View
214
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
34
BAB III
HASIL PENELLITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Kewenangan Legislasi DPD Menurut UUD RI 1945 dan
UU Nomor 17 Tahun 2014
Amandemen Undang-undang Dasar 1945 telah mereformasi lembaga-
lembaga negara, baik di tingkat legislatif, esksekutif, dan yudikatif. Mahkamah
Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga-
lembaga negara yang baru diperkenalkan dalam Undang-undang Dasar 1945
(paska perubahan). Kedudukan dan fungsi Mahkamah Konstitusi, Komisi
Yudisial, dan Dewan Perwakilan Daerah merupakan bagian terpenting dalam
reformasi ketatanegaraan Indoensia.
Lahirnya Dewan Perwakilan Daerah dalam ketatanegaraan Indonesia
digagas untuk meningkatkan keterwakilan daerah dalam proses pengambilan
keputusan politik penyelenggaraan negara dengan harapan agar tercipta integrasi
bangsa yang kokoh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kehadiran DPD tidak dapat dilepaskan dari hubungan Pusat dan Daerah yang
selalu mengalami ketegangan sejak kemerdekaan Indonesia. Dengan terbentuknya
DPD, kepentingan-kepentingan daerah dapat terakomodasi.1
Ada tiga kewenangan DPD yang bersinggungan dengan DPR, Pemerintah
Daerah, dan Presiden secara bersamaan; yaitu, pertama kewenangan DPD untuk
mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
1
35
pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kedua, kewenangan DPD dalam proses
pembahasan dan pertimbangan atas RUU. Ketiga, kewenangan DPD dalam
pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang.2
Pendapat peneliti bagaimana?
1. Peran DPD sebagai Pengusul RUU
Pasal 22D ayat (1) “DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan
undang-undang yangberkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah”.
DPD pada dasarnya tidak memegang kekuasaan untuk membentuk UU.
DPD hanya dapat mengajukan UU kepada DPR. Dengan demikian DPD tidak
mempunyai hak inisiatif mandiri dalam pembuatan UU. Dengan demikian, DPD
tidaklah mempunyai ‘kekuatan konstitusional’untuk berkompetisi. Karena DPD
sesungguhnya tidak mempunyai wewenang sampai pada tingkat pengambilan
keputusan termasuk dalam proses legislasi. Kalaupun DPD dapat mengajukan
RUU, kekuatannya pun tidak mutlak karena secara sistematik ketentuan ini
berkaitan dengan pasal 20 Ayat (1) “DPR memegang kekuasaan membentuk
UU”. Berdasarkan ketentuan ini terlihat jelas, pengambilan keputusan mengenai
2Arifin Firmansyah dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara,
Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005. Hlm. 159
36
legislasi hanya dilakukan DPR dan Presiden. DPD dapat ikut membahas, tetapi
tidak untuk mengambil keputusan. Demikian pula dalam hal mengusulkan RUU,
diatur Pasal 42 UU Susduk.3
(1) DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) DPD mengusulkan RUU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
DPR dan DPR mengundang untuk pembahasan sesuai Tatib DPR.
(3) Pembahsan RUU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
sebelum DPR membahas RUU dimaksud pada ayat (1) dengan
pemerintah.
Dalam hal pengajuan RUU, Presiden bisa berinisiatif untuk mengajukan
RUU kepada lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan rakyat tersebut
akan menentukan pembahasannya akan dilakukan oleh DPR atau DPD. Jika
inisiatif itu datang dari DPR atau DPD, maka lembaga perwakilan yang lebih dulu
mendaftarkan draf usul rancangannya kepada badan legislasif, itulah yang harus
membahas rancangan undang-undang tersebut. Akan tetapi, bersamaan dengan
itu, ditentukan pula hubungan Check and Balances di antara kedua kamar
3 Bivitri Susanti, Bukan SekedarLembaga Pemberi Pertimbangan: Peran Dewan Perwakilan
Daerah dalam Proses Legislasi, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan 2005. Hlm. 5
37
parlemen itu, termasuk juga dengan Presiden, yaitu dengan mengatur adanya hak
veto di antara mereka.4
2. Peran DPD sebagai Peserta Pembahasan dan Pertimbangan RUU
Pasal 22D ayat (2): “DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
sertapenggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta peimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan
pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama”.
