View
5
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
62
BAB III
Keberadaan dan Kepemilikan Tanah
Desa-desa Kristen Bumiputera di Jawa Barat
1. Pengantar
Penjelajahan orang-orang Eropa di Pulau Jawa berlangsung dari arah Barat
menuju ke arah Timur, secara khusus sepanjang menyusuri pesisir pantai Utara
pulau Jawa. Pada abad ke-16, orang Portugis mulai tiba di Sunda Kelapa menjelang
tahun 1525 dan orang Belanda mendarat di wilayah Kesultanan Banten untuk
pertama kalinya pada tahun 1596, dan mendirikan benteng pertahanan di Batavia
sejak 1619.1 Keputusan Belanda untuk menetap dan menempatkan bandar utama di
dekat Banten untuk menunjukkan kedudukan utama mereka di Pulau Jawa. Akan
tetapi, kehadiran orang-orang Belanda dapat masuk ke pedalaman Pulau Jawa baru
terjadi pada paruh kedua abad ke-18.
Orang-orang Eropa datang pertama kali ke Jawa bagian Barat, yang sering
disebut dengan Tanah Pasundan – dari kata pays Sunda yang berarti tanah atau
negeri Sunda. Wilayah Jawa bagian Barat ini memiliki perbedaan yang signifikan
1 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-batas Pembaratan (Jakarta:
Gramedia, 2008), 37.
62
dengan wilayah Jawa lainnya (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Wilayah ini memiliki
bahasa yang berbeda, yaitu bahasa Sunda dan dialek Melayu, meskipun sebagian
wilayah lainnya juga dipengaruhi bahasa Jawa. Jawa bagian Barat memiliki dua
corak wilayah, yaitu dataran rendah meliputi Banten, Batavia, dan daerah pesisir
sampai ke Cirebon, sedangkan dataran tinggi meliputi Priangan (dalam bahasa
Belanda sering disebut Preanger). Kemudian, wilayah Jawa bagian Barat terbagi
ke dalam beberapa wilayah keresidenan (residentie), yaitu: Bantam (Banten),
Batavia (Jakarta), Preangerregentschappen (Priangan), dan Cheribon (Cirebon).2
Sejak abad ke-17, Jawa Barat menjadi salah satu wilayah yang mengalami
pengaruh langsung dari kekuasaan Belanda di bidang politik, sosial, dan ekonomi.
Bahkan, sejak abad ke-18, sebagian besar wilayah di Pulau Jawa telah dikuasai oleh
orang Belanda secara langsung. Namun, dengan berbagai gejolak yang dihadapi
pada paro pertama abad ke-19, semisal Perang Jawa atau disebut juga Perang
Diponegoro (1825-1830), pemerintah Hindia Belanda mengandalkan tenaga-tenaga
dan sumber-sumber daya alam Jawa untuk memulihkan kondisi perbendaharaan
negeri Belanda. Karena itu, pemerintah perlu menjaga keamanan dan ketertiban di
Pulau Jawa, salah satunya dengan enggan mengizinkan Zending melakukan
pekabaran Injil selama masa-masa itu.3 Dengan demikian, pengaruh orang-orang
Belanda di bidang agama hampir tidak terasa, khususnya untuk mengabarkan Injil
kepada orang-orang yang bukan bangsa Eropa sampai sekitar tahun 1850-an.
2 M. Lindenborn, Onze Zendingsvelden III: West Java als Zendingsterrein der
Nederlandsche Zendingsvereeniging (Utrecht: Zendingstudieraad, t.t.), 1. 3 Th. van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860 (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2003), 198.
63
Pada Bab III ini akan dipaparkan tentang pembentukan desa-desa Kristen di
Jawa Barat pada kisaran tahun 1882 sampai dengan tahun 1912. Sebelum masuk
pada pemaparan tentang keberadaan desa-desa Kristen di Jawa Barat, terlebih
dahulu akan dipaparkan tentang Zending Nederlandsche Zendingsvereeniging
(selanjutnya disingkat dengan NZV) yang sejak tahun 1863 mulai memilih Jawa
Barat sebagai ladang pekabaran Injil. Selanjutnya, dengan berbagai latar belakang
pekabaran Injil di Jawa Barat, maka akan dipaparkan tentang keberadaan desa-desa
Kristen sebagai bagian proses historis NZV berkiprah di Jawa Barat dalam periode
tahun 1870-an sampai dengan tahun 1920-an.
2. Jawa Barat sebagai ladang Pekabaran Injil
Sejak awal abad ke-17, Gereja Protestan di Hindia Belanda (Indische Kerk)
telah didirikan pada masa kekuasaan perusahaan dagang Belanda de Verenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC) di Batavia. Bahkan, di sekitar pelabuhan di
Banten (Bantam) telah diselenggarakan ibadah-ibadah untuk pemeliharaan iman
hanya bagi para pekerja dan pengusaha perdagangan yang adalah orang Eropa dan
Indo-Eropa. Akan tetapi, upaya pekabaran Injil kepada penduduk Bumiputera di
Jawa Barat tidak pernah dilakukan sampai pada paruh pertama abad ke-19. Setelah
tahun 1850-an, orang Kristen Belanda (Eropa) mulai bergerak mengabarkan Injil
kepada penduduk Bumiputera, termasuk wilayah Jawa Barat sebagai ladang
pekabaran Injil.
Pada tanggal 3 September 1851, di Batavia telah didirikan ‘Perhimpunan
untuk pekabaran Injil di dalam dan di luar’ (Genootschap van In- en Uitwendige
64
Zending atau disingkat GIUZ). Tokoh-tokoh yang turut mendirikan perhimpunan
ini adalah F.L. Anthing4, I. Esser5, A.A.M.N. Keuchenius6, dan E.W. King7.
Perhimpunan ini menjalankan pekabaran Injil hanya di wilayah Batavia dan
sekitarnya, terutama bagi kalangan penduduk Bumiputera dan juga kepada orang-
orang Tionghoa-peranakan. Pekabaran Injil kepada penduduk di pinggiran Batavia
telah dipelopori oleh F.L. Anthing8, sedangkan untuk melakukan pekabaran Injil
kepada orang Tionghoa, GIUZ memanggil pekabar Injil dari Tiongkok bernama
Gan Kwee.9 GIUZ juga berafiliasi dengan beberapa pekabar Injil, seperti C.F.A
Sperhak dan Adolf Muhlnickel, yang beraktivitas secara khusus di wilayah Banten,
sehingga terbentuklah beberapa Jemaat-jemaat Kristen, yaitu: Jengkol, Poris Tapel,
Ciater, Kresek, Kampung Bolang, dan Tangerang.10
Perhimpunan ini (GIUZ) turut mendirikan Seminari Depok pada tahun
1878, dalam rangka mempersiapkan tenaga-tenaga guru pendidikan sekolah dan
guru Injil dari kaum Bumiputera.11 Perhimpunan ini juga secara strategis menjadi
4 F.L. Anthing (1820-1883) adalah wakil ketua Mahkamah Agung di Batavia, yang
kemudian menjadi pekabar Injil di Batavia dan sekitarnya, dan turut memberi andil terhadap lahir dan berkembangnya jemaat-jemaat Bumiputera, yang akan diambil alih dan dilanjutkan oleh NZV.
5 Isaac Esser (1818-1885) adalah pegawai Sekretariat Negara di Batavia (1837-1854), kemudian sebagai ajun inspektur tanaman dalam rangka Sistem budidaya tanaman (cultuurstelsel); dan pernah menjadi seorang Residen di Timor (1861-1864), dan pernah menjadi Ketua GIUZ.
6 A.A.M.N. Keuchenius adalah seorang Residen di Tegal, adalah juga saudara dari L.W.C. Keuchenius, anggota dewan penasihat Gubernur Jenderal; dan pernah menjadi Ketua GIUZ.
7 Pdt. E.W. King (1824-1884) adalah seorang Indo-Eropa lahir di Padang, studi teologi di Edinburgh (Skotlandia), menjadi pendeta Gereja Rehoboth di Meester Cornelis (Jatinegara) tahun 1861-1876.
8 Leonard Bayu L. Dalope, Mendulang Makna dari Identitas Campuran Komunitas Kristen Pribumi Anthing: Studi Pascakolonial terhadap “Identitas Pascakolonial” F.L. Anthing dan para penginjilnya (Jakarta: Skripsi di STT Jakarta, 2009).
9 Chris Hartono, Orang Tionghoa dan Pekabaran Injil: Suatu studi tentang pekabaran Injil kepada orang-orang Tionghoa di Jawa Barat pada masa pemerintahan Hindia Belanda (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1996), 29.
10 Mufti Ali, Misionarisme di Banten (Serang: Laboratorium Bantenologi, 2009), 51. 11 S.C. Graaf van Randwijck, Oegstgeest: Kebijaksanaan Lembaga-lembaga Pekabaran
Injil yang Bekerjasama 1897-1942 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 380.
65
tempat persinggahan bagi tenaga-tenaga pekabar Injil (selanjutnya disebut
zendeling) Belanda yang tiba pertama kali di Batavia dan memperkenalkan lebih
lanjut tentang konteks Jawa Barat. Perhimpunan ini turut berpartisipasi dalam
penyebaran bacaan Kristen untuk kaum Bumiputera dengan membentuk
‘Perhimpunan Penyebaran Bacaan-bacaan Kristen berbahasa Melayu’ (Vereeniging
tot bevordering van Maleische Christelijke Lectuur).
