalah Tikno
Harjono dan Endardiyono.
Untuk menerapkan asas individual yang benar, seharusnya pembagian
yang dilakukan adalah pembagian untuk Tikno Harjono dengan
Endardiyono. Pembagian yang sesuai menurut asas keadilan berimbang dan
asas bilateral, hitungannya adalah 2:1 dengan ketentuan 2/3 bagian untuk
Tikno Harjono karena Tikno Harjono merupakan saudara laki-laki pewaris
dan 1/3 bagian untuk Endardiyono karena Endardiyono menggantikan
kedudukan ibunya yang merupakan saudara perempuan pewaris. Dasar
hukum untuk pembagian seperti diatas adalah asas bilateral dan asas keadilan
berimbang yang menyatakan bahwa keseimbangan terjadi antara laki-laki
dan perempuan disesuaikan dengan hak dan kewajibannya, karena laki-laki
mempunyai kewajiban lebih besar daripada perempuan maka bagian yang
didapat adalah 2:1. Dalam Pasal 182 KHI yang berbunyi: “.... maka bagian
saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan”
sehingga bagian diatas sesuai dengan KHI.
Pelaksanaan pembagian harta warisan yang dilakukan oleh anak-anak
Tikno Harjono bersama Endardiyono diatas menciderai beberapa asas dan
beberapa kaidah, diantaranya kaidah Pasal 185 KHI. Terdapat beberapa poin,
pertama Endardiyono yang ditetapkan sebagai ahli waris pengganti
menggantikan kedudukan ibunya tidak diterapkan dalam pelaksanaan
pembagian waris. Endardiyono didalam pembagian kedudukannya disamakan
dengan anak-anak Tikno Harjono. Kedua pada saat musyawarah dilakukan,
penghitungan pembagiannya bukan antara Tikno Harjono dengan
Endardiyono melainkan antara anak-anak Tikno Harjono dengan Endardiyono.
Hal ini seolah-olah memberikan kesan kedudukan Tikno Harjono digantikan
oleh anak-anak Tikno Harjono. Padahal sampai saat ini Tikno Harjono masih
hidup. Dua poin diatas adalah penjelasan tentang kaidah hukum Pasal 185
KHI yang diciderai dalam palaksanaannya.
Dalam pelaksanaan pembagian waris kedudukan Endardiyono sebagai
ahli waris pengganti tidak diakui oleh anak-anak Tikno Harjono sehingga
selain menciderai Pasal 185 KHI hal tersebut menciderai aturan lingkungan
sekitar. Seperti yang telah diketahui pendapat dari tokoh masyarakat12
sekitar
mengatakan terdapat ahli waris pengganti walaupun tidak dikenal dengan
nama tersebut akan tetapi dari hasil wawancara yang telah dilakukan terdapat
sebuah aturan waris yang memiliki maksud sama yaitu “ngijoli” sehingga
pelaksanaan pembagian waris diatas tidak sesuai dengan konsep aturan yang
ada dilingkungan sekitar tempat pembagian itu dilaksanakan.
Dalam kasus sebagaimana yang dialami Endardiyono maka
seyogyanya ketentuan pasal 185 KHI diberlakukan secara total, karena
memang dasar tersebut yang digunakan dalam menentukan ahli waris
pengganti.
Sebagaimana dikutip Prof. Satria, Abu Zahrah, seorang ulama usul
fiqh kenamaan menegaskan kemungkinan pembagian warisan secara
kekeluargaan ini. Namun demikian, persyaratan paling utama yang harus
dipenuhi adalah adanya kesepakatan dan kerelaan dari para ahli waris13
.
12
Tokoh masyarakat disini adalah Widodo Ali Partono dan Ngadino yang telah dipaparkan di
hasil penelitian . 13
Satria Effendi Sein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta, Kencana, 2004, h. 217.
Lebih jauh, ahli waris tersebut juga dapat menggugurkan haknya untuk
tidak mendapatkan hak waris dan memberikannya kepada ahli waris yang
lain. Sebaliknya, bila para ahli waris, atau di antara ahli waris tidak
setuju atau tidak rela harta warisan tersebut dibagi secara kekeluargaan,
maka sistem pembagiannya dilakukan sesuai aturan faraid yang telah
dijelaskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, atau dalam konteks Indonesia,
sesuai peraturan perundang-undangan yang telah menjelaskan hal itu. Hal
tersebut menunjukkan bahwa prinsip kekeluargaan yang pada intinya adalah
untuk kemaslahatan hubungan kekeluargaan tidak dapat tercipta, sehingga
pembagian warisan dapat menggunakan aturan sesuai dengan Hukum Islam
maupun Hukum Barat.
Dalam hal ahli waris pengganti tidak dapat menerima putusan
pembagian waris yang dilakukan keluarga, maka dapat dilakukan melalui
dua upaya hukum, yaitu melalui Pengadilan Agama untuk menetapkan
besaran bagian warisan.
Penggunaan asas dan kaidah yang digunakan hakim dalam penetapan
nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb tentang ahli waris dengan penggunaan asas
dan kaidah yang digunakan dalam pembagian secara keseluruhan hampir
sama hanya terdapat perbedaan di dalam penggunaan asas dan kaidah di
pembagian. Didalam penetapan tidak ada asas musyawarah karena didalam
penetapan tidak disebutkan tentang pembagian hanya penetapan tentang ahli
waris saja.
Recommended