Apakah yang dimaksud DPD ikut membahas RUU sepintas lalu frasa ini
seperti memberi peran kepada DPD, padahal tidak demikian. Ketentuan ini
menguatkan pendirian, DPD tidak mempunyai hak inisiatif mandiri dalam
membentuk UU (sekalipun dibidang yang berkaitan dengan otonomi daerah).5
Peran DPD sebagai peserta pembahas RUU dinyatakan pasal 43 UU No. 22
Tahun 2002, yaitu:
(1) DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
4 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi Jakarta: Sinar Grafika,
Cetakan kedua 2012. Hlm. 25 5 Efriza dan Syafuan Rozi, Parlemen Indonesia Geliat Volksraad Hingga DPD Mnembus Lorong
Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti. Bandung: Alfabeta 2010. Hlm. 335
38
keuangan pusat dan daerah, yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh
Pemerintah.
(2) DPD diundang oleh DPR untuk melakukan pembahasan RUU
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersama dengan pemerintah pada
awal pembicaraan Tingkat I sesuai dengan Tatib DPR.
(3) Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan bersama anatara DPR, DPD, dan pemerintah dalam hal
penyampaian pandangan dan pendapat DPD atas RUU, serta
tanggapan atas pandangan dan pendapat masing-masing lembaga.
(4) Pandangan, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dijadikan sebagai masukan untuk pembahasan lebih lanjut antara
DPR dan pemerintah.
Sama halnya dengan perannya untuk mengusulkan RUU, untuk perannya
yang satu ini, DPD jugatidak memiliki peran yang penting. Pandangan dari DPD
yang didapatkan oleh DPR selama pembahasan, di atas kertas, sifatnya akan sama
dengan pandangan yang didapatkan fraksi-fraksi didalam DPR. Bahkan ada
bagian dari pasal 22D ayat (2) yang melemahkan DPD, yaitu hanya memberi
pertimbangan kepada DPR mengenai RUU APBN, dan RUU yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan, dan agama. Justru dalam APBN, pajak, pendidikan,
dan agama harus dibahas bersama DPD karena bukan saja menyangkut politik
negara tetapi kepentingan daerah.6
3. Peran DPD sebagai Pengawas
6 Ibid, Hlm. 336.
39
Pasal 22D ayat (3): “DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan
UU mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonmi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama
serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan
pertimbnangan untuk di tindaklanjuti”.
Fungsi pengawasan adalah fungsi yang sangat luas cakupannya. Bahkan
dalam kadar tertentu, fungsi legislasi dan anggaran punya dampak pengawasan
yang signifikan. Fungsi pengawasan DPD telah diatur dalam pasal 46:
(1) DPD dapat melakukan pengawasan dan pelaksanaan UU mengenai
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak,
pendidikan, dan agama.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud padaayat (1) merupakan
pengawasan atas pelaksanaan UU.
(3) Hasil pengawasan sebgaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Hal yang dimaksud DPD dapat melakukan pengawasan sebagaimana
ketentuan ini adalah:7
7 Lihat, Penjelasan Pasal 46 ayat (2) UU Susduk.
40
a. DPD menerima dan membahas hasil-hasil pemeriksaan keuangan negara
yang dilakukan oeh BPK untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan
UU tertentu.
b. DPD dapat meminta secara tertulis kepada pemerintah tentang
pelaksanaan UU tertentu.
c. DPD menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat
berkaitan dengan pelaksanaan UU tertentu.
d. DPD mengadakan kunker ke daerah untuk melakukan
monitoring/pemantauan atas pelaksanaan UU tertentu.
Peran DPD sebagai fungsi pegawas sangat kecil karena DPD tidak punya
hak untuk menindaklanjuti pengawasannya. DPD dapat melakukan pengawasan
atas pelaksanaan UU, yang selanjutnya hasil pengawasan tidak dapat
ditindaklanjuti sendir oleh DPD, karena DPD menyampaikan hasil
pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk
ditindaklanjuti. Dengan demikian, DPR lah yang menentukan digunakan atau
tidak digunakannya hasil pengawasan tersebut.
Kewenangan lain dari DPD yaitu memberikan pertimbangan dalam
pemilihan anggota BPK. Dalam hal itu, DPD bersinggungan dengan DPR sebagai
lembaga yang memilih anggota BPK dan Presiden yang berwenang menetapkan
ketua BPK dan anggota BPK. Selain itu, DPD memiliki wewenang untuk
menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK.8
8Ibid, Hlm. 159
41
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau di singkat dengan UU MD3 DPD
mempunyai kewenangan dan tugas sebagai berikut:
1. Mengajukan rancangan undang-undang yang berkaita dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR.
2. Ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR.