Pada awal Oktober 1858, penduduk Jawa Barat direkomendasikan dalam
laporan GIUZ di Batavia kepada perwakilan di negeri Belanda. Baik I. Esser
maupun E.W. King menegaskan pentingnya Jawa Barat (West-Java) atau Tanah
Pasundan (Soendalanden) sebagai ladang pekabaran Injil dengan mengingat
kontribusi salah satu wilayah Hindia Belanda ini bagi pemerintah kolonial Belanda.
Esser memberikan argumentasinya, demikian:
Sejak Belanda mulai memerintah pada tahun 1596, tidak ada orang Belanda Kristen yang pernah menyebarkan Injil ke luar Batavia. Orang Sunda telah begitu besar berkontribusi bagi kemakmuran bangsa kita dan sebagian besar dari berjuta-juta uang mengalir dari Hindia Belanda ke dalam perbendaharaan kita datang dari negeri mereka, dan khususnya dari Priangan/Pasundan. Dan apa yang Belanda dapat berikan kepada mereka sebagai gantinya? Hampir tidak ada yang bisa dilakukan terhadap perkembangan mereka, bahwa tidak ada perhatian yang diberikan terhadap bahasa mereka, dan bahwa mereka telah dibiarkan terus tumbuh membatu di dalam keislaman mereka. Sudah saatnya bahwa Belanda berpikir tentang melunasi hutang kepada orang-orang yang terlalu lama terlantar ini dengan menyebarkan kepada mereka Injil Keselamatan.12
Dengan argumen ini, Esser dan juga beberapa tokoh di Batavia kemudian
menganjurkan Jawa Barat menjadi ladang pekabaran Injil bagi NZV. Penunjukan
12 Hendrik Kraemer, From Missionfield to Independent Church (The Hague:
Boekencentrum, 1958), 97.
66
Jawa Barat ini mendapat respons yang baik pula oleh NZV, sebagai panggilan tugas
pekabaran Injil. Dengan pandangan yang sama dengan Esser, baik H.J. Roseboom
maupun S. Coolsma menyadari pentingnya membalas budi atas segala kontribusi
wilayah Priangan bagi negeri Belanda, yaitu dengan cara menaruh perhatian lebih
baik bagi penduduk Jawa Barat, yang selama itu terabaikan oleh Pemerintah Hindia
Belanda.13 Menurut H. Kraemer, pendapat Esser tersebut dianggap sebagai
pendapat yang tidak biasa di jamannya, oleh karena:
Pada masa itu, kebijakan “politik etis” belum ada, meskipun gagasan-gagasan ini dengan gigih diperjuangkan oleh segelintir orang. Untungnya, di sana ada beberapa orang yang berpikir dan merasa selayaknya cara hidup orang Kristen, seperti Esser, dan mereka masih dapat membimbing kita dalam berjuang untuk pembaruan dan mengangkat derajat penduduk Bumiputera, yang digerakkan oleh rasa bersalah dan perasaan tanggung jawab bersama untuk tetangga kita itu.14
Di balik pemilihan Jawa Barat sebagai ladang pekabaran Injil bagi NZV,
ada sebuah kesadaran tentang usaha membuat pembaruan dan kemajuan bagi
penduduk Jawa Barat, baik melalui pendidikan maupun kesehatan. Setelah
mengingat kontribusi yang diberikan Jawa Barat bagi negeri Belanda semasa
pemberlakuan Sistem budidaya tanaman (cultuurstelsel) dari tahun 1830-1870. Ini
semakin menunjukkan bahwa pekabaran Injil (misionarisme) melampaui dan
berbeda pandangan dengan penjajahan (kolonialisme). Kesadaran para zendeling
dan Zending ini justru telah muncul mendahului pemberlakuan kebijakan Politik
13 H.J. Roseboom, Na Vijftig Jaren: Gedenkboek van de Nederlandsche
Zendingsvereeniging (Rotterdam: D. van Sijn en Zoon, 1908), 23. Lihat juga, S. Coolsma, Twaalf Voorlezingen over West-Java: Het land, de bewoners en de arbeid der Nederlandsche Zendingsvereeniging (Rotterdam: D. van Sijn en Zoon, 1879), 156.
14 Kraemer, From Missionfield, 98.
67
Etis negeri Belanda, yang baru akan diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda
terhadap penduduk Bumiputera di Hindia Belanda pada awal abad ke-20.
Namun demikian, Zending dan para zendelingnya sangatlah sulit
mendapatkan izin dari pemerintah Hindia Belanda untuk memilih Jawa Barat
sebagai ladang pekabaran Injil. Pemerintah Hindia Belanda mula-mula hanya
memberikan izin kerja kepada para zendeling yang akan menetap dan berkarya di
sekitar daerah pantai Utara pulau Jawa. Pemerintah Hindia Belanda beralasan
bahwa mereka tidak ingin para zendeling bekerja di kalangan orang Sunda asli
secara langsung, sebab pemerintah takut jika terjadi huru-hara disebabkan aktivitas
pekabaran Injil oleh NZV itu.15 Meskipun pada akhirnya, NZV sebagai zending
yang secara khusus mendapatkan izin untuk melakukan pekabaran Injil di Jawa
Barat, dan sekalipun seluruh Jawa Barat merupakan daerah kegiatan pekabaran Injil
NZV, kecuali di wilayah Batavia tetap dianggap terbuka bagi kegiatan badan-badan
pekabaran Injil lainnya. Kemudian sejak tahun 1905-1928 Board of Foreign
Missions of the American Episcopal Methodist Church (Gereja Methodis) juga
bekerja di wilayah Jawa Barat dengan berpusat di Bogor. Golongan Kerasulan,
Adventis, Pantekosta, dan Gereja Katolik Roma juga melakukan pekabaran Injil di
Jawa Barat. Dalam hal-hal inilah, NZV menjadi tidak senang dengan kegiatan-
kegiatan tersebut, secara khusus apabila kelompok-kelompok dan badan-badan
Zending yang berbeda-beda ini diizinkan juga untuk melakukan pekabaran Injil
kepada orang-orang Sunda dan Tionghoa di Jawa Barat.
15 Th. van den End dan J. Weitjens, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an
sampai dengan sekarang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 221.
68
3. Nederlandsche Zendingsvereeniging (NZV) Zending di Jawa Barat
Pada 19 Desember 1797, beberapa anggota jemaat Nederlandse Hervormde
Kerk (NHK) mendirikan ‘Lembaga Pekabar Injil Belanda’ atau Nederlandsch
Zendelingsgenootschap (NZG). Selama berkiprah sebagai badan pekabaran Injil
yang tertua, NZG semakin dipengaruhi oleh aliran teologi baru yang bercorak
liberal16. Reaksi terhadap hal itu, beberapa tokoh NZG yang dipengaruhi oleh aliran
Reveil17 hendak mendirikan perhimpunan baru dan melepaskan diri dari haluan
NZG. Para tokoh NZG itu adalah J. Voorhoeve H.Czn., C. Rutteman, B.J.
Gerretson, L.J. Luijks, W. Lagerweij, H. Kousbroek, J.A. van Heijningen, C.P.
Beukenkamp, A. Meijer, dan C.D. van der Valk. Kemudian, pada tanggal 2
Desember 1858 mereka mendirikan perhimpunan pekabaran Injil yang lain, yaitu
de Rotterdamsche Zendingsvereeniging (RZV). Dalam perkembangannya
perhimpunan yang baru ini, sejak tanggal 7 Oktober 1859 RZV berganti nama
menjadi de Nederlandsche Zendingsvereeniging (NZV), yaitu ‘Perhimpunan
Pekabaran Injil Belanda’.18 Kota Rotterdam menjadi pusat kegiatan NZV, yaitu
selain sebagai kantor perhimpunan, juga menjadi pusat pendidikan persiapan para
calon zendeling NZV. Pada bulan April 1859, tiga orang calon zendeling yang
pertama mulai diterima oleh NZV untuk dipersiapkan menjadi zendeling yang siap
diutus ke Jawa Barat.
16 Th. van den End, Sumber-sumber Zending tentang Sejarah Gereja di Jawa Barat 1858-
1963 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 4. 17 Gerakan Kebangunan yang telah berkembang di Eropa Barat, secara khusus di Swiss,
Prancis, dan Belanda sekitar tahun 1830-an. 18 Coolsma, Twaalf Voorlezingen, 155.
69
Pada tahun 1863 para zendeling NZV yang pertama tiba di Jawa Barat,
kemudian menetap di Bandung, Cianjur, dan Cirebon. Mereka adalah C. Albers,
D.J. van den Linden, dan G.J. Grashuis. Selain ketiga zendeling tersebut, kemudian
sejumlah zendeling NZV yang bekerja di Jawa Barat antara tahun 1863-1908
sebanyak 32 orang.19 Namun, untuk ketiga zendeling pertama NZV, mereka baru
mendapat izin kerja dari pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1865. Secara
khusus, zendeling C. Albers diberi izin bekerja di Cianjur pada tanggal 10 Juli 1865,
sehingga pada tanggal 26 Desember 1868 dua orang Bumiputera, bernama Ismail
dan Murti dibaptis di Cianjur.20
Sejak tahun 1870-an, para zendeling NZV mengalami keputusasaan karena
pekabaran Injil di kalangan orang-orang Sunda, yang memegang erat Islam, sangat
sulit diterima. Bagi orang Sunda, agama Kristen adalah agama Belanda. Segala
daya upaya untuk melakukan pekabaran Injil di Jawa Barat oleh para zendeling
tidak membuahkan hasil pertambahan baik orang-orang yang berpindah agama
maupun pertumbuhan jumlah jemaat-jemaat Kristen. Akan tetapi di kalangan
orang-orang Tionghoa, pekabaran Injil NZV dapat diterima dengan baik. Karena
itu, perhatian para zendeling NZV beralih ke penduduk Tionghoa, sambil tetap
mengupayakan pekabaran Injil bagi orang Sunda di Jawa Barat.