3. Menyusun dan menyampaikan daftar inventaris masalah rancangan
undang-undang yangberasal dari DPR atau Presiden yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
4. Memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-
undang tentang APBN, dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
42
5. Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-
undangmengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
6. Menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan udang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti.
7. Menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK
sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN.
8. Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota
BPK, dan;
9. Menyesusun programlegislasi nasional yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.9
9 Muslim Mufti dan Ahmad Syamsir, Pembangunan Politik, Pustaka Setia: Bandung 2016. Hlm.
289.
43
Dengan penjabaran di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
kewenangan DPD dalam proses legislasi baik itu di dalam UUD RI 1945 ataupun
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 bahwa peran DPD dalam proses legislasi
hanya sebatas dalam pengajuan RUU dan pembahasan, akan tetapi dalam hal
keputusan/pengesahan UU, DPD tidak berhak karena yang punya hak adalah DPR
sebagaiman di atur dalam pasal 20 ayat (1) UUD RI 1945.
Kurang literatur, pendapat peneliti
B. Hubungan Kewenangan DPD dan DPR dalam Proses Legislasi yang
Merepresentasikan Aspirasi Daerah
Ketika pertama kali didirikan pada tahun 1945, struktur parlemen negara
Republik Indonesia di idealkan berkamar tunggal (unikameral) tetapi dengan
variasi yang dikaitkan dengan teori kedaulatan rakyat yang dibayangkan dapat
diorganisasikan secara total kedalam suatu organ bernama Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Majelis inilah yang di anggap sebagai penjelmaan
seluruh rakyat dan pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat itu, sehingga diidealkan
menjadi lembaga yang tertinggi dalam bangunan organisasi negara. Pandangan
demikian inilah yang tercermin dalam rumusan Pasal 1 ayat (2) dan diuraikan
lebih lanjut dalam penjelasan UUD 1945 seperti disimpulkan oleh Soepomo pada
Sidang pertama Rapat Besar Panitia Persisapan Kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 18 agustus 1945. Jadi, Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah suatu
badan negara yang memegang kedaulatan rakyat, ialah suatu badan yang paling
tinggi, yang tidak terbatas kekuasaannya.
44
Dalam sistem Check and Balances tidak hanya diperlukan dalam hubungan
antara eksekutif dan legislatif, akan tetapi didalam badan legislatif sendiri perlu
adanya pertimbangan kekuasaan. Terbatasnya kewenangan yang dimiliki DPD
memberikan gambaran bahwa sistem bikameral Indonesia tidak dibangun dalam
kerangka Check and Balances. Keterbatasan itu memberi makna, gagasan
menciptakan sistem dua kamar untuk mengakomodasi kepentingan daerah dalam
menciptakan keadilan distribusi kekuasaan menjadi suatu yang utopis. Oleh
karena itu dapat dimengerti jika DPD kehilangan kekuatan untuk
mengklasifikasikan kepentingan politik daerah pada setiap proses perbuatan
keputusan di tingkat nasional. Tidak hanya itu, kalau dilihat dari sudut pandang
proses menjadi anggota parlemen, kewenangan terbatas yang dimiliki DPD
menjadi tidak seimbang dengan tingkat kesulitan untuk menjadi anggota DPD.
Setelah lolos menjadi calon, perjuangan untuk terpilih jauh lebih berat dan sulit
dibandingkan menjadi anggota DPR.10
Salah satu perubahan yang dilakukan terhadap UUD 1945 ialah dibentuknya
badan baru yang bernama DPD. Raison d’etre dari keberadaan DPD, untuk
mengakomodasikan semangat Check and Balances tidak hanya antar pusat dan
daerah, tapi juga didalam parlemen itu sendiri. Namun, tidak adanya posisi equal
melainkan inequality (ketidaksetaraan) antara hubungan kerjasamanya dengan
DPR, serta posisi DPD kembali timpang dan/atau lebih subordinated bukan
coordinated dengan DPR ketika Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 tentang
susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang disahkan Presiden Megawati pada 31
10M. Arsyad Mawardi, Pengawasan dan Keseimbangan Antara DPR dan Presiden dalam Sistem
Ketatanegaraan RI, Jurnal Hukum No.1 Vol.15. Hlm. 76.