Namun, sejak tahun 1870-an juga paradigma pekabaran Injil NZV
mengalami perubahan. NZV menyadari bahwa Injil juga harus disebarkan dengan
bantuan orang-orang Bumiputera yang dilatih untuk menjadi penginjil-penginjil di
19 van den End dan Weitjens, Ragi Carita, 20-21. 20 Koernia Atje Soejana, Benih yang Tumbuh 2: Suatu survey mengenai Gereja Kristen
Pasundan (Bandung dan Jakarta: GKP dan DGI, 1974), 34.
70
daerahnya. Untuk mengawalinya pada tahun 1875, P.N. Gijsman di Sukabumi
menerima bantuan tenaga dari para penginjil Anthing, bernama Sarioen dan Salu.
Setahun kemudian zendeling S.A. Schilstra di Sumedang menerima pula bantuan
tenaga dari penginjil Anthing, Pa Djimun dan keluarganya. Demikian pula dengan
A. Dijkstra di Cirebon menyambut baik penginjil Anthing, bernama Tarub asal
Kediri. C. Albers pun di Cianjur mendapat bantuan dari murid-murid Anthing, yaitu
Titus, Lukas Rikin, Elifas Kaiin, dan Pa Djaeran (ayah Titus).
Untuk mendukung upaya pekabaran Injil, NZV juga mendirikan pos-pos
pekabaran Injil (zendingspost), yaitu tempat seorang zendeling menetap. Untuk
daerah-daerah yang hanya ditinggali oleh penginjil-penginjil lokal dibangun pula
cabang-cabang pekabaran Injil (bijpost).21 Selain pembangunan pos dan cabang-
cabang pekabaran Injil, dibangun pula desa-desa Kristen yang disebabkan adanya
upaya pengasingan oleh masyarakat Sunda terhadap orang-orang Kristen Sunda.
Karena itu, desa-desa Kristen dibangun dengan tujuan untuk membebaskan
komunitas baru ini terlepas dari tekanan masyarakat Sunda dan adat istiadatnya.
Desa-desa ini berada di Cideres (1882) oleh zendeling J. Verhoeven; di
Pangharepan, Cikembar (1888) oleh zendeling S. van Eendenburg; di Palalangon
(1902) oleh zendeling B. Alkema; dan di Tamiang (1912) oleh zendeling A.
Vermeer.
Pada tahun 1899 Albers mendesak pengurus NZV agar pendidikan para
pembantu Bumiputera ditangani secara sistematis. Pada tahun 1901 NZV
membangun Sekolah Guru di Bandung untuk meningkatkan pendidikan bagi
21 van den End, Sumber-sumber Zending, 10.
71
penduduk Bumiputera dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa Sunda. Para
pengajar di sekolah ini adalah para zendeling yang berada di sekitar Bandung, dan
didampingi oleh guru-guru Bumiputera. Para zendeling dan guru yang mengajar di
sekolah ini adalah B. Alkema hingga tahun 1903, H.C. Ruttink memberi mata
pelajaran teologi sampai tahun 1919, didampingi J.H. Blinde dan J. Iken, dan untuk
mata pelajaran umum sebagian besar diajarkan oleh Naftali Titus, anak dari seorang
penginjil Sunda bernama Titus.
Upaya untuk mendekatkan diri dengan lingkungan masyarakat Bumiputera,
NZV juga menggunakan strategi pendidikan dan kesehatan untuk diterapkan di
ladang pekerjaannya. Dalam kegiatan medis, J. Iken, seorang zendeling di Bandung
pada tahun 1905-1928, sangat terlibat penting dalam rupa-rupa kegiatan kesehatan
masyarakat. Pada tahun 1913 Iken turut mendirikan perhimpunan yang bertujuan
untuk mengelola rumah sakit Zending di Bandung, yang disebut dengan
“Vereeniging Immanuel”. Empat tahun kemudian perhimpunan itu menyerahkan
pengelolaan Rumah Sakit Immanuel kepada Panitia Pendukung (Commissie van
Bijstand), yang terdiri dari anggota Pengurus NZV cabang Bandung bersama
seorang zendeling.22
Hasil pekerjaan pekabaran Injil NZV telah berhasil membangun komunitas-
komunitas Kristen di wilayah Jawa Barat. Secara khusus, pada tahun 1885 Jemaat-
jemaat Anthing dan Jemaat Rehoboth di Meester Cornelis (Pdt. E. King) diambil
alih dan masuk dalam pengasuhan NZV. Ada pula jemaat-jemaat yang bertumbuh
dari karya pekabaran Injil para zendeling NZV di wilayah Priangan. Jemaat-jemaat
22 van den End, Sumber-sumber Zending, 19.
72
Kristen Bumiputera inilah yang kemudian berkembang menjadi Gereja yang
mandiri. Pada tahun 1916 terbitlah peraturan jemaat tercetak, yaitu Atoeran
Pakoempoelan Oerang Kristen di Pasoendan.23 Pada tahun berikutnya terbit
terjemahan dalam bahasa Melayu dengan judul Atoeran Orang Kristen di
Pasoendan. Di dalamnya terdapat beberapa aturan mengenai pemilihan dan tugas
majelis gereja, pelayanan sakramen, dan pengikatan pernikahan.
Kemudian pada tanggal 28-30 Maret 1932 diadakan konferensi kecil antara
jemaat-jemaat Kristen beserta para utusan NZV, yang dihadiri C.W. Nortier (ketua
Majelis Agung GKJW) dan Hendrik Kraemer. Konferensi mengajukan permintaan
kepada Kraemer untuk mengunjungi medan kerja NZV dan menyusun laporan
tentangnya, sama seperti yang telah dilakukannya di Jawa Timur. Kraemer
menjelajahi medan kerja NZV selama bulan Mei-Oktober 1933. Usulan tentang
pembentukan gereja mandiri diterima pengurus NZV, sehingga pada tanggal 14
November 1934 Geredja Kristen Boemipoetra di tanah Pasoendan dinyatakan
mandiri (kemudian disebut dengan Gereja Kristen Pasundan/GKP).24
4. Desa-desa Kristen di Jawa Barat bentukan NZV
Pada rapat Pengurus Pusat NZV tanggal 15 Februari 186225, diputuskan
kesepakatan tentang bentuk bakal gereja di ladang pekabaran Injil di Jawa Barat.
Pokok-pokok keputusan itu adalah: (1) Melalui pekerjaan pekabaran Injil oleh para
23 Dokumen 179: “Atoeran Pakoempoelan Oerang Kristen di Pasoendan”, Bandung 1916,
dalam van den End, Sumber-sumber Zending, 429-180. 24 van den End, Sumber-sumber Zending, 43. Lihat juga H. Kraemer, From Missionfield to
Independent Church (The Hague: Boekencentrum, 1958). 25 ARvdZ, 11-14. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 91-92.
73
zendeling, NZV hendak mendirikan gereja mandiri dengan nama ‘Gereja Injili
Sunda’ (Sundaneesch Evangelische Kerk); (2) Dalam pekabaran Injil di kalangan
orang Sunda diajarkan dan diberitakan kepada mereka kebenaran-kebenaran iman
yang dianut oleh gereja-gereja Reformasi dari abad pertengahan, yang terungkap
dalam karangan-karangan pengakuan iman mereka; (3) Orang Sunda yang menjadi
Kristen dihisabkan ke dalam jemaat Tuhan dan diperkenankan ikut Perjamuan
Kudus melalui Baptisan Kudus, yang akan dilayankan kepada anak-anak mereka
dan juga orang-orang yang berpindah agama. Pokok-pokok keputusan ini menjadi
pedoman bagi para zendeling untuk mempersiapkan lahirnya komunitas-komunitas
Kristen di Jawa Barat, khusus di daerah Priangan.
Harapan NZV untuk mendirikan Gereja Injili Sunda (Sundaneesch
Evangelische Kerk) tidak dapat terpenuhi terkendala oleh berbagai faktor. Segala
usaha pekabaran Injil oleh para zendeling NZV belum berbuahkan hasil seperti
yang diharapkan bahwa tanah Jawa pada umumnya merupakan ladang pekerjaan
dengan adat istiadat dan kehidupan beragama yang telah kuat. Mengingat konteks
seperti itu, S.A. Schilstra seorang zendeling di Sumedang pada tanggal 20 Januari
1876 menyampaikan usulan kepada Pengurus Pusat NZV untuk menempuh cara-
cara baru, yaitu dengan penyediaan tanah bagi orang-orang Kristen Bumiputera.26
Usulan dan rekomendasi Schilstra ini mendapat inspirasi dari P. Jansz (1820-1904),
seorang zendeling dari Doopsgezinde Zendingsvereeniging (DZV) di Jawa Tengah,
yang pada tahun 1874 menerbitkan tulisan tentang ‘Pembukaan Tanah dan
Pekabaran Injil di Jawa (Landontginning en Evangelisatie op Java). Dengan
26 ARvdZ, 14-9. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 173-177.
74
mengupayakan hal yang seperti ini, Schilstra berharap akan tercipta komunitas
Kristen di Jawa Barat. Ketika orang-orang Sunda yang menjadi Kristen mendapat
tindakan pengucilan dari masyarakat desanya, setahun setelah usulan Schilstra
tersebut, pada tahun 1877 NZV mulai membeli tanah-tanah persawahan bagi orang
Sunda Kristen, dan kemudian pembelian dan penggunaan tanah-tanah untuk
membentuk desa-desa Kristen di Jawa Barat, yaitu: Cideres (1882), Pangharepan
(1888), Palalangon (1902), dan Tamiang (1912).
4.1. Desa Kristen Cideres-Majalengka (1882)
Pada tanggal 4 Januari 1876, Jurrianus Verhoeven berangkat dari negeri
Belanda menuju ke Hindia Belanda untuk menjalankan tugas pengutusan sebagai
zendeling NZV. J. Verhoeven tiba di Batavia tanggal 4 April 1876. Kemudian,
Verhoeven pergi dari sana dan tinggal sementara waktu di Indramayu untuk
menjadi rekan kerja iparnya, J.L. Zegers. Pada tanggal 29 Juni 1876, Verhoeven
meninggalkan Indramayu dan hendak menetap di Majalengka, sebuah kota kecil
yang masih terletak juga di keresidenan Cirebon. Verhoeven memilih Majalengka
sebagai pusat kegiatannya karena dianggap baik untuk melakukan pekabaran Injil
di daerah tersebut. Di samping itu, Bupati Majalengka adalah orang yang berpikiran
maju dan tidak fanatik sehingga akan dapat memberikan keleluasaan bagi pekerjaan
pekabaran Injil di wilayahnya.27
27 Koernia Atje Soejana, Sejarah Komunikasi Injil di Tanah Pasundan (Jakarta: Disertasi
di STT Jakarta, 1997), 292.
75
Di Majalengka, Verhoeven menyewa sebuah rumah kecil untuk sementara
waktu, sambil menunggu mendapatkan izin untuk melakukan pekabaran Injil.
Kemudian, pada tanggal 31 Juli 1876 Verhoeven baru dapat memulai pekerjaannya
dengan membuka sekolah di rumahnya dengan tiga orang murid dari anak-anak
Tionghoa. Akan tetapi, Margaretha Danen, istrinya, mengidap sakit sehingga
mereka harus beristirahat di Indramayu dan sekolah itu terpaksa ditutup untuk
sementara waktu. Kemudian setelah istrinya sembuh, mereka kembali ke
Majalengka dan sekolah itu dibuka lagi. Selanjutnya, atas pertolongan seorang
penguasa setempat, Verhoeven dapat menyewa rumah besar di dekat batas kota.
Mulai tanggal 7 Agustus 1878 Verhoeven mendidik tiga orang pemuda
Kristen untuk menjadi pembantunya. Mereka itu adalah Aslim dari Sumedang,
Soleman Djalimoen dari Gunung Putri, dan Jakoboes Arin dari Leuwidahu. Namun
sayangnya, Aslim kemudian kembali ke agamanya yang semula (agama Islam),
sedangkan Soleman dan Jakoboes tetap membantu Verhoeven mengabarkan Injil
di kampung-kampung sekitar Majalengka. Kemudian, pada tanggal 19 Maret 1882,
Verhoeven untuk pertama kalinya melakukan pelayanan baptisan kudus di
Majalengka. Orang Sunda yang dibaptis adalah dua orang perempuan bernama
Kawit dan Antijem, yang sudah lama menjadi pembantu di rumah Verhoeven.28
Kegiatan Verhoeven di Majalengka antara tahun 1877-1882 kurang
berhasil. Meskipun sudah ada dua orang perempuan Sunda yang menjadi Kristen,
Verhoeven menyadari bahwa ia mengalami kesulitan untuk melakukan pekabaran
28 S. Coolsma, De Zendingseeuw voor Nederlandsch Oost-Indie (Utrecht: C.H.E. Breijer,
1901), 133.
76
Injil kepada masyarakat yang berada di bawah pemerintahan dan di keseluruhan
tatanan perekonomian desa yang sangat Islami. Masyarakat desa itu hidup di bawah
pemerintahan pamong praja desa dan pemimpin agama yang sangat terikat pada
adat istiadat dan agamanya. Dalam situasi seperti itu, kecil kemungkinan bagi orang
Sunda untuk berpindah ke agama lain. Di sisi lainnya, orang-orang Kristen juga
akan mengalami hambatan dari kepala desa dan pemimpin agama di desa tersebut.
Dengan alasan ini, Verhoeven berpendapat bahwa jalan keluarnya adalah dengan
mendirikan desa Kristen.29 Di desa Kristen itu orang-orang Kristen Bumiputera
tidak akan lagi berada di bawah otoritas desa yang Islami. Jalan pikiran Verhoeven
ini juga dilatarbelakangi saran yang diberikan oleh Bupati Majalengka, yang
mempunyai itikad baik terhadap pekerjaan Verhoeven. Menurut Bupati
Majalengka, rumah Verhoeven terlalu dekat dengan daerah “pakauman” (tempat
kediaman golongan atau penjaga mesjid), sehingga ia menyarankan agar orang-
orang Kristen Bumiputera mendirikan desa tersendiri dan hidup di bawah pimpinan
desa yang Kristiani.30
Pada pertimbangan itu, Verhoeven berharap dapat membeli lahan-lahan
kosong di Cideres atau mendapatkannya dengan cara membuka hutan belantara dan
membangun rumah-rumah, yang seluruh pendanaannya dengan cara mengajukan
permohonan bantuan kepada NZV dan para sahabat zending. Jika tanah-tanah itu
sudah didapati dan dikembangkan, Verhoeven akan mengajukan permohonan
kepada gubernur jenderal agar diberikan pengakuan tanah-tanah pemukiman yang
29 Soejana, Sejarah Komunikasi, 294. 30 Randwijck, Oegstgeest: Kebijaksanaan, 497 dan dan Lindenborn, Onze Zendingsvelden,
145.
77
baru itu sebagai suatu desa mandiri. Pada desa mandiri seperti itu nanti akan
diberikan kewenangan untuk memilih pemerintahannya sendiri menurut cara yang
lazim, dengan diawasi pemerintah setempat, dan diberikan hak dan kewajiban yang
sama dengan desa-desa lainnya. Meskipun di kemudian hari Cideres tidak menjadi
desa mandiri, tetapi pada tahun 1900 jemaat Cideres mendapat pengakuan sebagai
badan hukum.
Terhitung sejak tahun 1882 Verhoeven telah mendirikan desa Kristen
Cideres di tanah-tanah yang dibelinya itu (aangekochten gronden)31, yang terletak
sekitar 12 km dari Majalengka dan 3 km dari Kadipaten ke arah Cirebon. Tanah
desa itu adalah tanah milik bersama (communaal bezit) orang Kristen setempat.32
Bahkan, pada bulan Oktober 1883, Verhoeven meminta kepada gubernemen
sebidang tanah untuk keperluan tempat pekuburan orang Sunda Kristen di Cideres.
Akan tetapi, banyak lahan-lahan subur lainnya di wilayah sekitar telah menjadi
pemukiman penduduk bagi masyarakat Bumiputera di salah satu keresidenan
Cirebon ini, dan telah banyak pula digunakan dan dimiliki oleh para pengusaha
perkebunan swasta Eropa.
Desa Cideres termasuk salah satu desa yang berada di tengah-tengah daerah
perkebunan tebu. Desa Cideres pun kemudian sering dikait-kaitkan dengan sebutan
sebagai “perusahaan perkebunan Kristen”, “pemukiman Kristen”, atau “desa
Kristiani”. Meskipun demikian, menurut Verhoeven, penyebutan Cideres sebagai
“desa Kristiani” adalah sebutan yang paling tepat oleh karena memang tidak ada
31 Th. van den End, De Nederlandse Zendingsvereniging in West-Java 1858-1963: Een
Bronnenpublicatie (Utrecht: Raad voor de Zending, 1991), 26. 32 ARvdZ, 14-13 dan 14-14.
78
tujuan untuk mendirikan “perusahaan perkebunan” atau membangun “desa
teladan”. Menurut Verhoeven, ada beberapa tujuan yang mendasari pentingnya
membangun desa Kristen dalam proses pekabaran Injil NZV di Jawa Barat, yaitu:33
1. Agar orang-orang yang telah menjadi Kristen dapat tetap menjadi anggota
gereja, maka mereka perlu melepaskan diri dari ikatan yang mengekang
ketika tetap menjadi warga desa Muslim. Dengan begitu, mereka perlu
dipindahkan ke lingkungan yang baru pada komunitas sesama umat Kristen.
2. Agar kaum Kristen Bumiputera tidak lagi tunduk pada pemerintahan desa,
yang berisikan punggawa mesjid, golongan haji, para penghulu dan lebe.
3. Agar semua kaum Kristen Bumiputera dapat bertumbuh sebagai jemaat dan
dalam pengaruh dan pendidikan yang baik.