45
juli 2003 banayak mereduksi kewenangan ideal yang seharusnya dimiliki kamar
kedua dalam sebuah sistem bikameral.11
Dengan kata lain, ketentuan dalam UU susduk sangat membatasi kewenangan
DPD untuk terlibat dalam proses pembuatan sebuah Undang-undang. DPD hanya
dapat sebatas mengajukan usul dan ikut dalam pembahasan serta memberikan
pertimbangan tanpa diiringi kewenangan untuk mengambil keputusan.12
Hal yang menarik juga adalah upaya untuk kembali melakukan amandemen
UUD 1945 bukan hal yang mudah. Dengan jumlah anggota DPD yang tidak
cukup untuk mengajukan amandemen atau bahkan pengajuan konstitusi baru
membuat DPD secara prinsip membutuhkan sokongan politik dari anggota DPR
untuk bersama-sama mendorong terjadinya amandemen atau pengajuan konstitusi
baru. Permasalahannya, apakah kita melakukan amandemen UUD 1945 atau
bahkan mengajukan satu draf konstitusi baru adalah bagian dari proses penguatan
DPD dalam sistem bikameral, secara prinsip keberadaan UUD 1945 tidak lagi
cukup mampu menjadi satu perangkat konstitusi yang dapat menjembatani dan
memayungi semua proses politik kenegaraan.13
Upaya tambal sulam, telah dilakukan empat kali amandemen terhadap UUD
1945, bandingkan dengan Thailand misalnya, telah melakukan 14 kali
amandemen konstitusinya. Sebaliknya, apabila pergantian konstitusi, dari UUD
1945 ke konstitusi baru telah terjadi dua kali yakni ke RIS, dan UUDS 1950,
11Efriza dan Syafuan Rozi, Parlemen Indonesia Geliat Volksraad Hingga DPD Menembus lorong
Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti. Bandung: Alfabet, 2010. Hlm. 329 12Ibid, Hlm. 329 13Ibid, Hlm. 329
46
keduanya ternegasikan dengan dengan adanya dekrit Presiden 5 juli 1959, yang
memutuskan kembali menggunakan UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara. Dalam
upaya mengganti konstitusi, kita bisa berkaca pada proses perubahan konstitusi
Perancis. Kedua-duanya; amandemen atau konstitusi baru adalah upaya
membangun penguatan sistem ketatanegaraan yang efektif, efisien, adil dan
adanya mekanisme Check and Balances.14
Permasalahan antara DPD dengan DPR adalah kerdilnya fungsi DPD dalam
konstitusi dan dari berbagai UU turunannya. Diakui, kelahiran DPD sebagai
lembaga pewrwakilan belum mengarah kepada adanya tugas, fungsi, dan
wewenang yang sama dengan DPR. UUD 1945 yang mengatur DPD, dan UU
turunannya seperti UU Susduk, dalam hubungan antara DPD dan DPR,
kedudukan DPD sangat lemah karena fungsinya hanya memberi pertimbangan
kepada DPR. Dikemukakan Muswadi Rauf, “Mekanisme kerja dalam hubungan
DPD dengan DPR, hanya memberikan masukan tentang legislasi dalam hal ini
memberikan masukan RUU daerah tapi yang memutuskan adalah lembaga DPR.
Dalam fungsi pengawasan mengundang menteri, dengar pendapat umum, rapat
kerja menteri namun keputusan akhir ditangan DPR. Begitu juga dengan RAPBN,
sama, semua diputuskan DPR sementar DPD tidak memutuskan”.15
Pandangan senada juga dikemukakan pengamat politik CSIS, Indra Jaya
Piliang, yakni: “DPD itu berhak mengajukan RUU. Artinya harus dirumuskan
DPD, diberikan kepada PAH versi DPD, lalu mengajukan kepada DPR dalam
14 http:// muradi.wordpress.com/2007/01/06/akseptabilitas-politik-dpd-dan-amandemen-kembali-
uud-1945/ 15 Ibid, Efriza dan Syafuan Rozi. Hlm. 329
47
legislasi nasional. Apabila DPR setuju, maka terbentuk. Tapi, apakah DPR akan
menerima hak inisiatif dari DPD? karena ada perbedaan pandangan dan
kepentingan. Karena DPR yang mengatasnamakan parpol lebih mementingkan
kepentingannya, sementara DPD konsituen di daerah. Dalam pengawasan BPK.