4. Agar dalam melakukan usaha pertanian dan usaha berpenghasilan lainnya
dapat dilakukan dengan kerja sama dan gotong royong, sehingga mampu
berswadaya dalam memenuhi segala kebutuhannya, termasuk memenuhi
alat-alat dan barang keperluan sekolah.
5. Agar keberadaan jemaat Kristen Bumiputera menunjukkan kepada umat
Muslim bahwa umat Kristen adalah sahabat dan sebangsa yang dapat saling
menjaga kerukunan dan kedamaian.
6. Agar Zending mengupayakan dalam lingkungan desa-desa Kristen
disediakan lapangan, di mana pihak pemerintah dapat berangsur-angsur
melaksanakan penyuluhan “pembaruan-pembaruan” yang dibutuhkan oleh
kaum Kristen Bumiputera.
33 van den End, Sumber-sumber Zending, 221-222.
79
Kemudian pada bulan Mei 1882, Verhoeven membeli sebuah rumah baru di
Cideres dengan pekarangan luas. Pada 30 Agustus 1882 ia pindah dan mulai
menetap di sana. Pada hari Minggu 3 September 1882 untuk pertama kalinya di
rumah zendeling digunakan untuk beribadah. Sejak saat itu, ibadah Minggu
diselenggarakan secara rutin di sana. Hingga pada akhir tahun 1882, tercatat sudah
terdapat sekitar 20 orang yang mengikuti ibadah di rumah Verhoeven. Pekabaran
Injil terus dilakukan oleh Verhoeven dan Jakoboes Arin dan Soleman Djalimun di
kampung-kampung sekitar Cideres, sambil memberikan obat-obatan kepada yang
memerlukan kesembuhan.
Penyelenggaraan ibadah dilakukan di rumah zendeling. Setelah jemaat
bertambah besar, dibangunlah sebuah gedung gereja yang pembangunannya
rampung pada tahun 1884. Bangunan itu terbuat dari batubata dengan biaya f 2.000
dan dari jemaat terkumpul dana sebesar f 82,55 ditambah dengan sumbangan lain
berupa tenaga dan bahan bangunan. Bangunan gereja berbentuk seperti bangunan
gereja di Eropa, dan secara resmi digunakan pada tanggal 11 Januari 1885.
Begitupula, aktivitas sekolah yang semula diadakan di rumah zendeling, sejak
bulan Maret 1885 dapat menggunakan bangunan baru. Murid-murid di sekolah itu
berjumlah 22 orang, di antaranya ada tujuh orang anak-anak Tionghoa yang berasal
dari sekitar Cideres. Pengajarnya adalah Jakoboes Arin dan Soleman Djalimoen.
Untuk anak perempuan dibuka sekolah menjahit, yang diajarkan oleh Margaretha
Danen, sedangkan untuk anak laki-laki dibuka pelatihan keterampilan petukangan.
Di desa Cideres, NZV telah memiliki lahan yang luas, rumah tinggal untuk
zendeling, sebuah gedung gereja, dan bangunan sekolah dari tembok batubata.
80
Jemaat Cideres juga telah mampu membeli pabrik pembuatan batubata, yang pada
musim kemarau memberi kesempatan kerja bagi anggota jemaat. Dari pengajuan
bantuan dana kepada para sahabat Zending diterima dana sejumlah f 1.484,60 untuk
pembelian pekarangan dan sawah-ladang. Jemaat Cideres memiliki sawah seluas
14,5 bau34, yang disewakan kepada anggota jemaat dan orang di luar anggota
jemaat. Bahkan, berdasarkan laporan tahun 190635, menunjukkan bahwa NZV
pernah mempunyai sebidang tanah seluas 20 bau. Bidang tanah seluas itu terdaftar
atas nama empat orang anggota jemaat yang pada saat itu menjabat sebagai anggota
majelis jemaat, yang masing-masing mendapat 5 bau. Dilaporkan pula bahwa pada
waktu itu Verhoeven sedang berusaha untuk membeli tanah lagi seluas 32 bau untuk
digarap oleh 42 keluarga anggota jemaat, namun pada akhirnya tidak tercapai
karena minimnya lahan-lahan kosong. Menurut Verhoeven, pendirian desa Cideres
dan pengadaan tanah-tanah garapan bertujuan supaya kaum Kristen sanggup
menjadi makmur berkat karya tangan mereka sendiri, sehingga tidak perlu lagi
hidup dari pemberian orang lain. Demikianlah desa Cideres berdiri dan dipertegas
dengan Peraturan tentang Jemaat Sunda di Cideres Majalengka, yaitu:36
Pasal 1. Di Majalengka, Cirebon terdapat Jemaat Sunda. Pasal 2. Jemaat ini berdomisili di Majalengka, Cirebon. Pasal 3. Jemaat ini didirikan untuk waktu yang tidak terbatas. Pasal 4. Tujuan berdirinya jemaat ini adalah untuk menyebarkan Injil, serta melalui pendidikan sekolah, pertanian, dan industri untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Pasal 5. Anggota jemaat ini adalah mereka yang telah masuk Kristen, terlepas dari apapun suku bangsa mereka, melalui Pembaptisan dan Pengakuan Iman, mengakui Yesus Kristus sebagai Anak Tunggal Allah, Juruselamat dunia, dan menerima Alkitab
34 1 bau = 7.096 m2 (setara 0,7 hektar). 35 ARvdZ, 20 Agustus 1906, Soejana, Sejarah Komunikasi, 294-295. 36 J. Verhoeven, Tot Welzijn van Java: Zendingspost Tjideres, (Neerbosch: Typ. Der
Weesrichting, 1909), 145-146.
81
sebagai satu-satunya aturan iman dan kehidupan; dan yang telah menyatakan keinginan mereka untuk bergabung dengan jemaat ini. Pasal 6. Kepentingan jemaat ini diwakili oleh pengurus gereja yang terdiri dari seorang ketua dan tiga anggota. Zendeling, sebagai pendeta jemaat ini, adalah ketua, dia melakukan semua administrasi, menandatangani semua dokumen dari jemaat ini, dan berhak mewakili jemaat ke luar. Pasal 7. Ketiga anggota pengurus dari anggota jemaat laki-laki dan dipilih oleh semua anggota jemaat. Anggota pengurus yang keluar, akan segera dilakukan pemilihan kembali. Pasal 8. Dana yang diperlukan untuk pelayanan jemaat harus diperoleh dari sumbangan uang dari anggota jemaat, sumbangan lainnya, dan iuran berkala. Pasal 9. Dalam hal pembatalan dan pembubaran jemaat ini, semua asetnya akan tersedia untuk NZV di Rotterdam dan diakui sebagai badan hukum melalui Keputusan Raja tanggal 3 September 1860.
Di Cideres selain pelayanan di bidang pendidikan, mula-mula didirikan
sebuah poliklinik untuk pelayanan kesehatan bagi anggota jemaat dan masyarakat.
Namun kian waktu berjalan, poliklinik kemudian berkembang menjadi rumah sakit
Zending yang cukup besar di Cideres. Pada tahun 1908 pembangunan rumah sakit
Zending ini mendapat pembiayaan dari administrator pabrik gula dekat Cideres.
Dalam hal ini, hubungan desa Kristen Cideres dan perusahaan perkebunan dan
pabrik gula memang sangat dekat. Dalam tata aturan penggunaan tanah-tanah milik
jemaat dapat juga disewakan kepada pihak pabrik gula, sehingga memberikan andil
baik juga untuk kepentingan jemaat di Cideres. Akan tetapi, pernah suatu kali
terjadi konflik antara zendeling A.K. de Groot (yang menggantikan Verhoeven
tahun 1922) dengan dokter zending di Cideres, yaitu dr. G.W.A Pruis, tentang usaha
untuk membiayai perluasan areal sawah jemaat dengan cara melakukan perjanjian
kontrak sewa dengan pabrik-pabrik gula di sekitar.37 Dalam hal ini, de Groot
37 van den End, Sumber-sumber Zending, 572-575.
82
menentang keras rencana itu dengan keyakinan bahwa menyewakan tanah kepada
pabrik gula akan memelaratkan penduduk. Akan tetapi, Pruis justru merencanakan
untuk memperkuat kedudukan ekonomi jemaat Kristen dengan cara menyewakan
kepada perusahaan perkebunan tebu untuk masa beberapa puluh tahun, dan selama
beberapa bulan dalam setahun masih anggota jemaat dapat menggunakan tanah itu
untuk kepentingan jemaat.
4.2. Desa Kristen Pangharepan-Cikembar (1888)
Pada tanggal 18 Mei 1882, Simon van Eendenburg diutus oleh NZV untuk
menjalankan tugas sebagai zendeling di Jawa Barat. S. van Eendenburg tiba di
Batavia tanggal 29 November 1882. Sesampainya di Batavia, Eendenburg langsung
berangkat ke Modjowarno di Jawa Timur untuk menikah dengan Niescina M.A.
Kruyt, putri dari zendeling J. Kruyt. Setelah itu, Eendenburg kembali menuju
Sukabumi untuk menjadi zendeling di sana pada periode tahun 1883-1888, untuk
menggantikan S.A. Schilstra. Kehadiran Eendenburg dianggap akan membawa hal-
hal hebat bagi jemaat di Sukabumi.38
Akan tetapi, pada tahun 1886 Eendenburg memiliki rencana baru, yaitu
“Pekabaran Injil melalui pembukaan tanah/negeri” (Evangelisatie door
landontginning). Dalam rencananya itu, Eendenburg ingin meninggalkan
Sukabumi dan menyediakan tempat bagi anggota jemaat dan tinggal menetap saling
38 Coolsma, De Zendingseeuw, 120.
83
berdekatan sesama anggota dengan zendeling. Di dalam majalah NZV pada tahun
1889, Eendenburg mencantumkan alasan untuk rencana pembukaan tanah, yaitu:39
1. Terlalu banyak pekerjaan untuk zendeling di antara orang-orang Eropa;
2. Tidak adanya zendeling dari antara banyak orang Eropa di kota-kota;
3. Kegagalan segelintir orang Kristen di antara kerumunan orang-orang Islam;
4. Komplikasi pekerjaan mendidik zendeling di kalangan orang Kristen
Bumiputera dengan segala macam penyebab;
5. Pada sebuah jemaat, dalam keadaan seperti itu, tidak akan terbentuk fondasi
yang kokoh bagi kemajuan jemaat secara teratur dan pembangunan
Kerajaan Allah di masa depan.
Ketika masih bekerja di Sukabumi, Eendenburg melihat bahwa di kota
orang-orang Kristen tinggal tersebar di berbagai tempat. Setiap keluarga Kristen
hidup sendiri jauh dari keluarga Kristen lainnya. Sebab itu di kota sulit untuk
membentuk sebuah jemaat yang utuh. Lagipula, karena jumlahnya yang kecil,
mereka tenggelam di tengah masyarakat yang bukan Kristen. Bilamana ada
kesulitan, mereka tidak dapat saling menolong dan memberi kekuatan. Dalam
keadaan seperti itu, zendeling pun akan sulit untuk membina mereka. Jemaat seperti
itu menurut Eendenburg sulit untuk dijadikan basis pembangunan kerajaan Allah di
masa depan. Sebab itu perlu didirikan sebuah desa Kristen, di mana setiap keluarga
dapat menempati sebidang tanah yang akan menjadi penopang bagi kehidupan
mereka. Setiap keluarga dapat berhubungan dengan keluarga-keluarga lain dan
membentuk sebuah persekutuan desa dengan kepada desa dari lingkungan mereka
39 Coolsma, De Zendingseeuw, 123.
84
sendiri. Dengan demikian orang Kristen dibebaskan dari tekanan para penguasa
desa Muslim yang menghambat mereka. Di desa Kristen, orang-orang Kristen dapat
mengembangkan diri dan meningkatkan taraf kehidupan perekonomian mereka.
Tanah yang dituju Eendenburg adalah tanah yang terletak pada jalan raya
Sukabumi-Pelabuhan Ratu di kecamatan Cikembar, kawedanaan Cimahi, Afdeeling
Sukabumi. Tanah itu seluas 154 bau (+ 108 hektar), yang dengan Surat Keputusan
Gubernur Jenderal tertanggal 28 Januari 1887 diserahkan kepada yang bertanda
tangan (van Eendenburg) sebagai tanah hak guna usaha atau sewa tanah dalam
waktu jangka panjang (erfpacht perceel)40 dengan pajak tanah sewaan (canon)
sebanyak f 1,50 per tahun. Setelah lama mengajukan surat-surat permohonan,
akhirnya keluar SK Gubernur Jenderal tertanggal 16 Agustus 1888, tentang hak
erfpacht itu dibaliknamakan atas nama Nederlandsche Zendingsvereeniging.
Terhitung mulai tahun itu pajak tanah sewaan (canon) diturunkan menjadi f 0,75
per bau per tahun. Pembayaran pengakuan hak milik pemerintah atas tanah itu
mulai berlaku pada tahun kelima sesudah tanggal penyerahan, dan karena itu pada
tahun 1893 wajib dibayar untuk pertama kalinya, sedangkan pajak tanah
(verponding) mulai wajib dibayar pada tahun kesepuluh, yaitu sejenis pajak yang
dihitung berdasarkan nilai perusahaan bersangkutan.41
Kemudian, Eendenburg mendapat izin untuk menjual rumah zendeling di
Sukabumi untuk keperluan membeli sebuah rumah zendeling di Cikembar. Pada
tanggal 1 November 1888 Eendenburg dan istrinya mulai tinggal di rumah
40 van den End, De Nederlandse Zendingsvereniging, 26. 41 van den End, Sumber-sumber Zending, 269.
85
zendeling di Cikembar. Hingga akhir tahun 1888 terdapat 72 orang Kristen tinggal
di petak-petak rumah mereka, yang adalah anggota jemaat yang pindah dari
Sukabumi. Di tanah yang baru itu mereka menanam tanaman perdagangan, seperti
kopi, teh, cokelat, lada, dan kapuk. Penggarapan tanah itu diserahkan kepada kaum
Kristen Bumiputera untuk memungkinkan mereka mencari nafkah dengan cara
bekerja. Eendenburg memberi nama desa Kristen itu dengan sebutan Tanah
Pangharepan (Bld. de Hoop, yaitu Pengharapan), sekaligus dengan tujuan sebagai
pusat keteladanan yang membuat agama Kristen dipuji, dan dengan demikian akan
mengantarkan Injil kepada desa-desa di sekitarnya.
Tanah Pangharepan ini terbuka bagi siapapun, tetapi semua orang yang
berada di tanah ini harus mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku, seperti
termuat dalam “Peraturan bagi Tanah Pangharepan” yang diterbitkan pada tanggal
22 Mei 1890, sebagai berikut:42
Pasal 1. Pemilik Tanah Pangharepan adalah Nederlandsche Zendingsvereeniging. Pasal 2. Di Tanah Pangharepan orang Kristen dan orang Islam boleh tinggal. Pasal 3. Oleh zendeling atau wakilnya kepada setiap pemukim akan dijatahkan sebidang tanah, untuk dipergunakannya sebagai pekarangan, sawah, atau tipar. Tanah itu harus digarap oleh pemukim yang mendapat penjatahannya. Pasal 4. Pemukim diwajibkan agar dari setiap jenis hasil bumi yang dihasilkan di atas tanah jatahnya, diserahkan seperlima kepada Perbendaharaan Tanah Pangharepan, sebagai sumbangan pemulihan segala biaya yang sudah dan akan dikeluarkan. Pasal 5. Pemukim berkomitmen akan membangun dan memelihara seluruh jalanan dan saluran air yang diperlukan di persilnya. Pasal 6. Segala sesuatu yang tertanam atau disemaikan di Tanah Pangharepan oleh pemukim, senantiasa dan tetap akan menjadi milik dari Pemilik Tanah itu, namun akan terjamin bagi pemukim
42 van den End, Sumber-sumber Zending, 270-271; dan Badan Binalitbang Gereja Kristen
Pasundan, Profil Gereja Kristen Pasundan: Dalam perspektif kemandirian teologi, daya, dan dana (Bandung: MPS GKP, 2007), 227.
86
selama mereka mematuhi segala hal yang tersebut dalam Pasal-pasal 1 s.d. 6 dan selama mereka berkomitmen akan mengindahkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a. Akan menggarap dan memelihara tanah sawah, tipar, serta
pekarangan mereka dan tidak akan menerima uang ijon atas hasil budidayanya;
b. Tidak akan ikut pada pesta ronggeng, tidak mengisap madat, dan tidak meminum minuman keras, ataupun melakukan sesuatu yang tidak patut bagi seorang Kristen;
c. Akan memelihara hari Minggu sebagai hari istirahat; d. Akan menyekolahkan anak-anak mereka; e. Untuk hidup di hadapan Allah dan sesama manusia sebagaimana
yang pantas bagi seorang pengikut Kristus, dan tidak akan menimbulkan kehebohan dengan kata atau perbuatannya.
Pasal 7. Bilamana seorang pemukim bersalah melanggar ataupun tidak mengindahkan hal-hal sebagaimana rincian di atas, maka zendeling berhak, setelah mendengar pendapat para penatua, mencabut hak orang bersangkutan untuk tetap bermukim di Tanah Pangharepan. Pasal 8. Oleh zendeling diangkat suatu dewan penatua, yang bertugas turut menjaga agar semua peraturan tersebut di atas benar-benar dipatuhi oleh semua pemukim. Pasal 9. Bila di masa depan ternyata peraturan ini cacat ataupun perlu ditambah, maka setiap saat hal ini dapat diperbaiki. Pasal 10. Setiap orang yang menyetujui hal-hal yang tersebut di atas, akan menyatakannya dengan membubuhi tanda tangan.
Dari ketentuan tersebut di atas, secara tegas tersurat bahwa Tanah
Pangharepan adalah milik NZV dan karena itu para zendeling NZV juga berperan
sebagai administrator Perbendaharaan Tanah Sewa ini. Keadaan tersebut
mengakibatkan hubungan antara anggota jemaat dengan seorang zendeling, seperti
hubungan antara kuli/buruh kontrak perkebunan dengan tuan tanah perkebunan.