DPD memberikan rekomendasi, bukan keharusan karena DPD cuma dapat
mengajukan pengawasan kepada DPR. Begitu juga dengan hal APBN, DPD tidak
dapat berbuat banyak, karena DPR minta pertimbangan dalam hal yang mepet
yakni satu sampai dua hari, sehingga kurang sempurna. Kecuali DPD menjadi
MPR dalam hal impeachment terhadap Presiden, maka kewenangan mereka
adalah setara. Jadi, bisi dilihat dalam hal perubahan UUD 1945 , DPD
kewenangannya masih sangat terbatas”.16
C. Analisis Siyasah Dusturiyah Terhadap Kewenangan DPD Menurut
UUD RI 1945 dan UU Nomor 17 Tahun 2014 yang Merepresentasikan
Aspirasi Daerah
Kewenangan DPD yang termaktub dalam UUD NRI 1945 dan Undang-
undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Provinsi dan
kabupaten kota, bahwa DPD mempunyai kewenangan dalam legislasi yang
berkaitan dengan daerah. Yang menjadi cakupan DPD itu adalah dalam hal RUU
otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daearah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
16 Ibid, Efriza dan Syafuan Rozi. Hlm. 329.
48
Cabang kekuasaan legislatif adalah cabang kekuasaan yang pertama
mencerminkan kedaualatan rakyat. Kegiatan bernegara, pertama-tama adalah
untuk mengatur kehidupan bersama. Oleh sebeb itu, kewenangan menetapkan
peraturan itu pertama-tama harus diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat
atau parlemen atau lembaga legislatif. Ada tiga hal penting yang harus diatur oleh
para wakil rakyat melalui parlemen, yaitu: (i) pengaturan yang dapat mengurangi
hak dan kebebasan warga negara; (ii) pengaturan yang dapat membebani harta
kekayaan warga negara; dan (iii) pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran
oleh penyelenggara negara. Pengaturan mengenai ketiga hal tersebut hanya dapat
dilakukan atas persetujuan dari warga negara sendiri, yaitu melalui perantaraan
wakil-wakil mereka diparlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat.17
Dalam hal ini, tanpa delegasi pun pemerintah dianggap berwenang
menetapkan peraturan dibawah undang-undang secara mandiri atau otonomi,
meskipun tidak diperintah oleh undang-undang. Selain itu, fungsi legislatif juga
menyangkut empat bentuk kegiatan, yaitu:
1) Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation);
2) Pembahasan rancangan undang-undang (law making proces);
3) Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law
enactment approval);
4) Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian
atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang
17Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cetakan ke 7, edisi revisi, Jakarta:
Rajawali Pers, 2016. Hlm. 299.
49
mengikat lainnya (binding decision making on international
agreement and treaties or other legal binding document).18
Fungsi parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat yang paling pokok
sebenarnya adalah fungsi representasi atau perwakilan itu sendiri. Lembaga
perwakilan tanpa representasi tentulah tidak bermakna sama sekali. Dalam
hubungan itu, penting dibedakan antara pengertian representation in presence dan
representation in ideas. Pengertian pertama bersifat formal, yaitu keterwakilan
yang dipandang dari segi kehadiran fisik. Sedangkan, pengertian keterwakilan
yang kedua bersifat substansif, yaitu perwakilan atas dasar aspirasi atau idea.
Dalam pengertian yang formal, keterwakilan itu sudah dianggap ada apabila
secara fisik dan resmi, wakil rakyat yang terpilih sudah duduk dilembaga
perwakilan rakyat. Akan tetapi, secara substansial, keterwakilan rakyat itu sendiri
baru dapat dikatakan tersalur apabila kepentingan nilai, aspirasi, dan pendapat
rakyat yang diwakili benar-benar telah diperjuangkan dan berhasil menjadi bagian
dari kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat yang
bersangkutan, atau setidak-tidaknya aspirasi mereka itu sudah benar-benar
diperjuangkan sehingga memengaruhi perumusan kebijakan yang ditetapkan oleh
parlemen. Dalam rangka pelembagaan fungsi representasi dikenal pula adanya
tiga sistem perwakilan yang dipraktikan di berbagai negara demokrasi. Ketiga
fungsi itu adalah:
1. Sistem perwakilan politik (political representation)
2. Sistem perwakilan teritorial (territorial atau regional representation)
18Ibid, Hlm. 300.