Keadaan ini tentu pada akhirnya kurang menguntungkan bagi upaya pembinaan
jemaat di Cikembar.43
43 Soejana, Sejarah Komunikasi, 280.
87
4.3. Desa Kristen Palalangon-Cianjur (1902)
Antara tahun 1891-1906, di Jemaat Cianjur belum ditempatkan lagi seorang
zendeling NZV. Karena itu, untuk menjalankan tugas pembinaan umat di Jemaat
Cianjur, ditugaskanlah zendeling Bouke Alkema, yang sedang bertugas di Jemaat
Bandung (1893-1903). Saat itu di Jemaat Cianjur hanya ada penghantar jemaat
Bumiputera bernama Elipas bin Ibrahim yang bertugas dari tahun 1886. Selama
pelayanannya di Cianjur, B. Alkema memperhatikan masih banyak anggota jemaat
yang hidup dalam kemiskinan karena tidak memiliki lahan pertanian dan bekerja
sebagai tukang kebun atau pembantu rumah tangga pada keluarga-keluarga orang
Eropa. Karena itu, Alkema ingin mengusahakan sebidang tanah di dataran Cihea,
di sebelah Selatan Cianjur, untuk dikelola oleh anggota jemaat sebagai lapangan
pekerjaan dan penghidupan mereka.
Dataran Cihea sebelumnya adalah pemukiman padat penduduk. Akan
tetapi, oleh karena wabah demam berdarah, serta wabah penyakit pes pada ternak,
dataran ini ditinggalkan oleh penduduk setempat karena telah mengakibatkan
banyak korban jiwa dan hewan ternak. Begitupula sawah-sawah yang luas dan hijau
setelah ditinggalkan oleh penduduk berubah menjadi hamparan rumput dan alang-
alang. Dalam situasi seperti ini, pemerintah Hindia Belanda turun tangan dan
membangun bendungan dan saluran irigasi yang dapat mengairi lahan pertanian
seluas 9.000 bau dengan biaya sekitar f 1-1,5 juta dengan tujuan untuk
mengembalikan dataran ini menjadi tempat pemukiman seperti sediakala.44 Melihat
44 Koernia Atje Soejana, Komunitas Sunda Kristen di Pinggiran Cianjur (Bandung: GKP
dan Kelir, 2016), 30.
88
daerah yang sudah memiliki saluran irigasi, maka Alkema hendak memindahkan
sebagian anggota jemaat Cianjur ke daerah itu. Di situ mereka dapat memiliki lahan
pertanian sendiri dan menjadi petani yang mandiri bagi perekonomian mereka. Atas
usahanya, pemerintah memberikan sebidang tanah seluas 130 bau kepada NZV
untuk dihuni oleh beberapa orang Kristen dari Cianjur. Pada bulan Mei 1902, orang-
orang Kristen pertama dari Cianjur dipindahkan ke sana.45
Dalam laporan pada Mei 1902 kepada Pengurus Pusat NZV, Alkema
membentangkan rencananya atas tanah tersebut. Lahan seluas itu direncanakan
untuk alun-alun seluas 1 bau, pekarangan gereja 1/2 bau, pekarangan sekolah 1/2 bau,
pekarangan balai desa 1/2 bau, dan pekarangan rumah tinggal zendeling 1 bau.
Seluas 60 bau akan dibagikan kepada 20 keluarga dengan perkiraan 100 jiwa,
termasuk 8 keluarga Muslim. Sisa tanah lainnya menjadi cadangan untuk masa
depan bagi pertambahan dan pertumbuhan jemaat Kristen di desa Palalangon.
Alkema menetapkan bahwa tanah desa ini akan menjadi milik orang Kristen
perseorangan (individueel eigendom).46 NZV selain menyediakan tanah kepada
anggota jemaat, mereka juga diberikan modal uang (uang panjar), sebesar f 1.200.47
Bahkan, selama tahun 1906-1912, NZV mengeluarkan biaya tambahan sebanyak f
4.200 untuk pembukaan sawah-sawah, pembelian bajak, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1902, dibangun juga sebuah tempat ibadah dengan tiang bambu,
dinding bangunan terbuat dari anyaman bambu, dan atap terbuat dari alang-alang.
Penyelenggaraan ibadah pertama diperkirakan dilakukan pada tanggal 17 Agustus
45 Roseboom, Na Vijftig Jaren, 61. 46 van den End, De Nederlandse Zendingsvereniging, 26. 47 Binalitbang, Profil Gereja, 256.
89
1902. Kebaktian dipimpin oleh Alkema. Nas bacaan Alkitab ketika itu dibacakan
dari Habakuk 2:1-5. Dan pada saat itu nama kampung itu diberi nama Palalangon.
Kata ‘Palalangon’ berarti dangau di tepi hutan tempat para pemburu mengintai
binatang buruannya, dan dangau di tengah-tengah sawah. Maksud dari nama itu
adalah sebuah tempat yang lebih tinggi dari lingkungan sekitarnya. Nama tersebut
rupanya dihubungkan dengan nas bacaan di atas. Dengan nama Palalangon, Alkema
berharap agar orang-orang Kristen di desa Palalangon selalu berpaut pada Allah
dan memberi keteladanan bagi masyarakat Sunda lainnya di sekitar desa tersebut.
Begitupula rancangan dari H.C.G. Ruttink, yang menggantikan Alkema
sebagai zendeling di Bandung (1900-1919), menyempurnakan gambaran desa
tradisional Bumiputera untuk desa Palalangon. Di desa Palalangon harus dirancang
dan dibangun alun-alun yang ditanami pohon beringin di setiap pojoknya. Di sekitar
alun-alun berdiri bangunan-bangunan untuk kepentingan umum, seperti gedung
gereja, balai desa, rumah zendeling, poliklinik, sekolah, dan lain-lain; sedangkan
rumah-rumah anggota jemaat berada di sekitarnya.
Ketika J.H. Blinde bertugas di Cianjur (1906-1912), Palalangon berada di
bawah tanggung jawabnya, tidal lagi dalam tanggung jawab jemaat Bandung. Pada
tanggal 15 Agustus 1909, Blinde membaptis satu keluarga yang terdiri dari 6 orang,
yaitu Hasan, istrinya bernama Ibo dan 4 orang anaknya. Pada umumnya
pertambahan anggota jemaat berasal dari orang-orang Kristen yang datang
bermukim di Palalangon, selain pertambahan anggota jemaat juga melalui
perpindahan agama dan pembaptisan.
90
4.4. Desa Kristen Rehoboth-Tamiang (1912)
Pada tahun 1911-1914, Aart Vermeer bertugas menjadi zendeling di jemaat
Juntikebon di keresidenan Cirebon. Selama setahun mengerjakan pekabaran Injil di
Juntikebon, A. Vermeer memperhatikan kehidupan anggota jemaat yang tidak
mempunyai lahan dan mata pencaharian. Sejauh mereka bekerja, mereka hanya
bekerja sebagai buruh tani. Untuk memberikan kesempatan kerja secara swadaya,
maka sekitar tahun 1912 Vermeer membuka lahan tanah tandus seluas 600 bau
menjadi sebuah pemukiman Kristen dan lahan pertanian yang diberi nama desa
Rehoboth di Tamiang. Tanah ini dulu merupakan bekas Tanah Partikelir
Kandanghauer yang telah beralih ke tangan gubernemen. Kemudian, tanah itu
diserahkan atau disumbangkan (afgestane grond) oleh pemerintah kepada NZV.48
Penyerahan dari pemerintah kepada NZV berlangsung pada 7 Desember 1912.49
Kemudian baru terjadi pada tahun 1913, desa Rehoboth-Tamiang dihuni oleh 6
keluarga anggota jemaat dari Juntikebon.50
Pada tahun 1913 Vermeer menyusun “Peraturan Umum” dan “Peraturan
Rumah Tangga” (Algemeene Bepalingen en Reglement van Orde voor het land
Rehoboth).51 Kemudian pada Februari 1917, dalam rapat Konferensi para
Zendeling, Peraturan Umum yang telah mengalami revisi itu disetujui. Dengan
tekanan perubahan pada semula pada asas “tanah Rehoboth merupakan bantuan
materi kepada kaum Kristen” menjadi “tanah Rehoboth merupakan upaya
48 van den End, De Nederlandse Zendingsvereniging, 26. 49 ARvdZ, 14-13 dan 14-14. 50 Chr. Djalimoen, Sejarah Gereja Kristen Pasundan sampai tahun 1959 (Bandung: t.p.,
1959), 71. 51 ARvdZ, 1-30.
91
pekabaran Injil melalui pembukaan tanah”.52 Kemudian naskah peraturan ini
dicetak dalam bahasa dan aksara Jawa untuk konteks jemaat Tamiang yang
condong berdialek Jawa pesisir. Peraturan Umum tersebut terdapat 8 pasal dan
Peraturan Rumah Tangga terdapat 48 pasal. Dalam Peraturan Umum memuat
tentang, sebagiannya adalah:53
Pasal 2. Setiap keluarga dapat memperoleh hak pinjam guna atas 2 bau tanah sawah dan 1/4 bau untuk membangun rumah. Pasal 3. Dari hasil sawah, mulai tahun ketiga pemukiman harus diberi 1/6 bagian untuk keperluan kas tanah Rehoboth. Pasal 5. Di samping itu perlu dilakukan pekerjaan untuk keperluan Tanah Rehoboth, maka akan diminta bantuan kaum pemukim, yang wajib melakukan pekerjaan itu dengan upah harian 25 sen bagi pemukim pria (untuk pekerjaan pembukaan tanah 40 sen sehari) dan 15 sen bagi pemukim perempuan.
Pada Peraturan Rumah Tangga, dinyatakan lebih tegas tentang cita-
cita swadaya jemaat yang diharapkan oleh NZV, yaitu:54
Pasal 15. Kaum pemukim tidak boleh berharap bahwa untuk nafkahnya mereka mengandalkan kemurahan hati zendeling atau memandang Tanah Rehoboth ini merupakan tempat pengungsian bagi kaum pemalas dan orang yang tidak mampu bekerja. Setiap pemukim wajib mencari nafkah dengan bekerja, sehingga ia dapat memperoleh segala keperluan hidup sendiri dan keluarganya tanpa mengandalkan bantuan dari pihak zendeling, berupa hutang atau cara lain apapun. Orang yang ternyata pemalas atau tidak mampu mencari nafkah sendiri akan disingkirkan dari Tanah ini. Hanya warga yang ditimpa bencana yang boleh mengharapkan bantuan atas dasar kemurahan hati orang.
A. Vermeer sebagai zendeling di Juntikebon, maka ia hanya mampu
berkunjung ke desa ini selama satu kali dalam satu bulan. Pemeliharaan jemaat
52 van den End, Sumber-sumber Zending, 445. 53 van den End, Sumber-sumber Zending, 446. 54 van den End, Sumber-sumber Zending, 447.
92
sehari-hari dilakukan oleh Paul Dangin. Akan tetapi, ketika pada tahun 1914, J. van
de Weg menggantikan Vermeer di Juntikebon, maka pemeliharaan jemaat Tamiang
beralih di bawah kepemimpinannya. Namun demikian, pemeliharaan jemaat
senantiasa dilakukan oleh penghantar jemaat Bumiputera. Berturut-turut para
penghantar jemaat itu bergantian tinggal di desa Rehoboth-Tamiang. Pada bulan
Juli 1916 Paul Dangin dipindahkan dari Tamiang dan Sipan Noersidjan
dipindahkan dari Cigelam. S. Noersidjan bekerja di Tamiang sampai tahun 1918
karena dipindahkan ke Juntikebon. Penggantinya adalah Saul Adam yang
dipindahkan dari Juntikebon. Bulan Februari 1920 kembali Sipan Noersidjan
dipindahkan ke Tamiang. Bulan Desember 1926 ia dipindahkan lagi ke Juntikebon.
Penggantinya adalah Soeramin Madjan, yang bekerja di Tamiang dari tahun 1927-
1932. Soeramin Madjan digantikan oleh Jakoboes Kotong yang bekerja di sini dari
tahun 1932-1935. Mulai tahun 1935 Tamiang dilayani oleh Oesman Sarim sampai
tahun 1950. Meskipun berada dalam pemeliharaan seorang zendeling dan
penghantar jemaat, kepala desa Kristen dan para pamong desa adalah warga yang
beragama Kristen, yang dipilih berdasarkan suara terbanyak, seperti yang termuat
dalam Pasal 34.55
5. Kesimpulan
Pada periode tahun 1882-1912, NZV mendirikan beberapa desa Kristen di
Jawa Barat. Desa-desa Kristen di Jawa Barat itu adalah desa Cideres, Majalengka
(1882), desa Pangharepan, Cikembar (1888), desa Palalangon, Cianjur (1902), dan
55 van den End, Sumber-sumber Zending, 447.
93
desa Rehoboth, Tamiang (1912). Ada dua motif yang sering diungkapkan menjadi
alasan pembentukan desa-desa Kristen tersebut, yaitu:
1. NZV ingin membebaskan orang-orang Kristen Bumiputera lepas dari
tekanan-tekanan dan hambatan-hambatan yang berasal dari desa-desa
tempat asal mereka, yaitu dari para pemimpin desa yang terikat menurut
adat Islam, yang juga telah melekat pada tradisi suku bangsa Sunda.
2. NZV ingin menolong orang-orang Kristen Bumiputera terbebas dari
belenggu kemiskinan, melalui sumbangan uang dan menyediakan tempat
kerja, meskipun mereka menyadari akan lebih tepat tidak memberi bantuan
material, tetapi ladang/sawah untuk bermata-pencaharian dan pemukiman
penduduk.
Zendeling NZV bernama Jurrianus Verhoeven, tentu dalam konteks
Majalengka, mengatakan bahwa kebijaksanaan untuk mendirikan desa-desa Kristen
bukanlah metode zending, melainkan akibat yang tidak terhindarkan dari kegiatan
zending, bila kegiatan tersebut memperoleh hasil yang baik di kalangan kaum
penduduk Muslim. Akan tetapi, menurut Koernia Atje Soejana dalam disertasinya,
mengatakan bahwa Verhoeven sepertinya tertarik dengan gagasan P. Jansz, seorang
zendeling di Jawa Tengah, yang termuat dalam sebuah brosur tulisan berjudul
“Pembukaan Tanah dan Pekabaran Injil di Jawa” (1874), untuk diterapkan dalam
upaya pekabaran Injil di Jawa Barat.56 Dari tulisan P. Jansz ini bukan hanya
Verhoeven yang terinspirasi melainkan juga Schilstra, Gijsman, dan Zegers.
56 Soejana, Sejarah Komunikasi, 337.
94
Meskipun pada akhirnya dalam konteks pembentukan desa Kristen, inspirasi itu
dapat diwujudkan dan direalisasikan oleh Verhoeven di desa Cideres dan van
Eendenburg di desa Pangharepan-Cikembar.
H.J. Roseboom, selaku direktur NZV, dalam buku Peringatan 50 tahun
NZV, memberikan penilaian bahwa pekabaran Injil dengan membuka lahan untuk
pembentukan desa Kristen tidak banyak memberi arti.57 Komunitas yang terbentuk
menjadi sangat terisolasi dari masyarakat Bumiputera lainnya. Perekonomian
anggota jemaat yang menjadi tujuan pertama juga tidak memberikan hasil yang
baik. Secara umum NZV tidak dapat membanggakan metode dengan cara pendirian
desa-desa Kristen tersebut sebagai metode pekabaran Injil di Jawa Barat.58
Meskipun demikian, selama bekerja di Jawa Barat NZV memiliki harta
benda berupa gedung-gedung gereja, sekolah, rumah sakit, dan bangunan-bangunan
lainnya, serta tanah-tanah yang di atasnya bangunan itu berdiri. Harta benda
tersebut kemudian dilimpahkan kepada Gereja Kristen Pasundan (GKP) dan Gereja
Kristen Indonesia (GKI)-Jawa Barat. Pada tanggal 7 November 1953, sesuai
dengan peraturan yang berlaku saat itu, terjadi pelimpahan wewenang dari tanah-
tanah yang berstatus Tanah Eigendom menjadi Hak Milik kepada GKP. Yang
mewakili pihak Nederlandsche Zendingsraad adalah Jonkheer Doctor Ulrich
Herman van Beyma dan yang mewakili pihak GKP adalah Yakin Elia, Wira Sairin,
dan Kemas Madjiah. Dalam Lijst van Eigendommen op West Java terdokumetasi
57 Roseboom, Na Vijftig Jaren, 136-137. 58 Lindenborn, Onze Zendingsvelden, 183.
95
dalam arsip Majelis Sinode GKP, tercatat tanah-tanah jemaat pada desa-desa
Kristen, yaitu:
1. Tanah di Jemaat Cideres, yang terletak di Kabupaten Majalengka,
Kecamatan Kadipaten, Desa Heuleut seluas 11.260 m2 (yang
mendapatkan Akta Eigendom 26 Juni 1971).
2. Tanah di Jemaat Cikembar (Pangharepan), yang terletak di
Kewedanaan Cibadak, Desa Cikembar seluas 4.484 m2 (yang
mendapatkan Akta Eigendom 24 Juni 1954).
3. Tanah di Jemaat Palalangon, yang terletak di Kabupaten Cianjur,
Kecamatan Ciranjang, Desa Kertajaya seluas 4.964 m2 (yang mendapat
Akta Eigendom 30 Maret 2017).
4. Tanah di Jemaat Tamiang, yang terletak di Kabupaten Indramayu,
Kecamatan Kroya, Desa Jayamulya seluas 2.717 m2 (yang mendapat
Akta Eigendom 26 Agustus 2011).
Menurut Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960, tanah-tanah Eigendom
harus dikonversi menjadi tanah milik (Hak Milik). Karena itu, perintisan ke arah
konversi tanah-tanah milik gereja dilakukan oleh GKP sekitar tahun 1960-an. Baru
kemudian pada tanggal 22 Februari 1971, Kementerian Dalam Negeri memutuskan
tentang “Penunjukan Sinode GKP dan Yayasan-yayasan yang berada di dalam
lingkungannya, sebagai Badan Hukum yang dapat mempunyai tanah dengan Hak
Milik”. Dua hal penting yang termuat dalam Surat Keputusan Menteri Dalam
Negeri RI tersebut, yaitu bahwa tanah-tanah milik Zending:59
59 Soejana, Benih yang Tumbuh, 126-128.
96
1. Menjadi Hak Milik, jika tanahnya digunakan untuk gereja, pastori, sekolah
agama beserta halamannya.
2. Mendapat Hak Guna Bangunan, jika tanahnya digunakan untuk keperluan-
keperluan lain, dan berlangsung hingga tanggal 24 Desember 1980. Apabila
sebidang persil (satu verponding) di samping penggunaannya untuk usaha
dalam bidang keagamaan dipergunakan untuk keperluan lain, maka hak
Eigendom dikonversi menjadi Hak Milik, jika usaha dalam bidang
keagamaan itu merupakan usaha pokok atau terutama.
Recommended