50
3. Sistem perwakilan fungsional (functional representation).19
Sistem perwakilan politik menghasilkan wakil-wakil politik (political
representatives), sistem perwakilan teritorial menghasilkan wakil-wakil daerah
(territorial reprentatives atau regional representatives). Sementara itu, sistem
perwakilan fungsional menghasilkan wakil-wakil golongan fungsional (functional
representatives). Misalnya anggota DPR yang berasal dari partai politik
merupakan contoh dari perwakilan politik, sementara anggota DPD yang berasal
dari tiap-tiap daerah provinsi adalah contoh dari perwakilan teritorial atau
regional representation. Sedangkan, anggota utusan golongan dalam sistem
keanggotan MPR di masa Orde Baru (sebelum perubahan UUD 1945) adalah
contoh dari sistem perwakilan fungsioanl (functional representation).20
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), “dewan” berasal dari bahasa persia
diwan yangartinya lembaga atau badan; “perwakilan” dari kata wakil dalam
bahasa Arab, artinya orang atau pihak yang mendapatkan mandat atau amanat
untuk bertindak atas nama dan demi kepentingan pihak yang diwakili; “rakyat”,
sudah dijelaskan dalam syarah tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (lihat
Syarah No. 18 Bab II). Meskipun secara formal kedudukan DPD lebih rendah
dibandingkan dengan DPR, tetapi fungsinya tidak kalah penting dan strategis.
Lebih-lebih dalamsistem ketatanegaraan Republik Indonesia di Era Reformasi,
19 Ibid, Hlm. 305 20 Ibid, Hlm. 306
51
atau pasca Orde Baru, seperti terlihat dalam pasal-pasal dan ayat-ayat UUD 1945
versi Amandemen, yang tampak benar sejajar dengan kedudukan DPR.21
Dalam perspektif Islam, yang jadi masalah dari lembaga tinggi negara ini
bukan perihal kedudukan dan kewenangannya dalam UUD, melainkan pada bobot
komitmen dan kualitas kerja para anggotanya yang pada gilirannya bermuara pada
kinerja kelembagaannya, sebagai wakil rakyat. Dalam ajaran Islam, seseorang
atau lembaga disebut wakil apabila yang bersangkutan secara sadar dan atas
pilihannya sendiri siap untuk mengambil amanat dan mandat dari pihak lain yang
diwakili. Dalam konteks DPD, pihak lain yang dimaksud adalah rakyat, rakyat
yang telah memilihnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Memang
dalam pengertian sebagai pemikul amanat, lembaga DPD dan orang-orangnya
sama dengan lembaga Pemerintah dan pejabat-pejabatnya. Mereka adalah para
pemikul amanat rakyat dengan tugas dan kewenangan masing-masing.22
Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang terpenting dalam
pemerintahan Islam, orang-orang yang duduk di lembaga legislatif ini terdiri dari
para mujtahid dan ahli fatwa (mufti) serta para pakar dalam berbagai bidang.
Karena menetapkan syariat sebenarnya hanyalah wewenang Allah, maka
wewenang dan tugas lembaga legislatif hanya sebatas menggali dan memahami
sumber-sumber syariat Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, dan menjelaskan
hukum-hukum yang terkandung didalamnya. Undang-undang dan peraturan yang
akan dikeluarkan oleh lembaga legislatif harus mengikuti ketentuan-ketentuan
21 Masdar Farid Mas’udi, Syarah UUD 1945 Perspektif Islam, Tangerang: Pustaka Alfabet, Edisi
baru 2013. Hlm. 138. 22 Ibid, Hlm. 138-139
52
kedua sumber syariat Islam tersebut. Oleh karena itu, dalam hal ini terdapat dua
fungsi lembaga legislatif. Pertama, dalam hal-hal yang ketentuannya sudah
terdapat di dalam nash Al-Qur’an dan Sunnah, undang-undang yang dikeluarkan
al-sulthah al-tasyri’iyah adalah undang-undang ilahiyah yang disyariatkan-Nya
dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi SAW dalam Hadis. Kedua, yaitu
melakukan penalaran kreatif (ijtihad) terhadap permasalahan-permasalahan yang
secara tegas tidak dijelaskan oleh nash. Disinilah perlunya al-sulthah al-
tasyri’iyah tersebut di isi para mujtahid dan ahli fatwa sebagaimana yang telah
dijelaskan diatas.23
Titik sentral teori kelegislatifan Islam adalah Syura. Kata ini disebutkan
satu kali dalam Al-Qur’an. Para pemikir politik Islam menjadikan kata Syura ini
sebagai landasan normatif teori kelegislatifan. Syura diturunkan oleh mereka dari
teks menjadi teori.24
Sebelum direduksi menjadi suatu institusi politik, Syura merupakan
landasan praktik politik umat Islam. Oleh para pemikir Islam Syura dijadikan
antitesis terhadap demokrasi modern yang tidak mengenal batas. Syura sebagai
ideologi, merupakan suatu dasar pijakan bahwa kekuasaan politik adalah kesatuan
antara kehendak Tuhan dan rakyat. Walaupun cukup beragam dalam memberi
pengertian Syura, para pemikir muslim tetap punya kesamaan visi bahwa Syura
23 Muhammad Iqbal, Op.Cit. Hlm. 188-189 24 Ija Suntana, Model Kekuasaan Legislatif dalam Sistem Ketatanegaraan Islam, Bandung: Refika
Aditama, 2007. Hlm. 10
53
adalah suatu mekanisme politis yang melibatkan rakyat, baik secara langsung atau
tidak, yang cara kerjanya adalah musyawarah.25
Melihat corak pemikiran penulis klasik, dapat tergambar bahwa posisi
anggota majlis syuro istilah teknis mereka ahl al-hallwa al-‘aqd hanyalah
berfungsi secara politis, yaitu memilih pemimpin, bai’at, mengoreksi atau
mengontrol tugas-tugas anggotanya, dan memecat seorang Imam jika telah
terbukti secara jelas menyimpang dari janjinya. Dalam pandangan para penulis
klasik tidak ada fungsi lain yang diemban oleh para anggota majlis syuro.26
Menurut Yusuf Qaradhawi dalam bukunya Ija Suntana (Model Kekuasaan
Legislatif dalam sistem ketatanegaraan Islam), menyebutkan bahwa kewenangan
majlis syuro ada dua, yakni: pertama, melakukan pengawasan (muhasabah); dan
kedua, membuat undang-undang (tasyri’). Qaradhawi memaknai muhasabah
dengan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu melakukan pelurusan terhadap perilaku
menyimpang orang yang diberi kepercayaan oleh mereka. Adapun yang dimaksud
dengan tasyri’ oleh Qaradhawi adalah melakukan penalaran terhadap berbagai
masalah untuk diidentifikasi secara syariat. Istilah yang dekat dengan pengertian
tasyri’ ini adalah ijtihad, istinbath, tafshil, atau takyil.
Sedangkan menurut Taufik al-Syawi menyebutkan bahwa muhasabah
yang sangat penting dilakukan adalah melakukan pengawasan atas komitmen para
penguasa eksekutif untuk menetapi al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad
SAW. Muhasabah dalam bentuk ini menggambarkan bahwa penyerahan
25 Ibid, Hlm. 10 26 Ibid, Hlm. 79
54
kepercayaan kepada pihak eksekutif bukan penyerahan total tanpa catatan tetapi
penyerahan seiring pengikatan dengan janji atau komitmen pada kedua sumber
hukum di atas. Taufik al-Syawi melandasi pemikirannya dengan apa yang
dikatakan oleh Abu Bakar pada saat dirinya telah diberi kepercayaan: “Taatlah
kalian kepadaku selama aku masih taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku
sudah membangkang kepada-Nya kalian tidak boleh taat kepadaku”.27
Argumentasi analisis yang bisa dikemukakan oleh penulis mengenai
kewenangan DPD dalam legislasi menurut peraturan perundang-undangan dilihat
dari siyasah dusturiyah adalah berkaitan tentang posisi dan kedudukan DPD
sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan dalam hal legislasi. Secara
siyasah dusturiyah yang dimana didalamnya berbicara legislasi, lembaga legislasi
tersebut direpresentasikan melalui sebuah lembaga yang diformalkan, yaitu
majelis syuro dan al-sulthah al-tasyri’iyah. Menurut Yusuf Qaradhawi majelis
syuro mempunyai dua kewenangan, yaitu: melakukan pengawasan dan membuat
undang-undang. sedangkan al-sulthah al-tasyri’iyah yaitu kekuasaan pemerintah
dalam membuat dan mentapkan hukum. Ketika melihat peran DPD, hampir sama
dengan kedua lembaga tersebut yaitu membuatundang-undang, mentapkan
hukum, dan melakukan pengawasan.
27 Ibid, Hlm. 79.
Recommended